Anda di halaman 1dari 29

MASSA SUPRATENTORIAL

Desmida Artaria Gultom, Himawan Sasongko


Bagian / SMF Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran UNDIP / RSUP Dr. Kariadi Semarang

I.

PENDAHULUAN
Kraniotomi eksisi atau biopsi pada tumor supratentorial

merupakan

prosedur neurosurgikal yang sering dilakukan. Biasanya jenis tumornya adalah


glioma dan meningioma. Pada tahun 2007 berdasarkan The Central Brain Tumor
Registry of the United States (CBTRUS) ditemukan 51.410 kasus baru mengenai
tumor jinak maupun ganas pada sistem saraf pusat. Diperkirakan 12.740 orang
meninggal akibat penyakit tersebut. Pada umumnya yang sering terjadi pada orang
dewasa adalah glioma (36%), meningioma (32,1%), dan adenoma pituitari (8,4%).
Kebanyakan tumor bersifat ganas dan berupa tumor supratentorial (>80%). Tumor
otak primer rata-rata didiagnosa pada umur 57 tahun. Sejak tahun 1985 sampai
dengan tahun 1999 kejadian tumor otak primer cenderung meningkat (meningkat
1,1% tiap tahunnya). 25% dari pasien yang meninggal oleh karena tumor otak,
kejadian metastasenya baru terdeteksi pada saat dilakukan otopsi. Jaringan yang
paling sering menjadi tempat metastase adalah payudara, colon dan rectal, ginjal,
paru-paru, dan melanoma dan 6% dari pasien tersebut baru terdiagnosa metastase
setelah satu tahun setelah terdiagnosa tumor otak primer.1
Masalah yang akan dihadapi seorang pasien yang terkait dengan massa
supratentorial adalah akibat yang terjadi oleh penekanan tumor baik yang bersifat
lokal maupun keseluruhan terhadap organ lain, sedangkan untuk seorang ahli
1

bedah masalah timbul selama proses pembedahan karena jaringan otak


disekitarnya akan rentan terhadap kerusakan dari retraksi dan mobilisasi.2
Seorang ahli anestesi harus mengerti tentang patofisiologi peningkatan
tekanan intrakranial baik yang bersifat lokal ataupun general, regulasi dan
pemeliharaan perfusi intraserebral, cara menghindari perpindahan aliran sistemik
sekunder ke otak, efek dari obat anestesi terhadap tekanan intrakranial, perfusi dan
metabolisme otak, dan pilihan-pilihan terapi yang dapat digunakan untuk
mengurangi tekanan intrakranial dan ketegangan selama operasi berlangsung.2
Masalah-masalah yang mungkin muncul selama operasi termasuk perdarahan
yang masif intraoperatif, kejang dan emboli udara merupakan suatu tantangan
juga untuk seorang ahli anestesi.

Kondisi patologis yang bersifat ekstrakranial

seperti adanya penyakit kardiovaskular atau paru-paru misalkan pada pasienpasien dengan kasus yang sudah bermetastase merupakan hal yang tidak boleh
dilupakan dan menjadi tambahan dalam melakukan pembiusan. 2 Makalah ini akan
membahas mengenai massa supratentorial dan hal-hal yang berkaitan dengan
pembiusan pada operasi massa supratentorial.

II.

TINJAUAN PUSTAKA
ANATOMI SISTEM SARAF PUSAT
Sistem saraf pusat terdiri dari serebrum, serebelum, dan batang otak yang
dibentuk dari mesencefalon, pons, dan medula oblongata. Bila tulang kalvaria dan
duramater disingkirkan, di bawah lapisan arachnoid mater kranialis dan pia mater
kranialis akan terlihat gyrus, sulkus, dan fisura korteks cerebri. Sulkus dan fisura
korteks serebri membagi hemisfer serebri menjadi daerah lebih kecil yang disebut
lobus.3
1. Serebrum (Otak besar)

Serebelum adalah bagian terbesar dari otak yang terdiri dari dua hemisfer.
Hemisfer kanan berfungsi untuk mengontrol bagian tubuh sebelah kiri dan
hemisfer kiri berfungsi untuk mengontrol bagian tubuh sebelah kanan.
Masing-masing hemisfer terdiri dari empat lobus. Bagian lobus yang
menonjol disebut gyrus dan bagian lekukan yang menyerupai parit disebut
sulkus. Keempat lobus tersebut masing-masing adalah lobus frontal, lobus
parietal, lobus oksipital dan lobus temporal.
a. Lobus parietal
Lobus parietal merupakan lobus yang berada di bagian tengah serebrum.
Lobus parietal bagian depan dibatasi oleh sulkus sentralis dan bagian
belakang oleh garis yang ditarik dari sulkus parieto-oksipital ke ujung
posterior sulkus lateralis (Sylvian). Daerah ini berfungsi untuk menerima
impuls dari serabut saraf sensorik thalamus yang berkaitan dengan segala
bentuk sensasi dan mengenali segala jenis rangsangan somatik.
b. Lobus frontal
Lobus frontalis merupakan bagian lobus yang ada di bagian paling depan
dari serebrum. Lobus ini mencakup semua korteks anterior sulkus sentral
dari Rolando. Pada daerah ini terdapat area motorik untuk mengontrol
gerakan otot-otot, gerakan bola mata, area broca, sebagai pusat bicara, dan
area prefrontal (area asosiasi) yang mengontrol aktivitas intelektual.
c. Lobus temporal
Lobus temporal berada di bagian bawah dan dipisahkan dari lobus
oksipital oleh garis yang ditarik secara vertikal ke bawah dari ujung atas
sulkus lateral. Lobus temporal berperan penting dalam kemampuan
pendengaran, pemaknaan informasi dan bahasa dalam bentuk suara.
d. Lobus oksipital
Lobus oksipital berada di belakang lobus parietal dan lobus temporal.
Lobus ini berhubungan dengan rangsangan visual yang memungkinkan

