Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN KASUS

PENURUNAN KESADARAN E.C KRISIS


HIPERGLIKEMIA + DM TIPE II + KONVULSI

Disusun oleh:

Regina Philyria, S.Ked

FAB 118 077

Pembimbing:

dr. Sutopo Marsudi Widodo, Sp.RM

dr. Tagor Sibarani

dr. Robertus Aris M.

Dibawakan dalam rangka tugas kepaniteraan klinik pada bagian


Rehabilitasi Medik dan Emergency Medicine

KEPANITERAAN KLINIK REHABILITASI MEDIK DAN EMERGENCY


MEDICINE
RSUD dr. DORIS SYLVANUS/FK-UNPAR
PALANGKA RAYA
2020

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Krisis hiperglikemia merupakan komplikasi akut yang dapat terjadi pada
diabetes melitus (DM), baik tipe 1 maupun tipe 2. Keadaan tersebut merupakan
komplikasi serius yang mungkin terjadi sekalipun pada DM yang terkontrol baik.
Krisis hiperglikemia dapat terjadi dalam bentuk ketoasidosis diabetikum (KAD),
status hiperosmolar hiperglikemik (SHH) atau kondisi yang mempunyai elemen
kedua keadaan diatas. Ketoasidosis diabetikum adalah keadaan yang ditandai
dengan asidosis metabolik akibat pembentukan keton yang berlebihan, sedangkan
SHH ditandai dengan hiperosmolalitas berat dengan kadar glukosa serum yang
biasanya lebih tinggi dari KAD murni.
Penurunan kesadaran adalah presentasi klinis penderita DM yang dapat
ditemukan di unit gawat darurat karena komplikasi dari DM, terutama komplikasi
akut diantaranya krisis hiperglikemik yaitu ketoasidosis diabetikum (KAD), status
hiperosmolar hiperglikemik (SHH) dan asidosis laktat maupun hipoglikemik dan
merupakan kondisi gawat darurat yang mengancam jiwa.

2
BAB II
LAPORAN KASUS

I. PRIMARY SURVEY
Vital Sign
- Tekanan Darah : 170/120 mmHg
- Nadi : 145 x/menit
- Suhu : 37,8 C
- Pernapasan : 30 x/menit

Airway : Bebas, tidak ada sumbatan jalan napas

Breathing : Spontan, 30 x/menit, pernapasan


thorakoabdominal, pergerakan thoraks simetris
kiri dan kanan

Circulation : Denyut nadi 145 x/menit, cepat, pulsasi lemah,


CRT < 2 detik

Disability : GCS (E2V2M4), pupil isokor 3mm/3mm

Evaluasi Masalah : Kasus ini merupakan kasus yang termasuk kedalam


emergency sign yaitu pasien datang dengan
penurunan kesadaran dan resiko kejang. Pasien
ditempatkan di ruang non bedah. Pasien diberi
label merah.

Tatalaksana Awal : Tatalaksana awal pada pasien ini diberikan oksigen


dan rehidrasi cairan melalui IV line 2 jalur

II. IDENTITAS PASIEN


Nama Pasien : Ny. P
Jenis kelamin : Perempuan

3
Umur : 44 tahun
Alamat : Jalan Mendawai Induk
Agama : Islam
Pekerjaan : IRT
Tanggal MRS : 15 Februari 2020
Nomor RM : 32.53.69

III. ANAMNESIS
a. Keluhan Utama : Penurunan Kesadaran
b. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang diantar keluarganya dengan keluhan penurunan
kesadaran. Anak pasien mengatakan keluhan pada awalnya dirasakan
sejak pukul 04.00 WIB dini hari (7 jam SMRS). Saat itu pasien
gelisah dan mulai bicara kurang nyambung. Kemudian kurang lebih
pada pukul 07.00 WIB pagi hari pasien mengalami kejang. Kejang
terjadi dengan durasi selama kurang lebih 5 menit. Pasien sempat
kejang di rumah sebanyak 4 kali, dengan jarak antar kejang satu
dengan kejang yang lain berkisar kurang lebih 30 menit. Setelah
kejang, pasien tidak sadarkan diri, beberapa saat kemudian pasien
terbangun dan mulai gelisah. Sesampainya di RSUD pasien sempat
kejang sebanyak 2 kali dengan durasi kurang lebih 5 menit, dan jarak
antar kejang kurang lebih 15 menit. Anak pasien mengatakan sebelum
keluhan terjadi, pasien tidak mengeluhkan apapun, hanya saja pasien
merasa kurang enak badan 1 minggu terakhir. Makan minum normal
seperti biasa.

