DI SUSUN OLEH :
Nidya Elma Viany
(220300902)
Diajukan oleh
Pembimbing Klinik :
Wiwik Ikayanti, S.Kep., Ns ............................
Tanggal :
Pembimbing Akademik :
Sofyan Indrayana, S.Kep., Ns., M.Kep ............................
Tanggal :
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT
PADA KLIEN DENGAN DIAGNOSA MEDIS HIDROPNEUMOTORAX
DI RUANG ICU RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL
2. Etiologi
Hidropneumotoraks spontan terjadi oleh karena pecahnya bleb atau kista kecil
yang diameternya tidak lebih dari 1-2 cm yang berada di bawah permukaan pleura
viseralis, dan sering ditemukan di daerah apeks lobus superior dan inferior.
Terbentuknya bleb ini oleh karena adanya perembesan udara dari alveoli yang
dindingnya ruptur melalui jaringan intersisial ke lapisan jaringan ikat yang berada di
bawah pleura viseralis. Sebab pecahnya dinding alveolus ini belum diketahui dengan
pasti, tetapi diduga ada dua faktor sebagai penyebabnya.
a. Faktor infeksi atau radang paru. Infeksi atau radang paru walaupun minimal akan
membentuk jaringan parut pada dinding alveoli yang akan menjadi titik lemah.
b. Tekanan intra alveolar yang tinggi akibat batuk atau mengejan. Mekanisme ini tidak
dapat menerangkan kenapa hidropneumotoraks spontan sering terjadi pada waktu
penderita sedang istirahat. Dengan pecahnya bleb yang terdapat di bawah pleura
viseralis, maka udara akan masuk ke dalam rongga pleura dan terbentuklah fistula
bronkopleura. Fistula ini dapat terbuka terus, dapat tertutup, dan dapat berfungsi
sebagai ventil
c. Robeknya pleura visceralis sehingga saat inspirasi udara yang berasal dari alveolus
akan memasuki kavum pleura. Hidropneumothorax jenis ini disebut sebagai
closed hidropneumothorax. Apabila kebocoran pleura visceralis berfungsi sebagai
katup, maka udara yang masuk saat inspirasi tak akan dapat keluar dari kavum
pleura pada saat ekspirasi. Akibatnya, udara semakin lama semakin banyak
sehingga mendorong mediastinum kearah kontralateral dan menyebabkan
terjadinya tension hidropneumothorax.
d. Robeknya dinding dada dan pleura parietalis sehingga terdapat hubungan antara
kavum pleura dengan dunia luar. Apabila lubang yang terjadi lebih besar dari 2/3
diameter trakea, maka udara cenderung lebih melewati lubang tersebut dibanding
traktus respiratorius yang seharusnya. Pada saat inspirasi, tekanan dalam rongga
dada menurun sehingga udara dari luar masuk ke kavum pleura lewat lubang tadi
dan menyebabkan kolaps pada paru ipsilateral. Saat ekspirasi, tekanan rongga dada
meningkat, akibatnya udara dari kavum pleura keluar melalui lubang tersebut.
Kondisi ini disebut sebagai open hidropneumothorax (Darmanto, Djojodibroto,
2009)
3. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala yang timbul pada Pneumotoraks tergantung pada besarnya
kerusakan yang terjadi pada sub pleura dan ada tidaknya komplikasi penyakit paru.
Gejala yang utama adalah berupa rasa sakit yang tiba - tiba bersifat unilateral diikuti
sesak napas. Gejala ini lebih mudah ditemukan bila penderita melakukan aktivitas berat.
Tapi pada sebagian kasus gejala – gejala masih dapat ditemukan pada aktivitas biasa
atau waktu istirahat. Selain itu terdapat gejala klinis yang lain yaitu suara melemah,
nyeri menusuk pada dada waktu inspirasi, kelemahan fisik. Pada tahap yang lebih berat
gejala semakin lama akan semakin memberat, penderita gelisah sekali, trakea dan
mediastinum dapat mendorong kesisi kontralateral. Gerakan pernafasan tertinggi pada
sisi yang sakit fungsi respirasi menurun, sianosis disertai syok oleh karena aliran darah
yang terganggu akibat penekanan oleh udara, dan curah jantung menurun
a. Biasanya akan ditemukan adanya nyeri dada yang terjadi secara tiba-tiba, nyerinya
tajam dan dapat menimbulkan rasa kencang di dada.
b. Nafas yang pendek
c. Nafas yang cepat
d. Batuk
e. Lemas
f. Pada kulit bisa ada keluhan sianosis
Manifestasi Klinis (Barbara Engram, 1997)
1. Pneumotoraks tertutup :
- Nyeri tajam pada sisi yang sakit sewaktu bernafas
- Disnea dan takipnea
- Penggunaan otot asesori pernafasan
- Takikardi
- Diaforesis
- Gelisah dan agitasi
- Bunyi hipertimpani diatas daerah yang sakit
- Luka memar pada dada
- Tidakadanya bunyi nafas seirama dengan gerakan dinding dada
2. Pneumotoraks tension :
- Distensi vena leher
- Kemungkinan emfisesma subkutan
- Manifestasi lain seperti pada pneumotoraks tertutup
3. Pneumotoraks terbuka
- Observasi luka dada terbuka terhadap bunyi seperti hisapan
- Manifestasi lain seperti pada pneumotoraks tertutup
4. Hemotoraks
- Pekak dengan perkusi di atas sisi yang sakit
- Manifestasi lain seperti pada pneumotoraks tertutup
4. Patofisiologi
Paru-paru dibungkus oleh pleura parietalis dan pleura visceralis. Diantara pleura
parietalis dan visceralis terdapat cavum pleura. Cavum pleura normal berisi sedikit
cairan serous jaringan.Tekanan intrapleura selalu berupa tekanan negatif. Tekanan
negatif pada intrapleura membantu dalam proses respirasi. Proses respirasi terdiri dari
2 tahap : Fase inspirasi dan fase eksprasi. Padafase inspirasi tekanan intrapleura :- 9 s/d
- 12 cmH2O; sedangkan pada fase ekspirasi tekanan intrapleura: - 3 s/d - 6 cmH2O.
