Anda di halaman 1dari 53

LAPORAN KASUS

CHF NYHA IV & CKD STAGE V

Oleh:
VIRGA AZZANIA ASHARI I4061191035
CATHERINE SUGANDI I4061191044

Pembimbing:
dr. Hartono Kurniawan, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN GERIATRI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TANJUNGPURA
RSUD DOKTER ABDUL AZIZ
SINGKAWANG
2019
Lembar Persetujuan

Telah disetujui Laporan Kasus dengan judul :


“CHF NYHA IV dan CKD STAGE V”

disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan


Kepaniteraan Klinik Stase Ilmu Geriatri

Telah disetujui,
Singkawang, Agustus 2019,
Pembimbing Laporan Kasus,

dr. Hartono Kurniawan, Sp. PD

i
BAB I
PENDAHULUAN

Ginjal adalah salah satu organ utama sistem kemih atau uriner (tractus
urinarius) yang berfungsi menyaring dan membuang cairan sampah metabolisme
dari dalam tubuh. Fungsi ginjal secara umum antara lain yaitu sebagai ultrafiltrasi
yaitu proses ginjal dalam menghasilkan urine, keseimbangan elektrolit,
pemeliharaan keseimbangan asam basa, eritropoiesis yaitu fungsi ginjal dalam
produksi eritrosit, regulasi kalsium dan fosfor atau mengatur kalsium serum dan
fosfor, regulasi tekanan darah, ekresi sisa metabolik dan toksin.
Chronic Kidney Disease (CKD) adalah suatu proses patofisiologis dengan
etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif,
dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Penyakit ginjal kronik (Chronic
Kidney Disease) terjadi apabila kedua ginjal sudah tidak mampu mempertahankan
lingkungan dalam yang cocok untuk kelangsungan hidup. Kerusakan pada kedua
ginjal bersifat ireversibel. Dikatakan penyakit ginjal kronik apabila kerusakan
ginjal terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional,
dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus, dengan manifestasi:
kelainan patologis, terdapat tanda kelainan ginjal misalnya pada saat pencitraan
(imaging) atau laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit.
Penyakit ginjal kronik disebabkan oleh berbagai penyakit. Penyebab CKD
antara lain penyakit infeksi, penyakit peradangan, penyakit vaskular hipertensif,
gangguan jaringan ikat, gangguan kongenital dan herediter, penyakit metabolik,
nefropati toksik, nefropati obstruktif.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. ASPEK KESEHATAN LANJUT USIA (GERIATRI)


2.1.1. Teori Proses Menua
Teori penuaan sudah tercatat dalam teori evolusi. Di dalam teori evolusi,
penuaan diindikasikan sebagai hasil dari penurunan kekuatan hukum alam.
Teori ini dirumuskan pertama dari pengamatan pasien penyakit Huntington.
Dilaporkan bahwa sekuat apapun subyek, penyakit tersebut tetap ditemukan
dalam populasi. Turunnya kekuatan seleksi alam dijelaskan dari
keterlambatan onset penyakit tersebut bagi carrier, sehingga carrier masih
berkesempatan untuk memiliki keturunan. Seiring berkembangnya ilmu
pengetahuan, teori-teori mengenai penuaan muncul, lebih dari 300 teori
diajukan, namun hanya beberapa dianggap benar seperti:
1. Teori Radikal Bebas
Teori radikal bebas dikemukakan pertama kali sekitar tahun 1941 oleh
Harman yang menyebutkan bahwa penuaan merupakan proses tunggal
yang dimodifikasi oleh genetik dan faktor lingkungan dimana penumpukan
radikal oksigen endogenous yang terbentuk di sel bertanggungjawab
terhadap proses menua dan kematian seluruh makhluk hidup. Kemudian
pada tahun 1972 teori ini direvisi ketika mitokondria diidentifikasi sebagai
penginisiasi sebagian besar reaksi radikal bebas yang berhubungan dengan
penuaan. Dikemukakan juga bahwa rentang hidup seseorang bergantung
pada rasio radikal bebas yang merusak di mitokondria.
Radikal bebas merupakan produk sampingan hasil dari metabolisme
dan berbagai proses selular yang menggunakan oksigen. Radikal bebas
merupakan senyawa yang sangat reaktif dan bersifat merusak. Diketahui
pula bahwa radikal bebas sangat mudah bereaksi dengan Deoxiribosa
Nukleat Acid (DNA), protein, dan asam lemak tak jenuh. Dari teori ini
disimpulkan bahwa penumpukan radikal bebas di sel dalam batas tertentu
dianggap sebagai hal yang berhubungan dengan proses penuaan. Hal ini

2
sejalan dengan bukti bahwa semakin tua umur seseorang, semakin banyak
ditemukan radikal bebas di dalam sel tubuhnya
2. Teori Glikosilasi
Advanced Glycation End Products (AGEs) merupakan kumpulan
senyawa kimia yang terbentuk akibat adanya perubahan struktur serta
ikatan silang pada proses glikosilasi protein. AGEs secara normal terdapat
di dalam tubuh dan akan terakumulasi pada berbagai organ seiring
dengan meningkatnya usia. Pembentukan AGEs diawali oleh reaksi
glikosilasi nonenzimatik, atau disebut juga reaksi Maillard. AGEs yang
berakumulasi di jaringan – jaringan tubuh seperti jaringan elastis, kolagen,
jaringan mata secara berlebihan akibat perjalanan waktu akan
menyebabkan kehilangan fungsi jaringan tersebut, seperti kemampuan
elastisitas
3. Teori DNA repair
Teori ini dikemukakan karena adanya perbedaan pola laju perbaikan
kerusakan DNA yang diinduksi sinar UV pada berbagai macam fibroblast.
Didapatkan bahwa fibroblast pada umur yang lebih besar (maksimum)
mengalami perbaikan DNA. Teori ini sangat erat kaitannya dengan teori
radikal bebas, karena radikal bebas sangat mempengaruhi mutasi DNA
dimana keduanya bertanggungjawab terhadap kematian sel
4. Teori Telomer
Telomer adalah susunan rantai DNA yang berlokasi di akhir kromosom
eukariotik. Telomer pada manusia tersusun oleh rantai pengulangan basa
TTAGGG sampai 15 kilobasa saat lahir. Dalam kehidupan manusia, sel-
sel tubuh memiliki kemampuan untuk membelah. Saat sel mengalami
pembelahan, telomer akan mengalami pemendekan. Pemendekan telomer
ini berkaitan dengan besar rentang waktu manusia hidup. Sel-sel akan
terus membelah sampai telomer tidak lagi dapat memendek dan sel
tersebut mengalami kematian. Sel yang mengalami kematian akan
membuat jaringan mengalami penurunan fungsinya.1,2

3
2.1.2. Perubahan Pada Lanjut Usia
Perubahan dalam penuaan terdiri dari perubahan anatomi, patologi, dan
psikososial akibat proses menua. Pada panca indera didapatkan perubahan
degeneratif otot akomodasi, jaringan ikat periorbita, fungsi kelenjar
lakrimalis, perubahan elastisitas lensa, degenerasi neuron kortikal sehingga
visus dapat terganggu. Fungsi telinga juga menurun akibat hilangnya sel
rambut organo corti. Dalam sistem pencernaan terjadi atrofi mukosa,
penurunan aliran darah, turunnya elastisitas otot dan tulang rawan
laringsehingga timbul gangguan pengecapan, turunnya reflex batuk dan
menelan, kesulitan mencerna makanan, perubahan nafsu makan, malabsorpsi
makanan. Dengan ini lansia akan mudah tersedak dan mengalami
kekurangan gizi. Sistem kardiovaskuler berubah dimana terjadi penebalan dan
kekakuan dinding pembuluh darah. Degenerasi katup jantung, sehingga
terjadi penurunan curah jantung dan mempengaruhi aliran darah otak. Sistem
respirasi berubah dimana elastisitas alveolus menurun, terjadi degenerasi
epitel, dan kelemahan otot pernafasan sehingga kapasitas vital menurun dan
reflex batuk menurun. Dengan ini lansia peka terhadap pneumonia dan mdah
mengalami gagal respirasi.
Metabolisme pada lansia menurun akibat penurunan perubahan T4
menjadi T3. Penurunan hormon seksual menurunkan fertilitas, estrogen yang
menurun juga mempengaruhi tulang sehingga mempermudah terjadinya
osteoporosis. Transmisi asetilkolin, dopamine, dan noradrenalin terganggu
sehingga lansia mudah mengalami hipotensi postural dan kesulitan regulasi
suhu. Fungsi ginjal menurun dengan bertambahnya usia akibat perubahan
degeneratif.
Kulit menjadi atrofi dan mengalami penipisan lemak subkutan sehingga
elastisitasnya turun. Hal ini menyebabkan lansia mudah terkena abrasi dan
infeksi kulit. Degenerasi tulang rawan, ligament, dan jaringan sendi membuat
penurunan elastisitas dan mobilitas sendi yang menimbulkan kekakuan pada
lansia. Sistem imunologi menurun dengan hasil timbulnya penyakit autoimun

4
dan kanker. Secara umum, postur tubuh lansia juga akan menjadi bungkuk
sehingga mudah terjadi nyeri punggung.3

2.1.3. Assessment Geriatri


Penilaian geriatri adalah penilaian multidimensi, multidisiplin yang
dirancang untuk mengevaluasi kemampuan fungsional orang tua, kesehatan
fisik, kognisi dan kesehatan mental, dan keadaan lingkungan sosial. Biasanya
dimulai ketika dokter mengidentifikasi masalah potensial. Elemen spesifik
kesehatan fisik yang dievaluasi meliputi nutrisi, penglihatan, pendengaran,
feses dan kontinensi urin, dan keseimbangan. Penilaian geriatrik membantu
dalam diagnosis kondisi medis; pengembangan rencana perawatan dan tindak
lanjut; koordinasi manajemen perawatan; dan evaluasi kebutuhan perawatan
jangka panjang dan penempatan yang optimal.
 Kemampuan fungsional

Gambar 2. KATZ Index


 Kesehatan fisik
Penilaian geriatri mencakup semua aspek riwayat medis konvensional,
termasuk masalah utama, penyakit saat ini, masalah medis masa lalu
dan saat ini, riwayat keluarga dan sosial, data demografis, dan tinjauan
sistem. Namun, pendekatan terhadap riwayat dan pemeriksaan fisik
harus spesifik untuk orang yang lebih tua. Khususnya, topik-topik
seperti nutrisi, penglihatan, pendengaran, feses dan kontinensia kemih,

5
pencegahan keseimbangan dan jatuh, osteoporosis, dan polifarmasi
harus dimasukkan dalam evaluasi.

