Anda di halaman 1dari 21

OBAT PENYAKIT ASMA

FARMAKOLOGI DALAM KEPERAWATAN

Oleh :

Aisyah Chitra P. NIM 162310101248

Makhrufi M. A. S. Ardianto NIM 182310101054

Rahmawati Dimas Sumarlan NIM 182310101058

Fairuza Fajar Yumna NIM 182310101072

Tiara Nur Apriliani NIM 182310101082

Soeayda Dwi Wulandari NIM 182310101085

Aziz Putra Adhitama NIM 182310101088

Laeliatul Badriyah N. R. NIM 182310101098

Tri Freanti Putri NIM 182310101099

PROGRAM STUDI SARJANA ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit asma masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia
maupun dunia. Walaupun penyakit ini memiliki fitalitas yang cukup rendah,
namun masih banyak yang terserang penyakit saluran pernapasan kronik ini.
Menurut data yang dikeluarkan oleh Global initiative for Asthma (2012)
diperkirakan sekitar 300 juta jiwa diseluruh dunia menderita asma dan akan
terus meningkat hingga 400 juta jiwa ditahun 2025. Penelititan dan
pengembangan kesehatan Kementrian Kesehatan RI tahun 2013 menunjukkan
prevalensi asma ditingkat nasional tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur,
Papua, Nusa Tenggara Barat, dan Jawa Timur. Penyebab peningkatan ini
adalah dari kompleks dan bervariasinya faktor pencetus dan faktor yang
mendasari.
Menurut Ikawati (2011) asma merupakan gangguan inflamasi yang kronik
dan terjadi di saluran napas. Inflamasi ini menyebabkan hiperresponsivitas
saluran pernapasan terhadap berbagai stimulasi, yang dapat menyebabkan
kekambuhan sesak napas, kesulitas bernapas, batuk, dada terasa sesak yang
terjadi pada malam hari. Sambutan saluran napas ini sifatnya reversibel.
Berbagai faktor yang dapat menyebabkan serangan asma antara lain jenis
kelamin, obesitas, genetik, olahraga berlebihan, infeksi, alergen, perubahan
suhu, pajanan iritan asap rokok, dan faktor lingkungan.
Saat asma terjadi, saluran pernapasan ke paru-paru akan mengalami
peradangan (infalamasi) dan membengkak yang menyebabkan penyempitan
pada saluran pernapasan, sehingga volume udara yang masuk berkurang dan
penderitanya akan sulit bernafas secara normal.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apa definisi, etiologi, patofisiologi, pencetus, kondisi klinis saat
serangan pada penyakit asma?
1.2.2 Apa saja obat-obatan untuk asma?
1.2.3 Apa hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemberian obat asma?
1.2.4 Apa implikasi keperawatan nya?
1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui definisi, etiologi, patofisiologi, pencetus, kondisi
klinis saat serangan pada penyakit asma.
1.3.2 Untuk mengetahui obat-obatan untuk asma.
1.3.3 Untuk mengetahui hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemberian
obat asma.
1.3.4 Untuk mengetahui implikasi keperawatan penyakit asma.
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Penyakit Asma


