Anda di halaman 1dari 19

HIPERMETROPI

1. Definisi
Hipermetropia juga dikenal dengan istilah hiperopia atau rabun dekat. Hipermetropia
merupakan keadaan gangguan kekuatan pembiasan mata dimana sinar sejajar jauh tidak
cukup dibiaskan sehingga titik fokusnya terletak di belakang makula lutea (Ilyas, 2004).
Hipermetropia adalah suatu kondisi ketika kemampuan refraktif mata terlalu lemah yang
menyebabkan sinar yang sejajar dengan sumbu mata tanpa akomodasi difokuskan di
belakang retina (Istiqomah, 2005). Hipermetropia adalah keadaan mata yang tidak
berakomodasi memfokuskan bayangan di belakang retina. Hipermetropia terjadi jika
kekuatan yang tidak sesuai antara bola mata dan kekuatan pembiasan kornea dan lensa
lemah sehingga titik fokus sinar terletak di belakang retina (Patu, 2010).

2. Etiologi
Penyebab utama hipermetropia adalah panjangnya bola mata yang lebih pendek. Akibat
bola mata yang lebih pendek, bayangan benda akan difokuskan di belakang retina.
Berdasarkan penyebabnya, hipermetropia dapat dibagi atas : Hipermetropia sumbu atau
aksial, merupakan kelainan refraksi akibat bola mata pendek atau sumbu anteroposterior
yang pendek. Hipermetropia kurvatur, dimana kelengkungan kornea atau lensa kurang
sehingga bayangan difokuskan di belakang retina. Hipermetropia indeks refraktif, dimana
terdapat indeks bias yang kurang pada sistem optik mata (Ilyas, 2006).

3. Klasifikasi
Terdapat berbagai gambaran klinik hipermetropia seperti: Hipermetropia manifes ialah
hipermetropia yang dapat dikoreksi dengan kacamata positif maksimal yang memberikan
tajam penglihatan normal. Hipermetropia ini terdiri atas hipermetropia absolut ditambah
dengan hipermetropia fakultatif. Hipermetropia manifes didapatkan tanpa siklopegik dan
hipermetropia yang dapat dilihat dengan koreksi kacamata maksimal. Hipermetropia
fakultatif, dimana kelainan hipermetropia dapat diimbangi dengan akomodasi ataupun
dengan kacamata positif. Pasien yang hanya mempunyai hipermetropia fakultatif akan
melihat normal tanpa kacamata. Bila diberikan kacamata positif yang memberikan
penglihatan normal, maka otot akomodasinya akan mendapatkan istirahat. Hipermetropia
manifes yang masih memakai tenaga akomodasi disebut sebagai hipermetropia fakultatif.
Hipermetropia absolut, dimana kelainan refraksi tidak diimbangi dengan akomodasi dan
memerlukan kacamata positif untuk melihat jauh. Biasanya hipermetropia laten yang ada
berakhir dengan hipermetropia absolut ini. Hipermetropia manifes yang tidak memakai
tenaga akomodasi sama sekali disebut sebagai hipermetropi absolut. Hipermetropia laten,
dimana kelainan hipermetropia tanpa siklopegia (otot yang melemahkan akomodasi)
diimbangi seluruhnya dengan akomodasi. Hipermetropia laten hanya dapat diukur bila
diberikan siklopegia. Makin muda makin besar komponen hipermetropia laten seseorang.
Makin muda makin besar komponen hipermetropia laten seseorang. Hipermetropia total,
hipermetropia yang ukurannya didapatkan sesudah diberikan siklopegia (Ilyas, 2004).

4. Patofisiologi
Akibat dari bola mata yang terlalu pendek, yang menyebabkan bayangan terfokus di
belakang retina (Wong, 2008).

5. Tanda dan Gejala


Sakit kepala terutama daerah dahi atau frontal, silau, kadang rasa juling atau melihat
ganda, mata leleh, penglihatan kabur melihat dekat (Ilyas, 2006). Sering mengantuk, mata
berair, pupil agak miosis, dan bilik mata depan lebih dangkal (Istiqomah, 2005).
Gejala dari hipermetrop yang belum dikoreksi antara lain adalah :
a. Penurunan visus. Ini terjadi pada hipermetrop tinggi atau lebih 3 D dan pada
pasien tua. Pada pasien tua penurunan visus terjadi karena penurunan amplitudo
akomodasi, yangmenyebabkan kegagalan untuk mengkompensasi kelainan
refraksinya. Pada anak anak hipermetrop ringan sampai sedang biasanya masih
mempunyai visus yang normal,mereka mengeluh kabur dan asthenopia jika
kebutuhan visual rneningkat.
b. Asthenopia. Individu muda dengan hipermetrop umwnnya mempunyai cadangan
akomodasi yang cukup untuk menjaga penglihatan tetap jelas tanpa menyebabkan
asthenopia. Jika derajat hipermetrop terlalu besar atau cadangan akomodasi tidak
cukup karena usia atau kelelahan, keluhan asthenopia dan kabur muncul.
c. Sensitif terhadap cahaya merupakan keluhan yang cukup sering.
d. Ambliopia. Hipermetrop tinggi pada anak anak dikaitkan dengan peningkatan
resiko ambliopia dan strabismus. Ambliopia isoametrop terjadi pada anak anak
dengan hipermetrop yang lebih dari +4,50D.
e. Strabismus. Mayoritas pasien dengan esotropia dini adalah hipermetrop. Anak
anak yang mempunyai +3,50 D atau lebih pada bayi, mempunyai kemungkinan
l3x lipat menjadi strabismus dan 6 x lipat mengalami penumnan visus dalam 4
tahun, dibandingkan dengan bayi emetrop dan hipermetrop ringan.
f. Mata merah dan berair, sering mengedip, mengedipkan mata dan perubahan wajah
ketika membaca, gangguan memfokuskan, penunrnan koordinasi gerakan tangan-
mata, dan binokularitas, kesulitan atau enggan membaca.
Ada atau beratnya gejala ini bervariasi luas, tergantung pada derajat hipermetrop,
adanya astigmatisme atau anisometropia, usia pasien, kondisi akomodasi dan
konvergensi serta kebutuhan kerja. Deteksi dini dan terapi hipermetrop signifikan
dapat mencegah dan rnengurangi insiden dan beratnya komplikasi. Kaitan
hipermetrop dengan peningkatan resiko ambliopia dan strabismus, merupakan
penentu utama untuk evaluasi visus pada anak Terdapat pula kaitan yang erat
antara hipermetrop dengan dengan infantile esotropia.Hipermetrop anisometrop
dibawah 3 tahun juga merupakan faklor resiko untuk berkembangnya ambliopia
dan strabismus.

