Anda di halaman 1dari 13

REFERAT

AUTOSOMAL DOMINANT POLYCYSTIC


KIDNEY DISEASE

Pembimbing:
dr. Prijo Sidi Pratomo, Sp. Rad(K)
Disusun oleh:
Prisca Charity Worotikan
(07120120113)

Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan


Kepaniteraan Klinik Ilmu Radiologi
Siloam Hospitals Lippo Village
Periode : 18 April-7 Mei2016

DAFTAR IS

DAFTAR ISI............................................................................................................2
PENDAHULUAN...................................................................................................3
TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................................4
2.1 Anatomi..........................................................................................................4
2.2 Etiologi dan Patofisiologi...............................................................................5
2.4 Epidemiologi..................................................................................................5
2.5 Komplikasi.....................................................................................................5
2.6 Manifestasi Klinis...........................................................................................7
2.7 Pemeriksaan Penunjang..................................................................................7
2.8 Tatalaksana...................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................13

REFERAT

BAB I
PENDAHULUAN
Polycystic Kidney Disease (PKD) adalah kelainan menurun, berupa
multiplikasi

kista

pada

ginjal1,2.

Penyakit

ini

disebabkan

adanya

ketidakseimbangan antara heterogenitas gen dan alel, yang memungkinkan


terjadinya mutasi pada gen-gen tertentu. Bentuk PKD yang paling sering terjadi
adalah Autosomal Polycystic Kidney Disease (ADPKD) dan Autosomal Recessive
Polycystic Kidney Disease (ARPKD).
Pemeriksaan pencitraan (imaging) dapat digunakan untuk menegakkan
diagnosis PDK maupun mendeteksi adanya komplikasi yang timbul dari penyakit
tersebut. Modalitas utama yang biasa digunakan sebagai media screening pasien
dengan risiko terkena PKD adalah Ultrasonografi (USG). Selanjutnya,
pemeriksaan dapat dipastikan menggunakan CT-scan atau Magnetic Resonance
Imaging (MRI). Tekhnik lain yang dapat digunakan untuk mendeteksi adanya
kista dan batu ginjal sebagai salah satu komplikasi PKD adalah Intravenous
Pyelogram (IVP).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
Ginjal terletak pada posterior abdomen, setinggi T12-L3, dimana
sebagiannya terlindungi oleh tulang rusuk kesebelas dan dua belas. Setiap
ginjal diselubungi oleh tiga lapisan, yang terluar adalah fasia renalis,
diikuti kapsul adiposa, dan yang paling dalam adalah kapsula renalis.
Karena lobus hati, maka biasanya ginjal kanan terletak lebih inferior
dibanding ginjal kiri3.
Pada potongan frontal ginjal, akan didapati beberapa struktur dalam ginjal seperti
pada gambar berikut.

Gambar 2.1
Penampang Ginjal

Polycystic Kidney Disease menghasilkan proliferasi kista pada jaringan-jaringan


parenkim ginjal.

