Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

Ginjal adalah salah satu organ utama sistem kemih atau uriner (tractus
urinarius) yang berfungsi menyaring dan membuang cairan sampah metabolisme
dari dalam tubuh. Fungsi ginjal secara umum antara lain yaitu sebagai ultrafiltrasi
yaitu proses ginjal dalam menghasilkan urine, keseimbangan elektrolit,
pemeliharaan keseimbangan asam basa, eritropoiesis yaitu fungsi ginjal dalam
produksi eritrosit, regulasi kalsium dan fosfor atau mengatur kalsium serum dan
fosfor, regulasi tekanan darah, ekresi sisa metabolik dan toksin.
Chronic Kidney Disease (CKD) adalah suatu proses patofisiologis dengan
etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif,
dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Penyakit ginjal kronik (Chronic
Kidney  Disease) terjadi apabila kedua ginjal sudah tidak mampu
mempertahankan lingkungan dalam yang cocok untuk kelangsungan hidup.
Kerusakan pada kedua ginjal bersifat ireversibel. Dikatakan penyakit ginjal kronik
apabila kerusakan ginjal terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau
fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus, dengan
manifestasi: kelainan patologis, terdapat tanda kelainan ginjal misalnya pada saat
pencitraan (imaging) atau laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit.
Penyakit ginjal kronik disebabkan oleh berbagai penyakit. Penyebab CKD
antara lain penyakit infeksi, penyakit peradangan, penyakit vaskular hipertensif,
gangguan jaringan ikat, gangguan kongenital dan herediter, penyakit metabolik,
nefropati toksik, nefropati obstruktif.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. ASPEK KESEHATAN LANJUT USIA (GERIATRI)


2.1.1. Teori Proses Menua (EGA)
Teori penuaan sudah tercatat dalam teori evolusi. Di dalam teori
evolusi, penuaan diindikasikan sebagai hasil dari penurunan kekuatan
hukum alam. Teori ini dirumuskan pertama dari pengamatan pasien
penyakit Huntington. Dilaporkan bahwa sekuat apapun subyek, penyakit
tersebut tetap ditemukan dalam populasi. Turunnya kekuatan seleksi alam
dijelaskan dari keterlambatan onset penyakit tersebut bagi carrier,
sehingga carrier masih berkesempatan untuk memiliki keturunan. Seiring
berkembangnya ilmu pengetahuan, teori-teori mengenai penuaan muncul,
lebih dari 300 teori diajukan, namun hanya beberapa dianggap benar
seperti:

1. Teori Radikal Bebas


Teori radikal bebas dikemukakan pertama kali sekitar tahun 1941
oleh Harman yang menyebutkan bahwa penuaan merupakan proses
tunggal yang dimodifikasi oleh genetik dan faktor lingkungan dimana
penumpukan radikal oksigen endogenous yang terbentuk di sel
bertanggungjawab terhadap proses menua dan kematian seluruh
makhluk hidup. Kemudian pada tahun 1972 teori ini direvisi ketika
mitokondria diidentifikasi sebagai penginisiasi sebagian besar reaksi
radikal bebas yang berhubungan dengan penuaan. Dikemukakan juga
bahwa rentang hidup seseorang bergantung pada rasio radikal bebas
yang merusak di mitokondria.
Radikal bebas merupakan produk sampingan hasil dari
metabolisme dan berbagai proses selular yang menggunakan oksigen.
Radikal bebas merupakan senyawa yang sangat reaktif dan bersifat
merusak. Diketahui pula bahwa radikal bebas sangat mudah bereaksi
dengan Deoxiribosa Nukleat Acid (DNA), protein, dan asam lemak
tak jenuh. Dari teori ini disimpulkan bahwa penumpukan radikal
bebas di sel dalam batas tertentu dianggap sebagai hal yang
berhubungan dengan proses penuaan. Hal ini sejalan dengan bukti
bahwa semakin tua umur seseorang, semakin banyak ditemukan
radikal bebas di dalam sel tubuhnya
2. Teori Glikosilasi
Advanced Glycation End Products (AGEs) merupakan kumpulan
senyawa kimia yang terbentuk akibat adanya perubahan struktur serta
ikatan silang pada proses glikosilasi protein. AGEs secara normal
terdapat di dalam tubuh dan akan terakumulasi pada berbagai organ
seiring dengan meningkatnya usia. Pembentukan AGEs diawali oleh
reaksi glikosilasi nonenzimatik, atau disebut juga reaksi Maillard.
AGEs yang berakumulasi di jaringan – jaringan tubuh seperti jaringan
elastis, kolagen, jaringan mata secara berlebihan akibat perjalanan
waktu akan menyebabkan kehilangan fungsi jaringan tersebut, seperti
kemampuan elastisitas
3. Teori DNA repair
Teori ini dikemukakan karena adanya perbedaan pola laju
perbaikan kerusakan DNA yang diinduksi sinar UV pada berbagai
macam fibroblast. Didapatkan bahwa fibroblast pada umur yang lebih
besar (maksimum) mengalami perbaikan DNA. Teori ini sangat erat
kaitannya dengan teori radikal bebas, karena radikal bebas sangat
mempengaruhi mutasi DNA dimana keduanya bertanggungjawab
terhadap kematian sel.
4. Teori Telomer
Telomer adalah susunan rantai DNA yang berlokasi di akhir
kromosom eukariotik. Telomer pada manusia tersusun oleh rantai
pengulangan basa TTAGGG sampai 15 kilobasa saat lahir. Dalam
kehidupan manusia, sel-sel tubuh memiliki kemampuan untuk
membelah. Saat sel mengalami pembelahan, telomer akan mengalami
pemendekan. Pemendekan telomer ini berkaitan dengan besar rentang
waktu manusia hidup. Sel-sel akan terus membelah sampai telomer
tidak lagi dapat memendek dan sel tersebut mengalami kematian. Sel
yang mengalami kematian akan membuat jaringan mengalami
penurunan fungsinya.

