Pricopie Stefan*, Istrate Sanziana*, Voinea Liliana*, Leasu Costin*, Paun Vanessa*, Radu
Ciuluvica**
Pengantar
Kornea adalah struktur kompleks yang bertanggung jawab untuk sebagian besar refraksi
mata dan, karena posisi yang sangat terbuka, memiliki peran protektif, bertindak sebagai
penghalang fisik terhadap trauma dan infeksi [1,2]. Salah satu sifat terpenting dari kornea adalah
transparansinya, yang merupakan hasil dari sejumlah faktor: tidak adanya pembuluh darah,
keteraturan dan kelicinan epitel yang menutupi, susunan komponen selular dan ekstraselular dari
stroma yang teratur, yang tergantung pada keadaan hidrasi dan metabolisme unsur-unsur di
stroma [2].
Kornea memiliki banyak ujung saraf, dengan pleksus subepitelial dan stroma yang lebih
dalam, keduanya dipersarafi oleh divisi 1 saraf trigeminus. Hal ini adalah alasan mengapa proses
penyakit seperti keratopati bulosa dikaitkan dengan nyeri, fotofobia, dan refleks lakrimasi [1].
Patofisiologi Kornea
Rata-rata ketebalan kornea bagian sentral pada manusia dewasa normal adalah sekitar
550μm untuk Kaukasia dan tetap konstan antara dekade kedua dan keenam, namun bervariasi
seiring jalannya waktu dan ras [3].
Kornea terdiri atas lima lapisan dari anterior ke posterior: epitel, lapisan Bowman, stroma,
membran Descemet, dan endotelium. Komposisi stroma tidak seragam; stroma anterior
mengandung rasio yang lebih tinggi dari dermatan sulfat ke keratan sulfat, membuat stroma
posterior lebih mungkin membengkak dengan kelebihan air dalam keadaan disfungsi endotel [4].
Studi imunohistokimia menunjukkan bahwa endapan dari komponen matriks ekstraseluler
tertentu, seperti fibrilin-1 yang termasuk keluarga protein matriks ekstraseluler yang berkaitan
dengan mikrofibril elastis dan tenascin-C, yang merupakan glikoprotein yang sangat penting
dalam penyembuhan dan ditemukan di posterior lapisan kolagen atau di daerah fibrotik
subepithelial kornea dengan keratopati bulosa [6].
Faktor pertumbuhan dan sitokin mempengaruhi proliferasi sel, peradangan, jaringan parut,
dan fibrosis. Peningkatan kadar interleukin-2 (IL-2), interleukin-8 (IL-8), faktor pertumbuhan
insulin (IGF1), faktor pertumbuhan (TGF-β) dan faktor sumsum tulang - 4 (BMP-4) ditemukan
di kornea dengan keratopati bulosa. Interaksi antara faktor pertumbuhan dan matriks
ekstraseluler mendegradasi matriks metalloprotein adalah penting dan dapat menjadi mekanisme
hilangnya transparansi kornea [6].
Deturgesensi kornea dipertahankan oleh sel endotel natrium/potassium-activated
adenosisne triphospatase) dan dengan ikatan yang kuat antara sel-sel endotel yang membatasi
masuknya cairan. Dengan mengeluarkan cairan dari stroma dan membatasi masuknya cairan, sel-
sel endotel mempertahankan susunan teratur kolagen dan menjaga transparansi kornea. Di bagian
dengan kepadatan sel endotel yang berkurang, kurangnya ikatan yang kuat antara sel-sel endotel
memungkinkan peningkatan masuknya cairan ke dalam stroma. Sel-sel endotel yang tersisa
mungkin memiliki konsentrasi Na+, K+-ATPase yang lebih tinggi, sebagai mekanisme
kompensasi untuk meningkatkan pengeluaran cairan [4].
