Anda di halaman 1dari 46

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Kematian adalah suatu proses yang dapat dikenal secara klinis pada seseorang melalui
pengamatan terhadap perubahan yang terjadi pada tubuh mayat. Perubahan itu akan tejadi
dengan mulai terhentinya suplai oksigen. Manifestasinya akan dapat dilihat setelah beberapa
menit atau beberapa jam. Dalam kasus tertentu, salah satu kewajiban dokter adalah
membantu penyidik menegakan keadilan. Untuk itu dokter sedapat mungkin membantu
menentukan beberapa hal seperti saat kematian dan penyebab kematian.
Saat kematian seseorang belum dapat ditunjukan secara tepat karena tanda-tanda dan
gejala setelah kematian sangat bervariasi karena dipengaruhi oleh beberapa hal diantarannya
umur, kondisi fisik pasien, penyakit fisik sebelumnya maupun penyebab kematian itu sendiri.
Salah satu penyebab kematian adalah terjadinya gangguan pertukaran udara
pernafasan yang mengakibatkan suplai oksigen berkurang. Hal ini sering dikenal dengan
istilah asfiksia, Korban kematian akibat asfiksia termasuk yang sering diperiksa oleh dokter,
hal tersebut menempati urutan ketiga setelah kecelakaan lalu lintas dan traumatik mekanik.
Pada berbagai kasus asfiksia, ditemukan tanda-tanda kematian yang berbeda. Hal ini
sangat tergantung dari penyebab kematian. Untuk itu kita perlu memahami lebih lanjut
tentang penyebab asfiksia tersebut.

2. Rumusan Masalah
a. Apa pengertian Asfiksia?
b. Apa saja yang termasuk jenis-jenis asfiksia beserta mekanisme terjadinya asfiksia?
c. Bagaimana gambaran post mortem pada Asfiksia?

3. Tujuan
Tujuan penulisan referat ini adalah:
a. Sebagai persyaratan mengikuti ujian akhir stase Forensik dan medikolegal di
RSUP Dr. Kariadi Semarang.
b. Menjelaskan pengertian asfiksia, jenis-jenis asfiksia serta memahami gambaran
post mortem pada berbagai kasus asfiksia.

4. Manfaat
Penulisan referat ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan wawasan kepada
mahasiswa/mahasiswi yang sedang menjalani stase forensik dan medikolegal mengenai
asfiksia yang meliputi: pengertian asfiksia, jenis-jenis asfiksia serta gambaran post mortem
pada berbagai kasus asfiksia.

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Referat yang berjudul
Asfiksia. Tugas ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam mengikuti program
Profesi Kedokteran di bagian Forensik RSUP Dokter Kariadi Semarang. Pada penulisan dan
penyusunan referat ini, penulis banyak dibantu oleh berbagai pihak secara langsung maupun
tidak langsung, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. dr. I. Bambang Prameng N, Sp.F selaku dosen penguji

2. dr. Ainurrofiq selaku residen pembimbing

Penulis sadar bahwa dalam tugas ini masih terdapat banyak kekurangan, untuk itu penulis
menghimbau agar para pembaca dapat memberikan saran dan kritik yang membangun dalam
perbaikan referat ini.

Penulis berharap agar referat ini dapat bermanfaat dan memberikan sumbangan ilmu
pengetahuan bagi pihak yang memerlukan khususnya bagi Penulis sendiri.

Januari 2012
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. ASFIKSIA
A. Pengertian
Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan pertukaran
udara pernapasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang (hipoksia) disertai dengan
peningkatan karbondioksida (hiperkapneu). Dengan demikian organ tubuh mengalami
kekurangan oksigen (hipoksia hipoksik) dan terjadi kematian. Secara klinis keadaan asfiksia
sering disebut anoksia atau hipoksia.
Target organ dari asfiksia adalah otak dan didalam otak sel targetnya adalah neuron yang
memperlihatkan kerentanan yang berbeda terhadap defisiensi oksigen. Kerentanan
bergantung pada pembuluh darah dan jenis neuron yang berbeda.

B. Etiologi Asfiksia
Dari segi etiologi, asfiksia dapat disebabkan oleh hal berikut:
a. Penyebab alamiah, misalnya penyakit yang menyumbat saluran pernapasan seperti
laringitis difteri atau menimbulkan gangguan pergerakan paru seperti fibrosis paru.
b. Trauma mekanik yang menyebabkan asfiksia mekanik, misalnya trauma yang
mengakibatkan emboli udara vena, emboli lemak, pneumotoraks bilateral; sumbatan atau
halangan pada saluran napas, penekanan leher atau dada, dan sebagainya.
c. Keracunan bahan kimiawi yang menimbulkan depresi pusat pernapasan, misalnya
karbon monoksida (CO) dan sianida (CN) yang bekerja pada tingkat molekuler dan
seluler dengan menghalangi penghantaran oksigen ke jaringan.

C. Fisiologi Asfiksia
Secara fisiologi dapat dibedakan 4 bentuk anoksia, yaitu:
1. Anoksia Anoksik (Anoxic anoxia)
Pada tipe ini O2 tidak dapat masuk ke dalam paru-paru karena:
- Tidak ada atau tidak cukup O2. Bernafas dalam ruangan tertutup, kepala di tutupi
kantong plastik, udara yang kotor atau busuk, udara lembab, bernafas dalam selokan
tetutup atau di pegunungan yang tinggi. Ini di kenal dengan asfiksia murni atau
sufokasi.
- Hambatan mekanik dari luar maupun dari dalam jalan nafas seperti pembekapan,
gantung diri, penjeratan, pencekikan, pemitingan atau korpus alienum dalam
tenggorokan. Ini di kenal dengan asfiksia mekanik.
2. Anoksia Anemia (Anemia anoxia)
Di mana tidak cukup hemoglobin untuk membawa oksigen. Ini didapati pada
anemia berat dan perdarahan yang tiba-tiba. Keadaan ini diibaratkan dengan sedikitnya
kendaraan yang membawa bahan bakar ke pabrik.
3. Anoksia Hambatan (Stagnant anoxia)
Tidak lancarnya sirkulasi darah yang membawa oksigen. Ini bisa karena gagal
jantung, syok dan sebagainya. Dalam keadaan ini tekanan oksigen cukup tinggi, tetapi
sirkulasi darah tidak lancar. Keadaan ini diibaratkan lalu lintas macet tersendat jalannya.
4. Anoksia Jaringan (Hystotoxic anoxia)
Gangguan terjadi di dalam jaringan sendiri, sehingga jaringan atau tubuh tidak
dapat menggunakan oksigen secara efektif. Tipe ini dibedakan atas:
- Ekstraseluler
Anoksia yang terjadi karena gangguan di luar sel. Pada keracunan Sianida
terjadi perusakan pada enzim sitokrom oksidase, yang dapat menyebabkan
kematian segera. Pada keracunan Barbiturat dan hipnotik lainnya, sitokrom
dihambat secara parsial sehingga kematian berlangsung perlahan.
- Intraselular
Di sini oksigen tidak dapat memasuki sel-sel tubuh karena penurunan
permeabilitas membran sel, misalnya pada keracunan zat anastetik yang larut
dalam lemak seperti kloform, eter dan sebagainya.
- Metabolik
Di sini asfiksia terjadi karena hasil metabolik yang mengganggu pemakaian O 2
oleh jaringan seperti pada keadaan uremia.

D. Jenis-jenis Asfiksia
Adapun beberapa jenis kejadian yang dapat digolongkan sebagai asfiksia, yaitu:
1. Strangulasi
a. Gantung (Hanging)
b. Penjeratan (Strangulation by Ligature)
c. Pencekikan (Manual Strangulation)
2. Sufokasi
3. Pembengkapan (Smothering)
4. Tenggelam (Drowning)
5. Crush Asphyxia
6. Keracunan CO dan SN

E. Patofisiologi Asfiksia
Dari pandangan patologi, kematian akibat asfiksia dapat dibagi dalam 2 golongan, yaitu:
1. Primer (akibat langsung dari asfiksia)
Kekurangan oksigen ditemukan di seluruh tubuh, tidak tergantung pada tipe
dari asfiksia. Sel-sel otak sangat sensitif terhadap kekurangan oksigen. Bagian-bagian
otak tertentu membutuhkan lebih banyak oksigen, dengan demikian bagian tersebut
lebih rentan terhadap kekurangan oksigen. Perubahan yang karakteristik terlihat pada
sel-sel serebrum, serebellum, dan basal ganglia.
Di sini sel-sel otak yang mati akan digantikan oleh jaringan glial, sedangkan
pada organ tubuh yang lain yakni jantung, paru-paru, hati, ginjal dan yang lainnya
perubahan akibat kekurangan oksigen langsung atau primer tidak jelas.
2. Sekunder (berhubungan dengan penyebab dan usaha kompensasi dari tubuh)
Jantung berusaha mengkompensasi keadaan tekanan oksigen yang rendah
dengan mempertinggi outputnya, akibatnya tekanan arteri dan vena meninggi. Karena
oksigen dalam darah berkurang terus dan tidak cukup untuk kerja jantung, maka
terjadi gagal jantung dan kematian berlangsung dengan cepat. Keadaan ini didapati
pada:
Penutupan mulut dan hidung (pembekapan).
Obstruksi jalan napas seperti pada mati gantung, penjeratan, pencekikan dan
korpus alienum dalam saluran napas atau pada tenggelam karena cairan
menghalangi udara masuk ke paru-paru.
Gangguan gerakan pernafasan karena terhimpit atau berdesakan (Traumatic
asphyxia).
Penghentian primer dari pernafasan akibat kegagalan pada pusat pernafasan,
misalnya pada luka listrik dan beberapa bentuk keracunan.

F.

Gejala Klinis
Pada orang yang mengalami asfiksia akan timbul 4 (empat) Fase gejala klinis, yaitu:
1. Fase Dispnea
Terjadi karena kekurangan O2 disertai meningkatnya kadar CO2 dalam plasma
akan merangsang pusat pernafasan di medulla oblongata, sehingga gerakan
pernafasan (inspirasi dan ekspirasi) yang ditandai dengan meningkatnya amplitude
dan frekuensi pernapasan disertai bekerjanya otot-otot pernafasan tambahan. Wajah
cemas, bibir mulai kebiruan, mata menonjol, denyut nadi, tekanan darah meningkat
dan mulai tampak tanda-tanda sianosis terutama pada muka dan tangan. Bila keadaan
ini berlanjut, maka masuk ke fase kejang.
2. Fase Kejang
Akibat kadar CO2 yang naik maka akan timbul rangsangan susunan saraf pusat
sehingga terjadi kejang (konvulsi), yang mula-mula berupa kejang klonik tetapi
kemudian menjadi kejang tonik dan akhirnya timbul spasme opistotonik. Pupil
mengalami dilatasi, denyut jantung menurun, dan tekanan darah perlahan akan ikut
menurun. Efek ini berkaitan dengan paralisis pusat yang lebih tinggi dalam otak,
akibat kekurangan O2 dan penderita akan mengalami kejang.
3. Fase Apnea
Korban kehabisan nafas karena depresi pusat pernafasan, otot pernapasan
menjadi lemah, kesadaran menurun, tekanan darah semakin menurun, pernafasan
dangkal dan semakin memanjang, akhirnya berhenti bersamaan dengan lumpuhnya
pusat-pusat kehidupan. Walaupun nafas telah berhenti dan denyut nadi hampir tidak
teraba, pada fase ini bisa dijumpai jantung masih berdenyut beberapa saat lagi. Dan
terjadi relaksasi sfingter yang dapat terjadi pengeluaran cairan sperma, urin dan tinja
secara mendadak.
4. Fase Akhir
Terjadi paralisis pusat pernapasan yang lengkap. Pernapasan berhenti setelah
berkontraksi otomatis otot pernapasan kecil pada leher. Jantung masih berdenyut
beberapa saat setelah pernapasan terhenti. Masa dari saat asfiksia timbul sampai
terjadinya kematian sangat bervariasi.
Masa dari saat asfiksia timbul sampai terjadinya kematian sangat bervariasi.
Umumnya berkisar antara 4-5 menit. Fase 1 dan 2 berlangsun g lebih kurang 3-4 menit,
tergantung dari tingkat penghalangan oksigen, bila tidak 100% maka waktu kematian
akan lebih lama dan tanda-tanda asfiksia akan lebih jelas dan lengkap.

