Disusun oleh :
1. Dian Noviyanti 1061721012
2. Ria Amalia 1061721025
3. Wening kumala 1061721032
Penderita asma ringan dan periodik tidak menyadari mengidap asma dan
menduganya sebagai penyakit pernapasan lain atau batuk biasa. Gangguan batuk
dan sesak dialami bila ada rangsangan seperti angin malam yang dingin, flu atau
iritasi bahan polutif seperti rokok atau asap hingga diduganya semata-mata terjadi
akibat rangsangan tersebut. Pemikiran timbul bila napas telah berbunyi atau
mengi dan mengganggu kegiatan sehari-hari. Padahal pada saat tersebut mungkin
telah terdapat gangguan lanjut berupa emfisema yang merupakan gangguan faal
paru hingga perlu menggunakan obat asma secara kontinyu. Saat ini penyakit
asma meunjukkan prevelensi yang tinggi. Berdasarkan data dari WHO (2002) dan
Global Initative for Astma (GINA) (2011), di seluruh dunia diperkirakan terdapat
300 juta orang menderita asma dan tahun 2025 deperkirakan jumlah pasien asma
mencapai 400 juta. Jumlah ini dapat saja leih besar. Menurut GINA (2011) bahwa
data dari berbagai Negara menunjukkan bahwa prevelensi penyakit asma berkisar
antara 1-18% (Kemenkes RI, 2017)
Gejala asma yang paling umum adalah batuk. Batuk umumnya terjadi di
malam hari, dini hari, saat cuaca dingin, dan saat beraktivitas fisik. Nafas
terdengar seperti peluit juga kesulitan bernafas. Gejala asma berlangsung antara 2-
3 hari atau bahkan lebih. Setelah serangan asma membaik, penderita asma akan
membutuhkan pereda serangan 3-4 kali per hari hingga batuk dan mengi hilang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Hasil akhir dari semua itu adalah penyempitan rongga saluran napas.
Akibatnya menjadi sesak napas, batuk keras bila paru mulai berusaha untuk
membersihkan diri, keluar dahak yang kental bersama batuk, terdengar suara
napas yang berbunyi yang timbul apabila udara dipaksakan melalui saluran napas
yang sempit. Suara napas tersebut dapat sampai terdengar keras terutama saat
mengeluarkan napas.
Berikut adalah perbandingan kondisi saluran udara di paru-paru pada
manusia normal, penderita asma, dan pada kasus serangan asma akut:
Keterangan
a. Kondisi saluran udara di paru-paru pada manusia normal
b. Kondisi saluran darah di paru-paru pada penderita asma
c. Kondisi saluran udara di paru-paru pada serangan asma akut
Asma terjadi pada individu tertentu yang berespons secara agresif terhadap
berbagai jenis iritan dijalan napas. Faktor resiko untuk salah satu jenis gangguan
hiperresponsif ini adalah riwayat asma atau alergi dalam keluarga, yang
mengisyaratkan adanya kecenderungan genetik. Pejanan yang berulang atau terus-
menerus terhadap beberapa rangsangan iritan, kemungkinan pada masa penting
perkembangan, juga dapat meningkatkan resiko penyakit ini. Meskipun
kebanyakan kasus asma didiagnosis pada masa kanak-kanak, pada saat dewasa
dapat menderita asma tanpa riwayat penyakit sebelumnya. Stimulasi pada asma
awitan dewasa seringkali terjadi dikaitkan dengan riwayat alergi yang memburuk.
Infeksi pernapasan atas yang berulang juga dapat memicu asma awitan dewasa,
seperti yang dapat terjadi akibat pajanan okupasional terhadap debu dilingkungan
kerja (Corwin, J.Elizabeth. 2007:565).
Asma dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf
otonom. Jalur imunologis didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi
hipersensitivitas tipe I (tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi
alergi timbul pada orang dengan kecenderungan untuk membentuk sejumlah
antibodi IgE abnormal dalam jumlah besar, golongan ini disebut atopi. Pada asma
alergi, antibodi IgE terutama melekat pada permukaan sel mast pada interstisial
paru, yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila seseorang
menghirup alergen, terjadi fase sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut meningkat.
Alergen kemudian berikatan dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan
menyebabkan sel ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator.
Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor
kemotaktik eosinofil dan bradikinin (Rengganis, Iris, 2011: 445).
