Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

Acute kidney injury (AKI), yang sebelumnya dikenal dengan gagal ginjal akut
(GGA, acute renal failure [ARF]) merupakan salah satu sindrom dalam bidang nefrologi
yang dalam 15 tahun terakhir menunjukkan peningkatan insidens. Beberapa laporan dunia
menunjukkan insidens yang bervariasi antara 0,5-0,9% pada komunitas, 0,7-18% pada
pasien yang dirawat di rumah sakit, hingga 20% pada pasien yang dirawat di unit
perawatan intensif (ICU), dengan angka kematian yang dilaporkan dari seluruh dunia
berkisar 25% hingga 80%.
Insidens di negara berkembang, khususnya di komunitas, sulit didapatkan karena
tidak semua pasien AKI datang ke rumah sakit. Diperkirakan bahwa insidens nyata pada
komunitas jauh melebihi angka yang tercatat. Peningkatan insidens AKI antara lain
dikaitkan dengan peningkatan sensitivitas kriteria diagnosis yang menyebabkan kasus yang
lebih ringan dapat terdiagnosis. Selain itu, juga disebabkan oleh peningkatan nyata kasus
AKI akibat meningkatnya populasi usia lanjut dengan penyakit komorbid yang beragam,
meningkatnya jumlah prosedur transplantasi organ selain ginjal, intervensi diagnostik dan
terapeutik yang lebih agresif.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II. 1 Definisi dan Kriteria Diagnosis


Secara konseptual AKI adalah penurunan cepat (dalam jam hingga minggu) laju
filtrasi glomerulus (LFG) yang umumnya berlangsung reversibel, diikuti kegagalan ginjal
untuk mengekskresi sisa metabolisme nitrogen, dengan/ tanpa gangguan keseimbangan
cairan dan elektrolit. Penurunan tersebut dapat terjadi pada ginjal yang fungsi dasarnya
normal (AKI klasik) atau tidak normal (acute on chronic kidney disease). Dahulu, hal di
atas disebut sebagai gagal ginjal akut dan tidak ada definisi operasional yang seragam,
sehingga parameter dan batas parameter gagal ginjal akut yang digunakan berbeda-beda
pada berbagai kepustakaan. Hal itu menyebabkan permasalahan antara lain kesulitan
membandingkan hasil penelitian untuk kepentingan meta-analisis, penurunan sensitivitas
kriteria untuk membuat diagnosis dini dan spesifisitas kriteria untuk menilai tahap
penyakit yang diharapkan dapat menggambarkan prognosis pasien.
Atas dasar hal tersebut, Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI) yang
beranggotakan para nefrolog dan intensivis di Amerika pada tahun 2002 sepakat
mengganti istilah ARF menjadi AKI. Penggantian istilah renal menjadi kidney diharapkan
dapat membantu pemahaman masyarakat awam, sedangkan penggantian istilah failure
menjadi injury dianggap lebih tepat menggambarkan patologi gangguan ginjal. Kriteria
yang melengkapi definisi AKI menyangkut beberapa hal antara lain (1) kriteria diagnosis
harus mencakup semua tahap penyakit; (2) sedikit saja perbedaan kadar kreatinin (Cr)
serum ternyata mempengaruhi prognosis penderita; (3) kriteria diagnosis mengakomodasi
2

penggunaan penanda yang sensitif yaitu penurunan urine output (UO) yang seringkali
mendahului peningkatan Cr serum; (4) penetapan gangguan ginjal berdasarkan kadar Cr
serum, UO dan LFG mengingat belum adanya penanda biologis (biomarker) penurunan
fungsi ginjal yang mudah dan dapat dilakukan di mana saja. ADQI mengeluarkan sistem
klasifikasi AKI dengan kriteria RIFLE yang terdiri dari 3 kategori (berdasarkan
peningkatan kadar Cr serum atau penurunan LFG atau kriteria UO) yang menggambarkan
beratnya penurunan fungsi ginjal dan 2 kategori yang menggambarkan prognosis
gangguan ginjal, seperti yang terlihat pada tabel 1.
Tabel 1. Klasifikasi AKI dengan Kriteria RIFLE, ADQI Revisi 2007
Peningkatan kadar
Kategori
Penurunan LFG
Kriteria UO
Cr serum
< 0,5 mL/kg/jam,
Risk
1,5 kali nilai dasar
> 25% nilai dasar
6 jam
< 0,5 mL/kg/jam,
Injury
2,0 kali nilai dasar
> 50% nilai dasar
12 jam
3,0 kali nilai dasar
< 0,3 mL/kg/jam,
atau 4 mg/dL
Failure
> 75% nilai dasar
24 jam atau anuria
dengan kenaikan
12 jam
akut 0,5 mg/dL
Loss
Penurunan fungsi finjal menetap selama lebih dari 4 minggu
End stage
Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 3 bulan

Kriteria RIFLE sudah diuji dalam berbagai penelitian dan menunjukkan kegunaaan dalam
aspek diagnosis, klasifikasi berat penyakit, pemantauan perjalanan penyakit dan prediksi
mortalitas.
Pada tahun 2005, Acute Kidney Injury Network (AKIN), sebuah kolaborasi
nefrolog dan intensivis internasional, mengajukan modifikasi atas kriteria RIFLE. AKIN
mengupayakan peningkatan sensitivitas klasifikasi dengan merekomendasikan (1)
kenaikan kadar Cr serum sebesar >0,3 mg/dL sebagai ambang definisi AKI karena dengan
kenaikan tersebut telah didapatkan peningkatan angka kematian 4 kali lebih besar
3

