Anda di halaman 1dari 57

Laporan Kasus

LAPORAN KASUS DOKTER INTERNSIP

CONGESTIVE HEART FAILURE

DENGAN ATRIAL FIBRILASI

Disusun Oleh:
dr. Angga Prizki Putra

Pembimbing:
dr. Bevi Dewi Citra, Sp.PD

Pendamping:
dr. Azharul Yusri, Sp.OG

PROGRAM DOKTER INTERNSIP INDONESIA RUMAH


SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN
MERANTI TAHUN 2021
HALAMAN PENGESAHAN

Diajukan oleh:

dr. Angga Prizki Putra

Telah disetujui sebagai laporan kasus dengan judul:

Congestive Heart Failure dengan Atrial Fibrilasi

Hari / Tanggal : Oktober 2021


Tempat: RSUD KAB.KEP.MERANTI

Disahkan Oleh :

Pembimbing

dr. Bevi Dewi Citra, Sp.PD

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan berkah
dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul
Congestive Heart Failure dengan Atrial Fibrilasi. Shalawat berangkaikan salam
kepada Rasulullah Muhammad SAW yang telah membawa perubahan besar dalam
2
kehidupan manusia.
Laporan kasus ini merupakan salah satu syarat yang harus diselesaikan dalam
Program Internsip Dokter Indonesia di Rumah Sakit Umum Daerah Kab. Kepulauan
Meranti. Pada kesempatan ini saya sebagai penulis mengucapkan terima kasih kepada
dr. Bevi Dewi Citra, Sp.PD yang telah membimbing serta berbagai pihak yang telah
membantu dalam penyelesaian presentasi kasus ini.
Begitu pula dalam penulisan ini masih terdapat kekeliruan baik dalam
referensi maupun dalam metodologi penulisan, Untuk itu penulis menerima kritik dan
saran demi perbaikan penelitian ini. Harapan kedepannya laporan kasus ini dapat
memberikan manfaat dalam menambah ilmu pengetahuan.

Selat Panjang, Oktober 2021

Penulis

3
LAPORAN KASUS

Identitas pasien

Nama : Ny. J

Umur : 42 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan : IRT

Status : Sudah menikah

Alamat : Ds. Tj. Bunga

Masuk RS : 07 Oktober 2021

No RM : 10.64.xx

Anamnesis

Autoanamnesis

Keluhan utama

Sesak napas yang memberat sejak 2 hari SMRS.

Riwayat penyakit sekarang

 2 minggu SMRS pasien mengeluhkan sesak napas yang muncul saat

aktivitas sehari-hari seperti berjalan ±30 meter, pasien lebih nyaman tidur

ketika bantal ditinggikan. Sesak hilang timbul, tidak dipengaruhi cuaca,

makanan dan tidak disertai bunyi mengi. Pasien mengeluhkan seluruh

tubuhnya bengkak. Kemudian pasien dibawa ke Klinik Dokter Umum, dan

keluhan tidak berkurang.

 2 hari SMRS pasien mengeluhkan sesak napas yang semakin memberat.

Sesak mendadak dan tidak berkurang ketika istirahat. Keluhan disertai rasa

4
berdebar-debar. Pasien keringat dingin, dan merasa sangat kelelahan.

Bengkak seluruh tubuh (+), batuk(-), nyeri dada (-). Nyeri perut (-), mual

(-), muntah (-),demam (-), BAB dan BAK dalam batas normal. Pasien lalu

dibawa ke RSUD Meranti.

Riwayat penyakit dahulu

Riwayat Hipertensi sejak 10 tahun yang lalu (+)

Riwayat Asma (-)

Riwayat penyakit dalam keluarga

Hipertensi dalam keluarga (+)

Diabetes dalam keluarga (+)

Penyakit jantung (-)

Riwayat pekerjaan, sosial ekonomi, kejiwaan dan kebiasaan

• Seorang Ibu rumah tangga

• Merokok (-)

• Alkohol (-)

• Sering makan makan berlemak dan bersantan

Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan umum (07/10/2021)

Kesadaran : Komposmentis

Keadaan umum : tampak sakit sedang

Tekanan darah : 150/100 mmHg

Frekuensi nadi : 168 x/menit, iregular

Frekuensi napas : 32 x/menit

Suhu : 36,7 0 C

5
BB : 65 kg

TB : 155 cm

IMT : 27,16 overweight

Pemeriksaan dari kepala sampai ekstremitas

Kepala : - Konjungtiva anemis (-/-)

- Sklera ikterik (-/-)

- Pupil isokor kanan dan kiri

Leher : - Tidak ada pembesaran KGB

- JVP meningkat (-) 5+2 cm H20

Thorax Paru

Inspeksi : Gerakan dinding dada simetris kanan dan kiri, tidak ada

bagian yang tertinggal, normochest

Palpasi : Vokal fremitus simetris kanan dan kiri

Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru

Auskultasi : Vesikuler (+/+),Wheezing (-/-), Ronki (+/+) basah halus

Thorax Jantung

Inspeksi : IC tidak terlihat

Palpasi : IC teraba di SIK VI 2 cm lateral linea midclavikula sinistra

Perkusi : Jantung kanan : SIK V linea parasternal dextra

Jantung kiri : SIK VI 2 cm lateral midclavikula sinistra

Auskultasi : S1 dan S2 irrregular

Gallop (-) Murmur(+) sistolik grade 2-3/6 di sternalis

sinistra SIK 3-4 (+)

6
Abdomen

Inspeksi : Perut membuncit, tidak ada scar

Auskultasi : Bising usus normal

Perkusi : Timpani diseluruh lapangan abdomen

Palpasi : Defans muskular (-), nyeri tekan epigastrium(-),

hepatomegali (sulit dinilai) , lien sulit di nilai, edema (+)

Ekstremitas : Edema (+) bilateral, sianosis (-)

Akral hangat, CRT < 2 detik, clubbing fingers (-)

1.

2.

3.

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan darah rutin : (07/10/2021)

 Hb: 10,8 mg/dL

 Ht : 29 %

 Eritrosit: 3,97 jt mg/dL

 Trombosit: 167.000

 MCV : 72 fl

 MCH : 27 fl

 MCHC : 37 fl

 PT : 27,9 s

 APTT : 16,0 s

Pemeriksaan kimia darah : (07/10/2021)

7
 GDS : 102 mg/dl

 Ureum : 40 mg/dl

 Creatinine : 0,4 mg/dl

 SGOT : 40 u/l

 SGPT : 24 u/l

 Natrium :146 mmol

 Kalium : 4.0 mmol

 Clorida : 100 mmol

Ro Thorax ( 07/10/2021 )

Kesan :

 Efusi Pleura dextra

 Kardiomegali dengan Atherosklerosis Aorta

EKG (07/10/2021)

 Irama asinus, HR: 168 X/i

 Axis : Normoaxis

8
 Gelombang P : sulit di nilai

 Kompleks QRS: Durasi QRS 0,04 detik

 Gel Q : patologis di lead III, aVf

 Segmen ST : depresi (-)

Elevasi (-)

 Gel T : sulit di nilai

Kesan : Atrial Fibrilasi

Diagnostik :

 CHF NYHA 3-4

 Atrial Fibrilasi

 Edema anarsaka ec ?

Tatalaksana

Nonfarmakologi :

 Bedrest, aktivitas fisik dibatasi

 Observasi KU, Kes, TTV

 Pemberian NRM 8 liter/menit

 Diet rendah lemak dan rendah garam

Farmakologi :

 IVFD RL/24 jam

 Drip. Furosemide 5 amp diencerkan dalam NaCL 0.9% hingga 50 cc,

kecepatan 2,5 cc/jam

 Spironolakton 1x25 mg

 Bisoprolol 1x25 mg

9
 Digoxin 1x0,25 mg

 Cefriaxone 2x1 gr

10
Rencana

 Rawat Inap

 Cek PT-APTT

 Pasang kateter urin

FOLLOW UP

Tanggal S O A P
8/10/21 Sesak (+)  KU: TSS  CHF nyha  O2 NK 3
berkurang  Kes : CM 3 LPM
Perut  TD :103/76  Efusi  IVFD NaCl
membuncit  HR : 67 x/i Pleura 0,9%/ 24
(+)  AF RVR jam
 RR : 26 x/i
Nyeri dada (-)  Asites  Furosemide
 T : 36.8
massive 2x40 mg

EKG  Spironolakton
Interpretasi 1x25 mg

 Irama  Bisoprolol
1x25 mg
asinus, HR:
 Digoxin
156 X/i 1x0,25 mg
 Axis :  Cefriaxone
2x1 gr
Normoaxis
 Aspilet 1x 80
 Gelombang mg
P : sulit di  R/ USG
Abdomen
nilai

 Kompleks

QRS:

Durasi

11
QRS 0,04

detik

 Gel Q :

sulit dinilai

 Segmen ST

: normal

Gel T : sulit di

nilai

Kesan : Atrial

Fibrilasi

9/10/21 Sesak (+)  KU: TSS  CHF nyha  O2 NK 3


berkurang  Kes : CM 3 LPM
Perut  TD :109/78  Efusi  IVFD NaCl
membuncit  HR : 92 x/i Pleura 0,9%/ 24
(+)  AF RVR jam
 RR : 26 x/i
Nyeri dada (-)  Asites  Furosemide
 T : 36.8
massive 2x40 mg

EKG  Spironolakton
Interpretasi 1x25 mg

 Irama  Bisoprolol
1x25 mg
asinus, HR:
 Digoxin
156 X/i 1x0,25 mg
 Axis :  Cefriaxone
2x1 gr
Normoaxis
 Aspilet 1x 80
 Gelombang mg

