Anda di halaman 1dari 25

TUGAS REFERAT

PNEUMOTHORAKS

Disusun Oleh :
Siti Raudatus Solihah
(H1A014074)

Pembimbing:
dr. Hasan Amin, Sp.Rad

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK


MADYA

DI BAGIAN/ SMF RADIOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM

RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NTB


2019

KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat-Nya
saya dapat menyelesaikan tugas referat ini. Referat ini dibuat dalam rangka
memenuhi salah satu persyaratan Kepaniteraan Klinik Ilmu Radiologi yaitu referat
‘PNEUMOTHORAKS’. Dalam kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih
yang sebesar – besarnya kepada: dr. Hasan Amin, Sp.Rad selaku pembimbing
referat, atas bimbingan serta dukungan dari teman–teman di bagian radiologi yang
telah banyak membantu dalam penyelesaian referat ini.
Akhir kata, disadari bahwa penyajian referat ini masih jauh dari sempurna,
oleh karena itu segala kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan,
semoga referat ini dapat bermanfaat untuk semua pihak, khususnya di bagian Ilmu
Radiologi.

Jakarta, April 2019

Penyusun

2
BAB I

PENDAHULUAN

Pneumothoraks adalah suatu keadaan udara bebas terdapat dalam kavum


pleura. Udara bebas yang terdapat dalam rongga ini dapat menimbulkan
penekanan terhadap organ paru sehingga pengembangan organ paru menjadi tidak
maksimal. Pneumothoraks diklasifikasikan menjadi dua, yaitu pneumotoraks
spontan dan pneumotoraks traumatik1.
Pneumotoraks spontan dapat bersifat primer dan sekunder. Pneumotoraks
sekunder berarti ada penyakit yang menyertai, sedangkan pada pneumotoraks
primer tidak. Pneumotoraks traumatik dapat bersifat iatrogenik dan non
iatrogenik. Iatrogenik berarti berkaitan dengan tindakan atau manuver diagnostik,
sedangkan non iatrogenik berarti tidak berhubungan dengan manuver diagnostik1.
Pneumotoraks sering terjadi pada penderita yang berusia sekitar 40 tahun.
Wanita lebih jarang daripada laki-laki, dengan perbandingan 1:5. Risiko
pneumotoraks spontan pada laki-laki akan meningkat pada perokok berat
dibanding golongan non perokok. Pneumotoraks spontan sering terjadi pada usia
muda, dengan insidensi puncak dekade ketiga kehidupan (20-40 tahun).
Pneumotoraks dapat terjadi sebagai komplikasi dari penyakit pernapasan lain2.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANATOMI
Paru-paru dan pleura mengisi sebagian besar rongga thoraks dengan
jantung di antaranya, sedangkan aorta descendens serta oeshophagus
terletak di belakang jantung. Pleura terbagi atas 2 lapisan, yaitu: pleura
parietalis dan pleura visceralis. Pleura parietalis merupakan selaput tipis
dari membrana serosa yang melapisi rongga pleura. Pada daerah yang
menghadap mediastinum, pleura ini beralih meliputi paru-paru sehingga
disebut pleura visceralis atau pleura pulmonalis. Pleura visceralis ini
membungkus paru-paru dan melekat erat pada permukaannya. Ruangan
potensial antara kedua lapisan pleura ini disebut cavitas pleuralis yang
hanya berisi lapisan tipis cairan untuk lubrikasi3,4.

Gambar 2.1.1 Anatomi dinding dada2.

4
Gambar 2.1.2 Anatomi dinding dada pada X-ray2.
2.2 EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat, insidens pneumotoraks spontan primer pada laki-laki
adalah 7,4 kasus per 100.000 orang tiap tahunnya sementara pada wanita
insidensnya adalah 1,2 kasus per 100.000 orang. Sedangkan insidens
pneumotoraks spontan sekunder pada laki-laki adalah 6,3 kasus per
100.000 orang dan wanita 2,0 per 100.000 orang. Pneumotoraks traumatik
lebih sering terjadi daripada pneumotoraks spontan dengan laju yang
semakin meningkat5.

