Anda di halaman 1dari 35

BAGIAN ANESTESIOLOGI

LAPORAN KASUS
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
JULI 2019
MUHAMMADIYAH MAKASSAR

KESULITAN INTUBASI

PEMBIMBING:
dr. Zulfikar Tahir, M.Kes, Sp.An

OLEH :
Dwi Amrina Syarifuddin, S.Ked
10542047513

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS


KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ANESTESIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa :

Nama : Dwi Amrina Syarifuddin, S.Ked

NIM : 10542047513

Judul Laporan Kasus : Kesulitan Intubasi

Telah menyelesaikan Laporan Kasus dalam rangka Kepanitraan Klinik di Bagian

Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.

Makassar, Juli 2019

Pembimbing,

dr. Zulfikar Tahir, M.ke Sp.An


KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb

Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

memberikan karunia-Nya, sehingga penulisan laporan kasus ini dapat

diselesaikan. Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada Baginda Besar Nabi

Muhammad SAW.

Laporan kasus berjudul “Kesulitan Intubasi” ini dapat

terselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya sebagai salah satu syarat

dalam menyelesaikan Kepaniteraan Klinik di Bagian Anestesiologi. Penulis

sampaikan rasa horma terima kasih yang mendalam kepada dr. Zulfikar Tahir,

M.Kes, Sp.An selaku pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu dan

sabar dalam membimbing, memberikan arahan dan koreksi selama proses

penyusunan tugas ini hingga selesai.

Penulis menyadari bahwa penyusunan laporan kasus ini belum

sempurna adanya dan memiliki keterbatasan tetapi berkat bantuan dan dorongan

dari berbagai pihak, baik moral maupun material sehingga dapat berjalan dengan

baik. Akhir kata, penulis berharap agar laporan kasus ini dapat memberi manfaat

kepada semua orang.

Makassar, Juli 2019

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

Anestesiologi merupakan cabang ilmu kedokteran yang belum

banyak diketahui seberapa besar perannya dalam pekerjaan dokter umum. Banyak

peristiwa atau kejadian didalam rumah tangga atau rumah sakit yang memerlukan

pendekatan dari ilmu anestesi. Sebagai contoh, diperlukan pendekatan untuk

kejadian henti jantung dan hentti nafas akibat keracunan atau trauma, gangguan

saluran nafas pada penderita dengan penurunan kesadaran, dan pasien dengan

dehidrasi atau syok hipovolemik, perdarahan, atau kardiogenik 1

Kegagalan mengelola saluran napas adalah penyebab kematian

yang dapat dicegah pada pasien yang menjalani anestesi umum. Enam puluh

empat persen dari henti jantung selama anestesi umum disebabkan oleh kesulitan

intubasi endotrakela yang menyebabkan oksigenasi atau ventilasi tidak adekuat

dan sekitar 55-93 % menyebabkan kematian atau kerusakan otak 2

Prediksi intubasi sulit masih merupakan masalah klinis yang

menantang hingga saat ini. Faktor utama terkait morbiditas dan mortalitas pada

anesthesia adalah intubasi sulit yang tidak terduga.

Evaluasi intubasi sulit yang dilakukan saat kunjungan

preoperative menjadi pemeriksaan yang sangat penting. Metode standar untuk

menilai potensial intubasi adalah metode mallapati. Metode mallapati

dikembangkan menjadi metode malaapati modifikasi pada tahun 1987 dengan

menambahkan struktur saluran nafas kelas 4, yaitu palatum mole yang tidak dapat

divisualisasikan. Dasar anatomi yang diajukan untuk pemeriksaan ini adalah


hubungan lidah terhadap rongga mulut, bila dasar lidah besar maka glotis tidak

terlihat pada saat laringoskop. Pemeriksaan mallapati modifikasi dilakukan

dengan posisi pasien duduk tegak, posisi kepala netral, lidah dijulurkan maksimal

dan tanpa fonasi2

Intubasi endotrakeal merupakan suatu tindakan membebaskan

atau mempertahankan jalan nafas serta untuk memberikan bantuan ventilasi.

Tindakan yang memerlukan intubasi endoytrakeal ini banyak dilakukan pada

kasus gawat darurat dan pada pasien kritis yang dirawat inetnsif untuk oksigenasi

dan bantuan ventilasi mekanik dalam jangka waktu tertentu 3

Tindakan intubasi memerlukan teknik yang tepat karena bila tidak

dilakukan dengan benar dapat memperburuk kondisi pasien serta menimbulkan

komplikasi. Suatu penelitian melaporkan bahwa 5,8 % - 12 % tube pada posisi

yang tidak tepat. Komplikasi dari intubasi termasuk diantaranya intubasi

oeshophageal, intubasi endobrahial, aspirasi, ukuran tube tidak tepat dan

perubahan letak tube bervariasi antara 22 sampai 66 %. Tidak jarang tube yang

telah dianggap tepat posisinya dan difiksasi dengan baik, masih tetap

memungkinkan letaknya bergeser atau terlepas. Suatu studi prospektif terhadap

150 pasien yang dirawat dengan intubasi endotracheal 11 % diantaranya mendapat

problem ektubasi. 3

Karena intubasi endotracheal merupakan suatu tindakan yang

penting untuk membebaskan dan mempertahankan jalan napas dan sangat sering

dilakukan dalam praktik klinik sehari-hari maka perlu diketahui apakah tindakan
intubasi tersebut telah dilakukan dengan tepat sesuai dengan tujuan yang

