I. Asfiksia
1) Definisi
Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan pertukaran
udara pernafasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang (hipoksia) disertai dengan
peningkatan karbon dioksida (hiperkapnea). Dengan demikian organ tubuh mengalami
kekurangan oksigen (hipoksia hipoksik) dan terjadi kematian.
Hipoksia adalah dapat diberi batasan sebagai suatu keadaan dimana sel gagal untuk dapat
melangsungkan metabolism secara efisien. Dalam kenyataan sehari-hari hipoksia dibagi
menjadi 4 kelompok yaitu:
a) Hipoksik-hipoksia
Dalam keadaan ini oksigen gagal untuk masuk ke dalam sirkulasi.
b) Anemik-hipoksia
Dimana darah yang tersedia tidak dapat membawa oksigen cukup untuk metabolism
dalam jaringan.
c) Stagnan-hipoksia
Dimana oleh karena sesuatu keadaan terjadi kegagalan sirkulasi.
d) Histotoksik-hipoksia
Suatu keadaan dimana oksigen yang terdapat dalam darah, oleh karena sesuatu hal,
oksigen tersebut tidak dapat dipergunakan oleh jaringan. Histotoksik-hipoksia dibagi
dalam 4 kelompok, yaitu:
Histotoksik-hipoksia ekstraseluler
Enzim pernafasan jaringan menderita keracunan, misalnya pada keracunan
sianida dan pada keracunan CO.
Histotoksik-hipoksia periseluler
Oksigen tidak dapat masuk ke dalam sel oleh karena terjadi penurunan
permeabilitas membrane sel, misalnya pada keracunan eter atau kloroform.
Substrate histotoxic-hypoxia
Dalam keadaan ini bahan makanan untuk metabolism yang efisien tidak
cukup tersedia.
Metabolite histotoxic-hypoxia
Dalam keadaan ini hasil akhir dari pernafasan seluler tidak dapat dieliminer
sehingga metabolism berikutnya tidak dapat berlangsung; misalnya pada
keadaan uremia dan keracunan gas CO2.
2) Etiologi
Dari segi etiologi, asfiksia dapat disebabkan oleh hal berikut:
a) Penyebab alamiah, misalnya penyakit yang menyumbat saluran pernafasan seperti
laryngitis difteri atau menimbulkan gangguan pergerakan paru seperti fibrosis
paru.
b) Trauma mekanik yang menyebabkan asfiksia mekanik, misalnya trauma yang
mengakibatkan emboli udara vena, emboli lemak, pneumotoraks bilateral;
sumbatan atau halangan pada saluran nafas dan sebagainya.
c) Keracunan bahan yang menimbulkan depresi pusat pernafasan misalnya
barbiturate, narkotika.
3) Tanda dan Gejala
Pada orang yang mengalami asfiksia akan timbul gejala yang dapat dibedakan dalam
4 fase, yaitu:
a) Fase dispnea. Penurunan kadar oksigen sel darah merah dan penimbunan CO2
dalam plasma akan merangsang pusat pernapasan di medula oblongata,
sehingga amplitudo dan frekuensi pernapasan akan meningkat, nadi cepat,
tekanan darah meninggi dan mulai tampak tanda-tanda sianosis terutama pada
muka dan tangan.
b) Fase konvulsi. Akibat kadar CO2 yang naik maka akan timbul rangsangan
terhadap susunan saraf pusat sehingga terjadi konvulsi, yang mula-mla kejang
klonik tetapi kemudian menjadi kejang tonik dan akhirnya timbul spasme
opistotonik. Pupil dilatasi, denyut jantung menurun, tekanan darah juga turun.
c) Fase apnea. Depresi pusat pernapasan menjadi lebih hebat, pernapasan
melemah dan dapat berhenti .Kesadaran menurun dan akibat relaksasi sfingter
dapat terjadi pengeluaran cairan sperma, urin dan tinja.
d) Fase akhir. Terjadi paralisis pusat pernapasan yang lengkap. Pernafasan
berhenti setelah kontraksi otomatis otot pernafasan kecil pada leher. Jantung
masih berdenyut beberapa saat setelah pernafasan berhenti.
e)
Masa dari saat asfiksia timbul sampai terjadinya kematian sangat bervariasi.
