Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN ASMA NY.N

OLEH :

NAMA: YUSRIL ZAINUDDIN

NIM : 2118030

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI IMLU KESEHATAN

GEMA INSAN AKADEMIK

MAKASSAR

2020/2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Asma adalah penyakit dengan karakteristik sesak napas dan

wheezing, dimana frekuensi dan keparahan dari tiap orang

berbeda. Kondisi ini akibat kelainan dari jalan napas di paru dan

memengaruhi sensitivitas saraf pada jalan napas sehingga mudah

teriritasi. Pada saat serangan, alur jalan napas membengkak

karena penyempitan jalan napas dan pengurangan aliran udara

yang masuk ke paru (Rosalina, 2019). Penyakit asma adalah efek

peradangan paru yang menyebabkan menyempitnya jalan napas,

sehingga pengeluaran udara dari paru-paru terhambat, dan

demikian pula dengan udara yang dihembuskan ke paru-paru

(Setiono, 2017 dalam Aspar, 2019). Reaksi tubuh untuk memenuhi

kebutuhan O2 adalah dengan menambah frekuensi pernapasan

sehingga menimbulkan gejala sesak napas (Haryanto, 2019).

Asma bronkial adalah penyakit yang masih menjadi masalah

kesehatan masyarakat di hampir semua negara di dunia, di derita

oleh anak- anak sampai dewasa dengan derajat penyakit yang

ringan sampai berat, bahkan dapat mengancam jiwa seseorang.

Lebih dari seratus juta penduduk di seluruh dunia menderita asma

dengan peningkatan prevalensi pada anak- anak (GINA, 2018).

Asma biasanya dikenal dengan suatu penyakit yang ditandai

dengan adanya wheezing (Mengi) intermiten yang timbul sebagai


respon akibat paparan terhadap suatu zat iritan atau alergen. Pola

pikir ini mengakibatkan penatalaksanaan asma hanya berfokus

pada gejala asma yang muncul dan tidak ditunjukan pada

penyebab yang mendasari terjadinya kondisi tersebut. (Clark &

Varnell, 2017).

Gejala asma sering terjadi pada malam hari dan saat udara

dingin, biasanya dimulai mendadak dengan gejala batuk dan rasa

tertekan di dada, disertai dengan sesak napas (dyspnea) dan

mengi. Batuk yang dialami pada awalnya susah, tetapi segera

menjadi kuat. Karakteristik batuk pada penderita asma adalah

berupa batuk kering, paroksismal, iritatif, dan non produktif,

kemudian menghasilkan sputum yang berbusa, jernih dan kental.

Jalan napas yang tersumbat menyebabkan sesak napas, sehingga

ekspirasi selalu lebih sulit dan panjang dibanding inspirasi, yang

mendorong pasien untuk duduk tegak dan menggunakan setiap

otot aksesori pernapasan. Penggunaan otot aksesori pernapasan

yang tidak terlatih dalam jangka panjang dapat menyebabkan

penderita asma kelelahan saat bernapas ketika serangan atau

ketika beraktivitas (Brunner & Suddard, 2019).

Badan kesehatan dunia (WHO) memperkirakan 100-150 juta

penduduk dunia menderita asma. Bahkan jumlah ini diperkirakan

akan terus bertambah hingga mencapai 180.000 orang setiap

tahun (GINA, 2018). Depkes RI (2018) menyebutkan bahwa pasien

asma sudah mencapai 300 juta orang diseluruh dunia dan terus
meningkat selama 20 tahun belakangan ini. Apabila tidak dicegah

dan ditangani dengan baik, maka diperkirakan akan terjadi

peningkatan.

Hampir 44 juta penduduk di Asia Timur atau daerah Pasifik

menderita asma, meskipun prevalansi dan laporan yang ada

menunjukan variasi yang besar di daerah itu. Para ahli percaya

bahwa peningkatan prevalensi asma yang signifikan akan

dilaporkan di Cina sebanyak 10 kali lipat. Mereka meramalkan

bahwa peningkatan absolut prevalensi asma sebesar 2% di Cina

akan menyebabkan penambahan 20 juta pasien asma di seluruh

dunia (Clark & Varnell, 2017).

Prevelensi nasional penyakit asma sebesar 4,5%. Prevalensi

asma tertinggi terdapat di Sulawesi Tengah (7,8%), diikuti Nusa

Tenggara Timur (7,3%), DI Yogyakarta (6,9%), Sulawesi Selatan

(6,7%), Kalimantan Selatan (6,4%), dan Sulawesi Tenggara (5,3%),

(RIKESDAS, 2018). Data studi Survey Kesehatan Rumah Tangga

(SKRT) diberbagai propinsi di Indonesia, asma menduduki urutan

kelima dari sepuluh penyebab kesakitan (morbiditas) bersama-

sama dengan bronkitis kronik dan emfisema. Asma, bronkitis

kronik, dan emfisema sebagai penyebab kematian (mortalitas)

keempat di Indonesia atau sebesar 5,6%. Lalu dilaporkan

prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar 13 per 1.000

penduduk (PDPI, 2018).


