Anda di halaman 1dari 20

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sistem pernapasan merupakan salah satu sistem penting dalam tubuh manusia
karena saat bernapas tubuh manusia menghirup oksigen dan membuang
karbondioksida yang merupakan zat sisa metabolisme. Gangguan apapun yang
terjadi pada sistem ini akan berpengaruh secara sistemik pada sistem tubuh lainnya.
Terdapat banyak gangguan yang berkemungkinan terjadi pada sistem pernapasan,
diantaranya yaitu Pneumotoraks (Edward et al, 2001) (McIntosh et al, 2000).
Kejadian pneumotoraks pada umumnya sulit ditentukan karena banyak kasus-
kasus yang sulitdi diagnosis sebagai pneumotoraks. Johnston & Dovnarsky
memperkirakan kejadian pneumotoraks berkisar antara 2,4-17,8 per 100.000 per
tahun. Beberapa karakteristik yang sering diapatkan pada pneumotoraks antara lain:
laki-laki lebih sering dari pada wanita (4: 1); paling sering pada usia 20-30tahun.
Penelitian yang dilakukan oleh Sunam et al (2011) menemukan bahwa selain pada
dewasa, pneumothoraks lebih sering ditemukan pada neonatus (1-2%) dibandingkan
pada anak, selain itu tingkat kejadian meningkat mencapai 30% pada pasien dengan
penyakit paru tertentu atau yang membutuhkan ventilasi mekanik.
Penegakan diagnosis dan penanganan lebih awal pada neonatus pneumothoraks
sangat penting karena dapat mengurangi komplikasi dan kematian dari efek
hipoksemia, hiperkapnia atau gangguan aliran balik vena (Sunam et al, 2011).

B. Tujuan
Tujuan pembuatan referat Pneumothoraks adalah untuk mengetahui
etiologic, penegakan diagnose, penatalaksanaan dan komplikasi pneumotoraks
pada neonatus.
C. Manfaat
1. Diharapkan menjadi salah satu bahan masukan bagi instansi kesehatan dalam
rangka peningkatan pelayanan kesehatan di masa mendatang
2. Diharapkan menjadi bahan pembelajaran yang baik mengenai pneumothoraks
pada anak terutama pada anak bagi Mahasiswa Kepaniteraan Klinik Rumah
Sakit Umum Margono Soekarjo Purwokerto
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Pneumotoraks adalah keadaan terdapatnya udara atau gas dalam rongga pleura
(Price & Wilson,1995). Pada keadaan normal rongga pleura tidak berisi udara, gas,
cairan ataupun darah, Paru membutuhkan pleura agar dapat leluasa mengembang
mengikuti rongga dada. Benda asing yang terdapat pada pleura dapat mengakibatkan
paru sulit bergerak dirongga dada dan mengalami kesulitan untuk mendapatkan
asupan oksigen yang cukup bagi tubuh.
Pada pneumotoraks udara atau gas terakumulasi antara pleura parietal dan
viseral. Banyaknya udara yang terjebak dalam ruangan intrapleura dapat
menyebabkan kolaps paru. Pneumotoraks diklasifikasikan sesuai dengan
penyebabnya yaitu traumatik, spontan,dan terapeutik (Harrison, 2000).
Pneumothoraks pada neonatus sering asimtimatik, bayi premature dengan bantuan
ventilasi pneumothoraks dapat menyebabkan tension pneumothorax dan acute
respiratory decompensation. Resiko terjadinya penumothoraks neonatus meningkat
pada anak dengan respiratory distress syndrome (RDS), meconium aspiration
syndrome (MAS), hypoplasia pulmoner dan neonatus dengan resusitasi saat awitan
lahir. Continues Positive Airway Pressure (CPAP) dan High Inspiratory Pressure
Ventilation dapat meningkatkan insidensi pneumothoraks (Price & Wilson,1995).

