Anda di halaman 1dari 28

BAB 1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Trans ureteral Resection Of Prostate (TURP) merupakan operasi yang paling
sering dilakukan kedua setelah katarak pada pria diatas 65 tahun. Perkembangan
teknologi yang begitu pesat telah membuat seorang urologist dapat mencapai berbagai
sudut dari sitem urinary dengan hanya menimbulkan trauma yang minimal pada
pasien. Prosedur endoskopi pada system urinary memerlukan fungsi cairan irigasi
yang secara baik mendilusikan ruang mukosa, darah , jaringan ikat tertentu dan debris
dari lapang pandang operasi dan memberikan pandangan yang lebih baik. Berbagai
cara telah dilakukan oleh urologist untuk dapat mengerti dan mencegah berbagai
komplikasi yang berasal dari prosedur endoskopi, namun ternyata insidensi terjadinya
komplikasi masih meningkat dan menghantui pada urologist. Kegagalan pada system
saraf pusat, system kardivaskular selam dilakukanya TURP dikatakan sebagai
sindroam TURP. 2.5-20% pasien yang melakukan prosedur TURP mengalami
sindorma TURP dan sebagian kecil meninggal dalam keadaan intraoperasi (Moorthy,
2001).
Pada Operasi TURP dari segi anesthesiology dapat dikerjakan secara anestesi
umum dan anestesi local tertentu. Masing-masing pendekatan memiliki keuntungan
dan kekurangan tertentu. Pada berbagai Negara maju telah menjadi sebuah
kesepakatan bahwa dalam tindakan operative TURP yang digunakan adalah anestesi
regional yaitu anestesi spinal. Inggris melakukan tindakan anestesi spinal pada 75%
kasus TURP, Karena secara teoritis hal ini meliki keuntungan seperti pendeteksian
dini pada sindroma TURP. Keputusan akan pemberian anestesi sangatlah bergantung
dair keadaan pasien dan pendekatan anesthesiologist dan urologist.

1
BAB 2
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien
Nama : Ny. N
Umur : 26 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
MR : 138389
Alamat : Nibong, Aceh Utara
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Perkawinan : Kawin
Agama : Islam
Suku : Aceh
Ruangan : Nifas
Tgl Masuk Rumah sakit : 26 Desember 2019
Tanggal Operasi : 30 Desember 2019

2.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Pasien mengeluhkan ada keluar darah dari kemaluannya.
Keluhan tambahan
Lemas, Pusing.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RS Cut Meutia dengan keluhan BAK tersendat.
Pasien juga merasakan nyeri dan rasa tidak puas saat BAK sejak 5 hari yang lalu.
Keluhan ini mengganggu aktivitas sehari-hari. Pasien mengaku tidak ada pasir
maupun darah saat BAK dan BAB lancar.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat alergi disangkal
Riwayat asma disangkal
Riwayat hipertensi disangkal
Riwayat diabetes mellitus disangkal.
Riwayat penyakit jantung disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga

2
Tidak ada
Riwayat pribadi dan kebiasaan
Merokok : disangkal
Mengkonsumsi alkohol : disangkal

Riwayat sosial ekonomi


Pasien menggunakan BPJS

2.3 Pemeriksaan Fisik


Keadaan umum : Sakit sedang
Kesadaran : compos mentis / E4M6V5
Tekanan Darah : 140/80 mmHg
Frekuansi Nadi : 90x/menit
Frekuensi Napas : 22x/menit
Suhu : 37°C
Status Generalis

Normosefali, edema (-), scar (-) rambut tidak mudah


Kepala
dicabut
Mata Konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)
Telinga Normotia (+/+)
Hidung Bentuk normal, tidak ada deviasi septum
Mulut Bibir edema (-), sianosis (-)
Tenggorokan Pembesaran tonsil (-/-)
Leher Pembesaran KGB (-), trakea ditengah tidak deviasi.
Thoraks Paru
Inspeksi: Pergerakan dan bentuk dada simetris kanan dan
kiri, jejas (-), scar (-)
Palpasi : stem fremitus (+/+) kanan = kiri
Perkusi: sonor (+/+)
Auskultasi: vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi: Ictus cordis tidak tampak
Palpasi: Tidak ada thrill
Perkusi: Redup, batas jantung normal

3
Auskultasi: BJI>BII regular
Inspeksi : Soepel
Palpasi : Hepar tidak teraba, lien tidak teraba, tidak ada
Abdomen defans muskuler.
Perkusi : Tympani.
Auskultasi : Bising usus (+)
Ekstremitas atas: edema (-/-), sianosis (-/-)
Ekstremitas
Ekstremitas bawah: edema (-/-) sianosis (-/-)

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Hasil laboratorium tgl 22 November 2019
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
HEMATOLOGI
Hematologi Rutin
Hemoglobin 15.2 g/dL 12-16
Eritrosit 3 3.8-5.8
4.81 jt/mm
3
Leukosit 5.68 rb/mm 4-11
Hematokrit 44.4 % 37-47
MCV 92.2 fl 79-99
MCH 31.5 pg 27-32
MCHC 34.2 % 33-37
RDW-CV 12.9 % 11,5-14,5
3
Trombosit 107 rb/mm 150-450
HEMOSTASIS
Masa Perdarahan/BT 2 menit 1-3
Masa Pembekuan/CT 7 menit 9-15
KIMIA KLINIK
Glukosa Darah Sewaktu 110 mg/dL 110-200
Fungsi Ginjal
Ureum 29.63 mg/dL 20-40
Kreatinin 0.88 mg/dL 0,60-1,00
Asam urat 4.7 mgdL <6.8

2.5 Assesment
Benign prostate hiperplasia
2.6 Penggolongan Status Fisik Pasien Menurut ASA
Status fisik ASA II
2.7 Rencana Pembedahan

4
TURP (Trans-Urethra Resection of Prostate)
2.8 Rencana Anestesi:
Spinal Anestesi

2.9 Laporan Anestesi


PRA ANESTESI
Persiapan pasien
Di ruang perawatan

Pasien di konsultasikan ke dr. Dicky, Sp. An pada tanggal 25 September 2019


untuk persetujuan dilakukan tindakan operasi. Setelah mendapatkan persetujuan,
pasien disiapkan untuk rencana TURP keesokan harinya. Diberikan juga informasi
kepada keluarga pasien, antara lain:
 Informed consent: bertujuan untuk memberitahukan kepada keluarga pasien
tindakan medis akan apa yang akan dilakukan kepada pasien, bagaimana
pelaksanaanya, kemungkinan hasilnya, risiko tindakan yang akan dilakukan.
 Surat persetujuan operasi: merupakan bukti tertulis dari pasien atau keluarga
pasien yang menunjukkan persetujuan akan tindakan medis yang akan dilakukan
sehingga bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan keluarga pasien tidak akan
mengajukan tuntutan.

