Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

PENYAKIT ASMA

DI SUSUN OLEH :
MAXI NUGRAHI (51421011162)

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PANCASAKTI
MAKASSAR 2021
BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Angka kejadian penyakit alergi akhir-akhir ini meningkat sejalan dengan
perubahan pola hidup masyarakat modern, polusi baik lingkungan maupun zat-zat
yang ada di dalam makanan. Salah satu penyakit alergi yang banyak terjadi di
masyarakat adalah penyakit asma.
Asma adalah satu diantara beberapa penyakit yang tidak bisa disembuhkan
secara total. Kesembuhan dari satu serangan asma tidak menjamin dalam waktu
dekat akan terbebas dari ancaman serangan berikutnya. Apalagi bila karena
pekerjaan dan lingkungannya serta faktor ekonomi, penderita harus selalu
berhadapan dengan faktor alergen yang menjadi penyebab serangan. Biaya
pengobatan simptomatik pada waktu serangan mungkin bisa diatasi oleh penderita
atau keluarganya, tetapi pengobatan profilaksis yang memerlukan waktu lebih
lama, sering menjadi problem tersendiri.
Peran dokter dalam mengatasi penyakit asma sangatlah penting. Dokter
sebagai pintu pertama yang akan diketuk oleh penderita dalam menolong
penderita asma, harus selalu meningkatkan pelayanan, salah satunya yang sering
diabaikan adalah memberikan edukasi atau pendidikan kesehatan. Pendidikan
kesehatan kepada penderita dan keluarganya akan sangat berarti bagi penderita,
terutama bagaimana sikap dan tindakan yang bisa dikerjakan pada waktu
menghadapi serangan, dan bagaimana caranya mencegah terjadinya serangan
asma.
Dalam tiga puluh tahun terakhir terjadi peningkatan prevalensi (kekerapan
penyakit) asma terutama di negara-negara maju. Kenaikan prevalensi asma di
Asia seperti Singapura, Taiwan, Jepang, atau Korea Selatan juga mencolok. Kasus
asma meningkat insidennya secara dramatis selama lebih dari lima belas tahun,
baik di negara berkembang maupun di negara maju. Beban global untuk penyakit
ini semakin meningkat. Dampak buruk asma meliputi penurunan kualitas hidup,
produktivitas yang menurun, ketidakhadiran di sekolah, peningkatan biaya
kesehatan, risiko perawatan di rumah sakit dan bahkan kematian.
(Muchid dkk,2007)
Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di
Indonesia, hal ini tergambar dari data studi survei kesehatan rumah tangga
(SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia. Survey Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) tahun 1986 menunjukkan asma menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab
kesakitan (morbiditas) bersama-sama dengan bronkitis kronik dan emfisema. Pada
SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema sebagai penyebab kematian ke-
4 di Indonesia atau sebesar 5,6 %. Tahun 1995, prevalensi asma di seluruh
Indonesia sebesar 13/1000, dibandingkan bronkitis kronik 11/1000 dan obstruksi
paru 2/1000. Studi pada anak usia SLTP di Semarang dengan menggunakan
kuesioner International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC),
didapatkan prevalensi asma (gejala asma 12 bulan terakhir/recent asthma) 6,2 %
yang 64 % diantaranya mempunyai gejala klasik.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1.Pengertian Asma
Asma sendiri berasal dari kata asthma. Kata ini berasal dari bahasa Yunani
yang memiliki arti sulit bernafas. Penyakit asma dikenal karena adanya gejala
sesak nafas, batuk, dan mengi yang disebabkan oleh penyempitan saluran nafas.
Atau dengan kata lain asma merupakan peradangan atau pembengkakan saluran
nafas yang reversibel sehingga menyebabkan diproduksinya cairan kental yang
berlebih (Prasetyo, 2010)
Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran napas yang
disebabkan oleh reaksi hiperresponsif sel imun tubuh seperti mast sel, eosinophils,
dan T-lymphocytes terhadap stimuli tertentu dan menimbulkan gejala dyspnea,
whizzing, dan batuk akibat obstruksi jalan napas yang bersifat reversibel dan
terjadi secara episodik berulang (Brunner & Suddarth, 2001).
Menurut Prasetyo (2010) Asma, bengek atau mengi adalah beberapa nama
yang biasa kita pakai kepada pasien yang menderita penyakit asma. Asma bukan
penyakit menular, tetapi faktor keturunan (genetic) sangat punya peranan besar di
sini.
Saluran pernafasan penderita asma sangat sensitif dan memberikan respon
yang sangat berlebihan jika mengalami rangsangan atau ganguan. Saluran
pernafasan tersebut bereaksi dengan cara menyempit dan menghalangi udara yang
masuk. Penyempitan atau hambatan ini bisa mengakibatkan salah satu atau
gabungan dari berbagai gejala mulai dari batuk, sesak, nafas pendek, tersengal-
sengal, hingga nafas yang berbunyi ”ngik-ngik” (Hadibroto et al, 2006).
2.2. Jenis-Jenis Penyakit Asma
Beberapa ahli membagi asma dalam 2 golongan besar, seperti yang dianut
banyak dokter ahli pulmonologi (penyakit paru-paru) dari Inggris, yakni:

1. Asma Ekstrinsik
2. Asma Intrinsik
2.2.1. Asma Ekstrinsik

Asma ekstrinsik adalah bentuk asma yang paling umum, dan disebabkan
karena reaksi alergi penderitanya terhadap hal-hal tertentu (alergen), yang tidak
membawa pengaruh apa-apa terhadap mereka yang sehat.
Pada orang-orang tertentu, seperti pada penderita asma, sistem imunitas
bekerja lepas kendali dan menimbulkan reaksi alergi. Reaksi ini disebabkan oleh
alergen. Alergen bisa tampil dalam bentuk: mulai dari serbuk bunga, tanaman,
pohon, debu luar/dalam rumah, jamur, hingga zat/bahan makanan. Ketika alergen
memasuki tubuh pengidap alergi, sistem imunitasnya memproduksi antibodi
khusus yang disebut IgE. Antibodi ini mencari dan menempelkan dirinya pada
sel-sel batang. Peristiwa ini terjadi dalam jumlah besar di paru-paru dan saluran
pernafasan lalu membangkitkan suatu reaksi. Batang-batang sel melepaskan zat
kimia yang disebut mediator. Salah satu unsur mediator ini adalah histamin.
Akibat pelepasan histamin terhadap paru-paru adalah reaksi
penegangan/pengerutan saluran pernafasan dan meningkatnya produksi lendir
yang dikeluarkan jaringan lapisan sebelah dalam saluran tersebut.
2.2.2. Asma Intrinsik
Asma intrinsik tidak responsif terhadap pemicu yang berasal dari alergen.
Asma jenis ini disebabkan oleh stres, infeksi, dan kondisi lingkungan seperti
cuaca, kelembaban dan suhu udara, polusi udara, dan juga oleh aktivitas olahraga
yang berlebihan.
Asma intrinsik biasanya berhubungan dengan menurunnya kondisi
ketahanan tubuh, terutama pada mereka yang memiliki riwayat kesehatan paru-
paru yang kurang baik, misalnya karena bronkitis dan radang paru-paru
(pneumonia). Penderita diabetes mellitus golongan lansia juga mudah terkena
asma intrinsik.
Tujuan dari pemisahan golongan asma seperti yang disebut di atas adalah untuk
mempermudah usaha penyusunan dan pelaksanaan program pengendalian asma
yang akan dilakukan oleh dokter maupun penderita itu sendiri. Namun dalam
prakteknya, asma adalah penyakit yang kompleks, sehingga tidak selalu
dimungkinkan untuk menentukan secara tegas, golongan asma yang diderita
seseorang. Sering indikasi asma ekstrinsik dan intrinsik bersama-sama dideteksi
ada pada satu orang.
2.3. Gejala Penyakit Asma
Frekuensi dan beratnya serangan asma bervariasi. Beberapa penderita
lebih sering terbebas dari gejala dan hanya mengalami serangan serangan sesak
napas yang singkat dan ringan, yang terjadi sewaktu-waktu. Penderita lainnya
hampir selalu mengalami batuk dan mengi (bengek) serta mengalami serangan
hebat setelah menderita suatu infeksi virus, olah raga atau setelah terpapar oleh
alergen maupun iritan. Menangis atau tertawa keras juga bisa menyebabkan
timbulnya gejala dan juga sering batuk berkepanjangan terutama di waktu malam
hari atau cuaca dingin.
Suatu serangan asma dapat terjadi secara tiba-tiba ditandai dengan napas yang
berbunyi (mengi, bengek), batuk dan sesak napas. Bunyi mengi terutama
terdengar ketika penderita menghembuskan napasnya. Di lain waktu, suatu
serangan asma terjadi secara perlahan dengan gejala yang secara bertahap
semakin memburuk. Pada kedua keadaan tersebut, yang pertama kali dirasakan
oleh seorang penderita asma adalah sesak napas, batuk atau rasa sesak di dada.
Serangan bisa berlangsung dalam beberapa menit atau bisa berlangsung sampai
beberapa jam, bahkan selama beberapa hari.
Gejala awal pada anak-anak bisa berupa rasa gatal di dada atau di leher.
Batuk kering di malam hari atau ketika melakukan olah raga juga bisa merupakan
satu-satunya gejala.
Selama serangan asma, sesak napas bisa menjadi semakin berat, sehingga
timbul rasa cemas. Sebagai reaksi terhadap kecemasan, penderita juga akan
mengeluarkan banyak keringat.
Pada serangan yang sangat berat, penderita menjadi sulit untuk berbicara
karena sesaknya sangat hebat. Kebingungan, letargi (keadaan kesadaran yang
menurun, dimana penderita seperti tidur lelap, tetapi dapat dibangunkan sebentar
kemudian segera tertidur kembali) dan sianosis (kulit tampak kebiruan)
merupakan pertanda bahwa persediaan oksigen penderita sangat terbatas dan perlu
segera dilakukan pengobatan. Meskipun telah mengalami serangan yang berat,
biasanya penderita akan sembuh sempurna,
Kadang beberapa alveoli (kantong udara di paru-paru) bisa pecah dan
menyebabkan udara terkumpul di dalam rongga pleura atau menyebabkan udara
terkumpul di sekitar organ dada. Hal ini akan memperburuk sesak yang dirasakan
oleh penderita.
Terapi Penanganan Terhadap Gejala Terapi ini dilakukan tergantung
kepada pasien. Terapi ini dianjurkan kepada pasien yang mempunyai pengalaman
buruk terhadap gejala asma, dan dalam kondisi yang darurat. Penatalaksanaan
terapi ini dilakukan di rumah penderita asma dengan menggunakan obat
bronkodilator seperti: β2 -agonist inhalasi dan glukokortikosteroid oral (GINA,
2005).
2.4.Gambar Paru – Paru

