SEPTEMBER 2018
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH MAKASSAR
OBESITAS
PEMBIMBING:
OLEH :
10542054413
2018
LEMBAR PENGESAHAN
NIM : 10542050713
Pembimbing,
i2
KATA PENGANTAR
AssalamualaikumWr. Wb.
memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulisan laporan kasus ini dapat
ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya, sebagai salah satu
Secara khusus penulis sampaikan rasa hormat dan terima kasih yang mendalam
arahan dan koreksi selama proses penyusunan tugas ini hingga selesai.
Akhir kata, penulis berharap agar laporan kasus ini dapat memberi manfaat
Penulis
ii3
BAB I
PENDAHULUAN
maupun dokter umum yang bekerja di IGD. Meskipun banyak disiplin kedokteran
kesulitan dalam menangani jalan napas dan kesalahan dalam tatalaksananya justru
Secara epidemiologi dari 359 intubasi sulit dihasilkan dari data yang
dikumpulkan secara retrospektif dari 4,742 catatan kasus anestesi pasien dewasa
(2.392 laki-laki, 2.350 perempuan) yang menjalani anestesi umum untuk operasi
pedoman standar. Panjang mandibula, berat badan dan mobilitas rahang, kepala
atau gigi atas, tumor atau kista lidah, mulut panjang dan sempit, otot leher pendek
dan penyimpangan laring atau trakea didasarkan pada pemeriksaan klinis dan /
atau radiologis.
memasukkan suatu alat berupa pipa ke dalam saluran pernafasan bagian atas.
4
Pada pasien dengan kesulitan intubasi, penatalaksanaan jalan napas
menjadi lebih sulit sehingga lebih mudah terjadi cedera pada jalan napas yang
selama laringoskopi memfasilitasi visualisasi pita suara sehingga manuver ini bisa
5
BAB II
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny.S.I
Jenis Kelamin : Perempuan
No.RM : 630801
Usia : 83 tahun
Berat Badan : 74 kg
Tinggi Badan : 1,5m
IMT : 32,88 (SG Obesitas)
Diagnosa : Cholelithiasis
Tindakan : Laparoscopy
B. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan pada tanggal 16 September 2018 pukul 10.00
saat kunjungan pra anesthesia. Informasi diberikan oleh pasien dan anak
pasien.
Kebiasaan : adalah makan makanan berlemak dan banyak kolesterol seperti
daging
Alergi : pasien tidak ada riwayat alergi obat maupun makanan
Riwayat penyakit : pasien datang ke UGD RS Pelamonia dengan keluhan
nyeri perut pada bagian kanan atas yang dirasakan sejak 1 bulan yang lalu,
namun memberat sejak 1 hari yang lalu. Pasien tidak mengeluh adanya
mual (-), muntah (-). Riwayat hipertensi ada dengan pengobatan yang
sebelumnya
Keadaan saat ini : pasien memiliki riwayat hipertensi
Kajian sistem : pasien tidak pernah mengalami kejang, pasien sudah tidak
memiliki gigi baik geligi atas maupun bawah, tidak ada masalah dalam
6
RR 18 x/menit
Suhu 36,5oC
Head to Toe :
Kepala dan Leher : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
sinistra
b) Palpasi : Ictus cordis teraba kuat angkat
c) Perkusi :
i. Batas atas kiri : SIC II LPS sinsitra
ii. Batas atas kanan : SIC II LPS dextra
iii. Batas bawah kiri : SIC V LMC sinistra
iv. Batas bawah kanan : SIC IV LPS dextra
d) Auskultasi : S1 > S2 reguler, tidak ditemukan gallop dan
murmur.
