Anda di halaman 1dari 32

Case Report Session

Pneumothorax

Oleh:
Melita Husna 1940312087

Safira Nurfadila Harahap 1940312146

Preseptor :
dr. Oea Khairsyaf, Sp.P (K)
dr. Dessy Mizarti, Sp.P

BAGIAN PULMONOLOGI DAN ILMU KEDOKTERAN RESPIRASI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR M. DJAMIL PADANG
2020

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 1


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan pada Allah karena berkat rahmat
dan hidayah- Nya penulis dapat menyelesaikan laporan Case Report
Session yang berjudul Pneumothorax. Laporan ini disusun untuk
memenuhi salah satu syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinik di
Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi di Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas.

Terima kasih penulis ucapkan kepada dr. Oea Khairsyaf, Sp.P (K)
dan dr. Dessy Mizarti, Sp.P sebagai pembimbing yang telah memberikan
arahan dan petunjuk, dan semua pihak yang telah membantu dalam
penulisan laporan ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa laporan ini masih memiliki


banyak kekurangan. Untuk itu kritik dan saran sangat penulis harapkan
untuk menyempurnakan laporan ini. Akhir kata, semoga Case Report
Session ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

2Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


DAFTAR ISI

Halaman Depan
DAFTAR ISI iii
BAB 1 PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Tujuan Penulisan 2
1.3 Manfaat Penulisan 2
1.4 Metode Penulisan 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 3
BAB 3 LAPORAN KASUS 16
BAB 4 DISKUSI 25
DAFTAR PUSTAKA 29

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 3


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pneumothorak adalah salah satu kondisi kegawatdaruratan dimana


terdapatnya udara atau gas dalam rongga pleura yang pada keadaan normal tidak
berisi udara. Insidennya mencapai 2,4-17,8 per 100.000/tahun yang lebih sering
pada laki-laki dan usia dekade 3 dan 4.1
Pneumothoraks dapat terjadi spontan atau traumatik. Pneumothoraks
spontan dibagi menjadi primer dan sekunder. Primer jika penyebab tidak
diketahui, dan sekunder jika ada penyakit dasar yang menyertai. Traumatik dibagi
menjadi iatrogenik dan bukan iatrogenik. 2
Kasus pneumothorax lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan
18-28 per 100.000 pada lakilaki dan 1,2-6 pada wanita. 2
Penelitian oleh Khan
(2009) di Pakistan menyebutkan angka kejadian pneumothoraks pada laki-laki
adalah 64,10% dan pada perempuan adalah 35,90% dengan rerata usia pada 49
tahun. Penelitian tersebut juga menyebutkan angka kejadian pneumothoraks lebih
tinggi pada perokok sekitar 9 kali lipat pada perempuan dan 22 kali lebih tinggi
pada laki-laki perokok.3 Penelitian tahun 2000-2004 yang dilakukan di RSU
Dr.Soetomo mendapatkan 77% penyebab terjadinya pneumotorak disebabkan
tuberkulosis paru.4 Penelitian yang dilakukan di RSUP Dr.M.Djamil pada tahun
2011-2013 juga melaporkan penyebab pneumothoraks terbanyak adalah
tuberkulosis paru sebanyak 51,9%.5
Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan
diperkuat dengan pemeriksaan rontgent thoraks. Penatalaksanaan ditujukan untuk
menghilangkan keluhan pasien, menurunkan kecenderungan untuk berulang
kembali dan pengobatan terhadap penyakit dasar. Kelalaian dalam
penatalaksanaan dapat berakibat timbulnya komplikasi berupa
pneumomediastinum, emfisema subkutan, gagal napas akut dan bahkan sampai
kematian.2

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 1


1.2 Batasan Masalah
Case report session ini membahas mengenai definisi, klasifikasi, etiologi,
patofisiologi, manifestasi klinis, dan penatalaksanaan dari pneumothoraks
spontan.
1.3 Tujuan Penulisan
Mengetahui definisi, klasifikasi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis,
dan penatalaksanaan dari pneumothoraks spontan.
1.4 Manfaat Penulisan
Menambah pengetahuan tentang definisi, klasifikasi, etiologi, patofisiologi,
manifestasi klinis, dan penatalaksanaan dari pneumothoraks spontan.
1.5 Metode Penulisan
Penulisan Case report session ini berupa hasil dari pemeriksaan pasien,
rekam medis pasien, tinjauan kepustakaan merujuk pada berbagai literatur,
termasuk buku teks dan artikel ilmiah.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 2


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Pneumotoraks

Pneumotoraks merupakan keadaan dimana terdapatnya udara dalam rongga


pleura, antara paru dan dinding dada, yang dapat menyebabkan kolapsnya paru.
Biasanya, udara yang masuk ke rongga pleura berasal dari kebocoran paru yang
sudah ada kelainan sebelumnya, dan jarang yang berasal dari luar akibat trauma
dinding dada.4
2.2 Klasifikasi Pneumotoraks
Klasifikasi pneumotoraks berdasarkan penyebabnya sebagai berikut :5

1. Pneumotoraks spontan
Pneumotoraks spontan adalah setiap pneumotoraks yang terjadi tiba-tiba tanpa
adanya suatu penyebab (trauma atau iatrogenik), ada dua jenis yaitu: 5
a. Pneumotoraks spontan primer.5
Pneumotoraks spontan primer (PSP) adalah suatu pneumotoraks yang
terjadi tanpa ada riwayat penyakit paru yang mendasari sebelumnya,
umumnya pada individu sehat, dewasa muda, tidak berhubungan dengan
aktivitas fisik yang berat tapi justru terjadi pada saat istirahat dan sampai
sekarang belum diketahui penyebabnya.5
Mekanisme yang diduga mendasari terjadinya PSP adalah ruptur bleb
subpleura pada apeks paru-paru. Udara yang terdapat di ruang intrapleura
tidak didahului oleh trauma, tanpa disertai kelainan klinis dan radiologis.
Riwayat keluarga dengan kejadian serupa dan kebiasaan merokok
meningkatkan resiko terjadinya pneumotoraks ini.5
Faktor yang saat ini diduga berperan dalam patomekanisme PSP adalah
terdapat sebagian parenkim paru-paru yang meningkat porositasnya.
Peningkatan porositas menyebabkan kebocoran udara viseral dengan atau
tanpa perubahan emfisematous paru-paru. Hubungan tinggi badan dengan
peningkatan resiko terjadinya PSP adalah karena gradien tekanan pleura
meningkat dari dasar ke apeks paru. Akibatnya, alveoli pada apeks
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 3
paru-paru orang bertubuh tinggi rentan terhadap meningkatnya tekanan
yang dapat mendahului proses pembentukan kista subpleura.5