2.3 DEFINISI
Pneumotoraks adalah suatu keadaan terdapatnya udara atau gas di
dalam pleura akibat robeknya pleua atau suatu keadaan dimana udara
terkumpul di dalam kavum pleura sehingga memisahkan rongga viceralis
dengan parietalis yang menyebabkan kolapsnya paru yang terkena5.

2.4 KLASIFIKASI
Pneumotoraks dapat dikelompokkan menjadi dua berdasarkan
penyebabnya, yaitu2,5 :
1. Pneumotoraks spontan
Setiap pneumotoraks yang terjadi secara tiba-tiba. Pneumotoraks
tipe ini dapat diklasifikasikan lagi ke dalam dua jenis, yaitu:

5
a. Pneumotoraks spontan primer, yaitu pneumotoraks yang terjadi
secara tiba-tiba tanpa diketahui sebabnya.
b. Pneumotoraks spontan sekunder, yaitu pneumotoraks yang terjadi
dengan didasari oleh riwayat penyakit paru yang telah dimiliki
sebelumnya, misalnya fibrosis kistik, penyakit paru obstruktik kronis
(PPOK), kanker paru-paru, asma, dan infeksi paru.
2. Pneumotoraks traumatik
Pneumotoraks yang terjadi akibat adanya suatu trauma, baik
trauma penetrasi maupun bukan, yang menyebabkan robeknya pleura,
dinding dada maupun paru.
Pneumotoraks tipe ini juga dapat diklasifikasikan lagi ke dalam
dua jenis, yaitu :
a. Pneumotoraks traumatik non-iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang
terjadi karena jejas kecelakaan, misalnya jejas pada dinding dada,
barotrauma.
b. Pneumotoraks traumatik iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang terjadi
akibat komplikasi dari tindakan medis. Pneumotoraks jenis ini pun
masih dibedakan menjadi dua, yaitu :
1) Pneumotoraks traumatik iatrogenik aksidental
Suatu pneumotoraks yang terjadi akibat tindakan medis karena
kesalahan atau komplikasi dari tindakan tersebut, misalnya
pada parasentesis dada, biopsi pleura.
2) Pneumotoraks traumatik iatrogenik artifisial (deliberate)
Suatu pneumotoraks yang sengaja dilakukan dengan cara
mengisikan udara ke dalam rongga pleura. Biasanya tindakan
ini dilakukan untuk tujuan pengobatan, misalnya pada
pengobatan tuberkulosis sebelum era antibiotik, maupun untuk
menilai permukaan paru.

Berdasarkan jenis fistulanya, maka pneumotoraks dapat


diklasifikasikan ke dalam tiga jenis2,5,6, yaitu :

6
1. Pneumotoraks Tertutup (Simple Pneumothorax)
Pada tipe ini, pleura dalam keadaan tertutup (tidak ada jejas
terbuka pada dinding dada), sehingga tidak ada hubungan dengan
dunia luar. Tekanan di dalam rongga pleura awalnya mungkin
positif, namun lambat laun berubah menjadi negatif karena diserap
oleh jaringan paru disekitarnya. Pada kondisi tersebut paru belum
mengalami re-ekspansi, sehingga masih ada rongga pleura,
meskipun tekanan di dalamnya sudah kembali negatif. Pada waktu
terjadi gerakan pernapasan, tekanan udara di rongga pleura tetap
negatif.
2. Pneumotoraks Terbuka (Open Pneumothorax),
Pneumothoraks ini terjadi karena terdapat hubungan antara rongga
pleura dengan bronkus yang merupakan bagian dari dunia luar
(terdapat luka terbuka pada dada). Dalam keadaan ini tekanan
intrapleura sama dengan tekanan udara luar. Pada pneumotoraks
terbuka tekanan intrapleura sekitar nol. Perubahan tekanan ini
sesuai dengan perubahan tekanan yang disebabkan oleh gerakan
pernapasan.
Pada saat inspirasi tekanan menjadi negatif dan pada waktu
ekspirasi tekanan menjadi positif. Selain itu, pada saat inspirasi
mediastinum dalam keadaan normal, tetapi pada saat ekspirasi
mediastinum bergeser ke arah sisi dinding dada yang terluka
(sucking wound).
3. Pneumotoraks Ventil (Tension Pneumothorax)
Pneumotoraks ini terhadi karena tekanan intrapleura yang positif
dan makin lama makin bertambah besar karena ada fistel di pleura
viseralis yang bersifat ventil. Pada waktu inspirasi udara masuk
melalui trakea, bronkus serta percabangannya dan selanjutnya terus
menuju pleura melalui fistel yang terbuka. Waktu ekspirasi udara
di dalam rongga pleura tidak dapat keluar. Akibatnya tekanan di
dalam rongga pleura makin lama makin tinggi dan melebihi

