Anda di halaman 1dari 39

REFERAT

ANESTESI PADA BEDAH ORTOPEDI

Disusun Oleh:
Tita Fathia (1102017233)
Fitriana Anggraini (4112021205)

Dokter Pembimbing:

dr. Olivia Des Vinca Albahana Napitupulu, M.Ked(An), Sp.An, KIC

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI


RUMAH SAKIT TINGKAT II MOH. RIDWAN MEURAKSA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
PERIODE 20 MARET – 29 APRIL 2023
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan berkah-
Nya kami dapat menyelesaikan Referat dengan judul “Anestesi Pada Bedah
Ortopedi”. Tugas ini disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan
kepaniteraan klinik Departemen Anestesi di RS Tk. II Moh. Ridwan
Meuraksa Jakarta.
Penyusunan tugas ini tentu tidak lepas dari bantuan dan bimbingan dari
berbagai pihak,oleh karena itu dalam kesempatan ini kami menyampaikan
ucapan terima kasih kepada dr. Olivia Des Vinca Albahana Napitupulu,
M.Ked(An), Sp.An, KIC, selaku pembimbing yang telah bersedia meluangkan
waktunya untukmembimbing kami.
Kami menyadari ketidaksempurnaan dalam membuat Laporan Kasus
ini. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat
diperlukan demi kesempurnaan tugas ini. Semoga Referat mengenai
“Anestesi Pada Bedah Ortopedi” dapat menambah wawasan dan manfaat
bagi semua pihak.
Wassalamualaikum Wr. Wb.

Jakarta, 29 Maret 2023

Penyusun

1
ABSTRAK

Pendahuluan: Bedah ortopedi merupakan suatu hal yang menantang bagi ahli
anestesi. Komorbiditas pasien ini sangat bervariasi berdasarkan kelompok usia.
Pasien dapat bervariasi mulai dari neonatus dengan kelainan anggota tubuh bawaan,
remaja dengan cedera yang berhubungan dengan olahraga, orang dewasa untuk
prosedur mulai dari eksisi massa jaringan lunak minor hingga penggantian sendi,
atau pada usia berapa pun dengan kanker tulang.

Tujuan: Tujuan ini berfokus pada masalah perawatan perioperatif khusus untuk
pasien yang menjalani prosedur bedah ortopedi umum. Sebagai contoh, pasien
dengan fraktur panjang cenderung mengalami sindrom embolisme lemak. Pasien
berisiko tinggi mengalami tromboemboli vena setelah operasi pinggang, pinggul,
dan lutut. Penggunaan bone cement selama artroplasti dapat menyebabkan
ketidakstabilan hemodinamik. Tourniquet tungkai membatasi kehilangan darah
tetapi memberikan risiko tambahan.

Kata kunci : Anestesi, Bedah, Ortopedi

2
ABSTRACT

Introduction: Orthopedic surgery is a challenge for anesthesiologists. The


comorbidities of these patients varied greatly by age group. Patients can vary from
neonates with congenital limb deformities, adolescents with sports-related injuries,
adults for procedures ranging from excision of minor soft tissue masses to joint
replacement, or at any age with bone cancer.

Purpose: This objective focuses on specific perioperative care issues for patients
undergoing common orthopedic surgical procedures. For example, patients with
long fractures are more likely to have a fat embolism syndrome. Patients at high
risk for venous thromboembolism after hip, knee and hip surgery. The use of bone
cement during arthroplasty can cause hemodynamic instability. Leg tourniquets
limit blood loss but carry additional risks.

Keywords : Anesthesia, Surgery, Orthopedi

3
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................... 1


ABSTRAK ............................................................................................................ 2
ABSTRACT ........................................................................................................... 3
TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................... 5
KESIMPULAN ..................................................................................................... 37
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 38

4
TINJAUAN PUSTAKA
ANESTESI PADA BEDAH ORTOPEDI

Bedah ortopedi merupakan suatu hal yang menantang bagi ahli anestesi.
Komorbiditas pasien ini sangat bervariasi berdasarkan kelompok usia. Pasien
dapat bervariasi mulai dari neonatus dengan kelainan anggota tubuh bawaan,
remaja dengan cedera yang berhubungan dengan olahraga, orang dewasa untuk
prosedur mulai dari eksisi massa jaringan lunak minor hingga penggantian sendi,
atau pada usia berapa pun dengan kanker tulang. Bab ini berfokus pada masalah
perawatan perioperatif khusus untuk pasien yang menjalani prosedur bedah
ortopedi umum. Sebagai contoh, pasien dengan fraktur panjang cenderung
mengalami sindrom embolisme lemak. Pasien berisiko tinggi mengalami
tromboemboli vena setelah operasi pinggang, pinggul, dan lutut. Penggunaan
bone cement selama artroplasti dapat menyebabkan ketidakstabilan
hemodinamik. Tourniquet tungkai membatasi kehilangan darah tetapi
memberikan risiko tambahan.
Teknik anestesi neuraksial dan anestesi regional lainnya memainkan peran
penting dalam mengurangi kejadian komplikasi tromboemboli perioperatif,
memberikan analgesia pascaoperasi, dan memfasilitasi rehabilitasi dini dan
mempercepat periode rawat inap pasien. Kemajuan dalam teknik bedah, seperti
pendekatan invasif minimal untuk penggantian lutut dan pinggul, memerlukan
modifikasi dalam manajemen anestesi dan perioperatif untuk memfasilitasi
pemulangan pasien dalam semalam atau bahkan pada hari yang sama yang
sebelumnya membutuhkan periode rawat inap. Tidak mungkin untuk membahas
seluruh implikasi anestesi dari beragam operasi ortopedi dalam satu bab;
karenanya, fokus di sini adalah pada pertimbangan manajemen perioperatif dan
strategi untuk manajemen anestesi pasien yang menjalani prosedur bedah
ortopedi tertentu.

5
A. Pertimbangan Terapi Perioperatif Dalam Bedah Orthopedik

Bone Cement

Bone cement, polimetilakrilat, seringkali diperlukan untuk artroplasti sendi.


Semen dimasukkan ke dalam celah tulang berongga dan mengikatkan perangkat
prostetik ke tulang pasien dengan kuat. Pencampuran bubuk metil metakrilat
terpolimerisasi dengan monomer metil metakrilat cair menyebabkan polimerisasi
dan ikatan silang rantai polimer. Reaksi eksotermik ini menyebabkan pengerasan
semen dan ekspansi terhadap komponen prostetik. Hipertensi intrameduler yang
muncul (> 500 mmHg) dapat menyebabkan embolisasi lemak, sumsum tulang,
semen, dan udara ke dalam vena. Penyerapan sistemik dari sisa monomer metil
metakrilat dapat menyebabkan vasodilatasi dan penurunan resistensi vaskular
sistemik. Pelepasan tromboplastin jaringan dapat memicu agregasi trombosit,
pembentukan mikrotrombus di paru-paru, dan ketidakstabilan kardiovaskular
sebagai akibat dari sirkulasi zat vasoaktif. Namun demikian, sebagian besar pasien
tidak mengalami respon negatif terhadap aplikasi bone cement.

Manifestasi klinis dari bone cement implantation syndrome meliputi


hipoksia (peningkatan shunt paru), hipotensi, aritmia (meliputi blok jantung dan
henti sinus), hipertensi pulmonal (peningkatan resistensi pembuluh darah paru), dan
penurunan curah jantung. Emboli paling sering terjadi selama pemasangan
prosthesis femoralis untuk artroplasti pinggul. Strategi pengobatan untuk
komplikasi ini meliputi peningkatan konsentrasi oksigen inspirasi sebelum
penyemenan, pemantauan untuk mempertahankan euvolemia, menciptakan lubang
ventilasi di femur bagian distal untuk meredakan tekanan intrameduler, melakukan
lavage tekanan tinggi pada batang femoral untuk menghilangkan debris (potensi
mikroemboli), atau menggunakan komponen femur yang tidak membutuhkan
semen.

Hal yang perlu di perhatikan dalam penggunaan semen adalah potensi


pelonggaran prosthesis secara bertahap seiring waktu. Implan tanpa semen yang

6
lebih baru terbuat dari bahan berpori yang memungkinkan jaringan tulang untuk
secara alami untuk tumbuh didalamnya. Prostesis tanpa semen umumnya bertahan
lebih lama dan mungkin bermanfaat bagi pasien yang lebih muda dan aktif. Namun,
diperlukan pembentukan tulang aktif yang sehat dan pemulihan mungkin lebih lama
dibandingkan dengan penggantian sendi dengan menggunakan semen. Oleh karena
itu, prostesis dengan semen lebih cocok untuk pasien yang lebih tua (> 80 tahun)
dan kurang aktif yang sering mengalami osteoporosis atau memiliki korteks tulang
yang tipis. Ilmu terus berkembang sehubungan dengan pemilihan implan dengan
semen dibandingkan dengan tanpa semen, bergantung pada sendi yang terkena,
pasien, dan bedah.

Tourniquet Pneumatik

Penggunaan tourniquet pneumatik pada ekstremitas menciptakan medan


tanpa darah yang sangat memudahkan operasi. Namun, tourniquet dapat berpotensi
menghasilkan masalah, meliputi perubahan hemodinamik, nyeri, perubahan
metabolisme, tromboemboli arteri, dan emboli paru. Tekanan inflasi biasanya
ditetapkan sekitar 100 mmHg lebih tinggi dari tekanan darah sistolik dasar pasien.
Inflasi yang berkepanjangan (> 2 jam) secara rutin menyebabkan iskemia otot dan
dapat menyebabkan rhabdomiolisis atau kerusakan saraf tepi permanen. Inflasi
tourniquet juga telah dikaitkan dengan peningkatan suhu tubuh pada pasien anak
yang menjalani operasi ekstremitas bawah.

