Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

PNEUMOTORAKS

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Pendidikan Profesi Ners

Departemen Medikal di Ruang 23 Infeksi RSSA MALANG

Oleh:

Kadek Esidiana Uttari

NIM: 170030701111013

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2018
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

PNEUMOTORAKS

Untuk memenuhi tugas Profesi Ners Departemen Medikal Ruang 23 infeksi

RSSA MALANG

Oleh:

Kadek Esidiana Uttari

170070301111013

Telah diperiksa dan disetujui pada :

Hari :

Tanggal :

Pembimbing Akademik Pembimbing Lahan

( ) ( )
PNEUMOTHORAX

A. Definisi
Pneumothorax adalah keadaan dimana terdapat udara atau gas dalam rongga
pleura. Pada kondisi normal, rongga pleura tidak terisi udara sehingga paru-paru dapat
leluasa mengembang terhadap rongga dada.
Rongga pleura adalah rongga yang terletak diantara selaput yang melapisi
paru-paru dan rongga dada
Pneumothorax adalah suatu keadaan terdapatnya udara atau gas di dalam
pleura yang menyebabkan kolapsnya paru. Tersering disebabkan oleh ruptur spontan
pleura visceralis yang menimbulkan kebocoran udarale rongga torak. Pnumotoraks
dapat terjadi berulang kali.

B. Klasifikasi
Menurut penyebabnya, pnuemothoraks dapat dikelompokkan menjadi dua
yaitu :
1. Pnenumothoraks spontan
Yaitu pnumothoraks yang terjadi secara tiba-tiba. Pneumothoraks tipe ini dapat
diklasifikasikan lagi ke dalam dua jenis, yaitu :
a. Pnumothoraks spontan primer, yaitu pnumothoraks yang terjadi secara tiba-tiba
tanpa diketahui sebabnya.
b. Pneumothoraks spontan sekunder, yaitu pneumothoraks yang terjadi dengan
didasari oleh riwayat penyakit paru yang telah dimiliki sebelumnya, misalnya
fibrosis kistik, penyakit paru obsrutruktiks kronis (PPOK), kanker paru-paru,
asma dan infeksi paru.
2. Pneumotoraks traumatik
Yaitu pneumothoraks yang terjadi akibat adanya suatu trauma baik trauma
penetrasi maupun bukan, yang menyebabkan robeknya pleura, dinding dada
maupun paru.
Pneumothoraks tipe ini dapat di klasifikasikan lagi ke dalam dua jenis, yaitu :
a. Pneumothoraks traumatik non-iatrogenik, yaitu pneumothoraks yang terjadi
karena bekas kecelakaan, misalnya bekas pada dinding dada, barotrauma.
b. Pneumothoraks traumatik iatrogenetik yaitu pneumothoraks yang terjadi akibat
komplikasi dari tindakan medis. Pneumothoraks jenis inipun masih dibedakan
menjadi dua yaitu :

1. Pneumothoraks traumatik iagtrogenik aksidental


Adalah suatu pneumothoraks yang terjadi akibat tindakan medis karena
kesalahan atau komplikasi dari tindakan tersebut, misalnya pada
parasentesis dada, biopsi pleura.
2. Pneumothoraks traumatik iatrogenik artifisial (debiliberate)
Adalah suatu pneumothoraks yang sengaja dilakuakn dengan cara
mengisikan udara ke dalam rongga pleura. Biasanya tindakan ini dilakukan
untuk tujuan pengobatan, misalnya pada pengobatan tuberkulosis sebelum
era antibiotik, maupun untuk menilai permukaan paru.

