Anda di halaman 1dari 59

LAPORAN KASUS

Seorang Perempuan 46 Tahun dengan UAP dd NSTEMI Killip II pada


Penyakit Jantung Koroner, Hipertensi Emergency, DM tipe II dengan
Suspek Pneumonia

Disusun Oleh:
Umu Fadhilah Isnaini G99181063

Pembimbing

dr. Sienny Linawati, M.Sc, SpPK

KEPANITERAAN KLINIK/PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN PATOLOGI KLINIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik


Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret / RSUD Dr.
Moewardi. Laporan kasus dengan judul:

Seorang Perempuan 46 Tahun dengan UAP dd NSTEMI Killip II pada


Penyakit Jantung Koroner, Hipertensi Emergency, DM tipe II dengan
Suspek Pneumonia

Hari, tanggal : Jumat, 28 Agustus 2020

Oleh:
Umu Fadhilah Isnaini G99181063

Mengetahui dan menyetujui,


Pembimbing Laporan Kasus,

dr. Sienny Linawati, M.Sc, SpPK


PENDAHULUAN

Acute Coronary Syndrome (ACS) adalah terminolog yang digunakan pada


keadaan gangguan aliran darah koroner parsial hingga total ke miokard secara
akut. ACS merupakan suatu kondisi terjadinya pengurangan aliran darah ke
jantung secara mendadak. ACS merupakan kumpulan gejala klinik yang
disebabkan oleh oklusi parsial atau emboli distal arteri koroner.
ACS dimulai dengan adanya ruptur plak arteri koroner, aktivasi kaskade
pembekuan dan platelet, pembentukan trombus, serta aliran darah koroner yang
mendadak berkurang.
Kriteria diagnostik ACS adalah dengan mengintegrasikan informasi yang
diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik, elektrokardiogram (EKG),
pemeriksaan marker jantung, dan foto polos dada. Berdasarkan hasil pemeriksaan-
pemeriksaan tersebut, ACS dibagi menjadi Angina pektoris tidak stabil (UAP:
unstable angina pectoris), infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI: ST
segment elevation myocardial infarction), dan infark miokard dengan non elevasi
segmen ST (NSTEMI: non-ST segment elevation myocardial infarction).
BAB I
STATUS PASIEN

A. ANAMNESIS
1. Identitas Pasien
Nama : Ny. S
Usia : 43 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Surakarta
Tanggal periksa : 23 November 2019
No. RM : 01485091

2. Keluhan Utama
Sesak napas

3. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan sesak napas yang memberat sejak 2
hari SMRS. Sesak napas dirasakan tiba-tiba, memberat dengan aktivitas dan
posisi terlentang. Keluhan membaik dengan posisi duduk. Pasien biasa tidur
dengan 2-3 bantal. Pasien sering tiba-tiba terbangun di malam hari karena
sesak dan batuk. Pasien juga mengeluh batuk dan demam sejak 2 hari
SMRS. Batuk dikatakan berdahak, paling sering di malam hari. Pasien
memiliki keluhan berdebar-debar, keluhan terutama dirasakan ketika pasien
sesak. Pasien juga sering mengeluhkan kedua kakinya bengkak, hilang
timbul sejak sakit. Keluhan sering muncul bila pasien duduk lama, keluhan
berkurang bila kaki ditinggikan.
Keluhan nyeri dada, dan pingsan disangkal. Pasien merupakan ibu
rumah tangga, sebelumnya masih bisa mengerjakan pekerjaan rumah,
namun sejak sakit pasien lebih banyak istirahat, pasien sanggup jalan ke
kamar mandi (sekitar 10 meter) namun akan merasa ngos-ngosan.
Pasien dirujuk dari RS Panti Waluyo, disana mendapatkan terapi
Furosemid 40 mg IV dan ISDN 5 mg SL. Sebelumnya seminggu yang lalu
pasien dirawat selama 5 hari di RS Panti Waluyo dengan keluhan sesak,
batuk dan mual.

4. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat Jantung : (+) dikatakan jantung bengkak Oktober
2019
Riwayat hipertensi : (+) sejak 5 tahun yang lalu, berobat tidak
rutin, amlodipin dan captopril
Riwayat diabetes mellitus : (+) sejak 10 tahun yang lalu, sekarang
dengan terapi insulin, tidak rutin
Riwayat kolesterol tinggi : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwaya stroke : disangkal

5. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat kolesterol tinggi : disangkal
Riwayat sakit paru : disangkal
Riwayat asma : disangkal

6. Riwayat Kebiasaan
Riwayat merokok : disangkal
Riwayat olahraga : jarang berolahraga
Riwayat konsumsi alkohol : disangkal
7. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien bekerja sebagai petani dan berobat menggunakanfasilitas
pelayanan kesehatan BPJS.

B. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum
Compos mentis (E4V5M6), tampak sakit berat, gizi kesan overweight.
2. Tanda Vital
Tekanan darah : 195/118 mmHg
Laju napas : 28x/menit
Denyut nadi : 110x/menit
Detak jantung : 110x/menit
Suhu : 38.2°C
Saturasi O2 pulse : 95 % (O2 3lpm)
GDS : 223 mg/dl

3. Keadaan Sistemik
Kepala : mesocephal
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)
Telinga : sekret (-/-)
Hidung : nafas cuping hidung (-/-), sekret (-/-)
Mulut : sianosis (-)
Leher : JVP 5+3cm H2O, pembesaran kelenjar getahbening (-)
Toraks : bentuk normochest, simetris, retraksi (-/-)
Cor :
Inspeksi : ictus cordis tak tampak
Palpasi : ictus cordis tak kuat angkat
Perkusi : Batas jantung kesan melebar ke caudolateral
Auskultasi : S1-S2 intensitas normal, reguler, bising (-)
Pulmo :
Inspeksi : pengembangan dada kanan sama dengan dada kiri
Palpasi : fremitus raba dada kanan sama dengan dada kiri
Perkusi : sonor / sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), ronki basah halus
(+/+) 1/3 lapang paru, ronki basah kasar (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen :
Inspeksi : distensi (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : pekak alih (-), area troube redup
Palpasi : supel, nyeri tekan (-)
Ekstremitas :
Sianosis Edema Akral Dingin
- - + + - -
- - + + - -
C.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Hasil Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan Darah 23 November 2019
HEMATOLOGI RUTIN
Hemoglobin 9.8 g/dL 12.0-15.6
Hematokrit 31 % 33-45
Leukosit 13.6 ribu/uL 4.5-11.0
Trombosit 775 ribu/uL 150-450
Eritrosit 3.52 juta/uL 4.50-5.90
INDEX ERITROSIT
MCV 87.2 /um 80.0 – 96.0
MCH 27.9 Pg 28.0 – 33.0
MCHC 32.0 g/dl 33.0 – 36.0
RDW 13.3 % 11.6 – 14.6
MPV 9.1 Fl 7.2 – 11.1
PDW 16 % 25 – 65
HITUNG JENIS
Eosinofil 1.70 % 0.00 – 4.00
Basofil 0.50 % 0.00 – 2.00
Netrofil 83.10 % 55.00 – 80.00
Limfosit 9.40 % 22.00 – 44.00
Monosit 5.30 % 0.00 – 7.00
KIMIA KLINIK
Gula darah sewaktu 286 mg/dl 60 – 140
Albumin 2.8 g/dl 3.5 – 5.2
Creatinine 2.7 mg/dl 0.9-1.3
Ureum 64 mg/dl <50
ELEKTROLIT
Natrium darah 128 mmol/L 136-145
Kalium darah 3.6 mmol/L 3.3-5.1
Kalsium Ion 1.15 mmol/L 1.17-1.29
HEMOSTASIS
PT 12.4 detik 10.0 – 15.0
APTT 27.9 detik 20.0 – 40.0
INR 0.940
ANALISA GAS DARAH
PH 7.410 7.350 – 7.450
BE -6.4 mmol/L -2 - +3
PCO2 28.0 mmHg 27.0 – 41.0
PO2 70.0 mmHg 83.0 – 108.0
Hematokrit 18 % 37 – 50
HCO3 17.7 mmol/L 21.0 – 28.0
Total CO2 18.6 mmol/L 19.0 – 24.0
O2 Saturasi 94.0 % 94.0 – 98.0
LAKTAT
Arteri 1.20 mmol/L 0.36 – 0.75
SEROLOGI
HBsAg Nonreactive Nonreactive
Troponin I 164 ng/L

b. Pemeriksaan Laboratorium Urin 23 November 2019


SEKRESI
MAKROSKOPIS
Warna Yellow
Kejernihan Keruh
KIMIA URIN
Berat jenis 1.020 1.015 – 1.025
pH 6.0 4.5 – 8.0
Leukosit Negatif /ul Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Protein +++/Positif 3 mg/dl Negatif
Glukosa ++++/Positif 4 mg/dl Normal
Keton +/Positif 1 mg/dl Negatif
Urobilinogen Normal mg/dl Normal
Biliubin Negatif mg/dl Negatif
Eritrosit ++ / Positif 2 mg/dl Negatif