(OR=4,1; CI=3,1-5,5); (2) penetapan batasan waktu terjadinya penurunan fungsi ginjal
secara akut, disepakati selama maksimal 48 jam (bandingkan dengan 1 minggu dalam
kriteria RIFLE) untuk melakukan observasi dan mengulang pemeriksaan kadar Cr serum;
(3) semua pasien yang menjalani terapi pengganti ginjal (TPG) diklasifikasikan dalam AKI
tahap 3; (4) pertimbangan terhadap penggunaan LFG sebagai patokan klasifikasi karena
penggunaannya tidak mudah dilakukan pada pasien dalam keadaan kritis. Dengan
beberapa modifikasi, kategori R, I, dan F pada kriteria RIFLE secara berurutan adalah
sesuai dengan kriteria AKIN tahap 1, 2, dan 3. Kategori LE pada kriteria RIFLE
menggambarkan hasil klinis (outcome) sehingga tidak dimasukkan dalam tahapan.
Klasifikasi AKI menurut AKIN dapat dilihat pada tabel 2. Sebuah penelitian yang
bertujuan membandingkan kemanfaatan modifikasi yang dilakukan oleh AKIN terhadap
kriteria RIFLE gagal menunjukkan peningkatan sensitivitas, dan kemampuan prediksi
klasifikasi AKIN dibandingkan dengan kriteria RIFLE.
Tabel 2. Klasifikasi AKI dengan kriteria AKIN, 2005.
Tahap Peningkatan kadar Cr serum
1
1,5 kali nilai dasar atau peningkatan 0,3
mg/dL
2
2,0 kali nilai dasar
3
3,0 kali nilai dasar atau 4 mg/dL dengan
kenaikan akut 0,5 mg/dL atau inisiasi terapi
pengganti ginjal

Kriteria UO
< 0,5 mL/kg/jam, 6 jam
< 0,5 mL/kg/jam, 12 jam
< 0,3 mL/kg/jam, 24 jam
atau anuria 12 jam

II. 2 Klasifikasi Etiologi


Etiologi AKI dibagi menjadi 3 kelompok utama berdasarkan patogenesis AKI,
yakni (1) penyakit yang menyebabkan hipoperfusi ginjal tanpa menyebabkan gangguan
pada parenkim ginjal (AKI prarenal,~55%); (2) penyakit yang secara langsung
menyebabkan gangguan pada parenkim ginjal (AKI renal/intrinsik,~40%); (3) penyakit
yang terkait dengan obstruksi saluran kemih (AKI pascarenal,~5%). Angka kejadian
4

penyebab AKI sangat tergantung dari tempat terjadinya AKI. Salah satu cara klasifikasi
etiologi AKI dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Klasifikasi Penyebab AKI (Dimodifikasi)
AKI Prarenal
I. Hipovolemia
- Kehilangan cairan pada ruang ketiga, ekstravaskular
Kerusakan jaringan (pankreatitis), hipoalbuminemia, obstruksi usus
- Kehilangan darah
- Kehilangan cairan ke luar tubuh
Melalui saluran cerna (muntah, diare, drainase), melalui saluran kemih (diuretik,
hipoadrenal, diuresis osmotik), melalui kulit (luka bakar)
II. Penurunan curah jantung
- Penyebab miokard: infark, kardiomiopati
- Penyebab perikard: tamponade
- Penyebab vaskular pulmonal: emboli pulmonal
- Aritmia
- Penyebab katup jantung
III.
Perubahan rasio resistensi vaskular ginjal sistemik
- Penurunan resistensi vaskular perifer
Sepsis, sindrom hepatorenal, obat dalam dosis berlebihan (contoh: barbiturat),
vasodilator (nitrat, antihipertesi)
- Vasokonstriksi ginjal
Hiperkalsemia, norepinefrin, epinefrin, siklosporin, takrolimus, amphotericin B
- Hipoperfusi ginjal lokal
Stenosis a. Renalis, hipertensi maligna
IV.Hipoperfusi ginjal dengan gangguan autoregulasi ginjal
- Kegagalan penurunan resistensi arteriol aferen
Perubahan struktural (usia lanjut, aterosklerosis, hipertensi kronik, PGK (penyakit
ginjal kronik), hipertensi maligna), penurunan prostaglandin (penggunaan OAINS,
COX-2 inhibitor), vasokonstriksi arteriol aferen (sepsis, hiperkalsemia, sindrom
hepatorenal, siklosporin, takrolimus, radiokontras)
- Kegagalan peningkatan resistensi arteriol eferen
- Penggunaan penyekat ACE, ARB
- Stenosis a. renalis
V. Sindrom hiperviskositas
- Mieloma multipel, makroglobulinemia, polisitemia
AKI Renal/intrinsik
I. Obstruksi renovaskular
- Obstruksi a. Renalis (plak aterosklerosis, trombosis, emboli, diseksi aneurisma,
vaskulitis), obstruksi v. Renalis (trombosis, kompresi)
II. Penyakit glomerulus atau mikrovaskular ginjal
- Glomerulonefritis, vaskulitis
III.
Nekrosis tubular akut (Acute Tuular Necrosis, ATN)
- Iskemia (serupa AKI prarenal)
- Toksin
5