Pneumotorak adalah adanya udara pada cavum pleura. Adanya udara pada cavum
pleura menyebabkan tekanan negatif pada intrapleura tidak terbentuk. Sehingga akan
mengganggu pada proses respirasi. Pneumotorak dapat dibagi berdasarkan
penyebabnya.
a. Pneumotorak spontan oleh karena : primer (ruptur bleb), sekunder (infeksi,
keganasan), neonatal.
b. Pneumotorak yang di dapat oleh karena : iatrogenik, barotrauma, trauma.
Pneumotorak dapat dibagi juga menurut gejala klinis:
a. Pneumotorak simple : tidak diikuti gejala shock atau pre-shock.
b. Tension Pnuemotorak : diikuti gejala shock atau pre-schock
Pneumotorak dapat dibagi berdasarkan ada tidaknya hubungan dengan luar menjadi :
a. Open pneumotorak.
b. Closed pneumotorak Secara garis besar ke semua jenis pneumotorak mempunyai
dasar patofisiologi yang hampir sama.
Pneumotorak spontan, closed pneumotorak, simple pneumotorak, tension
pneumotorak, dan open pneumotorak. Pneumotorak spontan terjadi karena lemahnya
dinding alveolus dan pleura visceralis. Apabila dinding alveolus dan pleura viceralis
yang lemah ini pecah, maka akan ada fistel yang menyebabkan udara masuk ke dalam
cavum pleura. Mekanismenya pada saat inspirasi rongga dada mengembang, disertai
pengembangan cavum pleura yang kemudian menyebabkan paru dipaksa ikut
mengembang, seperti balon yang dihisap. Pengembangan paru menyebabkan tekanan
intraalveolar menjadi negatif sehingga udara luar masuk. Pada pneumotorak spontan,
paru-paru kolpas, udara inspirasi ini bocor masuk ke cavum pleura sehingga tekanan
intrapleura tidak negatif. Pada saat inspirasi akan terjadi hiperekspansi cavum pleura
akibatnya menekan mediastinal ke sisi yang sehat. Pada saat ekspirasi mediastinal
kembali lagi ke posisi semula. Proses yang terjadi ini dikenal dengan mediastinal
flutter.
Pneumotorak ini terjadi biasanya pada satu sisi, sehingga respirasi paru sisi
sebaliknya masih bisa menerima udara secara maksimal dan bekerja dengan sempurna.
Terjadinya hiper ekspansi cavum pleura tanpa disertai gejala pre-shock atau shock
dikenal dengan simple pneumotorak. Berkumpulnya udara pada cavum pleura dengan
tidak adanya hubungan dengan lingkungan luar dikenal dengan closed pneumotorak.
Pada saat ekspirasi, udara juga tidak dipompakan balik secara maksimal karena elastic
recoil dari kerja alveoli tidak bekerja sempurna. Akibatnya bilamana proses ini semakin
berlanjut, hiperekspansi cavum pleura pada saat inspirasi menekan mediastinal ke sisi
yang sehat dan saat ekspirasi udara terjebak pada paru dan cavum pleura karena luka
yang bersifat katup tertutup terjadilah penekanan vena cava, shunting udara ke paru
yang sehat, dan obstruksi jalan napas. Akibatnya dapat timbulah gejala pre-shock atau
shock oleh karena penekanan vena cava. Kejadian ini dikenal dengan tension
pneumotorak. (Hudak, C.M. 2010)
Pada open pneumotorak terdapat hubungan antara cavum pleura dengan
lingkunga luar. Open pneumotorak dikarenakan trauma penetrasi. Perlukaan dapat
inkomplit (sebatas pleura parietalis) ataukomplit (pleura parietalis dan visceralis).
Bilamana terjadi open pneumotorak inkomplit pada saat inspirasi udara luar akan
masuk kedalam cavum pleura. Akibatnya paru tidak dapat mengembang karena tekanan
intrapleura tidak negatif. Efeknya akan terjadi hiperekspansi cavum pleura yang
menekan mediastinal ke sisi paru yang sehat. Saat ekspirasi mediastinal bergeser
kemediastinal yang sehat. Terjadilah mediastinal flutter. Bilamana open pneumotorak
komplit maka saat inspirasi dapat terjadi hiper ekspansi cavum pleura mendesak
mediastinal ke sisi paru yang sehat dan saat ekspirasi udara terjebak pada cavum pleura
dan paru karena luka yang bersifat katup tertutup. Selanjutnya terjadilah penekanan
vena cava, shunting udara ke paru yang sehat, dan obstruksi jalan napas. Akibatnya
dapat timbulah gejala pre-shock atau shock oleh karena penekanan venacava. Kejadian
inidikenal dengan tension pneumotorak (Hudak, C.M. 2010)
5. Pathway
Sucking Ventil :
Wound Emergency
Alveoli, Bleb/Bulla/Blister berisi Udara
Pada Paru Ruptur
Udara terakumulasi
pada Kavum Pleura
sampai Terjadi
Pneumothoraks/hematothoraks
Penurunan
Risiko Injury Perfusi Jaringan
Diagnosa Keperawatan
6. Pemeriksaan Diagnostik
a. Foto Rontgen Gambaran radiologis yang tampak pada foto rontgen kasus
hidropneumotoraks antara lain:
1) Bagian hidropneumotoraks akan tampak lusen, rata dan paru yang kolaps akan
tampak garis yang merupakan tepi paru. Kadang-kadang paru yang kolaps tidak
membentuk garis, akan tetapi berbentuk lobuler sesuai dengan lobus paru.
2) Paru yang mengalami kolaps hanya tampak seperti massa radioopaque yang
berada di daerah hilus. Keadaan ini menunjukkan kolaps paru yang luas sekali.
Besar kolaps paru tidak selalu berkaitan dengan berat ringan sesak napas yang
dikeluhkan.
3) Jantung dan trakea mungkin terdorong ke sisi yang sehat, spatium intercostals
melebar, diafragma mendatar dan tertekan ke bawah. Apabila ada pendorongan
jantung atau trakea ke arah paru yang sehat, kemungkinan besar telah terjadi
hidropneumotoraks ventil dengan tekanan intra pleura yang tinggi.