diharapkan dan tidak memperburuk kondisi klinis pasien 3


BAB II

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. S

Jenis Kelamin : Perempuan

Usia : 48 tahun

Berat Badan : 64 kg

Agama : Islam

Alamat : Pekang Labbu

No. RM : 490777

Diagnosis : Deviasi septum

B. ANAMNESIS

Keluhan utama : Rasa nyeri kepala dan sekitar mata

Riwayat penyakit sekarang : Pasien masuk rumah sakit dengan keluhan rasa

nyeri kepala dan sekitar mata. Awalnya pasien sering mengeluh hidung

tersumbat pada satu hidung dan terkadang keduanya. Pasien juga mengeluh

penciuman terganggu. Demam(-), batuk(-), riwayat penyakit dalam keluarga

(-). BAB dan BAK normal. Hipertensi (-). Dislipidemia (-)

Pasien dengan keluhan Riwayat penyakit dahulu :

- Hipertensi (-)

- Dislipidemia (-)

- DM (-)
Riwayat asma : tidak ada

Riwayat alergi : tidak ada

Riwayat penyekit keluarga : tidak ada

C. PEMERIKSAAN FISIK

GCS :E4V5M6 = 15

Vital Sign :

- Tekanan darah : 120/80 mmHg

- Nadi : 84 x/menit

- Suhu : 36,5 C

- Pernafasan : 20 x/menit

Status Generalis

- Kulit :Warna kulit sawo matang , tidak ikterik, tidak sianosis,

turgor kulit cukup, capilary refill kurang dari 2 detik dan

teraba hangat.

- Kepala :Tampak tidak ada jejas, tidak ada bekas

trauma,distribusi merata dan tidak mudah dicabut.

- Mata :Tidak terdapat konjungtiva anemis dan sklera ikterik

- Pemeriksaan Leher

a. Inspeksi : Tidak terdapat jejas

b. Palpasi :Trakea teraba di tengah, tidak terdapat

pembesaran kelenjar tiroid.


- Pemeriksaan Thorax

a. Jantung

 Inspeksi :Tampak ictus cordis 2cm dibawah papila mamae

sinistra

 Palpasi :Ictus cordis teraba kuat angkat

 Perkusi :

Batas atas kiri :SIC II LPS sinsitra

Batas atas kanan :SIC II LPS dextra

Batas bawah kiri :SIC V LMC sinistra

Batas bawah kanan :SIC IV LPS dextra

 Auskultasi:S1 > S2 reguler, tidak ditemukan gallop dan murmur.

b. Paru

 Inspeksi : Dinding dada simetris pada saat statis dan dinamis

serta tidak ditemukan retraksi dan ketertinggalan

gerak.

 Palpasi : Simetris, vokal fremitus kanan sama dengan kiri dan

tidak terdapat ketertinggalan gerak.

 Perkusi : Sonor kedua lapang paru

 Auskultasi : Tidak terdengar suara rhonkhi pada kedua pulmo.

Tidak terdengar suara wheezing

c. Pemeriksaan Abdomen

 Inspeksi : Mengikuti gerak napas, simetris, tidak

terdapat jejas dan massa


 Auskultasi :Peristaltik usus (+) normal

 Perkusi : Timpani

 Palpasi : Nyeri tekan epigastrium(-), Hepatomegali (-)

splenomegali (-), massa (-)

d. Pemeriksaan Ekstremitas :

 Tidak terdapat jejas, bekas trauma, massa, dan sianosis

 Turgor kulit baik, akral hangat

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. CT Scan Sinus paranasalis potongan koronal tanpa kontras :

- Sinusitis paranasalis pneumatisasi baik

- Konka nasalis tidak menebal

- Pneumatisasi konka medius bilateral

- Septum nasi tidak deviasi

2. Laboratorium

Pemeriksaan Nilai normal

Hematologi

Hemoglobin 14,5 11,5-16 g/dL

Leukosit 8,8 4.0-10.0 103/mm3

Hematokrit 44,2 37-47%

Eritrosit 4.79 3.80-5.80x106/

Trombosit 284000 150000-500000/L

MCV 92,3 80,0-100.0 fl


MCH 30,3 27.0-32.0 pg

MCHC 32.8 32.0-36.0 %

Hemostasis

Waktu 6’35” 4-10 menit

Pembekuan

Waktu 2’50” 3-7/2,5-9,5

Perdarahan

Seroimmunologi

HbsAg Negatif Negatif

E. KESAN ANESTESI

Perempuan 48 tahun menderita Deviasi septum + Konka bullosa bilateral

F. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan yaitu :