6. Penatalaksanaan
Hipermetrop yang signifftan dapat menimbulkan gangguan penglihatan, ambliopia, dan
disfungsi binokular termasuk strabismus. Terapi sebaiknya dilakukan untuk mengurangi
gejala dan resiko selanjutnya karena hipermetrop. Mata dengan hipermetropia akan
memerlukan lensa cembung untuk mematahkan sinar lebih kaut kedalam mata. Koreksi
hipermetropia adalah di berikan koreksi lensa positif maksimal yang memberikan tajam
penglihatan normal. Hipermetropia sebaiknya diberikan kaca mata lensa positif terbesar
yang masih memberi tajam penglihatan maksimal (Ilyas, 2006).
a. Koreksi Optik
Diantara beberapa terapi yang tersedia untuk hipermetrop, koreksi optik dengan
kacamata dan kontak lens paling sering digunakan. Modal utama dalam
penatalaksanaan hipermetrop signifikan adalah koreksi dengan kacarnata. Lensa plus
sferis atau sferosilinder diberikan untuk menfokuskan cahaya dari belakang retina ke
retina. Akomodasi berperan penting dalam peresepan. Beberapa pasien pada awalnya
tidak bisa mentoleransi koreksi penuh atas indikasi hipermetrop manifestny4 dan
pasien lainnya dengan hipermetrop latent tidak bisa mentoleransi koreksi penuh
hipermetrop yang diberikan dengan sikloplegik.Namun, pada anak anak dengan
esotropia akomodatif dan hipermetrop umumnya memerlukan masa adaptasi yang
singkat untuk mentoleransi koreksi optik penuh. Lensa kontak soft atau rigid
merupakan alternatif Iain bagi beberapa pasien. Lensa kontak mengurangi aniseikonia
dan anisophoria pada pasien dengan anisometropia, meningkatkan binokularitas. Pada
pasien dengan esotropia akomodatif, lensa kontak mengurangi kebutuhan akomodasi
dan konvergensi, mengurangi esotropia. Lensa kontak multifokal atau monovision
bisa diberikan pada pasien yang membutuhkan tambahan koreksi dekat tapi rnenolak
memakai kacamata multifokal karena alasan pe nampilan.

Berikut adalah strategi koreksi hipermetrop dalam beberapa kelompok usia :


1) Anak Anak
Status refraksi pada mata anak anak merupakan hal yang dinamis, karena faktor faktor
yang mempengaruhi refraksi mengalami perubahan yang signifikan dari lahir sampai
remaja meyebabkan perubahan kekutan refraksi. Bayi dan anak anak muda juga
mempunyai kemampuan melakukan akomodasi untuk mengatasi sejumlah
hiperrnetrop. Hipermetrop yang kurang dari 4-5D sering tidak perlu dikoreksi pada
bayi dan anak anak muda. Tapi pada anak yang lebih besar dan dewasa memerlukan
koreksi. Sebagian besar anak anak pra sekolah adalah hipermetrop dan dapat hidup
nyaman dengan hipermetrop sampai +3 dan +4D. Kacarnata tidak perlu diberikan,
hanya karena hipermetrop ditemukan ketika pemeriksaan. Jika visus normal dan tidak
terdapat bukti adanya esoforia atau esotropia dan tidak ada keluhan penglihatan, maka
kacamata tidak perlu diberikan.
2) Anak anak dan Dewasa Muda (10-40 tahun)
Orang orang antara usia l0 dan 40 tahun dengan hipermetrop ringan tidak memerlukan
terapi karena mereka tidak mempunyai gejala. Cadangan akomodasi yang besar
melindungi mereka dari gangguan penglihatan karena hipermetrop. Pasien dengan
hipermetrop sedang mungkin memerlukan koreksi part time, terutama pada mereka
yang mempunyai gangguan akomodasi atau binokular. Beberapa pasien dengan
hipermetrop tinggi mungkin tidak terdeteksi dan diterapi pada usia 10 - 20 tahun.
Gangguan visus pada pasien ini harus dibantu dengan koreksi optik. Terdapat banyak
pendapat mengenai range terapi yang tepat, mulai dari pemberian lensa plus minimal
yang dapat mengurangi gejala sampai rnemberikan koreksi penuh lensa plus untuk
merelaksasikan akomodasi. Posisi pertengahan adalah peresepan separuh sampai dua
pertiga lensa plus mengingat akan kaitan hipermetrop latent dengan hipermetrop
manifes. Pada usia 30 - 35 tahun, yang sebeiunmya asimptomatis, pasien 1,ang tidak
dikoreksi mulai mengalami kabur jarak dekat dan gangguan visus karena kebuhrhan
akomodasi yang besar. Hipemetrop fakultatif tidak dapat lagi memberikan
kenyamanan karena menurunya amplitude akomodasi. Hipermetrop laten sebaiknya
dicurigai jika terjadi gejala yang berkaitan dengan amplitudo akomodasi yang lebih
rendah dari seharusnya umur pasien.
b. Bedah fraksi
Bedah refraksi merupakan suatu prosedur bedah atau laser yang dilakukan pada mata
untuk merubah kekuatan refraksinya dan tidak terlalu bergantung pada kacamata atau
lensa kontak. Kekuatan refraksi mata ditentukan oleh kekuatan kornea, kedalaman
COA, kekuatan lensa dan axial length bola mata. Kekuatan refraksi normal adalah
64D, dan kornea manusia bertanggung jawab terhadap dua pertiga dari kekuatan
refraksi mata (+ 43D), dan sepertiga sisanya oleh lensa. Sehingga kesalahan refraksi
dapat dikoreksi dengan merubah dua komponen utama refraksi, yaitu kornea dan
lensa. Namun, manipulasi kekuatan kornea masih merupakan metoda yang sering
dilakukan untuk mer,rbah kekuatan refraksi. Koreksi bedah refraksi untuk
hipermetrop kurang berkembang dibandingkan dengan miopi. Eksperimen Lans
(1898) merupakan langkah pertama dalam koreksi bedah hipermetrop, yaitu
menambah kekuatan komea dengan menggunakan 'supeficial radial burns' pada
kornea kelinci dan kemudian dilakukan thermokeratoplasty (TKP). Menyusul
suksesnya radial keratotomy dalam terapi miop, Yamashita dkk (1986)
mengembangkan teknik insisi enam sisi, yang dikenal kemudian dengan hexagonal
keratotomy, sebagai metode yang potensial dalam mengkoreksi overkoreksi radial
keratotomy.

7. Pencegahan
Koreksi penglihatan dengan bantuan kacamata, pemberian tetes mata atropine,
menurunkan tekanan dalam bola mata, dan latihan penglihatan : kegiatan merubah fokus
jauh – dekat.

