Anda di halaman 1dari 21

Case Report Session

Pneumothoraks

Oleh :
dr. Giovandi Sauky

Preseptor:
1. dr. I Made Sumariana Sp.B
2. dr. Swastika Kepakisan Sp.B

Pembimbing:
1. dr. Siti Suwarni
2. dr. Rini Fathiyatu Rochimin

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH


DOMPU
2019

1
BAB 1

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Definisi

Pneumothoraks adalah keadaan dimana terdapat udara atau gas dalam rongga

pleura, yaitu rongga yang terletak diantara selaput yang melapisi paru-paru dan

dinding dada. Secara etiologis pneumotoraks diklasifikasikan menjadi pneumotoraks

spontan dan pneumotoraks traumatik. Pneumotoraks spontan diklasifikasikan lebih

lanjut menjadi primer (PSP) dan sekunder (SSP). Pneumotoraks traumatik dapat

terjadi akibat trauma tumpul atau cedera tembus pada dinding dada. Selain itu,

pneumotoraks traumatik juga bisa disebabkan oleh cedera iatrogenik. (1,2)

Pneumotoraks merupakan kasus gawat darurat napas yang dapat mengancam

jiwa dan membutuhkan penanganan segera. Berbagai penyakit paru, tindakan

intervensi paru, penggunaan ventilasi mekanis atau trauma toraks dapat mencetuskan

pneumotoraks spontan.(3)

Pneumotoraks ditandai dengan dispnea dan nyeri dada yang berasal dari paru-

paru maupun dinding dada yang disebabkan oleh adanya udara pada rongga pleura

yang diikuti pecahnya bula pada kasus pneumotoraks spontan.(1)

1.2 Epidemiologi
Angka kejadian pneumotoraks pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan

perempuan (5:1). Di Amerika, insiden PSP pada laki-laki didapatkan sebesar

7,4/100.000 per tahun dan 1,2/100.000 per tahun pada perempuan. Insiden PSS

dilaporkan 6,3/100.000 pada laki-laki dan 2/100.000 pada perempuan. Menurut

penelitian yang dilakukan oleh Myers, penyakit penyebab PSS yang paling sering

adalah tuberkulosis dan PPOK. Untuk insiden pneumotoraks berdasarkan etiologi,

Weissberg melakukan penelitian terhadap 1.199 pasien pneumotoraks dan didapatkan

hasil 218 pasien PSP, 505 pasien PSS, 403 pneumotoraks traumatik, dan 73

2
pneumotoraks iatrogenik. Untuk letak lesi pneumotoraks, lesi kanan lebih banyak

ditemukan dibandingkan lesi kiri, namun penelitian oleh Sadikot menunjukkan hal

sebaliknya yaitu lesi kiri lebih banyak ditemukan. (1)

1.3 Klasifikasi

Pneumotoraks diklasifikasikan berdasarkan penyebab dan gejala klinis yang

timbul. Pneumotoraks dapat dibagi menjadi spontan dan traumatik. Pneumotoraks

spontan dibagi lagi menjadi primer (PSP) dan sekunder (PSS). Pneumotoraks

traumatik dapat terjadi akibat trauma tumpul atau cedera tembus pada dinding dada.

Selain itu, pneumotoraks traumatik juga bisa disebabkan oleh cedera iatrogenik. (1,2)

1. Pneumotoraks spontan, yaitu setiap pneumotoraks yang terjadi secara tiba-tiba.

Pneumotoraks tipe ini dapat diklasifikasikan lagi ke dalam dua jenis, yaitu:

a. Pneumotoraks spontan primer, yaitu pneumotoraks yang terjadi secara tiba-tiba

tanpa diketahui sebabnya atau tanpa penyakit dasar yang jelas. Pneumotoraks ini

sering kali terjadi pada laki-laki dewasa dengan bentuk tubuh astenik, tinggi, dan

kurus. Perbandingan kejadian PSP pada laki-laki dengan perempuan yaitu 6:1.

