Anda di halaman 1dari 28

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kematian adalah suatu proses yang dapat dikenal secara klinis pada
seseorang melalui pengamatan terhadap perubahan yang terjadi pada tubuh mayat.
Perubahan itu akan terjadi dari mulai terhentinya suplai oksigen. Manifestasinya
akan dapat dilihat setelah beberapa menit, jam dan seterusnya. Terhentinya suplai
oksigen bisa juga menjadi penyebab kematian. Hal ini disebabkan karena adanya
hambatan masuknya oksigen ke dalam sistem respirasi sehingga kadarnya
berkurang (hipoksia). Hambatan ini juga akan berakibat terganggunya pengeluaran
karbondioksida dari tubuh sehingga kadarnya dalam darah meningkat
(hiperkapnea).1,2
Asfiksia merupakan penyebab kematian terbanyak yang ditemukan dalam
kasus kedokteran forensik. Asfiksia yang diakibatkan oleh karena adanya
obstruksi pada saluran pernafasan disebut asfiksia mekanik. Asfiksia jenis
inilah yang paling sering dijumpai dalam kasus tindak pidana yang menyangkut
tubuh dan nyawa manusia.1
Keadaan dimana terjadi gangguan dalam pertukaran udara pernafasan
yang normal disebut asfiksia.1,2 Asfiksia dalam bahasa Indonesia disebut dengan
“mati lemas”. Sebenarnya, pemakaian kata asfiksia tidaklah tepat, sebab kata
asfiksia ini berasal dari bahasa Yunani, menyebutkan bahwa asfiksia berarti
“absence of pulse” (tidak berdenyut), sedangkan pada kematian karena asfiksia,
nadi sebenarnya masih dapat berdenyut untuk beberapa menit setelah pernapasan
berhenti. Istilah yang tepat secara terminologi kedokteran ialah anoksia atau
hipoksia.3,4
Dalam penyidikan untuk kepentingan peradilan menangani seorang
korban yang diduga karena peristiwa tindak pidana, seorang penyidik berwenang
mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau
dokter dan atau ahli lainnya.1
2

Gantung diri merupakan cara kematian yang paling sering dijumpai pada bunuh
diri. Tindakan bunuh diri dengan cara penggantungan sering dilakukan karena dapat
dilakukan dimana saja dan kapan saja, dapat menggunakan seutas tali, kain, dasi
atau bahan apa saja yang dapat melilit leher. Demikian pula pada pembunuhan atau
hukuman mati dengan cara penggantungan yang sudah digunakan sejak zaman
dahulu. Penggantungan (hanging) adalah penyebab kematian akibat asfiksia yang
paling sering ditemukan.1,2
Penggantungan merupakan metode bunuh diri yang sering ditemukan di
banyak negara. Di Inggris, terdapat lebih dari 2000 kasus bunuh diri dengan
penggantungan dilaporkan setiap tahun. Penggantungan baik akibat bunuh diri atau
pembunuhan lebih sering ditemukan di perkotaan.1 Di Departemen Forensik Leeds
menunjukkan bahwa gantung diri sekitar 6 dari 146 kasus kematian mendadak tidak
wajar pertahun.3
Data statistik mengenai frekuensi dan distribusi variasi kasus gantung diri
di Indonesia masih sangat langka. Penelitian tentang gantung diri di Indonesia juga
masih sangat terbatas jumlahnya. Data yang dihimpun dari Polda Metro Jaya
diketahui bahwa pada tahun 2009 ada 90 kasus gantung diri, tahun 2010 ada 101
kasus dan tahun 2011 ada 82 kasus gantung diri.4
Dalam kasus gantung diri diperlukan pemeriksaan yang teliti untuk
mencegah kemungkinan lain, seperti pembunuhan atau kecelakaan. Penggantungan
juga merupakan penyebab kematian yang paling sering menimbulkan persoalan
karena rawan terjadi salah interpretasi. Oleh karena itu, sangatlah perlu untuk
mengetahui lebih mendalam mengenai penggantungan (hanging), khususnya
mengenai gantung diri mengingat kasus ini merupakan penyebab kematian akibat
asfiksia yang paling sering ditemukan. Selain itu, dalam aspek medikolegal, sebagai
dokter yang memeriksa perlu memastikan apakah kasus penggantungan tersebut
merupakan tindakan bunuh diri, pembunuhan atau kecelakaan sehingga dapat
membuat terang suatu perkara pidana, khususnya penggantungan.
3

1.2 Tujuan
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk memenuhi Tugas Kepaniteraaan
Klinik di Departemen Ilmu Kedokteran Forensik Rumah Sakit Umum Pusat Haji
Adam Malik dan untuk memberikan pengetahuan kepada mahasiswa mengenai
gantung diri.
4

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Asfiksia

2.1.1 Definisi

Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan


pertukaran udara pernapasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang
(hipoksia) disertai dengan peningkatan karbon dioksida (hiperkapnea).
Dengan demikian organ tubuh mengalami kekurangan oksigen (hipoksia
hipoksik) dan terjadi kematian.1

Pembagian asfiksia berdasarkan penyebabnya :1


1. Kekurangan oksigen (hipoksi-hipoksia/anoksi-anoksia dalam darah paru-
paru)
a. Kekurangan oksigen dalam udara bebas (atmosfer)
contoh : ada gas dalam cerobong asap, exposure to seur gas
(pembakaran hutan)
b. Secara mekanik : gangguan dalam saluran pernapasan (paru-paru)
1. Smothering : tertutupnya saluran napas pada hidung dan mulut
2. Chocking : terdapatnya benda dalam saluran pernapasan
3. Drowning (tenggelam)
c. tekanan saluran pernapasan dari luar (strangulation)
1. Manual stranglation (throttling/cekikan)
2. Ligatur strangulation (jeratan)
3. Hanging (gantung diri)
4. Tekanan pada dada atau perut yang kuat
5. Kegagalan saluran pernapasan primer : paralise pusat pernapasan
dan elektrik
2. Anemik hipoksia
Berkurangnya kemampuan membawa oksigen je dalam darah
Contoh : keracunan CO (dimana HbCO > dari HbO2)
5

