Anda di halaman 1dari 40

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Setiap tahun sekitar 600.000 wanita meninggal karena kehamilan dan komplikasi
terkait persalinan. Sebagian besar terjadi di negara berkembang. Perawatan antenatal,
natal, dan postnatal adalah layanan dasar untuk perlindungan dan peningkatan
kesehatan ibu dan bayi yang dilahirkan. Pencegahan trauma perineum adalah salah satu
upaya untuk meminimalkan trauma perineum dan mengurangi morbiditas ibu.1-3
Trauma jalan lahir sering terjadi pada perempuan primipara. Laserasi perineum
adalah salah satu komplikasi dan bentuk paling umum dari cedera akibat persalinan
pervaginam, dari tingkat rendah seperti laserasi mukosa sampai laserasi parah yang
melibatkan otot perineum dan rektum. Laserasi perineum berhubungan dengan
beberapa komplikasi, termasuk perdarahan, nyeri perineum, dispareunia, fistula
rektovaginal, abses perineum, dan inkontinensia. Beberapa komplikasi juga
berpengaruh negatif terhadap aspek fisik, psikologis, sosial, dan kualitas hidup.
Beberapa faktor risiko laserasi perineum telah dilaporkan, termasuk lansia, primipara,
prosedur operasi vagina, makrosomia, anestesi epidural, distosia, penggunaan
oksitosin, dan episiotomi.1,3,4
Perineum adalah struktur fibromuskular piramidal yang terletak di antara dinding
posterior vagina dan anus.2-5 Ukurannya sekitar 2 cm hingga 5 cm. Pada 2014, Deering
et al mempelajari tentang panjang perineum dan laserasi perineum dalam persalinan.
Mereka mengukur panjang perineum dari 133 wanita dari fourchette ke bagian tengah
anus, dan panjang rata-rata adalah 3,9 cm. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara
panjang perineum pada nullipara dan multipara. Panjang perineum kurang dari atau
sama dengan 2,5 cm memiliki insiden laserasi perineum parah yang lebih tinggi secara
signifikan, dengan insiden sepuluh kali lipat lebih tinggi daripada panjang perineum
lebih dari 2,5 cm.6,7 Penelitian lain yang dilakukan di Rumah Sakit Al Azhar, yang
2

melibatkan 100 wanita hamil, melaporkan bahwa insiden laserasi perineum lebih tinggi
pada wanita dengan panjang tubuh perineal ≤ 3 cm dibandingkan wanita dengan
panjang tubuh perineum > 3 cm.4,6
Kompres hangat perineum selama tahap kedua persalinan adalah satu-satunya
teknik yang diusulkan untuk mengurangi insiden laserasi perineum. Kompres hangat
perineum selama kala dua persalinan menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah yang
meningkatkan aliran darah, mengurangi rasa sakit, mengendurkan otot, otot menjadi
lebih elastis, dan memberi kenyamanan pada ibu.5,6
Meta-analisis yang melibatkan 1.525 wanita dengan pengambilan sampel acak,
tentang penggunaan kompres hangat selama tahap kedua persalinan dibandingkan
dengan tanpa kompres hangat, menunjukkan hasil yang signifikan dalam pengurangan
kejadian laserasi perineum derajat ketiga dan keempat pada kelompok kompres hangat
perineum, meskipun tidak ada penurunan kejadian perineum utuh selama persalinan.
Kompres hangat perineum juga dapat diterima oleh wanita selama tahap kedua
persalinan, mudah dilakukan, tidak perlu biaya tinggi, dan dapat dilakukan di semua
tingkat fasilitas perawatan kesehatan, sehingga teknik ini dapat menjadi pilihan untuk
manajemen selama tahap kedua persalinan untuk mengurangi risiko laserasi
perineum.7-8 Berdasarkan latar belakang ini, peneliti tertarik untuk mengetahui
perbandingan derajat laserasi perineum dengan kompres hangat perineum kala II pada
perempuan primigravida.

B. Rumusan Masalah
Apakah kompres hangat perineum kala II dapat digunakan untuk mengurangi derajat
laserasi perineum pada persalinan pervaginam?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk menilai apakah kompres hangat perineum kala II dapat digunakan untuk
3

mengurangi derajat laserasi perineum pada persalinan pervaginam?


2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui prevalensi laserasi perineum pada persalinan pervaginam di Rumah
Sakit Mohammad Hoesin Palembang.
b. Mengetahui karakteristik demografi pasien laserasi perineum pada persalinan
pervaginam di Rumah Sakit Mohammad Hoesin Palembang.
c. Mengetahui faktor risiko laserasi perineum pada persalinan pervaginam di Rumah
Sakit Mohammad Hoesin Palembang.
d. Mengetahui efektivitas kompres hangat untuk mengurangi derajat laserasi
perineum pada persalinan pervaginam.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Akademis
a. Memberikan data prevalensi, karakteristik demografi serta faktor risiko laserasi
perineum pada persalinan pervaginam di Rumah Sakit Mohammad Hoesin
Palembang.
b. Menjadi data dasar untuk penelitian selanjutnya.
2. Manfaat Klinis
a. Menjadi referensi dalam penggunaan kompres hangat untuk mengurangi derajat
laserasi perineum pada persalinan pervaginam.
b. Menjadi pertimbangan dalam mengurangi derajat laserasi pada persalinan
pervaginam.
c. Menjadi referensi yang berkaitan dengan faktor risiko laserasi perineum pada
persalinan pervaginam.
3. Manfaat Sosial
a. Menerapkan secara dini teknik kompres hangat perineum pada persalinan
pervaginam sehingga dapat mengurangi derajat keparahan yang disebabkan
laserasi perineum dan mengurangi komplikasi karena laserasi perineum.
b. Memberikan informasi ilmiah mengenai faktor risiko laserasi perineum pada
4

persalinan pervaginam.
c. Memberikan edukasi kepada ibu mengenai faktor risiko laserasi perineum pada
persalinan pervaginam.

E. Hipotesis Penelitian
H0 : Kompres hangat dapat digunakan untuk mengurangi derajat laserasi perineum
pada persalinan pervaginam.
HA : Kompres hangat tidak dapat digunakan untuk mengurangi derajat laserasi
perineum pada persalinan pervaginam.
5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi Perineum


Perineum dalam bahasa Yunani disebut perineos yaitu daerah antara kedua belah paha,
yang pada wanita dibatasi oleh vulva dan anus, dengan simfisis pubis di bagian
anterior, tuber iskiadikum di bagian lateral, dan os koksigeus dibagian posterior.1,2,8
Perineum terdiri dari otot dan fasia urogenitalis serta diafragma pelvis. Perineum
mempunyai peranan yang sangat penting, tidak hanya berperan atau menjadi bagian
penting dari proses persalinan, tetapi juga diperlukan untuk mengontrol proses buang
air besar dan buang air kecil, menjaga aktivitas peristaltik agar tetap normal (dengan
menjaga tekanan intra abdomen), dan fungsi seksual yang sehat setelah bersalin.
Anatomi organ perineum dapat dilihat dibawah ini: 1,2,8

