Anda di halaman 1dari 47

Konferensi Gabungan

MULTIGRAVIDA HAMIL 30 MINGGU DENGAN


EPILEPSI JANIN TUNGGAL HIDUP PRESENTASI
KEPALA

Penyaji :
Dr. Terry Mutia

Pembimbing :
Dr. H. Abarham Martadiansyah, SpOG (K)
Dr. Hj. Sri Handayani, SpS (K)

Pemandu :
Dr. Awan Nurtjahyo, SpOG (K)

Penilai :
Prof. Dr. H. A. Kurdi Syamsuri, SpOG (K), MSEd
DR. Dr. H. Heriyadi Manan, SpOG (K), MARS
Dr. H. Rizal Sanif, SpOG (K), MARS, PhD
Dr. H. Firmansyah Basir, SpOG(K), MARS
Dr. Hadrians Kesuma Putra, SpOG(K)

Pembahas:
Dr. Andini Zuitasari
Dr. Excellena
Dr. Dian Aviani

BAGIAN/ KSM OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FAKULTAS


KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA RSUP Dr.
MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
Dipresentasikan pada hari Jumat, 18 September 2020 pukul 13.00 WIB
LEMBAR PENGESAHAN

MULTIGRAVIDA HAMIL 30 MINGGU DENGAN EPILEPSI


JANIN TUNGGAL HIDUP PRESENTASI

Telah dipresentasikan pada hari Jumat, 18 September 2020 pukul 13.00 WIB

Pembimbing :
Dr. H. Abarham Martadiansyah, SpOG (K)
(……………………….)
Dr. Hj. Sri Handayani, SpS (K) (……………………….)

Penilai :

Prof. Dr. H. A. Kurdi Syamsuri, SpOG (K), MSEd


(……………………….)
DR. Dr. H. Heriyadi Manan, SpOG (K), MARS (……………………….)

Dr. H. Rizal Sanif, SpOG (K), MARS, PhD (……………………….)

Dr. H. Firmansyah Basir, SpOG(K), MARS (……………………….)

Dr. Hadrians Kesuma Putra, SpOG(K) (……………………….)

Penyaji :
Dr. Terry Mutia (……………………….)

BAGIAN/ KSM OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................................................... i


HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................................... iv
DAFTAR TABEL ............................................................................................................. v
I REKAM MEDIS ........................................................................................................... 1
A. Anamnesis ............................................................................................................. 1
B. Pemeriksaan Fisik ................................................................................................. 3
C. Pemeriksaan Penunjang ........................................................................................ 5
D. Diagnosis kerja.................................................................................................... 17
E. Prognosis ............................................................................................................. 17
F. Terapi .................................................................................................................. 17
II PERMASALAHAN ................................................................................................... 19
III PEMBAHASAN ........................................................................................................ 20
IV SIMPULAN ............................................................................................................... 43
RUJUKAN ...................................................................................................................... 44

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Klasifikasi tipe bangkitan ILAE 2017 ....................................................... 21


Gambar 2. Level Teratogenisitas Obat Anti Epilepsi .................................................. 38
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Seksio sesaria atas dasar epilepsi ....................................................................... 34


Tabel 2. Efek Teratogenik Obat Anti Konvulsan ............................................................ 38
Tabel 3. Rata-rata Kejadian Malformasi Berdasarkan Jumlah OAE................................. 40
I. REKAM MEDIS
A. Anamnesis
1. Identifikasi
Nama : Ny. ARD
Med. Rec/ Reg : 288372
Umur : 32 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Pedagang
Alamat : Lk V Paku Kayu Agung No. 28/443, Ogan
Komering Ilir, Sumatera Selatan

2. Riwayat perkawinan
Menikah 1 kali, lamanya 13 tahun

3. Riwayat reproduksi
Menarche 15 tahun, siklus haid tidak teratur, lama haid 3 hari. HPHT: 12
Februari 2020

4. Riwayat persalinan
1. 2007, laki-laki, 2800 gram, aterm, spontan, bidan di RS. Kayu Agung,
sehat.
2. 2013, laki-laki, 2500 gram, aterm, spontan, SpOG di RSMH, sehat.
3. Hamil ini

5. Riwayat pemakaian kontrasepsi


KB suntik tiap 3 bulan selama 7 tahun, tidak menggunakan KB selama 5 bulan
terakhir sebelum hamil.

6. Riwayat penyakit dahulu dan penyakit keluarga


Pasien telah didiagnosis epilepsi sejak 15 tahun yang lalu. Pasien terakhir kejang
2 bulan yang lalu dan melamun 3x dalam sebulan.
Pasien rutin kontrol ke Poliklinik Neurologi RSMH. Saat ini rutin
mengkonsumsi obat-obatan berikut:
- Depakote® ER tablet 1x500 mg
- Risperidone tablet 2x1 mg
- Carbamazepine tablet 2x200 mg
Pasien tidak memiliki riwayat hipertensi dan diabetes mellitus. Riwayat
trauma kepala tidak ada. Riwayat epilepsi dalam keluarga disangkal.

7. Riwayat gizi/sosial ekonomi


Sedang

8. Anamnesis khusus (autoanamnesis)


Keluhan Utama:
Hamil kurang bulan dengan riwayat kejang

Riwayat perjalanan penyakit:


Pasien datang ke Poliklinik Fetomaternal RSMH untuk kontrol kehamilan.
Pasien menyangkal keluhan perut mulas menjalar ke pinggang makin lama
makin sering dan kuat, keluar darah lendir dan keluar air-air dari kemaluan.
Pasien mengalami kejang ±2 bulan yang lalu, kejang kelojotan dan kaku
seluruh tubuh, kejang 1x saat tidur, lama kejang ±5 menit, mata melotot,
mulut berbusa (-), lidah tergigit (+), saat kejang tidak sadar, setelah kejang
pasien merasa sakit kepala lalu sadar penuh dan dapat berkomunikasi dengan
baik setelah 20 menit postictal. Kejang berhenti sendiri, pasien tidak dibawa
ke Rumah Sakit. Kejang biasanya timbul saat pasien kelelahan dan kurang
tidur. Gejala-gejala yang menyertai sebelum kejang disangkal, pasien tidak
tahu jika akan kejang. Keluhan mual dan muntah, nyeri kepala hebat, dan
pandangan berkunang-kunang sebelum kejang disangkal. Pasien juga tiba-
tiba melamun 3x dalam sebulan, lama ± 5 detik. Riwayat melamun sebelum
hamil (+). Keluhan melihat benda yang tidak bisa dilihat oleh orang lain (-),
mendengar bisikan yang tidak dapat didengar oleh orang lain (-), pasien
mempunyai keluhan seolah-olah melihat dan merasakan kejadian yang saat
ini sedang dialami sudah pernah dialami di masa lalu. Pasien didiagnosis
dengan epilepsi sejak 15 tahun yang lalu dan rutin minum obat.
Pasien mengaku hamil kurang bulan dan gerakan anak masih dirasakan.

