PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sistem pernapasan merupakan salah satu sistem penting dalam tubuh manusia
karena saat bernapas tubuh manusia menghirup oksigen dan membuang
karbondioksida yang merupakan zat sisa metabolisme. Gangguan apapun yang
terjadi pada sistem ini akan berpengaruh secara sistemik pada sistem tubuh lainnya.
Terdapat banyak gangguan yang berkemungkinan terjadi pada sistem pernapasan,
diantaranya yaitu Pneumotoraks (Edward et al, 2001) (McIntosh et al, 2000).
Kejadian pneumotoraks pada umumnya sulit ditentukan karena banyak kasus-
kasus yang sulitdi diagnosis sebagai pneumotoraks. Johnston & Dovnarsky
memperkirakan kejadian pneumotoraks berkisar antara 2,4-17,8 per 100.000 per
tahun. Beberapa karakteristik yang sering diapatkan pada pneumotoraks antara lain:
laki-laki lebih sering dari pada wanita (4: 1); paling sering pada usia 20-30tahun.
Penelitian yang dilakukan oleh Sunam et al (2011) menemukan bahwa selain pada
dewasa, pneumothoraks lebih sering ditemukan pada neonatus (1-2%) dibandingkan
pada anak, selain itu tingkat kejadian meningkat mencapai 30% pada pasien dengan
penyakit paru tertentu atau yang membutuhkan ventilasi mekanik.
Penegakan diagnosis dan penanganan lebih awal pada neonatus pneumothoraks
sangat penting karena dapat mengurangi komplikasi dan kematian dari efek
hipoksemia, hiperkapnia atau gangguan aliran balik vena (Sunam et al, 2011).
B. Tujuan
Tujuan pembuatan referat Pneumothoraks adalah untuk mengetahui
etiologic, penegakan diagnose, penatalaksanaan dan komplikasi pneumotoraks
pada neonatus.
C. Manfaat
1. Diharapkan menjadi salah satu bahan masukan bagi instansi kesehatan dalam
rangka peningkatan pelayanan kesehatan di masa mendatang
2. Diharapkan menjadi bahan pembelajaran yang baik mengenai pneumothoraks
pada anak terutama pada anak bagi Mahasiswa Kepaniteraan Klinik Rumah
Sakit Umum Margono Soekarjo Purwokerto
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Pneumotoraks adalah keadaan terdapatnya udara atau gas dalam rongga pleura
(Price & Wilson,1995). Pada keadaan normal rongga pleura tidak berisi udara, gas,
cairan ataupun darah, Paru membutuhkan pleura agar dapat leluasa mengembang
mengikuti rongga dada. Benda asing yang terdapat pada pleura dapat mengakibatkan
paru sulit bergerak dirongga dada dan mengalami kesulitan untuk mendapatkan
asupan oksigen yang cukup bagi tubuh.
Pada pneumotoraks udara atau gas terakumulasi antara pleura parietal dan
viseral. Banyaknya udara yang terjebak dalam ruangan intrapleura dapat
menyebabkan kolaps paru. Pneumotoraks diklasifikasikan sesuai dengan
penyebabnya yaitu traumatik, spontan,dan terapeutik (Harrison, 2000).
Pneumothoraks pada neonatus sering asimtimatik, bayi premature dengan bantuan
ventilasi pneumothoraks dapat menyebabkan tension pneumothorax dan acute
respiratory decompensation. Resiko terjadinya penumothoraks neonatus meningkat
pada anak dengan respiratory distress syndrome (RDS), meconium aspiration
syndrome (MAS), hypoplasia pulmoner dan neonatus dengan resusitasi saat awitan
lahir. Continues Positive Airway Pressure (CPAP) dan High Inspiratory Pressure
Ventilation dapat meningkatkan insidensi pneumothoraks (Price & Wilson,1995).
B. Epidemiologi
Pneumotoraks dapat diklasifikasikan menjadi pneumotoraks spontan dan
traumatik. Pneumotoraks spontan merupakan pneumotoraks yang terjadi tiba-tiba
tanpa atau dengan adanya penyakit paru yang mendasari. Pneumotoraks jenis ini
dibagi lagi menjadi pneumotoraks primer (tanpa adanya riwayat penyakit paru yang
mendasari) maupun sekunder (terdapat riwayat penyakit paru sebelumnya).