2.1.1 Definisi
Asma merupakan gangguan inflamasi kronik jalan udara,
melibatkan peran banyak sel dan komponennya (The National Asthma
Education and Prevention Program, NAEPP). Asma adalah suatu
penyakit peradangan (inflamasi) saluran nafas terhadap rangsangan
atau hiper reaksi bronkus. Pada individu yang rentan, inflamasi
menyebabkan episode berulang dari bengek, sesak nafas, sempit dada,
dan batukInflamasi juga menyebabkan peningkatan hiperresponsifitas
bronkus(hyperresponsivenness, BHR) terhadap berbagai stimulus.
Penyakit Asma (Asthma)adalah suatu penyakit kronik (menahun)
yang menyerang saluran pernafasan(bronchiale) pada paru dimana
terdapat peradangan (inflamasi) dinding rongga bronchiale sehingga
mengakibatkan penyempitan saluran nafas yang akhirnya seseorang
mengalami sesak nafas. (Anonim, 2008). Meskipun asma telah
dikenal sejak ribuan tahun yang lalu, para ahli masih belum sepakat
mengenai definisi penyakit tersebut. Dari waktu ke waktu definisi
asma yang umumnya disetujui oleh para ahli, yaitu asma merupakan
penyakit paru dengan karakteristik obstruksi saluran napas yang
reversible (tetapi tidak lengkap pada beberapa pasien) baik secara
spontan maupun dengan pengobatan, inflamasi saluran napas, dan
peningkatan respon saluran napas terhadap berbagai rangsangan
(Sundaru, 2001).
Asma merupakan penyakit yang manifestasinya sangat bervariasi,
sekelompok pasien mungkin bebas dari serangan dalam jangka waktu
lama dan hanya mengalami gejala jika mereka berolahraga atau
terpapar alergen atau terinfeksi virus pada saluran pernafasannya.
Pasien lain mungkin mengalami gejala yang terus menerus atau
serangan akut yang sering. Pola gejala antara pasien satu dengan
pasien lain juga berbeda (Ikawati, 2006). Gejala batuk biasanya terjadi
pada malam hari, dan batuk yang terjadi sifatnya kering. Pada paska
serangan biasanya didapati adanya batuk yang produktif dan kesulitan
dalam mengeluarkan mukus dikarenakan adanya inflamasi pada
mukosa yang berakibat meningkatnya produk mukus yang kental.
Mukus yang kental ini dapat menyumbat saluran napas dan akan
menghambat arus udara yang melewatinya, sehingga hal ini akan
menambah derajat beratnya obstruksi saluran napas (Basuki, 2003)
2.1.2 Etiologi

Faktor lingkungan dan berbagai faktor lain berperan sebagai


penyebab atau pencetus inflamasi saluran napas pada pasien asma.
Inflamasi terdapat pada berbagai derajatasma baik pada asma
intermiten maupun asma persisten. Inflamasi kronik menyebabkan
peningkatan hiperesponsif (hipereaktifitas) jalan napas yang
menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas,
dada terasa berat dan batuk-batuk terutama pada malam dan/atau dini
hari. Episodik tersebut berkaitan dengan sumbatan saluran napas yang
luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa
pengobatan.

2.1.3 Patofisiologi

Patofisiologi Asma Asma merupakan inflamasi kronik saluran


napas. Karakteristik utama asma yaitu obstruksi aliran udara (terkait
dengan bronkospasme, edema dan hipersekresi), BHR, dan
peradangan saluran nafas. Peradangan muncul dari BHR spesifik,
bronchoalveolar lavage, biopsies bronkial dan induksi dahak, serta
dari pengamatan postmortem pasien asma yang meninggal karena
serangan asma atau penyebab lain.
Gambar 1. Patofisiologi Asma (Sumber: Dipiro Pharmacotherapy 7th )

Gambar di atas menunjukkan patologi dalam bronkus asma


dibandingkan bronkus normal (kanan atas). Setiap bagian
menunjukkan bagaimana lumen yang menyempit yaitu hipertrofi dari
bagian bawah, membrane, lender plugging, hipertrofi otot polos dan
penyempitan kontribusi (bagian bawah). Sel-sel inflamasi menyebar,
memproduksi submukosa edema epitel, mengisi lumen saluran nafas
dengan selular dan memperlihatkan otot polos saluran nafas untuk
mediator lainnya (kiri atas) (Dipiro, 2008).