2. Hasil Pemeriksaan EKG 23 November 2019

EKG IGD RSDM 23/11/2019


Interpretasi : Sinus rythm, HR 110bpm, normoaxis, ST Elevasi (-), ST
Depresi (-), T inverted (-), R V3 < 3 mm
Kesimpulan : Sinus Takikardia, HR 110bpm, normoaxis, Poor R wave
progression

3. Hasil Pemeriksaan Rontgen Thorax 23 November 2019

Kesimpulan:
Gambaran cardiomegaly dengan oedem pulmo, CTR 65%
D. RESUME
1. Keluhan Utama
Sesak nafas
2. Anamnesis
Riwayat Penyakit Sekarang
 Sesak napas memberat sejak 2 hari SMRS. Sesak napas dirasakan
tiba-tiba, memberat dengan aktivitas dan posisi terlentang.
Keluhan membaik dengan posisi duduk. Pasien biasa tidur dengan
2-3 bantal. Pasien sering tiba-tiba terbangun di malam hari karena
sesak dan batuk.
 Batuk dan demam sejak 2 hari SMRS. Batuk dikatakan berdahak,
paling sering di malam hari. Pasien memiliki keluhan berdebar-
debar, keluhan terutama dirasakan ketika pasien sesak. Pasien
juga sering mengeluhkan kedua kakinya bengkak, hilang timbul
sejak sakit. Keluhan sering muncul bila pasien duduk lama,
keluhan berkurang bila kaki ditinggikan.
 Pasien sejak sakit lebih banyak istirahat, masih sanggup jalan ke
kamar mandi (sekitar 10 meter) namun akan merasa ngos-ngosan.
Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat jantung (+) Oktober 2019
 Riwayat HT (+) sejak 5 tahun yang lalu, berobat tidak rutin
 Riwayat DM (+) sejak 10 tahun yang lalu, berobat tidak rutin
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak terdapat anggota keluarga yang menderita keluhan serupa
Riwayat Kebiasaan
Tidak memiliki riwayat merokok dan konsumsi alcohol. Jarang
berolahraga.
Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien bekerja sebagai petani dan berobat menggunakan fasilitas
pelayanan kesehatan BPJS.
3. Pemeriksaan Fisik
 KU : tampak sakit berat, compos mentis, GCS E4V5M6
 Tanda vital : TD 195/118 mmHg, RR 28x/menit, HR 110x/menit,
T 38.2C, saturasi O2 95% (NK 3 lpm)
 Cor : batas jantung kesan melebar ke caudolateral
 Pulmo : RBH (+/+) 1/3 ;lapang paru
 Ekstremitas : Edema seluruh ekstremitas

4. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium Darah
 DR : Hb 9.8 (↓), Hct 31 (↓), AL 13.6 (↑), AT 775 (↑),
Neutrofil 83.1 (↑)
 Kimia Klinik : GDS 286 (↑), Alb 2.8 (↓), Cr 2.7 (↑), Ur 64 (↑)
 Elektrolit : Na 128 (↓), Ca 1.15 (↓)
 Serologi : TropI 164 (↑)
b. Laboratorium Analisis Gas Darah
 pH : 7.41 (N)
 PCO2 : 28.0 (↓)
 HCO3 : 17.7 (↓)
c. Laboratorium Urin
 Protein : +++/Positif 3
 Glukosa : ++++/Positif 4
 Keton : +/Positif 1
 Eritrosit : ++/Positif 2
d. EKG
Kesimpulan : Sinus takikardi, HR 110 bpm, normoaxis, Poor R wave
progression
e. RO Thorax
Kesimpulan : Kardiomegali dengan oedem pulmo, CTR 65%

E. DIAGNOSIS
Anatomis : UAP dd NSTEMI
Fungsional : Killip II
Etiologi : PJK
Faktor resiko : Hipertensi, DM
Penyerta :
1. Hipertensi emergensi
2. DM tipe 2
3. Susp Pneumonia dengan febris
F. EXPERTISE LABORATORIUM
Hasil pemeriksaan laboratorium darah kesan anemia normositik
normokromik, trombositosis, neutrofilia, hiperglikemi, hipoalbuminemia,
azotemia, hipokalsemi, hiponatremi. Terdapat peningkatan Troponin I. Hasil
pemeriksaan laboratorium urin kesan glukosuria, ketonuria, proteinuria.
G. TERAPI
Terapi IGD
1. Bedrest
2. O2 3 lpm NK bila SpO2<90%
3. Aspilet loading 320mg
4. Clopidogrel loading 300mg
5. Inj Furosemide extra 60mg iv, selanjutnya SP furosemide 10mg/jam
6. SP NTG 10mcg/menit (3 ml/jam) (uptitrasi)
7. Inj. Insulin 3 unit extra iv
Terapi ICVCU
1. Bedrest total ICVCU
2. O2 3 lpm NK bia SpO2<90%
3. DJ II dan DM 1700kkal
4. IVFD NaCl 0.9% 20 ml/jam
5. Inj. ISDN SP 2 mg/jam SP NTG 10 mcg/menit (3 ml/jam) uptitrasi,
target SBP<140
6. SP Furosemide 10mg/jam
7. Aspilet 80 mg/24 jam po.
8. Clopidogrel 75 mg/24 jam po.
9. Ramipril 10 mg/24 jam po.
10. Atorvastatin 40 mg/24 jam po.
11. Antikoagulan tunggu lab  Heparin bolus 3000 UI IV, selanjutnya (12
UI/kgBB/jam) ~ 600 UI/jam, kec 1.5 cc/jam
12. Insulin sesuai protokol Texas

H. EVALUASI DAN USULAN PEMERIKSAAN LABORATORIUM


1. Evaluasi keluhan pasien : sesak nafas
2. Evaluasi keadaan umum dan tanda vital pasien
3. Usulan pemeriksaan laboratorium: Profil lipid, program HbA1c GDP
GD2PP, evaluasi DR, evaluasi elektrolit, evaluasi ureum kreatinin.
I. PROGNOSIS
1. Ad vitam : dubia ad malam
2. Ad sanam : dubia ad malam
3. Ad functionam : dubia ad malam

J. FOLLOW UP
EKG 24 November 2019 (RSDM)

Interpretasi :Sinus rythm, HR 91bpm, normoaxis, ST Elevasi (-), ST Depresi (-),


T inverted (+) V1-V4, R V3 < 3 mm
Kesimpulan :Sinus rythm, HR 91bpm, normoaxis, Iskemik anterior, Poor R wave
progression

Pemeriksaan Laboratorium Urin 25 November 2019


SEKRESI
MAKROSKOPIS
Warna Yellow
Kejernihan Cloudy
KIMIA URIN
Berat jenis 1.013 1.015 – 1.025
pH 8.0 4.5 – 8.0
Leukosit 75 /ul Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Protein +++/Positif 3 mg/dl Negatif
Glukosa +++/Positif 3 mg/dl Normal
Keton Negatif mg/dl Negatif
Urobilinogen Normal mg/dl Normal
Biliubin Negatif mg/dl Negatif
Eritrosit ++ / Positif 2 mg/dl Negatif
MIKROSKOP
Eritrosit 302.0 /uL 0 – 8.7
Leukosit 27.0 /LPB 0 – 12
EPITEL
Epitel Squamous 1–3 /LPB Negatif
Epitel Transisional 2–3 /LPB Negatif
Epitel bulat - /LPB Negatif
SILINDER
Hyline 0 /LPK 0–3
Granulated 0–1 /LPK Negatif
Leukosit - /LPK Negatif
Kristal 0.7 /uL 0.0 – 0.0
Yeast Like Cell 0.0 /uL 0.0 – 0.0
Small Round Cell 0.1 /uL 0.0 – 0.0
Mukus 0.25 /uL 0.00 – 0.00
Sperma 0.0 /uL 0.0 – 0.0
Konduktivitas 14.6 mS/cm 3.0 – 32.0

Pemeriksaan Laboratorium Darah 26 November 2019


HEMATOLOGI RUTIN
Hemoglobin 9.8 g/dL 12.0-15.6
Hematokrit 31 % 33-45
Leukosit 13.6 ribu/uL 4.5-11.0
Trombosit 775 ribu/uL 150-450
Eritrosit 3.52 juta/uL 4.50-5.90
KIMIA KLINIK
Albumin 2.6 g/dl 3.5 – 5.2
Creatinine 3.0 mg/dl 0.9-1.3
Ureum 111 mg/dl <50
SGOT 28 u/l <31
SGPT 21 u/l <34

ELEKTROLIT
Natrium darah 130 mmol/L 136-145
Kalium darah 4.3 mmol/L 3.3-5.1
Kalsium Ion 1.26 mmol/L 1.17-1.29
HEMOSTASIS
PT 12.5 detik 10.0 – 15.0
APTT 37.4 detik 20.0 – 40.0
INR 0.950

Hasil Pemeriksaan Darah 27 November 2019


HEMATOLOGI RUTIN
Hemoglobin 8.1 g/dL 12.0-15.6
Hematokrit 24 % 33-45
Leukosit 10.7 ribu/uL 4.5-11.0
Trombosit 627 ribu/uL 150-450
Eritrosit 2.91 juta/uL 4.50-5.90
HEMOSTASIS
PT 12.2 detik 10.0 – 15.0
APTT 42.2 detik 20.0 – 40.0
INR 0.920
BAB II
ANALISA KASUS