12
P : sulit di

nilai

 Kompleks

QRS:

Durasi

QRS 0,04

detik

 Gel Q :

sulit dinilai

 Segmen ST

: normal

Gel T : sulit di

nilai

Kesan : Atrial

Fibrilasi

USG Abd

Kesan :

Asites

Massive

dengan

fibrosis

hepar

10/10/21 Sesak (+)  KU: TSS  CHF nyha  O2 NK 3

13
berkurang 3 LPM
Perut  Kes : CM  Efusi  IVFD NaCl
membuncit  TD :109/78 Pleura 0,9%/ 24
(+) bekurang  HR : 92 x/i  AF RVR jam
Nyeri dada (-)  RR : 26 x/i  Asites  Furosemide

 T : 36.8 massive 2x40 mg


 Spironolakton
EKG 1x25 mg
Interpretasi  Bisoprolol
 Irama 1x25 mg
 Digoxin
asinus, HR:
1x0,25 mg
106 X/i
 Cefriaxone
 Axis : 2x1 gr
 Aspilet 1x 80
Normoaxis
mg
 Gelombang

P : sulit di

nilai

 Kompleks

QRS:

Durasi

QRS 0,04

detik

 Gel Q :

sulit dinilai

 Segmen ST

: normal

14
Gel T : sulit di

nilai

Kesan : Atrial

Fibrilasi

11/10/21 Sesak (+)  KU: TSS  CHF nyha  Spironolakton


berkurang  Kes : CM 3 1x25 mg
Perut  TD :109/78  Efusi  Furosemide
membuncit  HR : 92 x/i Pleura 2x40 mg
(+) bekurang  AF RVR  Bisoprolol
 RR : 26 x/i
Nyeri dada (-)  Asites 1x25 mg
 T : 36.8
massive  Digoxin
EKG 1x0,25 mg
Interpretasi  Cefriaxone
 Irama 2x1 gr
 Aspilet 1x 80
asinus, HR:
mg
79 X/i  Pasien boleh
 Axis : pulang

Normoaxis

 Gelombang

P : sulit di

nilai

 Kompleks

QRS:

Durasi

QRS 0,04

detik

15
 Gel Q :

sulit dinilai

 Segmen ST

: normal

Gel T : normal

Kesan : Atrial

Fibrilasi

16
TINJAUAN PUSTAKA

GAGAL JANTUNG KONGESTIF

DEFINISI
Gagal jantung kongestif / Congestif Heart Failure (CHF) adalah

kumpulan gejala yang disebabkan oleh kelainan struktural maupun fungsional

sehingga terjadi penurunan curah jantung dan/atau peningkatan tekanan

intrakardial yang menyebabkan jantung tidak mampu memenuhi kebutuhan

metabolisme jaringan pada saat istirahat atau stress.1 Gagal jantung kongestif

secara klinis, merupakan suatu sindrom dimana pasien memiliki gejala yang khas,

yakni sesak nafas, kaki bengkak, kelelahan dan peningkatan tekanan vena

jugularis.1,2

ETIOLOGI
Tabel 1. Etiologi Gagal Jantung 8

Main Cause Ischemic Heart Disease (35-40%)

Cardiomiopathy expecially dilated (30-34%)

Hypertension (15-20%)

Other Cause Cardiomyopathy undilated : Hyperttrophy/obstructive,


restrictive(amyloidosis, sarcoidosis)

Valvular heart disease (mitral, aortic, tricuspid)

Congenital heart disease (ASD,VSD)

Alcohol and drugs (chemotherapy-trastuzamab, imatinib)

Hyperdinamic circulation (anemia,thyrotoxicosis,


haemochromatosis)

17
Right Heart failure (RV infarct, pulmonary hypertension,
pulmonary embolism, COPD

Tricuspid incompetence

Arrhythmia (AF, Bradycardia (complete heart block, the


sick sinussyndrome)

Pericardial disease (constrictive pericarditis, pericardial


effusion)

Infection (Chagas’ disease)

Terdapat beberapa penyebab dari gagal jantung, terutama yang

menyebabkan gangguan fungsi atau kerusakan otot jantung (miokardium).

Penyebab paling banyak terjadinya gagal jantung yaitu adalah penyakit arteri

koroner atau coronary artery disease (CAD) yaitu dengan presentase sebesar 70

%. Selain itu, bisa juga disebabkan penyakit katup jantung, kardiomiopati dan

hipertensi sebesar 10 %, sisanya penyebab lainn yang jarang tapi tetap bisa

menyebabkan atau meningkatkan risiko terjadinya gagal jantung seperti gangguan

endokrin pada diabetes melitus, alkoholik, penggunaan obat-obatan tertentu dan

sebagainya.6 Merokok, pola hidup inactive, dan obesitas juga termasuk faktor

risiko yang harus diperhatikan, karena banyak faktor lain yang meningkatkan

risiko gagal jantung.

Penyebab gagal jantung dapat disebabkan oleh antara lain:6

1) Kelainan otot jantung

Gagal jantung sering terjadi pada penderita kelainan otot jantung, disebabkan

menurunnya kontraktilitas jantung. Kondisi yang mendasari penyebab

kelainan fungsi otot mencakup ateriosklerosis koroner, hipertensi arterial, dan

penyakit degeneratif atau inflamasi.

2) Aterosklerosis koroner

18
Mengakibatkan disfungsi miokardium karena terganggunya aliran darah ke

otot jantung. Terjadi hipoksia dan asidosis (akibat penumpukan asam laktat).

Infark miokardium (kematian sel jantung) biasanya mendahului terjadinya

gagal jantung. Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif,

berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi yang secara langsung

merusak serabut jantung, menyebabkan kontraktilitas menurun.

3) Hipertensi sistemik atau pulmonal

Meningkatkan beban kerja jantung dan pada gilirannya mengakibatkan

hipertrofi serabut otot jantung.

4) Peradangan dan penyakit miokardium degenerative

Berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi ini secara langsung

merusak serabut jantung menyebabkan kontraktilitas menurun.

5) Penyakit jantung lain

Gagal jantung dapat terjadi sebagai akibat penyakit jantung yang sebenarnya,

yang secara langsung mempengaruhi jantung. Mekanisme biasanya terlibat

mencakup gangguan aliran darah yang masuk jantung (stenosis katup

semiluner), ketidakmampuan jantung untuk mengisi darah (tamponade,

perikardium, perikarditif konstriktif, atau stenosis AV), peningkatan

mendadak afterload.

19
2.1.3 KLASIFIKASI
Klasifikasi gagal jantung kongestif terdiri atas klasifikasi oleh American

College of Cardiology (ACC) atau American Heart Association (AHA)

(berdasarkan perkembangan dan progresifitas dari penyakit).5

Stadium Kriteria

A Mempunyai risiko tinggi terhadap perkembangan gagal jantung

tetapi tidak terdapat gangguan struktural dan fungsional jantung

B Telah terbentuk penyakit struktur jantung yang berhubungan dengan

perkembangan gagal jantung, tidak terdapat tanda dan gejala

C Gagal jantung yang simptomatis berhubungan dengan penyakit

struktural jantung yang mendasari

D Penyakit struktural jantung yang lanjut serta gagal jantung yang

sangat bermakna saat istirahat walaupun telah mendapat terapi

medis maksimal.

Berdasarkan New York Heart Association, NYHA, (berdasarkan

kemampuan seseorang dalam menjalankan aktivitas fungsionalnya atau

melakukan kegiatan sehari-hari)5

20
Kelas Kriteria

I Tidak terdapat batasan dalam melakukan aktifitas fisik. Aktifitas fisik

sehari-hari tidak menimbulkan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas

II Terdapat batasan aktifitas ringan. Tidak terdapat keluhan saat istrahat,

namun aktifitas fisik sehari-hari menimbulkan kelelahan, palpitasi atau

sesak nafas

III Terdapat batasan aktifitas bermakna. Tidak terdapat keluhan saat istrahat,

tetapi aktfitas fisik ringan menyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesak

IV Tidak dapat melakukan aktifitasfisik tanpa keluhan. Terdapat gejala saat

istrahat. Keluhan meningkat saat melakukan aktifitas

Saat ini kategori gagal jantung dapat dibedakan berdasarkan nilai fraksi ejeksi

ventrikel kiri (LVEF), yaitu:7

 Heart Failure with preserved Ejection Fraction (HFpEF)

Gagal jantung dengan nilai fraksi ejeksi ventrikel masih dalam batas normal

atau terjaga ≥50%. Diagnosisi HppEF lebih sulit karena ventrikel kiri pada jenis

gagal jantung ini tidak berdilatasi, tetapi ada penebalan dinding yang dapat

menyebabkan pembesaran atrium kiri. Selain itu penyebab sering akibat non

kardiak seperti anemia dan penyakit paru kronik.

 Heart Failure with mid range Ejection Fraction (HFmrEF)

Gagal jantung dengan nilai fraksi ejeksi ventrikel intermediate yaitu 40-49%

atau disebut dengan “grey-area”. Kelompok ini mengalami gangguan fungsi

21
sistolik ringan tetapi muncul dengan gangguan yang mirip dengan gangguan

diastolik.

 Heart Failure with reduced Ejection Fraction (HFrEF)

Gagal jantung dengan penurunan nilai fraksi ejeksi yaitu <40%.