Data Riskesdas 2017 menunjukan bahwa prevalensi asma

di seluruh Sulawesi Tenggara sebesar 6,66%, tersebar disetiap

Kabupaten/kota. Kabupaten Buton 3,20%, Kabupaten Muna 5,23%,

Kabupaten Konawe 5,78%, Kabupaten Kolaka 4,10%, Kabupaten

Konawe Selatan 2,88%, Bombana 4,76%, Kabupaten Wakatobi

5,44%, Kabupaten Kolaka Utara 3,53%, Kota Kendari 3,29%, dan

Kota Bau-Bau 6,69%. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas

Kesehatan Provinsi Sultra pada tahun 2018 bahwa penyakit Asma

Bronkial berjumlah 1,613 kasus yang terjadi di rumah sakit,

sedangkan untuk kasus yang terjadi di puskesmas sebanyak 2,068

kasus (Dinkes Provinsi Sultra, 2017). Instalasi Rekam Medik RSUD

Bahterahmas Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2018, menunjukan

bahwa tahun 2016 jumlah kasus asma bronkial sebanyak 104

kasus. Sedangkan pada tahun 2017 mengalami peningkatan

sebanyak 152 kasus. (Instalasi Rekam Medik RSUD Bahterahmas

Provinsi Sulawesi Tenggara, 2018).

Penderita asma dapat melakukan inspirasi dengan baik

namun sangat sulit saat ekspirasi (Guyton & Hall 2017 dalam

Widodo, 2017). Sehingga terjadi gangguan difusi gas di alveoli. Hal

tersebut menyebabkan, pasien mengalami gangguan pemenuhan

kebutuhan oksigen (O2). Penanganan yang tepat dalam masalah

gangguan pemenuhan O2 adalah dengan pemberian O2 dan

pengobatan. Pemberian oksigen pada penderita asma bronkial

minimal 94% melalui masker Rebreathing mask (RM) atau non


Rebreathing mask (NRM) maupun kanul nasal sesuai dengan

kebutuhan dari pasien itu sendiri. Konsentrasi oksigen yang tinggi

dalam pemberian terapi dapat menyebabkan peningkatan kadar

PCO2 dalam tubuh pada pasien dengan asma. Walaupun

pemberian terapi oksigen digunakan secara sering dan luas dalam

perawatan pasien asma, pemberian oksigen seringkali tidak akurat,

sehingga pemberian, monitoring, dan evaluasi terapi tidak sesuai

(Perrin et al, 2017). Oksigen (O2) adalah salah satu komponen gas

dan unsur vital dalam proses metabolisme. Oksigen memegang

peranan penting dalam semua proses fisiologis dalam tubuh. Tidak

adanya oksigen akan menyebabkan tubuh mengalami kemunduran

secara fungsional atau bahkan dapat menimbulkan kematian. Oleh

karena itu kebutuhan oksigen merupakan kebutuhan yang paling

utama dan sangat vital bagi tubuh (Fatmawati, 2018 dalam Widodo,

2019.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFENISI

1. Pengertian

Asma merupakan gangguan radang kronik saluran napas.

Saluran napas yang mengalami radang kronik bersifat hiper

responsive sehingga apabila terangsang oleh faktor risiko

tertentu, jalan napas menjadi tersumbat dan aliran udara

terhambat karena konstriksi bronkus, sumbatan mucus, dan

meningkatnya proses radang (Almazini, 2017).

Asma adalah suatu keadaan dimana saluran nafas

mengalami penyempitan karena hiperaktivitas terhadap

rangsangan tertentu, yang menyebabkan peradangan,

penyempitan ini bersifat sementara. Asma dapat terjadi pada

siapa saja dan dapat timbul di segala usia, tetapi umumnya

asma lebih sering terjadi pada anak – anak usia di bawah 5

tahun dan orang dewasa pada usia sekitar 30 tahun atau lebih

(Saheh, 2018).

2. Klasifikasi

a. Asma Alergik

Disebabkan oleh allergen / allergen – allergen yang

dikenal missal ( serbuk sari, binatang, makanan, dan

jamur) kebanyakan allergen terdapat di udara dan

musiman. Pasien dengan asma alergik biasanya


mempunyai riwayat medis masa lalu eczema atau rhinitis

alergik. Pemajanan terhadap allergen mencetuskan

serangan asma. Anak – anak dengan asma alergik

sering mengatasi kondisi sampai masa remaja.

b. Asma Idiopatik/ non alergik

Tidak berhubungan dengan allergen spesifik. Factor –

factor, seperti common cold,, infeksi traktus respiratorius,

latihan, emosi, dan polutan lingkungan dapat

mencetuskan serangan. Beberapa agens farmakologi,

seperti aspirin dan agens anti inflamasi nonsteroid lain,

pewarna rambut, antagonis bête adrenergic, dan agens

sulfit (pengawet makanan) juga mungkin menjadi factor.

