PENDAHULUAN
Ginjal adalah salah satu organ utama sistem kemih atau uriner (tractus
urinarius) yang berfungsi menyaring dan membuang cairan sampah metabolisme
dari dalam tubuh. Fungsi ginjal secara umum antara lain yaitu sebagai ultrafiltrasi
yaitu proses ginjal dalam menghasilkan urine, keseimbangan elektrolit,
pemeliharaan keseimbangan asam basa, eritropoiesis yaitu fungsi ginjal dalam
produksi eritrosit, regulasi kalsium dan fosfor atau mengatur kalsium serum dan
fosfor, regulasi tekanan darah, ekresi sisa metabolik dan toksin.
Chronic Kidney Disease (CKD) adalah suatu proses patofisiologis dengan
etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif,
dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Penyakit ginjal kronik (Chronic
Kidney Disease) terjadi apabila kedua ginjal sudah tidak mampu
mempertahankan lingkungan dalam yang cocok untuk kelangsungan hidup.
Kerusakan pada kedua ginjal bersifat ireversibel. Dikatakan penyakit ginjal kronik
apabila kerusakan ginjal terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau
fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus, dengan
manifestasi: kelainan patologis, terdapat tanda kelainan ginjal misalnya pada saat
pencitraan (imaging) atau laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit.
Penyakit ginjal kronik disebabkan oleh berbagai penyakit. Penyebab CKD
antara lain penyakit infeksi, penyakit peradangan, penyakit vaskular hipertensif,
gangguan jaringan ikat, gangguan kongenital dan herediter, penyakit metabolik,
nefropati toksik, nefropati obstruktif.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
ESC. 2016 ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic
heart failure. European Heart Journal (2016) 37, 2129–2200 doi:10.1093
2.2.2. Epidemiologi
Sekitar 1-2% populasi dunia di negara berkembang mengalami
peningkatan hingga di atas 10% di antara orang berusia 70 tahun ke atas.
Di Eropa, kejadian gagal jantung berkisar 0,4-2% dan meningkat pada usia
yang lebih lanjut, dengan rata-rata umur 74 tahun. Dalam Hasil
RISKESDAS 2018, tercatat bahwa Prov. Kalimantan Utara menduduki
peringkat pertama terbanyak pasien penyakit jantung dan NTT menduduki
peringkat terakhir dengan jumlah pasien penyakit jantung paling sedikit.
Kelompok usia terbanyak pada hasil ini adalah usia usia 75 tahun ke atas
dan kebanyakan pada perempuan.
ESC
IPD
Riskesdas 2018
2.2.3. Etiopatogenesis
Gagal jantung ditandai dengan satu respon hemodinamik, ginjal, syaraf
dan hormonal yang nyata serta suatu keadaan patologik berupa penurunan fungsi
jantung. Salah satu respon hemodinamik yang tidak normal adalah peningkatan
tekanan pengisian (filling pressure) dari jantung atau preload. Respon terhadap
jantung menimbulkan beberapa mekanisme kompensasi yang bertujuan untuk
meningkatkan volume darah, volume ruang jantung, tahanan pembuluh darah
perifer dan hipertropi otot jantung. Kondisi ini juga menyebabkan aktivasi dari
mekanisme kompensasi tubuh yang akut berupa penimbunan air dan garam oleh
ginjal dan aktivasi system saraf adrenergic.
Penting dibedakan antara kemampuan jantung untuk memompa (pump
function) dengan kontraktilias otot jantung (myocardial function). Pada beberapa
keadaan ditemukan beban berlebihan sehingga timbul gagal jantung sebagai
pompa tanpa terdapat depresi pada otot jantung intrinsik. Sebaliknya dapat pula
terjadi depresi otot jantung intrinsik tetapi secara klinis tidak tampak tanda-tanda
gagal jantung karena beban jantung yang ringan. Pada awal gagal jantung akibat
CO yang rendah, di dalam tubuh terjadi peningkatan aktivitas saraf simpatis dan
sistem renin angiotensin aldosteron, serta pelepasan arginin vasopressin yang
kesemuanya merupakan mekanisme kompensasi untuk mempertahankan tekanan
darah yang adekuat.