Sastre J, Pallardo FV, Garcia de la Asuncion J. Mitocondria, oxidative


stress and
aging. Free Rad Res. 2000.
David M. Wilson. Preface: DNA damage, DNA repair, aging and age-
related
disease. Mech Ageing Dev.2008.

2.1.2. Perubahan Pada Lanjut Usia (CATHERINE)


2.1.3. Assessment Geriatri (EGA)
Penilaian geriatri adalah penilaian multidimensi, multidisiplin yang
dirancang untuk mengevaluasi kemampuan fungsional orang tua,
kesehatan fisik, kognisi dan kesehatan mental, dan keadaan lingkungan
sosial. Biasanya dimulai ketika dokter mengidentifikasi masalah potensial.
Elemen spesifik kesehatan fisik yang dievaluasi meliputi nutrisi,
penglihatan, pendengaran, feses dan kontinensi urin, dan keseimbangan.
Penilaian geriatrik membantu dalam diagnosis kondisi medis;
pengembangan rencana perawatan dan tindak lanjut; koordinasi
manajemen perawatan; dan evaluasi kebutuhan perawatan jangka panjang
dan penempatan yang optimal.
 Kemampuan fungsional
 Kesehatan fisik
Penilaian geriatri mencakup semua aspek riwayat medis
konvensional, termasuk masalah utama, penyakit saat ini, masalah
medis masa lalu dan saat ini, riwayat keluarga dan sosial, data
demografis, dan tinjauan sistem. Namun, pendekatan terhadap
riwayat dan pemeriksaan fisik harus spesifik untuk orang yang
lebih tua. Khususnya, topik-topik seperti nutrisi, penglihatan,
pendengaran, feses dan kontinensia kemih, pencegahan
keseimbangan dan jatuh, osteoporosis, dan polifarmasi harus
dimasukkan dalam evaluasi.
 Nutrisi
Penilaian gizi penting karena asupan mikronutrien yang
tidak memadai sering terjadi pada orang tua. Beberapa kondisi
medis yang berkaitan dengan usia dapat menyebabkan pasien
mengalami defisiensi vitamin dan mineral.
 Penglihatan
Penyebab paling umum dari gangguan penglihatan pada
orang yang lebih tua termasuk presbiopia, glaukoma, retinopati
diabetik, katarak, dan degenerasi makula terkait usia.
 Pendengaran
Pemeriksaan audioscope, pemeriksaan otoscopic, dan tes
suara berbisik juga direkomendasikan. Tes suara berbisik
dilakukan dengan berdiri sekitar 3 kaki di belakang pasien dan
membisikkan serangkaian huruf dan angka setelah
menghembuskan napas untuk memastikan bisikan yang tenang.
Kegagalan untuk mengulang sebagian besar huruf dan angka
menunjukkan gangguan pendengaran.
 Inkontinensia urin
Inkontinensia urin memiliki dampak medis yang penting
dan berhubungan dengan ulkus dekubitus, sepsis, gagal ginjal,
infeksi saluran kemih, dan peningkatan mortalitas. Implikasi
psikososial dari inkontinensia termasuk hilangnya harga diri,
pembatasan aktivitas sosial dan seksual, dan depresi. Selain itu,
inkontinensia sering menjadi faktor penentu utama untuk
penempatan panti jompo. Penilaian untuk inkontinensia urin harus
mencakup evaluasi asupan cairan, obat-obatan, fungsi kognitif,
mobilitas, dan operasi urologis sebelumnya.
 Keseimbangan dan Risiko Jatuh
Orang yang lebih tua dapat mengurangi risiko jatuh mereka
dengan olahraga, terapi fisik, penilaian bahaya di rumah, dan
penarikan obat-obatan psikotropika.
 Osteoporosis
Osteoporosis dapat menyebabkan patah tulang yang
berdampak rendah atau patah tulang secara spontan, yang dapat
menyebabkan jatuh. Osteoporosis dapat didiagnosis secara klinis
atau radiografi.
 Dementia
Diagnosis dini demensia memungkinkan pasien akses tepat
waktu ke obat-obatan dan membantu keluarga membuat persiapan
untuk masa depan. Ini juga dapat membantu dalam manajemen
gejala lain yang sering menyertai tahap awal demensia, seperti
depresi dan lekas marah.
Elsawy, Bassem. The Geriatric Assesment. Am Fam Physician: Texas.
2011.

2.1.4. Sindroma Geriatri (CATHERINE)

2.2. CHF (Chronic Heart Failure/Gagal Jantung Kronik)


2.2.1. Definisi
Gagal jantung adalah syndrome klinis dengan karakteristik adanya gejala
tipikal (sesak nafas, bengkak pergelangan kaki dan lelah) yang dapat disertai
tanda (seperti : peningkatan JVP, crackles pulmonal, dan edem perifer) yang
diakibatkan abnormalitas struktural dan atau fungsional, sehingga terjadi
penurunan cardiac output dan atau peningkatan tekanan intrakardiak saat
istirahat atau selama stress.