Gambar 1. Anatomi perineum perempuan 5


6

Daerah perineum terletak di antara vagina dan rektum, sebagian besar dibentuk
oleh muskulus bulbokavernosus dan muskulus transversus perinei. Muskulus
puborektalis dan sfingter ani eksterna memberikan serabut otot tambahan pada daerah
perineum. Sfingter ani secara keseluruhan berada di sebelah inferior dari
perineum. Sfingter ani eksterna terdiri atas muskulus skeletal (otot lurik), sfingter ani
interna yang letaknya saling tumpang tindih/sejajar dan berada di sebelah inferior
dari muskulus sfingter ani eksterna, terdiri atas otot-otot polos dan langsung
menyambung pada otot-otot polos yang terdapat pada kolon. Ukuran sfingter
ani secara keseluruhan yaitu sepanjang 3-4 cm. 1,8
Kavitas pelvis dibagi dua oleh diafragma pelvis menjadi kavitas pelvis utama di
sebelah atas dan perineum di sebelah bawah. Diafragma pelvis dibentuk oleh muskulus
levator ani, muskulus koksigis yang kecil, dan fasia yang meliputinya. Diafragma ini
tidak komplit di anterior untuk memungkinkan lewatnya uretra beserta vagina pada
wanita. 1,2,8
Trigonum analis dibatasi oleh ujung os koksigis, sisi-sisinya oleh tuber
iskiadikum dan ligamentum sakrotuba, tumpang tindih dengan batas muskulus gluteus
maksimus. Anus terletak di garis tengah, dan di samping kanan dan kiri anus
terdapat fossa iskionalis. Kulit di sekitar anus dipersarafi oleh nervus rektalis inferior.
Pembuluh limfe kulit mengalirkan cairan limfe ke kelompok medial nodus inguinalis
superfisialis. 1,2,8
Panjang kanalis analis kurang lebih 4 cm, berjalan ke bawah dan belakang
dari ampula rekti sampai anus. Kecuali saat defeksi, dinding lateral kanalis
analis dipertahankan saling berdekatan oleh muskulus levator ani dan muskulus
sfingter ani. 1,2,8
Kanalis analis mempunyai muskulus sfingter ani internus yang bekerja
secara involunter dan muskulus sfingter ani eksternus yang bekerja secara volunter.
Muskulus sfingter ani internus, dibentuk oleh penebalan otot polos stratum
7

sirkularis pada ujung atas kanalis analis. Muskulus sfingter ani internus diliputi oleh
lapisan otot lurik yang membentuk muskulus sfingter ani eksternus volunter. 1,2,8
Kedua pars puborektalis muskulus levator ani bergabung dengan pars profunda
muskulus sfingter ani eksternus. Serabut muskulus puborektalis pada kedua sisi
membentuk sebuah lengkung yang di depan melekat pada kedua os pubis dan berjalan
di sekeliling persambungan anorektalis, menarik ke arah depan
sehingga kanalis dan rektum membentuk sudut yang tajam. Stratum longitudinal
tunika muskulus kanalis analis melanjutkan diri ke atas sebagai stratum longitudinal
tunika muskularis rektum. Otot tersebut membentuk selubung utuh di sekitar kanalis
analis dan turun ke bawah pada batas di antara muskulus sfingter ani
internus dan eksternus. Sebagian sratum longitudinal melekat pada kedua tunika
mukosa kanalis analis, sedangkan lainnya berjalan ke lateral ke dalam fossa
iskianalis atau melekat pada kulit perinealis. 1,2,8
Pada perbatasan di antara rektum dan kanalis analis, muskulus sfingter ani
internus, muskulus sfingter ani eksternus pars profunda, dan muskulus
puborektalis membentuk cincin anorektalis yang dapat diraba dengan cara
pemeriksaan rektal. 1,2,8

B. Laserasi Perineum
1. Definisi Laserasi Perineum
Laserasi perineum adalah robekan pada perineum yang terjadi pada saat bayi lahir baik
secara spontan maupun dengan menggunakan alat atau tindakan. Laserasi perineum
umumnya terjadi pada garis tengah dan bisa menjadi luas apabila kepala janin lahir
terlalu cepat. 4,9-12

2. Epidemiologi Laserasi Perineum


Laserasi perineum sering terjadi pada seorang ibu nulipara yang mempunyai risiko
lebih besar untuk mengalami laserasi perineum daripada ibu dengan paritas lebih dari
satu. Hal ini dikarenakan karena jalan lahir yang belum pernah dilalui oleh kepala bayi
8

sehingga otot-otot perineum belum meregang. Selain itu ras juga berhubungan dengan
robekan perineum. Wanita Asia dilaporkan cenderung lebih tinggi prevalensi laserasi
perineum dibandingkan dengan wanita kulit hitam. Tindakan operatif vagina saat
persalinan seperti vakum dan forsep, panjang perineum, bayi yang besar, dan diameter
kepala bayi yang besar juga meningkatkan risiko laserasi perineum.10,13,14
Hirayama melaporkan bahwa terdapat hubungan antara ras dengan kejadian laserasi
perineum derajat ketiga dan keempat. Prevalensinya sangat bervariasi. Di Jepang, dari
laporan persalinan di luar fasilitas kesehatan, prevalensi robekan perineum derajat III
dan IV sebesar 1,4% sedangkan di Uganda sebesar 0,1%. Faktor nulipara, tindakan
forsep dan vakum ekstraksi, berat bayi yang besar merupakan faktor yang signifikan
terhadap terjadinya laserasi perineum. 15,16
Studi dari Williams dan Chames pada tahun 2006 di Michigan menginformasikan
bahwa kala dua yang lama (>1 jam), tindakan operatif saat persalinan vakum dan forsep
(OR 3,6 IK 95% 1,8-7,3), episiotomi mediolateral (OR 6,9 IK 95% 2,6-18,7)
berhubungan dengan laserasi perineum. Sementara itu persalinan pervaginam
sebelumnya merupakan faktor protektif terhadap laserasi perineum (OR 6,36 IK 95%
2,18-18,57).9 Faktor protektif lain terhadap kejadian laserasi perineum adalah BMI
diatas rata-rata. Hal ini disebabkan karena adanya ekstra lemak pada bagian perineum
wanita dengan berat badan berlebih/obesitas sehingga melindungi perineum saat
persalinan. 14-18

3. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Laserasi Perineum

a. Faktor maternal
a.1. Partus presipitatus
Partus presipitatus merupakan partus yang selesai kurang dari tiga jam. His yang terlalu
kuat dan terlalu efisien menyebabkan persalinan selesai dalam waktu yang sangat
singkat. His yang terlalu kuat atau juga disebut hypertonic uterine contraction.12 Partus
presipitatus ditandai dengan adanya sifat his normal, tonus otot di luar his juga biasa,
9

kelainannya terletak pada kekuatan his. Bahaya partus presipitatus bagi ibu adalah
terjadinya perlukaan jalan lahir, khususnya serviks uteri, vagina dan perineum,
sedangkan bahaya untuk bayi adalah mengalami perdarahan dalam tengkorak karena
bagian tersebut mengalami tekanan kuat dalam waktu yang singkat. Pada partus
presipitatus keadaan diawasi dengan cermat, dan episiotomi dilakukan pada waktu
yang tepat untuk menghindarkan terjadi laserasi perineum yang berat.2,12,18

a.2. Edema dan kerapuhan pada perineum.


