Anda di halaman 1dari 36

1

I. PENDAHULUAN
Fibroid uterus adalah tumor jinak, monoklonal dari sel otot polos miometrium dan
mengandung kumpulan besar matriks ekstraseluler yang terdiri dari kolagen, elastin,
fibronektin, dan proteoglikan. Fibroid uterus (leiomioma atau mioma) adalah tumor
pelvis jinak yang paling umum pada wanita dan merupakan masalah kesehatan yang
penting karena merupakan indikasi yang paling sering untuk dilakukannya
histerektomi.1,2
Diperkirakan bahwa 60% wanita usia reproduksi terpengaruh, dan 80% wanita
menderita penyakit ini selama hidup mereka. Prevalensi semakin meningkat seiring
dengan peningkatan usia, dan puncaknya pada usia 40 tahun. Berdasarkan studi angka
kejadian mioma uteri berkisar antara 5,4 – 77% populasi, tergantung dari jumlah
sampel studi dan cara penegakan diagnosis. Mioma terdeteksi di 70% uteri setelah
histerektomi, di mana mioma multipel ditemukan di lebih dari 80% kasus. Di
Indonesia sendiri mioma uteri ditemukan 2,39- 11,7% pada semua penderita
ginekologi yang dirawat.3,4
Meskipun penyebab pasti dari fibroid masih tidak diketahui, kemajuan telah dibuat
dalam memahami biologi molekuler dari tumor jinak ini dan faktor hormonal,
genetik, dan pertumbuhannya. Berbagai studi menyatakan terdapat beberapa faktor
yang mempengaruhi pertumbuhan mioma yaitu pengaruh hormon estrogen dan
progesteron, faktor genetik.1,3,5
Fibroid hampir tidak pernah dikaitkan dengan mortalitas, tetapi dapat
menyebabkan morbiditas dan secara signifikan mempengaruhi kualitas hidup. Wanita
yang menjalani histerektomi karena gejala yang berhubungan dengan fibroid
memiliki skor yang jauh lebih buruk pada kuesioner kualitas hidup dibandingkan
wanita yang didiagnosis dengan hipertensi, penyakit jantung, penyakit paru-paru
kronis, atau artritis. Dengan demikian, penegakkan diagnosa yang lebih dini mampu
memberikan pemilihan tatalaksana yang tepat sehingga dapat meningkatkan kualitas
hidup penderitanya.6,7
2

II. REKAM MEDIK


A. Identitas
Nama : Ny. Rum
Umur : 49 tahun
Medical record : 1204526
Suku bangsa : Palembang
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan : SMP
Alamat : Tri Mulya Agung, Musi Banyuasin

B. Anamnesis
Keluhan utama : Menstruasi memanjang
Riwayat perjalanan penyakit :
Sejak 3 bulan yang lalu, pasien mengeluh menstruasi memanjang sampai 10-17
hari, warna merah segar, ganti pembalut 3x sehari. Nyeri perut ada, terutama
saat haid hari pertama (VAS score 7). Keluhan perdarahan dari kemaluan di
luar siklus haid tidak ada, perdarahan setelah senggama tidak ada, buang air
kecil dan buang air besar seperti biasa, penurunan nafsu makan tidak ada,
penurunan berat badan tidak ada.
Pasien berobat ke RS. AK Gani dan dikatakan terdapat mioma uteri
kemudian pasien dirujuk ke RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang.

1. Riwayat reproduksi
Menarche pada usia 12 tahun, siklus haid teratur, banyaknya 3x ganti
pembalut perhari, lamanya 7 hari
Hari pertama haid terakhir : 5 April 2021- 17 April 2021
2. Riwayat pernikahan
3

1x, lamanya 25 tahun


3. Riwayat persalinan
P3A0 (4 orang anak hidup, lahir secara spontan pervaginam)
5. Riwayat penyakit dahulu atau operasi yang pernah diderita
Riwayat operasi sebelumnya disangkal
Riwayat darah tinggi sejak 3 tahun yang lalu tidak rutin minum obat
Riwayat kencing manis sebelumnya disangkal
Riwayat penyakit keganasan disangkal
6. Riwayat penyakit dalam keluarga
Riwayat darah tinggi dalam keluarga disangkal
Riwayat kencing manis dalam keluarga disangkal
Riwayat penyakit keganasan disangkal
7. Riwayat kontrasepsi
KB implant
8. Riwayat sosioekonomi dan gizi
Sedang

C. PEMERIKSAAN FISIK
Status present
a. Keadaan umum
Kesadaran : Kompos mentis
Berat badan : 68 kg
Tinggi badan : 141 cm
IMT : 34,2 ~ obesitas
Tekanan darah : 160/90 mmHg
Nadi : 90 x/menit
Pernafasan : 20 x/menit
Suhu : 36,5 °C
4

b. Keadaan khusus
Pemeriksaan Kepala
- Bentuk kepala dan rambut : Normal
Pemeriksaan Mata
- Konjungtiva : Pada mata kanan dan kiri terlihat anemis.
- Sklera : Pada mata kanan dan kiri tidak terlihat ikterik
Pemeriksaan Leher
- JVP : Tidak meningkat
- Kelenjar tiroid : Tidak membesar
- Kelenjar limfonodi : Tidak membesar
Pemeriksaan Thorak
Paru-paru
- Inspeksi : Simetris kanan kiri, tidak ada retraksi
- Palpasi : Stem fremitus kanan sama kiri.
- Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
- Auskultasi : Suara dasar vesikuler, tidak ada suara tambahan di
semua lapang paru.
Jantung
- Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
- Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
- Perkusi : Batas jantung normal
- Auskultasi : Reguler, tidak ada murmur, tidak ada gallop
Pemeriksaan Ekstremitas
Dalam batas normal

2. Status ginekologi
Inspeksi : Abdomen datar, tidak terlihat pelebaran vena, rambut
pubis dalam batas normal, labia mayora dan minora
simetris, perineum normal.
5

Palpasi : Abdomen lemas, fundus uteri teraba setinggi 2 jari diatas


simfisis, mobile, massa tidak ada, nyeri tekan tidak ada, tanda
cairan bebas tidak ada.
Inspekulo : Porsio tidak livid, permukaan licin OUE tertutup, fluor
tidak ada, fluxus tidak ada, erosi tidak ada, laserasi tidak
ada, polip tidak ada, sondase 8 cm terdapat tahanan
VT : Porsio kenyal, orifisium uteri eksternum tertutup, CUT ~ 12
minggu, mobile, tidak teraba massa di kedua adneksa,
parametrium kanan dan kiri lemas, nyeri tekan tidak ada,
kavum douglas tak menonjol.
RT : TSA baik, mukosa licin, ampula rekti kosong, massa intra
lumen tidak ada

Skema pada pasien :


6

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium (24-04-2021)
Darah rutin
Hemoglobin : 10,0 g/dl (11,4-15 g%)
Eritrosit : 3,95 (4,0-5,7 x103/mm3)
Hematokrit : 33 (35-45%)
Leukosit : 8.090 (4.730 – 10.890/mm3)
Trombosit : 438.000 (189.000-436.000/µL)

Kimia darah
Gula darah sewaktu : 139 (<200 mg/dl)
Ureum : 24 (20 – 40 mg/dl)
Kreatinin : 0,93 (0,5 – 0,9 mg/dl)
Albumin : 3,5 (3,5 – 5,0 g/dl)
SGOT : 21 (0-32 U/l)
SGPT : 40 (0-31 U/l)
Natrium : 149 (135 - 155 mEq/l)
Kalium : 4,2 (3,6 - 5,5 mEq/l)
Klorida : 113 (96-106 mg/dl)
Kalsium : 9,1 (8.8-102 mg/dl)
PT + INR
Kontrol :15,80
Pasien : 11,9
INR : 0.83
APTT
Kontrol : 32.7
Pasien : 22.9
HbsAg : non reaktif
VDRL : non reaktif
TPHA : non reaktif
Anti HIV : non reaktif

2. Ultrasonografi
(dr. Nuswil Bernolian, SpOG(K)-KFM)
7

- Tampak uterus antefleksi bentuk dan ukuran membesar 9,24 x 5,79 cm


- Miometrium inhomogen, pada korpus posterior tampak massa
hypoechoic berbatas tegas ukuran 3,73 x 4,93 cm dengan feeding artery
sesuai gambaran mioma uteri
- Pada korpus anterior tampak massa hyperechoic berbatas tegas ukuran
4,42 x 2,24 cm dengan scattered vascularization sesuai gambaran
adenomyosis uteri
- Pada corpus anterior tampak massa kistik dengan echointerna ukuran 1,47
x 1, 31 cm ~ adenomiosis (tahap awal)
- Ovarium kanan dalam batas normal
- Ovarium kiri dalam batas normal
- Hepar dan lien normal
- Kedua ginjal normal
Kesan:
Mioma uteri intramural
Adenomiosis uteri
8