B. Pemeriksaan Fisik
1. Status Present
a. Keadaan umum
Kesadaran : Kompos mentis
Berat badan : 55 kg
Tinggi badan : 150 cm
BMI : 24,4 (normoweight)
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Pernafasan : 20 x/menit
Suhu : 36,5 oC
b. Keadaan khusus
Pemeriksaan Kepala
- Bentuk kepala dan rambut : Normal

Pemeriksaan Mata
- Konjungtiva : Pada mata kanan dan kiri tidak terlihat anemis.
- Sklera : Pada mata kanan dan kiri tidak terlihat ikterik

Pemeriksaa Leher
- JVP : Tidak meningkat
- Kelenjar tiroid : Tidak membesar
- Kelenjar limfonodi : Tidak membesar

Pemeriksaan Thorak
Paru-paru
-Inspeksi : Simetris kanan kiri, tidak ada retraksi
-Palpasi : Stem fremitus kanan sama kiri.
-Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
- Auskultasi : Suara dasar vesikuler, tidak ada suara tambahan di
semua lapang paru.
Pemeriksaan Abdomen
Status Ginekologis
Pemeriksaan luar:
Tinggi fundus uteri ½ pusat – proc. Xyphoideus (24 cm), memanjang,
punggung kiri, kepala, U 5/5, kontraksi uterus (-), DJJ 135 x / menit, TBJ 1705
gram
Pemeriksaan Ekstremitas
Edema pretibial tidak ada

2. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Ultrasonografi
Pemeriksaan USG - Tampak GS intrauterine
Dr. H. Abarham Martadiansyah, - Biometri janin
Sp.OG (K) CRL 1,54 cm ~ 8w0d, Yolk sac (+)
13 April 2020 - Fetal Heart Rate (+)
10.30 WIB
Kesan: Hamil 8 minggu intrauterine

Saran:
Terapi saat ini depakote® ER termasuk kategori D
dalam kehamilan, mohon re-evaluasi untuk
pengobatan epilepsi dalam kehamilan
Pemeriksaan USG - Tampak JTH intrauterine
Dr. H. Abarham Martadiansyah, - Biometri janin
Sp.OG (K) BPD 5,01 cm AC 16,09 cm
13 Juli 2020 HC 18,96 cm FL 3,54 cm
10.00 WIB TCD 2,30 cm ~ 21w2d
PI Umb 1,22 PI Ut 0,58
- Cairan ketuban cukup
- Plasenta di corpus posterior

Kesan: Hamil 21 minggu JTH intrauterine


Pemeriksaan USG - Tampak JTH intrauterine
Dr. H. Nuswil Bernolian, Sp.OG (K), - Biometri janin
MARS BPD 6,51 cm AC 21,47 cm
13 Agustus 2020 HC 23,72 cm FL 4,73 cm
11.10 WIB EFW 810 gram
- Cairan ketuban cukup
- Plasenta di corpus posterior

Kesan: Hamil 26 minggu JTH intrauterine

Pemeriksaan USG - Tampak JTH presentasi kepala


Dr. H. Abarham - Biometri janin
Martadiansyah, BPD 8,09 cm AC 26,16 cm
Sp.OG (K) HC 29,06 cm FL 5,76 cm
13 September 2020 EFW 1617 gram
11.00 WIB - Kepala
TCD 3,67 cm ~ 30w2d BOD 4,92 cm
CM 6,10 mm IOD 1,32 cm
NF 2,46 mm Vp 8,99 cm
CSP 3,99 mm Va 2,89 cm
- Thorak: Cor 4 chamber view (+), tidak ada regurgitasi
- PI MCA 1,68 PI Umb 1,27 PI Ut 0,46
- Cairan ketuban cukup
- Plasenta di corpus posterior

Kesan:
- Hamil 30 minggu JTH presentasi kepala, pertumbuhan ~ normal
- Saat ini tidak tampak anomali kongenital pada janin
- Tidak tampak hipoperfusi maternal-plasental-fetal
b. Pemeriksaan EEG (Elektroensefalogram)
08 Desember 2019 - Dr. Hj. Sri Handayani, Sp. S
Interpretation:
- Perekaman dilakukan dalam keadaan sadar, bangun dan tidur tanpa premedikasi, dengan
elektroda khusus
- Latar belakang berupa irama alfa 8-9 spd, amplitudo sedang hingga 40 µv
- Simetris pada kedua hemisfer, reaktifitas terhadap buka dan tutup tidak baik
- Pada stimulasi photic tidak didapatkan photic driving
- Pada hiperventilasi tidak didapatkan perubahan bermakna
- Tidak didapatkan perlambatan
- Didapatkan aktivitas epileptiform berupa gelombang spike dan spike-wave di temporal kiri
- Didapatkan gelombang tidur berupa verteks, spindel, k-kompleks

Impression: Abnormal EEG II: berupa aktivitas epileptiform di temporal kiri


12 Desember 2019 - Dr. Hj. Sri Handayani, Sp. S
Interpretation:
- Perekaman dilakukan dalam keadaan sadar, tanpa premedikasi
- Latar belakang berupa irama alfa 10-11 spd, amplitudo sedang hingga 50 mv
- Simetris pada kedua hemisfer, reaktifitas terhadap buka dan tutup mata baik
- Pada stimulasi photic tidak didapatkan photic driving
- Pada hiperventilasi tidak didapatkan perubahan bermakna
- Tidak didapatkan gambaran perlambatan
- Didapatkan gelombang epileptiform berupa gelombang spike di left anterior temporal (F7-T3)
- Didapatkan gelombang tidur berupa gelombang verteks, spindel, k-kompleks

Impression: Abnormal EEG II: terdapat gelombang epileptiform di left anterior temporal
C. Diagnosis Kerja
G3P2A0 Hamil 30 Minggu dengan Epilepsi Janin Tunggal Presentasi Kepala
D. Prognosis
Ibu : Dubia
Janin : Dubia

E. Terapi
- Asam folat tablet 1x400 mcg PO
- Sulfas ferrosus tablet 1x300 mg PO
- CaCO3 tablet 3x500 mg PO
- Kontrol satu bulan lagi

F. Assessment Bagian neurologi

Poliklinik Neurologi S/ Kejang 1x, lama ± 5 menit


13 Juli 2020
11.26 WIB O/ Sens GCS E4M6V5
Dr. Mukhlisa, Sp. S
TD 100/70 mmHg T 36,5 0 \C
Nadi 80 x/m P 20 x/m

A/ Epilepsi

P/
- Depakote® ER tablet 1x500 mg
- Risperidone tablet 2x1 mg
- Asam folat tablet 1x400 mcg
- Obat Depakote® ER tidak bisa distop secara
mendadak karena kejang belum teratasi, informed
consent keluarga tentang efek samping teratogenik
obat
Poliklinik Neurologi S/ Melamun 3x dalam sebulan, kurang lebih 1-2 detik
13 Agustus 2020
10.00 WIB O/ Sens GCS E4M6V5
Dr. Theresia Christin, Sp.
TD 110/70 mmHg T 36,5 0 \C
S
Nadi 80 x/m P 20 x/m

A/ Epilepsi

P/
- Depakote® ER tablet 1x500 mg
- Risperidone tablet 2x1 mg
- Asam folat tablet 1x400 mcg
- Carbamazepine tablet 1x200 mg → evaluasi bila
bangkitan tidak teratasi, dosis naik 2x200 mg
- Obat Depakote® ER tidak bisa distop secara
mendadak karena bangkitan belum teratasi, obat anti
epilepsi ditambahkan Carbamazepine dengan
pengawasan.
Poliklinik Neurologi S/ Melamun 3x dalam sebulan, kurang lebih 1-2 detik
13 September 2020
10.30 WIB O/ Sens GCS E4M6V5
Dr. Andika Okparasa,
TD 120/70 mmHg T 36,5 0 \C
Sp. S
Nadi 80 x/m P 20 x/m

