Penyaji :
Dr. Terry Mutia
Pembimbing :
Dr. H. Abarham Martadiansyah, SpOG (K)
Dr. Hj. Sri Handayani, SpS (K)
Pemandu :
Dr. Awan Nurtjahyo, SpOG (K)
Penilai :
Prof. Dr. H. A. Kurdi Syamsuri, SpOG (K), MSEd
DR. Dr. H. Heriyadi Manan, SpOG (K), MARS
Dr. H. Rizal Sanif, SpOG (K), MARS, PhD
Dr. H. Firmansyah Basir, SpOG(K), MARS
Dr. Hadrians Kesuma Putra, SpOG(K)
Pembahas:
Dr. Andini Zuitasari
Dr. Excellena
Dr. Dian Aviani
Telah dipresentasikan pada hari Jumat, 18 September 2020 pukul 13.00 WIB
Pembimbing :
Dr. H. Abarham Martadiansyah, SpOG (K)
(……………………….)
Dr. Hj. Sri Handayani, SpS (K) (……………………….)
Penilai :
Penyaji :
Dr. Terry Mutia (……………………….)
ii
DAFTAR ISI
iii
DAFTAR GAMBAR
2. Riwayat perkawinan
Menikah 1 kali, lamanya 13 tahun
3. Riwayat reproduksi
Menarche 15 tahun, siklus haid tidak teratur, lama haid 3 hari. HPHT: 12
Februari 2020
4. Riwayat persalinan
1. 2007, laki-laki, 2800 gram, aterm, spontan, bidan di RS. Kayu Agung,
sehat.
2. 2013, laki-laki, 2500 gram, aterm, spontan, SpOG di RSMH, sehat.
3. Hamil ini
B. Pemeriksaan Fisik
1. Status Present
a. Keadaan umum
Kesadaran : Kompos mentis
Berat badan : 55 kg
Tinggi badan : 150 cm
BMI : 24,4 (normoweight)
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Pernafasan : 20 x/menit
Suhu : 36,5 oC
b. Keadaan khusus
Pemeriksaan Kepala
- Bentuk kepala dan rambut : Normal
Pemeriksaan Mata
- Konjungtiva : Pada mata kanan dan kiri tidak terlihat anemis.
- Sklera : Pada mata kanan dan kiri tidak terlihat ikterik
Pemeriksaa Leher
- JVP : Tidak meningkat
- Kelenjar tiroid : Tidak membesar
- Kelenjar limfonodi : Tidak membesar
Pemeriksaan Thorak
Paru-paru
-Inspeksi : Simetris kanan kiri, tidak ada retraksi
-Palpasi : Stem fremitus kanan sama kiri.
-Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
- Auskultasi : Suara dasar vesikuler, tidak ada suara tambahan di
semua lapang paru.