PSP umumnya dapat ditoleransi dengan baik oleh penderitanya


karena tidak adanya penyakit paru-paru yang mendasari. Pada sebagian
besar kasus PSP, gejala akan berkurang atau hilang secara spontan dalam
24-48 jam.5
b. Pneumothoraks spontan sekunder.5
Pneumotoraks spontan sekunder (PSS) adalah suatu
pneumotoraksyang terjadi karena penyakit paru yang mendasarinya
(tuberukulosis paru, PPOK, asma bronkial, pneumotoraks, tumor paru, dan
sebagainya). Pasien PSS bilateral dengan reseksi torakoskopi dijumpai
adanya metastase paru yang primernya berasal dari sarkomma jaringan
lunak luar paru.5
2. Pneumotoraks traumatik5
Pneumotoraks traumatik adalah pneumotoraks yang terjadi akibat
suatu trauma, baik trauma penetrasi maupun bukan yang menyebabkan
robeknya pleura, dinding dada maupun paru. Pneumotoraks traumatik
diperkirakan 40% dari semua kasus pneumotoraks. Pneumotoraks traumatik
tidak harus disertai dengan fraktur iga maupun luka penetrasi yang terbuka.
Trauma tumpul atau kontusio pada dinding dada juga dapat menimbulkan
pneumotoraks. Beberapa penyebab trauma penetrasi pada dinding dada
adalah luka tusuk, luka tembak, akibat tusukan jarum maupun pada saat
dilakukan kanulasi vena sentral.5
a. Pneumotoraks Traumatik Iatrogenik
Suatu pneumotoraks yang terjadi akibat komplikasi dari tindakan medis.
Pneumotoraks jenis ini dibedakan menjadi dua yaitu :5
1) Pneumotoraks Traumatik Iatrogenik Aksidental yaitu
penumothoraks yang terjadi akibat tindakan medis karena
kesalahan/komplikasi tindakan medis tersebut. 4
2) Pneumotoraks Traumatik Iatrogenik Artifisial yaitu pneumotoraks
yang sengaja dilakukan dengan cara mengisi udara ke dalam rongga

pleura melalui jarum dengan suatu alat Maxwell box.4


Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 4
b. Pneumotoraks Traumatik bukan Iatrogenik
Penumothoraks yang terjadi karena jejas kecelakaan, misalnya jejas
pada dinding dada baik terbuka maupun tertutup. Pneumotoraks jenis ini
terjadi akibat trauma tumpul atau tajam yang merusak pleura viseralis atau
parietalis. Pada trauma tajam, luka menyebabkan udara dapat masuk ke
rongga pleura langsung ke dinding toraks atau menuju pleura viseralis
melalui cabang-cabang trakeobronkial. Luka tusuk atau luka tembak secara
langsung melukai paru-paru perifer menyebabkan terjadinya hemothoraks
dan pneumotoraks di lebih dari 80% lesi di dada akibat benda tajam.4

Pada trauma tumpul pneumotoraks terjadi apabila pleura viseralis


terobek oleh fraktur atau dislokasi costae. Kompresi dada tiba-tiba
menyebabkan peningkatan tekanan alveolar secara tajam dan kemudian
terjadi ruptur alveoli. Saat alveoli ruptur udara masuk ke rongga intersisiel
dan terjadi diseksi menuju pleura viseralis atau mediastinum. Pneumotoraks
terjadi saat terjadi ruptur pada pleura viseralis atau mediastinum dan udara
masuk ke rongga pleura.4

Pneumotoraks traumatik bukan iatrogenik juga dapat terjadi akibat


barotrauma. Pada suhu konstan, volume massa udara berbanding terbalik
dengan tekanannya, sehingga apabila ditempatkan pada ketinggian 3050 m,
volume udara yang tersaturasi pada tubuh meningkat 1,5 kali lipat daripada
saat di ketinggian permukaan laut. Pada peningkatan tekanan tersebut,
udara yang terjebak dalam bleb dapat mengalami ruptur dan menyebabkan
pneumotoraks. Hal ini biasanya terjadi pada kru pesawat terbang.
Sedangkan pada penyelam, udara yang terkompresi dialirkan ke paru-paru
harus melalui regulator dan sewaktu naik ke permukaan barotrauma dapat
terjadi seiring dengan penurunan tekanan secara cepat sehingga udara yang
terdapat di paru-paru dapat menyebabkan pneumotoraks.4

Sedangkan berdasarkan jenis fistulanya pneumotoraks dapat dibagi


menjadi tiga, yaitu :4
a. Pneumotoraks tertutup (simple pneumothorax).

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 5


Pneumotoraks tertutup yaitu suatu pneumotoraks dengan tekanan
udara di rongga pleur yang sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan
tekanan pleura pada sisi hemitoraks kontralateral tetapi tekanannya
masih lebih rendah dari tekanan atmosfer. Pada jenis ini tidak
didapatkan defek atau luka terbuka dari dinding dada.
b. Pneumotoraks terbuka (open pneumothorax).
Pneumotoraks terbuka terjadi karena luka terbuka pada dinding
dada sehingga pada saat inspirasi udara dapat keluar melalui luka
tersebut. Pada saat inspirasi, mediastinum dalam keadaan normal tetapi
pada saat ekspirasi mediastinum kearah sisi dinding dada yang terluka
(sucking wound) dapat dilihat pada gambar 2.1.