7
tekanan atmosfer. Udara yang terkumpul dalam rongga pleura ini
dapat menekan paru sehingga sering menimbulkan gagal napas.

2.5 DIAGNOSIS

2.5.1 Gejala Klinis


Berdasarkan anamnesis, gejala dan tanda yang sering muncul
adalah (2,4,5) :
1. Sesak napas, didapatkan pada hampir 80-100% pasien. Seringkali
sesak dirasakan mendadak dan makin lama makin berat. Penderita
bernapas tersengal, pendek-pendek, dengan mulut terbuka.
2. Nyeri dada, yang didapatkan pada 75-90% pasien. Nyeri dirasakan
tajam pada sisi yang sakit, terasa berat, tertekan dan terasa lebih nyeri
pada gerak pernapasan.
3. Batuk-batuk, yang didapatkan pada 25-35% pasien.
4. Denyut jantung meningkat.
5. Kulit mungkin tampak sianosis karena kadar oksigen darah yang
kurang.
6. Tidak menunjukkan gejala (silent) yang terdapat pada 5-10% pasien,
biasanya pada jenis pneumotoraks spontan primer.
2.5.2 Pemeriksaan Fisis
Pada pemeriksaan fisik torak didapatkan (3,4) :
1. Inspeksi :

8
a. Dapat terjadi pencembungan pada sisi yang sakit (hiper ekspansi
dinding dada)
b. Pada waktu inspirasi, bagian yang sakit gerakannya tertinggal
c. Trakea dan jantung terdorong ke sisi yang sehat
2. Palpasi :
a. Pada sisi yang sakit, ruang antar iga dapat normal atau melebar
b. Iktus jantung terdorong ke sisi toraks yang sehat
c. Fremitus suara melemah atau menghilang pada sisi yang sakit
3. Perkusi :
a. Suara ketok pada sisi sakit, hipersonor sampai timpani dan tidak
menggetar
b. Batas jantung terdorong ke arah toraks yang sehat, apabila tekanan
intrapleura tinggi
4. Auskultasi :
a. Pada bagian yang sakit, suara napas melemah sampai menghilang
b. Suara vokal melemah dan tidak menggetar serta bronkofoni
negatif.

2.5.3 Pemeriksaan Penunjang

2.5.3.1 Foto Thoraks

Pneumotoraks pada foto thoraks dapat ditegakkan dengan melihat


tanda-tanda sebagai berikut : adanya gambaran hiperlusen avaskular pada
hemitoraks yang mengalami pneumotoraks. Hiperlusen avaskular
menunjukkan paru yang mengalami pneumothoraks dengan paru yang
kolaps memberikan gambaran radioopak. Bagian paru yang kolaps dan
yang mengalami pneumotoraks dipisahkan oleh batas paru kolaps berupa
garis radioopak tipis yang berasal dari pleura visceralis, yang biasa dikenal
sebagai pleural white line.

9
Gambar 2.5.3.1.1. Tanda panah menunjukkan pneumothorax line7.

Gambar 2.5.3.1.2. Foto thoraks yang menunjukkan pneumotoraks


(PA), bagian yang ditunjukkan dengan anak panah merupakan bagian
paru yang kolaps7.8.

10
Gambar 2.5.3.3. Foto thoraks (PA), bagian yang ditunjukkan
dengan anak panah merupakan pleural line yang terpisah dari udara
paru-paru pada pleural space8.

11
Gambar 2.5.3.1.4. Foto thoraks (PA), bagian yang ditunjukkan
dengan anak panah merupakan gambaran pneumothoraks luas yang
mendekati gambaran collapse paru kanan yang komplit7.