Pada proses persalinan jika terjadi edema pada perineum maka perlu dihindarkan
persalinan pervaginam karena dapat dipastikan akan terjadi laserasi perineum. 18,19

a.3. Paritas
Seorang primipara adalah seorang wanita yang telah pernah melahirkan satu kali
dengan janin yang telah mencapai batas viabilitas, tanpa mengingat janinnya hidup atau
mati pada waktu lahir. Pada primipara perineum utuh dan elastis, sedang pada
multipara tidak utuh, longgar dan lembek.4 Pada saat akan melahirkan kepala janin
perineum harus ditahan, bila tidak ditahan perineum akan robek terutama pada
primigravida. Dianjurkan untuk melakukan episiotomi pada primigravida atau pada
perineum yang kaku. Dengan perineum yang masih utuh pada primi akan mudah terjadi
robekan perineum. 2,18,19
Klasifikasi paritas adalah :
1. Primipara untuk hidup diluar adalah wanita yang telah melahirkan seorang anak yang
cukup besar untuk hidup di dunia luar
2. Multipara adalah wanita yang telah melahirkan anak lebih dari satu kali atau 2 anak
atau lebih
3. Grande multipara adalah wanita yang telah melahirkan 5 orang anak atau lebih dan
biasanya mengalami penyulit dalam kehamilan dan persalinan.
10

a.4. Umur Ibu


Umur adalah usia dihitung berdasarkan tahun kelahiran yaitu lamanya hidup sejak
lahir. Remaja wanita merupakan populasi risiko tinggi terhadap komplikasi kehamilan,
penyulit ini terjadi karena pada remaja biasanya masih tumbuh dan berkembang
sehingga memiliki kebutuhan kalori yang lebih besar dari wanita yang lebih tua.
Sehingga akibatnya, mortalitas, perinatal, dan morbiditas maternal sangat tinggi pada
remaja wanita hamil dibanding dengan wanita dalam usia 20-an. Wanita usia subur
disebut sebagai masa dewasa dan disebut juga masa reproduksi, dimana pada masa itu
diharapkan orang telah mampu untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi
dengan tenang secara emosional, dalam merawat kesehatan reproduksinya. Wanita usia
subur dikategorikan menjadi: 2,16,20
a. Usia < 20 tahun adalah usia sebelum produktif
b. Usia 20-35 tahun adalah periode usia produktif
c. Usia > 35 tahun adalah usia pasca produktif
Usia aman untuk kehamilan dan persalinan adalah 20-30 tahun. Wanita hamil pada
umur muda (< 20 tahun) dari segi biologis perkembangan alat-alat reproduksinya
belum sepenuhnya optimal. Dari segi psikis belum matang dalam mengahadapi
tuntutan beban moral dan emosional. Dari segi medis sering mendapat gangguan.
Sedangkan pada usia lebih dari 45 tahun, elastisitas dari otot-otot panggul dan
sekitarnya serta alat-alat reproduksi pada umumnya mengalami kemunduran, juga
wanita pada usia ini besar kemungkinan akan mengalami kelelahan. 2,16,20

a.5. Kesempitan panggul dan CPD


Merupakan disproporsi antara ukuran janin dengan ukuran panggul, dimana bentuk
panggul tidak cukup lebar untuk mengakomodasi keluarnya janin pada kelahiran
pervaginam. Jika tidak ada disproporsi (ketidaksesuaian) antara pelvis dan janin normal
serta letak anak tidak patologis, maka persalinan dapat ditunggu spontan. Apabila
dipaksakan mungkin janin dapat lahir namun akan terjadi trauma persalinan, salah
satunya adalah laserasi perineum. 1,14,20
11

a.6. Jaringan parut pada perineum dan vagina


Pemeriksaan pada daerah perineum bertujuan untuk menemukan adanya jaringan parut
akibat laserasi yang pernah terjadi sebelumnya atau bekas episiotomi, juga periksa
adanya penipisan, fistula, massa, lesi, dan peradangan. Kadang-kadang setelah
mengalami suatu persalinan traumatik disertai laserasi yang mengenai sfingter anus,
otot belum benar-benar pulih. Jaringan parut pada jalan lahir akan menghalangi atau
menghambat kemajuan persalinan, sehingga episiotomi pada kasus ini dapat
dipertimbangkan. 1,14,20

a.7. Persalinan dengan tindakan (ekstraksi vakum, ekstraksi forsep)


Persalinan dengan tindakan menggunakan forsep menambah peningkatan cedera
perineum ibu, trauma yang paling besar dengan menggunakan forsep rotasional.
Persalinan dengan tindakan embriotomi harus mempertimbangkan keuntungan dan
risiko komplikasi yang mungkin terjadi yaitu : perlukaan jalan lahir, cedera saluran
kemih/cerna, ruptura uteri, atonia uteri, dan infeksi.1,18,21

a.8. Jarak kelahiran


Jarak kelahiran adalah rentang waktu antara kelahiran anak sekarang dengan kelahiran
anak sebelumnya. Jarak kelahiran kurang dari dua tahun tergolong risiko tinggi karena
dapat menimbulkan komplikasi pada persalinan. Jarak kelahiran 2-3 tahun merupakan
jarak kelahiran yang lebih aman bagi ibu dan janin. Begitu juga dengan keadaan jalan
lahir yang mungkin pada persalinan terdahulu mengalami robekan perineum derajat
tiga atau empat, sehingga proses pemulihan belum sempurna dan robekan perineum
dapat terjadi. 1,14,20
Adapun pembagian jarak kelahiran menurut Depkes, 2004 adalah:
a. Kurang dari 2 tahun
b. Lebih dari 2 tahun
12

Sejumlah sumber mengatakan bahwa jarak ideal kehamilan sekurang-kurangnya 2


tahun. Proporsi kematian terbanyak terjadi pada ibu dengan prioritas 1-3 anak dan jika
dilihat menurut jarak kehamilan ternyata jarak kurang dari 2 tahun menunjukan
proporsi kematian maternal lebih banyak. Jarak kehamilan yang terlalu dekat
menyebabkan ibu mempunyai waktu yang singkat untuk memulihkan kondisi
rahimnya dengan baik. 14,22

a.9. Lama Persalinan kala II


Lama persalinan kala II adalah rentang waktu dari pembukaan lengkap sampai lahirnya
bayi yang berlangsung < 2 jam pada primigravida dan < 1 jam pada multigravida. Pada
primigravida, menghadapi kelahiran merupakan suatu pengalaman baru yang akan
dialaminya tanpa mengetahui apa yang akan terjadi nantinya sehingga membuat
merasa tertekan dan dapat menimbulkan perasaan cemas dan khawatir sehingga
menyebabkan partus lama. 1,6,18

b. Faktor janin
b.1. Lingkar kepala janin
Kepala janin merupakan bagian yang paling besar dan keras dari pada bagian-bagian
lain yang akan dilahirkan. Janin dapat mempengaruhi jalannya persalinan dengan
besarnya dan posisi kepala tersebut.6,13 Kepala janin besar dan janin besar dapat
menyebabkan laserasi perineum. Kepala janin merupakan bagian yang terpenting
dalam persalinan yang berpengaruh terhadap peregangan perineum pada saat kepala di
dasar panggul dan membuka jalan lahir dengan diameter 5-6 cm akan terjadi penipisan
perineum, sehingga pada perineum yang kaku dapat terjadi laserasi perineum.
Pengendalian kecepatan dan pengaturan diameter kepala saat melalui introitus vagina
dan perineum dapat mengurangi kemungkinan terjadinya robekan. 1,6,18
13