8. Kesimpulan
Hipermetrop adalah kelainan refraksi dimana bayangan difokuskan di belakang retina.
Hal ini dapat disebabkan oleh axial length mata yang lebih pendek (hipermetrop axial)
atau perubahan kekuatan refraksi mata (hipermetrop refi'aktif). Rata rata bayi lahir
dengan hipermetrop dan akan berkurang dengan cepat pada tahun pertama kehidup aq
karena mengalami emmetropi sasi. Terdapat hubungan yang erat antara hipermetrop
dengan akomodasi. Klasifikasi hipermetrop yang berkaitan dengan akomodasi adalah
hipermetrop manifest dan hipermetrcp latent. Dan dalam mengkoreksi hipermetrop,
penting untuk mempertimbangkan hal ini. Penatalaksanaan hipermetrop dapat dengan
koreksi optik dan bedah refraklif. Koreksi optik masih merupakan penatalaksanaan
hipermetrop yang paling sering dilakukan Perkembangan bedah refraktif pada
hipermetrop tidak sepesat pada miop. Ini mungkin disebabkan beberapa hal. Beberapa
alternatif prosedur bedah refraktif hipermetrop telah dikembangkan, dan terdapat tiga
prosedur yang dianjurkan oleh para ahli, yaitu; Laser Thermal Keratoplasty (LTK),
Photorefractive Keratectomy (PRK) dan LASIK.

Kelainan Refraksi
Definisi
Kelainan refraksi atau ametropia merupakan suatu defek optis yang mencegah berkas-berkas
cahaya membentuk sebuah fokus di retina. Kondisi dimana tidak ditemukannya kelainan
refraksi disebut emetropia. Sehingga emetropia dapat diartikan sebagai suatu kondisi optis
dimana mata tidak mengalami kelainan refraksi, sehingga pada saat tidak berakomodasi
berkas-berkas cahaya yang masuk sejajar dengan sumbu optis dapat membentuk bayangan
tepat di fovea sentralis.
Epidemiologi
Di seluruh dunia diperkirakan 800 juta hingga 2,3 milyar orang mengalami kelainan refraksi
(Dunaway, 2003). Di Indonesia sendiri diperkirakan jumlah penderita kelainan refraksi
sekitar 25% populasi dan merupakan kelainan mata yang paling sering terjadi di Indonesia
(Handayani-Ariesanti dkk., 2012). Secara umum, diperkirakan sekitar 5-15% dari seluruh
anak mengalami kelainan refraksi (Dunaway, 2003). Berbagai penelitian mengenai prevalensi
kelainan refraksi pada anak juga sudah dilakukan di berbagai negara. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Pi Lian-Hong dkk. (2010) di Cina, ditemukan bahwa dari 3070 anak usia
6-15 tahun yang diteliti ditemukan bahwa 384 diantaranya mengalami hipermetropia, 422
anak mengalami miopia, dan 343 anak mengalami astigmatisme. Penelitian yang dilakukan di
India diperoleh hasil 8 sekitar 30,57% atau setara dengan 192 anak mengalami kelainan
refraksi dari total 628 anak yang diteliti (Prema N., 2011). Sementara itu, pada tahun 2011 di
Poliklinik Mata Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah, diperoleh hasil 54 anak usia 1-10 tahun
mengalami kelainan refraksi dari total 579 pasien.
Klasifikasi
 Miopia
Miopia atau nearsightedness merupakan suatu kelainan refraksi dengan berkas-berkas cahaya
dari sebuah objek yang jauh difokuskan di sebelah anterior retina pada kondisi mata tidak
berakomodasi. Kondisi ini dapat terjadi oleh karena beberapa hal. Apabila miopia disebabkan
oleh sumbu bola mata yang terlalu panjang, maka kondisi ini dapat disebut dengan miopia
aksial. Indeks bias media atau indeks refraksi kornea dan lensa yang terlalu kuat juga dapat
menimbulkan miopia, dimana kondisi ini disebut dengan miopia refraktif.

Gambar 2.1 Refraksi pada miopia aksial, dimana bayangan jatuh di depan retina akibat
panjang sumbu bola mata yang terlalu panjang
Miopia secara umum terbagi menjadi 3 tipe.
- Tipe yang pertama adalah miopia fisiologis, yang merupakan tipe yang paling sering
dijumpai. Tipe ini terjadi karena adanya korelasi yang tidak adekuat antara indeks
refraktif kornea dan lensa dengan panjang sumbu bola mata. Biasanya pada tipe ini tidak
ditemui kelainan organik, namun pada beberapa kasus dapat ditemui adanya kelainan
fundus ringan atau yang lebih dikenal dengan istilah myopic crescent. Onset miopia tipe
ini dimulai pada usia 5 dan 10 tahun, akan tetapi manifestasinya baru muncul saat usia 25
tahun. Beratnya kelainan refraktif ini biasanya tidak melebihi -6 dioptri.
- Tipe yang kedua adalah miopia patologis yang juga dikenal dengan istilah miopia
degeneratif, miopia maligna, dan miopia progresif. Hal ini disebabkan oleh abnormalitas
dimana sumbu aksial bola mata terlalu panjang yang disebabkan oleh pertumbuhan
berlebih dua-pertiga bagian posterior bola mata yang terjadi bahkan saat ukuran bola mata
semestinya sudah stabil saat usia dewasa. Pada anak-anak, diagnosis ini sudah dapat
dibuat jika terdapat peningkatan derajat miopia dalam jangka waktu yang relative singkat.
Beratnya kelainan ini biasanya melebihi -6 dioptri dan umumnya terdapat kelainan fundus
pada pemeriksaan funduskopi.
- Tipe yang ketiga adalah miopia lentikular yang tergolong miopia refraktif. Miopia tipe ini
disebabkan oleh adanya abnormalitas ukuran lensa yang menyebabkan bayangan jatuh di
depan retina. Miopia lentikular dapat terjadi akibat peningkatan indeks refraksi pada lensa
kristalina seperti pada katarak dan diabetes melitus.
Pada miopia pasien cenderung memiliki kesulitan saat melihat benda atau objek di jarak
yang cukup jauh. Namun bila digunakan untuk melihat benda pada jarak dekat, umumnya
penglihatan penderita masih normal. Keluhan lainnya meliputi mata cepat lelah saat
membaca sebagai akibat konvergensi yang tidak sesuai dengan akomodasi dan saat
melihat benda berukuran kecil harus dilakukan dari jarak dekat dan hal ini dapat
menimbulkan keluhan (astenovergen) (Ilyas S dkk., 2008). Selain itu, pasien juga dapat
mengalami sakit kepala dan kecenderungan terjadinya juling saat meihat jauh.
Berdasarkan derajatnya myopia dapat dibagi menjadi tiga, antara lain: myopia ringan
dimana kekuatan lensa yang digunakan kurang dari tiga dioptri, myopia sedang dimana
kekuatan lensa yang digunakan antara tiga hingga enam dioptri, dan myopia berat dimana
kekuatan lensa yang digunakan lebih dari enam dioptri (AOA, 2006).
Selain itu, myopia berat juga dapat didefinisikan dengan panjang sumbu aksial mata yang
melebihi 26mm (Kanski & Bowling, 2009) Penatalaksanaan pasien dengan miopia adalah
dengan memberikan koreksi dengan lensa negatif yang memberikan ketajaman
penglihatan maksimal (PERDAMI, 2006).
 Hipermetropia
Hipermetropia atau yang dikenal juga dengan istilah hipermetropia dan farsightedness adalah
keadaan mata tak berakomodasi yang memfokuskan bayangan di belakang retina. Sama
seperti miopia, hal ini disebabkan oleh karena berkurangnya panjang sumbu bola mata yang
disebut dengan hipermetropia aksial dan menurunnya indeks refraksi seperti pada afakia yang
disebut dengan 11 hipermetropia refraktif (Riordan-Eva, 2009). Pada hipermetropia aksial,
ukuran kornea dan bola mata biasanya lebih kecil daripada normal (Newell, 1996)
Hipermetropia dapat dikompensasi dengan akomodasi, dimana akomodasi dapat meningkatan
kekuatan refraksi mata (Newell, 1996). Apabila hipermetropia dapat diatasi dengan
akomodasi dan yang masih dapat direlaksasikan disebut dengan hipermetropia manifes tipe
fakultatif. Namun bila tidak dapat diatasi dengan akomodasi disebut dengan hipermetropia
manifes tipe absolut (Ilyas S dkk., 2008). Pada hipermetropia manifes tipe fakultatif pasien
dapat diberikan koreksi lensa positif yang memberikan penglihatan normal sehingga otot-otot
akomodatifnya dapat beristirahat (PERDAMI, 2006)
Pada beberapa kasus, deteksi hipermetropia memerlukan penggunaan obatobatan sikloplegik
untuk mengurangi akomodasi pada mata. Hipermetropia tipe ini dapat disebut dengan
hipermetropia laten (Ilyas S dkk, 2008). Pemeriksaan ini perlu dilakukan pada pasien yang
berusia muda yang mengalami kelelahan mata saat membaca dan penting untuk penegakan
diagnosis esotropia (Riordan-Eva, 2009). Akomodasi pada mata sangat berpengaruh pada
konvergensi kedua mata, sehingga bila terjadi peningkatan akomodasi maka mata akan
semakin konvergen.