Kejadian pneumotoraks pada umumnya sulit karena asimtomatik. Johnston &
Dovnarsky memperkirakan kejadian pneumotoraks berkisar antara 2,4-17,8 per
100.000 per tahun. Beberapa karakteristik yang sering ditemukan pada pneumotoraks
antara lain: laki-laki lebih seringdaripada wanita (4: 1); paling sering pada usia 20-
30tahun. Penelitian yang dilakukan oleh Sunam et al (2011) menemukan bahwa
selain pada dewasa, pneumothoraks lebih sering ditemukan pada neonatus (1-2%)
dibandingkan pada anak, selain itu tingkat fatalitas dapat meningkat mencapai 30%
pada pasien dengan penyakit paru tertentu atau yang membutuhkan ventilasi
mekanik. Insidensi kejadian pneumothoraks pada neonatus adalah 3/1000 kelahiran.
11 bayi pneumothoraks tanpa penyakit paru yang mendasari. 6 bayi pneumothoraks
dengan aspirasi mekonium, dan 23 lainnya dikarenakan lair prematur dengan Hyaline
Membrane Disease (HMD) (Lee et al, 2011) (Pandian et al, 2015)..
C. Etiologi
Pneumotoraks spontan lebih sering terjadi pada neonatus dibandingkan pada
periode lain selama masa anak-anak. Pneumotoraks spontan pertama kali dilaporkan
oleh Ruge pada tahun 1878. Pada tahun 1957, Howie dan Weed menemukan total
151 kasus pada 1000 kelahiran. Kejadian pneumotoraks spontan terjadi sebanyak 0,5
2 % dari semua neonatous, dan memiliki kemungkinan yang lebih besar pada
pasein dengan hyaline membrane disease, pneumonia aspirasi, dan setelah resusitasi.
Penggunaan CPAP dan positive pressure ventilator (PPV) semakin memperbesar
kemungkinan terjadinya pneumotorak spontan. Pada penelitian yang dilakukan oleh
Zanardo dkk, menemukan bahwa pneumotoraks spontan lebih sering terjadi pada
kelahiran caesaria daripada pervaginam. Pada tahun 1930, ketika Davis dan Steven
melaporkan pentingnya pemeriksaan radiografi rutin pada neonatus, mereka
menemukan 6 kejadian pneumothorks pada 702 pemeriksaan. Solis-Cohen dan
Bruck menemukan 11 pneumotoraks pada pemeriksaan foto toraks 500 neonatus.
Tanpa pemeriksaan radiografi, adanya pneumotoraks kecil dapat terlewatkan.
Insiden pneumotoraks hanya 6 dari 8716 neonatus yang terdeteksi secara
pemeriksaan fisik oleh Harris da n Steinberg. Dari penelitian yang dilakukan oleh
Lee, ditemukan bahwa pneumotoraks spontan pada neonatus lebih sering terjadi
secara bermakna di paru kanan daripada paru kiri (Edward et al, 2001) (McIntosh et
al, 2000).
Laporan dari Lubchenco pada tahun 1959 menunjukkkan kejadian
pneumotoraks pada neonetus prematur. Lubencho melaporkan tujuh belas dari 27
neonatus kurang dari 2,5 kg. Kemungkinan pneumotraks dicurigai berdasarkan
distress pernapasan dengan gejala sianosis, takipnoe dan iriability atau agitasi yang
membaik dengan pemberian oksigen.
Pneumothoraks terjadi apabila udara dari EIP memasuki jalur perivaskular dan
peribronkial menuju hilum hingga ke mediastinum. Udara di mediastinum kemudian
menembus ke rongga pleura sehingga mengakibatkan kolaps paru dengan
manifestasi klinis berupa hiperkapnia dan hipoksia yang terjadi secara cepat. Selain
itu, tekanan pada rongga mediastinum akan menurunkan venous return dan
mengakibatkan kegagalan sirkulasi. Faktor risiko pneumothoraks pada bayi kurang
bulan adalah penyakit membran hialin (PMH), ventilasi mekanik, sepsis, dan
pneumonia. Sebaliknya pada bayi cukup bulan, pneumothoraks lebih sering terjadi
pada neonatus dengan aspirasi mekonium, malformasi kongenital, dan ventilasi
mekanik. Kejadian penumothoraks ditemukan 2%-8% lebih banyak pada berat bayi
lahir rendah (BBLR). Risiko terjadinya pneumothoraks meningkat pada penggunaan
ventilator mekanik (26%), continous positive airway pressure /CPAP (11%), dan
PMH tanpa intervensi ventilator mekanik (12%)(Christian et al, 2007)..
