Anda di halaman 1dari 25

Clinical Science Session

RUPTUR PERINEUM

Oleh:
Jian Hambali 2040312124

Preseptor:

dr. Hudila Rifa Karmia, Sp.OG

BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

RSU PENDIDIKAN UNAND

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Ruptur Perineum”. Makalah ini ditujukan sebagai salah satu syarat untuk
menyelesaikan kepaniteraan klinik di bagian Obstetri dan Ginekologi RSU
Pendidikan Unand.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Hudila Rifa Karmia, SpOG
sebagai preseptor yang telah membantu dalam penulisan makalah ini. Penulis
menyadari bahwa makalah ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh sebab itu
penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak yang membaca demi
kesempurnaan makalah ini.
Penulis berharap makalah ini dapat memberikan dan meningkatkan
pengetahuan serta pemahaman mengenai “Ruptur Perineum” terutama bagi
penulis sendiri dan rekan-rekan sejawat lainnya.

Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ruptur perineum adalah suatu kejadian yang sering diamati pada saat proses
persalinan pervaginam. Hal ini bisa terjadi karena adanya trauma spontan atau
akibat tindakan episiotomi.1 Ruptur perineum merupakan salah satu kondisi
terjadinya robekan pada jalan lahir. Salah satu penyebab utama perdarahan pasca
persalinan adalah robekan jalan lahir. Robekan pada jalan lahir dapat bervariasi
tergantung dari penyebab terjadinya trauma pada daerah jalan lahir. Trauma bisa
menyebabkan robekan pada daerah perineum, vagina, dan serviks. Trauma juga
bisa terjadi akibat tindakan selama persalinan seperti tindakan episiotomi.2,3

Robekan jalan lahir yang terjadi bisa ringan (lecet, laserasi), luka episiotomi,
robekan perineum spontan derajat I sampai IV, robekan pada dinding vagina,
forniks uteri, serviks, daerah sekitar klitoris dan uretra, dan bahkan yang terberat
ruptur uteri. Ruptur perineum dapat terjadi karena adanya ruptur spontan maupun
tindakan episiotomi perineum yang dilakukan. Episiotomi harus dilakukan atas
beberapa indikasi, antara lain bayi besar, partus prematurus, perineum kaku,
persalinan dengan kelainan letak, persalinan dengan menggunakan alat bantu baik
forceps, maupun vakum. Apabila episiotomi tidak dilakukan atas indikasi yang
tepat, maka dapat menyebabkan peningkatan angka kejadian dan derajat kerusakan
pada daerah perineum.2,3

Ruptur pada daerah perineum merupakan penyebab tersering kematian ibu


yang dihubungkan dengan persalinan pervaginam. Ruptur pada sfingter anal
merupakan komplikasi terbesar yang dapat mempengaruhi kualitas hidup seorang
wanita. Oleh karena itu, pada setiap persalinan hendaklah dilakukan inspeksi yang
teliti untuk mencari kemungkinan adanya robekan ini. Semua sumber perdarahan
yang terbuka harus diklem, diikat, dan luka ditutup dengan jahitan catgut lapis
demi lapis sampai perdarahan berhenti. Teknik penjahitan memerlukan asisten,
anestesi lokal, penerangan lampu yang cukup, serta spekulum dan memerhatikan
kedalaman luka.2,3
1
2
1.2 Rumusan Masalah
Makalah Clinical Science Session ini membahas anatomi perineum, definisi,
epidemiologi, etiologi dan faktor risiko, klasifikasi, teknik menjahit robekan,
manifestasi klinis, penatalaksanaan, komplikasi, prognosis rupture perineum.

1.3 Tujuan Penulisan


Makalah Clinical Science Session bertujuan untuk menambah pengetahuan
dan wawasan mengenai anatomi perineum, definisi, epidemiologi, etiologi, faktor
risiko, klasifikasi, teknik menjahit robekan, manifestasi klinis, penatalaksanaan,
komplikasi, prognosis ruptur perineum.

1.4 Metode Penulisan


Makalah Clinical Science Session ini dibuat dengan metode tinjauan
kepustakaan yang merujuk pada berbagai literatur.

