PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Asma merupakan salah satu penyakit saluran pernafasan yang banyak dijumpai pada
anak-anak maupun dewasa. Menurut global initiative for asthma (GINA) tahun 2015,
asma didefinisikan sebagai “ suatu penyakit yang heterogen, yang dikarakteristik oleh
adanya inflamasi kronis pada saluran pernafasan. Hal ini ditentukan oleh adanya riwayat
gejala gangguan pernafasan seperti mengi, nafas terengah-engah, dada terasa
berat/tertekan, dan batuk, yang bervariasi waktu dan intensitasnya, diikuti dengan
keterbatasan aliran udara ekspirasi yang bervariasi”, (Kementrian Kesehatan RI, 2017).
Asma adalah penyakit gangguan pernapasan yang dapatmenyerang anak-anak
hingga orang dewasa, tetapipenyakit ini lebih banyak terjadi pada anak-anak.Menurut
para ahli, prevalensi asma akan terusmeningkat. Sekitar 100 - 150 juta penduduk
duniaterserang asma dengan penambahan 180.000 setiaptahunnya. (Dharmayanti &
Hapsari, 2015).
Angka kejadian asma bervariasi diberbagai negara, tetapi terlihat kecendrungan
bahwa penderita penyakit ini meningkat jumlahnya, meskipun belakang ini obat-obatan
asma banyak dikembangkan. Laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam world
health report 2000 menyebutkan, lima penyakit paru utama merupakan 17,4 % dari
seluruh kematian di dunia, masing-masing terdiri dari infeksi paru 7,2 %, PPOK
(Penyakit Paru Obstruksi Kronis) 4,8%, Tuberkulosis 3,0%, kanker paru/trakea/bronkus
2,1 %. Dan asma 0,3% (Infodatin, 2017).
Saat ini penyakit asma masih menunjukkan prevalensi yang tinggi. Berdasarkan data
dari WHO (2002) dan GINA (2011), di seluruh dunia diperkirakan terdapat 300 juta
orang menderita asma dan tahun 2025 diperkirakan jumlah pasien asma mencapai 400
juta. Jumlah ini dapat saja lebih besar mengingat asma merupakan penyakit yang
underdiagnosed. Buruknya kualitas udara dan berubahnya pola hidup masyarakat
diperkirakan menjadi penyebab meningkatnya penderita asma. Data dari berbagai negara
menunjukkan bahwa prevalensi penyakit asma berkisar antara 1-18% (Infodatin, 2017).
Prevalensi asma di Indonesia menurut data Survei Kesehatan Rumah Tangga sebesar
4%. Sedangkan berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2017, prevalensi
asma untuk seluruh kelompok usia sebesar 3,5% dengan prevalensi penderita asma pada
anak usia 1 - 4 tahun sebesar 2,4% dan usia 5 - 14 tahun sebesar 2,0% (Infodatin, 2017).
1
2
Dampak yang akan terjadi jika asma broncial tidak ditangani dengan tepat, dimana
lingkungan memiliki peran dalam memicu kekambuhan asma. Selain itu ada faktor lain
yang dapat meningkatkan keparahan asma. Beberapa diantaranya adalah rinitis yang
tidak diobati atau sinusitis, gangguan refluks gastroesofagal, sensitivitas terhadap aspirin,
pemaparan terhadap senyawa sulfit atau obat golongan beta bloker, dan influenza, faktor
mekanik, dan faktor psikis (Stress) (Zullies, 2016).
Penanganan yang dilakukan pada asma yaitu jauhkan dari agen-agen yang dapat
membuat asma kambuh seperti debu, bulu binatang, perubahan cuaca, dll. Serta selalu
berikan masker dan kenakan pakaian yang hangat saat cuaca yang dingin agar tidak
terjadinya kekambuhan asma.
Upaya yang dilakukan dalam menurunkan angka kejadian asma dengan menjaga
kebersihan rumah dan lingkungan, hindari merokok dan asap rokok serta asap
korbondiaksoda, hindari binatang yang mempunyai bulu yang halus dan menjaga pola
makan agar tidak terjadinya obesitas, karena obesitas juga merupakan faktor resiko
terjadinya asma pada individu.