2.1.4 Pencetus
Risiko berkembangnya asma bronkial adalah adanya suatu
interaksi antar pejamu (host faktor) dan faktor lingkungan.Berikut
merupakan beberapa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi atau
pencetus terjadinya asma, yaitu :
1. Faktor Pejamu (host)
a. Genetik
Faktor Genetik atau hereditas dari garis keturunan
keluarga dapat menyebabkan munculnya adanya suatu
penyakit asma (Jian Zhang, 2008). Dengan seseorang yang
memiliki riwayat penyakit asma maka garis keturunannya
otomatis akan memiliki dampak risiko lebih tinggi
mengidap penyakit tersebut. Oleh karena itu, faktor genetik
sangat berperan pada asma anak terutama apabila jika ibu
mengidap penyakit asma.
b. Alergi bronkus atau atopi
Reaksi alergi terhadap pernapasan dapat memicu
timbulnya penyakit asma. Hal ini kebanyakan dialami oleh
golongan anak-anak yang masih berusia 1-3 tahun dan
sekitar usia 3 tahun alergi itu akan sembuh dengan alergi
yang disebabkan oleh makanan. Penyebab makan yang
sering adalah telur. Dermatitis atopi dengan uji kulit postif
terhadap telur pada usia diniakan meningkatkan suatu
derajat hipersensitivitas pada seorang anak untuk
mengidap asma dikemudian hari.
c. Jenis kelamin
Prevalensi asma pada laki-laki lebih tinggi
dibandingkan perempuan sebelum usia pubertas dan
sebaliknya, Hal ini dapat disebut dengan Reseveral
Phenomenon (Osma, 2016). Pertumbuhan paru anak laki-
laki relatif lebih lambat dibandingan pada wanita sehingga
Expiratory Air Flow Rates (EFR) laki-laki lebih rendah dari
wanita. Namun, disaat mencapai usia pubertas anak laki-
laki terjadi akselerasi dari seluruhfungsi paru sehingga
dapat menurunkan risiko munculnya penyakit asma.
d. Ras
Hal ini sering terjadi pada usia anak-anak dengan
prevalensi asma lebih tinggi pada anak ras kulit hitam
dibandingkan dengan ras kulit putih. Negara berkembang
memiliki tingkat kejadian asma lebih tinggi, karena adanya
hubungan urbanisasi dan weternisasi dengan peningkatan
prevalensi asma yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan
(Nowak & Tokarski, 2014).
2. Faktor Lingkungan
a. Pemicu Asma ( TRIGGER)
Hal ini menyebakan terjadinya suatu penyempitan
pada saluran pernapasan ( Bronkokonstriksi). Pemicu ini
tidak menyebbakan peradangan pada saluran pernapasan
sehingga dapat menjurus pada asma jenis intrinsik. Gejala-
gejala yang diakibatkan adanya pemicu akan berlangsung
dalam waktu pendek (asma akut) dan relatif mudah diatasi
dalam waktu singkat. Pemicu yang mengakibatkan
bronkokonstriksi yaitu :
1) Perubahan cuaca dan suhu udara
2) Polusi Udara
3) Asap rokok
4) Infeksi Saluran pernapasan
5) Olahraga Berlebihan
6) Stres ( banyak pikiran, emosi, dan lain-lain)
b. Penyebab Asma ( INDUCER)
Hal ini disebabkan karena adanya suatu peradangan
(inflammation) dan respon yang berlebihan
(hiperesponsivitas) pada saluran pernapasan. Inducer
termasuk penyebab asma jenis ekstrinsik. Gejala-gejala
yang diakibatkan adanya inducer akan berlangsung lebih
lama (asma kronis) dan lebih sulit untuk diatasi. Penyebab
(inducer) terjadinya penyakit asma yaitu sebagai berikut :
1. Alergen
Suatu protein atau senyawa yang mampu
menimbulkan sesitisasi alergi pada paparan pertama dan
reaksi alergi pada paparan selanjutnya.
a. Ingestan
Alergen yang masuk kedalam tubuh manusia
melalui mulut (dimakan/diminum). Seperti makanan
dan obat-obatan.
b. Inhalan
Alergen yang dihirup masuk kedalam tubuh
manusia dengan cara melalui hidung atau mulut.
Inhalan adalah substansia atau bahan protein yang
terhirup melalui hidung atau mulut. Jenis alergen
inhalan yaitu tungau, jamur, kecoak, dan kontak
dengan kulit.
2.2 Obat Asma
2.2.1 Simpatomimetik
Mekanisme Kerja:
 Stimulasi reseptor α adrenergik yang mengakibatkan
terjadinya vasokonstriksi, dekongestan nasal dan
peningkatan tekanan darah.
 Stimulasi reseptor β1 adrenergik sehingga terjadi
peningkatan kontraktilitas dan irama jantung.
 Stimulasi reseptor β2 yang menyebabkan bronkodilatasi,
peningkatan klirens mukosiliari, stabilisasi sel mast dan
menstimulasi ototskelet.
Indikasi:
Agonis β2 kerja diperlama (seperti salmeterol dan furmoterol)
digunakan, bersamaan dengan obat antiinflamasi, untuk kontrol
jangka panjang terhadap gejala yang timbul pada malam
hari.Obatgolongan ini juga dipergunakan untuk mencegah
bronkospasmus yang diinduksi oleh latihan fisik.Agonis β2 kerja
singkat (seperti albuterol, bitolterol, pirbuterol, terbutalin) adalah
terapi pilihan untuk menghilangkan gejala akut dan broncos
pasmus yang diinduksi oleh latihan fisik.
2.2.2 Xantin
Mekanisme Kerja:

Metilxantin (teofilin, garamnya yang mudah larut dan


turunannya) akan merelaksasi secara langsung otot polos bronki
dan pembuluh darah pulmonal, merangsang SSP, menginduksi
diuresis, meningkatkan sekresi asam lambung, menurunkan
tekanan sfinkter esofageal bawah dan menghambat kontraksi
uterus. Teofilin juga merupakan stimulan pusat
pernafasan.Aminofilin mempunyai efek kuat pada kontraktilitas
diafragma pada orang sehat dan dengan demikian mampu
menurunkan kelelahan serta memperbaiki kontraktilitas pada
pasien dengan penyakit obstruksi saluran pernapasan kronik.
Indikasi:
Untuk menghilangkan gejala atau pencegahan asma bronchial
dan bronkospasma reversibel yang berkaitan dengan bronkhitis
kronik dan emfisema.
2.2.3 Antikolinergik
a. Ipratropium Bromida
Mekanisme Kerja:
Ipratropium untuk inhalasi oral adalah suatu antikolinergik
(parasimpatolitik) yang akan menghambat reflex vagal dengan
cara mengantagonis kerja asetilkolin. Bronkodilasi yang
dihasilkan bersifat lokal, pada tempat tertentu dan tidak bersifat
sistemik. Ipratropium bromida (semprot hidung) mempunyai
sifat antisekresi dan penggunaan local dapat menghambat
sekresi kelenjar serosadan seromukus mukosa hidung.
Indikasi:
Digunakan dalam bentuk tunggal atau kombinasi dengan
bronkodilator lain (terutama beta adrenergik) sebagai
bronkodilator dalam pengobatan bronkospasmus yang
berhubungan dengan penyakitparu-paru obstruktif kronik,
termasuk bronchitis kronik dan emfisema.
b. Tiotropium Bromida
Mekanisme Kerja:
Tiotropium adalah obat muskarinik kerja diperlama yang
biasanya digunakan sebagai antikolinergik. Pada saluran
pernapasan, tiotropium menunjukkan efek farmakologi dengan
cara menghambat reseptor M3 pada otot polos sehingga terjadi
bronkodilasi. Bronkodilasi yang timbul setelah inhalasi
tiotropium bersifat sangat spesifik pada lokasi tertentu.
Indikasi:
Tiotropium digunakan sebagai perawatan bronkospasmus yang
berhubungan dengan penyakit paru obstruksi kronis termasuk
bronkitis kronis dan emfisema.
2.2.4 Kromolin Sodium danNedokromil

