Anda di halaman 1dari 16

NAMA : HOTMIDA BETHARIA SINAGA

NIM : 1900197

POLA PENGGUNAAN OBAT ASMA PADA PASIEN ASMA DI DEPO IGD


RUMAH SAKIT BADAN PENGUSAHAAN BATAM

BAB I
PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran pernafasan, yang
menyebabkan episode berulang dari wheezing, sesak, chest thightness, dan batuk.
WHO menyatakan sebesar 15 juta jiwa mengalami disability-adjusted life years
(DALYs) per tahunnya disebabkan asma, mewakili 1% dari total beban penyakit
global (GINA2011). Asma adalah penyakit heterogen ditandai inflamasi kronik
saluran nafas dengan gejala sesak nafas, mengi, dada terasa berat, batuk semakin
memberat dan keterbatasan aliran udara ekspirasi. Serangan asma dipicu oleh
berbagai macam faktor seperti pajanan alergen, perubahan cuaca, latihan fisik, dan
infeksi virus (GINA 2014).
Berdasarkan data organisasi kesehatan dunia (WHO), jumlah penderita
asma di dunia mencapai 300 juta orang. Angka ini dikhawatirkan terus meningkat
hingga 400 juta orang pada tahun 2025. Di dunia penyakit asma termasuk 5 besar
penyebab kematian. bDiperkirakan 250.000 orang meninggal setiap tahunnya
dikarenakan asma (Kileyet al2007).
Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di
Indonesia, hal itu tergambar dari data studi survei kesehatan rumah tangga (SKRT)
di berbagai propinsi di Indonesia. Survei kesehatan rumah tangga (SKRT) 1986
menunjukkan asma menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab kesakitan (morbiditi)
bersama-sama dengan bronkitis kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma,
bronkitis kronik dan emfisema sebagai penyebab kematian (mortaliti) ke-4 di
Indonesia atau sebesar 5,6 %. Tahun 1995, prevalensi asma di seluruh Indonesia
sebesar 13/1000, dibandingkan bronkitis kronik 11/ 1000 dan obstruksi paru 2/
1000 (PDPI 2007).
Prevalensi asma dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain jenis kelamin,
usia, faktor keturunan, serta faktor lingkungan. Umumnya prevalensi asma pada
anak lebih tinggi dari dewasa dan sebaliknya ada juga yang melaporkan bahwa
prevalensi pada orang dewasa lebih tinggi dari anak-anak. Berbagai alat dan
formulasi telah dikembangkan untuk memberikan obat secara efisien,
meminimalkan efek samping, dan menyederhanakan penggunaan. Faktor risiko
yang memicu terjadinya asma adalah zat yang dihirup dan partikel yang dapat
memicu reaksi alergi atau iritasi pada saluran udara. Asma dapat dikontrol dengan
obat dan menghindari pemicu asma, yang dapat mengurangi keparahan asma.
Manajemen asma yang tepat dapat memungkinkan orang untuk menikmati kualitas
hidup yang baik (Atmokoet al 2011).
Penelitian penggunaan obat diperlukan untuk menggambarkan pola
penggunaan obat, rencana awal penggunaan obat rasional, intervensi untuk
meningkatkan penggunaan obat, siklus pengawasan kualitas, dan peningkatan mutu
berkelanjutan. Pola penggunaan obat dapat menggambarkan sejauh mana
penggunaan obat saat tertentu dan di daerah tertentu (misalnya Negara, wilayah,
masyaraka, rumah sakit), penggambaran tersebut menjadi penting ketika mereka
adalah bagian dari sistem evaluasi berkelanjutan (WHO, 2003).
Defenisi penggunaan obat secara rasional adalah mensyaratkan bahwa
penderita menerima obat yang sesuai dengan kebutuhan klinik, dalam dosis yang
memenuhi keperluan individual itu sendiri untuk periode waktu yang memadai,
dengan harga yang terendah bagi mereka dan komunitas mereka (Siregar, 2013).
Penggunaan obat yang tidak rasional sering dijumpai dalam praktek sehari-hari.
Peresepan obat tanpa indikasi yang jelas, penentuan dosis, cara dan lama pemberian
yang keliru. Penggunaan suatu obat dikatakan tidak rasional jika kemungkinan
dampak negatif yang diterima oleh pasien lebih besar dibanding manfaatnya.
Dampak negatif disini dapat berupa dampak klinik dan dampak biaya (Kemenkes
RI, 2011).
Berdasarkan uraian dan data di atas maka peneliti merasa perlu dilakukan
penelitian untuk mengetahui gambaran penggunaan obat pada pasien asma rawat
jalan di Rumah Sakit Badan Pengusahaan Kota Batam.
2. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah diatas, dapat dirumuskan
pertanyaan penelitian sebagai berikut: bagaimana pola penggunaan obat asma di
depo IGD Rumah Sakit Badan Pengusahaan Kota Batam?