Peran perawat untuk merawat pasien dengan Asma adalah melalui pendekatan
proses keperawatan. Asuhan keperawatan yang diberikan melalui pengkajian, diagnosa
keperawatan, intervensi keperawatan, implementasi keperawatan dan evaluasi
keperawatan. Perawat juga perlu memberikan dukungan dan motivasi kepada pasien dan
keluarga untuk tetap menjaga kesehatan, menyarankan kepada pasien dan keluarga agar
tetap tabah, sabar, dan berdoa agar diberikan kesembuhan, serta keluarga dapat merawat
pasien dirumah dengan mengikuti semua anjuran dokter dan perawat.
2.2 Etiologi
Asma merupakan gangguan kompleks yang melibatkaan faktor autonom,
imunologis, infeksi, endokrin dan psikologis dalam berbagai tingkat pada berbagai
individu. Pengendalian diameter jalan napas dapat dipandang sebagai suatu keseimbangan
gaya neural dan humoral. Aktivitas bronkokonstriktor neural diperantarai oleh bagian
kolinergik sistem saraf otonom. Ujung sensoris vagus pada epitel jalan napas, disebut
reseptor batu atau iritan, tergantung pada lokasinya, mencetuskan refleks arkus cabang
aferens, yang pada ujung eferens merangsang kontraksi otot polos bronkus.
1. Faktor imunologis.
Pada beberapa penderita yang disebut asma ekstrinsik atau alergik, eksaserbasi terjadi
setelah pemaparan terhadap faktor lingkungan seperti debu rumah, tepungsari, dan
ketombe. Bentuk asma adanya instrinsik dan ekstrinsik. Perbedaan intrinsik dan
ekstrinsik mungkun pada hal buatan (artifisial), karena dasar imun pada jejas mukosa
akibat mediator pada kedua kelompok tersebut. Asma ekstrinsikmungkin dihubungkan
dengan lebih mudahnya mengenali rangsangan pelepasan mediator daripada asma
instrinsik.
2. Faktor Endokrin
Asma dapat lebih buruk dalam hubungannya dengan kehamilan dan menstruasi,
terutama premenstruasi, atau dapat timbul pada saat wanita menopause. Asma
membaik pada beberapa anak saat pubertas.
3. Faktor Psikologis
Faktor emosi dapat memicu gejala-gejala pada beberapa anak dan dewasa yang
berpenyakit asma, tetapi “penyimpangan” emosional atau sifat-sifat perilaku yang
dijumpai pad anak asma tidak lebih sering daripada anak dengan penyakit cacat kronis
yang lain (Nelson, 2013).
2.3 Klasifikasi
Keparahan asma juga dapat dinilai secara retrospektif dari tingkat obat yang
digunakan untuk mengontrol gejala dan serangan asma. Hal ini dapat dinilai jika pasien
telah menggunakan obat pengontrol untuk beberapa bulan. Yang perlu dipahami adalah
bahwa keparahan asma bukanlah bersifat statis, namun bisa berubah dari waktu-waktu,
dari bulan ke bulan, atau dari tahun ke tahun, (GINA, 2015) Adapun klasifikasinya adalah
sebagai berikut :
6
1. Asma Ringan Adalah asma yang terkontrol dengan pengobatan tahap 1 atau tahap 2,
yaitu terapi pelega bila perlu saja, atau dengan obat pengontrol dengan intensitas
rendah seperti steroid inhalasi dosis rendah atau antogonis leukotrien atau kromon.
2. Asma Sedang Adalah asma terkontrol dengan pengobatan tahap 3, yaitu terapi dengan
obat pengontrol kombinasi steroid dosis rendah plus long acting beta agonist (LABA).
3. Asma Berat Adalah asma yang membutuhkan terapi tahap 4 atau 5, yaitu terapi
dengan obat pengontrol kombinasi steroid dosis tinggi plus long acting beta agonist
(LABA) untuk menjadi terkontrol, atau asma yang tidak terkontrol meskipun telah
mendapat terapi. Perlu dibedakan antara asma berat dengan asma tidak terkontrol.
