Anda di halaman 1dari 26

Tinjauan Pustaka

Tatalaksana Penyakit Kawasaki

Oleh :

Apidha Kartinasari, S.Ked

NIM. 1830912320122

Pembimbing :

dr. Meriah Sembiring, Sp.A

BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN ANAK


FK UNLAM – RSUD ULIN
BANJARMASIN

Agustus, 2019
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................. i

DAFTAR ISI .......................................................................................... ii

DAFTAR GAMBAR ............................................................................. iii

DAFTAR TABEL .................................................................................. iv

BAB I PENDAHULUAN ................................................................. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................ 3

A. Definisi ................................................................................... 3

B. Epidemiologi ........................................................................... 3

C. Etiologi dan Patogenesis ......................................................... 3

D. Gejala Klinis ........................................................................... 5

E. Diagnosis ................................................................................ 8

F. Komplikasi .............................................................................. 12

G. Tatalaksana ............................................................................. 14

BAB III PENUTUP ............................................................................. 20

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 21

ii
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 2.1 Gambaran Klinis Penyakit Kawasaki ................................ 6

Gambar 2.2 Skema Evaluasi pada Penyakit Kawasaki .......................... 11

iii
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 2.1 Kriteria diagnosis Penyakit Kawasaki .................................... 8

iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kawasaki disease (KD) adalah salah satu penyakit vaskulitis akut yang

paling banyak ditemui pada anak terutama dibawah 5 tahun. KD merupakan

penyebab penyakit jantung didapat terbanyak saat ini terutama di negara-negara

berkembang.1

Kawasaki disease pertama kali ditemukan di Jepang oleh Tomisaku

Kawasaki pada tahun 1970 dimana penyakit ini paling banyak ditemukan didaerah

Asia terutama Jepang. Sekarang penyakit ini merupakan penyakit yang tersebar

diseluruh dunia. Sekitar 243 per 100.000 anak <5 tahun terserang KD pada 2011

di Jepang, kemudian meningkat hingga 264 per 100.000 pada 2012. Di Amerika

Serikat, kejadiannya mencapai 25 per 100.000 anak berumur <5 tahun yang

terserang penyakit ini.1

Penyakit ini 80% terjadi pada anak di bawah 5 tahun. Sebagian besar anak

dapat sembuh, namun 15–25% penderita KD akan mengalami abnormalitas arteri

koroner (AAK) yang dapat meningkatkan risiko infark miokard, gagal jantung,

dan kematian mendadak. Di Amerika Serikat, KD telah melampaui demam

reumatik akut sebagai penyebab utama penyakit jantung didapat pada anak.

Diagnosis dan terapi yang akurat dapat menurunkan risiko AAK sebesar 20%.1,2

Di Indonesia, berdasarkan perhitungan, diperkirakan ada sekitar 6000

kasus baru pertahun. Namun sebagian besar kasus belum terdiagnosis. Hal ini

tentu akan membawa konsekuensi yang merugikan pasien baik dalam jangka

1
2

pendek maupun jangka panjang. Penyakit Kawasaki didiaganosis berdasarkan

kriteria klasik yang telah ada sejak tahun 1967. Tidak semua penyakit Kawasaki

memenuhi kriteria tersebut yang kemudian disebut sebagai penyakit Kawasaki

atipikal. Pemeriksaan laboratorium, meski dapat membantu namun tidak dapat

memastikan diagnosis. Diagnosis dini disertai pengobatan yang cepat dan tepat

dapat mencegah dan mengurangi komplikasi.3

Hal yang paling ditakuti dari penyakit yang terutama menyerang balita ini

adalah komplikasi ke arteri coroner yaitu aneurisma (pada 20-40% kasus yang

tidak diobati) dengan konsekuensi thrombosis dan stenosis arteri coroner yang

dapat mengakibatkan hingga infark miokard yang fatal. Maka dari itu perlu

diketahui secara lebih rinci mengenai penyakit Kawasaki sehingga dapat

didiagnosis dan mencegah komplikasi.1

B. Tujuan

Tinjauan kepustakaan ini bertujuan untuk menambah pengetahuan bagi

calon dokter dibidang kardiologi anak dengan judul “Tatalaksana Penyakit

Kawasaki”.