Penurunan kontraktilitas ventrikel akan diikuti penurunan curah jantung
yang selanjutnya terjadi penurunan tekanan darah dan penurunan volume darah
arteri yang efektif. Hal ini akan merangsang mekanisme kompensasi
neurohumoral. Vasokonstriksi dan retensi air untuk sementara waktu akan
meningkatkan tekanan darah sedangkan peningkatan preload akan meningkatkan
kontraktilitas jantung melalui hukum Starling. Apabila keadaan ini tidak segera
teratasi, peninggian afterload, peninggian preload dan hipertrofi dilatasi jantung
akan lebih menambah beban jantung sehingga terjadi gagal jantung yang tidak
terkompensasi. Dilatasi ventrikel menyebabkan disfungsi sistolik (penurunan
fraksi ejeksi) dan retensi cairan meningkatkan volume ventrikel (dilatasi).
Jantung yang berdilatasi tidak efisien secara mekanis (hukum Laplace). Jika
persediaan energi terbatas (misal pada penyakit koroner) selanjutnya bisa
menyebabkan gangguan kontraktilitas.
Selain itu kekakuan ventrikel akan menyebabkan terjadinya disfungsi
ventrikel. Pada gagal jantung kongestif terjadi stagnasi aliran darah, embolisasi
sistemik dari trombus mural, dan disritmia ventrikel refrakter, disamping itu
keadaan penyakit jantung koroner sebagai salah satu etiologi CHF akan
menurunkan aliran darah ke miokard yang akan menyebabkan iskemik miokard
dengan komplikasi gangguan irama dan sistem konduksi kelistrikan jantung.
2.2.7. Tatalaksana
2.2.8. Prognosis
2.3. CKD
2.3.1. Definisi
Chronic Kidney Disease (Gagal Ginjal Kronik) adalah adanya
kelainan struktur atau fungsi ginjal (atau keduanya) setidaknya dalam tiga
bulan. Hal ini diklasifikasikan berdasarkan tingkat disfungsi ginjal, yang
diukur dengan perkiraan laju filtrasi glomerulus.
Gagal ginjal Kronik ditentukan dengan 2 kriteria yaitu pertama,
kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan disertai kelainan structural
maupun fungsional dengan atau tanpa penurunan LFG yang bermanifestasi
adanya kelainan patologis dan terdapat tanda kelainan pada ginjal yang
berupa kelainan pada komposisi darah, urin atau kelainan pada tes
pencitraan (imaging tests). Kedua, LFG kurang dari 60 ml/menit/1,73m2
selama 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal.
2.3.2. Epidemiologi
Data Global Burden of Disease tahun 2010 menunjukkan, Penyakit
Ginjal Kronis merupakan penyebab kematian ke-27 di dunia tahun 1990
dan meningkat menjadi urutan ke 18 pada tahun 2010. Lebih dari 2 juta
penduduk di dunia mendapatkan perawatan dengan dialisis atau
transplantasi Ginjal dan hanya sekitar 10% yang benar-benar mengalami
perawatan tersebut.
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, menunjukkan
bahwa prevalensi penduduk Indonesia yang menderita Gagal Ginjal
sebesar 0,2% atau 2 per 1000 penduduk dan prevalensi Batu Ginjal sebesar
0,6% atau 6 per 1000 penduduk. Prevalensi Penyakit Gagal Ginjal
tertinggi ada di Provinsi Sulawesi Tengah sebesar 0,5%.
Berdasarkan jenis kelamin, prevalensi gagal Ginjal pada laki-laki
(0,3%) lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan (0,2%). Berdasarkan
karakteristik umur prevalensi tertinggi pada kategori usia di atas 75 tahun
(0,6%), dimana mulai terjadi peningkatan pada usia 35 tahun ke atas.