2.1.4 PATOFISIOLOGI

Beberapa faktor yang menentukan cardiac output meliputi heart rate dan

stroke volume. Stroke volume ditentukan oleh preload, kontraktilitas, dan

afterload. Variabel-variabel ini penting diketahui dalam patofisiologis gagal

jantung kongestif dan potensi terapi. Selain itu interaksi kardiopulmonary penting

juga untuk diketahui dalam peranannya dalam kegagalan jantung.6

Preload dapat dilihat dari jumlah volume darah yang harus dipompa oleh

jantung. Kontraktilitas merupakan kemampuan memompa jantung, sedangkan

afterload merupakan kekuatan yang harus dikeluarkan oleh jantung untuk

memompa darah. Preload tidak hanya dipengaruhi oleh volume intravaskuler, tapi

juga dipengaruhi oleh keadaan restriksi saat pengisian ventrikel. Fungsi diastolik

ditentukan oleh dua faktor yaitu elastisitas dari ventrikel kiri, yang mana

merupakan fenomena yang pasif, dan relaksasi myocardial yang mana proses ini

merupakan proses yang aktif dan membutuhkan energi. Abnormalitas ventrikel

kiri untuk relaksasi atau elastisitasnya baik itu karena structural (contoh:

hypertropi ventrikel kiri) atau perubahan pada fungsional (contoh: iskemia)

mempengaruhi juga pengisian ventrikel (preload).6

Variabel kedua dari stroke volume adalah kontraktilitas jantung, Pada

jantung normal fungsi sistolik fraksi ejeksi akan selalu dipertahankan diatas 50-

55%. Infark miokard akan menyebabkan miokard tidak dapat bekerja dengan

22
baik, hal ini dikarenakan jantung tidak dapat berkontraksi dengan baik. Jaringan

yang infark dapat diperbaiki dengan pembedahan atau dengan terapi obat-obatan.

Beberapa hal yang juga mempengaruhi kontraktilitas jantung adalah agent

farmakologik (calcium channel blocker), hipoksemia, dan asidosis yang parah.7

Variabel terakhir dari komponen stroke volume adalah afterload. Afterload

biasanya dilihat dengan pengukuran Mean Arterial Pressure (MAP). Afterload

dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu tahanan vaskuler, dan tekanan intratorakal.

Bersama-sama ketiga komponen ini saling mempengaruhi dalam patofisiologi

gagal jantung kongestif.7

Kelainan intrinsik pada kontraktilitas miokardium yang khas pada gagal

jantung akibat penyakit jantung iskemik dapat mengganggu kemampuan

pengosongan ventrikel yang efektif. Kontraktilitas ventrikel kiri yang menurun

mengurangi volume sekuncup dan meningkatkan volume residual ventrikel.

Dengan meningkatnya volume akhir diastolik ventrikel, terjadi peningkatan

tekanan akhir diastolik ventrikel kiri, terjadi pula peningkatan tekanan atrium kiri

karena atrium dan ventrikel berhubungan langsung selama diastol. Peningkatan

tekanan atrium diteruskan ke dalam pembuluh darah paru-paru, meningkatkan

tekanan kapiler dan vena paru-paru. Apabila tekanan hidrostatik anyaman kapiler

paru-paru melebihi tekanan onkotik pembuluh darah, akan terjadi transudasi

cairan ke dalam interstisial. Jika kecepatan transudasi cairan melebihi kecepatan

drainase limfatik, akan terjadi edema interstisial. Peningkatan tekanan lebih lanjut

dapat mengakibatkan cairan merembes ke dalam alveoli dan terjadilah edema

paru. 6,7

23
Tekanan arteri paru-paru dapat meningkat akibat peningkatan kronis

tekanan vena paru. Hipertensi pulmonalis meningkatkan tahanan terhadap ejeksi

ventrikel kanan. Serangkaian kejadian seperti yang terjadi pada jantung kiri, juga

akan terjadi pada jantung kanan yang akhirnya akan menyebabkan edema dan

kongesti sistemik.7

2.1.5 DIAGNOSIS

Kriteria Framingham adalah kriteria epidemiologi yang telah digunakan

secara luas. Diagnosis gagal jantung mensyaratkan minimal dua criteria mayor

atau satu kriteria mayor disertai dua kriteria minor. Kriteria minor dapat diterima

jira kriteria minor tersebut tidak berrhubungan dengan kondisi medis yang lain

seperti hipertensi pulmonal, PPOK, sirosis hati, atau sindrom nefrotik.1

- Anamnesis

Dari anamnesis dapat ditemukan gejala sebagai berikut:9

1. Tanyakan keluhan sesak saat beraktivitas (dispneu on effort),

berbaring (ortopneu), saat malam hari sampai terbangun

(paroxysmal noctunal dyspnue)

2. Mudah lelah (fatique)

3. Edema perifer

Tabel 3. Kriteria Framingham untuk Gagal Jantung 5

Kriteria Major Kriteria Minor

a. Paroksysmal nocturnal i. Edema ekstremitas

dispneu j. Batuk malam hari

b. Distensi vena leher k. Dispneu on effort

24
c. Ronkhi paru l. Hepatomegali

d. Kardiomegali m. Efusi pleura

e. Edema paru akut n. Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal

f. Gallop S3 o. Takikardia >120 kali permenit

g. Peningkatan JVP

h. Refluks hepatojugular

Penurunan BB >4,5 kg dalam 5 hari pengobatan

(Diagnosis gagal jantung ditegakkan apabila terdapat minimal 2 kriteria major atau

1 kriteria major dan 2 kriteria minor)1

Tabel 4. Kriteria Boston

Kategori I Kategori II Kategori III

a. Dispnea saat a. Denyut jantung a. Edema alveolus

istirahat (4) yang abnormal paru (4)

b. Ortopnea (4) ( 1-2) b. Edema intersisial

c. Paroksismal b. Peningkatan JVP paru (3)

nokturnal dyspnea (1-2) c. Efusi pleura

(3) c. Suara paru crackles bilateral (3)

d. Sesak saat naik (1-2) d. CRT >50% (3)

tangga (2) d. Wheezing (3) e. Retribusi aliran di

e. Sesak saat e. Bunyi S3 (3) zona atas (2)

memanjat (1)

Diagnosis di tegakkan bila:

25
a. Nilai 8-12 : Pasti CHF

b. Nilai 5-7: Mungkin CHF

c. Nilai < 5 : bukan CHF

o Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum dan tanda vital 10

 Pada gagal jantung ringan atau sedang, pasien bisa tampak tidak

memiliki keluhan, kecuali merasa tidak nyaman saat berbaring datar

selama lebih dari beberapa menit. Pada pasien dengan gagal jantung

yang lebih berat, pasien bisa memiliki upaya nafas yang berat dan bisa

kesulitan untuk menyelesaikan katakata akibat sesak.

 Tekanan darah sistolik bisa normal atau tinggi, tapi pada umumnya

berkurang pada gagal jantung lanjut karena fungsi LV yang sangat

menurun.

 Tekanan nadi bisa berkurang, dikarenakan berkurangnya stroke

volume, dan tekanan diastolik arteri bisa meningkat sebagai akibat

vasokontriksi sistemik.

 Sinus tachycardia adalah gejala non spesifik yang diakibatkan oleh

aktivitas simpatis yang meningkat.

 Vasokontriksi perifer mengakibatkan ekstrimitas perifer menjadi lebih

dingin dan sianosis dari bibir dan ujung jari juga diakibatkan oleh

aktivitas simpatis yang berlebihan

26
Pemeriksaan vena jugularis11

Pemeriksaan vena jugularis memberikan perkiraan tekanan pada atrium

kanan, dan secara tidak langsung tekanan pada atrium kiri.

Pemeriksaan paru 10

I. Pulmonary Crackles (ronkhi atau krepitasi) dihasilkan oleh transudasi

cairan dari rongga intravaskular kedalam alveoli.

II. Pada pasien dengan edema paru, ronki dapat didengar pada kedua

lapang paru. Jika ditemukan pada pasien tanpa penyakit paru, ronkhi

spesifik untuk gagal jantung. Pasien dengan gagal jantung kronik,

seringkali tidak ditemukan rhonki bahkan ketika pulmonary capilary

wedge pressure kurang dari 20 mmHg, hal ini karena pasien sudah

beradaptasi dan drainase sistem limfatik cairan rongga alveolar sudah

meningkat.

III. Efusi pleura timbul sebagai akibat meningkatnya tekanan sistem

kapiler pleura, hasilnya adalah transudasi cairan kedalam rongga pleura.

Pemeriksaan jantung 10

 Pemeriksaan jantung, walau penting, seringkali tidak dapat memberikan

informasi yang berguna mengenai beratnya gagal jantung. Jika terdapat

kardiomegali, titik impulse maksimal (ictus cordis) biasanya tergeser

kebawah intercostal space (ICS) ke V, dan kesamping (lateral) linea

midclavicularis.

 Hipertrofi ventrikel kiri yang berat mengakibatkan pulsasi prekodial

(ictus) teraba lebih lama (kuat angkat). Pemeriksaan pulsasi prekordial

ini tidak cukup untuk mengevaluasi beratnya disfungsi ventrikel kiri.

27
 Pada beberapa pasien, bunyi jantung ketiga dapat didengar Bunyi

jantung ketiga (gallop) umum ditemukan pada pasien dengan volume

overload yang mengalami tachycardia dan tachypnea, dan seringkali

menunjukkan kompensasi hemodinamik yang berat.

 Bunyi jantung keempat bukan indikator spesifik gagal jantung, tapi

biasanya ada pada pasien dengan disfungsi diastolik.

 Murmur regurgitasi mitral dan trikuspid umumnya ditemukan pada

pasien dengan gagal jantung yang lanjut.