B. Epidemiologi
Pneumotoraks dapat diklasifikasikan menjadi pneumotoraks spontan dan
traumatik. Pneumotoraks spontan merupakan pneumotoraks yang terjadi tiba-tiba
tanpa atau dengan adanya penyakit paru yang mendasari. Pneumotoraks jenis ini
dibagi lagi menjadi pneumotoraks primer (tanpa adanya riwayat penyakit paru yang
mendasari) maupun sekunder (terdapat riwayat penyakit paru sebelumnya).
Kejadian pneumotoraks pada umumnya sulit karena asimtomatik. Johnston &
Dovnarsky memperkirakan kejadian pneumotoraks berkisar antara 2,4-17,8 per
100.000 per tahun. Beberapa karakteristik yang sering ditemukan pada pneumotoraks
antara lain: laki-laki lebih seringdaripada wanita (4: 1); paling sering pada usia 20-
30tahun. Penelitian yang dilakukan oleh Sunam et al (2011) menemukan bahwa
selain pada dewasa, pneumothoraks lebih sering ditemukan pada neonatus (1-2%)
dibandingkan pada anak, selain itu tingkat fatalitas dapat meningkat mencapai 30%
pada pasien dengan penyakit paru tertentu atau yang membutuhkan ventilasi
mekanik. Insidensi kejadian pneumothoraks pada neonatus adalah 3/1000 kelahiran.
11 bayi pneumothoraks tanpa penyakit paru yang mendasari. 6 bayi pneumothoraks
dengan aspirasi mekonium, dan 23 lainnya dikarenakan lair prematur dengan Hyaline
Membrane Disease (HMD) (Lee et al, 2011) (Pandian et al, 2015)..
C. Etiologi
Pneumotoraks spontan lebih sering terjadi pada neonatus dibandingkan pada
periode lain selama masa anak-anak. Pneumotoraks spontan pertama kali dilaporkan
oleh Ruge pada tahun 1878. Pada tahun 1957, Howie dan Weed menemukan total
151 kasus pada 1000 kelahiran. Kejadian pneumotoraks spontan terjadi sebanyak 0,5
2 % dari semua neonatous, dan memiliki kemungkinan yang lebih besar pada
pasein dengan hyaline membrane disease, pneumonia aspirasi, dan setelah resusitasi.
Penggunaan CPAP dan positive pressure ventilator (PPV) semakin memperbesar
kemungkinan terjadinya pneumotorak spontan. Pada penelitian yang dilakukan oleh
Zanardo dkk, menemukan bahwa pneumotoraks spontan lebih sering terjadi pada
kelahiran caesaria daripada pervaginam. Pada tahun 1930, ketika Davis dan Steven
melaporkan pentingnya pemeriksaan radiografi rutin pada neonatus, mereka
menemukan 6 kejadian pneumothorks pada 702 pemeriksaan. Solis-Cohen dan
Bruck menemukan 11 pneumotoraks pada pemeriksaan foto toraks 500 neonatus.
Tanpa pemeriksaan radiografi, adanya pneumotoraks kecil dapat terlewatkan.
Insiden pneumotoraks hanya 6 dari 8716 neonatus yang terdeteksi secara
pemeriksaan fisik oleh Harris da n Steinberg. Dari penelitian yang dilakukan oleh
Lee, ditemukan bahwa pneumotoraks spontan pada neonatus lebih sering terjadi
secara bermakna di paru kanan daripada paru kiri (Edward et al, 2001) (McIntosh et
al, 2000).
Laporan dari Lubchenco pada tahun 1959 menunjukkkan kejadian
pneumotoraks pada neonetus prematur. Lubencho melaporkan tujuh belas dari 27
neonatus kurang dari 2,5 kg. Kemungkinan pneumotraks dicurigai berdasarkan
distress pernapasan dengan gejala sianosis, takipnoe dan iriability atau agitasi yang
membaik dengan pemberian oksigen.
Pneumothoraks terjadi apabila udara dari EIP memasuki jalur perivaskular dan
peribronkial menuju hilum hingga ke mediastinum. Udara di mediastinum kemudian
menembus ke rongga pleura sehingga mengakibatkan kolaps paru dengan
manifestasi klinis berupa hiperkapnia dan hipoksia yang terjadi secara cepat. Selain
itu, tekanan pada rongga mediastinum akan menurunkan venous return dan
mengakibatkan kegagalan sirkulasi. Faktor risiko pneumothoraks pada bayi kurang
bulan adalah penyakit membran hialin (PMH), ventilasi mekanik, sepsis, dan
