Anda di halaman 1dari 12

HIPERMETROPI

Agus Saputo

102010100

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jln. Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat, 11510, Telp. (021) 5694-2061

Pendahuluan
Mata merupakan salah satu panca indera yang sangat penting bagi
kehidupan manusia dan penglihatan merupakan hal yang sangat penting
dalam menentukan kualitas hidup manusia. Tanpa mata, manusia mungkin
tidak dapat melihat sama sekali apa yang ada disekitarnya. Dalam
penglihatan, mata mempunyai berbagai macam kelainan refraksi. Kelainan
refraksi atau yang sering disebut dengan ametropia tersebut, terdiri dari
miopia, hipermetropia, dan astigmatisme. Kelainan refraksi merupakan
gangguan yang banyak terjadi di dunia tanpa memandang jenis kelamin, usia,
maupun kelompok etnis.
Kelainan refraksi merupakan kelainan pada mata yang paling umum. Hal
ini terjadi apabila mata tidak mampu memfokuskan bayangan dengan jelas,
sehingga penglihatan menjadi kabur, dimana kadang-kadang keadaan ini
sangat berat sehingga menyebabkan kerusakan pada penglihatan.
Tiga kelainan refraksi yang paling sering dijumpai yaitu miopia,
hipermetropia, dan astigmatisme. Namun, yang akan dibahas dalam makalah
ini yaitu hanya hipermetropi saja.

A. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari penyakit hipermetropi?
2. Seperti apa etiologi penyakit hipermetropi?
3. Seperti apa simpton atau tanda dan gejala penyakit hipermetropi?
4. Apa saja data penunjang penyakit hipermetropi?
5. Bagaimana patofisiologi penyakit hipermetropi?

1
6. Bagaimana komplikasi penyakit hipermetropi?
7. Apa saja klasifikasi penyakit hipermetropi?

B. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui seperti apa penyakit hipermetropi.
2. Untuk mengetahui etiologi penyakit hipermetropi.
3. Untuk mengetahui tanda dan gejala atau simpton dari penyakit
hipermetropi.
4. Untuk mengetahui apa saja yang menjadi data penunjang penyakit
hipermetropi.
5. Untuk mengetahui patofisiologi penyakit hipermetropi.
6. Untuk mengetahui komplikasi apa saja yang terjadi pada penyakit
hipermetropi.
7. Untuk mengetahui klasifikasi penyakit hipermetropi.

C. Manfaat Penulisan
1. Bagi penulis, untuk menambah pengetahuan mengenai penyakit
hipermetropi.
2. Bagi pembaca, untuk menambah pengetahuan dan sebagai acuan untuk
menulis makalah.

2
Hipermetropi
Hipermetropia juga dikenal dengan istilah hiperopia atau rabun dekat.
Hipermetropia merupakan keadaan gangguan kekuatan pembiasan mata
dimana sinar sejajar jauh tidak cukup dibiaskan sehingga titik fokusnya
terletak di belakang makula lutea (Ilyas, 2004). Hipermetropia adalah suatu
kondisi ketika kemampuan refraktif mata terlalu lemah yang menyebabkan
sinar yang sejajar dengan sumbu mata tanpa akomodasi difokuskan di
belakang retina (Istiqomah, 2005).
Hipermetropia adalah keadaan mata yang tidak berakomodasi
memfokuskan bayangan di belakang retina. Hipermetropia terjadi jika
kekuatan yang tidak sesuai antara bola mata dan kekuatan pembiasan kornea
dan lensa lemah sehingga titik fokus sinar terletak di belakang retina (Patu,
2010).

Etiologi
Penyebab utama hipermetropia adalah panjangnya bola mata yang lebih
pendek. Akibat bola mata yang lebih pendek, bayangan benda akan
difokuskan di belakang retina. Berdasarkan penyebabnya, hipermetropia
dapat dibagi atas (Ilyas, 2006) :
1. Hipermetropia sumbu atau aksial, merupakan kelainan refraksi akibat
bola mata pendek atau sumbu anteroposterior yang pendek.
2. Hipermetropia kurvatur, dimana kelengkungan kornea atau lensa kurang
sehingga bayangan difokuskan di belakang retina. Hipermetropia indeks
retraktif, dimana terdapat indeks bias yang kurang pada sitem saraf optik
mata.

3
Penyebab dari hipermetropi adalah sebagai berikut (Ilyas, 2006) :

1. Sumbu utama bola mata yang terlalu pendek


Biasanya terjadi karena Mikropthalmia, renitis sentralis, arau ablasio retina
(lapisan retina lepas lari ke depan sehingga titik fokus cahaya tidak tepat
dibiaskan).
2. Daya pembiasan bola mata yang terlalu lemah
Terjadi gangguan-gangguan refraksi pada kornea, aqueus humor, lensa dan
vitreus humor. Gangguan yang dapat menyebabkan hipermetropi adalah
perubahan pada komposisi kornea dan lensa sehingga kekuatan refraksi
menurun dan perubahan pada komposisi aqueus humor dan viterus humor.
Misal pada penderita Diabetes Melitus terjadi hipermetopi jika kadar gula
darah di bawah normal.
3. Kelengkungan kornea dan lensa tidak adekuat
Kelengkungan kornea ataupun lensa  berkkurang sehingga bayangan
difokuskn di belakang  retina.
4. Perubahan posisi lensa
Dalam hal ini, posisi lensa menjadi lebih posterior.

Tanda Gejala
Tanda dan gejala orang yang terkena penyakit rabun dekat secara
obyektif  klien susah melihat jarak dekat atau penglihatan klien akan rabun
dan tidak jelas. Sakit kepala frontal. Semakin memburuk pada waktu mulai
timbul gejala hipermetropi dan sepanjang penggunaan mata dekat. Tanda dan
gejalanya diantaranya yaitu (Ilyas, 2006) :
1. Penglihatan tidak nyaman (asthenopia)
2. Terjadi ketika harus fokus pada suatu jarak tertentu untuk waktu yang
lama.
3. Akomodasi akan lebih cepat lelah terpaku pada suatu level tertentu dari
ketegangan.

4
4. Bila 3 dioptri atau lebih, atau pada usia tua, pasien mengeluh penglihatan
jauh kabur.
5. Penglihatan dekat lebih cepat buram, akan lebih terasa lagi pada keadaan
kelelahan, atau penerangan yang kurang.
6. Sakit kepala biasanya pada daerah frontal dan dipacu oleh kegiatan melihat
dekat jangka panjang. Jarang terjadi pada pagi hari, cenderung terjadi
setelah siang hari dan bisa membaik spontan kegiatan melihat dekat
dihentikan.
7. Eyestrain
8. Sensitive terhadap cahaya
9. Spasme akomodasi, yaitu terjadinya cramp m. ciliaris diikuti penglihatan
buram intermiten.
Sakit kepala terutama daerah dahi atau frontal, silau, kadang rasa juling
atau melihat ganda, mata leleh, penglihatan kabur melihat dekat (Ilyas, 2006).
Sering mengantuk, mata berair, pupil agak miosis, dan bilik mata depan lebih
dangkal (Istiqomah, 2005).

Patofisiologi
Diameter anterior posterior bola mata yang lebih pendek, kurvatura kornea
dan lensa yang lebih lemah, dan perubahan indeks refraktif menyebabkan
sinar sejajar yang dating dari objek terletak jauh tak terhingga di biaskan di
belakang retina (Wong, 2008).

5
Kelainan Refraksi

Hipermetropi

H. Aksial H. Refraktif

Sumbu Rata Indeks Bias


Lebih Pendek Medik Optik
Berkurang

Sinar Sejajar dibiaskan di


Belakang Retina

Kabur Melihat Jauh

Perubahan Sensori
Perseptual
(Visual)

Risiko Usaha Pemfokusan Gg Aktivitas


Cidera Pandangan

Pusing

6
Diagnosa
Kelainan refraksi hipermetropi dapat di periksa dengan melakukan
pemeriksaan Okuler
1. Visual Acuity
Mempergunakan beberapa alat untuk mengetahui kemampuan membaca
pasien hipermetropi dalam jarak dekat. Seperti Jaeger Notation, Snellen
metric distance dan Lebehnson.
2. Refraksi
Retinoskopi merupakan prosedur yang digunakan secara luas untuk
menilai hipermetropia secara objektif. Prosedur yang dilakukan meliputi
static retinoscopy, subjective refraction dan autorefraction.
3. Pergerakan Okuler, Pandangan Binokuler dan Akomodasi
Pemeriksaan ini diperlukan karena gangguan pada fungsi visual diatas
dapatmenyebabkan terganggunya visus dan performa visual yang
menurun.
4. Assesmen kesehatan okuler dan Skreening Kesehatan sistemik
Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mendiagnosa hipermetropia
dapat berupa respon pupil, uji konfrontasi lapangan pandang, uji
penglihatan warna, pengukuran tekanan intraokuler dan pemeriksaan
posterior bola mata dan adnexa.
5. Kesehatan segmen anterior
Pada pasien dengan daya akomodasi yang masih sangat kuat atau pada
anak-anak, sebaiknya pemeriksaan dilakukan dengan pemberian
siklopegik atau melumpuhkan otot akomodasi.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis
hipermetropi adalah ophtalmoscope (Ilyas, 2006).