A/ Epilepsi

P/
- Depakote® ER tablet 1x500 mg
- Risperidone tablet 2x1 mg
- Asam folat tablet 1x400 mcg
- Carbamazepine tablet 2x200 mg
II. PERMASALAHAN
1. Bagaimanakah penegakan diagnosis pada kasus ini?
2. Bagaimanakah pengaruh kehamilan terhadap epilepsi dan pengaruh epilepsi
terhadap kehamilan?
3. Obat-obat apa saja yang direkomendasikan dalam penanganan kehamilan dengan
Epilepsi?
4. Bagaimana penatalaksanaan dan rencana persalinan pada ibu hamil dengan
Epilepsi?
5. Bagaimana perencanaan kehamilan selanjutnya pada kasus ini?
III. PEMBAHASAN
1. Bagaimanakah penegakan diagnosis pada pasien ini?
Epilepsi adalah gangguan kronis pada otak yang dapat menyerang orang di seluruh
dunia. Di negara-negara maju, kejadian epilepsi tahunan diperkirakan sekitar 50 per
100.000 penduduk. Di negara berkembang, jumlahnya diperkirakan lebih tinggi.1
Berdasarkan konsensus International League Againts Epilepsy (ILAE) tahun
2014, epilepsi adalah suatu penyakit otak yang ditandai dengan salah satu
kondisi/gejala berikut:2
1. Minimal terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi atau 2 bangkitan refleks dengan
jarak waktu antar bangkitan pertama dan kedua lebih dari 24 jam;
2. Satu bangkitan tanpa provokasi atau 1 bangkitan refleks dengan kemungkinan
terjadinya bangkitan berulang dalam 10 tahun kedepan sama dengan bila
terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi atau bangkitan refleks; dan
3. Sudah ditegakkan diagnosis sindrom epilepsi (oleh dokter yang kompeten).
Gambar 1. Klasifikasi tipe bangkitan ILAE 2017
Dikutip dari Shorvon S et al3

Epilepsi adalah kondisi neurologis yang paling sering pada populasi obstetrik, 0,5%
wanita hamil menderita epilepsi. Diperkirakan sekitar setengah juta wanita dengan
epilepsi di Amerika Serikat berada dalam usia subur dan terdapat sekitar tiga sampai
lima bayi pada setiap 1000 kelahiran yang lahir dari wanita dengan epilepsi.
Mayoritas pasien epilepsi dapat mengontrol serangan dengan baik, dan diharapkan
dapat berpartisipasi secara penuh dalam setiap pengalaman kehidupan, termasuk
kehamilan.4
Secara umum penyebab kejang dapat diklasifikasikan menjadi 3 yaitu:
1. Idiopatik
Penyebabnya tidak diketahui, umumnya mempunyai predisposisi genetik
2. Kriptogenik
Dianggap simptomatik tetapi penyebabnya belum diketahui, termasuk disini
sindrom west, sindrom lennox-gastaut, dan epilepsi mioklonik, gambaran klinik
sesuai dengan ensefalopati difus.
3. Simptomatik
Disebabkan oleh kelainan/lesi ada susunan saraf pusat misalnya trauma kepala,
infeksi susunan saraf, kelainan kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran
darah otak, toksik (alkohol, obat), metabolik, kelainan neuro degeneratif.5-7
Faktor pencetus epilepsi:
1. Penderita epilepsi tanpa pengobatan atau dosis pengobatan yang tidak
memadai.
2. Pengobatan yang tiba-tiba dihentikan atau gangguan penyerapan saluran cerna.
3. Keadaan umum yang menurun sebagai akibat kurang tidur, stres psikis, atau
stres fisik.
4. Withdrawal alkohol, drug abuse, atau obat-obat anti depresi.5-7
Diagnosis pasti epilepsi adalah dengan menyaksikan secara langsung terjadinya
serangan, namun serangan epilepsi jarang bisa disaksikan langsung oleh dokter,
sehingga diagnosis epilepsi hampir selalu dibuat berdasarkan alloanamnesis.
Namun alloanamnesis yang baik dan akurat sulit didapatkan, karena gejala yang
diceritakan oleh orang sekitar penderita yang menyaksikan sering kali tidak khas,
sedangkan penderitanya sendiri tidak tahu sama sekali bahwa ia baru saja
mendapat serangan epilepsi. Satu-satunya pemeriksaan yang dapat membantu
menegakkan diagnosis penderita epilepsi adalah rekaman elektroensefalografi
(EEG).8

Komplikasi epilepsi adalah sebagai berikut:


1. Otak: Peningkatan tekanan intra kranial, edema serebri, trombosis arteri dan
vena otak, disfungsi kognitif, gagal ginjal.
2. Paru: Gagal nafas, apnu, pneumonia, hipoksia, hiperkapni.
3. Pelepasan katekolamin: Hipertensi, edema paru, aritmia.
4. Jantung: Hipotensi, gagal jantung, tromboembolisme.
5. Metabolik dan sistemik: Dehidrasi, asidosis, hiper/hipoglikemia, hiperkalemia,
hiponatremia, kegagalan multiorgan.
6. Idiopatik: Fraktur, tromboplebitis, DIC.5-7
Pasien ini mengalami kejang pertama kali saat usia 17 tahun (± 15 tahun yang
lalu), kejang didahului dengan mata melotot dan kaku seluruh tubuh, lama ±5 menit.
Kejang berulang >24 jam. Kejang dialami saat pasien sedang istirahat/ tidur (tanpa
provokasi). Selama 15 tahun, frekuensi pasien mengalami kejang tidak menentu,
yaitu setiap empat bulan atau setiap enam bulan dan kadang-kadang mengalami dua
kali kejang dalam satu bulan.
Pasien tidak memiliki riwayat trauma kepala, demam tinggi dan riwayat infeksi.
Dua bulan yang lalu, pasien mengalami kejang 1x, kelojotan dan kaku seluruh tubuh,
lidah tergigit, dan pasien tidak tahu jika dirinya akan mengalami kejang. Pasien tidak
mengalami gejala saat akan terjadinya kejang. Sesuai dengan kriteria ILAE tahun
2017 yaitu tipe bangkitan umum/ motor (tonik-klonik). Pasien juga tiba-tiba
melamun, lama ±5 detik, sesuai dengan tipe bangkitan umum/ non-motor (absence).
Pasien dilakukan pemeriksaan EEG dengan kesan terdapat gelombang epileptiform
di left anterior temporal.
Pada kasus ini diagnosis epilepsi dapat ditegakkan yaitu terdapat dua bangkitan
tanpa provokasi dengan jarak antara bangkitan pertama dan kedua lebih dari 24 jam,
bangkitan berulang dalam 10 tahun kedepan dan pemeriksaan EEG didapatkan
gelombang epileptiform di left anterior temporal.