Persiapan operasi yang dianjurkan kepada pasien adalah:


 Pasien dipuasakan 8 jam sebelum operasi, tujuannya untuk memastikan bahwa
lambung pasien telah kosong sebelum pembedahan untuk menghindari
kemungkinan terjadinya muntah dan aspirasi isi lambung yang akan
membahayakan pasien.
 Rencana post-op pasien adalah kembali ke ruangan.

Di Ruang Persiapan
 Memakai pakaian operasi yang telah disediakan di ruang persiapan dan sudah
terpasang infus RL.

Persiapan alat anestesi :


Spinal Set Connector Orotracheal airway
Monitor Sphygmomanometer Pulse Oxymetri

5
Suction Guedel Balon pernafasan
Stetoskop Laringoskop ETT
Sungkup muka Mesin Anestesi Gel
Spuit Infus set+abocath Kasa steril
Persiapan obat-obatan anestesi
a. Analgetik : Fentanyl, Morfin, Ketorolac, Pethidine
b. Hipnotik Sedatif : Bupivacaine, Levobupivacaine, Midazolam,
Lidocaine
c. Muscle Relaxan : Atracurium, Recuronium

d. Maintanance anastesi : Isoflurane , N2O, O2

e. Obat emergency : Sulfas atropine, ephedrine, epinephrine

f. Obat reserve : Prostigmin, Sulfas atropine

g. Obat tambahan lainnya : Ranitidine, Ondansetron, tranexamaic acid

Rencana terapi cairan intraoperatif

Pada pasien, diberikan cairan Ringer Laktat yang setiap kolf nya berisi 500 ml.
M (Maintenance)
2 ml/ kgBB/ jam  2 ml/ 60 kg/ jam 120 ml / jam
O (Operasi)
Karena operasi ini termasuk operasi kecil, maka kebutuhan cairannya adalah:
2 ml x kgBB  2 ml x 60 kg 120 ml
P (Puasa)
Karena pasien puasa selama 8 jam, maka kebutuhan cairannya adalah:
Lama puasa x M 8 x 120ml 960 ml
Total cairan yang dibutuhkan:
Jam pertama M+O+½P  (120 + 120 + 480) ml = 700 ml

INTRA ANESTESI
26 September pukul 11.00 WIB

6
1. Pasien masuk kamar operasi 1 dan dibaringkan di meja operasi kemudian

dilakukan pemasangan manset dan oksimeter.

2. Menilai keadaan umum dan melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital di awal

atau penilaian pra induksi (Pukul 10.50 WIB) :

Kesadaran: Compos Mentis, TD= 120/80 mmHg, nadi= 70 x/menit, saturasi O2:

99%.

3. Pasien diberitahukan bahwa akan dilakukan tindakan pembiusan.

4. Pasien diminta duduk dan membungkukkan badan

5. Dilakukan anestesi dengan teknik anestesi regional pada spinal

6. Dipasang selang O2 dengan menggunakan O2 sebanyak 4 liter/menit

7. Pukul 11.05 tindakan anestesi telah selesai

Pukul 10.55 WIB


 Tindakan anestesi dimulai
 TD : 120/80mmHg, HR : 70x/i, RR : 20x/i, Sp O2 : 100%

Pukul 11.05 WIB


 Tindakan anestesi selesai dilakukan
 TD : 132/85mmHg, HR : 72x/i, RR : 20x/i, Sp O2 : 100%

Pukul 11.10 WIB


 Tindakan pembedahan dimulai
 TD : 138/80mmHg, HR : 76x/i, RR : 20x/i, Sp O2 : 100%

Pukul 11.25 WIB


 TD : 134/82mmHg, HR : 76x/i, RR : 20x/i, Sp O2 : 100%

Pukul 11.40 WIB


 TD : 128/76mmHg, HR : 74x/i, RR : 20x/i, Sp O2 : 100%

Pukul 11.55 WIB

7
 TD : 124/76mmHg, HR : 74x/i, RR : 20x/i, Sp O2 : 100%
 Cairan infus Ringer Laktat ke-1 telah habis sebanyak 500 ml, digantikan

dengan infus Ringer Laktat ke-2

Pukul 12.00 WIB

 TD : 120/74mmHg, HR : 70x/i, RR : 20x/i, Sp O2 : 100%


 Pembedahan selesai
 Pasien diberikan ketorolac 30mg/iv
 Pemberian obat anestesi dihentikan, pemberian O2 dipertahankan
 Pasien dipasang kateter irigasi
 Manset tensimeter dan saturasi O2 dilepas.
 Kemudian pasien dipindahkan ke brancar untuk dibawa ke ruang pemulihan
atau recovery room (RR).

POST OPERATIF
Pukul 12.10 WIB

Pasien masuk ke ruang pemulihan. Dilakukan penilaian terhadap tingkat

kesadaran, pada pasien kesadarannya adalah compos mentis. Dilakukan

pemeriksaan tanda-tanda vital ditemukan tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 72

x/menit, respirasi 22 x/menit dan saturasi O2 100%.

