Anda di halaman 1dari 61

Clinical Science Session

INFEKSI GINEKOLOGI

Oleh:

Nadyatul Husna 2140312152

Solehah binti Mhd Shahruddin 2040312106

Preseptor:

dr. Mondale Saputra, Sp. OG(K)-FER

BAGIAN OBSTETRI & GINEKOLOGI RSUP DR. M. DJAMIL


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan pada Allah karena berkat rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan Clinical Science Session (CSS) yang
berjudul “Infeksi Ginekologi”. Makalah ini disusun untuk menambah pengetahuan
dan wawasan penulis dan pembaca, serta menjadi salah satu ilmiah dalam
mengikuti kepaniteraan klinik di Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas.

Terima kasih penulis ucapkan dr. Mondale Saputra, Sp. OG(K)-FER selaku
preseptor yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam pembuatan makalah
ini. Penulis juga berterima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penulisan makalah ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih memiliki banyak


kekurangan. Untuk itu kritik dan saran sangat penulis harapkan. Akhir kata, semoga
Clinical Science Session ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Padang, Mei 2022

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ginekologi berarti ilmu mengenai wanita atau science of woman yaitu
cabang ilmu kedokteran yang khusus mempelajari dan menangani penyakit
sistem reproduksi wanita. Sebanyak 92% perempuan memiliki kelainan ginekologi
dalam bentuk apapun. Kelainan ginekologi disebabkan oleh banyak hal bias
disebabkan oleh kelainan kongenital, infeksi, tumor, trauma, iatrogenic, dan
lainnya. Salah satu kelainan ginekologi yang terbanyak disebabkan oleh infeksi.
Infeksi Ginekologi merupakan salah satu masalah kesehatan dunia dan
masalah kesehatan masyarakat yang serius tetapi tersembunyi. Infeksi alat
reproduksi dapat menurunkan kesuburan, mempengaruhi keadaan umum dan
mengganggu kehidupan seksual. Gejala yang paling sering ditemukan pada penderita
ginekologi adalah keputihan, leukore (white discharge, flour albus) adalah gejala penyakit
yang ditandai oleh keluarnya cairan dari organ reproduksi, yang bukan berupa darah.
Leukore patologis akibat infeksi dapat berupa cairan yang mengandung banyak sel darah
putih dan warnanya kekuning- kuningan sampai hijau, lebih kental. Sementara itu, jaringan
organ yang paling sering terkena infeksi adalah vagina, vulva, serviks, dan uterus.1 Infeksi
saluran reproduksi dapat terjadi secara primer atau ditularkan secara langsung melalui
sexually transmitted disease (STD) atau infeksi menular seksual
Vagina dan serviks semuanya rentan terhadap berbagai patogen dan tergantung
pada jenis epitel dan faktor lainnya pada lingkungan mikro. Epitel skuamosa berlapis pada
vagina dan ektoserviks rentan terhadap infeksi spesies Candida dan Trichomonas vaginalis.
Epitel kolumnar endoserviks rentan terhadap Neisseria gonorrhoeae dan Chlamydia
trachomatis.2 Virus herpes simpleks dapat menginfeksi kedua jenis epitel.1 Infeksi yang
disebabkan oleh organisme ini dapat menyebabkan keputihan. Mengidentifikasi penyebab
spesifiknya dapat menjadi tugas yang menantang karena sejumlah besar patogen
menyebabkan infeksi vagina dan serviks, dan beberapa infeksi dapat terjadi sekaligus.2

1.2 Batasan Masalah


Clinical Science Session ini membahas tentang definisi, epidemiologi,
etiologi, patogenesis, manifestasi klinis, diagnosis, tatalaksana, komplikasi,
prognosis Infeksi Ginekologi.
1.3 Tujuan Penulisan
Clinical Science Session ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan
dan pemahaman mengenai Infeksi Ginekologi.
1.4 Manfaat Penulisan
Penulisan Clinical Science Session ini diharapkan dapat bermanfaat untuk
menambah informasi dan pengetahuan tentang Infeksi Ginekologi.
1.5 Metode Penulisan
Clinical Science Session ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan
pustaka yang merujuk dari berbagai literatur.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi
Genitalia Eksterna
Genitalia eksterna terdiri dari:
a. Vulva
1) Mons Pubis
Mons pubis atau mons veneris merupakan bantalan lemak yag
terletak diatas simfisis pubis. Pada wanita yang telah pubertaskulit
mons pubis ditumbuhi rambut. 1

2) Labia Mayor
Labia mayor menyatu dengan mons pubis di superior,
diposterior labia mayor meruncing dan menyatu di daerah perineum
membentuk komisura posterior. Pada permukaan luar labia mayor
ditutupi rambut, sedangkan bagian dalamnya tidak. Dibawah kulit,
terdapat lapisan jaringan ikat padat, tidakada otot, dan kaya akanserat
elastik dan jaringan lemak. Didarahi oleh banyak pleksus vena. 1

3) Labia Minor
Terletak di sebelah medial dari masing-masing labia mayor.
Labia minor meluas ke superior terbagi menjadi dua lamela. Dibagian
bawah menyatu membentuk frenulum klitoris, yang diatas menyatu
membentuk preputium klitoris. Di inferior labia minor meluas sampai
garis tengah membentuk fourchette. Terdiri dari jaringan ikat yang kaya
pembuluh darah, serat elastin, dan beberapa serat otot polos yang
disarafi oleh berbagai ujung saraf dan sangat sensitif. Epitel berlapis
gepengberkeratin menutupi permukaan luar, bagian lateral permukaan
dalam bagian lateral dilapisi epitel gepeng berkeratin sampai batas garis
Hart, sedangkan permukaan dalam bagian medial dilapisi epitel gepeng
yang tidak berkeratin. Sedikit mengandung folikel rambut, kelenjar
ekrin, dan apokrin namun banyak kelenjar sebasea. 1

4) Klitoris
Organ sensitif wanita utama ini merupakan badan erektil yang
terdiri dari glans, korpus, dan dua krura. Glans merupakan bagian yang
kaya persarafan.
Badan klitoris mempunyai dua korpora kavernosa kemudian akan
menyatu dengan korpora spongiosa membentuk komisura di bawah
permukaan ventralnya. 1

5) Vestibulum
Pada wanita dewasa dibatasi oleh garis Hart di sebelah lateral,
permukaan luar hymen disebelah medial, frenulum klitoris dibagian
anterior, dan fourchette di bagian posterior. Pada vestibulum vagina
terdapat enam ostium : uretra, vagina, dua duktus Bartholin, dan dua
duktus Skene. Bagian posterior vestibulum vagina diantara fourchette
dan ostium vagina terdapat fosa navikulare yang biasa terlihat hanya
pada wanita nullipara. 1

6) Ostium vagina dan Hymen


Ostium vagina dikelilingi oleh hymen atau sisanya. Hymen
adalah membran dengan berbagai ketebalan yang mengelilingi ostium
vagina secara lengkap atau sebagian. Terdiri dari jaringan ikat kolagen
an elastik dan dilapis oleh epitel gepeng berlapis. 1

7) Ostium uretra
Dua pertiga bawah ureetra terletak tepat diatas dinding anterior
vagina. Ostium terletak di garis tengah vestibulum, 1-1,5 cm di bawah
arkus pubis dan sedikit di atas ostium vagina. 1

8) Kelenjar vestibular
Terdiri dari sepasang kelenjar Bartholin dan sepasang kelenjar skene. 1

Vagina
Vagina merupakan struktur muskulomembranosa berugae yang
memanjang dari vulva ke uterus dan terletak diantara kandung kemih
dan rektum. Di anterior vagina dipisahkan dari traktus urinarius dengan
jaringan ikat yang membentuk septum vesiko-vaginal. Di posterior,
dipisahkan dari traktus gastrointestinal dengan septum rekto-vagina.
Seperempat atas vagina dipisahkan dari rektum oleh cul-de-sac
Douglas. Panjang vagina bervariasi tetapi umunya panjang dinding
anterior dan posterior vagina berturut-turut adalah 6-8 cm an 7-10 cm.
Perineum
Daerah antara tepi bawah vulva dengan tepi anus. Batas-batas
otot daifragma pelvis (m.levator ani, m.coccygeus) dan diafragma
urogenitalis (m.perinealis transversusproffunda, m.constrictor urethra).
Perineal body adalah raphe median m.levator ani, antara anus dan
vagina. Perineum meregang pada persainan, kadang perlu di potong
(episiotomi) untuk memperbesar jalan lahir dan mencegah ruptur. 1

Gambar 2.1 Anatomi Genitalia Eksterna

2. Genitalia Interna
a. Uterus
Suatu organ muskular berbentuk seperti buah pir, dilapisi
peritoneum (serosa). Uterus terdiri dari dua bagian utama yaitu bagian
segitiga atas (corpus uteri), dan bagian selindris bawah (serviks).
Isthmus dalah bagian ostium uteri interna yang merupakan bagian
tersempit dan menghubungkaan corpus uteri dengan serviks. Uterus
nulipara berukuran 6-8 cm dengan berat sekitar 50-70 gr dan multipara
berukuran 9-10 cm dengan berat sekitar 80 gr. Pada nulipara panjang
fundus dan serviks sebanding namun pada multipara panjang serviks
hanya sepertiga dari panjang total uterus. Terus terdiri dri tiga lapis
yaitu endometrium, miometrium, dan perimetrium.
Uterus digantung oleh beberapa ligamentum yaitu ligamentum
teres uteri kiri dan kanan, ligamentum latum uteri kiri dan kanan,
ligamentum suspensorium iovarii kiri dan kanan, ligamentum
kardinale, dan ligamentum uterosakralis. Uterus didarahi oleh arteri
uterina (cabang utama aarteri iliaca interna) dan ovarica (cabang
langsung dari aorta). Persarafan uterus terutama dari sistem saraf
simpatik (pleksus iliaka interna, namun sebagian juga berasal dari
sistem serebrospinal dan parasimpatik (S2, S3, dan S4). 1

b. Serviks
Bagian terbawah uterus, terdiri dar pars vaginalis
(berbatasan/menembus dinding dalam vagina) dan pars supravaginais.
Terdiri dari 3 komponen utama : otot polos, jalinan jaringan ikat
(kolagen dan glikosamin) dan elastin. Bagian luar di dalam rongga
vagina yaitu portio serviks dengan lubang ostium uteri eksternum (luar,
arah vagina) dilapisi eptel skuamokolumnar mukosa serviks, dan ostium
uteri internum. Sebelum melahirkan lubng ostium eksternum bulat
kecil, setelah melahirkan berbeentuk garis melintang. Posisi serviks
mengarah ke kaudal- posterior, setinggi spina ischiadica. Kelenjar
mukoserviks menghasilkan lendir getah serviks yang mengandung
glikoprotein kaya karbohidrat (musin) dan larutan berbagai garam,
peptida, dan air. Ketebalan mukosa dan viskositas lendir serviks
dipengaruhi siklus haid.
c. Tuba falopii/Salping
Sepasang tuba kiri-kanan , panjang 8-14 cm berfungsi sebagai
jalan transportasi ovum dariovarium sampai cavum uteri. Dinding tuba
terdiri dari tida lapisan: serosa, muskularis (longutidina dan sirkular),
serta mukosa dengan epitel bersilia. Tuba terdiri dari :Pars isthmica,
Pars ampularis, dan Pars infundibulum. 1

d. Mesosalping
Jaringan ikat penyangga tuba (seperti halnya mesenterium pada
usus).
1

e. Ovarium
Organ endokrin berbentuk oval berbentuk oval, terletak didalam
rongga peritoneum, sepasang kiri-kanan. Dilapisi mesovarium, sebagai
jaringan ikat an jalan pembuluh darah dan saraf. Ovarium terdiri dari
korteks an medula.
Ovarium berfungsi dalam pembentukan dan pematangan folikel
menjadi ovum, siintesis dan sekresi hormon-hormon steroid.
Berhubungan dengan pars
infundibulum tuba falopii melalui perekatan fimbriae menangkap
ovum yang dilepaskan saat ovulasi. Ovarium terfiksir oleh ligamentum
ovarii propium, ligamentum infundibulopelvicum dan jaringan iat
mesovarium. Vaskularisasi dari cabang aorta abdominalis inferior
terhadap arteri renalis. 1

Gambar 2.2 Genitalia Interna

2.2 Flora Normal pada Vagina


Flora normal pada vagina adalah bakteri yang hidup di dalam vagina. Flora
vagina normal didominasi oleh berbagai spesies lactobacillus. Lactobacilli
membantu menjaga kesehatan vagina dengan memproduksi asam laktat, hidrogen
peroksida, dan zat lain yang menghambat pertumbuhan ragi dan organisme lain
yang tidak diinginkan. Mereka menjaga vagina pada pH yang sehat sekitar 4. 4
Lingkungan yang agak asam ini membantu melindungi dari infeksi. Begitu
juga zat lain yang mereka hasilkan. Bakteri ini merupakan bagian penting dari
ekosistem vagina yang sehat. 4

Bakteri ini ada dalam hubungan simbiosis dengan inang dan dapat diubah,
tergantung pada lingkungan mikro. Mereka melokalisasi dimana kebutuhan
kelangsungan hidup mereka terpenuhi dan memiliki pengecualian dari koneksi
yang mencegah kapasitas destruktif dari inang manusia. Namun, pengaruh
kolonisasi bakteri vagina ini masih belum diketahui. Dalam ekosistem vagina ini,
beberapa mikroorganisme menghasilkan zat seperti asam laktat dan hidrogen
peroksida yang menghambat organisme non-pribumi (Marrazzo, 2006). Beberapa
senyawa antibakteri lainnya, yang disebut bakteriosin, memainkan peran yang
sama. Untuk perlindungan dari banyak zat beracun ini, penghambat protease
leukosit sekretorik ditemukan di vagina. protein bakteri melindungi jaringan lokal
terhadap produk inflamasi beracun dan beraksi. Spesies bakteri tertentu yang
biasanya ditemukan di rongga vagina memiliki akses ke saluran reproduksi bagian
atas. 5

pH vagina biasanya berkisar antara 4 dan 4,5. Meskipun tidak sepenuhnya


dipahami, spesies Lactobacillus berkontribusi pada produksi asam laktat, asam atty,
dan asam organik lainnya. Bakteri lain juga dapat menambahkan asam organik dari
katabolisme protein, dan bakteri anaerob yang disumbangkan oleh ermentasi asam
amino. Glikogen, yang terdapat dalam mukosa vagina yang sehat, menyediakan
nutrisi atau banyak spesies ekosistem vagina dan dimetabolisme menjadi asam
laktat. Oleh karena itu, karena kandungan glikogen dalam sel epitel vagina
berkurang setelah menopause, penurunan produksi substrat atau asam ini
menyebabkan peningkatan pH di dalam vagina.

2.3 Infeksi Ginekologi


Dalam klasifikasinya infeksi ginekologi dapat dibagi berdasarkan letaknya,
penyebabnya serta organ ginekologi yang terkena.
Berdasarkan letaknya, infeksi ginekologi dibagi menjadi:
a. Infeksi organ genitalia eksterna
Organ genitalia eksterna pada wanita terdiri dari vulva, mons
pubis, labia mayora, labia minora, klitoris, vestibulum, introitus vagina,
himen, orifisium uretra eksterna, perineum
b. Infeksi organ genitalia interna
Organ genitalia interna pada wanita terdiri dari vagina, uterus,
tuba fallopi, dan ovarium Infeksi pada genitalia interna sangat
berpengaruh pada kesehatan karena dapat menimbulkan infertilitas,
perlekatan, bahkan kematian.
Berdasarkan penyebabnya, infeksi ginekologi dibagi menjadi: 3

a. Infeksi endogen oleh flora normal komensal yang berlebihan termasuk


didalamnya kandidiasis dan vaginosis bakterialis
b. Penyakit menular menular seksual yaitu infeksi genital yang ditularkan
melalui hubungan seks dengan pasangan yang telah terinfeksi seperti
trikomoniasis, gonore, chlamidia, kondiloma akuminata, herpes genital
c. Infeksi iatrogenik yaitu disebabkan melalui prosedur medis yang kurang
atau tidak steril
Berikut beberapa jenis penyakit berdasarkan organ yang terkena, yaitu:
a. Radang pada vulva
• Pedikulosis pubis
• Moluskum kontagiosum
• Kondiloma akuminatum
b. Radang pada vagina
• Vaginosis bakterial
• Trikomoniasis
• Kandidiasis
c. Radang pada serviks uteri
• Klamidia trakomatis
• Gonorea
d. Radang pada korpus uteri
• Endometritis
e. Adneksa dan jaringan di sekitarnya
• Penyakit radang panggul/Pelvic Inflammatory Disease (PID)
f. Kelainan lain: ulkus genital
• Herpes genital
• Granuloma inguinal
• Sifilis
g. Infeksi khusus
• Infeksi saluran kemih
Infeksi merupakan masalah ginekologis yang paling sering
terjadi pada 90% wanita remaja di dunia, kondisi ini disebabkan oleh
vaginosis bakterial (50%), kandidiasis vulvovaginal (25%),
trikomoniasis (25%). 5
Penelitian- penelitian sebelumnya telah
melaporkan angka kejadian vaginitis di beberapa negara, diantaranya
Thailand 33 %, Afrika-Amerika 22,7%, London 21%,
Indonesia 17%, Jepang 14%, Swedia 14%, dan Helsinki 12%. 4

2.4 Sindrom Discharge

2.4.1 Vaginosis Bakterialis


Definisi
Bakterial Vaginosis merupakan penyebab keputihan yang sering terjadi
pada wanita usia subur (WUS) yang ditandai dengan peningkatan pH (asam
basa keseimbangan) vagina dan pergeseran keseimbangan flora normal vagina
dimana dominasi Lactobacillus digantikan oleh bakteri anaerob dan
Gardnerella vaginalis. Bakterial vaginosis (BV) ditandai dengan adanya
6

perubahan karakteristik dari lendir vagina diantaranya keputihan yang tipis dan
berbau namun wanita yang mengidap Bakterial vaginosis (BV) kadang–kadang
tidak menunjukkan gejala. 7

Epidemiologi
Prevalensi dan distribusi Bakterial Vaginosis bervariasi, prevalensi
BVtinggi pada populasi ras seluruh populasi dunia. Beberapa Afrika, Afro-
Amerika, dan Afro-Karibia. Prevalensi BV didapatkan sebesar 32% di antara
wanita Asia berdasarkan penelitian. India dan Indonesia. Pujiastuti di poli IMS
RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode 2007-2011 didapatkan 35 pasien baru BV,
yang merupakan 0,71% dari jumlah kunjungan pasien Divisi IMS dan 0,1% dari
jumlah kunjungan pasien baru URJ Penyakit Kulit dan Kelamin. Kelompok usia
terbanyak didapatkan pada kelompok usia 25-44 tahun sebanyak 74,3% 9

VB lebih sering dijumpai pada pemakai AKDR dibanding kontrasepsi lain


dan meningkatkan risiko penyakit menular seksual10 Studi terbaru yang dilakukan
5

pada wanita hamil, HIV-positif dan wanita dengan infertilitas melaporkan


prevalensi BV tinggi. Di antara perempuan hamil di timur laut Nigeria dan Ethiopia,
prevalensi BV adalah 17 dan 19%, masing-masing; wanita dengan (HIV) positif,
prevalensi BV 48% terdapat di India, sedangkan pada wanita dengan infertilitas di
Qom dan Iran prevalensi BV ditemukan sebanyak 70%. Dalam beberapa tahun
terakhir, BV meningkat dalam kalangan wanita yang berhubungan seks dengan
wanita. 7

Etiologi
Menurut Muvunyi dan Hernandez, bakteri penyebab terjadinya Bacterial
vaginosis (BV) antara lain; Gardnella vaginalis, Ureaplasma urealythicum,
Mycoplasma hominis, Mobilunces spp, Prevotella bivia, Peptostreptoccocus,
Ureaplasma urealyticum. Bakteri tersebut akan senang tumbuh apabila keadaan
vulva mempunyai kelembaban yang tinggi yang bersifat menekan pertumbuhan
Lactobacillus yang berperan untuk keseimbangan flora normal vagina. Banyak
faktor yang dapat menyebabkan terganggunya keseimbangan normal flora vagina
diantaranya adalah: 1) Teknik cebok yang salah yaitu cebok dari arah belakang ke
depan. ;2) Kurang menjaga kebersihan vagina pada saat menstruasi ; 3)Penggunaan
serta frekwensi ganti celana dalam sehari. ;4) Kebersihan vulva setelah melakukan
hubungan sexual; 5) Penggunaan deodoran yang dapat merusak kelembaban
vagina; 6) Penggunaan larutan kimia pembersih vagina yang terlalu sering untuk
cebok.8

Patofisiologi
Bacterial vaginosis (BV) disebabkan oleh faktor-faktor yang mengubah
lingkungan asam normal di vagina menjadi keadaan basa yang mendorong
pertumbuhan berlebihan bakteri-bakteri penghasil basa. Ketika konsentrasi
Lactobacilli yang merupakan flora normal vagina jumlahnya menurun, bakteri ini
jumlahnya dapat meningkat berlebihan sehingga menjadi spesies dominan di
lingkungan vagina yang dapat bersifat patogenik 11
Faktor-faktor yang dapat
mengubah pH (asam basa keseimbangan) melalui efek alkalinisasi antara lain
adalah mucus serviks, semen, darah haid, mencuci vagina (douching), pemakaian
antibiotik, dan perubahan hormon saat hamil dan menopause. Faktor-faktor ini
memungkinkan terjadinya peningkatan pertumbuhan Gardnerella vaginalis,
Mucoplasma hominis, dan bakteri anaerob. faktor risiko lain yang telah dikaitkan
dengan Bacterial Vaginosis (BV) termasuk memiliki beberapa pasangan seks,
pasangan seks pria baru, seks dengan sesama jenis, hubungan seksual pertama pada
usia dini , sering douching vagina, Penggunaan benda asing vagina atau sabun
wangi, merokok dan kurangnya vagina lactobacilli. 12

Mencuci vagina (douching) sering dikaitkan dengan keluhan disuria,


keputihan, dan gatal pada vagina. Pada wanita yang beberapa kali melakukan
douching, dilaporkan terjadi perubahan pH (asam basa keseimbangan) vagina dan
berkurangnya 12 konsentrasi mikroflora normal sehingga memungkinkan
terjadinya pertumbuhan bakteri pathogen yang oportunistik. 13

Flora vagina wanita tanpa Bacterial Vaginosis (BV) biasanya terdiri dari
kuman gram-batang positif, dengan dominasi oleh Lactobacillus crispalus,
Lactobacillus jensenii dan Lactobacillus iners. Menurut Sobel Pada Bacterial
14 15

vaginosis (BV) dapat terjadi simbiosis antara Gardnerella vaginalis sebagai


pembentuk asam amino dan kuman anaerob beserta bakteri fakultatif dalam vagina
yang mengubah asam amino menjadi amin sehingga menaikkan pH sekret vagina
sampai suasana yang sesuai bagi pertumbuhan Gardnerella vaginalis. Beberapa
amin diketahui menyebabkan iritasi kulit dan menambah pelepasan sel epitel dan
menyebabkan cairan yang keluar dari vagina berbau tidak sedap, bakteri anaerob
yang menyertai Bacterial vaginosis (BV) diantaranya Bacteroides bivins,
Bacteroides Capilosus dan Bacteroides disiens yang dapat diisolasikan dari infeksi
genitalia. Gardenella vaginalis melekat pada sel-sel epitel vagina in vitro, kemudian
menambahkan deskuamasi sel epitel vagina sehingga terjadi perlekatan duh tubuh
pada dinding vagina. Organisme ini tidak invasive dan respon inflamasi lokal yang
terbatas dapat dibuktikan dengan sedikitnya jumlah leukosit dalam sekret vagina
dan dengan pemeriksaan histopatologis. Timbulnya Bakterial Vaginosis (BV) ada
hubungannya dengan aktivitas seksual atau pernah menderita infeksi
Trichomonas. .16

Manifestasi Klinis
Bakterial Vaginosis (BV) adalah suatu kondisi abnormal perubahan
ekologivagina yang ditandai dengan pergeseran keseimbangan flora vagina
dimanadominasi Lactobacillus digantikan oleh bakteri-bakteri anaerob,
diantaranyaGardnerella vaginalis, Mobiluncus, Prevotella, Bacteroides, dan
Mycoplasma sp. Infeksi bakteri ini disebabkan oleh ketidak seimbangan bakteri
17

dalam vagina perempuan, yang mengarah ke factor mengacaukan keseimbangan


pH (asam-basa keseimbangan) di dalam vagina. 18

Baterial Vaginosis (BV) terkadang tidak bergejala namun apabila terdapat


gejala biasanya ditandai dengan keputihan yang mengeluarkan bau tidak sedap, rasa
terbakar pada vulva, dan terasa gatal pada vagina. Jumlah cairan keputihan yang
19

dikeluarkan pada Bacterial vaginosis (BV) dapat normal atau berlebihan sehingga
keputihan yang terjadi pada seorang wanita harus diperiksa lebih lanjut. Cairan
vagina pada Bacterial vaginosis (BV) biasanya encer berbau amis serta berwarna
keabu-abuan dan umumnya keluar pasca senggama. Bacterial vaginosis (BV) juga
ditandai dengan peningkatan PH (asam basa keseimbangan) yang lebih dari 4,5
yang dapat menyebabkan penurunan jumlah Lactobacillus. 20

Diagnosis
Diagnosis Vaginosis bakterial ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan mikroskopis. Anamnesis menggambarkan
riwayat sekresi vagina terus-menerus dengan bau yang tidak sedap. Kadang-
kadang penderita mengeluh iritasi pada vagina disertai disuria/dispareunia, atau
nyeri abdomen. Pada pemeriksaan inspekulo dapat ditemukan sekret vagina yang
berwarna putih atau abu-abu yang melekat pada dinding vagina. 21

Kriteria Amsel
Secara klinik menurut Amsel, diagnosis bakterial ditegakkan bila terdapat tiga dari
empat kriteria berikut,yaitu:
21

- adanya sel clue pada pemeriksaan mikroskopik dari sediaan basah adanya
bau amis, setelah penetesaan KOH 10% pada cairan vagina,
- duh yang homogen, kental, tipis, dan berwarna seperti susu;
- pH vagina > 4.5 yang diperiksa dengan menggunakan phenaphthazine paper
(nitrazine paper).
Dari keempat kriteria tersebut, yang paling baik untuk menegakkan
diagnosis vaginosis bakterial adalah pemeriksaan basah untuk mencari adanya clue
cell (sel epitelvagina yang diliputi oleh coccobacillus yang padat) dan adanya bau
amis pada penetesan KOH 10%. 21

Komplikasi
Banyak komplikasi yang ditimbulkan oleh Bacterial Vaginosis (BV),
Bacterial Vaginosis (BV) diantaranya adalah peningkatan resiko terhadap infeksi
saluran genitalia termasuk infeksi yang disebabkan oleh Chlamydia trachomatis,
Neisseria gonorrhoeae, HSV-1 and -2 dan peningkatan terhadap resiko penularan
human immunodeficiency virus (HIV) dan kelahiran premature. 22

Menurut Rungpao komplikasi yang dapat timbul pada Bakterial Vaginosis


(BV) antara lain menyebabkan infeksi dan ruptur membran amnion pada
kehamilan, kelahiran prematur, endometritis, komplikasi setelah melahirkan,
Nongonococcal pelvic inflamantory desease, kemandulan, dan dapat meningkatkan
resiko penularan human immunodeficiency virus (HIV)/ Acquired Immune
Deficiency Syndrome (AIDS) .Alsworth dan Peiperth (2009) menyatakan Bacterial
Vaginosis (BV) dapat meningkatkan resiko terjadinya Sexual Transmited Desease
(STD), human immunodeficiency virus (HIV), dan penyakit kelamin yang lain. 23
Adanya penyakit menular seksual bisa meningkatkan resiko Bakterial
Vaginosis (BV). Pemakaian douching vagina yang merupakan produk untuk
menjaga hygiene wanita (vaginal spray atau vaginal wipes dan buble baths bisa
menyebabkan terjadinya Bakterial Vaginosis (BV). Hubungan seksual tanpa
menggunakan kondom dapat juga menyebabkan Bakterial Vaginosis (BV). 24

2.4.2 Trikomoniasis
Definisi
Dikenal tiga spesies penyebab trikomoniasis pada manusia yaitu Trichomonas
vaginalis, Trichomonas tenax, dan Trichomonas hominis. Trichomonas vaginalis
merupakan spesies yang patogen pada manusia dan menyebabkan trikomoniasis
vagina. 27,28
Trichomonas vaginalis merupakan protozoa pada traktus urogenitalis
penyebab penyakit menular seksual. 29

Berdasarkan laporan WHO pada tahun 2005, diperkirakan terdapat 248.5 juta
kasus trikomoniasis vagina. Pada tahun 2008 terjadi peningkatan sebesar 11,2 %
yaitu sebesar 276.4 juta kasus. Diperkirakan 2.8% infeksi banyak terjadi pada
27

perempuan usia muda 18-25 tahun di Amerika Serikat. 26

Beberapa penelitian mengenai penyakit menular seksual dan perilaku juga telah
dilakukan di beberapa propinsi di Indonesia, sekitar 10-15% terinfeksi oleh
Chlamydia dan Trichomonas. Penelitian di Bitung pada tahun 2003 melaporkan
bahwa prevalensi trikomoniasis sebesar 20% pada wanita penjaja seks (WPS) dan
16% pada WPS jalanan. Gejala trikomoniasis pada laki–laki dapat berupa
28

urethritis, epididimitis, dan prostatitis, namun sering tidak khas atau asimptomatik
pada laki–laki. Sedangkan pada perempuan, gejala dapat berupa vaginitis dan
servisitis. Infeksi oleh Trichomonas vaginalis juga dapat menyebabkan kelahiran
29

prematur, penyakit radang panggul pada perempuan, dan infertilitas pada


perempuan maupun laki–laki. 30
Berdasarkan beberapa penelitian yang telah
dilakukan di Amerika Serikat, diperkirakan sebanyak 746 kasus baru pada penderita
HIV pada wanita setiap tahunnya dihubungkan dengan infeksi Trichomonas
vaginalis, sehingga memudahkan penularan infeksi HIV. 25,26
Diagnosis
klinis dapat ditegakkan melalui gejala klinis maupun pemeriksaan laboratorium,
walaupun terkadang gejala klinis yang ditunjukkan sering tidak khas atau
asimptomatik, sehingga perlu dikembangkan beberapa metode pemeriksaan
laboratorium lain untuk membantu menegakkan diagnosis.
Siklus hidup Trichomonas vaginalis
Secara morfologi protozoa Trichomonas vaginalis hanya memiliki stadium
trofozoit, berbentuk seperti buah pir atau telur bulat dengan panjang 10-30µm dan
lebar 5-10 µm, memiliki satu inti, empat flagel dibagian anterior, satu flagel
posterior yang melekat pada membran bergelombang, dan aksostil. Infeksi terjadi
secara langsung melalui hubungan seksual, stadium trofozoit masuk dan menempel
pada sel epitel vagina sehingga menyebabkan degenerasi dan deskuamasi sel epitel
vagina (Gambar 1) T. vaginalis menghasilkan sistein proteinase sehingga dapat
30 30

menempel pada epitel vagina. Selain itu T. vaginalis juga dapat memodulasi
antigen permukaan melalui variasi antigen sehingga tidak dikenali oleh sistem
imun. 30

Gambar 1 . Siklus hidup T.vaginalis 30

Gejala Klinis Trikomoniasis


Gejala klinis trikomoniasis bervariasi pada perempuan mulai dari tanpa
gejala sampai menimbulkan gejala berupa vaginitis. Sepertiga perempuan tanpa
gejala berkembang menjadi vaginitis selama 6 bulan. Gejala klinis lain berupa
14

keputihan berwarna hijau kekuningan, berbusa, gatal pada vulva, nyeri pada saat
buang air kecil, nyeri pada saat berhubungan seksual, dan lesi berupa bintik– bintik
perdarahan pada servix atau disebut “strawberry cervix”. 1,5,15
Gejala klinis pada laki–
laki yang terinfeksi juga bervariasi dari asimptomatik sampai uretritis dan nyeri
pada saat buang air kecil. Tetapi penegakan diagnosis tidak dapat dilakukan hanya
berdasarkan gejala klinis karena beberapa gejala juga mirip dengan penyakit
Sexually Transmitted Diseases (STD) lainnya. Studi yang dilakukan pada beberapa
penderita STD menunjukkan gejala yang asimptomatik pada 25% perempuan dan
40-75% pada laki–laki yang terinfeksi. Oleh karena infeksi trikomoniasis tidak
5

spesifik dan sering asimptomatik, maka diperlukan beberapa pemeriksaan


laboratorium untuk menegakkan diagnosis trikomoniasis.
Diagnosis
Pemeriksaan mikroskopik merupakan pemeriksaan langsung, sederhana
dengan biaya yang relatif murah, dilakukan untuk melihat parasit berbentuk seperti
buah pir dengan ciri khas, melihat pergerakan dari stadium trofozoit Trichomonas
vaginalis melalui pembuatan sediaan basah menggunakan larutan salin dari sekret
vagina maupun sekret uretra. Pemeriksaan ini pertama kali diperkenalkan oleh
3,5

Donne pada tahun 1836 . 15


Namun pemeriksaan mikroskopik ini kurang sensitif
dikarenakan pengamatan mikroskopik harus dilakukan sesegera mungkin dan
apabila terjadi keterlambatan dalam pengumpulan, transport dan pemeriksaan
spesimen, maka akan mengurangi kemampuan pergerakan dari parasit.
Pemeriksaan yang dilakukan antara 10-30 menit, penyimpanan spesimen di bawah
suhu 22°C akan mengurangi motilitas atau pergerakan parasit. 3,5

Dari beberapa penelitian yang dilakukan didapatkan bahwa pemeriksaan


mikroskopik hanya memiliki sensitivitas berkisar 44-68% apabila dibandingkan
dengan pemeriksaan molekuler. Sensitivitas dari pemeriksaan ini rendah
5

dikarenakan bila jumlah parasit hanya sedikit atau lebih rendah dari 10 parasit/mL,
4

maka parasit tidak tampak. Pemeriksaan pap smear merupakan pemeriksaan yang
3,15

sering digunakan dalam praktik klinik dan ditemukan T. vaginalis. Tetapi


pemeriksaan pap smear tidak dapat diandalkan untuk mendiagnosis T. vaginalis
karena hanya memiliki sensitivitas 57-61% dan spesifisitas 83-97%. 3,5,14
Jenis
pewarnaan lain yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan acridine orange
dan giemsa. Oleh karena itu diperlukan tes yang lebih sensitif dan spesifik untuk
mendeteksi trikomoniasis pada wanita asimptomatik.
Kultur
Untuk menunjang pemeriksaan mikroskopik, diperlukan pemeriksaan
kultur terhadap sekret vagina dengan menggunakan medium yang sesuai. Beberapa
medium kultur yang sering digunakan seperti medium Diamond’s, Trichosel, dan
InPouch . Kultur merupakan metode yang direkomendasikan sebagai “Gold
TM 28

standard” dalam diagnosis trikomoniasis karena hasilnya mudah diinterpretasikan,


diinkubasi pada suhu 37°C dan hanya memerlukan sekitar 300-500 trikomonas/ml.
Diperlukan waktu sekitar 2-7 hari untuk deteksi T.vaginalis. Kontaminasi dengan
2,16

bakteri merupakan masalah utama dalam pemeriksaan dengan menggunakan


kultur. 15
Untuk meningkatkan kemampuan metode kultur dalam diagnosis
T.vaginalis, dikembangkan metode terbaru yaitu metode sampul plastik (TV in
Pouch). Metode TV in Pouch merupakan metode pemeriksaan langsung dari biakan,
terbuat dari plastik lunak tahan oksigen dan terdiri atas dua ruangan berbentuk V
yang dihubungkan dengan lubang yang meruncing. Ruangan atas merupakan
ruangan tempat sampel yang diduga mengandung parasit dan pengamatan secara
langsung dapat dilakukan dari kedua ruangan tersebut menggunakan mikroskop
(Gambar 2). TV in Pouch harus disimpan pada suhu kamar (18-28°C) selama 48
jam17,18
Penelitian oleh Levi dan kawan – kawan melaporkan bahwa TV in Pouch
memiliki sensitivitas sebesar 82.4% bila dibandingkan dengan medium diamond
dengan sensitivitas sebesar 87.8%. Dapat disimpulkan bahwa TV in Pouch
sebanding dengan metode diamond dalam diagnosis T. vaginalis. 24

Gambar 2. Metode Sampul Plastik (TV in Pouch)

Komplikasi
Baru-baru ini penelitian telah menunjukkan hubungan antara infeksi
T.Vaginalis dan komplikasi T.vaginalis pada kehamilan seperti kelahiran prematur,
berat badan lahir rendah pada bayi baru lahir, radang panggul. Trichomonas
Vaginalis juga telah dikaitkan dengan peningkatan risiko penularan HIV pada laki-
laki Non-gonococcal Uretritis (NGU). Trikomoniasis mungkin merupakan
penyebab penting uretritis non-gonococcal. Sebuah penelitian menemukan bahwa
pada pria dengan NGU, terdapat 19,9% yang terinfeksi Trichomonas. 24

Prognosis
Prognosis yang sangat baik dengan resolusi infeksi yang terbentuk setelah
pengobatan yang tepat. Pengobatan pasangan seksual penting untuk menghindari
infeksi ulang. Infeksi yang tidak diobati dapat bertahan hingga 5 tahun. 28

2.4.3 Kandidiasis Vulvovaginalis


Definisi
Kandidiasis vulvovaginal (KVV) merupakan inflamasi pada daerah
vagina dan vulva yang disebabkan oleh terutama spesies Candida albicans atau
salah satu dari spesies non Candida albicans : Candida glabrata, Candida
tropicalis, Candida parapsilosis dan Candida krusei. 31

KVV merupakan infeksi jamur oportunistik yang dapat terjadi secara


primer atau sekunder dan dapat bersifat akut, subakut maupun kronis episodik.
Infeksi kronis bila berlangsung lebih dari 3 tahun. Kandidosis Vulvovaginalis
32

Rekuren (KVVR) didefinisikan sebagai infeksi yang mengalami kekambuhan


4 kali atau lebih dalam setahun. Pada umumnya infeksi disebabkan adanya
kolonisasi yang berlebihan dari spesies Candida yang sebelumnya bersifat
saprofit pada vulva dan vagina, dan jarang disebabkan sumber infeksi dari luar
(sumber infeksi dari tanaman, lingkungan, udara dan tanah). 33

Epidemiologi
Wanita biasanya dapat mengalami infeksi sedikitnya satu episode
kandidiasis vulvovaginal selama hidupnya sekitar 75-80% dan diperkirakan
40- 50% mengalami infeksi ulangan. 27

Etiologi dan Faktor Risiko


Beberapa literatur menyatakan bahwa C. albicans merupakan penyebab
utama KVV, sebesar 75%–95% dari keseluruhan kasus KVV, tetapi akhir-akhir
ini telah dilaporkan terjadi peningkatan spesies C. non-albicans sebagai
penyebab KVV, terutama C. glabrata dan C. tropicalis. 25

Faktor predisposisi dari KKV ini adalah fluktuasi hormone kehamilan,


fase luteal siklus menstruasi, penggunaan kontrasepsi oral dan terapi
penggantian hormon. Faktor risiko terkait dengan peningkatan spesies C. non-
27

albicans antara lain seperti kondisi imunosupresi atau sakit berat, prematuritas,
penggunaan antibiotik spektrum luas, dan penggunaan obat antijamur secara
empiris dan tidak tepat.
Faktor risiko terkait host seperti: 25,28

• Kehamilan
Prevalensi pada wanita hamil sekitar 30%, terutama pada trimester
kedua dan ketiga dengan gejala simptomatik maupun asimptomatik.
Peningkatan risiko pada kehamilan disebabkan oleh faktor yang
berhubungan dengan kehamilan, seperti perubahan imunologis,
peningkatan kadar hormon reproduksi dan peningkatan produksi glikogen.
• Kontrasepsi oral
Penggunaan pil kontrasepsi oral juga dapat menjadi faktor risiko.
Beberapa penelitian melaporkan efek hormonal pada kehamilan sama
dengan pemakaian pil kontrasepsi oral, terutama yang mengandung dosis
hormonal tinggi. Penggunaan pil kontrasepsi oral dapat meningkatkan
glikogen vagina sehingga terjadi peningkatan ketersediaan nutrisi
karbohidrat yang mendukung pertumbuhan Candida serta dapat
meningkatkan adhesi Candida ke epitel vagina.
• Diabetes Mellitus yang tidak terkontrol
• Imunosupresi
Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), kemoterapi kanker,
terapi glukokortikoid, transplantasi organ, kanker, diabetes melitus,
tuberkulosis dan penyakit kronis lainnya dapat menjadi faktor risiko.
• Penggunaan antibiotika
Penyebab yang paling sering adalah antibiotika spektrum luas seperti
tetrasiklin,ampisilin, dan sefalosporin. Antibiotika menyebabkan
penipisan mikroflora bakteri vagina sebagai mekanisme pertahanan vagina
yang dominan terhadap Candida.
• Glukokortikoid serta predisposisi genetik.
• Faktor risiko perilaku lain seperti higien dan pakaian.
Pakaian ketat dapat menyebabkan peningkatan kelembapan perineum
dan suhu yang dapat berkontribusi terhadap proliferasi Candida. Pakaian
dalam sintetis dapat menyebabkan reaksi alergi dan hipersensitivitas lokal
serta mengubah lingkungan vagina. 34

Perilaku higiene wanita yang dapat memicu hipersensitivitas lokal


atau reaksi alergi seperti penggunaan pantyliner dan cairan pembersih
vagina. Cairan pembersih vagina tidak hanya memasukkan zat eksogen
yang dapat menyebabkan reaksi alergi dan perubahan pH, tetapi juga
mendorong pembersihan mekanis dari bakteri komensal yang
mempengaruhi keseimbangan ekologi rongga vagina. 34

Patogenesis
Terdapat dua faktor virulensi jamur kandida yaitu dinding sel dan sifat
dismorfik kandida. Dinding sel berperan penting dalam virulensi karena merupakan
bagian yang berinteraksi langsung dengan sel pejamu. Dinding sel kandida
mengandung 80-90% karbohidrat, yang terdiri dari b-glukan, khitin, mannoprotein,
6-25% protein dan 1-7% lemak. Salah satu komponen dinding sel yaitu
mannoprotein mempunyai sifat imunosupresif sehingga mempertinggi pertahanan
jamur terhadap imunitas pejamu.
Kandida tidak hanya menempel, namun juga penetrasi ke dalam mukosa.
Enzim proteinase aspartil membantu kandida pada tahap awal invasi jaringan untuk
menembus lapisan mukokutan yang berkeratin. Faktor virulensi lain berupa sifat
dismorfik kandida yaitu kemampuan kandida berubah bentuk menjadi pseudohifa.
Bentuk utama kandida adalah bentuk ragi (spora) dan bentuk pseudohifa (hifa,
miselium, filamen). Dalam keadaan patogen bentuk hifa mempunyai virulensi lebih
tinggi dibandingkan bentuk spora karena ukurannya lebih besar dan lebih sulit
difagositosis oleh sel makrofag. Kandida bersifat parasit akan menginvasi sel
pejamu dengan cara imunomodulasi dan adhesi. Rangsangan untuk meningkatkan
atau menurunkan reaksi imun pejamu. Zat seperti khitin, glukan, dan mannoprotein
adalah kandungan yang terdapat dalam dinding sel yang berperan dalam proses
imunomodulasi. Respon imunomodulasi membuat diproduksinya sejumlah protein
(heat shock protein (hsp) yang berperan dalam proses perangsangan respon imun
dan proses pertumbuhan kandida. Adhesi merupakan langkah awal untuk terjadinya
kolonisasi. Dengan adhesi, kandida melekat pada sel pejamu melalui interaksi
hidrofobik. Hal ini menurunkan kadar pembersihan jamur dari tubuh melalui
regulasi imun normal. Ketika Candida albicans penetrasi ke permukaan mukosa
pejamu terjadi perubahan bentuk jamur dari spora ke pseudohifa sehingga
membantu jamur menginvasi jaringan perjamu melalui pelepasan beberapa enzim
degradatif seperti berbagai proteinase, proteinase aspartil dan fosfolipase.
Koloni jamur tumbuh secara aktif menjadi miselia dan umumnya ditemukan
dalam keadaan patogenik. Jika kondisi memungkinkan, proses penyakti diduga
dimulai dari perlekatan sel Candida pada epitel vagina dan selanjutnya menjadi
bentuk miselia. Hifa Candida kemudian tumbuh dan berkolonisasi pada permukaan
vagina. Percobaan in vitro menunjukkan proses perlekatan ini, hifa yang tumbuh
dan berkolonisasi lebih tinggi oleh adanya perubahan estrogen. 35

Selain itu Candida albicans dapat memproduksi enzim protease yang


bekerja optimal pada pH normal vagina. Hal ini dapat mendukung pertumbuhan
jamur yang dapat menghasilkan beberapa faktor yang dapat merusak epitel vagina
sehingga menyebabkan vaginitis. Mekanisme lainnya termasuk reaksi alergi
terhadap jamur. Sejumlah kecil dari kelompok penderita kandidosis vulvovaginalis
ini mengalami episode kronis atau rekuren. Hal ini disebabkan oleh infeksi berulang
pada vagina, fase interseluler yang menetap dari organisme Candida, serta faktor
imunitas dari penderita. 35

Gambaran Klinis
Keluhan Kandidiasis vulvovaginal biasanya memiliki gejala pada
vagina yang berhubungan dengan peradangan yaitu: 36

• Gatal diikuti dengan rasa terbakar


• Kemerahan
• Keputihan berupa sekret kental seperti keju, berwarna putih kekuningan
• Disuria
• Dispareunia
• nyeri vagina
• vagina kering

Gambar 2.7 Gambaran klinis candidiasis vulvoagina.