Gambar 3. Lawton Scale


 Nutrisi
Penilaian gizi penting karena asupan mikronutrien yang tidak memadai
sering terjadi pada orang tua. Beberapa kondisi medis yang berkaitan
dengan usia dapat menyebabkan pasien mengalami defisiensi vitamin
dan mineral.

6
 Penglihatan
Penyebab paling umum dari gangguan penglihatan pada orang yang
lebih tua termasuk presbiopia, glaukoma, retinopati diabetik, katarak,
dan degenerasi makula terkait usia.
 Pendengaran
Pemeriksaan audioscope, pemeriksaan otoscopic, dan tes suara berbisik
juga direkomendasikan. Tes suara berbisik dilakukan dengan berdiri
sekitar 3 kaki di belakang pasien dan membisikkan serangkaian huruf
dan angka setelah menghembuskan napas untuk memastikan bisikan
yang tenang. Kegagalan untuk mengulang sebagian besar huruf dan
angka menunjukkan gangguan pendengaran.
 Inkontinensia urin
Inkontinensia urin memiliki dampak medis yang penting dan
berhubungan dengan ulkus dekubitus, sepsis, gagal ginjal, infeksi
saluran kemih, dan peningkatan mortalitas. Implikasi psikososial dari
inkontinensia termasuk hilangnya harga diri, pembatasan aktivitas
sosial dan seksual, dan depresi. Selain itu, inkontinensia sering menjadi
faktor penentu utama untuk penempatan panti jompo. Penilaian untuk
inkontinensia urin harus mencakup evaluasi asupan cairan, obat-obatan,
fungsi kognitif, mobilitas, dan operasi urologis sebelumnya.
 Keseimbangan dan Risiko Jatuh
Orang yang lebih tua dapat mengurangi risiko jatuh mereka dengan
olahraga, terapi fisik, penilaian bahaya di rumah, dan penarikan obat-
obatan psikotropika.
 Osteoporosis
Osteoporosis dapat menyebabkan patah tulang yang berdampak rendah
atau patah tulang secara spontan, yang dapat menyebabkan jatuh.
Osteoporosis dapat didiagnosis secara klinis atau radiografi.
 Dementia
Diagnosis dini demensia memungkinkan pasien akses tepat waktu ke
obat-obatan dan membantu keluarga membuat persiapan untuk masa

7
depan. Ini juga dapat membantu dalam manajemen gejala lain yang
sering menyertai tahap awal demensia, seperti depresi dan lekas marah.4
2.1.4. Sindroma Geriatri
Dalam menilai kesehatan lansia perlu dibedakan antara perubahan akibat
penuaan dengan perubahan akibat proses patologis. Beberapa problema klinik
dari penyakit pada lanjut usia yang sering dijumpai. Sindroma geriatri antara
lain adalah:
 “the O complex” : fall, confusion, incontinence, iatrogenic disorders,
impaired homeostasis
 “the big three” : intelectual failure, instability, incontinence
 “the 14 I” :Imobility, Impaction, Instability, Iatrogenic,
Intelectual Impairment, Insomnia, Incontinence, Isolation, Impotence,
Immunodefficiency, Infection, Inanition, Impairment of Vision, smelling,
hearing, Impecunity
Menurut Brocklehurst, Allen et al dikenal istilah Geriatric Giants sebagai
berikut :
1. Sindroma Serebral
Pada lanjut usia terjadi penurunan aliran darah otak sekitar 30 mL/100
gram jaringan otak/menit. Penurunan ini dapat menimbulkan sindroma
serebral, yaitu perubahan patologik pembuluh darah otak.Gejala yang
timbul dapat dapat berupa gejala umum (rigiditas, peningkatan reflex,
tendensi condong ke belakang, sulit berjalan) gejala klinis daerah yang
diperdarahi carotis (TIA, Stroke, Arteritis) dan vertebrobasiler (drop attack,
TIA).
Karena autoregulasi sebagai mekanisme proteksi otak mengalami
penurunan, sedikit perubahan tekanan darah atau diameter arteri otak akan
mengurangi aliran darah otak yang sulit dikompensasi oleh lansia. Kelainan
vaskuler arteriosklerosis mengurangi perfusi otak yang menimbulkan infark
lakuner.Diabetes dan hipertensi menurunkan aliran darah otak dengan
timbulnya angiopati.
2. Konfusio Akut dan Dementia

8
Konfusio akut adalah gangguan menyeluruh fungsi kognitif yang
ditandai oleh memburuknya secara mendadak derajat kesehatan dan
kewaspadaan dan proses berpikir yang berakibat terjadinya disorientasi.
Dementia adalah suatu sindroma klinik yang meliputi hilangnya fungsi
intelektual dan ingatan sedemikian berat sehingga menyebabkan disfungsi
hidup sehari-hari.Perjalanannya bertahap dan tidak ada gangguan
kesadaran.Diagnosis dementia ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan
Mini Mental State Examination dan penyebab pastinya dengan pemeriksaan
patologi.
3. Gangguan Otonom
Pada lansia terjadi penurunan kolin-esterase dan aktifitas reseptor kolin
yang berakibat penurunan fungsi otonom.Beberapa gangguannya adalah
hipotensi orthostatik, gangguan pengaturan suhu, kandung kemih, gerakan
esophagus dan usus besar.
Hipotensi orthostatik adalah penurunan tekanan sistolik/diastolik
sebanyak 20 mmHg pada saat berubah dari posisi tidur ke posisi tegak
setelah 1-2 menit.Hal ini terjadi akibat penurunan isi sekuncup jantung dan
perpindahan darah ke posisi bawah tubuh. Pada lansia dapat terjadi adanya
penurunan elastisitas pembuluh darah, gangguan barorefleks akibat tirah
baring lama, hipovolemia, hiponatremia, pemberian obat hipotensif, atau
penyakit SSP maupun neuropati lain (Parkinson, CVD, diabetes mellitus).
Gangguan regulasi suhu juga ditemukan pada lansia sehingga mereka rentan
mengalami hipertermia maupun hipotermia.
4. Inkontinensia
Inkontinensia adalah pengeluaran urin (atau feses) tanpa disadari, dalam
jumlah dan frekuensi yang cukup sehingga mengakibatkan masalah
gangguan kesehatan atau sosial.Penyebab inkontinensia berasal dari
kelainan urologik (radang, batu, tumor), kelainan neurologik (stroke, trauma
medulla spinalis, dementia), atau lainnya (imobilisasi,
lingkungan).Inkontinensia akut yang biasanya reversible data diformulasi
dengan akronim DRIP yang merupakan Delirium, Restriksi mobilitas
retensi, Infeksi inflamasi impaksi feses, Pharmasi poliuri. Juga dengan

9
akronim DIAPPERS :Delirium, Infection, Atrophic vaginitis/uretheritis,
Pharmaceuticals, Physiologic factor, Excess urine output, Restricted
mobility, Stool impaction. Tatalaksana inkontinensia urin meliputi
behavioral training (bladder training, pelvic floor exercise), farmakologis,
pembedahan.

5. Jatuh
Sebanyak 30% lansia ≥65 tahun mengalami jatuh.Kondisi jatuh
dipengaruhi stabilitas badan yang ditunjang oleh sistem sensorik
(penglihatan, pendengaran, vestibuler, proprioseptif), susunan saraf pusat,
kognisi, dan fungsi muskuloskeletal.Jatuh menimbulkan komplikasi
perlukaan jaringan lunak dan fraktur (terutama pelvis, kolum femoris),
imbilisasi, disabilitas, risiko meninggal.
6. Kelainan Tulang dan Patah Tulang
Setiap tahun 0,5-1% dari berat tulang wanita pasca menopause dan pria
>80 tahun menurun. Kelainan tulang yang timbul dapat berupa osteoporosis,
osteomalasia, osteomielitis, dan keganasan tulang.
7. Dekubitus
Usia lanjut memiliki potensi dekubitus karena jaringan lemak subkutan
berkurang, jaringan kolagen dan elastisitas berkurang, efisiensi kapiler pada
kulit berkurang. Pada penderita imobil, tekanan jaringan akan melebihi
tekanan kapiler, sehingga timbul iskemi dan nekrosis. Proses ini dipengaruhi
oleh tekanan, daya regang, gesekan, dan kelembaban. Pencegahan ulkus
dapat dilakukan dengan membersihkan kulit, mengrangi gesekan, dan
regangan dengan berpindah posisi, asupan gizi yang cukup, menjaga
kelembaban kulit.Perlu diingat komplikasi ulkus decubitus adalah sepsis.3

2.2. CHF (Chronic Heart Failure/Gagal Jantung Kronik)


2.2.1. Definisi
Gagal jantung adalah syndrome klinis dengan karakteristik adanya gejala
tipikal (sesak nafas, bengkak pergelangan kaki dan lelah) yang dapat disertai
tanda (seperti : peningkatan JVP, crackles pulmonal, dan edem perifer) yang

10
diakibatkan abnormalitas struktural dan atau fungsional, sehingga terjadi
penurunan cardiac output dan atau peningkatan tekanan intrakardiak saat
istirahat atau selama stress.5

2.2.2. Epidemiologi
Sekitar 1-2% populasi dunia di negara berkembang mengalami
peningkatan hingga di atas 10% di antara orang berusia 70 tahun ke atas. Di
Eropa, kejadian gagal jantung berkisar 0,4-2% dan meningkat pada usia yang
lebih lanjut, dengan rata-rata umur 74 tahun. Dalam Hasil RISKESDAS 2018,
tercatat bahwa Prov. Kalimantan Utara menduduki peringkat pertama
terbanyak pasien penyakit jantung dan NTT menduduki peringkat terakhir
dengan jumlah pasien penyakit jantung paling sedikit. Kelompok usia
terbanyak pada hasil ini adalah usia usia 75 tahun ke atas dan kebanyakan pada
perempuan.5

2.2.3. Etiopatogenesis

11
Gagal jantung ditandai dengan satu respon hemodinamik, ginjal, syaraf
dan hormonal yang nyata serta suatu keadaan patologik berupa penurunan fungsi
jantung. Salah satu respon hemodinamik yang tidak normal adalah peningkatan
tekanan pengisian (filling pressure) dari jantung atau preload. Respon terhadap
jantung menimbulkan beberapa mekanisme kompensasi yang bertujuan untuk
meningkatkan volume darah, volume ruang jantung, tahanan pembuluh darah
perifer dan hipertropi otot jantung. Kondisi ini juga menyebabkan aktivasi dari
mekanisme kompensasi tubuh yang akut berupa penimbunan air dan garam oleh
ginjal dan aktivasi system saraf adrenergic.
Penting dibedakan antara kemampuan jantung untuk memompa (pump
function) dengan kontraktilias otot jantung (myocardial function). Pada beberapa
keadaan ditemukan beban berlebihan sehingga timbul gagal jantung sebagai
pompa tanpa terdapat depresi pada otot jantung intrinsik. Sebaliknya dapat pula
terjadi depresi otot jantung intrinsik tetapi secara klinis tidak tampak tanda-tanda
gagal jantung karena beban jantung yang ringan. Pada awal gagal jantung akibat
CO yang rendah, di dalam tubuh terjadi peningkatan aktivitas saraf simpatis dan
sistem renin angiotensin aldosteron, serta pelepasan arginin vasopressin yang
kesemuanya merupakan mekanisme kompensasi untuk mempertahankan tekanan
darah yang adekuat.