Eksogen (radiokontras, siklosporin, antibiotik, kemoterapi, pelarut organik,


asetaminofen), endogen (rabdomiolisis, hemolisis, asam urat, oksalat, mieloma)
IV.Nefritis interstitial
- Alergi (antibiotik, OAINS, diuretik, kaptopril), infeksi (bakteri, viral, jamur),
infiltrasi (limfoma, leukimia, sarkoidosis), idiopatik
V. Obstruksi dan deposisi intratubular
- Protein mieloma, asam urat, oksalat, asiklovir, metotreksat, sulfonamida
VI.
Rejeksi alograf ginjal
AKI Pascarenal
I. Obstruksi ureter
- Batu, gumpalan darah, papila ginjal, keganasan, kompresi eksternal
II. Obstruksi leher kandung kemih
- Kandung kemih neurogeik, hipertrofi prostat, batu, keganasan, darah
III.
Obstruksi uretra
- Striktur, katup kongenital, fimosis
Pada sebuah studi di ICU sebuah rumah sakit di Bandung selama pengamatan
tahun 2005-2006, didapatkan penyebab AKI (dengan dialisis) terbanyak adalah sepsis
(42%), disusul dengan gagal jantung (28%), AKI pada penyakit ginjal kronik (PGK) (8%),
luka bakar dan gastroenteritis akut (masing-masing 3%).
II. 3 Patofisiologi
Unit kerja fungsional ginjal disebut sebagai nefron. Setiap nefron terdiri dari
kapsula Bowman yang mengitari kapiler glomerolus, tubulus kontortus proksimal,
lengkung Henle, dan tubulus kontortus distal yang mengosongkan diri ke duktus
pengumpul.
Dalam keadaan normal aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerolus relatif
konstan yang diatur oleh suatu mekanisme yang disebut otoregulasi. Dua mekanisme yang
berperan dalam autoregulasi ini adalah:

Reseptor regangan miogenik dalam otot polos vascular arteriol aferen

Timbal balik tubuloglomerular

Selain itu norepinefrin, angiotensin II, dan hormon lain juga dapat mempengaruhi
autoregulasi. Pada gagal ginjal pre-renal yang utama disebabkan oleh hipoperfusi ginjal.
Pada keadaan hipovolemi akan terjadi penurunan tekanan darah, yang akan mengaktivasi
baroreseptor kardiovaskular yang selanjutnya mengaktifasi sistem saraf simpatis, sistem
rennin-angiotensin serta merangsang pelepasan vasopressin dan endothelin-I (ET-1), yang
merupakan mekanisme tubuh untuk mempertahankan tekanan darah dan curah jantung
serta perfusi

serebral. Pada

keadaan

ini mekanisme

otoregulasi

ginjal akan

mempertahankan aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus (LFG) dengan vasodilatasi
arteriol afferent yang dipengaruhi oleh reflek miogenik, prostaglandin dan nitric oxide
(NO), serta vasokonstriksi arteriol afferent yang terutama dipengaruhi oleh angiotensin-II
dan ET-1.
Pada hipoperfusi ginjal yang berat (tekanan arteri rata-rata < 70 mmHg) serta
berlangsung dalam jangka waktu lama, maka mekanisme otoregulasi tersebut akan
terganggu dimana arteriol afferent mengalami vasokonstriksi, terjadi kontraksi mesangial
dan penigkatan reabsorbsi natrium dan air. Keadaan ini disebut prerenal atau gagal ginjal
akut fungsional dimana belum terjadi kerusakan struktural dari ginjal.
Penanganan terhadap hipoperfusi ini akan memperbaiki homeostasis intrarenal
menjadi normal kembali. Otoregulasi ginjal bisa dipengaruhi oleh berbagai macam obat
seperti ACEI, NSAID terutama pada pasien pasien berusia di atas 60 tahun dengan kadar
serum kreatinin 2 mg/dL sehingga dapat terjadi GGA pre-renal. Proses ini lebih mudah
terjadi pada kondisi hiponatremi, hipotensi, penggunaan diuretic, sirosis hati dan gagal
jantung. Perlu diingat bahwa pada pasien usia lanjut dapat timbul keadaan keadaan yang
merupakan resiko GGA pre-renal seperti penyempitan pembuluh darah ginjal (penyakit
renovaskuler), penyakit ginjal polikistik, dan nefrosklerosis intrarenal. Sebuah penelitian

terhadap tikus yaitu gagal ginjal ginjal akut prerenal akan terjadi 24 jam setelah ditutupnya
arteri renalis.
Pada gagal ginjal renal terjadi kelainan vaskular yang sering menyebabkan nekrosis
tubular akut. Dimana pada NTA terjadi kelainan vascular dan tubular Pada kelainan
vaskuler terjadi:
1. Peningkatan Ca2+ sitosolik pada arteriol afferent glomerolus yang menyebabkan
sensitifitas terhadap substansi-substansi vasokonstriktor dan gangguan otoregulasi.
2. Terjadi peningkatan stress oksidatif yang menyebabkan kerusakan sel endotel
vaskular ginjal, yang mngakibatkan peningkatan A-II dan ET-1 serta penurunan
prostaglandin dan ketersediaan nitric oxide yang bearasal dari endotelial NOsintase.
3. Peningkatan mediator inflamasi seperti tumor nekrosis faktor dan interleukin-18,
yang selanjutnya akan meningkatkan ekspresi dari intraseluler adhesion molecule-1
dan P-selectin dari sel endotel, sehingga peningkatan perlekatan sel radang
terutama sel netrofil. Keadaan ini akan menyebabkan peningkatan radikal bebas
oksigen. Kesuluruhan proses di atas secara bersama-sama menyebabkan
vasokonstriksi intrarenal yang akan menyebabkan penurunan GFR.

Gambar 1. Patofisiologi gagal ginjal akut di renal.