ESC. 2016 ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic
heart failure. European Heart Journal (2016) 37, 2129–2200 doi:10.1093

2.2.2. Epidemiologi
Sekitar 1-2% populasi dunia di negara berkembang mengalami
peningkatan hingga di atas 10% di antara orang berusia 70 tahun ke atas.
Di Eropa, kejadian gagal jantung berkisar 0,4-2% dan meningkat pada usia
yang lebih lanjut, dengan rata-rata umur 74 tahun. Dalam Hasil
RISKESDAS 2018, tercatat bahwa Prov. Kalimantan Utara menduduki
peringkat pertama terbanyak pasien penyakit jantung dan NTT menduduki
peringkat terakhir dengan jumlah pasien penyakit jantung paling sedikit.
Kelompok usia terbanyak pada hasil ini adalah usia usia 75 tahun ke atas
dan kebanyakan pada perempuan.
ESC
IPD
Riskesdas 2018
2.2.3. Etiopatogenesis
Gagal jantung ditandai dengan satu respon hemodinamik, ginjal, syaraf
dan hormonal yang nyata serta suatu keadaan patologik berupa penurunan fungsi
jantung. Salah satu respon hemodinamik yang tidak normal adalah peningkatan
tekanan pengisian (filling pressure) dari jantung atau preload. Respon terhadap
jantung menimbulkan beberapa mekanisme kompensasi yang bertujuan untuk
meningkatkan volume darah, volume ruang jantung, tahanan pembuluh darah
perifer dan hipertropi otot jantung. Kondisi ini juga menyebabkan aktivasi dari
mekanisme kompensasi tubuh yang akut berupa penimbunan air dan garam oleh
ginjal dan aktivasi system saraf adrenergic.
Penting dibedakan antara kemampuan jantung untuk memompa (pump
function) dengan kontraktilias otot jantung (myocardial function). Pada beberapa
keadaan ditemukan beban berlebihan sehingga timbul gagal jantung sebagai
pompa tanpa terdapat depresi pada otot jantung intrinsik. Sebaliknya dapat pula
terjadi depresi otot jantung intrinsik tetapi secara klinis tidak tampak tanda-tanda
gagal jantung karena beban jantung yang ringan. Pada awal gagal jantung akibat
CO yang rendah, di dalam tubuh terjadi peningkatan aktivitas saraf simpatis dan
sistem renin angiotensin aldosteron, serta pelepasan arginin vasopressin yang
kesemuanya merupakan mekanisme kompensasi untuk mempertahankan tekanan
darah yang adekuat.
Penurunan kontraktilitas ventrikel akan diikuti penurunan curah jantung
yang selanjutnya terjadi penurunan tekanan darah dan penurunan volume darah
arteri yang efektif. Hal ini akan merangsang mekanisme kompensasi
neurohumoral. Vasokonstriksi dan retensi air untuk sementara waktu akan
meningkatkan tekanan darah sedangkan peningkatan preload akan meningkatkan
kontraktilitas jantung melalui hukum Starling. Apabila keadaan ini tidak segera
teratasi, peninggian afterload, peninggian preload dan hipertrofi dilatasi jantung
akan lebih menambah beban jantung sehingga terjadi gagal jantung yang tidak
terkompensasi. Dilatasi ventrikel menyebabkan disfungsi sistolik (penurunan
fraksi ejeksi) dan retensi cairan meningkatkan volume ventrikel (dilatasi).
Jantung yang berdilatasi tidak efisien secara mekanis (hukum Laplace). Jika
persediaan energi terbatas (misal pada penyakit koroner) selanjutnya bisa
menyebabkan gangguan kontraktilitas.
Selain itu kekakuan ventrikel akan menyebabkan terjadinya disfungsi
ventrikel. Pada gagal jantung kongestif terjadi stagnasi aliran darah, embolisasi
sistemik dari trombus mural, dan disritmia ventrikel refrakter, disamping itu
keadaan penyakit jantung koroner sebagai salah satu etiologi CHF akan
menurunkan aliran darah ke miokard yang akan menyebabkan iskemik miokard
dengan komplikasi gangguan irama dan sistem konduksi kelistrikan jantung.

Patrick Davey. At a Glance Medicine. Jakarta: Erlangga. 2005.


8. Price Sylvia A.,Wilson Loraine M., Carol T. B. Patofisiologi. Konsep Klinis
proses-proses Penyakit. Jakarta: EGC. 2006.

2.2.4. Gejala Klinis


Gejala Tanda
Tipikal Spesifik
- Sesak napas - Peningkatan JVP
- Ortopneu - Refluks hepatojuguler
- PND - Suara jantung S3 (Gallop)
- Toleransi aktivitas berkurang - Apeks jantung bergeser ke lateral
- Cepat lelah
- Bengkak di pergelangan kaki
Kurang Tipikal Kurang Spesifik
- Batuk di malam hari/dini hari - Berat badan bertambah >
- Mengi 2kg/minggu
- Perasaan kembung - Berat badan turun
- Nafsu makan menurun - Edema perifer
- Perasaan bingung (terutama pasien - Krepitasi pulmonal
usia lanjut) - Takikardi
- Depresi - Nadi iregular
- Berdebar - Takipnea
- Pingsan - Respirasi Cheyne Stokes
- Bendopnea - Hepatomegali
- Asites
- Kakeksia
- Akral dingin
- Oliguria
- Murmur jantung
- Efusi pleura
- Narrow pulse pressure
2.2.5. Diagnosis
 Kriteria Framingham
Kriteria mayor Kriteria minor
Edema pulmonar akut Edema kaki
Kardiomegali Dyspnea on exertion (DOE)
Hepatojugular reflux Hepatomegali
Distensi vena jugularis Batuk nokturnal
Paroxysmal nocturnal dyspnea Efusi pleura
(PND) atau ortopnea
Ronki paru Takikardia (>120 bpm)
↑ vena jugularis
Bunyi jantung S3 gallop
Gagal jantung terdiagnosa ketika ditemukan :
o 2 kriteria mayor atau
o 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor
 Skala fungsional NYHA
Kelas I Tidak terdapat batasan dalam melakukan
aktivitas fisik.
Kelas II Terdapat batasan aktivitas ringan. Tidak terdapat
kehan saat istirahat, namun aktivitas sehari-hari
menimbulkan kelelahan, palpitasi, atau sesak
nafas.
Kelas III Terdapat batasan aktivitas bermakna. Tidak
terdapat kehan saat istirahat, namun aktivitas
sehari-hari menimbulkan kelelahan, palpitasi,
atau sesak nafas.
Kelas IV Tidak dapat melakukan aktivitas fisik tanpa
keluhan. Terdapat gejala saat istirahat. Keluhan
meningkat saat melakukan aktivitas.

