Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN KASUS

MIELOPATI TORAKAL ET CAUSA TRAUMA MEDULA


SPINALIS DENGAN CEDERA KEPALA RINGAN

Disusun oleh :
Gilbert Sterling Octavius (01073170016)
Michael Don (01073170066)

Penguji:
Dr. dr. Rocksy Fransisca V. Situmeang, Sp. S

Kepaniteraan Klinik Ilmu Neuroemergency


Siloam Hospital Lippo Village – Rumah Sakit Umum Siloam
Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan
Periode Juni-Juli 2019
Tangerang
BAB I
LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien
Inisial : Bp.S
Kelamin : Laki-Laki
Usia : 59 tahun
Status Perkawinan : Menikah
Agama : Islam
Pendidikan : SMP
Alamat : Binong
Pekerjaan : Pensiun

Tanggal masuk RS : 30 Juni 2019 pukul 15:28 WIB


Tanggal pemeriksaan : 30 Juni 2019 pukul 15:28 WIB

II. Anamnesis
Dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis dengan istri pasien pada
tanggal 30 Juni 2019 pukul 15:28 WIB

Keluhan Utama
Jatuh dari ketinggian ±3 meter, ±1,5 jam SMRS

Primary Survey
Airway : jalan nafas bebas, sekret (-), c-spine control (+)
Breathing: regular, spontan, pengembangan dada statis & dinamis simetris.
RR:18x/menit , SpO2 : 100%, pemasangan O2 3lpm (nasal kanul)
Circulation : akral hangat, CRT <2s, TD : 170/90 mmHg, N : 104x/menit,
kuat angkat, reguler, simetris. Pemasangan IV line pada vena cephalica dextra,
infus NS 500 ml
Disability : GCS E4M6V5, pupil bulat isokor 3mm, RCL (+/+), RCTL (+/+)
Environment : suhu 36,9oC

2
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan keluhan paska jatuh dari ketinggian ±3 meter (atap
genting rumah saat sedang memperbaiki genting) ±1,5 jam SMRS. Pasien
jatuh ke tanah berumput dan setelah jatuh, pasien sempat tidak sadar selama
±2 menit. Pasien merasa posisi jatuh mengenai punggung terlebih dahulu.
Setelah sadar, pasien mengeluhkan tidak dapat menggerakan kedua kaki sama
sekali. Pasien dapat menggerakan kedua tangannya dengan bebas. Pasien dan
istrinya tidak mengeluhkan atau melaporkan adanya nyeri, mual, muntah, sakit
kepala atau kejang. Pasien mengingat kejadian sebelum dan sesudah jatuh.
Pasien tidak mengalami penurunan kesadaran kembali. Pasien merasa tidak
dapat menahan buang air kecil (mengompol) dan sedikit buang air besar dalam
perjalanan ke RS. Pasien langsung dibawa ke RS Siloam setelah kejadian.

Riwayat Penyakit Dahulu :


Pasien mempunyai riwayat darah tinggi dan kencing manis sejak >10 tahun,
Pasien juga mempunyai riwayat kolestrol ±2 tahun. Pasien tidak rutin
mengkonsumsi amlodipin 1x10 mg, atorvastatin 1x40 mg, dan metformin
3x500 mg. Pasien tidak rutin untuk kontrol sehingga tidak diketahui apakah
darah tinggi, kencing manis dan kolesterolnya terkontrol atau tidak. Pasien
membeli obat sendiri ketika obatnya habis. Pasien tidak mempunyai riwayat
stroke, riwayat jantung, riwayat trauma ataupun kejang sebelumnya.

Riwayat Penyakit Keluarga :


Ayah dan ibu pasien tidak diketahui mempunyai riwayat penyakit darah
tinggi, kencing manis ataupun stroke.

Riwayat Alergi :
Pasien mengaku tidak mempunyai alergi terhadap obat-obatan tertentu.

3
III. Pemeriksaan Fisik

Tanda-Tanda Vital
Keadaan umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan darah : 170/90 mmHg
Nadi : 104 x/menit, simetris dan kuat angkat
Pernapasan : 18 x/menit, reguler
Suhu : 36.8oC suhu telinga
SpO2 : 100% dengan oksigen per nasal kanul 3 lpm

Status Generalis
Kepala : Diskontinuitas jaringan a/r occipital sinistra sebesar ±7x
4x2 cm dengan dasar subkutis, rembesan darah (+).
Mata : Pupil isokor 3 mm/3 mm, konjungtiva anemis (-/-), sklera
ikterik (-/-), tidak ada racoon eyes.
THT : Deviasi septum (-), pernapasan cuping hidung (-), tidak ada
nyeri tekan pada sinus maksillaris, frontalis, tragus ataupun
mastoid, sekret (-), tidak ada battle sign
Leher : Terpasang c-spine collar
Thorax : Perkembangan dada thorax baik dalam keadaan statis dan
dinamis, tidak ada barrel chest, pes excavatum ataupun
carinatum, jejas (-)
Paru : Simetris, vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-),
stridor (-/-)
Jantung : S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : Cekung, supel, BU (+) 10 x/menit, shifting dullness (-),
nyeri tekan (-),vesika urinaria tidak terdistensi.
Punggung : Deformitas tulang belakang (+) setinggi T10, hematoma (+)
Ekstremitas : Deformitas (-), CRT < 2 detik, akral hangat, edema (-)
Rectal Touche : Sfingter ani tidak menjepit kuat, ampula rekti tidak kolaps,
prostat tidak teraba, darah (-), feses (+).