4) Pada pneumotoraks perlu diperhatikan kemungkinan terjadi keadaan sebagai
berikut
a) Pneumomediastinum, terdapat ruang atau celah hitam pada tepi jantung,
mulai dari basis sampai keapeks. Hal ini terjadi apabila pecahnya fistel
mengarah mendekati hilus, sehingga udara yang dihasilkan akan terjebak di
mediastinum.
b) Emfisema subkutan, dapat diketahui bila ada rongga hitam dibawah kulit.
Hal ini biasanya merupakan kelanjutan dari pneumomediastinum. Udara
yang tadinya terjebak di mediastinum lambat laun akan bergerak menuju
daerah yang lebih tinggi, yaitu daerah leher. Di sekitar leher terdapat banyak
jaringan ikat yang mudah ditembus oleh udara, sehingga bila jumlah udara
yang terjebak cukup banyak maka dapat mendesak jaringan ikat tersebut,
bahkan sampai ke daerah dada depan dan belakang.
c) Bila disertai adanya cairan di dalam rongga pleura, maka akan tampak
permukaan cairan sebagai garis datar di atas diafragma Foto Rontegen
hidropneumotoraks (PA), bagian yang ditunjukkan dengan anak
panahmerupakan bagian paru yang kolaps
b. Analisis gas darah arteri dapat memberikan gambaran hipoksemi meskipun pada
kebanyakan pasien sering tidak diperlukan. Pada pasien dengan gagal napas yang
berat secara signifikan meningkatkan mortalitas sebesar 10%.
c. CT-scan thorax. CT-scan toraks lebih spesifik untuk membedakan antara emfisema
bullosa dengan pneumotoraks, batas antara udara dengan cairan intra dan
ekstrapulmoner dan untuk membedakan antara pneumotoraks spontan primer dan
sekunder. Komplikasi dapat berupa hemopneumotorak, pneumomediastinum dan
emfisemakutis, fistel bronkopleural dan empiema (Sjahriar Rasad, 2009).
7. Penatalaksanaan Medik
Tindakan pengobatan hidropneumotoraks tergantung dari luasnya permukaan
hidropneumotoraks. Tujuan dari penatalaksanaan ini yaitu untuk mengeluarkan udara
dari rongga pleura, sehingga paru-paru bisa kembali mengembang. Pada
hidropneumotoraks yang kecil biasanya tidak perlu dilakukan pengobatan, karena tidak
menyebabkan masalah pernafasan yang serius dan dalam beberapa hari udara akan
diserap. British Thoracic Society dan American College of Chest Physicians telah
memberikan rekomendasi penanganan hidropneumotoraks adalah :
a. Observasi dan pemberian tambahan oksigen.
Tindakan ini dilakukan apabila luas pneumotoraks <15% dari hemitoraks.
Apabila fistula dari alveoli ke rongga pleura telah menutup, udara dalam rongga
pleura perlahan-lahan akan diresorbsi. Laju resorbsinya diperkirakan 1,25% dari
sisi pneumotoraks perhari. Laju resorbsi tersebut akan meningkat jika diberikan
tambahan oksigen. Observasi dilakukan dalam beberapa hari (minggu) dengan foto
dada serial tiap 12-24 jam selama 2 hari bisa dilakukan dengan atau tanpa harus
dirawat dirumah sakit. Jika pasien dirawat dirumah sakit dianjurkan untuk
memberikan tambahan oksigen. Pasien dengan luas pneumotoraks kecil unilateral
dan stabil, tanpa gejala diperbolehkan berobat jalan dandalam 2-3 hari pasien harus
control lagi
b. Aspirasi sederhana dengan jarum dan pemasangan tube torakostomi dengan atau
tanpa pleurodesis..
Tindakan ini dilakukan seawal mungkin pada pasien pneumotoraks yang
luasnya>15%. Tindakan ini bertujuan mengeluarkan udara drongga pleura
(dekompresi).Tindakan dekompresi ini dapat dilakukan dengan cara :
1) Menusukkan jarum melalui dinding dada sampai masuk rongga pleura,
sehingga tekanan udara positif akan keluar melalui jarum tersebut.
2) Membuat hubungan dengan udara luar melalui saluran kontra ventil, yaitu
dengan :
a) Jarum infuse set ditusukkan ke dinding dada sampai masuk rongga pleura,
kemudian ujung pipa plastik dipangkal saringan tetesan dipotong dan
dimasukkan ke dalam botol berisi air kemudian klem dibuka, maka akan
timbul gelembung-gelembung udara didalam botol.
b) Jarum abbakoth no 14 ditusukkan ke rongga pleura dan setelah mandarin di
cabut, dihubungkan dengan pipa infuse set, selanjutnya.
c) Water sealed drainage (WSD)
Pipa khusus (kateter urin) yang steril dimasukkan kerongga pleura
dengan perantaraan trokar atau klem penjepit. Sebelum trokar dimasukkan
ke rongga pleura, terlebih dahulu dilakukan insisi kulit pada ruang antar sela
iga ke enam pada linea aksilaris media. Insisi kulit juga bisa dilakukan pada
ruang antar iga kedua pada linea mid klavikula. Sebelum melakukan insisi
kulit, daerah tersebut harus dibersihkan cairan disinfektan dan dilakukan
injeksi anastesi local dengan lidokain atau prokain 2% dan kemudian ditutup
dengan kain duk steril. Setelah trokar masuk kedalam rongga pleura, pipa
khusus (kateter urin) segera dimasukkan ke rongga pleura dan kemudian
trokar dicabut sehingga hanya pipa khusus itu yang masih tinggal di ruang
pleura.
Pemasukan pipa khusus tersebutdiarahkan ke bawah jika lubang insisi
kulitnya ada diruang antar iga kedua. Pipa khusus atau kateter tersebut
kemudian dihubungkan dengan pipa yang lebih panjangdan terakhir dengan
pipa kaca yang dimasukkan ke dalam air di dalam botol. Masuknya pipa
kaca ke dalam air sebaiknya 2 cm dari permukaan air, supaya gelembung
udara mudah keluar. Apabila paru sudah mengembang penuh dantekanan
rongga pleura sudah negative, maka sebelum dicabut dilakukan uji coba
dengan menjepit pipa tersebut selama 24 jam.