Gambar 2.1. Open Pneumothorax5

c. Tension pneumotoraks.
Tension pneumotoraks terjadi karena mekanisme check valve yaitu
pada saat inspirasi udara masuk ke dalam rongga pleura, tetapi pada saat
ekspirasi udara dari rongga pleura tidak dapat keluar. Semakin lama
tekanan udara di dalam rongga pleura akan meningkat dan melebihi
tekanan atmosfir. Udara yang sering menimbulkan gagal nafas.
Pneumotoraks ini juga sering disebut pneumotoraks ventil.9

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 6


Gambar 2.2. Tension pneumotoraks5

Pneumotoraks berdasarkan etiologinya terbagi atas dua, yakni


spontan dan traumatik. Penumotoraks spontan terbagi menjadi dua,
pneumotoraks spontan primer dan sekunder.2 Pneumotoraks spontan primer
merupakan pneumotoraks yang terjadi pada orang tanpa adanya penyakit
paru-paru yang mendasari. Pneumotoraks sekunder terjadi pada orang
dengan adanya penyakit paru-paru yang mendasari. Pada trauma
pneumotoraks biasanya didahului oleh adanya lubang pada dinding dada
akibat adanya luka tusuk atau luka tembak, atau karena adanya trauma pada
paru-paru.4

2.3 Epidemiologi
Kejadian pneumotoraks pertahun sebanyak 18 -28 per 100.000 pada laki-
laki dan 1,2-6 pada perempuan.4 Angka kejadian pneumotoraks spontan skunder
lebih sering terjadi pada laki-laki dibanding dengan perempuan, masing-masing
7,4-18 per 100.000 dan 1,2 – 6 per 100.000 per tahun.2 Pada penelitian di Inggris
insiden pneumotoraks spontan primer 24 per 100.000 pada laki-laki dan 9,8 per
100.000 pada perempuan. Angka kematian karena pneumotoraks dalam
sebuah penelitian di Inggris lebih tinggi pada laki-laki dibanding dengan
perempuan, yakni mencapai 1,26 per juta per tahun, lebih tinggi pada orang tua,
dan pada orang dengan pneumotoraks sekunder.4

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 7


2.4 Etiologi dan faktor risiko
Pneumotoraks spontan primer merupakan pneumotoraks yang terjadi pada
orang tanpa adanya penyakit paru-paru yang mendasari. Pneumotoraks sekunder
terjadi pada orang dengan adanya penyakit paru-paru yang mendasari. Pada
trauma pneumotoraks biasanya didahului oleh adanya lubang pada dinding dada
akibat adanya luka tusuk atau luka tembak, atau karena adanya trauma pada paru-
paru, atau karena iatrogenik dapat menjadi penyebab pneumotoraks.4,6
Penyebab pneumotoraks spontan primer tidak diketahui, tetapi faktor
risikonya umumnya terjadi pada laki-laki, usia muda, bertubuh kurus dan tinggi.
Merokok merupakan salah satu risiko yang berkaitan dengan terjadinya
pneumotoraks spontan primer. Pada perokok lebih berisiko 100 kali untuk terkena
pneumotoraks dibandingkan dengan non perokok. Pada beberapa penelitian juga
dikatakan bahwa adanya riwayat keluarga menjadi salah satu faktor risiko
terjadinya pneumotoraks spontan primer.4,6
Pada pneumotoraks spontan sekunder, adanya penyakit paru-paru yang
mendasari. Penyakit paru yang bisa menyebabkan pneumotoraks spontan
sekunder seperti penyakit paru kronik ( PPOK, asma bronkial), infeksi paru
( tuberkulosis, pneumocystic carinii, abses paru), penyakit paru intersisial,
penyakit jaringan ikat sistemik seperti Marfan sindrom, dan keganasan paru.
Penyakit yang paling umum menyebabkan tejadinya pneumotoraks spontan
sekunder adalah PPOK.4,6

2.5 Patogenesis dan Patofisiologi


Tekanan dalam rongga pleura lebih negatif dibanding tekanan alvoli.
Tekanan intrapleura yang negatif tidak sama pada semua rongga pleura, terdapat
gradien sebesar 0,25 cmH2O untuk setiap 1 cm jarak vertikal. Pada bagian apeks,
tekanan lebih negatif dari bagian basal. Perbedaan tekanan inilah yang
menyebabkan distensi alveoli yang berada di apeks secara berlebihan. Apabila
terdapat penghubung antara alveoli dengan rongga pleura, maka udara akan
mengalir menuju rongga pleura sampai tekanan alveoli dan intrapleura sama.4,6,7
Udara yang berada di rongga pleura akan dikeluarkan melalui proses difusi
dari rongga pleura menuju aliran vena. Laju absorbsi ini tergantung pada beberapa