Paru
a) Inspeksi : Dinding dada simetris pada saat statis dan dinamis
daerah epigastrium
Ekstremitas :
o Tidak terdapat jejas, bekas trauma, massa, dan sianosis
o Turgor kulit cukup, akral hangat
Mallampati score : 3
o Bukaan mulut : 4 jari pasien
o Jarak mento-hyoid : 2 jari pasien
o Jarak tiro-hyoid : 1 jari pasien
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
7
Laboratorium :
Hematologi
Kimia Klinik
EKG : tidak ada kelainan, konsul jantung tidak ada kontra indikasi
obatan :
8
a. Jenis Pembedahan : Laparoscopy
b. Jenis Anestesi : General Anestesi
c. Teknik Anestesi : Inhalasi Semi Closed dengan intubasi
Endotraceal Tube
d. Premedikasi : Midazolam 5 mg
Fentanyl 100 mg
a. Induksi : Propofol 100 mg
b. Relaksasi : Atracurium 10 mg
c. Medikasi tambahan : Ketorolac 30 mg
d. Maintanance : O2, N2O,sevoflurane
e. Respirasi : Spontan
j. Posisi : Supine
BAB III
ANALISA KASUS
bahwa pasien nyeri perut pada bagian kanan atas yang dirasakan sejak 1 bulan
yang lalu, namun memberat sejak 1 hari yang lalu. Pasien tidak mengeluh adanya
mual (-), muntah (-). Riwayat hipertensi ada dengan pengobatan yang terkontrol.
9
Pemeriksaan fisik dari tanda vital didapatkan : Tekanan darah 150/80
mmHg, Nadi 86 x/menit, Respirasi 18 x/menit, dan Suhu 36,5 oC. Dari
Trombosit : 286 ribu/mm3, Ureum : 27 mg/dl, Kreatinin : 1,1 mg/dl, GDS : 145
cholelithiasis. EKG : tidak ada kontra indikasi tindakan. Dari hasil anamnesis,
2cc/kgBB/jam, sehingga kebutuhan per jam dari penderita adalah 148 cc/jam.
Sebelum dilakukan operasi pasien dipuasakan selama 8 jam. Tujuan puasa untuk
mencegah terjadinya aspirasi isi lambung karena regurgitasi atau muntah pada
saat dilakukannya tindakan anestesi akibat efek samping dari obat- obat anastesi
Penggantian puasa juga harus dihitung dalam terapi cairan ini yaitu 8 x
maintenance. Sehingga kebutuhan cairan yang harus dipenuhi selama 6 jam ini
86x/menit, dan SpO2 99%. Dilakukan injeksi midazolam 5 mg, fentanyl 50 mg.
10
laparotomy maka dokter anestesi memilih untuk dilakukan intubasi endotrakeal
agar tidak mengganggu operator sepanjang operasi dilakukan dan supaya pasien
oksigen dari mesin ke jalan napas pasien sambil melakukan bagging selama
kurang lebih 2 menit untuk menekan pengembangan paru dan juga menunggu
efek induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibanding dengan gas lain, dan
baunya pun lebih harum dan tidak merangsang jalan napas sehingga digemari
untuk induksi anestesi dibanding gas lain (halotan). Efek terhadap kardiovaskular
Sesaat setelah operasi selesai gas anestesi diturunkan untuk menghilangkan efek
dapat melakukan nafas spontan. Gas sevo dihentikan karena pasien sudah nafas
11
Sebelum selesai pembedahan dilakukan pemberian analgetik., injeksi ketorolac 30
Nadi 85x/menit, dan SpO2 99%. Pasien kemudian dibawa ke ruang pemulihan
(Recovery Room). Selama di ruang pemulihan, jalan nafas dalam keadaan baik,
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
A. INTUBASI ENDOTRAKEAL
a. Pengertian
12
Menurut Difficult Airway Society (DAS) 2015, suatu intubasi
dari sepuluh menit atau lebih dari tiga kali untuk sebuah intubasi
b. Tujuan
Tujuan dilakukannya tindakan intubasi endotrakhea adalah untuk
c. Indikasi
Intubasi endotrakeal diindikasikan pada berbagai keadaan saat sakit
belum adekuat.
Indikasi intubasi endotrakeal adalah sebagai berikut.
1. Penurunan kesadaran
Kerusakan otak (misalnya stroke massif, cedera kepala non-
dalam paru. Lebih jauh lagi, reflex perlindungan jalan napas seperti
13
endotrakeal sering dipilih untuk mengembalikan kepatenan jalan
atau saat paru tidak dapat cukup mentransfer udara ke dalam darah.
konsentrasi O2 inspirasi (FiO2) sebesar 50% atau lebih besar. Pada pasien
asidosis respiratorik.
