I. PENDAHULUAN
Fibroid uterus adalah tumor jinak, monoklonal dari sel otot polos miometrium dan
mengandung kumpulan besar matriks ekstraseluler yang terdiri dari kolagen, elastin,
fibronektin, dan proteoglikan. Fibroid uterus (leiomioma atau mioma) adalah tumor
pelvis jinak yang paling umum pada wanita dan merupakan masalah kesehatan yang
penting karena merupakan indikasi yang paling sering untuk dilakukannya
histerektomi.1,2
Diperkirakan bahwa 60% wanita usia reproduksi terpengaruh, dan 80% wanita
menderita penyakit ini selama hidup mereka. Prevalensi semakin meningkat seiring
dengan peningkatan usia, dan puncaknya pada usia 40 tahun. Berdasarkan studi angka
kejadian mioma uteri berkisar antara 5,4 – 77% populasi, tergantung dari jumlah
sampel studi dan cara penegakan diagnosis. Mioma terdeteksi di 70% uteri setelah
histerektomi, di mana mioma multipel ditemukan di lebih dari 80% kasus. Di
Indonesia sendiri mioma uteri ditemukan 2,39- 11,7% pada semua penderita
ginekologi yang dirawat.3,4
Meskipun penyebab pasti dari fibroid masih tidak diketahui, kemajuan telah dibuat
dalam memahami biologi molekuler dari tumor jinak ini dan faktor hormonal,
genetik, dan pertumbuhannya. Berbagai studi menyatakan terdapat beberapa faktor
yang mempengaruhi pertumbuhan mioma yaitu pengaruh hormon estrogen dan
progesteron, faktor genetik.1,3,5
Fibroid hampir tidak pernah dikaitkan dengan mortalitas, tetapi dapat
menyebabkan morbiditas dan secara signifikan mempengaruhi kualitas hidup. Wanita
yang menjalani histerektomi karena gejala yang berhubungan dengan fibroid
memiliki skor yang jauh lebih buruk pada kuesioner kualitas hidup dibandingkan
wanita yang didiagnosis dengan hipertensi, penyakit jantung, penyakit paru-paru
kronis, atau artritis. Dengan demikian, penegakkan diagnosa yang lebih dini mampu
memberikan pemilihan tatalaksana yang tepat sehingga dapat meningkatkan kualitas
hidup penderitanya.6,7
2
B. Anamnesis
Keluhan utama : Menstruasi memanjang
Riwayat perjalanan penyakit :
Sejak 3 bulan yang lalu, pasien mengeluh menstruasi memanjang sampai 10-17
hari, warna merah segar, ganti pembalut 3x sehari. Nyeri perut ada, terutama
saat haid hari pertama (VAS score 7). Keluhan perdarahan dari kemaluan di
luar siklus haid tidak ada, perdarahan setelah senggama tidak ada, buang air
kecil dan buang air besar seperti biasa, penurunan nafsu makan tidak ada,
penurunan berat badan tidak ada.
Pasien berobat ke RS. AK Gani dan dikatakan terdapat mioma uteri
kemudian pasien dirujuk ke RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang.
1. Riwayat reproduksi
Menarche pada usia 12 tahun, siklus haid teratur, banyaknya 3x ganti
pembalut perhari, lamanya 7 hari
Hari pertama haid terakhir : 5 April 2021- 17 April 2021
2. Riwayat pernikahan
3
C. PEMERIKSAAN FISIK
Status present
a. Keadaan umum
Kesadaran : Kompos mentis
Berat badan : 68 kg
Tinggi badan : 141 cm
IMT : 34,2 ~ obesitas
Tekanan darah : 160/90 mmHg
Nadi : 90 x/menit
Pernafasan : 20 x/menit
Suhu : 36,5 °C
4
b. Keadaan khusus
Pemeriksaan Kepala
- Bentuk kepala dan rambut : Normal
Pemeriksaan Mata
- Konjungtiva : Pada mata kanan dan kiri terlihat anemis.
- Sklera : Pada mata kanan dan kiri tidak terlihat ikterik
Pemeriksaan Leher
- JVP : Tidak meningkat
- Kelenjar tiroid : Tidak membesar
- Kelenjar limfonodi : Tidak membesar
Pemeriksaan Thorak
Paru-paru
- Inspeksi : Simetris kanan kiri, tidak ada retraksi
- Palpasi : Stem fremitus kanan sama kiri.
- Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
- Auskultasi : Suara dasar vesikuler, tidak ada suara tambahan di
semua lapang paru.