Gambar 2.2 Refraksi pada mata yang mengalami hipermetropia, dimana bayangan jatuh di
depan belakang retina (Anonym, 2010) 12
Pada akhirnya konvergensi yang berlebih ini dapat bermanifestasi sebagai esotropia (Newell,
1996). Pada pasien hipermetropia keluhan yang sering terjadi meliputi lelah, pusing, sakit
kepala terutama di bagian frontal, dan sebagainya akibat pasien harus terus berakomodasi
untuk mendapatkan tajam penglihatan terbaik (astenopia akomodatif). Selain itu, karena
akomodasi disertai dengan konvergensi maka ada kemungkina juga pasien akan mengalami
strabismus konvergen atau esotropia.
Pada pasien dengan hipermetropia 3 dioptri atau lebih, pasien juga dapat mengeluh adanya
kabur atau buram saat melihat jauh terutama pada pasien usia tua. Namun, penglihatan dekat
pasien juga lebih cepat buram yang akan lebih terasa pada saat kelelahan atau penerangan
yang kurang. Hipermetropia dapat ditangani dengan pemberian lensa positif dimana jika
pasien juga mengalami esophoria maka hipermetropia dikoreksi penuh, sebaliknya jika
pasien mengalami exophoria maka diberikan under koreksi. Namun jika pasien juga
mengalami strabismus konvergen koreksi yang dilakukan adalah koreksi total. (Ilyas S dkk.,
2002; PERDAMI, 2006)
 Astigmatisma
Astigmatisma merupakan kelainan refraksi yang mencegah berkas cahaya jatuh sebagai suatu
focus titik di retina karena perbedaan derajat refraksi di berbagai meridian kornea atau lensa
kristalina (Riordan-Eva, 2009) Astigmatisma dapat dibagi menjadi dua tipe yaitu
astigmatisma reguler dan ireguler. Astigmatisma reguler merupakan tipe astigmatisma yang
memiliki dua meridian utama dengan orientasi dan kekuatan konstan disepanjang lubang 13
pupil sehingga terbentuk dua garis fokus. Selanjutnya astigmatisma reguler dapat dibagi lagi
menjadi tiga tipe yaitu: astigmatism with the rule dimana daya bias yang lebih besar terletak
pada meridian vertikal, astigmatism against the rule dimana daya bias yang lebih besar
terletak di meridian horizontal, dan astigmatisma oblik yang merupakan astigmatisma reguler
yang meridian-meridian utamanya tidak terletak dalam 20 derajat horizontal dan vertikal.
Sementara itu, astigmatisma ireguler merupakan astigmatisma yang daya atau orientasi
meridianmeridian utamanya berubah di sepanjang lubang pupil (Riordan-Eva, 2009).
Astigmatisma reguler dapat terbagi menjadi lima tipe, antara lain astigmatisma miopikus
kompleks (satu meridian utamanya emetropik dan satu meridian lainnya miopik),
astigmatisma hipermetropikus kompleks (satu meridian utamanya emetropik dan satu
meridian lainnya hipermetropik), astigmatism miopikus kompositus (kedua meridian
utamanya miopik dengan derajat yang berbeda), astigmatisma hipermetropikus kompleks
(kedua meridian utamanya hipermetropik dengan derajat yang berbeda), dan astigmatisma
mikstus (satu meridian utamanya miopik dan satu meridian lainnya hipermetropik).
Astigmatisam dapat dikoreksi dengan pemberian lensa silinder dan sferis (PERDAMI, 2006).

