Implementing
Advances in Pediatrics
for Better Child Health
Penyunting
Abdus Samik Wahab Ekawaty Lutfia Haksari
Amalia Setyati Indah Kartika Murni
Bambang Ardianto Kristy Iskandar
Braghmandita W. I. Mei Neni Sitaresmi
Desy Rusmawatiningtyas Neti Nurani
E. S. Herini Retno Sutomo
Diterbitkan oleh:
Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia
Cetakan ke 1 : 2017
ISBN 978-602-61961-1-8
9 786026 196118
Kontributor
iii
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Kata Pengantar
Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Mahakuasa karena atas rahmat dan
karunia-Nya buku Kumpulan Makalah KONIKA XVII ini dapat terbit dan sampai ke
Bapak /Ibu sekalian.
Buku ini merupakan kumpulan makalah dari sidang paripurna dan simposium
paralel yang disampaikan pada kegiatan Kongres Ilmu Kesehatan Anak (KONIKA) ke-17
yang dilaksanakan pada tanggal 8-11 Agustus 2017
Isi dari semuanya tersebut disesuaikan dengan tema “Implementing Advances in
Pediatrics for Better Child Health” yang kami kumpulkan dari para pembicara dan telah
dilakukan penyuntingan oleh tim penyunting di kepanitiaan KONIKA XVII.
Ucapan terima kasih, kami sampaikan kepada seluruh pembicara sekaligus sebagai
penulis yang telah bersedia membuat makalah sehingga semua yang disampaikan di saat
kongres akan lebih mudah diterima sekaligus dapat digunakan sebagai sumber rujukan
apabila diperlukan.
Seperti kata pepatah “tak ada gading yang tak retak”, kami menyadari banyak
kekurangan dalam penyusunan buku ini, kami berharap hal tersebut tidak mengurangi
makna dan manfaat dari buku ini.
Terima kasih.
Penyunting
v
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Kata Sambutan
Ketua Umum Pengurus Pusat IDAI
Salam jumpa kembali di Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak ke-17 (KONIKA XVII)
yang diadakan di Yogyakarta pada tanggal 6 – 11 Agustus 2017. Acara ilmiah kali ini
mengusung tema “Implementing advances in pediatrics for better child health”. Tema ini
dipilih dengan tujuan agar seluruh dokter spesialis anak di Indonesia memiliki wawasan
yang luas dan dilengkapi oleh pengetahuan, keterampilan dan sikap yang unggul dalam
membantu terwujudnya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development
Goals; SDGs) terkait kesehatan anak.
Upaya pencapaian tujuan tersebut tidaklah lepas dari peningkatan kompetensi
tenaga kesehatan khususnya dokter anak dalam menangani kesehatan anak Indonesia.
Peran dokter anak sangatlah penting untuk mengantarkan anak Indonesia dapat
tumbuh dan berkembang secara optimal. Tumbuh kembang anak pada masa seribu hari
pertama kehidupan penting untuk diperhatikan. Periode ini merupakan peluang dalam
membangun kesehatan jangka panjang anak untuk mendapatkan generasi yang sehat dan
kuat demi terwujudnya Indonesia prima.
Selamat mengikuti KONIKA XVII di Yogyakarta, kami berharap sejawat dokter
spesialis anak dapat mengambil manfaat secara maksimal dari kegiatan ini serta dapat
menerapkannya dalam praktik sehari-hari. Penerapan ilmu dapat dilakukan baik melalui
praktik klinis masing-masing maupun dalam bidang edukasi dan pengabdian masyarakat.
Terima kasih kepada Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) cabang Yogyakarta, Unit
Kerja Koordinasi (UKK) IDAI, Satuan tugas (Satgas) IDAI serta mitra IDAI yang terkait
telah bekerja keras menyelenggarakan kegiatan ini.
Aman B. Pulungan
Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia
vii
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Kata Sambutan
Ketua Cabang D.I Yogyakarta
Sumadiono
Ketua IDAI Cabang D.I Yogyakarta
ix
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Kata Sambutan
Ketua Umum Panitia KONIKA XVII
Merupakan suatu kehormatan bagi Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang Yogyakarta
untuk menyelenggarakan Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak (KONIKA) XVII.
Tema kongres ini adalah “Implementing Advances in Pediatric for Better Child Health”.
Kongres ini akan diselenggarakan selama empat hari dengan kegiatan berupa sesi organi-
sasi dan sesi ilmiah.
Acara ilmiah antara lain breakfast meeting, breakthrough meeting, keynote speech,
lunch symposium, parallel symposium, plenary symposia, plenary session dan presentasi oral
maupun poster elektronik dari hasil penelitian para dokter anak anggota Ikatan Dokter
Anak Indonesia.
Tentunya banyak informasi terbaru yang akan disampaikan pada sesi ilmiah.
Panitia selain memberi kesempatan presentasi dalam bentuk oral dan poster elektronik,
juga menerbitkan makalah ilmiah dalam bentuk buku kumpulan makalah KONIKA
XVII. Tujuan dari proses ini adalah untuk memberikan kesempatan kepada peserta
mempublikasikan hasil penelitiannya peneliti yang nantinya dapat digunakan untuk
menilai peningkatan karir mereka.
Panitia berharap dengan terbitnya buku kumpulan makalah KONIKA XVII ini
akan memberikan manfaat dan nilai tambah bagi penulis dan peserta kongres. Panitia
menyadari bahwa penyusunan buku kumpulan makalah KONIKA XVII ini jauh dari
sempurna, untuk itu panitia mohon maaf apabila ada kekurangannya.
Akhir kata, panitia mengucapkan selamat atas terselenggaranya Kongres Nasional Ilmu
Kesehatan Anak XVII.
Mohammad Juffrie
Ketua Umum Panitia KONIKA XVII
xi
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Daftar Isi
Kontributor..........................................................................................................iii
Kata Pengantar.....................................................................................................v
Kata Sambutan Ketua Umum Pengurus Pusat IDAI.............................................vii
Kata Sambutan Ketua Cabang D.I Yogyakarta.....................................................ix
Kata Sambutan.....................................................................................................xi
Ketua Umum Panitia KONIKA XVII...................................................................xi
PLENARY
Stunting Effects on Cognitive Development................................................3
Hardiono D. Pusponegoro
Pediatric Education in Competitive Era (Asian Economic Community).....13
Aryono Hendarto
Research Priority to Solve Major Health Problems of Indonesian
Children......................................................................................................22
Agus Firmansyah
Peran Konsil Kedokteran Indonesia dalam Pembinaan Kompetensi dalam
Praktik Kedokteran....................................................................................27
Bambang Supriyatno
Immunization Promotes Healthy Live and Well Being for All Ages............36
Sri Rezeki Hadinegoro
Forming Intelligent Children by Fighting Iron Deficiency Anemia.............45
Sutaryo
Lesson Learnt from Diarrhea Research: Moral and Social Responsibility of
Researcher...................................................................................................57
Yati Soenarto
Pencegahan dan Intervensi Faktor Risiko Kardiovaskular pada Anak dan
Remaja: Peran Dokter Spesialis Anak.........................................................67
Sukman Tulus Putra
Appropriate Use of Drugs in Pediatrics for Patient’s Safety ........................80
Taralan Tambunan
xiii
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
PARALEL
Resusitasi dan Deresusitasi Cairan pada Anak Sakit Kritis Conservative Fluid
Management or Derescutitation Following the Rescucitation Phase...........89
Dadang Hudaya Somasetia
Early Life Exposure to Endocrine Disruptors: Should We Worried?............104
Agustini Utari
The Infant Motor Profile.............................................................................109
Ahmad Suryawan
Psychoneuroallergology..............................................................................117
Anang Endaryanto
Current Challenges for Dose Optimization of Antimicrobials in Children.127
Anggraini Alam
Efek Samping Jangka Panjang dari Antiretroviral pada Pasien HIV/AIDS.138
Anggraini Alam
Tips for Implementing Community Based Research...................................146
Anna Alisjahbana
Imunoglobulin Intravena............................................................................152
Antonius Pudjiadi
Emerging Pathogen Deaths: A Lesson Learnt from Influenza A (H5N1)
Infection.....................................................................................................157
Ari Prayitno
Role of Pediatrician on Sexual Abuse..........................................................166
Ariani
Mental Health Problems in Adolescent with Chronic Diseases: A Preliminary
Report from Type A Hospitals.....................................................................180
Bernie Endyarni Medise
Dealing with Psychological Problem in Lupus Patient................................188
Budi Setiabudiawan*, Indra Sandinirwan, Gartika Sapartini, Reni Ghrahani
New Vaccines for Indonesian National Immunization Program..................206
Cissy B. Kartasasmita
Strategy to Optimize Catch Up Growth in the Preterm Infants...................215
Damayanti Rusli Sjarif
Managing Perinatally HIV Infected Adolescence........................................224
Debbie Latupeirissa
xv
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Physiology of Oromotor in Breastfeeding Process and Speech Development
in Infants....................................................................................................358
Luh Karunia Wahyuni
The Consequences of Obesity in Childhood: Insulin Resistance, Metabolic
Syndrome and Type 2 Diabetes...................................................................365
Madarina Julia
The Role of Vitamin D in Bone Health in Children and Adolescents with
Referernce to Global Consensus Recommendations on Vitamin D.............372
Margaret Zacharin
Developmental Assessment in Infant..........................................................375
Mei Neni Sitaresmi
Psychosocial Approach to Adolescent with Chronic Disease.......................382
Meita Dhamayanti
Recent Advances in the Pediatric Interventional Cardiology: Where are We
Now? ..........................................................................................................391
Mulyadi M. Djer
Implementation of Reticulocyte Hb Content as A Tool for Early Diagnosis of
Iron Deficiency...........................................................................................397
Murti Andriastuti* Tandyo Triasmoro+
Henoch-Schönlein Purpura Nephritis in Children......................................405
Ninik Asmaningsih Soemyarso
Terapi profilaksis bagi anak dengan hemofilia A.........................................419
Novie Amelia Chozie
Complicated Nephrotic Syndrome..............................................................428
Oke Rina Ramayani
Iron Supplementation for Infants Based on New Report: Is it
Recommended?...........................................................................................435
*Ponpon Idjradinata, Susi Susanah, Nur Melani Sari
Chronic Abdominal Pain: Infection vs Allergy............................................445
Pramita G Dwipoerwantoro
Noisy Breathing in Children.......................................................................452
Retno Asih Setyoningrum
The Effect of Child Abuse and Neglect on Brain Development, Learning, and
Health.........................................................................................................459
Retno Sutomo
xvii
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Overuse and Misuse of Nebulisation Therapy in Daily Practice..................585
Wahyuni Indawati
Respiratory Endoscopic Procedure in Respiratory Problems......................592
Wahyuni Indawati
Premature Thelarche and Gynecomastia.....................................................600
I Wayan Bikin Suryawan
Role Epigenetic in Allergy ..........................................................................607
Wisnu Barlianto
Physiology of Breastfeeding and the Role of Counselling...........................614
Wiyarni Pambudi
Central Nervous System Infection...............................................................622
Yazid Dimyati
Epilepsy in Children...................................................................................633
Yetty Ramli
The Pitfall Use of Immunomodulator.........................................................644
Zakiudin Munasir
Recognizing Subtle Endocrine Complaints.................................................650
Connie Untario
DTP Immunization 2, 3, 4 Months Schedule ...........................................658
Kusnandi Rusmil
Community Based Research to Solve Child Health Problems Creating
Evidence-Based Practice for Health and Social Change...............................666
Anna Alisjahbana
P
erawakan pendek atau stunting ditemukan pada 162 juta anak berumur kurang
dari 5 tahun di seluruh dunia. Sebagian besar disebabkan oleh nutrisi inadekuat
dan infeksi berulang pada 1000 hari pertama kehidupan.1 Stunting menyebabkan
gangguan perkembangan fisik dan kognitif, sehingga anak menjadi orang dewasa yang
kurang produktif dengan keadaan kesehatan yang buruk.1,2 Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) 2013 melaporkan bahwa prevalensi stunting secara nasional adalah 37,2
persen.3 Prevalensi stunting sebesar 30-39% merupakan masalah kesehatan serius, dan
prevalensi stunting sebesar 40% atau lebih merupakan masalah sangat serius.4
Masalah utama yang menyertai stunting adalah gangguan fungsi kognitif, yang sulit
sekali dipulihkan.5 Dengan demikian, walaupun terjadi catch-up tinggi badan, fungsi
kognitif tetap terganggu. Apa jadinya Indonesia di masa depan bila 1/3 penduduknya
mengalami gangguan kognitif?
Dalam makalah ini akan dipaparkan mengenai prevalensi, beberapa faktor risiko,
dampak stunting terhadap fungsi kognitif, dan anjuran untuk mengatasi masalah stunting
di Indonesia secara menyeluruh.
Stunting
Stunting didefinisikan sebagai nilai Z-score tinggi badan menurut umur <2SD di bawah
median pada kurva WHO dari populasi, dan merupakan petanda malnutrisi kronik.2,6
Bayi baru lahir dengan berat lahir kurang dari persentil 10 untuk masa kehamilan dapat
merupakan bayi small for gestational age (SGA) atau bayi yang mengalami intrauterine
growth restriction (IUGR).7–9 IUGR dibagi menjadi tipe 1 (tipe simetris, tipe proporsional,
atau stunting) dan tipe 2 (tipe asimetris, disproporsional, atau wasting) tergantung masa
terjadinya gangguan.8,9 Sebanyak 20-30% di antara bayi dengan IUGR merupakan tipe
stunting, ditandai dengan penurunan ukuran semua organ karena gangguan pada fase
hiperplasia. Sisanya sebanyak 70-80% merupakan IUGR tipe wasting yang ditandai
penurunan ukuran organ tetapi ukuran kepala normal.9,10
3
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Pada anak, Prendergast menggunakan istilah “sindrom stunting” untuk
membedakannya dengan pendek karena faktor konstitusional. Pada sindrom stunting,
berbagai perubahan patologis menyebabkan gangguan pertumbuhan linier pada usia dini
yang berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas, dan berkurangnya
kapasitas fisik pada masa dewasa.11
Prevalensi stunting
Menurut laporan Departemen Kesehatan, prevalensi stunting di tahun 1995 adalah
46,9%, dan di tahun 2007 adalah 36,8%,12 sedangkan prevalensi stunting di tahun 2010
adalah 35,6%.3 Pada tahun 2013 terbit laporan Riskesdas yang menyebutkan prevalensi
stunting di Indonesia adalah 37,2%.3 Beberapa penelitian lain di Indonesia menunjukkan
prevalensi yang kurang lebih sama.13,14
Laporan dari International Policy Research pada tahun 2016 menyebutkan bahwa
prevalensi stunting di Indonesia adalah 36,4%, merupakan ranking terburuk urutan ke
108 dari 132 negara.15 Dari laporan-laporan tersebut terlihat bahwa prevalensi stunting
di Indonesia cenderung tidak berubah sama sekali dari tahun ke tahun. Sejak terbitnya
laporan Riskesdas, timbul kegalauan di kalangan Ikatan Dokter Anak Indonesia, yang
kurang mempercayai angka tersebut. Oleh karena itu, dilakukan penelitian di beberapa
derah tentang prevalensi stunting, tetapi ternyata ditemukan hasil yang kurang lebih sama.
Patogenesis stunting
Pertumbuhan linier dipengaruhi oleh osifikasi lempeng pertumbuhan endokondral.
Faktor nutrisi dan inflamasi memengaruhi pertumbuhan linier. Faktor kompleks lain
yang memengaruhi meliputi faktor genetik, fisiologi, endokrin, bahkan kecukupan
tidur (melalui pengaruhnya terhadap sekresi growth hormone). Inflamasi yang menyertai
infeksi dan disfungsi usus menghambat osifikasi endokondral melalui berbagai mediator
misalnya sitokin proinflamasi, activin A-follistatin system, glukokortikoid, dan fibroblast
growth factor 21 (FGF21).18 Pada hewan, pertumbuhan linier sangat sensitif terhadap
asupan protein dan zinc, yang bekerja melalui insulin, insulin-like growth factor-1 (IGF-
1), triiodothyronine, asam amino dan zinc untuk menstimulasi lempeng pertumbuhan.
Hal ini dihambat oleh sitokin inflamasi. Ibu dari bayi yang mengalami stunting intrauterin
menunjukkan kadar IGF-1 yang rendah saat kelahiran. Bayi juga menunjukkan kadar
IGF-1 yang rendah selama tahun pertama kehidupan.
Ada suatu hal baru dalam patogenesis stunting. Penelitian terhadap 313 anak
berumur 12-59 bulan di Malawi, 62% di antaranya merupakan anak dengan stunting.
Anak yang mengalami stunting menunjukkan kadar 9 asam amino esensial yaitu
tryptophan, isoleucine, leucine, valine, methionine, threonine, histidine, phenyl-alanine, lysine
yang rendah dibandingkan kontrol (p<0,01). Beberapa asam amino lain yaitu arginine,
glycine, glutamine; asam amino non esensial asparagine, glutamate, serine, dan sfingolipid
juga menunjukkan kadar yang lebih rendah. Dari penelitian ini muncul hipotesis bahwa
stunting bukan semata-mata kekurangan gizi, tetapi disebabkan kurangnya asam amino
esensial dan kolin yang diperlukan untuk sintesis sfingolipid dan gliserofosfolipid.25–27
5
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
gerak, yang menunjukkan adanya gangguan fungsi susunan saraf pusat. Hipotesis yang
dibuat adalah anak kekurangan enerji untuk belajar, sehingga mempengaruhi fungsi
perkembangan (hipotesis developmental).28
Telah banyak dibuktikan bahwa stunting menyebabkan kurangnya kemampuan
belajar dan prestasi akademis.2,28,32–36 Penelitian terhadap 12.997 orang dewasa di Brazil
melaporkan bahwa stunting masa anak menyebabkan gangguan memori, kemampuan
belajar, konsentrasi dan bahasa pada masa dewasa.37
Catch-up
Tinggi badan
Para peneliti umumnya membagi catch-up pada umur 24 bulan, 5 tahun dan remaja. Catch-
up tinggi badan pada umur 24-48 bulan ditemukan pada berbagai penelitian populasi di
Barzil, Guatemala, Filipina, Afrika Selatan dan Gambia.40,41 Catch-up ini merupakan hasil
dari maturasi sistem imun anak sehingga mengurangi inflamasi.40 Catch-up setelah umur
24 bulan merefleksikan tersedianya nutrisi yang baik.40
Tatalaksana stunting
Target WHO
Pada tahun 2010, jumlah anak berumur kurang dari 5 tahun yang mengalami stunting
adalah 171 juta anak, 167 juta di antaranya tinggal di negara sedang berkembang.44 The
World Health Assembly Resolution mencanangkan pengurangan 40% jumlah anak stunting
berumur kurang dari 5 tahun atau menjadi sekitar 100 juta anak pada tahun 2025,1
yang di adopsi oleh WHO.44 Target tersebut dibuat berdasarkan data dari 148 negara
dan keberhasilan beberapa negara mengatasi stunting. Di Indonesia, proyeksi prevalensi
stunting pada tahun 2025 adalah 23,4% atau 4.397.500 anak.44
Apabila ingin mencapai target tersebut, diperlukan penurunan prevalensi sebesar
3,9% per tahun. Namun, dengan kecepatan penurunan prevalensi stunting seperti
sekarang, target tersebut tidak akan tercapai, dan pada tahun 2025 tetap ada 127 juta
anak di bawah 5 tahun yang mengalami stunting.44
7
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
stimulasi kognitif dapat dirancang dengan memperhatikan asupan dari perhimpunan
profesi.
Suplementasi
Berbagai program suplementasi telah diteliti. Penelitian terhadap 2187 anak berumur
6-23 bulan di China dengan menggunakan suplementasi protein, lemak, karbohidrat,
multivitamin, asam folat, zinc dan kalsium tidak mengurangi stunting.48 Di Indonesia,
suplementasi dengan suplemen barbasis lemak memperbaiki pertumbuhan linier dan
mengurangi prevalensi stunting setelah suplementasi 6 bulan.49 Suplementasi harus
diformulasikan dengan tepat untuk mengoptimalkan pertumbuhan tulang dan jaringan,
tanpa kelebihan deposit lemak.50
Orangtua
Edukasi terhadap orang tua dengan cara yang mudah dan benar dapat mengurang
kejadian stunting. Namun, edukasi yang tidak dapat dimengerti tidak memengaruhi
kejadian stunting.52 Ikatan Dokter Anak Indonesia harus membuat program edukasi utuk
Penutup
Mari kita membuat target 3 tahun ke depan:
•• Adanya program surveilans yang baik berbasis internet dan telepon selular.
•• Pembuatan kurva pertumbuhan khusus untuk anak Indonesia.
•• Pembuatan program komprehensif nutrisi meliputi deteksi, penilaian dan intervensi
nutrisi.
•• Pembuatan program komprehensif perkembangan dan stimulasi/ intervensi gangguan
perkembangan.
•• Perbaikan perilaku profesional untuk menggunakan kurva pertumbuhan.
•• Pembuatan suplementasi gizi yang baik berdasarkan asupan dari pemerintah, profesi,
dan produsen.
Daftar pustaka
1. Black RE, Victora CG, Walker SP et al. Maternal and child undernutrition and overweight
in low-income and middle-income countries. Lancet. 2013;382:427-451.
2. Casale D, Desmond C. Recovery from stunting and cognitive outcomes in young children:
evidence from the South African Birth to Twenty Cohort Study. J Dev Orig Health Dis.
2016;7:163-171.
3. RI DK. RisetKesehatan Dasar 2013. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Ke-
mentrian Kesehatan Republik Indonesia; 2013
4. Organization WH. Country profile indicators: interpretation guide. … Information System
(NLIS) …. 2010
5. Casale D, Desmond C. Recovery from stunting and cognitive outcomes in young children:
evidence from the South African Birth to Twenty Cohort Study. J Dev Orig Health Dis.
20151-9.
6. de Onis M, Branca F. Childhood stunting: a global perspective. Matern Child Nutr. 2016;12
Suppl 1:12-26.
7. Committee WHOE. The use and interpretation of anthropometry. Geneva CH. WHO
1995, technical report 854. 1995
9
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
8. Mandy GT. Infant with fetal (intrauterine) growth restriction. In: Weisman LE, Kim MS,
editors. UpToDate. Waltham, MA: UpToDate; 2017.
9. Divon MY, Ferber A. Fetal growth restriction: Diagnosis. In: Levine D, Barrs VA, editors.
UpToDate. Waltahm, MA: UpToDate; 2017.
10. Victora CG, Villar J, Barros FC et al. Anthropometric Characterization of Impaired Fetal
Growth: Risk Factors for and Prognosis of Newborns With Stunting or Wasting. JAMA
Pediatr. 2015;169:e151431.
11. Prendergast AJ, Humphrey JH. The stunting syndrome in developing countries. Paediatr Int
Child Health. 2014;34:250-265.
12. RI KK. Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2010
13. Sari M, de Pee S, Bloem MW et al. Higher household expenditure on animal-source and
nongrain foods lowers the risk of stunting among children 0-59 months old in Indonesia:
implications of rising food prices. J Nutr. 2010;140:195S-200S.
14. Torlesse H, Cronin AA, Sebayang SK, Nandy R. Determinants of stunting in Indonesian
children: evidence from a cross-sectional survey indicate a prominent role for the water, sani-
tation and hygiene sector in stunting reduction. BMC Public Health. 2016;16:669.
15. Institute IFPR. From promise to impact. Ending malnutrition by 2030. Washington: Inter-
national Food Policy Research Institute; 2016
16. Shekar M, Kakietek J, D’Alimonte MR et al. Reaching the global target to reduce stunting:
an investment framework. Health Policy Plan. 2017
17. Akombi BJ, Agho KE, Hall JJ, Merom D, Astell-Burt T, Renzaho AMN. Stunting and se-
vere stunting among children under-5 years in Nigeria: A multilevel analysis. BMC Pediatr.
2017;17:15.
18. Millward DJ. Nutrition, infection and stunting: the roles of deficiencies of individual nutri-
ents and foods, and of inflammation, as determinants of reduced linear growth of children.
Nutr Res Rev. 2017;30:50-72.
19. Crookston BT, Dearden KA, Alder SC et al. Impact of early and concurrent stunting on
cognition. Matern Child Nutr. 2011;7:397-409.
20. Martorell R, Zongrone A. Intergenerational influences on child growth and undernutrition.
Paediatr Perinat Epidemiol. 2012;26 Suppl 1:302-314.
21. Christian P, Lee SE, Donahue Angel M et al. Risk of childhood undernutrition related to
small-for-gestational age and preterm birth in low- and middle-income countries. Int J Epi-
demiol. 2013;42:1340-1355.
22. Victora CG, de Onis M, Hallal PC, Blössner M, Shrimpton R. Worldwide timing of growth
faltering: revisiting implications for interventions. Pediatrics. 2010;125:e473-80.
23. Naik AA, Patro IK, Patro N. Slow Physical Growth, Delayed Reflex Ontogeny, and Per-
manent Behavioral as Well as Cognitive Impairments in Rats Following Intra-generational
Protein Malnutrition. Front Neurosci. 2015;9:446.
24. Walker SP, Chang SM, Wright A, Osmond C, Grantham-McGregor SM. Early childhood
stunting is associated with lower developmental levels in the subsequent generation of chil-
dren. J Nutr. 2015;145:823-828.
25. Semba RD, Shardell M, Sakr Ashour FA et al. Child Stunting is Associated with Low Circu-
lating Essential Amino Acids. EBioMedicine. 2016;6:246-252.
26. Semba RD, Trehan I, Gonzalez-Freire M et al. Perspective: The Potential Role of Essential
Amino Acids and the Mechanistic Target of Rapamycin Complex 1 (mTORC1) Pathway in
11
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
43. Walker SP, Chang SM, Powell CA, Grantham-McGregor SM. Effects of early childhood
psychosocial stimulation and nutritional supplementation on cognition and education in
growth-stunted Jamaican children: prospective cohort study. Lancet. 2005;366:1804-1807.
44. 44. de Onis M, Dewey KG, Borghi E et al. The World Health Organization’s global target for
reducing childhood stunting by 2025: rationale and proposed actions. Matern Child Nutr.
2013;9 Suppl 2:6-26.
45. Dasgupta R, Sinha D, Yumnam V. Rapid Survey of Wasting and Stunting in Children: Whats
New, Whats Old and Whats the Buzz? Indian Pediatr. 2016;53:47-49.
46. Leal VS, Lira PICD, Menezes RCED et al. Factors associated with the decline in stunting
among children and adolescents in Pernambuco, Northeastern Brazil. Rev Saude Publica.
2012;46:234-241.
47. Stevens GA, Finucane MM, Paciorek CJ et al. Trends in mild, moderate, and severe stunting
and underweight, and progress towards MDG 1 in 141 developing countries: a systematic
analysis of population representative data. Lancet. 2012;380:824-834.
48. Zhang Y, Wu Q, Wang W et al. Effectiveness of complementary food supplements and di-
etary counselling on anaemia and stunting in children aged 6-23 months in poor areas of
Qinghai Province, China: a controlled interventional study. BMJ Open. 2016;6:e011234.
49. Muslihah N, Khomsan A, Briawan D, Riyadi H. Complementary food supplementation
with a small-quantity of lipid-based nutrient supplements prevents stunting in 6-12-month-
old infants in rural West Madura Island, Indonesia. Asia Pac J Clin Nutr. 2016;25:S36-S42.
50. Briend A, Khara T, Dolan C. Wasting and stunting similarities and differences: policy and
programmatic implications. Food & Nutrition Bulletin. 2015;36:15S-23S.
51. Batubara J, Alisjahbana A, JGMGerver-Jansen A et al. Growth diagrams of Indonesian chil-
dren The nationwide survey of 2005. Paediatrica Indonesiana. 2016;46:118-126.
52. Abebe Z, Haki GD, Baye K. Health Extension Workers’ Knowledge and Knowledge-Sharing
Effectiveness of Optimal Infant and Young Child Feeding Are Associated With Mothers’
Knowledge and Child Stunting in Rural Ethiopia. Food Nutr Bull. 2016
53. Yach D, Feldman ZA, Bradley DG, Khan M. Can the food industry help tackle the growing
global burden of undernutrition? Am J Public Health. 2010;100:974-980.
Abstrak
Era masyarakat ekonomi ASEAN (MEA) telah dimulai sejak bulan Desember 2015. Tenaga kerja
terampil juga akan dipermudah untuk bekerja di negara lain, tentunya profesi dokter termasuk dokter
spesialis anak menjadi salah satunya. Akibatnya, tenaga kerja terampil Indonesia harus siap bersaing
dengan tenaga kerja dari negara lain. Persaingan yang lebih ketat tentunya dapat terjadi karena
adanya perbedaan kualitas SDM. Perbedaan yang ada diperuncing juga oleh adanya disparitas dan
minimnya standarisasi pendidikan kedokteran antar negara-negara di ASEAN. Agar dokter spesialis
anak Indonesia mempunyai daya saing internasional, maka pendidikan dokter spesialis anak harus
mampu menghasilkan dokter anak yang mempunyai hard skill dan soft skill mumpuni yang disertai
dengan etika profesional yang baik dan penguasaan teknologi informasi khususnya dibidang kesehatan.
Hal tersebut dapat dicapai bila setiap Program Studi Ilmu Kesehatan Anak (Prodi IKA) di Indonesia
mempunyai kualitas yang baik, tenaga pendidik yang unggul, standar pendidikan dan kurikulum yang
mengandung kompetensi muatan lokal sekaligus bersifat internasional dan setiap prodi mempunyai
networking (jejaring) dengan institusi luar negeri.
K
esepakatan negara-negara di kawasan Asia Tenggara untuk menyatukan wilayah
ASEAN dalam bentuk Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) mulai diberlakukan
sejak akhir Desember tahun 2015. Tenaga kerja terampil akan dipermudah untuk
bekerja di negara lain, tentunya profesi dokter menjadi salah satunya.123 Ada kekuatiran
dokter–dokter negara ASEAN lain akan lebih mudah bekerja di Indonesia karena
beberapa alasan yaitu: jumlah dokter spesialis di Indonesia belum cukup, distribusi dokter
spesialis di Indonesia termasuk dokter spesialis anak belum merata, kualitas pendidikan
dan standar kompetensi dokter di Indonesia belum setara. Belum lagi ditambah beberapa
rumah sakit swasta juga masih menerapkan skema fee-for service untuk pendapatan dokter,
memberikan peluang pendapatan dokter menjadi sangat tinggi. Menunda masuknya
SDM dari luar hanyalah menjadi penyelesaian sementara, persiapan dan peningkatan
mutu SDM kita akan menghasilkan generasi dokter mendatang yang siap bersaing di
kancah Internasional.4,5
13
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Pediatric Education in Competitive Era
Sebelum membahas bagaimana pendidikan dokter spesialis anak di Indonesia untuk
menghadapi era yang kompetitif, maka akan di bahas mengenai pendidikan IKA di
beberapa negara ASEAN. Hal ini dimaksudkan agar kita mendapat gambaran dan
perbandingan untuk bersama-sama memformulasikan pendidikan IKA yang terbaik di
Indonesia. Jadi diberlakukannya MEA jangan dianggap sebagai ancaman tetapi justru
harus dianggap sebagai peluang dokter spesialis anak di Indonesia untuk menyejajarkan
diri dengan kolega dari negara ASEAN lain sehingga bukan saja mampu menjadi tuan
rumah di negera sendiri tetapi juga diminati oleh masyarakat pengguna jasa pelayanan
pediatrik di negara lain
Singapura
Pendidikan kedokteran di Singapura mengikuti program yang ada di negara perserikatan
lainnya. Mahasiswa kedokteran menyelesaikan program Bachelor of Medicine & Bachelor
of Surgery (MBBS) dan melanjutkan pendidikan spesialistik bertajuk Master of Medicine
di bidang yang mereka minati. Program Master of Medicine di Singapura hanya tersedia
di National University of Singapore (NUS) Division of Graduate Medical Studies. Lama
pendidikan untuk memperoleh predikat spesialis anak ditempuh dalam waktu 3 tahun
dan pada akhir pendidikan peserta pendidikan dokter spesialis (PPDS) akan menjalani
ujian nasional yang dilakukan oleh Singapore College of Pediatrics bekerja sama dengan
Royal College of Paediatrics and Child Health (Inggris). Mereka akan mendapat gelar
Master of Medicine dari NUS dan menjadi anggota dari Royal College of Pediatrics dan
Child Health (Inggris). Tidak sedikit dari dokter umum Singapura yang juga memilih
melanjutkan studi mereka di Inggris atau Australia.6
Malaysia
Sebagai negara perserikatan, pendidikan kedokteran Malaysia tidak jauh berbeda dari
Brunei dan Singapura. Setelah mahasiswa menyelesaikan program pendidikan kedokteran
umum, mereka bisa memilih berbagai spesialisasi dengan tajuk pendidikan Master
of Medicine (MM). Program ini tersedia di Universiti of Malaya dan Univesiti Sains
Malaysia. Setelah lulus, mereka dapat memilih untuk langsung kerja sebagai spesialis atau
melanjutkan sekolah sebagai subspesialis.7
Perlu diketahui bahwa gelar spesialis anak yang didapatkan di Malaysia, Brunei dan
Singapura diakui oleh negara-negara perserikatan lainnya. Ini memudahkan dokter dari
Malaysia untuk menjadi klinisi atau melanjutkan studi di negara perserikatan lainnya.
Laos
Di Laos, pendidikan kedokteran berpusat di Mahosot Hospital dan kerjasama banyak
dilakukan dengan Thailand dan Amerika Serikat. Semua mahasiswa yang hendak masuk
Thailand
Pendidikan dokter spesialis anak berlangsung selama 6 semester atau 3 tahun. Selama 3
tahun tersebut PPDS di didik untuk menjadi dokter spesialis anak umum. Selanjutnya
mereka dapat menjadi subspesialis dengan tambahan 2 tahun masa studi. Subspesialis
yang tersedia antara lain kardiologi, respirologi, gastrohepatologi, alergi-imunologi,
infeksi, neurologi, neonatologi dan perinatologi, pediatri perkembangan, endokrinologi,
hematologi, nutrisi, nefrologi, dermatologi, genetik dan rematologi.9
Vietnam
Setelah lulus menjadi dokter umum, para lulusan dapat memperdalam keilmuan di
bidang IKA melalui 2 cara. Yang pertama mereka menjalan pelatihan IKA selama 6 bulan
atau menjalani pendidikan dokter spesialis anak dengan menjadi PPDS selama 3 tahun.
Hanya saja yang dapat menjadi PPDS anak adalah mahasiswa yang berprestasi. Bila akan
meneruskan ke jenjang pendidikan subspesialis maka diperlukan 6 tahun masa studi
tambahan.10,11
Myanmar
Pendidikan spesialis anak di Myanmar dilaksanakan selama tiga tahun. Pada tahun
pertama PPDS akan mendapatkan pendidikan mengenai masalah di klinik, komunikasi
dan ketrampilan etik dengan cara ronde di bangsal, bedside teaching dan diskusi/pertemuan
di klinik. Pada tahun kedua PPDS akan mendapat pendidikan penyakit-penyakit anak
di berbagai divisi, dan pendidikan di luar bagian anak seperti mata dan THT selama
lebih kurang 18 bulan. Setelah itu pendidikan akan diakhiri dengan serangkaian ujian dan
residen juga harus membuat tesis atau karya tulis akhir.12,13
Filipina
Pendidikan spesialis anak di Filipina berlangsung selama 3 tahun dengan tujuan pendidikan
supaya menjadi dokter spesialis anak yang tidak saja mempunyai kognitif pengetahuan,
tetapi juga ketrampilan psikomotor, perilaku dan nilai-nilai yang dibutuhkan oleh seorang
dokter anak untuk berpraktek. Pendidikan ini berbasis kompetensi dan umumnya
dilakukan di rumah sakit (RS). Pada tahun pertama PPDS akan menghabiskan waktu 6
bulan di bangsal, 4 bulan di departemen rawat jalan dan instalasi gawat darurat (IGD) dan
2 bulan bekerja di Neontal Intensiv Care Unit (NICU) Pada tahun kedua residen belajar 1
15
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
bulan mengenai pediatri komunitas, selanjutnya residen akan belajar di bangsal selama 4
bulan, di departemen rawat jalan dan IGD selama 3 bulan dan 2 bulan di berbagai divisi
pediatri serta 2 bulan lagi di NICU. Pada tahun ketiga PPDS belajar selama 4 bulan di
berbagai divisi pediatri, 2 bulan di NICU, 3 bulan di bangsal, 2 bulan di departemen
rawat jalan serta 1 bulan di pediatri komunitas. Di Filipina terdapat 105 rumah sakit yang
dapat melaksanakan pendidikan dokter spesialis anak yang terdiri dari 46 RS swasta, 47
RS pemerintah dan 12 RS pendidikan/universitas.14
17
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Pendidikan dilaksanakan menggunakan standar pendidikan dan kurikulum
yang baik
Standar Pendidikan berisi hal-hal umum yang menjadi pedoman bagi setiap prodi
dalam melaksanakan proses pendidikan dan di dalam standar pendidikan ini tercantum
kurikulum yang berisi materi-materi yang harus diberikan kepada PPDS selama menjalani
pendidikan.
Kurikulum yang digunakan oleh Prodi memang dituntut harus selalu diadakan
evaluasi secara berkala untuk kemudian dilakukan pengembangan. Beberapa alasan
mengapa kurikulum perlu dikembangkan antara lain untuk menjawab atau antisipasi yang
merupakan kemajuan ilmu teknologi; memenuhi kebutuhan yang ada dalam masyarakat
dan untuk meningkatkan kemajuan masyarakat serta memenuhi kebutuhan peserta didik.
Kurikulum pendidikan dokter spesialis anak yang sekarang digunakan memang sudah
saatnya dilakukan revisi. Agar revisi kurikulum pendidikan dokter spesialis anak Indonesia
mampu menghasilkan spesialis anak yang kompetitif maka perlu dipertimbangkan
beberapa hal seperti di bawah ini :
a. Kurikulum tersebut harus mampu menghasilkan dokter anak sesuai yang mempunyai
standar kompetensi seperti negara ASEAN lain agar dokter spesialis anak diakui
secara internasional. Untuk itu standar pendidikan/kurikulum dokter spesialis
anak harus mengacu pada Peraturan Presiden No.8 tahun 2012 tentang Kerangka
Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI).17 Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia
adalah kerangka penjenjangan kualifikasi kompetensi yang dapat menyetarakan
dan mengintegrasikan antara bidang pendidikan dan bidang pelatihan kerja serta
pengalaman kerja dalam rangka pemberian pengakuan kompetensi kerja sesuai
dengan struktur pekerjaan diberbagai sektor. Dengan KKNI, kompetensi seseorang
berdasarkan capaian pembelajaran yang kemudian dikualifikasikan sebagai pengakuan
terhadap hasil pembelajaran tenaga kerja, tidak lagi hanya berdasarkan ijazah. Hal
ini bertujuan untuk menjembatani gap antara pendidikan tinggi kesehatan yang
sesuai dengan kebutuhan pasar kerja kesehatan. Karena selama ini tenaga kesehatan
Indonesia cukup sulit bersaing ditingkat global akibat tidak adanya standar kualifikasi
yang jelas, maka adanya KKNI ini standar kualifikasi tenaga kesehatan Indonesia
dapat disetarakan dengan standar kualifikasi di negara lain, sehingga tenaga kesehatan
kita memiliki daya saing tinggi dan memiliki peluang lebih besar untuk bisa bekerja
di tingkat global.
b. Di dalam kurikulum sebagian Negara ASEAN program pendidikan spesialis anak di
berlangsung lebih singkat yaitu 6 semester, sementara di Indonesia selama 8 semester.
Dengan demikian Negara-negara ASEAN lain akan dengan cepat dapat menghasilkan
dokter spesialis anak bila memerlukan jumlah yang lebih banyak untuk bekerja di luar
negeri. Terlebih di Filipina yang pendidikan dokter spesialisnya tidak hanya dilakukan
oleh pemerintah tetapi juga oleh pihak swasta dengan berbasis pendidikan di RS.
Angka rerata kelulusan tepat waktu prodi IKA di Indonesia tidak lebih dari 10%
yang artinya sebagian besar PPDS menyelesaikan pendidikan lebih dari 8 semester.
Setiap prodi mempunyai kerja sama dengan pihak luar negeri di bidang
pendidikan.
Seperti sudah diuraikan di atas sebagian negara ASEAN seperti Singapura, Malaysia,
Myanmar dan Brunei merupakan anggota negara persemakmuran di bawah pimpinan
Inggris. Negara Kamboja pendidikan dokter spesialis anak berafiliasi ke Perancis,
sementara negara Thailand dan Laos banyak bekerja sama dengan Amerika di bidang
19
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
pendidikan. Situasi ini memungkinkan mereka lebih mudah mengirimkan tenaga
pendidikan untuk meningkatkan kemampuan baik dibidang pendidikan, penelitian dan
pelayanan. Pertukaran PPDS antar negara persemakmuran juga dimudahkan karena
mereka berbasis kurikulum yang tidak jauh berbeda sehingga kurikulum inti mereka
juga hampir sama. Disamping itu juga mudahkan mereka untuk alih pengetahuan dan
teknologi di bidang pendidikan. Rekognasi program pendidikan oleh institusi dari luar
memberikan kontribusi yang cukup bermakna karena dapat meningkatkan daya saing
internasional para alumninya.
Di dalam MEA bidang kesehatan ini disadari bahwa salah satu kendala dalam sinkronisasi
pelayanan kesehatan adalah adanya perbedaan kompetensi inti dari masing-masing program
pendidikan dokter spesialis termasuk program dokter spesialis IKA. Sehubungan dengan hal
tersebut KIKAI telah berkoordinasi dengan beberapa kolegium negara ASEAN lain seperti
Filipina dan Thailand. Dalam pertemuan-pertemuan tersebut selain bertukar informasi
tentang program pendidikan di masing-masing negara juga diwacanakan di masa mendatang
dibahas kemungkinan menyamakan kompetensi inti untuk negara ASEAN. Paling tidak
persamaan kurikulum inti ini dimulai dari negara yang tingkat pendidikan dan pelayanan
kesehatannya setara seperti Indonesia, Thailand, Vietnam dan Myanmar. Tentunya hal ini
memerlukan diskusi yang lebih kerap dan mendalam.
Penutup
Cepat atau lambat MEA dan persaingan bebas akan membenturkan pengetahuan dan
keahlian dokter Indonesia dengan negara lainnya. Diberlakukannya MEA merupakan
peluang dokter spesialis anak untuk mampu bersaing dengan kolega di regional bahkan
global. Untuk itu diperlukan kualitas Prodi yang baik dengan, tenaga pendidik yang
unggul dan standar pendidikan dan kurikulum yang memuat kandungan lokal tetapi
juga bersifat internasional. Menjadi tugas KIKAI, PP IDAI, IDAI Cabang dan setiap
prodi dengan peran masing-masing untuk mampu menciptakan dan mempertahankan
kompetensi dokter spesialis anak Indonesia yang mempunyai daya saing internasional.
Daftar Pustaka
1. Chong E. Pediatric training in Brunei: work in progress for new curriculum. The Southeast
Asian Journal of Tropical Medicine and Public Health. 2013 Dec;45:3-4.
2. Report of The Eighteenth meeting of The ASEAN Joint Coordinating Commite on Medical
Practitioners, Vientiane Lao PDR, 18 May 2016.
3. Fukunaga Y. Assessing the Progress of ASEAN MRAs on Professional Services. Economic
Research Institute for ASEAN and East Asia,2015.
4. Kittrakulrat J, Jongjatuporn W, Jurjai R, Jarupanich N, Pongpirul K. The ASEAN economic
community and medical qualification. Global Health Action. 2014;7
5. Aragar Putri. Kesiapan Sumber Daya Manusia Kesehatan dalam Menghadapi Masyarakat
21
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Research Priority to Solve Major Health
Problems of Indonesian Children
Agus Firmansyah
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RSUPN. Dr.Cipto Mangunkusumo
Jakarta
P
residen Joko Widodo dalam Rapat Kerja Kesehatan Nasional tahun 2017
menegaskan masalah kesehatan seperti gizi buruk tidak boleh terjadi lagi di
Indonesia. Jika masih ada penderita gizi buruk, ini memalukan.1 Pernyataan di atas
merupakan tantangan bagi dunia kesehatan, termasuk Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Tentu saja penyebabnya multifaktor, seperti kemiskinan, lingkungan, pendidikan, akses
terhadap fasilitas kesehatan, kepadatan penduduk, stabilitas politik dan urbanisasi.
23
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
dan bila menyerang anak kurang gizi akan menyebabkan diare persisten karena regenerasi
mukosa usus yang terhambat.9 Penelitian komunitas telah memberi bukti manfaat vaksin
dalam mencegah diare rotavirus,10 tetapi pemerintah sampai saat ini belum melaksanakan
program nasional untuk imunisasi rotavirus karena hambatan biaya
Prioritas penelitian
Pada tahun 2001-2005, Kementrian Riset dan Teknologi menghimpun penelitian dalam
berbagai bidang pengetahuan dalam Prioritas Utama Nasional Riset dan Teknologi (Punas
Ristem). Topik penelitian berbagai bidang ditentukan prioritasnya. Kemudian topik-topik
tersebut diprioritaskan berdasarkan penelitian dasar dan penelitian terapan. Sebaiknya
IDAI memulai membuat Punas Ristek di bidang ilmu kesehatan anak, seperti contoh
pada Tabel 1.
Tahap kegiatan
•• Melibatkan semua UKK, Satgas IDAI dan narasumber lain.
•• Identifikasi masalah kesehatan anak jumlah kasusnya banyak dan yang mengganggu
tumbuh kembang dan kualitas hidup anak.
•• Menentukan prioritas penelitian (translasional).
•• Mengusahakan dana penelitian.
•• Melaksanakan penelitian.
•• Merangkum hasil penelitian.
•• Membuat usulan kebijakan kesehatan anak kepada pemerintah.
Penutup
Taraf kesehatan anak di Indonesia masih kurang baik tercermin dari data Riskedas 2013.
Kualitas dan kuantitas penelitian kedokteran dan pelayanan kesehatan anak di Indonesia
masih kurang dibandingkan negara maju. Penelitian translasional harus digalakkan.
Sasaran utama adalah membina tumbuh kembang anak untuk meningkatkan kualitas
hidup manusia Indonesia di masa depan. Masalah stunting merupakan prioritas utama
yang harus diselesaikan sesuai harapan Presiden Joko Widodo, oleh karena itu perlu
25
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
dibuat kebijakan prioritas utama nasional penelitian di bidang kesehatan anak, yang
komprehensif dan terarah. Ikatan Dokter Anak Indonesia dapat memulai kegiatan seperti
ini.
Daftar pustaka
1. Okezone News. Jokowi: Jika masih ada penderita gizi buruk, ini memalukan. Selasa, 29
Februari 2017.
2. Gross R, Schultink W, Sastroamidjojo S. Stunting as an indicator for health and wealth: an
Indonesian application. Nutr Res 1996; 16: 1829-1837.
3. Riskesdas, Departemen Kesehatan RI, 2013.
4. Pathurrahman. The effect of sanitasion-hygiene and water program on stunting prevention
through diarrhea reduction amongst 6-12 months-old children: a structural equation model-
ing analysis. [Disertasi]. Universitas Indonesia, Jakarta, 2017.
5. Winata J. 10 facts about malnutrition in Indonesia. 2014.
6. Country ranking, Scimago journal & country ranking. Diunduh dari scimagojr.com. Diak-
ses tanggal 1 Juni 2017.
7. Wallace J. Lost in translation: transferring knowledge from research to clinical practice. Ad-
vance Psychiaric Treat 2013; 19: 250-258.
8. Soenarto Y, Aman TA, Bakri A, Waluya H, Firmansyah A, Kadim M, et al. Burden of severe
rotavirus diarrhea in Indonesia. J Infect Dis 2009; 200: S188-194.
9. Zijlstra RT, Donovan SM, Odle J, Gelberg HB, Petschow BW, Gaskins HR. Protein energy
malnutrition delays small intestinal recovery in neonatal pigs infected with rotavirus. J Nutr
1997; 127: 1118-1127.
10. Dennehy PH. Rotavirus vaccines: an update. Pediatr Infect Dis J 2006; 25: 839-848.
11. Prendergast AJ, Humphrey JH. The stunting syndrome in developing countries. Pediatr Int
Child Health 2014; 34: 250-265.
12. Black RE, Allen LH, Bhutta ZA, Caulfield LE, de Onis M, Ezzati M, et al. Maternal and
child undernutrition: global and regional exposures and health consequences. Lancet 2008;
371: 243-260.
13. Coffey D, Deaton a, Dreze J, Spears D, Tarozzi A. Stunting among children: facts abd impli-
cations. Economic Political Weekly 2013; 34: 68-70.
14. Fahmida U, Santika O, Kolopaking R, Ferguson E. complementary feeding recommendation
based on locally available foods in In donesia. Food Nutr Bull 2014;35: 174-179.
15. Herman S. Review on the problem of zinc deficiency, program prevention and its prospect.
Media Penelitian dan peengembangan kesehatan 2009; 19: S75-S83.
Abstrak
Dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan kedokteran diperlukan kompetensi dan profesionalisme
dari dokter maupun dokter spesialis dan pengawasan dari suatu badan, lembaga atau organisasi yang
turut melakukan pembinaan. Proses pembinaan seharusnya dilakukan sejak dari hulu (mahasiswa)
sampai ke hilir (saat sudah menjadi dokter atau dokter spesialis) oleh kementrian, lembaga atau
organisasi profesi seperti Kementerian Riset, Teknologi dan Perguruan Tinggi, Kementerian Kesehatan,
Konsil Kedokteran Indonesia, Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia, Ikatan Dokter
Indonesia, atau Majelis Kehormatan Etik Kedokteran. Peran pembinaan dari hulu sangat menentukan
pembinaan selanjutnya di tingkat hilir. Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) merupakan Lembaga
Negara nonstruktural, bersifat mandiri, independen, dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden
yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 dengan tujuan untuk melindungi
masyarakat dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dokter dan dokter gigi. Dalam melakukan
pembinaan kompetensi tenaga medis, KKI memerlukan kerjasama dengan stakeholders (pemangku
kepentingan) yang harmonis, seiring, sejalan dan seirama.
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) sebagai suatu Perhimpunan profesi, mempunyai peran yang
sangat besar dalam proses pembinaan praktik kedokteran bagi anggotanya melalui Kolegium maupun
Pengurus Pusat dan jajarannya dalam meningkatkan kompetensi. Peningkatan kompetensi dapat
berupa kompetensi pengetahuan tentang ilmu kesehatan anak maupun ilmu pengetahuan lainnya
sebagai penunjang dalam melakukan praktik kedokteran. Salah satu bentuk pembinaan setelah menjadi
dokter atau dokter spesialis adalah adanya lembaga yang mengawasi etik (MKEK) dan disiplin profesi
dokter (MKDKI). Dengan adanya lembaga ini maka proses pembinaan dapat berjalan dengan baik
dan benar.
T
ujuan pendidikan kedokteran berdasarkan Undang-undang No. 20 tahun 2013
tentang Pendidikan Kedokteran, antara lain menjadikan dokter yang kompeten,
profesional, beretika, disiplin, dapat berkomunikasi yang efektif serta beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.1 Tujuan tersebut sangat mulia meskipun
sangat sulit dicapai oleh seluruh fakultas kedokteran yang ada. Mungkin hanya beberapa
fakultas kedokteran (FK) yang berakreditasi tinggi yang dapat mencapainya meskipun
tidak tertutup kemungkinan beberapa FK dengan akreditasi yang lebih rendah. Saat ini
(per Juni 2017) terdapat 83 fakultas kedokteran di Indonesia dengan rincian 20 (24%)
FK dengan akreditasi A, 28 (34%) akreditasi B, dan 35 (42%) akreditasi C. Dari 20 FK
dengan akreditasi A, 16 diantaranya adalah FK dengan status perguruan tinggi negeri.2
27
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Perbedaan akreditasi menunjukkan masih adanya perbedaan mutu pendidikan
kedokteran. Terdapat hubungan yang bermakna antara status akreditasi dengan mutu
pendidikan meskipun tidak benar seluruhnya. Akreditasi menggambarkan proses pendidikan
dari mulai penerimaan sampai dengan outcome dari suatu FK yang mencakup sarana
prasarana, sumber daya manusia, dan proses belajar-mengajar.3 Biasanya status akreditasi
juga mencerminkan angka kelulusan mahasiswa yang mengikuti ujian kompetensi secara
nasional yang disebut UKMPPD (uji kompetensi mahasiswa pendidikan profesi dokter).2
Proses penjaminan mutu dokter harus dilakukan dari hulu sampai hilir yang berarti
sejak mahasiswa (termasuk FK di dalamnya) dan setelah menjadi dokter ataupun dokter
spesialis. Beberapa kementrian, lembaga (negara maupun bukan), organisasi atau insitusi
mempunyai peran penting dalam menjaga mutu dokter seperti Kementrian Riset,
Teknologi dan Perguruan Tinggi (Ristekdikti), Kementrian Kesehatan (Kemkes), Konsil
Kedokteran Indonesia (KKI), Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dan lain-lain.1,4
29
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
kelulusan UKMPPD, kerjasama dengan Rumah Sakit Pendidikan, dan rasio dosen-
mahasiswa. Fakultas Kedokteran yang tidak mematuhi aturan kuota dikenakan sanksi
dan kelebihan mahasiswa yang diterima ‘terancam’ tidak terdaftar di pangkalan data
Kemristekdikti.1
Dalam proses pendidikan kedokteran diperlukan suatu standar pendidikan profesi
dokter (SPPD) dan standar kompetensi dokter Indonesia (SKDI) sebagai landasan
utama untuk standarisasi pendidikan dokter yang berkeadilan, merata, kompeten, dan
profesional. Kedua standar (SPPD dan SKDI) harus disyahkan oleh KKI untuk digunakan
sebagai standar pendidikan dokter di Indonesia.7,8 Seluruh FK yang ada di Indonesia harus
menjalankan proses pendidikannya berdasarkan SPPD dan SKDI. Saat ini untuk proses
pendidikan dokter menggunakan SPPD dan SKDI tahun 2012 yang selanjutnya akan
direvisi untuk menjawab tantangan era globalisasi dan tuntutan masyarakat ekonomi
ASEAN (MEA).
Di dalam SPPD terdapat aturan proses penerimaan mahasiswa kedokteran seperti
lulusan SMA jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), jumlah rasio dosen-dan mahasiswa
(preklinik dan klinik), serta kurikulum yang jelas. Di dalam SKDI terdapat kompetensi
yang harus dimiliki dan dikuasai oleh mahasiwa untuk menjadi dokter yang kompeten.
Kompetensi yang ada dapat berjenjang yang berarti pada kasus tertentu hanya mendiagnosis
saja dan merujuk kepada dokter spesialis sampai pada kasus yang harus ditangani secara
paripurna. Kompetensi berdasarkan SKDI inilah yang menjadi dasar untuk ujian secara
nasional sehingga FK harus menjalani SKDI secara benar dan konsisten.7,8
Untuk program studi spesialis (Sp.1), juga SPPDS (Standar Pendidikan Profesi
Dokter Speialis) dan SKDSI (Standar Kompetensi Dokter Spesialis) yang dibuat oleh
kolegium terkait bersama organisasi profesi, dan harus disyahkan oleh KKI agar dapat
digunakan sebagai landasan dalam proses pendidikan spesialis. Program studi spesialis
tidak boleh menyimpang dari SPPDS dan SKDSI yang sudah disyahkan oleh KKI.4 Proses
ujian akhir secara nasionalpun harus berdasarkan standar-standar tersebut.
Mahasiswa kedokteran harus menempuh UKMPPD untuk mendapatkan ijazah atau
sertifikat profesi dan sertifikat kompetensi. UKMPPD dilaksanakan oleh panitia khusus
yang dibentuk oleh Menristekdikti untuk menyelenggarakan uji kompetensi secara nasional
bagi mahasiswa FK.1 Ujian UKMPPD, selama ini berlangsung 4 (empat) kali dalam
setahun. Konsil Kedokteran Indonesia berperan ikut membidani lahirnya UKMPPD dan
saat ini KKI berfungsi melakukan pengawasan eksternal terhadap pelaksanaan UKMPPD.
Mahasiswa yang dinyatakan lulus UKMPPD disebut dokter yaitu apabila berhasil
melampaui nilai batas lulus ujian berupa OSCE (objective structured clinical examination)
dan CBT (computer based test).1 Sementara itu untuk dokter spesialis dilakukan ujian board
secara nasional yang dilakukan oleh masing-masing kolegium terkait dengan melibatkan
beberapa program studi di Indonesia. Untuk dokter spesialis anak dilakukan ujian nasional
Setelah berpraktik
Bagi dokter yang baru lulus melakukan proses internsip yaitu proses pemahiran keprofesian
di daerah atau wilayah tertentu selama minimal 1 (satu) tahun dengan menggunakan STR
Internsip.1 Setelah menjalani proses internsip, dokter akan diberikan STR definitif yang
berlaku utnuk berpraktik maupun melanjutkan ke jenjang spesialis.
Bagi dokter spesialis tertentu (saat ini 5 spesialis yaitu spesialis penyakit dalam,
spesialis anak, spesialis bedah, spesialis obstetri dan ginekologi, serta spesialis anestesi)
yang menjalani wajib kerja dokter spesialis selama 1 (satu) tahun di daerah tertentu yang
ditetapkan oleh Kementrian Kesehatan.13
Pada pendidikan dokter spesialis diperlukan STR khusus bagi PPDS (peserta
program dokter spesialis) dalam melakukan aktivitas di klinik dengan STR-P yaitu STR-
Pendidikan.14 STR-P berlaku untuk melakukan pembuatan SIP (surat ijin praktik) secara
luas di sarana kesehatan yang mempunyai perjanjian dengan Rumah Sakit Pendidikan.
Dengan satu SIP berdasarkan STR-P maka residen dapat melakukan kegiatan klinis
berupa praktik kedoktern cukup dengan satu SIP.
Di dalam perjalanan proses pendidikan kedokteran, KKI berperan melakukan
monitoring dan evaluasi terhadap proses yang berjalan. Dalam monitoring dan evaluasi,
KKI melakukan visitasi ke program studi baik program studi dokter maupun spesialis.4
KKI melakukan wawancara dan pemeriksaan lapangan tentang proses pendidikan dan
hasilnya dibicarakan untuk rekomendasi kepada FK maupun program studi spesialis
utnuk perbaikan di masa mendatang dan juga pemberitahuan kepada Kemenristekdikti
untuk tindak lanjut sebagai lembaga yang berwenang.
Setelah lulus menjadi dokter ataupun dokter spesialis, KKI berperan dalam
memberikan STR setiap 5 (lima) tahun berupa resertifikasi.4 Persyaratan untuk melakukan
31
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
resertifikasi adalah adanya sertifikat kompetensi dari Kolegium terkait yang didapatkan
melalui Program Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan (P2KB) dari
organisasi profesi atau pendidikan kedokteran berkelanjutan (PKB) atau pendidikan
tambahan untuk tetap kompeten dan konsisiten dengan perkembangan ilmu pengetahuan
kedojteran yag mutakhir.
Masing-masing Kolegium mempunyai cara tersendiri dalam memberikan sertifikat
kompetensi bagi anggotanya. KKI berperan dalam memantau sebagai pengawas eksternal
dalam proses P2KB. Proses P2KB masing-masing kolegium dilakukan tanpa standarisasi
sehingga mungkin saja terdapat kolegium yang lebih ketat tetapi mungkin saja ada
yang lebih longgar. Untuk itu ke depan perlu standarisasi yag dilakukan oleh organisasi
profesi dan kemudian disyahkan oleh KKI. KKI tidak tururt campur secara kontens yang
seharusnya dibuat oleh masing-masing kolegium atau organisasi profesi (perhimpunan).
KKI hanya mengesahkan standarisasi P2KB sebagai mana standarisasi SPPDS dan SKDSI.
Ide ini memang masih perlu kajian karena P2KB merupakan ranah profesi yang sesuai
undang-undang merupakan ranah organisasi profesi sebagai penanggung jawab.4
Dalam proses pembinaan bagi dokter atau dokter spesialis yang sudah lulus, KKI
berperan bersama organisasi profesi.4 Organisasi profesi mempunyai peran dalam keilmuan
yang berarti tetap belajar sepanjang hayat dan peningkatan kompetensi melalui seminar
ataupun kursus. Dalam hal pelanggaran terhadap etik, Organisasi Profesi mempunyai
peran yang sangat baik yaitu melalui MKEK (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran).15
Seorang dokter atau dokter spesialis (termasuk spesialis anak) yang diduga melakukan
pelanggaran etik, akan dimitai keterangan oleh MKEK untuk menentukan adanya
pelanggaran etik kedokteran ataupun tidak. Dalam hal melanggaran etik, maka MKEK
dapat menjatuhkan sanksi.
Seorang dokter atau dokter spesialis anak, dapat melakukan pelanggaran disiplin
profesi dokter. Pelanggaran disiplin profesi dokter merupakan ranah KKI melalui
MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia).4,16 Saat ini terdapat
28 butir jenis pelanggaran disiplin profesi dokter yang tertuang dalam Perkonsil no 4
tahun 2011. Dokter atau dokter spesialis (termasuk anak) yang melakukan pelanggaran
dapat dikenakan sanksi berupa teguran lisan, pencabutan STR sementara, pendidikan
tambahan, dan pencabutan STR selamanya.16
33
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
hendaknya mengacu kepada keilmuan yang mutakhir sehingga tidak tertinggal dengan
perkembangan ilmu di manca negara. Selain itu kerjasama dengan perhimpunan sejenis
di tingkat internasional akan menambah wawasan dan hubungan yang lebih luas dalam
rangka meningkatkan pengetahuan di bidang ilmu kesehatan anak.
Sebagai individu maupun kelompok dokter spesialis anak harus meningkatkan
kompetensinya dengan mengikuti program PKB baik seminar maupun kursus di dalam
dan di luar negeri. Selain itu perlu peningkatan dalam ilmu berkomunikasi yang efektif,
penguasaan bahasa Inggris, dan berfikir visioner dalam tatalaksana penyakit, serta
mengetahui aturan perundang-undangan yang berlaku. Pengetahuan terhadap perundang-
undangan yang berlaku sangat bermanfaat dalam mengawal praktik kedokteran dan acuan
dalam melakukan tindakan medis.
Penutup
Dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan kedokteran dan menjaga kompetensi
dalam praktik kedokteran diperlukan suatu badan atau lembaga atau organisasi yang turut
melakukan pembinaan seperti misalnya Kementrian, KKI, MKDKI, IDI, atau MKEK.
KKI berperan dalam penjagaan mutu dan pembinaan praktik kedokteran dari hulu
berupa proses menjadi dokter sampai ke hilir berupa pembinaan pada saat setelah lulus
sebagao dokter maupun dokter spesialis. Peran pembinaan dari hulu sangat menentukan
pembinaan selanjutnya di tingkat hilir. KKI alam melakukan pembinaan kompetensi
memerlukan kerjasama dengan pihak stakeholders (pemangku kepentingan) yang
harmonis, seiring, sejalan dan seirama.
Peran IDAI sangat besar dalam proses pembinaan praktik kedokteran baik melalui
KIKAI maupun PP IDAI dan jajarannya serta peran serta anggotanya dalam meningkatkan
kompetensi. Peningkatan kompetensi dapat berupa kompetensi pengetahuan tentang
ilmu kesehatan anak maupun ilmu lain sebagai penunjang dalam melakukan praktik
kedokteran. Salah satu bentuk pembinaan setelah menjadi dokter atau dokter spesialis
adalah adanya lembaga yang mengawasi etik (MKEK) dan disiplin profesi dokter
(MKDKI). Dengan adanya lembaga ini maka proses pembinaan dapat berjalan dengan
baik dan benar.
Daftar pustaka
1. Undang-undang No. 20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran
2. Direktur Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementrian Riset, Teknologi dan Per-
guruan Tinggi. Komunikasi pribadi
3. Permenristekdikti No. 32 tahun 2016 tentang Akreditasi Program Studi dan Perguruan Tinggi.
4. Undang-undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
5. Perkonsil No. 15 tahun 2013 tentang Penerbitan Rekomendasi Pembukaan dan Penutupan
Program Studi Dokter.
35
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Immunization Promotes Healthy Live and
Well Being for All Ages
Sri Rezeki Hadinegoro
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia / RSUPN Dr. CIpto Mangunkusumo
Jakarta
Abstrak
Untuk mencapai Sustainable Development Goals (SDGs), terutama goal yang ketiga yaitu “Good
healthy and well being, ensure healthy lives and promotes well being for all at all ages” diperlukan
kajian tentang tantangan yang ada dan bagaimana mengatasinya. Pada dasarnya tantangan yang
timbul dalam program imunisasi adalah: (1) penjelasan yang kurang tepat mengenai keuntungan dan
kerugian pemberian imunisasi sehingga menyebabkan kontroversi di antara orang tua, (2) pertanyaan
yang pernah dibaca atau didengar tidak terjawab dengan baik, dan (3) kurang mengerti mengenai
manfaat/ nilai positif (the value of immunization) pemberian imunisasi untuk menunjang kehidupan
yang sehat sepanjang hayat.
Dalam pemberian vaksin yang aman dan efektif diperlukan pengetahuan dan informasi yang benar.
Untuk mencapai keberhasilan program imunisasi diperlukan pencapaian kekebalan komunitas dan
pemantauan keamanan vaksin. Hal-hal lain yang perlu diperhatikan adalah upaya-upaya memperkuat
program imunisasi nasional, penambahan vaksin-vaksin baru, komunikasi dan edukasi masyarakat
yang baik, dan penyediaan vaksin secara teratur dan kesinambungan.
WHO menekankan kembali beberapa hal yang berhubungan dengan kerja vaksin dan value of
vaccination. Secara singkat terdapat lima fakta mengenai vaksin yaitu:1). vaksin yang saat ini diberikan
kepada masyarakat adalah aman dan efektif, 2). vaksin berguna mencegah kematian dan kecacatan,
3). vaksin memberikan kekebalan lebih baik daripada infeksi alami, 4). vaksin kombinasi (combined
vaccine) aman dan sangat bermanfaat dan 5) jika vaksinasi dihentikan maka penyakit infeksi yang
berbahaya akan kembali berjangkit di masyarakat dan akan menimbulkan wabah.
Tidak semua kekebalan dapat bertahan seumur hidup, pada suatu saat akan menurun dan selanjutnya
menghilang. Untuk penyakit yang terus menerus mengancam seumur hidup diperlukan imunisasi
booster. Imunisasi booster ini juga diperlukan untuk mencapai kekebalan komunitas yang penting
untuk memutuskan rantai penularan. Anak-anak yang tidak mendapat imunisasi secara lengkap
perlu dilakukan catch-up immunization. Sedangkan pada lansia yang secara umum kekebalan telah
menurun, diperlukan imunisasi untuk mencegah infeksi yang dapat memicu komplikasi yang serius.
Maka tepatlah jika dalam mencapai SDGs, imunisasi sebaiknya diberikan pada semua kelompok umur.
S
elama hampir tiga abad telah diletakkan dasar-dasar imunisasi yang kita kenal
saat ini. Kini telah dikenal secara luas bahwa vaksin adalah ‘metode’ yang efektif,
murah dan aman untuk meningkatkan kesehatan umat manusia. Anak-anak di
semua negara secara rutin telah mendapat imunisasi untuk mencegah penyakit berbahaya
37
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
The “Growing immunization gap”
Keberhasilan Program Imunisasi Nasional menggambarkan keberhasilan imunisasi di
suatu negara. Namun, untuk memasukkan vaksin baru dalam program nasional tidaklah
sederhana. Saat ini immunization gap antara negara sedang berkembang dengan negara
berkembang semakin lebar (Gambar 1). 4
Value of vaccination
Ada beberapa manfaat/ value of vaccination6 , yaitu:
•• Individual value (manfaat individu), misalnya bila seorang anak sudah
mendapat vaksinasi tertentu, maka 80-95% dia akan terhidar dari penyakit
tersebut
•• Community value (manfaat pada masyarakat). Anak yang sudah mendapat imunisasi dia tidak
akan menjadi sumber penularan. Semakin ti n g gi c aku p an i m u n i s as i .
Se ma kin banyak bayi/anak yang mendapat vaksinasi maka s e makin c e p a t
terlihat penurunan angka kesakitan dan kematian.
•• Nilai sosial (social value), kekebalan di masyarakat tersebut akan memutuskan
rantai penularan infeksi dari anak ke anak lain atau kepada orang dewasa.
•• Herd immunity (kekebalan komunitas), 5%-20% dari anak-anak yang tidak
diimunisasi juga akan terlindung, oleh karena transmisi/penularan penyakit terputus,
kekebalan tersebut disebut .
Keuntungan lain, seiring angka kesakitan yang menurun akan menurun
pula biaya pengobatan dan perawatan di rumah sakit, serta mencegah kematian
dan kecacatan yang akan menjadi beban masyarakat seumur hidupnya. Dengan
mencegah seorang anak dari penyakit infeksi yang berbahaya, berarti akan
meningkatkan kualitas hidup anak dan meningkatkan daya produktivitas di
kemudian hari. Perlu diingat bahwa tiga puluh persen dari anak-anak masa kini
adalah generasi yang akan memegang kendali pemerintahan di masa yang akan
datang. 7
39
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Dunia tahun 2017 (World Immunization Week), WHO menekankan kembali beberapa
hal yang berhubungan dengan kerja vaksin. Secara singkat terdapat lima fakta mengenai
vaksin (five facts on vaccine) 8 yaitu,
•• Vaksin yang saat ini diberikan kepada masyarakat adalah aman dan efektif
•• Vaksin berguna mencegah kematian dan kecacatan
•• Vaksin memberikan kekebalan lebih baik daripada infeksi alami
•• Vaksin kombinasi (combined vaccine) aman dan sangat bermanfaat
•• Jika imunisasi distop maka penyakit infeksi yang berbahaya akan kembali berjangkit
di masyarakat dan akan menimbulkan wabah.
Mengingat hal-hal tersebut, maka program imunisasi mendatang harus diprioritaskan
pada (1) memperkuat program imunisasi yang telah ada, (2) mempertimbangkan
penggunaan vaksin baru yang telah tersedia, dan (3) meningkatkan komunikasi dan advokasi
baik terhadap pemegang kebijakan, organinasi profesi, masyarakat, NGO, dan media.
Partners
Policy, Mass
Decision Advocacy Media
Makers
The Public
41
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Gambar 2. Interaksi dalam Advokasi
Keamanan Vaksin
Menurut konvensi Hak Anak meliputi hak atas kelangsungan hidup (survival),
hak untuk berkembang (development), hak atas perlindungan (protection), dan hak
untuk berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat (participation). Pemerintah
bersama orang tua mempunyai kewajiban memelihara kesehatan terbaik demi
tumbuh kembang anak. Semakin banyak bayi dan anak yang mendapat imunisasi,
penyakit yang dicegah tersebut makin jarang ditemukan. Di lain pihak, rasa
ketakutan terhadap efek samping vaksinasi menjadi lebih dominan dibandingkan
dengan ketakutan terhadap penyakitnya. Padahal, akibat dari penyakit jelas lebih
m e n a k u t k a n d a n membahayakan dibandingkan kemungkinan efek samping
imunisasi. 12
Misalnya anak yang terkena penyakit campak akan mengalami demam
tinggi (terjadi pada 90% kasus) sehingga anak dapat mengalami kejang untuk
anak yang mempunyai riwayat kejang demam, dapat mengalami pneumonia
pada 40% kasus atau ensefalitis 2% sebagai komplikasi campak. Sedangkan
akibat imunisasi campak, demam yang mungkin timbul satu minggu setelah
imunisasi terjadi pada sekitar 10% dari anak yang diimunisasi dan dapat diobati
dengan obat penurun panas.
Berbagai jenis vaksin yang beredar di masyarakat sejak sepuluh tahun
terakhir, merupakan vaksin yang aman dan ampuh. Vaksin yang digunakan
di seluruh dunia mempunyai keamanan yang sama karena menggunakan standar
internasional. Di samping itu, vaksin tersebut dapat menimbulkan kekebalan
(antibodi) yang lebih baik dan lebih tinggi kadarnya, sehingga bertahan
dalam jangka waktu yang lebih lama daripada vaksin “tradisional”. Vaksin
adalah mikroorganisme atau toksoid yang diubah sedemikian rupa sehingga
patogenisitas atau toksisitasnya hilang tetapi masih tetap mengandung sifat
antigenisitas. Pada dasarnya vaksin dibagi menjadi vaksin hidup yang dilemahkan
(live attenuated vaccine) dan vaksin mati (killed inactivated vaccine). Vaksin hidup
mempunyai kelebihan karena dapat menghasilkan kadar antibodi yang lebih
tinggi dan pada umumnya bertahan lama. Namun, dapat menimbulkan reaksi
simpang yang berat, seperti infeksi alami. Sedangkan vaksin mati, dapat berupa
mikroorganisme utuh atau komponennya. Komponen yang dipilih adalah
komponen mikroorganisme (antigen) yang bersifat imunogen artinya yang
bertanggung jawab terhadap respons antibodi yang diinginkan. Keuntungan
vaksin mati atau komponen pada umumnya tidak memberikan reaksi simpang
yang berat (reaksi sistemik), namun menyebabkan reaksi simpang lokal (pada
tempat suntikan). Reaksi lokal tersebut disebabkan oleh zat lain yang terdapat
di dalam vaksin seperti adjuvant, preservations, buffer, antibiotik, atau zat pelarut.
Zat-zat tersebut diperlukan untuk meningkatkan titer antibodi yang dibentuk,
43
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
status imun pejamu dan faktor genetik maka untuk individu dengan defisiensi
imun diperlukan panduan imunisasi khusus. 12,13
Kesimpulan
Seluruh anggota organisasi profesi harus bekerja sama untuk memastikan bahwa
pemerintah, para pengambil kebijakan, serta masyarakat bertekad bersama bahwa semua
anak, dimanapun dan bagaimanapun keadaan lingkungannya, harus mendapat akses
terhadap imunisasi untuk menyelamatkan hidup. Dalam mencapai SDGs (terutama goal
ketiga) perlu diupayakan strategi baru dalam upaya imunisasi, yaitu dengan memutuskan
rantai penularan dan mencegah terpapar dari penyakit infeksi yang dapat menyebabkan
kematian dan kecacatan. Oleh karena itu imunisasi dianjurkan diberikan pada berbagai
kelompok umur dari bayi sampai lansia.
Daftar pustaka
1. Andre FE, Booy R, Bock HL, Clemens J, Datta SK, John TJ, et al. Vaccination greatly
reduces disease, disability, death and inequity worldwide. Bulletin WHO. 2008; 86: 81-
160.
2. World Health Organization. Health in the sustainable development goal era. www//WHO.
INT/SDGS, 2015.
3. Pollard AJ. Future program on immunization. Arch Dis Child 2007;92:426-33.
4. Global Alliance for Vaccine and Immunization. The growing Immunization gap. GAVI,
2000.
5. World Health Organization. Vaccine Introduction Guidelines: Adding a vaccine to a national
immunization program: decision and implementation, 2010. WHO/IVB/05.18.
6. Bloom DE, Canning D, Weston. The value of vaccination. World Econ, 2005; 6: 16-39.
7. Ehreth J. The global value of vaccination. Vaccine. 2003;21:596-600.
8. World Health Organization. World Immunization Week 2017. Vaccine work to protect in-
dividual and community.WHO, Geneva 2017.
9. Boelen C. Towards unity for health. WHO, Geneva, 2000
10. MMWR. Waning immunity and susceptibility to disease. MMWR 2011;60:41-9.
11. Bedford H, Elliman D. Concerns about immunization. BMJ 2000; 320: 240-3.
12. WHO SEARO. Country health system profile. www/searo.who.int/listfiles/country_ health_
system_profile.
13. Hadinegoro SR, Ismoedijanto M. The value of vaccination. Dalam: Pedoman imunisasi di
Indonesia. Gde Ranuh, Suyitno H, Hadinegoro SR, Kartasamita CB, Ismoedijanto M, Soed-
jatmiko, penyunting. Edisi kelima. Satgas Imunisasi IDAI, Badan Penerbit IDAI, Jakarta
2014.h.9-23.
Abstract
Indonesia’s human development index (HDI) posessed the 113th rank of 188 countries. The gross national
income was categorized as low, indicating that wealth was beyond our reach. Hence, it is difficult to
compete with global society in equivalent manner. An important aspect of HDI was intelligence of
the human resources. Good human resources should be supported by good nutritional status, for which
iron status has an important role. Iron deficiency may contribute to anemia. The prevalence of anemia
in Indonesia was approximately 21.7%. The figures were higher in the pregnant women, infant, and
school-aged children.
It is acknowledged that 0-2 years old was the golden period of brain development. Iron deficiency
inhibited this crucial process. Consequently, children may have disturbances of cognitive function, motor
function, work capacity and activities. Some risk factors contributing to the anemia include low birth
weight, prematurity, lack of exclusive breastfeeding, inappropriate consumption of iron inhibitor, or
inadequate intake of iron enhancer.
Early recognition of iron deficiency state and its risk factors, we may modify the children’s future. It is
expected that our next generation will have bright intelligence. Through their hands Indonesia will
subsequently be brought to the welfare.
I
ndeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia tahun 2015 berada pada urutan 113
dari 188 negara. IPM meliputi tiga aspek yaitu kesehatan (angka harapan hidup, AHH),
pendidikan (lama menempuh pendidikan), dan kesejahteraan (pendapatan per kapita).
Dibandingkan tahun 1990, pada tahun 2015 Indonesia mengalami peningkatan IPM
sebesar 30,5% (Tabel 1). Indonesia termasuk ke dalam kelompok negara berkembang tahap
menengah yang setara dengan negara-negara di Asia Selatan. Diantara negara ASEAN,
Indonesia berada di bawah Singapura, Brunei, Malaysia dan Thailand (Gambar 1).1
United Nation Development Programme (UNDP) tahun 2015 menunjukkan bahwa
AHH tertinggi yaitu umur 84 tahun dimiliki oleh Hongkong.1 Sementara itu beberapa
provinsi di Indonesia yang memiliki AHH tinggi Berdasarkan data Badan Pusat Statistik
Indonesia tahun 2016 adalah Daerah Istimewa Yogyakarta (75 tahun), Kalimantan Timur
(74 tahun), Jawa Tengah (73 tahun), Jakarta dan Jawa Barat (72 tahun). Sedangkan rata-rata
AHH terendah tercatat di Provinsi Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku,
45
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Tabel 1. Komponen Indeks Pembangunan Manusia Indonesia sejak tahun 19901
Angka Hara- Waktu yang diharapkan Waktu menem- Pendapatan Nilai
pan Hidup dalam menempuh pen- puh pendidikan kasar negara per IPM
didikan kapita
1990 63,3 10,1 3,3 4270 0,528
1995 65,0 10,1 4,2 5844 0,564
2000 66,3 10,6 6,7 5243 0,604
2005 67,2 10,9 7,4 6495 0,632
2010 68,1 12,3 7,4 8234 0,662
2011 68,3 12,6 7,5 8607 0,669
2012 68,5 12,9 7,6 9017 0,677
2013 68,7 12,9 7,8 9392 0,682
2014 68,9 12,9 7,9 9703 0,686
2015 69,1 12,9 7,9 10053 0,689
Papua, dan Papua Barat yang merupakan provinsi di Indonesia Timur. Perbedaan AHH
tersebut mencerminkan bahwa belum seluruh masyarakat Indonesia hidup sejahtera.2
Anemia pada anak kurang dari satu tahun masih sangat tinggi. Survei Kesehatan
Rumah Tangga (SKRT) 2001 menunjukkan bahwa 61,3 % bayi usia 0-6 bulan dan
64,8% usia 6-12 bulan mengalami anemia.11 Pada usia 0-6 bulan, kejadian ADB paling
tinggi pada usia 3-4 bulan.12,13
47
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Zat besi dan proses perkembangan otak
Perkembangan otak sudah dimulai sejak dalam kandungan. Sejak usia 22-44 minggu
setelah konsepsi, terjadi perubahan struktural dan fungsional (Gambar 2). Pembentukan
lobus, girus, dan sulkus disertai peningkatan kompleksitas otak dengan pertumbuhan
neuron dan sinaps. Mielinisasi menjadi sangat rentan apabila terjadi kekurangan nutrisi
selama periode ini.14
Kebutuhan zat besi pada janin meningkat selama trimester akhir untuk proses
pembentukan neuron dan metabolisme energi. Konsentrasi besi dalam otak paling tinggi
saat lahir. Kadarnya akan menurun ketika bayi mengalami masa peralihan dari ASI ke
MPASI. Konsentrasi ini akan meningkat lagi untuk proses mielinisasi. Besi berperan
dalam sintesis neurotransmiter monoamin yaitu serotonin dan dopamin.15 Melalui
pembentukan akson dan sinaps, neurotransmiter ini berpengaruh dalam fungsi otak,
pembentukan mood dan perilaku (inhibisi, afek, perhatian, motorik).15,16
ADB menyebabkan gangguan metabolisme pada hippocampus dan korteks prefrontal.
Konsentrasi glutamat pada neuron akan meningkat yang diimbangi dengan penurunan
konsentrasi dopamin. Hal ini menyebabkan dari perubahan kecepatan berpikir
(mielinisasi), perubahan motorik dan afek (neurotransmiter), serta pengenalan memori
(hippocampus).14
Gambar 2. Proses perkembangan otak manusia
17
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, cerdas adalah tajam pikiran atau sempurna
perkembangan akal budinya atau sempurna pertumbuhan tubuhnya.18 Salah satu aspek
dari akal budi adalah fungsi kognitif.15 Anak dengan defisiensi besi kronis memiliki skor
mental dan fungsi motorik lebih rendah.19 Anak menjadi lebih penakut, menarik diri,
tegang, tidak peka, kurang aktif, dan tidak bahagia.20 Selanjutnya, anak akan berisiko
mengalami gangguan perkembangan jangka panjang.16
49
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Tabel 3. Kandungan besi pada MPASI22
Makanan Kandungan besi (mg) Satuan
Susu 0,5-1,5 Liter
Telur 1,2 Butir
Sereal (fortifikasi) 3,0-5,0 Ons
Sayuran (amilum)
Kuning 0,1-0,3 Ons
Hijau 0,3-0,4 Ons
Daging (berserat)
Sapi, domba, hati 0,4-2,0 Ons
Buah (berserat) 0,2-0,4 Ons
Penyerapan zat besi dapat ditingkatkan melalui sediaan besi heme (daging, unggas,
ikan, makanan laut); asam askorbat atau vitamin C (buah, jus, kentang, sayuran hijau,
kubis, kol); dan makanan yang difermentasi termasuk kecap. Sementara itu, komponen
yang dapat menghambat penyerapan besi adalah fitat (serealia, tepung, kacang-kacangan);
inositol; tanin (teh, kopi, coklat, produk herbal, rempah, beberapa sayuran); serta kalsium
pada susu dan produknya.8
Pola konsumsi enhancer dan inhibitor penyerapan zat besi yang tidak seimbang pada
anak di Indonesia merupakan salah satu faktor risiko utama. Anak dengan konsumsi
vitamin C di bawah angka kecukupan gizi (AKG) terbukti berkaitan dengan kejadian
anemia.28 Selain itu kebiasaan minum teh sudah menjadi budaya. Dalam teh terdapat
tanin-polifenol yang mengikat mineral besi (termasuk seng dan kalsium) sehingga
penyerapan zat besi berkurang.29 Sebuah penelitian di Denpasar menunjukkan bahwa
proporsi anak yang terbiasa mengkonsumsi teh setiap hari ternyata mengalami anemia
defisiensi besi.30
Faktor risiko anemia lain yang tidak boleh dilupakan adalah manifestasi parasit. Infeksi
parasit yang disebabkan terutama oleh cacing tambang dan cacing gelang berhubungan
signifikan dengan kejadian anemia.31 WHO merekomendasikan tindakan pencegahan
dua kali setiap tahun untuk negara dengan prevalensi lebih dari 20% termasuk Indonesia,
dilakukan.32
Diagnosis ADB
Defisiensi besi terjadi melalui tiga tahapan. Pertama adalah penurunan cadangan besi di
jaringan tanpa adanya perubahan hematokrit atau besi serum. Pada saat ini, kadar feritin
serum terdeteksi rendah. Selanjutnya terjadi eritropoiesis disertai defisit besi. Cadangan
besi makrofag pada tahap ini benar-benar habis. Kadar besi serum akan menurun dan
total iron-binding capacity (TIBC) meningkat tanpa disertai perubahan hematokrit.
Eritropoiesis terhambat akibat kekurangan besi dan peningkatan reseptor transferin serum.
Tahap terakhir adalah anemia defisiensi besi. Eritrosit menjadi mikrositik hipokromik.
51
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Peningkatan Hb 1 g/dl setelah 1 bulan terapi, dapat digunakan untuk menegakkan
defisiensi besi.33
Terapi ADB
Prinsip utama terapi ADB adalah termasuk mendiagnosis, mencari penyebab anemia dan
mengatasi penyebab, mengganti defisiensi, meningkatkan nutrisi dan mengedukasi pasien
dan keluarga.
Pemberian terapi besi oral bertujuan untuk mengoreksi kadar Hb dan mengganti
cadangan besi tubuh. Dosis yang digunakan adalah 4-6 mg/KgBB/hari besi elemental
diberikan tiga kali sehari selama 10-12 minggu sehingga dapat mengembalikan cadangan
besi tubuh dan serum ferritin kembali normal.42 Efek samping yang dapat terjadi berupa
konstipasi, diare, mual dan muntah karena rasa logam, serta feses yang berwarna gelap.22
Pemberian secara parenteral hanya diberikan jika pemberian secara oral tidak dapat
ditoleransi, anemia harus dikoreksi cepat, dan gangguan penyerapan, contoh celiac disease
atau inflammatory bowel disease. Efek samping yang ditimbulkan berupa reaksi alergi,
anafilaksis, dan hipotensi.43
Penting untuk mengetahui etiologi defisiensi zat besi untuk mencegah kegagalan
terapi dan kambuhnya anemia setelah pengobatan dihentikan, terutama di usia anak-anak
yang lebih tua yang cenderung memiliki ADB sekunder. Pengobatan tersebut meliputi
penanganan kecacingan, giardiasis, perdarahan kronis dari lokasi manapun, dan infeksi
berulang harus diobati.43
Penutup
Anemia defisiensi besi sangat berperan dalam proses perkembangan otak anak. Jika
dibiarkan begitu saja, maka kualitas manusia Indonesia tidak akan bisa bersaing dengan
masyrakat global. Anemia defisiensi besi merupakan anemia yang paling mudah untuk
dicegah. Program pencegahan harus ditinjau apakah sudah terlaksana dengan baik dan
diperlukan partisipasi dari masyarakat untuk meningkatkan pengetahuannya tentang
pencegahan ADB.
53
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Daftar pustaka
1. United Nations Development Programme. Indonesia [Internet]. Briefing note for countries
on the 2016 Human Development Report. New York; 2016.
2. Kementerian Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia 2015. 2016. 403 p.
3. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia Nomor 3 tahun 2017. Jakarta; 2017.
4. Organisation for Economic Co-operation and Development. PISA 2015 Results in Focus.
PISA 2015 Results in Focus. 2016.
5. World Bank. World Development Indicators [Internet]. Washington DC; 2017.
6. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia 2015. Jakarta; 2016.
7. SATGAS ADEBE IDAI. Bersama untuk Anak Indonesia Bebas Anemia Defisiensi Besi.
Buletin IDAI. 2016;4–5.
8. World Health Organization. Iron Deficiency Anaemia: Assessment, Prevention and Control
[Internet]. Iron Deficiency Anaemia. New York; 2001.
9. World Health Organization. The Global Prevalence of Anaemia in 2011 [Internet]. WHO
Library Cataloguing-in-Publication Data. Geneva; 2015.
10. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS)
2013. Laporan Nasional 2013. 2013.
11. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Suplementasi Besi untuk Anak. 1st ed. Gatot D, Idjradinata
P, Abdulsalam M, Lubis B, Soedjatmiko, Hendarto A, et al., editors. Rekomendasi Ikatan
Dokter Anak Indonesia. Jak: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011. 1-23 p.
12. Krishnaswamy S, Bhattarai D, Bharti B, Bhatia P, Das R, Bansal D. Iron Deficiency and Iron
Deficiency Anemia in 3-5 months-old, Breastfed Healthy Infants. Indian J Pediatr. 2017;1–4.
13. Ringoringo HP, Windiastuti E. Profil Parameter Hematologik dan Anemia Defisiensi Zat
Besi Bayi Berumur 0-6 Bulan di RSUD Banjarbaru. Sari Pediatr. 2006;7(4):214–6.
14. Georgieff MK. Nutrition and the Developing Brain. Am J Clin Nutr. 2007;85:614S–620S.
15. Beard J. Iron Deficiency Alters Brain Development and Functioning. J Nutr.
2003;1468S–1472S.
16. Lozoff B, Jimenez E, Wolf AW. Long-Term Development Outcome of Infants with Iron
Deficiency. N Engl J Med. 1991;325:687–94.
17. Casey BJ, Tottenham N, Liston C, Durston S. Imaging the developing brain: What have we
learned about cognitive development? Trends Cogn Sci. 2005;9(3):104–10.
18. Pusat Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Vol. 1. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama; 2008. 103 p.
19. Canadian Pediatric Society. Iron needs of babies and children. Paediatr Child Heal.
2007;12(4):333–6.
20. Lozoff B, Wolf AW, Urrutia JJ, Viteri FE. Abnormal behavior and low developmental test
scores in iron-deficient anemic infants. JDBP. 1985;6(2):69–75.
21. Yang W, Li X, Li Y, Zhang S, Liu L, Wang X, et al. Anemia, malnutrition and their correla-
tions with socio-demographic characteristics and feeding practices among infants aged 0–18
months in rural areas of Shaanxi province in northwestern China: a cross-sectional study.
BMC Public Health [Internet]. 2012;12(1127):1–7.
55
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
42. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Anemia defisiensi besi. In: Pudjiadi AH, Hegar B, Handryas-
tuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED, editors. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan
Dokter Anak Indonesia. 1st ed. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2009. p. 10–3.
43. Ozdemir N. Iron deficiency anemia from diagnosis to treatment in children. Türk Pediatr
Arşivi [Internet]. 2015;50(1):11–9.
Abstract
Global civilization widely develops but diarrhea stays as a problem. World Health Assembly (WHA)
defines that the priority of the problem today is non-communicable diseases (NCDs). Although NCDs
have become burdens of mortality and morbidity in recent years, the communicable disease specifically
diarrhea still takes a part in the children morbidity. Why diarrhea in children still lingers? Diarrhea and
NCDs are not comparable because both have different denominators. The stratified disability-adjusted
life-years (DALYs) analysis based on age show that diarrhea is still prevalent on pre-school aged children.
On the other hand, NCDs show higher prevalence on adults and tend to affect younger people. Even
infants and toddlers are affected by risk factors such as hypertension and obesity. Thus, if diarrhea is not
yet completely overcome, it will probably be double burdens on children later or even now.
Sanitation and hygiene are not adequate to overcome diarrhea problems, because rotavirus – the reason
of most diarrhea incidences on children under five years old – is pathogen which cannot be overcome
by LINTAS Diare, sanitation and hygiene. The most recent breakthrough to control diarrhea is the
invention of rotavirus vaccine. Sustainable surveillance will make it possible to identify another pathogen
contributing to diarrhea. Such condition opens opportunity for researchers and clinicians to contribute
new findings to be implemented for improving the children’s quality of life. Such research requires the
researchers to bear the moral philosophy and social responsibility.
M
erupakan suatu kehormatan mendapat tugas PP IDAI untuk menyampaikan
tulisan ilmiah bertema “Implementing Advances in Pediatrics for Better Child
Health” dalam pertemuan akbar ini. Untuk dapat menjelaskan tema yang telah
ditentukan tersebut, saya akan menyampaikan perkembangan diare yang telah diteliti sejak
lebih dari 5 dekade, tepat 10 tahun setelah ditemukannya terobosan besar dunia yaitu
Upaya Rehidrasi Oral (URO) yang diikuti dengan zinc. Kedua penemuan besar tersebut
terbukti secara bermakna dapat menurunkan kematian anak akibat diare. Kesempatan
ini merupakan saat yang tepat untuk berbagi keprihatinan akan beban mortalitas dan
morbiditas anak karena penyakit diare. Lesson learnt dari temuan masa lalu, sekarang,
dan yang akan datang beserta hasil implementasinya merupakan langkah-langkah strategis
untuk menuntaskan permasalahan diare yang tidak kunjung usai. Inilah salah satu bentuk
tanggung jawab moral dan sosial sebagai peneliti sekaligus pelayan kesehatan dan pendidik
yang menyatu/embedded dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi.
57
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Peradaban dunia sudah maju tetapi diare masih tetap menjadi masalah. World Health
Assembly (WHA) menentukan prioritas masalah saat ini adalah non-communicable diseases
(NCDs) karena menimbulkan beban mortalitas maupun morbiditas yang tinggi. Akan
tetapi, communicable diseases terutama diare masih termasuk ke dalam kelompok penyebab
kematian terbesar pada anak.1 Oleh karena itu, diare tidak boleh dilupakan dan semua
dokter anak harus kompeten dalam mencegah dan mengobati diare secara paripurna.
Upaya pencegahan dan pengobatan harus selalu berbasis bukti yang berlandaskan temuan
penelitian ilmiah terkini. Terkait hal ini, timbul pertanyaan: sumbangan temuan penelitian
diare apakah yang berperan terhadap pencapaian target SDGs melalui MDGs?
Untuk memahami pertanyaan di atas, perkenankan saya memulai dari peran diare
dalam mencapai SDGs 2030, yang tentunya sudah melalui Millenium Development Goals
(MDGs) tahun 2015.2 Salah satu poin yang disepakati sejak September 2015 adalah
mengeliminasi kematian bayi dan balita.3 Bagaimana kondisi di Indonesia? Angka kematian
bayi baru lahir tahun 2015 sudah mencapai 13,5 per 1.000 kelahiran hidup sementara
sasaran SDGs setidaknya 12 pada tahun 2030. Sedangkan angka kematian balita Indonesia
adalah 27,2 per 1.000 kelahiran hidup dengan target yang ingin dicapai adalah 25 pada
tahun 2030.4 Setelah sasaran MDGs dalam mengurangi angka kematian balita bisa diraih,
penelitian diare apa lagi yang masih bisa disumbangkan dengan melihat evaluasi mulai
dari perencanaan sampai dengan penerapannya? Melihat pencapaian tersebut, bukankah
kita optimis bahwa sasaran SDGs akan dapat dicapai sebelum tahun 2030?
Meskipun penurunan mortalitas telah berhasil dicapai, namun morbiditas diare
masih tinggi.1 Bagaimanakah nasib anak-anak yang pernah diare dan tidak meninggal
tetapi mengalami malnutrisi, defisiensi zinc, dan berisiko mengalami diare berulang?
Parameter morbiditas diare pada anak yang dapat diacu antara lain health life expectancy
(HALE), disability-adjusted life-years (DALYs), dan socio-demographic index (SDI).1,5 HALE
merupakan rerata usia yang diharapkan dalam kondisi sehat walafiat hingga akhirnya sakit
atau cedera. DALYs menggambarkan besarnya kesenjangan antara status kesehatan saat ini
dengan keadaan sehat yang ideal di mana seluruh populasi hidup hingga lanjut usia, bebas
dari penyakit dan kecacatan. Parameter terakhir yaitu SDI menunjukkan kesejahteraan
suatu negara. Kesejahteraan berdasarkan SDI berkorelasi positif dengan peningkatan
HALE dan disabilitas akibat penyakit atau cedera.6
Suatu studi epidemiologi global memaparkan bahwa HALE meningkat sebesar 2,9-
3,5 tahun sejak tahun 1990 hingga 2015. Fenomena serupa terjadi di Indonesia sejak tahun
2010 dimana terjadi peningkatan sebesar 1,6-2,6 tahun. DALYs akibat communicable
diseases semakin menurun digantikan oleh DALYs akibat NCDs. Pada awalnya di semua
usia, diare menempati peringkat ketiga communicable diseases yang menimbulkan
mortalitas dan morbiditas. Selama 10 tahun terakhir, DALYs akibat diare dapat direduksi
hingga lebih dari 20%. Dengan meningkatnya HALE, maka anak-anak ini rentan
berkembang menjadi generasi penerus yang tidak produktif. Perlu diingat bahwa terdapat
bukti yang menunjukkan ancaman quality of life (QoL) pada anak. Studi kohort mengenai
QoL anak dengan riwayat diare yang dilakukan oleh Guerrant et al. membuktikan adanya
59
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
rotavirus adalah penyebab tertinggi diare cair akut. Dengan demikian praktik pemberian
antibiotik pada setiap diare selama periode itu tidaklah rasional.
Sebagai kelanjutannya, pada tahun 2006 atas inisiatif WHO para peneliti rotavirus di
Asia melakukan surveilans rotavirus dengan menggunakan protokol generik WHO, yang
kemudian disebut Asian Rotavirus Surveillance Network (ARSN). Protokol ini digunakan
diseluruh dunia. Indonesia, membentuk IRSN (Indonesian Rotavirus Surveillance Network)
yang melibatkan 6 fakultas kedokteran (Unsri, UI, Unpad, UGM, Udayana, Unram)
yang terus bertambah sampai sekarang. Saat itu ditemukan 60% rotavirus positif pada
feses. Angka ini terhitung tinggi diantara negera-negara anggota ARSN. Surveilans yang
sejak saat itu sampai sekarang dilakukan merupakan penelitian yang sangat diperlukan
untuk menemukan burden of disease, evolusi strain virus, perencanaan, pengembangan
vaksin, implementasi vaksin, vaccine acceptability study, cost analysis, serta monitor dampak
pemberian vaksin. Setiap temuan baru etiologi diare, pusat kajian dalam surveilansnya
dilibatkan dalam penelitian. Kajian tersebut berupa pendidikan sumber daya manusia dan
sarana laboratorium. Skema inilah yang saat ini dikenal dengan penelitian translasional.12
Penelitian translasional berarti pengalihan penelitian ke dalam praktik dan
sebenarnya bukanlah hal baru. Dalam konteks tersebut peneliti memastikan pengobatan
baru dan pengetahuan yang didapatkan dari penelitian benar-benar mencapai sasaran
dan diimplementasikan secara tepat pada target pasien atau populasi.15 Selama ini
banyak sekali penelitian yang tidak mencapai sasaran sehingga tidak bisa dirasakan
secara langsung oleh masyarakat ketika menerima pelayanan kesehatan. Pemahaman
bahwa penelitian selalu dimulai dari bench (laboratorium) to bedside (layanan kesehatan)
nampaknya membuat klinisi menunggu temuan para ilmuwan untuk diterapkan dalam
praktik sehari-hari. Kenyataannya penelitian translasional sangat mungkin diinisiasi oleh
para klinisi karena merekalah yang selalu berhadapan dengan pasien. Dengan demikian
klinisi tentunya menemukan permasalahan yang menimbulkan pertanyaan. Pertanyaan
inilah yang berusaha dijawab melalui penelitian ilmiah. Perlu diakui betapa sulitnya
menerjemahkan suatu penelitian ilmiah menjadi sesuatu yang dapat diimplementasikan
dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat luas. Pengalaman meneliti dan melayani
pasien diare selama hampir 5 dekade menyadarkan kami bahwa butuh waktu yang tidak
sebentar dalam melakukan penelitian translasional. Setidaknya terdapat tiga hambatan
dalam penelitian translasional yaitu perbedaan budaya antar mitra (akademisi, industri,
pemerintah, masyarakat), kurangnya sumber daya, dan rumitnya regulasi.15 Saya garis
bawahi permasalahan terakhir ini sebagai hambatan terbesar, karena berbagai faktor yang
kompleks. Apakah keadaan ini tidak bisa diatasi? Jawaban atas hal tersebut merupakan
tantangan bagi kita.