G. Tanda Kardinal (Klasik) Asfiksia


Selama beberapa tahun dilakukan autopsi untuk mendiagnosis kematian akibat
asfiksia, telah ditetapkan beberapa tanda klasik, yaitu:
1. Tardieus spot (Petechial hemorrages)
Tardieus spot terjadi karena peningkatan tekanan vena secara akut yang
menyebabkan overdistensi dan rupturnya dinding perifer vena, terutama pada jaringan
longgar, seperti kelopak mata, dibawah kulit dahi, kulit dibagian belakang telinga,
circumoral skin, konjungtiva dan sklera mata. Selain itu juga bisa terdapat
dipermukaan jantung, paru dan otak. Bisa juga terdapat pada lapisan viseral dari
pleura, perikardium, peritoneum, timus, mukosa laring dan faring, jarang pada
mesentrium dan intestinum.

Tardieus spot
Bintik perdarahan pada jantung
2. Kongesti dan Oedema
Ini merupakan tanda yang lebih tidak spesifik dibandingkan dengan ptekie.
Kongesti adalah terbendungnya pembuluh darah, sehingga terjadi akumulasi darah
dalam organ yang diakibatkan adanya gangguan sirkulasi pada pembuluh darah. Pada
kondisi vena yang terbendung, terjadi peningkatan tekanan hidrostatik intravaskular
(tekanan yang mendorong darah mengalir di dalam vaskular oleh kerja pompa
jantung) menimbulkan perembesan cairan plasma ke dalam ruang interstitium. Cairan
plasma ini akan mengisi pada sela-sela jaringan ikat longgar dan rongga badan (terjadi
oedema).
3. Sianosis
Merupakan warna kebiru-biruan yang terdapat pada kulit dan selaput lendir
yang terjadi akibat peningkatan jumlah absolut Hb tereduksi (Hb yang tidak berikatan
dengan O2). Ini tidak dapat dinyatakan sebagai anemia, harus ada minimal 5 gram
hemoglobin per 100 ml darah yang berkurang sebelum sianosis menjadi bukti,
terlepas dari jumlah total hemoglobin.
Pada kebanyakan kasus forensik dengan konstriksi leher, sianosis hampir
selalu diikuti dengan kongesti pada wajah, seperti darah vena yang kandungan
hemoglobinnya berkurang setelah perfusi kepala dan leher dibendung kembali dan
menjadi lebih biru karena akumulasi darah.
4. Tetap cairnya darah
Terjadi karena peningkatan fibrinolisin paska kematian. Gambaran tentang
tetap cairnya darah yang dapat terlihat pada saat autopsi pada kematian akibat asfiksia
adalah bagian dari mitologi forensik. Pembekuan yang terdapat pada jantung dan
sistem vena setelah kematian adalah sebuah proses yang tidak pasti, seperti akhirnya
pencairan bekuan tersebut diakibatkan oleh enzim fibrinolitik. Hal ini tidak relevan
dalam diagnosis asfiksia

H. Gambaran Umum Post Mortem Asfiksia


a. Pemeriksaan Luar
Pada pemeriksaan luar jenazah didapatkan:
1. Sianosis pada bibir, ujung-ujung jari dan kuku.
2. Pembendungan sistemik maupun pulmoner dan dilatasi jantung kanan merupakan
tanda klasik pada kematian akibat asfiksia.
3. Warna lebam mayat merah-kebiruan gelap dan terbentuk lebih cepat. Distribusi
lebam mayat lebih luas akibat kadar karbondioksida yang tinggi dan aktivitas
fibrinolisin dalam darah sehingga darah sukar membeku dan mudah mengalir.

Lebam mayat (livor mortis)

4. Terdapat busa halus pada hidung dan mulut yang timbul akibat peningkatan
aktivitas pernapasan pada fase dispneu yang disertai sekresi selaput lendir saluran
napas bagian atas. Keluar masuknya udara yang cepat dalam saluran sempit akan
menimbulkan busa yang kadang-kadang bercampur darah akibat pecahnya kapiler.
5. Kapiler yang lebih mudah pecah adalah kapiler pada jaringan ikat longgar,
misalnya pada konjungtiva bulbi, palpebra dan subserosa lain. Kadang-kadang
dijumpai pula di kulit wajah.
6. Gambaran pembendungan pada mata berupa pelebaran pembuluh darah
konjungtiva bulbi dan palpebra yang terjadi pada fase kejang. Akibatnya tekanan
hidrostatik dalam pembuluh darah meningkat terutama dalam vena, venula dan
kapiler. Selain itu, hipoksia dapat merusak endotel kapiler sehingga dinding
kapiler yang terdiri dari selapis sel akan pecah dan timbul bintik-bintik perdarahan
yang dinamakan sebagai Tardieus spot.

b. Pemeriksaan Dalam
Pada pemeriksaan dalam (Autopsi) jenazah didapatkan:
1. Darah berwarna lebih gelap dan lebih encer, karena fibrinolisin darah yang
meningkat paska kematian.
2. Busa halus di dalam saluran pernapasan.
3. Pembendungan sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh sehingga menjadi lebih
berat, berwarna lebih gelap dan pada pengirisan banyak mengeluarkan darah.
4. Petekie dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epikardium pada bagian
belakang jantung belakang daerah aurikuloventrikular, subpleura viseralis paru
terutama di lobus bawah pars diafragmatika dan fisura interlobaris, kulit kepala
sebelah dalam terutama daerah otot temporal, mukosa epiglotis dan daerah sub-
glotis.
5. Edema paru sering terjadi pada kematian yang berhubungan dengan hipoksia.
6. Kelainan-kelainan yang berhubungan dengan kekerasan, seperti fraktur laring
langsung atau tidak langsung, perdarahan faring terutama bagian belakang rawan
krikoid (pleksus vena submukosa dengan dinding tipis).

II. GANTUNG (HANGING)


A. Definisi
Penggantungan adalah keadaan dimana leher dijerat dengan ikatan, daya jerat ikatan
tersebut memanfaatkan berat badan tubuh atau kepala. Penggantungan merupakan suatu
bentuk penjeratan (strangulasi) dengan tali ikat dimana tekanan dihasilkan dari seluruh atau
sebagian berat tubuh. Seluruh atau sebagian tubuh seseorang ditahan di bagian lehernya oleh
sesuatu benda dengan permukaan yang relatif sempit dan panjang (biasanya tali) sehingga
daerah tersebut mengalami tekanan.
B. Klasifikasi Gantung
1. Berdasarkan Titik Gantung:
a. Penggantungan tipikal
Terjadi bila titik gantung terletak di atas daerah oksiput dan tekanan pada arteri
karotis paling besar.
b. Penggantungan atipikal
Bila titik penggantungan terdapat di samping, sehingga leher dalam posisi sangat
miring (fleksi lateral) yang akan mengakibatkan hambatan.

2. Berdasarkan Posisi Tubuh


a. Penggantungan Lengkap
Istilah penggantungan lengkap digunakan jika beban aktif adalah seluruh
berat badan tubuh, yaitu terjadi pada orang yang menggantungkan diri dengan kaki
mengambang dari lantai
b. Penggantungan Parsial
Istilah penggantungan parsial digunakan jika beban berat badan tubuh
tidak sepenuhnya menjadi kekuatan daya jerat tali, misalnya pada korban yang
tergantung dengan posisi berlutut atau berbaring. Pada kasus tersebut, berat badan
tubuh tidak seluruhnya menjadi gaya berat sehingga disebut penggantungan parsial.

C. Cara Kematian Pada Kasus Gantung:


Cara kematian pada kasus gantung diantaranya adalah:
1. Bunuh diri
2. Pembunuhan
3. Kecelakaan

D. Mekanisme Kematian
Mekanisme kematian yang disebabkan oleh gantung akibat penumpuan beban sebagian
atau seluruh beban tubuh di leher diantaranya adalah
1. Asfiksia
Terjadi akibat terhambatnya aliran udara pernafasan. Merupakan penyebab kematian
yang paling sering.
2. Apopleksia
Tekanan pada pembuluh darah vena menyebabkan kongesti pada pembuluh darahotak
dan mengakibatkan kegagalan sirkulasi
3. Iskemia Serebral
Iskemia serebral disebabkan oleh penekanan dan hambatan pembuluh darah
arteri (oklusi arteri) yang menyebabkan terhambatnya aliran darah ke otak. Gambar
dibawah menunjukkan gambaran rontgen pada wanita yang berupaya bunuh diri
dengan gantung.
4. Syok Vasovagal
Perangsangan pada sinus caroticus menyebabkan refleks vagal yang
menyebabkan henti jantung.
5. Fraktur atau Dislokasi vertebra servikalis.
Fraktur vertebra servikalis sering terjadi pada hukuman gantung. Fraktur atau
dislokasi terjadi pada keadaan dimana tali yang menjerat leher cukup panjang,
kemudian korbannya secara tiba-tiba dijatuhkan dari ketinggian 1,5-2 meter maka
akan mengakibatkan fraktur atau dislokasi vertebra servikalis yang akan menekan
medulla oblongata dan mengakibatkan tehentinya pernafasan. Yang biasa terkena
fraktur adalah vertebra servikalis ke-2 dan ke-3.