Gambar 2.3 Tipe-tipe refraksi pada astigmatisma reguler yang disebabkan karena adanya dua
garis fokus terhadap retina (Anonym, 2010) 14 2.4
 Anisometropia
Anisometropia adalah perbedaan kelainan refraksi di antara kedua mata (Riordan-Eva, 2009).
Perbedaan kelainan refraksi yang signifikan diatas 1 dioptri pada berbagai meridian juga
dapat didefinisikan sebagai anisometropia (McCarthy, 2013). Koreksi terhadap kelainan ini
biasanya dipersulit dengan adanya perbedaan ukuran bayangan retina (anisekoinia) dan
ketidakseimbangan okulomotor akibat perbedaan derajat kekuatan prismatik bagian perifer
kedua lensa korektif tersebut (Riordan-Eva, 2009)
Anisometropia merupakan penyebab utama dari ambliopia. Ambliopia adalah kondisi
penurunan tajam penglihatan (visus) yang tidak dapat dikoreksi dengan lensa tanpa adanya
defek anatomik pada mata (Riordan-Eva, 2009). Ambliopia lebih rentan terjadi pada kondisi
anisometropia hipermetopi jika salah satu mata tidak terkoreksi dengan baik. Pada
anisometropia hipermetropi perbedaan 1 dioptri saja dapat menyebabkan terjadinya
ambliopia. Sementara ambliopia pada anisometropia miopi dapat terjadi jika perbedaan
kelainan refraksi diatas 2 dioptri dan diatas 1,5 dioptri pada anisometropia astigmat
(McCarthy, 2013)
 Ambliopia
Ambliopia atau yang dikenal juga dengan istilah mata malas merupakan penurunan
ketajaman penglihatan yang tidak dapat dikoreksi dengan lensa tanpa defek anatomik yang
nyata pada mata atau jaras penglihatan (Riordan-Eva, 2009). Kondisi ini dapat mengenai
salah satu atau kedua mata, meskipun lebih jarang mengenai kedua mata. Ambliopia dapat
disebabkan oleh strabismus, kelainan 15 refraksi baik isometropia ataupun anisometropia,
dan akibat deprivasi penglihatan yakni gangguan total maupun parsial pada mata yang
menyebabkan terbentuknya bayangan yang kabur pada retina misalnya katarak kongenital
(AAO, 2012; West & Asbury, 2009). Perkembangan anatomi retina dan korteks penglihatan
yang normal ditentukan oleh pengalaman visual pasca lahir hingga anak berusia delapan
tahun. Jika terdapat gangguan penglihatan pada periode tersebut maka akan menghambat
pembentukan penglihatan normal pada mata yang sakit (Fredrick, 2009).
Ambliopia dapat dikoreksi bila terdeteksi sejak usia dini. Oleh karena itu, diperlukan
pemeriksaan skrining rutin sebelum anak berusia 4 tahun untuk mendeteksi penurunan
ketajaman penglihatan atau adanya faktor ambliogenik sebab kedua hal tersebut merupakan
syarat untuk penegakan diagnosis ambliopia (Fredrick, 2009; AAO, 2012). Ambliopia dapat
diterapi dengan koreksi kelainan refraksi yang tepat, terapi oklusi mata yang normal selama
beberapa jam per hari. Apabila terapi oklusi tidak berjalan dengan baik, maka perlu dilakukan
penalisasi dengan menggunakan atropin pada mata yang sehat setiap hari selama beberapa
minggu. Selama periode tersebut diperlukan monitoring dan kontrol rutin terhadap visus
kedua mata (Fredrick, 2009; Kanski & Bowling, 2009)
Pemeriksaan Oftalmologik
Pemeriksaan oftalmologi yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis kelainan
refraksi merupakan pemeriksaan tajam penglihatan. Pemeriksaan ini dapat dilakukan secara
subjektif dengan menggunakan Snellen 16 chart, yang terdiri atas deretan huruf acak yang
tersusun mengecil untuk menguji penglihatan jarak jauh. (Chang, D. F., 2009). Ketajaman
penglihatan yang belum dikoreksi atau UCVA (Uncorrected Visual Acuity) diukur tanpa
kacamata atau lensa kontak. Selanjutnya perlu dinilai juga ketajaman penglihatan terkoreksi
atau BCVA (Best Corrected Visual Acuity) dengan alat bantu yang sudah disesuaikan, bila
tidak terdapat kacamata, pemeriksaan BCVA dapat dilakukan dengan menggunakan
‘pinhole’. Pemeriksaan tersebut menggunakan lubang kecil sehingga dapat membantu berkas
sinar terfokus ke pupil dan menghasilkan bayangan yang lebih tajam.
Apabila pasien tidak dapat membaca huruf terbesar dalam grafik Snellen (20/200 atau 6/60),
pemeriksaan dapat dilakukan dengan pemeriksaan hitung jari (counting finger). Jika masih
tidak bias, dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan lambaian tangan (hand motion), yang jika
pemeriksaan ini gagal dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan light perception. Apabila mata
tidak dapat mempersepsi cahaya maka mata dapat dianggap buta total (NLP atau no light
perception). Pemeriksaan tajam penglihatan juga dapat dilakukan secara objektif seperti
menggunakan auto refrakter atau streak retinoscopy (Chang, D. F., 2009)

Klasifikasi WHO menurut laporan yang disampaikan pada International Council of


Ophtalmology (2002) menggolongkan visus pada mata terbaik pasien kedalam beberapa
kategori antara lain:
a. Penglihatan normal atau gangguan penglihatan ringan: merupakan kondisi dimana visus
pasien diatas 6/18 setelah dikoreksi.
b. Low vision: kategori ini terbagi menjadi dua bagian yaitu Grup 1 atau visual impairment
dengan rentang nilai visus 6/18 hingga 6/60. Kategori selanjutnya adalah Grup 2 atau severe
visual impairment dengan visus < 3/60.
c. Blindness atau kebutaan: merupakan kondisi dimana visus pasien <3/60 hingga NLP (no
light perception). Kategori ini terbagi lagi menjadi tiga kelompok antara lain Grup 3 dengan
visus < 3/60 hingga 1/60,hingga 1/60, Grup 4 dengan visus <1/60 hingga LP (light
perception), dan Grup 5 dengan visus NLP (No Light Perception).