b.2. Berat badan janin


Berat badan janin dapat mempengaruhi proses persalinan kala II. Berat neonatus pada
umumnya < 4000 gr dan jarang melebihi 5000 gr. Kriteria janin cukup bulan yang lama
kandungannya 40 minggu mempunyai panjang 48-50 cm dan berat badan 2750 – 3000
gram. Klasifikasi berat badan bayi lahir dapat dibedakan atas : 1,6,18
1. Bayi dengan berat normal yaitu 2500-4000 gram
2. Bayi dengan berat lebih yaitu ≥ 4000 gram
3. Bayi dengan berat rendah yaitu kurang dari 2500 gram
Pada janin yang mempunyai berat lebih dari 4000 gram memiliki kesulitan selama
persalinan oleh karena besarnya kepala atau besarnya bahu. Kepala janin besar dan
janin besar dapat menyebabkan laserasi perineum. 1,6,18

b.3. Presentasi defleksi


Presentasi defleksi dibagi menjadi 3 yaitu defleksi ringan (presentasi puncak kepala),
defleksi sedang (presentasi dahi), dan defleksi maksimal (presentasi muka). Pada sikap
defleksi sedang, janin dengan ukuran normal tidak mungkin dapat dilahirkan secara
pervaginam. 1,6

b.4. Letak sungsang dengan after coming head


Apabila terjadi kesukaran melahirkan kepala janin dengan cara mauriceau, dapat
digunakan cunam piper. Ekstraksi cunam adalah tindakan obstetrik yang bertujuan
untuk mempercepat kala pengeluaran dengan jalan menarik bagian terbawah janin
(kepala) dengan alat cunam. Komplikasi dapat timbul pada janin dan ibu, komplikasi
pada janin adalah hematom pada kepala, perdarahan dalam tengkorak (intracranial
hemorrhage), fraktur kranium, luka-luka lecet pada kepala. Sedangkan komplikasi
yang terjadi pada ibu adalah ruptur uteri, robekan pada porsio uteri, vagina dan
peritoneum, syok serta perdarahan postpartum. 1,3,8
14

b.5. Distosia bahu


Distosia bahu merupakan penyulit yang berat karena sering kali baru diketahui saat
kepala sudah lahir dan tali pusat sudah terjepit antara panggul dan badan anak. Angka
kejadian pada bayi dengan berat badan >2500 gram adalah 0,15%, sedangkan pada bayi
dengan berat badan >4000 gram adalah 1,7%. Distosia bahu umumnya terjadi pada
makrosomia, yakni suatu keadaan yang ditandai oleh ukuran badan bayi yang relatif
lebih besar dari ukuran kepalanya bukan semata-mata berat badan lebih >4000 gram.
Kemungkinan makrosomia perlu dipikirkan bila dalam kehamilan terdapat penyulit-
penyulit obesitas, diabetes melitus, kehamilan lewat waktu, atau bila dalam persalinan
pemanjangan kala II. Distosia bahu juga dapat terjadi pada bayi anensefalus yang
disertai kehamilan serotinus. 1,3,8

c. Faktor penolong persalinan


c.1. Cara berkomunikasi dengan ibu
Jalin kerjasama dengan ibu dan dapat mengatur kecepatan kelahiran bayi dan
mencegah terjadinya laserasi. Kerjasama sangat bermanfaat saat kepala bayi pada
diameter 5-6 cm tengah membuka vulva (crowning) karena pengendalian kecepatan
dan pengaturan diameter kepala saat melewati introitus dan perineum dapat
mengurangi kemungkinan robekan. 1,3,8

c.2. Cara memimpin mengejan dan dorongan pada fundus uteri


Setelah terjadi pembukaan lengkap, anjurkan ibu hanya meneran apabila ada dorongan
kuat dan spontan untuk meneran. Jangan menganjurkan untuk meneran
berkepanjangan dan menahan nafas, anjurkan ibu beristirahat diantara kontraksi.
Beritahukan pada ibu bahwa hanya dorongan alamiahnya yang mengisyaratkan Ia
untuk meneran dan kemudian beristirahat di antara kontraksi. Penolong persalinan
hanya memberikan bimbingan tentang cara meneran yang efektif dan benar. 1,3,8
Ibu dipimpin mengejan saat ada his atau kontraksi rahim, dan istirahat bila tidak ada
his. Setelah suboksiput di bawah simfisis, ibu dianjurkan untuk berhenti mengejan
15

karena lahirnya kepala harus pelan-pelan agar perineum tidak robek. Pimpinan
mengejan pada ibu bersalin yang tidak sesuai dengan munculnya his dan lahirnya
kepala dapat mengakibatkan laserasi perineum hingga derajat III dan IV. 1,3,8

c.3. Anjuran posisi meneran


Sebagai penolong persalinan harus membantu ibu untuk memilih posisi yang paling
nyaman. Posisi meneran yang dianjurkan pada saat proses persalinan diantaranya
adalah posisi duduk, setengah duduk, jongkok, berdiri, merangkak, dan berbaring
miring ke kiri. Ibu dapat mengubah-ubah posisi secara teratur selama kala II karena hal
ini dapat membantu kemajuan persalinan, mencari posisi meneran yang paling efektif,
dan menjaga sirkulasi uteroplasenta tetap baik. Keuntungan posisi duduk dan setengah
duduk dapat memberikan rasa nyaman bagi ibu dan memberikan kemudahan baginya
untuk beristirahat di antara kontraksi, dan gaya gravitasi mempercepat penurunan
bagian terbawah janin sehingga berperan dalam kemajuan persalinan. Sedangkan untuk
posisi jongkok dan berdiri membantu mempercepat kemajuan kala II persalinan dan
mengurangi rasa nyeri. Beberapa ibu merasa bahwa merangkak atau berbaring miring
ke kiri membuat mereka lebih nyaman dan efektif untuk meneran. Kedua posisi
tersebut juga akan membantu perbaikan posisi oksiput yang melintang untuk berputar
menjadi posisi oksiput anterior. Posisi merangkak dapat membantu ibu mengurangi
rasa nyeri punggung saat persalinan. Posisi berbaring miring ke kiri memudahkan ibu
untuk beristirahat di antara kontraksi jika ibu kelelahan dan juga dapat mengurangi
risiko terjadinya laserasi perineum. 4,6

c.4. Keterampilan menahan perineum pada saat ekspulsi kepala


Saat kepala membuka vulva (5-6 cm), letakkan kain yang bersih dan kering yang dilipat
1/3 nya di bawah bokong ibu dan siapkan kain atau handuk bersih di atas perut ibu
(untuk mengeringkan bayi segera setelah lahir). Lindungi perineum dengan satu tangan
(di bawah kain bersih dan kering), ibu jari pada salah satu sisi perineum dan 4 jari
tangan pada sisi yang lain pada belakang kepala bayi. Tahan belakang kepala bayi agar
16

posisi kepala tetap fleksi pada saat keluar secara bertahap melewati introitus dan
perineum. Melindungi perineum dan mengendalikan keluarnya kepala bayi secara
bertahap dan hati-hati dapat mengurangi regangan berlebihan (robekan) pada vagina
dan perineum. 12,16

c.5. Episiotomi
Episiotomi adalah bedah yang dibuat di perineum untuk memudahkan proses kelahiran.
Perineum harus dievaluasi sebelum waktu kelahiran untuk mengetahui panjangnya,
ketebalan, dan distensibilitasnya. Evaluasi ini membantu menentukan apakah
episiotomi dilakukan atau tidak. Perineum yang sangat tebal dan kaku serta resisten
terhadap distensi memerlukan episiotomi. Indikasi utama episiotomi adalah gawat
janin. Episiotomi yang cepat sebelum saat crowning mungkin dilakukan dan dapat
mencegah robekan yang tidak beraturan. 4,6
Salah satu cara untuk mengurangi robekan pada vagina dan perineum yang tidak
beraturan dan lebar adalah dengan cara melakukan episiotomi. Episiotomi dapat
membuat luka atau robekan yang beraturan dan sejajar, sehingga luka mudah untuk
dijahit.19,21 Indikasi untuk melakukan episiotomi untuk mempercepat kelahiran bayi
bila didapatkan: Gawat janin dan bayi akan segera dilahirkan dengan tindakan, penyulit
kelahiran pervaginam ; sungsang, distosia bahu, ekstraksi cunam, Janin prematur untuk
melindungi kepala janin dari perineum yang ketat, dan jaringan parut pada perineum
yang memperlambat kemajuan persalinan. 12,16
Berikut disajikan tabel mengenai faktor risiko dan odd ratio sehubungan dengan
kejadian laserasi perineum. 12,16
17

