Anda di halaman 1dari 25

EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK

MENULAR
“HIPERMETROPI”

Disusun Oleh:
Hesti Tri Lestari/6411418050
Andro Faiq Pangestu/6411418092
PENGERTIAN
Hipermetropi atau rabun dekat adalah kondisi mata dimana
ketika melihat benda yang berada di kejauhan dengan jelas,
namun tidak dapat melihat dengan jelas benda yang dekat.
TANDA-TANDA DAN GEJALA
 Benda yang dekat terlihat kabur
 Nyeri pada sekitar mata atau mata lelah
 Gelisah dan kelelahan
 Perlu menyipitkan mata untuk melihat dengan lebih jelas
 Sakit kepala atau pusing setelah membaca
 Beberapa anak dapat mengalami strasbismus (mata juling)
atau melihat ganda
 Merasa silau
 Sering mengantuk, mata berair, pupil agak miosis, dan bilik
mata lebih dangkal
EPIDEMIOLOGI
Hipermetropi merupakan anomali perkembangan & semua
mata itu hipermetropi pada saat lahir
 80-90% pada 5 tahun pertama kehidupan
 48% pada 16 tahun
 Contoh epidemiologi di indonesia:
Pontianak, 12 Oktober 2017
Hasil Survei Kebutaan Rapid Assessment of Avoidable Blindness atau
RAAB tahun 2014 2016 di 15 provinsi menunjukkan penyebab
utama gangguan penglihatan dan kebutaan adalah kelainan
refraksi 10-15% dan katarak 70-80%.
Distribusi Gangguan Penglihatan Low Vision
dan Kebutaan Estimasi Global Tahun 2010
Distribusi Penyebab Gangguan Penglihatan
Estimasi Global Tahun 2010
Distribusi Penyebab Kebutaan Estimasi
Global Tahun 2010
GAMBARAN KELAINAN REFRAKSI TIDAK TERKOREKSI
PADA PROGRAM PENAPISAN OLEH UNIT OFTALMOLOGI
KOMUNITAS PUSAT MATA NASIONAL RUMAH SAKIT MATA CICENDO
DI WILAYAH KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2017
Prevalensi Kebutaan dan Severe Low Vision
Menurut Kelompok Umur Tahun 2013
Perkiraan Jumlah Penyandang Kebutaan dan Severe Low
Vision Menurut Provinsi Tahun 2013
Perhitungan Jumlah Penduduk dengan
Kebutaan dan Severe Low Vision Tahun 2013
ETIOLOGI
Hipermetropi dapat disebabkan:
a. Sumbu utama bola mata yang terlalu pendek
(Hipermetropi Axial)
b. Daya pembiasan bola mata yang terlalu lemah
(Hipermetropi Refraksi)
c. Kelengkungan kornea dan lensa tidak adekuat
(Hipermetropi kurvatura)
d. Perubahan posisi lensa
PATOFISIOLOGI
Sumbu utama bola mata yang terlalu pendek, daya pembiasan
bola mata yang terlalu lemah, kelengkungan kornea dan lensa
tidak adekuat perubahan posisi lensa dapat menyebabkan sinar
yang masuk dalam mata jatuh di belakang retina sehingga
penglihatan dekat jadi terganggu (Sidarta Ilyas, 2010 : 78-79).
DIAGNOSIS
Kelainan refraksi hipermetropi dapat di periksa dengan melakukan
pemeriksaan Okuler:
a. Visual Acuity  Mempergunakan beberapa alat untuk
mengetahui kemampuan membaca pasien hipermetropi dalam
jarak dekat. Seperti Jaeger Notation, Snellen metric distance
dan Lebehnson.
b. Refraksi  Prosedur yang dilakukan meliputi static retinoscopy,
subjective refraction dan autorefraction.
c. Pergerakan Okuler, Pandangan Binokuler dan Akomodasi 
Pemeriksaan ini diperlukan karena gangguan pada fungsi visual
diatas dapat menyebabkan terganggunya visus dan performa
visual yang menurun.
d. Assesmen kesehatan okuler dan Skreening Kesehatan sistemik 
Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mendiagnosa hipermetropia
dapat berupa respon pupil, uji konfrontasi lapangan pandang, uji
penglihatan warna, pengukuran tekanan intraokuler dan pemeriksaan
posterior bola mata dan adnexa.
e. Kesehatan segmen anterior  Pada pasien dengan daya akomodasi
yang masih sangat kuat atau pada anak-anak, sebaiknya pemeriksaan
dilakukan dengan pemberian siklopegik atau melumpuhkan otot
akomodasi.