Timbul akibat ruptur bula kecil (12 cm) subpleural, terutama di bagian

puncak paru. Faktor resiko PSP meningkat pada perokok, yaitu resiko 100 kali

lebih tinggi pada perokok berat dibandingkan pada bukan perokok. Sebuah

penelitian lain menunjukkan bahwa faktor genetik berperan dalam patogenesis

terjadinya pneumotoraks spontan primer. Beberapa kasus pneumotoraks spontan

primer ditemukan pada kelainan genetik tertentu, seperti: sindrom marfan,

homosisteinuria, serta sindrom Birt-Hogg-Dube.(2,4)

b. Pneumotoraks spontan sekunder, yaitu pneumotoraks yang terjadi dengan didasari

oleh riwayat penyakit paru yang telah dimiliki sebelumnya, tersering pada pasien

dengan penyakit paru kronis (seperti PPOK, asma bronkial, fibrosis kistik), pada

3
penyakit infeksi pernapasan (seperti tuberkulosis, pneumokistis carini, abses paru),

penyakit interstisial paru (sarkoidosis), penyakit jaringan ikat sistemik (rheumatoid

arthritis, ankylosing spondylitis), dan penyakit keganasan. Mekanisme PPOK

sebagai penyebab tersering PSS diduga karena adanya degradasi serat elastis pleura

visceral pada PPOK. Insiden PSS tidak jauh berbeda dengan PSP, hanya saja lebih

sering mengenai lanjut usia diatas 60 tahun. Pneumotoraks spontan sekunder

memiliki resiko berulang/rekuren sebesar 45%. Pneumotoraks spontan sekunder

biasanya bersifat mengancam jiwa.(2)

2. Pneumotoraks traumatik, yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat adanya suatu

trauma, baik trauma penetrasi maupun trauma tumpul, yang menyebabkan robeknya
(2,4)
pleura, dinding dada maupun paru . Pada trauma non-penetrasi pneumotoraks

dapat terjadi jika pleura visceral robek akibat fraktur iga atau dislokasi. Kompresi

dada mendadak akan meningkatkan tekanan alveolar secara tiba-tiba, yang dapat

menyebabkan ruptur alveolar. (2)

3. Pneumotoraks iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat komplikasi dari

tindakan medis. Tindakan tersering penyebab pneumotoraks iatrogenik antara lain

aspirasi jarum transtorakal (24%), jarum subklavial (22%), torakosentesis (20%),

biopsi transbronkial (10%), biopsi pleural (8%), positive pressure ventilation (PPV)

(7%), dan tindakan lainnya.(2) Pneumotoraks iatrogenik dibedakan menjadi dua,

yaitu:

- Pneumotoraks iatrogenik aksidental Adalah suatu pneumotoraks yang terjadi

akibat tindakan medis karena kesalahan atau komplikasi dari tindakan tersebut,

misalnya pada parasentesis dada, biopsi pleura.(4)

- Pneumotoraks iatrogenik artifisial (deliberate) Adalah suatu pneumotoraks

yang sengaja dilakukan dengan cara mengisikan udara ke dalam rongga pleura.

4
Biasanya tindakan ini dilakukan untuk tujuan pengobatan, misalnya pada

pengobatan tuberkulosis sebelum era antibiotik, maupun untuk menilai

permukaan paru.(4)

Berdasarkan jenis fistulanya, maka pneumotoraks dapat diklasifikasikan ke

dalam tiga jenis, yaitu (2,4) :

1. Pneumotoraks Tertutup (Simple Pneumothorax). Pada tipe ini, pleura dalam keadaan

tertutup (tidak ada jejas terbuka pada dinding dada), sehingga tidak ada hubungan

dengan dunia luar.Tekanan di dalam rongga pleura awalnya mungkin positif, namun

lambat laun berubah menjadi negatif karena diserap oleh jaringan paru disekitarnya.

Pada kondisi tersebut paru belum mengalami re-ekspansi, sehingga masih ada rongga

pleura, meskipun tekanan di dalamnya sudah kembali negatif. Pada waktu terjadi

gerakan pernapasan, tekanan udara di rongga pleura tetap negatif.(2)

2. Pneumotoraks Terbuka (Open Pneumothorax), Yaitu pneumotoraks dimana terdapat

hubungan antara rongga pleura dengan dunia luar (terdapat luka terbuka pada dada).