Etiologi mungkin idiopatik (primer) atau sekunder pada sindrom aspirasi
mekonium, pneumonia atau sepsis, respyratory distress syndrome, atau takipnea
transien bayi baru lahir. Cacat bawaan tertentu bisa menyebabkan gangguan
pernapasan daintaranya adalah hipoplasia paru, emfisema kongenital, atresia
esofagus, dan hernia diafragma. Obstruksi jalan napas atas termasuk atresia choana,
macroglossia, Pierre Robin sindrom, limfangioma, teratoma, massa mediastinum,
kista, stenosis subglottic, dan laryngotracheomalacia. Penyakit jantung bawaan juga
mungkin terlibat. penyakit jantung sianotik termasuk transposisi arteri besar dan
tetralogy of Fallot. Gangguan neurologis seperti hidrosefalus dan perdarahan
intrakranial dapat menyebabkan gangguan pernapasan. Depresi pusat pernafasan
dapat terjadi setelah paparan obat dari ibu, termasuk analgesik. Kelainan
metabolisme (Mis, hipoglikemia, hipokalsemia, polisitemia, anemia) juga dapat
menyebabkan ganggun pernapasan (Christian et al, 2007).
D. Klasifikasi
Pneumothorax diklasifikasikan menjadi berdasarkan etiologi, fistulanya, dan luas
paru yang kolaps. Secara etiologi telah dibahas diatas. Klasifikasi berdasar jenis
fistulanya dibagi menjadi tiga yaitu tertutup (simple pneumothorax), terbuka (open
pneumothorax) dan ventil (tension pneumothorax).
a) Pada pneumothorax tertutup, tidak terdapat hubungan antara dunia luar dengan
rongga pleura termasuk udara bronkus dan tekanan di rongga pleura tetap
negatif. Udara di dalam rongga pleura lama kelamaan akan diserap oleh jaringan
sekitar.
b) Pada pneumothorax terbuka terdapat hubungan antara rongga pleura dengan
dunia luar sehingga tekanan di dalam rongga pleura sama dengan udara luar.
Pada saat inspirasi tekanan rongga pleura menjadi negatif dan saat ekspirasi
menjadi positif seperti keadaan normal. Namun karena ada hubungan dengan
udara luar maka udara akan keluar masuk dari rongga pleura dan bukan dari
rongga alveoli oleh karena elastisitas paru yang menyebabkan paru mengkerut.
Pada saat ekspirasi mediastinum akan terdorong ke sisi yang sakit karena
tekanan pada sisi yang sakit lebih rendah (sucking wound).
c) Pada ventil pneumothorax, fistel pada pleura bersifat ventil. Pada waktu inspirasi
dapat masuk ke rongga pleura sedangkan saat ekspirasi udara di dalam rongga
pleura terperangkap. Keadaan tersebut menyebabkan tekanan di rongga pleura
semakin bertambah setiap kali inspirasi sehingga paru dan mediastinum dapat
terdesak ke sisi yang sehat. Pneumothoraks seperti ini sangat mungkin terjadinya
gagal nafas dan gangguan hemodinamik.
Pembagian jenis pneumothoraks menurut luas paru yang mengalami kolaps ada dua:
a) Pneumothoraks parsialis, yaitu yang menekan sebagian kecil paru (<50%
volume paru)
b) Pneumothoraks totalis, yaitu pneumothoraks yang mengenai sebagian besar
paru (>50% volume paru )
Cara perhitungan luas pneumothoraks
i. Rasio antara volume paru yang tersisa dengan volume hemitoraks, dimana
masing-masing volume paru dan hemitoraks diukur sebagai volume kubus .
Misalnya : diameter kubus rata-rata hemitoraks adalah 10cm dan diameter
kubus rata-rata paru-paru yang kolaps adalah 8cm, maka rasio diameter kubus
adalah :
83 512
______ ________
= = 50 %
3
10 1000
ii. Menjumlahkan jarak terjauh antara celah pleura pada garis vertikal, ditambah
dengan jarak terjauh antara celah pleura pada garis horizontal, ditambah
dengan jarak terdekat antara celah pleura pada garis horizontal, kemudian
dibagi tiga, dan dikalikan sepuluh.
% luas pneumotoraks
A + B + C (cm)
= __________________ x 10
3
iii. Rasio antara selisih luas hemitoraks dan luas paru yang kolaps dengan luas
hemitoraks.