c. Riwayat Penyakit Dahulu :


Keluhan serupa sebelumnya (-)
Pasien menderita DM (+), namun tidak terkontrol
Riwayat Hipertensi tidak diketahui

4
d. Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada keluarga pasien yang menderita sakit seperti ini

IV. Pemeriksaan Fisik


Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Composmentis (E2 V2 M4)
Tanda Vital : Tekanan Darah : 170/120 mmHg
Nadi : 145 x / menit
Respirasi : 30 x/ menit
Suhu : 37,8 derajat Celcius

Status Generalis
Warna Kulit : Kuning langsat
Kepala : Normochepal
Mata : Konjungtiva anemis -/- , sklera ikterik -/- , pupil
isokor 3mm/3mm, reflek cahaya +/+
Telinga : Simetris, discharge (-)
Hidung : Simetris, discharge (-), epistaksis (-)
Mulut : Sianosis (-), pucat (-)
Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar getah
bening.Tidak ada pembesaran tiriod. JVP
tidak meningkat (5 + 2 cmH2O)

Thorax
Pulmo
Inspeksi : - Bentuk dinding dada simetris.
- Pergerakan dinding dada simteris.
- Bekas luka (-)
- Massa (-)
Auskultasi : - Suara napas dasar : vesikuler kanan = kiri
- Rhonki -/- , Wheezing -/-

5
Palpasi : - Nyeri tekan (-)
- Fremitus focal simetris kanan = kiri
Perkusi : - Sonor di semua lapang paru

Cor
Inspeksi : - Thrill (-)
Auskultasi : - SI – SII normal tunggal reguler
- Murmur (-), gallop (-)
Palpasi : - Ictus cordis teraba pada ICS V 2 jari ke arah
lateral linea midclavicularis sinistra
Perkusi : - Batas jantung kiri ICS V 2 jari ke arah lateral
linea midclavicularis sinistra.
- Batas jantung kanan ICS IV linea
parastrenalis dextra
- Batas pinggang jantung ICS II line
midclavicularis sinistra

Abdomen
Inspeksi : Dinding abdomen cembung, bekas luka (-)
Auskultasi : Bising usus normal 11x permenit.
Palpasi : Nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani seluruh lapang abdomen

Urogenital : Dalam batas normal

Ekstremitas : - Akral dingin


- CRT < 2 detik
- Motorik 5 5
5 5
- Refleks fisologis +/+
- Refleks patologis -/-

6
V. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
 WBC : 23,84 x 103/uL*
 Hb : 13,2 g/dl
 RBC : 4,34 x 106 /uL
 PLT : 413 x 103 /uL
 Ureum : 27 mg/dL
 Creatinine : 1,42 mg/dL
 GDS : 528 mg/dL*
AGD
 pH : 7,24*
 PaCO2 : 30 mmHg*
 HCO3 : 12,9 mmol/L*
 K+ : 2,0 mmol/L*

2. Urinalisis
 Proteinuria : +3
 Glukosuria : +4
 Bakteri : (+)

VI. Diagnosis Kerja


Penurunan Kesadaran e.c Krisis Hiperglikemia
Observasi Konvulsi
Diabetes Melitus Tipe II

VII. Tatalaksana di IGD


- Oksigen masker 6 lpm
- Pemasangan Gudel, Foley catheter dan NGT
- Rehidrasi  Infus 2 jalur NaCl 1000 ml habis dalam 1 jam
- Maintanace WIDA KN-2 20 tpm

7
- Actrapid 5U/jam
- Phenytoin 6 amp/100 cc NaCl habis dalam 15 menit
- Maintanance Inj. Phenytoin 2 x 100 mg IV
- Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gram IV  Skin test
- Cek GDS per 2 jam

VIII. Prognosis
Ad Vitam : Dubia
Ad Fungsionam : Dubia
Ad Sanationan : Dubia

8
BAB III
PEMBAHASAN

Pada kasus ini, dilaporkan seorang perempuan bernama Ny.P, berusia 44


tahun dengan keluhan utama diawal masuk instalasi gawat darurat RSUD dr.
Doris Sylvanus, Palangka Raya, Kalimantan Tengah tanggal 15 Februari 2020
yaitu gelisah dan penurunan kesadaran sejak 7 jam SMRS dengan diagnosis Krisis
Hiperglikemia + DM tipe 2 + Observasi Konvulsi.