Pada kelainan tubular terjadi:


1. Peningkatan Ca2+, yang menyebabkan peningkatan calpain sitosolik phospholipase
A2 serta kerusakan actin, yang akan menyebabkan kerusakan sitoskeleton. Keadaan
ini akan mengakibatkan penurunan basolateral Na+/K+-ATP ase yang selanjutnya
menyebabkan penurunan reabsorbsi natrium di tubulus proximalis serta terjadi
pelepasan NaCl ke maculadensa. Hal tersebut mengakibatkan peningkatan umpan
tubuloglomeruler.
2. Peningkatan NO yang berasal dari inducible NO syntase, caspases dan
metalloproteinase serta defisiensi heat shock protein akan menyebabkan nekrosis dan
apoptosis sel.
3. Obstruksi tubulus, mikrofili tubulus proksimalis yang terlepas bersama debris seluler
akan membentuk substrat yang menyumbat tubulus, dalam hal ini pada thick
assending limb diproduksi Tamm-Horsfall protein (THP) yang disekresikan ke dalam
tubulus dalam bentuk monomer yang kemudian berubah menjadi polimer yang akan
membentuk materi berupa gel dengan adanya natrium yang konsentrasinya meningkat
pada tubulus distalis. Gel polimerik THP bersama sel epitel tubulus yang terlepas baik
sel yang sehat, nekrotik maupun yang apoptopik, mikrofili dan matriks ekstraseluler
seperti fibronektin akan membentuk silinder-silinder yang menyebabkan obstruksi
tubulus ginjal.
4. Kerusakan sel tubulus menyebabkan kebocoran kembali dari cairan intratubuler
masuk ke dalam sirkulasi peritubuler. Keseluruhan proses tersebut di atas secara
bersama-sama yang akan menyebabkan penurunan GFR.
Gagal ginjal post-renal, GGA post-renal merupakan 10% dari keseluruhan GGA.
GGA post-renal disebabkan oleh obstruksi intra-renal dan ekstrarenal. Obstruksi intrarenal
9

terjadi karena deposisi kristal (urat, oksalat, sulfonamide) dan protein ( mioglobin,
hemoglobin). Obstruksi ekstrarenal dapat terjadi pada pelvis ureter oleh obstruksi intrinsic
(tumor, batu, nekrosis papilla) dan ekstrinsik ( keganasan pada pelvis dan retroperitoneal,
fibrosis) serta pada kandung kemih (batu, tumor, hipertrofi/ keganasan prostate) dan uretra
(striktura). GGA post-renal terjadi bila obstruksi akut terjadi pada uretra, buli buli dan
ureter bilateral, atau obstruksi pada ureter unilateral dimana ginjal satunya tidak berfungsi.
Pada fase awal dari obstruksi total ureter yang akut terjadi peningkatan aliran darah
ginjal dan peningkatan tekanan pelvis ginjal dimana hal ini disebabkan oleh
prostaglandin-E2. Pada fase ke-2, setelah 1,5-2 jam, terjadi penurunan aliran darah ginjal
dibawah normal akibat pengaruh tromboxane-A2 dan A-II. Tekanan pelvis ginjal tetap
meningkat tetapi setelah 5 jam mulai menetap. Fase ke-3 atau fase kronik, ditandai oleh
aliran ginjal yang makin menurun dan penurunan tekanan pelvis ginjal ke normal dalam
beberapa minggu. Aliran darah ginjal setelah 24 jam adalah 50% dari normal dan setelah 2
minggu tinggal 20% dari normal. Pada fase ini mulai terjadi pengeluaran mediator
inflamasi dan faktorfaktor pertumbuhan yang menyebabkan fibrosis interstisial ginjal.

Gambar 2. Batu pada ginjal


II. 4 Pendekatan Diagnosis

10

Pada pasien yang memenuhi kriteria diagnosis AKI sesuai dengan yang telah
dipaparkan di atas, pertama-tama harus ditentukan apakah keadaan tersebut memang
merupakan AKI atau merupakan suatu keadaan akut pada PGK. Beberapa patokan umum
yang dapat membedakan kedua keadaan ini antara lain riwayat etiologi PGK, riwayat
etiologi penyebab AKI, pemeriksaan klinis (anemia, neuropati pada PGK) dan perjalanan
penyakit (pemulihan pada AKI) dan ukuran ginjal. Patokan tersebut tidak sepenuhnya
dapat dipakai. Misalnya, ginjal umumnya berukuran kecil pada PGK, namun dapat pula
berukuran normal bahkan membesar seperti pada neuropati diabetik dan penyakit ginjal
polikistik. Upaya pendekatan diagnosis harus pula mengarah pada penentuan etiologi,
tahap AKI, dan penentuan komplikasi.
II. 4.1 Pemeriksaan Klinis
Petunjuk klinis AKI prarenal antara lain adalah gejala haus, penurunan UO
dan berat badan dan perlu dicari apakah hal tersebut berkaitan dengan penggunaan
OAINS, penyekat ACE dan ARB. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan tanda
hipotensi ortostatik dan takikardia, penurunan jugular venous pressure (JVP),
penurunan turgor kulit, mukosa kering, stigmata penyakit hati kronik dan hipertensi
portal, tanda gagal jantung dan sepsis. Kemungkinan AKI renal iskemia menjadi
tinggi bila upaya pemulihan status hemodinamik tidak memperbaiki tanda AKI.
Diagnosis AKI renal toksik dikaitkan dengan data klinis penggunaan zat-zat
nefrotoksik ataupun toksin endogen (misalnya mioglobin, hemoglobin, asam urat).
Diagnosis AKI renal lainnya perlu dihubungkan dengan gejala dan tanda yang
menyokong seperti gejala trombosis, glomerulonefritis akut, atau hipertensi
maligna. AKI pascarenal dicurigai apabila terdapat nyeri sudut kostovertebra atau
suprapubik akibat distensi pelviokalises ginjal, kapsul ginjal, atau kandung kemih.
Nyeri pinggang kolik yang menjalar ke daerah inguinal menandakan obstruksi
11