Dari anamnesis, didapatkan keluhan sesak nafas yang meningkat


dengan aktivitas dan saat posisi terlentang dan membaik saat posisi duduk.
Selain itu pasien juga lebih nyaman tidur dengan 2 sampai 3 bantal. Keluhan
sesak nafas dirasakan tiba-tiba. Salah satu penyebab dari sesak yang timbul
secara tiba-tiba adalah gangguan pada arteri koroner jantung dan hipertensi.
Pada pasien didapatkan keluhan batuk dan demam yang memberat 2
hari SMRS. Salah satu penyebab yang dapat menyebabkan hal tersebut adalah
pneumonia yang merupakan infeksi pada parenkim paru sehingga
menyebabkan pasien demam.
Pasien memiliki riwayat DM sejak 10 tahun yang lalu dan tidak
terkontrol dengan baik. Hal ini mungkin dapat menyebabkan salah satu
komplikasi mikrovaskular dari DM yaitu neuropati sehingga, nyeri dada yang
merupakan tanda khas dari ACS tidak muncul.
Pasien juga memiliki riwayat hipertensi dan DM yang tidak terkontrol
dan tidak minum obat. Dari keterangan tersebut didapatkan faktor risiko yang
ada pada pasien antara lain: usia >45 tahun, perempuan, memiliki riwayat
hipertensi, riwayat diabetes mellitus. Faktor risiko tersebut memperkuat
diagnosis sindroma koroner akut.
Dari hasil pemeriksaan fisik, pasien dalam keadaan compos mentis.
Pada pasien didapatkan tekanan darah 195/118 mmHg, dan dapat
dikategorikan hipertensi derajat 3 dan karena >180/120 serta terdapat target
organ maka bisa dimasukan kategori hipertensi emergensi. Didapatkan denyut
jantung 110 x/menit, laju napas 28x/menit, saturasi oksigen sebesar 95%
dengan bantuan oksigen 3 lpm. Selain itu juga didapatkan temperatur 38,3 oC
dan gula darah sewaktu sebesar 223 mg/dL, sehingga terdapat hiperglikemia.
Pada pemeriksaan leher tidak didapatkan peningkatan JVP.
Pemeriksaan pada dada didapatkan normochest. Pada pemeriksaan jantung
secara inspeksi, iktus cordis tidak tampak. Secara palpasi iktus cordis tidak
kuat angkat. Pemeriksaan perkusi pada jantung didapatkan batas jantung
melebar dengan kesan kaudolateral. Pada pemeriksaan auskultasi jantung tidak
didapatkan kelainan maupun bising.
Pemeriksaan pulmo didapatkan suara dasar vesikuler, ronkhi basah
halus (+) pada 1/3 lapang paru, dan ronkhi basah kasar (-). Ditemukannya
ronki basah halus meningkatkan kecurigaan terhadap sindroma koroner akut.
Abdomen supel, nyeri tekan (-). Pada pemeriksaan ekstremitas tidak
didapatkan akral dingin, tetapi didapatkan oedem pada keempat sisi.
Pemeriksaan EKG di IGD Rumah Sakit Dr. Moewardi dan didapatkan
irama sinus takikardia, HR 110 bpm, normoaxis, Poor R wave progression.
Sedangkan pada pemeriksaan EKG di bangsal, didapatkan sinus rhytm, HR
91bpm, normoaxis, iskemik anterior (T inverted), Poor R wave progression.
Dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan anemia (Hb 9,8, Hct
31%), neutrofilia absolut (neutrofil 83.1%), trombositosis (AT 775),
hiperglikemia (GDS 286), hipoalbuminemia (2,8), peningkatan biomarka
jantung (troponin I 164), azotemia (Cr 2.7, Ur 64), hiponatremia (Na 128),
hipokalsemia (Ca 1.15), alkalosis respiratorik terkompensasi sempurna,
glukosuria, proteinuria dan ketonuria. Anemia normositik normokromik dapat
disebabkan salah satunya karena adanya penyakit kronis. Neutrofilia absolut
menunjukkan adanya proses infeksi yang sedang berlangsung.
Hipoalbuminemia sering dikaitkan dengan proses inflamasi baik akut maupun
kronis. Azotemia, glukosuria, proteinuria dan ketonuria kemungkinan
diakibatkan oleh adanya kerusakan pada ginjal karena salah satu komplikasi
dari DM yaitu nefropati.
Pada hasil laboratorium pasien didapatkan adanya peningkatan
troponin I yang dapat memperkuat penegakan diagnosis NSTEMI.
Hiperglikemi dapat menyebabkan oksigenasi LDL dan mencetuskan
terbentuknya peroksidasi lipid, yang dapat menyebabkan penebalan intima
yang akhirnya mencetuskan terbentuknya aterosklerosis.
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang,
pasien didiagnosis dengan UAP dd NSTEMI Killip II, Hipertensi emergensi,
DM tipe II, dan suspek pneumonia. Usulan pemeriksaan laboratorium lanjutan
pada pasien adalah Profil lipid, evaluasi GDS, program HbA1c GDP GD2PP,
evaluasi DR, evaluasi elektrolit, evaluasi ureum kreatinin.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi Jantung


1. Anatomi Jantung
Sistem kardiovaskular terdiri dari jantung, pembuluh darah dan
darah. Secara sederhana, fungsi utamanya adalah untuk distribusi
oksigen dan nutrisi (misalnya glukosa, asam amino) ke semua jaringan
tubuh, pengangkutan karbondioksda dan produk limbah metabolik
(misalnya urea) dari jaringan ke paru-paru dan organ eksretoris.
Jantung juga berfungsi untuk distribusi air, elektrolit dan hormon di
seluruh sel tubuh, serta berkontribusi terhadap sistem kekebalan tubuh
dan termoregulasi (Aaroson et al., 2013). Struktur anatomi jantung
dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

Gambar 1. Struktur Anatomi Jantung (Aaroson et al., 2013)


Jantung terdiri dari 2 jenis ruang pompa, atrium dan ventrikel,
masing- masing berjumlah 2 buah, kanan dan kiri, sehingga jantung
memiliki 4 ruangan. Tampak luar, atrium terletak diatas ventrikel dan
berukuran lebih kecil dibandingkan ventrikel, keduanya dipisahkan
oleh arteri koroner kanan dan arteri sirkumfleks yang terdapat didalam
sulkus koronarius, mengelilingi jantung. Jantung dibungkus oleh
jaringan ikat tebal yang disebut perikardium. Perikardium terdiri dari 2
lapisan, perikardium viseral yang biasa disebut epikardium dan
perikardium parietal dibagian luar. Lapisan epikardium melapisi
seluruh bagian jantung hingga pangkal aorta dan arteri pulmonalis di
bagian atas untuk kemudian melipat keluar menjadi perikardium
parietalis. Kedua lapisan perikardium yang saling berkelanjutan ini
membentuk suatu ruangan yang berisi cairan, disebut sebagai cairan
perikardium yang memudahkan pergerakan jantung saat terjadi proses
pemompaan darah. Adanya perikardium dengan perlekatannya pada
ligamentum-ligamentum juga berfungsi memfiksasi organ jantung di
dalam rongga dada (Aaronson et al., 2013).
Jantung terdiri dari 4 ruangan, bagian atrium-ventrikel kiri dan
kanan. Diantara kedua atrium dibatasi oleh septum interatrial,yang
terletak pada bagian postero-inferior dinding medial atrium kanan,
sedangkan kedua ventrikel dibatasi oleh septum interventrikuler.
Secara horizontal atrium kanan dihubungkan dengan ventrikel kanan
oleh katup bikuspidalis atau biasa disebut dengan katup mitral dan
atrium kiri berhubungan dengan ventrikel kiri lewat katup trikuspidalis
(Aaronson et al., 2013).
2. Persarafan Jantung
Jantung dipersarafi oleh sistem saraf otonom, yaitu saraf
simpatis yang mempersarafi daerah atrium dan ventrikel, termasuk
pembuluh darah perifer dan saraf parasimpatis yang memberikan
persarafan pada nodus sino-atrial, atrio- ventrikular dan serabut –
serabut otot atrium, dan dapat pula menyebar ke dalam ventrikel kiri.
Rangsang simpatis dihantarkan oleh norepinefrin yang pada kerjanya
akan mempengaruhi kerja otot ventrikel, sedangkan saraf parasimpatis
dihantarkan oleh asetilkolin yang mengontrol irama dan laju denyut
jantung (Aaronson et al, 2013).
3. Vaskularisasi Jantung
Perdarahan otot jantung berasal dari 2 pembuluh koroner utama
yang keluar dari sinus valsava aorta. Pembuluh koroner pertama adalah
ateri koroner kiri atau Left Main Coronary Artery (LMCA) yang
berjalan di belakang arteri pulmonal sepanjang 1-2 cm untuk kemudian
bercabang menjadi Left Circumflex Artery (LCX) yang berjalan pada
sulkus artrio-ventrikuler mengelilingi permukaan posterior jantung dan
arteri desenden anterior kiri atau Left Anterior Descendent Artery
(LAD) yang berjalan pada sulkus interventrikuler sampai ke apeks.
Pembuluh darah ini juga bercabang-cabang mendarahi daerah diantara
kedua sulkus tersebut. Pembuluh koroner kedua, disebut sebagai arteri
koroner kanan, mendarahi nodus sino-atrial dan nodus atrio-entrikuler
melalui kedua percabangannya yaitu, arteri atrium anterior kanan dan
arteri koroner desenden posterior. Fungsi pembuluh vena jantung
diperankan oleh vena koroner yang selau berjalan berdampingan
dengan arteri koroner, yang kemudian akan bermuara ke dalam atrium
kanan melalui sinus koronarius. Selain itu terdapat pula vena thebesii,
yaitu vena-vena kecil yang langsung bermuara ke dalam arterium
kanan (Aaronson et al, 2013).

