Anda di halaman 1dari 18

PROSEDUR ANESTESI TIMEKTOMI PADA KASUS TIMOMA DENGAN

GEJALA MIASTENIA GRAVIS

PENDAHULUAN

Timoma adalah neoplasma primer yang paling sering ditemukan pada


mediastinum, dengan angka kejadian 15% dari seluruh massa mediastinum.
Timbul pada pasien berusia 40-60 tahun, dengan insiden yang sama pada laki-laki
dan perempuan. 50% kasus timoma ditemukan secara tidak sengaja pada
pemeriksaan radiografi dada rutin sebagai massa mediastinum anterior superior.
Tatalaksana untuk timoma adalah tindakan pembedahan atau timektomi.
Pengkajian menyeluruh pra operasi dibutuhkan untuk memastikan tidak adanya
sindrom paraneoplastik. Tingkat kematian perioperatif cukup tinggi pada pasien
yang menjalani timektomi sebelum tahun 1970 antara 5%-15%. Setelah tahun
1970, tingkat kematian dalam studi terakhir ditemukan secara konsisten kurang
dari 1%. Demikian pula angka kematian timektomi pada pasien miastenia gravis
dilaporkan kurang dari 1%. Miastenia gravis adalah gangguan autoimun kronis
yang disebabkan oleh penurunan fungsi reseptor asetilkolin pada neuromuskular
junction karena kerusakan atau inaktivasi oleh sirkulasi antibodi. Hiperplasia
timus terjadi lebih dari 70% pada pasien dengan miastenia gravis dan 10%-15%
pasien ini menderita timoma.1,2

LAPORAN KASUS

Seorang pasien perempuan umur 47 tahun dirawat di rumah sakit wahidin


sudirohusodo dengan diagnosa timoma direncanakan timektomi.

A. Data Pasien

Nama : Asma

Kelamin : Perempuan

Umur : 47 tahun

1
Berat badan : 51 kg

Tinggi badan : 157 cm

BMI : 20,73 kg/ m2

B. Riwayat Penyakit Sekarang

Keluhan utama: sesak nafas

Anamnesis terpimpin (autoanamnesis): sesak nafas dialami 3 bulan lalu


terutama saat beraktifitas berat. Menghilang setelah istirahat. Penderita
juga mengeluhkan kelemahan pada kelopak mata kanan namun tidak
terdapat kelemahan anggota gerak atas maupun bawah. Saat ini penderita
mendapatkan terapi mestinon 60 mg/ 8 jam/ oral dan gejala yang masih
timbul yakni kelemahan pada kelopak mata kanan.

Riwayat anestesi dan operasi sebelumnya : tidak ada

Riwayat penyakit paru : tidak ada

Riwayat penyakit kardiovaskuler : tidak ada

Riwayat penyakit serebrovaskuler : tidak ada

Riwayat penyakit darah/ gangguan pembekuan darah : tidak ada

Riwayat penyakit gastrointestinal : tidak ada

Riwayat penyakit ginjal/ urologi : tidak ada

Riwayat penyakit alergi obat, makanan : tidak ada

Riwayat minum obat : mestinon 60


mg/ 8 jam/ oral sampai sekarang

Riwayat merokok : tidak ada

Riwayat alkohol : tidak ada

2
C. Pemeriksaan Fisik

KU: baik GCS: 15 (E4M6V5)

Tanda vital: Tekanan darah: 120/ 80 mmHg Nadi: 80 x/ menit

Pernafasan: 18 x/ menit Suhu: 36,5 C

VAS: 0/10

Kepala: Mata: konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil


bulat isokor 2,5 mm/ 2,5 mm reflek cahaya +/+ ptosis +/-

Mulut: buka mulut 4,5 cm gigi ompong/ palsu tidak ada


mallampati 2 TMD 6,5 cm

Leher: tidak ada deviasi trakea

Dada: Paru-paru: pergerakan simetris kanan=kiri bunyi pernafasan


vesikuler kanan=kiri rhonki -/- wheezing -/-

Jantung: bunyi jantung I dan II tunggal tidak ada murmur

Perut: tampak datar, supel, tidak ada pembesaran organ maupun


teraba massa, peristaltik normal

Ekstremitas: akral hangat, udem tidak ada tonus dan kekuatan otot normal

D. Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium darah:

Hb : 10,0 g/ dl

WBC : 4,8 102/ mm3

Plt : 283 102/ mm3

Hct : 30,3 %

3
GDS : 64 mg/dl

Ureum : 13 mg/dl

Kreatinin : 0,68 mg/dl

SGOT : 20 U/L

SGPT : 28 U/L

Albumin : 3,0 mg/dl

Natrium : 139 mg/dl

Kalium : 3,2 mg/dl

Klorida : 107 mg/dl

Calsium : 7,7 mg/dl

Magnesium : 1,58 mg/dl

FT4 : 1,40 ng/ dl

TSHs : 1,08 mIU/ml

EKG : sinus ritme heart rate 80 x/ menit normo axis

CT : scan thorax: massa mediastum di parahilus dextra

ECHO :fungsi sistolik LV baik, ejeksi fraksi 71%, LVH konsentrik,


disfungsi diastolik LV grade I

E. Kesimpulan

Pasien kategori ASA PS kelas II (dua)

F. Rencana Penatalaksanaan Anestesi

GETA

4
Instruksi preanestesi:

- Lanjutkan terapi mestinon 60 mg/ 8 jam/ oral

- Premedikasi: alprazolam tablet 0,5 mg

- Puasa 8 jam pre operasi mulai jam 00:00 WITA

- Pasang intravena kateter no. 18 di tangan kiri dengan transfusi set,


maintenans cairan ringer laktat 21 tetes/ menit.

- Siap darah PRC 4 unit di bank darah rumah sakit Wahidin


Sudirohusodo.

- Injeksi antibiotik profilaksis ceftriaxone 2 g 1 jam pre operasi jam


07:00 WITA

- Injeksi dexametasone 10 mg/ iv, ranitidin 50 mg/ iv, ondansentron 4


mg/iv 1 jam pre operasi jam 08:00 WITA

G. Intra operatif

1. Pasien posisi terlentang, terpasang intravena line dengan kateter 18G


tangan kiri, maintenance cairan 21 tetes/ menit

2. Pasang alat monitor untuk pemantauan elektrokardiografi, tekanan


darah, frekuensi nadi dan pernafasan serta saturasi

3. Premedikasi: midazolam 2 mg/ iv, fentanil 100 mcg/ iv

4. Induksi: propofol 100 mg/ iv

5. Intubasi:laringoskopi, identifikasi plica vocalis, spray dengan lidokain


10%, insersi ETT ID 7,0 mm sedalam 21 cm, kembangkan cuff,
periksa pengembangan dada simetris kanan= kiri, suara pernapasan
kanan= kiri, fiksasi ETT di sudut kanan mulut.

5
6. Jalannya operasi:

- Operasi berlangsung selama 2 jam 30 menit.

- Maintenance dengan Sevofluran 2 vol% dalam O2 60%. Fentanil 50


mcg/ jam/ iv

- Status Anestesi intraoperatif.

6
H. Post operatif

Pasien nafas spontan adekuat, hemodinamik stabil dilakukan ekstubasi


pasien diobservasi di PACU sebelum dipindah ke high care unit untuk
observasi selanjutnya. Dengan pain manajemen fentanil 30 mcg/ jam/ iv +
ketorolac 30 mg/ 8 jam/ iv. Terapi miastenia gravis dilanjutkan.

