Anda di halaman 1dari 45

Laporan Kasus

Kawasaki Disease

Oleh :

Ayu Dewi Pertiwi, S.Ked

NIM. 1830912320023

Pembimbing :

dr. Meriah Sembiring, Sp.A (K)

BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNLAM/RSUD ULIN

BANJARMASIN

Oktober, 2019
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL…........................................................................... i

DAFTAR ISI…........................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN …............................................................ 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................ 3

BAB III LAPORAN KASUS............................................................... 17

BAB IV PEMBAHASAN.................................................................... 34

BAB V PENUTUP............................................................................... 41

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit Kawasaki didefinisikan sebagai suatu penyakit inflamasi

sistemik pada anak yang menyebabkan aneurisma arteri koroner, infark

miokardium, dan kematian mendadak. Definisi lain menyebutkan penyakit

Kawasaki adalah vaskulitis akut yang dapat sembuh sendiri, tetapi yang belum

diketahui penyebabnya dengan predileksi pada arteri koroner bayi dan anak.

Penyakit ini masih sangat jarang didiagnosis di Indonesia karena dianggap masih

jarang dan belum banyak diketahui secara luas. Penyakit Kawasaki didiaganosis

berdasarkan kriteria klasik yang telah ada sejak tahun 1967.1,2,3

Penyakit Kawasaki (juga dikenal sebagai sindrom kelenjar getah bening,

penyakit simpul mukokutan, dan poliarteritis anak) adalah penyakit vaskulitis dan

80% pasien adalah balita, yang mengenai banyak organ, termasuk kulit, selaput

lendir, kelenjar getah bening, dan dinding pembuluh darah. Efek yang paling

serius adalah pada jantung yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah atau

aneurisma. Tanpa pengobatan, kematian dapat mendekati 1%, yang biasanya

terjadi dalam waktu 6 minggu sejak sakit.4

Penyakit Kawasaki pertama kali ditemukan di Jepang oleh Tomisaku

Kawasaki pada tahun 1970 dimana penyakit ini paling banyak ditemukan didaerah

Asia terutama Jepang. Sekarang penyakit ini merupakan penyakit yang tersebar

diseluruh dunia. Sekitar 243 per 100.000 anak <5 tahun terserang KD pada 2011

di Jepang, kemudian meningkat hingga 264 per 100.000 pada 2012. Di Amerika

1
Serikat, kejadiannya mencapai 25 per 100.000 anak berumur <5 tahun yang

terserang penyakit ini. Di Indonesia terdapat sekitar 5000 kasus baru setiap tahun,

tetapi kasus yang dapat didiagnosis tercatat kurang dari 200 kasus per tahun (4%)

sehingga masih ada sekitar 96% kasus PK di Indonesia yang belum terdeteksi.

Didapatkan 20%-40% kasus PK yang tidak diobati akan mengalami kelainan

arteri koroner seperti aneurisma, trombosis, stenosis koroner, dan infark miokard

yang dapat berakhir pada kematian, sedangkan dengan pengobatan insidennya

turun menjadi 3%-5%.4,5

Penyakit Kawasaki didiaganosis berdasarkan kriteria klasik yang telah ada

sejak tahun 1967. Tidak semua penyakit Kawasaki memenuhi kriteria tersebut

yang kemudian disebut sebagai penyakit Kawasaki atipikal. Pemeriksaan

laboratorium, meski dapat membantu namun tidak dapat memastikan diagnosis.

Diagnosis dini disertai pengobatan yang cepat dan tepat dapat mencegah dan

mengurangi komplikasi.5

BAB II

2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Penyakit Kawasaki adalah vaskulitis akut yang bersifat self limited yang

terjadi terutama pada bayi dan anak-anak. Pertama kali diperkenalkan di Jepang

pada tahun 1967 oleh seorang dokter anak, Tomisaku Kawasaki. Penyakit

Kawasaki adalah penyakit demam akut pada masa kanak-kanak yang ditandai

oleh vaskulitis dari arteri ekstraparenkimal berukuran sedang, dengan

kecenderungan untuk arteri koroner. Penyakit Kawasaki dikarakteristikan dengan

adanya demam, konjungtivitis non-eksudat bilateral, eritema pada bibir dan

mukosa mulut, bercak ditubuh dan limfadenopati servikal.4,6

2.2 Epidemiologi

Penyakit Kawasaki adalah penyebab utama penyakit jantung yang didapat

di negara maju, meskipun penyakit jantung rematik terus mendominasi di negara

berkembang. Sejarah dan pengobatan alami PK dideskripsikan dengan baik, tetapi

etiologinya tetap tidak jelas, menghambat upaya untuk mengidentifikasi tes

diagnostik spesifik dan perawatan yang ditargetkan.6

Penyakit Kawasaki paling banyak terjadi di Jepang, pada tahun 2011

insidensinya mencapai sebanyak 243,1 per 100.000 anak yang berusia <5tahun.

Kemudian meningkat menjadi 264,8 per 100.000 anak pada tahun 2012. Di

Amerika Serikat, KD telah melampaui demam rematik akut sebagai penyebab

utama penyakit jantung didapat pada anak, insidensinya mencapai hingga 25 per

100.000 anak dibawah 5 tahun. Perbandingan antara anak laki-laki dan perempuan

di Amerika adalah 1,5: 1 dan didapatkan sekitar 76% berusia <5 tahun. Umumnya

3
terjadi selama musim dingin dan awal musim semi.4,7

2.3 Etiologi dan Patogenesis

Etiologi dari penyakit Kawasaki masih belum diketahui secara pasti,

meskipun secara klinis dan epidemiologis mendukung kearah infeksi. Sebuah

hipotesis yang menarik adalah bahwa penyakit Kawasaki disebabkan oleh agen

infeksi yang berkeliaran dan menghasilkan gejala klinis yang jelas hanya pada

individu yang cenderung memiliki genetik tertentu, khususnya orang Asia. Hanya

sedikit bukti mengenai penularan dari orang ke orang.4

Sebuah Hipotesis menyatakan bahwa penyakit Kawasaki berhubungan

dengan toksin superantigenik yang dihasilkan oleh bakteri tapi teori ini masih

kontroversial. Namun terdapat hipotesis lain yang meneyebutkan bahwa Respon

imunitas pada penyakit Kawasaki adalah oligoklonal (artinya digerakan atau

dipengaruhi oleh antigen yaitu mirip dengan respon terhadap antigen yang

konvensional) dan bukan dari poliklonal (seperti yang ditemukan biasanya dalam

respon terhadap superantigen), serta immunoglobulin A (IgA) sel plasma

memainkan peran utama.8,9

Penyakit Kawasaki disebutkan juga merupakan hasil dari respon

imunitas yang dipicu oleh salah satu dari beberapa agen mikroba yang berbeda.