ureter akut. Keluhan terkait prostat, baik gejala obstruksi maupun iritatif, dan
pembesaran prostat pada pemeriksaan colok dubur menyokong adanya obstruksi
akibat pembesaran prostat. Kandung kemih neurogenik dapat dikaitkan dengan
pengunaan antikolinergik dan temuan disfungsi saraf otonom.
II. 4.2 Pemeriksaan Penunjang
Dari pemeriksaan urinalisis, dapat ditemukan berbagai penanda inflamasi
glomerulus, tubulus, infeksi saluran kemih, atau uropati kristal. Pada AKI prarenal,
sedimen yang didapatkan aselular dan mengandung cast hialin yang transparan.
AKI pascarenal juga menunjukkan gambaran sedimen inaktif, walaupun hematuria
dan piuria dapat ditemukan pada obstruksi intralumen atau penyakit prostat. AKI
renal akan menunjukkan berbagai cast yang dapat mengarahkan pada penyebab
AKI, antara lain pigmented muddy brown granular cast, cast yang mengandung
epitel tubulus yang dapat ditemukan pada ATN; cast eritrosit pada kerusakan
glomerulus atau nefritis tubulointerstitial; cast leukosit dan pigmented muddy
brown granular cast pada nefritis interstitial. Hasil pemeriksaan biokimiawi darah
(kadar Na, Cr, urea plasma) dan urin (osmolalitas urin, kadar Na, Cr, urea urin)
secara umum dapat mengarahkan pada penentuan tipe AKI, seperti yang terlihat
pada tabel 4).
Tabel 4. Kelainan Analisis urin
Indeks diagnosis
Urinalisis
Gravitasi spesifik
Osmolalitas urin (mmol/kgH2O)
Kadar natrium urin (mmol/L)
Fraksi ekskresi natrium (%)
Fraksi ekskresi urea (%)
Rasio Cr urin/ Cr plasma
Rasio urea urin/ urea plasma

AKI prarenal
Silinder hialin
>1,020
>500
<10 (<20)
<1
<35
>40
>8

AKI renal
Abnormal
~1010
~300
>20 (>40)
>1
>35
<20
<3

12

Pada keadaan fungsi tubulus ginjal yang baik, vasokonstriksi pembuluh


darah ginjal akan menyebabkan peningkatan reabsorbsi natrium oleh tubulus
hingga mencapai 99%. Akibatnya, ketika sampah nitrogen (ureum dan kreatinin)
terakumulasi di dalam darah akibat vasokonstriksi pembuluh darah ginjal dengan
fungsi tubulus yang masih terjaga baik, fraksi ekskresi natrium (FE Na = [(Na urin x
Cr plasma)/(Na plasma x Cr urin)] mencapai kurang dari 1%, FEUrea kurang dari
35%. Sebagai pengecualian, adalah jika vasokonstriksi terjadi pada seseorang yang
menggunakan diuretik, manitol, atau glukosuria yang menurunkan reabsorbsi Na
oleh tubulus dan menyebabkan peningkatan FENa. Hal yang sama juga berlaku
untuk pasien dengan PGK tahap lanjut yang telah mengalami adaptasi kronik
dengan pengurangan LFG. Meskipun demikian, pada beberapa keadaan spesifik
seperti ARF renal akibat radiokontras dan mioglobinuria, terjadi vasokonstriksi
berat pembuluh darah ginjal secara dini dengan fungsi tubulus ginjal yang masih
baik sehingga FENa dapat pula menunjukkan hasil kurang dari 1%.
Pemeriksaan yang cukup sensitif untuk menyingkirkan AKI pascarenal
adalah pemeriksaan urin residu pascaberkemih. Jika volume urin residu kurang dari
50 cc, didukung dengan pemeriksaan USG ginjal yang tidak menunjukkan adanya
dilatasi pelviokalises, kecil kemungkinan penyebab AKI adalah pascarenal.
Pemeriksaan pencitraan lain seperti foto polos abdomen, CT-scan, MRI, dan
angiografi ginjal dapat dilakukan sesuai indikasi.
Pemeriksaan biopsi ginjal diindikasikan pada pasien dengan penyebab renal
yang belum jelas, namun penyebab pra- dan pascarenal sudah berhasil
disingkirkan. Pemeriksaan tersebut terutama dianjurkan pada dugaan AKI renal
nonATN yang memiliki tata laksana spesifik, seperti glomerulonefritis, vaskulitis,
dan lain lain.
13