Proses Emetropisasi
Pada Anak Emetropisasi merupakan proses yang terjadi selama periode pertumbuhan normal
dimana mata berubah dari kondisi ametropia menjadi emetropia. Hal ini dipengaruhi oleh
banyak hal diantaranya faktor genetik, perubahan struktur, adaptasi lingkungan, interaksi
biokimia, dan efek penggunaan kacamata (Kristie Yackle & Fitzgerald, 1999). Sebagian
besar bayi memiliki kondisi mata yang hipermetropia dimana nantinya seiring dengan proses
pertumbuhan kondisi hipermetropia ini akan berubah mencapai kondisi emetropia secara
perlahan (Lowery et al., 2006). Dinyatakan bahwa kondisi ini sangan rentan mengalami
perubahan akibat pengaruh dari luar (Yackle & Fitzgerald, 1999). Kelengkungan kornea yang
cukup curam pada saat lahir akan mendatar sampai mendekati kelengkungan dewasa pada
usia 1 tahun. Selain itu, kondisi lensa dan panjang sumbu bola mata saat lahir juga akan
berubah seiring pertumbuhan anak (Riordan-Eva, 2009) 18
Ada beberapa hipotesis mengenai proses emetropisasi ini, diantaranya adalah teori pasif dan
teori aktif. Teori aktif menyatakan bahwa emetropisasi terjadi dan diregulasi oleh bayangan
yang terbentuk di retina. Mata akan menganalisis bayangan yang terbentuk, selanjutnya mata
akan memanjang atau memendek hingga bayangan di retina menjadi jelas atau terkonjugasi.
Sebaliknya, pada teori pasif dijelaskan bahwa emetropisasi merupakan hasil dari faktor
genetik dan faktor fisik terhadap pertumbuhan normal mata dimana terjadi interaksi akibat
perubahan yang proporsional antara kekuatan lensa dengan panjang aksial bola mata.
Sehingga nantinya kedua mata yang sebelumnya hipermetropia atau mungkin miopia akan
berubah menjadi emetropia (Yackle & Fitzgerald, 1999). Kurvatura kornea, kekuatan lensa,
dan kedalaman vitreus. merupakan komponen yang memiliki pengaruh paling besar terhadap
refraksi manusia. Perubahan kurvatura kornea sesungguhnya lebih berpengaruh pada
emetropisasi astigmatisma dibandingkan pada astigmatisma sferis (Yackle & Fitzgerald,
1999). Kekuatan lensa yang berkurang juga merupakan penyebab primer terjadinya proses
emetropisasi. Hal ini terjadi karena adanya penipisan dan pemipihan lensa kristalina akibat
berkembangnya mata ke berbagai arah (Mutti, 2010). Perubahan kedalaman vitreus akan
mempengaruhi ketebalan lapisan koroid, yang nantinya akan menyebabkan retina mampu
memodifikasi bayangan yang kurang jelas (Yackle & Fitzgerald, 1999).
Faktor herediter juga merupakan salah satu faktor yang memiliki peranan penting dalam
proses emetropisasi. Dimana pada suatu penelitian diperoleh bahwa jika kedua orang tua dari
seorang anak mengalami kelainan refraksi, maka risiko 19 anak tersebut untuk mengalami
kelainan refraksi lebih besar ketimbang anak-anak lain yang hanya memiliki satu orang tua
dengan kelainan refraksi atau kedua orang tuanya tidak memiliki kelainan refraksi. Faktor
lainnya adalah aktivitas di luar ruangan. Semakin lama seorang anak menghabiskan waktunya
di luar ruangan, maka semakin kecil kemungkinan anak tersebut mengalami miopia.
Sementara itu, semakin sering seseorang melakukan aktivitas yang memerlukan jarak
pandang dekat dan tingginya tingkat pendidikan dapat meningkatkan risiko seseorang
mengalami miopia. (Mutti, 2010; Stambolian, 2013). Faktor lainnya adalah penggunaan
kacamata atau lensa. Anak-anak yang mengalami hipermetropia yang dikoreksi penuh akan
mengalami perlambatan emetropisasi hingga proses tersebut tidak terjadi sama sekali.
Sehingga disarankan agar anak-anak yang mengalami hipermetropia dikoreksi parsial tanpa
sikloplegik (Mutti, 2010; Lowery et al., 2006). Dari faktor-faktor yang diduga mempengaruhi
proses emetropisasi pada anak, dapat disimpulkan bahwa apabila faktor-faktor tersebut
terganggu pada masa pertumbuhan maka risiko seorang anak mengalami ametropia menjadi
lebih besar jika dibandingkan dengan anakanak yang proses emetropisasinya berjalan normal
tanpa intervensi (Mutti, 2010; Yackle & Fitzgerald, 1999).

Katarak
Katarak merupakan penyebab utama kebutaan di seluruh dunia yang sebenarnya dapat
dicegah.1 Penyakit katarak merupakan penyakit mata yang ditandai dengan kekeruhan lensa
mata sehingga mengganggu proses masuknya cahaya ke mata.1 Katarak dapat disebabkan
karena terganggunya mekanisme kontrol keseimbangan air dan elektrolit, karena denaturasi
protein lensa atau gabungan keduanya.2 Sekitar 90% kasus katarak berkaitan dengan usia;
penyebab lain adalah kongenital dan trauma.
ANATOMI LENSA MATA
Lensa adalah bagian dari bola mata yang berbentuk bikonveks, avaskular, transparan, terletak
di belakang iris dan di depan vitreus, ditopang oleh Zonula Zinii yang melekat ke korpus
siliaris (Gambar 1). Lensa terdiri dari kapsul, epitel, korteks, dan nukleus (Gambar 2). Kapsul
lensa yang bersifat elastik berfungsi untuk mengubah bentuk lensa pada proses akomodasi.1-
3
EPIDEMIOLOGI
Katarak Pada tahun 2010, prevalensi katarak di Amerika Serikat adalah 17,1%. Katarak
paling banyak mengenai ras putih (80%) dan perempuan (61%).4 Menurut hasil survei
Riskesdas 2013, prevalensi katarak di Indonesia adalah 1,4%, dengan responden tanpa
batasan umur.5 Kebutaan akibat katarak Definisi kebutaan menurut WHO yaitu visus < 3/60
pada mata terbaik dengan koreksi terbaik.6 WHO memperkirakan sekitar 18 juta orang
mengalami kebutaan kedua mata akibat katarak.6 Jumlah ini hampir setengah (47,8%) dari
semua penyebab kebutaan karena penyakit mata di dunia. Penyebab kebutaan lainnya adalah
kelainan refraksi tidak terkoreksi, glaukoma, Age-Related Macular Degeneration, retinopati
DM, kebutaan pada anak, trakoma, onchocerciasis, dan lain-lain.6 Indonesia menduduki
peringkat tertinggi prevalensi kebutaan di Asia Tenggara sebesar 1,5% dan 50% di antaranya
disebabkan katarak.2 Jumlah ini diperkirakan akan meningkat karena pertambahan penduduk
yang pesat dan meningkatnya usia harapan hidup di Indonesia.5 Faktor risiko Beberapa
faktor risiko katarak dapat dibedakan menjadi faktor individu, lingkungan, dan faktor
protektif. Faktor individu terdiri atas usia, jenis kelamin, ras, serta faktor genetik.1,2 Faktor
lingkungan termasuk kebiasaan merokok, paparan sinar ultraviolet, status sosioekonomi,
tingkat pendidikan, diabetes mellitus, hipertensi, penggunaan steroid, dan obat-obat penyakit
gout.2,7,8 Faktor protektif meliputi penggunaan aspirin dan terapi pengganti hormon pada
wanita.