a. Intravena fluid drip (IVFD) RL 24 tpm

b. Informed Consent Operasi

c. Konsul ke Bagian Anestesi

d. Informed Conset Pembiusan

Dilakukan operasi dengan general anestesi dengan status ASA I

G. KESIMPULAN

ACC ASA PS I
H. LAPORAN ANESTESI

1. Diagnosis Pra Bedah

Deviasi septum + Konka bullosa bilateral

2. Diagnosis Pasca Bedah

Deviasi septum + konka bullosa bilateral

3. Penatalaksanaan Preoperasi

Infus RL 24 tpm

4. Penatalaksanaan Anestesi

a. Jenis Pembedahan : Other septoplasty

b. Jenis Anestesi : General Anestesi

c. Teknik Anestesi : Inhalasi Semi Closed dengan intubasi

Endotraceal Tube

d. Premedikasi : Midazolam 5 mg

Fentanyl 120 mcg

e. Induksi : Propofol 180 mg

f. Relaksasi : Rokuronium Bromida 50 mg

g. Medikasi tambahan : Ketorolac 30 mg

h. Maintanance : O2, N2O Sevoflurane

i. Respirasi : Spontan

j. Posisi : Supine

I. RECOVERY ROOM (Aldrette score ) = Total > 9

 Kesadaran : 2 (sadar, orientas baik)

 Tekanan darah : 2 (tekanan daran berubah <20%)


 Aktivitas : 1 (2 ekstremitas bergerak)

 Warna kulit/SpO2 : 2(merah muda, tanpa O2, SaO2 > 92 %)

 Pernafasan : 2 (napas dalam, batuk)


BAB IV

ANALISA KASUS

Pasien, An. S, 48 tahun datang ke ruang operasi untuk menjalani operasi

other septoplasty dengan diagnosis pre operatif Deviasi septum + konka bullosa.

Pasien masuk rumah sakit dengan keluhan rasa nyeri kepala dan sekitar mata.

Awalnya pasien sering mengeluh hidung tersumbat pada satu hidung dan

terkadang keduanya. Pasien juga mengeluh penciuman terganggu. Demam(-),

batuk(-), riwayat penyakit dalam keluarga (-). BAB dan BAK normal. Hipertensi

(-). Dislipidemia (-)

Pemeriksaan fisik dari tanda vital didapatkan tekanan darah 120/80

mmHg; nadi 84x/menit; respirasi 20x/menit; suhu 36,5OC. Dari pemeriksaan

laboratorium hematologi yang dilakukan tanggal 19 Juli 2019 dengan hasil: RBC :

4,79x106 Wbc : 8,8x103 Hb 14,5 g/dl ; waktu pembekuan : 6’35” menit, waktu

perdarahan : 2’50’ menit dan HBsAg(-).

Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang

disimpulkan bahwa pasien masuk dalam ASA I.

Pemberian maintenance cairan sesuai dengan berat badan pasien yaitu

2cc/kgBB/jam, sehingga kebutuhan perjam dari penderita adalah

100cc/jam.Sebelum dilakukan operasi pasien dipuasakan selama 8jam.Tujuan

puasa untuk mencegah terjadinya aspirasi isi lambung karena regurgitasi atau

muntah pada saat dilakukannya tindakan anestesi akibat efek samping dari obat-
obat anastesi yang diberikan sehingga refleks laring mengalami penurunan selama

anestesia. Penggantian puasa juga harus dihitung dalam terapi cairan ini yaitu 8x

maintenance. Sehingga kebutuhan cairan yang harus dipenuhi selama 8 jam ini

adalah 800cc/8jam.

Dilakukan pemasangan NIBP dan O2 dengan hasil TD 120/80mmHg; Nadi

84x/menit, dan SpO2 99%.Dilakukan injeksi midazolam 5 mg, fentanyl 120 mcg.

Penggunaan premedikasi betujuan untuk menimbulkan rasa nyaman pada pasien

dengan pemberian analgesia dan mempermudah induksi dengan menghilangkan

rasa khawatir. Selanjutnya diberikan obat induksi yaitu propofol 180 mg. lalu

pasien ini diberikan rokoronium bromide 50 mg untuk merelaksasikan otot-otot

pernapasan. Prosedur operasi other septoplasty maka dokter anestesi mmelakukan

intubasi endotrakeal agar tidak mengganggu operator selama operasi dilakukan

dan agar pasien tetap dianestesi dan dapat bernafas dengan adekuat.

Sebelum pemasangan ETT, dilakukan anamnesis singkat dan penilaian

adanya kesulitan intubasi kepada pasien. Dan dari hasil pemfis di dapatkan tidak

ada kelaiann pada gigi geligi serta faring, uvula dan palatum molle terlihat jelas.

Mallampati skor 1. Namun pasien terdapat leher pendek yang merupakan salah

satu penyulit dalam intubasi ini. Keterbatasan mobilisasi leher harus

dipertimbangkan sebagai suatu kesulitan intubasi. Mobilitas leher perlu dinilai.