DIAGNOSA BANDING
Diagnosis Banding hipermetropi adalah Presbiopi
PEMERIKSAAN PENUNJANGAN
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis
hipermetropi adalah ophtalmoscope (tes untuk memeriksa bagian
belakang dan dalam mata/fundus, termasuk cakram optik, retina, dan
pembuluh darah).

PROGNOSIS
Prognosis tergantung onset kelainan, waktu pemberian peengobatan,
pengobatan yang diberikan dan penyakit penyerta. Pada anak-anak, jika
koreksi diberikan sebelum saraf optiknya matang (biasanya pada umur 8-
10 tahun), maka prognosisnya lebih baik.
KLASIFIKASI HIPERMETROPIA
1. Hipermetropia manifes  didapatkan tanpa sikloplegik dan
hipermetropia yang dapat dilihat dengan koreksi kacamata maksimal.
2. Hipermetropia absolute  dimana kelainan refraksi tidak diimbangi
dengan akomodasi dan memerlukan kacamata positif untuk melihat
jauh.
3. Hipermetropia fakultatif  dimana kelainan hipermetropia diimbangi
dengan akomodasi ataupun dengan kaca mata positif.
4. Hipermetropia laten  dimana kelainan hipermetropia tanpa
sikloplegia (atau dengan obat yang melemahkan akomodasi) diimbangi
seluruhnya dengan akomodasi.
5. Hipermetropia total  hipermetropia yang ukurannya didapatkan
sesudah diberikan sikloplegia.
FAKTOR RISIKO
1. Faktor keturunan : memiliki orang tua yang
menderita hipermetropi
2. Berusia diatas 40 tahun
3. Menderita diabetes, kanker disekitar mata,
gangguan pada pembuluh darah di retina, atau
sindrom mata kecil (micropthalmia), memiliki
retinopati atau tumor otak.
KOMPLIKASI

Penyulit yang dapat terjadi pada pasien dengan


hipermetropia adalah esotropia dan glaukoma. Esotropia
atau juling ke dalam dapat terjadi akibat pasien selamanya
melakukan akomodasi. Glaukoma sekunder terjadi akibat
hipertrofi otot siliar pada badan siliar yang akan
mempersempit sudut bilik mata (Sidarta Ilyas, 2010 : 81).
PENCEGAHAN
1. Periksakan mata rutin
2. Intervensi dini penting, apabila terjadi perubahan penglihatan segera
hubuni dokter
3. Cegah agar mata tidak cepat lelah dan juga terlindungi, biasakan:
 Melakukan pekerjaan di tempat terang
 Istirahatkan mata setiap 30-60 menit di sela pekerjaan terutama saat
membaca atau menggunakan komputer dalam waktu lama
 Menjaga higienis mata
 Gunakan penerangan yang cukup
 Duduk dengan posisi tegak ketika menulis
 Aturlah jarak baca yang tepat (>30 cm)
 Jangan membaca dengan posisi tidur
PENANGGULANGAN
Cara Penanggulangan Hipermetropi ( rabun dekat )
adalah dengan memakai kaca mata lensa cembung
(kacamata plus). Dengan kacamata plus, sinar yang
jatuh di belakang retina akan diposisikan kembali
pada retina.
PENATALAKSANAAN/TERAPI
1. Koreksi optikal
2. Terapi penglihatan
3. Terapi medis
4. Merubah kebiasaan pasien
5. Bedah refraksi
DAFTAR PUSTAKA
 Ilyas, Sidarta. 2010. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta : FKUI
Istiqomah, Indriani N. 2004. ASKEP Klien Gangguan Mata.
Jakarta : EGC.
 Pearce, Evelyn C. 2010. Anatomi dan Fisiologi untuk
Paramedis. Jakarta : PT. Gramedia
 Vaughan dan Asbury. 2009. Oftalmologi Umum Edisi 17.
Jakarta : EGC.
 American Academy of Ophtalmology. BCSC Section 8.
Extemal Disease and Comea. Section 13. Refractive
Surgery. AAO Association. 2005.
TERIMA KASIH 

Anda mungkin juga menyukai