3. Gangguan sirkulasi darah dalam pelepasan oksigen permenit (stagnan


hipoksia)
Contoh : pasien dalam keadaan syok

2.1.2 Etiologi
Dari segi etiologi (secara umum), asfiksia dapat disebabkan oleh hal berikut: 1
1. Penyebab alamiah, misalnya penyakit yang menyumbat saluran pernapasan
seperti laringitis, difteri, atau menimbulkan gangguan pergerakan paru
seperti fibrosis paru.
2. Trauma mekanik yang menyebabkan asfiksia mekanik, misalnya trauma
yang mengakibatkan emboli udara vena, emboli lemak, pneumotoraks
bilateral; sumbatan atau halangan pada saluran napas dan sebagainya.
3. Keracunan bahan yang menimbulkan depresi pusat pernapasan, misalnya
barbiturat dan narkotika.

2.1.3 Gejala
Pada orang yang mengalami asfiksia akan timbul gejala yang dapat dibedakan
dalam empat fase, yaitu: 1,3
1. Fase Dispnea
Penurunan kadar oksigen sel darah merah dan penimbunan karbondioksida
dalam plasma akan merangsang pusat pernapasan di medula oblongata,
sehingga amplitudo dan frekuensi pernapasan akan meningkat, nadi cepat,
tekanan darah meninggi dan mulai tampak tanda-tanda sianosis terutama
pada muka dan tangan.
2. Fase Kejang
Perangsangan terhadap susunan saraf pusat sehingga terjadi konvulsi
(kejang), yang mula-mula berupa kejang klonik tetapi kemudian menjadi
kejang tonik, dan akhirnya timbul spasme opistotonik.
Pupil mengalami dilatasi, denyut jantung dan tekanan darah menurun. Efek
ini berkaitan dengan paralisis pusat yang lebih tinggi dalam otak akibat
kekurangan oksigen.
6

3. Fase Kelelahan (Exhaustion phase)


Korban kehabisan nafas karena depresi pusat pernapasan, otot menjadi
lemah, hilangnya refleks, dilatasi pupil, tekanan darah menurun, pernapasan
dangkal dan semakin memanjang, akhirnya berhenti bersamaan dengan
lumpuhnya pusat-pusat kehidupan. Walaupun nafas telah berhenti dan
denyut nadi hampir tidak teraba, pada stadium ini bisa dijumpai jantung
masih berdenyut beberapa saat lagi.
4. Fase Apnea
Terjadi paralisis pusat pernapasan yang lengkap. Pernafasan berhenti
setelah kontraksi otomatis otot pernapasan kecil pada leher. Jantung masih
berdenyut beberapa saat setelah pernapasan berhenti.
Masa dari saat asfiksia timbul sampai terjadinya kematian sangat bervariasi.
Umumnya berkisar antara 4-5 menit. Fase 1 dan 2 berlangsung lebih kurang 3-
4 menit, tergantung dari tingkat penghalangan oksigen, bila tidak 100% maka
waktu kematian akan lebih lama dan tanda-tanda asfiksia akan lebih jelas dan
lengkap.

Tanda Asfiksia pada Pemeriksaan Jenazah


Tanda asfiksia pada pemeriksaan luar jenazah dapat ditemukan, yaitu: 1,4
1. Sianosis
Merupakan warna kebiru-biruan yang terdapat pada kulit dan selaput lendir
yang terjadi akibat peningkatan jumlah absolut Hb tereduksi (Hb yang tidak
berikatan dengan oksigen).
2. Kongesti
Terjadi perbendungan sistemik maupun pulmoner dan dilatasi jantung
kanan. Gambaran perbendungan pada mata berupa pelebaran pembuluh
darah konjungtiva bulbi dan palpebra yang terjadi pada fase 2. Akibatnya
tekanan hidrostatik dalam pembuluh darah meningkat terutama dalam vena,
venula dan kapiler. Selain itu, hipoksia dapat merusak endotel kapiler
sehingga dinding kapiler yang terdiri dari selapis sel akan pecah dan timbul
bintik-bintik perdarahan yang dinamakan sebagai Tardieu’s spot.
7

Gambar 2.1. Tardieu’s spot


3. Buih halus
Terdapat busa halus pada hidung dan mulut yang timbul akibat peningkatan
aktivitas pernapasan pada fase 1 yang disertai sekresi selaput lendir saluran
napas bagian atas. Keluar masuknya udara yang cepat dalam saluran sempit
akan menimbulkan busa yang kadang-kadang bercampur darah akibat
pecahnya kapiler.
4. Warna lebam mayat merah-kebiruan gelap
Warna lebam mayat merah kebiruan gelap ini terbentuk lebih cepat.
Distribusi lebam lebih luas akibat kadar karbondioksida yang tinggi dan
akitivitas fibrinolisin dalam darah sehingga darah sukar membeku dan
mudah mengalir. Pada pemeriksaan dalam jenazah dapat ditemukan, antara
lain: 1,4
1. Darah berwarna lebih gelap dan lebih encer karena kadar
karbondioksida yang tinggi dan fibrinolisin darah yang meningkat paska
kematian.
2. Busa halus di dalam saluran pernapasan.
3. Pembendungan sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh sehingga
menjadi lebih berat, berwarna lebih gelap, dan pada pengirisan banyak
mengeluarkan darah.
4. Petekie dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epikardium pada
bagian belakang jantung belakang daerah aurikuloventrikular, subpleura
viseralis paru terutama di lobus bawah pars diafragmatika dan fisura
interlobaris, kulit kepala sebelah dalam terutama daerah otot temporal,
mukosa epiglotis, dan daerah subglotis.
8