II. 4.3 Peranan Penanda Biologis


Beberapa parameter dasar sebagai penentu kriteria diagnosis AKI (Cr
serum, LFG dan UO) dinilai memiliki beberapa kelemahan. Kadar Cr serum antara
lain (1) sangat tergantung dari usia, jenis kelamin, massa otot, dan latihan fisik
yang berat; (2) tidak spesifik dan tidak dapat membedakan tipe kerusakan ginjal
(iskemia, nefrotoksik, kerusakan glomerulus atau tubulus); (3) tidak sensitif karena
peningkatan kadar terjadi lebih lambat dibandingkan penurunan LFG dan tidak
baik dipakai sebagai parameter pemulihan. Penghitungan LFG menggunakan
rumus berdasarkan kadar Cr serum merupakan perhitungan untuk pasien dengan
PGK dengan asumsi kadar Cr serum yang stabil. Perubahan kinetika Cr yang cepat
terjadi tidak dapat ditangkap oleh rumus-rumus yang ada. Penggunaan kriteria
UO tidak menyingkirkan pengaruh faktor prarenal dan sangat dipengaruhi oleh
penggunaan diuretik. Keseluruhan keadaan tersebut menggambarkan kelemahan
perangkat diagnosis yang ada saat ini, yang dapat berpengaruh pada keterlambatan
diagnosis dan tata laksana sehingga dapat berpengaruh pada prognosis penderita.
Dibutuhkan penanda biologis ideal yang mudah diperiksa, dapat mendeteksi
AKI secara dini sebelum terjadi peningkatan kadar kreatinin, dapat membedakan
penyebab AKI, menentukan derajat keparahan AKI, dan menentukan prognosis
AKI. Penanda biologis dari spesimen urin yang saat ini dikembangkan pada
umumnya terdiri dari 3 kelompok yakni penanda inflamasi (NGAL, IL-18), protein
tubulus (kidney injury molecule [KIM]-1, Na+ /H+ exchanger isoform 3), penanda
kerusakan tubulus (cystatin C, -1 mikroglobulin, retinol-binding protein, NAG).
Berdasarkan penelitian fase 2 dan 3 yang ada saat ini, dapat disimpulkan
bahwa IL-18 dan KIM-1 merupakan penanda potensial untuk membedakan

14

penyebab AKI; NGAL, IL-18, GST- , dan -GST merupakan penanda potensial
diagnosis dini AKI; NAG, KIM-1 dan IL-18 merupakan penanda potensial prediksi
kematian setelah AKI. Tampaknya untuk mendapatkan penanda biologis yang
ideal, dibutuhkan panel pemeriksaan beberapa penanda biologis. Sampai saat ini
belum ada penanda biologis yang beredar di Indonesia.
II. 5 Tatalaksana
Pada dasarnya tata laksana AKI sangat ditentukan oleh penyebab AKI dan pada
tahap apa AKI ditemukan. Jika ditemukan pada tahap prarenal dan inisiasi (kriteria RIFLE
R dan I), upaya yang dapat dilakukan adalah tata laksana optimal penyakit dasar untuk
mencegah pasien jatuh pada tahap AKI berikutnya. Upaya ini meliputi rehidrasi bila
penyebab AKI adalah prarenal/hipovolemia, terapi sepsis, penghentian zat nefrotoksik,
koreksi obstruksi pascarenal, dan menghindari penggunaan zat nefrotoksik. Pemantauan
asupan dan pengeluaran cairan harus dilakukan secara rutin. Selama tahap poliuria (tahap
pemeliharaan dan awal perbaikan), beberapa pasien dapat mengalami defisit cairan yang
cukup berarti, sehingga pemantauan ketat serta pengaturan keseimbangan cairan dan
elektrolit harus dilakukan secara cermat. Substitusi cairan harus diawasi secara ketat
dengan pedoman volume urin yang diukur secara serial, serta elektrolit urin dan serum.

II. 5. 1 Terapi nutrisi


Kebutuhan nutrisi pasien AKI bervariasi tergantung dari penyakit dasarnya
dan kondisi komorbid yang dijumpai. Sebuah sistem klasifikasi pemberian nutrisi
berdasarkan status katabolisme diajukan oleh Druml pada tahun 2005 (tabel 5).
Tabel 5. Klasifikasi dan Kebutuhan Nutrisi Pasien AKI
Variabel
Katabolisme
15

Contoh keadaan
klinis
Dialisis
Rute pemberian
nutrisi
Rekomendasi
energi

Ringan
Toksik karena
obat
Jarang
Oral
20-25 kkal/
kgBB/hari

Sumber energi

Glukosa 3-5g/
kgBB/hari

Kebutuhan protein

0,6-1g/kgBB/hari

Pemberian nutrisi

Makanan

Sedang
Pembedahan +/infeksi
Sesuai kebutuhan
Enteral +/parenteral
25-30 kkal/
kgBB/hari
Glukosa 3-5g/
kgBB/hari
Lemak 0,5-1g/
kgBB/hari
0,8-1,2g/kgBB/
hari
Formula enteral
Glukosa 50-70%
Lemak 10-20%
AA 6,5-10%
Mikronutrien

Berat
Sepsis, ARDS,
MODS
Sering
Enteral +/parenteral
25-30 kkal/
kgBB/hari
Glukosa 3-5g/
kgBB/hari
Lemak 0,8-1,2g/
kgBB/hari
1,0-1,5g/kgBB/
hari
Formula enteral
Glukosa 50-70%
Lemak 10-20%
AA 6,5-10%
Mikronutrien

II. 5. 2 Terapi Farmakologi: Furosemid, Manitol, dan Dopamin


Dalam pengelolaan AKI, terdapat berbagai macam obat yang sudah
digunakan selama berpuluh-puluh tahun namun kesahihan penggunaannya
bersifat kontoversial. Obat-obatan tersebut antara lain diuretik, manitol, dan
dopamin. Diuretik yang bekerja menghambat Na+ /K+ -ATPase pada sisi
luminal sel, menurunkan kebutuhan energi sel thick limb Ansa Henle.
Selain itu, berbagai penelitian melaporkan prognosis pasien AKI nonoligourik lebih baik dibandingkan dengan pasien AKI oligourik. Atas dasar
hal tersebut, banyak klinisi yang berusaha mengubah keadaan AKI
oligourik menjadi non-oligourik, sebagai upaya mempermudah penanganan
ketidakseimbangan cairan dan mengurangi kebutuhan dialisis. Namun,
penelitian dan meta-analisis yang ada tidak menunjukkan kegunaan diuretik
untuk pengobatan AKI (menurunkan mortalitas, kebutuhan dialisis, jumlah

