Anda di halaman 1dari 18

Tugas Stase PICU Senior

PNEUMOTHORAX PADA ANAK DI PICU

Oleh :

Ririn Esterina

Pembimbing:

dr. M.Supriatna T.S.,SpA(K)

dr. Yusrina Istianti, Msi.Med,SpA(K)

dr. Dewi Ratih, Msi.Med,SpA(K)

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS (PPDS) I

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK FK UNDIP /

SMF KESEHATAN ANAK RSUP Dr. KARIADI


SEMARANG
2019
I. PNEUMOTORAKS
A. Definisi

Pneumothoraks adalah keadaan dimana terdapatnya udara bebas dalam cavum pleura,
sehingga terjadi penekanan pada paru dan mengganggu pengembangan paru secara optimal
bahkan bisa terjadi kolaps1

Gambar 1. Pneumotorak

Udara keluar melalui lubang pada jaringan paru menuju ruangan di luar saluran napas.
Normalnya, tekanan di dalam rongga pleura lebih rendah dibanding tekanan dalam paru. Jika
udara memasuki rongga pleura, tekanan akan meningkat dibanding tekanan di dalam paru
sehingga menyebabkan terjadinya kolaps paru sebagian atau seluruhnya2. Pada pasien anak,
puncak insidensi pneumotorak terjadi pada usia di atas 15 tahun, dengan angka mortalitas
0,09% dan 0,06% masing-masing pada pria dan wanita3.

B. Klasifikasi
Menurut penyebabnya, pneumotoraks dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu1,4,:

1. Pneumotoraks spontan
Yaitu setiap pneumotoraks yang terjadi secara tiba-tiba. Pneumotoraks tipe ini
dapat diklasifikasikan lagi ke dalam dua jenis, yaitu :
a. Pneumotoraks spontan primer, yaitu pneumotoraks yang terjadi secara tiba-tiba
tanpa diketahui sebabnya.
b. Pneumotoraks spontan sekunder, yaitu pneumotoraks yang terjadi dengan
didasari oleh riwayat penyakit paru yang telah dimiliki sebelumnya, misalnya
fibrosis kistik, penyakit paru obstruktik kronis (PPOK), kanker paru-paru, asma,
dan infeksi paru.
2. Pneumotoraks traumatik,
Yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat adanya suatu trauma, baik trauma
penetrasi maupun bukan, yang menyebabkan robeknya pleura, dinding dada maupun
paru.
Pneumotoraks tipe ini juga dapat diklasifikasikan lagi ke dalam dua jenis, yaitu :
a. Pneumotoraks traumatik non-iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang terjadi karena
jejas kecelakaan, misalnya jejas pada dinding dada, barotrauma.
b. Pneumotoraks traumatik iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat
komplikasi dari tindakan medis. Pneumotoraks jenis inipun masih dibedakan
menjadi dua, yaitu :
1) Pneumotoraks traumatik iatrogenik aksidental
Adalah suatu pneumotoraks yang terjadi akibat tindakan medis
karena kesalahan atau komplikasi dari tindakan tersebut, misalnya pada
parasentesis dada, biopsi pleura.
2) Pneumotoraks traumatik iatrogenik artifisial (deliberate)
Adalah suatu pneumotoraks yang sengaja dilakukan dengan cara
mengisikan udara ke dalam rongga pleura. Biasanya tindakan ini
dilakukan untuk tujuan pengobatan, misalnya pada pengobatan
tuberkulosis sebelum era antibiotik, maupun untuk menilai permukaan
paru.

Berdasarkan jenis fistulanya, maka pneumotoraks dapat diklasifikasikan ke dalam


tiga jenis, yaitu1,4:
1. Pneumotoraks Tertutup (Simple Pneumothorax)
Pada tipe ini, pleura dalam keadaan tertutup (tidak ada jejas terbuka pada
dinding dada), sehingga tidak ada hubungan dengan dunia luar. Tekanan di dalam
rongga pleura awalnya mungkin positif, namun lambat laun berubah menjadi negatif
karena diserap oleh jaringan paru disekitarnya. Pada kondisi tersebut paru belum
mengalami re-ekspansi, sehingga masih ada rongga pleura, meskipun tekanan di
dalamnya sudah kembali negatif. Pada waktu terjadi gerakan pernapasan, tekanan
udara di rongga pleura tetap negatif.