Mobilitas leher yang kurang baik akan menganggu visualisasi glotis pada saat

laringoskop. Adanya kondisi seperti penggunaan kolar leher, ankilosing

spondylitis atau arthritis rematik juga dapat mempengaruhi mobilitas leher. Selain
itu, lingkar leher juga perlu dinilai. Lingkar leher kurang dari > 17 inch (43 cm)

juga dapat menyulitkan visualisasi glotis

Pasien dalam posisi terlentang, kepala diusahakan dalam keadaan ekstensi

serta trakhea dan laringoskop berada dalam satu garis lurus (menggunakan botol

infus 1 gram), kemudian dilakukan anastesi dan pelumpuh otot berupa Noveron 5

ml dalam spoit 5, dan berikan oksigen 100% dengan melakukan bagging selama 2

menit untuk menekan pengembangan paru dan juga menunggu kerja dari pelemas

otot sebelum memasukkan laringoskop ke dalam mulut pasien untuk di pasangkan

pipa endotrakheal, Setelah ETT terpasang, pangkal ETT pasien dihubungkan

dengan konekta kemudian dihubungkan ke mesin anastesi yang menghantarkan

gas (sevoflurane) dengan ukuran 2 vol% dengan oksigen dari mesin ke jalan

napas pasien. Penggunaan sevofluran disini dipilih karena sevofluran mempunyai

efek induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibanding dengan gas lain, dan

baunya pun lebih harum dan tidak merangsang jalan napas sehingga digemari

untuk induksi anestesi dibanding gas lain (halotan). Efek terhadap kardiovaskular

pun relatif stabil dan jarang menyebabkan aritmia.

Setelah pasien di intubasi dengan mengunakan endotrakheal tube, maka

dialirkan sevofluran 2 vol%, oksigen. Ventilasi dilakukan dengan bagging dengan

laju napas 20 x/ menit. Sesaat setelah operasi selesai gas anestesi diturunkan untuk

menghilangkan efek anestesi perlahan-lahan dan untuk membangunkan pasien.

Juga diharapkan agar pasien dapat melakukan nafas spontan menjelang operasi

hampir selesai.
Setelah operasi selesai di berikan penawar pelumpuh otot yakni reversal

dengan isi 2 amp neostigmin dan 2 atropin, Neostigmin (0,04-0,08 mg/kg)

bersifat muskarinik sehingga menyebabkan hipersalivasi, keringatan, bradikardi,

pandangan kabur, hipermotilitas usus sehingga pemberiannya harus disertai

dengan antikolinergik seperti atropin (0,01-0,02 mg/kg)untuk menghilangkan efek

anestesi perlahan-lahan dan untuk membangunkan pasien, mesin anestesi diubah

ke manual supaya pasien dapat melakukan nafas spontan. Gas sevo dihentikan

karena pasien sudah nafas spontan dan adekuat.Kemudian dilakukan ekstubasi

endotracheal secara cepat untuk menghindari penurunan saturasi lebih lanjut.

Sebelum selesai pembedahan, diberikan analgetik injeksi ketorolac 30mg,

diindikasikan untuk penatalaksanaan jangka pendek terhadap nyeri akut sedang

sampai berat setelah prosedur pembedahan.

Pembedahan selesai dilakukan, dengan pemantauan akhir TD 110/70 mmHg;

Nadi 87x/menit, dan SpO2100%.Pasien kemudian dibawa ke ruang pemulihan

(Recovery Room).Selama di ruang pemulihan, jalan nafas dalam keadaan baik,

pernafasan spontan dan adekuat serta kesadaran composmentis.Tekanan darah

selama 15 menit pertama pasca operasi stabil yaitu 120/80 mmHg.


BAB IV

TINJAUAN PUSTAKA

A. INTUBASI ENDOTRAKEA

1. Intubasi dengan napas spontan

Intubasi adalah memasukkan sutau lubang atau pipa

memlaui melalui hidung atau melaui mulut dengan sasaran jalan napas

bagian atas atau trakea Intubasi endotrakea adalah prosedur memasukkan

pipa (tube) endotrakea (ET = Endotrakeal tube) ke dalam trakea melalui

mulut atau nasal. Alat bantu yang di gunakan adalah laringoskop.