7
Prognosis
Prognosis tergantung onset kelainan, waktu pemberian peengobatan,
pengobatan yang diberikan dan penyakit penyerta. Pada anak-anak, jika
koreksi diberikan sebelum saraf optiknya matang (biasanya pada umur 8-10
tahun), maka prognosisnya lebih baik (Ilyas, 2006).

Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah esotropia dan glaucoma. Esotropia
atau juling ke dalam terjadi akibat pasien selamanya melakukan akomodasi.
Glaukoma sekunder terjadi akibat hipertrofi otot siliar pada badan siliar yang
akan mempersempit sudut bilik mata (Ilyas, 2006).

Klasifikasi
Terdapat berbagai gambaran klinik hipermetropia seperti (Ilyas, 2004) :
a. Hipermetropia Manifest
Adalah hipermetropia yang dapat dikoreksi dengan kacamata positif
maksimal yang memberikan tajam penglihatan normal. Hipermetropia ini
terdiri atas hipermetropia absolut ditambah dengan hipermetropia
fakultatif. Hipermetropia manifes didapatkan tanpa siklopegik dan
hipermetropia yang dapat dilihat dengan koreksi kacamata yang maksimal.
b. Hipermetropia Absolut
Dimana kelainan refraksi tidak diimbangi dengan akomodasi dan
memerlukan kacamata positif untuk melihat jauh. Biasanya hipermetropia
laten yang ada berakhir dengan hipermetropia absolut ini. Hipermetropia
manifes yang tidak memakai tenaga akomodasi sama sekali disebut
sebagai hipermetropia absolut, sehingga jumlah hipermatropia fakultatif
dengan hipermetropia absolut adalah hipermetropia manifes.
c. Hipermetropia Fakultatif
Dimana kelainan hipermatropia dapat diimbangi dengan akomodasi
ataupun dengan kaca mata positif. Pasien yang hanya mempunyai
hipermetropia fakultatif akan melihat normal tanpa kaca mata yang bila

8
diberikan kaca mata positif yang memberikan penglihatan normal maka
otot akomodasinya akan mendapatkan istrahat. Hipermetropia manifes
yang masih memakai tenaga akomodasi disebut sebagai hipermetropia
fakultatif.
d. Hipermetropia Laten
Dimana kelainan hipermetropia tanpa siklopegi ( atau dengan obat yang
melemahkan akomodasi) diimbangi seluruhnya dengan akomodasi.
Hipermetropia laten hanya dapat diukur bila siklopegia. Makin muda
makin besar komponen hipermetropi laten seseorang. Makin tua seseorang
akan terjadi kelemahan akomodasi sehingga hipermetropia laten menjadi
hipermetropia fakultatif dan kemudian akan menjadi hipermetropia
absolut. Hipermetropia laten sehari-hari diatasi pasien dengan akomodasi
terus menerus, teritama bila pasien masih muda dan daya akomodasinya
masih kuat.
e. Hipermetropia Total
Hipermetropia yang ukurannya didapatkan sesudah diberikan
siklopegia. Selain klasifikasi diatas ada juga yang membagi hipermetropia
secara klinis menjadi tiga kategori, yaitu:
1. Simple Hipermetropia, diakibatkan variasi biologis normal seperti
etiologi axial atau refraksi.
2. Patological Hipermetropia, diakibatkan anatomi okuler yang berbeda
yang disebabkan
3. Fungsional Hipermetropia, merupakan akibat dari paralisis
akomodasi.
Klasifikasi berdasar berat ringan gangguan
a) Hipermetropia ringan: gangguan refraksi dibawah +2D
b) Hipermetropia sedang: gangguan refraksinya +2.25- +5 D
c) Hipermetropia berat: gangguan refraksinya diatas 5D