3. TUJUAN PENELITIAN
Pola penggunaan obat asma pada pasien asma di depo IGD Rumah Sakit
Badan Pengusahaan Kota Batam berdasarkan jenis obat, golongan obat, dan bentuk
sediaan.

4. MANFAAT PENELITIAN
a. Menjadi bahan informasi dalam program monitoring, evaluasi penggunaan,
perencanaan, dan pengadaan obat asma di depo IGD Rumah Sakit Badan
Pengusahaan Kota Batam
b. Menjadi bahan informasi bagi masyarakat mengenai penyakit asma khususnya
mengenai terapi obat asma pada pasien asma di Rumah Sakit Badan
Pengusahaan Kota Batam
BAB II
TINJAUAN TEORI

1. DEFINISI ASMA
Kata “Asthma” berasal dari bahasa Yunani yang berarti “terengah - engah”
atau sukar bernapas (Hood Alsagaff, 2015). Asma biasanya dikenal sebagai suatu
penyakit yang ditandai dengan adanya wheezing (mengi) intermiten yang timbul
sebagai respon akibat paparan terhadap suatu zat iritan alergen.. Terapi yang
adekuat terhadap penyebab yang mendasari terjadinya asma dapat mencegah
munculnya gejala asma dan dapat meningkatkan kualitas hidup penderita secara
signifikan. Terdapat banyak contoh kasus kasus penderita asma yang data ikut
berpartisifasi dalam kompetisi olahraga profesional atau mempunyai karir sukses
karena asmanya yang “terkontrol” dan tidak mengganggu aktivitas mereka sehari
(Margaret, 2013).
Global initiative for Asthma (2012) dengan spesifik mendefinisikan asma
menurut karakteristiknya secara klinis, fisiologis, dan patologis. Secara klinis,
adanya episodik sesak napas terutama pada malam hari, sering disertai dengan
batuk yang merupakan ciri utamanya. Karakteristik utama fisiologisnya yaitu,
terdapat obstruksi saluran napas dengan keterbatasan aliran udara ekspirasi.
Berdasarkan patologisnya terdapat inflamasi jalan napas yang berhubungan dengan
perubahan struktur jalan napas (GINA, 2012).
Menurut United State National Tuberculosis Association (1967), asma
bronkial merupakan suatu penyakit yang ditandai oleh tanggap reaksi yang
meningkat dari trakea dan bronkus terhadap berbagai macam rangsangan dengan
manifestasi berupa kesukaran bernafas yang disebabkan oleh penyempitan yang
menyeluruh dari saluran nafas. Penyempitan saluran nafas ini bersifat dinamis, dan
derajat penyempitan dapat berubah, baik secara spontan maupun karena pemberian
obat, dan kelainan dasarnya berupa gangguan imunologi.
Namun untuk mencapai batasan yang sesuai dengan para ahli di bidang
klinik, fisiologi, imunologi, dan patologi pada bulan September 1991 dibuat suatu
kesepakatan baru mengenai batasan asma yakni; Asma bronkial adalah suatu
penyakit paru dengan tanda - tanda khas berupa:
a. Obstruksi saluran pernafasaan yang dapat pulih kembali (namun tidak pulih
kembali secara sempurna pada beberapa penderita) baik secara spontan atau
dengan pengobatan.
b. Keradangan saluran pernafasan
c. Penigkatan kepekaan dan/atau tanggapan yang berlebihan dari saluran
pernafasan terhadap berbagai rangsangan (Hood Alsagaff, 2015).