4
Status Neurologis
GCS 15 (E4 M6 V5)
Tanda Rangsang Meningeal
• Kuduk kaku dan kaku kuduk : Tidak dapat dilakukan
• Tanda laseque : >70o/>70o
• Tanda kernig : >135o/>135o
• Brudzinski I : Tidak dapat dilakukan
• Brudzinski II : -/-

Saraf Kranialis
Saraf Kranial Kanan Kiri
Nervus I Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Nervus II
Visus > 2/60 > 2/60
Lapang Pandang Sama dengan pemeriksa Sama dengan pemeriksa
Warna Normal Normal
Fundus Tidak dinilai Tidak dinilai
Nervus III, IV, VI
Sikap bola mata Orthoforia Orthoforia
Celah palpebral Normal Menyempit
Pupil Isokor, bulat 3 mm Isokor, bulat 3mm
RCL + +
RCTL + +
Konvergensi + +
Nystagmus - -

Pergerakan bola mata

5
Nervus V
Motorik
Inspeksi Normotrofi pada m. masseter dan m.temporalis
Palpasi Normotonus pada m. masseter dan m.temporalis
Membuka mulut Simetris
Gerak rahang Simetris
Sensorik
Sensibilitasi V1 Normal bilateral
Sensibilitas V2 Normal bilateral
Sensibilitas V3 Normal bilateral
Reflek Kornea Simetris

Nervus VII
Sikap mulut istirahat Plika nasolabialis simetris

Angkat alis Normal


Kerut dahi, tutup
mata dengan kuat
Kembung pipi Normal
Menyeringai Normal
Rasa kecap 2/3 Tidak dilakukan
anterior lidah
Nervus VIII
Nervus koklearis
Suara bisikan/gesekan Normal bilateral
Rinne Tidak dilakukan
Weber Tidak dilakukan
Schwabach Tidak dilakukan
Nervus vestibularis
Nistagmus -/-
Berdiri dengan 1 kaki Tidak dapat dilakukan
Berdiri dengan 2 kaki Tidak dapat dilakukan
Berjalan tandem Tidak dapat dilakukan
Fukuda stepping test Tidak dapat dilakukan

6
Past pointing test Tidak dilakukan
Nervus IX, X
Arkus faring Simetris
Uvula Ditengah
Disfoni -
Disfagi -
Reflex faring Normal
Nervus XI
Sternocleidomastoid Normal
Trapezius Normal
Nervus XII
Sikap lidah dalam mulut
Deviasi -
Atrofi -
Fasikulasi -
Tremor -
Menjulurkan lidah Simetris
Kekuatan lidah Simetris
Disatria -

Motorik
Ektremitas Atas
Kanan Kiri
Atrofi - -
Fasikulasi - -
Tonus Normotonus Normotonus
Kekuatan otot 5555 5555
Gerakan involunter - -

Ekstremitas Bawah
Kanan Kiri
Atrofi - -
Fasikulasi - -

7
Tonus Flaccid Flaccid
Kekuatan otot 0000 0000
Gerakan involunter - -

Refleks Fisiologis
Kanan Kiri
Biceps ++ ++
Triceps ++ ++
KPR 0 0
APR 0 0

Refleks Patologis
Kanan Kiri
Babinski - -
Chaddock - -
Oppenheim - -
Gordon - -
Schaffer - -
Rossolimo - -
Mendel-Bechtrew - -
Hoffman Trommer - -

Sensorik
Ekstroseptif
Kanan Kiri
Raba Negatif pada kedua tungkai bawah dari T10
kebawah
Nyeri Negatif pada kedua tungkai bawah dari T10
kebawah
Suhu Negatif pada kedua tungkai bawah untuk dingin
maupun panas

8
Proprioseptif
Kanan Kiri
Posisi sendi Negatif pada kedua tungkai bawah dari T10
kebawah
Getar Negatif pada kedua tungkai bawah dari T10
kebawah

Koordinasi
• Tes tunjuk-hidung : Dalam batas normal
• Tes tumit-lutut : Tidak dapat dinilai
• Disdiadokokinesis : Dalam batas normal

Otonom
• Miksi : Menggunakan kateter
• Defekasi : Menggunakan pampers
• Sekresi keringat : Normal

Fungsi luhur MMSE : 30/30

IV. Resume
Pasien laki-laki usia 59 tahun, datang dengan keluhan paska jatuh dari
ketinggian ±3 meter, dalam waktu ±1.5 jam SMRS. Pada primary survey,
terpasang c-spine collar, dan ditemukan tekanan darah 170/90. Pada
secondary survey ditemukan diskontinutias jaringan di regio occipital sinistra
sebesar ±7x4x2 cm dan deformitas tulang belakang setinggi T10 disertai
hematoma. Keluhan yang dirasakan adalah tidak sadar ±2 menit paska jatuh,
paraplegia, inkontiensia urin dan alvi, hiporefleksia ekstremitas bawah, flaksid
ekstremitas bawah dan anestesi di kedua kaki. Melalui pemeriksaan fisik
keluhan tersebut dikonfirmasi dimana anestesi yang dialami pasien setinggi
T10 kebawah pada kedua sisi tubuh, selain itu terjadi arefleksia (KPR dan
APR) & flaksid pada kedua ekstremitas bawah pasien. Pada pemeriksaan RT,
sfingter ani tidak menjepit kuat.

9
V. Diagnosis
Klinis : Paraplegia, anestesia setinggi T10, arefleksia ekstremitas bawah,
flaksid ekstremitas bawah, inkontinensia urin dan alvi
Topis : Medula Spinalis
Etiologis : Trauma
Patologis : Kerusakan primer dan sekunder terhadap medula spinalis

VI. Diagnosis Kerja


1. Mielopati torakal T10 et causa trauma medula spinalis
2. Cedera Kepala Ringan
3. Hipertensi derajat II
4. Vulnus laceratum a/r occipital sinistra

VII. Diagnosis Banding


1. Spinal shock et causa trauma medula spinalis
2. Cedera Kepala Berat

VIII. Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : malam
Quo ad sanationam : dubia

IX. Saran Pemeriksaan Penunjang


• Laboratorium : hematologi, fungsiginjal (Ur, Cr, eGFR), fungsi liver
(SGOT/PT), elektrolit untuk persiapan operasi apabila dilakukan
• CT Scan torakolumbal non-kontras
• CT Scan kepala non-kontras

X. Saran Terapi
• Drip metilprednisolone 1500 mg IV dalam 1 jam
• Konsul Sp.S dan Sp.BS
• Rawat inap

10
• Loading NS 500 ml → dilanjutkan NS 500 ml/8 jam
• Injeksi ranitidin 50 mg IV
• Injeksi ketorolac 30 mg IV
• Injeksi TT dan ATS