Dalam kesempatan singkat ini, akan diangkat beberapa penelitian terkait upaya
memecahkan masalah diare. Di Indonesia, URO (oralit) diperkenalkan pada KONIKA I
tahun 1968 oleh Prof.Sulianti Saroso yang kala itu pernah menjabat direktur ICDDR,B
(International Centre for Diarrheal Disease Research, Bangladesh), Dhaka.12 Oralit merupakan
temuan besar dunia yang efektif dalam menurunkan angka kematian akibat diare pada
61
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
mikroorganisme ini. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan ditanggapi oleh WHO dan
Global Alliance of Vaccines and Immunization (GAVI) dalam bentuk Rotavirus Surveillance
Network. Dari surveilans tersebut, diperoleh data bahwa Asia merupakan daerah endemis
rotavirus dengan mortalitas yang tinggi.25 Di taraf nasional, Indonesia membentuk IRSN
yang berhasil mengumpulkan data rotavirus sejak tahun 1978 hingga 2007.12,26 Berbagai
strain yang berhasil diidentifikasi digunakan sebagai landasan dalam pengembangan
vaksin rotavirus.
Penemuan mutakhir vaksin rotavirus telah diimplementasikan di berbagai setting
negara. Di negara maju, daya guna vaksin cukup tinggi sebesar 85% sedangkan di negara
berkembang baru mencapai 51%. Kesenjangan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor
mulai dari karakteristik virus itu sendiri, host immunity, karakteristik vaksin, interaksi
kandungan vaksin dengan host, distribusi vaksin, bahkan kebijakan yang berlaku di setiap
negara.27,28RotaTeq(R Kondisi serupa terjadi di Indonesia disertai kurangnya kesadaran
masyarakat akan pentingnya vaksin dan anggapan klinisi bahwa vaksin rotavirus ‘masih
dalam uji coba’ atau belum masuk National Immunization Programme (NIP) sehingga
enggan untuk merekomendasikan kepada masyarakat. Perilaku ini sangat disayangkan
dan cukup merugikan bagi kesehatan komunitas. Surveilans yang selama ini berjalan
menunjukkan bahwa angka kejadian diare akibat rotavirus berkurang setelah penggunaan
vaksin. Fenomena ini sangat penting dalam pemutusan rantai transmisi rotavirus yang
dikenal sebagai herd immunity yang berarti bila suatu vaksin diberikan kepada seseorang,
maka sekelompok orang disekitarnya akan mendapat kekebalan.29–31 Hasil penelitian
tersebut menandakan peran penting peneliti sekaligus klinisi bekerja sama dengan
pemangku kebijakan dalam menerapkan vaksin sebagai salah satu upaya mereduksi
morbiditas diare.32
Saat ini tengah dikembangkan vaksin rotavirus yang lisensinya diberikan dari WHO
pada PT. Biofarma Indonesia agar dapat masuk ke dalam NIP.12 Dengan terobosan ini,
diharapkan masyarakat secara luas dapat menjangkau dan menerima manfaat vaksin demi
kesehatan anak Indonesia yang lebih baik.
Setelah penemuan rotavirus, apakah penelitian diare terhenti di titik ini? Tentu
saja tidak. Dengan surveilans yang berkesinambungan dari waktu ke waktu, sangat
memungkinkan akan diidentifikasi patogen lain yang berkontribusi terhadap diare. Studi
di India menemukan bahwa lebih dari 90% diare nonbakterial disebabkan oleh norovirus
(NoVs). Saat ini NoVs merupakan patogen gastroenteritis yang endemis di segala usia.33 Di
Indonesia, penelitian serupa sudah mulai dilakukan oleh FK UNAIR dan UGM. Selain
NoVs, patogen penyebab lain sudah mulai kami teliti dengan melibatkan tempat penelitian
di FK lain, termasuk berbagai RS di Papua. Gambaran ini membuka kesempatan bagi kita
sebagai peneliti sekaligus klinisi untuk menyumbangkan temuan-temuan baru yang dapat
digunakan untuk memperbaiki kualitas hidup anak, terutama masyarakat yang belum
mampu dan tinggal di daerah pelosok.
Penutup
Demikian pemaparan ini kami sampaikan, dalam rangka menjawab keprihatinan
IDAI akan penuntasan permasalahan anak khususnya di bidang diare. Pengalaman
kami sebagai peneliti yang juga mengemban misi Tri Dharma Perguruan Tinggi dalam
mengimplementasikan penelitian-penelitian yang telah, sedang, maupun direncanakan
ternyata berkontribusi terhadap pencapaian target MDGs. Selanjutnya diperlukan upaya
untuk melanjutkan prestasi tersebut hingga tercapainya SDGs dalam rangka menekan
angka kematian balita. Lebih dari itu, seharusnya penurunan mortalitas diimbangi
dengan peningkatan kualitas hidup anak sehingga dapat mewujudkan generasi penerus
yang unggul dalam kesehatan, kecerdasan, dan perilaku.
Inilah tugas peneliti IDAI untuk mempelajari, mengembangkan, merencanakan,
dan mengimplementasikan penelitiannya masing-masing dengan mempertimbangkan
tanggung jawab moral dan sosial, dan dilaksanakan secara etis. Kami optimis bahwa
penelitian terkait hal tersebut sudah dilakukan namun belum banyak dipublikasikan,
63
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
baik secara nasional maupun internasional. Semoga penyampaian ini dapat memacu kita
semua untuk dapat melakukan penelitian dan publikasi khususnya internasional sehingga
dapat melengkapi khasanah ilmu pengetahuan. Perlu diingat bahwa penelitian terkait
pengembangan teknologi seperti obat dan vaksin seharusnya bersifat translasional demi
kepentingan masyarakat dengan dikawal etika moral penelitian.
Daftar pustaka
1. Kassebaum NJ, Arora M, Barber RM, Bhutta ZA, Brown J, Carter A, et al. Global, regional,
and national disability-adjusted life-years (DALYs) for 315 diseases and injuries and healthy
life expectancy (HALE), 1990–2015: a systematic analysis for the Global Burden of Disease
Study 2015. Lancet. 2016;1603–58.
2. World Health Organization. Goal 3: Sustainable Development Knowledge Platform [Inter-
net]. Sustainable Development Knowledge Platform. 2015.
3. unicef; World Health Organisation; The world Bank; United Nations. Levels & Trends in
Child Mortality Report 2015. 2015;8–9.
4. Kementerian Kesehatan. Profil Kesehatan Indonesia 2014 [Internet]. Vol. 51, Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia. 2015. 40 p.
5. Lundine J, Hadikusumah RY, & Sudrajat T. Indonesia’s progress on the 2015 Millenium
Development Goals. Indonesia 360. 2013;54–66.
6. World Health Organization. The World Health Report 2004: changing history [Internet].
Vol. 95, World Health Organization. Geneva; 2004.
7. Guerrant DI, Moore SF, Lima AA, Patrick PD, Schorling JB, & Guerrant RL. Association of
early childhood diarrhoea and cryptosporidiosis with impaired physical fitness and cognitive
function four-seven years later in a poor urban community in northeast Brazil. Am J Trop
Med Hyg. 1999;707–13.
8. Moore SR, Lima AA, Conaway MR, Schorling JB, Soares AM, & Guerrant RL. Early child-
hood diarrhoea and helminthiases associate with long-term linear growth faltering. Int J Ep-
idemiol. 2001;1457–64.
9. Bureau of Exceptional Education and Student Services. Nonverbal Tests of Intelligence. Flor-
ida Deparemtne of Education Technical Assisstance Paper. Tallahassee; 2005.
10. Niehaus MD, Moore SR, Patrick PD, Derr LL, Lorntz B, Lima AA, et al. Early childhood
diarrhea is associated with diminished cognitive function 4 to 7 years later in children in a
northeast Brazilian shantytown. Am J Trop Med Hyg. 2002;590–3.
11. Shah SS, Dave BR, Sharma AA, & Desai AR. Prevalence of hypertension and association of
obesity with hypertension in school ggoing children of Surat City, Western India. Online J
Heal Allied Sci. 2013;12–4.
12. Soenarto Y. Penelitian translasional dan kebijakan berbasis bukti: diare pada anak sebagai studi
kasus. Rapat Terbuka Majelis Guru Besar. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada; 2008. p. 34.
65
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
33. Ramani S, & Kang G. Viruses causing childhood diarrhoea in the developing world. Curr
Opin Infect Dis [Internet]. 2009;477–82.
34. Lacey H. Is Science Value Free?: Values and Scientific Understanding. 1st ed. London: Rout-
ledge; 1999. 304 p.
35. Gardner H. The ethical responsibilities of scientists. Cambridge; 2000.
36. Lucas S, & Communications E. The responsibility of scientists to society. Effective Commu-
nications. 1833.
37. Hughes KJ, & Batten L. The Development of Social and Moral Responsibility in Terms of
Respect for the Rights of Others. J Ilm Peuradeun. 2016;147–60.
38. Bird SJ. Socially responsible science is more than “good science”. J Microbiol Biol Educ [In-
ternet]. 2014;169–72.
P
enyakit kardiovaskular (PKV) khususnya penyakit jantung koroner (PJK) akibat
proses aterosklerosis saat ini merupakan penyebab kematian utama baik di negara
maju maupun negara sedang berkembang. PKV menyebabkan sekitar 17 juta
kematian per tahun yang merupakan 31% dari seluruh angka kematian global.(1) Meskipun
aterosklerosis secara klinis bermanifestasi pada usia dewasa atau menengah, namun
telah diketahui secara luas bahwa terjadinya aterosklerosis melalui suatu perkembangan
proses yang panjang dimulai sejak awal kehidupan sampai usia anak dan remaja.(2,3) Pada
sebagian besar anak, perubahan vaskular yang merupakan awal ateroskelrosis sangat
ringan atau minimal yang dapat dikurangi atau diminimalisasi dengan gaya hidup sehat
(‘healthy lifestyle’) atau diet yang sehat. Namun demikian, pada beberapa kelompok anak
proses tersebut dapat terjadi lebih cepat oleh karena terdapat faktor risiko (‘cardiovascular
risk factors’) atau penyakit-penyakit tertentu. Untuk itu, identifikasi anak-anak yang
mempunyai faktor risko menjadi sangat penting agar intervensi dini untuk menghambat
berlanjutnya proses aterosklerosis guna mencegah penyakit kardiovaskular dikemudian
hari seperti infark miokard, stroke dan penyakit arteri perifer.
67
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Aterosklerosis sejak usia anak (childhood) dan remaja
(adolescents)
Proses awal aterosklerosis yang dimulai sejak usia anak berupa akumulasi fatty streak-lipid-
engorged macrophag (foam cells) dan T-limfosit pada tunika intima pembuluh darah arteri.
Kemudian dapat berkembang dengan terbentuknya fatty streak atau bisa terjadi regresi.
Pada bbeberapa individu akumulasi lipid makin bertambah seiring dengan pertambahan
waktu yang diselimuti oleh fibromuskular dan terbentuk fibrous plaque. Setelah itu semakin
lama fibrous plaque makin bertambah besar sampai terbentuk kalsifikasi, perdarahan atau
ruptur dan trombosis.
Tahapan proses aterosklerosis sesuai pertambahan umur,sampai terjadi manifestasi
dapat terlihat pada diagram berikut ini (Gambar 1). 4
Terlihat bahwa pada usia dekade ke 3-4 sudah mulai terjadi penebalan tunika
intima media arteri dengan manifestasi disfungsi endotel (endothelial dysfunction) yang
sudah dapat dideteksi dengan pemeriksaan fungsi vaskular berupa flow mediated dilation
(FMD) atau dengan pemeriksaan struktur vaskular berupa ketebalan tunika intima media
(cIMT=carotid intima media thickness).
Terdapat beberapa bukti (evidence) bahwa aterosklerosis telah terjadi sejak usia muda.
Identifikasi faktor risiko kardiovaskular pada usia muda sangat penting dilakukan untuk
mencegah komplikasi kardiovaskular pada usia dewasa. Aterosklerosis yang terjadi sejak
usia muda terbukti dari hasil studi autopsi terhadap tentara AS yang terbunuh pada perang
Korea, bahwa 70% pada individu yang berumur rata-rata 22 tahun telah mengalami
aterosklerosis arteri koroner.5
69
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
diet, in-aktivitas fisis. Selain itu ada faktor risiko yang “emerging“ yang meliputi sindrom
metabolik, petanda inflamasi dan faktor-faktor perinatal. Secara tradisional faktor risiko
kardiovaskular dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok yakni,: 1) Faktor risiko
yang dapat diubah (modifiable/changeable) yang disebut juga dengan faktor risiko
tradisional (traditional risk factors), meliputi hiperlipidemia, obesitas/kurang aktivitas,
diabetes mellitus, merokok dan hipertensi, 2) Faktor risiko intrinsik (intrinsic risk
factors) meliputi predisposisi genetik, faktor lingkungan dan peningkatan susceptibility,
3) Faktor risiko yang baru muncul (“emerging”) meliputi inflamasi/infeksi sistemik,
sitokines, CRP dan homosistein. Faktor risiko yang terdapat pada seorang individu akan
menyebabkan disfungsi endotel vaskular yang dapat menimbulkan penurunan produksi
NO, peningkatan respons inflamasi endotel dan hiperplasia intima yang pada akhirnya
terbentuk lesi aterosklerotik.
Gaya hidup (lifestyle) dan kebiasaan makan merupakan faktor risiko yang cukup
penting dalam pencegahan progresivitas penyakit akibat aterosklerosis. Hal ini berarti
bahwa gaya hidup yang sehat dan kebiasaan makanan sehat harus merupakan bagian dari
program pencegahan penyakit kardiovaskular pada anak dan remaja.7 Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa derajat aterosklerosis pada anak dan remaja mempunyai korelasi
yang kuat dengan faktor risiko yang ditemukan pada masa dewasa. Dengan demikian
apabila faktor-faktor risiko ini tidak mendapat perhatian kemungkinan besar nanti akan
terjadi peningkatan kejadian penyakit kardiovaskular pada remaja sekarang ini ketika
mereka memasuki usia dewasa. Oleh karena itu eliminasi dan mengurangi faktor risiko
kardiovaskular harus segera dilakukan pada anak dan remaja ataupun kelompok umur
lainnya.
Gaya hidup (lifestyle) Hipertensi
Sidentary Faktor genetik
Faktor risiko
kardiovaskular
Obesitas
Sindrom metabolik
Diet aterogenik
Dislipidemia
Gambar 2. Faktor yang berpengaruh terhadap faktor risiko kardiovaskular pada anak dan remaja. Faktor
gaya hidup, dislipidemia, obesitas dan diet merupakan faktor penting selain faktor genetik
Nutrisi
Nutrisi yang baik sejak masa kelahiran sangat bermanfaat untuk kesehatan kardiovaskular
khususnya utuk mencegah obesitas , dislipiemia dan hipertensi serta resistensi insulin/
diabetes. Pemberian ASI (breastfeeding) dapat menurunkan risiko terjadinya obesitas dan
dislipidemia. Oleh karena itu sejalan dengan rekomendasi WHO, AAP menganjurkan
untuk pemberian ASI eksklusif sampai 6 bulan kemudian dapat diteruskan sampai
umur 12 bulan. Penelitian terhadap anak remaja yang berumur 15-18 tahun di Jakarta
menunjukkan bahwa ketebalan tunika intima media (KTIM) yang mendapat ASI
eksklusif 4-6 bulan, lebih rendah dibandingkan kelompok yang mendapat ASI dalam
periode singkat atau terlalu lama.11 Dengan demikian terbukti bahwa pemberian ASI
eksklusif mengurangi timbulnya salah satu faktor risiko aterosklerosis. Selain itu terdapat
kecenderungan rendahnya kadar kolesterol total trigliserida pada subyek dengan durasi
ASI 4-6 bulan dibandingkan dengan subyek kelompok durasi ASI yang lebih singkat.
Sesuai dengan kebutuhan berdasarkan gender dan kebutuhan nutrisi untuk pertumbuhan
total lemak/fat dibatasi tidak lebih dari 30% total kebutuhan kalori dengan lemak jenuh
(saturated) 7-10% total kalori dan kolesterol kurang dari 300 mg/hari. Namun demikian
71
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
pembatasan lemak tidak dianjurkan pada bayi kurang dari 12 bulan, kecuali ada indikasi
medik. Selain itu anak sampai remaja dan dewasa muda dianjurkan untuk mengkonsumsi
lebih banyak sayuran dan buah-buahan.
Aktivitas fisis
Meskipun dengan data penelitian yang terbatas pada anak telah dilaporkan
bahwa peningkatan aktivitas fisis dan pengurangan waktu ”sedentary” pada anak remaja
memberikan manfaat dalam menurunkan risiko aterosklerosis dan PKV. Pada studi
STRIP (Special Turku coronary risk factor intervention project for children) di Finlandia
menunjukkan bahwa aktivitas fisis yang rendah pada remaja berhubungan erat dengan
peningkatan KTIM dan penurunan fungsi endotel vaskular (FMD).12 Pada remaja
”sedentary” yang meningkatkan aktivitas fisisnya ternyata progresivirtas KTIM menurun
dibandingkan dengan remaja yang tidak meningkatkan aktivitas fisis. Studi STRIP yang
lain menunjukkan bahwa kelompk remaja yang ”sedentary” mempunyai risiko menderita
sindrom metabolik dibandingkan dengan kelompok subyek yang lebih banyak melakukan
aktivitas fisis.
Dalam suatu penelitian jangka panjang (longitudinal study) cardiovascular risk in young
Finns dengan subyek berumur 3-18 tahun menunjukkan bahwa aktivitas fisis yang kurang
berhubungan erat dengan pecepatan progresivitas ketebalan tunika intima media (KTIM)
setelah 27 tahun pengamatan.13 Dalam beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa
program latihan (exercise) yang meningkatkan kebugaran fisis menyebabkan penurunan
faktor risiko kardiovaskular seperti indeks masa tubuh, tekanan darah dan elastisitas arteri
dan memperbaiki profil lipids.14 ,15
Berdasarkan data yang ada,panel ahli NHBL membuat rekomendasi sebagai berikut:
•• Semua anak > 5 tahun harus mengikuti kegiatan moderate to vigorous activity (MVA)
setidaknya 60 menit perhari. Contoh aktivitas yang moderate adalah jogging, main
baseball. Sementara aktivitas yang vigorous seperti lari, tennis dan sepak bola.
•• Untuk anak-anak yang lebih muda hendaknya orangtua tidak membatasi aktivitas
bermain sepanjang aman dan pada lingkungan yang mendukung.
•• Waktu untuk ”leisure” harus tidak lebih dari 2 jam per hari misalnya duduk di depan
TV atau bermain game.
Pedoman (guidelines) yang telah disusun oleh American Heart Association (AHA)
dapat digunakan oleh dokter spesialis anak sebagai upaya promosi kesehatan pada anak
untuk menghindari risiko penyakit kardiovaskular (lihat Tabel 2 di bawah ini). Beberapa
intervensi harus dilakukan bilamana ditemukan faktor-faktor risiko pada anak dan remaja
baik intervensi farmakologis maupun non-farmakologis.
73
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Tabel 2. Panduan Upaya mengurangi Faktor Risiko Kardiovaskular pada Anak dan Remaja..17
Dislipidemia
Definisi
–– Kolesterol total (TC) >200mg/dL (5,18mmol/L)
–– LDL-C >130 mg/dL (3,36 mmol/L)
–– HDL-C <40-45 mg/dL (1,0 mmol/L)
–– TG >150mg/dL (1,7 mmol/Lpada remaja, >130mg/dL (1,47mmol/L) pada anak yang lebih
muda
Terapi non-farmakologi: Intervensi diet dan meningkatkan aktivitas fisik sekitar 6-12 bulan kemudian
diulangi pemeriksaan LDL
Terapi farmakologi: Jika terapi non-farmakologistidak menurunkankadar kolesterol yang cukup setelah
6-12 bulan, atau jika kadar kolesterol anak atau kadar trigliserida (TG) tinggi, atau lebih obat dapat
diberikan.
Hipertensi
Definisi
–– Hipertensi: >95th percentile
–– Prehipertensi: 90-95th percentile
Terapi non-farmakologi
•• Diet dan peningkatan aktivitas
–– Mengurangi garam dalam makanan
–– Banyak makan buah-buahan dan sayur
–– Evaluasi penyebab sekunder (contoh: penyakit ginjal, koarktasio aorta)
Terapi farmakologis
•• Jika tekanan darah (TD) menetap di atas target yang ditentukan dengan terapi non-farmakologis:
maka pemberian antihipertensi dapat dimulai
•• Untuk anak dengan hipertensi berat/severe (5 mmHg di atas persentil 99) dan mereka dengan
hipertensi menyebabkan kerusakan target organ (misal hipertrofi ventrikel kiri) atau penyakit risiko
tinggi dengan TD di atas persentil 95: maka terapi farmakologis dapat dimulai.
Obesitas / overweight
Definisi
–– Overweight: BMI >85th percentile
–– Obesitas: >95th persentile
Terapi/intervensi
–– Perubahan lifestyles
–– Edukasi nutrisi: diet, follow-up berat badan tiap 2-4 minggu selama 6 bulan
–– Konseling tentang aktivitas
–– Jika BMI meningkat, program penurunan berat badan
–– Penyeimbangan kebutuhan energi untuk pertumbuhan dan perkembangan yang normal
–– Menjaga penambahan beratpada anak yang lebih untuk mencapai BMI yang sehat untuk
pertumbuhan
–– Penurunan berat badan perlahan-lahan (1-2 kg/bulan) pada remaja yang overweightatau pada
setiap overweight anak yang lebih muda atau bagi punya kondisi ko-morbiditas.
75
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Dalam Pedoman terintegrasi tentang kesehatan kardiovaskular NHLBI (National
Heart Lung and Blood Institute) merekomendasikan untuk melakukan uji tapis terhadap
faktor risiko kardiovaskular pada beberapa tingkatan umur anak (Tabel 3).1
Tabel 3: Uji tapis (screening) faktor risiko penyakit kardiovaskular (PKV) pad anak dan remaja sesuai
rekomendasi NHLBI
Uji tapis Rekomendasi NHLBI
Pengukuran tekanan darah setiap tahun pada anak mulai umur 3 ta-
Tekanan darah hun. Target utama pengukuran harus dilakukan pada dengan riwayat
kelainan ginjal/urulogi/jantung atau riwayat dirawat di intensive care
pada usia kurang dari 3 tahun
Uji tapis ecara universal pada umur 9-11 tahun; pengukuran profil
Dislipidemia / abnormal lipid lipid dalam keadaan puasa dan tidak puasa ; target uji tapis berdasar-
kan riwayat keluarga atau keadaan risiko tinggi pada umur 9-11 tahun
Target uji tapis pada umur 9-11 tahunmengikuti pedoman American
Diabetes mellitus Diabetes Association antara lainpasien overweight dengan 2 atau lebih
faktor tambahan untuk diabetes
Penilaian terhadap penggunaan tembakau mulai umur 9-11 tahun
Merokok
Penutup
Proses aterosklerosis yang merupakan faktor risiko terjadinya penyakit kardiovaskular
terukama penyakit jantung koroner dan stroke telah dimulai secara perlahan-lahan dan
bertahap sejak usia anak dan remaja. Oleh karena itu untuk mencegah terjadinya PKV
pada usia dewasa maka identifikasi dan intervensi faktor risko kardiovaskular tersebut
sedini mungkin. Pada anak dan remaja yang berisiko PKV perlu dilkaukan uji tapis/
screening agar anak dan remaja tersebut terhindar dari komplikasi yang fatal di kemudian
hari.
Pencegahan pada populasi “pediatric” untuk mengurangi atau menghindari risiko
PKV pada usia dewasa maka perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut :
•• Pemeriksaan umum dan upaya yang terkait dengan gaya hidup sehat (healthy lifestyle)
akan dapat menurunkan perkembangan risiko aterosklerosis (lihat Tabel 1-3)
•• Identifikasi dan tatalaksana anak dengan risiko aterosklerosis dini berdasarkan
ditemukannya faktor-faktor risiko: hipertensi, obesitas, dislipidemia, insulin resistance,
aktivitas fisis yang kurang (in-activity), terpajan asap rokok atau kondisi penyakit
risiko tinggi)
•• Pada waktu kunjungan rutin di klinik, dokter hendaknya memberikan edukasi atau
promosi tentang gaya hidup sehat (healthy lifestyle) termasuk informasi pada keluarga
tentang nutrisi yang sehat, perlu pembatasan lemak jenuh, banyak konsumsi sayur
dan buah-buahan serta menghindari pajanan terhadap asap rokok (aktif maupun
pasif, baik di rumah, sekolah maupun lingkungan)
•• Pada kunjungan rutin di klinik setiap anak/remaja diperlukan suatu penilaian dan
screening terhadap faktor risiko aterosklerosis atau fakror risiko kardiovaskular seperti
yang tersebut diatas.
Berdasarkan hal-hal di atas maka untuk memperlihatkan peran dan partisipasi dokter
spesialis anak dalam pencegahan PKV sejak dini, sudah saatnya di dalam Buku Kesehatan
Anak yang ada sekarang perlu tambahan kolom dengan format Identifikasi Faktor Risiko
Kardiovaskular selain dari kolom catatan Imunisasi dan Tumbuh kembang.
77
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Daftar pustaka
1. WHO. NCD mortality and morbidity. Diunduh dari www.who.int/gho/ncd/mortality_
morbidity/en.16 Sept.2014
2. Brenson GS, Wattigney WA, Tracy RE, Newman WP, Srinivasan SR, Webber LS, et al. Ath-
erosclerosis of the aorta and coronary arteries and cardiovascular risk factors in persons aged 6
to 30 years and studied at necropsy (The Bogalusa Heart Study). Am J Cardiol. 1992;70:851-
8.
3. Brenson GS, Srinivasan SR, Bao W, Newman WP, Tracy RE, Wattigney WA. Association
between multiple cardiovascular risk factors and atherosclerosis in children and young adults.
(The Bogalusa Heart Study). N Engl J Med. 1998;338:1650-6.
4. Greenland P, Gidding SS, Tracy RP. Commentary: Lifelong prevention of atheroschlerosis:
the critical importance of major risk factor exposures. Int J Epidemiol. 2002;31:1129-34.
5. Enos WF, Holmes RH, Beyer J. Coronary disease among United States soldiers killed in
action in Korea: preliminary report. J Am Med Assoc. 1953;152:1090-3.
6. Tanaka K, Masuda J, Imamura T, Sueishi K, Nakashima T, Sakurai I, et al. A nation-wide
study of atherosclerosis in infants and children and young adults in Japan. Atherosclerosis.
1988;72:143-156.
7. Guedes DP, Guedes JREP. Cardiovascular Investigation: When should it start? Diunduh dari
www.intechopen.com(2006)
8. Expert panel on integrated guidelines for cardiovascular health and risk reduction in children
and adolesecents: summary report. Pediatrics. 2011;128:S213.
9. Steinberger J, Daniels SR, Hagberg N, Isasi CR, Kelly AS, Lloyd-Jones D, et al. Cardiovas-
cular health promotion in children: challenges and opportunities for 2020 and beyond, a
scientific statement from the American Heart Association. Circulation. 2016;134:e236.
10. Laitinen TT, Pahkala K, Magnussen CG, Viikari JS, Oikonen M, Taittonen L, et al. Ideal car-
diovascular health in childhood cardiometabolic outcomes in adulthood: the cardiovascular
risk in young Finns study. Circulation. 2012;125:1971-8.
11. Putra ST. Deteksi disfungsi endotel vascular pada remaja sebagai penanda awal aterosklerosis:
pengaruh pemberian ASI pada masa bayi terhadap fungsi dan struktur vaskular serta bebera-
pa faktor risiko kardiovaskular lainnya. [Tesis]. Universitas Indonesia, Jakarta, 2013.
12. Pahkala K, Heinonen OJ, Simell O, Viikari JS, Ronnemma T, Niinikoski H, et al. Asso-
ciation of physical activity with vascular endothelial function and intima-media thickness.
Circulation. 2011;124:1956-63.
13. Juonala M, Viikari JS, Kähönen M, Taittonen L, Laitinen TT, Hutri-Kahonen N, et al. Life-
time risk factors and progression of carotid atherosclerosis in young adults: the cardiovascular
risk in young Finns study. Eur Heart J. 2010;31:1745-51.
14. Farpour-Lambert NJ, Aggoun Y, Marchand LM, Martin XE, Herrmann FR, Beghetti M, et
al. Physical activity reduces systemic blood pressure and improves early markers of atheroscle-
rosis in pre-pubertal obese children. J Am Coll Cardiol. 2009;54:2396-406.
15. Tolfrey K, Jones AM, Campbell IG. The effect of aerobic exercise training on the lipid-lipo-
protein profile of children and adolescents. Sports Med. 2000;29:99.
16. Kavey RW, Daniels SR, Lauer RM, Atkins DL, Hayman LL, Taubert K. American Heart
Association Guidelines for Primary Prevention of Atherosclerotic Cardiovascular Disease Be-
ginning in Childhood. Circulation. 2003;107:1562-6.
79
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Appropriate Use of Drugs in Pediatrics for
Patient’s Safety
Taralan Tambunan
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Abstract
The rational use of medicine was defined to represent a situation in which patients receive medications
appropriate to their clinical needs, in doses that meet their own individual requirement, for an adequate
period of time, and at the lowest cost to them and their community. Medicine plays an important role in
health care delivery and, when used properly, it can help control diseases and alleviate patient’s suffering.
Irrational use of medicines, nevertheless, remains a major issues faced by most health systems across
the world. Monitoring the safety of medicine use in children is very important. Pediatric population
by itself is a spectrum of different physiologies with significant variation in pharmacodynamics and
pharmacokinetics. Additionally, many drugs in pediatrics are off label or unlicensed.
As a global issue, rational drug use is a multifactorial subject. The responsibility of health care
professionals has assumed great significance. There exist various strategies to change patients’ and
prescribers’ behavior towards the promotion of rational prescribing. Targeted approaches comprises
educational and managerial interventions, while systems oriented strategies include regulatory and
economic interventions. The role of prescribers is pivotal for all healthcare providers. The ultimate goal
of promotion of rational drug use is to improve patients’ safety.
P
engobatan rasional didefinisikan sebagai pengobatan terhadap pasien oleh seorang
professional kedokteran (dokter atau dokter gigi) sesuai dengan indikasi klinis
dengan pemilihan obat yang tepat, dosis adekuat dengan waktu dan lama pemberian
yang tepat sesuai kebutuhan pasien termasuk pertimbangan harga yang terjangkau sesuai
kemampuan pasien.1,2
Pengobatan adalah salah satu tahapan kegiatan dalam penanganan pasien secara
keseluruhan. Keberhasilan pemilihan terapi medikamentosa yang tepat dan rasional
merupakan hasil sintesis pemahaman seorang dokter terhadap patogenesis dan patofisiologi
penyakit serta aspek farmakologi obat yang digunakan. Pada sisi lain penggunaan obat
yang tidak tepat (irasional) masih merupakan masalah pelik di seluruh dunia.3 Setiap
pemberian obat kepada pasien harus dipertimbangkan manfaat dan risikonya melalui
kajian efektivitas, keamanan, kenyaman, harga dan ketersediaan obat.4 Hal tersebut
sejalan dengan upaya menuju keselamatan pasien seperti yang tercantum dalam Peraturan
Menteri Kesehatan no. 11 tahun 2017 yang bertujuan untuk meningkatkan mutu
81
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Sebagian pasien kurang mendapat informasi kegunaan obat yang diterima dari:
dokternya. Kurangnya komunikasi mengakibatkan pasien kurang memahami manfaat
obat yang diresepkan sehingga kepatuhan minum obat jadi berkurang. Sebaliknya ada
juga pasien yang memengaruhi dokter agar diberi resep antibiotik.10,11
Faktor dokter penulis resep sangat dominan dalam pengobatan irasional. Semasa
pendidikan kedokteran umum, mahasiswa fakultas kedokteran kurang dibekali
pengetahuan dan ketrampilan menulis resep dengan baik dan benar. Pendidikan kedokteran
lebih mengutamakan keterampilan diagnostik ketimbang kemampuan memilih obat dan
menulis resep. Seringkali seorang anak didik hanya meniru dokter seniornya cara menulis
resep.4 Ketidak-mampuan dokter dalam penulisan resep sesuai dengan panduan klinik
termasuk dalam pemilihan jenis obat, dosis, interval, cara pemberian yang tepat serta
lama pengobatan dan pertimbangan biaya akan menyebabkan pengobatan irasional.10
Demikian juga penggunaan obat yang sebenarnya tidak dibutuhkan dan hanya bersifat
efek plasebo sangat merugikan pasien.2
Bad prescribing habit seperti ini berlangsung turun-temurun dan berdampak makin
maraknya peresepan irasional. 4 Industri farmasi juga berperan dalam maraknya peresepan
irasional. Promosi obat melalui sales representative yang mengunjungi dokter dapat
memengaruhi sikap dokter.10
Berbagai dampak peresepan irasional akan menyebabkan efek buruk yang masif
antara lain:2,8,11
•• menurunnya kualitas pengobatan akan berakibat pada peningkatan morbiditas dan
mortalitas penyakit, baik pada kasus infeksi dan penyakit menahun, seperti hipertensi,
diabetes, epilepsi dan gangguan jiwa.
•• peresepan yang tidak tepat atau berlebihan akan berdampak pada peningkatan biaya
pengobatan dan menurunkan ketersediaan obat
•• menimbulkan efek terapi yang tidak diinginkan atau efek samping pengobatan atau
meningkatkan resistensi bakteri terhadap antibiotik yang dipilih
•• menimbulkan dampak sosial akibat penggunaan obat yang sesungguhnya tidak
dibutuhkan oleh pasien.
83
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
•• menentukan tujuan pengobatan’
•• melakukan pemilihan obat yang tepat indikasinya melalui analisis terhadap efektivitas,
keamanan, kenyamanan serta keterjangkauan harganya
•• penulisan resep yang baik dan benar
•• memberikan informasi yang adekuat, instruksi yang jelas dan peringatan yang
dibutuhkan
•• melakukan pemantauan dan bila perlu menghentikan pengobatan
Keenam langkah ini harus dituruti secara lengkap, karena setiap langkah tersebut
merupakan upaya yang komprehensif untuk mengurangi kemungkinan terjadinya reaksi
obat yang tidak diinginkan. Khusus tentang pemilihan obat, penulisan resep dan edukasi
kepada pasien atau orangtua pasien sangat penting dalam bidang pediatri. Penulisan resep
sangat berkaitan dengan pemilihan obat dan bentuk sediaan yang ada dan pertimbangan
kemampuan pasien untuk mengkomsumsinya. Ketersediaan formulasi obat pada anak
menjadi tantangan yang harus dicermati terutama oleh indsutri farmasi. Demikian
juga tentang pemberian edukasi kepada orantua, terutama tentang peringatan terhadap
kemungkinan timbulnya efek samping obat.12
Berbagai upaya dapat dilakukan untuk mengubah perilaku pasien maupun dokter
terhadap pengobatan dan peresepan rasional. Upaya tersebut sejalan dengan Kebijakan
Obat Nasional (KONAS) yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Bina Kefarmasiaan
dan Alat Kesehatan berlandaskan surat ketetapan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
no. 189 tahun 2006 dengan tujuan KONAS yaitu:18
•• menjamin ketersediaan, pemerataan dan ketejangkauan obat, termasuk obat esensial
•• menjamin keamanan, khasiat dan mutu obat yang beredar serta melindungi
masyarakat dari penggunaan yang salah dan penyalah-gunaan obat
•• menjamin penggunaan obat yang rasional.
Arah kebijakan dalam KONAS tersebut meliputi pembinaan, advokasi dan promosi
penggunaan obat rasional. Khusus dalam bidang promosi penggunaan obat secara
nasional pemerintah melalui Kementererian Kesehatan menerapkan 3 strategi utama yang
saling mendukung yaitu strategi edukasi, managerial dan strategi regulasi. Di samping itu
strategi ekonomi juga dianggap perlu digalakkan untuk menunjang keberhasilan strategi
utama.10
Bentuk edukasi dapat beragam berupa tatap muka dalam seminar, pelatihan maupun
melalui brosur. Intervensi edukasi diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan
kesadaran para penulis resep, namun dampaknya pada perubahan sikap tidak terlalu
bermakna.
Strategi managerial meliputi kebijakan membuat pedoman praktek, melakukan
monitoring kegiatan, supervisi dan umpan balik, penyusunan daftar obat esensial,
formularium nasional sebagai panduan untuk menyusun formularium rumah sakit serta
membuat format baku peresepan.10
85
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
•• mencegah praktek pemberian insentif berlebihan kepada petugas kesehatan
•• adanya regulasi/legislasi yang tepat dan dilaksanakan kepada petugas kesehatan
•• dana pemerintah yang cukup untuk ketersediaan obat dalam pelayanan kesehatan
masyarakat.
Penutup
Pengobatan rasional selalu diawali dengan diagnosis yang tepat, tujuan pengobatan yang
jelas, pemilihan obat yang bijak melalui kajian efektivitas keamanan, kenyamanan serta
pertimbangan harga yang terjangkau. Pemantauan keamanan penggunaan obat pada
anak amatlah penting mengingat masih banyak obat yang masih tergoloong off-label dan
unlicence untuk penggunaan pada anak. Berbagai faktor yang berperan dalam terjadinya
pengobatan irasional sangat kompleks dan saling berpengaruh antara lain faktor dokter
penulis resep, faktor pasien, sistem kesehatan regulasi obat, dan sebagainya.
Dampak pengobatan irasional dapat menyebabkan efek buruk yang masif dan
berakibat pada peningkatan morbiditas, mortalitas, biaya pengobatan yang meningkat
dan juga berakibat pada peningkatan efek samping penggunaan obat. Berbagai upaya
yang dapat dilakukan antara lain dengan pendekatan target melalui intervensi edukasi,
strategi managerial dan strategi regulasi oleh instansi yang berwenang dalam bidang
kesehatan dengan tidak mengesampingkan faktor ekonomi pendukung.
Upaya tersebut sejalan dengan KONAS yang menjamin penggunaan obat rasional.
Melalui penggunaan obat secara rasional diharapkan dapat mencapai cita-cita mulia yaitu
menuju keselamatan pasien (patient safety).
Daftar pustaka
1. World Health Organization. Promoting rational use of medicine: core component. 2002.
2. WHO country office for India. Promoting rational drug use under NHRM. 2009.
3. World Health Organization. World medicine situation report 2011. 2011.
4. De Vries TPGM, Henning RH, Hogerzeil HV, Fresle DA. Guide to good prescribing. 1994.
5. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 11 tahun 2017 tentang kesela-
matan pasien
6. Joint Commission International Accreditation Standard for Hospital including standards for
Academic Medical Center Hospitals. 6th ed. 2017.
7. Dwiprahasto J. Penggunaan obat yang rasional sebagai dasar medication safety practice. Ja-
karta, 2013, pp.35-45.
8. WHO. Promoting safety of medicine for children. 2007.
9. World Health Organization. The world medicine situation; World Health Organization: Ge-
neva, Switzerland, 2004
10. Ofori-Asenso R, Agyman AA. Irrational use of medicines – a summary of key concept. Phar-
macy. 2016; 4:35.
11. Holloway K, Dijk L. Rational use of medicine the world medicine situation. 2011.
87
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
88 Kumpulan Makalah Lengkap Plenary
PARALEL
Resusitasi dan Deresusitasi Cairan
pada Anak Sakit Kritis
Conservative Fluid Management or Derescutitation
Following the Rescucitation Phase
Dadang Hudaya Somasetia
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran/RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung
Abstrak
Tata laksana syok sepsis dewasa berdasarkan penelitian Rivers dkk (2001) dengan resusitasi cairan
agresif (early, goal-directed therapy [EGDT]) memakai pemantau hemodinamis statis tekanan vena
sentral masih menjadi acuan Surviving Sepsis Campaign (SSC 2016), ternyata tidak lebih baik
daripada protokol resusitasi cairan standar. Hal ini ditunjukkan oleh tiga buah penelitian uji klinis acak
multisenter di Amerika Serikat (Protocolized Care for Early Septic Shock [ProCESS]), di Australasia
(Australasian Resuscitation in Sepsis Evaluation [ARISE]), dan di Inggris (Protocolised Management
in Sepsis [ProMISe]). Protokol resusitasi cairan agresif pada anak sakit kritis (syok hipovolemia dan
syok distributif ) dengan bolus kristaloid 20 mL/kgBB dalam 5–20 menit, dapat diulang sampai 60
mL/kgBB, bahkan sampai 200 mL/kgBB (syok sepsis). Resusitasi cairan agresif dapat menyebabkan
lebih cairan bila penyakitnya berat dan bolus cairan diulang, dapat menyebabkan Global Increased
Permeability Syndrome (GIPS) yang memerlukan deresusitasi setelah melewati fase stabilisasi. Lebih
cairan >15% pada anak sakit kritis akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Penelitian FEAST
study pada anak sakit kritis di Afrika menunjukkan terapi cairan tanpa bolus lebih baik daripada bolus
cairan agresif. Protokol resusitasi cairan konservatif dengan pemantau hemodinamis sepanjang waktu
pada anak sakit kritis untuk memantau kecukupan jumlah resusitasi cairan dan tanda lebih cairan
tampaknya menjadi kecenderungan baru.
R
esusitasi cairan agresif tanpa pemantauan yang memadai dapat memperburuk
luaran anak sakit kritis yang telah mengalami gangguan keseimbangan asam basa,
elektrolit dan metabolik. Resusitasi cairan konservatif dilakukan pada anak sakit
kritis dengan berbagai etiologi diterapkan untuk mengatasi gangguan hemodinamis dan
menghindari lebih cairan1,2 Protokol resusitasi cairan awal memakai kristaloid isotonis
(NaCl 0,9%, Ringer Laktat, Ringer Asetat) dilakukan secara agresif terkendali kemudian
diteruskan ke terapi cairan tahap lanjut. Tindakan ini akan meningkatkan tekanan
hidrostatis dan dapat menyebabkan akumulasi cairan interstisial serta lebih cairan.
Resusitasi dan terapi cairan pada anak sakit kritis memerlukan pemantauan hemodinamis
ketat untuk melihat mampu-respons cairan (fluid responsiveness) dan kecukupan
hemodinamis tubuh serta mencegah terjadinya lebih cairan. Syok sepsis sering dipakai
sebagai model resusitasi dan terapi cairan pada anak sakit kritis.3,4,5
91
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Manifestasi klinis lebih cairan dapat berupa sesak, sembab, hepatomegali serta peningkatan
pemakaian otot napas tambahan dan denyut jantung.6 Lebih cairan sebanyak >15% dari
kebutuhan efektif pascaresusitasi pada fase pulih setelah stabilitas hemodinamis tercapai pada
anak akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Balans cairan positif dapat menyebabkan
edema jaringan yang mengganggu absorbsi saluran cerna dan ekskresi ginjal, meningkatkan
tekanan intra abdomen yang merupakan faktor risiko dari sindrom kompartemen abdomen
dan sebagai bagian dari Global Increased Permeability Syndrome (GIPS).2,5-9
Bila terjadi lebih cairan maka harus dilakukan deresusitasi cairan, karena balans
cairan negatif pasca stabilisasi hemodinamis menghasilkan luaran lebih baik. Supaya tidak
terjadi lebih cairan, maka dilakukan pemantauan mampu-respons cairan pada anak sakit
kritis yang dapat dilakukan dengan memantau tanda vital klasik, pemantau hemodinamis
statis atau kontinyu dengan menggunakan alat sederhana non invasif, alat canggih, baik
alat yang invasif, invasif minimal maupun non invasif.9-12
93
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
mencapai target resusitasi cairan sebanyak 25−50 mL/kgBB dalam 6−8 jam pertama
resusitasi pada kasus syok hipovolemia dan syok sepsis. Resusitasi agresif dapat berefek
merugikan, yaitu terjadi lebih cairan sehingga muncul strategi resusitasi cairan yang lebih
konservatif.
Gambar 1. Perjalanan Syok, Model Three-Hit dan Global Increased Permeability Syndrome.
Dikutip dari:Cordemans dkk.2
Tabel 1. Konsep Model “Three Hit” dan Pemantau Mampu Respons Cairan
Fist Hit Second Hit Third Hit
Etiologi Efek merugikan inflamasi Reperfusi iskemia GIPS
Fase Ebb Flow No Flow
Resusitasi cairan Resusitasi Biomarker penyakit kritis Toksis
Pemantauan Mampu Hemodinamis fungsional Fungsi organ Perfusi
Respons Cairan (SSV, PPV) (EVLWI, IAP) (ICG, PDR)
Terapi Konsep EGDT Late conservative fluid Late goal-directed fluid
management (LCFM) removal (LGFR)
Keseimbangan cairan Lebih cairan Netral Negatif
SSV: stroke volume variation, PPV: pulse pressure variation, EVLWI: extravascular lung water index, IAP:
intra abdominal pressure ICG-PDG: indocyanine green plasma dissapearrance rate
Dikutip dari: Mallbrain17
Untuk membedakan resusitasi cairan fase awal dan fase lanjut, syok dibagi menjadi
dua fase yaitu fase Ebb (fase surut) dan fase Flow (fase alir). Fase Ebb (surut)/First Hit,
ditandai dengan “nadi lemah, ekstremitas dingin dan lembab”. Pada fase Ebb, curah
jantung rendah (low cardiac output) dan perfusi jaringan buruk; terjadi peningkatan
kebutuhan natrium dan air sebagai respons terhadap penurunan volume intravaskuler,
disfungsi vasoregulator (vasoplegi) dan miokardium; kebutuhan metabolisme meningkat
serta terjadi gangguan hantaran oksigen. Gangguan hemodinamis menyebabkan hipoksia
jaringan global, inflamasi dan gagal napas. Pada fase Ebb sering diberikan resusitasi cairan
agresif (Gambar 1, Tabel 1).2,17
Fase Flow (fase alir)/Second Hit/reperfusi/MODS adalah saat mengakhiri fase Ebb.
Untuk menghindari balans cairan positif, edema jaringan serta disfungsi dan gagal organ,
maka penderita harus melewati masa transisi dari fase Ebb ke fase Flow yang berlangsung
selama 48−72 jam. Pada fase ini terjadi peningkatan curah jantung, perfusi jaringan normal,
diuresis, dan penurunan berat badan bertahap. Pada fase Flow terjadi keseimbangan antara
mediator proinflamasi dan antiinflamasi, tidak diperlukan tunjangan hemodinamis agresif
dan terapi cairan, tetapi bila mengalami inflamasi sistemis persisten, penderita tetap berada
pada fase bocor kapiler, tidak mengalami fase Flow (Third Hit/No Flow, GIPS, Gambar 1,
Tabel 1).2,17,22,23
Kebocoran endotel menyebabkan cairan terakumulasi sehingga terjadi balans cairan
positif, disebut Global Increased Permeability Syndrome (GIPS),5 yaitu kondisi penderita
yang tidak memberi respons terhadap resusitasi cairan, terjadi peningkatan capillary leak
index (CLI), tidak membaik dengan tata laksana CLFM, dan terus berlanjut menjadi
gagal multi organ. Capillary leak index = rasio C-reactive protein (CRP, mg/dL) terhadap
95
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
albumin (g/liter) x 100. Hal ini terjadi pada fase Third Hit, setelah First Hit dan Second
Hit (jejas akut dan MODS).5,17
Model Three Hit dan GIPS merupakan konsep efek merugikan resusitasi cairan
agresif dan lebih cairan pada penderita sakit kritis. First Hit menggambarkan jejas akut
berbagai organ, berlanjut ke fase Second Hit ketika tubuh mengalami disfungsi multi
organ, sedangkan fase Third Hit gambaran utamanya adalah bocor endotel global (GIPS,
Gambar 2).4,5,17,23
Rhadbo – rhabdomyolysls;
ECS – extremity compartment syndrome;
ICFH – intracranial hypertension;
ALI – acute lung injury;
ARDS – acute respiratory distress syndrome;
IAFH – intra-abdominal hypertension;
ABI – acute bowel injury;
ACS – abdominal compartment syndrome;
AIDS – acute intestinal distress syndrome;
AIPS – acute intestinal permeability syndrome;
AKI – acute kidney injury;
ATN – acute tubular necrosis;
GIPS – global increased permeability syndrome
Gambar 2. Model Three Hit syok dan Global Increased Permeability Syndrome (GIPS).
Dikutip dari: Duchesne JC, dkk.23
Terjadinya GIPS dapat dipantau dengan peningkatan indeks bocor kapiler (capillary
leak index [CLI]), cairan interstisial berlebih dan indeks cairan ekstravaskular paru menetap
tinggi (extravascular lung water index [EVLWI]), late conservative fluid management
(LCFM) tidak tercapai, dan akan berlanjut menjadi gagal multi organ. Terjadinya GIPS
mencerminkan Third Hit setelah jejas akut (First hit) yang berlanjut menjadi sindrom
disfungsi multiorgan (multi-organ dysfunction syndrome−MODS [Second hit]). Third Hit
mungkin terjadi pada penderita yang tidak masuk ke fase Flow tetapi tidak pulih. Bila
penderita dapat mengatasi respons inflamasi akut maka mikrosirkulasi dan bocor kapiler
pulih dalam waktu 48−72 jam.2,17,22,23
97
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Deresusitasi
Resusitasi cairan agresif EGDT mengutamakan resusitasi awal. Setelah resusitasi cairan
agresif awal dapat mengatasi syok kemudian harus melakukan restriksi cairan dan
menghindari edema interstitial organ vital. Bila terjadi lebih cairan, selain restriksi cairan,
dapat dilakukan ekskresi cairan melalui deresusitasi seperti PAL Treatment (Gambar
3): bantuan ventilasi non invasif (NIV, misalnya Positive end expiratory pressure [PEEP]),
Albumin, dan Lasix (furosemid). Akumulasi cairan di rongga ke tiga berhubungan
dengan gangguan fungsi organ dan luaran yang buruk. Sebaliknya balans cairan negatif
berhubungan dengan perbaikan harapan hidup dan peningkatan fungsi paru.17
Gambar 3 Rasionalisasi dan Cara Kerja PEEP, Albumin dan Lasix (PAL)17
•• Targetnya balans cairan nol atau negatif serendah-rendahnya pada hari ke−3 dan
memertahankan balans cairan kumulatif pada hari ke−7
•• Diuretik atau terapi sulih ginjal (kombinasi dengan albumin) dipakai untuk mobilisasi
cairan pada penderita yang hemodinamisnya stabil dengan hipertensi intraabdomen
dan balans cairan kumulatif positif sesudah melakukan resusitasi cairan dan telah
mengatasi sumber infeksi
Resusitasi cairan agresif berlebih akan memperburuk kondisi anak sakit kritis dan
mungkin terjadi edema, hipertensi, gagal napas, jejas dan paresis saluran cerna yang
lambat pulih.18
Persentase lebih cairan (fluid overload percentage/FO%) dihitung dengan rumus berikut
ini:9
FO% = (jumlah cairan masuk – jumlah cairan keluar [mL])/Berat Badan saat masuk
x100%.
Lebih cairan >15% akan memengaruhi fungsi paru yang dapat diukur dari derajat
hipoksemia dan sering terjadi pada penderita gagal napas akut. Keseimbangan cairan
bergeser menjadi positif secara cepat pada penderita sakit kritis akibat resusitasi cairan
b. Parameter statis
–– Central venous pressure (CVP)
–– Pulmonary artery occlusion pressure (PAOP)
–– RV end-diastolic volume dan LV end-diastolic area (RVEDV dan LVEDV)
–– Global end-diastolic volume dan intrathoracic blood volume (GEDV dan ITBV)
c. Parameter dinamis
–– Variasi volume sekuncup
99
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
–– Variasi tekanan nadi
–– Variasi tekanan sistole dan diastole
–– Aortic blood velocity (DVpeak)
–– Superior vena cava collapsibility index dan inferior vena cava distensibilty index
–– Indeks cairan ekstravaskuler paru (extravascular lung water index/EVLWI)
–– Tekanan intraabdomen (intra-abdominal pressure/IAP)
–– Ultrasound cardiac output monitor device (USCOM)
Gambar 4. Passive leg raise. Fluid Challenge, Auto-bolus dari Ekstremitas Bawah.
Dikutip dari: Mackenzie DC, Noble VE19
Pemantau statis untuk pasien syok sudah tradisi lama dipakai untuk menilai
curah jantung setelah resusitasi cairan, terutama tekanan vena sentral dan tekanan arteri
pulmonalis (preload responsiveness).5,12 Bukti baru menunjukkan bahwa tekanan vena
sentral dan tekanan arteri pulmonalis merupakan pemantau mampu respons cairan yang
tidak baik.5,12,25-28 Pengaruh variasi respirasi pada tekanan vena sentral berguna untuk
memantau mampu respons cairan pada pasien yang bernapas spontan; juga variabel
hemodinamis tekanan baji kapiler paru dan curah jantung dari pengukuran kateter arteri
pulmonalis berguna untuk menentukan jenis syok dan menilai respons terapi tetapi tidak
bisa memerkirakan preload responsiveness.5
Pemantau dinamis yang paling berguna untuk menilai preload responsiveness adalah
perubahan fase volume sekuncup dan tekanan darah sistole ketika pasien syok dipasang
ventilasi mekanis.5,12 Variasi volume sekuncup (Stroke volume variation/SVV) adalah beda
rasio volume sekuncup maksimum selama beberapa siklus napas dan volume sekuncup
rata-rata dalam periode yang sama.5,12 Nilai SVV >15% pada pasien yang mendapat
volume tidal >8 mL/kgBB atau SVV >10% pada pasien yang mendapat volume tidal 6
mL/kgBB akurat untuk memerkirakan preload responsiveness pada pasien dengan dada
tertutup.5,26 Alat pemantau komersial seperti PiCCO, LiDCOplus, Volume View/
EV1000, dan FloTrac memakai pulse contour analysis untuk mendeteksi curah jantung dan
SVV secara tidak langsung. Pulse contour analysis berdasarkan hubungan antara volume
Ringkasan
Resusitasi cairan pasien syok (EGDT) harus dilakukan sedini mungkin dan dihitung
sesuai kebutuhan, dilakukan pemantauan hemodinamis ketat untuk menghindari lebih
cairan dan segala risikonya. Kristaloid adalah cairan pilihan pertama, albumin 5% dapat
diberikan bila diperlukan cairan resusitasi yang banyak. Hindari pemberian HES untuk
resusitasi cairan. Waspadai terjadinya GIPS dan harus tanggap kapan saatnya memberi
bolus resusitasi cairan, kapan merestriksi cairan dengan target balans nol sampai balans
negatif melalui fase Ebb dan fase Flow serta kapan melakukan deresusitasi dengan konsep
ROSE dan PAL.
Daftar pustaka
1. Maitland K, Kiguli S, Opoka RO, Engoru C, Olupot-Olupot P, Akech SO, et al. Mortality
after fluid bolus in African children with severe infection. NEJM. 2011;364(26):1–8.
2. Cordemans C, Laet ID, Regenmortel NV, Schoonheydt K, Dits H, Huber W, et al. Fluid
management in critically ill patients: the role of extravascular lung water, abdominal hyper-
tension, capillary leak, and fluid balance. Annals of Intensive Care. 2012;2:S1–12.
101
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
3. Carcillo JA. Intavenous fluid choices in critically ill children. Curr Opin Crit Care.
2014;(20):396–401.
4. Martin K, Weiss SL. Initial resuscitation and management of pediatric septic shock. Minerva
Pediatr. 2015;67(2):141–58.
5. Jaehne AK, Rivers EP Early Liberal Fluid Therapy for Sepsis Patients Is Not Harmful: Hydro-
phobia Is Unwarranted but Drink Responsibly. Crit Care Med 2016;44(12):2263-9.
6. Brierley J, Carcillo JA, Cornell T, Choong K, DeCaen A, Deyman A, et al. Clinical practice
parameter for hemodynamic support of pediatric and neonatal septic shock: 2007 update
from the American College of Critical Care Medicine. Crit Care Med. 2009;37:666–82.
7. Byrne L, Haren FV. Fluid resuscitation in human sepsis; time to rewrite history? Intensive
Care. 2017;1–8.
8. Chen J, Li X, Bai Z, Fang F, Hua J, Pan J et al. Association of fluid accumulation with clinical
outcomes in crically ill children with severe sepsis. Plos one. 2016;1–17.
9. Arikan AA, Zappitelli M, Goldstein SL, Naipul A, Jefferson LS, Loftis LL. Fluid overload
is associated with impaired oxygenation and morbidity in critically ill children. Pediatr Crit
Care Med. 2012;13:253–8.
10. Sekarwana N, Nataprawira HM, Sari NM, Somasetia DH, Kuswiyanto RB. B type natri-
uretic peptide (BNP) as predictor of pediatric severe sepsis fluid responsiveness in limited
resoursec setting country. Ajeid. 2016;4(6):105–9.
11. Alsous F, Khamiess M, DeGirolamo A, Adjepong YA, Manthous CA. Negative fluid balance
predict survival in patient with septic shock. Chest. 2000;117:1749–54.
12. Rhodes A, Evans LE, Alhazzani W, Levy MM, Antonelli M, Ferrer R et al. Conference
reports and expert panel. Surviving Sepsis Campaign: International Guidelines for Man-
agement of Sepsis and Septic Shock: 2016. Intensive Care Med, 2017; 43:304–377. DOI
10.1007/s00134-017-4683-6.
13. Raman S, Peters MJ. Fluid management in the critically ill child. Pediatr Nephrol 2014;
29:23–34.
14. Long E, Oakley E, Babl F, Duke T and Pediatric Research in Emergency Departements
International Collaborative (PREDICT). An observasional study using ultrasound to assess
physiological changes following fluid bolus administration in paediatric sepsis in the emer-
gency department. BMC Pediatrics. 2016;16(93):1–7.
15. Marik P, Bellomo R. A rational approach to fluid therapy in sepsis. Br J Anaesth. 2016
Mar;116(3):339-49.
16. Abulebda K, Cvijanovich NZ, Thomas NJ, Allen GL, Anas N, Bigham MT, et all. Post-in-
tensive care unit admission fluid balance and pediatric septic shock outcomes:A risk-stratified
analysis. Crit Care Med. 2014; 42(2): 397–403
17. Malbrain MLNG, Marik LE, Witters I, Cordemans C, Kirkpatrick AW, Robert DJ, Van
Regenmortel N. Fluid overload, de-resuscitation, and outcomes in critically ill or injured
patients: a systematic review with suggestions for clinical practice. Anaesth Intens Ther 2014,
vol. 46(5), 361–380.
18. Plunkett A, Tong J. Sepsis in children. BMJ 2015;350:h3017 doi: 10.1136/bmj.h3017.
19. Mackenzie DC, Noble VE. Assessing volume status and fluid responsiveness in the emergen-
cy department. Clin Exp Emerg Med 2014;1(2):67-77.
20. Weiss SL, Pomerantz WJ, Randolph AG, Torrey SB, Kaplan SL, Wiley JF. Septic shock: Rapid
recognition and initial resuscitation in children. UpToDate, updated Jun 20, 2017. Diunduh
103
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Early Life Exposure to Endocrine Disruptors:
Should We Worried?
Agustini Utari
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro/RSUD Dr. Karyadi , Semarang
Abstract
Endocrine Disrupting Chemicals (EDCs) are compound that disrupt the normal function of endocrine
systems. According to U.S. Environmental Protection Agency (EPA) statement, Endocrine-disrupting
compound is defined as “an exogenous agent that interferes with synthesis, secretion, transport, metabolism,
binding action, or elimination of natural blood-borne hormones that are present in the body and are
responsible for homeostasis, reproduction, and developmental process.” Children are considerably having
more risk to EDCs exposure due to their behaviors and metabolism rate. Age at exposure and latency from
exposure is one of the important issues in endocrine disruption. The effect of developmental exposure may
not be immediately apparent in early life but may be occurred in adulthood. A large number of studies of
EDCs have appeared in recent years, and this may indicate that the regular human and environmental
exposure have serious effects to human homeostasis. This paper reviews the potential impact of EDCs in
the early life.
E
ndocrine Disrupting Chemicals (EDCs) didefinisikan sebagai suatu agen eksogen
yang bisa mengganggu sintesis, sekresi, transportasi, metabolisme, pengikatan atau
eliminasi dari hormon-hormon alami yang berada dalam tubuh dan bertanggung
jawab atas proses homeostasis, reproduksi dan perkembangan 1,2 Pada mulanya EDCs
diduga beraksi melalui nuclear hormone receptors, termasuk reseptor estrogen, reseptor
androgen, reseptor progresteron, reseptor tiroid, dan reseptor retinoid. Saat ini dengan
berkembangnya penelitian, maka diduga mekanismenya tidak sesederhana itu. EDCs
beraksi selain melalui nuclear receptors juga melalui non nuclear steroid hormone receptor
(misal membran reseptor estrogen), reseptor non steroid (misal reseptor neurotransmitter
seperti reseptor serotonin, reseptor dopamin, reseptor nor epinefrin) dan orphan receptors.1
EDCs diklasifikasikan berdasarkan struktur kimiawi, efek terhadap sistem endokrin,
bioakumulasi dan persistensi pada lingkungan atau efek klinis yang bisa diamati.
Hingga saat ini sudah lebih dari 100.000 bahan kimiawi yang dibuat manusia. Beberapa
kelompok molekul yang diidentifikasi sebagai senyawa pengganggu sistem endokrin
sangat bervariasi, termasuk di dalamnya adalah zat-zat kimiawi yang dipakai sebagai
pelarut atau pelumas dalam industri dan produk sampingannya (polychlorinated biphenyls
(PCBs), polybrominated biphenyls (PBBs), dioxin), plastik (biphenol A (BPA)), plasticizers
(phthalates), pestisida (methoxychlor, chlorpyrifos, dichlorodiphenyltrichloroethane (DDT)),
fungisida (vinclozolin) dan obat-obatan (dietilstilbestrol).1,3
105
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Pada tingkat kelenjar tiroid itu sendiri, zat kimiawi bisa mengganggu aktivitas
keseluruhan dari kelenjar dengan mengganggu reseptor TSH. Fungsi dari sodium iodide
symporter (NIS) atau thyroid peroxidase (TPO) bisa terganggu oleh zat-zat kimiawi melalui
inhibisi atau stimulasi. Selain itu EDCs diduga mengganggu reseptor hormon tiroid.
Gangguan terhadap ekspresi dari reseptor tiroid juga mengganggu perkembangan dari
susunan saraf pusat.10
Penelitian tentang paparan pestisida pada bayi dan ibu hamil menunjukkan bahwa
kadar organofosfat (salah satu jenis pestisida yang sering digunakan di daerah pertanian)
pada ibu dan bayi baru lahir di daerah pertanian lebih tinggi dibandingkan populasi pada
umumnya dan bayi lebih rentan terpapar pestisida.11 Penelitian di Indonesia menunjukkan
adanya angka kejadian hipotiroid yang cukup tinggi pada anak usia sekolah di daerah
paparan pestisida. Pada penelitian ini didapatkan bahwa kandungan metabolit organofosfat
pada urine yang positif meningkatkan risiko hipotiroid dibandingkan dengan metabolit
urine yang tidak mengandung metabolit organofosfat.12 Sementara itu penelitian lain di
Indonesia pada usia balita di daerah paparan pestisida menunjukkan bahwa prosentase
anak balita dengan kadar TSH di atas normal lebih tinggi di daerah paparan pestisida
dibandingkan daerah non paparan.13
Penutup
EDCs merupakan salah satu permasalahan yang terus meningkat. Pencegahan paparan
EDCs dalam kehidupan sehari hari sejak masa fetus diharapkan bisa mengurangi dampak
yang bisa ditimbulkan di kemudian hari.
Daftar Pustaka
1. Diamanti-Kandarakis E, Bourguignon J-P, Giudice LC, et al. Endocrine-Disrupting Chemi-
cals, an Endocrine Society Scientific Statement. Endocr Rev. 2009;30(4):293-342.
2. Mallozzi M, Bordi G, Garo C, Caserta D. The Effect of Maternal Exposure to Endocrine
Disrupting Chemicals on Fetal and Neonatal Development : A Review on the Major Con-
cerns. Birth Defects Res. 2016;Part C:1-19. doi:10.1002/bdrc.21137.
3. Acerini CL, Hughes IA. Endocrine disrupting chemicals: a new and emerging public health
problem ? Arch Dis Child. 2006;91(8):633-641.
4. Roberts JR, Karr CJ. Pesticide Exposure in Children. Pediatrics. 2012;130(6):1-24.
doi:10.1542/peds.2012-2758.
5. Christiansen L, Andersen HR, Wohlfahrt-veje C, et al. Paraoxonase 1 Polymorphism and
Prenatal Pesticide Exposure Associated with Adverse Cardiovascular Risk Profiles at School
Age. PLoS One. 2012;7(5):1-10. doi:10.1371/journal.pone.0036830.
6. Povey AC. Gene – environmental interactions and organophosphate toxicity. Toxicology.
2010;278:294-304. doi:10.1016/j.tox.2010.02.007.
7. Mnif W, Ibn A, Hassine H, Bouaziz A, Bartegi A, Thomas O. Effect of Endocrine Dis-
ruptor Pesticides : A Review. IntJEnvironResPublic Heal. 2011;8:2265-2303. doi:10.3390/
ijerph8062265.
8. Meeker JD. Exposure to Environmental Endocrine Disruptors and Child Development. Arch
Pediatr Adolesc Med. 2012;166(6):1-12. doi:10.1001/archpediatrics.2012.241.Exposure.
9. Schmutzler C, Gotthardt I, Hofmann PJ, et al. Endocrine Disruptors and the Thyroid Gland
— A Combined in Vitro and in Vivo Analysis of Potential New Biomarkers. Env Heal Pers.
2007;115(December):77-83. doi:10.1289/ehp.9369.
10. Boas M, Feldt-rasmussen U, Main KM. Molecular and Cellular Endocrinology Thyroid
effects of endocrine disrupting chemicals. Mol Cell Endocrinol. 2012;355(2):240-248.
doi:10.1016/j.mce.2011.09.005.
11. Huen K, Bradman A, Harley K, et al. Organophosphate pesticide levels in blood and urine
of women and newborns living in an agricultural community. Env Res. 2012;117:8-16.
doi:10.1016/j.envres.2012.05.005.
12. Suhartono, Subagio HW, Kartini A, Budiyono, Utari A, Suratman. Pesticide exposure and
thyroid function among primary school children living in an agricultural area. In: Conference
107
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
of International Society for Environmental Epidemiology and International Society of Exposure
Science-Asia Chapter 2016. Sapporo, Japan; 2016.
13. Utari A, Suhartono, Anwar A, Budiyono. Thyroid Profile of Indonesian Children living in
Agricultural Area. In: Australia Paediatric Endocrine Group (APEG) Meeting. Sidney; 2013.
14. Wang X, Sheng N, Cui R, Zhang H, Wang J, Dai J. Chemosphere Gestational and lactation-
al exposure to di-isobutyl phthalate via diet in maternal mice decreases testosterone levels in
male offspring. Chemosphere. 2017;172:260-267. doi:10.1016/j.chemosphere.2017.01.011.
15. Virtanen HE, Adamsson A. Cryptorchidism and endocrine disrupting chemicals. Mol Cell
Endocrinol. 2012;355(2):208-220. doi:10.1016/j.mce.2011.11.015.
16. Haraux E, Braun K, Buisson P, et al. Maternal Exposure to Domestic Hair Cosmetics and
Occupational Endocrine Disruptors Is Associated with a Higher Risk of Hypospadias in the
Offspring. IntJEnvironResPublic Heal. 2017;14:1-14. doi:10.3390/ijerph14010027.
17. Williams PL, Sergeyev O, Lee MM, et al. Blood Lead Levels and Delayed Onset of Puberty
in a Longitudinal Study of Russian Boys. Pediatrics. 2012;125:e1088-e1096. doi:10.1542/
peds.2009-2575.
18. Grandjean P, Harari R, Barr DB, Debes F. Pesticide Exposure and Stunting as Independent
Predictors of Neurobehavioral Deficits in Ecuadorian. Pediatrics. 2005;117(3):e546-e556.
doi:10.1542/peds.2005-1781.
Abstract
A sensitive, reliable and valid instrument is a prerequisite for early detection of infants with motor
disorders. It is also indispensable for the evaluation of the effectiveness of intervention strategies. The
infant motor profile (IMP) is a new observational instrument developed in the Netherlands to assess motor
development and abilities in infancy. It may be used for early detection and developmental evaluation of
infants at high risk of developmental motor disorders, such as cerebral palsy or developmental coordination
disorders. The IMP evaluates spontaneous motor behavior of infants aged 3 to 18 months, or rather until
the age at which they have a few months experience of walking independently. It is based on a video
of about 15 minutes of spontaneous motor behavior in supine, prone, sitting, standing, walking and
during reaching and grasping – depending on the age of the infant. Spontaneous motor behavior is
evaluated in a qualitative way based on the principles of the neuronal group selection theory (NGST) of
motor development. The IMP does not only include information about the infant’s motor achievement
but also that the way in which the infant accomplishes his/her achievements. The IMP consists of 80
items classified into five subscales: (1) Variation: the size of the infant’s motor repertoire – 25 items; (2)
Variability or Adaptability: ability to select adaptive motor strategies from infant’s movements repertoire
– 15 items; (3) Symmetry – 10 items; (4) Fluency – 7 items, and (5) Performance – 23 items. Studies
indicate that the IMP is an instrument with good reliability and promising validity. The construct
validity of the IMP shows clear relation to relevant risk factors for developmental motor problems and
support the use of the IMP in clinical follow-up of high-risk infants.
P
enilaian perkembangan kemampuan motorik bayi di masa neonatus membutuhkan
instrumen yang valid dan reliable serta didesain untuk penggunaan longitudinal
sejak periode prenatal sampai awal periode pasca-kelahiran. Para klinisi dan peneliti
sangat membutuhkan instrumen yang dapat digunakan untuk menilai perkembangan
bayi dengan setting NICU, yaitu bayi dengan kondisi klinis yang masih rawan dan tidak
stabil. Dengan demikian, parameter utilitas klinis akan digunakan sebagai faktor utama
dalam mempertimbangkan instrumen mana yang paling cocok digunakan.1
Penilaian perilaku motorik di masa bayi mempunyai berbagai macam tujuan, antara
lain deteksi dini disfungsi susunan saraf pusat atau otak, memprediksi luaran (outcome)
jangka panjang, mengevaluasi kemajuan perkembangan secara longitudinal, dan
mengevaluasi dampak terapi.2,3 Berdasar hal tersebut, instrumen penilaian perkembangan
bayi dapat digolongkan menjadi beberapa jenis tergantung dari tujuan penilaiannya, yaitu:
(1) Instrumen diskriminatif (untuk membedakan perkembangan normal dan abnormal);
(2) Instrumen prediktif (untuk memprediksi berbagai jenis masalah perkembangan di
109
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
masa depan); dan (3) Instrumen evaluatif (untuk mengevaluasi perubahan perkembangan
di setiap waktu yang berbeda).2,3
Berdasar review sistematis yang menganalisis berbagai instrumen penilaian
perkembangan perilaku motorik bayi, terdapat dua metode penilaian perkembangan
bayi yang mempunyai nilai utilitas dan nilai psikometrik paling baik, yakni metode
penilaian kualitas general movements (GMs) dan test of infant motor performance (TIMP).
Metode GMs merupakan instrumen terbaik dalam hal validitas prediktif, sedangkan
TIMP terbaik dalam hal validitas evaluatif. 2,3 Akan tetapi, kedua metode tersebut
hanya dapat diaplikasikan untuk bayi sampai berusia sekitar 3-4 bulan. Oleh karena itu,
dikembangkan sebuah instrumen baru yang dikenal dengan infant motor profile (IMP)
yang dapat diaplikasikan untuk bayi pada usia 3-4 bulan sampai sekitar 18 bulan. Pada
tulisan ini akan diberikan gambaran singkat, validitas, dan reliabilitas metode IMP sebagai
instrumen penilaian perilaku motorik bayi.
IMP merupakan metode penilaian kualitatif yang terstandarisasi untuk menilai
kemampuan motorik bayi. IMP dikembangkan pertama kali di Groningen, Belanda sebagai
salah satu alternatif instrumen untuk menilai kemampuan motorik bayi.4,5 Metode IMP
dapat digunakan sebagai deteksi dini dan juga instrumen untuk mengevaluasi kemajuan
perkembangan motorik anak setelah mendapatkan intervensi atau terapi tertentu. Metode
IMP mempunyai dasar teori yang sama dengan metode GMs, yakni neuronal group selection
theory (NGST).6 Metode IMP tidak hanya akan memberi informasi tentang pencapaian
perkembangan motorik seorang bayi, tetapi juga informasi tentang dengan cara apa dan
bagaimana bayi tersebut mencapai perkembangan motoriknya.4
Dasar teori
Menurut teori NGST faktor genetik dan faktor lingkungan keduanya mempunyai peran
yang penting dalam perkembangan motorik.7,8 Dalam teori NGST, perkembangan
motorik normal ditandai dengan adanya dua fase variabilitas. Fase pertama adalah
variabilitas primer, yakni variasi dalam perilaku motorik yang tidak dipengaruhi oleh
faktor lingkungan, melainkan berupa aktivitas gerak spontan yang dihasilkan oleh
jaringan neuronal primer yang sudah ada pada saat anak lahir. Contoh dalam hal ini
dapat dilihat pada gerakan spontan yang disebut general movements (GMs), yaitu pola
gerakan yang sering terjadi pada janin dan bayi muda sampai usia sekitar 4 bulan yang
ditandai oleh adanya gerakan yang sangat bervariasi dan sangat kompleks. Gerakan ini
bersifat spontan, tidak bertujuan dan tidak dipengaruhi oleh adaptasi faktor lingkungan.9
Setelah bayi berusia di atas 3-4 bulan, gerakan GMs secara bertahap akan digantikan
dengan gerakan-gerakan yang mempunyai tujuan (goal-directed movements), misalnya
gerakan untuk meraih sesuatu. Pada awalnya, gerakan bertujuan tersebut ditandai dengan
variasi dalam amplitudo dan kecepatan. Secara bertahap, variasi gerakan tersebut akan
semakin menurun dan digantikan oleh fase kedua dalam perkembangan motorik, yaitu
variabilitas sekunder. Pada fase ini anak mengembangkan kemampuan untuk memilih
Gambar 1. Berbagai contoh obyek mainan yang digunakan dalam instrumen IMP
(Sumber: Heineman, 2010)10
111
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
dalam penilaian IMP tergantung pada usia bayi, kemampuan fungsional, mood dan daya
ketertarikan bayi saat diperiksa. Pada bayi usia muda, penilaian IMP umumnya dimulai
dengan pengamatan perilaku motorik bayi dalam posisi terlentang selama kurang lebih 5
menit. Pada bayi berusia lebih tua, penilaian umumnya dimulai pada posisi duduk, baik
saat duduk di pangkuan orangtua atau pada saat posisi duduk sendiri tanpa bantuan.10
Penilaian IMP terdiri dari 80 item penilaian perilaku motorik yang dikelompokkan
dalam lima sub-skala, yaitu antara lain:4,10
1. Sub-skala “variation”: untuk menilai seberapa besar cadangan variasi gerakan
motorik yang dimiliki oleh bayi. Sub-skala ini terdiri dari 25 item. Skor “tidak cukup
bervariasi” diberikan bila bayi menunjukkan keterbatasan variasi gerakan dalam
melakukan sebuah kemampuan tertentu. Skor “cukup bervariasi” diberikan bila
bayi menunjukkan banyak variasi gerakan yang berbeda untuk melakukan sebuah
kemampuan tertentu.
2. Sub-skala “variability/adaptability”: untuk menilai kemampuan bayi atau anak
dalam memilih strategi motorik adaptif terbaik dari berbagai variasi gerakan yang
dimilikinya, yang terdiri dari 15 item. Skor “tidak ada seleksi” diberikan pada bayi tidak
mempunyai pilihan strategi gerakan tertentu dalam melakukan sebuah kemampuan
tertentu, namun bayi melakukannya melalui berbagai strategi gerakan yang berbeda-
beda. Bila bayi mampu memilih salah satu strategi gerakan tertentu sepanjang waktu
untuk melakukan sebuah kemampuan maka diberi skor “seleksi adaptif ”.
3. Sub-skala “symmetry”: terdiri dari 10 item untuk mengevaluasi ada atau tidaknya
gerakan-gerakan stereotipi yang asimetris. Kesimetrisan sebuah gerakan sebenarnya
merupakan salah satu bentuk khusus variabilitas gerakan, namun pada IMP
dimasukkan ke dalam sub-skala terpisah karena kemungkinan mempunyai nilai
diagnostik khusus.11
4. Sub-skala “fluency”: terdiri dari 7 item, untuk menilai kelancaran gerakan bayi
dalam melakukan sebuah kemampuan motorik yang lebih halus. Dalam sub-skala
ini termasuk dua item tentang adanya tremor. Gerakan motorik yang tidak fluens
atau tidak lancar merupakan salah satu tanda awal kondisi neurologis yang tidak
optimal.9,12
5. Sub-skala “performance”: terdiri dari 23 item yang merupakan evaluasi pencapaian
kemampuan motorik seorang bayi. Hal tersebut berarti IMP tidak hanya bertujuan
untuk mengetahui kualitas pencapaian perilaku motorik saja, tetapi juga mengevaluasi
bagaimana kemampuan tersebut dicapai.
Skor total IMP dihitung dari penjumlahan skor untuk kelima sub-skala dan kemudian
dibagi lima. Semua skor untuk masing-masing sub-skala dan skor total dinyatakan dalam
bentuk persentase dengan skor maksimum sebesar 100%.10 Saat ini telah tersedia program
khusus berupa kalkulator untuk menghitung skor IMP secara otomatis. Kalkulator
tersebut dapat diperoleh pada saat pelatihan IMP.
Studi pendahuluan oleh Heineman, dkk (2008), merupakan studi pertama yang
mengevaluasi reliabilitas dan validitas keseluruhan (concurrent validity) IMP, dengan
membandingkannya dengan metode Alberta Infant Motor Scale (AIMS). Reliabilitas
intra-observer dan inter-observer skor total IMP berada pada level yang kuat (Spearman’s
rho 0.9 untuk keduanya; dengan 95%CI masing-masing 0,8-0,9 dan 0,8-1,0). Validitas
keseluruhan IMP terhadap AIMS sangat tinggi untuk sub-skala “performance” dan moderat
untuk skor IMP total.4
Studi terbaru oleh Hecker dkk (2016) menunjukkan bahwa IMP mempunyai
reliabilitas intra-observer dan inter-observer yang sangat kuat untuk skor IMP total (inter:
r = 0.80-0.96; intra: r = 0.85-0.97) dan sub-skala “performance” (r = 0.95-0.99). Untuk
113
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
reliabilitas sub-skala “variation”, “variability”, dan “fluency” berada pada level yang cukup
baik (inter: r = 0.15-0.85; intra: r = 0.30-0.92). Reliabilitas terendah didapatkan untuk
sub-skala “symmetry” (inter: r = 0.20-0.69; intra: r = 0.33-0.65).13
Studi untuk menilai validitas konstruktif IMP dilakukan oleh Heineman dkk (2010
dan 2013), untuk menilai korelasi skor IMP dengan berbagai kondisi prenatal, perinatal,
dan neonatal, dan korelasi skor IMP dengan kondisi patologis otak yang tampak pada
studi imaging, serta perbedaan skor IMP pada bayi kurang-bulan dan cukup-bulan.14,15
Analisis univariat menunjukkan adanya hubungan yang signifikan skor IMP dengan status
sosio-ekonomi, usia gestasi, tanda-tanda distres janin, persalinan sectio Caesaria (SC),
dan skor Apgar menit ke-5. Bayi kurang-bulan mempunyai skor IMP yang lebih rendah
dan mempunyai rentang skor IMP yang lebih lebar dibandingkan dengan bayi cukup-
bulan (Mann-Whitney; P<0,001), dan tidak didapatkan perbedaan skor IMP dalam hal
jenis kelamin bayi (Gambar 2). Bayi kurang-bulan dengan lesi di otak mempunyai skor
IMP lebih rendah dibandingkan yang tidak mempunyai lesi di otak, pada usia 4 bulan
(P=0,002), 6 bulan (P=0,003), 10 bulan (P=0,01) dan 18 bulan (P=0,004)14.
Gambar 2. Perbedaan skor IMP Total pada bayi kurang-bulan dan cukup-bulan
(Sumber: Heineman, 2010)14
IMP di Indonesia
Sepanjang penulis ketahui, sampai saat ini belum ada informasi tentang aplikasi secara
klinis penggunaan metode IMP dalam kegiatan follow-up bayi-bayi risiko tinggi di
Indonesia. Divisi Tumbuh Kembang Anak – Departemen Ilmu Kesehatan Anak, RSUD
Dr Soetomo / FK Unair Surabaya saat ini sedang dalam tahap penelitian longitudinal
tentang penerapan metode IMP untuk pemantauan perkembangan bayi yang lahir
prematur melalui studi LONGSPRINT (Longitudinal Surabaya Pediatric Research in
Infants), yang bekerjasama dengan Prof. Mijna Hadders-Algra dari Beatrix Children
Penutup
IMP merupakan instrumen baru yang dikembangkan untuk penilaian kualitatif perilaku
motorik bayi/anak berusia 3 bulan sampai 18 bulan. Instrumen IMP dapat dipergunakan
sebagai piranti deteksi dini dan evaluasi perkembangan motorik bayi dengan risiko tinggi
untuk mengalami gangguan motorik, seperti CP atau DCD. Instrumen IMP dikembangan
dengan dasar teori NGST. NGST menjelaskan bahwa perkembangan motorik normal
pada anak usia dini mempunyai dua fase variabilitas, yakni variabilitas primer (ditandai
dengan perilaku gerakan spontan yang ekploratif dan variatif ) dan variabilitas sekunder
atau variabilitas adaptif (ditandai dengan perilaku gerakan bertujuan tertentu sebagai hasil
seleksi strategi motorik terbaik untuk beradaptasi dengan lingkungan di sekitar bayi).
Instrumen IMP mempunyai dua sub-skala yang berbasis teori NGST (variation dan
variability/adaptability), dan tiga sub-skala tambahan (fluency, symmetry, dan performance).
Berbagai studi membuktikan bahwa IMP mempunyai reliabilitas dan validitas yang sangat
baik, serta mempunyai korelasi dengan berbagai faktor risiko yang terkait dengan gangguan
motorik. Hal tersebut mendukung penggunaan IMP untuk kegiatan deteksi dini dan
evaluasi penilaian perkembangan bayi risiko tinggi dalam praktik sehari-hari meskipun
masih mendapat beberapa kritik dari klinisi untuk disempurnakan pada beberapa aspek
dalam menilai validitas dan teknis pelaksanaanya.16
Daftar Pustaka
1. Heineman KR and Hadders-Algra M. Evaluation of neuromotor function in infancy – a
systematic review of availablemethods. J Dev Behavior Ped 2008;29:315-23
2. Spittle AJ, Doyle LW, Boyd RN. A systematic review of the clinimetric properties of neu-
romotor assessments for preterm infants during the first year of life. Dev Med Child Neurol
2008; 50: 254–66 (erratum in Dev Med Child Neurol 2008; 50: 800).
3. Noble Y, Boyd R. Neonatal assessments for the preterm infant up to 4 months corrected age:
a systematic review. Dev Med Child Neurol 2012, 54: 129–139.
4. Heineman KR, Bos AF, Hadders-Algra M. The Infant Motor Profile: a standardized and
qualitative method to assess motor behaviour in infancy. Dev Med Child Neurol 2008;
50:275-282.
5. Heineman KR, Bos AF, Hadders-Algra M. Infant Motor Profile and cerebral palsy: promising
associations. Dev Med Child Neurol 2011; 53(Suppl.4):40-46.
6. Hadders-Algra M. Variation and variability: key words in human motor development. Phys
Ther 2010;90:1823-1837.
7. Hadders-Algra M. The Neuronal Group Selection Theory: a framework to explain variation
in normalmotor development. Dev Med Child Neurol 2000;42:566-572.
115
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
8. Hadders-Algra M. The Neuronal Group Selection Theory: promising principles for under-
standing and treating developmental motor disorders. Dev Med Child Neurol 2000;42:707-
715.
9. Hadders-Algra M. General movements: A window for early identification of children at high
risk for developmental disorders. J Pediatr 2004;145:S12-18.
10. Heineman KR, Middelburg KJ, Hadders-Algra M. Development of adaptivemotor be-
haviour in typically developing infants. Acta Paediatr 2010;99:618-24
11. Guzzetta A, Haataja L, Cowan F, Bassi L, Ricci D, Cioni G, Dubowitz L,Mercuri E. Neuro-
logical examination in healthy term infants aged 3-10 weeks. Biol Neonate 2005;87:187-196
12. Hadders-Algra M, Mavinkurve-Groothuis AM, Groen SE, Stremmelaar EF, Martijn A,
Butcher PR. Quality of general movements and the development of minor neurological dys-
function at toddler and school age. Clin Rehabil 2004;18:287-299
13. Hecker E, Baer GD, Stark C, Herkenrath P, Hadders-Algra M. Inter- and intrarater reliability
of the Infant Motor Profile in 3- to 18-month-old infants. Pediatr Phys Ther 2016; 28:217-
222
14. Heineman KR, Bastide-van Gemert SL, Fidler V, Middelburg KJ, Bos AF, Hadders-Algra M.
Construct validity of the Infant Motor Profile: relation with prenatal, perinatal, and neonatal
risk factors. Dev Med Child Neurol 2010; 52:e209-e215
15. Heineman KR, Middelburg KJ, Bos AF, Eidhof L, Bastide-van Gemert SL, van Den Heuvel
ER, Hadders-Algra M. Reliability and concurrent validity of the Infant Motor Profile. Dev
Med Child Neurol 2013; 55:539-545.
16. Koseck K. A clinician’s view of the Infant Motor Profile. Dev Med Child Neurol 2008; 50:245-
245.
Abstract
The underlying pathophysiology of allergy involves immunoregulatory dysfunctions similar to those noted
in highly stressed populations. There is a bi-directional relationship between psychosocial factors and
allergic disorders. Allergy is an instructive model to study neuroendocrine-immune interaction in chronic
inflammation, a key research task taken on by a relatively new scientific field: psychoneuroallergology.
Activation of the neuroendocrine and sympathetic systems through catecholamine and cortisol secretion
exerts an influence upon the immune system, modifying the balance between Th1/Th2 response in
favor of Th2 action. It is not possible to affirm that chronic stress is intrinsically able to cause allergy.
Psychoneuroallergology is a term used to describe the interdisciplinary field of research at the interface
of allergology, psychobiology and clinical psychology. Environmental factors ranging from allergens to
perceived stress can trigger the release of neuropeptides from peripheral nerve endings that activate mast
cells and induce an exaggerated alarm response in peripheral organs such as the skin. Beyond this innate
immune response, neuroendocrine-immune interaction regulates specific immune balance depending
on intensity and timing of neuroendocrine activation, especially neuropeptides and neurotrophins
either enhance or suppress tissue regeneration and inflammation. Allergic inflammation thus serves to
understand the clinical and therapeutic implications of neuroendocrine-immune interaction in chronic
inflammatory disease and its implications for future treatment strategies.
P
sikoneuroalergologi adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan bidang
penelitian interdisipliner pada antar disiplin keilmuan alergi, psikobiologi dan
psikologi klinis. Psikoneuroalergologi memiliki dua tujuan utama: studi tentang
hubungan dua arah antara kehidupan psikologis individu yang memiliki predisposisi
genetik dan evolusi alerginya; dan reaksi pasien terhadap gejala alergi. Pengembangan
psikoneuroalergologi merupakan hasil kerja sama dari berbagai disiplin ilmu yaitu alergi,
psikosomatika, psikologi, psikobiologi, dermatologi dan pneumologi. Psikoneuroalergologi
menjelaskan peran faktor psikososial dalam evolusi penyakit alergi, misalnya hubungan
antara distress dan alergi pada tingkat klinis dan eksperimental, dampak alergi terhadap
kehidupan psikologi dan sosial pasien, psikoterapi dan psikofarmasi, dan kepatuhan
pasien terhadap rekomendasi terapeutik (1). Psikoneuroalergologi sebagai bagian dari
psikoneuroimunologi adalah konsep modern pada persilangan faktor-faktor psikososial
dengan faktor-faktor imunologi alergi yang mengeksplorasi hubungan yang kompleks
antara sistem saraf, sistem neuroendokrin, sistem kekebalan, dan penyakit alergi (2,3).
117
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Psikoneuroalergologi
Psikoneuroalergologi sebagai bagian dari psikoneuroimunologi, karena penyakit alergi
adalah penyakit sistem kekebalan. Saat ini ada tiga alasan utama mengapa minat
terhadap psikoneuroimunologi di bidang alergi (psikoneuroalergologi) menguat
(4-8), alasan-alasan tersebut adalah: (1). Keinginan memahami hubungan antara
stres dengan penyakitalergi. Psikoneuroalergologi menyediakan landasan untuk
memahami bagaimana paparan stres dan stresor mungkin relevan dengan onset dan
perkembangan penyakit klinis; (2). Keinginan memahami fenomena persepsi individu
dengan predisposisi penyakit alergi. Psikoneuroalergologi menjelaskan bagaimana
fenomena subjektif - misalnya sebagai persepsi dan pengalaman pribadi, emosi negatif
yang tidak terselesaikan (misalnya kemarahan, rasa bersalah), keadaan psikologis, konflik
internal, sifat kepribadian, perilaku emosional dan penanganan - dapat dikaitkan dengan
predisposisi penyakit dan prognosis; (3). Keinginan mempelajari intervensi pikiran untuk
penyembuhan penyakit. Jalur neuro-imunomodulator yaitu jalur psikoneuroimunologi
alergi (psikoneuroalergologi) memodulasi sistem kekebalan melalui jaringan saraf
memberikan penjelasan yang kuat tentang berapa banyak pendekatan pelengkap yang
benar-benar dapat bekerja dan bagaimana membuatnya menjadi lebih efektif pada basis
yang dapat diprediksi dan dapat direproduksi.
Psikoneuroimunologi alergi (psikoneuroalergologi) menunjukkan bahwa hampir
semua pertahanan tubuh berada di bawah kendali sistem saraf pusat (SSP). Ada aspek
psikologis yang menonjol pada pengaruh sentral ini. Setiap nilai, keyakinan, pemikiran
atau gagasan yang dipegang secara pribadi, semua yang kita pelajari dan perhatikan, dapat
memiliki konsekuensi neuro-kimia jarak jauh pada tingkat sel (efek perifer) (4,5). Sebagai
ilmu pengetahuan, psikoneuroimunologi alergi (psikoneuroalergologi) menjelaskan
bagaimana perubahan yang relatif kecil yang terjadi pada tingkat pusat yang tinggi dapat
mengalir ke bawah untuk menciptakan efek yang beragam dan meluas di perifer. Efek
perifer pada penyakit alergi dan hubungannya dengan stres dan subjektivitas individu
merupakan komponen yang sangat penting untuk pertimbangan terapeutik.
119
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Psikoneuroalegologi klinis terapan melibatkan: (1). Memahami bagaimana dan
mengapa variabel yang berbeda (misalnya ‘faktor stres’) mempengaruhi individu
tertentu dengan cara tertentu dari perspektif klinis alergi; (2). Memastikan bagaimana
mengembalikan keseimbangan yang diperlukan agar individu tersebut sehat dari sudut
pandang psikologis, fisik dan fisiologis; (3). Menetapkan cara paling efektif untuk
menangkap dan menyelesaikan proses penyakit alergi dengan menggunakan semua opsi
yang ada (pendekatan berbasis psikoneuroalergologi, tradisional dan komplementer)-mulai
dari masalah tingkat tertinggi ke bawah; (4). Mengkondisikankan apa yang seharusnya
terjadi bagi individu tersebut untuk mempertahankan kesehatan yang sedang berlangsung;
(5). Memberdayakan individu dan memungkinkan mereka untuk memfokuskan usaha
mereka pada apa yang benar-benar membuat perbaikan dari kondisi alergi (1,2,3).
121
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
mekanisme imunoregulasi alami sehingga kelak anak memiliki peningkatan risiko
menderita berbagai penyakit inflamasi termasuk alergi dan asma.
Stres pada ibu berpengaruh pada disregulasi sistem kekebalan pada anak. Wright
dkk melaporkan bahwa peningkatan stres pada anak usia dini berhubungan dengan
profil imunitas atopik pada anak atopik dan asma alergi (28). Stres pada pengasuh juga
meningkatkan kejadian mengi pada anak asma alergi yang diasuhnya (29, 30).
Prevalensi alergi dan asma meningkat di hampir semua negara di seluruh dunia
dan lebih umum terjadi di negara-negara terbelakang dan negara-negara berkembang.
Sebanyak 1 dari 3 individu menderita beberapa bentuk alergi (31).
Hubungan antara otak dan sistem kekebalan tubuh melibatkan dua jalur utama,
yaitu sistim saraf otonom (ANS) dan sumbu hyphophyseal-pituitary - adrenal (HPA).
Persepsi tentang stres menyebabkan aktivasi sistem HPA yang dimulai dengan sekresi
hormon pelepas kortikotropin (CRH) yang pada gilirannya menginduksi sekresi hormon
adrenocortictrophic (ACTH) oleh lobus anterior lobus hipofisis. ACTH mengaktifkan
sekresi kortikoid oleh korteks adrenal dan katekolamin (adrenalin dan noradrenalin) oleh
medula adrenal. Katekolamin dan kortikoid menekan produksi IL-12 oleh sel penyaji
antigen yang merupakan stimulan induksi utama dari TH1.
Corticoids juga dapat memberikan efek langsung pada sel TH2 sehingga
meningkatkan produksi IL-4, IL-10 dan IL-13 (32). Hasil akhirnya adalah dominasi
respon imun yang dimediasi sel TH2 yang mendukung respons inflamasi “alergi” pada
individu yang rentan. Sistim saraf otonom (ANS) terdiri dari sistem simpatis (adrenergik,
noradrenergik) dan parasimpatis (kolinergik) di SSP dengan noradrenalin dan asetil kolin
sebagai neurotransmitter, dan sistem non-adrenergik, non-kolinergik (peptidergik) yang
terutama ada di saluran cerna. Peptida utama dari sistem ini adalah peptida intestinal
vasoaktif (VIP), substansi P (SP) dan peptida yang terkait gen kalsitonin (CGRP) (33).
Sebagian besar sel sistem kekebalan tubuh memiliki reseptor membran permukaan untuk
berbagai kombinasi neurotransmiter, neuropeptida dan hormon (34). SSP memformat
sistem kekebalan tubuh melalui neurotransmitter [asetil kolin, noradrenalin, serotonin,
histamin, asam γ-aminobutyric (GABA), asam glutamat], neuropeptida (ACTH,
prolaktin, vasopresin, bradikinin, somatostatin, VIP, SP, neuropeptida Y, encephalin,
endorfin), faktor pertumbuhan neurologis (neuron growth factor [NGF]), dan hormon
(adrenalin dan kortikoid). Sistem kekebalan tubuh juga dapat memodulasi fungsi SSP
melalui berbagai molekul termasuk sitokin (TNFα dan TGFβ), kemokin (interferon )
dan NO (35).
Persepsi terhadap stres akut menstimulasi lokus ceruleus mengeluarkan noradrenalin.
Noradrenalin mengaktifkan sistem saraf simpatik yang menyebabkan penurunan produksi
IL-12. Neuropeptida termasuk SP, CGRP dan VIP adalah vasodilator kuat dan juga
meningkatkan permeabilitas vaskular. SP meningkatkan produksi TNFα dan IL-12 oleh
monosit dan makrofag. SP dan CRH dapat meregenerasi sel mast dalam fokus inflamasi.
Semua proses di atas menyebabkan perubahan inflamasi (36). SP dan CGRP telah
123
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Penutup
Stres pada individu yang rentan mendorong manifestasi penyakit alergi serta memperburuk
dan mempersulit pengendalian penyakit alergi. Penelitian saat ini telah memberikan bukti
anatomis dan fisiologis tentang adanya komunikasi intens antara mediator neuroendokrin,
serabut saraf dan sel kekebalan pada penyakit alergi, serta adanya hubungan dua arah
antara faktor psikososial dan alergi. Manajemen alergi yang optimal harus melibatkan
pendekatan multifaktor termasuk di dalamnya intervensi psikologis.
Daftar Pustaka
1. Iamandescu IB. Psychoneuroallergology. 2nd ed. Basel: Karger; 2007
2. Lekander M. Book review (Psychoneuroallergolog, Iamandescu IB). Allergy. 2000;55(8):790.
3. Iamandescu IB. Psychoneuroallergology. 1st ed. Bucuresti: Romania; 1998
4. Rossi E. The Psychobiology of Gene Expression. Norton: London; 2002
5. Segerstrom S. Individual Difference Factors in Psychoneuroimmunology. In: Ader R, Felten
DL and Cohen N eds. Psychoneuroimmunology. Academic Press: London; 1999
6. Callahan RJ,Trubo R. Tapping the Healer Within. Contemporary Books: New York; 2001
7. Kaminski P. Flower Essence Therapy: Integrating Body and Soul Wellness. In: Bassman L
editor. Mind, Mood & Emotion: A Book of Therapies. MJF Books: New York; 1998.
8. Zachariae R. Hypnosis and Immunity. In Ader R, Felten DL and Cohen N editors. Psycho-
neuroimmunology. Academic Press; London; 1999.
9. Coleman F, Kay J. The Biology of the Brain. In: Kay J, Tasman A, Lieberman JA editors.
Psychiatry: Behavioural Science and Clinical Essentials. WB Saunders: Pennsylvania; 2000.
10. Cohen S. Happiness and The Immune System. Positive Health. 2006; 82: 9-12.
11. Willenberg H. Stress-Induced Disease: an overview. In: Fink G ed. Encyclopaedia of Stress.
Academic Press: London; 2009
12. Guyton A. Behavioural Functions of the Brain: The Limbic System, Role of the Hypothal-
amus, and Control of Vegetative Functions of the Body. In Guyton AC ed. Textbook of
Medical Physiology. WB Saunders; Pennsylvania; 1986.
13. Vickers A. Against Mind-Body Medicine. Positive Health. 1999; 37
14. Osler, W. The principles and practice of medicine. Edinburgh: YJ Pentland; 1892.
15. McEwen BS. Central effects of stress hormones in health and disease: Understanding the pro-
tective and damaging effects of stress and stress mediators. Eur J Pharmacol. 2008; 583(2–
3):174–185.
16. McEwen BS, Stellar E. Stress and the individual. Mechanisms leading to disease. Arch Intern
Med. 1993;153(18):2093–2101.
17. Clays E, De Bacquer D, Leynen F, Kornitzer M, Kittel F, De Backer G. Job stress and depres-
sion symptoms in middle-aged workers--prospective results from the Belstress study. Scand J
Work Environ Health. 2007; 33(4):252–259.
18. Muller N, Ackenheil M. Psychoneuroimmunology and the cytokine action in the CNS:
implications for psychiatric disorders. Prog Neuropsychopharmacol Biol Psychiatry. 1998;
22(1):1–33.
125
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
37. Lamb JP, Sparrow MP. Three-dimensional mapping of sensory innervation with substance p
in porcine bronchial mucosa: comparison with human airways. Am J Respir Crit Care Med.
2002; 166(9):1269–1281.
38. Joachim RA, Sagach V, Quarcoo D, Dinh QT, Arck PC, Klapp BF. Neurokinin-1 receptor
mediates stress-exacerbated allergic airway inflammation and airway hyperresponsiveness in
mice. Psychosom Med.2004; 66(4):564–571.
39. Nockher WA, Renz H. Neurotrophins in allergic diseases: from neuronal growth factors to
intercellular signaling molecules. J Allergy Clin Immunol. 2006; 117(3):583–589.