C. Manfaat

Manfaat dari tinjauan kepustakaan ini diharapkan dapat memberikan

pengetahuan bagi tenaga medis terkait Tatalaksana Penyakit Kawasaki (Kawasaki

disease).
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Penyakit Kawasaki adalah vaskulitis akut yang bersifat self limited yang

terjadi terutama pada bayi dan anak –anak. Pertama kali diperkenalkan di Jepang

pada tahun 1967 oleh seorang dokter anak, Tomisaku Kawasaki. Penyakit

Kawasaki dikarakteristikan dengan adanya demam, konjungtivitis non-eksudat

bilateral, eritema pada bibir dan mukosa mulut, bercak ditubuh dan limfadenopati

servikal.1,4

2.2 Epidemiologi

Penyakit Kawasaki paling banyak terjadi di Jepang, pada tahun 2011

insidensinya mencapai sebanyak 243,1 per 100.000 anak yang berusia <5tahun.

Kemudian meningkat menjadi 264,8 per 100.000 anak pada tahun 2012. Di

Amerika Serikat, KD telah melampaui demam rematik akut sebagai penyebab

utama penyakit jantung didapat pada anak, insidensinya mencapai hingga 25 per

100.000 anak dibawah 5 tahun. Perbandingan antara anak laki-laki dan perempuan

di Amerika adalah 1,5 : 1 dan didapatkan sekitar 76% berusia <5 tahun.

Umumnya terjadi selama musim dingin dan awal musim semi.1,5

2.3 Etiologi dan Patogenesis

Etiologi dari penyakit Kawasaki masih belum diketahui secara pasti,

meskipun secara klinis dan epidemiologis mendukung kearah infeksi. Sebuah

hipotesis yang menarik adalah bahwa penyakit Kawasaki disebabkan oleh agen

3
4

infeksi yang berkeliaran dan menghasilkan gejala klinis yang jelas hanya pada

individu yang cenderung memiliki genetik tertentu, khususnya orang Asia. Hanya

sedikit bukti mengenai penularan dari orang ke orang.1

Sebuah Hipotesis menyatakan bahwa penyakit Kawasaki berhubungan

dengan toksin superantigenik yang dihasilkan oleh bakteri tapi teori ini masih

kontroversial. Namun terdapat hipotesis lain yang meneyebutkan bahwa Respon

imunitas pada penyakit Kawasaki adalah oligoklonal (artinya digerakan atau

dipengaruhi oleh antigen yaitu mirip dengan respon terhadap antigen yang

konvensional) dan bukan dari poliklonal (seperti yang ditemukan biasanya dalam

respon terhadap superantigen), serta immunoglobulin A (IgA) sel plasma

memainkan peran utama.6,7

Penyakit Kawasaki disebutkan juga merupakan hasil dari respon

imunitas yang dipicu oleh salah satu dari beberapa agen mikroba yang berbeda.