2.1.4 Perubahan patologi secara umum


Dengan berkurangnya oksigen/hipoksia secara cepat dan tiba-tiba maka
akan terjadi hipoksia sel dalam jaringan tubuh, diikuti dengan kekurangan
oksigen pada dinding kapiler, sehingga terjadi pecahnya kapiler atau terjadi
pendarahan (ptechiae haemorhagik). Selain itu, juga terjadi dilatasi kapiler yang
menyebabkan adanya stasis darah pad kapiler venus atau pembuluh darah
lainnya, terjadilah kongestif (bendungan darah). Dari uraian diatas maka secara
umum asfiksia akan didapati : 1
1. Ptechiae haemoraghik : pada konjungtiva bulbi, pleura.
2. Dilatasi pembuluh darah
3. Kongesti/bendungan darah akibat dilatasi pembuluh darah kapiler
4. Transudat plasma ke dalam jaringan
karena meningkatnya ereabilitas kapiler, diikuti dengan peningkatan
pad saluran limfe selama pembuluh limfe memenuhi pembuluh darah
yang berdilatasi maka tidak terjadi transudat. Jika tidak terpenuhi akan
teerjadi transudat /edema, terutama edema paru
5. Post mortem fluidity (pengenceran)
apabila pemeriksaan jenazah segera, maka darah akan mengalami
pengenceran dan darah yang keluar dari jantung mengalami pembekuan.
Pengenceran ini disebabkan oleh factor fibrinolisin 90 % yang akan aktif
bila ada thrombus. Dengan alas an ini fibrinolisis terjadi jika proses
pembekuan
6. Terjadi dilatasi jantung
salah satu karakteristik asfiksia adalah dilatasi jantung, salah satunya
adalah secondary muscular flaccidity
7. Perubahan biokimia (Swan dan Brucer)
menurut Brucer : pH (keasaman), konsentrasi CO2, konsentrasi oksigen
bila diukur akan terdapat perbedaan sesuai dengan penyebab asfiksia.
Asfiksia dikatakan asfiksia mutlak bila ada :1,5
- Ptechiae haemorhagik
- Kongesti alat-alat dalam
9

- Dilatasi pembuluh darah


- Sianosis
sianosis terjadi bila ada reduce Hb yang banyak, sedangkan Hb O2
lenih sedikit dalam darah atau proporsi Hb O2 dalam darah tidak
mencukupi kebutuhan tubuh.
- Pengenceran darah

2.1.5 Pemeriksaan
 Pemeriksaan Jenazah
Pada pemeriksaan luar jenazah dapat ditemukan sianosis pada bibir,
ujung-ujung jari dan kuku. Pembendungan sistemik maupun pulmoner dan
dilatasi jantung kanan merupakan tanda klasik pada kematian akibat
asfiksia. Warna lebam mayat merah-kebiruan gelap dan terbentuk lebih
cepat. Distribusi lebam lebih luas akibat kadar CO2 yang tinggi dan aktivitas
fibrinolisin dalam darah sehingga darah sukar membeku dan mudah
mengalir. Terdapat pula bula halus pada hidung dan mulut yang timbul
akibat peningkatan aktivitas pernapasan pada fase 1 yang disertai sekresi
selaput lendir saluran pernapasan bagian atas. Keluar masuknya udara yang
cepat dalam saluran sempit akan menimbulkan busa yang kadang-kadang
bercampur darah akibat pecahnya kapiler.
Gambaran pembendungan pada mata, berupa pelebaran pembuluh
darah konjungtiva bulbi dan palpebra yang terjadi pada fase 2. Akibatnya
tekanan hidrostatik dalam pembuluh darah meningkat terutama dalam vena,
venula, dan kapiler. Selain itu, hipoksia dapat merusak endotel kapiler
sehingga dinding kapiler yang terdiri dari selapis sel akan pecah dan timbul
bintik-bintik perdarahan yang dinamakan sebagai Tardieu’s spot. Kapiler
yang lebih mudah pecah adalah kapiler pada jaringan ikat longgar, misalnya
pada konjungtiva bulbi, palpebrae, dan subserosa lainnya. Kadang-kadang
dijumpai pula di kulit wajah. Penulis lain mengatakan bahwa Tardieu’s spot
ini timbul karena permeabilitas kapiler yang meningkat akibat hipoksia. 2,3,6
10

 Pemeriksaan Bedah Jenazah


Kelainan yang umum ditemukan pada pembedahan jenazah korban
mati akibat asfiksia adalah:2,3,6
1. Darah berwarna lebih gelap dan lebih encer, karena fibrinolisin darah
yang meningkat pasca mati.
2. Busa halus di dalam saluran pernapasan.
3. Pembendungan sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh sehingga
menjadi lebih berat, berwarna lebih gelap dan pada pengirisan banyak
mengeluarkan darah.
4. Petekie dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epikardium pada
bagian belakang jantung daerah aurikuloventrikular, subpleura viseralis
paru terutama di lobus bawah pars diafragmatika dan fisura interlobaris,
kulit kepala sebelah dalam terutama daerah otot temporal, mukosa
epiglotis dan daerah sub-glotis.
5. Edema paru sering terjadi pada kematian yang berhubungan dengan
hipoksia.
6. Kelainan-kelainan yang berhubungan dengan kekerasan, seperti fraktur
laring langsung atau tidak langsung, perdarahan faring terutama bagian
belakang rawan krikoid (pleksus vena submukosa dengan dinding
tipis).