Dalam keadaan ini tekanan intrapleura sama dengan tekanan atmosfer, menyebabkan

terhambatnya pengembangan paru dan ventilasi alveolus. Luka terbuka pada dinding

dada menghasilkan adanya ‘sucking sound’. (2)

3. Pneumotoraks Ventil (Tension Pneumothorax) adalah pneumotoraks dengan tekanan

intrapleura yang positif dan makin lama makin bertambah besar karena ada fistel di

pleura viseralis yang bersifat ventil. Pada waktu inspirasi udara masuk ke rongga

pleura namun pada saat ekspirasi udara di dalam rongga pleura tidak dapat keluar.

Akibatnya tekanan di dalam rongga pleura makin lama makin tinggi dan melebihi

tekanan atmosfer, dan menyebabkan paru pada sisi yang terluka menjadi kolaps, dan

juga menggeser mediastinum menjauhi luka. Hal tersebut dapat mengakibatkan

5
terjadinya hipoventilasi, penurunan venous return ke jantung, syok ostruktif dan gagal

napas (2).

1.4 Etiologi

Etiologi pneumothoraks berbeda pada tiap klasifikasinya. Pada pneumotoraks

traumatik, penyebabnya kebanyakan diakibatkan oleh kecelakaan lalu lintas yang

umumnya berupa trauma tumpul. Trauma tajam terutama disebabkan oleh tikaman

dan tembakan. (4)

Tabel 1. Etiologi pneumothoraks (2)

6
1.5 Patofisiologi

Paru-paru dibungkus oleh pleura parietalis dan pleura visceralis. Di antara

pleura parietalis dan visceralis terdapat cavum pleura. Cavum pleura normal berisi

sedikit cairan serous jaringan. Tekanan intrapleura selalu berupa tekanan negatif.

Tekanan negatif pada intrapleura membantu dalam proses respirasi. Proses respirasi

terdiri dari 2 tahap: fase inspirasi dan fase eksprasi. Pada fase inspirasi tekanan

intrapleura: -9 s/d -12 cmH2O; sedangkan pada fase ekspirasi tekanan intrapleura: -3

s/d -6 cmH2O. Pneumotorak adalah adanya udara pada cavum pleura. Adanya udara

pada cavum pleura menyebabkan tekanan negatif pada intrapleura tidak terbentuk.

Sehingga akan mengganggu pada proses respirasi (2,4).

Secara garis besar semua jenis pneumotorak mempunyai dasar patofisiologi

yang hampir sama. Pneumotorak spontan terjadi karena lemahnya dinding alveolus

dan pleura visceralis. Apabila dinding alveolus dan pleura viceralis yang lemah

tersebut pecah, maka akan ada fistel yang menyebabkan udara masuk ke dalam cavum

pleura. Mekanismenya pada saat inspirasi rongga dada mengembang, disertai

pengembangan cavum pleura yang kemudian menyebabkan paru dipaksa ikut

mengembang, seperti balon yang dihisap. Pengembangan paru menyebabkan tekanan

intraalveolar menjadi negatif sehingga udara luar masuk. Pada pneumotorak spontan,

paru-paru kolaps, udara inspirasi ini bocor masuk ke cavum pleura sehingga tekanan

intrapleura tidak negatif. Pada saat inspirasi akan terjadi hiperekspansi cavum pleura

akibatnya menekan mediastinal ke sisi yang sehat. Pada saat ekspirasi mediastinal

kembali lagi ke posisi semula. Proses yang terjadi ini dikenal dengan mediastinal

flutter (2,4).