Semua spesies Candida menghasilkan gejala infeksi vulvovaginal yang


serupa meskipun presentasi spesies non Candida albicans seringkali lebih ringan
atau bahkan asimtomatik. Kasus berulang sering muncul dengan gejala gatal lebih
dominan dan sekret lebih jarang. Pada vulva dapat terjadi eritema dengan fisura
yang sering terlokalisasi pada tepi mukosa introitus vagina dan dapat meluas
mengenai labia mayora disertai gatal dan kemerahan. . 37

Diagnosa
1. Sesuai gejala klinis.
2. Pada pemeriksaan tampak mukosa vagina kemerahan dan pembengkakan
labia dan vulva sering disertai pustulopapular di sekeliling lesi.
Kadang-kadang dijumpai gambaran khas berupa vaginal trush yaitu
bercak putih terdiri atas gumpalan jamur, jaringan nekrosis sel epitel yang
menempel pada dinding vagina. Rasa sakit di daerah vagina, iritasi, rasa
panas, dispareuni dan sakit bila buang air kecil adalah gejala sering yang
biasa ditemukan. Sekret berwarna putih seperti krim susu/keju atau kuning
tebal, tetapi dapat juga cair seperti air atau tebal homogen, bau minimal
dan tidak mengganggu, ekskoriasi atau ulkus, serviks biasanya normal,
dapat sedikit eritema disertai sekret putih yang menempel pada
dindingnya. 29

3. Pemeriksaan laboratorium
Mikroskopis: Deteksi sel-sel ragi atau hifa dengan pewarnaan gram dari
hapusan vagina dan hapusan serviks papaniculau juga sensitif untuk mendeteksi
adanya infeksi pada vagina. Hapusan vagina yang diambil diberi larutan KOH
10-20% dan dipulas dengan pewarnaan Gram. Dengan pemeriksaan langsung
terlihat sel budding yang khas, pseudohifa dan kadang-kadang hifa sejati. 29

Gambar 2.8 C. albicans pada pulasan sediaan basah dari spesimen sekret
vagina pasien candidiasis vagina

Pembiakan dapat dilakukan dengan media kultur Sabouraud Dextrose


Agar (SDA) tanpa sikloheksimid, dengan antibiotika kloramphenikol
ditambahkan pada media. Kolonisasi jamur akan tumbuh dalam 24-48 jam
pada suhu 20- 35 C. Koloni yang tumbuh berbentuk bulat, tepi seperti lensa
o

bikonveks, basah dan berwarna krem. Dengan media Cornmeal- Tween 80


atau Nickerson Polysacharide Trypan Blue pada suhu 25 C, biakan akan
o

tumbuh dalam 3 hari. 38

2.8 Gambar Kultur


Albican
Diagnosa Banding
Diagnosis banding dari Kandidiasisis yaitu Vaginosis bakteri
dan Trikhomoniasis vaginalis. Ketiga peyebab vaginitis tersebut
memiliki gejala klinis yang hampir sama, tetapi berbeda pada hasil
pemeriksaan.
Kondisi Tanda & Gejala Gejala Klinis pH Sediaan Basan
Kandidiasis Sekret yg Sekret kental, <4,5 Pseudohifa atau
meningkat seperti susu spora
(putih,kental), pecah (curdy)
pruritus,disuria,
rasa panas
Vaginosis Secret yang Sekret encer, >4,5 Clue cells
Bacterial meningkat berwarna abu- (>20%)Perganti
(putih,encer), bau abu keputihan dan an flora vagina
menyengat homogen Bau amin
kadang berbusa setelah
penambahan
KOH pd sediaan
Basah
Trikhomoniais Sekret yang Kadang akan >4,5 Trikhomonad
meningkat tampak Sekret motil sebagai
(kuning,berbusa), kuning, berbusa granulasi
bau menyengat dengan atau berwarna merah
(malodorous) tanpa eritem pada dan dikenal
Pruritus,Disuria vagina atua sebagai
serviks. strawberry
appereance

Tatalaksana
Berikut ini adalah yang penting dilakukan dalam pengobatan
kandidosis vulvovaginitis. 39

1. Eliminasi faktor predisposisi sebagai penyebab.


2. Pemilihan regimen antijamur yang tepat hingga keluhan menghilang dan
pemeriksaan mikroskopis dan kultur negatif.
3. Untuk infeksi rekuren sebaiknya selalu dilakukan kultur dan uji sensitivitas
antijamur.
Pemberian anti jamur dapat secara topikal maupun sistemik, yaitu :
• Sistemik:
Obat anti jamur sistemik terdiri dari golongan azoles merupakan agen
fungistatik sintetik dengan aktivitas spektrum luas. Azoles menghambat enzim
fungal sitokrom P450 3A (CYP3A) dan lanosin 14α-demetilase yang diperlukan
dalam proses konversi lanosterol keergosterol yaitu sterol utama dalam membrane
sel jamur. Penurunan dari ergosterol mengubah komponen membran dari sel
jamur seterusnya menghambat replikasi dari sel-sel tersebut. Azoles juga
menghambat transformasi sel-sel ragi jamur kepada hifa. Obat-obat yang dapat
diberikan adalah ketokonazol, itrakonazol dan flukonazol:
- Ketokonazol 400 mg selama 5 hari
- Itrakonazol 200 mg selama 3 hari atau 400 mg dosis tunggal
- Flukonazol 150 mg dosis tunggal
• Topikal:
Butoconazole, clotrimazole, miconazole, tioconazole dan terconazole
adalah obat topical dari golongan azoles.Obat-obat inibekerja di sel membrane dari
jamur dengan mengganggu tranportasi asam amino ke jamur. Nistatin dari golongan
antibiotik polin makrolid pula bekerja dengan mengganggu permeabilitas dan
fungsi transportasi di membran sel jamur. Obat-obat topical tersedia dalam bentuk
krim,ointment, tablet vagina dan suppositoria diberikan secara intravaginal. Dosis
dan cara pemberiannya adalah:
o Butoconazole 2% kream, 5 gr3 hari
o Butoconazole 2% kream, 5 gr, aplikasi intravagina tunggal
o Clotrimazole 1% kream, 5 gr 7-14 h
o Clotrimazole 100 mg, vaginal tablet 7 hari
o Clotrimazole 100 mg, vaginal tablet, 2 tablet 3 hari
o Clotrimazole 500 mg, vaginal tablet, 1 tablet dalam aplikasi tunggal
o Miconazole 100 mg, vaginal suppositoria, 1 suppositoria 7 hari
o Miconazole 200 mg, vaginal suppositoria, 1 suppositoria 3 hari
o Tioconazole 6,5% ointment, 5 gr, intravagina dalam aplikasi tunggal
o Terconazole 0,4% kream, 5 gr, intravaginal 7 hari
o Terconazole 0,8% kream, 5 gr, intravaginal 3 hari
o Terconazole 80 mg, vagina suppositoria, I suppositoria 3 hari
o Nistatin 100,000 unit, vaginal tablet, 1 tablet 14 hr

Komplikasi
Kandida dapat dibawa oleh aliran darah ke banyak organ termasuk selaput
otak, tetapi biasanya tidak dapat menetap di sini dan menyebabkan abses-abses
milier kecuali bila inang lemah. Penyebaran dan sepsis dapat terjadi pada penderita
dengan imunitas seluler yang lemah, misalnya mereka yang menerima kemoterapi
kanker atau penderita limfoma, AIDS, atau keadaan-keadaan lain. 38

Komplikasi vulvovaginal candidiasis pada ibu hamil dapat terjadi dengan


cara penyebaran infeksi ke bagian atas saluran reproduksi (ascending infection)
melalui diseminasi hematogen. Bayi yang lahir dari ibu yang menderita
vulvovaginal candidiasis dapat terinfeksi secara langsung dari kontaminasi cairan
amnion atau melalui jalan lahir. Komplikasi tersebut adalah prematuritas, aborsi
39

spontan, chorioamnionitis, dan beberapa infeksi yang dapat diderita bayi pada saat
persalinan. Neonatus prematur mudah terinfeksi jamur dikarenakan sistem imun
yang belum matang. Selama persalinan, transmisi dapat terjadi melalui vagina ibu
40

yang telah terinfeksi dengan bayi yang baru lahir dan meningkatkan resiko kejadian
infeksi kandida kongenital. Bayi dengan oral thrush yang mendapatkan air susu
41

ibu (ASI) dapat meningkatkan risiko kandidiasis pada puting susu ibu tersebut. 42

Prognosis
Prognosis dari kelainan ini adalah baik , dengan perawatan yang teliti dan
rutin karena penyakit jamur termasuk penyakit yang sulit untuk disembuhkan,
karena itu membutuhkan ketelatenan dan pengobatan yang relatif cukup lama untuk
menyembuhkan penyakit ini secara tuntas. Rekurensi bisa terjadi disebabkan durasi
pengobatan yang tidak tepat, rekontaminasi atau strain yang resisten. 43,44

2.4.4 Chlamydia Trakomatis


Banyak wanita dengan gonore serviks mengalami gejala. Untuk alasan
ini, wanita yang berisiko diskrining secara berkala. Pelaku risiko atau pembawa
gonokokal dan saluran reproduksi bagian atas potensial yang layak untuk
skrining adalah: usia 24 tahun, S D sebelumnya atau saat ini, pasangan seksual
baru atau ganda, pasangan dengan pasangan bersamaan lainnya, pasangan
dengan SD, tidak memiliki penghalang perlindungan pada mereka yang tidak
memiliki hubungan monogami, dan pekerjaan seks komersial (U.S. Preventive
Services ask Force, 2014). Skrining atau wanita dengan risiko rendah tidak
dianjurkan. 45

Infeksi klamidia dapat menyebabkan penyakit pada banyak sistem


organ, termasuk saluran genitourinari. Chlamydiae adalah mikroorganisme
intraseluler obligat gram negatif kecil yang secara istimewa menginfeksi sel
epitel skuamokolumnar. Mereka termasuk genus Chlamydia (dimana jenis
spesiesnya adalah Chlamydia trachomatis) dan Chlamydophila (misalnya,
Chlamydophila pneumoniae dan Chlamydophila psittaci). 46

C trachomatis dapat dibedakan menjadi 18 serovar (strain varian


serologis) berdasarkan tes pengetikan berbasis antibodi monoklonal. Serovar ini
terkait dengan kondisi medis yang berbeda, sebagai berikut:
- Serovar A, B, Ba, dan C – Trachoma, penyakit mata serius endemik di
Afrika dan Asia yang ditandai dengan konjungtivitis kronis dan dapat
menyebabkan kebutaan
- Serovar D-K – Infeksi saluran genital
- Serovar L1-L3 – Lymphogranuloma venereum (LGV), yang berhubungan
dengan penyakit ulkus genital di negara tropis
Infeksi C trachomatis mempengaruhi serviks, uretra, salping, uterus,
nasofaring, dan epididimis [1, 2, 3] ; itu adalah penyakit menular seksual
bakteri (PMS) yang paling sering dilaporkan di Amerika Serikat dan penyebab
utama infertilitas pada wanita. Infeksi C trachomatis juga menyebabkan
penyakit lain, termasuk konjungtivitis, pneumonia atau pneumonitis, sindrom
pneumonia afebris (pada bayi yang lahir pervaginam dari ibu yang terinfeksi),
sindrom Fitz-Hugh-Curtis, dan trachoma (penyebab utama kebutaan didapat di
dunia).
Saat ini, kurang dari 50% wanita muda yang aktif secara seksual di
Amerika Serikat diskrining untuk keberadaan klamidia. Secara nasional, angka
skrining tahunan meningkat dari 25,3% pada tahun 2000 menjadi 43,6% pada
tahun 2006, kemudian sedikit menurun menjadi 41,6% pada tahun 2007.[5]
Satuan Tugas Layanan Pencegahan AS merekomendasikan skrining
rutin untuk infeksi klamidia. USPSTF merekomendasikan skrining untuk
klamidia pada wanita yang aktif secara seksual berusia 24 tahun atau lebih
muda dan pada wanita yang lebih tua yang berada pada peningkatan risiko
infeksi. Skrining klamidia rutin pada wanita muda yang aktif secara seksual
dianjurkan untuk mencegah konsekuensi dari infeksi klamidia yang tidak
diobati (misalnya, penyakit radang panggul (PID), infertilitas, kehamilan
ektopik, dan nyeri panggul kronis). Sintesis pedoman juga tersedia dari
National Guideline Clearinghouse. 45,46

Epidemiologi
Data internasional
CDC memperkirakan bahwa ada empat juta infeksi klamidia pada tahun
2018. Infeksi klamidia adalah penyakit menular yang paling sering dilaporkan
di Amerika Serikat, dan prevalensinya tertinggi pada orang berusia 15-24
tahun. Insiden tahunan infeksi genital C trachomatis diperkirakan 2,86 juta
kasus di Amerika Serikat pada tahun 2008, yang meningkat menjadi empat juta
pada tahun 2018. 47

Populasi wanita yang aktif secara seksual rata-rata tingkat pembawa


klamidia sekitar 20%. Banyak pasien tidak menunjukkan gejala. Insidennya 2-
3 kali lipat dari Neisseria gonorrhoeae. Prevalensi klamidia telah dilaporkan
setinggi 14% di antara wanita Afrika-Amerika berusia 18-26 tahun dan 17% di
antara wanita dengan riwayat gonore atau klamidia dalam 12 bulan
sebelumnya.
Lebih dari satu juta infeksi menular seksual (IMS) diperoleh setiap hari
di seluruh dunia. Infeksi saluran genital C trachomatis sering terjadi, dengan
perkiraan 127 juta kasus baru di seluruh dunia pada tahun 2016. Serosurvei
telah mendokumentasikan angka kejadian serupa di Australia, Selandia Baru,
Prancis, Jerman, dan Belanda. Laporan dari WHO Initiative for Vaccine
Research (IVR) memperkirakan bahwa ada lebih dari 140 juta kasus infeksi C
trachomatis di seluruh dunia.
2.4.5 Gonorea
Gonore, masalah kesehatan masyarakat yang penting dan penyakit paling
umum kedua yang harus dilaporkan di Amerika Serikat, adalah infeksi purulen
pada permukaan membran mukosa yang disebabkan oleh diplococcus gram
negatif Neisseria gonorrhoeae. Meskipun gonore (bahasa sehari-hari dikenal
sebagai clap and the drip) paling sering menyebar selama kontak seksual,
gonore juga dapat ditularkan dari saluran genital ibu ke bayi baru lahir selama
kelahiran, menyebabkan oftalmia neonatorum dan infeksi neonatus sistemik. 48

Pada wanita, serviks adalah tempat gonore yang paling umum,


mengakibatkan endoservisitis dan uretritis, yang dapat diperumit oleh penyakit
radang panggul (PID). Pada pria, gonore menyebabkan uretritis anterior.
Gonore juga dapat menyebar ke seluruh tubuh hingga menyebabkan penyakit
terlokalisir dan diseminata. Komplikasi termasuk kehamilan ektopik dan
peningkatan kerentanan terhadap infeksi human immunodeficiency virus
(HIV). Paling umum, istilah gonore mengacu pada uretritis dan / atau servisitis
pada orang yang aktif secara seksual.
Infeksi gonokokal setelah transmisi seksual dan perinatal merupakan
sumber utama morbiditas di seluruh dunia. Di negara maju, di mana profilaksis
untuk infeksi mata neonatus adalah standar, sebagian besar infeksi mengikuti
paparan mukosa genitourinari.
Gonokosemia
Gonococcemia didefinisikan sebagai adanya N gonorrhoeae dalam
aliran darah, yang dapat menyebabkan perkembangan infeksi gonokokal
diseminata (DGI). Gonokoksemia terjadi pada sekitar 0,5-3% pasien dengan
gonore.
Pasien yang sedang hamil atau menstruasi mungkin sangat rentan
terhadap gonococcemia. Populasi lain yang berisiko terinfeksi termasuk wanita
dan individu dengan defisiensi komplemen, penyakit HIV, atau lupus
eritematosus sistemik (SLE). DGI adalah entitas klinis yang penting, berpotensi
mengancam jiwa, dan mudah diobati yang tetap menjadi penyebab paling
umum dari artritis septik akut pada orang dewasa muda yang aktif secara
seksual. 59

Etiologi
N gonorrhoeae adalah gram negatif, intraseluler, diplococcus aerobik;
lebih khusus, itu adalah bentuk diplococcus yang dikenal sebagai gonococcus.
N gonorrhoeae disebarkan melalui kontak seksual atau melalui transmisi
vertikal saat melahirkan. Ini terutama mempengaruhi epitel kolumnar atau
kuboid inang. Hampir semua selaput lendir dapat terinfeksi oleh
mikroorganisme ini. Ektopi fisiologis dari sambungan skuamokolumnar ke
ektoserviks pada wanita remaja merupakan salah satu faktor yang menyebabkan
kerentanan khusus terhadap infeksi ini.
Banyak faktor yang mempengaruhi cara gonokokus memediasi virulensi
dan patogenisitasnya. Pili membantu dalam perlekatan gonokokus ke
permukaan mukosa dan berkontribusi terhadap resistensi dengan mencegah
konsumsi dan penghancuran oleh neutrofil. Protein terkait opasitas (Opa)
meningkatkan kepatuhan antara gonokokus dan fagosit, mendorong invasi ke
sel inang, dan mungkin menurunkan regulasi respons imun.
Saluran porin (porA, porB) di membran luar memainkan peran kunci
dalam virulensi. Strain gonokokal dengan porA mungkin memiliki resistensi
yang melekat pada serum manusia normal dan peningkatan kemampuan untuk
menyerang sel epitel, menjelaskan hubungannya dengan bakteremia.
Plasmid didapat tertentu dan mutasi genetik meningkatkan virulensi.
TEM-1-jenis beta-laktamase (penicillinase) mempengaruhi pengikatan
penisilin dan pompa penghabisan dan memberikan resistensi terhadap penisilin.
TetM melindungi ribosom dan memberikan resistensi terhadap tetrasiklin.
Perubahan pada gen gyrA dan parC menghasilkan resistensi fluorokuinolon
dengan aktivasi penghabisan dan penurunan permeasi sel antibiotik. 50

Gonococci menempel pada sel mukosa inang (protein pili dan Opa
memainkan peran utama) dan, dalam 24-48 jam, menembus melalui dan di
antara sel-sel ke dalam ruang subepitel. Respon host yang khas ditandai dengan
invasi dengan neutrofil, diikuti oleh pengelupasan epitel, pembentukan
mikroabses submukosa, dan sekret purulen. Jika tidak diobati, infiltrasi
makrofag dan limfosit menggantikan neutrofil. Beberapa galur gonokokal
menyebabkan infeksi tanpa gejala, yang mengarah ke keadaan pembawa
asimtomatik pada orang-orang dari kedua jenis kelamin.
Kemampuan untuk tumbuh secara anaerobik memungkinkan
gonokokus, ketika bercampur dengan darah menstruasi yang direfluks atau
menempel pada sperma, untuk menginvasi sekunder struktur genital bawah
(vagina dan serviks) dan berkembang ke organ genital bagian atas
(endometrium, salpinx, ovarium).
Infeksi menular seksual
Infeksi gonokokal biasanya mengikuti inokulasi mukosa selama kontak
seksual vaginal, anal, atau oral. Ini juga dapat disebabkan oleh inokulasi
mukosa oleh jari atau benda lain yang terkontaminasi. Penularan melalui
kontak penis-rektal terbilang efisien
Risiko penularan N gonorrhoeae dari wanita yang terinfeksi ke uretra
pasangan prianya adalah sekitar 20% per episode hubungan seksual dan
meningkat menjadi 60-80% setelah 4 atau lebih paparan. Sebaliknya, risiko
penularan dari pria ke wanita mendekati 50-70% per kontak, dengan sedikit
bukti peningkatan risiko dengan lebih banyak paparan seksual.
Orang yang melakukan hubungan seksual tanpa pelindung dengan
pasangan baru cukup sering untuk mempertahankan infeksi dalam suatu
komunitas didefinisikan sebagai pemancar inti.
Patofisiologi
Patofisiologi N gonorrhoeae dan virulensi relatif dari subtipe yang
berbeda tergantung pada karakteristik antigenik dari protein permukaan
masing-masing. Subtipe tertentu mampu menghindari respon imun serum dan
lebih mungkin menyebabkan infeksi diseminata (sistemik).
Plasmid yang dicirikan dengan baik biasanya membawa gen resisten
antibiotik, terutama penisilinase. Gen plasmid dan nonplasmid ditransmisikan
secara bebas antara subtipe yang berbeda. Pertukaran berikutnya dari gen
protein permukaan menghasilkan kerentanan inang yang tinggi terhadap
infeksi ulang. Pertukaran gen resistensi antibiotik telah menyebabkan tingkat
resistensi yang sangat tinggi terhadap antibiotik beta-laktam. Resistensi
fluoroquinolone juga telah didokumentasikan di beberapa benua dan populasi
luas di Amerika Serikat.
Infeksi saluran genital bawah, presentasi klinis yang paling umum,
terutama bermanifestasi sebagai uretritis pria dan endocervicitis wanita. Infeksi
faring, rektum, dan uretra wanita sering terjadi tetapi lebih cenderung tanpa
gejala atau gejala minimal. Penyebaran retrograde organisme terjadi pada
sebanyak 20% wanita dengan servisitis, sering mengakibatkan penyakit radang
panggul (PID), dengan salpingitis, endometritis, dan/atau abses tubo-ovarium.
Penyebaran retrograde dapat menyebabkan peritonitis abdomen yang nyata dan
perihepatitis yang dikenal sebagai sindrom Fitz-Hugh-Curtis.
Sekuele jangka panjang dari PID, seperti infertilitas faktor tuba,
kehamilan ektopik, dan nyeri kronis, dapat terjadi pada hingga 25% pasien
yang terkena. Epididimitis atau epididimo-orkitis dapat terjadi pada pria
setelah uretritis gonokokal. Infeksi genital bagian bawah merupakan faktor
risiko adanya penyakit menular seksual (PMS) lainnya, termasuk human
immunodeficiency virus (HIV).
Konjungtivitis dapat terjadi pada orang dewasa, serta anak-anak,
mengikuti inokulasi langsung organisme (biasanya sebagai akibat dari
inokulasi tangan-mata pada orang dewasa) dan dapat menyebabkan kebutaan.
Infeksi gonokokal diseminata
Infeksi gonokokal diseminata (DGI) terjadi setelah sekitar 1% infeksi
genital. Pasien dengan DGI dapat datang dengan gejala ruam, demam, artralgia,
poliartritis migrasi, artritis septik, tendonitis, tenosinovitis, endokarditis, atau
meningitis.
Organisme N gonorrhoeae menyebar dari situs utama, seperti
endoserviks, uretra, faring, atau rektum, dan menyebar ke darah untuk
menginfeksi organ akhir lainnya. Biasanya, banyak tempat, seperti kulit dan
persendian, terinfeksi. Organisme neisserial menyebar ke darah karena
berbagai faktor predisposisi, seperti perubahan fisiologis inang, faktor virulensi
organisme itu sendiri, dan kegagalan pertahanan imun inang. Misalnya,
perubahan pH vagina yang terjadi selama menstruasi dan kehamilan serta masa
nifas membuat lingkungan vagina lebih cocok untuk pertumbuhan organisme
dan memberikan peningkatan akses ke aliran darah. (Tiga perempat dari kasus
DGI terjadi pada wanita; kerentanan meningkat jika infeksi mukosa primer
terjadi selama menstruasi atau kehamilan.)
Cacat pada pertahanan kekebalan inang juga terlibat dalam
patofisiologi, dengan pasien tertentu lebih mungkin untuk mengembangkan
bakteremia. Secara khusus, pasien dengan defisiensi komponen komplemen
terminal kurang mampu melawan infeksi, karena komplemen memainkan
peran penting dalam membunuh organisme neisserial. Sebanyak 13% pasien
dengan DGI mengalami defisiensi komplemen.
Sebuah penelitian terhadap 22 pasien dengan DGI mengungkapkan
bahwa aktivitas komplemen serum total lebih besar dari 25% di bawah rata-
rata normal. Penyebab lain dari immunocompromise (misalnya, HIV, SLE)
juga merupakan predisposisi penyebaran infeksi. Selain itu, jenis gonore
tertentu yang menyebabkan infeksi genital asimtomatik terlihat berhubungan
dengan DGI.
Diagnosis
Masa inkubasi gonore biasanya 2-7 hari setelah terpapar pasangan yang
terinfeksi. Pada semua pasien yang datang dengan kemungkinan PMS,
anamnesis harus mencakup hal-hal berikut:
- Riwayat PMS sebelumnya (termasuk infeksi HIV dan hepatitis virus
- Riwayat pengobatan untuk PMS yang diketahui
- Gejala PMS yang diketahui pada pasangan seksual saat ini atau di masa
lalu
- Jenis kontrasepsi yang digunakan
- Setiap riwayat kekerasan seksual
- Pada wanita, riwayat juga harus mencakup tanggal periode menstruasi
terakhir dan rincian paritas, termasuk riwayat kehamilan ektopik.

Tempat infeksi gonokokal yang paling umum pada wanita adalah


endoserviks (80%-90%), diikuti oleh uretra (80%), rektum (40%), dan faring
(10%-20%). Jika gejala berkembang, mereka sering bermanifestasi dalam 10
hari setelah infeksi.
Gejala utama termasuk keputihan, disuria, perdarahan intermenstruasi,
dispareunia (hubungan seksual yang menyakitkan), dan nyeri perut bagian
bawah ringan. Ketika servisitis gonokokal tidak menunjukkan gejala atau tidak
dikenali, pasien dapat berkembang menjadi PID, seringkali mendekati periode
menstruasi. PID mungkin asimtomatik atau diam dan terjadi pada 10-20%
wanita yang terinfeksi.
Pemeriksaan Fisik
Infeksi N gonorrhoeae dapat dikenali dengan tanda dan gejala khas
penyakit, tetapi penting untuk diingat bahwa, pada saat penyakit saluran
reproduksi bagian atas atau diseminata hadir, situs utama infeksi mukosa
mungkin tampak normal, dan pasien mungkin tidak memiliki tanda atau gejala
lokal. 49

Dengan infeksi orofaringeal, faringitis (biasanya ringan) dapat terjadi.