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 8


variabel yaitu; gradien tekanan antara rongga pleura dengan aliran vena,
permiabilitas permukaan pleura, luas kontak antara udara dengan permukaan
pleura, dan properti untuk difusi. 4,6,7
PSP terjadi karena pecahnya bleb atau bula yang diperkirakan karena over
distensi alveoli. Udara dapat merobek selaput bronkovaskular dibagian medial,
sehingga menyebabkan pneumomediastinum yang akan diikuti dengan emfisema
dan pneumotorak. Udara juga dapat merobek bagian perifer dari paru, diseksi
perifer ini akan menyebabkan udara masuk ke rongga pleura. 4,6,7
Konsekuensi dari pneumotorak adalah berkurangnya kapasitas vital paru dan
berkurangnya PaO2. Kapasitas paru total, kapasitas residual fungsional dan
kapasitas difusi juga berkurang namun tidak sebanyak penurunan kapasitas vital.
Udara yang berada di rongga pleura menyebabkan hilangnya gradien pada
tekanan intrapleura dan volume paru regional, sehingga ventilasi didaerah tersebut
seragam. 4,6,7
Pada orang sehat, penurunan kapasitas vital dan PaO2 dapat ditoleransi
dengan baik. Pada pasien yang disertai kelainan yang mendasari pada paru,
penurunan kapasitas vital akan menyebabkan hipoksemia yang signifikan,
hipoventilasi alveoli, dan asidosis respiratorik. Ketika udara dalam rongga pleura
dikeluarkan maka PaO2 akan meningkat lagi. 4,6,7
Pada pneumotorak spontan sekunder akibat TB, terjadi ruptur lesi paru yang
berada dekat dengan pleura, sehingga terdapat akses antara paru dan rongga
pleura. Sehingga udara saat inspirasi dapat masuk ke rongga pleura. Berbeda
dengan PSP, pada PSS keadaan pasien tampak serius dan dapat mengancam
nyawa. 4,6,7

2.6 Diagnosis
Manifestasi klinis berdasarkan keluhan subyektif yang timbul, gejala-
gejala yang sering muncul adalah :8
a. Sesak napas, yang didapatkan pada 80-100% pasien
b. Nyeri dada, yang didapatkan pada 75-90% pasien. Lindskog dan Halaz
menemukan 69% dari 72 pasien mengalami nyeri dada
c. Batuk-batuk, yang didapatkan pada 25-35% pasien

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 9


d. Tidak menunjukkan gejala (silent) yang terdapat sekitar 5-10% dan biasanya

pada PSP. 8
Gejala-gejala tersebut dapat berdiri sendiri maupun kombinasi dan menurut
Mills dan Luce derajat gangguannya bisa mmulai dari asimtomatik atau
menimbulkan gangguan ringan sampai berat. 8
2.6.1 Pemeriksaan Fisik
Suara nafas melemah sampai menghilang, fremitus melemah sampai
menghilang, resonansi perkusi dapat normal atau meningkat/hipersonor.
Pneumothoraks ukuran kecil biasanya hanya menimbulkan gejala takikardia
ringan dan gejala yang tidak khas. Pada pneumothoraks ukuran besar biasanya
didapatkan suara nafas yang melemah bahkan sampai menghilang pada auskultasi,
fremitus raba menurun dan perkusi hipersonor. Pneumothoraks tension dicurigai
apabila didapatkan adanya takikardia berat, hipotensi dan pergeseran mediastinum
atau trakea. 8

2.6.2 Pemeriksaan Penunjang

Analisis gas darah arteri memberikan gambaran hipoksemia meskipun pada


kebanyakan pasien sering tidak diperlukan. Pada suatu penelitian didapatkan 17%
dengan PO2<55mmHg dan 4% dengan PO2<45 mmHg. Pada pasien PPOK lebih
mudah terjadi pneumothoraks spontan.1
Pneumothoraks primer paru kiri sering menimbulkan perubahan aksis QRS
dan gelombang T prekordial pada rekaman elektrokardiografi (EKG) dan dapat
ditafsirkan sebagai infark miokard akut (IMA).9
Pemeriksaan foto thoraks bayangan udara dalam rongga pleura memberikan
gambaran radiolusen yang tanpa struktur jaringan paru (avascular pattern)
dengan batas tegas paru berupa garis radioopak tipis berasal dari pleura viseral.
Jika pneumothoraks luas, akan menekan jaringan paru ke arah hilus atau paru
menjadi kuncup/kolaps di daerah hilus dan mendorong mediastinum ke arah
kontralateral. Selain itu sela iga menjadi lebih lebar.8
Bila udara berasal dari paru melalui suatu robekan berupa katup (ventil),
maka tiap kali menarik nafas sebagian udara yang masuk ke dalam rongga pleura
tidak dapat keluar lagi, kejadian ini bila lama akan menyebabkan semakin banyak
udara terkumpull dalam rongga pleura sehingga kantong udara pleura mendesak
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 10
mediastinum dan paru yang sehat (herniasi). Keadaan ini dapat mengakibatkan
fungsi pernafasan sangat terganggu yang harus segera diatasi.8

Gambar 2.3. Foto thorax pada pneumothoraks10

Pemeriksaan CT-scan mungkin diperlukan apabila dengan fotothoraks


belum dapat ditegakkan. Pemerisaan ini lebih spesifik untuk membedakan antara
emfisema bullosa dengan pneumothoraks,batas antara udara dengan cairan intra
dan ekstra pulmoner serta untuk membedakan antara pneumothoraks spontan
primer atau sekunder. Sensitivitas pemeriksaan CT-scan untuk mmendiagnosis
emfisema subpleura yang bisa menimbulkan pneumothoraks primer antara 80-
90%.8
Pemeriksaan endoskopi (torakoskopi) merupakan pemeriksaan invasif,
tetapi memiliki senstitivitas lebih besar dibandingkan pemeriksaan CT-scan.
Menurut Swierenga dan Vanderschueren berdasarkan analisa dari 126 kasus pada
tahun 1990, hasil pemeriksaan endoskopi dapat dibagi menjadi 4 derajat yaitu :8
a. Derajat I : Pneumothoraks dengan gambaran paru mendekati normal
(40%)
b. Derajat II : Pneumothoraks dengan perlengketan disertai hemothoraks
(12%)
c. Derajat III : Pneumothoraks dengan diameter bleb atau bulla <2 cm
(31%)

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 11


d. Derajat IV : Pneumothoraks dengan banyak bulla yang besar, diameter
>2 cm (17%)