40. Wu X, Myers AC, Goldstone AC, Togias A, Sanico AM. Localization of nerve growth factor
and its receptors in the human nasal mucosa. J Allergy Clin Immunol. 2006;118(2):428–433.
41. Barton C, Clarke D, Sulaiman N, Abramson M. Coping as a mediator of psychosocial imped-
iments to optimal management and control of asthma. Respir Med. 2003; 97(7):747–761.
42. Lehrer PM, Vaschillo E, Vaschillo B, et al. Biofeedback treatment for asthma. Chest. 2004;
126(2):352–361.
43. Epstein GN, Halper JP, Barrett EA, et al. A pilot study of mind-body changes in adults with
asthma who practice mental imagery. Altern Ther Health Med. 2004; 10(4):66–71.
44. Freeman LW, Welton D. Effects of imagery, critical thinking, and asthma education on symp-
toms and mood state in adult asthma patients: a pilot study. J Altern Complement Med.
2005 ;11(1): 57–68.
45. Huntley A, White AR, Ernst E. Relaxation therapies for asthma: a systematic review. Thorax.
Feb; 2002 57(2):127–131
46. Markham AW, Wilkinson JM. Complementary and alternative medicines (CAM) in the
management of asthma: an examination of the evidence. J Asthma. 2004; 41(2):131–139.
47. Counil FP, Varray A, Matecki S, et al. Training of aerobic and anaerobic fitness in children
with asthma. J Pediatr. 2003; 142(2):179–184.
48. Hallstrand TS, Bates PW, Schoene RB. Aerobic conditioning in mild asthma decreases the
hyperpnea of exercise and improves exercise and ventilatory capacity. Chest. 2000; 118(5):
1460–1469.
49. Krommydas G, Gourgoulianis KI, Karamitsos K, Krapis K, Kotrotsiou E, Molyvdas PA.
Therapeutic value of antidepressants in asthma. Med Hypotheses. 2005; 64(5):938–940.
50. Katon WJ, Richardson L, Lozano P, McCauley E. The relationship of asthma and anxiety
disorders. Psychosom Med. 2004; 66(3):349–355.
51. Haida M, Itoh K. Clinical effect of alprazolam and trazodone on bronchial asthmatics with
anxiety disorder. Arerugi.1997; 46(10):1058–1071.
52. Kang DH, McCarthy DO. The effect of psychological stress on neutrophil superoxide re-
lease. Res Nurs Health. 1994; 17(5):363–370.
53. Wakikawa A, Utsuyama M, Wakabayashi A, Kitagawa M, Hirokawa K. Vitamin E enhances
the immune functions of young but not old mice under restraint stress. Exp Gerontol. 1999;
34(7):853–862.
P
emberian antibiotik telah terbukti meningkatkan kualitas hidup manusia dan angka
menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat penyakit infeksi. Cara pemberiannya
tidak terlalu sulit dan karena sebagian besar antibiotik memiliki avaibilitas yang
baik, memungkinkan petugas kesehatan memberikan terapi empiris dengan spektrum
luas terhadap berbagai penyakit infeksi.
Luasnya pemakaian antibiotik kemudian memberikan dampak peningkatan resistensi
sehingga pemilihan pemberian antibiotik menjadi semakin sempit dan mahal. Untuk
menghindari hal makin meluasnya resistensi, dalam penggunaan antibiotik diperlukan
ketepatan diagnosis, tentunya dengan mempertimbangkan kondisi klinis serta usia pasien,
serta mengetahui pola kuman dan suseptibilitas antibiotik di fasilitas kesehatan tersebut,
sebagai dasar pemberian terapi empirik. Selanjutnya dibutuhkan modifikasi penggunaan
antibiotik dengan memberikan spektrum yang lebih sempit berdasarkan hasil kultur serta
respons klinis terhadap pengobatan yang telah diberikan.
Untuk mendapatkan hasil optimal dalam mengatasi penyakit infeksi, pemberian
antibiotik diharapkan mampu memberikan perbaikan klinis pasien dengan mengetahui
secara tepat target terapi, yaitu terhadap patogen penyebab penyakit dengan antibiotik
yang tepat, serta dosis dan durasi pemberian yang sesuai. Tentunya hal ini diharapkan
mampu mempercepat kesembuhan, meminimalkan efek samping, serta mengurangi
angka resistensi akibat pemberian antibiotik.
Pemilihan Antibiotik
Berbagai antibiotik telah tersedia di tiap fasilitas kesehatan di Indonesia, bahkan beberapa
golongan yang poten untuk mengatasi infeksi berat seperti seftazidim, meropenem,
vankomisin, secara luas digunakan sebagai terapi inisial atau empiris terhadap pasien
dengan infeksi ringan-sedang yang dirawat di ruang rawat inap biasa. Diperberat dengan
rendahnya kesadaran petugas kesehatan atas pentingnya pencegahan dan pengendalian
infeksi di fasilitas kesehatan tersebut, maka dapat dibayangkan sulitnya memilih regimen
127
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
antibiotik bagi pasien dalam kondisi infeksi berat, mengingat kemungkinan telah terjadi
resistensi kuman.
Beberapa langkah di bawah ini (Tabel 1) diharapkan mampu memberikan wawasan
dalam memutuskan penggunaan dan pemilihan regimen antibiotik.
Dosis Antibiotik
Berbagai karakteristik dibutuhkan dalam memberikan antibiotik, termasuk kemampuan
absorpsinya, distribusi obat dalam tubuh, metabolisme, serta ekskresinya, atau dengan kata
lain farmakokinetik dan farmakodinamik memegang peranan penting dalam menentukan
dosis antibiotik.
Pada infeksi berat, dosis antibiotik dapat diberikan lebih tinggi bahkan mungkin
memerlukan frekuensi pemberian lebih sering. Penentuan dosis yang akan diberikan
sangat tergantung oleh kondisi masing-masing pasien (“tailored”). Contoh dosis antibiotik
dapat dilihat pada Tabel 3 di bawah ini.
129
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Antibiotik Rute Pembe- Infeksi Ringan sampai Sedang Infeksi Berat
rian (per kgBB) (per kgBB)
Sefotaksim i.v., i.m. Tidak sesuai 100 – 180 mg dalam 4 – 6
dosis
Seftazidim i.v., i.m. Tidak sesuai 100 – 150 mg dalam 3 dosis
Seftriakson i.v., i.m. Tidak sesuai 100 – 150 mg dalam 2 –3 dosis
Sefepim i.v., i.m. Tidak sesuai 100 – 150 mg dalam 3 dosis
Meropenem i.v. Tidak sesuai 60 – 120 mg dalam 3 dosis
Azitromisin p.o. 10 mg hari ke-1, selanjutnya 5 mg Tidak sesuai
Klaritromisin p.o. 15 mg dalam 2 dosis Tidak sesuai
Eritromisin p.o. 30 – 50 mg dalam 4 dosis Tidak sesuai
Klindamisin i.v., i.m. Tidak sesuai 20 – 40 mg dalam 3 – 4 dosis
Amikasin i.v., i.m. Tidak sesuai 15 – 22,5 mg dalam 3 dosis
Gentamisin i.v., i.m. Tidak sesuai 5 – 7,5 mg dalam 3 dosis
Streptomisin i.m. Tidak sesuai 20 – 40 mg dalam 1 – 2 dosis
Doksisiklin p.o. 2,2 – 4,4 mg dalam 1 – 2 dosis Tidak sesuai
Kloramfenikol i.v., p.o. Tidak sesuai 50 – 100 mg dalam 4 dosis
Kotrimoksazol p.o. 8 – 12 mg TMX/40 – 60 mg SMX Tidak sesuai
dalam 2 dosis
Siprofloksasin p.o. 10 – 20 mg dalam 2 dosis Tidak sesuai
i.v. Tidak sesuai 20 – 30 mg dalam 2 dosis
Metronidazol i.v. Tidak sesuai 30 mg dalam 4 dosis
p.o. Tidak sesuai 20 – 30 mg dalam 2 – 3 dosis
Linezolid i.v. Tidak sesuai 20 – 30 mg dalam 2 – 3 dosis
p.o. Tidak sesuai 22,5 mg dalam 3 dosis
Sumber: Michelow IC, 2009
Bayi dan anak memiliki farmakokinetik yang berbeda dengan dewasa sehingga cara
mudah dalam perhitungan dosis dengan mengurangi kebutuhannya dengan mengacu
dosis dewasa boleh jadi kurang adekuat untuk efektivitas dan keamanan obat bagi pasien
bayi dan anak. Informasi dosis untuk anak seringkali kita peroleh dari brosur obat, namun
demikian keterangannya masih terbatas mengingat penelitian pascapemasaran oleh farmasi
terhadap efek obat pada anak sangat minim.
Pada umumnya dosis pediatri menggunakan mg/kgBB. Namun apabila dosis tersebut
tidak tersedia, usia, berat badan, atau luas permukaan tubuh dapat digunakan dengan
menentukan dosis obat.
Perhitungan dosis berdasarkan usia atau berat badan merupakan cara konservatif
yang cenderung hasilnya lebih rendah daripada yang dibutuhkan.
•• Usia (cara Young):
•• Dosis = dosis dewasa x
•• Berat badan (cara Clark; lebih akurat dibandingkan perhitungan berdasarkan usia)
Dosis = dosis dewasa x
Dosis obat pada umumnya krusial sampai usia 12–36 bulan (toddlerhood) mengingat
sampai usia tersebut laju metabolisme berbagai obat tinggi sehingga memerlukan dosis
lebih tinggi dibandingkan usia selanjutnya. Demikian pula kemampuan ginjal dalam
mengeliminasi obat, sampai masa toddler, waktu paruh obat lebih pendek dibandingkan
dengan anak yang lebih besar, sehingga boleh jadi akan meningkatkan eliminasi ginjal
dan metabolisme. Mekanisme terjadinya perubahan farmakokinetik obat berdasarkan usia
sampai saat ini belum diketahui secara jelas.
Sering kali klinisi mengalami kesulitan dalam menentukan dosis antibiotik pada
pasien anak dengan obesitas sehingga seringkali melakukan konversi penghitungan
dengan menggunakan berat badan ideal pasien dewasa. Perhitungan untuk melakukan
estimasi berat badan ideal pasien dewasa, tidak dapat digunakan pada pasien anak. Berat
badan ideal (ideal body weight/IBW) anak adalah menggunakan kurva tumbuh kembang
yang dikeluarkan oleh WHO-CDC 2005. Pada obesitas, dosis antibiotik membutuhkan
penyesuaian dosis, yaitu dengan mengetahui penyesuaian berat badan (adjusted body
weight/ABW) berdasarkan IBW, berat badan aktual pasien atau berat badan total (total
body weight/TBW), serta konstanta (Tabel 5).
131
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Tabel 5. Cara menentukan Dosis Antibiotik untuk Obesitas
Antibiotik Dosis Penyesuaian
Sefazolin Menggunakan dosis dalam tertinggi
Sefotaksim ABW = IBW = 0,3 (TBW – IBW)
Seftriakson ABW = IBW = 0,3 (TBW – IBW)
Aminoglikosid ABW = IBW + 0,4 (TBW – IBW)
Meropenem Tidak memerlukan penyesuaian
Eritromisin Dosis tergantung IBW
Azitromisin Tidak ada data untuk obesitas
Klindamisin Tidak ada data untuk obesitas
Kotrimoksazol Tidak ada data untuk obesitas
Metronidazol Tidak ada data untuk obesitas
Vankomisin Dosis tergantung TBW
ABW: adjusted body weight; IBW: ideal body weight; TBW: total body weight
Sumber: Wagner JL, 2009
Dosis antibiotik juga tergantung dari kondisi ginjal pasien karena pada umumnya
eksresi obat adalah di ginjal, maka dalam kondisi insufisiensi akan membutuhkan
penyesuain dosis. Kalkulasi dengan menggunakan metode Cockroft-Gault atau Jelifffe
yang dipakai pada pasien dewasa tidak boleh digunakan pada anak. Pada anak, perhitungan
kreatinin klirens diperlukan untuk mengukur laju filtrasi glomerulus, adalah dengan
menggunakan metode Schwartz dan pemeriksaan nuklir.
Penyesuaian pemberian antibiotik pada insufisiensi renal (Tabel 6) dapat dilakukan
dengan memperpanjang interval pemberian atau mengurangi dosis atau menggunakan
kedua cara. Apabila pasien sedang dalam hemodialisis dan peritoneal dialisis, mungkin
diperlukan dosis tambahan akibat terbuangnya obat setelah dilakukan tindakan dialisis.
Pasien dengan gagal hati diperlukan pula penyesuaian dosis obat. Berbagai tingkatan
kegagalan hati dibuat skoring berdasarkan klinis dan pemeriksaan biokimia atau dikenal
sebagai skor Child-Pugh (Tabel 7) menjadi acuan dalam pemberian dosis antibiotik.
Interpretasi:
Poin Tingkatan 1-Year Survival 2-Year Survival
5–6 A 100% 85%
7–9 B 81% 57%
10 – 15 C 45% 35%
Sumber: Wagner JL, 2009
Meningitis bakterial:
- Neisseria meningitides 7 hari
- Haemophilus influenzae 7 hari
- Streptococcus pneumonia 10 – 14 hari
- Streptococcus agalactiae 21 hari
- Gram-negative bacilli 21 hari
- Listeria monocytogenes 21 hari
CRBSI:
- Coagulase-negative Staphylococcus spp. 5 – 7 hari
- Staphylococcus aureus 4 – 6 minggu
- Staphylococcus lugdunensis 4 – 6 minggu
- Enterococcus spp. 7 – 14 hari
- Gram-negative bacilli 7 – 14 hari
Native valve endocarditis
- Viridans Group and S. bovis (MIC: >.12, ≤0.5μg/mL) 4 minggu
- Viridans Group and S. bovis (MIC: ≤.12μg/mL) 14 hari
- MSSA (uncomplicated right-sided) 14 hari
- MRSA 6 minggu
Prosthetic valve endocarditis
- Viridans Group and S. bovis (MIC: ≤.12μg/mL) 6 minggu
- MSSA and MRSA ≥6 minggu
Complicated intra-abdominal infection 4–7 hari
Pyelonephritis 14 hari
Disamping jenis penyakit infeksi dan etiologinya, durasi pemberian juga ditentukan
respons klinis pasien terhadap terapi.
135
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
juga dibutuhkan apabila pemberian sediaan oralnya memiliki absorpsi yang buruk.
Pemberian antibiotik secara intramuskuler atau subkutan membutuhkan laju aliran
darah yang baik pada tempat injeksi, sehingga jangan lakukan cara ini dalam kondisi
syok atau vasokonstriksi akibat pemberian obat simpatomimetik. Bagi pasien anak cara
penyuntikan intramuskular dan subkutan kurang kurang disukai karena memberikan rasa
nyeri. Pada bayi prematur dalam kondisi sakit yang kurang masa ototnya ditambah dengan
kurang baiknya perfusi perifer, apabila dilakukan injeksi intramuskular dapat diprediksi
absorpsi antibiotik akan diabsorpsi jauh lebih lambat daripada yang diharapkan. Namun
hal sebaliknya mungkin pula terjadi, yaitu apabila perfusi mendadak baik sehingga kadar
obat yang mencapai sirkulasi meningkat dan mungkin berpotensi toksik, terutama dalam
pemberian antibiotik golongan aminoglikosid.
Pemberian antibiotik secara oral lebih cenderung bermasalah apabila diberikan pada
bayi baru lahir. Terdapat perubahan biokimia dan fisiologi saluran cerna bayi baru lahir,
berupa sekresi asam lambung yang lambat, pemanjangan waktu pengosongan lambung,
peristalsis yang ireguler dan pelan, sehingga pemberian obat oral mungkin meningkatkan
toksisitas. Aktivitas enzim pencernaan juga cenderung lebih rendah, pada duodenum
aktivitas amilase dan enzim pankreas sempurna pada usia 4 bulan, sehingga pemberian
obat yang larut dalam lemak pada bayi usia <4 bulan akan menurunkan absorpsi obat
tersebut. Absorpsi obat oral pada bayi baru lahir dibandingkan dengan anak dapat dilihat
pada Tabel 10.
Tabel 10. Bioavaibilitas (Absorpsi Beberapa Obat via Oral) pada Bayi Baru Lahir Dibandingkan Anak
Obat Absorpsi Oral
Ampisilin Meningkat
Penisilin G Meningkat
Sulfonamid Normal
Asetaminofen Menurun
Penutup
Banyak faktor yang mempengaruhi pemberian antibiotik secara tepat dalam mengatasi
Daftar Pustaka
1. Southwick FS. Anti-infective therapy. Dalam: Hirschel B, Lew PD, Ramphal R, Southwick
FS, Swaminathan S, penyunting. Infectious diseases: a clinical short course. Edisi ke-2. New
York. McFraw-Hill; 2008. h. 1–56
2. Wagner JL, Lee CKK. Drug dosing in special circumstances. Dalam: McMillan JA, Siberru
GK, Dick JD, Lee CKK, penyunting. The Harriet Lane handbook of pediatric antimicrobial
therapy. Edisi ke-1. Philadelphia. Mosby-Elsevier; 2009. h. 151-216
3. Lampiris HW, Maddix, DS. Clinical use of antimicrobial agents. Dalam: Basic & clinical
pharmacology. Katzung BG, Masters SB, Trevor AJ, penyunting. Edisi ke-11. New York.
McGraw-Hill; 2009. h. 885–98
4. Eliopoulos GM, Hayashi Y, Paterson DL. Strategies for Reduction in Duration of Antibiotic
Use in Hospitalized Patients. Clin Infect Dis. 2011;52:1232-40.
5. Michelow IC, McCraken GH. Antibacteria therapeutic agents. Dalam: Feigin & Cherry’s
textbook of pediatric infectious diseases. Feigin RD, Cherry JD, Demmler-Harrison GJ,
Kaplan SL, penyunting. Edisi ke-6. Philadelphia. Saunders-Elsevier; 2009. h. 3178-227
137
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Efek Samping Jangka Panjang dari
Antiretroviral pada Pasien HIV/AIDS
Anggraini Alam
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran/RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung
P
enggunaan antiretroviral (ARV) sangat penting untuk pasien HIV, berdampak
pada perjalanan penyakit dan menurunkan kejadian infeksi oportunistik, sehingga
kualitas hidup pasien membaik, walaupun demikian penggunaannya terkait dengan
beberapa efek samping. Efek samping terapi ARV dapat menjadi alasan utama penghentian
minum obat oleh pasien. Sekitar 80% pasien dewasa dengan HIV akan mengalami efek
samping terutama dalam setahun pertama minum obat, data kejadian efek samping pada
anak belum banyak laporannya.
Obat-obatan ARV bersifat toksik. Beberapa reaksi akut yang terasosiasi dengan
ARV antara lain: reaksi hipersensitifitas, neurotoksisitas, gangguan liver, gangguan
distribusi lemak, dislipidemia, disfungsi seksual, resistensi insulin serta diabetes.
Penggunaan nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTI) berhubungan dengan reaksi
hipersenstivitas, anemia, dan neutropenia. Non-nuceloside reverse transcriptase inhibitors
(NNRTI) dikaitkan dengan dengan ruam dan hepatotoksisitas. Protease inhibitors (PI)
juga berhubungan dengan hiperglikemia, dislipdemia, dan gejala gastrointestinal.
139
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
1. Lipodistrofi
Lipodistrofi merupakan bagian dari sindrom metabolik, ditandai dengan kondisi
degeneratif tubuh meliputi resistensi insulin, pengeroposan tulang, dan dislipidemia.
Lipodistrofi yang mempengaruhi pasien dengan HIV positif perama kali diketahui
pada tahun 1998. Kondisi klinis tampak berupa hilangnya lemak perifer (lipoatrofi)
pada wajah, anggota gerak dan bokong, payudara, dorsoservikal tulang punggung
(“buffalo hump”), dan terbentuk lipoma. Stavudine (d4T) adalah NRTI yang paling
berhubungan dengan lipodistrofi, studi di Negara Barat menunjukkan insidens sekitar
50% sampai dengan 63%.
Pasien yang menerima PI juga dapat mengalami lipodistrofi, terutama bila
saat mulai terapi ARV memiliki jumlah sel CD4 yang rendah. Hasil studi kohort
di beberapa Negara di Asia Timur menunjukkan angka kejadian lipodistrofi sebesar
3,5%. Studi di Kamerun memperlihatkan lipodistrofi pada 5,3% dari 399 pasien
yang dirawat. Hasil yang lebih tinggi ditemui di Nigeria, yaitu 49,9% dan Rwanda
24,8%. Kondisi lipodistrofi ternyata mempengaruhi suasana hati 36% dan hubungan
sosial 23% pada etnis Tiongkok pasien HIV di Singapura.
2. Asidosis Laktat
Komplikasi serius dari terapi ARV adalah asidosis laktat. Angka insidens bervariasi
mulai dari 1,3 hingga 10 per 1000 orang. Prevalens hiperlaktasemia pada pasien
rawat jalan yang sedang menjalani terapi ARV sekitar 9–16%. Studi menunjukkan
bawa asidosis laktat disebabkan oleh toksisitas mitokondria dan toksisitas tersebut
berkembang melalui inhibisi DNA polymerase-ɣ mitokondria oleh NRTI. Stavudine
(d4T), didanosine (ddI), dan zalcitabine (ddC) menginduksi lebih banyak messenger
transfer DNA (mt-DNA) dibandingkan yang lain.
Dahulu ARV diberikan monoterapi dan asidosis laktat dilaporkan terkait dengan
penggunaan zidovudine, bahkan kejadiannya di Negara Barat mencapai 90%. Case
fatality rate (CRF) zidovudine monoterapi adalah sebesar 68%, dibandingkan dengan
pasien yang mendapat NRTI jenis lainnya, yaitu sebesar 37%.
Pada masa pemberian terapi HIV diberikan minimal 3 macam obat atau dikenal
sebagai highly active antiretroviral therapy (HAART), dilaporkan angka insidensi
asidosis laktat berkisar 1,3–3,9 kasus per 1000 orang per tahun. Penelitian di Afrika
Selatan melaporkan 14 kasus asidosis laktat pada 737 pasien atau insidensnya 19
kasus per 1000 orang per tahun. Didanosine dan stavudine memiliki kapasitas lebih
tinggi untuk menghambat aktifitas DNA g-polimerase in vitro dibandingkan obat
NRTI’s lain dan terbukti dalam studi klinis berhubungan dengan risiko asidosis laktat
yang lebih tinggi pada pasien yang terinfeksi HIV. Studi kohort multipel dan laporan
kasus dari Negara maju relatif jarang ditemukan kasus asidosis laktat, hal ini mungkin
karena monitor yang lebih ketat. Pada pemberian HAART dengan menggunakan
stavudine, ancaman asidosis masih perlu diperhatikan dan perempuan lebih berisiko
mengalami efek samping tersebut.
4. Anemia
Studi secara luas menunjukkan prevalens tinggi kejadian anemia pada populasi yang
terinfeksi HIV. Meskipun penggunaan ARV terbukti mengurangi anemia dengan
mendukung laju perjalanan penyakit, zidovudine berhubungan dengan toksisitas
hematologis. Saat terapi mulai diberikan, anemia terkait zidovudine biasanya terjadi
dalam jangka waktu 3 bulan. Faktor risiko meliputi tingginya dosis zidovudine,
meningkatnya durasi pengobatan, rendahnya jumlah sel CD4, dan anemia yang telah
ada sebelumnya. Penelitian di Nigeria, Co te d’Ivoire, Haiti, dan India menemukan
insidens anemia terkait zidovudine adalah sebesar 3–12%. Sebuah studi di Gujarat
melaporkan efek samping anemia sebesar 20% dari 71% efek samping pada pasien
yang menerima terapi HAART. Studi Curkendall dkk. memperlihatkan efek samping
anemia sebesar 13% dari pasien yang memulai regimen dengan Zidovudine dan 8,7%
mengalami anemia dengan regimen NRTI lainnya.
141
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Beberapa efek samping yang penting dari NNRTI adalah ruam hipersensitivitas,
hepatotoksisitas, dan toksisitas saraf.
1. Ruam hipersensitivitas
Ruam hipersensitifitas umum terjadi pada pasien infeksi HIV, terjadi pada 16–20%
pasien di Negara maju. Ruam pada umumnya terjadi dalam hari ke sepuluh setelah
dimulainya terapi, berbeda dengan reaksi hipersensitivitas yang dapat timbul kapan
pun.
Pemberian ARV golongan NRTI dan PI tidak berhubungan dengan peningkatan
reaksi alergi obat di awal penggunaannya, namun kejadian ruam terjadi pada 10–20%
pasien yang menerima NNRTI. Data insidens ruam terkait NNRTI yang dilaporkan
sangat bervariasi, dengan risiko lebih tinggi pada perempuan terkait pemberian
nevirapine. Akibat ruam terkait reaksi silang nevirapine dan efivarenz sangat sedikit,
maka terapi nevirapine dapat digantikan dengan efavirenz bila terjadi ruam.
2. Hepatotoksisitas
Peningkatan tes fungsi hati dan interaksi obat merupakan komplikasi yang signifikan
pada pasien HIV dengan terapi ARV. Pada pasien yang memulai terapi, 14–20%
diantaranya akan mengalami peningkatan enzim hati. Sebuah penelitian di Afrika
Selatan melaporkan 17% kejadian hepatotoksisitas serius dari 385 pasien yang
menerima nevirapine. Di Thailand menemukan18,6% pasien dengan nevirapine
mengalami kondisi hepatitis yang serius, dan angka ini akan meningkat apabila
terdapat koinfeksi dengan virus Hepatitis B dan Hepatitis V yaitu sebesar 57,4% dan
72,2%.
3. Gangguan neuropsikiatri
Infeksi HIV meningkatkan risiko pasien terhadap beberapa gangguan psikiatri,
diantaranya depresi, mania, psikosis, dan penyalahgunaan obat, hal ini menjadi
penting karena dokter spesialis anak akan mengelola pasien dalam jangka panjang
hingga mencapai usia 18 tahun. Terapi ARV dapat mempresipitasi atau memperparah
gangguan psikiatri, terutama akibat penggunaan efavirenz.
Penelitian kohort di Negara Barat menunjukkan hampir setengah pasien
mengalami gangguan neuropsikiatri pada saat inisiasi terapi efavifrenz yang akan
menghilang dalam satu bulan. Namun karena neurotoksisitas persisten akibat efavirenz,
10% pasien HIV di Haiti mengganti regimen terapi. Kejadian neurotoksisitas yang
tinggi, yaitu 69% setelah inisiasi efavirens dilaporkan di Coˆte d’Ivoire.
Efek samping sistem saraf pusat dapat terjadi dengan keluhan pusing, nyeri kepala,
konfus, stupor, gangguan konsentrasi, halusinasi, insomnia, dan mimpi buruk. Efek
samping tersebut umumnya akan berhenti setelah menggunakan terapi selama 6–10
minggu, namun beberapa pasien mungkin akan lebih lama.
Terkait obat
Pasien harus diinformasikan, diantisipasikan dan diobati efek samping yang terjadi.
143
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Dalam upaya mencegah interaksi dengan makanan, sebaiknya kebutuhan makanan
disederhanakan. Efek samping dari interaksi obat sebaiknya dihindarkan. Jika
memungkinkan, kurangi frekuensi dosis pemberian obat dan jumlah obat yang diminum.
Terkait pasien
Negosiasikan dengan pasien rencana pengobatan sehingga pasien dapat mengerti dan
memberikan komitmen dalam pengobatannya. Berikan waktu kepada pasien untuk
dapat mengerti tujuan terapi dan pentingnya kepatuhan terapi. Memastikan kesiapan
pasien untuk meminum obat sebelum resep pertama diberikan. Keluarga dan sahabat
dapat diajak untuk memastikan kepatuhan minum obat pasien. Mengembangkan rencana
konkrit untuk regimen spesifik, termasuk perencanaan makan, aktifitas sehari-hari, dan
efek samping yang mungkin terjadi. Dapat dipertimbangkan memberikan obat percobaan
dengan menggunakan permen. Berikan jadwal tertulis atau alat untuk pengingat waktu
minum obat. Pasien juga dapat diajak ke dalam support group.
Terkait dokter
Seorang dokter dalam upaya meningkatkan kepatuhan minum obat pasiennya pertama
harus mengembangkan rasa percaya dari pasiennya tersebut. Dokter harus berperan
sebagai pemberi edukasi dan sumber informasi, dukungan berkelanjutan dan pemantau.
Menyediakan akses di antara kunjungan pasien untuk pertanyaan, baik berupa telepon
ataupun saat cakupan libur kerja. Dokter harus memantau kepatuhan secara terus menerus
dan mengintensifikasikan manajemen di saat periode kepatuhan yang kurang. Dokter
juga dapat bekerja sama dengan tim khusus pada pasien-pasien sulit dengan kebutuhan
khusus. Dokter juga harus mempertimbangkan diagnosis tambahan, seperti depresi, dan
efek sampingnya pada kepatuhan minum obat.
Penutup
Perkembangan terbaru penggunaan terapi ARV telah meningkatkan harapan hidup pasien
HIV namun penggunaan jangka panjang agen retroviral dan potensial telah mengarah
kepada masalah baru dan komplikasi. Terapi terkini membutuhkan terapi seumur hidup
yang dapat berhubungan dengan toksisitas tertentu. Banyak efek samping terapi yang
dapat menimbulkan gejala-gejala yang memengaruhi banyak sistem organ. Meski regimen
ARV yang ada potensial menurut perspektif antiviral, namun dapat terjadi kegagalan akibat
Daftar pustaka
1. Vidal F, Gutierrez F, Gutierrez M, Olona M, Sanchez V, Mateo G, et al. Pharmacogenetics of
adverse effects due to antiretroviral drugs. AIDS Rev. 2010;12:15-30.
2. Canadian AIDS Treatment Information Exchange (CATIE). A Practical Guide to Herbal
Therapies for People Living with HIV.
3. Chastain DB, Henderson H, Stover KR. Epidemiology and Management of Antiretrovi-
ral-Associated Cardiovascular Disease. Open AIDS J. 2015;9:23-37.
4. German P, Liu HC, Szwarcberg J, Hepner M, Andrews J, Kearney BP, et al. Effect of cobi-
cistat on glomerular filtration rate in subjects with normal and impaired renal function. J
Acquir Immune Defic Syndr 2012;61:32–40.
5. Hima BA, Naga AP. Adverse Effects of Highly Active Anti-Retroviral Therapy (HAART). J
Antivir Antiretrovir. 2011;3:60-4.
6. Khan K, Khan AH, Sulaiman AS, Soo CT, Aftab RA. Adverse effect of highly active anti-ret-
roviral therapy (HAART) in HIV/AIDS patients. Indian J Pharm Practice. 2014;7:29-35.
7. Lepist EI, Ray AS. Renal drug–drug interactions: what we have learned and where we are
going. Expert Opin Drug Metab Toxicol. 2012;8:433–48.
8. Max B, Sherer, R. Management of the adverse effects of antiretroviral therapy and medication
adherence. Clin Infect Dis. 2000;30:S96-116.
9. Patel P, Song I, Borland J, Patel A, Lou Y, Chen S, et al. Pharmacokinetics of the HIV in-
tegrase inhibitor S/GSK1349572 co-administered with acid-reducing agents and multivita-
mins in healthy volunteers. J Antimicrob Chemoter. 2011;66:1567-72.
10. Reust CA. Common Adverse Effects of Antiretroviral Therapy for HIV Disease. Am Fam
Physician. 2011;83:1443-51.
11. Subbaraman R, Chaguturu SK, Mayer KH, Flanigan TP, Kumarasamy N. Adverse Ef-
fects of Highly Active Antiretroviral Therapy in Developing Countries. Clin Infect Dis.
2007;45:1093–101.
12. Teklay G, Legesse B, Legesse M. Adverse Effect and Regimen Switch among Patients on
Antiretroviral Treatment in a Resource Limited Setting in Ethiopia. J Pharmacovigilance
2013;1:1000115.
145
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Tips for Implementing Community
Based Research
Anna Alisjahbana
Research
Abstract
In public health CBR is better known as Community Based Participatory Research, CBR is not a
research method but an approach. In the implementation of CBR the following characteristic need to
be considered: Recognizes community as a unit of identity, builds on strengths and resources within the
community. CBR facilitates collaborative, equitable involvement of all partners in all phases of the
research while integrates knowledge and intervention for mutual benefit of all partners. It also promotes
a co-learning and empowering process that attends to social inequalities. The implementation involves
a cyclical and repetitive process; lastly it addresses health from both positive and ecological perspectives
and disseminates findings and knowledge gained to all partners. Involves a long-term commitment by
all partners.
To illustrate the implementation of CBR / CBPR a case studies will be presented.
B
erbeda dengan CBR yang lebih banyak dilaksanakan di sekolah oleh guru,
penelitian di bidang Kesesahatan Masyarakat lebih difokuskan pada struktur
masyarakat dan mengatasi kesenjangan fisik/sosial melalui partisipasi aktif dari
masyarakat di berbagai bidang yang berkaitan dengan penelitiannya. Beberapa prinsip-
prinsip kunci dari CBPR akan dibahas dan disarankan dalam pelaksaannya Penekanan
diberikan untuk memperlancar kerja sama dengan komunitas sebagai mitra penelitian dan
mengurangi kesenjangan khususnya di bidang kesehatan.1, 2
CBR dibidang Ilmu Kesehatan Masyarakat juga dikenal sebagai “Community Based
Participary Research”. CBPR bukan suatu metode penelitian, tetapi lebih baik disebut
sebagai suatu konsep pendekatan (strategi). Pada pendekatan di sini, berbagai metodologi
penelitian dapat dipakai misalnya penelitian kohort atau kasus – kontrol, atau mengunakan
pendekatan kualitatif dan kuantitatif .1,3
Melaksanakan penelitian di masyarakat diperlukan pengertian dan penyesuaian
dengan daya tangkap dan budaya masyarakat juga tidak meremehkan kondisi masyarakat,
karena itu peneliti seperti Barbara dkk dari University of Michigan School of Public Health
menyarankan bahwa bekerja sama pada penelitian berbasis masyarakat perlu diperhatikan
hal2 sebagai berikut1:
•• Mengakui komunitas sebagai satu kesatuan
•• Difokuskan pada kekuatan dan sumber-sumber yang tersedia di masyarakat.
147
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
di Jawa Barat: lahir mati bahasa lokalnya adalah borosot tuluy, perdahan = ngagetih.
Gambar untuk memvisualisasi satu kondisi penyakit juga perlu memperhitungkan budaya
setempat, misalnya gambar ibu dengan perdarahan, tidak bisa diterima dibeberapa daerah
karena selama hamil tidak dibolehkan melihat gambar yang mengerikan.
Libatkan anggota masyarakat yang bersemangat pada penelitian untuk mendapatkan
perubahan perilaku sebagai hasil optimal. Orang-orang seperti ini juga bisa membantu
dan mengidentifikasi anggota masyarakat yang tertarik atau menolak penelitian anda, atau
membantu meningkatkan antusiasme terhadap penelitian anda. Ajak peserta masyarakat
membagi tanggung jawab dalam pelaksanaan kegiatan ini. Segera anda mencapai rasa
kebersamaan dengan masyarakat maka biasanya kegiatan bisa berjalan dengan lancar.
Periksa apakah masih ada peserta yang tidak hadir, padahal ia diperlukan karena bisa
mempengaruhi dampak kegiatan yang anda rencanakan. Dengarlah suara-suara mereka,
tunjukkan respek dan empati anda, hargai semua pendapat sambil dengarkan isu atau
masalah mereka dengan sungguh-sungguh. Hal ini bisa meningkatkan rasa percaya diri
dan mereka lebih setuju berbagi pengalaman dengan sukarela.
Etika penelitian
Dalam pelaksanaannya CBPR sering sulit dan menghadapi banyak kendala, karena itu
anda perlu waspada mengenai berbagai isu. Sebelum memulai pertanyakan pada diri-
sendiri, keuntungan atau manfaat apa yang bisa diberikan kepada masyarakat setempat
dengan penelitian yang direncanakan.
Anda menerangkan tujuan penelitian secara sederhana tapi jelas untuk mencegah
salah paham dari masyarakat. Terangkan mengapa penelitian ini dilakukan, apa yang
diharapkan dari penelitian itu, bagaimana peneliti akan mengunakan informasi yang
diberikan responden dan manfaat penleitian ini bagi masyarakat.4
149
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Pada saat penelitian akan dimulai
Anda memperkenalkan diri dan terangkan peran anda sebagai fasilitator. Bila kelompok
belum saling mengenal dipersilahkan masing-masing memperkenalkan diri, beri waktu
sedikit untuk saling mengenal sebelum kegiatan dimulai. Pastikan bahwa semua peserta
mengetahui maksud dan tujuan pertemuan dan setuju akan bekerja bersama sebagai satu
kelompok (tim)
•• Tiap bantuan berharga, tidak ada yang tidak berharga, semua peserta berbagi
bertanggung jawab.
•• Berbicara bergantian satu orang pada satu saat.
•• Memulai dengan cerita yang relevan dengan penelitian yang akan dilaksanakan agar
peserta fokus pada kegiatan penelitian.
Penutup
•• Menjalin ikatan antara peneliti dan masyarakat untuk jangka waktu yang lama
memerlukan saling percaya dan saling menghargai (respek).
Daftar Pustaka
1. Israel B, Schulz AI, Parker EA, Becker AB. Community based participatory research: en-
gaging communities as partners in health research. Proceedings of the Community-Campus
Partnerships for Health’s 4th Annual Conference, 2000 April 29th-May 2, Washington DC:
Community-Campus Partnerships for Health; 2000.
2. Rosyada D. Community based research (CBR) Salah satu model penelitian akademik [Internet].
Jakarta: Universitas Islam Negeri Hidayatullah ; 2015 (cited 2017 July 5). Available from:
http://www.uinjkt.ac.id/community-based-research-cbr-salah-satu-model-penelitian-akade-
mik/
3. Lantz PM, Viruell-Fuentes E, Israel BA. Can communities and academia work together on
public health research? Evaluation results from a community-based participatory research
partnership in Detroit. J Urban Health. 2001 Sep; 78(3): 495–507.
4. Lennie J, Tacchi J, Koirala B, Wilmore M, Skuse A. Equal access participatory monitoring
and evaluation toolkit. Adelaide: Equal Access;2011. 813 p.
151
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Imunoglobulin Intravena
Antonius Pudjiadi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta
I
munoglobulin intravena (IVIg) adalah suatu preparat cair yang mengandung
imunoglobulin G manusia yang berasal dari plasma yang berasal dari sekurangnya
1000 orang sehat. Sediaan IVIg mengandung IgG utuh dengan waktu paruh 3-4
minggu. Kandungan IVIg pada sediaan dapat bereaksi terhadap antigen eksternal, antara
lain virus, bakteria dan autoantigen. Terdapat perbedaan aktivitas biologis antara produk
yang ada di pasar.1 Pada mulanya sediaan ini digunakan untuk pasien defisiensi antibodi.
Pada tahun 1980, IVIg dosis tinggi digunakan untuk pasien dengan trombositopenia
autoimun. Saat ini IVIg digunakan untuk berbagai indikasi.
Mekanisme kerja
Mekanisme kerja IVIg berbeda-beda pada berbagai penyakit. Secara umum, mekanisme
kerja tersebut dapat dikelompokkan menjadi mekanisme substistusi dan imunomodulasi.
Substitusi
Pada defisiensi imun IVIg mengikat virus, bakteri atau toksin bakteri sekaligus mengaktifkan
respon imun adaptif. Patogen yang terikat dapat dinetralisasi atau diopsonisasi, selanjutnya
dibersihkan dari tubuh. IVIg juga berperan pada pematangan sel dendritic pada X-linked
agammaglobulinemia.2
Imunomodulasi
Imunomodulasi terjadi melalui beberapa cara:
1. Melalui bagian F(ab’)2
Seperti mekanisme substitusi, IVIg menetralisir autoantibodi (tabel 1). IVIg dosis
tinggi juga menghambat aktivasi komplemen.3
2. Melalui bagian Fc
Reseptor Fc𝛾 terdapat pada hampir semua sel imun tubuh. Ikatan IgG dengan
reseptor ini dapat mengakibatkan aktivasi atau inhibisi sel imun.4 Pemberian
IVIg dapat menutup semua reseptor di permukaan lekosit dan sel endotel hingga
memodulasi ekspresinya.
153
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Beberapa penggunaan IVIg pada anak15-20:
•• Neurologi: Sindrom Guillain Barre, Chronic inflammatory demyelinating
polyradiculopathy (CIDP), Dermatomyositis and inflammatory myopathies, Myasthenia
gravis, beberapa jenis epilepsi (Lennox gastaut seizure, Landau kleffner seizure),
Opsoclonus myoclonus ataxia, PANDAS (Paediatric autoimmune neuropsychiatric
disorders associated with streptococcal infection) - OCD anxiety, depression, emotional
lability.
•• Hematologi: ITP (Idiopathic thrombocytopenic purpura), Pure red cell aplasia, Pure
white cell aplasia, Immune neutropenia, Immune haemolytic anaemia.
•• Imunologi: Defisiensi antibodi primer, Defisiensi antibodi sekunder
•• Dermatologi: Sindrom Kawasaki, Dermatomiositis, Toxic epidermal necrolysis,
Blistering diseases, Immune urticaria, Dermatitis atopik, Pyoderma gangrenosum.
•• Neonatologi: Inkompatibilitas rhesus atau ABO, Neonatal alloimmune
thrombocytopenic purpura, Sepsis akibat bakteri pada prematur.
•• Lain-lain: Miocarditis, Systemic lupus erythematosus, Streptococcal toxic shock syndrome,
Uveitis autoimun.
Penutup
IVIg bekerja melalui mekanisme kerja yang berbeda-beda. Penggunaan klinis ditujukan
sebagai substitusi atau modulasi sistem imun. Beberapa indikasi IVIg pada anak antara
lain adalah: immunodefisiensi primer, sindrom Kawasaki, ITP, sindrom Guillain Bare,
inkompatibilitas golongan darah pada neonatus, pencegahan sepsis bakterial pada bayi
prematur dan pencegahan infeksi bakterial berat pada anak dengan infeksi HIV.
155
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
15. Orange JS, Hossny EM, Weiler CR, et al. Use of intravenous immunoglobulin in human dis-
ease: a review of evidence by members of the Primary Immunodeficiency Committee of the
American Academy of Allergy, Asthma and Immunology. J Allergy Clin Immunol 2006;117(4
Suppl):S525-53. doi: 10.1016/j.jaci.2006.01.015
16. Leong H, Stachnik J, Bonk ME, et al. Unlabeled uses of intravenous immune globulin. Am
J Health Syst Pharm 2008;65(19):1815-24. doi: 10.2146/ajhp070582
17. Robinson P, Anderson D, Brouwers M, et al. Evidence-based guidelines on the use of in-
travenous immune globulin for hematologic and neurologic conditions. Transfus Med Rev
2007;21(2 Suppl 1):S3-8. doi: 10.1016/j.tmrv.2007.01.004
18. Hughes R. Advances in the use of IVIg in neurological disorders. J Neurol 2008;255 Suppl
3:1-2. doi: 10.1007/s00415-008-3001-1
19. Gottstein R, Cooke RW. Systematic review of intravenous immunoglobulin in haemolytic
disease of the newborn. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2003;88(1):F6-10.
20. Ishii N, Hashimoto T, Zillikens D, et al. High-dose intravenous immunoglobulin (IVIG)
therapy in autoimmune skin blistering diseases. Clin Rev Allergy Immunol 2010;38(2-3):186-
95. doi: 10.1007/s12016-009-8153-y
21. Goddard EA. Intravenous immunoglobulin. Current Allergy and Clinical Immunology
2008;21(1):26-31.
D
alam beberapa tahun terakhir ini perhatian dunia kesehatan terpusat kepada
semakin merebaknya penularan avian influenza A (H5N1). Meningkatnya kasus
infeksi H5N1 yang menyebabkan kematian pada manusia sangat dihawatirkan
dapat berkembang menjadi wabah pandemi yang berbahaya bagi umat manusia di muka
bumi ini. Sejak lebih dari satu abad yang lalu, beberapa subtipe dari virus influenza A telah
menghantui manusia. Berbagai variasi mutasi subtipe virus influenza A yang menyerang
manusia dan telah menyebabkan pandemi, sebagaimana terlihat pada gambar 1, sehingga
tidak mengherankan jika kewaspadaan global terhadap wabah pandemi flu burung
mendapatkan perhatian yang serius.
157
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Human Avian Influenza merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh virus
influenza A subtipe H5N1 yang termasuk ke dalam Orthomyxovirus, merupakan jenis
penyakit zoonosis, yang menular pada unggas, dapat menyebabkan penyakit dan bahkan
kematian pada manusia selain pada spesies hewan lainnya. Avian influenza A (H5N1)
khususnya HPAI, telah menyebabkan wabah yang serius di beberapa negara terutama
di Asia. Human avian influenza (H5N1) telah menjadi masalah kesehatan masyarakat
yang penting karena angka kematian yang tinggi serta karena kemungkinan menimbulkan
pandemi influenza.
Epidemiologi H5N1
Kasus H5N1 pertama kali dilaporkan di Skotlandia setelah terjadi kematian ayam secara
tiba-tiba dan massal pada tahun 1959 dan kemudian kematian kalkun-kalkun pada tahun
1991 di Inggris. Virus influenza H5N1 yang menyebar ke manusia pertama kali ditemukan
pada tahun 1997 di Guangdong, China. Sebelumnya pada tahun 1996, terjadi kematian
pada beberapa angsa secara tiba-tiba, namun saat itu sama sekali tidak menarik perhatian.
Pada tahun 1997, di Hong Kong, 18 manusia terinfeksi dan 6 meninggal dalam kasus
yang diketahui sebagai kasus pertama dari H5N1 yang menginfeksi manusia. H5N1 telah
berevolusi dari tingkat mortalitas nol sampai tingkat kematian 33%.
Laporan pertama, sebagai wabah HPAI A (H5N1) adalah laporan pada 10 Desember
2003 di Republik Korea dan berlanjut selama empat belas minggu. Strain ini menyebabkan
infeksi asimtomatik pada manusia seperti strain yang menginfeksi pada tahun 1959,
sehingga tingkat kematiannya masih rendah dan resikonya kecil untuk terjadinya sebuah
pandemi. Kematian manusia dari strain H5N1 yang terjadi di Vietnam bagian Utara pada
tahun 2003, 2004 dan 2005 yang walaupun menyebabkan kematian, dianggap memiliki
tingkat kematian yang masih lebih rendah daripada strain yang ada saat ini.
Gambar 1. Beberapa subtype virus influenza A yang menjadi penyebab wabah pandemi.
Tabel 1. Beberapa kasus infeksi Highly Pathogenic H5N1 Avian Influenza (HPAI) yang dilaporkan ke
WHO sampai dengan bulan Agustus 2006
159
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
sering terjadi pada anak-anak, dewasa muda dan wanita muda. Lebih dari setengah kasus
yang dilaporkan terinfeksi avian influenza A(H5N1) berumur di bawah 18 tahun dan
seperempat dari kasus adalah anak di bawah umur 10 tahun.
Dilaporkan juga kematian yang tinggi (>80%) terjadi di Thailand pada anak-anak
dengan infeksi avian influenza A (H5N1). Menurut WHO, kasus HPAI dapat ditemukan
pada 10 negara pada tahun 2006, sebagaimana tertera pada tabel 1.
Berdasarkan laporan WHO 26 April 2013,dari tahun 2003 hingga 26 April 2013,
terdapat 928 kasus Human Avian Influenza yang sudah terkonformasi secara laboratoris,
dari 15 negara dengan 374 diantaranya meninggal dunia.
Berdasarkan perkembangan terakhir 12 Maret 2013, terdapat 6 kasus baru Human
Avian Influenza yang sudah terkonfirmasi secara laboratoris, dari 4 negara, yaitu Banglades
(1 kasus), Kamboja (1 kasus), Mesir (2 kasus) dan Vietnam (2 kasus).
Gambar 2. Penyebaran Highly Pathogenic Avian Influenza (H5N1) pada unggas dan manusia secara global
Transmisi
Influenza pada manusia ditularkan melalui inhalasi droplet dan nukleus droplet, kontak
langsung, mungkin juga melalui kontak tidak langsung (udara/debu), melalui inokulasi
pada traktus respiratorius atas atau mukosa konjungtiva. Rute penularan lain belum
diketahui. Terjadinya infeksi influenza A pada manusia (H5N1) telah dibuktikan berasal
dari unggas ke manusia, mungkin dari lingkungan ke manusia dan transmisi dari manusia
ke manusia secara terbatas dan tidak menetap. Orang yang mempunyai resiko besar untuk
terserang Avian Influenza A (H5N1) ini adalah pekerja peternakan unggas, penjual dan
penjamah unggah.
161
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Gambar 4. Virus influenza dan pejamunya
163
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
–– Penempatan penderita: di ruangan tersendiri, atau di ruangan dengan penderita
lain yang sama diagnosisnya
–– Alat pelindung diri (APD) : gunakan bila memasuki ruang rawat penderita,
selama melakukan tindakan atau tindakan lain yang berhubungan dengan bahan
infeksius
–– Transporatsi penderita : batasi pemindahan pasien ke ruangan lain kecuali sangat
diperlukan.
–– Alat kesehatan untuk penderita : sediakan alat khusus untuk pasien dengan
kemungkinan tingkat penularan yang tinggi.
Penutup
•• Penyakit yang biasa menginfeksi pada hewan (zoonotic) dapat menginfeksi manusia,
menimbulkan gejala yang berat dan bahkan bisa menyebabkan kematian. Karena itu
upaya pertama yang dilakukan untuk mengendalikan infeksi ini agar tidak berkembang
lebih jauh adalah bagaimana mengelola perawatan hewan, khususnya unggas, baik itu
di peternakan, di lingkungan tempat tinggal atau perlakukan terhadap hewan liar
baik yang sehat apalagi yang dalam keadaan sakit, sebaik mungkin dan sedemikian
rupa agar resiko penularan dari hewan ke manusia bisa ditekan kalau memang tidak
bisa diputus sama sekali.
•• Penyakit ini disebabkan oleh virus Influenza A subtipe H5N1 yang sebagian
diantaranya bersifat Highly Pathogenic (HPAI), yang memiliki kemampuan bukan
hanya menginfeksi dan menimbulkan gejala berat pada manusia, namun juga mampu
beradaptasi dengan baik terhadap sistim imun tubuh pejamu (manusia dan unggas)
termasuk diantaranya melakukan mutasi genetik, sehingga dapat timbul strain-strain
baru yang lebih patogenik di masa depan. Itu berarti kewaspadaan terhadap virus ini
dan sejenisnya tetap perlu ditingkatkan untuk mengantisipasi ancaman wabah baru
di masa depan.
•• Penyebaran penyakit ini sangat cepat dan meluas. Kasus H5N1 pertama di hewan
pada tahun 1959 di Skotlandia, sementara kasus HPAI pada manusia pertama tahun
1997 di Guangdong, China. Peningkatan kasus Avian Influenza yang disertai kematian
meningkat pesat pada tahun 2003 di Korea dan sampai dengan bulan April 2013,
WHO mencatat (2003-2013) ada 978 kasus AI dengan 374 diantaranya meninggal.
Kecepatan penyebaran kasusnya saat itu menimbulkan kekhawatiran adanya ancaman
pandemi, khususnya bila telah terjadi penyebaran dari manusia ke manusia.
•• Sampai dengan saat ini belum ditemukan bukti-bukti yang nyata transmisi dari
manusia ke manusia, walaupun ada beberapa laporan kasus ditemukannya infeksi
H5N1 pada suatu keluarga di Vietnam. Namun transmisi seperti ini bukan sesuatu
yang mustahil terjadi mengingat kemampuan virus ini beradaptasi dengan lingkungan
dan sistim kekebalan tubuh manusia. Antigenic shift dan antigenic drift dari virus
influenza harus sangat diwaspadai.
Daftar pustaka
1. Avian Influenza (H5N1) Infection in Humans. New England Journal of Medicine.
2006;354(8):884.
2. Murniati D, Giriputro S, Hadinegoro S. Karakteristik Klinis dan Epidemiologis Avian Influ-
enza A (H5N1) Anak Di Indonesia, Tahun 2005-2007. Sari Pediatri. 2016;12(5):347.
3. Li K, Guan Y, Wang J, Smith G, Xu K, Duan L et al. Genesis of a highly pathogenic and po-
tentially pandemic H5N1 influenza virus in eastern Asia. Nature. 2004;430(6996):209-213.
4. Radji M. Avian influenza A (H5N1) : patogenesis, pencegahan dan penyebaran pada manu-
sia. Majalah Ilmu Kefarmasian. 2006;3:2:55-65
5. Sims L. Lessons Learned from Asian H5N1 Outbreak Control. Avian Diseases.
2007;51(s1):174-181.
165
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Role of Pediatrician on Sexual Abuse
Ariani
Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya/RSUD Dr. Saiful Anwar, Malang
Tujuan:
1. Mengetahui epidemiologi kekerasan seksual
2. Mengetahui definisi kekerasan seksual
3. Mengetahui manajemen medis korban kekerasan seksual
4. Mengetahui aspek etik dan hukum pada kasus kekerasan seksual
5. Mengetahui peran dokter anak pada kasus kekerasan seksual
Abstrak
Kekerasan seksual pada merupakan salah satu masalah pediatri sosial utama hampir di seluruh dunia.
Meskipun banyak anak dan remaja terimbas baik secara fisik maupun mental, masih sedikit informasi
yang tersedia untuk dokter anak mengenai bagaimana dokter anak dan petugas kesehatan yang lain dapat
membantu melindungi anak-anak dari bahaya kekerasan seksual serta penanganannya. Pengetahuan
mengenai faktor risiko, praktek perekrutan, indikator-indikator yang mengarah kekerasan seksual,
dan masalah kesehatan serta perilaku terkait korban akan membantu dokter anak mengenali korban
yang diduga mengalami kekerasan seksual sehingga dapat menangani secara tepat. Sebagai penyedia
pelayanan kesehatan, pendidik, dan pemimpin dalam kepentingan advokasi anak, seorang dokter anak
berperan penting dalam menangani masalah isu kesehatan masyarakat yang dihadapi oleh anak korban
kekerasan seksual. Peran seorang dokter spesialis anak termasuk meningkatkan pengetahuan mengenali
kasus, terlibat dalam upaya kolaborasi dengan rekan-rekan medis dan non medis untuk melayani
kebutuhan korban kekerasan seksual yang kompleks, dan mendidik para profesional-profesional dan
masyarakat yang berhubungan dengan perlindungan anak.1
Epidemiologi
Data kasus kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia dari tahun ke tahun semakin
meningkat. Kasus pengaduan anak berdasarkan klaster perlindungan anak KPAI tahun
2011-2017 menunjukkan tren peningkatan kasus pornografi dan cybercrime yang
berhubungan dengan kekerasan seksual. Pada tahun 2014 berada pada peringkat ke-5
(322 kasus), pada tahun 2015 berada pada peringkat ke-4 (463 kasus) dan pada tahun
2016-2017 berada pada peringkat ke-3 (tahun 2016 terdapat 587 kasus dan sampai bulan
April 2017 sebanyak 60 kasus).2
Di dunia, studi epidemiologi sangat bervariasi hasilnya, tergantung dari beberapa
faktor seperti sumber data, definisi kekerasan seksual, dan populasi.3 Studi meta analisis
dari 323 studi melibatkan 9,9 juta korban, prevalensi sebesar 12,7% (18,9% perempuan,
7,6% laki-laki).4,5 Di US pada tahun 2005-2007 insidens kekerasan seksual sebesar
Pengertian
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan (UU Perlindungan Anak Bab I pasal 1 ayat 1 UU no 23 tahun 2002,
perubahan UU Perlindungan Anak no 35 tahun 2014, Konvensi Hak Anak pasal 18,
pasal 19 diratifikasi Keppres no 36 tahun 1990, dan UU no 39 tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia). Orang tua, keluarga, dan masyarakat bertanggungjawab menjaga dan
memelihara hak asasi anak yang merupakan bagian dari hak asasi manusia. Demikian
pula dalam rangka penyelenggaraan perlindungan anak, negara dan pemerintah
bertanggungjawab menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi anak, terutama dalam
menjamin pertumbuhan dan perkembangannya secara optimal dan terarah. 8,9
Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan
hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi (Pasal 1 UU no 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak,
UUD 1945 pasal 28B ayat (2), pasal 28D ayat (1), pasal 28G ayat (1), pasal 28H ayat (1),
pasal 28I ayat (1), dan pasal 34. 8,9
Undang-Undang no 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak telah banyak
menyerap ketentuan dalam UUD 1945 dan Konvensi Hak Anak. Undang - undang ini
memiliki azas non diskriminasi, kepentingan yang terbaik untuk anak, hak untuk hidup-
kelangsungan hidup dan perkembangan, serta penghargaan terhadap pendapat anak.
Dalam undang-undang ini tidak hanya hak anak yang diatur, tetapi juga kewajiban anak,
kewajiban dan tanggungjawab negara, masyarakat, serta orangtua. Anak dilindungi di
bidang agama, kesehatan, pendidikan, sosial, dan perlindungan khusus pada keadaan-
keadaan tertentu. 8
167
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Perlindungan khusus dimaksudkan untuk melindungi anak dalam situasi darurat,
anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak
tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang
menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya,
anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan fisik dan/
atau mental, anak penyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.8
Perlindungan khusus diatur dalam pasal 64 ayat (93) UU no 35 tahun 2014 melalui
upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga, upaya perlindungan dari
pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi, pemberian
jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental, maupun sosial, dan
pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.
Upaya seperti sosialisasi peraturan perundang-undangan, pengawasan perlindungan,
pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi, dilakukan oleh pemerintah maupun tenaga
prosfesional termasuk dokter anak.8,9
Beberapa istilah pengganti Child Abuse and Neglect (CAN) di Indonesia adalah
“penganiayaan dan penelantaran anak”, kekerasan dan penelantaran anak, perlakuan
salah terhadap anak atau penyalahgunaan anak. CAN adalah semua bentuk perlakuan
menyakitkan secara fisik ataupun emosional, penyalahgunaan seksual, penelantaran,
eksploitasi komersial atau eksploitasi lain, yang mengakibatkan cedera/kerugian nyata
ataupun potensial terhadap kesehatan anak, kelangsungan hidup anak, tumbuh kembang
anak, atau martabat anak, yang dilakukan dalam konteks hubungan tanggung jawab,
kepercayaan atau kekuasaan. Terdapat 5 sub tipe CAN yaitu physical abuse, sexual abuse,
emotional abuse, child neglect, dan eksploitasi anak.10
Langkah-langkah pemeriksaan 7, 13
a. Melakukan persetujuan/penolakan dilakukan pemeriksaan medis (informed consent/
informed refusal)
b. Anamnesis 3,7,13
Anamnesis riwayat kejadian menjadi faktor yang sangat penting pada kasus kekerasan
seksual, karena pemeriksaan tanda dan gejala sendiri tidak dapat digunakan sebagai
diagnosis definitif karena sebagian besar kasus tidak dijumpai adanya kelainan pada
pemeriksaan fisik.16
Auto dan/atau alloanamnesis dapat dilakukan. Jika memungkinkan, anamnesis
terhadap anak yang diduga sebagai korban dan pengantar dilakukan secara terpisah,
menilai adanya kemungkinan ketidaksesuaian yang muncul antara penjelasan
orangtua/pengantar dan anak dennan temuan medis, perhatikan sikap/perilaku anak
yang diduga sebagai korban dan pengantar, lengkapi rekam medis dengan identitas
dokter pemeriksa, pengantar, waktu dan lokasi pemeriksaan dan kejadian, identitas
korban, lakukan konfirmasi ulang urutan kejadian, pemicu, deskripsi rinci apa yang
169
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
telah terjadi, dampak terhadap anak yang diduga sebagai korban.
Gali informasi adanya perubahan perilaku anak setelah mengalami trauma,
keadaan kesehatan sebelum trauma, riwayat trauma sebelumnya, faktor sosial budaya
ekonomi yang berpengaruh terhadap perilaku di dalam keluarga. Minimalkan jumlah
interview yang diulang- ulang dengan orang yang berbeda pada korban.
Pada kasus kekerasan seksual, perlu ditanyakan waktu dan lokasi kejadian, ada
tidaknya kekerasan sebelum kejadian, segala bentuk kegiatan seksual yang terjadi,
termasuk bagian-bagian tubuh yang mengalami kekerasan, ada tidaknya penetrasi,
dengan apa penetrasi dilakukan, adanya rasa nyeri, perdarahan dan atau keluarnya
cairan dari vagina, adanya rasa nyeri dan gangguan buang air besar dan/atau buang
air kecil, apa yang dilakukan korban setelah kejadian kekerasan seksual tersebut,
apakah korban mengganti pakaian, buang air kecil, membersihkan bagian kelamin
dan dubur, mandi atau gosok gigi.
c. Observasi
Lakukan pengamatan tentang adanya keterlambatan yang bermakna antara saat
terjadinya kekerasan dan saat mencari pertolongan medis, adanya ketidaksesuaian
antara tingkat kepedulian orangtua dengan beratnya trauma yang dialami anak,
adanya interaksi yang tidak wajar antara orangtua/pengasuh dengan anak.
d. Pemeriksaan Fisik
Sebagian besar kasus kekerasan seksual tidak didapatkan abnormalitas pada
pemeriksaan fisik termasuk anogenital. Tidak adanya kelainan pada pemeriksaan
fisik tidak menyingkirkan dugaan adanya kekerasan seksual atau adanya penetrasi.3,5
Berbagai penelitian menunjukkan prevalensi yang rendah adanya pemeriksaan fisik
definitif pada korban kekerasan seksual. Pada studi kasus kontrol oleh Berenson et
al menemukan sebagian besar kasus tidak ada perbedaan pada pemeriksaan genital
antara korban dan kontrol. Studi kohort oleh Kellog et al menunjukkan hanya 2,5%
korban didapatkan pemeriksaan fisik yang spesifik. Hal ini disebabkan karena luka
jaringan mukosa dan epitelial genital mengalami penyembuhan secara cepat dan
sempurna ( dalam waktu 4-72 jam), skar hampir tidak dijumpai pada luka hymenal,
jaringan terkadang melonggar tanpa terjadi perlukaan terutama pada jaringan
hymenal dan anal, serta jenis kekerasan seksual non sentuhan yang tidak melibatkan
kontak fisik.3,5,14.15
Pemeriksaan keadaan umum korban yang meliputi kesadaran dan tanda vital.
Tujuan pemeriksaan fisik adalah menemukan luka yang memerlukan penanganan
medis segera, identifikasi abnormalitas anogenital termasuk kondisi yang menyerupai
injuri dan menginterpretasikan pemeriksaan fisik secara benar (varian normal, non
spesifik, indeterminate, indikatif trauma), deteksi tanda Sexual Transmitted Infection,
identifikasi luka di luar area anogenital (misal mulut, dada, ekstremitas), kenali tanda
perlukaan diri sendiri (cakaran) dan kumpulkan bukti forensik.3
Pada kasus kekerasan seksual perlu diperhatikan:7
f. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang meliputi Rontgen dan USG (jika tersedia). Pemeriksaan
laboratorium darah yaitu darah rutin dan urin rutin, lakukan penapisan penyakit
kelamin, tes kehamilan, pemeriksaan mikroskop adanya sperma dengan menggunakan
NaCl, apabila diperlukan, pengambilan darah dan urin untuk pemeriksaan NAPZA,
usapan rugae untuk pemeriksaan adanya sperma.
171
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
13. Berikan konseling untuk pemeriksaan HIV/AIDS dalam 6-8 minggu atau rujuk
h. Rujukan7
Terdapat 2 macam rujukan. Rujukan medis dilakukan dari puskesmas ke RSUD
atau RS Bhayangkara. Rujukan non medis diakukan untuk memperoleh bantuan
pendampingan psikososial dan bantuan hukum antara lain ke Unit Perlindungan
Perempuan dan Anak (UPPA), P2TP2A, rumah aman, Dinas Sosial, Lembaga
Perlindungan Anak (LPA).
173
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Temuan tidak spesifik dengan penjelasan yang cukup, tanpa ada riwayat ke-
kerasan atau perubahan perilaku
Anak dipertimbangkan memiliki risiko kekerasan seksual, tetapi tak ada riwayat
dan hanya ditemukan perubahan perilaku yang tidak spesifik
Temuan cedera fisik yang sesuai dengan riwayat trauma aksidental yang jelas dan
dpaat dipercaya
Kemungkinan terjadi Temuan normal varian normal atau tidak spesifik, dikombinasi dengan perubah-
kekerasan an perilaku yang bermakna, terutama perilaku yang terseksualisasi, tetapi si anak
tak bisa memberi informasi riwayat terjadinya kekerasan
Lesi anogenital Herpes tipe 1, tanpa adanya riwayat kekerasan dan temuan
pemeriksaan lainnya normal
Condyloma accuminata, dengan temuan lainnya normal, tak ada penyakit
hubungan seksual lain, tak ada riwayat kekerasan dari anak, (bila ditemukan
pada anak berusia 3 tahun atau lebih, cenderung akibat aktivitas seksual, seh-
ingga perlu penelitian lebih lanjut )
Anak memberi informasi, tetapi tidak cukup detil bila dibandingkan dengan
usiaperkembangan anak, atau tidak konsisten, atau yang diperoleh dengan
menggunakan pertanyaan yang mengarah fisik tanpa penjelasan adanya ke-
kerasan
Sangat mungkin terja- Anak memberikan uraian yang detil, spontan, jelas dan konsisten tentang ke-
di kekerasan kerasan (penganiayaan), dengan atau tanpa temuan abnormal atau positif
Kultur Chlamydia (bukan rapid antigen test) dari daerah genital pada anak pre-
puber, atau dari serviks anak perempuan remaja dengan mengasumsikan bahwa
transmisi perinatal telah disingkirkan
Kultur herpes simpleks tipe 2 dari lesi genital atau anal positif
Infeksi Trichomonas, didiagnosis dengan sediaan basah atau kultur dari swab
vagina, apabila transmisi perinatal telah dapat disingkirkan
Pelebaran anus yang nyata (marked,immediate), tanpa terlihat/teraba adanya
tinja di daerah rektum bagian bawah, pada pemeriksaan dengan posisi knee-chest,
tanpa riwayat adanya encopresis, konstipasi kronik, gangguan neurologis atau
sedasi)
Belahan (notch atau cleft) selaput dara di daerah posterior, mencapai dekat dasar
(sering merupakan artefak pada posisi pemeriksaan tertentu, tetapi bila konsisten
pada beberapa posisi, maka mungkin akibat kekerasan tumpul atau penetrasi
sebelumnya)
Lecet akut, laserasi atau memar labia,j aringan sekitar selaput dara, atau perine-
um (mungkin akibat trauma aksidetal, keadaan dermatologis seperti lichen
sclerosus atau hemangioma)
Jejak gigitan atau hisapan di genitalia atau paha bagian dalam
Jaringan perut atau laserasi baru daerah posterior fourchette tanpa mengenai
selaput dara (dapat akibat trauma aksidental )
Dugaan kekerasan Temuan pada anak yang telah memiliki riwayat kekerasan, dan mungkin ada
kekerasan, tetapi tidak cukup data yang menunjukkan bahwa kekerasan adalah
satu satunya penyebab.
Riwayat sangat krusial dalam menentukan makna keseluruhannya
Bukti nyata kekerasan Temuan yang tidak dapat dijelaskan bukan karena trauma yang mengenai sela-
tumpul atau trauma put dara atau daerah perianal
penetrasi
175
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
keluarga, aspek etik dan hukum, aspek psikososial, maupun aspek budaya. Pemahaman
ini diharapkan akan mempererat dan mengefektifkan kerjasama tim.
Penutup
Sejatinya, pemenuhan hak dan perlindungan anak secara holistik hanya dapat diwujudkan
apabila terdapat koordinasi dan sinergi yang baik antar lembaga terkait, pemerintah,
177
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
serta antar masyarakat. Dokter anak sebagai garda terdepan dalam menghadapi kasus anak
korban kekerasan seksual seyogyanya memiliki ketrampilan dalam melakukan deteksi dini
kasus anak korban kekerasan seksual, melakukan tindakan pertolongan gawat darurat,
intervensi psikososial awal terhadap pasien maupun keluarganya, melakukan rujukan
medik spesialistik, melakukan rujukan psikososial, serta memiliki akses dengan lembaga-
lembaga multidisiplin yang menangani perlindungan anak.
Daftar pustaka
1. Greenbaum, J., Crawford-Jakubiak, JE, Committee on Child Abuse and Neglect.2015.
Child sex trafficking and commercial sexual exploitation: Health care needs of victims. Clin-
ical reports guidance for the clinician in rendering pediatric care. Pediatrics. 2015; 135(3):
566-574.
2. Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Bidang Data Informasi dan Pengaduan. 2017
3. Fortin K, Jenny C. Sexual abuse. Pediatrics in Review. 2012;33: 21-27
4. Stoltenborgh M, van Ijzendoorn MH, Euser EM, Bakermans-Kranenburg MJ. A global per-
spective on child sexual abuse:Meta analysis of prevalence around the world. Child Maltreat
2011;16:79-101.
5. Herrmann B, Banaschak S, Csorba R, Navratil F, Dettmeyer R. Physical examination in child
sexual abuse. Dtsch Arztebl Int. 2014; 111: 692–703
6. Finkelhor D, Ormrod R, Turner H, Hamby SL. The victimization of children and youth: a
comprehensive, national survey. Child Maltreat. 2005;10:5-25.
7. Azwar A. Buku pedoman deteksi dini, pelaporan dan rujukan kasus kekerasan daan pene-
lantaran anak bagi tenaga kesehatan. 2005. Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat. Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
8. Undang-Undang no 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
9. Konvensi Hak Anak setelah diratifikasi Keppres no 19 tahun 1990.
10. World Report on Violence and Health, WHO, 1999.
11. Consultation on Child Abuse Prevention, WHO, 1999.
12. Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap Anak 2016-2020. Kementrian Pember-
dayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. 2015
13. Kementerian Kesehatan RI. Kewajiban pemberi layanan kesehatan untuk memberikan infor-
masi atas adanya dugaan kekerasan terhadap anak. Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 68 tahun 2013.
14. Berenson AB, Chacko MR, Wiemann CM, Mishaw CO, Friedrich WN, Grady JJ. A
case-control study of anatomic changes resulting from sexual abuse. Am J Obstr Gynecol.
2000;182(4):820-831.
15. Kellogg ND, Menard SW, santos A. Genital anatomy in pregnant adolescent:”normal” does
not mean “nothing happened”. Pediatrics. 2004;113:e67-69.
16. Chiesa A, Goldson E. Child sexual abuse. Pediatrics. 2017;38:3.105-115.
17. Adam J, Kellogg ND, Farst KJ, Harper NS, Palusci VJ, Frasier LD, Levitt CJ, Shapiro RA,
Moles RL, Starling SP. Updated guidelines for the medical assessment and care of children
who may have been sexually abused.J Pediatr Adolesc Gynecol. 2016;29: 81-87
179
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Mental Health Problems in Adolescent with
Chronic Diseases: A Preliminary Report from
Type A Hospitals
Bernie Endyarni Medise
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia / RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Abstract
Increased life expectancy due to improvements in nutrition, hygiene, control of infectious diseases and
treatment are producing a transition to an increase of non-communicable diseases including chronic
diseases and disability in children and adolescents. Adolescents with chronic health conditions face
substantially higher risks of mental and psychological illness. Furthermore, they face higher risk of stress
and depression than those with no chronic conditions. They also face behavior, peer-group and compliance
to treatment problems. However, adolescents with chronic illness have the same developmental needs as
healthy teens. Unfortunately, there is still lack of data on adolescent with chronic diseases in Indonesia.
A cross sectional study was conducted by Adolescent Task Force, Indonesian Pediatric Society in 2016,
in three type A hospitals in Jakarta. Adolescents were asked to fill Strength and Difficulty Questionnaires
(SDQ). There were 192 adolescents took part in the study. There were about 6.3% and 2.1% of them
showed borderline and abnormal SDQ scores, respectively. This result shows that mental health screening
is a need in adolescent health services settings. Various mental health screening tools are available for
pediatricians and other health personnels to detect any mental health problems, especially in adolescents
with chronic diseases. Pediatricians should monitor the potential for mental health problem, non-
adherence, and consider the ways they can help to improve care for adolescents with chronic conditions.
I
nsidensi maupun prevalensi penyakit kronis saat ini mulai meningkat baik di negara
berkembang maupun negara maju. Penyakit kronis juga menjadi penting karena
menjadi salah satu penyumbang besar angka mortalitas. Perbaikan dalam penanganan
penyakit kronis baik di bidang nutrisi, kontrol infeksi dan pengobatan, menyebabkan
peningkatan usia harapan hidup, termasuk pada remaja dengan penyakit kronis. Hal ini
menimbulkan kondisi baru di bidang kesehatan yaitu meningkatnya non-communicable
diseases (NCD) serta masalah disabilitas, yang mulai terlihat meningkat terutama di negara
maju.1
Periode remaja sering dianggap sebagai periode paling sehat. Remaja merupakan
populasi yang jarang mendatangi layanan kesehatan. Namun demikian, sebenarnya remaja
menghadapi tidak saja masalah kesehatan fisik, tetapi juga masalah kesehatan mental,
emosi, dan perilaku yang kerap dipengaruhi oleh lingkungan dan gaya hidup.2-5 Data
181
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Tabel 1. Masalah psikososial pada anak dan remaja dengan penyakit kronis 7
Penyesuaian psikologis
Masalah perilaku dan emosi
Harga diri rendah
Gangguan psikiatri
Gangguan tidur yang menyebabkan gangguan performa dan perilaku
Penyesuaian sosial
Masalah penyesuaian sosial
Dampak penyakit terhadap pertumbuhan dan perkembangan
Masalah dengan teman sebaya
Partisipasi dalam kegiatan teman sebaya
Penyesuaian sekolah dan performa
Dampak penyakit atau pengobatan terhadap fungsi kognitif
Fatigue
Dampak pengobatan terhadap sistem saraf pusat
Ketidakhadiran di sekolah
Kepatuhan terhadap pengobatan
Tabel 2. Faktor-faktor yang memengaruhi perkembangan dan perilaku anak dan remaja dengan penyakit
kronis.7
Penyakit atau kondisi Berat ringannya penyakit
Lama sakit
Usia saat sakit
Aktifitas
Harapan hidup
Stabil vs progresif
Kepastian (dapat diprediksi vs tidak)
Dampak terhadap mobilitas
Dampak pada kognisi dan komunikasi
Nyeri
Anak Jenis kelamin
Tingkat kecerdasan dan kemampuan berkomunikasi
Temperamen
Kemampuan memecahkan masalah
Keluarga Fungsi keluarga
Kesehatan mental orang tua
Struktur keluarga (jumlah dewasa dan anak)
Status sosio-ekonomi
Sosial Sikap budaya
Akses ke layanan kesehatan
Sumber daya di lingkungan
Geografi
Sistem sekolah
Tabel 3. Berbagai diagnosis pada 121 remaja dengan usaha bunuh diri.9
Gangguan Laki-laki (%) Perempuan (%)
n=31 n=90
Depresi/dysthymia 71 64,5
Disruptive behavior disorder 32,3 12,2
Narkoba 29 13,3
Ketergantungan alkohol 19,4 14,4
Cemas 9,7 18,9
Gangguan adaptasi 6,5 10
Gangguan makan 0 3,3
Gangguan psikiatri lain 87,1 77,8
183
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Masalah pengobatan juga dapat menimbulkan masalah bagi kehidupan sosial remaja
dengan penyakit kronis.10,11 Sebagai contoh, remaja dengan diabetes melitus tipe-1
yang harus rutin melakukan injeksi insulin, seringkali merasa tidak nyaman jika teman
sebayanya mengetahui bahwa ia harus menyuntik dirinya saat makan siang di sekolah.
Lain pula dengan remaja penyandang asma, yang harus selalu membawa inhaler saat
berpergian. Keadaan ini sering merupakan tantangan tersendiri yang harus dihadapi
remaja dalam kehidupan sosialnya.7,10
Masalah perilaku
Kontrol terhadap kepatuhan terhadap pengobatan dan penyakit kronis pada remaja sangat
penting mengingat remaja erat kaitannya dengan perilaku berisiko, impulsif, penolakan
terhadap nilai-nilai yang diterapkan orang tuanya, dan keinginan untuk menilai batas
kemampuannya dalam menyelesaikan masalah. Namun sayangnya keadaan ini kerap tidak
diiringi kemampuan remaja yang baik dalam berpikir dan mengatasi masalah, sehingga
sering menimbulkan masalah perilaku baru pada remaja dengan penyakit kronis. Mereka
tidak saja berpotensi mengabaikan pengobatan, namun juga dapat menjadi pengguna
obat terlarang, alkohol dan lainnya. Berbagai perilaku pada remaja dapat berdampak pada
keberhasilan pengobatan penyakit kronis. 9-11
Tabel 5. Gambaran masalah mental, psikososial dan perilaku remaja di tiga rumah sakit tipe A di Jakarta
berdasar penilaian menggunakan SDQ
Item penilaian Normal (%) Borderline (%) Abnormal (%)
Masalah emosional 91,7 4,2 4,2
Masalah conduct 96,9 3,1 0
Hiperaktifitas 99 1 0
Masalah dengan teman sebaya 33,9 56,8 9,4
Nilai total SDQ 91,7 6,3 2,1
Penutup
Masalah kesehatan remaja, khususnya remaja dengan penyakit kronis, bukan hanya
masalah kesehatan fisik namun juga masalah mental, psikososial, emosional, kognitif
dan perilaku. Sebanyak 6,3% dan 2,1% remaja dengan penyakit kronis memperlihatkan
185
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
nilai SDQ yang masuk dalam klasifikasi borderline dan abnormal. Kesehatan mental
dan psikososial remaja dengan penyakit kronis perlu dipantau secara berkala agar dapat
dilakukan intervensi dini sehingga mencegah terjadinya masalah lebih lanjut, seperti
adanya keinginan bunuh diri. Penggunaan berbagai alat skrining masalah kesehatan
mental remaja dapat membantu dokter anak untuk mendeteksi dan menangani masalah
mental remaja.
Daftar pustaka
1. Michaud PA, Suris JC, Viner R. The Adolescent with a Chronic Condition: Epidemiology,
developmental issues and health care provision. WHO. 2007.
2. Dhamayanti M, Endyarni B, Hartanto F, Lestari H. Bunga rampai kesehatan remaja. Jakar-
ta:Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2010.
3. Marcell AV. Adolescence. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE Jenson HB Stanton BF,
penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: Elsevier; 2013. h. 60-5.
4. Gleason MM, Prachi Shah, Boris NW. Assessment and interviewing. Dalam: Nelson text-
book of pediatrics. Edisi ke 18. Kliegman RM, Jenson HB, Behrman RE, Stanton BF. Phil-
adelphia:Saunders Elsevier; 2007. h.101-105.
5. Medise BE. Skrining mental, emosional, perilaku dan psikososial pada remaja. Dalam:
Kurniati N, Kaban RK, Chozie NA, Prawitasari T, Jasin MR, penyunting. Transformation
from fetus to excellent adolescents. Jakarta, Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI.2017,
h.129-136.
6. Compas BE, Jaser SS, Dunn MJ, Rodriguez RM. Coping with Chronic Illness in Childhood
and Adolescence. Annu Rev Clin Psychol . 2012; 8: 455–480.
7. Perrin JM, Gnanasekaran S, Delahaye J. Psychological Aspects of Chronic Health Condi-
tions. Peds in Rev. 2012;33:99-112.
8. Reynolds N, Mrug S, Wolfe K, Schwebel D, Wallander J. Spiritual coping, psychosocial
adjustment, and physical health in youth with chronic illness: a meta-analytic review. Health
Psychol Rev. 2016 Jun;10(2):226-43.
9. Greydanus D, Patel D, Pratt H. Suicide risk in adolescents with chronic illness: implications
for primary care and specialty pediatric practice: a review. Developmental Medicine & Child
Neurology 2010;52: 1083–1087.
10. Huff MB, McClanahan KK, Omar HA. Chronic illness and mental issues.2010. Pediat-
ric Faculty Publication. 109. Diunduh dari: http://uknowledge.uky.edu/pediatrics_facpub.
Diakses tanggal: 30 Mei 2017.
11. Yeo M, Sawyer S. ABC adolescence: Chronic illness and disability. BMJ. 2005;330:721-724.
12. Knight, J.R., Sherritt, L., Shrier, L.A., Harris, S.K., Chang, G. Validity of the CRAFFT sub-
stance abuse screening test among adolescent clinic patients. Arch of Pediatr Adolesc Med.
2002;156:607-14.
13. Kovacs M. Children’s Depression Inventory Profile Report. Diunduh dari: http://www.psy-
chassessments.com.au/products/22/prod22_report1.pdf
14. Conners CK. Conners’ Rating Scale-Revised. Interpretive report. Diunduh dari: http://www.
psychassessments.com.au/products/33/prod33_report1.pdf
15. Goldenring JM, Rosen DS. Getting into an adolescent head: an essential update. Diunduh
dari:http://www2.aap.org/pubserv/PSVpreview/pages/Files/HEADSS.pdf
187
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Dealing with Psychological Problem in
Lupus Patient
Budi Setiabudiawan*, Indra Sandinirwan, Gartika Sapartini, Reni Ghrahani
* Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran/RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung
Abstract
Systemic lupus erythematosus (SLE) is a chronic, multisystem, autoimmune disease characterized by the
presence of antinuclear antibodies and other autoantibodies, as well as a clinical course that is characterized
by flares and remissions, with extensive clinical manifestations in several organs. Neuropsychiatric
involvement occurs in two thirds of SLE pediatric patients and is the second leading cause of both morbidity
and mortality in patients. The most common manifestations of neuropsychiatric disorders are headache.
Other abnormalities that may occur in patients may include decreased concentration, psychosis, seizures,
cognitive dysfunction, central nervous system vasculitis, or cerebrovascular events. Several antineuronal
antibodies have been implicated in the pathogenesis of Neuropsychiatric Systemic Lupus Erythematosus
(NPSLE). These pathogenic autoantibodies may promote vascular occlusion and also lead to interruption
of the blood-brain barrier. Anti-NR2-glutamate receptor antibodies, anti-N-methyl-D-aspartate receptor
antibodies, and anti-ribosomal P antibodies have been identified. Psychiatric manifestations are also
common among patients. Psychosis, mood disorders, cognitive dysfunction, acute confusional state, and
anxiety disorders are included in the 1999 ACR classification system of NPSLE. However, other causes
of mood disorders must also be considered such as long term corticosteroid treatment. Children with SLE
are at risk of developing psychological problems due to various factors, including repeated hospitalization,
frequent physician visits, periodic laboratory examinations, limited daily activities, and medication side
effects that affect the patient’s physical appearance.
L
upus Eritematosus Sistemik (LES) adalah suatu penyakit autoimun yang terjadi
karena produksi auto-antibodi terhadap komponen sel tubuh sendiri, dengan
manifestasi klinis yang luas pada beberapa organ tubuh, ditandai oleh inflamasi
pada pembuluh darah dan jaringan ikat, bersifat kronik dan episodik, sehingga pasien
mengalami eksaserbasi atau remisi.1
Lupus Eritematosus Sistemik pada anak memiliki manifestasi yang kompleks dan
melibatkan berbagai organ.2,3 Keterlibatan neuropsikiatrik terjadi pada dua pertiga pasien
LES anak dan umumnya muncul pada tahun pertama setelah terdiagnosis. Keterlibatan
neuropsikiatrik merupakan penyebab utama kedua morbiditas dan mortalitas pada pasien.
Manifestasi kelainan neuropsikiatrik yang tersering adalah nyeri kepala. Kelainan lain
yang dapat muncul pada pasien dapat berupa penurunan konsentrasi, psikosis, kejang,
mielitis, vaskulitis sistem saraf pusat, atau stroke.1
Epidemiologi
Sekitar 15–20% kasus LES terdiagnosis saat dua dekade pertama kehidupan.1,7 Kasus LES
anak umumnya terjadi pada perempuan yang telah melalui masa pubertas, dengan usia
rata-rata awitan 12 tahun. Sebelum pubertas, rasio laki-laki:perempuan adalah 1:3, akan
tetapi setelah usia pubertas meningkat menjadi 1:9. Perbedaan etnis juga memengaruhi
insidensi penyakit ini, angka kejadian LES sebelum usia 19 tahun adalah 6–18 kasus
per 100.000 pada populasi perempuan kulit putih namun lebih tinggi pada etnis Afrika
Amerika yang mencapai 20–30 kasus per 100.000. Angka kejadian LES juga lebih tinggi
pada etnis Hispanik dan Asia.1
Perkiraan prevalensi neuropsikiatrik lupus eritematosus sistemik (NPLES) pada anak
berkisar antara 22–95%.7-11 Penelitian retrospektif NPLES pada 185 anak-anak di Cina
menunjukkan bahwa 11% pasien memiliki manifestasi klinis NPLES pada saat diagnosis
dan angka ini meningkat menjadi 16% dalam kurun waktu 1 tahun.Angka mortalitas
dalam penelitian tersebut adalah sebesar 45% pada anak dengan NPLES dan 17,4% pada
mereka yang tidak memiliki NPLES.8 Penelitian prospektif pada 256 pasien LES anak di
Toronto selama 4 tahun mengonfirmasi morbiditas dan kerusakan organ kumulatif yang
terkait NPLES dengan angka mortalitas sebesar 2,3%.11
Penelitian yang dilakukan di Bandung menunjukkan bahwa prevalensi neuropsikiatrik
lupus pada anak dengan lupus eritematosus sitemik di RS Hasan Sadikin yaitu sebesar
11,7%. Pada penelitian tersebut didapatkan kenaikan titer anti-dsDNA pada semua
pasien.12
189
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Batasan
Neuropsikiatrik Lupus Eritematosus Sistemik (NPLES) merupakan suatu kelainan
padasistem saraf pusat, perifer, dan/atau saraf otonom, serta sindrom psikiatrik yang
ditemukan pada pasien LES setelah penyebab-penyebab lain disingkirkan.8 Patogenesis
NPLES cukup kompleks, terkait dengan vaskulitis, trombosis, dan adanya autoantibodi.13
Salah satu autoantibodi yang paling sering diteliti adalah antiphospholipid antibodies
(aPL) yang merupakan suatu autoantibodi heterogen yang terkait dengan trombosis dan
berbagai manifestasi neurologis pada pasien dengan atau tanpa LES.5 Peningkatan aPL
berkaitan dengan disfungsi kognitif pada pasien LES. Defisit memori verbal, penurunan
kemampuan psikomotor, dan penurunan kemampuan kognitif secara signifikan berkaitan
dengan peningkatan kadar aPL pada pasien LES.5
Beberapa penelitian longitudinal mengevaluasi hubungan antara kadar aPL yang
didapat secara serial dan disfungsi kognitif pada pasien LES.24-26 Semua penelitian
menunjukkan bahwa disfungsi kognitif secara signifikan terkait dengan aPL yang positif.
Menon dkk. melaporkan bahwa pasien LES dengan kadar IgG anticardiolipin (aCL)
yang terus meningkat selama periode 2–3 tahun secara signifikan memiliki kapasitas
neuropsikologis lebih buruk dibanding pasien LES dengan kadar IgG aCL yang kadangkala
meningkat atau tidak pernah meningkat. Penurunan kapasitas neuropsikologis ini tidak
berhubungan dengan kadar antibodi anti-DNA maupun kadar C3.26 Hanly dkk. mengikuti
51 pasien LES wanita selama periode lima tahun dan menemukan bahwa peningkatan IgG
aCL yang persisten berhubungan dengan penurunan kemampuan psikomotor, sedangkan
peningkatan IgA aCL berkorelasi dengan penurunan fungsi eksekutif dan penalaran.
Mereka juga tidak menemukan hubungan antara defisit kognitif dengan antibodi anti-
DNA.25
Antibodi reseptor anti-glutamat juga berperan dalam disfungsi kognitif dan kelainan
psikiatrik pada pasien LES. Subset antibodi anti-DNA lupus bereaksi silang dengan
reseptor glutamat NR2 pada pasien dengan LES. Reseptor NR2 dikenali oleh antibodi
anti-DNA, dan antibodi ini selanjutnya akan memediasi apoptosis neuron.27
191
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Antibodi anti limfosit (AAL) akan berikatan dengan berbagai macam antigen
target. Antibodi ini diidentifikasi in vitro karena kemampuannya melisiskan limfosit
dan memiliki aktivitas terhadap permukaan limfosit atau komponen membran plasma.28
Beberapa AAL terbatas berikatan dengan limfosit, namun ada juga yang berikatan dengan
selain limfosit yaitu dengan sel neuron. Antibodi yang berikatan dengan sel neuron adalah
antibodi anti-ribosomal P protein (anti-P), merupakan bagian dari antibodi anti limfosit.
Antibodi anti-acidic ribosomal phosphoprotein/anti-ribosom (anti-P) ditemukan pada 13-
20% pasien LES.29
Antibodi anti limfosit yang bereaksi dengan sel neuron dapat bersifat patogenik pada
NPLES. Antibodi anti-ribosomal P protein selain berikatan dengan antigen di permukaan
limfosit T dan menginduksi apoptosis limfosit T, juga memiliki aktivitas antibodi terhadap
sel neuron.28,29 Limfosit pasien NPLES lebih rentan mati dengan cara neglect apoptosis
dibandingkan pasien bukan NPLES.30,31 Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sapartini
menunjukkan bahwa limfopenia berhubungan secara bermakna dengan NPLES.32 Hal
ini konsisten dengan hasil penelitian Rivero dkk. yang melaporkan bahwa limfopenia
berhubungan dengan keterlibatan saraf dan artritis.33 Penelitian Yu dkk. juga menunjukkan
bahwa limfopenia berat berhubungan dengan neuropsikiatrik LES.34 Kaitan antara AAL,
anti-P, limfopenia, dan NPLES dapat dilihat pada Gambar 2.
Produksi autoantibodi ↑
dan kompleks imun
Gambar 2. Kaitan antara antibodi anti limfosit (AAL), anti-P, limfopenia, dan NPLES
Sumber: Fayyaz28, Stafford29, Silva 31, Sapartini 32
The European Working Party on SLE mempelajari morbiditas dan mortalitas pada
pasien LES selama periode 10 tahun dalam penelitian kohort 1.000 pasien, yang merupakan
penelitian mengenai risiko kejadian trombosis dan aPL pada LES. Penelitian melibatkan
204 (20,4%) pasien dengan IgG anticardiolipin (aCL) positif, 108 (10,8%) pasien dengan
IgM aCL positif dan 94 (9,4%) dengan lupus anticoagulant (LA) positif. Trombosis adalah
penyebab paling umum kematian selama 5 tahun pemantauan dan dikaitkan dengan
antiphospholipid syndrome (APS). Manifestasi trombosis yang ditemukan dalam penelitian
tersebut adalah stroke (11,8%), infark miokardium (7,4%), dan emboli paru (5,9%).35
Cedera Autoantibodi
Vaskular/Trombosis
Anti-P
Anti-NMDA-r
aPL APL
Anti-Neuronal
Gangguan neuroplastisitas
Cedera saraf
Gangguan pada sinaps Gangguan sawar darah-otak
Faktor
lingkungan
Stress
Infeksi
193
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Gambar 4. Patomekanisme NPLES
Sumber: Kasama 22 dan sumber lain 27,28,30,31
Manifestasi psikiatrik sangat umum terjadi pada pasien dengan NPLES.8,9 Psikosis,
gangguan mood, disfungsi kognitif, keadaan konfusi akut, dan gangguan kecemasan
termasuk kategori NPLES dalam klasifikasi ACR 1999.39 Depresi merupakan gangguan
mood yang paling sering ditemukan pada anak dengan NPLES. Penyebab depresi lain
yang perlu dipertimbangkan pada anak dengan LES adalah depresi reaktif dan depresi
yang diakibatkan oleh steroid. Depresi reaktif adalah depresi yang dipicu oleh beban hidup
terkait penyakit kronis yang diderita pasien dan bukan karena kelainan neuropsikiatrik.
Manifestasi lain yang dapat ditemukan selain gangguan afektif antara lain halusinasi
visual, halusinasi pendengaran, dan halusinasi taktil.9
Disfungsi kognitif dilaporkan terjadi pada hingga 55% pasien NPLES anak.7-
9
Gangguan perhatian, konsentrasi, memori, dan gangguan kata dapat diamati selama
pengujian fungsi neurokognitif.39 Gejala-gejala tersebut dapat berfluktuasi atau bahkan
memburuk seiring waktu. Pada pasien remaja, penurunan kemampuan akademik
menandakan adanya disfungsi kognitif karena NPLES dan membutuhkan evaluasi lebih
lanjut. Mini-Mental State Examination (MMSE) dapat digunakan untuk mengidentifikasi
adanya disfungsi kognitif pada pasien.21
Kejang merupakan pertanda adanya keterlibatan pada SSP. Pasien LES dengan
gangguan serebrovaskular dan disfungsi kognitif memiliki kecenderungan kejang yang
lebih besar. Dalam beberapa penelitian, positivitas aPL akan meningkatkan risiko kejang.
Sebagian besar kejang, sekitar dua-pertiga adalah berupa kejang umum, sedangkan kejang
parsial menempati posisi kedua bentuk kejang yang paling sering.7,9,40
Gangguan gerak adalah manifestasi NPLES lain yang dapat muncul. Chorea adalah
gangguan gerak yang paling umum yang terkait dengan NPLES, dan mungkin dapat
menjadi manifestasi awal NPLES. Berdasarkan pengamatan, pasien anak dengan NPLES
memiliki risiko lebih besar mengalami kejadian trombosis, yang memberi petunjuk bahwa
chorea ini terjadi karena suatu mekanisme vaskulopati.6
Nyeri kepala adalah salah satu manifestasi NPLES yang paling sering terjadi
pada LES anak.9 Pada klasifikasi ACR 1999, nyeri kepala lupus terbagi menjadi lima
kategori: migrain, tension headache, cluster, nyeri kepala akibat hipertensi intrakranial
(pseudotumor cerebri), dan nyeri kepala nonspesifik.39 Nyeri kepala pada anak dengan
LES dapat multifaktorial. Saat ini tidak ada tes tunggal yang dapat membedakan nyeri
kepala yang disebabkan oleh NPLES dari etiologi lainnya, seperti migrain idiopatik,
efek samping obat, atau infeksi SSP. Pada kebanyakan kasus, nyeri kepala karena NPLES
ini akan terkait dengan manifestasi NPLES lainnya. Pada kasus nyeri kepala yang hebat
195
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
atau baru timbul, pasien harus dievaluasi secara menyeluruh dengan pencitraan otak,
dan juga pemeriksaan liquor serebrospinal.6 Keterlibatan neuropsikiatrik pada pasien
LES anak dapat memengaruhi kemampuan prestasi akademik dan kualitas hidup secara
keseluruhan.5,41
Diagnosis
Tidak ada tes diagnostik tunggal yang sensitif dan spesifik untuk manifestasi NPLES.
Penilaian pasien berdasarkan evaluasi neurologis, uji imunoserologis, pencitraan otak,
penilaian psikiatrik, dan penilaian neuropsikologis. Pemeriksaan-pemeriksaan tersebut
digunakan untuk mendukung diagnostik klinis, eksklusi kemungkinan lain, dan
merupakan dasar bagi pemantauan klinis secara jangka panjang maupun respons terhadap
pengobatan. Pendekatan diagnostik terhadap pasien dengan kemungkinan manifestasi
NPLES adalah dengan menentukan apakah sindrom klinis yang muncul memang benar
disebabkan oleh disfungsi organ akibat LES, atau justru disebabkan karena faktor lain
seperti infeksi, efek samping pengobatan, atau kelainan metabolik. Keadaan infeksi
dapat menyebabkan kelainan SSP pada pasien LES, sehingga sangat penting untuk
menyingkirkan penyebab infeksi sebelum menegakkan diagnosis NPLES.5,6
Pemeriksaan penunjang
Pencitraan otak bermanfaat untuk mengidentifikasi NPLES, dan penting untuk
menyingkirkan diagnosis alternatif seperti infeksi dan keganasan pada SSP. Penelitian
197
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
pada orang dewasa menunjukkan bahwa sekitar dua pertiga pasien dengan NPLES
menunjukkan kelainan pada hasil MRI otak.6
Penelitian Appenzeller dkk. mengungkapkan bahwa penurunan volume serebral
dan corpus callosum pada pasien LES dewasa berhubungan dengan durasi penyakit,
kerusakan kognitif, dan manifestasi SSP lainnya, dan tidak berhubungan dengan jumlah
total kortikosteroid atau adanya aPL.52 Gejala neurologis fokal dan gejala neuropsikologis
pada stroke yang terkait LES berkorelasi dengan kelainan struktural yang ditemukan dari
hasil MRI. Dengan menggunakan MRI, sebagian besar (40–80%) kelainan pada NPLES
adalah lesi fokal kecil-kecil yang terkonsentrasi pada daerah substansia alba periventrikular
dan subkortikal. Atrofi kortikal, dilatasi ventrikel, serta infark yang luas dan difus pada
substansia alba juga dapat ditemukan.53
Sebagian besar gambaran MRI pada NPLES adalah akibat keterlibatan pembuluh
darah kecil, dan menunjukkan lesi penyangatan (high-signal intensity) yang kecil, multifokal,
bilateral yang memberi kesan suatu vaskulitis pada pembuluh darah kecil. Dibandingkan
dengan MRI, computed tomography (CT) lebih bernilai dalam menggambarkan perubahan
akut akibat stroke hemoragik, pseudotumor cerebri, atau trombosis vena. Magnetic resonance
angiogram (MRA) juga bermanfaat untuk melihat adanya vaskulitis pembuluh darah besar.54
Di sisi lain, hasil pencitraan bisa memberikan gambaran yang normal, oleh karena itu tidak
adanya lesi pada MRI atau CT tidak sepenuhnya menyingkirkan NPLES.5,6
Analisa visual fluorodeoxyglucose-positron emission tomography (FDG-PET) secara
konsisten menunjukkan abnormalitas pada daerah prefrontal, parietal inferior dan
superior, parieto-oksipital, posterior temporal, dan oksipital substansia grisea dan
substansia alba pada keadaan NPLES yang aktif maupun tidak aktif. Abnormalitas pada
daerah prefrontal, anterior cingulate, dan substansia alba parietal inferior terlihat pada fase
akut NPLES namun tidak pada NPLES yang tenang. Sekitar 60–80% pasien dengan
NPLES aktif akan menunjukkan gambaran hipometabolisme berdasarkan pemeriksaan
FDG-PET pada daerah substansia alba parieto-oksipital bilateral, yang pada pemeriksaan
MRI konvensional menunjukkan hasil normal.52
Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS) dapat menunjukkan abnormalitas
neurometabolik pada substansia alba dan grisea yang terlihat normal pada pemeriksaan
MRI konvensional. Temuan tersebut menandakan adanya cedera neuronal atau
demielinasi yang terjadi pada episode NPLES yang aktif maupun yang tidak aktif.55,56
Pemeriksaan baru yang disebut Magnetization Transfer Imaging (MTI) yaitu metode MRI
yang dapat memberikan informasi secara kuantitatif, merupakan pemeriksaan yang lebih
sensitif dibanding MRI konvensional dalam mendeteksi NPLSE dan mampu mendeteksi
kelainan otak pada pasien dengan riwayat NPLES tanpa gejala aktif neuropsikiatrik saat
pemeriksaan dilakukan.57
Single-photon emission CT (SPECT) memberikan gambaran aliran darah otak dan
dapat menunjukkan daerah yang mengalami penurunan perfusi atau hilangnya fungsi
parenkim otak. Penelitian pada anak menunjukkan bahwa sebagian besar anak dengan
Permasalahan psikologis
Dikarenakan pasien LES anak sebagian besar adalah remaja perempuan, menangani
permasalahan yang timbul pada masa remaja menjadi sangat penting sehingga remaja
dengan penyakit ini dapat menentukan pilihan-pilihan yang tepat. Pemicu stress dan
komorbiditas perlu dikelola dengan sebaik-baiknya. Pada masa usia remaja, seorang anak
akan mengeksplorasi kebebasan mereka, mulai mempelajari keterampilan hidup, dan mulai
terlibat dalam pemecahan masalah. Mereka pada umumnya memasuki sekolah lanjutan
tingkat menengah dan tingkat atas, yang pergaulan sehari-harinya sangat dipengaruhi
oleh penampilan fisik.41
Selain permasalahan kronisitas penyakit, remaja yang menderita LES umumnya
memiliki permasalahan di lingkungan sekolah, kelompok teman sebaya, dan juga keluarga.