Dengan infeksi dubur, mungkin ada cairan mukopurulen atau purulen.
Pemeriksaan fisik juga harus selalu mencakup pemeriksaan tanda-tanda herpes
simpleks, sifilis, chancroid, limfogranuloma venereum, dan kutil kelamin.
Ditemukan :
- Cairan vagina, uretra, atau serviks mukopurulen atau purulent
- Pendarahan vagina; vulvovaginitis pada anak-anak
- Kerapuhan serviks - Kecenderungan untuk berdarah saat dimanipulasi
- Kelembutan gerakan serviks selama pemeriksaan panggul bimanual
- Kepenuhan dan/atau nyeri tekan adneksa, unilateral atau bilateral
(misalnya ovarium, tuba fallopi)
- Nyeri/nyeri perut bagian bawah, dengan atau tanpa nyeri tekan kembali
- Kemungkinan nyeri punggung bawah - Lebih sering berkembang menjadi
penyakit radang panggul (PID)
- Nyeri tekan perut kanan atas (dengan perihepatitis)
- Demam

Tatalaksana
Rekomendasi CDC atau terapi dosis tunggal untuk operasi serviks,
uretra, atau rektal tanpa komplikasi diuraikan dalam Tabel. 2
2.5 Ulkus Genital
2.5.1 Infeksi Herpes Simpleks Virus
Herpes Simpleks Virus adalah penyakit ulkus genital yang paling umum
dan merupakan infeksi virus kronis. Virus memasuki ujung saraf sensorik dan
mengalami transpor aksonal retrograde ke ganglion akar dorsal, di mana virus
berkembang dengan latensi yang sedikit. Reaktivasi spontan oleh berbagai
peristiwa menghasilkan transpor anterograde partikel/protein virus ke
permukaan. Di sini virus dilepaskan, tanpa atau tanpa pembentukan lesi.
Dipostulatkan bahwa mekanisme imun mengontrol latensi dan reaktivasi. 2

Ada dua jenis virus herpes simpleks, HSV-1 dan H SV-2. tipe 1 H SV
adalah penyebab paling sering dari lesi oral. tipe 2 HSV lebih sering ditemukan
pada lesi genital, meskipun kedua tipe tersebut dapat menyebabkan herpes
genital. Diperkirakan bahwa o wanita Amerika berusia 14 hingga 49 tahun, 21
persen pernah menderita HSV-2 genital, dan 60 persen wanita seropositif
terhadap HSV-1 (Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit, 2010; Xu,
2006). Kebanyakan wanita yang pernah terkena HSV-2 tidak memiliki
diagnosis ini karena operasi yang ringan atau tidak dikenali. Pada pasien yang
terinfeksi dapat menularkan virus saat tidak menunjukkan gejala, dan sebagian
besar infeksi ditularkan secara seksual oleh pasien yang tidak menyadarinya.
Sebagian besar (65 persen) yang aktif adalah perempuan. 2

Gejala
Gejala pasien pada manifestasi awal akan tergantung terutama pada
apakah pasien selama episode saat ini memiliki antibodi dari paparan
sebelumnya atau tidak. Saya seorang pasien tidak memiliki antibodi, tingkat
serangan pada orang yang terpapar mendekati 70 persen. Masa inkubasi rata-
rata adalah sekitar 1 minggu. Sampai 90 persen dari mereka yang bergejala
dengan awal mereka eksi akan memiliki episode lain dalam waktu satu tahun.
Virus ini menyerang sel-sel epidermis yang hidup, responsnya adalah
eritema dan ormasi papula. Dengan kematian sel dan lisis dinding sel, terbentuk
lepuh yang terlihat pada gambar. Penutupan kemudian mengganggu,
meninggalkan ulkus yang biasanya nyeri. Lesi ini berkembang menjadi
pengerasan kulit dan sembuh, tetapi dapat menjadi infeksi sekunder. Tiga tahap
lesi adalah: (1) vesikel dengan atau tanpa pustula, yang berlangsung kira-kira
seminggu; (2) ulserasi; dan (3) pengerasan kulit. Virus dapat ditumpahkan
selama dua fase pertama wabah menular.
Rasa terbakar dan nyeri hebat menyertai lesi vesikular awal. Dengan
ulkus, frekuensi berkemih dan/atau disuria langsung Rasa terbakar dan nyeri
hebat menyertai lesi vesikular awal. Dengan borok, frekuensi buang air kecil
dan/atau disuria akibat kontak langsung urin dengan borok dapat menjadi
keluhan. Pembengkakan lokal dapat menyebabkan lesi pada vulva dan
menyebabkan obstruksi uretra. Sebagai alternatif atau tambahan, lesi herpes
dapat melibatkan vagina, leher rahim, kandung kemih, anus, dan rektum.
Umumnya, seorang wanita memiliki tanda-tanda lain o viremia seperti derajat
rendah pernah, sakit kepala, malaise, dan mialgia.
Viral load tidak diragukan lagi berkontribusi pada jumlah, ukuran, dan
distribusi lesi. Mekanisme kepadatan pejamu yang normal menghambat
pertumbuhan virus, dan penyembuhan dimulai dalam 1 sampai 2 hari.
Pengobatan dini dengan obat antivirus menurunkan viral load. Pasien dengan
defisiensi imun mengalami peningkatan kerentanan tetapi menunjukkan
respons yang berkurang dan penyembuhan yang tertunda.
Untuk pasien yang sebelumnya tidak terinfeksi, stadium vesikular lebih
lama. Periode pembentukan lesi baru dan waktu penyembuhan keduanya lebih
lama. Nyeri menetap atau 7 sampai 10 hari pertama, dan penyembuhan lesi
membutuhkan 2 sampai 3 minggu. Saya seorang pasien telah memiliki paparan
HSV-2 sebelumnya, episode awal secara signifikan kurang parah, dengan durasi
nyeri dan nyeri yang lebih pendek, dan waktu penyembuhan sekitar 2 minggu.
Virus ditumpahkan biasanya hanya selama minggu pertama.
Kekambuhan setelah HSV-2 sering terjadi, dan hampir dua pertiga
pasien memiliki prodromal sebelum onset lesi. Heralding parestesia sering
digambarkan sebagai pruritus atau kesemutan di area sebelum pembentukan
lesi. Namun, gejala prodromal dapat berkembang tanpa pembentukan lesi yang
sebenarnya. Manifestasi klinis atau wanita dengan kekambuhan lebih terbatas,
dengan gejala hanya 1 minggu atau kurang. 2

Diagnosa
Standar emas atau diagnosis herpes genital adalah kultur jaringan,
spesifik tinggi, tetapi sensitivitasnya rendah dan menurun saat lesi sembuh.
Pada penyakit rekuren, kurang dari 50 persen kultur positif. Pengujian reaksi
berantai polimerase (PCR) dari eksudat yang diseka dari ulkus berkali-kali lebih
sensitif daripada kultur dan mungkin akan menggantikannya. Yang penting,
hasil kultur negatif tidak berarti tidak ada herpetik di eksi.
Tes serologis juga dapat menambah kejelasan. Virus herpes simpleks
dikelilingi oleh glikoprotein amplop, dan di antara ini, glikoprotein G adalah
antigen atau penapisan antibodi.
Pemeriksaan serologis dapat mendeteksi antibodi yang spesifik terhadap
glikoprotein G2 (HSV-2) dan glikoprotein G1 (HSV-1) dan glikoprotein G1
(HSV-1). Spesifik pengujian adalah 96 persen, dan sensitivitas pengujian
antibodi HSV-2 berkisar antara 80 hingga 98 persen. Yang penting, dengan
skrining serologi, hanya tes antibodi IgG yang dipesan. Pengujian IgM dapat
menyebabkan hasil yang ambigu karena tes IgM tidak spesifik untuk tipe
tertentu dan juga mungkin positif selama wabah berulang. Meskipun tes ini
dapat digunakan untuk mengkonfirmasi infeksi herpes simpleks, serokonversi
setelah HSV-2 awal pada infeksi memakan waktu sekitar 3 minggu. Jadi, dalam
kasus yang jelas secara klinis, pengobatan segera dan skrining SD tambahan
dapat dimulai setelah pemeriksaan fisik saja. Secara umum, skrining SD wanita
yang sehat D biasanya mencakup pengujian yang ditujukan untuk
mengidentifikasi sifilis, gonore, trikomoniasis, dan infeksi HIV, klamidia, dan
hepatitis B.
Skrining serologis atau HSV pada populasi umum tidak dianjurkan.
Namun, tes serologi HSV dapat dipertimbangkan atau individu yang terinfeksi
HIV atau atau wanita yang hadir atau evaluasi SD, terutama atau mereka yang
memiliki banyak pasangan dan atau mereka yang berada dalam demografi
dengan prevalensi tinggi (Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit, 2015).
Ini juga dapat menambah manajemen dalam ormasi atau pemikiran pasangan
tetapi tidak dikonfirmasi menjadi sumbang atau dalam tindakan (American
College o Obstetricians and Gynecologists, 2014b).
Tatalaksana
Manajemen klinis adalah dengan terapi antivirus yang tersedia saat ini.
Analgesia dengan obat anti inflamasi nonsteroid atau narkotik ringan seperti
asetaminofen dengan kodein dapat diresepkan. Selain itu, anestesi topikal
seperti salep lidokain dapat meredakan. Perawatan lokal untuk mencegah
infeksi bakteri sekunder adalah penting.
Edukasi pasien adalah wajib, dan topik khusus mencakup riwayat
penyakit, penularan seksualnya, metode untuk mengurangi penularan, dan
konsekuensi obstetrik. Khususnya, HSV dapat ditularkan ke neonatus selama
persalinan pervaginam melalui persalinan.
Terapi antivirus yang tersedia saat ini termasuk asiklovir (Zovirax),
amsiklovir (Famvir), dan valacyclovir (Valtrex). Regimen obat oral yang
direkomendasikan CDC tercantum dalam Tabel 3-4. Meskipun agen-agen ini
dapat mempercepat penyembuhan dan mengurangi gejala, terapi tidak
membasmi virus laten atau mempengaruhi tingkat rekurensi pada operasi.
Untuk wanita dengan infeksi HSV-2, terapi mungkin tidak diperlukan
jika gejalanya minimal dan dapat ditoleransi oleh pasien. Terapi episodik atau
penyakit rekuren idealnya dimulai setidaknya dalam 1 hari setelah lesi
berjangkit atau selama prodromal, jika ada. Pasien dapat diberikan resep
sebelumnya sehingga obat tersedia untuk memulai terapi dengan gejala
prodromal.
Episode I berulang pada interval yang berulang, seorang wanita dapat
memilih terapi supresif harian, yang mengurangi kekambuhan sebesar 70
hingga 80 persen. Terapi supresif dapat menghilangkan kekambuhan dan
menurunkan transmisi seksual virus sekitar 50 persen (Corey, 2004). Dosis
sekali sehari dapat menghasilkan peningkatan kepatuhan dan penurunan biaya. 2

2.5.2 Sifilis
Patofisiologi
Sifilis adalah IMS yang disebabkan oleh spirochete Treponema
pallidum, yang merupakan organisme ramping berbentuk spiral dengan ujung
meruncing. Wanita dengan risiko tertinggi adalah mereka yang berasal dari
kelompok sosial ekonomi rendah, remaja, mereka yang melakukan aktivitas
seksual sejak dini, dan mereka yang memiliki banyak pasangan seksual tidak
tetap. Tingkat serangan atau ini kira-kira 30 persen. Pada tahun 2011, lebih dari
49.000 kasus (semua stadium) sifilis dilaporkan oleh departemen kesehatan
negara bagian di Amerika Serikat. 2,51

Riwayat alami sifilis pada pasien yang tidak diobati dapat dibagi
menjadi beberapa tahap. Dengan sifilis primer, ciri khasnya adalah chancre, di
mana spirochetes berlimpah. Secara klasik, ini adalah ulkus non-tender
terisolasi dengan batas membulat yang menonjol dan dasar yang tidak
terpancang yang terlihat pada gambar. Bagaimana itu dapat menjadi infeksi
sekunder dan sakit nyeri. Chancre sering ditemukan di leher rahim, vagina, atau
vulva, tetapi bisa juga terbentuk di mulut atau di sekitar anus. Lesi ini dapat
berkembang 10 hari sampai 12 minggu setelah terpapar, dengan masa inkubasi
rata-rata 3 minggu. Masa inkubasi berhubungan langsung dengan ukuran
inokulum. Tanpa pengobatan, lesi ini sembuh secara spontan hingga 6 minggu

Dengan sifilis sekunder, bakteremia berkembang 6 minggu sampai 6


bulan setelah chancre muncul. Ciri khasnya adalah ruam makulopapular yang
dapat mengenai seluruh tubuh dan mencakup telapak tangan, telapak kaki, dan
membran mukosa yang terlihat pada gambar. Seperti benar atau chancre, ruam
ini secara aktif melepaskan spirochetes. Di daerah tubuh yang hangat dan
lembab, ruam ini dapat menghasilkan plak yang luas, merah muda atau abu-
abu-putih, sangat aktif yang disebut kondiloma lata. Karena sifilis adalah
infeksi sistemik, manifestasi lain mungkin termasuk pernah dan malaise. Selain
itu, sistem organ seperti ginjal, hati, sendi, dan SSP (meningitis) dapat terlibat. 2
Selama tahun pertama setelah sifilis sekunder tanpa pengobatan, disebut
sifilis laten dini, tanda-tanda sekunder dan gejala dapat berulang. Namun, lesi
yang terkait dengan wabah ini biasanya tidak menular. Sifilis laten akhir
didefinisikan sebagai periode yang lebih dari 1 tahun sejak awal terjadinya.
Sifilis tersier adalah fase sifilis yang tidak diobati yang mungkin muncul
hingga 20 tahun setelahnya. Selama fase ini, keterlibatan kardiovaskular, SSP,
dan muskuloskeletal menjadi jelas. Namun, kardiovaskular dan neurosifilis
adalah hal biasa pada wanita.
Diagnosa
Spirochetes terlalu tipis untuk mempertahankan pewarnaan Gram.
Sifilis dini didiagnosis terutama dengan pemeriksaan gelap atau tes antibodi
fluorescent langsung pada eksudat lesi. Sebagai pengganti ini, diagnosis
presumtif dapat dicapai dengan tes serologis yang nontreponemal: (1) Venereal
Disease Research Laboratory (VDRL) atau (2) tes rapid plasma reagin (RPR).
Sebagai alternatif, tes spesifik treponema dapat dipilih: (1) tes aglutinasi
partikel treponema pallidum (P-PA) fluoresen. Untuk skrining populasi,
pengujian RPR atau VDRL sesuai. Hasil tes positif pada wanita yang belum
pernah diobati sebelumnya atau sifilis atau titer lama (dua pengenceran)
meningkat pada wanita yang sebelumnya diobati atau sifilis harus segera
dikonfirmasi dengan tes spesifik treponema. Kami, atau konfirmasi diagnosis
pada wanita dengan hasil tes antibodi nontreponemal positif atau dengan dugaan
diagnosis klinis, tes F A-ABS atau P-PA dipilih. Terakhir, atau pengukuran
kuantitatif untuk titer antibodi untuk menilai respons terhadap pengobatan,
biasanya digunakan tes RPR atau VDRL.
Setelah pengobatan, tes nontreponemal berurutan dilakukan. Selama
pengawasan ini, jenis tes yang sama harus digunakan atau konsistensi—baik
RPR atau VDRL. Penurunan titer lama kami diperlukan dalam 6 bulan terapi
ter atau sifilis primer atau sekunder atau dalam 12 sampai 24 bulan atau mereka
dengan sifilis laten atau wanita dengan titer awalnya tinggi (> 1:32)(Larsen,
1998). Tes ini biasanya menjadi nonreaktif setelah pengobatan dan seiring
waktu. Namun, beberapa wanita mungkin memiliki titer rendah yang persisten,
dan pasien ini digambarkan sebagai sero ast. Selain itu, wanita dengan tes
spesifik treponema reaktif kemungkinan besar akan memiliki tes positif atau
sisa hidup mereka, tetapi hingga 25 persen dapat kembali ke hasil negatif setelah
beberapa tahun.
Tatalaksana
Penisilin adalah pilihan utama untuk pengobatan sifilis dan penisilin
benzatin terutama dipilih. Rekomendasi atau terapi khusus oleh CDC (2015)
tercantum dalam Tabel. 2, 51