(AxB) - (axb)
_______________ x 100 %
AxB
E. Patofisiologi
Paru dibungkus oleh dua lapisan yang terdiri dari satu membran yang
membentuk pleura viceralis dan pleura parietalis. Diantara pleura viceralis dan
parietalis terdapat cavum pleura. Secara garis besar, semua jenis pneumotorak
mempunyai dasar patofisiologi yang hampir sama. Mekanisme pada saat inspirasi
oleh karena tekanan negatif pleura maka bila ada hubungan antara dunia luar dengan
cavum pleura, udara akan masuk ke dalam pleura dan paru tidak akan mengembang.
Pada pneumothoraks, tekanan dalam cavum pleura menjadi semakin positif oleh
karena terdapatnya udara di dalam rongga pleura. Pada keadaan tersebut pleura akan
mengganggu ekspansi paru oleh karena tekanan di rongga pleura yang negatif
diperlukan untuk menjaga supaya paru mengikuti gerak dinding dada. Bila jumlah
udara cukup banyak maka pada saat inspirasi terjadi hiperekspansi cavum pleura
yang dapat mengakibatkan penekanan pada mediastinum yang kemudian menekan
sisi dada yang sehat. Pada saat ekspirasi, mediastinal kembali lagi ke posisi semula.
Proses yang terjadi ini dikenal dengan mediastinal flutter.
Pneumotorak terjadi biasanya pada satu sisi, sehingga
respirasi paru sisi sebaliknya masih bisa menerima udara secara maksimal dan
bekerja dengan sempurna.
Apabila luka bersifat ventil, udara akan masuk ke rongga pleura setiap kali
inspirasi dan terperangkap saat ekspirasi, hiperekspansi cavum pleura pada saat
inspirasi menekan mediastinal ke sisi yang sehat dan saat ekspirasi udara terjebak
pada paru dan cavum pleura terjadilah penekanan vena cava, shunting udara ke paru
yang sehat, dan obstruksi jalan napas. Akibatnya dapat timbul gejala pre-shock atau
shock oleh karena penekanan vena cava. Kejadian ini dikenal dengan tension
pneumotorak.
Pada tahun 1936, Macklin menemukan pori/lubang intra alveolar pada
neonatus yang disebut pori Kohn, yang ukuran dan jumlahnya semakin besar dengan
meningkatnya usia anak. Pori ini dapat menyebabkan ventilasi kolateral antar alveoli.
Karena ukuran dan jumlahnya yang semakin besar, tahanan terhadap aliran
udara melalui pori ini akan menurun dengan meningkatnya usia anak. Pada
neonatus, tahanan terhadap aliran udara masih besar karena ukuran dan jumlahnya
yang masih kecil, sehingga memperbesar risiko terjadinya pneumotoraks. Di
samping faktor pori intraalveoli, risiko pneumotoraks juga akan meningkat pada
aspirasi benda asing, mekoneum atau mucus.
Pada keadaan aspirasi material asing, maka terjadi sumbatan pada jalan napas,
sehingga perbedaan tekanan antara paru yang mengembang tetap terjadi yang
menyebabkan dapat terjadinya ruptur.
Patogenesis pneumotoraks spontan dapat disimpulkan
1. aspirasi material asing ke paru, baik intrauterine atau selama beberapa
napas awal.
2. Keuntungan mekanis yang besar dari diafragma selama beerapa napas
awal dengan tekananan transpulmonary yang memanjang.
3. Tearing tension yang tinggi dan lama pada dinding dari alveoli yang
mengembang dengan jumlah dan ukuran pori Kohn yang kecil untuk
mendistribusikan udara.
F. Penegakan Diagnosis
Diagnosis pneumotoraks pada neonatus ditegakkan berdasarkan kecurigaan
yang tinggi pada pasien bila terdapat gejala distress pernapasan, yang ditunjang oleh
pemeriksaan fisik dan dipastikan dengan pemeriksaan radiologis.
i. Gejala yang sering ditemukan pada anak adalah :
a) Bayi terlihat sesak
b) Terdapat gerakan yang tidak biasa, semakin bertambah apabila bayi diberi
makan atau dijauhkan oksigen.
c) Bayi tampak sianosis.
d) Iritabilitas, gelisah dan opisthotonus terkadang dapat dijumpai (Lola dan
lubhenca,1993).
ii. Pemeriksaan Fisik.