Hipotesis ini didukung dengan adanya ditemukan infeksi dari mikroorganisme

yang berbeda pada kasus individu yang berbeda dan kegagalan dalam mendeteksi

adanya agen mikrobiologi tunggal atau agen lingkungan setelah hampir 3 dekade

dilakukan penelitian.1

Penyakit Kawasaki tidak berhubungan dengan paparan obat atau polutan

lingkungan seperti racun, pestisida, bahan kimia, dan logam berat. Adanya

gangguan pada sistem imunitas yang terjadi pada penyakit Kawasaki termasuk

oleh adanya stimulasi kaskade sitokin dan aktivasi sel endotel. Proses menuju

arteritis koroner masih menjadi diskusi, namun aktivasi sel endotel, CD68

monosit / makrofag, CD8 (sitotoksik) limfosit, dan sel plasma IgA oligoklonal

tampaknya mempengaruhi. Dengan ditemukannya sel plasma IgA di saluran


5

pernapasan, yang mirip ketika adanya infeksi viral yang fatal pada saluran

pernafasan, menunjukkan bahwa saluran pernapasan merupakan pintu masuk

suatu agen penyebab Penyakit kawasaki. Enzim matriks metaloproteinase yang

mampu merusak integritas dinding arteri mungkin berperan penting dalam

terjadinya dilatasi aneurisma. Vascular endothelial growth factor (VEGF),

monosit, MCAF atau MCP-1, tumor necrosis factor (TNF), dan berbagai

interleukin juga tampaknya memainkan peran penting dalam terjadinya

vaskulitis.1,8

2.4 Gejala Klinis

Manifestasi klinis dari penyakit Kawasaki beragam. Gejala yang muncul

pada awalnya adalah demam. Demam pada penyakit kawasaki tipikal tinggi dan

remiten, dengan suhu puncak 39oC sampai >40oC. Tanpa terapi, demam akan

bertahan selama rata-rata 11 hari, namun dapat berlanjut sampai 3-4 minggu.

Dengan terapi, demam umumnya menurun setelah 2 hari. Kemudian dapat

muncul perubahan pada ekstremitas yang cukup khas seperti adanya eritema atau

edema pada telapak tangan atau kaki yang ditemui pada fase akut (dalam 1-2 hari)

yang kemudian 2-3 minggu setelah awitan demam, terjadi deskuamasi periungual

pada kuku jari kaki atau tangan dan setelah 1-2 bulan, pada beberapa penderita

dapat timbul Beau’s line (garis horizontal putih yang dalam pada kuku).9

Ruam eritema umumnya timbul dalam 5 hari setelah demam. Bentuk

ruam bervariasi dan tidak spesifik. Bentuk yang paling sering adalah erupsi

makulopapular difus. Ruam timbul secara ekstensif meliputi trunkus, ekstremitas,

dan regio perineum. Gejala lainnya adalah injeksi konjungtiva timbul beberapa

saat setelah awitan demam. Injeksi meliputi konjungtiva bulbar dan tidak ditemui
6

pada limbus. Injeksi ini tidak nyeri dan tidak disertai eksudat (konjungtivitis non

purulenta), edema konjungtiva, atau ulkus kornea. 5,9

Perubahan pada bibir dan kavum oral. Perubahan meliputi: (1) eritema,

fisura, deskuamasi, dan perdarahan pada bibir, (2) strawberry tongue, di mana

lidah berwarna merah terang dan papilla fungiformis menonjol, dan (3) eritema

difus pada mukosa orofaringeal. Perubahan ini tidak meliputi ulkus oral atau

eksudat faring. Limfadenopati servikal merupakan gambaran klinis yang paling

jarang ditemui. Limfadenopati umumnya unilateral, pada trigonum anterior, padat,

tidak berfluktuasi, tidak disertai eritema, ≥1 nodus, dan diameter >1,5 cm. 5,9

Gambar 2.1 Gambaran Klinis Penyakit Kawasaki


Secara umum terdapat 3 fase pada penyakit Kawasaki :10
7

a. Fase akut

Terjadi pada saat awitan sampai hari ke-10 dengan gejala dan tanda

tersebut di atas yang merupakan kriteria diagnostik. Pemeriksaan darah

menunjukkan peningkatan laju endap darah dan reaktan fase akut (CRP),

leukositosis dengan pergeseran ke kiri, peningkatan SGOT dan SGPT, serta

penurunan kadar albumin dan hemoglobin. Pada urinalisis, dapat ditemukan

adanya leukosituria.10

b. Fase subakut

Terjadi pada hari ke 10-25. Saat ini gejala klinis mulai hilang namun mulai

timbul pengelupasan pada kulit jari jari tangan dan kaki. Mulai terjadi

trombositosis sedangkan LED, CRP, SGOT, SGPT, albumin dan hemoglobin

mulai kembali normal. Biasanya pada fase ini komplikasi jantung mulai muncul.10

c. Fase konvalesen

Terjadi setelah hari ke 25. Saat ini penyakit sudah tidak aktif lagi dapat

dapat dijumpai garis horizontal di kuku yang dikenal sebagai Beau’s line.10
8

2.5 Diagnosis

Kriteria diagnosis telah disusun untuk membantu para klinisi dalam

menegakkan diagnosis Penyakit Kawasaki (tipikal) .