Hipotesis ini didukung dengan adanya ditemukan infeksi dari mikroorganisme

yang berbeda pada kasus individu yang berbeda dan kegagalan dalam mendeteksi

adanya agen mikrobiologi tunggal atau agen lingkungan setelah hampir 3 dekade

dilakukan penelitian.4

4
Penyakit Kawasaki tidak berhubungan dengan paparan obat atau polutan

lingkungan seperti racun, pestisida, bahan kimia, dan logam berat. Adanya

gangguan pada sistem imunitas yang terjadi pada penyakit Kawasaki termasuk

oleh adanya stimulasi kaskade sitokin dan aktivasi sel endotel. Proses menuju

arteritis koroner masih menjadi diskusi, namun aktivasi sel endotel, CD68

monosit / makrofag, CD8 (sitotoksik) limfosit, dan sel plasma IgA oligoklonal

tampaknya mempengaruhi. Dengan ditemukannya sel plasma IgA di saluran

pernapasan, yang mirip ketika adanya infeksi viral yang fatal pada saluran

pernafasan, menunjukkan bahwa saluran pernapasan merupakan pintu masuk

suatu agen penyebab Penyakit kawasaki. Enzim matriks metaloproteinase yang

mampu merusak integritas dinding arteri mungkin berperan penting dalam

terjadinya dilatasi aneurisma. Vascular endothelial growth factor (VEGF),

monosit, MCAF atau MCP-1, tumor necrosis factor (TNF), dan berbagai

interleukin juga tampaknya memainkan peran penting dalam terjadinya

vaskulitis.4,10

2.4 Gejala Klinis

Manifestasi klinis dari penyakit Kawasaki beragam. Gejala yang muncul

pada awalnya adalah demam. Demam pada penyakit kawasaki tipikal tinggi dan

remiten, dengan suhu puncak 39oC sampai >40oC. Tanpa terapi, demam akan

bertahan selama rata-rata 11 hari, namun dapat berlanjut sampai 3-4 minggu.

Dengan terapi, demam umumnya menurun setelah 2 hari. Kemudian dapat

muncul perubahan pada ekstremitas yang cukup khas seperti adanya eritema atau

edema pada telapak tangan atau kaki yang ditemui pada fase akut (dalam 1-2 hari)

5
yang kemudian 2-3 minggu setelah awitan demam, terjadi deskuamasi periungual

pada kuku jari kaki atau tangan dan setelah 1-2 bulan, pada beberapa penderita

dapat timbul Beau’s line (garis horizontal putih yang dalam pada kuku).11

Ruam eritema umumnya timbul dalam 5 hari setelah demam. Bentuk

ruam bervariasi dan tidak spesifik. Bentuk yang paling sering adalah erupsi

makulopapular difus. Ruam timbul secara ekstensif meliputi trunkus, ekstremitas,

dan regio perineum. Gejala lainnya adalah injeksi konjungtiva timbul beberapa

saat setelah awitan demam. Injeksi meliputi konjungtiva bulbar dan tidak ditemui

pada limbus. Injeksi ini tidak nyeri dan tidak disertai eksudat (konjungtivitis non

purulenta), edema konjungtiva, atau ulkus kornea. 7,11

Perubahan pada bibir dan kavum oral. Perubahan meliputi: (1) eritema,

fisura, deskuamasi, dan perdarahan pada bibir, (2) strawberry tongue, di mana

lidah berwarna merah terang dan papilla fungiformis menonjol, dan (3) eritema

difus pada mukosa orofaringeal. Perubahan ini tidak meliputi ulkus oral atau

eksudat faring. Limfadenopati servikal merupakan gambaran klinis yang paling

jarang ditemui. Limfadenopati umumnya unilateral, pada trigonum anterior, padat,

tidak berfluktuasi, tidak disertai eritema, ≥1 nodus, dan diameter >1,5 cm. 7,11

6
Gambar 2.1 Gambaran Klinis Penyakit Kawasaki 12

Secara umum terdapat 3 fase pada penyakit Kawasaki : 13

a. Fase akut

Terjadi pada saat awitan sampai hari ke-10 dengan gejala dan tanda

tersebut di atas yang merupakan kriteria diagnostik. Pemeriksaan darah

menunjukkan peningkatan laju endap darah dan reaktan fase akut (CRP),

leukositosis dengan pergeseran ke kiri, peningkatan SGOT dan SGPT, serta

penurunan kadar albumin dan hemoglobin. Pada urinalisis, dapat ditemukan

adanya leukosituria.13

b. Fase subakut

7
Terjadi pada hari ke 10-25. Saat ini gejala klinis mulai hilang namun mulai

timbul pengelupasan pada kulit jari jari tangan dan kaki. Mulai terjadi

trombositosis sedangkan LED, CRP, SGOT, SGPT, albumin dan hemoglobin

mulai kembali normal. Biasanya pada fase ini komplikasi jantung mulai muncul.13

c. Fase konvalesen

Terjadi setelah hari ke 25. Saat ini penyakit sudah tidak aktif lagi dapat

dapat dijumpai garis horizontal di kuku yang dikenal sebagai Beau’s line.13

2.5 Diagnosis

Kriteria diagnosis menurut AHA tahun 2017 telah disusun untuk membantu

para klinisi dalam menegakkan diagnosis Penyakit Kawasaki (tipikal/klasik). 4


Tabel 2.1 Kriteria diagnosis Penyakit Kawasaki 4

PK klasik didiagnosis berdasarkan demam ≥ 5 hari dengan 4 atau 5 gejala klinis


berikut (gambar 2.2):
1. Strawberry tongue dan bibir pecah-pecah (cracking lip)
2. Bilateral injeksi konjuctiva tanpa eksudat
3. Eritema: maculopapular, eritroderma difusa, atau eritema multiforme like
4. Eritema dan edema telapak tangan (plantar manus) dan telapak kaki (plantar
pedis)
5. Limfadenopati cervical (> 1.5 cm) dan unilateral

8
Gambar 2.2 Gejala klinis Kawasaki Disease 4

9
Penyakit Kawasaki atipikal (inkomplit) menurut AHA 2017, merupakan

pasien yang tidak memenuhi kriteria diagnosis dari penyakit Kawasaki klasik.

Pasien biasanya ditemukan saat pemeriksaan ekokardiografi namun gejala

klinisnya tidak memenuhi kriteria penyakit Kawasaki. Dikatakan penyakit

Kawasaki inkomplit apabila ada pasien dengan gejala demam yang tidak diketahui

sebabnya selama lebih dari 5 hari yang diikuti 2 atau 3 gejala klinis pada kriteria

diagnosis penyakit Kawasaki yang tergambar di algoritma dibawah ini.4

Gambar 2.3 Skema Evaluasi pada Penyakit Kawasaki 4

10
2.6 Komplikasi

Komplikasi Penyakit Kawasaki dapat berupa :

1. Kelainan Jantung

Sekuele utama penyakit Kawasaki berkaitan dengan kardiovaskuler,

terutama sistem arteri coroner yaitu sebesar 5–15% pasien Penyakit Kawasaki

akut.7,11

a. Aneurisma

Pada pasien penyakit Kawasaki, terdapat gangguan fungsional dan

struktural pada arteri koroner akibat aktivasi berbagai mediator pro-inflamasi.