3.1 Definisi Krisis Hiperglikemia


Krisis hiperglikemia merupakan komplikasi akut yang dapat terjadi pada
diabetes melitus (DM), baik tipe 1 maupun tipe 2. Keadaan tersebut merupakan
komplikasi serius yang mungkin terjadi sekalipun pada DM yang terkontrol baik.
Krisis hiperglikemia dapat terjadi dalam bentuk ketoasidosis diabetikum (KAD),
status hiperosmolar hiperglikemik (SHH) atau kondisi yang mempunyai elemen
kedua keadaan diatas. Ketoasidosis diabetikum adalah keadaan yang ditandai
dengan asidosis metabolik akibat pembentukan keton yang berlebihan, sedangkan
SHH ditandai dengan hiperosmolalitas berat dengan kadar glukosa serum yang
biasanya lebih tinggi dari KAD murni.1

3.2 Patofisiologi
Status hiperosmolar hiperglikemik ditandai dengan defisiensi konsentrasi
insulin yang relatif, namun cukup adekuat untuk menghambat terjadinya lipolisis
dan ketogenesis. Beberapa studi mengenai perbedaan respon hormon kontra
regulator pada KAD dan SHH memperlihatkan hasil bahwa pada SHH pasien
memiliki kadar insulin yang cukup tinggi, dan konsentrasi asam lemak bebas,
kortisol, hormon pertumbuhan, dan glukagon yang lebih rendah dibandingkan
dengan pasien KAD. Walaupun patogenesis terjadinya KAD dan SHH serupa,
namun keduanya memiliki perbedaan. Pada SHH akan terjadi keadaan dehidrasi

9
yang lebih berat, kadar insulin yang cukup untuk mencegah lipolisis besar-besaran
dan kadar hormon kontra regulator yang bervariasi.2

3.3 Diagnosis
Diagnosis secara klinis untuk membedakan antara KAD dan SHH
tidaklah mudah. Gejala yang dialami oleh pasien dapat serupa.
Ketoasidosis diabetikum dapat menjadi manifestasi pertama dari DM tipe
1 yang belum terdiagnosis atau dapat terjadi akibat peningkatan kebutuhan insulin
pada penderita DM karena adanya faktor pencetus. Gejala dan tanda fisik KAD
biasanya terjadi secara progresif dalam 24 jam. Mual dan muntah pada KAD
umum ditemukan dan biasanya prominen. Nyeri difus abdomen yang berat dapat
terjadi. Adanya hiperglikemia menyebabkan glukosuria, defisit cairan, dan
takikardia. Hipotensi dapat terjadi akibat defisit cairan dan vasodilatasi pembuluh
darah perifer. Penurunan kesadaran dapat terjadi secara progresif sampai keadaan
koma pada KAD berat. Pada pemeriksaan fisik, penurunan kesadaran dengan
tanda-tanda dehidrasi disertai pernafasan cepat-dalam (Kussmaul) dan bau
pernafasan aseton mengarahkan diagnosis pada KAD. Hiperglikemia kadar
glukosa ≤250 mg/dl. Serum bikarbonat sering berada < 10 mmol/L dan jarak pH
antara 6,8 dan 7,3 tergantung tingkat keparahan asidosis. Total simpanan natrium,
klorida, fosfor, dan magnesium tubuh berkurang pada KAD namun tidak secara
akurat terdeteksi di serum karena dehidrasi dan hiperglikemi. Peningkatan blood
urea nitrogen (BUN) dan serum kreatinin merefleksikan defisit volume cairan
intravaskular. Leukositosis, hipertrigliseridemia, dan hiperlipoproteinemia umum
ditemukan. Leukositosis dengan jumlah 10.000-15.000/mm3 umum ditemukan
pada KAD dan tidak mengindikasikan adanya proses infeksi. Namun, leukositosis
> 25.000 /mm3 dapat mengindikasikan infeksi dan memerlukan evaluasi lebih
lanjut.3,4
Status Hiperosmolar Hiperglikemi Prototipikal pasien dengan SHH
adalah pasien geriatrik DM tipe 2 dengan riwayat poliuria, penurunan berat badan,
dan oral intake yang kurang dalam beberapa minggu dan berujung pada
penurunan kesadaran. Pada pemeriksaan fisik ditemukan dehidrasi berat (lebih