Indikasinya adalah pasien yang sulit mempertahankan saluran napas dan

kelancaran pernapasan, misalnya pasien dengan penurunan kesadaran,

atau trauma daerah muka dan leher. Intubasi juga diindikasikan untuk

mencegah aspirasi (masuknya cairan) lambung ke saluran nafas,

membantu menghisap secret, ventilasi mekanis jangka lama, mengatasi

obstruksi laring, anestesi umum pada operasi dengan napas terkontrol,

operasi posisi miring atau tengkurap, operasi yang lama dan atau sulit

mempertahankan saluran nafas, misalnya operasi di bagian leher dan

kepala dan mempermudah anestesi umum 1

Prosedur pemasangan endotrakeal diawali dengan

oksigenasi seperti pada prosedur sungkup muka, tetapi diperlukan

tambahan obat pelumpuh otot durasi singkat (suksinil kolin) untuk

membantu intubasi atau memasukkan endotrakeal ke trakea. Intubasi


dilakukan setelah induksi dan pelumpuhan otot. Intubasi dapat juga

dilakukan tanpa pelumpuh otot yaitu dengan menggunakan lidokain spray

untuk memberikan anestesi local di daerah ipofaring atau menggunakan

obat induksi anestesi tertentu yang membuat apneu dalam waktu tempo

singkat. Setelah ET berhasil dipasang, dapat dilakukan bagging untuk

membantu pernapasan pasien atau dilanjutkan pemeliharaan anestesi

menggunakan obat hipnotik gas atau cair 1

Persiapan

Persiapan

a. Persiapan alat-alat yang dibutuhkan (STATICS) yaitu scope,

(laringoskop, stetoskop), Tube (endotracheal tube/ET), airway

(guedel/mayo, tape (plaster, hipafix), Introducer (stilet), connector

(biasanya sdh terpasang di ET, suction dan spuit

Set laringoskop macintosh yang terdiri atas gagang dan bilah

Stilet pipa endotrakeal, digunakan untuk membantu intubasi orotrakeal


Cuffed endotracheal tube, terbuat dari polivinil klorida

Carlens double-lumen endotracheal tube, digunakan pada pembedahan thoraks seperti

lobektomi VATS

b. Pemberian obat induksi (Jika diperlukan) seperti : pentotal, ketalar,

atau propofol dengan dosis tertentu

c. Pemberian obat pelumpuh otot (jika diperlukan) seperti : suksinil

kolin, atrakurium, atau pavulon

d. Pemberian obat darurat (jika diperlukan) seperti adrenalin (epinefrin)

yang digunakan bila terjadi henti jantung dan sulfat atropine (SA)

yang digunakan pada kasus bradikardia. Pemberian adrenalin dan SA

dilakukan secara intravena sehingga harus dibuat akese vena terlebih

dahulu 1

Tujuan dilakukan intubasi endotrakea adalah :

a. Untuk membersihkan saluran tracheobronchial

b. Mempertahankan jalan nafas agar tetap paten


c. Mencegah aspirasi

d. Mempermudah pemberian ventilasi dan oksigenasi bagi pasien

operasi

Indikasi intubasi endotrakeal adalah :

a. Mengontrol jalan nafas

b. Menyediakan saluran udara yang bebas hambatan untuk ventilasi

dalam jangka panjang

c. Meminimalkan resiko aspirasi

d. Menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan kegawatdaruratan

atau pasien dengan reflex akibat sumbatan yang terjadi, ventilasi yang

tidak adekuat, ventilasi dengan trahoabdominal pada saat pembedahan,

menjamin fleksibilitas posisi, memberikan jarak anestesi dari kepala,

memungkinkan berbagai posisi misalnya (tengkurap, duduk, lateral,

kepala kebawah, menjaga darah dan sekresi keluar dari trakea selama

operasi saluran nafas

Kontraindikasi Intubasi endotrakeal adalah :

a. Trauma jalan nafas yang tidak memungkinkan dilakukan intubasi.

Tindakan yang harus dilakukan adalah crycotiroitomi pada beberapa

kasus

b. Trauma servikal yang merupakan yang memerlukan keadaan

immobilisasi tulang vertebra servical. Sehingga sangat sulit untuk

dilakukan intubasi
Teknik Intubasi

a. Pastikan semua persiapan dan alat sudah lengkap

b. Jika GCS pasien 111, dengan mudah dapat dilakukan intubasi tanpa

anastetik

c. Berikan ventilasi dengan oksigen 100 % selama kira-kira 1-2 menit

atau saturasi oksigen mencapai maksimal 100 %

d. Batang laringoskop dipegang dengan tangan kiri (jika kidal,

menggunakan tangan kanan), tangan kanan mendorong kepala hingga

sedikit ekstensi dan mulut terbuka

e. Masukkan bilah laringoskop mulai dari mulut sebelah kanan, sedikit

demi sedikit, menyelesuri kanan lidah, dan menggeser lidah ke kiri

menuju epiglottis atau pangkal lidah

f. Cari epiglottis terlebih dahulu, setelah terlihat tempatkan bilah

didepan epiglottis (pada bilah bengkok) atau angkat epiglottis (pada

bilah lurus)

g. Cari rima glottis (kadang-kadang) perlu bantuan asisten menekan

trakea keluar sehingga rima glotis terlihat

h. Temukan pita suara yang berwarna putih dan daerah di sekitarnya

yang berwarna merah

i. Masukkan ET dengan tangan kanan. Untuk memasang ET harus di

perhatikan dalam mengangkat gagang laringoskop. Jangan

mengungkit kearah gigi atas karean dapat menyebabkan gigi patah


j. Hubungkan pangkat ET dengan mesin anestei atau alat bantu nafas

resusitasi

k. Jika pasien masih sadar, dapat diberikan obat induksi seperti propofol

atau ketamine sebelum melakukan tindakan 1

Pasien yang terpasang endotracheal tube

2. Intubasi dengan nafas kendali

Teknik ini sama denagn intubasi dengan nafas spontan, tetapi

menggunakan pelumpuh otot berdurasi menengah atau panjang. Apabila

menghendaki kelumpuhan otot yang lebih lama lagi, dapat dipakai

pelumpuh otot yang diberikan secara berulang


Penempatan laringoskop

Komplikasi

Komplikasi tindakan laringoskop dan intubasi :