Pemeriksaan abdomen dan ekstremitas 10

 Hepatomegali adalah tanda yang penting tapi tidak umum pada pasien

dengan gagal jantung. Jika memang ada, hati yang membesar seringkali

teraba lunak dan dapat berpulsasi saat sistol jika terdapat regurgitasi

katup trikuspid.

 Ascites dapat timbul sebagai akibat transudasi karena tingginya tekanan

pada vena hepatik dan sistem vena yang berfungsi dalam drainase

peritoneum.

 Jaundice dapat juga ditemukan dan merupakan tanda gagal jantung

stadium lanjut, biasanya kadar bilirubin direk dan indirek meningkat.

Ikterik pada gagal jantung diakibatkan terganggunya fungsi hepar

sekunder akibat kongesti (bendungan) hepar dan hipoksia hepatoselular.

 Edema perifer adalah manisfestasi kardinal gagal jantung, hal ini walau

demikian tidaklah spesifik dan biasanya tidak terdapat pada pasien yang

telah mendapat diuretik. Edema perifer pada pasien gagal jantung

28
biasanya simetris, beratnya tergantung pada gagal jantung yang terjadi,

dan paling sering terjadi sekitar Pergelangan Kaki Dan Daerah Pretibial.

Pemeriksaan penunjang

Uji diagnostik biasanya paling sensitif pada pasien gagal jantung dengan

fraksi ejeksi rendah.Uji diagnostik sering kurang sensitf pada pasien gagal jantung

dengan fraksi ejeksi normal. Ekokardiografi merupakan metode yang paling

berguna dalam melakukan evaluasi disfungsi sistolik dan diastolik.

 Elektrokardiogram (EKG)

Pemeriksaan elektrokardiogram harus dikerjakan pada semua pasien

diduga gagal jantung.Penilaian dilakukan untuk melihat perubahan gelombang Q,

perubahan ST-T, hipertrofi LV, gangguan konduksi dan aritmia. Abnormalitas

EKG memiliki nilai prediktif yang kecil dalam mendiagnosis gagal jantung, jika

EKG normal, diagnosis gagal jantung khususnya dengan disfungsi sistolik sangat

kecil (< 10%).10

 Foto Toraks

Merupakan komponen penting dalam diagnosis gagal jantung. Rontgen

toraks dapat mendeteksi kardiomegali, kongesti paru, efusi pleura dan dapat

mendeteksi penyakit atau infeksi paru yang menyebabkan atau memperberat

sesak nafas (Tabel 5).5

Tabel 4. Abnormalitas fototoraks yang umum ditemukan pada gagal jantung

Abnor malitas Penyebab Implikasi klinis

Kardiomegali Dilatasi ventrikel kiri, Ekokardiograf, Doppler

ventrikel kanan, atrium efusi

29
perikard

Hipertrofi ventrikel Hipertensi, stenosis aorta, Ekokardiografi, Doppler

kardiomiopati hipertrofi

Tampak paru normal Bukan kongesti paru Nilai ulang diagnosis

Kongesti vena paru Peningkatan tekanan Mendukung diagnosis

pengisian ventrikel kiri gagal jantung kiri

Edema intersital Peningkatan tekanan Mendukung diagnosis

pengisian ventrikel kiri gagal jantung kiri

Efusi pleura Gagal jantung dengan Pikirkan etiologi

peningkatan tekanan nonkardiak (jika efusi

pengisian jika efusi banyak)

bilateralInfeksi paru, pasca

bedah/ keganasan

Garis Kerley B Peningkatan tekanan Mitral stenosis/gagal

limfatik jantung kronik

Area paru hiperlusen Emboli paru atau emfsema Pemeriksaan CT,

Spirometri,ekokardiografi

Infeksi paru Pneumonia sekunder Tatalaksana kedua

akibat kongesti paru penyakit: gagal

jantung dan infeksi paru

Infltrat paru Penyakit sistemik Pemeriksaan diagnostik

lanjutan

30
 Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium rutin pada pasien diduga gagal jantung adalah

darah perifer lengkap (hemo-globin, leukosit, trombosit), elektrolit, kreatinin, laju

filtrasi glomerulus (GFR), glukosa, tes fungsi hati dan urinalisis. Pemeriksaan

tambahan laindipertimbangkan sesuai tampilan klinis. Gangguan hematologis

atau elektrolit yang bermakna jarang dijumpai pada pasien dengan gejala

ringan sampai sedang yang belum diterapi, meskipun anemia ringan,

hiponatremia, hiperkalemia dan penurunan fungsi ginjal sering dijumpai

terutama pada pasien dengan terapi menggunakan diuretik dan/atau ACEI

(Angiotensin Converting Enzime Inhibitor), ARB (Angiotensin Receptor

Blocker), atau antagonis aldosterone.5,10

 Ekokardiografi

Istilah ekokardiograf digunakan untuk semua teknik pencitraan ultrasound

jantung termasuk pulsed and continuous wave Doppler, colour Doppler dan tissue

Doppler imaging (TDI). Ekokardiografi mempunyai peran penting dalam

mendiagnosis gagal jantung dengan fraksi ejeksi normal. Diagnosis harus

memenuhi tiga kriteria:5

a. Terdapat tanda dan/atau gejala gagal jantung

b. Fungsi sistolik ventrikel kiri normal atau hanya sedikit

terganggu (fraksi ejeksi > 45 - 50%)

c. Terdapat bukti disfungsi diastolik (relaksasi ventrikel kiri

abnormal / kekakuan diastolik).

31
2.1.6 PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan pada gagal jantung dibagi menjadi dua yaitu secara non

farmakologis dan farmakologis.12

 Terapi Non Farmakologis

 Ketaatan pasien berobat

Salah satu faktor yang dapat menurunkan morbiditas, mortalitas serta

meningkatkan kualitas hidup pasien adalah ketaatan dalam

pengobatan.Berdasarkan literatur, hanya 20-60% pasien yang taat pada

terapi farmakologi maupun non farmakologi.

 Pemantauan berat badan mandiri dan pengurangan berat badan

Pasien dengan gagal jantung harus memantau berat badan rutin setiap

hari.Jika terdapat kenaikan berat badan >2 kg dalam 3 hari, pasien harus

menaikkan dosis diuretik atas pertimbangan dokter. Pengurangan berat

badan terutama pada pasien dengan IMT >30 kg/m2 dianjurkan dengan

pertimbangan untuk mencegah terjadinya perburukan kondisi pada pasien,

mengurangi gejala serta dapat meningkatkan kualitas hidup pasien.

 Asupan cairan

Pada pasien dengan gejala sesak nafas berat yang disertai dengan

hiponatremi, dianjurkan dilakukan restriksi cairan sebanyak 1,5-2 liter/hari.

 Latihan fisik

Latihan fisik direkomendasikan kepada semua pasien gagal jantung kronik

stabil. Program latihan fisik memberikan efek yang sama baik dikerjakan

dirumah sakit atau di rumah.

32
 Penghentian rokok dan alkohol

Dikutip dari : ESC Guidelines for the Diagnosis and Treatment of Acute
and Chronic Heart Failure 2016.1

33
Dikutip dari : ESC Guidelines for the Diagnosis and Treatment of Acute and
Chronic Heart Failure 2016.1

 Terapi Farmakologi

Pemberian terapi farmakologi pada pasien gagal jantung dengan

penurunan fraksi ejeksi berdasarkan guideline ESC terdiri atas :

34
1. Angiotensin Converting Enzyme-Inhibitors (ACE-I) / Angiotensin
Receptor Blocker (ARB)

Pada semua pasien dengan gagal jantung yang tidak memiliki

kontraindikasi maupun intoleransi, harus diberikan ACE-I, terutama pada pasien

dengan ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %, dengan atau tanpa gejala. Efek ACE-I selain

menurunkan tekanan darah adalah memperbaiki fungsi ventrikel, meningkatkan

kualitas hidup dan mengurangi masa rawatan di rumah sakit akibat perburukan

gagal jantung.Kontraindikasi pemberian ACE-I adalah adanya riwayat

angioedema, stenosis renal bilateral, kadar kalium serum >5,0 mmol/L, kadar

kreatinin serum >2,5 mg/dL serta adanya stenosis aorta berat.12

Sebelum pemberian ACE-I sebaiknya dilakukan pemeriksaan fungsi ginjal

dan serum elektrolit, lalu periksa kembali 1-2 minggu setelah pemberian

terapi.Hal ini dilakuakn karena efek samping dari ACE-I adalah terjadi

perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia, hipotensi simptomatik, batuk dan

terkadang menimbulkan angioedema. Oleh sebab itu ACE-Ihanya diberikan pada

pasien dengan fungsi ginjal yang adekuat dan kadarkalium normal.12

Mekanisme kerja ACE-I ialah menghambat konversi angiotensin I menjadi

angiotensin II. ACE-I dengan mengurangi pembentukan angiotensin II akan

menghambat aktivitas angiotensin II di reseptor AT1 maupun AT2. Stimulasi AT1

akan menyebabkan vasokonstriksi, stimulasi dan pelepasan aldosterone, serta

peningkatan aktivitas simpatik dan hipertrofi miokard. Sedangkan reseptor AT 2

memperantarai stimulasi apoptosis dan antiproliferasi. Pengurangan hipertrofi

miokard dan penurunan preload jantung akan menghambat progresi remodelling

jantung.11 ACE-I juga bekerja sebagai kininase II yang menghambat degradasi

bradikinin di endotel vaskuler. Bradikinin bekerja pada reseptor BK 2dan

35
menghasilkan nitrat oksida (NO) dan prostasiklin (PGI 2) yang merupakan

vasodilator, antiagregasi trombosit dan antiproliferasi. ACE-I dapat menurunkan

tekanan darah dengan menurunkan resistensi pembuluh darah perifer namun tidak

mempengaruhi cardiac output dan denyut jantung.12

Terapi ARB memiliki mekanisme kerja yang sama dengan ACE-I namun

dengan efek samping yang berbeda. Pemberian ARB tidak menyebabkan efek

samping batuk. Kontraindikasi pemberian ARB sama seperti ACE-I, kecuali

angioedema.12

Tabel 5. Obat-obat golongan ACE-I

ACE-I

Captopril 6,25 (3 x/hari) 50 - 100 (3 x/hari)

Enalapril 2,5(2 x/hari) 10 - 20 (2 x/har)

Lisinopril 2,5 - 5 (1 x/hari) 20 - 40(1 x/hari)

Ramipril 2,5 (1 x/hari) 5 (2 x/hari)

Perindopril 2 (1 x/hari) 8 (1 x/hari)

Tabel 6. Obat-obat golongan ARB

ARB

Candesartan 4 / 8 (1 x/hari) 32 (1 x/hari)

Valsartan 40 (2 x/hari) 160 x/hari)

2. β-blocker

Penggunaan obat β-blockersama seperti penggunaan obat ACE-I, harus

diberikan pada semua pasien gagal jantung yang tidak memiliki kontraindikasi.