Dan berdasarkan jenis fisualnya, makan pneumothoraks dapat diklasifikasikan


ke dalam tiga jenis yaitu :
1. Pneumothoraks Tertutup (Simple Pneumothorax)
Pada tipe ini, pleura dalam keadaan tertutup (tidak ada jejas terbuka pada
dinding dada), sehingga tidak ada hubungan dengan dunia luar. Tekanan di
dalam rongga pleura awalnya mungkin positif, namun lambat laun berubah
menjadi negatif karena diserap oleh jaringan paru disekitarnya. Pada
kondisi tersebut paru belum mengalami re-ekspansi, sehingga masih ada
rongga pleura, meskipun tekanan di dalamnya sudah kembali negatif. Pada
waktu gerakan pernafasan, tekanan udara di rongga pleura tetap negatif.
2. Pneumothoraks Terbuka (Open Pneumothorax)
Yaitu Pneumothoraxs dimana terdapat hubungan antara antara rongga
pleura dengan bronkus yang merupakan bagian dari dunia luar (terdapat
luka terbuka pada dada). Dalam keadaan ini tekanan intrapleura sama
dengan tekanan udara luar. Pada pnuemothoraks terbuka tekanan
intrapleura sekitar nol. Perubahan tekanan ini sesuai dengan perubahan
tekanan yang disebabkan oleh gerakan pernapasan.
Pada saat inspirasi tekanan menjadi negatif dan pada waktu ekspirasi
tekanan menjadi positif. Selain itu , pada saat inspirasi mediastinum dalam
keadaan normal, tetapi pada saat ekspirasi mediastinum bergeser ke arah
sisi dinding dada yang terluka.
3. Pneumothoraks Ventil (Tension Pneumothorax)
Adalah pneumothoraks dengan tekanan intrapleura yang positif dan makin
lama bertambah besar karena ada fistel di pleura viseralis yang bersifat
ventil. Pada waktu inspirasi udara masuk melalui trakea, bronkus serta
percabangannya dan selanjutnya terus menuju pleura melalui fistel yang
terbuka. Waktu ekspirasi udara di dalam rongga pleura tidak dapat keluar.
Akibatnya tekanan di dalam rongga pleura makin lama makin tinggi dan
melibihi tekanan atmosfer. Udara yang terkumpul dalam rongga ini dapat
menekan paru sehingga sering menimbulkan gagal napas.

Sedangkan menurut luasnya paru mengalamu kolaps, maka pneumothoraks


dapat diklasifikasikan menajdi dua, yaitu :
1. Pneumothoraks parsialis, yaitu pneumothoraks yang menekan pada
sebagian kecil paru (<50%volume paru)

2. Pneumoothoraks totalis yaitu pneumothoraks yang menegenai sebagian


besar paru (>50% volume paru)
C. Etiologi
Pneumothoraks terjadi akibat peninggian tekanan intrabronkus dan intra-
alveolus pada suatu tempat lemah dalam jaringan paru yang pecah, sehingga udara
dapat masuk ke dalam rongga pleura.
Tempat lemah dapat berupa bula dalam parenkim paru bagian perifer
atau emfisema interstitialis lokal (bleb) atau proses paru yang menimbulkan destruksi
parenkim bagian perifer dan pleura berdekatan, sehingga terbentuk suatu fistel
bronkopleural.
Pneumothoraks dapat terjadi bila terjadi ruptur pada dinding paru, yang
menyebabkan udara keluar dari paru dan masuk ke dalam rongga pleura.
Pneumothoraks juga dapat terjadi bila terdapat tusukan pada dinding dada sehingga
udara luar masuk ke dalam rongga pleura. Pneumothoraks dapat terjadi secara tiba-iba
(misalnya pada laki-laki kurus yang menderita sindrom Marfan) sebagai dari akibat
trauma dada, barotrauma pada paru, penyakit paru seperti emfisema, infeksi akut,
infeksi kronis (TBC), kerusakan paru akibat kistik fibrosis, kanker, katamenial
pneumothoraks ( yang di sebabkan oleh endometriosis pada dinding paru), dll.
Pada bayi baru lahir, pneumothoraks dapat merupakan komplikasi pada
penyakit membran hialin, pneumothoraks, resusitasi dengan tekanan positif dan sering
pula timbul secara spontan tanpa diketahui penyebabnya. Pada anak lebih besar
pneumothoraks merupakan komplikasi pneumonia, tuberkulosis dan asma bronkial.

D. Patofisiologi
Pada manusia normal tekanan dalam rongga pleura adalah negatif. Tekanan
negatif disebabkan karena kecenderungan paru untuk kolaps (elastic recoil) dan
dinding dada yang cenderung mengembang. Bilamana terjadi hubungan antara alveol
atau ruang udara intrapulmoner lainnya (kavitas, bulla) dengan rongga pleura oleh
sebab apapun, maka udara akan mengalir dari alveol ke rongga pleura sampai terjadi
keseimbangan tekanan atau hubungan tersebut tertutup. Serupa dengan mekanisme di
atas, maka bila ada hubungan antara udara luar dengan rongga pleura melalui dinding
dada; udara akan masuk ke rongga pleura sampai perbedaan tekanan menghilang atau
hubungan menutup.
Pneumotoraks spontan terjadi oleh karena pecahnya bleb atau kista kecil yang
diameternya tidak lebih dari 1-2 cm yang berada di bawah permukaan pleura viseralis,
dan sering ditemukan di daerah apeks lobus superior dan inferior. Terbentuknya bleb
ini oleh karena adanya perembesan udara dari alveoli yang dindingnya ruptur melalui
jaringan intersisial ke lapisan jaringan ikat yang berada di bawah pleura viseralis.
Sebab pecahnya dinding alveolus ini belum diketahui dengan pasti, tetapi diduga ada
dua faktor sebagai penyebabnya.
1) Faktor infeksi atau radang paru.
Infeksi atau radang paru walaupun minimal akan membentuk jaringan parut pada
dinding alveoli yang akan menjadi titik lemah.
2) Tekanan intra alveolar yang tinggi akibat batuk atau mengejan.
Mekanisme ini tidak dapat menerangkan kenapa pneumotoraks spontan sering terjadi
pada waktu penderita sedang istirahat. Dengan pecahnya bleb yang terdapat di bawah
pleura viseralis, maka udara akan masuk ke dalam rongga pleura dan terbentuklah
fistula bronkopleura. Fistula ini dapat terbuka terus, dapat tertutup, dan dapat
berfungsi sebagai ventil.