Kepadatan sel endotel normal lebih dari 3500 sel/𝑚𝑚2 pada anak-anak dan secara bertahap
menurun dengan usia hingga sekitar 2000 sel/𝑚𝑚2 pada orang tua, dengan rata-rata 2400
sel/𝑚𝑚2 untuk orang dewasa [5]. Setelah ini, rata-rata kehilangan sel setiap tahunnya adalah
sekitar 0,6 persen dimana perkembangan menjadi edema terjadi ketika kepadatan sel turun di
bawah 700 sel/𝑚𝑚2.
Etiopatogenesis
Penyebab utama keratopati bulosa adalah hilangnya sel-sel endotel karena trauma
pembedahan, terutama dalam operasi katarak pada pasien dekade keenam, dengan atau tanpa
lensa implantasi [6,7].
Peningkatan suhu lokal yang berhubungan dengan probe fakoemulsifikasi dapat
menyebabkan kerusakan termal pada jaringan kornea yang berdekatan. Kerusakan endotelium
dapat disebabkan oleh tingkat irigasi atau aspirasi yang tinggi yang dapat mengakibatkan aliran
turbulen dengan partikel lensa yang terhubung dengannya [10].
Selain itu, durasi fakoemulsifikasi yang digunakan selama operasi sangat penting karena
energi ultrasonik terkait dengan produksi radikal bebas, reaktif dengan satu atau lebih elektron
yang tidak berpasangan di orbit luarnya dan dapat merusak endotelium kornea akibat stres
oksidatif [10].
Etiologi lain termasuk distrofi endotel seperti distrofi Fuchs, tumor ruang anterior seperti
myxoma, kelainan kongenital, seperti mikrokornea, glaukoma akut dan glaukoma neovaskular,
endotelitis herpetik atau pembedahan yang dapat menyebabkan kehilangan sel endotel seperti
trabekulectomi, fiksasi skleral lensa intraokular, implan lensa ruang anterior untuk koreksi afakia
dan ametropia tinggi, setelah laser argon, keratotomi radial [6].
Keratopati bullous dapat terjadi pada sekitar 1 hingga 2% pasien yang menjalani operasi
katarak, yaitu sekitar dua hingga empat juta pasien di seluruh dunia [6].
Pilihan terapi
Pengobatan klinis untuk edema kornea harus berdasarkan pada agen hipertonik topikal
seperti natrium klorida (5%), obat-obatan anti-inflamasi, antiglaukoma topikal dan/atau sistemik,
karena peningkatan TIO bisa membahayakan fungsi sel endotel, kortikosteroid, pelumas dan
kadang-kadang, karena rasa sakit yang dialami oleh pasien, lensa kontak terapeutik untuk
memperbaiki gejala [10].
Menurut sebuah penelitian tahun 2015, L-cysteine sistemik memfasilitasi remisi edema
kornea ketika diberikan pada periode pasca operasi terhadap pasien setelah operasi katarak,
sehingga penggunaan dianjurkan bersamaan pada pasien yang memiliki bakat keratopati bulosa.
Peningkatan ekspresi dari beberapa mediator proinflamasi pada tingkat protein epitel
kornea ditunjukkan pada pasien dengan edema kornea pseudofakia. Sitokin dan MMP ini, yang
merupakan keluarga proteinase ekstraseluler yang mendegradasi protein matriks ekstraseluler,
berpartisipasi dalam proses patologis edema kornea pseudofakia dan secara khusus berkontribusi
pada degradasi terus menerus lapisan Bowman dan erosi berulang epitel kornea.
MMP memiliki peran penting dalam sejumlah proses patologis, termasuk angiogenesis
dan penyembuhan luka, di mana degradasi matriks terjadi. MMP diaktifkan oleh "cysteine
switch". Semua mode aktivasi menyebabkan disosiasi Cys73 dari atom seng dengan paparan
bersamaan dari situs aktif.
Berdasarkan anggapan bahwa tingkat L-cystein yang tinggi dapat bertindak sebagai
substrat regulasi untuk MMP, studi lebih lanjut harus dilakukan untuk menetapkan peran
tambahan dari L-cysteine sistemik pada keratopati bulosa pseudofakia [7] .