Tindakan selanjutnya adalah melakukan evaluasi dengan foto dada,
apakah paru mengembang dan tidak mengempis lagi atau tekanan rongga
pleura menjadi positif lagi. Apabila tekanan rongga pleura menjadi positif
lagi maka pipa tersebut belum dapat dicabut. Bilaparu sudah mengembang
maka WSD dicabut. Pencabutan WSD dilakukan saatpasien dalam keadaan
ekspirasi maksimal
3) Torakoskopi dengan pleurodesis dan penanganan terhadap adanya bleb/bulla4.
4) Torakotomi
B. KONSEP CKD
2.1 Chronic Kidney Disease (CKD)
Chronic Kidney Disease (CKD) adalah suatu proses patofisiologis dengan
etiologi beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada
umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu
keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversible, pada
suatu derajat memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau
transplantasi ginjal. (Suwitra, 2014) Chronic Kidney Disease (CKD) adalah suatu
spektrum proses-proses patofiologik yang berbeda-beda serta berkaitan dengan
kelainan fungsi ginjal dan penurunan progresif laju filtrasi glomerolus (LFG).
(Jameson dan Loscalz, 2013) Chronic Kidney Disease (CKD) atau penyakit renal
tahap akhir (ESRD) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan
irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme,
keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah
nitrogen lain dalam darah) . (Nuari dan Widayati, 2017) Dari definisi diatas dapat
penulis simpulkan bahwa Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan gangguan
fungsi ginjal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal
mempertahankan metabolisme, keseimbangan cairan dan elektrolit, pada suatu
derajat diperlukan terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal.
2.2 Etiologi
Chronic Kidney Deases (CKD) seringkali menjadi penyakit komplikasi dari
penyakit lainnya sehingga merupakan penyakit sekunder (secondary illness).
Penyebab yang sering adalah diabetes mellitus dan hipertensi. Selain itu ada
beberapa penyebab lainnya, yaitu:
1) Glomerulonefritis
2) Pyelonefritis kronis, tuberkulosis
3) Polikistik ginjal
4) Renal nephrosclerosis
5) Neprolithisis
6) Sysctemic lupus erythematosus
7) Aminoglikosida
2.3 Klasifikasi
Klasifikasi Chronic Kidney Disease (CKD) didasarkan atas dua hal yaitu,
atas dasar derajat (stage) penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi
atas dasar derajat penyakit dibuat atas dasar LFG yang dihitung dengan
mempergunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut:
LFG (ml/mnt/1,73m²) = (140 − umur)𝑥𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎𝑑𝑎𝑛
72x kreatinin plasma (mg/dl)
∗) pada perempuan dikalikan 0,85
2.4 Patofisiologi
1) Penurunan GFR
Penurunan GFR dapat dideteksi dengan mendapatkan urin 24 jam untuk
pemeriksaan klirens kreatini. Akibat dari penurunan GFR, maka klirens
kreatinin akan menurun, kreatinin akan meningkat, dan nitrogen urea darah
(BUN) juga akan meningkat.
2) Gangguan klirens renal
Banyak masalah muncul pada ginjal sebagai akibat dari penurunan
jumlah glumeruli yang berfungsi, menyebabkan penurunan klirens (subtansi
darah yang seharusnya dibersihkan oleh ginjal).
3) Retensi cairan dan natrium
Ginjal kehilangan kemampuan untuk mengkonsetrasi atau
mengencerkan urin secara normal. Terjadi penahan cairan dan natrium,
sehingga meningkatkan resiko terjadinya edema, gagal jantung kongestif
dan hipertensi
4) Anemia
Anemia terjadi sebagai akibat dari produksi eritroprotein yang tidak
adekuat, memendeknya usia sel darah merah, defiensi nutrisi, dan
kecenderungan untuk terjadi pendarahan akibat status uremik pasien,
terutama dari saluran GI.
5) Ketidakseimbangan kalsium dan fosfat
Kadar serum kalsium dan fosfat tubuh memiliki hubungan yang saling
timbal balik, jika salah satunya meningkat yang lain akan turun. Dengan
menurunnya GFR maka tejadi peningkatan kadar fosfat serum dan
sebaliknya penurunan kadar kalsium. Penurunan kadar kalsium ini akan
memicu sekresi paratormon, namun dalam kondisi gagal ginjal, tubuh tidak
berespon terhadap peningkatan sekresi parathormon, akibatnya kalsium di
dalam tulang menurun menyebabkan perubahan pada tulang dan penyakit
tulang.
6) Penyakit tulang uremik (osteodiostrofi)
Terjadi perubahan kompleks kalsium fosfat dan keseimbangan
parathormon.
c. Tertiyeri Survey
1. Foto Rontgen Gambaran radiologis yang tampak pada foto rontgen kasus
hidropneumotoraks antara lain:
a) Bagian pneumotoraks akan tampak lusen, rata dan paru yang kolaps akan
tampak garis yang merupakan tepi paru. Kadang-kadang paru yang
kolaps tidak membentuk garis, akan tetapi berbentuk lobuler sesuai dengan
lobus paru.
b) Paru yang mengalami kolaps hanya tampak seperti massa radio opaque
yang berada di daerah hilus. Keadaan ini menunjukkan kolaps paru
yang luas sekali. Besar kolaps paru tidak selalu berkaitan dengan berat
ringan sesak napas yang dikeluhkan.
c) Jantung dan trakea mungkin terdorong ke sisi yang sehat, spatium
intercostals melebar, diafragma mendatar dan tertekan ke bawah. Apabila
ada pendorongan jantung atau trakea ke arah paru yang sehat, kemungkinan
besar telah terjadi pneumotoraks ventil dengan tekanan intra pleura yang
tinggi.
d) Pada pneumotoraks perlu diperhatikan kemungkinan terjadi keadaan
sebagai berikut
1) Pneumomediastinum, terdapat ruang atau celah hitam pada tepi
jantung, mulai dari basis sampai ke apeks. Hal ini terjadi apabila
pecahnya fistel mengarah mendekati hilus, sehingga udara yang
dihasilkan akan terjebak di mediastinum.