2. PATOFISIOLOGI ASMA
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain
alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut. Asma
dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom. Jalur
imunologis didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I
(tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi alergi timbul pada orang
dengan kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal dalam
jumlah besar, golongan ini disebut atopi. Pada asma alergi, antibodi IgE terutama
melekat pada permukaan sel mast pada interstisial paru, yang berhubungan erat
dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila seseorang menghirup alergen, terjadi
fase sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut meningkat. Alergen kemudian
berikatan dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini
berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator. Beberapa mediator yang
dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, eosinofil dan bradikinin. Hal itu akan
menimbulkan efek edema lokal pada dinding bronkiolus kecil, sekresi mukus yang
kental dalam lumen bronkiolus, dan spasme otot polos bronkiolus, sehingga
menyebabkan inflamasi saluran napas (Rengganis, 2008).
Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast
intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran
napas. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator
inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan
napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa,
sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh mediator
yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa melibatkan
sel mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2.
Pada keadaan tersebut reaksi asma terjadi melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen
vagal mukosa yang terangsang menyebabkan dilepasnya neuropeptida.
Neuropeptida itulah yang menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema
bronkus, hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi (Rengganis, 2008).

3. FAKTOR RESIKO
Secara umum faktor risiko asma menurut Pedoman Pengendalian Penyakit
Asma (2009) yaitu:
a. Faktor Pejamu
1. Hipereaktivitas
2. Atopi/alergi bronkus
3. Faktor yang memodifikasi penyakit genetic
4. Jenis kelamin
5. Ras/etnik
b. Faktor Lingkungan
1. Alergen di dalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing, jamur dan lain-
lain)
2. Alergen diluar ruangan (alternaria, tepung sari)
3. Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang, makanan
laut, susu sapi, telur)
4. Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, bloker dan lain-
lain)
5. Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray)
6. Ekspresi emosi berlebih
7. Asap rokok dari perokok aktif dan pasif
8. Polusi udara di luar dan di dalam ruangan
9. Exercised induced asthma
10. Perubahan cuaca

4. GEJALA ASMA
Gejala asma bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa
pengobatan. Gejala awal berupa:
1. Batuk terutama pada malam atau dini hari
2. Sesak napas
3. Napas berbunyi (mengi) yang terdengar jika pasien menghembuskan napasnya
4. Rasa berat di dada
5. Dahak sulit keluar
Gejala yang berat adalah keadaan gawat darurat yang mengancam jiwa yang
termasuk gejala yang berat adalah:
1. Serangan batuk yang hebat
2. Sesak napas yang berat dan tersengal-sengal
3. Sianosis (kulit kebiruan, yang dimulai dari sekitar mulut)
4. Sulit tidur dan posisi tidur yang nyaman adalah dalam keadaan duduk
5. Kesadaran menurun (Depkes, RI., 2007)

5. DIAGNOSIS ASMA
Diagnosis asma bisa ditegakkan dengan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Anamnesa berupa keluhan utama, riwayat penyakit
keluarga, faktor yang memperberat atau memperingan gejala, bagaimana dan kapan
terjadinya keluhan. Karakteristik gejala asma yaitu lebih dari satu gejala berupa
mengi, sesak napas, batuk, dada terasa berat, yang semakin buruk saat malam atau
pagi hari dengan waktu dan intensitas yang bervariasi, bisa dipicu oleh infeksi
virus,olahraga, paparan allergen, perubahan cuaca, serta bahan iritan seperti asap
(GINA, 2014).