16

dialisis, proporsi pasien oligouri, masa rawat inap), bahkan penggunaan


dosis tinggi terkait dengan peningkatan risiko ototoksisitas (RR=3,97; CI:
1,00-15,78). Meskipun demikian, pada keadaan tanpa fasilitas dialisis,
diuretik dapat menjadi pilihan pada pasien AKI dengan kelebihan cairan
tubuh.
Beberapa hal yang harus diperhatikan pada penggunaan diuretik sebagai
bagian dari tata laksana AKI adalah:
1. Pastikan volume sirkulasi efektif sudah optimal, pastikan pasien
tidak dalam keadaan dehidrasi. Jika mungkin, dilakukan
pengukuran CVP atau dilakukan tes cairan dengan pemberian
cairan isotonik 250-300 cc dalam 15- 30 menit. Bila jumlah urin
bertambah, lakukan rehidrasi terlebih dahulu.
2. Tentukan etiologi dan tahap AKI. Pemberian diuretik tidak
berguna pada AKI pascarenal. Pemberian diuretik masih dapat
berguna pada AKI tahap awal (keadaan oligouria kurang dari 12
jam).
Pada awalnya, dapat diberikan furosemid i.v. bolus 40 mg. Jika
manfaat tidak terlihat, dosis dapat digandakan atau diberikan tetesan cepat
100-250 mg/kali dalam 1-6 jam atau tetesan lambat 10-20 mg/kgBB/hari
dengan dosis maksimum 1 gram/hari. Usaha tersebut dapat dilakukan
bersamaan dengan pemberian cairan koloid untuk meningkatkan translokasi
cairan ke intravaskuler. Bila cara tersebut tidak berhasil (keberhasilan hanya
pada 8-22% kasus), harus dipikirkan terapi lain. Peningkatan dosis lebih
lanjut tidak bermanfaat bahkan dapat menyebabkan toksisitas.

17

Secara hipotesis, manitol meningkatkan translokasi cairan ke


intravaskuler sehingga dapat digunakan untuk tata laksana AKI khususnya
pada tahap oligouria. Namun kegunaan manitol ini tidak terbukti bahkan
dapat menyebabkan kerusakan ginjal lebih jauh karena bersifat nefrotoksik,
menyebabkan agregasi eritrosit dan menurunkan kecepatan aliran darah.
Efek negatif tersebut muncul pada pemberian manitol lebih dari 250 mg/kg
tiap 4 jam. Penelitian lain menunjukkan sekalipun dapat meningkatkan
produksi urin, pemberian manitol tidak memperbaiki prognosis pasien.
Dopamin dosis rendah (0,5-3 g/kgBB/menit) secara historis
digunakan dalam tata laksana AKI, melalui kerjanya pada reseptor dopamin
DA1 dan DA2 di ginjal. Dopamin dosis rendah dapat menyebabkan
vasodilatasi pembuluh darah ginjal, menghambat Na+ /K+ -ATPase dengan
efek akhir peningkatan aliran darah ginjal, LFG dan natriuresis. Sebaliknya,
pada dosis tinggi dopamin dapat menimbulkan vasokonstriksi. Faktanya
teori itu tidak sesederhana yang diperkirakan karena dua alasan yaitu
terdapat perbedaan derajat respons tubuh terhadap pemberian dopamin, juga
tidak terdapat korelasi yang baik antara dosis yang diberikan dengan kadar
plasma dopamin. Respons dopamin juga sangat tergantung dari keadaan
klinis secara umum yang meliputi status volume pasien serta abnormalitas
pembuluh darah (seperti hipertensi, diabetes mellitus, aterosklerosis),
sehingga beberapa ahli berpendapat sesungguhnya dalam dunia nyata tidak
ada dopamin dosis renal seperti yang tertulis pada literatur. Dalam
penelitian dan meta-analisis, penggunaan dopamin dosis rendah tidak
terbukti bermanfaat bahkan terkait dengan efek samping serius seperti
iskemia miokard, takiaritmia, iskemia mukosa saluran cerna, gangren digiti,
18