E. Gambaran Post Mortem Kasus Gantung


1. Pemeriksaan Luar Pada Jenazah
a. Tanda Penjeratan Pada Leher
Tanda penjeratan jelas dan dalam. Semakin kecil tali maka tanda penjeratan
semakin jelas dan dalam
Bentuk jeratan berjalan miring.
Bentuk jeratan pada kasus gantung diri cenderung berjalan kiring (oblique)
pada bagian depan leher, dimulai pada leher bagian atas antara kartilago tiroid
dengandagu, lalu berjalan miring sejajar dengan garis rahang bawah menuju
belakang telinga Alur jeratan pada leher korban penggantungan (hanging)
berbentuk lingkaran (V shape). Ciri-ciri jejas sebagai berikut :
Alur jeratan pucat.
Tepi alur jerat coklat kemerahan.
Kulit sekitar alur jerat terdapat bendungan.
Tanda penjeratan berwarna coklat gelap dan kulit tampak kering, keras dan
mengkilat
Pada tempat dimana terdapat simpul tali yaitu pada kulit bagian bawah
telinga,tampak daerah segitiga pada kulit dibawah telingae.Pinggiran jejas jerat
berbatas tegas dan tidak terdapat tanda-tanda abrasif.Jumlah tanda
penjeratanTerkadang pada leher terlihat dua buah atau lebih bekas penjeratan.
Hal ini menujukan bahwa tali dijeratkan ke leher sebanyak dua kali
b. Kedalaman Bekas Jeratan
Kedalaman bekas jeratan menujukan lamanya tubuh tergantung.
c. Tanda-tanda Asfiksia
Tanda-tanda umum asfiksia diantaranya adalah sianosis, kongesti vena dan
edema. Sering ditemukan adanya buih halus pada jalan nafas. Pada kasus
penggantungan tanda-tanda asfiksia berupa mata menonjol keluar, perdarahan berupa
petekia pada bagian wajah dan subkonjungtiva. Jika didapatkan lidah terjulur maka
menunjukan adanya penekanan pada bagian bawah leher yaitu bagian bawah kartilago
thyroida.

Tardieu spot pada Gantung diri.


Tardieu spot diakibatkan pecahnya
kapiler-kapiler pada kaki
Source: Color Atlas of Forensic
Pathology

d. Lebam Mayat
Jika penggantungan setelah kematian berlangsung lama maka lebam mayat
terlihat pada bagian tubuh bawah, anggota badan distal serta alat genitalia distal
Kasus Gantung Diri
Lebam pada gantung diri terkonsentrasi pada daerah ekstemitas

e. Sekresi Urin dan Feses


Sekresi urin dan feses terjadi pada fase apneu pada kejadian asfiksia. Pada
stadium apneu pusat pernapasan mengalami depresi sehingga gerak napas menjadi
sangat lemah dan berhenti. Penderita menjadi tidak sadar dan karena kontrol spingter
fungsieksresi hilang akibat kerusakan otak maka terjadi pengeluaran urin dan feses.

2. Pemeriksaan Dalam Pada Jenazah


a. Lapisan dalam dan bagian tengah pembuluh darah mengalami laserasi ataupun
ruptur.
b. Tanda-tanda Asfiksia
Terdapat bintik perdarahan pada pelebaran pembuluh darah
Kongesti pada bagian atas yaitu daerah kepala, leher dan otak
Ditemukan darah lebih gelap dan encer akibat kadar CO2 yang meninggi.
c. Terdapat resapan darah pada jaringan dibawah kulit dan otot
d. Terdapat memar atau ruptur pada beberapa keadaan. Kerusakan otot ini lebih
banyak terjadi pada kasus pengantungan yang disertai dengan tindak kekerasan.
e. Pada pemeriksaan paru-paru serig ditemui edema paru.
f. Mungkin terdapat patah tulang hyoid atau kartilago cricoid.
g. Fraktur 2 buah tulang vertebra servikalis bagian atas
Fraktur ini seringkali terjadi pada korban hukum gantung dimana korban tergantung
secara penuh dan tertitis jauh dari lantai.

F. Aspek Medikolegal
Perbedaan Penggantungan Bunuh Diri Penggantungan Pembunuhan
1. Usia Lebih sering terjadi pada remaja Tidak mengenal batasan usia
dan dewasa
2. Jejas Jerat Bentuk miring berupa lingkaran Lingkaran tidak terputus,
terputus mendatar, letak di tengah leher
3. Simpul Tali Biasanya satu simpul pada bagian Simpul tali lebih dari satu dan
samping leher. Simpul biasanya terikat kuat
simpul hidup
4. Riwayat Korban mempunyai riwayat Korban tidak mempunyai riwayat
Korban bunuh diri dengan cara lain upaya bunuh diri
5. Cedera Tidak terdapat luka yang Terdapat luka-luka yang
menyebabkan kematian dan tidak mengarah ke pembunuhan
terdapat tanda-tanda perlawanan
Dapat ditemukan racun dalam
6. Racun lambung korban, seperti arsen, Dapat terdapat racun berupa
sublimat, korosif. Rasa nyeri opium, kalium sianida. Racun ini
mendorong korban melakukan tidak menyebabkan efek kemauan
gantung diri bunuh diri
7. Tangan Tidak dalam keadaan terikat Tangan terikat mengarah k kasus
pembunuhan
8. Kemudahan Tempat kejadian mudah Korban biasa digantung di tempat
ditemukan yang sulit ditemukan
9. Tempat Jika tempat kejadian merupakan Bila sebaliknya ditemukan
kejadian tempat yang tertutup, atau terkunci dari luar maka
didapatkan ruangan dengan pintu penggantungan biasanya kasus
terkunci makan dugaan bunih diri pembunuhan
adalah kuat
10. Lingkar tali Jika lingkar tali dapat keluar Jika lingkar tali tidak dapat keluar
melewati kepala, maka dicurigain melewati kepala, maka dicurigai
bunuh diri peristiwa pembunuhan
G. Perbedaan Penggantungan Antemortem dengan Postmortem
No Penggantungan Antemortem Penggantungan Postmortem
1. Tanda jejas jerat berupa lingkaran Tanda jejas jerat biasanya berbentuk utuh
terputus (non continous) dan letaknya (continous), agak sirkuler dan letaknya pada
pada leher bagian atas bagian leher tidak begitu tinggi
2. Simpul tali biasanya tunggal, terdapat Simpul tali lebih dari satu biasanya lebih
pada sisi leher dari satu, diikatkan dengan kuat dan
diletakan pada bagian depan leher
3. Ekimosis tampak jelas pada salah satu Ekimosis pada salah satu sisi jejas penjeratan
sisi dari jejas penjeratan. tidak ada atau tidak jelas.
4. Lebam mayat tampak diatas jejas jerat Lebam mayat terdapat pada bagian tubuh
dan pada tungkai bawah yang menggantung sesuai dengan posisi
mayat setelah meninggal
5. Pada kulit ditempat jejas penjeratan Tanda parchmentisasi tidak ada atau tidak
teraba seperti kertas perkamen yaitu jelas
tanda parchmentisasi
6. Sianosis pada wajah, bibir, telinga, dll Sianosis pada bagian wajah, bibir, telinga,
sangat jelas terlihat terutama jika dll, tergantung dari penyebab kematian
kematian karena asfiksia
7. Wajah membengkak dan mata Sianosis pada bagian wajah, bibir, telinga,
mengalami kongesti dan agak menonjol, dll, tergantung dari penyebab kematian
disertai dengan gambaran pembuluh
darah vena yang jelas pada bagian
kening dan dahi
8. Lidah bisa terjulur atau tidak sama Lidah tidak terjulur kecuali pada kasus
sekali pencekikan
9. Ereksi penis disertai dengan keluarnya Ereksi penis dan cairan sperma tidak ada.
cairan sperma sering terjadi pada Pengeluaran feses juga tidak ada
korban pria. Sering ditemukan
keluarnya feses
10. Air liur ditemukan menetes dari sudut Air liur tidak ditemukan yang menetes pada
mulut, dengan arah yang vertikal kasus selain kasus penggantungan
menuju dada.

III. PENJERATAN (STRANGULATION BY LIGATURE)


A. Definisi
Penjeratan adalah penekanan benda asing berupa tali, ikat pinggang, rantai, stagen,
kawat, kabel, kaos kaki dan sebagainya, melingkari atau mengikat leher yang makin lama
makin kuat, sehingga saluran nafas tertutup. Berbeda dengan gantung diri yang biasanya
merupakan kasus bunuh diri, maka penjeratan biasanya adalah kasus pembunuhan.
Pada peristiwa gantung, kekuatan jeratnya berasal dari berat tubuhnya, maka pada jeratan
dengan tali kekuatan jeratnya berasal dari tarikan pada kedua ujungnya. Dengan kekuatan
tersebut, pembuluh darah balik atau jalan nafas dapat tersumbat. Tali yang dipakai sering
disilangkan dan sering dijumpai adanya simpul. Jeratan pada bagian depan leher hampir
selalu melewati membran yang menghubungkan tulang rawan hyoid dan tulang rawan
thyroid.

B. Mekanisme kematian
Ada 3 mekanisme kematian pada jerat , yaitu :
1. Asfiksia
Terjadi akibat terhambatnya aliran udara pernafasan. Merupakan penyebab kematian
yang paling sering.
2. Iskemia Serebral
Iskemia serebral disebabkan oleh penekanan dan hambatan pembuluh darah arteri
(oklusi arteri) yang menyebabkan terhambatnya aliran darah ke otak. Gambar dibawah
menunjukkan gambaran rontgen pada wanita yang berupaya bunuh diri dengan gantung.
3. Syok Vasovagal
Perangsangan pada sinus caroticus menyebabkan refleks vagal yang menyebabkan henti
jantung.

C. Cara kematian pada kasus jerat


Cara kematian pada kasus jerat diantaranya adalah:
1. Pembunuhan (paling sering).
Pembunuhan pada kasus jeratan (strangulation by ligature) dapat kita jumpai pada
kejadianinfanticide dengan menggunakan tali pusat, psikopat yang saling menjerat,
dan hukuman mati(zaman dahulu).

2. Kecelakaan
Kecelakaan pada kasus jeratan (strangulation by ligature) dapat kita temukan pada
bayi yangterjerat oleh tali pakaian, orang yang bersenda gurau dan pemabuk. Vagal
reflex menjadi penyebab kematian pada orang yang bersenda gurau
3. Bunuh diri.
Bunuh diri pada kasus jeratan (strangulation by ligature) mereka lakukan dengan cara
melilitkan tali secara berulang dimana satu ujung difiksasi dan ujung lainnya ditarik.
Antara jeratan dan leher mereka masukkan tongkat lalu mereka memutar tongkat
tersebut

D. Gambaran Post Mortem Penjeratan


1. Pemeriksaan Luar Jenazah
Pada pemeriksaan luar hasil gantung diri didapatkan:
a. Tanda Penjeratan Pada Leher
- Tanda penjeratan jelas dan dalamSemakin kecil tali maka tanda penjeratan
semakin jelas dan dalam
- Bentuk jeratan berjalan mendatar/horizontal
Alur jeratan pada leher korban berbentuk lingkaran. Alur jerat biasa disertai luka
lecet atau luka memar disekitar jejas yang terjadi karena korban berusaha
membuka jeratan tersebut.
- Tanda penjeratan berwarna coklat gelap dan kulit tampak kering, keras dan
mengkilat
- Pada tempat dimana terdapat simpul tali yaitu pada kulit bagian bawah
telinga,tampak daerah segitiga pada kulit dibawah telingae.Pinggiran jejas jerat
berbatas tegas dan tidak terdapat tanda-tanda abrasif.Jumlah tanda
penjeratanTerkadang pada leher terlihat dua buah atau lebih bekas penjeratan.
Hal ini menujukan bahwa tali dijeratkan ke leher sebanyak dua kali
b. Tanda-tanda Asfiksia
Tanda-tanda umum asfiksia diantaranya adalah sianosis, kongesti vena dan
edema. Sering ditemukan adanya buih halus pada jalan nafas.
c. Lebam Mayat
Lokasi timbulnya lebam mayat tergantung dari posisi tubuh korban setelah mati.