Indikasi pemberian obat ini adalah ejeksi fraksi ventrikel kiri ≤40%, terdapat

36
gejala ringan hingga berat (kelas fungsional II-IV NYHA), telah diberikan obat

ACE-I/ARB dan pasien stabil secara klinis.Kontraindikasipemberianβ-

blockeradalah pada pasien yang mengidap penyakit asma, pasien dengan AV

blockderajat 2 dan 3 dan pasien dengan sinus bradikardia (nadi <50

x/menit).Efeksampingyangdapattimbulakibatpemberian β-blockeradalah adanya

hipotensisimtomatik, perburukan gagal jantung serta bradikardia.12

β-blockerbekerja dengan menghambat efek samping dari aktivasi simpatis

pada pasien gagal jantung. Aktivasi simpatis akan mengaktifkan sistem renin-

angiotensin-aldosterone (RAA). Aktivitas sistem simpatis maupun sistem RAA

akan mengakibatkan hipertrofi miokard melalui efek vasokonstriksi perifer serta

retensi Na dan air oleh ginjal. Sedangkan vasokonstriksi koroner akan mengurangi

pasokan darah pada dinding ventrikel yang hipertrofi sehingga terjadi iskemia

miokard. Pemberian β-blocker pada gagal jantung sistolik akan mengurangi

kejadian iskemia miokard, mengurangi stimulasi sel-sel automatik jantung dan

efek antiaritmia lainnya, sehingga dapat mengurangi risiko terjadinya aritmia

jantung dan kematian mendadak.13

Selain itu β-blocker juga menghambat pelepasan renin sehingga

menghambat aktivasi sistem RAA, akibatnya akan terjadi penurunan hipertrofi

mokard, apoptosis dan fibrosis miokard serta remodelling miokard. Sehingga

progresifitas gagal jantung dan perburukan kondisi klinis juga akan terhambat.13

. Tabel 7. golongan β-blocker

β-blocker

Bisoprolol 1,25 (1 x/hari) 10 (1 x/hari)

Carvedilol 3,125 (2 x/hari) 25 - 50 (2 x/hari)

37
Metoprolol 12,5 / 25 (1 x/hari) 200 x/hari)

3. Antagonis Aldosteron (MR Antagonist)

Pada pasien gagal jantung, kadar plasma aldosterone meningkat akibat

aktivasi sistem RAA. Aldosteron menyebabkan retensi Na dan air serta ekskresi

K dan Mg, selain itu juga memacu remodelling dan disfungsi ventrikel melalui

peningkatan preload dan efek langsung yang menyebabkan fibrosis miokard dan

proliferasi fibroblast. Oleh karena itu pemberian antagonis aldosterone akan

mengurangi progresi remodelling jantung.13

Pemberian antagonis aldosterone direkomendasikan untuk ditambahkan

pada pasien gagal jantung NYHA kelas III-IV dengan fraksi ejeksi ≤ 35 % yang

sudah mendapatkan terapi ACE-I dan diuretik kuat (terbukti pada spironolakton).

Selain itu terapi ini dapat diberikan pada pasien gagal jantung setelah infark

miokard dengan fraksi ejeksi ≤ 40 % dan tanda-tanda gagal jantung atau diabetes

yang telah mendapatkan ACE-I dan β-blocker.13

Dosis awal pemberian obat untuk spironolakton ialah 12,5 mg dan

eplerenon 25 mg sehari. Dosis spironolakton dapat ditingkatkan menjadi

25 mg dan eplerenon 50 mg. Kontraindikasi pemberian antagonis aldosteron

pada pasien gagal jantung adalah konsentrasi serum kalium >5,0mmol/L,

hiperkalemia, hipersensitivitas, gangguan fungsi ginjal dan pemberian

bersamaan dengan diuretik hemat kalium.13

Tabel 8. Obat-obat golongan Antagonis Aldosteron

Antagonis Aldosteron

Eplerenon 25 (1 x/hari) 50 (1 x/hari)

38
12,5 (1 x/hari)

Spironolakton 1. 1 x/hari)

4. Hydralazine dan Isosorbide Dinitrate (H-ISDN)

Kombinasi H-ISDN pada pasien gagal jantung dapat digunakan sebagai

alternatif jika pasien memiliki intoleransi terhadap obat ACE-I dan ARB.Terapi

ini diindikasikan sebagai terapi pada pasien dengan gejala menetap walaupun

sudah diterapi dengan ACE-I, β-blocker dan ARB atau antagonis

aldosteron.Kontraindikasi pemberian H-ISDN adalah hipotensi simtomatik,

sindroma lupus dan gagal ginjal berat.5 Hydralazine merupakan vasodilator arteri,

sehingga dapat menurunkan afterload. Sedangkan Isosorbid Dinitrat merupakan

venodilator, sehingga dapat menurunkan preload jantung.12

5. Digoksin

Pada pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrial (dengan irama ventricular

saat istirahat >80 x/ menit atau saat aktivitas 110-120 x/menit, digoksin dapat

digunakan untuk memperlambat laju ventrikel yang cepat, walaupun obat-obatan

lain lebih diutamakan. Kontraindikasi pemberian digoksin terdapat pada pasien

dengan AV Block derajat 2 dan 3 (tanpa pacu jantung tetap), sindroma pre-eksitasi

dan riwayat intoleransi digoksin.5

Efek digoksin pada pengobatan gagal jantung ialah inotropic positif,

kronotropik negatif, (mengurangi frekuensi denyut ventrikel pada takikardia atau

fibrilasi atrium) dan mengurangi aktivasi saraf simpatis. Pada mekanisme

inotropic positif, digoksin akan menghambat pompa Na-K-ATPase pada membran

39
sel otot jantung yang akan mengakibatkan meningkatnya kadar Na di intrasel dan

meningkatnya kadar Ca di intrasel. Hal ini akan menyebabkan kontraktilitas sel

otot jantung meningkat.5

Pada mekanisme kronotropik negatif dan penurunan aktivasi saraf

simpatis, digoksin dapat meningkatkan tonus vagal dan mengurangi aktivitas

simpatis di nodus SA maupun AV pada kadar terapi 1-2 ng/mL, sehingga dapat

menimbulkan bradikardi sinus dan/atau perpanjangan konduksi AV. Efek inilah

yang mendasari pemberian digoksin pada pengobatan fibrilasi atrium.5

6. Diuretik

Pemberian diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung yang

disertai dengan overload cairan yang memiliki tanda klinis khas (edema tungkai)

atau gejala kongesti (ronkhi paru). Tujuan diberikannya diuretik adalah untuk

mencapai status euvolemia dengan dosis serendah mungkin yang diatur sesuai

dengan kebutuhan pasien, untuk menghindari dehidrasi atau resistensi. 1 Obat

golongan diuretik terdiri atas 3 jenis, yaitu :

 Diuretik kuat (loop diuretic)

Penggunaan diuretik ini bertujuan untuk mengurangi retensi air dan garam

sehingga mengurangi volume cairan ekstrasel, aliran balik vena dan preload. Hal

ini akan menyebabkan edema perifer dan kongesti paru berkurang/hilang,

sedangkan curah jantung tidak berkurang. Obat ini bekerja pada thick ascending

limb dari Ansa Henle. Salah satu contohnya adalah furosemide, dengan dosis awal

40 mg dan dosis dapat ditingkatkan sampai diperoleh diuresis yang cukup.

 Diuretik thiazide

40
Pemberian obat diuretik thiazide selalu dikombinasi dengan diuretik kuat,

terutama pada pasien yang refrakter terhadap diuretik kuat. Mekanisme kerja obat

ini ialah menghambat transpor Na-Cl di tubulus distal ginjal dan meningkatkan

ekskresi air, Na dan K. Salah satu contoh obat thiazide ialah hidrochlortazide

dengan dosis awal 25 mg.

 Diuretik hemat kalium

Mekanisme kerja diuretik hemat kalium sama seperti antagonis

aldosterone, yaitu mengurangi keluaran K dan Mg dan meningkatkan ekskresi Na

dan air yang bekerja pada tubulus kolektivus ginjal. Pada pengobatan gagal

jantung, obat ini digunakan jika hipokalemia menetap setelah awal terapi dengan

ACE-I dan diuretik.Diuretik hemat kalium terdiri dari spironolakton, amiloride

dan triamterene dengan dosis awal ialah 12,5 mg, 2,5 mg dan 25 mg.