2.5 Gejala
Gejala asma bersifat episodik, seringkali reversibel dengan/atau tanpa
pengobatan. Gejala awal berupa : batuk terutama pada malam atau dini hari ,sesak
napas , napas berbunyi (mengi) yang terdengar jika pasien menghembuskan
napasnya, rasa berat di dada serta dahak sulit keluar (ISFI, 2002: 446).
Gejala yang berat adalah keadaan gawat darurat yang mengancam jiwa. Yang
termasuk gejala yang berat adalah: Serangan batuk yang hebat, Sesak napas yang
berat dan tersengal-sengal, Sianosis (kulit kebiruan, yang dimulai dari sekitar
mulut), Sulit tidur dan posisi tidur yang nyaman adalah dalam keadaan duduk,
Kesadaran menurun (ISFI, 2002: 446).
2 malam/ 20-30%
bulan
Tingkat 1 < 2 hari/ ≥80% Tidak perlu pengobatan harian
(Berselang) minggu
≤ 2 malam/
bulan < 20%
(DiPiro dkk, 2006)
2. Golongan Xantin
Obat golongan xantin termetilasi (teofilin, kafein, teobromin) memiliki
beberapa efek fisiologis yaitu melemaskan otot polos, merangsang otot jantung,
merangsang sistem saraf, dan memicu pembentukan urin oleh ginjal (diuresis).
Teofilin dapat diberikan secara intravena untuk memperbaiki eksaserbasi akut
asma atau per oral untuk mencegah serangan asma akut. (Sacher, R.A dan
McPherson R.A. 2004)
Teofilin mungkin berguna pada beberapa pasien yang menderita asma
nokturnal, karena efek lepas lambat dapat memberikan terapi dan lebih efektif
daripada efek lepas lambat dari agonis β (Albert, dkk. 2008).
Aminofilin mempunyai efek kuat pada kontraktilitas diafragma pada oarng
sehat dan dengan demikian mampu menurunkan kelelahan serta memperbaiki
kontraktilitas pada pasien dengan penyakit obstruksi saluran pernapasan kronik
(Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2007)
Dosis dan Cara Penggunaan
A. Aminofilin
Status asmatikus seharusnya dipandang sebagai keadaan emergensi. Terapi
optimal untuk pasien asma umumnya memerlukan obat yang diberikan
secara parenteral, monitoring ketat dan perawatan intensif. Berikut adalah
dosis untuk pasien yang belum menggunakan teofilin.
B. Teofilin
Dosis yang diberikan tergantung individu. Penyesuaian dosis berdasarkan
respon klinik dan perkembangan pada fungsi paru-paru. Dosis ekivalen
berdasarkan teofilin anhidrat yang dikandung. Monitor level serum untuk level
terapi dari 10-20 mcg/mL. Berikut adalah dosis yang direkomendasikan untuk
pasien yang belum menggunakan teofilin.
Pasien Dosis Oral Awal Dosis Pemeliharaan
Anak 1-9 tahun 5 mg/kg 4 mg/kg setiap 6 jam
Anak 9-16 tahun dan dewasa 5 mg/kg 3 mg/kg setiap 6 jam
perokok
Dewasa bukan perokok 5 mg/kg 3 mg/kg setiap 8 jam
Orang lanjut usia dan pasien 5 mg/kg 2 mg/kg setiap 8 jam
dengan gangguan paru-paru
Pasien gagal jantung kongestif 5 mg/kg 1-2 mg/kg setiap 12
jam
(DiPiro dkk, 2006)
3. Antagonis Reseptor Leukotrien
a. Zafirlukas
Zafirlukas adalah antagonis reseptor leukotriene D4 dan E4 yang selektif
dan kompetitif, komponen anafilaksis reaksi lambat (SRSA – Slow Reacting
Substances of Anaphylaxis). Produk leukotriene dan okupasi reseptor
berhubungan dengan edema saluran pernapasan, konstruksi otot polos dan
perubahan aktifitas selular yang berhubungan dengan proses inflamasi yang
menimbulkan tanda gejala asma.
b. Montelukast Sodium
Adalah antagonis reseptor leukotriene selektif dan aktif pada gangguan oral,
yang menghambat reseptor leukotriene sistenil. Produksi leukotriene dan okupsi
reseptor berhubungan dengan edema saluran pernapasan, konstruksi otot polos
dan perubahan aktifitas selular yang berhubungan dengan proses inflamasi, yang
menimbulkan tanda dan gejala asma.