Serangan asma idiopatik/ nonalergik menjadio lebih berat

dan sering sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat

berkembang menjadi bronchitis kronis dan emfisema.

c. Asma Gabungan

Bentuk asma yang paling umum. Asma ini

mempunyai karakteristik dari bentuk alergik maupun

bentuk idiopatik/ nonalergik.

3. Etiologi

Penyakit asma bronchial ini disebabkan oleh beberapa factor

yaitu :

a. Faktor predisposisi

Genetik
Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya,

meskipun belum diketahui bagaimana cara penurunannya

yang jelas. Penderita dengan penyakit alergi biasanya

mempunyai keluarga dekat juga menderita penyakit alergi.

Karena adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah

terkena penyakit bronkhial jika terpapar dengan faktor

pencetus. Selain itu hipersentifisitas saluran pernafasannya

juga bisa diturunkan.

b. Faktor presipitasi

1) Asma alergik

Alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu:

a) Inhalan, yang masuk melalui saluran

pernapasan ex: debu, bulu binatang, serbuk

bunga, spora jamur, bakteri dan polusi

b) Ingestan, yang masuk melalui mulut

ex: makanan dan obat-obatan

c) Kontaktan, yang masuk melalui kontak

dengan kulit

ex: perhiasan, logam dan jam tangan

2) Asma non alergik

a) Perubahan cuaca

Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang

dingin sering mempengaruhi asma. Atmosfir

yang mendadak dingin merupakan faktor


pemicu terjadinya serangan asma. Kadang-

kadang serangan berhubungan dengan

musim, seperti: musim hujan, musim

kemarau, musim bunga. Hal ini berhubungan

dengan arah angin serbuk bunga dan debu.

b) Stress

Stress/gangguan emosi dapat menjadi

pencetus serangan asma, selain itu juga bisa

memperberat serangan asma yang sudah

ada. Disamping gejala asma yang timbul

harus segera diobati penderita asma yang

mengalami stress/gangguan emosi perlu

diberi nasehat untuk menyelesaikan masalah

pribadinya. Karena jika stressnya belum

diatasi maka gejala asmanya belum bisa

diobati.

c) Lingkungan kerja

Mempunyai hubungan langsung dengan

sebab terjadinya serangan asma. Hal ini

berkaitan dengan dimana dia bekerja.

Misalnya orang yang bekerja di laboratorium

hewan, industri tekstil, pabrik asbes, polisi

lalu lintas. Gejala ini membaik pada waktu

libur atau cuti.


d) Olah raga/ aktifitas jasmani yang berat

Sebagian besar penderita asma akan

mendapat serangan jika melakukan aktifitas

jasmani atau aloh raga yang berat. Lari cepat

paling mudah menimbulkan serangan asma.

Serangan asma karena aktifitas biasanya

terjadi segera setelah selesai aktifitas

tersebut.

Penyebab pada penderita asma, penyempitan saluran

pernafasan merupakan respon terhadap rangsangan yang pada

paru-paru normal mempengaruhi saluran pernafasan.

Penyempitan ini dapat dipicu oleh berbagai rangsangan, seperti

serbuk sari, debu, bulu binatang, asap, udara dingin dan

olahraga. Pada suatu serangan asma , otot polos dari bronki

mengalami kejang dan jaringan yang melapisi saluran udara

mengalami pembengkakan karena adanya peradangan dan

pelepasan lendir ke dalam saluran udara. Hal ini akan

memperkecil diameter dari saluran udara (disebut

bronkokonstriksi) dan penyempitan ini menyebabkan penderita

harus berusaha sekuat tenaga supaya dapat bernafas. Sel-sel

tertentu di dalam saluran udara (terutama sel mast) diduga

bertanggungjawab terhadap awal mula terjadinya penyempitan

ini. Sel mast di sepanjang bronki melepaskan bahan seperti

histamin dan leukotrien yang menyebabkan terjadinya:


- kontraksi otot polos

- peningkatan pembentukan lendir

- perpindahan sel darah putih tertentu ke bronki.