2.2 Asfiksia Mekanik

2.2.1 Definisi

Asfiksia mekanik adalah mati lemas yang terjadi bila udara pernapasan
terhalang memasuki saluran pernapasan oleh berbagai kekerasan (yang bersifat
mekanik), misalnya:1,2,3
1. Penutupan lubang saluran pernapasan bagian atas:
- Pembekapan (smothering)
- Penyumbatan (gagging dan choking)
2. Penekanan dinding saluran pernapasan:
11

- Penjeratan (strangulation)
- Pencekikan (manual strangulation, throttling)
- Gantung (hanging)
3. Penekanan dinding dada dari luar (asfiksia traumatik)
4. Saluran pernapasan terisi air (tenggelam/ drowning)

2.3 Gantung Diri (Hanging)


2.3.1. Definisi
Gantung diri adalah suatu tindakan yang dilakukan secara sengaja untuk
membunuh diri sendiri melalui suatu penggantungan.5 Ada beberapa definisi
tentang penggantungan. Penggantungan atau hanging adalah suatu keadaan
dimana terjadi konstriksi dari leher oleh alat jerat yang ditimbulkan oleh berat
badan seluruh atau sebagian.1
Penggantungan juga didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana leher
dijerat dengan ikatan yang mana daya jerat ikatan tersebut memanfaatkan berat
badan tubuh atau kepala.1,6 Dengan demikian berarti alat penjerat bersifat pasif
dan berat badan bersifat aktif sehingga terjadi konstriksi pada leher.1,2 Keadaan
tersebut berbeda dengan penjeratan, dimana yang aktif (kekuatan yang
menyebabkan konstriksi leher), adalah terletak pada alat penjeratnya.5

2.3.2 Epidemiologi
Suatu tinjauan pada tahun 2008 di 56 negara berdasarkan data mortalitas
World Health Organization (WHO) ditemukan bahwa penggantungan merupakan
metode bunuh diri yang paling utama pada sebagian besar negara-negara
tersebut.5 Di Amerika Serikat, pada tahun 2005, the National Center for Injury
Prevention and Control melaporkan 13,920 kematian di seluruh Amerika Serikat
akibat sufokasi, dengan angka rata-rata 4,63 per 100.000. Angka ini meliputi pula
strangulasi dan hanging aksidental, strangulasi dan sufokasi aksidental, hanging,
strangulasi dan sufokasi serta ancaman terhadap pernafasan aksidental lainnya.7
Penggantungan bunuh diri disetujui bersama lebih banyak pada laki-laki.7
Di Eropa Timur (misalnya Estonia, Latvia, Polandia dan Romania), proporsi
12

tertinggi kasus gantung diri lebih banyak pada laki-laki, yaitu 90%, sedangkan
pada wanita 80%.8 Namun akhir-akhir ini wanita lebih banyak memilih metode ini
untuk melakukan bunuh diri dibanding penggunaan senjata api dan
racun.7Sedangkan berdasarkan usia, kelompok remaja melakukan tindakan bunuh
diri akibat depresi dimana dapat memicu gantung diri. Terdapat pula peningkatan
insidensi accidental hanging karena "the choking game", suatu strangulasi leher
yang disengaja dalam rangka menikmati perubahan status mental dan sensasi
fisik. Pada kelompok usia dewasa muda, penyebab tersering adalah penyerangan
dan bunuh diri akibat depresi. Para narapidana sering memilih gantung diri
sebagai upaya bunuh diri karena ini merupakan satu dari sedikit metode yang
tersedia bagi mereka.7

2.3.3 Mekanisme Kematian pada Penggantungan


Kematian pada kasus gantung diri dapat disebabkan oleh mekanisme
tertentu, diantaranya sebagai berikut :
1. Asfiksia. Merupakan penyebab kematian yang paling sering. Terjadi akibat
terhambatnya aliran udara pernafasan.1 Kekuatan kontriksi dari pengikat
menyebabkan penyempitan kompresif pada lumina laring dan trakea, dan
menekan ke atas dasar lidah terhadap dinding posterior faring, dan melipat
epiglotis di atas pintu masuk laring untuk menghalangi aliran udara.6
2. Apopleksia (kongesti pada otak). Tekanan pada pembuluh darah vena
menyebabkan kongesti pada pembuluh darah otak dan mengakibatkan kegagalan
sirkulasi. Tekanan pada vena jugularis bisa menyebabkan kematian korban
penggantungan dengan mekanisme asfiksia. Kebanyakan kasus penggantungan
bunuh diri mempunyai mekanisme kematian seperti ini. Seperti yang diketahui,
vena jugularis membawa darah dari otak ke jantung untuk sirkulasi. Pada
penggantungan sering terjadi penekanan pada vena jugularis oleh tali yang
menggantung korban. Tekanan ini seolah-olah membuat jalan yang dilewati
darah untuk kembali ke jantung dari otak tersumbat. Obstruksi total
maupun parsial secara perlahan-lahan dapat menyebabkan kongesti pada
pembuluh darah otak. Darah tetap mengalir dari jantung ke otak tetapi darah dari
13

otak tidak bisa mengalir keluar. Akhirnya, terjadilah penumpukan darah di


pembuluh darah otak. Keadaan ini menyebabkan suplai oksigen ke otak
berkurang dan korban seterusnya tidak sadarkan diri. Kemudian, terjadilah
depresi pusat nafas dan korban mati akibat asfiksia. Besarnya tekanan yang
diperlukan untuk terjadinya mekanisme ini idak penting tetapi durasi lamanya
tekanan yang diberikan pada leher oleh tali yang menggantung korban yang
menyebabkan mekanisme tersebut. Ketidaksadaran korban memerlukan waktu
yang lama sebelum terjadinya depresi pusat nafas. Secara keseluruhan,
mekanisme ini tidak menyakitkan sehingga sering disalahgunakan oleh pria
untuk memuaskan nafsu seksual mereka (autoerotic sexual asphyxia). Pada
mekanisme ini, korban akan menunjukkan gejala sianosis. Wajahnya membiru
dan sedikit membengkak. Muncul peteki di wajah dan mata akibat dari pecahnya
kapiler darah karena tekanan yang lama. Didapatkan lidah yang menjulur keluar
pada pemeriksan luar.1
Obstruksi arteri karotis terjadi akibat dari penekanan yang lebih besar. Hal ini
karena secara anatomis, arteri karotis berada lebih dalam dari vena jugularis.
Oleh karena itu, obstruksi arteri karotis jarang ditemukan pada kasus bunuh diri
dengan penggantungan. Biasanya korban mati karena tekanan yang lebih besar,
misalnya dicekik atau pada penjeratan. Pada pemeriksaan dalam turut
ditemukan jejas pada jaringan lunak sekitar arteri karotis akibat tekanan yang
besar ini. Tekanan ini menyebabkan aliran darah ke otak tersumbat. Kurangnya
suplai darah ke otak menyebabkan korban tidak sadar diri dan depresi pusat
nafas sehingga kematian terjadi. Pada mekanisme ini, hanya ditemukan wajah
yang sianosis tetapi tidak ada peteki.1