2.2 Etiologi dan Patofisiologi


Disebabkan oleh mutasi PKD1 dan PKD2 yang seharusnya merupakan kode
untuk polycistin-1 (PC1) dan polycistin-2 (PC2), pada ADPKD terjadi
pembentukan kista-kista berdinding epitel pada gijal secara progresif2,4. Hal ini
terjadi karena polycistin-1 dan polycistin-2 sendiri merupakan regulator
perkembangan dari tubulus dan vaskular di organ-organ seperti ginjal, hepar, otak,
dan pankreas2. Mutasi dari PKD1 dan PKD2 membuat diferensiasi epitel pada
tubulus di ginjal dan saluran empedu menjadi tidak terkontrol dengan baik.
Akibatnya, terjadi proliferasi berlebih dan kegagalan apoptosis yang disertai
sekresi cairan, berkurangnya diferensiasi sel, serta kecacatan matriks ekstraseluler.
2.4 Epidemiologi
ADPKD memiliki angka prevalensi 1:400-1000 di dunia, tanpa dipengaruhi ras
atau jenis kelamin4,5. Berbeda dengan ARPKD yang biasa terdeteksi pada masa
bayi atau perinatal, onset gejala ADPKD lebih sering muncul pada usia dewasa.
Beberapa kasus tidak menimbulkan gejala khas, hingga diketahui secara tidak
sengaja saat pemeriksaan USG abdomen menunjukkan adanya kista pada ginjal.
Setengah dari kasus ADPKD tidak terdiagnosa semasa pasien hidup.
2.5 Komplikasi
Hampir 50% dari pasien ADPKD dapat mengalami perdarahan yang disebabkan
oleh ruptur kista, batu, tumor renal, atau infeksi. Pembentukan batu ginjal pada
pasien ADPKD disebabkan oleh perubahan kontur ginjal yang memungkinkan
terjadinya endapan, hypocitraturia, dan perubahan pH urin. Pasien ADPKD
cenderung memiliki pH urin yang rendah, kondisi ini pula yang menyebabkan
batu jenis asam urat lebih sering ditemukan pada pasien ADPKD. Infeksi adalah
salah satu penyebab kematian utama pada pasien ADPKD4. Infeksi pada kista dan
pyelonefritis lebih sering terjadi karena infeksi bakteri gram-negatif.
Gagal ginjal adalah komplikasi akhir dari APKD. Secara genetik, kemunculan
gagal ginjal dapat dipengaruhi oleh lokasi mutasi gen PKD1. Namun, faktor
lingkungan juga memegang peranan dalam timbulnya komplikasi tersebut. Gejala
awal gagal ginjal pada ADPK biasa muncul saat nila GFR<3040mL/menit/1,73m2.

Karena fungsi PC1 dan PC2 yang tidak hanya bekerja di ginjal, penyakit ini pun
bisa menimbulkan komplikasi pada organ lain yang berhubungan dengan kedua
gen tersebut. Komplikasi ektrarenal yang paling sering terjadi adalah polycystic
liver deseaase (PLD). Prevalensinya meningkat seiring dengan usia pasien.
Komplikasi lainnya adalah intracranial aneurysm (ICA) dan ruptur aneurisma.
Pasien dengan riwayat keluarga mengalami ICA atau perdarahan subaraknoid
memiliki risiko yang lebih besar. Aneurisma intrakranial bisa menimbulkan gejala
neurologis, seperti kelemahan saraf kranialis atau kejang akibat penekanan, tapi
hal tersebut jarang terjadi. Sebaliknya, aneurisma yang ruptur akan langsung
menimbulkan gejala sakit kepala hebat, kelemahan, dan tanda-tanda kenaikan
tekanan intrakranial.
Valvular heart disease dan keganasan adalah dua komplikasi lain yang juga harus
diperhatikan. Prolaps katup mitral menjadi gangguan yang paling sering
terdeteksi. Pada kasus yang jarang, dapat terjadi congestive heart failure.
Tidak ada korelasi yang jelas antara ADPKD dengan meningkatnya angka
kejadian karsinoma pada ginjal, tapi biasanya pada karsinoma lebih banyak terjadi
pada pasien yang berusia lebih muda. Berkembangnya ADPKD menjadi suatu
keganasan dapat dinilai menggunakan klasifikasi Bosniak. Klasifikasi ini
berdasarkan karakteristik kista pada gambaran CT-scan.

.
2.6 Manifestasi Klinis
Gejala klinis ADPKD biasanya muncul saat pasien berusia kurang lebih 40 tahun.
Keluhan yang diutarakan adalah nyeri di area pinggang atau punggung. Hasil
pemeriksaan tekan darah dapat menunjukkan adanya hipertensi dengan kenaikan
tekanan diastolik. Pada pemeriksaan fisik bisa didapati pembesaran ginjal, dan
nyeri tekan/ketok pada area pinggang.
Polycystic Liver Disease dapat menimbulkan gejala rasa mual, begah dan muntah,
begitu pula dengan nefrolitiasis. Hematuria dapat mengindikasikan adanya batu di
ginjal atau traktus urinarius, ruptur kista, tumor renal dan infeksi, terutama bila
disertai demam.
2.7 Pemeriksaan Penunjang
a. Ultrasonografi
Pemeriksaan ini menggunakan getaran frekuansi tinggi yang dipantulkan
pada permukaan jaringan. Pantulan ultrasound tersebut kemudian
ditampilkan pada layar. Secara umum, pantulan yang dihasilkan sangatlah
sensitif dan akurat untuk menilai pergerakan jaringan.

Gambar 2.2
Gambar ginjal normal pada USG

Melalui USG, dapat dinilai ukuran, bentuk, permukaan, keadaan


parenkim, dan kemungkinan adanya kelainan seperti batu atau kista ginjal.
Ukuran ginjal normal orang dewasa adalah 9-12 cm6. Ekogenisitas ginjal
bisa dibandingkan dengan organ lain di sekitarnya. Normalnya, ginjal
kanan akan nampak sama atau hipoekoik dari hepar, sementara ginjal kiri
akan terlihat hipoekoik bila dibandingkan dengan lien. Ginjal normal
memliki permukaan yang halus dengan parenkim yang homogen (kecuali
di area piramida yang hipoekoik).
Pada kasus PKD, pemeriksaan ultrasonografi menjadi modalitas utama
yang dapat digunakan untuk screening bagi pasien yang memiliki risiko
tinggi. Selain didapati pembesaran ginjal, kista dapat dilihat sebagai lesi
hipoekoik pada permukaan ginjal.

Gambar 2.3.
Lesi kista pada ginjal kanan.

Berikut adalah kriteria diagnosis, berdasarkan jumlah kista yang


ditemukan pada pemeriksaan USG, sesuai dengan usia pasien:

Tabel 2.x.
Kriteria diagnosis ADPKD

b. Radiografi
Pemeriksaan dengan radiografi lebih banyak digunakan untuk melihat
tanda-tanda komplikasi dari PKD. Foto polos abdomen yang meliputi
ginjal, ureter, dan buli-buli (KUB radiograph), selain dapat menampilkan
bentuk dan ukuran ginjal, juga dapat menunjukkan kalsifikasi atau batu
ginjal. Namun, pemeriksaan ini tidak cukup baik untuk menampilkan batu
yang berasal dari asam urat.
Intravenous Pyelography (IVP) adalah pemeriksaan radiografi yang
menggunakan bantuan kontras. Kontras dimasukkan ke tubuh pasien
melalui saluran intravena, lalu secara berkala, dalam waktu kurang lebih
20 menit, foto akan diambil untuk melihat aliran kontras dalam darah
pasien. Pada 1-2 menit pertama, gambar diambil untuk melihat calyx.
Dalam 3menit akan tampak gambaran ginjal secara lebih jelas. Dalam 5-20
tampak aliran kontras pada ureter hingga vesica urinaria7. Foto post-void
kembali diambil untuk melihat apakah terdapat sisa kontras pada vesica
urinaria atau saluran lain.

Gambar 2.x.
Gambaran batu pada IVP (A) yang tidak terlihat pada pemeriksaan KUB (B)

Gambar diambil dengan posisi pasien tidur terlentang, arah sinar anteriorposterior. Dapat pula dilakukan pengambilan gambar secara oblik. Bila

tidak terdapat kontraindikasi, sebaiknya di atas tubuh pasien diberikan


beban untuk memperjelas gambar.
Aliran kontras dapat menggambarkan adanya obstruksi akibat batu atau
kista. Kista akan menghasilkan gambaran Swiss cheese akibat penyebaran
pola radiolusen di permukaan ginjal. Sebaliknya, batu akan menampilkan
gambaran radio opak. Tekhnik ini lebih efektif untuk melihat batu asam
urat pada saluran kencing yang bersifat radiolusen, misalnya batu asam
urat.