Terjadinya hiperekspansi cavum pleura tanpa disertai gejala pre-shock atau

shock dikenal dengan pneumotoraks simpel. Berkumpulnya udara pada cavum pleura

7
dengan tidak adanya hubungan dengan lingkungan luar dikenal dengan closed

pneumothorax. Pada saat ekspirasi, udara juga tidak dipompakan balik secara

maksimal karena elastic recoil dari kerja alveoli tidak bekerja sempurna. Akibatnya

bilamana proses ini semakin berlanjut, hiperekspansi cavum pleura pada saat inspirasi

menekan mediastinal ke sisi yang sehat dan saat ekspirasi udara terjebak pada paru

dan cavum pleura karena luka yang bersifat katup tertutup terjadilah penekanan vena

cava, shunting udara ke paru yang sehat, dan obstruksi jalan napas. Akibatnya dapat

timbulah gejala pre-shock atau shock oleh karena penekanan vena cava. Kejadian ini

dikenal dengan tension pneumotorak.(2,4)

1.6 Gejala Klinik

Keluhan dan gejala-gejala klinik pneumothoraks amat bergantung pada besar-

kecilnya lesi pneumothoraks dan ada tidaknya komplikasi penyakit paru. Beberapa

pasien menunjukkan keadaan asimptomatik dan kelainan hanya dapat ditemukan pada

pemeriksaan foto dada rutin. (2,4,5)

Gejala utama adalah adanya rasa sakit yang tiba-tiba, umumnya bersifat akut,

terlokalisasi pada sisi yang terkena serta diikuti sesak nafas. Kelainan ini ditemukan

pada 80-95% kasus. Gejala ini akan nampak jelas pada saat penderita melakukan

aktivitas berat. Namun rasa sakit tidak selalu timbul, dapat menghebat atau menetap

bila telah terjadi perlengketan antara pleura parietalis dan visceralis. Pada tekanan

kuat pneumothoraks suatu saat perlengketan ini dapat sobek sehingga terjadi

perdarahan (hemopneumothoraks). (2,4,5)

Pada pemeriksaan fisik, tanda vital pasien umumnya normal, namun beberapa

pasien dapat timbul takikardia. Pada inspeksi akan didapatkan sisi dada yang terkena

akan tampak lebih besar dan kurang bergerak saat bernapas. Akan ditemukan pula

8
penurunan taktil fremitus dan vokal fremitus, perkusi yang hiperresonans, serta suara

napas tidak ada atau berkurang pada sisi yang terkena. (2,4,5)

Pada pasien dengan tension pnuemothorax biasanya terdapat manifestasi kolaps

kardiovaskuler dan ketidakstabilan hemodinamik. Biasanya muncul pada pasien

dengan ventilasi mekanik. Secara tipikal pasien biasanya akan mengalami sudden

respiratory distress dan agitasi. Pada pemeriksaan fisik akan didapatkan takikardia

berat (>140 x/menit), hipotensi, sianosis atau deviasi trakea.(2,4,5)

1.7 Diagnosis

Diagnosis didasari dengan gejala yang didapatkan melalui anamnesis dan

pemeriksaan fisik disertai pemeriksaan penunjang. Pemeriksan foto rontgen dada

merupakan prosedur standar untuk menegakkan diagnosa pneumothoraks. Sebaiknya

dilakukan foto dada tegak dengan posisi PA (Posteroanterior) karena dengan posisi

semi supine dan AP tidak selalu tampak pada kedua thoraks yang mana sensitivitas

foto toraks anteroposterior dalam mendiagnosis pneumotoraks hanya sekitar 25-75%.

Bila penderita tidak dapat tegak dilakukan foto dengan posisi lateral dekubits dengan

sisi yang tekena di bagian atas. (2,3)

Foto rontgen penderita pneumotoraks

9
Pada pasien yang diagnosisnya belum dapat ditegakkan, pemeriksaan CT-scan

dada mungkin diperlukan karena pemeriksaan CT-scan lebih sensitif daripada foto

toraks pada pneumotoraks yang kecil walaupun gejala klinisnya masih belum jelas,

namun beberapa penelitian berpendapat pemeriksaan dengan CT-scan toraks

seringkali memperlambat tatalaksana, meningkatkan risiko pneumotoraks ventil dan

menambah biaya. Oleh karena itu dalam satu dekade terakhir ultrasonografi (USG)

toraks hadir sebagai modalitas radiologi yang lebih cepat, tepat dan praktis dalam

mendiagnosis pneumotoraks. (2,5)