Berdasarkan strata pendidikan, prevalensi gagal Ginjal tertinggi pada
masyarakat yang tidak sekolah (0,4%). Sementara Berdasarkan masyarakat
yang tinggal di pedesaan (0,3%) lebih tinggi prevalensinya dibandingkan
di perkotaan (0,2%).
Berdasarkan Indonesian Renal Registry (IRR) tahun 2016,
sebanyak 98% penderita gagal Ginjal menjalani terapi Hemodialisis dan
2% menjalani terapi Peritoneal Dialisis (PD). Penyebab penyakit Ginjal
kronis terbesar adalah nefropati diabetik (52%), hipertensi (24%), kelainan
bawaan (6%), asam urat (1%), penyakit lupus (1%) dan lain-lain.
2.3.3. Klasifikasi
Klasifikasi GGK dibagi atas 5 tingkatan derajat yang didasarkan
pada LFG dengan ada atau tidaknya kerusakan ginjal. Pada derajat 1-3
biasanya belum terdapat gejala apapun (asimptomatik). Manifestasi klinis
muncul pada fungsi ginjal yang rendah yaitu terlihat pada derajat 4 dan 5.
2.3.4. Etiologi
Chronic Kidney Disease (CKD) disebabkan oleh bermacam-macam hal:
Glomerulonephritis, akibat infeksi (endocarditis bacterial, hepatitis
C, hepatitis B, HIV) atau yang bersifat kronik
Diabetes mellitus menyebabkan nefropati diabetic
Hipertens, penyakit nefrosklerosis
Uropati obstruktif (batu saluran kemih, tumor dan lain-lain)
Lupus eritematosus sistemik, amyloidosis, penyakit ginjal polikistik
Penggunaan obat-obatan (obat antiinflamasi non steroid, antibiotic,
siklosporin, takrolimus)
Arifputera A, dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Editor, Tanto C, dkk. Edisi
4. Jakarta: Media Aesculapius. 2014.
2.3.5. Patofisiologi
Patofisiologi CKD pada awalnya dilihat dari penyakit yang
mendasari, namun perkembangan proses selanjutnya kurang lebih sama.
Penyakit ini menyebabkan berkurangnya massa ginjal. Sebagai upaya
kompensasi, terjadilah hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang
masih tersisa yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan
growth factor. Akibatnya, terjadi hiperfiltrasi yang diikuti peningkatan
tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini
berlangsung singkat, hingga pada akhirnya terjadi suatu proses
maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Sklerosis nefron
ini diikuti dengan penurunan fungsi nefron progresif, walaupun penyakit
yang mendasarinya sudah tidak aktif lagi.
Diabetes melitus (DM) menyerang struktur dan fungsi ginjal dalam
berbagai bentuk. Nefropati diabetik merupakan istilah yang mencakup
semua lesi yang terjadi di ginjal pada DM. Mekanisme peningkatan GFR
yang terjadi pada keadaan ini masih belum jelas benar, tetapi kemungkinan
disebabkan oleh dilatasi arteriol aferen oleh efek yang tergantung glukosa,
yang diperantarai oleh hormon vasoaktif, Insuline-like Growth Factor
(IGF) – 1, nitric oxide, prostaglandin dan glukagon. Hiperglikemia kronik
dapat menyebabkan terjadinya glikasi non enzimatik asam amino dan
protein. Proses ini terus berlanjut sampai terjadi ekspansi mesangium dan
pembentukan nodul serta fibrosis tubulointerstisialis.
Hipertensi juga memiliki kaitan yang erat dengan gagal ginjal.