Jantung
- Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
- Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
- Perkusi : Batas jantung normal
- Auskultasi : Reguler, tidak ada murmur, tidak ada gallop
Pemeriksaan Ekstremitas
Dalam batas normal
2. Status ginekologi
Inspeksi : Abdomen datar, tidak terlihat pelebaran vena, rambut
pubis dalam batas normal, labia mayora dan minora
simetris, perineum normal.
5
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium (24-04-2021)
Darah rutin
Hemoglobin : 10,0 g/dl (11,4-15 g%)
Eritrosit : 3,95 (4,0-5,7 x103/mm3)
Hematokrit : 33 (35-45%)
Leukosit : 8.090 (4.730 – 10.890/mm3)
Trombosit : 438.000 (189.000-436.000/µL)
Kimia darah
Gula darah sewaktu : 139 (<200 mg/dl)
Ureum : 24 (20 – 40 mg/dl)
Kreatinin : 0,93 (0,5 – 0,9 mg/dl)
Albumin : 3,5 (3,5 – 5,0 g/dl)
SGOT : 21 (0-32 U/l)
SGPT : 40 (0-31 U/l)
Natrium : 149 (135 - 155 mEq/l)
Kalium : 4,2 (3,6 - 5,5 mEq/l)
Klorida : 113 (96-106 mg/dl)
Kalsium : 9,1 (8.8-102 mg/dl)
PT + INR
Kontrol :15,80
Pasien : 11,9
INR : 0.83
APTT
Kontrol : 32.7
Pasien : 22.9
HbsAg : non reaktif
VDRL : non reaktif
TPHA : non reaktif
Anti HIV : non reaktif
2. Ultrasonografi
(dr. Nuswil Bernolian, SpOG(K)-KFM)
7
3. Rontgen thoraks
- Tulang-tulang dan jaringan lunak tak tampak kelainan
- CTR < 50% dan bentuk normal
- Trakea ditengah. mediastinum superior tidak melebar
- Kedua hilus tidak menebal
- Corakan bronkovaskular tidak meningkat
- Tak tampak infiltrat dikedua lapangan paru
- Diafragma licin, sudut costophrenicus lancip
Kesan : Tak tampak kelainan radiologis pada foto thoraks
E. DIAGNOSIS KERJA
Mioma uteri intramural
Adenomiosis uteri
F. DIAGNOSIS BANDING
Adenomiosis uteri
Mioma uteri
G. PENATALAKSANAAN
Rencana : Laparotomi histerektomi total
Persiapan tindakan :
1. Informed consent
9
III. PERMASALAHAN
a. Apakah dasar penegakan diagnosis kerja pada kasus ini ?
b. Bagaimana penatalaksanaan pada kasus ini selanjutnya
IV. DISKUSI
a. Apakah dasar penegakan diagnosis kerja pada kasus ini ?
Ny. R, 49 tahun, sudah menikah dan melahirkan 3 orang anak, mengeluh
Sejak 3 bulan yang lalu, pasien mengeluh menstruasi memanjang, ganti
pembalut 3x sehari. Nyeri saat menstruasi ada. Keluhan perdarahan dari
kemaluan di luar siklus haid tidak ada, perdarahan setelah senggama tidak
ada, buang air kecil dan buang air besar seperti biasa, penurunan nafsu makan
tidak ada, penurunan berat badan tidak ada. Berdasarkan pemeriksaan fisik
didapatkan abdomen datar, fundus teraba 2 jari di atas simfisis. Berdasarkan
pemeriksaan inspekulo didapatkan porsio tidak livid, permukaan licin OUE
tertutup, fluor tidak ada, fluksus tidak ada, erosi tidak ada, laserasi tidak
ada, polip tidak ada, sondase 8 cm terdapat tahanan
. Pembesaran uterus selama periode reproduksi dan perimenopause dapat
dipikirkan sebagai suatu lesi jinak (adenomiosis, mioma uteri) dan jarang
keganasan (leiomiosarkoma, karsinoma endometrium).
Etiologi pasti terjadinya mioma uteri sampai saat ini belum diketahui.