2. Pneumotoraks Terbuka (Open Pneumothorax),


Yaitu pneumotoraks dimana terdapat hubungan antara rongga pleura dengan
bronkus yang merupakan bagian dari dunia luar (terdapat luka terbuka pada dada).
Dalam keadaan ini tekanan intrapleura sama dengan tekanan udara luar. Pada
pneumotoraks terbuka tekanan intrapleura sekitar nol. Perubahan tekanan ini sesuai
dengan perubahan tekanan yang disebabkan oleh gerakan pernapasan.
Pada saat inspirasi tekanan menjadi negatif dan pada waktu ekspirasi tekanan
menjadi positif. Selain itu, pada saat inspirasi mediastinum dalam keadaan normal,
tetapi pada saat ekspirasi mediastinum bergeser ke arah sisi dinding dada yang
terluka (sucking wound).
3. Pneumotoraks Ventil (Tension Pneumothorax)
Adalah pneumotoraks dengan tekanan intrapleura yang positif dan makin lama
makin bertambah besar karena ada fistel di pleura viseralis yang bersifat ventil. Pada
waktu inspirasi udara masuk melalui trakea, bronkus serta percabangannya dan
selanjutnya terus menuju pleura melalui fistel yang terbuka. Waktu ekspirasi udara di
dalam rongga pleura tidak dapat keluar. Akibatnya tekanan di dalam rongga pleura
makin lama makin tinggi dan melebihi tekanan atmosfer. Udara yang terkumpul
dalam rongga pleura ini dapat menekan paru sehingga sering menimbulkan gagal
napas.

Sedangkan menurut luasnya paru yang mengalami kolaps, maka pneumotoraks


dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu1,4:
1. Pneumotoraks parsialis, yaitu pneumotoraks yang menekan pada sebagian kecil paru
(< 50% volume paru).
Gambar 2. Pneumotorak parsialis
2. Pneumotoraks totalis, yaitu pneumotoraks yang mengenai sebagian besar paru (>
50% volume paru).

Gambar 3. Pneumotorak totalis


Pada kasus, dari anamnesis didapatkan bahwa nyeri dada mulai timbul saat
pasien bangun tidur. Tidak didapatkan riwayat aktifitas fisik yang berat sebelumnya
maupun riwayat trauma pada dada. Nyeri dada semakin berat diikuti dengan keluhan
sesak yang juga makin memberat. Dari gambaran x foto thorak didapatkan kolaps
paru kanan, lebih dari 50%. Sehingga pneumotoraks yang terjadi diklasifikasikan
sebagai pneumotoraks spontan totalis.