Untuk mendeteksi pneumotoraks pada foto dada posisi supine


orang dewasa maka tanda yang dicari adalah adanya deep sulcus sign. (11)
Normalnya, sudut kostofrenikus berbentuk lancip dan rongga pleura
menembus lebih jauh ke bawah hingga daerah lateral dari hepar dan lien.
Jika terdapat udara pada rongga pleura, maka sudut kostofrenikus menjadi
lebih dalam daripada biasanya. Oleh karena itu, seorang klinisi harus lebih
berhati-hati saat menemukan sudut kostofrenikus yang lebih dalam
daripada biasanya atau jika menemukan sudut kostofrenikus menjadi
semakin dalam dan lancip pada foto dada serial. Jika hal ini terjadi maka
pasien sebaiknya difoto ulang dengan posisi tegak. Selain deep sulcus
sign, terdapat tanda lain pneumotoraks berupa tepi jantung yang terlihat
lebih tajam. Keadaan ini biasanya terjadi pada posisi supine di mana udara
berkumpul di daerah anterior tubuh utamanya daerah medial.

Gambar 2.5.3.1.5. Foto thoraks (PA), bagian yang ditunjukkan


dengan anak panah merupakan gambaran deep sulcus sign pada
pneumothoraks8.

12
Foto dada pada pasien pneumotoraks sebaiknya diambil dalam
posisi tegak sebab sulitnya mengidentifikasi pneumotoraks dalam posisi
supinasi. Selain itu, foto dada juga diambil dalam keadaan ekspirasi
penuh.

Gamb
ar 2.5.3.1.6. Gambaran pneumothoraks kanan minimal pada saat ekspirasi
(kiri) dan saat inspirasi (kanan)7

Jika pneumotoraks luas maka akan menekan jaringan paru ke arah


hilus atau paru menjadi kolaps di daerah hilus dan mendorong
mediastinum ke arah kontralateral. Jika pneumotoraks semakin
memberat, akan mendorong jantung yang dapat menyebabkan gagal
sirkulasi. Jika keadaan ini terlambat ditangani akan menyebabkan
kematian pada penderita pneumotoraks tersebut. Selain itu, sela iga
menjadi lebih lebar.

13
Gambar 2.5.3.1.7. Gambaran pneumothoraks kanan7.

Besarnya kolaps paru bergantung pada banyaknya udara yang


dapat masuk ke dalam rongga pleura. Pada pasien dengan adhesif pleura
(menempelnya pleura parietalis dan pleura viseralis) akibat adanya reaksi
inflamasi sebelumnya maka kolaps paru komplit tidak dapat terjadi. Hal
yang sama juga terjadi pada pasien dengan penyakit paru difus di mana
paru menjadi kaku sehingga tidak memungkinkan kolaps paru komplit.
Pada kedua pasien ini perlu diwaspadai terjadinya loculated
pneumothorax atau encysted pneumothorax. Keadaan ini terjadi karena
udara tidak dapat bergerak bebas akibat adanya adhesif pleura. Tanda
terjadinya loculated pneumothorax adalah adanya daerah hiperlusen di
daerah tepi paru yang berbentuk seperti cangkang telur.

14
Gambar 2.5.3.1.8. Gambaran tension pneumothoraks kiri7.

Ekspirasi penuh menyebabkan volume paru berkurang dan relatif


menjadi lebih padat sementara udara dalam rongga pleura tetap konstan
sehingga lebih mudah untuk mendeteksi adanya pneumotoraks utamanya
yang berukuran lebih kecil. Perlu diingat, pneumotoraks yang terdeteksi
pada keadaan ekspirasi penuh akan terlihat lebih besar daripada ukuran
sebenarnya.

Gambar 2.5.3.1.9. Gambaran emfisema subkutan8

15
Bila ada cairan di dalam rongga pleura, maka akan tampak
permukaan cairan sebagai garis datar di atas diafragma; yang biasa
ditemui pada kasus Hidropneumotoraks.

Gambar 2.5.3.1.10. Gambaran Hidropneumothoraks7

Gambar 2.5.3.1.11. Garis true pneumothorax. Di bahwa garis


pleura visceral terlihat tidak adanya gambaran vaskular pada garis
pleura.