3. Rontgen thoraks
- Tulang-tulang dan jaringan lunak tak tampak kelainan
- CTR < 50% dan bentuk normal
- Trakea ditengah. mediastinum superior tidak melebar
- Kedua hilus tidak menebal
- Corakan bronkovaskular tidak meningkat
- Tak tampak infiltrat dikedua lapangan paru
- Diafragma licin, sudut costophrenicus lancip
Kesan : Tak tampak kelainan radiologis pada foto thoraks

E. DIAGNOSIS KERJA
Mioma uteri intramural
Adenomiosis uteri
F. DIAGNOSIS BANDING
Adenomiosis uteri
Mioma uteri

G. PENATALAKSANAAN
Rencana : Laparotomi histerektomi total
Persiapan tindakan :
1. Informed consent
9

2. Cross match, persiapan darah dan swab PCR Covid 19


3. Konsultasi ke Departemen Penyakit Dalam dan Anestesi

III. PERMASALAHAN
a. Apakah dasar penegakan diagnosis kerja pada kasus ini ?
b. Bagaimana penatalaksanaan pada kasus ini selanjutnya

IV. DISKUSI
a. Apakah dasar penegakan diagnosis kerja pada kasus ini ?
Ny. R, 49 tahun, sudah menikah dan melahirkan 3 orang anak, mengeluh
Sejak 3 bulan yang lalu, pasien mengeluh menstruasi memanjang, ganti
pembalut 3x sehari. Nyeri saat menstruasi ada. Keluhan perdarahan dari
kemaluan di luar siklus haid tidak ada, perdarahan setelah senggama tidak
ada, buang air kecil dan buang air besar seperti biasa, penurunan nafsu makan
tidak ada, penurunan berat badan tidak ada. Berdasarkan pemeriksaan fisik
didapatkan abdomen datar, fundus teraba 2 jari di atas simfisis. Berdasarkan
pemeriksaan inspekulo didapatkan porsio tidak livid, permukaan licin OUE
tertutup, fluor tidak ada, fluksus tidak ada, erosi tidak ada, laserasi tidak
ada, polip tidak ada, sondase 8 cm terdapat tahanan
. Pembesaran uterus selama periode reproduksi dan perimenopause dapat
dipikirkan sebagai suatu lesi jinak (adenomiosis, mioma uteri) dan jarang
keganasan (leiomiosarkoma, karsinoma endometrium).
Etiologi pasti terjadinya mioma uteri sampai saat ini belum diketahui.
Namun literatur menyatakan terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan mioma yaitu pengaruh hormon estrogen dan progesteron, faktor
genetik, dan faktor pertumbuhan. Stimulasi estrogen diduga sangat berperan
untuk terjadinya mioma uteri, hipotesis ini didukung oleh mioma uteri banyak
ditemukan pada usia reproduksi dan kejadiannya rendah pada usia
10

menopause. Ichimura mengatakan bahwa hormon ovarium dipercaya


menstimulasi pertumbuhan mioma karena adanya peningkatan insiden setelah
menarke dan pada kehamilan pertumbuhan tumor ini makin besar namun
menurun setelah menopause. Hal ini sesuai dengan temuan pada pasien ini
yang saat terdiagnosis berusia 49 tahun. Pada kasus ini, pasien sudah
melahirkan sebanyak 3 kali, hal ini sedikit bertentangan dengan salah satu
faktor risiko lain yang meningkatkan kejadian mioma uteri, yaitu nullipara.
Perempuan nullipara dilaporkan mempunyai risiko yang tinggi untuk
terjadinya mioma uteri, sedangkan perempuan multipara mempunyai risiko
relatif yang lebih rendah untuk terjadinya mioma uteri. 5,12
Leiomioma uteri ditemukan pada pemeriksaan histologi rutin pada 40%
wanita di New Zealand dengan usia <46 tahun yang menjalani histerektomi,
meskipun angka kejadian sebenarnya jauh lebih tinggi. Pada penelitian
spesimen uterus paska histerektomi ditemukan 77% leiomioma. Pada kasus ini
pun, pasien hanya mengeluhkan adanya benjolan di perut yang semakin
membesar. Sesuai literatur, pada umumnya leiomioma memang biasanya
bersifat asimptomatik dan terdiagnosa insidental pada pemeriksaan klinis atau
pencitraan. Namun, pada beberapa kasus leiomioma juga dapat menyebabkan
berbagai keluhan termasuk gangguan menstruasi, anemia, benjolan atau massa
di rongga pelvis, nyeri atau sumbatan hingga masalah fertilitas. Sebuah
penelitian di Kanada menyatakan bahwa leiomioma dapat mengganggu
kualitas kehidupan dan produktivitas. Survey terhadap 21.000 wanita,
gangguan seksual (43%), performa kerja (28%), dan gangguan hubungan
kekeluargaan (27%).13
Uterus yang membesar karena mioma dapat menimbulkan sensasi
penekanan di rongga pelvis, meningkatkan frekuensi miksi, inkontinensia
urin, atau konstipasi. Meskipun jarang, mioma dapat membesar ke arah lateral
dan menekan ureter pada uretero-vesical junction sehingga menyebabkan
obstruksi ureter dan hidronefrosis. Mioma submukosum bertangkai yang besar
11

dapat mengisi dan mendistensi vagina serta menekan urethra ke arah simpisis
sehingga menyebabkan retensio urin. Mioma pada korpus posterior uteri dapat
menyebabkan penekanan kolon rektosigmoid sehingga terjadi konstipasi atau
tenesmus. Adanya sensasi penekanan dan komplikasi organ lain akibat mioma
dapat menjadi salah satu indikasi terapi.14-16
Patogenesis dari mioma uteri ini masih belum diketahui secara pasti, diduga
adanya peranan predisposisi genetik, faktor lingkungan, dan hormon steroid
dalam proses fibrotik dan angiogenesis yang mendasari timbul nya mioma
uteri. Berdasarkan lokasinya di uterus, mioma uteri dibagi atas 4 jenis yaitu
mioma submukosum, mioma intramural, mioma subserosum, dan mioma
intraligamenter. Lokasi mioma yang paling sering adalah jenis intramural
(54%), subserosum (48,2%), jenis submukosum (6,1%) dan jenis
intraligamenter (4,4%).2,15

Gambar 1. Klasifikasi mioma uteri


12

Dikutip dari Cunningham, dkk 15

Leiomioma tumbuh lebih sering di bagian korpus uteri, kemudian serviks,


dan jarang di intra-ligamenter. Karena awalnya leiomioma tumbuh dari
miometrium, maka seluruhnya merupakan intramural. Seiring dengan
membesarnya leiomioma, maka tumor dapat tumbuh ke arah internal (mioma
submukosum) atau eksternal (mioma subserosum). Mioma subserosum dapat
membentuk tangkai (pedunculated) dan kadang parasitik karena suplai
darahnya didukung dari organ-organ lain seperti omentum.
Pertumbuhan mioma ini bergantung dengan produksi estrogen. Mioma
akan terus berkembang selama masih ada aktivitas ovarium menghasilkan
estrogen. Setelah menopause, seiring dengan regresi sekresi estrogen oleh
ovarium, maka perkembangan mioma akan terhenti. Apabila mioma muncul
pascamenopause, kemungkinan masih terdapat produksi estrogen baik oleh
ovarium (akibat hiperplasia stroma kortikal ovarium) atau jaringan lemak.
Adanya pembesaran mioma pascamenopause harus dipertimbangkan
kemungkinan perubahan mioma atau miometrium di sekitarnya menjadi suatu
keganasan, atau pertumbuhan tumor pelvis lain seperti kista ovarium
musinosum dan tumor Brenner yang dapat menghasilkan estrogen. Mioma
menciptakan kondisi hiperestrogenik untuk mendukung pertumbuhannya. Sel-
sel mioma mengandung densitas reseptor estrogen yang lebih banyak
dibandingkan sel miometrium normal, sehingga pengikatan estradiol lebih
banyak. Sel-sel mioma mengandung enzim 17β-hydroxy dehydrogenase yang
rendah, dimana enzim ini berfungsi mengkonversi estradiol menjadi estrone.
Sehingga, pada sel-sel mioma terjadi akumulasi estradiol berlebih dan
menyebabkan hipertropi miometrium.14-16
Klasifikasi mioma dapat ditemukan dalam beberapa literatur, klasifikasi
Federasi Internasional Ginekologi dan Obstetri (FIGO) adalah yang paling
banyak digunakan saat ini karena menawarkan peta distribusi fibroid yang
13

luas. Klasifikasi ini menggunakan sistem numerik sembilan titik untuk


menggambarkan lokasi mioma dalam kaitannya dengan endometrium dan
permukaan subserosum.