dan lain-lain. Jika tetap hendak digunakan, pemberian dopamin dapat


dicoba dengan pemantauan respons selama 6 jam. Jika tidak terdapat
perubahan klinis, dianjurkan agar menghentikan penggunaannya untuk
menghindari toksisitas. Dopamin tetap dapat digunakan untuk pengobatan
penyakit dasar seperti syok, sepsis (sesuai indikasi) untuk memperbaiki
hemodinamik dan fungsi ginjal. Obat-obatan lain seperti agonis selektif
DA1 (fenoldopam) dalam proses pembuktian lanjut dengan uji klinis
multisenter untuk penggunaannya dalam tata laksana AKI. ANP, antagonis
adenosin tidak terbukti efektif pada tata laksana AKI.
II. 5. 3 Tatalaksana Komplikasi
Pengelolaan komplikasi yang mungkin timbul dapat dilakukan secara
konservatif, sesuai dengan anjuran yang dapat dilihat pada tabel 6. Pengelolaan
komplikasi juga dapat dilakukan dengan terapi pengganti ginjal yang diindikasikan
pada keadaan oligouria, anuria, hiperkalemia (K>6,5 mEq/l), asidosis berat (pH200
mg/dl), edema paru, ensefalopati uremikum, perikarditis uremikum, neuropati atau
miopati uremikum, disnatremia berat (Na>160 mEq/l atau <115 mEq/l),
hipernatremia, kelebihan dosis obat yang dapat didialisis. Tidak ada panduan kapan
waktu yang tepat untuk menghentikan terapi pengganti ginjal. Secara umum, terapi
dihentikan jika kondisis yang menjadi indikasi sudah teratasi.
Tabel 6. Pengobatan suportif pada AKI
Komplikasi
Pengobatan
Kelebihan volume intravaskuler
Batasi garam (1-2 g/hari) dan air (< 1L/hari)
Furosemid, ultrafiltrasi atau dialysis
Hiponatremia
Batasi asupan air (< 1 L/hari), hindari
infuse larutan hipotonik.
Hiperkalemia
Batasi asupan diit K (<40 mmol/hari),
hindari diuretic hemat kalium
Asidosis metabolic
Natrium bikarbonat ( upayakan bikarbonat
19

Hiperfosfatemia

Hipokalsemia
Hiperurisemia
Nutrisi

serum > 15 mmol/L, pH >7.2 )


Batasi asupan diit fosfat (<800 mg/hari)
Obat pengikat fosfat (kalsium asetat,
kalsium karbonat)
Kalsium karbonat; kalsium glukonat ( 10-20
ml larutan 10% )
Terapi jika kadar asam urat > 15 mg/dL
Batasi asupan protein (0,8-1 g/kgBB/hari)
jika tidak dalam kondisi katabolic
Karbohidrat 100 g/hari
Nutrisi enteral atau parenteral, jika
perjalanan klinik lama atau katabolik

II. 6 Prognosis
Mortalitas bergantung keadaan klinik dan derajat gagal ginjal. Perlu diperhatikan
faktor usia, makin tua makin jelek prognosisnya, adanya infeksi yang menyertai,
perdarahan gastrointestinal, penyebab yang berat akan memperburuk prognosis. Penyebab
kematian tersering adalah infeksi (30-50%), perdarahan terutama saluran cerna (10-20%),
jantung (10-20%), gagal nafas (15%), dan gagal multiorgan dengan kombinasi hipotensi,
septikemia, dan sebagainya. Pasien dengan AKI yang menjalani dialysis angka
kematiannya sebesar 50-60%, karena itu pencegahan, diagnosis dini, dan terapi dini perlu
ditekankan.

20

BAB III
KESIMPULAN

Istilah gangguan ginjal akut/ acute kidney injury sebaiknya menggantikan istilah
gagal ginjal akut/ARF. Istilah gangguan ginjal akut memberikan gambaran yang lebih jelas
mengenai proses GGA dengan dibuatnya kriteria RIFLE/AKIN.
Kriteria RIFLE dan AKIN memberikan cara berpikir baru dalam memahami GGA,
pentahapan dari GGA, standardisasi dalam definisi sehingga ada keseragaman dalam
mendeskripsikan GGA. Keseragaman ini akan mendorong upaya pencegahan, pengobatan,
dan penelitian yang seragam.
Hasil akhir yang diharapkan adalah tatalaksana atau penanganan GGA yang lebih
baik.

21

DAFTAR PUSTAKA
Stein,Jay H. Kelainan ginjal dan elektrolit. panduan klinik ilmu penyakit dalam.edisi
ke-3. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2001.
Dennis L. Kasper, Eugene Braunwald, Anthony Fauci. Harrison's Principles of Internal
Medicine 16th Edition. USA : McGraw-Hill, 2004.
Markum,M.H.S. Gagal Ginjal Akut. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, editors. Buku Ajar:
Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke-4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2006.
Nissenson. Epidemiology and pathogenesis of acute renal failure in the ICU. Kidney
International 1998; 53; 7-10.
Dong-Min Kim, 1 Dae Woong Kang, 1 Jong O Kim. Acute Renal Failure due to Acute
Tubular Necrosis caused by Direct Invasion of Orientia tsutsugamushi. J. Clin.
Microbiol 2007; 1128.
Stapleton FB, Jones DP, Green RS. Acute renal failure in neonates: Incidence, etiology
and outcome. Pediatr Nephrol 1987; 1; 314-320.
Altntepe, Gezgin, Tonbul. Etiology and prognosis in 36 acute renal failure cases
related to pregnancy in central anatolia. Eur J Gen Med 2005; 2(3): 110-113.
Boediwarsono.Gagal ginjal akut. segi praktis pengobatan penyakit dalam.Surabaya :
Penerbit PT Bina Indra Kar
ya 1985.
Takaoka, Kuro, Matsumura. Role of endothelin in the pathogenesis of acute renal
failure. Drug News Perspect 2000, 13(3): 141.
Yagil, Myers, Jamison. Course and pathogenesis of postischemic acute renal failure in
the rat. Am J Physiol Renal Physiol 1988; 255.
Jacob. Acute renal failure. Indian J Anaesth 2003; 47(5):367-372
22

REFERAT
(Periode 5 Januari 15 Maret 2015)
ACUTE KIDNEY INJURY

Disusun oleh :
Dicha Oseanni Andriswari
1102010076
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSUD Pasar Rebo

Pembimbing :
dr. Ariadi Humardhani Sp. PD

SMF PENYAKIT DALAM


RSUD PASAR REBO JAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
Februari 2015
23

Anda mungkin juga menyukai