C. Patofisiologi pneumotoraks spontan


Etiologi umum yang mendasari pada umumnya adalah perubahan jaringan ikat
paru yang mempengaruhi terjadinya kebocoran spontan udara dari saluran udara ke
ruang pleura. Pada pneumotoraks spontan primer dan sekunder, mekanisme yang terlibat
bersifat multiplea, dan tidak ada mekanisme tunggal yang mungkin menjelaskan semua
kasus. Salah satu teoti yang dikemukakan yaitu bahwa subpleural bullae secara kausal
terkait dengan pengembangan pneumotoraks spontan primer, tetapi sejauh ini belum
terbukti secara konsisten5.
Hubungan antara adanya bula dan terjadinya pneumotoraks spontan primer telah
dijelaskan dalam beberapa literatur, diperkirakan bahwa bula adalah hasil dari perubahan
jaringan ikat paru yang terjadi secara perlahan dari waktu ke waktu. Bullae dideteksi
sebanyak 28% hingga 100% oleh computed tomographic (CT) scan pada studi terdahulu
dari kasus pneumotoraks spontan primer pediatrik dan 75% smpai 90% terdeteksi saat
dilakukan VATS atau prosedur bedah toraks lainnya5.
Walaupun sering ditemukan pada saat dilakukan pembedahan, namun bullae tidak
selalu menjadi tempat lokasi kebocoran udara. Penelitian sebelumnya pada orang dewasa
menggunakan mikroskop elektron menggambarkan temuan peluruhan sel mesothelial,
yang mengarah ke 'pori-pori' di pleura di mana kebocoran udara diduga terjadi. Bula
umumnya dianggap sebagai bagian dari kejadian pneumotoraks primer ketimbang
sekunder, kecuali pada pasien dewasa dengan PPOK, dan biasanya tidak termasuk dalam
'‘penyakit paru yang mendasari’ yang terdapat pada definisi pneumotorak spontan
sekunder. Akibat pecahnya bula, udara terbebas dari alveoli, sehingga tekanan di rongga
pleura lebih positif, dan paru akan kolap. Kompresi pada paru menyebabkan
pendorongan struktur mediastinum ke kontra lateral, penurunan venous return, dan
penurunan cardiac output6.
Kasus pneumotorak spontan sekunder berkembang sebagai akibat langsung dari
peradangan sistemik atau perdangan jaringan paru lokal yang terkait dengan penyakit
spesifik yang mendasarinya. Penyebab pneumotorak spontan sekunder dapat dilihat pada
tabel berikut5:

Tabel 1. Penyebab pneumotorak spontan sekunder pada anak2

 Penyakit paru primer: asthma, cystic fibrosis, interstitial emphysema


 Peradangan/ penyakit jaringan ikat: Marfan syndrome, Ehlers-Danlos syndrome,
juvenile idiopathic arthritis, systemic lupus erythematosus, polymyositis
dermatomyosis, sarcoidosis, Langerhans cell histiocytosis, α1-antitrypsin deficiency,
Birt-Hogg-Dube syndrome
 Infeksi: Pneumocystisjirovecii, tuberculosis, necrotizing pneumonia/abscess, measles,
human immunodeficiency virus/acquired immunodeficiency syndrome, parasitic
 Malignancy; lymphoma metastases
 Foreign body aspiration
 Catamenial
 Congenital malformation: congenital cystic adenomatoid malformation, congenital lobar
emphysema
Robinson PD, Cooper P, Ranganathan SC. Paediatr Respir 20097