B. HIPERTENSI EMERGENSI
Hipertensi Emergensi merupakan situasi dimana tekanan darah yang
sangat tinggi berhubungan dengan kerusakana organ target yang
disebabkan oleh hipertensi akut, dimana membutuhkan penanganan segera
untuk menurunkan tekanan darah untuk mengurangi kerusakan yang dapat
timbul pada target organ. Target organ tersebut adalah hati, retina, otak,
ginjal, dan arteri-arteri besar. Tipe dari target organ tersebut yang
menentukan tatalaksana, target tekanan darah, dan jangka waktu kapan
tekanan darah dapat diturunkan.
Hipertensi malignan merupakan hipertensi emergensi yang
dikarakteristikan sebagai adanya elevasi yang parah pada tekanan darah
(biasanya > 200/120 mmHg) dan retinopati, didefinisikan sebagai
munculnya perdarahan flame-shaped bilateral, cotton wool spots, atau
papilledema.
Hipertensi encephalophaty merupakan hipertensi emergensi yang
dikarakteristikan sebagai hipertensi parah yang diikuti salah satu atau lebih
dari: kejang, letargi, blindness cortical, dan koma.
Trombotik mikroangiopati: keadaan dimana terdapat elevasi tekanan
darah bersamaan dengan coombs-negative hemolysis (peningkatan jumlah
lactic dehydrogenase, haptoglobin yang tidak dapat terukur, atau
schistocytes) dan trombositopenia tanpa penyebab yang jelas dan terjadi
peningkatan selama terapi penurunan tekanan darah. (ESC, 2017).

Gambar 2. Patofisiologi Hipertensi Emergensi (ESC, 2017)


Tabel 1. Usulan Laboratorium (ESC, 2017)

Tabel 2. Tatalaksana Hipertensi Emergensi (ESC, 2017)


Tabel 3. Tatalaksana Hipertensi Emergensi (ESC, 2017)

C. Acute Coronary Syndrome (ACS)


1. Definisi
Acute Coronary Syndrome adalah terminolog yang digunakan pada
keadaan gangguan aliran darah coroner parsial hingga total ke miokard
secara akut (Rilantono, 2012). ACS merupakan suatu kondisi
terjadinya pengurangan aliran darah ke jantung secara mendadak. ACS
merupakan kumpulan gejala klinik yang disebabkan oleh oklusi parsial
atau emboli distal arteri coroner (Kemenkes RI, 2017).
2. Etiologi
ACS ditandai oleh adanya ketidakseimbangan antara pasokan
dengan kebutuhan oksigen miokard (Amsterdam, 2014).
Etiologi ACS antara lain:
a. Penyempitan arteri koroner karena robek/pecahnya trombus yang
ada pada plak aterosklerosis. Mikroemboli dari agregasi trombosit
beserta komponennya dari plak yang ruptur mengakibatkan infark
kecil di distal.
b. Obstruksi dinamik karena spasme fokal yang terus-menerus pada
segmen arteri koroner epikardium. Spasme ini disebabkan oleh
hiperkontraktilitas otot polos pembuluh darah dan/atau akibat
disfungsi endotel.
c. Penyempitan yang hebat namun bukan karena spasme/thrombus:
terjadi pada sejumlah pasien dengan aterosklerosis progresif atau
dengan stenosis ulang setelah intervensi koroner perkutan (PCI).
d. Inflamasi: penyempitan arteri, destabilisasi plak, ruptur,
trombogenesis. Makrofag, limfosit T, peningkatan
metalloproteinase penipisan dan ruptur plak
e. Keadaan/faktor pencetus:
- peningkatan kebutuhan oksigen miokard: demam, takikardi,
tirotoksikosis
- penurunan aliran darah koroner
- penurunan pasokan oksigen miokard: anemia, hipoksemia
(Amsterdam, 2014).
3. Patofisiologi
ACS dimulai dengan adanya ruptur plak arteri koroner, aktivasi
kaskade pembekuan dan platelet, pembentukan trombus, serta aliran
darah koroner yang mendadak berkurang. Hal ini terjadi pada plak
koroner yang kaya lipid dengan fibrous cap yang tipis (vulnerable
plaque). Ini disebut fase ‘plaque disruption’. Setelah plak mengalami
ruptur maka ‘tissue factor’ dikeluarkan dan bersama faktor VIIa
membentuk tissue factor VIIa complex mengaktifkan faktor X menjadi
faktor Xa sebagai penyebab terjadinya produksi trombin yang banyak.
Adanya adesi platelet, aktivasi, dan agregasi, menyebabkan
pembentukan trombus arteri koroner. Ini disebut fase ‘acute
thrombosis’ (Stone, 2011).
Proses inflamasi yang melibatkan aktivasi makrofage dan sel T
limfosit, proteinase, dan sitokin, menyokong terjadinya ruptur plak
serta trombosis tersebut. Sel inflamasi tersebut bertanggung jawab
terhadap destabilisasi plak melalui perubahan dalam antiadesif dan
antikoagulan menjadi prokoagulan sel endotelial, yang menghasilkan
faktor jaringan dalam monosit sehingga menyebabkan ruptur plak
(Stone, 2011).
Endotelium mempunyai peranan homeostasis vaskular yang
memproduksi berbagai zat vasokonstriktor maupun vasodilator lokal.
Jika mengalami aterosklerosis maka segera terjadi disfungsi endotel
(bahkan sebelum terjadinya plak). Disfungsi endotel ini dapat
disebabkan meningkatnya inaktivasi nitrit oksid (NO) oleh beberapa
spesies oksigen reaktif, yakni xanthine oxidase, NADH/NADPH
(nicotinamide adenine dinucleotide phosphate oxidase), dan
endothelial cell Nitric Oxide Synthase (eNOS). Oksigen reaktif ini
dianggap dapat terjadi pada hiperkolesterolemia, diabetes,
aterosklerosis, perokok, hipertensi, dan gagal jantung (Stone, 2011;
Willerson, 2012).
Fase selanjutnya ialah terjadinya vasokonstriksi arteri koroner
akibat disfungsi endotel ringan dekat lesi atau respons terhadap lesi itu.
Pada keadaan disfungsi endotel, faktor konstriktor lebih dominan
(yakni endotelin-1, tromboksan A2, dan prostaglandin H2) daripada
faktor relaksator, yakni nitrit oksid dan prostasiklin (Stone, 2011;
Willerson, 2012).
Gambar 3. Lesi penyebab pada unstable angina (Willerson, 2012)

