Anda di halaman 1dari 7

Case Report Session

ASMA AKIBAT KERJA

Oleh :

Nurul Izzah Binti Mohd Z (1940312017)


Turfani Haffifa (1940312155)

PRESEPTOR:

dr. Oea Khairsyaf, Sp.P (K) FISR, FAPSR


dr. Dessy Mizarti, Sp.P

BAGIAN PULMONOLOGI DAN KEDOKTERAN RESPIRASI


RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ANDALAS
2020
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perkembangan industri yang pesat yang menghasilkan berbagai produk seperti
logam, plastik, karet, dan sebagainya memberikan dampak positif bagi Indonesia
karena dapat memudahkan dan memberikan kenyamanan bagi manusia. Namun di
sisi lain, kemajuan industri ini juga memiliki dampak negatif yaitu dengan adanya
penyakit akibat kerja yang timbul pada pekerja industri saat ini.
Penyakit akibat kerja adalah penyakit yang timbul terkait pekerjaan atau akibat
lingkungan kerja seseorang. Indonesia merupakan salah satu negara dengan kasus
penyakit akibat kerja tertinggi di Asia Tenggara. Berdasarkan data dari International
Labour Organization, di Indonesia diperkirakan rata-rata delapan orang pekerja
meninggal setiap harinya terkait penyakit dan kecelakaan akibat kerja. Berdasarkan
data dari Direktorat Bina Kesehatan Kerja dan Olahraga pada tahun 2014, Indonesia
memiliki kasus penyakit akibat kerja sebanyak 40.694 kasus.1,2
Penyakit pertama yang diduga merupakan penyakit akibat kerja adalah
silikosis yang sudah terjadi pada masa manusia membuat peralatan dari  batu api.
Pada abad ke 18, Bernardino Ramazzini pertama kali melaporkan  pekerja yang
terpapar tepung terigu menderita penyakit saluran nafas yang dikenal dengan Bakers
asthma, yang akhirnya dikenal sebagai Bapak Kesehatan Kerja. Profesor Jack Pepys
menemukan tes provokasi bronkus yang digunakan sebagai standar baku emas untuk
mendiagnosis asma akibat kerja akhirnya dikenal sebagai Bapak Asma Akibat Kerja.
Adapun penyakit akibat kerja yang tersering di Indonesia adalah penyakit saluran
napas akibat kerja yaitu berupa asma dan rhinitis.3
Asma akibat kerja merupakan penyakit akibat kerja tersering di negara maju
dan berkembang. Surveilance of Work and Occupational Respiratory Disease
(SWORD) memperkirakan asma akibat kerja mempunyai kontribusi sebesar 26%
dari seluruh penyakit paru kerja dan lebih dari 3000 kasus baru asma kerja
ditemukan tiap tahun di Inggris, sedangkan 10 – 50% asma terkait pekerjaan kerja
merupakan asma diperberat kerja. Di Indonesia sendiri, belum ada data pasti
mengenai jumlah kasus penyakit asma akibat kerja.4,5
1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah untuk menambah pengetahuan dan
memahami tentang asma akibat kerja.

1.3 Batasan Masalah


Laporan kasus ini membahas mengenai asma akibat kerja.

1.4 Metode Penulisan


Laporan kasus ini dibuat dengan metode diskusi yang merujuk dari berbagai
referensi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Asma terkait pekerjaan (Work-related asthma) merupakan asma yang timbul
akibat paparan atau sensitisasi terhadap allergen atau agen lain di tempat kerja, baik
berupa paparan tunggal atau massif. Asma terkait pekerjaan terbagi menjadi dua,
yaitu:
1. Asma akibat kerja (Occupational asthma), yaitu asma yang baru muncul akibat
pekerjaan dan hilang jika tidak bekerja atau berada di lingkungan kerja
2. Asma yang diperberat akibat kerja (Work-exacerbated asthma) yaitu gejala asma
yang memburuk ketika bekerja pada pekerja yang sudah memiliki riwayat asma
sebelumnya.2,6
Berdasarkan masa latennya, asma akibat dibagi juga menjadi dua, yaitu :
1. Asma akibat kerja disertai masa laten
Asma akibat kerja disertai masa laten biasanya diakibatkan paparan agen
dengan berat molekul besar dan sebagian akibat agen dengan berat molekul
ringan. Mekanisme terjadinya yaitu melalui reaksi imunologis dengan
terbentuknya IgE (reaksi hipersensitivitas tipe I).
2. Asma akibat kerja tanpa disertai masa laten
Disebut juga asma akibat kerja non imunologi. Mekanisme terjadinya yaitu
akibat terjadinya iritas pada saluran nafas yang menimbulkan hiperreaktivitas
bronkus. Timbul dalam waktu singkat dan biasanya akibat paparan zat dengan
konsentrasi amat tinggi. Contoh : Reactive Airway Dysfunction Syndrome
(RADS).4

2.2 Etiologi dan Faktor Risiko


Berikut agen yang menyebabkan asma terkait pekerjaan :
1. Hewan, seperti tungau, kumbang, lalat, belalang, ayam, dll.
2. Debu, serbuk kayu, serbuk tanaman
3. Enzim, seperti alpha amilase pada pembuat roti, pepsin, papain, trypsin serta
berbagai enzim lain yang digunakan di industri farmasi
4. Logam, seperti alumunium, cobalt, nikel, dll.
5. Zat kimia, seperti freon, formaldehid, organofosfat, latex dll.

Faktor risiko asma akibat kerja diantaranya :7


1. Faktor kerentanan individu
a. Atopi
Atopi adalah kerentanan tubuh individu untuk memproduksi IgE sebagai
respon terhadap paparan rendah allergen. Riwayat atopi merupakan factor
risiko mayor terjadinya asma akibat kerja.
b. Genetik
Saat ini masih banyak penelitian mengenai dasar genetik terjadinya
kerentanan individu terhadap asma akibat kerja. Beberapa penelitian
menunjukkan adanya variasi molekul HLA-II yang terlibat dalam
presentasi antigen terhadap limfosit T. ditemukan juga alel spesifik HLA-
DR, HLA-DQ, dan HLA-DP yang diduga menimbulkan kerentanan
terhadap asma.
c. Riwayat rhinitis
Beberapa studi menunjukkan rhinitis akibat kerja meningkatkan risiko
terjadinya asma akibat kerja.
d. Jenis kelamin
Jenis kelamin berisiko terhadap terjadinya asma akibat kerja. Hal ini
dikaitkan dengan perbedaan frekuensi dan durasi paparan dalam
pekerjaan antara laki-laki dan perempuan.8
2. Faktor pekerjaan
Pekerjaan berisiko untuk terkena asma akibat kerja diantaranya pembuat roti
dan kue, tukang kayu, tukang jahit, petani, petugas kebersihan, tukang las,
pekerja pabrik farmasi, dan sebagainya.
3. Faktor lingkungan
Faktor lingkungan yaitu berupa dosis paparan terhadap agen sensitisasi dan
rute paparan,

2.3 Patofisiologi
1. Iritasi langsung
Iritasi akibat bahan tertentu dapat memicu terjadinya asma bronkial. Bahan
yang paling sering menyebabkan iritasi adalah asam hidroklorin, sulfur dioksida,
dan amoniak.
2. Alergi
Patofisiologi terjadinya asma terkait pekerjaan sama halnya dengan asma
bronkial umumnya yaitu melalui reaksi hipersensitivitas tipe I (perantara gE). .
Paparan terhadap alergen akan menyebabkan sel mast dan sel inflamasi lain
melepaskan mediator inflamasi seperti histamine, eosinophilic chemotatic factor
(ECF-A), neutrophil chemotactic factor (NCF-A), dan mediator lainnya sehingga
terjadi reaksi inflamasi. Pada antigen/polutan dengan berat molekul rendah
(<5000 Dalton) tidak ditemukan IgE spesifik karena berat molekulnya yang kecil
yang hanya berupa hapten harus berkonjugasi dengan protein lain untuk menjadi
allergen. Namun pada pemeriksaan cairan bronchoalveolar lavage tetap
ditemukan mediator yang sama dengan asma yang disebabkan allergen dengan
berat molekul besar.
3. Farmakologik
Terjadi karena akumulasi bahan kimia dalam tumbuh akibat inhalasi di
tempat kerja sehingga memicu konstrikis bronkus. Sebagai contoh insektisida
dalam industri pertanian yang memicu pelepasan asetilkolin sehinga terjadi
bronkokonstriksi.4
DAFTAR PUSTAKA

1. Kemenkes RI. Situasi Kesehatan Kerja. Infodatin Kemenkes RI. 2015. p. 1–7.
2. Irfani TH. The Prevalence of Occupational Injuries and Illnesses in Asean:
Comparison Between Indonesia and Thailand. Public Heal Indones.
2015;1(1).
3. Karjadi TH, Djauzi S. Dasar-dasar Penyakit Akibat Kerja. In: Ilmu Penyakit
Dalam PAPDI. 6th ed. 2015.
4. Karjadi TH. Asma akibat Kerja. In: Ilmu Penyakit Dalam PAPDI. 6th ed.
Jakarta;
5. Voelter-Mahlknecht SF. Occupational Asthma. Int J Occup Environ Med
[Internet]. 2011;2(2):76–81. Available from:
https://www.aaaai.org/conditions-and-treatments/library/asthma-
library/occupational-asthma
6. GINA committees. Global Initiative for Asthma: Global strategy for asthma
management and prevention [Internet]. Vol. 36. 2020. Available from:
https://ginasthma.org/wp-content/uploads/2020/04/GINA-2020-full-report_-
final-_wms.pdf
7. Vandenplas O. Occupational asthma: Etiologies and risk factors. Allergy,
Asthma Immunol Res. 2011;3(3):157–67.
8. Raulf M, Brüning T, Jensen-Jarolim E, Van Kampen V. Gender-related
aspects in occupational allergies. World Allergy Organ J. 2017;10(1):1–10.

Anda mungkin juga menyukai