Namun literatur menyatakan terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan mioma yaitu pengaruh hormon estrogen dan progesteron, faktor
genetik, dan faktor pertumbuhan. Stimulasi estrogen diduga sangat berperan
untuk terjadinya mioma uteri, hipotesis ini didukung oleh mioma uteri banyak
ditemukan pada usia reproduksi dan kejadiannya rendah pada usia
10
dapat mengisi dan mendistensi vagina serta menekan urethra ke arah simpisis
sehingga menyebabkan retensio urin. Mioma pada korpus posterior uteri dapat
menyebabkan penekanan kolon rektosigmoid sehingga terjadi konstipasi atau
tenesmus. Adanya sensasi penekanan dan komplikasi organ lain akibat mioma
dapat menjadi salah satu indikasi terapi.14-16
Patogenesis dari mioma uteri ini masih belum diketahui secara pasti, diduga
adanya peranan predisposisi genetik, faktor lingkungan, dan hormon steroid
dalam proses fibrotik dan angiogenesis yang mendasari timbul nya mioma
uteri. Berdasarkan lokasinya di uterus, mioma uteri dibagi atas 4 jenis yaitu
mioma submukosum, mioma intramural, mioma subserosum, dan mioma
intraligamenter. Lokasi mioma yang paling sering adalah jenis intramural
(54%), subserosum (48,2%), jenis submukosum (6,1%) dan jenis
intraligamenter (4,4%).2,15
1. Manajemen konservatif
Wanita asimtomatik dengan mioma uterus dengan ukuran yang lebih kecil
dari 12 minggu mungkin merupakan kandidat yang cocok untuk
manajemen ekspektatif, terutama yang mendekati menopause. Namun,
uterus yang membesar dapat menyebabkan kompresi pada ureter yang
dapat mengganggu fungsi ginjal. Piscitelli dkk menunjukkan dilatasi ureter
pada 56% pasien dengan ukuran uterus 12 minggu atau lebih, tetapi tidak
ada dilatasi ureter dengan ukuran uterus kurang dari 12 minggu Wanita
memenuhi syarat untuk calon manajemen dapat melapor untuk tindak
lanjut setiap 3–6 bulan di mana riwayat rinci dan pemeriksaan klinis
20
a) Terapi medisinalis
Berbagai obat, baik hormonal maupun nonhormonal, telah dicoba untuk
mengontrol gejala yang dihasilkan oleh fibroid. Beberapa terapi medis
menyebabkan pengurangan sementara ukuran mioma dan memperbaiki
gejala umumnya. Intervensi ini dapat mempersiapkan pasien untuk
pembedahan dan dalam beberapa kasus membuat pembedahan tidak
perlu dilakukan jika untuk sementara pasien memasuki masa
menopause. Untuk tujuan reproduksi efek terapi medis kurang jelas
karena mioma cenderung tumbuh kembali saat penghentian terapi. 17,18
1) Gonadotropine Relasing Hormone Analog (GnRH-analog)
GnRH analog telah berhasil digunakan untuk mencapai
hipestrogenisme dan menjadi pilihan terapi konservatif untuk mioma
uteri. GnRH analog berikatan dengan reseptor GnRH sehingga
menyebabkan respon bifasik yaitu peningkatan kadar gonadotropin
dan steroid gonad (fase agonis) diikuti dengan penekanan/supresi
kronik dari sekresi gonadotropin dan steroid gonad (fase
desensitisasi). Friedman dkk. menyatakan terdapat reduksi ukuran
mioma sebanyak 35-50% setelah 3-6 bulan terapi GnRH. 17,18
Terapi GnRH dilimitasi oleh efek samping hipopoestrogenik yang
berkepanjangan dapat menyebabkan berkurangnya densitas
trabekular tulang, terutama dengan terapi yang dilakukan untuk lebih
6 bulan.
Terapi add-back dapat diberikan apabila pemberian GnRH analog
akan diperpanjang, dengan menggunakan regimen estrogen-
21
2) Antagonis Progesteron
Mifepristone atau RU-486, sebuah antagonis reseptor progesteron,
akan berikatan dengan reseptor progesteron, androgen dan
glukokortikoid. Obat ini menghambat aktivasi reseptor progesteron
dan efektif mengurangi aliran darah menuju uterus. Pemberian
mifepristone 5-50 mg selama 3 bulan dapat mengurangi ukuran
mioma 49%, mengurangi gejala penekanan tumor di pelvis, nyeri
dan perdarahan.