Gambar 2. Sistem subklasifikasi FIGO pada mioma


Dikutip dari Vilos2

Diagnosis mioma uteri pada ultrasonografi adalah adanya pembesaran


uterus, kontur nodul atau distorsi kontur uterus, berbatas tegas, licin,
miometrium tidak homogen, dan massa fokal di dalam miometrium.
Gambaran sonografi tersering pada mioma uteri adalah lesi hipoekoik yang
dapat terletak submukosum, intramural, subserosum atau di luar uterus karena
bertangkai. Namun gambaran ini dapat bervariasi dari hipoekoik sampai
hiperekoik, tergantung pada rasio otot polos terhadap jaringan ikat dan apakah
terdapat degenerasi. Sebagian besar mioma menghasilkan gambaran
hipoekoik atau heterogen dibandingkan dengan miometrium normal.
Kalsifikasi dalam mioma dapat menyebabkan bayangan posterior (posterior
shadowing). Mioma memiliki karakteristik gambaran vaskuler yang dapat
diidentifikasi melalui pemeriksaan Doppler, berupa lingkaran vaskuler perifer
yang berasal dari beberapa pembuluh darah yang menyebar menembus ke
bagian tengah tumor. Pada keadaan uterus sangat besar atau mengalami
distorsi yang menyebabkan kesulitan memvisualisasikan ovarium,
14

pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI) dapat membantu penegakan


diagnosis.2,16-28

Gambar 3. Gambar Ultrasonografi transvaginal menunjukkan mioma uteri besar dengan


beberapa mioma intramural
Dikutip dari Wong L, dkk19

Diagnosis adenomiosis berdasarkan pemeriksaan fisik saja sering kali


kurang akurat, dan penyebab lain seperti mioma uteri, endometriosis atau
bahkan polips sering ditemukan sebagai penyebab perdarahan dan nyeri
seperti yang dikeluhkan oleh pasien-pasien dengan endometriosis. Diagnosis
dengan tambahan pencitraan dapat lebih mengarahkan kepada suatu
adenomiosis lebih tepat. Teknik pencitraan semakin sering digunakan untuk
mendiagnosa penyakit ini tanpa pemeriksaan histologi. Pencitraan
histerosalpingografi dan ultrasonografi abdominal merupakan pencitraan
pertama yang digunakan untuk mendiagnosis adenomiosis.29,30 Dari literatur
dikatakan bahwa USG dapat membantu menegakkan diagnosis adenomiosis
dengan tekstur miometrium yang heterogen/distorsi, echotekstur miometrium
yang abnormal dengan batas yang tidak tegas, stria linier miometrium dan
kista miometrium. Bizet dkk pada 2001 melaporkan bahwa USG
transabdominal memiliki spesifisitas 95%, sensitivitas 32,5% dan akurasi
74,1% untuk mendiagnosis adenomiosis.9 MRI disebutkan lebih baik dalam
15

mendiagnosis suatu adenomiosis namun mahal dan jarang digunakan.


Meskipun dari anamnesis dan pemeriksaan klinik menunjukkan gejala
adenomiosis namun diagnosis pasti sulit ditegakkan tanpa pemeriksaan
histopatologi.29 Adenomiosis biasanya timbul pada usia antara 40-50 tahun,
dan sering dijumpai pada multipara tetapi insidensinya tidak berhubungan
dengan besarnya paritas. Pasien ini didapatkan dengan usia 49 tahun dengan
paritas 3. Keadaan ini dikatakan mungkin berhubungan dengan kelemahan
pada lapisan miometrium yang memungkinkan invasi endometrium ke dalam
miometrium dan menyebabkan terjadinya adenomiosis uteri.30
Gejala klinik adenomiosis sulit dibedakan, walaupun dari pemeriksaan fisik
dan pencitraan USG dapat dibedakan.31,32 Gejala yang paling umum termasuk
nyeri saat menstruasi, nyeri pada saat berhubungan, dan infertilitas. Pasien ini
keluhan yang membuat pasien datang berobat adalah adanya benjolan pada
perut bawah yang dirasakan nyeri walaupun tidak terlalu menggangu
aktivitas. Dengan demikian berdasarkan atas anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan ginekologik dan pemeriksaan USG, penderita didiagnosis dengan
adenomiosis uteri.

Tabel 1. Perbedaan gambaran USG mioma uteri dan adenomiosis


Mioma Adenomiosis
Batas massa Tegas Tidak tegas
Letak Fundus Korpus
Bentuk Bulat Lonjong
Pola Bakso urat Lesi kistik kecil
Doppler Ring-of-fire (+) Ring-of-fire (-)
Dikutip dari Putra AD 20

Pada pemeriksaan ultrasonografi didapatkan Miometrium inhomogen, pada


corpus posterior tampak massa hypoechoic berbatas tegas ukuran 3,73 x 4,93
cm dengan feeding arteri sesuai gambaran mioma uteri. Pada corpus anterior
tampak massa hyperechoic berbatas tegas ukuran 4,42 x 2,24 cm dengan
scattered vascularization sesuai gambaran adenomyosis. Pada corpus anterior
16

tampak massa kistik dengan echointerna ukuran 1,47 x 1, 31 cm ~


adenomiosis (tahap awal). Dengan demikian, dari hasil pemeriksaan
penunjang ini dapat disimpulkan adanya mioma uteri intramural dan
adenomiosis uteri.
Pada penderita ini, setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium dan USG
ditemukan penyebab benjolan di perut pasien yaitu adanya mioma uteri
intramural dan adenomyosis.
Hipertensi telah dikaitkan dengan risiko leiomioma uterus melalui beberapa
studi. Penelitian yang menghubungkan hipertensi dan tindakan histerektomi
mungkin secara tidak langsung melibatkan fibroid uterus. Faerstein dkk.
menyatakan bahwa hipertensi merupakan keadaan "proaterogenik" yang
meningkatkan risiko perkembangan fibroid dan pertumbuhan otot polos uterus
dengan cara yang mirip dengan perubahan aterosklerotik pada otot polos
arteri. Tekanan darah yang meningkat dapat menyebabkan cedera sel otot
polos dan pelepasan sitokin yang meningkatkan risiko onset atau pertumbuhan
fibroid uterus, dalam proses yang serupa dengan aterosklerosis. Saat ini,
hubungan antara tingkat tekanan darah dan risiko fibroid tidak diketahui
secara pasti. Peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolik masing-masing
dikaitkan dengan perkembangan aterosklerosis, secara terus menerus, dan
bertahap. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tekanan darah diastolik
dapat menjadi indikator yang lebih baik daripada tekanan darah sistolik untuk
risiko kardiovaskular di antara subjek yang lebih muda.21,22
Data prospektif dalam studi menunjukkan hubungan antara tekanan darah
diastolik dan kejadian fibroid uterus, dengan tekanan darah yang lebih tinggi
berhubungan dengan peningkatan risiko fibroid. Untuk setiap peningkatan
tekanan darah 10-mmHg, risiko relatif multivariat meningkat sebesar 8 %
(kisaran: 5-11%). Wanita hipertensi sebesar 24 % (kisaran: 11-41 %) lebih
mungkin untuk menderita fibroid dibandingkan dengan wanita normotensi.
17