KLASIFIKASI BERDASARKAN USIA


- Katarak kongenital
Sepertiga kasus katarak kongenital adalah diturunkan, sepertiga berkaitan dengan penyakit
sistemik, dan sisanya idiopatik.2 Separuh katarak kongenital disertai anomali mata lainnya,
seperti PHPV (Primary Hyperplastic Posterior Vitreous), aniridia, koloboma, mikroftalmos,
dan buftalmos (pada glaukoma infantil).2
- Katarak senilis
Seiring berjalannya usia, lensa mengalami kekeruhan, penebalan, serta penurunan daya
akomodasi, kondisi ini dinamakan katarak senilis. Katarak senilis merupakan 90% dari semua
jenis katarak.2 Terdapat tiga jenis katarak senilis berdasarkan lokasi kekeruhannya1,9, yaitu :
1. Katarak nuklearis
Katarak nuklearis ditandai dengan kekeruhan sentral dan perubahan warna lensa menjadi
kuning atau cokelat secara progresif perlahan-lahan yang mengakibatkan turunnya tajam
penglihatan. Derajat kekeruhan lensa dapat dinilai menggunakan slitlamp. Katarak jenis ini
biasanya terjadi bilateral, namun dapat juga asimetris. Perubahan warna mengakibatkan
penderita sulit untuk membedakan corak warna. Katarak nuklearis secara khas lebih
mengganggu gangguan penglihatan jauh daripada penglihatan dekat.1 Nukleus lensa
mengalami pengerasan progresif yang menyebabkan naiknya indeks refraksi, dinamai
miopisasi. Miopisasi menyebabkan penderita presbiopia dapat membaca dekat tanpa harus
mengenakan kacamata, kondisi ini disebut sebagai second sight. 1, 2, 9
2. Katarak kortikal
Katarak kortikal berhubungan dengan proses oksidasi dan presipitasi protein pada sel-sel
serat lensa. Katarak jenis ini biasanya bilateral, asimetris, dan menimbulkan gejala silau jika
melihat ke arah sumber cahaya. Tahap penurunan penglihatan bervariasi dari lambat hingga
cepat. Pemeriksaan slitlamp berfungsi untuk melihat ada tidaknya vakuola degenerasi
hidropik yang merupakan degenerasi epitel posterior, dan menyebabkan lensa mengalami
elongasi ke anterior dengan gambaran seperti embun.1, 2, 9
3. Katarak subkapsuler
Katarak ini dapat terjadi di subkapsuler anterior dan posterior. Pemeriksaannya
menggunakan slitlamp dan dapat ditemukan kekeruhan seperti plak di korteks subkapsuler
posterior. Gejalanya adalah silau, penglihatan buruk pada tempat terang, dan penglihatan
dekat lebih terganggu daripada penglihatan jauh.1, 9
MATURITAS KATARAK
- Iminens/insipiens
Pada stadium ini, lensa bengkak karena termasuki air, kekeruhan lensa masih ringan, visus
biasanya > 6/60. Pada pemeriksaan dapat ditemukan iris normal, bilik mata depan normal,
sudut bilik mata normal, serta shadow test negatif.1, 2, 9 Imatur Pada tahap berikutnya,
opasitas lensa bertambah dan visus mulai menurun menjadi 5/60 sampai 1/60. Cairan lensa
bertambah akibatnya iris terdorong dan bilik mata depan menjadi dangkal, sudut bilik mata
sempit, dan sering terjadi glaukoma. Pada pemeriksaan didapatkan shadow test positif.1, 2, 9
- Matur
Jika katarak dibiarkan, lensa akan menjadi keruh seluruhnya dan visus menurun drastis
menjadi 1/300 atau hanya dapat melihat lambaian tangan dalam jarak 1 meter. Pada
pemeriksaan didapatkan shadow test negatif.1, 2, 9
- Hipermatur
Pada tahap akhir, korteks mencair sehingga nukleus jatuh dan lensa jadi turun dari kapsulnya
(Morgagni). Lensa terlihat keruh seluruhnya, visus sudah sangat menurun hingga bisa
mencapai 0, dan dapat terjadi komplikasi berupa uveitis dan glaukoma. Pada pemeriksaan
didapatkan iris tremulans, bilik mata depan dalam, sudut bilik mata terbuka, serta shadow test
positif palsu.1, 2, 9
TATALAKSANA
Tatalaksana definitif untuk katarak saat ini adalah tindakan bedah. Beberapa penelitian
seperti penggunaan vitamin C dan E dapat memperlambat pertumbuhan katarak, namun
belum efektif untuk menghilangkan katarak.1, 2 Tujuan tindakan bedah katarak adalah untuk
mengoptimalkan fungsi penglihatan. Keputusan melakukan tindakan bedah tidak spesifik
tergantung dari derajat tajam penglihatan, namun lebih pada berapa besar penurunan tersebut
mengganggu aktivitas pasien.1 Indikasi lainnya adalah bila terjadi gangguan stereopsis,
hilangnya penglihatan perifer, rasa silau yang sangat mengganggu, dan simtomatik
anisometrop.2 Indikasi medis operasi katarak adalah bila terjadi komplikasi antara lain:
glaukoma fakolitik, glaukoma fakomorfik, uveitis fakoantigenik, dislokasi lensa ke bilik
depan, dan katarak sangat padat sehingga menghalangi pandangan gambaran fundus karena
dapat menghambat diagnosis retinopati diabetika ataupun glaukoma.2
Beberapa jenis tindakan bedah katarak :
- Ekstraksi Katarak Intrakapsuler (EKIK)
EKIK adalah jenis operasi katarak dengan membuang lensa dan kapsul secara keseluruhan.
EKIK menggunakan peralatan sederhana dan hampir dapat dikerjakan pada berbagai kondisi.
Terdapat beberapa kekurangan EKIK, seperti besarnya ukuran irisan yang mengakibatkan
penyembuhan luka yang lama, menginduksi astigmatisma pasca operasi, cystoid macular
edema (CME), dan ablasio retina.1,9 Meskipun sudah banyak ditinggalkan, EKIK masih
dipilih untuk kasuskasus subluksasi lensa, lensa sangat padat, dan eksfoliasi lensa.1,2
Kontraindikasi absolut EKIK adalah katarak pada anak-anak, katarak pada dewasa muda, dan
ruptur kapsul traumatik, sedangkan kontraindikasi relatif meliputi miopia tinggi, sindrom
Marfan, katarak Morgagni, dan adanya vitreus di kamera okuli anterior.1 Beberapa kelebihan
dan kekurangan EKIK dapat dilihat pada Tabel 1.
- Ekstraksi Katarak Ekstrakapsuler (EKEK)
EKEK konvensional EKEK adalah jenis operasi katarak dengan membuang nukleus dan
korteks lensa melalui lubang di kapsul anterior. EKEK meninggalkan kantong kapsul
(capsular bag) sebagai tempat untuk menanamkan lensa intraokuler (LIO). Seperti terlihat di
Tabel 2, teknik ini mempunyai banyak kelebihan seperti trauma irisan yang lebih kecil
sehingga luka lebih stabil dan aman, menimbulkan astigmatisma lebih kecil, dan
penyembuhan luka lebih cepat.2 Pada EKEK, kapsul posterior yang intak mengurangi risiko
CME, ablasio retina, edema kornea, serta mencegah penempelan vitreus ke iris, LIO, atau
kornea.1
Small Incision Cataract Surgery(SICS)
Teknik EKEK telah dikembangkan menjadi suatu teknik operasi dengan irisan sangat kecil
(7-8 mm) dan hampir tidak memerlukan jahitan, teknik ini dinamai SICS. Oleh karena irisan
yang sangat kecil, penyembuhan relatif lebih cepat dan risiko astigmatisma lebih kecil