3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Ruptur merupakan robeknya jaringan secara paksa. Perineum adalah lantai
pelvis dan struktur yang berhubungan dengan pintu bawah panggul; bagian ini
dibatasi disebelah anterior oleh simfisis pubis, di sebelah lateral oleh tuber
ischiadikum, dan di sebelah posterior oleh os. coccygeus, dan dibagi ke dalam
segitiga urogenital anterior dan segitiga anal posterior.2,4,5
Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan dan tak jarang
juga pada persalinan berikutnya. Robekan ini dapat dicegah dengan memastikan
kepala janin tidak terlalu cepat lahir. Namun, kepala janin yang akan lahir jangan
ditahan terlampau kuat dan lama karena dapat menyebabkan asfiksia dan
perdarahan dalam tengkorak janin, serta melemahkan otot-otot dan fassia pada
dasar panggul karena diregangkan terlalu lama.2,4,5

2.2 Anatomi Perineum


Perineum merupakan daerah berbentuk diamond yang terletak diantara
kedua paha yang menggambarkan pelvic outlet: simfisis pubis anterior, rami pubis,
tuberositas ischial anterolateral, ligament sakrotuberous posterolateral, dan koksigis
posterior. Batasan perineum terbentuk oleh rami pubis di depan ligament
sakrotuberos di belakang. Pelvic outlet dibagi oleh garis melintang yang
menghubungkan bagian depan ischial tuberosities ke dalam segitiga urogenital dan
sebuah segitiga belakang anal. 3,5,6

4
Gambar 2.1 Anatomi Perineum3

2.2.1 Segitiga urogenital


Otot-otot di wilayah ini dikelompokkan ke dalam kelompok superfisial dan
dalam bergantung pada membran perineal. Bagian bulbospongiosus, perineal
melintang dangkal dan otot ischiocavernosus terletak dalam bagian terpisah yang
superfisial. Otot bulbospongiosus melingkari vagina dan masuk melalui bagian
depan corpora cavernosa clitoridis. Di bagian belakang, sebagian serabutnya
mungkin menyatu dengan otot contralateral superfisial transverse perineal (otot
yang melintang kontralateral dipermukaan perineal) juga dengan cincin otot anus
(sfingter). 3,5,6
Kelenjar bartholini merupakan struktur berbentuk kacang polong dan bagian
duktusnya membuka ke arah introitus vagina di permukaan selaput dara pada
persimpangan dua sepertiga bagian atas dan sepertiga bagian bawah labia minora.
3,5,6

Pada wanita, otot perineal profunda melintang antara bagian depan dan
belakang fasia membran perineal yang membentuk diafragma urogenital berbentuk
tipis dan sukar untuk digambarkan, karena itu kehadirannya tidak diakui oleh
sebagian ahli. Di bagian yang sama terletak juga otot cincin eksternal uretra. 3,5,6

2.2.2 Segitiga anal


Bagian ini mencakup otot luar anus dan lubang ischiorektal.5

5
2.2.3 Badan perineal
Bagian perineal merupakan wilayah fibromuskular (berotot serabut) antara
vagina dan kanal anus. Pada dataran saggita berbentuk segitiga. Pada sudut
segitiganya terdapat ruang rectovaginal dan dasarnya dibentuk oleh kulit perineal
antara bagian belakang fouchette vulva dan anus. Dalam bagian perineal terdapat
lapisan otot fiber bulbospongiosus, dataran perineal melintang dan otot cincin anus
bagian luar. 3,5,6
Diatas bagian ini terdapat otot dubur membujur dan serat tengah otot pubo
rektalis, karena itu sandaran panggul dan juga sebagian hiatus urogenitalis antara
otot levator ani bergantung pada keseluruhan badan perineal. Bagi ahli kesehatan
ibu dan anak, istilah perineum merujuk sebagian besar pada wilayah fibromuskular
antara vagina dan kanal anus. 3,5,6

2.2.4 Anatomi anorektum


Anorektum merupakan bagian yang paling jauh dari traktus gastrointestinalis
dan terdiri dari dua bagian yaitu kanal anus dan rektum. Kanal anus berukuran 3,5
cm dan terletak dibawah persambungan anorektal yang dibentuk oleh otot
puborektalis. Otot cincin anus terdiri dari tiga bagian (subcutaneus / bawah kulit),
superfisial (permukaan) dan bagian profunda (dalam) dan tidak bisa dipisahkan dari
permukaan puborektalis. Cincin otot anus bagian dalam merupakan lanjutan
menebalnya otot halus yang melingkar. Bagian ini dipisahkan dari bagian luar
cincin otot anus oleh otot penyambung yang membujur rectum. 3,5,6

2.3 Epidemiologi
Insidensi laserasi pada perineum mencapai 0,25 hingga 6%, dimana terdapat
berbagai faktor risiko yang dapat memperberat laserasi pada perineum, seperti
episiotomi medialis, nullipara, kala II yang memanjang, persalinan yang diinduksi,
posisi oksipital posterior persisten, persalinan pervaginam dibantu, ras Asia, dan
berat bayi yang besar.3
Tingkat prevalensi laserasi perineum derajat ketiga dan keempat berkisar
antara 0,3-6% atau kira-kira 1,7% dari semua kelahiran (2,9% pada primipara).

6
Sebagian besar penelitian berfokus pada kejadian dan faktor risiko
traumaperineum yang lebih berat seperti mengenai termasuk sfingter anal.

Penelitian sebelumnya melaporkan lebih dari 80% wanita mengalami


robekan perineum pada tingkat tertentu selama persalinan, yang merupakan salah
satu komplikasi paling umum dari persalinan pervaginam, dan ini terkait dengan
komplikasi jangka pendek dan jangka panjang seperti nyeri persisten, dispareunia,
dan gangguan saluran kemih, dan juga inkontinensia anal.7

2.4 Etiologi dan Faktor Risiko


Robekan perineum umumnya terjadi pada persalinan dimana8:
1. Kepala janin terlalu cepat lahir
2. Persalinan tidak dipimpin sebagaimana mestinya
3. Sebelumnya pada perineum terdapat banyak jaringan parut
4. Pada persalinan dengan distosia bahu

2.5 Klasifikasi Ruptur Perineum

Jenis robekan perineum dapat terjadi secara spontan atau diinduksi karena
episiotomi.9

1. Ruptur Perineum Spontan


Luka pada perineum yang terjadi karena sebab-sebab tertentu tanpa dilakukan
tindakan perobekan atau disengaja. Luka ini terjadi pada saat persalinan dan
biasanya tidak teratur. Tingkat robekan perineum dapat dibagi atas 4 derajat:
2,3,10,11

a. Derajat I
Perlukaan hanya terbatas pada mukosa vagina, kulit perineum, dan fourchette,
dan tidak mengenai fasia serta otot. Derajat ini termasuk laserasi periurethral, yang
dapat menyebabkan perdarahan besar.3

7
Gambar 2.2 Laserasi perineum derajat I3
b. Derajat II
Perlukaan yang lebih dalam dan bisa meluas ke vagina dengan melukai fasia
serta otot-otot perineal, namun tidak mengenai sfingter ani. Robekan dapat terjadi
di garis tengah, namun seringkali meluas ke satu atau kedua sisi vagina,
membentuk segitiga ireguler. 3

8
Gambar 2.3 Laserasi perineum derajat II3
c. Derajat III
Perlukaan lebih luas dan lebih dalam dari derajat II menyebabkan muskulus
sfingter ani eksterna terputus. Perlukaan perineum umumnya terjadi unilateral,
tetapi dapat juga bilateral. Perlukaan pada diafragma urogenitalis dan muskulus
levator ani yang terjadi pada waktu persalinan normal atau persalinan dengan alat,
dapat terjadi tanpa luka pada kulit perineum atau pada vagina, sehingga tidak
kelihatan dari luar dan mengakibatkan terbentuknya hematoma.3

Gambar 2.4 Laserasi perineum derajat III3

d. Derajat IV
Robekan pada perineum derajat III yang dapat meluas ke mukosa rektum
dan melibatkan sfingter ani eksterna dan interna. 2