2. Bagaimanakah pengaruh kehamilan terhadap epilepsi dan pengaruh epilepsi


terhadap kehamilan?
Pengaruh kehamilan terhadap epilepsi didapatkan sepertiga wanita akan mengalami
peningkatan serangan epilepsy (antara 8% dan 46% dari berbagai penelitian),
sepertiga wanita akan mengalami perubahan serangan dan sepertiga wanita lagi akan
mengalami penurunan frekuensi serangan.4
Beberapa peneliti mengatakan bahwa bangkitan epilepsi lebih sering terjadi pada
kehamilan, terutama pada trimester I dan hanya sedikit meningkat trimester III.
Meningkatnya frekuensi serangan kejang pada wanita penyandang epilepsi selama
kehamilan ini disebabkan oleh:4,9
a. Perubahan hormonal
Kadar estrogen dan progesteron dalam plasma darah akan meningkat secara
bertahap selama kehamilan dan mencapai puncaknya pada trimester ketiga.
Sedangkan kadar hormon khorionik gonadotropin mencapai puncak pada
kehamilan trimester pertama yang kemudian menurun terus sampai akhir
kehamilan. Seperti diketahui bahwa serangan kejang pada epilepsi berkaitan erat
dengan rasio estrogen-progesteron, sehingga wanita penyandang epilepsi dengan
rasio estrogen-progesteron yang meningkat akan lebih sering mengalami kejang
dibandingkan dengan yang rasionya menurun. Kerja hormon estrogen adalah
menghambat transmisi GABA (dengan merusak enzim glutamat dekarboksilase).
Sedangkan kita ketahui bahwa GABA merupakan neurotransmiter inhibitorik,
sehingga nilai ambang kejang makin rendah dengan akibat peningkatan kepekaan
untuk terjadinya serangan epilepsi. Sebaliknya kerja hormon progesteron adalah
menekan pengaruh glutamate sehingga menurunkan kepekaan untuk terjadinya
serangan epilepsi.
b. Perubahan metabolik
Adanya kenaikan berat badan pada wanita hamil yang disebabkan retensi air dan
garam serta perubahan metabolik seperti terjadinya perubahan metabolisme di
hepar yang dapat mengganggu metabolisme obat anti epilepsi (terutama proses
eliminasi), terjadinya alkalosis respiratorik dan hipomagnesemia. Keadaan ini
dapat menimbulkan kejang, meskipun masih selalu diperdebatkan.
c. Deprivasi tidur
Wanita hamil sering mengalami kurang tidur yang disebabkan beberapa keadaan
seperti rasa mual muntah, nyeri pinggang, gerakan janin dalam kandungan,
nokturia akibat tekanan pada kandung kencing dan stress psikis. Semuanya ini
dapat meningkatkan serangan kejang.
d. Perubahan farmakokinetik pada obat anti epilepsi
Penurunan kadar obat anti epilepsi ini disebabkan oleh beberapa keadaan antara
lain berkurangnya absorbsi (jarang), meningkatnya volume distribusi, penurunan
protein binding plasma, berkurangnya kadar albumin dan meningkatnya
kecepatan drug clearance pada trimester terakhir. Penurunan serum albumin
sesuai dengan bertambahnya usia gestasi mempengaruhi kadar plasma obat anti
epilepsi, sehingga obat anti epilepsi yang terikat dengan protein berkurang dan
menyebabkan peningkatan obat anti epilepsi bebas. Namun obat anti epilepsi ini
akan cepat dikeluarkan sesuai dengan meningkatnya drug clearance yang
disebabkan oleh induksi enzim mikrosom hati akibat peningkatan hormon steroid
(estrogen dan progesteron). Pada umumnya dalam beberapa hari-minggu setelah
partus kadar obat anti epilepsi akan kembali normal.

e. Suplementasi asam folat


Penurunan asam folat (37%) dalam serum darah dapat ditemukan pada penderita
yang telah lama mendapat obat anti epilepsi, pada kehamilan trimester ketiga
menjelang partus dan pada masa puerperium bagi ibu hamil yang sebelumnya
tidak pernah mendapat suplemen asam folat. Wanita hamil dengan epilepsi lebih
mungkin menjadi anemia 11% (anemia mikrositer), karena sebagian besar obat
anti epilepsi yang dikonsumsi berperan sebagai antagonis terhadap asam folat dan
juga didapatkan trombositopenia. Suplementasi asam folat dapat mengganggu
metabolisme obat anti epilepsi (fenitoin dan fenobarbital) sehingga
mempengaruhi kadarnya dalam plasma. Namun dapat dikatakan tidak sampai
meningkatkan jumlah serangan kejang.
Pengaruh epilepsi terhadap kehamilan terbagi atas pengaruhnya terhadap
kehamilan, janin dan neonatus.
a. Pengaruh terhadap kehamilan
Komplikasi serangan epilepsi pada kehamilan terjadi 1,5 sampai 4 kali, yaitu
perdarahan pervaginam sekitar 7%-10% pada trimester I dan III, hiperemesis
gravidarum sebagian besar akibat dosis tinggi obat anti epilepsi, herpes
maternal ditemukan 6 kali lebih sering dan risiko timbulnya preeklampsia
50%-250%.4
Risiko pada ibu dapat terjadi trauma fisik, menurunnya kemampuan
neuropsikologik dan kemungkinan untuk dilakukannya seksio sesaria.
Sedangkan kematian ibu hamil sewaktu serangan kejang sangat jarang sekali
(di Inggris hanya sekitar 1 per tahun) dan penyebab kematian karena asfiksia
pada saat serangan.4
Pada wanita hamil penyandang epilepsi, insiden komplikasi eklampsia tidak
meningkat, yang lebih sering ditemukan adalah preeklampsia. Eklampsia atau
Pregnancy Induced Hypertension (PIH) adalah hipertensi ensefalopati yang
mendadak timbul menyebabkan fibrinoid arterio nekrosis disertai perdarahan
dengan akibat disrupsi atau kerusakan tunika media arteriola, merembesnya
protein serum terjadilah edema vasogenik. Pada pemeriksaan CT Scan dan
MRI kepala ditemukan edema difus dan perdarahan otak. Hal ini harus segera
diatasi dengan menurunkan tekanan darah misalnya dengan Ca channel
blocker, mengatasi edema dengan hiperventilasi dan pemberian
kortikosteroid.4,8
b. Pengaruh terhadap janin
Kejang tonik klonik hanya terjadi kurang dari 2% dari wanita hamil
penyandang epilepsi. Serangan epilepsi pada wanita hamil dapat
menyebabkan kelainan atau kematian pada janin.6,10
Kematian pada janin lebih sering disebabkan saat serangan ibu hamil
mengalami kecelakaan seperti terjatuh, luka bakar dan tenggelam. Sedangkan
trauma dapat menyebabkan pecahnya selaput ketuban, persalinan prematur,
infeksi.9
Kejang umum tonik klonik sekali saja atau tunggal akan mempengaruhi