E. Komplikasi
Selalu harus diingat akan terjadinya:
1. Tension Pneumothoraks dengan gejala dispneu yang makin berat, sianosis,
gelisah: komplikasi ini terjadi karena tekanan dalam rongga pleura meningkat
sehingga paru mengempis lebih hebat, mediastinum tergeser kesisi lain dan
mempengaruhi aliran darah vena ke atrium kanan. Pada foto sinar tembus dada
terlihat mediastinum terdorong dan diafragma pada sakit tertekan kebawah.
Keadaan ini dapat mengakibatkan fungsi pernafasan sangat terganggu yang harus
segera ditangani kalu tidak akan berakibat fatal.
2. Piopneumothoraks: Berarti terdapatnya pneumothoraks disertai empiema secara
bersamaan pada satu sisi paru.
3. Hidro-pneumothoraks/Hemo-pneumothoraks: Pada kurang lebih 25% penderita
pneumothoraks ditemukan juga sedikit cairan dalam pleuranya. Cairan ini
biasanya bersifat serosa, serosanguinea atau kemerahan (berdarah). Hidrothorak
dapat timbul dengan cepat setelah terjadinya pneumothoraks pada kasus-kasus
trauma/perdarahan intrapleura atau perforasi esofagus (cairan lambung masung
kedalam rongga pleura). Hemopneumothoraks selain terdapat gejala dispneu dan
sianosis, disertai pula gejala akibat kehilangan darah seperti anemia, renjatan dan
lain-lain.
4. Pneumomediastinum dan emfisema subkutan: Pneumomediastinum dapat
ditegakkan dengan pemeriksaan foto dada. Insidensinya adalah 1% dari seluruh
pneumothoraks. Kelainan ini dimulai robeknya alveoli kedalam jaringan
interstitium paru dan kemungkinan didikuti oleh pergerakan udara yang progresif
kearah mediastinum (menimbulkan pneumomediastinum) dan kearah lapisan
fasia otot-otot leher (menimbulkan emfisema subkutan).
5. Pneumothoraks simultan bilateral: Pneumothoraks yang terjadi pada kedua paru
secara serentak ini terdapat pada 2% dari seluruh pneumothoraks. Keadaan ini
timbul sebagai lanjutan pneumomediastinum yang secara sekunder berasal dari
emfisem jaringan interstitiel paru. Sebab lain bisa juga dari emfisem mediastinum
yang berasal dari perforasi esofagus.
Pneumothoraks kronik: Menetap selama lebih dari 3 bulan. Terjadi bila fistula
bronko-pleura tetap membuka. Insidensi pneumothoraks kronik dengan fistula
bronkopleura ini adalah 5 % dari seluruh pneumothoraks. Faktor penyebab antara
lain adanya perlengketan pleura yang menyebabkan robekan paru tetap terbuka,
adanya fistula bronkopelura yang melalui bulla atau kista, adanya fistula bronko-
pleura yang melalui lesi penyakit seperti nodul reumatoid atau tuberkuloma.

F. Gejala Klinis
Berdasarkan anamnesis, gejala dan keluhan yang sering muncul adalah:
1. Sesak napas, didapatkan pada hampir 80-100% pasien. Seringkali sesak dirasakan
mendadak dan makin lama makin berat. Penderita bernapas tersengal, pendek-
pendek, dengan mulut terbuka.
2. Nyeri dada, yang didapatkan pada 75-90% pasien. Nyeri dirasakan tajam pada
sisi yang sakit, terasa berat, tertekan dan terasa lebih nyeri pada gerak
pernapasan.
3. Batuk-batuk, yang didapatkan pada 25-35% pasien.
4. Denyut jantung meningkat.
5. Kulit mungkin tampak sianosis karena kadar oksigen darah yang kurang.
6. Tidak menunjukkan gejala (silent) yang terdapat pada 5-10% pasien, biasanya
pada jenis pneumotoraks spontan primer.

G. Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan pneumotoraks adalah untuk mengeluarkan udara dari
rongga pleura dan menurunkan kecenderungan untuk kambuh lagi. Pada prinsipnya,
penatalaksanaan pneumotoraks adalah sebagai berikut :
1. Observasi dan Pemberian O2
Apabila fistula yang menghubungkan alveoli dan rongga pleura telah
menutup, maka udara yang berada didalam rongga pleura tersebut akan diresorbsi.
Laju resorbsi tersebut akan meningkat apabila diberikan tambahan O2. Observasi
dilakukan dalam beberapa hari dengan foto toraks serial tiap 12-24 jam pertama
selama 2 hari . Tindakan ini terutama ditujukan untuk pneumotoraks tertutup dan
terbuka.
2. Tindakan dekompresi
Hal ini sebaiknya dilakukan seawal mungkin pada kasus pneumotoraks yang
luasnya >15%. Pada intinya, tindakan ini bertujuan untuk mengurangi tekanan intra
pleura dengan membuat hubungan antara rongga pleura dengan udara luar dengan
cara:
a. Menusukkan jarum melalui dinding dada terus masuk rongga pleura, dengan
demikian tekanan udara yang positif di rongga pleura akan berubah menjadi
negatif karena mengalir ke luar melalui jarum tersebut.
b. Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontra ventil :
 Dapat memakai infus set Jarum ditusukkan ke dinding dada sampai ke
dalam rongga pleura, kemudian infus set yang telah dipotong pada
pangkal saringan tetesan dimasukkan ke botol yang berisi air. Setelah
klem penyumbat dibuka, akan tampak gelembung udara yang keluar dari
ujung infus set yang berada di dalam botol (Alsagaff at al., 2009).
 Jarum abbocath Jarum abbocath merupakan alat yang terdiri dari
gabungan jarum dan kanula. Setelah jarum ditusukkan pada posisi yang
tetap di dinding toraks sampai menembus ke rongga pleura, jarum dicabut
dan kanula tetap ditinggal. Kanula ini kemudian dihubungkan dengan pipa
plastik infus set. Pipa infuse ini selanjutnya dimasukkan ke botol yang
berisi air. Setelah klem penyumbat dibuka, akan tampak gelembung udara
yang keluar dari ujung infuse set yang berada di dalam botol (Alsagaff at
al., 2009).
 Metode penggunaan water seal drainage (WSD)
Penggunaan WSD dengan selang dada pertama kali dikenalkan pada tahun
1875, dan penggunaan missal pertama adalah pada tahun 1917 ketika
terjadi epidemic influenza. Selang drainase interkostal atau WSD dalam
bentuk modern telah digunakan sejak tahun 1916 ketika Kenyon
menggambarkan sebuah “Siphon” metode untuk terapi hemothoraks
akibat trauma. Walaupun alat ini sangat efektif dalam pengobatan, akan
tetapi kelemahan alat ini berkisar antara trauma pada dada dan abdominal
bagian viscera dari trocars yang tajam di tangan operator yang belum ahli.
Kelemahan yang lain dari pemasangan selang ini adalah terbentuknya
fissura pada dindig dada. Selang drainase yang masih mengeluarkan
gelembung udara sangat berbahaya untuk di klem, karena hal tersebut
dapat mengubah pneumothoraks yang awalnya minimal menjadi
pneumothoraks tension. Keberhasilan akan dicapai bila paru-paru
mengembang dengan sempurna paling kurang selama 24 jam sebelum
selang drainase boleh dicabut. Cara yang effisien untuk mendeteksi sisa
udara dalam paru adalah dengan meng-klem selang drainase tersebut
selama beberapa jam dan kemudian dilakukan foto thorkas , kebocoran
udara sedikit atau sedang yang masi ada dapat dideteksi dengan cara ini
sehingga dapat dihindarkan penggunaan selang drainase yang berulang.
Penggunaan analgetik dalam selang drainase ini masi kurang di teliti.
Injeksi anestesi local pada intrapleura (20-25 ml = 200-250mg, 1%
lignocaine) secara bolus dengan interval 8 jam dapat dengan aman
mengurangi rasa sakit tanpa mempengaruhi gas darah.
Pemasangan WSD:
1) Pasien dalam keadaan posisi ½ duduk (+ 45 °).
2) Dilakukan desinfeksi dan penutupan lapangan operasi dengan doek
steril.
3) Dilakukan anestesi setempat dengan lidocain 2% secara infiltrasi pada
daerah kulit sampai pleura.
4) Tempat yang akan dipasang drain adalah :
- Linea axillaris depan, pada ICS IX-X (Buelau).
Dapat lebih proximal, bila perlu. Terutama pada anak- anak
karena letak diafragma tinggi.
- linea medio-clavicularis (MCL) pada ICS II-III (Monaldi)
5) Dibuat sayatan kulit sepanjang 2 cm sampai jaringan bawah kulit
(Gambar. B).
6) Dipasang jahitan penahan secara matras vertikal miring dengan side
0.1.
7) Dengan gunting berujung lengkung atau klem tumpul lengkung,
jaringan bawah kulit dibebaskan sampai pleura, dengan secara pelan
pleura ditembus hingga terdengar suara hisapan, berarti pleura
parietalis sudah terbuka (Gambar. C dan D).
Catatan : pada hematothoraks akan segera menyemprot darah keluar, pada
pneumothoraks, udara yang keluar.