2.5. Patofisiologi Penyakit Asma

Karakteristik utama asma adalah mengenai tingkat keparahan obstruksi


saluran nafas (bronkospasme, udem, hipersekresi), BHR (Bronchial
Hyperresponsiveness) serta inflamasi saluran nafas. Pada asma respon imun dari
immunoglobulin (Ig)E sangat berperan. Inflamasi yang terjadi ada dua macam
yaitu inflamasi akut dan inflamasi kronik (Kelly et al., 2008) Mekanisme
terjadinya inflamasi akut adalah ketika adanya paparan alergen yang
menyebabkan reaksi alergi fase awal dan pada beberapa kasus dapat diikuti reaksi
alergi fase akhir. Aktivasi dari sel yang mempengaruhi alergen spesifik IgE
mengawali terjadinya reaksi alergi fase awal dengan aktivasi sel mast dari saluran
nafas dan makrofag secara cepat. Kemudian sel yang sudah aktif tersebut akan
melepaskan mediator inflamasi yaitu, histamin, eikosanoid, dan spesies oksigen
reaktif yang dapat menimbulkan kontraksi otot polos pada saluran nafas, sekresi
mukus dan vasodilatasi. Mediator inflamasi menginduksi terjadinya kebocoran
mikrovaskular dengan eksudasi plasma pada saluran nafas. Plasma protein yang
bocor menyebabakan penebalan dan udem pada dinding saluran nafas sehingga
terjadi penyempitan lumen saluran nafas. Eksudasi plasma juga dapat
mempengaruhi integritas dari epitel dan menurunkan klirens mukus. fase akhir
terjadi setalah 6-9 jam terjadinya paparan dan meperlihatkan aktivasi eosinofil, sel
T CD4+, basofil, neutrofil dan makrofag. Aktivasi sel T menyebabkan pelepasan
sitokin TH2 yang menjadi kunci terjadinya reaksi fase akhir. Peningkatan dari
nonspesifik BHR biasanya terlihat setelah terjadinya reaksi fase akhir tetapi tidak
terjadi setelah reaksi fase awal karena alergen (Kelly et al., 2008).
Pada penyakit asma semua sel akan teraktivasi termasuk eosinofil, sel T,
sel mast, makrofag, sel epitel, fibrolas dan sel otot polos bronkus.Sel-sel tersebut
juga mengatur terjadinya inflamasi dan mengawali proses remodelling oleh
karena adanya sitokin dan faktor pertumbuhan. Sel epitel teraktivasi melalui
mekanisme reaksi IgE virus, polutan atau histamin.
Kemudian sel epitel melepaskan eikosanoid, peptida, matriks protein,
sitokin dan nitrit oksid yang berperan dalam proses inflamasi. Sel epitel juga
sangat berperan dalam pengaturan remodelling saluran nafas dan fibrosis. Pada
asma, eosinofil juga memberikan kontribusinya dengan melepaskan mediator
proinflamasi. Mediator sitotoksik dan sitokin pada proses aktivasi juga akan
melepaskan mediator inflamasi serperti leukotrien dan granula protein yang dapat
melukai jaringan saluran pernafasan.
Biopsi mukosa pada pasien asma mengandung dua tipe limfosit yaitu TH1
dan TH2 yang menjadi marker adanya inflamasi namun, TH1 bekerja
menghambat aktivitas TH2 yang melepaskan sitokin sebgai mediator inflamasi.
Jadi asma dapat disebabkan ketidaksetimbangan jenis limfosit TH1 dan TH2.
Degranulasi sel mast mempunyai respon yang cepat dalam mengawali terjadinya
reaksi alergi akibat paparan alergen yang terjadi.
Sel mast ditemukan lebih banyak pada jalur nafas pada pasien asma akibat alergi.
Alergen berikatan dengan IgE dan kemudian terjadi pelepasan histamin, eosinofil
dan faktor kemotaktik neutrofil. Sensitifitas sel mast juga dapat diaktivasi oleh
stimuli yang menyebabkan bronkospasme akibat dari aktivitas yang berat.
Makrofag alveolus berperan penting dalam memakan dan mencerna bakteri serta
benda asing lainnya pada saluran nafas. Makrofag alveolus dapat menghasilkan