Penggunaan flap konjungtiva efektif tetapi telah dibatasi oleh hasil kosmetik yang tidak
dapat diterima [6].
Cross linking kolagen kornea (CXL) dengan radiasi Riboflavin dan ultraviolet A
(UVA) adalah proses fotokimia yang diperkenalkan oleh Seiler dan Spoerl di University of
Dresden untuk pengobatan kelainan ektatik kornea seperti keratoconus dan ectasias post LASIK
[13].
CXL kornea dianggap sebagai alat baru dalam perjuangan untuk pengurangan edema
kornea yang sementara pada pasien dengan keratopati bulosa. Telah ditemukan untuk
meningkatkan transparansi kornea, ketebalan kornea, dan nyeri okular setelah operasi [12].
Mekanisme aksi yang diusulkan adalah bahwa riboflavin menyerap sinar UVA, yang
menghasilkan produksi radikal oksigen bebas. Radikal oksigen yang sangat reaktif ini kemudian
menginduksi cross-linking kolagen stroma kornea dan memperkuat kornea [13].
Penelitian yang berbeda menunjukkan bahwa CXL kornea meningkatkan transparansi
kornea, ketebalan kornea, dan nyeri okular secara signifikan satu bulan pasca operasi. Pemulihan
gejala ini mungkin dihasilkan dari pemadatan stroma yang disebabkan oleh CXL dan
mengurangi pembentukan bula. Namun, tampaknya tidak memiliki efek jangka panjang dalam
mengurangi rasa sakit dan menjaga transparansi kornea [12,14].
Pada tahun 1999, Pires dkk. berhasil menggunakan membran amnion untuk mengontrol
rasa sakit pada pasien dengan Keratopati Bullosa. Mereka mengatribusikan hasil tersebut ke
berbagai inhibitor protease yang terletak di matriks stroma membran amnion, yang penting untuk
mempercepat penyembuhan epitel dan mengurangi ulserasi dan inflamasi stroma [16].
Membran amnion memfasilitasi re-epitelisasi dengan menyediakan substrat yang cocok
dan membran basal normal, dengan melakukan migrasi dan adhesi sel epitel. Membran amnion
juga dipercaya memproduksi beberapa faktor pertumbuhan yang menyokong sel epitel. Ketika
membran amnion diterapkan pada kornea, keratosit yang berasal fibroblas dan miofibroblas
diketahui bermigrasi dari stroma kornea ke dalam stroma amnion. Hal ini memberikan kontribusi
dalam fibrosis subepitel dan juga pertumbuhan lapisan epitel amnion ke permukaan kornea [15].
Transplantasi membran amnion efektif dalam mengendalikan rasa sakit pada pasien
dengan pseudofakia keratopati bulosa dan tidak menyebabkan neovaskularisasi, tetapi hal ini
bukanlah pilihan pengobatan pertama karena membuthkan biaya dan waktu [6,15].
Anterior Stromal Puncture (ASP) adalah pilihan yang sederhana dan intervensi yang
populer dalam manajemen dari pseudofakia keratopati bulosa dengan biaya rendah dan
komplikasi yang sedikit [6,15,17].
Penelitian imunohistokimia menunjukkan bahwa peningkatan ekspresi protein matriks
ekstraseluler yang penting untuk adhesi sel epitel basal seperti fibronektin, laminin, dan kolagen
tipe IV di lokasi tusukan stroma. Sekresi komponen membran basal ini akan meningkatkan
adhesi epitel di stroma bagain dasar, yang berhubungan dengan fibrosis subepitel, sehingga
menciptakan penghalang untuk penetrasi cairan ke dalam ruang subepitel dan penurunan
pembentukan gelembung subepitel [6,15].
Hsu dkk. secara klinis mampu mengkorelasikan peningkatan gejala sakit dengan berbagai
tingkat fibrosis subepitel dan perlekatan epitel.
Kesimpulan