NO secara langsung menghambat proliferasi sel otot polos dan


migrasi, adesi leukosit ke endotel, serta agregasi platelet dan sebagai
proatherogenic. Melalui efek melawan, TXA2 juga menghambat agregasi
platelet dan menurunkan kontraktilitas miokard, dilatasi koroner, menekan
fibrilasi ventrikel, dan luasnya infark.
ACS yang diteliti secara angiografi 60—70% menunjukkan
obstruksi plak aterosklerosis yang ringan sampai dengan moderat, dan
terjadi disrupsi plak karena beberapa hal, yakni tipis - tebalnya fibrous cap
yang menutupi inti lemak, adanya inflamasi pada kapsul, dan
hemodinamik stress mekanik.
Gambar 4. Patogenesis Acute Coronary Syndrome (Willerson, 2012)
4. Diagnosis
Dengan mengintegrasikan informasi yang diperoleh dari
anamnesis, pemeriksaan fisik, elektrokardiogram, tes marka jantung,
dan foto polos dada, diagnosis awal pasien dengan keluhan nyeri dada
dapat dikelompokkan sebagai berikut: non kardiak, Angina Stabil,
Kemungkinan ACS, dan Definitif ACS.
- Anamnesis
Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri
dada yang tipikal (angina tipikal) atau atipikal (angina ekuivalen).
Keluhan angina tipikal berupa rasa tertekan/berat daerah
retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area
interskapular, bahu, atau epigastrium. Keluhan ini dapat
berlangsung intermiten/beberapa menit atau persisten (>20 menit).
Keluhan angina tipikal sering disertai keluhan penyerta seperti
diaphoresis, mual/muntah, nyeri abdominal, sesak napas, dan
sinkop.
Presentasi angina atipikal yang sering dijumpai antara lain
nyeri di daerah penjalaran angina tipikal, rasa gangguan
pencernaan (indigestion), sesak napas yang tidak dapat
diterangkan, atau rasa lemah mendadak yang sulit diuraikan.
Keluhan atipikal ini lebih sering dijumpai pada pasien usia muda
(25-40 tahun) atau usia lanjut (>75 tahun), wanita, penderita
diabetes, gagal ginjal menahun, atau demensia. Walaupun keluhan
angina atipikal dapat muncul saat istirahat, keluhan ini patut
dicurigai sebagai angina ekuivalen jika berhubungan dengan
aktivitas, terutama pada pasien dengan riwayat penyakit jantung
koroner (PJK). Hilangnya keluhan angina setelah terapi nitrat
sublingual tidak prediktif terhadap diagnosis ACS.
- Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor
pencetus iskemia, komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan
menyingkirkan diagnosis banding. Regurgitasi katup mitral akut,
suara jantung tiga (S3), ronkhi basah halus dan hipotensi
hendaknya selalu diperiksa untuk mengidenti kasi komplikasi
iskemia. Ditemukannya tanda-tanda regurgitasi katup mitral akut,
hipotensi, diaphoresis, ronkhi basah halus atau edema paru
meningkatkan kecurigaan terhadap ACS. Pericardial friction rub
karena perikarditis, kekuatan nadi tidak seimbang dan regurgitasi
katup aorta akibat diseksi aorta, pneumotoraks, nyeri pleuritik
disertai suara napas yang tidak seimbang perlu dipertimbangkan
dalam memikirkan diagnosis banding ACS.
- Pemeriksaan Elektrokardiogram
Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain
yang mengarah kepada iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG
12 sadapan sesegera mungkin sesampainya di ruang gawat darurat.
Sebagai tambahan, sadapan V3R dan V4R, serta V7-V9 sebaiknya
direkam pada semua pasien dengan perubahan EKG yang
mengarah kepada iskemia dinding inferior. Sementara itu, sadapan
V7-V9 juga harus direkam pada semua pasien angina yang
mempunyai EKG awal nondiagnostik. Sedapat mungkin, rekaman
EKG dibuat dalam 10 menit sejak kedatangan pasien di ruang
gawat darurat. Pemeriksaan EKG sebaiknya diulang setiap keluhan
angina timbul kembali.
Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien dengan keluhan
angina cukup bervariasi, yaitu: normal, nondiagnostik, LBBB (Left
Bundle Branch Block) baru/ persangkaan baru, elevasi segmen ST
yang persisten (≥20 menit) maupun tidak persisten, atau depresi
segmen ST dengan atau tanpa inversi gelombang T.
- Pemeriksaan Enzim Jantung
Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin I/T
merupakan marka nekrosis miosit jantung dan menjadi marka
untuk diagnosis infark miokard. Troponin I/T sebagai marka
nekrosis jantung mempunyai sensitivitas dan spesi sitas lebih tinggi
dari CK-MB. Peningkatan marka jantung hanya menunjukkan
adanya nekrosis miosit, namun tidak dapat dipakai untuk
menentukan penyebab nekrosis miosit tersebut (penyebab
koroner/nonkoroner). Troponin I/T juga dapat meningkat oleh
sebab kelainan kardiak nonkoroner seperti takiaritmia, trauma
kardiak, gagal jantung, hipertro ventrikel kiri,
miokarditis/perikarditis. Keadaan nonkardiak yang dapat
meningkatkan kadar troponin I/T adalah sepsis, luka bakar, gagal
napas, penyakit neurologik akut, emboli paru, hipertensi pulmoner,
kemoterapi, dan insu siensi ginjal. Pada dasarnya troponin T dan
troponin I memberikan informasi yang seimbang terhadap
terjadinya nekrosis miosit, kecuali pada keadaan disfungsi ginjal.
Pada keadaan ini, troponin I mempunyai spesi sitas yang lebih
tinggi dari troponin T.
Dalam keadaan nekrosis miokard, pemeriksaan CK-MB
atau troponin I/T menunjukkan kadar yang normal dalam 4-6 jam
setelah awitan ACS, pemeriksaan hendaknya diulang 8-12 jam
setelah awitan angina. Jika awitan ACS tidak dapat ditentukan
dengan jelas, maka pemeriksaan hendaknya diulang 6-12 jam
setelah pemeriksaan pertama. Kadar CK-MB yang meningkat
dapat dijumpai pada seseorang dengan kerusakan otot skeletal
(menyebabkan spesi sitas lebih rendah) dengan waktu paruh yang
singkat (48 jam). Mengingat waktu paruh yang singkat, CK-MB
lebih terpilih untuk mendiagnosis ekstensi infark (infark berulang)
maupun infark periprosedural.

5. Klasifikasi
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
elektrokardiogram (EKG), dan pemeriksaan marker jantung, ACS
dibagi menjadi:
- Angina Pektoris tidak stabil (UAP: unstable angina pectoris)
Angina tidak stabil merupakan salah satu spektrum
presentasi klinis disebut secara kolektif sebagai sindrom koroner
akut (ACS), yang berada diantara infark miokardelevasi segmen-
ST (STEMI) dan non-STEMI (NSTEMI). Angina tidak stabil
dianggap ACS di mana tidak ada terdeteksi enzim dan biomarker
nekrosis miokard (Amsterdam, 2014).
- Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI: ST segment
elevation myocardial infarction)
Infark miokard dengan elevasi segmen ST akut (STEMI)
merupakan indikator kejadian oklusi total pembuluh darah arteri
koroner. Keadaan ini memerlukan tindakan revaskularisasi untuk
mengembalikan aliran darah dan reperfusi miokard secepatnya;
secara medikamentosa menggunakan agen fibrinolitik atau secara
mekanis, intervensi koroner perkutan primer. Diagnosis STEMI
ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut disertai
elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan yang
bersebelahan. Inisiasi tatalaksana revaskularisasi tidak memerlukan
menunggu hasil peningkatan marker jantung.
- Infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI: non-ST
segment elevation myocardial infarction)
Diagnosis NSTEMI dan angina pektoris tidak stabil
ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut tanpa elevasi
segmen ST yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan.
Rekaman EKG saat presentasi dapat berupa depresi segmen ST,
inversi gelombang T, gelombang T yang datar, gelombang T
pseudo-normalization, atau bahkan tanpa perubahan (Gambar 1).
Sedangkan Angina Pektoris tidak stabil dan NSTEMI dibedakan
berdasarkan kejadian infark miokard yang ditandai dengan
peningkatan marka jantung. Marka jantung yang lazim digunakan
adalah Troponin I/T atau CK-MB. Bila hasil pemeriksaan biokimia
marka jantung terjadi peningkatan bermakna, maka diagnosis
menjadi Infark Miokard Akut Segmen ST Non Elevasi (Non ST-
Elevation Myocardial Infarction, NSTEMI). Pada angina pektoris
tidak stabil marka jantung tidak meningkat secara bermakna. Pada
sindroma koroner akut, nilai ambang untuk peningkatan CK-MB
yang abnormal adalah beberapa unit melebihi nilai normal atas
(upper limits of normal, ULN).

Tabel 4. Klasifikasi Killip pada Infark Miokard dengan angka


mortalitas rumah sakit yang diharapkan
6. Tindakan Umum dan Langkah Awal
Berdasarkan langkah diagnostik tersebut di atas, dokter perlu
segera menetapkan diagnosis kerja yang akan menjadi dasar strategi
penanganan selanjutnya. Yang dimaksud dengan terapi awal adalah
terapi yang diberikan pada pasien dengan diagnosis kerja
Kemungkinan ACS atau ACS atas dasar keluhan angina di ruang
gawat darurat, sebelum ada hasil pemeriksaan EKG dan/atau marker
jantung. Terapi awal yang dimaksud adalah Morfin, Oksigen, Nitrat,
Aspirin (disingkat MONA), yang tidak harus diberikan semua atau
bersamaan.
Tirah baring (Kelas I-C), suplemen oksigen harus diberikan segera
bagi mereka dengan saturasi O2 arteri <95%a tau yang mengalami
distres respirasi (Kelas I-C). Suplemen oksigen dapat diberikan pada
semua pasien ACS dalam 6 jam pertama, tanpa mempertimbangkan
saturasi O2 arteri (Kelas IIa-C). Aspirin 160-320 mg diberikan segera
pada semua pasien yang tidak diketahui intoleransinya terhadap aspirin
(Kelas I-A). Aspirin tidak bersalut lebih terpilih mengingat absorpsi
sublingual (di bawah lidah) yang lebih cepat (Kelas I-C). Penghambat
reseptor ADP (adenosine diphosphate). Dosis awal ticagrelor yang
dianjurkan adalah 180 mg dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 2 x
90 mg/hari kecuali pada pasien STEMI yang direncanakan untuk
reperfusi menggunakan agen fibrinolitik (Kelas I-B). Dosis awal
clopidogrel adalah 300 mg dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 75
mg/hari (pada pasien yang direncanakan untuk terapi reperfusi
menggunakan agen fibrinolitik, penghambat reseptor ADP yang
dianjurkan adalah clopidogrel) (Kelas I-C). Nitrogliserin (NTG)
spray/tablet sublingual bagi pasien dengan nyeri dada yang masih
berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat (Kelas I-C). jika nyeri
dada tidak hilang dengan satu kali pemberian, dapat diulang setiap
lima menit sampai maksimal tiga kali. Nitrogliserin intravena
diberikan pada pasien yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis
NTG sublingual (kelas I-C). Dalam keadaan tidak tersedia NTG,
isosorbid dinitrat (ISDN) dapat dipakai sebagai pengganti Morfin
sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang setiap 10-30 menit, bagi pasien
yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual (kelas
IIa-B).

