INFEKSI GINEKOLOGI
Oleh:
Preseptor:
Puji dan syukur penulis ucapkan pada Allah karena berkat rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan Clinical Science Session (CSS) yang
berjudul “Infeksi Ginekologi”. Makalah ini disusun untuk menambah pengetahuan
dan wawasan penulis dan pembaca, serta menjadi salah satu ilmiah dalam
mengikuti kepaniteraan klinik di Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas.
Terima kasih penulis ucapkan dr. Mondale Saputra, Sp. OG(K)-FER selaku
preseptor yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam pembuatan makalah
ini. Penulis juga berterima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penulisan makalah ini.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ginekologi berarti ilmu mengenai wanita atau science of woman yaitu
cabang ilmu kedokteran yang khusus mempelajari dan menangani penyakit
sistem reproduksi wanita. Sebanyak 92% perempuan memiliki kelainan ginekologi
dalam bentuk apapun. Kelainan ginekologi disebabkan oleh banyak hal bias
disebabkan oleh kelainan kongenital, infeksi, tumor, trauma, iatrogenic, dan
lainnya. Salah satu kelainan ginekologi yang terbanyak disebabkan oleh infeksi.
Infeksi Ginekologi merupakan salah satu masalah kesehatan dunia dan
masalah kesehatan masyarakat yang serius tetapi tersembunyi. Infeksi alat
reproduksi dapat menurunkan kesuburan, mempengaruhi keadaan umum dan
mengganggu kehidupan seksual. Gejala yang paling sering ditemukan pada penderita
ginekologi adalah keputihan, leukore (white discharge, flour albus) adalah gejala penyakit
yang ditandai oleh keluarnya cairan dari organ reproduksi, yang bukan berupa darah.
Leukore patologis akibat infeksi dapat berupa cairan yang mengandung banyak sel darah
putih dan warnanya kekuning- kuningan sampai hijau, lebih kental. Sementara itu, jaringan
organ yang paling sering terkena infeksi adalah vagina, vulva, serviks, dan uterus.1 Infeksi
saluran reproduksi dapat terjadi secara primer atau ditularkan secara langsung melalui
sexually transmitted disease (STD) atau infeksi menular seksual
Vagina dan serviks semuanya rentan terhadap berbagai patogen dan tergantung
pada jenis epitel dan faktor lainnya pada lingkungan mikro. Epitel skuamosa berlapis pada
vagina dan ektoserviks rentan terhadap infeksi spesies Candida dan Trichomonas vaginalis.
Epitel kolumnar endoserviks rentan terhadap Neisseria gonorrhoeae dan Chlamydia
trachomatis.2 Virus herpes simpleks dapat menginfeksi kedua jenis epitel.1 Infeksi yang
disebabkan oleh organisme ini dapat menyebabkan keputihan. Mengidentifikasi penyebab
spesifiknya dapat menjadi tugas yang menantang karena sejumlah besar patogen
menyebabkan infeksi vagina dan serviks, dan beberapa infeksi dapat terjadi sekaligus.2
2.1 Anatomi
Genitalia Eksterna
Genitalia eksterna terdiri dari:
a. Vulva
1) Mons Pubis
Mons pubis atau mons veneris merupakan bantalan lemak yag
terletak diatas simfisis pubis. Pada wanita yang telah pubertaskulit
mons pubis ditumbuhi rambut. 1
2) Labia Mayor
Labia mayor menyatu dengan mons pubis di superior,
diposterior labia mayor meruncing dan menyatu di daerah perineum
membentuk komisura posterior. Pada permukaan luar labia mayor
ditutupi rambut, sedangkan bagian dalamnya tidak. Dibawah kulit,
terdapat lapisan jaringan ikat padat, tidakada otot, dan kaya akanserat
elastik dan jaringan lemak. Didarahi oleh banyak pleksus vena. 1
3) Labia Minor
Terletak di sebelah medial dari masing-masing labia mayor.
Labia minor meluas ke superior terbagi menjadi dua lamela. Dibagian
bawah menyatu membentuk frenulum klitoris, yang diatas menyatu
membentuk preputium klitoris. Di inferior labia minor meluas sampai
garis tengah membentuk fourchette. Terdiri dari jaringan ikat yang kaya
pembuluh darah, serat elastin, dan beberapa serat otot polos yang
disarafi oleh berbagai ujung saraf dan sangat sensitif. Epitel berlapis
gepengberkeratin menutupi permukaan luar, bagian lateral permukaan
dalam bagian lateral dilapisi epitel gepeng berkeratin sampai batas garis
Hart, sedangkan permukaan dalam bagian medial dilapisi epitel gepeng
yang tidak berkeratin. Sedikit mengandung folikel rambut, kelenjar
ekrin, dan apokrin namun banyak kelenjar sebasea. 1
4) Klitoris
Organ sensitif wanita utama ini merupakan badan erektil yang
terdiri dari glans, korpus, dan dua krura. Glans merupakan bagian yang
kaya persarafan.
Badan klitoris mempunyai dua korpora kavernosa kemudian akan
menyatu dengan korpora spongiosa membentuk komisura di bawah
permukaan ventralnya. 1
5) Vestibulum
Pada wanita dewasa dibatasi oleh garis Hart di sebelah lateral,
permukaan luar hymen disebelah medial, frenulum klitoris dibagian
anterior, dan fourchette di bagian posterior. Pada vestibulum vagina
terdapat enam ostium : uretra, vagina, dua duktus Bartholin, dan dua
duktus Skene. Bagian posterior vestibulum vagina diantara fourchette
dan ostium vagina terdapat fosa navikulare yang biasa terlihat hanya
pada wanita nullipara. 1
7) Ostium uretra
Dua pertiga bawah ureetra terletak tepat diatas dinding anterior
vagina. Ostium terletak di garis tengah vestibulum, 1-1,5 cm di bawah
arkus pubis dan sedikit di atas ostium vagina. 1
8) Kelenjar vestibular
Terdiri dari sepasang kelenjar Bartholin dan sepasang kelenjar skene. 1
Vagina
Vagina merupakan struktur muskulomembranosa berugae yang
memanjang dari vulva ke uterus dan terletak diantara kandung kemih
dan rektum. Di anterior vagina dipisahkan dari traktus urinarius dengan
jaringan ikat yang membentuk septum vesiko-vaginal. Di posterior,
dipisahkan dari traktus gastrointestinal dengan septum rekto-vagina.
Seperempat atas vagina dipisahkan dari rektum oleh cul-de-sac
Douglas. Panjang vagina bervariasi tetapi umunya panjang dinding
anterior dan posterior vagina berturut-turut adalah 6-8 cm an 7-10 cm.
Perineum
Daerah antara tepi bawah vulva dengan tepi anus. Batas-batas
otot daifragma pelvis (m.levator ani, m.coccygeus) dan diafragma
urogenitalis (m.perinealis transversusproffunda, m.constrictor urethra).
Perineal body adalah raphe median m.levator ani, antara anus dan
vagina. Perineum meregang pada persainan, kadang perlu di potong
(episiotomi) untuk memperbesar jalan lahir dan mencegah ruptur. 1
2. Genitalia Interna
a. Uterus
Suatu organ muskular berbentuk seperti buah pir, dilapisi
peritoneum (serosa). Uterus terdiri dari dua bagian utama yaitu bagian
segitiga atas (corpus uteri), dan bagian selindris bawah (serviks).
Isthmus dalah bagian ostium uteri interna yang merupakan bagian
tersempit dan menghubungkaan corpus uteri dengan serviks. Uterus
nulipara berukuran 6-8 cm dengan berat sekitar 50-70 gr dan multipara
berukuran 9-10 cm dengan berat sekitar 80 gr. Pada nulipara panjang
fundus dan serviks sebanding namun pada multipara panjang serviks
hanya sepertiga dari panjang total uterus. Terus terdiri dri tiga lapis
yaitu endometrium, miometrium, dan perimetrium.
Uterus digantung oleh beberapa ligamentum yaitu ligamentum
teres uteri kiri dan kanan, ligamentum latum uteri kiri dan kanan,
ligamentum suspensorium iovarii kiri dan kanan, ligamentum
kardinale, dan ligamentum uterosakralis. Uterus didarahi oleh arteri
uterina (cabang utama aarteri iliaca interna) dan ovarica (cabang
langsung dari aorta). Persarafan uterus terutama dari sistem saraf
simpatik (pleksus iliaka interna, namun sebagian juga berasal dari
sistem serebrospinal dan parasimpatik (S2, S3, dan S4). 1
b. Serviks
Bagian terbawah uterus, terdiri dar pars vaginalis
(berbatasan/menembus dinding dalam vagina) dan pars supravaginais.
Terdiri dari 3 komponen utama : otot polos, jalinan jaringan ikat
(kolagen dan glikosamin) dan elastin. Bagian luar di dalam rongga
vagina yaitu portio serviks dengan lubang ostium uteri eksternum (luar,
arah vagina) dilapisi eptel skuamokolumnar mukosa serviks, dan ostium
uteri internum. Sebelum melahirkan lubng ostium eksternum bulat
kecil, setelah melahirkan berbeentuk garis melintang. Posisi serviks
mengarah ke kaudal- posterior, setinggi spina ischiadica. Kelenjar
mukoserviks menghasilkan lendir getah serviks yang mengandung
glikoprotein kaya karbohidrat (musin) dan larutan berbagai garam,
peptida, dan air. Ketebalan mukosa dan viskositas lendir serviks
dipengaruhi siklus haid.
c. Tuba falopii/Salping
Sepasang tuba kiri-kanan , panjang 8-14 cm berfungsi sebagai
jalan transportasi ovum dariovarium sampai cavum uteri. Dinding tuba
terdiri dari tida lapisan: serosa, muskularis (longutidina dan sirkular),
serta mukosa dengan epitel bersilia. Tuba terdiri dari :Pars isthmica,
Pars ampularis, dan Pars infundibulum. 1
d. Mesosalping
Jaringan ikat penyangga tuba (seperti halnya mesenterium pada
usus).
1
e. Ovarium
Organ endokrin berbentuk oval berbentuk oval, terletak didalam
rongga peritoneum, sepasang kiri-kanan. Dilapisi mesovarium, sebagai
jaringan ikat an jalan pembuluh darah dan saraf. Ovarium terdiri dari
korteks an medula.
Ovarium berfungsi dalam pembentukan dan pematangan folikel
menjadi ovum, siintesis dan sekresi hormon-hormon steroid.
Berhubungan dengan pars
infundibulum tuba falopii melalui perekatan fimbriae menangkap
ovum yang dilepaskan saat ovulasi. Ovarium terfiksir oleh ligamentum
ovarii propium, ligamentum infundibulopelvicum dan jaringan iat
mesovarium. Vaskularisasi dari cabang aorta abdominalis inferior
terhadap arteri renalis. 1
Bakteri ini ada dalam hubungan simbiosis dengan inang dan dapat diubah,
tergantung pada lingkungan mikro. Mereka melokalisasi dimana kebutuhan
kelangsungan hidup mereka terpenuhi dan memiliki pengecualian dari koneksi
yang mencegah kapasitas destruktif dari inang manusia. Namun, pengaruh
kolonisasi bakteri vagina ini masih belum diketahui. Dalam ekosistem vagina ini,
beberapa mikroorganisme menghasilkan zat seperti asam laktat dan hidrogen
peroksida yang menghambat organisme non-pribumi (Marrazzo, 2006). Beberapa
senyawa antibakteri lainnya, yang disebut bakteriosin, memainkan peran yang
sama. Untuk perlindungan dari banyak zat beracun ini, penghambat protease
leukosit sekretorik ditemukan di vagina. protein bakteri melindungi jaringan lokal
terhadap produk inflamasi beracun dan beraksi. Spesies bakteri tertentu yang
biasanya ditemukan di rongga vagina memiliki akses ke saluran reproduksi bagian
atas. 5
perubahan karakteristik dari lendir vagina diantaranya keputihan yang tipis dan
berbau namun wanita yang mengidap Bakterial vaginosis (BV) kadang–kadang
tidak menunjukkan gejala. 7
Epidemiologi
Prevalensi dan distribusi Bakterial Vaginosis bervariasi, prevalensi
BVtinggi pada populasi ras seluruh populasi dunia. Beberapa Afrika, Afro-
Amerika, dan Afro-Karibia. Prevalensi BV didapatkan sebesar 32% di antara
wanita Asia berdasarkan penelitian. India dan Indonesia. Pujiastuti di poli IMS
RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode 2007-2011 didapatkan 35 pasien baru BV,
yang merupakan 0,71% dari jumlah kunjungan pasien Divisi IMS dan 0,1% dari
jumlah kunjungan pasien baru URJ Penyakit Kulit dan Kelamin. Kelompok usia
terbanyak didapatkan pada kelompok usia 25-44 tahun sebanyak 74,3% 9
Etiologi
Menurut Muvunyi dan Hernandez, bakteri penyebab terjadinya Bacterial
vaginosis (BV) antara lain; Gardnella vaginalis, Ureaplasma urealythicum,
Mycoplasma hominis, Mobilunces spp, Prevotella bivia, Peptostreptoccocus,
Ureaplasma urealyticum. Bakteri tersebut akan senang tumbuh apabila keadaan
vulva mempunyai kelembaban yang tinggi yang bersifat menekan pertumbuhan
Lactobacillus yang berperan untuk keseimbangan flora normal vagina. Banyak
faktor yang dapat menyebabkan terganggunya keseimbangan normal flora vagina
diantaranya adalah: 1) Teknik cebok yang salah yaitu cebok dari arah belakang ke
depan. ;2) Kurang menjaga kebersihan vagina pada saat menstruasi ; 3)Penggunaan
serta frekwensi ganti celana dalam sehari. ;4) Kebersihan vulva setelah melakukan
hubungan sexual; 5) Penggunaan deodoran yang dapat merusak kelembaban
vagina; 6) Penggunaan larutan kimia pembersih vagina yang terlalu sering untuk
cebok.8
Patofisiologi
Bacterial vaginosis (BV) disebabkan oleh faktor-faktor yang mengubah
lingkungan asam normal di vagina menjadi keadaan basa yang mendorong
pertumbuhan berlebihan bakteri-bakteri penghasil basa. Ketika konsentrasi
Lactobacilli yang merupakan flora normal vagina jumlahnya menurun, bakteri ini
jumlahnya dapat meningkat berlebihan sehingga menjadi spesies dominan di
lingkungan vagina yang dapat bersifat patogenik 11
Faktor-faktor yang dapat
mengubah pH (asam basa keseimbangan) melalui efek alkalinisasi antara lain
adalah mucus serviks, semen, darah haid, mencuci vagina (douching), pemakaian
antibiotik, dan perubahan hormon saat hamil dan menopause. Faktor-faktor ini
memungkinkan terjadinya peningkatan pertumbuhan Gardnerella vaginalis,
Mucoplasma hominis, dan bakteri anaerob. faktor risiko lain yang telah dikaitkan
dengan Bacterial Vaginosis (BV) termasuk memiliki beberapa pasangan seks,
pasangan seks pria baru, seks dengan sesama jenis, hubungan seksual pertama pada
usia dini , sering douching vagina, Penggunaan benda asing vagina atau sabun
wangi, merokok dan kurangnya vagina lactobacilli. 12
Flora vagina wanita tanpa Bacterial Vaginosis (BV) biasanya terdiri dari
kuman gram-batang positif, dengan dominasi oleh Lactobacillus crispalus,
Lactobacillus jensenii dan Lactobacillus iners. Menurut Sobel Pada Bacterial
14 15
Manifestasi Klinis
Bakterial Vaginosis (BV) adalah suatu kondisi abnormal perubahan
ekologivagina yang ditandai dengan pergeseran keseimbangan flora vagina
dimanadominasi Lactobacillus digantikan oleh bakteri-bakteri anaerob,
diantaranyaGardnerella vaginalis, Mobiluncus, Prevotella, Bacteroides, dan
Mycoplasma sp. Infeksi bakteri ini disebabkan oleh ketidak seimbangan bakteri
17
dikeluarkan pada Bacterial vaginosis (BV) dapat normal atau berlebihan sehingga
keputihan yang terjadi pada seorang wanita harus diperiksa lebih lanjut. Cairan
vagina pada Bacterial vaginosis (BV) biasanya encer berbau amis serta berwarna
keabu-abuan dan umumnya keluar pasca senggama. Bacterial vaginosis (BV) juga
ditandai dengan peningkatan PH (asam basa keseimbangan) yang lebih dari 4,5
yang dapat menyebabkan penurunan jumlah Lactobacillus. 20
Diagnosis
Diagnosis Vaginosis bakterial ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan mikroskopis. Anamnesis menggambarkan
riwayat sekresi vagina terus-menerus dengan bau yang tidak sedap. Kadang-
kadang penderita mengeluh iritasi pada vagina disertai disuria/dispareunia, atau
nyeri abdomen. Pada pemeriksaan inspekulo dapat ditemukan sekret vagina yang
berwarna putih atau abu-abu yang melekat pada dinding vagina. 21
Kriteria Amsel
Secara klinik menurut Amsel, diagnosis bakterial ditegakkan bila terdapat tiga dari
empat kriteria berikut,yaitu:
21
- adanya sel clue pada pemeriksaan mikroskopik dari sediaan basah adanya
bau amis, setelah penetesaan KOH 10% pada cairan vagina,
- duh yang homogen, kental, tipis, dan berwarna seperti susu;
- pH vagina > 4.5 yang diperiksa dengan menggunakan phenaphthazine paper
(nitrazine paper).
Dari keempat kriteria tersebut, yang paling baik untuk menegakkan
diagnosis vaginosis bakterial adalah pemeriksaan basah untuk mencari adanya clue
cell (sel epitelvagina yang diliputi oleh coccobacillus yang padat) dan adanya bau
amis pada penetesan KOH 10%. 21
Komplikasi
Banyak komplikasi yang ditimbulkan oleh Bacterial Vaginosis (BV),
Bacterial Vaginosis (BV) diantaranya adalah peningkatan resiko terhadap infeksi
saluran genitalia termasuk infeksi yang disebabkan oleh Chlamydia trachomatis,
Neisseria gonorrhoeae, HSV-1 and -2 dan peningkatan terhadap resiko penularan
human immunodeficiency virus (HIV) dan kelahiran premature. 22
2.4.2 Trikomoniasis
Definisi
Dikenal tiga spesies penyebab trikomoniasis pada manusia yaitu Trichomonas
vaginalis, Trichomonas tenax, dan Trichomonas hominis. Trichomonas vaginalis
merupakan spesies yang patogen pada manusia dan menyebabkan trikomoniasis
vagina. 27,28
Trichomonas vaginalis merupakan protozoa pada traktus urogenitalis
penyebab penyakit menular seksual. 29
Berdasarkan laporan WHO pada tahun 2005, diperkirakan terdapat 248.5 juta
kasus trikomoniasis vagina. Pada tahun 2008 terjadi peningkatan sebesar 11,2 %
yaitu sebesar 276.4 juta kasus. Diperkirakan 2.8% infeksi banyak terjadi pada
27
Beberapa penelitian mengenai penyakit menular seksual dan perilaku juga telah
dilakukan di beberapa propinsi di Indonesia, sekitar 10-15% terinfeksi oleh
Chlamydia dan Trichomonas. Penelitian di Bitung pada tahun 2003 melaporkan
bahwa prevalensi trikomoniasis sebesar 20% pada wanita penjaja seks (WPS) dan
16% pada WPS jalanan. Gejala trikomoniasis pada laki–laki dapat berupa
28
urethritis, epididimitis, dan prostatitis, namun sering tidak khas atau asimptomatik
pada laki–laki. Sedangkan pada perempuan, gejala dapat berupa vaginitis dan
servisitis. Infeksi oleh Trichomonas vaginalis juga dapat menyebabkan kelahiran
29
menempel pada epitel vagina. Selain itu T. vaginalis juga dapat memodulasi
antigen permukaan melalui variasi antigen sehingga tidak dikenali oleh sistem
imun. 30
keputihan berwarna hijau kekuningan, berbusa, gatal pada vulva, nyeri pada saat
buang air kecil, nyeri pada saat berhubungan seksual, dan lesi berupa bintik– bintik
perdarahan pada servix atau disebut “strawberry cervix”. 1,5,15
Gejala klinis pada laki–
laki yang terinfeksi juga bervariasi dari asimptomatik sampai uretritis dan nyeri
pada saat buang air kecil. Tetapi penegakan diagnosis tidak dapat dilakukan hanya
berdasarkan gejala klinis karena beberapa gejala juga mirip dengan penyakit
Sexually Transmitted Diseases (STD) lainnya. Studi yang dilakukan pada beberapa
penderita STD menunjukkan gejala yang asimptomatik pada 25% perempuan dan
40-75% pada laki–laki yang terinfeksi. Oleh karena infeksi trikomoniasis tidak
5
dikarenakan bila jumlah parasit hanya sedikit atau lebih rendah dari 10 parasit/mL,
4
maka parasit tidak tampak. Pemeriksaan pap smear merupakan pemeriksaan yang
3,15
Komplikasi
Baru-baru ini penelitian telah menunjukkan hubungan antara infeksi
T.Vaginalis dan komplikasi T.vaginalis pada kehamilan seperti kelahiran prematur,
berat badan lahir rendah pada bayi baru lahir, radang panggul. Trichomonas
Vaginalis juga telah dikaitkan dengan peningkatan risiko penularan HIV pada laki-
laki Non-gonococcal Uretritis (NGU). Trikomoniasis mungkin merupakan
penyebab penting uretritis non-gonococcal. Sebuah penelitian menemukan bahwa
pada pria dengan NGU, terdapat 19,9% yang terinfeksi Trichomonas. 24
Prognosis
Prognosis yang sangat baik dengan resolusi infeksi yang terbentuk setelah
pengobatan yang tepat. Pengobatan pasangan seksual penting untuk menghindari
infeksi ulang. Infeksi yang tidak diobati dapat bertahan hingga 5 tahun. 28
Epidemiologi
Wanita biasanya dapat mengalami infeksi sedikitnya satu episode
kandidiasis vulvovaginal selama hidupnya sekitar 75-80% dan diperkirakan
40- 50% mengalami infeksi ulangan. 27
albicans antara lain seperti kondisi imunosupresi atau sakit berat, prematuritas,
penggunaan antibiotik spektrum luas, dan penggunaan obat antijamur secara
empiris dan tidak tepat.
Faktor risiko terkait host seperti: 25,28
• Kehamilan
Prevalensi pada wanita hamil sekitar 30%, terutama pada trimester
kedua dan ketiga dengan gejala simptomatik maupun asimptomatik.
Peningkatan risiko pada kehamilan disebabkan oleh faktor yang
berhubungan dengan kehamilan, seperti perubahan imunologis,
peningkatan kadar hormon reproduksi dan peningkatan produksi glikogen.
• Kontrasepsi oral
Penggunaan pil kontrasepsi oral juga dapat menjadi faktor risiko.
Beberapa penelitian melaporkan efek hormonal pada kehamilan sama
dengan pemakaian pil kontrasepsi oral, terutama yang mengandung dosis
hormonal tinggi. Penggunaan pil kontrasepsi oral dapat meningkatkan
glikogen vagina sehingga terjadi peningkatan ketersediaan nutrisi
karbohidrat yang mendukung pertumbuhan Candida serta dapat
meningkatkan adhesi Candida ke epitel vagina.
• Diabetes Mellitus yang tidak terkontrol
• Imunosupresi
Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), kemoterapi kanker,
terapi glukokortikoid, transplantasi organ, kanker, diabetes melitus,
tuberkulosis dan penyakit kronis lainnya dapat menjadi faktor risiko.
• Penggunaan antibiotika
Penyebab yang paling sering adalah antibiotika spektrum luas seperti
tetrasiklin,ampisilin, dan sefalosporin. Antibiotika menyebabkan
penipisan mikroflora bakteri vagina sebagai mekanisme pertahanan vagina
yang dominan terhadap Candida.
• Glukokortikoid serta predisposisi genetik.
• Faktor risiko perilaku lain seperti higien dan pakaian.
Pakaian ketat dapat menyebabkan peningkatan kelembapan perineum
dan suhu yang dapat berkontribusi terhadap proliferasi Candida. Pakaian
dalam sintetis dapat menyebabkan reaksi alergi dan hipersensitivitas lokal
serta mengubah lingkungan vagina. 34
Patogenesis
Terdapat dua faktor virulensi jamur kandida yaitu dinding sel dan sifat
dismorfik kandida. Dinding sel berperan penting dalam virulensi karena merupakan
bagian yang berinteraksi langsung dengan sel pejamu. Dinding sel kandida
mengandung 80-90% karbohidrat, yang terdiri dari b-glukan, khitin, mannoprotein,
6-25% protein dan 1-7% lemak. Salah satu komponen dinding sel yaitu
mannoprotein mempunyai sifat imunosupresif sehingga mempertinggi pertahanan
jamur terhadap imunitas pejamu.
Kandida tidak hanya menempel, namun juga penetrasi ke dalam mukosa.
Enzim proteinase aspartil membantu kandida pada tahap awal invasi jaringan untuk
menembus lapisan mukokutan yang berkeratin. Faktor virulensi lain berupa sifat
dismorfik kandida yaitu kemampuan kandida berubah bentuk menjadi pseudohifa.
Bentuk utama kandida adalah bentuk ragi (spora) dan bentuk pseudohifa (hifa,
miselium, filamen). Dalam keadaan patogen bentuk hifa mempunyai virulensi lebih
tinggi dibandingkan bentuk spora karena ukurannya lebih besar dan lebih sulit
difagositosis oleh sel makrofag. Kandida bersifat parasit akan menginvasi sel
pejamu dengan cara imunomodulasi dan adhesi. Rangsangan untuk meningkatkan
atau menurunkan reaksi imun pejamu. Zat seperti khitin, glukan, dan mannoprotein
adalah kandungan yang terdapat dalam dinding sel yang berperan dalam proses
imunomodulasi. Respon imunomodulasi membuat diproduksinya sejumlah protein
(heat shock protein (hsp) yang berperan dalam proses perangsangan respon imun
dan proses pertumbuhan kandida. Adhesi merupakan langkah awal untuk terjadinya
kolonisasi. Dengan adhesi, kandida melekat pada sel pejamu melalui interaksi
hidrofobik. Hal ini menurunkan kadar pembersihan jamur dari tubuh melalui
regulasi imun normal. Ketika Candida albicans penetrasi ke permukaan mukosa
pejamu terjadi perubahan bentuk jamur dari spora ke pseudohifa sehingga
membantu jamur menginvasi jaringan perjamu melalui pelepasan beberapa enzim
degradatif seperti berbagai proteinase, proteinase aspartil dan fosfolipase.