a. Kromolin Natrium
Mekanisme Kerja:
Kromolin merupakan obat antiinflamasi. Kromolin tidak
mempunyai aktifitas intrinsic bronkodilator, antikolinergik,
vasokonstriktor atau aktivitas glukokortikoid.Obat-obat ini
menghambat pelepasan mediator, histamin dan SRS-A (Slow
Reacting Substance Anaphylaxis, leukotrien) dari sel
mast.Kromolin bekerja lokal pada paru-paru tempat obat diberikan.
Indikasi:
Asma bronkial (inhalasi, larutan dan aerosol) : sebagai pengobatan
profilaksis pada asma bronkial. Kromolin diberikan teratur, harian
pada pasien dengan gejala berulang yang memerlukan pengobatan
secara reguler. Pencegahan bronkospasma (inhalasi, larutan dan
aerosol) : untuk mencegah bronkospasma akut yang diinduksi oleh
latihan fisik, toluen diisosinat, polutan dari lingkungan dan antigen
yang diketahui.

Dosis & Cara Penggunaan:


Larutan nebulizer: dosi sawal 20 mg diinhalasi 4 kali sehari
dengan interval yang teratur. Efektifitas terapi tergantung
pada keteraturan penggunaan obat.

Pencegahan bronkospasma akut : inhalasi 20 mg (1


ampul/vial) diberikan dengan nebulisasi segera sebelum
terpapar factor pencetus. Aerosol : untuk penanganan asma
bronkial pada dewasa dan anak 5 tahun atau lebih. Dosis awal
biasanya 2 inhalasi, sehari 4 kali pada interval yang teratur.
Jangan melebihi dosisini.

Oral: Dewasa: 2 ampul, 4 kali sehari, 30 menit sebelum


makan dan saat menjelang tidur. Anak – anak 2 – 12 tahun:
satu ampul, 4 kali sehari, 30 menit sebelum makan dan saat
menjelang tidur.

Jika dalam waktu 2-3 minggu perbaikan gejala tidak tercapai,


dosis harus ditingkatkan, tetapi tidak melebihi 40mg/kg/hari.

b. Nedokromil Natrium

Mekanisme Kerja:

Nedokromil merupakan anti-inflamasi inhalasi untuk


pencegahan asma. Obat ini akan menghambat aktivasi secara
in vitro dan pembebasan mediator dari berbagai tipe sel
berhubungan dengan asma termasuk eosinofil, neutrofil,
makrofag, sel mast, monositdan platelet. Nedokromil
menghambat perkembangan respon bronko konstriksi baik
awal dan maupun lanjut terhadap anti genter inhalasi.

Indikasi:

Nedokromil diindikasikan untuk asma. Digunakan sebagai


terapi pemeliharaan untuk pasien dewasa dan anak usia 6
tahun atau lebih pada asma ringan sampai sedang.

Dosis & Cara Penggunaan:

Dua kali inhalasi , empat kali sehari dengan interval yang


teratur untuk mencapai dosis 14 mg/hari. Nedokromil dapat
ditambahkan kepada obat pasien yang ada sebelumnya
(seperti bronkodilator).Jika efek pengobatan tercapai dan
asma terkendali, usaha untuk menurunkan penggunaan obat
secara berturut-turut harus dilaksanakan secara perlahan-
lahan.