Empat Pokok Objektif pada Pengobatan IMA (Rampengan, 2014):


1. Memperbaiki aliran koroner secepat mungkin – “Waktu adalah
Miokardium”!
Misalnya: Trombolisis
2. Mempertahankan iskemia atau membahayakan miokardium
Misalnya: Beta bloker, Nitrat, Aspirin, Klopidogrel, Heparin, Free
radical scavenger
3. Komplikasi pengobatan jantung
Misalnya: ACE-inhibitor, diuretik untuk gagal jantung: Anti-
aritmik untuk aritmia
4. Pengobatan penyakit co-existing, mencegah kematian
Misalnya: Antibiotik untuk pneumonia

Indikasi untuk terapi trombolitik pada IMA:


1. Nyeri dada konsisten dengan IMA
2. Perubahan EKG:
a. Elevasi segmen ST >1 mm pada sedikitnya 2 yang
berdampingan dengan leads limb atau;
b. Elevasi segmen ST >2 mm pada sedikitnya 2 yang
berdampingan dengan lead dada atau.
c. New LBBB
3. Waktu dari nyeri dada pada terapi trombolitik:
a. <6 jam: lebih bermanfaat
b. 6-12 jam: yang lebih kurang tapi tetap bermanfaat penting
c. 12-14 jam: mengurangi manfaat tapi mungkin tetap berguna
pada pasien yang terpilih (misalnya: trombolitik dengan nyeri
dada terus-menerus)

D. PNEUMONIA
1. Definisi
Secara kinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu
peradangan paru yang disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri,
virus, jamur, parasit). Pneumonia yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis tidak termasuk. Sedangkan
peradangan paru yang disebabkan oleh non-mikroorganisme
(bahan kimia, radiasi, aspirasi bahan toksik, obat-obatan dan lain-
lain) disebut pneumonitis (PDPI, 2003).
2. Etiologi
Menurut penyebab pneumonia komuniti banyak disebabkan
bakteri Gram positif dan dapat pula bakteri atipik. Akhir-akhir ini
laporan dari beberapa kota di Indonesia menunjukkan bahwa
bakteri yang ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita
pneumonia komuniti adalah bakteri Gram negatif. Berdasarkan
laporan 5 tahun terakhir dari beberapa pusat paru di Indonesia
(Medan, Jakarta, Surabaya, Malang, dan Makasar) dengan cara
pengambilan bahan dan metode pemeriksaan mikrobiologi yang
berbeda didapatkan hasil pemeriksaan sputum sebagai berikut:
 Klebsiella pneumoniae 45,18%
 Streptococcus pneumoniae 14,04%
 Streptococcus viridans 9,21%
 Staphylococcus aureus 9%
 Pseudomonas aeruginosa 8,56%
 Steptococcus hemolyticus 7,89%
 Enterobacter 5,26%
 Pseudomonas spp 0,9%

3. Patogenesis
Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan
mikroornagisme di paru. Keadaan ini disebabkan oleh mekanisme
pertahanan paru. Apabila terjadi ketidakseimbangan antara daya
tahan tubuh, mikroorganisme dapat berkembang biak dan
menimbulkan penyakit. Resiko infeksi di paru sangat tergantung
pada kemampuan mikroorganisme untuk sampai dan merusak
permukaan epitel saluran napas. Ada beberapa cara
mikroorganisme mencapai permukaan:
a. Inokulasi langsung
b. Penyebaran melalui pembuluh darah
c. Inhalasi bahan aerosol
d. Kolonisasi dipermukaan mukosa
Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah
secara Kolonisasi. Secara inhalasi terjadi pada infeksi virus,
mikroorganisme atipikal, mikrobakteria atau jamur. Kebanyakan
bakteri dengan ukuran 0,5 -2,0 m melalui udara dapat mencapai
bronkus terminal atau alveol dan selanjutnya terjadi proses infeksi.
Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung, orofaring)
kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi
inokulasi mikroorganisme, hal ini merupakan permulaan infeksi
dari sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dari sebagian kecil sekret
orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50 %) juga pada
keadaan penurunan kesadaran, peminum alkohol dan pemakai obat
(drug abuse).
Sekresi orofaring mengandung konsentrasi bakteri yang
tinggi 10 8-10/ml, sehingga aspirasi dari sebagian kecil sekret
(0,001 - 1,1 ml) dapat memberikan titer inokulum bakteri yang
tinggi dan terjadi pneumonia.

Pada pneumonia mikroorganisme biasanya masuk secara


inhalasi atau aspirasi. Umumnya mikroorganisme yang terdapat
disaluran napas bagian atas sama dengan di saluran napas bagian
bawah, akan tetapi pada beberapa penelitian tidak di temukan jenis
mikroorganisme yang sama.
4. Patologi
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli
menyebabkan reaksi radang berupa edema seluruh alveoli disusul
dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit sehingga
terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi. Sel-
sel PMN mendesak bakteri ke permukaan alveoli dan dengan
bantuan leukosit yang lain melalui psedopodosis sitoplasmik
mengelilingi bakteri tersebut kemudian dimakan. Pada waktu
terjadi peperangan antara host dan bakteri maka akan tampak 4
zona pada daerah parasitik terset yaitu :
a. Zona luar : alveoli yang tersisi dengan bakteri dan cairan
edema.
b. Zona permulaan konsolidasi : terdiri dari PMN dan beberapa
eksudasi sel darah merah.
c. Zona konsolidasi yang luas : daerah tempat terjadi
fagositosis yang aktif dengan jumlah PMN yang banyak.
d. Zona resolusi : daerah tempat terjadi resolusi dengan banyak
bakteri yang mati, leukosit dan alveolar makrofag.

Red hepatization ialah daerah perifer yang terdapat edema


dan perdarahan 'Gray hepatization' ialah konsolodasi yang luas.

5. Diagnosis
Diagnosis pneumonia komuniti didapatkan dari
anamnesis, gejala klinis pemeriksaan fisis, foto toraks dan
labolatorium. Dari anamnesis biasanya ditandai dengan demam,
menggigil, suhu tubuh meningkat dapat melebihi 400C, batuk
dengan dahak mukoid atau purulen kadang-kadang disertai darah,
sesak napas dan nyeri dada.
Pemeriksaan fisik dada tergantung dari luas lesi di paru.
Pada inspeksi dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu
bernapas, pasa palpasi fremitus dapat mengeras, pada perkusi
redup, pada auskultasi terdengar suara napas bronkovesikuler
sampai bronkial yang mungkin disertai ronki basah halus, yang
kemudian menjadi ronki basah kasar pada stadium resolusi.
Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan
penunjang utama untuk menegakkan diagnosis. Gambaran
radiologis dapat berupa infiltrat sampai konsolidasi dengan "air
broncogram", penyebab bronkogenik dan interstisial serta
gambaran kaviti. Foto toraks saja tidak dapat secara khas
menentukan penyebab pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke
arah diagnosis etiologi, misalnya gambaran pneumonia lobaris
tersering disebabkan oleh Steptococcus pneumoniae, Pseudomonas
aeruginosa sering memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran
bronkopneumonia sedangkan Klebsiela pneumonia sering
menunjukkan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan
meskipun dapat mengenai beberapa lobus.
Pada pemeriksaan labolatorium terdapat peningkatan
jumlah leukosit, biasanya lebih dari 10.000/ul kadang-kadang
mencapai 30.000/ul, dan pada hitungan jenis leukosit terdapat
pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED. Untuk
menentukan diagnosis etiologi diperlukan pemeriksaan dahak,
kultur darah dan serologi. Kultur darah dapat positif pada 20-25%
penderita yang tidak diobati. Analisis gas darah menunjukkan
hipoksemia dan hikarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis
respiratorik.
Diagnosis pasti pneumonia komuniti ditegakkan jika pada
foto toraks terdapat infiltrat baru atau infiltrat progresif ditambah
dengan 2 atau lebih gejala di bawah ini:
• Batuk-batuk bertambah
• Perubahan karakteristik dahak / purulen
• Suhu tubuh > 380C (aksila) / riwayat demam
• Pemeriksaan fisis: ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara
napas bronkial dan ronki
• Leukosit > 10.000 atau < 4500
6. Penilaian Derajat Keparahan Penyakit
Penilaian derajat kerahan penyakit pneumonia kumuniti
dapat dilakukan dengan menggunakan sistem skor menurut hasil
penelitian Pneumonia Patient Outcome Research Team (PORT)
seperti tabel di bawah ini:

Menurut ATS kriteria pneumonia berat bila dijumpai 'salah


satu atau lebih' kriteria di bawah ini.
Kriteria minor:
 Frekuensi napas > 30/menit
 Pa02/FiO2kurang dari 250 mmHg
 Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral
 Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus
 Tekanan sistolik < 90 mmHg
 Tekanan diastolik < 60 mmHg
Kriteria Mayor
 Membutuhkan ventilasi mekanik
 Infiltrat bertambah > 50%
 Membutuhkan vasopresor > 4 jam (septik syok)
 Kreatinin serum > 2 mg/dl atau peningkatan > 2 mg/dI,
pada penderita riwayat penyakit ginjal atau gagal ginjal
yang membutuhkan dialisis
7. Rawat Inap
Berdasarkan kesepakatan PDPI, kriteria yang dipakai untuk
indikasi rawat inap pneumonia komuniti adalah:
a. Skor PORT lebih dari 70
b. Bila skor PORT kurang < 70 maka penderita tetap perlu
dirawat inap bila dijumpai salah satu dari kriteria dibawah ini.
• Frekuensi napas > 30/menit
• Pa02/FiO2 kurang dari 250 mmHg
• Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral
• Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus
Tekanan sistolik < 90 mmHg
Tekanan diastolik < 60 mmHg
c. Pneumonia pada pengguna NAPZA

Kriteria Perawatan Intensif


Penderita yang memerlukan perawatan di Ruang Rawat
Intensif adalah penderita yang mempunyai paling sedikit 1 dari 2
gejala mayor tertentu (membutuhkan ventalasi mekanik dan
membutuhkan vasopressor > 4 jam [syok sptik]) atau 2 dari 3
gejala minor tertentu (Pa02/FiO2 kurang dari 250 mmHg, foto
toraks paru menunjukkan kelainan bilateral, dan tekanan sistolik <
90 mmHg). Kriteria minor dan mayor yang lain bukan merupakan
indikasi untuk perawatan Ruang Rawat Intensif.
8. Pengobatan
Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif.
Pemberian antibiotik pada penderita pneumonia sebaiknya
berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya, akan
tetapi karena beberapa alasan yaitu :
a. Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa
b. Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai
penyebab pneumonia.
c. Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu.

Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi


secara empiris. Secara umum pemilihan antibiotik berdasarkan
baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut:
Penisilin Sensitif Streptococcus Pneumonia (PSSP)
 Golongan Penisilin
 TMP-SMZ
 Makrolid
Penisilin Resisten Streptococcus Pneumoniae (PRSP)
 Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)
 Sefotaksim, Seftriakson dosis tinggi
 Marolid baru dosis tinggi
 Fluorokuinolon respirasi
Pseudomonas Aeruginosa
 Aminoglikosid
 Seftazidim, Sefoperason, Sefepim
 Tikarsilin, Piperasilin
 Karbapenem : Meropenem, Imipenem
 Siprofloksasin, Levofloksasin
Methicillin Resistent Staphylococcus Aureus (MRSA)
 Vankomisin
 Teikoplanin
 Linezolid
Hemophilus influenzae
 TMP-SMZ
 Azitromisin
 Sefalosporin gen. 2 atau 3
 Fluorokuinolon respirasi
Legionella
 Makrolid
 Fluorokuinolon
 Rifampisin
Mycoplasma pneumoniae
 Doksisiklin
 Makrolid
 Fluorokuinolon
Chlamydia pneumoniae
 Doksisikin
 Makrolid
Fluorokuinolon

9. Komplikasi
a. Efusi pleura.
b. Empiema.
c. Abses Paru.
d. Pneumotoraks.
e. Gagal napas.
f. Sepsis

E. DIABETES MELLITUS
Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit
metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan
sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya.
International Society of Pediatric and Adolescence Diabetes dan
WHO merekomendasikan klasifikasi DM berdasarkan etiologi. Klasifikasi
DM berdasarkan etiologi adalah sebagai berikut: (ISPAD Clinical Practice
Consensus Guidelines, 2009; WHO, 2016)

1. DM Tipe-1 (destruksi sel-β)


2. DM Tipe-2
3. DM Tipe lain
a. Defek genetik fungsi pankreas sel β
b. Defek genetik pada kerja insulin
c. Kelainan eksokrin pancreas
d. Gangguan endokrin
e. Terinduksi obat dan zat kimia
4. Diabetes Gestasional

Tabel 5. Klasifikasi DM (PERKENI, 2019)


1. Diabetes Mellitus Tipe 1
Diabetes mellitus tipe 1 disebabkan oleh kerusakan sel β-
pankreas. Kerusakan yang terjadi dapat disebabkan oleh proses
autoimun maupun idiopatik. Pada DM tipe 1 sekresi insulin
berkurang atau terhenti. Sedangkan DM tipe 2 terjadi akibat
resistensi insulin. (Rustama DS, dkk., 2010).
a. Patogenesis
DM tipe 1 adalah penyakit autoimun kronis yang
berhubungan dengan kehancuran selektif sel beta pankreas
yang memproduksi insulin. Timbulnya penyakit klinis
merupakan tahap akhir dari kerusakan sel beta yang
mengarah ke DM tipe 1. Antigen yang terlibat dalam DM
tipe 1 meliputi antigen 64kD, asam glutamat
dekarboksilase (GAD) dan antigen sitoplasma sel islet
(ICA). Antigen tersebut berperan dalam kerusakan sel beta
pancreas, sehingga terjadi destruksi progresif sel-sel beta
dan mengarah pada defisiensi insulin progresif.

b. Kriteria Diagnosis
DM ditegakkan berdasarkan ada tidaknya gejala.
Bila dengan gejala (polidipsi, poliuria, polifagia), maka
pemeriksaan gula darah abnormal satu kali sudah dapat
menegakkan diagnosis DM. sedangkan bila tanpa gejala,
maka diperlukan paling tidak 2 kali pemeriksaan gula
darah abnormal pada waktu yang berbeda (Rustama DS,
dkk. 2010; SIPAD Clinical Practice Consencus
Guidelines, 2009).
Kriteria hasil pemeriksaan gula darah abnormal
adalah:
1) Kadar gula darah sewaktu > 200 mg/dL atau
2) Kadar gula darah puasa > 126 mg/dL atau
3) Kadar gula darah postpandrial > 200 mg/dL

Untuk menegakkan diagnosis DM Tipe 1, maka


perlu dilakukan pemeriksaan penunjang, yaitu kadar C-
peptide. C-peptide ini merupakan salah satu penanda
banyaknya sel β-pankreas yang masih berfungsi.
Pemeriksaan lain adalah untuk memeriksa adanya
autoantibody, yaitu Islet cell autoantibodies (ICA),
Glutamic acid decarboxylase autoantibodies (GAD), IA2
(dikenal sebagai ICA 512 atau tyrosine posphatase) dan
Insuline autoantibodies (IAA). Adanya autoantibody
mengkonfirmasi DM tipe 1 karena proses autoimun.
(ISPAD Clinical Practice Consencus Guidelines 2009).

c. Tatalaksana
Tatalaksana pasien dengan DM tipe 1 tidak hanya
meliputi pengobatan berupa pemberian insulin, melainkan
ada hal-hal lain yang perlu diperhatikan dalam tatalaksana
agar penderita mendapatkan kualitas hidup yang optimal
dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Terdapat 5
pilar manajemen DM tipe 1, yaitu : (ISPAD Clinical
Practice Concencus Guidelines, 2009)
a. Insulin
Insulin merupakan terapi yang mutlak harus
diberikan pada penderita DM tipe 1. Dalam
pemberian insulin harus diperhatikan jenis insulin,
dosis insulin, regimen yang digunakan, cara
menyuntik serta penyesuaian dosis yang diperlukan.
b. Diet
Mayoritas penderita DM tipe 1 merupakan
anak-anak atau remaja, sehingga untuk diet perlu
diperhatikan agar tetap mendukung tumbuh
kembangnya.
c. Aktivitas Fisik
Berolahraga akan membantu
mempertahankan berat badan ideal, menurunkan
berat badan apabila menjadi obes serta
meningkatkan percaya diri. Olahraga akan
membantu menurunkan kadar gula darah serta
meningkatkan sensitivitas tubuh terhadap insulin.
Namun perlu diketahui pula bahwa olahraga dapat
meningkatkan risiko hipoglikemia maupun
hiperglikemia (bahkan ketoasidosis).
d. Edukasi
Pasien dan keluarga perlu diedukasi tentang
penyakitnya, patofisiologi, apa yang boleh dan tidak
boleh pada penderita DM, insulin (regimen, dosis,
cara menyuntik, lokasi menyuntik serta efek
samping penyuntikan), monitor gula darah dan juga
target gula darah ataupun HbA1c yang diinginkan.
e. Monitoring kontrol glikemik
Monitoring ini menjadi evaluasi apakah
tatalaksana yang diberikan sudah baik atau belum.
Kontrol glikemik yang baik akan memperbaiki
kualitas hidup pasien, termasuk mencegah
komplikasi baik jangka pendek maupun jangka
panjang.

2. Diabetes Mellitus Tipe 2


Diabetes mellitus tipe 2 merupakan suatu keadaan
hiperglikemia yang diakibatkan oleh resistensi insulin pada sel
otot dan hati, serta kegagalan sel beta pancreas dalam
memproduksi insulin. (PERKENI, 2019).
Organ yang terlibat pada DM tipe 2 adalah jaringan lemak,
gastrointestinal, sel alfa pancreas, ginjal, dan otak, yang ikut
berperan menyebabkan gangguan toleransi glukosa.
a. Patogenesis
Schwartz pada tahun 2016 menyampaikan, bahwa
tidak hanya otot, hepar, dan sel beta pancreas saja yang
berperan sentral dalam pathogenesis DM tipe 2, tetapi
terdapat delapan organ lain yang berperan, yang disebut
dengan the egregious eleven.

Gambar 5. The Egregious Eleven (sebelas penyebab hiperglikemia)


(Schwartz, 2016)
Secara garis besar pathogenesis hiperglikemia
disebabkan oleh sebelas hal (egregious eleven) yaitu:
a. Kegagalan sel beta pancreas
Sel beta pankreas yang berperan sebagai
penghasil insulin, fungsinya sudah sangat berkurang
saat diagnosis DM tipe 2 ditegakkan. Sehingga
sekresi insulin dalam tubuh menurun dan
menyebabkan hiperglikemia.
b. Disfungsi sel alfa pancreas
Sel alfa berfungsi pada sintesis glucagon
yang dalam keadaan puasa kadarnya di dalam
plasma akan meningkat. Peningkatan ini
menyebabkan produksi glukosa hati (hepatic
glucose production) dalam keadaan basal meningkat
secara bermakna dibanding individu yang normal.
c. Sel lemak
Sel lemak yang resisten terhadap efek
antilipolisis dari insulin menyebabkan peningkatan
proses lipolysis dan kadar free fatty acid (FFA)
dalam plasma. Peningkatan FFA akan merangsang
proses gluconeogenesis, dan mencetuskan resistensi
insulin di hepar dan otot, sehingga mengganggu
sekresi insulin.
d. Otot
Pada pasien DM tipe 2 didapatkan gangguan
kinerja insulin yang multiple di intramioselular,
yang diakibatkan oleh gangguan transport glukosa
dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan
penurunan oksidasi glukosa.
e. Hepar
Pada penyanda DM tipe 2 terjadi resistensi
insulin yang berat dan memicu gluconeogenesis
sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal
oleh hepar (hepatic glucose production), meningkat.
f. Otak
Insulin merupakan penekan nafsu makan
yang kuat. Pada individu yang obese baik yang DM
maupun non DM, didapatkan hyperinsulinemia
yang merupakan mekanisme kompensasi dari
resistensi insulin.
g. Kolon/Mikrobiota
Perubahan komposisi microbiota pada kolon
berkontribusi dalam keadaan hiperglikemia.
Mikrobiota usus terbukti berhubungan dengan DM
tipe 1, DM tipe 2, dan obesitas sehingga
menjelaskan bahwa hanya sebagian individu berat
badan berlebih akan berkembang DM. Probiotik dan
prebiotic diperkirakan sebagai mediator untuk
menangani keadaan hiperglikemia.
h. Usus halus
Glukosa yang ditelan memicu respons
insulin jauh lebih besar disbanding kalua diberikan
secara intravena. Efek yang dikenal sebeagi efek
incretin ini diperankan oleh 2 hormon yaitu
glucagon-like polypeptide-1 (GLP-1) dan glucose
dependent polypeptide (GIP). Pada pasien DM Tipe
2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten terhadap
hormone GIP. Hormon incretin juga segera dipecah
oleh keberadaan enzim DPP4, sehingga kerjanya
sangat singkat. Saluran pencernaan juga mempunyai
peran dalam penyerapan karbohidrat melalui kinerja
enzim alfa glucosidase yang akan memecah
polisakarida menjadi monosakarida, dan kemudian
diserap oleh usus sehingga berakibat meningkatkan
glukosa darah setelah makan.
i. Ginjal
Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa
sehari. 90% glukosa terfiltrasi ini akan diserap
kembali melalui peran enzim sodium glucose co-
transporter (SGLT-2) pada bagian convulated
tubulus proksimal, dan 10% sisanya akan diabsorbsi
melalui peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan
asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam
urin. Pada pasien DM, terjadi peningkatan ekspresi
gen SGLT-2, sehingga terjadi peningkatan
reabsorbsi glukosa di dalam tubulus ginjal dan
mengakibatkan peningkatan kadar glukosa darah.
j. Lambung
Penurunan produksi amylin pada DM
merupakan konsekuensi kerusakan sel beta
pancreas. Penurunan kadar amylin menyebabkan
percepatan pengosongan lambung dan peningkatan
absorpsi glukosa di usus halus, yang berhubungan
dengan peningkatan kadar glukosa post prandial
k. Sistem Imun
Sitokin menginduksi respons fase akut, yang
berhubungan dengan pathogenesis DM tipe 2 dan
berkaitan dengan komplikasi seperti dislipidemia
dan aterosklerosis. Inflamasi sistemik derajat rendah
berperan dalam induksi stress pada endoplasma
akibat peningkatan keburuhan metabolisme untuk
insulin, disertai dengan inflamasi kronik derajat
rendah pada jaringan perifer seperti adiposa, hepar,
dan otot.
b. Kriteria Diagnosis
Diagnosis DM tipe 2 ditegakkan atas dasar
pemeriksaa kadar glukosa darah. Pemeriksaan glukosa
darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara
enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Selain
pemeriksaan glukosa darah, pasien DM juga memiliki
keluhan klasik DM, yaitu poliuria, polidipsia, polifagia,
dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan
sebabnya.

Tabel 6. Kriteria Diagnosis Diabetes Mellitus (PERKENI, 2019)

Hasil pemeriksaaan yang tidak memenuhi kriteria normal


atau kriteria DM, digolongkan ke dalam kelompok prediabetes
yang meliputi toleransi glukosa terganggu (TGT) dan glukosa
darah puasa terganggu (GDPT).

Tabel 7. Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis diabetes dan


prediabetes (PERKENI, 2019)
c. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus
Tujuan tatalaksana DM secara umum adalah untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien DM. Untuk mencapai
tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa
darah, tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui
pengelolaan pasien secara komprehensif.
Tatalaksana DM diawali dengan edukasi perilaku
hidup sehat, pola makan, dan perubahan gaya hidup.
Kemudian diberikan juga terapi nutrisi yang disesuaikan
dengan kebutuhan kalori, selain itu, pasien juga perlu
melakukan latihan fisik. Dan pilar tatalaksana DM yang
terakhir adalah terapi farmakologis.

Gambar 6. Algoritma Tatalaksana DM tipe 2 (PERKENI, 2019)

Dalam tatalaksana DM, perlu adanya kriteria


pengendalian DM agar kualitas hidup pasien DM tetap
terjaga.
Tabel 8. Sasaran Pengendalian DM (PERKENI, 2019)
DAFTAR PUSTAKA

Aaronson & Ward. (2010). At Glance Sistem Kardiovaskuler. Jakarta: Erlangga.


Amsterdam, E. A.; Wenger, N. K.; Brindis, R. G., et al. 2014 AHA/ACC
guideline for the management of patients with non–ST-elevation acute
coronary syndromes: a report of the American College of
Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines,
Journal of the American College of Cardiology. 2014, 64, e139-e228.
ISPAD. (2009). Clinical Practice Consensus Guidelines 2009. Pediatric Diabetes:
10.
Kementerian Kesehatan RI. (2017). Petunjuk Teknis Penatalaksanaan Penyakit Ka
rdiovaskuler Untuk Dokter. Sekertariat Jenderal Pusat Kesehatan Haji, Kem
enterian Kesehatan RI, Jakarta
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. (2015). Pedoman
Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. Jakarta.
PERKENI. (2015). Petunjuk Praktis Terapi Insulin pada Pasien Diabetes Melitus.
Jakarta: PB PERKENI.
PERKENI. (2019). Pedoman Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe
2 Dewasa di Indonesia 2019. Jakarta: PB PERKENI.
Rampengan (2014). Buku Praktis Kardiologi. Jakarta: Badan Penerbit FKUI
Rilantono (2012). Penyakit Kardiovaskular (PKV). Jakarta: Badan Penerbit FKUI
Rustama DS, Subardja D, Oentario MC, Yati NP, Satriono, Harjantien N (2010).
Diabetes Melitus. Dalam: Jose RL Batubara Bambang Tridjaja AAP Aman
B. Pulungan, editor. Buku Ajar Endokrinologi Anak, Jakarta: Sagung Seto
2010, h 124-161.
Stone, G. W.; Maehara, A.; Lansky, A. J., et al. A prospective natural-history
study of coronary atherosclerosis, New England Journal of Medicine. 2011,
364, 226-235.
WHO. Definition, diagnosis and classification of diabetes mellitus and its
complications. Part 1: diagnosis and classification of diabetes mellitus
provisional report of a WHO consultation. Diabetes Medical.
2016;15(7):539–53.
Willerson, J. T. Systemic and local inflammation in patients with unstable
atherosclerotic plaques, Progress in cardiovascular diseases. 2002, 44, 469-
478.

Anda mungkin juga menyukai