Hipertensi yang berlangsung lama dapat mengakibatkan perubahan-
perubahan struktur pada arteriol di seluruh tubuh, ditandai dengan fibrosis
dan hialinisasi (sklerosis) dinding pembuluh darah. Salah satu organ
sasaran dari keadaan ini adalah ginjal. Ketika terjadi tekanan darah tinggi,
maka sebagai kompensasi, pembuluh darah akan melebar. Namun di sisi
lain, pelebaran ini juga menyebabkan pembuluh darah menjadi lemah dan
akhirnya tidak dapat bekerja dengan baik untuk membuang kelebihan air
serta zat sisa dari dalam tubuh. Kelebihan cairan yang terjadi di dalam
tubuh kemudian dapat menyebabkan tekanan darah menjadi lebih
meningkat, sehingga keadaan ini membentuk suatu siklus yang berbahaya.
Hendromartono. Nefropati Diabetik. Dalam: Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid
I. VI. Jakarta: Interna Publishing; 2014.
Suwitra. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam: Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I.
VI. Jakarta: Interna Publishing; 2014.
Suwitra. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam: Buku ajar ilmu penyakit dalam
jilid I. VI. Jakarta: Interna Publishing; 2014.
2.3.7. Diagnosis
1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan
yang berhubungan dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia,
etiologi GGK, perjalanan penyakit termasuk semua faktor yang dapat
memperburuk faal ginjal (LFG). Gambaran klinik (keluhan subjektif
dan objektif termasuk kelainan laboratorium) mempunyai spektrum
klinik luas dan melibatkan banyak organ dan tergantung dari derajat
penurunan faal ginjal.
2. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi: a)
sesuai dengan penyakit yang mendasarinya. b) penurunan
fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin
serum, dan penurunan LFG yang dihitung dengan
mempergunakan rumus Kockcroft-Gault. Kadar kreatinin
serum saja tidak bisa digunakan untuk memperkirakan fungsi
ginjal. c) kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan
kadar hemoglobin, peningkatan kadar asam urat, hiper atau
hipokalamia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia,
hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolic. d)
kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuria,
leukosuria, cast, isostenuria.
b. Radiologi
Pemeriksaan radiologis gagal ginjal kronik meliputi: a) foto
polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak. b) pielografi
intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak bisa
melewati filter glomerulus, di samping kekhawatiran
terjadinya pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang
sudah mengalami kerusakan. c) pielogragi antegrad atau
retrograde dilakukan dengan indikasi. d) ultrasonografi ginjal
bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks
yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista,
massa, kalsifikasi. e) pemeriksaan pemindaian ginjal atau
renografi dikerjakan bila ada indikasi.
c. Biopsy dan pemeriksaan histopatologi ginjal
Biopsy dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan
pada pasien dengan ukuran ginjal yang masih mendekati
normal, dimana diagnosis secara noninvasive tidak bisa
ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk
mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis dan
mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan. Biopsy ginjal
kontraindikasi pada keadaan dimana ukuran ginjal sudah
mengecil, ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali,
infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal nafas
dan obesitas.
Suwitra. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam: Buku ajar ilmu penyakit dalam
jilid I. VI. Jakarta: Interna Publishing; 2014.
2.3.10. Prognosis
Prognosis CKD dapat ditentuktan berdasarkan laju filtrasi
glomerulus. Semakin rendah LFG dalam perjalanan penyakit ini,
semakin buruk pula prognosisnya.
BAB IIIPENYAJIAN KASUS
3.1. Identitas Pasien
Nama : Tn.S
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 68 tahun
Alamat : Jl. Padat Karya, RT 08/02
Pekerjaan :-
Status Perkawinan : Sudah Menikah
Tanggal Masuk RS : 30 Juli 2019
Tanggal Pemeriksaan : 31 Juli 2019
3.2. Anamnesis
Keluhan utama : Sesak nafas
Riwayat Penyakit Sekarang :
Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat stroke pada tahun
Riwayat penyakit jantung sejak
Riwayat diabetes melitus disangkal
Riwayat asma disangkal
Riwayat dislipidemia disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga : disangkal
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada kasus ini, seorang laki-laki berusia 68 tahun datang dengan keluhan
sesak nafas. Sesak nafas sejak 1 minggu dan memberat sejak 2 hari SMRS. Pasien
mengatakan sesak sering terjadi pada malam hari dan sering membuat pasien
terbangun saat tidur, serta sesak di saat pasien beristirahat. Pasien juga
mengeluhkan sesak nafas setelah aktivitas berjalan. Pasien tidur dengan
menggunakan 2 bantal namun sesak masih dirasakan. Pasien menderita hipertensi
dan CHF sejak tahun 2017 dan mengonsumsi obat yaitu candesartan 16 mg,
amlodipine 10 mg dan bisoprolol 5 mg, tetapi tekanan darah tidak pernah turun.