Sel mast mengeluarkan bahan tersebut sebagai respon

terhadap sesuatu yang mereka kenal sebagai benda asing

(alergen), seperti serbuk sari, debu halus yang terdapat di dalam

rumah atau bulu binatang. Tetapi asma juga bisa terjadi pada

beberapa orang tanpa alergi tertentu. Reaksi yang sama terjadi

jika orang tersebut melakukan olah raga atau berada dalam

cuaca dingin. Stres dan kecemasan juga bisa memicu

dilepaskannya histamine dan leukotrien. Sel lainnya (eosnofil)

yang ditemukan di dalam saluran udara penderita asma

melepaskan bahan lainnya (juga leukotrien), yang juga

menyebabkan penyempitan saluran udara. Gejala Frekuensi dan

beratnya serangan asma bervariasi. Beberapa penderita lebih

sering terbebas dari gejala dan hanya mengalami serangan

serangan sesak nafas yang singkat dan ringan, yang terjadi

sewaktu-waktu. Penderita lainnya hampir selalu mengalami

batuk dan mengi (bengek) serta mengalami serangan hebat

setelah menderita suatu infeksi virus, olah raga atau setelah

terpapar oleh alergen maupun iritan. Menangis atau tertawa

keras juga bisa menyebabkan timbulnya gejala. Suatu serangan

asma dapat terjadi secara tiba-tiba ditandai dengan nafas yang

berbunyi (wheezing, mengi, bengek), batuk dan sesak nafas.


Bunyi mengi terutama terdengar ketika penderita

menghembuskan nafasnya. Di lain waktu, suatu serangan asma

terjadi secara perlahan dengan gejala yang secara bertahap

semakin memburuk. Pada kedua keadaan tersebut, yang

pertama kali dirasakan oleh seorang penderita asma adalah

sesak nafas, batuk atau rasa sesak di dada. Serangan bisa

berlangsung dalam beberapa menit atau bisa berlangsung

sampai beberapa jam, bahkan selama beberapa hari.

4. Patofisiologi

Perubahan jaringan pada asma tanpa komplikasi terbatas

pada bronkus dan terdiri dari spasme otot polos, edema

mukosa, dan infiltrasi sel-sel Radang yang menetap dan

hipersekresi mucus yang kental. Keadaan ini pada orang-orang

yang rentan terkena asma mudah ditimbulkan oleh berbagai

rangsangan, yang menandakan suatu keadaan hiveraktivitas

bronkus yang khas.Orang yang menderita asma memilki

ketidakmampuan mendasar dalam mencapai angka aliran

uadara normal selama pernapasan (terutama pada ekspirasi).

Ketidakmampuan ini tercermin dengan rendahnya usaha

ekspirasi paksa pada detik pertama, dan berdasarkan

parameter yang berhubungan aliran. Asma ditandai dengan

kontraksi spastik dari otot polos bronkus yang menyebabkan

sukar bernafas. Penyebab yang umum adalah hipersensitivitas


bronkhioulus terhadap benda-benda asing di udara. Reaksi

yang timbul pada asma tipe alergi diduga terjadi dengan cara

sebagai berikut:seorang yang alergi mempunyai kecenderungan

untuk membentuk sejumlah antibody abnormal dalam jumlah

besar dan antibodi ini menyebabkan reaksi alergi bila reaksi

dengan antigen spesifikasinya. Pada asma, antibody ini

terutama melekat pada sel mast yang terdapat pada interstisial

paru yang berhubungan erat dengan brokhiolus dan bronkhus

kecil. Bila seseorang menghirup alergen maka antibody IgE

orang tersebut meningkat, alergen bereaksi dengan antibodi

yang telah terlekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini akan

mengeluarkan berbagai macam zat, diantaranya histamin, zat

anafilaksis yang bereaksi lambat (yang merupakan leukotrient),

faktor kemotaktik eosinofilik dan bradikinin. Histamine yang

dihasilkan menyebabkan kontraksi otot polos bronkiolus.

Apabila respon histaminnya berlebihan, maka dapat timbul

spasme asmatik. Karena histamine juga merangsang

pembentukan mucus dan meningkatkan permeabilitas kapiler,

maka juga akan terjadi kongesti dan pembengkakan ruang

intestinum paru, sehingga menyebabkan tahanan saluran napas

menjadi sangat meningkat.

Selain itu olahraga juga dapat berlaku sebagai suatu iritan,

karena terjadi aliran udara keluar masuk paru dalam jumlah

besar dan cepat. Udara ini belum mendapat perlembaban


(humidifikasi), penghangatan, atau pembersihan dari partikel-

partikel debu secara adekuat sehingga dapat mencetuskan

asma. Pada asma, diameter bronkhiolus menjadi semakin

berkurang selama ekspirasi dari pada selama inspirasi. Hal ini

dikarenakan bahwa peningkatan tekanan dalam intrapulmoner

selama usaha ekspirasi tak hanya menekan udara dalam

alveolus tetapi juga menekan sisi luar bronkiolus. Oleh karena

itu pendeita asma biasanya dapat menarik nafas cukup

memadai tetapi mengalami kesulitan besar dalam ekspirasi. Ini

menyebabkan dispnea, atau ”kelaparan udara”. Kapsitas sisa

fungsional paru dan volume paru menjadi sangat meningkat

selama serangan asma karena kesulitan mengeluarkan udara

dari paru-paru. Setelah suatu jangka waktu yang panjang,

sangkar dada menjadi membesar secara permanent, sehingga

menyebabkan suatu ”barrel chest” (dad seperti tong).