2. Pemeriksaan Dalam Jenazah


Pada pemeriksaan dalam akibat peristiwa jerat didapatkan :
a. Lapisan dalam dan bagian tengah pembuluh darah mengalami laserasi ataupun
ruptur.
b. Tanda-tanda Asfiksia
Terdapat bintik perdarahan pada pelebaran pembuluh darah,
Terdapat buih halus di mulut
Didapatkan darah lebih gelap dan encer akibat kadar CO2 yang meninggi.
c. Terdapat resapan darah pada jaringan dibawah kulit dan otot
a. Terdapat memar atau ruptur pada beberapa keadaan. Kerusakan otot ini
lebih sering dihubungkan dengan tindak kekerasan.
d. Pada pemeriksaan paru-paru sering ditemui edema paru.
e. Jarang terdapat patah tulang hyoid atau kartilago cricoid.

E. Aspek Medikolegal
Perbedaan kasus gantung dan kasus jerat

Kasus Gantung Kasus Jerat


(bunuh diri) (pembunuhan)
Simpul Simpul hidup Simpul mati
Simpul dapat dikeluarkan Simpul sulit dikeluarkan melalui
melalui kepala(tidak terikat kepala (terikat kuat)
kuat)
Jumlah lilitan penjerat Bisa lebih dari 1 lilitan Biasanya 1 buah lilitan
Arah Serong ke atas Mendatar/horizontal
Jarak titik tumpu- Jauh Dekat
simpul Berbentuk v (lingkaran Berbentuk lingkaran penuh
terputus)
Lokasi jejas Lebih tinggi Lebih rendah
Jejas jerat Meninggi ke arah simpul Mendatar
Luka perlawanan - +
Luka lain-lain Biasanya ada, mungkin Ada, sering di daerah leher
terdapat luka percobaan lain
Karakteristik simpul Jejas simpul jarang terlihat Terlihat jejas simpul
Simpul hidup Simpul
Simpul dapat dikeluarkan Simpul sulit dikeluarkan melalui
melalui kepala(tidak terikat kepala (terikat kuat)
kuat)

Lebam mayat Pada bagian bawah tubuh Tergantung posisi tubuh korban
Lokasi Tersembunyi Bervariasi
Kondisi Teratur Tidak teratur
Pakaian Rapi dan baik Tidak teratur, robek
Ruangan Terkunci dari dalam Tidak teratur, terkunci dari luar

IV. PENCEKIKAN
A. Definisi
Pencekikan adalah penekanan pada leher dengan tangan atau lengan bawah, yang
menyebabkan dinding saluran nafas bagian atas tertekan dan terjadi penyempitan saluran
nafas sehingga udara pernafasan tidak dapat lewat.

B. Mekanisme Kematian
1. Asfiksia
Asfiksia adalah kumpulan dari berbagai keadaan dimana terjadi gangguan dalam
pertukaran udara pernafasan yang normal.
Gejala asfiksia :
a. Fase dyspnea :
- Frekuensi nadi meningkat
- Frekuensi nafas meningkat
- Suhu tubuh meningkat
- Tanda sianosis
b. Fase konvulsi
c. Fase apneu :
- Frekuensi nafas meningkat
- Kesadaran menurun
- Relaksasi sfingter
d. Fase akhir : Nafas berhenti.
2. Refleks vagal
Reflek vagal menyebabkan kematian segera (immediate death), hal ini dikaitkan
dengan terminologi sudden cardiac arrest. Reflek vagal dimungkinkan bila leher
terkena trauma.
Refleks vagal terjadi sebagai akibat rangsangan pada nervus vagus pada corpus
caroticus (carotid body) di percabangan arteri karotis interna dan eksterna yang akan
menimbulkan bradikardi dan hipotensi. Refleks vagal ini jarang terjadi.
Jika mekanisme kematian adalah asfiksia, maka ditemukan tanda-tanda asfiksia.
Tetapi jika mekanisme kematian adalah refleks vagal, tidak didapatkan tanda-tanda
asfiksia.
3. Cara Kematian
Terdapat 2 cara kematian pada kasus pencekikan, yaitu pembunuhan dan kecelakaan
yang biasanya mati karena vagal reflex. Selain itu, terdapat 3 cara melakukan pencekikan
(manual strangulasi), yaitu :
a. Menggunakan 1 tangan dan pelaku berdiri di depan korban.
b. Menggunakan 2 tangan dan pelaku berdiri di depan atau di belakang korban.
c. Menggunakan 1 lengan dan pelaku berdiri di depan atau di belakang korban.
Apabila pelaku berdiri di belakang korban dan menarik korban ke arah pelaku maka ini
disebut mugging.

C. Gambaran Post Mortem Pencekikan


1. Pemeriksaan Luar
Pada pemeriksaan jenazah ditemukan perbendungan pada muka dan kepala karena turut
tertekan pembuluh darah vena dan arteri yang superficial, sedangkan arteri vertebralis tidak
terganggu. Pemeriksaan luar dari otopsi kasus pencekikan (manual strangulasi), terdapat 3
hal penting yang harus diperhatikan, antara lain :
a. Tanda asfiksia
Sianosis
Lebam merah kebiruan gelap
Lebam terbentuk lebih cepat
Distribusi lebam lebih luas
Darah sukar membeku.
b. Tanda kekerasan pada leher
Luka memar pada kulit di leher
Bekas tekanan jari
Bekas kuku
Sidik jari
Tangan yang digunakan
Arah pencekikan
c. Tanda kekerasan pada tempat lain yang dapat menunjukkan bahwa korban melakukan
perlawanan.

2. Pemeriksaan Dalam Jenazah


a. Perdarahan atau resapan darah pada otot-otot di leher tiroid, kelenjar ludah, serta
mukosa dan submukosa faring atau laring.

Pencekikan Terdapat
pendarahan pada lidah
akibat pencekikan
Source: Color Atlas of Forensic
Pathology

b. Fraktur, yang paling sering ditemukan pada os hyoid. Fraktur lain pada kartilago
tiroidea, kartilago krikoidea, dan trakea
c. Memar atau robekan membrane hipotiroidea
d. Luksasi artikulasio krikotiroidea dan robekan ligamentum pada mugging. Perdarahan
atau resapan darah dapat kita cari pada otot, kelenjar tiroid, kelenjar ludah, dan mukosa
& submukosa pharing atau laring. Fraktur yang paling sering kitatemukan pada os
hyoid. Fraktur lain pada kartilago tiroidea, kartilago krikoidea, dantrakea
e. Tanda Asfiksia :
Darah lebih gelap & lebih encer
Busa dalam saluran pernafasan
Organ tubuh lebih berat, lebih gelap, pada pengirisan banyak keluar darah
d. Petekie pada :
mukosa usus halus
epikardium daerah aurikuloventrikular
subpleura viseralis paru terutama pars diafragmatika dan fisura interlobaris
kulit kepala sebelah dalam terutama daerah temporal
e. Edema paru

V. SUFOKASI
Peristiwa sufokasi dapat terjadi jika oksigen yang ada di udara lokal kurang memadai,
seperti misalnya di dalam satu ruang kecil tanpa ventilasi cukup berdesak-desakan dengan
banyak orang, pertambangan yang mengalami keruntuhan, ataupun terjebak di dalam ruang
yang tertutup rapat. Kematian dalat terjadi dalam beberapa jam, tergantung dari luasnya
ruangan serta kebutuhan oksigen bagi orang yang berada di dalamnya. Sebab kematian pada
peristiwa sufokasi, biasanya merupakan kombinasi dari hipoksia, keracunan CO 2, hawa panas
dan kemungkinan juga cedera yang terjadi, misalnya pada saat peristiwa kebakaran gedung.

VI. PEMBEKAPAN
A. Definisi
Pembekapan berarti obstruksi mekanik terhadap aliran udara dari lingkungan ke dalam
mulut dan atau lubang hidung, yang biasanya dilakukan dengan menutup mulut dan hidung
dengan menggunakan kantong plastik. Pembekapan dapat terjadi secara sebagian atau
seluruhnya, dimana yang terjadi secara sebagian mengindikasikan bahwa orang tersebut yang
dibekap masih mampu untuk menghirup udara, meskipun lebih sedikit dari kebutuhannya.
Normalnya, pembekapan membutuhkan paling tidak sebagian obstruksi baik dari rongga
hidung maupun mulut untuk menjadi asfiksia. Pembekapan merupakan salah satu bentuk mati
lemas, dimana pada pembekapan baik mulut maupun lubang hidung tertutup sehingga proses
pernafasan tidak dapat berlangsung.
Korban pembekapan umumnya wanita yang gemuk, orang tua yang lemah, orang dewasa
yang berada di bawah pengaruh obat atau anak-anak. Kelainan yang terjadi karena
Pembekapan adalah berbentuk luka lecet dan atau luka memar terdapat di mulut, hidung, dan
daerah sekitarnya. Sering juga didapatkan memar dan robekan pada bibir, khususnya bibir
bagian dalam yang berhadapan dengan gigi.

B. Cara Kematian
Pembekapan dapat diklasifikasikan menurut cara kematiannya, yaitu :
1. Bunuh diri (suicide)
Bunuh diri dengan cara pembekapan masih mungkin terjadi misalnya pada
penderita penyakit jiwa, orang tahanan, orang dalam keadaan mabuk, yaitu Dengan
membenamkan wajahnya ke dalam kasur, atau menggunakan bantal, pakaian, yang
diikatkan menutupi hidung dan mulut. Bisa juga dengan menggunakan plester yang
menutupi hidung dan mulut.