faktor kemotaktik neutrofil dan faktor kemotaktik eosinofil dimana hal tersebut
dapat meningkatakan proses inflamasi sedangkan neutrofil mempunyai peranan
dalam meningkatkan BHR dan menyebabkan inflamasi dengan pelepasan faktor
pengaktifan platelet, prostaglandin, tromboksan dan leukotrien. Fibroblas juga
dapat menyebabkan inflamasi dengan mangaktivasi (Interleukin) IL-4 dan IL-13
yang kemudian melepaskan mediator inflamasi seperti sitokin dan remodelling
jaringan. Molekul adesi memiliki peranan penting dalam terjadinya proses
inflamasi yaitu adesi dari beberapa sel dan matriks jaringan yang memfasilitasi
migrasi dan infiltrasi sel tersebut pada tempat inflamasi. Beberapa molekul adesi
yang berperan adalah integrins cadherins, immunoglobulin supergene family,
selectins, vascular adressins dan ligan karbohidrat (Kelly et al., 2008).
2.6.Farmakoterapi
Terapi asma terdiri dari edukasi mengenai manajemen asma secara mandiri dan
fisioterapi pernafasan termasuk Body Excercise Training (ET), Insipratory Muscle
Training (IMT) dan pelatihan kembali teknik pernapasan (Bruurs et al., 2013).
IMT dan ET bisa dilakukan salah satu saja ataupun kombinasi dari keduanya
(Santos et al., 2015). Edukasi pada pasien dan keluarga bertujuan meningkatkan
pemahaman mengenai penyakit asma secara umum dan pola penyakitnya,
meningkatkan kemampuan dalam penanganan asma secara mandiri,meningkatkan
kepatuhan dalam penanganan asma secara mandiri, membantu pasien untuk
mengontrol asma, meningkatkan kepuasan, serta meningkatkan rasa percaya diri.
Komunikasi yang baik merupakan kunci untuk meningkatkan kepatuhan pasien.
Bentuk edukasi dapat diberikan dalam berbagai media komunikasi baik langsung
maupun tidak langsung. Selain itu pengukuran sendiri PEFR menggunakan Peak
Flow Meter juga dibutuhkan untuk terapi non farmakologi asma (Depkes RI,
2007). IMT dilakukan dengan menghirup perangkat resistif eksternal untuk
menghasilkan peningkatan kekuatan otot dan daya tahan. Tujuan IMT untuk
meningkatkan toleransi terhadap peningkatan beban kerja yang terjadi selama
serangan asma. Perangkat resistif biasanya disesuaikan dengan berbagai
perlawanan mulai 15% sampai 80% dari tekanan inspirasi maksimal pengukuran.
IMT sering diresepkan dua kali sehari, lima kali per ADLN-minggu untuk durasi
yang dapat bervariasi dari minggu ke bulan (Silva et al., 2013; Turner et al., 2011;
Weiner et al., 2000). ET dirancang secara individual untuk setiap pasien sesuai
dengan kapasitas latihan mereka, ditentukan melalui tes latihan klinis seperti
tambahan shuttle walk test, six minute walk test (6MWT) atau tes tekanan
inspirasi maksimal (untuk menilai kapasitas otot pernafasan). Intensitas pelatihan
dapat berkisar dari rendah ke beban intensitas tinggi namun terstruktur. Program
latihan individual menggunakan aerobik intensitas sedang hingga tinggi dan
kekuatan latihan telah terbukti dapat meningkatkan kapasitas latihan pada
penderita asma (Bruurs et al., 2013; Carson et al., 2013). Program latihan dapat
dilaksanakan di rumah sakit atau rawat jalan, dengan frekuensi dua kali untuk tiga
kali per minggu. Durasi program dapat berkisar 6 minggu (program pendek) untuk
20 bulan (program panjang) pada frekuensi 1-7 sesi per minggu.
(Santos et al.,2015).
2.7.PENGGOLONGAN OBAT ASMA
Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat asma dibagi dalam beberapa golongan,
yaitu:

1. Antialergika

Yaitu za-zat yang bekerja manstabilkan mastcell, hingga tidak pecah dan
melepaskan histamin. Obat ini sangat berguna untuk mencegah serangan asma
dan rhinitis alergis

(hay fever). Yang termasuk kelompok ini adalah kromoglikat. b2 adrenergika dan
antihistamin seperti ketotifen dan oksatomida juga memilii efek ini.

2. Bronchodilator
Mekanisme kerja obat ini adalah merangsang sistem adrenergiksehingga
memberikan efek bronkodilatasi. Yang termasuk ke dalamnya adalah :
§ Adrenergika
Khususnya b2 simpatomimetika (b2-mimetik), zat ini bekerja selektif terhadap
reseptor b2(bronchospasmolyse) dan tidak bekerja terhadap reseptor b1 (stimulasi
jantung).
Kelompok b2-mimetik seperti :
1. salbutamol,
2. fenoterol,
3. terbutalin,
4. rimiterol,
5. prokaterol
6. tretoquinol.
Sedangkan yang bekerja terhadap reseptor b2 dan b1 adalah
1. efedrin,
2. isoprenalin,
3. adrenalin, dan lain-lain.
§ Antikolinergika
Contoh :
1. oksifenonium,
2. tiazinamium
3. ipratropium)
Dalam otot polos terdapat keseimbangan antara sistem adrenergik dan kolinergik.
Bila reseptor b2 sistem adrenergik terhambat, maka sistem kolinergikmenjadi
dominan, sehingga terjadi peciutan bronchi. Antikolinergik bekerja memblokir
reseptor saraf kolinergik pada otot polos bronchi sehingga aktivitas saraf
adrenergik menjadi dominan, engan efek bronchodilatasi.
Efek samping : tachycardia, pengentalan dahak, mulut kering,obstipasi, sukar
kencing, gangguan akomodasi. Efek samping dapat diperkecil dengan pemberian
inhalasi.
§ Derivat xantin
Contoh :
1. Teofilin,
2. Aminofilin
3. Kolinteofinilat
Mempunyai daya bronchodilatasi berdasarkan penghambatan enzim
fosfodiesterase. Selain itu, Teofilin juga mencegah pengikatan hiperaktivitas
sehingga dapat bekerja sebagai profilaksis. Kombinasi dengan Efedrin praktis
tidak memperbesar bronchodilatasi, sedangkan efek tachycardia diperkuat. Oleh
karena itu, kombinasi tersebut dianjurkan.
3. Antihistaminika
Contoh :
1. Ketotipen,
2. Oksatomida,
3. Tiazinamium
4. Deptropin
Obat ini memblokir reseptor histamine sehingga mencegah bronchokonstriksi.
Banyak antihistamin memiliki daya antikolinergika dan sedatif.
4. Kortikosteroida
Contoh :
1. Hidrokortison,
2. Prednison,
3. Deksametason,
4. Betametason)
Daya bronchodilatasinya berdasarkan mempertinggi kepekaan resptor b2,
melawan efek mediator seperti gatal dan radang. Penggunaan terutama pada