Perdarahan ekstremitas bawah dan inflasi tourniquet menyebabkan


perubahan cepat volume darah ke sirkulasi pusat. Meskipun biasanya tidak
signifikan secara klinis, perdarahan ekstremitas bawah bilateral dapat
menyebabkan peningkatan tekanan vena sentral dan tekanan darah arteri yang
mungkin tidak dapat ditoleransi dengan baik pada pasien dengan dengan gangguan
ventrikel dan disfungsi diastolik.

Pasien yang terjaga diperkirakan mengalami nyeri tourniquet dengan


tekanan inflasi 100 mmHg di atas tekanan darah sistolik selama lebih dari beberapa
menit. Selama blok regional, nyeri tourniquet mungkin secara bertahap menjadi
begitu parah pada beberapa pasien dari waktu ke waktu sehingga mereka mungkin

7
memerlukan tambahan analgesia intravena yang signifikan, atau bahkan anestesi
umum, meskipun sebenarnya blok tersebut adekuat untuk prosedur bedah. Bahkan
selama anestesi umum, stimulus berbahaya dari kompresi tourniquet seringkali
bermanifestasi sebagai peningkatan rerata tekanan arteri yang muncul mulai sekitar
1 jam setelah inflasi manset. Tanda-tanda aktivasi simpatis progresif meliputi
hipertensi yang bermakna, takikardia, dan diaforesis. Kemungkinan nyeri
tourniquet dan hipertensi yang menyertainya dapat dipengaruhi oleh banyak faktor,
meliputi teknik anestesi (anestesi regional dibanding anestesi umum), tingkat
penyebaran dermatom atau cakupan saraf perifer yang terkena blok anestesi
regional, pilihan anestesi lokal dan dosis ("kepadatan" blok), dan suplementasi
dengan adjuvan baik secara intravena atau dalam kombinasi dengan larutan anestesi
lokal bila berlaku.

Deflasi manset selalu dan segera mengurangi nyeri tourniquet dan


hipertensi akibat torniquet. Faktanya, deflasi manset dapat disertai dengan
penurunan tajam pada tekanan darah vena sentral dan arteri. Denyut jantung
biasanya meningkat dan suhu inti menurun. Pembuangan akumulasi limbah
metabolik dari ekstremitas iskemik meningkatkan tekanan parsial karbon dioksida
dalam darah arteri (PaCO2), end-tidal karbon dioksida (ETCO2), dan serum laktat
dan kadar kalium. Perubahan metabolik ini dapat menyebabkan peningkatan
ventilasi semenit pada pasien yang bernapas spontan dan, dan pada kasus lebih
jarang dapat meyebabkan aritmia. Iskemia akibat tourniquet dari ekstremitas bawah
dapat menyebabkan trombosis vena dalam. Ekokardiografi transesofageal dapat
mendeteksi emboli paru subklinis (emboli milier di atrium kanan dan ventrikel)
setelah deflasi tourniquet bahkan pada kasus-kasus kecil seperti artroskopi lutut
diagnostik. Episode langka emboli paru masif telah dilaporkan terjadi selama
artroplasti lutut total, selama perdarahan kaki, setelah inflasi tourniquet, dan setelah
deflasi tourniquet. Tourniquet telah digunakan dengan aman pada pasien dengan
sickle cell disease, meskipun perhatian khusus harus diberikan untuk menjaga
oksigenasi, normokarbia atau hipokarbia, hidrasi, dan normotermia.

Sindrom Embolisme Lemak

8
Beberapa derajat emboli lemak mungkin terjadi pada semua fraktur tulang
panjang. Sindrom embolisme lemak lebih jarang terjadi tetapi lebih berpotensi fatal
(mortalitas 10- 20%). Sindrom ini muncul dalam 72 jam setelah fraktur tulang
panjang atau pelvis, dengan trias dispnea, kebingungan, dan petekie. Sindrom ini
juga dapat terlihat setelah resusitasi kardiopulmoner, pemberian nutrisi parental
dengan infus lipid, dan sedot lemak. Teori yang paling populer untuk
patogenesisnya menyatakan bahwa gumpalan lemak dilepaskan oleh sel-sel lemak
di tulang yang mengalami gangguan dan memasuki sirkulasi melalui robekan di
pembuluh medula. Sebuah teori alternatif mengusulkan bahwa gumpalan lemak
adalah kilomikron yang dihasilkan dari agregasi asam lemak bebas yang
bersirkulasi yang disebabkan oleh perubahan metabolisme asam lemak. Terlepas
dari sumbernya, peningkatan kadar asam lemak bebas dapat memiliki efek toksik
pada membran kapiler- alveolar yang menyebabkan pelepasan amin vasoaktif dan
prostaglandin dan dapat menyebabkan acute respiratory distress syndrome (ARDS;
lihat Bab 58). Manifestasi neurologis (misalnya, agitasi, kebingungan, pingsan, atau
koma) adalah hasil yang mungkin diakibatkan oleh kerusakan kapiler pada sirkulasi
otak dan edema otak. Tanda-tanda ini dapat diperburuk oleh hipoksia.

Diagnosis sindrom embolisme lemak perlu dicurigai pada pasien dengan


petekie pada toraks, ekstremitas atas, aksila, dan konjungtiva. Gumpalan lemak
kadang-kadang dapat diamati di retina, urin, atau dahak. Kelainan koagulasi seperti
trombositopenia atau waktu pembekuan yang berkepanjangan kadang-kadang
muncul. Aktivitas serum lipase mungkin meningkat tetapi tidak dapat memprediksi
tingkat keparahan penyakit. Keterlibatan paru biasanya berkembang dari hipoksia
ringan dan rontgen toraks normal menjadi hipoksia berat atau gagal napas dengan
temuan radiografi berupa opasitas paru difus. Sebagian besar tanda dan gejala
klasik sindrom embolisme lemak terjadi 1 hingga 3 hari setelah kejadian pencetus.
Selama anestesi umum, tanda-tanda tersebut mungkin meliputi penurunan ETCO2
dan saturasi oksigen arteri dan peningkatan tekanan arteri pulmonalis.
Elektrokardiografi dapat menunjukkan perubahan segmen ST yang tampak iskemik
dan pola strain jantung sisi kanan.

9
Penatalaksanaan sindrom embolisme lemak melibatkan preemption dan
dukungan. Stabilisasi dini fraktur mengurangi kemungkinan sindrom embolisme
lemak dan, khususnya, risiko komplikasi paru. Perawatan suportif terdiri dari terapi
oksigen dengan ventilasi tekanan positif kontinyu untuk mencegah hipoksia dan
dengan strategi ventilator spesifik apabila terjadi ARDS. Hipotensi sistemik akan
membutuhkan dukungan vasopressor yang tepat, dan vasodilator dapat membantu
manajemen hipertensi pulmonal. Terapi kortikosteroid dosis tinggi tidak didukung
oleh uji klinis acak.

Deep vein thrombosis & Tromboembolisme

Deep vein thrombosis (DVT) dan pulmonary embolism (PE) dapat


menyebabkan morbiditas dan mortalitas setelah operasi ortopedi pada pinggul dan
ekstremitas bawah. Faktor risiko meliputi obesitas, usia lebih dari 60 tahun,
prosedur yang berlangsung lebih dari 30 menit, penggunaan tourniquet, fraktur
ekstremitas bawah, dan imobilisasi selama lebih dari 4 hari. Pasien dengan risiko
terbesar meliputi mereka yang menjalani operasi pinggul atau penggantian lutut
atau operasi besar untuk trauma ekstremitas bawah. Pasien tersebut akan
mengalami tingkat DVT 40% hingga 80% tanpa profilaksis. Insiden PE yang
signifikan secara klinis setelah operasi pinggul dalam beberapa penelitian
dilaporkan setinggi 20%, sedangkan PE yang fatal mungkin sebesar 1% hingga 3%.
Mekanisme patofisiologis yang mendasari meliputi stasis vena dengan keadaan
hiperkoagulabel akibat respon inflamasi lokal dan sistemik terhadap pembedahan.

Profilaksis farmakologis dan penggunaan rutin perangkat mekanis seperti


intermittent pneumatic compression (IPC) telah terbukti mengurangi kejadian DVT
dan PE. Sementara tromboprofilaksis mekanik harus dipertimbangkan untuk setiap
pasien, penggunaan antikoagulan farmakologis harus ditimbang terhadap risiko
perdarahan. Untuk pasien dengan peningkatan risiko DVT tetapi memiliki risiko
perdarahan yang "normal", unfractionated heparin subkutan dosis rendah (LUFH),
warfarin, atau low-molecular-weight heparin (LMWH) dapat digunakan sebagai
tambahan untuk profilaksis mekanik. Pasien dengan peningkatan risiko perdarahan
yang signifikan dapat ditangani dengan profilaksis mekanik saja sampai risiko

10
perdarahan berkurang. Secara umum, terapi antikoagulan dimulai pada hari operasi
pada pasien tanpa kateter epidural yang menetap. Warfarin dapat dimulai malam
sebelum operasi bergantung pada rutinitas ahli bedah ortopedi tertentu.
Antikoagulan oral langsung yang lebih baru yang menghambat faktor Xa atau
trombin memiliki onset kerja yang cepat, diekskresikan melalui ginjal, dan patut
mendapat perhatian khusus dalam konteks anestesi regional.

Anestesi neuraksial tunggal atau dikombinasikan dengan anestesi umum dapat


mengurangi komplikasi tromboemboli dengan beberapa mekanisme, meliputi
peningkatan aliran darah vena ekstremitas bawah yang diinduksi oleh
simpatektomi, efek antiinflamasi sistemik anestesi lokal, penurunan reaktivitas
platelet, penurunan faktor VIII dan faktor von Willebrand pascaoperasi, penurunan
antitrombin III pascaoperasi, dan perubahan pelepasan hormon stres.