Gambar 2.x.
Gambaran ginjal normal pada IVP (A), Swiss Cheese appearance pada pasien PKD (B)

c. Computed Tomography dan Magnetic Resonance Imaging


Pemeriksaan baku emas untuk mendiagnosis penyakit akibat batu dan kista
adalah CT-scan. Gambaran pada CT-scan tanpa kontras bisa menunjukkan
kista ginjal secara jelas. Kista akan terlihat hipodens dibandinng jaringan
sekitarnya. Sedangkan pada pemeriksaan menggunakan kontras, fungsi
dan perfusi ginjal dapat turut dinilai.
MRI jarang digunakan sebagai pemeriksaan pertama untuk mendeteksi
gangguan pada ginjal secara umum. MRI dapat digunakan oleh pasienpasien yang memiliki alergi terhadap kontras atau kontra indikasi paparan
radiasi.
d. Angiography
10

CT dan MR angiogram dapat digunakan untuk mendeteksi perdarahan


intrakranial. Dengan sensitivitas >90%, pemeriksaan ini baik untuk
mendeteksi aneurisma yang berukuran 3mm atau lebih. Namun, untuk
melihat perdarahan sub-araknoid, CT scan non-kontras masih menjadi
pemeriksaan utama5.
e. Pemeriksaan laboratorium
Persebaran kista dengan berbagai ukuran akan terlihat jelas pada
pemeriksaan patologi anatomi, baik ginjal maupun hepar (bila sudah
terjadi PLD). Bentukan ginjal akan terlihat berubah karena pembesaran
yang terjadi, tapi tubulus-tubulusnya masih dapat dikenali. Pada
pemeriksaan mikroskopis terhadap sampel ginjal dari pasien yang telah
mengalami penurunan fungsi ginjal ringan, dapat pula ditemukan tandatanda fibrosis, hiperplasia dan skelrosis. Sedangkan pemeriksaan
mikroskopis pada sel hepar akan menunjukkan kista-kista berdinding
tunggal yang tersusun dari sel bilier kuboid atau pipih.
Urinalisis diperlukan untuk melihat apakah terdapat penurunan konsentrasi
urin, hematuria, perubahan pH urin dan proteinuria.
2.8 Tatalaksana
Saat ini, belum ada pengobatan definitif untuk memperlambat proliferasi atau
mengurangi kista. Penatalaksanaan dilakukan untuk meredakan gejala dan
mencegah terjadinya komplikasi lanjutan.
Pasien dianjurkan mengatur pola makan rendah garam, rendah kolestrol dan tinggi
serat. Konsumsi protein sebaiknya dibatasi 0,8g/kg berat badan ideal/hari.
Konsumsi caffeine dan rokok juga harus ditekan.
Sesuai JNC 8, target tekanan darah ideal bagi pasien ADPKD adalah
<140/90mmHg. Penggunaan anti-hipertensi golongan angiotensin-converting
enzyme inhibitor (ACE inhibitor) dan/atau angiotensin receptor bolcker (ARB)
dapat menjadi terapi yang efektif untuk mengontrol tekanan darah. Bila
diperlukan, dapat diberikan kombinasi dengan alfa/beta blocker, calcium channel
blocker, atau diuretik. Beta blocker diindikasikan untuk pasien dengan prolaps
katup mitral.
Di sisi lain, tekanan darah harus dijaga agar tidak terlalu rendah. Tekanan darah
sistol <110 mmHg justru dapat berbahaya karena dapat menurunkan perfusi ke