Tabel 9. Obat-obat golongan Diuretik

Diuretik Loop

Furosemide 20–40 40–240

Bumetanide 0.5–1.0 1–5

Torasemide
5–10 10–20

Hidrochlortiazide 25 12.5–100

Metolazone 2.5 2.5–10

41
Spironolakton (+ACEI/ARB) 12.5-25 (+ACEI/ARB)50

(-ACEI/ARB)50 (-ACEI/ARB) 100-200

Dikutip dari ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and
chronicheart failure 2016

Pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi mid range dan preserved,

tujuan pemberian terapi adalah : (1) mengurangi kongesti sistemik dan pulmonal

serta (2) memperbaiki penyakit yang mendasari terjadinya disfungsi diastolik,

yaitu hipertensi, coronary artery disease. Pemberian diuretic dapat diberikan

untuk mengurangi kongesti pulmonal dan edema perifer, namun harus digunakan

dengan hati-hati agar tidak terjadi kurangnya pengisian ventrikel kiri.Kekakuan

ventrikel kiri tergantung pada tekanan yang lebih tinggi dari biasanya untuk dapat

mencapai pengisian diastolik yang adekuat dan diuresis berlebihan dapat

menurunkan pengisian sehingga memperbaiki stroke volume dan cardiac output.

Atrial Fibrilasi

A. Definisi

Atrial fibrilasi atau AF adalah suatu gangguan pada jantung (aritmia) yang
ditandai dengan ketidakteraturan irama denyut jantung dan peningkatan frekuensi
denyut jantung, yaitu sebesar 350-650 kali/menit. Pada dasarnya atrial fibrilas
merupakan takiartmia supraventrikel yang khas, dengan aktivasi atrium yang tidak
terkoordinasi mengakibatkan perburukan fungsi mekanis atrium. Pada
elektrokardiogram (EKG), ciri dari F adalah tidak adanya konsistensi gelombang
P, yang digantikan oleh geombang getar (fibrilasi) yang bervariasi amplitui,
bentuk dan durasinya.6

42
Ciri-ciri AF pada gambar EKG umumnya sebagai berikut:6

1. EKG permuakaan menunjukkan pola interval RR yang ireguler.


2. Tidak dijumpainya gelombang P yang jelas pada EKG permukaan.
Kadang-kadang dapat terlihat aktivitas atrium yang ireguler pada beberapa
sadapan EKG, paling sering ppada sadapan V1.
3. Interval antara dua gelombang aktivasi atrium tersebut biasanya bervariasi,
umumnya kecepatnnya melebihi 450x/menit.

B. Klasifikasi

Menurut AHA (American Heart Association), klasifikasi dari atrial


fibrilasi dibedakan menjadi 4 jenis:1,6

a. AF deteksi pertama
Semua pasien dengan AF selalu diawali dengan tahap AF deteksi pertama.
Tahap ini merupakan tahapan dimana belum pernah terdeteksi AF
sebelumnya dan baru pertama kali terdeteksi.
b. AF Paroksismal
AF yang berlangsung kurang dari 7 hari atau AF yang mempunyai episode
pertama kali kurang dari 48 jam dinamakan paroksismal AF. AF jenis ini
juga mempunyai kecendrungan untuk sembuh sendiri dalam waktu kurang
dari 24 jam tanpa bantuan kardioversi.
c. Persisten AF
AF yang sifatnya menetap dan berlangsung lebih dari 48 jam tetapi kurang
dari 7 hari. Berbeda dengan paroksismal AF, persisten AF perlu
penggunaan dari kardioversi untuk menngembalikan irama sinus kembali
normal.
d. Permanen AF
AF yang sifatnya menetap dan berlangsung lebih dari 7 hari. Pada AF
permanen, penggunaan kardioversi dinilai kurang berarti karena dinilai
cukup sulit untuk mengembalikan irama sinus.

43
Selain dari 5 kategori yang disebutkan diatas, yang terutama ditentukan
oleh awitan dan durasi episodenya, terdapat beberapa kategori AF
tambahan menurut ciri-ciri pasien:6
 AF sorangan (lone): AF tanpa disertai penyakit struktur
kardiovaskuler lainnya, termasuk hipertensi, penyakit paru terkait
atau abnormalitas anatomi jantung seperti pembesaran atrium kiri,
dan usia dibawah 60 tahun.
 AF non-valvular: AF yang tidak terkait dengan penyakit rematik
mitral, katup jantung protese atau operasi perbaikan katup mitral.
 AF sekunder: AF yang terjadi akibat kondisi primer yang menjadi
pemicu AF, seperti infark miokard akut, bedah jantung,
perikarditis, miokarditis, hipertiroidesme, emboli paru, pneuminia
atau penyakit paru lainnya. Sedangkan AF sekunder yang berkaitan
dengan penyakit katup disebut AF valvular.

Berdasarkan kecepatan laju respon ventrikel (interval RR) maka AF dapat


dibedakan menjadi:6

 AF dengan respon ventrikel cepat: Laju ventrikel >100x/menit


 AF dengan respon ventrikel normal: laju ventrikel 60-100x/menit
 AF dengan respon ventrikel lambat: laju ventrikel <60x/menit

C. Etiologi

AF berkaitan erat dengan berbagai keadaan kardiovaskuler uang


menimbulkan efek tambahan untuk terjadinya substrat aritmia. Tetapi AF juga
dapat terjadi pada jantung normal. Beberapa keadaan tersebut diantaranya:7

1. Usia. Bertambahnya usia meningkatkan faktor resiko AF karena


menyebabkan hilangnya dan isolasi sebagian miokard atrium serta
gangguan konduksi.
2. Hipertensi, merupakan faktor resiko insiden AF pertama dan resiko
komplikasi AF seperti stroke dan trombo-emboli sitemik.

44
3. Gagal jantung simptomatik (NYHA kelas II-IV), didapatkan pada 30%
pasien AF dan AF ditemukan pada 30%-40% pasien gagal jantung
bergantung pada penyebab dasar dan beratnya gagal jantung. Gagal
jantung dapat merupakan akibat dari AF, yaitu suatu takikardimiopati
atau dekompensasi pada awitan akut AF, tetapi dapat juga sebagai
penyebab dari AF karena peningkatan beban tekanan dan volume
atrium, disfungsi katup dan stimulasi neurohumoral.
4. Takikardiomiopati, harus dipikirkan bila terdapat disfungsi ventrikel
kiri pada pasien AF dengan respon ventrikel cepat, tetapi tanpa
kelainan jantung struktural. Hal ini akan terbukti bila terjadi perbaikan
fungsi ventrikel kiri setelah laju ventrikel terkontrol atau konversi ke
irama sinus.
5. Penyakit katup jantung, ditemukan pada sekitar 30% pasien AF.
Distensi atrium kiri pada mitral stenosis atau regurgitasi fase awal
sering menyebabkan timbulnya AF. AF juga dapat terjadi pada
stenosis katup aorta fase lanjut.
6. Kardiomiopati. Ditemukan pada 10% pasien AF
7. Defek septum atrium (atrial sepatal defect, ASD) berhubungan dengan
kejadian AF pada 10%-15% pasien. Hal ini penting diperhatikan
terkait dengan terapi antitrombotik pada pasien ASD dengan riwayat
stroke atau TIA (transient ischemic attack).
8. Penyakit jantung koroner (PJK), didapatkan pada lebih dari 20%
populasi AF. Dalam hal ini mekanisme terjadinya AF masih belum
jelas, kemungkinan karena iskemia atrium
9. Disfungsi tiroid, dapat merupakan penyebab tunggal dan dapat juga
menjadi predisposisi komplikasi AF. Bahkan disfungsi tiroid subklinis
sekalipun mempunyai konstribusi terhadapt kejadian AF
10. Obesitas, ditemukan pada 25% pasien AF
11. Diabetes melitus yang membutuhkan terapi didapatkan pada 20%
pasien AF
12. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) ditemukan pada 10-15%
pasien AF, tetapi PPOK bukan merupakan marka spesifik kejadian AF.