Efek samping pengobatan menambah permasalahan pada anak dengan LES karena
mereka akan mendapatkan terapi kortikosteroid sistemik dosis tinggi yang menyebabkan
penambahan berat badan, “moon face”, striae, dan bahkan jerawat. Oleh karena itu, tidak
mengherankan bahwa banyak remaja dengan LES tidak patuh dengan pengobatan dan
perawatan medis mereka, dan enggan untuk melanjutkan sekolah.41
Perjalanan penyakit LES yang ditandai dengan eksaserbasi dan remisi, memerlukan
pemantauan yang ketat akan aktivitas penyakitnya. Langkah evaluasi penyakit akan
berguna sebagai panduan dalam pemberian terapi. Beberapa indeks untuk menilai aktivitas
penyakit LES antara lain British Isles Lupus Assessment Group (BILAG) dan Systemic Lupus
Erythematosus Disease Activity Index (SLEDAI) yang dapat diadaptasi untuk penggunaan
pasian anak LES.6 Louthrenoo dkk. menyarankan penggunaan The Children’s Depression
Inventory (CDI) dan Multidimensional Anxiety Scale for Children (MASC) yang dilakukan
oleh pasien LES usia remaja dan The Child Behaviour Checklist oleh keluarga untuk
menilai keadaan psikologis dan kompetensi sosial pasien. Pada penelitian didapatkan
bahwa penderita LES anak memiliki kompetensi sosial keseluruhan yang lebih rendah
bahkan pada saat fase remisi dibanding kontrol pada rentang usia yang sama. Hal ini
disebabkan oleh penggunaan terapi kortikosteroid berkelanjutan (bahkan saat fase remisi)
yang mempengaruhi penampilan mereka.3
199
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
yang bertanggung jawab atas manifestasi NPLES, dapat diberikan pengobatan dengan
kortikosteroid tunggal atau dikombinasikan dengan imunosupresan lainnya, seperti
azatioprin, mycophenolate mofetil (MMF), atau siklofosfamid. Pada kasus yang sangat
berat atau mengancam jiwa, dan kasus yang refrakter terhadap pengobatan lain, dapat
dilakukan plasma exchange, pemberian immunoglobulin intravena, atau rituximab.6
Perlu diketahui bahwa pada kebanyakan sindrom NPLES, selain pengobatan dengan
terapi imunomodulasi juga diperlukan terapi simptomatik. Di Amerika Serikat sebanyak
90% pasien LES mendapat pengobatan kortikosteroid. Kortikosteroid sendiri merupakan
satu-satunya obat yang disetujui FDA untuk pengobatan LES, dengan efek samping
yang dcukup luas (hiperlipidemia, diabetes, hipertensi, osteopenia). Kortikosteroid juga
memiliki kontribusi terhadap morbiditas jangka panjang pada pasien LES.5
Terapi antiplatelet dan/atau terapi antikoagulan dapat diberikan untuk pasien NPLES
dengan manifestasi trombosis. Indikasi pemberian antikoagulan ini terutama adalah
trombosis arterial yang bermanifestasi sebagai stroke atau serangan iskemik transien pada
sindrom antifosfolipid. Tata laksana stroke akut pada anak tidak jauh berbeda dengan
stroke pada populasi dewasa. Pasien perlu dikonsultasikan dengan ahli neurologi anak dan
perlu dilakukan evaluasi mengenai kebutuhan terapi trombolitik atau intervensi bedah.
Aspirin harus diberikan kecuali ada kontraindikasi.6
Antikonvulsan dapat diberikan bersamaan dengan kortikosteroid atau imunosupresan
pada penderita NPLES dengan manifestasi kejang. Siklofosfosfamid atau plasma exchange
juga dapat diberikan terutama untuk kasus-kasus yang berat atau refrakter. Terapi
simptomatik dengan antipsikotik atau antidepresan bersamaan dengan imunosupresan
dapat diberikan untuk pasien dengan manifestasi psikiatrik. Pasien dengan chorea
umumnya mengalami perbaikan secara bertahap dengan pemberian antagonis dopamin
yang dikombinasikan dengan kortikosteroid oral. Manifestasi chorea yang disertai dengan
hasil antibodi antifosfolipid positif menunjukkan suatu etiologi thrombosis sehingga
dapat diberikan tambahan terapi antiplatelet/antikoagulan.6
Siklofosfamid yang diberikan secara bulanan dengan dosis (500-1000 mg/m2)
intravena selama enam bulan dilanjutkan dengan dosis rumatan triwulanan selama dua
tahun merupakan pilihan pengobatan imunosupresif sitotoksik dengan manfaat terapeutik
yang telah terdokumentasi untuk pengobatan NPLES yang berat dan tidak responsif
terhadap modalitas pengobatan lainnya.60 Penelitian lain juga menunjukkan bahwa
siklofosfamid memberikan hasil terapeutik keseluruhan yang lebih baik dibandingkan
metil prednisolon jangka panjang untuk pasien LES dengan manifestasi neurologis
(kejang refrakter, neuropati perifer dan kranial, neuritis optik).61
Langkah pencegahan sekunder yaitu mengurangi eksaserbasi lupus dengan
mengoptimalkan terapi, mengurangi faktor pencetuseksaserbasiseperti stress dan infeksi.
Pada pasien yang memiliki titer antibodi antifosfolipid yang tinggi, dapat dipertimbangkan
pemberian aspirin dan/atau antikoagulan oral.5,41
Prognosis
Luaran jangka panjang untuk pasien anak dengan NPLES cukup baik. Angka kelangsungan
hidup secara keseluruhan cukup tinggi yaitu sebesar 97%. Dalam penelitian Hiraki dkk.
pasien yang mengalami kejang atau stroke dan yang memiliki tingkat aktivitas penyakit
yang tinggi atau sering mengalami eksaserbasi SSP memiliki risiko kerusakan sistem saraf
jangka panjang yang lebih besar.11
Daftar pustaka
1. Weiss JE. Pediatric systemic lupus erythematosus: more than a positive antinuclear antibody.
Pediatr in Rev. 2012;33(2):62–74.
2. Mina R, Klein-Gitelman MS, Ravelli A, Beresford MW, Avcin T, Espada G. Inactive dis-
ease and remission in childhood-onset systemic lupus erythematosus. Arthritis Care Res.
2012;64(5):683–93.
3. Aberer E. Epidemiologic, socioeconomic and psychosocial aspects in lupus erythematosus.
Lupus. 2010;19:1118–24.
201
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
4. Louthrenoo O, Krairojananan J, Chartapisak W, Opastirakul S. Psychosocial functioning
of children with systemic lupus erythematosus. J Paediatr Child Health. 2012;28:1091–4.
5. Muscal E, Brey RL. Neurological manifestations of systemic lupus erythematosus in children
and adults. Neurol Clin. 2010;2(1):61–73.
6. Soybilgic A. Neuropsychiatric systemic lupus erythematosus in children. Pediatric Annals.
2015;44(6):e153–e8.
7. Harel L, Sandborg C, Lee T. Neuropsychiatric manifestations in pediatric systemic lupus ery-
thematosus and association with antiphospholipid antibodies. J Rheumatol. 2006;33:1873–
7.
8. Sibbitt WL, Brandt JR, Johnson CR. The incidence and prevalence of neuropsychiatric syn-
dromes in pediatric onset systemic lupus erythematosus. J Rheumatol. 2002;29:1536–42.
9. Yu HH, Lee JH, Wang LC, Yang YH, Chiang BL. Neuropsychiatric manifestations in pedi-
atric systemic lupus erythematosus: A 20-year study. Lupus. 2006;15:651–7.
10. Benseler SM, Silverman ED. Neuropsychiatric involvement in pediatric systemic lupus ery-
thematosus. Lupus. 2007;16:564–71.
11. Hiraki LT, Benseler SM, Tyrrell PN. Clinical and laboratory characteristics and long-
term outcomes of pediatric systemic lupus erythematosus: a longitudinal study. J Pediatr.
2008;152:550–6.
12. Setiabudiawan B, Pambudi J, Ghrahani R, Sapartini G. Prevalensi neuropsikiatrik lupus pada
anak dengan lupus eritematosus sistemik di RS Hasan Sadikin Bandung. Bandung: Univer-
sitas Padjadjaran; 2017.
13. Rizos T, Siegelin M, Hahnel S, Storch-Hagenlocher B, Hug A. Fulminant onset of cerebral
immunocomplex vasculitis as first manifestation of neuropsychiatric systemic lupus erythe-
matosus (NPSLE). Lupus. 2009;18(4):361–3.
14. Hanly JG. Neuropsychiatric lupus. Curr Rheumatol Rep. 2001;3(3):205–12.
15. Hanly JG, Walsh NM, Sangalang V. Brain pathology in systemic lupus erythematosus. J
Rheumatol. 1992;19:732–41.
16. Belmont HM, Abramson SB, Lie JT. Pathology and pathogenesis of vascular injury in sys-
temic lupus erythematosus. Interactions of inflammatory cells and activated endothelium.
Arthritis Rheum. 1996;39:9–22.
17. Abbott NJ, Mendonca LL, Dolman DE. The blood-brain barrier in systemic lupus erythe-
matosus. Lupus. 2003;12:908–15.
18. Zaccagni H, Fried J, Cornell J. Soluble adhesion molecule levels, neuropsychiatric lupus and
lupus-related damage. Frontiers in Bioscience. 2004;9:1654–9.
19. Spronk PE, Bootsma H, Huitema MG. Levels of soluble VCAM-1, soluble ICAM-1, and
soluble E-selectin during disease exacerbations in patients with systemic lupus erythematosus
(SLE); a long term prospective study. Clin Exp Rheumatol. 1994;97:439–44.
20. Nishimura K, Harigai M, Omori M. Blood-brain barrier damage as a risk factor for cortico-
steroid induced psychiatric disorders in systemic lupus erythematosus. Psychoneuroendocri-
nology. 2008;33:395–403.
21. Coin MA, Vilar-Lopez R, Peralta-Garcia I, Hidalgo-Ruzzante N, Perez-Garcia M. The role
of antiphospholipid autoantibodies in the cognitive deficits of patients with systemic lupus
erythematosus. Lupus. 2015;0:1–5.
22. Kasama T, Odai T, Wakabayashi K, Yajima N, Miwa Y. Chemokines in systemic lupus ery-
thematosus involving the central nervous system. Front Biosci. 2008;13:2527–36.
203
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
40. Olfat MO, Al-Mayouf SM, Muzaffer MA. Pattern of neuropsychiatric manifestations and
outcome in juvenile systemic lupus erythematosus. Clin Rheumatol. 2004;23(5):395–9.
41. Levy DM, Kamphuis S. Systemic lupus erythematosus in children and adolescents. Pediatr
Clin North Am. 2012;59(2):345–64.
42. Kenna HA, Poon AW, Angeles CPdl, Koran LM. Psychiatric complications of treatment with
corticosteroids: Review with case report. Psychiatry Clin Neurosci. 2011;65:549–60.
43. Newcomer J, Craft S, Hershey T, Askins K, Bardgett M. Glucocorticoid-induced impairment
in declarative memory performance in adult humans. J Neurosci. 1994;14(4):2047–53.
44. Newcomer JW, Selke G, Melson AK. Decreased memory performance in healthy humans in-
duced by stress-level cortisol treatment. Archives of General Psychiatry. 1999;56(6):527–33.
45. Wolkowitz OM, Reus VI, Weingartner H, Thompson K, Breier A, Doran A, dkk. Cognitive
effects of corticosteroids. American Journal of Psychiatry. 1990;147(10):1297–303.
46. Wolkowitz OM, Rubinow D, Doran AR. Prednisone effects on neurochemistry and behav-
ior: Preliminary findings. Archives of General Psychiatry. 1990;47(10):963–8.
47. Denburg SD, Carbotte RM, Denburg JA. Corticosteroids and neuropsychological functioning
in patients with systemic lupus erythematosus. Arthritis & Rheumatism. 1994;37(9):1311–
20.
48. Lewis DA, Smith RE. Steroid-induced psychiatric syndromes. A report of 14 cases and a
review of the literature. J Affect Disord. 1983;5:319–32.
49. Sirois F. Steroid psychosis: a review. Gen Hosp Psychiatry. 2003;1:27–33.
50. Wada K, Yamada N, Suzuki H, Lee Y, Kuroda S. Recurrent cases of corticosteroid-induced
mood disorder: clinical characteristics and treatment. J Clin Psychiatry. 2000;61(4):261–7.
51. Appenzeller S, Cendes F, Costallat LTL. Acute psychosis in systemic lupus erythematosus.
Rheumatol Int. 2007;28:237–43.
52. Appenzeller S, Rondina JM, Li LM. Cerebral and corpus callosum atrophy in systemic lupus
erythematosus. Arthritis Rheum. 2005;52(9):2873–9.
53. Sibbitt WL, Sibbitt RR, Brooks WM. Neuroimaging in neuropsychiatric systemic lupus ery-
thematosus. Arthritis Rheum. 1999;42:2026–38.
54. Abreu MR, Jakosky A, Folgerini M, Brenol JCT, Xavier RM, Kapczinsky F. Neuropsychiatric
systemic lupus erythematosus: correlation of brain MR imaging, CT, and SPECT. Clin Im-
aging. 2005;29(3):215–21.
55. Kozora E, Arciniegas DB, Filley CM. Cognition, MRS neurometabolites, and MRI volumet-
rics in non-neuropsychiatric systemic lupus erythematosus: preliminary data. Cogn Behav
Neurol. 2005;18(3):159–62.
56. Chinn RJS, Wilkinson ID, Hall-Craggs MA, Palet MNJ, Shortall E, Carter S, dkk. Magnetic
resonance imaging of the brain and cerebral proton spectroscopy in patients with systemic
lupus erythematosus. Arthritis Rheum. 1997;40:36–46.
57. Huizinga TWJ, Diamond B. Lupus and the central nervous system. Lupus. 2008;17:376–9.
58. Arinuma Y, Kikuchi H, Wada T. Brain MRI in patients with diffuse psychiatric/neuropsy-
chological syndromes in systemic lupus erythematosus. Lupus Sci Med. 2014;1(1):e000050.
59. Jennings JE, Sundgren PC, Attwood J, Mc-Cune J, Maly P. Value of MRI of the brain in
patients with systemic lupus erythematosus and neurologic disturbance. Neuroradiology.
2004;46(1):15–21.
205
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
New Vaccines for Indonesian National
Immunization Program
Cissy B. Kartasasmita
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran / RSUP Hasan Sadikin, Bandung
Abstract
Vaccine-preventable diseases remain a major public health problem despite the availability of safe
and efficacious vaccines. Immunization is one of the safest, most cost-effective, and powerful means
of preventing deaths and improving lives. Over the years, all countries of the world have incorporated
an increasingly broad immunization agenda in their public health interventions. Introduction
and widespread use of new and under-utilised vaccines can contribute greatly to reducing childhood
mortality. The continued discovery, research and development of new and improved vaccines has made
immunization even more effective in combating major causes of childhood illness and death. Expanding
immunisation to other age groups will further maximise the impact of vaccines. Indeed, the number
of vaccines available today to protect infants, children and now, adolescents and adults as well against
infectious diseases has increased substantially.
In 2013 the Indonesian Government introduced the pentavalent vaccine, which contains five antigens
in one shot and protects against diphtheria-tetanus-pertussis (DTP), hepatitis B and Haemophilius
influenzae type b (Hib), reduces the number of separate injections required for protection and minimises
the number of health centre visits required. The pentavalent vaccine was introduced in 2013, in three
phases, four provinces began immunising children immediately, a further nine provinces in January
2014 and the rest of the country in July 2014.
In 2017 the Indonesian Ministry of Health plans to add 3 vaccines into the National Immunization Program
(NIP), which are Measles-Rubella (MR), Pneumococcus PCV) and Human papilloma virus (HPV) vaccines.
In addition, Japanese Encephalitis (JE) vaccine will be added in Bali. By the year of 2019 the Ministry will
implements more new vaccines into the NIP, the program known as New Vaccine Initiative program.
S
ampai saat ini penyakit yang dapat di cegah dengan imunisasi (P3DI) masih
merupakan masalah kesehatan utama dan penting di Indonesia maupun di banyak
negara di dunia. Imunisasi merupakan salah satu tindakan pencegahan yang
aman, paling cost effective dan bermanfaat untuk mencegah kematian dan meningkatkan
kehidupan. Namun sayangnya program tersebut masih belum dimanfaatkan secara
maksimal, bahkan belakangan ini makin meningkat gerakan anti imunisasi.
207
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
atau cairan tubuh, dan hubungan seksual. Infeksi HPV genital terjadi bila ada hubungan
seksual, seks anal, atau kontak kulit dengan kulit di daerah genital. Infeksi bisa juga terjadi
di daerah mulut, bila terjadi oral sex. Infeksi HPV sering terjadi. Penularan juga dapat
terjadi melalui kontak dengan sesuatu yang tercemar virus HPV, seperti alat shower atau
di kolam renang umum, yang dapat meningkatkan risiko. Kebanyakan infeksi HPV (70-
90%) bersifat asimtomatik dan dapat sembuh spontan setelah 1 - 2 tahun. Namun bila
terinfeksi tipe tertentu, tidak terdeteksi dan tidak diobati, infeksi menetap dan berlanjut
progresif, berbulan bulan bahkan bertahun tahun, akhirnya menyebabkan kanker serviks.
Sebanyak 5 sampai 10% wanita yang terinfeksi HPV, menjadi progresif dan menetap.
Bila tidak ditemukan dan diobati secara tepat, bila terinfeksi oleh tipe risiko tinggi, akan
menjadi karsinoma invasif pada tempat terinfeksi, biasanya di saluran genital, yang
kemudian dapat berkembang menjadi kanker servik.5,6
Imunisasi HPV merupakan pencegahan primer kanker serviks yang tingkat
keberhasilannya dapat mencapai 100% jika diberikan sebanyak 2 kali pada kelompok
umur wanita naif atau wanita yang belum pernah terinfeksi HPV.5
Vaksin HPV, adalah vaksin yang dapat memberikan perlindungan terhadap kanker
serviks akibat virus human papillomavirus (HPV); selain itu, juga penyakit lain akibat
infeksi virus HPV yaitu kanker vagina dan vulva, serta penis pada laki-laki. HPV juga
dapat menyebabkan kanker orofaring (tenggorokan atas), kanker anal dan kutil genital.
Saat ini, yang beredar di Indonesia ada 2 vaksin human papillomavirus (HPV).
Yang pertama, vaksin HPV quadrivalent (HPV4) mengandung 4 subtipe virus (6, 11,
16 dan 18) dan vaksin HPV bivalent (HPV2) yang mengandung 2 subtipe virus (16 dan
18). Kedua vaksin itu mempunyai keefektifan tinggi, sekitar 70%, untuk perlindungan
terhadap kanker serviks (Ca cervix) yang kebanyakan diakibatkan oleh virus HPV subtipe
16 dan 18. Vaksin HPV4 yang mengandung 2 tambahan subtipe 6 dan 11 mempunyai
kelebihan dapat melindungi wanita terhadap kanker dan pra-kanker vagina dan vulva,
juga kutil genital. Vaksin dapat diberikan kepada anak gadis mulai usia 9 tahun, namun
di Amerika direkomendasikan untuk gadis usia 11-12 tahun. Di Indonesia, vaksinasi
HPV direkomendasikan diberikan mulai usia 10 tahun. Vaksin diberikan sebanyak 3
kali suntikan. Namun demikian, penelitian terkini menunjukkan bila vaksin diberikan
pada usia usia 9 - 13 tahun cukup diberikan 2 kali dengan interval waktu 6 - 12 bulan.
Vaksinasi paling efektif diberikan sebelum anak gadis melakukan aktivitas seksual.5
Keamanan vaksin telah dibuktikan dari berbagai penelitian sebelum vaksin disetujui
beredar di Amerika. Uji klinis sebelum diberikan lisensi dan data yang dikumpulkan
setelah vaksin beredar menunjukan vaksin sangat aman. Efek samping yang dilaporkan
bisa terjadi ringan berupa sakit di tempat suntikan, demam, tidak enak badan dan
kemerahan atau bengkak. Bisa juga ada mual, pusing dan nyeri otot dan sendi.
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, kasus kanker di Indonesia
terjadi sebanyak lebih kurang 330.000 orang dengan kasus terbesar adalah kanker serviks
atau kanker leher rahim. Sementara itu, data dari WHO Information Centre on HPV
Rubela (MR)
Rubela adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh virus rubella, biasanya ringan
dan bisa menyerang anak maupun dewasa. Melalui strategi implementasi vaksinasi rubela,
insidensi rubela menurun signifikan di berbagai negara, dan rantai transmisi endemik
virus rubela di WHO Region of the Americas diputus sejak tahun 2009. Epidemi rubela
biasanya terjadi secara berkala, pola musimnya tiap 5 sampai 9 tahun. Namun demikian
lamanya dan periode epidemi rubela sangat bervariasi di dunia. Bila infeksi rubela terjadi
saat sebelum konsepsi, atau saat hamil muda, bisa terjadi abortus, kematian janin atau
defek kongenital yang dikenal sebagai congenital rubella syndrome (CRS). Risiko tinggi
untuk CRS terdapat di negara dengan angka wanita subur yang rentan terhadap infeksi
virus rubela tinggi. Kejadian CRS sangat bervariasi antar negara; faktor epidemiologi
dan sosio-ekonomi berperan. Selain itu, ada juga perbedaan pola antara daerah urban dan
rural. Sebelum introduksi vaksin rubela, insidensi CRS berkisar antara 0.1 – 0.2/1000
kelahiran hidup pada periode endemik, dan mencapai 0.8 – 4/1000 kelahiran hidup saat
epidemi rubela. Epidemi yang luas menyebabkan peningkatan morbiditas. Epidemi yang
luas di Amerika Serikat tahun pada 1964 - 1965, diperkirakan mengakibatkan 12.5 juta
kasus rubela, mencakup > 2.000 kasus ensefalitis, > 11.250 kematian janin, > 20.000
kasus CRS, > 8.000 kasus tuli, 3. 580 anak dengan buta-tulidan 1.800 anak dengan
disabilitas intelektual.8
Berbeda dengan CRS, penyakit rubela adalah penyakit ringan yang dapat sembuh
spontan yang biasanya menyerang anak-anak. Dalam waktu 2 minggu setelah terpapar
memasuki fase prodromal timbul demam < 39°C, lemas dan konjungtivitis ringan, yang
lebih sering terjadi pada orang dewasa. Limfadenopati peri aurokuler, oksipital dan servikal
209
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
posterior sangat khas, dan biasanya muncul 5 - 10 hari sebelum timbulnya ruam. Ruam
makulo-papular, eritematosus dan gatal didapat pada 50% - 80% penderita rubela. Ruam
terjadi selama 1 sampai 3 hari. Ruam mulai timbul ruam di wajah dan leher kemudian ke
seluruh tubuh. Hasil penelitian serologis menunjukkan pada 20 sampai 50% kasus, tidak
ditemukan ruam atau subklinis. Gejala sendi (artritis, artralgia), berlangsung tidak lama,
bisa didapat pada 70% wanita tetapi tidak pada laki-laki dan anak-anak.8,9
Ensefalitis pasca infeksi didapatkan pada 1/6000 kasus rubela, namun pernah
dilaporkan insiden sebesar 1/500 dan 1/1600. Manifestasi perdarahan dan Guillain–Barré
syndrome jarang didapat. Pada ibu hamil yang terinfeksi segera setelah konsepsi atau hamil
muda 8 - 10 minggu, infeksi rubela dapat mengakibatkan defek multipel, bisa mencapai
90% kasus, selain mengakibatkan kematian janin dan lahir mati. Risiko menurun drastis
dan jarang ditemukan defek pada janin, bila terjadi saat, kehamilan di atas 16 minggu,
meskipun kelainan syaraf sensorik pendengaran masih bisa terganggu sampai usia kehamilan
20 minggu. Defek akibat CRS bisa terjadi pada mata (cataracts, microphthalmia, glaucoma,
pigmentary retinopathy, chorioretinitis); telinga (tuli sensorik); jantung (peripheral pulmonary
artery stenosis, patent ductus arteriosus atau ventricular septal defects); dan kraniofasial
(mikrosefali). CRS dapat timbul dengan manifestasi neonatal berupa meningoencephalitis,
hepatosplenomegali, hepatitis, thrombocytopenia dan gambaran radiolusen tulang panjang
(karakteristik untuk gambaran radiologis pada CRS). Komplikasi thrombocitopenia bisa
fatal. Dapat juga terjadi interstitial pneumonitis pada bayi dengan CRS. Bayi yang bisa
bertahan hidup, dapat mengalami gangguan perkembangan berupa gangguan penglihatan
dan pendengaran dan berisiko mengalami perkembangan yang terlambat, termasuk
autis, diabetes melitus tipe I, dan tiroiditis. Pernah ditemukan pasien dengan progressive
encephalopathy serupa subacute sclerosing panencephalitis pada pasien dengan CRS.
Vaksin rubela tersedia, baik yang monovalen maupun dalam bentuk kombinasi
dengan vaksin lain, misalnya kombinasi dengan campak/measles (MR), measles dan mumps
(MMR), atau measles, mumps and varicella (MMRV).8
Program yang direncanakan Kementerian Kesehatan adalah pengenalan vaksin MR
di Indonesia yang menyasar anak berusia 9 bulan sampai 15 tahun; vaksin diberikan sekali
pada semua anak rentang usia itu, sebanyak 70 juta jiwa. Untuk Jawa, fase pengenalan
MR adalah Agustus-September 2017, dan luar Jawa pada bulan Agustus-September 2018.
Mulai Oktober 2017, vaksin MR akan menggantikan vaksin campak di Jawa, sesuai
jadwal imunisasi campak (di usia 9 bulan, 2 tahun, dan di usia 7 tahun). Vaksin MR
menggantikan vaksin campak (M) di seluruh Indonesia mulai Oktober 2018 setelah area
luar Jawa tercakup.8
Japanese Encephalitis
Japanese encephalitis (JE) merupakan penyebab utama ensefalitis di Asia, banyaknya kasus
diperkirakan 67.000 JE per tahun. Hampir di setiap negara di Asia didapatkan JE, di
211
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
sebarkan oleh nyamuk Culex yang telah terinfeksi. Saat ini diperkirakan terdapat 3 milyar
orang yang tinggal di 24 negara, terutama di WHO South-East Asia and Western Pacific
Regions, menghadapi risiko tertular JE. Untuk mengendalikan JE, Badan Kesehatan Dunia
(WHO) merekomendasikan vaksin JE dimasukkan ke dalam program imunisasi nasional
di daerah JE. Namun pelaksanaan pengendalian berjalan lambat, dan hanya dilaksanakan
di beberapa negara Asia yang kaya saja. Baru belakangan ini program pengendalian mulai
menunjukkan peningkatan, setelah banyak negara melaksanakan survailen JE dan bisa
diperoleh vaksin yang aman dan efektif.12,13,14.
JE adalah penyakit infeksi serius yang disebabkan oleh virus JE yang ditularkan
terutama melalui gigitan nyamuk yang telah terinfeksi. JE tidak menular antar-manusia.
Risiko untuk terkena penyakit ini terutama pada orang yang tinggal di daerah yang
sering ditemukan penderita JE dan pada pelancong yang tinggal lama di daerah tertentu.
Nyamuk Culex tritaeniorhynchus, merupakan spesies vektor yang terpenting, berkembang
biak di kolam dan genangan sawah dan menggigit pada malam har; binatang seperti babi
dan burung merupakan reservoar virus. Oleh karena itu, virus JE tidak dapat dieliminasi,
namun penyakit dapat dikendalikan dengan universal human vaccination di daerah
endemis. Faktor risiko untuk penyakit JE antara lain hidup berdekatan dengan persawahan
dan bila memiliki atau bertetangga dengan pemilik babi. Sebetulnya JE adalah penyakit
daerah rural, namun di India dan Katmandu ditemukan kasus tanpa pernah melancong
ke daerah rural; mungkin sudah terjadi pola dan vektor sudah beradaptasi.12,13,14,15,16
Infeksi JE umumnya asimtomatis. Penyakit yang berat diperkirakan 1 kasus per 250
infeksi JE. Masa inkubasi JE 4 -14 hari, diikuti gejala klinis, tiba-tiba demam tinggi,
menggigil, sakit kepala, pegal-pegal/nyeri otot, gangguan mental dan opistotonus, dan bisa
disertai acute flaccid paralysis (lumpuh layu). Kejadian kejang seringkali terjadi pada anak
(> 75%) dan lebih jarang pada dewasa. Pada anak, gejala muntah dan nyeri perut dominan
sebagai gejala pertama. Penyakit berlangsung progresif menjadi ensefalitis berat disetai
gangguan mental, kelainan nerologis umum atau fokal, penurunan kesadaran sampai
koma. Penderita bisa memerlukan bantuan ventilator. Sebanyak 30% dari kasus berat
yang hidup, menunjukan gangguan nerologis serius, psikososial, disabilitas intelektual
dan/atau fisik. Laju kematian pada anak yang muda mencapai 20 sampai 30%.13,14,15,16
Tidak ada obat untuk penyakit JE, hanya pengobatan suportif saja. Kematian pada
JE biasanya disebabkan karena aspirasi, kejang-kejang, peningkatan tekanan intra kranial
dan hipoglikemia. Satu-satunya cara pencegahan adalah dengan dengan imunisasi.
Vaksin JE sudah cukup lama beredar. Tahun 2012 hanya di 11 dari 24 (46%) negara
berisiko transmisi JE, mempunyai program imunisasi JE, 7 negara (29%) di antaranya
memasukkan imunisasi JE ke dalam program imunisasi nasional atau pada daerah dengan
risiko JE. Vaksin JE pada tahun 2009 hanya diperuntukan untuk dipakai pada usia ≥ 17
tahun, tetapi tahun 2013 FDA (Food and Drug Adimistration) mgeluarkan lisensi vaksin
JE untuk dapat diberikan kepada anak usia 2 bulan sampai 16 tahun juga. Dosis vaksin
JE primer adalah 2 kali suntikan dengan jarak minimal 28 hari untuk anak 2 bulan sampai
2 tahun tiap dosis 0,25 ml dan untuk anak ≥ 3 tahun setiap dosisnya 0.5 ml. Sampai
Penutup
Kegiatan imunisasi di indonesia dilaksanakan secara rutin sejak tahun 1956. Kegiatan
imunisasi ini telah berhasil membasmi penyakit cacar, dibuktikan dengan Indonesia
dinyatakan bebas cacar oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 1974.
Kemudian pada tahun 1977 dimulai PPI, yang dimulai secara resmi di 55 puskesmas.
Beberapa antigen mulai menjadi program imunisasi nasional, seperti BCG tahun 1973,
tetanus toksoid (TT) ibu hamil tahun 1974, difteri, pertusis, dan tetanus (DPT) pada
tahun 1976. Berikutnya, polio pada tahun 1981, campak pada tahun 1982, dan hepatitis
B tahun 1997. Tahun 2013 ditambahkan Hib yang disatukan dengan DPT dan hepatitis
B (Pentavalen). Tahun 2017 direncanakan penambahan vaksin secara bertahap yaitu MR,
HPV, PCV, dan JE. Kementerian Kesehatan telah merencanakan untuk menambahkan
vaksin baru ke dalam program imunisasi nasional sehingga pada tahun 2025 ada 14
penyakit dapat dicegah. Vaksin baru yang sudah di pipeline adalah rotavirus, influenza,
dengue, hepatitis A, dan varisela, yang semuanya sudah beredar di Indonesia.
Daftar pustaka
1. Sejarah Imunisasi di Indonesia. http://infoimunisasi.com/vaksin/sejarah-imunisasi-di-indo-
nesia
2. WHO/GAVI/UNICEF. Indonesia introduces five-in-one vaccine for children Immuniza-
tion, Vaccines and Biological. http://www.who.int/immunization/newsroom/indonesia_
five_in_one_20130822/en/
3. M Subuh. Tahun ini kemenkes upayakan tiga vaksin lengkapi program imunisasi nasional
www.depkes.go.id
4. Jane Supardi. 2018, Pemerintah akan Masukkan Vaksin Campak Jerman jadi Imuniasi Wajib
Bagi Balita Indonesia. www.depkes.go.id
5. WHO. Human papillomavirus vaccines: WHO position paper, May 2017. Weekly epidemi-
ological record/ Relevé épidémiologique hebdomadaire 12 MAY 2017, 92th YEAR / 12 MAI
2017, 92, 241–268 http://www.who.int/wer
6. Rusmil K. Human Papiloma Vitrus. Pedoman Imunisasi di Indonesia. Edisi 5. Ed. Gde
Ranuh dkk. Satgas Imunisasi IDAI. Halaman 342 -346, 2014
7. Kendalikan kanker servix sejak dini dengan imunisasi. Dipublikasikan pada : Sabtu, 26 No-
vember 2016 00:00:00, dibaca : 3.806 kali j. www.depkes.go.id
213
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
8. WHO. Rubella vaccines: WHO position paper Weekly epidemiological record Relevé épidé-
miologique hebdomadaire 15 july 2011, No. 29, 2011, 86, 301–316 http://www.who.int/
wer
9. Salimo H dan Pasaribu S. Campak, Gondongan dan Rubela (Measles, Mumps, Rubella =
MMR). Pedoman Imunisasi di Indonesia. Edisi 5. Ed. Gde Ranuh dkk. Satgas Imunisasi
IDAI. Halaman 322-3292014
10. WHO. Pneumococcal vaccines WHO position paper – 2012. Weekly epidemiological re-
cord, /Relevé épidémiologique hebdomadair6 APRIL 2012, 87th YEAR / 6 AVRIL 2012,
87, 129–144 http://www.who.int/wer
11. Kartasasmita CB. Pneumokokus. Pedoman Imunisasi di Indonesia. Edisi 5. Ed. Gde Ranuh
dkk. Satgas Imunisasi IDAI. Halaman 288 - 298, 2014
12. WHO. Japanese Encephalitis Vaccines: WHO position paper – February 2015 Weekly ep-
idemiological record/ Relevé épidémiologique hebdomadaire 27 FEBRUARY 2015, 90th
YEAR / 27 FÉVRIER 2015, 90, 69–88 http://www.who.int/wer
13. CDC. Japanese Encephalitis Vaccines: Recommendations of the Advisory Committee on Im-
munization Practices (ACIP). Recommendation and Reports. March 12, 2010/59(RR01);1-
27
14. CDC. Japanese Encephalitis Surveillance and Immunization- Asia and the Western Pacific
2012. August 23, 2013/62(33);658-662
15. CDC. Use Japanese Encephalitis Vaccine in Children: Recommendation of the Advisory Com-
mittee on Immunization Practices (ACIP), 2015. Weekly, November 15, 2013/62(45);898-
900
16. Pusponegoro H. Japanese Ensefalitis. Pedoman Imunisasi di Indonesia. Edisi 5. Ed. Gde
Ranuh dkk. Satgas Imunisasi IDAI. Halaman 362-367, 2014
Abstract
Preterm infants are vulnerable to extra-uterine growth restriction (EUGR) during neonatal ward
stay and after discharge, related to cumulative protein and energy deficits. The goal of nutritional
management of preterm infants should be to optimise quantitative and qualitative rates of growth to
limit long-term morbidity and enhance long-term outcomes. The adequacy of nutrient intakes among
infants is monitored by changes in weight gain, length and head circumference. The earlier recovery
from initial weight loss during the first days of life appears to be key for optimising growth in extremely
preterm infants, as later catch-up requires a higher growth rate that would be difficult to achieve in most
infants. Anthropometric measurements should be plotted on an appropriate growth chart which provided
the basis for growth and nutritional assessment of infants by presenting a comparison of an infant’s
actual size and growth trajectory with reference data. To ensure optimal growth and body composition is
achieved, preterm infants’s nutritional management should be personalised to meet their individual needs
according to their gestational age, birth weight and their need for catch-up growth. The development and
implementation of responsive, personalised nutritional support in preterm infants is mandatory.
P
erkembangan pengetahuan mutakhir mengungkapkan bahwa dampak malnutrisi
yang terjadi di 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) bersifat permanen. Waber
dkk (2014) yang meneliti skor IQ pada 77 orang dewasa berusia 40 tahun dengan
riwayat pernah mengalami malnutrisi sedang maupun berat pada saat bayi, menemukan
bahwa 65% mempunyai skor IQ dibawah 90 termasuk 25% yang mempunyai skor IQ
dibawah 70.1 Hal ini akan mempengaruhi kemampuan didiknya serta lapangan pekerjaan
yang dapat diperoleh. Bayi yang dilahirkan prematur juga akan mengalami malnutrisi jika
tidak mencapai tumbuh kejar yang optimal.
Di pelbagai belahan dunia, angka kejadian restriksi pertumbuhan ekstrauterin
diantara bayi dengan berat lahir sangat rendah bervariasi dari 43% sampai 97%. Kecukupan
asupan energi dan protein pada minggu pertama kehidupan terbukti berkorelasi dengan
defisit perkembangan neurokognitif pada usia 18 bulan. Sejak akhir abad ke 20, para
ahli melakukan pelbagai penelitian untuk menyelamatkan masa depan bayi prematur,
sehingga muncullah rekomendasi pemberian nutrisi yang agresif pada awal kehidupan
untuk mengembalikan BB lahir secepatnya sebelum 2 minggu dilanjutkan dengan
tahapan tumbuh kejar dengan mengoptimalkan nutrisi enteral atau oral (lihat Gambar
1). Pemberian protein yang tinggi pada awal kehidupan terbukti dapat mengoptimalkan
215
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Gambar 1. Nutrisi agresif untuk mencegah restriksi pertumbuhan ekstrauterin
(dikutip dari Adamkin DH. 2006)2
Gambar 2. Asupan tinggi protein serta rendah lemak diawal kehidupan akan meningkatkan risiko terjad-
inya early adiposity rebound (jangka pendek) sedangkan jangka panjang meningkatkan risiko terjadinya
sindrom metabolik (Dikutip dari Rolland-Cachera MF, Scaglioni S 2015)5
Tabel 1. Pertumbuhan berat badan, panjang badan dan lingkar kepala. Diterjemahkan dan dimodifikasi dari
Nelson Texbook of Pediatrics Eds 18th 6.
Age Kenaikan berat badan setiap Penambahan panjang Penambahan Lingkat
hari (g/hari) badan setiap bulan (cm/ Kepala (cm/bulan)
bulan)
0-3 bulan 30 3,5 2
3-6 20 2 1
6-9 15 1,5 0,5
9-12 12 1,2 0,5
1-3 tahun 8 1 0,25
4-6 tahun 6 3 cm/tahun 1 cm/tahun
217
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Bagaimana menghitung kebutuhan zat gizi untuk tumbuh kejar?
Menghitung kebutuhan enegi dan protein berdasarkan perhitungan sbb:
Tabel 2. Energi dan protein yang dibutuhkan untuk mencapai pelbagai kecepatan tumbuh kejar7
Protein* (g/kg/hari) Energi† (kcal/kg/hari) Protein/energi (%)
1 g/kg/hari 1,02 89 4,6
2 g/kg/hari 1,22 93 5,2
5 g/kg/hari 1,82 105 6,9
10 g/kg/hari 2,82 126 8,9
20 g/kg/hari 4,82 167 11,5
*Deposit jaringan 14% disesuaikan untuk efisiensi penggunaan 70% ditambah kadar rumatan yang aman
(0,82g/kg/hari)
†Energi rumatan pada 85 kkal/kg + biaya energi keseluruhan pada 4,1 kkal/kg/hari. 9,7% deposit jaringan
disesuaikan untuk efisiensi penggunan 70% itambah kadar rumatan yang aman (0,82 d g/kg/hari)
Cooke dkk (2006) untuk pertama kali menganjurkan rasio protein energi (PER)
3,6 g/100 kkal untuk tumbuh kejar bayi sangat prematur, karena selain toleransinya
baik juga memenuhi kebutuhan protein dan energi untuk tumbuh kejar optimal. Untuk
memantau kecukupan asupan protein8 Polberger dkk (1990) menemukan bahwa kadar
ureum serum >1,6 mmol/L dan kadar ureum urin >18 mmol/L(urin dikumpulkan dalam
8 jam) mengindikasikan asupan protein yang tinggi jika kecepatan pertumbuhan adekuat.
Sebaliknya jika kadar keduanya lebih rendah secara konsisten dan kecepatan pertumbuhan
belum adekuat menunjukkan bahwa asupan protein harus ditingkatkan. Pedoman ini
dapat diterapkan secara individual pada bayi sesuai masa kehamilan (AGA) dengan berat
lahir sangat rendah setelah berusia 3 minggu9
Tabel 3. Komposisi zat gizi dalam 1000 mL ASI, ASI+HMF, Susu Formula Standar, Susu Formula Pre-
matur,Susu Formula Postdischarge, dan Nutrisi Enteral Khusus Bayi ≥ 40 minggu usia gestasi
Nutrien ASI ASI + Hu- Susu Susu Susu Formu- Nutrisi En-
man Milk Formula Formula la Postdis- teral Bayi
Fortifier Standar Prematur charge
Energi (Kkal) 670 850 670 810 744 1010
Protein (g) 10 25 14 24 21 26
Lemak (g) 35 36 36 43 39 54
Karbohidrat (g) 70 97 73 87 77 103
Kalsium (mg) 280 1120 530 1400 890 1000
Fosfor (mg) 147 590 320 740 490 500
Natrium (mmol) 8 10 8 18 11,7 16
Zat Besi (mg) 0.4 14,8 12.2 14.6 13,3 12
Seng (mg) 1.2 10,30 6 12.2 7,4 8
Vitamin A (mg) 0.7 3,55 0.6 3.0 0.9 0,81
Vitamin D3 (mcg) 0.5 38 10 40 14 15
PER (%) 5,9 11,8 8,4 11,9 11,2 10,3
Osmolarity (mOsm/L) Tidak tersedia data 270 280 270 305
Osmolality (mOsm/kg) 296,25† 351,25† 300 320 310 360
PRSL (mOsm/100mL) 14‡ 24 12,5 25 18,4 22,3
† Data dikutip dari Srinivasan L et al. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2004;89:F514–F517
‡ Data dikutip dari Fomon SJ.Pediatrics 2000;106 suppl 4:1284-1285
Jika mengacu pada perhitungan PER pada Tabel 2, hanya ASI + HMF, dan susu
formula prematur yang mempunyai PER ≥11,5% sehingga memungkinkan catch up
growth ≥ 20 g/kg/hari.
219
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Pemantauan serta analisis
Setiap penerapan asuhan nutrisi wajib diakhiri dengan pemantauan akseptabilitas,
toleransi dan efektifitas asuhan nutrisi tersebut. Pemantaun dapat dilakukan setiap hari
saat bayi masih dirawat inap atau setiap 1-2 minggu setelah bayi dipulangkan kerumah.
Penilaian efektifitas pertumbuhan menggunakan parameter berat badan, panjang badan
dan lingkar kepala menurut umur grafik Intergrowth 21st International Postnatal Growth
Standard for Preterm yang lebih praktis karena pemantauan dapat dilakukan sejak 27
minggu sampai 64 minggu usia gestasi kemudian dilanjutkan dengan grafik WHO
2006 mulai usia 6 bulan, kedua merupakan grafik standar. Jika menggunakan grafik
Fenton pemantauan dilakukan sejak 24 minggu sampai 40 minggu, setelah itu beralih
menggunakan grafik WHO 2006.
Contoh kasus 1 :
Seorang bayi perempuan dibawa oleh ibunya ke dokter spesialis anak karena gagal tumbuh.
Bayi adalah anak kedua dari orang tua yang tidak ada consanguinitas, dilahirkan spontan
prematur 36 minggu. Berat lahir 1638 g, panjang badan 42 cm dan lingkar kepala 30
cm, bayi mendapat ASI dan HMF, dipulangkan pada usia 16 hari dengan berat 1716 g,
usia 34 hari berat 2068 g dan panjang 44 cm. Ibu bertanya apakah perlu tambahan susu
formula ?
Gambar 4. The International Postnatal Growth Standarr for Preterm Infants Panjang Badan menurut
umur postmenstrual, z-score dan jenis kelamin permpuan
221
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Jika mengacu pada BB saat 34 hari, bayi diperkirakan mendapat asupan ASI dan
HMF sebanyak 2,068 x 120 kkal/hari = 248 kalori (300 ml ASI perah ditambah 12 sachet
HMF). BB ideal berdasarkan panjang badan saat 34 hari yaitu 44 cm adalah 2.280 kg
diperlukan 273 kkal/hari untuk mencapainya. Untuk menenuhi kebutuhan 273-248
kkal =25 kkal diperlukan tambahan ASI 37 ml. Sesuai dengan indikasi penggunaan
FSMP bayi prematur, untuk bayi yang usia gestasinya > 32 minggu dan atau berat lahirnya
>1500 g, maka jika ASI ibu hanya 300 ml ∞ 200 kkal maka perlu ditambah susu formula
standard 73 kkal setara dengan 3,65 takar (1 takar = 20 kkal) atau 3,3 takar susu formula
postdischarge (1 takar = 22 kkal). atau 73 ml Infantrini® (1 ml = 1 kkal) tergantung
ketersediaan produk serta toleransinya.
Contoh Kasus 2
Bayi perempuan usia 21 hari, usia gestasi 30 minggu, berat lahir 1300 g, panjang 38 cm,
lahir secara bedah kaisar atas indikasi eklamsia. Bayi dirawat selama 20 hari karena distres
napas. Pada hari ke-1 diberikan priming ASI dan selanjutnya dinaikkan bertahap sehingga
mencapai nutrisi enteral penuh pada hari ke-10. Saat ini berat bayi 1500 g, panjang 39
cm, diberikan ASI perah campur formula prematur lewat OGT sebanyak 160 ml/kg/hari
(ASI 4x30 dan PF 4x30 ml). Produksi ASI ibu berkisar 120 ml/hari. Ibu bertanya apakah
bisa menggunakan HMF ?
Penutup
Sebagai kesimpulan, untuk mencapai tumbuh kejar optimal diperlukan penerapan asuhan
nutrisi bayi prematur yang sempurna, artinya tahapan pemantauan akseptabilitas, toleransi
serta efisiensi merupakan suatu keharusan. Tumbuh kejar optimal bervariasi berdasarkan
berat lahir, serta usia bayi. Penggunaan pangan untuk keperluan medis khusus (Food for
special medically purposes) harus di bawah pengawasan dokter spesialis anak. Indikasi,
kapan digunakan, kapan dihentikan serta kemungkinan reaksi simpang yang mungkin
terjadi merupakan kompetensi dasar seorang dokter spesialis anak.
Daftar pustaka
1. Waber, D. P., Bryce, C. P., Fitzmaurice, G. M., Zichlin, M., McGaughy, J., Girard, J. M.,
& Galler, J. R.. Neuropsychological Outcomes at Mid-Life Following Moderate to Severe
Malnutrition in Infancy. Neuropsychology, 2014: 28(4), 530–540.
2. Adamkin DH. Nutrition Management of the Very Low -birthweight Infant.II. Optimizing
Enteral Nutrition and Postdischarge Nutrition. NeoReviews Dec 2006:7 (12), e608-e614
3. Thureen PJ. Early Aggressive Nutrition in the Neonates. Pediatrics in Review 1999;20;e45
4. Su BH. Optimizing Nutrition in Preterm Infants. Pediatr Neonatol. 2014 Feb;55(1):5-13
5. Rolland-Cachera MF, Scaglioni S. Role Of Nutrients In Promoting Adiposity Development.
In M.L. Frelut (Ed.), The ECOG’s eBook on Child and Adolescent Obesity.2015
6. Keane V. Assessment of growth. In Kliegman,Behrman,Jenson,Stanton. Nelson textbook of
pediatrics 18th eds.2007; hal 72
7. WHO.Protein and amino acid requirements in human nutrition : report of a joint FAO/
WHO/UNU expert consultation. WHO technical report series 2007; 935; hal 185-191
8. Cooke R, Embleton N, Rigo J, et al. High protein pre-term infant formula: effect on nutrient
balance, metabolic status and growth. Pediatr Res 2006;59:265–70
9. Polberger, S K.T., Axelsson, I.E., Räihä, N C R. Urinary and Serum Urea as Indicators of Pro-
tein Metabolism in Very Low Birthweight Infants Fed Varying Human Milk Protein Intakes.
Acta Pædiatrica, 1990;79: 737–742.
10. Srinivasan L et al. Increased osmolality of breast milk with therapeutic additivesArch Dis
Child Fetal Neonatal Ed 2004;89:F514–F517
11. Fomon SJ. Potential Renal Solute Load: Considerations Relating to Complementary Feed-
ings of Breastfed Infants.Pediatrics 2000;106 suppl 4:1284-1285
223
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Managing Perinatally HIV Infected
Adolescence
Debbie Latupeirissa
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta
Abstract
Perinatal-infected HIV positive adolescent is growing up with better treatment options, longer survival
rates and improved quality of life; however this population faced many new problems and issues that
is really challenging. These are including monitoring their medical therapy as they grow older and
management of treatment failures, which may be the result of many factors including drug resistance and
adherence issues. Therefore, more studies are needed to determine the effect of treatment options and the
disease itself in children who are living with it, surviving longer and going on to have their own children.
P
engelolaan infeksi HIV pada anak akibat penularan perinatal sebelum tersedianya
obat antiretroviral (ARV) adalah lebih berfokus pada perawatan dan pencegahan
infeksi oportunistik dan paliatif. Perawatan ini dilakukan karena mortalitas
dan morbiditas yang masih sangat tinggi pada masa tersebut. Sejak tersedianya terapi
antiretroviral HAART pada awal tahun 1990an dan dibuatnya pedoman terapi dari
rejimen obat tunggal menjadi rejimen tiga jenis obat ganda didapatkan hasil yang sangat
baik. Anak-anak dengan terapi ARV yang tepat memiliki tingkat kematian yang jauh lebih
rendah, kelangsungan hidup, dan kualitas hidup mereka menjadi lebih baik dibandingkan
sebelumnya. Rerata usia anak di Amerika Serikat dengan HIV-positif yang terinfeksi pada
masa perinatal saat ini adalah 15 tahun. Suatu penelitian kohort prospektif di Perancis,
juga mendapatkan hasil yang sama yaitu rerata usia HIV anak yang terinfeksi pada masa
perinatal adalah 15 tahun.
Keberhasilan ini ternyata menimbulkan tantangan baru dalam pengelolaan anak
terinfeksi HIV yang mencapai usia adolesen. Beberapa dari tantangan ini termasuk
memantau terapi medis mereka karena seiring dengan bertambahnya usia, perlu penanganan
kegagalan pengobatan yang mungkin diakibatkan oleh banyak faktor termasuk masalah
resistensi obat ARV, farmakodinamik obat ARV, dan kepatuhan penderita minum obat.
Komplikasi akibat penggunaan obat ARV jangka panjang juga menjadi tantangan yang
besar yang harus dideteksi sejak dini.
1. Kegagalan virologis
Kegagalan virologis didefinisikan sebagai respon yang tidak baik terhadap terapi ARV
yang diketahui dari jumlah virus (viral load) HIV atau terdeteksinya virus kembali
setelah sebelumnya mencapai tidak terdeteksinya virus. Respon yang tidak baik
terhadap terapi ARV didefinisikan sebagai penurunan jumlah HIV RNA < 1,0 log10
setelah 8 sampai 12 minggu pengobatan, jumlah virus HIV masih > 400 setelah 6
bulan pengobatan, dan virus HIV tetap terdeteksi setelah 12 bulan pengobatan.
2. Kegagalan imunologik
Kegagalan imunologi dinilai dengan mengevaluasi hitung sel limfosit T CD-4 di
dalam tubuh pasien. Remaja dan orang dewasa memiliki hitung sel limfosit T CD-4
normal lebih dari 200 sel/mm3. Kegagalan imunologi dapat didefinisikan sebagai
kegagalan untuk mencapai dan mempertahankan respons sel limfosit T CD-4 yang
memadai meskipun ada penekanan jumlah virus. Tidak ada definisi spesifik untuk
kegagalan imunologis, walaupun beberapa penelitian berfokus pada pasien yang
gagal meningkatkan hitung sel T CD-4 di atas ambang batas tertentu (misalnya>
350 atau 500 sel/mm3) selama periode waktu tertentu (misalnya selama 4-7 Tahun).
Definisi lain berfokus pada ketidakmampuan untuk meningkatkan hitung sel CD-4
di atas jumlah sebelum pengobatan dan juga didefinisikan sebagai penurunan yang
berkesinambungan 5 poin persentase hitung CD-4 dalam persentase di bawah
garis dasar sebelum pengobatan ARV. Proporsi pasien yang mengalami kegagalan
imunologi bergantung pada bagaimana kegagalan didefinisikan, periode pengamatan,
dan hitung sel CD-4 saat pengobatan dimulai.
3. Kegagalan klinis
Didefinisikan sebagai timbulnya infeksi oportunistik baru dan atau menjadi
progresif walaupun telah menggunakan HAART selama beberapa bulan. Meskipun
keadaan tersebut timbul pada beberapa bulan pertama setelah dimulainya rejimen
antiretroviral, tidaklah selalu ditafsirkan sebagai kegagalan terapi, pemantauan klinis
harus terus berlanjut dan perlu pertimbangan yang kuat untuk memutuskan bahwa
rejimen saat ini gagal.
225
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Pasien yang mengalami gagal terapi ARV akibat kegagalan virologis, imunologis dan
klinis, harus diperhatikan permasalahan yang melatarbelakanginya, yaitu:
3. Resistensi obat
Sejumlah penelitian pada pasien dewasa menunjukkan adanya hubungan antara
beberapa mutasi dan resistensi banyak obat pada isolat HIV. Namun data resistansi
pada anak dan remaja dengan HIV positif yang terinfeksi perinatal masih kurang.
Sebagian besar anak remaja yang terinfeksi perinatal sangat sering terpapar beberapa
jenis obat ARV sehingga sangat mungkin terjadi mutasi pada RNA HIV mereka. Oleh
karena itu penting untuk melakukan pengujian resistensi obat pada kelompok ini
sebelum mengganti terapi untuk menentukan kegagalan pengobatan. Uji genotipik
dan fenotipik digunakan untuk menilai ada tidaknya virus yang resisten terhadap
penghambat HIV reverse transcriptase (RT) dan protease (PR).
Pemantauan Komplikasi
Oleh karena anak-anak yang terinfeksi HIV saat perinatal yang dapat bertahan sampai
usia remaja dan adolesen karena tersedianya ARV, maka dilaporkan adanya komplikasi
jangka panjang seperti gangguan metabolik, penyakit ginjal dan penyakit tulang yang
akan menyebabkan risiko penyakit yang berat di kemudian hari.
2. Kelainan tulang
Penelitian sebelumnya melaporkan adanya penurunan kepadatan mineral tulang/Bone
mass density (BMD) pada anak terinfeksi HIV sehingga berisiko mengalami patah
tulang di masa depan. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan metabolisme
tulang tersebut yaitu infeksi HIV itu sendiri, kekebalan tubuh pejamu, inisiasi
terapi antiretroviral serta faktor lain yang belum dipahami secara jelas. Suatu studi
longitudinal terhadap sejumlah kecil anak terinfeksi HIV yang diobati dengan
tenofovir disoproxil fumarate menunjukkan penurunan BMD yang signifikan selama
periode 48 minggu. Studi longitudinal lainnya melaporkan nilai dasar BMD yang
rendah pada pasien terinfeksi HIV dibandingkan dengan kontrol yang sehat. Masih
ada kekhawatiran bahwa anak mungkin tidak mencapai puncak massa tulang yang
memadai. Penelitian selanjutnya diperlukan untuk menjelaskan mekanisme yang
mengendalikan resorpsi tulang pada anak yang terinfeksi HIV, peran sitokin kronis
dan dampak berbagai terapi antiretroviral pada BMD.
3. Gangguan metabolik
Meluasnya penggunaan protease inhibitor (PI) sebagai salah satu rejimen ARV, dapat
pula menimbulkan gangguan metabolik seperti lipodistrofi (sindrom redistribusi
lemak), dislipidemia (hiperkolesterolemia dan hipertrigliseridemia) dan resistensi
insulin. Hal ini sebelumnya telah dilaporkan pada pasien dewasa, terjadi pula pada
pasien HIV anak. Akibat kelangsungan hidup anak terinfeksi HIV pada masa perinatal
227
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
dapat bertahan sampai usia dewasa muda, maka mereka berisiko mengalami gangguan
kardiovaskular yang merugikan di usia adolesen. Suatu penelitian sebelumnya
terhadap pasien HIV anak, melaporkan prevalensi lipodistrofi adalah 10-43%.
Anak-anak pada kelompok usia remaja dan adolesen pada umumnya sangat
memperhatikan penampilan tubuh mereka, sehingga ketika mereka menyadari
bahwa perubahan tubuh dikaitkan dengan pengobatan, beberapa kelompok usia
tersebut berhenti minum obat-obatan mereka. Perubahan tubuh ini terus bertahan
bahkan setelah penghentian atau perubahan rejimen antiretroviral selama beberapa
waktu lamanya. Faktor risiko belum sepenuhnya dapat diidentifikasi, namun
mencakup paparan dan lamanya penggunaan NRTI (paling sering stavudin), yang
dikombinasikan dengan protease inhibitor (ritonavir). Faktor lain yang berpengaruh
termasuk kelompok etnis tertentu, usia dan penanda penyakit (hitung CD-4 dan
jumlah virus). Penting memantau kadar lipid pada anak-anak yang minum PI.
Diet dan olahraga sangat dianjurkan sebagai intervensi awal anak-anak dengan
hiperlipidemia. Selain itu penggunaan obat penurun lipid harus dipertimbangkan
pada anak-anak yang tidak bereaksi terhadap pengaturan diet yang ketat.
Gangguan metabolisme glukosa, termasuk toleransi glukosa terganggu, glukosa
puasa dan diabetes mellitus telah dilaporkan pada anak terinfeksi HIV. Meskipun
tidak ada perbedaan yang berarti tingkat glukosa puasa di antara kelompok tersebut,
anak-anak yang terpajan dengan PI memiliki kadar insulin puasa serta kadar glukosa
dan insulin 2 jam yang lebih tinggi dibandingkan kontrol.
4. Gangguan kognitif
Infeksi HIV primer pada sistem saraf pusat (SSP) sudah diketahui dan di era pra-ART
(ART), spektrum yang luas dari keterlambatan neurokognitif dan perkembangan
diamati pada anak yang terinfeksi HIV. Di negara-negara yang dengan sumber
daya terbatas, sejumlah besar anak terinfeksi HIV yang tidak mendapatkan terapi
ARV, kemungkinan terjadi kelainan neurologis ini. Kelainan neurologis juga bisa
diakibatkan oleh infeksi oportunistik SSP seperti meningitis TB, Kriptokokus atau
Toksoplasmosis. Suatu penelitian melaporkan dampak HIV pada perkembangan
anak meliputi gangguan kognitif, motorik dan adaptif. Prevalensi keterlambatan
kognitif berkisar antara 8 sampai lebih dari 60%. Kelambatan perkembangan meliputi
gangguan dalam kemampuan berbahasa, keterampilan motorik, fungsi kognitif
eksekutif, defisit, keterampilan integratif, dan perilaku impulsif. Pemantauan dan
identifikasi dini kelainan neurokognitif serta intervensi medis dan psikososial adalah
kunci untuk memastikan kualitas hidup yang optimal dalam mencegah gangguan
tersebut.
Penutup
Anak dengan infeksi HIV-positif saat perinatal kini tumbuh di era baru dengan pilihan
pengobatan yang lebih baik, tingkat kelangsungan hidup yang lebih lama dan peningkatan
Daftar pustaka
1. Gaur S, Williams PW, Malhotra A. Growing up with HIV: The Challenges and concerns
associated with perinatally infected HIV-1 positive youth. In: Lala MM, Merchant RH,ed.
Principles of perinatal and pediatric HIV/AIDS. Jaypee, New Delhi 2012; p.389-403.
2. Lee LM, Karon JM, Selik R, Neal JJ, Fleming PL. Survival after AIDS diagnosis in adoles-
cents and adults during the treatment era, United States, 1984-1997. JAMA 2001;285:1308-
15.
3. Storm DS, Boland MG, Gortmaker SL, He Y, Skumick J, Howland L, Oleske JM. Protease
inhibitor combination therapy, severity of illness, and quality of life among children with
perinatally acquired HIV-1 infection. Pediatrics 2005;115;e173-e182.
4. Patel K, Hernan MA, Williams PL, Seeger JD, McIntosh K, Van Dyke RB, Seage GR. Long-
term effectiveness of highly active antiretroviral therapy on the survival of children and ado-
lescents with HIV infection: A 10-year follow-up study. CID 2008; 46:507-15.
5. Working Group on Antiretroviral Therapy and Management of HIV Infected Children.
Guidelines for the Use of Antiretroviral Agents in Pediatric infection. February 23, 2009; pp
1-139. Available at http://aidsinfo.nih.gov/ContentFiles/Pediatric Guidelines.pdf. Accessed
2010.
229
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Immunophenotyping pada leukemia akut dan
keganasan hematologis pada anak
Eddy Supriyadi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta
I
mmunophenotyping untuk diagnosis kasus keganasan hematologis pada anak merupakan
salah satu aplikasi klinis dari flow cytometry. Pemeriksaan immunophenotyping bisa juga
dilakukan dengan cara manual biasa seperti kita mengerjakan imunohistochemistry.
Prinsip yang dipakai pada prosedur pemeriksaan ini adalah bahwa secara imunologis,
sel leukemia/limfoma mencerminkan karakteristik imunofenotipik dari berbagai tahap
tertentu dari proses kematangan sel, dari sel muda menjadi sel yang matur. Berbagai hasil
penelitian menunjukkan bahwa sel neoplastik ditengarai menampilkan beberapa pola
fenotipik yang menyimpang. Fenotip yang menyimpang ini diyakini sebagai cerminan
dari kelainan genetik yang ada pada sel patologis tersebut. Berbagai macam kelainan
tersebut setidaknya terdapat pada kasus leukemia akut, sindrom mielodisplastik, kelainan
limfoproliferatif kronis, dan diskrasia sel plasma. Berbagai keuntungan dari fungsi flow
cytometer adalah sebagai alat skrining, bisa dipakai juga untuk menetukan klasifikasi,
skrining untuk kelainan genetik, dan lainnya.
Berbagai fungsi dari flow cytometer tercantum pada tabel di bawah ini.
Type of medical indication Disease category
Diagnostic screening B- and T-cell chronic lymphoproliferative disorders (CLPD)
Myelodyplastic syndromes (MDS)
Plasma cell dyscrasias (PCD)
Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria
Systemic mastocytosis
Immunophenotypic classi- Lineage commitment and maturation stage of blast cells in acute leukae-
fication mias
Immunologic classification of acute lymphoblastic leukaemias (ALL)
Identification of acute myeloblastic leukemia (AML)-M0 and M7
Identification of biphenotypic leukaemias
New subtypes of acute non-lymphoblastic leukaemias
B-, T-, and NK-cell CLPD
PCD
Screening for genetic abnor- AML
malities Childhood and adult ALL
B-cell CLPD
Others Prognostic stratification (e.g. CLPD, MDS)
Staging and evaluation of disease extension (e.g. CLPD)
Minimal residual disease detection (e.g. acute leukemias, CLPD, PCD)
Prediction/monitoring of response to therapy (e.g. CLPD, AML)
231
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
menunjukkan adanya perbedaan yang terlalu besar antara hasil pemeriksaan morfologis
LMA dan hasil pemeriksaan immunophenotyping dengan nilai kesepakatan sebesar 0,43
(moderate agreement). Oleh karena itu, sejak bulan Desember 2007, metode baru diterapkan
dengan metode pemeriksaan tiga warna (three-color FACS scan) dan menggunakan panel
yang terdiri dari 15 antibodi monoklonal. Panel baru ini adalah hasil penyempurnaan
panel lama dengan penambahan antibodi terhadap antigen sitoplasmik. Penambahan
antibodi monoklonal pada metode baru ini adalah untuk LLA-T digunakan cytoplasmic
CD3, untuk LLA-B digunakan cytoplasmic CD79a dan cytoplasmic myeloperoxidase
(MPO), serta CD117 untuk sel-sel LMA. Metode baru ini diterapkan untuk mendeteksi
kecurigaan leukemia pada 318 sampel. Hasilnya menunjukkan hasil 1% dengan ‘low
marker expression’. Angka ini sangat menurun bila dibandingkan dengan panel yang
lama, yaitu sebesar 14,7%. Nilai kesepakatan morfologis dan hasil immunophenotyping
meningkat tajam dengan skor kappa 0,82 (hampir mendekati sempurna).
Pada penelitian ini, didapatkan hasil sebesar 83% dari sampel LLA merupakan
LLA-B dan 17% adalah LLA-T. Sembilan dari 239 sampel yang secara morfologis LLA
sebenarnya adalah LMA dan 12 dari 79 sampel yang secara morfologis LMA faktanya
merupakan LLA. Hal ini berarti bahwa sejumlah pasien (6,6%) mengalami perubahan
dari protokol LLA ke LMA maupun sebaliknya. Dari data tersebut, angka kejadian
LLA di Indonesia relatif rendah, sementara angka kejadian LMA serupa dengan yang
dilaporkan di negara-negara barat, dengan proporsi LMA sebesar 23%. Karena relatif
rendahnya angka LLA, kami mendapatkan persentase yang relatif tinggi dari pasien
LMA sebesar 23%. Immunophenotyping pada leukemia anak di Indonesia berperan untuk
memperbaiki kualitas diagnosis, yang sebelumnya hanya berdasarkan pada morfologi saja.
Oleh karena itu, stratifikasi risikonya dapat dilakukan dengan lebih baik, sehingga hal ini
akan menentukan pemilihan protokol pengobatan yang paling optimal.
Pemeriksaan immunophenotyping bisa mendeteksi ekspresi antigen campuran pada
sel LLA. Campuran antigen yang dimaksud adalah adanya ekspresi antigen mieloid pada
LLA dan bagaimana kombinasi ekspresi CD10, CD34, atau kombinasi keduanya.
Secara keseluruhan, didapatkan ekspresi antigen mieloid pada 25% populasi LLA
di Indonesia. Ditemukan hubungan antara klasifikasi French-American-British (FAB)
dengan ekspresi mieloid, bahwa mayoritas pasien ALL-L1 tidak memiliki ekspresi antigen
mieloid (p = 0,02). Analisis Kaplan-Meier pada pasien leukemia menunjukkan bahwa
pasien-pasien tanpa ekspresi antigen myeloid memiliki prognosis yang lebih baik. Pada
LLA-B, proporsi mieloid adalah 27%, sementara pada LLA-T, adalah 18%. Pada LLA-T,
ekspresi antigen mieloid menjadi faktor prognostik buruk (p = 0,04). Dari hasil analisis,
didapatkan bahwa tidak adanya ekspresi antigen mieloid pada LLA-T memiliki prognosis
yang lebih baik.
Hal lain yang bisa kita ambil manfaat dari pemeriksaan immunophenotyping adalah
melihat kombinasi ekspresi dari masing-masing antibodi monoklonal, misalnya pada
kombinasi antara CD10 dan CD34. Ekspresi CD10 dan CD34 bervariasi pada beberapa
Daftar pustaka
1. Smith, M. A. & Ries, L. A. G. (2002). Childhood Cancer: Incidence, Survival and Mortality.
In Principles and Practice of Pediatric Oncology 4th edit. (Pizzo, P. A. & Poplack, D. G., eds.),
pp. 1-12. Lippincott, Williams and Wilkins, Philadelphia.
2. Ries, L. A. G. (2008). Childhood Cancer Mortality pp. 165-170. Surveillance Research Pro-
gram, NCI, Bethesda.
3. Yaris, N., Mandiracioglu, A. & Buyukpamukcu, M. (2004). Childhood cancer in developing
countries. Pediatr Hematol Oncol 21, 237-53.
4. Coebergh, J. W., Reedijk, A. M., de Vries, E., Martos, C., Jakab, Z., Steliarova-Foucher, E. &
Kamps, W. A. (2006). Leukaemia incidence and survival in children and adolescents in Eu-
rope during 1978-1997. Report from the Automated Childhood Cancer Information System
project. Eur J Cancer 42, 2019-36.
5. Bhatia, S., Ross, J. A., Greaves, M. F. & Robinson, L. L. (1999). Epidemiology and etiology.
In Childhood Leukemias (Pui, C. H., ed.), pp. 38-49. Cambridge University Press, Cam-
bridge.
233
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
6. Hjalgrim, L. L., Rostgaard, K., Schmiegelow, K., Soderhall, S., Kolmannskog, S., Vetten-
ranta, K., Kristinsson, J., Clausen, N., Melbye, M., Hjalgrim, H. & Gustafsson, G. (2003).
Age- and sex-specific incidence of childhood leukemia by immunophenotype in the Nordic
countries. J Natl Cancer Inst 95, 1539-44.
7. Pui, C. H. & Evans, W. E. (2006). Treatment of acute lymphoblastic leukemia. N Engl J Med
354, 166-78.
8. Vardiman, J. W., Thiele, J., Arber, D. A., Brunning, R. D., Borowitz, M. J., Porwit, A., Har-
ris, N. L., Le Beau, M. M., Hellstrom-Lindberg, E., Tefferi, A. & Bloomfield, C. D. (2009).
The 2008 revision of the World Health Organization (WHO) classification of myeloid neo-
plasms and acute leukemia: rationale and important changes. Blood 114, 937-51.
9. Carroll, W. L., Bhojwani, D., Min, D. J., Raetz, E., Relling, M., Davies, S., Downing, J. R.,
Willman, C. L. & Reed, J. C. (2003). Pediatric acute lymphoblastic leukemia. Hematology
Am Soc Hematol Educ Program, 102-31.
10. Pui, C. H. (2009). Toward a total cure for acute lymphoblastic leukemia. J Clin Oncol 27,
5121-3.
11. Margolin, J. F., Steuber, C. P. & Poplack, D. G. (2002). Acute Lymphoblastic Leukemia. In
Principles and practice of pediatric oncology 5th edit. (Pizzo, P. A. & Poplack, D. G., eds.), pp.
1605-16. Lippincott, Williams & Wilkins, Philadelphia.
12. Browman, G. P., Neame, P. B. & Soamboonsrup, P. (1986). The contribution of cytochem-
istry and immunophenotyping to the reproducibility of the FAB classification in acute leu-
kemia. Blood 68, 900-5.
13. Pui, C. H., Robison, L. L. & Look, A. T. (2008). Acute lymphoblastic leukaemia. Lancet
371, 1030-43.
14. Han, X. & Bueso-Ramos, C. E. (2007). Precursor T-cell acute lymphoblastic leukemia/lym-
phoblastic lymphoma and acute biphenotypic leukemias. Am J Clin Pathol 127, 528-44.
15. Paredes-Aguilera, R., Romero-Guzman, L., Lopez-Santiago, N., Burbano-Ceron, L., Cama-
cho-Del Monte, O. & Nieto-Martinez, S. (2001). Flow cytometric analysis of cell-surface
and intracellular antigens in the diagnosis of acute leukemia. Am J Hematol 68, 69-74.
16. L. Kinlen and R. Doll, “Population mixing and childhood leukaemia: Fallon and other US
clusters,” Br J Cancer, vol. 91, pp. 1-3, Jul 5 2004.
17. E. Supriyadi, P. H. Widjajanto, I. Purwanto, et al., “Incidence of childhood leukemia in
Yogyakarta, Indonesia, 1998-2009,” Pediatr Blood Cancer, vol. 57, pp. 588-93, Oct 2011.
18. Van Dongen, Immunophenotyping of hematopoietic malignancies. Rotterdam: Departe-
ment of Immunology, Erasmus University Medical Center, 2003.
19. R. Garand and N. Robillard, “Immunophenotypic characterization of acute leukemias and
chronic lymphoproliferative disorders: practical recommendations and classifications,” He-
matol Cell Ther, vol. 38, pp. 471-86, Dec 1996.
20. B. H. Davis, J. T. Holden, M. C. Bene, et al., “2006 Bethesda International Consensus
recommendations on the flow cytometric immunophenotypic analysis of hematolymphoid
neoplasia: medical indications,” Cytometry B Clin Cytom, vol. 72 Suppl 1, pp. S5-13, 2007.
21. J. W. Coebergh, H. A. van Steensel-Moll, E. R. Van Wering, et al., “Epidemiological and
immunological characteristics of childhood leukaemia in The Netherlands: population-based
data from a nationwide co-operative group of paediatricians,” Leuk Res, vol. 9, pp. 683-8,
1985.
235
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Burden and Clinical Problems of Small for
Gestational of Age
Ekawaty Lutfia Haksari
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada / RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta
Abstract
Small for gestational age (SGA) infant is an infant whose body weight is smaller than its gestational
age (GA). It is frequently defined as low birthweight (LBW) infant with lower than 10 percentile or 2
SD based on GA and a specific curve, update from each population. The prevalence of SGA depends on
the birthweight curve used. High number of SGA infants with various levels is found in low-medium
income countries whose prevalence of LBW infants is high.
Physical examination on an SGA infant shows decreased fat tissue, loose dry folded skin, lack of
subcutaneous and muscle, the head bigger than the body, old looking face, alert eyes, long nails, and
small umbilical cord sometimes meconium stained. There are 2 types of SGA infants based on their
bodies are symmetrical and asymmetrical. Symmetrical SGA infants have lower birthweight, shorter
body length, and smaller head circumference than the GA standards. The incidence may cover 20-30%.
The problem has occurred since the early pregnancy. The prognosis is worse than asymmetrical SGA.
Asymmetrical infants, on the other hand, exhibit birthweight less than the GA standards, body length
and head circumference close to the expected GA standards. It occurs in late trimester due to placental
insufficiency and or nutritional deficiency.
Compared with Appropriate for Gestational Age (AGA) infants, SGA infants are more likely to have short-
term clinical problems with initial identification of asphyxia, hypoglycemia, hypothermia, polycitemia,
jaundice, respiratory distress, pulmonary hemorrhage, and Persistent Pulmonary Hypertension (PPHN)
which need to be managed immediately. Some subsequent problems that may appear include feeding
problem, necrotizing enterocolitis (NEC), retinopathy of prematurity (ROP), peri-intraventricular
hemorrhage, bronchopulmonary dysplasia (BPD), long-term use of oxygen, ventilator and hospitalization.
Long-term risks may include growth, development, and cardiovascular disorders. SGA infants are at risk
of stillbirth, neonatal and postneonatal death. Risk of death may increase in preterm SGA infants. SGA
infants have become a big problem in countries with low moderate income. Prevention, preparation, and
intervention are required to save SGA infants and to lessen long-term impact.
B
ayi dengan kecil masa kehamilan (KMK) ataupun bayi dengan riwayat intrauterine
growth retriction (IUGR) mempunyai masalah besar yang sering tersamar dari
berbagai macam kesakitan dan kematian pada populasi mulai dari janin sampai
dengan neonatus1
Bayi KMK adalah bayi yang ukurannya kecil dibandingkan usia kehamilan (UK).
KMK tidak mempertimbangkan apakah semula bayi tersebut pada saat janin didapatkan
Epidemiologi
BBLR bisa disebabkan karena kurang bulan atau KMK.11 Indonesia termasuk dalam 11
negara dengan kelahiran kurang bulan lebih dari 15%12 dan termasuk dalam 10 negara
dengan jumlah KMK tertinggi didunia.13 Diperkirakan sepertiga BBLR adalah KMK,
sedangkan dua-pertiganya adalah bayi yang sesuai masa kehamilan (SMK) dan kurang
bulan. Dari sejumlah BBLR yang diteliti, 59% merupakan KMK cukup bulan dan 41%
kurang bulan. Kebanyakan BBLR dinegara dengan penghasilan rendah dan sedang adalah
KMK. Di negara berkembang, BBLR sering merupakan gambaran dari besarnya KMK,
karena penilaian yang valid dari pengukuran usia kehamilan sering tidak tersedia. Pada
negara dengan penghasilan rendah dan menengah, dimana prevalensi BBLR tinggi akan
didapatkan jumlah KMK yang tinggi dengan berbagai tingkatan.13,14
Prevalensi KMK bervariasi dari 10,5% -72,5% di Nepal, dan 12-78,4% di India
tergantung dari kurve berat lahir dari populasi rujukan yang digunakan. Jumlah KMK
perempuan lebih banyak dari laki-laki. Prevalensi KMK menurun jika menggunakan
rujukan dari populasi negara dengan penghasilan rendah.14 Karena prevalensi bayi dengan
237
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
risiko tergantung kurva berat lahir yang digunakan, diperlukan kurva yang spesifik gender,
berdasar populasi terkait dan update setiap 10 tahun.8,15,16,17
Masalah bayi KMK pada negara dengan penghasilan rendah dan menengah dan
tertinggi di Asia tengah. Implementasi dengan intervensi efektif pada bayi yang lahir terlalu
awal atau terlalu kecil merupakan hal yang mendesak untuk meningkatkan survival dan
menurunkan disabilitas, stunted dan penyakit tidak menular. 13
Etiologi
Bayi KMK disebabkan karena faktor maternal, janin, plasenta dan genetik.1 Penyebab
bayi KMK secara garis besar karena adanya hipoksia dan atau malnutrisi saat janin dan
atau konstitusional tubuh ibu ataupun orang tua.2, 18,19 Pada penyebab hipoksia dan
malnutrisi disebabkan karena masalah pada maternal, plasenta dan janin. Risiko luaran
akan lebih rendah jika saat pemeriksaan kehamilan sudah diketahui adanya janin dengan
risiko KMK.20
239
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
dari tubuh. Bayi KMK kurang bulan, terutama BBLSR memerlukan pengamatan dan
penilaian yang ketat. Bayi KMK memerlukan sedikit cairan dibanding SMK kurang bulan
ataupun cukup bulan karena meningkatnya volume ekstra cairan. Penurunan berat bayi
KMK lebih sedikit dibanding bayi SMK pada 10 hari pertama kehidupan.29
Rawat inap
Rawat inap dan penggunaan sarana pelayanan oksigen, ventilator bayi KMK kurang
bulan secara umum meningkat lebih lama dibanding bayi SMK.26,30 Pada bayi cukup
bulan, bayi KMK lebih sering masuk ke neonatal intensive care (NICU) dan rawat inap
lebih lama dibanding bayi SMK. Gangguan neurologi, infeksi saluran nafas yang serius
dan kesakitan lain memelukan rawat inap dan pemantauan 5-10 kali lebih sering sampai
berumur 1 tahun.18
Penutup
Prevalensi bayi KMK tinggi di negara dengan penghasilan rendah dan menengah termasuk
Indonesia. Akan mempunyai arti klinis yang lebih jika definisi pada BBLR dengan KMK
yang ringan–sedang (3-<10 ) dan berat (<3) persentil UK.
Prevalensi KMK tergantung dari kurva spesifik disesuaikan geografi dan update
berkala.
Mempunyai risiko kematian dan kesakitan yang tinggi. Kematian mulai dari lahir
mati, neonatal dini, neonatal, pasca-natal sampai dengan masa bayi. Kesakitan yang
sering didapat secara umum disebabkan karena hipoksia, malnutrisi meskipun ada yang
penyebabnya konstitusi. Masalah jangka pendek yang didapat adalah asfiksia, hipoglikemi,
hipotermi, iketrus, distres napas. Pada saat dirawat mempunyai risiko ROP, perdarahan
PIV, feeding yang tidak baik karena tidak toleran sehingga mengganggu pertumbuhan
241
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
pada BBLSR, sampai dengan terjadinya EKN dan pada beberapa kasus terjadinya BPD.
Masalah jangka panjang stunted, gangguan perkembangan dan risiko kardiovaskuler.
Merupakan masalah besar di negara dengan penghasilan rendah dan menengah. Selain
upaya pencegahan, persiapan dan intervensi, didapatkannya diagnosis dan pemantauan
yang ketat KMK sejak masa janin, lahir dan masa neonatus sangat diperlukan supaya
berhasil diselamatkan dan untuk menurunkan dampak jangka panjang.
Daftar pustaka
1. Sharma D, Shastri S, Farahbakhsh N, Sharma P. Intrauterine growth restriction – part 1. The
Journal of Maternal-Fetal & Neonatal Medicine, 2006;29(24):3977-87.
2. Sharma D, Farahbakhsh N, Shastri S, Sharma P. Intrauterine growth restriction – part 2. The
Journal of Maternal-Fetal & Neonatal Medicine. 2016;29(24):4037-48.
3. World Health Organization. Intrauterine growth retardation in newborn children. 2002. [On-
line]. Available from http://www.who.int/ceh/indicators/iugrnewborn.pdf
4. Lubchenco LO, Hansman C, Dressler M, Boyd E. Intrauterine growth as estimated from
live born birth-weight data at 24 to 42 weeks of gestation. Pediatrics. 1963;32(5):793-800.
5. McIntire DD, Bloom SL, Casey BM, Leveno KJ. 1999. Birth weight in relation to morbidity
and mortality among newborn infants. N Engl J Med. 1999;340:1234-8.
6. Usher R, McLean F. Intrauterine growth of liveborn Caucasian infants at sea level: Standards
obtained from measurements in 7 dimensions of infants born between 25 and 44 weeks of
gestation. J Pediatrics. 1969;74(6):901-10.
7. Lapillonne A, Braillon P, Claris O, Chatelain PG, Delmas PD, Salle BL. Body composition
in appropriate and in small for gestational age infants. Acta Paedtr. 1997;86:196-200.
8. Boguszewski MCS, Mericq V, Bergada I, Damiani D, Belgorosky A, Gunczler P, et al. Small
for gestational age birth weight: impact on lung structure and function. Paediatr Respir Rev.
2013;14(4):256-62.
9. Lee PL, Chernausek SD, Hokken-Kolega ACS. International small for gestational age adviso-
ry board consensus development conference statement: management of short children born
small for gestational age. Pediatrics. 2003;111:1253-61.
10. Lapillone A, Peretti N, Ho PS, Claris O, Salle BL. Aetiology, morphology and body compo-
sition of infants born small for gestational age. Acta Paeditr. 1997;423, pp.173-6.
11. World Health Organization. Guidelines on optimal feeding of low birth-weight infants in
low-and middle-income countries. 2011.
12. World Health Organization. Born too soon: the global action report on preterm birth. 2012.
13. Lee ACC, Katz J, Blencowe H, Cousens S, Kozuki N, Vogel JP, et al. National and regional
estimates of term and preterm babies born small for gestational age in 138 low-income and
middle-income countries in 2010. Lancet Glob Health. 2013;1:e26–36.
14. Katz J, Wu LA, Mullany LC, Coles CL, Lee ACC, Kozuki N, et al. Prevalence of small for
gestational age and its mortality risk varies by choice of birth weight for gestational reference
population. PLoS ONE. 2014;9(3):e92074.
15. Kramer MS, Platt RW, Wen SW, Joseph KS, Allen A, Abrahamowicz M, et al. A new and im-
proved population-based Canadian reference for birth weight for gestational age. Pediatrics.
2001;108(2):E35.
243
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
34. Rooy, L. and Hawdon, J. 2002. Nutritional factors that affect the postnatal metabolic adap-
tation of full-term small-and large-for-gestational-age infants. Pediatrics. 109, pp.1-8.
35. Schanler RJ, Lau C, Hurst NM, Smith EO. Randomized trial of donor human milk versus
preterm formula as substitutes for mothers’ own milk in the feeding of extremely premature
infants. Pediatrics. 2005 Aug;116(2):400-6.
36. Farooqi, A, and Serenius, F. 2005. Outcome after preterm birth. Annales Nestle, pp.39-56.
37. Figueras F, Oros D, Cruz-Martinez R, Padilla N, Hernandez-Andrade E, Botet F, Cos-
tas-Moragas C, Gratacos E. Neurobehavior in term, small-for-gestational age infants with
normal placental function. Pediatrics. 2009 Nov;124(5):e934-41. doi: 10.1542/peds.2008-
3346.
38. Saenger, P., Czernichow, P., Hughes, I. and Reiter, E.O. 2007. Small for gestational age: short
stature and beyond. Endocrine reviews. 28, pp.219-251.
39. Saigal, S. 2012. Methodology and guidelines for conducting follow-up of KMC Premature in-
fants. IX International Conference of Kangaroo Mother Care, India.
40. Belfort MB, Rifas-Shiman SL, Sullivan T, Collins CT, McPhee AJ, Ryan P, Kleinman KP,
Gillman MW, Gibson RA, Makrides M. Infant growth before and after term: effects on
neurodevelopment in preterm infants. Pediatrics. 2011 Oct;128(4):e899-906. doi: 10.1542/
peds.2011-028
41. O’Keeffe MJ, O’Callaghan M, Williams GM, Najman JM, Bor W. Learning, cognitive,
and attentional problems in adolescents born small for gestational age. Pediatrics. 2003
Aug;112(2):301-7.
Abstract
Tongue tie, or also known as ankyloglossia, a minor congenital anomaly in which the frenulum is attached
near the tip of the tongue. Abnormalities that occur in the tongue tie will cause the attachment of the tip
of the tongue to the floor of the mouth so that interfere with the movement of the tongue. There is evidence
associating this condition with feeding, swallowing, and speech difficulties. In particular, between
12.8% and 44% of infants reportedly experience breastfeeding problems, yet the clinical significance of
ankyloglossia still remains controversial. Symptoms attributed to ankyloglossia associated to breastfeeding
are include nipple pain and trauma, difficulty in the baby attaching to the breast, frequent feeding, and
uncoordinated sucking. These problems may result in the mother deciding to terminate breastfeeding
prematurely, and also slow weight gain for the baby. Diagnosis of ankyloglossia is not easily enforced.
Thorough and careful assessment is needed in diagnosing this condition. We must be careful diagnosis
within the first 2-3 days prior to lactation management is done. The quantitative methods that can
be used to assess the function of the tongue is The Hazelbaker Assessment Tool for Lingual frenulum
Function. This tool can also be used as a predictor of whether patients eligible for the treatment of
frenotomi. Procedures for tongue tie is resection or frenotomi/ frenectomy/ frenuloplasty. This procedure
should be followed by the correct breastfeeding technique and good skills support. Although frenotomi is a
simple low risk procedure, it should be carried out only by those who have been trained in the procedure.
D
iagnosis dan manajemen ankyloglossia masih tetap kontroversial sejak isu ini
kembali diangkat menjadi penyebab kegagalan menyusui pada awal tahun 2000-
an. Fenomena menarik dari isu ini adalah adanya perbedaan opini antar profesi
kesehatan, mengenai dampak ankyloglossia terhadap menyusui. Hampir 99% konsultan
laktasi mempercayai bahwa ankyloglossia adalah pemicu kesulitan menyusui yang dapat
diselesaikan dengan tindakan frenotomi, sedangkan hanya 30% dokter spesialis THT-
KL dan 10% dokter spesialis anak menyetujui pendapat tersebut. Fenomena lain adalah
peningkatan bermakna dari tindakan frenotomi, sebagaimana dilaporkan oleh data
populasi British Columbia, klaim frenotomi melonjak 89% dari 2,8 per 1000 kelahiran
hidup (KH) pada tahun 2004 menjadi 5,3 per 1000 KH di tahun 2013. Peningkatan
ini diperkirakan terjadi akibat makin tingginya kewaspadaan ankyloglossia, ketertarikan
terhadap frenotomi, dan kemajuan penegakan diagnosis ankyloglossia. American Academy
of Pediatrics (AAP) mengakui bahwa ankyloglossia adalah entitas klinis yang ikut
menentukan keberhasilan menyusui dan perlu tatalaksana untuk meminimalkan masalah
menyusui. Dengan mempertimbangkan segala kebaikan menyusui, penting bagi dokter
spesialis anak untuk memahami tatalaksana sedini mungkin dari kondisi apapun yang
berpotensi mengganggu proses menyusui.
245
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Definisi
Ankyloglossia didefinisikan sebagai ‘sisa embriologis dari jaringan membran frenulum di
garis tengah antara permukaan bawah lidah dan dasar mulut - yang pendek, tebal, dan
tidak elastis sehingga membatasi gerakan lidah normal’ (International Affiliation of Tongue-
Tie Professionals = IATP, 2011)
Epidemiologi
Insidens ankyloglossia dilaporkan berkisar 4,2-10,7% pada bayi baru lahir, dan hanya
sekitar 25% dari keseluruhan kasus mengalami kesulitan menyusui. Kondisi ankyloglossia
dapat merupakan varian genetik dalam keluarga
Kriteria diagnostik
Diagnosis ankyloglossia berdasar klasifikasi anatomis:
•• Tipe I : insersi frenulum pada ujung permukaan bawah lidah
•• Tipe II : insersi frenulum di belakang ujung permukaan lidah
•• Tipe III : frenulum tebal dan ketat (tidak elastis)
•• Tipe IV : frenulum ketat di pangkal lidah
Ankyloglossia tipe I dan II dikenal dengan ankyloglossia anterior, tipe III disebut
ankyloglossia posterior, dan tipe IV tergolong ankyloglossia sub-mukosa.
Indikasi frenotomi ditegakkan berdasar penilaian tampilan struktur dan fungsi
frenulum lingual. Kriteria diagnostik bervariasi dari inspeksi visual yang sederhana hingga
system klasifikasi menggunakan instrumen Hazelbaker’s Assessment Tool for Lingual
Frenulum Function (ATLFF). Instrument ATLFF telah teruji sebagai alat skrining yang
reliabel untuk penilaian bayi di bawah usia 3 (tiga) bulan.
•• Skor ATLFF 14 menunjukkan fungsi frenulum yang sempurna, dan tidak
memerlukan tindakan frenotomi.
•• Skor ATLFF 11-13 masih dapat ditoleransi, apabila skor penampilan ≥10.
•• Skor ATLFF <11 mengindikasikan kebutuhan frenotomi, apabila konseling dan
manajemen laktasi tidak berhasil menyelesaikan masalah menyusui.
•• Skor tampilan frenulum<8 mendukung diagnostik ankyloglossia, namun tidak
direkomendasikan frenotomi kecuali jika bayi mengalami kesulitan menyusu.
Tatalaksana
Penilaian dan seleksi yang tepat sangat penting mengingat 50-75% bayi dengan kondisi
ankyloglossia tetap dapat menyusu tanpa kendala apabila diberikan konseling dan
pendampingan manajemen menyusui yang adekuat.
Prognosis
Sekitar 25% bayi dengan ankyloglossia mungkin mengalami kesulitan perlekatan
saat menyusu, sehingga terjadi perlukaan dan nyeri pada puting, yang menyebabkan
penurunan suplai ASI karena pengosongan kurang optimal, mastitis, kenaikan berat
badan bayi lambat, gagal tumbuh dan penyapihan dini.
247
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Pada anak yang lebih besar, ankyloglossia dapat menyebabkan kesulitan artikulasi
(huruf D, N, L, S, T), susunan gigi yang abnormal, kebersihan mulut yang buruk, dan
gangguan rasa percaya diri akibat kendala pergaulan sosial. Kondisi ankyloglossia tidak
menyebabkan keterlambatan bicara dan berbahasa, namun kendala artikulasi mungkin
menimbulkan masalah sosial-pergaulan.
Tidak cukup data untuk membuktikan bahwa frenulum bibir atau Lip-Tie (LT) juga
menyebabkan gangguan pelekatan saat bayi menyusui.
Penutup
Identifikasi ankyloglossia pada bayi baru lahir dapat dilakukan dengan melihat adanya tali
lidah yang melekat di bawah lidah dengan berbagai variasi. Sebagian besar bayi dengan
ankyloglossia tetap dapat menyusu dengan baik. Hanya 25% dari bayi dengan ankyloglossia
memerlukan tindakan untuk membebaskan pelekatan frenulum agar bisa menyusu dengan
baik. Kemampuan bimbingan menyusui dan diagnosis ankyloglossia yang memerlukan
tindakan frenotomi sebaiknya dimiliki oleh tenaga medis agar tidak terjadi under atau
over-treatment
Daftar pustaka
1. Coryllos E, Genna CW, Salloum AC. Congential tongue-tie and its impact on breastfeeding.
AAP section onbreastfeeding 2004;S:1-6.
2. Edmunds J, Miles S, Fulbrook P. Tongue-tie and breastfeeding: a review of the literature.
Breastfeeding Review 2011;19 (1): 19-21
3. Rowan-legg. Canadian Paediatric Society. Community Paediatrics committee. Ankyloglossia
and Breastfeeding. Paediatr child Health 2015;20(4):209-213.
4. Ballard JL, Auer CE, Khoury JC. Ankyloglossia: Assessment, Incidence, and Effect of
Frenuloplasty on the Breastfeeding Dyad. Pediatrics 2002;110(5).e63 DOI: 10.1542/
peds.110.5.e63
5. Marchesan IQ. Lingual frenulum: quantitative evaluation proposal. Intl J Orofacial Myology
2005; 31: 39–48.
6. Segal LM, Stephenson R, Dawes M, Feldman P. Prevalence, diagnosis, and treatment of an-
kyloglossia. Can Fam Physician 2007; 53: 1027-33.
7. Hazelbaker AK. The Assessment Tool for Lingual Frenulum Function (ATLFF): Use in a
Lactation Consultant Private Practice. Pasadena, CA: Pacific Oaks College; 1993. Thesis
8. Amir LH, James JP, Donath SM. Reliability of the hazelbaker assessment tool for lingual
frenulum function. Int Breastfeed J. 2006;1(1):3
9. Darshan HE, Pavithra PM. Tongue Tie: From Confusion to Clarity-A Review. Intl J Dent
Clin 2011:3(1):48-51.
10. Power RF, Murphy JF. Tongue-tie and frenotomy in infants with breastfeeding difficulties:
achieving a balance. Arch Dis Child. 2015 May;100(5):489-94. doi: 10.1136/archdis-
child-2014-306211
11. Brookes A, Bowley DM. Tongue tie: the evidence for frenotomy. Early Hum Dev
2014;90(11):765-8
249
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Pencegahan anemia defisiensi besi
Endang Dewi Lestari
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret/RSUD Dr. Moewardi Surakarta
D
efisiensi zat besi maupun anemia defisiensi besi pada anak masih merupakan
masalah kesehatan utama di Indonesia. Defsisensi zat besi merupakan penyebab
anemia yang umum terjadi pada anak. Defisiensi zat besi tanpa anemia dapat
mengakibatkan efek jangka panjang terhadap perkembangan neurologis dan perilaku.
Efek tersebut dapat menetap.1,2 Prevalensi anemia pada anak usia 0,5-1,9 tahun di
Indonesia adalah 55%.3 Defisiensi zat besi merupakan kondisi anak karena kekurangan
asupan nutrisi. Kondisi ini dapat dicegah dengan pemberian nutrisi dengan sumber zat
besi yang memadai.
Definisi
Anemia adalah konsentrasi hemoglobin (Hb) 2SD di bawah rerata konsentrasi Hb
untuk populasi normal dari kisaran umur dan jenis kelamin yang sama, sesuai definisi
World Health Organization, the United Nations Children’s Fund, dan United Nation
University.4 Berdasarkan pada the 1999-2002 United States National Health and Nutrition
Examination Survey, anemia didefiniskan sebagai konsentrasi Hb kurang dari 11 g/dl, baik
untuk laki-laki maupun perempuan umur 12-35 bulan.5,6 Defisiensi zat besi adalah suatu
kondisi, di mana tidak cukup zat besi untuk mempertahankan fungsi fisiologis normal.
Defisiensi zat besi merupakan hasil dari absorpsi zat besi yang kurang memadai untuk
mengakomodasikan meningkatnya kebutuhan untuk proses pertumbuhan atau hasil dari
balans zat besi yang negatif dalam jangka waktu yang lama. Kedua situasi tersebut dapat
mengakibatkan menurunnya penyimpanan zat yang dapat diukur dengan konsentrasi
feritin serum (SF). Defisisensi zat besi bisa dengan maupun tanpa anemia.
251
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Sebagian besar susu formula dengan fortifikasi zat besi mengandung energi kurang lebih
680 kkal/l dengan kandungan zat besi 6,8 mg/l. Cadangan zat besi pada bayi berumur
4-6 bulan sudah berkurang, sehingga tanpa asupan zat besi dari luar yang memadai, bayi
kurang mampu mencukupi kebutuhannya untuk tumbuh cepat.
Penelitian pada bayi yang lebih tua yang diberi ASI, susu sapi, susu formula berbasis
susu sapi, atau susu formula yang berasal dari kedelai menunjukkan bahwa penyerapan
zat besi secara signifikan lebih baik pada ASI dibandingkan dengan susu formula atau susu
sapi. Faktor yang bertanggung jawab pada ASI, sehingga absorpsinya lebih baik dibanding
susu formula, sampai sekarang belum jelas. Sesuai rekomendasi American Academy of
Pediatrics (AAP, 2010), bayi cukup bulan yang sehat mempunyai cadangan zat besi yang
cukup sampai bayi tersebut berumur 4 bulan. Air susu ibu hanya mengandung sedikit
sumber zat besi, sehingga bayi dengan ASI saja harus mendapatkan tambahan zat besi
sebesar 1 mg/kg berat badan per hari dari zat besi oral sejak bayi berumur 4 bulan sampai
bayi tersebut mampu mendapatkan makanan pendamping dengan fortifikasi zat besi.11
Bagi bayi yang mendapat susu formula yang difortifikasi zat besi, penambahan zat besi
sudah ada didalam susu formula sesuai rekomendasi CODEX Alimentarius.
AAP (2010) juga merekomendasikan tambahan besi dimulai pada usia 1 bulan
untuk bayi kurang bulan. Semua bayi kurang bulan harus mendapatkan suplemen zat
besi 2 mg/kg berat badan per hari sampai bayi berumur 12 bulan sesuai dengan jumlah
zat besi yang ada pada susu formula bayi kurang bulan. Bayi kurang bulan yang hanya
minum ASI, sebaiknya mendapatkan tambahan zat besi sebesar 2 mg/kg berat badan
per hari sejak usia 1 bulan sampai bayi disapih untuk mendapatkan susu formula atau
makanan pendamping yang mengandung zat besi sebesar 2 mg/kg berat badan. Bayi
kurang bulan dapat mengabsorpsi zat besi dengan baik. Persentase penyerapan zat besi
tampaknya berhubungan langsung dengan usia pascanatal, pertumbuhan, kadar Hb, dan
jenis makanan. Susu formula fortifikasi untuk bayi kurang bulan memasok zat besi 33
mg/dl atau 1,67 mg/100 kkal dengan asumsi masukan dari 150 ml/kg/hari dari 81 kkal/
dl susu formula.