Gangguan fungsional berupa gangguan reaktivitas vaskuler yang bergantung pada

endotel dan kapasitas fibrinolitik. Gangguan struktural berupa penghancuran

elastin dan degradasi dinding pembuluh darah. Penghancuran elastin dinding

arteri koroner penderita penyakit Kawasaki disebabkan oleh adanya enzim matrix

metalloproteinase (penghancur elastin) dan menurunnya kadar cystatin C

(penghambat penghancuran elastin). Sedangkan degradasi dinding pembuluh

darah disebabkan oleh aktivasi TNF-α. Gangguan fungsional dan struktural ini

pada akhirnya berujung pada aneurisma arteri koroner, yang dapat menetap atau

berkembang menjadi stenosis. Stenosis pada fase lanjut akan berujung pada

iskemia atau infark.4,14

Aneurisma dapat terjadi di luar arteri koroner, terutama pada arteri

subklavia, brakialis, aksilaris, iliaka, dan femoralis, serta aorta abdominal. Harada,

dkk. menyusun sistem skor untuk memperkirakan risiko terjadinya aneurisma

koroner dan kebutuhan terapi IVIG sebagai berikut:4,7

11
1. Leukosit >12.000/µL

2. Trombosit <350.000/µL

3. CRP >3 mg/dL

4. Hematokrit <35%

5. Albumin <3.5 gr/dL

6. Usia ≤12 bulan

7. Jenis kelamin laki – laki

Adanya minimal 4 poin positif dari 7 poin pada skor Harada menandakan risiko

tinggi mengalami aneurisma koroner.4,7

b. Miokarditis

Miokarditis cukup sering ditemui pada penyakit Kawasaki fase akut (50–

70%) yang menyebabkan gangguan kontraktilitas otot jantung. Namun, gangguan

ini membaik dengan cepat setelah pemberian terapi IVIG. Meskipun ditemui

gangguan histopatologis pada biopsi otot jantung penderita penyakit Kawasaki

beberapa tahun setelah resolusi penyakit Kawasaki, kontraktilitas dan fungsi

jantung jangka panjang tampak normal pada pemeriksaan ekokardiografi.5,7

c. Regurgitasi Katup yang dapat berupa regurgitasi mitral (~1%) atau regurgitasi

aorta (~5%) dan disebabkan disfungsi muskulus papilaris, infark, atau valvulitis.7

2. Kelainan Non-kardiak

Artritis dan atralgia pada sendi besar atau kecil dapat timbul pada minggu

pertama. Anak dengan penyakit kawasaki umumnya lebih gelisah dibanding anak

dengan penyakit demam lain. Kelumpuhan nervus fasialis dan tuli sensori-neural

frekuensi tinggi sementara dapat terjadi. Pada 1/3 kasus, terdapat keluhan

12
gastrointestinal seperti diare, muntah, dan nyeri perut. Temuan lain yang lebih

jarang antara lain pembengkakan testis, nodul pulmonal, efusi pleura,

hepatomegali, jaundice, dan hidrops kantung empedu.5,7

2.7 Tatalaksana

Terapi penyakit kawasaki dengan aspirin dan IVIG dalam 10 hari setelah

awitan demam dapat menurunkan risiko AAK (Aneurisma Arteri Koroner) dari

20% menjadi <5%. Namun, 10–20% pasien penyakit kawasaki yang diobati akan

mengalami demam dan gejala lain yang menetap (non-responder), dan berisiko

mengalami AAK.4

1. IVIG

Peran IVIG dalam penyakit kawasaki tidak diragukan. Agen ini memiliki

efek anti-inflamasi generalisata. Pasien penyakit kawasaki diterapi dengan IVIG

2g/kg dalam infus tunggal bersamaan dengan aspirin. Selama pemberian pantau

laju jantung dan tekanan darah setiap 30 menit, kemudian 1 jam, dan selanjutnya

tiap 2 jam. Imunoglobulin memberikan hasil optimal bila diberikan pada hari ke-

5-10 awitan. Pemberian imunoglobulin setelah hari ke 10 tidak diperlukan kecuali

jika masih ada tanda tanda aktivitas penyakit baik secara klinis maupun

laboratoris misalnya demam, LED, CRP dan hitung leukosit tinggi. Pada kondisi

ini pemberian imunoglobulin perlu dipikirkan dengan mempertimbangkan

manfaat dan biaya. Jika mungkin, IVIG paling baik diberikan dalam 7 hari

pertama.4,13,15

2. Aspirin

13
Aspirin memiliki efek anti-inflamasi pada dosis tinggi dan anti-platelet

pada dosis rendah. Pada fase akut, aspirin diberikan dengan dosis 80-100

mg/kg/hari dalam 4 dosis, dikombinasi dengan IVIG. Durasi pemberian aspirin

bervariasi. Sebagian institusi menurunkan dosis aspirin jika pasien tidak demam

selama 48-72 jam. Institusi lain melanjutkan aspirin dosis tinggi sampai hari sakit

ke-14 dan ≥48-72 jam setelah demam turun. Saat aspirin dosis tinggi dihentikan,

aspirin dosis rendah dimulai (3-5 mg/kg/ hari) dan diberikan sampai pasien tidak

menunjukkan tanda perubahan arteri koroner pada minggu ke-6 sampai ke-8

setelah awitan penyakit. Jika pasien ditemukan memiliki abnormalitas koroner,

maka aspirin diteruskan sampai waktu yang tidak ditentukan.4,14,15

3. Kortikosteroid

Meskipun kortikosteroid berperan dalam terapi vaskulitis, penggunaan

pada penyakit kawasaki masih meragukan. Beberapa penelitian menggunakan

steroid sebagai tambahan tidak menghasilkan perubahan yang signifikan dalam

menurunkan kejadian aneurisma arteri koroner. Saat ini, pemberian steroid

dibatasi untuk anak yang masih mengalami demam dan inflamasi akut setelah

pemberian ≥2 infus IVIG. Regimen yang digunakan adalah metilprednisolon

intravena 30 mg/kg selama 2-3 jam, sehari sekali selama 1-3 hari.4

4. Pentoxifylline

Pentoxifylline adalah senyawa xantin metil yang secara khusus

menghambat TNF α transkripsi RNA messenger. Karena TNF α tampaknya

berperan penting dalam proses inflamasi pada penyakit Kawasaki, pentoxifylline

dapat menjadi tambahan dalam terapi standar. Dalam sebuah uji klinis di mana

14
semua pasien diobati dengan regimen IVIG dan aspirin dosis rendah, individu-

individu yang juga menerima pentoxifylline dosis tinggi ternyata memiliki

kejadian aneurisma lebih sedikit serta dapat ditoleransi dengan baik. Namun peran