A B

C D
Gambar: Cara Pemasangan Selang WSD
Gambar: Cara Pemasangan Selang WSD

Komplikasi dari pemasangan selang drainse interkostal ini adalah penetrasi pada
organ mayor seperti paru-paru, perut, limpa, hati, jantung, dan pembuluh darah
besar sehingga akan berakibat fatal. Kejadian ini akan terjadi bila trocar besi
yang dimasukkan secara tidak benar dalam prosedur pemasangan. Infeksi pleura
merupakan komplikasi lain dari pemasangan selang drainase ini, sehingga
pemberian antibiotic profilaksis harus dipertimbangkan dan teknik aseptic harus
diterapkan pada segala teknik pemasangan serta manipulasi dari system selang
dada ini. Komplikasi lain yang paling banyak terjadi adalah emfisema, walaupun
ini hanya mengganggu dalam hal kosmetik selama beberapa hari. Emfisema ini
terjadi karena terbentuknya rongga berisi udara pada jaringan subkutan. Hal ini
dapat terjadi bila selang dada yang dipasang malposisi atau bergulung atau selang
yang di klem. Emfisema juga dapat timbul bila selang yang digunakan berukuran
lebih kecil dari daerah bocor. Penaganan dari emfisema ini biasanya secara
konservatif, akan tetapi bila dalam kondisi menyebabkan bahaya pada nyawa
pasien makan dapat dilakukan trakeostomi, dekompresi insisi kulit, dan
pemasangan selang pada daerah subkutan.
Hal ini dapat terjadi bila selang dada yang dipasang malposisi atau bergulung atau
selang yang di klem. Emfisema juga dapat timbul bila selang yang digunakan
berukuran lebih kecil dari daerah bocor. Penaganan dari emfisema ini biasanya
secara konservatif, akan tetapi bila dalam kondisi menyebabkan bahaya pada
nyawa pasien makan dapat dilakukan trakeostomi, dekompresi insisi kulit, dan
pemasangan selang pada daerah subkutan.
 Pengobatan Tambahan
1. Apabila terdapat proses lain di paru, maka pengobatan tambahan ditujukan
terhadap penyebabnya. Misalnya : terhadap proses TB paru diberi OAT,
terhadap bronkhitis dengan obstruksi saluran napas diberi antibiotik dan
bronkodilator.
2. Istirahat total untuk menghindari kerja paru yang berat.
3. Pemberian antibiotik profilaksis setelah setelah tindakan bedah dapat
dipertimbangkan, untuk mengurangi insidensi komplikasi, seperti emfisema

H. Rehabilitasi
 Penderita yang telah sembuh dari pneumotoraks harus dilakukan pengobatan
secara tepat untuk penyakit dasarnya.
 Untuk sementara waktu, penderita dilarang mengejan, batuk atau bersin terlalu
keras.
 Bila mengalami kesulitan defekasi karena pemberian antitusif, berilah laksan
ringan.
 Kontrol penderita pada waktu tertentu, terutama kalau ada keluhan batuk, sesak
napas.