253
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
nonheme sampai dua kali lipat, sedangkan teh justru dapat mengurangi sampai 75%.15
Penelitian epidemiologis dan kesehatan masyarakat di Surakarta memberikan hasil bahwa
bila anak-anak mengonsumsi jeruk dua kali per minggu atau lebih, dapat mencegah
terjadinya anemia.15 Peneliti lain juga mengatakan bahwa mengonsumsi makanan asam
dalam diet meningkatkan absorpsi zat besi.7
Protein bersumber nabati banyak dikonsumsi oleh anak-anak di Indonesia.15
Protein kedelai mempunyai efek menghambat absorpsi zat besi nonheme pada diet anak
dibandingkan dengan protein dari daging sapi.16
255
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Dosis dan lama pemberian zat besi untk pencegahan ADB adalah sebagai berikut:25
Simpulan
Zat besi merupakan nutrien penting yang harus dikonsumsi oleh setiap anak. Anak dengan
kekurangan zat besi dapat berakibat buruk pada perkembangan neurologis maupun
perilaku. Pencegahan terjadinya defsiensi zat besi dapat dilakukan dengan memakan
sumber zat besi yang memadai. Pengetahuan tentang makanan sumber zat besi serta bahan
makanan lain sebagai enhancers maupun inhibitor penyerapan zat besi perlu ditingkatkan
agar asupan zat besi yang diberikan pada anak memadai. Pemberian suplemen zat besi
pada anak dapat diberikan bila prevalensi ADB di daerah tersebut lebih dari 40% dan
anak tidak mengonsumsi makanan berfortifikasi zat besi.
Daftar pustaka
1. Lozoff B, Jimenez E, Smith JB. Double burden of iron deficiency in infancy and low socio-
economic status: a longitudinal analysis of cognitive test scores to age 19 years. Arch Pediatr
Adolesc Med. 2006;160(11):1108–1113.
2. Bruner AB, Joffe A, Duggan AK, Casella JF, Brandt J. Randomized study of cogni-
tive effects of iron supplementation in nonanemic iron-deficient adolescent girls. Lancet.
1996;348(9033):992–6.
3. Sandjaja S, Budiman B, harahap H, Ernawati F, Soekatri M, Widodo Y, Sumedi E, Rustam
E, Sofia G, Syarief SN, Khouw J. Food consumption and nutritional and biochemical status
of 0.5 – 12-year-old Indonesian children: the SEANUTS study.. British Journal of Nutrition
2013 (110):s11-s20.
4. World Health Organization. Iron Deficiency Anemia: Assessment, Prevention, and Control—
A Guide for Program Managers. Geneva, Switzerland: World Health Organization; 2001.
WHO/NHD/01.3.
5. Centers for Disease Control and Prevention, National Center for Health Statistics. National
Health and Nutrition Examination Survey. Diunduh pada tahun 2017 dari www.cdc.gov/
nchs/nhanes.htm.
6. Cusick SE, Mei Z, Freedman DS, Looker AC, Ogden CL, Gunter E, Cogswell ME. Unex-
257
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Taburia Powder at Public Health Center of Sudiang Raya in Makassar . Diunduh pada tahun
2017 dari http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/1234567).
24. Olaya GA, Lawson M, and Fewtrell MS. Efficacy and safety of new complementary feeding
guidelines with an emphasis on red meat consumption: a randomized trial in Bogota, Co-
lombia. Am J Clin Nutr 2013;98:983–93.
25. Rekomendasi IDAI: Suplementasi zat besi. 2011
P
elayanan paliatif pada anak dengan kanker menjadi perhatian di dunia akhir-
akhir ini. Namun demikian, program ini belum sepenuhnya dijalankan, sehingga
penanganan anak dengan kanker terutama ditujukan hanya dari segi pengobatan
utama, seperti kemoterapi, radioterapi, dan pembedahan. Banyak anak saat pengobatan
kanker dan pada akhir hayatnya meninggal dengan dengan penderitaan, seperti nyeri,
sesak nafas, dan lain-lain. Hal ini dapat disebabkan karena ketidaktahuan tenaga medis
mengenai penanganan gejala atau orang tua yang tidak mengenali gejala.
Pelayanan paliatif adalah suatu pendekatan yang bertujuan meningkatkan kualitas
hidup pasien maupun keluarganya, terutama bagi mereka yang menghadapi masalah atau
situasi yang berhubungan dengan penyakit yang telah lanjut atau penyakit kronik dan
mengancam hidup. Pada pelayanan paliatif, diutamakan pencegahan terhadap terjadinya
penderitaan yang ditimbulkan oleh penyakit dasarnya, termasuk penanganan nyeri, serta
dukungan fisik, psikologis, dan spiritual. Pelayanan paliatif yang efektif memerlukan
keterlibatan dan ketrampilan multidisiplin dalam bentuk tim.1,2 Badan Kesehatan Dunia
[World Health Organization (WHO)] telah menetapkan bahwa penanganan paliatif pada
anak dengan keganasan terbukti meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarganya
dalam menghadapi keadaan yang sulit dan untuk mencapai tujuan ini, diperlukan peran
dari tim yang terpadu antara tenaga medis, pasien-keluarga, dan masyarakat.3
259
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Kualitas hidup anak dengan kanker
Penelitian di bidang onkologi anak terutama ditujukan untuk meningkatkan kesintasan
dengan menurunkan angka kematian. Dengan kesintasan yang meningkat, perhatian
beralih pada efek toksik kemoterapi. Data mengenai outcome pelayanan paliatif anak
dengan kanker sangat sedikit, terutama penelitian prospektif untuk menentukan gejala-
gejala yang dapat mempengaruhi kualitas hidup. Strategi pengembangan pelayanan
paliatif anak dengan kanker harus dimulai dengan menentukan angka kejadian gejala
yang sering dialami anak saat menjalani kemoterapi atau radioterapi maupun gejala pada
saat kanker sudah tidak mungkin disembuhkan.2,3,6
Secara global, angka kejadian kanker pada anak adalah 160.000 kasus baru pertahun
pada anak berusia kurang dari 15 tahun dengan angka kematian sebesar 90.000 anak
pertahun. Penelitian yang dilakukan oleh Wolfe et al. terhadap 186 orang tua anak kanker
mendapati bahwa dengan pengendalian gejala dan perhatian, baik tenaga medis maupun
keluarga, dapat mengurangi penderitaan anak dengan kanker. Kunci utama adalah
komunikasi yang kontinyu.4 Hasil akhir dari memperbaki komunikasi adalah kualitas
hidup anak dengan kanker menjadi lebih baik; begitu pula terhadap keluarga.
2) India8
Pelayanan paliatif dimulai pada tahun 1980. Hingga saat ini, di seluruh negeri
terdapat 138 hospice dan pelayanan paliatif di 16 provinsi/teritorial. Meskipun
umumnya pelayanan ini berpusat di kota-kota besar, perkembangan pelayanan paliatif
cukup pesat yang diselenggarakan tidak hanya oleh pemerintah, tetapi juga lembaga
swadaya masyarakat dan rumah sakit swasta. Pelayanan paliatif terutama ditujukan
kepada anak dari keluarga tidak mampu yang menderita kanker, HIV/AIDS, kelainan
neurologis, dan penyakit kronik lainnya. Beberapa hambatan yang dihadapi adalah:
- Kurangnya tenaga terampil dalam bidang paliatif anak
- Ketersediaan obat, terutama morfin
- Pelayanan paliatif kanker anak masih berpusat di kota besar
- Belum ada aturan kesehatan yang baku tentang paliatif
Meskipun pelayanan paliatif anak dengan kanker sudah dijalankan, perhatian
dan bantuan pemerintah maupun komunitas mulai meningkat. Perkembangan
pengetahuan tentang paliatif dan pelatihan secara rutin dilakukan.
3) Jerman9
Di Jerman, secara primer, pelayanan paliatif anak dengan kanker dilakukan terutama
di hospice, baik yang rawat inap maupun yang rawat jalan. Penanganan di rumah
sakit ditujukan untuk pemberian kemoterapi ataupun pada keadaan gawat darurat.
Terdapat kerjasama dan koordinasi yang sangat baik antara pihak rumah sakit dan
261
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
hospice dalam pelayanan anak dengan kanker maupun penyakit kronik lainnya.
Pelayanan paliatif anak dengan kanker bertujuan untuk memberikan pelayanan secara
menyeluruh bagi keluarga dan anggotanya yang meliputi:
- Terapi medis, terutama terhadap nyeri dan gejala lainnya
- Dukungan dan konsultasi bagi orang tua dan saudara kandung
- Fisioterapi
- Supervisi sosial dan psikososial
- Dukungan saat kematian
Selain pelayanan, program penelitian juga dilakukan, dengan topik sebagai berikut:
- Tingkat kesulitan dan stres bagi perawat dan keluarga dalam pelayanan paliatif
anak
- Evaluasi terhadap pelaksanaan pelayanan paliatif bagi saudara kandung
Setiap anak beserta keluarganya mendapat dukungan yang luas dari hospice yang
ditangani oleh tenaga fulltimer yang berdedikasi. Selain itu, mereka juga melakukan
kunjungan rumah. Terdapat sembilan hospice yang melayani sekitar 90 anak rawat
jalan. Pengembangan terus dilakukan dengan menambah hospice dan tenaga karena
pada pelayanan dengan sistem hospice, biaya dapat ditekan jika dibandingkan
pelayanan di rumah sakit.
Tujuan umum
Terselenggaranya pelayanan paliatif yang terpadu dalam tata laksana kanker di setiap
jenjang pelayanan kesehatan di Indonesia untuk meningkatkan kualitas hidup pasien
kanker dan keluarganya
Tujuan khusus
•• Tersosialisasinya pelayanan paliatif pasien kanker di semua tingkat pelayanan kesehatan
•• Terkoordinasinya pelayanan paliatif pasien kanker, sehingga terwujud pelayanan
paripurna
•• Terlaksananya pelayanan paliatif sesuai pedoman
263
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
keluarganya. Tim pelayanan paliatif harus mengetahui dengan detail
dan pasti aspek kultural yang melatarbelakangi suatu keluarga karena
keberhasilan pelayanan paliatif akan terwujud bila aspek kultural masuk
ke dalam pertimbangan tim untuk berkomunikasi serta merencanakan
pelayanan.
Domain 7 : Aspek pelayanan pada masa akhir kehidupan
Pelayanan ini memerlukan komunikasi yang cukup intens dan pengenalan
gejala akhir kehidupan. Dengan komunikasi yang terjalin baik, keluarga
akan mengetahui tindakan yang harus dilakukan dan yang terpenting
adalah pasien teratasi gejalanya, sehingga keluarga merasa lebih siap untuk
menghadapi masa sulit.
Domain 8 : Aspek etika dan legalitas
Komukasi atas segala tindakan dan tujuan pelayanan menjadi bagian
yang penting. Umumnya, orang tua/keluarga mengerti mengenai hal ini.
Menghargai pendapat dan permintaan pasien serta keluarga perlu didengar
dan dimusyawarahkan. Perlu adanya komite etik yang menjadi konsultan
pada tim pelayanan paliatif.
Penutup
Sebuah rencana perawatan paliatif nasional harus mencakup langkah-langkah kebijakan.
Untuk memberikan berbagai obat yang dibutuhkan untuk mengelola gejala umum
kanker, termasuk nyeri, mual, muntah, delirium, agitasi, insomnia, kelelahan, depresi, dan
kecemasan, obat ini harus dimasukkan ke dalam daftar obat esensial untuk memastikan
bahwa keputusan mengenai sumber daya didasarkan pada kebutuhan medis dari mayoritas
penduduk.
Penyusunan daftar obat esensial dan protokol perawatan paliatif harus dilakukan
oleh tim multidisiplin. Sistem rujukan berjenjang perlu dibangun dan mempersiapkan
sumber daya manusia yang terlatih dalam bidang paliatif kanker pada anak.
Daftar pustaka
1. Goldman A. Palliative care for children. Dalam: Fallon M, Hanks G, penyunting. ABC Of
Palliative Care. Edisi kedua. Massachusetts: Blackwell Publishing Ltd, 2006,hal 48-51
2. Tammy I. Kang, MD, MSCE,* David Munson, MD,* Jennifer Hwang, MD, MHS,* Chris
Feudtner, MD, Integration of Palliative Care Into the Care of Children With Serious Ill-
ness. Pediatrics in Review.2008; 35:318-325:
3. Huijer HAS. Palliative Care in Children. Dalam : Chang E, Johnson A, penyunting. Con-
temporary and Innovative practice in Palliative care. Edisi pertama. Croatia: publisher In-
Tech, 2012 hal.235-52.
4. Harris MB. Palliative care in children with cancer: Which child and when? J Natl Cancer Inst
Monogr 2004;32:144-9.
265
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Lung Ultrasound
Evita Karianni Bermanshah Ifran
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta
Abstract
Although ultrasound is an old imaging tool and has been used since 70’s, in the past ultrasound is not
optimal for evaluating of the lung. Daniel Lichtenstein developed lung ultrasound for evaluating acute
disease using lung signs as a clue for the abnormality.
There are 10 lung signs at the beginning: Bat sign, lung sliding, A line, quad sign, tissue-like sign, shred
sign, B line (lung rockets), stratosphere sign, and lung point. These signs can detect acute respiratory
failure, hemodynamic therapy (shock), neonate assessment, ARDS, traumatic patients. BLUE protocol is
allowing immediately diagnosis of acute respiratory failure. FALLS protocol is allowing to define needs
in fluid therapy in acute circulatory failure.
Conclusion: Lung ultrasound is an old tool of imaging, but the use of lung ultrasound increasingly
widespread in many specialities. Every physician or medical staff who work in intensive unit, who facing
critical ill patients must use lung ultrasound as a regular tool for diagnosis acute respiratory failure or
acute circulatory failure.
P
emeriksaan ultrasonografi (USG) merupakan salah satu alat pencitraan yang telah
lama dikenal dan dilakukan oleh ahli radiologi atau sonografer. Keuntungan alat
USG adalah tidak adanya bahaya radiasi, pemeriksaan dapat dilakukan di sisi tempat
tidur pasien, pemeriksaan dapat dilakukan berulang-ulang, serta hasil dapat diperoleh
saat itu juga. Kekurangan dari USG adalah pemeriksaan ini sangat operator dependent,
tergantung alat (probe) yang dipergunakan, serta adanya udara dapat menghalangi alat
USG untuk melihat organ atau jaringan yang akan dinilai karena organ tersebut tertutup
oleh bayangan udara. Udara akan mengganggu gelombang ultra yang akan menilai organ
tersebut. Berdasarkan hal ini, dahulu dikenal istilah ‘udara adalah musuh bagi USG”.
Salah satu pemeriksaan USG yang sering dilakukan adalah USG thoraks. Biasanya
dipergunakan untuk mendeteksi adanya cairan dalam rongga pleura1 adanya konsolidasi
atau melihat pergerakan diafragma. USG mempunyai sensitifitas yang lebih tinggi dalam
mendeteksi adanya cairan dalam rongga pleura dibandingkan dengan menggunakan foto
thoraks. Pemeriksaan USG paru biasanya merupakan pelengkap pada pemeriksaan radiologi
konvensional atau sebelum dilakukan pemeriksaan CT-scan paru. Paru merupakan salah
satu organ tubuh yang berisi udara, sehingga penggunaanya sangat terbatas. Sebelumnya,
menilai paru dengan menggunakan USG dinyatakan tidak mungkin atau sulit dilakukan.
Gambar 1. efusi pleura, gambaran anekoik (cairan) berbentuk bulan sabit pada potongan transversal (a),
berbentuk segitiga pada potongan sagital (b)
267
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Melihat adanya konsolidasi paru dengan USG juga telah dikenal sejak lama. Shred sign
atau tissue-like sign merupakan gambaran konsolidasi paru yang mempunyai sensitifitas
90% dan spesifisitas 98,5%.4,5
Adanya pneumotoraks sebelumnya tidak dapat ditegakkan dengan USG. Tidak
adanya pergerakan antara pleura parietalis dan viseralis pada saat pernapasan atau disebut
lung sliding, merupakan petunjuk (lung sign) kecurigaan adanya pneumotoraks. Diagnosis
pneumotoraks dengan lung signs tidak dapat hanya berdasarkan menghilangnya lung sliding
saja, karena keadaan ini juga ditemukan pada keadaan berat lainnya. Lung sliding harus
bersamaan dengan gambaran A line dan yang terpenting ditemukannya lung point.6 Pada
makalah ini akan dibahas penggunaan USG paru untuk melihat kelainan berdasarkan
lung sign, yang akan menunjukkan gambaran normal dan abnormal pada USG paru.
Lung sign
Untuk melakukan pemeriksaan USG paru, alat yang diperlukan adalah probe dengan
footprint dan frekuensi yang sesuai untuk neonatus atau bayi/anak yang akan diperiksa.
Umumnya probe microconvex dapat dipergunakan untuk semua usia.
Penutup
Setiap dokter atau petugas kesehatan yang menangani kasus emergency, bekerja pada
unit intensif atau menghadapi pasien dengan sakit berat, harus memiliki kemampuan
untuk melakukan pemeriksaan USG paru. Dengan USG paru keterlambatan diagnostik
disebabkan masalah transportasi (pemeriksaan CT scan), menunggu petugas radiologi
serta hasil yang kurang akurat (alat radiologi konvensional), bahaya radiasi yang dihadapi
anak, disamping biaya yang tinggi serta tindakan yang invasif, menjadikan pertimbangan
melakukan pemeriksaan USG paru sebagai skrining, atau menggantikan posisi CT scan
paru bila keadaan anak tidak memungkinkan untuk dimobilisasi.
Daftar pustaka
1. Joyner CR, Herman RJ, Reid JM. Reflected ultrasound in the detection and
localisation of pleural effusion. JAMA 1967; 200: 399–402
2. Lichtenstein D. Should lung ultrasonography be more widely used in the
assessment of acute respiratory disease? Expert Rev. Resp. Med. 2010; 4(5):
533–8
3. Weinberger SE, Drazen JM. Diagnostic procedures in respiratory diseases. In:
Harrison’s Principles of Internal Medicine (15th Edition). McGraw-Hill, NY,
USA, 1454 (2001)
4. Weinberg B, Diakoumakis EE, Kass EG, Seife B, Zvi ZB. The air broncho-
gram: sonographic demonstration. AJR Am. J. Rontgenol. 1986; 147: 593–5.
5. Lichtenstein D, Lascols N, Mezière G, Gepner A. Ultrasound diagnosis of
alveolar consolidation in the critically ill. Intensive Care Med. 2004; 30:
276–281
6. Lichtenstein D, Mezière G, Lascols N et al. Ultrasound diagnosis of occult
pneumothorax. Crit. Care Med. 2005; 33: 1231–8.
Abstract
Recent advanced in health technology has improved the overall survival of children with chronic diseases.
As the consequences, many problems arise due to the chronic disease itself, its therapy or other factors.
Some of the problems are growth retardation, pubertal disorders, and secondary osteoporosis. The most
common pubertal disorder in children with chronic diseases is delay of puberty, but detained puberty
and menstrual disorder (in girls) are not uncommon. The incidence of pubertal delay in children with
chronic diseases is not well established. Puberty is fundamental not only for fertility and final height, but
also to achieved peak bone mass in order to prevent osteoporosis. Factors associated with delay puberty in
chronic diseases includes malnutrition, emotional deprivation, long term steroid administration, chronic
diseases itself, and side effect of therapy. Efforts should be made in each of these factors to prevent and
manage the pubertal disorder which in turn will improve the final height of children with chronic
diseases. Comprehensive management of the primary chronic diseases, careful administration of steroid,
optimal nutritional management and psychological support are essential to prevent pubertal delay. Thus,
evaluation of pubertal development should be part of daily practice in managing children with chronic
diseases which lead to early detection of pubertal disorders and its optimal treatment. Further, this paper
will discuss the mechanism of pubertal disorders in specific chronic diseases, including HIV infection,
gastrointestinal disorders, chronic renal disorders, chronic anemia, and eating disorders.
K
emajuan teknologi di bidang kesehatan mampu meningkatkan angka kesintasan
anak dengan penyakit kronik. Namun sebagai konsekuensinya timbul berbagai
gangguan akibat penyakit kronik itu sendiri ataupun akibat terapinya, meliputi
gangguan pubertas, gangguan pertumbuhan, dan osteoporosis. Tujuan tata laksana anak
dengan penyakit kronik saat ini telah bergeser, tidak hanya untuk meningkatkan angka
kesintasan tetapi juga untuk meningkatkan kualitas hidup anak dengan penyakit kronik.
Salah satu gangguan yang sering ditemukan adalah retardasi pertumbuhan dan gangguan
pubertas.1,2
Pubertas sangat penting tidak hanya untuk fertilitas dan tinggi akhir tetapi juga
untuk mencapai peak bone mass (puncak kepadatan tulang) dan mencegah osteoporosis.3
Gangguan pubertas yang sering ditemukan pada anak dengan penyakit kronik adalah
pubertas terlambat dan pubertas yang terhenti (detained puberty).1,2 Pada anak perempuan
juga ditemukan adanya gangguan menstruasi. Insidens pubertas terlambat pada anak
dengan penyakit kronik belum diketahui dengan pasti. Berbagai faktor yang berperan
271
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
terhadap terjadinya gangguan pubertas antara lain malnutrisi, penyakit kronik itu sendiri,
terapi steroid, dan stres emosional.1,2 Evaluasi pubertas secara berkala perlu dikerjakan
pada semua anak dengan penyakit kronik, terutama anak yang memasuki usia pubertas
sehingga memungkinkan tata laksana lebih dini gangguan pubertas yang terjadi. Deteksi
dini dan tata laksana yang adekuat terhadap gangguan tersebut akan meningkatkan
kualitas hidup anak dan remaja dengan penyakit kronik.
Pubertas Normal
Fisiologi Pubertas Normal
Pubertas akan berlangsung apabila aksis hipotalamus-pituitari-gonad sudah aktif (Gambar
1). Hipotalamus akan memproduksi gonadotropin-releasing hormone (GnRH).4-7 Pada
pre-pubertal, generator GnRH ini berada dalam kondisi dorman akibat inhibisi sistem
saraf yang lebih tinggi, seperti sistem GABAergik dan glutaminergik. Pubertas akan
mulai jika inhibisi terhadap hipotalamus ini berkurang atau menghilang. GnRH yang
diproduksi oleh hipotalamus ini kemudian akan menstimulasi pituitari (hipofisis) untuk
menghasilkan luteinizing hormone (LH) dan follicle stimulating hormone (FSH).4-7 Pada
awitan pubertas, sekresi LH mulai meningkat bermakna pada malam hari, kemudian
kadarnya turun dan menjadi sangat rendah pada siang hari.4-7 Pada awitan pubertas juga
terjadi peningkatan sekresi FSH yang paralel terhadap peningkatan kadar LH namun tidak
Tahapan Pubertas
Dua karakteristik utama pubertas adanya perkembangan karakteristik seks sekunder dan
pacu tumbuh. Perkembangan karakteristik seks sekunder dinyatakan dalam skala maturasi
seksual (SMS) berdasarkan Tanner, disebut dengan tahapan Tanner.3-6 Skala maturasi
seksual ini menunjukkan progresivitas perkembangan pubertas anak dengan cara inspeksi
dan palpasi.3-6 Skala maturasi seksual Tanner untuk anak perempuan adalah Payudara
(Mammae, M) dan rambut pubis (P); sedangkan untuk anak lelaki adalah Genital (G)
dalam hal ini adalah volume testis dan rambut pubis (P). Tahapan Tanner 1 disebut
pre-pubertal dan disebut pubertas jika sudah mencapai tahap Tanner 2. Perkembangan
pubertas akan berlanjut pada Tanner 3, kemudian Tanner 4 dan menjadi sempurna atau
komplit pada Tanner 5.3-6
Awitan pubertas pada anak perempuan dimulai pada usia 8-13 tahun, yang ditandai
dengan tumbuhnya payudara atau breast budding (tahap Tanner M2, telarke).3-6 Tahapan
pubertas kemudian dilanjutkan dengan tumbuhnya rambut pubis yang terjadi 1-1,5
tahun setelah telarke. Perkembangan pubertas selanjutnya adalah terjadinya menstruasi
(menarke) biasanya terjadi 2 sampai 2,5 tahun setelah telarke. Usia rerata usia menarke
anak Indonesia adalah 12,9 tahun.8 Pacu tumbuh mulai terjadi saat awitan pubertas dan
berlangsung selama 2-3 tahun dengan puncak kecepatan tumbuh terjadi sesaat sebelum
pubertas komplit.3-6
273
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Pubertas pada lelaki diawali dengan pembesaran testis yang kemudian disusul
dengan pubarke. Awitan pubertas pada lelaki dimulai pada usia 9-14 tahun, ditandai
dengan pertambahan volume testis menjadi > 3 mL (atau ≥ 4 mL).3-6 Setelah gonadarke,
pubertas berlanjut dengan pertumbuhan rambut pubis yang terjadi kurang lebih 1-1,5
tahun setelah pertambahan volume testis. Maskulinisasi lebih lanjut termasuk tumbuhnya
rambut wajah dan perubahan suara timbul pada tahap Tanner G4.3-6
Pacu tumbuh (growth spurt) saat pubertas ditandai dengan adanya akselerasi dan
deselerasi pertumbuhan.3-6 Pada saat awal pubertas akan terjadi akselerasi pertumbuhan
hingga mencapai puncaknya kemudian pertumbuhan akan menurun dan berhenti.
Pacu tumbuh ini disebabkan akibat meningkatnya hormon steroid seks yang juga
menstimulasi peningkatan produksi growth hormone. Pacu tumbuh pada anak perempuan
mulai terjadi pada Tanner 2. Puncak pacu tumbuh terjadi pada Tanner P3 atau kira-kira
1 tahun sebelum menarke.3-6 Rerata pertambahan tinggi badan pada anak perempuan
saat pubertas adalah 8,25 cm/tahun. Meskipun terjadi deselerasi pertumbuhan setelah
menarke, tetapi anak perempuan masih bisa bertambah tinggi sekitar 7 cm sebelum
akhirnya terhenti. Pertumbuhan tinggi badan biasanya sudah mencapai 99% saat usia 15
tahun. Pacu tumbuh pada anak lelaki terjadi dua tahun lebih lambat dibandingkan anak
perempuan. Pacu tumbuh dimulai saat Tanner P2. Puncak pacu tumbuh terjadi pada
Tanner P3-P4.3-6 Pada anak lelaki, rerata pertambahan tinggi badan saat pubertas adalah
9,5 cm/tahun. Pertumbuhan tinggi badan sudah mencapai 99% saat usia tulang 17 tahun.
Periode prepubertal yang lebih lama dan puncak kecepatan tumbuh yang lebih tinggi
pada lelaki menjelaskan perbedaan tinggi badan akhir lelaki dan perempuan.3-6
Infeksi HIV
Salah satu manifestasi klinis yang menonjol pada pasien sindrom imunodefisiensi
didapat (SIDA) adalah gagal tumbuh yang timbul pada 25-100% pasien dengan infeksi
simptomatik.9 Mekanisme pasti terjadinya pubertas terlambat dan gagal tumbuh masih
belum diketahui namun berbagai faktor seperti malnutrisi, gangguan emosional, infeksi
berulang, malabsorpsi, dan gangguan metabolik, dan disregulasi hormonal berperan
dalam terjadinya pubertas terlambat.9-11
Penelitian Szuberg dkk9 menunjukkan bahwa pubertas terlambat dan menarke
berhubungan dengan usia awitan terapi anti retroviral dan tidak berhubungan dengan
status imun sebelum terapi dimulai. Infeksi HIV mengganggu pertumbuhan dan pubertas
melalui beberapa mekanisme yaitu akibat defisiensi nutrisi, infeksi berulang, dan proses
inflamasi kronik, dimana semuanya ini mengganggu aksis endokrin.9-11 Makin dini awitan
penyakit dan makin berat penyakitnya, maka makin besar kemungkinan terjadinya
gangguan pubertas dan menurunnya pacu tumbuh pubertas.9-11 Pubertas terlambat lebih
sering ditemukan pada perempuan dibandingkan lelaki. Pubertas terlambat yang terjadi
adalah tipe hipogonadotropik dan hipogonadisme akibat menurunnya sekresi GnRH
oleh hipotalamus. Tata laksana pubertas terlambat mencakup terapi penyakit utamanya,
optimalkan nutrisi, terapi hormonal untuk induksi pubertas dan jika memungkinkan
konseling psikoligis dan sosial.9-11
Penyakit gastrointestinal
Faktor yang berperan terhadap terjadinya gagal tumbuh dan pubertas terlambat pada
pasien dengan penyakit gastrointestinal (inflammatory bowel syndrome/IBD, gangguan
hepar, penyakit celiac) cukup banyak, meliputi malnutrisi, meningkatnya kebutuhan
energi, terapi steroid, diet restriktif dan gangguan sintesis faktor pertumbuhan.2 Malnutrisi
baik defisiensi mikronutrien atau makronutrien merupakan salah satu faktor yang paling
penting dalam menyebabkan terjadinya pubertas terlambat.2 Pubertas terlambat pada IBD,
malnutrisi, proses inflamasi kronik dan terapi kortikosteroid. Pada penyakit hepar kronik,
275
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
gangguan pertumbuhan dan pubertas terlambat terjadi akibat malnutrisi, efek samping
terapi steroid, gangguan dalam metabolisme intermediet, dan akibat infeksi berulang.2
Transplantasi hepar mampu mengembalikan fungsi pubertas pada pasien dengan penyakit
hepar kronik. Pada 3-5 tahun setelah transplantasi pubertas berkembang secara normal.2
Thalasemia
Patofisiologi yang mendasari gangguan pertumbuhan dan pubertas terlambat pada anemia
kronik belum jelas tetapi faktor yang berperan cukup bervariasi meliputi jenis anemia,
hipoksemia intermiten, malnutrisi, defisiensi mikronutrien atau efek samping terapi.2,13
Pubertas terlambat ditemukan pada 70-80% pasien thalasemia.13 Pubertas terlambat
ini disebabkan karena defisiensi gonadotropin (LH dan FSH), menyebabkan anak
thalasemia memiliki risiko tinggi untuk mengalami osteoporosis dan infertilitas.2,13
Defisiensi gonadotropin ini disebabkan oleh akumulasi besi di pituitari, namun hipoksia
kronis, faktor nutrisi, terapi kelasi besi juga berperan terhadap terjadinya pubertas
terlambat. Akumulasi besi juga dapat terjadi di gonad, biasanya terjadi jika kerusakan
aksis hipotalamus-pituitari sudah lanjut dan ireversibel.2,13
Steroid seks meregulasi maturasi skeletal dan massa tulang, akibatnya insufisiensi
gonad berpengaruh besar terhadap integritas skeletal.13 Pubertas yang abnormal
menyebabkan peak bone mass tidak tercapai sehingga anak thalasemia memiliki
Gangguan makan
Gangguan makan (anoreksia nervosa, bulimia) menyebabkan malnutrisi.2 Penurunan
berat badan secara drastis dan malnutrisi dapat menyebabkan pubertas terlambat jika
pasien masih dalam tahap prepubertal, pubertas jadi terhenti dengan amenorea primer jika
pasien sudah pubertas atau oligomenorea atau amenorea sekunder dengan regresi tanda
seks sekunder pada pasien yang sudah menarke.1,2 Gangguan pubertas ini disebabkan
karena menurunnya kadar LH dan FSH akibat menurunnya rangsangan oleh GnRH.1,2
Pada pasien dengan gangguan makan juga terjadi gangguan pada aksis hormonal lain
menyebabkan terjadinya gangguan pertumbuhan. Peningkatan berat badan akan
mengembalikan fungsi aksis hormonal ini.
Latihan yang berlebihan juga berpengaruh terhadap pubertas. Jika hal ini terjadi
pada fase prepubertal maka akan menyebabkan pubertas terlambat dan gangguan
pertumbuhan.2 Pada atlet yang sudah menarke dapat terjadi amenorea atau menstruasi
yang ireguler. Salah satu penyebabnya adalah lemak tubuh yang kurang dan adanya
gangguan generator GnRH. Lemak memproduksi leptin yang berperan sebagai sinyal
penghubung antara status nutrisi dengan aksis hipotalamus-pituitari-gonad dan defisiensi
leptin berperan dalam menyebabkan gangguan pubertas.2
Penutup
Seiring dengan meningkatnya kesintasan anak dengan penyakit kronik maka timbul
berbagai masalah lain yang memengaruhi kualitas hidup anak dengan penyakit kronik.
Gangguan pertumbuhan, gangguan pubertas, dan osteoporosis merupakan beberapa
masalah yang mungkin timbul. Pubertas terlambat dan pubertas yang terhenti (detained
puberty) merupakan gangguan pubertas yang sering ditemukan. Penyebab gangguan
pubertas bersifat multifaktorial, meliputi malnutrisi, gangguan emosional, degradasi
protein yang berlebihan, akumulasi zat toksik, efek samping terapi, penyakit kronik
itu sendiri, dan gangguan hormonal. Evaluasi pubertas secara berkala harus merupakan
bagian integral dalam perawatan sehari-hari anak dengan penyakit kronik sehingga
memungkinkan dilakukannya intervensi secara optimal. Kemampuan untuk mendeteksi
adanya gangguan pubertas sangat penting perannya sehingga diharapkan setiap profesional
yang merawat pasien dengan penyakit kronik mampu mengidentifikasi adanya gangguan
pubertas. Tata laksana gangguan pubertas memerlukan kerja sama antara dokter dibidang
terkait dengan dokter endokrinologi anak. Hal ini diharapkan mampu meningkatkan
kualitas hidup anak dan remaja dengan penyakit kronik.
277
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Daftar Pustaka
1. Simon D. Puberty in chronically diseased patients. Horm Res. 2002;57:53-6.
2. Pozo J, Argente J. Delayed puberty in chronic illness. Best Pract Res Clin Endocrinol Metab.
2002;16:73-90.
3. Bordini B, Rosenfield RL. Pubertal Development: part II: clinical aspects of puberty. Pediat-
rics in Review. 2011;32:281.
4. Delemarre-van de Waal HA. Regulation of puberty. Best Pract Res Clin Endocrinol Metab.
2002;16: 1-12.
5. Palmert MR, Dunkel L, Witchel SF. Puberty and its disorders in the male. Dalam:Sperling
MA, penyunting. Pediatric endocrinology. Edisi keempat. Philadelphia: Elsevier Saunders.
2014. h.697-773.
6. Rosenfield RL, Cooke DW, Radovick S. Puberty and its disorders in the female. Dalam:Sper-
ling MA, penyunting. Pediatric endocrinology. Edisi keempat. Philadelphia: Elsevier Saun-
ders. 2014. h.569-604.
7. Bordini B, Rosenfield RL. Pubertal Development: part I: the endocrine basis of puberty.
Pediatrics in Review. 2011;32:223.
8. Batubara JR, Soesanti F, Van de Waal HD. Age at menarche in Indonesia girls: a national
survey. Acta Med Indones. 2010;42:78-81.
9. Szubert AJ, Musiime V, Bwakura-Dangarembizi M, Nahirya-Ntege P, Kekitiinwa A, Gibb
DM, et al. Pubertal development in HIV-infected African children on first-line antiretroviral
therapy. AIDS. 2015;29:609-18.
10. Majaliwa ES, Mohn A, Chiarelli F. Growth and puberty in children with HIV infection. J
Endocrinol Invest. 2009;32:85-90.
11. Loomba-Albrecht LA, Bregman T, Chantry CJ. Endocrinopathies in children infected with
human immunodeficiency virus. Endocrinol Metab Clin N Am. 2014;43:807-28.
12. Ferris ME, Miles JA, Seamon ML. Adolescents and young adults with chronic or end-stage
kidney disease. Blood Purif. 2016;41:205-10.
13. Chatterjee R, Bajoria R. Critical appraisal of growth retardation and pubertal disturbances in
thalassemia. Ann NY Acad Sci. 2010;1202:100-14.
Abstract
The first pediatric liver transplantation in Indonesia was started in Semarang at year of 2006, and later
in Jakarta at year of 2010. However, Only Cipto Mangunkusumo Hospital (CMH) in Jakarta that is
still active performing liver transplantation in children until now. Around 8-12 patients/year has been
transplanted at this center since 2015 using Living Donor Liver Transplantation (Living Related Liver
Transplantation). There were all 27 children had been transplanted at CMH since 2010. Biliary atresia
is being the most frequent (77.8%) diagnosis that needs transplantation. The most frequent complication
after transplantation is infection. One year patient survival after liver transplantation in children is
79% in year 2016.
Sejarah
Setelah operasi pertama kali transplantasi hati pada anak dengan atresia bilier dilakukan
oleh Thomas E. Starzl pada tahun 1963, transplantasi hati pada anak yang berhasil
pertama kali dilakukannya pada tahun 1967 dengan angka harapan hidup setelah 1
tahun adalah 4 dari 8 resipien. Pada tahun 1986 unit transplantasi hati dewasa umumnya
melaporkan angka harapan hidup 1 tahun 80%, untuk anak hanya 60%. Saat ini di
dunia angka harapan hidup 1 tahun setelah transplantasi hati mencapai lebih dari 90%.
Walaupun transplantasi hati telah mencatat keberhasilan, tetapi prosedur transplantasi
hati merupakan prosedur yang kompleks melibatkan banyak tenaga ahli, sarana dan
prasarana yang hebat, biaya tinggi, sehingga perlu berhati-hati melakukan seleksi potensial
resipien dan memang tidak ada terapi lain selain transplantasi hati.
Transplantasi hati anak di Indonesia dimulai pertama kali di Semarang, di RS Karyadi
bekerja sama dengan tim transplantasi hati dari National University Hospital. Pada tanggal
1 Oktober 2006, seorang anak berusia 1 tahun 3 bulan dengan Atresia Bilier menjalani
transplantasi hati. Transplantasi hati anak selanjutnya dilakukan di RS Dr. Soetomo
bekerja sama dengan tim tranplantasi hati dari Oriental Organ Transplant Center (OOTC)
pada 24 April 2010pada anak dengan atresia bilier. Setelah itu barulah dilakukan operasi
transplantasi dewasa pertama kali di Indonesia pada tanggal 13-12-2010, dan sekaligus
transplantasi hati anak pada tanggal 15-12-2010 di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
(RSCM). Tim RSCM-FKUI bekerja sama dengan tim transplantasi hati dari The First
Affiliated Hospital of Zhejiang University, Cina
279
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Tim yang sama juga melakukan transplantasi hati pada orang dewasa di RS Puri
Indah, Jakarta pada tanggal 14-12-2010. Tim RS Pertamedika Sentul, Bogor, Jawa Barat,
juga pernah melakukan operasi cangkok hati terhadap pasien anak dengan Sindrom
Alagille, pada tanggal 24/2/2014. Operasi cangkok hati ini bekerjasama dengan Tim
dari Kobe (KIFMEC), Jepang.Selanjutnya, pada tanggal 11-11-2015 juga dilakukan
transplantasi hati anak di RSUP dr Sardjito Yogyakarta pada anak dengan atresia bilier
berkerja sama dengan tim transplantasi dari Kyoto, Jepang. Kemudian juga dilakukan
transplantasi hati di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) H Adam Malik Medan pada
orang dewasa pada tanggal 21 September 2015 bekerja sama dengan tim transplantasi dari
Korea Selatan.Walaupun transplantasi hati telah dilakukan di rumah sakit di beberapa
kota besar di Indonesia, tetapi saat ini yang masih teratur melakukan operasi transplantasi
hati anak adalah hanya di RSCM-FKUI, Jakarta.Transplantasi hati anak di RSCM-FKUI
awalnya dimotori oleh Dr. Sastiono (Bedah Anak), Dr. Hanifah Oswari dan Dr, Antonius
Pujiadi (IKA), dan Dr Andi Ade (Anestesi). Selanjutnya akan dibahas perkembangan
transplantasi hati anak di RSCM.
281
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Pada Gambar 1 dapat dilihat bahwa semua pasien baik dari internal ataupun
eksternal didaftarkan ke koordinator transplantasi RSCM dahulu, dan dilanjutkan sampai
dinilai apakah pasien merupakan kandidat transplantasi atau bukan. Sebelum operasi
transplantasi dilakukan pasien harus mendapat persetujuan dari Komite Etik dan Hukum
untuk dapat dilanjutkan operasinya.
Sedangkan untuk donor, pada alur di Gambar 2 terlihat bahwa diperiksa golongan
darah dan fungsi organ hati,calon donor akan dikirim ke tim advokasi donor RSCM
dan dinilai kelayakan sebagai donor. Tim advokasi adalah tim diluar tim transplantasi
hati RSCM. Tim ini independen, tidak dapat dipengaruhi dan tidak di bawah tim
transplantasi hati. Bila telah lolos dari tim advokasi, donor akan menjalani skrining untuk
donor selanjutnya. Bila lolos dari tim transplantasi hati, sebelum dilakukan operasi, donor
harus dinilai oleh Komite Etik dan Hukum.
283
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Tabel 2. Diagnosis Pasien Transplantasi hati anak di RSCM
Diagnosis Jumlah pasien (%)
Atresia bilier 21 (77,8%)
Sindrom Alagille 2 (7,4%)
Caroli disease 1 (3,7%)
Neonatal hepatitis 1 (3,7%)
Auto immune hepatitis 1 (3.7%)
Budd Chiary 1 (3.7%)
Kontraindikasi
Sebelum tahun 2015, anak usia < 1 tahun dan berat badan < 10 kg masih menjadi
kontraindikasi untuk transplantasi hati di RSCM-FKUI. Sejak tahun 2015, dengan
bantuan Profesor Mureo Kasahara, yang telah dianugrahi Adjuct Professor dari Universitas
Indonesia pada tanggal 10 Agustus 2016, hal ini tidak menjadi masalah lagi. Bayi dengan
285
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
komplikasi trombosis arteri hepatika. Di RSCM-FKUI, penyambungan arteri hepatika
dilakukan dengan cara operasi mikro menggunakan mikroskopi. Sampai saat ini
komplikasi trombosis arteri hepatika dapat dicegah di RSCM-FKUI (lihat Tabel 3).
Pada hari ke 7-10 setelah transplantasi hati dapat terjadi rejeksi selular akut. Insidens
rejeksi selular akut pada bayi sekitar 20%, meningkat menjadi 50-60% pada anak besar
dan dewasa. Gejalanya adalah demam, iritabilitas, rasa tidak nyaman di perut, dan kadang-
kadang asites. Terjadi peningkatan kadar bilirubin, fosfatase alkali, dan gamma glutamyll
transpeptidase, ALT dan AST. Penting dilakukan biopsi hati untuk memastikan terjadinya
rejeksi selular akut.Komplikasi post-transplantasi hati anak di RSCM-FKUI dapat dilihat
pada Tabel 3.Tidak terdapat kematian donor transplantasi hati anak di RSCM-FKUI.
Komplikasi donor pada operasi transplantasi hati anak di RSCM sampai saat ini tidak
ditemukan.
Penutup
Transplantasi hati anak telah dilakukan pada di pelbagai tempat di Indonesia, tetapi
karena satu dan lain hal, terutama pembiayaan pasien transplantasi hati, maka saat ini
hanya RSCM-FKUI yang masih teratur melakukannya. Sampai saat ini di RSCM-FKUI
telah dilakukan transplantasi hati berjumlah 27 anak, atresia bilier paling sering dilakukan
tranplantasi hati. Angka keberhasilan hidup pasien 1 tahun setelah transplantasi untuk
tahun 2016 adalah 79%.
287
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Daftar pustaka
1. Marcos A, Fisher RA, Ham JM, et al. Liver regeneration and function in donor and re-
cipient after right lobe adult to adult living donor liver transplantation. Transplantation.
2000;69:1375-9.
2. Malago M, Rogiers X, Broelsch CE. Liver splitting and living donor techniques. Br Med Bull.
1997;53:860-7.
3. Berg CL, Gillespie BW, Merion RM, et al. Improvement in survival associated with adult-to-
adult living donor liver transplantation. Gastroenterology. 2007;133:1806-13.
4. Emond JC, Whitington PF, Broelsch CE. Overview of reduced-size liver transplantation.
Clin Transplant. 1991;5:168-73.
5. Kasahara M, Umeshita K, Inomata Y, et al. Long-term outcomes of pediatric living donor
liver transplantation in Japan: an analysis of more than 2200 cases listed in the registry of the
Japanese Liver Transplantation Society. Am J Transplant. 2013;13:1830-9.
6. Oh SH, Kim KM, Kim DY, et al. Long-term outcomes of pediatric living donor liver trans-
plantation at a single institution. Pediatr Transplant. 2010;14:870-8.
7. Kelly D. Liver Transplant. In: Walker WA, Goulet O, Kelinman RE, et al., editors. Pediatric
Gastrointestinal Disease: Pathophysiology-Diagnosis-Management. 4 ed. Ontario: BC Decker;
2004. p. 1532-50.
8. Danziger-Isakov L, Kumar D, Practice ASTIDCo. Vaccination in solid organ transplanta-
tion. Am J Transplant. 2013;13 Suppl 4:311-7.
9. Kasahara M, Kaihara S, Oike F, et al. Living-donor liver transplantation with monosegments.
Transplantation. 2003;76:694-6.
10. Ogawa K, Kasahara M, Sakamoto S, et al. Living donor liver transplantation with reduced
monosegments for neonates and small infants. Transplantation. 2007;83:1337-40.
11. Drews D, Sturm E, Latta A, et al. Complications following living-related and cadaveric liver
transplantation in 100 children. Transplant Proc. 1997;29:421-3.
12. Egawa H, Uemoto S, Inomata Y, et al. Biliary complications in pediatric living related liver
transplantation. Surgery. 1998;124:901-10.
13. Inomoto T, Nishizawa F, Sasaki H, et al. Experiences of 120 microsurgical reconstructions of
hepatic artery in living related liver transplantation. Surgery. 1996;119:20-6.
14. Rela M, Muiesan P, Bhatnagar V, et al. Hepatic artery thrombosis after liver transplantation
in children under 5 years of age. Transplantation. 1996;61:1355-7.
Abstract
Pediatric Candida infections are associated with worse clinical outcomes and increased costs. Candidemia
is the fourth most common nosocomial bloodstream infection. Its incidence is increasing, particularly in
hospitalized patients. The attributable mortality and morbidity associated with hospitalization remain
significant (10.0%-14.5%) in all age groups despite therapeutic advances.
Disseminated or invasive Candida infections in pediatric patients, though relatively rare, are associated
with significant morbidity and mortality, along with increased societal cost. Mortality in children with
invasive candidiasis – that is, infection of the bloodstream or solid organ infection – has been reported
from 19% to 26% and as high as 43%–54% in infants. Invasive candidiasis has been associated with
a mean 21.1-day increase in length of stay among pediatric patients.
In studies published within the last decade, mortality rates in children with candidemia range from
19% to 31%. Invasive aspergillosis in children is associated with even greater mortality: 68% to 77%.
A higher mortality rate is seen in those with greater degrees of immunosuppression, particularly after
hematopoietic stem cell transplantation.
Risk factors for Candidemia may be assigned into two groups: host-related factors and health-care-
associated factors including catheter use, total parenteral nutrition, surgical interventions, and the use
of antimicrobial drugs. The leading host-related factors are immunosuppressive diseases, neutropenia,
age, and a deteriorating clinical condition due to underlying diseases. The most common health-care-
associated risks are long hospital or ICU stay. Risk factors associated with long ICU stay include invasive
interventions and colonization. Candida colonization is a risk factor, the importance of which has been
realized in recent years. According to various studies, this risk factor for IC development is more related
to the presence or absence of colonization than the number of regions colonized.
Systemic antifungal agents shown to be effective for the treatment of invasive candidiasis comprise 4
major categories: the polyenes (amphotericin B [AmB] deoxycholate, liposomal AmB, AmB lipid complex
[ABLC], and amphotericin B colloidal dispersion, the triazoles (fluconazole, itraconazole, voriconazole,
and posaco-nazole), the echinocandins (caspofungin, anidulafungin, and micafungin), and flucytosine.
I
nfeksi jamur merupakan penyebab terbanyak morbiditas dan mortalitas pada manusia,
menyebabkan spektrum klinis yang luas, dari infeksi superfisial dan mukosa sampai
penyakit invasif. Candida spp dan Aspergillus spp adalah dua jenis jamur yang tersering
ditemukan. Angka mortalitas akibat kandidasis dan aspergillosis invasif pada anak,masing-
masing 19-31% dan 68-77%. 1
289
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Candidemia penyebab ke empat terbanyak pada nosocomial bloodstream infection.
Kejadian meningkat terutama di rumah sakit. Angka kematian dan kesakitan di rumah
sakit masih tinggi (10%-14,5%) pada semua umur walaupan diberikan pengobatan. 2
Disseminated atau infeksi kandida invasif pada anak termasuk jarang, namun
berhubungan dengan angka kesakitan dan kematian yang tinggi. Angka kematian pada
candidiasis invasif yang terjadi pada infeksi pada darah dan organ telah dilaporkan
dari 19% menjadi 26% dan pada bayi lebih tinggi yaitu dari 26% menjadi 43-54%.
Candidiasis invasif secara umum berhubungan dengan peningkatan lama perawatan 21
hari. Infeksi candida pada anak berhubungan dengan luaran yang jelek dan peningkatan
biaya. Belum diketahui dengan pasti spesies yang menyebabkan penyakit menjadi berat.
Sampai sekarang data tentang infeksi candidiasis masih sulit didapatkan, oleh karena
banyak yang “underdiagnosis”, dan sulit untuk memperkirakan ke arah candidemia oleh
karena gejala yang tidak khas atau spesifik. 3
Pasien yang dirawat di rumah sakit yang menderita “invasive candidiasis” berhubungan
dengan neutropenia, pemakaian central venous or peripher catheters, terapi antibiotik yang
akan mengganggu keseimbangan flora endogen. Selain Candida albicans, ada jenis spesies
lain pada pasien anak misalnya Candida tropicalis yang sering berhubungan dengan
pasien leukemia dengan prolonged granulocytopenia. Candida parapsilosis dan Candida
zeylanoides yang berhubungan dengan insersi kateter sentral yang lama. Candida lusitaniae
berhubungan dengan fungemia pada pasien imunokompromis. Demikian juga Candida
galbrata sering didapatkan pada pasien onkologi. 3
Epidemiologi
Epidemiologi kejadian candidemia berubah kearah candida-non albicans. 1 Study dari
Departemen Anak Lousiana New Orleans USA mendapatkan data dari mulai Januari
2003-April 2010, ada 106 kasus yang memenuhi persayaratan, dengan gambaran sebagai
berikut: perbandingan jenis kelamin perempuan dan laki-laki (46,2%; 53,8%), umur
non-neonates dan neonates (54,7%; 45,3%), diagnosis bukan kancer dan kancer (88,7%;
11,3%), tidak dan mengalami Concurrent infection (CIs) (39,6%; 61,9 %). Dari 64 (61,9
%) yang mengalami Concurrent infection (CIs), 41 ( 64,1%) mengalami 1 CIs, dan 12
(18,8%) dua CIs serta lima (7,8%) alami lebih dari dua CIs. Penyebab kuman pada
CIs yang gram positif, didominasi Staphylococcus dan Enterococcus spesies, untuk gram
negatif didominasi Klebsiella, Pseudomonas dan Eschericia coli. Sedangkan kebanyakan
kasus dengan penyakit–penyakit Berat Badan Lahir Sangat Rendah (BBLSR), preterm,
necrotizing enterocolitis, dan sepsis, pneumonia, gagal nafas. 2
Dari tahun ke tahun ada perubahan kejadian spesies candida, dapat dilihat di gambar
1, sedangkan perbedaan spesies candida pada neonates dan non-neonates yang didapatkan
pada penelitian Hawksheed 3, dapat lihat gambar 2.
Patogenesis
Candida albicans berada dalam tubuh manusia sebagai saprofit dan infeksi baru terjadi
bila terdapat faktor predisposisi pada tubuh pejamu. Faktor-faktor yang dihubungkan
dengan meningkatnya kasus kandidiasis antara lain disebabkna oleh:
•• Kondisi tubuh yang lemah atau keadaan yang memburuk.
•• Penyakit tertentu misalnya diabetes mellitus.
291
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
•• Kehamilan.
•• Rangsangan setempat pada kulit oleh cairan yang terjadi terus menerus misalnya air
liur, keringat, dan urin.
•• Penggunaan obat diantaranya : antibiotik, kortikosteroid dan sitostatik.
293
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
cairan tubuh lain menunjukkan adanya yeast like fungi maka artinya terdapat Candida
dalam bentuk komensal aau kolonisasi di organ asal cairan tubuh tersebut. 5
Diagnosis Candida secara dini memang tidak mudah, sehingga dibuat Candida
score untuk menilai risiko candidosis invasif pada pasien non neutropenia. Komponen
Candida score adalah sepsis berat (2), total parenteral nutrition (1), tindakan pembedahan
(1), dan kolonisasi Candida multifokal (1). Skor kurang dari 3 menunjukkan risiko
rendah candidosis invasif. Tetapi pasien–pasien ini masih harus dievaluasi dengan baik
karena menurut beberapa penelitian pada kasus dengan skor kurang dari 3 masih terjadi
candidosis invasif sekitar 0-5%; dan skor Candida masih dapat berubah selama pasien
dalam perawatan. Selain itu juga masih ada faktor risiko candidosis yang belum termasuk
dalam komponen Candida score diatas. Setidaknya terdapat beberapa faktor yang menjadi
faktor risiko seperti pasien dengan kateter pembuluh darah atau urine, pasien perawatan
lama di ICU, pasien dengan neutropenia, pasien dengan antibiotika lama, premature, ibu
hamil, diabetes mellitus, dsb.5
Gejala yang ditampakkan pada neonatus tidak begitu jelas, dan keterlibatan system
saraf pusat (meningoensefalitis) memiliki prevalens yang lebih tinggi bila dibandingkan
dengan populasi dewasa, oleh karena itu neonatus memiliki risiko tinggi terjadinya
gangguan neurologi persisten. Deteksi antigen fungi atau amplifikasi asam nukleat fungi
dengan PCR dapat dilakukan untuk deteksi awal candidemia. Dalam studi prospektif,
13 dari 57 neonatus dan anak di ICU memperlihatkan hasil PCR yang positif walaupun
kultur darah menunjukkan hasil negatif. Suatu pemeriksaan komponen dinding fungi
dengan menggunakan 1-3-β-D-glucan dalam serum memiliki sensitifitas 70%. Mortalitas
berhubungan dengan segera dimulai terapi dan pengawasan terhadap sumber infeksi.
CVC sering berhubungan dengan candidemia, namun kateter tidak selalu menjadi sumber
infeksi, terutama pada pasien neutropenia dimana sistim gastrointestinal merupakan
sumber yang sering menjadi penyebab infeksi 8
Terapi
Pada pasien anak, belum ada bukti berbasis medik yang memadai untuk menyimpulkan
bahwa pemberian antijamur empiris pada demam neutropenia dapat menurunkan angka
mortalitas. Beberapa studi yang ada melibatkan pasien dari segala usia atau menggabungkan
teraoi empiris, profilaksi dan definitif, sehingga kurang tepat mengunakannya untuk
menjawab pertanyaan klinis. Namun demikian, karena kesulitan mendiagnosis dan
mortalitas yang tinggi akibat infeksi jamur invasif, sebaiknya anak dengan demam
neutropenia yang menetap lebih dari lima hari setelah pemberian antibiotik yang adekat,
juga diberikan antijamur empiris. 10
295
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
d. Voriconazol 400 mg (6 mg/kgBB) dua kali sehari, kemudian 200 mg (3 mg/kgBB)
dua kali sehari adalah efektif untuk candidemia, dapat digunakan untuk terapi
step-down selama neutropenia persisten pada pasien dengan klinis yang baik dan
kuman yang suseptibel terhadap obat ini serta hasil kultur darah menunjukkan
“bersih”.
e. Durasi terapi candidemia tanpa koplikasi metastase adalah 2 minggu setelah
hilangnya spesies Candida dari aliran darah (hasil kultur terdokumentasi) dan
resolusi gejala candidemia
f. Semua pasien non-neutropenia dengan candidemia harus melakukan pemeriksaan
opthalmologi dalam 1 minggu setelah terdiagnosis oleh karena dapat terjadi
keterlibatan ocular seperti endoftalmitis yang mnegancam penglihatan.
g. Pelepasan central venous catheter (CVC) harus dilakukan sejak awal bila dicurigai
candidemia dengan CVC sebagai sumber infeksinya.
Penutup
Candida albicans merupakan mikrobiota komensal yang jika dengan berbagai faktor
risiko yang mempengaruhi imunologi mukosa, yang alami imunokompromais, maka
candida tersebut dapat menjadi patogen. Diagnosis candida secara dini sangat sulit
dilakukan oleh karena gejala yang tidak khas atau spesifik, sehingga sering candidemia
invasif terlambat terdiagnosis, oleh karena gejala klinis muncul setelah candida menyebar
keseluruh organ. Mortalitas pasien dengan candida invasif sangat tinggi, walupun angka
kejadian candidiasis invasif jarang. Mortalitas candidemia adalah 19-31%. Keberhasilan
tatalaksana candidemia selain anti fungi juga mengendalikan faktor risiko.
Daftar pustaka
1. Blyth CC, Palsanthrallan P, O Brlen A. Antifungl therapy in children with invasive fungal
infections: a systematic review. Pediatrics 2007;119;772-84.
2. Blyth CC, Chen SA, Slavin MA, Serena C. Not just little adults: Candidemia Epidemiology,
molecular charactrzation, and antifungal susceptibility in neonatal and pediatric patients.
Pediatrics 2009;123:1361-8.
3. Hawkshead JJ, Vand Dyke RB, Webber LS, Begue RE. Species-based comparison of disease
severity and risk factors for diseminated Candida infections in pediatric patients. Infect Drug
Resist. 2016;9:59-70.
4. Feglo PK, Narkwa P. Prevalence and antifungal susceptibility patterns of yeasy isolates at the
komfo anokye teaching hospital (KATH), Kumasi, Ghana. Br Microbiol Res J 2012;2:10-22.
5. Huwae IR. Faktor risiko dan diagnosis infeksi candida sistemik pada anak. Dalam: Hapsari
MM, Anam MS, Hardaningsih G. Improving knowledge in infectious disease and antibiotic
usage. Undip Press. Semarang, 2017: 158-173.
6. Zaoutis TE, Prasad PA, Locallo AR, Coffin SE, Bell LM, Gross R. Risk factors and predictor
for candidemia in pediatric intensive care unit patients : implication for prevention. Clin
Infect Dis. 2010;6:e38-46.
297
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
IDAI Pediatric Online Immunization Reporting
System
Hartono Gunardi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia / RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Abstract
Immunization is one of effective ways to prevent and reduce morbidity, disability, and mortality caused
by vaccine-preventable diseases. Online immunization reporting is now possible to be done through
IDAI Pediatric Online Immunization Reporting System (I-POINTS). I-POINTS is useful in recording
immunization data, and therefore it will be convenient for parents if they lose their immunization books
or moved to another area. Immunization reporting with I-POINTS will help pediatrician to record and
report immunization as stated in 2017 Indonesian Ministry of Health regulation number 12 regarding
immunization implementation. I-POINTS is able to summarize routine or optional immunization
coverage that has not been reported fully to date. Thus, it could help to increase immunization coverage.
Furthermore, I-POINTS can be used to report adverse events following immunization. Immunization
reporting through I-POINTS could also be converted to Professional Credit Unit or Satuan Kredit Profesi
(SKP). In the future, I-POINTS will be developed further to be a mobile application to enable offline
reporting, increase utilization by another medical staffs (general practitioner, obstetrician, internist), and
also be integrated to immunization reporting system by Indonesian Ministry of Health.
I
munisasi merupakan upaya pencegahan dengan menimbulkan kekebalan terhadap
kuman patogen yang berbahaya.1 Imunisasi merupakan salah satu investasi kesehatan
yang paling cost-effective karena terbukti dapat mencegah dan mengurangi kejadian
sakit, cacat dan kematian akibat penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I).2,3
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan no 42 tahun 2013 imunisasi dibagi
menjadi imunisasi rutin dan imunisasi pilihan.3 Imunisasi rutin yaitu hepatitis B, BCG,
DTP, Hib, polio, dan campak.4 Menurut Peraturan Menteri Kesehatan no 12 tahun 2017,
imunisasi rutin dikelompokkan dalam imunisasi program yang terdiri dari imunisasi
rutin, imunisasi tambahan dan imunisasi khusus.5 Imunisasi program pada umumnya
telah dilaporkan dengan baik, baik dari fasilitas pelayanan pemerintah maupun swasta.
Sementara itu imunisasi pilihan mencakup imunisasi pneumokokus, rotavirus, influenza,
cacar air, MMR, hepatitis A, HPV, JE, dan dengue. Imunisasi pilihan belum dilaporkan
secara nasional. Belum adanya sistem laporan untuk imunisasi pilihan menimbulkan
kelangkaan data tentang cakupan imunisasi kelompok tersebut.
I-POINTS
I-POINTS adalah suatu sistem pelaporan berbasis web untuk melaporkan imunisasi,
baik rutin maupun pilihan, dan kejadian ikutan imunisasi pasca imunisasi (KIPI) untuk
anggota IDAI yang melakukan imunisasi di fasilitas kesehatan pemerintah maupun swasta.
I-POINTS dapat diakses melalui alamat URL: imunisasi.idai.or.id. Untuk dapat masuk ke
dalam I-POINTS diperlukan 5 Nomor Pokok Anggota (NPA) dan password (Gambar 1).
Jika Anda adalah anggota IDAI, maka Anda dapat login. Password yang berlaku
adalah yang telah diubah semenjak tanggal 9 November 2015. Bila NPA adalah 01 03456
1985 11, maka ketik 03456. Silakan reset password, jika Anda lupa password atau ingin
mendapatkan password baru untuk pertama kali.
299
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Manfaat I-POINTS
I-POINTS membantu anggota IDAI dalam melaksanakan pencatatan dan pelaporan
imunisasi seperti tertera dalam Permenkes no 12 tahun 2017 yang menyatakan bahwa
setiap fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan imunisasi harus
melakukan pencatatan dan pelaporan secara rutin dan berkala serta berjenjang kepada
Menteri Kesehatan melalui Dinas Kesehatan Provinsi dan Dinas Kesehatan Kabupaten/
Kota. Pasal berikutnya menyatakan bahwa pelaksana pelayanan imunisasi harus melakukan
pencatatan terhadap pelayanan imunisasi yang dilakukan.5
Manfaat lain bagi dokter anak adalah I-POINTS merupakan sarana untuk mencatat
imunisasi dan KIPI. Data KIPI dapat dicatat oleh dokter yang bersangkutan atau dokter
anak yang lain bila ada KIPI. Pelaporan imunisasi melalui I-POINTS dapat dilakukan
pada hari berikutnya (back-date) sehingga mempermudah dokter anak yang praktiknya
hingga larut malam. I-POINTS dapat memberikan gambaran kinerja dokter dalam
imunisasi setiap bulan. Manfaat I-POINTS lainnya adalah jumlah laporan imunisasi
dapat dikonversikan sebagai Satuan Kredit Profesi (SKP) yang dapat digunakan untuk
memperpanjang izin praktik di kemudian hari.
Bagi anak dan orangtua, I-POINTS bermanfaat untuk merekam catatan imunisasi
anak dalam jaringan (online) sehingga dapat diakes oleh dokter anak (anggota IDAI)
dimana pun sehingga imunisasi anak tersebut dapat diketahui dan dilanjutkan bila anak
berpindah domisili atau pindah dokter. Apabila data antropometri anak dimasukkan,
maka dapat diperoleh status gizi anak tersebut. Dengan I-POINTS, pesan pengingat
(reminder) imunisasi berikutnya dapat dikirim ke orang tua sehingga menurunkan
kemungkinan drop-out imunisasi karena lupa maupun ketidaktahuan tentang jadwal
imunisasi berikutnya.
Untuk Kementerian Kesehatan I-POINTS merupakan laporan imunisasi yang
dilakukan oleh dokter anak yang sementara ini belum dimasukkan dalam cakupan
imunisasi, terutama untuk imunisasi pilihan. Selain itu, dengan sistem tersebut akan
dapat diperoleh cakupan imunisasi per daerah maupun secara nasional, baik imunisasi
rutin maupun pilihan, yang dilakukan oleh dokter anak.
Untuk penyedia vaksin, I-POINTS dapat digunakan untuk memprediksi kebutuhan
vaksin dalam periode tertentu sehingga kecukupan ketersediaan vaksin dapat diantisipasi
untuk mencegah terjadinya kekosongan vaksin tertentu.
Perangkat yang diperlukan
Pelaporan imunisasi melalui I-POINTS dapat menggunakan telepon gengam, dawai
(tablet atau ipad), computer, atau laptop. Browser yang disarankan adalah Google Chrome
atau Mozilla Firefox. Alamat website I-POINTS adalah imunisasi.idai.or.id. Username
yang digunakan adalah 5 nomor pokok anggota, sebagai contoh bila NPA adalah 01
03456 1985 11, maka NPA adalah 03456. Adapun password yang digunakan adalah sama
Penutup
Pelaporan imunisasi dan KIPI secara daring telah tersedia bagi anggota IDAI di seluruh
Indonesia. Pelaporan dengan I-POINTS ini bermanfaat bagi anak dan keluarganya
mengingat data dapat diakses dari mana saja tanpa membawa buku imunisasi serta ada
mekanisme pengingat imunisasi berikutnya. I-POINTS berguna bagi dokter untuk
mencatat dan melaporkan imunisasi maupun KIPI, mendapatkan gambaran status
nutrisi dan kinerja imunisasi. Bagi kementerian kesehatan I-POINTS dapat memberikan
sumbangan tentang cakupan imunisasi terutama imunisasi pilihan.
Daftar pustaka
1. Prommalikit O, Tangsathapornpong A, Thisyakorn U. General aspect of vaccination. In:
Vaccines. Bangkok, 8th Asian Congress of Pediatric Infectious Diseases, 2017, h 2-4.
2. Pusat data dan informasi kementerian kesehatan RI. Situasi imunisasi di Indonesia. Diunduh
pada 17 Juni 2017. Didapat dari URL: http://www.depkes.go.id/resources /download/pus-
datin/infodatin/InfoDatin-Imunisasi-2016.pdf Diakses 17 Juni 2017.
301
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
3. Ranuh IGN. Imunisasi Upaya Pencegahan Primer. Dalam Ranuh IGN, Suyitno H, Hadi-
negoro SRS, Kartasasmita CB, Ismoedijanto, Soedjatmiko, penyunting. Pedoman Imunisasi
di Indonesia. Edisi 5. Jakarta: Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2014, h 2-8.
4. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2013 tentang Penye-
lenggaraan Imunisasi. Diunduh pada 14 April 2016. Didapat dari URL: http://pppl.depkes.
go.id/asset/regulasi/92_PMK%20No.%2042%20ttg%20Penyelengga raan%20Imunisasi.
pdf
5. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2017 tentang Penye-
lenggaraan Imunisasi. Diunduh pada 21 April 2017. Didapat dari URL: http://www.in-
donesian-publichealth.com/tag/permenkes-nomor-12-tahun-2017-tentang-penyelengga-
raan-imunisasi/
6. Utah Department of Health. Immunization reporting. Diunduh pada : 17 Juni 2017.
Didapat dari URL : http://www.immunize-utah.org/immunization%20reporting/
7. Kingston, Frontenac and Lennox & Addington (KFL&A) Public Health. Immunization re-
porting. Diunduh pada 17 Juni 2017. Didapat dari URL: https://www. kflaph.ca/en/Immu-
nization-Reporting.aspx
8. Vaccine Adverse Event Reporting System. Diunduh pada 17 Juni 2017. Didapat dari
URL: https://vaers.hhs.gov/index
9. Centers for Disease Control and Prevention. Vaccine Adverse Event Reporting System
(VAERS). Diunduh pada 17 Juni 2017. Didapat dari URL : https://www.cdc.gov /vac-
cinesafety /ensuringsafety/monitoring/vaers/index.html
10. Scherer LD, Shaffer VA, Patel N, Zikmund-Fisher BJ. Can the vaccine adverse event report-
ing system be used to increase vaccine acceptance and trust? Vaccine. 2016;34:2424-9.
Abstract
Lupus nephritis (LN) is one of the major clinical manifestations of systemic lupus erythematosus (LES)
which occurs frequently in the early stages of pediatric onset cases. Since LES is a chronic disease associated
with frequent disease flares and effective and safe maintenance therapy is required for achieving a
favorable outcome, optimal treatment for LN in pubertal patients is a great challenge that remains to
be overcome. Although its etiology remains unclear, it has been reported that the innate and adaptive
immune systems have been reported to play an important role in the pathogenesis of LES. Diagnosis of
lupus nephritis is enforced if found kidney abnormalities like proteinuria with or without hematuria,
hypertension, acute glomerulonephritis, or nephrotic syndrome. The treatment and prognosis depend
on the classification of lupus nephritis that established by renal biopsy. The LES commonly treated by
corticosteroid, cytostatic, and supportive therapy.
N
efritis Lupus (NL) merupakan salah satu manifestasi klinis berat pada pasien
Lupus eritematosus sistemik (LES), sehingga nefritis lupus merupakan
penyebab morbiditas dan mortalitas pada pasien LES.1, 2 Sekitar 50% populasi
LES memiliki keterlibatan ginjal, dengan prevalensi terendah sekitar 29% dan prevalensi
tertinggi 81%. Sekitar 80-90% pasien dengan keterlibatan ginjal akan menjadi nefritis
pada tahun pertama diagnosis dan 10-20% akan hadir pada pertengahan anatara tahun
pertama dan kedua setelah onset, namun masih sangat mungkin terjadi lebih lama lagi.1D
Alatas melaporkan 41 kasus nefritis lupus dalam waktu lima tahun (1995-1999) pada
5 pusat nefrologi anak di Indonesia, angka kejadian pada anak perempuan lebih sering
(perempuan : laki-laki = 9:1) dan rentang usia saat diagnosis adalah 4 -18 tahun dengan
umur rerata 10 tahun.2
Definisi
Nefritis Lupus adalah LES yang diikuti dengan kelainan ginjal, sehingga jika dijabarkan
NL adalah suatu penyakit autoimun kronik yang ditandai dengan inflamasi dan adanya
circulating autoantibodies terhadap self-antigens dengan keterlibatan ginjal.3
303
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
agresif dengan kortikosteroid dan imunosupresan lain dapat mengurangi lesi aktif nefritis
lupus dan memberikan prognosis yang lebih baik. Sebaliknya pengobatan yang terlambat
akan menyebabkan prognosis yang buruk sebab dapat terjadi gagal ginjal disertai
hipertensi. Gagal ginjal, sepsis, miokarditis, dan perdarahan otak merupakan penyebab
kematian pada anak dengan nefritis lupus.2, 4
Pada tahun 1974, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkenalkan klasifikasi
untuk lupus nephritis, dan direvisi oleh Society of Nephrology/Renal Pathology Society (ISN/
RPS) Internasional pada tahun 2003.1D Pada nefritis lupus klas I WHO didapatkan
adanya proteinuria tanpa adanya kelainan pada sedimen urin. Pada NL klas II WHO
didapatkan kelainan ginjal yang ringan. Biasanya hanya didapatkan anti-dsDNA yang
positif dan kadar komplemen serum yang rendah. Sedimen urin tidak aktif, tanpa
hipertensi, proteinuria ± 1 gram/24jam, dan kadar kreatinin serum serta laju filtrasi
glomerulus (LFG) normal. Pada NL klas III WHO biasanya didapatkan sedimen urin
yang aktif. Proteinuria lebih dari 1 gr/24 jam, kira-kira 25-35% pasien dengan proteinuria
>3 gr/24 jam. Peningkatan kreatinin serum didapatkan pada 25% pasien. Pada sebagian
pasien juga didapatkan hipertensi. Pada nefritis lupus klas IV WHO ditemukan sedimen
urin yang aktif pada seluruh pasien. Proteinuria >3gr/24 jam didapatkan pada 50%
pasien, dan hipertensi ditemukan pada hampir semua pasien, dan penurunan fungsi ginjal
sangat tipikal. Pada pasien nefritis lupus klas V WHO secara klinis ditemukan sindrom
nefrotik, sebagian dengan hematuria dan hipertensi, akan tetapi fungsi ginjal masih
normal sedangkan pada nefritis lupus klas VI WHO dijumpai penurunan fungsi ginjal
yang progresif lambat, dengan urin yang relatif normal.5
Menurut klasifikasi ISN/RPS, yang paling umum kelas glomerulonefritis yang terlihat
pada LES dan prevalensinya masing-masing adalah (1) Kelas IV dan III atau gromerulonefitis
proliferative (PLN) (40-50% dan 15-24%), (2) Kelas II atau gromerulonefritis mesangial
(19-27%) , dan (3) Kelas V atau glomerulonefritis membranosa (10-20%). Kelas LN
Untuk diagnosis NL ini ditegakkan bila pada presentasi klinis ringan/minimal berupa
ditemukannya proteinuria dengan atau tanpa hematuria/silinderuria, normalnya fungsi
305
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
ginjal (serum kreatinin) dan biasanya tanpa hipertensi. Sedangkan pada tanda tanda-
tanda presentasi klinis berat berupa glomerulonefritis (acute nephritic syndrome) yaitu
proteinuria, hematuria, disertai peningkatan kreatinine serum >1.2 mg/dL dengan atau
tanpa hipertenis dan dapat disertai gejala klinik sindroma nefrotik proteinuria dalam jumlah
lebih atau sama dengan 40mg/m2/jam, hipoalbuminemia <2.5gr/dL, hiperkolesterolemia.
Biopsi ginjal diperlukan untuk mengetahui gambaran patologi anatomi ginjal untuk
menentukan klasifikasi NL yang penting untuk terapi dan menentukan prognosis.1, 4
Tata laksana
Pengobatan LES umumnya dilakukan dengan pemberian kortikosteroid, sitostatik,
dan terapi suportif. Dengan pengobatan seperti ini, mortalitas nefritis lupus semakin
berkurang. Kortikosteroid dianggap sebagai obat terbaik untuk nefritis lupus dan dapat
diberikan per oral atau dengan cara puls intravena. Pada NL dengan gambaran patologi
anatomi ginjal yang minor dan manifestasi klinis yang ringan, biasanya tidak diberikan
kortikosteroid. Sitostatik biasanya diberikan jika hasil pengobatan dengan kortikosteroid
tidak memuaskan, terdapat efek samping steroid, atau pada nefritis lupus.3
Sitostatik yang sering digunakan pada pengobatan nefritis lupus adalah siklofosfamid
yang dapat diberikan per oral dan secara intravena dosis tinggi atau puls. Pemberian
siklofosfamid puls pada nefritis lupus telah dilakukan oleh beberapa peneliti dengan hasil
yang baik.8
Untuk terapi tambahan lainnya pada NL dapat dilihat pada table di bawah ini.
307
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Prognosis
Pada NL faktor yang dapat meningkatkan mortalitas adalah adanya krisis hipertensi,
laju filtrasi gromerulus (LFG) yang kurang dari 75ml/menit/1.73m2, dan gambaran
histopatologi yang menunjukan lesi proliferatif.13, 14
Daftar Pustaka
1. Borgia RE, Bargman JM, Silverman ED. Pediatric Lupus Nephritis. In: Sawhney S, Aggarwal
A, editors. Pediatric Rheumatology. Singapore: Springer; 2017. p. 345-64.
2. Puspanjono MT, Pardede SO, Trihono PP, Tambunan T. Nefritis Lupus dengan Perdarahan
Intrakranial pada Anak: laporan kasus. Sari Pediatri. 2006;7(4):219-24.
3. Alatas H. Nefritis lupus. In: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editors. Buku
ajar nefrologi anak. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2002. p. 366-80.
4. Cameron JS. Lupus nephritic in childhood and adolescence 1994;8:230-49. Pediatr Nephrol.
1994;8:230-49.
5. Perfume F, Martini A. Lupus nephritis in children. Lupus. 2005;14(1):83-8.
6. Tan EM, Cohen AS, Fries JF, Masi AT, McShane DJ, Rothfield NF, et al. The 1982 revised
criteria for the classification of SLE. Arthritis Rheum. 1982;25(11):1271-4.
7. Sinha R, Raut S. Pediatric lupus nephritis: Management update. World Journal of Nephrol-
ogy. 2014;3(2):16-23.
8. Lehmann TJA, Mouradian JA. Systemic lupus erythematouseditors. In: Barratt TM, Avner
ED, Harmon WE, editors. Pediatric nephrology. Baltimore: Lippincott Williams & Wilkins;
1999. p. 793-810.
9. Alatas H. Nefritis Lupus pada anak. In: Noer MS, Soemyarso NA, Subandiyah K, Prasetyo
RV, Alatas H, Tambunan T, et al., editors. Kompendium Nefrologi Anak. Jakarta: Badan
Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011. p. 118-23.
10. Tanaka H, Joh K, Imaizumi T. Treatment of pediatric-onset lupus nephritis: a proposal of
optimal therapy. Clin Exp Nephrol. 2017.
11. Yap DYH, Chan TM. Lupus Nephritis in Asia: clinical features and management. Kidney
diseases. 2015;1:100-9.
12. Sing A, Lau PYW, Liu DI, Yap HK. Management of lupus nephritis. In: Yap HK, Liu DI,
Tay WC, editors. Pediatric Nephrology-On The Go. 1 ed. Singapore: National University
Children’s Medical Institute, National University Hospital; 2012. p. 136-53.
13. Oktadianto L, prasetyo RV, Soemyarso NA, Noer MS. Predictors of mortality in children
with lupus nephritis. Paediatrica Indonesiana. 2014;54(6):338-43.
14. Wu J-Y, Yeh K-W, Huang J-L. Early predictors of outcomes in pediatric lupus nephritis :
focus on proliferative lession. Elsevier. 2013.
Abstract
As vaccine usage increases, and the incidence of vaccine-preventable diseases is reduced, vaccine-related
adverse events become more attract parents, public and media. Therefore, an understanding of vaccine
safety is important for all immunization providers, who have responsibilities to identify, report, and
prevent adverse events. Aim of this articele is to strengthening understanding among professionals whose
work is linked to vaccine safety issues, including the response to vaccination and the pathogenesis of
adverse events. This article describes introduction to vaccine safety, type of vaccine and adverse reactions,
adverse events following immunization, surveillance, vaccine safety institution and communication.
S
elama kurun waktu 100 tahun, produsen farmasi di dunia, telah membuat berbagai
macam vaksin, diantaranya terhadap pertusis, polio, campak, campak jerman
dan hemofilus influenza. Sebagai bukti yang tidak terbantahkan, jumlah anak di
dunia yang terinfeksi penyakit penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi jumlahnya
menurun secara bermakna.1
Vaksin telah membuktikan manfaatnya, yang terlihat dari meningkatnya penggunaan
vaksin serta menurunnya insidensi penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi
(PD3I). Namun demikian, dalam perjalanan sejarah vaksin, tercatat berbagai kejadian
ikutan pasca imunisasi (KIPI) yang menarik perhatian bagi orang tua, masyarakat dan
media.2
Karena vaksin diberikan kepada anak sehat maka disepakati bahwa dalam
pelaksanaannya harus digunakan standar keamananan tertinggi dibandingkan dengan
intervensi medik lain. Vaksin harus melalui uji klinis sebelum pemberian lisensi untuk
mengkaji efek formula vaksin, strain vaksin, umur saat pemberian, jumlah dan dosis,
serta pemberian secara bersamaan berbagai vaksin dan pengaruh terhadap daya lindung
dan keamanan pada pemakaian produk yang berbeda. Untuk meningkatkan kemampuan
mendeteksi kejadian simpang, di negara maju produsen vaksin harus melakukan secara
formal surveilans pasa lisensi (fase IV) dengan besar sampel yang memadai.3
309
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
diinaktivasi). Vaksin dapat berupa monovalen atau polivalen. Vaksin monovalen terdiri
atas strain tunggal dari antigen tunggal (contoh vaksin campak). Beberapa antigen dapat
dikombinasikan dengan suntikan tunggal yang dapat menghambat beberapa penyakit
atau melindungi terhadap strain multiple gen (seperti vaksin kombinasi difteri, pertusis
dan antigen tetanus), sedangkan vaksin polivalen terdiri atas 2 atau lebih strain/serotipe
dari antigen yang sama, (contoh: vaksin polio oral). Vaksin kombinasi berguna untuk
mengatasi hambatan logistik suntikan multipel, dan mengatasi ketakutan anak terhadap
jarum dan nyeri.4
Beberapa jenis vaksin mengandung komponen untuk meningkatkan respons imun,
seperti ajuvan dan protein konjugat. Vaksin dapat juga mengandung antibiotik untuk
membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri. Antibiotik dalam jumlah terlacak
digunakan dalam proses pembuatan untuk mencegah kontaminasi bakteri sewaktu proses
pembiakan jaringan sel. Komponen stabilisator digunakan untuk mempertahankan
efektivitas selama penyimpanan. Kestabilan vaksin sangat penting, terutama bila rantai
dingin tidak dapat diandalkan. Faktor yang mempengaruhi stabilitas adalah suhu dan
pH. Komponen preservativ ditambahkan pada vaksin multi-dosis untuk menghambat
pertumbuhan bakteri dan jamur. Produk yang sering digunakan adalah tiomersal,
komponen yang mengadung merkuri. Oleh karena vaksin mengandung berbagai
komponen, maka potensi risiko meningkat untuk terjadinya reaksi vaksin.
Cara pemberian (intradermal, subkutan atau intramuskuler), oral, atau intranasal
juga berperan untuk terjadinya reaksi simpang. Cara pemberian tiap vaksin yang
direkomendasikan produsen bertujuan agar efektivitas vaksin maksimal dan membatasi
reaksi simpang.
Kontraindikasi pemberian vaksinasi merupakan kondisi yang jarang, namun
apabila diabaikan dapat mengakibatkan KIPI serius. Kontraindikasi pada umumnya
bersifat sementara sehingga pemberian dapat dilakukan pada kesempatan berikutnya.
Kontraindikasi yang berlaku untuk semua vaksin adalah riwayat reaksi alergi berat
setelah pemberian vaksin sebelumnya. Lembar perhatian yang tertera pada label produk
kadang tidak digunakan dengan semestinya dan dipakai sebagai kontraindikasi absolut,
yang berakibat melewatkan peluang untuk diimunisasi. Kewaspadaan bukan merupakan
kontraindikasi absolut, namun keadaan yang harus dipertimbangkan antara risiko dan
manfaat pada waktu vaksin diberikan. Tenaga kesehatan harus mengetahui gejala reaksi
alergi dan mempersiapkan agar dapat segera memberikan tindakan apabila diperlukan.
311
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Definisi pharmacovigilance menurut CIOMS/WHO Working Group on Vaccine
Pharmacovigilance, adalah ilmu pengetahuan dan aktivitas yang berhubungan
dengan deteksi, pengkajian, pengertian dan komunikasi dari KIPI dan persoalan
yang terkait vaksin atau imunisasi, serta mencegah efek yang tidak diinginkan
dari vaksin atau imunisasi.6 Vaksin pharmacovigilance bertujuan mendeteksi secara
dini kejadian simpang agar dapat dengan tepat mengkaji risiko dan respons memadai
(manajemen risiko) terhadap masalah. Target lain dari kemanan vaksin ialah, untuk
mempelajari dampak negatif terhadap program imunisasi. Untuk itu keamanan vaksin
bergantung kepada tiga langkah, yaitu: deteksi sinyal, penyusunan hipotesis kausal, dan
uji hipotesis kausal.
Surveilans
Setiap KIPI, meski jarang, harus diupayakan investigasi dibandingkan dengan apabila
terjadi efek samping obat, meski kejadian ini lebih sering terjadi. Pemantauan dapat
dilakukan sebelum atau setelah vaksin di lisensi, dengan sedikit perbedaan tujuan berdasar
kekuatan dan kelemahan setiap langkah, serta berbagai peraturan diberbagai negara
berdasar program imunisasi nasional dan sarana yang tersedia.
Sistem pelaporan dapat bersifat pasif maupun aktif. Pelaporan pasif merupakan
dasar post-licensure safety monitoring systems dan rendah biaya. Berbagai sistem pelaporan
KIPI telah dilakukan diberbagai negara di dunia, termasuk di Indonesia, termasuk di
Indonesia.7,8
Sistem surveilans KIPI di Indonesia dirancang untuk memenuhi kebutuhan program
imunisasi Kementerian Kesehatan dan Badan POM. Ketentuan umum sistem surveilans
KIPI adalah sebagai berikut:
•• Deteksi, koreksi dan pencegahan kesalahan imunisasi.
•• Identifikasi potensi masalah dari lot vaksin spesifik.
•• Pencegahan terjadinya tuduhan terhadap kejadian koinsiden.
•• Menjaga kesinambungan program, dengan memberikan respons yang memadai pada
orang tua/masyarakat.
•• Identifikasi sinyal atau kejadian simpang yang tidak diharapkan dan menyusun
hipotesis untuk selanjutnya diuji secara ilmiah.
•• Memperkirakan rate KIPI pada populasi lokal.
•• Melengkapi informasi bagi orang tua mengenai kontraindikasi, keseimbangan antara
risiko/manfaat yang disediakan produsen bagi masyarakat.
Di Indonesia surveilans KIPI telah dimuIai sejak 1996, sesuai dengan himbauan
WHO yang ditandai dengan dibentuknya Pokja KIPI.7 Dalam perjalanannya, atas
dasar diperlukannya koordinasi yang lebih tingg, maka pada tahun 2002, berdasarkan
Surat Keputusan Menteri Kesehatan, dibentuklah Komite Nasional Pengkajian dan
Penanggulangan KIPI (Komnas PP-KIPI) yang terdiri atas wakil berbagai organisasi
313
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
spesialis forensik, ahli patologi, ahli mikrobiologi, imunologi dan epidemiologi. Apabila
diperlukan, pakar lain dapat diundang untuk membantu menganalisis kejadian klinis
khusus. Untuk menghindari konflik berkepentingan, manajer program imunisasi nasional,
ahli laboratorium vaksin, perwakilan Badan POM, dinas kesehatan kota/provinsi tidak
dimasukkan sebagai anggota komite, namun harus tetap mendukung sesuai kewenangan
yang dimilikinya.
Badan POM harus menjamin, semua obat, termasuk vaksin, yang digunakan di dalam
negeri aman, efektif dan berkualitas tinggi. Fungsi Badan POM harus dalam kerangka
kebijakan nasional pengobatan dan kesehatan, untuk itu diharapkan keterbukaan,
kejujuran dan dapat dipertanggungjawabkan. Setelah penerbitan lisensi vaksin baru, maka
Badan POM bertanggung jawab untuk memastikan bahwa vaksin tersebut aman dan
memenuhi syarat (lihat table 2). Pertukaran informasi harus dilakukan antara Badan POM
dan program imunisasi nasional. Oleh karena Badan POM mempunyai pengetahuan
terbatas mengenai struktur dan manajemen program imunisasi nasional maka diperlukan
keterlibatan manajer program imunisasi nasional dan semua yang berperan dalam
pemantaun KIPI sehingga tanggapan terhadap persoalan keselamatan vaksin menjadi
jelas.
The Global Advisory Committee on Vaccine Safety (GACVS) dibentuk pada tahun 1999
agar apabila ada persoalan keamanan vaksin yang berpotensi menjadi kepentingan global,
Komite dapat memberikan tanggapan secara efisien dengan dasar ilmiah.11 Komite dibentuk
untuk memberikan nasihat yang bersifat independen, mempunyai kewewenangan dan
mempunyai dasar ilmiah yang kuat terhadap adanya persoalan keamanan vaksin, baik
global ataupun regional yang dikhawatirkan memengaruhi program imunisasi nasional
baik jangka pendek maupun panjang.
315
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Pada tahun 2000, di Brighton, para ahli dari beberapa negara di dunia secara sukarela
membentuk The Brighton Collaboration untuk menyusun standar keamanan vaksin.12
Kelompok ini memfasilitasi pembentukan, evaluasi dan diseminasi informasi berkualitas
mengenai keamanan vaksin pada manusia. Tujuan utama kerjasama ini adalah:
•• Meningkatkan kesadaran ketersediaannya standar definisi kasus KIPI dan petunjuk
dalam cara mengumpulkan, analisis dan presentasi data, serta untuk mendidik
manfaat pemantauan global KIPI dan memfasilitasi kemudahan akses
•• Menyusun standar definisi tunggal bagi KIPI spesifik
•• Mempersiapkan petunjuk pengumpulan data, analisis dan cara presentasi untuk
digunakan secara global
•• Menyusun dan melaksanakan protokal penelitian untuk evaluasi definisi kasus dan
pedoman uji klinik dan sistem surveilans.
The Council for International Organizations of Medical Sciences (CIOMS) adalah
suatu badan internasional, swadaya masyarakat, non-profit, organisasi ini dibentuk dengan
kerjasama antara WHO and the United Nations Educational, Scientific and Cultural
Organization (UNESCO) pada tahun 1949, termasuk didalamnya technical working
groups (e.g. vaccine pharmacovigilance).9
The WHO Programme for International Drug Monitoring (PIDM), didirikan pada
tahun 1968, terdiri atas jaringan beberapa national pharmacovigilance centres, WHO
headquarters in Geneva, and the WHO Collaborating Centre for International Drug
Monitoring, Uppsala Monitoring Centre, Sweden. Badan ini dibentuk saat Sidang 16th
World Assembly pada mana saat tersebut diterbitkan resolusi untuk mengumpulkan
informasi secara sistimatis serious adverse drug reactions selama pembuatan dan terutama
setelah obat tersedia terutama apabaial sudah digunakan masyarakat.13
The Vaccine Safety Net adalah laman jaringan global, dievaluasi oleh WHO,
menyediakan informasi keamanan vaksin yang dapat diandalkan.14 Sehubungan dengan
berhasilnya imunisasi, beberapa penyakit sudah tidak merupakan ancaman. Beberapa
kelompok mempertanyakan pemanfaatana vaksin disamping keberhasilannya dalam
mengendalikan penyakit. Dalam beberapa tahun terakhir, terlihat beberapa laman menulis
informasi yang tidak herimbang, menyesatkan dan membahayakan kemanan vaksin, yang
dapat menimbulkan kekhawatiran, terutama antar orang tua dan pasien. Proyek ini dimulai
pada tahun 2003 atas desakan beberapa pemerintahan, lembaga swadaya masyarakat dan
UNICEF. Jaringan VSN merupakan berbagai kelompok dari sumber informasi digital
(website dan media social), anggota VSN, berlokasi di berbagai negara di seluruh dunia
dan menyediakan data ilmiahndasar kemanan vaksin dalam berbagai bahasa. Hasil awal
proyek ini adalah ditentukannya empat criteria praktek informasi yang harus diterapkan
bila akan menyampaikan informasi digital mengenai keamanan vaksin yaitu desain yang
baik, terjangkau, isi dan dapat diandalkan.
Peningkatkan kemampuan pengetahuan dan keterampilan, serta sikap dan perilaku
sistem surveilans, investigasi dan respons KIPI nasional, didukung oleh CIOMS/WHO
Komunikasi
Setiap tahun, jutaan dosis diberikan pada program imunisasi di seluruh dunia. Vaksin
dirancang untuk merangsang respons imun dalam tubuh, dan disadari, bahwa akan ada
risiko kesehatan yang tidak dapat dihindari pada sebagian kecil penerima, manfaat yang
diperoleh jauh lebih besar daripada resiko yang dialami dalam hal perlindungan terhadap
penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi dan konsekuensi lain yang mempunyai
spektrum luas. Menerangkan manfaat dan risiko vaksin pada orang tua, pengasuh dan
penerima vaksin memerlukan komunikasi yang efektif dan kemampuan pribadi dari
tenaga kesehatan yang harus dilatih oleh tenaga profesional dalam program imunisasi.15
Pneumonia 1 – 6% 0
Diare 6% 0
Post-infectious encephalomyelitis 0.5/1 000 1/100.000 – seperjutaan
SSPE 1/100 000 0
Anafilaksis 0 1/100.000 – seperjutaan
Trombositopeni tidak dapat dihitung dengan pasti 1/30.000
Kematian 0.1-1/1.000 (sampai 5-15%) 0
317
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Penutup
Vaksinasi penting dalam pengendalian penyakit infeksi, untuk itu harus dikuasai
prinsip dasar vaksinasi. Masyarakat kurang dapat menerima KIPI (meski rendah) yang
diberikan pada anak sehat, bila dibandingkan dengan obat yang biasa digunakan untuk
mengobati penyakit. Oleh karena itu diperlukan teknik komunikasi yang efektif dan
ketrampilan pribadi dari tenaga kesehatan dalam mengatasi persoalan KIPI. Dalam
upaya mempertahankan kesinambungan program imunisasi, post marketing surveillance
sangatlah penting untuk dilakukan.
Daftar pustaka
1. WHO vaccine-preventable disease monitoring system, 2016 global summary.
2. Buttery JP, Danchin MH, Lee KJ, Carlin JB, Mc Intyre PB, Elliott EJ, Booy R, Bines JE.
Intussusception following rotavirus vaccine administration: Post-marketing surveillance in
the National Immunization Program in Australia. Vaccine 29,(16): 3061–6, 2011.
3. World Health Organization. Vaccine Safety Basics: e-learning course. Module 1: Introduc-
tion to vaccine safety. Geneva, Switzerland. [Diakses pada tanggal 30 May 2017]. Diunduh
dari: http://vaccine-safety-training.org/summary-module1.html.
4. World Health Organization. Vaccine Safety Basics: e-learning course. Module 2: Introduc-
tion to vaccine safety. Geneva, Switzerland. [Diakses pada tanggal 31 May 2017]. Diunduh
dari: http://vaccine-safety-training.org/summary-module2.html.
5. World Health Organization. Vaccine Safety Basics: e-learning course. Module 3: Introduc-
tion to vaccine safety. Geneva, Switzerland. [Diakses pada tanggal 31 May 2017]. Diunduh
dari: http://vaccine-safety-training.org/summary-module3.html.
6. World Health Organization. Vaccine Safety Basics: e-learning course. Module 4: Introduc-
tion to vaccine safety. Geneva, Switzerland. [Diakses pada tanggal 31 May 2017]. Diunduh
dari: http://vaccine-safety-training.org/summary-module4.html.
7. Tim Pokja KIPI Pusat. Pedoman tatalaksana medik kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI)
bagi petugas kesehatan. Edidi ke-3. Jakarta; Direktorat Jenderal PPM-PL, Departemen Kes-
ehatan dan Kesejahteraan Sosial RI, 2000.
8. Komite Nasional Pengkajian dan Penanggulangan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KN-PP
KIPI). Kementrian Kesehatan RI.4th Ed.Jakarta: Direktorat Jenderal PPM-PL, Departemen
Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RepubIik Indonesia, 2002.
9. World Health Organization. Vaccine Safety Basics: e-learning course. Module 5: Introduc-
tion to vaccine safety. Geneva, Switzerland. [Diakses pada tanggal 31 May 2017]. Diunduh
dari: http://vaccine-safety-training.org/summary-module5.html
10. WHO. Immunization,vaccines and biologicals. National advisory committees on immuni-
zation. [Diakses pada tanggal 31 May 2017]. Diunduh dari: http://www.who.int/immuniza-
tion/sage/national_advisory_committees/en/
11. WHO. Global Vaccine Safety. The Global Advisory committee on Vaccine Safety. [Diakses
pada tanggal 31 May 2017]. Diunduh dari: http://www.who.int/vaccine_safety/committee/
en/.
319
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Infant Growth Assessment
I Gusti Ayu Trisna Windiani
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana / RSUP Sanglah, Denpasar
Abstract
Recent advances in modern perinatal and neonatal intensive care have led to an increase in the survival of
premature infants. This increased survival has not been accompanied by an improvement in growth and
neurodevelopmental outcome. Prematurity has long-term impact on growth and development, so that
preterm infant need early and long-term follow up. Assessment of growth is an integral part of the clinical
screening and monitoring of infant. Atypical growth patterns may be indicative of medical, nutritional
or developmental problems. Growth charts are essential for evaluating infant growth. Preterm infants has
an initial period of poor growth, which render them growth retarded during the first years of life. The first
year of life provides an important opportunity for human somatic and brain growth to compensate for
earlier deprivation. Length or height, weight, and head circumference are anthropometric measurements
commonly used to assess growth. The measurement of all growth indicators must be serial, continuous,
and be started from the birth. Numerous reference growth charts are available worldwide. The revised
sex-specific actual-age growth charts are based on the recommended growth goal for preterm infants, the
fetus, followed by the term infant. The Fenton curve 2013, equivalent to the WHO growth charts at 50
weeks’ gestational age. This curves are harmonized with the WHO Growth Standard at 50 weeks, may
support an improved transition of preterm infant growth monitoring to the WHO charts.
K
emajuan dalam penanganan di bidang perawatan intensif perinatal dan
neonatal mengakibatkan peningkatan survival, utamanya bayi-bayi prematur.
Peningkatan survival ini tidak diikuti dengan perbaikan luaran pertumbuhan
dan neurodevelopmental.1 Bayi yang bertahan hidup mempunyai risiko yang lebih tinggi
mengalami morbiditas jangka panjang, gangguan perkembangan dan neurologis.2 Bayi
yang lahir prematur dan/atau bayi dengan riwayat perawatan intensif tidak saja terdampak
dalam perkembangan tapi juga pertumbuhannya.
Angka kejadian kelahiran prematur masih tinggi dan cenderung meningkat di seluruh
dunia.3 Berdasar data dari 184 negara di dunia, angka kejadian prematuritas sebesar 11,1%,
dan Indonesia menduduki rangking kelima dengan insidensi sebesar 15,5%.4 Sementara
itu, angka kejadian bayi small-for gestational age (SGA) atau kecil-masa-kehamilan (KMK)
tertinggi di dunia adalah di India, dengan insidensi sekitar 46,9%.5
Pertumbuhan pada tahun pertama sangat menentukan luaran kognitif dan perilaku
anak di kemudian hari.6,7 Pertumbuhan somatik yang buruk dalam 1 tahun pertama
kehidupan berhubungan dengan keterlambatan neurodevelopmental pada bayi prematur.8
Gangguan kognitif yang terjadi sekitar 26%-40%, palsi serebral 12%-17%, buta bilateral
321
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Perbandingan berbagai kurva pertumbuhan
Para klinisi atau peneliti sebelumnya menggunakan data reference untuk menilai
pertumbuhan bayi. Penggunaan data reference ini belum memuaskan. Berbagai hal
yang menjadi alasannya adalah: sampel diambil dari rumah sakit sehingga dapat terjadi
bias seleksi, tidak dapat digeneralisasi pada populasi, status sosial ekonomi, bayi yang
diikutsertakan tidak diketahui faktor risiko yang bisa memengaruhi pertumbuhan janin,
tidak membedakan jenis kelamin (1 jenis kelamin/unisex), tidak mencantumkan interval
kepercayaan, tidak membedakan apakah variasi pertumbuhan janin termasuk fisiologis
atau patologis.12
Banyak kurva yang telah digunakan untuk menilai pertumbuhan intrauterin sebelum
era Fenton 2013, di antaranya yang paling sering digunakan adalah Lubchenco (1966),
Usher dan McLean (1969), Beeby (1996), Niklasson (1991), Fenton (2003), Olsen
(2010).10 Perbandingan kurva pertumbuhan dapat dilihat pada tabel 1.13-15
Jenis Kurva Lelaki dan perem- Lelaki dan perempuan Lelaki dan perempuan Lelaki dan perem-
puan satu kurva satu kurva dibedakan puan dibedakan
(unisex curve) (unisex curve)
NICHD: National Institute of Child Health and Human Development Neonatal Research Network
323
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Penilaian pertumbuhan pada bayi
Penilaian pertumbuhan merupakan bagian dari deteksi dini kondisi klinis dan monitoring
pada bayi. Pola pertumbuhan yang tidak normal mengindikasikan adanya masalah-masalah
medis, nutrisi, pertumbuhan atau perkembangan. Panjang atau tinggi badan, berat badan,
dan lingkar kepala merupakan parameter antropometris yang sering digunakan untuk
menilai pertumbuhan.17
Pemantauan pertumbuhan dimulai pada saat periode antenatal. Pemantauan
pertumbuhan intrauterin penting untuk mendeteksi adanya hambatan pertumbuhan
dalam rahim (intrauterine growth retardation/IUGR). Bayi yang lahir dengan IUGR dan/
atau SGA akibat kondisi intrauterin yang tidak kondusif lagi untuk tumbuh, memerlukan
pemantauan pertumbuhan dan perkembangan yang baik agar tumbuh kembang bayi
tersebut optimal. Restriksi pertumbuhan pada janin, baik yang lahir prematur (kurang-
bulan) atau cukup-bulan, dapat memengaruhi survival, kesehatan, pertumbuhan dan
perkembangan. Peningkatan berat badan janin yang pesat sekitar enam kali lipat terjadi
antara usia kehamilan 22 sampai 40 minggu. Oleh karena itu, bayi yang lahir pada periode
ini memerlukan penanganan profesional untuk menilai pertumbuhan dan menyediakan
nutrisi dan perawatan yang memadai.9
Pengukuran pertumbuhan dilakukan tidak hanya berdasarkan satu parameter,
melainkan semua parameter, yaitu berat, panjang atau tinggi, dan lingkar kepala.