DISKUSI

Timoma adalah tumor epitelial yang berasal dari kelenjar timus. Kelenjar
timus berfungsi memproduksi sel limfosit-T. Sel ini merupakan bagian dari sistem
kekebalan tubuh dan membantu melawan suatu infeksi. Kelenjar timus
berkembang secara penuh pada usia pubertas dan secara bertahap berhenti bekerja
dan menyusut digantikan oleh lemak dan jaringan ikat. Sebagian tumor yang
berasal dari timus adalah timoma. Timoma biasanya terjadi pada usia 40-60 tahun
dengan rasio pada laki-laki dan perempuan adalah sama.1,2 Pada kasus ini
penderita perempuan berusia 47 tahun.

Kelenjar timus berkaitan dengan perkembangan sistem imun, sehingga


beberapa penderita dengan tumor kelenjar timus juga akan memiliki kelainan
yang berkaitan dengan sistem imun. Kelainan yang tersering didapatkan yaitu
miastenia gravis.2

Miastenia gravis merupakan gangguan autoimun yang merusak


komunikasi antara saraf dan otot, mengakibatkan peristiwa kelemahan otot,
dimana gangguan ini dapat diakibatkan karena adanya kerusakan pada sistem
imun. Pada miastenia gravis, sistem imun menghasilkan antibodi yang menyerang
salah satu jenis reseptor pada simpul reseptor neuromuskular yang bereaksi
terhadap neurotransmiter acetycholine. Gejala miastenia gravis adalah kelemahan
pada otot-otot, diantaranya adalah kelopak mata lemah dan layu, otot mata lemah
yang menyebabkan penglihatan ganda, otot-otot yang mengendalikan pernafasan,
gerak lengan dan kaki mungkin juga akan terpengaruh. Sekitar 35% penderita
dengan timoma memiliki miastenia gravis mengalami pembesaran kelenjar timus,
10% memiliki tumor pada kelenjar timus (timoma) dan sekitar setengah dari

7
timoma adalah ganas. Diagnosis miastenia gravis ditegakkan dari gejala klinis,
pemeriksaan fisik dan penunjang untuk memastikan apakah terdapat timoma.
Gejala klinis pada penderita timoma bervariasi.3,4

Penderita miastenia gravis dibagi atas 4 golongan yaitu antara lain :5,6

Golongan I : Myasthenia Okular

Pada kelompok ini terdapat gangguan pada satu atau beberapa otot okular
yang menyebabkan timbulnya gejala ptosis dan diplopia, seringkali ptosis
unilateral.

Golongan II : Myasthenia bentuk umum yang ringan

Timbulnya gejala perlahan-lahan dimulai dengan gejala okular yang


kemudian menyebar mengenai wajah, anggota badan dan otot-otot bulbar. Otot-
otot respirasi biasanya tidak terkena. Perkembangan ke arah golongan III dapat
terjadi dalam dua tahun pertama dari timbulnya penyakit Myasthenia gravis.

Golongan III : Myasthenia bentuk umum yang berat

Gejala biasanya cepat, dimulai dari gangguan otot okular, anggota badan dan
kemudian otot pernafasan. Kasus-kasus yang mempunyai reaksi yang buruk
terhadap terapi antikolinesterase berada dalam keadaan bahaya dan akan
berkembang menjadi krisis Myasthenia.

Golongan IV : Krisis Myasthenia

Kadang-kadang terdapat keadaan yang berkembang menjadi kelemahan otot yang


menyeluruh disertai dengan paralisis otot-otot pernafasan. Hal ini merupakan
keadaan darurat medik. Krisis Myasthenia dapat terjadi pada penderita golongan
III yang kebal terhadap obat-obat antikolinesterase yang pada saat yang sama
menderita infeksi lain. Pada kasus ini penderita termasuk golongan I dengan
gejala gangguan pada satu otot okuler yang menyebabkan timbulnya ptosis dan
unilateral tanpa ada kelemahan pada otot-otot pernafasan dan anggota gerak.

8
Prosedur diagnostik dimulai dari anamnesis yang cermat dan dilanjutkan
dengan tes klinik sederhana untuk menilai berkurangnya kekuatan otot setelah
aktivitas ringan tertentu, kemudian ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang2,7.