Risiko fibroid juga meningkat seiring dengan lamanya pasien menderita


hipertensi.21,22
Data ini mendukung gagasan bahwa aterogenesis merupakan komponen
penting dari etiologi multifaktorial perkembangan dan pertumbuhan fibroid
uterus. Pada tahun 1975, Moss dan Benditt pertama kali mengajukan analogi
antara plak aterosklerotik dan leiomyomata uterus. Stres hemodinamik akibat
hipertensi dapat menyebabkan cedera sel otot polos arteri yang menyebabkan
disfungsi endotel, peningkatan permeabilitas, migrasi sel otot polos, dan
pembentukan fibrous plak atau fibroid. Fibroid diduga muncul dari
miometrium uterus, arteri uterina, atau jaringan ikat. Cedera yang berlebihan
pada lapisan endometrium uterus dapat meningkatkan ekspansi monoklonal
sel otot polos uterus. Kelainan yang diamati dalam struktur dan fungsi
pembuluh darah uterus dengan adanya leiomyomata mengundang
kemungkinan bahwa cedera aterosklerotik langsung ke pembuluh darah uterus
dapat berperan dalam proses ini. Bukti yang ada menunjukkan kesamaan
antara plak aterosklerotik dan sel tumor otot polos pada mioma uteri : 1)
keduanya tampaknya berasal dari sel monoklonal; 2) memiliki kesamaan
kultur; 3) selama toksemia kehamilan, lipid menumpuk di sel-sel uterus, tidak
seperti ateroskleroma; dan 4) keduanya menunjukkan kecenderungan yang
sama untuk menjadi fibrotik dan kalsifikasi.21,22
Tumor fibroid dibedakan dengan akumulasi matriks ekstraseluler dan
jaringan ikat fibrosa. Kelebihan produksi matriks ekstraseluler, komponen
sentral dari patofisiologi mioma uteri, mungkin juga berhubungan dengan
peningkatan tekanan darah. Mengubah faktor pertumbuhan β1 diregulasi
sebagai respons terhadap cedera jaringan, meningkatkan produksi matriks
ekstraseluler, dan mengurangi degradasinya. Dalam jaringan mioma, faktor
pertumbuhan transformasi β1 diekspresikan secara berlebihan, mitogenik, dan
fibrogenik. Stres mekanis, hormon, dan angiotensin II dapat mengaktifkan
transformasi faktor pertumbuhan β1. Stres hemodinamik, karena tekanan
18

darah yang tinggi, dapat memicu proses proinflamasi yang memulai


transformasi pelepasan faktor pertumbuhan β1 dan dengan demikian
menginduksi akumulasi matriks ekstraseluler dan fibrosis. Faktor risiko
aterosklerotik, seperti hiperinsulinemia, dapat meningkatkan risiko fibroid
dengan merangsang pertumbuhan sel mioma uteri dan mitosis atau dengan
mengubah regulasi hormon ovarium. 21,22
Faktor pertumbuhan mirip insulin-I (IGF-I) dapat menjadi salah satu faktor
pertumbuhan yang berperan penting dalam patogenesis fibroid. Produksi IGF-
I dapat dirangsang oleh hormon pertumbuhan, dan tindakannya meliputi
proliferasi dan penghambatan apoptosis sel. Pada tahun 1990 Boehm dkk
melaporkan peningkatan ekspresi IGF-I pada fibroid dibandingkan dengan
miometrium normal, dan peningkatan regulasi ekspresi gen dan protein telah
terlihat dalam beberapa penelitian. Berdasarkan kultur sel fibroid manusia,
Swartz dkk menunjukkan peningkatan regulasi IGF-I yang bergantung pada
estrogen dan keterkaitannya dengan faktor transkripsi yang meningkatkan laju
transisi siklus sel, sehingga memberikan penjelasan rinci tentang efek
proliferatif dan anti-apoptosis IGF-I pada fibroid.23,24,25
Sejauh mana IGF-I yang bersirkulasi dapat berkontribusi pada
tumorigenesis tidak diketahui. Sebagian besar IGF-I yang bersirkulasi
diproduksi di hati. Tingkat yang lebih tinggi telah dikaitkan dengan
peningkatan risiko kanker payudara, tumor lain yang dimediasi oleh hormon.
Setidaknya ada 6 protein pengikat IGF berafinitas tinggi dalam sirkulasi
yang mengatur aktivitas IGF-I, yang utama adalah protein pengikat 3 (BP3).
BP3 dapat mengurangi aktivitas IGF-I dengan mencegah pengikatannya ke
reseptor, tetapi dengan mengikat IGF-I, ini memperpanjang waktu paruh IGF-
I dari menit ke jam. BP3 juga dapat bertindak secara independen dari IGF-I,
dengan efek antiproliferatif. BP3 mRNA dan protein ditemukan dalam sel otot
polos normal dan fibroid. 23,24,25
19

Insulin juga telah dihipotesiskan berperan dalam patogenesis fibroid.


Insulin dan IGF-I memiliki aktivitas pemacu pertumbuhan yang serupa, dan
keduanya memiliki afinitas pengikatan yang lemah terhadap reseptor yang
lain. Pengobatan eksperimental jaringan fibroid dengan insulin dapat
meningkatkan proliferasi sel di vitro. Selain itu, hiperinsulinemia dapat
merangsang peningkatan produksi hormon ovarium, yang secara tidak
langsung dapat meningkatkan perkembangan fibroid. 23,24,25

b. Bagaimana penatalaksanaan pada kasus ini ?


Modalitas pengobatan untuk mioma uterui dapat termasuk manajemen
konservatif, terapi medis, pilihan bedah konvensional, dan pendekatan
yang lebih baru dan tidak terlalu invasif. Usia, paritas, tingkat dan
keparahan gejala, ukuran, jumlah dnan lokasi mioma, kondisi medis terkait,
risiko keganasan, kedekatan untuk menopause, dan keinginan untuk
mempertahankan uterus adalah beberapa faktor yang mempengaruhi
pilihan pendekatan terapeutik. Oleh karena itu, perawatannya harus bersifat
individual.17,18

1. Manajemen konservatif
Wanita asimtomatik dengan mioma uterus dengan ukuran yang lebih kecil
dari 12 minggu mungkin merupakan kandidat yang cocok untuk
manajemen ekspektatif, terutama yang mendekati menopause. Namun,
uterus yang membesar dapat menyebabkan kompresi pada ureter yang
dapat mengganggu fungsi ginjal. Piscitelli dkk menunjukkan dilatasi ureter
pada 56% pasien dengan ukuran uterus 12 minggu atau lebih, tetapi tidak
ada dilatasi ureter dengan ukuran uterus kurang dari 12 minggu Wanita
memenuhi syarat untuk calon manajemen dapat melapor untuk tindak
lanjut setiap 3–6 bulan di mana riwayat rinci dan pemeriksaan klinis
20

dilakukan untuk mengevaluasi ukuran uterus dan kecepatan pertumbuhan


tumor. 17,18

a) Terapi medisinalis
Berbagai obat, baik hormonal maupun nonhormonal, telah dicoba untuk
mengontrol gejala yang dihasilkan oleh fibroid. Beberapa terapi medis
menyebabkan pengurangan sementara ukuran mioma dan memperbaiki
gejala umumnya. Intervensi ini dapat mempersiapkan pasien untuk
pembedahan dan dalam beberapa kasus membuat pembedahan tidak
perlu dilakukan jika untuk sementara pasien memasuki masa
menopause. Untuk tujuan reproduksi efek terapi medis kurang jelas
karena mioma cenderung tumbuh kembali saat penghentian terapi. 17,18
1) Gonadotropine Relasing Hormone Analog (GnRH-analog)
GnRH analog telah berhasil digunakan untuk mencapai
hipestrogenisme dan menjadi pilihan terapi konservatif untuk mioma
uteri. GnRH analog berikatan dengan reseptor GnRH sehingga
menyebabkan respon bifasik yaitu peningkatan kadar gonadotropin
dan steroid gonad (fase agonis) diikuti dengan penekanan/supresi
kronik dari sekresi gonadotropin dan steroid gonad (fase
desensitisasi). Friedman dkk. menyatakan terdapat reduksi ukuran
mioma sebanyak 35-50% setelah 3-6 bulan terapi GnRH. 17,18
Terapi GnRH dilimitasi oleh efek samping hipopoestrogenik yang
berkepanjangan dapat menyebabkan berkurangnya densitas
trabekular tulang, terutama dengan terapi yang dilakukan untuk lebih
6 bulan.
Terapi add-back dapat diberikan apabila pemberian GnRH analog
akan diperpanjang, dengan menggunakan regimen estrogen-
21

progesteron dosis rendah atau agen progestational dengan atau tanpa


estrogen. Terapi add-back bertujuan untuk menghilangkan gejala
hipoestrogenik sambil mempertahankan efikasi GnRH sebagai terapi
mioma, dan menghindari flare up dini gonadotropin. 17,18

2) Antagonis Progesteron
Mifepristone atau RU-486, sebuah antagonis reseptor progesteron,
akan berikatan dengan reseptor progesteron, androgen dan
glukokortikoid. Obat ini menghambat aktivasi reseptor progesteron
dan efektif mengurangi aliran darah menuju uterus. Pemberian
mifepristone 5-50 mg selama 3 bulan dapat mengurangi ukuran
mioma 49%, mengurangi gejala penekanan tumor di pelvis, nyeri
dan perdarahan.
Antagonis progesterone tidak menyebabkan berkurangnya
densitas tulang, namun obat ini menyebabkan amenorre, hot flushes
dan peningkatan ringan enzim transaminase hepar. Agen
progestasional dianggap menghasilkan efeknya hipoestrogenik
dengan menghambat sekresi dan penekanan gonadotropin fungsi
ovarium, selain mengeluarkan efek langsung anti-estrogenikpada
tingkat sel. Namun, bukti terbaru bahwa antiprogesteron
mifepristone menurunkan ukuran mioma. 28,33

3) Selective Progesterone Receptor Modulators (SPRMs)


Beberapa contoh SPRMs adalah asoprisnil, proellex, dan ulipristal
acetate. Mekanisme SPRMs sebagai terapi mioma adalah menghambat
aliran darah menuju endometrium, menekan pertumbuhan endometrium
tanpa mengurangi kadar estradiol, mengurangi konsentrasi reseptor
estrogen dan progesterone, tidak memicu hot flushes dan tidak
menyebabkan berkurangnya densitas tulang, menghambat aktivitas
22

mitotik mioma, dan melawan proses up-regulasi Bcl-2 sekaligus


memicu apoptosis mioma. 28,33
Mekanisme kerja yang pasti dari agen ini belum diketahui, namun
diduga berhubungan dengan downregulation sintesis kolagen melalui
peningkatan regulasi induser matriks ekstraseluler metaloproteinase.
SPRM menawarkan keuntungan antagonisme progesteron tanpa efek
samping. Namun, uji klinis Tahap III mengevaluasi efek jangka panjang
(durasi studi 2 tahun) keamanan obat ini dalam dosis oral harian 10 dan
25 mg akan dihentikan sebelum waktunya karena perubahan yang
terdeteksi di sampel endometrium. Perubahan endometrium kembali
setelah penghentian obat.28,33
4) Aromatase Inhibitor (AI)
Aromatase adalah enzim mikrosomal yang mengkatalisis konversi
androgen menjadi estrogen. Jaringan leiomioma memiliki aktivitas
aromatase yang tinggi dibandingkan miometrium normal sehingga
mioma dapat mensintesis estrogen sendiri untuk memicu perkembangan
dirinya, menggunakan androstenendione di sirkulasi sebagai substrat.
Aromatase inhibitor menghambat kerja enzim aromatase ini sehingga
produksi estrogen berkurang. Terdapat dua tipe AI, yaitu AI kompetitif
(anastrozole dan letrozole) dan AI inaktivator (exemestane). 24
Letrozole, penghambat aromatase nonsteroid yang umum digunakan
pada infertilitas anovulatorik pada fase folikuler memiliki peran
terapeutik potensial dalam pengobatan leiomyomas. Aromatase,
anggota dari superfamili sitokrom p450, merupakan enzim mikrosomal
yang mengkatalisis konversi androgen menjadi estrogen. Pada mioma,
baik aromatase dan 17β-hydroxysteroid dehydrogenase enzim tipe 1
diekspresikan secara berlebihan dibandingkan dengan enzim normal
miometrium. Penghambatan enzim aromatase oleh letrozole akan
23

memblokir konversi ini dan karenanya menghasilkan lingkungan


hipoestrogenik. Karena pertumbuhan mioma berkorelasi positif dengan
kadar estrogen yang bersirkulasi, lingkungan hipoestrogenik akan
menghambat pertumbuhan mioma. Literatur tentang peran inhibitor
aromatase pada mioma uteri terbatas dan sebagian besar terdiri dari
beberapa laporan kasus. Varelas et al melaporkan penurunan 55,7%
volume leiomioma dan penurunan volume total uterus sebesar 22,9%
dalam penelitian mereka menggunakan anastrazole 1 mg setiap hari
selama tiga siklus. Mohammed dkk menggunakan letrozole 2,5 mg per
hari untuk 12 minggu dan ditemukan pengurangan volume mioma total
sebesar 45,6% tanpa perubahan signifikan dalam lingkungan hormonal.
Onset kerja cepat dan pencegahan flare gonadotropin awal dengan
inhibitor aromatase mungkin bermanfaat bagiw anita yang ingin
menghindari intervensi bedah. Penghambat aromatase telah ditemukan
sama efektifnya dengan GnRHa, dengan sedikit efek. 34
5) Antifibrinolitik
Asam traneksamat, turunan sintetik dari lisin, efek antifibrinolitiknya
bekerja melalui blockade pengikatan lisin pada molekul plasminogen,
sehingga menghambat aktivasi plasminogen menjadi plasmin, yang
pada gilirannya bertanggung jawab atas degradasi fibrin. Obat ini telah
digunakan sebagai terapi nonhormonal lini pertama untuk perdarahan
hebat terkait dengan fibroid uterus dan perdarahan uterus abnormal yang
telah disetujui oleh United States Food and Drug Administration (FDA)
pada tahun 2009. Pengobatan jangka panjang secara teoritis dapat
meningkatkan risiko trombosis vena.16,17
6) Obat anti inflamasi nonsteroid
Obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID) efektif dalam mengurangi
dismenore dan menoragi dengan bertindak sebagai antagonis
prostaglandin, agen yang menstimulasi kontraktilitas uterus
24

menyebabkan nyeri. Aspirin, ibuprofen, dan naproxen efektif untuk


dismenore. Namun, penggunaan agen ini jangka panjang dapat
menyebabkan tukak lambung dan perdarahan gastrointestinal.26,27
7) Danazol
Danazol, turunan isoxazole sintetis yang secara kimiawi terkait menjadi
17-etinil testosteron, menciptakan androgen tinggi dan lingkungan
rendah estrogen yang mengakibatkan pemborosan endometrium dan
penyusutan fibroid. Terlepas dari manfaatnya yang dilaporkan, berbagai
efek samping yang tidak diinginkan dikaitkan dengan penggunaannya;
misalnya jerawat, hirsutisme, penambahan berat badan, mudah marah,
nyeri muskuloskeletal, hot flushes, dan atrofi payudara. Danazol telah
dilaporkan menjadi terapi yang efektif untuk mengecilkan fibroid dan
mengontrol gejalanya. Efek anti-estrogenik dari agen ini adalah
mekanisme yang mungkin dari kemanjurannya pada pengelolaan
fibroid. Kepatuhan pasien bisa menjadi masalah, dan pemberian dosis
yang hati-hati dapat membantu mengatasi efek samping yang tidak
menyenangkan. Namun, tidak ada bukti yang dapat diandalkan dari
RCT mengenai manfaat dan bahaya penggunaan obat ini untuk
mengobati mioma uterus.28,33

b) Alat Kontrasepsi Intrauterine Levonorgestrel


Penggunaan alat kontrasepsi dalam rahim levonorgestrel (LNG-IUD) telah
terbukti memiliki hubungan dengan penurunan kehilangan darah pada
wanita dengan mioma uteri. Jindabenjerd et al melaporkan penurunan total
volume mioma dan ukuran uterus rata-rata yang signifikan dan penurunan
kehilangan darah menstruasi yang nyata. Murat Naki dkk melaporkan
pengurangan kehilangan darah menstruasi sebesar 60% dan 35% pada
akhir 6 bulan dan 2 tahun pemakaian, tetapi tidak menemukan perubahan
pada miom dan ukuran uterus setelah pengobatan dengan AKDR-LNG.
25

Oleh karena itu, perangkat ini mungkin lebih cocok untuk yang rongga
uterus yangg tidak terdistorsi dan ukuran rahim kurang dari 12 minggu.17,18
c) Terapi konservatif lain
1). Embolisasi arteri uterina (EAU)
Merupakan prosedur intervensi angiografi dengan tujuan memblok
aliran darah pada pembuluh darah sekitar mioma sehingga
menghentikan asupan oksigen yang dibutuhkan untuk pertumbuhan
massa mioma. Penghentian asupan oksigen ini menyebabkan iskemia
dan nekrosis sehingga terjadi pengecilan massa mioma. Zat yang sering
digunakan adalah polyvinyl alcohol (PVA). Kerugian terapi ini adalah
adanya sindroma postembolisasi yang ditandai dengan nyeri dan kram
pada pelvis, mual dan muntah, demam dan malaise. Gejala ini biasanya
hilang dalam 2-7 hari. Komplikasi yang dapat disebabkan EAU antara
lain discharge vagina dan demam (4%), kegagalan EAU bilateral (4%),
dan sindroma postembolisasi (2,9%).5,14
2) MR-guided focused ultrasound (MRg-FUS)
MRg-FUS merupakan terapi noninvasif menggunakan gelombang
ultrasonografi dosis tinggi untuk menghancurkan mioma tanpa
menciderai jaringan sekitarnya. Sebuah serial kasus pada 359 pasien
yang menjalani terapi MRg-FUS menyatakan efikasi terapi ini cukup
adekuat namun komplikasi seperti kulit terbakar didapatkan 7% dan
terdapat satu kasus perforasi usus. Kekurangan terapi ini adalah biaya
mahal, memerlukan mesin MRI, waktu tindakan lama, hanya dapat
menghancurkan 1 mioma dalam sekali terapi, dan mengablasi mioma
secara sentral padahal mioma tumbuh ke arah perifer. 5,14
3) Radiofrekuensi miolisis
Salah satu terapi terbaru adalah laparoskopi miolisis dengan melibatkan
energi radiofrekuensi ke mioma melalui panduan ultrasonografi.
Mapping mioma dilakukan dengan laparoskopi dan visualisasi
26