pentoxifyllin dalam pengobatan awal penyakit Kawasaki belum terbukti.4,15,16

5. Terapi lain

Plasma Exchange (tukar plasma) efektif pada pasien yang refrakter

terhadap IVIG dan menurunkan angka kejadian aneurisma. Namun karena

beberapa resiko yang mungkin ditimbulkan, metode ini tidak secara umum

direkomendasikan (Rekomendasi tingkat C). Ulinastatin adalah inhibitor tripsin

manusia yang dimurnikan dari urin manusia yang telah digunakan di Jepang

sebagai terapi tambahan untuk penyakit kawasaki akut. Glikoprotein 67 000-

Dalton ini menghambat neutrofil elastase serta prostaglandin H2 sintase pada

level RNA messenger. Ulinastatin digunakan pada pasien yang refrakter pada

IVIG (Rekomendasi tingkat C).17

Abciximab, sebuah inhibitor reseptor glikoprotein platelet IIb/IIIa, telah

digunakan untuk mengobati pasien pada fase akut atau subakut penyakit

Kawasaki yang memiliki aneurisma yang cukup besar. Pasien yang menerima

abciximab ditambah terapi standar dibandingkan dengan yang hanya mendapatkan

terapi standar saja menunjukkan regresi yang lebih besar pada diameter

aneurisma, (Rekomendasi tingkat C). Antibodi monoklonal untuk berbagai sitokin

proinflamasi juga digunakan sebagai pilihan dalam pengobatan pasien dengan

penyakit Kawasaki yang refrakter. Antibodi monoclonal seperti infliximab, yang

15
memiliki fungsi dalam melawan TNFα sedang dipelajari dalam percobaan klinis

sebagai pengobatan pada anak-anak yang gagal terhaadap IVIG. (rekomendasi

tingkat C). Agen sitotoksik seperti siklofosfamid, bersama dengan steroid oral,

juga telah diusulkan untuk pengobatan pasien dengan penyakit Kawasaki yang

refrakter (Rekomendasi tingkat C).4,17

BAB III

16
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS

A. Identitas Penderita

Nama : An. MI

Jenis Kelamin : Laki-laki

Tempat & tanggal Lahir : Banjarmasin, 14 Februari 2017

Umur : 2 tahun 7 bulan

B. Identitas Orangtua

Nama ayah : Tn. ZA Nama ibu : Ny. H


Usia : 29 th Usia : 19 th
Pekerjaan : Pedagang Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan : SMK Pendidikan : SMP
Alamat : Jl. Tembus Mantuil

II. ANAMNESIS

Kiriman dari : IGD

Diagnosis : Obs. Febris H-4 suspek Kawasaki Disease

Aloanamnesis dengan : Orang tua pasien

Tanggal/jam : 9 Oktober 2019/ 14.30 WITA

Masuk rumah sakit tanggal : 2 Oktober 2019

1. Keluhan Utama

Demam

2. Riwayat Penyakit Sekarang

Orang tua anak mengeluhkan anak demam sejak hari Minggu (29

17
September 2019) yaitu 4 hari SMRS, demam muncul perlahan-lahan. Demam

dirasakan naik turun, demam turun apabila anak diminumkan obat penurun panas

yaitu sanmol, akan tetapi setelah reaksi obat habis anak demam kembali. Pada

hari Rabu demam anak lebih tinggi dari hari sebelumnya dan tidak turun dengan

obat penurun panas. Ketika demam, ibu pasien menyangkal adanya penurunan

kesadaran, kejang, munculnya bintik-bintik merah kecil, gusi berdarah, mimisan

dan BAB kehitaman. Keluhan batuk dan pilek juga disangkal.

Demam diikuti dengan munculnya bercak kemerahan pada badan, telapak

tangan dan telapak kaki anak sejak 2 hari SMRS. Selain kemerahan, pada telapak

tangan dan kaki anak juga membengkak dan terkelupas. Bibir pasien juga

mengalami kemerahan dan kering, pada lidah juga terdapat bintik-bintik

kemerahan. Mata kanan dan kiri pasien juga mengalami kemerahan dan tidak

disertai sekret. Pasien juga mengeluhkan munculnya benjolan di leher sebelah kiri

sejak 2 hari SMRS. Benjolan teraba hangat dan nyeri apabila dipegang, benjolan

berukuran ±10 cm. Sebelumnya di tahun 2018, ketika pasien berumur 1 tahun

pasien pernah masuk rumah sakit dan dirawat di RSUD Ulin Banjarmasin

dikarenakan kejang demam dan infeksi paru. Pasien tidak memiliki nafsu makan

sejak munculnya demam yaitu 4 hari SMRS.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


Kejang demam, infeksi paru, penyakit serupa disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluhan serupa

5. Riwayat Kehamilan dan Persalinan

Riwayat antenatal : Ibu rutin pemeriksaan Antenatal Care (ANC) di

18
puskesmas, sebanyak 5 kali ibu melakukan ANC. Tidak

ada keluhan saat kehamilan, tidak ada penyakit serius

yang diderita ibu, serta pengakuan ibu tidak ada obat obat

yang dikonsumsi selain pemberian dari puskesmas.

Riwayat Natal :

Spontan/tidak spontan : Spontan

Nilai APGAR : Menangis kuat

Berat badan lahir : 3000 gram

Panjang badan lahir : ibu lupa

Lingkar kepala : Ibu lupa

Penolong : Bidan

Tempat : Rumah Sakit

5. Riwayat Neonatal

Tidak ada penyakit

6. Riwayat Perkembangan

Tiarap : 3 bulan

Merangkak : 4 bulan

Duduk : 6 bulan

Berdiri : 12 bulan

Berjalan : 16 bulan

Saat ini : pasien berkembang sesuai dengan usianya. Pasien dapat

berbicara dengan lancar.

7.Riwayat Imunisasi :

19
Dasar Ulangan
Nama
(umur dalam bulan) (Umur dalam bulan)
BCG 1 -
Polio 2 | 3 | - | -
Hepatitis B 0 | 2 | 3 | - -
DPT 2 | 3 | - -
Campak - -

Status imunisasi: tidak lengkap

8. Makanan (Tulis jenis/kualitas, kuantitas, dan umur)

Sejak lahir anak minum ASI, minum ASI hingga usia 3 bulan. Susu formula

dari usia 3 bulan. MP ASI mulai sejak usia 6 bulan. Dilanjutkan dengan nasi lunak

usia 1 tahun. Saat ini anak makan nasi dengan porsi ½ dewasa 2-3x/hari dan susu

8x60 cc/hari.

9. Riwayat Penyakit Keluarga

Iktisar Keturunan :

Ket :

: Perempuan : Laki-laki
: Pasien

Susunan Keluarga

Jelaskan : Sehat, Sakit (apa)


No. Nama Umur L/P
Meninggal (umur,sebab)
1. Tn. ZA 29 tahun L Sehat

20
2. Ny. H 19 tahun P Sehat

3. An. MI 2 tahun L Sakit

9. Riwayat Sosial Lingkungan

Pasien tinggal di kawasan padat penduduk dan tinggal bersama orang tua.

Sumber air untuk keperluan sehari-hari menggunakan air PDAM. WC dan kamar

mandi terletak di dalam rumah.