Antagonis progesterone tidak menyebabkan berkurangnya
densitas tulang, namun obat ini menyebabkan amenorre, hot flushes
dan peningkatan ringan enzim transaminase hepar. Agen
progestasional dianggap menghasilkan efeknya hipoestrogenik
dengan menghambat sekresi dan penekanan gonadotropin fungsi
ovarium, selain mengeluarkan efek langsung anti-estrogenikpada
tingkat sel. Namun, bukti terbaru bahwa antiprogesteron
mifepristone menurunkan ukuran mioma. 28,33
Oleh karena itu, perangkat ini mungkin lebih cocok untuk yang rongga
uterus yangg tidak terdistorsi dan ukuran rahim kurang dari 12 minggu.17,18
c) Terapi konservatif lain
1). Embolisasi arteri uterina (EAU)
Merupakan prosedur intervensi angiografi dengan tujuan memblok
aliran darah pada pembuluh darah sekitar mioma sehingga
menghentikan asupan oksigen yang dibutuhkan untuk pertumbuhan
massa mioma. Penghentian asupan oksigen ini menyebabkan iskemia
dan nekrosis sehingga terjadi pengecilan massa mioma. Zat yang sering
digunakan adalah polyvinyl alcohol (PVA). Kerugian terapi ini adalah
adanya sindroma postembolisasi yang ditandai dengan nyeri dan kram
pada pelvis, mual dan muntah, demam dan malaise. Gejala ini biasanya
hilang dalam 2-7 hari. Komplikasi yang dapat disebabkan EAU antara
lain discharge vagina dan demam (4%), kegagalan EAU bilateral (4%),
dan sindroma postembolisasi (2,9%).5,14
2) MR-guided focused ultrasound (MRg-FUS)
MRg-FUS merupakan terapi noninvasif menggunakan gelombang
ultrasonografi dosis tinggi untuk menghancurkan mioma tanpa
menciderai jaringan sekitarnya. Sebuah serial kasus pada 359 pasien
yang menjalani terapi MRg-FUS menyatakan efikasi terapi ini cukup
adekuat namun komplikasi seperti kulit terbakar didapatkan 7% dan
terdapat satu kasus perforasi usus. Kekurangan terapi ini adalah biaya
mahal, memerlukan mesin MRI, waktu tindakan lama, hanya dapat
menghancurkan 1 mioma dalam sekali terapi, dan mengablasi mioma
secara sentral padahal mioma tumbuh ke arah perifer. 5,14
3) Radiofrekuensi miolisis
Salah satu terapi terbaru adalah laparoskopi miolisis dengan melibatkan
energi radiofrekuensi ke mioma melalui panduan ultrasonografi.
Mapping mioma dilakukan dengan laparoskopi dan visualisasi
26
d) Tindakan Operatif
Pengamatan yang cermat cocok untuk sebagian besar mioma, seperti
kebanyakan tidak menimbulkan gejala, terbatas pada panggul, dan jarang
ganas. Pilihan bedah dapat dipertimbangkan dalam kasus perdarahan uterus
abnormal yang tidak responsif untuk manajemen konservatif, tingkat
kecurigaan yang tinggi dari keganasan panggul, pertumbuhan miom setelah
menopause, distortion rongga endometrium atau obstruksi tuba pada infertil
wanita dan pada mereka dengan keguguran berulang, nyeri, atau gejala
tekanan yang mengganggu kualitas hidup, dan anemia akibat kehilangan darah
uterus kronis.5,14
1) Miomektomi perabdominam (laparoskopi atau laparotomi)
Miomektomi telah menjadi prosedur pilihan untuk mioma simptomatik pada
wanita yang menginginkan retensi uterus dan seringkali untuk miom
bertangkai soliter. Risiko kehilangan darah lebih tingi dan waktu operasi
lebih besar pada miomektomi dibandingkan dengan histerektomi tetapi
resiko cedera ureter dapat dikurangi dengan miomektomi. Mioma uteri
memiliki tingkat kekambuhan 15% dan 10% pada wanita yang menjalani
28
Pasien yang datang untuk operasi dalam krisis hipertensi (tekanan darah >
180/110) harus diperiksa dengan hati-hati untuk menentukan apakah tingkat
hipertensi ini akut atau kronis, dan apakah ada tanda dan gejala kerusakan
organ akhir. Jika pasien dengan hipertensi berat memang memiliki tanda-
tanda kerusakan organ akhir, ini dianggap darurat hipertensi. Kecuali jika
merupakan keadaan darurat bedah, kasus harus dijadwal ulang dan terapi
antihipertensi intravena segera dimulai. Meskipun tidak ada agen
farmakologis yang sempurna untuk menangani kegawatdaruratan hipertensi,
pilihan pertama yang logis dapat dipilih berdasarkan kemungkinan etiologi
dan penyakit penyerta pasien. Meskipun prevalensinya tinggi pada populasi
bedah, hanya ada sedikit bukti yang baik mengenai pengelolaan hipertensi pra
operasi.40
33
10. SIMPULAN
1. Diagnosis pasien ini adalah mioma uteri intramural dan adenomiosis
uteri. Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan patologi
anatomi.