3. Obstruksi jalan napas
Obstruksi jalan napas merupakan indikasi yang sering pada intubasi
asing menjadi terjepit di jalan napas, hal ini khususnya sering terjadi pada
bayi dan anak kecil. Trauma tumpul yang berat atau trauma penetrasi pada
wajah atau leher dapat menyebabkan bengkak dan hematoma, atau trauma
14
laring, trakea maupun bronkus. Obstruksi jalan napas juga sering terjadi
ke dalam trakea.(A)Pipa endotrakeal (biru), (B) Pipa cuff inflasi dengan balon
Gambar.2.Intubasi Endotracheal
f. Kontraindikasi
15
Beberapa kontra indikasi bagi dilakukannya intubasi
b. Peralatan
Sebelum mengerjakan intubasi endotrakea, peralatan yang
dewasa
b. Bilah lengkung (Miller, Magill) untuk anak besar-dewasa
16
Gambar 3. Laringoskop dengan berbagai Miller blade (dewasa
maka untuk bayi anak digunakan tanpa cuff dan untuk anak besar-
selaput lendir trakea dan selain itu jika ingin menggunakan pipa
trakea yang diameternya lebih kecil dan ini membuat risiko tahanan
17
a b
3) Airway
untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar agar lidah tidak
18
Gambar 6. Macam-macam guedel
4) Tape
5) Stilet
Stilet untuk intubasi didesain untuk dimasukkan ke dalam
endotracheal tube untuk membuat pipa lebih baik pada anatomi jalan
19
napas atas pada individu yang spesifik. Hal ini sering menolong pada
orotrakeal
6) Connector
7) Suction
cairan lainnya.
c. Komplikasi
1. Selama intubasi
1.1. Trauma gigi geligi
1.2. Laserasi bibir, gusi, laring
1.3. Merangsang saraf simpatis (hipertensi-takikardi)
1.4. Intubasi bronkus
20
1.5. Intubasi esophagus
1.6. Aspirasi
1.7. Spasme bronkus
2. Setelah ekstubasi
2.1. Spasme laring
2.2. Aspirasi
2.3. Gangguan fonasi
2.4. Edema glottis-subglotis
2.5. Infeksi laring, faring, trakea
d. Ekstubasi
Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar sadar, jika
B. KESULITAN INTUBASI
serius, terutama bila intubasi tersebut gagal. Hal ini merupakan salah satu
diintubasi, hal ini mungkin dapat mengurangi resiko anestesi yang lebih
besar. Salah satu klasifikasi yang luas digunakan adalah klasifikasi oleh
laringoskopi.
21
Gambar 8. Klasifikasi tampilan pada laringoskopi. Kelas I pita
dan tingkat 3 atau 4 mengesankan pasien akan sulit diintubasi. Hasil dari
craniocervical junction.
kepala yang diekstensikan. Jarak normal adalah 6,5 cm atau lebih dan
22
Sternomental distance diukur dari sternum sampai ujung mandibula
dengan kepala ekstensi dan ini dipengaruhi oleh ekstensi leher. Jarak
diintubasi.
biasanya mudah.
pergerakan kepala dan leher, pergerakan rahang, mandibula, gigi tonggos, nilai
23
Pelatihan manajemen nasional kegawatdaruratan jalan nafas US
ruang resusitasi.