Asma yang tidak terkontrol biasnya disebabkan karena teknik inhalasi yang kurang
tepat, kurangnya kepatuhan, paparan alergen yang berlebih, atau ada komorbiditas.
Asma yang tidak terkontrol relatif bisa membaik dengan pengobatan. Sedangkan asma
berat merujuk pada kondisi asma yang walaupun mendapatkan pengobatan yang
adekuat tetapi sulit mencapai kontrol yang baik.
2.4 Patofisiologi
Asma adalah obstruksi jalan nafas difus reversibel. Obstruksi disebabkan oleh satu
atau lebih dari konstraksi otot-otot yang mengelilingi bronkhi, yang menyempitkan jalan
nafas, atau pembengkakan membran yang melapisi bronkhi, atau penghisap bronkhi
dengan mukus yang kental. Selain itu, otot-otot bronkhial dan kelenjar mukosa
membesar, sputum yang kental, banyak dihasilkan dan alveoli menjadi hiperinflasi,
dengan udara terperangkap di dalam jaringan paru. Mekanisme yang pasti dari perubahan
ini belum diketahui, tetapi ada yang paling diketahui adalah keterlibatan sistem
imunologis dan sisitem otonom.
Beberapa individu dengan asma mengalami respon imun yang buruk terhadap
lingkungan mereka. Antibodi yang dihasilkan (IgE) kemudian menyerang sel-sel mast
dalam paru. Pemajanan ulang terhadap antigen mengakibatkan ikatan antigen dengan
antibodi, menyebabkan pelepasan produk sel-sel mast (disebut mediator) seperti
histamin, bradikinin, dan prostaglandin serta anafilaksis dari substansi yang bereaksi
lambat (SRS-A). Pelepasan mediator ini dalam jaringan paru mempengaruhi otot polos
dan kelenjar jalan nafas, menyebabkan bronkospasme, pembengkakan membaran
mukosa dan pembentukan mukus yang sangat banyak.
Sistem saraf otonom mempengaruhi paru. Tonus otot bronkial diatur oleh impuls
saraf vagal melalui sistem parasimpatis, Asma idiopatik atau nonalergik, ketika ujung
7
saraf pada jalan nafas dirangsang oleh faktor seperti infeksi, latihan, dingin, merokok,
emosi dan polutan, jumlah asetilkolin yang dilepaskan meningkat. Pelepasan asetilkolin
ini secara langsung menyebabkan bronkokonstriksi juga merangsang pembentukan
mediator kimiawi yang dibahas di atas. Individu dengan asma dapat mempunyai toleransi
rendah terhadap respon parasimpatis.
Selain itu, reseptor α- dan β- adrenergik dari sistem saraf simpatis terletak dalam
bronki. Ketika reseptor α- adrenergik dirangsang terjadi bronkokonstriksi, bronkodilatasi
terjadi ketika reseptor β- adregenik yang dirangsang. Keseimbangan antara reseptor α-
dan β- adregenik dikendalikan terutama oleh siklik adenosin monofosfat (cAMP).
Stimulasi reseptor alfa mengakibatkan penurunan cAMP, mngarah pada peningkatan
mediator kimiawi yang dilepaskan oleh sel mast bronkokonstriksi. Stimulasi reseptor
beta adrenergik mengakibatkan peningkatan tingkat cAMP yang menghambat pelepasan
mediator kimiawi dan menyababkan bronkodilatasi. Teori yang diajukan adalah bahwa
penyekatan β- adrenergik terjadi pada individu dengan asma. Akibatnya asmatik rentan
terhadap peningkatan pelepasan mediator kimiawi dan konstriksi otot polos (Wijaya dan
Putri, 2014).
8
2.6 Komplikasi
Bila serangan asma sering terjadi dan telah berlangsung lama, maka akan terjadi
emfisema dan mengakibatkan perubahan bentuk toraks, yaitu toraks menbungkuk ke
depan dan memanjang. Pada foto rontgen toraks terlihat diafragma letaknya rendah,
10
gambaran jantung menyempit, corakan hilus kiri dan kanan bertambah. Pada asma kronik
dan berat dapat terjadi bentuk dada burung dara dan tampak sulkus Harrison.