pneumonia. Sebaliknya pada bayi cukup bulan, pneumothoraks lebih sering terjadi
pada neonatus dengan aspirasi mekonium, malformasi kongenital, dan ventilasi
mekanik. Kejadian penumothoraks ditemukan 2%-8% lebih banyak pada berat bayi
lahir rendah (BBLR). Risiko terjadinya pneumothoraks meningkat pada penggunaan
ventilator mekanik (26%), continous positive airway pressure /CPAP (11%), dan
PMH tanpa intervensi ventilator mekanik (12%)(Christian et al, 2007)..
Etiologi mungkin idiopatik (primer) atau sekunder pada sindrom aspirasi
mekonium, pneumonia atau sepsis, respyratory distress syndrome, atau takipnea
transien bayi baru lahir. Cacat bawaan tertentu bisa menyebabkan gangguan
pernapasan daintaranya adalah hipoplasia paru, emfisema kongenital, atresia
esofagus, dan hernia diafragma. Obstruksi jalan napas atas termasuk atresia choana,
macroglossia, Pierre Robin sindrom, limfangioma, teratoma, massa mediastinum,
kista, stenosis subglottic, dan laryngotracheomalacia. Penyakit jantung bawaan juga
mungkin terlibat. penyakit jantung sianotik termasuk transposisi arteri besar dan
tetralogy of Fallot. Gangguan neurologis seperti hidrosefalus dan perdarahan
intrakranial dapat menyebabkan gangguan pernapasan. Depresi pusat pernafasan
dapat terjadi setelah paparan obat dari ibu, termasuk analgesik. Kelainan
metabolisme (Mis, hipoglikemia, hipokalsemia, polisitemia, anemia) juga dapat
menyebabkan ganggun pernapasan (Christian et al, 2007).
D. Klasifikasi
Pneumothorax diklasifikasikan menjadi berdasarkan etiologi, fistulanya, dan luas
paru yang kolaps. Secara etiologi telah dibahas diatas. Klasifikasi berdasar jenis
fistulanya dibagi menjadi tiga yaitu tertutup (simple pneumothorax), terbuka (open
pneumothorax) dan ventil (tension pneumothorax).
a) Pada pneumothorax tertutup, tidak terdapat hubungan antara dunia luar dengan
rongga pleura termasuk udara bronkus dan tekanan di rongga pleura tetap
negatif. Udara di dalam rongga pleura lama kelamaan akan diserap oleh jaringan
sekitar.
b) Pada pneumothorax terbuka terdapat hubungan antara rongga pleura dengan
dunia luar sehingga tekanan di dalam rongga pleura sama dengan udara luar.
Pada saat inspirasi tekanan rongga pleura menjadi negatif dan saat ekspirasi
menjadi positif seperti keadaan normal. Namun karena ada hubungan dengan
udara luar maka udara akan keluar masuk dari rongga pleura dan bukan dari
rongga alveoli oleh karena elastisitas paru yang menyebabkan paru mengkerut.
Pada saat ekspirasi mediastinum akan terdorong ke sisi yang sakit karena
tekanan pada sisi yang sakit lebih rendah (sucking wound).
c) Pada ventil pneumothorax, fistel pada pleura bersifat ventil. Pada waktu inspirasi
dapat masuk ke rongga pleura sedangkan saat ekspirasi udara di dalam rongga
pleura terperangkap. Keadaan tersebut menyebabkan tekanan di rongga pleura
semakin bertambah setiap kali inspirasi sehingga paru dan mediastinum dapat
terdesak ke sisi yang sehat. Pneumothoraks seperti ini sangat mungkin terjadinya
gagal nafas dan gangguan hemodinamik.
Pembagian jenis pneumothoraks menurut luas paru yang mengalami kolaps ada dua:
a) Pneumothoraks parsialis, yaitu yang menekan sebagian kecil paru (<50%
volume paru)
b) Pneumothoraks totalis, yaitu pneumothoraks yang mengenai sebagian besar
paru (>50% volume paru )
Cara perhitungan luas pneumothoraks
i. Rasio antara volume paru yang tersisa dengan volume hemitoraks, dimana
masing-masing volume paru dan hemitoraks diukur sebagai volume kubus .
Misalnya : diameter kubus rata-rata hemitoraks adalah 10cm dan diameter
kubus rata-rata paru-paru yang kolaps adalah 8cm, maka rasio diameter kubus
adalah :
83 512
______ ________
= = 50 %
3
10 1000