Menurut the Third Edition of the American Society of Regional Anesthesia and
Pain Medicine Evidence-Based Guidelines on regional anesthesia and
anticoagulation, pasien yang saat ini menerima agen antiplatelet (misalnya,
tiklopidin, klopidogrel, dan penghambat glikoprotein IIb/IIIa intravena),
trombolitik, fondaparinux, inhibitor trombin langsung, atau regimen terapi LMWH
berisiko mengalami hematoma tulang belakang atau epidural setelah anestesi
neuraksial. Kinerja blok neuraksial (atau pelepasan kateter neuraksial) tidak
dikontraindikasikan dengan LUFH subkutan ketika total dosis harian adalah 10.000
unit atau

kurang; tidak ada data tentang keamanan anestesi neuraksial ketika dosis yang lebih
besar diberikan. Untuk pasien yang menerima profilaksis LMWH, pedoman
bervariasi berdasarkan regimen. Dengan dosis sekali sehari, teknik neuraksial dapat
dilakukan (atau kateter neuraksial dilepas) 10 sampai 12 jam setelah dosis
sebelumnya, dengan penundaan 4 jam sebelum pemberian dosis berikutnya.
Dengan dosis dua kali sehari, kateter neuraksial tidak boleh dibiarkan in situ dan
harus dilepas 2 jam atau lebih sebelum dosis LMWH pertama. Pasien yang
menggunakan terapi warfarin tidak boleh menerima blok neuraksial kecuali
international normalized ratio (INR) normal, dan kateter harus dilepas ketika INR

11
1,5 atau lebih rendah. Edisi ketiga dari panduan ini juga menunjukkan bahwa
rekomendasi ini diterapkan pada blok saraf perifer dalam dan pleksus dan kateter
(lihat Bacaan yang Disarankan). Revisi terhadap pedoman ini terjadi secara teratur.

I. PEMBEDAHAN PADA PINGGUL

Prosedur pinggul yang umum dilakukan pada orang dewasa meliputi


perbaikan fraktur pinggul, artroplasti panggul total (total hip arthroplasty/ THA),
dan reduksi dislokasi pinggul.

1. FRAKTUR PINGGUL

Pertimbangan Pra Operasi

Sebagian besar pasien dengan fraktur kollumna femoralis adalah lansia yang rapuh.
Pasien muda sesekali dapat mengalami trauma besar pada femur atau pinggul.
Penelitian telah melaporkan angka kematian setelah fraktur pinggul hingga 10%
selama tahap rawat inap awal dan lebih dari 25% dalam 1 tahun. Sebagian besar
pasien ini memiliki penyakit yang menyertai seperti penyakit arteri koroner,
penyakit serebrovaskular, penyakit paru obstruktif kronis, atau diabetes.

Pasien yang mengalami fraktur pinggul seringkali mengalami dehidrasi karena


asupan oral yang tidak adekuat. Bergantung pada lokasi fraktur pinggul, kehilangan
darah yang tersembunyi mungkin bersifat signifikan, dan secara lebih lanjut
mengurangi volume intravaskular. Secara umum, fraktur intrakapsular (subkapital,
transservikal) berhubungan dengan kehilangan darah yang lebih sedikit
dibandingkan fraktur ekstrakapsular (pangkal kollumna femoralis, intertrokanter,
subtrokanter) (Gambar-1). Hasil hematokrit sebelum operasi yang normal atau
batas rendah dapat menipu ketika hemokonsentrasi menutupi kehilangan darah.

Karakteristik lain dari pasien fraktur pinggul adalah seringkali terdapat hipoksia pra
operasi yang mungkin, setidaknya sebagian, disebabkan oleh emboli lemak; faktor-
faktor lain dapat meliputi atelektasis bibasilar akibat imobilitas, kongesti paru (dan
efusi) dari gagal jantung kongestif, atau konsolidasi karena infeksi.

12
Gambar-1. Kehilangan darah dari fraktur pinggul bergantung pada lokasi fraktur
(subtrokanter, intertrokanter > pangkal kollumna femoralis > transservikal, subkapital)
karena kapsul membatasi kehilangan darah dengan bertindak seperti tourniquet.

Manajemen Intraoperatif

Pilihan antara anestesi regional (spinal atau epidural) dan anestesi umum telah
dievaluasi secara luas untuk operasi fraktur pinggul. Sebuah meta-analisis dari 15
uji klinis acak menunjukkan penurunan kejadian DVT pascaoperasi dan mortalitas
1 bulan dengan anestesi regional, tetapi keunggulan ini tidak bertahan lebih dari 3
bulan. Sebuah studi dengan database besar yang melibatkan lebih dari 50.000
pasien yang dirawat karena fraktur pinggul di New York juga tidak menunjukkan
perbedaan dalam mortalitas 30 hari berdasarkan teknik anestesi tetapi menunjukkan
perbedaan lama rawat inap yang sedikit lebih pendek untuk pasien yang menerima
anestesi regional apabila dibandingkan dengan pasien yang menerima anestesi
umum. Insiden delirium pascaoperasi dan disfungsi kognitif mungkin lebih rendah

13
setelah anestesi regional apabila sedasi intravena dapat diminimalisir. Sebuah uji
klinis yang membahas pertanyaan penting ini sedang dilakukan.

Teknik anestesi neuraksial, dengan atau tanpa anestesi umum,


memberikan keuntungan tambahan dari kontrol nyeri pascaoperasi. Apabila
direncanakan penggunaan anestesi spinal, anestesi lokal hipobarik atau isobarik
memfasilitasi penentuan posisi karena pasien dapat tetap pada posisi yang sama
untuk pemberian blok anestesi dan pembedahan. Opioid intratekal seperti morfin
dapat memperpanjang analgesia pascaoperasi tetapi memerlukan pemantauan
pascaoperasi yang ketat untuk depresi pernapasan.

Pertimbangan juga harus diberikan pada jenis reduksi dan fiksasi yang akan
digunakan. Hal ini tergantung pada lokasi fraktur, derajat pergeseran displacement,
status fungsional pra operasi pasien, dan preferensi ahli bedah. Fraktur femur
proksimal tanpa pergeseran dapat ditatalaksana dengan percutaneous pinning atau
cannulated screw fixation dengan pasien dalam posisi supinasi. Hip compression
screw dan side plate paling sering digunakan untuk fraktur intertrokanter. Fraktur
intrakapsular tanpa pergeseran mungkin memerlukan fiksasi internal,
hemiartroplasti, atau THA (Gambar 38-2). Penatalaksanaan bedah fraktur
ekstrasapsular pinggul dilakukan dengan implan ekstrameduler (misalnya, sliding
screw and plate) atau implan intrameduler (misalnya, Gamma nail).

Hemiartroplasti dan THA merupakan operasi yang lebih lama dan lebih invasif
daripada kebanyakan prosedur ortopedi lainnya. Teknik ini dilakukan dengan
pasien dalam posisi dekubitus lateral, dikaitkan dengan kehilangan darah yang lebih
besar, dan, berpotensi, menghasilkan perubahan hemodinamik yang lebih besar,
terutama apabila semen digunakan. Ahli anestesi harus mengamankan akses vena
yang cukup untuk memungkinkan transfusi cepat.

14
Gambar-1. Atroplasti pinggul total tanpa semen.

2. TOTAL HIP ARTHROPLASTY

Pertimbangan Pra Operasi

Sebagian besar pasien yang menjalani THA menderita osteoartritis (penyakit sendi
degeneratif), fraktur pinggul, nekrosis avaskular, atau kondisi autoimun seperti
artritis rheumatoid (rheumatoid arthritis/ RA). Osteoartritis adalah penyakit
degeneratif yang mempengaruhi permukaan artikular sendi (biasanya pinggul dan
lutut). Etiologi osteoartritis tampaknya melibatkan trauma sendi berulang. Karena
osteoartritis juga dapat melibatkan tulang belakang, manipulasi servikal selama
intubasi trakea harus diminimalkan untuk menghindari kompresi akar saraf atau
protrusi diskus.

RA ditandai oleh destruksi sendi yang dimediasi imun dengan inflamasi kronis dan
progresif dari membran sinovial, yang berbeda dengan keausan artikular pada
osteoartritis. RA adalah penyakit sistemik yang memengaruhi berbagai sistem
organ (Tabel-1). RA sering memengaruhi sendi kecil tangan, pergelangan tangan,
dan kaki yang menyebabkan deformitas parah.

15
Tabel-1. Manifestasi Klinis dari RA

Kasus RA yang ekstrem melibatkan hampir semua membran sinovial, meliputi


vertebra servikal dan sendi temporomandibular. Subluksasi atlantoaxial, yang dapat
didiagnosis secara radiologis, dapat menyebabkan protrusi prosesus odontoid ke
dalam foramen magnum selama intubasi, mengganggu aliran darah vertebra dan
menekan sumsum tulang belakang atau batang otak (Gambar-2).

Gambaran radiografi vertebra servikal dalam posisi fleksi dan ekstensi lateral harus
diperoleh sebelum operasi pada pasien dengan RA yang cukup parah sehingga
membutuhkan steroid, terapi imun, atau metotreksat. Apabila terdapat
ketidakstabilan atlantoaxial, intubasi harus dilakukan dengan stabilisasi inline
menggunakan laringoskopi video atau serat optik. Keterlibatan sendi
temporomandibular dapat membatasi mobilitas rahang dan range of motion
sedemikian rupa sehingga mustahil dilakukan intubasi orotrakeal konvensional.
Suara serak atau stridor inspirasi dapat menandakan penyempitan glotis yang
disebabkan oleh artritis krikoaritenoid. Kondisi ini dapat menyebabkan obstruksi
jalan nafas pascaekstubasi bahkan ketika digunakan tabung trakea dengan diameter
yang lebih kecil.