(Direktorat Bina Farmasi Komuinitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan
Alat Kesehatan, 2007)
4. Antikolinergik
Contoh obat bronkodilator antikolinergik adalah Ipatropium bromida
(ATROVEN). Obat ini efektif terutama untuk penyakit paru obstruktif menahun
(PPOM), namun untuk terapi asma kurang menonjol. Senyawa ini hanya tersedia
dalam bentuk inhalasi. Dibanding dengan agonis β2, ipratropium bromida kurang
efektif pada asma, tidak mempunyai efek terhadap reaksi cepat ataupun lambat.
Pada asma biasanya tidak diberikan tersendiri, tetapi sering dikombinasikan
dengan agonis β2.
Kombinasi kedua obat ini lebih efektif dan masa kerjanya lebih panjang
daripada diberikan tersendiri. Ipratropium dapat lebih efektif pada penderita asma
psikogenik dan dan pada penderita yang menggunakan antagonis β2 adrenoseptor.
Dosis per inhalasi 4x 36 µg/hari, mulai kerja lambat, kadar puncak dicapai dalam
1-2 hari. Karena itu, hanya digunakan untuk profilaksis (Munaf, 2004: 581).
Bronkodilator yang bekerja sebagai penstimulasi reseptor β adrenergik di
jalan napas (agonis β) merupakan terapi asma yang utama. Obat ini diinhalasi
(atau diberikan dalam bentuk sirup pada anak yang masih sangat kecil) pada saat
awitan serangan dan di antara serangan sesuai kebutuhan. Bronkodilator tidak
menghambat respon inflamasi sehingga tidak efektif jika digunakan secara
tunggal selama eksaserbasi asma sedang atau buruk. Penggunaan terlalu sering
atau pengguaan tunggal bronkodilator menyebabkan angka kematian bermakna.
Saat ini sudah tersedia agonis beta adrenergik jangka panjang yang dapat
menurunkan penggunaan inhaler yang sering pada beberapa pasien (Corwin,
2009).
A. Ipratropium Bromida
Mekanisme Kerja
Ipratropium untuk inhalasi oral adalah suatu antikolinergik (parasimpatolitik)
yang akan menghambat refleks vagal dengan cara mengantagonis kerja
asetilkolin. Bronkodilasi yang dihasilkan bersifat lokal, pada tempat tertentu dan
tidak bersifat sistemik.
Ipratropium bromida (semprot hidung) mempunyai sifat antisekresi dan
penggunaan lokal dapat menghambat sekresi kelenjar serosa dan seromukus
mukosa hidung (DiPiro, dkk, 2006 : 826-844).
Indikasi digunakan dalam bentuk tunggal atau kombinasi dengan bronkodilator
lain (terutama beta adrenergik) sebagai bronkodilator dalam pengobatan
bronkospasmus yang berhubungan dengan penyakit paru-paru obstruktif kronik,
termasuk bronkhitis kronik dan emfisema (DiPiro,dkk, 2006).
Dosis dan Cara Penggunaan
Bentuk Sediaan Dosis
Aerosol 2 inhalasi (36 mcg) empat kali sehari. Pasien boleh
menggunakan dosis tambahan tetapi tidak boleh
melebihi 12 inhalasi dalam sehari
Larutan Dosis yang umum adalah 500 mcg (1 unit dosis
dalam vial), digunakan dalam 3 sampai 4 kali sehari
dengan menggunakan nebulizer oral, dengan interval
pemberian 6-8 jam. Larutan dapat dicampurkan
dalam nebulizer jika digunakan dalam waktu satu
jam.
B. Tiotropium Bromida
Mekanisme Kerja
Tiotropium adalah obat muskarinik kerja diperlama yang biasanya digunakan
sebagai antikolinergik. Pada saluran pernapasan, tiotropium menunjukkan efek
farmakologi dengan cara menghambat reseptor M3 pada otot polos sehingga
terjadi bronkodilasi. Bronkodilasi yang timbul setelah inhalasi tiotropium bersifat
sangat spesifik pada lokasi tertentu.
Indikasi Tiotropium digunakan sebagai perawatan bronkospasmus yang
berhubungan dengan penyakit paru obstruksi kronis termasuk bronkitis kronis dan
emfisema.
Dosis dan Cara Penggunaan
1 kapsul dihirup, satu kali sehari dengan alat inhalasi Handihaler (DiPiro, dkk,
2006).