ii. Menjumlahkan jarak terjauh antara celah pleura pada garis vertikal, ditambah
dengan jarak terjauh antara celah pleura pada garis horizontal, ditambah
dengan jarak terdekat antara celah pleura pada garis horizontal, kemudian
dibagi tiga, dan dikalikan sepuluh.

% luas pneumotoraks

A + B + C (cm)
= __________________ x 10
3

iii. Rasio antara selisih luas hemitoraks dan luas paru yang kolaps dengan luas
hemitoraks.

(L) hemitorak (L) kolaps paru

(AxB) - (axb)
_______________ x 100 %
AxB
E. Patofisiologi
Paru dibungkus oleh dua lapisan yang terdiri dari satu membran yang
membentuk pleura viceralis dan pleura parietalis. Diantara pleura viceralis dan
parietalis terdapat cavum pleura. Secara garis besar, semua jenis pneumotorak
mempunyai dasar patofisiologi yang hampir sama. Mekanisme pada saat inspirasi
oleh karena tekanan negatif pleura maka bila ada hubungan antara dunia luar dengan
cavum pleura, udara akan masuk ke dalam pleura dan paru tidak akan mengembang.
Pada pneumothoraks, tekanan dalam cavum pleura menjadi semakin positif oleh
karena terdapatnya udara di dalam rongga pleura. Pada keadaan tersebut pleura akan
mengganggu ekspansi paru oleh karena tekanan di rongga pleura yang negatif
diperlukan untuk menjaga supaya paru mengikuti gerak dinding dada. Bila jumlah
udara cukup banyak maka pada saat inspirasi terjadi hiperekspansi cavum pleura
yang dapat mengakibatkan penekanan pada mediastinum yang kemudian menekan
sisi dada yang sehat. Pada saat ekspirasi, mediastinal kembali lagi ke posisi semula.
Proses yang terjadi ini dikenal dengan mediastinal flutter.
Pneumotorak terjadi biasanya pada satu sisi, sehingga
respirasi paru sisi sebaliknya masih bisa menerima udara secara maksimal dan
bekerja dengan sempurna.
Apabila luka bersifat ventil, udara akan masuk ke rongga pleura setiap kali
inspirasi dan terperangkap saat ekspirasi, hiperekspansi cavum pleura pada saat
inspirasi menekan mediastinal ke sisi yang sehat dan saat ekspirasi udara terjebak
pada paru dan cavum pleura terjadilah penekanan vena cava, shunting udara ke paru
yang sehat, dan obstruksi jalan napas. Akibatnya dapat timbul gejala pre-shock atau
shock oleh karena penekanan vena cava. Kejadian ini dikenal dengan tension
pneumotorak.
Pada tahun 1936, Macklin menemukan pori/lubang intra alveolar pada
neonatus yang disebut pori Kohn, yang ukuran dan jumlahnya semakin besar dengan
meningkatnya usia anak. Pori ini dapat menyebabkan ventilasi kolateral antar alveoli.
Karena ukuran dan jumlahnya yang semakin besar, tahanan terhadap aliran
udara melalui pori ini akan menurun dengan meningkatnya usia anak. Pada
neonatus, tahanan terhadap aliran udara masih besar karena ukuran dan jumlahnya
yang masih kecil, sehingga memperbesar risiko terjadinya pneumotoraks. Di
samping faktor pori intraalveoli, risiko pneumotoraks juga akan meningkat pada
aspirasi benda asing, mekoneum atau mucus.
Pada keadaan aspirasi material asing, maka terjadi sumbatan pada jalan napas,
sehingga perbedaan tekanan antara paru yang mengembang tetap terjadi yang
menyebabkan dapat terjadinya ruptur.
Patogenesis pneumotoraks spontan dapat disimpulkan
1. aspirasi material asing ke paru, baik intrauterine atau selama beberapa
napas awal.
2. Keuntungan mekanis yang besar dari diafragma selama beerapa napas
awal dengan tekananan transpulmonary yang memanjang.
3. Tearing tension yang tinggi dan lama pada dinding dari alveoli yang
mengembang dengan jumlah dan ukuran pori Kohn yang kecil untuk
mendistribusikan udara.

4. Ruptur, baik langsung ke rongga pleura atau diseksi udara sepanjang


perivascular sheath ke mediastinum dan kemudian rongga pleura.