Pukul 12.30 WIB


 Pasien didorong ke ruang rawat bedah

INSTRUKSI POST OP
- Pantau TD, HR, RR dan saturasi oksigen
- IVFD RL 20 gtt/i
- Bila mual/muntah : Inj Ondansentrone 4 mg/12 jam/IV
- Terapi lain sesuai bedah

Laporan Anestesi

8
 Ahli Anestesiologi : dr. Dicky Noviar, Sp.An

 Ahli Bedah : dr. Fadli, Sp.U

 Diagnosis prabedah : Benign prostate hyperplasia + retensio uri

 Jenis Operasi : TURP

 Jenis Anestesi : spinal anestesi

 Lama Operasi : 1 jam 5 menit

 Lama Anestesi : 10 menit

9
BAB 3
PEMBAHASAN

A. Anestesi Spinal
Anestesi spinal didapatkan dengan menyuntikkan obat anestesi local secara
langsung ke dalam cairan cerebrospinal di dalam ruang subarachnoid. Jarum
spinal diinsersikan di bawah lumbal 2 dan di atas vertebra sakralis 1. Batas ini
dikarenkan adanya ujung medulla spinalis dan batas bawah dikarenakan
penyatuan vertebra sakralis yang tidak mungkin dilakukan insersi (Soenarjo et al,
2013).
Tingkat keberhasilan teknik spinalis ditentukan oleh banyak faktor, diantaranya
dosis obat, volume, posisi pasien serta komplikasi yang mungkin ditimbulkan.
Efek yang ditimbulkan bisa berkaitan dengan farmakologis obat, fisiologis tubuh,
teknik, dan peralatan yang digunakan, terutama jarum spinal (Sutiyono et
Winarno, 2009)
1. Teknik anestesi
a. Persiapan
1) Monitor standar, seperti EKG, tekanan darah, pulse oksimetri.
2) Obat dan alat resusitasi, seperti oksigen, bagging, suction, dan set
intubasi.
3) Sarung tangan dan masker steril.
4) Perlengkapan desinfeksi dan duk steril.
5) Obat anestesi local untuk anestesi spinal dan untuk infiltrasi local
kulit dan jaringan subkutan.
6) Syringe, kateter, dan jarum spinal.
7) Kasa penutup steril.
b. Pengaturan posisi pasien

10
Terdapat dua posisi pasien yang memungkinkan dilakukannya insersi jarum, yaitu
posisi lateral dengan lutut ditekuk ke perut dan dagu ditekuk ke dada. Posisi
lainnya adalah posisi duduk flesi dimana pasien duduk pada pinggir troli dengan
lutut diganjal bantal. Posisi fleksi akan membantu identifikasi prosesus spinosus
dan memperlebar celah vertebra sehingga dapat mempermudah akses ruang
epidural (Soenarjo et al, 2013).
2. Teknik insersi anestesi spinal
Anestesi spinal menggunakan jarum spinal ukuran 22-29 dengan “Pencil Point”
atau “Tappered Point”. Insersi dilakukan dengan menyuntikkan jarum sampai
ujung jarum mencapai ruang subarachnoid yang ditandai dengan keluarnya cairan
cerebrospinal. Pemakaian jarum dengan diameter kecil bertujuan untuk
mengurangi keluhan nyeri kepala pasca pungsi dura (PDPH) (Soenarjo et al,
2013).
3. Efek samping
1) Hipotensi.
2) Bradikasrdi.
3) Hematome.
4) Luka pada tempat tusukan.
5) Perdarahan.
6) Infeksi.
7) Trauma medulla spinalis.
8) Nyeri kepala pasca anestei spinal.
(Sutiyono et Winarno, 2009)
B. Transuretral Resection of Prostat (TURP)
1. Definisi
TURP merupakan sebuah operasi reseksi kelenjar prostat yang dilakukan
transurethral dengan menggunakan cairan irigan (pembilas) yang dimaksudkan
menghilangkan hyperplasia prostat yang menekan uretra. Operasi ini perlu
dilakukan pada pasien Benigna Prostat Hiperplasia, karena dapat menyebabkan
penekanan pada uretra yang dapat menyebabkan penyumbatan yang pada
akhirnya dapat menimbulkan hidronefrosis, dan gagal ginjal (Purnomo, 2011).
Anestesi spinal digunakan pada operasi TURP dengan sedasi, sebuah citoscope
yang dimasukkan melalui uretra sampai ke bladder, kemudian bladder diisi

11
dengan solution sehingga memudahkan operator memeriksa bagian dari prostat
yang membesar, kemudian dimasukkan surgical loop melalui citoscope untuk
meremove bagian yang membesar, dan kateter akan dibiarkan sampai beberapa
hari. Observasi kesadaran, vital sign, perdarahan, produksi urine. (Purnomo,
2011).
2. Klasifikasi BPH
a. Early BPH

Bladder

Uretra

Enlargement of the
prostate starts to constrict
the uretra

b. Moderate BPH

Urethra become
narrowed

c. Severe BPH

12
Urethra urethra almost
Completely obstructed

Thickened bladder wall due to


obstruction of
Urethra urethra

(Davied et al, 2005)


3. Indikasi dilakukan TURP
a. Meningkatnya frekuensi buang air kecil.
b. Kesulitan memulai buang air kecil.
c. Aliran urin melambat.
d. Berhenti sebentar di tengah aliran.
e. Dribbling setelah urination.
f. Tiba-tiba ada keinginan kuat untuk BAK.
g. Perasaan tidak puas di akhir DAK
h. Nyeri selama BAK.
i. Retensi urin.
j. Batu vesica urinaria.
4. Preoperasi
a. Harus diinformasikan tentang kondisi kesehatan, apakah punya
riwayat penyakit seperti hipertensi, diabetes, anemia, alergi, atau
riwayat operasi sebelumnya.
b. Bila menggunakan obat seperti aspirin dan ibuprofen maka harus
berhenti palint tidak 2 minggu sebelum operasi untuk menghindari
gangguan proses penyembuhan.
c. Pemeriksaan darah rutin.
d. Puasa paling tidak 6-8 jam sebelum operasi dilakukan.
e. Bila seorang perokok, maka harus berhenti merokok beberapa
minggu sebelum operasi untuk menghindari gangguan proses
penyembuhan.

13
(Davies et al, 2005)
C. Anestesi Spinal pada TURP
Pasien yang menjalani TURP biasanya pada usia lanjut dan sering disertai
dengan penyakit jantung, paru, atau lainnya sehingga penting untuk membatasi
level blok untuk mengurangi efek cardiopulmonary yang merugikan pada pasien
tersebut. Penggunaan anastesi local dengan dosis yang lebih kecil memberikan
beberapa keuntungan misalnya hipotensi tidak terjadi karena tidak memblok
serabut saraf simpatik di daerah atas serta memperkecil resiko timbulnya
toksisitas sistemik obat anastesi local (Yang, 2009). TURP dengan menggunakan
anestesia regional tanpa sedasi ( Awake TURP ) lebih dipilih daripada anestesia
umum karena hal berikut :
 Manifestasi awal dari Sindrom TURP lebih bisa dideteksi pada pasien yang sadar
 Vasodilatasi periferal berfungsi untuk membantu meminimalisir overload
sirkulasi. 
 Komplikasi hiponatremi akibat tertariknya Na+ oleh air irrigator dapat cepat
dikenali dengan adanya penurunan kesadaran, mual, kejang.
 Kehilangan darah akan lebih sedikit.