Gambar 1. Kongesti yang menyolok pada leher akibat gantung diri


14

3. Kombinasi dari asfiksia dan apopleksia.


4. Iskemia serebral. Hal ini akibat penekanan dan hambatan pembuluh darah arteri
yang memperdarahi otak.
5. Syok Vaso-Vagal (refleks vagal). Perangsangan pada sinus caroticus
menyebabkan henti jantung.
Hal ini dapat dijelaskan melalui mekanisme:
a. Inhibisi vagal sering diikuti oleh fibrilasi ventrikel
b. Secara experimental pada binatang yang dibuat dalam keadaan obstruktive
asphyxia, setelah beberapa menit akan diikuti dengan berkurangnya detak
jantung kemudian beberapa saat terjadi takikardi sampai terjadi kematian.
6. Kerusakan pada batang otak dan medula spinalis. Hal ini terjadi akibat dislokasi
atau fraktur vertebra servikalis. Fraktur vertebra servikal dapat menimbulkan
kematian pada penggantungan dengan mekanisme asfiksia atau dekapitasi.
Sering terjadi fraktur atau cedera pada vertebra servikal 1 dan servikal 2 (aksis
dan atlas) atau lebih dikenali sebagai “hangman fracture”. Fraktur atau dislokasi
vertebra servikal akan menekan medulla oblongata sehingga terjadi depresi
pusat nafas dan korban meninggal karena henti nafas.6 Kejadian ini biasa terjadi
pada hukuman gantung atau korban penggantungan yang dilepaskan dari tempat
tinggi. Pada keadaan dimana tali yang menjerat leher cukup panjang, kemudian
korbannya secara tiba-tiba dijatuhkan dari ketinggian 1,5–2 meter maka akan
mengakibatkan fraktur atau dislokasi vertebra servikalis yang akan menekan
medulla oblongata dan mengakibatkan terhentinya pernafasan.1

2.3.4. Tipe Penggantungan


Penggantungan dapat dikelompokkan berdasarkan posisi korban pada
saat gantung diri, yang terdiri dari :1,6
1. Complete Hanging, yaitu posisi penggantungan dimana kedua kaki tidak
menyentuh lantai.
15

Gambar 2. Contoh posisi pada complete hanging


2. Partial Hanging, yaitu posisi penggantungan berupa duduk berlutut. Istilah ini
digunakan jika beban berat badan tubuh tidak sepenuhnya menjadi kekuatan daya
jerat tali. Pada kasus tersebut berat badan tubuh tidak seluruhnya menjadi gaya
berat sehingga disebut penggantungan parsial.

Gambar 3. Contoh posisi pada partial hanging

3. Berbaring, posisi penggantungan seperti ini biasanya dilakukan di bawah tempat


tidur.
16

Gambar 4. Contoh posisi gantung diri berbaring

Selain berdasarkan posisi, penggantungan (hanging) juga dapat


dikelompokkan berdasarkan letak jeratan, yaitu typical hanging dan atypical
hanging.1
1. Typical hanging, yaitu bila titik penggantungan ditemukan di daerah oksipital
dan tekanan pada arteri karotis paling besar.
2. Atypical hanging, yaitu bila titik penggantungan terletak di samping, sehingga
leher sangat miring (fleksilateral), yang mengakibatkan hambatan pada arteri
karotis dan arteri vertebralis. Saat arteri terhambat, korban segera tidak sadar.

2.3.5 Aspek Medikolegal


Gantung diri merupakan cara kematian yang paling sering dijumpai pada
penggantungan, tetapi pemeriksaan yang teliti tetap harus dilakukan untuk
mencegah kemungkinan lain. Kepentingan medikolegal dalam kasus
penggantungan adalah menentukan 2 hal, yaitu :6
- Apakah kematian disebabkan oleh penggantungan? Pertanyaan ini sering
diajukan kepada dokter pemeriksa dalam persidangan
- Apakah penggantungan tersebut merupakan bunuh diri, pembunuhan atau
kecelakaan?

Beberapa faktor di bawah ini dapat dijadikan bahan pertimbangan:


a. Penggantungan biasanya merupakan tindakan bunuh diri, kecuali dibuktikan
lain.
17

b. Cara terjadinya penggantungan


c. Bukti-bukti tidak langsung di sekitar tempat kejadian
d. Tanda berupa jejas penjeratan
e. Tanda-tanda kekerasan atau perlawanan

2.3.6 Gambaran Post-Mortem Korban Penggantungan


Ada beberapa hal yang dapat kita jumpai pada pemeriksaan luar dan
dalam pada korban penggantungan. Ada 5 bagian tubuh korban yang kita
perhatikan saat melakukan pemeriksaan luar dan dalam, yaitu:9
1. Kepala.
2. Leher.
3. Anggota gerak (lengan dan tungkai).
4. Dubur.
5. Alat kelamin.
Ada 4 bagian kepala korban yang kita perhatikan saat melakukan
pemeriksaan luar autopsi, yaitu:9
1. Muka.
2. Mata.
3. Konjungtiva.
4. Lidah.

Gambaran yang ditemukan pada korban berdasarkan alat penggantung:9


1. Penampang kecil (tali)
Muka korban penggantungan (hanging) akan mengalami sianosis dan terlihat
pucat karena vena terjepit. Pucat yang tampak pada wajah korban disebabkan
tekanan alat penggantung tidak hanya menyebabkan terjepitnya vena, tetapi
tekanan penggantung juga menyebabkan terjepitnya arteri.
2. Penampang lebar (sarung, sprei)
Mata korban penggantungan (hanging) melotot akibat terjadinya bendungan
pada kepala korban.wajah korban tampak kongesti. Hal ini disebabkan oleh
terhambatnya vena-vena kepala tetapi arteri kepala tidak terhambat.
18

Hasil Pemeriksaan Luar dan Pemeriksaan Dalam Korban Penggantungan


Pemeriksaan Luar9
1) Tanda penjeratan pada leher. Alur jeratan pada leher korban penggantungan
(hanging) berbentuk lingkaran (V shape). Alur jerat berupa luka lecet atau luka
memar dengan ciri-ciri sebagai berikut :
1. Alur jeratan pucat.
2. Tepi alur jerat coklat kemerahan.
3. Kulit sekitar alur jerat terdapat bendungan.