XI. Pemeriksaan Penunjang


• X-Ray Spine Thorakolumbalis AP/Lateral (31/06/2019)
o Fraktur kompresi corpus vertebrae Th10-11
o Degeneratif vertebrae thorakolumbalis
o Osteoporotic

11
• X-Ray Thorax PA (31/05/2019)

Cor dan Pulmo dalam batas normal, aorta


elongasi dan kalsifikasi

12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. Trauma Medula Spinalis
1. Anatomi dan Fisiologi
Kolumna vertebralis terdiri dari vertebra dan medula spinalis serta struktur
pendukungnya yaitu diskus intervertebralis, ligamen, otot dan vaskularisasi. Vertebra
terdiri dari 5 bagian yaitu1,2:
a) Servikal (7 buah): fleksi, ekstensi, tumpuan dan gerakan menoleh
kepala
b) Torakal (12 buah): gerakan rotasi dada
c) Lumbal (5 buah): struktur tulang besar untuk menopang beban tubuh
d) Sakral (5 buah) yang berfusi menjadi 1
e) Koksigeal (4 buah) yang rudimenter dan berfusi

Gambar 1. Pembagian vertebra secara anatomis2


Vertebra servikal merupakan bagian yang paling rentan untuk mengalami
trauma akibat mobilitas dan eksposur. Kanalis servikal terbuka lebar dari foramen
magnum hingga bagian bawah C2. Pada level C3 dan kebawah, diameter kanalis
spinalis menjadi lebih kecil relatif terhadap diameter medula spinalis dan resiko
trauma kolumna vertebralis menyebabkan trauma medula spinalis meningkat.
13
Vertebra torakalis tidak sefleksibel vertebra servikal sehingga insidensi fraktur torakal
lebih rendah. Kebanyakan fraktur di torakal adalah fraktur kompresi (wedge
compression) yang tidak diasosiasikan dengan trauma medula spinalis kecuali terjadi
fraktur dislokasi. Torakolumbal adalah perbatasan antara regio torakal yang
infleksibel dan regio lumbal yang lebih fleksibel sehingga regio lumbal lebih rentan
mengalami trauma dimana 15% dari trauma medula spinalis terjadi pada regio ini.3
Medula spinalis berasal dari ujung kaudal dari medula oblongata pada
foramen magnum dan berakhir pada L1 sebagai konus medularis pada orang dewasa.
Dibawah level ini terdapat kauda equina yang lebih resisten terhadap trauma. Secara
anatomis, tingkat vertebra tidak sama persis dengan tingkat medula spinalis yang
terlihat pada gambar 2 dan tabel 1.1,3
Tabel 1. Level vertebra dan asosiasinya dengan level medula spinalis 1
Level vertebra Level medula spinalis
C2-C7 +1 untuk level medula
T1-T6 +1 untuk level medula
T7-T9 +1 untuk level medula
T10 Level L1-L2
T11 Level L3-L4
L1 Segmen sakrokoksigeal

Gambar 2. Hubungan antara spinal nerve roots dengan vertebra2

14
Area kulit yang diinervasi oleh akson sensoris pada segmental nerve root
disebut dengan dermatom. Level sensoris adalah level dermatom terbawah dengan
fungsi sensoris normal dan dapat berbeda pada dua sisi tubuh. Inervasi dermatom
dapat dilihat pada tabel 2 dan gambar 3.2,3

Tabel 2. Segmen nervus spinalis dan area yang diinervasi3


Segmen nervus spinalis Area yang diinervasi
C5 Deltoid
C6 Ibu jari
C7 Jari tengah
C8 Kelingking
T4 Nipple
T8 Xiphisternum
T10 Umbilikus
T12 Simfisis pubis
L4 Betis medial
L5 Sela jari kaki satu dan dua
S1 Perbatasan lateral kaki
S3 Area tuberositas ischial
S4 dan S5 Regio perianal

Gambar 3. Level dermatom.2

15
Setiap segmental nerve root menginervasi lebih dari otot dan kebanyakan otot
diinervasu lebih dari satu akar (biasanya dua). Untuk simplisitas pengujian miotom,
otot-otot tertentu atau kelompok otot tertentu diidentifikasi sebagai merepresentasikan
segmen nervus spinalis tertentu.3

Gambar 4. Level miotom.2


Arteri yang memperdarahi medula spinalis berasal dari a. Vertebralis yaitu
arteri servikal asendens, a. servikal dalam, a. interkostal, a. lumbal dan a. sakral
lateralis. Arteri spinalis anterior dan posterior yang berasal dari arteri vertebralis,
berjalan dari medula oblongata hingga ke konus medularis dan memperdarahi bagian
superior dari medula spinalis sementara sebagian lain perdarahan medula spinalis
berasal dari arteri medularis segmental anterior dan posterior dan arteri radikularis
dorsal dan ventral, arteri interkostal posterior dan arteri lumbalis. Arteri medularis
segmental utama yang disebut arteri medularis segmental anterior mayor (arteri
Adamkiewicz) memperdarahi dua per tiga bagian medula spinalis dan pembesaran
lumbosakral.1,2

16
Gambar 5. Vaskularisasi medula spinalis.2
Terdapat banyak traktus pada medula spinalis dan secara klinis yang dapat
diperiksa secara cepat adalah traktus kortikospinal lateral, traktus spinotalamik dan
kolum dorsalis. Masing-masing traktus berpasangan dan dapat terjadi cedera pada
salah satu sisi atau kedua sisi.3

Tabel 3. Pemeriksaan klinis traktus medula spinalis.3


Traktus Lokasi pada medula spinalis Fungsi Cara pemeriksaan
Kortikospinal Segmen anterior dan lateral Motoris pada Kontraksi otot
sisi yang sama volunter atau
involunter terhadap
nyeri
Spinotalamik Anterolateral Nyeri dan suhu Pinprick
pada sisi tubuh
yang
berlawanan
Kolum dorsal Posteromedial Propiosepsi, Pengecekan posisi
getar, sentuhan sendi dan getar
ringan dari sisi
tubuh yang
sama