10
berat daripada KAD), hipotensi, takikardi, dan penurunan kesadaran tanpa adanya
pernafasan Kussmaul. Selain itu, tanda adanya gangguan neurologis fokal
(hemianopia dan hemiparesis) dan kejang (generalized atau focal) dapat
ditemukan pada SHH. Gejala-gejala karakteristik KAD seperti mual, muntah,
nyeri abdomen, dan pernafasan Kussmaul tidak ditemukan pada pasien SHH.
Mirip dengan KAD, SHH juga sering dicetuskan oleh faktor pencetus seperti
infark miokard, stroke, sepsis, pneumonia, dan pencetus lainnya. Hiperglikemia
dan dehidrasi berat disertai penurunan kesadaran dengan tidak adanya asidosis
yang bermakna merupakan karakteristik dari SHH, yang presentasi klinisnya
dengan ketosis yang lebih rendah dan hiperglikemia yang lebih berat dari KAD.
Kontras dengan pasien KAD, hampir seluruh pasien dengan SHH memiliki pH
darah saat presentasi awal > 7,30 dan kadar bikarbonat > 18 mEq/L, dan
ketonemia ringan.1,3
Pada pasien kasus ini manifestasi klinis yang ditemukan ialah berupa
penurunan kesadaran yang dialami pasien sejak 7 jam SMRS, bersifat progresif.
Keluhan tanpa didahului mual muntah dan nyeri perut. Selain itu manifestasi
klinis pada pasien terlihat adanya gangguan neurologis yang bersifat global yaitu
kejang. Berdasarkan anamnesis tipe kejang yang dialami oleh pasien adalah tipe
tonik yang generalisata, ditandai dengan hasil anamnesis pada anak pasien yang
mengatakan kejang berupa kaku pada kedua tangan dan kaki, mulut terbuka, dan
lidah kebelakang.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan hipertensi yang ditunjukan
dengan tekanan darah 170/120 mmHg, takikardi yang ditunjukkan dengan nadi
145 x/menit, pulsasi lemah, demam subfebris yang ditunjukkan dengan suhu 37,8
C dan takipneu yang ditunjukkan dengan respirasi 30 kali/menit. Selain itu
didapatkan pula akral dingin dan CRT < 2 detik. Berdasarkan hasil tersebut dapat
ditarik kesimpulan bahwa pada pasien kemungkinan telah terjadi keadaan
hyperosmolar dan mengakibatkan terjadinya kondisi dehidrasi. Pada teori
dijelaskan bahwa hiperglikemia dan dehidrasi berat disertai penurunan kesadaran
dengan tidak adanya asidosis yang bermakna merupakan karakteristik dari SHH.
3.4 Pemeriksaan Penunjang

11
Walaupun diagnosis KAD dan SHH dapat ditegakkan dari klinis, namun
konfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium harus dilakukan. Hasil laboratorium
yang dapat ditemukan adalah glukosa plasma lebih dari 600 mg/dL, pH arteri
lebih dari 7,3, bikarbonat serum lebih dari 15 mEq/L, keton urin derajat ringan,
keton serum derajat ringan, osmolalitas serum lebih dari 320 mOsm/ kg.3
Pada pasien kasus ini telah dilakukan pemeriksaan berupa pemeriksaan
laboratorium berupa darah lengkap, GDS, Fungsi ginjal, Elektrolit dan Analisa
gas darah serta urinalisis. Hasil yang didapatkan pada pasien ini adalah
hiperglikemia dengan ditandai peningkatan GDS sebesar 528 mg/dL. Selain itu
didapatkan pula leukositosis dengan peningkatan leukosit sebesar 23.840/uL.
Selain itu hasil AGD menunjukkan terjadinya penurunan pada pH dan PaCO2
serta HCO3, yang menandakan terjadinya metabolic asidosis pada pasien ini.

3.5 Tatalaksana
Tujuan dari terapi KAD dan SHH adalah penggantian volume sirkulasi
dan perfusi jaringan, penurunan secara bertahap kadar glukosa serum dan
osmolalitas plasma, koreksi ketidakseimbangan elektrolit, perbaikan keadaan
ketoasidosis pada KAD, mengatasi faktor pencetus, melakukan monitoring dan
melakukan intervensi terhadap gangguan fungsi kardiovaskular, paru, ginjal dan
susunan saraf pusat.1