16
Gambar-3. Karena ketidakstabilan tulang belakang servikal mungkin asimptomatik,
radiografi lateral wajib dilakukan pada pasien dengan artritis rheumatoid berat. A:
Radiografi tulang belakang servikal lateral yang normal. B: Tulang belakang servikal
lateral pasien dengan rheumatoid artritis; perhatikan instabilitas berat C1-C2

Pasien dengan RA atau osteoartritis biasanya menerima obat antiinflamasi


nonsteroid (NSAID) untuk manajemen nyeri. Obat-obatan ini dapat memiliki efek
samping yang serius seperti perdarahan saluran cerna, toksisitas ginjal, dan
disfungsi trombosit.

Manajemen Intraoperatif

THA melibatkan beberapa langkah pembedahan, meliputi memposisikan pasien


(biasanya dalam posisi lateral dekubitus), dislokasi dan pengangkatan kaput
femoralis, penghalusan asetabulum dan insersi mangkok asetabular prostetik

17
(dengan atau tanpa semen), dan penghalusan femur serta penyisipan komponen
femoralis (kaput dan korpus femoralis) ke dalam batang femur dengan atau tanpa
semen. THA dikaitkan dengan tiga komplikasi yang berpotensi mengancam jiwa:
bone cement implantation syndrome, perdarahan intra dan pascaoperasi, dan
tromboemboli vena. Dengan demikian, pemantauan arteri invasif dapat dibenarkan
untuk pasien tertentu yang menjalani prosedur ini. Anestesi umum, anestesi
neuraksial, atau kombinasi teknik tersebut dapat memberikan kondisi operasi yang
sesuai. Penggunaan anestesi neuraksial dengan atau tanpa anestesi umum dapat
dikaitkan dengan penurunan insiden komplikasi pascaoperasi seperti infeksi
dengan berbagai penyebab, cedera ginjal akut, dan kebutuhan ventilasi mekanik.
Pemberian opioid neuraksial seperti morfin pada periode perioperatif
memperpanjang durasi analgesia pascaoperasi. Asam traneksamat dapat diberikan
secara intraoperatif untuk mengurangi kehilangan darah.

A. Hip Resurfacing Artroplasti

Meningkatnya jumlah pasien yang lebih muda yang menjalani artroplasti pinggul
dan pasien lain yang membutuhkan revisi standar (metal-on-polyethylene) implan
THA telah menyebabkan pengembangan kembali teknik hip resurfacing
arthroplasty. Dibandingkan dengan implan artroplasti pinggul tradisional, hip
resurfacing lebih mempertahankan tulang asli pasien. Implan hybrid logam-ke-
logam biasanya digunakan. Pendekatan bedah dapat dilakukan secara anterior atau
posterior, dengan pendekatan posterior paling sering digunakan karena visualisasi
yang lebih baik. Karena kaput femoralis tetap utuh, dislokasi dan reposisi selama
operasi secara teoritis dapat mengganggu pasokan darah femur itu sendiri. Dengan
pendekatan posterior, pasien ditempatkan dalam posisi dekubitus lateral yang mirip
dengan artroplasti pinggul tradisional. Data hasil yang terkait dengan
pembandingan hip resurfacing dengan THA tradisional masih kontroversial. Studi
prospektif belum menunjukkan perbedaan dalam gaya berjalan atau keseimbangan
postural pada 3 bulan pascaoperasi. Satu meta-analisis lebih menyukai resurfacing
dalam hal hasil fungsional dan kehilangan darah meskipun terdapat hasil yang
sebanding untuk skor nyeri pascaoperasi dan kepuasan pasien. Yang menjadi
perhatian khusus adalah temuan bahwa pasien yang menjalani resurfacing hampir

18
dua kali lebih mungkin memerlukan operasi revisi dibandingkan dengan mereka
yang menjalani artroplasti pinggul tradisional. Terdapat insiden aseptic component
loosening (mungkin akibat hipersensitivitas logam) dan fraktur kollumna femoralis
yang lebih besar, terutama pada wanita. Akhirnya, keberadaan debris logam di
ruang sendi (dari kontak logam-ke-logam) telah menyebabkan penyempitan yang
signifikan. Pemantauan kadar kobalt dan kromium serum telah disarankan untuk
pasien ini. Reaksi jaringan lokal yang merugikan, meliputi pengumpulan cairan
abnormal dan pseudotumor, juga dapat terjadi akibat debris logam dan paling baik
dideteksi sejak dini untuk menghindari kerusakan permanen pada otot, tulang, dan
jaringan lunak.

B. Artroplasti Bilateral

Artroplasti pinggul bilateral dapat dilakukan dengan aman pada pasien yang sehat
sebagai prosedur gabungan, dengan asumsi tidak adanya embolisasi paru yang
signifikan setelah pemasangan komponen femoralis pertama. Pemantauan dapat
mencakup ekokardiografi. Komunikasi yang efektif antara ahli anestesi dan ahli
bedah sangat penting. Apabila ketidakstabilan hemodinamik terjadi selama
prosedur artroplasti pertama, artroplasti kedua harus ditunda.

C. Artroplasti Revisi
Artroplasti revisi dari artroplasti pinggul sebelumnya mungkin berhubungan
dengan kehilangan darah yang jauh lebih besar daripada prosedur awal. Kehilangan
darah tergantung pada banyak faktor, termasuk pengalaman dan keterampilan ahli
bedah. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kehilangan darah dapat berkurang
selama operasi pinggul apabila teknik anestesi regional digunakan (misalnya,
anestesi spinal atau epidural) dibandingkan dengan anestesi umum bahkan pada
rerata tekanan arteri yang serupa. Mekanismenya tidak jelas. Karena kemungkinan
transfusi darah perioperatif meningkat, donor darah autolog preoperatif dan
penyelamatan darah intraoperatif harus dipertimbangkan. Pemberian vitamin B12
dan K dan zat besi sebelum operasi dapat mengobati bentuk anemia kronis ringan.
Alternatifnya, infus zat besi intravena dapat digunakan. Akhirnya, dan yang paling
mahal, eritropoietin manusia rekombinan (600 IU/kg setiap minggu secara

19
subkutan mulai 21 hari sebelum operasi dan berakhir pada hari operasi) juga dapat
mengurangi kebutuhan transfusi darah alogenik perioperatif. Eritropoietin
meningkatkan produksi sel darah merah dengan merangsang pembelahan dan
diferensiasi progenitor eritroid di sumsum tulang. Mempertahankan suhu tubuh
normal selama operasi artroplasti mengurangi kehilangan darah.

D. Artroplasti Invasif Minimal


Computer-assisted surgery (CAS) telah diusulkan untuk meningkatkan hasil
pembedahan dan memungkinkan rehabilitasi dini melalui teknik invasif minimal
menggunakan implan tanpa semen, meskipun pendekatan ini tidak umum.
Perangkat lunak komputer dapat secara akurat merekonstruksi gambar tiga dimensi
tulang dan jaringan lunak berdasarkan radiografi, fluoroskopi, computed
tomography, atau data magnetic resonance imaging. Komputer mencocokkan
gambar sebelum operasi atau informasi perencanaan dengan posisi pasien di meja
ruang operasi. Alat pelacak terpasang pada tulang target dan instrumen yang
digunakan selama operasi, dan sistem navigasi menggunakan kamera optik dan
dioda pemancar cahaya inframerah untuk mendeteksi posisi mereka. Dengan
demikian CAS memungkinkan penempatan implan secara akurat melalui insisi
kecil, dan pengurangan kerusakan jaringan dan otot yang diakibatkannya dapat
mengurangi rasa sakit dan rehabilitasi dini. Pendekatan lateral menggunakan insisi
tunggal dengan pasien dalam posisi dekubitus lateral sedangkan pendekatan
anterior menggunakan dua insisi kecil (satu untuk komponen asetabular dan satu
lagi untuk komponen femoral) dengan pasien terlentang. Bukti sampai saat ini tidak
menunjukkan adanya manfaat CAS terhadap hasil pasien pascaoperasi.

20
Gambar-4. Minimally invasive total hip arthroplasty: pendekatan lateral. Perhatikan
sayatan 3 inci dan alat pelacak untuk sistem navigasi CAS

E. Hip Artroskopi
Dalam beberapa tahun terakhir, artroskopi pinggul telah meningkat popularitasnya
sebagai alternatif yang bersifat invasif minimal apabila dibandingkan dengan
artrotomi terbuka untuk berbagai indikasi bedah seperti femoroacetabular
impingement (FAI), robekan labral asetabular, loose bodies, dan osteoartritis. Saat
ini, terdapat beberapa bukti dalam literatur yang diterbitkan yang mendukung
artroskopi pinggul untuk FAI, tetapi bukti tersebut kurang untuk indikasi lainnya.

3. REDUKSI TERTUTUP DISLOKASI PINGGUL


Terdapat 3% kejadian dislokasi pinggul setelah artroplasti pinggul primer dan 20%
kejadian setelah artroplasti revisi pinggul total. Karena kekuatan yang lebih kecil
diperlukan untuk menggeser pinggul prostetik, pasien dengan implan pinggul
memerlukan tindakan pencegahan khusus selama penentuan posisi untuk prosedur
bedah selanjutnya. fleksi pinggul, rotasi internal, dan adduksi yang ekstrim
meningkatkan risiko dislokasi. Dislokasi pinggul dapat dikoreksi dengan reduksi
tertutup yang difasilitasi oleh penggunaan anestesi umum intravena singkat,
seringkali dilakukan dalam kondisi yang terpantau di luar ruang operasi (misalnya,
IGD). Paralisis sementara dapat diberikan oleh suksinilkolin, apabila perlu, untuk
memfasilitasi reduksi ketika otot-otot pinggul berkontraksi parah. Reduksi yang
berhasil harus dikonfirmasi secara radiologis.