D. Gejala klinis
Pneumotorak spontan pada anak lebih sering berkembang saat istirahat daripada
saat beraktifitas, namun dapat dipicu oleh manuver apapun yang meningkatkan tekanan
intratoraks (Valsava), seperti mengangkat atau mengejan. Gejala-gejala yang sering
timbul adalaht nyeri dada dan / atau sesak napas, dapat disertai pula dengan gejala batuk
yang kurang umum atau gangguan pernapasan nonspesifik5.
Pada pneumotorak spontan sekunder, dyspnea cenderung menjadi gejala yang
paling menonjol. Awalnya, timbul rasa sakit yang cenderung bersifat 'pleuritik' (tajam,
nyeri bertambah dengan inspirasi yang dalam) tetapi dapat berkembang dari waktu ke
waktu menjadi rasa sakit yang bersifat tumpul dan menetap. Bahkan tanpa pengobatan,
gejala biasanya hilang satu sampai tiga hari pada pneumotorak spontan primer,
walaupun pneumotorak sendiri masih ada pada kebanyakan pasien5.
Sehingga berdasarkan anamnesis, gejala dan keluhan yang sering muncul dapat
dirinci sebagai berikut2:
1. Sesak napas, didapatkan pada hampir 80-100% pasien. Seringkali sesak dirasakan
mendadak dan makin lama makin berat. Penderita bernapas tersengal, pendek-pendek,
dengan mulut terbuka.
2. Nyeri dada, yang didapatkan pada 75-90% pasien. Nyeri dirasakan tajam pada sisi
yang sakit, terasa berat, tertekan dan terasa lebih nyeri pada gerak pernapasan.
3. Batuk-batuk, yang didapatkan pada 25-35% pasien.
4. Denyut jantung meningkat.
5. Kulit mungkin tampak sianosis karena kadar oksigen darah yang kurang.
6. Tidak menunjukkan gejala (silent) yang terdapat pada 5-10% pasien, biasanya pada
jenis pneumotoraks spontan primer.
Luasnya temuan pemeriksaan fisik umumnya terkait dengan ukuran
pneumotoraks: suara nafas berkurang, dyspnea, sinus tachycardia, perkusi hyperresonant,
dan penurunan fremitus vokal, namun pada pneumotoraks kecil mungkin tidak memiliki
kelainan pemeriksaan yang dapat diidentifikasi. Dapat ditemukan juga walaupun jarang,
pembesaran sesisi dari hemitoraks atau pergeseran ke inferior dari limpa atau hati pada
pneumotorak yang luas7.
Pada sebagian kecil pasien (6,6% dari semua kasus pneumotorak spontan), gejala
yang timbul berupa tension pneumotorak, dan harus ditatalaksana sebagai darurat medis.
Tanda-tanda yang ada mirip dengan tension pneumotorak yang timbul dari etiologi
traumatik atau iatrogenik, berupa: asfiksia dan penurunan curah jantung yang
menyebabkan takikardia, gangguan pernapasan berat, dan hipoksemia, dengan hipotensi
serta deviasi trakea sebagai temuan akhir dan pertanda perjalanan penyakit menjadi lebih
buruk. Terlepas dari etiologinya, tension pneumothorax adalah diagnosis klinis, dan
intervensi yang tepat tidak boleh ditunda untuk mendapatkan konfirmasi radiografi7.
Berat ringannya keadaan penderita tergantung pada tipe pneumotoraks tersebut6,7:
1. Pneumotoraks tertutup atau terbuka, sering tidak berat
2. Pneumotoraks ventil dengan tekanan positif tinggi, sering dirasakan lebih berat
3. Berat ringannya pneumotoraks tergantung juga pada keadaan paru yang lain serta ada
tidaknya gangguan jalan napas.
4. Nadi cepat dan pengisian masih cukup baik bila sesak masih ringan, tetapi bila
penderita mengalami sesak napas berat, nadi menjadi cepat dan kecil disebabkan
pengisian yang kurang.
Pada kasus, gejala yang timbul nyeri dada, yang kemudian diikuti dengan sesak
napas, dan menurunnya kesadaran yang bisa disebabkan oleh kondisi hipoksia yang
dialami pasien. Pemeriksaan tanda vital saat pasien tiba di IGD menunjukkan kondisi
hipoperfusi dengan tekanan darah 75/42 (MAP 53), frekuensi jantung 90x/menit,
respiratory rate 40x/menit dan saturasi oksigen 60%.

E. Diagnosis
Diagnosis pneumotorak spontan sering dicurigai secara klinis berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisik dan dikonfirmasi dengan radiografi dada
posterioranterior (PA)2.

1. Foto Röntgen
Pengambilan lateral atau lateral dekubitus dilakukan apabila pneumotoraks tidak
terlihat atau hanya terlihat sedikit sekali pada posisi PA.
Gambaran radiologis yang tampak pada foto röntgen kasus pneumotoraks antara
lain:
a. Bagian pneumotoraks akan tampak lusen, rata dan paru yang kolaps akan
tampak garis yang merupakan tepi paru. Kadang-kadang paru yang kolaps tidak
membentuk garis, akan tetapi berbentuk lobuler sesuai dengan lobus paru.
b. Paru yang mengalami kolaps hanya tampak seperti massa radio opaque yang
berada di daerah hilus. Keadaan ini menunjukkan kolaps paru yang luas sekali.
Besar kolaps paru tidak selalu berkaitan dengan berat ringan sesak napas yang
dikeluhkan.
c. Jantung dan trakea mungkin terdorong ke sisi yang sehat, spatium intercostals
melebar, diafragma mendatar dan tertekan ke bawah. Apabila ada pendorongan
jantung atau trakea ke arah paru yang sehat, kemungkinan besar telah terjadi
pneumotoraks ventil dengan tekanan intra pleura yang tinggi.
d. Pada pneumotoraks perlu diperhatikan kemungkinan terjadi keadaan sebagai
berikut:
1) Pneumomediastinum, terdapat ruang atau celah hitam pada tepi jantung,
mulai dari basis sampai ke apeks. Hal ini terjadi apabila pecahnya fistel
mengarah mendekati hilus, sehingga udara yang dihasilkan akan terjebak di
mediastinum.
2) Emfisema subkutan, dapat diketahui bila ada rongga hitam dibawah kulit.
Hal ini biasanya merupakan kelanjutan dari pneumomediastinum. Udara
yang tadinya terjebak di mediastinum lambat laun akan bergerak menuju
daerah yang lebih tinggi, yaitu daerah leher. Di sekitar leher terdapat
banyak jaringan ikat yang mudah ditembus oleh udara, sehingga bila
jumlah udara yang terjebak cukup banyak maka dapat mendesak jaringan
ikat tersebut, bahkan sampai ke daerah dada depan dan belakang.
3) Bila disertai adanya cairan di dalam rongga pleura, maka akan tampak
permukaan cairan sebagai garis datar di atas diafragma