9
Penatalaksanaan
Pengobatan dari hipermetropi (Ilyas, 2006) :
1. Koreksi Optikal
Hipermetropia dikoreksi dengan kacamata berlensa plus (konveks)
atau dengan lensakontak. Pada anak kecil dengan kelainan berderajat
rendah yang tidak menunjukan gejala sakit kepala dan keluhan lainnya,
tidak perlu diberi kacamata. Hanya orang-orang yang derajat
hipermetropianya berat dengan atau tanpa disertai mata juling dianjurkan
menggunakan kacamata. Pada anak-anak dengan mata juling ke dalam
(crossed eye) yang disertai hipermetropia, diharuskan memakai kacamata
berlensa positif. Karena kacamata berlensa plus ini amat bermanfaat untuk
menurunkan rangsangan pada otot-otot yang menarik bolamata juling ke
dalam.
Biasanya sangat memuaskan apabila power yang lebih tipis (1 D)
daripada total fakultatif dan absolute hyperopia yang diberikan kepada
pasien dengan tidak ada ketidak seimbangan otot ekstraokular. Jika ada
akomodatif esotrophia (convergence), koreksi penuh harus diberikan. Pada
exophoria, hyperopianya harus dikoreksi dengan 1-2D. Jika keseluruhan
refraksi manifest kecil, misalnya 1 D atau kurang, koreksi diberikan
apabila pasien memiliki gejala-gejala.
2. Terapi Penglihatan
Terapi ini efektif pada pengobatan gangguan akomodasi dan disfungsi
binokuler akibat dari hipermetropia. Respon akomodasi habitual pasien
dengan hipermetropia tidak akan memberi respon terhadap koreksi dengan
lensa, sehingga membutuhkan terapi penglihatan untuk mengurangi
gangguan akomodasi tersebut.
3. Terapi Medis
Agen Antikolinesterase seperti diisophropylfluorophospate(DFP) dan
echothiopate iodide (Phospholine Iodide,PI) telah digunakan pada pasien
dengan akomodasi eksotropia dan hipermetropia untuk mengurangi rasio
konvergensi akomodasi dan akomodasi(AC/A).

10
4. Merubah Kebiasaan Pasien
Modifikasi yang dapat dilakukan adalah pengunaan cahaya yang cukup
dalam aktivitas, menjaga kualitas kebersihan mata dan apabila pasien
adalah pengguna komputer sebaiknya menggunakan komputer dengan
kondisi ergonomis.
5. Bedah Refraksi
Terapi pembedahan refraksi saat ini sedang dalam perkembangan Terapi
pembedahan yang mungkin dilakukan adalah HOLIUM:YAG laser
thermal keratoplasty, Automated Lamellar Keratoplasty, Spiral Hexagonal
Keratotomy, Excimer Laser dan ekstraksi lensa diganti dengan Intra
Oculer Lens. Akan tetapi pembedahan masih jarang digunakan sebagai
terapi terhadap hipermetropia.

Pencegahan
Pencegahan hipermetropi diantaranya yaitu (Ilyas, 2006):
1. Duduk dengan posisi tegak ketika menulis.
2. Istirahatkan mata setiap 30-60 menit setelahmenonton tv, komputer atau
setelah membaca.
3. Aturlah jarak baca yang tepat (> 30 cm).
4. Gunakan penerangan yang cukup
5. Jangan membaca dengan posisi tidur
Kesimpulan
Hipermetropia juga dikenal dengan istilah hiperopia atau rabun dekat.
Hipermetropia merupakan keadaan gangguan kekuatan pembiasan mata
dimana sinar sejajar jauh tidak cukup dibiaskan sehingga titik fokusnya
terletak di belakang makula lutea atau retina. Ini disebabkan karena bola
mata pendek atau sumbu anteroposterior yang pendek atau kelengkungan
kornea atau lensa kurang.
Tanda dan gejalanya diantaranya yaitu sakit kepala terutama daerah
dahi atau frontal, silau, kadang rasa juling atau melihat ganda, mata leleh,
penglihatan kabur melihat dekat, sering mengantuk, mata berair, pupil

11
agak miosis, dan bilik mata depan lebih dangkal. Hipermetropia
diklasifikasikan menjadi 5 yaitu hipermetropia laten, total, absolut,
manifest dan fakultatif.
Apabila parah dapat menyebabkan komplikasi yaitu esotropia dan
glaucoma. Oleh karena itu perlu adanya pengobatan, diantaranya yaitu
terapi medis, terapi penglihatan, bedah refraksi, koreksi optikal dan
merubah kebiasaan pasien yang dapat memperburuk keadaan.

DAFTAR PUSTAKA

http://www.biologiedukasi.com/2016/11/pengertian-patofisiologi-etiologi-
dan_31.html

http://dokumen.tips/documents/160261796-hipermetrop-dan-presbioppdf.html

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31485/4/Chapter%20II.pdf

12

Anda mungkin juga menyukai