2. Kecelakaan (accidental smothering)


Kecelakaan dapat terjadi misalnya pada bayi dalam bulan-bulan pertama
kehidupannya, terutama bayi prematur bila hidung dan mulut tertutup oleh bantal atau
selimut. Selain itu juga dapat terjadi kecelakaan dimana seorang anak yang tidur
berdampingan dengan orangtuanya dan secara tidak sengaja orangtuanya menindih si
anak sehingga tidak dapat bernafas. Keadaan ini disebut overlying. Pada anak-anak dan
dewasa muda bisa terjadi kecelakaan terkurung dalam suatu tempat yang sempit dengan
sedikit udara, misalnya terbekap dengan atau dalam kantong plastik. Orang dewasa yang
terjatuh waktu bekerja atau pada penderita epilepsi yang mendapat serangan dan terjatuh,
sehingga mulut dan hidung tertutup dengan pasir, gandum, tepung, dan sebagainya.
3. Pembunuhan (homicidal smothering)
Biasanya terjadi pada kasus pembunuhan anak sendiri. Pada orang dewasa hanya
terjadi pada orang yang tidak berdaya seperti orangtua, orang sakit berat, orang dalam
pengaruh obat atau minuman keras.
Pada pembunuhan dengan pembekapan biasanya dilakukan dengan cara hidung
dan mulut diplester, bantal ditekan ke wajah, kain atau dasi yang dibekapkan pada
hidung dan mulut.
Pembunuhan dengan pembekapan dapat juga dilakukan bersamaan dengan
menindih atau menduduki dada korban. Keadaan ini dinamakan burking.
C. Gambaran Post Mortem Pembekapan
1. Pemeriksaan Luar Jenazah
a. Tanda kekerasan yang dapat ditemukan tergantung dari jenis benda yang digunakan
dan kekuatan menekan.
b. Kekerasan yang mungkin dapat ditemukan adalah luka lecet jenis tekan atau geser,
jejas bekas jari/kuku di sekitar wajah, dagu, pinggir rahang, hidung, lidah dan gusi,
yang mungkin terjadi akibat korban melawan.
c. Luka memar atau lecet dapat ditemukan pada bagian/permukaan dalam bibir akibat
bibir yang terdorong dan menekan gigi, gusi dan lidah. Ujung lidah juga dapat
mengalami memar atau cedera.
d. Bila pembekapan terjadi dengan benda yang lunak, misal dengan bantal, maka pada
pemeriksaan luar jenazah mungkin tidak ditemukan tandatanda kekerasan. Memar
atau luka masih dapat ditemukan pada bibir bagian dalam. Pada pembekapan dengan
mempergunakan bantal, bila tekanan yang dipergunakan cukup besar, dan orang
yang dibekap kebetulan memakai gincu (lipstick), maka pada bantal tersebut akan
tercetak bentuk bibir yang bergincu tadi, yang tidak jarang sampai merembes ke
bagian yang lebih dalam, yaitu ke bantalnya sendiri. Pada anak-anak oleh karena
tenaga untuk melakukan pembekapan tersebut tidak terlalu besar, kelainan biasanya
minimal; yaitu luka lecet tekan dan atau memar pada bibir bagian dalam yang
berhadapan dengan gigi dan rahang.
e. Pembekapan yang dilakukan dengan satu tangan dan tangan yang lain menekan
kepala korban dari belakang, yang dapat pula terjadi pada kasus pencekikan dengan
satu tangan; maka dapat ditemukan adanya lecet atau memar pada otot leher bagian
belakang, yang untuk membuktikannya kadang-kadang harus dilakukan sayatan
untuk melihat otot bagian dalamnya, atau membuka sluruh kulit yang menutupi
daerah tersebut. Bisa didapatkan luka memar atau lecet pada bagian belakang tubuh
korban.
f. Selanjutnya ditemukan tanda-tanda asfiksia baik pada pemeriksaan luar maupun
pada pembedahan jenazah. Perlu pula dilakukan pemeriksaan kerokan bawah kuku
korban, adakah darah atau epitel kulit si pelaku.

2. Pemeriksaan Dalam Jenazah


a. Tetap cairnya darah
Darah yang tetap cair ini sering dihubungkan dengan aktivitas fibrinolisin.
Pendapat lain dihubungkan dengan faktor-faktor pembekuan yang ada di
ekstravaskuler, dan tidak sempat masuk ke dalam pembuluh darah oleh karena
cepatnya proses kematian
b. Kongesti (pembendungan yang sistemik)
Kongesti pada paru-paru yang disertai dengan dilatasi jantung kanan
merupakan ciri klasik pada kematian karena asfiksia. Pada pengirisan mengeluarkan
banyak darah.
c. Edema pulmonum
Edema pulmonum atau pembengkakan paru-paru sering terjadi pada kematian
yang berhubungan dengan hipoksia.

d. Perdarahan Berbintik (Petechial haemorrhages)


Dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epikardium pada bagian belakang
jantung daerah aurikuloventrikular, subpleura visceralis paru terutama di lobus
bawah pars diafragmatika dan fisura interlobaris, kulit kepala sebelah dalam
terutama daerah otot temporal, mukosa epiglottis dan daerah subglotis. 16
e. Bisa juga didapatkan busa halus dalam saluran pernafasan.

D. Gambaran Mikroskopis
Pemeriksaan mikroskopik sangat penting dilakukan untuk melihat reaksi intravitalitas
yang merupakan reaksi tubuh manusia yang hidup terhadap luka. Reaksi ini penting untuk
membedakan apakah luka terjadi pada saat seseorang masih hidup atau sudah mati. Reaksi
vital yang umum berupa perdarahan yaitu ekimosis, petekie dan emboli.
Gangguan jalan napas pada pembekapan akan menimbulkan suatu keadaan dimana
oksigen dalam darah berkurang yang disertai dengan peningkatan kadar karbondioksida.
Pemeriksaan secara histopatologi pada parenkim paru dapat meminimalisir diagnosis banding
dari beberapa kasus kematian yang disebabkan karena asfiksia.

VII. TERSEDAK ( CHOKING DAN GAGGING )


A. Definisi
Sumbatan jalan napas oleh benda asing, yang mengakibatkan hambatan udara masuk ke
paru-paru. Pada gagging, sumbatan terdapat dalam orofaring, sedangkan pada choking
sumbatan terdapat lebih dalam pada laringofaring.

B. Mekanisme Kematian
Mekanisme kematian yang mungkin terjadi adalah asfiksia atau refleks vagal akibat
ransangan pada reseptor nervus vagus di arkus faring yang menimbulkan inhibisi kerja
jantung dengan akibat cardiac arrest dan kematian.

C. Cara Kematian
Kematian dapat terjadi sebagai akibat:
1. Bunuh diri ( suicide ). Hal ini jarang terjadi karena sulit untuk memasukan benda
asing ke dalam mulut sendiri disebabjan adanya refleks batuk atau muntah. Umumnya
korban adalah penderita sakit mental atau tahanan.
2. Pembunuhan ( homicodal choking ). Umumnya korban adalah bayi, orang dengan
fisik lemah atau tidak berdaya.
3. Kecelakaan ( accidental choking ). Pada bolus death yang terjadi bila tertawa atau
menangis saat makan, sehingga makanan tersedak ke dalam saluran pernapasan.
Mungkin pula terjadi akibat regurgitasi makanan yang kemudian masuk ke dalam
saluran pernapasan.

D. Gambaran Post Mortem Tersedak


Pada pemeriksaan jenazah dapat ditemukan tanda-tanda asfiksia baik pada pemeriksaan
luar maupun pembedahan jenazah. Dalam rongga mulut ( orofaring atau laringofaring )
ditemukan sumbatan yang biasanya bisa berupa sapu tangan, kertas koran, gigi palsu, bahkan
pernah ditemukan arang, batu dan lain-lainnya. Bila benda asing tidak ditemukan, cari
kemungkinan adanya tanda kekerasan yang diakibatkan oleh benda asing.

VIII. TENGGELAM (Drowning)


A. Definisi
Tenggelam biasanya didefinisikan sebagai kematian akibat mati lemas (asfiksia)
disebabkan masuknya cairan kedalam saluran pernapasan. Istilah tenggelam harus pula
mencakup proses yang terjadi akibat terbenamnya korban dalam air yang menyebabkan
kehilangan kesadaran dan mengancam jiwa.
Pada peristiwa tenggelam (drowning), seluruh tubuh tidak harus tenggelam di air.
Asalkan lubang hidung dan mulut berada dibawah permukaan air maka hal itu sudah cukup
memenuhi kriteria sebagai peristiwa tenggelam. Berdasarkan pengertian tersebut maka
peristiwa tenggelam tidak hanya dapat terjadi di laut atau sungai tetapi dapat juga terjadi di
(buku UNDIP)
dalam wastafel atau ember berisi air. Pada mayat yang ditemukan terbenam dalam
air, perlu pula diingat bahwa mungkin korban sudah meninggal sebelum masuk kedalam air.
Perlu diketahui bahwa jumlah air yang dapat mematikan jika dihirup oleh paru-paru
adalah sebanyak 2 liter untuk orang dewasa dan 30 sampai 40 mililiter untuk bayi.

B. Jenis-Jenis Tenggelam
Jenis-jenis tenggelam antara lain: (buku UI)
1. Wet drowning
Pada keadaan ini cairan masuk ke dalam saluran pernapasan setelah korban tenggelam.
2. Dry drowning
Pada keadaan ini cairan tidak masuk kedalam saluran pernapasan, akibat spasme
laring.
3. Secondary drowning
Terjadi gejala beberapa hari setelah korban tenggelam (dan diangkat dari dalam air)
dan korban meninggal akibat komplikasi.
4. Immersion syndrome
Korban tiba-tiba meninggal setelah tenggelam dalam air dingin akibat refleks vagal.
Alkohol dan makan terlalu banyak merupakan faktor pencetus.

C. Sebab Kematian
Kematian yang terjadi pada peristiwa tenggelam dapat disebabkan diantaranya oleh:
1. Vagal Reflex
Peristiwa tenggelam yang mengakibatkan kematian karena vagal reflex disebut
tenggelam tipe I.
Kematian terjadi sangat cepat dan pada pemeriksaan post-mortem tidak ditemukan
adanya tanda-tanda asfiksia ataupun air di dalam paru-parunya sehingga sering disebut
tenggelam kering (dry drowning).
2. Spasme Laring
Kematian karena spasme laring pada peristiwa tenggelam sangat jarang sekali terjadi.
Spasme laring tersebut disebabkan karena rangsangan air yang masuk ke laring. Pada
pemeriksaan post mortem ditemukan adanya tanda-tanda asfiksia, tetapi paru-parunya
tidak didapati adanya air atau benda-benda air. Tenggelam jenis ini juga disebut
tenggelam tipe I.
3. Pengaruh air yang masuk paru-paru
a. Tenggelam di air tawar
Pada peristiwa tenggelam di air tawar akan menimbulkan anoksia disertai
gangguan elektrolit.
Pada keadaan ini terjadi absorbsi cairan yang masif. Karena konsentrasi elektrolit
dalam air tawar lebih rendah daripada konsentrasi dalam darah, maka akan terjadi
hemodilusi darah, air masuk ke dalam aliran darah sekitar alveoli dan mengakibatkan
pecahnya sel darah merah (hemolisis). Akibat pengenceran darah yang terjadi, tubuh
mencoba mengatasi keadaan ini dengan melepaskan ion kalium dari serabut otot
jantung sehingga kadar ion Kalium dalam plasma meningkat (hiperkalemi), terjadi
perubahan keseimbangan ion K+ dan Ca++ dalam serabut otot jantung dan dapat
mendorong terjadinya fibrilasi ventrikel dan penurunan tekanan darah, yang kemudian
menyebabkan timbulnya kematian akibat anoksia otak. Kematian terjadi dalam waktu
5 menit.
Pemeriksaan post mortem ditemukan tanda-tanda asfiksia, kadar NaCl jantung
kanan lebih tinggi dari jantung kiri dan adanya buih serta benda-benda air pada paru-
paru. Tenggelam jenis ini disebut tenggelam tipe II A.

b. Tenggelam di air asin


Pada peristiwa tenggelam di air asin akan mengakibatkan terjadinya anoksia dan
hemokonsentrasi. Tidak terjadi gangguan keseimbangan elektrolit.
Konsentrasi elektrolit cairan air asin lebih tinggi daripada dalam darah, sehingga
air akan ditarik dari sirkulasi pulmonal ke dalam jaringgan intertisial paru yang akan
menimbulkan edema pulmoner, hemokonsentrasi, hipovolemi dan kenaikan kadar
magnesium dalam darah. Hemokonsentrasi akan mengakibatkan sirkulasi menjadi
lambat dan menyebabkan terjadinya payah jantung.
Pemeriksaan post mortem ditemukan adanya tanda-tanda asfiksia, kadar NaCl
pada jantung kiri lebih tinggi daripada janung kanan dan ditemukan buih serta benda-
benda air.
Tenggelam jenis ini disebut tenggelam tipe II B. Kematian terjadi kira-kira dalam
waktu 8-9 menit setelah tenggelam (lebih lambat dibandingkan dengan tenggelam tipe
IIA).