17
Gambar 6. Jaras asendens (kiri) dan desendens (kanan) pada medula spinalis.4

2. Epidemiologi
Trauma medula spinalis diduga setiap tahun terjadi sekitar 15-50 juta per
sejuta penduduk dengan angka prevalensi sekitar 900 per sejuta. Angka kejadian
dipastikan lebih tinggi, karena sekitar 50% kejadian tidak dilaporkan. Trauma
medula spinalis paling sering mengenai usia 20-24 tahun dan sekitar 65% kasus
terjadi dibawah usia 35 tahun. Trauma ini lebihh sering mengenai pria dibanding
wanita (3-4:1) dan sekitar 50% terjadi akibat kecelakaan kendaraan bermotor
terutama sepedea motor, jatuh (20%), olahraga (13%), kecelakaan kerja (12%),
kekerasan luka tusuk/tembak (15%). Lokasi paling sering adalah C5, diikuti C4, C6,
T12, C7 dan L1. Adapun kepustakaan lain yang menyebutkan insidensi sesuai lokasi
lesi yaitu servikal sebesar 40%, torakal 10%, lumbal 3%, dorsolumbal 35% dan lain-
lain 14%.1
Di Indonesia sendiri belum ada data yang komprehensif mengenai trauma
medula spinalis namun data dari RSUD Dr. Soetomo Surabaya pada tahun 2013-
2017 mendapatkan bahwa terdapat 442 pasien dengan fraktur vertebra dengan rerata
laki-laki : perempuan 3,3:1 dengan penyebab tersering adalah jatuh dari ketinggian
(38%) dan lokasi tersering terjadinya fraktur ada di level lumbal (34.6%).5,6

3. Patofisiologi
Patofisiologi cedera medula spinalis terbagi menjadi dua mekanisme yaitu
mekanisme primer dan sekunder.7

18
a. Mekanisme kerusakan primer
Mekanisme umum dari cedera medula spinalis adalah adanya
kompresi struktur medula spinalis, baik oleh kelainan tulang, ligamen,
herniasi diskus intervertebralis maupun hematom pada medula spinalis
itu sendiri. Kompresi akan memberikan gejala berupa defisit
neurologis dan/atau rasa sakit yang terus menerus. Mekainsme lain
akibat gaya mekanik trauma (axial loading, fleksi, ekstensi, rotasi,
lateral bending, distraksi) dapat berupa luka tembus, peregangan,
maupun robekan pada strukur medula spinalis dan pembuluh darah.7
Pada 4 jam pertama akan terjadi infark pada substansia alba
dan pada 8 jam akan terjadi infark pada substansia grisea dan paralisis
yang irreversible. Kerusakan langsung pada pembuluh darah akibat
cedera langsung atau vasospasme pasca cedera menyebabkan
perdarahan pada medula spinalis yang berlangsung beberapa menit
pascacedra diikuti gangguan aliran darah yang menyebabkan hipoksia
dan infark iskemik lokal. Hal ini akan menyebabkan hilangnya
autoregulasi aliran darah medula spinalis. Gangguan vaskuler sistemik
menyebabkan penurunan denyut jantung, iregularitas ritme jantung,
penurunan tekanan darah arteri rerata (mean arterial blood pressure),
penurunan resistensi vaskular perifer dan gangguan output jantung.
Keadaan ini semua menyebabkan hipotensi sistemik.1,7

b. Mekanisme kerusakan sekunder


Kerusakan sekunder disebabkan oleh efek lokal dan sistemik
yang terjadi akibat defisit energi yang disebabkan oleh adanya
gangguan perfusi pada tingkat sel. Kondisi ini dapat diperberat apabila
ditemukan renjatan neurogenik yang menyebabkan hipoperfusi
sistemik. Cedera medula spinalis yang tidak ditatalaksana optimal
dalam 3-24 jam pertama akan mengalami perburukan berupa
perdarahan, edema, demielinisasi, pembentukan rongga pada akson,
nekrosis neuronal, peningkatan kadar glutamat, eksitotoksisitas,
kerusakan oksidatif, adanya iskemik, serta peningkatan kadar nitrit
oksida dan peroksidasi lipid pada membran sel yang akan
menyebabkan perubahan patologis dan berkahir menjadi infark.7
19
Pada trauma medula spinalis juga terjadi suatu proses tingkat
bioseluler dimana terjadi spasme arteri, agregasi platelet, pelepasan
epinefrin, endorfin, enkefalin yang menyebabkan iskemia dan
gangguan autoregulasi. Integritas endotel hilang menyebabkan edema
medula spinalis (maksimal dalam 2-3 hari). Iskemia berkaitan dengan
peningkatan asam amino eksitatori (glutamat) yang mengaktifkan
reseptor asam amino eksitatori, depolarisasi membran, influks sodium,
inaktifasi pompa Na-K yang mencegah repolarisasi. Terjadi influks ion
kalsium, aktifasi ATPase dan konsumsi ATP yang mengurangi
cadangan energi. Akibat iskemia terjadi metabolisme glikolisis
anaerob yang menyebabkan asidosis laktat dan penurunan produksi
ATP. Influks ion kalsium menyebabkan aktivasi fosfolipase dan
pelepasan asam arakhidonat, hipoperoksidasi dan pembentukan radikal
oksidatif bebas. Hasil proses ini menyebabkan kegagalan metabolisme
mitokondria dan retikulum endoplasmik serta kematian neuronal.1

4. Gejala dan Tanda


Terdapat beberapa keadaan yang mengharuskan para klinisi untuk lebih
waspada akan kemungkinan cedera medula spinalis antara lain luka pada dahi atau
bagian depan kepala (cedera akibat hiperekstensi), memar lokal, deformitas pada
vertebra (gibbus, pergeseran, priapisme) dan tanda Beevors (umbilikus dan otot
perut menegang pada lesi T10).1Berdasarkan letak tinggi lesi, cedera medula
spinalis dapat dikelompokan sesuai dengan tabel 4.
Selain dari letak tinggi lesi, cedera medula spinalis juga terdiri dari beberapa
sindroma khusus cedera medula spinalis yang dapat dilihat pada tabel 5.