3.5.1 Terapi Cairan


Pasien dengan SHH memerlukan rehidrasi dengan estimasi cairan yang
diperlukan 100 ml/kgBB. Terapi cairan awal bertujuan mencukupi volume
intravaskular dan restorasi perfusi ginjal. Terapi cairan saja dapat menurunkan
kadar glukosa darah. Salin normal (NaCl 0,9%) dimasukkan secara intravena
dengan kecepatan 500 sampai dengan 1000 ml/jam selama dua jam pertama.
Perubahan osmolalitas serum tidak boleh lebih dari 3 mOsm/ jam. Namun jika
pasien mengalami syok hipovolemik, maka cairan isotonik ketiga atau keempat
dapat digunakan untuk memberikan tekanan darah yang stabil dan perfusi jaringan
yang baik.1

12
Pada pasien kasus ini tatalaksana awal yang diberikan ialah rehidrasi
cairan sebanyak 2000 ml/jam melalui IV line 2 jalur dengan cairan kristaloid.
Terapi yang didapatkan pasien telah sesuai jika diaplikasikan dengan teori yang
menganjurkan terapi cairan dilakukan dengan NaCl 0,9% sebanyak 500-1000
ml/jam selama 2 jam pertama.

3.5.2 Terapi Insulin


Pemberian insulin dengan dosis yang kecil dapat mengurangi risiko
terjadinya hipoglikemia dan hipokalemia. Fungsi insulin adalah untuk
meningkatkan penggunaan glukosa oleh jaringan perifer, menurunkan produksi
glukosa oleh hati sehingga dapat menurunkan konsentrasi glukosa darah. Selain
itu, insulin juga berguna untuk menghambat keluaran asam lemak bebas dari
jaringan adiposa dan mengurangi ketogenesis. Pada pasien dengan klinis yang
sangat berat, insulin reguler diberikan secara kontinyu intravena. Bolus insulin
reguler intravena diberikan dengan dosis 0,15 U/kgBB, diikuti dengan infus
insulen regular dengan dosis 0,1 U/kg BB/jam (5-10 U/jam). Hal ini dapat
menurunkan kadar glukosa darah dengan kecepatan 65-125 mg/jam. Jika glukosa
darah telah mencapai 250 mg/dL pada KAD atau 300 mg/dL pada SHH,
kecepatan pemberian insulin dikurangi menjadi 0,05 U/kg BB/jam (3-5 U/ jam)
dan ditambahkan dengan pemberian dextrosa 5-10% secara intravena.
Pemberian insulin tetap diberikan untuk mempertahankan glukosa darah pada
nilai tersebut sampai keadaan ketoasidosis dan hiperosmolalitas teratasi. Ketika
protokol KAD atau SHH berjalan, evaluasi terhadap glukosa darah kapiler
dijalankan setiap 1-2 jam dan darah diambil untuk evaluasi elektrolit serum,
glukosa, BUN, kreatinin, magnesium, fosfos, dan pH darah setiap 2-4 jam.1
Pada pasien kasus ini terapi insulin diberikan dengan actrapid 5 U/jam
dengan jalur intravena. Actrapid merupakan salah satu human monokomponen
insulin-rekombinan, yang biasa digunakan dalam keadaan akut hiperglikemia dan
pada stress hiperglikemik. Penatalaksanaan pada pasien ini telah sesuai dengan
aplikasi teori.

13
3.5.3.Terapi Kalium
Secara umum, tubuh dapat mengalami defisit kalium sebesar 3-5 mEq/kg
BB. Namun kadar kalium juga bisa terdapat pada kisaran yang normal atau
bahkan meningkat. Peningkatan kadar kalium ini bisa dikarenakan kondisi
asidosis, defisiensi insulin dan hipertonisitas. Dengan terapi insulin dan koreksi
keadaan asidosis, kadar kalium yang meningkat ini dapat terkoreksi karena kalium
akan masuk ke intraseluler. Untuk mencegah terjadinya hipokalemia, pemberian
kalium secara intravena dapat diberikan. Pemberian kalium intravena (2/3 dalam
KCl dan 1/3 dalam KPO4) bisa diberikan jika kadar kalium darah kurang dari 5
mEq/L. Pada pasien hiperglikemia dengan defisit kalium yang berat, pemberian
insulin dapat memicu terjadinya hipokalemia dan memicu terjadinya aritmia atau
kelemahan otot pernafasan. Oleh karena itu, jika kadar kalium kurang dari 3,3
mEq/L, maka pemberian kalium intravena harus segera diberikan dan terapi
insulin ditunda sampai kadarnya lebih atau sama dengan 3,3 mEq/L.1
Pada pasien ini direncanakan pemeriksaan penunjang laboratorium salah
satunya pemeriksaan kadar elektrolit dan hasil yang ditunjukkan adalah
hipokalium. Pada pasien ini terapi untuk koreksi kaliumnya diberikan dengan
penggunaan cairan infus WIDA KN-2 sebagai maintenance terapi cairan post
rehidrasi. Cairan infus KN-2 sendiri berisi NaCl 0,9% dengan KCl 0,3% atau
setara dengan kalium 40 mEq/L. Sehingga tatalaksana koreksi kalium pada pasien
ini telah dilakukan.