16
2.5.3.2 CT Scan

2.6 DIAGNOSIS BANDING

Gambar 2.5.3.2.1 Tension pneumotoraks kiri (kiri), CT Scan thoraks


potongan axial dari tension pneumotoraks (kanan)

\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\

Gambar 2.5.3.2.2 X-ray thoraks AP dengan pasien diintubasi, menggambarkan


ruang udara berdifusi opasitas pada paru kiri bawah (kiri). Kesan pneumothoraks
karena garis pleura terlihat di apeks paru-paru dan terlihat sulkus kardiophrenik.
CT-Scan thoraks menggambarkan pneumothoraks sisi kiri dengan kolaps paru
(kanan).

17
2.5.3.3 Ultrasonografi

Gambar 2.5.3.3.1. Pencitraan USG normal pada M-mode (kiri) dan B-


mode (kanan)7

Gambar 2.5.3.3.2 Pencitraan USG pneumothoraks pada M-mode (kiri) dan


B-mode (kanan)7

18
2.6 Diagnosis Banding

Pneumotoraks dapat memberi gejala seperti infark miokard, emboli paru,


dan pneumonia. Pada pasien muda, tinggi, laki-laki, dan perokok jika setelah
difoto diketahui ada pneumotoraks maka diagnosis umumnya menjurus ke
pneumothoraks spontan primer. Pneumotoraks spontan sekunder kadang-kadang
sulit dibedakan dengan pneumotoraks yang terlokalisasi dari suatu bleb atau
bulla5.6.
Dalam radiologi, bleb atau bulla digambarkan sebagai area yang
hiperlusen, dengan dinding bleb atau bulla yang sangat tipis. Dalam beberapa
kasus, dimana bleb atau bulla menyerang 1 lobus paru, dapat memberikan
gambaran radiologi yang mirip dengan pneumotoraks. Untuk membedakannya,
dapat dilihat dari daerah yang hiperlusen apakah pada daerah tersebut terdapat
gambaran vaskularisasi atau tidak. Pada pneumotoraks daerah hiperlusen-nya
tidak terdapat vaskular sehingga biasa disebut hiperlusen avaskular, sedangkan
pada bleb atau bulla terdapat garis-garis trabekula pada daerah paru yang
mengalami bleb atau bulla. Selain itu, pada bleb atau bulla yang besar, jaringan
paru di sekitar bulla akan mengalami pemadatan yang diakibatkan oleh
pendesakan bulla tersebut kepada jaringan paru5.6.

Gambar 2.6 Gambaran bula pada hemithoraks kanan (foto thoraks AP).

19
2.7 Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan pneumotoraks adalah untuk
mengeluarkan udara dari rongga pleura dan menurunkan kecenderungan
untuk kambuh lagi. Pada prinsipnya, penatalaksanaan pneumotoraks
adalah sebagai berikut :
1. Observasi dan Pemberian O2
Apabila fistula yang menghubungkan alveoli dan rongga pleura
telah menutup, maka udara yang berada didalam rongga pleura
tersebut akan diresorbsi. Laju resorbsi tersebut akan meningkat apabila
diberikan tambahan O2. Observasi dilakukan dalam beberapa hari
dengan foto toraks serial tiap 12-24 jam pertama selama 2 hari6.
2. Tindakan dekompresi
Hal ini sebaiknya dilakukan seawal mungkin pada kasus
pneumotoraks yang luasnya >15%. Pada intinya, tindakan ini bertujuan
untuk mengurangi tekanan intra pleura dengan membuat hubungan
antara rongga pleura dengan udara luar dengan cara 6 :
a. Menusukkan jarum melalui dinding dada terus masuk rongga
pleura, dengan demikian tekanan udara yang positif di rongga
pleura akan berubah menjadi negatif karena mengalir ke luar
melalui jarum tersebut 6.
b. Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontra ventil :
1) Dapat memakai infus set
Jarum ditusukkan ke dinding dada sampai ke dalam
rongga pleura, kemudian infus set yang telah dipotong pada
pangkal saringan tetesan dimasukkan ke botol yang berisi air.
Setelah klem penyumbat dibuka, akan tampak gelembung
udara yang keluar dari ujung infus set yang berada di dalam
botol 6.
2) Jarum abbocath
Jarum abbocath merupakan alat yang terdiri dari
gabungan jarum dan kanula. Setelah jarum ditusukkan pada