Gambar 2.4. CT scan pada pneumothoraks9

2.7 Tatalaksana
Tindakan pengobatan pneumothoraks tergantung dari luasnya
pneumothoraks. Tujuan dari penatalaksanaan tersebut yaitu untuk mengeluarkan
udara dari rongga pleura dan menurunkan kecenderungan untuk kambuh lagi.
British Thoracic Society dan American College of Chest Physicians telah
memberikan rekomendasi untuk penanganan pneumothoraks. Pinsip-prinsip
penanganan pneumothoraks adalah :6
a. Observasi dan pemberian tambahan oksigen
b. Aspirasi sederhana dengan jarum dan pemasangan tube torakostomi
dengan atau tanpa pleurodesis
c. Torakoskopi dengan pleurodesis dan penanganan terhadap adanya bleb
atau bulla
d. Torakotomi.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 12


Gambar 2.6. Manajemen Tatalaksana Pneumothoraks6

Pengobatan pneumotoraks diasarkan dari keparahan gejala, kehadiran


penyakit paru-paru, dan pekiraan ukuran pneumotoraks dari gambaran X-ray.

a. Konservatif 4
Pada pneumotoraks spontan kecil, tidak ada sesak napas, dan tidak ada
penyakit paru-paru yang mendasari, pneumotoraks umumnya menghilang secara
spontan. Pada pneumotoraks sekunder dapat dilakukan tindakan konservatif pada
ukuran yng sangat kecil (1 cm atau pinggiran udara kurang) dan ada gejala
terbatas. Oksigen dapat diberikan pada tingkat aliran tinggi untuk mempercepat
resorpsi.
b. Water sealed drainage (WSD)4
Dilakukan dengan memasukkan tabung plastik fleksibel pada bagian
samping dada ke ruang pleura, yang gunanya untuk menghilangkan udara. Follow
up pada pemasangan WSD dengan memperhtikan undulasi yakni pergerakan
cairan di dalam selang sesuai irama pernapasan, cairan akan bergerak ke bawah

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 13


saat inspirasi dan bergerak ke atas saat ekspirasi. Kemudian juga dilihat apakah
adalah gelembung udara, warna dan jumlah cairan yang keluar, serta perlu
dilakukannya foto rontgen ulang.

Gambar 2.7. Water sealed drainage6

2.8 Komplikasi9,10
1. Infeksi sekunder, sehingga dapat menimbulkan
pleuritis,empiema, hidropneumotoraks.
2. Gangguan hemodinamika
Pada pneumotoraks yang hebat, seluruh mediastinum dan jantung
dapat tergeser ke arah yang sehat dan mengakibatkan penurunan
kardiak "output", sehingga dengan demikian dapat menimbulkan
syok kardiogenik.
3. Emfisema, dapat berupa emfisema kutis atau emfisema
mediastinalis9,10

2.9 Prognosis
Prognosis pneumotoraks bergantung kepada tingkat dan jenis pneumotoraks.
Pneumotoraks kecil umumnya akan hilang sendiri tanpa pengobatan.
Pneumotoraks sekunder jauh lebih serius dan dapat menyebabkan kematian

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 14


mencapai 15%. Tingkat kekambuhan pneumotoraks baik tipe primer atau
sekunder sekitar 40%, yang biasanya terjadi dalam waktu 1,5 sampai dua tahun.4

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 15


BAB 3
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama : Ny. AN
Umur/Tgl lahir : 23 tahun / 1 Januari 1996
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Wiraswasta
No. RM : 01.05.55.66
Tanggal Masuk : 19 Juli 2019
Alamat : Siulak Kerinci, Jambi
Status Perkawinan : Belum Menikah
Negeri Asal : Indonesia
Agama : Islam
Nama Ibu Kandung : Darmawati
Suku : Melayu
Nomor HP : 082371122844

3.2 Anamnesis
Seorang pasien wanita berumur 23 tahun datang ke RSUP Dr. M.
Djamil Padang pada tanggal 19 Juli 2019 dengan:
Keluhan Utama
Sesak napas meningkat sejak 1 hari SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang
• Sesak napas sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit, sesak tidak menciut dan
sesak meningkat saat batuk dan aktivitas. Sesak timbul tiba-tiba saat pasien
sedang istirahat. Sesak telah dirasakan sejak 3 hari yang lalu.
• Riwayat batuk-batuk sudah dirasakan sejak 6 bulan lalu, berdahak dengan
warna putih encer. Saat dilakukan cek dahak di RSUD Kerinci didapatkan
hasil BTA +2, TCM MTB detected medium, Rifampisin Resisten not
detected, diberikan OAT kategori I.
• Batuk darah tidak ada, riwayat batuk darah tidak ada
• Nyeri dada tidak ada
• Demam tidak ada
• Keringat malam tidak ada
• Penurunan nafsu makan makan tidak ada
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas

16
• Penurunan berat badan tidak ada
• Mual muntah tidak ada
• Nyeri ulu hati tidak ada
• BAK dan BAB tidak terdapat kelainan
• Riwayat trauma di dada tidak ada.
Riwayat Penyakit Dahulu
• Riwayat TB paru Januari 2019, BTA (+2), TCM MTB detected medium,
Rifampisin resistent not detected, dalam pengobatan OAT hingga saat ini.
• Riwayat DM tidak ada
• Riwayat Hipertensi tidak ada
Riwayat Pengobatan Sebelumnya
Riwayat minum OAT kategori I pada 15 Januari 2019 hingga saat ini,
diberkan dari RSUD Kerinci.
Riwayat Keluarga
• Riwayat TB dalam keluarga tidak ada
• Riwayat DM dalam keluarga tidak ada
• Riwayat HT dalam keluarga tidak ada
• Riwayat keganasan dalam keluarga tidak ada
Riwayat kebiasaan, sosial, pekerjaan
• Pasien seorang wiraswasta UNAND.
• Pasien tidak merokok
2.3 Pemeriksaan Fisik
Vital Sign
Keadaan umum : sakit sedang
Kesadaran : compos mentis cooperatif (CMC)
Tekanan Darah : 130/70 mmHg.
Nadi : 98 kali per menit
Pernafasan : 22 kali per menit, torakal
Suhu : 36,7oC
Berat Badan : 50 kg
Tinggi Badan : 147 cm