Tabel 4. Gejala dan tanda cedera medula spinalis sesuai letak tinggi lesi. 1,3
Letak tinggi lesi Fungsi Gejala dan tanda Keterangan
C1-C3 Rotasi/fleksi/ekstensi Lumpuh keempat Tipe fraktur C1
leher, bicara dan anggota gerak, gerak tersering adalah
menelan kepala dan leher fraktur Jefferson,
sangat terbatas, tipe fraktur C2
aktifitas harian dibagi menjadi
dependen total, fraktur odontoid
pernafasan tergantung atau fraktur

20
ventilator. posterior.
C4 Kontrol gerak Seperti lesi C1-3
kepala/leher/pundak, namun pernafasan
inspirasi (diafragma) dapat tanpa respirator
walaupun refleks
batuk menurun.
C5 Gerak kepala, leher, Masih dapat makan, Pada orang dewasa,
pundak dan supinasi minum, gosok gigi fraktur servikal
tangan namun perlu bantuan tersering terjadi
untuk BAB dan BAK pada level C5.
C6 Ekstnesi dan fleksi Mungkin dapat Pada orang dewasa,
pergelangan tangan, mandiri untuk BAB subluksasi servikal
ekstensi siku dan BAK tersering terjadi
pada level C5.
C7 Fleksi dan ekstensi siku Semua gerak tangan
dapat dilakukan
C8-T1 Fleksi dan ekstensi jari, Dapat melakukan
gerak ibu jari, aktivitas secara
mengipaskan jari tangan. mandiri
Semua gerak tangan
dapat dilakukan
Torakal Sesuai dengan level Paralisis flasid, 4 kategori besar:
medula spinalis gangguan fungsi kompresi wedge
kemih, gangguan anterior, burst
sensasi dibawah injuries, fraktur
tingkat lesi, dapat Chance dan
terjadi ileus paralitik fraktur-dislokasi
temporer. Biasanya
pasien independen
dan hanya
membutuhkan
bantuan untuk
pekerjaan rumah yang
berat.
Lumbosakral Fleksi paha, ekstensi Pasien dapat Kombinasi
lutut, dorsofleksi ankle, independen namun hiperfleksi akut dan
ekstensor ibu jari kaki terjadi gangguan rotasi
(L1-L5); plantar fleksi sesuai dengan fungsi
ankle, fungsi BAB, BAK lumbosakral
dan seksual (S1-S5)

21
Tabel 5. Sindroma khusus cedera medula spinalis.1,3
Sindrom Penyebab utama Gejala dan tanda klinis
Sindrom Brown-Sequard Cedera tembus, kompresi - Paresis UMN (dibawah lesi)
ekstrinsik dan LMN (setinggi lesi)
- Gangguan sensasi
propioseptif (raba dan tekan)
ipsilateral
- Gangguan sensasi
eksteroseptif (nyeri dan suhu)
kontralateral
Sindrom spinalis anterior Infark spinalis anterior - Paraplegia
“watershed” (T4-T6), iskemik - Gangguan sensasi
akut dan HNP eksteroseptif
- Gangguan propioseptif
normal
- Disfungsi sfingter
Sindrom spinalis sentral Siringomielia, hypotensive - Paresis anggota gerak atas
spinal cord ischemic trauma lebih berat dibandingkan
(fleksi-ekstensi), dan trauma anggota gerak bawah
spinal - Gangguan sensorik bervariasi
(disestesia/hiperestesia) di
lengan
- Disosiasi sensibilitas
- Disfungsi miksi, defekasi,
dan seksual
Sindrom spinalis posterior Trauma dan infrak spinalis - Paresis ringan
posterior - Gangguan propioseptif
bilateral
- Gangguan eksteroseptif pada
leher, punggung, dan bokong
Sindroma konus Fraktur kompresi setinggi Gangguan sensorik didaerah
vertebra lumbal pertama bokong, perineum, retensi urin
dan impotensi
Sindroma kauda Cedera kauda ekuina (radiks Paralisis flasid dan atrofi,
lumbal, sakral, dan koksigeal) gangguan sensorik sesuai
dermatom, retensi urin dan alvi
dan impotensi jika mengenai
radiks S2-3-4. Terdapat saddle
anestesi.
Sindroma radikuler Cedera radikuler Ringan hingga berat dengan

22
atrofi dan fasikulasi, gangguan
sensoris komplit
Kompresi Medula Spinalis Fase “syok spinal” (beberap
hari-minggu) dengan paralisis
flasid, nyeri radikuler setinggi
lesi. Urin tertahan, distensi
kantung kemih, gangguan
sensasi. Setelah beberapa
minggu terjadi spastik kantung
kemih, paraparesis spastik,
urgensi berkemih,
inkontinensia, gangguan
sensorik.
Transeksi medula spinalis Paralisis flasid lengkap
komplit dibawah lesi yang dalam
beberapa minggu menjadi
spastik, refleks spasme sfingter
dan distensi kantung kemih,
klonus, refleks meningkat,
muncul refleks patologis. Pada
keadaan tertentu dapat terjadi
spasme fleksor involunter pada
tungkai bawah.

5. Diagnosis
Penegakkan diangosis dilakukan berdasarkan anamnesis riwayat
trauma dan mencari gejala dan tanda klinis sesuai skala American Spinal
Injury Association (ASIA).5Skala ASIA distandarisasi dalam pemeriksaan
inisial dan follow-updan mempunyai peran dalam memprediksi prognosis.8
ASIA mempunyai 2 komponen yaitu komponen sensorik dan motorik.
Komponen sensorik dinilai dengan memeriksa masing-masing titik dalam 28
dermatom, pada sisi kedua sisi tubuh (C2-S4-5). Setiap modalitas diskoring
dengan sistem 3 poin (0=tidak ada ; 2 : intak). Komponen motorik dinilai
dengan memeriksa fungsi otot berkorespondensi pada 10 masang miotom (C5-
T1 dan L2-S1). Modalitas motorik dinilai dengan sistem 5 poin sesuai Medical
Research Council.3

23
Gambar 7. Standar internasional untuk klasifikasi neurologis trauma medula spinalis. 3

Setelah dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik, dapat dilakukan


pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium berupa darah perifer
lengkap, urin lengkap, gula darah sewaktu, ureum dan kreatinin dan analisa
gas darah. Pemeriksaan EKG dapat dilakukan bila terdeteksi adanya aritimia
jantung. Pemeriksaan radiologi dapat berupa foto vertebra posisi
anteroposterior/lateral/odontoid dengan sesuai letak lesi. CT scan atau MRI
dilakukan jika dengan foto konvensional masih meragukan atau bila akan
dilakukan tindakan operasi.5Seidenwurm (2008) mengatakan bahwa untuk
mielopati traumatik, pemeriksaan radiologis yang terbaik dilakukan adalah CT
scan vertebra tanpa kontras seperti yang terlihat pada tabel 6.9 Gambar 8
menunjukkan algoritma untuk mielopati.