Bila sekret banyak dan kental, salah satu bronkus dapat tersumbat sehingga dapat
terjadi atelektasis pada lobus segmen yang sesuai. Mediastinum tertarik ke arah
atelektasis. Bila atelektasis berlangsung lama dapat berubah menjadi bronkietasis, dan
bila ada infeksi akan terjadi bronkopneumonia. Serangan asma yang terus menerus dan
berlangsung beberapa hari serta berat dan tidak dapat diatasi dengan obat-obat yang biasa
disebut status asma tikus. Bila tidak ditolong dengan semestinya dapat menyebabkan
kematian, kegagalan pernafasan dan kegagalan jantung.
b. Rujuk ke ahli paru untuk konsultasi atau penangan lanjut bila diperlukan
7. Pola hidup sehat
a. Meningkatkan kebugaran fisik
Olahraga menghasilkan kebugaran fisik secara umum. Walaupun terdapat salah
satu bentuk asma yang timbul serangan sesudah execrise, akan tetapi tidak berarti
penderita EIA dilarang melakukan olahraga. Senam asma Indonesia (SAI) adalah
salah satu bentuk olahraga yang dianjurkan karena melatih dan menguatkan otot-
otot pernapasan khususnya, selain manfaat lain pada olahraga umumnya.
b. Berhenti atau tidak pernah merokok
c. Lingkungan kerja
Kenali lingkungan kerja yang berpotensi dapat menimbulkan asma.
5. Pemeriksaan fisik
14
a. Inspeksi
- Pemeriksaan dada dimulai dari torak posterior, pasien pada posisi duduk
- Dada diobservasi
- Tindakan dilakukan dari atas (apeks) sampai kebawah
- Inspeksi torak posterior, meliputi warna kulit dan kondisinya, skar, lesi,
massa, dan gangguan tulang belakang, seperti kifosis, skoliosis, dan
lordosis.
- Catat jumlah, irama, kedalaman pernapasan, dan kesimetrisan pergerakkan
dada.
- Observasi tipe pernapasan, seperti pernapasan hidung pernapasan
diafragma, dan penggunaan otot bantu pernapasan.
- Saat mengobservasi respirasi, catat durasi dari fase inspirasi (I) dan fase
eksifirasi (E). Rasio pada fase ini normalnya 1:2. Fase ekspirasi yang
memanjang menunjukkan adanya obstruksi pada jalan napas dan sering
ditemukan pada pasien Chronic Airflow Limitation (CAL) / Chornic
obstructive Pulmonary Diseases (COPD).Kelainan pada bentuk dada
- Observasi kesimetrisan pergerakkan dada. Gangguan pergerakan atau
tidak adekuatnya ekspansi dada mengindikasikan penyakit pada paru atau
pleura.
- Observasi trakea abnormal ruang interkostal selama inspirasi, yang dapat
mengindikasikan obstruksi jalan nafas.
b. Palpasi
- Dilakukan untuk mengkaji kesimetrisan pergerakan dada dan
mengobservasi abnormalitas, mengidentifikasikan keadaan kulit, dan
mengetahui vocal/ tactile premitus (vibrasi).
- Palpasi toraks untuk mengetahui abnormalitas yang terkaji saat inspeksi
seperti : massa, lesi, bengkak.
- Vocal premitus, yaitu gerakan dinding dada yang dihasilkan ketika
berbicara (Nuraruf & Kusuma, 2015).
c. Perkusi
Suara perkusi normal :
- Resonan (sonor) : bergaung, nada rendah. Dihasilkan pada jaringan paru
normal.