Pasien dengan alergi penisilin yang tidak dapat disurvei pascaterapi atau
yang kepatuhannya dipertanyakan, tes kulit, desensitisasi, dan pengobatan dengan
penisilin benzatin IM direkomendasikan. Untuk semua pasien, respon ebrile akut
dan terbatas, yang disebut reaksi Jarisch-Herxheimer, dapat berkembang dalam 24
jam pertama setelah pengobatan awal penyakit dan berhubungan dengan sakit
kepala dan mialgia.
Seperti pada IMS lainnya, semua pasien yang diobati atau sifilis dan kontak
seksualnya diskrining. Pasien dengan bukti keterlibatan neurologis atau jantung
dirawat oleh spesialis penyakit menular. Sebuah pengobatan terawal, wanita terlihat
pada interval 6 bulan atau evaluasi klinis dan pengujian ulang serologis.
Rekomendasi pengobatan ulang adalah penisilin benzatin G, 2,4 juta unit IM setiap
minggu atau 3 minggu.
2.6 Infeksi Kutil dan Papul
2.6.1 Moluskum Kontangiosum
Molluscum contagiosum virus adalah DNA poxvirus yang ditularkan
melalui kontak langsung dari manusia ke manusia atau melalui omite yang
terinfeksi. Masa inkubasi o 2 sampai 7 minggu adalah khas, tetapi bisa lebih
lama. Respon pejamu terhadap invasi virus adalah papula dengan umbilikasi
sentral, memberikan penampilan yang khas yang terlihat pada gambar. Ini
mungkin tunggal atau ganda dan biasanya terlihat di vulva, vagina, paha,
dan/atau bokong. 2

Moluskum kontagiosum menular sampai lesi sembuh. Papula ini


biasanya didiagnosis dengan inspeksi visual saja. Namun, material romalesion
dapat dikumpulkan sebagai usap, diaplikasikan pada slide, dan diserahkan ke
laboratorium atau pewarnaan diagnostik dengan pewarnaan Giemsa, Gram,
atau Wright. Tubuh moluskum, yang merupakan struktur intracytoplasmic
besar, adalah diagnostik.
Kebanyakan lesi secara spontan menghilang dalam waktu 6 sampai 12
bulan. Pengangkatan lebih awal, lesi dapat diobati dengan cryotherapy,
koagulasi jarum elektrosurgical, atau kuretase ujung jarum tajam pada pusat
lesi. Sebagai alternatif, aplikasi topikal atau agen yang digunakan dalam
pengobatan kutil kelamin juga dapat menjadi pengobatan yang efektif atau
moluskum kontagiosum pada table. 2

2.7 Infestasi Pruritis


2.7.1 Pediculosis
Kutu adalah ektoparasit kecil yang berukuran sekitar 1 mm. Spesies pada
manusia dan termasuk kutu badan (Pediculus humanus), kutu kepiting (Phthirus
pubis), dan kutu kepala (Pediculus humanus capitis). Kutu menempel pada
pangkal rambut manusia dengan cakar yang diameternya bervariasi antar
spesies. Diameter cakar inilah yang menentukan lokasi perkebunan. Untuk
alasan ini, kutu kepiting ditemukan pada rambut kemaluan dan rambut lainnya
dengan diameter serupa, seperti ketiak dan rambut acial, termasuk bulu mata
dan alis. Seperti halnya tungau atau tungau, jumlah kutu yang menghuni pasien
rata-rata belasan. Kutu bergantung pada frekuensi makan darah manusia, dan
kutu kemaluan harus bepergian atau tempat perlekatan baru. Oleh karena itu,
kutu kemaluan biasanya ditularkan secara seksual, sedangkan kutu kepala dan
tubuh dapat ditularkan melalui berbagi benda-benda pribadi seperti sisir, sikat,
dan pakaian.

Gejala utama dari perlekatan dan gigitan kutu adalah pruritus. Menggaruk
menyebabkan eritema dan peradangan, yang meningkatkan suplai darah ke area
tersebut. Pasien dapat mengembangkan pyoderma dan setiap gigitan menjadi
terpengaruh sekunder. Setiap kutu kemaluan betina dewasa bertelur kira-kira
setiap hari, yang menempel di pangkal rambut. Inkubasi kurang lebih 1 bulan.
Telur yang menempel, disebut telur kutu, dapat terlihat menempel pada rambut
yang terlepas dari garis kulit seiring pertumbuhan rambut. Ini biasanya
membutuhkan kaca pembesar atau pengenal. Selain itu, jejak yang
mencurigakan pada rambut kemaluan atau pakaian dapat diperiksa secara
mikroskopis untuk melihat karakteristik kutu. Setelah diagnosis, skrining pasien
IMS lainnya dianjurkan. Anggota amily lainnya dan kontak seksual
memerlukan evaluasi atau in estation.
Pediculicides tidak hanya membunuh kutu dewasa, tetapi juga telurnya.
Aplikasi tunggal biasanya efektif, tetapi dosis kedua direkomendasikan dalam
7 hingga 10 hari untuk membunuh obat. Pembilas krim atau sampo tanpa resep
mengandung 1 persen permetrin (Nix) atau piretrin dengan piperonil butoksida.
Ini tetap pada area yang terpengaruh atau 10 menit. Regimen alternatif CDC
termasuk losion malathion 0,5 persen (Ovide) yang dioleskan atau 8 sampai 12
jam. Juga, ivermectin 250 g/kg per oral sekali dapat diminum dan kemudian
diulang dalam 2 minggu.
Dalam kasus tertentu, sampo lindane 1 persen dapat digunakan, tetapi
sekali lagi, sampo ini kurang disukai karena potensi toksisitas. Terakhir,
perawatan bulu mata dan alis bermasalah. Area ini paling baik dirawat dengan
mengoleskan petrolatum (Vaseline) dengan kapas di malam hari dan
mencucinya di pagi hari. Seperai dan pakaian bekas dicuci dan dikeringkan
dengan siklus panas.
Terlepas dari pengobatan, pruritus dapat berlanjut dan dapat dikurangi
dengan antihistamin oral, krim atau salep anti inflamasi, atau keduanya. Pasien
dievaluasi ulang selama 1 minggu untuk mendokumentasikan pemberantasan
kutu.
2.8 Endometritis
Endometritis adalah peradangan pada lapisan endometrium rahim. Selain
endometrium, peradangan mungkin melibatkan miometrium dan, kadang-kadang,
parametrium.
Endometritis dapat dibagi menjadi endometritis yang berhubungan dengan
kehamilan dan endometritis yang tidak berhubungan dengan kehamilan. Ketika
kondisi ini tidak berhubungan dengan kehamilan, ini disebut sebagai penyakit
radang panggul (PID). Endometritis sering dikaitkan dengan peradangan saluran
tuba (salpingitis), ovarium (ooforitis), dan peritoneum panggul (peritonitis
panggul). Pedoman pengobatan penyakit menular seksual Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Penyakit (CDC) 2015 mendefinisikan PID sebagai kombinasi dari
endometritis, salpingitis, abses tubo-ovarium, dan peritonitis panggul. 52

Diagnosis endometritis biasanya didasarkan pada temuan klinis, seperti


demam dan nyeri perut bagian bawah. Sebagian besar kasus endometritis, termasuk
yang terjadi setelah persalinan sesar, harus dirawat di ruang rawat inap. Untuk kasus
ringan setelah persalinan pervaginam, antibiotik oral dalam pengaturan rawat jalan
mungkin memadai. 52, 53

Epidemiologi
Insiden endometritis postpartum di Amerika Serikat bervariasi tergantung pada
rute persalinan dan populasi pasien. Setelah persalinan pervaginam, insidennya 1-
3%. Setelah persalinan sesar, insidennya berkisar antara 13-90%, tergantung pada
faktor risiko yang ada dan apakah profilaksis antibiotik perioperatif telah diberikan.
Pada populasi nonobstetrik, endometritis bersamaan dapat terjadi pada 70-90%
kasus salpingitis.
Etiologi
Endometritis adalah penyakit polimikroba yang melibatkan rata-rata 2-3
organisme. Dalam kebanyakan kasus, itu muncul dari infeksi menaik dari
organisme yang ditemukan di flora normal vagina asli.
Organisme yang biasanya diisolasi termasuk Ureaplasma urealyticum,
Peptostreptococcus, Gardnerella vaginalis, Bacteroides bivius, dan Streptococcus
grup B. Chlamydia telah dikaitkan dengan endometritis postpartum onset lambat.
Enterococcus diidentifikasi pada hingga 25% wanita yang telah menerima
profilaksis sefalosporin.
Herpes dan tuberkulosis adalah penyebab yang jarang, meskipun di
beberapa negara tuberkulosis bukanlah agen etiologi yang jarang. 54,55

Patofisiologi
Infeksi endometrium, atau desidua, biasanya disebabkan oleh infeksi
asendens dari saluran genital bawah. Dari perspektif patologis, endometritis dapat
diklasifikasikan sebagai akut versus kronis. Endometritis akut ditandai dengan
adanya neutrofil di dalam kelenjar endometrium. Endometritis kronis ditandai
dengan adanya sel plasma dan limfosit di dalam stroma endometrium.
Pada kasus ginekologi, penyakit radang panggul dan prosedur ginekologi
invasif adalah prekursor yang paling umum untuk endometritis akut. Pada kasus
obstetri, infeksi postpartum adalah pendahulu yang paling umum.
Pada kasus ginekologi, endometritis kronis telah terlihat dengan infeksi
(misalnya, klamidia, tuberkulosis, vaginosis bakterial) dan adanya alat kontrasepsi
dalam rahim. Alat kontrasepsi dalam rahim sebagai faktor penyebab penyakit
radang panggul dikaitkan dengan bentuk awal alat tersebut, khususnya Dalkon
Shield. Insiden penyakit radang panggul tidak lebih tinggi pada pengguna alat
kontrasepsi modern. 56

Prognosis
Hampir 90% wanita yang diobati dengan antibiotik mengalami perbaikan
dalam 48-72 jam. Keterlambatan dalam memulai terapi antibiotik dapat
menyebabkan toksisitas sistemik. Endometritis dikaitkan dengan peningkatan
kematian ibu akibat syok sepsis. Namun, kematian jarang terjadi di Amerika Serikat
karena manajemen antimikroba yang agresif.
Dalam studi Evaluasi dan Kesehatan Klinis PID (PEACH), endometritis
tidak ditemukan terkait dengan komplikasi terkait kehamilan berikutnya, nyeri
panggul kronis, atau infertilitas.

Diagnosis
Anamnesis
Diagnosis biasanya didasarkan pada temuan klinis, sebagai berikut:
- Demam
- Sakit perut bagian bawah
- Pendarahan vagina yang tidak normal
- Keputihan yang tidak normal
- Dispareunia (mungkin ada pada pasien dengan penyakit radang panggul)
- Disuria (mungkin ada pada pasien dengan PID)
- Rasa tidak enak
Pasien dengan PID hadir dengan nyeri perut bagian bawah, keputihan,
dispareunia, disuria, demam, dan tanda-tanda sistemik lainnya. Namun, PID yang
disebabkan oleh Chlamydia cenderung lamban, tanpa gejala konstitusional yang
signifikan.
Pemeriksaan Fisik
- Sakit perut bagian bawah
- Nyeri tekan Rahim
- Nyeri tekan adneksa jika ada salpingitis terkait
- Takikardia
- Uterine tenderness adalah ciri khas penyakit ini.

Untuk PID, kriteria diagnostik minimum adalah nyeri tekan perut bagian
bawah, nyeri tekan gerakan serviks, atau nyeri tekan adneksa. Dalam kasus yang
parah, pasien mungkin tampak septik.
2.9 Pelvic Inflammatory Disease
Definisi
Penyakit radang panggul (PID) diartikan sebagai peradangan pada saluran
genital bagian atas akibat infeksi pada wanita. Penyakit ini menyerang uterus, tuba,
dan / atau ovarium. Diagnosis PID terutama secara klinis dan harus dicurigai pada
pasien wanita dengan nyeri perut bagian bawah atau panggul dan nyeri saluran
genital.
Etiologi
Infeksi yang naik dari serviks menyebabkan PID. Dalam 85% kasus, infeksi
disebabkan oleh bakteri yang ditularkan secara seksual. Dari agen penyebab, bakteri
Neisseria gonorrhoeae atau Chlamydia trachomatis adalah patogen yang paling
umum. Kira-kira 10% sampai 15% wanita dengan N. gonorrhoeae atau C.
trachomatis endoserviks akan terus mengembangkan PID.
Patofisilogi
Penyakit radang panggul dimulai dari infeksi di vagina atau serviks yang
didapatkan dari infeksi menular seksual (IMS), biasanya disebabkan oleh C.
trachomatis atau N. gonorrhoeae. Selanjutnya, bakteri tersebut naik ke saluran
genitalia yang lebih atas. Mekanisme penyebab kenaikan ini diduga bersifat
multifaktorial. Lendir serviks merupakan salah satu penghalang naiknya
mikroorganisme patogen ke saluran genitalia yang lebih atas. Namun, pada kondisi
infeksi yang menyebabkan inflamasi pada vagina atau serviks, efektvitas
perlindungan lendir serviks ini menjadi berkurang. Begitu juga pada saat ovulasi
dan menstruasi, efektivitas perlindungan serviks menjadi berkurang diakibatkan
perubahan hormonal. Selain itu, aliran darah menstruasi merupakan medium biakan
yang baik untuk bakteri.
Faktor lain yang mungkin berperan adalah senggama. Diperkirakan saat
orgasme, kontraksi uterus yang ritmik turut memfasilitasi naiknya bakteri ke
saluran genitalia atas. Bakteri juga dapat terbawa oleh sperma ke dalam uterus dan
tuba falopii. Infeksi pada tuba falopii ini awalnya hanya mengenai mukosa, tetapi
selanjutnya inflamasi dapat cepat menyebar ke transmural. Inflamasi ini dapat terus
berlanjut ke struktur parametrial termasuk usus. Melalui tumpahan cairan purulen
dari tuba falopii atau penyebaran limfatik, infeksi dapat berlanjut sampai melewati
pelvis yang menyebabkan peritonitis akut dan perihepatitis akut (Sindrom Fitz-
57,58