9
Gambar 2.5 Laserasi perineum derajat IV3

2. Ruptur perineum yang disengaja (Episiotomi)


Episiotomi berasal dari bahasa Yunani, yaitu episton (regio pubis) dan tomy
(memotong). Episiotomi adalah suatu tindakan insisi pada perineum yang
menyebabkan terpotongnya selaput lendir vagina, cincin selaput dara, jaringan pada
septum rektovaginal, otot-otot, dan fasia perineum dan kulit sebelah depan
perineum. Insisi dapat dilakukan di garis tengah, yang disebut sebagai episiotomi
mediana atau episiotomi yang dimulai di garis tengah lalu diarahkan ke lateral
menjauhi rektum, atau disebut sebagai episotomi mediolateral. 3,11,12
Episiotomi dapat menurunkan kejadian trauma perineal posterior, perbaikan
dengan bedah, dan komplikasi penyembuhan, serta trauma perineal anterior.
Episiotomi dapat dipertimbangkan atas beberapa indikasi, antara lain:3
a. Distosia bahu
b. Sungsang
c. Janin makrosomia
d. Persalinan pervaginam dibantu
e. Posisi oksiput posterior persisten
f. dan indikasi lain yang dapat menyebabkan rupture perineum apabila tidak
dilakukan episiotomi

Berdasarkan pihak ibu dan pihak janin, indikasi episiotomi terbagi atas: 8
1) Indikasi janin

10
a. Sewaktu melahirkan janin prematur. Tujuannya untuk mencegah terjadinya
trauma yang berlebihan pada kepala janin.
b. Sewaktu melahirkan janin letak sungsang, melahirkan janin dengan cunam,
ekstraksi vakum, dan janin besar.
2) Indikasi ibu.
Indikasi episiotomi dilakukan apabila terjadi peregangan perineum yang
berlebihan sehingga ditakuti akan terjadi robekan perineum, terutama pada
primipara, persalinan sungsang, persalinan dengan cunam, ekstraksi vakum,
dan anak besar.

Namun, episiotomi sebaiknya tidak rutin dilakukan. Pada suatu penelitian,


ditemukan tindakan episiotomi rutin dapat meningkatkan risiko inkontinensia alvi
lebih tinggi tiga kali lipat serta inkontinensia flatus dua kali lipat dibandingkan
persalinan dengan laserasi spontan.3,8,12
Selain itu, episiotomi rutin tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan13:
a. Meningkatnya jumlah darah yang hilang dan berisiko hematoma
b. Kejadian laserasi derajat tiga atau empat lebih banyak pada episiotomi rutin
dibandingkan dengan tanpa episiotomi.
c. Meningkatnya nyeri pascapersalinan di daerah perineum
d. Meningkatnya resiko infeksi.

2.6 Teknik Episiotomi


Sebelum episiotomi, analgetik dapat menggunakan analgetik epidural saat
persalinan, blokade nervus pudendus bilateral, atau dengan infiltrasi lidokain 1%.
Apabila dilakukan terlalu cepat, perdarahan akibat episiotomi akan cukup besar
selama interval antara insisi dan saat persalinan. Namun, apabila dilakukan
terlambat, laserasi tidak dapat dicegah. Episiotomi sebaiknya dilakukan saat kepala
sudah terlihat saat kontraksi dengan diameter kepala mencapai 4 cm, seperti
mahkota.3,13

11
Gambar 2.6 Teknik Episiotomi8

2.6.1 Episiotomi medialis


1) Pada teknik ini insisi dimulai dari ujung terbawah introitus vagina sampai
batas atas otot-otot sfingter ani. Cara anestesi yang dipakai adalah cara
anestesi infiltrasi antara lain dengan procaine 1-2%; atau larutan lidonest 1-
2%; atau larutan xylocaine 1-2%. Setelah pemberian anestesi, jari menyusup
antara kepala dan perineum. Kemudian insisi dimulai pada arah jam 6 pada
introitus vagina dan diarahkan ke posterior. Panjang insisi sekitar 2 sampai 3
cm tergantung panjang perineal dan derajat ketebalan perineum. Insisi yang
dilakukan disesuaikan dengan jenis persalinan yang akan dilakukan, namun
harus dihentikan sebelum mencapai sfingter ani eksterna. Bila kurang lebar
2,12
disambung ke lateral (episiotomi medio lateralis).

12
Gambar 2.7 Teknik Episiotomi Medialis3

2) Perineum digunting mulai dari ujung paling bawah introitus vagina menuju
anus melalui kulit, selaput lender vagina, fasia dan otot perineum. 8
3) Untuk menjahit luka episiotomi medialis mula-mula otot perineum kiri dan
kanan dirapatkan dengan beberapa jahitan. Kemudian fasia dijahit dengan
beberapa jahitan. Lalu selaput lendir vagina dijahit dengan empat atau lima
jahitan. Jahitan dapat dilakukan secara terputius-putus (interupted suture)
atau secara jelujur (continuous suture). Benang yang dipakai untuk menjahit
otot, fasia dan selaput lendir adalah catgut chromic, sedang untuk kulit
perineum dipakai benang sutera.8
• Otot perineum kiri dan kanan dijahit dan dirapatkan.
• Pinggir fasia kiri dan kanan dijahit dan dirapatkan.
• Selaput lendir vagina dan kulit perineum dijahit dengan benang sutera.

13
Gambar 2.8 Teknik menjahit luka episiotomi medialis8

2.6.2 Episiotomi mediolateralis


1) Pada teknik ini, gunting episiotomi diposisikan pada arah jam 7 atau jam 5,
kemudian insisi dimulai dari bagian belakang introitus vagina menuju ke
arah belakang dan samping. Arah insisi ini dapat dilakukan kearah kanan
atau pun kiri, tergantung pada kebiasaan orang yang melakukannya.
Panjang insisi kira-kira 4 cm.2,12

Gambar 2.9 Penjahitan Episiotomi Mediolateral3

14
2) Teknik menjahit luka pada episiotomi mediolateralis hampir sama dengan
teknik menjahit episiotomi medialis. Penjahitan dilakukan sedemikian rupa
sehingga setelah penjahitan luka selesai hasilnya harus simetris.8
a. Menjahit jaringan otot-otot dengan jahitan terputus-putus
b. Benang jahitan pada otot ditarik
c. Selaput lendir vagina dijahit
d. Jahitan otot-otot diikatkan
e. Fasia dijahit
f. Penutupan fasia selesai
g. Kulit dijahit

2.6.3 Episiotomi lateralis8


1) Pada teknik ini insisi dilakukan ke arah lateral mulai dari kira-kira pada jam 3
atau 9 menurut arah jarum jam.
2) Teknik ini sekarang tidak dilakukan lagi oleh karena banyak menimbulkan
komplikasi. Luka insisi ini dapat melebar kearah dimana terdapat pembuluh
darah pudendal interna, sehingga dapat menimbulkan perdarahan yang
banyak. Selain itu parut yang terjadi dapat menimbulkan rasa nyeri yang
mengganggu penderita.

2.7 Teknik Menjahit Robekan Perineum


1. Derajat I
Penjahitan robekan perineum derajat I dapat dilakukan hanya dengan
memakai catgut yang dijahitkan secara jelujur (continuous suture) atau dengan cara
angka delapan (figure of eight). 10

2. Derajat II
Laserasi derajat II melibatkan fasia dan otot (muskulus perinei transversalis)
dari badan perineum tapi tidak mengenai sfingter anus. Robekan ini biasanya
melebar ke atas pada salah satu atau kedua sisi vagina, membentu luka segitiga
yang ireguler. Sebelum dilakukan penjahitan pada robekan perineum tingkat II atau
III, jika dijumpai pinggir robekan yang tidak rata atau bergerigi, maka pinggir