Tabel 1. Patofisiologi pneumotoraks2


Proses terjadinya pneumothoraks spontan pada neonatus belum mampu
dipahami sepenuhnya, hanya sedikit kasus yang langsung berhubungan dengan
tindakan resusitasi saat lahir (6 kasus). Aspirasi mukus atau cairan, rupture pleura
blebs, kelaianan kongenital yang menyebabkan obstruksi trakea dan fraktur kosta,
dianggap menjadi faktor etiologis dari pneumothoraks pada neonatus. Peyakit
membran hialin dan ateletaksis kongenial dianggap berhubungan sebagai faktor
etiologis pada prematur. Onset terjadinya pneumothoraks dapat terjadi beberapa hari
atau minggu setelah kelahiran, pada bayi yang sangat kecil didapatkan kontras
dengan perkembangan gejala diabndingkan dengan bayi aterm. Mekanisme
terjadinya pneumothoraks spontan dijelaskan oleh Macklin et al, 2005 melalui
eksperimen klasik yang menunjukkan perpindahan udara dari sobekan pada alvolus
yang terlalu meregang melalui pembuluh darah perivaskuler paru ke mediastinum
sehingga menyebabkan ruptur dinding mediastinum ke ruang pleura dan
menyebabkan pneumothoraks. Kasus-kasus emfisema interstitial dan
pneumomediastinum termasuk mungkin disebabkan variasi dari mekanisme dasar
yang sama. Perjalanan klinis pneumothoraks pada bayi baru lahir telah dijelaskan
dalam literatur, dengan menekankan pada gejala dan hasil pemeriksaan fisik yang
terjadi selama episode akut. Dalam banyak kasus bayi yang gejala yang muncul
adalah asimtomatik.
Dalam literatur oleh Lula dan Lubenca menerangkan, gejala dari gangguan
pernapasan diselingi dengan aktivitas yang tidak biasa, dengan peningkatan gejala
ketika bayi diberi makan atau dijauhkan dari oksigen. Gejala tersebut dianggap
disebabkan oleh hipoksia persisten. Campbel dan Brown et al, yang melakukan
penelitian dalam kasus hipoksia polio di antaranya gejala serupa. Sikap gelisah, lekas
marah dan sulit tidur sebagai tanda-tanda awal hipoksia. Temuan fisik yang menonjol
adalah tension pneumothoraks dimana terdapat akumulasi udara masif di bawah
sternum, yang menyebabkan dada menonjol ke anterior, keadaan lain seperti
emfisema interstitial, yang menyebabkan dada menjadi lebih luas dengan sangat
sedikit gerakan pada ekspirasi.
Pemeriksaan lebih lanjut seperi penujang rontgen diperlukan untuk menentukan
masalah pernapasan. Gambaran radiologis dari emfisema interstitial paru,
pneumomediastinum dan pneumotoraks terlihat pada Gambar. Pengobatan
pneumotoraks spontan pada umumnya adalah konservatif. Pemberia oksigen
diperlukan untuk menangani sianosis dan sebagian besar pasien menerima terapi
antibiotik. Aspirasi udara dari thoraks atau mediastinum terkadang diperlukan. Hal
itu diperlukan dalam 5 dari 27 kasus yang dilaporkan oleh Lula dan Lubenca, dan
dilakukan dengan jarum aspirasi nomer 4, dan drainase secara kontinyu pada kedua
paru. Pada pasien dengan tension pneumomediastinum mungkin memerlukan
prosedur yang lebih radikal seperti torakotomi. Karena banyak dari pasien dengan
kondisi pneumothoraks menjadi kondisi yang lebih parah, perawatan medis dan
manajemen efektif harus segera dilakukan. Pemberian nutrisi harus dipertahankan
dengan porsi kecil, menyusui sering atau, jika perlu, dengan cara parenteral selama
menderita pneumothoraks. (Ladd et al, 2005) (Zanardo et al, 2007) (Lee et al, 2011)
(Pandian et al, 2015).