I. PEMERIKSAAN FISIK (Tanggal 2 Oktober 2019)

1. Keadaan umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos mentis

GCS : E4 V5 M6

2. Pengukuran

Tanda vital : Nadi : 102 x/menit, kualitas: reguler, kuat angkat

Suhu : 38.2°C,

SPO2 : 95%

Respirasi : 28 x/menit

Berat badan : 9 kg

Panjang/tinggi badan : 83 cm

3. Kulit : Warna : Kuning

Sianosis : Tidak ada

Hemangiom : Tidak ada

Turgor : Cepat kembali

Kelembaban : Lembab

21
Pucat : (-)

Lain-lain : ptekie (-), hematom (-) eritem (+)

4. Kepala : Bentuk : Normocefali

UUB : Menutup

UUK : Menutup

Lain-lain : (-)

Rambut : Warna : Hitam

Tebal/tipis : Tipis

Distribusi : Normal

Alopesia : -

Lain-lain : -

Mata : Palpebra : Simetris, edema (-)

Alis dan bulu mata : Distribusi merata, tidak mudah dicabut

Konjungtiva : Anemis (-/-), hiperemi (+/+)

Sklera : Ikterik (-/-)

Produksi air mata : normal

Pupil : Diameter : 3 mm / 3 mm

Simetris : +/+

Reflek cahaya : +/+

Kornea : Jernih / jernih

Telinga : Bentuk : Simetris

Sekret : Tidak ada

Serumen : Minimal

22
Nyeri : Tidak ada

Hidung : Bentuk : Simetris

Pernafasan Cuping Hidung : Tidak ada

Epistaksis : Tidak ada

Sekret : tidak ada

Mulut : Bentuk : Simetris

Bibir : Mukosa bibir lembab, sianosis (-)

Gusi : Tidak mudah berdarah

Lidah : Bentuk : Simetris

Pucat/tidak : Tidak pucat

Tremor/tidak : Tidak tremor

Kotor/tidak : Tidak kotor

Warna : Hiperemi, strawberry tongue (-)

Faring : Hiperemi : Tidak ada

Edem : Tidak ada

Membran/pseudomembran : Tidak ada

Tonsil : Warna : merah muda

Pembesaran : Tidak ada

Abses/tidak : Tidak ada

Membran/pseudomembran : Tidak ada

1. Leher :

Vena Jugularis : Pulsasi : Teraba

Tekanan : JVP 5+2 cm H2O

23
Pembesaran kelenjar leher : Ada

Kaku kuduk : Tidak ada

Massa : Ada, teraba massa disubmandibula (S)

ukuran ± 10 cm, nyeri tekan (+), fluktuasi (-), hiperemi (+)

Tortikolis : Tidak ada

1. Toraks :
a. Dinding dada/paru

Inspeksi : Bentuk : Simetris

Retraksi : Tidak ada

Dispnea : Tidak ada

Pernafasan : Thoraco-abdominal Palpasi

: Fremitus fokal : Simetris kanan dan

kiri

Perkusi : Sonor diseluruh lapang paru

Auskultasi : Suara Napas Dasar : Vesikuler

Suara Tambahan : Ada, rh (-) wh (-)

b. Jantung

Inspeksi : Iktus : Tidak terlihat

Palpasi : Apeks : Teraba di ICS V LMCS

Thrill : Tidak ada

Perkusi : Batas kanan : ICS II LPS (d) – ICS V LPS (d)

Batas kiri : ICS V LMCS

Batas atas : ICS II LPS (d) – ICS II LPS (s)

Auskultasi : S1, S2 tunggal

24
1. Abdomen :

Inspeksi : Bentuk : datar

Lain-lain : Venektasi vena (-), hematom (-)

Palpasi : Hati : Tidak ada pembesaran hepar.

Lien : Tidak ada splenomegali

Ginjal : Tidak ada nyeri ketok ginjal

Massa : Tidak ada di seluruh region abdomen

Perkusi : Timpani/pekak : Timpani

Auskultasi : Bising usus (+) normal

8. Ekstremitas :

Umum : Ekstremitas atas : Akral hangat (+), eritem (+) plantar manus

dekstra et sinistra

Ekstremitas bawah : Akral hangat (+), eritem (+) plantar pedis

dekstra et sinistra

Neurologis :

Lengan Tungkai
Tanda Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan Aktif Aktif Aktif Aktif
Tonus Eutoni Eutoni Eutoni Eutoni
Trofi Eutrofi Eutrofi Eutrofi Eutrofi
Klonus Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Refleks ++/++ ++/++ ++/++ ++/++
Fisiologis
Refleks - - - -
patologis

25
Sensibilitas +(baik) +(baik) + (baik) +(baik)
Tanda - - - -
meningeal

9. Susunan Saraf : N. Kranialis I-XII normal

10. Genitalia : Laki-laki, tidak ada kelainan

11. Anus : Ada, tidak ada kelainan

II. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Hasil Pemeriksaan Laboratorium 2 Oktober 2019


Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
HEMATOLOGI
Hemoglobin 10.1* 11.0-14.0 g/dl
Leukosit 16.4* 4.00-10.5 ribu/ul
Eritrosit 3.93 4.40-5.50 juta/ul
Hematokrit 30.3* 44.00-64.00 vol%
Trombosit 390 150-450 ribu/ul
RDW-CV 12.2 12.1-14.0 %
MCV, MCH, MCHC
MCV 77.1 75-96 Fl
MCH 25.7* 28-32 Pg
MCHC 33.3 33-37 %
HITUNG JENIS
Gran % 77.1 50-81 %
Limfosit % 15* 20-40 %
Gran # 12.63* 2.5-7.0 Ribu/ul
Limfosit # 2.45 1.25-4.00 Ribu/ul
SEROLOGI
CRP 48.0* <6.0 mg/l

Hasil laboratorium 3 Oktober 2019

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan


URINALISA
pH 6.0 5.0-6.0
Warna Kuning Kuning
Berat jenis 1.010 1.005-1.030
Kejernihan Jernih Jernih
Keton Negatif Negatif

26
Protein albumin Negatif Negatif
Glukosa Negatif Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Darah samar Negatif Negatif
Urobilinogen Negatif Negatif
Leukosit Negatif Negatif
SEDIMEN URIN
Leukosit 1-2 0-3
Eritrosit 0-2 0-2
Epitel 1+ 1+
Kristal Negatif Negatif
Silinder Negatif Negatif
Bakteri Negatif Negatif

EKG

Kesan : Sinus takikardia


Hasil Pemeriksaan Foto Thorax 3 Oktober 2019

27
Kesan : cor normal, bronkopneumonia

Hasil Pemeriksaan ECHO 5 Oktober 2019

Kesan : Jantung normal

RESUME

28
Nama : An. MI

Jenis kelamin : Laki-laki

Umur : 2 tahun 7 bulan

Berat badan : 9 kg

Keluhan Utama : Demam

Uraian :

Orang tua anak mengeluhkan anak demam 4 hari, naik turun. Tidak ada

bintik merah kecil, gusi berdarah, mimisan dan BAB kehitaman. Batuk pilek

juga disangkal. Munculnya bercak kemerahan pada badan, telapak tangan dan

telapak kaki anak sejak 2 hari SMRS. Selain kemerahan, pada telapak tangan

dan kaki anak juga membengkak dan terkelupas. Bibir pasien juga mengalami

kemerahan dan kering, pada lidah juga terdapat bintik-bintik kemerahan. Mata

kanan dan kiri pasien juga mengalami kemerahan dan tidak disertai sekret.