I. Pengkajian
a. Aktivitas/istirahat
Gejala : dipsnea dengan aktivitas ataupun istirahat
b. Sirkulasi
Tanda : takikardi, frekuensi tak teratur (disritmia), S3 atau S4/irama jantung
gallop, nadi apikal berpindah oleh adanya penyimpangan mediastinal, tanda
homman (bunyi rendah sehubungan dengan denyutan jantung, menunjukkan
udara dalam mediastinum).
c. Psikososial
Tanda : ketakutan/gelisah
d. Makan/cairan
Tanda : adanyan pemasangan IV vena sentral/infus tekanan
e. Nyeri/kenyamanan
Gejala : nyeri dada unilateral meningkat karena batuk, timbul tiba-tiba gejala
batuk, tajam atau nyeri menusuk yang diperberat oleh napas dalam.
Tanda : perilaku distraksi, mengerutkan wajah
f. Pernafasan
Tanda : pernapasan meningkat/ takipnea, peningkatan kerja napas, penggunaan
otot aksesori pernapasan dada, ekspirasi abdominal kuat, bunyi napas menurun,
fremitus menurun.
 perkusi dada : hipersonan diatas terisi udara
 palpasi dada : gerakan dada tidak sama bila trauma
 Kulit : pucat, sianosis
Gejala : kesulitan bernapas, batuk, riwayat bedah dada/trauma penyakit paru
kronis, inflamasi/infeksi paru (empisema/efusi), keganasan (misal : Obstruksi
tumor)

J. Pemeriksaan
1. Pemeriksaan Fisik
 Inspeksi :
a. Dapat terjadi pencembungan pada sisi yang sakit (hiper ekspansi dinding
dada).
b. Pada waktu respirasi, bagian yang sakit gerakannya tertinggal.
c. Trakea dan jantung terdorong ke sisi yang sehat
 Palpasi :
a. Pada sisi yang sakit, ruang antar iga dapat normal atau melebar.
b. Iktus jantung terdorong ke sisi toraks yang sehat.
c. Fremitus suara melemah atau menghilang pada sisi yang sakit
 Perkusi :
a. Suara ketok pada sisi sakit, hipersonor sampai timpani dan tidak menggetar.
b. Batas jantung terdorong ke arah toraks yang sehat, apabila tekanan
intrapleura tinggi
 Auskultasi :
a. Pada bagian yang sakit, suara napas melemah sampai menghilang.
b. Suara vokal melemah dan tidak menggetar serta bronkofoni negatif.
2. Pemeriksaan Penunjang
a. Foto Rongent Thorax

Gambaran radiologis yang tampak pada foto rontgen kasus pneumotoraks antara
lain:
a. Bagian pneumotoraks akan tampak lusen, rata dan paru yang kolaps akan
tampak garis yang merupakan tepi paru. Kadang-kadang paru yang kolaps tidak
membentuk garis, akan tetapi berbentuk lobuler sesuai dengan lobus paru.
b. Paru yang mengalami kolaps hanya tampak seperti massa radio opaque yang
berada di daerah hilus. Keadaan ini menunjukkan kolaps paru yang luas sekali.
Besar kolaps paru tidak selalu berkaitan dengan berat ringan sesak napas yang
dikeluhkan.
c. Jantung dan trakea mungkin terdorong ke sisi yang sehat, spatium intercostals
melebar, diafragma mendatar dan tertekan ke bawah. Apabila ada pendorongan
jantung atau trakea ke arah paru yang sehat, kemungkinan besar telah terjadi
pneumotoraks ventil dengan tekanan intra pleura yang tinggi.

b. CT scan
Teknik pemeriksaan CT-SCAN thorax adalah teknik pemeriksaan secara radiologi
untuk mendapatkan informasi anatomis irisan crossectional atau penampang aksial
thorax. 
Teknik Pemeriksaan 

1. Posisi pasien : Supine diatas meja pemeriksaan dengan posisi kepala dekat dengan
gantry. 
2. Posisi objek : 

 Mengatur pasien sehingga Mid Sagital Plane (MSP) tubuh sejajar dengan
lampu indicator longitudinal. Kedua tangan pasien di atas kepala. 
 Memfiksasi lutut dengan menggunakan body clem.
 Menjelaskan kepada pasien untuk inspirasi penuh dan tahan nafas pada saat
pemeriksaan berlangsung.

