PENDAHULUAN
LAPORAN KASUS
A. Data Pasien
Nama : Asma
Kelamin : Perempuan
Umur : 47 tahun
1
Berat badan : 51 kg
2
C. Pemeriksaan Fisik
VAS: 0/10
Ekstremitas: akral hangat, udem tidak ada tonus dan kekuatan otot normal
D. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium darah:
Hb : 10,0 g/ dl
Hct : 30,3 %
3
GDS : 64 mg/dl
Ureum : 13 mg/dl
SGOT : 20 U/L
SGPT : 28 U/L
E. Kesimpulan
GETA
4
Instruksi preanestesi:
G. Intra operatif
5
6. Jalannya operasi:
6
H. Post operatif
DISKUSI
Timoma adalah tumor epitelial yang berasal dari kelenjar timus. Kelenjar
timus berfungsi memproduksi sel limfosit-T. Sel ini merupakan bagian dari sistem
kekebalan tubuh dan membantu melawan suatu infeksi. Kelenjar timus
berkembang secara penuh pada usia pubertas dan secara bertahap berhenti bekerja
dan menyusut digantikan oleh lemak dan jaringan ikat. Sebagian tumor yang
berasal dari timus adalah timoma. Timoma biasanya terjadi pada usia 40-60 tahun
dengan rasio pada laki-laki dan perempuan adalah sama.1,2 Pada kasus ini
penderita perempuan berusia 47 tahun.
7
timoma adalah ganas. Diagnosis miastenia gravis ditegakkan dari gejala klinis,
pemeriksaan fisik dan penunjang untuk memastikan apakah terdapat timoma.
Gejala klinis pada penderita timoma bervariasi.3,4
Penderita miastenia gravis dibagi atas 4 golongan yaitu antara lain :5,6
Pada kelompok ini terdapat gangguan pada satu atau beberapa otot okular
yang menyebabkan timbulnya gejala ptosis dan diplopia, seringkali ptosis
unilateral.
Gejala biasanya cepat, dimulai dari gangguan otot okular, anggota badan dan
kemudian otot pernafasan. Kasus-kasus yang mempunyai reaksi yang buruk
terhadap terapi antikolinesterase berada dalam keadaan bahaya dan akan
berkembang menjadi krisis Myasthenia.
8
Prosedur diagnostik dimulai dari anamnesis yang cermat dan dilanjutkan
dengan tes klinik sederhana untuk menilai berkurangnya kekuatan otot setelah
aktivitas ringan tertentu, kemudian ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang2,7.
1. Memandang objek diatas level bola mata akan timbul ptosis pada
Myasthenia okular.
Pada pasien ini tes klinik yang menunjang diagnostik miastenia gravis adalah
memandang objek diatas level bola mata akan timbul ptosis. pemeriksaan chest x-
ray terdapat gambaran massa pada bagian anterior mediastinum berupa thymoma.
Gambaran CT scan thorax juga menggambarkan suatu massa mediastinum
parahilus dextra.
9
1. Neostigmin bromide (prostigmin) 15 mg per tab.(per os). Biasanya diberikan
3x1 tab sehari ) dapat ditingkatkan menjadi 3x2 tab). Untuk menghindari
timbulnya nyeri perut sebaiknya diberikan pula atropin atau ext. Belladonnae.
2. Neostigmin methylsulfat (prostigmin) 0,5 mg/amp (i.m / i.v). Bila perlu
diberikan 0,5 mg prostigmin secara i.m (dapat ditingkatkan sampai 1,5 mg.
Prostigmin secara i.m).
3. Endrophonium chloride (tensilon) 10 mg. per amp. (i.v).
4. Pyridostigmin bromide (mestinon) 60 mg per tab (per os).
5. Pyridostigmin bromide (mestinon time span) 180 mg. per tab (per os)
Pada penderita ini diberikan terapi piridostigmin (mestinon) 60 mg/ 8 jam/
oral dan direncanakan tindakan timektomi untuk mengatasi timoma.
Pasien dengan myasthenia gravis yang akan menjalani operasi apapun baik
operasi untuk terapi definitive seperti tymektomi maupun non definitive, baik
elektif maupun emergency, perlu dilakukan evaluasi perioperative ketat
menyangkut berat ringannya MG, onset serta durasi MG dan regimen terapi yang
10
sedang dijalankan. Dalam hal anestesia lebih menekankan pada gejala yang
melibatkan otot-otot pernapasan dan fungsi paru. Perlu diketahui juga penyakit
autoimun yang menyertainya( Tyroid disease, rheumatoid arthritis, SLE ataupun
infeksi) dan adakah regimen terapi yang sebelumnya telah dijalankan.12,13 Pada
pasien ini merupakan miastenia gravis golongan I tanpa ada penyakit autoimun
yang menyertainya dari pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan.
Pilihan tehnik anestesia yang terbaik pada miastenia gravis adalah regional
anestesia. Terutama pada miastenia gravis dengan hanya gejala okular ringan
dimana system otot-otot pernapasan dan jalan napas masih terjamin dengan baik.
Teknik ini tidak melibatkan penggunaaan obat-obatan induksi, inhalasi dan
pelumpuh otot. Namun tidak semua operasi dapat difasilitasi dengan tehnik
regional, terutama pada miastenia gravis dengan derajat tipe bulbar dan
generalisata yang berat. Teknik anestesia apapun yang digunakan untuk pasien
miastenia gravis sebaiknya dipilihkan obat-obatan yang tidak menginduksi atau
menyebabkan exaserbasi miastenia gravis atau minimal tidak memperburuk
derajatnya pada pasien tersebut hingga pasien pulih kembali pada keadaan optimal
sebelum operasi. 12,13 Pada pasien ini pilihan anestesi yang dilakukan yaitu GETA.
11
miastenia gravis berupa mestinon 60 mg tetap diberikan tanpa dilakuakn tapering
dose.
12
ini tidak menggunakan pelumpuh otot. adapun pemakaian obat-obatan pelumpuh
otot sebaiknya didahului dengan penghentian regimen antikolinesterase sampai
dengan sehari sebelum dilaksanakanya operasi. Sebagaimana dijelaskan
sebelumnya pada pasien dengan miastenia gravis terjadi penurunan jumlah
reseptor asetilkolon pada NMJ sehingga relative lebih resisten terhadap obat-
obatan pelumpuh otot golongan depol. Hal ini disebabkan oleh karena pelumpuh
otot gol depol bekerja secara agonis terhadap reseptor seperti halnya asetilkolin,
yaitu menyebabkan depolarisasi. Namun depolarisasi yang disebabkan oleh
Suksinilkolin lebih lama dan menetap dibanding dengan ikatan reseptor terhadap
Asetilkolin, sehingga menyebabkan resistensi terhadap depolarisasi. Obat-obatan
seperti suxamethonium dan Suksinilkolin tidak dianjurkan pada miastenia gravis,
hal ini juga diperberat jika pasien sebelumnya menjalani terapi plasmapharesis,
sehingga durasi kerja obat-obatan ini akan memanjang. Diperlukan dosis yang
lebih besar obat-obatan pelumpuh otot golongan depol untuk dapat menempati
reseptor tersebut, pada dewasa diperlukan dosis 1,5-2x dosis normal dan pada
anak-anak hingga 4x dosis normal. 12,13
13
konsentrasi gas yang digunakan. Urutan efek potensiasi dari yang terkuat adalah;
Isoflurane>Sevoflurane>Desflurane dan Enflurane> Halothane > N2O-02 dan
Opiod. Efek potensiasi tersebut secara langsung menyebabkan penurunan dosis
penggunaan pelumpuh otot dan akhirnya terjadi pemanjangan proses pemulihan
efek relaksasi obat tersebut. 12,13
Penilaian analisa gas darah dilakukan secara berkala mulai dari pre
operatif, intra operatif dan post operatif untuk menilai fungsi kecukupan ventilasi
dalam menjaga system pertukaran gas dalam darah. Kesetimbangan asam basa
juga perlu dimonitor mengingat efesiensi kerja setiap obat bergantung pada
derajat asam-basa yang optimal. 12,13 Tapi pada kasus ini tidak dilakukan penilaian
analisa gas darah.
Pada pasien normal 20-25% derajat pemulihan pada single twitch dan
munculnya twitch keempat pada TOF sudah menunjukkan pergerakan spontan
pada diafragma. 12,13
14
RINGKASAN
15
Di akhir anestesia perlu dilakukan evaluasi ulang terhadap kekuatan otot-
otot pernapasan, patensi jalan napas dan analisa gas darah untuk menentukan
pasien dapat dilakukan ekstubasi atau masuk dalam ventilator mekanik. Bilamana
ekstubasi dilakukan pasien harus tetap menjalani evaluasi dan monitoring ketat
terutama pada sistem pernapasan seperti reflex batuk dan menelan, berbicara dan
bernapas secara maksimal sampai dengan 2-3 hari pasca operasi untuk
menyingkirkan timbulnya komplikasi pasca anestesia seperti paralisis pita suara,
bronkospasme dan kelemahan otot-otot pernapasan. Pasien dengan MG
selayaknya mendapatkan monitoring dan evaluasi sepanjang hidupnya, oleh
karena penyakit autoimun kronis dapat dicetuskan oleh banyak faktor lingkungan
dan aktivitas selain daripada manipulasi pembedahan dan pembiusan.
16
DAFTAR PUSTAKA
17
13. Mosh J, Glick D. The autonomic nervous system In: Miller RD (ed).
Miller’s Anesthesia 6th ed. Philadelphia: Churchill Livingstone; 2000. 617-
44
18