denyut jantung janin menjadi lambat (transient fetal bradycardia selama 20
menit), sedangkan bila kejang berulang dan berlangsung lama komplikasi
terhadap jantung menjadi lebih berat serta dapat mengganggu sirkulasi
sistemik janin sehingga bisa timbul hipoksia.9,10
Pengaruh lainnya yang dapat dijumpai akibat kejang pada wanita hamil
yaitu keguguran 3-4 kali dari kehamilan normal, kemampuan untuk hidup
janin menurun seperti Apgar skor yang rendah, lahir mati dan kematian
perinatal, gangguan perkembangan janin (berat badan lahir rendah dan
kelahiran prematur) menjadi 2 kali lipat.9
c. Pengaruh terhadap neonatus
Bayi lahir mati, kematian neonatal serta kematian perinatal didapatkan dua
kali lipat lebih banyak daripada populasi umum. Perdarahan pada neonatus
terjadi dalam 24 jam pertama dari awal kehidupan. Keadaan ini disebabkan
kekurangan atau defisiensi faktor pembekuan II, VII, IX dan X yang
tergantung pada vitamin K. Defisiensi vitamin K disebabkan oleh obat anti
epilepsi secara kompetitif menghambat transpostasi vitamin K melalui
plasenta dan ditambah dengan kadar vitamin K yang rendah pada kehamilan.
Keadaan ini dapat dicegah dengan memberikan vitamin K dosis tinggi pada
minggu terakhir kehamilan. Namun karena lebih sering terjadi persalinan
prematur maka vitamin K (10-20 mg/hari) ini diberikan pada 2-4 minggu
terakhir. Perdarahan neonatus harus diberi fresh frozen plasma untuk
mengatasi koagulopati.9
Bayi dari ibu yang mendapat phenobarbital akan mengalami risiko
timbulnya drug withdrawal 7 hari setelah partus, dengan gejala kegelisahan,
gemetar (tremor), mudah terangsang (hipereksetibilitas), high pitch cry, nafsu
makan yang besar disusul dengan muntah-muntah. Gejala ini mulai timbul
pada saat bayi telah meninggalkan rumah sakit sehingga membuat kepanikan
pada ibunya. Biasanya semua gejala ini akan berakhir dalam 1 atau 2 minggu,
kecuali hipereksitibilitas dapat berakhir 2-4 bulan.9
Beberapa studi atau penelitian mendapatkan hampir sebagian besar
malformasi kongenital terjadi akibat pengaruh obat anti epilepsi yang
diberikan pada wanita hamil trimester pertama (18,9%), tetapi ada yang
berpendapat karena memang sudah ada faktor genetiknya. Tidak ada
malformasi yang khas diakibatkan oleh pemakaian obat anti epilepsi satu jenis
tertentu. Ada dua kelompok malformasi kongenital yang dikenal yaitu
malformasi mayor 2%-3% (yang paling sering adalah celah orofacial, anomali
jantung dan defek pada neural tube) dan malformasi minor 15% (yang paling
sering adalah hipertelorism, lipatan epikantal, shallow philt, hipoplasia jari
digital dan lipatan simian). Hanya saja dikatakan defek neural tube (terutama
spina bifida lumbosakral) yang diakibatkan asam valproat (1%-2%) lebih
banyak daripada karbamazepin (0,5%). Oleh karena itu ada yang
menyarankan agar dosis yang digunakan diturunkan pada wanita hamil
penyandang epilepsi.9
Proses metabolisme obat anti epilepsi merupakan faktor utama yang
potensial terhadap teratogenitas janin. Defek genetik akibat proses
detoksifikasi dan inhibisi yang berinteraksi dengan obat anti epilepsi tertentu
diduga mempunyai pengaruh yang kuat pada risiko teratogenitas.9,10
Kelainan distal digital hipoplasia merupakan tanda spesifik untuk
teratogenitas dari phenytoin. Dibandingkan obat anti konvulsan lain,
tampaknya phenytoin paling banyak disalahkan untuk malformasi kongenital
ini, namun kelainan kongenital yang lebih sering dijumpai (4 kali) seperti bibir
sumbing atau celah palatum serta kelainan jantung biasanya dapat diperbaiki
dengan tindakan operatif. Hal yang mencemaskan adalah neuroblastoma yang
terjadi pada anak yang terpapar phenytoin in utero.10
Wanita hamil penyandang epilepsi yang mendapat obat anti epilepsi
karbamazepin pada 35 bayi didapatkan 11% defek craniofacial, 26% finger
nail hipoplasia dan 20% perkembangan yang lambat. Berikut ini adalah
beberapa sindrom obat anti epilepsi, yaitu:11
- Sindroma Trimethadione Fetal berupa short stature (kerdil), mikrosefali,
retardasi mental, lipatan epikantal, dan hernia inguinalis. Trimethadione
karena sangat teratogenik, saat ini tidak digunakan lagi.
- Sindroma Hidantoin Fetal berupa dismorfi fascial, retardasi mental dan
retardasi perkembangan intrauterin. Keadaan dismorfi fascial ini dapat
timbul akibat phenobarbital, penggunaan alkohol yang menyebabkan
defisiensi asam folat.
- Sindroma Embriopati Primidone berupa dismorfi fascial, berat badan lahir
rendah, gangguan perkembangan dan defek jantung.
- Sindroma Valproat berupa dismorfi fascial, finger nail hipoplasia, distress
perinatal, apgar skor yang rendah, mikrosefali dan defisiensi
perkembangan postnatal.
- Sindroma Karbamazepine berupa dismorfi fascial, mikrosefali, kelainan
jari kuku dan gangguan perkembangan.
American College of Obstetric and Gynecology mengizinkan hanya
phenobarbital sebagai obat anti epilepsi yang boleh diberikan selama
kehamilan atau sama sekali diberhentikan. Keputusan yang ekstrim ini
dianggap tidak mempertimbangkan banyak aspek seperti toleransi obat
terhadap penderita, efek penghancuran yang potensial pada janin dan
penggantian obat anti epilepsi lain. Saat ini di Perancis para dokter kandungan
lebih menyukai penggunaan phenobarbital, sedangkan di Inggris dan
Amerika Serikat lebih menyukai phenytoin.11
Wanita penyandang epilepsi yang menyusui bayinya dapat menyebabkan
obat anti epilepsi ditransfer melalui ASI. Kadar obat anti epilepsi dalam ASI
adalah sebagai berikut phenytoin 18%, phenobarbital 30%, primidone 70%,
karbamazepine 40%, asam valproat 4%-5%. Namun pada umumnya ASI
tetap diberikan, karena penghentian ASI yang mendadak dapat menyebabkan
kejang pada neonatal.11
Pasien saat ini mengkonsumsi Depakote® ER tablet 1x500 mg,
Risperidone tablet 2x1 mg dan Carbamazepine tablet 2x200 mg. Dari hasil
pemeriksaan USG saat usia kehamilan 8 minggu, 21 minggu, 26 minggu dan
30 minggu tidak tampak anomali kongenital pada janin.