Tes klinik, didasarkan pada kelelahan otot-otot yang terkena:8,9

1. Memandang objek diatas level bola mata akan timbul ptosis pada
Myasthenia okular.

2. Mengangkat lengan akan mengakibatkan jatuhnya lengan bila otot-otot


bahu yang terkena.
3. Pada kasus-kasus bulbar, penderita disuruh menghitung 1 sampai 100
maka volume suara akan menghilang atau timbul disartria.

4. Sukar menelan bila terdapat gejala disfagia.

Pada pasien ini tes klinik yang menunjang diagnostik miastenia gravis adalah
memandang objek diatas level bola mata akan timbul ptosis. pemeriksaan chest x-
ray terdapat gambaran massa pada bagian anterior mediastinum berupa thymoma.
Gambaran CT scan thorax juga menggambarkan suatu massa mediastinum
parahilus dextra.

Penatalaksanaan untuk miastenia gravis adalah dengan memberikan obat-


obatan yang dapat meningkatkan kekuatan otot atau obat yang menekan reaksi
autoimun. Piridostigmin dapat meningkatkan jumlah acethlcholine, sehingga
dapat membantu memperbaiki transmisi neuromuskular dan meningkatkan
kekuatan otot. Kortikosteroid atau immunosuppressant (cyclosporine atau
azathioprine) digunakan untuk menekan reaksi autoimun. Plasmafarese diberikan
ketika obat-obatan tidak menghasilkan perbaikan atau ketika terjadi myasthinic
crisis. Jika terdapat timoma, maka kelenjar timus harus diangkat dengan
pembedahan untuk mencegah penyebaran timoma. Adapun penatalaksanaan pada
miastenia gravis terapi obat-obatan berupa:8,10,11

9
1. Neostigmin bromide (prostigmin) 15 mg per tab.(per os). Biasanya diberikan
3x1 tab sehari ) dapat ditingkatkan menjadi 3x2 tab). Untuk menghindari
timbulnya nyeri perut sebaiknya diberikan pula atropin atau ext. Belladonnae.
2. Neostigmin methylsulfat (prostigmin) 0,5 mg/amp (i.m / i.v). Bila perlu
diberikan 0,5 mg prostigmin secara i.m (dapat ditingkatkan sampai 1,5 mg.
Prostigmin secara i.m).
3. Endrophonium chloride (tensilon) 10 mg. per amp. (i.v).
4. Pyridostigmin bromide (mestinon) 60 mg per tab (per os).
5. Pyridostigmin bromide (mestinon time span) 180 mg. per tab (per os)
Pada penderita ini diberikan terapi piridostigmin (mestinon) 60 mg/ 8 jam/
oral dan direncanakan tindakan timektomi untuk mengatasi timoma.

Adapun kaitan timoma dengan miastenia gravis yaitu adanya antibodi


yang menduduki reseptor acetylcholine dari motor end plate sehingga ia tidak
dapat menggalakkan serabut-serabut otot skeletal. Antibodi tersebut dikenal
sebagai antiacetylcholine reseptor antibodi ayng terbukti dibuat oleh kelenjar
timus yang dihasilkan oleh proses imunologik. Membran postsinaptik dari sinaps
itu menjadi atrofik akibat reaksi imunologik, karena itu penyerapan acetylcholine
sangat menurun. Lagipula jarak antar membran ujung terminal akson motoneuron
dan membran motor end plate menjadi lebih panjang sehingga cholinesterase
mendapat kesempatan yang lebih besar untuk menghancurkan lebih banyak
acetylcholine sehingga potensial aksi postsinaptik yang dicetuskan menjadi lebih
kecil. Dalam pada itu kontraksi otot skeletal pertama-tama berlalu secara normal,
tetapi kontraksi-kontraksi berikutnya menjadi semakin lemah dan berakhir pada
kelumpuhan total. Setelah istirahat, kontraksi otot pulih kembali untuk kemudian
melemah dan lumpuh lagi. Kelemahan yang bergelombang seperti itu dikenal
sebagai kelemahan miastenik.9