1.8 Penatalaksanaan

Tujuan utama penatalaksaan pneumotoraks spontan adalah evakuasi udara di

dalam rongga pleura, memfasilitasi penyembuhan pleura dan mencegah terjadinya

rekurensi secara efektif. Pilihan terapi meliputi, yaitu terapi oksigen, observasi,

aspirasi sederhana dengan kateter vena, pemasangan tube, pleurodesis, torakoskopi

single port, dan torakotomi. (5,6)

a. Terapi oksigen

Pemberian oksigen akan mempercepat absorbsi udara di rongga toraks

sebanyak 4x dibandingkan dengan tanpa oksigen. Oksigen akan mengurangi tekanan

parsial nitrogen di dalam kapiler darah sekitar rongga pleura dan akan meningkatkan

gradien tekanan parsial nitrogen. Hal ini akan menyebabkan nitrogen ke dalam

kapiler pembuluh darah di sekitar rongga pleura dan diikuti oleh gas lain. Pemberian

oksigen pada konsentrasi tinggi harus diberikan pada seluruh kasus pneumotoraks.
(5,6)

b. Observasi (tanpa tindakan invasif)

Bila hubungan antara alveoli dan rongga pleura dihilangkan, maka udara di

dalam rongga pleura akan diabsorbsi secara betahap. Kecepatan absorpsi antara

10
berkisar 1,25 % dari volume hemitoraks setiap 24 jam. ACCP membagi klinis

penderita atas penderita dalam kondisi stabil, jika laju napas < 24 x/menit, denyut

jantung 60-120 x/menit, tekanan darah normal, saturasi oksigen > 90 % (tanpa

asupan oksigen). Setelah observasi penderita dapat dipulangkan dan datang kembali

ke rumah sakit bila terdapat gejala klinik yang memberat. Tindakan fisioterapi

dengan pemberian penyinaran gelombang pendek pada pneumotoraks spontan

kurang dari 30%, secara bemakna meningkatkan absorbsi udara dibandingkan

dengan hanya observasi saja. (5,6)

c. Aspirasi sederhana dengan kateter vena (Mini WSD)

Aspirasi sederhana terutama direkomendasiksan pada terapi awal penderita

pneunotoraks spontan primer (PSP) pertama, karena memiliki tingkat keberhasilan

lebih tinggi (70%) dibandingkan bila dilakukan pada penderita pneumotoraks

spontan sekunder (PSS). Prosedur ini memiliki keuntungan antara lain morbidity

yang minimal dan dapat dilakukan pada pasien rawat jalan sehingga penderita dapat

bekerja kembali serta relatif mudah dan murah. Kelemahan prosedur ini apabila

gagal maka perlu dilakukan pemasangan tube thoracostomy. (5,6)

d. Pemasangan WSD

Pemasangan WSD atau tube thoracostomy masih merupakan tindakan

pertama sebelum penderita diajukan untuk tindakan yang lebih invasif seperti

torakoskopi atau torakotomi. Pemasangan tube thoracostomy pada pneumotoraks

terutama ditujukan pada penderita PSP yang gagal dengan tindakan aspirasi dan

penderita PSS, sebelum menjalani tindakan torakoskopi atau torakotomi. (5,6)

11
e. Pleurodesis

Dilakukan terutama untuk mencegah rekurensi terutama penderita dengan

risiko tinggi untuk terjadinya rekurensi. Bahan yang biasanya digunakan adalah

oksitetrasiklin, minosklin, doksisklin, atau talk. (5,6)

f. Torakoskopi

Tindakan yang dilakukan adalah reseksi bula dan pleurodesis. Torakoskopi

pada PSS harus dilakukan bila paru tidak mengembang setelah 48-72 jam. (5,6)

g. Torakotomi

Merupakan tindakan akhir apabila tindakan yang lain gagal. Tindakan ini

memiliki angka rekurensi terendah yaitu kurang dari 1 % bila dilakukan pleurektomi

dan 2-5 % bila dilakukan pleurodesis dengan abrasi mekanik. (5,6)

1.9 Komplikasi

1. Tension pneumotoraks

Kejadian ini terjadi pada 3 – 5 % penderita pneumotoraks. Pengobatan adalah

segera melakukan dekompresi dengan jarum, kateter kecil atau pipa interkostalis

dan dihubungkan dengan water sealed drainage.