45
13. Sleep Apnoe, terutama bila disertai hipertesi, diabetes melitus dan
penyakit jantung struktural dapat menjadi faktor resiko AF karena
peningkatan tekanan dan dimensi atrium, serta perubahan otonom.
14. Penyakit ginjal kronik ditemukan pada 10-15% pasien AF

D. Patofisiologi

Mekanisme AF terdiri dari 2 proses, yaitu proses aktivasi lokal dan


multiple wavelet reentry. Proses aktivasi lokal bisa melibatkan proses depolarisasi
tunggal atau depolarisasi berulang. Pada proses aktivasi lokal, fokus ektopik yang
dominan adalah dari vena pulmonalis superior. Selain itu, fokus ektopik bisa juga
berasal dari atrium kanan, vena cava superior dan sinus coronarius. Selain itu,
fokus ektopik ini menimbulkan sinyal elektrik yang mempengaruhi potensial aksi
pada atrium dan mengganggu potensial aksi yang dicetuskan oleh nodus SA.6

Sedangkan multiple wavelet reentry, merupakan proses potensial aksi yang


berulang dan melibatkan sirkuit/jalur depolarisasi. Mekanisme multiple wavelet
reentry tidak tergantung pada adanya fokus ektopik seperti pada proses aktivasi
lokal, tetapi lebih tergantung pada sedikit banyaknya sinyal elektrik yang
mempengaruhi depolarisasi. Pada multiple wavelet reentry, sinyal elektrik
dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu: periode refactory, besarnya ruang atrium dan
kecepatan konduksi. Hal ini bisa dianalogikan, bahwa pada pembesaran atrium
biasanya akan disertai dengan pemendekan periode refactory dan penurunan
kecepatan konduksi. Ketiga faktor tersebutlah yang akan meningkatkan sinyal
elektrik dan menimbulkan peningkatan depolarisasi seleah mencetuskan
terjadinya AF.6

46
E. Diagnosis
1. Anamnesis

Manifestasi klinis AF sangat bervariasi, mulai dari asimtomatik


hingga syok kardiogenik atau kejadian serebrovaskular berat. Hampir
>50% episode FA tidak menyebabkan gejala (silent atrial fibrillation).
Beberapa gejala ringan yang mungkin dikeluhkan pasien antara lain:6

 Palpitasi. Umumnya diekspresikan oleh pasien sebagai: pukulan


genderang, gemuruh guntur, atau kecipak ikan di dalam dada.
 Mudah lelah atau toleransi rendah terhadap aktivitas fisik
 Presinkop atau sinkop
 Kelemahan umum, pusing
 Selain itu, FA juga dapat menyebabkan gangguan hemodinamik,
kardiomiopati yang diinduksi oleh takikardia, dan tromboembolisme
sistemik. Penilaian awal dari pasien dengan FA yang baru pertama kali
terdiagnosis harus berfokus pada stabilitas hemodinamik dari pasien.

Selain mencari gejala-gejala tersebut diatas, anamnesis dari setiap


pasien yang dicurigai mengalami FA harus meliputi pertanyaan-
pertanyaan yang relevan, seperti:6

 Penilaian klasifikasi FA berdasarkan waktu presentasi, durasi, dan


frekuensi gejala.
 Penilaian faktor-faktor presipitasi (misalnya aktivitas, tidur, alkohol).
 Peran kafein sebagai faktor pemicu masih kontradiktif.
 Penilaian cara terminasi (misalnya manuver vagal).
 Riwayat penggunaan obat antiaritmia dan kendali laju sebelumnya.
 Penilaian adakah penyakit jantung struktural yang mendasarinya.
 Riwayat prosedur ablasi FA secara pembedahan (operasi Maze) atau
perkutan (dengan kateter).
 Evaluasi penyakit-penyakit komorbiditas yang memiliki potensi untuk
berkontribusi terhadap inisiasi FA (misalnya hipertensi, penyakit jantung

47
koroner, diabetes melitus, hipertiroid, penyakit jantung valvular, dan
PPOK).

Daftar Pertanyaan
Apakah irama jantung saat episode serangan terasa teratur atau tidak
teratur?
Apakah terdapat faktor pencetus seperti aktivitas fisik, emosi atau
asupan alkohol ?
Apakah gejala selama episode terasa sedang atau berat – derajat
keparahan dapat diekspresikan dengan menggunakan skor EHRA
Apakah episode yang dirasakan sering atau jarang, dan apakah singkat
atau cukup lama ?
Apakah terdapat riwayat penyakit penyerta seperti: hipertensi, penyakit
jantung koroner, gagal jantung, penyakit vaskular perifer, penyakit
serebrovaskular, stroke, diabetes atau penyakit paru kronik ?
Apakah ada riwayat penyalahgunaan alkohol ?
Apakah ada riwayat keluarga dengan FA ?
Tabel 1. Pertanyaan yang relevan untuk ditanyakan pada pasien yang
dicurigai atau diketahui

2. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik selalu dimulai dengan pemeriksaan jalan nafas


(Airway), pernafasan (Breathing) dan sirkulasi (Circulation) dan tanda-
tanda vital, untuk mengarahkan tindak lanjut terhadap FA. Pemeriksaan
fisis juga dapat memberikan informasi tentang dasar penyebab dan gejala
sisa dari FA.6

 Tanda Vital

Pengukuran laju nadi, tekanan darah, kecepatan nafas dan saturasi


oksigen sangat penting dalam evaluasi stabilitas hemodinamik dan
kendali laju yang adekuat pada FA. Pada pemeriksaan fisis, denyut nadi
umumnya ireguler dan cepat, sekitar 110-140x/menit, tetapi jarang

48
melebihi 160-170x/menit. Pasien dengan hipotermia atau dengan
toksisitas obat jantung (digitalis) dapat mengalami bradikadia.6

 Kepala dan Leher

Pemeriksaan kepala dan leher dapat menunjukkan eksoftalmus,


pembesaran tiroid, peningkatan tekanan vena jugular atau sianosis.
Bruit pada arteri karotis mengindikasikan penyakit arteri perifer dan
kemungkinan adanya komorbiditas penyakit jantung koroner.6

 Paru

Pemeriksaan paru dapat mengungkap tanda-tanda gagal jantung


(misalnya ronki, efusi pleura). Mengi atau pemanjangan ekspirasi
mengindikasikan adanya penyakit paru kronik yang mungkin mendasari
terjadinya FA (misalnya PPOK, asma).6

 Jantung

Pemeriksaan jantung sangat penting dalam pemeriksaan fisis pada


pasien FA. Palpasi dan auskultasi yang menyeluruh sangat penting
untuk mengevaluasi penyakit jantung katup atau kardiomiopati.
Pergeseran dari punctum maximum atau adanya bunyi jantung
tambahan (S3) mengindikasikan pembesaran ventrikel dan peningkatan
tekanan ventrikel kiri. Bunyi II (P2) yang mengeras dapat menandakan
adanya hipertensi pulmonal.6

Pulsus defisit, dimana terdapat selisih jumlah nadi yang teraba dengan
auskultasi laju jantung dapat ditemukan pada pasien FA.6

 Abdomen

Adanya asites, hepatomegali atau kapsul hepar yang teraba


mengencang dapat mengindikasikan gagal jantung kanan atau penyakit
hati intrinsik. Nyeri kuadran kiri atas, mungkin disebabkan infark limpa
akibat embolisasi perifer.6

49
 Ekstremitas bawah

Pada pemeriksaan ekstremitas bawah dapat ditemukan sianosis, jari


tabuh atau edema. Ekstremitas yang dingin dan tanpa nadi mungkin
mengindikasikan embolisasi perifer. Melemahnya nadi perifer dapat
mengindikasikan penyakit arterial perifer atau curah jantung yang
menurun.6

 Neurologis

Tanda-tanda Transient Ischemic Attack (TIA) atau kejadian


serebrovaskular terkadang dapat ditemukan pada pasien FA.
Peningkatan refleks dapat ditemukan pada hipertiroidisme.6

3. Pemeriksaan Laboratorium6

Pemeriksaan laboratorium ditujukan untuk mencari gangguan/ penyakit


yang tersembunyi, terutama apabila laju ventrikel sulit dikontrol. Satu studi
menunjukkan bahwa elevasi ringan troponin I saat masuk rumah sakit terkait
dengan mortalitas dan kejadian kardiak yang lebih tinggi, dan mungkin
berguna untuk stratifikasi risiko.

Pemeriksaan laboratorium yang dapat diperiksa antara lain:

 Darah lengkap (anemia, infeksi)


 Elektrolit, ureum, kreatinin serum (gangguan elektrolit atau gagal
ginjal)
 Enzim jantung seperti CKMB dan atau troponin (infark miokard
sebagai pencetus FA)
 Peptida natriuretik (BNP, N-terminal pro-BNP dan ANP) memiliki
asosiasi dengan FA. Level plasma dari peptida natriuretik tersebut
meningkat pada pasien dengan FA paroksismal maupun persisten,
dan menurun kembali dengan cepat setelah restorasi irama sinus.
 D-dimer (bila pasien memiliki risiko emboli paru)
 Fungsi tiroid (tirotoksikosis)

50
 Kadar digoksin (evaluasi level subterapeutik dan/atau toksisitas)
 Uji toksikologi atau level etanol

4. Elektrokardiogram (EKG)6

Temuan EKG biasanya dapat mengkonfirmasi diagnosis FA dan biasanya


mencakup laju ventrikel bersifat ireguler dan tidak terdapat gelombang P
yang jelas, digantikan oleh gelombang F yang ireguler dan acak, diikuti oleh
kompleks QRS yang ireguler pula.

Manifestasi EKG lainnya yang dapat menyertai FA antara lain:

 Laju jantung umumnya berkisar 110-140x/menit, tetapi jarang melebihi


160-170x/menit.
 Dapat ditemukan denyut dengan konduksi aberan (QRS lebar) setelah
siklus interval R-R panjang-pendek (fenomena Ashman)
 Preeksitasi
 Hipertrofi ventrikel kiri
 Blok berkas cabang
 Tanda infark akut/lama

Elektrokardiogram juga diperlukan untuk memonitor interval QT dan QRS


dari pasien yang mendapatkan terapi antiaritmia untuk FA.

5. Foto toraks6

Pemeriksaan foto toraks biasanya normal, tetapi kadangkadang dapat


ditemukan bukti gagal jantung atau tanda-tanda patologi parenkim atau
vaskular paru (misalnya emboli paru, pneumonia).

6. Uji latih atau uji berjalan enam-menit6

Uji latih atau uji berjalan enam-menit dapat membantu menilai apakah strategi
kendali laju sudah adekuat atau belum (target nadi <110x/menit setelah
berjalan 6-menit). Uji latih dapat menyingkirkan iskemia sebelum

51
memberikan obat antiaritmia kelas 1C dan dapat digunakan juga untuk
mereproduksi FA yang dicetuskan oleh aktivitas fisik.