serangan asma akibat infeksi virus atau bakteri. Penggunaan jangka lama
hendaknya dihindari, berhubung efek sampingnya, yaitu osteoporosis, borok
lambung, hipertensi dan diabetes. Efek samping dapat dikurangi dengan
pemberian inhalasi.
5.Ekspektoransia
Contoh :
1. KI,
2. NH4CI,
3. Bromheksin,
4. Asetilsistein
Efeknya mencairkan dahak sehingga mudah dikeluarkan. Pada serangan akut, obat
ini berguna terutama bila lendir sangat kentaldan sukar dikeluarkan.
Mekanisme kerja obat ini adalh merangsang mukosa lambung dan sekresi saluran
nafas sehingga menurunkan viskositas lender. Sedangkan asetilsistein
mekanismenya terhadap mukosa protein dengan melepaskan ikatan disulfide
sehingga viskositas endir berkurang.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Asma bronchial adalah suatu penyakit gangguan jalan nafas obstruktif
intermiten yang bersifat reversibel, ditandai dengan adanya periode
bronkospasme, peningkatan respon trakea dan bronkus terhadap berbagai
rangsangan yang menyebabkan penyempitan jalan nafas. Berdasarkan
penyebabnya, asma bronkhial dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe, yaitu :
Ekstrinsik (alergik), Intrinsik (non alergik) ,Asma gabungan.
Dan ada beberapa hal yang merupakan faktor penyebab timbulnya serangan
asma bronkhial yaitu : faktor predisposisi(genetic), faktor presipitasi(alergen,
perubahan cuaca, stress, lingkungan kerja, olahraga/ aktifitas jasmani yang berat).
Pencegahan serangan asma dapat dilakukan dengan :

1. Menjauhi alergen, bila perlu desensitisasi


2. Menghindari kelelahan
3. Menghindari stress psikis
4. Mencegah/mengobati ISPA sedini mungkin
5. Olahraga renang, senam asma

B. Saran
Dengan disusunnya makalah ini mengharapkan kepada semua pembaca agar
dapat menelaah dan memahami apa yang telah terulis dalam makalah ini sehingga
sedikit banyak bisa menambah pengetahuan pembaca. Disamping itu saya juga
mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca sehinga kami bisa berorientasi
lebih baik pada makalah kami selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Muchid, dkk. (2007, September). Pharmaceutical care untuk penyakit asma.
Diakses 22 Juni 2012 dari Direktorat Bina Farmasi Komunitas
Dan Klinik Depkes RI:http://125.160.76.194 /bidang/yanmed/farmasi/
Pharmaceutical/ASMA.pdf
Tanjung, D. (2003). Asuhan Keperawatan Asma Bronkial. Diakses 22 Juni 2012
dari USU digital library:

Anda mungkin juga menyukai