Pemeriksaan Abdomen
Status Ginekologis
Pemeriksaan luar:
Tinggi fundus uteri ½ pusat – proc. Xyphoideus (24 cm), memanjang,
punggung kiri, kepala, U 5/5, kontraksi uterus (-), DJJ 135 x / menit, TBJ 1705
gram
Pemeriksaan Ekstremitas
Edema pretibial tidak ada
2. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Ultrasonografi
Pemeriksaan USG - Tampak GS intrauterine
Dr. H. Abarham Martadiansyah, - Biometri janin
Sp.OG (K) CRL 1,54 cm ~ 8w0d, Yolk sac (+)
13 April 2020 - Fetal Heart Rate (+)
10.30 WIB
Kesan: Hamil 8 minggu intrauterine
Saran:
Terapi saat ini depakote® ER termasuk kategori D
dalam kehamilan, mohon re-evaluasi untuk
pengobatan epilepsi dalam kehamilan
Pemeriksaan USG - Tampak JTH intrauterine
Dr. H. Abarham Martadiansyah, - Biometri janin
Sp.OG (K) BPD 5,01 cm AC 16,09 cm
13 Juli 2020 HC 18,96 cm FL 3,54 cm
10.00 WIB TCD 2,30 cm ~ 21w2d
PI Umb 1,22 PI Ut 0,58
- Cairan ketuban cukup
- Plasenta di corpus posterior
Kesan:
- Hamil 30 minggu JTH presentasi kepala, pertumbuhan ~ normal
- Saat ini tidak tampak anomali kongenital pada janin
- Tidak tampak hipoperfusi maternal-plasental-fetal
b. Pemeriksaan EEG (Elektroensefalogram)
08 Desember 2019 - Dr. Hj. Sri Handayani, Sp. S
Interpretation:
- Perekaman dilakukan dalam keadaan sadar, bangun dan tidur tanpa premedikasi, dengan
elektroda khusus
- Latar belakang berupa irama alfa 8-9 spd, amplitudo sedang hingga 40 µv
- Simetris pada kedua hemisfer, reaktifitas terhadap buka dan tutup tidak baik
- Pada stimulasi photic tidak didapatkan photic driving
- Pada hiperventilasi tidak didapatkan perubahan bermakna
- Tidak didapatkan perlambatan
- Didapatkan aktivitas epileptiform berupa gelombang spike dan spike-wave di temporal kiri
- Didapatkan gelombang tidur berupa verteks, spindel, k-kompleks
Impression: Abnormal EEG II: terdapat gelombang epileptiform di left anterior temporal
C. Diagnosis Kerja
G3P2A0 Hamil 30 Minggu dengan Epilepsi Janin Tunggal Presentasi Kepala
D. Prognosis
Ibu : Dubia
Janin : Dubia
E. Terapi
- Asam folat tablet 1x400 mcg PO
- Sulfas ferrosus tablet 1x300 mg PO
- CaCO3 tablet 3x500 mg PO
- Kontrol satu bulan lagi
A/ Epilepsi
P/
- Depakote® ER tablet 1x500 mg
- Risperidone tablet 2x1 mg
- Asam folat tablet 1x400 mcg
- Obat Depakote® ER tidak bisa distop secara
mendadak karena kejang belum teratasi, informed
consent keluarga tentang efek samping teratogenik
obat
Poliklinik Neurologi S/ Melamun 3x dalam sebulan, kurang lebih 1-2 detik
13 Agustus 2020
10.00 WIB O/ Sens GCS E4M6V5
Dr. Theresia Christin, Sp.
TD 110/70 mmHg T 36,5 0 \C
S
Nadi 80 x/m P 20 x/m
A/ Epilepsi
P/
- Depakote® ER tablet 1x500 mg
- Risperidone tablet 2x1 mg
- Asam folat tablet 1x400 mcg
- Carbamazepine tablet 1x200 mg → evaluasi bila
bangkitan tidak teratasi, dosis naik 2x200 mg
- Obat Depakote® ER tidak bisa distop secara
mendadak karena bangkitan belum teratasi, obat anti
epilepsi ditambahkan Carbamazepine dengan
pengawasan.
Poliklinik Neurologi S/ Melamun 3x dalam sebulan, kurang lebih 1-2 detik
13 September 2020
10.30 WIB O/ Sens GCS E4M6V5
Dr. Andika Okparasa,
TD 120/70 mmHg T 36,5 0 \C
Sp. S
Nadi 80 x/m P 20 x/m
A/ Epilepsi
P/
- Depakote® ER tablet 1x500 mg
- Risperidone tablet 2x1 mg
- Asam folat tablet 1x400 mcg
- Carbamazepine tablet 2x200 mg
II. PERMASALAHAN
1. Bagaimanakah penegakan diagnosis pada kasus ini?
2. Bagaimanakah pengaruh kehamilan terhadap epilepsi dan pengaruh epilepsi
terhadap kehamilan?
3. Obat-obat apa saja yang direkomendasikan dalam penanganan kehamilan dengan
Epilepsi?