Pemeriksaan fsik yang didapatkan pada neonatus dengan pneumothoraks
sering tidak sepesifik. Perubahan yang dimaksud seperti agitasi atau sianosis,
terjadi sering dan biasanya tidak berhubungan dengan pneumotoraks. Penelitian
oleh Edward et al, 2001 yang dilakukan pada 295 bayi, temuan klinis pada bayi
seperti hipersonor, ketinggalan gerak dada, dan hiperinflasi pada paru yang
terkena sering tidak terdeteksi dan dengan demikian tidak membantu diagnosa
pneumothoraks. Hal tersebut sulit didapatkan terutama pada bayi sangat kecil
atau yang dirawat dengan PEEP. Karena beberapa bayi memiliki variasi tanda
vital sebelum didapatkan secara statistik signifikan. Perubahan tekanan darah
berkisar 8 sampai 22 mm Hg, denyut jantung 10 sampai 90 denyut per menit,
dan tingkat pernapasan 8 sampai 20 napas per menit (Edward et al, 2001)
(McIntosh et al, 2000).
Bayi dengan pneumothoraks bilateral memiliki penurunan tekanan darah
dan nadi yamg signifikan. Tidak didapatkan hasil yang signifikan antara
penurunan tekanan darah dan nadi dengan deteksi pneumothoraks pada salah
satu paru tertentu. Pada beberapa bayi yang dilakukan ventilasi PEEP didapatkan
periode apneu tanpa disertai perubahan vital sign (Edward et al, 2001)
(McIntosh et al, 2000).
iii. Pemeriksaan Penunjang
1. Foto Rntgen
Gambaran radiologis yang tampak pada foto rntgen kasus pneumotoraks
antara lain:
a) Bagian pneumotoraks akan tampak lusen, rata dan paru yang kolaps
akan tampak garis yang merupakan tepi paru. Kadang-kadang paru
yang kolaps tidak membentuk garis, akan tetapi berbentuk lobuler
sesuai dengan lobus paru.
b) Paru yang mengalami kolaps hanya tampak seperti massa radio
opaque yang berada di daerah hilus. Keadaan ini menunjukkan kolaps
paru yang luas sekali. Besar kolaps paru tidak selalu berkaitan dengan
berat ringan sesak napas yang dikeluhkan.
c) Jantung dan trakea mungkin terdorong ke sisi yang sehat, spatium
intercostals melebar, diafragma mendatar dan tertekan ke bawah.
Apabila ada pendorongan jantung atau trakea ke arah paru yang sehat,
kemungkinan besar telah terjadi pneumotoraks ventil dengan tekanan
intra pleura yang tinggi.
Pada pneumotoraks perlu diperhatikan kemungkinan terjadi keadaan
sebagai berikut :
a) Pneumomediastinum, terdapat ruang atau celah hitam pada tepi
jantung, mulai dari basis sampai ke apeks. Hal ini terjadi apabila
pecahnya fistel mengarah mendekati hilus, sehingga udara yang
dihasilkan akan terjebak di mediastinum.
b) Emfisema subkutan, dapat diketahui bila ada rongga hitam
dibawah kulit. Hal ini biasanya merupakan kelanjutan dari
pneumomediastinum. Udara yang tadinya terjebak di
mediastinum lambat laun akan bergerak menuju daerah yang
lebih tinggi, yaitu daerah leher. Di sekitar leher terdapat banyak
jaringan ikat yang mudah ditembus oleh udara, sehingga bila
jumlah udara yang terjebak cukup banyak maka dapat mendesak
jaringan ikat tersebut, bahkan sampai ke daerah dada depan dan
belakang.
c) Bila disertai adanya cairan di dalam rongga pleura, maka akan
tampak permukaan cairan sebagai garis datar di atas diafragma.
Ketika neonatus dalam posisi supine, pneumotoraks mungkin
terakumulasi di sisi anterior. Pada situasi ini, mungkin sulit untuk
mendiagnosis pneumotoraks melalui foto toraks anterior posterior karena
paru dapat terlihat berkembang hingga lateral dinding dada. Peningkatan
lusensi dari salah satu hemitoraks dapat diduga adanya pneumotoraks
anterior. Foto lateral dekubitus atau crosstable dapat digunakan untuk
mendiagnosis hemitoraks hiperlusensi pada posisi superior (Pandian et al,
2015), (Lee et al. 2007).