Beberapa metode untuk menghitung ukuran pneumotoraks pada orang dewasa


telah diterapkan pada pasien anak dengan keberhasilan yang tidak konsisten. Keakuratan
metode Light, Rhea, dan Collins sering dibatasi oleh bentuk dan lokasi tepat dari
pneumotoraks, dan perhitungan berdasarkan usia spesifik saat ini kurang digunakan.
Penghitungan luas pneumotoraks ini berguna terutama dalam penentuan jenis kolaps,
apakah bersifat parsialis ataukah totalis. Ada beberapa cara yang bisa dipakai dalam
menentukan luasnya kolaps paru, antara lain6 :

1. Rasio antara volume paru yang tersisa dengan volume hemitoraks, dimana masing-
masing volume paru dan hemitoraks diukur sebagai volume kubus.
Misalnya : diameter kubus rata-rata hemitoraks adalah 10cm dan diameter kubus rata
rata paru-paru yang kolaps adalah 8cm, maka rasio diameter kubus
adalah :
83 512
______ ________
= = ± 50 %
103 1000

2. Menjumlahkan jarak terjauh antara celah pleura pada garis vertikal, ditambah dengan
jarak terjauh antara celah pleura pada garis horizontal, ditambah dengan jarak terdekat
antara celah pleura pada garis horizontal, kemudian dibagi tiga, dan dikalikan
sepuluh.
% luas pneumotoraks

A + B + C (cm)
__________________
= x 10
3

Gambar 5. Luas pneumothoraks6

3. Rasio antara selisih luas hemitoraks dan luas paru yang kolaps dengan luas
hemitoraks.

(L) hemitorak – (L) kolaps paru

(AxB) - (axb)
_______________
x 100 %
AxB

Gambar 6. Menghitung selisih luas hemithoraks5


2. Analisa Gas Darah
Analisis gas darah arteri dapat memberikan gambaran hipoksemi meskipun pada
kebanyakan pasien sering tidak diperlukan. Pada pasien dengan gagal napas yang
berat secara signifikan meningkatkan mortalitas sebesar 10%.
3. CT-scan thorak
CT-scan toraks lebih spesifik untuk membedakan antara emfisema bullosa
dengan pneumotoraks, batas antara udara dengan cairan intra dan ekstrapulmoner dan
untuk membedakan antara pneumotoraks spontan primer dan sekunder