Pasien juga mengeluhkan munculnya benjolan di leher sebelah kiri sejak 2

hari SMRS. Benjolan teraba hangat dan nyeri apabila dipegang, benjolan

berukuran ±10 cm. Sebelumnya di tahun 2018, ketika pasien berumur 1 tahun

pasien pernah masuk rumah sakit dan dirawat di RSUD Ulin Banjarmasin

dikarenakan kejang demam dan infeksi paru. Pasien tidak memiliki nafsu

makan sejak munculnya demam yaitu 4 hari SMRS.

Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos mentis

29
Denyut Nadi : 102 kali/menit kualitas : reguler, kuat angkat

Pernafasan : 28 kali/menit

Suhu : 38.2°C

Kulit : Sawo matang, pucat (-)

Kepala : Normal

Mata : Konjungtiva hiperemi (+/+)

Telinga : Normal

Hidung : Normal

Mulut : Strawberry tongue (-)

Leher : Massa di submandibular (S), ukuran ± 10 cm, nyeri tekan

(+), hiperemi (+), fluktuasi (-)

Toraks/Paru : Normal

Jantung : Normal

Abdomen : Normal

Ekstremitas : Eritem plantar manus dan plantar pedis (d) et (s)

Susunan saraf : Normal

Genitalia : Laki-laki

Anus : Normal

DIAGNOSIS

Diagnosis Kerja : Suspek Kawasaki Disease

Status gizi : Severity underweight, stunted dan Gizi kurang

PENATALAKSAAN AWAL

30
- IVFD D5 ½ NS 900 cc/24 jam
- Inj pct 100 mg k.p
- PO Aspirin 4x120 mg
- Cek LED
- Konsul divisi kardiologi

PROGNOSIS

Quo ad vitam : dubia ad bonam

Quo ad functionam : dubia ad bonam

Quo ad sanationam : dubia ad bonam

FOLLOW UP

Tgl (Oktober) 3 4 5 6
Subjektif
Demam Turun naik Turun naik - -
Benjolan di leher + + + +
Nyeri menelan + + + +
Batuk / pilek -/- -/- -/- -/-
Mual / muntah -/- -/- -/- -/-
Nafsu makan + + + +
Lain-lain - - - -
Objektif
Kesadaran CM CM CM CM
HR (x/m) 102 90 100 102
RR (x/m) 22 24 24 20
T (oC) 37.8 37.5 37.2 37.0
SpO2 (%) 98% 99% 98% 97%
Conjunctiva < < - -
hiperemi
Lidah hiperemi - - - -
Leher : +/ +/+ +/+/+ +/+/+ +/+/+
Massa a.r
submandibular,
nyeri tekan/
hiperemi
Ronki / wheezing -/- -/- -/- -/-

31
Abdomen : +/ - / + +/-/+ +/-/+ +/-/+
BU / nyeri tekan/
timpani
Ekstremitas < < < <
Eritem palmar dan
plantar
Assesment
Kawasaki Disease Inkomplit
Suspek Abses Coli DD Parotitis Limfadenitis

Planning
IVFD D5 ½ NS 900 cc/24 jam
Inj Pct 100 mg k.p
PO Aspirin 4x120 mg
IVIG 18 gram/hari
Bubur 3x1
Susu 3x100 cc
Rencana
Echo

Tgl (Oktober) 7 8 9 10
Subjektif
Demam - - - -
Benjolan di leher + + + +
Nyeri menelan + < < -
Batuk / pilek -/- -/- -/- -/-
Mual / muntah -/- -/- -/- -/-
Nafsu makan + + + +
Lain-lain - - - -
Objektif
Kesadaran CM CM CM CM
HR (x/m) 98 100 102 100
RR (x/m) 22 21 20 24
T (oC) 36.5 36.7 36.7 36.8
SpO2 (%) 98% 97% 98% 99%
Conjunctiva - - - -
hiperemi
Lidah hiperemi - - - -
Leher : +/+/+ +/</< +/ </ < +/</<
Massa a.r
submandibular,
nyeri tekan/
hiperemi
Ronki / wheezing -/- -/- -/- -/-
Abdomen : +/-/+ +/-/+ +/ - / + +/-/+

32
BU / nyeri tekan/
timpani
Ekstremitas < < < <
Eritem palmar dan
plantar
Assesment
Kawasaki Disease Inkomplit
Suspek Abses Coli DD Parotitis Limfadenitis

Planning
IVFD D5 ½ NS 900 cc/24 jam BLPL
Inj Pct 100 mg k.p Obat
Inj ceftriaxone 2x450 mg pulang :
PO Aspirin 4x120 mg Aspirin
IVIG 18 gram/hari 3x10 mg
Bubur 3x1
Susu 3x100 cc

BAB IV

PEMBAHASAN

33
Pasien anak dengan usia 2 tahun berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik

dan pemeriksaan penunjang didiagnosa Kawasaki Disease Incomplete.

Berdasarkan anamnesis pasien didapatkan demam 4 hari, naik turun. Tidak ada

bintik merah kecil, gusi berdarah, mimisan dan BAB kehitaman. Batuk pilek juga

disangkal. Munculnya bercak kemerahan pada badan, telapak tangan dan telapak

kaki anak sejak 2 hari SMRS. Selain kemerahan, pada telapak tangan dan kaki

anak juga membengkak dan terkelupas. Bibir pasien juga mengalami kemerahan

dan kering, pada lidah juga terdapat bintik-bintik kemerahan. Mata kanan dan kiri

pasien juga mengalami kemerahan dan tidak disertai sekret. Pasien juga

mengeluhkan munculnya benjolan di leher sebelah kiri sejak 2 hari SMRS.

Benjolan teraba hangat dan nyeri apabila dipegang, benjolan berukuran ±10 cm.

RPD dan RPK tidak ada mengalami hal serupa.

Pemeriksaan fisik pasien kesadaran compos mentis, takikardia, tidak ada

dispne, hipertermi. Ditemukan conjunctiva hiperemi (+), massa diregio colli

submandibular sinistra, teraba lunak, berbatas tegas, ukuran 10 cm, nyeri tekan

dan kemerahan. Pada lidah ditemukan hiperemi. Dan ditemukan eritem pada

plantar manus dan pedis dekstra et sinistra.

Pemeriksaan penunjang didapatkan abnormalitas anemia normositik

normokromik, leukositosis dengan peningkatan neutrofil dominan, peningkatan

CRP, urinalisa normal, pemeriksaan jantung baik foto toraks, EKG dan ECHO

dalam batas normal.