20
posisi yang tetap di dinding toraks sampai menembus ke
rongga pleura, jarum dicabut dan kanula tetap ditinggal.
Kanula ini kemudian dihubungkan dengan pipa plastik infus
set. Pipa infuse ini selanjutnya dimasukkan ke botol yang
berisi air. Setelah klem penyumbat dibuka, akan tampak
gelembung udara yang keluar dari ujung infuse set yang
berada di dalam botol 6.
3) Pipa water sealed drainage (WSD)
Pipa khusus (toraks kateter) steril, dimasukkan ke
rongga pleura dengan perantaraan troakar atau dengan
bantuan klem penjepit. Pemasukan troakar dapat dilakukan
melalui celah yang telah dibuat dengan bantuan insisi kulit di
sela iga ke-4 pada linea mid aksilaris atau pada linea aksilaris
posterior. Selain itu dapat pula melalui sela iga ke-2 di garis
mid klavikula.
Setelah troakar masuk, maka toraks kateter segera
dimasukkan ke rongga pleura dan kemudian troakar dicabut,
sehingga hanya kateter toraks yang masih tertinggal di
rongga pleura. Selanjutnya ujung kateter toraks yang ada di
dada dan pipa kaca WSD dihubungkan melalui pipa plastik
lainnya. Posisi ujung pipa kaca yang berada di botol
sebaiknya berada 2 cm di bawah permukaan air supaya
gelembung udara dapat dengan mudah keluar melalui
perbedaan tekanan tersebut .
Penghisapan dilakukan terus-menerus apabila tekanan
intrapleura tetap positif. Penghisapan ini dilakukan dengan
memberi tekanan negatif sebesar 10-20 cm H 2O, dengan
tujuan agar paru cepat mengembang. Apabila paru telah
mengembang maksimal dan tekanan intra pleura sudah
negatif kembali, maka sebelum dicabut dapat dilakukuan uji
coba terlebih dahulu dengan cara pipa dijepit atau ditekuk

21
selama 24 jam. Apabila tekanan dalam rongga pleura kembali
menjadi positif maka pipa belum bisa dicabut. Pencabutan
WSD dilakukan pada saat pasien dalam keadaan ekspirasi
maksimal 2,6.

3. Torakoskopi
Yaitu suatu tindakan untuk melihat langsung ke dalam rongga
toraks dengan alat bantu torakoskop.

4. Torakotomi
5. Tindakan bedah 2,6
a. Dengan pembukaan dinding toraks melalui operasi, kemudian
dicari lubang yang menyebabkan pneumotoraks kemudian dijahit
b. Pada pembedahan, apabila ditemukan penebalan pleura yang
menyebabkan paru tidak bias mengembang, maka dapat dilakukan
dekortikasi.
c. Dilakukan resesksi bila terdapat bagian paru yang mengalami
robekan atau terdapat fistel dari paru yang rusak

22
d. Pleurodesis. Masing-masing lapisan pleura yang tebal dibuang,
kemudian kedua pleura dilekatkan satu sama lain di tempat fistel.
6. Penatalaksanaan tambahan
1. Apabila terdapat proses lain di paru, maka pengobatan tambahan
ditujukan terhadap penyebabnya. Misalnya : terhadap proses TB
paru diberi OAT, terhadap bronkhitis dengan obstruksi saluran
napas diberi antibiotik dan bronkodilator.
2. Istirahat total untuk menghindari kerja paru yang berat.
3. Pemberian antibiotik profilaksis setelah setelah tindakan bedah
dapat dipertimbangkan, untuk mengurangi insidensi komplikasi,
seperti emfisema.
7. Rehabilitasi
1. Penderita yang telah sembuh dari pneumotoraks harus dilakukan
pengobatan secara tepat untuk penyakit dasarnya.
2. Untuk sementara waktu, penderita dilarang mengejan, batuk atau
bersin terlalu keras.
3. Bila mengalami kesulitan defekasi karena pemberian antitusif,
berilah laksan ringan.
4. Kontrol penderita pada waktu tertentu, terutama kalau ada keluhan
batuk, sesak napas.