manusia mampu melakukan interpretasi terhadap objek yang ditangkap


oleh retina.
2. Serebelum (otak kecil)
Serebelum atau otak kecil adalah komponen terbesar kedua dari otak.
Serebelum terletak di bagian bawah belakang kepala, berada di belakang
batang otak dan di bawah lobus oksipital, dekat dengan ujung leher bagian
atas. Serebelum adalah pusat tubuh dalam mengontrol kualitas gerakan.
Serebelum juga mengontrol banyak fungsi otomatis otak, diantaranya
mengatur sikap atau posisi tubuh, mengontrol keseimbangan, koordinasi otot
dan gerakan tubuh. Selain itu, serebelum berfungsi menyimpan dan
melaksanakan serangkaian gerakan otomatis yang dipelajari seperti gerakan
mengendarai mobil, gerakan tangan saat menulis, gerakan mengunci pintu
dan sebagainya.
3. Batang otak
Batang otak berada di dalam tulang tengkorak atau rongga kepala bagian
dasar dan memanjang sampai medula spinalis. Batang otak bertugas untuk
mengontrol tekanan darah, denyut jantung, pernafasan, kesadaran, serta pola
makan dan pola tidur. Bila terdapat masalah pada batang otak maka gejala
yang sering timbul berupa muntah, kelemahan otot wajah baik satu maupun
dua sisi, kesulitan menelan, diplopia, dan sakit kepala ketika bangun.
Batang otak terdiri dari tiga bagian, yaitu:
a. Mesencefalon atau otak tengah, disebut juga mid brain, adalah bagian
teratas dari batang otak yang menghubungkan serebrum dan serebelum.
Saraf kranial III dan IV diasosiasikan dengan otak tengah. Otak tengah
berfungsi dalam hal mengontrol respon penglihatan, gerakan mata,
pembesaran pupil mata, mengatur gerakan tubuh dan pendengaran.
b. Pons, merupakan bagian dari batang otak yang berada di antara mid brain
dan medula oblongata. Pons terletak di fossa kranial posterior. Saraf
kranial V diasosiasikan dengan pons.
4

c. Medula oblongata, adalah bagian paling bawah belakang dari batang otak
yang akan berlanjut menjadi medula spinalis. Medula oblongata terletak
juga di fossa kranial posterior. Saraf kranial IX, X, dan XII disosiasikan
dengan medula oblongata sedangkan saraf kranial VI dan VIII berada
pada perhubungan dari pons dan medula.

PATOFISIOLOGI PENINGKATAN INTRAKRANIAL


Komponen utama dari otak normal adalah jaringan, darah intravaskular,
cairan cerebrospina, ketiganya berada di dalam tengkorak yang keras. Setiap ada
kenaikan volume atau penambahan massa salah satu maka akan dikompensasi
dengan pengurangan volume satu atau lebih komponen otak yang lain secara
bersamaan terutama cairan serebrospinal atau darah oleh karena otak sebagian
besar akan menjadi lebih mampat. Kemampuan mekanisme homeostatis dalam
mengkompensasi tidak hanya tergantung pada besar massa tetapi juga pada
kecepatan munculnya massa tersebut.1

Efek Volume dari Tumor Intrakranial


Efek volume oleh karena tumor intrakranial bukan hanya oleh karena
massa tumor itu saja tetapi juga edema otak vasogenik yang terjadi di sekitar
tumor. Edema tersebut dapat dilihat dari hasil pemeriksaan Computed
Tomography (CT) atau Magnetic Resonance Imaging (MRI) yang disebabkan oleh
karena faktor sekretori yang dapat menyebabkan peningkatan permeabilitas
pembuluh darah otak disekitar tumor. Edema ditandai biasanya di sekitar tumor
yang berkembang pesat. Pada umumnya respon terhadap terapi steroid baik dan
dapat bertahan sampai setelah operasi.1

Sawar Darah Otak dan Edema Otak


Sawar darah otak dipengaruhi juga oleh kondisi patologis intrakranial. Biasanya
sawar darah otak tidak akan dapat dilewati oleh molekul besar atau polar dan
bervariasi dapat ditembus oleh ion-ion dan non elektrolit hidrofilik kecil. Apabila
terjadi kerusakan sawar darah otak maka akan memungkinkan air, elektrolit dan
molekul hidrofilik dapat masuk ke dalam jaringan otak dan dapat menyebabkan
edema otak perivaskuler dan edema otak vasogenik. Dalam hal ini kebocoran
otak oleh karena edema akan berbanding lurus dengan tekanan perfusis serebral
(CPP). Edema vasogenik pada otak harus dibedakan dengan edema osmotik
(yang disebabkan olej penurunan osmolalitas) dan edema sitotoksik (disebabkan
oleh iskemia sekunder). Osmolalitas darah merupakan penentu penting terjadinya
edema serebral sebaliknya tekanan onkotik hanya memainkan peran kecil.1

Perfusi Intraserebral dan Aliran Darah Otak


Aliran darah otak bergantung pada tekanan arteri serebral dan
resistensi pembuluh-pembuluh serebral. Aliran darah otak rata-rata sekitar 50-54
mL/100g/menit atau kira-kira 15% dari curah jantung. Aliran darah ke substansia
grisea 75-80 mL/100g/menit sedangkan substansia alba 20-30 mL/100g/menit
dikarena metabolisme otak lebih banyak di substansia grisea. Pada infant dan
anak-anak, aliran darah otak global lebih tinggi daripada dewasa sekitar 65
mL/100g/menit.

Bila

aliran

darah

ke

otak

<20

mL/100g/menit,

elektroencefalografi (EEG) menunjukkan tanda iskemik. Bila aliran darah otak 6-

9 mL/100g/menit, Ca2+ masuk ke dalam sel. Aliran darah otak berbanding


proposional terhadap tekanan perfusi otak.1
Tekanan perfusi otak (Cerebral Perfusion Pressure/CPP) adalah
perbedaan tekanan arteri rata-rata (pada saat masuk) dengan tekanan vena ratarata (saat keluar) pada sinus sagitalis lymph/cerebral venous junction. Nilai
normalnya 80-90 mmHg. Akan tetapi, secara praktis, adalah perbedaan tekanan
arteri rata-rata (MAP=mean arterial pressure) dan ICP rata-rata (CPP = MAPICP) yang diukur setinggi foramen Monroe atau MAP-CVP bila nilai CVP lebih
tinggi daripada ICP. Tekanan perfusi otak akan menurun bila ada penurunan
tekanan arteri atau kenaikan tekanan intrakranial. Bila tekanan perfusi otak turun
sampai 50 mmHg, EEG akan terlihat melambat dan ada perubahan ke arah
serebral iskemia. Tekanan perfusi otak kurang dari 40 mmHg, EEG menjadi datar,
menunjukkan adanya proses iskemik yang berat yang bisa reversible atau
irreversible. Bila tekanan perfusi otak kurang dari 20 mmHg untuk jangka waktu
lama terjadi iskemik neuron yang irreversible.1
Pada tekanan intrakranial yang tinggi, supaya tekanan perfusi otak
adekuat, maka perlu tetap mempertahankan tekanan darah yang normal atau
sedikit lebih tinggi. Tekanan perfusi otak pertahankan 60 mmHg (antara 50-70
mmHg). Usaha kita adalah untuk mempertahankan tekanan perfusi otak normal,
oleh karena itu, hipertensi yang memerlukan terapi adalah bila MAP lebih besar
dari 130-140 mmHg.4
Banyak faktor yang mempengaruhi CBF. Metabolisme otak, tekanan
darah, PaO2, PaCO2, suhu tubuh, simpatis-parasimpatis, obat-obatan dapat
mempengaruhi CBF. Keadaan patologik dalam otak juga mempengaruhi CBF
global dan regional.4

