Anda di halaman 1dari 8

1.

Hemopoiesis
Hemopoiesis merupakan proses pembentukan dan perkembangan sel-sel darah.
Tempat utama terjadinya hemopoiesis berada di yolk sac pada beberapa minggu pertama
gestasi. Sejak usia enam minggu sampai bulan ke 6-7 masa janin, hati dan limpa
merupakan organ utama yang berperan dan terus memproduksi sel darah merah sampai
sekitar 2 minggu setelah lahir. Sumsum tulang adalah tempat yang paling penting sejak
usia 6-7 bulan kehidupan janin dan merupakan satu-satunya sumber sel darah baru
selama masa anak dan dewasa yang normal.
Asal mula dari seluruh sel-sel dalam sirkulasi darah berasal dari sel stem
hemopoietik pluripoten yang mempunyai kemampuan untuk pembaharuan diri dan
mampu berkembang menjadi progenitor multipoten. Selanjutnya, progenitor multipoten
akan berkembang menjadi progenitor oligopoten yakni common lymphoid progenitor
(CLP) dan common myeloid progenitor (CMP). Sel induk yang mempunyai komitmen
untuk berdiferensiasi melalui salah satu garis turunan sel dan membentuk suatu jalur sel
khusus disebut sel stem committed.
Proses ini berlangsung apabila terjadi pendarahan atau penghancuran sel, yang
terjadi pada sumsum tulang, kemudian setelah dewasa bermigrasi ke darah perifer.
Terdapat 2 stem sel yang berperan dalam pembentukan sel darah yaitu stem sel mieloid
dan stem sel limfoid. Stem sel limfoid terkait dengan thymus dimana sel limfosit
dihasilkan. Stem sel mieloid jauh lebih kompleks dari stem sel limfoid. Stem sel mieloid
sedikitnya memiliki enam garis keturunan yang berbeda yaitu garis keturunan eritrosit,
trombosit, neutrofil, eosonofil, basofil, dan monosit/makrofag. Sel-sel ini terbentuk
sebelum menjadi matang (dewasa) terjadi di sumsum tulang. Tahap akhir garis
keturunan mieloid ini terdapat dalam sel darah perifer normal.Stem sel mieloid jauh lebih
kompleks dari stem sel limfoid. Stem sel myeloid sedikitnya memiliki enam garis
keturunan yang berbeda, yaitu garis keturunan (sel darah merah) eritrosit, trombosit,
monosit, eosinofil, basofil, dan neutrofil/makrofag. Proses terbentuknya eritrosit,
trombosit, monosit, neutrofil, eosinofil, dan basofil sebelum menjadi matur (dewasa)
terjadi di dalam sumsum tulang. Tahap akhir dari garis keturunan mieloid ini terdapat
dalam sel darah perifer normal. Sumsum tulang dan timus merupakan tempat
pembentukan sel-sel darah. Apabila kebutuhan sel darah dalam tubuh berkurang, timus
dan sumsum tulang akan memproduksi sel-sel darah tersebut.
Wellman ML. Hematopoiesis. Di dalam: Douglas J Weiss, K Jane Wardrop, editor.
Schalm’s Hematology sixth edition. USA : Wiley-Blackwell. 2010.

2. Definisi anemia aplastic


Anemia aplastic merupakan kegagalan hemopoiesis yang relative jarang
ditemukan namun berpotensi mengancam jiwa. Penyakit ini ditandai oleh pansitopenia
dan aplasia sumsum tulang. Anemia aplastic dapat diwariskan atau didapat. Perbedaan
antara keduanya bukan pada usia pasien, melainkan berdasarkan pemeriksaan klinis dan
laboratorium. Oleh karena itu, pasien dewasa mungkin membawa kelainan herediter yang
muncul di usia dewasa.

Widjanarko, Abidin, Aru W. Sudoyo, Hans Salonder. Anemia Aplastik di dalam Ilmu
Penyakit Dalam edisi VI. Jakarta: Interna Publishing. 2014.

3. Epidemiologi anemia aplastic


Insidensi anemia aplastic didapat bervariasi di seluruh dunia dan berkisar antara 2
sampai 6 kasus per 1 juta penduduk per tahun dengan variasi geografis. Penelitian The
International Aplastic Anemia and Agranulolytosis Study di awal tahun 1980-an
menemukan frekuensi di Eropa dan Israel sebanyak 2 kasus per 1 juta penduduk.
Penelitian di Perancis menemukan angka insidensi sebesar 1,5 kasus per 1 juta penduduk
pertahun. Di Cina, insidensi dilaporkan 0,74 kasus per 100.000 penduduk per tahun dan
di Bangkok 3,7 kasus per 1 juta penduduk per tahun.
Anemia aplastic didapat umumnya muncul pada usia 15 sampai 25 tahun; puncak
insidensi kedua yang lebih kecil muncul setelah usia 60 tahun. Umur dan jenis kelamin
pun bervariasi secara geografis. Di Amerika Serikat dan Eropa umur sebagian besar
pasien berkisar antara 15-24 tahun. Cina melaporkan sebagian besar kasus anemia
aplastic pada perempuan berumur diatas 50 tahun dan pria di atas 60 tahun. Di Perancis,
pada pria ditemukan dua puncak yaitu umur 15-30 dan setelah umur 60 tahun, sedangkan
pada perempuan kebanyakan berumur di atas 60 tahun.

Widjanarko, Abidin, Aru W. Sudoyo, Hans Salonder. Anemia Aplastik di dalam Ilmu
Penyakit Dalam edisi VI. Jakarta: Interna Publishing. 2014.

4. Etiologi anemia aplastic


a. Radiasi
Aplasia sumsum adalah sekuel radiasi akut yang utama. Radiasi merusak DNA;
jaringan yang tergantung pada mitosis aktif sangat rentan. Kecelakaan nuklir
dapat melibatkan tidak hanya pekerja pembangkit listrik tetapi juga karyawan
rumah sakit, laboratorium, dan industri (sterilisasi makanan, radiografi logam,
dll.). Efek radiasi terhadap sumsum tulang tergantung dari jenis radiasi, dosis dan
luasnya paparan sumsum tulang terhadap radiasi. Radiasi berenergi tinggi dapat
digunakan sebagai terapi dengan dosis tinggi tanpa tanda-tanda kerusakan
sumsum tulang asalkan lapangan penyinaran tidak mengenai sebagian besar
sumsum tulang. Pada pasien yang menerima radiasi seluruh tubuh efek radiasi
tergantung dari dosis yang diterima. Efek pada sumsum tulang akan sedikit pada
dosis kurang dari 1 Sv (ekuivalen dengan 1 Gy atau 100 rads untuk sinar X).
Jumlah sel darah dapat berkurang secara reversibel pada dosis radiasi antara 1 dan
2,5 Sv (100 dan 250 rads). Kehilangan stem sel yang ireversibel terjadi pada dosis
radiasi yang lebih tinggi. Bahkan pasien dapat meninggal disebabkan kerusakan
sumsum tulang pada dosis radiasi 5 sampai 10 Sv kecuali pasien menerima
transplantasi sumsum tulang. Paparan jangka panjang dosis rendah radiasi
eksterna juga dapat menyebabkan anemia aplastik.7
b. Bahan-bahan Kimia
Bahan kimia seperti benzene dan derivat benzene berhubungan dengan anemia
aplastik dan akut myelositik leukemia (AML). Beberapa bahan kimia yang lain
seperti insektisida dan logam berat juga berhubungan dengan anemia yang
berhubungan dengan kerusakan sumsum tulang dan pansitopenia.
c. Obat-obatan
Anemia aplastik dapat terjadi atas dasar hipersensitivitas atau dosis obat
berlebihan. Praktis semua obat dapat menyebabkan anemia aplastik pada
seseorang dengan predisposisi genetik. Yang sering menyebabkan anemia aplastik
adalah kloramfenikol.
Agen yang secara teratur menghasilkan depresi sumsum sebagai toksisitas
utama dalam dosis yang biasa digunakan atau paparan normal:
Obat sitotoksik yang digunakan dalam kemoterapi kanker: agen
alkilasi, antimetabolit, antimitotik, beberapa antibiotik
Agen yang sering tetapi tidak terhindarkan menghasilkan aplasia sumsum:
Benzene
Agen yang terkait dengan anemia aplastik tetapi dengan probabilitas yang
relatif rendah:
 Kloramfenikol
 Insektisida
 Antiprotozoal : quinacrine dan chloroquine, mepacrine
 NSAID : ibuprofren, aspirin, penilbutazone
 Antikonvulsan : carbamazepine, felbamate
 Logam berat : emas, arsenic, bismuth, merkuri
 Sulfonamide : beberapa antibiotic, antitiroid
(prophylthiouracil), antidiabetik (tolbutamide,
chlorpropamide), carbonic anhydrase inhibitor (acetazolamide
dan methazolamide)
 Antihistamine (cimetidine, chlorpheniramine)
Agen yang hubungannya dengan anemia aplastik lebih renggang:
 Antibiotic lain (streptomisin, tetrasiklin, mebendazole)
 Sedative dan tranquilizers (chlorpromazine, meprobamate,
methyprylon)
 Allopurinol
 Methyldopa
 Quinidine
 Lithium
 Guanidine
 Potassium perchlorate
 Thiocyanate
 Carbimazole

d. Infeksi
Anemia aplastik dapat disebabkan oleh infeksi virus seperti virus hepatitis,
virus Epstein-Barr, HIV dan rubella. Virus hepatitis merupakan penyebab yang
paling sering. Pansitopenia berat dapat timbul satu sampai dua bulan setelah
terinfeksi hepatitis. Walaupun anemia aplastik jarang diakibatkan hepatitis akan
tetapi terdapat hubungan antara hepatitis seronegatif fulminan dengan anemia
aplastik.. Parvovirus B19 dapat menyebabkan krisis aplasia sementara pada
penderita anemia hemolitik kongenital (sickle cell anemia, sferositosis herediter,
dan lain-lain). Pada pasien yang imunokompromise dimana gagal memproduksi
neutralizing antibodi terhadap Parvovirus suatu bentuk kronis red cell aplasia
dapat terjadi.
Infeksi virus biasanya berhubungan dengan supresi minimal pada sumsum
tulang, biasanya terlihat neutropenia dan sedikit jarang trombositopenia. Virus
dapat menyebabkan kerusakan sumsum tulang secara langsung yaitu dengan
infeksi dan sitolisis sel hematopoiesis atau secara tidak langsung melalui induksi
imun sekunder, inisiasi proses autoimun yang menyebabkan pengurangan stem sel
dan progenitor sel atau destruksi jaringan stroma penunjang
e. Faktor Genetik
Kelompok ini sering dinamakan anemia aplastik konstitusional dan
sebagian dari padanya diturukan menurut hukum mendell, contohnya anemia
Fanconi. Anemia Fanconi merupakan kelainan autosomal resesif yang ditandai
oleh hipoplasia sumsung tulang disertai pigmentasi coklat dikulit, hipoplasia ibu
jari atau radius, mikrosefali, retardasi mental dan seksual, kelainan ginjal dan
limpa.
f. Imunologi
Aplasia adalah konsekuensi utama dan penyebab kematian yang tak terelakkan
dalam penyakit graft-versus-host (GVHD) terkait transfusi yang dapat terjadi
setelah infus produk darah yang tidak diiradiasi ke penerima imunodefisiensi.
Anemia aplastik sangat terkait dengan sindrom vaskular kolagen yang jarang,
fasciitis eosinofilik yang ditandai dengan indurasi nyeri pada jaringan subkutan
(Bab 323). Pansitopenia dengan hipoplasia sumsum juga dapat terjadi pada lupus
erythematosus sistemik (SLE).

Toksisitas langsung
 Iatrogenic
 Radiasi
 Kemoterapi
 Benzene
 Metabolit intermediate beberapa jenis obat
Penyebab yang diperantarai imun
 Iatrogenic : transfusion-associated graft-versus-host disease
 Fasciitis eosinofilik
 Penyakit terkait hepatitis
 Kehamilan
 Metabolit intermediate beberapa jenis obat
 Anemia aplastic idiopatik

Young, Neal S. Aplastic Anemia, Myelodysplasia and Related Bone


Marroww Failure Syndromes in Harrison’s Principles of Interna Medicine ed 18 th.
USA : The McGraw-Hill Companies, Inc. 2016.

5. Klasifikasi anemia aplastic


Berdasarkan derajat pansitopenia darah tepi, anemia aplastic didapat diklasifikasikan
menjadi tidak berat, berat atau sangat berat. Risiko morbiditas dan mortalitas lebih
berkorelasi dengan derajat keparahan sitopenia ketimbang selularitas sumsum tulang.
Angka kematian setelah dua tahun dengan perawatan suportif saja untuk pasien anemia
aplastic berat atau sangat berat mencapai 80%; infeksi jamur dan sepsis bacterial
merupakan penyebab kematian utama. Anemia aplastic tidak berat jarang mengancam
jiwa dan sebagian besar tidak membutuhkan terapi.
Klasifikasi Kriteria
Anemia aplastic berat
 Selularitas sumsum tulang <25% atau selularitas <50% dengan <30%
sel-sel hematopoetik

 Sitopenia sedikitnya dua dari tiga  Hitung neutrophil <500/µL


seri sel darah  Hitung trombosit <20.000/µL
 Hitung retikulosit absolut
<60.000/µL
Anemia aplastic sangat berat Sama seperti di atas kecuali hitung
neutrophil <200/µL
Anemia aplastic tidak berat Sumsum tulang hiposeluler namun
sitopenia tidak memenuhi kriteria berat

Widjanarko, Abidin, Aru W. Sudoyo, Hans Salonder. Anemia Aplastik di dalam Ilmu
Penyakit Dalam edisi VI. Jakarta: Interna Publishing. 2014.

6. Patofisiologi anemia aplastic


Dahulu, anemia aplastic dihubungkan erat dengan paparan terhadap
bahan-bahan kimia dan obat-obatan. Anemia aplastic dianggap disebabkan
paparan terhadap bahan-bahan toksis seperti radiasi, kemoterapi, obat-obatan atau
senyawa kimia tertentu. Penyebab lain meliputi kehamilan, hepatitis viral, dan
fasciitis eosinofilik. Jika pada seorang pasien tidak diketahui factor penyebabnya,
maka pasien digolongkan anemia aplastic idiopatik.
Anemia aplastic terkait obat terjadi karena hipersensitivitas atau dosis obat
yang berlebihan. Obat yang banyak menyebabkan anemia aplastic adalah
kloramfenikol. Obat-obatan lain yang juga sering dilaporkan adalah fenilbutazon,
senyawa sulfur, emas dan antikonvulsan, obat-obatan sitotoksik misalnya mileran
atau nitrosurea. Bahan kimia terkenal yang dapat menyebabkan anemia aplastic
ialah senyawa benzene.
Penyakit infeksi yang dapat menyebabkan anemia aplastic sementara atau
permanen, misalnya virus Epstein barr, influenza A, dengue, tuberculosis (milier).
Sitomegalovirus dapat menekan produksi sel sumsum tulang. Infeksi oleh human
immunodeficiency syndrome (AIDS) dapat menimbulkan pansitopenia. Infeksi
kronik oleh parvovirus pada pasien dengan defisiensi imun juga dapat
menimbulkan pansitopenia.
Pada kehamilan, kadang-kadang ditemukan pansitopenia disertai aplasia
sumsum tulang yang berlangsung sementara. Hal ini mungkin disebabkan oleh
estrogen pada seseorang dengan predisposisi genetic, adanya zat penghambat
dalam darah atau tidak ada perangsang hematopoiesis. Anemia aplastic sering
sembuh setelah terminasi kehamilan, dapat terjadi lagi pada kehamilan
berikutnya.
Adanya reaksi autoimunitas pada anemia aplastic juga dibuktikan oleh
percobaan in vitro yang memperlihatkan bahwa limfosit dapat menghambat
pembentukan koloni hemopoetik alogenik dan autologis. Setelah itu, diketahui
bahwa limfosit T sitotoksik memerantarai destruksi sel-sel asal hemopoietik pada
kelainan ini. Sel-sel T efektor tampak lebih jelas di sumsum tulang dibandingkan
dengan darah tepi pasien anemia aplastic. Sel-sel tersebut menghasilkan
interferon-gamma dan TNF-alfa yang merupakan inhibitor langsung hemopoiesis
dan meningkatkan ekspresi Fas pada sel-sel CD34+. Klon sel-sel T immortal yang
positif CD4 dan CD8 dari pasien anemia aplastic juga mensekresi sitokin T-
helper-1 yang bersifat toksik langsung ke sel-sel CD34 positif autologous.

Kegagalan hematopoietic
Kegagalan produksi sel darah bertanggung jawab atas kosongnya sumsum tulang
yang tampak jelas pada pemeriksaan apusan aspirat sumsum tulang atau specimen
core biopsy sumsum tulang. Hasil pencitraan dengan magnetic resonance imaging
vertebra memperlihatkan digantinya sumsum tulang oleh jaringan lemak yang
merata. Secara kuantitatif, sel-sel hematopoietic yang imatur dapat dihitung
dengan flow sytometry. Sel-sel tersebut mengekpresikan protein cytoahesive yang
disebut CD34. Pada pemeriksaan flow cytometry, antigen sel CD34 dideteksi
secara fluoresens satu persatu, sehingga jumlah sel-sel CD34+ dapat dihitung
dengan tepat. Pada anemia aplastic, sel-sel CD34+ juga hampir tidak ada yang
berarti bahwa sel-sel induk pembentuk koloni eritroid, myeloid, dan
megakaryositik sangat kurang jumlahnya. Assay lain untuk sel-sel hematopoietic
yang sangat primitive dan “tenang” (quiescent), yang sangat mirip jika tidak dapat
dikatakan identic dengan se-sel asal juga memperlihatkan penurunan. Pasien yang
mengalami pansitopenia mungkin telah mengalami penurunan populasi sel asal
dan sel induk sampai sekitar 1% atau kurang. Defisiensi berat tersebut
mempunyai konsekuensi kualitatif, yang dicerminkan oleh pemendekan telomere
granulosit pada pasien anemia aplastic.

Destruksi Imun
Pada anemia aplastic, sel-sel CD34+ dan sel-sel induk (progenitor) hemopoietik
sangat sedikit jumlahnya. Namun, meskipun defisiensi myeloid (granulositik,
eritroid, dan megakariositik) bersifat universal pada kelainan ini, defisiensi
imunologik tidak lazim terjadi. Hitung limfosit umumnya normal pada hamper
semua kasus, demikian pula fungsi sel B dan sel T. Lagipula, pemulihan
hemopoiesis yang normal dapat terjadi dengan terapi imunosupresif yang efektif,
jadi sel-sel asal hemopoietik tampaknya masih ada pada sebagian besar pasien
anemia aplastic.
Perubahan imunitas menyebabkan destruksi, khususnya kematian sel CD34 yang
diperantarai ligan Fas dan aktivasi alur intraseluler yang menyebabkan pengentian
siksul sel (cell-cycle arrest). Sel-sel T dari pasien membunuh sel-sel asal
hemopoietik dengan perilaku (manner) yang HLA-DR-restricted melalui ligan
Fas. Sel-sel asal hemopoietik yang paling primitive tidak atau sedikit
mengekspresikan HLA-DR atau FAS, dan ekspresi keduanya meningkat sesuai
pematangan sel-sel asal. Jadi, sel-sel asal hemopoietik primitive, yang normalnya
berjumlah kurang dari 10% sel-sel CD34+ total, relative tidak terganggu oleh sel-
sel T autoreaktif; di lain pihak, sel-sel asal hemopoietik yang lebih matur dapat
menjadi target utama serangan sel-sel imun. Sel-sel asal hemopoietik primitive
yang selamat dari serangan autoimun memungkinkan pemulihan hemopoietik
perlahan-lahan yang terjadi pada pasien anemia aplastic setelah terapi
imunosupresif.
Widjanarko, Abidin, Aru W. Sudoyo, Hans Salonder. Anemia Aplastik di dalam Ilmu
Penyakit Dalam edisi VI. Jakarta: Interna Publishing. 2014.

Anda mungkin juga menyukai