4. Bagaimana penatalaksanaan dan rencana persalinan pada ibu hamil dengan
Epilepsi?
5. Bagaimana perencanaan kehamilan selanjutnya pada kasus ini?
III. PEMBAHASAN
1. Bagaimanakah penegakan diagnosis pada pasien ini?
Epilepsi adalah gangguan kronis pada otak yang dapat menyerang orang di seluruh
dunia. Di negara-negara maju, kejadian epilepsi tahunan diperkirakan sekitar 50 per
100.000 penduduk. Di negara berkembang, jumlahnya diperkirakan lebih tinggi.1
Berdasarkan konsensus International League Againts Epilepsy (ILAE) tahun
2014, epilepsi adalah suatu penyakit otak yang ditandai dengan salah satu
kondisi/gejala berikut:2
1. Minimal terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi atau 2 bangkitan refleks dengan
jarak waktu antar bangkitan pertama dan kedua lebih dari 24 jam;
2. Satu bangkitan tanpa provokasi atau 1 bangkitan refleks dengan kemungkinan
terjadinya bangkitan berulang dalam 10 tahun kedepan sama dengan bila
terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi atau bangkitan refleks; dan
3. Sudah ditegakkan diagnosis sindrom epilepsi (oleh dokter yang kompeten).
Gambar 1. Klasifikasi tipe bangkitan ILAE 2017
Dikutip dari Shorvon S et al3
Epilepsi adalah kondisi neurologis yang paling sering pada populasi obstetrik, 0,5%
wanita hamil menderita epilepsi. Diperkirakan sekitar setengah juta wanita dengan
epilepsi di Amerika Serikat berada dalam usia subur dan terdapat sekitar tiga sampai
lima bayi pada setiap 1000 kelahiran yang lahir dari wanita dengan epilepsi.
Mayoritas pasien epilepsi dapat mengontrol serangan dengan baik, dan diharapkan
dapat berpartisipasi secara penuh dalam setiap pengalaman kehidupan, termasuk
kehamilan.4
Secara umum penyebab kejang dapat diklasifikasikan menjadi 3 yaitu:
1. Idiopatik
Penyebabnya tidak diketahui, umumnya mempunyai predisposisi genetik
2. Kriptogenik
Dianggap simptomatik tetapi penyebabnya belum diketahui, termasuk disini
sindrom west, sindrom lennox-gastaut, dan epilepsi mioklonik, gambaran klinik
sesuai dengan ensefalopati difus.
3. Simptomatik
Disebabkan oleh kelainan/lesi ada susunan saraf pusat misalnya trauma kepala,
infeksi susunan saraf, kelainan kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran
darah otak, toksik (alkohol, obat), metabolik, kelainan neuro degeneratif.5-7
Faktor pencetus epilepsi:
1. Penderita epilepsi tanpa pengobatan atau dosis pengobatan yang tidak
memadai.
2. Pengobatan yang tiba-tiba dihentikan atau gangguan penyerapan saluran cerna.
3. Keadaan umum yang menurun sebagai akibat kurang tidur, stres psikis, atau
stres fisik.
4. Withdrawal alkohol, drug abuse, atau obat-obat anti depresi.5-7
Diagnosis pasti epilepsi adalah dengan menyaksikan secara langsung terjadinya
serangan, namun serangan epilepsi jarang bisa disaksikan langsung oleh dokter,
sehingga diagnosis epilepsi hampir selalu dibuat berdasarkan alloanamnesis.