Sistem saraf otonom mempersarafi paru. Tonus otot

bronchial diatur oleh impuls saraf vagal melalui system

parasimpastis. Pada asma idiopatik atau nonalergi, ketika ujung

saraf pada jalan nafas dirangsang oleh factor seperti infeksi,

latihan, dingin, merokok, emosi, dan polutan, jumlah asetilkolin

yang dilepaskan maningkat. Pelepasan asetilkolin ini secara

langsung menyebabkan bronkokonstriksi juga merangsang

pembentukan mediator kimiawi. Individu dengan asma dapat

mempunyai tolenransi rendah terhadap respon parasimpatis.


Selain itu, reseptor α- dan β-adrenergik dari system saraf

simpatis terletak dalam bronki. Ketika reseptor α- adrenergic

dirangsang, terjadi bronkokonstriksi; bronkodilatasi terjadi

ketika reseptor β-adrenergik yang dirangsang. Keseimbangan

antara reseptor α- adrenergic dikendalikan terutama oleh siklik

adenosine monofosfat (cAMP). Stimulasi reseptor alfa

mengakibatkan penurunan cAMP,yang mengarah pada

peningkatan mediator kimiawi yang dilepaskan oleh sel – sel

mast bronkokonstriksi. Sirkulasi reseptor beta mengakibatkan

peningkatan cAMP, yang menghambat pelepasan mediator

kimiawi dan menyebabkan bronkodilatasi. Teori yang diajukan

adalah bahwa penyekatan β-adrenergik terjadi pada individu

dengan asma. Akibatnya, asmatik rentan terhadap peningkatan

pelepasan mediator kimiawi dan konstriksi otot polos.

5. Manifestasi klinis

Gejala-gejala yang lazim muncul pada asma bronchial

adalah batuk, dispnea, dan mengi. Biasanya pada penderita

yang sedang bebas serangan tidak ditemukan gejala klinis, tapi

pada saat serangan penderita tampak bernafas cepat dan

dalam, gelisah, duduk dengan menyangga ke depan, serta

tanpa otot-otot bantu pernafasan bekerja dengan keras. Gejala

klasik dari asma bronkial ini adalah sesak nafas, mengi

( whezing ), batuk, dan pada sebagian penderita ada yang

merasa nyeri di dada. Gejala-gejala tersebut tidak selalu


dijumpai bersamaan. Pada serangan asma yang lebih berat ,

gejala-gejala yang timbul makin banyak, antara lain : silent

chest, sianosis, gangguan kesadaran, hyperinflasi dada,

tachicardi dan pernafasan cepat dangkal . Serangan asma

seringkali terjadi pada malam hari, Selain gejala tersebut, ada

beberapa gejala menyertainya :

-Takipnea

-Gelisah

-Diaphorosis

-Nyeri di abdomen karena terlihat otot abdomen dalam

pernafasan

Ada beberapa tingkatan penderita asma yaitu :

a. Tingkat I :

Secara klinis normal tanpa kelainan pemeriksaan fisik dan

fungsi paru. Timbul bila ada faktor pencetus baik di dapat

alamiah maupun dengan test provokasi bronkial di

laboratorium.

b. Tingkat II :

Tanpa keluhan dan kelainan pemeriksaan fisik tapi fungsi

paru menunjukkan adanya tanda-tanda obstruksi jalan

nafas. Banyak dijumpai pada klien setelah sembuh

serangan.

c. Tingkat III:
Tanpa keluhan, Pemeriksaan fisik dan fungsi paru

menunjukkan adanya, obstruksi jalan nafas, penderita sudah

sembuh dan bila obat tidak diteruskan mudah diserang

kembali.

d. Tingkat IV :

Klien mengeluh batuk, sesak nafas dan nafas berbunyi

wheezing, pemeriksaan fisik dan fungsi paru didapat tanda-

tanda obstruksi jalan nafas.

e. Tingkat V :

Status asmatikus yaitu suatu keadaan darurat medis berupa

serangan asma akut yang berat bersifat refrator sementara

terhadap pengobatan yang lazim dipakai, asma pada

dasarnya merupakan penyakit obstruksi jalan nafas yang

reversibel. Pada asma yang berat dapat timbul gejala seperti

: Kontraksi otot-otot pernafasan, cyanosis, gangguan

kesadaran, penderita tampak letih, takikardi.