Pasien dengan myasthenia gravis yang akan menjalani operasi apapun baik
operasi untuk terapi definitive seperti tymektomi maupun non definitive, baik
elektif maupun emergency, perlu dilakukan evaluasi perioperative ketat
menyangkut berat ringannya MG, onset serta durasi MG dan regimen terapi yang

10
sedang dijalankan. Dalam hal anestesia lebih menekankan pada gejala yang
melibatkan otot-otot pernapasan dan fungsi paru. Perlu diketahui juga penyakit
autoimun yang menyertainya( Tyroid disease, rheumatoid arthritis, SLE ataupun
infeksi) dan adakah regimen terapi yang sebelumnya telah dijalankan.12,13 Pada
pasien ini merupakan miastenia gravis golongan I tanpa ada penyakit autoimun
yang menyertainya dari pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan.

Pilihan tehnik anestesia yang terbaik pada miastenia gravis adalah regional
anestesia. Terutama pada miastenia gravis dengan hanya gejala okular ringan
dimana system otot-otot pernapasan dan jalan napas masih terjamin dengan baik.
Teknik ini tidak melibatkan penggunaaan obat-obatan induksi, inhalasi dan
pelumpuh otot. Namun tidak semua operasi dapat difasilitasi dengan tehnik
regional, terutama pada miastenia gravis dengan derajat tipe bulbar dan
generalisata yang berat. Teknik anestesia apapun yang digunakan untuk pasien
miastenia gravis sebaiknya dipilihkan obat-obatan yang tidak menginduksi atau
menyebabkan exaserbasi miastenia gravis atau minimal tidak memperburuk
derajatnya pada pasien tersebut hingga pasien pulih kembali pada keadaan optimal
sebelum operasi. 12,13 Pada pasien ini pilihan anestesi yang dilakukan yaitu GETA.

Beberapa pendapat menyarankan premedikasi dengan menurunkan dosis


terapi antikolinesterase atau menghentikan hingga menjelang operasi, hal ini
bertujuan untuk mengurangi dosis obat-obatan pelumpuh otot yang akan
digunakan pada saat operasi. Pendapat lain justru mempertahankan terapi
antikolinesterase tanpa tapering dose seperti premedikasi, oleh karena terapi
tersebut masih diperlukan sebagai physiological support, terutama pasien dengan
miastenia gravis yang berat. Pyridostigmin sebagai preparat terapi miastenia
gravis juga dapat menyebabkan pemanjangan klirens Suksinilkolin dan
menghambat kolinesterase plasma, sehingga dapat terjadi pemanjangan masa
pemulihan pada penggunaan pelumpuh otot depol. Physostygmin interaksinya
dengan opiod dapat meniadakan efek sedasi dan depresi napas yang ditimbulkan
12,13
oleh opiod tanpa mengurangi efek analgesianya. Pada kasus ini terapi

11
miastenia gravis berupa mestinon 60 mg tetap diberikan tanpa dilakuakn tapering
dose.

Pada kasus ini juga diberikan premedikasi kortikosteroid berupa


dexametasone selain sebagai terapi miastenia gravis juga dapat menurunkan dosis
kebutuhan pelumpuh otot non depol. 12,13

Premedikasi berupa anxiolitic, sedasi dan opiod perlu pertimbangan yang


besar terutama pada pasien miastenia gravis yang mempunyai volume cadangan
paru yang kecil pada pasien miastenia gravis dengan keterlibatan otot-otot
pernapasan, namun pada pasien miastenia gravis dengan hanya gejala okular
ringan pemakaian obat-obatan tersebut masih dapat digunakan. Opiod pada
konsentrasi terapeutik analgesia tidak mengakibatkan kelemahan pada otot pasien
dengan miastenia gravis, namun efek depresi napas sentral merupakan efek
samping yang perlu diwaspadai. Opiod yang bekerja dengan onset dan durasi
yang pendek, seperti Fentanyl dan Remifentanyl meupakan opiod yang dianjurkan
12,13
pada pasien dengan miastenia gravis. Pada kasus ini premedikasi
menggunakan midazolam 0,05 mg/ kgbb dan fentanil 2 mcg/ kgbb.