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas

17
Status Generalis
• Kepala: normochepal
• Mata: Simetris
Konjungtiva anemis tidak ada
Sklera ikterik tidak ada
• Leher:
- Simetris, trakea di tengah, tidak ada deviasi
- Pembesaran KGB tidak ada
- JVP: 5-2 cmH2O
- Otot bantu nafas sternocleidomastoideus tidak aktif
• Thorax
Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba di RIC V 1 jari medial linea mid clavicula (LMC) sinistra
tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung normal
Auskultasi : irama reguler, bising tidak ada
Paru depan (dada)
Inspeksi : Bentuk dan ukuran normal, venektasi (-), ginekomastia (-), petekie (-),
purpura (-), ekimosis (-), sikatrik (-), hiperpigmentasi (-)
- Statis: Dada kanan lebih cembung dari dada kiri
- Dinamis: Pergerakan dinding dada kanan tertinggal dari dada kiri
Palpasi : fremitus dada kanan melemah dibandingkan dada kiri
Perkusi :
- Kanan : hipersonor
- Kiri : sonor
Auskultasi :
- Kanan: suara napas melemah
- Kiri: suara napas bronkovesikuler, ronki -/-, wheezing -/-
Paru belakang (punggung)
18

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


Inspeksi :
- Statis: Punggung kanan lebih cembung dari punggung kiri
- Dinamis: Pergerakan dinding punggung kanan tertinggal dari punggung kiri
Palpasi : fremitus punggung kanan melemah dibandingkan punggung kiri
Perkusi :
- Kanan : hiper sonor
- Kiri : sonor
Auskultasi :
- Kanan: suara napas melemah
- Kiri: suara napas bronkovesikuler, ronki -/-, wheezing -/-
• Abdomen
Inspeksi : distensi (-), sikatrik (-), caput medusa (-), petekie (-), purpura (-), ekimosis
(-), luka bekas operasi (-), hiperpigmentasi (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : timpani
• Genitalia
Tidak dilakukan pemeriksaan
• Ekstremitas
Atas : edema -/-, sianosis -/-, clubbing finger -/-
Bawah : edema -/-, sianosis -/-, clubbing finger -/-
3.4 Pemeriksaan Laboratorium
Hb 13,4 g/dl
Leukosit 7320 /mm3
Trombosit 338.000/mm3
Ht 38,3%
Total Protein 7,8 g/dl
PT 10,5 detik
aPTT 31,9 detik

19

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


Albumin 4,7 g/dl
Globulin 3,1 g/dl
Bilirubin Indirek 0,4 mg/dl
Bilirubin Direk 0,3 mg/dl
Bilirubin Total 0,7 mg/dL
SGOT 23 u/L
SGPT 23 u/L
GDS 85 mg/dl
Na 145 Mmol/L
K 3,5 Mmol/L
Cl 110 Mmol/L
Ureum 13 mg/dl
Kreatinin 0,56 mg/dl
Kesan labor: Normal
3.5 Gambaran Rontgen Toraks

Rontgen thorak pasien perempuan usia 23 tahun di RST Padang tanggal


19 Juli 2019. Foto sentris, asimetris, densitas sedang. Tampak gambaran hiperlusen,
avascular, dengan batas paru kolaps pada hemitoraks kanan. Jantung dan trakea
terdorong ke kiri.
Kesan: Pneumothoraks Dekstra

20

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


3.6 Diagnosis Kerja
Pneumothorak spontan sekunder dekstra e.c Tb paru
3.7 Diagnosis Banding
Pneumothorak spontan primer dekstra
3.8 Rencana pengobatan dan pemeriksaan
• IVFD NaCl 0,9% 12 jam/kolf
• O2 NRM 10 Lpm
• Pemasangan WSD
3.9 Follow Up
Tanggal dan jam SOAP (Subjective, Objective, Assessment, Planing)
23/7/2019 S/
Selasa - Sesak napas berkurang
07.00 - Batuk masih ada
- Demam tidak ada
O/ KU KS TD ND NF T
Sedang CMC 110/70 84 23 36,5
Paru:
Auskultasi :
- Kanan kiri : SN Bronkovesikuler rh-/- , wh-/-
Intensitas kiri lemah dari kanan
WSD (h4): undulasi +, bubble -, cairan –
Kesan WSD lancar
A/ Pneumothorak spontan sekunder dekstra e.c Tb paru
P/ IVFD NaCl 0,9% 12 jam/kolf
Terapi O2 18.00~06.00 10Lpm NRM
Rifampisin 1x450 mg
Isoniazid 1x300 mg
Vit B6 1x10 mg
Asam mefenamat 3x500 mg

21

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


24/7/ 2019 S/
Rabu - Sesak napas tidak ada
- Batuk tidak ada
- Demam tidak ada
O/ KU KS TD ND NF T
Sedang CMC 110/70 80 20 36,8
Paru:
Auskultasi :
- Kanan kiri : SN Bronkovesikuler rh-/- , wh-/-
Intensitas kiri lemah dari kanan
WSD H5 : undulasi +, bubble -, cairan –
Kesan WSD lancar
A/ Pneumothorak spontan sekunder dekstra e.c Tb paru
P/ IVFD NaCl 0,9% 12 jam/kolf
Terapi O2 18.00~06.00 10Lpm via NRM
Rifampisin 1x450 mg
Isoniazid 1x300 mg
Vit B6 1x10 mg
Asam mefenamat 3x500 mg
25/7/ 2019 S/
Kamis - Sesak napas berkurang
- Batuk masih ada
- Demam tidak ada
O/ KU KS TD ND NF T
Sedang CMC 120/70 80 20 36,6
Paru:
- Kanan kiri : SN Bronkovesikuler rh-/- , wh-/-
Intensitas kiri lemah dari kanan
WSD H6 : undulasi -, bubble -, cairan –