1. Persiapan Pasien
Pasien sebelumnya diberi informasi tentang tindakan ini (informed concent)
meliputi pentingnya tindakan ini dan komplikasi yang mungkin terjadi.
Pemeriksaan fisis dilakukan meliputi daerah kulit tempat penyuntikan untuk
menyingkirkan adanya kontraindikasi seperti infeksi. Perhatikan juga adanya
skoliosis atau kifosis. Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan adalah
penilaian hematokrit. Masa protrombin (PT) dan masa tromboplastin parsial
(PTT) dilakukan bila diduga terdapat gangguan pembekuan darah. Kunjungan
praoperasi dapat menenangkan pasien. Dapat dipertimbangkan pemberian obat
premedikasi agar tindakan anestesi dan operasi lebih lancar. Namun, premedikasi
tidak berguna bila diberikan pada waktu yang tidak tepat (Soenarjo, et al., 2013).
2. Perlengkapan
Tindakan anestesi spinal harus diberikan dengan persiapan perlengkapan operasi
yang lengkap untuk monitor pasien, pemberian anestesi umum, dan tindakan

14
resusitasi. Jarum spinal dan obat anestetik spinal disiapkan. Jarum spinal
memiliki permukaan yang rata dengan stilet di dalam lumennya dan ukuran 16-G
sampai dengan 30-G. Obat anestetik lokal yang digunakan adalah prokain,
tetrakain, lidokain, atau bupivakain. Berat jenis obat anestetik lokal
mempengaruhi aliran obat dan perluasan daerah yang teranestesi.
Pada anestesi spinal jika berat jenis obat lebih besar dari berat jenis cairan
serebrospinal (hiperbarik), akan terjadi perpindahan obat ke dasar akibat gaya
gravitasi. Jika lebih kecil (hipobarik), obat akan berpindah dari area penyuntikan
ke atas. Bila sama (isobarik), obat akan berada di tingkat yang sama di tempat
penyuntikan. Pada suhu 37°C cairan serebrospinal memiliki beratjenis 1,003-
1,008. Perlengkapan lain berupa kain kasa steril, povidon iodine, alkohol (Yang,
2009).
3. Jenis jarum Spinal
Dikenal 2 macam jarum spinal, yaitu jenis yang ujungnya runcing seperti ujung
bambu runcing (jenis Quinke-Babcock atau Greene) dan jenis yang ujungnya
seperti ujung pensil (Whitacre). Ujung pensil banyak digunakan karena jarang
menyebabkan nyeri kepala pasca penyuntikan spinal (Yang, 2009).
4. Obat- Obat yang Dipakai sebagai Obat Premedikasi
Narkotik Analgetik
Dosis :
 Papaveratum : 0,3 mg/Kg
 Pethidin : 50-100 mg/Kg
 Phentanyl : 100 mcg
5. Obat yang dipakai untuk induksi spinal
Bupivacain, untuk anestesi spinal, dosis yang digunakan adalah 15-20 mg (larutan
0,5%).
6. Teknik Anestesi
Adapun tahapan spinal anestesi adalah (Soenarjo et al, 2013):
Teknik untuk melakukan anestesi spinal yaitu dengan posisi duduk atau posisi
tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis tengah ialah posisi yang paling
sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja operasi tanpa dipindah lagi
dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan posisi
berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.

15
a.  Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalnya dalam posisi dekubitus lateral
atau dengan posisi duduk. Beri bantal kepala, selain enak untuk pasien juga
supaya tulang belakang stabil. Buat pasien membungkuk maksimal agar
prosesus spinosus mudah teraba. Posisi lain ialah duduk.
b. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua Krista iliaka dengan
tulang punggung ialah L4 atau L4-5. Tentukan tempat tusukan misalnya L2-3,
L3-4, atau L4-5. Tusukan pada L1-2 atau di atasnya berisiko trauma terhadap
medulla spinalis.
c. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alcohol.
d. Beri anestetik lokal pada tempat tusukan. Untuk mencapai cairan
serebrospinalis, maka jatum suntik akan menembus : kulit  subkutis 
ligamentum supraspinosum  ligamentum interspinosum  ligamentum
flavum  ruang epidural  duramater  ruang subarachnoid.
e. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22 G, 23 G
atau 25 G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27 G atau
29 G dianjurkan menggunakan penuntun jarum (introducer) yaitu jarum suntik
biasa semprit 10 cc. Tusukan introducer sedalam kira-kira 2 cm agak sedikit
ke arah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang
jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam irisan jarum  haruis sejajar
dengan dengan serat duramater untuk menghindari kebocoran likuor yang
dapat berakibat timbulnya nyeri kepala pasca spinal.  Setelah resistensi
menghilang, mandarin juarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit
berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0.5 ml/detik) diselingi
aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik.  Untuk BAB
anelgesi spinal kontinyu dapat dimasukkan kateter.
f. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah hemoroid
dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum dewasa ± 6 cm.
7. Pengawasan selama berlangsungnya operasi
Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan selama berlangsungnya TURP adalah
gejala-gejala komplikasi yang dapat terjadi (Purnomo, 2011). Komplikasi mayor
yang dapat terjadi pada TURP adalah :
a. Pendarahan