Gambar 7. CT scan thorak8

Dalam kasus kecurigaan klinis terjadinya pneumotorak spontan dengan hasil


radiografi dada yang tidak jelas atau negatif, CT-scan dapat dilakukan dengan tujuan
mendeteksi pneumotoraks yang lebih kecil. Hal ini penting mengingat pasien-pasien
dengan pneumotorak umumnya memiliki cadangan udara pada saluran napas bawah
yang lebih rendah, sehinnga mendeteksi adanya pneumotorak sekecil apapun sangat
bermakna dalam menentukan strategi terapi yang tepat7.
Penggunaan CT scan pada kasus pneumotorak spontan juga berguna untuk
memprediksi kekambuhan pneumotorak spontan primer, terutama bila ditemukan adanya
bulla pada sisi kontralateral dari kejadian pneumotorak yang sedang terjadi. Pada kasus
penderita dewasa, ditemukan adanya bulla pada sisi kontralateral pada pneumotorak
yang sedang berlangsung, yang kemudian berlanjut menjadi pneumotorak pada sisi
kontralateral tersebut2.
F. Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan pneumotoraks adalah untuk mengeluarkan
udara dari rongga pleura dan menurunkan kecenderungan untuk kambuh lagi. Pada
prinsipnya, penatalaksanaan pneumotoraks adalah sebagai berikut7,8 :
1. Observasi dan Pemberian O2
Apabila fistula yang menghubungkan alveoli dan rongga pleura telah menutup,
maka udara yang berada didalam rongga pleura tersebut akan diresorbsi. Laju resorbsi
tersebut akan meningkat apabila diberikan tambahan O2. Observasi dilakukan dalam
beberapa hari dengan foto toraks serial tiap 12-24 jam pertama selama 2 hari.
Tindakan ini terutama ditujukan untuk pneumotoraks tertutup dan terbuka.
2. Tindakan dekompresi
Hal ini sebaiknya dilakukan seawal mungkin pada kasus pneumotoraks yang
luasnya >15%. Pada intinya, tindakan ini bertujuan untuk mengurangi tekanan intra
pleura dengan membuat hubungan antara rongga pleura dengan udara luar dengan
cara :
a. Menusukkan jarum melalui dinding dada terus masuk rongga pleura, dengan
demikian tekanan udara yang positif di rongga pleura akan berubah menjadi
negatif karena mengalir ke luar melalui jarum tersebut.

b. Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontra ventil :3,7


1) Dapat memakai infus set
Jarum ditusukkan ke dinding dada sampai ke dalam rongga pleura,
kemudian infus set yang telah dipotong pada pangkal saringan tetesan
dimasukkan ke botol yang berisi air. Setelah klem penyumbat dibuka,
akan tampak gelembung udara yang keluar dari ujung infus set yang
berada di dalam botol.
2) Jarum abbocath
Jarum abbocath merupakan alat yang terdiri dari gabungan jarum
dan kanula. Setelah jarum ditusukkan pada posisi yang tetap di dinding
toraks sampai menembus ke rongga pleura, jarum dicabut dan kanula
tetap ditinggal. Kanula ini kemudian dihubungkan dengan pipa plastik
infus set. Pipa infuse ini selanjutnya dimasukkan ke botol yang berisi air.
Setelah klem penyumbat dibuka, akan tampak gelembung udara yang
keluar dari ujung infuse set yang berada di dalam botol.
3) Pipa water sealed drainage (WSD)
Pipa khusus (toraks kateter) steril, dimasukkan ke rongga pleura
dengan perantaraan troakar atau dengan bantuan klem penjepit. Pemasukan
troakar dapat dilakukan melalui celah yang telah dibuat dengan bantuan
insisi kulit di sela iga ke-4 pada linea mid aksilaris atau pada linea aksilaris
posterior. Selain itu dapat pula melalui sela iga ke-2 di garis mid klavikula.
Setelah troakar masuk, maka toraks kateter segera dimasukkan ke rongga
pleura dan kemudian troakar dicabut, sehingga hanya kateter toraks yang
masih tertinggal di rongga pleura. Selanjutnya ujung kateter toraks yang ada
di dada dan pipa kaca WSD dihubungkan melalui pipa plastik lainnya.
Posisi ujung pipa kaca yang berada di botol sebaiknya berada 2 cm di
bawah permukaan air supaya gelembung udara dapat dengan mudah keluar
melalui perbedaan tekanan tersebut.
Penghisapan dilakukan terus-menerus apabila tekanan intrapleura
tetap positif. Penghisapan ini dilakukan dengan memberi tekanan negatif
sebesar 10-20 cm H2O, dengan tujuan agar paru cepat mengembang.
Apabila paru telah mengembang maksimal dan tekanan intra pleura sudah
negatif kembali, maka sebelum dicabut dapat dilakukuan uji coba terlebih
dahulu dengan cara pipa dijepit atau ditekuk selama 24 jam. Apabila
tekanan dalam rongga pleura kembali menjadi positif maka pipa belum bisa
dicabut. Pencabutan WSD dilakukan pada saat pasien dalam keadaan
ekspirasi maksimal
Gambar8. Water sealed drainage