Pengenalan disproporsi pertumbuhan tinggi badan, berat badan dan lingkar kepala
penting untuk mengevaluasi bayi dan anak. Jika berat badan menurun, namun panjang
dan lingkar kepala normal, berarti terdapat gangguan nutrisi pada janin. Sebaliknya,
jika berat, panjang dan lingkar kepala semua di bawah rata-rata usia gestasi, berarti bayi
mungkin normal, kurang nutrisi berat atau mengalami malformasi.14
Pengukuran serial juga diperlukan untuk mengetahui perubahan percepatan
pertumbuhan.14 Penurunan percepatan pertumbuhan biasanya ditandai pertama
dengan penurunan berat badan, kemudian panjang badan, dan terakhir lingkar kepala.
Peningkatan pertumbuhan terjadi jika asupan kalori terpenuhi. Pada janin yang
mengalami undernutrition, pertumbuhan normal sesuai target tidak bisa tercapai dengan
baik walaupun sampai periode remaja.14 Tahun pertama kehidupan sangat penting
dalam pemenuhan nutrisi yang adekuat, untuk survival, pertumbuhan, perkembangan,
dan kesehatan jangka panjang. Jika pemenuhan nutrisi tidak adekuat pada masa bayi,
maka bayi akan jatuh pada gangguan pertumbuhan linear yang irreversible dan terjadi
defisit kognitif.18 Pertumbuhan yang menurun umumnya terjadi pada 2 tahun pertama
kehidupan; stunting terjadi sekitar 30-40%. Berat lahir rendah berisiko 2,5-3,5 kali lebih
banyak mengalami wasting, stunting, dan underweight.19
Pemantauan pertumbuhan memerlukan standar yang tepat. Kurva WHO 2006
menekankan pada bagaimana anak seharusnya tumbuh dan saat ini dipakai untuk
memantau pertumbuhan.20 Pengukuran pertumbuhan pada bayi meliputi:
325
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Pengukuran lingkar kepala
Pertumbuhan otak dapat dilihat dari lingkar kepala. Lingkar kepala mencerminkan volume
otak. Pertumbuhan otak terjadi sangat pesat pada periode bayi, sehingga pengukuran
lingkar kepala seharusnya dilakukan setiap bulan pada satu tahun pertama. Pengukuran
lingkar kepala berdasarkan ukuran lingkar kepala terbesar dari occipital-frontal, dengan
menggunakan pita logam (metal tape). Pita ukur ini dipakai karena lebih kuat, tidak
elastis, dan akurat.20,24,25
Peningkatan lingkar kepala lebih dari 2,5 cm/minggu atau di atas 2SD berhubungan
dengan hidrosefalus. Pada hidrosefalus, terjadi disproporsi lingkar kepada dengan panjang
dan berat badan. Pada mikrosefali, pertambahan ukuran lingkar kepala kurang dari 0,5
cm/minggu. Pada kondisi ini terjadi disproporsi lingkar kepala (lebih kecil) dibandingkan
panjang dan berat badan. Catch-up pertumbuhan lingkar kepala yang terjadi pada anak
yang sebelumnya lingkar kepalanya kecil akibat kurang nutrisi menunjukkan adanya
pemenuhan asupan kalori yang sudah sesuai, sehingga terjadi pemulihan ukuran sel-sel
otak. Tingkat percepatan pertumbuhan lingkar kepala tergantung periode undernutrition
yang dialami; semakin lama dan berat deprivasi yang terjadi, semakin sulit untuk
mendapatkan pemulihan yang sempurna. Percepatan pertumbuhan lingkar kepala terjadi
pada tahun pertama kehidupan.14
Smithers dkk (2013), meneliti hubungan penambahan berat badan dan lingkar kepala
pada periode neonatus dengan skor IQ dan perilaku pada usia 6,5 tahun. Penambahan
berat atau lingkar kepala pada 4 minggu setelah lahir berkontribusi terhadap IQ anak
di kemudian hari. Anak yang mengalami penambahan berat dan lingkar kepala yang
lebih cepat pada 1 bulan pertama mempunyai IQ 1,5 kali lebih tinggi daripada anak
yang mengalami penambahan berat atau lingkar kepala yang lebih sedikit.6 Anak yang
mengalami gagal tumbuh mempunyai IQ 3-4 poin lebih rendah daripada yang tidak
mengalami gagal tumbuh.26,27
Penutup
Pemantauan pertumbuhan secara serial dan kontinyu sejak lahir sangat diperlukan untuk
mengetahui perubahan percepatan pertumbuhan, baik pada bayi prematur atau aterm.
Pengukuran pertumbuhan dilakukan untuk semua parameter yaitu berat, panjang dan
lingkar kepala. Kurva Fenton 2013 adalah hasil harmonisasi kurva pertumbuhan Fenton
2003 dan kurva WHO, yang menghasilkan kurva yang bisa digunakan untuk memantau
pertumbuhan janin dan bayi prematur (usia pada saat kelahiran 24-36 minggu) sampai
usia 50 minggu. Pemantauan sangat diperlukan pada 1 tahun pertama kehidupan.
327
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
17. Nash A, Corey M, Sherwood K, Secker D, Saab J, O’Connor DL. Growth assessment in
infants and toaddlers using three different reference charts. J Pediatr Gastroenterol Nutr.
2005;40:283-88.
18. Turck D, Michaelsen KF, Shamir R, Braegger C, Campoy C, Colmb V, dkk. Word Health
Organization 2006 child growth standards and 2007 growth reference charts: a discussion
paper by the committed on nutrition of European society for pediatric gastrology, hepatolo-
gy, and nutrition. JPGN. 2013;57:258-64.
19. Christian P, Lee SE, Angel MD, Adair LS, Arifeen SE, Ashorn P, dkk. Risk of childhood un-
dernutrition related to small-for-gestational age and preterm birth in low-and middle-income
countries. Int J Epidemiol. 2013;42:1340-55.
20. WHO Multicentre Growth Reference Study Group. WHO Child Growth Standards based
on length/height, weight and age. Acta Pediatrica. 2006;450:76-85.
21. WHO. Measuring a child’s growth. Dalam: WHO, penyunting. Training course on child
growth assessment. WHO Child Growth Standards. 2008.
22. Ehrenkranz RA, Younes N, Lemons JA, Fanaroof AA, Donovan EF, Wright LL, dkk. Longi-
tudinal growth of hospitalized very low birth weight infants. Pediatr.1999;104:280.
23. Niklasson A, Engstrom E, Hard AL, Wikland KA, Hellstrom A. Growth in very preterm
children: a longitudinal study. Pediatr Res. 2003;54:899-903.
24. de Onis M, Onyango AW, Van den Broeck J, Chlumlea WC, Martorell R, WHO MGRS.
Measurement and standardization protocols for anthropometry used in the construction of a
new international growth reference. Food and Nutrition Bulletin. 2004;25:27-36
25. Garza C, de Onis M, WHO MGRS. Rationale for developing a new international growth
reference. Food and Nutrition Bulletin 2004;25. h. S5-S13.
26. Corbett SS, Drewett RF. To what extent is failure to thrive in infancy associated with pooer
cognitive development? A review and meta-analysis. J Child Psychol Psychiatry. 2004;45:641-
54.
27. Emond AM, Blair PS, Emmett PM, Drewett RF. Weight faltering in infancy and IQ levels at
8 years in the Avon longitudinal study of parents and children. Pediatrics.2007;120:1051-8.
Tujuan
1. Mengetahui indikasi terapi sulih ginjal kontinu (continuous renal replace-
ment therapy/ CRRT) pada anak yang mengalami sakit kritis
2. Mengetahui berbagai ndicator kualitas keberhasilan pemakaian CRRT
pada pasien anak yang mengalami sakit kritis
A
cute kidney injury (AKI) sering dialami oleh pasien yang dirawat di ruang rawat
intensif (intensive care unit atau ICU) dengan mortalitas mencapai 60%.(1-3)
Pada beberapa ndica terakhir, epidemiologi AKI pada anak telah berubah secara
signifikan. Seiring dengan hal ini penggunaan continuous renal replacement therapy
(CRRT) semakin meningkat dalam tatalaksana AKI pada anak serta mengatasi kelebihan
cairan pada anak.(4, 5)
Terapi sulih ginjal akut digunakan pada 8-10% pasien yang mengalami sakit kritis
(6, 7) dan menunjukkan peningkatan 10% per tahun.(8, 9) Sejumlah data menyatakan
penggunaan CRRT mampu memperbaiki fungsi ginjal jangka panjang.(10) Terapi
sulih ginjal kontinu (CRRT) adalah suatu metode purifikasi darah yang secara teori
bertujuan membersihkan darah dari toksin endogen dan eksogen secara perlahan-lahan,
mempertahankan keseimbangan asam-basa, elektrolit dan menjaga homeostasis tubuh.
(11)
Terapi CRRT memerlukan kecepatan aliran darah dan dialisat yang rendah sehingga
CRRT ini dijalankan selama 24 jam, menyerupai fungsi ginjal yang sesungguhnya.(11,
12) Terapi sulih ginjal kontinu merupakan salah satu terapi yang dilakukan di ruang rawat
intensif yang memerlukan alat canggih serta biaya yang mahal. Oleh sebab itu diperlukan
berbagai ndicator yang menentukan apakah CRRT yang dilakukan cukup berkualitas dan
bermanfaat baik bagi pasien maupun bagi unit ICU. Indikator ini dipakai sebagai patokan
untuk mengurangi penggunaan CRTT yang tidak berkualitas, mengoptimalkan sumber
daya pengguna CRRT serta memperbaiki luaran pasien.(13) Terapi sulih ginjal kontinu
lebih sering dikerjakan pada anak yang mengalami ketidak-stabilan hemodinamik.(11)
329
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
CRRT pada anak
Prinsip dasar CRRT pada anak sama dengan dewasa. Hal-hal yang perlu diperhatikan
dalam melakukan CRRT pada anak adalah volume darah ndicatoria, kebutuhan priming
sirkuit sebelum melakukan CRRT, adaptasi terhadap alat-alat yang dipasang ke tubuh
pasien serta penggunaan CRRT untuk pasien yang mengalami inborn errors of metabolism.
(11) Terapi CRRT dapat dilakukan pada neonates dan bayi dengan berat badan < 10
kg.(14, 15)
Nomenklatur CRRT disesuaikan dengan tipe akses vaskuler dan metode bersihan
molekul. Pada mulanya CRRT dimulai dengan kombinasi tipe akses vaskuler arteri-
vena (continuous arterio-venous hemofiltration /CAVH). Pada perkembangan selanjutnya
muncul istilah continuous veno-venous hemofiltration (CVVH), continuous veno-venous
hemodialysis (CVVHD), continuous veno-venous hemodiafiltration (CVVHDF).
Keunggulan CRRT pada anak dengan kondisi kritis bila dibandingkan dengan terapi
sulih ginjal yang lain yaitu CRRT dapat mempertahankan stabilitas hemodinamik, dapat
membuang kelebihan volume dalam jumlah yang besar secara perlahan dalam waktu
yang lebih panjang sehingga terhadap pasien dapat diberikan produk darah dan nutrisi
sesuai kebutuhan pasien. Sayangnya, saat melakukan CRRT sering terjadi komplikasi
pada sirkuit seperti bekuan, dan sulit untuk melakukan prosedur lain serta pemeriksaan
radiologi. Pasien juga sering mengalami hipotermia (meski pada sirkuit sudah ada proses
pemanasan sebelumnya) dan pasien potensial mengalami ketidakseimbangan elektrolit
karena selama proses CRRT diberikan cairan yang mengandung elektrolit.(11)
331
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Intensitas optimal CRRT sampai saat ini masih belum jelas. Penelitian yang
membandingkan CRRT intensitas tinggi (40 ml/kg berat badan/jam) dengan intensitas
rendah (25 ml/kg berat badan/jam) menjelaskan bahwa tidak ada perbedaan mortalitas
dalam 90 hari pertama. Meski demikian, hipofosfatemi lebih sering terjadi pada kelompok
CRRT intensitas tinggi dibandingkan dengan intensitas rendah (65% berbanding 54%,
P<0,001).(6, 24)
Pada sirkuit yang digunakan untuk CRRT terjadi aktivasi kaskade pembekuan
darah akibat darah mengalir melalui kateter pembuluh darah. Aliran darah yang lambat,
turbulensi pada kateter, ukuran kateter yang kecil serta hematokrit yang tinggi dapat
menyebabkan bekuan pada sirkuit. Sebab itu, pada pelaksanaan CRRT antikoagulan
sering digunakan. Antikoagulan yang sering dipakai adalah heparin atau sodium sitrat.
Kedua antikoagulan ini sama efektifnya, meskipun komplikasi perdarahan lebih sering
ditimbulkan oleh heparin. Pada pasien yang tidak menggunakan antikoagulan sering
mengalami koagulopati, disseminated intravascular coagulation (DIC) dan gagal hati.(25)
Pada pemakaian sitrat sebagai antikoagulan sering menyebabkan hipokalsemia pada pasien
akibat sitrat mengikat kalsium darah. Sebab itu pemakaian sitrat sebagai antikoagulan
sering bersamaan dengan kalsium klorida atau kalsium glukonas.(26) Hemofilter CRRT
dapat dipakai lebih lama pada pasien yang menggunakan antikoagulan sitrat dibanding
dengan heparin (72 jam berbanding 18 jam, p < 0,0001)(27, 28)
Infeksi yang sering terjadi pada proses CRRT disebabkan oleh bacteremia pasca
terkait kateter CRRT. Tidak ada perbedaan kejadian infeksi berdasarkan lokasi pemasangan
kateter. Angka kejadian infeksi lebih tinggi bila kateter terpasang lebih dari 4 hari. Kejadian
infeksi ini membuat lama rawat di rumah sakit dan ICU memanjang.(29)
Penutup
Penggunaan CRRT pada pasien dengan sakit kritis semakin meningkat. Terapi dengan
CRRT merupakan suatu terapi dengan tekhnologi kompleks, memerlukan pemantaun
ketat oleh orang yang berkompetensi khusus serta membutuhkan biaya yang besar. Oleh
sebab itu diperlukan indikator kualitas keberhasilan terapi CRRT sehingga terapi ini dapat
dilakukan secara optimal dengan hasil yang baik. Indikator kualitas ini diharapkan dapat
menjadi acuan terbentuknya konsensus tatalaksana AKI dengan menggunakan CRRT
terutama pada pasien anak yang dirawat di ICU.
Daftar pustaka
1. Wald R, Bagshaw SM. The timing of renal replacement therapy initiation in acute kidney
injury: is earlier truly better?. Crit Care Med. 2014;42:1933-4.
2. Hoste EA, Clermont G, Kersten A, Venkataraman R, Angus DC, De Bacquer D, et al. RI-
FLE criteria for acute kidney injury are associated with hospital mortality in critically ill
patients: a cohort analysis. Crit Care. 2006;10:R73.
333
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
21. Sugahara S, Suzuki H. Early start on continuous hemodialysis therapy improves survival
rate in patients with acute renal failure following coronary bypass surgery. Hemodial Int.
2004;8:320-5.
22. Koo JR YJ, Oh JE, Lee YK, Kim SG, Seo JW, et al. Prospective evaluation of early continuos
venovenous hemofiltration (CVVH) on the outcome in patients with severe sepsis or septic
shock. Am J Soc Nehrol. 2006;17:50A.
23. Combes A BN, Amour J, Cozic N, Lebreton G, Guidon C, et al. Early high-volume hemofil-
tration versus standart care for post cardiac surgery shock. The HEROICS study. Am J Respir
Crit Care Med. 2015;192:1179-90.
24. Fayad AI, Buamscha DG, Ciapponi A. Intensity of continuous renal replacement therapy for
acute kidney injury. Cochrane Database Syst Rev. 2016;10:CD010613.
25. Brophy PD, Somers MJ, Baum MA, Symons JM, McAfee N, Fortenberry JD, et al. Multi-cen-
tre evaluation of anticoagulation in patients receiving continuous renal replacement therapy
(CRRT). Nephrol Dial Transplant. 2005;20:1416-21.
26. Bunchman TE, Maxvold NJ, Barnett J, Hutchings A, Benfield MR. Pediatric hemofiltration:
Normocarb dialysate solution with citrate anticoagulation. Pediatr Nephrol. 2002;17:150-4.
27. Rico MP, Fernandez Sarmiento J, Rojas Velasquez AM, Gonzalez Chaparro LS, Gastelbondo
Amaya R, Mulett Hoyos H, et al. Regional citrate anticoagulation for continuous renal re-
placement therapy in children. Pediatr Nephrol. 2017;32:703-11.
28. Raymakers-Janssen P, Lilien M, van Kessel IA, Veldhoen ES, Wosten-van Asperen RM, van
Gestel JPJ. Citrate versus heparin anticoagulation in continuous renal replacement therapy in
small children. Pediatr Nephrol. 2017. doi: 10.1007/s00467-017-3694-4
29. Santiago MJ, Lopez-Herce J, Vierge E, Castillo A, Bustinza A, Bellon JM, et al. Infection in
critically ill pediatric patients on continuous renal replacement therapy. Int J Artif Organs.
2017;40:224-9.
Abstrak
Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan penyebab infeksi yang cukup sering ditemukan pada bayi dan
anak. Diagnosis ISK sering luput dari perhatian para klinisi karena gejalanya tidak spesifik terutama
pada bayi. Kegagalan identifikasi ini dapat menimbulkan terjadinya ISK berulang dan berlanjut
dengan kerusakan ginjal. Infeksi saluran kemih diklasifikasikan menjadi ISK simpleks dan ISK
kompleks berdasakan ada tidaknya factor penyulit. Dikatakan ISK kompleks bila ISK disertai dengan
kelainan anatomis atau fungsionil saluran kemih yang menyebabkan terjadinya stasis urin. Pielonefritis
dikatagorikan sebagai ISK kompleks.
Kelainan saluran kemih yang sering ditemukan antara lain, refluks vesiko-ureter, uropati obstruktif,
batu saluran kemih, neurogenic bladder, dll. Mikroorganisme pathogen yang paling sering diisolasi pada
penderita ISK adalah E. coli, selain itu dapat juga ditemukan spesies Proteus, Klebsiella, Enterococcus,
Pseudomonas, dll. Pada ISK kompleks dapat ditemukan lebih dari satu jenis kuman. Penjalaran kuman
dapat melalui hematogen atau asending dari kolonisasi kuman pada perineum. Adanya kelainan
anatomis maupun fungsional saluran kemih mempermudah mikroorganisme berkembang pada saluran
kemih.
Manifestasi klinis ISK tidak selalu jelas khususnya pada bayi dan anak kecil. Sebagai gold standar
dalam menegakkan diagnosis ISK adalah biakan urin, sedang pemeriksaan urinalisis sebagai skrining.
Pemeriksaan pencitraan seperti USG, VCUG, DMSA dll. sangat diperlukan untuk deteksi kelainan
saluran kemih. Tatalaksana ISK terdiri dari pemberiaan antibiotik fase akut, terapi suportif, tindakan
pembedahan dan antibiotik profilaksis. Pada ISK kompleks diberikan antibiotik parenteral bisanya
golongan sefalosforin generasi ke 3. Terapi suportif berupa pemberian cairan yang cukup adekuat,
sedangkan tindakan pembedahan berkoordinasi dengan bedah urologi. Pemberiaan antibiotik profilaksis
masih kontroversi. Infeksi saluran kemih kompleks sangat sering menimbulkan komplikasi antara lain,
ISK berulang, terjadi parut ginjal yang akan berlanjut dengan gagal ginjal serta hipertensi.
I
nfeksi saluran kemih merupakan penyebab infeksi bakteri cukup sering pada bayi
dan anak. Penegakkan diagnosis infeksi saluran kemih pada anak memiliki tantangan
tersendiri karena gejala klinis yang tidak spesifik, terutama pada bayi dan anak kurang
dari 3 tahun. Anak dengan anomali saluran kemih memiliki tendensi yang lebih tinggi
untuk mengalami infeksi saluran kemih dan 30% anak dengan anomali saluran kemih
memiliki gejala awal berupa infeksi saluran kemih. Identifikasi infeksi saluran kemih
pada anak penting dilakukan untuk mendeteksi adanya kelainan struktural yang dapat
berlanjut menjadi gangguan fungsi ginjal. Kegagalan identifikasi pada kondisi ini dapat
menimbulkan kerusakan lebih lanjut pada saluran kemih bagian atas dan infeksi rekuren.
335
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Infeksi saluran kemih diklasifikasikan berdasarkan adanya faktor penyulit, dibagi
menjadi infeksi saluran kemih simpleks dan infeksi saluran kemih kompleks. ISK simpleks
didapatkan pada pasien dengan fungsi dan morfologi saluran kemih dan fungsi ginjal
dalam batas normal. ISK kompleks didapatkan pada pasien dengan kelainan struktural
atau fungsional saluran kemih atas atau bawah yang dapat disebabkan oleh penyebab
intrinsik maupun ekstrinsik.
Definisi
Infeksi saluran kemih kompleks adalah ISK yang disertai dengan kelainan anatomi dan
atau fungsional saluran kemih yang menyebabkan stasis atau aliran balik (refluks) urin.
Kelainan saluran kemih dapat berupa batu saluran kemih, uropati obstruksi, anomali
saluran kemih, kista ginjal, buli-buli neurogenic, benda asing, dan sebagainya. Pielonefritis
diklasifikasikan sebagai ISK kompleks
Guideline United State 2015 mendefinisikan ISK kompleks sebagai suatu sindrom
klinis yang dikarakteristikan dengan pyuria dan ditemukannya mikroba pathogen
dalam kultur urine, disertai oleh adanya tanda dan gejala lokal dan sistemik, terdiri dari
demam (temperatur oral atau tympani > 38oC), menggigil, malaise, nyeri area flank, nyeri
punggung, dan/atau nyeri/tidak nyaman area costo-vertebral angle, yang terjadi karena
abnormalitas struktur atau fungsional pada saluran kemih yang disebabkan oleh faktor
intrinsik atau ekstrinsik.
Epidemiologi
Infeksi saluran kemih merupakan infeksi bakteri terbanyak pada anak. Bayi dibawah
usia 1 tahun ditemukan insiden lebih banyak pada anak lelaki (3,7%) dibandingkan
perempuan (2%). Sementara insiden pada anak prepubertal lebih banyak ditemukan pada
anak perempuan (3%) dibandingkan lelaki (1%).
Kelainan anatomi yang sering ditemukan pada ISK kompleks adalah ureteropelvic
junction obstruction dengan angka insiden lebih tinggi pada anak lelaki dibandingkan anak
perempuan (2:1). Penyebab lainnya dapat berupa ureterokel dan ureter ektopik yang lebih
sering ditemukan pada anak perempuan dibandingkan lelaki, posterior urethral valve yang
terjadi pada 1 dari 8000 anak lelaki dan refluks vesikoureter yang terjadi pada 1% anak.
337
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Etiologi
Terdapat beberapa factor yang mendasari terjadinya ISK kompleks, baik dari faktor
intrinsik berupa kelainan anatomi dan fungsional dari sistem saluran kemih, yang dapat
berupa penyakit ginjal intrinsik (kista ginjal, batu ginjal), adanya uropathy obstruktif
(nephrolithiasis, fibrosis, striktur uretra, obstruksi pada pelviureteric junction, posterior
urethral valve, bladder neck obstruction, tumor saluran kemih, benda asing, indwelling
catheter), neurogenic bladder, dan dari faktor ekstrinsik berupa anak dengan status
immunocompromised dan adanya penyakit komorbid.
Infeksi saluran kemih simpleks pada umumnya disebabkan oleh satu bakteri patogen,
sementara pada ISK kompleks dapat disebabkan oleh infeksi ganda yang dapat terdiri dari
dua atau lebih bakteri patogen. Penyebab ISK kompleks biasanya lebih bervariasi dan sulit
untuk diprediksi. Escherichia coli masih menjadi bakteri patogen yang pada umumnya
ditemukan pada ISK kompleks. Organisme lainnya dapat berupa spesies Proteus, spesies
Klebsiella, Enterococci, Pseudomonas aeruginosa, dan bahkan jamur.
Patogenesis
Patogenesis ISK kompleks pada umumnya sama dengan ISK. Namun, pada ISK
kompleks terdapat faktor risiko berupa kelainan anatomi dan fungsional saluran kemih.
Infeksi saluran kemih dapat timbul karena adanya kolonisasi bakteri secara asenden
ataupun penyebaran secara hematogen yang terjadi pada kondisi septicemia. Bakteri yang
berkolonisasi di perineum pada anak perempuan atau di preputium pada anak lelaki,
masuk ke saluran kemih mulai dari uretra secara asenden. Bakteri bermultiplikasi di dalam
urin di saluran kemih dan menjadi koloni yang dapat menimbulkan infeksi saluran kemih.
Saluran kemih memiliki mekanisme pertahanan yang dapat mencegah timbulnya
infeksi saluran kemih, yaitu terdiri dari mekanisme fungsional, anatomis dan imunologis.
Ginjal memiliki mekanisme anti refluks yang dapat mencegah urin mengalir secara
retrograde. Kandung kemih memiliki proses pengosongan kandung kemih yang
regular, dengan drainase urin yang baik. Bakteri juga akan dihancurkan oleh leukosit
polimorfonuklear dan komplemen. Dengan adanya mekanisme pertahanan ini seorang
anak tidak mudah menderita ISK, namun pada anak dengan kelainan pada anatomi
dan fungsional saluran kemih juga dengan status imunocompromised lebih berisiko untuk
terjadinya ISK kompleks.
Manifestasi klinis
Manifestasi klinis infeksi saluran kemih pada umumnya bergantung pada usia anak.
Infeksi saluran kemih pada neonatus pada umumnya merupakan bagian dari sepsis
dengan manifestasi klinis berupa demam, letargis, mual/muntah, ikterik dan kejang.
Infeksi saluran kemih pada anak usia kurang dari 2 tahun ditemukan gejala demam tanpa
fokus infeksi yang jelas, dapat disertai gejala penyerta berupa mual/muntah, diare, nyeri
Tabel 1. Sensitifitas dan spesifisitas dari komponen urinalisis, tunggal maupun kombinasi
Uji urinalisis Sensitifitas (rent- Spesifisitas (rentang),
ang), % %
Tes leukosit esterases 83 (67-94) 78 (64-92)
Tes nitrit 53 (15-82) 98 (90-100)
Tes leukosit esterase atau tes nitrit positif 93 (90-100) 72 (58-91)
Mikroskopis leukosit (White Blood Cell) 73 (32-100) 81 (45-98)
Tes leukosit esterase, tes nitrit, atau miskropkopis leukosit 99,8 (99-100) 70 (60-92)
Pemeriksaan radiologi pada ISK bertujuan untuk mencari adanya kelainan struktural
dari sistem saluran kemih. Pemeriksaan USG ginjal dan saluran kemih urgent diperlukan
bila terdapat kecurigaan ISK kompleks yaitu ISK pada neonatus dan anak dengan kandung
kemih yang dilatasi dan ballotable kidney. Pemeriksaan USG direkomendasikan untuk
semua anak yang mengalami ISK pertama kalinya. Pemeriksaan radiologi lainnya yaitu
(Micturating Cystourethrogram) MCUG dan DMSA scan. Micturating Cystourethrogram
339
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
adalah pemeriksaan untuk mengevaluasi abnormalitas pada kandung kemih dan
uretra, pemeriksaan ini juga dapat mendeteksi adanya vesicouretral refluks. Micturating
Cystourethrogram sebaiknya dilakukan setelah 6 minggu ISK teratasi, kecuali dalam kondisi
obstruksi pengeluaran kandung kemih, pemeriksaan ini dapat dilakukan secepatnya.
Pemeriksaan ini diindikasikan pada anak kurang dari 1 tahun pada ISK pertama, dan
pada anak kurang dari 5 tahun pada ISK kedua dengan gejala klinis pielonefritis akut
atau dimana pemeriksaan DMSA scan tidak tersedia. Dimercaptosuccinic acid (DMSA)
scan dikerjakan untuk mendeteksi adanya scarring pada ginjal. DMSA scan diindikasikan
pada anak usia kurang dari 1 tahun untuk ISK pertama, dan pada anak kurang dari 5
tahun dengan ISK kedua atau gejala klinis pielonefritis akut, abnormalitas USG ginjal
dan saluran kemih.
Tata laksana
Infeksi saluran kemih kompleks memerlukan tata laksana yang lebih komprehensif
dibandingkan ISK simpleks. Deteksi awal adanya kelainan anatomi dan fungsional ginjal
dan saluran kemih merupakan hal yang sangat penting dalam tatalaksana ISK kompleks.
Pada umumnya tatalaksana ISK kompleks terdiri dari tata laksana fase akut yang terdiri
dari pemberian antibiotika dan terapi suportif, tata laksana pembedahan, dan pemberian
antibiotik profilaksis bila diperlukan.
341
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
•• Tatalaksana suportif
Tatalaksana suportif pada ISK kompleks meliputi pemberian cairan yang adekuat dan
tatalaksana demam dan mual/muntah. Bila muntah persisten dapat diberikan obat
domperidone.
•• Tata laksana pembedahan
Tindakan pembedahan dilakukan bila terdapat indikasi berupa kasus uropati
obstruktif, yang dalam hal ini harus bekerjasama dengan ahli bedah urologi. Tindakan
bedah dapat berupa drainase perkutaneus bila didapatkan uropati obstruktif. Abses
renal atau perirenal pada anak juga memerlukan intervensi pembedahan.
•• Antibiotika profilaksis
Pemberian antibiotika profilaksis pada ISK kompleks masih merupakan suatu
kontroversi. Beberapa penelitian mendapatkan adanya penurunan risiko ISK berulang
dengan pemberian antibiotic profilaksis, namun penelitian lain gagal menunjukkan
penurunan kejadian ISK berulang dengan pemberian antibiotic profilaksis bahkan
terjadinya resistensi antibiotika masih menjadi permasalahan.
Pemberian antibitik profilaksis dianjurkan pada: anak bibawah 1 tahun sambil
menunggu pemeriksaan pencitraan, ISK dengan RVU dan anak yang menderita
ISK yang disertai sering mengalami demam (3 atau lebih dalam setahun). Antibiotik
profilakis diberikan dengan dosis 2/3 dosis terapi satu kali sehari dan diberikan pada
malam hari. Antibiotik profilaksis tidak dianjurkan pada ISK yang disertai dengan
obstruksi saluran kemih seperti pada katup uretra posterior, urolitiasis atau neurogenic
bladder.
Komplikasi
Kondisi ISK kompleks memiliki risiko yang tinggi terjadinya komplikasi, baik komplikasi
jangka pendek maupun jangka panjang. Komplikasi jangka pendek dapat berupa gagal
ginjal akut, sepsis dan meningitis. Komplikasi jangka panjang dapat menyebabkan
terjadinya parut ginjal, yang selanjutnya dapat menimbulkan insufisiensi ginjal, hipertensi,
dan kondisi penyakit ginjal kronis. Infeksi saluran kemih sering berulang. Kejadian ISK
berulang 30-50 % dan lebih sering pada bayi. sebagian besar terjadi dalam 3 bulan episode
pertama. Faktor predisposisi ISK berulang anatara lain: pada anak perempuan, anak
dibawah 6 bulan, adanya RVU, kebiasaan miksi yang kurag baik, konstipasi dan seringnya
melakukan kateter pada neurogenic bladder.
Daftar pustaka
1. Bagga A, Sinha A, Gulati A. Protocols in Pediatric Nephrology. Edisi pertama. New Dehli: CBS
Publishers & Distributors Pvt Ltd. 2012.
2. Borton C. Urinary tract obstruction. 2016. (Diakses tanggal 26 Mei 2017). Available from:
URL: https://patient.info/doctor/urinary-tract-obstruction.
3. Habib S. Highlights for management of a child with a urinary tract infection. International
Journal of Pediatrics. 2012: 6.
343
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Application of Ketogenic Diet in Intractable
Seizure
Lanny C Gultom
RSUP Fatmawati, Jakarta
Abstract
Ketogenic diet is a specific diet contains of high fat, very low carbohydrates, and enough protein for child
to grow well, which is one of the treatments in childhood intractable seizures. Many researches have shown
the proven benefit of ketogenic diet in children with epilepsy, such as complete seizure control (15.6%)
and greater than 50% reduction in seizures (33%). Its implementation needs a multidisciplinary team
consisting of a pediatrician, trained dietisian in the use of ketogenic diet, and specialist nurse. It can
be applied in daily clinical practice by using the principal of pediatric nutrition care which includes
assessment, calculation of calories, decision of food’s type, determination of food’s access, and monitoring
and evaluation steps.
K
ejang intraktabel atau epilepsi resisten obat adalah kegagalan penggunaan dua
obat anti kejang yang dipilih dan digunakan dengan tepat serta ditolerir dengan
adekuat, baik sebagai monoterapi atau dalam kombinasi, untuk mencapai kondisi
bebas kejang yang berkelanjutan.1 Sekitar 1 dari 10 anak dengan kejang akan mengalami
kejang intraktabel yang mengakibatkan anak mengalami morbiditas yang bermakna,
kualitas hidup yang menurun, dan seringkali memerlukan konsultasi dengan ahli saraf
anak.2 Diet ketogenik adalah diet dengan kandungan lemak sangat tinggi, karbohidrat
sangat rendah, dan protein yang cukup untuk anak dapat bertumbuh. Berbagai penelitian
klinis terandomisasi menunjukkan hasil yang menjanjikan dalam penggunaan diet
ketogenik pada epilepsi.3 Berbagai penelitian menunjukkan diet ketogenik terbukti
bermanfaat pada anak dengan epilepsi intraktabel, yaitu 15,6% pasien mengalami bebas
kejang dan 33% pasien mengalami penurunan frekuensi kejang lebih dari 50%.4-8
345
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Jenis diet ketogenik yang dapat digunakan pada kejang
intraktabel
Sampai saat ini terdapat 4 jenis diet ketogenik, yaitu diet ketogenik klasik, diet medium
chain triglyceride (MCT), diet ketogenik yang dimodifikasi (modified ketogenic diet), dan
diet low glycaemic index treatment (LGIT). Semua jenis diet tersebut tinggi lemak dengan
karbohidrat yang terbatas.9,11,16
•• Diet ketogenik klasik
Diet ketogenik klasik berdasarkan pada rasio gram lemak (long chain triglycerides)
terhadap gram karbohidrat dan protein [lemak : (karbohidrat + protein)]. Rasio diet
ketogenik 4:1 setara dengan 90% kalori dari lemak dengan sisanya (10%) berasal dari
protein dan karbohidrat.
•• Diet medium chain triglycerides (MCT)
Modifikasi diet ini diperkenalkan pada tahun 1970 menggunakan MCT sebagai
sumber lemak alternatif. Medium chain triglycerides memberikan lebih banyak keton
per kalori energi dibandingkan LCT, diabsorbsi lebih efisien, dan dibawa langsung
ke hati. Potensi ketogenik yang lebih tinggi ini menyebabkan lemak total yang
dibutuhkan di dalam diet menjadi lebih rendah sehingga lebih banyak karbohidrat
dan protein yang dikonsumsi. Diet MCT tradisional mengandung sekitar 75% kalori
dari lemak, yaitu 45-55% kalori dari MCT dan 21-25% kalori dari LCT. Minyak
MCT atau Liquigen, suatu emulsi MCT 55% dalam air, dapat digunakan sebagai
sumber MCT.
•• Diet ketogenik modifikasi (modified ketogenic diet) atau diet Atkins modifikasi
(modified Atkins diet)
Diet ini memperbolehkan asupan protein yang bebas, karbohidrat yang sangat
rendah, dan lemak yang bebas (sekitar 75% kalori harian). Diet ini sering digunakan
pada anak yang lebih besar dan remaja yang tidak menyukai diet ketogenik klasik atau
diet MCT.
•• Diet low glycaemic index treatment (LGIT)
Diet ini diciptakan untuk membatasi peningkatan kadar glukosa darah post-
prandial dengan membatasi jumlah karbohidrat hingga 10% kalori total dan hanya
menggunakan karbohidrat dengan indeks glikemik rendah (GI) <50. Sebanyak 60%
kalori berasal dari lemak dan 30% dari protein.
a. Assessment (penilaian)
Hal yang penting sebelum mempertimbangkan tata laksana diet ketogenik adalah
memastikan bahwa diagnosis epilepsi sudah ditegakkan dan berbagai tata laksana yang
sesuai sudah dilakukan, namun belum ada perbaikan gejala. Pemeriksaan medis dan
pemeriksaan penunjang diperlukan sebelum memulai diet ketogenik terutama untuk
menyingkirkan kondisi yang menjadi kontraindikasi penggunaan diet ketogenik
(Tabel 1.). Catatan makanan selama 3–4 hari penting untuk menilai kesesuaian tata
laksana diet ketogenik dan memberikan petunjuk pilihan makanan dan pola makan
anak. Hal ini digunakan dalam menentukan diet yang paling sesuai untuk anak dan
membuat rencana makanan. Berbagai faktor yang dipertimbangkan dalam penilaian
diet sebelum memulai diet ketogenik tertera dalam Tabel 2.9,16
Tabel 2. Faktor yang dipertimbangkan dalam penilaian diet sebelum memulai diet ketogenik9,16
• Catatan makanan selama 3 – 4 hari untuk menilai asupan diet, pola makan, dan status nutrisi
• Pilihan dan pembatasan makanan
• Masalah perilaku terkait makan
• Alergi atau intoleransi makanan
• Kesulitan menelan
• Kemampuan perkembangan makan, tekstur makanan, cairan kental
• Asupan cairan dan jenis cairan
• Pemeriksaan antropometri dan tren pertumbuhan, seperti BB, TB, lingkar kepala (< 2 tahun),
dan mem-plot pada kurva pertumbuhan untuk mengetahuitren pertumbuhan
• Tingkat mobilitas dan aktivitas anak. Anak yang tidak dapat bergerak aktif (immobilitas) mun-
gkin memerlukan kalori yang lebih rendah dibandingkan anak yang bergerak aktif
• Suplementasi vitamin dan mineral
• Frekuensi BAB
• Makanan, obat, atau nutrisi yang digunakan untuk mengatasi konstipasi
• Orang-orang yang terlibat dalam perawatan anak, seperti anggota keluarga, pengasuh, perawat,
sekolah, dan ahli kesehatan (tim multidisipliner local, perawat sekolah, terapis wicara dan bahasa)
• Tipe dan frekuensi kejang yang mungkin mempengaruhi kebutuhan energi
• Formulasi dan kandungan karbohidrat di dalam obat, serta efek samping obat
• Pemeriksaan darah dan urinalisis lengkap , seperti darah perifer lengkap, profil lipid darah, kadar
gula darah, fungsi hati (SGOT/SGPT), asam organik urin, carnitine dan acylcarnitine darah
b. Penentuan kebutuhan
Kebutuhan kalori ditentukan berdasarkan berat badan ideal dikalikan requirement
347
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
daily allowances (RDA) menurut usia tinggi (height age). Berat badan ideal adalah berat
badan menurut tinggi badan pada P50 atau z-score 0 berdasarkan grafik pertumbuhan
yang digunakan, sedangkan usia tinggi adalah usia bila tinggi badan anak merupakan
P50 atau z-score 0 berdasarkan grafik pertumbuhan yang digunakan. Anak berusia 0
– 5 tahun menggunakan grafik pertumbuhan WHO 2006, sedangkan anak berusia
>5 – 18 tahun menggunakan grafik pertumbuhan CDC 2000.18
Tabel 3. Keuntungan, kerugian, dan kemudahan penerapan dari masing-masing diet ketogenik
Jenis diet Keuntungan Kerugian Kemudahan penggu-
naan
• Menggunakan makanan biasa • Makanan sedikit karena • Mudah digunakan
• Lebih banyak digunakan kandungan lemak yang tinggi
Klasik
• Dapat digunakan dengan pipa • Karbohidrat dan protein
nasogastrik (Ketocal) sangat terbatas
• Lemak total lebih sedikit den- • Kemungkinan efek samping • Sulit untuk digu-
gan protein dan karbohidrat gastrointestinal atau efek nakan karena memer-
yang lebih banyak sehingga laksatif lukan minyak MCT
lebih tampak seperti makanan • MCT diperlukan di setiap • Perhitungan sulit
MCT biasa makan/selingan karena menggunakan
• Mungkin sesuai pada pasien satuan penukar ter-
dengan pilihan makanan yang tentu (choice) untuk
terbatas, asupan karbohidrat protein, karbohidrat,
lebih tinggi atau sangat selektif dan lemak
• Protein dan kalori bebas • Asupan lemak total 75% • Sulit untuk digu-
• Tidak menimbang makanan kalori nakan karena tidak
atau menggunakan alat ukur • Karbohidrat sangat terbatas terdapat pengukuran
rumah tangga (10 – 20 g/hari) yang tepat
• Membantu keluarga atau rema- • Menyulitkan tata laksana diet
MKD
ja untuk lebih patuh dengan karena kalori tidak terkontrol
diet ketogenik • Membutuhkan lebih banyak
asupan dari orangtua/pen-
gasuh dalam perencanaan
makan
• Makanan tidak ditimbang, • Karbohidrat terbatas (10% • Sulit untuk digu-
menggunakan sistem penukar kalori total) nakan karena tidak
LGIT
• Lebih sedikit digunakan • Asupan lemak total 60% terdapat pengukuran
kalori yang tepat
Tabel 4. Proporsi lemak pada rasio diet ketogenik klasik yang berbeda
Rasio Persentase kalori dari lemak
(sisa kalori dari protein dan karbohidrat)
4:1 90
3,5 : 1 89
3:1 87
2,5 : 1 85
2:1 82
1,5 : 1 77
1:1 69
Pada saat anak dalam kondisi sakit, seperti batuk/nyeri tenggorokan dan tidak mau
menghabiskan makanan dapat diberikan formula medis khusus untuk diet ketogenik,
yaitu Ketocal 3:1 atau Ketocal 4:1. Hal yang harus diperhatikan adalah jarang sekali
memulai diet ketogenik dengan konsentrasi 4:1, karena diet tersebut harus dilaksanakan
di rumah sakit dengan hati-hati. Berbagai senter di Inggris menganjurkan rasio 2:1
jika diet ketogenik dilakukan di rumah dan ditingkatkan menjadi 3:1 atau 4:1 selama
beberapa hari atau minggu tergantung toleransi anak dan pengendalian kejang pada tiap
tahap. Rasio diet dapat ditingkatkan lebih bertahap pada pasien yang mengalami masalah
toleransi terhadap jumlah lemak yang digunakan, misal rasio 2:1 menjadi 2,5:1 menjadi
3:1, dan sebagainya. Jika kejang dapat terkontrol dengan baik pada rasio yang rendah,
maka tidak perlu meningkatkan rasio menjadi 4:1. Semua obat yang dikonsumsi harus
mengandung rendah karbohidrat karena ekstra karbohidrat dapat mempengaruhi ketosis
dan menyebabkan kejang menjadi lebih sulit untuk dikontrol, sehingga kandungan
karbohidrat di dalam seluruh obat yang digunakan harus dihitung dan dipertimbangkan
jika digunakan.19 Cara perhitungan diet ketogenik dan contoh menu dijelaskan dalam
Tabel 5 – 7.
Selama tata laksana diet ketogenik, anak dianjurkan untuk mengkonsumsi cairan
sesuai dengan kebutuhannya. Diet ketogenik memerlukan suplementasi vitamin dan
mineral, namun suplementasi tersebut harus dalam bentuk bebas karbohidrat. Dosis
suplementasi disesuaikan untuk setiap individu agar dapat memenuhi kebutuhannya.
Selain itu, asupan seluruh vitamin dan mineral harus dipantau ketat untuk memastikan
kecukupan nutrisi.17
349
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Tabel 5. Cara perhitungan diet ketogenik klasik dengan menggunakan makanan biasa
Kasus:
An. MJ, laki-laki, berusia 2 tahun, BB 14 kg dan TB 86 cm, datang dirujuk dari konsultan neurologi anak
dengan kejang intraktabel untuk memulai diet ketogenik. Pasien sudah mendapat terapi Depakene® 2 x
5 mL dan Tegretol® puyer 3 x 125 mg. Pasien mempunyai BB yang baik, perawakan baik, dan status gizi
overweight. Kebutuhan kalori = 11,9 x 100 = 1190 kal.
Tahap 3. Perhitungan:
Rasio 4:1 = 90% kalori dari lemak 90/100 x 1190 = 1071 kal
1071 kal/9 kal per g lemak = 119 g lemak
Kalori untuk protein dan karbohidrat 1190 – 1071 = 119 kalori untuk karbohidrat dan protein
119 kal/4 kal per g karbohidrat atau protein
= 29,75 g karbohidrat dan protein
Protein 1g/kg = 14 g
Karbohidrat = 29,75 – 14 = 15,75 g
Peresepan makanan
Lemak = 119 g/hari
Protein = 14 g/hari
Karbohidrat = 15,75 -10,125 = 5,625 g/hari = 5,6 g/hari
Komposisi makanan/hari
Makan pagi (30% total kalori) yang terdiri dari lemak 35,7 g; protein 4,3 g; karbohidrat 1,68 g
Makan siang (35% total kalori) yang terdiri dari lemak 41,65 g: protein 4,9; karbohidrat 1,96
Makan malam (35% total kalori) yang terdiri dari lemak 41,65 g: protein 4,9; karbohidrat 1,96
Makan Siang: 41,65 g lemak 28 g daging ayam dengan kulit yang direbus
Daging ayam rebus dengan 4,9 g protein 15 g wortel bayi rebus
sayur 1,96 g karbohidrat 1 sendok makan mentega (14 g) dicairkan
2 sendok makan olive oil (28 g) untuk topping
351
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Tabel 7. Cara perhitungan diet ketogenik klasik dengan menggunakan formula Ketocal
Kasus:
An. MJ, laki-laki, berusia 2 tahun, BB 14 kg dan TB 86 cm, datang dirujuk dari konsultan neurologi anak
dengan kejang intraktabel untuk memulai diet ketogenik. Pasien sudah mendapat terapi Depakene® 2 x
5 mL dan Tegretol® puyer 3 x 125 mg. Pasien mempunyai BB yang baik, perawakan baik, dan status gizi
yang baik. Kebutuhan kalori = 11,9 x 100 = 1190 kal. Diet pasien saat ini adalah Nasi biasa 3x/hari dan
susu formula Bebelac 3® rasa madu 3 x 200 mL.
Perhitungan:
• Kebutuhan cairan/hari = (10 x 100) + (4 x 50) = 1000 + 200 = 1200 mL/hari
• Mulai dengan rasio 2:1 yang dinaikkan bertahap menjadi 3:1 dan 4:1 sesuai dengan toleransi serta
tergantung pada ketosis dan kontrol kejang. Menurunkan rasio dilakukan dengan menambahkan susu
formula biasa
353
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Tabel 8. Skrining laboratorium pada diet ketogenik
Pemeriksaan Awal 3 bulan 6 bulan dan 6 bulan
setelahnya
Darah
Asam amino plasma
Darah perifer lengkap
Profil ginjal yang meliputi
Natrium
Kalium
Urea
Kreatinin
Bikarbonat
Albumin
Tes fungsi hati
Kalsium dan Fosfat
Magnesium
Glukosa
Profil lipid*
Kolesterol total
Trigliserida
Vitamin
A, E
D (25-OH Vit D plasma)
Vitamin B12
Folat
Tembaga
Vitamin C
Feritin
Trace elements
Zink
Selenium
Keton dan asam lemak bebas darah (β-hidroksibutirat dan
asam lemak tidak teresterifikasi)
Laktat plasma
Profil karnitin dan acylcarnitine (dengan menggunakan kertas
saring Guthrie)
Urin
Pemeriksaan hematuria/bulan (menggunakan dipstik)
Asam organik urin
Kalsium:kreatinin
Urat urin
*Jika sampel diambil tidak dalam keadaan puasa dan hasilnya meningkat, pemeriksaan diulang dalam
keadaan puasa
Penutup
•• Diet ketogenik adalah salah satu tata laksana yang dapat diaplikasikan pada kejang
intraktabel dengan mengunakan konsep asuhan nutrisi pediatrik baik dalam bentuk
makanan biasa atau formula siap minum (Ketocal®).
•• Penggunaan diet ketogenik dalam bentuk makanan biasa mempunyai kelemahan yaitu
kesulitan dalam perhitungan diet dan ukuran makanan yang sedikit karena kandungan
lemak yang tinggi. Dilain pihak, penggunaan diet ketogenik dalam bentuk formula
siap minum (Ketocal®) sangat mudah untuk digunakan namun memiliki kandungan
protein yang tinggi yang berisiko membebani ginjal dan mencetuskan obesitas. Selain
itu, formula siap minum (Ketocal®) 4:1 mempunyai rasio lemak dengan karbohidrat
dan protein sebesar 88,7% dan rasio tersebut tidak sesuai dengan yang seharusnya,
yaitu 90%.
•• Diet ketogenik sebaiknya dilakukan pada pasien rawat inap, namun diet tersebut
juga dapat dilakukan pada pasien rawat jalan. Pada pasien rawat jalan, diet ketogenik
dimulai dengan rasio 2:1 dan dinaikkan bertahap menjadi 3:1 dan 4:1 sambil
memantau kadar keton darah/urin dan frekuensi kejang. Rasio diet ketogenik yang
lebih rendah dapat dipertahankan jika kejang sudah terkontrol dan kadar keton
darah/urin sesuai dengan target yang diharapkan.
•• Untuk mengetahui efektivitas diet ketogenik dalam mengontrol kejang, diet ketogenik
diberikan selama 3 bulan dan selanjutnya dinilai kembali untuk memutuskan apakah
diet dilanjutkan/dihentikan. Jika frekuensi kejang menurun dalam waktu 3 bulan
penggunaan diet ketogenik, maka:
355
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
–– Obat anti-epilepsi dapat diturunkan selama 3 – 6 bulan.
–– Diet ketogenik dapat dilanjutkan selama 2 tahun dan kemudian diturunkan
secara bertahap dengan cara menurunkan rasio diet ketogenik selama 2 – 3 bulan.
•• Pemantauan berkala dilakukan untuk evaluasi pertumbuhan dan efek samping
penggunaan diet ketogenik.
•• Selama penggunaan diet ketogenik diusahakan untuk menggunakan obat anti-epilepsi
serta suplementasi vitamin dan mineral yang bebas karbohidrat. Penggunaan bentuk
sirup sedapat mungkin dihindari karena sediaan tersebut umumnya mengandung
karbohidrat yang tinggi.
Daftar pustaka
1. Kwan P, Arzimanoglou A, Berg AT, Brodie MJ, Hauser WA, Mathern G, dkk. Definition of
drug resistant epilepsy: Consensus proposal by the ad hoc Task Force of the ILAE Commis-
sion on therapeutic strategies. Epilepsia. 2010;51(6):1069-77.
2. Kossof EH. Intractable childhood epilepsy: choosing between the treatments. Semin Pediatr
Neurol. 2011;18:145-9.
3. Martin K, Jackson CF, Levy RG, Cooper PN. Ketogenic diet and other dietary treatments
for epilepsy (Review). Cochrane Database of Systematic Reviews 2016, Issue 2. Art. No.:
CD001903. DOI: 10.1002/14651858.CD001903.pub3.
4. Henderson CB, Filloux FM, Alder SC, Lyon JL, Caplin DA. Efficay of the ketogenic diet as
a treatment option for epilepsy: meta-analysis. J Child Neurol. 2006;21(3):193-8.
5. Keene DL. A systematic review of the use of the ketogenic diet in childhood epilepsy. Pediatr
Neurol. 2006;35(1):1-5.
6. Neal EG, Chaffe H, Schwartz RH, Lawson MS, Edwards N, Fitzsimmons G, dkk. The ke-
togenic diet for the treatment of childhood epilepsy: a randomized controlled trial. Lancet
Neurol. 2008;&:500-6.
7. Lambrechts DA, de Kinderen RJ, Vles JS, de Louw AJ, Aldenkamp AP, Majoie HJ. A ran-
domized controlled trial of the ketogenic diet in refractory childhood epilepsy. Acta Neurol
Scand. 2017;135(2):231-9.
8. Nam SH, Lee BL, Lee CG, Yu HJ, Joo EY, Lee J, dkk. The role of ketogenic diet in the treat-
ment of refractory status epilepticus. 2011;52(11):e181-4.
9. Fitzsimmons G, Sewell M. Ketogenic diets. Dalam: Shaw V, penyunting. Clinical Paediatric
Dietetics. Edisi ke-4. Wiley Blackwell, United Kingdom; 2015.p.354-80.
10. de Lima PA, de Brito Sampaio LP, Damasceno NRT. Neurobiochemical mechanisms of a
ketogenic diet in refractory epilepsy. Clinics. 2014;69(10):699-705.
11. Gano LB, Patel M, Rho JM. Ketogenic diets, mitochondria, and neurological disease. J.
Lipid Res. 2014;55:2211-28.
12. McNally MA, Hartman AL. Ketone bodies in epilepsy. J. Neurochem. 2012;121:28-35.
13. Nylen K, Likhodii S, Burnham WM. The ketogenic diet: proposed mechanisms of action.
Neurotherapeutics. 2009;6:402-5.
14. Bergqvist AGC. Indications and contraindications of the ketogenic diet. Dalam: Stafstrom
CE, Rho JM, editor. Dalam: Epilepsy and the ketogenic diet. Humana Press Inc. Totowa,
New Jersey. 2004.p.111-21.
357
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Physiology of Oromotor in Breastfeeding
Process and Speech Development in Infants
Luh Karunia Wahyuni
Departemen Rehabilitasi Medik
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta
K
egiatan menghisap ASI dan memproduksi bicara membutuhkan keterampilan gerakan
yang berbeda. Namun demikian seluruh aktifitas ini memiliki persamaan mendasar
yakni mempergunakan alat gerak oral (oromotor).1 Kemampuan untuk melakukannya
dicapai secara bertahap dimulai dari gerakan dasar (reflek), yang selanjutnya melalui proses
belajar pengalaman sensoris serta melalui percobaan melakukan gerakan oromotor dengan pola
gerak yang benar, akan tercapai gerakan oromotor secara otomatis dan terampil.1-5
Proses menyusu pada ibu bukanlah sekedar untuk pemenuhan gizi semata. Pada ak-
tifitas tersebut terkandung proses belajar mempraktekkan keterampilan oromotor, keter-
ampilan motorik kasar (stabilitas, kesegarisan dan kesimetrisan kepala dan batang tubuh) dan
motorik halus serta keterampilan berkomunikasi.4-6 Mekanisme oromotor utama adalah kes-
inambungan sinkronisasi ritmis fungsi menghisap-menelan-bernapas. Sinkronisasi yang
utuh ini menjadi elemen kritis terhadap perkembangan sensorimotor dan perkembangan
kognisi termasuk perkembangan bicara bahasa, kemampuan mengatur regulasi, mengontrol
postur, makan, serta perkembangan ego.5,7
Salah satu pertanyaan populer pada bidang ilmu komunikasi adalah apakah terdapat
hubungan antara kontrol motorik yang digunakan ketika makan dan ketika memproduksi
bicara. Banyak peneliti dan akademisi yang tidak setuju tentang hubungan antara kedua
hal tersebut, dan beranggapan bahwa keduanya memiliki sistem kontrol yang terpisah
dan bertanggung jawab terhadap perkembangan keterampilan yang terpisah. Teori ini
didukung oleh model teoritis dan laboratoris kontrol neuromotor. Peneliti lainnya dan
sebagian besar klinisi mendukung anggapan bahwa kedua sistem ini saling berhubungan
untuk menjalankan suatu sistem. Hal ini didukung oleh observasi klinis perkembangan
normal dan abnormal. Sampai saat ini, belum terdapat data penyokong yang mendukung
kedua pandangan tersebut. Pada makalah ini akan dibahas fisiologi oromotor pada proses
menghisap, menyusu pada ibu dan kaitannya dengan perkembangan bicara.
Gambar 1. Anatomi kepala dan leher pada bayi dan orang dewasa6
Rongga mulut yang kecil memberi kesan seolah lidah tampak besar memenuhi
seluruh rongga mulut. Lidah bersentuhan secara simultan dengan dasar mulut, palatum,
gusi serta bagian dalam pipi sehingga tidak banyak ruang untuk melakukan gerakan ke
atas-bawah. Hal ini menjadi alasan, pada gerakan menghisap lidah bergerak ke depan dan
belakang. Disamping itu, kekayaan sentuhan sensoris taktil pada setiap inci permukaan
lidah dengan rongga mulut akan memungkinkan lidah mempelajari totalitas batasannya
sendiri. Sensasi internal garis tengah rongga oral diperoleh dengan menyadari batas
tepinya. Kesadaran garis tengah di dalam mulut membantu neonatus menemukan pusat
(home base) yaitu suatu tempat terletaknya lidah. Saat neonatus menyempurnakan garis
tengah oral horizontal, vertikal dan diagonal, maka neonatus akan memiliki sensasi yang
lebih jelas pada pusat mulut.5,6,9
359
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Neonatus mengembangkan kekuatan dan gradasi secara progresif dari 1/3 lidah
bagian posterior ke bagian anterior. Ukuran dan bentuk puting serta penempatannya yang
benar di dalam rongga oral saat proses menghisap berperan penting dalam perkembangan
tersebut. Payudara adalah bentuk yang ideal untuk tujuan tersebut karena cukup fleksibel
terhadap perubahan bentuk anatomis dan perkembangan keterampilan oromotor. 7
361
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Gambar 3. Fase Menelan 9
Menelan dibagi menjadi 3 fase yaitu fase oral, fase faringeal, dan fase esofageal (Fisher,
Painter and Milmore, 1981). Fase oral meliputi pengolahan makanan sebagai persiapan
untuk masuk ke faring. Bagian integral proses tersebut termasuk pembentukan tekanan
negatif (vakum) di dalam rongga oral untuk menggerakkan bolus ke bagian belakang
mulut untuk ditelan. Fase oral terdiri dari proses menghisap dan menggerakkan makanan
ke bagian belakang rongga oral dalam suatu gerakan yang berkelanjutan sementara menjaga
cairan tertahan sebagai bolus untuk mencegah kebocoran ke dalam faring sebelum proses
menelan dimulai. Fase ini sangat tergantung pada koordinasi motorik yang kompleks dari
muskulatur motorik oral.7
Fase faringeal dipercaya teraktivasi oleh reseptor sensoris di belakang tenggorokan
(pada pallatum molle, faring, bagian belakang lidah, dan lain sebagainya) saat ada sentuhan
dari cairan atau makanan. Sentuhan dan tekanan itulah yang kemudian menginisiasi
aksi reflek — yaitu proses menelan, yang merupakan suatu rangkaian aktifitas motorik
yang menggerakkan makanan (sementara menutup kedua saluran nafas atas dan bawah)
melalui daerah faring dan esofagus.
Kemampuan untuk mempertahankan fungsi respirasi penting untuk koordinasi
sinergis menghisap-menelan-bernapas, serta menjadi faktor penentu pula pada proses
regulasi diri, mengontrol postur dan gerakan serta memproduksi suara.7 Fungsi menghisap,
menelan, dan bernapas, bila bekerja dengan baik akan membantu perkembangan pemusatan
(centeredness) dan sensasi garis tengah yang diperlukan untuk gerakan di sekeliling titik
stabil (atau midline) dalam ruang tiga dimensi. Garis tengah yang terbentuk dengan baik
juga merupakan fondasi persepsi yang penting untuk body scheme, orientasi spasial, dan
koordinasi motorik bilateral. Bahkan pada kenyataannya, saat berfungsi dengan baik,
maka sistem respirasi itu sendiri akan terhubung dalam gerakan tiga dimensi disekitar
garis tengah tubuh. Stabilitas pusat dan kesadaran ini juga penting untuk perkembangan
pola gerakan rotasi dan reaksi ekuilibirum.7
363
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Pada anak normal, pada dasarnya proses makan memberikan kesempatan latihan
berulang terhadap kemampuan kontrol sensorimotor dan diferensiasi. Selama proses
perkembangan, kebutuhan untuk mengulangi gerakan penting untuk simbolisasi ide,
gerakan yang familiar dan terasah. Bayi telah melatih komponen gerakan dasar berbicara
selama satu tahun sebelumnya sebagai fondasi kebutuhan artikulasi saat berbicara. Proses
pembelajaran awal ini akan menyediakan dasar kontrol sistem motorik berbicara. Segala
pembelajaran merupakan koneksi dan interkoneksi yang akan dibentuk oleh otak ketika
menambahkan pengalaman baru.
Sejak terdapat kemungkinan kuat bahwa sistem kontrol makan dan bicara saling
berhubungan maka sangat penting melatih pola gerak oromotor saat makan pada anak,
sekalipun belum dapat dipastikan bahwa dengan hanya melatih kemampuan makan akan
menyelesaikan kesulitan kontrol motor saat berbicara dan berartikulasi. Koneksi dan
interkoneksi untuk belajar harus dibangun dalam suatu program. Pada akhirnya melatih
pola gerakan oromotor yang tepat dan benar dan memfasilitasi produksi bicara merupakan
hal yang esensial dalam program latihan untuk anak yang tidak makan per oral.
Daftar pustaka
1. Fletcher SG. Articulation. A Physiological Approach Diego, Singular Publishing Group, San
Diego, 1992; 17 — 50
2. Birch LL. Children’s food acceptance patterns. Annales Nestle 1998; 56 : 11 —8
3. Farber SD. A Multisensory approach to neurorehabilitation. WB Saunders Company,
Philadelphia, 1982; 115 — 71
4. Stevenson RD, Allaire JH. The development of normal feeding and swallowing. Ped Clin
of North Am 1991; 38; 1430 — 53
5. Wolf LS, Glass RP. Feeding and swallowing disorder in infancy. Asseement and manage-
ment. Therapy Skill Builders, Texas, 1992;16-19,402
6. Morris SE, Kline MD, Prefeeding skills, A Comprehensive resource for feeding develop-
ment. Therapy Skill Builders, Arizona, 1987;16-18, 28
7. Oetter P, Ritchter EW, Frick SM. MORE integrating the mouth with sensory and postural
functions. ed. Hugo, MN: PDP press inc; 1995
Abstract
Obesity has become a worldwide pandemi. Obesity problem is an important issue because of its
association with the world’s top killer, the cardiovascular disease. Obesity, especially central obesity, lead
to dysregulation of glucose and lipid metabolism, i.e. the insulin resistance, which manifested as the
metabolic syndrome. The metabolic syndrome is a closely related condition, i.e.: obesity, especially central
obesity, hypertension, dyslipidemia, insulin resistance or hyperglycemia, that are the most significance
risk factors for type 2 diabetes mellitus and cardiovascular diseases. Unless serious measures to prevent
childhood obesity are implemented, we have to face the serious pandemi of type 2 diabetes mellitus and
cardiovascular diseases.
S
aat ini, praktisi kesehatan anak di seluruh dunia, di negara maju maupun negara
berkembang, mengkhawatirkan makin meningkatnya jumlah anak yang mengalami
obesitas. Di negara-negara maju seperti Amerika Serikat atau Australia, sepertiga
sampai setengah anak dan remaja mengalami obesitas. Di kota-kota besar di Indonesia,
lebih dari 10% anak telah mengalami obesitas.
Obesitas merupakan masalah kesehatan yang penting, selain karena merupakan
faktor risiko timbulnya penyakit kronis degeneratif di kemudian hari, obesitas juga
sudah banyak menimbulkan masalah pada usia anak dan remaja. Banyak penelitian yang
menunjukkan bahwa obesitas pada masa anak berkaitan dengan kejadian obesitas pada
masa dewasa. Berbagai pengamatan juga menunjukkan bahwa makin dini seorang anak
mengalami obesitas, makin rendah usia harapan hidupnya akibat menderita penyakit-
penyakit kronis degeneratif seperti diabetes mellitus tipe 2, penyakit jantung, stroke dan
kanker.
Pada masa anak dan remaja, obesitas juga dapat mengakibatkan hipertensi, sleep
apnea, masalah pernapasan, masalah postur dan perkembangan tulang ekstremitas,
masalah psikososial, masalah hormonal dan sistem reproduksi, alergi dan hipersensitivitas
dan masih banyak lagi.
365
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Efek samping obesitas yang paling menjadi perhatian adalah sindroma metabolik.
Melalui efeknya pada metabolisme glukosa dan lemak, obesitas merupakan faktor risiko
terpenting penyakit-penyakit yang menjadi pembunuh utama umat manusia di dunia saat
ini yaitu penyakit kardiovaskular dan diabetes mellitus tipe 2.
Obesitas
Obesitas sebagai faktor risiko utama sindrom metabolik, prevalensinya pada anak secara
nasional makin meningkat. Riset kesehatan dasar (RISKESDAS) 2013 menunjukkan
bahwa prevalensi kegemukan pada usia 5-12 tahun adalah 18,8%, sementara pada usia
13-15 tahun 10,8%, dan pada usia 16-18 tahun 7,3%. Lebih tingginya prevalensi pada
usia yang lebih muda menunjukkan kemungkinan adanya cohort effect, prevalensi makin
meningkat pada generasi yang lebih muda. Perbandingan antara RISKESDAS 2010 dan
2013 menunjukkan bahwa prevalensi obesitas pada usia 16-18 tahun meningkat dari
1,4% pada RISKESDAS 2010 menjadi 7,3% pada RISKESDAS 2013.
Obesitas pada masa anak berisiko tinggi menjadi obesitas di masa dewasa, yang
selanjutnya berpotensi menjadi sindrom metabolik dan penyakit degeneratif. Suatu
penelitian di Amerika Serikat menemukan bahwa prevalensi sindroma metabolik secara
keseluruhan pada remaja usia 12-19 tahun adalah 6,4%. Akan tetapi, pada mereka yang
mengalami obesitas prevalensinya meningkat menjadi 28,7%. Beberapa penelitian di
Indonesia, dengan menggunakan kriteria NCEP-ATP III atau sensitivitas insulin sebagai
parameter sindrom metabolik menunjukkan prevalensi yang bervariasi antara 34% - 62%
pada remaja obes, tergantung populasi dan kriteria yang digunakan.
Obesitas, terutama obesitas sentral (abdominal), merupakan komponen kunci
sindrom metabolik. Semua hal yang merupakan faktor risiko obesitas, seperti pola makan
salah dan gaya hidup sedenter merupakan faktor risiko sindroma metabolik. Hal-hal yang
juga dianggap berperan meningkatkan resiko sindrom metabolik adalah riwayat diabetes
gestasional pada ibu, berat badan lahir rendah dan pola pemberian makan pada masa bayi.
Faktor genetik, sosioekonomi dan lingkungan obesogenik juga mungkin berpengaruh.
Resistensi insulin
Resistensi insulin merupakan mekanisme utama terjadinya sindroma metabolik. Resistensi
insulin dan hiperinsulinemia mengakibatkan disregulasi metabolisme lipid di level seluler,
peningkatan kadar asam lemak bebas dan penumpukan trigliserida pada tempat-tempat
ektopik, seperti pada otot, hepar dan lemak viseral. Selanjutnya, peningkatan kadar asam
lemak bebas akan menghambat transportasi glukosa yang distimulasi insulin sehingga
akan memperberat kondisi resistensi insulin. Resistensi insulin dan peningkatan kadar
asam lemak bebas akan membentuk lingkaran setan pada sindroma metabolik. Penyebab
lain sindroma metabolik adalah gangguan metabolisme asam lemak yang diakibatkan oleh
gangguan metabolism malonyl CoA, disfungsi mitokondria dan disfungsi AMP-Activated
Protein Kinase.
Sindroma Metabolik
Definisi atau kriteria diagnosis sindroma metabolik telah mengalami banyak diskusi
dan penyesuaian sejak ditetapkan oleh World Health Organization (WHO) pada tahun
1998. Secara umum, para ahli sepakat bahwa sindroma metabolik terdiri atas obesitas
abdominal, hiperglikemia, hipertrigliseridemia, kadar HDL yang rendah dan hipertensi
beserta variasinya.
Menurut Konsensus bersama International Diabetes Federation (IDF) dan American
Heart Association/National Heart, Lung, and Blood Institute (AHA/NHLBI) pada tahun
2009, kriteria diagnosis sindroma metabolik pada dewasa adalah adanya paling sedikit 3
(tiga) komponen dari kelima komponen berikut:
•• Lingkar pinggang lebih besar daripada cut off > yang sesuai untuk populasi negara
masing-masing. Bila belum ada, IDF menggunakan batasan >90 cm untuk laki-laki
Asia dan > 80 cm untuk wanita Asia.
•• Hipertrigliseridemia (kadar trigliserida serum ≥150 mg/dl atau ≥1,7 mmol/L) atau
riwayat pengobatan untuk hipertrigliseridemia
•• Kadar kolesterol High Density Lipid (HDL) <40 mg/dl atau 1.0 mmol/L pada laki-
laki dan <50 mg/dl atau 1.3 mmol/L pada wanita atau riwayat pengobatan untuk
untuk HDL-C rendah
•• Tekanan darah ≥130/85 mmHg atau riwayat pengobatan untuk hipertensi
•• Gula darah puasa ≥100 mg/dl (5,6 mmol/L) atau riwayat pengobatan untuk
hiperglikemia.
367
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
kendali berat badan.
Diagnosis sindrom metabolik dapat ditegakkan pada anak usia 10 tahun atau lebih
yang memenuhi kriteria berikut: obesitas sentral (abdominal) ditambah dengan 2 dari
4 komponen lainnya (peningkatan kadar trigliserida, penurunan kadar kolesterol HDL,
hipertensi dan peningkatan kadar glukosa plasma puasa). Kriteria diagnosis untuk remaja
di atas 16 tahun sama dengan kriteria diagnosis untuk dewasa. Perlu diingat bahwa kriteria
ini dibuat sebelum ditetapkannya konsensus bersama IDF dan AHA/NHLBI pada tahun
2009, sehingga masih menggunakan acuan kriteria diagnosis IDF yang lama.
369
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
diabetes mellitus tipe 2, penderita sering mengalami kondisi yang disebut pradiabetes.
Pada remaja obes, kondisi pradiabetes bisa bersifat transien, namun bila berat badan sulit
dikendalikan, sangat berisiko mengalami progresivitas menjadi diabetes mellitus tipe 2.
Simpulan
Obesitas merupakan masalah kesehatan masyarakat yang sangat penting. Dia tidak hanya
penting karena jumlahnya yang terus meningkat, tetapi juga penting karena efek jangka
panjangnya, serta kontibusinya yang besar sebagai penyebab kematian.
Daftar pustaka
1. Alberti SG, Zimmet P. The IDF Consensus definition of the Metablic Syndrome in Children
and Adolescents. Int Diabetes Fed. 2007;24.
2. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS)
2013. Lap Nas 2013. 2013;1–384.
3. Franks P, Hanson R, Knowler W, Sievers M, Bennett P, Looker H. Childhood Obesity, Other
Cardiovascular Risk Factors, and Premature Death. N Engl J Med. 2010;362(6):485–93.
4. Goodman E, Daniels SR, Meigs JB, Dolan LM. Instability in the diagnosis of metabolic
syndrome in adolescents. Circulation. 2007;115(17):2316–22.
5. Gopalakrishnan G. Metabolic Syndrome: Basic Information. Downloaded from ClinicalKey.
com at Universitas Gadjah Mada April 12, 2016
6. Hannon TS, Rofey DL, Lee S, Arslanian S a. Depressive symptoms and metabolic markers of
risk for type 2 diabetes in obese adolescents. Pediatr Diabetes. 2013;14(7):497–503.
7. Huriyati E, Nugroho PS, Susilowaty R, Julia M. Physical activity, eating patterns, and insulin
resistance in obesity. 2014;54(2):82–7.
8. Julia M, van Weissenbruch MM, Prawirohartono EP, Surjono A, Delemarre-van de Waal
HA. Tracking for underweight, overweight and obesity from childhood to adolescence: a
5-year follow-up study in urban Indonesian children. Horm Res. 2008;69(5):301–6.
9. Milici N. A short history of the metabolic syndrome definitions. Proc. Rom. Acad., Series B,
2010; 1:13-20
10. Parikh RM, Mohan V. Changing definitions of metabolic syndrome. Indian J Endocrinol
Metab. 2012;16(1):7-12
11. Ruderman NB, Shulman GI. chapter 43 - Metabolic Syndrome [Internet], Seventh Ed. En-
docrinology: Adult and Pediatric, 2-Volume Set. Elsevier Inc.; 2016. 752-769.e7 p. Available
from: http://dx.doi.org/10.1016/B978-0-323-18907-1.00043-3
12. Steinberger J, Daniels SR, Eckel RH, Hayman L, Lustig RH, McCrindle B, et al. Progress
and Challenges in Metabolic Syndrome in Children and Adolescents A Scientific Statement
From the American Heart Association Atherosclerosis, Hypertension, and Obesity in the
Young Committee of the Council on Cardiovascular Disease in the Young; C. Circulation.
2009;119(4):628–47.
13. Survey E. Prevalence of a Metabolic Syndrome Phenotype in Adolescents. 2016;157:1988–
94.
371
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
The Role of Vitamin D in Bone Health in
Children and Adolescents with Referernce
to Global Consensus Recommendations on
Vitamin D
Margaret Zacharin
Royal Children Hospital, Melbourne
I
t is estimated that 1 billion people worldwide have Vitamin D deficiency or insufficiency.
Vitamin D is a secosteroid derived from action of sunlight on dehydrocholesterol. It is
stored in the liver and adipose tissue. Thus, measurement of 25 hydroxy vitamin D (25
OHD) levels reflects total body vitamin status. To maintain adequate calcium absorption
when 25 OHD drops below 50 nmol/L there is a progressive rise in parathyroid hormone.
Without vitamin D only 15 – 20% of dietary calcium and 60% of dietary phosphate
is absorbed. Interactions of 1,25 dihydroxy vitamin D with vitamin D receptor increase
the efficiency of intestinal calcium absorption to 30 – 40% and phosphate absorption to
80%. Without adequate calcium phosphate product mineralisation of collagen matrix
reduces and rickets occurs in children and osteomalacia in adults.
Vitamin D sufficiency is defined as a 25 OHD of >50 nmol/L, insufficiency at
30 – 50 nmol/L and deficiency <30 nmol/L with severe deficiency below 12.5 nmol/L.
Conversely Vitamin D toxicity occurs when serum 25 OHD exceeds 250 nmol/L,
associated with hypercalciuria and suppressed PTH.
Adequate calcium intake is defined as >500 mg per day, insufficiency 300 – 500 mg
per day and deficiency at < 300 mg per day. Breast milk calcium should contain 200 mg
per day for the infant aged 0 – 6 months and 260 mg per day at 6 months to 12 months.
For children up to the age of 18 years daily calcium intake of between 700 and
1300 mg per day is required. An intake of <300 mg per day increases the risk of rickets
independent of 25 OHD level. There is little date to indicate the lowest calcium intake
that may prevent rickets. When the environment alters, the balance changes such that in
low calcium environments, the amount of vitamin D required to maintain, serum calcium
rises. It is particularly seen in societies where calcium intake is negligible after the time of
breast feeding.
373
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Thus preventative treatment should be given to pregnant women, children
and adults at high risk of vitamin D deficiency with factors that reduce synthesis
or intake of vitamin D and all children who have a children of symptomatic D
deficiency that has required treatment.
S
aat ini dengan kemajuan tatalaksana perinatal, banyak bayi prematur maupun bayi
cukup bulan yang membutuhkan perawatan neonatal intensive care unit (NICU)
bisa diselamatkan. Bayi tersebut mempunyai risiko yang lebih tinggi mengalami
gangguan tumbuh kembang di kemudian hari dibandingkan dengan bayi yang lahir
cukup bulan atau bayi sehat1. Pada bayi yang dilahirkan prematur, risiko gangguan
neurodevelopment, seperti gangguan perkembangan gerak, kognitif dan perilaku,
meningkat dengan semakin rendahnya usia gestasi. Meta-analisis yang dilakukan oleh
Oskoui et al., (2013) menunjukkan prevalensi palsi serebral paling sering terjadi pada bayi
prematur dengan usia gestasi kurang dari 28 minggu yaitu 111/ 1000 kelahiran hidup,
95% CI 69.53-179.78, p < 0.032. Gangguan neurologis minor, seperti kesulitan belajar,
gangguan kognitif, gangguan pemusatan perhatian/hiperaktifitas (GPPH), dan gangguan
perkembangan koordinasi juga dilaporkan lebih sering terjadi pada bayi-bayi dengan
riwayat perawatan di NICU.
Program intervensi dini pada bayi risiko tinggi terbukti memperbaiki luaran beberapa
domain perkembangan. Meta-analisis yang menilai program intervensi dini pada bayi
prematur setelah pulang dari rumah sakit menunjukan perbaikan luaran jangka panjang
pada fungsi kognitif dan fungsi gerak pada masa bayi dan menetap sampai usia pra sekolah3.
Hal ini menunjukkan pentingnya identifikasi awal gangguan perkembangan sehingga
intervensi dini bisa dilakukan seawal mungkin untuk mencegah atau memperbaiki luaran
perkembangan.
Penilaian perkembangan dilakukan dalam 3 tahap yaitu surveillance, screening dan
assessment perkembangan. Surveillance perkembangan adalah suatu proses pemantauan
perkembangan yang bersifat fleksibel, longitudinal, berkesinambungan, dan kumulatif;
dilakukan setiap kali anak datang ke petugas medis, menggunakan milestone perkembangan.
Screening perkembangan adalah suatu penilaian yang singkat dengan menggunakan
instrumen yang terstandarisasi, untuk mengidentifikasi anak yang berisiko mengalami
masalah perkembangan/perilaku, dan apakah anak tersebut membutuhkan penilaian/
assesment perkembangan lebih lanjut. Sementara itu, assesment perkembangan adalah
suatu penilaian perkembangan yang komprehensif pada anak yang dicurigai mengalami
gangguan perkembangan/perilaku pada tahap skrining4.
375
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Assessment perkembangan merupakan serangkaian proses penilaian perkembangan
yang komprehensif yang bertujuan untuk menegakkan diagnosis dan menentukan
derajat fungsional perkembangan seorang anak agar dapat ditentukan apakah anak
tersebut membutuhkan bantuan dan intervensi dini. Assessment perkembangan dilakukan
dengan menggunakan instrument yang lebih baku dan menghasilkan suatu skor yang
menggambarkan suatu developmental quotients or intelligence quotients. Assessment
perkembangan hanya bisa dilakukan oleh petugas yang sudah terlatih/ahli, yang dapat
memberikan rekomendasi mengenai intervensi yang dibutuhkan dan dapat menilai
kemajuan program intervensi yang sudah dijalankan.
Assessment perkembangan seorang anak sebaiknya meliputi seluruh aspek/domain
perkembangan yaitu kognitif, bahasa, gerak, adaptif dan sosiol emosi, karena perkembangan
satu domain sangat tergantung dari domain lainnya. Sebagai contoh, kemampuan seorang
anak untuk menyusun balok sangat dipengaruhi oleh kemampuan fungsi kognitif, gerak
halus dan bahasa, dimana anak harus paham instruksi yang disampaikan oleh penilai 5.
Menurut WHO (2012)6, ada 10 prinsip utama yang harus diperhatikan dalam
assessment perkembangan, yaitu
1. Assessment perkembangan harus berdasarkan prinsip family-centered care. Dalam
melakukan proses assessment perkembangan, klinisi dan keluarga merupakan mitra.
Keluarga harus dilibatkan dalam seluruh proses assessment. Keluarga memberi informasi
mengenai kemampuan fungsional dan kekuatan anak, kerentanan/keterlambatan
anak dan kebutuhan anak dan kekuatiran, harapan dan usaha yang sudah dilakukan
oleh keluarga. Keluarga harus diberi penjelasan mengapa perlu dilakukan assessment
perkembangan, proses rinci yang akan dilakukan, dan peran keluarga dalam proses
assessment perkembangan. Dalam proses assessment perkembangan, klinisi yang baik
adalah yang tahu bahwa dia belajar bersama dengan keluarga, mengetahui kekuatan
anak, keluarga dan komunitas, dan mengetahui perannya dalam membantu anak
dan keluarga mengenali dan menggunakan kekuatan ini dalam mendukung proses
assessment. Assessment perkembangan yang dilakukan bersama dengan keluarga akan
membantu keluarga mengenali kekuatan/kemampuan anak dan domain apa yang
kurang yang membutuhkan intervensi.
2. Assessment perkembangan harus komprehensif dan melibatkan semua aspek
perkembangan anak. Penilaian perkembangan harus menilai kesehatan fisik,
pertumbuhan, penglihatan, pendengaran dan pemeriksaan penunjang sesuai indikasi,
yang mungkin bisa menunjukkan etiologi gangguan perkembangan. Komposisi
keluarga, kesehatan fisik dan mental keluarga, fungsi dan dukungan sosial dari
keluarga besar dan komunitas, dan pengasuhan dan stimulasi yang sudah dilakukan
di lingkungan rumah merupakan elemen penilaian yang penting dalam proses
assessment perkembangan. Selain itu perlu diketahui juga apa yang sudah dilakukan
oleh keluarga, pemahaman orang tua terhadap perkembangan anak, apa yang telah
dilakukan oleh orang tua yang menunjang perkembangan, kekuatiran, dan harapan
keluarga
377
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
rumah / sekolah). Pengujian langsung di lingkungan yang tidak biasa oleh orang dewasa
yang tidak dikenal dapat membatasi keterlibatan dan partisipasi anak dalam penilaian.
Pelaporan orang tua, di sisi lain, mungkin terpengaruh oleh bias ingat. Pengamatan yang
tidak terstruktur menjadi sulit untuk direproduksi dan ditafsirkan. Sehingga assessment
perkembangan yang ideal mencakup ketiga metode tersebut 7.
Penilaian perkembangan paling baik dilakukan secara transdisiplin, yakni satu
klinisi bertanggung jawab terhadap anak dan keluarga dan berkonsultasi dengan disiplin
lainnya secara tertulis. Pendekatan ini lebih sesuai dan nyaman bagi anak dan keluarga
dibandingkan pendekatan multidisiplin dimana anak dan keluarga harus berkonsultasi
dengan beberapa ahli.
379
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
bulan16. BSID telah tervalidasi dan mempunyai korelasi kuat terhadap pencapaian
kemampuan akademik di kemudian hari. Pemeriksaan BSID harus dilakukan oleh
klinisi yang terlatih, dan membutuhkan waktu pemeriksaan sekitar 1 jam sehingga
biaya pemeriksaan cukup mahal.
Penutup
Bayi-bayi yang lahir prematur atau yang membutuhkan perawatan NICU mempunyai
risiko yang lebih tinggi untuk mengalami gangguan neurodevelopment. Intervensi dini
pada bayi risiko tinggi terbukti memperbaiki luaran perkembangan jangka panjang. Oleh
karena itu, diperlukan deteksi dini dan assessment perkembangan untuk menentukan
apakah bayi membutuhkan intervensi dini. Assessment perkembangan harus bersifat
komprehensif, menilai seluruh aspek perkembangan, kesehatan fisik, pertumbuhan dan
lingkungan anak. Selain itu, assessment perkembangan harus bersifat family-centered care.
Beberapa instrument assessment perkembangan pada masa bayi yang dapat memprediksi
luaran neurodevelopment jangka panjang adalah GMs (dikerjakan pada bayi sampai usia
20 minggu), HINE (pada bayi 2-24 bulan), TIMP (sampai usia 4 bulan), dan BSID
(sampai usia 42 bulan).
Daftar pustaka
1. Doyle et al. BMC Pediatrics 2014, 14:279 diakses pada 12 Juni 2017 di http://www.biomed-
central.com/1471-2431/14/279
2. Oskoui, M., Coutinho, F., Dykeman, J., Jette ́n, N., & Pringsheim, T. (2013). An update
on the prevalence of cerebral palsy: A systematic review and meta-analysis. Developmental
Medicine & Child Neurology, 55, 509–519
3. Spittle A, Orton J, Anderson PJ, Boyd R, Doyle LW. Cochrane Database Syst Rev. 2015 Nov
24;(11):CD005495. doi: 10.1002/14651858.CD005495.pub4
4. Council on Children With Disabilities, AAP. Identifying infant and young children with
developmental disordees in the medical home: an algoritme for developmental surveillance
and screening. Paediatric. 2006118: 405
5. Sabanathan S, Wills B, Gladstone M. Arch Dis Child Published Online First: [please include
Day Month Year] doi:10.1136/ archdischild-2014-308114
6. WHO. Developmental difficulties in early childhood: Prevention, early identification, as-
sessment and intervention in low-and middle –income countries: a review 2012. Cited 2
Mei 2014 didapat dari http://www.who.int/maternal_child_adolescent/documents/develop-
ment_difficulties_early_childhood/en/
7. Fernald LC, Kariger P, Engle P, Raikes A. Examining Early Child development in Low-In-
come Countries. A Toolkit for the assessment of development in the First five years of life.
The World Bank. 2009
8. Craciunolu O, Holsti L. A systematic Review of the Predictive of neurobehavioral assessment
during the preterm period. Phys Occup Ther Pediatr. 2017 Aug;37(3):292-307
381
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Psychosocial Approach to Adolescent with
Chronic Disease
Meita Dhamayanti
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran / RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung
Abstract
Despite the availability of excellent biomedical treatment for most common chronic diseases, optimal
management of illness in adolescents is not limited to biomedical prescription alone. Developmental,
psychosocial, and family factors all feature prominently in the on-going care of adolescents with chronic
disease. Chronic condition, by definition, have no cure and, therefore, must be endured and managed
on daily basis. Having such a condition is a continuing source of stress for the adolescent and his or her
family and can contribute to maladaptive coping and dysfunction. Helping adolescents manage the
chronic illness well and reach their full developmental potential can be very rewarding for clinician.
M
asa remaja merupakan masa yang penuh gejolak. Pada masa ini mood (suasana
hati) bisa berubah dengan sangat cepat. Perubahan mood (swing) yang drastis
pada para remaja ini seringkali disebabkan oleh beban pekerjaan rumah,
pekerjaan sekolah, atau kegiatan sehari-hari di rumah. Meski mood remaja mudah
berubah-ubah dengan cepat, hal tersebut belum tentu merupakan gejala atau masalah
psikologis. Dalam hal kesadaran diri, para remaja mengalami perubahan yang dramatis
dalam kesadaran diri mereka (self-awareness).1-3
Faktor biologis yang sangat mempengaruhi tumbuh kembang remaja adalah penyakit
kronis. Kondisi penyakit kronis dapat memengaruhi perkembangan fisis, kognitif, sosial
dan emosional pada remaja. Hal ini akan menyebabkan terjadinya penurunan kualitas
hidup remaja.4 Seiring kemajuan teknologi kedokteran dalam beberapa dekade terakhir,
prevalensi remaja dengan penyakit kronis meningkat dramatis. Banyak anak dengan
kondisi penyakit kronis, misalnya penyakit jantung bawaan, asma, keganasan, atau gagal
ginjal dapat bertahan hidup dan mencapai masa remaja.3-5
Untuk mendapatkan tumbuh kembang anak yang optimal sampai mencapai usia
dewasa bukanlah hal yang mudah. Pada remaja dengan kondisi kesehatan kronis dapat
terjadi gangguan dalam tumbuh kembangnya. Mereka dapat mengalami keterlambatan
dalam perkembangan fisis, kognitif, komunikasi, motorik, adaptif, atau sosialisasi
dibandingkan dengan anak yang normal, termasuk didalamnya timbulnya perilaku risiko
tinggi yang “khas” pada remaja seperti emosi yang meledak-ledak, sikap menentang dan
cenderung nekat, serta penyalahgunaan NAPZA.1
Penyakit yang sering menimbulkan kondisi kronis pada remaja di Amerika Serikat
dapat dilihat pada tabel 1 di bawah ini:2,3
Tabel 1. Prevalensi beberapa kondisi kronis pada remaja usia 10-17 tahun di Amerika Serikat
Jumlah kasus
Kondisi
per 1000 Remaja
Kecacatan
Kecacatan muskuloskeletal 20.9
Gangguan bicara 18.9
Ketulian dan gangguan pendengaran 17.0
Ketulian dan gangguan pendengaran 16.0
Penyakit
Asma 46.8
Penyakit jantung 17.4
Artritis 8.7
Epilepsi 3.3
Diabetes melitus 1.5
Penyakit sickle cell 0.9
Sumber: Stein RE8
383
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Tabel 2. Karakteristik remaja dini, menengah dan akhir
Karakteristik Remaja Dini Remaja Menengah Remaja Akhir
Pertanyaan “Apakah saya normal?” “ Siapakah saya?” “Kemanakah saya seharusnya?”
Sentral “ Di mana saya seharusnya
berada?”
Rentang Usia • mulai usia 11 dan 13 tahun • mulai usia 14–15 tahun Usia 17–21tahun;
Ada variabel atas, tergantung
kultur, ekonomi dan edukasi.
Pertumbuhan • Karakteristik seks sekunder • Tanda seks sekunder semakin • Maturasi fisik
mulai muncul berkembang • Pertumbuhan reproduksi
• Dalam kecepatan puncak • Pertumbuhan mencapai 95% hampir tuntas
dari pertumbuhan dari tinggi dewasa
Kognitif • Pemikiran konkret • Cepat mencari kompetensi • Mampu berpikir abstrak
• Orientasi eksistensi diri berpikir abstrak • Berorientasi masa depan
• Belum dapat memperkirakan • Mampu mempertimbangkan • Mampu menganalisis pilihan
dampak jangka panjang atas dampak masa depan atas tinda- masa depan
keputusan dan tindakannya kan saat ini
Bisa berubah menjadi tindakan
dalam stres
Psikologi Preokupasi oleh penampilan Penyesuaian pencitraan tubuh saat Pemahaman emansipasi
dan perubahan fisik pertumbuhan melambat dan stabil • Fungsi intelektual dan identitas
Terganggu dengan citra tubuh Preokupasi antara fantasi dan ideal- sudah mapan
Panggul melebar isme dalam perluasan kognitif Dapat menderita krisis usia 21
Rambut dan kulit berminyak dalam menghadapi fungsi oto-
Jerawat nomi sosial
Rambut ketiak
Perubahan nafsu makan
Keluarga • Mendefinisikan ikatan • Terjadi konflik besar dengan • Transposisi dari ketergantungan
ketergantungan dan tanpa otorisasi orang tua seorang anak menjadi dewasa
ketergantungan dengan • Berjuang untuk emansipasi
keluarga
• Tidak ada konflik besar
dengan orangtua
Rekan Sebaya • Mencari situasi dengan • Keinginan kuat untuk identifikasi • Menurunnya kepentingan
sebaya untuk mengatasi rasa untuk memastikan pencitraan sahabat karib
instabilitas akibat perubahan diri
yang cepat • Mencari kelompok sebaya untuk
• Membandingkan konsep mendefinisikan perilaku selama
normal dirinya dengan emansipasi
teman sebaya
• Penerimaan hubungan inter-
personal dengan sebaya
Seksualitas • Eksplorasi dan evaluasi • Hubungan multipel yang ‘jamak’ • Menjalin hubungan yang stabil
• Kasih sayang yang terbatas • Aktivitas seksual menghebat • Mampu menjalin hubungan
• Kedekatan yang terbatas • Menguji kemampuan daya tarik timbal balik yang setara, tidak
seksual kepada lawan jenis sekedar orientasi narsis
• Menilai parameter maskulinitas • Membuat rencana masa depan,
dan femininitas berpikir untuk menikah dan
• Preokupasi dengan fantasi roman- membentuk keluarga sendiri
tisme • Kedekatan melibatkan komit-
men, bukan sekedar eksplorasi
seksual dan romantisme
Kompilasi dari : Fleming 19 Soeroso 20
Faktor risiko:
•• Laki-laki
•• Riwayat gangguan mental emosional pada orangtuanya
•• Keluarga tidak harmonis
385
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
•• Status sosio-ekonomi rendah
Faktor Protektif
•• Temperamen positif
•• Kecerdasan di atas rata-rata
•• Dukungan yang kuat dari salah satu atau kedua orangtua
•• Kerekatan hubungan keluarga
•• Suasana kedisiplinan/keteraturan
Berbagai sikap remaja dalam menghadapi penyakit kronis yang dideritanya, antara
lain menerima, menolak, regresi, proyeksi, melakukan kompensasi, meningkatkan
kecerdasan, dsb.
Pada periode remaja sering muncul perilaku untuk melakukan banyak hal, termasuk
hal-hal berisiko. Periode ini jika terjadi pada penderita dengan penyakit kronis yang
mengalami masalah mental dan emosional akan meningkatkan dampak buruk. Sebagai
contoh, pasien remaja dengan asma yang mencoba menghilangkan depresi dengan cara
merokok akan memiliki risiko terjadinya eksaserbasi asma lebih tinggi. Pada beberapa
penyakit, perilaku berisiko yang dilakukan oleh remaja dapat memengaruhi pertumbuhan
atau perkembangannya. Remaja dengan penyakit kronis sering melakukan perilaku yang
berisiko (risk taking behaviour) dalam seksualitas (pergaulan seks bebas, gangguan perilaku
seksual, infeksi menular seksual), dan penyalahgunaan NAPZA yang berdampak pada
masalah-masalah lain.
Kestabilan mental dan emosional akan memengaruhi kesehatan dan penyakit kronis
pada penderita. Keadaan mental dan emosional yang baik akan memperbaiki prognosis
pasien. Oleh karena itu, penanganan pasien dengan penyakit kronis tidak semata-mata
untuk memberi obat untuk mengontrol penyakit kronisnya, tetapi juga untuk menangani
masalah mental dan emosional pasien. Penanganan harus dilakukan secara holistik.
387
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
1. Assessing
Mengumpulkan dan menganalisis data untuk menentukan intervensi yang dapat
diberikan. Dalam mengumpulkan informasi dari pasien dibutuhkan keterampilan
tanya jawab yang bagus. Keterampilan komunikasi dengan remaja berbeda dengan
anak-anak, disampaikan harapan, keinginan dan ekspektasi agar memperoleh data
yang akurat. Pemeriksaan fisik harus dilakukan dengan mempertimbangkan privasi
remaja.
2. Intervening
Penatalaksanaan masalah mental dan emosional, diberikan dalam 4 bentuk:
a. Promoting
Memberi pengetahuan kepada masyarakat mengenai penyakit kronis yang dialami
oleh pasien. Kegiatan berupa edukasi masyarakat, dan meningkatkan aktivitas
fisik di luar kegiatan sekolah. Peningkatan aktivitas fisik harian disekolah dapat
memperbaiki fungsi kesehatan mental dan berkontribusi positif menurunkan
perilaku berisiko.
b. Prevention
Mengidentifikasi adanya masalah mental dan emosional pada pasien dengan
penyakit kronis dengan deteksi dini, penilaian dan mengikuti perkembangan
pasien. Pada pasien remaja dengan berat badan berlebihan sering dijadikan bahan
candaan dilingkungan sosialnya. Keadaan ini dapat menimbulkan masalah mental
bagi pasien tersebut, sehingga perlu dilakukan deteksi dini untuk mengetahui
munculnya masalah mental dan emosional serta mengedukasi khusus lingkungan
sekolah atau teman bermain untuk mencegah bullying pada pasien dengan
penyakit kronis.
c. Treating
Menurunkan dampak masalah kesehatan mental dan emosional, seperti terapi
dan dukungan dari kelompok, penilaian secara terpadu, layanan diagnostik dan
melakukan rujukan, pemberian obat jika ada indikasi. Bagi pasien yang telah
diketahui masalah kesehatan, penatalaksanaannya dapat memodifikasi aktivitas
sekolah dan program nutrisi.
d. Re/Claiming
Optimalisasi tatalaksana promosi, prevensi dan penanganan. Tahap ini ditujukan
untuk menciptakan dukungan kesehatan dan perilaku positif pada pasien
yang sudah tegak status kesehatan mental dan emosionalnya. Dukungan antar
sesama anggota kelompok, layanan masyarakat dan program aktivitas fisik yang
disesuaikan dengan penyakit pasien.
3. Ensuring
Memastikan kualitas, akses dan dukungan yang diberikan terhadap pasien sesuai
dengan yang diharapkan.
Daftar pustaka
1. Dhamayanti M. Overview Adolescent Health Problems And Services. Sinas Remaja II. Ja-
karta. 2009.
2. Sawyer SM AR, Bearinger LH, Blakemore S-J, Dick B, Ezeh AC, dkk. Adolescence: a foun-
dation for future health. Lancet. 2012;379:1630-40.
3. Sawyer SM, Afifi RA, Bearinger LH, Blakemore S-J, Dick B, Ezeh AC, et al. Adolescence: a
foundation for future health. Lancet. 2012;379:1630–40
4. Wiguna T. Masalah Kesehatan Mental Remaja di Era Globalisasi. Sinas Remaja II. Jakarta.
2009.
5. Yeo M, Sawyer S. Chronic illness and disability. BMJ. 2005;330:721-3.
6. Suris JC, Michaud PA, Viner R. The adolescent with a chronic condition: developmental
issues. Arch Dis Child. 2004;89:938-42.
7. Michaud PA, Suris JC, Viner R. The adolescent with a chronic condition: healthcare provi-
sion. Arch Dis Child. 2004;89:943-9.
8. Stein RE, Westbrook LE, Bauman LJ, Pless B. The questionnaire for identifying children with
chronic conditions: a measure based on a noncategorical approach. Pediatrics. 1997;99:513-
20.
9. Shannon KE, Beauchaine TP, Brenner SB, Neuhaus E, Gatzke L.Familial and temperamental
predictors of resilience in children at risk for conduct disorder and depression. Development
and psychopathology.2007;19:701–727.
10. Silk JS, Vanderbilt-Adriance AE,Shaw DS,Forbes EE,Whalen AD,Ryan ND, et al. Dahlare-
silience among children and adolescents at Risk for depression: Mediation and moderation
Across social and neurobiological contexts. Development and Psychopathology.2007;19:
841–865.
11. Bauman LJ, Drotar D, Leventhal JM, Perrin EC. A review of psychosocial interventions for
children with chronic health condition. Pediatrics. 1997;100:244-51
12. Soetjiningsih. Kondisi kesehatan kronik pada remaja. Dalam: Soetjiningsih, penyunting.
Tumbuh kembang remaja dan permasalahannya. Jakarta: Sagung Seto ;2004. h.177-89.
13. Suris JC, Michaud PA, Akre C, Sawyer SM. Health risk behaviors in adolescents with chronic
conditions. Pediatrics. 2008;122:1113-7.
389
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
14. Perrin EC, Newacheck P, Pless B, Drotar D, Gortmaker SL, Leventhal JM, et al. Is-
sues involved in the definition and classification of health chronic conditions. Pediatrics.
1993;189:787-93.
15. Ziring PR, Bradziunas D, Gonzales L. General principles in the care of children and adoles-
cents with genetic disorders and other chronic health conditions. Pediatrics. 1997;99:643-4.
16. Coupey SM. Chronic illness in the adolescent. Dalam: Neinstein LS, penyunting. Adolescent
health care. Edisi ke-5. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2008. h. 1056-66.
17. Meuleners L. Quality of life for adolescent. Curtin University of Technology. 2001. h.10-45.
Suris JC, Michaud PA, Viner R. The adolescent with a chronic condition: developmental
issues. Arch Dis Child. 2004;89:938-42.