Alur jeratan yang simetris / tipikal pada leher korban penggantungan


(hanging) menunjukkan letak simpul jeratan berada dibelakang leher korban.
Alur jeratan yang asimetris / atipikal menunjukkan letak simpul disamping
leher.

Gambar 5. Gambaran post-mortem pada leher korban hanging

Hal ini sangat penting diperhatikan oleh dokter, dan keadaannya bergantung
kepada beberapa kondisi:
 Tanda penjeratannya jelas dan dalam jika tali yang digunakan kecil
dibandingkan jika menggunakan tali yang besar.
 Bentuk jeratannya berjalan miring (oblik) pada bagian depan leher, dimulai
pada leher bagian atas di antara kartilago tiroid dengan dagu, lalu berjalan
miring sejajar dengan garis rahang bawah menuju belakang telinga. Tanda
ini semakin tidak jelas pada bagian belakang.
19

 Tanda penjeratan tersebut berwarna coklat gelap dan kulit tampak kering,
keras dan berkilat. Pada perabaan, kulit terasa seperti perabaan kertas
perkamen, disebut tanda parchmentisasi.
 Pada tempat dimana terdapat simpul tali yaitu pada kulit di bagian bawah
telinga, tampak daerah segitiga pada kulit di bawah telinga.
 Pinggirannya berbatas tegas dan tidak terdapat tanda-tanda abrasi di
sekitarnya.
 Jumlah tanda penjeratan. Kadang-kadang pada leher terlihat 2 buah atau
lebih bekas penjeratan. Hal ini menunjukkan bahwa tali dijeratkan ke leher
sebanyak 2 kali.

Deskripsi leher korban penggantungan (hanging) yang penting kita berikan


antara lain:9
- Lokasi luka
Lokasi luka pada leher korban penggantungan (hanging) dapat berada di
depan, samping dan belakang leher. Luka yang berada di depan leher kita
ukur dari dagu atau manubrium sterni korban. Luka yang berada di samping
leher kita ukur dari garis batas rambut korban. Luka yang berada di
belakang leher kita ukur dari daun telinga atau bahu korban.
- Jenis luka
Jenis luka korban penggantungan (hanging) terdiri atas luka lecet, luka
tekan dan luka memar. Penting juga kita mendeskripsikan mengenai warna,
lebar, perabaan dan keadaan sekitar luka. Anggota gerak korban
penggantungan (hanging) dapat kita temukan adanya lebam mayat pada
ujung bawah lengan dan tungkai.
- Lokasi simpul jeratan (belakang dan samping leher).
- Jenis simpul jeratan (simpul hidup dan simpul mati).

2) Kedalaman dari bekas penjeratan menunjukkan lamanya tubuh tergantung


3) Jika korban lama tergantung, ukuran leher menjadi semakin panjang
20

4) Tanda-tanda asfiksia. Mata menonjol keluar, perdarahan berupa petekia tampak


pada wajah dan subkonjungtiva. Bintik-bintik perdarahan pada konjungtiva
korban penggantungan (hanging) terjadi akibat pecahnya vena dan
meningkatnya permeabilitas pembuluh darah karena asfiksia.

Gambar 6. Petechie pada mata sebagai tanda asfiksia pd kasus gantung diri

Lidah menjulur menunjukkan adanya penekanan pada bagian leher. Lidah


korban penggantungan (hanging) bisa terjulur, bisa juga tidak terjulur. Lidah
terjulur apabila letak jeratan gantungan tepat berada pada kartilago tiroidea.
Lidah tidak terjulur apabila letaknya berada diatas kartilago tiroidea.
5) Air liur mengalir dari sudut bibir di bagian yang berlawanan dengan tempat
simpultali. Keadaan ini merupakan tanda pasti penggantungan ante-mortem
6) Lebam mayat paling sering terlihat pada tungkai
7) Posisi tangan biasanya dalam keadaan tergenggam
8) Urin dan feses bisa keluar. Pengeluaran urin pada korban penggantungan
disebabkan kontraksi otot polos pada stadium konvulsi atau puncak asfiksia.

Pemeriksaan Dalam9
1) Kepala korban penggantungan (hanging) dapat kita temukan tanda-tanda
bendungan pembuluh darah otak, kerusakan medulla spinalis dan medulla
oblongata.
2) Jaringan yang berada di bawah jeratan berwarna putih, berkilat dan perabaan
seperti perkamen karena kekurangan darah, terutama jika mayat tergantung
cukup lama.Pada jaringan di bawahnya mungkin tidak terdapat cedera lainnya.
21

3) Platisma atau otot lain di sekitarnya mungkin memar atau ruptur pada beberapa
keadaan. Kerusakan otot ini lebih banyak terjadi pada kasus penggantungan
yang disertai dengan tindakan kekerasan.
4) Lapisan dalam dan bagian tengah pembuluh darah mengalami laserasi ataupun
ruptur. Resapan darah hanya terjadi di dalam dinding pembuluh darah.
5) Fraktur tulang hyoid jarang terjadi. Fraktur ini biasanya terdapat pada
penggantungan yang korbannya dijatuhkan dengan tali penggantung yang
panjang dimana tulang hyoid mengalami benturan dengan tulang vertebra.
Adanya efusi darah di sekitar fraktur menunjukkan bahwa penggantungannya
ante-mortem.
6) Fraktur kartilago tiroid jarang terjadi.
7) Fraktur 2 buah tulang vertebra servikalis bagian atas. Fraktur ini sering terjadi
pada korban hukuman gantung