2.2.6. Diagnosis Banding


Penyakit paru : PPOK, asma, pneumonia, ARDS, emboli paru
Penyakit ginjal : GGK, syndrome nefrotik
Sirosis hepatic
DKA

2.2.7. Tatalaksana
2.2.8. Prognosis

2.3. CKD
2.3.1. Definisi
Chronic Kidney Disease (Gagal Ginjal Kronik) adalah adanya
kelainan struktur atau fungsi ginjal (atau keduanya) setidaknya dalam tiga
bulan. Hal ini diklasifikasikan berdasarkan tingkat disfungsi ginjal, yang
diukur dengan perkiraan laju filtrasi glomerulus.
Gagal ginjal Kronik ditentukan dengan 2 kriteria yaitu pertama,
kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan disertai kelainan structural
maupun fungsional dengan atau tanpa penurunan LFG yang bermanifestasi
adanya kelainan patologis dan terdapat tanda kelainan pada ginjal yang
berupa kelainan pada komposisi darah, urin atau kelainan pada tes
pencitraan (imaging tests). Kedua, LFG kurang dari 60 ml/menit/1,73m2
selama 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal.

KDIGO. Clinical Practice Guideline Update for the Diagnosis, Evaluation,


Prevention and Treatment for Chronic Kidney Disease-Mineral and Bone
Disorder. 2017.

2.3.2. Epidemiologi
Data Global Burden of Disease tahun 2010 menunjukkan, Penyakit
Ginjal Kronis merupakan penyebab kematian ke-27 di dunia tahun 1990
dan meningkat menjadi urutan ke 18 pada tahun 2010. Lebih dari 2 juta
penduduk di dunia mendapatkan perawatan dengan dialisis atau
transplantasi Ginjal dan hanya sekitar 10% yang benar-benar mengalami
perawatan tersebut.
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, menunjukkan
bahwa prevalensi penduduk Indonesia yang menderita Gagal Ginjal
sebesar 0,2% atau 2 per 1000 penduduk dan prevalensi Batu Ginjal sebesar
0,6% atau 6 per 1000 penduduk. Prevalensi Penyakit Gagal Ginjal
tertinggi ada di Provinsi Sulawesi Tengah sebesar 0,5%.
Berdasarkan jenis kelamin, prevalensi gagal Ginjal pada laki-laki
(0,3%) lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan (0,2%). Berdasarkan
karakteristik umur prevalensi tertinggi pada kategori usia di atas 75 tahun
(0,6%), dimana mulai terjadi peningkatan pada usia 35 tahun ke atas.
Berdasarkan strata pendidikan, prevalensi gagal Ginjal tertinggi pada
masyarakat yang tidak sekolah (0,4%). Sementara Berdasarkan masyarakat
yang tinggal di pedesaan (0,3%) lebih tinggi prevalensinya dibandingkan
di perkotaan (0,2%).
Berdasarkan Indonesian Renal Registry (IRR) tahun 2016,
sebanyak 98% penderita gagal Ginjal menjalani terapi Hemodialisis dan
2% menjalani terapi Peritoneal Dialisis (PD). Penyebab penyakit Ginjal
kronis terbesar adalah nefropati diabetik (52%), hipertensi (24%), kelainan
bawaan (6%), asam urat (1%), penyakit lupus (1%) dan lain-lain.

Kemenkes RI. Cegah dan Kendalikan Penyakit Ginjal dengan


Cerdik dan Patuh. 2018.

2.3.3. Klasifikasi
Klasifikasi GGK dibagi atas 5 tingkatan derajat yang didasarkan
pada LFG dengan ada atau tidaknya kerusakan ginjal. Pada derajat 1-3
biasanya belum terdapat gejala apapun (asimptomatik). Manifestasi klinis
muncul pada fungsi ginjal yang rendah yaitu terlihat pada derajat 4 dan 5.

Derajat LFG Keterangan


1 ≥90 Kerusakan ginjal dengan LFG
normal atau meningkat.
2 60-89 Kerusakan ginjal dengan LFG
turun ringan.
3a 45-59 Kerusakan ginjal dengan LFG
turun ringan sampai sedang.
3b 30-44 Kerusakan ginjal dengan LFG
turun sedang sampai berat.
4 15-29 Kerusakan ginjal dengan LFG
turun berat.
5 <15 Gagal ginjal.

KDIGO. Clinical Practice Guideline Update for the Diagnosis, Evaluation,


Prevention and Treatment for Chronic Kidney Disease-Mineral and Bone
Disorder. 2017.