Pada kasus ini menggunakan induksi propofol. Dimana obat-obatan


induksi intravena yang disarankan adalah golongan Barbiturat dan Propofol
dengan kombinasi Opioid. Propofol memiliki durasi yang cepat sehingga dapat
digunakan secara titrasi, memberikan efek perubahan hemodinamik yang
minimal. Tehnik anestesi dengan propofol titrasi dan opioid tanpa inhalasi anestesi
cukup memberikan efek relaxasi yang memadai pada pembedahan tymektomi.
Demikian juga dengan opiod yang memiliki onset dan durasi yang singkat, namun
efek terhadap relaxasi otot kurang memadai bila tidak dikombinasi dengan
inhalasi anestesi. 12,13

Sedapat mungkin pembiusan pada pasien miastenia gravis dilakukan tanpa


pemberian pelumpuh otot. Pemberian pelumpuh otot pada pasien miastenia gravis
dapat meningkatkan resiko pemanjangan proses pemlihan efek obat-obatan
tersebut dan meningkatkan resiko pemakaian ventilator post operatif. Pada kasus

12
ini tidak menggunakan pelumpuh otot. adapun pemakaian obat-obatan pelumpuh
otot sebaiknya didahului dengan penghentian regimen antikolinesterase sampai
dengan sehari sebelum dilaksanakanya operasi. Sebagaimana dijelaskan
sebelumnya pada pasien dengan miastenia gravis terjadi penurunan jumlah
reseptor asetilkolon pada NMJ sehingga relative lebih resisten terhadap obat-
obatan pelumpuh otot golongan depol. Hal ini disebabkan oleh karena pelumpuh
otot gol depol bekerja secara agonis terhadap reseptor seperti halnya asetilkolin,
yaitu menyebabkan depolarisasi. Namun depolarisasi yang disebabkan oleh
Suksinilkolin lebih lama dan menetap dibanding dengan ikatan reseptor terhadap
Asetilkolin, sehingga menyebabkan resistensi terhadap depolarisasi. Obat-obatan
seperti suxamethonium dan Suksinilkolin tidak dianjurkan pada miastenia gravis,
hal ini juga diperberat jika pasien sebelumnya menjalani terapi plasmapharesis,
sehingga durasi kerja obat-obatan ini akan memanjang. Diperlukan dosis yang
lebih besar obat-obatan pelumpuh otot golongan depol untuk dapat menempati
reseptor tersebut, pada dewasa diperlukan dosis 1,5-2x dosis normal dan pada
anak-anak hingga 4x dosis normal. 12,13

Pada kasus ini maintenans menggunakan inhalasi sevoflurans. Pada


dasarnya seluruh obat inhalasi anestesi dapat menyebabkan relaksasi otot pada
pasien normal dan lebih sensitive lagi pada pasien miastenia gravis. Efek tersebut
tampak secara klinis pada penggunaan Isoflurane pada pasien miastenia gravis
yang mampu mendepresi T1 dan menimbulkan fade pada TOF. Halothane
memiliki efek yang sama namun setengah kalinya potensiasi isoflurane.
Sevoflurane pada 2,5% sedikit diatas 1 MAC mampu mendepresi respon pada
EMG, dengan T1/Tc 47% dan T4/T1 57% derajat TOF demikian cukup untuk
memberikan efek relaksasi yang diharapkan. 12,13