Tabel 1. Faktor Risiko Terjadinya Laserasi Perineum saat Persalinan8


RISK FACTOR ODDS RATIO
Nulliparity (primigravidity) 3–4
Short perineal body 8
Instrumental delivery, overall 3
Forceps-assisted delivery 3–7
Vacuum-assisted delivery 3
Forceps vs vacuum 2.88
Forceps with midline episiotomy 25
Prolonged second stage of labor (>1 hour) 1.5–4
Epidural analgesia 1.5–3
Intrapartum infant factors:

Birthweight over 4 kg 2
Persistent occipitoposterior position 2–3
Episiotomy, mediolateral 1.4
Episiotomy, midline 3–5
Previous anal sphincter tear 4
All variables are statistically significant at P< 0,05

4. Klasifikasi Laserasi Perineum


Klasifikasi berikut yang dijelaskan oleh Sultan telah diadopsi oleh International
Consultation on Incontinece dan RCOG: 2,6,14
Laserasi derajat satu: Cedera pada kulit perineum dan/atau mukosa vagina.
Laserasi derajat dua: Cedera pada perineum yang melibatkan otot perineum tetapi tidak
melibatkan sfingter anal.
18

Laserasi derajat tiga: Cedera pada perineum yang melibatkan kompleks sfingter anal:
Grade 3a: Robekan kurang dari 50% robek ketebalan sfingter ani eksternal.
Grade 3b: Robekan lebih dari 50% dari ketebalan sfingter ani eskternal.
Grade 3c: Sfingter ani eksternal dan internal robek.
Laserasi derajat empat: Cedera pada perineum yang melibatkan kompleks sfingter ani
eskternal, internal, dan mukosa anorektal. Cedera sfingter anal obstetri (OASIS)
meliputi baik robekan perineum derajat ketiga dan keempat. 2,6,14

5. Upaya Pencegahan Laserasi Perineum


Tinjauan dari Cochrane menyebutkan bahwa tindakan episiotomi tanpa indikasi tidak
dapat menurunkan insiden robekan sfingter anus dan berhubungan dengan
meningkatnya trauma perineum. Carroli dan Belizan juga melaporkan bahwa tindakan
operatif ekstraksi vakum lebih sedikit menimbulkan robekan sfingter dibanding
tindakan forsep dengan perbandingan 1:18 persalinan.11,12
Dari Studi Randomized Control Trial (RCT) dengan besar sampel 5001 ibu serta
studi longitudinal /cohort pada 6463 ibu, studi metaanalisis melaporkan bahwa
episiotomi yang tidak rutin/restricted lebih sedikit mengalami trauma persalinan (RR
0,87 IK 0,83-0,91) tetapi lebih banyak trauma anterior (RR 1,75 IK 1,52 – 2,01).2
Beberapa studi juga melaporkan bahwa secara keseluruhan dengan tidak
dilakukannya episiotomi secara rutin akan lebih banyak menghasilkan persalinan
dengan perineum yang utuh, berkurangnya nyeri perineum, lebih cepat kembalinya
pola aktivitas seksual, dan self esteem yang tinggi, dan sebaliknya lebih banyak
robekan sfingter anus pada penggunaan episiotomi rutin, namun tidak mempunyai
hubungan yang signifikan terhadap fungsi seksual pada 3 bulan pertama dan fungsi
kandung kemih dalam 3 tahun mendatang.2
Rekomendasi dari NICE adalah episiotomi yang rutin juga tidak dianjurkan pada
partus spontan dan seharusnya dilakukan hanya dengan indikasi sebagai contoh
misalnya pada bayi besar, perineum yang kaku atau perineum yang pendek. Episiotomi
19

jenis mediolateral lebih dianjurkan, dimulai pada bagian belakang fourchette pada
sudut 45-60 derajat.13,15
Dibawah ini adalah rangkuman dari beberapa studi yang telah dipublikasi terkait
pencegahan laserasi perineum:2,6,10
1. Tidak dilakukannya episiotomi (adanya pembukaan serviks secara alami sejak usia
gestasi 36 minggu) secara signifikan meningkatkan angka persalinan pada ibu
nulipara dengan perineum yang utuh.
2. Pada tahun 2001, studi kohort prospektif yang dipublikasi di Jerman melaporkan
bahwa terjadi penurunan tindakan episiotomi sebesar 50% pada 50 ibu nulipara,
lebih sedikit yang mengalami robekan perineum (2% vs 4%), dan kala II yang lebih
pendek.
3. Studi di Melbourne Australia melaporkan bahwa dari 48 ibu nulipara terjadi
penurunan penggunaan episiotomi (26% vs 34%), lebih banyak persalinan dengan
perineum yang utuh (46% vs 17%), kala II yang lebih pendek (mean 61 vs 81
menit), dan tidak ada efek pada APGAR bayi dengan penggunaan instrument
(episiotomi) saat persalinan.
4. Studi observasional dalam skala besar di Amerika Serikat melaporkan bahwa
kompres panas pada nulipara dapat mereduksi kebutuhan akan intervensi
episiotomi dan multipara (borderline), dapat mereduksi robekan perineum spontan
pada kedua kelompok baik pada nulipara maupun multipara, tetapi belum
dikonfirmasi dengan studi yang lebih tinggi (RCT).
5. Studi RCT pada 185 ibu yang menggunakan lignocaine spray menginformasikan
bahwa tidak ada perbedaan efek nyeri perineum pada kedua kelompok, tetapi lebih
sedikit yang mengalami dispareunia dan lebih sedikit yang mengalami robekan
perineum pada derajat kedua (RR 0,63 IK 95% 0,42-0,93) pada kelompok ibu yang
menggunakan lignocaine spray.
20