Penyakit Kawasaki adalah vaskulitis akut yang bersifat self limited yang

34
terjadi terutama pada bayi dan anak-anak. Penyakit Kawasaki adalah penyakit

demam akut pada masa kanak-kanak yang ditandai oleh vaskulitis dari arteri

ekstraparenkimal berukuran sedang, dengan kecenderungan untuk arteri koroner. 4

Diagnosis Penyakit Kawasaki ditegakkan berdasarkan kriteria klinis,

didukung oleh data laboratorium, serta pemeriksaan penunjang lain terutama

ekokardiografi. Diagnosis Penyakit Kawasaki komplit ditegakkan apabila pasien

mengalami demam ≥5 hari, ditambah ≥4 kriteria klinis klasik, dan

disingkirkannya penyakit lain yang mempunyai kemiripan gejala. Kriteria klinis

klasik tersebut yaitu injeksi konjungtiva bilateral tanpa eksudat; perubahan pada

bibir dan rongga mulut (eritema, bibir pecah-pecah, lidah stroberi, dan eritema

difus mukosa orofaring); ruam polimorfik; limfadenopati servikal unilateral

(diameter >1,5 cm); dan perubahan pada ekstremitas (edema dan eritema telapak

tangan dan kaki pada fase akut serta deskuamasi periungual jari-jari tangan dan

kaki pada fase subakut/konvalesens). 5

Diagnosis Penyakit Kawasaki inkomplit ditegakkan apabila pasien

mengalami demam ≥5 hari, ditambah <4 kriteria klinis klasik lainnya, tetapi

ditemukan abnormalitas arteri koroner pada ekokardiografi atau angiografi.

Sedangkan gejala klinis yang lain yang dapat ditemukan seperti miokarditis, gagal

jantung, pericarditis, regurgitasi katup, aneurisma, fenomena Raynaud, artritis,

arthralgia, diare, nyeri perut, disfungsi hepar, efusi pleura, meningitis aseptik,

urethritis, pembengkakan testis, uveitis anterior. Hasil laboratorium abnormal

pada penyakit Kawasaki yaitu neutofilia, peningkatan LED, peningkatan CRP,

peningkatan serum a1-antitripsin, anemia, hypoalbuminemia, trombositosis,

35
peningkatan serum transaminase dan leukositosis. 6

Pada pasein gejala memenuhi kriteria diagnosis Kawasaki inkomplit,

seperti ≥ demam 5 hari, injeksi konjuctiva bilateral, limfadenopati cervical ukuran

10 cm, dan eritema di palmar dan plantar. Dan hasil laboratorium pasien yang

berhubungan dengan Penyakit Kawasaki antara lain anemia, leukositosis, dan

peningkatan CRP. Trombositosis dan urinalisa pasien dalam batas normal. Pada

penyakit Kawasaki, trombositosis merupakan karakteristik fase subakut, nilai nya

sekitar 500.000-1 juta/ mcl. Trombositosis akan secara gradual turun mendekati

normal di minggu ketiga. Penyakit Kawasaki, urinalisa menunjukkan pyuria satu

dari tiga pasien.2,4

Menurut algoritma diagnosis Kawasaki inkomplit, demam ≥ 5 hari dan 2

atau 3 kriteria klinis akan dinilai apakah termasuk penyakit Kawasaki yang

inkomplit. Jika nilai CRP > 30 g/dl disertai dengan tambahan hasil laboratorium ≥

3 yang abnormal dari (hipoalbuminemia, anemia, trombositosis, leukosit > 10 di

dalam urin, peningkatan enzim transaminase, dan leukositosis > 15 ribu) akan

dilanjutkan pemeriksaan ECHO. ECHO dikatakan positif jika skor Z dari anterior

descending sinistra atau arteri coronaria dekstra 2.5; perivascular brightness,

penurunan fungsi ventrikel kiri, regisgitasi mitral, dan efusi pericardial. Jika

ECHO postif maka akan diterapi Penyakit Kawasaki. Pada pasien memenuhi

kriteria Penyakit Kawasaki inkomplit karena nilai CRP > 30g/dl dan ≥ 3 kelainan

hasil laboratorium, maka dilakukan ECHO. ECHO normal, jadi pasien akan

dilakukan pengobatan. 2,4

Penelitian Sita dkk, foto toraks dan EKG dapat menujukkan gambaran

36
yang tidak spesifik. Pada penelitian, gambaran infiltrat pada foto toraks

didapatkan 71% subjek. Keterlibatan paru pada Penyakit Kawasaki dapat berupa

infiltrat mikronodular yang asimptomatis hingga nodul paru yang disertai gejala

peradangan. Infiltrat dan nodul pada paru mungkin disebabkan oleh respons tubuh

terhadap agen etiologik Penyakit Kawasaki dan dapat membaik dengan sendirinya

seiring dengan proses perbaikan penyakit. Tidak ditemukan gejala respiratorik,

sehingga infiltrat pada foto toraks merupakan tanda yang asimptomatis. Temuan

tersebut berbeda dengan laporan lain yang menyatakan bahwa keterlibatan organ

paru pada Penyakit Kawasaki jarang ditemukan.5

Pada penelitian tersebut, kemungkinan penyakit lain yang dapat

memberikan gambaran infiltrat pada foto toraks tidak dideskripsikan pada

sebagian besar kasus. Kelainan EKG yang ditemukan adalah sinus takikardia pada

44% subjek, sedangkan kelainan lain tidak ditemukan. Sinus takikardia memang

dapat ditemukan pada Penyakit Kawasaki, tetapi bukan merupakan gambaran

yang spesifik pada Penyakit Kawasaki karena dapat disebabkan oleh penyebab

lain, seperti demam, gelisah, dan nyeri. Kami tidak dapat mengonfirmasi hal

tersebut karena data diambil secara retrospektif.5

Sama halnya dengan pasien ini pada gambaran foto toraks cor dalam batas

normal namun paru tampak ada infiltrate yang dari bacaan radiologis disebut

bronkopneumonia, namun secara klinis tidak menunjukkan adanyan

bronkopneumonia. Dan hasil EKG didapatkan gambaran EKG normal dengan

sinus takikardia.

Penyakit Kawasaki didiagnosis banding dengan infeksi virus yaitu

37
campak, adenovirus, enterovirus, Epstein barr. Infeksi bakteri demam scarlet,

limfadenitis cervical, Rocky Montain spotted fever, leptospirosis. Toksin seperti

Staphylococal scalded skin syndrome, Toxic shock syndrome. Reaksi

hipersensitivitas dan lain-lain seperti juvenile idiopatik artritis, dan acrodinia.5,6

Saat ini, pemahaman yang tidak lengkap dari patogenesis molekul,

sehingga diperlukan target rasional yang diperlukan untuk meningkatkan

keberhasilan terapi pada Penyakit Kawasaki. Oleh sebab itu, anak dengan

Penyakit Kawasaki harus dirawat di RS dan ditangani oleh seorang dokter yang

memiliki pengalaman dengan penyakit ini. IVIG (immunoglobulin per infus)