15
yang bergerigi tersebut harus diratakan terlebih dahulu. Pinggir robekan sebelah
kiri dan kanan masing-masing diklem terlebih dahulu, kemudian digunting. Setelah
pinggir robekan rata, baru dilakukan penjahitan luka robekan. Awalnya otot dijahit
dengan catgut. Kemudian selaput lendir vagina dijahit dengan catgut secara
interuptus atau kontinu. Penjahitan selaput lendir vagina dimulai dari puncak
robekan. Terakhir kulit perineum dijahit dengan benang secara interuptus.8

Gambar 2.10 Teknik menjahit robekan perineum derajat II. 8

3. Derajat III
Laserasi derajat III meluas melewati kulit, membran mukosa, dan badan
perineum, dan melibatkan sfingter anus. Mula-mula dinding depan rektum yang
robek dijahit. Kemudian fasia perirektal dan fasia septum rektovaginal dijahit
dengan catgut kromik, sehingga bertemu kembali. Ujung-ujung otot sfingter ani
yang terpisah oleh karena robekan diklem dengan klem Pean lurus, kemudian
dijahit dengan 2-3 jahitan catgut kromik sehingga bertemu kembali. Selanjutnya
robekan dijahit lapis demi lapis seperti menjahit robekan perineum derajat II.8

16
Gambar 2.11 Teknik menjahit robekan perineum derajat III8

4. Derajat IV
Teknik yang digunakan untuk menjahit laserasi deajat IV melibatkan sfingter
ani dan mukosa rektal. Teknik pertama dan yang lebih disarankan adalah teknik
end-to-end dan teknik kedua, yaitu teknik overlapping. Teknik end-to-end
dilakukan dengan meperkirakan jarak antara robekan tepi mukosa rektum dengan
jahitan pada otot rektal sejauh 0,5 cm. Benang yang dapat digunakan adalah 2-0
atau 3-0 chromic gut. Lapisan otot kemudian ditutup dengan sfingter ani interne.
Kemudian akhir dari jahitan di sfingter ani eksterna diisolasi, dan ditutup secara
end-to-end dengan 3-4 jahitan terputus-putus. 3

17
Gambar 2.12 Teknik menjahit “end-to-end” robekan perineum derajat IV3

Teknik overlapping merupakan metode alternatif untuk memperkirakan


sfingter ani eksterna. Berdasarkan penelitian, metode ini tidak menghasilkan hasil
anatomi atau fungsional yang lebih baik dibandingkan dengan metode end-to-end.3

2.8 Perawatan Post Operatif


Mayoritas pasien yang menjalani perbaikan robekan mengalami rasa tidak
nyaman yang meningkat dalam minggu pertama setelah persalinan. Dalam 5 sampai
7 hari postpartum, jahitan yang terletak di dalam jaringan akan mulai diabsorbsi,
jahitan yang terletak di bagian luar dan terekspos dengan udara mungkin akan lebih
lama terabsorbsi. Ketika benang jahit telah diabsorbsi, pasien mungkin dapat
merasakan potongan benang jahit ketika membersihkan daerah perineum. Hal ini
adalah normal. Dalam 6 minggu post partum, jika robekan sembuh secara normal,
pemeriksaan fisis pada perineum akan normal. Bekas luka mungkin tidak begitu
jelas. Biasanya tidak terdapat nyeri pada saat ini dan pasien dapat melanjukan
aktifitas seksualnya. Penanganan post operatif pada pasien yang telah menjalani
perbaikan robekan adalah3,8 :

18
1. Kontrol nyeri pada hari-hari setelah persalinan biasanya dengan pemberian
acetaminophen atau ibuprofen, meskipun kadang-kadang pasien dapat
membutuhkan analgesik narkotik (seperti kodein). Tetapi narkotik dapat
menyebabkan konstipasi dengan feses yang keras, sehingga dapat merusak
luka jahitan robekan derajat III dan IV.
2. Pasien harus menjaga higiene perineum. Pasien yang memiliki hygiene
perineum yang baik akan sembuh dan bebas dari nyeri lebih cepat.
Rekomendasi standar untuk higiene perineum adalah membasuh daerah
perineum dengan air hangat menggunakan botol semprot oleh karena air
hangat akan membantu mengurangi nyeri.
3. Selain itu, pasien juga harus menghindari trauma pada perineum, terutama
pada robekan tingkat III dan IV. Yaitu dengan menghindari terjadinya
konstipasi dan diare, karena konstipasi dapat menyebabkan trauma rektal
akibat peregangan, dan feces encer pada diare dapat memasuki luka dan
menyebabkan infeksi. Insiden konstipasi dan diare dapat dikurangi dengan
menggunakan pelunak feses dan diet rendah-residu yang dapat membentuk
feses lunak yang tidak besar. Pasien sebaiknya tidak menggunakan laksansia
atau suppositoria karena dapat menimbulkan diare.