24
Tabel 6. Pemilihan pemeriksaan radiologi pada mielopati.9

6. Komplikasi
Pada pasien dengan trauma medulla spinalis, komplikasi respiratorik adalah
penyebab utama daripada morbiditas dan mortalitas pasien pada fase akut, dengan
insidensi 36%-83%. Komplikasi respiratorik yang terjadi antara lain gagal napas, dan
pneumonia hingga membutuhkan ventilasi mekanik, dikarenakan disfungsi otonom,
penurunan kapasitas vital paru, dan retensi sekret.10
Selain komplikasi respiratorik, komplikasi yang sering terjadi adalah sistem
kardiovaskular dimana terjadi hipotensi. Hipotensi yang terjadi dapat sebagai akibat
dari politrauma (pendarahan) atau syok neurogenik karena interupsi dari saraf
simpatetik sehingga terjadi penurunan resistensi vascular dan bradikardia.11
Syok neurogenik terjadi pada keadaan dimana hilangnya control otak terhadap
tubuh sehingga terjadi vasoparalisis, terutama pada lesi servikal, syok ini terjadi
dalam menit-jam, dan terputusnya persarafan simpatis mulai T1-L2 disertai tonus
vagal yang tidak sejalan sehingga menyebabkan vasodilatasi perifer hingga penurunan
cardiac output.1
Syok spinal merupakan suatu keadaan depresi refleks fisiologis (arefleksia)
yang sementara disebabkan oleh disfungsi membran akson dan neuronal sehingga
terjadi ketidakseimbangan neurotransmitter. Syok spinal menyebabkan hilangnya
tonus anal, refleks, dan control otonom dalam 24-72 jam disertai hipotensi dan
bradikardia. Syok spinal dapat terjadi beberapa jam setelah cedera dan bertahan
beberapa hari hinggu bulan sampai lengkung refleks neural dibawah lesi pulih.1

25
Komplikasi lainya seperti hematomielia, dimana terjadi pendarahan akut pada
massa abu-abu medulla spinalis. Nyeri akut dilokasi lesi disertai paralisis. Terjadi
atrofi otot pada tingkat hematomielia, paraparesis spastic dibawah lesi, gangguan
sensasi nyeri dan suhu setinggi dermatom yang terkena. Dibawah lesi, sensoris tetap
normal. Fungsi kolumna posterior juga tetap normal. 1

7. Tatalaksana & Rehabilitasi


1. Manajemen Jalan Napas
Tindakan darurat mengacu untuk menjaga jalan nafas tetap lapang.
Jalan napas dibebaskan dengan memeriksa mulut, mengeluarkan darah,
muntahan, dan lainnya. Lesi di atas C5 membutuhkan intubasi dan monitor
fungsi paru. Dalam pelaksanannya, disarankan untuk meminimalisir terjadinya
hiperekstensi, rotasi, dan gerakan dari leher saat intubasi, apabila
memungkinkan, intubasi dengan bantuan fiberoptik lebih diutamakan.5
2. Manajemen Kardiovaskular
Rekomendasi terkini sangat dianjurkan untuk menjaga MAP di angka
85-90 mmHg selama 7 hari paska onset trauma (level III), untuk mencegah
terjadinya hipotensi yang secara teori berkontribusi terhadap terjadinya
secondary injury akibat berkurangnya perfusi ke jaringan medulla spinalis.
Untuk menjaga hal tersebut, disarankan tetap memberikan cairan IV
(kristaloid) untuk menjaga status euvolemik – slight hypervolemic; serta
dengan vasopresor apabila dibutuhkan.12
Pada lesi servikal atau lesi torakal yang tinggi dengan hipotensi dan
bradikardia, obat dengan efek kronotropik, inotropik dan vasopresor dapat
dipertimbangkan, contohnya seperti norepinephrine atau dopamin. Pada lesi
torakal yang rendah, dimana hipotensi yang terjadi umumnya sebagai akibat
dari vasodilatasi perifer, vasopresor murni seperti phenylephrine dapat lebih
dipertimbangkan.12
Dengan studi yang lebih lanjut, Altaf et al menkonklusikan bahwa
norepinephrine lebih superior dibandingkan dopamine karena dapat menjaga
MAP dengan tekanan intratekal yang lebih rendah serta perfusi ke medulla
spinalis yang lebih baik.13

26
3. Manajemen Bedah
Tekanan pada medulla spinalis secara mekanik disertai edema dan
pendarahan akan menyebabkan hipoksia dan iskemia jaringan. Dekompresi
dapat dilakukan dengan tujuan untuk menurunkan tekanan tersebut. Indikasi
dilakukannya tindakan bedah adanya fraktur & kompresi medulla spinalis
yang signifikan dengan kelemahan neurologis yang progresif .12
Pada studi observasi yang dilakukan Surgical Timing in Acute Spinal
Cord Injury Study & studi kohort di Kanada , didapatkan hasil bahwa waktu
terbaik untuk dilakukanya tindakan bedah adalah <24 jam paska onset
trauma.8

4. Metilprednisolon
Metilprednisolon adalah kortikosteroid sintetik yang berperan sebagai
factor anti-inflamasi, menurunkan stress oksidatif & edema. National Spinal
Cord Injury Study I-III (1980-1997) mempublikasikan mengenai penggunaan
metilprednisolon dalam trauma medulla spinalis dan didapatkan hasil bahwa
metilprednisolon tidak memperbaiki kondisi fungsional pasien dan lebih
meningkatkan resiko sepsis.12
Sehingga pada consensus terakhir, Metilprednisolon tidak
direkomendasikan sebagai tatalaksana dari trauma medulla spinalis.8