2.2.5 Kortikosteroid

Mekanisme Kerja:
Obat-obat ini merupakan steroid adrenokortikal steroid sintetik
dengan cara kerja dan efek yang sama dengan glukokortikoid.
Glukokortikoid dapat menurunkan jumlah dan aktivitas dari sel
yang terinflamasi dan meningkatkan efek obat beta adrenergik
dengan memproduksi AMP siklik, inhibisi mekanisme
bronkokonstriktor, atau merelaksasi otot polos secara langsung.
Penggunaan inhaler akan menghasilkan efek lokal steroid secara
efektif dengan efek sistemikminimal.
Indikasi:
Terapi pemeliharaan dan propilaksis asma, termasuk pasien yang
memerlukan kortikosteoid sistemik, pasien yang mendapatkan
keuntungan dari penggunaan dosis sistemik, terapi pemeliharaan
asma dan terapi profilaksis pada anak usia 12 bulan sampai 8
tahun. Obat ini tidak diindikasikan untuk pasien asma yang dapat
diterapi dengan bronkodilator dan obat nonsteroid lain, pasien
yang kadang- kadang menggunakan kortikosteroid sistemik atau
terapi bronkhitis nonasma.
2.2.6 Antagonis ReseptorLeukotrien
a. Zafirlukast
Mekanisme Kerja:
Zafirlukast adalah antagonis reseptor leukotrien D4 dan E4
yang selektif dan kompetitif, komponenan afilaksis reaksi
lambat(SRSA- slow-reacting substances of anaphylaxis).
Produksi leukotrien dan okupasi reseptor berhubungan dengan
edema saluran pernapasan, konstriksi otot polos dan perubahan
aktifitas selular yang berhubungan dengan proses inflamasi,
yang menimbulkan tanda dan gejala asma.
Indikasi:
Profilaksis dan perawatan asma kronik pada dewasa dan anak
diatas 5tahun.
Dosis & Cara Penggunaan:
Dewasa dan anak > 12tahun: 20mg, dua kal isehari Anak 5–
11tahun: 10mg, dua kali sehari.
Oleh karena makanan menurunkan bioavailabilitas zafirlukast,
penggunaannya sekurang-kurangnya satu jam sebelumm akan
atau 2 jam setelah makan.
b. Montelukast Sodium
Mekanisme Kerja:
Montelukast adalah antagonis reseptor leukotrien selektif dan
aktif pada penggunaan oral, yang menghambat reseptor
leukotrien sisteinil (CysLT1). Leukotrien adalah produk
metabolisme asam arakhidonat dan dilepaskan dari sel mast
dan eosinofil. Produksi leukotrien dan okupasi reseptor
berhubungan dengan edemasaluran pernapasan, konstriksi otot
polos dan perubahan aktifitas selular yang berhubungan
dengan proses inflamasi, yang menimbulkan tanda dan gejala
asma.
Indikasi:
Profilaksis dan terapi asma kronik pada dewasa dan anak-anak
>12 bulan.
c. Zilueton
Mekanisme Kerja:
Zilueton adalah inhibitor spesifik 5-lipoksigenase dan
selanjutnya menghambat pembentukan (LTB1, LTC1, LTD1,
Lte1).
Indikasi:
Profilaksis dan terapi asma kronik pada dewasa dan anak >12
tahun.
Dosis & Cara Penggunaan:
Dosis zilueton untuk terapi asma adalah 600 mg, 4 kali sehari.
Untuk memudahkan pemakaian, zilueton dapat digunakan
bersama makanan dan pada malamhari.
2.2.7 Obat-obat Penunjang
a. Ketotifen Fumarat
Mekanisme Kerja:
Ketotifen adalah suatu antihistamin yang mengantagonis
secara non kompetitif dan relative selektif reseptor
H1,menstabilkan sel mast dan menghambat penglepasan
mediator dari sel-sel yang berkaitan dengan reaksi
hipersensitivitas.
Indikasi:
Manajemen profilaksis asma.Untuk mendapatkan efek
maksimum dibutuhkan waktu beberapa minggu. Ketotifen
tidak dapat digunakan untuk mengobati serangan asma akut.
Dosis & Cara Penggunaan:
Ketotifen digunakan dalam bentuk fumarat, dosisnya
dinyatakan dalam bentuk basanya :1, 38 mg ketotifen fumarat
ekivalendengan 1 mgketotifen.
b. N-Asetilsistein
Mekanisme Kerja:
Aksimukolitikasetilsistein berhubungan dengan kelompok
sulfhidril pada molekul, yang bekerja langsung untuk
memecahkan ikatan disulfida antara ikatan molekular
mukoprotein,menghasilkan depolimerisasi dan menurunkan
viskositas mukus. Aktivitas mukolitik pada asetilsistein
meningkat seiring dengan peningkatan pH.
Indikasi:
Asetilsistein merupakan terapi tambahan untuk sekresi mukus
yang tidak normal, kental pada penyakit bronkopulmonari
kronik (emfisema kronik, emfisema pada bronkhitis, bronkhitis
asma kronik, tuberkulosis, amiloidosis paru-paru);dan penyakit
bronkopulmonari akut (pneumonia, bronkhitis,
trakeobronkhitis).
Dosis & Cara Penggunaan:

2.2.8 Terapi NonFarmakologi


a. Edukasi pasien
Edukasi pasien dan keluarga, untuk menjadi mitra dokter
dalam penatalaksanaan asma. Edukasi kepada pasien/keluarga
bertujuan untuk meningkatkan pemahaman (mengenai penyakit
asma secara umum dan pola penyakit asmasendiri)
b. Pengukuran peak flowmeter
Perlu dilakukan pada pasien dengan asma sedang sampai berat.
Pengukuran Arus Puncak Ekspirasi (APE) dengan Peak Flow
Meterini dianjurkan pada penanganan serangan akut di gawat
darurat, klinik, praktek dokter dan oleh pasien dirumah dan
pemantauan berkala dirawat jalan, klinik dan praktek dokter
serta pemantauan sehari-hari di rumah, idealnya dilakuka pada
asma persisten usia di atas > 5 tahun, terutama bagi pasien setelah
perawatan di rumah sakit, pasien yang sulit/tidak mengenal
perburukan melalui gejala padahal berisiko tinggi untuk mendapat
serangan yang mengancam jiwa.
c. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
d. Pemberian oksigen
e. Banyak minum untuk menghindari dehidrasi terutama pada
anak-anak
f. Kontrol secara teratur.
g. Pola hidup sehat, misalnya berhenti merokok, menghindari
kegemukan, dan kegiatan fisik misalnya senam asma.