2.9 Komplikasi Post Operatif


Komplikasi jangka pendek dan jangka panjang dapat terjadi setelah perbaikan
luka pada episiotomi atau robekan perineum. Komplikasi jangka pendek yang
paling utama adalah hematoma dan infeksi, sedangkan komplikasi jangka panjang
adalah inkontinensia feses dan nyeri perineum persisten.10–12
Hematoma sering terjadi setelah penggunaan forsep dan biasanya disertai
dengan nyeri atau tekanan pada rektum. Dapat pula terjadi retensi urin. Pada
keadaan yang jarang, jika kehilangan darah karena hematoma cukup banyak, maka
pasien dapat mengalami syok hipovolemik. Pada pemeriksaan fisis terlihat
pembengkakan perineum atau vagina yang unilateral dan massa yang dapat
dipalpasi pada pemeriksaan bimanual.10–12 Infeksi pada kebanyakan wanita setelah
episiotomi atau robekan akan disertai dengan keluhan nyeri dan sekret

19
yang berbau. Dapat pula disertai demam. Namun biasanya sulit membedakan
antara nyeri post partum yang normal dengan nyeri akibat infeksi. 10–12
Inkontinensia feses terjadi pada 10% wanita yang telah menjalani perbaikan
robekan tingkat III dan IV, walaupun teknik perbaikannya sudah cukup baik.
Inkontinensia dapat terjadi segera maupun beberapa hari/minggu postpartum.
Inkontinensia yang tertunda biasanya akibat luka yang kembali terbuka atau
10–12
infeksi.
Nyeri perineum persisten dan dispareunia juga merupakan gejala yang sering
terjadi. Normalnya dalam 6 minggu postpartum, nyeri perineum akan menghilang.
Beberapa wanita mengeluhkan nyeri yang persisten. Nyeri tersebut dapat tajam
atau tumpul, yang diperberat oleh kegiatan dan posisi tertentu. Beberapa wanita
mengeluhkan nyeri ketika bersenggama. 10–12

2.10 Prognosis
Kebanyakan pasien dengan episiotomi atau robekan akan sembuh dengan
sangat baik, dengan menghilangnya nyeri 6 minggu setelah persalinan dan bekas
luka yang minimal. Namun dapat terjadi inkontinensia feses dalam jangka pendek
maupun jangka panjang pada 10% pasien dengan ruptur perineum tingkat IV,
walaupun sudah dilakukan penanganan dengan baik. Jika tidak ada komplikasi,
tidak dibutuhkan perawatan dan monitoring dalam jangka waktu lama.3,11,12

20
BAB 3

KESIMPULAN

Ruptur perineum adalah suatu kondisi robeknya perineum pada saat


persalinan pervaginam, dapat terjadi secara spontan maupun akibat episiotomi.
Ruptur perineum spontan terjadi akibat pengeluaran kepala dan bahu janin yang
terlalu cepat atau tidak terkendali. Episiotomi tidak rutin dilakukan karena
memiliki resiko perdarahan, hematoma, infeksi, dan nyeri pasca persalinan.
Indikasi episiotomi dilakukan sesuai kondisi ibu dan janin. Episiotomi dilakukan
apabila kondisi janin letak sungsang, melahirkan dengan tindakan vakum/forceps,
kondisi janin besar, serta pada ibu terjadi peregangan perineum yang berlebihan
terutama pada primipara, persalinan sungsang.
Ruptur perineum dapat dibagi menjadi empat derajat. Pada ruptur derajat 1
tidak dibutuhkan penjahitan. Pada ruptur derajat 2 dibutuhkan penjahitan mulai dari
mukosa vagina, otot-otot perineum, dankulit. Ruptur derajat 3 dan 4 merupakan
indikasi rujukan ke layanan kesehatan sekunder, karena tindakan repair perineum
dengan derajat 3 dan 4 membutuhkan operator yang sudah terlatih. Teknik
menjahit yang tepat dapat mencegah terjadinya komplikasi berupa hematoma. Pasca
tindakan repair perineum, pasien harus di edukasi unutk menjaga kebersihan
perineum untuk mengurangi risiko infeksi.