Namun alloanamnesis yang baik dan akurat sulit didapatkan, karena gejala yang
diceritakan oleh orang sekitar penderita yang menyaksikan sering kali tidak khas,
sedangkan penderitanya sendiri tidak tahu sama sekali bahwa ia baru saja
mendapat serangan epilepsi. Satu-satunya pemeriksaan yang dapat membantu
menegakkan diagnosis penderita epilepsi adalah rekaman elektroensefalografi
(EEG).8
Begitu hamil, seorang wanita dengan epilepsi yang diberikan Obat Anti Epilepsi
(OAE) harus diikuti oleh seorang ahli kandungan. Wanita hamil harus diperiksa
serologis dan USG-nya pada trimester pertama untuk menentukan adanya risiko
neural tube defect.10
Pada wanita hamil dengan bangkitan dan telah mendapat obat anti epilepsi maka
pemeriksaan yang perlu dilakukan yaitu:
1. Pemeriksaan kadar obat dalam darah
2. EEG
EEG aman dilakukan saat kehamilan dan tidak terbukti memiliki efek samping
pada janin.
3. CT Scan, bila ada kelainan neurologik, dilakukan tergantung pada stadium
kehamilan. CT-Scan melibatkan paparan radiasi pada tingkat yang sedikit lebih
tinggi dari sinar-X normal. Dosis radiasi efektif dari prosedur ini adalah sekitar
10 mSv, yang hampir sama dengan yang diterima rata-rata orang dari radiasi latar
(yaitu dari matahari) dalam 3 tahun. Namun, manfaat menerima diagnosis yang
akurat mungkin lebih besar daripada risiko yang terkait dengan paparan radiasi.
Menurut American College of Radiology, tidak ada sinar-x diagnostik tunggal
yang memiliki dosis radiasi yang cukup signifikan untuk menyebabkan efek
samping pada embrio atau janin yang sedang berkembang. Jumlah radiasi yang
digunakan dalam pencitraan CT normal tidak pernah terbukti membahayakan
janin.
Perubahan-perubahan konsentrasi obat anti epilepsi secara teratur harus dimonitor
setiap bulan. Sepanjang kehamilan, pemantauan level OAE akan menolong untuk
mengendalikan kejang. Farmakokinetik OAE dipengaruhi perubahan fisiologis
kehamilan. Sepanjang kehamilan, aliran darah ginjal dan filtrasi glomerular
meningkat sebagai suatu fungsi peningkatan curah jantung dan volume plasma,
cairan ekstravaskular (luar pembuluh darah) dan jaringan lemak meningkat untuk
menciptakan distribusi volume lebih besar. Level serum albumin menurun, yang
mana menurunkan pengikatan obat, meningkatkan fraksi bebas, dan meningkatkan
drug clearance. Farmakokinetik dapat mempengaruhi konsentrasi OAE dan paling
penting untuk OAE adalah ikatan protein tinggi, metabolisasi secara hepatik (melalui
hati) atau dibersihkan secara renal (melalui ginjal). OAE dengan ikatan protein tinggi
dalam jumlah total dan jumlah yang bebas, termasuk untuk fenitoin dan valproat
harus dimonitor.8-10 Berikan cukup perhatian terhadap semua keluhan dan anjurkan
istirahat yang cukup, karena kedua faktor ini sering menimbulkan peningkatan atau
kambuhnya serangan.11
Pada pasien ini tujuan penatalaksanaan yang utama adalah untuk mencegah
terjadinya kejang selama kehamilan dan menghindari terjadinya malformasi pada
janin. Faktor pencetus utama timbulnya kejang yaitu saat pasien kelelahan dan
kurang tidur, sehingga pasien harus tidur dan istirahat yang cukup. Pasien harus
mengkonsumsi OAE secara teratur dan saat ini mendapatkan terapi depakote® ER
dan carbamazepine. Menurut Food and Drug Administration (FDA), Depakote® ER