Tabel 2.1 Kriteria diagnosis Penyakit Kawasaki1

Adanya demam selama ≥5 hari, disertai minimal 4 dari 5 gambaran klinis utama

berikut:

1. Perubahan pada ekstremitas ∑ Adanya eritema dan edema pada tangan dan

kaki

∑ Deskuamasi regio periungual, telapak

tangan, dan telapak kaki

∑ Garis horizontal pada kuku/ Beau’s line


9

2. Eksantema Polimorfik ∑ Ruam kulit dalam bentuk yang bervariasi

3. Injeksi konjungtiva bulbar ∑ Injeksi konjungtiva bulbar yang tidak

bilateral nyeri dan tanpa eksudat


10

4. Perubahan pada bibir dan •cEritema, fisura, deskuamasi, dan

kavum oris perdarahan pada bibir

• Strawberry tongue: lidah merah terang dan

papilla fungiformis yang menonjol

• Eritema mukosa orofaring difus

5. Limfadenopati Servikal • Unilateral pada trigonum servikal anterior

• Padat, non-fluktuasi, tanpa eritema

• ≥1 nodus dengan diameter >1,5 cm


11

Penyakit Kawasaki atipikal (inkomplit) merupakan pasien yang tidak

memenuhi kriteria diagnosis dari penyakit Kawasaki. Pasien biasanya ditemukan

saat pemeriksaan ekokardigrafi namun gejala klinis nya tidak memenuhi kriteria

penyakit Kawasaki. Dikatakan penyakit Kawasaki inkomplit apabila ada pasien

dengan gejala demam yang tidak diketahui sebabnya selama lebih dari 5 hari yang

diikuti 2 atau 3 gejala klinis pada kriteria diagnosis penyakit Kawasaki.1

Gambar 2.2 Skema Evaluasi pada Penyakit Kawasaki


12

2.6 Komplikasi

Komplikasi Penyakit Kawasaki dapat berupa :

1. Kelainan Jantung.

Sekuele utama penyakit Kawasaki berkaitan dengan kardiovaskuler,

terutama sistem arteri coroner yaitu sebesar 5–15% pasien Penyakit Kawasaki

akut.5,9

a. Aneurisma

Pada pasien penyakit Kawasaki, terdapat gangguan fungsional dan

struktural pada arteri koroner akibat aktivasi berbagai mediator pro-inflamasi.

Gangguan fungsional berupa gangguan reaktivitas vaskuler yang bergantung pada

endotel dan kapasitas fibrinolitik. Gangguan struktural berupa penghancuran

elastin dan degradasi dinding pembuluh darah. Penghancuran elastin dinding

arteri koroner penderita penyakit Kawasaki disebabkan oleh adanya enzim matrix

metalloproteinase (penghancur elastin) dan menurunnya kadar cystatin C

(penghambat penghancuran elastin). Sedangkan degradasi dinding pembuluh

darah disebabkan oleh aktivasi TNF-α. Gangguan fungsional dan struktural ini

pada akhirnya berujung pada aneurisma arteri koroner, yang dapat menetap atau

berkembang menjadi stenosis. Stenosis pada fase lanjut akan berujung pada

iskemia atau infark.1,2

Aneurisma dapat terjadi di luar arteri koroner, terutama pada arteri

subklavia, brakialis, aksilaris, iliaka, dan femoralis, serta aorta abdominal. Harada,