2) Emfisema subkutan, dapat diketahui bila ada rongga hitam dibawah
kulit. Hal ini biasanya merupakan kelanjutan dari
pneumomediastinum. Udara yang tadinya terjebak di mediastinum
lambat laun akan bergerak menuju daerah yang lebih tinggi, yaitu
daerah leher. Di sekitar leher terdapat banyak jaringan ikat yang mudah
ditembus oleh udara, sehingga bila jumlah udara yang terjebak cukup
banyak maka dapat mendesak jaringan ikat tersebut, bahkan sampai
ke daerah dada depan dan belakang.
3) Bila disertai adanya cairan di dalam rongga pleura, maka akan tampak
permukaan cairan sebagai garis datar di atas diafragma Foto
Rontegen pneumotoraks (PA), bagian yang ditunjukkan dengan anak
panah merupakan bagian paru yang kolaps.
b. Intervensi
Manajemen jalan napas
1) Kaji kepatenan jalan napas dengan melihat pengembangan dada, merasakan
hembusan napas dan dengarkan adanya suara napas tambahan (gurgling,
snoring, stridor)
2) Monitor status hemodinamik dan status oksigenasi
3) Kaji perlunya dilakukan suction
4) Lakukan pengisapan/suction dengan prinsip 3A (aseptic, asionotik,
atraumatik)
5) Auskultasi bunyi napas sebelum dan sesudah dilakuknnya suction
6) Bersihakan secret dengan menganjurkan batuk efektif atau pengisapan
7) Alih baring sesuai indikasi
8) Ajarkan cara mengeluarkan sputum dengan batuk efektif
9) Edukasi pentingnya dilakukan suction
10) Jelaskan pada pasien dan keluarga tujuan dari tindakan dan pengobatan serta
alat bantu yang digunakan (missal ventilator, oksigen, pengisapan)
Kolaborasi
1) Berikan nabulasi ultrasonic sesuai indikasi
2) Laporkan perubahan sehubungan dengan pengkajian data (misal bunyi
napas, sputum, efek dari pengobatan)
3) Lakukan pemeriksaan laboratorium sputum
4) Diagnosa 4 : Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan
kemampuan ekspansi paru dan kerusakan membran alveolar kapiler
a. Tujuan :
Setelalah dilakukan tindakan keperawatan selama …x24 jam diharapakan
pertukaran gas adekuat dengan kriteria hasil :
1) Tidak sianosis
2) Kesadaran komposmentis
3) Hasil AGD dalam batas normal
4) RR normal (16-20x/mnt)
5) Tidak ada nyeti dada, pusing maupun malaise
b. Intervensi
Manajemen asam basa
1) Kaji frekuensi, kedalaman dan kemudahan pernapasan
2) Pertahankan kepatenan jalan napas dan terapi IV
3) Monitor status hemodinamik (Tanda vital dan saturasi O2 secara continue)
dan tingkat kesadaran
4) Monitor gambaran seri AGD dan elektroklit
5) Observasi warna kulit, membran mukosa, kuku dan adanya dispnea
6) Auskultasi bunyi napas abnormal, suara napas tambahan dan adanya
sianosis perifer
7) Catat adanya cianosis perifer
8) Berikan posisi yang nyaman untuk memaksimalkan potensial ventilasi
9) Berikan posisi semiforler atau posisi yang mengurangi dispnea
10) Bersihakan secret dengan menganjurkan batuk efektif atau pengisapan
11) Alih baring sesuai indikasi
12) Ajarkan cara mengeluarkan sputum dengan batuk efektif
13) Jelaskan pada pasien dan keluarga tujuan dari tindakan dan pengobatan serta
alat bantu yang digunakan (missal ventikator, oksigen, pengisapan)
Kolaborasi
1) Berikan oksigen yang dilembabkan sesuai indikasi
2) Berikan bronkodilator sesuai dengan keperluan
3) Berikan nabulasi ultrasonic sesuai indikasi
4) Pasang ventilasi mekanik bila diperlukan
5) Konsultasikan dengan dokter tentang kebutuhan akan pemeriksaan gas
darah srteri dan penggunaan alat bantu yang dianjurkan sesuai dengan
adanya perubahan kondisi pasien
6) Laporkan perubahan sehubungan dengan pengkajian data (misal bunyi
napas, pola napas, analisa gas darah arteri, sputum, efek dari pengobatan)
5) Diagnosa 5 : Intoleransi aktivitas berhubungan dengan tirah baring / imobilitas,
nyeri kronis, kelemahan umum, ketidak seimbangan antara suplai dan kebutuhan
oksigen
a. Tujuan :
Setelalah dilakukan tindakan keperawatan selama …x24 jam diharapakan
toleransi aktivitas epektif dengan kriteria hasil :
1) Klien mampu melakukan perawatan diri dengan mandiri
2) Kliem mampu menyeimbangkan aktivitas dan istirahat
3) Tingkat daya tahan adekuat untuk beraktivitas
4) TTV dalam batas normal (TD: 90-120 mmHg 60-100 mmHg, Nadi: 60-100
x/ mnt, RR: 12-20 x/ mnt)
5) Tidak ada sesak nafas
b. Intervensi
1) Kaji respon emosi, social, dan spiritual terhadap aktivitas
2) Evaluasi motivasi dan keinginan pasien untuk meningkatkan aktivitas
3) Pantau respon kardiorespiratori terhadap aktivitas (mis: takikardia, disritmia
lain, dispnea, diaforisis, pucat, tekanan hemodinamik, dan frekuensi
respirasi)
4) Pantau respon oksigen pasien (mis: nadi, irama jantung dan rekuensi
respirasi) terhadap aktivitas perawatan diri
5) Pantau asupan nutrisi untuk memastikan keadekuatan sumber-sumber
energy