22

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


Kesan WSD tidak lancar
A/ Pneumothorak spontan sekunder dekstra e.c Tb paru
P/
Terapi O2 18.00~06.00 10Lpm via NRM
Rifampisin 1x450 mg
Isoniazid 1x300 mg
Vit B6 1x10 mg
Asam mefenamat 3x500 mg
26/8/2018 S/
Jumat - Sesak napas berkurang
- Batuk tidak ada
- Demam tidak ada
O/ KU KS TD ND NF T
Sedang CMC 110/70 96 20 37,
Paru:
Auskultasi :
- Kanan kiri : SN Bronkovesikuler rh-/- , wh-/-
Intensitas kiri lemah dari kanan
- Bronkovesikuler, ronki -, wheezing –
WSD H7 : undulasi -, bubble -, cairan –
Kesan WSD tidak lancar
A/ Pneumothorak spontan sekunder dekstra ec Tb Paru
P/
Terapi O2 18.00~06.00 10Lpm via NRM
Rifampisin 1x450 mg
Isoniazid 1x300 mg
Vit B6 1x10 mg
Asam mefenamat 3x500 mg
29/7/2019 S/

23

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


Senin - Sesak napas tidak ada
07.00 - Batuk tidak ada
- Demam tidak ada
O/ KU KS TD ND NF T
Sedang CMC 120/80 85 23 36,8
Paru:
Auskultasi :
- Kanan: SN Bronkovesikuler rh-/- , wh-/-
- Kiri: SN bronkovesikuler
WSD (h10): undulasi +, bubble -, cairan -
A/ Pneumothorak spontan sekunder dekstra e.c Tb paru
P/ IVFD NaCl 0,9% 12 jam/kolf
Terapi O2 18.00~06.00 10Lpm NRM
Rifampisin 1x450 mg
Isoniazid 1x300 mg
Vit B6 1x10 mg
Asam mefenamat 3x500 mg

24

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


BAB 4
DISKUSI

Seorang pasien wanita berusia 23 tahun dirujuk dari RSUD Kerinci ke


Bagian Paru RSUP Dr. M. Djamil Padang dengan keluhan sesak napas yang
meningkat sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak tidak menciut dan sesak
meningkat saat batuk dan aktivitas. Sesak timbul tiba-tiba saat pasien sedang istirahat.
Sesak telah dirasakan sejak 3 hari yang lalu. Pasien memiliki riwayat batuk berdahak
dengan warna putih encer yang sudah dirasakan sejak 6 bulan lalu. Telah dilakukan
cek dahak di RSUD Kerinci dan didapatkan hasil BTA 2+, TCM MTB detected
medium, Rifampisin Resisten not detected, kemudian diberi OAT kategori I pada 15
Januari 2019 hingga saat ini.
Pasien tidak memiliki riwayat batuk darah dan nyeri dada. Keluhan pasien
tidak disertai dengan demam, keringat malam, penurunan nafsu makan, maupun
penurunan berat badan. Riwayat mual, muntah, dan nyeri ulu hati tidak ada. Pasien
tidak merasakan kelainan saat buang air kecil dan buang air besar.
Pasien tidak memiliki riwayat hipertensi, diabetes mellitus, dan keganasan.
Pasien merupakan seorang wiraswasta di RS UNAND. Pasien tidak merokok. Pasien
tidak mengkonsumsi minuman beralkohol.
Dari anamnesis didapatkan bahwa pasien mengalami sesak napas yang
meningkat secara tiba-tiba dan tidak menciut. Dari keluhan sesak napas tidak menciut,
dipastikan bahwa tidak ada penyempitan saluran nafas. Diperkirakan pasien
mengalami gangguan pada pengembangan paru. Tidak terjadinya pengembangan
(kolaps) paru menyebabkan tidak terjadinya ventilasi pada paru tersebut sehingga
pasien akan mengeluhkan sesak napas. Terjadinya kolaps pada paru dapat disebabkan
oleh dua hal, yaitu adanya akumulasi cairan atau akumulasi udara di dalam rongga
pleura.
Akumulasi jumlah cairan di dalam rongga pleura dapat terjadi jika terdapat
peningkatan tekanan hidrostatik kapiler darah seperti pada gagal jantung, atau jika
terjadi penurunan tekanan osmotik cairan darah seperti pada pasien dengan
25

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


hipoalbuminemia. Sedangkan akumulasi udara di dalam rongga pleura menyebabkan
tekanan di dalam rongga pleura tidak lagi negatif (dalam keadaan normal, tekanannya
adalah -5 cmH2O). Paru menjadi kempis, sehingga penderita akan mengeluhkan
sesak napas karena tidak terjadi ventilasi pada paru yang kolaps.1
Keluhan yang dialami pasien dapat dicurigai sebagai pneumothoraks spontan.
Pneumothoraks merupakan keadaan dimana terdapatnya udara dalam rongga pleura,
antara paru dan dinding dada, yang dapat menyebabkan kolapsnya paru.2
Pneumothoraks dapat disebabkan oleh trauma tumpul atau tajam pada dada, prosedur
medis, atau kerusakan akibat penyakit paru yang sudah ada sebelumnya.
Pneumothoraks spontan adalah pneumothoraks yang terjadi bukan karena trauma dan
selanjutnya diklasifikasikan menjadi pneumothoraks spontan primer dan
pneumothoraks spontan sekunder. Pneumothoraks spontan primer terjadi pada pasien
yang tidak memiliki penyakit paru sebelumnya, sedangkan pneumothoraks spontan
sekunder terjadi akibat adanya penyakit paru yang mendasari, seperti PPOK, cystic
fibrosis, tuberkulosis, kanker paru, pneumonitis interstitial, dan HIV-associated
pneumonia.3
Dari pemeriksaan fisik paru pasien ini didapatkan paru asimetris, kanan lebih
cembung dari kiri (statis), pergerakan dada kanan tertinggal dari kiri (dinamis). Hal
ini menandakan bahwa dada sebelah kanan tertinggal akibat dari penekanan udara
yang terkumpul di rongga pleura sebelah kanan sehingga terjadi gangguan
pengembangan paru.4 Hasil pemeriksaan taktil fremitus paru kanan lebih lemah dari
kiri. Perkusi paru kanan hipersonor, sementara paru kiri sonor seluruh lapangan paru.
Hal ini terjadi karena adanya pengumpulan udara di rongga pleura sebelah kanan
sehingga menyebabkan suara hipersonor saat perkusi.4 Suara nafas kanan melemah,
suara nafas kiri bronkovesikuler, ronkhi (-), wheezing (-).
Pada orang yang sehat, tekanan pleura lebih negatif dibandingkan dengan
tekanan atmosfer selama siklus pernapasan. Perbedaan tekanan antara alveoli dengan
rongga pleura disebut dengan tekanan transpulmonal dan tekanan inilah yang
menyebabkan recoil elastis dari paru.3,4 Udara mengalir dari tekanan yang tinggi ke
tekanan yang rendah, akibatnya udara bermigrasi dari alveoli menuju ke rongga
26