15
2.9.3 Intervensi
No Diagnosa Keperawatan NOC NIC
1. Ketidakefektifan bersihan Respiratory status : - Airway Management
jalan napas berhubungan Ventilator 1. Buka jalan nafas, gunakan
dengan mucus dalam jumlah Respiratory status : teknik chin lift atau jaw
berlebihan, peningkatan airway patency thrust bila perlu
produksi mucus, eksudat Kriteria Hasil: 2. Posisikan pasien untuk
dalam alveoli dan 1. Mendemostrasikan batuk memaksimalkan ventilasi
bronkospasme efektif dan suara nafas 3. Auskultasi suara nafas,
yang bersih, tidak ada catat adanya sura
seanosis dan dyspneu tambahan
(mampu mengeluargan 4. Keluarkan sekret dengan
sputum, mampu bernafas batuk atau suctio
dengan muda, tidak ada 5. Monitor respirasi dan
pursed lips) status O2
2. Menunjukkan jalan nafas 6. Lakukan fisiotrapi dada
yang paten (klien tidak jika perlu
merasa tercekik, irama 7. Berikan bronkodilator bila
nafas, frekuensi perlu
pernafasan dalam - Airway Suction
rentang normal, tidak 1. Monitor status oksigen
ada suara abnormal) pasien
3. Mampu 2. Pastikan kebutuhan oral/
mengidentifikasikan dan tracheal suctioning
mencegah faktor yang 3. Auskultasi suara nafas
dapat menghambat jalan sebelum dan sesudah
nafas suction
4. Berikan O2 dengan
menggunakan nasal untuk
memfasilitasi suksion
nasotrakeal
5. Minta klien nafas dalam
sebelum suction dilakukan
17
dan RR
2. Monitor VS saat pasien
berbaring, duduk atau
berdiri
3. Monitor TTV sebelum,
selama dan sesudah
beraktivitas
4. Monitor frekuensi dan
irama pernapasan
5. Monitor suara paru
6. Monitor pola pernafasan
abnormal
7. Monitor sianosis ferifer
8. Identifikasi penyebab dari
perubahan vital sign
3. Gangguan pertukaran gas Respiratory Status : Gas - Airway management
berhubungan dengan retensi Exchange 1. Posisikan pasien untuk
karbon dioksida Respiratory Status : memaksimalkan ventilasi
Ventilation 2. Identifikasi klien perlunya
Vital Sign Status pemasangan alat jalan
Kriteria Hasil nafas buatan
1. Mendemonstrasikan 3. Lakukakan fisioterapi
peningkatan ventilasi dada jika perlu
dan oksigen yang 4. Keluarkan secret dengan
adekuat batuk
2. Memelihara kebersihan 5. Auskultasi suara nafas
paru-paru dan bebas dari 6. Catat pergerakan dada,
tanda-tanda distress amati kesimetrisan
pernafasan 7. Auskultasi suara paru
3. Mendemonstrasikan - Respiratory Monitoring
batuk efektif dan suara 1. Monitor rata-rata,
nafas yang bersih, tidak kedalaman, irama dan
ada sianosis dan dyspneu usaha respirasi
(mampu mengeluarkan
19
22
23
Medan dengan penyakit yang sama yaitu pada tahun 2008 dan pasien tidak memiliki
riwayat alergi obat dan makanan, pasien mengatakan tidak tahan dengan cuaca
dingin atau debu.
4. Riwayat Kesehatan Keluarga
Genogram
Ny. M
Ket :
: Laki – laki
: Perempuan
: Meninggal
: Pasien
untuk makan akibat dari batuk dan kadang menyebabkan mual dan muntah
menyebabkan kurang nafsu makan. Pasien mengatakan mengalami penurunan
BB dari 52 kg menjadi 48 kg semenjak sakit.
- Intake cairan
pasien terpasang infus RL 20 tpm, pasien minum sebanyak ±1200 cc/hari.