6) Pantau dan / dokumentasikan pola istirahat pasien dan lamanya waktu tidur
7) Tentukan penyebab keletihan (mis: karena penyebab pengobatan, nyeri dan
perawatan)
8) Bantu pasien untuk mengubah posisi secara berkala, bersandarduduk,
berdiri dan ambulasi yang dapat di toleransi
9) Hindari menjadual aktivitas perawatan selama periode istirahat
10) Hindari lingkuangan yang mempunyai konsentrasi oksigen rendah (misal:
pada daerah dataran tinggi, dan pada cuaca yang panas)
11) Minimalkan stres dan ansietas
12) Cegah hipotermi dan hipertermia serta infeksi
13) Berikan istirahata yang adekuat
14) Batasi rangsangan lingkungan (seperti cahaya dan kebisingan) untuk
memfasilitasi relaksasi
15) Ajarkan pada pasien dan keluarga tentang tekhenik perawatan diri yang
akan menimbulkan konsumsi oksigen (memantau diri dan tekhenik berjalan
untuk melakukan AKS)
16) Ajarkan pengaturan aktivitas dan tekhenik menejmen waktu untuk
mencegah kelelahan
17) Instruksikan kepada pasien dan keluarga dalam penggunaan peralatan
seperti oksigen selama aktivitas, penggunaan tekhenik relaksasi (missal:
tekhenik distraksi, visualisasi selama aktivitas)
18) Kolaborasi dalam pemberian anti nyeri sebelum latihan aktivitas
19) Kolaborasi dengan ahli terapi okupasi fisik dan / rekriasi untuk
merencanakan dan memantau program aktivitas sesuai dengan kebutuhan
20) Rujuk pada hali gizi untuk merencanakan makanan untuk meningkatkan
asupan makanan yang tinggi energi
PROGRAM STUDI PROFESI NERS
FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ALMA ATA YOGYAKARTA
Jl. Ringroad Barat Daya No. 1, Tamantirto, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta
Tlp. (0274) 434 2288, 434 2277. Fax. (0274)4342269. Web: www.almaata.ac.id
I. BIODATA
Identitas Pasien
1. Nama : Ny. SA
2. Umur : 39 tahun
3. Agama : Islam
4. Pendidikan : SMP
5. Pekerjaan : Swasta
6. Alamat : Piyungan, Bantul
7. Tanggal Masuk RS : 03 Januari 2023
8. Diagnosa Medis : Post Hidropneumothorax, CKD
9. No. CM : 70.07.xxx
Identitas Penanggung Jawab
1. Nama : Tn. J
2. Umur : 44 tahun
3. Pendidikan : SMP
4. Pekerjaan : Swasta
5. Alamat : Piyungan, Bantul
6. Hubungan dengan Klien: Suami Pasien
II. HASIL TRIASE
Tidak ada
d. Hidung
Inspeksi : tidak ada penafasan cuping hidung, tidak ada sekret di hidung
Inspeksi : tidak ada bibir sumbing terlihat normal, tidak ada stomatitis
f. Telinga
h. Dada
1) Paru-paru
Inpeksi : Tidak terdapat retraksi dinding dada, terpasang WSD
Palpasi : gerakan dada kanan dan kiri sama
Perkusi : suara sonor
Auskultasi : suara nafas kadang sedikit melemah
2) Jantung
Inspeksi : tidak ada kelainan bentuk jantung, pulsasi ictus cordis tampak
normal
Palpasi : ictus cordis teraba pada garis midclavicula sinistra intercosta V
Perkusi : Bunyi pekak, batas jantung kanan dan kiri normal
Auskultasi : terdengar bunyi lup dup
i. Abdomen
Inspeksi : tidak ada lesi, tidak ada kelainan bentuk
Auskultasi : bising usus 9x/ menit
Perkusi : bunyi timpani
Palpasi : tidak ada nyeri tekan
j. Genetalia : terpasang DC, tampak bersih, tidak ada tanda infeksi
k. Rektum : tampak bersih tidak ada nyeri, tidak ada luka
l. Ekstremitas :
5 1
5 5
4 : Kekuatan sedang
1) Atas
Kekuatan otot ka/ki : ekstremitras kiri tidak bisa digerakkan,
ekstremitas atas kanan terpasang IV
ROM ka/ki : hanya jari – jari kiri yang dapat digerakan
minimal karena terdapat luka bekas tindakan invasif (AV Shunt)
Capilary Refill Time ka/ki : < 3 detik
Perubahan bentuk tulang : tidak ada
2) Bawah
Kekuatan otot ka/ki : normal, ekstremitas bawah memiliki kekuatan
otot maksimal
ROM ka/ki : dapat digerakkan secara maksimal
Capilarry Refill Time ka/ki : CRT < 3 detik
Perubahan bentuk tulang : tidak ada perubahan tulang
VII. Data Laboratorium
Hari/Tanggal : 17 Januari 2023
Jenis Pemeriksaan : Darah Lengkap
No Jenis Pemeriksaan Nilai Lab Nilai Normal Interpretasi
1. Hematologi
Hemoglobin 7,4 12.0 – 16.0 Rendah
Leukosit 11.32 4.00 – 11.00 Tinggi
Eritrosit 2.42 4.00 – 5.00 Rendah
Trombosit 140 150 – 450 Rendah
Hematokrit 22.0 36.0 - 46.0 Rendah
2. Hitung Jenis
Eosinofil 0 2–4 Rendah
Basofil 1 0–4 Rendah
Batang 0 2–5 Rendah
Segmen 93 51 – 67 Rendah
Limfosit 5 20 – 35 Rendah
Monosit 1 4-8 Rendah
3. Kimia Klinik
Glukosa darah sewaktu 106 80 – 200 Normal
Elektrolit 132.4 137.0 – 145.0 Rendah
Natrium 5.33 3.50 – 5.10 Tinggi
1 Senin 16-01-2023 DS: pasien mengeluh nyeri pada sayatan jalan AV Nyeri akut Trauma langsung Nidya
09.00 WIB shunt
- P: Jika lengan kiri digerakkan
- Q: Nyeri seperti ditusuk – tusuk jarum Tindakan Pembedahan ( AV
- R: Nyeri terasa pada area sayatan jalan shunt
AV shunt
- S: Skala nyeri 5 Pelepasan histamin
- T: Nyeri terasa secara terus menerus
DO:
- Pasien terlihat meringis kesakitan Merangsang nosiseptori