12
Penurunan kontraktilitas ventrikel akan diikuti penurunan curah jantung
yang selanjutnya terjadi penurunan tekanan darah dan penurunan volume darah
arteri yang efektif. Hal ini akan merangsang mekanisme kompensasi
neurohumoral. Vasokonstriksi dan retensi air untuk sementara waktu akan
meningkatkan tekanan darah sedangkan peningkatan preload akan meningkatkan
kontraktilitas jantung melalui hukum Starling. Apabila keadaan ini tidak segera
teratasi, peninggian afterload, peninggian preload dan hipertrofi dilatasi jantung
akan lebih menambah beban jantung sehingga terjadi gagal jantung yang tidak
terkompensasi. Dilatasi ventrikel menyebabkan disfungsi sistolik (penurunan
fraksi ejeksi) dan retensi cairan meningkatkan volume ventrikel (dilatasi).
Jantung yang berdilatasi tidak efisien secara mekanis (hukum Laplace). Jika
persediaan energi terbatas (misal pada penyakit koroner) selanjutnya bisa
menyebabkan gangguan kontraktilitas.
Selain itu kekakuan ventrikel akan menyebabkan terjadinya disfungsi
ventrikel. Pada gagal jantung kongestif terjadi stagnasi aliran darah, embolisasi
sistemik dari trombus mural, dan disritmia ventrikel refrakter, disamping itu
keadaan penyakit jantung koroner sebagai salah satu etiologi CHF akan
menurunkan aliran darah ke miokard yang akan menyebabkan iskemik miokard
dengan komplikasi gangguan irama dan sistem konduksi kelistrikan jantung.6,7

Gambar 4. Patofisiologi CHF

2.2.4. Gejala Klinis

13
Gejala Tanda
Tipikal Spesifik
- Sesak napas - Peningkatan JVP
- Ortopneu - Refluks hepatojuguler
- PND - Suara jantung S3 (Gallop)
- Toleransi aktivitas berkurang - Apeks jantung bergeser ke lateral
- Cepat lelah
- Bengkak di pergelangan kaki
Kurang Tipikal Kurang Spesifik
- Batuk di malam hari/dini hari - Berat badan bertambah >
- Mengi 2kg/minggu
- Perasaan kembung - Berat badan turun
- Nafsu makan menurun - Edema perifer
- Perasaan bingung (terutama pasien - Krepitasi pulmonal
usia lanjut) - Takikardi
- Depresi - Nadi iregular
- Berdebar - Takipnea
- Pingsan - Respirasi Cheyne Stokes
- Bendopnea - Hepatomegali
- Asites
- Kakeksia
- Akral dingin
- Oliguria
- Murmur jantung
- Efusi pleura
- Narrow pulse pressure

2.2.5. Diagnosis
 Kriteria Framingham
Kriteria mayor Kriteria minor
Edema pulmonar akut Edema kaki
Kardiomegali Dyspnea on exertion (DOE)
Hepatojugular reflux Hepatomegali
Distensi vena jugularis Batuk nokturnal
Paroxysmal nocturnal dyspnea Efusi pleura

14
(PND) atau ortopnea
Ronki paru Takikardia (>120 bpm)
↑ vena jugularis
Bunyi jantung S3 gallop

Gagal jantung terdiagnosa ketika ditemukan :


o 2 kriteria mayor atau
o 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor

 Skala fungsional NYHA


Kelas I Tidak terdapat batasan dalam melakukan
aktivitas fisik.
Kelas II Terdapat batasan aktivitas ringan. Tidak terdapat
kehan saat istirahat, namun aktivitas sehari-hari
menimbulkan kelelahan, palpitasi, atau sesak
nafas.
Kelas III Terdapat batasan aktivitas bermakna. Tidak
terdapat kehan saat istirahat, namun aktivitas
sehari-hari menimbulkan kelelahan, palpitasi,
atau sesak nafas.
Kelas IV Tidak dapat melakukan aktivitas fisik tanpa
keluhan. Terdapat gejala saat istirahat. Keluhan
meningkat saat melakukan aktivitas.

 Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan elektrokardiogram harus dikerjakan pada semua pasien
diduga gagal jantung. Abnormalitas EKG sering dijumpai pada gagal jantung.
Abnormalitas EKG memiliki nilai prediktif yang kecil dalam mendiagnosis
gagal jantung, jika EKG normal, diagnosis gagal jantung khususnya dengan
disfungsi sistolik sangat kecil (< 10%).
 Foto Toraks
Merupakan komponen penting dalam diagnosis gagal jantung. Rontgen
toraks dapat mendeteksi kardiomegali, kongesti paru, efusi pleura dan dapat

15
mendeteksi penyakit atau infeksi paru yang menyebabkan atau memperberat
sesak nafas. Kardiomegali dapat tidak ditemukan pada gagal jantung akut dan
kronik.
 Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium rutin pada pasien diduga gagal jantung adalah
darah perifer lengkap (hemoglobin, leukosit, trombosit), elektrolit,
kreatinin,laju filtrasi glomerulus (GFR), glukosa, tes fungsi hati dan
urinalisis.Pemeriksaan tambahan laindipertimbangkan sesuai tampilan
klinis.Gangguan hematologis atau elektrolit yang bermakna jarang dijumpai
pada pasien dengan gejala ringan sampai sedang yang belum
diterapi,meskipun anemia ringan, hiponatremia, hiperkalemia dan penurunan
fungsi ginjal sering dijumpai terutama pada pasien dengan terapi
menggunakan diuretik dan/atau ACEI (Angiotensin Converting Enzime
Inhibitor), ARB (Angiotensin Receptor Blocker), atau antagonis aldosterone.
 Peptida Natriuretik
Terdapat bukti - bukti yang mendukung penggunaan kadar plasma peptide
natriuretik untuk diagnosis, membuat keputusan merawat atau memulangkan
pasien, dan mengidentifikasi pasien pasien yang berisiko mengalami
dekompensasi. Konsentrasi peptida natriuretik yang normal sebelum pasien
diobati mempunyai nilai prediktif negatif yang tinggi dan membuat
kemungkinan gagal jantung sebagai penyebab gejala-gejala yang dikeluhkan
pasien menjadi sangat kecil. Kadar peptida natriuretik yang tetap tinggi
walaupun terapi optimal mengindikasikan prognosis buruk. Kadar
peptidanatriuretik meningkat sebagai respon peningkatan tekanan dinding
ventrikel. Peptida natriuretic mempunyai waktu paruh yang panjang,
penurunan tiba-tiba tekanan dinding ventrikel tidak langsung menurunkan
kadar peptida natriuretik.
 Troponin I atau T
Pemeriksaan troponin dilakukan pada penderita gagal jantung jika gambaran
klinisnya disertai dugaan sindroma koroner akut. Peningkatan ringan kadar
troponin kardiak sering pada gagal jantung berat atau selama episode
dekompensasi gagal jantung pada penderita tanpa iskemia miokard.

16
 Ekokardiografi
Istilah ekokardiograf digunakan untuk semua teknik pencitraan ultrasound
jantung termasuk pulsed and continuous wave Doppler, colour Doppler dan
tissue Doppler imaging (TDI). Konfirmasi diagnosis gagal jantung dan/atau
disfungsi jantung dengan pemeriksaan ekokardiografi adalah keharusan dan
dilakukan secepatnya pada pasien dengan dugaan gagal jantung. Pengukuran
fungsi ventrikel untuk membedakan antara pasien disfungsi sistolik dengan
pasien dengan fungsi sistolik normal adalah fraksi ejeksi ventrikel kiri
(normal > 45 - 50%).8

2.2.6. Tatalaksana
Tatalaksana farmakologi
a. Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors (ACEI)
Kecuali kontraindikasi, ACEI harus diberikan pada semua pasien gagal
jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %. ACEI
memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan
rumah sakit karenaperburukan gagal jantung, dan meningkatkan angka
kelangsungan hidup (kelas rekomendasi I, tingkatan bukti A). ACEI kadang-
kadang menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia, hipotensi
simtomatik, batuk dan angioedema (jarang), oleh sebab itu ACEI hanya
diberikan pada pasien dengan fungsi ginjal adekuat dan kadar kalium normal.
Indikasi pemberian ACEI : fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %, dengan atau
tanpa gejala. Kontraindikasi pemberian ACEI :
 Riwayat angioedema
 Stenosis renal bilateral
 Kadar kalium serum > 5,0 mmol/L
 Serum kreatinin > 2,5 mg/dL
 Stenosis aorta berat
Cara pemberian ACEI pada gagal jantung
Inisiasi pemberian ACEI
 Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit

17
 Periksa kembali fungsi ginjal dan serum elektrolit 1 - 2 minggu setelah
terapi ACEI
Naikan dosis secara titrasi
Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 - 4 minggu.
 Jangan naikan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau
hiperkalemia. Dosis titrasi dapat dinaikan lebih cepat saat dirawat di
rumah sakit
 Jika tidak ada masalah diatas, dosis dititrasi naik sampai dosis target
atau dosis maksimal yang dapat di toleransi
 Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit 3 dan 6 bulan setelah
mencapai dosis target atau yang dapat ditoleransi dan selanjutnya tiap 6
bulan sekali

b. Penyekat β
Kecuali kontraindikasi, penyekat β harus diberikan pada semua pasien
gagal jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %. Penyekat β
memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan
rumah sakit karena perburukan gagal jantung, dan meningkatkan
kelangsungan hidup. Indikasi pemberian penyekat β :
 Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %
 Gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II - IV NYHA)
 ACEI / ARB (dan antagonis aldosteron jika indikasi) sudah diberikan
 Pasien stabil secara klinis (tidak ada perubahan dosis diuretik, tidak ada
kebutuhan inotropik i.v. dan tidak ada tanda retensi cairan berat)
Kontraindikasi pemberian penyekat β
 Asma
 Blok AV (atrioventrikular) derajat 2 dan 3, sindroma sinus sakit (tanpa
pacu jantung permanen), sinus bradikardia (nadi < 50 x/menit)
Cara pemberian penyekat β pada gagal jantung
 Inisiasi pemberian penyekat β
 Penyekat β dapat dimulai sebelum pulang dari rumah sakit pada pasien
dekompensasi secara hati-hati.

18
Naikan dosis secara titrasi
Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 – 4 minggu.
 Jangan naikan dosis jika terjadi perburukan gagal jantung, hipotensi
simtomatik atau bradikardi (nadi < 50 x/menit)
 Jika tidak ada masalah diatas, gandakan dosis penyekat β sampai dosis
target atau dosis maksimal yang dapat di toleransi
Efek tidak menguntungkan yang dapat timbul akibat pemberian penyekat β:
 Hipotensi simtomatik
 Perburukan gagal jantung
 Bradikardia

c. Antagonis Aldosteron
Kecuali kontraindikasi, penambahan obat antagonis aldosteron dosis kecil
harus dipertimbangkan pada semua pasien dengan fraksi ejeksi ≤ 35 % dan
gagal jantung simtomatik berat (kelas fungsional III - IV NYHA) tanpa
hiperkalemia dan gangguan fungsi ginjal berat. Antagonis aldosteron
mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung dan
meningkatkan kelangsungan hidup. Indikasi pemberian antagonis aldosteron :
 Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %
 Gejala sedang sampai berat (kelas fungsional III- IV NYHA)
 Dosis optimal penyekat β dan ACEI atau ARB (tetapi tidak ACEI dan
ARB)
Kontraindikasi pemberian antagonis aldosteron
 Konsentrasi serum kalium > 5,0 mmol/L
 Serum kreatinin> 2,5 mg/dL
 Bersamaan dengan diuretik hemat kalium atau suplemen kalium
 Kombinasi ACEI dan ARB
Cara pemberian spironolakton (atau eplerenon) pada gagal jantung
Inisiasi pemberian spironolakton
 Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit.
 Naikan dosis secara titrasi

19
 Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 4 – 8 minggu.
Jangan naikan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau
hiperkalemia.
 Periksa kembali fungsi ginjal dan serum elektrolit 1 dan 4 minggu
setelah menaikan dosis
 Jika tidak ada masalah diatas, dosis dititrasi naik sampai dosis target
atau dosis maksimal yang dapat di toleransi
Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian spironolakton:
 Hiperkalemia
 Perburukan fungsi ginjal
 Nyeri dan/atau pembesaran payudara

d. Angiotensin Receptor Blockers (ARB)


Kecuali kontraindikasi, ARB direkomendasikan pada pasien gagal jantung
dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % yang tetap simtomatik walaupun
sudah diberikan ACEI dan penyekat β dosis optimal, kecuali juga mendapat
antagonis aldosteron. Terapi dengan ARB memperbaiki fungsi ventrikel dan
kualitas hidup, mengurangi angka perawatan rumah sakit karena perburukan
gagal jantung ARB direkomedasikan sebagai alternatif pada pasien intoleran
ACEI. Pada pasien ini, ARB mengurangi angka kematian karena penyebab
kardiovaskular. Indikasi pemberian ARB :
 Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %
 Sebagai pilihan alternatif pada pasien dengan gejala ringan sampai berat
(kelas fungsional II - IV NYHA) yang intoleran ACEI
 ARB dapat menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia, dan
hipotensi simtomatik sama sepert ACEI, tetapi ARB tidak
menyebabkan batuk
Kontraindikasi pemberian ARB
 Sama seperti ACEI, kecuali angioedema
 Pasien yang diterapi ACEI dan antagonis aldosteron bersamaan
 Monitor fungsi ginjal dan serum elektrolit serial ketika ARB digunakan
bersama ACEI

20
Cara pemberian ARB pada gagal jantung
Inisiasi pemberian ARB
 Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit.
 Dosis awal bisa dilihat di tabel
Naikkan dosis secara titrasi
 Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 – 4 minggu.
Jangan naikan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau
hiperkalemia
 Jika tidak ada masalah diatas, dosis dititrasi naik sampai dosis target
atau dosis maksimal yang dapat ditoleransi
 Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit 3 dan 6 bulan setelah
mencapai dosis target atau yang dapat ditoleransi dan selanjutnya tiap 6
bulan sekali
Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian ARB: sama
seperti ACEI, kecuali ARB tidak menyebabkan batuk

e. Hydralazine dan Isosorbide Dinitrate (H-Isdn)


Pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %,
kombinasi H-ISDN digunakan sebagai alternatif jika pasien intoleran
terhadap ACEI dan ARB (kelas rekomendasi IIa, tingkatan bukti B). Indikasi
pemberian kombinasi H-ISDN :
 Pengganti ACEI dan ARB dimana keduanya tidak dapat ditoleransi
 Sebagai terapi tambahan ACEI jika ARB atau antagonis aldosteron
tidak dapat ditoleransi
 Jika gejala pasien menetap walaupun sudah diterapi dengan ACEI,
penyekat β dan ARB atau antagonis aldosteron
Kontraindikasi pemberian kombinasi H-ISDN
 Hipotensi simtomatik
 Sindroma lupus
 Gagal ginjal berat
Cara pemberian kombinasi H-ISDN pada gagal jantung (Tabel 10)
Inisiasi pemberian kombinasi H-ISDN

21
 Dosis awal: hydralazine 12,5 mg dan ISDN 10 mg, 2 - 3 x/hari
 Naikan dosis secara titrasi
 Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 – 4 minggu.
 Jangan naikan dosis jika terjadi hipotensi simtomatik
 Jika toleransi baik, dosis dititrasi naik sampai dosis target (hydralazine
50 mg dan ISDN 20 mg, 3-4 x/hari)
Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian kombinasi
H-ISDN:
 Hipotensi simtomatik
 Nyeri sendi atau nyeri otot
f. Digoksin
Pada pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrial, digoksin dapat digunakan
untuk memperlambat laju ventrikel yang cepat, walaupun obat lain (seperti
penyekat beta) lebih diutamakan. Pada pasien gagal jantung simtomatik,
fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % dengan irama sinus, digoksin dapat
mengurangi gejala, menurunkan angka perawatan rumah sakit karena
perburukan gagal jantung,tetapi tidak mempunyai efek terhadap angka
kelangsungan hidup (kelas rekomendasi IIa, tingkatan bukti B)
Cara pemberian digoksin pada gagal jantung
Inisiasi pemberian digoksin
 Dosis awal: 0,25 mg, 1 x/hari pada pasien dengan fungsi ginjal normal.
Pada pasien usia lanjut dan gangguan fungsi ginjal dosis diturunkan
menjadi 0,125 atau 0,0625 mg, 1 x/hari
 Periksa kadar digoksin dalam plasma segera saat terapi kronik.
 Kadar terapi digoksin harus antara 0,6 - 1,2 ng/mL
 Beberapa obat dapat menaikan kadar digoksin dalam darah (amiodaron,
diltiazem, verapamil, kuinidin)
Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian digoksin:
 Blok sinoatrial dan blok AV
 Aritmia atrial dan ventrikular, terutama pada pasien hipokalemia

22
 Tanda keracunan digoksin: mual, muntah, anoreksia dan gangguan
melihat warna

Dosis awal (mg) Dosis target (mg)


ACEI
Captopril 6,25 (3x/hari) 50-100 (3x/hari)
Enalapril 2,5 (2x/hari) 10-20 (2x/hari)
Lisinopril 2,5-5 (1x/hari) 20-40 (1x/hari)
Ramipril 2,5 (1x/hari) 5 (2x/hari)
Perindopril 2 (1x/hari) 8 (1x/hari)
ARB
Candesartan 4 / 8 (1x/hari) 32 (1x/hari
Valsartan 40 (2x/hari) 160 (2x/hari)
Antagonis aldosteron
Eplerenon 25 (1x/hari) 50 (1x/hari)
Spironolakton 25 (1x/hari) 25-50 (1x/hari)

Dosis diuretik
 Mulai dengan dosis kecil dan tingkatkan sampai perbaikan gejala dan
tanda kongesti
 Dosis harus disesuaikan, terutama setelah tercapai berat badan kering
(tanpa retensi cairan),untuk mencegah risiko gangguan ginjal dan
dehidrasi. Tujuan terapi adalah mempertahankan berat badan kering
dengan dosis diuretik minimal
 Pada pasien rawat jalan, edukasi diberikan agar pasien dapat mengatur
dosis diuretik sesuai kebutuhan berdasarkan pengukuran berat badan
harian dan tanda-tanda klinis dari retensi cairan
 Pengelolaan pasien resisten diuretik
Diuretik Dosis awal (mg) Dosis harian (mg)

23
Diuretik Loop
Furosemide 20-40 40-240
Bumetanide 0,5-1,0 1-5
Torasemide 5-10 10-20
Tiazide
Hidrochlortiazide 25 12,5-100
Metolazone 2,5 2,5-10
Indapamide 2,5 2,5-5
Diuretik hemat kalium
Spironolakton (+ACEI/ARB) 12,5-25 (+ACEI/ARB) 50
(- ACEI/ARB) 50 (-ACEI/ARB) 100-200

Tatalaksana non-farmakologi
Manajemen perawatan mandiri
Manajemen perawatan mandiri mempunyai peran dalam keberhasilan
pengobatan gagal jantung dan dapat memberi dampak bermakna perbaikan
gejala gagal jantung, kapasitas fungsional, kualitas hidup, morbiditas dan
prognosis. Manajemen perawatan mandiri dapat didefnisikan sebagai
tindakan-tindakan yang bertujuan untuk menjaga stabilitas fisik, menghindari
perilaku yang dapat memperburuk kondisi dan mendeteksi gejala awal
perburukan gagal jantung.
a. Ketaatan pasien berobat
b. Pemantauan berat badan mandiri
Pasien harus memantau berat badan rutin setap hari, jika terdapat kenaikan
berat badan > 2 kg dalam 3 hari, pasien harus menaikan dosis diuretik atas
pertimbangan dokter (kelas rekomendasi I, tingkatan bukti C).
c. Asupan cairan
Restriksi cairan 1,5 - 2 Liter/hari dipertimbangkan terutama pada pasien
dengan gejala berat yang disertai hiponatremia. Restriksi cairan rutin pada
semua pasien dengan gejala ringan sampai sedang tidak memberikan
keuntungan klinis (kelas rekomendasi IIb, tingkatan bukti C).
d. Pengurangan berat badan
Pengurangan berat badan pasien obesitas (IMT > 30 kg/m 2) dengan gagal
jantung dipertimbangkan untuk mencegah perburukan gagal jantung,

24
mengurangi gejala dan keningkatkan kualitas hidup (kelas rekomendasi IIa,
tingkatan bukti C).

e. Kehilangan berat badan tanpa rencana


Malnutrisi klinis atau subklinis umum dijumpai pada gagal jantung
berat.Kakheksia jantung (cardiac cachexia) merupakan prediktor penurunan
angka kelangsungan hidup. Jika selama 6 bulan terakhir berat badan > 6 %
dari berat badan stabil sebelumnya tanpa disertai retensi cairan, pasien
didefinisikan sebagai kaheksia. Status nutrisi pasien harus dihitung dengan
hati-hati (kelas rekomendasi I, tingkatan bukti C).
f. Latihan fisik
Latihan fisik direkomendasikan kepada semua pasien gagal jantung kronik
stabil. Program latihan fisik memberikan efek yang sama baik dikerjakan di
rumah sakit atau di rumah (kelas rekomendasi I, tingkatan bukti A).
g. Aktvitas seksual
Penghambat 5-phosphodiesterase (contoh: sildenafil) mengurangi tekanan
pulmonal tetapi tidak direkomendasikan pada gagal jantung lanjut dan tidak
boleh dikombinasikan dengan preparat nitrat (kelas rekomendasi III,
tingkatan bukti B).9

2.2.7. Prognosis
Tergantung dari berat ringannya penyakit, komorbiditas dan respon
pengobatan.10

2.3. CKD
2.3.1. Definisi
Chronic Kidney Disease (Gagal Ginjal Kronik) adalah adanya kelainan
struktur atau fungsi ginjal (atau keduanya) setidaknya dalam tiga bulan. Hal ini
diklasifikasikan berdasarkan tingkat disfungsi ginjal, yang diukur dengan
perkiraan laju filtrasi glomerulus.
Gagal ginjal Kronik ditentukan dengan 2 kriteria yaitu pertama, kerusakan
ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan disertai kelainan structural maupun

25
fungsional dengan atau tanpa penurunan LFG yang bermanifestasi adanya
kelainan patologis dan terdapat tanda kelainan pada ginjal yang berupa
kelainan pada komposisi darah, urin atau kelainan pada tes pencitraan (imaging
tests). Kedua, LFG kurang dari 60 ml/menit/1,73m2 selama 3 bulan dengan
atau tanpa kerusakan ginjal.11

2.3.2. Epidemiologi
Data Global Burden of Disease tahun 2010 menunjukkan, Penyakit Ginjal
Kronis merupakan penyebab kematian ke-27 di dunia tahun 1990 dan
meningkat menjadi urutan ke 18 pada tahun 2010. Lebih dari 2 juta penduduk
di dunia mendapatkan perawatan dengan dialisis atau transplantasi Ginjal dan
hanya sekitar 10% yang benar-benar mengalami perawatan tersebut.
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, menunjukkan bahwa
prevalensi penduduk Indonesia yang menderita Gagal Ginjal sebesar 0,2% atau
2 per 1000 penduduk dan prevalensi Batu Ginjal sebesar 0,6% atau 6 per 1000
penduduk. Prevalensi Penyakit Gagal Ginjal tertinggi ada di Provinsi Sulawesi
Tengah sebesar 0,5%.
Berdasarkan jenis kelamin, prevalensi gagal Ginjal pada laki-laki (0,3%)
lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan (0,2%). Berdasarkan karakteristik
umur prevalensi tertinggi pada kategori usia di atas 75 tahun (0,6%), dimana
mulai terjadi peningkatan pada usia 35 tahun ke atas. Berdasarkan strata
pendidikan, prevalensi gagal Ginjal tertinggi pada masyarakat yang tidak
sekolah (0,4%). Sementara Berdasarkan masyarakat yang tinggal di pedesaan
(0,3%) lebih tinggi prevalensinya dibandingkan di perkotaan (0,2%).
Berdasarkan Indonesian Renal Registry (IRR) tahun 2016, sebanyak 98%
penderita gagal Ginjal menjalani terapi Hemodialisis dan 2% menjalani terapi
Peritoneal Dialisis (PD). Penyebab penyakit Ginjal kronis terbesar adalah
nefropati diabetik (52%), hipertensi (24%), kelainan bawaan (6%), asam urat
(1%), penyakit lupus (1%) dan lain-lain.12

2.3.3. Etiopatogenesis
Chronic Kidney Disease (CKD) disebabkan oleh bermacam-macam hal:

26
 Glomerulonephritis, akibat infeksi (endocarditis bacterial, hepatitis C,
hepatitis B, HIV) atau yang bersifat kronik
 Diabetes mellitus menyebabkan nefropati diabetic
 Hipertens, penyakit nefrosklerosis
 Uropati obstruktif (batu saluran kemih, tumor dan lain-lain)
 Lupus eritematosus sistemik, amyloidosis, penyakit ginjal polikistik
 Penggunaan obat-obatan (obat antiinflamasi non steroid, antibiotic,
siklosporin, takrolimus)13
Patofisiologi CKD pada awalnya dilihat dari penyakit yang mendasari,
namun perkembangan proses selanjutnya kurang lebih sama. Penyakit ini
menyebabkan berkurangnya massa ginjal. Sebagai upaya kompensasi,
terjadilah hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa yang
diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factor.
Akibatnya, terjadi hiperfiltrasi yang diikuti peningkatan tekanan kapiler dan
aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, hingga pada
akhirnya terjadi suatu proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih
tersisa. Sklerosis nefron ini diikuti dengan penurunan fungsi nefron progresif,
walaupun penyakit yang mendasarinya sudah tidak aktif lagi.
Diabetes melitus (DM) menyerang struktur dan fungsi ginjal dalam
berbagai bentuk. Nefropati diabetik merupakan istilah yang mencakup semua
lesi yang terjadi di ginjal pada DM . Mekanisme peningkatan GFR yang
terjadi pada keadaan ini masih belum jelas benar, tetapi kemungkinan
disebabkan oleh dilatasi arteriol aferen oleh efek yang tergantung glukosa,
yang diperantarai oleh hormon vasoaktif, Insuline-like Growth Factor (IGF) –
1, nitric oxide, prostaglandin dan glukagon. Hiperglikemia kronik dapat
menyebabkan terjadinya glikasi non enzimatik asam amino dan protein. Proses
ini terus berlanjut sampai terjadi ekspansi mesangium dan pembentukan nodul
serta fibrosis tubulointerstisialis.
Hipertensi juga memiliki kaitan yang erat dengan gagal ginjal. Hipertensi
yang berlangsung lama dapat mengakibatkan perubahan-perubahan struktur
pada arteriol di seluruh tubuh, ditandai dengan fibrosis dan hialinisasi
(sklerosis) dinding pembuluh darah. Salah satu organ sasaran dari keadaan ini

27
adalah ginjal. Ketika terjadi tekanan darah tinggi, maka sebagai kompensasi,
pembuluh darah akan melebar. Namun di sisi lain, pelebaran ini juga
menyebabkan pembuluh darah menjadi lemah dan akhirnya tidak dapat bekerja
dengan baik untuk membuang kelebihan air serta zat sisa dari dalam tubuh.
Kelebihan cairan yang terjadi di dalam tubuh kemudian dapat menyebabkan
tekanan darah menjadi lebih meningkat, sehingga keadaan ini membentuk
suatu siklus yang berbahaya.14,15

2.3.4. Gejala Klinis


Gambaran klinis pasien CKD meliputi gambaran yang sesuai dengan
penyakit yang mendasari, sindrom uremia dan gejala kompikasi. Pada stadium
dini, terjadi kehilangan daya cadang ginjal dimana GFR masih normal atau
justru meningkat. Kemudian terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif
yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai
pada GFR sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan. Ketika GFR
sebesar 30%, barulah terasa keluhan seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu
makan kurang, dan penurunan berat badan. Sampai pada GFR di bawah 30%,
pasien menunjukkan gejala uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan
tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual,
muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terserang infeksi, terjadi
gangguan keseimbangan elektrolit dan air. Pada GFR di bawah 15%, maka
timbul gejala dan komplikasi serius dan pasien membutuhkan RRT.
Gambaran klinik gagal ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia
sangat kompleks, meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti: kelainan
hemopoeisis, saluran cerna, mata, kulit, selaput serosa, kelainan neuropsikiatri
dan kelainan kardiovaskular.
a. Kelainan hemopoeisis Anemia normokrom normositer dan normositer
(MCV 78-94 CU), sering ditemukan pada pasien gagal ginjal kronik.
Anemia yang terjadi sangat bervariasi bila ureum darah lebih dari 100 mg
% atau bersihan kreatinin kurang dari 25 ml per menit.
b. Kelainan saluran cerna

28
Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien
gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dam
muntah masih belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan
dekompresi oleh flora usus sehingga terbentuk amonia. Amonia inilah
yang menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan usus
halus. Keluhan-keluhan saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang
setelah pembatasan diet protein dan antibiotika.
c. Kelainan mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil
pasien gagal ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa
hari mendapat pengobatan gagal ginjal kronik yang adekuat, misalnya
hemodialisis. Kelainan saraf mata menimbulkan gejala nistagmus, miosis
dan pupil asimetris. Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan
hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai pada pasien gagal ginjal
kronik. Penimbunan atau deposit garam kalsium pada conjunctiva
menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi dan
hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa
pasien gagal ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder
atau tersier.
d. Kelainan kulit
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan
diduga berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal
ini akan segera hilang setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya
kering dan bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan kristal urea pada kulit
muka dan dinamakan urea frost.
e. Kelainan selaput serosa
Kelainan selaput serosa seperti pleuritis dan perikarditis sering dijumpai
pada gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Kelainan selaput
serosa merupakan salah satu indikasi mutlak untuk segera dilakukan
dialisis.
f. Kelainan neuropsikiatri

29
Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia, dan
depresi sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Kelainan mental
berat seperti konfusi, dilusi, dan tidak jarang dengan gejala psikosis juga
sering dijumpai pada pasien GGK. Kelainan mental ringan atau berat ini
sering dijumpai pada pasien dengan atau tanpa hemodialisis, dan
tergantung dari dasar kepribadiannya (personalitas).
g. Kelainan kardiovaskular
Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik sangat
kompleks. Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis,
kalsifikasi sistem vaskular, sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik
terutama pada stadium terminal dan dapat menyebabkan kegagalan faal
jantung.
Klasifikasi GGK dibagi atas 5 tingkatan derajat yang didasarkan pada LFG
dengan ada atau tidaknya kerusakan ginjal. Pada derajat 1-3 biasanya belum
terdapat gejala apapun (asimptomatik). Manifestasi klinis muncul pada fungsi
ginjal yang rendah yaitu terlihat pada derajat 4 dan 5.11
Derajat LFG Keterangan
1 ≥90 Kerusakan ginjal dengan LFG
normal atau meningkat.
2 60-89 Kerusakan ginjal dengan LFG
turun ringan.
3a 45-59 Kerusakan ginjal dengan LFG
turun ringan sampai sedang.
3b 30-44 Kerusakan ginjal dengan LFG
turun sedang sampai berat.
4 15-29 Kerusakan ginjal dengan LFG
turun berat.
5 <15 Gagal ginjal.

2.3.5. Diagnosis
1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang
berhubungan dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi
GGK, perjalanan penyakit termasuk semua faktor yang dapat

30
memperburuk faal ginjal (LFG). Gambaran klinik (keluhan subjektif dan
objektif termasuk kelainan laboratorium) mempunyai spektrum klinik luas
dan melibatkan banyak organ dan tergantung dari derajat penurunan faal
ginjal.

2. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi: a) sesuai
dengan penyakit yang mendasarinya. b) penurunan fungsi ginjal
berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum, dan penurunan
LFG yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kockcroft-Gault.
Kadar kreatinin serum saja tidak bisa digunakan untuk memperkirakan
fungsi ginjal. c) kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar
hemoglobin, peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalamia,
hiponatremia, hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia,
asidosis metabolic. d) kelainan urinalisis meliputi proteinuria,
hematuria, leukosuria, cast, isostenuria.
b. Radiologi
Pemeriksaan radiologis gagal ginjal kronik meliputi: a) foto polos
abdomen, bisa tampak batu radio-opak. b) pielografi intravena jarang
dikerjakan, karena kontras sering tidak bisa melewati filter
glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh
kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan. c)
pielogragi antegrad atau retrograde dilakukan dengan indikasi. d)
ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang
mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal,
kista, massa, kalsifikasi. e) pemeriksaan pemindaian ginjal atau
renografi dikerjakan bila ada indikasi.
c. Biopsy dan pemeriksaan histopatologi ginjal
Biopsy dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien
dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis

31
secara noninvasive tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi
ini bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis
dan mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan. Biopsy ginjal
kontraindikasi pada keadaan dimana ukuran ginjal sudah mengecil,
ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefrik,
gangguan pembekuan darah, gagal nafas dan obesitas.15

2.3.6. Tatalaksana
Tujuan tatalaksana antara lain untuk menghambat penurunan LFG dan
mengatasi komplikasi CKD stadium akhir (stadium 4 dan 5).
Tatalaksana untuk mencegah progesivitas CKD:
a. Kontrol tekanan darah
Target tekanan darah: <130/80 mmHg (tanpa proteinuria), <125/75
mmHg (dengan proteinuria). Antihipertensi yang disarankan ialah
ACE inhibitor, ARB, dan CCB nonhidropiridine.
b. Restriksi asupan protein.
Untuk mencegah risiko malnutrisi. Rekomendasi asupan protein:
 CKD pre dialysis: 0,6-0,75 g/KgBB ideal/hari
 CKD hemodialysis: 1,2 g/kgBB ideal/hari
 CKD dialysis peritoneal: 1,2-1,3 g/kgBB/hari
 Transplantasi ginjal: 1,3 g/kgBB ideal/hari pada 6 minggu
pertama pasca transplantasi dilanjutkan 0,8-1 g/kgBB ideal/hari
Protein yang dipilih adalah yang memiliki kandungan biologis
tinggi (protein hewani), minimal 50%.
c. Kontrol kadar glukosa darah.
Target HBA1C <7%. Lakukan penyesuaian dosis obat hipoglikemik
oral. Hindari penggunaan metformin. Golongan glitazon dapat dipilih.
d. Restriksi cairan
Rekomendasi asupan cairan pada CKD:
 CKD pre dialysis: cairan tidak dibatasi dengan produksi urin yang
normal
 CKD hemodialysis: 500 ml/hari + produksi urin

32
 CKD dialysis peritoneal: 1500-2000 ml/hari. Lakukan pemantauan
harian
 Transplantasi ginjal: pada fase akut pasca transplantasi, pasien
dipertahankan euvolemik/ sedikit hipervolemik dengan insensible
water loss diperhitungkan sebesar 30-60 ml/jam. Untuk pasien
normovolemik dan graft berfungsi baik, asupan cairan dianjurkan
minimal 2000 ml/hari/ untuk pasien oliguria, asupan cairan harus
seimbang dengan produksi urin ditambah insensible water loss 500-
750 ml.
e. Restriksi asupan garam
Rekomendasi asupan NaCl per hari:
 CKD predialisis: <5g/hari
 CKD hemodialysis: 5-6g/hari
 CKD dialysis peritoneal: 5-10g/hari
 Tranplantasi ginjal: <6-7 g/hari. Natrium hanya dibatasi pada
periode akut pasca operasi dimana mungkin terjadi fungsi graft
yang buruk atau hipertensi pasca transplantasi.
f. Terapi dyslipidemia. Target LDL <100 mg/dL. Apabila trigliserida
≥200 mg/dL, target kolesterol non HDL <130 mg/dL/ kolesterol non
HDL ialah kadar kolesterol total dikurang kadar HDL. Tetapi
dyslipidemia dapat menggunakan statin, serta pola makan rendah
lemak jenuh. Asupan lemak dianjurkan 25-30% total kalori dengan
lemak jenuh dibatasi <10%. Apabila ada dyslipidemia, asupan
kolesterol dalam makanan dianjurkan <300 mg/hari.
g. Modifikasi gaya hidup. Indeks massa tubuh ideal dilakukan
pengaturan berat badan dan olahraga 30 menit minimal 3 hari dalam
seminggu, serta berhenti merokok.
h. Edukasi. Pasien mengerti tentang CKD, factor progesivitas, pilihan
modalitas terapi pengganti ginjal.

Tatalaksana untuk mengatasi komplikasi CKD:

33
a. Anemia. Lakukan pemeriksaan untuk menyingkirkan anemia
defisiensi besi. Terapi eritropoietin apabila Hb <10 g/dl dan Ht
<30% (target Hb 10-12 g/dL, Ht >30%). Dosis penggunaaan EPO:
 Fase koreksi: 2000-4000 IU subkutan, 2-3 kali/minggu, selama
4 minggu. Target Hb naik 1-2 g/dL atau Ht naik 2-4% dalam 4
minggu.
 Apabila target belum tercapai dosis EPO dinaikkan 50%
 Apabila Hb naik >2,5 g/dL atau Ht naik ?8% dalam 4 minggu,
dosis diturunkan sebanyak 25%
b. Asidosis metabolic. koreksi apabila konsentrasi HCO3 <22 mmol/L.
koreksi dilakukan dengan suplemen bikarbonat oral untuk
mempertahankan kadar HCO3 22-24 mmol/L. bikarbonat oral
diberikan 3x2 tab (325-2000mg) setiap harinya.
c. Hiperfosfatemia. Pilihan terapi tergantung kadar Ca2+ dan PO4
pasien. Koreksi dilakukan dengan pemberian phosphate binders.
Jenis phosphate binders yang tersedia:
 Ca based phosphate binders, contoh: kalsium asetat atau kalsium
karbonat 3-6 g/hari
 Non Ca based phosphate binders, contoh: lanthanum, sevelamer,
magnesium.
d. Hiperhomosisteinemia. Pemberian suplemen oral: asam folat 15 mg
dan vitamin B12 500µg/hari dilakukan untuk mencegah
aterosklerosis.
Pada CKD stadium 4, pasien perlu dipersiapkan untuk menjalani
terapi pengganti ginjal (TPG). Terapi pengganti ginjal umumnya
dilaksanakan pada CKD stadium 5. Modalitas TPG yang tersedia untuk
pasien CKD dapat berupa hemodialysis (cuci darah), dialysis peritoneal,
atau tranplantasi ginjal.13

34
2.3.7. Prognosis
Prognosis CKD dapat ditentuktan berdasarkan laju filtrasi glomerulus.
Semakin rendah LFG dalam perjalanan penyakit ini, semakin buruk pula
prognosisnya.16

35
BAB III
PENYAJIAN KASUS
3.1. Identitas Pasien
Nama : Tn.S
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 68 tahun
Alamat : Jl. Padat Karya, RT 08/02
Pekerjaan : Pemborong bangunan
Status Perkawinan : Sudah Menikah
Tanggal Masuk RS : 30 Juli 2019
Tanggal Pemeriksaan : 31 Juli 2019

3.2. Anamnesis
Keluhan utama : Sesak nafas
Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang dengan sesak nafas sejak 1 minggu SMRS dan semakin
memberat sejak 2 hari SMRS. Pasien mengatakan sesak sering terjadi pada
malam hari dan sering membuat pasien terbangun saat tidur dan susah
tidur lagi, serta sesak di saat pasien beristirahat, kemudian semakin
memberat selama 1 minggu ini. Pasien juga mengeluhkan sesak nafas
setelah aktivitas berjalan. Pasien tidak mengeluhkan bengkak pada
ekstremitas atas dan bawah. Keluhan batuk pilek disangkal. Pasien tidur
dengan menggunakan 2 bantal, namun sesak masih dirasakan. Keluhan
mual muntah di sangkal, BAB dan BAK lancar.
Riwayat Penyakit Dahulu :

36
Riwayat hipertensi terkontrol dan CHF sejak tahun 2017
Riwayat stroke pada tahun 2017 sebanyak 2 kali serangan dan mengalami
kelumpuhan badan dan anggota gerak sebelah kanan yang sudah normal
kembali.
Riwayat maag dan sering mengeluh kembung.
Riwayat dislipidemia.
Riwayat DM disangkal.
Riwayat asma disangkal.
Riwayat trauma disangkal.
Riwayat operasi disangkal.
Riwayat penyakit keluarga :
Tidak ada keluarga pasien mengalami sakit yang sama.
Riwayat Pengobatan :
Candesartan 16 mg, Amlodipin 10 mg, dan Bisoprolol 5 mg.
Riwayat alergi obat :
Pasien mengaku tidak memiliki alergi makanan ataupun obat-obatan.
Riwayat sosial ekonomi dan lingkungan :
Pasien sebelumnya bekerja sebagai pemborong bangunan namun sudah
berhenti, memiliki 1 anak yang sudah menikah. Pendidikan terakhir pasien
yaitu SD. Pasien tinggal dengan istri, anak, menantu, dan kakak ipar.
Penghasilan pasien dulunya 5-6 juta, tetapi sekarang bergantung pada
pekerjaan anak. Rumah pasien berukuran 10,5mx12m dengan ruang tamu
berjumlah 1, ruang keluarga berjumlah 1, kamar tidur berjumlah 3, kamar
mandi berjumlah 2 yaitu kamar mandi dalam dan luar, dapur berjumlah 1.
Atap rumah terbuat dari seng dan tembok dari semen. Keluarga pasien
mengonsumsi air hujan. Pasien senang makan makanan manis. Pasien
makan 3 kali sehari dan masak sendiri. Pasien dulu merokok, tetapi setelah
menderita stroke, berhenti merokok. Pasien bersosialisasi dengan baik
dengan para tetangga.

3.3. Pemeriksaan Fisik


3.3.1. Keadaan Umum

37
Kesadaran : Baik
Keadaan Umum : Compos mentis
GCS : E4V5M6
Tekanan Darah : 180/90 mmHg
Nadi : 61 x/menit
Pernapasan : 20 x/menit
Suhu : 36,8oC
SpO2 : 98%
Berat Badan : 55 kg
3.3.2. Status Generalis
Kepala Normosefal
Mata Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-), injeksi konjungtiva
(-), refleks cahaya langsung (+/+), refleks cahaya tidak
langsung (+/+), pupil isokor (3 mm/3 mm)
Telinga AS : sekret (-), meatus tidak eritema, tidak edema, membran
timpani tidak dinilai
AD : secret (-), meatus tidak eritem, tidak edem,
membran timpani tidak dinilai
Mulut Stomatitis (-), bibir sianosis (-), bibir kering (-)
Hidung Sekret (-), pernapasan cuping hidung (-)
Tenggorokan Faring hiperemis (-), tonsil (T1/T1) tidak hiperemis, detritus (-)
Leher Deviasi trakea (-), pembesaran kelenjar tiroid (-), pembesaran
KGB (-), JVP meningkat saat dilakukan reflex hepatojugular.
Dada Simetris saat statis dan dinamis, retraksi (-)
Paru Inspeksi : gerakan dinding dada simetris
Palpasi : fremitus kanan=kiri
Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : vesikular (+/+), ronkhi (+/+), wheezing (-/-)
Jantung Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba pada 2 jari lateral midclavicular
sinistra ICS 5
Perkusi :
 Batas atas = ICS 3 linea midclavicular sinistra
 Batas bawah = ICS 5 medial linea midclavicar sinistra
 Batas kiri = 2 jari linea midclavicular sinistra ICS 5

38
 Batas kanan = linea parasternalis dextra ICS 5
Auskultasi : SI-SII regular, Gallop(-), Murmur (-)
Abdomen Inspeksi : simetris, hiperemis (-), hematom (-)
Auskultasi: bising usus (+) normal
Perkusi : timpani, pekak hepar (+)
Palpasi : nyeri tekan (+), batas hepar dan lien dalam batas
normal

Ekstremitas - -
- -
Akral hangat, CRT <2 detik, edema

3.4. Assessmen Geriatri


a. Geriatric Depression Scale
Jwbn
1. Apakah Bapak/Ibu sebenarnya puas dengan Ya Tidak Ya
kehidupan Bapak/Ibu ?
2. Apakah Bapak/Ibu telah meninggalkan banyak Ya Tidak Tidak
kegiatan dan minat atau kesenangan Bapak/Ibu ?
3. Apakah Bapak/Ibu merasa kehidupan Bapak/Ibu Ya Tidak Tidak
kosong ?
4. Apakah Bapak/Ibu sering merasa bosan ? Ya Tidak Tidak
5. Apakah Bapak/Ibu mempunyai semangat yang Ya Tidak Ya
baik setiap saat ?
6. Apakah Bapak/Ibu takut bahwa sesuatu yang Ya Tidak Tidak
buruk akan terjadi pada Bapak/Ibu ?
7. Apakah Bapak/Ibu merasa bahagia untuk sebagian Ya Tidak Ya
besar hidup Bapak/Ibu ?
8. Apakah Bapak/Ibu sering merasa tidak berdaya ? Ya Tidak Tidak
9. Apakah Bapak/Ibu lebih senang tinggal di rumah Ya Tidak Tidak
daripada pergi ke luar dan mengerjakan sesuatu
hal yang baru ?
10. Apakah Bapak/Ibu merasa mempunyai banyak Ya Tidak Tidak
masalah dengan daya ingat Bapak/Ibu

39
dibandingkan kebanyakan orang ?
11. Apakah Bapak/Ibu pikir bahwa hidup Bapak/Ibu Ya Tidak Ya
sekarang ini menyenangkan ?
12. Apakah Bapak/Ibu merasa tidak berharga seperti Ya Tidak Tidak
perasaan Bapak/Ibu saat ini ?
13. Apakah Bapak/Ibu merasa penuh semangat ? Ya Tidak Ya
14. Apakah Bapak/Ibu merasa bahwa keadaan Ya Tidak Tidak
Bapak/Ibu tidak ada harapan ?
15. Apakah Bapak/Ibu pikir bahwa orang lain lebih Ya Tidak Tidak
baik keadaannya dari Bapak/Ibu ?
Total nilai : 0 (tidak mengalami depresi)

b. Norton Scale
No Skor Jwbn Pasien
1. Kondisi Fisik 4
Baik 4
Lumayan 3
Buruk 2
Sangat buruk 1
2. Kesadaran : 4
Kompos mentis 4
Apatis 3
Konfusio/Soporous 2
Stupor/Koma 1
3. Aktivitas : 4
Ambulan 4
Ambulan dengan bantuan 3
Hanya bisa duduk 2
Tiduran 1
4. Mobilitas : 4
Bergerak bebas 4
Sedikit terbatas 3
Sangat terbatas 2
Tak bisa bergerak 1
5. Inkontinensia : 4
Tidak 4

40
Kadang-kadang 3
Sering inkontinensia urin 2
Inkontinensia alvi et urin 1
Total Skor 20
(resiko kecil sekali/tak
terjadi)

c. Indeks Katz
No Aktivitas Mandiri Tegantung Jawaban
pasien
1. Bathing memerlukan memerlukan bantuan Mandiri
bantuan hanya pada dalam mandi > 1
1 bagian tubuh bagian tubuh dan saat
[Bagian masuk serta keluar dari
belakang/anggota bak mandi/dapat
tubuh yang mandi sendiri
terganggu]/dapat
melakukan sendiri
2. Dressing Menaruh dan Tidak dapat memakai Mandiri
mengambil pakaian sendiri/Tidak
pakaian, memakai dapat berpakaian
pakaian dan sebagian
menalikan sepatu
dilakukan sendiri
3. Toiletting Pergi ke toilet, Memakai “bed pan” Mandiri
duduk berdiri dari atau
kloset, memakai “comode”/mendapat
pakaian dalam, bantuan orang lain saat
membersihkan pergi ke
kotoran [memakai toilet/memakai toilet
“bed pan” pada
malam hari saja dan
tidak memakai
penyangga

41
mekanik]
4. Transfering Berpindah dari dan Tidak dapat Mandiri
ke tempat tidur, melakukan/dengan
dari dan ke Tempat bantuan untuk
Duduk [memakai berpindah dari dan ke
atau tidak memakai Tempat Tidur/Tempat
alat bantu] Duduk.
5. Continence Dapat mengontrol Tidak dapat Mandiri
BAK dan BAB mengontrol
sebagian/seluruhnya
BAB dan BAK,
dengan bantuan
manual/kateter
6. Feeding Mengambil Memerlukan bantuan Mandiri
makanan dari untuk makan/tidak
piring/yang lainnya dapat makan
dan memasukkan semuanya/makan per
ke dalam mulut parenteal.
[tidak termasuk
kemampuan untuk
memotong daging
dan menyiapkan
makanan seperti
mengoles mentega
dan roti]
Hasil : klasifikasi A (mandiri untuk 6 fungsi)

d. Kuesioner Status Mental


No Daftar Pertanyaan Jawaban pasien
Benar Salah
1. Tanggal berapa hari ini ? (bulan, tahun) √
2. Hari apakah hari ini ? √
3. Apakah nama tempat ini ? √
4. Berapa nomor telepon Bapak/Ibu?(jika tak ada √

42
no telp, di jalan apakah rumah bapak ?)
5. Berapa umur Bapak/Ibu ? √
6. Kapan Bapak/Ibu lahir (Tanggal, Bulan, √
Tahun) ?
7. Siapa nama Presiden sekarang ? √
(gubernur,walikota,lurah camat)
8. Siapa nama Presiden sebelum ini ? √
(gubernur,walikota,lurah camat)
9. Siapa nama gadis Ibu anda ? √
10. Hitung mundur 3 - 3, mulai dari 20 [20 – 3, dst] √
?
Hasil : Tidak terdapat gangguan intelek (Baik)

43
e. MMSE
NO LANGKAH/KEGIATAN (TES) NILAI NILAI
MAKS
I. ORIENTASI
1 Sekarang (tahun), (musim), (bulan), (tanggal), 5 5
(hari) apa?
2 Kita berada dimana? (negara), (propinsi), (kota), 5 5
(rumah sakit), (lantai/kamar)
II. REGISTRASI
3 Sebutkan 3 buah nama benda (apel, meja, koin), 3 3
tiap benda 1 detik, klien diminta mengulangi
ketiga nama benda tadi. Nilai 1 untuk tiap nama
benda yang benar. Ulangi sampai pasien dapat
menyebutkan dengan benar dan catat jumlah
pengulangan
III. ATENSI DAN KALKULASI
4 Kurangi 100 dengan 7. Nilai 1 untuk tiap 5 3
jawaban yang benar. Hentikan setelah 5 jawaban.
Atau disuruh mengeja terbalik kata ”WAHYU”
(nilai diberi pada huruf yang benar sebelum
kesalahan; misalnya uyahw = 2 nilai)
IV. MENGINGAT KEMBALI (RECALL)
5 Klien disuruh menyebut kembali 3 nama benda 3 2
di atas
V. BAHASA
6 Klien disuruh menyebutkan nama benda yang 2 2
ditunjukkan (pensil, buku)
7 Klien disuruh mengulang kata-kata: ”namun”, 1 1
”tanpa”, ”bila”
8 Klien disuruh melakukan perintah: ”Ambil 3 3
kertas ini dengan tangan anda, lipatlah menjadi
dua dan letakkan di lantai”
9 Klien disuruh membaca dan melakukan perintah 1 1
”Pejamkanlah mata anda”
10 Pasien disuruh menulis dengan spontan 1 1
Gangguan menulis disebut agrafia
VI. KONSTRUKSI

44
11 Klien diminta meniru gambar ini 1 1

INTERPRETASI SKOR MMSE: 26


(Normal)

3.5. Pemeriksaan Penunjang


Tanggal 30/7/2019 2/8/2019 Nilai normal
Hb 9,8 13,2-17,3 g/dL
Ht 28,6 40-52%
Eritrosit 3,17 4,4-5,9 x 106/µL
Leukosit 6.300 3.800-10.600/µL
Trombosit 215.000 150.000-440.000/µL
Ureum 189 192 10-50 mg/dL
Kreatinin 7,2 8,26 0,62-1,10mg/dL
GFR 7,64 6,66
Kolesterol total 207 < 265

Foto Thorax PA
 Kardiomegali (LV)
 Bronkitis

45
USG Abdomen
 Proses kronis kedua ren dengan atrofi renal dd/KD
 Efusi pleura kanan

3.6. Diagnosis
CHF NYHA IV et CKD STAGE V

3.7. Diagnosis Banding


PPOK

3.8. Tatalaksana
 IVFD NaCl 0,9 % + bicnat
 Inj. Ranitidine 1 amp / 12 jam
 Inj. Ceftriaxone 1 gr / 24 jam
 Inj. Furosemide 1 amp / 1-1-0
 ISDN 3x5 mg
 Clopidogrel 1x1
 Valsartan 1x160 mg
 Herbesser CD 1x200 mg
 Clonidine 1x150 mg

46
 Nocid 3x1

3.9. Prognosis
At functionam : dubia
At sanationam : dubia at malam
At vitam : dubia

47
BAB IV
PEMBAHASAN

Pada kasus ini, seorang laki-laki berusia 68 tahun datang dengan keluhan
sesak nafas. Sesak nafas sejak 1 minggu dan memberat sejak 2 hari SMRS. Pasien
mengatakan sesak sering terjadi pada malam hari dan sering membuat pasien
terbangun saat tidur, serta sesak di saat pasien beristirahat. Pasien juga
mengeluhkan sesak nafas setelah aktivitas berjalan. Pasien tidur dengan
menggunakan 2 bantal namun sesak masih dirasakan. Pasien menderita hipertensi
dan CHF sejak tahun 2017 dan mengonsumsi obat yaitu candesartan 16 mg,
amlodipine 10 mg dan bisoprolol 5 mg, tetapi tekanan darah tidak pernah turun.
Pasien pernah mendertia stroke pada tahun 2017 sebanyak 2 kali serangan dan
mengalami kelumpuhan badan dan anggota gerak sebelah kanan yang sekarang
sudah normal kembali. Pasien juga memiliki riwayat maagh dan sering mengeluh
kembung.
Pada geriatri tidak hanya dinilai dari aspek medik saja, namun juga
melakukan assesment dari segi fisik, psikologis, dan sosial ekonomi. Interaksi dari
3 komponen tersebut menggambarkan keadaan fungsional organ/dan atau tubuh
secara keseluruhan.
Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang, pasien ini di diagnosis mengalami CHF grade IV dan CKD grade V
serta sindrom geriatric berupa sindrom serebral dengan KATZ index A. Hal ini
bersesuaian dengan terpenuhinya kriteria diagnosis Framingham berupa adanya 2
kriteria mayor atau 2 kriteria mayor dan 1 kriteria minor. Pada pasien, ditemukan
kriteria mayor kardiomegali, hepatojugular reflux, Paroxysmal Nocturnal
Dyspnea (PND) atau ortopnea dan ronkhi paru, serta adanya kriteria minor berupa
Dyspnea on Exertion (DOE) sehingga diagnosis CHF dapat ditegakkan. Pasien
juga dikategorikan sebagai CHF grade IV karena pasien tidak dapat melakukan
aktivitas fisik tanpa keluhan serta gejala tetap muncul saat istirahat.
Dasar diagnosis CKD grade V adalah dengan hasil pemeriksaan USG dan
pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin. Hasil pemeriksaan USG didapati adanya
proses kronis kedua ginjal dengan atrofi ginjal. Hasil pemeriksaan ureum sebesar

48
192 dan kreatinin sebesar 8,26 sehingga dapat dihitung Laju Filtrasi Glomerulus
(LFG) sebesar 6,66. Hal ini sesuai dengan teori dimana CKD grade V
diindikasikan adanya penurunan LFG <15.
Sindrom geriatric yang terjadi pada pasien adalah sindrom serebral.
Sindrom serebral adalah kumpulan gejala yang terjadi sebagai akibat perubahan
patologik peredaran darah otak. Hipertensi merupakan factor risiko terjadinya
thrombosis atau emboli pembuluh darah serebral. Hal ini akan berakibat
terjadinya infark relatif lebih luas dan bersifat setempat. Dengan berkurangnya
neuron pada lanjut usia, terjadi juga penurunan aktifitas neuron. Kebutuhan
oksigen serebral juga menurun. Karena aliran darah serebral sangat erat kaitannya
dengan aktifitas metabolisme, terjadi juga penurunan aliran darah serebral.
Berbagai keadaan dapat mengakibatkan terjadinya hipoksemia yang berpegaruh
pada fungsi aliran darah serebral seperti gagal jantung.
KATZ index merupakan salah satu penilaian geriatric untuk mengetahui
kemampuan fungsional nya. KATZ indek memiliki 6 poin yang dievaluasi pada
pasien yaitu, kemampuan mandi, berpakaian, berkemih, mobilisasi, inkontinensia
urin dan feses serta makan. Hal ini perlu diketahui apakah pasien dapat
melakukannya secara mandiri atau bergantung pada orang lain. Pada pasien ini, ke
enam poin ini dapat dilakukan sendiri sehingga KATZ index pasien adalah A.

49
BAB V
KESIMPULAN

Pada geriatri tidak hanya dinilai dari aspek medik saja, namun juga
melakukan assesment dari segi fisik, psikologis, dan sosial ekonomi. Interaksi dari
3 komponen tersebut menggambarkan keadaan fungsional organ/dan atau tubuh
secara keseluruhan. Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang, pasien ini di diagnosis mengalami CHF grade IV dan
CKD grade V serta sindrom geriatric berupa sindrom serebral dengan KATZ
index A.

50
DAFTAR PUSTAKA

1. Sastre J, Pallardo FV, Garcia de la Asuncion J. Mitocondria, oxidative


stress and aging. Free Rad Res. 2000.
2. David M. Wilson. Preface: DNA damage, DNA repair, aging and age-
related disease. Mech Ageing Dev.2008.
3. Broclehurst J. C., Allen, S. C. Major Geriatric Problems. Geriatric
Medicine For Student. Churcill-Livingstone, 3 RD, Ed, 35-117, 1987
4. Elsawy, Bassem. The Geriatric Assesment. Am Fam Physician: Texas.
2011.
5. ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic
heart failure. European Heart Journal. 2016. 37, 2129–2200
doi:10.1093
6. Patrick Davey. At a Glance Medicine. Jakarta: Erlangga. 2005.
7. Price Sylvia A. Wilson Loraine M. Carol T. B. Patofisiologi. Konsep
Klinis proses-proses Penyakit. Jakarta: EGC. 2006.
8. McMurray JJ V, Adamopoulos S, Anker SD, et al. ESC Guidelines for
the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure, 2012:
The Task Force for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic
Heart Failure 2012 of the European Society of Cardiology. Developed
in collaboration with the Heart. Eur Heart J 2013
9. PERKI. Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung. 2015.
10. IDI. Panduan Praktis Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Primer. Edisi ke-2. 2017.
11. KDIGO. Clinical Practice Guideline Update for the Diagnosis,
Evaluation, Prevention and Treatment for Chronic Kidney Disease-
Mineral and Bone Disorder. 2017.
12. Kemenkes RI. Cegah dan Kendalikan Penyakit Ginjal dengan Cerdik
dan Patuh. 2018.
13. Arifputera A, dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Editor, Tanto C, dkk.
Edisi 4. Jakarta: Media Aesculapius. 2014
14. Hendromartono. Nefropati Diabetik. Dalam: Buku ajar ilmu penyakit
dalam jilid I. VI. Jakarta: Interna Publishing; 2014.
15. Suwitra. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam: Buku ajar ilmu penyakit
dalam jilid I. VI. Jakarta: Interna Publishing; 2014
16. KDIGO. Clinical practice guideline for the evaluation and
management of chronic kidney disease. kidney. Int Suppl. 2012.

51

Anda mungkin juga menyukai