Anda di halaman 1dari 24

SMF/BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM LAPORAN KASUS

RSUD DR TC HILLERS MAUMERE DESEMBER 2018


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA

LAPORAN KASUS

EDEMA PARU AKUT KARDIOGENIK

OLEH :

Jean Riani Pandie, S. Ked

Pembimbing :

dr. Angela Merici, Sp.PD

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


SMF/BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS NUSA CENDANA
RSUD DR TC HILLERS
MAUMERE
2018

1
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Edem adalah perpindahan cairan tubuh ke intersel secara berlebihan yang

dapat diakibatkan oleh peningkatan tekanan hidrostatis pada kapiler, penurunan

tekanan osmotik pada kapiler, adanya peningkatan permeabilitas kapiler, atau ada

retensi dari natrium dan air.(1) Edema paru akut adalah keadaan patologi dimana

cairan intravaskuler keluar ke ruang ekstravaskuler, jaringan interstisial dan

alveoli yang terjadi secara akut atau mendadak.(2,3)

Edema paru akut secara umum dapat disebabkan oleh tekanan

intravaskular yang tinggi (edem paru kardiak) atau karena peningkatan

permeabilitas membran kapiler (edem paru non kardiogenik) yang mengakibatkan

terjadinya ekstravasasi cairan secara cepat sehingga terjadi gangguan pertukaran

udara di alveoli secara progresif dan mengakibatkan hipoksia.(2,3)

Secara dunia, edema paru pada suatu studi yang melibatkan kurang lebih

600 rumah sakit di Eropa, Amerika Latin, dan Australia melaporkan edema paru

akut ditemukan pada 37% pasien dengan gagal jantung akut.(4) Selain itu, pada

studi di Romania menemukan bahwa edema paru akut terjadi pada sekitar 29%

pasien dengan gagal jantung akut.(5) Epidemiologi edema paru akut di Indonesia

belum diketahui.

2
BAB 2

LAPORAN KASUS

3.1. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. RH

Jenis kelamin : Laki-laki

Umur : 47 ( 05-10-1971)

Pekerjaan : Swasta

No. RM : 233279

Tanggal MRS : 10 Desember 2018

Tanggal KRS : 13 Desember 2018

3.2. ANAMNESIS

(Dilakukan pada tanggal 11 Desember 2018 pukul 06.45 di bangsal

Flamboyan kelas IIIA)

Keluhan Utama:

Sesak nafas disertai batuk sejak ± 2 bulan lalu.

Riwayat Penyakit:

Pasien datang ke RS TC Hillers di Poli Penyakit Dalam hendak memeriksakan

diri dengan keluhan sesak nafas disertai batuk yang dirasakan sejak ± 2 bulan

3
lalu. Sesak nafas dirasakan semakin memberat dan mengganggu sejak 1

minggu terakhir. Sesak nafas diperberat saat posisi tidur dan setengah duduk.

Bila mulai sesak pasien memilih untuk berdiri dan dirasakan sesaknya

berkurang. Batuk berdahak (+) berwarna kuning, bercak darah (-). Awalnya

batuk kering biasa kemudian menjadi berdahak. Batuk makin sering kalau

beraktivitas dan pasien merasa cepat capek. Jika sudah sesak biasanya diikuti

dengan batuk. Nyeri ulu hati (+), sering bersendawa (+), mual (+), muntah (-).

Demam (-), keringat malam (-), bengkak pada kedua kaki (-). susah tidur (+)

karena sesak nafas. Bantal kadang 2-3 bantal. Nafsu makan baik, tidak ada

penurunan berat badan tanpa penyebab yang jelas. BAB: biasa (1 kali sehari

pagi hari). BAK: lancar warna kuning (3-4 kali sehari) nyeri berkemih (-)

Riwayat trauma dada (-), riwayat merokok (-), riwayat alcohol (-). Riwayat

hipertensi (-), riwayat DM (-). Dalam keluarga tidak ada yang memiliki

keluhan yang sama dengan pasien.