2. Hemopneumotoraks spontan

Kejadian ini terjadi pada 5% penderita pneumotoraks. Mekanisme perdarahan

terjadi akibat robeknya pembuluh darah apikal antara pleura parietal dan visceral

atau saat pecahnya bulla.

3. Fistel bronkopleura

Terjadi pada 3-4% penderita pneumotoraks spontan, dapat ditangani dengan

tindakan torakotomi, menutup fistel, dan pleurodesis.

4. Pneumomediastinum dan emfisema subkutan

12
Adanya pneumomediastinum dapat ditentukan dengan pemeriksaan foto dada.

Insidensinya 1 % dari seluruh penumotoraks.

5. Pneumotoraks kronik

Dinyatakan kronik bila tetap ada selama waktu > 3 bulan. Pneumotoraks kronik

ini terjadi bila fistula bronco-plelura 5 % dari seluruh penumotoraks. (2)

13
BAB 2

LAPORAN KASUS

Telah datang seorang pasien laki-laki usia 52 tahun ke Unit Gawat Darurat RSUD

Dompu pada tanggal 12 April 2019.

2.1 IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. N

Usia : 52 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Ginte Simpasai

2.2 ANAMNESIS

Keluhan Utama

Tertusuk gunting ± 30 menit sebelum masuk rumah sakit

Riwayat Penyakit Sekarang

- Tertusuk gunting ± 30 menit sebelum masuk rumah sakit di punggung sebelah kiri.

- Awalnya sesak dirasakan sedikit, namun makin lama sesak yang dirasakan semakin

berat.

- Sesak tidak disertai dengan bunyi nafas menciut/mengi.

- Sesak tidak dipengaruhi oleh aktifitas

- Sesak dirasakan walapun dalam keadaan istirahat.

- Sesak disertai dengan batuk, tidak berdahak.

- Riwayat batuk lama sebelumnya tidak ada.

- Demam tidak ada.

- Riwayat berkeringat malam tidak ada.

- Riwayat penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas tidak ada.

- Riwayat merokok ada, 1 bungkus sehari selama ± 20 tahun.

14
Riwayat Penyakit Dahulu

- Tidak ada riwayat trauma dada, infeksi paru, penyakit keganasan pada pasien

Riwayat Penyakit Keluarga

- Tidak ada keluarga yang menderita hal yang sama dengan pasien

Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi, Kejiwaan, dan Kebiasaan

- Pasien adalah seorang pedagang.

2.3 PEMERIKSAAN FISIK


A. Primary Survey
Airway : Lapang, stridor (-)
Assaesment : Tidak ada tanda tanda obstruksi jalan nafas
Breathing : Spontan, Respirasi : 30x/menit, Saturasi O2 : 81 % , Suara nafas
vesikular +/+,
Assesment : Tidak ada gangguangjalan nafas
Circulation : Pasien sadar dengan orientasi baik, tidak ada syok dan riwayat syok,
TD : 100/60 mmHg, HR : 104x/menit regular, kuat angkat, Suhu axilla : 37,3 C.
Assesment : Hemodinamik stabil, perfusi jaringan cukup
Disability : GCS : E4V5M6, tidak ada tanda tanda cedera spinal, motorik dan
sensorik normal.
Exposure : et regio trapezius

B. Secondary Survey
GCS : E4V5M6
Kulit : Sianosis (-), pucat (-), purpura (-), turgor baik
KGB : tidak ada pembesaran KGB
Kepala : Normochepal, rambut hitam, tidak rontok dan tidak mudah dicabut.
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil isokor, diameter
3mm/3mm.
Telinga : Pendengaran baik, sekret dari lumen (-)
Hidung : Sekret (-), sumbatan (-), deviasi septum (-)
Mulut : Bibir sumbing (-), carries (-), atrofi papil lidah (-)
Leher : JVP 5-2 cmH2O
Thoraks