Pemakaian obat anestesi inhalasi dapat menimbulkan efek potensiasi


terhadap obat pelumpuh otot non depol, sehingga penggunaanya dapat
menurunkan dosis inisial dan pemeliharaan obat-obatan pelumpuh otot non depol
bilamana diperlukan. Derajat potensiasi gas anestesi inhalasi tergantung pada
beberapa faktor diantaranya, lamanya anestesia, gas inhalasi yang dipakai, dan

13
konsentrasi gas yang digunakan. Urutan efek potensiasi dari yang terkuat adalah;
Isoflurane>Sevoflurane>Desflurane dan Enflurane> Halothane > N2O-02 dan
Opiod. Efek potensiasi tersebut secara langsung menyebabkan penurunan dosis
penggunaan pelumpuh otot dan akhirnya terjadi pemanjangan proses pemulihan
efek relaksasi obat tersebut. 12,13

Penilaian analisa gas darah dilakukan secara berkala mulai dari pre
operatif, intra operatif dan post operatif untuk menilai fungsi kecukupan ventilasi
dalam menjaga system pertukaran gas dalam darah. Kesetimbangan asam basa
juga perlu dimonitor mengingat efesiensi kerja setiap obat bergantung pada
derajat asam-basa yang optimal. 12,13 Tapi pada kasus ini tidak dilakukan penilaian
analisa gas darah.

Pada kasus ini dilakukan anestesi CEGA dengan pertimbangan sayatan


bedah yang tinggi untuk menjamin analgesia post operatif sehingga kerja otot-otot
pernafasan tidak terganggu oleh nyeri. Keuntungan lain dari penggunaan epidural
adalah mengurangi penggunaan opioid pasca operatif. 12,13

Idealnya post operatif untuk mendeteksi derajat pemulihan neuromuskular


terdapat 3 (tiga) kriteria pada pasien normal, yaitu (1) ketinggian single twitch
melebihi 20%, (2) munculnya twitch keempat pada TOF dan, (3) pengamatan
tanda-tanda klinik, seperti pergerakan spontan diafragma. Nilai ini berbeda pada
pasien MG tergantung nilai optimal TOF pada awal sebelum dilakukan
pembiusan. 12,13

Pada pasien normal 20-25% derajat pemulihan pada single twitch dan
munculnya twitch keempat pada TOF sudah menunjukkan pergerakan spontan
pada diafragma. 12,13

14
RINGKASAN

Myasthenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh


suatu kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan
secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas . Penyakit ini
timbul karena adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada
neuromuscular junction.

Pembiusan pada pasien dengan Myasthenia Gravis diperlukan pemahaman


yang memadai terhadap penyakit tersebut tentang patofisiologi, penyakit dasar,
perjalanan penyakit, terapi dan hal-hal yang dapat memperberat atau mencetuskan
terjadinya eksaserbasi dari penyakit tersebut terutama yang berkaitan dengan
manipulasi dan medikasi anesthesia. Hal yang menjadi perhatian utama pada
anesthesia pada myasthenia gravis adalah otot-otot bulbar dan fungsi pernapasan.

Tehnik anesthesia yang terbaik pada pasien dengan MG adalah tehnik


anesthesia yang mampu menjamin terjaganya keadaan fungsi pernapasan optimal
pasien dari sebelum hingga selesainya prosedur anesthesia. Bilamana MG hanya
bersifat ocular maka tehnik anestesia regional menjadi pilihan yang terbaik.
Namun bilamana MG sudah melibatkan gejala bulbar terutama otot-otot jalan
napas dan pernapasan, maka tehnik anestesia umum menjadi pilihan yang aman,
oleh karena tehnik tersebut menjamin sistem respirasi yang terjaga dalam bentuk
jalan napas sesungguhnya (definitif airway).

Sedapat mungkin pembiusan pasien dengan miastenia gravis menjauhi


obat-obatan pelumpuh otot dan semua obat-obatan yang mempengaruhi transmisi
neuromuskular. Penggunaan kombinasi anestesi inhalasi dengan intravena selama
operasi tanpa pelumpuh otot dapat memberikan efek relaksasi yang cukup pada
pembedahan tymektomi. Namun bilamana diperlukan obat-obatan pelumpuh otot
maka yang dipakai adalah obat pelumpuh otot golongan non depolarisasi dan
menghindari obat-obatan dan keadaan yang menyebabkan hambatan pada proses
pemulihan (reversal).

15
Di akhir anestesia perlu dilakukan evaluasi ulang terhadap kekuatan otot-
otot pernapasan, patensi jalan napas dan analisa gas darah untuk menentukan
pasien dapat dilakukan ekstubasi atau masuk dalam ventilator mekanik. Bilamana
ekstubasi dilakukan pasien harus tetap menjalani evaluasi dan monitoring ketat
terutama pada sistem pernapasan seperti reflex batuk dan menelan, berbicara dan
bernapas secara maksimal sampai dengan 2-3 hari pasca operasi untuk
menyingkirkan timbulnya komplikasi pasca anestesia seperti paralisis pita suara,
bronkospasme dan kelemahan otot-otot pernapasan. Pasien dengan MG
selayaknya mendapatkan monitoring dan evaluasi sepanjang hidupnya, oleh
karena penyakit autoimun kronis dapat dicetuskan oleh banyak faktor lingkungan
dan aktivitas selain daripada manipulasi pembedahan dan pembiusan.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Allan H, Robert H Myasthenia Gravis in Adams and Victor’s 8th Edition:


United States of America : McGraw-Hill; 2005. P. 1262-1271
2. William D. Myasthenia Gravis Treatment and Management
[Internet].2013[Updated 2013 Feb 11]
Available From:
http://emedicine.medscape.com/article/1171206-overview
3. Elaine N, Katja H Ch9 Motor Neurone Disease, Peripheral neuropathy,
Myasthenia Gravis and muscle disease, in Essential Neurology 4th Ed
United States of America: BlackWell Publishing 2007 P 343-369
4. Raymond D. Adams and Maurice Victor, “Principles of Neurology 4th Ed”,
Mc Graw Hill International Edition.
5. Stephen G Genetic Disorders of Neuromuscular Development, in
Molecular Neurology 1st Ed United States of America: Elsevier
Publishing 2007 P 177-179
6. Bianca M et all, “Myasthenia gravis: past, present, and future” [Internet].
No date [Updated 2006 Nov 1]
Available From:http://www.jci.org/articles/view/29894
7. Reinhard R, Neurological Syndromes, in Color Atlas of Neurology 2 nd Ed
United States of America: Thieme Stuggart Publishing 2004 P 316-317
8. Fauci SA, Kasper LD, Longo LD, et al. Ch 381 Myasthenia Gravis in
Harrison’s Principles of Internal Medicine, 17th Ed : United States of
America: The McGraw-Hill Companies: 2008.
9. Michael J, David G, Roger P Ch5 Motor Deficit, in Clinical Neurology 6th
Ed America: Lange Publishing 2005 P 300-313
10. Eva L et all, Myasthenia Gravis, in Atlas of Neuromuscular Diseases 1st
Ed Austria: Springer wien Publishing 2005 P 328-336
11. Baehr M, Frotscher Ch3 Motor System, in Duus Topical Diagnosis in
Neurology 4th Ed United States of America: Thieme Stuggart Publishing
2005 P 350
12. Stoelting RK, Neuromuscular Blocking Agents In: Pharmacology and
Physiology in Anesthetic Pratice, 4th edition. Philadelphia: Lippincott-
Raven Publishers, 1999: 182-219

17
13. Mosh J, Glick D. The autonomic nervous system In: Miller RD (ed).
Miller’s Anesthesia 6th ed. Philadelphia: Churchill Livingstone; 2000. 617-
44

18

Anda mungkin juga menyukai