2. Tindakan yang akan dilakukan pada pasien ini adalah histerektomi
total.
15. Menjepit, memotong dan mengikat ligamentum sakrouterina kanan dan kiri
dengan PGA no. 1.
16. Dilakukan identifikasi batas serviks dan vagina, lalu puncak vagina
dipotong setinggi portio, lalu sudut puncak vagina dijahit secara jelujur
dengan PGA no. 1.
17. Perdarahan dirawat sebagaimana mestinya
18. Setelah diyakini tidak ada perdarahan dilakukan pencucian cavum bdomen
dengan NaCl 0,9%
19. Dilanjutkan dengan penutupan dinding abdomen lapis demi lapis
20. Seluruh jaringan di PA-kan
35
RUJUKAN
1. Berek JS, Rinehart RD, Williams. Uterine Fibroids. Novak’s Textbook of Gynecology 15 th
edition. Lippincott Williams & Willkins. USA. 2012:797-815
2. Vilos GA, Allaire C, Laberge PV, Leyland N. The management of uterine leiomyomas : SOGC
Clinical practice guideline. J Obstet Gynaecol Can. 2015:157-78.
3. De La Cruz MS, Buchanan EM. Uterine fibroids: diagnosis and treatment. Am Fam Physician.
2017 Jan 15;95(2):100-107. PMID: 28084714.
4. Hendarto H. Implikasi klinis PALM COEIN terhadap penatalaksanaan perdarahan uterus
abnormal. Dalam : Astarto N.W, Djuwantono T, Permadi W, Madjid T.H, Bayuaji H, Ritonga
M.A. Kupas tuntas kelainan haid. Jakarta. Sagung seto. Departemen Obstetri dan Ginekologi FK
universitas Pajajaran RS Dr. Hasan Sadikin.2011; 19-41.
5. Valle RF, Ekpo GE. Patophysiology of uterine myomas and its clinical implications. In : Tinelli
A, Malvasi A, eds. Uterine myoma, myomectomy, and minimally invasive treatments.
Switzerland: Springer, 2015:1-11..
6. Mas A, Tarazona M, Dasí Carrasco J, Estaca G, Cristóbal I, Monleón J. Updated approaches for
management of uterine fibroids. Int J Womens Health. 2017;9:607-617.
7. Donnez J. Uterine fibroids and progestogen treatment : lack of evidence of tts efficacy: a review.
J Clin Med. 2020;9(12):3948
8. Gunardi E.R. Adenomiosis, adakah tempat untuk konservatif?. Bagian Kebidanan dan
Kandungan FKUI/RSCM Jakarta.2003:1-4.
9. D’Hooge TM, Hill JA. Endomteriosis. In: Berek JS, ed. Berek & Novak’s gynecology. 16th ed.
California: Lippincott Williams & Wilkins; 2019:1138-71.
10. Taylor HS, Pal L, Seli E. Endometriosis. In: Taylor HS, Pal L, Seli E. Sperroff’s Clinical
Gynecologic Endocrinology and Infertility. 9th Edition. Philadelphia: Wolters Kluwer, 2020.
11. Kurman, Ellenson and Ronnett. Epithelial Tumors of the Ovary: Blaustein’s Pathology of the
Female Genital Tract. 7th Ed. Switzerland: Springer Nature,2019; 850-960.
12. Flake GP, Andersen J, Dixon D. Etiology and pathogenesis of uterine leiomyomas: a review.
Environ Health. 2003;111(8):1037-49.
13. Laughlin SK, Stewart EA. Uterine leiomyomas: individualizing the approach to a heterogenous
condition. Obstet Gynecol. 2011;117(2):396-403.
14. Breech LL, Rock JA. Leiomyomata uteri and myomectomy. In: Rock JA, Jones HW, eds. Te
Linde’s operating gynecology. 10th edition. Philadelphia: Wolters Kluwer, 2008:687-726.
15. Hoffman BL, Schorge JO, Schaffer JI, Halvorson LM, Bradshaw KD, Cunningham FG. Pelvic
mass. In: Hoffman BL, ed. Williams Gynecology. 2 nd edition. New York: Mc-Graw Hill,
2012:246-80.