2.8 Prognosis
Pasien dengan pneumotoraks spontan hampir separuhnya akan
mengalami kekambuhan, setelah sembuh dari observasi maupun setelah
pemasangan tube thoracostomy4. Kekambuhan jarang terjadi pada pasien-
pasien pneumotoraks yang dilakukan torakotomi terbuka. Pasien-pasien
yang penatalaksanaannya cukup baik, umumnya tidak dijumpai
komplikasi. Pasien pneumotoraks spontan sekunder tergantung penyakit
paru yang mendasarinya, misalkan pada pasien PSS dengan PPOK harus
lebih berhati-hati karena sangat berbahaya6.

23
BAB III
KESIMPULAN
Pneumotoraks adalah suatu keadaan dimana rongga pleura terisi oleh
udara, sehingga menyebabkan pendesakan terhadap jaringan paru yang
menimbulkan gangguan dalam pengembangannya terhadap rongga dada saat
proses respirasi. Pasien pneumothoraks sering mengeluhkan adanya sesak napas
dan nyeri dada.
Keadaan pneumotoraks dapat terjadi baik secara spontan maupun
traumatik. Pneumotoraks spontan itu sendiri dapat bersifat primer dan sekunder.
Sedangkan pneumotoraks traumatik dapat bersifat iatrogenik dan non iatrogenik.
Dan menurut fistel yang terbentuk, maka pneumotoraks dapat bersifat terbuka,
tertutup dan ventil (tension).
Diagnosa pneumotoraks didasarkan pada hasil foto rontgen berupa
gambaran radio-hiperlusen tanpa adanya corakan bronkovaskuler pada lapang
paru yang terkena, disertai adanya garis putih yang merupakan batas paru (deep
sulcus sign). Dari hasil rontgen juga dapat diketahui seberapa berat proses yang
terjadi melalui luas area paru yang terkena pendesakan serta kondisi jantung dan
trakea.
CT-Scan thoraks merupakan gold standard untuk deteksi dini pneumothoraks dan
sebagai pilihan modalitas imajing untuk pasien-pasien dengan trauma tumpul yang serius.
Perlu direkomendasikan untuk setiap pasien trauma yang dikirim ke UGD dengan gejala
distres nafas harus dirujuk untuk melakukan CT-Scan thoraks walaupun pada x-ray polos
thoraks tidak menunjukkan kelainan. Penggunaan ultrasonografi baik digunakan untuk
pasienpasien trauma dimana pemeriksaan ini merupakan modalitas awal.

24
DAFTAR PUSTAKA
1. Guyton, Arthur, C. Hall, John, E. Ventilasi paru. Dalam : Buku Ajar
Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta : EGC; 2007. P. 495-500.
2. Alsagaff, Hood. Mukty, H. Abdul. Pneumotoraks. Dalam : Dasar-
Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Airlangga University Press.
2009. p. 162-179
3. Sjamsuhidajat, R. Dinding toraks dan pleura. Dalam : Buku Ajar Ilmu
Bedah. Jakarta : EGC. 1997. P.404-419.
4. Wibowo, Daniel, S. Paryana, Widjaja. Rongga thorax. Dalam :
Anatomi Tubuh Manusia. Yogyakarta : Graha Ilmu. 2009. P. 209-220.
5. Ekayuda, I. Pneumotoraks. Dalam : Radiologi Diagnostik. Edisi
Kedua. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2005. P.119-122.
6. Hisyam, B. Budiono, Eko. Pneumothoraks spontan. Dalam : Sudoyo,
Aru, W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. K, Marcellus, Simadibrata.
Setiati, Siti (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi IV.
Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2006. P. 1063-1068.
7. Bascom, R. Pneumothorax. Cited on [11 April 2019]. Available from
http://emedicine.medscape.com/article/827551
8. Alhameed, F.M. Pneumothorax imaging. Cited on [11 April 2019].
Available from www.emedicine.com

25

Anda mungkin juga menyukai