termasuk kategori D dalam kehamilan yang berarti adanya bukti resiko terhadap janin
manusia, obat ini hanya diberikan bila manfaat pemberian jauh lebih besar
dibandingkan risiko yang akan terjadi (situasi mengancam jiwa ibu hamil, dalam hal
mana obat lain tidak dapat digunakan/tidak efektif), sedangkan carbamazepine
termasuk kategori C dalam kehamialn. Depakote® ER (divalproex sodium) dapat
menyebabkan neural-tube defects, clefts, skeletal abnormalities, developmental
delay sebanyak 1-2 % dengan monoterapi dan 9-12 % dengan politerapi sedangkan
carbamazepine dapat menyebabkan fetal hydantoin syndrome dan spina bifida
sebanyak 1-2 %. Kombinasi pemberian obat tersebut berdasarkan pertimbangan
bahwa bangkitan pada pasien belum teratasi, pasien mengalami kejang satu bulan
yang lalu dan melamun 3x dalam sebulan dan pemberian depakote® ER tidak bisa
dihentikan secara mendadak. Selain itu, pasien juga mendapatkan terapi risperidone
tablet 2x1 mg. Menurut FDA, Risperidone termasuk kategori C dalam kehamilan dan
merupakan salah satu antipsikotik atipikal yang umum digunakan, berkaitan dengan
komplikasi perinatal mulai dari withdrawal syndrome hingga kejang. Paparan
terhadap risperidone dilaporkan dapat menyebabkan malformasi janin termasuk
Ivemark syndrome, Pierre-Robin syndrome, kardiomiopati, cleft lip and palate,
kelainan telinga, gastroskisis, dan Sindrom Turners, sehingga diperlukan informed
consent kepada pasien mengenai efek teratogenik yang dapat terjadi. Saat ini dari
hasil pemeriksaan USG tidak didapatkan malformasi pada janin.
Untuk mode persalinan pada pasien ini direncanakan pervaginam kecuali bila ada
indikasi obstetri dan indikasi lainnya untuk seksio sesarea. Karena pada dasarnya
epilepsi bukanlah indikasi untuk seksio sesarea.
Fetal Valproate Syndrome atau sindrom valproat fetus adalah kondisi yang jarang
terjadi yang disebabkan karena paparan asam valproat atau sodium valproat pada janin
selama trimester pertama kehamilan. Walaupun sebagian janin yang terpapar dengan asam
valproat lahir dalam kondisi sehat, namun persentase kecil wanita hamil yang
mengkonsumsi obat tersebut dapat melahirkan janin dengan sindrom valproat fetus.
Penelitian menunjukkan bahwa sindrom valproat fetus berkaitan erat dengan risiko tinggi
kelainan neurologi dan kognitif dibandingkan dengan obat anti kejang lainnya.
Penggunaan asam valproat sebagai terapi tunggal (monoterapi) pada trimester pertama
kehamilan berkaitan erat dengan meningkatnya risiko kelainan kongenital mayor dan
minor dibandingkan dengan tanpa penggunaan obat anti epilepsi atau penggunaan obat anti
epilepsi lainnya. Kelainan tersebut meliputi:
- Cleft lip and palate
- Neural tube defects (NTDs) seperti spina bifida
- Mikrosefali
- Distinctive facial features seperti terbentuknya lipatan epikantus inferior,
mikrostomia, bibir atas yang panjang dan tipis.
- Atachnodactyly
- Kelainan kongenital jantung
- Defek genitourinari
- Kelainan muskuloskelatal
- Developmental delay
- Gangguan fungsi kognitif, attention deficit disorder, autism spectrum disorder
Terjadinya cacat lahir ini selain bergantung pada jenis dan dosis OAE, lama dan waktu
serta cara pemberiannya, juga dipengaruhi oleh faktor genetik, beratnya epilepsi yang
diderita ibu, atau kombinasi dari berbagai faktor tersebut.