15
Cor
Inspeksi : iktus tidak terlihat
Palpasi : iktus teraba 1 jari medial LMCS
Perkusi : atas : RIC 2 , kanan : 2 jari medial LMCD, kiri : LMCS RIC IV
Au skultasi: bunyi jantung reguler, bising tidak ada
Pulmo
Inspeksi : asimetris, dada kiri tertinggal
Palpasi : fremitus kiri < kanan, krepitasi (+)
Perkusi : paru kiri hipersonor, paru kanan sonor
Au skultasi: vesikuler +/+, suara napas melemah -/+, ronki -/-, wheezing -/-
Abdomen
Inspeksi : tidak tampak membuncit
Palpasi : hepar dan lien tidak teraba, NT (-), NL(-)
Perkusi : timpani
Au skultasi: bising usus (+) normal
Punggung : kifosis (-), skoliosis (-), nyeri tekan CVA (-), nyeri ketok CVA (-)
Ekstremitas : akral hangat, perfusi baik, refleks fisiologis +/+, refleks patologis -/-,
edema -/-

2.4 DIAGNOSA KERJA


Open pneumothorax sinistra
Emfisema subkutis regio colli sinistra

2.5 DIAGNOSA BANDING


Tension pneumothorax
Diseksi aorta

2.5 LABORATORIUM
12 April 2019
Hb : 13,3 gr/dl
Leukosit : 13.800
Trombosit : 310.000/mm3
Ht : 40%
Kesan : Leukositosis

16
2.6 RONTGEN THORAKS
Rontgen thoraks AP tanggal 12 April 2019 sebelum pemasangan WSD:

Gambar 1. Rontgen Sebelum pemasangan WSD


Kesan: Tampak area hiperlusen avaskular di hemithorak kiri, tampak pendesakan

terhadap jantung. Tampak gambaran hiperlusen di regio colli sinistra.

2.7 DIAGNOSIS
Open pneumothorax sinistra
Emfisema subkutis regio colli sinistra

2.8 TATALAKSANA
1. Sungkup nasal kanul 3L  NRM 10L
2. Infus RL 8 jam/kolf
3. Tindakan pemasangan Water Sealed Drainage + Thorax Tube dalam lokal anastesi
pada tanggal 12 April 2019
4. Hecting opened wound

17
5. Inj Ceftriakson 2x1 gr IV bolus
6. Inj Ketorolac 2x1 amp

BAB 3
18
DISKUSI

Telah datang seorang pasien laki-laki usia 52 tahun ke Unit Gawat Darurat RSUD

Dompu pada tanggal 12 April 2019 dengan diagnosis open pneumothorax dan emfisema

subkutis. Dari anamnesis didapatkan keluhan utama pasien berupa tertusuk gunting sejak 30

menit sebelum masuk rumah sakit. Sesak nafas ada, dirasakan semakin lama semakin berat

dan tidak berkurang dengan istirahat. Sesak tidak tidak disertai bunyi nafas menciut/mengi.

Pasien mengatakan bahwa keluhannya disertai dengan batuk, tidak berdahak. Pasien tidak

demam, tidak ada riwayat batuk lama sebelumnya, tidak ada riwayat keringat malam hari,

tidak ada riwayat penurunan berat badan. Tidak ada riwayat trauma dada sebelumnya, tidak

ada riwayat keganasan. Pasien merokok ± 1 bungkus/hari selama 20 tahun.

Dari hasil pemeriksaan fisik vital sign menunjukkan takipnea (napas 30x/i) dan

takikardia (nadi 104x/i). Pemeriksaan thoraks, inspeksi dada kiri tertinggal saat bernafas.