21
II. PEMBEDAHAN PADA LUTUT
Dua operasi lutut yang paling sering dilakukan adalah artroskopi dan artroplasti
total atau sebagian.
1. Atroskopi Lutut
Pertimbangan Pra Operasi
Artroskopi telah merevolusi operasi banyak sendi, meliputi pinggul, lutut, bahu,
pergelangan kaki, siku, dan pergelangan tangan. Artroskopi sendi biasanya
dilakukan sebagai prosedur rawat jalan. Meskipun pasien tipikal yang menjalani
artroskopi lutut dapat biasanya merupakan atlet muda yang sehat, artroskopi lutut
juga dapat dilakukan pada pasien usia lanjut dengan beberapa masalah medis.

Manajemen Intraoperatif
Medan tanpa darah merupakan ciri khas pembedahan artroskopik. Operasi lutut
cocok dilakukan dengan penggunaan tourniquet pneumatik, meskipun
penggunaannya bersifat opsional. Operasi dilakukan sebagai prosedur rawat jalan.
Teknik anestesi alternatif meliputi anestesi umum, anestesi neuraksial, blok saraf
perifer, injeksi periartikuler, atau injeksi intraartikuler menggunakan larutan
anestesi lokal dengan atau tanpa adjuvan yang dikombinasikan dengan analgesia
sedasi intravena. Keberhasilan dan kepuasan pasien tampaknya serupa antara teknik
anestesi neuraksial dengan anestesi epidural dan spinal. Namun, untuk operasi
rawat jalan, lama rawat inap setelah anestesi neuraksial lebih panjang apabila
dibandingkan dengan anestesi umum.

Manajemen Nyeri Pascaoperasi


Pemulihan rawat jalan yang berhasil tergantung pada ambulasi dini, analgesia yang
adekuat, dan sedasi dan mual muntah yang minimal. Teknik yang menghindari
dosis besar opioid sistemik jelas lebih memiliki daya tarik. Bupivakain atau
ropivakain intraartikuler biasanya memberikan analgesia yang memuaskan selama
beberapa jam pascaoperasi. Adjuvan seperti opioid, klonidin, ketorolak, epinefrin,
dan neostigmin, ketika ditambahkan ke dalam larutan anestesi lokal untuk injeksi
intraartikular, telah digunakan dalam berbagai kombinasi untuk memperpanjang
durasi analgesia. Strategi manajemen nyeri multimodal lainnya meliputi NSAID

22
sistemik, gabapentinoid, dan blok saraf perifer tunggal atau kontinu untuk
rekonstruksi ligamen artroskopik.

2. Total Knee Arthroplasty


Pertimbangan Pra Operasi Pasien yang datang untuk artroplasti lutut total (total
knee arthroplasty/ TKA) memiliki komorbiditas yang serupa dengan mereka yang
menjalani THA.

Gambar-5. Penggantian lutut total (A) dan parsial (B).

Manajemen Intraoperatif
Selama TKA, pasien tetap dalam posisi terlentang, dan kehilangan darah
intraoperatif dibatasi oleh penggunaan tourniquet. Teknik anestesi neuraksial
adalah pilihan yang lebih disukai untuk pasien kooperatif karena dikaitkan dengan
penurunan kemungkinan infeksi dan cedera ginjal akut, penurunan kemungkinan
kebutuhan ventilasi mekanik atau transfusi darah, dan penurunan angka kematian
30 hari setelah operasi. Bone cement implantation syndrome setelah penyisipan
prosthesis femur mungkin terjadi tetapi lebih kecil kemungkinannya apabila
dibandingkan dengan THA. Pelepasan emboli berikutnya ke dalam sirkulasi
sistemik dapat menyebabkan kecenderungan hipotensi setelah pelepasan
tourniquet. Asam traneksamat terkadang diberikan secara intraoperatif untuk
mengurangi perdarahan bedah.

23
Nyeri biasanya lebih berat setelah prosedur TKA daripada THA.
Analgesia multimodal pascaoperasi yang efektif memfasilitasi rehabilitasi fisik dini
untuk memaksimalkan range of motion pascaoperasi dan mencegah perlengketan
sendi setelah penggantian lutut. Penting untuk menyeimbangkan kontrol nyeri
dengan kebutuhan untuk pasien yang sadar dan kooperatif selama terapi fisik.
Analgesia epidural mungkin berguna setelah TKA bilateral, tergantung pada pilihan
antikoagulasi profilaksis pada kasus berisiko tinggi ini. Untuk penggantian lutut
unilateral, kateter perineural epidural lumbal dan femoral (atau kanal adduktor)
memberikan analgesia yang setara, sementara kateter perineural menghasilkan efek
samping yang lebih sedikit (misalnya, pruritus, mual dan muntah, retensi urin, atau
hipotensi ortostatik ringan) dan lebih cenderung memungkinkan ambulasi dini.
Penempatan kateter epidural atau perineural sebelum operasi di "block room" atau
ruang induksi dapat meminimalkan waktu tunggu di ruang operasi.

Gambar-5. Sebuah “ruang blok” dapat ditempatkan di area tunggu pra operasi, ruang
induksi, atau unit perawatan pascabedah dan harus menyediakan pemantauan standar
(seperti yang telah ditegaskan oleh American Society of Anesthesiologists) dan penyimpanan
yang cukup untuk persediaan dan peralatan anestesi regional

Penggantian lutut parsial unikompartemental atau patellofemoral dan artroplasti


lutut invasif minimal dengan pendekatan muscle-sparing telah dijelaskan. Dengan
pemilihan pasien yang tepat, teknik-teknik ini dapat mengurangi kerusakan otot
quadrisep, dapat memfasilitasi pencapaian range of motion dan ambulasi secara
lebih dini, dan dapat memungkinkan untuk pemulangan dalam waktu 24 jam setelah
operasi dalam situasi tertentu. Manajemen anestesi dan analgesia pascaoperasi
harus mengakomodasi dan memfasilitasi program peningkatan pemulihan. Blok
saraf perifer tunggal atau kontinu, yang diberikan sebagai monoterapi atau dalam

24
kombinasi, dapat memberikan kontrol nyeri spesifik target dan memfasilitasi
rehabilitasi dini. Kateter blok saraf perifer kontinu dengan infus anestesi lokal
perineural telah terbukti mengurangi waktu yang dibutuhkan untuk memenuhi
kriteria rawat jalan untuk TKA. Manajemen kateter perineural mengambil
pendekatan tim langsung dengan cakupan 24/7/365. Di antara komplikasi
pemberian anestesi lokal perineural pada ekstremitas bawah, masalah yang terbesar
melibatkan pasien jatuh, dan program pencegahan jatuh yang komprehensif perlu
dilakukan setiap kali teknik ini digunakan. Anestesi spinal dengan morfin atau
hidromorfon intratekal juga banyak digunakan dan kompatibel dengan program
peningkatan pemulihan. Akhirnya, anestesi spinal dengan analgesia pascaoperasi
dengan “koktail” yang mengandung ketorolak dan anestesi lokal yang diencerkan
yang diinjeksikan secara lokal di dalam dan di sekitar sendi lutut semakin populer
dan tampaknya sangat efektif.

III. BEDAH PADA EKSTREMITAS ATAS


Prosedur pada ekstremitas atas meliputi posedur untuk gangguan pada bahu
(misal subacromial impingement atau rotator cuff tear), fraktur traumatis, sindrom
penjepitan saraf (misalnya, carpal tunnel syndrome), dan penyakit sendi autoimun
atau degeneratif.

1. Operasi Bahu
Operasi bahu mungkin dilakukan secara terbuka atau artroskopik. Prosedur
ini dilakukan baik dalam posisi duduk ("kursi pantai") atau, yang lebih jarang, posisi
dekubitus lateral. Posisi kursi pantai dapat dikaitkan dengan penurunan perfusi otak;
kebutaan, stroke, dan bahkan kematian otak juga telah dilaporkan, menekankan
perlunya mengukur tekanan darah secara akurat setingkat otak. Ketika menggunakan
pemantauan tekanan darah non- invasif, manset harus dipasang pada lengan atas
karena pembacaan tekanan darah sistolik dari betis bisa 40 mmHg lebih tinggi
daripada pembacaan brakialis pada pasien yang sama. Apabila ahli bedah meminta
hipotensi terkontrol, pemantauan tekanan darah intraarterial harus digunakan, dan
transduser harus diposisikan setingkat batang otak (meatus eksternus telinga). Blok
pleksus brakialis interskaleni dengan atau tanpa kateter perineural sangat cocok

25
untuk prosedur bahu. Blok supraklavikula atau "blok bahu" (misalnya, blok saraf
supraskapula dan aksila) dapat digunakan sebagai gantinya. Bahkan ketika anestesi
umum digunakan, saraf perifer atau blok pleksus brakialis dapat melengkapi anestesi
dan memberikan analgesia pascaoperasi yang efektif. Relaksasi otot yang intens
biasanya diperlukan untuk operasi bahu besar selama anestesi umum, terutama bila
tidak dikombinasikan dengan blok pleksus brakialis.
Penyisipan kateter perineural yang menetap secara preoperatif dengan infus
larutan anestesi lokal yang encer memungkinkan analgesia pascaoperasi selama 48
hingga 72 jam dengan sebagian besar pompa disposable reservoir tetap setelah
operasi bahu artroskopik atau terbuka. Alternatifnya, ahli bedah dapat memasukkan
kateter subakromial untuk memberikan infus anestesi lokal secara kontinu untuk
analgesia pascaoperasi. Penempatan langsung kateter intraartikular ke dalam sendi
glenohumeral dengan infus bupivakain telah dikaitkan dengan kondrolisis
glenohumeral dalam studi manusia dan hewan sehingga langkah tersebut tidak
direkomendasikan. Analgesia multimodal, termasuk NSAID sistemik (apabila tidak
ada kontraindikasi) dan infus anestesi lokal pada periode perioperatif, dapat
membantu mengurangi kebutuhan opioid pascaoperasi.