11

ginjal4. Untuk alasan yang sama, pemberian obat diuretik dosis tinggi juga harus
dihindari.
Penanganan nyeri harus dilandasi penyebab yang tepat. Analgesik golongan
narkotika digunakan untuk menangani nyeri aku hebat. Selebihnya, bila semua
kemungkinan penyebab nyeri, seperti infeksi, batu atau tumor sudah disingkirkan,
nyeri kronik dapat diatasi dengan antidepresan golongan tricyclic atau blokade
sphlanchic nerve menggunakan anestesi lokal atau steroid. Bila penanganan
konservatif gagal, dekompresi dengan operasi aspirasi kista harus
dipertimbangkan.
Pilihan antibiotik yang dapat diberikan untuk infeksi antara lain: trimethoprimsulfamethoxazole, fluorokuinolon, atau chloramphenicol. Pemberian antibiotik
harus dilakukan segera, bila terdapat gejala uretritis atau cystitis untuk mencegah
infeksi yang lebih parah. Bila infeksi bertahan 1-2 minggu setelah pengobatan,
operasi pengangkatan harus dipertimbangkan.
Pasien harus mulai diedukasi tentang hemodialisa saat GFR pasien <30mL/menit.
Selama tidak terdapat kontra indikasi seperti uremia, kesulitan mengatur status
hidrasi, tekanan darah dan nutrisi, hemodialisa harus dilakukan saat GFR berada
di bawah 15mL/menit. Transplantasi dapat dilakukan bila pasien ADPKD telah
masuk ke fase akhir gagal ginjal.
Penggunanan esterogen, baik dalam kontrasepsi maupun terapi hormonal dapat
berpengaruh pada proliferasi kista hepar. Karena itu, penting untuk mengedukasi
pasien agar menghindari penggunaan esterogen. Aspirasi kista diikuti dengan
skelrosis, hepatektomi, dan transplantasi dapat dilakukan bila telah terdapat tandatanda kompresi kista.

12

DAFTAR PUSTAKA
1

Harris Peter C., Torres Vincente E. Polycystic Kidney Disease. Annu Rev

Med.2009; 60: 321-337. Tersedia


http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2834200/
2

Usatine Richard P, Smith Mindy Ann, Mayeaux E.J, Jr., Chumley Heidi. Color

Atlas of Family Medicine. America Serikat : McGraw-Hill Companies,Inc. 2013.


Tersedia http://ezproxy.library.uph.edu:2337/content.aspx?
sectionid=45361116&bookid=685&Resultclick=2
3

Tortora Gerald J., Derrickson Bryan. Principle of Anatomy and Physiology.ed.13

Amerika Serikat: Biological Science Textbook, Inc. 2000. Hal 1067


4

Kasper Dennis et.al. Harrisons Principle of Internal Medicine. ed. 19. Amerika

Serikat : McGraw-Hill Companies,Inc. 2015. Tersedia


http://ezproxy.library.uph.edu:2337/content.aspx?
sectionid=79746917&bookid=1130&Resultclick=2
5

Lerma Edgar V., Berns Jeffrey S., Nissenson Allen R. Current Diagnosis and

Treatment: Nephrology and Hypertension. America Serikat : McGraw-Hill


Companies,Inc. 2009. Tersedia http://ezproxy.library.uph.edu:2337/content.aspx?
sectionid=39961187&bookid=372&Resultclick=2
6

Jha Pranaw Kumar, Kher Vijay. Manual of Nephrology. New Delhi: Jaypee

Brother Medical. 2016. Tersedia https://books.google.co.id/books?


hl=id&lr=&id=xsWfCwAAQBAJ&oi=fnd&pg=PA80&dq=intravenous+pyelogra
m+for+polycystic+kidney+disease&ots=BjjHRrm0hw&sig=mLEpCACkbLElLl
MTQ2CNiXj2dZY&redir_esc=y#v=onepage&q&f=true
7

Morgan Matt A., Shetty Aditya, et.al. Intravenous Urography. Radiopedia.org.

tersedia http://radiopaedia.org/articles/intravenous-urography

13

Anda mungkin juga menyukai