16
Perdarahan pada TURP akan menimbulkan hipovolemia,
menyebabkankehilangan kemampuan mengangkut oksigen secara signifikan
sehingga bisa menuju iskemia myokardial dan infark miokard. Kehilangan
darah berkorelasi dengan ukuran kelenjar prostatyang direseksi, lamanya
pembedahan dan skill dari operator. Rata-rata kehilangan darah saat TURP
adalah 10ml/gram dari reseksi prostat.
b. Sindrom TURP
Reseksi prostat transurethral sering membuka jaringan ekstensif sinus vena
pada prostat danmemungkinkan absorbsi sistemik dari cairan irigasi.
Absorbsi dari cairan dalam jumlah yang besar (2 liter atau lebih)
menghasilkan konstelasi gejala dan tanda yang disebut dengan sindromTURP
.
Manifestasi dari Sindrom TURP :
a) Hiponatremia
b) Hipoosmolaritas
c) Overload cairan
d) Gagal jantung kongestif 
e) Edema paru
f) Hipotensi
g) Hemolisis
h) Keracunancairan
i) Hiperglisinemia
j) Hiperamonemia
k) Hiperglikemia
l) Ekspansi volume intravaskular
Sindrom TURP adalah satu dari komplikasi tersering pembedahan endoskopi
urologi. Insiden sindrom TURP mencapai 20% dan membawa angka
mortalitas yang signifikan. Walaupunterdapat peningkatan di bidang anestesi
2,5%-20 % pasien yang mengalami TURP menunjukkansatu atau lebih gejala
sindrom TURP dan 0,5% - 5% diantaranya meninggal pada
waktu perioperatif. Angka mortalitas dari sindrom TURP ini sebesar 0,99%

17
Reseksi kelenjar prostate transuretra dilakukan dengan mempergunakan
cairan irigasi agar daerah yang di irigasi tetap terang dan tidak tertutup oleh
darah.
Syarat cairan yang dapat digunakan untuk TURP adalah: isotonik, non-hemolitik,
electrically inert , non-toksik, transparan, mudah untuk disterilisasi dan tidak
mahal. Akan tetapi sayangnya cairan yang memenuhi syarat seperti di atas
belumditemukan.Untuk TURP biasanya menggunakan cairan nonelektrolit
hipotonik sebagai cairan irigasi seperti air steril, Glisin 1,5%(230 mOsm/L), atau
campuran Sorbitol 2,7% dengan Mannitol 0,54% (230 Osm/L). Cairan yang
boleh juga dipakai tapi jarang digunakan adalah Sorbitol 3,3%,Mannitol 3%,
Dekstrosa 2,5-4% dan Urea 1%.
1) Hipovolemi, Hipotensi
Tanda hemodinamika klasik dari Sindrom TURP, ketika glisin digunakan sebagai
cairan irigasi,terdiri dari transient arterial hipertension, yang bisa tidak muncul
jika pendarahan berlebihan, diikuti dengan perpanjangan hipertensi. Pelepasan
substansi jaringan prostatik danendotoksin menuju sirkulasi dan asidosis mtabolik
yang bisa berkontribusi terhadap hipotensi.
2) Gangguan Penglihatan
Salah satu komplikasi dari Sindrom TURP adalah kebutaan sementara,
pandangan berkabut, danmelihat lingkaran disekitar objek. Pupil menjadi dilatasi
dan tidak merespons. Lensa matanormal. Gejala bisa muncul bersamaan dengan
gejala lain dari Sindom TURP atau bisa jugamenjadi gejala yang
tersembunyi.Penglihatan kembali normal 8-48 jam setelah pembedahan.
Kebutaan TURPdisebabkan oleh disfungsi retina yang kemungkinan karena
keracunan glisin. Karena itu persepsidari cahaya dan refleks mengedipkan mata
dipertahankan dan respon pupil terhdap cahaya danakomodasi hilang pada
kebutaan TURP, tidak seperti kebutaan yang disebabkan karena disfungsi
Kortikal serebri.
3) Perforasi
Perforasi dari kandung kemih bisa terjadi saat TURP berkaitan dengan instrumen
pembedahan, pada reseksi yang sukar, distensi berlebihan dari kantung kemih dan
letusan didalam kantungkemih. Perforasi instrumen dari kapsul prostatik telah
diestimasi terjadi pada 1% dari pasienyang melakukan TURP. Tanda awal dari

18
perforasi, yang sering tidak diperhatikan adalah penurunan kembalinya cairan
irigasi dari kantung kemih. Dan diikuti oleh nyeri abdomen,distensi dan nausea.
Bradikardi dan hipotensi arterial juga ditemukan. Juga ada resiko tinggikesalahan
diurese spontan. Pada perforasi intraperitoneal, gejalanya berkembang lebih
cepat. Nyeri alih bahu yang berkaitan dengan iritasi pada diafragma merupakan
gejala khas Pallor ,diaphoresis, rigiditas abdomen, nausea, muntah dan hipotensi
bisa terjadi. Perforasiekstraperitonial, pergerakan refleks dari ekstemitas bawah
bisa terjadi.Letusan didalam kantung kemih jarang terjadi. Kauter dari jaringan
prostat dipercaya bisamembebaskan gas yang mudah terbakar. Secara normal,
tidak cukup oksigen yang terdapatdidalam kantung kemih agar bisa terjadi
letusan. Tetapi jika udara masuk bersama dengan cairanirigasi akan bisa berakibat
timbulnya ledakan.
4) Koagulopati
DIC ( Disseminated Intravasculer Coagulation) bisa terjadi berkaitan dengan
pelepasan partikel prostat yang kaya akan jaringan thrombopalstin menuju
sirkulasi yang menyebabkan fibrinolisissekunder. Dilutional trombositopenia bisa
memperbusuk situasi. DIC bisa dideteksi pada darahdengan timbulnya penurunan
jumlah platelet, FDP ( Fibrin Degradation Products) yang tinggi(FDP > 150
mg/dl) dan plasma fibrinogen yang rendah (400 mg/dl).
5) Bakteremia, Septisemia dan Toksemia
Sekitar 30% dari semua pasien TURP memiliki urin yang terinfeksi saat
preoperatif. Ketika prostat sinus vena terbuka dan digunakan irigasi dengan
tekanan tinggi, maka bakteri akanmasuk menuju sirkualsi. Pada 6% pasien,
bakteremia menjadi septisemia. Absorbsi dariendotoksin bakteri dan produksi
toksin dari koagulasi jaringan akan berakibat keadaan toksik  pada pasien
postoperatif. Gemetar yang parah, demam, dilatasi kapiler dan hipertensi bisa
terjadisecara temporer pada pasien ini.
6) Hipotermia
Hipotermia merupakan observasi yang selalu dilakukan pada pasien yang akan
dilakukan TURP.Penurunan dari suhu tubuh akan mengubah situasi
hemodinamika, yang mengakibatkan pasienmenggigil dan peningkatan konsumsi
oksigen. Irigasi kandung kemih merupakan sumber utamadari hilangnya panas
dan penggunaan cairan irigasi pada suhu ruangan menghasilkan penurunansuhu

19
tubuh sekitar 1-2oC. Ini diperburuk oleh keadaan ruangan operasi yang bersuhu
dingin.Pasien geriatri diduga akan mengalami hipotermia karena disfungsi
otonom. Vasokonstriksi danasidosis bisa berefek pada jantung dan berkontribusi
terhadap manifestasi sistem saraf pusat.Menggigil juga bisa diperparah oleh
pendarahan dari tempat reseksi.

c. Tata laksana sindrom TURP


Terapi Sindrom TURP meliputi koreksi berbagai mekanisme patofisiologikal
yang bekerja padahomeostasis tubuh. Idealnya terapi tersebut harus dimulai
sebelum tejadi komplikasi sistem saraf  pusat dan jantung yang serius. Ketika
Sindrom TURP didiagnosa, prosedur pembedahan sebaiknya diakhiri secepatnya.
Kebanyakan pasien bisa di manajemen dengan restriksi cairan dan diuretic loop.
Identifikasi gejala awal sindrom TURP dan pencegahan, penting untuk mencegah
efek yang fatal bagi pasien yang mengalami pembedahan endoskopik.
Hiponatremia yang terjadi sebelum operasi harus dikoreksi terutama pada pasien
yang menggunakan obat-obatan diureticdan diet rendah garam. Antibiotic
profilaksis memiliki peran dalam pensegahan bakterimia dan septisemia. Central
Venous Pressure (CVP) monitoring atau kateterisasi arteri pulmonalis diperlukan
untuk pasien dengan penyakit jantung. Tinggi ideal cairan irigasi adalah 60
cm.Untuk mengurangi timbulnya sindroma TURP operator harus membatasi diri
untuk tidak melakukan reseksi lebih dari 1 jam. Di samping itu beberapa operator
memasang sistotomi suprapubik terlebih dahulu sebelum reseksi diharapkan dapat
mengurangi penyerapan air ke sistemik. Untuk kasus dengan operasi lebih dari
satu jam staging TURP harus dilakukan. Kapsul prostat harus dijaga dan distensi
kandung kemih harus dicegah. Caranya dengan sering mengosongkan kandung
kemih. Koreksi hiponatremia sebaiknya dilakukan dengan diuresis dan pemberian
salin hipertonis 3-5% secara lambat dan tidak lebih dari 0,5 meq/per 1 jam atau
tidak lebih cepat dari 100 ml/jam. Tepatnya 200 ml salin hipertonis diperlukan
untuk mengkoreksi hiponatremia. Pemberian secara cepat dari salin akan
mengakibatkan edema paru dancentral pontine myelinolysis. Dua pertiga dari
salin hipertonis mengembalikan serum sodium dan osmolaritas,sedangkan 1/ 3
meredistribusi air dari sel menuju ruang ekstraseluler, dimana akan
diterapidengan terapi diuretik menggunakan furosemide. Furosemide sebaiknya

20
diberikan dengan dosis 1 mg/kg bb secara intravena. Tetapi, penggunaan
furosemide dalam terapi Sindrom TURP dipertanyakan karena meningkatkan
ekskresi natrium. Oleh sebab itu 15% manitol disarankan sebagai pilihan, dalam
kaitan dengan kerjanya yang bebas dari ekskresi natrium dan kecenderungan
untuk meningkatkan osmolaritas ekstraseluler. Oksigen harus diberikan dengan
penggunaan nasal kanul. Edema paru sebaiknya dimanajemen dengan intubasi
dan ventilasi dengan penggunaan 100% oksigen. Gas darah, hemoglobin dan
serum sodium dinilai. Kalsium intravena bisa digunakan untuk merawat
gangguan gangguan jantung akut saat pembedahan. Kejang sebaiknya
diterapidengan diazepam / midazolam / barbiturat / dilantin atau penggunaan
pelemas otot tergantungdari tingkat keparahannya.
Gejala hiponatremia yang bisa berakibat seizure bisa dihubungkan dengan dosis
kecil dari midazolam (2-4mg), diazepam (3-5 mg),thiopental (50-100 mg).
Kehilangan darah diterapi dengan transfusi PRC. Pada kasus dengan DIC, maka
fibrinogen 3-4gram sebaiknya diberikan secara intravena diikuti dengan infus
heparin 2000 unit secara bolus( dan kemudian diberikan 500 unit tiap jam). Fresh
Frozen Plasma (FFP) dan platelet juga bisa digunakan tergantung dari jenis
koagulasinya. Drainase pembedahan dari cairan retroperitoneal pada kasus
perforasi bisa menurunkan morbiditas dan mortalitas secara signifikan. Arginin
dapat diberikan sebagai tambahan infusglisin untuk menurunkan efek toksik dari
glisin pada jantung. Mekanisme bagaimana arginin memproteksi jantung belum
diketahui.
 Phenytoin yang diberikan secara intravena (10-20 mg/kg) juga harus
dipertimbangkan untuk memperoleh aktivitas antikonvulsan. Intubasi endotrakeal
secara umum disarankan untuk mencegah aspirasi sampai status mental pasien
menjadi normal. Jumlah dan kadar salin hipertonik (3-5 %) diperlukan untuk
mengkoreksi hiponatremia menjadi batas / level yang aman, yang didasarkan
konsentrasi serum sodium pasien. Solusi salin hipertonis harus tidak diberikan
dengan kecepatan tidak lebih dari 100 ml/jam sehingga tidak menimbulkan
eksaserbasi overload dari cairan sirkulasi. Hipotermi dapat dihindari dengan
meningkatkan suhu ruang operasi, penggunaan selimut hangat dan menggunakan
cairan irigasidan intravena yang telah dihangatkan sampai suhu 37oC.
Manajemen pasien yang mengalami koma harus meliputi oksigenasi, sirkulasi

21
yang memadai, penurunan tekanan intrakranial, penghentian kejang, terapi
infeksi, menjaga keseimbangan asam basa dan elektrolit dan suhu tubuh.
Pemantauan yang dilakukan glukosa,elektrolit (Na, K, Ca, Cl, CO3, PO4), urea
kreatinin, osmolaritas, glisin, dan amonia. Pemeriksaan gas darah dapat melihat
PH, PO2, PCO2, dan karbonat. Perlu juga dilakukan EKG untuk memonitor
fungsi kardiovaskular.

BAB 4

PEMBAHASAN

1. Preoperatif
Pasien yang akan dioperasi terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan
yang meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang
untuk menentukan ASA. Kondisi pasien yang akan di operasi dalam kasus ini
adalah ASA II yaitu pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai dengan
sedang. Sesuai dengan pasien yang dikelola. Penderita didiagnosis oleh bedah
urologi adalah Benign Prostatic Hyperplasia (BPH). Pada pemeriksaan fisik
tidak tampak adanya kelainan. Pemeriksaan penunjang lainnya seperti foto
thorax tak tampak kelainan pada pulmo dan besar cor, dan pemeriksaan USG
Ginjal Buli sesuai gambaran hipertrofi prostat. Dari hasil yang didapat
disimpulkan bahwa pasien masuk dalam kriteria ASA II dan akan dilakukan
operasi TURP. Selanjutnya ditentukan rencana jenis anestesi yang akan
digunakan yaitu regional anestesi. Persiapan yang dilakukan pada pasien ini
sebelum operasi :

22
a. Informed consent
Informed consent ini meliputi penjelasan mengenai penyakit yang
diderita pasien, tindakan-tindakan yang akan dilakukan, alasan dilakukannya
tindakan tersebut, resiko dilakukannya tindakan, komplikasi, prognosis,
biaya dan hal-hal lainnya yang berhubungan dengan kondisi pasien maupun
tindakan yang dilakukan kepada pasien dan keluarga terdekat yang
bertanggung jawab terhadap pasien. Tujuannya untuk mendapatkan
persetujuan dan ijin dari pasien atau keluarga pasien dalam melakukan
tindakan anestesi dan operasi sehingga resiko-resiko yang mungkin akan
terjadi pada saat operasi dapat dipertimbangkan dengan baik.
b. Puasa
Tujuan puasa untuk mencegah terjadinya aspirasi isi lambung karena
regurgitasi atau muntah pada saat dilakukannya tindakan anestesi akibat efek
samping dari obat- obat anastesi yang diberikan sehingga refleks laring
mengalami penurunan selama anestesia. Pada pasien dewasa umumnya
dipuasakan selama 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam, dan pada bayi 3-4 jam
(Latief, 2001). Pada kasus ini, pasien dapat dipuasakan selama 8 jam. Pasien
telah diminta berpuasa sejak pukul 02.00 WIB.
c. Laboratorium
Hasil pemeriksaan laboratorium pada pasien ini secara umum baik
sehingga memenuhi toleransi operasi. Adapun pemeriksaan laboratorium
pada pasien ini meliputi: pemeriksaan darah lengkap, hitung jenis, waktu
perdarahan, waktu pembekuan, kimia klinik, dan sero imunologi.
Pemeriksaan darah lengkap dilakukan untuk menilai ada tidaknya gangguan
dan merencanakan koreksi jika terdapat gangguan.
Kadar hemoglobin yang baik, diperlukan guna memfasilitasi
distribusi oksigenasi ke jaringan dan pengangkutan karbon dioksida.
Oksigenasi atau perfusi yang baik diperlukan jaringan guna mencegah
terjadinya syok. Jumlah trombosit,masa pembekuan dan defisiensi faktor
pembekuan perlu dievaluasi agar dapat diantispasi risiko komplikasi
perdarahan. Trombosit merupakan unsur dasar dalam darah yang dapat
meningkatkan koagulasi. Penurunan trombosit dalam sirkulasi sebanyak
kurang dari 50% nilai normal akan menyebabkan perdarahan. (Kee, 2008).

23
Elektrolit penting juga untuk dievaluasi mengingat peranannya dalam
berbagai proses fisiologis tubuh. Natrium adalah ion yang dominan berada di
petak cairan ekstrasel dengan nilai normal 135-145 mEq/L. Keadaan
hiponatremia, bila tidak dikoreksi secara cepat dan tepat dapat
mengakibatkan oedem otak, selanjutnya menimbulkan kerusakan otak yang
ireversibel. Hipernatremia jarang terjadi, sebagai akibat ginjal sangat efisien
dalam mengeksresikan Na. Hipo dan hiperkalemia merupakan keadaan yang
gawat karena dapat menyebabkan aritmia jantung dan perlu segera dikoreksi
(Mangku, 2010).

2. Teknik Anestesi Pada TURP


Anestesi regional sudah sejak lama dipertimbangkan sebagai teknik
anestesi pilihan pada TURP. Teknik anestesi ini memungkinkan pasien
untuk tetap terbangun, yang memungkinkan diagnosis awal dari sindrom
TUR atau ekstravasasi dari irigasi cairan. Beberapa studi memperlihatkan
penurunan hilangnya darah ketika prosedur TURP dilakukan dengan
menggunakan anestesi regional dan anestesi umum.
Penggunaan dari anestesi regional jangka panjang, dibandingkan
dengan anestesi umum, pada pasien yang mengalami TURP dihubungkan
dengan kontrol nyeri dan penurunan kebutuhan penyembuhan nyeri
postoperatif.
Pada pasien ini dipilih teknik anestesi dengan menggunakan regional
anestesi, yaitu dengan anestesi spinal. Pemilihan anestesi ini berdasarkan dari
pertimbangan keadaan pasien sendiri. Pemilihan teknik anestesi spinal sesuai
dengan indikasi dari teknik spinal. Selain itu teknik anestesi spinal sudah
lama dilakukan untuk mengetahui lebih awal terhadap komplikasi dari
TURP, yaitu sindrom TURP.
3. Durante Operasi
Pada pasien ini dilakukan pembiusan menggunakan teknik anestesi
spinal dengan Bunascan Spinal (Bupivakain HCl) sebanyak 20 mg. Anestesi
lokal amino amida ini menstabilisasi membran neuron dengan menginhibisi
perubahan ionik terus menerus yang diperlukan untuk memulai dan
menghantarkan impuls. Kemajuan anastesi berhubungan dengan diameter,

24
mielinisasi, dan kecepatan hantaran dari serat saraf yang terkena dengan
urutan kehilangan fungsi sebagai berikut: (1) otonomik (2) nyeri (3) suhu (4)
raba (5) propiosepsi dan (6) tonus otot skeletal.
Mual muntah merupakan gejala yang sering timbul akibat anestesi
spinal dan kejadiannya kurang lebih hampir 25%. Adapun penyebab mual
muntah pada anestesi spinal antara lain adalah penurunan tekanan
darah/hipotensi, hipoksia, kecemasan atau faktor psikologis, peningkatan
aktivitas parasimpatis dimana blok spinal akan mempengaruhi kontrol
simpatetik gastrointestinal. Dosis dewasa intravena yang direkomendasikan
untuk ondansetron sebagai pencegahan mual muntah perioperatif adalah 4
mg yang dapat diberikan sebelum induksi anestesi atau pada akhir operasi.
Mual muntah post operatif juga dapat diterapi dengan pemberian dosis 4 mg,
yang dapat diulangi sesuai kebutuhan setiap 4 – 8 jam.
Pada pasien ini digunakan cairan infus Ringer Laktat 500 ml untuk
mengganti defisit cairan puasa sebelum pembedahan dan kehilangan cairan
selama pembedahan. Terapi cairan durante operasi dijabarkan sebagai
berikut :
Usia : 54 tahun
Berat badan : 60 kg
Terapi Cairan :
M (Maintenance)
2 ml/ kgBB/ jam  2 ml/ 60 kg/ jam 120 ml / jam
O (Operasi)
Karena operasi ini termasuk operasi kecil, maka kebutuhan cairannya adalah:
2 ml x kgBB  2 ml x 60 kg 120 ml
P (Puasa)
Karena pasien puasa selama 8 jam, maka kebutuhan cairannya adalah:
Lama puasa x M 8 x 120ml 960 ml
Total cairan yang dibutuhkan:
Jam pertama M+O+½P  (120 + 120 + 480) ml = 700 ml

Sebelum akhir pembedahan pasien diberikan ketorolac 30 mg iv,


diindikasikan untuk penatalaksanaan jangka pendek terhadap nyeri akut

25
sedang sampai berat setelah prosedur pembedahan. Ketorolac adalah anti
inflamasi non steroid dengan durasi kerja sedang dengan waktu paruh 4-6
jam sehingga digunakan sebagai analgesik dalam penggunaan intravena
bukan sebagai anti inflamasi. Obat ini mempunyai efektiftas analgesik yang
nyata dan telah dipakai dengan hasil yang baik untuk menggantikan morfin
pada nyeri ringan hingga sedang sesudah operasi. Kebanyakan diberikan
secara intramuskular dan intravena, tetapi terdapat juga dalam bentuk obat
oral.
4. Post operatif
Pasien kemudian dibawa ke ruang pemulihan (Recovery Room).
Selama di ruang pemulihan, jalan nafas dalam keadaan baik, pernafasan
spontan dan adekuat serta kesadaran composmentis. Tekanan darah selama
15 menit pertama pasca operasi stabil yaitu 120/80 mmHg.

BAB 5
KESIMPULAN

1. Pada kasus ini, pasien Tn. AR dengan diagnosis BPH, dilakukan tindakan
TURP.
2. Pasien dilakukan anestesi dengan teknik anestesi spinal menggunakan
bupivacain spinal 20mg. Ketrolorac 30mg diberikan beberapa menit sebelum
pembedahan selesai untuk memberikan efek analgetik.
3. Cairan yang diberikan selama operasi adalah Ringer Laktat sebanyak 500 ml
4. Lama operasi pada pasien ini adalah 1 jam 5 menit. Pasien kemudian dibawa ke
ruang pemulihan (Recovery Room). Selama di ruang pemulihan, jalan nafas
dalam keadaan baik, pernafasan spontan dan adekuat serta kesadaran
composmentis.

26
DAFTAR PUSTAKA

Barba M, Leyh H, dan Hartung. New technology in transurethral resection of the


prostate. Curr Opin Urol 10:9-14, 2007.
Besimon H ; ‘Surgery of the Prostat’, in ‘Urologic Surgery’, Mc Graw-Hill, 2007:
260-266.
Donovan JL, Peters TJ, Neal DE, Brookes ST, Gujral S, Chacko KN, Wright M, et al.
A randomised trial comparing transurethral resection of the prostate, laser
therapy and consevative treatment of men with symptoms associated with
benign prostatic enlargement: The ClasP study. J Urol 164: 65-70, 2007
Edlin, 2010. Perbandingan Insidensi Post Dural Puncture Headache Setelah
Anestesia Spinal dengan Jarum 27G Quincke dan 27G Whitacre. Thesis.
Universitas Sumatera Utara
Latief, S.A., Suryadi, K.A. & Dachlan, M.R., 2001. Anestesiologi. Jakarta: FK UI
Monk, Terri.G and B. Craig Weldon. The Renal System And Anesthesia For Urologic
Surgery, chapter 36, page 42 in Clinical Anesthesia. Edition 4. Lippincott
Williams & Wilkin Publishers. 2008.

27
Moorthy H K, Philip S. 2001. TURP syndrome - current concepts in the
pathophysiology and management. Indian J Urol;17:97-102
Norris HT, Aasheim GM, Sherrard DJ, Tremann JA. 1973. Symptoma¬tology,
pathophysiology and treatment of the transurethral resec¬tion of the prostate
syndrome. Br J Urol: 45: 420-427.
Olsson J, Nilsson A. Hahn RG. 1995. Symptoms of the transurethral re¬section
syndrome using glycine as the irrigant. J Urol; 154: 123-128.
Sherwood, L. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sel. EGC : Jakarta.
Soenarjo, Jatmiko HD. 2013. Anestesiologi Edisi 2. Semarang : FK Universitas
Diponegoro.
Soenarjo, et al. 2013. Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran UNDIP/dr. Kariadi Semarang
Sutiyono et Winarno. 2009. Jarum Spinal dan Pengaruuh yang Mungkin Terjadi.
Jurnal Anestsiologi Indonesia
Tubaro A, Vicentini C, Renzetti R, dan Miano L. Invasive and minimally invasive
treatment modalities for lower urinary tract symptoms: what are the relevant
differences in randomized controlled trials? Eur Urol 38: 7-17, 2007.
Yang Q, Petes TJ, Donovan JL, Wilt TJ, dan Abrams P. Transurethral incision
compared with transurethral resection of the prostate for bladder outlet
obstruction: a systemic review and meta-analysis of randomised controlled
trials. J Urol 165: 1526-1532, 2008

28

Anda mungkin juga menyukai