L= Look externally
wajah abnormal (subjektif), gigi seri yang lebar/menonjol, gigi palsu (sulit
dinilai)
Hubungan faring, laring dan oral berhubungan dengan intubasi. Jarak antara
gigi seri pasiensekurangnya 3 jari (3), jarak antara tulang hyoid dan dagu
sekurangnya 3 jari (3), dan jarak antara thyroid notch dan dasar mulut
Gambar 9. 1 jarak antar gigi seri dalam jari, 2 jarak hyoidmental dalam jari,
24
M
Mallampati
Untuk menentukan klasifikasi ini, dilakukan tes pada pasien dalam keadaan
sadar, dengan posisi duduk, mulut terbuka dan lidah dijulurkan semaksimal
kesan yang salah. Untuk menghindari false negative atau false positive, tes ini
O= Obstruction
25
Beberapa kondisi dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas yang membuat
N= Neck mobility
Ini merupakan hal yang vital dalam keberhasilan intubasi. Hal ini dapat
Cara penilaian LEMON dapat dilihat dalam tabel berikut, dengan nilai
26
Pasien dengan gigi seri yang lebar mengurangi pembukaan mulut,
kurangnya jarak antara thyroid dan dasar mulut menghasilkan penglihatan yang
kurang dari laringoskopi. Pasien dengan kurangnya jarak hyoid dan dagu,
obstruksi jalan nafas, dan kurangnya mobilitas leher mempunyai pengaruh dalm
‘mobilitas leher’ dengan mudah dinilai dalam populasi di ruang resusitasi. Kriteria
‘evaluasi’ hanya dapat dinilai secara keseluruhan dalam 90% populasi dan
‘Mallampati’ hanya mungkin dilakukan dalam 57% pasien. Seperti yang kami
tunjukkan ‘Mallampati’ selain sulit untuk dinilai dan merupakan pendeteksi yang
kesulitan dalam intubasi, untuk mengantisipasi manajemen jalan nafas yang sulit
meliputi peralatan jalan nafas ‘alternatif’. Deteksi pre-operasi pasien ada tidaknya
resiko kesulitan intubasi adalah langkah awal dalam manajemen jalan nafas.
27
Gambar 12. Klasifikasi IDS
berhubungan dengan kesulitan intubasi dan dengan tujuan menetapkan nilai relatif
faktor resiko dalam kesulitan intubasi. Sejak itu IDS > 5 digunakan untuk definiso
intubasi sulit pada populasi yang berbeda, seperti Combes et al untuk menentukan
faktor prediksi jalan nafas sulit pada keadaan prehospital, Amathieu et al untuk
menilai faktor resiko intubasi sulit dalam pembedahan thyroid, dan Gonzalez et al
untuk mengevaluasi faktor resiko intubasi sulit pada pasien yang obesitas.
28
Evaluasi jalan nafas untuk setiap pasien meliputi klasifikasi Mallampati
modifikasi tanpa fonasi, jarak thyromental, pergerakan kepala dan leher, lebarnya
membuka mulut, ada tidaknya gigi tonggoss, dan resesi mandibula. Pengukuran
BB dan TB serta perhitungan BMI. Pencatatan umur, jenis kelamin, status fisik
dalam intubasi pada pasien obesitas. Nilai IDS ditemukan lebih tinggi pada pasien
Selain itu, payudara besar, leher pendek. Lidah lebar, laring yang tinggi
intubasi.
c. Mulut yang panjang dan sempit dengan arcus palatum yang tinggi
29
f. Abnormalitas pada servical spine termasuk achondroplasia karena
yang tidak sesuai, dengan pembatasan pergerakan leher atau rahang, adanya
Ketika melihat riwayat pasien, tanyakan dan lihat gejala atau tanda,
obstruksi pada jalan nafas atas, laring, atau cabang trakeobronkial. Adanya
30
beberapa tambahan secara algoritma untuk penatalaksanaan jalan nafas sulit.
Algoritma ASA
dasarnya :
a. Kesulitan dengan kerjasama dan persetujuan pasien
b. Ventilasi masker sulit
c. Kesulitan menempatkan SGA
d. Laringoskopi sulit
e. Akses jalan nafas pembedahan sulit
2. Secara aktif mencari kesempatan untuk menangani kasus-kasus
invasif.
jalan nafas bagi perawat anestesi, dokter gawat darurat dan tenaga diluar rumah
31
Jalan masuk algoritma dimulai dengan evaluasi jalan nafas. Walaupun
dievaluasi, klinisi harus menggunakan seluruh data yang ada dan pengalaman
klinis sendiri untuk mencapai penilaian umum sebagai kesulitan jalan nafas
pasien dalam hal laringoskopi dan intubasi, tehnik ventilasi supraglotik, resiko
Evaluasi ini harus mengarahkan klinisi untuk memasuki algoritme ASA pada
satu dari dua poin dasar : A-“awake intubation”, atau B- usaha intubasi setelah
induksi anestesi umum. Hal ini menyoroti penamaan yang salah tidak hanya untuk
kesulitan jalan nafas, tapi relevan terhadap seluruh keadaan dimana jalan nafas
32
Gambar 13. Algoritma ASA8
33
kotak B untuk situasi dimana kesulitan jalan nafas tidak diantisipasi. Keputusan
dalam jalur keputusan reoperatif oleh Rosenblatt. Pilihan yang ditekankan dari
harus dipertimbangkan.