a. Malposisi : Intubasi esophagus, intubasi endobrakhial, malposisi

laryaneal cuff

b. Trauma jalan nafas : kerusakan gigi, laserasi bibir, lidah atau mukosa

mulut, cedera tenggorok, dislokasi mandibular, dan diseksi retrofaringeal

c. Gangguan reflex : Hipertensi, takikardia, tekanan intracranial meningkat,

tekanan intraokuler meningkat, dan spamse laring

d. Malfungsi tuba : Perforasi cuff

Komplikasi pemasukan pipa endotrakeal

a. Malposisi : Ekstubasi yang terjadi sendiri, intubasi ke endobrakhial,

malposisi laryngeal cuff

b. Trauma jalan nafas : inflamasi dan ulserasi mukosa serta eksoriasi kulit

hidung

c. Malfungsi tuba : obstruksi


Komplikasi setelah ekstubasi

a. Trauma jalan nafas : edema dan stenosis (glotis, subglotis, atau trakea,

suara serak atau parau (granuloma atau paralisis pita suara, malfungsi dan

aspirasi laring

b. Gangguan refleks, Spasme laring dan gangguan fonasi

c. Edema glotis-subglotis

d. Infeksi laring, faring, trakea

B. Kesulitan Intubasi

Suatu intubasi dikatakan sulit jika seorang dokter anestesi berpengalaman

butuh lebih dari 10 menit atau lebih dari tiga kali untuk sebuah intubasi

endotrakeal yang sukses.

Selama anestesi, angka terjadinya kesulitan intubasi berkisar 3-18%.Kesulitan

dalam intubasi ini berhubungan dengan komplikasi yang serius, terutama bila

intubasi tersebut gagal. Hal ini merupakan salah satu kegawatdaruratan yang

akan ditemui oleh dokter anestesi. Apabila anestetis dapat memprediksi

pasien yang kemungkinan sulit untuk diintubasi, hal ini mungkin dapat

mengurangi resiko anestesi yang lebih besar. Salah satu klasifikasi yang luas

digunakan adalah klasifikasi oleh Cormack-Lehane yang menggambarkan

laring bila dilihat dengan laringoskopi

Untuk mengetahui kemungkinan kesulitan intubasi, dapat dilakukan

pengukuran klasifikasi mallapati dengan cara pasien diminta membuka mulut

dan posisi duduk :

1. Kelas I : palatum mole, fauceus, uvula dan pilar terlihat jelas


2. Kelas II : Palatum molle, fauceus dan sebagian uvula terlihat

3. Kelas III : Palatum mole, dan dasar uvula saja yang terlihat

4. Kelas IV : Hanya terlihat langit-langit

Kelas I dan II merupakan bentuk yang paling mudah untuk dilakukan intubasi

diabndingkan dengan kelas III dan kelas IV merupakan kelas yang paling

sulit dilakukan intubasi

Prediksi kesulitan juga dapat dilihat dari :

1. Pasien obese dengan leher pendek

2. Keterbatasan gerak leher ((kurang dari 15 derajat)

3. Pengurangan gerak tyromental joint

4. Residing mandibular

5. Jarak thromental kurang dari 3 jari (<6,5 cm)

Commack dan lehana menambahkan kriteria intubasi sulit berdasarkan

penampakan saat masuk laringoskop ke mulut dibagi menjadi beberapa

tingkatan:

1. Tingkat I : Glotis terlihat penuh, plica vocalis terlihat jelas

2. Tingkat II : Gloyis bagian depan tidak tampak, plica vocalis terlihat

sedikit

3. Tingkat III : Terlihat epiglottis tetapi glotis tidak terlihat

4. TingkaIV : Epiglotis tidak terlihat


Klasifikasi Mallampati

Penampakan laringoskop menurut Commack dan lehan

Mallampati merupakan tes skrining simpel yang luas digunakan

sekarang. Pasien duduk di depan anestetis dan membuka mulutnya lebar.

Secara klinis, tingkat 1 memprediksi intubasi yang mudah dan tingkat 3

atau 4 mengesankan pasien akan sulit diintubasi. Hasil dari tes ini

dipengaruhi oleh kemampuan membuka mulut, ukuran dan mobilitas

lidah dan struktur intra-oral lainnya, serta pergerakan craniocervical

junction.
Thyromental distance diukur dari thyroid notch ujung rahang dengan

kepala yang diekstensikan.Jarak normal adalah 6,5 cm atau lebih dan ini

juga tergantung anatomi termasuk posisi laring.Bila jaraknya kurang dari

6 cm maka intubasi tidak memungkinkan.