2. Operasi Ekstremitas Atas Distal


Prosedur bedah ekstremitas atas distal umumnya dilakukan secara rawat
jalan. Operasi jaringan lunak tangan minor (misalnya, pelepasan carpal tunnel)
dengan durasi singkat dapat dilakukan dengan infiltrasi lokal atau dengan anestesi
regional intravena (IVRA, atau blok Bier). Faktor pembatas dalam penggunaan
IVRA adalah toleransi tourniquet. Untuk operasi yang berlangsung lebih dari 1 jam
atau prosedur yang lebih invasif yang melibatkan tulang atau sendi, blok pleksus
brakialis adalah teknik anestesi regional yang disukai. Berbagai pendekatan dapat
digunakan untuk menganestesi pleksus brakialis untuk operasi ekstremitas atas
distal. Pemilihan teknik blok pleksus brakialis harus mempertimbangkan lokasi
bedah yang direncanakan dan lokasi tourniquet pneumatik, apabila dapat dipasang.
Blok saraf perifer kontinyu mungkin sesuai untuk pasien rawat inap dan beberapa

26
pasien rawat jalan untuk memperpanjang durasi analgesia lebih jauh ke dalam
periode pascaoperasi atau memfasilitasi terapi fisik, atau keduanya. Blok pleksus
brakialis tidak menganestesi saraf interkostobrakial (muncul dari rami dorsalis T1
dan kadang-kadang T2); oleh karena itu, infiltrasi subkutan anestesi lokal mungkin
diperlukan untuk prosedur yang melibatkan lengan atas medial atau kasus di mana
tourniquet diaplikasikan pada lengan atas. Pertimbangan anestesi untuk operasi
ekstremitas atas distal harus mencakup posisi pasien dan penggunaan tourniquet
pneumatik. Sebagian besar prosedur dapat dilakukan dengan pasien dalam posisi
terlentang; lengan yang dioperasi terabduksi 90 ° dan berada di atas meja tangan;
dan meja ruang operasi diputar 90 ° untuk menempatkan lengan operasi di tengah
ruangan. Pengecualian terhadap aturan ini sering melibatkan operasi di sekitar siku,
dan operasi tertentu mungkin mengharuskan pasien berada dalam posisi dekubitus
lateral atau bahkan tengkurap. Karena pasien sering dijadwalkan untuk pulang pada
hari yang sama, manajemen perioperatif harus berfokus pada memastikan pemulihan
yang cepat tanpa rasa sakit atau mual yang parah.

3. Manajemen Anestesi Pembedahan pada bahu dan humerus


Manajemen Anestesi Pembedahan pada bahu dan humerus dapat dilakukan
dengan anestesi regional atau umum. Dengan posisi hati-hati dan sedasi yang tepat,
blokade interscalene atau supraklavikular saja dapat memberikan anestesi bedah
yang sangat baik. Namun, kombinasi anestesi regional dan umum dapat dipilih
karena akses jalan napas pasien yang terbatas, kebutuhan relaksasi neuromuskuler
(yaitu, selama prosedur stabilisasi bahu), atau bidang bedah yang meluas ke luar
blok dermatom. Anestesi umum tanpa blok saraf harus dipertimbangkan pada pasien
dengan pleksopati brakialis yang sudah ada sebelumnya atau penyakit tulang
belakang leher yang signifikan karena risiko eksaserbasi defisit neurologis
perioperatif. Secara historis, tercatat bahwa blok interscalene menyebabkan paresis
diafragma ipsilateral pada 100% pasien. Dengan diafragma kontralateral yang
berfungsi, ini menyebabkan hilangnya 25% fungsi paru. Namun, jika diafragma
kontralateral terganggu secara signifikan, kegagalan pernapasan total akan terjadi,
dan oleh karena itu, blok interskalen bilateral harus dihindari. Studi terbaru
menunjukkan efikasi analgesik yang baik dari blok interscalene volume rendah

27
dalam kombinasi dengan anestesi umum untuk operasi bahu elektif dengan tingkat
paresis hemidiaphragmatic mulai dari 13% sampai 93%.38,39 Dalam satu
penelitian, tingkat blokade saraf frenikus adalah 0% dengan USG. blok
supraklavikula terpandu dan 53% untuk yang dilakukan menggunakan stimulator
saraf. Blok interskalen dan superklavikula harus digunakan dengan hati-hati pada
pasien dengan penyakit paru berat dan harus dilakukan dengan menggunakan
panduan ultrasonografi jika memungkinkan. Kehati-hatian juga harus dilakukan saat
mempertimbangkan blokade ini pada pasien obesitas dan mereka yang menderita
sleep apnea karena mereka juga berisiko tinggi mengalami penurunan fungsi paru
yang signifikan secara klinis. Paresis diafragma, jika terjadi, terjadi selama blok
berlangsung, jadi harus ekstra hati - hati digunakan ketika mempertimbangkan
administrasi adjuvant yang akan memperpanjang blok ini.

4. Pembedahan pada Siku, Pergelangan Tangan, dan Tangan


Pada pasien tanpa kontraindikasi, pembedahan di area distal humerus,
siku, lengan bawah, pergelangan tangan, dan tangan dapat dilakukan dengan blok
saraf supraklavikula, infraklavikular, atau aksila. Pendekatan infraklavikula dan
supraklavikula ke pleksus brakialis adalah yang paling andal dan memberikan
anestesi yang konsisten pada empat saraf perifer utama pleksus brakialis. Aspek
medial lengan atas, yang disuplai oleh saraf intercostobrachial, umumnya terhindar
dari blok infraklavikula dan aksila dan dapat diblokir dengan injeksi subkutan
anestesi lokal segera distal aksila untuk mencegah nyeri tourniquet. Prosedur tangan
minor seperti pelepasan terowongan karpal, pengurangan fraktur phalanx, dan
debridemen luka superfisial tanpa tourniquet mungkin hanya memerlukan infiltrasi
lokal atau blokade perifer pada tingkat midhumeral, siku, atau pergelangan tangan.
Anestesi regional intravena (blok Bier) menggunakan torniket ganda
memungkinkan pembedahan yang lebih luas dan waktu torniket yang lebih lama
daripada blok perifer distal tetapi tidak memberikan analgesia pasca operasi.
Analgesia Regional Pascaoperasi Blok saraf tepi dikaitkan dengan pelepasan
lebih awal dan penurunan risiko masuk rumah sakit setelah perbaikan manset rotator.
Untuk TSA, blok saraf perifer meningkatkan manajemen nyeri tanpa peningkatan
komplikasi atau penggunaan sumber daya. Kateter perineural yang menetap dapat

28
mengurangi rumah sakit masuk / masuk kembali, mengurangi efek samping terkait
opioid dan gangguan tidur, dan meningkatkan rehabilitasi. Kateter pleksus brakialis
dapat dimasukkan menggunakan pendekatan interscalene, infraklavikula, dan aksila.
Setelah operasi, kateter dapat dibiarkan selama 4 sampai 7 hari tanpa efek samping.

IV. BEDAH PADA EKSTREMITAS BAWAH


Bedah orthopedi yang melibatkan ekstremitas bawah adalah salah satu
operasi yang paling sering dilakukan di Amerika Serikat. Permintaan untuk
artroplasti sendi total pinggul dan lutut meningkat karena harapan hidup yang
meningkat dan peningkatan penekanan pada peningkatan kualitas hidup. Anestesi
umum dan/atau anestesi regional dapat digunakan untuk pembedahan pada
ekstremitas bawah. Namun, terdapat bukti bahwa anestesi regional meningkatkan
mortalitas dan morbiditas, terutama pada pasien usia lanjut yang rapuh. Jika
dibandingkan dengan anestesi umum, teknik neuraksial untuk artroplasti pinggul
total (THA) dan artroplasti lutut total (TKA) dikaitkan dengan mortalitas 30 hari
yang lebih rendah. , penurunan kejadian tromboemboli, kehilangan darah lebih
sedikit, dan kebutuhan transfusi lebih rendah, bersama dengan penurunan lama
tinggal (LOS), biaya, dan komplikasi di rumah sakit. Anestesi regional juga
memberikan kontrol nyeri pasca operasi yang superior untuk prosedur yang
menyakitkan seperti TKA dan kaki. rekonstruksi. Komplikasi utama pembedahan
ortopedi ekstremitas bawah adalah pembentukan DVT perioperatif dan
tromboemboli vena. Pengetahuan tentang dosis dan waktu antikoagulan sangat
penting untuk mencegah komplikasi hematoma epidural yang jarang namun parah
akibat teknik neuraksial.
Pemilihan Teknik Anestesi Banyak prosedur bedah ortopedi, karena lokasi
perifernya yang terlokalisir, cocok untuk teknik anestesi regional. Struktur saraf
mungkin tersumbat pada saraf tepi, pleksus, atau tingkat neuraksial. Anestesi
regional menawarkan beberapa keuntungan dibandingkan anestesi umum termasuk
peningkatan rehabilitasi, mempercepat keluarnya rumah sakit, analgesia yang lebih
baik, penurunan mual dan muntah, penurunan depresi pernafasan dan jantung,
peningkatan perfusi, penurunan kehilangan darah, dan penurunan risiko infeksi dan
tromboemboli. Penting untuk mengkomunikasikan manfaat potensial dan

29
mendorong anestesi regional bila perlu. Teknik regional dan anestesi lokal yang
optimal tergantung pada faktor-faktor termasuk durasi operasi, indikasi untuk
simpatektomi pasca operasi, dan derajat dan durasi blok sensorik/motorik pasca
operasi yang diperlukan untuk terapi fisik aktif dan pasif. Anestesi umum sesuai
untuk pembedahan ortopedi di tempat yang tidak dapat menerima regional dan pada
pasien dengan kontraindikasi teknik regional karena faktor seperti status
antikoagulan, infeksi pada tempat penyisipan jarum, cedera atau penyakit saraf yang
sudah ada sebelumnya, dan penolakan pasien. Sebagai catatan, kontraindikasi untuk
satu teknik regional mungkin tidak menghalangi penggunaan yang lain. Misalnya,
koagulopati dapat mencegah penggunaan blok neuraksial atau pleksus dalam, tetapi
blok saraf perifer superfisial mungkin sesuai. Sebaliknya, blok neuraksial cenderung
lebih aman pada pasien dengan neuropati perifer.