6. PENATALAKSANAAN ASMA
Terapi farmakologi merupakan salah satu bagian dari penanganan asma
yang bertujuan mengurangi dampak penyakit dan kualitashidupyang dikenal
dengan tujuan pengelolaan asma. Pemahaman bahwa asma bukan hanya suatu
penyakit episodik tetapi asma adalah suatu penyakit kronik menyebabkan
pergeseran fokus penanganan dari pengobatan hanya untuk serangan akut menjadi
pengobatan jangka panjang dengan tujuan mencegah serangan, mengontrol atau
mengubah perjalanan penyakit.
Pada prinsipnya pengobatan asma dibagi menjadi 2 golongan yaitu
antiinflamasi yang merupakan pengobatan rutin yang bertujuan mengontrol
penyakit serta mencegah serangan dan bronkodilator yang merupakan pengobatan
saat serangan untuk mengatasi eksaserbasi.Pengobatan asma tidak hanya ditujukan
pada pencegahan atau penyembuhan tetapi juga penurunan tingkat respon bronkial
(Dipiro 1997).
Penatalaksaan asma ini dikutip berdasarkan GINA (2012), yang
mengklasifikasikan pengobatan asma menjadi dua yaitu sebagai obat kontrol asma
(controllers) dan obat pelega asma (reliever). Obat pengontrol adalah obat asma
yang digunakan setiap hari dalam jangka waktu panjang pada asma persisten untuk
mencegah asma menjadi semakin parah dan mempertahankan asma menjadi
terkontrol melalui interaksi dengan proses inflamasi. Sebagai berikut adalah jenis-
jenis obat pengontrol:
a. Kortikosteroid inhalasi
Kortikosteroid inhalasi mempunyai efek anti-inflamasi terhadap sel dan
jaringan spesifik. Kortikosteroid yang masuk secara langsung dan diabsopsi di
paru akan berikatan dengan reasxseptornya, menghambat sintesis sitokin
proinflamasi, dan menurunkan jumlah sel T limfosit, sel dendrit, eosinofil juga
sel mast. Penggunaan kortikosteroid inhalasi menunjukkan perbaikan fungsi
paru, menurunkan hiperesponsif bronkus, menurunkan eksaserbasi asma dalam
kunjungan gawat darurat (Raissy, et al., 2013). Kepatuhan menggunakan obat
ini menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat asma dengan perkiraan
21% penurunan resiko kematian akibat serangan asma (Sloan, et al., 2013).
Efek samping yang mungkin pada penggunaan kortikosteroid inhalasi
lebih minimal daripada kortikosteroid sistemik. Hal ini bergantung pada dosis,
potensi bioavailabiliti, metabolisme hati, dan waktu paruhnya. Obat inhalasi
kortikosteroid dosis tinggi yang digunakan jangka panjang bisa menimbulkan
efek sistemik seperti purpura, supresi adrenal dan penurunan densitas tulang.
Namun, dengan menggunakan spacer dapat mengurangi efek samping sistemik
dengan menurunkan bioavailabiliti. Selain itu, spacer juga membantu untuk
mengurangi efek samping lokal seperti kandidiasis orofaring, disfonia, dan
batuk akibat iritasi saluran napas atas (PDPI, 2003).
b. Kortikosteroid sistemik
Penggunaan kortikosteroid jangka lama lebih direkomendasikan secara
inhalasi daripada sistemik akibat efek samping pemberian sistemik lebih serius.
Namun, pemberian sistemik dapat diberikan pada penderita asma persisten
berat yang tidak terkontrol. Penggunaan sistemik secara oral lebih dianjurkan
dari parenteral (intramuskular, intravena, subkutan) karena pertimbangan
waktu paruh oral lebih singkat dan efek samping yang muncul lebih sedikit
(PDPI, 2003).
c. Agonis beta-2 kerja lama (Long-acting β2-agonist)
Mekanisme kerja obat beta-2 agonis yaitu melalui reseptor β2 yang