Gambar 7. Kiri: Fraktur melintang pada prosesus servikalia ke lima-enam (C5-


6) (panah lurus penuh), fraktur pada tepi depan C6 (panah
melengkung) dan perluasan persendian antara tulang C5 dan C6
(panah kosong). Kanan: patah tulang krikoid

8) Dada dan perut korban penggantungan (hanging) dapat kita temukan adanya
perdarahan (pleura, perikard, peritoneum, dan lain-lain) dan bendungan /
kongesti organ.
9) Darah dalam jantung korban penggantungan (hanging) warnanya lebih gelap
dan konsistensinya lebih cair.
22

2.3.7 Perbedaan Antara Penggantungan Ante-Mortem dan Penggantungan


Post-Mortem

Perbedaan antara penggantungan ante-mortem dan penggantungan post-


mortem dapat dilihat pada tabel.1 di bawah ini.9

No Penggantungan Ante-Mortem Penggantungan Post-Mortem

1. Tanda-tanda penggantungan Tanda-tanda post-mortem


antemortem bervariasi. menunjukkan kematian yang bukan
Tergantung dari cara kematian disebabkan penggantungan

2. Tanda jejas jeratan miring, Tanda jejas jeratan biasanya


berupa lingkaran terputus (non- berbentuk lingkaran utuh
continuous) dan letaknya pada (continuous), agak sirkuler dan
leher bagian atas letaknya pada bagian leher
tidak begitu tinggi

3. Simpul tali biasanya tunggal, Simpul tali biasanya lebih dari satu,
terdapat pada sisi leher diikatkan dengan kuat dan diletakkan
pada bagian depan leher

4. Ekimosis tampak jelas pada salah Ekimosis pada salah satu sisi jejas
satu sisi dari jejas penjeratan. penjeratan tidak ada atau tidak jelas.
Lebam mayat tampak di atas jejas Lebam mayat terdapat pada bagian
jerat danpada tungkai bawah tubuh yang menggantung sesuai
dengan posisi mayat setelah
meninggal

5. Pada kulit di tempat jejas Tanda parchmentisasi tidak ada atau


penjeratan teraba seperti perabaan tidak begitu jelas
kertas perkamen, yaitu tanda
parchmentisasi
23

6. Sianosis pada wajah, bibir, Sianosis pada bagian wajah, bibir,


telinga, dan lain-lain sangat jelas telinga dan lain-lain tergantung dari
terlihat terutama jika kematian penyebab kematian
karena asfiksia

7. Wajah membengkak dan mata Tanda-tanda pada wajah dan mata


mengalami kongesti dan tidak terdapat, kecuali jika penyebab
agak menonjol, disertai dengan kematian
gambaran pembuluh dara vena adalah pencekikan (strangulasi) atau
yang jelas pada bagian dahi sufokasi

8. Lidah bisa terjulur atau tidak Lidah tidak terjulur kecuali pada kasus
sama sekali kematian akibat pencekikan

9. Penis. Ereksi penis disertai Penis. Ereksi penis dan cairan sperma
dengan keluarnya cairan sperma tidak ada. Pengeluaran feses juga tidak
sering terjadi pada korban pria. ada
Demikian juga sering ditemukan
keluarnya feses

10. Air liur. Ditemukan menetes dari Air liur tidak ditemukan menetes pada
sudut mulut, dengan arah yang kasus selain kasus penggantungan
vertikal menuju dada. Hal ini
merupakan pertanda pasti
penggantungan ante-mortem

2.3.8 Perbedaan Penggantungan pada Gantung Diri dan Penggantungan


pada Pembunuhan
Perbedaan gantung diri dan penggantungan pada pembunuhan dapat
dilihat pada table.2 di bawah ini.9
24

No Gantung Diri Penggantungan pada Pembunuhan

1. Usia. Gantung diri lebih sering Tidak mengenal batas usia, karena
terjadi pada remaja dan orang tindakan pembunuhan dilakukan oleh
dewasa.Anak-anak di bawah usia musuh atau lawan dari korban dan
10 tahun atau orang dewasa di atas tidak bergantung pada usia
usia 50 tahun jarang melakukan
gantung diri

2. Tanda jejas jeratan, bentuknya Tanda jejas jeratan, berupa lingkaran


miring, berupa lingkaran terputus tidak terputus, mendatar, dan
(non-continuous) dan terletak pada letaknya di bagian tengah leher,
bagian atas leher. karena usaha pelaku pembunuhan
untuk membuat simpul tali

3. Simpul tali, biasanya hanya satu Simpul tali biasanya lebih dari satu
simpul yang letaknya pada bagian pada bagian depan leher dan simpul
samping leher tali tersebut terikat kuat

4. Riwayat korban. Biasanya korban Sebelumnya korban tidak mempunyai


mempunyai riwayat untuk riwayat untuk bunuh diri
mencoba bunuh diri dengan cara
lain

5. Cedera. Luka-luka pada tubuh Cedera berupa luka-luka pada tubuh


korbanyang bisa menyebabkan korban biasanya mengarah kepada
kematianmendadak tidak pembunuhan
ditemukan pada kasusbunuh diri

6. Racun. Ditemukannya racun Terdapatnya racun berupa asam


dalam lambung korban, misalnya opium hidrosianat atau kalium
arsen,sublimat korosif dan lain- sianida tidak sesuai pada kasus
lain tidak bertentangan dengan pembunuhan, karena untuk hal ini
25

kasus gantung diri. Rasa nyeri perlu waktu dan kemauan dari korban
yang disebabkan racun tersebut itu sendiri. Dengan demikian maka
mungkin mendorong korban untuk kasus penggantungan tersebut adalah
melakukan gantung diri karena bunuh diri

7. Tangan tidak dalam keadaan Tangan yang dalam keadaan terikat


terikat karena sulit untuk gantung mengarahkan dugaan pada kasus
diri dalamkeadaan tangan terikat pembunuhan