6. Komplikasi

Berbagai komplikasi yang mungkin timbul yaitu:

a. Pneumothoraks

Pneumothoraks adalah keadaan adanya udara di

dalam rongga pleura yang dicurigai bila terdapat benturan

atau tusukan dada. Keadaan ini dapat menyebabkan kolaps

paru yang lebih lanjut lagi dapat menyebabkan kegagalan


nafas. Kerja pernapasan meningkat, kebutuhan O2

meningkat. Orang asam tidak sanggup memenuhi

kebutuhan O2 yang sangat tinggi yang dibutuhkan untuk

bernapas melawan spasme bronkhiolus, pembengkakan

bronkhiolus, dan mukus yang kental. Situasi ini dapat

menimbulkan pneumothoraks akibat besarnya teklanan

untuk melakukan ventilasi.

b. Ateleltaksis

Atelektasis adalah pengkerutan sebagian atau

seluruh paru-paru akibat penyumbatan saluran udara

( bronkus maupun bronkiolus ) atau akibat pernafasan yang

sangat dangkal.

c. Status asmatikus

Merupakan asma yang berat dan persisten yang tidak

berespon terhadap terapi konvensional, akibat dari asma

yang tidak ditangai dengan serius.

d. Bronchitis

Bronkhitis atau radang paru-paru adalah kondisi di

mana lapisan bagian dalam dari saluran pernapasan di paru-

paru yang kecil (bronchiolis) mengalami bengkak. Selain

bengkak juga terjadi peningkatan produksi lendir (dahak).

Akibatnya penderita merasa perlu batuk berulang-ulang

dalam upaya mengeluarkan lendir yang berlebihan, atau


merasa sulit bernafas karena sebagian saluran udara

menjadi sempit oleh adanya lender.

e. Aspergilosis

Aspergilosis merupakan penyakit pernafasan yang

disebabkan oleh jamur dan tersifat oleh adanya gangguan

pernafasan yang berat. Penyakit ini juga dapat menimbulkan

lesi pada berbagai organ lainnya, misalnya pada otak dan

mata. Istilah Aspergilosis dipakai untuk menunjukkan adanya

infeksi Aspergillus sp. Aspergilosis Bronkopulmoner Alergika

(ABPA) adalah suatu reaksi alergi terhadap jamur yang

disebut aspergillus, yang menyebabkan peradangan pada

saluran pernafasan dan kantong udara.

7. Pemeriksaan Diagnostik

a. Spirometri

Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas

reversible, cara yang paling cepat dan sederhana diagnosis

asma adalah melihat respon pengobatan dengan

bronkodilator. Pemeriksaan spirometer dilakukan sebelum

dan sesudah pamberian bronkodilator aerosol (inhaler atau

nebulizer) golongan adrenergik. Peningkatan FEV1 atau

FVC sebanyak lebih dari 20% menunjukkan diagnosis

asthma. Tidak adanya respon aerosol bronkodilator lebih

dari 20%. Pemeriksaan spirometri tidak saja penting untuk

menegakkan diagnosis tetapi juga penting untuk menilai


berat obstruksi dan efek pengobatan. Benyak penderita

tanpa keluhan tetapi pemeriksaan spirometrinya

menunjukkan obstruksi.

1) Uji Provokasi bronkus

Menurut Heru Sundaru (2017) dilakukan jika

spirometri normal, maka dilakukan uji provokasi

bronkus dengan allergen, dan hanya dilakukan

pada pasien yang alergi terhadap allergen yang di

uji.

2) Uji kuli Dilakukan untuk mencari faktor alergi

dengan berbagai alergen yang dapat menimbulkan

reaksi yang positif pada asma.

3) Elektrokardiografi

Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama

serangan dapat dibagi menjadi 3 bagian, dan

disesuaikan dengan gambaran yang terjadi pada

empisema paru yaitu:

-Perubahan aksis jantung, yakni pada

umumnya terjadi right axis deviasi dan clock

wise rotation.

-Terdapatnya tanda-tanda hipertropi otot

jantung, yakni terdapatnya RBB (Right bundle

branch block).
-Tanda-tanda hopoksemia, yakni terdapatnya

sinus tachycardia, SVES, dan VES atau

terjadinya depresi segmen ST negative.

8. Penatalaksanaan Medis

a. Farmakologi

Bronkodilator : obat yang melebarkan saluran nafas

yaitu:

1) Simpatomimetik/ andrenergik (Adrenalin dan

efedrin) Nama obat: Orsiprenalin (Alupent),

Fenoterol (berotec) dan Terbutalin (bricasma).