7. Ekokardiografi6

Ekokardiografi transtorakal memiliki sensitivitas yang rendah dalam


mendeteksi trombus di atrium kiri, dan ekokardiografi transesofageal adalah
modalitas terpilih untuk tujuan ini.

Ekokardiografi transtorakal (ETT) terutama bermanfaat untuk :

 Evaluasi penyakit jantung katup


 Evaluasi ukuran atrium, ventrikel dan dimensi dinding
 Estimasi fungsi ventrikel dan evaluasi trombus ventrikel
 Estimasi tekanan sistolik paru (hipertensi pulmonal)
 Evaluasi penyakit perikardial Ekokardiografi transesofageal (ETE)
terutama bermanfaat untuk :
- Trombus atrium kiri (terutama di AAK)
- Memandu kardioversi (bila terlihat trombus, kardioversi harus
ditunda)
8. Computed tomography (CT) scan dan magnetic resonance imaging
(MRI)6

Pada pasien dengan hasil D-dimer positif, CT angiografi mungkin


diperlukan untuk menyingkirkan emboli paru. Teknologi 3 dimensi seperti CT
scan atau MRI seringkali berguna untuk mengevaluasi anatomi atrium bila
direncanakan ablasi FA. Data pencitraan dapat diproses untuk menciptakan
peta anatomis dari atrium kiri dan VP.

F. Penatalaksanaan

Sasaran utama pada penatalaksanaan AF adalah mengontrol


ketidakteraturan irama jantung, menurunkan peningkatan denyut jantung dan
menghindari/mencegah adanya komplikasi tromboembolisme. Kardioversi

52
merupakan salah satu penatalaksanaan yang dapat dilakukan untuk AF. Menurut
pengertiannya, kardioversi sendiri adalah suatu tata laksana yang berfungsi untuk
mengontol ketidakteraturan irama dan menurunkan denyut jantung. Pada dasarnya
kardioversi dibagi menjadi 2, yaitu pengobatan farmakologi (pharmacological
Cardioversion) dan pengobatan elektrik (Electrical Cardioversion)3,4,6..

a) Mencegah pembekuan darah


Pencegahan pembekuan darah merupakan pengibatan untuk
mencegah adanya komplikasi dari AF. Pengobatan yang digunakan adalah
jenis antikoagulan atau antitrombosis, hal ini dikarenakan ibat ini
berfungsi mengurangi resiko dari terbentuknya trombus dalam pembuluh
darah serta cabang-cabang vaskularisasi. Pengobatan yang sering dipakai
untuk mencegah pembekuan darah terdiri dari berbagai macam,
diantaranya adalah:
1. Warfarin
Warfarin termasuk golongan obat antikoagulan yang berfungsi
dalam proses pembentukan sumbatan fibrin untuk mengurangi
atau mencegah koagulasi. Warfarin diberikan secara oral dan
sangat cepat diserap hingga mencapai puncak kosentrasi plasma
dalam waktu ± 1 jam dengan bioavabilitas 100%
2. Aspirin
Aspirin secara irreversible menonaktifkan siklo-oksigenase dari
trombosit (COX2) dengan cara asetilasi dari asam amino serin
terminal. Efek dari COX2 ini adalah menghambat produksi
endoperoksida dan tromboksan (TXA2) di dalam trombosit. Hal
inilah yang menyebabkan tidak terbentuknya agregrasi dari
trombosit.
b) Mengurangi denyut jantung
Terdapat 3 jenis obat yang dapat digunakan untuk menurunkan
peningkatan dengyut jantung, yaitu obat digitalis, β-bloker dan antagonis
kalsium. Obat-obat tersebut bisa digunakan secara individual ataupun
kombinasi.
1. Digitalis

53
Obat ini digunakan untuk meningkatkan kontraktilitas jantung
dan menurunkan denyut jantung. Hal ini membuat kinerja
jantung menjadi lebih efisien. Disamping itu, digitalis juga
memperlambat sinyal elektrik yang abnormal dari atrium ke
ventrikel. Hal ini mengakibatkan peningkatan pengisian ventrikel
dari kontraksi atrium yang abnormal.

2. β-bloker
Obat β-bloker merupakan obat yang menghambat efek sistem
saraf simpatis. Saraf simpatis pada jantung bekerja untuk
meningkatkan denyut jantung dan kontraktilitas jantung. Efek
ini akan berakibat dalam efisiensi kerja jantung.
3. Antagonis kalsium
Obat antagonis kalsium menyebabkan penurunan kontraktilitas
jantung akibat dihambatnya ion Ca2+ dari ekstraseluler ke dalam
intraseluler melewati Ca2+ channel yang terdapat pada membran
sel.

c) Mengembalikan irama jantung

Kardioversi merupakan salah satu penatalaksanaan yang dapat


dilakukan untuk menteraturkan irama jantung. Menurut pengertiannya,
kardioversi sendiri adalah suatu tatalaksana yang berfungsi untuk
mengintrol ketidakteraturan irama dan menurunkan denyut jantung. Pada
dasarnya kardioversi dibagi menjadi 2, yaitu pengobatan pengobatan
farmakologi (Pharmacological Cardioversion) dan pengobatan elektrik
(Electrical Cardioversion).

1. Pharmacological Cardioversion (anti aritmia)


Amiodarone,Dofetilide, Flecainide, Propaferone, Quinidine
2. Electrical Cardioversion
Suatu teknik memberikan arus listrik ke jantung melalui
dua pelat logam (bantalan) ditempatkan pada dada. Fungsi

54
dari terapi listrik ini adalah mengembalikan orama jantung
kembali normal atau sesuai dengan nodus sinus rhythm.

DAFTAR PUSTAKA

1. McMurray JJ, Adamopoulos S, Anker SD, Auricchio A, Bohm M, Dickstein


K, et all. ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic
heart failure 2016. European Heart Jurnal. 2016.

2. Dumitru I, et al. Heart Failure. WebMD. 2015.

3. Kementrian kesehatan Republik Indonesia. Lingkungan sehat, Jantung sehat.


Oct 7,2014.

4. Laksono S. Patofisiologi payah jantung kronik. Cermin Dunia Kedokteran.


Edisi 169 vol 36. Jakarta: 2009.

5. PERKI. Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung. 1st ed. Perhimpunan Dokter


Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Centra Communications; 2015.

6. Panggabean MM. Gagal Jantung. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid III Edisi IV. Pusat Penerbitan IPD FKUI : Jakarta. 2006. 1513-11.

7. Yancy CW, Jessup M, Bozkurt B, Butler J, Casey DE, Drazner MH, Fonarow
GC, et all. ACCF/AHA Guideline for the Management of Heart Failure.
American College of Cardiology Foundation and American Heart
Association. 2013

8. Kumar, P., Clark, M.. Cardiovascular disease. In : Clinical Medicine Ed


7th;2009
9. King M, Kingery J,Casey. Diagnosis and evaluation heart failure. In:
American family physician. 2012 jun 15(85):12 p 1161-1168

10. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Edisi ke-5. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam;
2009.

11. Siswanto B, Hersunati N, Erwinanto, Praktikto R, et al. Pedoman tatalaksana


gagal jantung 1st Ed. PERKI. Jakarta: 2015.

55
12. Bickley LS dan Szilagyi PG. BATES Buku Ajar Pemeriksaan Fisik &
Riwayat Kesehatan. Edisi 8. Jakarta: EGC. 2009.

13. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas


Indonesia. Farmakologi dan Terapi. 5th Ed. Universitas Indonesia.
Jakarta:2011.

14. Kurniati ID dkk. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Semarang. Semarang: 2017

15. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit..alih
bahasa Pendit BU, et. al. editor edisi bahasa Indonesia, Hartanto H. Ed 6. Vol
1. Jakarta. EGC; 2004

16. PERKI. Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. 3rd ed. Perhimpunan
Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Centra Communications; 2015

17. Seong AC, Chb MB, John CKM, Cth F. A Review of Coronary Artery
Disease Research in Malaysia. Med J Malaysia. 2016;71(June):42–57.

18. Majid A. Penyakit Jantung Koroner: Patofisiologi, Pencegahan dan


Pengobatan Terkini. Medan: Universitas Sumatera Utara; 2012.

19. Riskesdas. Laporan Nasional. Penyakit Jantung Penyebab Kematian Tertinggi,


Kemenkes Ingatkan Cerdik. 2013. Diakses dari: www.depkes.go.id

20. Friberg J, Buch P, Scharling H, Gadsbphioll N, Jensen GB. “Relationship


betwen Left Atrial Appendage Function and Left Atrial Thrombus in Patients
with Nonvalvular Chronic Atrial Fibrilation and Atrial Flutter.” Circulation
Journal 67. 2003

21. Wyndham CRC. Atrial Fubrilation: The Most Common Arrhytmia. Texas
Heart Institute Journal 27. 2000. 257-67

22. American Heart Association. “Atrial Fibrillation (for Professionals)”. 2009

23. Fuster V, Ryden Le, Cannom DS, et al. ACC/AHA/ESC 2006 guidelines for
Cardiology/ American Heart Association Task Force on Practice Guidelines
and the Eurpean Society of Cardiology Committe for Practice Guideliness.
2006.

24. Kirchhof P, Stefano B, Kotecha D, Atar D, et al. 2016 ESC Guidelines for the
management of atrial fibrillation developedin collaboration with EACTS.
ESC 2016.

25. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia. Pedoman


Tatalaksana Fibrilasi Atrium. 2014.

56
26. Rilantono LI. Penyakit Kardiovaskuler (PKV). FKUI. 2012.

57

Anda mungkin juga menyukai