2.3.4. Etiologi
Chronic Kidney Disease (CKD) disebabkan oleh bermacam-macam hal:
 Glomerulonephritis, akibat infeksi (endocarditis bacterial, hepatitis
C, hepatitis B, HIV) atau yang bersifat kronik
 Diabetes mellitus menyebabkan nefropati diabetic
 Hipertens, penyakit nefrosklerosis
 Uropati obstruktif (batu saluran kemih, tumor dan lain-lain)
 Lupus eritematosus sistemik, amyloidosis, penyakit ginjal polikistik
 Penggunaan obat-obatan (obat antiinflamasi non steroid, antibiotic,
siklosporin, takrolimus)
 Arifputera A, dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Editor, Tanto C, dkk. Edisi
4. Jakarta: Media Aesculapius. 2014.

2.3.5. Patofisiologi
Patofisiologi CKD pada awalnya dilihat dari penyakit yang
mendasari, namun perkembangan proses selanjutnya kurang lebih sama.
Penyakit ini menyebabkan berkurangnya massa ginjal. Sebagai upaya
kompensasi, terjadilah hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang
masih tersisa yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan
growth factor. Akibatnya, terjadi hiperfiltrasi yang diikuti peningkatan
tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini
berlangsung singkat, hingga pada akhirnya terjadi suatu proses
maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Sklerosis nefron
ini diikuti dengan penurunan fungsi nefron progresif, walaupun penyakit
yang mendasarinya sudah tidak aktif lagi.
Diabetes melitus (DM) menyerang struktur dan fungsi ginjal dalam
berbagai bentuk. Nefropati diabetik merupakan istilah yang mencakup
semua lesi yang terjadi di ginjal pada DM. Mekanisme peningkatan GFR
yang terjadi pada keadaan ini masih belum jelas benar, tetapi kemungkinan
disebabkan oleh dilatasi arteriol aferen oleh efek yang tergantung glukosa,
yang diperantarai oleh hormon vasoaktif, Insuline-like Growth Factor
(IGF) – 1, nitric oxide, prostaglandin dan glukagon. Hiperglikemia kronik
dapat menyebabkan terjadinya glikasi non enzimatik asam amino dan
protein. Proses ini terus berlanjut sampai terjadi ekspansi mesangium dan
pembentukan nodul serta fibrosis tubulointerstisialis.
Hipertensi juga memiliki kaitan yang erat dengan gagal ginjal.
Hipertensi yang berlangsung lama dapat mengakibatkan perubahan-
perubahan struktur pada arteriol di seluruh tubuh, ditandai dengan fibrosis
dan hialinisasi (sklerosis) dinding pembuluh darah. Salah satu organ
sasaran dari keadaan ini adalah ginjal. Ketika terjadi tekanan darah tinggi,
maka sebagai kompensasi, pembuluh darah akan melebar. Namun di sisi
lain, pelebaran ini juga menyebabkan pembuluh darah menjadi lemah dan
akhirnya tidak dapat bekerja dengan baik untuk membuang kelebihan air
serta zat sisa dari dalam tubuh. Kelebihan cairan yang terjadi di dalam
tubuh kemudian dapat menyebabkan tekanan darah menjadi lebih
meningkat, sehingga keadaan ini membentuk suatu siklus yang berbahaya.
Hendromartono. Nefropati Diabetik. Dalam: Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid
I. VI. Jakarta: Interna Publishing; 2014.

Suwitra. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam: Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I.
VI. Jakarta: Interna Publishing; 2014.

2.3.6. Gejala Klinis


Gambaran klinis pasien CKD meliputi gambaran yang sesuai
dengan penyakit yang mendasari, sindrom uremia dan gejala kompikasi.
Pada stadium dini, terjadi kehilangan daya cadang ginjal dimana GFR
masih normal atau justru meningkat. Kemudian terjadi penurunan fungsi
nefron yang progresif yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan
kreatinin serum. Sampai pada GFR sebesar 60%, pasien masih belum
merasakan keluhan. Ketika GFR sebesar 30%, barulah terasa keluhan
seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang, dan penurunan
berat badan. Sampai pada GFR di bawah 30%, pasien menunjukkan
gejala uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah,
gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain
sebagainya. Pasien juga mudah terserang infeksi, terjadi gangguan
keseimbangan elektrolit dan air. Pada GFR di bawah 15%, maka timbul
gejala dan komplikasi serius dan pasien membutuhkan RRT.
Gambaran klinik gagal ginjal kronik berat disertai sindrom
azotemia sangat kompleks, meliputi kelainan-kelainan berbagai organ
seperti: kelainan hemopoeisis, saluran cerna, mata, kulit, selaput serosa,
kelainan neuropsikiatri dan kelainan kardiovaskular.
a. Kelainan hemopoeisis Anemia normokrom normositer dan
normositer (MCV 78-94 CU), sering ditemukan pada pasien gagal
ginjal kronik. Anemia yang terjadi sangat bervariasi bila ureum darah
lebih dari 100 mg% atau bersihan kreatinin kurang dari 25 ml per
menit.
b. Kelainan saluran cerna
Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian
pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal.
Patogenesis mual dam muntah masih belum jelas, diduga mempunyai
hubungan dengan dekompresi oleh flora usus sehingga terbentuk
amonia. Amonia inilah yang menyebabkan iritasi atau rangsangan
mukosa lambung dan usus halus. Keluhan-keluhan saluran cerna ini
akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet protein dan
antibiotika.
c. Kelainan mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian
kecil pasien gagal ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah
beberapa hari mendapat pengobatan gagal ginjal kronik yang adekuat,
misalnya hemodialisis. Kelainan saraf mata menimbulkan gejala
nistagmus, miosis dan pupil asimetris. Kelainan retina (retinopati)
mungkin disebabkan hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai
pada pasien gagal ginjal kronik. Penimbunan atau deposit garam
kalsium pada conjunctiva menyebabkan gejala red eye syndrome
akibat iritasi dan hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga
dijumpai pada beberapa pasien gagal ginjal kronik akibat penyulit
hiperparatiroidisme sekunder atau tersier.
d. Kelainan kulit
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas
dan diduga berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder.
Keluhan gatal ini akan segera hilang setelah tindakan
paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan bersisik, tidak jarang
dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan dinamakan urea
frost.
e. Kelainan selaput serosa
Kelainan selaput serosa seperti pleuritis dan perikarditis sering
dijumpai pada gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal.
Kelainan selaput serosa merupakan salah satu indikasi mutlak untuk
segera dilakukan dialisis.
f. Kelainan neuropsikiatri
Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia,
dan depresi sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Kelainan
mental berat seperti konfusi, dilusi, dan tidak jarang dengan gejala
psikosis juga sering dijumpai pada pasien GGK. Kelainan mental
ringan atau berat ini sering dijumpai pada pasien dengan atau tanpa
hemodialisis, dan tergantung dari dasar kepribadiannya (personalitas).
g. Kelainan kardiovaskular
Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik
sangat kompleks. Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi,
aterosklerosis, kalsifikasi sistem vaskular, sering dijumpai pada pasien
gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal dan dapat
menyebabkan kegagalan faal jantung.