18. Michaud PA, Suris JC, Viner R. The adolescent with a chronic condition: healthcare provi-
sion. Arch Dis Child. 2004;89:943-9.
19. Michaud PA, Suris JC, Viner R. The adolescent with a chronic condition; epidemiology,
developemental issues, and health care provision. World Health Organization 2007.h. 1- 52.
20. McInnes RA. Chronic illness and sexuality. MJA. 2003;179: 263-266.
21. Pinzon J. Care of adolescents with chronic conditions. Paediatr Child Health 2006;11: 43-
48.
22. Eiser C. Effects of chronic ilness on children and their families. Advances in Psychiatric
Treatment 1997;3:204-210.
23. Chiang Rachelle Johnson, Barbour I, Greene A, Hansen M, Hughes K, Jeter S et al. Integrat-
ing Mental Health into Chronic Disease Prevention Strategies for Youth: An Opportunity
for Change.NACDD
24. Neinstein Lawrence S. The treatment of adolescent with a chronic illness. West J Med.
2001;175:293-295
Abstract
Congenital heart disease (CHD) is a most common congenital anomaly in children. Its incidence is
about 8-10 in every 1000 live births. In Indonesia with population of 254.9 million and birth rates of
2.3%, every year there are 50.000 baby born with CHD. Early diagnosis is important to give proper
management as well as education to their parents. Management of CHD consists of medical treatment,
surgery, cardiac intervention or hybrid intervention. Cardiac intervention is now being a current
treatment of certain CHD.
P
enyakit jantung bawaan (PJB) merupakan kelainan kongenital yang paling sering
ditemukan pada bayi dan anak dan merupakan sepertiga dari seluruh kelainan
kongenital. Angka kejadian PJB adalah satu setiap 1.000 kelahiran hidup.1 Di
Indonesia dengan jumlah penduduk 254,9 juta dengan angka kelahiran 2,3%, maka setiap
tahun akan lahir 50.000 bayi dengan PJB.2 Rumah sakit yang dianggap memadai untuk
melakukan operasi atau intervensi jantung dengan volume kerja 900-1200 pasien setiap
tahun di Indonesia hanya ada dua, yaitu RS Dr. Cipto Mangunkusumo dan Pusat Jantung
Nasional Harapan Kita, keduanya terletak di Jakarta. Di beberapa rumah sakit di daerah
juga melakukan tindakan operasi dengan volume yang kecil. Dengan fasilitas di atas,
cakupan layanan jantung yang memadai di negara kita tidak lebih dari 10 persen. Angka
cakupan ini jika dibandingkan dengan angka cakupan beberapa negara di ASEAN seperti
Singapura, Malaysia, Vietnam, Thailand termasuk terendah. Dengan diberlakukannya
Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) jumlah pasien yang dilayani semakin
merata. Namun kapasitas layanan masih merupakan hal yang belum dapat dipecahkan
hingga saat ini.2
Dalam dua dekade terakhir, terjadi perkembangan yang pesat dalam tata laksana
PJB.3-5 Sebelum kardiologi intervensi berkembang, operasi merupakan satu-satunya
pilihan untuk menangani PJB. Selama ini operasi merupakan tata laksana PJB yang
dianggap efektif.6 Hanya saja tindakan operasi termasuk invasif karena pasien harus
menggunakan mesin jantung-paru untuk mengambil alih fungsi jantung selama operasi.
Pasca-bedah pasien harus dirawat di ruang rawat ICU pasca-bedah jantung. Kardiologi
intervensi sama efektifnya dengan tindakan operasi, namun intervensi relatif kurang
invasif, karena tidak memerlukan by-pass dan pasien tidak memerlukan perawatan ICU.
391
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Dengan adanya keterbatasan fasilitas bedah jantung dan kelangkaan ICU pasca-bedah
jantung di negara kita, pengembangan kardiologi intervensi merupakan salah satu jalan
keluar untuk meningkatkan cakupan layanan PJB.2
Makalah ini membahas perkembangan terkini kardiologi intervensi pediatrik
khususnya di Indonesia.
Tata laksana PJB meliputi pemberian obat-obatan, terapi bedah dan terapi intervensi
non-bedah. Pengobatan medikamentosa dapat berupa pengobatan awal seperti pemberian
prostaglandin atau pengobatan komplikasi PJB seperti gagal jantung, atau serangan
sianotik. Terapi bedah atau intervensi non-bedah bersifat paliatif atau sementara atau
bersifat definitif atau korektif (Gambar 1 dan 2).2
393
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Pilihan terapi pada penyakit jantung bawaan
Pertimbangan untuk menentukan seorang anak untuk dilakukan operasi atau intervensi
adalah pertimbangan efektivitas dan invasivitas suatu prosedur. Terapi medikamentosa
jelas hanya terapi sementara bukan untuk menangani kelainan anatomis kecuali pemberian
obat untuk menutup duktus arteriosus pada neonatus. Operasi memang cukup efektif
mengoreksi kelainan pada PJB. Namun operasi sangat invasif, pasien memerlukan by-pass
dan perawatan ICU pasca-bedah. Intervensi non-bedah relatif kurang invasif dibandingkan
operasi. Tindakan kardiologi intervensi tidak memerlukan by-pass, juga tidak memerlukan
ICU pasca-tindakan dan secara kosmetik lebih baik karena tidak ada jaringan parut bekas
operasi di dada pasien. Dari segi risiko, tindakan kardiologi intervensi relatif lebih kecil
dibandingkan dengan bedah.2
Dari segi biaya pada awal tindakan intervensi baru mulai, peralatan seperi
alat penutup dan kateter yang diperlukan masih sangat mahal sehingga dari segi biaya
kardiologi intervensi relatif lebih mahal dibandingkan prosedur operasi. Namun dengan
makin banyaknya kasus intervensi yang ditangani, harga peralatan tersebut sudah mulai
turun sehingga saat ini harga yang diperlukan untuk kardiologi intervensi menjadi lebih
murah dibandingkan dengan bedah karena lama rawat rata-rata pasca-intervensi rata-
rata 3 hari. Dengan dimulainya BPJS, semua pasien PJB sudah mulai mendapat biaya
pemeriksaan sampai pengobatan sehingga mereka sudah dapat ditangani secara merata.2
Keterangan singkatan: BAS, balloon atrial septostomy; DAP, duktus arterosus persisten; DSA, defek septum
atrium; DSV, defek septum ventrikel; FOP, foramen ovale persisten; KoA, koarktasio aorta; PA, pulmonary
395
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
artery; PJ, pacu jantung; RFA-PTBV, radiofrequency assisted pulmonary transcatheter balloon valvuloplasty; SA,
stenosis aorta; SP, stenosis pulmoner.
Penutup
Dalam menangani PJB, diagnosis dini perlu ditegakkan sesegera mungkin karena
menentukan saat dan jenis tindakan, edukasi orangtua dan prognosis. Penanganan PJB
saat ini sudah berkembang pesat. Selama ini sebelum kardiologi intervensi berkembang,
operasi merupakan satu-satunya cara untuk menangani PJB. Dibandingkan dengan
operasi, kardiologi intervensi memiliki kelebihan yaitu relatif kurang invasif, lama rawat
singkat dan secara kosmetik lebih baik karena pasien terbebas dari jaringan parut pasca-
bedah. Oleh karena kardiologi intervensi tidak memerlukan penggunaan mesin jantung
paru dan ICU pasca-bedah, pengembangan kardiologi intervensi di daerah merupakan
solusi dalam mengatasi kelangkaan fasilitas bedah dan keterbatasan fasilitas ICU pasca-
bedah di negara kita.
Daftar pustaka
1. Wren C. The epidemiology of cardiovascular malformation. Dalam: Moller JH, Hoffman
JIE, Benson W, Van Hare GF, Wren C. Pediatric cardiovascular medicine. Edisi ke-2. Oxford:
Blackwell Publishing; 2012. h. 268-75.
2. Djer MM. Kardiologi intervensi pada penyakit jantung bawaan: Masa kini dan akan datang.
Pidato pengukuhan guru besar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Jakarta: FKUI; 2016.
3. Rao PS. Interventional pediatric cardiology: state of the art and future directions. Pediatr
Cardiol 1998; 19:107-24.
4. Kato H. Foreword: catheter interventional treatment for pediatric heart disease- a new ther-
apeutic strategy. Pediatr Int 2001; 43:527-8.
5. Mullins CE. History of pediatric international catheterization: pediatric therapeutic cardiac
catheterization. Pediatr Cardiol 1998; 19:3-7.
6. Kirklin JW, Barrat-Boyes BG. Cardiac surgery. Edisi ke 2. New York: Churchill Livingstone;
1993. h. 841-59.
7. Harimurti GM. Penyakit jantung bawaan di Indonesia: Dari pisau ke jarum. Pidato pen-
gukuhan guru besar ilmu kardiologi pediatric FKUI. Jakarta: FKUI; 2008.
Abstract
The high prevalence of iron deficiency anaemia in Indonesia has been an important issue to be managed.
According to South East Asian Nutrition Survey (SEANUTS), 55% children under 2 years old suffer
from anaemia, and some of them have iron deficiency. The negative impacts of iron deficiency on growth
and development of children had been numerously studied, and irreversible. Thus, early detection on iron
deficiency is very important, therefore the growth and development could reach its optimal potential. The
utilization of Reticulocyte Haemoglobin Content (Ret-He) as a screening tool for iron deficiency could be
ease and less expensive alternative examination rather than SI/TIBC and ferritin examination. Ret-He
assessment also has been recommended and proven by valid evidences. Ret-He examination can assess
iron status on reticulocyte in a “real-time”, thus, it presents iron level in the bone marrow that is needed
in erythropoiesis process. The implementation of Ret-He examination hopefully could be a solution in
screening children’s iron status.
S
emenjak dua dekade lalu, World Health Organization (WHO) dan United Nations
International Children’s Emergency Fund (UNICEF) memprakarsai sebuah gerakan
untuk memantau defisiensi mikronutrien guna memerangi masalah malnutrisi pada
anak-anak.1 Defisiensi besi tanpa anemia adalah salah satu agenda yang menjadi prioritas
dan baru terlaksana pada tahun 1993. Program WHO untuk pencegahan defisiensi besi
pada ibu hamil sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 25 tahun lalu, namun tidak dipantau
ataupun dievaluasi secara sistematis.1 Prevalensi anemia defisiensi besi (ADB) di Indonesia
sendiri sudah cukup menjadi sorotan. Menurut Survei Kesahatan Rumah Tangga (SKRT)
tahun 2001, sekitar 55% bayi dibawah usia 1 tahun mengalami ADB.7 Penelitian oleh
Sekartini dkk, (2004) di Jakarta Timur, menunjukkan bahwa sekitar 38% dari 55 bayi
mengalami anemia, 71.4% di antaranya mengalami ADB.8 Menurut RISKESDAS 2013,
secara nasional penduduk Indonesia yang mengalami anemia dibawah usia 2 tahun
sekitar 21.7%, balita 1-5 tahun 28.1%, dan ibu hamil sebesar 37.1%.12 Sebuah penelitian
oleh South East Asian Nutrition Survey (SEANUTS) menunjukkan angka yang cukup
megejutkan, 55% anak usia 0.5 - 1.9 tahun mengalami anemia dan usia 2 -12 tahun
berkisar antara 10.6% – 15.5%, dan 4.1% - 8,8% di antaranya mengalami defisiensi
besi.13
397
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Pentingnya besi untuk kelangsungan pertumbuhan dan perkembangan anak sudah
banyak dilaporkan dalam pelbagai penelitian. Defisiensi besi sampai saat ini masih menjadi
masalah kesehatan di dunia.1 Dampak defisiensi besi pada anak dapat mengakibatkan
gangguan pertumbuhan, kognitif dan imunitas. Jika terjadi pada ibu hamil, maka
akan meningkatkan risiko kematian janin dalam kandungan.1,2 Deteksi dini defisiensi
besi merupakan hal penting dalam pencegahan anemia defisiensi besi. Derajat anemia
berbanding lurus dengan tingkat keparahan gangguan tumbuh kembang yang terjadi dan
bersifat ireversibel. Baku emas pemeriksaan laboratorium dalam menegakkan diagnosis
anemia defisiensi besi adalah feritin, serum iron (SI), total iron binding capacity (TIBC),
dan saturasi transferin.
Reticulocyte haemoglobin content (CHr) atau reticulocyte haemoglobin equivalent (Ret-
He) dapat digunakan sebagai alternatif pemeriksaan untuk mendeteksi dini status besi
sebelum terjadinya anemia. Pemeriksaan ini sudah banyak diteliti dan menunjukan hasil
yang relatif sama dibandingkan dengan pemeriksaan SI/TIBC maupun ferritin. 2,3,4,5
Kelebihan lain adalah pemeriksaan ini dapat langsung terlihat dari hasil darah perifer
lengkap sehingga tidak memerlukan sampel pemeriksaan darah yang banyak dan biaya
yang mahal.
Menurut Lorenz dkk, penggunaan Ret-He pada kasus-kasus defisiensi besi sangat
korelatif dengan kadar besi, dibandingkan pemeriksaan konsentrasi hemoglobin (Hb),
karena kadar Ret-He lebih menggambarkan suplai besi ke sumsum tulang sebagai
penghasil sel darah merah.2 Penelitian lain oleh Rungngu dkk, menunjukkan bahwa kadar
Ret-He berbanding lurus dengan anemia defisiensi besi (ADB), semakin tinggi kadar
Hb, kadar Ret-He pun tinggi, begitupun sebaliknya, semakin rendah Ret-He, semakin
besar resiko mengalami ADB. Batas potong ≤27.8 pg/L dengan sensitivitas sebesar 43.8%
dan spesifisitas 85.3% menjadi rekomendasi penegakkan diagnosis dari ADB pada anak-
anak. Tingginya spesifisitas menunjukkan seberapa menjanjikannya penggunaan Ret-He
sebagai skrining di masa depan.3
399
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
(<20pg), atau sering disebut mikrositik hipokromik. Selain, itu untuk membedakan dengan
thalassemia, dilakukan uji mikroskopik dan analisis status besi. Pada uji mikroskopik akan
ditemukan sel pensil, sedangkan analisis status besi menggunakan parameter umum yang
sering digunakan, seperti SI, TIBC, feritin, transferin, dan saturasi transferin.
Feritin
Dikutip dari World Health Organization. Iron deficiency anemia: assessment, prevention, and control. A
guide for programme managers. Geneva: WHO; 2001.
Feritin adalah salah satu biomarka paling spesifik untuk melihat cadangan total besi
dalam tubuh. Rendahnya feritin atau serum ferritin menunjukan rendahnya cadangan besi
yang ada di dalam tubuh manusia, dan hal ini bisa menggambarkan keadaan defisiensi besi
pada kasus-kasus yang tidak terdapat infeksi atau peradangan.1 World Health Organization
sudah memberikan batasan nilai untuk menduga bahwa seseorang kekurangan besi.
Batasan yang ditentukan adalah <15µg/l untuk setiap kekurangan besi.
Perbedaan nilai feritin juga tidak terlepas dari beberapa indikator, seperti umur,
jenis kelamin, ras, dan sebagainya. Bayi, anak-anak, dan ibu hamil memiliki cadangan
besi yang lebih sedikit dibandingkan dengan yang lain, namun hal ini tidak menunjukan
bahwa mereka langsung terkena defisiensi besi. Defisiensi besi terjadi apabila jumlah besi
tidak mencukupi untuk melakukan tugas fungsionalnya.
401
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
menilai status besi dibandingkan dengan kadar Hb serum adalah masa hidup yang sangat
singkat. Masa hidup retikulosit yang hanya berkisar 24-48 jam menjadi sangat baik karena
mencerminkan keadaan status besi secara langsung pada sumsum tulang. Pada keadaan
defisiensi besi, hal ini menjadi sangat baik, perubahan pada suplai besi ke sumsum tulang
akan tercermin pada penurunan Hb di retikulosit, yang terlihat pada penurunan Ret-
He.4 Selain itu, banyak studi-studi terbaru menunjukan bahwa penggunaan Ret-He untuk
deteksi dini defisiensi besi dikatakan lebih baik jika dibandingkan dengan penggunaan
alat skrining pada umumnya. Pemeriksaannya pun tidak memerlukan biaya maupun
pengambilan darah tambahan diluar pemeriksaan darah lengkap, karena hasilnya akan
terbaca sebagai bagian dari pemeriksaan retikulosit oleh alat tes pemeriksaan darah.4
Sebuah penelitian oleh Ullrich dkk, mengemukakan kadar Ret-He dibawah 27.5 pg
menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas menjanjikan untuk mendeteksi defisiensi besi
sebelum anemia pada bayi usia 9-12 bulan.4 Penelitian lain oleh Rungngu, et al (2016)
juga mendukung bukti bahwa kadar Ret-He berbanding lurus dengan kadar Hb dalam
serum. Semakin rendah kadar Ret-Hel, maka semakin tinggi resiko untuk terkena ADB.
Menurut Rungngu, kadar Ret-He ≤ 27.8 pg menjadi tolak ukur deteksi pasien dengan
ADB pada anak, dengan sensitivitas 43.8% dan spesifisitas 85.3%.3
American Association of Pediatric (AAP) juga sudah merekomendasikan penggunaan
CHr atau Ret-He sebagai alat deteksi dini defisiensi besi, dengan kadar CHr kurang dari
11.0 mg/dL sebagai ambang batas resiko terkena ADB. 11 Sebuah penelitian berdasarkan
popluasi oleh Kuehn, menunjukkan bahwa penggunaan CHr sebagai alat deteksi dini
Gambar 1. Area Under the Curve (AUC) lebih tinggi pada CHr dibandingkan dengan feritin5
Penutup
Anemia defisiens besi masih menjadi masalah kesehatan. Dampak negatif jangka panjang
terhadap tumbuh kembang seorang anak menjadi fokus perhatian untuk megatasi masalah
ADB. Diperlukan suatu terobosan dalam pemeriksaan laboratorium untuk membantu
menjaring anak yang termasuk fase defisiensi besi sebelum terjadi anemia sehingga dapat
segera diberikan suplementasi besi. Reticulocyte Hemoglobin Content (Ret-He) diharapkan
menjadi alat skrining dalam menilai status besi sebagai upaya menurunkan prevalensi
anak dengan defisiensi besi.
Daftar pustaka
1. World Health Organization. Iron deficiency anemia: assessment, prevention, and control. A
guide for programme managers. Geneva: WHO; 2001.
2. Lorenz L, Arand J, Bucher K, Wacker-Gussman A, Peter A, et al. Reticulocyte haemoglobin
content as a marker of iron deficiency. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2015;100:F198–
F202.
3. Rungngu S, Wahani A, Mantik M F.J. Reticulocyte hemoglobin equivalent for diagnosing
iron deficiency anemia in children. Paediatr Indones 2016;56(2).
4. Ullrich, dkk. Screening healthy infants for iron deficiency using reticulocyte hemoglobin
content. JAMA 2005;294(8).
5. Brugnara, dkk. Reticulocyte hemoglobin content to diagnose iron deficiency in children.
JAMA 1999;281(23).
6. Bamber R. Occurrence and detection of iron deficiency anemia in infants and toddlers. Clin
Lab Sei 2008;21(4): 225.
7. Ringoringo H P. Insidens defisiensi besi dan anemia defisiensi besi pada bayi berusia 0-12 bu-
lan di Banjarbaru Kalimantan Selatan: studi kohort retrospektif. Sari Pediatri 2009;11(1):8-
14.
8. Sekartini, dkk. Prevalensi anemia defisiensi besi pada bayi usia 4-12 bulan di Kecamatan
Matraman dan sekitarnya, Jakarta Timur. Sari Pediatri 2005;7(1):2-8
403
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
9. Abdulsalam M, Daniel A. Diagnosis, pengobatan, dan pencegahan anemia defisiensi besi.
Sari Pediatri 2002;4(2):74 – 77.
10. Bakr A F, Sarette G. Measurement of reticulocyte hemoglobin content to diagnose iron defi-
ciency in Saudi children. Eur J Pediatr 2006;165: 442–445.
11. Kuehn MAJ, dkk. Reticulocyte hemoglobin content testing for iron deficiency in healthy
toddlers. Military Medicine 2012;177, 1:91.
12. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Riset kesehatan dasar 2013: RISKESDAS 2013.
Jakarta: Kementrian Kesehatan RI. 2013.
13. Sandjaja S, dkk. Food consumption and nutritional and biochemical status of 0.5-12-year-
old Indonesian children: the SEANUTS study. Br J Nutr 2013;110, S11–S20.
Abstract
Henoch-Schönlein purpura nephritis (HSPN) is one of the most common type vasculitis in children.
Renal involvement is frequently found about 30-50% children with HSP. The pathogenesis of HSPN
is deposition aberrant glycosylated IgA1 in glomeruli. Acute episode of HSPN is characterized by
glomerular inflammation with endocapilary and mesangial proliferation, fibrin deposit and epithelial
crescents. These injuries might heal spontaneously or lead to chronic kidney disease. The treatment HSPN
according to Kidney Disease Improving Global Outcomes (KDIGO) 2012 depends on the severety of
proteinuria. Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACE-I) or angiotensin receptors blocker (ARB)
therapy for HSPN with mild proteinuria (< 1 g/d per 1.73m2), and HSPN with heavy proteinuria can
be treated with 6 months course corticosteroid. While HSPN with nephrotic syndrome and/or deterior
renal function can be treated with corticosteroid pulsesand cyclophosphamide. The prognosis of HSPN
depends on the severety of renal involvement.
H
enoch-Schönlein purpura (HSP) merupakan kelainan vaskulitis akut pada
pembuluh darah kecil yang sering ditemukan pada anak, dapat menimbulkan
berbagai macam gejala pada beberapa organ. Etiologi HSP sampai saat ini
masih belum jelas. Gejala klinis karakteristik HSP terdapat purpura tanpa disertai
trombositopenia, arteritis, gangguan gastrointestinal dan nefritis. Keterlibatan ginjal pada
HSP disebut Henoch-Schönlein purpura nephritis (HSPN)1,2,3,4,5
Sembilan puluh persen kasus HSP terjadi pada anak usia kurang dari 10 tahun, rerata
kejadian HSP pada usia 6 tahun, dengan angka kejadian bervariasi. HSP lebih banyak
pada anak lelaki dari pada perempuan. Di Netherlands angka kejadian HSP 6,1 kasus per
100.000 anak, sedang di UK 20,4 kasus per 100.000 anak. Angka kejadian anak HSP
keturunan Asia, tertinggi pada usia 4-7 tahun, sekitar 70 kasus per 100.000 anak. Di
RSUD Dr Soetomo dalam kurun waktu 5 tahun (2012-2017) terdapat 31 kasus HSPN
pada anak usia antara 5 sampai 18 tahun.1,5,6
Tiga puluh sampai lima puluh persen anak HSP mengalami gangguan ginjal, dengan
gejala hematuria mikroskopik paling sering ditemukan. Penelitian systematic review dari
12 penelitian melibatkan 1133 anak, diperoleh 34% terdapat kelainan pada pemeriksaan
urinalisis, 79% hematuria mikroskopik dengan atau tanpa proteinuria, dan 21% dengan
gejala nefritik dan atau sindrom nefrotik.3
405
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Prognosis anak HSP pada umumnya baik dan merupakan self limiting disease.
Namun demikian morbiditas dan mortalitas anak HSP tergantung beratnya komplikasi
pada ginjal. Penderita HSPN mempunyai kesamaan dengan IgA nephropathy oleh karena
mempunyai kesamaan gambaran histopatologi.1,3,7
Penelitian di The Netherlands melibatkan 232 anak HSP, 60% ditemukan pada anak
laki laki dan 29% gangguan pada ginjal ditemukan dalam kurun waktu 1 bulan dengan
gejala hematuria maupun proteinuria ringan. Gejala lain pada anak HSPN 3% dengan
proteinuria >1gram/L, 2% dengan sindrom nefrotik, 3% dengan hipertensi dan gangguan
fungsi ginjal ditemukan pada 1% anak dengan HSPN.1
Beberapa penelitian lain mendapatkan gangguan ginjal pada anak HSP dengan
jumlah yang berbeda yaitu berkisar 20-100%. Gangguan ginjal pada anak HSP
mempunyai persentase dengan interval lebar karena tidak semua penelitian menggunakan
definisi yang sama baik sindrom nefrotik maupun nefritik.5
Pada fase akut terdapat lesi pada glomerulus disertai peningkatan lekosit dan
hiperseluler endokapiler. Terbentuknya crescents ditandai adanya nikrosis pada glomerulus.
Gambaran histologi pada HSPN ini juga ditemukan pada anak IgA nephropathy. Pada
anak HSPN, gambaran proliferasi endokapiler dan adanya infiltrasi sel radang poly-nuclear
neutrophil dan bentukan crescents lebih sering ditemukan. Gangguan pada tubulus dan
tubulus interstisial ditandai adanya edema, infiltrasi limfosit, makrofag dan sel plasma,
menggambarkan keparahan glomerulus.1,10
Klasifikasi ISKDC ini menurut para ahli kurang sensitif untuk menentukan luaran
dan prognosis HSPN oleh karena klasifikasi ini hanya berdasarkan proliferasi mesangial
dan jumlah glomerulus yang mengalami crescents (dalam persen). Klasifikasi ISKDC tidak
mengevaluasi keadaan tubulus, interstisial tubulus dan vaskularisasi. Koskela melakukan
semiquantitative classification (SQC) dengan menambahkan evaluasi pada tubulus, tubule-
interstitial, perubahan kapiler serta penjelasan keadaan aktif atau kronik.7
Nilai keadaan kronis dan total skor biopsi sangat penting menentukan luaran. Skor
SQC ≤10 mempunyai prognosis baik, sedang skor SQC ≥11 mempunyai luaran kurang
baik dan beresiko terjadi gangguan ginjal lebih berat. Namun demikian skor SQC juga
harus mempertimbangkan terapi yang telah diberikan, karena dapat mempengaruhi hasil
SQC.7
407
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Patogenesis
Gangguan ginjal pada anak HSP sering ditemukan setelah gejala awal HSP. Namun
demikian patogenesis HSPN masih belum jelas diketahui. Beberapa peneliti mendapatkan
HSP terjadi pada anak setelah mendapat infeksi saluran napas, infeksi virus dan bakteri
patogen. Pada pemeriksaan ditemukan peningkatan kadar IgA, IgA immune complexes
dan IgA rheumatoid factor. Patogenesis HSP diduga akibat peran immune-complexes
yang ditandai adanya polymeric IgA1 (pIgA1), merupakan immune-complexes terutama
terdapat di kulit, gastrointestinal dan kapiler glomerulus. Kesamaan anak HSPN dan
IgA nephropathy terdapat timbunan IgA1 dan komplemen C3 pada mesangial. Demikian
pula terdapat kesamaan gambaran immunohistologi ginjal anak HSPN dengan dermatitis
herpetiformis, sirosis hati, celiac disease dan penyakit kronik inflamasi pada paru.2,6,11,12,13
Peningkatan kadar serum IgA ditemukan sekitar 40% pada anak dengan HSP.
Namun demikian peningkatan kadar IgA bukan merupakan petanda sensitif anak HSP,
karena peningkatan IgA juga ditemukan pada penyakit lain misalnya multiple myeloma
serta tidak ada perbedaan signifikan kadar serum IgA pada anak HSP dengan atau tanpa
gangguan pada ginjal.12
409
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Selain aktivasi sel mesangial dan komplemen, gangguan sel endotel ikut berperan
merusak ginjal. Fujieda dkk mendapatkan kerusakan endotel pembuluh darah disertai
peningkatan kadar serum IgA antiendothelial cells antibody dan serum thrombomodulin,
sehingga peningkatan kadar serum IgA antiendothelial cells antibody dan serum
thrombomodulin dapat dipakai sebagai petanda kerusakan ginjal. Gangguan fungsi
endotel karena stress oksidatif, gangguan asetylcholine atau hiperemia, akan merangsang
nitrit oxide dan menyebabkan vasodilatasi.11,15
Beberapa faktor lain diduga berperan pada patogenesis HSPN adalah nephritis-
associated plasmin receptor (NAPlr), Peningkatan IgE, aktivasi eosinophil, alpha-smooth
muscle actin (α-SMA), c-Met dan receptor hepatocyte growth factor. Namun demikian
faktor di atas masih memerlukan penelitian lebih lanjut.11,14
Diagnosis16,17,18
Diagnosis HSPN dibuat berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan penunjang dan biopsi
ginjal.
I. Gejala klinis
Gejala klinis HSP pertama kali dinyatakan oleh Schönlein (1837). Diagnosis HSP
dibuat berdasar tiga gejala yaitu rash purpura, arteritis dan sedimen urin abnormal.
Selanjutnya Henoch (1874) menyatakan ada hubungan antara rash purpura, nyeri
perut dengan berak darah dan proteinuria. Lebih lanjut beberapa kriteria dibuat oleh
para ahli yaitu The American College of Rheumatology (ACR) tahun 1990, Michel’s
criteria tahun 1992, Chapel Hill Consensus Conference (CHCC) tahun 1994,
Helander‘s criteria tahun 1995 dan European League Againts Rheumatism/Paediatric
Rheumatology International Trial Organization/Paediatric Rheumatology European
Sociaty (EULAR/PRINTO/Pres) criteria tahun 2010.8,19
Saat ini banyak dipakai adalah kriteria EULAR/PRINTO/Pres. Gejala klinis yaitu:
a. Palpable purpura merupakan gejala mutlak yang harus ada pada anak dengan
HSP
- Palpable purpura karakteristik terdapat pada bagian ekstensor ekstrimitas bawah
dan bokong.
- Palpable purpura bisa ditemukan pada tangan, wajah, muka dan telinga.
Palpable purpura (mandatory) pada HSP ditambah satu dari empat gejala di bawah:
b. Nyeri perut yang menjalar
c. Akut arteritis atau atralgia
Biasanya atralgia pada sendi besar dari ektrimitas bawah
d. Gangguan pada ginjal yaitu hematuria dengan atau proteinuria
e. Biopsi ginjal tampak timbunan IgA
Gejala lain yang menyertai antara lain
a. Gejala gastrointestinal: muntah, perdarahan saluran cerna, intussusepsi, bowel
ischemia
b. Neurologi: headache non spesifik, ensefalopati, kejang
411
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Biopsi kulit pada daerah yang mengalami purpura untuk melihat adanya
timbunan IgA
Tatalaksana
Terapi HSPN dilakukan dengan mempertimbangkan patofisiologi terjadinya HSP. Target
terapi HSPN meliputi:
1. Mencegah penetrasi antigen pada tingkat mukosa
Infeksi saluran nafas atas (ISPA) sering mendahului anak HSP. Infeksi bakteri kronis
diduga sebagai pencetus HSPN, sehingga tindakan tonsilektomi diharapkan dapat
mencegah penetrasi antigen bakteri pada ISPA, namun bukti klinis masih belum
jelas.14
2. Menekan produksi IgA1
Terapi imunosupresif dengan steroid, cyclophosphamide, azathioprine dan calcineurin
inhibitor pada HSPN terutama untuk mencegah penyakit ginjal kronis (PGK). Namun
demikian belum ada penelitian yang membuktikan peran imunosupresif diatas dengan
penurunan IgA1, GalNac-IgA1, plgA1. Terapi rituximab (RTX) pada HSP dengan gejala
neurologi dan gastrointestinal yang resisten terhadap kortikosteroid dan cyclophosphamide
mempunyai respon terapi baik, tanpa disertai efek samping yang serius.14,20
3. Menghilangkan / membersihkan IgA1 dan IgA1 komplek
Pembersihan IgA1 dan IgA1 komplek dilakukan dengan plasma exchange (PE).
Penelitian penderita HSP dengan gejala ekstra renal berat memberi respon baik.
Demikian pula penelitian yang dilakukan oleh Hattori dkk dan Shenoy mendapatkan
penderita HSPN dengan gangguan ginjal akut (GgGA), proteinuria masif dengan
atau sindrom nefrotik dan gambaran histopatologi setara dengan grade 3 atau grade
5, observasi selama 4-10 tahun, diperoleh hasil cukup baik. 13 dari 14 pasien, serta 6
dari 9 pasien LFG normal kembali.
4. Menekan aktivasi komplemen
Aktivasi komplemen terbukti sebagai pemicu reaksi inflamasi, misalnya aktivasi C5a
413
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
- HSPN dengan gejala sindrom nefrotik-nefritik
- Penurunan fungsi ginjal akut bukan karena tubular nekrosis akut
- Terdapat bentukan crescents pada glomerulus
2. Imunosupresan menggunakan protokol multi-target
a. Kortikosteroid
- Methyl prednisolon (MP) intravena / pulses diberikan setiap bulan dosis
10-30 mg/kg/dosis (maksimum 1 gram) selama tiga hari berturut turut,
selama 6 siklus.
- Prednisolone oral mengikuti MP pulses dengan dosis 0,5-1mg/kg/
bb dengan maksimum dosis 30 mg/hari. Selanjutnya prednisolone
diturunkan 5mg/hari tiap bulan mengikuti MP pulses
- Metylprednisolon pulses dihentikan bila
• Proteinuria membaik <0,3 gram/hari/1.73m2
• Fungsi ginjal membaik
• Prednisolone oral diturunkan bertahap selama 6-12 bulan, dapat
diberikan secara alternate atau selang sehari bila proteinuria <1
gram/hari/1.73m2
• Sebagai terapi alternatif prednisolone dapat diberikan 1-2 mg/kgbb/
hari selama 3 bulan sebagai terapi awal
b. Mycophenolate mofetil (MPA)
- MPA diberikan bersamaan dengan terapi kortikosteroid
- Dosis MPA 600mg/m2/dosis tiap 12 jam (15-23mg/kg/dosis) maksimum
1 gram tiap 12 jam
- Monitor darah tepi tiap bulan. Bila neutrophil <1.5x109 MPA dihentikan
- Bila memungkinkan diperiksa kadar MPA dengan target 2-4mg/L
- Efek samping yang harus diwaspadai yaitu neutropenia, gastritis, ulkus
peptikum, kolik abdomen, diare, perdarahan gastrointestinal
- Ranitidin diberikan dengan dosis 3 mg/kgbb/malam hari untuk
mencegah komplikasi. Terapi lain omeprazole 0,4-08 mg/kgbb/hari
malam hari
- Bila komplikasi gastrointestinal menetap, MPA dapat diganti dengan
Myfortic
c. Terapi proteinuria
- Calcineurin inhibitor yaitu cyclosporine A atau tacrolimus
- ACEI dan angiotensin receptor blocker (ARB)
3. Protokol cyclophophamide dosis tinggi
- Terapi MP pulses dosis 10 mg/kgbb/hari (maksimum 1 gram per hari) selama
tiga hari berturut turut
- Prednisolone oral diberikan mengikuti terapi MP pulses, dosis 0,5-1 mg/kgbb/
hari. Prednisolone diturunkan bertahap tiap bulan sampai dosis minimal untuk
mengontrol HSPN
415
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Gambar 2. Algoritme tatalaksana HSPN18\
Prognosis
Prognosis HSP pada umumnya baik dan merupakan penyakit self limiting, namun
komplikasi pada ginjal merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak
dengan HSP. Prognosis jangka panjang anak dengan HSP tergantung beratnya gangguan
pada ginjal. 25% HSPN klas 2 (tanpa bentukan crescents pada glomerulus) dengan
proteinuria menetap mempunyai resiko menjadi PGK.1,3,7,21,22
Komplikasi HSP pada organ lain misalnya paru, saluran cerna, otak dan testis
kadang sangat berat. Sekitar 30% anak HSP akan mengalami rash dan HSP berulang.
Penelitian 78 anak HSP, gejala nefritik lebih sering ditemukan pada anak usia lebih besar.
Penelitian mendapatkan 44% anak HSP dengan gejala nefritik atau nefrotik pada saat
awal gejala HSP, akan mengalami hipertensi dan atau gangguan fungsi ginjal. Sedang
anak dengan gejala hematuria dengan atau tanpa proteinuria pada awal gejala HSP, 82%
dengan urinalisis normal serta tanpa disertai hipertensi maupun gangguan fungsi ginjal.
Proteinuria menetap pada satu tahun pertama merupakan petanda prognosis kurang
baik.1,3,7
Daftar Pustaka
1. Davin JC, Coppo R. Henoch-Schӧnlein purpura nephritis in children. Nat Rev Nephrol.
2014;10:563-73.
2. Kawasaki Y, Ono A, Ohara S, Suzuki Y, Suyama K, Suzuki J, et al. Henoch-Schönlein purpu-
ra nephritis in childhood: pathogenesis, prognostic factors and treatment. Fukushima J Med
Sci. 2013;59:15-26.
3. Kidney Disease Improving Global Outcomes (KDIGO). KDIGO Clinical Practice Guide-
line for Glomerulonephritis. Kidney Kidney Int. 2012;2:218-20.
4. Lu S, Liu D, Xiao J, Yuan W, Wang X, Zhang X, et al. Comparison between adults and chil-
dren with Henoch-Schönlein purpura nephritis. Pediatr Nephrol. 2015;30:791-6.
5. Pohl M. Henoch-Schӧnlein purpura nephritis. Pediatr Nephrol. 2015; 30(2): 245-52.
6. Chen JY, Mao JH. Henoch-Schӧnlein purpura nephritis in children: incidence, pathogenesis
and management. World J Pediatr. 2015;11:29-34.
7. Koskela M, Ylinen E, Ukonmaanaho EM, Harmainen HA, Heikkilӓ P, Lohi J, et al. The
ISKDC classification and a new semiquantitative classification for predicting outcomes of
Henoch-Schӧnlein purpura nephritis. Pediatr Nephrol. 2017;32:1201-9.
8. Yang YH, Yu HH, Chiang BL. The diagnosis and classification of Henoch-Schӧnlein purpu-
ra: An updated review. Autoimmun Rev. 2014;13:355-8.
9. Akl K. Childhood Henoch Schönlein purpura in Middle East countries. Saudi J Kidney Dis
Transpl. 2007;18:151-8.
10. Pan YX, Ye Q, Shao WX, Shang SQ, Mao JH, Zhang T, et al. Relationship between immune
parameters and organ involvement in children with Henoch-Schönlein purpura. PLoS One.
2014;9:1-12.
11. Kawasaki Y. The pathogenesis and treatment of pediatric Henoch-Schӧnlein purpura nephri-
tis. Clin Exp Nephrol. 2011;15:648-57.
12. Lau KK, Suzuki H, Novak J, Wyatt RJ. Pathogenesis of Henoch-Schӧnlein purpura nephri-
tis. Pediatr Nephrol. 2010;25:19-26.
13. Zaffanello M. Henoch-Schӧnlein purpura nephritis in childhood. Dalam Prabhakar SS, Edi-
tor. An Update Glomerulopathies – Clinical and Treatment Aspects. 2011:209-30. Available
at: http://www.intechopen.com/books/an-update-on-glomerulophaties-clinical-and-treat-
ment-aspects/henoch-scho-nlein-purpura-nephritis-in-childhood
14. Davin JC. Henoch-Schӧnlein purpura nephritis: pathophysiology, treatment and future
strategy. Clin J Am Soc Nephrol. 2011;6:678-89.
15. Aviel YB, Dafna L, Pilar G, Brik R. Endothelial function in children with a history of henoch
Schönlein purpura. Pediatr Rheumatol Online J. 2017;15:1-6.
417
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
16. Modi S, Mohan M, Jennings A. Acute Scrotal Swelling in Henoch-Schönlein Purpura: Case
Report and Review of the Literature. Urol Case Rep. 2016;6:9-11.
17. Smith G. Management of Henoch-Schӧnlein purpura. Paediatr Child Health. 2016:1-5.
18. Liu ID, Resontoc LPR, Yap HK. Management of Henoch-Schӧnlein purpura nephritis. Da-
lam: Yap HK, Liu ID, Ng KH, Editor. Pediatric Nephrology On-The-Go. Edisi 2. Singapore:
Shaw-NKF-National University Hospital Children’s Kidney Center, 2015: 261-8.
19. Woerner A, Rudin C, Bonetto C, Santuccino C, Ozen S, Wise RP, et al. IgA vasculitis (He-
noch-Schӧnlein): Case definition andguidelines for data collection, analysis, and presenta-
tion of immunization safety data. Vaccine. 2016;35:1559-66.
20. Kaneko M, Ikezumi Y, Yamada T, Hasegawa H, Kaneko U, Saitoh A. Local leukocyte pro-
liferation as a target for cyclophosphamide in the treatment of Henoch-Schönlein purpura
nephritis grade VI. Nephrology. 2016;21:68-71.
21. Delbet JD, Hogan J, Aoun B, Stoica I, Solomon R, Decramer S, et al. Clinical outcomes
in children with Henoch-Schönlein purpura nephritis without crescents. Pediatr Nephrol.
2017;32:1193-9.
22. Floege J, Feehally J. Treatment of IgA nephropathy and Henoch-Schönlein nephritis. Nat
Rev Nephrol. 2013;9:320-7.
Abstract
Replacement therapy is the main treatment in the management of hemophilia, given as on-demand
(when there is bleeding) or prophylaxis (to prevent bleeding). The World Federation of Haemophilia has
recommended prophylaxis to prevent bleeding and joint destruction to preserve normal musculoskeletal
function (level of recommendation 2). Results from observational studies clearly showed that continuous
prophylaxis begins at early age is superior to on-demand treatment in delaying or preventing the
development of arthropathy. Although prophylaxis has been demonstrated to be the standard of care to
prevent haemophilic joint arthropathy, some issues remain to be challenges that affect decision to choose
prophylaxis especially in young children. Besides the cost, regimen and dose issues, problems with venous
access, appropriate age to start prophylaxis, availability of clotting factors, access to hemophilia care,
strategies to early detect and monitor joint arthropathy after the onset of bleeding needs to be explored.
In Indonesia, factor VIII concentrate has become a standard for on-demand treatment for hemophilia
A patients. However, prophylaxis with current standard dose is beyond the affordability regarding high
cost, availability of concentrate across all provinces and restricted financial support from government.
The WFH has suggested effective low dose prophylaxis for countries with resources constraints. Studies
in developing countries has proved efficacy of low dose prophylaxis to reduce joint bleeding and prevent
arthropathy progression, with lower and more affordable cost.
D
alam tata laksana hemofilia, profilaksis didefinisikan sebagai pemberian konsentrat
faktor pembekuan intravena sebelum terjadi perdarahan atau untuk mencegah
perdarahan sendi. Profilaksis mulai diadopsi menjadi prinsip pengobatan hemofilia
berdasarkan bukti pengalaman para ahli di Swedia, yang telah menjalankan profilaksis
pada anak hemofilia A berat usia dini sejak tahun 1958.1 Berdasarkan observasi para ahli
di Swedia, penyandang hemofilia derajat sedang (kadar faktor pembekuan >1–5%) lebih
jarang mengalami perdarahan sendi spontan, sehingga memiliki fungsi muskuloskeletal yang
lebih baik dan jarang mengalami artropati bila dibandingkan dengan penyandang hemofilia
berat. Atas dasar observasi ini, para dokter di Swedia berpendapat bila kadar faktor VIII
dapat dinaikkan di atas 1%, gejala klinis penyandang hemofilia A berat dapat dimanipulasi
menjadi seperti penyandang hemofilia A sedang atau ringan. Nilsson dkk.2 melaporkan hasil
observasi selama 25 tahun bahwa anak hemofilia A berat yang mendapat profilaksis sejak
usia 1–2 tahun tidak mengalami kerusakan sendi dan menjalani hidup normal. Sebaliknya,
profilaksis yang dimulai pada usia lebih tua dapat mencegah progresivitas kerusakan sendi,
namun tidak dapat memperbaiki kerusakan yang telah terjadi.3
419
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Pada penelitian prospektif di Jerman, sebanyak 44% pasien hemofilia A berat
mengalami perdarahan sendi pertama pada usia ≤ 1 tahun, dengan rata-rata usia adalah
1,9 tahun.4 Dalam penelitian ini didapatkan bahwa awitan terjadinya perdarahan sendi
terjadi sekitar 6 bulan setelah perdarahan lainnya. Telah diketahui bahwa kejadian
artropati hemofilik meningkat seiring bertambahnya usia. Pada usia < 10 tahun jarang
pasien hemofilia A berat mengalami artropati, namun pada usia 10–19 tahun artropati
makin sering ditemukan. Pada usia dekade ke-3 lazim ditemukan minimal 1 sendi besar
dengan artropati berat, dengan 1–2 sendi besar lainnya mengalami artropati sedang, dan
1–2 sendi lainnya baru mulai memasuki tahap awal artropati.5
Definisi profilaksis
Untuk memperoleh kesepakatan tentang definisi profilaksis, pada tahun 2002
diselenggarakan konferensi internasional di London yang menghasilkan Consensus
Perspectives on Prophylactic Therapy for Hemofilia sebagai berikut:6
1. Profilaksis primer
a. Berdasarkan usia: yaitu terapi profilaksis jangka panjang berkesinambungan
dimulai sebelum usia dua tahun dan sebelum perdarahan sendi (klinis).
b. Berdasarkan terjadinya perdarahan sendi pertama: yaitu terapi profilaksis jangka
panjang berkesinambungan dimulai sebelum awitan kerusakan sendi (dianggap
setelah perdarahan sendi yang pertama kali atau sebelum perdarahan kedua).
2. Profilaksis sekunder, yaitu terapi profilaksis jangka panjang berkesinambungan
yang tidak memenuhi kriteria profilaksis primer (contoh: profilaksis dimulai setelah
perdarahan sendi ≥ 2 kali).
3. Profilaksis jangka pendek: profilaksis jangka pendek untuk mencegah perdarahan.
4. Definisi jangka panjang pada butir 1 dan 2 adalah pemberian terapi profilaksis
dimaksudkan selama 52 minggu (minimal 46 minggu) per tahun, sampai mencapai
usia dewasa.
Walau telah dibuat konsensus definisi profilaksis oleh para ahli, regimen yang
digunakan dalam praktek sehari-hari maupun dalam penelitian tetap bervariasi, bahkan
di satu negara sekali pun. Di satu sisi, regimen profilaksis idealnya sedapat mungkin
ditentukan secara individual, sesuai dengan usia, akses vena, fenotip perdarahan,
farmakokinetik, aktivitas fisis, dan ketersediaan konsentrat faktor pembekuan. Di
sisi lain belum ada cukup data yang memperlihatkan efikasi dan keamanan jangka
panjang berbagai variasi regimen profilaksis di berbagai negara.7,8,9
Pada tahun 2012, World Federation of Haemophilia mengeluarkan definisi terapi
profilaksis sebagai berikut: 7
1. Profilaksis berkesinambungan (kontinyu)
a. Profilaksis primer, yaitu pengobatan kontinyu secara teratur dimulai sebelum
ada kelainan osteokondral pada sendi (dibuktikan dengan pemeriksaan fisis dan/
atau radiologis), diberikan sebelum terdapat bukti klinis perdarahan pada sendi
besar (pergelangan kaki, bahu, siku, lutut, pinggul) dan di bawah usia tiga tahun.
421
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Saat ini terdapat dua regimen standar profilaksis primer di negara tanpa keterbatasan
sumber daya, dengan efikasi jangka panjang yang telah terbukti, yaitu protokol Malmö dan
protokol Utrecht. Protokol Malmö menggunakan dosis faktor VIII 25–40 IU/kgBB 3 kali
seminggu sedangkan protokol Utrecht menggunakan dosis faktor VIII 15–30 IU/kgBB 3
kali seminggu.7 Rekomendasi National Hemofilia Foundation (NHF) Amerika Serikat dan
Medical and Scientific Advisory Council (MASAC) mirip dengan protokol Malmö yaitu
faktor VIII dosis 25–50 IU/kgBB 3 kali seminggu untuk hemofilia A berat.17
Profilaksis sekunder dapat diberikan pada rentang usia yang cukup besar, dengan
luaran bervariasi bergantung pada jumlah kumulatif perdarahan sendi sebelumnya dan
tahap kerusakan sendi yang telah terjadi pada saat dimulainya terapi.16 Beberapa penelitian
profilaksis sekunder menunjukkan luaran yang cukup menjanjikan yakni berkurangnya
jumlah perdarahan sendi.18,19
423
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Penelitian CANAL,32 yang merupakan studi kohort retrospektif multisenter,
bertujuan mengevaluasi hubungan antara karakteristik pengobatan dengan timbulnya
inhibitor pada pasien hemofilia A berat yang belum pernah mendapat terapi faktor VIII.
Subjek penelitian ini sebanyak 366 anak berasal dari 14 pusat hemofilia di Eropa dan
Canada. Delapan puluh tujuh subjek (24%) timbul inhibitor yang bermakna secara klinis
dan 69 di antaranya adalah high responders (titer inhibitor ≥ 5 BU). Timbulnya inhibitor
berkaitan erat dengan tindakan bedah dan terapi intensif faktor VIII pada awal pengobatan.
Pasien yang mendapat terapi profilaksis memperlihatkan risiko timbulnya inhibitor 60%
lebih rendah dibandingkan pasien dengan terapi on-demand. Penelitian-penelitian yang
menunjukkan bukti protektif profilaksis primer terhadap timbulnya inhibitor pada
hemofilia A berat semakin banyak, namun sampai saat ini belum ada uji klinis prospektif
dengan randomisasi, yang sulit dilakukan karena masalah etika. Demikian pula risiko
timbulnya inhibitor pada profilaksis sekunder, tersier maupun intermiten masih perlu
diteliti lebih lanjut.
Penutup
Tidak dapat dipungkiri bahwa biaya pengobatan hemofilia sangatlah mahal. Biaya
yang sangat besar ini terutama disebabkan karena proses pembuatan konsentrat faktor
pembekuan yang perlu mengedepankan faktor keamanan, mengingat obat ini digunakan
seumur hidup. Seperti negara berkembang lainnya, saat ini pengobatan hemofilia di
Indonesia masih menggunakan pola on-demand. Berdasarkan data Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) 2016 (dipresentasikan oleh Direktur BPJS pada Kongres Nasional
ke-5 Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia, 2017), hemofilia menempati urutan
ke-7 terbesar pengguna biaya BPJS secara nasional. Namun demikian, dengan pola on-
demand, sebagian besar penyandang hemofilia akan mengalami artropati hemofilik yang
berujung pada cacat fisik dan kualitas hidup yang rendah pada usia dekade ke-3 dan ke-4.
Biaya kesehatan yang dibutuhkan pada tahap ini akan semakin besar karena dibutuhkan
tindakan operasi korektif yang membutuhkan konsentrat lebih banyak lagi.
Farrugia dkk.34 meneliti cost-utility model yang membandingkan terapi profilaksis
dengan terapi on-demand pada subjek hemofilia A berat seumur hidup, menggunakan
standar tata laksana hemofilia untuk mengatasi perdarahan, komplikasi inhibitor (bypassing
agent dan immune tolerance therapy) dan operasi muskuloskeletal sesuai sistem kesehatan
di Inggris dan Amerika Serikat. Peneliti menyimpulkan bahwa pengobatan seumur hidup
dengan profilaksis adalah cost-effective untuk sistem kesehatan di kedua negara tersebut.
Peneliti juga mendapatkan bahwa cost per quality-adjusted life year (QALY) berdasarkan
model tersebut yang diterapkan di Swedia juga masih sesuai dengan biaya kesehatan yang
ada di negara tersebut.
Walaupun sistem dan pembiayaan kesehatan di Indonesia berbeda dengan ketiga
negara yang diteliti oleh Farrugia dkk.,33 dengan bukti sahih manfaat klinis yang ada,
terapi profilaksis dosis rendah sangat perlu dipertimbangkan menjadi pilihan utama bagi
Daftar pustaka
1. Löfqvist T, Nilsson IM, Berntorp E, Pettersson H. Haemophilia prophylaxis in young pa-
tients – a longterm follow-up. J Intern Med. 1997;241:395–400.
2. Nilsson IM, Berntorp E, Lofqvist T, H P. Twenty-five years experience of prophylactic treat-
ment in severe haemophilia A and B. J Intern Med. 1992;232:25–32.
3. Fischer K, van der Bom JG, Mauser-Bunschoten EP, Roosendaal G, Prejs R, de Kleijn P, dkk.
The effects of postponing prophylactic treatment on long-term outcome in patients with
severe hemophilia. Blood. 2002;99:2337‒41.
4. Pollmann H, Richter H, Ringkamp H, H J. When are children diagnosed as having severe
haemophilia and when do they start to bleed? A 10-year single-centre PUP study. Eur J Pe-
diatr. 1999;158:S166–70.
5. Ahlberg A. Haemophilia in Sweden VII. Incidence, treatment and prophylaxis of arthropa-
thy and other musculo-skeletal manifestations of haemophilia A and B. Acta Orthop Scand.
1965;77:S5–99.
6. Berntorp E, Astermark J, Björkman S, Blanchette VS, Fischer K, Giangrande PL, dkk. Con-
sensus perspectives on prophylactic therapy for haemophilia: Summary statement. Haemo-
philia. 2003;9:S1–4.
7. Srivastava A, Brewer AK, Mauser-bunschoten EP, Key NS, Kitchen S. Treatment Guidelines
Working Group on Behalf of The World Federation of Hemophilia: Guidelines for the man-
agement of hemophilia. Haemophilia. 2013;19:1–47.
8. Astermark J, Petrini P, Tengborn L, Schulman S, Ljung R, Berntorp E. Primary prophylaxis
in severe haemophilia should be started at an early age but can be individualized. Br J Hae-
matol. 1999;105:1109‒13.
9. Blanchette VS. Prophylaxis in the haemophilia population. Haemophilia. 2010;16:S181‒8.
10. Feldman BM, Pai M, Rivard GE, Israels S, Poon MC, Demers C, dkk. Association of Hemo-
philia Clinic Directors of Canada Prophylaxis Study Group. Tailored prophylaxis in severe
hemophilia A: Interim results from the first 5 years of the Canadian Hemophilia Primary
Prophylaxis Study. J Thromb Haemost. 2006;4:1228–36.
11. Luchtman-Jones L, Valentino LA, Manno. Recombinant therapy workshop participants.
Considerations in the evaluation of haemophilia patients for short-term prophylactic thera-
py: A paediatric and adult case study. Haemophilia. 2006;12:82–6.
12. Fischer K, van Der Bom JG, Prejs R, Mauser-Bunschoten EP, Roosendaal G, Grobbee DE,
dkk. Discontinuation of prophylactic therapy in severe haemophilia: Incidence and effects on
outcome. Haemophilia. 2001;7:544‒50.
13. Hay CR. Prophylaxis in adults with haemophilia. Haemophilia. 2007;13:S10‒5.
14. Fischer K, Valentino L, Ljung R, Blanchette V. Prophylaxis for severe haemophilia: Clinical
challenges in the absence as well as in the presence of inhibitors. Haemophilia. 2008;14:S196–
201.
425
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
15. Aledort LM, Haschmeyer RH, Petterssont H, & the Orthopaedic Outcome Study Group. A
longitudinal study of orthopaedic outcomes for severe factor-VIII-deficient haemophiliacs. J
lnt Med. 1994;236:391‒9.
16. Valentino LA. Secondary prophylaxis therapy: What are the benefits, limitations and un-
knowns? Haemophilia. 2004;10:147–57.
17. National Hemophilia Foundation. MASAC recommendation concerning prophylaxis (reg-
ular administration of clotting factor concentrate to prevent bleeding) (DocumentM#179).
New York: National Hemophilia Foundation. 2007.
18. van den Berg HM, Fischer K, Mauser-Bunschoten EP, Beek FJA, Roosendaal G, van der
Bom JG, dkk. Long-term outcome of individualized prophylactic treatment of children with
severe haemophilia. Br J Haematol. 2001;112:561–5.
19. Yee TT, Beeton K, Griffioen A, Harrington C, Miners A, Lee CA, dkk. Experience of prophy-
laxis treatment in children with severe haemophilia. Haemophilia. 2002;8:76–82.
20. Fischer K, van der Bom JG, Mauser-Bunschoten EP, Roosendaal G, Prejs R, Grobbee DE,
dkk. Changes in treatment strategies for severe haemophilia over the last 3 decades: Effects on
clotting factor consumption and arthropathy. Haemophilia. 2001;7:446‒52.
21. Wu R, Luke KH, Poon MC, Wu X, Zhang N, Zhao L, dkk. Low dose secondary prophylaxis
reduces joint bleeding in severe and moderate haemophiic children: a pilot study in China.
Haemophilia. 2011;17:70–4.
22. Tang L, Wu R, Sun J, Zhang X, Feng X, Luke KH, dkk. Short-term low-dose secondary
prophylaxis for severe/moderate haemophilia A children is beneficial to reduce bleed and
improve daily activity, but there are obstacle inits execution: A multi-centre pilot study in
China. Haemophilia. 2013;19:27–34.
23. Verma SP, Dutta TK, Mahadevan S, Nalini P, Basu D, Biswal N, dkk. A randomized study of
very low-dose factor VIII prophylaxis in severe haemophilia - A success story from a resource
limited country. Haemophilia. 2016;22:342‒8.
24. Novie Amelia Chozie. Terapi profilaksis sekunder dosis rendah dibandingkan terapi on-de-
mand untuk mencegah progresivitas artropati pada anak penyandang hemofilia A berat: ka-
jian pada luaran klinis, skor muskuloskeletal, ultrasonografi sendi, kadar C-Terminal Telo-
peptide of Collagen Type II urin dan terbentuknya inhibitor faktor VIII. Jakarta : Universitas
Indonesia; 2016.
25. Gatot D, Moeslichan MZ. Gangguan pembekuan darah yang diturunkan : hemofilia. Da-
lam: Permono HB, Sutaryo, Ugrasena IDG, Windiastuti E, Abdulsalam M, editor. Buku ajar
hematologi-onkologi. Edisi: Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter anak Indonesia; 2005. h.
174‒6.
26. Montgomery RR, Gill JC, Scott JP. Hemophilia and von Willebrand disease. Dalam: Nathan
DG, Orkin SH, editor. Nathan and Oski’s hematology of infancy and childhood. Edisi ke-6:
Tokyo: WB Saunders Company; 2003. h. 1631–69.
27. Mancuso ME, Graca L, Auerswald G, Santagostino E. Haemophilia care in children – bene-
fits of early prophylaxis for inhibitor prevention. Haemophilia. 2009;15:S8–14.
28. Nilsson IM. The management of hemophilia patients with inhibitors. Transfus Med Rev.
1992;6:285–93.
29. Matzinger P. The danger model: A renewed sense of self. Science. 2002;296:301–5.
30. Morado M, Villar A, Jimenez Yuste V, Quintana M, F HN. Prophylactic treatment effects on
inhibitor risk: Experience in one centre. Haemophilia. 2005;11:79–83.
427
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Complicated Nephrotic Syndrome
Oke Rina Ramayani
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara /RSUP H.Adam Malik Medan
Abstract
Nephrotic syndrome (NS) is a common manifestation of glomerulopathy in children. Children with
NS have a decreased quality of live, also have risk of a wide range complications. These complications
associated with significant morbidity and experience mortality rates of up to 2.7%. Urinary loss of plasma
protein, changing in oncotic pressure and adverse effect of immunosuppressant drug, are caused of higher
complication in children with NS compare with normal population. Complications related to disease
itself are infection; hypovolemia; thromboemboli, and renal insufficiency, meanwhile complications
related to drug are growth disturbances, encephalopathy and decreased renal or hepatic function.
M
ekanisme utama terjadi komplikasi pada SN adalah hilangnya protein
plasma ke dalam urin. Kehilangan protein menyebabkan penurunan tekanan
onkotik intravaskular yang selanjutnya menyebabkan cairan merembes ke
ruang interstisial. Pengurangan volume intravaskular akan menurunkan perfusi ginjal
dengan akibat penurunan laju filtrasi glomerulus, dan memicu sistem renin-angiotensin.
Aldosteron, sebagai hasil dari aktivasi sistem renin-angiotensin, bersama dengan
peningkatan sintesis dan sekresi hormon antidiuretik sebagai respon penurunan volume
intravaskular, menyebabkan peningkatan reabsorbsi natrium dan air di tubulus. Hal ini
juga menimbulkan gejala klinis seperti takikardia, vasokonstriksi perifer, tekanan darah
rendah, oliguria dan retensi sodium urin.1,2
Teori underfill di atas tidak selalu dapat diterapkan pada pasien sindrom nefrotik.
Pada beberapa pasien didapatkan peningkatan volume intravaskular, dengan kadar renin
dan aldosteron rendah. Pada pasien-pasien ini, terjadi kelainan primer pada fungsi ginjal
yang menyebabkan retensi air dan natrium, peningkatan volume sirkulasi sehingga terjadi
transudasi cairan ke rongga interstisial, hipertensi, dan penurunan fungsi ginjal 1-3 Oleh
karena itu penanganan edema pada pasien SN harus mempertimbangkan keadaan klinis
setiap individu (Tabel 1).4,5
Selain perubahan hemodinamik akibat perubahan tekanan onkotik, komplikasi
SN juga disebabkan hilang protein plasma yang turut membawa zat zat peting dalam
pencegahan infeksi, tromboemboli dan gangguan kalsium. Komplikasi tersebut dapat
terjadi sehubungan dengan penyakit dan akibat obat-obatan yang diberikan. Komplikasi
SN sehubungan dengan penyakit tersebut adalah infeksi, hipovolemia, tromboemboli,
insufisiensi renal dan gangguan pertumbuhan.
Komplikasi hipovolemia
Penderita SN mempunyai risiko besar untuk mengalami hipovolemia dan syok. Gejala
dan tanda hipovolemia ialah hipotensi, takikardia, akral dingin dan perfusi buruk,
peningkatan kadar urea dan asam urat dalam plasma.2,6,7 Nyeri abdomen juga dapat
menjadi gejala hipovolemia dan peritonitis. Komplikasi ini dapat terjadi sebagai akibat
pemakaian diuretik yang tidak terkontrol, terutama pada kasus yang disertai dengan
sepsis, diare dan muntah.8
Walaupun penderita SN memiliki peningkatan total air tubuh dan sodium untuk
mengkompensasi deplesi volume intra vaskular, namun status volume pasien (hipovolemia
atau masih normovolemia) terkadang sulit dideteksi, bahkan penderita jatuh dalam
keadaan gangguan ginjal akut.8,9 Pemantauan volume sirkulasi penting dilakukan misalnya
berdasarkan data klinis maupun laboratorium pasien (Tabel 2). Pemberian diuretik loop
aman diberikan apabila volume sirkulasi normal, namun apabila volume sirkulasi menurun
maka penggunaan diuretik perlu berhati-hati diberikan.3
429
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Komplikasi infeksi
Peningkatan risiko infeksi terjadi oleh karena kekurangan konsentrasi immunoglobulin
yang hilang melalui urin, gangguan dalam membuat antibodi spesifik, kurang faktor
komplemen dan pemakaian obat imunosupresif. Kumulatif insidensi infeksi berkaitan
dengan mortalitas menurun dari 40% hingga 1,5% dengan pemakaian antibiotika.10
Infeksi, yang paling sering adalah peritonitis (2-6%), kemudian selulitis, pneumonia, dan
infeksi saluran napas atas oleh virus (Tabel 3).11
Komplikasi infeksi terutama infeksi bakteri berkapsul memperlihatkan peningkatan
frekuensi pada penderita SN. Selain itu, asites dan efusi pleura memberikan media
kultur alami untuk pertumbuhan bakteri, dengan demikian, pneumonia, empiema, dan
peritonitis merupakan infeksi serius yang sering terjadi.2,12 Peranan dokter dalam praktik
untuk menganjurkan imunisasi merupakan salah satu cara mencegah komplikasi infeksi
serius pada penderita SN.
Komplikasi tromboemboli
Dua sampai 5% dari anak SN berkomplikasi tromboemboli. Risiko lebih tinggi pada
anak resisten steroid dibanding dengan sensitif steroid, selain itu penderita SN kongenital
431
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
pula terjadi sekunder akibat trombosis vena renalis, atau terjadi nefritis interstisalis akibat
pemakaian furosemid dosis tinggi. Jika gagal ginjal terus berlanjut selama lebih dari
beberapa hari, dialisis mungkin diperlukan untuk pemulihan lengkap.3,6
Cyclophosphamide (CPM)
Efek samping agen alkylating, termasuk komplikasi awal penekanan sumsum tulang,
alopecia, gangguan pencernaan, hemorrhagic cystitis dan infeksi, komplikasi akhir
dari kemungkinan keganasan dan gangguan kesuburan, terutama pada laki-laki. Untuk
menghindari toksisitas gonad, CPM tidak boleh digunakan untuk lebih dari 12 minggu
(2 mg/kg berat badan, dosis tunggal) dan harus direduksi jika jumlah lekosit darah kurang
dari 5.000/mm3 selama penggunaan CPM. Asupan cairan yang adekuat dianjurkan untuk
menghindari hemorrhagic cystitis selama menggunakan CPM.21
Cyclosporin A(CsA)
CsA merupakan metabolit imunosupresif bertugas dengan cara dengan memodifikasi
fungsi sel T dan menghambat pelepasan interleukin-2. Penggunaan jangka panjang dari
CsA menyebabkan berkurangnya fungsi ginjal (nefrotoksisitas), gangguan enzim hati,
hiperplasia gingival, hirsutisime, hipertensi, hiperkalemia, hipertrikosis dan ensefalopati.
Dampak pemberian CsA ditemukan 30 sampai 40% lesi tubulointerstitial dari anak-anak
yang telah menerima CsA selama lebih dari 12 bulan. Faktor risiko terjadi komplikasi CsA
Obat-obat lain
Tacrolimus adalah inhibitor kalsineurin dapat memiliki beberapa efek samping, seperti
hipertensi, kelainan fungsi ginjal, tremor, kram otot, hiperkalemia, hypophosphatemia,
leukopenia, dan hiperglikemia.23 Komplikasi mikofenolat mofetil (MMF) termasuk
gangguan gastrointestinal, penekanan sumsum tulang, dan sakit kepala. Levamisol, agen
antihelminthik, dapat digunakan pada pasien steroid dependent, tetapi tidak efektif sebagai
terapi permanen untuk SN. Levamisol memiliki efek samping ringan dari leukopenia,
efek gastrointestinal dan vaskulitis.
Rituximab merupakan obat baru penghambat proliferasi sel B dan diindikasikan
pada penderita SN relaps sering, steroid dependen dan steroid resisten. Komplikasi
rituximab termasuk bronkospasme yang mengancam jiwa, pneumonia pneumocystis
carinii, infark miokard, progressive multifocal leukoencephalopathy, dan reaktivasi virus
seperti cytomegalovirus dan hepatitis B. 24
Penutup
Kemampuan dokter dalam mengenali, mendiagnosis dan melakukan tata laksana
komplikasi SN merupakan hal penting dilaksanakan dalam praktik. Beberapa komplikasi
dihubungkan dengan penyakit SN adalah infeksi, hipovolemia, tromboemboli, insufisiensi
renal, gangguan pertumbuhan serta komplikasi akibat obat imunosupresan untuk SN.
Daftar pustaka
1. Vogt BE, Avner ED. Nephrotic syndrome. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson
HB, penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-17. Pensylvania; Saunders: 2004.
h. 1753-7.
2. Haycock G. The child with idiopathic nephrotic syndrome. Dalam: Webb N, Postlethwaite
R, penyunting. Cinical Paediatric Nephrology. Edisi ke-3. Oxford; University Press: 2003.
h. 341-66.
3. McCaffrey J, Lennon R, Webb NJA. The non immunosuppressive management of childhood
nephrotic syndrome. Pediatr Nephrol. 2016;31:1383-402.
4. Trihono PP, Alatas H, Tambunan T, Pardede SO. Konsensus tata laksana sindrom nefrotik
idiopatik pada anak. Edisi ke-2. Jakarta: UKK Nefrologi IDAI; 2012.
5. Passini A, Benetti E, Conti G, Ghio L, Lepore M, Massella L et al. The Italian Society for
Pediatric Nephrology (SINePe) consensus document on the management of nephrotic syn-
drome in children: Part I- diagnosis and treatment of the first episode and the first relapse.
Ital J Pediatr. 2017;43:41.
433
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
6. Niaudet P, Boyer O. Idiopathic nephrotic syndrome in children: clinical aspects. Dalam:
Avner ED, Harmon WE, Niaudet P, Yashikawa N, penyunting. Pediatric Nephrology. Edisi
ke-6. Berlin:Springer-Verlag, 2009. h.667-702.
7. Rheault MN, Wei C, Hains DS, Wang W, Kerlin BA, Smoyer WE. Increasing frequen-
cy of acute kidney injury amongst children hospitalized with nephrotic syndrome. Pediatr
Nephrol. 2014;29:139–47.
8. Cadnapaphornchai MA, Tkachenko O, Shchekochikhin D, Schrier RW. The nephrotic syn-
drome: pathogenesis and treatment of edema formation and secondary complications. Pedi-
atr Nephrol. 2014;29:1159–67.
9. Doucet A, Favre G, Deschenes G. Molecular mechanism of edema formation in nephrotic
syndrome: therapeutic implications. Pediatr Nephrol. 2007;22:1983–90.
10. International Study of Kidney Disease in Children. Minimal change nephritic syndrome in
children during the first 5 to 15 years observation. Pediatrics. 1987;73:497-501.
11. Indian Pediatric Nephrology Group. Consensus statement on management of steroid re-
sponsive nephrotic syndrome. Indian Academy of Pediatrics. Indian Pediatr. 2001;38:975-
86.
12. Alwadhi RK,Mathew JL,Rath B.Clinical profile of children with nephrotic syndrome not on
glucorticoid therapy, but presenting with infection. J Paediatr Child Health. 2004;40:28-30.
13. Kerlin BA, Ayoob R, Smoyer WE. Epidemiology and pathophysiology of nephrotic syn-
drome associated thromboembolic disease. Clin Am J Soc Nephrol. 2012;7:513-20.
14. Loscalzo J. Venous thrombosis in the nephrotic syndrome. N Engl J Med. 2013;368:956-8.
15. Eneman B, Levtchenko E, Heuvel BV, Geet CV, Freson K. Platelet abnormalities in nephrot-
ic syndrome. Pediatr Nephrol. 2015;31:1267-79.
16. Hafni A, Hilmanto D, Rachmadi D, Sekarwana N. Trombocytosis in childhood relapsing
nephrotic syndrome. Sari Pediatri. 2007; 47:100-3.
17. Gulati S, Godbole M, Singh U, Gulati K, Srivastava A. Are children with idiopathic nephritic
syndrome at risk for metabolic bone disease? Am J Kidney Dis. 2003;41:1163-9.
18. Weng FL, Shults J, Herskovits RM, Zemel BS, Leonard MB. Vitamin D insufficiency in
steroid-sensitive nephrotic syndrome in remission. Pediatr Nephrol. 2005;20:56-63.
19. Simmonds J, Trompeter R, Tullus K. Long-term steroid treatment and growth: a study in
steroid-dependent nephritic syndrome. Arch Dis Child. 2010;95:146-9.
20. Rivkees SA, Danon M, Herrin J. Prednisone dose limitation of growth hormone treatment
of steroid-induced growth failure. J Pediatr. 1994;125:322-5.
21. Latta K, von Schnakenburg C, Ehrich JH. A meta-analysis of cytotoxic treatment for fre-
quently relapsing nephrotic syndrome in children. Pediatr Nephrol. 2001;16:271-82.
22. Kim JH, Park SJ, Yoon SJ, Lim BJ, Jeong HJ, Lee JS, et al. Predictive factors for ciclospo-
rin-associated nephrotoxicity in children with minimal change nephrotic syndrome. J Clin
Pathol. 2011;64:516-9.
23. De Rycke A, Dierickx D, Kuypers DR. Tacrolimus-induced neutropenia in renal transplant
recipients. Clin J Am Soc Nephrol. 2011;6:690-4.
24. Iijima K, Sako M, Nozu K. Rituximab therapy for nephrotic syndrome in children. Cur
Pediatr Rep. 2015;3:71-7.
Abstract
Iron deficiency (ID) is a single micronutrient deficiency that remains a big problem in Indonesia with
long-term adverse effects. Iron supplementation (IS) in infants and children is one of the community-
level prevention attemp to reduce the prevalence of ID and iron deficiency anemia (IDA) in Indonesia.
On the other hand, excessive iron supplementation of infants may lead to increased risk of infection,
impaired growth, and disturbed absorption or metabolism of other minerals. Iron is also a known pro-
oxidant, and non-protein bound iron may cause formation of free oxygen radicals. Various single and
multisenter studies have been conducted to examine the growing controversy about efficacy and negative
impact of IS on various age groups with diverse quality and heterogenous results. Young children were
a special age group because their rapid growth leads to high iron requirements. We summarized the
benefit, safety, and the harm of iron supplementation studies in infant (<24 months). Some of systematic
review and metaanalysis studies were also reviewed. Those were the source of development of the new
recommendation of IS in Indonesia. Currently, the implementation of IS in Indonesia was based on
recommendation from Indonesian Pediatrician Association for IDA Task Force 2011. It seems need to be
revised regarding the new recent evidences.
D
efisiensi besi (DB) termasuk defisiensi mikronutrien yang paling sering terjadi di
seluruh dunia, khususnya di Asia Tenggara dan Afrika Tengah.1,2 Besi merupakan
nutrisi penting dan berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan.
Kekurangan besi pada masa bayi dikaitkan dengan serangkaian masalah klinis dan
perkembangan, meliputi defisit perkembangan saraf, penundaan pematangan respon
batang otak terhadap pendengaran, serta gangguan memori dan perilaku.3
Suplementasi besi bayi dan anak merupakan tindakan yang terbukti efektif dalam
mencegah kekurangan besi selain tindakan suplementasi besi ibu hamil dan menunda
penjepitan tali pusat.4 Pelaksanaan suplementasi besi di Indonesia hingga kini adalah
berdasarkan rekomendasi satuan tugas (satgas) ADEBE IDAI tahun 2011 yang
membaginya ke dalam 4 kelompok umur yaitu: bayi hingga usia 2 tahun, anak usia 2–5
tahun, usia sekolah (5–12 tahun), dan remaja (12–18 tahun)(tabel 1).5 Suplementasi besi
pada bayi dan anak menuai berbagai kontroversi diantaranya mengenai efektifitas dan
risiko infeksi. Manfaat SB terhadap profil hematologis, status besi, dan tumbuh kembang
telah dilakukan di berbagai negara mulai dari penelitian bersifat uni senter hingga multi
senter melalui berbagai kajian sistematis mendapatkan hasil beragam. Kepustakaan ini
435
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
merupakan rangkuman berbagai penelitian dan rekomendasi SB yang telah dikeluarkan
oleh berbagai organisasi dunia, diantaranya World Health Organization, pada bayi dan
anak yang diharapkan dapat menjadi pertimbangan perubahan rekomendasi SB pada bayi
di Indonesia.6,7
Saat ini prevalensi anemia pada bayi dan anak Indonesia masih berdasarkan data
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan yaitu sekitar 21,7%, terbagi
pada kelompok usia 12–59 bulan sebesar 28,1%, 5–14 tahun 26,4%, dan 14–24 tahun
18,2%.8 Berdasarkan data Vitamin and Mineral Nutrition Information System (VMNIS)
WHO, Indonesia tergolong kedalam kelompok prevalensi anemia moderat (sedang)
untuk anak 6–59 bulan, yaitu 32%.9 Data populasi DB lainnya adalah survey Indonesia
Life yang menujukkan penurunan prevalensi ADB dalam 1 dasawarsa terakhir dari
40–45% menjadi usia 31,4% (0–5 tahun), 20,6% (5–12 tahun), dan 15,8% (12–<15
tahun).10,11 Belum terdapat data populasi terbaru prevalensi anemia bayi dan anak di
Indonesia. Penelitian prevalensi anemia anak dan remaja di Indonesia sangat minim dan
sebagian bersifat bersifat lokal seperti yang di lakukan di pedesaan Sumatera Barat dan
Kalimantan Selatan yang menunjukkan prevalensi yang lebih tinggi, yaitu 53,9% dan
47,4%.12,13 Data prevalensi ini demikian penting, karena merupakan dasar pertimbangan
rekomendasi pemberian SB di tiap negara.
Tabel 1. Dosis dan lama pemberian suplementasi besi berdasarkan Satgas Adebe 2011
Usia (tahun) Dosis besi elemental Lama pemberian
Bayi*
BBLR(<2500 g) 3 mg/kgBB/hari Usia 1 bulan sampai 2 tahun
Cukup bulan 2 mg/kgBB/hari Usia 4 bulan sampai 2 tahun
2–5 tahun 1 mg/kgBB/hari 2x/minggu selama 3 bulan berturut-turut
setiap tahun
>5–12 (usia sekolah) 1 mg/kgBB/hari 2x/minggu selama 3 bulan berturut-turut
setiap tahun
12–18 (remaja) 60 mg/hari# 2x/minggu selama 3 bulan berturut-turut
setiap tahun
Keterangan: * Dosis maksimal untuk bayi 15 mg/hari, dosis tunggal
# Khusus remaja perempuan ditambah 400 µg asam folat
Sumber: Djajadiman5
437
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
memiliki kandungan besi 13 mg/L menyediakan besi 2 mg/kg/hari, dan jumlah ini cukup
untuk memenuhi kebutuhan besi.14
439
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Rekomendasi SB pada kelompok usia ini adalah berdasarkan bukti ilmiah yang
kurang kuat, SB hanya bermanfaat dalam mengurangi anemia berat yang memerlukan
transfusi, sedangkan dampak negatif seperti kejadian penyakit paru kronis, retinopati
prematur, dan enterokolitis nekrotikan tidak terbukti.7 Penelitian masih belum cukup jelas
membuktikan efektivitas SB terhadap pertumbuhan, perkembangan. Dosis,waktu,dan
lama pemberiannyapun masih diperdebatkan.3
Terdapat 3 telaah sistematis dan metaanalisis terbaru mengenai dosis, durasi,
dan waktu pemberian SB bayi kurang bulan/BBLR.3,23,24 Luaran penelitian meliputi
pertumbuhan, perkembangan, profil hematologis, mortalitas dan morbiditas BKB. Dosis
yang digunakan bervariasi mulai 2–4 mg/kg/hari hingga dosis tinggi 7–12 mg/kg/hari.
Durasi pemberian pun bervariasi, dikatakan jangka pendek bila diberikan ≤6 bulan dan
jangka panjang >6 bulan.3 Dosis 2–3 mg/kg/hari memiliki manfaat yang paling optimal.
Suplementasi besi dini (< 2minggu) terbukti mengurangi anemia berat yaitu didefiniskan
sebagai anemia yang memerlukan transfusi pada masa bayi dan profil hematologis lebih
baik setelah usia 8 minggu, memerbaiki cadangan besi (mencegah penurunan dan
meningkatkan kadar ferritin) dan mencegah penurunan kadar Hb.3,24,25 Suplementasi
besi terbukti secara lemah tidak meningkatkan risiko morbiditas bayi meliputi sepsis
awitan lanjut, penyakit paru kronis maupun ROP. Durasi pemberian SB ≤6 bulan yang
menunjukkan perbedaan signifkan pada profil hematologis (Hb dan mean corpuscullar
volume/MCV) kelompok suplementasi dan non suplementasi.3 Kesimpulan hasil tinjauan
Cochrane neonatal menunjukkan bayi yang mendapatkan SB memiliki kadar Hb yang
lebih tinggi, cadangan besi yang lebih baik, dan risiko IDA yang lebih rendah. Namun
bukti efektivitas jangka panjang terhadap pertumbuhan dan perkembangan masih belum
jelas. Waktu dan durasi yang paling optimal masih belum jelas.3 Penelitian Long dkk.
menunjukkan hasil yang serupa.23
0.61; 95% confidence interval [CI]: 0.50–74; 17 penelitian, n = 4825), DB (RR: 0.30;
95% CI: 0.15–0.60; 9 penelitian, n = 2464) dan ADB (RR: 0.14; 95% CI: 0.10–0.22; 6
penelitian, n = 2145), dibandingkan kelompok plasebo. Tidak terdapat perbedaan antara
dua kelompok tersebut pada aspek pertumbuhan (stunting dan wasting). Dampak negatif
infeksi meliputi infeksi saluran napas atas, diare, dan malaria tidak terbukti ( RR: 1,1 ;
CI: 0,91–1,34).6
Pada rekomendasi ini tidak dijelaskan alasan mulai diberikan pada usia 6 bulan,
namun dipertimbangkan berdasarkan metabolisme besi bahwa bayi memiliki maturitas
homeostasis besi pada usia 6 bulan dan salah satu penelitian di Amerika Serikat 37
bayi diberi besi 7 mg sejak usia 1 bulan dibandingkan 38 plasebo menunjukkan bahwa
pemberian besi dari usia 1 bulan–5.5 bulan dapat memiliki efek pencegahan, namun
efek tersebut tidak bertahan sampai usia pasca suplementasi.27 Selain itu rekomendasi ini
sejalan dengan rekomendasi WHO lainnya mengenai pemberian ASI eksklusif hingga
usia 6 bulan.
Metaanalisis terbaru SB usia 6–23 bulan dilakukan oleh Marian dkk. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa SB tidak terbukti dapat memperbaiki perkembangan
dan pertumbuhan yang dinilai melalui pemeriksaan Bayley Scales of Infant Development
Scores pada usia 3–12 bulan dan Griffith. Sedangkan dampak terhadap profil hematologis
lainnya sejalan dengan tinjauan sistematis sebelumnya.28 Durasi pemberian SB selama
3 bulan berturut-turut dianggap cukup untuk memenuhi kebutuhan besi anak 6–23
bulan.29 Luaran positif terhadap neurodevelopmental (perkembangan) diamati pada
kelompok usia pra sekolah (24–5 tahun) dan usia sekolah (5–12 tahun).30,31 Pada usia pra
sekolah sekolah terdapat pada ada aspek kognitif terdapat perbedaan minimal pada aspek
bahasa dan visual antara kelompok yang beri SB dan yang tidak. Sedangkan dampak SB
terhadap pertumbuhan diamati terdapat pada kelompok usia sekolah (6–12 tahun).
Rekomendasi SB pada bayi cukup bulan yang sehat perlu mempertimbangkan
berdasarkan risiko ADB, European Society for Paediatric Gastroenterology Hepatology and
Nutrition (ESPGHAN) tidak merekomendasikan SB bayi cukup bulan yang sehat karena
tindakan ini karena terbukti tidak mengurangi ADB pada daerah dengan prevalensi yang
rendah (5–10% populasi).1 Rekomendasi ini serupa dengan United State Preventive Task
Force yang hanya merekomendasikan SB pada bayi dengan risiko tinggi ADB.32
441
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Implementasi rekomendasi suplementasi besi WHO 2016
Rekomendasi WHO ini merupakan pencegahan tingkat populasi sehingga bila seorang
anak telah didiagnosis ADB maka tata laksana adalah berdasarkan pedoman nasional tiap
negara. Jika prevalensi adalah 20–40%, regimen intermitten dapat dipertimbangkan.
Pemberian SB intermitten sebagai intervensi komunitas untuk memperbaiki status besi
dan mengurangi risiko ADB.33 Rekomendasi ini berdasarkan 2 tinjauan sistematis dan
metaanalisis.34,35 Suplementasi besi intermiten dapat diberikan 1 kali per minggu, dua atau
3 kali per minggu merupakan cara yang cukup efektif untuk meningkatkan asupan besi.
Regimen ini memiliki efek samping yang lebih minimal dan meningkatkan kepatuhan
minum SB. 33
Pemilihan cara pemberian suplementasi harus spesifik dengan permasalah tiap daerah
dengan tujuan mencapai populasi yang paling rentan mengalami DB, dan memastikan
kesediaan dan kelangsungan obat. Pada daerah endemis malaria, suplementasi tidak
meningkatkan risiko malaria atau kematian bila surveilans dan terapi malaria tersedia,
intervensi besi oral tidak diberikan kepada anak yang tidak memiliki akses terhadap
program pencegahan malaria Risiko malaria klinis lebih rendah pada anak dengan besi
yang cukup, tidak diperlukan skrining anemia sebelum DB di daerah anemia prevalensi
tinggi. Malaria pada bayi berbahaya, maka suplementasi besi hanya diberikan pada
bayi yang tidur dalam kelambu berinsektisida, dan malaria dapat diobati sesuai dengan
pedoman nasional
Penutup
•• Suplementasi besi bermanfaat untuk mencegah DB dan ADB pada bayi (0–23 bulan)
dengan memerbaiki profil besi dan hematologi, sedangkan manfaat jangka panjang
terhadap pertumbuhan, perkembangan belum didapatkan bukti ilmiah yang cukup.
Manfaat jangka panjang SB hanya didapatkan usia prasekolah dan sekolah. Dampak
negatif SB terhadap risiko infeksi dan peningkatan stress oksidatif tidak terbukti pada
semua kelompok usia.
•• Pemberian SB pada BKB perlu memertimbangkan berat badan dosis yang paling
optimal adalah 2–3 mg/kg/hari, dengan pemberian lebih dini yaitu mulai dari usia
2 minggu selama 6 bulan pemberian. Bayi berat lahir sangat rendah (< 1500 gram),
perlu perhatian khusus karena status besi pada saat memulai SB sangat beragam,
sehingga dipertimbangkan untuk dilakukan skrining pada awal memulai SB.
•• Suplementasi besi BCB diperbarui dengan memulai onset pemberian pada usia 6
bulan, dengan durasi pemberian 3 bulan berturut-turut per tahun hingga 23 bulan
dengan dosis intermiten karena Indonesia termasuk negara dengan prevalensi anemia
moderat (20-40%).
443
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
21. Agostoni C, Buonocore G, Carnielli VP, De Curtis M, Darmaun D, Decsi T, et al. Enteral
nutrient supply for preterm infants: commentary from the European Society of Paediatric
Gastroenterology, Hepatology and Nutrition Committee on Nutrition. J Pediatr Gastroen-
terol Nutr. 2010;50:85–91.
22. World Health Organization. Iron deficiency anemia: assessment, prevention, and control.
A guide for programme managers. Geneva: WHO; 2001.
23. Long H, Yi J-M, Hu P-L, Li Z-B, Qiu W-Y, Wang F, et al. Benefits of Iron supplemen-
tation for low birth weight infants: A systematic review. BMC Pediatr. 2012;12:99–110.
24. Jin HX., Wang RS., Chen S.J., Wang AP, Liu XY. Early and late Iron supplementation for
low birth weight infants: a meta-analysis. Italian Journal of Pediatr. 2015;41.
25. Anabrees J. Early enteral prophylactic iron supplementation may be preferred in preterm
very low birth weight infants. J Clin Neonatol. 2014;3(1):14–5.
26. Pasricha SR, Hayes E, Kongolo K, Biggs BA. Eff ect of daily iron supplementation on
health in children aged 4–23 months: a systematic review and meta-analysis of ran-
domised controlled trial. Lancet Glob Health. 2013;1:e77–8.
27. Ziegler EE, Nelson SE, Jeter JM. Iron supplementation of breastfed infants from an early
age. Am J Clin Nutr. 2009;89:525–32.
28. McDonagh MS, Blazina I, Dana T, Cantor A, Bougatsos C. Screening and Routine Supple-
mentation for Iron Deficiency Anemia: A Systematic Review. Pediatric. 2015;135:723–
33.
29. Stoltzfus RJ, Dreyfuss ML Guidelines for the use of iron supplements to prevent
and treat iron deficiency anemia Washington DC: ILSI Press, 1998.
30. Low M, Farrell A, Biggs BA, Parisch SR. Effect of daily supplementation in primary
schoolage children: systematic review and meta-analysis of randomized controlled trial.
CMAJ. 2013;185(17):791–81.
31. Thompson J, Beverley-Ann Biggs, Pasricha S-R, D A. ffects of Daily Iron Supplemen-
tation in 2- to 5-Year-Old Children: Systematic Review and Meta-analysis. Pediatric.
2013;131:739–53.
32. US Preventive Services Task Force.Screening for iron deficiency anemia,including iron
supplementation forchildren and pregnant women:February 3, 2015. 2006 [cited 2017 2
June]; Available from: www.uspreventiveservicestaskforce.org/uspstf/uspsiron.htm.
33. World Health Organization Intermittent iron supplementation for preschool and school
age children e-Library of Evidencefor Nutrition Actions (eLENA). Available at:www-
whoint/elena/titles/iron_infants/en/indexhtml Accessed October 6, 2017.
34. De-Regil LM, Jefferds MED, Sylvetsky AC, Dowswell T. Intermittent iron supplementa-
tion for improving nutrition and development in children under 12 years of age (Review).
Cochrane Database of Systematic Reviews. 2011(12).
35. Pena Rosas JP, De Regil LM, Rogers LM, Bopadikar A. Translating re-search into action:
WHO evidence-informed guidelines for safe and effective micro-nutrient interventions. J
Nutr. 2012;142(1):197–204.
Abstract
It is very important to distinguish organic pain and functional pain, while evaluate a patient with
chronic abdominal pain. A wide range of potential organic causes of chronic abdominal pain must be
considered before establishing a diagnosis of functional pain (non-organic). Recently (2016), the new
consensus of classification system for functional gastrointestinal disorders (FGIDs) of ROME IV criteria
has been published. Frequently cited causes of chronic abdominal pain include infections and possibly
allergy will be discussed.
Children with chronic abdominal pain might have associated headaches, anorexia, nausea, vomiting,
excessive gas, diarrhea or constipation, and joint pain, but this does not help distinguish between
functional and organic disorder. Several etiologies of infections include H. pylori, parasites infection
(amoebiasis, giardiasis), and bacterial infections (Salmonellosis, small intestine bacterial overgrowth).
Allergy in infants and children might play a role in the pathogenesis of abdominal pain. Children with
multiple allergy-related disease may have a low-grade inflammation in the gut, resulting in barrier defects
in the gastrointestinal tract, thus increasing the risk for disturbed motility and pain sensitivity. Chronic
abdominal pain related to allergy involves eosinophilic-esophagitis or gastroenteritis, food hypersensitivity
related inflammatory bowel syndrome (IBS).
Supporting examinations are performed if there are alarm signs and/or symptoms. Management depends
on the etiology of chronic abdominal pain. Nutrition plays an important role in managing chronic
abdominal pain in children, as well as definitive therapy.
Definisi
Nyeri perut kronik (chronic abdominal pain, CAP) adalah nyeri perut intermiten yang
berlangsung lama atau konstan dan penyebabnya fungsional atau organik (penyakit),
tergantung dari penyebab atau etiologi spesifik dapat ditemukan atau tidak. Nyeri perut
non-organik atau nyeri perut fungsional menunjukkan etiologi nyeri terbukti akibat
kelainan anatomi, inflamasi, metabolik, ataupun neoplastik.1
Istilah “nyeri perut berulang” (recurrent abdominal pain) didefinisikan sebagai
nyeri perut yang terjadi 3 episode minimal dalam 3 bulan yang menyebabkan gangguan
fungsi. Pada beberapa kondisi terminologi “nyeri perut berulang” digunakan pula untuk
mendeskripsikan “nyeri perut fungsional”. Terminologi lain seperti “nyeri perut kronik”,
“nyeri perut non-organik”, dan “nyeri perut psikogenik” ketiga istilah tersebut digunakan
juga untuk menggambarkan nyeri perut pada anak. The American Academy of Pediatrics
Subcommittee on Chronic Abdominal Pain dan The North American Society for Pediatric
Gastroenterology Hepatology and Nutrition on Abdominal Pain mengusulkan untuk
445
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
terminologi “nyeri perut berulang” hanya digunakan untuk mendeskripsikan kondisi dan
tidak digunakan lagi sebagai diagnosis.1
Nyeri perut kronik (NPK) pada anak merupakan kondisi yang cukup sering
dijumpai di klinik gastroenterologi anak dan berkisar antara 9-25% dari kunjungan.2,3
Etiologi tersering nyeri perut kronik organik adalah infeksi, inflamasi, obstruksi (malrotasi
dengan atau tanpa malrotasi), sindrom malabsorpsi (penyakit celiac), kelainan ginekologik
(dismenore, penyakit inflamasil rongga pelvik), kelainan neurologis (epilepsi perut,
migrain), dan lainnya (contoh: alergi).4-6 Beberapa konsensus dibuat untuk panduan
mengatasi keluhan nyeri perut (kriteria ROME) mulai tahun 1999, 2006, dan terakhir
tahun 2016 dengan terbentuknya kriteria ROME IV. Kriteria ROME IV membagi pediatric
functional gastrointestinal disorder (pediatric FGIDs) menjadi 3 kelompok kelainan yaitu:7
•• Nausea dan muntah
•• Nyeri perut
•• Kelainan defekasi
Evaluasi
Pada saat mengevaluasi anak dengan nyeri perut kronik, perlu ditentukan apakah etiologi
nyeri perut kronik tersebut organik atau fungsional. Langkah awal adalah mencari etiologi
organik sebelum menentukan bahwa diagnosisnya adalah nyeri perut fungsional (non-
organik).1 Pasien dengan nyeri perut perlu dievaluasi anamnesis dan pemeriksaan fisik
Etiologi infeksi
Infeksi saluran cerna pada masa anak sudah diketahui dapat menyebabkan konsekuensi
jangka panjang berupa nyeri perut kronik fungsional (contoh: sindrom usus iritabel, IBS)
pada masa dewasa.2,10-13 Hubungan sebab akibat antara infeksi saluran cerna pada anak
dan IBS pertama kali diajukan oleh Chaudary dan Truelove pada tahun 1962.14 Sejak saat
itu banyak penelitian menunjukkan hubungan antara infeksi saluran cerna pada masa
anak sebagai faktor risiko IBS pasca infeksi. Cremon dkk14 melaporkan bahwa infeksi
Salmonella pada masa anak memiliki nilai rasio Odds 1,92 untuk menjadi IBS pasca
infeksi. Penelitian di Cina menunjukkan bahwa faktor risiko (rasio Odds) terjadinya IBS
pasca infeksi gastroenteritis sebesar 1,29.15 Schwille-Kiuntke dkk16 melaporkan gejala nyeri
perut kronik disertai dengan nyeri kepala, back-pain, nyeri pada lengan dan/atau tungkai,
dan nyeri dada pada anak yang mengalami riwayat infeksi bakteri (Salmonella). Collins
dan Lin (2010) melaporkan sebanyak 78-84% pasien dengan IBS yang mengalami nyeri
perut kronik terbukti mengalami pertumbuhan lampau bakteri di usus halus dibandingkan
dengan 20% kontrol.2
Penyebab infeksi tertinggi lainnya pada anak dengan gejala nyeri perut kronik adalah
infeksi H. pylori; terutama pada negara dengan penghasilan perkapitanya rendah, infeksi
H. pylori terjadi pada usia muda.17 Infeksi H. pylori dapat menyebabkan gastritis dan ulkus
peptikum, disertai dengan keluhan muntah, anemia defisiensi besi refrakter, ataupun
gangguan pertumbuhan.18 Pada penelitian tersebut prevalens H. pylori lebih tinggi di
kelompok usia 6-8, dan 9-11 tahun dibandingkan dengan kelompok usia 12-15 tahun.
Temuan ini berbeda dengan yang ditemukan oleh peneliti Korea, yaitu infeksi H. pylori
pada anak <12 tahun lebih rendah dibandingkan dengan anak berusia > 12 tahun.19 Pada
penelitian ini didapatkan data analisis PCR terhadap saliva ibu menunjukkan bahwa 78%
ibu yang terinfeksi H. pylori memiliki anak yang terinfeksi H. pylori. Faktor risiko yang
berhubungan dengan infeksi H. pylori adalah tingkat edukasi ibu, higienitas sumber air
minum, dan pendapatan keluarga. Diagnosis yang akurat menggunakan endoskopi dan
biopsi jaringan dengan uji CLO maupun pemeriksaan patologi anatomi. Pemeriksaan
447
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
urea breath test (UBT) pada anak memiliki akurasi yang relatif untuk menilai kesuksesan
terapi. Karena peluang hasil positif palsu yang cukup tinggi pada anak yang usianya di
bawah 6 tahun (8,3%)20 maka Yang dkk21 menganjurkan nilai cut-off untuk anak <6 tahun
adalah 7% untuk mengurangi nilai positif palsu. Peneliti lain mendapatkan bahwa saudara
kandung yang lebih muda memiliki 8 kali peluang terinfeksi bila saudara kandung yang
lebih tua menderita infeksi H. pylori yang persisten.22
Infeksi D. fragilis yang berlangsung kronik dapat memberikan gejala klinis antara
lain nyeri perut kronik, diare persisten, tidak nafsu makan, gangguan nutrisi dan flatulens,
maupun gejala mirip IBS.23 Peneliti lain membuktikan bahwa Blastocystis spp dapat
menyebabkan nyeri perut pada anak dan hal ini secara klinis masih kontroversi.24
Etiologi alergi
Esofagitis eosinofilik (EoE) pada anak dan remaja dapat bermanifestasi sebagai nyeri
perut kronik, ataupun disfagia, muntah (penyakit refluks gastroesofageal), maupun gagal
tumbuh.25 Diagnosis EoE berdasarkan temuan eosinofil di esofagus tanpa eosinofil di perut
maupun duodenum. Penyebab nyeri perut kronik lainnya yang terkait alergi pada bayi
maupun anak besar adalah gastroenteritis eosinofilik alergi (GEA). Gejala lainnya yang
menyertai penyakit ini adalah muntah, diare dan gagal tumbuh, di antaranya mengalami
hilang protein melalui saluran cerna (protein-losing enteropathy).26 Lima puluh persen anak
yang menderita GEA adalah anak yang atopi dan terbukti memiliki antibodi IgE terhadap
spesifik makanan. Namun demikian uji kulit tusuk (skin prick test) dan kadar serum IgE-
makanan menunjukkan korelasi yang buruk dengan eliminasi makanan. Tata laksana
esofagitis eosinofilik pada anak adalah pemberian steroid dan/atau diet. Gejala klinis
dan/atau gambaran histologis akan mengalami perbaikan sebesar 50-100% tergantung
pada dominan gejala yang timbul; dan pada umumnya gejala nyeri perut kronik lebih
sulit diatasi dibandingkan dengan gejala disfagia.26 Diet elemental berbasis formula asam
amino selama 6 minggu berdampak pada perbaikan inflamasi eosinofil di saluran cerna.25
Sindrom usus iritabel dengan inflamasi rendah merupakan manifestasi kelainan
alergi sistemik (atopi) yang diinduksi oleh makanan (alergi makanan atau hipersensitivitas
terhadap makanan).27 Anak atopi dengan nyeri perut akibat kelainan gastrointestinal
memiliki peningkatan eosinofil dan sel mast di antrum. Akumulasi sel-sel tersebut
mengalami degranulasi saat diberikan susu sapi, mengakibatkan stimulasi persarafan dan
kontraksi otot halus, dan selanjutnya memberikan gejala gastrointestinal seperti kram
perut, perut tidak nyaman, maupun flatus.28-30
Pemeriksaan penunjang
Pada dasarnya pemeriksaan penunjang dilakukan bila pada anamnesis dan pemeriksaan
fisik didapatkan gejala dan tanda bahaya (alarm symptoms). Pemeriksaan awal berupa
pemeriksaan darah tepi lengkap, hitung jenis, dan urinalisis. Tergantung anamnesis maka
pemeriksaan laju endap darah, C-reactive protein, maupun evaluasi etiologi infeksi (parasit,
Penutup
Nyeri perut kronik akibat dugaan infeksi ataupun alergi merupakan penyebab organik
yang memerlukan pemeriksaan lebih lanjut. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat
mencari gejala dan tanda bahaya merupakan langkah awal yang perlu dilakukan. Nutrisi
memegang peranan penting di samping tata laksana definitif pada nyeri perut kronik
organik akibat infeksi ataupun alergi.
Daftar pustaka
1. Di Lorenzo C, Colletti RB, Lehmann HP, Boyle JT, Gerson WT, Hyams JS, et al. American
Academy of Pediatrics Subcommittee on Chronic Abdominal Pain; NASPGHAN Commit-
tee on Abdominal Pain: Chronic abdominal pain in children: a clinical report of the Amer-
ican Academy of Pediatrics and the North American Society for Pediatric Gastroenterology,
Hepatology and Nutrition. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2005;40(3):245–8.