V. PEMBEDAHAN PADA TULANG BELAKANG


Anestesi untuk Bedah Tulang Belakang Penilaian Pra Operasi Evaluasi
pra operasi untuk operasi tulang belakang harus menilai terkait sistem pernapasan,
kardiovaskular, dan neurologis. Jalan napas yang sulit sering terjadi pada pasien
yang datang untuk pembedahan yang melibatkan tulang belakang toraks atau serviks
bagian atas. Oleh karena itu, evaluasi jalan napas harus fokus pada gerakan leher
yang terbatas, stabilitas tulang belakang leher, dan eksaserbasi gejala dengan
gerakan atau posisi. Penilaian klinis dan radiografi stabilitas tulang belakang leher
harus didiskusikan dengan ahli bedah sebelum manipulasi leher. Keputusan untuk
mengamankan jalan napas dalam keadaan terjaga, tidur, atau dengan perangkat jalan
napas lanjutan harus dibuat sebelum pembedahan dan pasien dikonseling sesuai
dengan itu. Intubasi trakea terjaga lebih disukai saat menilai fungsi neurologis
sebelum penggunaan perangkat traksi. Pasien yang datang untuk operasi tulang
belakang seringkali mengalami gangguan fungsi pernapasan. Skoliosis dapat
menyebabkan penyakit paru restriktif, penyakit neuromuskuler dapat dikaitkan
dengan infeksi dada berulang, dan pasien dengan cedera tulang belakang mungkin
sudah bergantung pada ventilator. Pemeriksaan fisik dan sejarah harus fokus pada
gangguan fungsional. Radiografi dada, gas darah arteri, dan tes fungsi paru dapat
diindikasikan pada pasien dengan penyakit paru restriktif. Kapasitas vital pra operasi

30
kurang dari 30% hingga 35% dari yang diprediksi dikaitkan dengan ventilasi pasca
operasi yang berkepanjangan setelah operasi skoliosis. Optimasi fungsi paru
menargetkan pengobatan penyebab reversibel dengan penggunaan terapi fisik pra
operasi, antibiotik, dan bronkodilator sesuai indikasi. Disfungsi jantung sering
dikaitkan dengan patologi tulang belakang dan mungkin merupakan manifestasi
utama penyakit seperti yang terlihat pada distrofi otot. Jarang, skoliosis dapat
menyebabkan kor pulmonal sekunder akibat hipoksemia kronis dan hipertensi
pulmonal. Elektrokardiogram (EKG) dan ekokardiogram harus diperoleh untuk
menilai fungsi ventrikel kiri dan tekanan arteri pulmonal. Ekokardiografi stres
dobutamin mungkin diperlukan untuk menilai fungsi jantung pada pasien dengan
toleransi atau mobilitas olahraga yang terbatas. Defisit neurologis pasien tulang
belakang umumnya berhubungan dengan penyakit yang mendasarinya dan harus
didiskusikan secara rinci dengan pasien dan ahli bedah serta didokumentasikan.
Dengan operasi tulang belakang leher, perawatan ekstra harus dilakukan untuk
menghindari cedera selama intubasi dan posisi trakea. Penyakit neuromuskular
meningkatkan risiko aspirasi selama manipulasi saluran napas. Pada pasien dengan
cedera tulang belakang, syok tulang belakang dan disrefleksia otonom menjadi
perhatian khusus.
.
Posisi untuk Operasi Tulang Belakang
Posisi untuk operasi tulang belakang tergantung pada tingkat dan pendekatan
prosedur. Pasien dapat dialihkan antara posisi terlentang, lateral, dan rawan
intraoperatif. Tujuan keseluruhan dari pemosisian adalah untuk :
a. Bantalan yang diperlukan untuk melindungi saraf perifer, tonjolan tulang, dan
mata
b. Menghindari pergeseran fraktur yang tidak stabil selama pembedahan
c. Memastikan tekanan vena yang rendah dan dengan demikian meminimalkan
kehilangan darah pada saat operasi. situs bedah.
Tekanan vena yang rendah dapat difasilitasi dengan mempertahankan perut
bebas dan membalikkan posisi Trendelenburg. Pendekatan posterior pada
pembedahan tulang belakang membutuhkan posisi tengkurap. Tekanan pada
perut menyebabkan kompresi vena kava inferior, meningkatkan perdarahan dari

31
vena epidural tanpa katup, mengurangi curah jantung, dan meningkatkan risiko
trombosis ekstremitas bawah. Oleh karena itu, bantalan busa yang memadai
harus ditempatkan di bawah dada (di bawah aksila) dan anterior. duri iliaka
superior. Lengan tidak boleh diabduksi lebih dari 90 derajat dan harus
diposisikan dengan sedikit rotasi internal untuk mengurangi risiko peregangan
pleksus brakialis. Dengan siku tertekuk dalam posisi tengkurap, saraf ulnaris
berisiko mengalami cedera terkait tekanan dan harus dilindungi. Mata harus
ditutup dengan selotip; pemosisian yang sesuai dengan ProneView (Mizuho
OSI, Union City, CA) atau fixator Mayfield akan menghindari tekanan pada
mata/orbit sambil mempertahankan posisi leher netral. Pendekatan anterior ke
tulang belakang thoracolumbar dicapai pada posisi lateral. Untuk operasi
skoliosis, kecembungan kurva biasanya paling atas, dan pengangkatan satu atau
lebih tulang rusuk mungkin diperlukan untuk operasi pemaparan. Penempatan
double-lumen endotracheal tube untuk kolaps paru pada sisi operasi mungkin
diperlukan untuk operasi di atas T8. Untuk pembedahan tulang belakang
servikal, pendekatan anterior memerlukan posisi terlentang dan pendekatan
posterior memerlukan posisi tengkurap. Pasien dapat diposisikan dengan kepala
180 derajat dari mesin anestesi untuk memungkinkan akses bedah. Oleh karena
itu, ekstensi mungkin diperlukan untuk sirkuit pernapasan dan saluran
intravaskular, dan mungkin diperlukan untuk menempatkan akses vena di kaki
pasien. Tabung endotrakeal harus diamankan dengan hati-hati tanpa
mengganggu bidang bedah. Kepala dapat ditopang pada cincin kepala empuk
atau "tapal kuda" dari lampiran Mayfield. Jika diperlukan traksi leher, umumnya
dicapai dengan memasang pin dan pemberat pada tengkorak luar. Reverse
Trendelenburg meminimalkan perdarahan vena dan memberikan kontratraksi.
Pengumpulan vena di tungkai bawah dan retraksi arteri karotis dapat
menyebabkan perubahan hemodinamik yang cepat dan signifikan; oleh karena
itu, jalur arteri disarankan. Karena lengan biasanya akan diselipkan ke samping,
garis arteri harus ditempatkan sebelum diposisikan

32
Konservasi Darah
Frekuensi transfusi pada operasi tulang belakang dewasa berkisar antara 50% sampai
81%. Sebagian besar kehilangan darah selama instrumentasi dan fusi tulang belakang
terjadi dengan dekortikasi dan sebanding dengan jumlah tingkat vertebra yang
terlibat. Pasien dapat menjadi koagulopati perioperatif karena terhadap fibrinolisis
atau pengenceran faktor koagulasi dan/atau trombosit. Mekanisme rinci koagulopati
dan peran pengujian faktor selama operasi tulang belakang kurang jelas. Namun,
tampak bahwa penyimpangan yang signifikan dari baseline baik waktu protrombin
atau waktu tromboplastin parsial teraktivasi adalah prediksi perdarahan dan dapat
digunakan untuk memandu terapi transfusi. Penyebab perdarahan yang jarang terjadi
selama operasi tulang belakang adalah trauma pada aorta, vena cava. , atau pembuluh
iliaka. Hipotensi berkembang pesat yang tidak dapat dijelaskan dengan tanda-tanda
hipovolemia harus mengingatkan ahli anestesi terhadap kemungkinan ini. Langkah-
langkah untuk mengurangi kehilangan darah dan kebutuhan transfusi selama operasi
besar tulang belakang meliputi donasi autolog pra operasi, posisi yang tepat,
penggunaan penyelamatan darah intraoperatif, dan pemberian antifibrinolitik seperti
asam traneksamat (TXA). Data terbaru menunjukkan bahwa TXA tidak hanya
mengurangi perdarahan bedah dan kebutuhan transfusi tetapi juga melakukannya
tanpa peningkatan insiden emboli paru (PE), trombosis vena dalam (DVT), atau
infark miokard

Pemantauan Saraf Tulang Belakang


Pemantauan intraoperatif (IOM) fungsi sumsum tulang belakang sekarang
dianggap wajib untuk semua operasi di mana tali pusat berisiko cedera. Risiko timbul
ketika kekuatan korektif diterapkan pada tulang belakang, osteotomi dilakukan, atau
kanal tulang belakang diinvasi dengan pembedahan. Data menunjukkan bahwa IOM
dapat mengurangi kejadian defisit motorik atau paraplegia setelah operasi skoliosis
dari 3% menjadi 7%1 menjadi 0,5%. Ada tiga metode utama IOM: tes bangun,
somatosensori membangkitkan potensi (SSEP) pemantauan, dan perekaman potensi
pembangkitan motor (MEP). Tes bangun melibatkan kebangkitan pasien
intraoperatif setelah menyelesaikan instrumentasi tulang belakang untuk menilai
fungsi motorik ekstremitas atas dan bawah. Jika ada gerakan tangan yang