Sternomental distance diukur dari sternum sampai ujung mandibula

dengan kepala ekstensi dan ini dipengaruhi oleh ekstensi leher. Jarak

sternomental 12,5 cm atau kurang diperkirakan akan sulit untuk

diintubasi.

Extension at the atlanto-axial joint dilakukan dengan menyuruh pasien

untuk memfleksikan leher mereka dengan menengadahkan dan

menundukkan kepala.Penurunan gerakan sendi ini berhubungan dengan

kesulitan intubasi.

Protrusion of the mandible merupakan gambaran mobilitas dari

mandibula.Bila pasien dapat menonjolka gigi bawah, intubasi biasanya

mudah

Pelatihan manajemen nasional kegawatdaruratan jalan nafas US

mencanangkan metode LEMON. Sistem penilaian ini meliputi sebagian

besar karakteristik yang disebutkan sebelumnya dan diadaptasi untuk

digunakan pada ruang resusitasi.

L= Look externally

Lihat pasien keseluruhan luar untuk mengetahui penyebab kesulitan

laringoskopi, intubasi, atau ventilasi. Yang biasanya dilihat adalah bentuk


wajah abnormal (subjektif), gigi seri yang lebar/menonjol, gigi palsu

(sulit dinilai)

E= Evaluate the 3-3-2 rule

Hubungan faring, laring dan oral berhubungan dengan intubasi. Jarak

antara gigi seri pasien sekurangnya 3 jari (3), jarak antara tulang hyoid

dan dagu sekurangnya 3 jari (3), dan jarak antara thyroid notch dan dasar

mulut sekurangnya 2 jari (2).

M= Mallampati

O= Obstruction

Beberapa kondisi dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas yang

membuat sulitnya laringoskopi dan ventilasi.Selain keadaan epiglotis,

adanya abses peritonsiler dan trauma.

N= Neck mobility

Ini merupakan hal yang vital dalam keberhasilan intubasi.Hal ini dapat

dinilai mudah dengan menyuruh pasien menundukkan kepala dan

kemudian menengadahkannya. Pasien dengan imobilisasi leher lebih sulit

diintubasi

Cara penilaian LEMON dapat dilihat dalam tabel berikut, dengan nilai

maksimal 10 (1 point ditambahkan bila nilai Mallampati 3 atau lebih) dan

minimal adalah nol.

Keterbatasan mobilisasi leher harus dipertimbangkan sebagai suatu

kesulitan dalam intubasi. Mobilisasi leher dapat dinilai dengan ekstensi

sendi atlanto-oksipital yaitu posisi leher fleksi dengan menyuruh pasien


memfleksikan kepalanya kemudian mengangkat mukanya, hal ini untuk

menguji ekstensi daripadasendi atlanto-oksipital, aksis oral, faring dan

laring menjadi satu garis lurus dikenal dengan posisi magill. Nilai

normalnya adalah 35 derajat.

Pasien dengan arthritis degenerative atau arthritis mungkin memiliki

gerakan leher terbatas, dan ini harus dinilai untuk menjamin kemampuan

untuk ekstensi leher selama laringoskop dan intubasi. Pasien yang

dicurigai cedera tulang belakang leher traumatis dan mereka yang

memakai neck collar gerakannya akan terbatas. Namun factor ini

biasanya bukan halangan signifikasn untuk peroral laringoskop langsung

dan intubasi

Ekstubasi

Umumnya ekstubasi dikerjakan pada anestesi sudah ringan dengan

catatan tidak akan terjadi spasme laring. Sebelum ekstubasi bersihkan rongga
mulut laring faring dari secret dan cairan lainnya. Ekstubasi di tunda sampai

pasien benar-benar sadar jika intubasi kembali kana menimbulkan kesulitan

atau pasca ekstubasi ada resiko aspirasi

Setelah operasi berakhir, pasien memasuki prosedur pemulihan

yaitu pengembalian fungsi respirasi pasien dari nafas kendali menjadi nafas

spontan. Sesaat setelah obat bius dihentikan segeralah berikan oksigen 100%

disertai penilaian apakan pemulihan nafas spontan telah terjadi dan apakah

ada hambatan nafas yang mungkin menjadi komplikasi. Bila dijumpai

hambatan nafas, tentukaan apakah hambatan pada central atau perifer. Teknik

ekstubasi pasien dengan membuat pasien sadar betul atau pilihan lainnya

pasien tidak sadar (tidur dalam), jangan lakukan dalam keadaan setengah

sadar ditakutkan adanya vagal refleks. Bila ekstubasi pasien sadar, segera

hentikan obat-obat anastesi hipnotik maka pasien berangsu-angsur akan

sadar. Evaluasi tanda-tanda kesadaran pasien mulai dari gerakan motorik

otot-otot tangan, gerak dinding dada, bahkan sampai kemampuan membuka

mata spontan. Yakinkan pasien sudah bernafas spontan dengan jalan nafas

yang lapang dan saat inspirasi maksimal. Pada ekstubasi pasien tidak sadar

diperlukan dosis pelumpuh otot dalam jumlah yang cukup banyak, dan

setelahnya pasien menggunakan alat untuk memastikan jalan nafas tetap

lapang berupa pipa orofaring atau nasofaring dan disertai pula dengan triple

airway manuver standar

C. Deviasi septum
Bentuk septum normal adalah lurus di tengah rongga hidung

tetapi pada orang dewasa biasanya septum nasi tidak lurus sempurna di garis

tengah. Deviasi septum yang ringan tidak akan mengganggu, akan tetapi bila

deviasi itu cukup berat, menyebabkan penyempitan pada satu sisi hidung.

