I.
PENDAHULUAN
Kraniotomi eksisi atau biopsi pada tumor supratentorial
merupakan
seperti adanya penyakit kardiovaskular atau paru-paru misalkan pada pasienpasien dengan kasus yang sudah bermetastase merupakan hal yang tidak boleh
dilupakan dan menjadi tambahan dalam melakukan pembiusan. 2 Makalah ini akan
membahas mengenai massa supratentorial dan hal-hal yang berkaitan dengan
pembiusan pada operasi massa supratentorial.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
ANATOMI SISTEM SARAF PUSAT
Sistem saraf pusat terdiri dari serebrum, serebelum, dan batang otak yang
dibentuk dari mesencefalon, pons, dan medula oblongata. Bila tulang kalvaria dan
duramater disingkirkan, di bawah lapisan arachnoid mater kranialis dan pia mater
kranialis akan terlihat gyrus, sulkus, dan fisura korteks cerebri. Sulkus dan fisura
korteks serebri membagi hemisfer serebri menjadi daerah lebih kecil yang disebut
lobus.3
1. Serebrum (Otak besar)
Serebelum adalah bagian terbesar dari otak yang terdiri dari dua hemisfer.
Hemisfer kanan berfungsi untuk mengontrol bagian tubuh sebelah kiri dan
hemisfer kiri berfungsi untuk mengontrol bagian tubuh sebelah kanan.
Masing-masing hemisfer terdiri dari empat lobus. Bagian lobus yang
menonjol disebut gyrus dan bagian lekukan yang menyerupai parit disebut
sulkus. Keempat lobus tersebut masing-masing adalah lobus frontal, lobus
parietal, lobus oksipital dan lobus temporal.
a. Lobus parietal
Lobus parietal merupakan lobus yang berada di bagian tengah serebrum.
Lobus parietal bagian depan dibatasi oleh sulkus sentralis dan bagian
belakang oleh garis yang ditarik dari sulkus parieto-oksipital ke ujung
posterior sulkus lateralis (Sylvian). Daerah ini berfungsi untuk menerima
impuls dari serabut saraf sensorik thalamus yang berkaitan dengan segala
bentuk sensasi dan mengenali segala jenis rangsangan somatik.
b. Lobus frontal
Lobus frontalis merupakan bagian lobus yang ada di bagian paling depan
dari serebrum. Lobus ini mencakup semua korteks anterior sulkus sentral
dari Rolando. Pada daerah ini terdapat area motorik untuk mengontrol
gerakan otot-otot, gerakan bola mata, area broca, sebagai pusat bicara, dan
area prefrontal (area asosiasi) yang mengontrol aktivitas intelektual.
c. Lobus temporal
Lobus temporal berada di bagian bawah dan dipisahkan dari lobus
oksipital oleh garis yang ditarik secara vertikal ke bawah dari ujung atas
sulkus lateral. Lobus temporal berperan penting dalam kemampuan
pendengaran, pemaknaan informasi dan bahasa dalam bentuk suara.
d. Lobus oksipital
Lobus oksipital berada di belakang lobus parietal dan lobus temporal.
Lobus ini berhubungan dengan rangsangan visual yang memungkinkan
c. Medula oblongata, adalah bagian paling bawah belakang dari batang otak
yang akan berlanjut menjadi medula spinalis. Medula oblongata terletak
juga di fossa kranial posterior. Saraf kranial IX, X, dan XII disosiasikan
dengan medula oblongata sedangkan saraf kranial VI dan VIII berada
pada perhubungan dari pons dan medula.
Bila
aliran
darah
ke
otak
<20
mL/100g/menit,
Regulasi dari CBF diatur berdasarkan level dari tekanan arteri serebral. Hal
tersebut tergantung pada gradien tekanan di dinding pembuluh darah (yang
merupakan hasil dari Tekanan perfusi serebral (CPP)) dan besar PaCO2 (yang
tergantung dari ventilasi pasien). CBF autoregulasi akan mempengaruhi secara
dominan terhadap homeostatis ICP, dan akan terus konstan dalam menghadapi
perubahan CPP atau tekanan arteri (MAP). Fungsi autoregulasi normal untuk CPP
nilainya 50-150 mmHg dan banyak terganggu oleh banyak sebab intrakranial
(misalnya darah dalam cairan serebrospinal, trauma, atau tumor) dan
ekstrakranial (hipertensi sistemik). Jika CPP tidak memadai maka perfusi jaringan
akan menurun. Bila tingkat CBF dibawah batas autoregulasi yaitu kurang dari 20
ml/100 g/menit maka akan menghasilkan iskemia, hal tersebut dapat diperbaiki
dengan cara menormalkan kembali CPP (dengan meningkatkan MAP atau
menurunkan ICP) atau mengurangi kebutuhan metabolik otak ( dengan cara
memperdalam anestesi atau membuat pasien menjadi sedikit hipotermi).
Pengurangan CPP atau MAP yang akut akan cenderung meningkatkan ICP (yang
disebut dengan cascade vasodilatasi). Penurunan PaCO2 akan menyebabkan
vasokonstriksi, mengurangi CBF, CBV dan dengan demikian ICP. Sebaliknya
keadaan hiperventilasi akan berguna untuk mengontrol erkapnia akan
meningkatkan ICP dan harus dicegah selama periode perioperatif mengurangi
CBF, CBV, dan dengan demikian ICP Sebaliknya, hiperkapnia meningkatkan ICP
dan harus dicegah periode perioperatif. Hal ini membuat hiperventilasi dapat
berguna untuk mengontrol awal dari hyperemia intracerebral dan peningkatan
ICP.1
Rumus :
CBF = CPP/CVR
CPP = MAP ICP
HUBUNGAN
ANESTESI
DENGAN
TEKANAN,
PERFUSI
DAN
METABOLISME INTRAKRANIAL
Anestesi memberikan efek yang besar terhadap lingkungan intrakranial baik
melalui efek obat atau efek bukan obatnya. Efek ini peka terhadap keadaan
intrakranial dan ekstrakranial (misalnya komplians serebral, ada atau tidak adanya
kondisi patologis intrakranial, keadaan status volemik).1
Anestesi Intravena
Anestesi intravena termasuk barbiturat, propofol, etomidate dan ketamin. Selain
sebagai induksi anestesi, propofol digunakan sebai pemeliharaan anestesi dengan
cara infus intravena kontinus (sering dikendalikan dengan komputer atau sistem
TCI). Semua obat intavena yang disebutkan di atas merupakan vasokstriksi
serebral yang mengakibatkan depresi metabolisme serebral (CMR) kecuali
ketamin. Ketamin akan meningkatkan CBF otak tanpa merubah CMR pada
pasien sehat. Pada dosis subanestesi, ketamin akan meningkatkan metabolisme
glukosa di daerah otak dan CBF. Agen anestesi intravena lainnya akan bersifat
menurunkan CBF, CBV, dan ICP. Etomidate dapat menghambat sekresi adrenal
kortisol secara langsung selama 24 sampai 48 jam setelah injeksi tunggal obat
tersebut dan penggunaannya sering dikaitkan dengan gerakan mioklonik.1
Anestesi Volatile
10
Nitrous Oksida
Nitrous Oksida adalah serebrostimulator, dapat meningkatkan CBF, CMR, dan
kadang ICP. Efeknya tidak seragam di seluruh otak melainkan
hanya pada
bagian-bagian otak tertentu (ganglia basalis, talamus, insula) dan dapat merubah
distribus regional CBF.1
Opioid
Opioid telah dikaitkan dengan peningkatan jangka pendek ICP, terutama
subfentanil atau alfentanil. Efek vasodilatasi serebral setelah terjadi penurunan
MAP dan CPP adalah yang mendasari mekanisme untuk peningkatan sementara
11
ICP, meskipun efek vasodilatasi serebral sederhana langsung terjadi. Efek ini
menunjukkan sensitivitas dari efek obat yang masuk intraserebral terhadap
keadaan lingkungan intrakranial dan ekstrakranial dan pentingnya menjaga
keadaan normovolemia untuk menjaga stabilitas dari ICP. Umumnya, opioid
sederhana mengurangi CMR dan tidak mempengaruhi aliran-metabolisme
kopling, autoregulasi, atau sensitivitas karbon dioksida dari pembuluh otak.1
Hiperventilasi
Hiperventilasi akan menyebabkan kondisi hipokapnia dan vasokonstriksi serebral.
Dalam konteks autoregulasi yang utuh, CBF secara kasar berhubungan linier
dengan PaCO2. Nilai yang biasa digunakan untuk mencapai tujuan adalah PaCO2
antara 30-35 mmHg, untuk hasil PaCO2 pada analisa gas darah arteri lebih tinggi
dari pada end tidal CO (ETCO2). Efektivitas hiperventilasi (PaCO2
pada
25
pada
pasien
mm
Hg)
baik
di
bawah
untuk
mengendalikan
isoflurane
atau
massa
propofol
otak
anestesi
12
pengurangan
CBF,
yang
menimbulkan
iskemia
serebral.
terhadap
risiko
hipoperfusi
serebral.
Yang
Lainnya
efek samping penurunan linear aliran arteri koroner, mengurangi aliran balik vena
jantung, hipokalemi.1
Diuretik
Diuretik osmotik seperti manitol dan garam hiperosmotik akan meningkatkan
osmolalitas darah secara akut, sehingga akan mengurangi cairan otak ( terutama
dalam jaringan otak sehat dengan keadaan sawar darah otak yang tetap utuh) dan
juga akan menurunkan massa otak serta ICP. Sehingga terjadi perubahan bentuk
otak sehingga ahli bedah semakin mudah untuk mencapai target lokasi
tumor. Pemberian manitol dengan dosis 0,5-1 g/kgBB (150-400 ml 20% manitol)
intravena yang dibagi menjadi infus cepat sebelum dilakukan operasi dan infus
lambat sampai dengan diseksi otak selesai. Efeknya adalah penurunan ICP,
menghilangkan sekitar 90 mL air di otak yang dicapai pada efek puncak dapat
bertahan selama 2-3 jam. Tujuannya untuk menjaga osmolalitas kurang dari 320
mOsm/kg. Masalah yang mungkin terjadi akibat dari penggunaan diuretik
osmotik ini adalah hipernatremia, hipokalemia dan hipovolemia akut yang dapat
memperburuk pasien-pasien dengan kelainan kongestif gagal jantung. Tidak ada
manfaat tambahan untuk menggunakan tambahan diuretik seperti furosemide
yang menginduksi hipovolemia dan efeknya tidak dapat mengurangi kadar air
dalam otak. Cairan normal saline harus diberikan untuk untuk menggantikan
13
Cairan Cerebrospinal
Drainase CSF dicapai baik oleh tusukan langsung intraoperatif dari ventrikel
lateral atau melalui kateter tulang belakang di lumbal yang ditempatkan sebelum
operasi. Yang terakhir ini hanya efektif jika ada blok ekor untuk keluarnya CSF.
Karena berisiko menyebabkan herniasi otak akut, drainase lumbal CSF harus
digunakan hati-hati dan hanya jika dura terbuka. Pasien harus menerima
hiperventilasi ringan saat CSF dikeringkan. Pengeluaran 10 sampai dengan 20
mL CSF sangat efektif dalam mengurani otak bengkak. Jika diperlukan CSF
dapat dikeluarkan sampai dengan 50 mL.1
MANAJEMEN GENERAL ANESTESI
PENILAIAN SEBELUM OPERASI
Penentuan strategi anestesi untuk bedah saraf tergantung pada status neurologis
dan keadaan umum pasien, intervensi yang direncanakan dan integrasi holistik
faktor inisiasi. Pasien dan intervensi yang akan direncanakan harus didiskusikan
dengan ahli bedah saraf yang terlibat.
14
terjadi. Tujuan lainnya juga untuk menilai kelainan neurologis apa saja yang sudah
terjadi baik yang bersifat reversible maupun irreversible.1
15
secara maksimalnya saja. Pendekatan dari segi bedah akan menentukan posisi
pasien.1
INDUKSI ANESTESI
Sasaran dan obat-obatan
Faktor utama yang perlu dipertimbangkan untuk induksi anestesi bagi
bedah saraf supratentorial elektif adalah kontrol ventilasi (penghindaran dari
hiperkapnia dan hipoksemia, penerapan awal hiperventilasi ringan), kontrol
simpatis dan juga tekanan darah (yaitu kedalaman anestesi yang adekuat dan antinosisepsi untuk mencegah stimulasi SSP), dan pencegahan obstruksi aliran keluar
vena kranial (memposisikan kepala). Perhatian terhadap detil-detil tersebut
karena
memperbaiki
status
kurva
tekanan-volume
intrakranial
pasien,
16
atau oleh remifentanil (0,5 sampai 1 g/kgBB diikuti dengan infus pemeliharaan
dalam dosis 0,1 sampai 0,2 g/kgBB/jam) untuk pemulihan yang cepat dan
penilaian neurologis awal yang independen terhadap durasi anestesi.1
Pelumpuh otot
Pelumpuh otot non depolarisasi memiliki efek minimal terhadap
hemodinamik otak. Hal ini diperkirakan bahwa penggunaan suksinilkolin perlu
disimpan untuk pasien dengan kemungkinan kesulitan intubasi atau jika induksi
sekuens cepat mutlak tidak dapat dihindari. Suksinilkolin bisa menyebabkan
kenaikan transien CMR, CBF, dan ICP (TIK), walaupun kenaikan tersebut
biasanya bisa dikontrol dengan hiperventilasi atau mendalamkan anestesi dan
hanya menimbulkan konsekuensi pada pasien dengan kenaikan TIK yang tidak
aman.1
Direkomendasikan untuk menghindari pelumpuh otot berdurasi lebih
panjang, seperti pankuronium, dan memilih untuk menggunakan pelumpuh otot
berdurasi sedang-singkat, seperti vecuronium, cisatrakurium, mivakurium, dan
rokuronium. Rekomendasi ini berdasarkan pada fakta bahwa pasien-pasien bedah
saraf rentan terhadap efek hangover pelumpuh otot (sulit untuk dideteksi dengan
penilaian manual atau stimulasi nervus perifer). Dalam konteks ini, interaksi
(kebutuhan akan 50 sampai 60% dosis yang lebih tinggi) antara fenitoin jangkapanjang atau terapi karbamaepin (>7 hari) dengan pankuronium, vecuronium,
atrakurium, atau cisatrakurium perlu diperhatikan, seperti juga kebutuhan akan
pemantauan transmisi neuromuskuler pada ekstremitas yang non-hemiplegik
(seperti yang telah didiskusikan sebelumnya). Bagaimanapun, dokter anestesi
17
Memposisikan pasien
Aplikasi pin holder merupakan sebuah stimulus nosiseptif maksimum.
Hal ini perlu secara adekuat diblok dengan mendalamkan anestesi (bolus
remifentanil 0,25 sampai 1 g/kgBB, fentanyl 1 sampai 3 g/kgBB atau
alfentanil 10 sampai 20 g/kgBB) atau anestesi (contohnya dengan bolus
intravena thiopental 1 mg/kgBB atau propofol 0,5 mg/kgBB), lebih baik jika
digunakan bersama dengan infiltrasi anestesi lokal pada lokasi pin untuk
mencegah stimulasi SSP yang tidak diinginkan dan aktivasi hemodinamik.
Alternatifnya,
kontrol
hemodinamik
bisa
dicapai
dengan
agen-agen
18
perlu dielevasikan (dengan wedge atau roll) untuk mencegah cedera peregangan
pleksus brakialis. Posisi lateral dan duduk memiliki tindakan pendegahan spesifik
dalam pengambilan posisinya masing-masing. Pipa endotrakeal harus difiksasi
dan diberi pack dengan aman untuk mencegah ekstubasi yang tidak disengaja
atau abrasi yang diakibatkan oleh pergerakan dan harus dapat diakses pada
periode intraoperatif (catatan: terdapat kenaikan dead space jika pipa ekstensi
digunakan pada distal Y-piece). Terakhir, mata juga perlu diisolasi dalam kondisi
terpejam untuk mencegah kerusakan kornea akibat paparan atau irigasi dengan
cairan-cairan antiseptik atau yang lainnya.1
ANESTESI PEMELIHARAAN
Sasaran
Tujuan anestesi utama selama operasi supratentorial adalah (1) kontrol
tekanan otak lewat kontrol CBF dan CMR (yang disebut sebagai konsep retraktor
otak kimia) dan (2) neuroproteksi lewat peliharaan terhadap lingkungan
intrakranial yang optimal. Sasaran pertama bergantung pada pencegahan
stimulasi SSP; hal ini dicapai lewat kedalaman anestesi yang baik dan
antinosisepsi, profilaksis antiepileptik sebagaimana juga kontrol terhadap
konsekuensi-konsekuensi stimulasi SSP jika hal ini terjadi (dengan antihipertensi,
simpatolitik). Sasaran kedua bergantung pada pemeliharaan kecocokan yang baik
antara permintaan substrat otak dengan suplai, sebagaimana juga upaya dalam
neuroproteksi spesifik jika terjadi mismatch (catatan: iskemia terjadi di bawah
retraktor pada 5 sampai 10% pasien). Banyak dokter anestesi menggunakan
hipotermia pasif sedang (350C) untuk memberikan neuroproteksi, dengan
berdasar pada banyak literatur eksperimental yang menunjukkan efikasinya pada
19
cedera otak. Namun, studi klinis belum menunjukkan adanya efek bermanfaat
dari hipotermia pada pasien bedah saraf. Selain itu, hipotermia merusak fungsi
platelet dan kaskade koagulasi. Oleh sebab itu, bahkan hipotermia yang ringan
(<10C) dapat meningkatkan kehilangan darah dan juga risiko transfusi. Walaupun
risiko perdarahan otak yang lebih tinggi yang diakibatkan oleh hipotermia belum
ditunjukkan pada bedah saraf, namun efek teoritis ini perlu dipertimbangkan
dalam analisis risiko-manfaat dari penerapan hipotermia. Komplikasi lain dari
hipotermia adalah infeksi luka operasi, efek samping pada miokard, pemulihan
yang memanjang, dan menggigil. Sehingga, normothermia harus menjadi sasaran
utama dari manajemen neuroanestesi. Hipotermia perlu dipertimbangkan hanya
pada kasus dengan risiko mayor cedera iskemik otak.1
Pilihan Teknik
Terdapat kontroversi yang telah berlangsung lama mengenai penggunaan anestesi
intravena dan volatile untuk prosedur intracranial. Sejauh ini, tidak ada studi yang
membandingkan neuroanestesi berbasis obat volatile dengan intravena yang dapat
menunjukkan perbedaan hasil mayor.1
Saat ini, argument utama untuk penggunaan teknik berbasis agen volatile yang
penggunaannya luas dan berhasil adalah kontrolabilitas, prediktabilitas, dan
didapatkannya kesadaran yang dini. Anestesi volatile sebaliknya masih jauh untuk
menjadi agen neuroanestesia yang ideal karena dapat meningkatkan CBP, ICP,
dan brain bulk. Dalam sebuah studi acak prospektif yang membandingkan
anesthesia propofol-fentanyl, isoflurane-fentanyl, dan sevoflurane-fentanyl dalam
20
pasien normokapnik, angka ICP dan pembengkakan serebral lebih rendah pada
kelompok propofol-fentanyl. Namun, pada pasien dengan tidak adanya midline
shift pada CT scan preoperatif, baik isoflurane maupun desflurane tidak
menyebabkan variasi ICP yang signifikan. Serupa, tidak ada perbedaan dalam
penilaian ahli bedah mengenai pembengkakan otak antara pasien yang teranestesi
dengan isoflurane dan yang teranestesi dengan propofol. Walaupun terdapat bukti
bahwa ICP lebih rendah dengan teknik intravena total, dampak klinis dari teknik
ini pada pasien dengan pengingkatan ICP belum dievaluasi. Walaupun agen
intravena menawarkan kontrol yang baik pada CBF, ICP, dan brain bulk,
kembalinya kesadaran yang lama atau tak terprediksi masih merupakan perhatian
utama dengan teknik intravena, dengan kemungkinan menyebabkan kesulitan
dalam diferensial diagnosis kembalinya kesadaran yang lambat dan perlunya CT
emergensi untuk menyingkirkan komplikasi bedah. Masalah ini semakin
diminimalisir dengan penggunaan skema infuse yang terkontrol computer (pompa
infuse terkontrol target) dan ketersediaan obat short-acting atau obat yang
insensitive terhadap durasi infuse, seperti propofol dan remifentanil.1
Pada saat ini, kami akan memperhitungkan teknik intravena sebagai yang paling
terpilih diindikasikan untuk pasien dengan masalah bedah saraf (resiko tinggi
masalah ICP dan pembengkakan otak), dimana teknik volatile paling baik
digunakan untuk kasus bedah saraf tanpa komplikasi. Pada konteks ini, nitrous
oxide dapat digunakan sebagai suplemen analgesi kerja cepat saat dura terbuka
dan otak terlihat. Seperti yang telah terbukti, penggunaan berulang nitrous oxide
dan anesthesia volatile paling baik dihindari dalam masalah pasien karena efek
sinergistik mereka dalam meningkatkan metabolisme dan aliran darah serebral,
seperti yang telah dibahas sebelumnya. Secara jelas, jika usaha untuk mengontrol
21
menyingkirkan
perlawanan
terhadap
ventilator,
meningkatkan
Terapi Cairan
Praktek untuk mencapai normovolemia dan normotensi selama bedah intracranial
sekarang telah dikenal dengan baik. Hiperglikemia, yang memperburuk
konsekuensi iskemia serebral, dan hipoosmolalitas (osmolalitas target 290-320
mOsm/kg), yang dapat meningkatkan edema otak, harus dicegah. Tekanan
onkotik koloid memainkan peran yang kurang jelas dalam edema otak. Solusi
hipo-osmoler atau yang mengandung glukosa (misalnya solusi Ringer laktat, 254
mOsm/kg) harus dihindari. Pilihan yang cocok untuk cairan infuse selama bedah
saraf meliputi NaCl 0,9% dan larutan HES 6% 130/0,4 modern (304 mOsm/kg)
dengan tidak ada efek buruk pada koagulasi. Hematokrit harus dijaga di atas 28%.
22
23
24
perawatan intensif dapat menentukan perawatan yang lama pada unit perawatan
pasca anesthesia dan kembali ke bangsal bedah saraf dengan melewatkan unit
perawatan intensif hanya pada untuk pasien dengan resiko komplikasi serebral
yang rendah. Tetapi suatu malapetaka postoperasi dapat memperberat kebutuhan
penghematan biaya yang potensial untuk menetapkan protokol postoperative
dalam kasus perburukan neurologis.
Kesadaran bedah saraf harus meliputi: kondisi optimal untuk pemeriksaan
neurologis.1
25
pemasangan klip vaskuler panjang, tekanan refraktor ekstensif). Jika siuman dari
anestesi yang lama yang dipilih, sedasi dan analgesi yang adekuat harus
dipastikan, yang paling baik dengan obat kerja singkat.1
selama
operasi.
Ahli
bedah
saraf
berkontribusi
dengan
26
analgetik non narkotik tunggal tidak memberikan analgesia yang adekuat pada
semua pasien. Sebuah kombinasi 2 analgesik narkotik, berhubungan dengan dosis
kecil morfin setelah ekstubasi bila perlu, adalah wajib. Blok saraf kulit kepala
atau infiltrasi bupivacain pada luka memberikan analgesia yang adekuat pada
periode postoperative awal dan harus dipikirkan. Profilaksis antiepileptic yang
adekuat bergantung terutama pada phenytoin (atau fosphenytoin) dosis loading
selama operasi, tetapi agen antiepileptic intravena lain (valproat, levetiracetam,
dll) dapat digunakan. Uji prospektif yang membandingkan beberapa agen
antiepileptic untuk profilaksis postoperative awal masih sedikit.
Jika pasien belum bangun dan tidak dapat mengikuti perintah verbal sederhana
20-30 menit setelah penghentian anesthesia yang adekuat secara farmakologis,
penyebab nonanestetik siuman dari anestesi yang lambat harus dipikirkan dan
disingkirkan (dengan CT atau MRI) atau diobati. Diferensial diagnosisnya
meliputi kejang, edema otak, hematoma intracranial, pneumocephalus, oklusi
pembuluh darah, dan iskemia serta gangguan elektroolit dan metabolic. Jika
overdosis opioid dicurigai, adalah cukup berdasar untuk mentitrasi antagonisasi
dengan dosis kecil nalokson atau naltrekson.1
III.
RINGKASAN
Dasar neuroanesthesia untuk operasi massa supratentorial adalah
pemahaman berikut ini:
28
DAFTAR PUSTAKA
29