2. Pola eliminasi
- Buang air besar
pasien mengatakan BAB 2 x sehari, konsistensi lunak, warna kuning, peristaltik
usus 10x/menit
- Buang air kecil
- pasien mengatakan kadang tidak mampu mengendalikan rangsang untuk BAK
akibat batuk
4. Oksigenasi
- Pasien terpasang O2 4 liter
5. Pola tidur dan istirahat (lama tidur, gangguan tidur, perasaan saat bangun tidur)
- Pasien mengatakan sering terbangun di saat sesak dan batuk, pasien mengatakan
tidur hanya 3-4 jam pada malam hari
6. Pola Perceptual (penglihatan, pendengaran, pengecap, sensasi)
- penglihatan pasien tidak mengalami gangguan penglihatan dan pasien tidak
menggunakan kacamata
- pendengaran pasien normal, tidak memakai alat bantu pendengaran, tidak ada
gangguan pendengaran
- pengecap pasien normal, tidak ada masalah pada pengecapan
25
Pemeriksaan nyeri
- Provokatif/Paliatif (P) :
Qualitas/Quantitas (Q) :
Region/Radiasi (R) :
Skala Seviritas (S) :
Timing (T) :
I. Kepala
- Rambut : Warna rambut hitam, pendek, kulit kepala bersih
- Mata : Konjungtiva tidak anemis, skelra tidak ikterik, pipil bulat, isokor, pasien
tidak pakaikaca mata
- Mulut : Tidak ada gangguan pengecapan ,lidah bersih,tidak ada perdaran pada
pada mulut
- Bibir : Mukosa kering ,tidak adanya stomatitis
- Gigi : Pasien tidak menggunakan gigi palsu, karies tidak ada, gigi masih lengkap
- Telinga : Tidak ada gangguan pada pendengaran ,tidak ada serumen.
- Leher : tidak terdapat pembesaran kelenjar tyroid, tidak ditemukan distensi vena
jugularis, kaku kuduk (-), tidak terpasang tracheostomi.
- Tangan : tangan kiri terpasang infus RL 20 tpm, luka (-), lecet (-), fraktur (-),
edema (-), akral teraba hangat, CRT < 3 detik. Skala kekuatan otot 4.
II. Dada (Paru Dan Jantung )
- Inspeksi : Normal bentuk dada simetris, batuk adanya bunyi weezing
- Palpasi : Normal ,tidak ada massa dan nyeri tekan.
27
Perkusi :
√Resonan Letak……………………………
ðHiperesonane Letak…………………………….
ðBatas jantung
Auskultasi :
ðBronkial Letak……………………………
√Bronkovesikuler Letak…………………………….
ðVesikuler Letak…………………………….
ðKrakles Letak……………………………..
√Whezzing Letak : Pa Dextra
ðRonchi Letak…………………………….
ð Friction Rub Letak…………………………….
ð S1 Letak……………Suara……………….Frekuesi………………..
ð S2 Ltak…………… Suara………………Frekuesi………………..
ð S3 Letak……………Suara ………………Frekuesi……………….
ð S4 Letak……………suara ………………Frekuesi……………….
III. Abdomen
- Inspeksi√ Normal ðAsites ð Stoma ð Luka
- Palpasi : Nyeri tekan (-), massa tumor (-)
- Perkusi : Timpani
- Auskultasi : peristaltic, kesan normal
IV. Genetelia
- Tidak terpasang terpasang kateter ,tidak ada pendarahan pervagina tidak ada
tanda-tanda infeksi, tidak ada benturan trauma, pasien tidak lagi menstruasi
V. Kaki
- Pasien masih bias berjalan ,walaupun di bantu keluarga dan perawat ,tidak ada
edema, kekuatan otot 5
VI. Punggung
- Tidak ada kelainan, tidak ada dikubitus/lulka
28
corakan bronkovaskuler
Merangsang batuk
III.3 DiagnosaKeperawatan
1. Ketidakefektifan pola napas b.d Spasme otot polos bronkiolus
2. Ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d Meningkatnya sekresi mukus berlebihan
yang sangat lengket
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d mual, muntah, intake
tidak adekuat
4. Gangguan pemenuhan istirahat tidur b.d penyempitan Sesak dan batuk
III.4 Intervensi
No Diangnosa Keperawatan NOC NIC
1. Ketidakefektifan pola napas Respiratory status : 1. Buka jalan nafas, gunakan
b.d Spasme otot polos ventilatio. teknik chin lift atau jaw trust
bronkiolus Respiratory status : airway jika perlu.
patency 2. Posisikan pasien untuk
Vital sign status meminimalkan ventilasi.
Kriteria hasil : 3. Auskultasi bunyi nafas untuk
1. Pola nafas efektif mengetahui derajat spasme.
2. Menunjukkan jalan nafas 4. Kaji pantau frekuensi
yang paten pernafasan.