dibandingkan EKEK konvensional. SICS dapat mengeluarkan nukleus lensa secara utuh atau
dihancurkan. Teknik ini populer di negara berkembang karena tidak membutuhkan peralatan
fakoemulsifikasi yang mahal, dilakukan dengan anestesi topikal, dan bisa dipakai pada kasus
nukleus yang padat. Beberapa indikasi SICS adalah sklerosis nukleus derajat II dan III,
katarak subkapsuler posterior, dan awal katarak kortikal.1, 2
- Fakoemulsifikasi
Teknik operasi fakoemulsifikasi menggunakan alat tip ultrasonik untuk memecah nukleus
lensa dan selanjutnya pecahan nukleus dan korteks lensa diaspirasi melalui insisi yang sangat
kecil. Dengan demikian, fakoemulsifikasi mempunyai kelebihan seperti penyembuhan luka
yang cepat, perbaikan penglihatan lebih baik, dan tidak menimbulkan astigmatisma pasca
bedah. Teknik fakoemulsifikasi juga dapat mengontrol kedalaman kamera okuli anterior serta
mempunyai efek pelindung terhadap tekanan positif vitreus dan perdarahan koroid. Teknik
operasi katarak jenis ini menjadi pilihan utama di negara-negara maju.1
KOMPLIKASI
Komplikasi operasi katarak dapat terjadi selama operasi maupun setelah operasi.
Pemeriksaan periodik pasca operasi katarak sangat penting untuk mendeteksi komplikasi
operasi.
Komplikasi selama operasi
1. Pendangkalan kamera okuli anterior
Pada saat operasi katarak, pendangkalan kamera okuli anterior (KOA) dapat terjadi karena
cairan yang masuk ke KOA tidak cukup, kebocoran melalui insisi yang terlalu besar, tekanan
dari luar bola mata, tekanan vitreus positif, efusi suprakoroid, atau perdarahan suprakoroid.2
Jika saat operasi ditemukan pendangkalan KOA, hal pertama yang harus dilakukan adalah
mengurangi aspirasi, meninggikan botol cairan infus, dan mengecek insisi. Bila insisi terlalu
besar, dapat dijahit jika perlu. Tekanan dari luar bola mata dapat dikurangi dengan mengatur
ulang spekulum kelopak mata. Hal berikutnya adalah menilai tekanan vitreus tinggi dengan
melihat apakah pasien obesitas, bull-necked, penderita PPOK, cemas, atau melakukan
manuver Valsava. Pasien obesitas sebaiknya diposisikan antitrendelenburg.
2. Posterior Capsule Rupture (PCR) PCR dengan atau tanpa vitreous loss adalah komplikasi
intraoperatif yang sering terjadi.11 Studi di Hawaii menyatakan bahwa 0,68% pasien
mengalami PCR dan vitreous loss selama prosedur fakoemulsifikasi.11 Beberapa faktor
risiko PCR adalah miosis, KOA dangkal, pseudoeksfoliasi, floppy iris syndrome, dan
zonulopati.11 Apabila terjadi PCR, sebaiknya lakukan vitrektomi anterior untuk mencegah
komplikasi yang lebih berat.11 PCR berhubungan dengan meningkatnya risiko cystoid
macular edema, ablasio retina, uveitis, glaukoma, dislokasi LIO, dan endoftalmitis
postoperatif katarak.11
3. Nucleus drop
Salah satu komplikasi teknik fakoemulsifikasi yang paling ditakutkan adalah nucleus drop,
yaitu jatuhnya seluruh atau bagian nukleus lensa ke dalam rongga vitreus. Jika hal ini tidak
ditangani dengan baik, lensa yang tertinggal dapat menyebabkan peradangan intraokular
berat, dekompensasi endotel, glaukoma sekunder, ablasio retina, nyeri, bahkan kebutaan.
Sebuah studi di Malaysia melaporkan insidensi nucleus drop pasca fakoemulsifikasi sebesar
1,84%.12 Faktor risiko nucleus drop meliputi katarak yang keras, katarak polar posterior,
miopia tinggi, dan mata dengan riwayat vitrektomi.12
Komplikasi setelah operasi
1. Edema kornea
Edema stromal atau epitelial dapat terjadi segera setelah operasi katarak. Kombinasi dari
trauma mekanik, waktu operasi yang lama, trauma kimia, radang, atau peningkatantekanan
intraokular (TIO), dapat menyebabkan edema kornea.1,2 Pada umumnya, edema akan hilang
dalam 4 sampai 6 minggu.1 Jika kornea tepi masih jernih, maka edema kornea akan
menghilang. Edema kornea yang menetap sampai lebih dari 3 bulan biasanya membutuhkan
keratoplasti tembus.1
2. Perdarahan Komplikasi
Perdarahan pasca operasi katarak antara lain perdarahan retrobulbar, perdarahan atau efusi
suprakoroid, dan hifema.1 Pada pasien-pasien dengan terapi antikoagulan atau antiplatelet,
risiko perdarahan suprakoroid dan efusi suprakoroid tidak meningkat.1 Sebagai tambahan,
penelitian lain membuktikan bahwa tidak terdapat perbedaan risiko perdarahan antara
kelompok yang menghentikan dan yang melanjutkan terapi antikoagulan sebelum operasi
katarak.13
3. Glaukoma sekunder
Bahan viskoelastik hialuronat yang tertinggal di dalam KOA pasca operasi katarak dapat
meningkatkan tekanan intraokular (TIO), peningkatan TIO ringan bisa terjadi 4 sampai 6 jam
setelah operasi, umumnya dapat hilang sendiri dan tidak memerlukan terapi anti glaukoma,
sebaliknya jika peningkatan TIO menetap, diperlukan terapi antiglaukoma.1 Glaukoma
sekunder dapat berupa glaukoma sudut terbuka dan tertutup. Beberapa penyebab glaukoma
sekunder sudut terbuka adalah hifema, TASS, endoftalmitis, serta sisa masa lensa. Penyebab
glaukoma sekunder sudut tertutup adalah blok pupil, blok siliar, glaukoma neovaskuler, dan
sinekia anterior perifer.1
4. Uveitis kronik Inflamasi normal akan menghilang setelah 3 sampai 4 minggu operasi
katarak dengan pemakaian steroid topikal.1 Inflamasi yang menetap lebih dari 4 minggu,
didukung dengan penemuan keratik presipitat granulomatosa yang terkadang disertai
hipopion, dinamai uveitis kronik. Kondisi seperti malposisi LIO, vitreus inkarserata, dan
fragmen lensa yang tertinggal, menjadi penyebab uveitis kronik.1 Tatalaksana meliputi
injeksi antibiotik intravitreal dan operasi perbaikan posisi LIO, vitreus inkarserata, serta
pengambilan fragmen lensa yang tertinggal dan LIO.1
5. Edema Makula Kistoid (EMK) EMK ditandai dengan penurunan visus setelah operasi
katarak, gambaran karakteristik makula pada pemeriksaan oftalmoskopi atau FFA, atau
gambaran penebalan retina pada pemeriksaan OCT.1 Patogenesis EMK adalah peningkatan
permeabilitas kapiler perifovea dengan akumulasi cairan di lapisan inti dalam dan
pleksiformis luar.1 Penurunan tajam penglihatan terjadi pada 2 sampai 6 bulan pasca bedah.1
EMK terjadi pada 2-10% pasca EKIK, 1-2% pasca EKEK, dan < 1% pasca
fakoemulsifikasi.14 Angka ini meningkat pada penderita diabetes mellitus dan uveitis.
Sebagian besar EMK akan mengalami resolusi spontan, walaupun 5% diantaranya
mengalami penurunan tajam penglihatan yang permanen.14

Anda mungkin juga menyukai