C. Kompres Hangat Perineum


Kompres hangat dilakukan dengan menggunakan kain bersih atau bantalan perineum
yang direndam dalam air hangat. Kompres dilakukan terhadap perineum pasien selama
persalinan tahap kedua dan diganti sesuai kebutuhan untuk menjaga kehangatan dan
kebersihan. Kompres hangat biasanya dimulai ketika kepala bayi mulai menekan
perineum (crowning) atau ketika ada penurunan janin yang aktif pada kala II
persalinan. 2,6,18
Kompres hangat dapat memberikan rasa hangat yang bertujuan untuk memberikan
rasa nyaman, mengatasi nyeri, mengurangi atau mencegah spasme otot dan
memberikan rasa hangat pada daerah tertentu. Kompres hangat memiliki dampak
fisiologis bagi tubuh, yaitu pelunakan jaringan fibrosa, mempengaruhi oksigenisasi
jaringan sehingga dapat mencegah kekakuan otot, memvasodilatasikan dan
memperlancar aliran darah, sehingga dapat menurunkan atau menghilangkan rasa
nyeri. Selain itu kelebihan kompres hangat dapat membantu pemulihan luka,
mengurangi infeksi dan inflamasi, mempelancar pasokan aliran darah serta
memberikan ketenangan dan kenyamanan pada klien. 6,18
Data Cochrane telah mengakui penerapan kompres hangat selama persalinan kala II
memiliki efek signifikan pada penurunan OASIS. Analisis dari dua penelitian (1525
wanita), menemukan bahwa kompres hangat secara signifikan menurunkan risiko
laserasi derajat ketiga dan keempat. Intervensi melibatkan pemberian kompres
perineum terus menerus selama dan di antara kontraksi. 6,18
Aplikasi kompres hangat perineum selama persalinan tidak mepunyai pedoman yang
baku. Berikut adalah tabel mengenai perbandingan beberapa penelitian kompres hangat
perineum mengenai cara penggunaan, suhu hangat yang digunakan, dan pola
penggunaan kompres. 6,18
21

Tabel 2. Perbandingan beberapa penelitian mengenai kompres hangat perineum8


22

D. Kerangka Teori

Faktor Maternal Faktor Janin Faktor Penolong

1. Paritas 1. Lingkar kepala janin 1. Cara memimpin mengejan


2. Umur ibu 2. Berat badan janin 2. Cara berkomunikasi
3. Jarak kelahiran 3. Presentasi defleksi 3. Ketrampilan menahan
4. Partus presipitatus 4. Letak sungsang perineum saat ekspulsi kepala
5. Edema dan kerapuhan perineum 5. Distosia bahu 4. Anjuran posisi meneran
6. CPD 5. Episiotomi
7. Jaringan parut pada perineum
8. Persalinan dengan tindakan
9. Lama persalinan kala II

Faktor Risiko
Laserasi Perineum

Laserasi Laserasi Laserasi Laserasi


Derajat I Derajat II Derajat III Derajat IV

Gambar 2. Kerangka Teori


23

E. Kerangka Konsep

Persalinan Pervaginam
pada Primigravida

Kompres hangat Tanpa Kompres hangat


perineum Kala II perineum Kala II

Perineum intak Laserasi Perineum

Laserasi Laserasi Laserasi Laserasi


Derajat I Derajat II Derajat III Derajat IV

Gambar 3. Kerangka Konsep


24

BAB III
METODE PENELITIAN

A. RANCANGAN PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian nonrandomized clinical trial pada populasi
wanita yang melahirkan di Bagian Obstetri dan Ginekologi RSUP Dr. Mohammad
Hoesin Palembang. Peneliti melakukan intervensi berupa kompres hangat selama
persalinan kala II terhadap subjek penelitian dan dibandingkan dengan kelompok
kontrol yang tidak dilakukan kompres hangat.

B. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN


Penelitian dilakukan mulai Januari 2020 hingga Juni 2020 atau sampai dengan
jumlah sampel terpenuhi. Penelitian ini dilakukan di Kamar Bersalin atau Instalasi
Gawat Darurat (IGD) RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang.

C. POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN


1. Populasi
Populasi penelitian adalah semua wanita primigravida yang melahirkan di RSUP
Dr. Mohammad Hoesin Palembang.
2. Sampel
Sampel penelitian ini adalah wanita primigravida yang melahirkan pervaginam di
kamar bersalin dan Instalasi Gawat Darurat Bagian Obstetri dan Ginekologi RSUP
Dr. Mohammad Hoesin Palembang selama periode penelitian dan memenuhi
kriteria penelitian.
25

Kriteria Inklusi
a. Primigravida
b. Persalinan pervaginam (persalinan spontan, ekstraksi vakum, dan ekstraksi
forceps) dengan atau tanpa kompres hangat
c. Kehamilan tunggal
d. Presentasi kepala

Kriteria Eksklusi
a. Operasi seksio sesar karena indikasi obstetrik

3. Besar Sampel
Jumlah sampel penelitian ditentukan dengan rumus studi dengan jumlah populasi
diketahui:

N = 𝑃1 (1−𝑃1)+𝑃2 (1−𝑃2) (Zα + Zꞵ )2


(𝑃1−𝑃2)2
Keterangan:
N = Jumlah sampel minimal kelompok kasus dan kontrol
Zα = Tingkat kepercayaan 95% = 1,96
Zꞵ = power penelitian 90% = 1,28
P1 = Proporsi persalinan pervaginam dengan intervensi kompres hangat dan
perineum intak = 16,1 % (Pada penelitian Umiyanti dkk = 16,1 %)6
P2 = Proporsi persalinan pervaginam tanpa intervensi kompres hangat dan
perineum intak = 3.2 % (Pada penelitian Umiyanti dkk = 3,2 %)6
Dari perhitungan diperoleh jumlah minimal sampel adalah 33 sampel untuk masing-
masing kelompok sampel, sehingga total seluruh sampel minimal yang dibutuhkan
adalah 66 sampel.
26

D. CARA PENGAMBILAN SAMPEL


Teknik pengambilan sampel dengan purposive sampling yaitu teknik pengambilan
sampel dengan pertimbangan tertentu. Sampel penelitian dipilih berdasarkan
kriteria inklusi dan eksklusi. Seluruh primigravida yang memenuhi kriteria inklusi
dijelaskan mengenai informasi pelaksanaan penelitian, setelah didapatkan informed
consent, subjek penelitian dibagi menjadi kelompok kompres hangat perineum
(bersedia untuk dilakukan kompres perineum selama 20 menit waktu kumulatif
pada kala 2) dan kelompok kontrol (tanpa kompres perineum).

E. VARIABEL PENELITIAN
1. Variabel independen: Kompres hangat perineum
2. Variabel dependen: Laserasi perineum
3. Variabel confounding: Panjang perineum

F. DEFINISI OPERASIONAL
1. Primigravida adalah seorang perempuan yang sedang hamil untuk pertama
kali.1-4
2. Umur adalah usia terakhir dalam bulan pada saat penelitian dilakukan, yang
ditentukan berdasarkan selisih tanggal lahir pasien dengan tanggal saat
penelitian dilakukan, di mana jika < 15 hari dibulatkan ke bawah, ≥ 15 hari
di bulatkan keatas dengan kategori : 1-4
a. < 20 tahun
b. 20-35 tahun
c. > 35 tahun
3. Perineum adalah daerah antara kedua belah paha, yang pada wanita dibatasi
oleh vulva dan anus, dengan simfisis pubis di bagian anterior, tuber
iskiadikum di bagian lateral, dan os koksigeus di bagian posterior. 1-4
27