mengakibatkan relaksasi otot polos bronkus. Formoterol dan salmeterol
termasuk dalam golongan LABA ini, kedua obat itu memiliki lama kerja obat
>12 jam. Namun, obat golongan LABA sebaiknya tidak digunakan sebagai
monoterapi jangka panjang karena tidak mempengaruhi respon inflamasinya
justru meningkatkan angka kesakitan dan kematian. LABA dikombinasi
dengan kortikosteroid inhalasi telah terbukti sangat efektif dalam mengurangi
gejala asma dan eksaserbasi dengan menunjukkan hasil fungsi paru yang lebih
baik. Kombinasi LABA dan kortikosteroid inlamasi hanya direkomendasikan
untuk pasien yang gagal mencapai asma terkontrol dengan kortikosteroid dosis
rendah medium (PDPI, 2003).
d. Kromolin: sodium kromoglikat dan sodium nedokromil
Kromolin dan nedokromil merupakan obat alternatif dalam pengobatan asma
persisten ringan. Kromglikat dan nedokromil memiliki sifat yang sama yaitu
sebagai obat anti-inflamasi. Obat ini memblok kanal klorida dan modulasi
pelepasan mediator sel mast dan eosinofil (NHLBI, 2007). Kromolin juga bisa
menghambat reaksi asma fase cepat dan fase lambat, meskipun permulaan
percobaan obat ini hanya berperan pada sel mast untuk mensupresi pengeluaran
histamin, ternyata dapat menghambat generasi sitokin juga (Yazid, et al.,
2013).
e. Metilxantin
Teofilin merupakan derivat xantin. Efek terpenting xantin ialah
relaksasi otot polos bronkus, terutama bila otot bronkus dalam keadaan
konstriksi. Efek bronkodilatasi teofilin disebabkan oleh antagonisme terhadap
reseptor adenosin maupun inhibisi PDE (fosfodiesterase). Adenosin dapat
menyebabkan bronkokonstriksi pada pasien asma dan memperkuat
penglepasan mediator dari sel mast. Oleh karena teofilin merupakan antagonis
kompetitif reseptor adenosin, maka hal ini yang mengatasi bronkokonstriksi
pasien asma. Selain itu, penghambatan PDE mencegah pemecahan cAMP dan
cGMP sampai terjadi akumulasi cAMP dan cGMP dalam sel yang
mengakibatkan relaksasi otot polos termasuk otot polos bronkus (Louisa,
2011).
Pemberian teofilin dapat dipertimbangkan karena efek
bronkodilatasinya akibat inhibisi aktivitas PDE untuk mengatasi gejala asma.
Tetapi efek bronkodilatasinya lebih lemah dari short-acting beta-2 agonis.
Penambahan teofilin kerja singkat dengan obat golongan SABA tidak
memperkuat respon bronkodilatasi namun dapat bermanfaat untuk respiratory
drive. Pemberian teofilin kerja singkat tidak dianjurkan pada pasien yang sudah
mendapat terapi teofilin lepas lambat kecuali ada dilakukan monitoring
kadarnya dalam darah (PDPI, 2003). Telah dilakukan berbagai penelitian
bahwa teofilin efektif sebagai kontrol gejala dan perbaikan terhadap fungsi
paru, sehingga teofilin atau aminofilin lepas lambat dapat digunakan sebagai
pengontrol. Kombinasi kortikosteroid dengan teofilin sebagai alternatif
menunjukkan perbaikan fungsi paru namun teofilin tidak lebih efektif dari
inhalasi beta-2 agonis (PDPI,2003).
f. Leukotriene modifiers
Mekanisme kerja obat ini adalah menghambat reseptor cysteinyl-
leukotriene 1 (CysLT1) dan enzim 5-lipoksigenase. Leukotrin merupakan
derivat asam arakidonat. Asam arakidonat dipecah fosfolipase A2 menjadi
arakidonat bebas. Enzim 5-lipoksigenase ini selanjutnya mengkonversi asam
arakidonat bebas menjadi leukotrin A4 dan akhirnya akan diubah menjadi