3. Bagaimana penatalaksanaan dan rencana persalinan pada ibu hamil dengan


Epilepsi?
Konseling prekonsepsi
• Konsepsi harus ditunda sampai kejang dapat terkontrol dengan baik dengan
dosis obat yang minimal.
• Monoterapi lebih disukai. Kepatuhan yang baik dengan pengobatan OAE
penting untuk menghindari kejang.
• Menginformasikan kepada wanita penderita epilepsi bahwa janin yang terpapar
dengan OAE memiliki 4% hingga 8% risiko malformasi kongenital, terutama
cacat tabung saraf, jantung, dan cacat kraniofasial, dibandingkan dengan 2%
hingga 3% untuk populasi umum. Carbamazepine, fenobarbital, primidone,
fenitoin, valproat dan topiramat merupakan kategori D menurut Food and Drug
Administration (FDA) dan penggunaannya harus dihindari jika memungkinkan
pada trimester pertama.
• Database kehamilan terbaru telah menyarankan bahwa valproat secara
signifikan lebih teratogenik dari carbamazepin, dan kombinasinya dari valproat
dengan lamotrigine dan valproat dengan carbamazepine sangat teratogenik. Jika
valproat digunakan, kadar plasma tinggi (> 70 μg / mL) harus dihindari kecuali
diperlukan untuk mengontrol kejang, dan obat harus diberikan dalam dosis
terbagi tiga atau empat kali sehari.
• Bebas kejang setidaknya sembilan bulan sebelum kehamilan berkaitan dengan
kemungkinan yang tinggi tetap bebas kejang selama kehamilan.
• Pertimbangkan konsultasi neurologis tentang kemungkinan tapering off dan
menghentikan obat anti konvulsan jika pasien sudah bebas kejang lebih lama
dari dua tahun dan memiliki EEG normal. Pasien harus diobservasi selama enam
sampai 12 bulan sejak menghentikan OAE sebelum memulai konsepsi.
• Suplementasi asam folat prakonsepsi (biasanya 2-4 mg) dapat dianggap
mengurangi risiko kelainan kongenital mayor
• Izin mengemudi harus ditangguhkan untuk beberapa bulan setelah kejang.
• Rumah / kantor: Menghindari mengangkat alat berat atau bekerja di ketinggian.
• OAE pemicu enzim meningkatkan metabolisme kontrasepsi oral, oleh karena itu
menurunkannya efektifitas obat.
• Tekankan bahwa 90% wanita penderita epilepsi memiliki keberhasilan
kehamilan yang baik dengan melahirkan bayi yang sehat.12
Antenatal Care (ANC)
• USG trimester pertama diindikasikan untuk penentuan usia kehamilan yang
tepat.
• Ultrasonografi anatomi pada 11 sampai 13 minggu dapat mengidentifikasi
sebagian besar defek yang berat, seperti anensefali.
• Tes prenatal untuk menemukan defek tabung saraf dengan pemeriksaan
alphafetoprotein pada usia kehamilan 15 - 18 minggu (hingga 21 minggu).
• Jika sesuai, amniosentesis untuk alphafetoprotein cairan ketuban dan tingkat
kadar asetilkolinesterase.
• Ultrasonografi pada usia kehamilan 16 sampai 20 minggu dapat menilai kelainan
anatomi, seperti celah orofasial, kelainan jantung, dan kelainan tabung saraf.
• Ekokardiogram janin pada sekitar usia kehamilan 22 minggu.
• Neonatus harus menerima vitamin K, 1 mg IM saat lahir.12
Tujuan utama penatalaksanaan epilepsi dalam kehamilan adalah mencegah
timbulnya kejang dengan cara menghindari faktor pencetus yang menyebabkan
kejang dan mengkonsumsi obat dengan rutin dengan jumlah obat minimal dan dosis
yang terendah.
Seperti telah dijelaskan bahwa kadar obat anti epilepsi (kadar plasma total) akan
mengalami penurunan selama kehamilan, sebaliknya kadar obat anti epilepsi bebas
terjadi peningkatan. Kadar obat anti epilepsi bebas ini berkaitan langsung dengan
timbulnya serangan kejang dan terjadinya efek samping sehingga pada wanita hamil
kadar obat anti epilepsi perlu diperiksa.11
Pengobatan dengan OAE harus diteruskan hingga terjadinya persalinan hingga
periode postpartum. Pasien seharusnya membawa OAE dan mengkonsumsi sesuai
jadwal pemberian obat saat persalinan. Pertimbangkan untuk pemberian OAE
intravena jika pemberian secara oral tidak memungkinkan. Penelitian terbaru
melaporkan bahwa epilesi dengan politerapi versus monoterapi memiliki risiko
yang lebih tinggi untuk dilakukan seksio sesarea. Hal ini memungkinkan terjadinya
peningkatan risiko persalinan preterm.12
Beberapa tindakan obstetrik yang perlu dipertimbangkan akibat pengaruh obat
anti epilepsi pada kehamilan yaitu amniosintesis (trimester II dan III) dilakukan 2,5-
4,5 kali dan induksi partus dilakukan 2-4 kali. Seksio sesaria (dua kali lebih sering
dari biasa) disebabkan oleh partus lama, perdarahan dan kelelahan uterus dan fisik
akibat obat anti epilepsi. Sebenarnya epilepsi sendiri bukanlah suatu indikasi untuk
operasi, karena kejang tonik klonik hanya terjadi kurang dari 2% dari wanita hamil
penyandang epilepsi6 sehingga persalinan pada wanita hamil dengan epilepsi tetap
diusahakan pervaginam dengan tetap melanjutkan OAE dan waspada terhadap
timbulnya kejang saat persalinan. Bila kejang timbul dapat diberikan obat-obat anti
kejang intravena untuk menghentikan kejang. Hilesmaa membuat daftar indikasi
seksio sesaria yang dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 1. Seksio sesaria atas dasar epilepsi

Seksio sesarea elektif


Dasar neurologik atau defek mental
Kurang kerja sama wanita penyandang epilepsi selama partus
Kejang yang sukar diatasi pada trimester III
Kejang parsial kompleks yang timbul tiap hari
Kejang tonik klonik yang timbul tiap minggu
Ada riwayat kejang hebat setelah stress fisik mental

Seksio sesarea darurat


Kejang tonik klonik selama partus
Adanya asfiksia janin
Tidak adanya kerja sama maternal

Dikutip dari Hilesmaa VK13

Begitu hamil, seorang wanita dengan epilepsi yang diberikan Obat Anti Epilepsi
(OAE) harus diikuti oleh seorang ahli kandungan. Wanita hamil harus diperiksa
serologis dan USG-nya pada trimester pertama untuk menentukan adanya risiko
neural tube defect.10
Pada wanita hamil dengan bangkitan dan telah mendapat obat anti epilepsi maka
pemeriksaan yang perlu dilakukan yaitu:
1. Pemeriksaan kadar obat dalam darah
2. EEG
EEG aman dilakukan saat kehamilan dan tidak terbukti memiliki efek samping
pada janin.
3. CT Scan, bila ada kelainan neurologik, dilakukan tergantung pada stadium
kehamilan. CT-Scan melibatkan paparan radiasi pada tingkat yang sedikit lebih
tinggi dari sinar-X normal. Dosis radiasi efektif dari prosedur ini adalah sekitar
10 mSv, yang hampir sama dengan yang diterima rata-rata orang dari radiasi latar
(yaitu dari matahari) dalam 3 tahun. Namun, manfaat menerima diagnosis yang
akurat mungkin lebih besar daripada risiko yang terkait dengan paparan radiasi.
Menurut American College of Radiology, tidak ada sinar-x diagnostik tunggal
yang memiliki dosis radiasi yang cukup signifikan untuk menyebabkan efek
samping pada embrio atau janin yang sedang berkembang. Jumlah radiasi yang
digunakan dalam pencitraan CT normal tidak pernah terbukti membahayakan
janin.
Perubahan-perubahan konsentrasi obat anti epilepsi secara teratur harus dimonitor
setiap bulan. Sepanjang kehamilan, pemantauan level OAE akan menolong untuk
mengendalikan kejang. Farmakokinetik OAE dipengaruhi perubahan fisiologis
kehamilan. Sepanjang kehamilan, aliran darah ginjal dan filtrasi glomerular
meningkat sebagai suatu fungsi peningkatan curah jantung dan volume plasma,
cairan ekstravaskular (luar pembuluh darah) dan jaringan lemak meningkat untuk
menciptakan distribusi volume lebih besar. Level serum albumin menurun, yang
mana menurunkan pengikatan obat, meningkatkan fraksi bebas, dan meningkatkan
drug clearance. Farmakokinetik dapat mempengaruhi konsentrasi OAE dan paling
penting untuk OAE adalah ikatan protein tinggi, metabolisasi secara hepatik (melalui
hati) atau dibersihkan secara renal (melalui ginjal). OAE dengan ikatan protein tinggi
dalam jumlah total dan jumlah yang bebas, termasuk untuk fenitoin dan valproat
harus dimonitor.8-10 Berikan cukup perhatian terhadap semua keluhan dan anjurkan
istirahat yang cukup, karena kedua faktor ini sering menimbulkan peningkatan atau
kambuhnya serangan.11
Pada pasien ini tujuan penatalaksanaan yang utama adalah untuk mencegah
terjadinya kejang selama kehamilan dan menghindari terjadinya malformasi pada
janin. Faktor pencetus utama timbulnya kejang yaitu saat pasien kelelahan dan
kurang tidur, sehingga pasien harus tidur dan istirahat yang cukup. Pasien harus
mengkonsumsi OAE secara teratur dan saat ini mendapatkan terapi depakote® ER
dan carbamazepine. Menurut Food and Drug Administration (FDA), Depakote® ER
termasuk kategori D dalam kehamilan yang berarti adanya bukti resiko terhadap janin
manusia, obat ini hanya diberikan bila manfaat pemberian jauh lebih besar
dibandingkan risiko yang akan terjadi (situasi mengancam jiwa ibu hamil, dalam hal
mana obat lain tidak dapat digunakan/tidak efektif), sedangkan carbamazepine
termasuk kategori C dalam kehamialn. Depakote® ER (divalproex sodium) dapat
menyebabkan neural-tube defects, clefts, skeletal abnormalities, developmental
delay sebanyak 1-2 % dengan monoterapi dan 9-12 % dengan politerapi sedangkan
carbamazepine dapat menyebabkan fetal hydantoin syndrome dan spina bifida
sebanyak 1-2 %. Kombinasi pemberian obat tersebut berdasarkan pertimbangan
bahwa bangkitan pada pasien belum teratasi, pasien mengalami kejang satu bulan
yang lalu dan melamun 3x dalam sebulan dan pemberian depakote® ER tidak bisa
dihentikan secara mendadak. Selain itu, pasien juga mendapatkan terapi risperidone
tablet 2x1 mg. Menurut FDA, Risperidone termasuk kategori C dalam kehamilan dan
merupakan salah satu antipsikotik atipikal yang umum digunakan, berkaitan dengan
komplikasi perinatal mulai dari withdrawal syndrome hingga kejang. Paparan
terhadap risperidone dilaporkan dapat menyebabkan malformasi janin termasuk
Ivemark syndrome, Pierre-Robin syndrome, kardiomiopati, cleft lip and palate,
kelainan telinga, gastroskisis, dan Sindrom Turners, sehingga diperlukan informed
consent kepada pasien mengenai efek teratogenik yang dapat terjadi. Saat ini dari
hasil pemeriksaan USG tidak didapatkan malformasi pada janin.
Untuk mode persalinan pada pasien ini direncanakan pervaginam kecuali bila ada
indikasi obstetri dan indikasi lainnya untuk seksio sesarea. Karena pada dasarnya
epilepsi bukanlah indikasi untuk seksio sesarea.