5. Catat adanya/derajat distres,
32
III.5 Implementasi
No Diagnosa Keperawatan Implemantasi Evaluasi TTD
1 Ketidakefektifan pola napas b.d 1. Memposisikan pasien untuk meminimalkan S:
Spasme otot polos bronkiolus ventilasi - Pasien mengatakan sesak berkurang
2. Mengauskultasi bunyi nafas untuk O :
mengetahui derajat spasme 1. RR : 23 x/menit
3. Mengkaji frekuensi pernafasan 2. Sesak pasien terlihat berkurang
4. Mencatat adanya/derajat distres, misal : , A:
gelisah, ansietas, distres pernafasan, - Masalah sebahgian teratasi
penggunaan otot bantu . Disfungsi P:
pernafasan adalah indikator kegagalan nafas - Intervensi di lanjut
5. Mengkaji pasien untuk posisi yang nyaman
untuk bernafas.
6. Memberikan O2 dengan menggunakan nasal
sesuai indikasi
secret. O:
5. Mengauskultasi suara nafas sebelum dan 1. Saat auskultasi suara nafas wheezing
sesudah suction 2. Pasien terlihat masih sedikit susah
6. Memberikan bronkodilator jika pasien mengeluarkan sekret
membutuhkan A:
7. Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang - Masalah teratasi sebagian
penggunaan peralatan : o2, suction, inhalasi P:
- Intervensi lanjutkan
b.d penyempitan Sesak dan batuk 2. Menjelaskan pentingnya tidur yang adekuat. mulai meningkat.
3. fasilitasi untuk mempertahankan aktivitas 2. Keluarga Pasien mengatakan pasien
sebelum tidur (membaca) ada tidur siang
4. Menciptakan lingkungan yang nyaman O:
- Pasien tidak terlihat letih
A:
- Masalah teratasi
P:
- Intervensi dihentikan
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Asma adalah suatu penyakit dimana saluran nafas mengalami penyempitan karena
hiperaktivitas pada rangsangan tertentu, yang mengakibatkan peradangan, penyempitan
ini bersifat sementara.
Data yang didapatkan dari pengkajian berupa demam sejak 2 minggu yang lalu,
sesak nafas (+), nafsu makan berkurang, mual (+) dan berkeringat dingin. Hasil
pemeriksaan RR: 28 x/menit.
Diagnosa keperawatan yang muncul : Ketidakefektifan pola napas b.d Spasme otot
polos bronkiolus, Ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d Meningkatnya sekresi mukus
berlebihan yang sangat lengket, Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
b.d mual, muntah, intake tidak adekuat, Gangguan pemenuhan istirahat tidur b.d
penyempitan Sesak dan batuk.
Tindakan keperawatan yang telah dilakukan adalah mengkaji riwayat kesehatan
pasien,monitor status O2, mengontrol infus dan keadaan umum pasien, mengukur TTV
pasien, mengajarkan teknik nonfarmakologi, memberi motivasi dan pendidikan tentang
kesehatan, dll
4.2 Saran
1. Penderita Asma Broncial
Penderita Asma sebaiknya untuk menghindari faktor pencetus seperti alergi, obat-
obatan, stres fisik dan cuaca sehingga penyakitnya tidak mudah kambuh.
2. Tenaga kesehatan
Perawat : Perawat dapat memberikan edukasi pencegahan asma atau dapat
memberikan edukasi tentang tindakan utama jika penyakit kambuh.
38
DAFTAR PUSTAKA
Clark Varnell Margaret. (2013). Asma; Panduan Penatalaksanaan Klinis. Jakarta : EGC
Huda Amin, Kusuma Hardhi. (2016). Asuhan keperawatan praktis : berdasarkan penerapan diagnosa
Nanda, Nic, Noc. Yokyakarta : Mediaction Jogja.
Ikawati Zullies. (2016). Penatalaksanaan Terapi : Penyakit Sistem Pernafasan. Yogyakarta : Bursa
Ilmu
Infodatin. Pusat data dan informasi Kementrian Kesehatan RI. ISSN 2442-7659.
Nelson. (2013). Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15, vol.1. Jakarta : EGC
Nursalam. (2001). Proses dan Dokumentasi Keperawatan : Konsep & Praktik. Jakarta : Salemba
Medika