dkk. menyusun sistem skor untuk memperkirakan risiko terjadinya aneurisma

koroner dan kebutuhan terapi IVIG sebagai berikut:1,5

1. Leukosit >12.000/µL
13

2. Trombosit <350.000/µL

3. CRP >3 mg/dL

4. Hematokrit <35%

5. Albumin <3.5 gr/dL

6. Usia ≤12 bulan

7. Jenis kelamin laki – laki

Adanya minimal 4 poin positif dari 7 poin pada skor Harada menandakan risiko

tinggi mengalami aneurisma koroner.1,5

b. Miokarditis

Miokarditis cukup sering ditemui pada penyakit Kawasaki fase akut (50–

70%) yang menyebabkan gangguan kontraktilitas otot jantung. Namun, gangguan

ini membaik dengan cepat setelah pemberian terapi IVIG. Meskipun ditemui

gangguan histopatologis pada biopsi otot jantung penderita penyakit Kawasaki

beberapa tahun setelah resolusi penyakit Kawasaki, kontraktilitas dan fungsi

jantung jangka panjang tampak normal pada pemeriksaan ekokardiografi.3,5

c. Regurgitasi Katup yang dapat berupa regurgitasi mitral (~1%) atau regurgitasi

aorta (~5%) dan disebabkan disfungsi muskulus papilaris, infark, atau valvulitis. 5

2. Kelainan Non-kardiak.

Artritis dan atralgia pada sendi besar atau kecil dapat timbul pada minggu

pertama. Anak dengan penyakit kawasaki umumnya lebih gelisah dibanding anak

dengan penyakit demam lain. Kelumpuhan nervus fasialis dan tuli sensori-neural

frekuensi tinggi sementara dapat terjadi. Pada 1/3 kasus, terdapat keluhan

gastrointestinal seperti diare, muntah, dan nyeri perut. Temuan lain yang lebih
14

jarang antara lain pembengkakan testis, nodul pulmonal, efusi pleura,

hepatomegali, jaundice, dan hidrops kantung empedu.3,5

2.7 Tatalaksana

Terapi penyakit kawasaki dengan aspirin dan IVIG dalam 10 hari setelah

awitan demam dapat menurunkan risiko AAK (Aneurisma Arteri Koroner) dari

20% menjadi <5%. Namun, 10–20% pasien penyakit kawasaki yang diobati akan

mengalami demam dan gejala lain yang menetap (non-responder), dan berisiko

mengalami AAK.1

1. IVIG

Peran IVIG dalam penyakit kawasaki tidak diragukan. Agen ini memiliki

efek anti-inflamasi generalisata. Pasien penyakit kawasaki diterapi dengan IVIG

2g/kg dalam infus tunggal bersamaan dengan aspirin. Selama pemberian pantau

laju jantung dan tekanan darah setiap 30 menit, kemudian 1 jam, dan selanjutnya

tiap 2 jam. Imunoglobulin memberikan hasil optimal bila diberikan pada hari ke-

5-10 awitan. Pemberian imunoglobulin setelah hari ke 10 tidak diperlukan kecuali

jika masih ada tanda tanda aktivitas penyakit baik secara klinis maupun

laboratoris misalnya demam, LED, CRP dan hitung leukosit tinggi. Pada kondisi

ini pemberian imunoglobulin perlu dipikirkan dengan mempertimbangkan

manfaat dan biaya. Jika mungkin, IVIG paling baik diberikan dalam 7 hari

pertama.1,10,11

2. Aspirin

Aspirin memiliki efek anti-inflamasi pada dosis tinggi dan anti-platelet

pada dosis rendah. Pada fase akut, aspirin diberikan dengan dosis 80-100

mg/kg/hari dalam 4 dosis, dikombinasi dengan IVIG. Durasi pemberian aspirin


15

bervariasi. Sebagian institusi menurunkan dosis aspirin jika pasien tidak demam

selama 48-72 jam. Institusi lain melanjutkan aspirin dosis tinggi sampai hari sakit