5. Neuroprotektif
Agen-agen neuroprotektif seperti gangliosida tidak memberikan
manfaat yang bermakna secara klinis. Selain itu, naloxone, nimodipine,
tirizalad mesilat dalam penelitian juga tidak memberikan manfaat klinis
terhadap pasien trauma medulla spinalis.12
Beberapa agen yang mempunyai manfaat klinis antara lain Riluzole
(CCB) yang bekerja dengan memblokade aktivasi dari chanel natrium dan
mengurangi pelepasan neurotransmitter glutamate, minosiklin, antibiotik
dengan property anti-inflamasi melalui inhibisi TNF-α, IL-1B, NOS,
fibroblast growth factor, cytokine granulocyte colony stimulating factor, serta
hipotermia namun diperlukan uji klinis lebih lanjut sebelum dapat
diimplementasikan dalam klinis.12

27
6. Agen neuroregenerasi
Strategi yang sedang diteliti lebih lanjut adalah dengan melalui cell-
based therapy seperti embryonic stem cell, dan induced pluripotent stem cell.
Secara teori, sel punca dapat meremielinisasi akson dan memodulasi respon
inflamasi.8

7. Rehabilitasi Medik pada Trauma Medula Spinalis


• Fase Akut dan Subakut
Fase akut dan subakut berlangsung hingga 6-12 minggu paska onset
trauma. Tujuan dari rehabilitasi fase akut dan subakut adalah untuk mencegah
komplikasi jangka panjang. Olahrga pasif sebaiknya dilakukan secara intensif
untuk mencegah terjadinya kontraktur, atrofi otot, serta nyeri. Dalam 1 tahun,
66% pasien akan mengalami sedikitnya satu kontraktur sendi, terutama sendi
bahu, panggul, serta lutut. Latihan ROM secara pasif dan intensif sebaiknya
dilakukan 1x/hari pada pada kondisi flaccid dan 2-3x/hari pada kondisi
spastic.14
Pada pasien paraplegia, salah satu kunci penting ialah menguatkan
ekstremitas atas, terutama untuk rotasi sendi bahu agar pasien dapat
menggunakan kruk (crutch).14
Untuk mencegah terjadinya ulkus dekubitus, posisi pasien sebaiknya
diubah setiap 2-3 jam, ulkus dekubitus terjadi umumnya pada sacrum,
trochanter, dan tumit.14
Penggunaan korset dianjutkan untuk memfiksasi tulang belakang
terutama ketika melakukan posisi duduk.14

• Fase Kronik
Tujuan utama dari rehabilitasi pada fase kronik adalah agar pasien
dapat bermobilisasi secara mandiri. Pada pasien dengan lesi diatas T10,
diharapkan dapat melakukan mobilisasi untuk fisioterapi. Pasien dengan lesi
T11-L2 diharapkan dapat melakukan mobilisasi hingga di rumah. Pasien
dengan lesi yang lebih distal diharapkan dapat bermobilisasi secara social
(berjalan sedikitnya 50 meter dengan atau tanpa alat bantu).14

28
Selain dari aspek klinis, rehabilitasi paska trauma juga mencakup
aspek kejiwaan pasien, dengan kejadian posttraumatic stress disorder
mencapai 17% dalam 5 tahun pertama.14

II. Trauma Kapitis Ringan


Trauma kapitis diklasifikasikan berdasarkan Glasgow Coma Scale (GCS)
sesuai dengan tabel 7.

Tabel 7. Klasifikasi trauma kapitis sesuai dengan GCS.15

Kategori GCS Gambaran klinis CT Scan


Minimal 15 Pingsan (-), defisit neurologis (-) Normal
Ringan 13-15 Pingsan <10 menit, defisit neurologis (-) Normal
Sedang 9-12 Pingsan >10 menit s/d 6 jam, defisit Abnormal
neurologis (+)
Berat 3-8 Pingsan >6 jam, defisit neurologis (+) Abnormal

Penanganan trauma kapitis ringan secara singkat dapat dilihat pada gambar 8.

Gambar 8. Tatalaksana pasien dengan trauma kapitis ringan.16

29
BAB III
ANALISA KASUS

Pasien laki-laki usia 59 tahun, datang dengan keluhan paska jatuh dari
ketinggian 3 meter, dalam waktu 1.5 jam SMRS. Pada primary survey, terpasang c-
spine, dan ditemukan tekanan darah 170/90 mmHg. Pada secondary survey ditemukan
diskontinutias jaringan di regio occipital sinistra sebesar ±7x4x2 cm dengan dasar
subkutis dan deformitas tulang belakang setinggi T10 disertai hematoma. Pasien tidak
sadar selama ± 2 menit paska onset trauma. Keluhan yang dirasakan adalah
paraplegia, inkontiensia urin dan alvi, dan anestesi di kedua kaki. Melalui
pemeriksaan fisik keluhan tersebut dikonfirmasi dimana anestesi yang dialami pasien
setinggi T10 kebawah pada kedua sisi tubuh, sedangkan pada pemeriksaan sensorik
getaran, suhu, dan posisi sendi dalam batas normal. Selain itu terjadi hiporefleks
(KPR dan APR) dan flaccid pada kedua ekstremitas bawah pasien. Pada pemeriksaan
RT, sfingter ani tidak menjepit kuat.
Pada kasus ini, kecurigaan lebih difokuskan pada jaringan medulla spinalis
karena terjadi secara tiba-tiba paska trauma langsung ke bagian punggung dengan
jejas dan deformitas tulang punggung yang jelas pada pemeriksaan fisik disertai klinis
yang sesuai dengan mielopati. Sebelum terjadi trauma, dari anamnesis, keluhan
motorik, sensorik, dan otonom disangkal sehingga etiologi dari mielopati ini
kemungkinan besar adalah traumatik. Pada pemeriksaan neurologis lanjut, didapatkan
bahwa anestesi yang terjadi pada pasien dikedua tungkai bawah baik rangsangan nyeri
dan raba, getaran, suhu, dan posisi sendi. Secara klinis, kecurigaan ini mengarah
kepada transeksi medulla spinalis komplit.
Pada mielopati traumatik seharusnya didapatkan hipotensi akibat kerusakan
primer dan sekunder pada medula spinalis, namu pada keadaan tertentu yang
dinamakan disrefleksia autonomik (DA), pasien dapat mengalami kondisi hipertensi
akibat adanya stimulasi noksious dan non-noksious pada bawah lesi. Periode
hipertensi ini disebabkan akibat vasokonstriksi eksesif dan dapat berulang 41 kali
pada hari yang sama. Pada pasien ini diperkirakan bahwa stimulasi non-noksious
dibawah lesi yang menyebabkan tekanan darah naik adalah pemasangan kateter.
Disrefleksia autonomik hanya terjadi pada lesi setinggi T6 atau diatasnya dan pada
pasien ini terjadi kerusakan pada lesi setinggi T10 sehingga diperkirakan iskemia dan