Umumnya berkisar antara 4-5 menit. Fase 1 dan 2 berlangsung lebih kurang 3-
4 menit, tergantung dari tingkat penghalangan oksigen, bila tidak 100% maka
waktu kematian akan lebih lama dan tanda-tanda asfiksia lebih jelas dan
lengkap.
Terdapat proses inhibis vagal pada asfiksia mekanik. Inhibisi vagal pada umumnya
merupakan penyebab kematian yang segera, hal ini dikaitkan dengan terminology
“sudden cardiac arrest”. Inhibisi vagal dimungkinkan bila leher terkena trauma pada
leher bagian depan atau samping. Kelainan pada pemeriksaan luar biasanya tidak ada
atau minimal sekali, dalam bentuk lecet atau memar, sedangkan pada pemeriksaan
dalam mungkin didapatkan adanya memar di sekitar otot thyro-hyoid; cornu mayor
dari rawan gondok dapat fraktur. Mekanisme kematian pada inhibisi vagal dapat
dijelaskan melalui mekanisme:
Inhibisi vagal sering diikuti oleh fibrilasi vebtrikel.
Secara eksperimental pada binatang yang dibuat berada dalam keadaan
“obstructive asphyxia”, setelah beberapa menit akan diikuti dengan
berkurangnya detak jantung kemudian beberapa saat terjadi takikardi sampai
terjadi kematian.
Pada pemeriksaan luar jenazah dapat ditemukan sianois pada bibir, ujung-ujung jari
dan kuku. Pembendungan sistemik maupun pulmoner dan dilatasi jantung kanan
merupakan tanda klasik pada kematian akibat asfiksia.
Warna lebam mayat merah kebiruan gelap dan terbentuk lebih cepat. Distribusi lebam
lebih luas akibat kadar CO2 yang tinggi dan aktivitas fibrinolisin dalam darah
sehingga darah sukar membeku dan mudah mengalir. Tingginya fibrinolisin ini sangat
berhubungan dengan cepatnya proses kematian.
II. Tenggelam
1) Definisi
Tenggelam merupakan akibat dari terbenamnya sebagian atau seluruh tubuh ke
dalam cairan. Terbenam merupakan salah satu bentuk kematian asfiksia, dimana bila
pada asfiksia yang lain tidak terjadi perubahan elektrolit dalam darah sedangkan pada
tenggelam perubahan tersebut ada; baik tenggelam pada air tawar (fresh water drowning),
maupun tenggelam dalam air asin (salt water drowning). Sebenarnya istilah tenggelam
harus pula mencakup proses yang terjadi akibat terbenamnya korban dalam air yang
menyebabkan kehilangan kesadaran dan mengancam jiwa.
Mekanisme kematian pada tenggelam pada umumnya adalah asfiksia, mekanisme
kematian yang dapat juga terjadi pada tenggelam yaitu adanya inhibisi vagal dan spasme
laring. Pada orang tenggelam, tubuh korban dapat berubah-rubah posisi, umumnya
korban akan 3 kali tenggelam, dijelaskan dalam proses:
Pada waktu pertama kali orang “terjun” ke air, karena gravitasi orang akan terbenam
pertama kalinya.
Karena berat jenis tubuh lebih kecil dari pada berat jenis air, korban akan timbul dan
berusaha mengambil nafas, tapi karena tidak bias berenang, air masuk tertelan dan
terinhalasi, sehingga berat jenis korban jadi lebih besar dari berat jenis air sehingga
tenggelam untuk ke-2 kalinya.
Sewaktu di dasar sungai, laut atau danau, proses pembusukan akan berlangsung dan
terbentuk gas pembusukan.
Waktu yang dibutuhkan agar terjadi pembentukan gas pembusukan dapat
mengapungkan tubuh korban adalah sekitar 7-14 hari.
Pada saat mengapung tersebut, tubuh dapat pecah terkena benda-benda disekitarnya,
digigit binatang atau karena proses pembusukan itu sendiri; dengan demikian gas
pembusukan akan keluar sehingga tubuh akan terbenam uantuk yang ke-3 kalinya
dan yang terakhir.
Budiyanto A, dkk. Ilmu kedokteran forensik edisi pertama. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik
Idries AM. Pedoman ilmu kedokteran forensik edisi pertama. Jakarta: Binarupa aksara. 1997.
Hal 169-190
James JP, Jones R, Karch SB, Manlove J. Principles of Forensic Science. In: Simpson’s Forensic
Medicine. 13th Ed. London: Hodder & Stoughton. 2011.