Aliran darah otak diatur terutama oleh autoregulasi, PaO2, PaCO2.4


a. Autoregulasi
Aliran darah otak dipertahankan konstan pada MAP 50-150 mmHg.
Pengaturan ini disebut autoregulasi yang disebabkan oleh kontraksi oto polos
dinding pembuluh darah otak sebagai jawaban terhadap perubahan tekanan
transmural. Jika melebihi batas ini, walaupun dengan dilatasi maksimal atau
konstriksi maksimal dari pembuluh darah otak, aliran darah otak akan
mengikuti tekanan perfusi otak secara pasif. Bila aliran darah otak sangat
berkurang (MAP < 50 mmHg) bisa terjadi serebral iskemia. Jika di atas batas
normal (MAP > 150 mmHg) tekanan akan merusak daya konstriksi pembuluh
darah dan aliran darah otak akan naik dengan tiba-tiba. Dengan demikian
akan terjadi kerusakan sawar darah otak (blood-brain barrier) yang dapat
menimbulkan terjadinya edema serebral dan perdarahan otak.
b. PaCO2
Aliran darah otak berubah kira-kira 4% (0,95-1,75 mL/100gr/menit) setiap
mmHg perubahan PaCO2 antara 25-80 mmHg. Jadi, jika dibandingkan
dengan keadaan normokapnia, aliran darah otak dua kali lipat pada PaCO2 80
mmHg dan setengahnya pada PaCO2 20 mmHg. Karena hanya sedikit
perubahan aliran darah otak pada PaCO2 < 25 mmHg, malahan bisa terjadi
serebral iskemia akibat perubahan biokimia, maka harus dihindari
hiperventilasi yang berlebihan. Pada operasi tumor otak rutin dipasang
kapnogram untuk mengukur end tidal CO2, umumnya dipertahankan end tidal
CO2 25-30 mmHg yang setara dengan PaCO2 29-34 mmHg.
c. PaO2
Bila PaO2 < 50 mmHg akan terjadi vasodilatasi dan aliran darah ke otak akan
meningkat. Peningkatan PaO2 hanya sedikit pengaruhnya terhadap resistensi
pembuluh darah serebral.
8

Regulasi dari CBF diatur berdasarkan level dari tekanan arteri serebral. Hal
tersebut tergantung pada gradien tekanan di dinding pembuluh darah (yang
merupakan hasil dari Tekanan perfusi serebral (CPP)) dan besar PaCO2 (yang
tergantung dari ventilasi pasien). CBF autoregulasi akan mempengaruhi secara
dominan terhadap homeostatis ICP, dan akan terus konstan dalam menghadapi
perubahan CPP atau tekanan arteri (MAP). Fungsi autoregulasi normal untuk CPP
nilainya 50-150 mmHg dan banyak terganggu oleh banyak sebab intrakranial
(misalnya darah dalam cairan serebrospinal, trauma, atau tumor) dan
ekstrakranial (hipertensi sistemik). Jika CPP tidak memadai maka perfusi jaringan
akan menurun. Bila tingkat CBF dibawah batas autoregulasi yaitu kurang dari 20
ml/100 g/menit maka akan menghasilkan iskemia, hal tersebut dapat diperbaiki
dengan cara menormalkan kembali CPP (dengan meningkatkan MAP atau
menurunkan ICP) atau mengurangi kebutuhan metabolik otak ( dengan cara
memperdalam anestesi atau membuat pasien menjadi sedikit hipotermi).
Pengurangan CPP atau MAP yang akut akan cenderung meningkatkan ICP (yang
disebut dengan cascade vasodilatasi). Penurunan PaCO2 akan menyebabkan
vasokonstriksi, mengurangi CBF, CBV dan dengan demikian ICP. Sebaliknya
keadaan hiperventilasi akan berguna untuk mengontrol erkapnia akan
meningkatkan ICP dan harus dicegah selama periode perioperatif mengurangi
CBF, CBV, dan dengan demikian ICP Sebaliknya, hiperkapnia meningkatkan ICP
dan harus dicegah periode perioperatif. Hal ini membuat hiperventilasi dapat
berguna untuk mengontrol awal dari hyperemia intracerebral dan peningkatan
ICP.1
Rumus :

CBF = CPP/CVR
CPP = MAP ICP

Biasanya ICP < CVP, maka CPP = MAP - CVP

HUBUNGAN

ANESTESI

DENGAN

TEKANAN,

PERFUSI

DAN

METABOLISME INTRAKRANIAL
Anestesi memberikan efek yang besar terhadap lingkungan intrakranial baik
melalui efek obat atau efek bukan obatnya. Efek ini peka terhadap keadaan
intrakranial dan ekstrakranial (misalnya komplians serebral, ada atau tidak adanya
kondisi patologis intrakranial, keadaan status volemik).1

Anestesi Intravena
Anestesi intravena termasuk barbiturat, propofol, etomidate dan ketamin. Selain
sebagai induksi anestesi, propofol digunakan sebai pemeliharaan anestesi dengan
cara infus intravena kontinus (sering dikendalikan dengan komputer atau sistem
TCI). Semua obat intavena yang disebutkan di atas merupakan vasokstriksi
serebral yang mengakibatkan depresi metabolisme serebral (CMR) kecuali
ketamin. Ketamin akan meningkatkan CBF otak tanpa merubah CMR pada
pasien sehat. Pada dosis subanestesi, ketamin akan meningkatkan metabolisme
glukosa di daerah otak dan CBF. Agen anestesi intravena lainnya akan bersifat
menurunkan CBF, CBV, dan ICP. Etomidate dapat menghambat sekresi adrenal
kortisol secara langsung selama 24 sampai 48 jam setelah injeksi tunggal obat
tersebut dan penggunaannya sering dikaitkan dengan gerakan mioklonik.1

Anestesi Volatile

10

Semua anestesi volatile bersifat vasodilatasi serebral tetapi isofluran, sevofluran,


dan desfluran juga bersifat mengurangi CMR. Dengan 2 MAC ( minimal alveolar
concentrations) didapatkan gambaran sebuah EEG dimana depresi metabolisme
tercapai maksimal. Peningkatan respon metabolisme otak dengan konsentrasi
anestesi yang meningkat tidak bersifat linier. Penurunan CMR bertahap dengan 00,5 MAC dan kemudian akan sangat menurun dengan 2-3 MAC. Pengaruh
anestesi volatile pada CBF adalah hasil dari sifat vasodilatasi dan aliran
metabolisme koupling. CBV tidak berubah dengan penggunaan isofluran dan
justru akan menurun dengan obat propofol pada konsentrasi yang sebanding.
Untuk kondisi otak yang normal, konsentrasi agen volatile di bawah 1 MAC,
kadar PaCO2 akan tetap utuh, memungkinkan kontrol vasodilatasi oleh
hipokapnia. Namun dengan kondisi otak yang patologis atau penggunaan agen
volatile dengan konsentrasi tinggi dapat mengganggu autoregulasi dan kadar
PaCO2.1