Koloni jamur tumbuh secara aktif menjadi miselia dan umumnya ditemukan
dalam keadaan patogenik. Jika kondisi memungkinkan, proses penyakti diduga
dimulai dari perlekatan sel Candida pada epitel vagina dan selanjutnya menjadi
bentuk miselia. Hifa Candida kemudian tumbuh dan berkolonisasi pada permukaan
vagina. Percobaan in vitro menunjukkan proses perlekatan ini, hifa yang tumbuh
dan berkolonisasi lebih tinggi oleh adanya perubahan estrogen. 35
Gambaran Klinis
Keluhan Kandidiasis vulvovaginal biasanya memiliki gejala pada
vagina yang berhubungan dengan peradangan yaitu: 36
Diagnosa
1. Sesuai gejala klinis.
2. Pada pemeriksaan tampak mukosa vagina kemerahan dan pembengkakan
labia dan vulva sering disertai pustulopapular di sekeliling lesi.
Kadang-kadang dijumpai gambaran khas berupa vaginal trush yaitu
bercak putih terdiri atas gumpalan jamur, jaringan nekrosis sel epitel yang
menempel pada dinding vagina. Rasa sakit di daerah vagina, iritasi, rasa
panas, dispareuni dan sakit bila buang air kecil adalah gejala sering yang
biasa ditemukan. Sekret berwarna putih seperti krim susu/keju atau kuning
tebal, tetapi dapat juga cair seperti air atau tebal homogen, bau minimal
dan tidak mengganggu, ekskoriasi atau ulkus, serviks biasanya normal,
dapat sedikit eritema disertai sekret putih yang menempel pada
dindingnya. 29
3. Pemeriksaan laboratorium
Mikroskopis: Deteksi sel-sel ragi atau hifa dengan pewarnaan gram dari
hapusan vagina dan hapusan serviks papaniculau juga sensitif untuk mendeteksi
adanya infeksi pada vagina. Hapusan vagina yang diambil diberi larutan KOH
10-20% dan dipulas dengan pewarnaan Gram. Dengan pemeriksaan langsung
terlihat sel budding yang khas, pseudohifa dan kadang-kadang hifa sejati. 29
Gambar 2.8 C. albicans pada pulasan sediaan basah dari spesimen sekret
vagina pasien candidiasis vagina
Tatalaksana
Berikut ini adalah yang penting dilakukan dalam pengobatan
kandidosis vulvovaginitis. 39
Komplikasi
Kandida dapat dibawa oleh aliran darah ke banyak organ termasuk selaput
otak, tetapi biasanya tidak dapat menetap di sini dan menyebabkan abses-abses
milier kecuali bila inang lemah. Penyebaran dan sepsis dapat terjadi pada penderita
dengan imunitas seluler yang lemah, misalnya mereka yang menerima kemoterapi
kanker atau penderita limfoma, AIDS, atau keadaan-keadaan lain. 38
spontan, chorioamnionitis, dan beberapa infeksi yang dapat diderita bayi pada saat
persalinan. Neonatus prematur mudah terinfeksi jamur dikarenakan sistem imun
yang belum matang. Selama persalinan, transmisi dapat terjadi melalui vagina ibu
40
yang telah terinfeksi dengan bayi yang baru lahir dan meningkatkan resiko kejadian
infeksi kandida kongenital. Bayi dengan oral thrush yang mendapatkan air susu
41
ibu (ASI) dapat meningkatkan risiko kandidiasis pada puting susu ibu tersebut. 42
Prognosis
Prognosis dari kelainan ini adalah baik , dengan perawatan yang teliti dan
rutin karena penyakit jamur termasuk penyakit yang sulit untuk disembuhkan,
karena itu membutuhkan ketelatenan dan pengobatan yang relatif cukup lama untuk
menyembuhkan penyakit ini secara tuntas. Rekurensi bisa terjadi disebabkan durasi
pengobatan yang tidak tepat, rekontaminasi atau strain yang resisten. 43,44
Epidemiologi
Data internasional
CDC memperkirakan bahwa ada empat juta infeksi klamidia pada tahun
2018. Infeksi klamidia adalah penyakit menular yang paling sering dilaporkan
di Amerika Serikat, dan prevalensinya tertinggi pada orang berusia 15-24
tahun. Insiden tahunan infeksi genital C trachomatis diperkirakan 2,86 juta
kasus di Amerika Serikat pada tahun 2008, yang meningkat menjadi empat juta
pada tahun 2018. 47
Etiologi
N gonorrhoeae adalah gram negatif, intraseluler, diplococcus aerobik;
lebih khusus, itu adalah bentuk diplococcus yang dikenal sebagai gonococcus.
N gonorrhoeae disebarkan melalui kontak seksual atau melalui transmisi
vertikal saat melahirkan. Ini terutama mempengaruhi epitel kolumnar atau
kuboid inang. Hampir semua selaput lendir dapat terinfeksi oleh
mikroorganisme ini. Ektopi fisiologis dari sambungan skuamokolumnar ke
ektoserviks pada wanita remaja merupakan salah satu faktor yang menyebabkan
kerentanan khusus terhadap infeksi ini.
Banyak faktor yang mempengaruhi cara gonokokus memediasi virulensi
dan patogenisitasnya. Pili membantu dalam perlekatan gonokokus ke
permukaan mukosa dan berkontribusi terhadap resistensi dengan mencegah
konsumsi dan penghancuran oleh neutrofil. Protein terkait opasitas (Opa)
meningkatkan kepatuhan antara gonokokus dan fagosit, mendorong invasi ke
sel inang, dan mungkin menurunkan regulasi respons imun.
Saluran porin (porA, porB) di membran luar memainkan peran kunci
dalam virulensi. Strain gonokokal dengan porA mungkin memiliki resistensi
yang melekat pada serum manusia normal dan peningkatan kemampuan untuk
menyerang sel epitel, menjelaskan hubungannya dengan bakteremia.
Plasmid didapat tertentu dan mutasi genetik meningkatkan virulensi.
TEM-1-jenis beta-laktamase (penicillinase) mempengaruhi pengikatan
penisilin dan pompa penghabisan dan memberikan resistensi terhadap penisilin.
TetM melindungi ribosom dan memberikan resistensi terhadap tetrasiklin.
Perubahan pada gen gyrA dan parC menghasilkan resistensi fluorokuinolon
dengan aktivasi penghabisan dan penurunan permeasi sel antibiotik. 50
Gonococci menempel pada sel mukosa inang (protein pili dan Opa
memainkan peran utama) dan, dalam 24-48 jam, menembus melalui dan di
antara sel-sel ke dalam ruang subepitel. Respon host yang khas ditandai dengan
invasi dengan neutrofil, diikuti oleh pengelupasan epitel, pembentukan
mikroabses submukosa, dan sekret purulen. Jika tidak diobati, infiltrasi
makrofag dan limfosit menggantikan neutrofil. Beberapa galur gonokokal
menyebabkan infeksi tanpa gejala, yang mengarah ke keadaan pembawa
asimtomatik pada orang-orang dari kedua jenis kelamin.
Kemampuan untuk tumbuh secara anaerobik memungkinkan
gonokokus, ketika bercampur dengan darah menstruasi yang direfluks atau
menempel pada sperma, untuk menginvasi sekunder struktur genital bawah
(vagina dan serviks) dan berkembang ke organ genital bagian atas
(endometrium, salpinx, ovarium).
Infeksi menular seksual
Infeksi gonokokal biasanya mengikuti inokulasi mukosa selama kontak
seksual vaginal, anal, atau oral. Ini juga dapat disebabkan oleh inokulasi
mukosa oleh jari atau benda lain yang terkontaminasi. Penularan melalui
kontak penis-rektal terbilang efisien
Risiko penularan N gonorrhoeae dari wanita yang terinfeksi ke uretra
pasangan prianya adalah sekitar 20% per episode hubungan seksual dan
meningkat menjadi 60-80% setelah 4 atau lebih paparan. Sebaliknya, risiko
penularan dari pria ke wanita mendekati 50-70% per kontak, dengan sedikit
bukti peningkatan risiko dengan lebih banyak paparan seksual.
Orang yang melakukan hubungan seksual tanpa pelindung dengan
pasangan baru cukup sering untuk mempertahankan infeksi dalam suatu
komunitas didefinisikan sebagai pemancar inti.
Patofisiologi
Patofisiologi N gonorrhoeae dan virulensi relatif dari subtipe yang
berbeda tergantung pada karakteristik antigenik dari protein permukaan
masing-masing. Subtipe tertentu mampu menghindari respon imun serum dan
lebih mungkin menyebabkan infeksi diseminata (sistemik).
Plasmid yang dicirikan dengan baik biasanya membawa gen resisten
antibiotik, terutama penisilinase. Gen plasmid dan nonplasmid ditransmisikan
secara bebas antara subtipe yang berbeda. Pertukaran berikutnya dari gen
protein permukaan menghasilkan kerentanan inang yang tinggi terhadap
infeksi ulang. Pertukaran gen resistensi antibiotik telah menyebabkan tingkat
resistensi yang sangat tinggi terhadap antibiotik beta-laktam. Resistensi
fluoroquinolone juga telah didokumentasikan di beberapa benua dan populasi
luas di Amerika Serikat.
Infeksi saluran genital bawah, presentasi klinis yang paling umum,
terutama bermanifestasi sebagai uretritis pria dan endocervicitis wanita. Infeksi
faring, rektum, dan uretra wanita sering terjadi tetapi lebih cenderung tanpa
gejala atau gejala minimal. Penyebaran retrograde organisme terjadi pada
sebanyak 20% wanita dengan servisitis, sering mengakibatkan penyakit radang
panggul (PID), dengan salpingitis, endometritis, dan/atau abses tubo-ovarium.
Penyebaran retrograde dapat menyebabkan peritonitis abdomen yang nyata dan
perihepatitis yang dikenal sebagai sindrom Fitz-Hugh-Curtis.
Sekuele jangka panjang dari PID, seperti infertilitas faktor tuba,
kehamilan ektopik, dan nyeri kronis, dapat terjadi pada hingga 25% pasien
yang terkena. Epididimitis atau epididimo-orkitis dapat terjadi pada pria
setelah uretritis gonokokal. Infeksi genital bagian bawah merupakan faktor
risiko adanya penyakit menular seksual (PMS) lainnya, termasuk human
immunodeficiency virus (HIV).
Konjungtivitis dapat terjadi pada orang dewasa, serta anak-anak,
mengikuti inokulasi langsung organisme (biasanya sebagai akibat dari
inokulasi tangan-mata pada orang dewasa) dan dapat menyebabkan kebutaan.
Infeksi gonokokal diseminata
Infeksi gonokokal diseminata (DGI) terjadi setelah sekitar 1% infeksi
genital. Pasien dengan DGI dapat datang dengan gejala ruam, demam, artralgia,
poliartritis migrasi, artritis septik, tendonitis, tenosinovitis, endokarditis, atau
meningitis.
Organisme N gonorrhoeae menyebar dari situs utama, seperti
endoserviks, uretra, faring, atau rektum, dan menyebar ke darah untuk
menginfeksi organ akhir lainnya. Biasanya, banyak tempat, seperti kulit dan
persendian, terinfeksi. Organisme neisserial menyebar ke darah karena
berbagai faktor predisposisi, seperti perubahan fisiologis inang, faktor virulensi
organisme itu sendiri, dan kegagalan pertahanan imun inang. Misalnya,
perubahan pH vagina yang terjadi selama menstruasi dan kehamilan serta masa
nifas membuat lingkungan vagina lebih cocok untuk pertumbuhan organisme
dan memberikan peningkatan akses ke aliran darah. (Tiga perempat dari kasus
DGI terjadi pada wanita; kerentanan meningkat jika infeksi mukosa primer
terjadi selama menstruasi atau kehamilan.)
Cacat pada pertahanan kekebalan inang juga terlibat dalam
patofisiologi, dengan pasien tertentu lebih mungkin untuk mengembangkan
bakteremia. Secara khusus, pasien dengan defisiensi komponen komplemen
terminal kurang mampu melawan infeksi, karena komplemen memainkan
peran penting dalam membunuh organisme neisserial. Sebanyak 13% pasien
dengan DGI mengalami defisiensi komplemen.
Sebuah penelitian terhadap 22 pasien dengan DGI mengungkapkan
bahwa aktivitas komplemen serum total lebih besar dari 25% di bawah rata-
rata normal. Penyebab lain dari immunocompromise (misalnya, HIV, SLE)
juga merupakan predisposisi penyebaran infeksi. Selain itu, jenis gonore
tertentu yang menyebabkan infeksi genital asimtomatik terlihat berhubungan
dengan DGI.
Diagnosis
Masa inkubasi gonore biasanya 2-7 hari setelah terpapar pasangan yang
terinfeksi. Pada semua pasien yang datang dengan kemungkinan PMS,
anamnesis harus mencakup hal-hal berikut:
- Riwayat PMS sebelumnya (termasuk infeksi HIV dan hepatitis virus
- Riwayat pengobatan untuk PMS yang diketahui
- Gejala PMS yang diketahui pada pasangan seksual saat ini atau di masa
lalu
- Jenis kontrasepsi yang digunakan
- Setiap riwayat kekerasan seksual
- Pada wanita, riwayat juga harus mencakup tanggal periode menstruasi
terakhir dan rincian paritas, termasuk riwayat kehamilan ektopik.
Tatalaksana
Rekomendasi CDC atau terapi dosis tunggal untuk operasi serviks,
uretra, atau rektal tanpa komplikasi diuraikan dalam Tabel. 2
2.5 Ulkus Genital
2.5.1 Infeksi Herpes Simpleks Virus
Herpes Simpleks Virus adalah penyakit ulkus genital yang paling umum
dan merupakan infeksi virus kronis. Virus memasuki ujung saraf sensorik dan
mengalami transpor aksonal retrograde ke ganglion akar dorsal, di mana virus
berkembang dengan latensi yang sedikit. Reaktivasi spontan oleh berbagai
peristiwa menghasilkan transpor anterograde partikel/protein virus ke
permukaan. Di sini virus dilepaskan, tanpa atau tanpa pembentukan lesi.
Dipostulatkan bahwa mekanisme imun mengontrol latensi dan reaktivasi. 2
Ada dua jenis virus herpes simpleks, HSV-1 dan H SV-2. tipe 1 H SV
adalah penyebab paling sering dari lesi oral. tipe 2 HSV lebih sering ditemukan
pada lesi genital, meskipun kedua tipe tersebut dapat menyebabkan herpes
genital. Diperkirakan bahwa o wanita Amerika berusia 14 hingga 49 tahun, 21
persen pernah menderita HSV-2 genital, dan 60 persen wanita seropositif
terhadap HSV-1 (Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit, 2010; Xu,
2006). Kebanyakan wanita yang pernah terkena HSV-2 tidak memiliki
diagnosis ini karena operasi yang ringan atau tidak dikenali. Pada pasien yang
terinfeksi dapat menularkan virus saat tidak menunjukkan gejala, dan sebagian
besar infeksi ditularkan secara seksual oleh pasien yang tidak menyadarinya.
Sebagian besar (65 persen) yang aktif adalah perempuan. 2
Gejala
Gejala pasien pada manifestasi awal akan tergantung terutama pada
apakah pasien selama episode saat ini memiliki antibodi dari paparan
sebelumnya atau tidak. Saya seorang pasien tidak memiliki antibodi, tingkat
serangan pada orang yang terpapar mendekati 70 persen. Masa inkubasi rata-
rata adalah sekitar 1 minggu. Sampai 90 persen dari mereka yang bergejala
dengan awal mereka eksi akan memiliki episode lain dalam waktu satu tahun.
Virus ini menyerang sel-sel epidermis yang hidup, responsnya adalah
eritema dan ormasi papula. Dengan kematian sel dan lisis dinding sel, terbentuk
lepuh yang terlihat pada gambar. Penutupan kemudian mengganggu,
meninggalkan ulkus yang biasanya nyeri. Lesi ini berkembang menjadi
pengerasan kulit dan sembuh, tetapi dapat menjadi infeksi sekunder. Tiga tahap
lesi adalah: (1) vesikel dengan atau tanpa pustula, yang berlangsung kira-kira
seminggu; (2) ulserasi; dan (3) pengerasan kulit. Virus dapat ditumpahkan
selama dua fase pertama wabah menular.
Rasa terbakar dan nyeri hebat menyertai lesi vesikular awal. Dengan
ulkus, frekuensi berkemih dan/atau disuria langsung Rasa terbakar dan nyeri
hebat menyertai lesi vesikular awal. Dengan borok, frekuensi buang air kecil
dan/atau disuria akibat kontak langsung urin dengan borok dapat menjadi
keluhan. Pembengkakan lokal dapat menyebabkan lesi pada vulva dan
menyebabkan obstruksi uretra. Sebagai alternatif atau tambahan, lesi herpes
dapat melibatkan vagina, leher rahim, kandung kemih, anus, dan rektum.
Umumnya, seorang wanita memiliki tanda-tanda lain o viremia seperti derajat
rendah pernah, sakit kepala, malaise, dan mialgia.
Viral load tidak diragukan lagi berkontribusi pada jumlah, ukuran, dan
distribusi lesi. Mekanisme kepadatan pejamu yang normal menghambat
pertumbuhan virus, dan penyembuhan dimulai dalam 1 sampai 2 hari.
Pengobatan dini dengan obat antivirus menurunkan viral load. Pasien dengan
defisiensi imun mengalami peningkatan kerentanan tetapi menunjukkan
respons yang berkurang dan penyembuhan yang tertunda.
Untuk pasien yang sebelumnya tidak terinfeksi, stadium vesikular lebih
lama. Periode pembentukan lesi baru dan waktu penyembuhan keduanya lebih
lama. Nyeri menetap atau 7 sampai 10 hari pertama, dan penyembuhan lesi
membutuhkan 2 sampai 3 minggu. Saya seorang pasien telah memiliki paparan
HSV-2 sebelumnya, episode awal secara signifikan kurang parah, dengan durasi
nyeri dan nyeri yang lebih pendek, dan waktu penyembuhan sekitar 2 minggu.
Virus ditumpahkan biasanya hanya selama minggu pertama.
Kekambuhan setelah HSV-2 sering terjadi, dan hampir dua pertiga
pasien memiliki prodromal sebelum onset lesi. Heralding parestesia sering
digambarkan sebagai pruritus atau kesemutan di area sebelum pembentukan
lesi. Namun, gejala prodromal dapat berkembang tanpa pembentukan lesi yang
sebenarnya. Manifestasi klinis atau wanita dengan kekambuhan lebih terbatas,
dengan gejala hanya 1 minggu atau kurang. 2
Diagnosa
Standar emas atau diagnosis herpes genital adalah kultur jaringan,
spesifik tinggi, tetapi sensitivitasnya rendah dan menurun saat lesi sembuh.
Pada penyakit rekuren, kurang dari 50 persen kultur positif. Pengujian reaksi
berantai polimerase (PCR) dari eksudat yang diseka dari ulkus berkali-kali lebih
sensitif daripada kultur dan mungkin akan menggantikannya. Yang penting,
hasil kultur negatif tidak berarti tidak ada herpetik di eksi.
Tes serologis juga dapat menambah kejelasan. Virus herpes simpleks
dikelilingi oleh glikoprotein amplop, dan di antara ini, glikoprotein G adalah
antigen atau penapisan antibodi.
Pemeriksaan serologis dapat mendeteksi antibodi yang spesifik terhadap
glikoprotein G2 (HSV-2) dan glikoprotein G1 (HSV-1) dan glikoprotein G1
(HSV-1). Spesifik pengujian adalah 96 persen, dan sensitivitas pengujian
antibodi HSV-2 berkisar antara 80 hingga 98 persen. Yang penting, dengan
skrining serologi, hanya tes antibodi IgG yang dipesan. Pengujian IgM dapat
menyebabkan hasil yang ambigu karena tes IgM tidak spesifik untuk tipe
tertentu dan juga mungkin positif selama wabah berulang. Meskipun tes ini
dapat digunakan untuk mengkonfirmasi infeksi herpes simpleks, serokonversi
setelah HSV-2 awal pada infeksi memakan waktu sekitar 3 minggu. Jadi, dalam
kasus yang jelas secara klinis, pengobatan segera dan skrining SD tambahan
dapat dimulai setelah pemeriksaan fisik saja. Secara umum, skrining SD wanita
yang sehat D biasanya mencakup pengujian yang ditujukan untuk
mengidentifikasi sifilis, gonore, trikomoniasis, dan infeksi HIV, klamidia, dan
hepatitis B.
Skrining serologis atau HSV pada populasi umum tidak dianjurkan.
Namun, tes serologi HSV dapat dipertimbangkan atau individu yang terinfeksi
HIV atau atau wanita yang hadir atau evaluasi SD, terutama atau mereka yang
memiliki banyak pasangan dan atau mereka yang berada dalam demografi
dengan prevalensi tinggi (Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit, 2015).
Ini juga dapat menambah manajemen dalam ormasi atau pemikiran pasangan
tetapi tidak dikonfirmasi menjadi sumbang atau dalam tindakan (American
College o Obstetricians and Gynecologists, 2014b).
Tatalaksana
Manajemen klinis adalah dengan terapi antivirus yang tersedia saat ini.
Analgesia dengan obat anti inflamasi nonsteroid atau narkotik ringan seperti
asetaminofen dengan kodein dapat diresepkan. Selain itu, anestesi topikal
seperti salep lidokain dapat meredakan. Perawatan lokal untuk mencegah
infeksi bakteri sekunder adalah penting.
Edukasi pasien adalah wajib, dan topik khusus mencakup riwayat
penyakit, penularan seksualnya, metode untuk mengurangi penularan, dan
konsekuensi obstetrik. Khususnya, HSV dapat ditularkan ke neonatus selama
persalinan pervaginam melalui persalinan.
Terapi antivirus yang tersedia saat ini termasuk asiklovir (Zovirax),
amsiklovir (Famvir), dan valacyclovir (Valtrex). Regimen obat oral yang
direkomendasikan CDC tercantum dalam Tabel 3-4. Meskipun agen-agen ini
dapat mempercepat penyembuhan dan mengurangi gejala, terapi tidak
membasmi virus laten atau mempengaruhi tingkat rekurensi pada operasi.
Untuk wanita dengan infeksi HSV-2, terapi mungkin tidak diperlukan
jika gejalanya minimal dan dapat ditoleransi oleh pasien. Terapi episodik atau
penyakit rekuren idealnya dimulai setidaknya dalam 1 hari setelah lesi
berjangkit atau selama prodromal, jika ada. Pasien dapat diberikan resep
sebelumnya sehingga obat tersedia untuk memulai terapi dengan gejala
prodromal.
Episode I berulang pada interval yang berulang, seorang wanita dapat
memilih terapi supresif harian, yang mengurangi kekambuhan sebesar 70
hingga 80 persen. Terapi supresif dapat menghilangkan kekambuhan dan
menurunkan transmisi seksual virus sekitar 50 persen (Corey, 2004). Dosis
sekali sehari dapat menghasilkan peningkatan kepatuhan dan penurunan biaya. 2
2.5.2 Sifilis
Patofisiologi
Sifilis adalah IMS yang disebabkan oleh spirochete Treponema
pallidum, yang merupakan organisme ramping berbentuk spiral dengan ujung
meruncing. Wanita dengan risiko tertinggi adalah mereka yang berasal dari
kelompok sosial ekonomi rendah, remaja, mereka yang melakukan aktivitas
seksual sejak dini, dan mereka yang memiliki banyak pasangan seksual tidak
tetap. Tingkat serangan atau ini kira-kira 30 persen. Pada tahun 2011, lebih dari
49.000 kasus (semua stadium) sifilis dilaporkan oleh departemen kesehatan
negara bagian di Amerika Serikat. 2,51
Riwayat alami sifilis pada pasien yang tidak diobati dapat dibagi
menjadi beberapa tahap. Dengan sifilis primer, ciri khasnya adalah chancre, di
mana spirochetes berlimpah. Secara klasik, ini adalah ulkus non-tender
terisolasi dengan batas membulat yang menonjol dan dasar yang tidak
terpancang yang terlihat pada gambar. Bagaimana itu dapat menjadi infeksi
sekunder dan sakit nyeri. Chancre sering ditemukan di leher rahim, vagina, atau
vulva, tetapi bisa juga terbentuk di mulut atau di sekitar anus. Lesi ini dapat
berkembang 10 hari sampai 12 minggu setelah terpapar, dengan masa inkubasi
rata-rata 3 minggu. Masa inkubasi berhubungan langsung dengan ukuran
inokulum. Tanpa pengobatan, lesi ini sembuh secara spontan hingga 6 minggu
Pasien dengan alergi penisilin yang tidak dapat disurvei pascaterapi atau
yang kepatuhannya dipertanyakan, tes kulit, desensitisasi, dan pengobatan dengan
penisilin benzatin IM direkomendasikan. Untuk semua pasien, respon ebrile akut
dan terbatas, yang disebut reaksi Jarisch-Herxheimer, dapat berkembang dalam 24
jam pertama setelah pengobatan awal penyakit dan berhubungan dengan sakit
kepala dan mialgia.
Seperti pada IMS lainnya, semua pasien yang diobati atau sifilis dan kontak
seksualnya diskrining. Pasien dengan bukti keterlibatan neurologis atau jantung
dirawat oleh spesialis penyakit menular. Sebuah pengobatan terawal, wanita terlihat
pada interval 6 bulan atau evaluasi klinis dan pengujian ulang serologis.
Rekomendasi pengobatan ulang adalah penisilin benzatin G, 2,4 juta unit IM setiap
minggu atau 3 minggu.
2.6 Infeksi Kutil dan Papul
2.6.1 Moluskum Kontangiosum
Molluscum contagiosum virus adalah DNA poxvirus yang ditularkan
melalui kontak langsung dari manusia ke manusia atau melalui omite yang
terinfeksi. Masa inkubasi o 2 sampai 7 minggu adalah khas, tetapi bisa lebih
lama. Respon pejamu terhadap invasi virus adalah papula dengan umbilikasi
sentral, memberikan penampilan yang khas yang terlihat pada gambar. Ini
mungkin tunggal atau ganda dan biasanya terlihat di vulva, vagina, paha,
dan/atau bokong. 2
Gejala utama dari perlekatan dan gigitan kutu adalah pruritus. Menggaruk
menyebabkan eritema dan peradangan, yang meningkatkan suplai darah ke area
tersebut. Pasien dapat mengembangkan pyoderma dan setiap gigitan menjadi
terpengaruh sekunder. Setiap kutu kemaluan betina dewasa bertelur kira-kira
setiap hari, yang menempel di pangkal rambut. Inkubasi kurang lebih 1 bulan.