Beberapa data menyebutkan, cacat lahir lebih banyak terjadi pada anak dari ibu yang
harus mengkonsumsi lebih dari satu macam OAE secara bersamaan selama kehamilan
dibandingkan dengan yang mengkonsumsi hanya satu macam OAE saja. Secara nyata
besarnya peningkatan ini tidak diketahui. Beberapa peneliti menemukan sekitar 3% cacat
lahir pada ibu hamil yang mengkonsumsi hanya satu macam OAE, dibandingkan ibu
epilepsi yang tidak mengkonsumsi OAE selama kehamilan yang hanya mengalami cacat
lahir sekitar 2%. Risiko ini meningkat menjadi 5% pada ibu yang mengkonsumsi 2 macam
OAE, serta meningkat lagi menjadi 10% pada ibu yang mengkonsumsi 3 macam OAE dan
pada ibu yang menkonsumsi 4 macam OAE risiko ini meningkat menjadi sekitar 20%.
Kombinasi asam valproat, karbamazepin dan fenobarbital kemungkinan lebih teratogenik
dari pada kombinasi OAE yang lain.17, 18
Pengaruh jumlah OAE terhadap kejadian
malformasi seperti tertera pada tabel berikut:
Tabel 3. Rata-rata Kejadian Malformasi Berdasarkan Jumlah OAE
Kondisi Maternal Rata-rata Malformasi Janin
Populasi normal 2%
Epilepsi tanpa terapi 2-3 %
Epilepsi dengan 1 OAE 4-7 %
Epilepsi dengan 2 OAE 5-10 %
Epilepsi dengan 3 OAE 10-50 %
Dikutip Wibowo19
Berdasarkan data, OAE yang paling sering digunakan adalah karbamazepin, fenitoin,
dan asam valproat.20 OAE generasi baru seperti lamotigrin, topiramat, felbamat,
gabapentin, tiagabin, vigabatrin, oxcarbazepin, levetiracetam, fosfenitoin masih sangat
terbatas penggunaannya dan memerlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui sejauh
mana efek teratogen bisa ditimbulkan.21 Saat ini belum bisa ditentukan di antara jenis OAE
golongan baru tersebut mana yang sebaiknya digunakan serta mana yang mempunyai efek
teratogenik lebih kecil atau lebih besar dari pada yang lain.20
Penovich et al. (2004) merekomendasikan penggunaan OAE dalam kehamilan sebagai
berikut:
1. Gunakan monoterapi dengan OAE yang dipilih untuk sindrom atau tipe bangkitan.
2. Gunakan dosis yang paling rendah yang diperlukan untuk mengendalikan bangkitan
dengan optimal.
3. Hindari kadar puncak yang tinggi dengan membagi dosis harian total ke dalam dosis
multipel yang lebih kecil.
4. Ada bukti bahwa sediaan extended release mungkin lebih aman selama kehamilan.14
IV. SIMPULAN
A. Penegakan diagnosis pada kasus ini dengan anamnesis yaitu adanya riwayat kejang
berulang tanpa provokasi dengan jarak bangkitan pertama dan kedua >24 jam,
pemeriksaan fisik dan EEG.
B. Pengaruh kehamilan terhadap epilepsi didapatkan sepertiga wanita akan mengalami
peningkatan serangan epilepsi.
C. Penatalaksanaan utama pada kasus ini adalah mencegah terjadinya kejang selama
kehamilan dan melanjutkan pengobatan dengan OAE. Depakote® ER merupakan kategori D,
carbamazepine dan risperidone merupakan kategori C dalam kehamilan, sehingga diperlukan
informed consent kepada pasien mengenai efek teratogenik OAE yang mungkin terjadi.
D. Mode persalinan pada pasien ini direncanakan pervaginam.
E. Pasien sudah memiliki paritas yang cukup dengan kejang dan bangkitan yang belum
terkontrol dengan baik sehingga direkomendasikan untuk menggunakan kontrasepsi
mantap.