ke-14 dan ≥48-72 jam setelah demam turun. Saat aspirin dosis tinggi dihentikan,

aspirin dosis rendah dimulai (3-5 mg/kg/ hari) dan diberikan sampai pasien tidak

menunjukkan tanda perubahan arteri koroner pada minggu ke-6 sampai ke-8

setelah awitan penyakit. Jika pasien ditemukan memiliki abnormalitas koroner,

maka aspirin diteruskan sampai waktu yang tidak ditentukan.1,2,11

3. Kortikosteroid

Meskipun kortikosteroid berperan dalam terapi vaskulitis, penggunaan

pada penyakit kawasaki masih meragukan. Beberapa penelitian menggunakan

steroid sebagai tambahan tidak menghasilkan perubahan yang signifikan dalam

menurunkan kejadian aneurisma arteri koroner. Saat ini, pemberian steroid

dibatasi untuk anak yang masih mengalami demam dan inflamasi akut setelah

pemberian ≥2 infus IVIG. Regimen yang digunakan adalah metilprednisolon

intravena 30 mg/kg selama 2-3 jam, sehari sekali selama 1-3 hari.1

4. Pentoxifylline

Pentoxifylline adalah senyawa xantin metil yang secara khusus

menghambat TNF α transkripsi RNA messenger. Karena TNF α tampaknya

berperan penting dalam proses inflamasi pada penyakit Kawasaki, pentoxifylline

dapat menjadi tambahan dalam terapi standar. Dalam sebuah uji klinis di mana

semua pasien diobati dengan regimen IVIG dan aspirin dosis rendah, individu-

individu yang juga menerima pentoxifylline dosis tinggi ternyata memiliki

kejadian aneurisma lebih sedikit serta dapat ditoleransi dengan baik. Namun peran

pentoxifyllin dalam pengobatan awal penyakit Kawasaki belum terbukti.1,11,12


16

5. Terapi lain

Plasma Exchange (tukar plasma) efektif pada pasien yang refrakter terhadap

IVIG dan menurunkan angka kejadian aneurisma. Namun karena beberapa resiko

yang mungkin ditimbulkan, metode ini tidak secara umum direkomendasikan

(Rekomendasi tingkat C). Ulinastatin adalah inhibitor tripsin manusia yang

dimurnikan dari urin manusia yang telah digunakan di Jepang sebagai terapi

tambahan untuk penyakit kawasaki akut. Glikoprotein 67 000-Dalton ini

menghambat neutrofil elastase serta prostaglandin H2 sintase pada level RNA

messenger. Ulinastatin digunakan pada pasien yang refrakter pada IVIG

(Rekomendasi tingkat C).13

Abciximab, sebuah inhibitor reseptor glikoprotein platelet IIb/IIIa, telah

digunakan untuk mengobati pasien pada fase akut atau subakut penyakit

Kawasaki yang memiliki aneurisma yang cukup besar. Pasien yang menerima

abciximab ditambah terapi standar dibandingkan dengan yang hanya mendapatkan

terapi standar saja menunjukkan regresi yang lebih besar pada diameter

aneurisma, (Rekomendasi tingkat C). Antibodi monoklonal untuk berbagai sitokin

proinflamasi juga digunakan sebagai pilihan dalam pengobatan pasien dengan

penyakit Kawasaki yang refrakter. Antibodi monoclonal seperti infliximab, yang

memiliki fungsi dalam melawan TNFα sedang dipelajari dalam percobaan klinis

sebagai pengobatan pada anak-anak yang gagal terhaadap IVIG. (rekomendasi

tingkat C). Agen sitotoksik seperti siklofosfamid, bersama dengan steroid oral,

juga telah diusulkan untuk pengobatan pasien dengan penyakit Kawasaki yang

refrakter (Rekomendasi tingkat C). 1,13


17

Derajat risiko Penyakit Kawasaki dan penanganan selanjutnya setelah

melewati fase akut.