Obat-obat golongan simpatomimetik tersedia

dalam bentuk tablet, sirup,suntikan dan

semprotan. Yang berupa semprotan: MDI

(Metered dose inhaler). Ada juga yang

berbentuk bubuk halus yang dihirup (Ventolin

Diskhaler dan Bricasma Turbuhaler) atau

cairan broncodilator (Alupent, Berotec,

brivasma serts Ventolin) yang oleh alat

khusus diubah menjadi aerosol (partikel-

partikel yang sangat halus ) untuk selanjutnya

dihirup.

2) Santin (teofilin)

Nama obat: Aminofilin (Amicam supp),

Aminofilin (Euphilin Retard) dan Teofilin


(Amilex). Efek dari teofilin sama dengan obat

golongan simpatomimetik, tetapi cara kerjanya

berbeda. Sehingga bila kedua obat ini

dikombinasikan efeknya saling memperkuat.

Cara pemakaian : Bentuk suntikan teofillin /

aminofilin dipakai pada serangan asma akut,

dan disuntikan perlahan-lahan langsung ke

pembuluh darah. Karena sering merangsang

lambung bentuk tablet atau sirupnya sebaiknya

diminum sesudah makan. Itulah sebabnya

penderita yang mempunyai sakit lambung

sebaiknya berhati-hati bila minum obat ini.

Teofilin ada juga dalam bentuk supositoria

yang cara pemakaiannya dimasukkan ke

dalam anus. Supositoria ini digunakan jika

penderita karena sesuatu hal tidak dapat

minum teofilin (misalnya muntah atau

lambungnya kering).

3) Kromalin

Kromalin bukan bronkodilator tetapi merupakan

obat pencegah serangan asma. Manfaatnya

adalah untuk penderita asma alergi terutama

anak-anak. Kromalin biasanya diberikan

bersama-sama obat anti asma yang lain, dan


efeknya baru terlihat setelah pemakaian satu

bulan.

4) Ketolifen

Mempunyai efek pencegahan terhadap asma

seperti kromalin. Biasanya diberikan dengan

dosis dua kali 1mg/hari. Keuntungnan obat ini

adalah

dapat diberika secara oral.

9. Pencegahan

Pasien dengan asma kambuhan harus menjalani

pemeriksaan mengidentifikasi substansi yang mencetuskan

terjadinya serangan. Penyebab yang mungkin dapat saja

bantal, kasur, pakaian jenis tertentu, hewan peliharaan ;

kuda, detergen, sabun, makanan tertentu, jamur, dan serbuk

sari. Jika serangan berkaitan dengan musim, maka serbuk

sari dapat menjadi dugaan kuat. Upaya harus dibuat untuk

menghindari agen penyebab kapan saja memungkinkan.

Cairan diberikan karena individu dengan asma mengalami

dehidrasi akibat diaphoresis dan kehilangan cairan tidak

kasaat mata dengan hiperventilasi.


A. Analisa Data

NO Data Etiologi Masalah

Keperawatan
1. DS : Nyeri saat hambatan

 Klien mengatakan bernapas dan upaya napas

sesak napas kelemahan

DO : otot

 Tanpak lemas pernapasan

 Tanpak pucat

 TTV :

TD:120/90 mmHg

S : 36°C

N : 80x/menit

P : 28x/menit

2. DS Obstruksi ketidakseimban

 Klien mengatakan jalan napas gan ventilasi

sering batuk tapi perkusi

tidak berlendir

DO :

 Tampak lemas

 Tanpak pucat
 TTV

TD:130/80 mmHg

S : 36 °C

N : 80x/menit

P : 28x/menit

Diagnosa keperawatan

1.Pola napas tidak efektif b/d hambatan upaya napas

2.Gangguan pertukaran gas b/d ketidakseimbangan ventilasi

perkusi

INTERVENSI KEPERAWATAN

N DIAGNOSA TUJUAN DAN RENCANA TINDAKAN INTERVENSI

O KRITERIA HASIL

1. Pola napas tidak Setelah dilakukan Observasi: Observasi

efektif b/d tindakan 1. identifikasi 1. Monitor jalan

hambatan upaya keperawatan lokasi,karateristik,kualitas, napas

napas diharapkan 2x24 dan itensitas pernapasan Terapeutik

jam masalah pola 2. hindari terlalu berkerja 1. Posisikan

napas tidak efektif keras semiflower

teratasi. 3. observasi TTV atau fowler


Dengan kriteria Terapeutik 2. Monitor

hasil: 1. ajarkan tehnik relaksi saturasi

1. Frekuensi napas dalam oksigen

jalan napas 2. berikan posisi nyaman 3. Monitor

2. Pola napas pada klien adanya

membaik Edukasi: sumbatan

3. Batuk 1. jelaskan penyebab jalan jalan napas

efektif napas tidak efektif

meningkat 2. jelaskan strategi pola

napas tidak efektif

2. Gangguan Setelah dilakukan Observasi: Observasi:

pertukaran gas b/d tindakan 1. Memonitor frekuensi, 1. Identifikasi

ketidakseimbanga keperawatan irama, kedalaman dan adanya

n ventilasi perkusi diharapkan 2x24 upaya napas kelelahan otot

Gangguan 2. Monitor pola napas bantu napas

pertukaran gas 3. Monitor kemampuan 2. Monitor status

dapat teratasi batuk efektif respirasi dan

Dengan kriteria 4. Aukultasi bunyi napas oksigenasi

hasil: Terapeutik: Terapeutik:

1. Tingkat 1. Atur pemantauan 1. Pertahankan

kesadaran respirasi sesuai kondisi jalan napas

pasien klien 2. Berikan posisi

meningkat Edukasi: semi flower atau

2. Bunyi 1. Jelaskan tujuan prosedur flower


napas pemantauan 3. Berikan

tambahan 2. Informasikan hasil oksigenasi

menurun pemantauan sesuai

3. Gelisah kebutuhan

menurun Edukasi:

1. Ajarkan

melakukan tehnik

relaksasi napas

dalam
IMPLEMENTASI DAN EVALUASI KEPERAWATAN

NO Hari Diagnosa Implementasi Hari Evaluasi SOP

DX Tangg Keperawatan Tanggal

al /Jam Jam
1. Selasa Pola napas a. Mengoservasi Rabu, 03 S: Klien mengatakan pola

, 02 tidak efektif b/d TTV Klien maret 2021 napasnya bagus

maret hambatan  TD:

2021 upaya napas 130/70 10:00 WIB O: Klien tanpak nyaman dan

mmHg tenang

10:30  Nadi: 10:30 WIB A: Masalah teratasi Sebagian

WIB 80x/me P: Lanjutkan intervensi

nit 11:00 WIB

10:50  RR:

WIB 32x/me

nit

11:10  Suhu:

WIB 36, 8 C

b. Mengidentifasi

pernapasan

c. Memberikan

tehnik

relaksasi

pernapasan

d. Memberi posisi
nyaman pada

klien

e. Ajarkan tehnik

relaksasi

napas dalam
2. Rabu, Gangguan a. Mengoserv Kamis, 04 S: Klien tanpak tidak ada

03 pertukaran gas asi TTV maret 2021 secret

maret b/d Klien 10:00 WIB O: Klien tanpak lebih nyaman

2021 ketidakseimba  TD: dan tenang

ngan ventilasi 130/70 11:30 WIB A: Maslah teratasi

10:30 perkusi mmHg P: Intervensi dihentikan

WIB  Nadi: 12:00 WIB

11:00 80x/me

WIB nit

 RR:

32x/me

nit

 Suhu:

36, 8 C

a. Mengobservas

i pola napas

b. Memonitor

batu efektif

c. Memberi posisi
nyaman pada

pasien

d. Memberikan

tehnik batuk

efektif

DAFTAR PUSTAKA
 Almazini, P. 2018. Bronchial Thermoplasty Pilihan Terapi Baru untuk

Asma Berat. Jakrta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

 Carpenito, L.J. 2018.Diagnosa Keperawatan, Aplikasi pada Praktik

Klinis, edisi 6. Jakarta: EGC

 Corwin, Elizabeth J. 2018. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC.

 GINA (Global Initiative for Asthma) 2018.; Pocket Guide for Asthma

Management and Prevension In Children. www. Dimuat dalam

www.Ginaasthma.org

 Johnson, M., et all. 2019. Nursing Outcomes Classification (NOC)

Second Edition. New Jersey: Upper Saddle River

 Linda Jual Carpenito, 2016. Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi

6 . Jakarta: EGC

 Mansjoer, A dkk. 2018. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3.

Jakarta: Media Aesculapius

 Mc Closkey, C.J., et all. 2018. Nursing Interventions Classification

(NIC) Second Edition. New Jersey: Upper Saddle River

 Purnomo. 2018. Faktor Faktor Risiko Yang Berpengaruh Terhadap

Kejadian Asma Bronkial Pada Anak. Semarang: Universitas

Diponegoro

 Ruhyanudin, F. 2018. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan

Gangguan Sistem Kardio Vaskuler. Malang : Hak Terbit UMM Press

 Saheb, A. 2018. Penyakit Asma. Bandung: CV medika

 Santosa, Budi. 2017. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA

2005-2006. Jakarta: Prima Medika


 Sundaru H. 2018 Apa yang Diketahui Tentang Asma,

JakartaDepartemen Ilmu Penyakit Dalam, FKUI/RSCM

 Suriadi. 2017. Asuhan Keperawatan Pada Anak. Edisi I.  Jakarta:

Sagung Seto

Anda mungkin juga menyukai