F. Penegakan Diagnosis
Diagnosis pneumotoraks pada neonatus ditegakkan berdasarkan kecurigaan
yang tinggi pada pasien bila terdapat gejala distress pernapasan, yang ditunjang oleh
pemeriksaan fisik dan dipastikan dengan pemeriksaan radiologis.
i. Gejala yang sering ditemukan pada anak adalah :
a) Bayi terlihat sesak
b) Terdapat gerakan yang tidak biasa, semakin bertambah apabila bayi diberi
makan atau dijauhkan oksigen.
c) Bayi tampak sianosis.
d) Iritabilitas, gelisah dan opisthotonus terkadang dapat dijumpai (Lola dan
lubhenca,1993).
ii. Pemeriksaan Fisik.
Pemeriksaan fsik yang didapatkan pada neonatus dengan pneumothoraks
sering tidak sepesifik. Perubahan yang dimaksud seperti agitasi atau sianosis,
terjadi sering dan biasanya tidak berhubungan dengan pneumotoraks. Penelitian
oleh Edward et al, 2001 yang dilakukan pada 295 bayi, temuan klinis pada bayi
seperti hipersonor, ketinggalan gerak dada, dan hiperinflasi pada paru yang
terkena sering tidak terdeteksi dan dengan demikian tidak membantu diagnosa
pneumothoraks. Hal tersebut sulit didapatkan terutama pada bayi sangat kecil
atau yang dirawat dengan PEEP. Karena beberapa bayi memiliki variasi tanda
vital sebelum didapatkan secara statistik signifikan. Perubahan tekanan darah
berkisar 8 sampai 22 mm Hg, denyut jantung 10 sampai 90 denyut per menit,
dan tingkat pernapasan 8 sampai 20 napas per menit (Edward et al, 2001)
(McIntosh et al, 2000).
Bayi dengan pneumothoraks bilateral memiliki penurunan tekanan darah
dan nadi yamg signifikan. Tidak didapatkan hasil yang signifikan antara
penurunan tekanan darah dan nadi dengan deteksi pneumothoraks pada salah
satu paru tertentu. Pada beberapa bayi yang dilakukan ventilasi PEEP didapatkan
periode apneu tanpa disertai perubahan vital sign (Edward et al, 2001)
(McIntosh et al, 2000).
iii. Pemeriksaan Penunjang
1. Foto Rntgen
Gambaran radiologis yang tampak pada foto rntgen kasus pneumotoraks
antara lain:
a) Bagian pneumotoraks akan tampak lusen, rata dan paru yang kolaps
akan tampak garis yang merupakan tepi paru. Kadang-kadang paru
yang kolaps tidak membentuk garis, akan tetapi berbentuk lobuler
sesuai dengan lobus paru.
b) Paru yang mengalami kolaps hanya tampak seperti massa radio
opaque yang berada di daerah hilus. Keadaan ini menunjukkan kolaps
paru yang luas sekali. Besar kolaps paru tidak selalu berkaitan dengan
berat ringan sesak napas yang dikeluhkan.
c) Jantung dan trakea mungkin terdorong ke sisi yang sehat, spatium
intercostals melebar, diafragma mendatar dan tertekan ke bawah.
Apabila ada pendorongan jantung atau trakea ke arah paru yang sehat,
kemungkinan besar telah terjadi pneumotoraks ventil dengan tekanan
intra pleura yang tinggi.
Pada pneumotoraks perlu diperhatikan kemungkinan terjadi keadaan
sebagai berikut :
a) Pneumomediastinum, terdapat ruang atau celah hitam pada tepi
jantung, mulai dari basis sampai ke apeks. Hal ini terjadi apabila
pecahnya fistel mengarah mendekati hilus, sehingga udara yang
dihasilkan akan terjebak di mediastinum.
b) Emfisema subkutan, dapat diketahui bila ada rongga hitam
dibawah kulit. Hal ini biasanya merupakan kelanjutan dari
pneumomediastinum. Udara yang tadinya terjebak di
mediastinum lambat laun akan bergerak menuju daerah yang
lebih tinggi, yaitu daerah leher. Di sekitar leher terdapat banyak
jaringan ikat yang mudah ditembus oleh udara, sehingga bila
jumlah udara yang terjebak cukup banyak maka dapat mendesak
jaringan ikat tersebut, bahkan sampai ke daerah dada depan dan
belakang.
c) Bila disertai adanya cairan di dalam rongga pleura, maka akan
tampak permukaan cairan sebagai garis datar di atas diafragma.
Ketika neonatus dalam posisi supine, pneumotoraks mungkin
terakumulasi di sisi anterior. Pada situasi ini, mungkin sulit untuk
mendiagnosis pneumotoraks melalui foto toraks anterior posterior karena
paru dapat terlihat berkembang hingga lateral dinding dada. Peningkatan
lusensi dari salah satu hemitoraks dapat diduga adanya pneumotoraks
anterior. Foto lateral dekubitus atau crosstable dapat digunakan untuk
mendiagnosis hemitoraks hiperlusensi pada posisi superior (Pandian et al,
2015), (Lee et al. 2007).

Tabel 2. Tanda dari pneumotoraks


Gambar 4. Spontaneous pneumotoraks dekstra pada neonatus

Gambar 5. (A) Hiperlusensi pada hemitoraks anterior kanan. (B) Pneumotoraks


anterior yang tersembunyi yang teridentifikais pada foto toraks lateral cross-
table.