2. Akankah laringoskopi langsung akan sulit? Jika terdapat indikasi dimana
laringoskopi langsung, LMA, dll)bila sesuai klinis. Ini adalah esensi dari
kotak B ASA-DAA.
3. Dapatkah ventilasi SGA digunakan? Jika klinisi merasa bahwa terdapat
suatu alasan fisik bahwa ventilasi SGA (dengan facemask, LMA, atau alat
yang lain) akan sulit, suatu titik “tidak dapat diintubasi/tidak dapat
34
Suatu titik waktu “ tidak dapat diintubasi/seharusnya tidak diventilasi”
daftar ini sulit dijawab dan sangat sangat tergantung pada ketrampilan dan
Pasien ini mungkin masih memasuki kotak A, tetapi intubasi “awake” mungkin
induksi inhalasi)
dengan perhatian dan kesabaran. Jika intubasi “awake” gagal, klinisi memiliki
situasi ini. Peralatan atau personil khusus dapat dikumpulkan untuk kembali ke
anestesi regional, atau, jika situasi membutuhkan, jalan nafas bedah (mis,
telah dinilai atau terbukti sulit untuk ditangani harus dipertimbangkan dalam hal
35
resiko dan benefit. ASA-DAA benar-benar berguna pada jalan nafas sulit yang
setelah induksi anestesi). Jika obat induksi (dengan atau tanpa pelemas otot) telah
diberikan dan jalan nafas tidak dapat dikendalikan, keputusan manajemen vital
harus dibuat secara cepat. Secara tipikal, klinisi telah mencoba laringoskopi
langsung dan intubasi setelah anestesi ventilasi “mask” yang berhasil atau gagal
(kecuali induksi cepat sedang dilakukan). Bahkan jika saturasi oksigen pasien
tetap adequate dengan usaha ini, jumlah usaha laringoskopi sebaiknya dibatasi
hingga tiga kali. Seperti didiskusikan di awal, trauma jaringan lunak dapat terjadi
DAA dimasuki. Klinisi kemudian dapat berubah teknik ke yang paling nyaman
dan/atau cocok untuk melakukan intubasi jika dibutuhkan. Ini dapat termasuk, tapi
tidak dibatasi, oral “blind” atau intubasi nasal; intubasi yang difasilitasi dengan
retrograde wire; atau jalan nafas bedah. (Paling luas diterapkan pada prosedur ini,
juga teknik baru, didiskusikan di skenario klinis pada bagian selanjutnya bab ini).
LMA. Jika berhasil, jalur nonemergensi ASA-DAA telah dimasuki lagi dan teknik
36
Bila ventilasi LMA gagal mempertahankan pasien, jalur emergensi
berdasar pada lebih dari 12 tahun penggunaan klinis di Amerika (dan lebih dari 20
tahun pengalaman di seluruh dunia). Relatif sedikit kasus kegagalan LMA dalam
kegagalan ini: sudut oral-faring akut, sumbatan pada level hipofaring, sumbatan di
bawah liptan fokal. Sebaliknya banyak kasus penyelamatan dengan LMA pada
jala nafas gagal telah dilaporkan. Walau studi control jarang, Parmer mencatat
iatrogenic) terjadi pada periode 2 tahun pada satu rumah sakit diselamatkan
dengan LMA.
37
DAFTAR PUSTAKA
28 Mei 2018
laringhttp://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/28894/1/embriologi
3. Repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40128/4/Chapter%20II.pdf diakses
4. www.library.upnvj.ac.id/pdf/5FKS1KEDOKTERAN/.../bab%20II.pdf diakses
(2003) 259–289
study. PubMedDec;61(12):483-9
Kedokteran
38
Society of Anesthesiologists Task Force on Management of the Difficult
39