sebaiknya diberikan dalam dosis tinggi, yaitu 2 gr/kgBB selama 10-12 jam, yang

biasanya akan terjadi perbaikan dalam waktu 24 jam. Jika demam tidak turun,

dosis tambahan mungkin harus dipertimbangpkan. IVIG adalah obat yang paling

berguna dalam 7 hari pertama demam, untuk mencegah terjadinya aneurisma

arteri koroner. 12

Terapi globulin-pengganti immune (immune globulin–replacement

therapy) seperti IVIG itu, telah menjadi pengobatan sejak diperkenalkan pada

1950-an. Selain pada penyakit Kawasaki, immune globulin intravena mungkin

juga memainkan peran aktif primer lainnya. Salisilat, terutama aspirin, tetap

merupakan bagian penting, meskipun salisilat saja tidak seefektif IVIG. Terapi

aspirin dimulai pada dosis tinggi 80-100 mg/kgBB/hari dalam 4 dosis sampai 2-3

hari demam mereda, dan kemudian dilanjutkan dengan dosis rendah 3-5

mg/kgBB/hari, ketika pasien diijinkan pulang ke rumah. Biasanya diberikan

selama 2 bulan untuk mencegah pembentukan gumpalan darah (trombus) dan

38
dihentikan jika menemukan kelainan koroner. Aspirin jangka panjang sebenarnya

tidak direkomendasikan untuk anak karena berisiko terjadinya sindrom Reye. 12

Kortikosteroid juga telah digunakan, khususnya bila pengobatan lain gagal

atau gejala-gejala kambuh, tetapi dalam uji coba terkontrol secara acak,

penambahan kortikosteroid untuk IVIG dan aspirin tidak memperbaiki hasil

(Remicade) yang bekerja dengan jalan meningkatkan TNF-A (Tumor Necrosis

Factor Alfa). Pasien dengan Penyakit Kawasaki yang mengalami komplikasi pada

jantung, dapat berupa lesi arteri koroner yaitu aneurisma dengan seperti ini, pasien

memerlukan tindakan operasi bypass arteri koroner, dengan arteri mamaria interna

kiri sebagai pilihan pertama bypass graft, karena patensi dan kelangsungan hidup

pasien jangka panjang cukup memuaskan. 12

Seperti pada pasien diberikan terapi aspirin dan IVIG, namun IVIG belum

diberikan karena sediaan belum ada. Pemberian aspirin dengan dosis tinggi 4x120

mg perhari sampai demam mereda, dan ketika pulang pasien diberikan aspirin

dosis rendah 3x10 mg selama satu bulan untuk mencegah pembentukkan trombus.

IVIG yang direncakan akan diberikan dengan dosis 18 gram/ 10 hari.

Dengan terapi awal, gejala akut dapat diatasi dan risiko aneurisma arteri

koroner sangat berkurang. Meskipun tidak diobati, sebenarnya gejala Penyakit

Kawasaki yang akut juga membaik, tetapi risiko terjadinya aneurisma arteri

koroner jauh lebih besar. Secara keseluruhan, sekitar 2% pasien akan meninggal

karena komplikasi nodular koroner. Secara keseluruhan, komplikasi yang

mematikan pada pasien yang telah mendapatkan terapi dini sangat langka,

dibandingkan dengan yang tidak. Pasien dengan Penyakit Kawasaki seharusnya

39
diperiksa EKG pada tahap awal, setiap beberapa minggu, dan kemudian setiap 1

atau 2 tahun, untuk pemantauan komplikasi pada jantung.12

Pasien juga mengeluhkan nyeri menelan, nyeri dileher dan bengkak.

Menurut WHO pelayanan anak di rumah sakit, anak dengan demam disertai tanda

infeksi lokal seperti nyeri tenggorokan, kesulitan menelan dan teraba nodi servikal

dapat didiagnosis abses tenggorokan. Pada pemeriksaan fisik teraba masa lunak,

padat tidak berfluktiasi di region submandibular sinistra sebesar 10 cm,

berdasarkan letak anatomis nya pasien dapat didiagnosis abses colli dengan

diagnosis banding antara parotitis dan limfadenitis. Tatalaksana berdasarkan

WHO yaitu diberikan antibiotik. Pasien diberikan antibiotik broad spectrum, yaitu

ceftriaxone dengan dosis 100 mg/kBB/hari dibagi dua dosis secara intravena

selama 5 hari. 20

BAB V

PENUTUP

40
Telah dilaporkan sebuah kasus anak laki-laki usia 2 tahun 7 bulan yang

dirawat di ruang anak RSUD Ulin Banjarmasin dari tanggal 2 Oktober 2019

hingga 10 Oktober 2019 dengan diagnosis Kawasaki Disease Inkomplit + Suspek

Abses Colli DD Parotitis, Limfadenitis. Diagnosis ini ditegakkan berdasarkan

anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pasien telah

mendapatkan terapi suportif, aspirin dan antibiotik.

41
DAFTAR PUSTAKA

1. Rowley AH, Shulman ST. Recent advances in the understanding and


management of Kawasaki disease. Curr Infect Dis Rep. 2010;12(2):96–102.

2. Fimbres AM, Shulman ST. Kawasaki disease. Pediatr Rev. 2008;29:308–16.

3. Sundel RP, Petty RE. Kawasaki disease. Dalam: Casidy JT, Petty RE, Laxer
RM, penyunting. Textbook of pediatric rhematology. Edisi ke-5. Philadelphia:
Elseiver Saunders; 2005. hlm. 521–3.

4. McCrindle BW, Rowley AH, Newburger JW, et al. Diagnosis, Treatment, and
Long-Term Management of Kawasaki Disease: A Scientific Statement for
Health Professionals from the American Heart Association. 2017;135.

5. Ariyani S, Advani N, Widodo DP. Profil klinis dan pemeriksaan penunjang


pada penyakit kawasaki. Sari Pediatri. 2014;16(6):385-93.

6. Son M, Newburger J. Kawasaki disease. Ped Rev. 2013;34(4):151-162.

7. Yolanda N. Panduan Diagnosis dan Terapi Kawasaki Disease. 2015;42(9):663-


667.

8. Leung D, Meissner H, Shulman S, Mason W, Gerber M, GLode M. Prevalence


of superantigen-secreting bacterian in patients with Kawasaki disease. J
Pediatr Rev. 2102;140:742-746.

9. Rowley A, Shulman S, Spike B, Mask C, Baker S. Oligoclonal IgA response


in the vascular wall in acute Kawasaki disease. J immunol. 2011; 166: 1334-
1343.

10. Rowley AH, Shulman ST. The Epidemiology and Pathogenesis of Kawasaki
Disease. Front Pediatr. 2018;6:1-4.

11. Pediatrics AA of. Kawasaki disease in infants & children. Am Acad Pediatr.
2017;56(9):377-382.

12. Indrarto FXW. Kawasaki disease. Berkala Ilmiah Kedokteran Duta Wacana.
2015;01(01):70-8.

13. Yeung R. Pathogenesis and treatment of Kawasaki’s disease. Curr Opin


Rheumatol. 2015;17:617-623.

14. Kuo HC, Yang KD, Chang WC, Ger LP, Hsieh KS. Kawasaki disease: An

42
update on diagnosis and treatment. Pediatr Neonatol. 2012;53(1):4-11.

15. Manlhiot C, Mueller B, O’Shea S, et al. Environmental epidemiology of


Kawasaki disease: Linking disease etiology, pathogenesis and global
distribution. PLoS One. 2018;13(2):1-17.

16. Navaeifar MR, Sadegh Rezai M. Intravenous Immunoglobulin Resistant


Kawasaki Disease. J Pediatr Rev. 2013;1(1):51-60.

17. Principi N, Rigante D, Esposito S. The role of infection in Kawasaki


syndrome. J Infect. 2013;67(1):1-10.

18. WHO. Pelayanan kesehatan anak di rumah sakit. Jakarta: WHO, 2009.

43

Anda mungkin juga menyukai