2. Analisa Gas Darah


Analisis gas darah arteri dapat memberikan gambaran hipoksemi
meskipun pada kebanyakan pasien sering tidak diperlukan. Pada pasien
dengan gagal napas yang berat secara signifikan meningkatkan mortalitas
sebesar 10%.
3. CT-scan thorax
CT-scan toraks lebih spesifik untuk membedakan antara emfisema bullosa
dengan pneumotoraks, batas antara udara dengan cairan intra dan
ekstrapulmoner dan untuk membedakan antara pneumotoraks spontan
primer dan sekunder.
4. Transiluminasi.
Prinsip pemeriksaan transiluminasi adalah dengan menggunkaan
cahaya. Penelitian terdahulu oleh Lawrence et al, 1975 yang dilakukan
pada 52 bayi terduga pneumothoraks menemukan bahwa pada
pemeriksaan transiluminasi didapatkan sangat akurat dalam menemukan
pneumothoraks sebelum dilakuan pemeriksaan rontgen thoraks.

Gambar. Pemeriksaan Transiluminasi dan Rontgen Pneumothoraks.


Sejumlah 8 bayi didapatkan terkena pneumothoraks dapat terdiagnosa
dengan metode transiluminasi sebelum dipastikan dengan pemeriksaan
rontgen. Cara pemeriksaan transiluminasi adalah dengan menempelkan
probe pada dada bayi dimulai dari atas puting bayi. Cahaya dari
transiluminasi dinilai dan dapat dibandingkan dengan dada lain dari bayi.
Gambar 2 menggambarkan pemeriksaan transiluminasi dan rontgen
thoraks. Pada gambar kiri atas dilakukan transilumnasi pada bayi dengan
dyspneu. Cahaya sekitar transiluminator didapatkan kurang berpendar.
Gambar kanan atas pada bayi yang sama dilakukan pemeriksaan
transiluminasi. Seluruh lapang paru kanan tersinari, costae, gambaran
pembuluh darah dan pergerakan hemidiafragma dapat terlihat. Dapat
diperhatikan area paraxyphoid yang sangat tersinari terang. Gambar kiri
bawah merupakan gambaran anteroposterior rontgen dada setelah
dilakukan transiluminasi. Terdapat gambaran masif pneumothoraks.
Gambar kanan bawah, rontgen cross-table dilakukan pada saat yang sama.
Didapatkan pneumothorax masif dan kolaps paru kanan. Dapat terlihat
gambaran lusen pada area paraxyphoid. Pada pneumothoraks minimal,
regio paraxyphoid dapat terlihat lebih baik pada trasniluminasi
dibandingkan are sekitar sternum. Gambar 3 menjelaskan pemeriksaan
transiluminasi pada bayi 14 hari. Gambar kiri atas pneumothoraks
medium. Gambar kanan atas pada paru normal dan gambar bawah pada
pneumothoraks minimal (Lawrence et al, 1993) (McIntosh et al, 2000).

Gambar 3. Transiluminasi Neonatus Usia 14 Hari.