a. Derajat risiko I

Yaitu pasien tanpa perubahan arteri koroner saat pemeriksaan

ekokardiografi pada semua fase penyakit. Dapat diberikan IGIV dan asetosal

pada fase akut, terapi antitrombotik tidak diperlukan setelah 6-8 minggu awitan

penyakit, tidak perlu restriksi aktivitas setelah 6-8 minggu awitan dan dianjurkan

kontrol tiap 5 tahun untuk melihat faktor risiko kardiovaskular mengingat risiko

penyakit jantung iskemik belum dapat disingkirkan. Pada derajat resiko I

Pemeriksaan angiografi koroner tidak dianjurkan.1,3

b. Derajat risiko II

Penderita dengan pelebaran arteri koroner sementara yang hilang dalam 6-

8 minggu awitan. Pengobatan yang diberikan adalah dengan pemberian IVIG dan

asetosal pada fase akut, terapi antitrombotik tidak diperlukan setelah 6-8 minggu

awitan penyakit, tidak perlu restriksi aktivitas setelah 6-8 minggu awitan penyakit

serta diianjurkan kontrol tiap 3-5 tahun untuk penentuan faktor risiko. Pada

derajat risiko II pemeriksaan angiografi koroner juga tidak dianjurkan.1,3

c. Derajat risiko III

Pasien dengan aneurisma koroner soliter kecil sampai sedang berukuran > 3

mm sampai < 6 mm atau z score antara 3-7 mm pada 1 arteri koroner dalam

pemeriksaan ekokardiografi atau angiografi. Pemberian IGIV dan asetosal

diberikan pada fase akut dan pemberian antitrombotik jangka panjang dengan

asetosal dapat diberikan pada fase ini. Aktivitas fisik tanpa restriksi setelah 6-8

minggu awitan penyakit sampai dekade pertama setelah awitan. Olahraga yang
18

dapat menimbulkan cedera fisik dihindari jika masih dalam pemberian

antitrombotik guna mencegah timbulnya perdarahan serta dianjurkan untuk

diperiksa tiap tahun oleh dokter anak khusus jantung untuk ekokardiografi dan

EKG. Stress test untuk melihat perfusi miokardium dianjurkan tiap 2 tahun pada

penderita usia > 10 tahun. Pemeriksaan angiografi koroner dianjurkan jika

ditemukan iskemia miokardium pada stress test.1,3

d. Derajat risiko IV

Pasien dengan satu aneurisma arteri koroner besar berukuran 6 mm dan yang

termasuk aneurisma raksasa (giant aneurysm) berukuran > 8 mm serta penderita

dengan aneurisma multipel (segmental) atau kompleks tanpa adanya obstruksi.

Pada tatalaksananya dapat diberikan IGIV dan asetosal pada fase akut dan

pemberian antitrombotik jangka panjang dianjurkan untuk diberikan. Pemberian

warfarin dengan target INR (International Normalized Ratio) 2 – 2.5 dianjurkan

pada penderita dengan aneurisma raksasa. Sebagian ahli menganjurkan pemberian

kombinasi asetosal dan clodiprogel untuk penderita dengan aneurisma kompleks

atau multipel. Jika pemeriksaan INR tidak bisa dilakukan, digunakan nilai waktu

protrombin 11/2 sampai 2 kali control. Anjuran aktivitas fisik harus didasarkan

pada hasil stress test dengan evaluasi perfusi miokard. Olahraga yang berpotensi

traumatik dihindari mengingat risiko terjadinya perdarahan. Evaluasi

ekokardiogram dan EKG harus dikerjakan tiap 6 bulan sedangkan stress test

dengan evaluasi perfusi miokard harus dikerjakan tiap tahun. Faktor risiko

terjadinya aterosklerosis harus dipantau begitu juga keluarganya. Kateterisasi

jantung dengan angiografi koroner selektif harus dilakukan 6-12 bulan atau lebih
19

dini lagi setelah sembuh dari fase akut. Angiografi selanjutnya perlu dilakukan

jika ada tanda iskemia pada pemeriksaan non invasif. 1,3,9

e. Derajat risiko V

Pasien dengan obstruksi arteri koroner yang terkonfirmasi dengan pemeriksaan

angiografi. Terapi nya dengan pemberian IGIV dan asetosal pada fase akut serta

dengan pemberian antitrombotik jangka panjang dengan atau tanpa warfarin. Obat

penghambat beta adrenergik perlu dipertimbangkan untuk mengurangi konsumsi

oksigen miokard. Anjuran untuk aktivitas tergantung pada respons terhadap stress

test. Olah raga yang traumatik harus dihindari karena risiko perdarahan namun

pasien juga harus menghindari kehidupan yang kurang aktivitas. Evaluasi

kardiologis dengan EKG dan ekokardiogram harus dikerjakan tiap 6 bulan. Stress

test dengan evaluasi perfusi miokard dilakukan tiap tahun. Pasien juga harus

dipantau faktor risiko terjadinya aterosklerosis begitu juga keluarganya.