leukotrin C4, D4, E4. Leukotrin yang sudah terbentuk berikatan dengan
reseptornya yaitu CysLT1 yang ditemukan pada eosinofil, monosit, sel-sel otot
polos saluran napas, neutrofil, sel B, sel plasma, dan makrofag jaringan. Dari
mekanisme di atas, terlihat bahwa leukotrin dianggap sebagai mediator
inflamasi yang mampu mengaktivasi eosinofil, meningkatkan permeabilitas
mikrovaskuler, sekresi mukus, proliferasi dan penyempitan otot polos, serta
diduga efek bronkokonstriksi yang disebabkan oleh leukotrin lebih besar
daripada efek oleh histamin (Scichilone, 2013).
g. Kombinasi Kortikosteroid dan Long Acting Agonis Beta (LABA)
Pemberian inhalasi kombinasi LABA dengan kortikosteroid,
memberikan hasil yang lebih baik daripada terapi kortikosteroid tunggal,
meskipun dosisnya ditingkatkan. Terapi inhalasi kombinasi yang tetap antara
salmeterol dengan fluticasone serta formoterol dengan budesonide, merupakan
bentuk terapi yang menjanjikan dalam pengobatan asma. Terapi kombinasi
yang tetap ini mempunyai beberapa keuntungan antara lain:
a. Dosis kortikosteroid dan agonis β2 kerja lama (LABA) yang digunakan
pada terapi kombinasi, lebih rendah dibandingkan bila obat ini dipakai
secara terpisah.
b. Pemberian inhalasi kombinasi kedua obat ini memberikan hasil yang lebih
baik dibandingkan pemberian steroid dengan dosis dua kali lipat.
c. Pemberian kortikosteroid dapat meningkatkan sintesis reseptor agonis β2
dan menurunkan desensitisas terhadap agonis β2.
d. Pemberian agonis β2 menyebabkan reseptor steroid menjadi lebih “siap”,
sehingga lebih sedikit kortikosteroid yang dibutuhkan untuk menghasilkan
aktivitas yang diharapkan.
Prinsip kerja obat pelega (relievers) adalah sebagai bronkodilator untuk
membantu mengatasi bronkokonstriksi jalan napas dan gelaja yang menyertainya
seperti sesak, mengi, batuk, dan dada terasa berat (PDPI, 2003).
a. Short-acting β2 agonis (SABA) SABA merupakan obat yang paling efektif
mengatasi bronkospasme saat eksaserbasi asma akut dan juga dapat mencegah
exercice-induced asthma. Golongan SABA dapat diberikan secara inhalasi,
oral, atau parenteral. Namun pemberian yang lebih direkomendasikan adalah
dengan inhalasi karena mempertimbangkan kerja obat yang cepat juga efek
samping yang minimal. SABA memiliki mekanisme sama seperti obat β2
agonis lain yaitu dengan merelaksasi jalan napas, meningkatkan pembersihan
mukosilier, menurunkan permiabilitas vaskuler, dan memodulasi penglepasan
mediator dari sel mast dan eosinofil. Yang termasuk obat golongan SABA
adalah salbutamol, Fenoterol, levalbuterol, biltolterol, pirbuterol, isoproterol,
metaproternol, terbutaline, epinephrine (PDPI, 2003).
b. Antikolinergik Obat golongan ini berupa ipatropium dan oxitropium bromida.
Mekanisme kerja obat golongan ini adalah sebagai bronkodilatasi dengan
kompetitif menghambat reseptor muskarinik kolinergik, menurunkan tonus
intrinsik vagus, blokade reflex bronkokonstriksi akibat zat iritan atau reflux
esofagus, dan menurunkan sekresi mukus. Pemberian secara inhalasi
bronkodilator antikolinergik ini kurang efektif jika dibandingkan dengan
SABA. Namun, Obat ini dapat diberikan pada pasien yang tidak respon
terhadap SABA atau sebagai alternatif pada penderita yang memilik efek
samping seperti takikardi, aritmia, tremor dengan pemakaian SABA (PDPI,
2003).
BAB III
METODE PENELITIAN