8. Kemudahan. Pada kasus bunuh Pada kasus pembunuhan mayat


diri mayat biasanya ditemukan ditemukan tergantung pada tempat
tergantung pada tempat yang yang sulit dicapai oleh korban dan
mudah dicapai oleh korban atau di alat yang digunakan untuk mencapai
sekitarnya ditemukan alat yang tempat tersebut tidak ditemukan
digunakan untuk mencapai tempat
tersebut

9. Tempat kejadian. Jika kejadian Tempat kejadian. Bila sebaliknya


berlangsung di dalam kamar, pada ruangan ditemukan terkunci dari
dimana pintu, jendela ditemukan luar, maka penggantungan adalah
dalam keadaan tertutup dan kasus pembunuhan
terkunci dari dalam, maka
kasusnya pasti merupakan bunuh
diri

10. Tanda-tanda perlawanan, Tanda-tanda perlawanan hampir


tidak ditemukan pada kasus selalu ada kecuali jika korban sedang
gantung diri tidur, tidak sadar atau masih anak-
anak
26

BAB 3
KESIMPULAN
Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan
pertukaran udara pernapasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang (hipoksia)
disertai dengan peningkatan karbon dioksida (hiperkapnea). Dengan demikian
organ tubuh mengalami kekurangan oksigen (hipoksia hipoksik) dan terjadi
kematian.1 Tanda asfiksia pada pemeriksaan luar jenazah dapat ditemukan berupa
sianosis, kongesti, buih halus, warna lebam mayat merah-kebiruan gelap.
Asfiksia mekanik adalah mati lemas yang terjadi bila udara pernapasan
terhalang memasuki saluran pernapasan oleh berbagai kekerasan (yang bersifat
mekanik). Asfiksia mekanik antara lain adalah pembekapan, gagging , choking,
pencekikkan dan penjeratan.
Gantung diri adalah suatu tindakan yang dilakukan secara sengaja untuk
membunuh diri sendiri melalui suatu penggantungan. Penggantungan adalah
keadaan dimana leher dijerat dengan ikatan, daya jerat ikatan tersebut
memanfaatkan berat badan tubuh atau kepala. Penggantungan merupakan metode
bunuh diri yang paling utama di beberapa negara menurut WHO (World Health
Organization).
Kematian pada kasus penggantungan antara lain disebabkan karena adanya
mekanisme, seperti terhambatnya aliran udara pernafasan, kongesti pembuluh
darah otak, iskemia serebral, terjadinya refleks vagal atau karena terjadinya
dislokasi atau fraktur vertebra servikalis.
Hanging dapat dikelompokkan berdasarkan posisi, yaitu complete hanging,
partial hanging dan berbaring. Selain itu dapat juga dibedakan berdasarkan letak
jeratan, yaitu typical hanging dan atypical hanging. Ada 2 hal yang harus
ditentukan dalam kasus penggantungan, yaitu apakah hanging tersebut terjadi pada
antemortem atau postmortem dan apakah penggantungan tersebut akibat
pembunuhan atau bunuh diri. Penilaian terhadap kasus penggantungan dapat dilihat
dari hasil pemeriksaan luar dan pemeriksaan dalam pada korban
27

DAFTAR PUSTAKA

1. Budiyanto. Kematian Akibat Asfiksia Mekanik. Ilmu Kedokteran Forensik.


Edisi 1. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1997. h55-70.
2. Amir A. Sebab Kematian. Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi 2.
Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara; 2007. h120-125.
3. Martland HS. Traumatic Aphyxia: Strangulation. Legal Medicine Pathology
And Toxicology. p454-474.
4. Knight B. Asphyxia. Forensic Medicine. 9th ed. London: Edward Arnold; 1985.
p87-104.
5. Noharakrizo. Makalah Hanging. Online. 2011. Diunduh dari:
http://www.scribd.com/doc/49388289/Makalah-Hanging
6. Idries AM. Penggantungan. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: EGC.
1997. hal.202-7.
7. Rao D. Asphyxia: Hanging. 2012. Diunduh dari:
http://forensicpathologyonline.com/index.php?option=com_content&view=art
icle&id=103&Itemid=120.
8. Felisiani T. Laporan Wartawan Tribunnews.com.: Gantung diri jadi trend 2009
hingga awal 2012. Rabu 7 Maret 2012 09.24 WIB. Diunduh dari:
http://m.tribunnews.com/2012/03/07/gantung-diri-jadi-trend-2009-hingga-
awal-2012.
9. Anonim. Suicide by hanging. 2012. Diunduh dari:
http://en.wikipedia.org/wiki/Suicide_by_hanging
10. Fikasari D. Gantung Diri (Hanging). Online. 2008. Diunduh dari:
http://sibermedik.files.wordpress.com/2008/11/gantung_diri.pdf
11. Ernoehazy W. Hanging injuries and Strangulation. Online. 2011. Diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/826704-overview#showall
12. Gross VA, Weiss MG, Ring M, Hepp U, Bopp M, Gutzwiller F. Methods of
suicide: international suicide patterns derived from the WHO mortality
database. Bulletin of the World Health Organization. 86(9): 726-32. 2008.
Diunduh dari: http://www.scielosp.org/pdf/bwho/v86n9/a17v86n9.pdf
28

13. Aflanie I, Abdi M, Setiawan R, Muna. Roman’s Forensic 25th Ed. Banjarmasin:
Departemen Kedokteran Kehakiman FK UNLAM-RSUD Ulin. 2011.
14. Dix J. Color atlas of Forensic Pathology.USA: CRC Press.2000. p:98-112.
15. Nithin et al. Delayed Death in Hanging. J Forensic Res: 2011. Diunduh dari :
http//dx.doi.org/10.4172/21577145.S1-001.
16. Robertson WGA. Hanging. In Aids to forensic Medicine and Toxicology. 8th
ed. Edinburgh.
17. Chaudhary et al. Sucidal hanging versus homicidal hanging- A case report.
Indian Journal of Forensic Medicine and Toxicology. Vol 2, No. 2(200807-
2008-12).

Anda mungkin juga menyukai