Hugh–Curtis).
Manifestasi klinis
Klinis berupa nyeri perut bagian bawah atau panggul, keputihan,
dispareunia, dan / atau perdarahan vagina yang tidak normal. CDC
merekomendasikan satu atau lebih kriteria berikut ini harus ada pada pemeriksaan
pelvis:
• Nyeri gerak serviks
• Nyeri tekan uterus
• Nyeri tekan adneksa
Kriteria tambahan seperti berikut dapat dipakai untuk menambah
spesifisitas mendukung diagnosis PID:
• Suhu oral >38.3 C
• Cairan serviks atau vagina tidak mukopurulen
• Leukosit dalam jumlah banyak pada pemeriksaan mikroskop sekret vagina
dengan cairan salin
• Kenaikan laju endap darah (LED)
• Protein reaktif-C meningkat
• Dokumentasi laboratorium infeksi serviks oleh gonorrhoeae atau
C.trachomatis
Oleh karena itu, PID harus dicurigai pada wanita muda yang aktif secara
seksual yang mengalami nyeri perut bagian bawah dan ketidaknyamanan panggul
serta bukti adanya nyeri saluran genital pada pemeriksaan.
Faktor risiko termasuk hubungan seksual dengan banyak pasangan, usia,
riwayat IDP sebelumnya, implantasi alat kontrasepsi dalam rahim, dan ligasi tuba.
Tatalaksana
CDC merekomendasikan pengobatan lini pertama untuk terapi rawat jalan yaitu :
• Doksisiklin (100 mg per oral dua kali sehari selama 2 minggu) ditambah
seftriakson 500 mg secara intramuskular (IM) untuk satu dosis atau
• Cefoxitin 2 g IM dengan probenesid (1g per oral) untuk satu dosis atau
• Sefalosporin generasi ketiga parenteral lainnya.
• Metronidazol (500 mg per oral dua kali sehari selama 14 hari) harus

ditambahkan jika ada kekhawatiran akan trikomonas.19


Terapi PID utamanya ditujukan untuk mencegah kerusakan tuba yang dapat
menyebabkan infertilitas dan kehamilan ektopik, serta pencegahan infeksi kronik.
Pemilihan antibiotika pada kasus PID tidak hanya ditujukan pada organisme
etiologi utama (N.gonorrhoeae dan C.trachomatis), tetapi juga harus mengarah pada
sifat polimikrobial PID. Oleh karena itu, pendekatan terapi antibiotik dengan
menggunakan antibiotik spektrum luas dibutuhkan untuk mengobati PID. Untuk
pasien dengan PID ringan atau sedang, terapi antibiotik oral dan parenteral
mempunyai efektivitas yang sama. Sebagian besar klinisi menganjurkan terapi
parenteral paling tidak selama 48 jam kemudian dilanjutkan dengan terapi oral 24
jam setelah ada perbaikan klinis.
BAB III
KESIMPULAN

Infeksi ginekologi adalah peradangan pada organ genitalia. Lokasi jaringan


organ ginekologi dapat terkena infeksi yaitu vulva, vagina, serviks, uterus hingga
adneksa dan sekitarnya. Radang pada vagina merupakan lokasi tersering pada
infeksi ginekologi. Tiga infeksi yang paling sering menyebabkan vaginitis adalah
vaginosis bakterial, kandidosis vulvovaginal dan trikomoniasis. Pada vulva dapat
terjadi pedikulosis pubis, kondiloma akuminata. Pada serviks uteri dapat terjadi
infeksi klamidia trakomatis, gonorea. Bagian korpus uteri dapat terjadi
endometritis. Infeksi pada organ ginekologi bawah dapat berifat asending hingga
menyebabkan penyakit radang panggul. Penegakkan diagnostik didasarkan pada
gejala klinis yang muncul, faktor risiko yang mempengaruhi, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang yang baik. Penentuan penyebab infeksi sangat membantu
dalam penatalaksanaan penyakit-penyakit infeksi ginekologi. Tatalaksana
berdasarkan penyebabnya, tatalaksana yang tuntas akan mengurangi kejadian
komplikasi dan tercapainya prognosis yang baik
DAFTAR PUSTAKA

1. Schuiling, K. D. & Likis, F. E., 2016. Women’s Gynecologic Health. 3 ed.


Burlington: Jones and Barlett Learning Books

2. Cunningham. Williams Gynecology, Third Edition 3rd. 2018

3. Hakimi M. 2011. Radang dan Beberapa Penyakit Lain Pada Alat Genital
dalam Ilmu Kandungan Edisi 3. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo. Hal 218-237.
4. Miller EA, Beasley DE, Dunn RR, Archie EA. Lactobacilli dominance and
vaginal pH: why is the human vaginal microbiome unique?. Front
Microbiol. 2016;7:1936. doi:10.3389/fmicb.2016.01936
5. Lamont RF, Akins JD, Hassan SS, Chaiworapongsat, dan Romero. 2011.
The Vaginal Microbiome: New Information About Genital Tract Flora
Using Molecular Based Technique. BJOG. Vol. 118: 533-549.
6. Prawiroraharjo, Sarwono (2008). Ilmu Kebidanan. PT Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo: Jakarta.
7. Koumans EH, Stenberg M, Bruce C, McQuillanG, Kendrick J. The
prevalence of bacterial vaginosis in the United States, 2001-2004:
Associations with symptoms, sexual behaviors, and reproductive health.
Sex Transm Dis 2007; 34:864–9.
8. Sharon H, Jeanne M, Holmes KK. Bacterial vaginosis. In: Holmes KK,
Sparling PF, Stamm WE, Piot P, Wasserheit JN,Corey L, et al., editors.
Sexually transmitted disease. 4th ed. New York: McGraw Hill; 2008.
p.737-68.
9. Rosen T. Gonorrhea, mycoplasma, and vaginosis. In: Wolf K, Goldsmith
L, Katz S, Gilcherst B, Paller A, Leffell O, editors. Fritzpatrick’s
dermatology general medicine. 8th edition. New York: McGrawHill; 2013.
p.4739-42
10. Menard JP. Antibacterial treatment of bacterial vaginosis: current and
emerging therapies. Int J Wom Health 2011; 3:295-305.
11. Chooruk A, Utto P, Teanpaisan R, Piwat S, Chandeying N, Chandeying V,
et al. Prevalence of lactobacilli in normal women andwomen with bacterial
vaginosis. J Med Assoc Thai 2013; 96(5):519-22
12. Murtiastutik D. Vaginosis bakterial. Dalam: Barakbah J, Lumintang H,
Martodihardjo S, editor. Infeksi menular seksual. Surabaya:
AUP;2008.h.72-83
13. Kenyon C, Colebunders R, Crucitti T. The global epidemiology of
bacterial vaginosis: a systematic review. Am J Obstet Gynecol 2013;
209:505-23.
14. Indriatmi W. Vaginosis bakterial. Dalam: Menaldi SLSW, Bramono K,
Indriatmi W, editor. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-7. Jakarta:
Badan Penerbit Fakultas Kedokeran Univesitas Indonesia; 2015.h.452-4
15. Center for Disease Control and Prevention. Sexually transmitted diseases
treatment guidelines. Rep; 2015; p.69-72. [cited 2015 November 12].
Available from: www.cdc.gov/std/tg2015/tg-2015-print.pdf
16. Allsworth JE, Peipert JF. Prevalence of bacterial vaginosis: 2001-2004
National Health and Nutrition Examination Survey data. Obstet Gynecol
2007; 109:114-20.
17. Pudjiastuti TA, Murtiastutik D. Studi retrospektif: Vaginosis bakterial.
BIKKK 2014; 26(2):127-33.
18. Fethers KA, Fairley CK, Morton A, Hocking JS, Hopkins C, Kennedy J,
et al. Early sexual experiences and risk factors for bacterial vaginosis. J
Infect Dis 2009; 200:1662–70.
19. Petricevic L, Domig KJ, Nierscher JF, Sandhofer MJ, Krondorfer I,
Kneifel W, et al. Differences in the vaginal lactobacilli of postmenopausal
women and influence of rectal lactobacilli. Climacteric 2013; 16(3):356-
61
20. Bradshaw CS, Vodstrcil LA, Hocking JS, Law M, Pirotta M, Garland SM,
et al. Recurrence of bacterial vaginosis is significantly associated with
posttreatment sexual activities and hormonal contraceptive use. Clin Infect
Dis 2013 ;56:777-86.
21. Brotman MR, Ghanem KG, Klebanoff MA, Taha TE, Scharfstein DO,
Zenilman JM, et al. The effect of vaginal douching cessation on bacterial
vaginosis: a pilot study. Am J Obstet Gynecol 2008; 198:628.e1-7.
22. Mehta SD. Systematic review of randomized trials of treatment of male
sexual partners for improved bacterial vaginosis outcomes in women. Sex
Transm Dis 2012; 39:822–30.
23. Mitchell C, Manhart LE, Thomas KK, Agnew K, Marrazzo JM. Effect of
sexual activity on vaginal colonization with hydrogen peroxide- producing
lactobacilli and Gardnerella vaginalis. Sex Trans Dis 2011; 38(12):1137-
44

24. Turovskiy Y, Noll KS, Chikindas ML. The etiology of bacterial vaginosis.
J Appl Microbiol 2011; 1-2.
25. Vodstrcil LA, Walker SM, Hocking JS, Law M, Forcey DS, Fehler G, et
al. Incident bacterial vaginosis (VB) in women who have sex with women
is associated with behaviors that suggest sexual transmission of VB. Clin
Infect Dis 2015; 60(7):1042-50.
26. Schwebke JR, Muzny CA, Josey WE. Role of Gardnerella vaginalis in the
pathogenesis of bacterial vaginosis: a conceptual model. J Infect Dis 2014;
210(3):338-43
27. Mastromarino P, Vitali B, Mosca L. Bacterial vaginosis: a review on
clinical trials with probiotics. New Microbiologica 2013; 36:229- 38.
28. Meriwether KV, Rogers RG, Craig E, Peterson SD, Gutman RE, Iglesia
CB. Efek gel berbasis hidroksiquinolin pada vaginosis bakteri terkait
pessary: uji coba terkontrol acak multisenter. Am J Obstet Gynecol . 2015
November 213 (5): 729.e1-9.
29. Rebecca M.B, Xin H, Pawel G, Doug F, Eva S, Emmanuel F M, et.al
(2014). Association between cigarette smoking and thevaginal microbiota:
a

30. pilot study. BMC Infectious Diseases, 14:471.


31. Marrazzo JM, Fiedler TL, Srinivasan S, dkk. Waduk ekstravaginal bakteri
vagina sebagai faktor risiko kejadian bakterial vaginosis. J Infeksi Dis .
2012 15 Mei.205 (10): 1580-8. [Medline]
32. Gardella, C., Eckret, L.O., Lentz, G.M. Genital tract infection: vulva,
vagina, cervix, toxic shock syndrome, endometritis, and salpingitis‟ in
Comprehensive Gynaecology, 7th ed. Lobo, R.A., MD; Gershenson, D.M.,
Lentz, G.M., Valea, F.A, Elsevier, Philade.
33. Lovarita D. Prevalensi Trikomoniasis Pada Wanita Maupun Pria yang
Mandi di Daerah Aliran Sungai. Diunduh dari :
http://journalhealthyscience.com/wpcontent/ uploads/2016/05/03-042013
dyta.pdf.
34. Eshete A, Mekonnen Z, and Zeynudin A . Trichomonas vaginalis Infection
among Pregnant Wome. in Jimma University Specialized Hospital,
Southwest Ethiopia : 2013.
35. Malone, M.A. Vulvovaginitis‟ in Conn’s Current Therapy 2018,
Kellerman, R.D., Bope, E.T, Elsevier, Philadelphia. 2018.
36. McKinzie, J. Sexually transmitted diseases‟ in Rosen’s Emergency
Medicine: Concepts and Clinical Practice, 9th ed. Walls, RM., MD;
Hockberger, R.S., Gausche, H.M, Elsevier, Philadelphia. 2018.
37. Secor, W.E., Meites, E., Starr, M.C., Workowski, K.A. Neglected parasitic
infections in the United States: trichomoniasis‟, Am. J. Trop. Med. Hyg,
Vol. 90, 2014.
38. Gonçalves B, Ferreira C, Alves CT, HenriquesM, Azeredo J, Silva S.
Vulvovaginal candidiasis: Epidemiology, microbiology and risk factors.
Crit Rev Microbiol. 2016;42(6):905–27.
39. Wiknjosastro H, Saifuddin B, Rachimhadi, dan Trijatmo. 2011.Radang
Dan Beberapa Penyakit Lain Pada Alat Genital Wanita dalam Ilmu
Kandungan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirodihardjo: Jakarta
40. Rosati D, Bruno M, Jaeger M, Ten Oever J, Netea MG. Recurrent
vulvovaginal candidiasis: An immunological perspective.
Microorganisms. 2020;8(2):1–14.
41. Aguin TJ, Sobel JD. Vulvovaginal candidiasis in pregnancy. Curr Infect
DisRep. 2015;17(6):15–20.
42. Hakimi M. 2011. Radang dan Beberapa Penyakit Lain Pada Alat Genital
dalam Ilmu Kandungan Edisi 3. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo. Hal 218-237.
43. ACOG. Clinical management guidelines for obstetrician – gynecologists.
Obstet Gynecol. 2020;135(1):e1–17.
44. M Lema V. Recurrent vulvo-caginal candidiasis: Diagnostic and
management challenges in a developing country context. Obstet Gynecol
Int J. 2017;7(5).
45. National Guideline Clearinghouse (NGC). Guideline synthesis: Screening,
diagnosis management of chlamydial infection. National Guideline
Clearinghouse (NGC) [Web site]. Rockville, MD: Agency for Healthcare
Research and Quality (AHRQ); 2001 May (revised 2012 Feb). Available
at https://www.guideline.gov/summaries/summary/48874/screening-for-
chlamydia-and-gonorrhea-us-preventive-services-task-force-
recommendation-statement?q=chlamydia. Accessed: September, 2014.
46. Kreisel KM, Spicknall IH, Gargano JW, Lewis FM, Lewis RM, Markowitz
LE, et al. Sexually Transmitted Infections Among US Women and Men:
Prevalence and Incidence Estimates, 2018. Sex Transm Dis. 2021 Jan 23.
47. US Department of Health and Human Services. CDC. Sexually transmitted
disease surveillance 2013. Atlanta. CDC. 2014;
48. Workowski KA, Bolan GA. Sexually transmitted diseases treatment
guidelines, 2015. MMWR Recomm Rep. 2015 Jun 5. 64 (RR-03):1-137
49. Shahab, Pranata. Gonorhea. Medscape :
https://emedicine.medscape.com/article/218059
50. Palmer HM, Young H, Graham C, Dave J. Prediction of antibiotic resistance
using Neisseria gonorrhoeae multi-antigen sequence typing. Sex Transm
Infect. 2008 Aug. 84(4):280-4.
51. Centers or Disease Control and Prevention. Sifilis.2012
52. Workowski KA, Bolan GA, Centers for Disease Control and Prevention.
Sexually transmitted diseases treatment guidelines, 2015. MMWR Recomm
Rep. 2015 Jun 5. 64 (RR-03):1-137.
53. [Guideline] Workowski KA, Berman S. Sexually transmitted diseases
treatment guidelines, 2010. MMWR Recomm Rep. 2010 Dec 17. 59:1-110.
54. McGill AL, Bavaro MF, You WB. Postpartum herpes simplex virus
endometritis and disseminated infection in both mother and neonate. Obstet
Gynecol. 2012 Aug. 120(2 Pt 2):471-3.
55. Onuigbo W, Esimai B, Nwaekpe C, Chijioke G. Tubercular endometritis
detected through Pap smear campaign in Enugu, Nigeria. Pan Afr Med J.
2012. 11:47.
56. Hardeman J, Weiss BD. Intrauterine devices: an update. Am Fam Physician.
2014 Mar 15. 89(6):445-50.
57. S.M. Shepherd, Pelvic Inflammatory Disease, , 2017.
58. Wiesenfeld HC, Hillier SL, Meyn LA, Amortegui AJ, Sweet RL.
Subclinical pelvic inflammatory disease and infertility. Obstet Gynecol.
2012 Jul. 120(1):37-43.

59.
1.

Anda mungkin juga menyukai