D. Cara Kematian
Peristiwa tenggelam dapat terjadi karena:
1. Kecelakaan
Peristiwa tenggelam karena kecelakaan sering terjadi karena korban jatuh ke laut,
danau atau sungai. Pada anak-anak keclakaan sering terjadi di kolam renang atau
galian tanah berisi air. Faktor-faktor yang sering menjadi penyebab kecelakaan itu
antara lain karena mabuk atau mendapat serangan epilepsi.
2. Bunuh diri
Peristiwa bunuh diri dengan menjatuhkan diri kedalam air sering kali terjadi.
Kadang-kadang tubuh pelaku diikat dengan benda pemberat agar supaya tubuh dapat
tenggelam. Bukan pekerjaan yang mudah untuk membedakan tenggelam karena bunih
diri dengan pembunuhan.

3. Pembunuhan
Banyak cara yang digunakan, seperti misalnya melemparkan korban ke laut atau
memasukan kepalanya ke dalam bak berisi air. Dari segi patologik saja sulit dapat
membedakan apakah peristiwa tenggelam itu akibat pembunuhan atau bunuh diri.
Pemeriksaan di tempat kejadian dapat membantu. Jika benar karena pembunuhan perlu
diteliti apakah korban di tenggelamkan kedalam air ketika ia masih hidup atau sesudah
dibunuh lebih dahulu dengan cara lain.

E. Pemeriksaan Post Mortem


Pada pemeriksaan mayat akibat tenggelam, pemeriksaan harus seteliti mungkin agar
mekanisme kematian dapat ditentukan, karena seringkali mayat ditemukan sudah dalam
keadaan membusuk.
Hal penting yang perlu ditentukan pada pemeriksaan adalah:
1. Menentukan identitas korban
Identitas korban ditentukan dengan memeriksa antara lain:
o Pakaian dan benda-benda milik korban
o Warna dan distribusi rambut dan identitas lain
o Kelainana atau deformitas dan jaringan parut
o Sidik jari
o Pemeriksaan gigi
o Teknik identifikasi lain
2. Apakah korban masih hidup sebelum tenggelam
Pada mayat masih segar, untuk menentukan apakah korban masih hidup atau
sudah meninggal pada saat tenggelam, dapat diketahui dari hasil pemeriksaan :
a. Metode yang memuaskan untuk menentukan apakah orang masih hidup waktu
tenggelam adalah pemeriksaan diatom
b. Untuk membantu menentukan diagnosis, dapat dibandingkan kadar elektrolit
magnesium darah dari bilik jantung kiri dan kanan.
c. Benda asing dalam paru dan saluran pernafasan mempunyai nilai yang
menentukan pada mayat yang terbenam selama beberapa waktu dan mulai
membusuk. Demikian juga dengan isi lambung dan usus.
d. Pada mayat yang segar, adanya air dalam lambung dan alveoli yang secara
fisika dan kimia sifatnya sama dengan air tempat korban tenggelam mepunyai
nilai bermakna.
e. Pada beberapa kasus ditemukannya kadar alkohol tinggi dapat menjelaskan
bahwa korban sedang dalam keracunan alkohol pada saat masuk ke dalam air.
3. Penyebab kematian yang sebenarnya dan jenis drowning
Pada mayat yang segar, gambaran pasca kematian dapat menunjukkan tipe
drowning dan juga penyebab kematian lain seperti penyakit, keracunan atau
kekerasan lain.
4. Faktor-faktor yang berperan pada proses kematian
Faktor-faktor yang berperan pada proses kematian misanya kekerasan, obat-
obatan, alkohol dapat ditemukan pada pemeriksaan luar atau melalui bedah jenazah.
5. Tempat korban pertama kali tenggelam
Bila kematian korban berhubungan dengan masuknya cairan ke dalam saluran
nafas, maka pemeriksaan diatom dari air tempat korban ditemukan dapat membantu
menentukan apakah korban tenggelam ditempat itu atau tempat lain.
6. Apakah ada penyulit alamiah lain yang mempercepat kematian
Bila sudah ditentukan bahwa korban masih hidup pada waktu masuk ke air,
maka perlu ditentukan apakah kematian disebabkan karena air masuk ke
dalam saluran pernafasan. Pada immersion, kematian terjadi dengan cepat, hal
ini mungkin disebabkan oleh sudden cardiac arrest yang terjadi pada waktu
cairan melalui saluran nafas bagian atas. Beberapa korban yang terjun dengan
kaki terlebih dahulu menyebabkan cairan dengan mudah masuk ke
hidung. Faktor lain adalah keadaan hipersensitivitas dan kadang-kadang
keracunan alkohol.
Bila tidak ditemukan air dalam paru-paru dan lambung berarti kematian terjadi
seketika akibat spasme glottis yang menyebabkan cairan tidak dapat masuk.
Waktu yang diperlukan untuk terbenam dapat bervariasi tergantung dari keadaan
sekeliling korban, keadaan masing-masing korban, reaksi perorangan yang bersangkutan,
keadaan kesehatan, dan jumlah serta sifat cairan yang dihisap masuk ke dalam saluran
pernapasan.
Korban tenggelam akan menelan air dalam jumlah yang makin lama makin banyak,
kemudian menjadi tidak sadar dalam waktu 2-12 menit (fatal periode). Dalam periode ini bila
orban dikeluarkan dari air, ada kemungkinan masih dapat hidup bila upaya resusitasi berhasil.
F. Gambaran Post Mortem Kasus Tenggelam
Pemeriksaan Luar
Pada pemeriksaan luar dapat ditemukan tanda-tanda sebagai berikut:
a. Mayat dalam keadaan basah, mungkin berlumuran pasir, lumpur dan benda-
benda asing lain yang terdapat dalam air, kalau seluruh tubuh terbenam dalam
air.
b. Busa halus pada hidung dan mulut, kadang-kadang berdarah.
c. Mata setengah terbuka atau tertutup, jarang Cutis anserina
pendarahan atau perbendungan.
d. Kutis anserina pada kulit permukaan anterior
tubuh terutama pada ekstremitas akibat
kontraksi otot erektor pili yang dapat terjadi
karena rangsang dinginnya air. Gambaran kutis anserina kadangkala dapat juga
akibat rigor mortis pada otot tersebut.
e. Washer womans hand dimana telapak tangan
dan kaki berwarna keputihan dan berkeriput
yang disebabkan karena imbibisi cairan ke
dalam kutis dan biasanya membutuhkan waktu
lama. Washer womans hand
f. Cadaveric spasme, merupakan tanda intravital
yang terjadi pada waktu korban berusaha menyelamatkan diri dengan
memegang apa saja seperti rumput atau benda-benda lain dalam air.

Cadaveric spame
g. Luka-luka lecet pada siku, jari tangan, lutut dan kaki akibat gesekan pada
benda-benda dalam air. Puncak kepala mungkin terbentur dasar waktu
terbenam, tetapi dapat pula terjadi luka post mortal akibat benda-benda atau
binatang dalam air.
Pemeriksaan Dalam
Pada pemeriksaan dalam dapat ditemukan tanda-tanda sebagai berikut:
a. Busa halus dan benda asing (pasir, tumbuh-tumbuhan air) dalam saluran
pernafasan.
b. Paru-paru mebesar seperti balon, lebih berat, sampai menutupi kandung
jantung. Pada pengirisan banyak keluar cairan. Keadaan ini terutama terjadi
pada kasus tenggelam di laut.
c. Petekie sedikit sekali karena kapiler terjepit diantara septum interalveolar.
Mungkin terdapat bercak-bercak perdarahan yang disebut bercak Paltauf akibat
robeknya penyekat alveoli (Polsin).
d. Petekie subpleural dan bula emfisema jarang terdapat dan ini bukan merupakan
tanda khas tenggelam tetapi mungkin disebabkan oleh usaha respirasi.
e. Dapat juga ditemukan paru-paru yang normal karena cairan tidak masuk ke
dalam alveoli atau cairan sudah masuk ke dalam aliran darah 9melalui proses
imbibisi), ini dapat terjadi pada kasus tenggelam di air tawar.
f. Otak, ginjal, hati dan limpa mengalami perbendungan
g. Lambung dapat sangat membesar, berisi air, lumpur dan mungkin juga terdapat
dalam usus halus.

G. Pemeriksaan Laboratorium
1. Pemeriksaan Diatom.
Alga/ ganggang bersel satu dngan dinding terdiri dari silikat yang tahan panas
dan asam kuat. Diatom ini dapat dijumpai dalam air tawat, alut, sungai, sumur.
Bila seseorang mati karena tenggelam maka cairan bersama diatom masuk ke
dalam saluran nafas atau pencernaan, kemudian diatom akan masuk ke dalam
aliran darah melalui kerusakkan dinding kapiler pada waktu korban masih hidup
dan tesebar ke seluruh jaringan. Pemeriksaan diatom dilakukan pada jaringan paru
mayat segar. Bila mayat telah membusuk, pemeriksaan diatom dilakukan dari
jaringan ginjal, otot skelet, sumsum tulang paha. Pemeriksaan diatom pada hati
dan limpa kurang bermakna sebab berasal dari penyerapan abnormal saluran
pencernaan terhadap makanan dan minuman.
Pemeriksaan diatom positif bila pada jaringan paru ditemukan diatom cukup
banyak : 4-5/ LPB atau 10-20 per satuan sediaan, atau pada sumsum tulang cukup
ditemukan satu
2. Pemeriksaan Diatom dapat dilakukan dengan pemeriksaan destruksi pada paru
dan pemeriksaan getah paru.
3. Pemeriksaan Darah Jantung. Pemeriksaan berat jenis dan kadar elektrolit pada
darah yng berasal dari bilik jantung kiri dan bilik jantung kanan. Bila tenggelam di
air tawar, berat jenis dan kadar elektrolit dalam darah jantung kiri lebih rendah
dari jantung kanan sedangkan pada tenggelam di air asin terjadi sebaliknya.
Perbedaan kadar elektrolit lebih rendah dari 10% dapat menyokong diagnosis.
4. Pemeriksaan mikroskopik jaringan
5. Pemeriksaan keracunan

H. Diagnosis Tenggelam
Bila mayat masih segar (belum terdapat pembusukkan), maka diagnosis kematian
akibat tenggelam dapat dengan mudah ditegakkan melalui pemeriksaan yang teliti dari:
- Pemeriksaan luar,
- Pemeriksaan dalam,
- Pemeriksaan laboratorium berupa histologi jaringan, destruksi jaringan dan berat
jenis serta kadar elektrolit darah.
Bila mayat sudah membusuk, maka diagnosis kematian akibat tenggelam dibuat
berdasarkan adanya diatom yang cukup banyak pada paru-paru yang bila disokong oleh
penemuan diatom pada ginjal, otot skelet atau sumsum tulang, maka diagnosis akan
menjadi makin pasti.