3.3. PEMERIKSAAN TANDA VITAL

 Kesan umum : sakit sedang

 GCS : E4V5M6 Compos Mentis

 Status Gizi :

o BB : 60 kg

o TB : 160 cm

o IMT : 23,43 kg/m2 (normal)

4
 TD : 100/70 mmHg

 Nadi : 80 x/menit, kuat angkat, reguler

 Pernapasan : 18 x/menit; tipe: thoracoabdominal

 Suhu : 36,20C

 SpO2 : 96%

3.4. PEMERIKSAAN FISIS

 Kepala

Deformitas : (-), Normocephal

Rambut : kuning keemasan, panjang sebahu.

 Mata

Eksoptalmus/enoptalmus : (-)

Gerakan : ke segala arah

Kelopak mata : dalam batas normal

Kongjungtiva : anemis (-)

Sklera : ikterik (-)

Pupil : RCL (+), RCTL (-) isokor

 Telinga

Tophus : (-)

Nyeri tekan di prosesus mastoideus: (-)

Pendengaran : dalam batas normal

5
 Hidung

Perdarahan : (-)

Sekret : (-)

 Mulut

Bibir : sianosis (-) leukoplakia (-)

Lidah : warna merah muda, lidah kotor (-), candididais oral (-)

Gigi geligi : normal

Gusi : perdarahan (-)

 Leher

Kelenjar getah bening : tidak ada pembesaran

Kelenjar tiroid : tidak ada pembesaran

JVP : R-2,5 cmH2O

 Thorax

Inspeksi:

Bentuk : simetris kiri = kanan, deformitas (-)

Pembuluh darah : venaectasis (-)

Sela iga : simetris kiri = kanan

 Paru-paru anterior

Palpasi : Fremitus raba D < S

Nyeri tekan : (-)

Perkusi : Sonor

6
Auskultasi : vesikuler +/+ (namun menurun pada basal paru

kanan), Rh +/+ (rhonki pada basal paru kanan dan paru sinistra) Wh -/-

 Paru-paru posterior

Palpasi : nyeri tekan (-), massa teraba (-)

Perkusi : nyeri ketok (-)

Auskultasi : vesikuler +/+ (namun menurun pada basal paru kanan),

Rh +/+ (rhonki pada basal paru kanan dan paru sinistra) Wh -/-

 Jantung

Inspeksi : ictus cordis tidak tampak

Palpasi : ictus cordis tidak teraba

Perkusi : pekak, batas jantung dalam batas normal

Auskultasi : bunyi jantung S1/S2 regular, murmur (-) gallop (-)

 Abdomen

Inspeksi : cembung, ikut gerak napas

Palpasi : nyeri tekan epigastrium (-)

Hepar : tidak teraba

Limpa : tidak teraba

Ginjal : tidak teraba

Perkusi : tympani, ascites (-)

Auskultasi : peristaltik (+) kesan normal

 Alat kelamin : tidak dilakukan pemeriksaan

 Anus dan rectum : tidak dilakukan pemeriksaan

7
 Ekstremitas : akral hangat, edema pretibial -/-, dorsum pedis -/-,

pembesaran KGB (-), CRT < 2 detik.

3.5. PEMERIKSAAN PENUNJANG

 Rontgen Thorax (10 Desember 2018)

Gambar 2.1. Foto Rontgen Thorax PA Pasien RH

Hasil bacaan Rontgen Thorax AP, supine, simetris, inspirasi dan kondisi cukup.

Kesan :

Peningkatan corakan vaskuler kedua pulmo, hilar haze (+), mengarah ke udem

pulmonum. Efusi pleura bilateral terutama dextra. Besar cor sulit dinilai (batas

kanan tertutup efusi) kemungkinan membesar. Tulang tervisualisasi intak.

8
 EKG (elektrokardiogram)

Hasil bacaan EKG


Irama : sinus
HR :107 x/menit (tachicardia)
Axis : normoaxis
Gelombang P : lead II, III, aVF amp 0,3 mV p pulmonal, lead V1 P mitral
Interval PR : lebar 2,5 kotak kecil (0,16 s)
Gelombang QRS : lebar 2 kotak kecil (0,08 s), amp. 0,9 mV LVH (+) RVH
(-)
Gelombang ST : isoelektrik
Gelombang T : normal
Kesimpulan : sinus tachicardi + biatrial enlargement

9
 Laboratorium

(10/12/2018)

WBC : 7,14 x 103 u/L

RBC : 6,28 x 106 u/L (+)

HGB : 16,4 g/dl (+)

MCV : 76,0 fL

MCH : 26,0 pg (-)

MCHC : 34,4 g/dL

HCT : 47.7 %

PLT : 158 x 103 u/L

(13/12/2018)

Gula darah puasa : 80 mg/dl

Kolesterol total : 132 mg/dl

Trigliserida : 95 mg/dl

Kolesterol HDL : 31 mg/dl

Kolesterol LDL : 82 mg/dl

3.6. DIAGNOSIS

Edema Paru Akut

Efusi Pleura Dextra

Congestive Heart Failure

10
3.7. PLANNING

a. Diagnostik

Echocardiografi

b. Terapi

IVFD NaCL 0,9% LL, O2 1-2 lpm Nasal Kanul, IV Furosemide 20-20-

20, PO ISDN 3 x 500 mg, PO digoxin 1 x 0,25, Captopril 2 x 12,5 mg,

Posisi setengah duduk, minum air dibatasi

c. Monitoring

Keluhan sesak dan batuk pasien, TTV, urine output

3.8. PROGNOSIS

Dubia ad bonam

11
BAB 3

PEMBAHASAN

Edem adalah perpindahan cairan tubuh ke intersel secara berlebihan yang

dapat diakibatkan oleh peningkatan tekanan hidrostatis pada kapiler, penurunan

tekanan osmotik pada kapiler, adanya peningkatan permeabilitas kapiler, atau ada

retensi dari natrium dan air.(1) Edema paru akut adalah keadaan patologi dimana

cairan intravaskuler keluar ke ruang ekstravaskuler, jaringan interstisial dan

alveoli yang terjadi secara akut atau mendadak.(2,3)

Pada keadaan normal, cairan intravaskuler akan menuju ke jaringan

interstisial melalui kapiler endotelium, kemudian cairan ini akan mengalir ke

pembuluh limfe menuju ke vena pulmonalis untuk kembali ke dalam sirkulasi.

Edema paru merupakan penimbunan cairan serosa secara berlebihan di dalam

ruang interstisial dan alveolus paru-paru. Jika edema timbul akut dan luas, sering

disusul kematian dalam waktu singkat.(2)

Edema paru akut secara umum dapat disebabkan oleh tekanan

intravaskular yang tinggi (edem paru kardiak) atau karena peningkatan

permeabilitas membran kapiler (edem paru non kardiogenik) yang mengakibatkan

terjadinya ekstravasasi cairan secara cepat sehingga terjadi gangguan pertukaran

udara di alveoli secara progresif dan mengakibatkan hipoksia.(6)

Proses terjadinya edema paru melalui 3 tahap, yaitu:

1. Stadium 1 : pada keadaan ini terjadi peningkatan jumlah cairan dan koloid

di ruang interstitial yang berasal dari kapiler paru. Celah pada endotel

12
kapiler paru mulai melebar akibat peningkatan tekanan hidrostatik atau

efek zat-zat toksik. Meskipun filtrasi sudah meningkat, namun belum

tampak peningkatan cairan di ruang interstitial.

2. Stadium 2 : kapasitas limfatik untuk mengalirkan kelebihan cairan sudah

melampaui batas sehingga cairan mulai terkumpul di ruang interstisial dan

mengelilingi bronkioli dan vaskuler paru. Bila cairan terus bertambah akan

menyebabkan membran alveoli menyempit.

3. Stadium 3 : terjadi edema alveolar. Pertukaran gas sangat terganggu,

terjadi hipoksemia dan hipokapnia. Penderita nampak sesak sekali dengan

batuk berbuih kemerahan. Kapasitas vital dan volume paru yang lain turun

dengan nyata. Terjadi left to right intrapulmonary shunt. Penderita

biasanya menderita hipokapnia, tetapi pada kasus yang berat dapat terjadi

hiperkapnia dan acute respiratory acidemia. Pada keadaan ini morphin

harus digunakan dengan hati-hati. Edema Paru yang terjadi setelah Infark

Miokard Akut biasanya akibat hipertensi kapiler paru. (2)

Edem paru kardiogenik atau oedem volume overload terjadi karena

peningkatan tekanan hidrostatik dalam kapiler paru yang menyebabkan

peningkatan filtrasi cairan transvaskular, ketika tekanan interstisial paru lebih

besar daripada tekanan pleural maka cairan bergerak menuju pleura visceral yang

menyebabkan efusi pleura. Jika permeabilitas kapiler endotel tetap normal, maka

cairan edem yang meninggalkan sirkulasi memiliki kandungan protein yang

rendah. Peningkatan tekanan hidrostatik di kapiler pulmonal biasanya

13
berhubungan dengan peningkatan tekanan vena pulmonal akibat peningkatan

tekanan akhir diastolik ventrikel kiri dan tekanan atrium kiri. Peningkatan ringan

tekanan atrium kiri (18-25 mmHg) menyebabkan edema di perimikrovaskuler dan

ruang interstisial peribronkovaskular. Jika tekanan atrium kiri meningkat lebih

tinggi (>25) maka cairan edem akan menembus epitel paru, membanjiri

alveolus.(6)

Pada pasien RH, kemungkinan yang terjadi adalah edema paru akut akibat

kerdiogenik, yang artinya masalah primer berada pada jantung dan edema paru

merupakan masalah yang diakibatkannya atau masalah sekunder. Sesuai teori, hal

yang mungkin terjadi pada pasien RH adalah berhubungan dengan peningkatan

tekanan vena pulmonal akibat peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri

dan tekanan atrium kiri. Jantung pasien pada EKG menunjukkan sinus takikardi

ditambah gelombang P mitral yang artinya tampak ada kelainan di bagian jantung

kiri pasien tepatnya di atrium kiri. Bila yang terjadi adalah gagal jantung kiri

(atrium - ventrikel kiri gagal memompa darah ke seluruh tubuh), tekanan di

jantung kiri akan meningkat dikarenakan volume yang bertambah banyak

melebihi kapasitas, dan mengakibatkan efek penumpukan cairan di alveolus.

Kejadian tersebut akan menimbulkan lingkaran setan yang terus memburuk oleh

proses sebagai berikut:

- meningkatnya kongesti paru akan menyebabkan denaturasi, menurunnya

pasokan oksigen miokard dan akhirnya semakin memburuknya fungsi

jantung.

14
- hipoksemia dan meningkatnya cairan di paru menimbulkan vasokonstriksi

pulmonal sehingga meningkatkan tekanan ventrikel kanan. Peningkatan

tekanan ventrikel kanan melalui mekanisme interdependensi ventrikel

akan semakin menurunkan fungsi ventrikel kiri.

- insufesiensi sirkulasi akan menyebabkan asidosis sehingga memperburuk

fungsi jantung.(6,7)

Pada stage 1 distensi dan keterlibatan pembuluh darah kecil di paru akibat

peningkatan tekanan di atrium kiri, dapat memperbaiki pertukaran udara di paru

dan meningkatkan kemampuan difusi dari gas karbon monoksida. Pada keadaan

ini akan terjadi sesak nafas saat melakukan aktivitas fisik dan disertai ronkhi

inspirasi akibat terbukanya saluran nafas yang tertutup. Apabila keadaan berlanjut

hingga derajat berikutnya atau stage 2, edema interstisial diakibatkan peningkatan

cairan pada daerah interstisial yang longgar dengan jaringan perivaskular dari

pembuluh darah besar, hal ini akan mengakibatkan hilangnya gambaran paru yang

normal secara radiografik dan petanda septum interlobuler (garis kerley B). Pada

derajat ini akan terjadi kompetisi untuk memperebutkan tempat antara pembuluh

darah, saluran nafas dan peningkatan jumlah cairan di daerah di interstisium yang

longgar tersebut, dan akan terjadi pengisian di lumen saluran nafas yang kecil

yang menimbulkan refleks bronkokonstriksi. Ketidakseimbangan antara ventilasi

dan perfusi akan mengakibatkan terjadinya hipoksemia yang berhubungan dengan

ventilasi yang semakin memburuk. Pada keadaan infark miokard akut misalnya,

beratnya hipoksemia berhubungan dengan tingkat peningkatan tekanan dari

15
kapiler paru. Sehingga seringkali ditemukan manifestasi klinis takipnea. Pada

proses yang terus berlanjut atau meningkat menjadi stage 3 dari edem paru

tersebut, proses pertukaran gas sudah menjadi abnormal, dengan hipoksemia yang

berat dan seringkali hiperkapnea. Alveolar yang sudah terisi cairan ini terjadi

akibat sebagian besar saluran nafas yang besar terisi cairan berbusa dan

mengandung darah, yang seringkali dibatukkan keluar oleh si pasien. Secara

keseluruhan kapasitas vital dan volume paru semakin berkurang di bawah normal.

Terjadi pirai dari kanan ke kiri pada intrapulmonal akibat perfusi dari alveoli yang

telah terisi cairan.(2)

Pada pasien RH, gejala yang tampak adalah sesak nafas disertai batuk

berdahak yang sudah dirasakan sejak 2 minggu lalu, sesak dirasakan memberat

bila beraktivitas dan susah tidur malam karena posisi tertidur, dan memilih untuk

mengubah posisi dari tidur ke berdiri. Setelahnya sesak menjadi berkurang, begitu

pula batuk. Hal ini menandakan bahwa pada pasien RH stadium yang didapatkan

kemungkinan adalah stadium 2-3 karena selain gejala sudah muncul lama, tampak

pula adanya kelainan paru pada foto rontgen thorax yang menunjukkan

penumpukan cairan di alveolus yaitu efusi pleura dan hampir memiliki hipokapnia

akibat kapasitas vital dan volume paru yang lain turun dengan nyata.

Terjadi right-to-left intrapulmonary shunt. Penderita nampak sesak sekali dengan

batuk berbuih kemerahan, pada pasien ini batuk namun kemerahan disangkal.

Tidak tampak pasien memiliki keadaan hipoksemia yang berat dan hiperkapnea.

Keadaan semakin memburuk jika terjadi hiperkapnea dengan asidosis respiratorik

16
akut apalagi bila pasien sebelumnya telah menderita penyakit paru obstruktif

kronik. Pada pasien RH tidak hiperkapnia dan menurunkan keadaan yang lebih

serius karena melalui anamnesis tidak memiliki faktor risiko terjadinya penyakit

paru obstruktif kronik.(2,6)

Bila edem paru kardiogenik disebabkan oleh peningkatan tekanan

hidrostatik maka sebaiknya, edem paru nonkardiogenik disebabkan oleh

peningkatan permeabilitas pembuluh darah paru yang menyebabkan

meningkatnya cairan dan protein masuk ke dalam interstisial paru dan alveolus.

Cairan edem paru nonkardiogenik memiliki kadar protein tinggi karena membran

pembuluh darah lebih permeabel untuk dilewati oleh protein plasma. Akumulasi

cairan edem ditentukan dengan luasnya edem interstisial, ada atau tidak adanya

cidera pada epitel alveolar dan acute lung injury di mana terjadi cedera epitel

alveolar yang menyebabkan penurunan kemampuan untuk menghilangkan cairan

alveolar.(6)

Dalam mendiagnosis pasien dengan edema paru, anamnesis dapat menjadi

petunjuk ke arah kausa edem paru, misalnya adanya riwayat sakit jantung, riwayat

gejala yang sesuai dengan gagal jantung kronik. Edem paru akut kardiak,

kejadiannya sangat cepat dan terjadi hipertensi pada kapiler paru secara ekstrim.

Keadaan ini merupakan pengalaman yang menakutkan bagi pasien karena mereka

batuk-batuk seperti seseorang yang akan tenggelam. Pada pasien RH, melalui

anamnesis didapatkan adanya riwayat sakit jantung yang tidak diketahui sejak

kapan karena baru pertama kali berobat dan diketahui melalui foto rontgen thorax.

17
Pasien juga mengeluh batuk-batuk namun tidak sampai berdarah, hanya

berdahak.(6,8)

Gejala lain dari edema paru akut adalah terdapat takipnea dan ortopnea

(menifestasi lanjutan). Pasien biasanya dalam posisi duduk agar dapat

mempergunakan otot-otot bantu nafas dengan lebih baik saat respirasi atau sedikit

membungkuk ke depan, akan terlihat retraksi inspirasi pada sela interkostal dan

fossa supraklavikula yang menunjukan tekanan negatif intrapleural yang besar

dibutuhkan pada saat inpsirasi, batuk dengan sputum yang berwarna kemerahan

(pink frothy sputum) serta JVP meningkat. Pada pemeriksaan paru akan terdengar

ronki basah setengah lapangan paru atau lebih dan terdapat wheezing.

Pemeriksaan jantung dapat ditemukan ditemukan gallop, bunyi jantung 3 dan 4.

Terdapat juga edema perifer, akral dingin dengan sianosis. Pada pemeriksaan

fisik, pada perkusi terdengar keredupan dan pada pemeriksaan auskultasi di dapat

ronki basah dan bergelembung pada bagian bawah dada.(6,9)

Pasien RH sering duduk bungkuk atau berdiri tegak dan dibantu digosok

bagian belakangnya kemudian merasa sesak menjadi berkurang. Saat ditemui di

bangsla, pasien sudah terpasang O2 sehinnga kesan sesaknya sudah mulai

berkurang dan tidak tampak adanya bantuan otot-otot pernapasan. Pada perkusi

terdengar redup di basal dextra dan pada pemeriksaan auskultasi di dapat ronki

basah di bagian basal paru dextra. Hal ini sesuai dengan teori.(6)

Selanjutnya, pemeriksaan laboratorium yang relevan diperlukan untuk

mengkaji etiologi edem paru. Pemeriksaan tersebut diantaranya pemeriksaan

18
hematologi/darah rutin, fungsi ginjal, elektrolit, kadar protein, urinalisa gas darah,

enzim jantung (CK-MB, troponin I) dan Brain Natriuretic Peptide (BNP). BNP

dan prekursornya pro BNP dapat digunakan sebagai rapid test untuk menilai edem

paru kardiogenik pada kondisi gawat darurat. Kadar BNP plasma berhubungan

dengan pulmonary artery occlusion pressure, left ventricular end-diastolic

pressure dan left ventricular ejection fraction. Khususnya pada pasien gagal

jantung, kadar pro BNP sebesar 100pg/ml akurat sebagai prediktor gagal jantung

pada pasien dengan efusi pleura dengan sensitifitas 91% dan spesifisitas 93%.

Pemeriksaan BNP ini menjadi salah satu tes diagnosis untuk menegakkan gagal

jantung kronis berdasarkan pedoman diagnosis dan terapi gagal jantung kronik

Eropa dan Amerika. Bukti penelitian menunjukan bahwa pro BNP/BNP memiliki

nilai prediksi negatif dalam menyingkirkan gagal jantung dari penyakit penyakit

lainnya.(2,7)

Selain itu, pemeriksaan lainnya adalah foto thorax yang akan menunjukan

jantung membesar atau tidak, hilus yang melebar, serta sebagai tambahan adanya

garis kerley A, B dan C akibat edema instrestisial atau alveolar. Garis kerley A

merupakan garis linier panjang yang membentang dari perifer menuju hilus yang

disebabkan oleh distensi saluran anastomose antara limfatik perifer dengan

sentral. Garis kerley B terlihat sebagai garis pendek dengan arah horizontal 1-2

cm yang terletak dekat sudut kostofrenikus yang menggambarkan adanya edem

septum interlobuler. Garis kerley C berupa garis pendek, bercabang pada lobus

inferior namun perlu pengalaman untuk melihatnya karena terlihat hampir sama

19
dengan pembuluh darah. Pada pasien RH, jantung sulit dinilai dalam foto thorax

PA tapi keluhan sesak dan hasil EKG dapat mendukung adanya kelainan di

jantung pasien.(6,7)

Pemeriksaan EKG bisa normal atau seringkali didapatkan tanda-tanda

iskemik atau infark miokard akut dengan edema paru. Pasien dengan krisis

hipertensi, gambaran EKG biasanya menunjukan gambaran hipertrofi ventrikel

kiri. Pasien dengan edem paru kardiogenik tetapi yang non iskemik biasanya

menunjukan gambaran gelombang T negative yang melebar dengan QT

memanjang yang khas, dimana akan membaik dalam 24 jam setelah klinis stabil

dan menghilang dalam 1 minggu. Pada pasien RH, gambaran EKG yang

didapatkan adalah sinus takikardi dan biatrial enlargement yang menunjukkan

adanya pembesaran dari jantung kiri dan kanan, namun gejala pembesran jantung

kanan belum tampak pada pasien RH. Pembesaran jantung kiri dapat

mengakibatkan edema paru kardiogenik (6)

Pemeriksaan Echokardiografi merupakan baku emas untuk mendeteksi

disfungsi jantung kiri dalam hal ini ventrikel kiri. Echokardiografi dapat

mengevaluasi fungsi miokard dan fungsi katup sehingga dapat dipakai dalam

mendiagnosis penyebab edem paru akut kardiogenik. Namun pada RS TC Hillers

tidak dapat dilakukan pemeriksaan tersebut karena tidak ada alat. (7)

Penatalaksanaan edem paru kardiogenik sasarannya adalah mencapai

oksigenasi adekuat, memelihara stabilitas hemodinamik dan mengurangi stress

miokard dengan menurunkan preload dan afterload. Sistematikanya, posisi

20
setengah duduk, Oksigen terapi, Morphin IV 2,5 mg, Diuretik, Nitroglyserin dan

Inotropik. Pilihan terapi yang terbaik adalah vasodilator intravena sedini mungkin

(Nitroglyserin, nitropruside) dan diuretika dosis rendah. Nitrogliserin merupakan

terapi lini pertama pada semua pasien AHF dengan tekanan darah sistolik > 95-

100 mmHg dengan dosis 20 mikrogram/min sampai 200 mikrogram/min. (7)

Pasien RH juga diposisikan setengah duduk dan minum dibatasi untuk

menghindari kelebihan cairan total tubuh dan memperburuk edema. Selain itu

diberikan oksigen terapi untuk perfusi o2 ke jaringan tercukupi, Infus NaCL 0,9%

dengan tetes minimal perhari diberikan sebagai IV line, IV Furosemide 20 mg 3

kali sehari intravena, dan ISDN 3 x 5 mg peroral. Morphin belum diberikan

karena tidak terlalu nampak adanya depresi pernapasan yang ditunjukkan melalui

akral dingin, tekanan darah rendah, produksi urine yang sedikit, hingga

bingung/kesadaran menurun. Pengobatan golongan inotropik juga diberikan pada

pasien ini. Inotropik positif memiliki fungsi mempengaruhi daya kontraksi otot,

sehingga pompa jantung lebih kuat dan dapat mengalirkan darah ke seluruh tubuh.

Inotropik berguna untuk menguatkan pompa jantung ini, adalah digoxin yang

diberikan 1x 0,25 mg disertai dengan Captopril dosis rendah. Pasien yang

memiliki keluhan mual dapat diberi anti emetik seperti antasida doen syrup atau

ranitidine injeksi.(7) Prognosis tergantung pada penyakit dasar dan faktor

penyebab/pencetus yang dapat diobati. Pada pasien ini memiliki prognosis dubia

ad bonam karena telah diketahui penyakit dasar dan ditangani sertadi obati di

rumah sakit sampai akhirnya pasien pulang dengan keluhan yang minimal.(2)

21
BAB 4

PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Telah dilaporkan seorang pasien laki-laki umur 47 tahun datang dengan keluhan

sesak nafas disertai batuk yang dirasakan sejak ± 2 bulan lalu. Sesak nafas

dirasakan semakin memberat sejak 1 minggu terakhir. Sesak nafas diperberat saat

posisi tidur. Bila mulai sesak pasien memilih untuk berdiri dan dirasakan sesaknya

berkurang. Batuk berdahak (+) berwarna kuning, bercak darah (-). Awalnya batuk

kering biasa kemudian berdahak. Batuk makin sering kalau beraktivitas dan

pasien merasa cepat capek. Jika sudah sesak biasanya diikuti dengan batuk. Nyeri

ulu hati (+), sering bersendawa (+), mual (+), muntah (-). Demam (-), keringat

malam (-), susah tidur (+) karena sesak nafas. Bantal kadang 2-3 bantal. Nafsu

makan baik, tidak ada penurunan berat badan tanpa penyebab yang jelas. BAB:

biasa (1 kali sehari pagi hari). BAK: kesan lancar warna kuning (3-4 kali sehari).

Pemeriksaan penunjang didapatkan sinus tachicard + biatrial enlargement, dan

peningkatan corakan vaskuler kedua pulmo, hilar haze (+), mengarah ke udem

pulmonum. Efusi pleura bilateral terutama dextra denga besar cor sulit dinilai

(batas kanan tertutup efusi) kemungkinan membesar pada foto rontgen thorax.

Dilakukan pemeriksaan foto thorax, EKG, dan pemeriksaan Lab dan didiagnosa

sebagai Edema paru akut + Efusi Pleura dextra + congestive heart failure.

Penatalaksanaan yang diberikan adalah IVFD NaCL 0,9% LL, O2 1-2 lpm Nasal

22
Kanul, IV Furosemide 20-20-20, PO ISDN 3 x 500 mg, PO digoxin 1 x 0,25,

Captopril 2 x 12,5 mg, Posisi setengah duduk, minum air dibatasi. Prognosisnya

dubia ad bonam.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Sherwood L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. 6th ed. Yesdelita N,

editor. Jakarta: EGC; 2012.

2. Longo, Fauci, Kasper, Hauser, Jameson, Loscalzo. Harrisons Manual of

Medicine. 18th ed. ECG; 2013. 1-1571 p.

3. Mcdonough JE, Cooper JD, Gefter WB, Grippi MA, Sanchez PG, Torigian

DA, et al. Fishman’s Pulmonary Diseases and Disordes. 5th ed. McGraw-

Hill Educations; 2014. 1-2451 p.

4. Parissin JT. Acute Pulmonary Edema : Clinical Characteristic, Prognostic

Factor, and In Hospital Management. Eur J Hear Fail. 2010;12:1193–202.

5. Chinocel O. Epidemiology, Pathophysiology, and In-Hospital Management

of Pulmonary Edema. J Cardiovasc Med. 2016;17:92–104.

6. Assaad S, Kratzert WB, Shelley B, Friedman MB, Jr AP. Assessment of

Pulmonary Edema : Principles and Practice. 2018;32:901–14.

7. Allen G. Managing Acute Pulmonary Oedema. 2017;40(2):59–63.

8. Murray, Robert; Granner, Daryl; Rodwell V. Biokimia Harper. 27th ed.

Wulandari N et al, editor. Vol. 1, Statewide Agricultural Land Use Baseline

2015. EGC; 2009. 719 p.

9. Bickley LS. Bates Buku Ajar Pemeriksaan Fisik dan Riwayat Kesehatan.

8th ed. ECG. ECG; 2012. 1-899 p.

24

Anda mungkin juga menyukai