Telur yang menempel, disebut telur kutu, dapat terlihat menempel pada rambut
yang terlepas dari garis kulit seiring pertumbuhan rambut. Ini biasanya
membutuhkan kaca pembesar atau pengenal. Selain itu, jejak yang
mencurigakan pada rambut kemaluan atau pakaian dapat diperiksa secara
mikroskopis untuk melihat karakteristik kutu. Setelah diagnosis, skrining pasien
IMS lainnya dianjurkan. Anggota amily lainnya dan kontak seksual
memerlukan evaluasi atau in estation.
Pediculicides tidak hanya membunuh kutu dewasa, tetapi juga telurnya.
Aplikasi tunggal biasanya efektif, tetapi dosis kedua direkomendasikan dalam
7 hingga 10 hari untuk membunuh obat. Pembilas krim atau sampo tanpa resep
mengandung 1 persen permetrin (Nix) atau piretrin dengan piperonil butoksida.
Ini tetap pada area yang terpengaruh atau 10 menit. Regimen alternatif CDC
termasuk losion malathion 0,5 persen (Ovide) yang dioleskan atau 8 sampai 12
jam. Juga, ivermectin 250 g/kg per oral sekali dapat diminum dan kemudian
diulang dalam 2 minggu.
Dalam kasus tertentu, sampo lindane 1 persen dapat digunakan, tetapi
sekali lagi, sampo ini kurang disukai karena potensi toksisitas. Terakhir,
perawatan bulu mata dan alis bermasalah. Area ini paling baik dirawat dengan
mengoleskan petrolatum (Vaseline) dengan kapas di malam hari dan
mencucinya di pagi hari. Seperai dan pakaian bekas dicuci dan dikeringkan
dengan siklus panas.
Terlepas dari pengobatan, pruritus dapat berlanjut dan dapat dikurangi
dengan antihistamin oral, krim atau salep anti inflamasi, atau keduanya. Pasien
dievaluasi ulang selama 1 minggu untuk mendokumentasikan pemberantasan
kutu.
2.8 Endometritis
Endometritis adalah peradangan pada lapisan endometrium rahim. Selain
endometrium, peradangan mungkin melibatkan miometrium dan, kadang-kadang,
parametrium.
Endometritis dapat dibagi menjadi endometritis yang berhubungan dengan
kehamilan dan endometritis yang tidak berhubungan dengan kehamilan. Ketika
kondisi ini tidak berhubungan dengan kehamilan, ini disebut sebagai penyakit
radang panggul (PID). Endometritis sering dikaitkan dengan peradangan saluran
tuba (salpingitis), ovarium (ooforitis), dan peritoneum panggul (peritonitis
panggul). Pedoman pengobatan penyakit menular seksual Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Penyakit (CDC) 2015 mendefinisikan PID sebagai kombinasi dari
endometritis, salpingitis, abses tubo-ovarium, dan peritonitis panggul. 52
Epidemiologi
Insiden endometritis postpartum di Amerika Serikat bervariasi tergantung pada
rute persalinan dan populasi pasien. Setelah persalinan pervaginam, insidennya 1-
3%. Setelah persalinan sesar, insidennya berkisar antara 13-90%, tergantung pada
faktor risiko yang ada dan apakah profilaksis antibiotik perioperatif telah diberikan.
Pada populasi nonobstetrik, endometritis bersamaan dapat terjadi pada 70-90%
kasus salpingitis.
Etiologi
Endometritis adalah penyakit polimikroba yang melibatkan rata-rata 2-3
organisme. Dalam kebanyakan kasus, itu muncul dari infeksi menaik dari
organisme yang ditemukan di flora normal vagina asli.
Organisme yang biasanya diisolasi termasuk Ureaplasma urealyticum,
Peptostreptococcus, Gardnerella vaginalis, Bacteroides bivius, dan Streptococcus
grup B. Chlamydia telah dikaitkan dengan endometritis postpartum onset lambat.
Enterococcus diidentifikasi pada hingga 25% wanita yang telah menerima
profilaksis sefalosporin.
Herpes dan tuberkulosis adalah penyebab yang jarang, meskipun di
beberapa negara tuberkulosis bukanlah agen etiologi yang jarang. 54,55
Patofisiologi
Infeksi endometrium, atau desidua, biasanya disebabkan oleh infeksi
asendens dari saluran genital bawah. Dari perspektif patologis, endometritis dapat
diklasifikasikan sebagai akut versus kronis. Endometritis akut ditandai dengan
adanya neutrofil di dalam kelenjar endometrium. Endometritis kronis ditandai
dengan adanya sel plasma dan limfosit di dalam stroma endometrium.
Pada kasus ginekologi, penyakit radang panggul dan prosedur ginekologi
invasif adalah prekursor yang paling umum untuk endometritis akut. Pada kasus
obstetri, infeksi postpartum adalah pendahulu yang paling umum.
Pada kasus ginekologi, endometritis kronis telah terlihat dengan infeksi
(misalnya, klamidia, tuberkulosis, vaginosis bakterial) dan adanya alat kontrasepsi
dalam rahim. Alat kontrasepsi dalam rahim sebagai faktor penyebab penyakit
radang panggul dikaitkan dengan bentuk awal alat tersebut, khususnya Dalkon
Shield. Insiden penyakit radang panggul tidak lebih tinggi pada pengguna alat
kontrasepsi modern. 56
Prognosis
Hampir 90% wanita yang diobati dengan antibiotik mengalami perbaikan
dalam 48-72 jam. Keterlambatan dalam memulai terapi antibiotik dapat
menyebabkan toksisitas sistemik. Endometritis dikaitkan dengan peningkatan
kematian ibu akibat syok sepsis. Namun, kematian jarang terjadi di Amerika Serikat
karena manajemen antimikroba yang agresif.
Dalam studi Evaluasi dan Kesehatan Klinis PID (PEACH), endometritis
tidak ditemukan terkait dengan komplikasi terkait kehamilan berikutnya, nyeri
panggul kronis, atau infertilitas.
Diagnosis
Anamnesis
Diagnosis biasanya didasarkan pada temuan klinis, sebagai berikut:
- Demam
- Sakit perut bagian bawah
- Pendarahan vagina yang tidak normal
- Keputihan yang tidak normal
- Dispareunia (mungkin ada pada pasien dengan penyakit radang panggul)
- Disuria (mungkin ada pada pasien dengan PID)
- Rasa tidak enak
Pasien dengan PID hadir dengan nyeri perut bagian bawah, keputihan,
dispareunia, disuria, demam, dan tanda-tanda sistemik lainnya. Namun, PID yang
disebabkan oleh Chlamydia cenderung lamban, tanpa gejala konstitusional yang
signifikan.
Pemeriksaan Fisik
- Sakit perut bagian bawah
- Nyeri tekan Rahim
- Nyeri tekan adneksa jika ada salpingitis terkait
- Takikardia
- Uterine tenderness adalah ciri khas penyakit ini.
Untuk PID, kriteria diagnostik minimum adalah nyeri tekan perut bagian
bawah, nyeri tekan gerakan serviks, atau nyeri tekan adneksa. Dalam kasus yang
parah, pasien mungkin tampak septik.
2.9 Pelvic Inflammatory Disease
Definisi
Penyakit radang panggul (PID) diartikan sebagai peradangan pada saluran
genital bagian atas akibat infeksi pada wanita. Penyakit ini menyerang uterus, tuba,
dan / atau ovarium. Diagnosis PID terutama secara klinis dan harus dicurigai pada
pasien wanita dengan nyeri perut bagian bawah atau panggul dan nyeri saluran
genital.
Etiologi
Infeksi yang naik dari serviks menyebabkan PID. Dalam 85% kasus, infeksi
disebabkan oleh bakteri yang ditularkan secara seksual. Dari agen penyebab, bakteri
Neisseria gonorrhoeae atau Chlamydia trachomatis adalah patogen yang paling
umum. Kira-kira 10% sampai 15% wanita dengan N. gonorrhoeae atau C.
trachomatis endoserviks akan terus mengembangkan PID.
Patofisilogi
Penyakit radang panggul dimulai dari infeksi di vagina atau serviks yang
didapatkan dari infeksi menular seksual (IMS), biasanya disebabkan oleh C.
trachomatis atau N. gonorrhoeae. Selanjutnya, bakteri tersebut naik ke saluran
genitalia yang lebih atas. Mekanisme penyebab kenaikan ini diduga bersifat
multifaktorial. Lendir serviks merupakan salah satu penghalang naiknya
mikroorganisme patogen ke saluran genitalia yang lebih atas. Namun, pada kondisi
infeksi yang menyebabkan inflamasi pada vagina atau serviks, efektvitas
perlindungan lendir serviks ini menjadi berkurang. Begitu juga pada saat ovulasi
dan menstruasi, efektivitas perlindungan serviks menjadi berkurang diakibatkan
perubahan hormonal. Selain itu, aliran darah menstruasi merupakan medium biakan
yang baik untuk bakteri.