33
memuaskan tetapi tidak pada kaki, maka gangguan pada tongkat dilepaskan satu
takik dan tes bangun diulang. Anestesi bedah dapat dicapai dengan anestesi volatil,
nitro oksida, dan opioid, dengan atau tanpa propofol. Opioid penting untuk analgesia
dan toleransi pipa endotrakeal saat pasien terjaga. Meskipun mengingat kejadian
tersebut hanya terjadi pada 0% sampai 20% pasien dan jarang dianggap tidak
menyenangkan, penting untuk menjelaskan tes bangun sebelum operasi untuk
meminimalkan kecemasan jika pasien mengingat kembali.
Tes bangun memiliki sejumlah kelemahan, termasuk risiko pasien yang
tidak kooperatif dapat bergerak, melepaskan tabung endotrakeal, atau bahkan jatuh
dari meja. Selain itu, tes bangun menilai fungsi hanya pada saat dilakukan dan
berpotensi memberikan jaminan palsu setelah instrumentasi tetapi sebelum cedera
neurologis yang tidak terduga. Dengan demikian, tes bangun paling cocok jika teknik
pemantauan lain tidak tersedia atau samar-samar atau jika gagal. SSEP menilai jalur
propriosepsi dan getaran kolom dorsal yang disuplai oleh arteri tulang belakang
posterior. SSEP diubah oleh cedera saraf, anestesi volatil, hiperkarbia, hipoksia,
hipotensi, dan hipotermia. Jalur motorik disuplai oleh arteri tulang belakang anterior
dan dipantau oleh MEP. MEP dianggap secara teknis lebih sulit untuk digunakan,
sebagian karena terhambat oleh penggunaan pelemas otot. Jika SSEP dan MEP harus
dipantau selama operasi tulang belakang, rejimen anestesi yang sesuai akan
mencakup infus opioid kerja ultrapendek dengan anestesi inhalasi dosis rendah atau
anestesi intravena total dengan pemantauan lektroensefalogram atau indeks
bispektral untuk meminimalkan potensi intraoperatif. kesadaran. Paraplegia pasca
operasi telah terjadi meskipun SSEP intraoperatif masih ada; namun, MEP yang
dikombinasikan dengan SSEP dapat meningkatkan deteksi dini iskemia medula
spinalis. Perubahan akut pada amplitudo atau latensi sinyal dapat menandakan
kompromi medula spinalis dan mungkin merupakan hasil dari trauma langsung,
iskemia, kompresi, atau hematoma. Jika terjadi perubahan, disarankan agar
pembedahan dihentikan, tekanan darah kembali normal atau 20% di atas normal, dan
agen volatil diturunkan atau dihentikan. Gas darah arteri dapat membantu
menyingkirkan gangguan metabolisme. Jika sinyal tidak kembali normal, ahli bedah
harus melepaskan gangguan pada kabelnya. Tes bangun dapat dilakukan saat ini
untuk mengecualikan defisit neurologis.

34
VI. Pertimbangan Khusus dalam Ortopedi

Amputasi
Setelah amputasi, banyak pasien mengalami nyeri phantom limb, sensasi
phantom limb, dan/atau nyeri tunggul yang dapat menjadi kronis, melemahkan, dan
sulit untuk ditangani. Insiden nyeri phantom limb persisten sekitar 40% dengan
amputasi ekstremitas atas dan hingga 85% setelah amputasi ekstremitas bawah.
Pemberian anestesi lokal rawat jalan yang berkepanjangan (median 30 hari) melalui
kateter perineural dapat mencegah nyeri phantom limb, dengan 84% pasien dalam
satu studi melaporkan tidak ada rasa sakit pada 12 bulan setelah amputasi ekstremitas
bawah. Sebaliknya, studi jangka pendek (3 hari) analgesia epidural dan perineural
perioperatif menemukan tingkat nyeri phantom limb masing-masing 38% dan 50%,
pada 12 bulan.

Bedah Mikrovaskular
Pembedahan mikrovaskular seringkali diperlukan untuk pemulihan aliran
darah setelah trauma ortopedi. Pembedahan mikrovaskular dapat memakan waktu
berjam-jam untuk dilakukan, seringkali membutuhkan anestesi umum untuk menjaga
kenyamanan pasien dan mencegah gerakan. Ventilasi mekanis dapat membantu
menghindari vasokonstriksi yang disebabkan oleh hiperoksia dan hipokarbia serta
pelepasan katekolamin yang diinduksi oleh hiperkarbia. Selain itu, manajemen
anestesi yang optimal untuk bedah mikrovaskular menggunakan teknik regional yang
menyediakan simpatektomi (memaksimalkan vasodilatasi) dan mengurangi respon
stres (meminimalkan vasospasme dan risiko trombotik). Pemeliharaan normothermia
sangat penting untuk meminimalkan vasokonstriksi, dan penggantian volume
direkomendasikan pada laju yang harus dibaca 3,5 hingga 6 mL/kg per jam.
Hemodilusi permisif hingga hematokrit 30% dapat dipertimbangkan untuk
optimalisasi kekentalan darah, dan kapasitas pembawa oksigen. Ahli bedah
umumnya tidak menganjurkan vasopresor kecuali dalam situasi darurat, jadi
penggunaannya harus didiskusikan dengan tim bedah sebelum memulai. Namun,
daripada mendukung efek samping dari penggunaan vasopressor, bukti menunjukkan
mereka mungkin bermanfaat untuk pemeliharaan aliran flap. Infus neuraksial

35
dan/atau perineural anestesi lokal pasca operasi direkomendasikan untuk membantu
mempertahankan perfusi yang memadai pasca operasi. Antitrombotik, termasuk
unfractionated dan heparin berat molekul rendah, sering digunakan untuk mencegah
trombosis cangkok dan harus dipertimbangkan saat mengelola pemasangan dan
pelepasan kateter pasca operasi.
Sindrom Kompartemen Akut
Sindrom kompartemen akut (ACS) terjadi ketika tekanan jaringan lunak
dalam kompartemen ekstremitas tertutup melebihi tekanan perfusi kapiler,
mengakibatkan kerusakan jaringan iskemik. Komplikasi ini paling sering terlihat
setelah fraktur tibialis dan lengan bawah. ACS sering pertama kali ditandai dengan
gejala nyeri yang tidak sebanding dengan cedera; oleh karena itu, manfaat teknik
analgesik regional harus dipertimbangkan terhadap risiko keterlambatan diagnosis
sindrom kompartemen. Keparahan nyeri terkait ACS dilaporkan “menerobos” efek
analgesik dari infus anestesi lokal neuraksial atau perineural dosis rendah. Namun,
blok padat telah dilaporkan menutupi episode ACS. Jadi, penggunaan teknik
analgesik regional membutuhkan pemantauan klinis yang hati-hati untuk ACS, dan
keputusan penggunaannya harus dibuat bekerja sama dengan tim beda.

36
KESIMPULAN

• Manifestasi Kinis dari bone cement impiantation syndrome meliputi


hipoksia (peningkatan shunt paru), hipotensi, aritmia (meliputi blok jantung
dan henti sinus), hipertensi pulmonal (peningkatan resistensi pembuluh
darah paru), dan penurunan curah jantung
• Penggunaan tourniquet pneumatik pada ekstremitas menciptakan medan
tanpa darah yang sangat memudahkan operasi. Namun, tourniquet dapat
berpotensi menghasilkan masalah, meliputi perubahan hemodinamik, nyeri,
perubahan metabolisme, tromboemboli arteri, dan emboli paru.
• Sindrom embollemak secara Klasik muncul dalam 72 jam setelah fraktur
tulang panjang atau panggul, dengan trias dispnea, kebingungan, dan
petekie.
• Deep vein thrombosis dan pulmonary embolism dapat menyebabkan
morbiditas dan mortalitas setelah operasi ortopedi pada pinggul dan
ekstremitas bawah.
• Anestesi neuraksial tungeal atau dikombinasikan dengan anestesi umum
dapat mengurangikomplikasi tromboemboli dengan beberapa mekanisme,
meliputi peningkatan aliran darah vena ekstremitas bawah yang diinduksi
oieh simpatektomi; efek antinflamasi sistemik anestesi lokal, penurunan
reaktivitas platelet, penutunan faktor Vill dan faktor von Willebrand
pascaoperasi, penurunan antitrombin itl pascaoperasi, dan perubahan
pelepasan hormone stres.
• Untuk pasien yang menerima low-molecuiar-weight heparin sekali sehar,
teknik neuraksial dapat diliakukan (atau kateter neuraksial dilepas) 10
hingga 12 jam setelah dosis sebelumnya, dengan penundaan 4 jam sebelum
pemberian dosis berikutnya.
• Gambaran radiograti vertebra servikal dalam posisi fleksi dan ekstensi
lateral harus diperolehum operasi pada pasien dengan artritis rheumatoid
yang cukup parah sehingga membutuhkan steroid, terapi imun, atau
metotreksat.

37
DAFTAR PUSTAKA

Barash G. Paul et all. 2017. Clinical Anesthesia. Eight Edition. Wolters


Kluwer. Philadelphia. Baltimore. New York. London. Buenos Aires. Hong Kong.
Sydney. Tokyo.

Flood Pamela, Rathmell James. P. 2022. Stoeting’s Pharmacology &


Physiology in Anesthetic Practice. Sixth Edition. Wolters Kluwer. California.

38

Anda mungkin juga menyukai