IX. CRUSH ASPHYXIA (TRAUMATIK ASFIKSIA)


Crush Asphyxia disebabkan oleh karena dada dan perut mendapat tekanan secara
bersamaan oleh suatu kekuatan yang menyebabkan dada terfiksasi sehingga diafragma tidak
dapat bergerak. Hal tersebut kemudian menimbulkan gangguan gerak pernapasan sehingga
udara yang masuk ke dalam atau keluar paru terhambat, misalnya tertimbun pasir, tanah
longsor, runtuhan tembok, pohon yang tumbang atau tebing yang runtuh.
Crush Asphyxia juga dapat terjadi karena berdesak-desakan keluar dari suatu ruangan
melalui pintu yang sempit. Akibat tekanan tersebut maka akan terjadi kompresi pada dada
dan perut sehingga diafragma dalam keadaan terfiksir. Akibatnya gerakan pernapasan tidak
mungkin terjadi sehingga tubuh mengalami asfiksia. Asfiksia traumatik tidak pernah terjadi
pada kasus bunuh diri, dan paling sering terjadi pada kecelakaan. Asfiksia traumatik dapat
juga terjadi pada kasus pembunuhan, sebagai contoh adalah kasus burking yang merupakan
kombinasi pembekapan dan tekanan dari luar pada dada. Pada burking korban dibuat tidak
berdaya, kemudian dilentangkan, diduduki atai berlutut di dada korban dengan satu tangan
menutup lubang hidung dan mulut korban, tangan lain menekan rahang bawah korban ke arah
atas. Korban cepat mati dengan cara ini dan meninggalkan tanda kekerasan yang minimal
atau kadang tidak ada.
Pada pemeriksaan post mortem akan terlihat adanya tanda-tanda umum asfiksia; seperti
misalnya cyanosis, bintik-bintik perdarahan pada bagian atas dari tubuh, edema serta
pembengkakan pada bola mata dan kongesti pada tubuh sebelah atas akibat darah terdorong
ke atas oleh kompresi pada abdomen. Jika benda yang menekan itu sangat berat maka besar
kemunginan kematiannya bukan karena asfiksia, tetapi karena sebab lain; seperti misalnya
perdarahan karena hancurnya organ dalam.

X. KERACUNAN KARBON MONOKSIDA (CO)


A. Karbono Monoksida (CO)
Racun adalah suatu zat yang berasal dari alam maupun buatan yang bekerja pada
tubuh baik secara kimiawi dan faali yang dalam dosis toksik dapat menyebabkan suatu
penyakit dalam tubuh serta dapat menyebabkan kematian.
Berdasarkan mekanisme kerjanya dalam tubuh manusia, racun dibagi menjadi yang
bekerja lokal, sistemik, dan lokal sekaligus sistemik. Racun yang bekerja lokal dapat bersifat
korosif, irritant, atau anestetik. Racun yang bekerja sistemik biasanya mempunyai afinitas
terhadap salah satu sistem, contohnya barbiturat, alkohol, digitalis, asam oksalat, dan karbon
monoksida. Adapun racun yang bekerja lokal maupun sistemuk misalnya arsen, asam karbol,
dan garam Pb.2.
Karbon monoksida (CO) adalah suatu gas tidak berwarna, tidak berbau yang
dihasilkan oleh pembakaran tidak sempurna material yang mengandung zat arang atau bahan
organik, baik dalam alur pengolahan hasil jadi industri, ataupun proses di alam lingkungan. Ia
terdiri dari satu atom karbon yang secara kovalen berikatan dengan satu atom oksigen. Dalam
ikatan ini, terdapat dua ikatan kovalen dan satu ikatan kovalen koordinasi antara atom karbon
dan oksigen

B. Toksikokinetika Karbonmonoksida (CO)


CO diserap melalui paru dan sebagian besar diikat oleh hemoglobin secara reversible,
membentuk karboksi-hemoglobin (COHb). Selebihnya mengikat diri dengan mioglobin dan
beberapa protein heme ekstravaskular lain, seperti cytochrome c oxidase dan cytochrome P-
450. Afinitas CO terhadap protein heme bervariasi 30 sampai 500 kali afinitas oksigen,
tergantung pada protein heme tersebut. Untuk hemoglobin, afinitas CO 208-245 kali afinitas
oksigen.
CO bukan merupakan racun yang kumulatif. Ikatan Hb dengan CO bersifat reversible
dan setelah Hb dilepaskan oleh CO, sel darah merah tidak mengalami kerusakan. Absorbsi
atau ekskresi CO ditentukan oleh kadar CO dalam udara lingkungan (ambient air), kadar
COHb sebelum pemaparan (kadar COHb inisial), lamanya pemaparan, dan ventilasi paru.
Bila orang yang telah mengabsorbsi CO dipindahkan ke udara bersih dan berada
dalam keadaan istirahat, maka kadar COHb semula akan berkurang 50% dalam waktu 4,5
jam. Dalam waktu 6-8 jam darahnya tidak mengandung COHb lagi. Inhalasi oksigen
mempercepat ekskresi CO sehingga dalam waktu 30 menit kadar COHb telah berkurang
setengahnya dari kadar semula. Umummya kadar COHb akan berkurang 50% bila penderita
CO akut dipindahkan ke udara bersih dan selanjutnya sisa COHb akan berkurang 8-10%
setiap jamnya. Hal ini penting untuk dapat mengerti mengapa kadar COHb dalam darah
korban rendah atau negatif pada saat diperiksa, sedangkan korban menunjukkan gejala dan
atau kelainan histopatologis yang lazim ditemukan pada keracunan CO akut.

C. Farmakodinamika Karbon Monoksida (CO)


Yang terpenting adalah reaksi CO dengan Hb dan sitokrom a3. dengan diikatnya Hb
menjadi COHb mengakibatkan Hb menjadi inaktif sehingga darah berkurang kemampuan
untuk mengangkut oksigen. Selain itu adanya COHb dalam darah akan menghambat
disosiasi Oxi-Hb. Dengan demikian jaringan akan mengalami hipoksia. Reaksi CO dengan
sitokrom a3 yang merupakan link yang penting dalam sistem enzim pernafasan sel dan
mengakibatkan hipoksia jaringan.2
Untuk menentukan kadar CO dalam darah digunakan rumus Henderson dan Haggard.
Rumusnya adalah sebagai berikut:
Lama paparan (dalam jam) x Konsentrasi CO di udara (dalam ppm)
Konsentrasi CO dalam udara lingkungan dan lamanya inhalasi/paparan menentukan
kecepatan timbulnya gejala-gejala atau kematian.
Faktor-faktor lain yang turut mempengaruhi toksisitas CO yaitu aktivitas fisik dan penyakit
yang menyebabkan gangguan oksigenasi jaringan seperti arteriosklerosis pembuluh dara otak
dan jantung, emfisema paru, asma bronchial, TBC paru dan penyakit metabolik serta obat-
obatan yang menyebabkan depresi susunan saraf pusat, contohnya alkohol, barbiturat dan
morfin.

D. Tanda dan Gejala Karbon Monoksida (CO)


Tanda dan gejala keracunan CO bervariasi tergantung pada kadar COHb dalam darah.
Konsentrasi
Konsentrasi COHb di
rata-rata 8 Gejala Keracunan
dalam darah (%)
jam (ppm)
25 50 2,5 5 Tidak ada gejala

50 100 5 10 Aliran darah meningkat, sakit kepala ringan

Tegang daerah dahi, sakit kepala, penglihatan


100 250 10 20
agak terganggu

Sakit kepala sedang, berdenyut-denyut, dahi


250 450 20 30
(throbbing temple), wajah merah dan mual

Sakit kepala berat, vertigo, mual, muntah, lemas,


450 650 30 40
mudah terganggu, pingsan saat bekerja

Seperti diatas, lebih berat, mudah pingsan dan


650 1000 40 50
jatuh
Koma, hipotensi, kadang disertai kejang,
1000 1500 50 60
pernafasan Cheyne-Stokes
Koma dengan kejang, penekanan pernafasan dan
1500 2500 60 70
fungsi jantung, mungkin terjadi kematian
Denyut nadi lemah, pernafasan lambat, gagal
2500 - 4000 70 - 80
hemodinamik, kematian

E. Gambaran Post Mortem Keracunan Karbon Monoksida


Pada korban yang mati tidak lama setelah keracunan CO, ditemukan lebam mayat
berwarna merah terang ( cheery red colour ), yang tampak jelas bila kadar COHb mencapai
30% atau lebih. Namun ternyata warna lebam mayat tersebut juga dapat ditemukan pada
mayat yang didinginkan, korban keracunan sianida, dan pada orang yang mati akibat infeksi
oleh jasad renik yang mampu membentuk nitrit, sehingga membentuk nitroksi-hemoglobin.
Pada substansia alba dan korteks kedua belah otak, globus palidus, dapat ditemukan
petekie. Ditemukan pula ensefalomalasia simetris pada globus palidus. Namun, kelainan-
kelainan tersebut ternyata tidak patognomonik untuk keracunan CO.
Sedangkan pada miokardium dapat ditemukan perdarahan dan nekrosis, paling sering
di muskulus papilaris ventrikel kiri, kadang-kadang juga terdapat pada otot ventrikel,
terutama di subperikardial dan subendokardial. Pada pemeriksaan mikroskopik menunjukan
gambaran sesuai dengan infark miokardium akut.
Hipoksia atau defisiensi oksigen, merupakan penyebab cedera sel tersering dan
terpenting, serta menyebabkan kematian. Hipoksia harus dibedakan dengan iskemia, yang
merupakan terhentinya suplai darah dalam jaringan akibat gangguan aliran darah arteri atau
berkurangnya drainase vena. Defisiensi oksigen juga dapat disebabkan oleh oksigenasi darah
yang tidak adekuat, salah satu contohnya adalah pada keracunan CO.

Kasus Luka bakar


Kematian pada luka bakar yang diakibatkan keracunan karbon monoksida
kulit berubah menjadi merah dibedakan dengan kulit yang menjadi merah
akibat luka bakar langsung

XI. KERACUNAN SIANIDA


Sianida (CN) merupakan racun yang sangat toksik, karena garam sianida dalam takaran
kecil sudah cukup untuk menimbulkan kematian pada seseorang dengan cepat seperti bunuh
diri yang dilakukan oleh beberapa tokoh Nazi. Kematian akibat keracunan CN umumnya
terjadi pada kasus bunuh diri dan pembunuhan. Tetapi mungkin pula terjadi akibat kecelakaan
di laboratorium, pada penyemprotan (fumigasi) dalam pertanian dan penyemprotan di
gudang-gudang kapal.

1. Sumber

Hidrogen sianida (asam sianida, HCN) merupakan cairan jernih yang bersifat asam,
larut dalam air, alkohol dan eter; mempunyai titik didih 26,50C sehingga mudah menguap
dalam suhu ruangan dan titik beku 140C. HCN mempunyai aroma khas amandel (bitter
almonds, pach pit). HCN dipakai dalam sintesis kimia dan fumigasi gudang-gudang kapal
untuk membunuh tikus. HCN dapat dibuat dengan jalan mereaksikan garam sianida dengan
asam sehingga terbentuk HCN.

Garam Sianida, NaCN dan KCN dipakai dalam proses pengerasan besi dan baja, dalam
proses penyepuhan emas dan perak serta dalam fotografi. AgCN digunakan dalam pembuatan
semir sepatu putih. K-Feroasianida digunakan dalam bidang fotografi, Acrylonitrile
digunakan untuk sintesis karet. Ca-cyanimide untuk pupuk penyubur.