4. Obat-obat apa saja yang direkomendasikan dalam penanganan kehamilan


dengan Epilepsi?
Hingga saat ini, belum ada penelitian prospektif, terkendali komparatif yang
mengindikasikan bahwa OAE mana yang paling aman selama kehamilan. Secara
keseluruhan, bayi dari ibu dengan epilepsi dilaporkan memiliki tingkat malformasi
mayor kongenital antara 4% - 6% sekitar dua kali dari populasi umum. Peningkatan
risiko ini sangat tinggi bagi perempuan yang memerlukan politerapi OAE, memiliki
epilepsi refraktori, atau memerlukan kadar obat yang tinggi untuk pengendalian
bangkitan. Hal ini menunjukkan bahwa pengendalian bangkitan maternal yang
optimal, monoterapi, dan menghindari kadar serum puncak yang tinggi (membagi
dosis total harian ke dalam dosis multipel yang lebih kecil dengan puncak post
absorptif yang lebih kecil) akan lebih aman bagi bayi. Laporan dari North American
Pregnancy Registry menunjukkan risiko yang lebih tinggi untuk abnormalitas
kongenital dengan penggunaan fenobarbital dan asam valproat.14
Gambar 2. Level Teratogenisitas Obat Anti Epilepsi
Dikutip dari Edhie15

Tabel 2. Efek Teratogenik Obat Anti Konvulsan


Drug Abnormalities Described Affected Pregnancy
Category
Valproate Neural-tube defects, clefts, 1 2% with D
(Depakote) skeletal abnormalities, monotherapy,
developmental delay 9-12% with
polytherapy
Phenytoin Fetal hydantoin syndrome, 5-11% D
(Dilantin) craniofacial anomalies,
fingernail hypoplasia, growth
deficiency, developmental
delay, cardiac defects, clefts
Carbamazepine; Fetal hydantoin syndrome, 1-2% C
oxcarbazepine spina bifida
(Tegretol;
Trileptal)
Phenobarbital Clefts, cardiac anomalies, 10-20% D
urinary tract malformations
Lamotrigine Inhibits dihydrofolate 4-fold with C
(Lamictal) reductase, lowering fetal folate monotherapy,
levels. Registry data suggest 10-fold with
increased risk for clefts polytherapy
Topiramate Registry data suggest increased 2-3 % (15- to C
(Topamax) risk for clefts 20-fold
higher than
expected)
Levetiracetam Theoretical-skeletal Too few cases C
(Keppra) abnormalities and impaired reported to
growth in animals at doses assess risk
similar to or greater than human
therapeutic doses
Dikutip dari Cunningham16

Fetal Valproate Syndrome atau sindrom valproat fetus adalah kondisi yang jarang
terjadi yang disebabkan karena paparan asam valproat atau sodium valproat pada janin
selama trimester pertama kehamilan. Walaupun sebagian janin yang terpapar dengan asam
valproat lahir dalam kondisi sehat, namun persentase kecil wanita hamil yang
mengkonsumsi obat tersebut dapat melahirkan janin dengan sindrom valproat fetus.
Penelitian menunjukkan bahwa sindrom valproat fetus berkaitan erat dengan risiko tinggi
kelainan neurologi dan kognitif dibandingkan dengan obat anti kejang lainnya.
Penggunaan asam valproat sebagai terapi tunggal (monoterapi) pada trimester pertama
kehamilan berkaitan erat dengan meningkatnya risiko kelainan kongenital mayor dan
minor dibandingkan dengan tanpa penggunaan obat anti epilepsi atau penggunaan obat anti
epilepsi lainnya. Kelainan tersebut meliputi:
- Cleft lip and palate
- Neural tube defects (NTDs) seperti spina bifida
- Mikrosefali
- Distinctive facial features seperti terbentuknya lipatan epikantus inferior,
mikrostomia, bibir atas yang panjang dan tipis.
- Atachnodactyly
- Kelainan kongenital jantung
- Defek genitourinari
- Kelainan muskuloskelatal
- Developmental delay
- Gangguan fungsi kognitif, attention deficit disorder, autism spectrum disorder
Terjadinya cacat lahir ini selain bergantung pada jenis dan dosis OAE, lama dan waktu
serta cara pemberiannya, juga dipengaruhi oleh faktor genetik, beratnya epilepsi yang
diderita ibu, atau kombinasi dari berbagai faktor tersebut.
Beberapa data menyebutkan, cacat lahir lebih banyak terjadi pada anak dari ibu yang
harus mengkonsumsi lebih dari satu macam OAE secara bersamaan selama kehamilan
dibandingkan dengan yang mengkonsumsi hanya satu macam OAE saja. Secara nyata
besarnya peningkatan ini tidak diketahui. Beberapa peneliti menemukan sekitar 3% cacat
lahir pada ibu hamil yang mengkonsumsi hanya satu macam OAE, dibandingkan ibu
epilepsi yang tidak mengkonsumsi OAE selama kehamilan yang hanya mengalami cacat
lahir sekitar 2%. Risiko ini meningkat menjadi 5% pada ibu yang mengkonsumsi 2 macam
OAE, serta meningkat lagi menjadi 10% pada ibu yang mengkonsumsi 3 macam OAE dan
pada ibu yang menkonsumsi 4 macam OAE risiko ini meningkat menjadi sekitar 20%.
Kombinasi asam valproat, karbamazepin dan fenobarbital kemungkinan lebih teratogenik
dari pada kombinasi OAE yang lain.17, 18
Pengaruh jumlah OAE terhadap kejadian
malformasi seperti tertera pada tabel berikut:
Tabel 3. Rata-rata Kejadian Malformasi Berdasarkan Jumlah OAE
Kondisi Maternal Rata-rata Malformasi Janin
Populasi normal 2%
Epilepsi tanpa terapi 2-3 %
Epilepsi dengan 1 OAE 4-7 %
Epilepsi dengan 2 OAE 5-10 %
Epilepsi dengan 3 OAE 10-50 %
Dikutip Wibowo19