Palpasi dada fremitus kiri berkurang sedangkan kanan normal dan terdapat krepitasi. Perkusi

pada dada kiri hipersonor sedangkan kanan sonor. Suara napas kiri melemah. Pada regio colli

sinistra tampak adanya dua buah luka terbuka, dengan soft tissue swelling dan terdapat

krepitasi pada saat palpasi. Dari hasil pemeriksaan laboratorium darah lengkap didapatkan

kesan leukositosis. Dari hasil pemeriksaan foto rontgen thorak AP didapatkan gambaran

hiperlusen di hemithorakas kiri.

Pasien tersebut di diagnosis dengan open pneumothoraks dengan diagnosis banding

tension pneumothorax dan suspek ruptur aorta. Diagnosis tension pnuemothorax pada pasien

bisa disingkirkan mengingat belum adanya manifestasi kolaps kardiovaskuler dan

ketidakstabilan hemodinamik seperti takikardia berat (>140 x/menit), hipotensi, sianosis atau

deviasi trakea. Diagnosis diseksi aorta disingkirkan pertama dari anamnesis yaitu nyeri yang

dirasakan pasien tidak khas, sedangkan pada diseksi aorta akan terasa sangat nyeri dan

19
sifatnya khas seperti dirobek. Faktor resiko utama pada diseksi aorta adalah hipertensi dan

aneurisma aorta yang mana hal tersebut tidak dimiliki pasien. Sangat sedikit kasus diseksi

aorta yang disebabkan oleh adanya trauma pada dada.

Pasien juga didiagnosis dengan emfisema subkutis regio colli sinistra yang ditegakkan

dari pemeriksaan fisik terdapat krepitasi dan pemeriksaan rontgen thoraks yang

memperlihatkan adanya soft tissue swelling dan sebaran udara pada subkutan regio colli

sinistra pasien.

Tatalaksana pada pasien di IGD meliputi pemasangan NRM O2 10L. Pemberian

oksigen akan mempercepat absorbsi udara di rongga toraks sebanyak 4x dibandingkan

dengan tanpa oksigen. Oksigen akan mengurangi tekanan parsial nitrogen di dalam kapiler

darah sekitar rongga pleura dan akan meningkatkan gradien tekanan parsial nitrogen. Hal ini

akan menyebabkan nitrogen ke dalam kapiler pembuluh darah di sekitar rongga pleura dan

diikuti oleh gas lain. Pemberian oksigen pada konsentrasi tinggi harus diberikan pada seluruh

kasus pneumotoraks. Pemasangan WSD dilakukan untuk mengeluarkan udara yang

terperangkap di rongga pleura, pada RIC 5-6 anterior axilla line thoraks sinistra. Dilakukan

hecting pada luka tersebut untuk memutus hubungan pleura dengan udara luar. Selain itu,

selama perawatan pasien diberikan antibiotik ceftriakson untuk pencegahan infeksi pada luka

dan juga pencegahan terjadinya infeksi paru karena bakteri yang masuk melalui celah luka.

Pasien juga diberikan injeksi ketorolak 2 amp untuk mengurangi nyeri.

DAFTAR PUSTAKA

20
1. Windy DP, Elvie L, Vonny T. Profil hasil pemeriksaan foto toraks pada pasien
pneumotoraks di Bagian/SMF Radiologi FK Unsrat RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou
Manado periode Januari 2015–Agustus 2016. Jurnal e-Clinic. 2016;4(2): 1-5.
2. Milisavljevic S, Spasic M, Milosevic B. Pneumothorax – Diagnosis and Treatment. S
Anamed. 2015;10(3):221-228.
3. Mia E, Budhi A, Dianiati K. Peran Ultrasonografi dalam Diagnosis Pneumotoraks. J
Respir Indo. 2018;38: 239-43.
4. Brian JD. Pneumothorax. 2018. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/424547-overview#a1 accessed on 17 May 2019.
5. Michael AG, Jack AE, Jay AF, Robert MK, Allan IP, Robert MS, et al. 2015. Fishman’s
Pulmonary Disease and Disorfers Fifth edition, Part 9 Chapter 78: Pneumothorax
[Online]. Accessed on 17 May 2019.
6. Haynes D, Baumann MH. Management of Pneumothorax. Semin Respir Crit Care Med.
2010;31(6):769-80.

21

Anda mungkin juga menyukai