- Kesadaran : compos mentis (reseptor nyeri)
- TD : 150/80 mmHg
- RR : 20 x/mnt
- Nadi : 90 x/menit Nyeri Akut
- Suhu : 36,6 °C
- SPO2 : 99%
- Deformitas (-), luka (-)
Resiko Infeksi
B. PRIORITAS MASALAH
1. Nyeri akut b.d Agen pencedera fisik d.d px mengeluh nyeri, dan gelisah (D.0077)
2. Resiko Infeksi d.d adanya luka insersi pemasangan WSD . (D.0142)
C. RENCANA KEPERAWATAN
Nama Klien : Ny. S Ruang : ICU
No. RM : 70.07.xxxx Mahasiswa : Nidya
No. HARI/TGL DX KEPERAWATAN TUJUAN DAN KRITERIA HASIL INTERNEVENSI (SIKI) TTD
Dx (SLKI)
1 Senin,16-01 - Nyeri akut b/d Agen Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen nyeri I. 08238 Nidya
2023 selama 3 x 24 jam tingkat nyeri menurun
09.00 pencedera fisik d.d px dengan Observasi
mengeluh nyeri, dan gelisah Kriteria Hasil: Tingkat nyeri L.08066 - Identifikasi lokasi,
- Kemampuan menuntaskan aktivitas karakteristik, durasi,
(D.0077) meningkat frekuensi, kualitas,
- Keluhan nyeri menurun intensitas nyeri
- Meringis menurun - Identifikasi respons nyeri
- Gelisah menurun non verbal
- Frekuensi nadi membaik - Identifikasi faktor yang
- Pola napas membaik memperberat dan
- Tekanan darah membaik memperingan nyeri
- Identifikasi pengetahuan
dan keyakinan tentang
nyeri
- Identifikasi pengaruh
budaya terhadap respon
nyeri
- Identifikasi pengaruh
nyeri pada kualitas hidup
- Monitor keberhasilan
terapi komplementer yang
sudah diberikan
- Monitor efek samping
penggunaan analgetik
Terapeutik
- Berikan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
(mis. TENS, hypnosis,
akupresur, terapi music,
biofeedback, terapi pijat,
aromaterapi, teknik
imajinasi terbimbing,
kompres hangat/dingin,
terapi bermain)
Kontrol lingkungan yang
-
memperberat rasa nyeri
- Fasilitasi istirahat dan
tidur
- Pertimbangkan jenis dan
sumber nyeri dalam
pemilihan strategi
meredakan nyeri
Edukasi
- Jelaskan penyebab,
periode, dan pemicu nyeri
- Jelaskan strategi
meredakan nyeri
- Anjurkan memonitor
nyeri secara mandiri
- Anjurkan menggunakan
analgetik secara tepat
- Ajarkan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu
2 Senin 16-01- Resiko Infeksi d.d adanya luka Setelah dilakukan tindakan keperawatan Perawatan Luka (I.14564) Nidya
2023 selama 3 x 24 maka tingkat infeksi menurun,
09.00 insersi pemasangan WSD dengan kriteria hasil: Observasi
(D.0142) Tingkat infeksi (I.14137), • Monitor Karaktristik luka
- Demam menurun
- Kemerahan menurun • Monitor tanda dan gejala
- Bengkak menurun infeksi lokal dan sistemik
- Nyeri menurun
- Kadar sel darah putih menurun Terapeutik
• Lepaskan balutan dan plester
secara perlahan
• Bersihkan dengan Cairan NaCl
atau pembersih nontoxic, sesuai
kebutuhan
• Berikan salep yang sesuai ke
kulit/ lesi jika perlu
• Pasang balutan sesuai dengan
jenis luka
• Pertahankan teknik aseptic
pada pasien berisiko tinggi
Edukasi
• Jelaskan tanda dan gejala
infeksi
• Anjurkan mengkonsumsi
makanan tinggi kalori
dan protein
• Anjurkan prosedur
perawatan luka secara
mandiri
Kolaborasi
• Kolaborasi pemberian
antibiotik , jika perlu
D. IMPLEMENTASI
analgetik
- Memberikan teknik nonfarmakologis
untuk mengurangi rasa nyeri (mis. TENS,
hypnosis, akupresur, terapi music,
biofeedback, terapi pijat, aromaterapi,
teknik imajinasi terbimbing, kompres
hangat/dingin, terapi bermain)
Kontrol lingkungan yang memperberat
rasa nyeri
3. Rabu,18-01- 15.00 - Mengidentifikasi lokasi, karakteristik, S: pasien mengeluh nyeri pada sayatan jalan AV Nidya
2023 shunt sedikit berkurang
durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
- P: Jika lengan kiri digerakkan
- Mengidentifikasi respons nyeri non verbal - Q: Nyeri seperti ditusuk – tusuk jarum
- R: Nyeri terasa pada area sayatan jalan
- Mengidentifikasi faktor yang memperberat
AV shunt
dan memperingan nyeri - S: Skala nyeri 3
15.30 - Mengidentifikasi pengaruh nyeri pada - T: Nyeri terasa secara terus menerus
O:
kualitas hidup - Kesadaran composmentis
- Memonitor keberhasilan terapi - Pasien terpasang infuse Ns 20 tpm di
tangan kanan
komplementer yang sudah diberikan
- TD : 149/86 mmHg
- Memonitor efek samping penggunaan - RR : 16 x/mnt
16.10 - Nadi : 89 x/menit
analgetik - Suhu : 36,4 °C
16.20 - Memberikan teknik nonfarmakologis - SPO2 : 99%
2. Selasa, 17-01- 11.00 S: Pasien masih mengeluh nyeri pada tangan kiri bekas sayatan AV Shunt Nidya
2023 - P: Jika lengan kiri digerakkan
- Q: Nyeri seperti ditusuk – tusuk jarum
- R: Nyeri terasa pada area sayatan jalan AV shunt
- S: Skala nyeri 4
- T: Nyeri terasa secara terus menerus
O:
- Kesadaran composmentis
- Pasien terpasang infuse Ns 20 tpm di tangan kanan
- TD : 153/94 mmHg
- RR : 17 x/mnt
- Nadi: 90 x/menit
- Suhu: 36,4 °C
- SPO2: 99%
A: Masalah nyeri akut belum teratasi