4. Laserasi perineum adalah robekan pada perineum yang terjadi pada saat bayi
lahir baik secara spontan maupun dengan menggunakan alat atau tindakan.
Klasifikasi berikut yang dijelaskan oleh Sultan telah diadopsi oleh
International Consultation on Incontinece dan RCOG: 1-4
 Laserasi derajat satu: Cedera pada kulit perineum dan/atau mukosa
vagina.
 Laserasi derajat dua: Cedera pada perineum yang melibatkan otot
perineum tetapi tidak melibatkan sfingter anal.
 Laserasi derajat tiga: Cedera pada perineum yang melibatkan kompleks
sfingter anal:
Grade 3a : Robekan kurang dari 50% robek ketebalan sfingter ani
eksternal.
Grade 3b : Robekan lebih dari 50% dari ketebalan sfingter ani eskternal.
Grade 3c : Sfingter ani eksternal dan internal robek.
 Laserasi derajat empat: Cedera pada perineum yang melibatkan kompleks
sfingter ani eskternal, internal, dan mukosa anorektal.
5. Persalinan pevaginam adalah proses pengeluaran hasil konsepsi (janin dan
plasenta) melalui jalan lahir dengan tenaga ibu sendiri atau dengan bantuan
alat seperti vakum dan forceps. 1-4
6. Kompres hangat dilakukan dengan menggunakan kain bersih atau bantalan
perineum yang direndam dalam air hangat. Kompres dilakukan terhadap
perineum pasien selama persalinan tahap kedua dan diganti sesuai kebutuhan
untuk menjaga kehangatan dan kebersihan. Kompres dilakukan dengan air
hangat 38-440 c, durasi selama 20 menit secara kumulatif. 1-4
28

G. PROSEDUR KERJA
Peneliti mengajukan permohonan dan izin untuk melakukan penelitian di Bagian
Obstetri dan Ginekologi RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang.
Peneliti melakukan skrining kriteria penelitian (inklusi dan eksklusi), berupa
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Bagi pasien yang lolos
pada skrining kriteria penelitian, diberi penjelasan terkait penelitian dan diminta
persetujuan untuk berpartisipasi dengan menandatangani informed consent yang
telah disediakan.
Kemudian sampel yang memenuhi kriteria penelitian dibagi menjadi kelompok
kompres hangat perineum yaitu persalinan pervaginam dengan kompres hangat
perineum pada kala II dan kelompok kontrol yaitu persalinan pervaginam tanpa
kompres hangat perineum. Semua data yang terkumpul pada periode penelitian
berlangsung akan dilakukan analisis bivariat dan multivariat dengan menggunakan
program SPSS versi 20.0.
30

H. PARAMETER KEBERHASILAN
Diperoleh signifikansi nilai p <0,05 variabel independen terhadap hasil luaran kompres
hangat perineum dengan kejadian laserasi perineum dan OR (odds ratio) ≥ 2 dengan
CI 95%.

I. PENGOLAHAN, PENYAJIAN, DAN ANALISIS DATA


Seluruh data yang diperoleh dicatat dan dilakukan coding sesuai dengan kebutuhan dan
selanjutnya dilakukan data entry dengan menggunakan program SPSS versi 20.0.
Pada penelitian ini akan dilakukan analisis univariat terhadap data yang diinput
dalam bentuk narasi dan tabel distribusi frekuensi. Analisis univariat dilakukan untuk
menggambarkan distribusi frekuensi masing-masing variabel, baik variabel bebas
(kompres hangat perineum), variabel terikat (laserasi perineum) maupun deskripsi
karakteristik responden.
Analisis bivariat dilakukan dengan menggunakan uji Chi Square/ Fisher’s exact.
Nilai “p” (signifikansi) yang didapatkan akan digunakan untuk menentukan ada
tidaknya hubungan antara variabel independent dan dependen. Apabila nilai “p” lebih
kecil dari 0.05 maka secara sahih dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat hubungan
yang bermakna antara variabel independent dan variabel dependen.
Analisis multivariat menggunakan uji regresi logistik dapat dilakukan untuk
mengetahui faktor yang paling berpengaruh terhadap kejadian laserasi perineum.
Besar pengaruh dari variabel tersebut dapat ditentukan dari hasil yang didapatkan.
31

J. ALUR PENELITIAN

Populasi penelitian
Primigravida melahirkan
pervaginam

Kriteria inklusi

Subjek penelitian

Kelompok perlakuan kompres Kelompok kontrol


hangat perineum

Data Primer:
Perineum intak/
laserasi perineum

Analisis

Hasil

Gambar 4. Alur penelitian


32

K. RENCANA TABEL DAN ANALISIS DATA


Analisis univariat dilakukan untuk menggambarkan distribusi frekuensi masing-
masing variabel, baik variabel bebas (nomogram), variabel terikat (retensio
plasenta) maupun deskripsi karakteristik responden. Analisis bivariat dilakukan
dengan menggunakan uji Chi Square/ Fisher’s exact. Analisis multivariat
menggunakan uji regresi logistik dapat dilakukan untuk mengetahui faktor yang
paling berpengaruh terhadap kejadian laserasi perineum.

Tabel 3. Dummy table Karakteristik Subjek Penelitian

Kompres hangat Tanpa kompres


Karakteristik hangat P*
Subjek
Mean ± SD Mean ± SD
Usia (tahun)
BBL (gram)
Usia Kehamilan
(minggu)

Tabel 4. Dummy table Hubungan atara kompres hangat dan laserasi perineum

Intervensi Perineum intak Laserasi perineum P*

Kompres hangat
Tanpa kompres
hangat
33

Tabel 5. Dummy table Analisis Multivariat

Variabel Sampel Multivariat


p OR (95% CI)
- Usia
- BBL
- Usia kehamilan
34

BAB IV
JUSTIFIKASI ETIK

A. RANGKUMAN KARAKTERISTIK PENELITIAN


Penelitian ini merupakan penelitian nonrandomized clinical trial pada pasien yang
melahirkan pervaginam di Kamar Bersalin atau Instalasi Gawat Darurat (IGD)
RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang untuk menilai perbandingan kejadian
laserasi perineum pada persalinan pervaginam dengan kompres hangat pada
primigravida dengan kelompok kontrol. Penelitian ini dilakukan antara bulan
Januari 2020 sampai dengan Juni 2020 atau sampai jumlah sampel terpenuhi.
Populasi penelitian adalah seluruh wanita primigravida yang melahirkan.

B. PROSEDUR INFORMED CONSENT


1. Peneliti akan secara jujur mengatakan apa yang akan dilakukan terhadap
sampel, data yang diperoleh, apa untungnya, akibat, risiko yang akan terjadi,
serta apa yang akan dilakukan untuk mengatasi terhadap risiko tersebut.
2. Kerahasiaan data penderita akan dijaga walaupun penderita meninggal dunia.

C. LANDASAN KEILMUAN PENELITIAN


Laserasi perineum adalah salah satu komplikasi dan bentuk paling umum dari
cedera akibat persalinan pervaginam, dari tingkat rendah seperti laserasi mukosa
sampai laserasi parah yang melibatkan otot perineum dan rektum. Laserasi
perineum berhubungan dengan beberapa komplikasi, termasuk perdarahan, nyeri
perineum, dispareunia, fistula rektovaginal, abses perineum, dan inkontinensia. 2,4
Kompres hangat perineum selama tahap kedua persalinan adalah teknik yang
diusulkan untuk mengurangi insiden laserasi perineum. Kompres hangat perineum
selama kala dua persalinan menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah yang
35

meningkatkan aliran darah, mengurangi rasa sakit, mengendurkan otot, otot


menjadi lebih elastis, dan memberi kenyamanan pada ibu.4,5
Meta-analisis yang melibatkan 1.525 wanita dengan pengambilan sampel acak,
tentang penggunaan kompres hangat selama tahap kedua persalinan dibandingkan
dengan tanpa kompres hangat, menunjukkan hasil yang signifikan dalam
pengurangan kejadian laserasi perineum derajat ketiga dan keempat pada
kelompok kompres hangat perineum, meskipun tidak ada penurunan kejadian
perineum utuh selama persalinan. Kompres hangat perineum juga dapat diterima
oleh wanita selama tahap kedua persalinan, mudah dilakukan, tidak perlu biaya
tinggi, dan dapat dilakukan di semua tingkat fasilitas perawatan kesehatan,
sehingga teknik ini dapat menjadi pilihan untuk manajemen selama tahap kedua
persalinan untuk mengurangi risiko laserasi perineum.6,8

D. ANALISIS KELAYAKAN ETIK


Kiranya penelitian ini telah mempunyai landasan scientific yang kuat sehingga
penelitian dapat diperkirakan akan memberikan hasil yang sesuai dengan tujuan
dan manfaat. Tidak ada beban khusus yang ditanggung subjek dengan
keikutsertaannya dalam penelitian. Diharapkan tidak ada masalah khusus yang
akan dihadapi subjek penelitian karena prosedur penelitian dilaksanakan sebaik-
baiknya dan dapat menjadi petunjuk untuk tindakan selanjutnya. Dengan demikian
penderita akan dilakukan adil serta diuntungkan dengan penelitian ini.