21
DAFTAR PUSTAKA
1. Djaković I, Ejubović E, Bolanča I, Markuš-Sandrić M, Bečić D, Djaković Ž, et al.
Third and fourth degree perineal tear in four-year period at sestre milosrdnice
University hospital center, Zagreb, Croatia. Open Access Maced J Med Sci.
2018;6(6):1067–71.
2. Bratakoesoema DS, Angsar MD. Perlukaan pada Alat-Alat Genital. In: Anwar M,
Baziad A, Prabowo RP, editors. Ilmu Kandungan. 3th ed. Jakarta: PT Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo; 2014. p. 329–32.
3. Cunningham FG. Laceration And Episiotomy Repairs. In: Cunningham FG, Loveno
KJ, Bloom SL, Dashe JS, Hoffman BL, Casey BM, et al., editors. Williams
Obstetrics. 25th ed. New York: McGraw-Hill Education; 2018. p. 531–3.
4. Mora-Hervás I, Sánchez E, Carmona F, Espuña-Pons M. Perineal trauma in
primiparous women with spontaneous vaginal delivery: Episiotomy or second degree
perineal tear? Int J Women’s Heal Reprod Sci. 2015;3(2):84–8.
5. Netter, F., Machado, C., Hansen, J., Benninger, B. and Brueckner, J., 2014. Atlas of
Human Anatomy. 6th ed. Philadelphia: Elsevier.
6. Cargill YM, MacKinnon CJ. No. 148-Guidelines for Operative Vaginal Birth. J
Obstet Gynaecol Canada. 2018;40(2):e74–80.
7. Xiao L, Shi L, Liu S, Luo Y, Tian J, Zhang L. A core outcome set for clinical trials
of first- and second-degree perineal tears prevention and treatment: a study protocol
for a systematic review and a Delphi survey. Trials. 2021;22(1):1–7.
8. Albar E. Perawatan Luka Jalan Lahir. In: Winkosastro H, Saifuddin AB,
Rachimhadhi T, editors. Ilmu Bedah Kebidanan. 2th ed. Jakarta: PT Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo; 2017. p. 170–80.
9. Gommesen D, Nohr EA, Drue HC, Qvist N, Rasch V. Obstetric perineal tears: risk
factors, wound infection and dehiscence: a prospective cohort study. Arch Gynecol
Obstet. 2019;300(1):67–77.
10. De Leeuw JW, Vierhout ME, Struijk PC, Hop WCJ, Wallenburg HCS. Anal
sphincter damage after vaginal delivery: Functional outcome and risk factors for
fecal incontinence. Acta Obstet Gynecol Scand. 2001;80(9):830–4.
11. Cornet A, Porta O, Piñeiro L, Ferriols E, Gich I, Calaf J. Management of Obstetric
Perineal Tears: Do Obstetrics and Gynaecology Residents Receive Adequate
Training? Results of an Anonymous Survey. Obstet Gynecol Int. 2012;2012:1–7.
12. Thakar R, Sultan AH. Obstetric anal sphincter injury : 7 critical questions about care.
22
Ob&G Manag. 2008;20(02):56–68.
13. Hinshaw K, Arulkumaran S. Malpresentation, Malposition, Cephalopelvic
Disproportion and Obstetric Procedures. In: Edmonds DK, Lees C, Bourne T, editors.
Dewhurst’s Textbook of Obstetrics & Gynaecology. 9th ed. Chichester: Wiley; 2018.
p. 368–70.

23

Anda mungkin juga menyukai