ultrasonografi. Setelah mioma ditarget untuk ablasi, maka probe RF


diinsersi secara perkutan dengan panduan laparoskopi melalui insisi
kulit 2 mm. Kekurangan terapi ini adalah peralatan laparoskopi dan
ultrasonografi yang khusus, insisi kulit perkutan tambahan, hanya dapat
melakukan terapi untuk 1 mioma (dengan diameter <8 cm) sekali
tindakan, dan ablasi hanya dapat dilakukan di tengah mioma. 5,14
Berbagai bentuk miolisis - bipolar, cryo, frekuensi radio, laparoskopi,
dan laser yang dipandu MRI, telah dicoba sebagai alternatif konervatif
untuk miomektomi pada wanita yang ingin pertahanan terhadap uterus.
Laser karbon dioksida telah digunakan untuk langsung menguapkan
mioma kecil pada saat laparotomi, sedang dan mioma besar dipotong.
Peningkatan hemostasis dan ketepatan yang lebih besar pada
pemindahan tampaknya menjadi keuntungan utama, tetapi teknik
tersebut belum diuji dalam seri yang lebih besar pasien. Beberapa
mioma submukosa telah berhasil dirawat dengan Nd: YAG (aluminium
yttrium yang didoping neodymium garnet) laser, yang menghilangkan
vaskularisasi miom; namun, penghapusan yang tidak lengkap mungkin
menjadi masalah yang memprihatinkan di kali.5,14

4) Ligasi arteri uterina


Prosedur ini mencoba membatasi suplai darah ke uterus dengan ligasi
vagina atau laparoskopi pada arteri uterina. Prosedur ini berbagi prinsip
dasarnya dengan UEA tetapi relatif lebih mudah dilakukan. Akinola dkk
menemukan ligasi arteri uterus menjadi seefektif EAU, sementara Hald
et al menemukan menjadi kurang efektif dibandingkan langsung dengan
EAU. Prosedur ini juga telah dicoba sehubungan dengan miomektomi
dan dilaporkan terkait dengan kehilangan darah yang kurang introperatif
dibandingkan dengan miomektomi yang dilakukan tanpanya. Prosedur
27

dapat mengurangi kehilangan darah pascapartum dan meminimalkan


kebutuhan operasi masa depan pada wanita hamil dengan mioma uterus,
siapa sedang menjalani operasi caesar tampaknya tidak terpengaruh oleh
prosedur ini. Kombinasi oklusi arteri uterina (UAO) dan penyumbatan
anastomosis simultan antara pembuluh uterus dan ovarium mungkin
lebih baik daripada UAO saja dalam hal gejala jangka panjang tingkat
kontrol dan intervensi ulang. Namun, wanita menjalani oklusi pembuluh
darah anastomosis utero-ovarium secara simultan berisiko lebih besar
mengalami peningkatan yang signifikan pada kadar hormon perangsang
folikel serum pada bulan pertama setelah pembedahan mencerminkan
fungsi ovarium yang berkurang.5,14

d) Tindakan Operatif
Pengamatan yang cermat cocok untuk sebagian besar mioma, seperti
kebanyakan tidak menimbulkan gejala, terbatas pada panggul, dan jarang
ganas. Pilihan bedah dapat dipertimbangkan dalam kasus perdarahan uterus
abnormal yang tidak responsif untuk manajemen konservatif, tingkat
kecurigaan yang tinggi dari keganasan panggul, pertumbuhan miom setelah
menopause, distortion rongga endometrium atau obstruksi tuba pada infertil
wanita dan pada mereka dengan keguguran berulang, nyeri, atau gejala
tekanan yang mengganggu kualitas hidup, dan anemia akibat kehilangan darah
uterus kronis.5,14
1) Miomektomi perabdominam (laparoskopi atau laparotomi)
Miomektomi telah menjadi prosedur pilihan untuk mioma simptomatik pada
wanita yang menginginkan retensi uterus dan seringkali untuk miom
bertangkai soliter. Risiko kehilangan darah lebih tingi dan waktu operasi
lebih besar pada miomektomi dibandingkan dengan histerektomi tetapi
resiko cedera ureter dapat dikurangi dengan miomektomi. Mioma uteri
memiliki tingkat kekambuhan 15% dan 10% pada wanita yang menjalani
28

miomektomi dan pada akhirnya akan membutuhkan histerektomi dalam


waktu 5 hingga 10 tahun. Risiko kekambuhan dikaitkan dengan usia, jumlah
mioma pra-operasi, ukuran uterus, penyakit terkait, dan persalinan setelah
miomektomi. Sejak mioma submukosa telah terlibat dalam etiologi
infertilitas dan keguguran berulang, miomektomi direkomendasikan oleh
beberapa orang sebelum stimulasi gonadotropin untuk fertilisasi in vitro dan
juga pada wanita dengan mioma besar yang dapat mengganggu pengambilan
oosit. Prosedur dapat dipertimbangkan pada pasien dengan mioma besar,
terutama yang mengalami distorsi rongga endometrium dan pada pasien
dengan kegagalan fertilisasi in vitro yang tidak dapat dijelaskan. 5,14
Evaluasi sebelum operasi menyeluruh disarankan sebelum melakukan
proseder miomektomi. Wanita dengan ketidakteraturan menstruasi dan
mereka dengan risiko patologi endometrium membutuhkan evaluasi
histologis endometrium sebelum miomektomi, terutama jika berusia lebih
dari 35 tahun. Histeroskopi, jika tersedia, mungkin berguna pada saat
pengambilan sampel endometrium dalam mendiagnosis patologi intrauterine
seperti polip, benda asing, atau lupa alat kontrasepsi. Operasi definitif harus
ditunda selama 4-6 minggu setelah histeroskopi meminimalkan
kemungkinan infeksi menyebar.5,14
Mioma superfisial subserous atau pedunculated paling cocok untuk
laparoskopi atau pengangkatan laparoskopi dengan bantuan robotik.
Penghapusan mereka dipengaruhi oleh morcellation, pemanfaatan dari
sayatan kolpotomi, atau miolisis. Miomiomi laparoskopi pada wanita infertil
dengan mioma intramural menawarkan hasil yang sebanding dengan
laparotomi, dan tingkat kehamilan cenderung dipengaruhi oleh faktor
infertilitas terkait lainnya.5,14
Optimalisasi status hematologi pasien sebelumnya operasi adalah hal
yang paling penting. Wanita anemia harus diobati dengan GnRHa atau agen
progestasional untuk menghasilkan amenore. Darah autologus atau donor
29

yang disimpan harus diatur untuk operasi. Prosedurnya bisa dilakukan


dengan laparoskopi atau laparotomi. Kehilangan darah saat pembedahan
berkorelasi dengan ukuran uterus, berat mioma diangkat, dan waktu operasi.
Berbagai agen vasokonstriksi farmakologis dan mekanis teknik oklusi
vaskular telah dicoba untuk meminimalkan kehilangan darah akibat operasi.
Paparan yang adekuat, hemostasis, penanganan hati-hati jaringan reproduksi,
dan pencegahan adhesi adalah beberapa di antaranya prinsip umum
miomektomi perabdominam. 5,14
2) Miomektomi pervaginam
Mioma besar yang timbul dari uterus dapat mengisi vagina dan
menyebabkan perdarahan intermenstrual, cairan tidak sehat, atau retensi
urin. Sebagian besar dapat dienukleasi per vaginum dan batangnya diikat.
Meskipun jarang, namun dapat menjadi dasar etiologi dari inversi uterus,
terutama mioma besar yang berasal dari fundus.5,14
3) Miomektomi histeroskopi
Prosedur ini diindikasikan untuk perdarahan abnormal, riwayat keguguran,
infertilitas, dan nyeri. Apabila dicurigai keganasan endometrium,
ketidakmampuan untuk melebarkan rongga atau mengelilingi lesi, dan
perluasan tumor jauh ke dalam miometrium adalah kontraindikasi utama
prosedur ini. Sekitar 20% dari wanita akan membutuhkan terapi tambahan
dalam 10 tahun setelah prosedur ini, terutama karena pengangkatan yang
tidak lengkap atau pertumbuhan mioma baru.5,14
4) Histerektomi
Histerektomi adalah prosedur pembedahan ginekologi mayor yang paling
umum dilakukan pada wanita, dan 33,5% dilakukan untuk mioma.
Bergantung pada ukuran, jumlah, dan lokasi tumor, keterampilan ahli bedah
dan ketersediaan instrumen, teknik terbuka, laparoskopi, dan vagina adalah
port lain dari akses ke bantalan mioma uterus. Histerektomi telah menjadi
prosedur bedah pilihan untuk mioma ketika pertimbangan fungsi reproduksi
30