RUJUKAN
1. Abramovici S, Bagic A. Epidemiology of epilepsy. InL Aminoff MJ, Boller F, Swaab DF, editors.
Handbook of clinical neurology. 2nd ed. Amsterdam: Elsevier; 2016. p. 159-71
2. Fisher R, Acevedo C, Al AA et. ILAE official report: a practical clinical definition of epilepsy.
Epilepsia. 2014;55(4);475-82
3. Shorvon S, Perucca E, Engel J, editors. The Treatment of Epilepsy. 4th ed. West Sussex: John Wiley
& Sons; 2016
4. Harden CL, Meador KJ, Pennell PB, et al. Practice Parameter update: Management issues for
women with epilepsy—focus on pregnancy (an evidencebased review): Teratogenesis and perinatal
outcomes Report of the Quality Standards Subcommittee and Therapeutics and Technology
Subcommittee of the American Academy of Neurology and American Epilepsy Society Published
Ahead of Print on April 27, 2009 as 10.1212/WNL.0b013e3181a6b312.
5. Harsono, Kustiowati E, Gunadharma S. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Kelompok Studi Epilepsi
Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. 2012; 33-47
6. Jerome E. ILAE classification of epilepsy syndromes: Epilepsy Research. Departments of
Neurology and Neurobiology and the Brain Research Institute, David Geffen School of Medicine
at UCLA. 2006;5-10
7. Tracy G, Elinor B, Bourgeois B, Cnaan, Carlos G, ILAE Treatment Guidelines: Evidence-based
Analysis of Antiepileptic Drug Efficacy and Effectiveness as Initial Monotherapy for Epileptic
Seizures and Syndromes. Epilepsia Blackwell Publishing, Inc. 2006.47(7):1094–1120
8. Ardilla Y, Tjandrasa H, Isye A. Deteksi penyakit epilepsi dengan menggunakan enteropi permutasi,
K-means clustering, dan multilayer perceptron. Jurnal Teknik Pomits. 2014; Vol 3 No 1
9. Yerby MS, Kaplan P, Tran T. Risks and management of pregnancy in women with epilepsy.
Cleveland Clinic Journal of Medicine 2004;71:25-35.
10. Reddy DS. Clinical pharmacokinetic interactions between antiepileptic drugs and hormonal
contraceptives. Expert Rev Clin Pharmacol. 2010 March 1; 3(2): 183–192.
11. Indrawati L. Penggunaan obat antiepilepsi pada kehamilan. Bagian Farmakologi FK YARSI.
Jakarta. CDK. 2012;193(39):5
12. Berghella, V. 2017. Maternal-Fetal evidence base guidelines third edition; seizure. Philadelpia,
Pennsylvania, USA: Taylor & Francis Group, LLC
13. Hiilesmaa VK, Teramo K, Granstorm ML, Bardy AH. Fetal Head Growth Retardation associated with
Maternal Antiepileptic Drugs. Lancet, 2010; 165-7
14. Penovich PE, Karen E. Eck, Vasiliki V. Recommendations for the care of women with epilepsy.
Cleveland Clinic Journal of Medicine, 2004; Vol 71.
15. Eadie JM. Epilepsy; Antiepileptic drug safetr in pregnancy: possible dangers for the pregnant
woman and her foetus. The Pharmaceutical Journal. 2016
16. Cunningham F. G, Leveno K. J et al. 2014. Williams obstetrics 24th edition; Neurological disorders.
United Statse: Mc Graw Hill Education
17. Bittigau P, Sifringer M, Genz K, Reith E, Pospischil D, Govindrajalu S, Dzietko M, Pesditschek S,
Mai I, Dikranian K, Olney JW, Ikonomidou C. Anti Epileptic Drugs and Apoptotoc
Neurodegeneration in the Developing Brain. Proc Natl Acad Sci USA, 2002; 12 (23):15089-94
18. Noah S, Davis. Teratology and Drug Use During Pregnancy. eMedicine.com,Inc., 2004.
19. Wibowo S, Abdul Ghofir. Obat Anti Epilepsi, Pustaka Cendekia Press, Yogyakarta, 2006.
20. Polifka E , Friedman JM, Hall J. Clinical teratology in the age of genomics. Canadian Medical
Association Journal, 2002; August 6.167 (3)