Cyanogen (C2N2) dipakai dalam sintesis kimiawi. Sianida juga didapat dari biji tumbuh-
tumbuhan terutama biji-bijian dari genus prunus yang mengandung glikosida sianogenetik
atau amigdalin; seperti singkong liar, umbi-umbian liar, temu lawak, chery liar, pulm, aprikot
liar, jetberry bush, dll.

2. Farmakokinetik

Garam sianida cepat diabsorbsi melalui saluran pencernaan. Cyanogen dan uap HCN
diabsorbsi mealui pernapasan. HCN cair akan cepat diabsorbsi melalui kulit tetapi gas HCN
lambat. Sedangkan nitrit organik (iminodipropilnitril, glikonitril, glikonitril, asetonitril)
cepat diserap melalui kulit.

Sianida dapat masuk ke dalam tubuh melalui mulut, inhalasi dan kulit. Setelah
diabsorbsi, masuk ke dalam sirkulasi darah sebagai CN bebas dan tidak dapat berikatan
dengan hemoglobin, kecuali dalam bentuk methemoglobin akan terbentuk
sianmethemoglobin. Sianida dalam tubuh akan menginaktifkan beberapa enzim oksidatif
seluruh jaringan secara radikal, terutama sitokrom oksidase dengan mengikat bagian ferric
heme group dari oksigen yang dibawa oleh darah.

Selain itu sianida juga secara refleks merangsang pernapasan dengan bekerja pada ujung
saraf sensorik sinus (kemoreseptor) sehingga pernapasan bertambah cepat dan
menyebabkan gas racun yang di inhalasi makin banyak.

Proses oksidasi dan reduksi terjadi sebagai berikut:

Fe++sitokrom-oksidase Fe+++sitokrom-oksidase
+

CN

Fe+++sitokrom-oksidase-sianida
Dengan demkian proses oksidasi-reduksi dalam sel tidak dapat berlangsung dan oksi-Hb
tidak dapat berdisosiasi melepaskan O2 ke sel jaringan sehingga timbul anoksia jaringan
(anoksia histotoksik). Hal ini merupakn keadaan paradoksal karena korban meninggal akibat
hipoksia tetapi dalam darahnya kaya akan oksigen.
Sianida teroksidasi dalam tubuh menjadi sianat dan sulfosianat dan dikeluarkan dari
tubuh melalui urin.

Takaran toksis peroral untuk HCN adalah 60-90 mg sedangkan takaran toksik untuk
KCN atau NaCN adalah 200 mg.

Kadar gas sianida dalam udara lingkungan dan lama inhalasi akan menentukan kecepatan
timbul gejala keracunan dan kematian.

Nilai TLV (Threshold Limit Value) adalah 11 mg per M 3 untuk gas HCN, sedangkan
TLV untuk debu sianida adalah 5 gr per M3.

Kadang-kadang korban keracunan CN melebihi takaran mematikan (letal) tetapi tidak


meninggal. Hal ini mungkin disebabkan oleh toleransi individual dengan daya detoksifikasi
tubuh berlebihan, dengan mengubah CN menjadi sianat dan sulfosianat. Dapat pula
disebabkan oleh keadaan an-asiditas asam lambung, sehingga menyebabkan garam CN yang
ditelan tidak terurai menjadi HCN. Keadaan ini dikenal sebagai imunitas Rasputin. Tetapi
sekarang hal ini telah dibantah, karena cukup dengan air saja dalam lambung, garam CN
sudah dapat terurai menjadi HCN. Kemungkinan lain adalah karena dalam penyimpanan
sianida sudah berubah menjadi garam karbonat. Misalnya NaCN + udara Na2CO3 + NH3.

3. Tanda dan gejala keracunan

Pada keracunan akut racun ditelan cepat menyebabkan kegagalan pernapasan dan
kematian dapat timbul dalam beberapa menit. Dalam interval waktu yang pendek antara
menelan racun sampai kematian, dapat ditemukan gejala-gejala dramatis, korban
mengeluh terasa terbakar pada kerongkongan dan lidah, sesak nafas, hipersalivasi, mual-
muntah, sakit kepala, vertigo, fotofobi, tinitus, pusing dan kelelahan. Dapat pula
ditemukan sianosis pada muka, busa keluar dari mulut, nadi cepat dan lemah, pernapasan
cepat dan kadang-kadang tidak teratur, pupil dilatasi dan refleks melambat, udara
pernapasan dapat berbau amandel, juga muntahan tercium bau amandel. Menjelang
kematian, sianosis lebih nyata dan timbul kedut otot-otot kemudian kejang-kejang
dengan inkontinensi urin dan alvi.

Racun yang di inhalasi menimbulkan palpitasi, kesukaran bernapas, mual, muntah, sakit
kepala, salivasi, lakrimasi, iritasi mulut dan kerongkongan, pusing dan kelemahan
ekstremitas cepat timbul dan kemudian kolaps, kejang-kejang, koma dan meninggal.
Pada keracunan kronik korban tampak pucat, berkeringat dingin, pusing, raa tidak enak
dalam perut, mual dan kolik, rasa tertekan pada dada dan sesak napas. Keracunan kronik
CN dapat menyebabkan goiter dan hipotiroid, akibat terbentuk sulfosianat.

4. Pemeriksaan Kedokteran Forensik

Pemeriksaan luar jenazah

1. Tercium bau amandel (patognomonik untuk keracunan CN)

2. Sianosis pada wajah dan bibir

3. Busa keluar dari mulut

4. Lebam mayat berwarna merah terang, karena darah vena kaya akan oksi-Hb/ Cyan-
Met-Hb. Warna lebam mayat yang merah terang tidak selalu ditemukan pada kasus
keracunan sianida, ditrmukan pula kasus kematian akibat sianida dengan wana lebam
mayat yang bewarna biru-kemerahan, livid. Hal ini tergantung pada keadaan dan
derajat keracunannya.

Lebam mayat pada keracunan CO / CN

Pemeriksaan dalam jenazah

1. Tercium bau amandel yang khas pada waktu membuka rongga dada, perut dan otak
serta lambung (bila racun melalui mulut)

2. Darah, otot, dan penampang organ tubuh dapat berwarna merah terang

3. Tanda-tanda asfiksia pada organ tubuh

Pada korban yang menelan garam alkali sianida, dapat ditemukan kelainan pada mukosa
lambung berupa korosi dan berwarna merah kecoklatan karena terbentuk hematin alkali
dan pada perabaan mukosa licin seperti sabun. Korosi dapat mengakibatkan perforasi
lambung yang dapat terjasi antemortal atau postmortal.

5. Pemeriksaan laboratorium

a. Uji kertas saring

Kertas saring dicelupkan kedalam larutan asam piknat jenuh, biarkan hingga menjadi
lembab. Teteskan satu tetes isi lambung atau darah korban, diamkan sampai agak
mengering, kemudian teteskan Na2CO3 10% 1 tetes. Uji positif bila terbentuk warna
ungu.

Kertas saring dicelup dalam larutan KCL, dikeringkan dan dipotong-potong kecil.
Kertas tersebut dicelupkan ke dalam darah korban, bila positif maka warna akan
berubah menjadi merah teang karena terbentuk sianmethemoglobin.

b. Reaksi Schonbein-Pagenstecher

Masukan 50 mg isi lambung/ jaringan kedalam tabung elenmeyer. Kertas saring


dicelupkan kedalam larutan guajacol 10% dalam alkohol, keringkan. Lalu celupkan
kedalam larutan 0,1% CusO4 dalam air dan kertas saring digantungkan diatas jaringan
dalam botol . Botol tersebut dihangatkan. Bila reaksi positif, akan terbntuk warna
biru-hijau pada kertas saring. Reaksi ini tidak spesifik.

c. Reaksi Prussian Blue

d. Cara Gettler Goldbaum


BAB III

KESIMPULAN

Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan pertukaran
udara pernapasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang disertai dengan peningkatan
karbon dioksida. Dengan demikian organ tubuh mengalami kekurangan oksigen dan terjadi
kematian.

Asfiksia mekanik adalah mati lemas yang terjadi bila udara pernapasan terhalang
memasuki saluran pernapasan oleh berbagai kekerasan yang bersifat mekanik, misalnya
pembekapan, penyumbatan, penjeratan, pencekikan, gantung diri, dan tenggelam (drowning).

Pada orang yang mengalami asfiksia akan timbul gejala yang dibedakan menjadi 4 fase,
yaitu: fase dispneu, fase konvulsi, fase apneu dan fase akhir. Masa dari saat asfiksia timbul
sampai terjadinya kematian sangat bervariasi. Umumnya berkisar antara 4-5 menit. Fase
dispneu dan fase konvulsi berlangsung kurang lebih 3-4 menit, tergantung dari tingkat
penghalanhan oksigen, bila tidak 100% maka waktu kematian akan lebih lama dan
tanda=tanda asfiksia akan lbih jelas.

Pada pemeriksaan luar jenazah dapat ditemukan sianosis pada bibir, ujung-ujung jari dan
kuku. Perbendungan sistemik maupun pulmoner dan dilatasi jantung kanan, merupakan tanda
klasik pada kematian akibat asfiksia. Warna lebam mayat kebiruan gelap dan terbentuk lebih
cepat, terdapat busa halus pada hidung dan mulut, dan tampak pembendungan pada mata
berupa pelebaran pembuluh darah, konjungtiva bulbi dan palpebra yang terjadi pada fase
konvulsi.

Pada pemeriksaan dalam jenazah, kelainan yang mungkin ditemukan adalah darah
berwarna lebih gelap dan lebih encer, busa halus dalam saluran pernapasan, pembendungan
sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh sehingga menjadi lebih berat dan berwarna lebih
gelap, ptekie dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epicardium, subpleura viseralis, kulit
kepala bagian dalam, serta mukosa epiglottis, edema paru terurtama yang berhubungan
dengan hipoksia, adanya fraktur laring langsung dan tidak langsung, perdarahan faring
terutama yang berhubungan dengan kekerasan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Budiyanto A., Widiatmaka W., Sudiono S, et al., Kematian Karena Asfiksia Mekanik,
Ilmu Kedokteran Forensik Universitas Indonesia, Jakarta: 1997.
2. Dahlan S, Asfiksia, Ilmu Kedokteran Forensik, Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, Semarang: 2000.
3. Iedris M, dr., Tjiptomartono A.L, dr., Asfiksia., Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik
dalam Proses Penyidikan., Sagung Seto., Jakarta: 2008.
4. Amir A, Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik, ed 2, Bagian Ilmu Kedokteran
Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan,
2007.
5. Darmono, Farmasi Forensik Dan Toksikologi, Penerapannya Dalam Penyidik Kasus
Tindak Pidana Kejahatan, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 2009.
6. Mohan S. Dharma, Dkk., Makalah Investigasi Kematian Dengan Toksikologi
Forensik FK, 2008, Tersedia di:
http://yayanakhyar.files.wordpress.com/2008/11/investigasi-kematian-dengan-
toksikologi-forensik-files-of-drsmed.pdf., Diakses pada tanggal 05 Januari 2012.
7. Bionity Team. Asphyxia. 2009. Tersedia di:
http://www.bionity.com/en/encyclopedia/Asphyxia.html. Diakses Pada Tanggal 05
Januari 2012.

Anda mungkin juga menyukai