telah terpenuhi atau bila ada kemungkinan keganasan. Histerektomi


berhubungan dengan tingkat kepuasan pasien yang tinggi dan
menghilangkan kebutuhan untuk agen progestasional. 5,14
Transvaginal histerektomi mungkin dilakukan pada sebagian besar kasus,
bahkan dengan mioma besar karena tindakan ini kurang invasif.
Histerektomi supraserviks diindikasikan jika terdapat komplikasi bedah,
tetapi karena tidak ada perbedaan dalam fungsi seksual dan saluran kencing,
banyak ahli yang berpendapat bahwa histerektomi total lebih baik.
prosedurnya idealnya hanya sampai ukuran rahim 12 minggu. Prosedur
seperti morcellation, bisection, coring, atau wedge resection dari uterus bisa
berhasil ditangan ahli jika ukuran Rahim melebihi 12 minggu. Selain ukuran
mioma dan uterus, perlengketan, operasi panggul dan perut bagian bawah
sebelumnya, dan tidak tersedianya ahli bedah yang ahli dalam prosedur
tersebut kontraindikasi lain untuk histerektomi pervaginam.5,14
Konservasi serviks saat histerektomi telah diusulkan untuk mengurangi
risiko prolaps puncak vagina dan untuk mempertahankan fungsi seksual
yang baik. Histerektomi supracervical juga terkait dengan penurunan risiko
cedera saluran kemih dan membutuhkan lebih sedikit waktu operasi.
Diperlukan skrining serviks untuk kanker serviks pada wanita yang
menjalani histerektomi supraserviks. Sekitar 61,4% wanita berusia di atas 45
tahun yang menjalani histerektomi untuk mioma juga menjalani
oophorektomi bilateral secara bersamaan.5,14
Berikut ini adalah indikasi dilakukannya histerektomi pada pasien
dengan mioma uteri: 27
1. Mioma asimtomatik dengan ukuran yang dapat terpalpasi pada
pemeriksaan fisik (12 minggu) dan disadari oleh pasien
2. Perdarahan yang berat:
- Perdarahan berat disertai bekuan darah atau terjadi berulang dan
menetap lebih dari 8 hari.
31

- Anemia karena perdarahan akut maupun kronis


3. Nyeri pelvis yang disebabkan oleh mioma:
- Akut dan berat
- Rasa tertekan kronis pada abdomen bawah atau punggung bawah
- Tekanan pada kandung kemih dengan gangguan berkemih yang
disebabkan infeksi saluran kemih
Penatalaksanaan adenomiosis meliputi terapi non bedah dan bedah.
Beberapa obat-obatan yang digunakan untuk terapi non bedah adalah sex
steroid dan GnRH.8 GnRH agonis menyebabkan sekresi terus-menerus FSH
dan LH sehingga hipofisa mengalami disensitisasi dengan menurunnya
sekresi FSH dan LH mencapai keadaan hipogonadotropik hipogonadisme,
dimana ovarium tidak aktif sehingga tidak terjadi siklus haid. GnRH agonis
dapat diberikan secara intramuskular, subkutan, intranasal. Biasanya dalam
bentuk depot satu bulan ataupun depot tiga bulan. Efek sampingnya antara
lain rasa semburan panas, vagina kering, kelelahan, sakit kepala,
pengurangan libido, depresi atau penurunan densitas tulang. Berbagai jenis
GnRH agonis antara lain leuprolide, busereline, dan gosereline. Untuk
mengurangi efek samping dapat disertai dengan terapi add back dengan
estrogen dan progesteron alamiah. GnRH agonis diberikan selama rentang
waktu 6-12 bulan, namun ini bersifat sementara yang dalam beberapa waktu
kemudian akan kambuh kembali.Pengobatan dengan suntikan progesteron
seperti suntikan KB dapat membantu mengurangi gejala nyeri dan
perdarahan, dan biasanya lebih efektif diberikan pada pasien adenomiosis
dengan gejala yang lebih ringan. Penggunaan IUD yang mengandung
hormon progesteron dapat mengurangi gejala dismenorea dan menoragia
seperti mirena yang mengandung levonorgestrel yang dilepaskan secara
perlahan-lahan ke dalam rongga rahim.Dari beberapa penelitian
menyebutkan mirena dapat mengurangi keluhan nyeri haid hingga 70%.
Mekanisme kerja IUD dengan melepaskan hormon secara perlahan secara
32

langsung ke endometrium dan dinding otot uterus. Progesteron


menyebabkan sel-sel menyusut dan menekan produksi prostaglandin, protein
yang menyebabkan nyeri haid. Namun dikatakan efek samping yang umum
terjadi akibat pemakaian IUD antara lain penambahan berat badan (29%),
kista jinak ovarium (22%), dan nyeri abdomen bawah (12%). Aromatase
inhibitor yang menghambat enzim aromatase yang menghasilkan estrogen
seperti anastrazole dan letrozole. Aromatase P450 banyak ditemukan pada
perempuan dengan gangguan organ reproduksi seperti endometriosis,
adenomiosis dan mioma uteri. Histerektomi adalah jenis terapi yang
terbuktilebih efektif. Pada kasus-kasus dimana fungsi reproduksi tidak
dibutuhkan lagi, histerektomi adalah terapi yang terpilih.35-38

Persiapan pre dan post operatif

Pasien yang datang untuk operasi dalam krisis hipertensi (tekanan darah >
180/110) harus diperiksa dengan hati-hati untuk menentukan apakah tingkat
hipertensi ini akut atau kronis, dan apakah ada tanda dan gejala kerusakan
organ akhir. Jika pasien dengan hipertensi berat memang memiliki tanda-
tanda kerusakan organ akhir, ini dianggap darurat hipertensi. Kecuali jika
merupakan keadaan darurat bedah, kasus harus dijadwal ulang dan terapi
antihipertensi intravena segera dimulai. Meskipun tidak ada agen
farmakologis yang sempurna untuk menangani kegawatdaruratan hipertensi,
pilihan pertama yang logis dapat dipilih berdasarkan kemungkinan etiologi
dan penyakit penyerta pasien. Meskipun prevalensinya tinggi pada populasi
bedah, hanya ada sedikit bukti yang baik mengenai pengelolaan hipertensi pra
operasi.40
33

10. SIMPULAN
1. Diagnosis pasien ini adalah mioma uteri intramural dan adenomiosis
uteri. Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan patologi
anatomi.
2. Tindakan yang akan dilakukan pada pasien ini adalah histerektomi
total.