Nitrous Oksida
Nitrous Oksida adalah serebrostimulator, dapat meningkatkan CBF, CMR, dan
kadang ICP. Efeknya tidak seragam di seluruh otak melainkan

hanya pada

bagian-bagian otak tertentu (ganglia basalis, talamus, insula) dan dapat merubah
distribus regional CBF.1

Opioid
Opioid telah dikaitkan dengan peningkatan jangka pendek ICP, terutama
subfentanil atau alfentanil. Efek vasodilatasi serebral setelah terjadi penurunan
MAP dan CPP adalah yang mendasari mekanisme untuk peningkatan sementara

11

ICP, meskipun efek vasodilatasi serebral sederhana langsung terjadi. Efek ini
menunjukkan sensitivitas dari efek obat yang masuk intraserebral terhadap
keadaan lingkungan intrakranial dan ekstrakranial dan pentingnya menjaga
keadaan normovolemia untuk menjaga stabilitas dari ICP. Umumnya, opioid
sederhana mengurangi CMR dan tidak mempengaruhi aliran-metabolisme
kopling, autoregulasi, atau sensitivitas karbon dioksida dari pembuluh otak.1

Mengurangi ICP, Otak yang Bengkak dan Ketegangan


Anestesi memiliki sejumlah alat yang dapat digunakan untuk mencapai
pengurangan ICP dan relaksasi otak sehingga para ahli bedah dapat bekerja
dengan baik.1
Anestesi Intravena
Anestesi intravena akan mengurangi CMR, CBF dan oleh karena itu CBV dan
ICP akan turun dan mengarah ke penurunan curah otak. Vasokonstriksi serebral
yang akan terjadi akan tergantung pada aliran mekanisme kopling dan dosis yang
diberikan.1

Hiperventilasi
Hiperventilasi akan menyebabkan kondisi hipokapnia dan vasokonstriksi serebral.
Dalam konteks autoregulasi yang utuh, CBF secara kasar berhubungan linier
dengan PaCO2. Nilai yang biasa digunakan untuk mencapai tujuan adalah PaCO2
antara 30-35 mmHg, untuk hasil PaCO2 pada analisa gas darah arteri lebih tinggi
dari pada end tidal CO (ETCO2). Efektivitas hiperventilasi (PaCO2
pada

25

pada

pasien

mm

Hg)

baik

di

bawah

untuk

mengendalikan

isoflurane

atau

massa

propofol

otak
anestesi

12

telah dibuktikan. Komplikasi utama yang terkait dengan hiperventilasi


adalah

pengurangan

CBF,

yang

menimbulkan

iskemia

serebral.

Dengan demikian, ahli anestesi harus menyeimbangkan manfaat otak


relaksasi

terhadap

risiko

hipoperfusi

serebral.

Yang

Lainnya

efek samping penurunan linear aliran arteri koroner, mengurangi aliran balik vena
jantung, hipokalemi.1

Diuretik
Diuretik osmotik seperti manitol dan garam hiperosmotik akan meningkatkan
osmolalitas darah secara akut, sehingga akan mengurangi cairan otak ( terutama
dalam jaringan otak sehat dengan keadaan sawar darah otak yang tetap utuh) dan
juga akan menurunkan massa otak serta ICP. Sehingga terjadi perubahan bentuk
otak sehingga ahli bedah semakin mudah untuk mencapai target lokasi
tumor. Pemberian manitol dengan dosis 0,5-1 g/kgBB (150-400 ml 20% manitol)
intravena yang dibagi menjadi infus cepat sebelum dilakukan operasi dan infus
lambat sampai dengan diseksi otak selesai. Efeknya adalah penurunan ICP,
menghilangkan sekitar 90 mL air di otak yang dicapai pada efek puncak dapat
bertahan selama 2-3 jam. Tujuannya untuk menjaga osmolalitas kurang dari 320
mOsm/kg. Masalah yang mungkin terjadi akibat dari penggunaan diuretik
osmotik ini adalah hipernatremia, hipokalemia dan hipovolemia akut yang dapat
memperburuk pasien-pasien dengan kelainan kongestif gagal jantung. Tidak ada
manfaat tambahan untuk menggunakan tambahan diuretik seperti furosemide
yang menginduksi hipovolemia dan efeknya tidak dapat mengurangi kadar air
dalam otak. Cairan normal saline harus diberikan untuk untuk menggantikan

13

kerugian cairan yang dikeluarkan melalui urine untuk menghindari hipovolemia


dan menjaga tekanan darah.1

Cairan Cerebrospinal
Drainase CSF dicapai baik oleh tusukan langsung intraoperatif dari ventrikel
lateral atau melalui kateter tulang belakang di lumbal yang ditempatkan sebelum
operasi. Yang terakhir ini hanya efektif jika ada blok ekor untuk keluarnya CSF.
Karena berisiko menyebabkan herniasi otak akut, drainase lumbal CSF harus
digunakan hati-hati dan hanya jika dura terbuka. Pasien harus menerima
hiperventilasi ringan saat CSF dikeringkan. Pengeluaran 10 sampai dengan 20
mL CSF sangat efektif dalam mengurani otak bengkak. Jika diperlukan CSF
dapat dikeluarkan sampai dengan 50 mL.1
MANAJEMEN GENERAL ANESTESI
PENILAIAN SEBELUM OPERASI
Penentuan strategi anestesi untuk bedah saraf tergantung pada status neurologis
dan keadaan umum pasien, intervensi yang direncanakan dan integrasi holistik
faktor inisiasi. Pasien dan intervensi yang akan direncanakan harus didiskusikan
dengan ahli bedah saraf yang terlibat.

Status Neurologis Pasien


Tujuan utama melakukan penilaian status neurologis pasien adalah untuk
memperkirakan berapa kenaikan dari ICP, seberapa besar kerusakan dari tekanan
komplianse intrakranial dan autoregulasi, dan berapa banyak homeostasis
cadangan untuk ICP dan CBF sebelum iskemia otak atau gangguan neurologis lain

14

terjadi. Tujuan lainnya juga untuk menilai kelainan neurologis apa saja yang sudah
terjadi baik yang bersifat reversible maupun irreversible.1

Keadaan Umum Pasien


Fungsi kardiovaskular dan fungsi respirasi adalah penting karena perfusi otak dan
oksigenasi pada akhirnya akan bergantung pada hal tersebut, fungsi keduanya
harus dioptimalkan sebelum akan dilakukan operasi. Beberapa kondisi patologis
intrakranial akan mengubah fungsi kardiovaskular (misalnya terjadi kenaikan dari
ICP akan mempengaruhi konduksi jantung). Operasi pada massa supratentorial
(terutama meningioma, metastasis) dapat dikaitkan dengan pengeluaran darah
yang signifikan dan dapat terjadi suatu keadaan hipovolemia dan hipotensi. Dalam
kasus-kasus metastasis, tumor primer dapat mnerusak dari fungsi kardiorespirasi
(40% tumor metastasis ke otak berasal dari paru-paru).1
Masalah lebih lanjut yang berhubungan dengan tumor ganas termasuk gangguan
koagulasi yang berhubungan dengan peningkatan resiko tromboemboli sekitar
21% kemungkinan terjadi dalam tahun pertama setelah dilakukan operasi. Dengan
demikian maka walaupun terdapat resiko perdarahan, heparin low molecular dapat
diindikasikan setelah operasi kraniotomi selesai untuk pencegahan tromboemboli
vena.1

Rencana Intervensi Operasi.


Poin penting untuk merencanakan suatu intervensi operasi adalah ukuran dan
posisi tumor, diagnosa jaringan, pendekatan bedah, struktur di sekitarnya yang
berdekatan dan kemungkinan keterlibatannya struktur tersebut dalam operasi dan
apakah tumor tersebut akan dioperasi secara radikal atau hanya pengurangan

15

secara maksimalnya saja. Pendekatan dari segi bedah akan menentukan posisi
pasien.1

INDUKSI ANESTESI
Sasaran dan obat-obatan
Faktor utama yang perlu dipertimbangkan untuk induksi anestesi bagi
bedah saraf supratentorial elektif adalah kontrol ventilasi (penghindaran dari
hiperkapnia dan hipoksemia, penerapan awal hiperventilasi ringan), kontrol
simpatis dan juga tekanan darah (yaitu kedalaman anestesi yang adekuat dan antinosisepsi untuk mencegah stimulasi SSP), dan pencegahan obstruksi aliran keluar
vena kranial (memposisikan kepala). Perhatian terhadap detil-detil tersebut
karena

memperbaiki

status

kurva

tekanan-volume

intrakranial

pasien,

memastikan adekuatnya perfusi otak, membantu mencegah peningkatan TIK


yang tidak menguntungkan, dan menurunkan tekanan perfusi otak. Induksi
dengan thiopental atau propofol yang dijadikan starter, dan opioid, bersama
dengan hiperventilasi lembut, yang diberikan sebelum intubasi.1
Penggunaan infus propofol memungkinkan penggunaan yang lebih
aman dari pada nitrogen oksida dengan mensupresi efek serebrostimulatorik
lanjutan yang tidak diinginkan. Untuk induksi pada pasien-pasien yang lebih
lemah atau lanjut usia, etomidat (0,2 sampai 0,4 mg/kgBB) bisa digunakan di
samping propofol.
Fentanyl bisa digantikan oleh alfentanil (5 sampai 10 g/kgBB diikuti
dengan infus pemeliharaan dalam dosis 5 sampai 10 g/kgBB/jam), oleh
sufentanil (0,5 sampai 1,5 g/kgBB diikuti dengan infusan pemeliharaan dalam
dosis 0,1 sampai 0,3 g/kgBB/jam) untuk kontrol hemodinamik yang lebih halus,

16

atau oleh remifentanil (0,5 sampai 1 g/kgBB diikuti dengan infus pemeliharaan
dalam dosis 0,1 sampai 0,2 g/kgBB/jam) untuk pemulihan yang cepat dan
penilaian neurologis awal yang independen terhadap durasi anestesi.1

Pelumpuh otot
Pelumpuh otot non depolarisasi memiliki efek minimal terhadap
hemodinamik otak. Hal ini diperkirakan bahwa penggunaan suksinilkolin perlu
disimpan untuk pasien dengan kemungkinan kesulitan intubasi atau jika induksi
sekuens cepat mutlak tidak dapat dihindari. Suksinilkolin bisa menyebabkan
kenaikan transien CMR, CBF, dan ICP (TIK), walaupun kenaikan tersebut
biasanya bisa dikontrol dengan hiperventilasi atau mendalamkan anestesi dan
hanya menimbulkan konsekuensi pada pasien dengan kenaikan TIK yang tidak
aman.1
Direkomendasikan untuk menghindari pelumpuh otot berdurasi lebih
panjang, seperti pankuronium, dan memilih untuk menggunakan pelumpuh otot
berdurasi sedang-singkat, seperti vecuronium, cisatrakurium, mivakurium, dan
rokuronium. Rekomendasi ini berdasarkan pada fakta bahwa pasien-pasien bedah
saraf rentan terhadap efek hangover pelumpuh otot (sulit untuk dideteksi dengan
penilaian manual atau stimulasi nervus perifer). Dalam konteks ini, interaksi
(kebutuhan akan 50 sampai 60% dosis yang lebih tinggi) antara fenitoin jangkapanjang atau terapi karbamaepin (>7 hari) dengan pankuronium, vecuronium,
atrakurium, atau cisatrakurium perlu diperhatikan, seperti juga kebutuhan akan
pemantauan transmisi neuromuskuler pada ekstremitas yang non-hemiplegik
(seperti yang telah didiskusikan sebelumnya). Bagaimanapun, dokter anestesi

17

perlu mengingat bahwa imobilitas pasien perlu dijamin selama prosedur


berlangsung.1

Memposisikan pasien
Aplikasi pin holder merupakan sebuah stimulus nosiseptif maksimum.
Hal ini perlu secara adekuat diblok dengan mendalamkan anestesi (bolus
remifentanil 0,25 sampai 1 g/kgBB, fentanyl 1 sampai 3 g/kgBB atau
alfentanil 10 sampai 20 g/kgBB) atau anestesi (contohnya dengan bolus
intravena thiopental 1 mg/kgBB atau propofol 0,5 mg/kgBB), lebih baik jika
digunakan bersama dengan infiltrasi anestesi lokal pada lokasi pin untuk
mencegah stimulasi SSP yang tidak diinginkan dan aktivasi hemodinamik.
Alternatifnya,

kontrol

hemodinamik

bisa

dicapai

dengan

agen-agen

antihipertensif seperti esmolol (1 mg/kgBB) dan labetalol (0,5 sampai 1


mg/kgBB). Insersi pin bisa dikaitkan dengan embolisme udara di vena.1
Pengambilan posisi pasien perlu diawasi ketat oleh dokter anestesi dan
dokter bedah, dan menghindari posisi yang ekstrim. Perhatian khusus perlu
diberikan pada padding atau fiksasi regio-regio yang rentan terhadap cedera
akibat tekanan, abrasi, atau pergerakan, seperti ekstremitas yang jatuh. Posisi
head-up ringan akan membantu drainase vena. Ekstensi lateral atau fleksi kepala
yang terlalu ekstrim perlu dihindari (sebaiknya ada ruang minimal dua jari
diantara dagu dengan tulang terdekat) untuk menghindari kinking pipa
endotrakeal, pembengkakan dan gangguan jalan napas postoperatif, dan
kerusakan drainase vena otak (pembengkakan otak). Lutut perlu difleksikan
ringan untuk mencegah cedera lumbosakral. Jika kepala diputar ke lateral
(contohnya untuk kraniotomi pterional atau frontotemporal), bahu kontralateral

18

perlu dielevasikan (dengan wedge atau roll) untuk mencegah cedera peregangan
pleksus brakialis. Posisi lateral dan duduk memiliki tindakan pendegahan spesifik
dalam pengambilan posisinya masing-masing. Pipa endotrakeal harus difiksasi
dan diberi pack dengan aman untuk mencegah ekstubasi yang tidak disengaja
atau abrasi yang diakibatkan oleh pergerakan dan harus dapat diakses pada
periode intraoperatif (catatan: terdapat kenaikan dead space jika pipa ekstensi
digunakan pada distal Y-piece). Terakhir, mata juga perlu diisolasi dalam kondisi
terpejam untuk mencegah kerusakan kornea akibat paparan atau irigasi dengan
cairan-cairan antiseptik atau yang lainnya.1

ANESTESI PEMELIHARAAN
Sasaran
Tujuan anestesi utama selama operasi supratentorial adalah (1) kontrol
tekanan otak lewat kontrol CBF dan CMR (yang disebut sebagai konsep retraktor
otak kimia) dan (2) neuroproteksi lewat peliharaan terhadap lingkungan
intrakranial yang optimal. Sasaran pertama bergantung pada pencegahan
stimulasi SSP; hal ini dicapai lewat kedalaman anestesi yang baik dan
antinosisepsi, profilaksis antiepileptik sebagaimana juga kontrol terhadap
konsekuensi-konsekuensi stimulasi SSP jika hal ini terjadi (dengan antihipertensi,
simpatolitik). Sasaran kedua bergantung pada pemeliharaan kecocokan yang baik
antara permintaan substrat otak dengan suplai, sebagaimana juga upaya dalam
neuroproteksi spesifik jika terjadi mismatch (catatan: iskemia terjadi di bawah
retraktor pada 5 sampai 10% pasien). Banyak dokter anestesi menggunakan
hipotermia pasif sedang (350C) untuk memberikan neuroproteksi, dengan
berdasar pada banyak literatur eksperimental yang menunjukkan efikasinya pada

19

cedera otak. Namun, studi klinis belum menunjukkan adanya efek bermanfaat
dari hipotermia pada pasien bedah saraf. Selain itu, hipotermia merusak fungsi
platelet dan kaskade koagulasi. Oleh sebab itu, bahkan hipotermia yang ringan
(<10C) dapat meningkatkan kehilangan darah dan juga risiko transfusi. Walaupun
risiko perdarahan otak yang lebih tinggi yang diakibatkan oleh hipotermia belum
ditunjukkan pada bedah saraf, namun efek teoritis ini perlu dipertimbangkan
dalam analisis risiko-manfaat dari penerapan hipotermia. Komplikasi lain dari
hipotermia adalah infeksi luka operasi, efek samping pada miokard, pemulihan
yang memanjang, dan menggigil. Sehingga, normothermia harus menjadi sasaran
utama dari manajemen neuroanestesi. Hipotermia perlu dipertimbangkan hanya
pada kasus dengan risiko mayor cedera iskemik otak.1

Pilihan Teknik
Terdapat kontroversi yang telah berlangsung lama mengenai penggunaan anestesi
intravena dan volatile untuk prosedur intracranial. Sejauh ini, tidak ada studi yang
membandingkan neuroanestesi berbasis obat volatile dengan intravena yang dapat
menunjukkan perbedaan hasil mayor.1
Saat ini, argument utama untuk penggunaan teknik berbasis agen volatile yang
penggunaannya luas dan berhasil adalah kontrolabilitas, prediktabilitas, dan
didapatkannya kesadaran yang dini. Anestesi volatile sebaliknya masih jauh untuk
menjadi agen neuroanestesia yang ideal karena dapat meningkatkan CBP, ICP,
dan brain bulk. Dalam sebuah studi acak prospektif yang membandingkan
anesthesia propofol-fentanyl, isoflurane-fentanyl, dan sevoflurane-fentanyl dalam

20

pasien normokapnik, angka ICP dan pembengkakan serebral lebih rendah pada
kelompok propofol-fentanyl. Namun, pada pasien dengan tidak adanya midline
shift pada CT scan preoperatif, baik isoflurane maupun desflurane tidak
menyebabkan variasi ICP yang signifikan. Serupa, tidak ada perbedaan dalam
penilaian ahli bedah mengenai pembengkakan otak antara pasien yang teranestesi
dengan isoflurane dan yang teranestesi dengan propofol. Walaupun terdapat bukti
bahwa ICP lebih rendah dengan teknik intravena total, dampak klinis dari teknik
ini pada pasien dengan pengingkatan ICP belum dievaluasi. Walaupun agen
intravena menawarkan kontrol yang baik pada CBF, ICP, dan brain bulk,
kembalinya kesadaran yang lama atau tak terprediksi masih merupakan perhatian
utama dengan teknik intravena, dengan kemungkinan menyebabkan kesulitan
dalam diferensial diagnosis kembalinya kesadaran yang lambat dan perlunya CT
emergensi untuk menyingkirkan komplikasi bedah. Masalah ini semakin
diminimalisir dengan penggunaan skema infuse yang terkontrol computer (pompa
infuse terkontrol target) dan ketersediaan obat short-acting atau obat yang
insensitive terhadap durasi infuse, seperti propofol dan remifentanil.1
Pada saat ini, kami akan memperhitungkan teknik intravena sebagai yang paling
terpilih diindikasikan untuk pasien dengan masalah bedah saraf (resiko tinggi
masalah ICP dan pembengkakan otak), dimana teknik volatile paling baik
digunakan untuk kasus bedah saraf tanpa komplikasi. Pada konteks ini, nitrous
oxide dapat digunakan sebagai suplemen analgesi kerja cepat saat dura terbuka
dan otak terlihat. Seperti yang telah terbukti, penggunaan berulang nitrous oxide
dan anesthesia volatile paling baik dihindari dalam masalah pasien karena efek
sinergistik mereka dalam meningkatkan metabolisme dan aliran darah serebral,
seperti yang telah dibahas sebelumnya. Secara jelas, jika usaha untuk mengontrol

21

brain bulk (hiperventilasi, diuretic osmosis, kontrol tekanan darah, pemosisian,


drainase lumbal)tidak berhasil dilakukan selama anesthesia menggunakan agen
volatile, pertimbahangan harus diberikan pada konversi ke teknik anesthesia
intravena total.1

Manajemen Peningkatan Tekanan Intracranial dan Brain Bulk


Kemunculan protrusi otak memerlukan intervensi segera, yang harus meliputi
pendalaman anesthesia dengan agen intravena (kurva kapnogram harus dicek
untuk

menyingkirkan

perlawanan

terhadap

ventilator,

meningkatkan

hipoventilasi, melakukan drainase CSF, dan mengganti posisi ke posisi head-up


tanpa penundaan.1

Terapi Cairan
Praktek untuk mencapai normovolemia dan normotensi selama bedah intracranial
sekarang telah dikenal dengan baik. Hiperglikemia, yang memperburuk
konsekuensi iskemia serebral, dan hipoosmolalitas (osmolalitas target 290-320
mOsm/kg), yang dapat meningkatkan edema otak, harus dicegah. Tekanan
onkotik koloid memainkan peran yang kurang jelas dalam edema otak. Solusi
hipo-osmoler atau yang mengandung glukosa (misalnya solusi Ringer laktat, 254
mOsm/kg) harus dihindari. Pilihan yang cocok untuk cairan infuse selama bedah
saraf meliputi NaCl 0,9% dan larutan HES 6% 130/0,4 modern (304 mOsm/kg)
dengan tidak ada efek buruk pada koagulasi. Hematokrit harus dijaga di atas 28%.

22

Cairan harus dihangatkan di akhir prosedur untuk memastikan normotermia untuk


siuman dari anesthesia.1

Siuman dari Anesthesia


Siuman dari anesthesia memiliki konsekuensi respiratorik, kardiovaskuler,
metabolic-endokrin, dan neurologis. Pada awal periode postoperative setelah
kraniotomi elektif, autoregulasi seringkali terganggu, dengan 20% pasien
menunjukkan peningkatan ICP. Terutama pada konteks bedah saraf, kriteria
ekstubasi harus diobservasi secara ketat: jalur respirasi dan proteksi jalan napas
biasanya terganggu setelah bedah otak, dan hipercapnia serta hipoksia membawa
resiko menyebabkan cedera otak sekunder sistemik tambahan. Kesadaran dan
ekstubasi setelah anesthesia berhubungan dengan kebangkitan hemodinamik yang
bertahan 10-25 menit dan hanya berkorelasi secara lemah dengan peningkatan
konsumsi oksigen. Aktivasi ini secara parsial dimediasi oleh peningkatan dalam
kadar katekolamin dan sebagian oleh stimulus nosiseptif. Hubungan antara
hipertensi perioperatif dan perdarahan intracranial adalah 3,6 kali lebih mungkin
pada pasien hipertensi dibandingkan dengan kontrol yang dicocokkan. Hubungan
yang kuat antara perdarahan intracranial dengan pola tekanan darah yang masih
dalam kisaran normal intraoperatif tetapi hipertensi yang muncul saat tercapainya
anesthesia menunjukkan bahwa hemostasis bedah yang longgar yang dicapai saat
tekanan darah rendah dapat menyebabkan perdarahan pada tekanan darah yang
lebih tinggi. Perubahan sirkulasi serebral dapat juga berkontribusi pada
komplikasi serebral postoperative (perdarahan atau edema). Ekstubasi tracheal
berhubungan dengan peningkatan 60-80% kecepatan aliran darah otak dari nilai
awal preinduksi dengan peningkatan Svo2. Cukup jelas bahwa hubungan

23

hipertensi arterial dan hipertermia serebral dapat berbahaya bagi pasien.


Analgesia, pencegahan hipotermia dan menggigil, ekstubasi tracheal yang tepat
waktu untuk mencegah perlawanan pasien terhadap selang diperlukan untuk
membatasi pelepasan katekolamin dan perubahan hemodinamik. Agen pemblok
-adrenergik meningkatkan stabilitas hemodinamik selama tercapainya anesthesia
dan membatasi perubahan CBF. Esmolol, sebuah beta-blocker kerja singkat
(waktu-paruh 9 menit), dapat digunakan sebagai bolus (1 mg/kgbb) yang diikuti
dengan infuse kontinyu (100-300 g/kgbb/menit) selama 15-30 menit setelah
ekstubasi tracheal.1

Tujuan Siuman Setelah Bedah Saraf


Tujuan utama siuman dari anesthesia setelah bedah saraf adalah dipertahankannya
homeostasis intracranial dan ekstrakranial, terutama pada parameter berikut ini:
MAP, CBF, ICP, PaCO2, PaO2, CMR, dan suhu. Faktor yang menyebabkan
perdarahan intracranial atau mempengaruhi CBF atau ICP, seperti batuk,
perlawanan terhadap ventilator, hipertensi, dan tekanan jalan napas yang
berlebihan, harus dihindari. Pasien harus responsive terhadap perintah verbal,
tenang, dan kooperatif segera setelah siuman. Tanda gangguan yang paling umum
setelah operasi intracranial adalah penurunan kesadaran dan tanda klinis defisit
neurologis fokal. Komplikasi postoperative yang paling ditakuti, perdarahan
serebral, terjadi paling sering dalam 6 jam pertama setelah operasi. Dalam sebuah
analisis retrospektif, faktor yang berhubungan dengan komplikasi postoperative
adalah skor keparahan tumor (kombinasi lokasi tumor, efek massa, dan midline
shift), perkiraan darah yang hilang dan volume cairan intraoperatif, durasi operasi
lebih dari 7 jam, dan ventilasi postoperative. Terbatasnya sumber daya unit

24

perawatan intensif dapat menentukan perawatan yang lama pada unit perawatan
pasca anesthesia dan kembali ke bangsal bedah saraf dengan melewatkan unit
perawatan intensif hanya pada untuk pasien dengan resiko komplikasi serebral
yang rendah. Tetapi suatu malapetaka postoperasi dapat memperberat kebutuhan
penghematan biaya yang potensial untuk menetapkan protokol postoperative
dalam kasus perburukan neurologis.
Kesadaran bedah saraf harus meliputi: kondisi optimal untuk pemeriksaan
neurologis.1

Siuman dari Anesthesia dengan Cepat atau Lambat


Idealnya, pasien yang sedang menjalani pemulihan dari bedah saraf harus siuman
segera dari anesthesia untuk memungkinkan penilaian segera dari hasil operasi
dan untuk memberikan sebuah nilai awal untuk follow-up neurologis
postoperative berkelanjutan. Terdapat beberapa kategori pasien dimana siuman
dari anesthesi dini adalah hal yang kurang tepat.1
Indikasi untuk siuman dari anestesi yang ditunda:
Jika pasien memiliki kesadaran yang kurang atau kontrol jalan napas yang
inadekuat pasca operasi, masalahnya tidak akan membaik pasca operasi, sehingga
membuat ekstubasi dini menjadi semakin tidak mungkin. Jika terdapat resiko
pasca operasi yang tinggi akan edema otak, peningkatan ICP, atau gangguan
homeostasis atau hemostasis intraserebral, siuman yang dini adalah tidak tepat.
Risiko tersebut akan meningkat setelah operasi yang lama (>6jam) dan ekstensif
(terutama jika berhubungan dengan perdarahan), operasi ulangan, operasi
glioblastoma mayor, operasi yang melibatkan atau dekat dengan area otak vital,
dan operasi yang berhubungan dengan iskemia otak signifikan (misalnya waktu

25

pemasangan klip vaskuler panjang, tekanan refraktor ekstensif). Jika siuman dari
anestesi yang lama yang dipilih, sedasi dan analgesi yang adekuat harus
dipastikan, yang paling baik dengan obat kerja singkat.1

Prekondisi untuk siuman dari anestesi dini


Siuman dari anestesi dini memerlukan perencanaan. Hal ini membutuhkan teknik
anestesi yang adekuat secara farmakologis untuk memungkinkan siuman dini dan
memerlukan perhatian yang besar pada homeostasis otak dan sistemik
intraoperatif (mempertahankan oksigenasi normal, suhu, volume intravaskuler,
tekanan darah, fungsi kardiovaskuler, dan metabolisme CNS). Untuk mencegah
trauma retraksi otak mekanik, ICP dan brain bulk harus dikontrol secara
farmakologis

selama

operasi.

Ahli

bedah

saraf

berkontribusi

dengan

meminimalisasi kehilangan darah dengan hemostasis obsesif dan reduksi


invasivitas bedah dengan penggunaan microsurgery dan lapangan operasi yang
kecil. Jika kondisi ini terpenuhi, siuman dari anestesi dini dapat berhubungan
dengan aktivasi endiokrin, hemodinamik, dan metabolic yang lebih sedikit
dibandingkan dengan siuman dari anestesi yang lama.1

Pelaksanaan siuman dari anestesi dini


Prerekuisit untuk sebuah pendaratan yang mulus adalah titrasi obat anestesi dan
analgesic secara hati-hati pada akhir prosedur. Tujuan ini diperoleh dengan
penggunaan dosis top-up dari anestetik atau analgetik intravena (opioid,
lidokain) atau, alternatifnya, sebuah hembusan pendek obat volatile, atau
keduanya. Penggunaan agen simpatolitik dapat diindikasikan. Pencegahan nyeri
postoperative adalah wajib, terutama setelah analgesia remifentanil. Infus

26

analgetik non narkotik tunggal tidak memberikan analgesia yang adekuat pada
semua pasien. Sebuah kombinasi 2 analgesik narkotik, berhubungan dengan dosis
kecil morfin setelah ekstubasi bila perlu, adalah wajib. Blok saraf kulit kepala
atau infiltrasi bupivacain pada luka memberikan analgesia yang adekuat pada
periode postoperative awal dan harus dipikirkan. Profilaksis antiepileptic yang
adekuat bergantung terutama pada phenytoin (atau fosphenytoin) dosis loading
selama operasi, tetapi agen antiepileptic intravena lain (valproat, levetiracetam,
dll) dapat digunakan. Uji prospektif yang membandingkan beberapa agen
antiepileptic untuk profilaksis postoperative awal masih sedikit.

Jika pasien belum bangun dan tidak dapat mengikuti perintah verbal sederhana
20-30 menit setelah penghentian anesthesia yang adekuat secara farmakologis,
penyebab nonanestetik siuman dari anestesi yang lambat harus dipikirkan dan
disingkirkan (dengan CT atau MRI) atau diobati. Diferensial diagnosisnya
meliputi kejang, edema otak, hematoma intracranial, pneumocephalus, oklusi
pembuluh darah, dan iskemia serta gangguan elektroolit dan metabolic. Jika
overdosis opioid dicurigai, adalah cukup berdasar untuk mentitrasi antagonisasi
dengan dosis kecil nalokson atau naltrekson.1

III.

RINGKASAN
Dasar neuroanesthesia untuk operasi massa supratentorial adalah
pemahaman berikut ini:

Patofisiologi peningkatan ICP


Regulasi dan maintenance prefusi serebral
Efek anesthesia dan operasi pada ICP, perfusi serebral, dan homeostasis
intraserebral
27

Perbedaan antara patofisiologi dan manajemen massa yang meluas secara


cepat, seperti hematoma akut, dan massa yang tumbuh lambat, seperti
tumor otak.

Tujuan utama untuk eksisi tumor serebral adalah sebagai berikut:


1. Pelestarian daerah serebral yang tidak terkena cedera selama prosedur oleh
maintenance global homeostasis dan proteksi oleh:
Normovolemia dan normotensi
Normoglikemi
Hiperoksia dan hipokapnia ringan
Hiperosmolalitas ringan
2. Pemeliharaan autoregulasi CBF versus MAP, serta vasoreaktivitas
terhadap PaCO2.
3. Minimalisasi kebutuhan untuk retraksi bedak melalui penggunaan retraksi
otak kimia yang terdiri dari:
KOntrol CMRO2, CBF, dan CBV
Hiperventilasi moderat
Pemeliharaan CPP yang ketat
Osmoterapi
Drainase CSF
Penggunaan anesthesia intravena untuk otak
4. Pelaksanaan siuman dari anestesi yang dini, sehingga memungkinkan:
Penilaian neurologis postoperative segera yang adekuat
Evaluasi postoperative berkelanjutan
Diagnosis komplikasi oleh tim neurologis tanpa penundaan
CT scan segera atau operasi jika perlu
5. Manajemen anesthesia dan pemulihan bedah terdiri dari:
Penghilangan nyeri yang adekuat
Pencegahan mual muntah postoperative
Kontrol hemodinamik

28

DAFTAR PUSTAKA

1. Cottrell.E.James,Young.L.William. Cottrell and Youngs Neuroanesthesia. 5th ed.


Philadelphia. 2010; 11: 184-453
2. Miller.D.Ronald. Millers Anesthesia. 7th ed. Churchill Livingstone. 2012; 63: 20452088
3. Kim E.Barret, Susan M.Barman, Scott Boitano, dkk. Ganongs review of Medical
Physiology. 23rd ed. Lange. 2011; 3: 178-201
4. Tatang Bisri. Penanganan Neuroanestesia dan Critical Care Cedera Otak Traumatik.
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran. 2012; 1: 1-18
5. H Robert, M Katherine. Anesthesia and Co-Existing Disease. 5th ed. Stoeltings. 2010;
13:487-519
6. GE Morgan, MS Mikail. Clinical Anesthesiology. 4th ed. New York. 2006;36

29

Anda mungkin juga menyukai