Berdasarkan data, OAE yang paling sering digunakan adalah karbamazepin, fenitoin,
dan asam valproat.20 OAE generasi baru seperti lamotigrin, topiramat, felbamat,
gabapentin, tiagabin, vigabatrin, oxcarbazepin, levetiracetam, fosfenitoin masih sangat
terbatas penggunaannya dan memerlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui sejauh
mana efek teratogen bisa ditimbulkan.21 Saat ini belum bisa ditentukan di antara jenis OAE
golongan baru tersebut mana yang sebaiknya digunakan serta mana yang mempunyai efek
teratogenik lebih kecil atau lebih besar dari pada yang lain.20
Penovich et al. (2004) merekomendasikan penggunaan OAE dalam kehamilan sebagai
berikut:
1. Gunakan monoterapi dengan OAE yang dipilih untuk sindrom atau tipe bangkitan.
2. Gunakan dosis yang paling rendah yang diperlukan untuk mengendalikan bangkitan
dengan optimal.
3. Hindari kadar puncak yang tinggi dengan membagi dosis harian total ke dalam dosis
multipel yang lebih kecil.
4. Ada bukti bahwa sediaan extended release mungkin lebih aman selama kehamilan.14

5. Bagaimana perencanaan kehamilan selanjutnya pada kasus ini?


Wanita dengan epilepsi yang ingin memiliki anak atau merencanakan kehamilan, maka
harus memperhatikan hal-hal berikut:
• Konsepsi harus ditunda sampai kejang dapat terkontrol dengan baik dengan dosis
obat yang minimal.
• Bebas kejang setidaknya sembilan bulan sebelum kehamilan berkaitan dengan
kemungkinan yang tinggi (84-92%) tetap bebas kejang selama kehamilan.
• Suplementasi asam folat prakonsepsi (biasanya 2-4 mg / hari) dapat dianggap
mengurangi risiko kelainan kongenital mayor.
• Pengobatan yang direkomendasikan adalah mencegah asam valproat dan
penggunaan terapi tunggal atau dengan pengobatan antiepilepsi yang baru.
• Menginformasikan kepada wanita penderita epilepsi bahwa janin yang terpapar
dengan OAE memiliki 4% hingga 8% risiko malformasi kongenital, terutama cacat
tabung saraf, jantung, dan cacat kraniofasial, dibandingkan dengan 2% hingga 3%
untuk populasi umum.12
Pada kasus ini, pasien sudah memiliki paritas yang cukup dengan kejang dan
bangkitan yang belum terkontrol dengan baik serta menggunakan OAE politerapi,
sehingga direkomendasikan untuk menghentikan kehamilan dengan menggunakan
kontrasepsi mantap mengingat banyak komplikasi epilepsi yang dapat timbul baik bagi
ibu maupun janin.

IV. SIMPULAN
A. Penegakan diagnosis pada kasus ini dengan anamnesis yaitu adanya riwayat kejang
berulang tanpa provokasi dengan jarak bangkitan pertama dan kedua >24 jam,
pemeriksaan fisik dan EEG.
B. Pengaruh kehamilan terhadap epilepsi didapatkan sepertiga wanita akan mengalami
peningkatan serangan epilepsi.
C. Penatalaksanaan utama pada kasus ini adalah mencegah terjadinya kejang selama
kehamilan dan melanjutkan pengobatan dengan OAE. Depakote® ER merupakan kategori D,
carbamazepine dan risperidone merupakan kategori C dalam kehamilan, sehingga diperlukan
informed consent kepada pasien mengenai efek teratogenik OAE yang mungkin terjadi.
D. Mode persalinan pada pasien ini direncanakan pervaginam.
E. Pasien sudah memiliki paritas yang cukup dengan kejang dan bangkitan yang belum
terkontrol dengan baik sehingga direkomendasikan untuk menggunakan kontrasepsi
mantap.

RUJUKAN
1. Abramovici S, Bagic A. Epidemiology of epilepsy. InL Aminoff MJ, Boller F, Swaab DF, editors.
Handbook of clinical neurology. 2nd ed. Amsterdam: Elsevier; 2016. p. 159-71
2. Fisher R, Acevedo C, Al AA et. ILAE official report: a practical clinical definition of epilepsy.
Epilepsia. 2014;55(4);475-82
3. Shorvon S, Perucca E, Engel J, editors. The Treatment of Epilepsy. 4th ed. West Sussex: John Wiley
& Sons; 2016
4. Harden CL, Meador KJ, Pennell PB, et al. Practice Parameter update: Management issues for
women with epilepsy—focus on pregnancy (an evidencebased review): Teratogenesis and perinatal
outcomes Report of the Quality Standards Subcommittee and Therapeutics and Technology
Subcommittee of the American Academy of Neurology and American Epilepsy Society Published
Ahead of Print on April 27, 2009 as 10.1212/WNL.0b013e3181a6b312.
5. Harsono, Kustiowati E, Gunadharma S. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Kelompok Studi Epilepsi
Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. 2012; 33-47
6. Jerome E. ILAE classification of epilepsy syndromes: Epilepsy Research. Departments of
Neurology and Neurobiology and the Brain Research Institute, David Geffen School of Medicine
at UCLA. 2006;5-10
7. Tracy G, Elinor B, Bourgeois B, Cnaan, Carlos G, ILAE Treatment Guidelines: Evidence-based
Analysis of Antiepileptic Drug Efficacy and Effectiveness as Initial Monotherapy for Epileptic
Seizures and Syndromes. Epilepsia Blackwell Publishing, Inc. 2006.47(7):1094–1120
8. Ardilla Y, Tjandrasa H, Isye A. Deteksi penyakit epilepsi dengan menggunakan enteropi permutasi,
K-means clustering, dan multilayer perceptron. Jurnal Teknik Pomits. 2014; Vol 3 No 1
9. Yerby MS, Kaplan P, Tran T. Risks and management of pregnancy in women with epilepsy.
Cleveland Clinic Journal of Medicine 2004;71:25-35.
10. Reddy DS. Clinical pharmacokinetic interactions between antiepileptic drugs and hormonal
contraceptives. Expert Rev Clin Pharmacol. 2010 March 1; 3(2): 183–192.
11. Indrawati L. Penggunaan obat antiepilepsi pada kehamilan. Bagian Farmakologi FK YARSI.
Jakarta. CDK. 2012;193(39):5
12. Berghella, V. 2017. Maternal-Fetal evidence base guidelines third edition; seizure. Philadelpia,
Pennsylvania, USA: Taylor & Francis Group, LLC
13. Hiilesmaa VK, Teramo K, Granstorm ML, Bardy AH. Fetal Head Growth Retardation associated with
Maternal Antiepileptic Drugs. Lancet, 2010; 165-7
14. Penovich PE, Karen E. Eck, Vasiliki V. Recommendations for the care of women with epilepsy.
Cleveland Clinic Journal of Medicine, 2004; Vol 71.
15. Eadie JM. Epilepsy; Antiepileptic drug safetr in pregnancy: possible dangers for the pregnant
woman and her foetus. The Pharmaceutical Journal. 2016
16. Cunningham F. G, Leveno K. J et al. 2014. Williams obstetrics 24th edition; Neurological disorders.
United Statse: Mc Graw Hill Education
17. Bittigau P, Sifringer M, Genz K, Reith E, Pospischil D, Govindrajalu S, Dzietko M, Pesditschek S,
Mai I, Dikranian K, Olney JW, Ikonomidou C. Anti Epileptic Drugs and Apoptotoc
Neurodegeneration in the Developing Brain. Proc Natl Acad Sci USA, 2002; 12 (23):15089-94
18. Noah S, Davis. Teratology and Drug Use During Pregnancy. eMedicine.com,Inc., 2004.
19. Wibowo S, Abdul Ghofir. Obat Anti Epilepsi, Pustaka Cendekia Press, Yogyakarta, 2006.
20. Polifka E , Friedman JM, Hall J. Clinical teratology in the age of genomics. Canadian Medical
Association Journal, 2002; August 6.167 (3)

Anda mungkin juga menyukai