Dengan demikian dapat menggangu fungsi hidung dan menyebabkan

komplikasi 4

Penyebab yang paling sering adalah trauma. Trauma dapat terjadi

sesudah lahir, pada waktu partus atau bahkan pada masa janin intrauterine.

Penyebab lainnya adalah ketidakseimbangan pertumbuhan tulang rawan

septum nasi terus tumbuh, meskipun batas superior dan inferior telah

menetap. Dengan demikian terjadilah deviasi pada septum nasi itu 4

Bentuk deformitas septum adalah (1) deviasi biasanya berbentuk

huruf C atau S (2) dislokasi yaitu bagian bawah kartilago septum keluar dari

krista maksilla dan masuk dalam rongga hidung. (3) penonjolan tulang rawan

septum, bila memanjang dari depan ke belakang disebut krista dan bila sangat

runcing dan pipih disebut spina. (4) Bila deviasi atau krista septum bertemu

dan melekat dengan konka dihadapannya disebut sinekia Bentuk ini akan

menambah obtruksi 4

Keluhan yang paling seringpada deviasi septum ialah sumbatan

hidung. Sumbatan bisa unilateral dapat pula bilateral. Sebab pada sis deviasi

terdapat konka hipotrofi sedangkan pada sisi sebelahnya terjadi konka yang

hipertropi sebagai akibat mekanisme kompensasi. Keluhan lainnya adalah


rasa nyeri di kepala dan sekitar mat. Selain itu, penciuman bias terganggu,

apabila terdapat deviasi pada bagian atas septum 4

Deviasi septum dapat menyumbat ostiumsinus, sehingga

merupakan factor predisposisi terjadinya sinusitis. Bila gejala sinus tidak ada

keluhan sangat ringan tidak perlu dilakukan tindakan koreksi septum. Ada 2

jenis tindakan operatif yang dapat dilakukan pada pasien dengan keluhan

yang nyata yaitu resksi submukosa dan septoplasti 4

Reseksi submukosa operasi ini mukoperikondrium dan

mukoperiosteum kedua sisi dilepaskan dari tulang rawan dan tulang septum.

Bagian tulang atau tulang rawan dan tulang septum. Bagian tulang atau tulang

rawan dari septum kemudian diangkat, sehingga mukoperikondrium dan

mukoperisteum sisi kiri dan kanan akan langsung bertemu di garis tengah 4

Septoplasti atau reposisi septum. Pada operasi ini tulang rawan

yang bengkok di reposisi. Hanya bagian yang berlebihan saja yang akan

dikeluarkan. Dengan cara operasi ini dapat dicegah komplikasi yang mungkin

timbul pada operasi reseksi submukosa, seperti terjadinya perforasi septum 4


DAFTAR PUSTAKA

1 Pramono, Ardi. 2014. Buku Kuliah Anestesi.Yogyakarta. Penerbit Buku

Kedokteran

2 Swasono, Andi girindro. 2017. Perbandingan Antara Uji Mallapati

Modifikasi dan Mallapati Ekstensi Sebagai Prediktor Kesulitan Intubasi

Endotrakeal di RSUP DR. Hasan Sadikin Bandung. Jurnal Anestesi

Perioperatif. (2017). 163-70

3 Khany, Zhafrullah. 2008. Ketepatan intubasi emergency oral

endotracheal. Jks (2008). 97-96

4 Soepardi, Efiaty arsyad., Iskandar, Nurbaiti.,Bashiruddin jenni dkk. 2007.

Telinga Hidung Tenggorok. Jakarta. Penerbit FK UI

5 Fk UI. Kapita selekta kedokteran 2009. Fakultas kedokteran Universitas

Indonesia. Jakarta . Halaman 256-260

6 Wilson, Spighalter. Robert and lesser.2012. Predicting difficult

intubation.. Br. Anesth(2012).211-216

7 Samson and Young. 2011. Dificult tracheal intubation: a retrospective

study. Anesthesia (2011).487-490

8 Longnecker D, Brwon D, Newman M, Zapol W. Anesthesiology. USA.

The McGraw-Hill Companies. 2008

9 Latief, SA., Suryadi, KA., Dachlan, R. 2002. Petunjuk Praktis

Anastesiologi.Edisi Kedua.Bagian Anastesiologi dan Terapi Intensif.

Jakarta : FKUI.
10 Mansjoer, Arif dkk. 2005. Intubasi Trakea, Dalam : Kapita Selekta

Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius

Anda mungkin juga menyukai