Suwitra. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam: Buku ajar ilmu penyakit dalam
jilid I. VI. Jakarta: Interna Publishing; 2014.

2.3.7. Diagnosis
1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan
yang berhubungan dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia,
etiologi GGK, perjalanan penyakit termasuk semua faktor yang dapat
memperburuk faal ginjal (LFG). Gambaran klinik (keluhan subjektif
dan objektif termasuk kelainan laboratorium) mempunyai spektrum
klinik luas dan melibatkan banyak organ dan tergantung dari derajat
penurunan faal ginjal.
2. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi: a)
sesuai dengan penyakit yang mendasarinya. b) penurunan
fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin
serum, dan penurunan LFG yang dihitung dengan
mempergunakan rumus Kockcroft-Gault. Kadar kreatinin
serum saja tidak bisa digunakan untuk memperkirakan fungsi
ginjal. c) kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan
kadar hemoglobin, peningkatan kadar asam urat, hiper atau
hipokalamia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia,
hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolic. d)
kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuria,
leukosuria, cast, isostenuria.
b. Radiologi
Pemeriksaan radiologis gagal ginjal kronik meliputi: a) foto
polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak. b) pielografi
intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak bisa
melewati filter glomerulus, di samping kekhawatiran
terjadinya pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang
sudah mengalami kerusakan. c) pielogragi antegrad atau
retrograde dilakukan dengan indikasi. d) ultrasonografi ginjal
bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks
yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista,
massa, kalsifikasi. e) pemeriksaan pemindaian ginjal atau
renografi dikerjakan bila ada indikasi.
c. Biopsy dan pemeriksaan histopatologi ginjal
Biopsy dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan
pada pasien dengan ukuran ginjal yang masih mendekati
normal, dimana diagnosis secara noninvasive tidak bisa
ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk
mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis dan
mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan. Biopsy ginjal
kontraindikasi pada keadaan dimana ukuran ginjal sudah
mengecil, ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali,
infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal nafas
dan obesitas.
Suwitra. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam: Buku ajar ilmu penyakit dalam
jilid I. VI. Jakarta: Interna Publishing; 2014.

2.3.8. Diagnosis Banding


2.3.9. Tatalaksana
Tujuan tatalaksana antara lain untuk menghambat penurunan LFG dan
mengatasi komplikasi CKD stadium akhir (stadium 4 dan 5).
Tatalaksana untuk mencegah progesivitas CKD:
a. Kontrol tekanan darah
Target tekanan darah: <130/80 mmHg (tanpa proteinuria), <125/75
mmHg (dengan proteinuria). Antihipertensi yang disarankan ialah
ACE inhibitor, ARB, dan CCB nonhidropiridine.
b. Restriksi asupan protein.
Untuk mencegah risiko malnutrisi. Rekomendasi asupan protein:
 CKD pre dialysis: 0,6-0,75 g/KgBB ideal/hari
 CKD hemodialysis: 1,2 g/kgBB ideal/hari
 CKD dialysis peritoneal: 1,2-1,3 g/kgBB/hari
 Transplantasi ginjal: 1,3 g/kgBB ideal/hari pada 6 minggu
pertama pasca transplantasi dilanjutkan 0,8-1 g/kgBB ideal/hari
Protein yang dipilih adalah yang memiliki kandungan biologis
tinggi (protein hewani), minimal 50%.
c. Kontrol kadar glukosa darah.
Target HBA1C <7%. Lakukan penyesuaian dosis obat hipoglikemik
oral. Hindari penggunaan metformin. Golongan glitazon dapat dipilih.
d. Restriksi cairan
Rekomendasi asupan cairan pada CKD:
 CKD pre dialysis: cairan tidak dibatasi dengan produksi urin
yang normal
 CKD hemodialysis: 500 ml/hari + produksi urin
 CKD dialysis peritoneal: 1500-2000 ml/hari. Lakukan
pemantauan harian
 Transplantasi ginjal: pada fase akut pasca transplantasi, pasien
dipertahankan euvolemik/ sedikit hipervolemik dengan
insensible water loss diperhitungkan sebesar 30-60 ml/jam.
Untuk pasien normovolemik dan graft berfungsi baik, asupan
cairan dianjurkan minimal 2000 ml/hari/ untuk pasien oliguria,
asupan cairan harus seimbang dengan produksi urin ditambah
insensible water loss 500-750 ml.
e. Restriksi asupan garam
Rekomendasi asupan NaCl per hari:
 CKD predialisis: <5g/hari
 CKD hemodialysis: 5-6g/hari
 CKD dialysis peritoneal: 5-10g/hari
 Tranplantasi ginjal: <6-7 g/hari. Natrium hanya dibatasi pada
periode akut pasca operasi dimana mungkin terjadi fungsi graft
yang buruk atau hipertensi pasca transplantasi.
f. Terapi dyslipidemia. Target LDL <100 mg/dL. Apabila trigliserida
≥200 mg/dL, target kolesterol non HDL <130 mg/dL/ kolesterol non
HDL ialah kadar kolesterol total dikurang kadar HDL. Tetapi
dyslipidemia dapat menggunakan statin, serta pola makan rendah
lemak jenuh. Asupan lemak dianjurkan 25-30% total kalori dengan
lemak jenuh dibatasi <10%. Apabila ada dyslipidemia, asupan
kolesterol dalam makanan dianjurkan <300 mg/hari.
g. Modifikasi gaya hidup. Indeks massa tubuh ideal dilakukan
pengaturan berat badan dan olahraga 30 menit minimal 3 hari dalam
seminggu, serta berhenti merokok.
h. Edukasi. Pasien mengerti tentang CKD, factor progesivitas, pilihan
modalitas terapi pengganti ginjal.

Tatalaksana untuk mengatasi komplikasi CKD:

a. Anemia. Lakukan pemeriksaan untuk menyingkirkan anemia


defisiensi besi. Terapi eritropoietin apabila Hb <10 g/dl dan Ht
<30% (target Hb 10-12 g/dL, Ht >30%). Dosis penggunaaan EPO:
 Fase koreksi: 2000-4000 IU subkutan, 2-3 kali/minggu, selama
4 minggu. Target Hb naik 1-2 g/dL atau Ht naik 2-4% dalam 4
minggu.
 Apabila target belum tercapai dosis EPO dinaikkan 50%
 Apabila Hb naik >2,5 g/dL atau Ht naik ?8% dalam 4 minggu,
dosis diturunkan sebanyak 25%
b. Asidosis metabolic. koreksi apabila konsentrasi HCO3 <22 mmol/L.
koreksi dilakukan dengan suplemen bikarbonat oral untuk
mempertahankan kadar HCO3 22-24 mmol/L. bikarbonat oral
diberikan 3x2 tab (325-2000mg) setiap harinya.
c. Hiperfosfatemia. Pilihan terapi tergantung kadar Ca2+ dan PO4
pasien. Koreksi dilakukan dengan pemberian phosphate binders.
Jenis phosphate binders yang tersedia:
 Ca based phosphate binders, contoh: kalsium asetat atau kalsium
karbonat 3-6 g/hari
 Non Ca based phosphate binders, contoh: lanthanum, sevelamer,
magnesium.
d. Hiperhomosisteinemia. Pemberian suplemen oral: asam folat 15 mg
dan vitamin B12 500µg/hari dilakukan untuk mencegah
aterosklerosis.

Pada CKD stadium 4, pasien perlu dipersiapkan untuk menjalani


terapi pengganti ginjal (TPG). Terapi pengganti ginjal umumnya
dilaksanakan pada CKD stadium 5. Modalitas TPG yang tersedia
untuk pasien CKD dapat berupa hemodialysis (cuci darah), dialysis
peritoneal, atau tranplantasi ginjal.

Arifputera A, dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Editor, Tanto C, dkk. Edisi 4.


Jakarta: Media Aesculapius. 2014.

2.3.10. Prognosis
Prognosis CKD dapat ditentuktan berdasarkan laju filtrasi
glomerulus. Semakin rendah LFG dalam perjalanan penyakit ini,
semakin buruk pula prognosisnya.
BAB IIIPENYAJIAN KASUS
3.1. Identitas Pasien
Nama : Tn.S
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 68 tahun
Alamat : Jl. Padat Karya, RT 08/02
Pekerjaan :-
Status Perkawinan : Sudah Menikah
Tanggal Masuk RS : 30 Juli 2019
Tanggal Pemeriksaan : 31 Juli 2019

3.2. Anamnesis
Keluhan utama : Sesak nafas
Riwayat Penyakit Sekarang :
Riwayat Penyakit Dahulu :
 Riwayat stroke pada tahun
 Riwayat penyakit jantung sejak
 Riwayat diabetes melitus disangkal
 Riwayat asma disangkal
 Riwayat dislipidemia disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga : disangkal

3.3. Pemeriksaan Fisik


3.3.1. Keadaan Umum
Kesadaran : Baik
Keadaan Umum : Compos mentis
Tekanan Darah : mmHg
Nadi : x/menit
Pernapasan : x/menit
Suhu : oC
Berat Badan : 55 kg
Kepala Normosefal
Mata Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-), injeksi konjungtiva
(-), refleks cahaya langsung (+/+), refleks cahaya tidak
langsung (+/+), pupil isokor (3 mm/3 mm)
Telinga AS : sekret (-), meatus tidak eritema, tidak edema, membran
timpani tidak dinilai
AD : secret (-), meatus tidak eritem, tidak edem,
membran timpani tidak dinilai
Mulut Stomatitis (-), bibir sianosis (-), bibir kering (-)
Hidung Sekret (-), pernapasan cuping hidung (-)
Tenggorokan Faring hiperemis (-), tonsil (T1/T1) tidak hiperemis, detritus (-)
Leher Deviasi trakea (-), pembesaran kelenjar tiroid (-), pembesaran
kelenjar getah bening (-), JVP tidak meningkat
Dada Simetris saat statis dan dinamis, retraksi (-)
Paru Inspeksi : gerakan dinding dada simetris
Palpasi : fremitus kanan=kiri
Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : vesikular (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Jantung Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba
Perkusi : batas jantung normal
Auskultasi : SI-SII regular, Gallop(-), Murmur (-)
Abdomen Inspeksi : simetris, hiperemis (-), hematom (-)
Auskultasi: bising usus (+) normal
Perkusi : timpani, pekak hepar (+)
Palpasi : nyeri tekan (-), batas hepar dan lien dalam batas
normal
Ekstremitas Akral hangat, CRT <2 detik

3.4. Pemeriksaan Penunjang


3.5. Diagnosis
3.6. Diagnosis Banding
3.7. Tatalaksana
3.8. Prognosis

BAB IV
PEMBAHASAN
Pada kasus ini, seorang laki-laki berusia 68 tahun datang dengan keluhan
sesak nafas. Sesak nafas sejak 1 minggu dan memberat sejak 2 hari SMRS. Pasien
mengatakan sesak sering terjadi pada malam hari dan sering membuat pasien
terbangun saat tidur, serta sesak di saat pasien beristirahat. Pasien juga
mengeluhkan sesak nafas setelah aktivitas berjalan. Pasien tidur dengan
menggunakan 2 bantal namun sesak masih dirasakan. Pasien menderita hipertensi
dan CHF sejak tahun 2017 dan mengonsumsi obat yaitu candesartan 16 mg,
amlodipine 10 mg dan bisoprolol 5 mg, tetapi tekanan darah tidak pernah turun.
Pasien pernah mendertia stroke pada tahun 2017 sebanyak 2 kali serangan dan
mengalami kelumpuhan badan dan anggota gerak sebelah kanan yang sekarang
sudah normal kembali. Pasien juga memiliki riwayat maagh dan sering mengeluh
kembung.
Pada geriatri tidak hanya dinilai dari aspek medik saja, namun juga
melakukan assesment dari segi fisik, psikologis, dan sosial ekonomi. Interaksi dari
3 komponen tersebut menggambarkan keadaan fungsional organ/dan atau tubuh
secara keseluruhan.
Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang, pasien ini di diagnosis mengalami CHF grade IV dan CKD grade V
serta sindrom geriatric berupa sindrom serebral dengan KATZ index A. Hal ini
bersesuaian dengan terpenuhinya kriteria diagnosis Framingham berupa adanya 2
kriteria mayor atau 2 kriteria mayor dan 1 kriteria minor. Pada pasien, ditemukan
kriteria mayor kardiomegali, hepatojugular reflux, Paroxysmal Nocturnal
Dyspnea (PND) atau ortopnea dan ronkhi paru, serta adanya kriteria minor berupa
Dyspnea on Exertion (DOE) sehingga diagnosis CHF dapat ditegakkan. Pasien
juga dikategorikan sebagai CHF grade IV karena pasien tidak dapat melakukan
aktivitas fisik tanpa keluhan serta gejala tetap muncul saat istirahat.
Dasar diagnosis CKD grade V adalah dengan hasil pemeriksaan USG dan
pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin. Hasil pemeriksaan USG didapati adanya
proses kronis kedua ginjal dengan atrofi ginjal. Hasil pemeriksaan ureum sebesar
192 dan kreatinin sebesar 8,26 sehingga dapat dihitung Laju Filtrasi Glomerulus
(LFG) sebesar 6,66. Hal ini sesuai dengan teori dimana CKD grade V
diindikasikan adanya penurunan LFG <15.
Sindrom geriatric yang terjadi pada pasien adalah sindrom serebral.
Sindrom serebral adalah kumpulan gejala yang terjadi sebagai akibat perubahan
patologik peredaran darah otak. Hipertensi merupakan factor risiko terjadinya
thrombosis atau emboli pembuluh darah serebral. Hal ini akan berakibat
terjadinya infark relatif lebih luas dan bersifat setempat. Dengan berkurangnya
neuron pada lanjut usia, terjadi juga penurunan aktifitas neuron. Kebutuhan
oksigen serebral juga menurun. Karena aliran darah serebral sangat erat kaitannya
dengan aktifitas metabolisme, terjadi juga penurunan aliran darah serebral.
Berbagai keadaan dapat mengakibatkan terjadinya hipoksemia yang berpegaruh
pada fungsi aliran darah serebral seperti gagal jantung.
KATZ index merupakan salah satu penilaian geriatric untuk mengetahui
kemampuan fungsional nya. KATZ indek memiliki 6 poin yang dievaluasi pada
pasien yaitu, kemampuan mandi, berpakaian, berkemih, mobilisasi, inkontinensia
urin dan feses serta makan. Hal ini perlu diketahui apakah pasien dapat
melakukannya secara mandiri atau bergantung pada orang lain. Pada pasien ini, ke
enam poin ini dapat dilakukan sendiri sehingga KATZ index pasien adalah A.

BAB V
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai