Oleh:
Ria Wulandari Soelistijanto
10700195
Pembimbing:
dr. F.X Teguh Prartono, Sp.PD.
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
2015
STATUS PASIEN
I.
II.
IDENTITAS PASIEN
Nama
: Ny Yeni Listya
Umur
: 18 tahun
Alamat
: Selorejo, Bagor
Jenis Kelamin
: Perempuan
Agama
: Islam
ANAMNESA
Keluhan Utama : panas
RPS
PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan Umum : Cukup
Kesadaran
: Compos Mentis
TD
: 130/90 mmHg
: 92 x/menit
Respirasi
: 28 x/m
Suhu
: 39,6 C
A. Kepala Leher
Mata
: Konjungtiva
: Anemis (-)
Sklera
: Icterus (-)
Telinga
Hidung
Mulut
: sianosis (-)
Muka
: Urtikaria (+)
Leher
B. Thoraks
Inspeksi
: Bentuk
: Simetris
Pergerakan
: Simetris
: Pergerakan Nafas
Fremitus raba
Perkusi
: Batas Jantung
Suara Ketuk
Auskultasi
: Pulmo
: Normal
: Normal
: dbn
: Sonor
Auskultasi
Palpasi
Perkusi
D. Ekstremitas
Urtikaria (+)
Akral hangat
-
Oedem
IV.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Pemeriksaan Hematologi (13-05-1015)
Darah Rutin
Leukosit
: 2,43
L (3,60-11,00)
Jumlah Eritrosit
: 4,75
(4,40 6,00)
Hb
: 12,6
Hematokrit
: 37,0
MCV
: 77,9
(80,0 100,0)
MCH
: 26,5pg
(26,0 34,0)
MCHC
: 34,1g/L
(32,0 36,0)
Trombosit
: 81 x 103ul
L (150 - 400)
RDW-SD
: 36,5fl
L (37-54)
RDW-CV
: 13,1%
PDW
: 11,3
MPV
: 10,4
P-LCR
: 26,5
PCT
: 0,08
B. SEROLOGI
WIDAL
S thypi O
S thypi H
S parathypi A
S parathypi B
L (40 52,0)
(11,0-15,0)
NEGATIF
NEGATIF
NEGATIF
NEGATIF
negatif
negatif
negatif
negatif
SGOT
121,7
(<=31,0)
SGPT
90,2
(<=34,0)
Glukosa acak
: 153
Ureum
(70 120mg/dl)
15,0
(15 40 mg/dl)
Kreatinin
Uric acid
0,89
:
37
0-20
Kuning Muda
Jernih
Kuning
Jernih
1.015
7,0
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Normal
Negatif
1.000-1.030
4,5-8,0
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Normal (<10)
Negatif
Tinja Rutin
Makroskopis
Warna
Kosistensi
Darah Samar
Lendir
Mikroskopis
Eritrosit
Lekosit
Telur Cacing
Amuba
V.
Coklat
Lembek
Negatif
Negatif
Coklat
Lembek
Negatif
Negatif
0-1
Negatif`
Negatif
Negatif
0-1
0-1
Negatif
Negatif
Panas
Mual
Muntah
Sesak
Leukosit
: 2,43
L (3,60-11,00)
Hematokrit
: 37,0
L (40 52,0)
Trombosit
: 81 x 103ul
L (150 - 400)
RDW-SD
: 36,5fl
L (37-54)
VI.
VII.
PLANNING
L
L
L
L
H
25,0-40,0
2,0-4,0
80,0-100,0
150-400
37-54
0-20
DIAGNOSTIK
-
TERAPI
-
amp
Inj. Acran 2x1 amp
Inj. Dexamethason 2x1
amp
Musin syr 3xCI ac
Clast 2x1
MONITORING
-
TTV
EDUKASI
-
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Hipersensitivitas
Hipersensitivitas atau Alergi merupakan suatu kondisi respon imunitas yang
menimbulkan reaksi yang berlebihan atau reaksi yang tidak sesuai, yang berbahaya bagi
penjamu. Pada individu yang rentan, reaksi tersebut secara khas terjadi setelah kontak yang
kedua dengan antigen spesifik (alergen). Kontak yang pertama kali merupakan kejadian
yang diperlukan untuk menginduksi sensitisasi terhadap alergen tersebut.
B. Patofisiologi
Saat pertama kali masuknya alergen ke dalam tubuh seseorang yang mengkonsumsi
makanan tetapi dia belum pernah terkena alergi. Namun ketika untuk kedua kalinya orang
tersebut mengkonsumsi makanan yang sama barulah tampak gejala-gejala timbulnya alergi
pada kulit orang tersebut. Setelah tanda-tanda itu muncul maka antigen akan mengenali
alergen yang masuk yang akan memicu aktifnya sel T, dimana sel T tersebut yang akan
merangsang sel B untuk mengaktifkan antibodi (Ig E). Proses ini mengakibatkan
melekatnya antibodi pada sel mast yang dikeluarkan oleh basofil. Apabila seseorang
mengalami paparan untuk kedua kalinya oleh alergen yang sama maka akan terjadi 2 hal
yaitu,:
1. Ketika mulai terjadinya produksi sitokin oleh sel T. Sitokin memberikan efek terhadap
berbagai sel terutama dalam menarik sel sel radang misalnya netrofil dan eosinofil,
sehingga menimbulkan reaksi peradangan yang menyebabkan panas.
2. Alergen tersebut akan langsung mengaktifkan antibodi ( Ig E ) yang merangsang sel
mast kemudian melepaskan histamin dalam jumlah yang banyak, kemudian histamin
tersebut beredar di dalam tubuh melalui pembuluh darah.
yang beragam, mulai dari ketidaknyamanan kecil hingga kematian. Waktu reaksi
berkisar antara 15-30 menit setelah terpapar antigen, namun terkadang juga dapat
mengalami keterlambatan awal hingga 10-12 jam. Hipersensitivitas tipe I diperantarai
oleh imunoglobulin E (IgE). Komponen seluler utama pada reaksi ini adalah mastosit
atau basofil. Reaksi ini diperkuat dan dipengaruhi oleh keping darah, neutrofil, dan
eosinofil.
Mekanisme umum dari hipersensitivitas tipe I ini meliputi langkah-langkah
berikut ini. Antigen menginduksi pembentukan antibody IgE, yang terikat kuat dengan
reseptor pada sel basofil dan sel mast melalui bagian Fc antibody tersebut. Beberapa
saat kemudian, kontak yang kedua dengan antigen yang sama mengakibatkan fiksasi
antigen ke IgE yang terikat ke sel dan pelepasan mediator yang aktif secara
farmakologis dari sel tersebut dalam waktu beberapa menit. Nukleotida siklik dan
kalsium diperlukan dalam pelepasan mediator tersebut.
Uji diagnostik yang dapat digunakan untuk mendeteksi hipersensitivitas
tipe I adalah tes kulit (tusukan dan intradermal) dan ELISA untuk mengukur IgE total
dan antibodi IgE spesifik untuk melawan alergen (antigen tertentu penyebab alergi)
yang dicurigai. Peningkatan kadar IgE merupakan salah satu penanda terjadinya alergi
akibat hipersensitivitas pada bagian yang tidak terpapar langsung oleh alergen).
Namun, peningkatan IgE juga dapat dikarenakan beberapa penyakit non-atopik seperti
infeksi cacing, mieloma, dll. Pengobatan yang dapat ditempuh untuk mengatasi
hipersensitivitas tipe I adalah menggunakan anti-histamin untuk memblokir reseptor
histamin, penggunaan Imunoglobulin G (IgG), hyposensitization (imunoterapi atau
desensitization) untuk beberapa alergi tertentu.
2. Hipersensitivitas Tipe II
Hipersensitivitas tipe II diakibatkan oleh antibodi berupa imunoglobulin G
(IgG) dan imunoglobulin E (IgE) untuk melawan antigen pada permukaan sel dan
matriks ekstraseluler. Kerusakan akan terbatas atau spesifik pada sel atau jaringan
yang langsung berhubungan dengan antigen tersebut. Pada umumnya, antibodi yang
langsung berinteraksi dengan antigen permukaan sel akan bersifat patogenik dan
menimbulkan kerusakan pada target sel.
Hipersensitivitas dapat melibatkan reaksi komplemen (atau reaksi silang) yang
berikatan dengan antibodi sel sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan jaringan.
Beberapa tipe dari hipersensitivitas tipe II adalah:
a.
tipe
IV
dikenal
sebagai
hipersensitivitas
yang
diperantarai sel atau tipe lambat (delayed-type). Reaksi ini terjadi karena aktivitas
perusakan jaringan oleh sel T dan makrofag. Waktu cukup lama dibutuhkan dalam
reaksi ini untuk aktivasi dan diferensiasi sel T, sekresi sitokin dan kemokin, serta
akumulasi makrofag dan leukosit lain pada daerah yang terkena paparan. Beberapa
contoh umum dari hipersensitivitas tipe IV adalah hipersensitivitas pneumonitis,
(ingesti,menyebabkan
diare),
atau
paru
(inhalasi,
menyebabkan
bronkokonstriksi).
Reaksi tipe II umumnya berupa kelainan darah, seperti anemia hemolitik,
trombositopenia, eosinofilia dan granulositopenia.
Manifestasi klinik hipersensivitas tipe III dapat berupa:
1.
2. Demam.
3. Kelainan sendi, artralgia dan efusi sendi.
4. Limfadenopati
a. kejang perut, mual
b. neuritis optic
c. glomerulonefritis
d. sindrom lupus eritematosus sistemik
e. gejala vaskulitis lain
Manifestasi klinis hipersensitivitas tipe IV, dapat berupa reaksi paru akut
seperti demam, sesak, batuk dan efusi pleura. Obat yang tersering menyebabkan reaksi ini
yaitu nitrofuratonin, nefritis intestisial, ensafalomielitis. hepatitis juga dapat merupakan
manifestasi reaksi obat.
Adapun Gejala klinis umumnya :
1. Pada saluran pernafasan : asma
2. Pada saluran cerna: mual,muntah,diare,nyeri perut
3. Pada kulit: urtikaria. angioderma,dermatitis,pruritus,gatal,demam,gatal
4. Pada mulut: rasa gatal dan pembengkakan bibir
E. Penangan dan Terapi
Penanganan gangguan alergi dapat dilakukan dengan cara:
1. Menghindari allergen
2. Terapi farmakologis
a. Adrenergik
Yang termasuk obat-obat adrenergik adalah katelokamin ( epinefrin, isoetarin,
isoproterenol, bitolterol ) dan nonkatelomin ( efedrin, albuterol, metaproterenol,
salmeterol, terbutalin, pributerol, prokaterol dan fenoterol ). Inhalasi dosis tunggal
salmeterol dapat menimbulkan bronkodilatasi sedikitnya selam 12 jam,
menghambat reaksi fase cepat maupun lambat terhadap alergen inhalen, dan
menghambat hiperesponsivitas bronkial akibat alergen selama 34 jam.
b. Antihistamin
Obat dari berbagai struktur kimia yang bersaing dengan histamin pada reseptor di
berbagai jaringan. Karena antihistamin berperan sebagai antagonis kompetitif
mereka lebih efektif dalam mencegah daripada melawan kerja histamine.
c. Kromolin Sodium
Kromolin sodium adalah garam disodium 1,3-bis-2-hidroksipropan. Zat ini merupakan
analog kimia obat khellin yang mempunyai sifat merelaksasikan otot polos. Obat ini
tidak mempunyai sifat bronkodilator karenanya obat ini tidak efektif unutk pengobatan
asma akut. Kromolin paling bermanfaat pada asma alergika atau ekstrinsik.
d. Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah obat paling kuat yang tersedia untuk pengobatan alergi. Beberapa
pengaruh prednison nyata dalam 2 jam sesudah pemberian peroral atau intravena yaitu
penurunan eosinofil serta limfosit prrimer. Steroid topikal mempunyai pengaruh lokal
langsung yang meliputi pengurangan radang, edema, produksi mukus
3. Imunoterapi
Imunoterapi diindikasikan pada penderita rhinitis alergika, asma yang diperantarai Ig E
atau alergi terhadap serangga. Imunoterapi dapat menghambat pelepasan histamin dari
basofil pada tantangan dengan antigen E ragweed in vitro. Leukosit individu yang diobati
memerlukan pemaparan terhadap jumlah antigen E yang lebih banyak dalam upaya
melepaskan histamin dalam jumlah yang sama seperti yang mereka lepaskan sebelum
terapi. Preparat leukosit dari beberapa penderita yang diobati bereaksi seolah-olah mereka
telah terdesensitisasisecara sempurna dan tidak melepaskan histamin pada tantangan
dengan antigen E ragweed pada kadar berapapun
4. Profilaksis
Profilaksis dengan steroid anabolik atau plasmin inhibitor seperti traneksamat, sering kali
sangat efektif untuk urtikaria atau angioedema.
DAFTAR PUSTAKA
Baratawidjaja, Karnen G., 2006, Imunologi Dasar, Edisi Ke Tujuh, Balai Penerbit FKUI,
Jakarta.
Brooks G. F., Butel J. S., dan Morse S. A., 2005, Mikrobiologi Kedoteran, Edisi Pertama,
Salemba Medika, Jakarta.
Price & Wilson, 2003, Patofisiologi konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Vol 2, Edisi 6, EGC,
Jakarta.
Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, M., Setiati, S., 2007, Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I Edisi IV, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI. Jakarta.