3. Scan Parameter Scan parameter pemeriksaan CT-Scan thorax adalah seperti


tercantum pada tabel dibawah ini :

Foto sebelum dan sesudah memasukkan Media Kontras Kasus seperti tumor
dibuat foto sebelum dan sesudah pemasukan media kontras. Tujuan dibuat foto
sebelum dan sesudah media kontras adalah untuk melihat apakah ada jaringan
yang menyerap kontras banyak, sedikit atau tidak sama sekali.

c. BGA (Blood Gas Arteri)


Analisis gas darah arteri dapat memberikan gambaran hipoksemi meskipun pada
kebanyakan pasien sering tidak diperlukan. Pada pasien dengan gagal napas yang
berat secara signifikan meningkatkan mortalitas sebesar 10%.
K. Diagnosa Keperawatan
Menurut Doenges (1999) dan Lynda Juall (2000), diagnosa keperawatan yang muncul
pada pasien Pneumotoraks adalah:

1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi paru


2. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi
sekresi kental
3. Resiko terjadi infeksi berhubungan dengan insersi WSD
4. Perubahan nutrisi dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan produksi sputum
5. Kurangnya pengetahuan mengenai kondisi, aturan pengobatan berhubungan
dengan kurang terpajan pada informasi

L. Intervensi keperawatan
Menurut Doenges (1999) dan Lynda Juall (2000), diagnosa keperawatan yang muncul
pada pasien Pneumotoraks adalah :
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi paru
 Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1x24 jam bersihan jalan napas
klien efektif
 Kriteria hasil : Menunjukan pola pernapasan normal/efektif dengan GDA
dalam batas normal. Bebas sianosis dan hipoksia
 Intervensi
1. Mengidentifikasikan etiologi/faktor pencetus, misal : kolaps spontan,
traumam keganasan.
2. Evaluasi fungsi pernapasan, catat kecepatan/pernapasan sesak, dispnea,
terjadinya sianosis, perubahan tanda vital.
3. Awasi kesesuaian pola pernapasan bila menggunakan ventilasi mekanik,
catat perubahan tekanan udara.
4. Auskultasi bunyi napas
5. Catat pengembangan dada dan posisi trakea
6. Kaji fremitus
7. Kaji pasien adanya area nyeri tekan bila batuk, napas dalam.
8. Pertahankan posisi nyaman, biasanya dengan peninggian kepala tempat
tidur, anjurkan pasien untuk duduk sebnayak mungkin
 Rasional
1. Pemahaman penyebab kolaps paru perlu untuk pemasangan wsd yang
tepat
2. Distres pernapasan dan perubahan pada tanda tanda vital dapat terjadi
sebagai akibat stres fisiologi dan nyeri atau dapat menunjukkan terjadinya
syok sehubungan dengan hipoksia/perdarahan.
3. Kesulitan bernapas dengan ventilator atau eningkatan jalan napas diduga
memburuknya kondisi atau terjadinya komplikasi.
4. Bunyi napas dapat menurun atau tak ada pada lobus, segmen paru satu
seluruh area paru (unilateral). Area atelektasis tak ada bunyi napas dan
sebgai area kolaps paru menurunya bunyi. Evaluasi juga dilakukan untuk
area yang baik pertukaran gasnysa dan memberikan dat evaluasi perbaikan
pneumothoraks.
5. Pengembangan dada sama dengan ekpansi paru. Deviasi trakea dari area
sisi yang sakit pada tegangan pneumothoraks.
6. Suara dan taktil fremitus (vibrasi) menurun pada jaringan yang terisi
cairan/konsilidasi.
7. Sokongan terhadap dada dan otot abdominal membuat batuk lebih
efektif/mengurangi trauma.
8. Meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan ekpansi paru dan ventilasi
pada sisi yang sakit.

2. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan produktifitas sekresi kental
 Tujuan : setelah dilakukan asuhan keperawatan 1x24 jam klien menunjukkan
bersihan jalan napas.
 Kriteria hasil : Mempertahankan jalan napas dengan bunyi napas bersih/ jelas,
menunjukkan perilaku untuk memperbaiki bersihan jalan naps, misal batuk
efektif dan mengeluarkan sekret.
 Intervensi
1. Auskultasi bunyi napas. Catat adanya bunyi naps, misal : mengi, krekles,
ronki
2. Kaji/pantau frekuensi pernapasan. Catat rasio inspirasi/ekspirasi
3. Catat adanya dipsnea, gelisah, ansietas, dan distres pernapasan.
4. Kaji pasien untuk posisi yang nyaman, misal : peninggian kepala tempat
tidur, duduk pada sandaran tempat tidur.
5. Bantu latihan napas atau bibir