Kateterisasi jantung dengan angiografi koroner selektif dianjurkan untuk

menentukan pilihan operasi pintas koroner atau intervensi dan mengetahui

besarnya perfusi kolateral. Ulangan kateterisasi diperlukan jika pemeriksaan non

invasif menunjukkan iskemia miokard baru atau perburukan yang lama.1,2,3


BAB III

PENUTUP

Penyakit Kawasaki adalah penyakit vaskulitis akut dengan etiologi yang

belum pasti, self-limited, yang sebagian besar menyerang anak di bawah 5 tahun.

Gambaran klinis utama berupa demam, perubahan pada ekstremitas, eksantema,

konjungtivitis bilateral, perubahan bibir dan kavum oral, serta limfadenopati

servikal. Penyakit Kawasaki dapat menyebabkan komplikasi pada arteri koroner,

sehingga menjadi penyebab utama penyakit jantung didapat pada anak.

Komplikasi berupa aneurisma koroner, stenosis, infark miokard, gagal jantung,

hingga kematian mendadak. Ekokardiografi dan angiografi berperan penting

dalam diagnosis dan evaluasi pada penyakit Kawasaki. Terapi utama berupa

intravenous immunoglobulin (IVIG) dan aspirin. Diagnosis dan terapi yang tepat

dapat menurunkan risiko komplikasi sampai 20%.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. McCrindle BW, Rowley AH, Newburger JW, et al. Diagnosis, Treatment,

and Long-Term Management of Kawasaki Disease: A Scientific Statement

for Health Professionals from the American Heart Association. 2017;135.

2. Kuo HC, Yang KD, Chang WC, Ger LP, Hsieh KS. Kawasaki disease: An

update on diagnosis and treatment. Pediatr Neonatol. 2012;53(1):4-11.

3. Advani N. Penyakit Kawasaki dan Dampaknya pada Penderita dan

Komunitas. Sari Pediatr. 2017;8(4):127-132.

4. Son M, Newburger J. Kawasaki disease. Ped Rev. 2013;34(4):151-162.

5. Yolanda N. Panduan Diagnosis dan Terapi Kawasaki Disease.

2015;42(9):663-667.

6. Leung D, Meissner H, Shulman S, Mason W, Gerber M, GLode M.

Prevalence of superantigen-secreting bacterian in patients with Kawasaki

disease. J Pediatr Rev. 2102;140:742-746.

7. Rowley A, Shulman S, Spike B, Mask C, Baker S. Oligoclonal IgA

response in the vascular wall in acute Kawasaki disease. J immunol.

2011;166:1334-1343.

8. Rowley AH, Shulman ST. The Epidemiology and Pathogenesis of

Kawasaki Disease. Front Pediatr. 2018;6:1-4.

9. Pediatrics AA of. Kawasaki disease in infants & children. Am Acad

Pediatr. 2017;56(9):377-382.

21
22

10. Yeung R. Pathogenesis and treatment of Kawasaki’s disease. Curr Opin

Rheumatol. 2015;17:617-623.

11. Manlhiot C, Mueller B, O’Shea S, et al. Environmental epidemiology of

Kawasaki disease: Linking disease etiology, pathogenesis and global

distribution. PLoS One. 2018;13(2):1-17.

12. Navaeifar MR, Sadegh Rezai M. Intravenous Immunoglobulin Resistant

Kawasaki Disease. J Pediatr Rev. 2013;1(1):51-60.

13. Principi N, Rigante D, Esposito S. The role of infection in Kawasaki

syndrome. J Infect. 2013;67(1):1-10.

Anda mungkin juga menyukai