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


pleura sampai tekanan pada kedua area ini mencapai ekuilibrium. Ketika udara yang
ada pada rongga pleura berhasil meningkatkan tekanan pleura dari -5 cm H2O
menjadi -2.5 cm H2O, maka tekanan transpulmonal akan berkurang dari 5 cmH2O
menjadi 2.5 cm H2O dan kapasitas vital paru menurun sebesar 33%. Ketika udara
berpindah dari paru menuju rongga pleura, paru terkompresi sehingga paru menjadi
kolaps dan terjadi penurunan kapasitas paru sebesar 25%. Perubahan tekanan
intrapleural meningkatkan volume thoraks yang mengakibatkan perubahan
pengembangan dari dinding dada dan menurunkan 8% kapasitas vital. Ketika tekanan
intrapleural meningkat, mediastinum bergerak ke arah yang berlawanan, memperluas
thoraks pada daerah yang sakit, dan menekan diafragma.3,4
Pada pasien terdapat riwayat TB dengan hasil BTA (+2), TCM MTB
detected medium, Rifampisin resistent not detected dan sedang dalam pengobatan
OAT kategori I dan sehingga dapat disimpulkan bahwa pada pasien terjadi
pneumothoraks spontan sekunder karena tuberkulosis. Hal ini sesuai dengan keluhan
berupa sesak yang dirasakan tiba-tiba oleh pasien tanpa adanya trauma pada paru,
terdapatnya kelainan paru yang mendasari terjadinya pneumothoraks, dan dari
pemeriksaan fisik yang mendukung. Pneumothoraks spontan karena TB sering
diakibatkan oleh robeknya kavitas ke rongga pleura, terbentuknya fistula
bronkus-pleura akibat terjadinya caseous necrosis, dan yang paling jarang adalah
tubercular pneumatocele yang robek ke rongga pleura.3,4
Pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan pada pasien ini meliputi
rontgen thorax dan laboratorium. Pada pemeriksaan rontgen thoraks di RST Padang
didapatkan gambaran hiperlusen, avasular, dengan batas paru kolaps pada hemitoraks
kanan. Jantung dan trakea terdorong ke kiri. Pada pemeriksaan laboratorium
didapatkan kesan normal.
Penatalaksanaan pneumotoraks pada prinsipnya adalah evakuasi udara dari
rongga pleura. Pemasangan drainase pada pneumotoraks bergantung kepada gejala
dan luasnya pneumotoraks yang terjadi. Pneumotoraks dengan luas kurang dari 20%
dan asimptomatik biasanya tidak dilakukan pemasangan water seal drainage (WSD),

27

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


sedangkan pada pneumotoraks yang luas (>20%) atau menimbulkan gejala harus
dilakukan pemasangan WSD.5

28

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, K MS, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid II. Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006:1063.
2. Hisyam B, Budiono E. Pneumotoraks. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, K
MS, Setiyohadi B, Syam AF (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II. Ed.6.
Jakarta: InternePublishing. 2014:1642-51.
3. Onuki T, Ueda S, Yamako M, et al. Primary and Secondary Spontaneous
Pneumothorax: Prevalence, Clinical Features, and In-Hospital Mortality. Canadian
Respiratory Journal. 2017;1 – 8.
4. Choi WI. Pneumothorax. Tuberc Respir Dis (Seoul). 2014;76(3):99–104.
5. Price S A, Wilson L M. Patofisiologi. Ed ke2. Jakarta: EGC;2014.
6. Light RW, Lee YCG. Pneumothorax, Chylothorax, Hemothorax and Fibrothorax.
In: Murray and Nadel’s Textbook of Respiratory Medicine. Editors: Mason RJ,
Broaddus VC, Murray JF, Nadel JA. 4th Eds. Pennsylvania. Elsevier Saunders 2005.
p. 1961-82
7. Nasution, A.R, Sumariyono, Pneumotorak. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Edisi VI Jiild III. 2014. Jakarta : Interna Publishing
8. Yusup Subagio Sutanto, Eddy Surjanto, Suradi, A Farih Raharjo, Tuberkulosis
paru sebagai penyebab tertinggi kasus pneumotoraks di bangsal paru RSUD Dr
Moewardi (RSDM) Surakarta tahun 2009.
9. Macduff A, Arnold A, Harvey J. Management of Spontaneous Pneumothorax :
British Thoracic Society Pleural Disease Guideline 2010. British Thoracic
Journal.2010.
10. Slobodan M, Marko S, Bojan M. Pneumotorax-Diagnosis and Treatment.
Sanamed. 2015; 10(3): 221–228

29

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas

Anda mungkin juga menyukai