E. BEBAN YANG DIPIKUL SUBJEK


]Tidak ada risiko fisik yang dapat membahayakan subjek karena penelitian ini
hanya menggunakan kompres air hangat. Tidak ada komplikasi yang dapat timbul
dan pasien dapat menghentikan penelitian secara bebas tanpa adanya sanksi dalam
bentuk apapun. Tidak ada biaya yang dibebankan pada pasien dan seluruh biaya
penelitian ditanggung peneliti.
36

F. SIMPULAN
Peneliti berpendapat bahwa penelitian ini akan dilaksanakan berdasarkan landasan
keilmuan yang kuat, bermanfaat untuk dilaksanakan, dengan cara yang baik, tidak
membahayakan subjek dan dilaksanakan sepenuhnya menghormati martabat
manusia. Peneliti berkesimpulan penelitian ini layak etik untuk dilaksanakan
37

BAB V PENUTUP

A. RENCANA PELAPORAN
Hasil penelitian akan dilaporkan setelah kegiatan penelitian selesai. Laporan akan
disusun dalam bentuk tesis dan akan dipresentasikan di depan dewan penguji tesis
PPDS I bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/
RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang.

B. JADWAL KERJA
Tabel 6. Jadwal Kerja

Bulan / kegiatan 2019 2020

09 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Merancang  
proposal 
Pengajuan  
proposal  
Seminar proposal  

Pengumpulan data         
     
Analisis data   
Pelaporan 
Ujian Tesis 
38

C. Logistik
Tabel 7. Perkiraan Biaya Penelitian

1 Biaya alat tulis Rp.30.000,-


2 Biaya Publikasi ilmiah Rp 2.000.000,-
3 Kepustakaan Rp 1.000.000,-
4 Biaya pelaporan Rp 2.000.000,-
5 Seminar / ujian Rp 2.000.000,-
6 Biaya tak terduga (10% dari total) Rp713.000,-
TOTAL Rp 7.743.000,-
DAFTAR PUSTAKA

1. Schorge S, Halvorson, Hoffman, et al. Williams Gynecology. United State:


McGraw-Hills. 2008.
2. Diana Hamilton F. Lecture Notes Obstetrics and Gynaecology. Australia:
Blackwell. 2004.
3. Berek J. Berek and Novak's Gynaecology. USA: Lippincott Williams & Wilkins.
2012.
4. Richard Warren S. Best Practice in Labour and Delivery. New York: Cambridge
university Press. 2009.
5. Essa R, Ismail N. Effect Of Second Stage Perineal Warm Compresses On Perineal
Pain And Outcome Among Primiparae. Journal of Nursing Education and Practice.
2016; 6: 48-49.
6. Umiyanti Thenu, Trika Irianta, Fatmawati Madya, et al. Perineal Warm
Compresses During the Second Stage of Labour Decrease Incidence and Degree
of Perineal Laceration in Primiparous. Gynecol Reprod Health. 2019; 3(2): 1-6.
7. Lone F, Sultan A, Thakar. Obstetric pelvic floor and anal sphincter injuries. The
Obstetrician & Gynaecologist. 2012; 14: 257-66.
8. Cunningham F, Leveno K, Bloom S, et al. Williams Obstetrics. 24rded. New York:
McGraw-Hill Medical. 2014; 433-452.
9. Groutz A, Cohen A, Gold R, et al. Risk factors for severe perineal injury during
childbirth: A case-control study of 60 consecutive cases. Colorectal Dis. 2011;
13(8): e216-9. PMid:21689311
10. Smith L, Price N, Simonite V, et al. Incidence of and risk factors for perineal
trauma: A prospective observational study. BMC Pregnancy and Childbirth. 2013;
13(59): 1-9
11. Scott J. Episiotomy and Vaginal Trauma. Elsevier Saunders. 2005; 32: 312-313.
12. Deering S, Stitely M, Allaire A, et al. Perineal Body Lenght and Lacerations At
Delivery. J Reprod Med. 2004; 49: 306- 310.
13. Sparks T, Wong L, Yeaton-Massey A, et al. Perineal Body Length And
Associations With Perinatal Outcomes. American Journal of Obstetrics and
Gynecolgy. 2009; 201: S75.
14. Aasheim V, Nilsen A, Reinar L, et al. Perineal Techniques During The Second
Stage Of Labour For Reducing Perineal Trauma. Chocrane Library. 2017; 6.
15. Dahlen H, Thornton C. Severe Perineal Trauma Is Rising, But Let Us Not
Overreact. Elsevier. 2015; 31: 1-8.
16. Bellew J, Michlovitz S. Modalities for Therapeutic Intervention. 6, editor.
Philadelpia: FA Davis Company. 2016; 512.
17. Sanghavi S, Sanghavi D. Role Of Physiotherapy In Pain Management. Journal Of
The Association Of Physicians Of India. 2015; 63: 32-35.
18. Essa R, Ismail N. Effect Of Second Stage Perineal Warm Compresses On Perineal
Pain And Outcome Among Primiparae. Journal of Nursing Education and Practice.
2016; 6: 48.
19. Lisa L. Perbandingan Ukuran Komponen POP-Q Wanita Mutipara dan Nullipara.
Makassar: Univeritas Hasanuddin. 2013.
20. Dua A, Whitworth M, Dugdale A. Perineal Length: Norms In Gravid Women In
The First Stage Of Labour. Int Urogynecol J. 2009; 20: 1361-1364.
21. Hokenstad E, EL-Nashar S, Weaver m, et al. Perineal Body and Genital Hiatus in
the Third Trimester and Risk of Perineal Laceration. Female Pelvic Medicine &
Reconstructive Surgery. 2015; 21: 359-362.
22. Deering S, Carlson N, Stitely M, et al. Perineal Body Length And Laceration At
Delivery. Journal Reprod Med. 2004; 49: 306-310.
Lampiran I

LEMBAR PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN

Yang bertanda tangan di bawah ini :


Nama :
Umur :

Kepada saya telah diberikan penjelasan mengenai prosedur penelitian


“Perbandingan Derajat Laserasi Perineum dengan Kompres Perineum Hangat Kala II
pada Primigravida”
dan saya telah memahaminya.

Dengan sadar saya menyatakan bersedia untuk mengikuti penelitian ini.

Palembang, Januari 2020


Yang memberi persetujuan,

(……………………………)

Anda mungkin juga menyukai