2.3 Hal-hal Yang Harus Diperhatikan


2.3.1 Clenbuterol
Jangan digunakan bagi penderita yang memiliki riwayat
hipersensitif (alergi)terhadap obat ini. Penderita pada dewasa dan
anak-anak diatas 12 tahun diberikan clenbuterol sebesar 20 mcg
sebanyak 2 kali sehari dengan selang waktu 12 jam. Pada penderita
bronkospasme tingkat berat, dosis dapat ditingkatkan menjadi 80
mcg/hari kemudian diturunkan menjadi 20 mcg/hari. Untuk penderita
anak-anak dapat diberikan dosis awal sebesar 1,2 mcg/kg berat badan
tiap hari.
Pengkonsumsian clenbuterol yang berlebih dan tidak sesuai dengan
takaran dapat menimbulkan efek samping, yaitu dapat beraupa pusing,
sakit kepala, tremor otot, mual, muntah, jantung berdebar (palpitasi),
keringat berlebihan (diiaphoresis), hipotensi, batuk, dan iritasi
tenggorokan.
Clenbuterol juga dapat meningkatkan metabolisme tubuh terhadap
lemak sehingga sering digunakan tanpa sepengetahuan dokter atau
badan administrasi makanan dan obat. Penderita takiaritmia (ritme
jantung yang tidak normal) dan kardiomiopati obstruktif hipertrofi
atau lemah jantung kronis disarankan untuk tidak mengkosumsi obat
ini. Penyakit jantung organik berat, infark miokard (serangan jantung),
dan gangguan vaskuler berat tidak disarankan mengkonsumsi obat ini
tanpa sepengetahuan dokter. Penderita hipertiroidisme, asma berat,
dan feokromositoma membutuhkan konsultasi terlebih dulu kepada
dokter.
2.3.2 Aminofilin
Untuk orang dewasa, sebesar 225 mg – 350 mg sebanyak 2 kali
sehari. Pada anak-anak sebesar 12 mg/kg sebanyak 2 kali sehari.
Untuk kasus asma kronis, sebanyak 13-20 mg/kg 2 kali sehari. Bagi
anak-anak yang memiliki berat badan kurang dari 40 kg sebaiknya
jangan mengkonsumsi obat ini. Bagi wanita hamil, pemberian obat ini
sesuai anjuran dokter.
Jika mengkonsumsi obat ini menimbulkan efek samping, yaitu
sakit kepala, sakit peut, mual, detak jantung meningkat, gelisah,
gemetar, dan gangguan tidur.
Waspada jika penderita menderita demam, tukak lambung,
hiperttiriodisme, gangguan hati, gangguan jantung, epilepsi, polifiria,
dan hipertensi, juga pada perokok, peminum alkohol, serta bagi
mereka yang sedang menggunakan inhaler atau obat-obatan lainnya.
2.3.3 Prednisone
Jangan digunakan pada penderita yang memiliki riwayat
hipersensitif (alergi) terhadap prednisone atau obat golongan
kortikosteroid. Prednisone sebainya tidak diberikan kepada pasien
tukak lambung, osteoporosis, diabetes mellitus, infeksi jamur
sistemik, glaukoma, psikosis, psikoneurosis berat, penderita TBC
aktif, herpes zooster, herpes simplex, dan penderita gangguan fungsi
ginjal.
- Sediaan oral: dosis awal 10-20 mg/hari (pada kasus berat sampai 60
mg/hari). Dikonsumsi setelah makan.
- Dosis pemeliharaan: 2,5-15 mg/hari. Dosis ditingkatkan sampai di atas
7,5 mg/hari
- Sediaan injeksi: 25-100 mg. Obat diberika 1-2 kali seminggu.
Hindari dari orang yang sakit atau terinfeksi oleh bakteri atau virus.
Obat ini bisa melemahkan sistem kekebalan tubuh dan meningkatkan
risiko terinfeksi penyakit.
Obat sistemik kortikosteroid diketahui ikut keluarbersama ASI,
karena obat ini mengganggu pertumbuhan, mengganggu produksi
kortikosteroid endogen.
Prednisone cair mungkin mengandung gula dan/atau alkohol.
Harap berhati-hati pada penderita diabetes mellitus, penyakit hati, atau
kondisi lain yang harus menghindari ini.
Jangan menghentikan pemakaian obat secara tiba-tiba tanpa
sepengetahuan dokter, terutama pada penggunaan jangka panjang
kaena dapat mengakibatkan gejala seperti mialgia, artalgia, dan
malaise.
2.4 Implikasi Keperawatan
2.4.1 Pemberian obat asma oleh perawat sesuai prosedur lima benar (benar
obat, benar dosis, benar klien, benar rute, benar waktu).
2.4.2 Memonitor kemungkinan alergi terhadap obat asma, interaksi dan
kontraindikasi.
2.4.3 Menginstruksi klien dan keluarga klien mengenai efek obat asma yang
diharapkan dan efek obat asma yang tidak diharapkan.
2.4.4 Menginformasikan bahwa obat asma yang diminum harus sesuai
dengan dosis yang telah ditentukan.
2.4.5 Menganjurkan kepada klien bahwa sebaiknya obat asma tersebut
dikonsumsi sesuai anjuran dokter.

Anda mungkin juga menyukai