1. WAKTU DAN LOKASI PENELITIAN


Pengambilan data dilakukan pada Bulan Juli-Agustus 2020 di depo IGD
Rumah Sakit Badan Pengusahaan Kota Batam, dengan mengambil data pasien
asma periode Desember 2018 – Januari 2019.

2. RANCANGAN PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif, yaitu penelitian yang
bertujuan untuk mendapatkan gambaran atau deskripsi tentang suatu keadaan
secara objektif, pengambilan data dilakukan secara retrospektif yaitu suatu
penelitian yang mengkaji informasi atau mengambil data yang telah lalu dengan
menggunakan data sekunder.

3. POPULASI DAN SAMPEL


Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh data rekam medis pasien yang
didiagnosis penyakit asma dan menjalani pengobatan di Rumah Sakit Badan
Pengusahaan Kota Batam periode Desember 2018 – Januari 2019.
Sampel penelitian harus memenuhi kriteria inklusi dan tidak termasuk
kriteria eksklusi;
a. Kriteria inklusi penelitian ini adalah data rekam medis pasien asma meliputi
biodata pasien (usia dan jenis kelamin) dan biodata obat (nama obat, bentuk
sediaan, dan regimen dosis).
b. Kriteria eksklusi penelitian ini adalah data rekam medis pasien asma yang tidak
lengkap dan tidak bisa dibaca oleh peneliti.

4. INSTRUMEN PENELITIAN
Status rekam medis dari pasien asma di depo IGD periode Desember 2018 –
Januari 2019 di Rumah Sakit Badan Pengusahaan Kota Batam dan lembar
pengumpul data penggunaan obat pada pasien asma.
5. ANALISIS DATA
Hasil Penelitian terdiri dari data deskripsi pasien dan data terapi obat. Data
deskripsi pasien di gunakan untuk mencari persentase jenis kelamin dan usia.
Sedangkan data terapi obat digunakan untuk memperoleh gambaran pola
penggunaan obat pada pasien dengan diagnosis asma meliputi jenis obat, golongan
obat, bentuk sediaan obat dan regimen dosis.
DAFTAR PUSTAKA

Aldino, A. (2016). Pola Penggunaan Obat Asma Pada Pasien Asma Rawat Inap di Rumah
Sakit Umum Daerah Dr. Pringadi Kota Medan Periode Juli 2014-Juni 2015. Skripsi.
Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Alsagaff, H, dan Mukty, H.A. (2010). Dasar-dasar Ilmu penyakit Paru. Surabaya:
Airlangga University Press. Hal. 263-279.

Barnes, P.J. (2006). How corticosteroid control inflammation : Quintiles Prize Lecture
2005. British Journal of Pharmacology. 148: Hal. 245.

Budiarto, E., dan Anggraeni, D. (2002). Pengantar Epidemiologi. Edisi II. Jakarta: EGC.
Hal. 123.

Clark, M.V. (2013). Asma. Panduan Penatalaksanaan Klinis. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Hal. 2.

Depkes RI. (2007). Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Asma. Jakarta: Direktorat
Jenderal Bina Kefarmasian dan alat kesehatan. Hal. 1.

Depkes RI. (2008). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun 2007. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Hal.
114.

Depkes RI. (2009). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun 2007 Provinsi Sumatera
Utara. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan
Republik Indonesia. Hal. 91.

Ellin., dan Micallef, R. (1987). Mode of action of Glucocorticosteroids and their effects on
asthmatic airways. Im Ellul-Micallef, Lam WK, Togood M. (Edit. Advances in the use of
inhalation corticoteroids. Exccrpta Medica Amsterdam. Hal. 36.
Ikawati, Z., 2007, Farmakoterapi Penyakit Sistem Pernafasan, Pustaka Adipura,
Yogyakarta, hal 45-63.

Ikawati, Z., 2011. Penyakit Sistem Pernapasan Dan Tata Laksana Terapinya. Bursa Ilmu,
Yogyakarta Indonesia.Informasi Spesialit Obat. Volume 45 tahun 2010-2011. Jakarta :
Departemen Kesehatan Republik Indonesia Halaman 491 -501

Junaidi, I. 2012. Pedoman Praktis Obat Indonesia.Edisi Revisi. Jakarta : Bhuana Ilmu
Populer.

Karabey, Yasemin and Selma Sahin, 2003, Bioavailability File: Terbutaline, Fabad Journal
Pharmacy Sciences, Vol. 28.

Katzung, G., Betram. 2004. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi 8. Jakarta : EGC

Katzung, G., Betram. 2007. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi X. Jakarta : EGC

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010. Rencana Strategis Kementerian


Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2010-2014.

Anda mungkin juga menyukai