3.5.4 Terapi Bikarbonat


Pemberian bikarbonat pada pasien SHH tidak diperlukan, penggunaan
larutan bikarbonat pada KAD masih merupakan kontroversi. Pada pH lebih dari
7,0, aktifitas insulin memblok lipolisis dan ketoasidosis dapat hilang tanpa
penambahan bikarbonat. Beberapa penelitian prospektif gagal membuktikan
adanya keuntungan atau perbaikan  pada angka morbiditas dan mortalitas dengan
pemberian bikarbonat pada penderita KAD dengan pH antara 6,9 dan 7,1.
Pemberian bikarbonat dapat diberikan secara bolus atau intravena dalam cairan
isotonik dengan dosis 1-2 mEq/kg BB.1

14
Pada pasien ini tidak dilakukan pemberikan terapi bikarbonat. Namun
mengingat pemberian bikarbonat pada pasien SHH tidak diperlukan dan pada
pasien KAD masih diperdebatkan, sehingga pendekatan pada pasien ini tetap
dibenarkan.

3.5.5 Terapi Fosfat


Pada KAD serum fosfat biasanya normal atau meningkat. Konsentrasi
fosfat berkurang dengan pemberian terapi insulin. Beberapa penelitian prospektif
gagal membuktikan adanya keuntungan dengan penggantian fosfat pada KAD,
danpemberian fosfat yang berlebihan dapat menyebabkan hipokalsemia yang
berat tanpa adanya gejala tetani. Bagaimanapun, untuk menghindari kelainan
jantung dan kelemahan otot dan depresi pernapasan oleh karena hipofosfatemia,
penggantian fosfat kadang-kadang diindikasikan pada pasien dengan kelainan
jantung, anemia, atau depresi pernapasan dan pada mereka dengan konsentrasi
fosfat serum kurang dari 1,0 mg/dL. Bila diperlukan, 20-30 mEq/L kalium fosfat
dapat ditambahkan ke larutan pengganti. Tidak ada studi mengenai penggunaan
fosfat dalam HHS.1 Pada pasien ini tidak dilakukan tatalaksana berupa terapi
fosfat.

3.5.6 Intervensi Terhadap Gangguan Fungsi Organ lain


Intervensi yang dapat dilakukan terkait dengan intervensi terhadap
gangguan fungsi kardiovaskular, paru, ginjal dan susunan saraf pusat. Pada pasien
ini, mengalami gangguan neurologi yang ditandai dengan adanya deficit
neurologis global yakni kejang.1

BAB V
PENUTUP

15
Telah dilaporkan kasus Krisis Hiperglikemia dengan DM tipe II dan
Konvulsi pada seorang perempuan Ny. P berusia 44 tahun yang datang dengan
keluhan penurunan kesadaran. Pasien kemudian masuk kedalam emergency sign
dan diberi label merah. Diagnosis ditegakan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang yang dilakukan
Prinsip penanganan pada pasien ini adalah dilakukan tatalaksana
komprehensif yang terbagi menjadi terapi cairan, terapi insulin, terapi kalium
serta terapi pada gejala klinis yang ditimbulkan salah satunya adalah terapi
kejang.

DAFTAR PUSTAKA

16
1. Semarawima, Gede. Status hiperosmolar hiperglikemik. Medicina 2017,
Volume 48, Number 1 : 49-53.
2. Huang, Ian. Patofisiologi dan Diagnosis Penurunan Kesadaran pada Penderita
Diabetes Melitus. Medicinus. 2016: 5(2): 48-57.
3. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe-2. 2015.
Perkeni.
4. Santoso, F, dkk. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketoasidosis Diabetik
Berulang. Jurnal Dokter Keluarga Indonesia. Volume 2, Nomor 1, Maret
2016.

17

Anda mungkin juga menyukai