11. RENCANA OPERASI


1. Penderita terlentang dalam keadaan general anestesi
2. Dilakukan tindakan aseptik dan antiseptik pada lapangan operasi dan
sekitarnya. Lapangan operasi dipersempit dengan duk steril.
3. Dilakukan insisi mediana.
4. Insisi diperdalam secara tajam dan tumpul sampai menembus peritoneum
5. Dilakukan eksplorasi terhadap uterus, tuba fallopii, ovarium dan organ
sekitar nya
6. Dilakukan pemasangan 2 buah kasa besar basah dan spreader
7. Dilakukan pemasangan tegel pada fundus uteri, lalu dilakukan elevasi
8. Apabila ditemukan perlengketan uterus dengan organ sekitar nya akan
dilakukan adesiolisis
9. Menjepit, memotong dan mengikat ligamentum rotundum kanan dan kiri
dengan PGA no. 1.
10. Membuka plika vesikouterina dan disisihkan kebawah
11. Menembus ligamentum latum pars anterior kanan kiri dari arah belakang ke
depan secara tumpul
12. Menjepit, memotong dan mengikat ligamentum ovarii propium kanan dan
kiri dengan PGA no. 1.
13. Menjepit, memotong dan mengikat vasa uterina kanan dan kiri dengan
PGA no. 1.
14. Menjepit, memotong dan mengikat jaringan paraservikal kanan dan kiri
34

15. Menjepit, memotong dan mengikat ligamentum sakrouterina kanan dan kiri
dengan PGA no. 1.
16. Dilakukan identifikasi batas serviks dan vagina, lalu puncak vagina
dipotong setinggi portio, lalu sudut puncak vagina dijahit secara jelujur
dengan PGA no. 1.
17. Perdarahan dirawat sebagaimana mestinya
18. Setelah diyakini tidak ada perdarahan dilakukan pencucian cavum bdomen
dengan NaCl 0,9%
19. Dilanjutkan dengan penutupan dinding abdomen lapis demi lapis
20. Seluruh jaringan di PA-kan
35

RUJUKAN

1. Berek JS, Rinehart RD, Williams. Uterine Fibroids. Novak’s Textbook of Gynecology 15 th
edition. Lippincott Williams & Willkins. USA. 2012:797-815
2. Vilos GA, Allaire C, Laberge PV, Leyland N. The management of uterine leiomyomas : SOGC
Clinical practice guideline. J Obstet Gynaecol Can. 2015:157-78.
3. De La Cruz MS, Buchanan EM. Uterine fibroids: diagnosis and treatment. Am Fam Physician.
2017 Jan 15;95(2):100-107. PMID: 28084714.
4. Hendarto H. Implikasi klinis PALM COEIN terhadap penatalaksanaan perdarahan uterus
abnormal. Dalam : Astarto N.W, Djuwantono T, Permadi W, Madjid T.H, Bayuaji H, Ritonga
M.A. Kupas tuntas kelainan haid. Jakarta. Sagung seto. Departemen Obstetri dan Ginekologi FK
universitas Pajajaran RS Dr. Hasan Sadikin.2011; 19-41.
5. Valle RF, Ekpo GE. Patophysiology of uterine myomas and its clinical implications. In : Tinelli
A, Malvasi A, eds. Uterine myoma, myomectomy, and minimally invasive treatments.
Switzerland: Springer, 2015:1-11..
6. Mas A, Tarazona M, Dasí Carrasco J, Estaca G, Cristóbal I, Monleón J. Updated approaches for
management of uterine fibroids. Int J Womens Health. 2017;9:607-617.
7. Donnez J. Uterine fibroids and progestogen treatment : lack of evidence of tts efficacy: a review.
J Clin Med. 2020;9(12):3948
8. Gunardi E.R. Adenomiosis, adakah tempat untuk konservatif?. Bagian Kebidanan dan
Kandungan FKUI/RSCM Jakarta.2003:1-4.
9. D’Hooge TM, Hill JA. Endomteriosis. In: Berek JS, ed. Berek & Novak’s gynecology. 16th ed.
California: Lippincott Williams & Wilkins; 2019:1138-71.
10. Taylor HS, Pal L, Seli E. Endometriosis. In: Taylor HS, Pal L, Seli E. Sperroff’s Clinical
Gynecologic Endocrinology and Infertility. 9th Edition. Philadelphia: Wolters Kluwer, 2020.
11. Kurman, Ellenson and Ronnett. Epithelial Tumors of the Ovary: Blaustein’s Pathology of the
Female Genital Tract. 7th Ed. Switzerland: Springer Nature,2019; 850-960.
12. Flake GP, Andersen J, Dixon D. Etiology and pathogenesis of uterine leiomyomas: a review.
Environ Health. 2003;111(8):1037-49.
13. Laughlin SK, Stewart EA. Uterine leiomyomas: individualizing the approach to a heterogenous
condition. Obstet Gynecol. 2011;117(2):396-403.
14. Breech LL, Rock JA. Leiomyomata uteri and myomectomy. In: Rock JA, Jones HW, eds. Te
Linde’s operating gynecology. 10th edition. Philadelphia: Wolters Kluwer, 2008:687-726.
15. Hoffman BL, Schorge JO, Schaffer JI, Halvorson LM, Bradshaw KD, Cunningham FG. Pelvic
mass. In: Hoffman BL, ed. Williams Gynecology. 2 nd edition. New York: Mc-Graw Hill,
2012:246-80.
16. Ciarmela P, Ciavattini A, Giannubilo SR, Lamanna P, Fiorini R, Tranquilli AL. Management of
leiomyomas in perimenopausal women. Maturitas 2014;78:168-73.
17. Parker WH. Uterine myomas: management. Fertil Steril. 2007;88(2):255-71.
18. Patel A, Malik M, Britten J, Cox J, Catherino WH. Alternative therapies in management of
leiomyomas. Fertil Steril. 2014;102(3):649-55.
19. Wong L, White N, Ramkrishna J, Araujo J, Meagher S, Costa S. Three- dimensional imaging of
the uterus: the value of the coronal plane. World J Radiol. 2015. 7: 484-493.
20. Putra AD. Ultrasonografi ginekologi I. Edisi ke-2. Jakarta: Divisi Onkologi Departemen Obstetri
dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2011:25-34.
21. Jarret, R. et al. A Prospective study of hypertension and risk of uterine leiomyomata. Am J
Epidemiol. 2005 April 1; 161(7): 628–638
22. Nowak RA. Novel therapeutic strategies for leiomyomas: targeting growth factors and their
receptors. Environ Health Perspect. 2000; 108:849–853.
36

23. Tak YJ, Lee SY, Park SK, Kim YJ, Lee JG, Jeong, DW, et al. Association between uterine
leiomyoma and metabolic syndrome in parous premenopausal women. Medicine. 2016. 95(46),
e5325.
24. Baird, D. Uterine leiomyomata in relation to insulin-like growth factor-I, insulin, and diabetes.
Epidemiology. 2009 July ; 20(4): 604–610
25. Faerstein E, Szklo M, Rosenshein NB. Risk factors for uterine leiomyoma: a practice-based case-
control study. II. Atherogenic risk factors and potential sources of uterine irritation. Am J
Epidemiol 2001;153:11–19
26. Baziad A, Hestiantoro A, Wiweko B. Panduan tatalaksana perdarahan uterus abnormal. HIFERI.
2011:1-34.
27. Peura DA. Gastrointestinal safety and tolerability of nonselective nonsteroidal anti-inflammatory
agents and cyclooxygenase-2-selective inhibitors. Cleve Clin J Med. 2002;69:S131–S139.The
Society of Obstetricians and Gynaecologist of Canada. Abnormal uterine bleeding in pre-
menopausal women. J Obstet Gynaecol Can.2013;35(5):S1-S28.
28. Wilkens J, Chwalisz K, Han C. Effects of the selective progesterone receptor modulator
asoprisnil on uterine artery blood flow, ovarian activity, and clinical symptoms in patients with
uterine leiomyomata scheduled for hysterectomy. J Clin Endocrinol Metab. 2008;93(12): 4664–
4671.
29. Adiyono. W. Pengobatan Adenomiosis uteri. SMF Obstetri Ginekologi RS. dr. Kariadi
Semarang. 2002:1-9.
30. Prawirohardjo,S. Ilmu kandungan, edisi kedua. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka, 1997:262-266.
31. Sahni, BS. Adenomyosis. Clinic.com-http://wwwhomeopathyclinic.com.2014:1-4.
32. Baziad, A. Endokrinologi Ginekologi.Edisi ketiga. Media Aesculapius. 2008:6-31.
33. Karaer O, Oru A, Koyuncu FM. Aromatase inhibitors: possible future applications. Acta Obstet
Gynecol Scand. 2004;83(8):699–706.
34. ACOG. Salpingectomy for ovarian cancer prevention. ACOG. 2015; 620:1-4.
35. Society E, Reproduction H. Management of women with endometriosis. 2013;(September):1–97.
36. Mcleod BS, Retzloff MG. Epidemiology of Endometriosis : An Assessment of Risk Factors.
2010;53(2):389–96.
37. Van Holsbeke C, Van Calster B, Guerriero S, Savelli L, Paladini D, Lissoni AA, et al.
Endometriomas: Their ultrasound characteristics. Ultrasound Obstet Gynecol. 2010;35(6):730–
40.
38. Bourgioti C, Preza O, Panourgias E, Chatoupis K, Antoniou A, Nikolaidou ME, et al. MR
imaging of endometriosis: Spectrum of disease. Diagn Interv Imaging. 2017;98(11):751–67.
39. Papadakos, P. Management of preoperative hypertension. Anesthesiology news special edition.
2015. 20-24

Anda mungkin juga menyukai