30
mekanisme kerusakan sekunder telah mencapai vaskularisasi T6 sehingga menganggu
sistem autonom dari T6.30

Gambar 10. Garis besar hubungan antara trauma medula spinalis, intervasi autonom
kardiovaskular, instabilitas tekanan darah dan autoregulasi serebral.17

Pada pasien ini dilakukan x-ray thoraks AP dan lateral untuk melihat apakah
ada fraktur atau diskontinuitas pada vertebra. Sesuai dengan tinjauan pustaka yang
telah dibahas diatas, pemeriksaan radiologis terbaik yang seharusnya dilakukan
adalah CT vertebra tanpa kontras atau apabila terdapat sarana dilakukan multiple
detector computed tomography (MDCT). Selain itu, CT scan otak tanpa kontras juga
seharusnya dilakukan dikarenakan pasien sempat tidak sadar selama 2 menit setelah
terjatuh. CT scan perlu dilakukan karena apabila terdapat perdarahan intraserebral,
pasien langsung masuk ke klasifikasi cedera kepala berat.
Pasien ini termasuk dalam klasifikasi ASIA “A”, dikarenakan tidak adanya
fungsi sensorik dan motorik di segmen S4-S5, dimana 85% pasien dengan klasifikasi
ASIA “A” tidak pulih secara fungsi motorik dan sensorik.
Pada pasien ini, pemberian tatalaksana awal yang diberikan sesuai dengan
tatalaksana trauma yaitu dengan menjaga jalan napas dan pemasangan collar neck

31
karena pasien jatuh dari ketinggian dan beresiko terkena cedera servikal. Pemberian
cairan IV kristaloid sesuai dengan anjuran tatalaksana untuk mencegah hipotensi dan
menjaga perfusi medulla spinalis. Pemberian IV metilprednisolon dalam kasus ini
kurang tepat, karena secara evidence-based medicine dari penelitan National Spinal
Cord Injury Study I-III, pemberian IV metilprednisolon tidak memberikan manfaat
klinis yang signifikan dalam perbaikan klinis dari kasus trauma medulla spinalis.
Sehingga disarankan untuk dilakukan tindakan bedah dekompresi untuk mencegah
hipoksia dan iskemia jaringan lebih lanjut akibat kompresi dan edema yang terjadi
pada medulla spinalis.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Basuki A. Cedera Medula Spinalis Akut (Acute Spinal Cord Injury).


Kegawatdaruratan Neurologi. In: Basuki A, Dian S, editors. Fakultas
Kedokteran Universitas Padjadjadran Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung.
2nd Edition, 2012; p.109-33.
2. Netter FH. Atlas of Human Anatomy, Sixth Edition. Elsevier, Philadelphia;
2014. p.153
3. American College of Surgeon. Advanced Trauma Life Support ATLS. 10th
Edition. 2018. p. 128-46.
4. Mtui E, Fitzgerald M, Gruener G, Dockery P. Clinical neuroanatomy and
neuroscience. 7th Edition. Philadelphia, PA: Elsevier; 2016. p. 161-78.
5. Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal.
Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). 2006. p.19-29.
6. Widhiyanto L, Martiana IK, Airlangga PA, Permana D. Studi Epidemiologi
Fraktur Vertbera di RSUD Dr. Soetomo Surabaya Pada Tahun 2013-2017.
Qanun Medika. 2019;3(1):15-22.
7. Mayza A, Ramli Y. Cedera Medula Spinalis. Buku Ajar Neurologi Buku 2. In:
Aninditha T, Wiratman W, editors. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Tangerang, 2017. p.400-16.
8. Resnick DK. Update guidelines for the management of acute cervical spine
and spinal cord injury. Neurosurgery. 2013;72(3):1.
9. Seidenwurm DJ. Myelopathy. AJNR Am J Neuroradiol. 2008; 29:1032–4.
10. Vazquez RG, Sedes PR, Farina MM, Marques AM, Velasco EF. Respiratory
management in the patient with spinal cord injury. BioMed Res Int. 2013.
11. Hagen, EM. Acute complications of spinal cord injuries. World J Orthop.
2015;6(1):17-23.
12. Ahuja CS, Martin AR, Fehlings MG. Recent advances in managing spinal
cord injury secondary to trauma. F1000 Research. 2016;5:1017.
13. Altaf F, Griesdale DE, Belanger L, Ritchie L, Markez J, Ailon T et al. The
differential effects of norepinephrine and dopamine on cerebrospinal fluid
pressure and spinal cord perfusion pressure after acute human spinal cord
injury. Spinal Cord. 2017;55(1):33-8.

33
14. Nas, K. (2015). Rehabilitation of spinal cord injuries. World Journal of
Orthopedics, 6(1), 8.
15. Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal.
Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). 2006. p.1-16.
16. American College of Surgeon. Advanced Trauma Life Support ATLS. 10th
edition. 2018. p. 148-69.
17. Sachdeva R, Nightingale TE, Karssioukov AV. The Blood Pressure Pendulum
following Spinal Cord Injury: Implications for Vascular Cognitive
Impairment. Int. J. Mol. Sci. 2019; 20: 2464-72.

34

Anda mungkin juga menyukai