Pasien pernah mendertia stroke pada tahun 2017 sebanyak 2 kali serangan dan
mengalami kelumpuhan badan dan anggota gerak sebelah kanan yang sekarang
sudah normal kembali. Pasien juga memiliki riwayat maagh dan sering mengeluh
kembung.
Pada geriatri tidak hanya dinilai dari aspek medik saja, namun juga
melakukan assesment dari segi fisik, psikologis, dan sosial ekonomi. Interaksi dari
3 komponen tersebut menggambarkan keadaan fungsional organ/dan atau tubuh
secara keseluruhan.
Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang, pasien ini di diagnosis mengalami CHF grade IV dan CKD grade V
serta sindrom geriatric berupa sindrom serebral dengan KATZ index A. Hal ini
bersesuaian dengan terpenuhinya kriteria diagnosis Framingham berupa adanya 2
kriteria mayor atau 2 kriteria mayor dan 1 kriteria minor. Pada pasien, ditemukan
kriteria mayor kardiomegali, hepatojugular reflux, Paroxysmal Nocturnal
Dyspnea (PND) atau ortopnea dan ronkhi paru, serta adanya kriteria minor berupa
Dyspnea on Exertion (DOE) sehingga diagnosis CHF dapat ditegakkan. Pasien
juga dikategorikan sebagai CHF grade IV karena pasien tidak dapat melakukan
aktivitas fisik tanpa keluhan serta gejala tetap muncul saat istirahat.
Dasar diagnosis CKD grade V adalah dengan hasil pemeriksaan USG dan
pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin. Hasil pemeriksaan USG didapati adanya
proses kronis kedua ginjal dengan atrofi ginjal. Hasil pemeriksaan ureum sebesar
192 dan kreatinin sebesar 8,26 sehingga dapat dihitung Laju Filtrasi Glomerulus
(LFG) sebesar 6,66. Hal ini sesuai dengan teori dimana CKD grade V
diindikasikan adanya penurunan LFG <15.
Sindrom geriatric yang terjadi pada pasien adalah sindrom serebral.
Sindrom serebral adalah kumpulan gejala yang terjadi sebagai akibat perubahan
patologik peredaran darah otak. Hipertensi merupakan factor risiko terjadinya
thrombosis atau emboli pembuluh darah serebral. Hal ini akan berakibat
terjadinya infark relatif lebih luas dan bersifat setempat. Dengan berkurangnya
neuron pada lanjut usia, terjadi juga penurunan aktifitas neuron. Kebutuhan
oksigen serebral juga menurun. Karena aliran darah serebral sangat erat kaitannya
dengan aktifitas metabolisme, terjadi juga penurunan aliran darah serebral.
Berbagai keadaan dapat mengakibatkan terjadinya hipoksemia yang berpegaruh
pada fungsi aliran darah serebral seperti gagal jantung.
KATZ index merupakan salah satu penilaian geriatric untuk mengetahui
kemampuan fungsional nya. KATZ indek memiliki 6 poin yang dievaluasi pada
pasien yaitu, kemampuan mandi, berpakaian, berkemih, mobilisasi, inkontinensia
urin dan feses serta makan. Hal ini perlu diketahui apakah pasien dapat
melakukannya secara mandiri atau bergantung pada orang lain. Pada pasien ini, ke
enam poin ini dapat dilakukan sendiri sehingga KATZ index pasien adalah A.
BAB V
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA