Disusun Oleh:
Umu Fadhilah Isnaini G99181063
Pembimbing
Oleh:
Umu Fadhilah Isnaini G99181063
A. ANAMNESIS
1. Identitas Pasien
Nama : Ny. S
Usia : 43 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Surakarta
Tanggal periksa : 23 November 2019
No. RM : 01485091
2. Keluhan Utama
Sesak napas
6. Riwayat Kebiasaan
Riwayat merokok : disangkal
Riwayat olahraga : jarang berolahraga
Riwayat konsumsi alkohol : disangkal
7. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien bekerja sebagai petani dan berobat menggunakanfasilitas
pelayanan kesehatan BPJS.
B. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum
Compos mentis (E4V5M6), tampak sakit berat, gizi kesan overweight.
2. Tanda Vital
Tekanan darah : 195/118 mmHg
Laju napas : 28x/menit
Denyut nadi : 110x/menit
Detak jantung : 110x/menit
Suhu : 38.2°C
Saturasi O2 pulse : 95 % (O2 3lpm)
GDS : 223 mg/dl
3. Keadaan Sistemik
Kepala : mesocephal
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)
Telinga : sekret (-/-)
Hidung : nafas cuping hidung (-/-), sekret (-/-)
Mulut : sianosis (-)
Leher : JVP 5+3cm H2O, pembesaran kelenjar getahbening (-)
Toraks : bentuk normochest, simetris, retraksi (-/-)
Cor :
Inspeksi : ictus cordis tak tampak
Palpasi : ictus cordis tak kuat angkat
Perkusi : Batas jantung kesan melebar ke caudolateral
Auskultasi : S1-S2 intensitas normal, reguler, bising (-)
Pulmo :
Inspeksi : pengembangan dada kanan sama dengan dada kiri
Palpasi : fremitus raba dada kanan sama dengan dada kiri
Perkusi : sonor / sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), ronki basah halus
(+/+) 1/3 lapang paru, ronki basah kasar (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen :
Inspeksi : distensi (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : pekak alih (-), area troube redup
Palpasi : supel, nyeri tekan (-)
Ekstremitas :
Sianosis Edema Akral Dingin
- - + + - -
- - + + - -
C.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Hasil Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan Darah 23 November 2019
HEMATOLOGI RUTIN
Hemoglobin 9.8 g/dL 12.0-15.6
Hematokrit 31 % 33-45
Leukosit 13.6 ribu/uL 4.5-11.0
Trombosit 775 ribu/uL 150-450
Eritrosit 3.52 juta/uL 4.50-5.90
INDEX ERITROSIT
MCV 87.2 /um 80.0 – 96.0
MCH 27.9 Pg 28.0 – 33.0
MCHC 32.0 g/dl 33.0 – 36.0
RDW 13.3 % 11.6 – 14.6
MPV 9.1 Fl 7.2 – 11.1
PDW 16 % 25 – 65
HITUNG JENIS
Eosinofil 1.70 % 0.00 – 4.00
Basofil 0.50 % 0.00 – 2.00
Netrofil 83.10 % 55.00 – 80.00
Limfosit 9.40 % 22.00 – 44.00
Monosit 5.30 % 0.00 – 7.00
KIMIA KLINIK
Gula darah sewaktu 286 mg/dl 60 – 140
Albumin 2.8 g/dl 3.5 – 5.2
Creatinine 2.7 mg/dl 0.9-1.3
Ureum 64 mg/dl <50
ELEKTROLIT
Natrium darah 128 mmol/L 136-145
Kalium darah 3.6 mmol/L 3.3-5.1
Kalsium Ion 1.15 mmol/L 1.17-1.29
HEMOSTASIS
PT 12.4 detik 10.0 – 15.0
APTT 27.9 detik 20.0 – 40.0
INR 0.940
ANALISA GAS DARAH
PH 7.410 7.350 – 7.450
BE -6.4 mmol/L -2 - +3
PCO2 28.0 mmHg 27.0 – 41.0
PO2 70.0 mmHg 83.0 – 108.0
Hematokrit 18 % 37 – 50
HCO3 17.7 mmol/L 21.0 – 28.0
Total CO2 18.6 mmol/L 19.0 – 24.0
O2 Saturasi 94.0 % 94.0 – 98.0
LAKTAT
Arteri 1.20 mmol/L 0.36 – 0.75
SEROLOGI
HBsAg Nonreactive Nonreactive
Troponin I 164 ng/L
Kesimpulan:
Gambaran cardiomegaly dengan oedem pulmo, CTR 65%
D. RESUME
1. Keluhan Utama
Sesak nafas
2. Anamnesis
Riwayat Penyakit Sekarang
Sesak napas memberat sejak 2 hari SMRS. Sesak napas dirasakan
tiba-tiba, memberat dengan aktivitas dan posisi terlentang.
Keluhan membaik dengan posisi duduk. Pasien biasa tidur dengan
2-3 bantal. Pasien sering tiba-tiba terbangun di malam hari karena
sesak dan batuk.
Batuk dan demam sejak 2 hari SMRS. Batuk dikatakan berdahak,
paling sering di malam hari. Pasien memiliki keluhan berdebar-
debar, keluhan terutama dirasakan ketika pasien sesak. Pasien
juga sering mengeluhkan kedua kakinya bengkak, hilang timbul
sejak sakit. Keluhan sering muncul bila pasien duduk lama,
keluhan berkurang bila kaki ditinggikan.
Pasien sejak sakit lebih banyak istirahat, masih sanggup jalan ke
kamar mandi (sekitar 10 meter) namun akan merasa ngos-ngosan.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat jantung (+) Oktober 2019
Riwayat HT (+) sejak 5 tahun yang lalu, berobat tidak rutin
Riwayat DM (+) sejak 10 tahun yang lalu, berobat tidak rutin
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak terdapat anggota keluarga yang menderita keluhan serupa
Riwayat Kebiasaan
Tidak memiliki riwayat merokok dan konsumsi alcohol. Jarang
berolahraga.
Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien bekerja sebagai petani dan berobat menggunakan fasilitas
pelayanan kesehatan BPJS.
3. Pemeriksaan Fisik
KU : tampak sakit berat, compos mentis, GCS E4V5M6
Tanda vital : TD 195/118 mmHg, RR 28x/menit, HR 110x/menit,
T 38.2C, saturasi O2 95% (NK 3 lpm)
Cor : batas jantung kesan melebar ke caudolateral
Pulmo : RBH (+/+) 1/3 ;lapang paru
Ekstremitas : Edema seluruh ekstremitas
4. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium Darah
DR : Hb 9.8 (↓), Hct 31 (↓), AL 13.6 (↑), AT 775 (↑),
Neutrofil 83.1 (↑)
Kimia Klinik : GDS 286 (↑), Alb 2.8 (↓), Cr 2.7 (↑), Ur 64 (↑)
Elektrolit : Na 128 (↓), Ca 1.15 (↓)
Serologi : TropI 164 (↑)
b. Laboratorium Analisis Gas Darah
pH : 7.41 (N)
PCO2 : 28.0 (↓)
HCO3 : 17.7 (↓)
c. Laboratorium Urin
Protein : +++/Positif 3
Glukosa : ++++/Positif 4
Keton : +/Positif 1
Eritrosit : ++/Positif 2
d. EKG
Kesimpulan : Sinus takikardi, HR 110 bpm, normoaxis, Poor R wave
progression
e. RO Thorax
Kesimpulan : Kardiomegali dengan oedem pulmo, CTR 65%
E. DIAGNOSIS
Anatomis : UAP dd NSTEMI
Fungsional : Killip II
Etiologi : PJK
Faktor resiko : Hipertensi, DM
Penyerta :
1. Hipertensi emergensi
2. DM tipe 2
3. Susp Pneumonia dengan febris
F. EXPERTISE LABORATORIUM
Hasil pemeriksaan laboratorium darah kesan anemia normositik
normokromik, trombositosis, neutrofilia, hiperglikemi, hipoalbuminemia,
azotemia, hipokalsemi, hiponatremi. Terdapat peningkatan Troponin I. Hasil
pemeriksaan laboratorium urin kesan glukosuria, ketonuria, proteinuria.
G. TERAPI
Terapi IGD
1. Bedrest
2. O2 3 lpm NK bila SpO2<90%
3. Aspilet loading 320mg
4. Clopidogrel loading 300mg
5. Inj Furosemide extra 60mg iv, selanjutnya SP furosemide 10mg/jam
6. SP NTG 10mcg/menit (3 ml/jam) (uptitrasi)
7. Inj. Insulin 3 unit extra iv
Terapi ICVCU
1. Bedrest total ICVCU
2. O2 3 lpm NK bia SpO2<90%
3. DJ II dan DM 1700kkal
4. IVFD NaCl 0.9% 20 ml/jam
5. Inj. ISDN SP 2 mg/jam SP NTG 10 mcg/menit (3 ml/jam) uptitrasi,
target SBP<140
6. SP Furosemide 10mg/jam
7. Aspilet 80 mg/24 jam po.
8. Clopidogrel 75 mg/24 jam po.
9. Ramipril 10 mg/24 jam po.
10. Atorvastatin 40 mg/24 jam po.
11. Antikoagulan tunggu lab Heparin bolus 3000 UI IV, selanjutnya (12
UI/kgBB/jam) ~ 600 UI/jam, kec 1.5 cc/jam
12. Insulin sesuai protokol Texas
J. FOLLOW UP
EKG 24 November 2019 (RSDM)
ELEKTROLIT
Natrium darah 130 mmol/L 136-145
Kalium darah 4.3 mmol/L 3.3-5.1
Kalsium Ion 1.26 mmol/L 1.17-1.29
HEMOSTASIS
PT 12.5 detik 10.0 – 15.0
APTT 37.4 detik 20.0 – 40.0
INR 0.950
B. HIPERTENSI EMERGENSI
Hipertensi Emergensi merupakan situasi dimana tekanan darah yang
sangat tinggi berhubungan dengan kerusakana organ target yang
disebabkan oleh hipertensi akut, dimana membutuhkan penanganan segera
untuk menurunkan tekanan darah untuk mengurangi kerusakan yang dapat
timbul pada target organ. Target organ tersebut adalah hati, retina, otak,
ginjal, dan arteri-arteri besar. Tipe dari target organ tersebut yang
menentukan tatalaksana, target tekanan darah, dan jangka waktu kapan
tekanan darah dapat diturunkan.
Hipertensi malignan merupakan hipertensi emergensi yang
dikarakteristikan sebagai adanya elevasi yang parah pada tekanan darah
(biasanya > 200/120 mmHg) dan retinopati, didefinisikan sebagai
munculnya perdarahan flame-shaped bilateral, cotton wool spots, atau
papilledema.
Hipertensi encephalophaty merupakan hipertensi emergensi yang
dikarakteristikan sebagai hipertensi parah yang diikuti salah satu atau lebih
dari: kejang, letargi, blindness cortical, dan koma.
Trombotik mikroangiopati: keadaan dimana terdapat elevasi tekanan
darah bersamaan dengan coombs-negative hemolysis (peningkatan jumlah
lactic dehydrogenase, haptoglobin yang tidak dapat terukur, atau
schistocytes) dan trombositopenia tanpa penyebab yang jelas dan terjadi
peningkatan selama terapi penurunan tekanan darah. (ESC, 2017).
5. Klasifikasi
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
elektrokardiogram (EKG), dan pemeriksaan marker jantung, ACS
dibagi menjadi:
- Angina Pektoris tidak stabil (UAP: unstable angina pectoris)
Angina tidak stabil merupakan salah satu spektrum
presentasi klinis disebut secara kolektif sebagai sindrom koroner
akut (ACS), yang berada diantara infark miokardelevasi segmen-
ST (STEMI) dan non-STEMI (NSTEMI). Angina tidak stabil
dianggap ACS di mana tidak ada terdeteksi enzim dan biomarker
nekrosis miokard (Amsterdam, 2014).
- Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI: ST segment
elevation myocardial infarction)
Infark miokard dengan elevasi segmen ST akut (STEMI)
merupakan indikator kejadian oklusi total pembuluh darah arteri
koroner. Keadaan ini memerlukan tindakan revaskularisasi untuk
mengembalikan aliran darah dan reperfusi miokard secepatnya;
secara medikamentosa menggunakan agen fibrinolitik atau secara
mekanis, intervensi koroner perkutan primer. Diagnosis STEMI
ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut disertai
elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan yang
bersebelahan. Inisiasi tatalaksana revaskularisasi tidak memerlukan
menunggu hasil peningkatan marker jantung.
- Infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI: non-ST
segment elevation myocardial infarction)
Diagnosis NSTEMI dan angina pektoris tidak stabil
ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut tanpa elevasi
segmen ST yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan.
Rekaman EKG saat presentasi dapat berupa depresi segmen ST,
inversi gelombang T, gelombang T yang datar, gelombang T
pseudo-normalization, atau bahkan tanpa perubahan (Gambar 1).
Sedangkan Angina Pektoris tidak stabil dan NSTEMI dibedakan
berdasarkan kejadian infark miokard yang ditandai dengan
peningkatan marka jantung. Marka jantung yang lazim digunakan
adalah Troponin I/T atau CK-MB. Bila hasil pemeriksaan biokimia
marka jantung terjadi peningkatan bermakna, maka diagnosis
menjadi Infark Miokard Akut Segmen ST Non Elevasi (Non ST-
Elevation Myocardial Infarction, NSTEMI). Pada angina pektoris
tidak stabil marka jantung tidak meningkat secara bermakna. Pada
sindroma koroner akut, nilai ambang untuk peningkatan CK-MB
yang abnormal adalah beberapa unit melebihi nilai normal atas
(upper limits of normal, ULN).
D. PNEUMONIA
1. Definisi
Secara kinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu
peradangan paru yang disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri,
virus, jamur, parasit). Pneumonia yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis tidak termasuk. Sedangkan
peradangan paru yang disebabkan oleh non-mikroorganisme
(bahan kimia, radiasi, aspirasi bahan toksik, obat-obatan dan lain-
lain) disebut pneumonitis (PDPI, 2003).
2. Etiologi
Menurut penyebab pneumonia komuniti banyak disebabkan
bakteri Gram positif dan dapat pula bakteri atipik. Akhir-akhir ini
laporan dari beberapa kota di Indonesia menunjukkan bahwa
bakteri yang ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita
pneumonia komuniti adalah bakteri Gram negatif. Berdasarkan
laporan 5 tahun terakhir dari beberapa pusat paru di Indonesia
(Medan, Jakarta, Surabaya, Malang, dan Makasar) dengan cara
pengambilan bahan dan metode pemeriksaan mikrobiologi yang
berbeda didapatkan hasil pemeriksaan sputum sebagai berikut:
Klebsiella pneumoniae 45,18%
Streptococcus pneumoniae 14,04%
Streptococcus viridans 9,21%
Staphylococcus aureus 9%
Pseudomonas aeruginosa 8,56%
Steptococcus hemolyticus 7,89%
Enterobacter 5,26%
Pseudomonas spp 0,9%
3. Patogenesis
Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan
mikroornagisme di paru. Keadaan ini disebabkan oleh mekanisme
pertahanan paru. Apabila terjadi ketidakseimbangan antara daya
tahan tubuh, mikroorganisme dapat berkembang biak dan
menimbulkan penyakit. Resiko infeksi di paru sangat tergantung
pada kemampuan mikroorganisme untuk sampai dan merusak
permukaan epitel saluran napas. Ada beberapa cara
mikroorganisme mencapai permukaan:
a. Inokulasi langsung
b. Penyebaran melalui pembuluh darah
c. Inhalasi bahan aerosol
d. Kolonisasi dipermukaan mukosa
Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah
secara Kolonisasi. Secara inhalasi terjadi pada infeksi virus,
mikroorganisme atipikal, mikrobakteria atau jamur. Kebanyakan
bakteri dengan ukuran 0,5 -2,0 m melalui udara dapat mencapai
bronkus terminal atau alveol dan selanjutnya terjadi proses infeksi.
Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung, orofaring)
kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi
inokulasi mikroorganisme, hal ini merupakan permulaan infeksi
dari sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dari sebagian kecil sekret
orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50 %) juga pada
keadaan penurunan kesadaran, peminum alkohol dan pemakai obat
(drug abuse).
Sekresi orofaring mengandung konsentrasi bakteri yang
tinggi 10 8-10/ml, sehingga aspirasi dari sebagian kecil sekret
(0,001 - 1,1 ml) dapat memberikan titer inokulum bakteri yang
tinggi dan terjadi pneumonia.
5. Diagnosis
Diagnosis pneumonia komuniti didapatkan dari
anamnesis, gejala klinis pemeriksaan fisis, foto toraks dan
labolatorium. Dari anamnesis biasanya ditandai dengan demam,
menggigil, suhu tubuh meningkat dapat melebihi 400C, batuk
dengan dahak mukoid atau purulen kadang-kadang disertai darah,
sesak napas dan nyeri dada.
Pemeriksaan fisik dada tergantung dari luas lesi di paru.
Pada inspeksi dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu
bernapas, pasa palpasi fremitus dapat mengeras, pada perkusi
redup, pada auskultasi terdengar suara napas bronkovesikuler
sampai bronkial yang mungkin disertai ronki basah halus, yang
kemudian menjadi ronki basah kasar pada stadium resolusi.
Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan
penunjang utama untuk menegakkan diagnosis. Gambaran
radiologis dapat berupa infiltrat sampai konsolidasi dengan "air
broncogram", penyebab bronkogenik dan interstisial serta
gambaran kaviti. Foto toraks saja tidak dapat secara khas
menentukan penyebab pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke
arah diagnosis etiologi, misalnya gambaran pneumonia lobaris
tersering disebabkan oleh Steptococcus pneumoniae, Pseudomonas
aeruginosa sering memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran
bronkopneumonia sedangkan Klebsiela pneumonia sering
menunjukkan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan
meskipun dapat mengenai beberapa lobus.