P: Intervensi dilanjutkan
- Mengidentifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
- Mengidentifikasi respons nyeri non verbal
- Mengidentifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
- Mengidentifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
- Memonitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan
- Memonitor efek samping penggunaan analgetik
- Memberikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri (mis. TENS, hypnosis,
akupresur, terapi music, biofeedback, terapi pijat, aromaterapi, teknik imajinasi terbimbing,
kompres hangat/dingin, terapi bermain)
- Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri
3. Rabu, 18-01- 11.00 S: pasien mengeluh nyeri pada sayatan jalan AV shunt sedikit berkurang Nidya
2023 - P: Jika lengan kiri digerakkan
- Q: Nyeri seperti ditusuk – tusuk jarum
- R: Nyeri terasa pada area sayatan jalan AV shunt
- S: Skala nyeri 3
- T: Nyeri terasa secara terus menerus
O:
- Kesadaran composmentis
- Pasien terpasang infuse Ns 20 tpm di tangan kanan
- TD : 149/86 mmHg
- RR : 16 x/mnt
- Nadi: 89 x/menit
- Suhu: 36,4 °C
- SPO2: 99%
A: Masalah nyeri akut belum teratasi
P: Intervensi dilanjutkan
- Mengidentifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
- Mengidentifikasi respons nyeri non verbal
- Mengidentifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
- Mengidentifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
- Memonitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan
- Memonitor efek samping penggunaan analgetik
No. HARI/TGL JAM CATATAN PERKEMBANGAN (SOAP) TTD
DP
1. Senin 16-01-2023 10.30 S: - Nidya
O:
- Pasien terlihat lemas
- Pasien tampak cemas saat bergerak
- Klien terpasang WSD selama 7 hari.
- Leukosit 11.32 10^3/UL (17-01-23)
- Kesadaran : compos mentis
- TD : 150/80 mmHg
- RR : 20 x/mnt
- Nadi : 90 x/menit
- Suhu : 36,6 °C
- SPO2 : 99%
A: Masalah gangguan mobilitas fisik belum teratasi
P: Intervensi dilanjutkan
- Memonitor Karaktristik luka
- Memonitor tanda dan gejala infeksi lokal dan sistemik
- Melepaskan balutan dan plester secara perlahan
- Membersihkan dengan Cairan NaCl atau memberbersih nontoxic, sesuai kebutuhan
- Memberikan salep yang sesuai ke kulit/ lesi jika perlu
- memasang balutan sesuai dengan jenis luka
- Mempertahankan teknik aseptic pada pasien berisiko tinggi
- Berkolaborasi pemberian antibiotik , jika perlu
2. Selasa 17-01-2023 10.30 S: - Nidya
O:
- Pasien terlihat lemas
- Pasien masih tampak cemas
- Klien terpasang WSD selama 7 hari.
- Kesadaran : compos mentis
- TD : 150/80 mmHg
- RR : 20 x/mnt
- Nadi : 90 x/menit
- Suhu : 36,6 °C
- SPO2 : 99%
A: Masalah gangguan mobilitas fisik belum teratasi
P: Intervensi dilanjutkan
- Memonitor Karaktristik luka
- Memonitor tanda dan gejala infeksi lokal dan sistemik
- Melepaskan balutan dan plester secara perlahan
- Membersihkan dengan Cairan NaCl atau memberbersih nontoxic, sesuai kebutuhan
- Memberikan salep yang sesuai ke kulit/ lesi jika perlu
- memasang balutan sesuai dengan jenis luka
- Mempertahankan teknik aseptic pada pasien berisiko tinggi
- Berkolaborasi pemberian antibiotik , jika perlu
2. Rabu,18-01-2023 17.00 S: - Nidya
O:
- Pasien masih terlihat lemas
- Klien terpasang WSD selama 7 hari.
- Kesadaran : compos mentis
- TD : 149/86 mmHg
- RR : 16 x/mnt
- Nadi : 89 x/menit
- Suhu : 36,4 °C
- SPO2 : 99%
A: Masalah gangguan mobilitas fisik belum teratasi
P: Intervensi dilanjutkan
- Memonitor Karaktristik luka
- Memonitor tanda dan gejala infeksi lokal dan sistemik
- Melepaskan balutan dan plester secara perlahan
- Membersihkan dengan Cairan NaCl atau memberbersih nontoxic, sesuai kebutuhan
- Memberikan salep yang sesuai ke kulit/ lesi jika perlu
- memasang balutan sesuai dengan jenis luka
- Mempertahankan teknik aseptic pada pasien berisiko tinggi
- Berkolaborasi pemberian antibiotik , jika perlu
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mukti dkk (2009) Pedoman Diagnosis dan Terapi lab ilmu penyakit paru RSUD Dr
Soetomo Surabaya. Surabaya
Afif Muttaqin, (2008). Asuhan Keperawatan klien dengan gangguan sistem pernafasan.
Jakarta: Salemba Medika.
Alsagaf Hood dan Mukti Abdul H, (2002). Dasar-Dasar Ilmu Diagnostik Fisik
Paru. Surabaya: Airlangga.
Budi Swidarmoko, Agus dwi Susanto. (2010). Pulmonologi Intervensi dan Gawat Darurat
Nafas. Jakarta: FK UI.
Doengoes, M.E. (2000). Rencana Asuhan Dan Dokumentasi Keperawatan. Edisi 3. Jakarta:
EGC.
Mansjoer dkk, (2007). Kapita Selekta Kedokteran. Edisi-3 Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius.
Wilkinson. M. Judhit, (2006).Buku Saku Diagnosis Keperawatan Dengan Intervensi NIC dan
Kreteria Hasil NOC. Edisi-7. Jakarta: EGC