G. Penatalaksanaan
Pemberian oksigen 100% mempercepat penyerapan pneumotoraks (Chernick dan
Avery, 1963; Northfield, 1971). Terapi tersebut umumnya berhasil dalam kelompok
neonatus tanpa HMD. Sebaliknya, sebagian besar bayi dalam penelitian oleh
Roberton et al, 2000 pada bayi yang menderita pneumothoraks dengan HMD
memerlukan terapi chest drain. Sebuah kebocoran udara terus ke dalam rongga
pleura, terutama dalam hubungannya dengan pemberian continuous distending
pressure (CDP) atau intermittent positive pressure ventilation (IPPV) memerlukan
drainase thoraks untuk mengelurakan udara. Tapi, terlepas dari hal tersebut, lebih
dari setengah dalam kelompok dalam penelitian mereka memiliki persistensi atau
resiko kambuhnya pneumothoraks. komplikasi sering terjadi dalam pemasangan
drainase dada karena dijepit terlalu cepat (Roberton et al, 2000).
Tujuan utama penatalaksanaan pneumotoraks adalah untuk mengeluarkan udara
dari rongga pleura dan menurunkan kecenderungan untuk kambuh lagi. Pada
prinsipnya, penatalaksanaan pneumotoraks adalah sebagai berikut :
1. Observasi dan Pemberian O2
Apabila fistula yang menghubungkan alveoli dan rongga pleura telah
menutup, maka udara yang berada didalam rongga pleura tersebut akan diresorbsi.
Laju resorbsi tersebut akan meningkat apabila diberikan tambahan O2. Observasi
dilakukan dalam beberapa hari dengan foto toraks serial tiap 12-24 jam pertama
selama 2 hari. Tindakan ini terutama ditujukan untuk pneumotoraks tertutup dan
terbuka.
2. Tindakan dekompresi
i. Pada neonatus aterm dengan distress pernapasan ringan, 100% oksigen
dapat diberikan untuk beberapa jam; pneumotoraks dapat membaik
dengan nitrogen washout. Foto toraks untuk follow up dilakukan untuk
memonitor tatalaksana ini. Tatalaksana ini tidak dapat dilakukan pada
neonatus premature atau neonatus yang memerlukan bantuan ventilator
mekanik, atau neonatus dengan distress moderate dan berat.
ii. Bila terjadi perubahan/perburukan mendadak dari tanda-tanda vital, harus
dipikirkan adanya tension pneumotoraks, di mana harus segera dilakukan
aspirasi.
iii. Aspirasi berulang bila diperlukan harus terus dilakukan sampai dapat
disiapkan chest tube WSD (water seal drainage).
iv. Indikasi pemasangan WSD yaitu bila terdapat tekanan udara intra pleura
yang positif.
v. Aspirasi jarum pneumomediastinum dimungkinkan dan dapat lifesaving
ketika tekanan pada mediastinum dapat menghambat venous return ke
jantung.
vi. Indikasi terapi pembedahan adalah mencegah rekurensi atau terdapatnya
kebocoran udara persisten setelah dilakukan torakostomi dan re-ekspansi
paru. Pilihan pembedahan adalah VATS atau torakotomi dengan blebektomi
saja atau dikombinasikan dengan pleurodesis (Pandian et al, 2015).
DAFTAR PUSTAKA

A Bobbio, R trisolini, D Damotte, M Alifano. Thoracic Endometriosis and Catamenial


Pneumothorax. Chapter 15. European Respiratory Monograph 54: Orphan Lung
Diseases. European Respiratory Surgery; 2011. P. 265-273. Chernick V, Avery ME.
Spontaneous Alveolar Rupture at Birth. Pediatrics. 1963 Nov. 816-23
Alsagaff, Hood. Mukty, H. Abdul. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya :
Airlangga University Press; 2009. p. 162-179
Bowman, Jeffrey, Glenn. Pneumothorax, Tension and Traumatic. Updated: 2010 May 27;
cited 2011 January 10. Available from
http://emedicine.medscape.com/article/827551
Guyton, Arthur, C. Hall, John, E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9Jakarta : EGC;
1997. p. 598.
Lawrence, Francis, Kulnuss. Diagnosis of Pneumothorax or Pneumomediastinum in
the Neonate by Transillumination. PEDIATRICS. 1993. P78-p90.
Ladd AP, Grosfeld JL. Surgically Correctable Causes of Respiratory Distress. In: Hertz
DE. Care of the Newborn: A Handbook for Primary Care. Philadelphia: Lipincott
Williams&Wilkins. 2005 p93-100.
Lee KH. Pneumothorax and Pneumomediastinum in Term or Near-Term Neonatus
Without Underlying Pulmonary Diseases. Pediatric Research (2011) 70, 525525;
doi:10.1038/pr.2011.750.
Malueka, Rusdy, Ghazali. Radiologi Diagnostik. Yogyakarta : Pustaka Cendekia Press;
2007. p. 56
McIntosh, Julie, Claire, Stephen C. Clinical Diagnosis of Pneumothorax Is Late: Use
of Trend Data and Decision Support Might Allow Preclinical Detection.2000. 9(17-
9(26).
Pandian TK, Hamner C. Surgical Management for Complication of Pediatric Lung Injury.
Seminars in Pediatric Surgery 24(2015)5058.
Schiffman, George. Stoppler, Melissa, Conrad. Pneumothorax (Collapsed Lung). Cited :
2011 January 10. Available from :
http://www.medicinenet.com/pneumothorax/article.htm
Sudoyo, Aru, W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. K, Marcellus, Simadibrata. Setiati,
Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006.
p. 1063.
Roberton, Laura, Winceston. Pneumothorax in Newborn : A Changing Patern. Archives
of Disease in Childhood. 2000. P54-p76.
Zanardo V, Padovani E, Pittini C, dkk. The Influence of Timing of Elective Cesarean
Section on Risk of Neonatal Pneumothorax. The Journal of Pediatrics. 2007 March.
P252-5.

Anda mungkin juga menyukai