Pada pemeriksaan labolatorium terdapat peningkatan
jumlah leukosit, biasanya lebih dari 10.000/ul kadang-kadang
mencapai 30.000/ul, dan pada hitungan jenis leukosit terdapat
pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED. Untuk
menentukan diagnosis etiologi diperlukan pemeriksaan dahak,
kultur darah dan serologi. Kultur darah dapat positif pada 20-25%
penderita yang tidak diobati. Analisis gas darah menunjukkan
hipoksemia dan hikarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis
respiratorik.
Diagnosis pasti pneumonia komuniti ditegakkan jika pada
foto toraks terdapat infiltrat baru atau infiltrat progresif ditambah
dengan 2 atau lebih gejala di bawah ini:
• Batuk-batuk bertambah
• Perubahan karakteristik dahak / purulen
• Suhu tubuh > 380C (aksila) / riwayat demam
• Pemeriksaan fisis: ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara
napas bronkial dan ronki
• Leukosit > 10.000 atau < 4500
6. Penilaian Derajat Keparahan Penyakit
Penilaian derajat kerahan penyakit pneumonia kumuniti
dapat dilakukan dengan menggunakan sistem skor menurut hasil
penelitian Pneumonia Patient Outcome Research Team (PORT)
seperti tabel di bawah ini:
9. Komplikasi
a. Efusi pleura.
b. Empiema.
c. Abses Paru.
d. Pneumotoraks.
e. Gagal napas.
f. Sepsis
E. DIABETES MELLITUS
Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit
metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan
sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya.
International Society of Pediatric and Adolescence Diabetes dan
WHO merekomendasikan klasifikasi DM berdasarkan etiologi. Klasifikasi
DM berdasarkan etiologi adalah sebagai berikut: (ISPAD Clinical Practice
Consensus Guidelines, 2009; WHO, 2016)
b. Kriteria Diagnosis
DM ditegakkan berdasarkan ada tidaknya gejala.
Bila dengan gejala (polidipsi, poliuria, polifagia), maka
pemeriksaan gula darah abnormal satu kali sudah dapat
menegakkan diagnosis DM. sedangkan bila tanpa gejala,
maka diperlukan paling tidak 2 kali pemeriksaan gula
darah abnormal pada waktu yang berbeda (Rustama DS,
dkk. 2010; SIPAD Clinical Practice Consencus
Guidelines, 2009).
Kriteria hasil pemeriksaan gula darah abnormal
adalah:
1) Kadar gula darah sewaktu > 200 mg/dL atau
2) Kadar gula darah puasa > 126 mg/dL atau
3) Kadar gula darah postpandrial > 200 mg/dL
c. Tatalaksana
Tatalaksana pasien dengan DM tipe 1 tidak hanya
meliputi pengobatan berupa pemberian insulin, melainkan
ada hal-hal lain yang perlu diperhatikan dalam tatalaksana
agar penderita mendapatkan kualitas hidup yang optimal
dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Terdapat 5
pilar manajemen DM tipe 1, yaitu : (ISPAD Clinical
Practice Concencus Guidelines, 2009)
a. Insulin
Insulin merupakan terapi yang mutlak harus
diberikan pada penderita DM tipe 1. Dalam
pemberian insulin harus diperhatikan jenis insulin,
dosis insulin, regimen yang digunakan, cara
menyuntik serta penyesuaian dosis yang diperlukan.
b. Diet
Mayoritas penderita DM tipe 1 merupakan
anak-anak atau remaja, sehingga untuk diet perlu
diperhatikan agar tetap mendukung tumbuh
kembangnya.
c. Aktivitas Fisik
Berolahraga akan membantu
mempertahankan berat badan ideal, menurunkan
berat badan apabila menjadi obes serta
meningkatkan percaya diri. Olahraga akan
membantu menurunkan kadar gula darah serta
meningkatkan sensitivitas tubuh terhadap insulin.
Namun perlu diketahui pula bahwa olahraga dapat
meningkatkan risiko hipoglikemia maupun
hiperglikemia (bahkan ketoasidosis).
d. Edukasi
Pasien dan keluarga perlu diedukasi tentang
penyakitnya, patofisiologi, apa yang boleh dan tidak
boleh pada penderita DM, insulin (regimen, dosis,
cara menyuntik, lokasi menyuntik serta efek
samping penyuntikan), monitor gula darah dan juga
target gula darah ataupun HbA1c yang diinginkan.
e. Monitoring kontrol glikemik
Monitoring ini menjadi evaluasi apakah
tatalaksana yang diberikan sudah baik atau belum.
Kontrol glikemik yang baik akan memperbaiki
kualitas hidup pasien, termasuk mencegah
komplikasi baik jangka pendek maupun jangka
panjang.