 Rasional
1. Beberapa derajat spasme bronkus terjadi dengan obstruksi jalan napas dan
dapat/tak diamanestasikan adanya bunyi napas adventisius, misal :
penyebaran, krekles basah ( bronkitis) : bunyi napas redup dengan
ekspirasi mengi (emfisema) atau tak adanya bunyi napas (asma berat).
2. Takipnea biasanya ada pada beberapa derajat dan dapat ditemukan pada
penerimaan atau selama stres/ adanya proses infeksi memanjang dibanding
inspirasi
3. Disfungsi pernapasan adalah variabel yang tergantung pada tahap proses
selain proses akut yang menimbulkan perawatan di rumah sakit, misal :
infeksi, reaksi alergi.
4. Peninggian kepala tempat tidur mempermudah fungsi pernapasan dengan
menggunakan gravitasi.
5. Merilekskan otot halus dan menurunkan kongesti lokal, menurunkan
spasme jalan napas, mengi dan produksi mukosa.
6. Drainase postural dan perkusi bagian penting untuk membuang banyak
sekret kental dan memperbaiki ventilasi pada segmen dasar paru.

3. Resiko terjadi infeksi berhubungan dengan insersi WSD


 Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1x24 jam klien bebas dari
infeksi pada lokasi insersi selama pemasangan
 Kriteriahasil : WSDBebas dari tanda–tanda infeksi : tidak ada kemerahan,
purulent, panas, dan nyeri yang meningkat serta fungsiolisa. Tanda – tanda
vital dalam batas normal.
 Intervensi
1. Berikan pengertian dan motivasi tentang perawatan WSD
2. Kaji tanda – tanda infeksi
3. Monitor reukosit dan LED
4. Dorongan untuk nutrisi yang optimal
5. Berikan perawatan luka dengan teknik aseptic dan anti septic
6. Bila perlu berikan antibiotik sesuai advis.

 Rasional
1. Perawatan mandiri seperti menjaga luka dari hal yang septic tercipta bila
klien memiliki pengertian yang optimal
2. Hipertemi, kemerahan, purulent, menunjukan indikasi infeksi.
3. Leukositosis dan LED yang meningkat menunjukan indikasi infeksi.
4. Mempertahankan status nutrisi serta mendukung system immune
5. Perawatan luka yang tidak benar akan menimbulkan pertumbuhan
mikroorganisme

4. Perubahan nutrisi dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan produksi sputum


 Tujuan : setelah dilakukan asuhan keperawatan 3x24 jam klien menunjukkan
peningkatan nutrisi yang adekuat
 Kriteriahasil : Menunjukkan peningkatan berat badan menuju tujuan yang
tepat dan menunjukkan perubahan pola hidup untuk meningkatkan dan atau
mempertahankan berat yang tepat
 Intervensi
1. Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat ini. Catat derajat kesulitan
makan. Evaluasi berat badan dan ukur tubuh.
2. Auskultasi bunyi usus
3. Dorong periode istirahat selama 1 jam sebelum dan sesudah makan.
Berikan makan porsi kecil tapi sering
 Rasional
1. Penurunan bising usus menunjukkan penurunan mortilitas gaster dan
konstipasi (komplikasi umum) yang berhubungan dengan pembatasan
pemasukan cairan, pilihan makanan buruk, penurunan aktivitas dan
hipoksemia.
2. Membantu menurunkan kelemahan selama waktu makan dan memberikan
kesempatan untuk meningkatkan masukan kalori total.
3. Pasien distres pernapasan akut serng anoreksia karena dispnea produksi
sputum, dan obat.
5. Kurangnya pengetahuan mengenai kondisi, aturan pengobatan berhubungan
dengan kurang terpajan pada informasi
 Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1x24jam klien dan keluarga
dapat mengerti tentang kondisi kesehatan klien
 Kriteriahasil : Menyatakan pemahaman penyebab masalah (bila tahu),
mengidentifikasi tanda/gejala yang memerlukan evaluasi medik, mengkuti
program pengobatan dan menunjukkan perubahan pola hidup yang perlu untuk
mencegah terulangnya masalah.

 Intervensi
1. Kaji patologi masalah individu.
2. Identifikasi kemungkinan kambuh/komplikasi jangka panjang.
3. Kaji ulang praktik kesehtan yang baik,misal : nutrisi baik, istirahat, latihan.
4. Kaji ulang tanda/gejala yang memerlukan evaluasi medik cepat, contoh :
nyeri dada tiba-tiba, dispnea, distres pernapasan lanjut.

 Rasional
1. Informasi menurunkan rasa cemas karena ketidaktahuan. Memberikan
pengetahuan dasar untuk pemahaman kondisi dinamik dan pentingnya
intervensi terapeutik.
2. Mempertahankan kesehtan umum meningkatkan penyembuhan dan dapat
mencegah kekambuhan.
3. Berulangnya pneumotoraks memerlukan intervensi medk untuk
mencegah/menurunkan potensial komplikasi

Anda mungkin juga menyukai