3. Tindakan bedah 9
a. Dengan pembukaan dinding toraks melalui operasi, kemudian dicari lubang
yang menyebabkan pneumotoraks kemudian dijahit
b. Pada pembedahan, apabila ditemukan penebalan pleura yang menyebabkan
paru tidak bias mengembang, maka dapat dilakukan dekortikasi.
c. Dilakukan resesksi bila terdapat bagian paru yang mengalami robekan atau
terdapat fistel dari paru yang rusak
d. Pleurodesis. Masing-masing lapisan pleura yang tebal dibuang, kemudian
kedua pleura dilekatkan satu sama lain di tempat fistel.

4. Penatalaksanaa lain5
a. Apabila terdapat proses lain di paru, maka pengobatan tambahan ditujukan
terhadap penyebabnya. Misalnya : terhadap proses TB paru diberi OAT, terhadap
bronkhitis dengan obstruksi saluran napas diberi antibiotik dan bronkodilator.
b. Istirahat total untuk menghindari kerja paru yang berat.
c. Pemberian antibiotik profilaksis setelah setelah tindakan bedah dapat
dipertimbangkan, untuk mengurangi insidensi komplikasi, seperti emfisema
5. Rehabilitasi6
a. Penderita yang telah sembuh dari pneumotoraks harus dilakukan pengobatan
secara tepat untuk penyakit dasarnya.
b. Untuk sementara waktu, penderita dilarang mengejan, batuk atau bersin terlalu
keras.
c. Bila mengalami kesulitan defekasi karena pemberian antitusif, dilakukan
pemberian laksan ringan.
d. Kontrol penderita pada waktu tertentu, terutama kalau ada keluhan batuk, sesak
napas.
Gambar 9. Alogaritma diagnosa pneumothoraks8
DAFTAR PUSTAKA

1. Needleman JP, Posner K. Pneumothorax In Brief. Pediatr Rev. 2008;29:69-70.


2. Zarogoulidis P, Kioumis I, Pitsiou G, et al. Pneumothorax : from definition to
diagnosis and treatment. 2014;6:372-376.
3. Gupta D, Hansell A, Nichols T, Duong T, Ayres JG, Strachan D. Epidemiology of
pneumothorax in England. 2000;1995:666-671.
4. Guyton A, Hall J. Textbook of Medical Physiology. VII. (Gruliow R, ed.).
Philadelphia, Pensilvania: Elsevier; 2006.
5. Dotson K, Johnson LH. Pediatric Spontaneous Pneumothorax. Pediatr Emerg Care.
2012;28(7):715-720.
6. Matuszczak E, Dębek W, Hermanowicz A, Tylicka M. Spontaneous pneumothorax in
children - Management , results , and review of the literature Spontaneous
pneumothorax in children – management , results , and review of the literature. 2015;
(May 2016).
7. Robinson PD, Cooper P, Ranganathan SC. Evidence-based management of paediatric
primary spontaneous pneumothorax. Pediatr Respir Rev. 2009;10:110-117.
8. Pathway C, Pneumothorax S, Algorithm D. CLINICAL PATHWAY PEDIATRIC
PRIMARY SPONTANEOUS PNEUMOTHORAX For patients 1-21 years old Stable :
2007:1-9.
9. El-Nawawy AA, Al-Halawany AS, Antonios MA, Newegy RG. Prevalence and risk
factors of pneumothorax among patients admitted to a Pediatric Intensive Care Unit.
Indian J Crit Care Med. 2016;20(8):453-458.

Anda mungkin juga menyukai