Faktor lain yang mungkin berperan adalah senggama. Diperkirakan saat
orgasme, kontraksi uterus yang ritmik turut memfasilitasi naiknya bakteri ke
saluran genitalia atas. Bakteri juga dapat terbawa oleh sperma ke dalam uterus dan
tuba falopii. Infeksi pada tuba falopii ini awalnya hanya mengenai mukosa, tetapi
selanjutnya inflamasi dapat cepat menyebar ke transmural. Inflamasi ini dapat terus
berlanjut ke struktur parametrial termasuk usus. Melalui tumpahan cairan purulen
dari tuba falopii atau penyebaran limfatik, infeksi dapat berlanjut sampai melewati
pelvis yang menyebabkan peritonitis akut dan perihepatitis akut (Sindrom Fitz-
57,58
Hugh–Curtis).
Manifestasi klinis
Klinis berupa nyeri perut bagian bawah atau panggul, keputihan,
dispareunia, dan / atau perdarahan vagina yang tidak normal. CDC
merekomendasikan satu atau lebih kriteria berikut ini harus ada pada pemeriksaan
pelvis:
• Nyeri gerak serviks
• Nyeri tekan uterus
• Nyeri tekan adneksa
Kriteria tambahan seperti berikut dapat dipakai untuk menambah
spesifisitas mendukung diagnosis PID:
• Suhu oral >38.3 C
• Cairan serviks atau vagina tidak mukopurulen
• Leukosit dalam jumlah banyak pada pemeriksaan mikroskop sekret vagina
dengan cairan salin
• Kenaikan laju endap darah (LED)
• Protein reaktif-C meningkat
• Dokumentasi laboratorium infeksi serviks oleh gonorrhoeae atau
C.trachomatis
Oleh karena itu, PID harus dicurigai pada wanita muda yang aktif secara
seksual yang mengalami nyeri perut bagian bawah dan ketidaknyamanan panggul
serta bukti adanya nyeri saluran genital pada pemeriksaan.
Faktor risiko termasuk hubungan seksual dengan banyak pasangan, usia,
riwayat IDP sebelumnya, implantasi alat kontrasepsi dalam rahim, dan ligasi tuba.
Tatalaksana
CDC merekomendasikan pengobatan lini pertama untuk terapi rawat jalan yaitu :
• Doksisiklin (100 mg per oral dua kali sehari selama 2 minggu) ditambah
seftriakson 500 mg secara intramuskular (IM) untuk satu dosis atau
• Cefoxitin 2 g IM dengan probenesid (1g per oral) untuk satu dosis atau
• Sefalosporin generasi ketiga parenteral lainnya.
• Metronidazol (500 mg per oral dua kali sehari selama 14 hari) harus
3. Hakimi M. 2011. Radang dan Beberapa Penyakit Lain Pada Alat Genital
dalam Ilmu Kandungan Edisi 3. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo. Hal 218-237.
4. Miller EA, Beasley DE, Dunn RR, Archie EA. Lactobacilli dominance and
vaginal pH: why is the human vaginal microbiome unique?. Front
Microbiol. 2016;7:1936. doi:10.3389/fmicb.2016.01936
5. Lamont RF, Akins JD, Hassan SS, Chaiworapongsat, dan Romero. 2011.
The Vaginal Microbiome: New Information About Genital Tract Flora
Using Molecular Based Technique. BJOG. Vol. 118: 533-549.
6. Prawiroraharjo, Sarwono (2008). Ilmu Kebidanan. PT Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo: Jakarta.
7. Koumans EH, Stenberg M, Bruce C, McQuillanG, Kendrick J. The
prevalence of bacterial vaginosis in the United States, 2001-2004:
Associations with symptoms, sexual behaviors, and reproductive health.
Sex Transm Dis 2007; 34:864–9.
8. Sharon H, Jeanne M, Holmes KK. Bacterial vaginosis. In: Holmes KK,
Sparling PF, Stamm WE, Piot P, Wasserheit JN,Corey L, et al., editors.
Sexually transmitted disease. 4th ed. New York: McGraw Hill; 2008.
p.737-68.
9. Rosen T. Gonorrhea, mycoplasma, and vaginosis. In: Wolf K, Goldsmith
L, Katz S, Gilcherst B, Paller A, Leffell O, editors. Fritzpatrick’s
dermatology general medicine. 8th edition. New York: McGrawHill; 2013.
p.4739-42
10. Menard JP. Antibacterial treatment of bacterial vaginosis: current and
emerging therapies. Int J Wom Health 2011; 3:295-305.
11. Chooruk A, Utto P, Teanpaisan R, Piwat S, Chandeying N, Chandeying V,
et al. Prevalence of lactobacilli in normal women andwomen with bacterial
vaginosis. J Med Assoc Thai 2013; 96(5):519-22
12. Murtiastutik D. Vaginosis bakterial. Dalam: Barakbah J, Lumintang H,
Martodihardjo S, editor. Infeksi menular seksual. Surabaya:
AUP;2008.h.72-83
13. Kenyon C, Colebunders R, Crucitti T. The global epidemiology of
bacterial vaginosis: a systematic review. Am J Obstet Gynecol 2013;
209:505-23.
14. Indriatmi W. Vaginosis bakterial. Dalam: Menaldi SLSW, Bramono K,
Indriatmi W, editor. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-7. Jakarta:
Badan Penerbit Fakultas Kedokeran Univesitas Indonesia; 2015.h.452-4
15. Center for Disease Control and Prevention. Sexually transmitted diseases
treatment guidelines. Rep; 2015; p.69-72. [cited 2015 November 12].
Available from: www.cdc.gov/std/tg2015/tg-2015-print.pdf
16. Allsworth JE, Peipert JF. Prevalence of bacterial vaginosis: 2001-2004
National Health and Nutrition Examination Survey data. Obstet Gynecol
2007; 109:114-20.
17. Pudjiastuti TA, Murtiastutik D. Studi retrospektif: Vaginosis bakterial.
BIKKK 2014; 26(2):127-33.
18. Fethers KA, Fairley CK, Morton A, Hocking JS, Hopkins C, Kennedy J,
et al. Early sexual experiences and risk factors for bacterial vaginosis. J
Infect Dis 2009; 200:1662–70.
19. Petricevic L, Domig KJ, Nierscher JF, Sandhofer MJ, Krondorfer I,
Kneifel W, et al. Differences in the vaginal lactobacilli of postmenopausal
women and influence of rectal lactobacilli. Climacteric 2013; 16(3):356-
61
20. Bradshaw CS, Vodstrcil LA, Hocking JS, Law M, Pirotta M, Garland SM,
et al. Recurrence of bacterial vaginosis is significantly associated with
posttreatment sexual activities and hormonal contraceptive use. Clin Infect
Dis 2013 ;56:777-86.
21. Brotman MR, Ghanem KG, Klebanoff MA, Taha TE, Scharfstein DO,
Zenilman JM, et al. The effect of vaginal douching cessation on bacterial
vaginosis: a pilot study. Am J Obstet Gynecol 2008; 198:628.e1-7.
22. Mehta SD. Systematic review of randomized trials of treatment of male
sexual partners for improved bacterial vaginosis outcomes in women. Sex
Transm Dis 2012; 39:822–30.
23. Mitchell C, Manhart LE, Thomas KK, Agnew K, Marrazzo JM. Effect of
sexual activity on vaginal colonization with hydrogen peroxide- producing
lactobacilli and Gardnerella vaginalis. Sex Trans Dis 2011; 38(12):1137-
44
24. Turovskiy Y, Noll KS, Chikindas ML. The etiology of bacterial vaginosis.
J Appl Microbiol 2011; 1-2.
25. Vodstrcil LA, Walker SM, Hocking JS, Law M, Forcey DS, Fehler G, et
al. Incident bacterial vaginosis (VB) in women who have sex with women
is associated with behaviors that suggest sexual transmission of VB. Clin
Infect Dis 2015; 60(7):1042-50.
26. Schwebke JR, Muzny CA, Josey WE. Role of Gardnerella vaginalis in the
pathogenesis of bacterial vaginosis: a conceptual model. J Infect Dis 2014;
210(3):338-43
27. Mastromarino P, Vitali B, Mosca L. Bacterial vaginosis: a review on
clinical trials with probiotics. New Microbiologica 2013; 36:229- 38.
28. Meriwether KV, Rogers RG, Craig E, Peterson SD, Gutman RE, Iglesia
CB. Efek gel berbasis hidroksiquinolin pada vaginosis bakteri terkait
pessary: uji coba terkontrol acak multisenter. Am J Obstet Gynecol . 2015
November 213 (5): 729.e1-9.
29. Rebecca M.B, Xin H, Pawel G, Doug F, Eva S, Emmanuel F M, et.al
(2014). Association between cigarette smoking and thevaginal microbiota:
a
59.
1.