16. Ciarmela P, Ciavattini A, Giannubilo SR, Lamanna P, Fiorini R, Tranquilli AL. Management of
leiomyomas in perimenopausal women. Maturitas 2014;78:168-73.
17. Parker WH. Uterine myomas: management. Fertil Steril. 2007;88(2):255-71.
18. Patel A, Malik M, Britten J, Cox J, Catherino WH. Alternative therapies in management of
leiomyomas. Fertil Steril. 2014;102(3):649-55.
19. Wong L, White N, Ramkrishna J, Araujo J, Meagher S, Costa S. Three- dimensional imaging of
the uterus: the value of the coronal plane. World J Radiol. 2015. 7: 484-493.
20. Putra AD. Ultrasonografi ginekologi I. Edisi ke-2. Jakarta: Divisi Onkologi Departemen Obstetri
dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2011:25-34.
21. Jarret, R. et al. A Prospective study of hypertension and risk of uterine leiomyomata. Am J
Epidemiol. 2005 April 1; 161(7): 628–638
22. Nowak RA. Novel therapeutic strategies for leiomyomas: targeting growth factors and their
receptors. Environ Health Perspect. 2000; 108:849–853.
36
23. Tak YJ, Lee SY, Park SK, Kim YJ, Lee JG, Jeong, DW, et al. Association between uterine
leiomyoma and metabolic syndrome in parous premenopausal women. Medicine. 2016. 95(46),
e5325.
24. Baird, D. Uterine leiomyomata in relation to insulin-like growth factor-I, insulin, and diabetes.
Epidemiology. 2009 July ; 20(4): 604–610
25. Faerstein E, Szklo M, Rosenshein NB. Risk factors for uterine leiomyoma: a practice-based case-
control study. II. Atherogenic risk factors and potential sources of uterine irritation. Am J
Epidemiol 2001;153:11–19
26. Baziad A, Hestiantoro A, Wiweko B. Panduan tatalaksana perdarahan uterus abnormal. HIFERI.
2011:1-34.
27. Peura DA. Gastrointestinal safety and tolerability of nonselective nonsteroidal anti-inflammatory
agents and cyclooxygenase-2-selective inhibitors. Cleve Clin J Med. 2002;69:S131–S139.The
Society of Obstetricians and Gynaecologist of Canada. Abnormal uterine bleeding in pre-
menopausal women. J Obstet Gynaecol Can.2013;35(5):S1-S28.
28. Wilkens J, Chwalisz K, Han C. Effects of the selective progesterone receptor modulator
asoprisnil on uterine artery blood flow, ovarian activity, and clinical symptoms in patients with
uterine leiomyomata scheduled for hysterectomy. J Clin Endocrinol Metab. 2008;93(12): 4664–
4671.
29. Adiyono. W. Pengobatan Adenomiosis uteri. SMF Obstetri Ginekologi RS. dr. Kariadi
Semarang. 2002:1-9.
30. Prawirohardjo,S. Ilmu kandungan, edisi kedua. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka, 1997:262-266.
31. Sahni, BS. Adenomyosis. Clinic.com-http://wwwhomeopathyclinic.com.2014:1-4.
32. Baziad, A. Endokrinologi Ginekologi.Edisi ketiga. Media Aesculapius. 2008:6-31.
33. Karaer O, Oru A, Koyuncu FM. Aromatase inhibitors: possible future applications. Acta Obstet
Gynecol Scand. 2004;83(8):699–706.
34. ACOG. Salpingectomy for ovarian cancer prevention. ACOG. 2015; 620:1-4.
35. Society E, Reproduction H. Management of women with endometriosis. 2013;(September):1–97.
36. Mcleod BS, Retzloff MG. Epidemiology of Endometriosis : An Assessment of Risk Factors.
2010;53(2):389–96.
37. Van Holsbeke C, Van Calster B, Guerriero S, Savelli L, Paladini D, Lissoni AA, et al.
Endometriomas: Their ultrasound characteristics. Ultrasound Obstet Gynecol. 2010;35(6):730–
40.
38. Bourgioti C, Preza O, Panourgias E, Chatoupis K, Antoniou A, Nikolaidou ME, et al. MR
imaging of endometriosis: Spectrum of disease. Diagn Interv Imaging. 2017;98(11):751–67.
39. Papadakos, P. Management of preoperative hypertension. Anesthesiology news special edition.
2015. 20-24