6. Kortikosteroid
Kortikosteroid disintesis pada kelenjar adrenal di bawah kontrol hormon ACTH
hipofisis. Kortikosteroid kebanyakan dari jenis hidrokortison (kortisol). Pelepasan
ACTH dikendalikan oleh hormon pelepas kortisol dari hipotalamus. Obat-obat ini
merupakan steroid adrenokortikal steroid sintetik dengan cara kerja dan efek yang
sama dengan glukokortikoid. Glukokortikoid dapat menurunkan jumlah dan
aktivitas dari sel yang terinflamasi dan meningkatkan efek obat beta adrenergik
dengan memproduksi AMP siklik, inhibisi mekanisme bronkokonstriktor, atau
merelaksasi otot polos secara langsung. Penggunaan inhaler akan menghasilkan
efek lokal steroid secara efektif dengan efek sistemik minimal (DiPiro, dkk,
2006).
7. Obat-Obat Penunjang
a. Ketitifen Fumarat
Adalah suatu antihistamin yang mengantagonis secara nonkompetitif dan relative
selektif reseptor H1, menstabilkan sel mast dan menghambat pelepasan mediator dari
sel-sel yang berkaitan dengan reaksi hipersensitivitas.
b. N-Asetilsistein
Aksi mukolitik asetilsistein berhubungan dengan kelompok sulfhidril pada
molekul yang bekerja langsung untuk memecahkan ikatan disulfide antara ikatan
molekuler mukoprotein, menghasilkan depolimerisasi dan menurunkan viskositas
mucus. Aktivitas mukolitik pada asetilsistein meningkat seiring dengan peningkatan pH.
Digunakan sebagai terapi tambahan untuk sekresi mucus yang tidak normal, kental pada
penyakit bronkopulmonasi kronik dan akut.
(Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan, 2007).
BAB III
KASUS DAN PENYELESAIAN
3.1 Kasus
Seorang ibu bernama Ny. S usia 42 tahun datang ke apotek dengan membawa
resep dokter, Ny. S mempunyai riwayat asma dan mengeluhkan demam, batuk, terasa
penuh pada bagian dada, dan akhir-akhir ini sering mengalami sesak nafas (terjadi
sekali dalam seminggu). Berdasar pengakuan pasien, dia sudah tidak pernah mengalami
sesak nafas sebelumnya, serangan sesak nafas terakhir dialaminya di usia 40 tahun.
Hasil pemeriksaan fisik tekanan darah 120/80 mmHg, tinggi badan 156 cm dan berat
badan 65 kg.
3.2 Resep
R/ aminophyllin No. XXX
S.3.d.d.1
R/ Ciprofloxacin No. X
S.2.d.d.1
R/ Epexol No. X
S.3.d.d.1
1. Subjektif
Keluhan : demam, batuk, terasa penuh pada bagian dada, dan akhir-akhir ini
2. Objektif
Tanda-Tanda Vital
belum tertangani
c) Penggunaan obat tanpa indikasi (Drug Use Without Indication) : Tidak ada
f) Reaksi obat yang tidak dikehendaki (Adverse Drug Reaction) : Tidak ada
Penyakit asma pada pasien termasuk ke dalam jenis asma ringan (≤ 2 kali sebulan),
hal ini ditandai dengan terjadinya serangan singkat yaitu sekali dalam seminggu.
Aminophilin digunakan untuk mengatasi sesak nafas pasien (terapi sudah tepat).
Antibiotik diberikan untuk mengatasi dugaan infeksi karena pasien juga mengalami
1. Plan
Ciprofloxacin diganti dengan amoxicillin dengan aturan penggunaan 3 kali sehari
sesudah makan (terapi antibiotik lini pertama menurut pedoman diagnosis dan
Dosis aminophilin ditingkatkan menjadi 4 kali sehari atau jika timbul sesak (Medscape)
Penambahan paracetamol dengan aturan minum 3 kali sehari sesudah makan sebagai
terapi antipiretik karena pasien mengalami demam tetapi belum diberikan obat.
2. KIE
senam asma.
masker.
Corwin, J.Elizabeth. 2007. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Departemen Kesehatan RI. 2007. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Asma. Jakarta.
Direktorat Bina Farmasi dan Klinik.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
Asma di Indonesia.Jakarta: PDPI.
Rengganis, Iris. 2011. Diagnosis dan Tata Laksana Asma Bronkial. Departemen Ilmu
Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo, Jakarta.