2. Collins BS, Lin HC. Chronic abdominal pain in children is associated with high prevalence
of abnormal microbial fermentation. Dig Dis Sci. 2010; 55(1);124-30.
3. El-Matary W, Spray C, Sandhu B. Irritable bowel syndrome: the commonest cause of recur-
rent abdominal pain in children. Eur J Pediatr. 2004;163(10):584-8.
4. Buch NA, Ahmad SM, Ahmed SZ, et al. Recurrent abdominal pain in children. Indian Pe-
diatr. 2002;39(9):830-4.
5. Thiessen PN. Recurrent abdominal pain. Pediatr Rev. 2002;23(2):39-46.
6. Stordal K, Nygaard EA, Bentsen B. Organic abnormalities in recurrent abdominal pain in-
children. Acta Paediatr. 2001;90(6):638-42.
7. DiLorenzo C, Hyams J, Saps M, et al. Childhood functional gastrointestinal disorders, child/
adolescent. In: Drossman D, Chang L, Chey W, et al, editors. ROME IV, functional gastro-
intestinal disorders, disorders of gut-brain interaction. Raleigh (NC): The Rome Foundation;
2016. p.1297-371.
8. Motamed F; Mohsenipour R, Seifirad S,Yusefi A, Farahmand F, Khodadad A, et al. Red Flags
of Organic Recurrent Abdominal Pain in Children: Study on 100 Subjects. Iran J Pediatr.
2012;22(4): 457-62.
9. Zeiter DK. Abdominal pain in children: from the eternal city to the examination room. Pe-
diatr Clin N Am. 2017;64:525-41.
449
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
10. Spiller R and Garsed K. Postinfectious irritable bowel syndrome. Gastroenterology 2009;
136: 1979–1988.
11. Borgaonkar MR, Ford DC, Marshall JK, et al. The incidence of irritable bowel syndrome
among community subjects with previous acute enteric infection. Dig Dis Sci 2006; 51:
1026–1032.
12. Halvorson HA, Schlett CD and Riddle MS. Postinfectious irritable bowel syndrome—a me-
ta-analysis. Am J Gastroenterol. 2006;101:1894–1899.
13. Thabane M, Kottachchi DT and Marshall JK. Systematic review and meta-analysis: The in-
cidence and prognosis of post-infectious irritable bowel syndrome. Aliment Pharmacol Ther.
2007; 26: 535–544.
14. Barbara G, Cremon C, Pallotti F, et al. Post infectious irritable bowel syndrome. J Pediatr
Gastroenterol Nutr. 2009; 48(Suppl 2): S95–S97.
15. Cremon C, Stanghellini V, Pallotti F, et al. Salmonella gastroenteritis during childhood is a
risk factor for irritable bowel syndrome in adulthood. Gastroenterol Nurs. 2014; 147: 69–77.
16. Schwille-Kiuntke J, Unverdorben A, Weimer K, Schlarb AA, Gulewitsch MD, Ellert U, et al.
Bacterial infections in childhood: A risk factor for gastrointestinal and other diseases? UEG
J. 2015;3(1):31-8.
17. Rosenberg JJ. Helicobacter pylori. Pediatr Rev. 2010;31:85-6.
18. Mohanna MA, Al-Zubairi LM, Sallam AK. Prevalence of Helicobacter pylori and parasites
in symptomatic children examined for Helicobacter pylori antibodies, antigens, and parasites
in Yemen. Saudi Med J. 2014;35(11):1408-11.
19. Jang KM, Choe BH, Choe JY, Hong SJ, Park HJ, Chu MA, et al. Changing prevalence of
Helicobacter pylori infections in Korean children with recurrent abdominal pain. Pediatr
Gastro-enterol Hepatol Nutr. 2015;18(1):10-6.
20. Kindermann A, Demmelmair H, Koletzko B, Krauss-Etschmann S, Wiebecke B, Koletzko
S. Influence of age on 13C-urea breath test results in children. J Pediatr Gastroenterol Nutr.
2000;30:85-91.
21. Yang HR, Ko JS, Seo JK. Does the diagnostic accuracy of the 13C-urea breath test vary with
age even after the application of urea hydrolysis rate? Helicobacter. 2008;13:239-44.
22. Cervantes DT, Fischbach LA, Goodman KJ, Phillips CV, Chen S, Broussard CS. Exposure to
Helicobacter pylori-positive siblings and persistence of Helicobacter infection in erly child-
hood. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2010;50:481-5.
23. Fletcher S, Caprarelli G, Merif J, Andresen D, Hal SV, et al. Epidemiology and geograph-
ical distribution of enteric protozoan infections in Sydney, Australia. J Publ Health Res.
2014;3:298.
24. Mehlhorn H, Tan KS, Yoshikawa H. Blastocystis: Pathogen or passenger? Heidelberg: Spring-
er, 2012. 225p.
25. Gunasekaran T, Prabhakar G, Schwartz A, Gorla K, Gupta S, Berman J. Eosinophilic esopha-
gitis in children and adolescents with abdominal pain: Comparison with EoE-dysphagia and
functional abdominal pain.
26. Maloney J, Nowak-Wegrzyn A. Educational clinical case series for pediatric allergy and
immunology: allergic proctocolitis, food protein-induced enterocolitis syndrome and aller-
gic eosinophilic gastroenteritis with protein-losing gastroenteropathy as manifestations of
non-IgE-mediated cow’s milk allergy. Pediatr Allergy Immunol. 2007;18(4):360-7.
451
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Noisy Breathing in Children
Retno Asih Setyoningrum
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga / RSUD Dr. Sutomo, Surabaya
Abstract
Noisy breathing is an additional sound symptom that can be resulted from a respiratory process. There
are many types of noisy breathing that occur in children. The presence of noisy breathing in children can
be the sign of any abnormalities in the airway system. Many types of diseases in the airway or outside the
airway can be the cause of the noisy breathing. To determine the cause, physician should taking history
carefully, do the physical examination well, and take a laboratory examination to make the diagnosis, so
that the definitif cause of noisy breathing in the children can be treated properly.
M
embedakan antara suara pernapasan normal dan tidak normal merupakan hal
yang penting untuk membuat suatu diagnosis yang akurat. Suara pernapasan
dihasilkan berdasarkan proses fisiologis dan patologis dari paru dan saluran
napas. Noisy breathing pada anak merupakan gejala yang umum didapatkan saat dilakukan
1
pemeriksaan fisik.2 Gejala tersebut dapat disebabkan oleh adanya suatu kelainan bawaan
atau kelainan yang didapat. Mengetahui karakteristik noisy breathing pada anak dapat
membantu dokter untuk mengarahkan kemungkinan sumber penyebabnya.3
453
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
disebabkan oleh H. Influenza, streptococcus, atau staphylococcus.3
Laryngomalacia adalah penyebab stridor kronis yang terjadi karena prolapsnya
jaringan ke dalam laring.3,15 Laryngomalacia biasanya terjadi pada bayi yang mengalami
keterlambatan pada proses pematangan struktur pendukung laring, Diagnosis dapat
ditegakkan dari gejala klinis dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan endoskopi yang
telah banyak direkomendasikan oleh sebagian besar para ahli.3
Subglottis stenosis biasanya disebabkan oleh penggunaan alat intubasi yang
berkepanjangan. Patogenesis dari subglottis stenosis mungkin dimulai dengan proses
tekanan mukosa subglotik akibat intubasi endotrakeal yang menyebabkan nekrosis,
kemudian diikuti ulserasi mukosa, perikondritis, dan pembentukan jaringan parut.16
Normalnya luas crosssectional dari korda vokalis pada batas bawah kartilago krikoid
adalah 5 mm hingga 6 mm. Stenosis terjadi bila luas tersebut kurang dari 4 mm. Ada
juga jenis lain dari subglottis stenosis yang didapatkan sejak lahir (kongenital) yang
biasanya ditandai dengan gejala croup yang persisten pada bayi.3
B. Wheeze (Mengi)
Asma adalah penyebab mengi tersering pada anak yaitu penyakit kronis pada masa
kanak dan merupakan penyebab utama morbiditas masa kecil yang diukur dari
seringnya tidak masuk sekolah, masuk unit gawat darurat (UGD), dan rumah sakit.3,17
Asma adalah peradangan saluran napas yang dimediasi oleh berbagai subtipe sel yang
mengakibatkan saluran udara menjadi hyperresponsive. Proses ini dimulai dengan
mekanisme bronkokonstriksi dan diikuti oleh edema jalan napas serta produksi lendir
yang berlebihan, disertai dengan respon berlebih pada jalan napas, dan diikuti oleh
perubahan kronis pada epitel saluran napas dengan gejala umum berupa batuk, mengi,
dan kesulitan bernapas.18 Diagnosis dapat ditegakkan dari pemeriksaan spirometri,
bronchoprovocation test, dan tes alergi yang mungkin bisa membantu.3
Bronkiolitis juga merupakan penyebab umum mengi pada anak seperti halnya
asma.3,19 Penyakit ini termasuk dalam gangguan saluran pernapasan bagian bawah
yang paling sering terjadi pada anak kecil yang disebabkan oleh infeksi virus seperti
RSV.20 Sebagian besar kasus bronkiolitis pada anak di bawah 2 tahun yang merupakan
penyebab paling umum rawat inap di antara bayi pada 12 bulan pertama kehidupan.21
Infeksi virus ini terjadi melalui saluran pernapasan bagian atas dan menyebar ke bawah
akibat radang epitel bronkiolar dengan infiltrasi sel darah putih pada peribronkial,
dan edema submukosa dan adventisia. Tumpukan epitel nekrotik dan fibrin di saluran
napas bagian bawah dapat menyebabkan penyumbatan sebagian atau total terhadap
aliran udara dan menghasilkan suara berupa mengi.20.
Tracheomalacia merupakan kelainan pada saluran udara besar. Trakea mengalami
deformasi atau salah bentuk sehingga menghasilkan suara mengi pada saat respirasi.
Kejadian ini jarang ditemukan di fasilitas kesehatan primer dan biasanya baru
ditemukan pada praktik pediatri tingkat tersier. Tracheomalacia memiliki spektrum
gejala pernapasan yang luas dari gejala pernapasan umum seperti batuk kronis dan
wheezing hingga apnea berulang yang mengancam jiwa.22
C. Rales/Crackles
Penyebab tersering rales pada anak adalah pneumonia dan edema paru.3
Pneumonia didefinisikan sebagai infeksi pada parenkim paru (alveoli) yang disebabkan
oleh agen mikroba seperti virus, bakteri, atau organisme atipikal.24,25 Pneumonia
merupakan penyebab kematian tersering pada anak di negara berkembang.24,26
Gejala pneumonia pada anak dapat berupa demam, tachypnea, sesak napas atau sulit
bernapas, batuk, hingga nyeri pada mata atau di dada.25 Diagnosis dapat ditegakkan
berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan foto toraks, dan
kultur dari sputum.27
Rales dapat juga ditemukan pada pasien dengan edema paru. Edema paru
didefinisikan sebagai meningkatnya kandungan air ekstravaskular pada jaringan paru.
Keadaan ini dapat terjadi bila laju filtrasi cairan melebihi laju penyerapan cairan oleh
sistem limfatik. Secara umum, ada dua jenis penyebab edema paru: cardiac dan non-
cardiac.3,28
Bronkiektasis dapat juga menimbulkan suara rales yang bersifat kronis.3
Bronkiektasis pada anak masih menjadi salah satu penyebab kematian anak di negara
berkembang. Bronkiektasis didefinisikan sebagai pelebaran bronkus permanen
dan abnormal yang disebabkan oleh rusaknya komponen elastis dan otot dinding
bronkus.29,30 Di negara barat, cystic fibrosis (CF) masih merupakan penyebab
bronkiektasis yang paling umum.29,31 Sedangkan di negara berkembang, penyebab
bronkiektasis meliputi berbagai infeksi saluran pernapasan, seperti pneumonia,
pertusis, campak, dan tuberkulosis.29
D. Cough (Batuk)
Batuk adalah salah satu mekanisme refleks perlindungan tubuh yang alami untuk
melindungi saluran pernapasan dan salah satu gejala yang muncul pada penyakit
sistem pernapasan.32,33 Sebenarnya batuk merupakan hal yang normal pada anak.
Dalam sehari anak dapat mengalami periode batuk rata-rata sebanyak 11 kali.34
Sebagian besar anak dengan gejala batuk akut disebabkan oleh infeksi virus
di saluran pernapasan. Infeksi pernapasan akut seperti croup, bacterial tracheitis,
bronchiolitis, common cold, faringitis, sinusitis, dan pneumonia, juga memiliki gejala
batuk dalam perjalanan penyakitnya. Selain itu batuk dapat juga menjadi gejala adanya
benda asing yang terperangkap di saluran pernapasan. Batuk dapat juga bersifat kronik.
Pada pemeriksaan awal untuk batuk kronis, klinisi harus mendapatkan gejala dan
455
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
tanda bahaya yang mungkin mengindikasikan adanya penyakit serius serta mencari
tahu apakah ada kaitan dengan gejala batuk kronis. Beberapa kelainan dengan gejala
batuk kronis yang dimulai pada saat periode neonatus seperti tracheobronchomalacia,
cystic fibrosis, primary cilial dyskinesia, atau aspirasi karena tracheoesophageal fistula.34
E. Snooring
Obstructive sleep apnea syndrome (OSAS) merupakan penyebab tersering gejala snoring
ada anak. Snoring pada anak dikaitkan dengan meningkatnya resistensi saluran napas
bagian atas saat tidur dan merupakan gejala kardinal dari sleep disordered breathing
(SDB). Snoring pada anak juga memiliki hubungan yang kuat dengan riwayat atopi
dan infeksi virus serta riwayat adenotonsilektomi dan riwayat orang tua yang memiliki
kebiasaan merokok dan mendengkur. 35,36
Tata laksana
Penanganan noisy breathing pada anak dilakukan berdasarkan etiologi penyakitnya. Seperti
contoh pada laryngotracheobronchitis, dapat diberikan tatalaksana berupa pemberian
oksigen, steroid, dan nebulisasi epinefrin.5 Kemudian pada kasus pneumonia dapat
diberikan terapi oksigen, koreksi cairan, dan pemberian antibiotik.25
Penutup
Evaluasi noisy breathing pada anak harus dilakukan secara hati-hati dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik untuk mencari tahu kemungkinan penyebabnya. Gejala dan tanda
penyerta juga harus dicari untuk menentukan dan menyingkirkan penyakit tertentu.
Setelah mengetahui penyebabnya, pemeriksaan diagnostik lebih lanjut dapat dilakukan
untuk menegakkan diagnosis dan terapi definitif sudah dapat dimulai.
Daftar pustaka
1. Reichert S, Gass R, Brandt C, Andrès E. Analysis of Respiratory Sounds: State of the Art.
Clinical Medicine Circulatory. Respir and Pulmonary Med 2008;2:45-58.
2. Filippone M, Narne S, Pettenazo A, Zacchello F, Baraldi E. Functional Approach to Infants
and Young Children with Noisy Breathing. Am J Respir Crit Care Med 2000;162: 1795-
1800.
3. Pryor MP. Noisy breathing in children. Postgraduate Medicine 1987; 101:2: 103-12.
4. Sovijarvi, A.R., Dalmasso, F., Vanderschoot, J., Malmberg, L.P., Righini, G. and Stoneman,
S.A. Definition of terms for applications of respiratory sounds. Eur. Respir. Rev 2000;
10:597–610.
5. Maloney E, Meakin GH. Acute stridor in children. Contin Educ Anaesth Crit Care Pain 2007;
7 (6): 183-186.
6. Brand PLP, Baraldi E, Bisgaard H, Boner AL, Castro-Rodriguez JA, Custovic A, et al. Defi-
nition, assessment and treatment of wheezing disorders in preschool children: an evidence-based
approach. Eur Respir J 2008 32: 1096-1110.
457
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
ical studies. Bull World Health Organ [Internet]. 2005 May [cited 2017 May 31];83(5):353-
359.
27. Ostapchuk M, Robberts DM, Haddy R. Community-Acquired Pneumonia in Infants and
Children. Am Fam Physician. 2004;70(5):899-908.
28. Murray, JF. Pulmonary edema: pathophysiology and diagnosis. Int J Tuberc Lung Dis.
2011;15(2):155-60
29. Kim HY, Kwon JW, Seo J, Song YH, Kim BJ, Yu J, Hong SJ. Bronchiectasis in Children:
10-Year Experience at a Single Institution. Allergy Asthma Immunol Res. 2011;3(1):39-45.
30. Chang AB, Grimwood K, Mulholland EK, Torzillo PJ. Bronchiectasis in Indigenous children
in remote Australian communities. MJA 2002;177:200-204.
31. Sly PD, Gangell CL, Chen L, Ware RS, Ranganathan S, Mott LS, Murray CP, Stick SM. Risk
Factors for Bronchiectasis in Children with Cystic Fibrosis. N Engl J Med 2013; 368:1963-
1970.
32. Gibson PG, Chang AB, Glasgow NJ, Holmes PW, Katelaris P, Kemp AS, et al. CICADA:
Cough in Children and Adults: Diagnosis and Assessment. Australian Cough Guidelines
summary statement. Med J Aust 2010; 192 (5): 265-271.
33. Abaza AA, Day JB, Reynolds JS, Mahmoud AM, Goldsmith WT, McKinney WG, et al.
Classification of voluntary cough sound and airflow patterns for detecting abnormal pulmo-
nary function. BioMed Central 2009, DOI: 10.1186/1745-9974-5-8
34. Shields MD, Bush A, Everard ML. Recommendations for the assessment and management
of cough in children. Thorax 2008;63:iii1-iii15.
35. Sanders JC, King MA, Mitchell RB, Kelly JP. Perioperative Complications of Adenotonsil-
lectomy in Children with Obstructive Sleep Apnea Syndrome. Anesthesia & Analgesiar
2006;103 (5):1115-21.
36. Liukkonen K, Virkkula P, Aronen ET, Kirjavainen T, Pitkäranta A. All snoring is not ade-
noids in young children. International J of Ped Otorhinolaryngology 2008; 72 (6): 879 –84.
Abstract
Kasus kekerasan dan penelantaran terhadap anak (child abuse and neglect, CAN) cenderung meningkat
dari tahun ke tahun meskipun insidensnya secara pasti sulit diketahui karena seringkali under-reported.
Telah lama diduga bahwa kondisi stres di awal kehidupan, termasuk CAN, berdampak buruk
terhadap pertumbuhan dan perkembangan otak anak. Kemajuan perkembangan ilmu semakin mampu
mengungkap mekanisme neurobiologi yang terkait dengan CAN. CAN diketahui mempengaruhi aksis
hipotalamus-pituitari-adrenal yang merupakan pusat sistem pengaturan tubuh menghadapi kondisi
stres. Studi neuroimaging dan functional neuroimaging banyak mengungkap dampak CAN terhadap
struktur dan aktivitas fungsional otak. Lebih menarik lagi, di tingkat molekular ternyata CAN juga
mempengaruhi mekanisme genetik dan epigenetik yang kompleks. Berbagai mekanisme neurobiologis
tersebut dapat menjelaskan dampak multisistem CAN pada peningkatan kejadian gangguan psikososial
(depresi, post-traumatic stress disorder, hiperaktivitas, bipolar, substance abuse, dan lain-lain) maupun
gangguan medis (penyakit autoimun, penyaikit jantung iskemik, gangguan hati, dan lain-lain).
K
ekerasan dan penelantaran anak (child abuse and neglect, CAN) atau sering disebut
juga perlakuan salah terhadap anak (child maltreatment) meliputi semua tindakan
(perlakuan) yang mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan bahaya atau
kerugian (harm) terhadap kesehatan, tumbuh kembang, atau martabat anak. Dalam definisi
tersebut tercakup kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan emosional, penelantaran,
dan eksploitasi. World Health Organization (WHO)1 melaporkan 25% orang dewasa
mengaku mengalami kekerasan fisik dan satu di antara 5 wanita dewasa dan 1 di antara
13 lelaki dewasa mengalami kekerasan seksual pada masa anak-anak. Menurut pantauan
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)2, kejadian kekerasan pada anak di Indonesia
meningkat setiap tahun. Selama periode 4 tahun berturut-turut (2011-2014) masing-
masing dilaporkan 2.178, 3.512, 4.311, dan 5.066 kasus. Jumlah tersebut diyakini masih
jauh dari angka sesungguhnya mengingat kasus CAN umumnya hanya sebagian kecil yang
dilaporkan. CAN paling banyak terjadi di lingkungan keluarga dan pelakunya sebagian
besar merupakan orang-orang dekat korban. Hal tersebut selaras dengan pantauan KPAI
yang menunjukkan bahwa 91% CAN terjadi di lingkungan keluarga.
Sampai saat ini pembahasan mengenai dampak CAN umumnya lebih terfokus pada
aspek psikososial. Meningkatnya risiko berbagai gangguan psikososial pada korban CAN
sudah banyak diketahui dan menjadi perhatian berbagai pihak.
459
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Berbagai penelitian akhir-akhir ini memperlihatkan bahwa dampak CAN tidak hanya
terbatas pada masalah psikosoial, namun juga masalah medis biologis dan melibatkan
berbagai sistem tubuh. Demikian pula, kemajuan di bidang kedokteran selular dan
molekular serta teknologi pencitraan radiologis semakin dapat menguak mekanisme
neurobiologis dampak CAN terhadap otak dan sistem tubuh.
461
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
bersifat menyenangkan akan direspon dengan pelepasan hormon yang menimbulkan emosi
senang. Sebaliknya, bila ada stimulus yang berupa atau dianggap ancaman, amigdala akan
memacu pelepasan hormone-hormon yang menimbulkan respon fight, flight, atau freeze.
Karena amigdala kebal terhadap efek hormon stress maka ada kemungkinan amigdala
akan terus melepaskan alarm yang salah.9,14–18
Hipokampus membantu memproses transfer informasi awal ke korteks otak
untuk memunculkan “sense” terhadap informasi tersebut. Namun, hipokampus rentan
terhadap hormone stress, terutama hormone-hormon yang dilepaskan oleh amigdala.
Bila hormon-hormon tersebut mencapai kadar tinggi, fungsi hipokampus terganggu.
Akibatnya, informasi tersebut tidak dapat mencapai korteks otak untuk dapat dibedakan
antara informasi/stimulus yang mengancam atau tidak. Penelitian menunjukkan bahwa
lingkungan penuh stress akan menaikkan kadar kortisol dan dapat mengurangi volume
hipokampus. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang menunjukkan bahwa orang
dewasa yang mengalami CAN pada masa anak-anak memiliki volume hipokampus yang
lebih kecil. Temuan tersebut didukung oleh penelitian-penelitian berikutnya. Penelitian
pada wanita-wanita dewasa yang mengalami depresi memperlihatkan temuan menarik.
Volume hipokampus lebih kecil hanya ditemukan pada mereka yang mengalami CAN,
sementara pada wanita depresi tanpa riwayat CAN volume hipokampus normal. Temuan
neuroimaging ini sebagian dapat dijelaskan dengan mekanisme epigenetik yang akan
diuraikan pada bagian selanjutnya.9,15,19,20
Kondisi stres (termasuk CAN) menurunkan kapasitas hipokampus untuk memfasilitasi
kembalinya kadar kortisol menjadi normal. Pengurangan volume hipokampus berhubugan
dengan buruknya memori deklaratif yang menaikkan risiko munculnya gejala klinis mirip
post-traumatic stress disorder (PTSD), depresi, dan proses inflamasi.
Anak-anak yang mengalami CAN cenderung memiliki volume korpus kalosum
yang lebih kecil. Korpus kalosum merupakan struktur white matter terluas pada otak dan
berperan penting dalam komunikasi interhemisfer otak dan proses-proses lain, seperti
kesadaran (arousal), emosi, dan kemampuan kognitif. Volume korpus kalosum yang lebih
kecil menyababkan gangguan integrasi antara kedua hemisfer otak dengan akibat lanjut
berupa mood dan kepribadian yang mudah berubah secara drastis.21,22
463
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
diuraiakan beberapa contoh mekanisme epigenetik, yakni polimorfisme genetik yang
baru mempengaruhi munculnya gejala klinis (fenotipe) ganggguan-gangguan psikiatris
ketika individu pembawa alel tersebut mengalami ELS, antara lain berupa CAN. Regulasi
epigenetik pada reseptor glukokortikoid juga telah diperlihatkan pada analisis molekular
jaringan otak postmortem korban bunuh diri studi sel leukosit perifer pada pasien dengan
gangguan bipolar, gangguan kepribadian, dan depresi. Mekanisme epigenetik dapat terjadi
pada masa pra-konsepsi, prenatal maupun postnatal.
Penutup
Dampak CAN mencakup multi-organ dan multi-sistem. Penelitian-penelitian terkini
telah mampu mengungkap basis neurobiologis di tingkat selular maupun molekular yang
mampu menjelaskan patofisiologi dampak CAN. Pemahaman yang lebih baik tersebut
tidak hanya memperkaya sisi teoritis CAN tetapi juga dapat diimplementasikan pada
pengembangan modalitas penanganan CAN secara lebih spesifik.
Daftar pustaka
1. WHO. Child maltreatment. http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs150/en/. Pub-
lished 2016. Accessed June 4, 2017.
2. Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Laporan Tahunan. 2015.
465
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
3. Maniam J, Antoniadis C, Morris MJ. Early-life stress, HPA axis adaptation, and mecha-
nisms contributing to later health outcomes. Front Endocrinol. 2014;5. doi:10.3389/fen-
do.2014.00073.
4. Juruena MF. Early-life stress and HPA axis trigger recurrent adulthood depression. Epilepsy
and Behav. 2014;38:148-59.
5. Tarullo AR, Gunnar MR. Child maltreatment and the developing HPA axis. Horm Behav.
2006. doi:10.1016/j.yhbeh.2006.06.010.
6. Heim C, Binder EB. Current research trends in early life stress and depression: Review of
human studies on sensitive periods, gene-environment interactions, and epigenetics. Exp
Neurol. 2012;233:102-11.
7. Heim C, Nemeroff CB. Neurobiology of early life stress: Clinical studies. Semin Clin Neuro-
psychiatry. 2002;7:ascnp0070147. doi:10.1053/scnp.2002.33127.
8. Kirouac S, Mcbride DL. The impact of childhood trauma on brain development: a literature
review and supporting handouts. 2009.
9. Hanson JL, Nacewicz BM, Sutterer MJ, Cayo AA, Schaefer SM, Rudolph KD, et al. Behav-
ioral problems after early life stress: Contributions of the hippocampus and amygdala. Biol
Psychiatry. 2015;77:314-23.
10. Korosi A, Baram TZ. Plasticity of the stress response early in life: Mechanisms and signifi-
cance. Deve Psychobiol. 2010;52:661-70.
11. Malter Cohen M, Jing D, Yang RR, Tottenham N, Lee FS, Casey BJ. Early-life stress has
persistent effects on amygdala function and development in mice and humans. Proc Nat
Acad Sci. 2013;110:18274-8.
12. Hanson JL, Chung MK, Avants BB, Rudolph KD, Shirtcliff EA, Gee JC, et al. Structural
variations in prefrontal cortex mediate the relationship between early childhood stress and
spatial working memory. J Neurosci. 2012;32:7917-25.
13. Hedges DW, Woon FL. Early-life stress and cognitive outcome. Psychopharmacology.
2011;214:121-30.
14. Fareri DS, Tottenham N. Effects of early life stress on amygdala and striatal development.
Dev Cogn Neurosci. 2016;19:233-47.
15. Fenoglio KA, Brunson KL, Baram TZ. Hippocampal neuroplasticity induced by early-life
stress: Functional and molecular aspects. Front Neuroendocr. 2006;27:180-92.
16. Frodl T, Janowitz D, Schmaal L, Tozzi L, Dobrowolny H, Stein DJ, et al. Childhood adversi-
ty impacts on brain subcortical structures relevant to depression. J Psychiatr Res. 2017;86:58-
65.
17. Glaser D. Child Abuse and Neglect and the Brain-A Review. J Child Psychol Psychiatry.
2000;41:97-116.
18. Bremner JD. Long-term effects of childhood abuse on brain and neurobiology. Child Adolesc
Psychiatr Clin N Am. 2003;12:271-92.
19. Nemeroff CB. Paradise Lost: The Neurobiological and Clinical Consequences of Child Abuse
and Neglect. Neuron. 2016;89:892-909.
20. McCrory E, De Brito SA, Viding E. The impact of childhood maltreatment: A review of
neurobiological and genetic factors. Front Psychiatry. 2011;2:48.
21. Norman RE, Byambaa M, De R, Butchart A, Scott J, Vos T. The Long-Term Health Conse-
quences of Child Physical Abuse, Emotional Abuse, and Neglect: A Systematic Review and
Meta-Analysis. PLoS Med. 2012;9:e1001349.
467
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Tata Laksana Asma Persistent pada Anak
Retno Widyaningsih
RSAB Harapan Kita Jakarta
Tujuan:
1. Mengetahui klasifikasi asma persisten
2. Mengetahui tatalaksana asma persisten yang tepat pada anak
3. Mengetahui beberapa penyakit penyerta pada asma persisten
4. Mengetahui beberapa pitfalls dalam tatalaksana asma
A
sma adalah penyakit kronik saluran napas yang ditandai oleh hiperreaktifitas
saluran napas yaitu kepekaan saluran napas terhadap berbagai rangsangan. Asma
ditandai oleh penyempitan saluran napas dengan berbagai gejala mulai dari batuk,
rasa berat di dada, bunyi mengi dan sesak napas.1
Penyakit asma adalah penyakit dengan faktor risiko multifaktor dengan perjalanan
klinis yang bervariasi serta tidak terduga pada setiap anak dan dapat berubah seiring
berjalannya waktu.1 Bebas gejala penyakit asma bukan berarti penyakit asma ini sudah
hilang. Beberapa anak dapat saja mengalami apa yang terlihat seperti remisi atau
berkurangnya gejala, sehingga dianggap bahwa penyakitnya sudah hilang dan tidak
membutuhkan perhatian. Akan tetapi, pada saat berhenti memonitor penyakitnya, berhenti
mengunjungi dokter setidaknya sekali setiap 6 bulan, serta mengabaikan pengobatan dan
pengendalian pemicu penyebab asma, maka penyakit asma ini dapat kembali lagi dengan
keparahan yang sama atau bahkan dengan gejala lebih berat lagi.
Untuk menanggulangi asma telah disusun berbagai panduan/konsensus, baik yang
bertingkat nasional maupun internasional. Beberapa pedoman tersebut mempunyai
prinsip dan komponen tata laksana serta pesan kunci yang konsisten yaitu untuk mencapai
asma yang terkendali dengan frekuensi serangan seminimal mungkin. UKK Respirologi
PP IDAI telah menyusun Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA 2015) yang disusun dan
diperbaharui berdasarkan beberapa pedoman terbaru yang disesuaikan dengan kondisi di
Indonesia. Makalah ini menekankan tatalaksana asma persisten pada anak.2
Klasifikasi asma
Penegakan diagnosis asma pada anak mengikuti alur klasik diagnosis medis yaitu melalui
anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis memegang peranan
sangat penting mengingat diagnosis asma pada anak sebagian besar ditegakkan secara
klinis.2
Kasus 1
Seorang anak laki-laki usia 13 tahun datang dengan keluhan batuk pilek sejak 2 hari yang
kemudian memicu kambuhnya asma. Saat datang ke poli, anak mengalami serangan asma.
Anak masih dapat berjalan dan berbicara dalam kalimat. Ia sering mengalami batuk berulang
yang kemudian disusul oleh sesak. Batuk biasanya berdahak, warna kekuningan. Batuk dan
sesak terkadang disertai pilek namun tidak disertai demam. Batuk dan sesak dirasakan lebih
berat pada pagi dan malam hari. Selain dipicu oleh batuk, sesak juga dapat dipicu oleh udara
dingin, aktivitas berat, makanan seperti kacang, es, dan cokelat. Dalam seminggu, ia selalu
mengalami sesak, walaupun tidak setiap hari. Anak didiagnosis sebagai asma persisten sedang
dengan serangan ringan-sedang.
Saat ini, klasifikasi asma dibagi berdasarkan derajat penyakitnya (aspek kronik)
dan serangannya (aspek akut). Berdasarkan penggolongan derajat penyakitnya, asma
diklasifikasikan berdasarkan kekerapan timbulnya gejala, yaitu:1-3
•• Asma intermiten
•• Asma persisten ringan
•• Asma persisten sedang
•• Asma persisten berat
Klasifikasi berdasarkan kekerapan gejala dipakai sebagai dasar penilaian awal pasien,
sesuai dengan mayoritas pedoman internasional asma yang ada saat ini. Klasifikasi ini
berubah dari PNAA sebelumnya yang membagi asma menjadi asma episodik jarang, asma
episodik sering, dan asma persisten.
469
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Tabel 1. Kesetaraan klasifikasi PNAA 2004 dengan PNAA 20152
PNAA 2004 PNAA 2015
Episodik Jarang Intermiten
Episodik Sering Persisten Ringan
Persisten Persisten Sedang
Persisten Berat
Kriteria penentuan derajat asma atau klasifikasi kekerapan asma juga dapat dibuat
pada kunjungan-kunjungan awal berdasarkan anamnesis. Klasifikasi berdasarkan
kekerapan gejala dibuat setelah dibuat diagnosis kerja asma dan dilakukan tata laksana
umum (pengendalian lingkungan, penghindaran pencetus) selama 6 minggu:1,2
Penilaian derajat asma ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain gambaran klinik
sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam hari, pemberian obat inhalasi
β-2 agonis dan uji faal paru) serta obat-obat yang digunakan untuk mengontrol asma
(jenis obat, kombinasi obat dan frekuensi pemakaian obat). Tidak ada suatu pemeriksaan
tunggal yang dapat menentukan derajat penyakit asma. Dengan adanya pemeriksaan klinis
termasuk uji faal paru dapat menentukan klasifikasi derajat asma yang sangat penting
dalam penatalaksanaannya.
471
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Tata laksana non medikamentosa
Komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) merupakan unsur yang sangat penting dalam
tatalaksana asma. Pendidikan orang tua/ pengasuh dan anak (tergantung usia pasien),
pelatihan ketrampilan dalam penggunaan alat inhaler yang efektif dan dorongan
kepatuhan yang baik, pemantauan gejala oleh orang tua/ wali dan mengikuti rencana
aksi asma tertulis.1,5 Orang tua dan pengasuh perlu dilibatkan karena anak perlu dibantu
dalam penggunaan obat, menjaga ketersediaan obat inhalasi, menghindari faktor pemicu,
mengatasi variabilitas, dan dampak terhadap pasien dan gaya hidup keluarga. Hubungan
keluarga dan lingkungan dikatakan mempengaruhi keberhasilan pengobatan asma.5
473
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Tabel 3. Derajat kendali asma2
Penilaian klinis (dalam 6-8 minggu)
Manifestasi klinis Terkendali dengan/tanpa Terkendali sebagian Tidak terkendali
obat pengendali (minimal 1 kriteria
(bila semua kriteria terpenuhi) terpenuhi)
Gejala siang hari Tidak pernah >2 kali/ minggu
(< 2 kali/ minggu)
Aktivitas terbatas Tidak ada Ada 3 atau lebih kriteria
Gejala malam hari Tidak ada Ada terkendali sebagian
Pemakaian pereda Tidak ada >2 kali/ minggu
(< 2 kali/ minggu)
Jenjang 2
Pilihan obat pada jenjang ini adalah steroid inhalasi dosis rendah. Pilihan lain adalah
antileukotrien yang diberikan pada pasien asma yang tidak memungkinkan menggunakan
steroid inhalasi atau pasien asma disertai rinitis alergi.1,2 Hossny E, dkk mengatakan bahwa
pemberian steroid inhalasi lebih efektif dibandingkan dengan pemberian leukotrien yang
digunakan sebagai obat pengendali tunggal.6
Jenjang 3
Pilihan utama pada jenjang ini untuk anak > 5 tahun adalah kombinasi steroid dosis
rendah - agonis β2 kerja panjang. Pilihan lainnya dengan menaikkan dosis steroid inhalasi
pada dosis menengah. Pemberian inhalasi dosis terukur dengan spacer akan memperbaiki
deposisi obat di paru. Selain itu dapat diberikan kombinasi steroid inhalasi dosis rendah
– antileukotrien atau kombinasi inhalasi steroid dosis rendah – teofilin lepas lambat.
Apabila tidak berhasil dikendalikan pada jenjang ini sebaiknya pasien dirujuk ke dokter
spesialis respirologi anak untuk pemeriksaan lebih lanjut.1,2 Hossny E, dkk mengatakan
bahwa menaikkan dosis steroid inhalasi lebih dianjurkan untuk anak < 12 tahun tetapi
menambah dengan agonis β2 kerja panjang lebih dianjurkan pada anak >12 tahun.6
Abramson SL mengatakan bahwa turun ke jenjang bawah (step down) pada kombinasi
steroid dosis rendah - agonis β2 kerja panjang sering menyebabkan asma tidak terkontrol
lagi.8 Price D mengatakan bahwa penurunan jenjang pengobatan dapat memperbaiki
asma dan penurunan dosis dari 2 kali menjadi sekali sehari tidak menyebabkan asma
menjadi tidak terkontrol.9
Jenjang 4
Pada jenjang ini dikategorikan sebagai asma sulit (difficult to treat asthma). Pilihan pertama
pada jenjang ini adalah kombinasi steroid inhalasi dari dosis sedang ke tinggi hanya
memberikan sedikit perbaikan. Keputusan ini dapat dilaksanakan setelah pemberian
steroid inhalasi dosis sedang - agonis β2 kerja panjangdiberikan selama 6-8 minggu.
475
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Pilihan lain adalah kombinasi steroid inhalasi dosis tinggi – antileukotrien atau kombinasi
steroid inhalasi dosis tinggi – teofilin lepas lambat. Pada jenjang ini dapat dipertimbangkan
penambahan anti immunoglobulin E (omalizumab).1,2
Jenjang 5
Semua pasien yang mencapai jenjang ini harus sudah dirujuk ke dokter spesialis respirologi
untuk tatalaksana lebih lanjut. Pada jenjang ini mulai dipertimbangkan pemberian steroid
oral sehingga pasien harus dijelaskan efek samping yang ditimbulkan steroid oral jangka
panjang.1,5
477
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
naik jenjang atau turun jenjang. Pemberian obat jangka panjang tidak berbahaya, justru
dengan mengendalikan inflamasi kronik dan mengontrol gejala asma, anak dapat
beraktivitas normal dan memiliki tumbuh kembang yang baik.
Penutup
•• Batuk kronik berulang (BKB) dapat menjadi petunjuk awal untuk membantu
diagnosis asma. Gejala batuk dengan karakteristik yang khas mengarah ke asma
adalah: episodisitas, variabilitas, reversibilitas, dan adanya faktor pemicu dan riwayat
alergi dalam keluarga.
•• Klasifikasi asma dibagi berdasarkan derajat penyakitnya (aspek kronik) dan
479
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
serangannya (aspek akut). Berdasarkan penggolongan derajat penyakitnya, asma
diklasifikasikan berdasarkan kekerapan timbulnya gejala, yaitu: asma intermiten,
asma persisten ringan, asma persisten sedang, asma persisten berat
•• Asma intermitten tidak membutuhkan tatalaksana asma jangka panjang sesuai dengan
jenjang 1
•• Anak yang membutuhkan SABA (short-acting beta agonis, misal salbutamol) untuk
meredakan gejala dengan cepat lebih dari 2 hari dalam seminggu (bulan lalu), dapat
digolongkan menderita asma persisten.
•• Asma persisten dilakukan tatalaksana jangka panjang sesuai dengan jenjang 2 sampai
4 kemudian dievaluasi secara berkala untuk menaikkan atau menurunkan jenjang
dalam pemakaian obat pengendali asma
•• Pertimbangkan rujuk ke dokter spesialis respirologi untuk tatalaksana lebih lanjut
pada pasien asma jenjang 3 yang tidak berhasil dikendalikan.
•• Bila asma tidak terkendali, evaluasi penyebabnya:
–– Teknik inhalasi-periksa dan monitor teknik inhalasi pasien
–– Kepatuhan-tanyakan kapan dan seberapa banyak obat yang digunakan
–– Lingkungan –tanyakan pada pasien dan orang-tua apakah ada sesuatu dalam
lingkungan hidupnya yang berubah
Daftar pustaka
1. Global Initiative for Asthma. Global strategy for asthma management and prevention. 2017.
2. UKK Respirologi PP IDAI. PedomanNasional AsmaAnak. Edisi ke-2. Jakarta 2015.
3. H.K. Reddel et al. A summary of the new GINA strategy:a roadmap to asthma control.
EurRespir J 2015.
4. National Heart, Lung, and Blood Institute. Expert panel report 3: guidelines for the diagno-
sis and management of asthma: full report 2007.
5. Gillisen A. Patient’s adherence in asthma. Jpp 2007;58(5):205-22.
6. Hossny E, Rosario N, Lee BW, Singh M, Ghoneimy DE, Soh JY, et al. The use of inhaled
corticosteroids in pediatric asthma: update. World allergi Org J. 2016;9:1-26.
7. Chen E, Schreier HMC. Does the social enviromnment contribute to asthma? J Immunol
allergy clin N Am 2008;28:649-64.
8. Abramson SL. Addressing a step down process in control asthma. J allergy clin immunol.
2016;137(5):1380-1.
9. Price D, Chisholm A, Hillyer EV, Burden A, Ziedenweidt JV, Svedsater A, et al. Effect of
inhaled corticosteroid therapy step down and dosing regimen on measure of asthma control.
J aller ther. 2013;4(1):1-8.
Abstract
Gut microbiota is an important part of all aspects of human life. Gut microbiota is a collection of germs
that normally colonized in gastrointestinal system. Its existence is determined from the very beginning
of human life that should be understood by clinicians. Many factors can influence the colonization gut
microbiota such as birth procedures, diet, environment, health or status of the disease, medicine, anatomy,
gender and age. The role of gut microbiota is to regulate the functions of physiology of gastrointestinal
tract and non-gastrointestinal organs.
Almost all aspects of health, energy, regulatory risk of autoimmune diseases, diseases of the heart and
blood vessels, cancer, obesity, diabetes and many health issues are determined by the important role
of gut microbiota. Disruption of the gut microbiota balance will affect the environment of gut such
as abdominal pain, but can provide a greater impact for the rest of our body, including the brain.
The relationship between the gut health with central nervous system (gut-brain axis) is important and
fundamental to guarantee human life as a whole.
All types of neurotransmitters are also found in the enteric nervous system. Enteric nervous system
is strongly influenced by the balance function of the gut microbiota. Disorder of the central nervous
system functions such as autism is a multisystem disease, and a number of autistic children showed
gastrointestinal problem. Disorder of the gut-brain axis microbiota and interaction of gut microbiota
abnormality as one factor that is believed to be the cause.
B
erapa banyak gen yang diperlukan untuk membangun manusia sehingga
berfungsi normal? Lee Rowen dari Human Genome Project melaporkan bahwa
manusia tersusun dari 21.000 gen. Gen adalah perangkat pembuat protein, yang
merupakan komponen penting untuk menyusun manusia secara lengkap dan sempurna.
Bila dibandingkan dengan makhluk hidup lain, seperti tikus misalnya, memiliki 23.000
gen, tanaman gandum 26.000 gen, cacing 20.500 gen, sedangkan kutu air, makhluk
hidup yang sederhana disusun oleh 31.000 gen.1
Gen inilah selanjutnya akan memproduksi protein yang menyusun makhluk tersebut
sehingga dapat hidup dan berfungsi normal. Manusia bisa dikatakan lebih sederhana
jumlah gen yang bertanggung jawab untuk memproduksi protein tersebut. Namun
yang membedakan antara manusia dan mahluk hidup lainnya adalah, tak satu pun dari
spesies atau makhluk hidup lainnya diatas dapat berbicara dan mempunyai pikiran yang
481
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
cerdas seperti manusia. Manusia mempunyai kemampuan lebih dibandingkan dengan
makhluk hidup lainnya oleh karena ada “superorganisme”, mikrobiota yang selalu hidup
memdampingi, menjaga dan menjamin fungsi seluruh komponen organ manusia bisa
berjalan sempurna 2.
Manusia secara kolektif hidup berdampingan dengan mikroba yang ada sejak manusia
dilahirkan. Jumlah mikroba yang jumlahnya lebih 100 triliun, dikenal sebagai mikrobiota
yang mayoritas adalah bakteri di saluran cerna. Bersama bakteri adalah mikroba lainnya,
virus, jamur dan archaea. Virus begitu kecil dan sederhana bahwa mereka, bergantung
sepenuhnya pada sel-sel makhluk lainnya untuk mereplikasi diri. Jamur yang hidup
lebih kompleks daripada bakteri, kecil, bersel tunggal. Archaea adalah kelompok yang
serupa dengan bakteri, tetapi mereka berbeda evolusioner seperti bakteri, tanaman atau
binatang. Secara bersama, mikroba ini hidup di tubuh manusia mengandung 4,4 juta
gen. Kumpulan dari gen secara keseluruhan disebut sebagai mikrobium, merupakan
kumpulan genome dari mikrobiota. Gen ini berkolaborasi dalam menjalankan tubuh kita
bersama 21.000 gen-gen manusia. Bila dihitung , yang disebut manusia hanya setengah
persen manusia, secara umum manusia hanya disusun oleh 10% gen, sedangkan 90%
manusia disusun oleh gen mikrobiota. Mikrobiota yang mayoritas di dalam saluran cerna
mempunyai kekuatan yang penting untuk menjaga, menjamin fungsi fisiologi manusia
berjalan normal 2.
Fungsi fisiologi, maupun kelainan organik yang terjadi pada manusia, sebagai akibat
gangguan keseimbangan mikrobiota yang ada sering dilupakan. Gangguan keseimbangan
mikroba saluran cerna disebut sebagai disbiosis. Disbiosis merupakan keadaan gangguan
keseimbangan mikrobiota, yang bisa terjadi sebagai akibat perubahan lingkungan atau
pola hidup yang mengganggu 2–4.
483
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
kuman bifidobakteria pada bayi yang mendapatkan ASI yang mengandung bifidus faktor,
merupakan salah satu faktor penting untuk menghambat kolonisasi kuman patogen pada
bayi yang mendapatkan ASI 13.
Beberapa cara eliminasi kuman patogen oleh bifidobakteria antara lain dengan
meningkatnya status imun mukosa usus, proses inhibisi, mengeluarkan hasil akhir
metabolik seperti misalnya asam yang akan menurunkan pH lingkungan saluran cerna,
dalam suasana asam bakteri probotik dapat hidup dengan subur sedangkan bakteri
patogen tak dapat hidup. Banyak spesies kuman laktobaksilus, dan bifidobakteria,
mampu untuk memproduksi antibiotika alamiah, yang mempunyai efek bakteriostatik
atau bakteriosidik spektrum luas seperti lactocins, helveticins, lactacins, curvacins, nisin
atau bifidocin). Kuman bifidobakteria sendiri mempunyai kemampuan mensekresi
antimikrobial yang dapat mengeliminasi berbagai macam kuman pathogen gram
negatif saluran cerna termasuk salmonella, campylobacters dan E. coli 14. Mikrobiota di
dalam saluran cerna juga mampu menurunkan konsentrasi endotoksin bakteri secara
signifikan, hal ini dimungkinkan oleh karena kemampuannya meningkatkan pertahanan
mukosa untuk mencegah translokasi kuman. Beberapa spesies bifidobakteria, seperti
Bifidobacterium infantis dan B. longum mempunyai efek yang kuat untuk eliminasi kuman
E. coli 0157. Dengan bukti ini , maka dapat disimpulkan bahwa dengan meningkatnya
jumlah bifidobakteria dengan spesies tertentu akan meningkatnya sistem imun mukosa
dan akan memberikan proteksi terhadap infeksi saluran cerna 15–17indigenous microbiota
485
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Gangguan saluran cerna fungsional yang sering dijumpai antara lain regurgitasi,
konstipasi dan kolik.
Saluran cerna pada bayi baru lahir steril. Namun, beberapa faktor internal dan
ekternal akan mempengaruhi fungsi fisiologi saluran cerna dan ekosistem kolonisasi
mikrobiota pada saat bayi lahir. Beberapa faktor prenatal, seperti penggunaan antibiotika
pada ibu hamil mempunyai pengaruh terhadap kolonisasi mikrobiota saluran cerna bayi
31
. Segera setelah lahir, mikrobiota secara aktip melakukan kolonisasi diseluruh permukan
tubuh bayi, termasuk saluran cerna. Kolonisasi ini berlangsung secara bertahap sesuai usia
kehamilan dan usia bayi. Sebagai contoh bayi prematur mempunyai gambaran kolonisasi
mikrobiota yang berbeda dengan bayi dengan cukup bulan 6,7
Demikian juga pada bayi yang sering mengalami kolik, mempunyai gambaran
kolonisasi mikrobiota saluran cerna yang berbeda bila dibandingkan dengan kelompok
bayi tanpa kolik 32,33
Kolonisasi mikrobiota pada kelompok usia bayi ini sangat mempunyai peran
terhadap fungsi motilitas saluran cerna. Intestinal mikrobiota diketahui memproduksi
bahan-bahan penting untuk menstimulasi sistem saraf saluran cerna yang berperan untuk
fungsi motilitas saluran cerna yang terjadi pada kondisi sehat maupun sakit 34.
487
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Mikrobiota saluran cerna dan fungsi, perkembangan otak
hehavior
Kolonisasi mikrobiota saluran cerna mempunyai peran yang sagat penting untuk menjamin
perkembangan dan fungsi otak yang baik. Gangguan keseimbangan mikrobiota saluran
cerna sebagai akibat faktor diluar otak dapat mempengaruhi keseimbangan kolonisasi
mikrobiota saluran cerna. Peran penting mikrobiota ini diperankan oleh karena produk
biokimiawi mikrobiota yang dapat menjaga permeabilitas blood brain barrier, sehingga
dengan demikian bloob brain barrier secara selektif melaksanakan fungsi proteksi terhadap
bahan-bahan pathogen dapat dapat mempengaruhi fungsi fiologis otak. Hubungan dua
arah antara saluran cerna dan otak (gut-brain axis) telah banyak diketahui. Hubungan dua
arah ini dapat terjadi oleh karena produksi beberapa neurotransmiter dari saluran cerna
mempunyai pengaruh terhadap fungsi otak, demikian juga produk neurotransmiter juga
mempunyai pengaruh terhadap funsi saluran cerna secara langsung.
Beberapa keadaan klinis gangguan perkembangan otak dengan manifestasi gangguan
perilaku pada anak, seperti misalnya ADHD dan autis, merupakan contoh adanya
pengaruh fungsi otak oleh karena gangguan kolinisasi mikrobiota saluran cerna. Pada
hewan coba dengan free microbiota, mempunyai kadar kortikosteron, brain-derived
neurotrophic factor (BDNF; suatu protein yang berfungsi untuk menstimulasi neurogenesis
dan synaptic growth, dan modulasi synaptic plasticity dan transmisi) 43,44.
Penutup
Mikrobiota saluran cerna merupakan bagian penting dalam menentukan kesehatan
anak. Peran mikrobiota adalah untuk menjaga dan mengatur fungsi fisiologi kehidupan
yang diharapkan dapat memberikan kesehatan yang optimal. Beberapa faktor yang
menentukan keseimbangan mikrobiota saluran cera antara lain dimulai sejak proses
kelahiran, nutrisi (ASI), penggunaan antibiotika yang tidak rasional perlu diperhatikan.
Gangguan keseimbangan mikrobiota di dalam saluran cerna akan memberikan dampak
yang merugikan seperti misalnya dampak lokal di dalam saluran cerna maupun dampak
sistemik yang merugikan untuk kesehatan secara keseluruhan. Beberapa penyakityang
timbul sebagai akibat gangguan keseimbangan mikrobiota saluran cerna antara lain infeksi
saluran cerna, alergi, obesitas, diabetes serta gangguan perilaku anak.
Daftar pustaka
1. Hood L, Rowen L. The human genome project: big science transforms biology and medicine.
Genome Med. 2013;5:79.
2. Tannock GW. Assembling Communities. In: Tannock GW, editor. Understanding The Gut
Microbiota. New Jersey: Wiley& Sons,Inc; 2017. p. 1314–759.
3. Collen A. The Other 90%. In: Collen A, editor. 10% Human: How Your Body’s Microbes
Hold The To Health and Happines. New York, London, Toronto, Sydney: Harper; 2017. p.
194–449.
489
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
25. Chiou E, Nurko S. Functional abdominal pain and irritable bowel syndrome in children and
adolescents. Therapy. 2011;8:315–331.
26. Kim J, Lin H. Contribution of gut microbes to gastrointestinal motility disorders. Pract
Gastroenterol. 2007;31.
27. Allan Walker W. Initial intestinal colonization in the human infant and immune homeosta-
sis. Ann Nutr Metab. 2013;63(Suppl 2):8–15.
28. Bachner HA. A Healthy Gut and a Healthy Brain: Implications for Counseling and Lifestyle.
VISTAS Online. 2015;Article 47.
29. Quigley EMM. Intestinal Microbiota in Health and Disease. Gastroenterology.
2015;535:7610.
30. Versalovic J. The human microbiome and probiotics: Implications for pediatrics. Ann Nutr
Metab. 2013;63(Suppl 2):42–52.
31. Bailey MT, Lubach GR, Coe CL. Prenatal stress alters bacterial colonization of the gut in
infant monkeys. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2004;38:414–21.
32. Pärtty A, Yliopisto T. Infant colic crying and Causes, consequences and cure. Turun Yliopisto
University of Turku; 2013.
33. Pärtty A, Isolauri E. Gut microbiota and infant distress – the association between compo-
sitional development of the gut microbiota and fussing and crying in early infancy. Microb
Ecol Heal Dis. 2012;23:26–7.
34. Pier M, Guarino L. Microbiota and gut motility.
35. Bested AC, Logan AC, Selhub EM. Intestinal microbiota, probiotics and mental health: from
Metchnikoff to modern advances: Part II - contemporary contextual research. Gut Pathog.
2013;5:3.
36. Korpela K. Intestinal Microbiota Development in Childhood: Implications for Health and
Disease. University of Helsinki; 2016.
37. Kasubuchi M, Hasegawa S, Hiramatsu T, Ichimura A, Kimura I. Dietary gut microbial me-
tabolites, short-chain fatty acids, and host metabolic regulation. Nutrients. 2015;7:2839–49.
38. Gastrointestinal F. Obesity and Functional Gastrointestinal Diseases in Children. J Neuro-
gastroenterol Motil. 2014;20:414–6.
39. Phatak UP. Obesity and gastrointestinal disorders in children. 2016.
40. Bäckhed F, Ley RE, Sonnenburg JL, Peterson DA, Gordon JI. Host-bacterial mutualism in
the human intestine. Science. 2005;307:1915–20.
41. Murri M, Leiva I, Gomez-Zumaquero JM, Tinahones FJ, Cardona F, Soriquer F, et al. Gut
microbiota in children with type 1 diabetes differs from that in healthy children: a case-con-
trol study. BMC Med. 2013;11:2–12.
42. Tai N, Wong FS, Wen L. The role of gut microbiota in the development of type 1, type 2
diabetes mellitus and obesity. Rev Endocrine Metabolic Dis. 2015;16:55–65.
43. Sudo N, Chida Y, Aiba Y, Sonoda J, Oyama N, Yu XN, et al. Postnatal microbial colonization
programs the hypothalamic-pituitary-adrenal system for stress response in mice. J Physiol.
2004;558:263-75.
44. Lu B, Nagappan G, Guan X, Nathan PJ WP. BDNF-based synaptic repair as a disease-modi-
fying strategy for neurodegenerative diseases. Nat Rev Neurosci. 2013;14:401–16.
Abstracts
Retinopathy of prematurity (ROP) is a vasoproliferative disorder of retina of preterm infants. ROP is
one of the major cause of blindness in infants. Due to improved Neonatal Intensive Care Unit (NICU),
it increased survival of preterm infants. Furthermore, it effects on increasing of high risk population
infants to ROP. Better understanding of the disease and its risk factors can lower the incidence of ROP.
The major risk factors for ROP are very preterm infants and prolonged exposure to high level of oxygen.
Other potential risk factors such as respiratory distress syndrome, sepsis, recurrent blood transfusion,
peri-intraventricular hemorrhage, necrotizing enterocolitis, bronchopulmonary dysplasia, patent ductus
arteriosus are mentioned. Aggressive parenteral nutrition is mentioned might be protective effect for
developing ROP. Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM) is following National ROP screening
guidelines. Infants with birth weight ≤1500 g or gestational age of ≤34 weeks should be examined
for ROP screening. Examinations of larger infants or higher gestational age infants with risk should
be requested by pediatrician. For the past ten years, there is no ROP case found in RSCM. It might
be related to strict protocol to limit exposure of oxygen to preterm infants starting from delivery room,
prevention of nosocomial infection in NICU care, and aggressive nutritional support. Excellence in
prenatal and neonatal care starting from delivery room and screening of ROP are the major factors to
prevent and early detection of ROP.
K
elahiran prematur merupakan masalah global. Lebih dari 60% kelahiran prematur
terjadi di Afrika dan Asia selatan. Angka kejadian kelahiran prematur di Indonesia
15,5 dari 100 kelahiran hidup. Indonesia termasuk 10 negara dengan jumlah
kelahiran prematur terbanyak dan menduduki peringkat kelima di dunia.1, 2 Di Indonesia,
belum ada data yang adekuat mengenai angka kejadian ROP. Oleh karena itu, penulis
ingin menyampaikan data angka kejadian ROP di RSCM selama kurun waktu sepuluh
tahun terakhir.
Semua bayi yang lahir di RSCM mengikuti algoritma resusitasi neonatus IDAI 2013.
RSCM menerapkan prinsip the first golden minutes dan the first golden hour.6 Selanjutnya
3-5
bayi risiko tinggi akan dilakukan skrining ROP sesuai Pedoman Nasional Skrining dan
Terapi Retinopathy of Prematurity di Indonesia (lihat Tabel 1).
Retinopathy of prematurity (ROP) adalah gangguan vasoproliferative pada retina
bayi prematur. ROP adalah salah satu penyebab utama kebutaan pada bayi.7, 8 Seiring
dengan makin berkembangnya unit perawatan intensif neonatal, angka harapan hidup
491
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Tabel 1. Pedoman skrining ROP di Indonesia
Kriteria bayi yang memerlukan skrining ROP.
1. Bayi dengan berat lahir ≤ 1500 gr.
2. Bayi dengan usia gestasi ≤ 34 minggu.
3. Bayi dengan berat lahir lebih besar atau usia gestasi lebih tua dapat diminta oleh dokter
anak, yang bergantung pada keparahan faktor resiko diantaranya paparan fraksi oksigen
yang tinggi lebih dari satu minggu, transfusi berulang, sepsis, distress napas, asfiksia, kecil
masa kehamilan, displasia bronkopulmoner, patent ductus arteriosus, riwayat ROP dalam
keluarga. Bayi dengan usia gestasi 37 minggu atau lebih tidak perlu dilakukan pemeriksaan
skrining ROP.
Waktu yang dianjurkan pemeriksaan skrining ROP.
1. Jika usia gestasi > 30 minggu, diperiksa 2-4 minggu setelah kelahiran.
2. Jika usia gestasi ≤ 30 minggu, diperiksa 4 minggu setelah kelahiran.
3. Setidaknya satu kali pemeriksaan sebelum pulang dari rumah sakit.
Tempat pemeriksaan.
1. Jika di rumah sakit, pemeriksaaan di unit perinatologi sangat dianjurkan. Perlu dilakukan
monitor denyut jantung dan saturasi O2 pada saat pemeriksaaan.
2. Jika di poliklinik, pemeriksaan dilakukan di klinik mata jika keadaan umum bayi stabil.
Apabila memungkinkan, denyut jantung harus dimonitor selama pemeriksaan.
Dokter yang melakukan pemeriksaan.
Dokter spesialis mata yang terlatih dan berpengalaman dalam deteksi ROP.
(Sumber: Sitorus R, Andayani G, Djatikusumo A, Barliana JD, Yulia DE. Pedoman Nasional Skrining dan
Terapi Retinopathy of Prematurity (ROP) pada Bayi Prematur di Indonesia. Jakarta: Persatuan Dokter Spesi-
alis Mata Indonesia; 2011.)
bayi prematur meningkat sekaligus bayi yang memerlukan skrining ROP juga semakin
meningkat.9,10 Pemahaman mengenai ganguan ROP, faktor risiko ROP dan skrining ROP
dapat membantu menurunkan angka kejadian ROP. Faktor risiko yang penting untuk
terjadinya ROP adalah usia gestasi ≤ 34 minggu dan paparan terhadap fraksi oksigen yang
tinggi. Faktor risiko lain adalah distres napas, sepsis, transfusi darah berulang, perdarahan
peri-intraventrikular, enterokolitis nekrotikans (EKN), displasia bronkopulmonal, duktus
arteriosus persisten.7-9,11-14 Pemberian parenteral nutrisi agresif terutama lipid pada bayi
prematur yang belum dapat mulai diberikan minum sebagai faktor pelindung kejadian
ROP.15-17
RSCM mengikuti pedoman nasional untuk skrining ROP. Setiap bayi yang
mempunyai berat lahir ≤ 1500 gr dan usia gestasi ≤ 34 minggu akan diidentifikasi oleh
dokter maupun perawat yang merawat bayi tersebut. Dokter mata akan diberitahu jumlah
bayi yang memerlukan pemeriksaan skrining ROP. Pemeriksaan ROP dilakukan tiap hari
Jumat di RSCM. Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan oftalmoskopi indirek,
pada kasus tertentu mungkin memerlukan pemeriksaan Retcam. Bayi akan diberikan tetes
mata tropikamid 0.5% dan tetes mata fenilefrin 2.5% setiap 15 menit, dimulai sejak 1 jam
sebelum pemeriksaan (atau sampai pupil lebar maksimal).18 Hasil pemeriksaan tersebut
akan dicatat dan dilaporkan. Dalam sepuluh tahun terakhir tidak didapatkan kasus ROP
493
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
morbiditas pada retina bayi prematur.12, 14 Pada penelitian lain juga melaporkan bahwa
jumlah leukosit bayi yang tinggi pada sepuluh hari pertama kelahiran secara signifikan
berhubungan dengan angka kejadian ROP stadium lanjut.13
Pemberian transfusi darah berulang packed red cell dan whole blood termasuk faktor
risiko yang dapat meningkatkan kejadian ROP. Transfusi lebih dari dua kali selama
perawatan secara signifikan berhubungan dengan peningkatan insiden ROP stadium
lanjut.13, 19
Penutup
Langkah pencegahan agar ROP tidak terjadi merupakan hal yang paling penting. Langkah-
langkah tersebut termasuk strategi resusitasi terkait meminimalisasi penggunaan fraksi
oksigen tinggi dimulai dari kamar bersalin sampai ruang perawatan. Langkah lainnya
adalah penggunaan parenteral nutrisi agresif sejak jam pertama kelahiran, protokol yang
sangat ketat terhadap pencegahan infeksi, dan transfusi darah sesuai indikasi. Skrining
ROP sebaiknya dilakukan sesuai pedoman yang ada di Indonesia. Tujuan dari skrining
ROP tersebut adalah mengetahui lebih awal bayi risiko tinggi yang menderita ROP dan
kemungkinan kebutuhan terhadap terapi ROP. Apabila hal tersebut dilakukan dengan
konsisten, diharapkan dapat mengurangi kebutaan pada bayi prematur.
Daftar pustaka
1. WHO. Preterm birth: WHO; 2016 [updated November 2016; cited 2017 09 June 2017].
Available from: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs363/en/.
2. Blencowe H, Cousens S, Oestergaard MZ, Chou D, Moller AB, Narwal R, et al. National,
regional, and worldwide estimates of preterm birth rates in the year 2010 with time trends
since 1990 for selected countries: a systematic analysis and implications. Lancet (London,
England). 2012;379(9832):2162-72.
3. AAP/AHA. Summary AAP/AHA: 2015 Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care of the Neonate. AAP/AHA; 2015. p. 1-2.
4. FOGSI. Neonatal Resuscitation - Golden First Minute Guidelines. FOGSI; 2015. p. 1-9.
5. Periode Transisi dan Alur Resusitasi. In: Rohsiswatmo R, Rundjan L, editors. Resusitasi neo-
natus. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2015. p. 1-8.
6. Reuter S, Messier S, Steven D. The neonatal Golden Hour--intervention to improve quality
of care of the extremely low birth weight infant. South Dakota medicine : the journal of the
South Dakota State Medical Association. 2014;67(10):397-403, 5.
7. Lee J, Dammann O. Perinatal infection, inflammation, and retinopathy of prematurity. Sem-
inars in fetal & neonatal medicine. 2012;17(1):26-9.
8. Rohsiswatmo R. Retinopathy of prematurity: Prevalence and risk factors. 2016. 2016;45(6):-
265.
9. Badriah C, Amir I, Elvioza E, Ifran E. Prevalence and risk factors of retinopathy of prematu-
rity. 2012. 2012;52(3):-93.
495
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
The Developmental Paediatric and Neonatal
Follow-Up
Rini Sekartini
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta
Tujuan:
5. Mengetahui faktor-faktor risiko tinggi pada bayi
6. Luaran dan jangka panjang bayi risiko tinggi
7. Program pemantauan jangka panjang
S
aat ini kemajuan perawatan bayi baru lahir di unit neonatologi sangatlah pesat,
hal tersebut memberi dampak semakin tinggi angka harapan hidup bayi dengan
morbiditas yang menyertainya. Keberhasilan penanganan dan perawatan pada
perawatan di unit neonatologi akan memberikan konsekuensi pada layanan selanjutnya.
Pemantauan tumbuh kembang bayi berisiko tinggi ini akan menjadi salah satu aspek yang
merupakan tantangan tersendiri bagi dunia medis. Oleh karena itu, metode deteksi dini
dan intervensi dini gangguan tumbuh kembang sangat diperlukan dan diawali sejak masa
perawatan di rumah sakit.1
Bayi risiko tinggi merupakan kelompok yang rentan terhadap keterlambatan
pertumbuhan dan perkembangan. Bayi risiko tinggi adalah kelompok bayi yang memiliki
kemungkinan lebih besar untuk mengalami kematian dan kesakitan termasuk gangguan
tumbuh kembang, sehingga diperlukan pemantauan yang ketat dalam tumbuh
kembangnya baik selama perawatan di RS maupun ketika perawatan di rumah
nantinya. Penyebab risiko tinggi pada bayi adalah gangguan pada masa prenatal, saat
kelahiran, dan pasca-natal.2 Prevalens keterlambatan perkembangan pada bayi dengan
masalah perinatal di Indonesia antara 17,1-26%.3
Bayi prematur terutama pada Extremely Low Birth Weight yang bertahan hidup, pada
usia koreksi 18-24 bulan akan mengalami disabilitas kognitif (Bayley Mental Development
Index kurang dari 70) pada 26-40%, palsi serebral pada 12-17%, buta ganda sekitar 1-2%
dan gangguan pendengaran pada 2-9%.1
Masalah perkembangan lainnya yang mungkin akan timbul pada bayi risiko tinggi,
seperti retardasi mental, gangguan pendengaran, gangguan penglihatan seperti retinopati
prematuritas, gangguan perilaku serta gangguan belajar, semakin kecil usia gestasi, makin
besar risiko terjadinya gangguan tumbuh kembang tersebut. Perawatan bayi di ruang
perawatan intensif (neonatal intensive care unit/NICU) pun akan membatasi peluang
Risiko Tinggi
•• Berat lahir< 1000 g dan/atau usia gestasi< 28 minggu
•• Morbiditas mayor seperti chronic lung disease, intraventricular haemorrhage
(IVH),
dan periventricular leukomalacia
•• Asfiksia perinatal – Skor Apgar < 3 pada usia 5 menit dan/atau hipoksik
iskemik
ensefalopati (HIE)
•• Kondisi yang membutuhkan pembedahan seperti hernia diafragmatika, fistula
trakeoesofagus
•• Kecil masakehamilan (< P3) dan besar masa kehamilan (>P97)
•• Hipoglikemi dan hipokalsemi yang menetap lama
•• Kejang
•• Meningitis
•• Syok yang membutuhkan agen inotropik/vasopresor
•• BIHA
•• Neonatus bilirubin ensefalopati
•• Twin to twin transfusion
•• Malformasi mayor
•• Inborn errors of metabolism/ penyakit genetik lainnya
•• Pemeriksaan neurologi abnormal saat pulang
497
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Risiko Menengah
•• Berat lahir 1000 – 1500 g atau usia gestasi< 33 minggu
•• Kembar/triplet
•• Moderate neonatal HIE
•• Hipoglikemi, gula darah< 25 m/dL
•• Sepsis neonatus
•• Hiperbilirubinemia> 20 mg/dl atau membutuhkan transfusi tukar
•• IVH derajat 2
•• Lingkungan rumah suboptimal
Risiko Rendah
•• Kurang bulan, berat lahir 1500 – 2500 g
•• HIE derajat I
•• Hipoglikemi transien
•• Tersangka sepsis
•• Ikterus neonatorum yang membutuhkan terapi sinar
•• IVH derajat I
499
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Studi metaanalisis9 yang dilakukan pada tahun 1980 dan 2001, didapatkan bahwa
terdapat penurunan skor IQ 10 poin lebih rendah pada bayi dengan berat badan sangat
rendah dibandingkan dengan bayi normal. Hal ini merupakan masalah utama dampak
jangka penjang dibidang pendidikan bagi anak prematur, dan berdampak pula terhadap
kesediaan layanan pendidikan yang spesial. Studi ini juga mendapatkan bahwa terjadi
peningkatan 2,64 kali risiko anak mengalami kejadian Gangguan Pemusatan Perhatian
Hiperaktivitas (GPPH) dan masalah perilaku baik internal maupun eksternal
501
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Pemantauan apa yang perlu dilakukan dapat dilihat pada tabel 4,6,18 sebagai berikut :
Pelayanan paripurna yang dilakukan untuk bayi risiko tinggi meliputi penilaian
(assesment), skrining pertumbuhan dan perkembangan, penentuan intervensi, dan evaluasi
kemajuan intervensi. Pada awal penilaian dapat dilakukan oleh dokter umum, dokter anak
umum maupun dokter ahli tumbuh kembang. Setelah itu dilakukan penilaian terhadap
pertumbuhan dan perkembangan sesuai usia anak dan menggunakan berbagai perangkat
skrining perkembangan. Pada penentuan intervensi, dapat bekerja sama dengan ahli lain,
seperti dokter ahli rehabilitasi medis beserta para terapis yang berkaitan. Bila dijumpai
morbiditas lain, dapat dilakukan konsultasi dengan ahli lainnya. Bila tidak ada ahli
lainnya, dokter anak dapat melakukan penilaian awal, skrining, dan penentuan intervensi
serta evaluasi kemajuan intervensi yang dilakukan.
Penutup
Peran dokter anak sangatlah penting pada penanganan bayi risiko tinggi seperti pada bayi
prematur. Penanganan sejak awal kehidupan, mulai dari perawatan di ruang neonatologi,
dan pemantauan kesehatan, pertumbuhan dan perkembangan pada masa neonatus dan
selanjutnya sangat penting diperhatikan. Hal ini bertujuan untuk melakukan deteksi dini
adanya masalah atau gangguan pertumbuhan, perkembangan maupun masalah perilaku
503
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
pada anak. Dampak jangka panjang berupa gangguan perilaku, kesulitan belajar, dan
masalah emosi sosial harus dapat dideteksi dan dilakukan intervensi sedini mungkin,
sehingga anak dapat memiliki kualitas hidup yang optimal.
Daftar pustaka
1. Moddemann D, Shea S. The developmental paediatrics and neonatal follow-up. Paediatr
Child Health 2006;11(5):295-9.
2. Purwanti R, Chair I, Soedjatmiko. Penilaian Perkembangan Bayi Risiko Tinggi dan Rendah
pada Usia 3 dan 6 Bulan dengan Instrumen Bayley Scales of Infant and Toddler Develop-
ment Edisi III. Sari Pediatri. 2012;14:24-9.
3. Alam A, Sukadi A, Risan NA, Dhamayanti M. Preterm and low birth weight as risk factors
for infant delayed development. Paediatr Indones. 2008;48:1-4.
4. Bonier C. Evaluation of early stimulation programs for enhancing brain development.
Acta Paediatr. 2008;97:853-8.
5. O’Shea TM, Kuban KC, Allred EN, Paneth N, Pagano M, Dammann O, et al. Neonatal
cranial ultrasound lesions and developmental delays at 2 years of age among extremely
low gestational age children. Pediatrics. 2008;122:e662-9.
6. Kumar P, Sankar MJ, Sapra S, Agarwal R, Deorari A, Paul V. Follow-up of High Risk Neo-
nates. Diunduh dari www.newbornwhocc.org. Diakses tanggal 15 Juni 2017
7. Pinto-Martin J, Whitaker A, Feldman J, et al. Special education services and school perfor-
mance in a regional cohort of low- birthweight infants at age nine. Paediatr Perinat Epide-
miol 2004;18:120-9.
8. Saigal S, den Ouden L, Wolke D, et al. School-age outcomes in children who were extremely
low birth weight from four international population-based cohorts. Pediatrics 2003;112:943-
50.
9. Bhutta AT, Cleves MA, Casey PH, Cradock MM, Anand KJ. Cognitive and behavior-
al outcomes of school-aged children who were born preterm: A meta-analysis. JAMA
2002;288:728-37.
10. Aylward GP. Cognitive and neuropsychological outcomes: More than IQ scores. Ment
Retard Dev Disabil Res Rev 2002; 8:234-40.
11. Anderson P, Doyle LW; Victorian Infant Collaborative Study Group. Neurobehavioral
outcomes of school-age children born extremely low birth weight or very preterm in the
1990s. JAMA 2003; 289:3264-72.
12. Grunau RE, Whitfield MF, Davis C. Pattern of learning disabilities
in children with ex-
tremely low birth weight and broadly average intelligence. Arch Pediatr Adolesc Med
2002; 156:615-20.
13. American Psychiatric Association: Diagnostic and Statistical Manual of Mental Health
Disorders, 4th edn revised. Washington: American Psychiatric Association, 1994.
14. Botting N, Powls A, Cooke RW, Marlow N. Attention deficit hyperactivity disorders and
other psychiatric outcomes in very low birthweight children at 12 years. J Child Psychol
Psychiatry 1997; 38:931-41.
15. Gray RF, Indurkhya A, McCormick MC. Prevalence, stability, and predictors of clinically
significant behavior problems in low birth weight children at 3, 5, and 8 years of age.
Pediatrics 2004; 114:736-43.
505
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Targeted Blood Pressure in Pediatric
Shock: Considering Flow, Pressure, and
Ventriculoaortic Coupling
Saptadi Yuliarto
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya/RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Abstract
Blood pressure is one of the parameters in shock assessment and monitoring. Moreover, various shock
protocols use normal mean arterial pressure (MAP) as a therapeutic target. Recently, some study
determine optimal blood pressure as a target of shock management in ICU population. Comparing
outcomes between high and low MAP groups, however, the results were inconclusive. There have been no
studies in pediatric patients so the optimal target of blood pressure in this population is still unknown.
Therefore, the basic pathophysiology is very important to solve the problem. The interrelated components
affecting blood circulation are: blood flow, pressure gradient, vascular resistance, blood pressure (MAP),
and ventriculo-arterial (VA) coupling. Blood flow is the quantity of blood passes a given point in a
blood vessel at a given period of time. In the clinical context, blood flow is known as cardiac output. The
amount of blood flow is directly proportional to the pressure gradient and inversely proportional to the
vascular resistance. Whereas, vascular resistance is directly proportional to the vascular length and blood
viscosity, but inversely proportional to the 4th power of vascular radius. The vascular diameter is strongly
influenced by the sympathetic system via vascular tone modulation. In increased sympathetic stimulation,
vasoconstriction causes a significant decrease in vascular diameter so that vascular resistance increases,
resulting in decreased blood flow. The balance between blood flow and vascular tone is called VA coupling,
which can be measured using the ratio of arterial elastance (Ea) to left ventricular elastance (Ees) or
potential energy to kinetic ratio (PKR) ratio. VA uncoupling lead to heart failure and circulation. At the
microcirculation level, MAP affects the tissue perfusion pressure. However, tissue perfusion is also affected
by the blood flow distribution and tissue oxygenation. Therefore, blood pressure (MAP) can not be used
as a single hemodynamic parameter because of the many factors affect each other. Monitoring of blood
flow and pressure at the macro- and microcirculation levels may represent comprehensive hemodynamic
condition.
T
ekanan darah merupakan salah satu parameter penilaian derajat dan pemantauan
syok. Selain itu, berbagai protokol syok menggunakan mean arterial pressure
(MAP) normal sebagai target terapi.1 Saat ini, beberapa peneliti mencari nilai
tekanan darah optimal sebagai target terapi syok pada populasi pasien ICU dewasa.2
Mereka membandingkan luaran antara kelompok MAP tinggi (80-85 mmHg) dan rendah
(65-70 mmHg). Dua uji acak terkontrol menujukkan tidak ada perbedaan mortalitas 28
hari, bahkan efek samping berupa fibrilasi atrium lebih besar pada kelompok MAP tinggi.
Fisiologi Hemodinamik
Fisiologi di Tingkat Makrosirkulasi
Hantaran oksigen (oxygen delivery, DO2) ke jaringan dipengaruhi oleh curah jantung
(cardiac output, CO) dan kandungan oksigen (oxygen content, CaO2). CaO2 terdiri atas:
kadar hemoglobin (Hb), saturasi oksigen arterial (SaO2), dan oksigen terlarut plasma
(tekanan parsial oksigen arterial, PaO2). Curah jantung, yang merupakan perkalian antara
volume sekuncup (stroke volume, SV) dan denyut jantung, berperan 60-70% dalam DO2.
Tekanan darah arterial terdiri atas komponen pulsatil dan tetap (steady). Komponen
pulsatil adalah tekanan darah sistolik dan diastolik, sedangkan komponen steady adalah
tekanan rerata arteri (mean arterial pressure, MAP). Saat ini, MAP dianggap sebagai
driving pressure perfusi jaringan sehingga menjadi target dalam tatalaksana syok; namun
pada beberapa kondisi patologis, nilai MAP ternyata tidak menunjukkan tekanan perfusi
sesungguhnya (overestimated). Contohnya pada kasus peningkatan tekanan ekstravaskular
regional (hipertensi intrakranial, sindrom kompartemen abdominal) atau peningkatan
tekanan sistemik vena (gagal jantung kanan).
Berdasarkan hukum Ohm, aliran darah ke jaringan hanya dapat terjadi bila ada
perbedaan tekanan (pressure gradient) antara dua ujung vaskular. Aliran darah ini
berbanding terbalik dengan tahanan vaskular (rumus 1).4
∆P
F= (rumus 1)
R
507
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Dalam konteks klinis, hukum Ohm tersebut menjadi (rumus 2):4,7
MAP - mRAP
CO = (rumus 2)
SVR
MAP = mean arterial pressure
mRAP = mean right arterial pressure sebagai parameter pengganti mean systemic pressure
CO = cardiac output
SVR = systemic vascular resistance
Persamaan di atas menunjukkan bahwa curah jantung atau aliran darah bukan
dipengaruhi oleh nilai MAP itu sendiri, namun oleh beda MAP dan mRAP. Pada kondisi
normal, mRAP dapat diabaikan karena bernilai sekitar 0-5 mmHg; namun pada kondisi
gagal jantung kanan, peningkatan mRAP cukup bermakna dalam mempengaruhi pressure
gradient, sehingga dibutuhkan MAP yang lebih tinggi untuk menjamin aliran darah
optimal.7
Tahanan vaskular sistemik (systemic vascular resistance, SVR) berbanding lurus dengan
panjang vaskular dan viskositas darah, namun berbanding terbalik dengan pangkat 4
radius vaskular. Diameter vaskular sangat dipengaruhi oleh sistem saraf simpatis. Pada
peningkatan stimulasi simpatis, vasokonstriksi menyebabkan penurunan diameter
vaskular secara bermakna sehingga tahanan vaskular meningkat, akibatnya aliran darah
akan menurun.4 Kesesuaian antara aliran darah dan tonus vaskular inilah yang disebut VA
coupling. Parameter ini dapat diukur menggunakan rasio arterial elastance (Ea) terhadap
left ventricular elastance (Ees)6 atau rasio energi potensial terhadap energi kinetik jantung
(potential to kinetik ratio, PKR).5
Ees merupakan gambaran kemampuan sistolik LV, yang merupakan interaksi
antara kinerja kontraktilitas, efisiensi inotropik, dan karakteristik struktural, fungsional,
geometrik LV. Sedangkan Ea adalah total tahanan (afterload) yang harus dihadapi oleh LV,
yang merupakan interaksi kompleks antara komplians, tahanan, dan kekakuan dinding
sistem arteri. VA coupling normal bila Ea/Ees ≤1, yaitu menunjukkan kesesuaian optimal
antara beban kerja ventrikel kiri (LV) dan sistem arterial, saat LV mengeluarkan darah ke
sistem arterial.6
Gangguan VA coupling menyebabkan gagal jantung dan gagal sirkulasi. Sebagai
contoh, pada kasus gagal jantung atau syok kardiogenik, kemampuan ejeksi LV menurun
sehingga volume sekuncup (stroke volume, SV) menurun. Ini akan diikuti oleh stimulasi
simpatis melalui vasokonstriksi arteriol di seluruh tubuh untuk meningkatkan volume
darah di arteri besar sehingga mempertahankan MAP. Pada kondisi terkompensasi, MAP
dapat dipertahankan normal; namun penurunan Ees menyebabkan VA uncoupling (Ea/
Ees >1). Pada kasus ini, MAP normal tidak menunjukkan sirkulasi normal karena Ea
yang relatif lebih tinggi daripada Ees menyebabkan penurunan aliran darah menuju
jaringan. Pada kondisi lanjut, kinerja LV (Ees) semakin menurun karena makin tingginya
509
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
sentral (central venous pressure, CVP) sebesar 0 mmHg. Bila CVP >0 mmHg, MAP harus
disesuaikan untuk mendapatkan tekanan perfusi optimal.1
Beberapa penelitian membandingkan luaran pasien antara kelompok MAP tinggi dan
rendah pada pasien ICU dewasa.2 Sayangnya, belum ada penelitian serupa pada populasi
anak sehingga target tekanan darah pada syok anak belum disepakati. Pada penelitian
pasien dewasa (2 uji klinis acak dan 10 uji silang) menunjukkan tidak adanya perbedaan
mortalitas 28 hari antara kelompok MAP tinggi dan rendah, bahkan prevalensi fibrilasi
atrium lebih tinggi pada kelompok MAP tinggi (tabel 1). Curah jantung dan denyut
jantung lebih tinggi pada kelompok MAP tinggi, namun kadar laktat tidak berbeda
(gambar 1). Namun, pada akhir makalahnya, para peneliti tersebut menyatakan masih
kurangnya bukti kuat target MAP pada pasien.2,3
511
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Saat ini, untuk pemantauan curah jantung dapat digunakan alat-alat invasif dan
non-invasif. Kateter arteri pulmonal (teknik termodilusi) masih menjadi standar baku
pemantauan curah jantung. Pemantauan lain secara tranpulmonal (PiCCO, LiDCO)
bersifat less invasive dan memberikan akurasi hasil yang mirip dengan kateter arteri
pulmonal. Ultrasonografi (termasuk ekokardiografi dan USCOM) juga telah digunakan
secara luas dengan memberikan keuntungan berupa: non-invasif, akurasi baik, reliabel,
dan portable.13
Selain pemantauan curah jantung, ultrasonografi mempunyai keunggulan lain,
yaitu dalam pengukuran VA coupling. Ekokardiografi menentukan VA coupling melalui
pengukuran Ees dan Ea,6 sedangkan USCOM mengukurnya melalui ratio energi potensial
terhadap kinetik (PKR).5 Banyak penelitian menunjukkan VA coupling digunakan sebagai
panduan penyesuaian dan target terapi pada kondisi gangguan sirkulasi.
Pemantauan mikrosirkulasi dapat dilakukan dengan berbagai metode. Secara garis
besar, dapat dibagi menjadi metode tidak langsung, metode langsung, dan dinamik.
Metode tidak langsung meliputi pemeriksaan surrogate oksigenasi jaringan seperti saturasi
oksigen mixed vein, kadar CO2 darah dan jaringan, laktat, dan NIRS (near infrared
spectroscopy). Pemeriksaan langsung meliputi laser Doppler dan teknik videomikroskopi
(Orthogonal Polarisation Spectral,OPS; Sidestream Dark-Field, SDF; dan Incident Dark-
Field, IDF). Vascular occlusion tests (VOT) merupakan contoh pemeriksaan dinamik.14
Penutup
Saat ini disepakati target tekanan perfusi pada anak sebesar (1,5 x usia) + 55 mmHg. Namun,
target terapi syok tidak hanya berdasarkan nilai optimal MAP sebagai representasi tekanan
perfusi. Perlu pula diperhatikan kecukupan aliran darah ke jaringan serta keseimbangan
keduanya. Kecukupan aliran darah ditunjukkan oleh nilai curah jantung, densitas kapiler
fungsional (FCD), dan distribusi aliran mikrosirkulasi. Keseimbangan antara aliran darah
dan tahanan ditunjukkan oleh parameter VA coupling. Oleh karena itu, terapi cairan,
inotropik, vasodilator, dan vasopressor harus memperhatikan dasar patofisiologi dan
kondisi klinis pasien, serta menargetkan keseimbangan seluruh komponen hemodinamik.
Daftar pustaka
1. Davis AL, Carcillo JA, Aneja RK, Deymann AJ, Lin JC, Nguyen TC, et al. American college
of critical care medicine clinical practice parameters for hemodynamic support of pediatric
and neonatal septic shock. Crit Care Med. 2017;45:1061-93.
2. Asfar P, Meziani F, Hamel J-Fo, Grelon F, Megarbane B, Anguel N, et al. High versus low
blood-pressure target in patients with septic shock. N Engl J Med. 2014;370:1583-93.
3. D’Aragon F, Belley-Cote EP, Meade MO, Lauzier F, Adhikari NK, Briel M, et al. Blood pres-
sure targets for vasopressor therapy: a systematic review. Shock. 2015;43:530-9.
4. Guyton AC, Hall JE. Textbook of Medical Physiology. 11 ed. Philadelphia, Pennsylvania:
Elsevier Saunders; 2006.
513
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Pemberian Minum pada Bayi Prematur Kecil
Masa Kehamilan
Setya Wandita
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta
N
utrisi merupakan salah satu hal yang penting pada manajemen bayi baru lahir.
Sudah lama diketahui bahwa nutrisi berperan pada kesintasan dan tumbuh
kembang jangka panjang pada masa anak dan dewasa.1 Pada bayi prematur,
tujuan pemberian nutrisi adalah bayi tumbuh seperti pertumbuhan dalam rahim,
komposisi tubuh dan fungsi hormonal yang sama dengan bayi cukup bulan.2
Manajemen nutrisi pada bayi prematur yang tidak memadai dapat menyebabkan
gangguan pertumbuhan ekstrauteri, di mana hal ini kejadiannya sekitar 50%. Gangguan
ini selanjutnya akan mempengaruhi tumbuh kembang. Manajemen nutrisi yang adekuat
diharapkan dapat mengatasi masalah ini. Sebagian besar asupan nutrisi pada bayi prematur
tidak memenuhi kebutuhan yang direkomendasikan.2
Pertumbuhan yang paling baik adalah dengan nutrisi enteral. Namun nutrisi enteral
ini sering terganggu dengan adanya penyulit-penyulit yang timbul seperti enterokolitis
nekrotikans (EKN), sepsis neonatorum, gangguan hemodinamik, penyakit paru kronik,
gangguan saluran cerna.2
Jenis minuman
Dini versus ditunda (Early vs Delayed)
Pemberian minum dini mempunyai keuntungan karena meningkatkan adaptasi fungsional
saluran cerna dengan mensekresi hormon dan motilitas gastrointestinal. Juga menurunkan
kebutuhan nutrisi parenteral dan komplikasinya.7 Pemberian minum pada bayi prematur
515
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
dihubungkan dengan kekhawatiran terjadinya EKN.8 Namun, bukti-bukti menunjukkan
bahwa pemberian minum dini tidak berhubungan dengan EKN. Pemberian minum dini
pada bayi KMK tidak meningkatkan risiko terjadinya EKN (RR 0.89; IK-95%: 0,58-
1,37). Sebaliknya, penundaan pemberian minum tidak menurunkan risiko terjadinya
EKN.5 Asfiksia, distres respirasi, sepsis, hipotensi, gangguan glukosa, ventilasi, dan kateter
umbilikal bukan merupakan kontraindikasi pemberian minum.7
Pada satu reviu sistematik Cochrane didapatkan bahwa penundaan pemberian
minum progresif tidak menurunkan kejadian EKN pada bayi KMK (RR 0,87; IK-95%:
0,54-1,41).(10) Kematian pada bayi KMK ini juga tidak berbeda dengan memberikan
minum progresif dini (RR: 1,06; IK-95%: 0,55-2,05)10, begitu pula dengan intoleransi
minum tidak berbeda (RR: 0,84; IK-95%: 0,62-1,15), dan menunda pemberian minum
lama rawat lebih panjang (mean difference (MD): 2,11 (0,31-3,90)).10
Penelitian lain yang membandingkan pemberian minum dini (<48 jam) dibandingkan
dengan yang lambat (>72 jam) didapatkan bahwa pencapaian berat lahir (weight gain)
lebih cepat pada bayi yang diberi minum <48 jam (13.75±5.21 vs 20.53±6.3; p<0.001)
dan pemberian nutrisi parenteral lebih pendek (9.26±4.572 hari vs 14.11±6.415 hari,
p<0.001), serta lama rawat lebih pendek pula (12.14±8.612 vs 21.11±1.156, p<0.001).
Kejadian sepsis (p: 0,73) dan EKN tidak berbeda. Subjek pada penelitian ini tidak
disebutkan apakah bayi KMK atau SMK.11 Manfaat lain pemberian nutrisi awal adalah
penurunan kadar bilirubin lebih cepat dan foto terapi lebih pendek (6.8 vs 9.5 hari),
kolestasis lebih rendah (6,7% vs 33%), kadar puncak bilirubin direk lebih rendah (0,7 vs
2,5 mg/dL), osteopenia lebih rendah (kalsium 1,3 vs 0,8 gram).12
Trophic Feeding
Trophic feeding (TF) atau nutrisi enteral minimal diberikan pada bayi kecil (BBLSR) pada
awal setelah lahir. Memuasakan bayi KMK adalah merugikan. Memuasakan bayi akan
menyebabkan dismotilitas usus sehingga terjadi intoleransi minum.5 TF didefinisikan
sebagai pemberian minum minimal (10-15 mL/kg/hari). Pemberian TF dianjurkan
dalam 24 jam pertama setelah lahir.7 Tujuan TF adalah mengakselerasi fisiologi (endokrin,
metabolik) saluran cerna sehingga transisi dari nutrisi parenteral ke enteral lebih
cepat. Namun TF dikhawatirkan meningkatkan risiko terjadinya EKN. Volume yang
diberikan antara 12-24 mL/kg/hari dimulai pada beberapa hari pertama setelah lahir
tanpa peningkatan volume selama minggu pertama kehidupan.13 Pemberian TF awal
dibandingkan dengan memuasakan tidak meningkatkan kejadian EKN (RR: 1,07; IK-
95%: 0,67-1,70), kematian (RR: 0,66; IK-95%: 0,41-1,07). Juga tidak ada perbedaan
dalam kembali ke berat lahir (MD: -0,01; IK-95%: -0,96-0,95) pencapaian minum
penuh (MD: -1,05; IK-95%: -2,61-0,51), kejadian infeksi (RR: 1,06; IK-95%: 0,72-
1,56), lama rawat inap (MD: -3,85; IK-95%: -11,54-3,84). Namun subjek pada reviu ini
tidak disebutkan apakah bayi KMK.13
517
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
absorbsi, pengeluaran energi lebih rendah, menurunkan intoleransi minum, dan
meningkatkan pertumbuhan.16 Namun pemberian secara kontinyu dapat mempengaruhi
pola pelepasan siklik hormon yang dapat mempengaruhi homeostasis dan pertumbuhan.
Sedangkan bolus lebih fisiologis, di mana pengeluaran hormon terjadi secara siklik seperti
bayi sehat, hal ini diperlukan untuk pertumbuhan saluran cerna.5,16
Pemberian minum secara bolus dan intermiten sudah lama diperdebatkan. Sebagian
penelitian menyatakan bahwa pemberian minum secara bolus lebih baik dalam hal
pertumbuhan dan tercapainya minum penuh, sedangkan penelitian-penelitian lain
menghasilkan hal yang sebaliknya. Satu reviu sistematik Cochrane didapatkan bahwa
pemberian minum secara kontinyu dibandingkan bolus tidak ada perbedaan pertumbuhan
(berat, kembali ke berat lahir, pertambahan berat badan, panjang badan, lingkar kepala,
lipatan kulit), lama rawat inap (MD: -1,94; -8,26-4,38), kejadian EKN (RR: 1,53; IK-
95%: 0,40-5,89), apnea (MD: 14; -0,20-28,20).16
Pemberian minum secara intermiten dapat dibagi menjadi 2 yaitu didorong atau
berdasarkan gravitasi. Pemberian secara didorong yaitu dengan pemberian lewat sonde
ke lambung dan dilakukan pemberian tekanan untuk memasukkan minuman ke dalam
lambung. Sedangkan gravitasi adalah minuman dibiarkan masuk berdasarkan gravitasi,
kontrol masuknya minuman berdasarkan tingginya siring, di mana semakin tinggi siring
semakin cepat minuman masuk ke dalam lambung.17
Pada pemberian minum dengan gravitasi, peristaltik usus dan lambung tergantung
adanya cairan di lambung. Pemberian minum dengan gravitasi merangsang respons
fisiologis peristaltik. Pemberian dengan didorong akan memasukkan cairan terlalu cepat
ke dalam lambung, dan dapat terjadi refluks gastroesofageal. Pemberian terlalu cepat
merangsang stimulasi vagal yang menyebabkan bradikardia dan apnea terutama pada
BBLSR. Pemberian secara gravitasi dapat dikontrol kecepatannya namun susu yang
masuk mungkin belum dicerna pada pemberian minum berikutnya bila pemberiannya
lambat.17 Pada prakteknya pemberian minum apakah secara gravitasi atau didorong
sangat bervariasi.17 Pada waktu sekarang, praktek cara pemberian minum ini lebih pada
asesmen pribadi daripada praktek berbasis bukti.5 Reviu Cochrane pada BKB dan BBLR
didapatkan bahwa tidak ada perbedaan pada frekuensi napas (MD 3,10; -3,43-9.63),
denyut jantung (MD -2,60; -9,71-4,51). Subjek pada reviu ini adalah bayi SMK. Tidak
disimpulkan untuk luaran yang lain.17 Pada waktu sekarang belum ada penelitian yang
membandingkan cara pemberian minum pada KMK.
Pemberian minum lewat sonde dapat dilakukan dengan nasogastric tube (NGT) atau
orogastric tube (OGT). NGT meningkatkan tahanan jalan napas 30-50%, apnea sentral.(8)
Satu reviu sistematik Cochrane didapatkan bahwa tidak ada perbedaan antara OGT dan
NGT dalam hal pencapaian minum penuh (MD -2,7; -11,95-6,54), kembali ke berat lahir
(MD: 0,90; IK-95%: -1,27-3,07), perlu tambahan oksigen (MD 7,60; IK-95%: -15,17-
30,37).(18) Frekuensi pemberian minum pada bayi KMK tiap 2 jam atau 3 jam. Namun
sampai waktu sekarang belum cukup bukti mana yang lebih baik pada kedua frekuensi ini.7
Intoleransi minum
Intoleransi minum tanda-tandanya adalah adanya residu lambung, emesis, dan distensi
abdomen. Residu lambung merupakan banyak digunakan sebagai petanda intoleransi
minum dan tanda awal EKN.5 Aspirasi lambung untuk mengevaluasi residu lambung dapat
menunda pemberian minum berikutnya dan merusak mukosa lambung.8 Peningkatan
lingkar perut <1,5 cm adalah normal, dan tanpa adanya tanda lain tidak mengindikasikan
adanya penyakit.8 Pada waktu sekarang sulit untuk menentukan batas residu lambung
di mana pemberian minum harus dihentikan. Residu 2 mL pada bayi ≤750 gram dan
sampai 3 mL pada bayi750 to 1000 gram adalah masih dalam batas normal. Penelitian
lain menyatakan bahwa residu lambung >3.5 mL atau 33% pada satu kali pemberian
minum berhubungan dengan risiko yang lebih tinggi EKN, dan residu lambung <1,5
mL atau 25% adalah normal. Residu lambung berdarah berisiko tinggi EKN. Sedangkan
residu bilous bukan faktor risiko EKN.5 Oleh karena itu pengecekan residu lambung dan
lingkar perut secara rutin tidak dianjurkan.8
Penutup
Bukti ilmiah pemberian minum pada KMK terbatas. Bukti-bukti ilmiah yang ada sampai
sekarang tidak fokus pada bayi KMK. Penelitian lebih lanjut diperlukan pada KMK agar
didapatkan bukti ilmiah yang kuat mengenai pemberian minum pada bayi KMK, mengenai
waktu pemberian minum enteral, kecepatan pemberian minum. Sampai sekarang tidak
ada bukti ilmiah untuk menunda atau penambahan lambat peningkatan pemberian
minum. Bayi KMK secara nutrisional adalah keadaan emergensi yang berdampak tidak
baik pada jangka pendek dan panjang bila tidak dikelola dengan baik.5
Daftar pustaka
1. Lucas A, Bloom SR, Aynsley-Green A. Metabolic and Endocrine Consequences of Depriving
Preterm Infants of Enteral Nutrition. Acta Pædiatrica. 1983 Mar 1;72(2):245–9.
2. van Goudoever JB, de Waard M, Kouwenhoven SM. Chapter 16 - Programming Long-Term
Health: Nutritional and Dietary Needs in Infant Prematurity. In: Saavedra JM, Dattilo AM,
editors. Early Nutrition and Long-Term Health. Woodhead Publishing; 2017. p. 413–25.
519
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
3. Lee PA, Chernausek SD, Hokken-Koelega ACS, Czernichow P. International Small for Ges-
tational Age Advisory Board Consensus Development Conference Statement: Management
of Short Children Born Small for Gestational Age, April 24–October 1, 2001. Pediatrics.
2003 Jun 1;111(6):1253–61.
4. Gleason CA, Devaskar SU, Avery ME, editors. Avery’s diseases of the newborn /: [edited
by] Christine A. Gleason, Sherin U. Devaskar. 9th ed. Philadelphia, PA: Elsevier/Saunders;
2012. 1498 p.
5. Barone G, Maggio L, Saracino A, Perri A, Romagnoli C, Zecca E. How to feed small for
gestational age newborns. Ital J Pediatr. 2013 May 10;39:28.
6. Gardosi J. New Definition of Small for Gestational Age Based on Fetal Growth Potential.
Horm Res Paediatr. 2006 Apr 10;65(3):15–8.
7. Dutta S, Singh B, Chessell L, Wilson J, Janes M, McDonald K, et al. Guidelines for Feeding
Very Low Birth Weight Infants. Nutrients. 2015 Jan 8;7(1):423–42.
8. Kumar RK, Singhal A, Vaidya U, Banerjee S, Anwar F, Rao S. Optimizing Nutrition in
Preterm Low Birth Weight Infants—Consensus Summary. Front Nutr. 2017;4.
9. Battersby C, Longford N, Mandalia S, Costeloe K, Modi N, others. Incidence and enter-
al feed antecedents of severe neonatal necrotising enterocolitis across neonatal networks in
England, 2012–13: a whole-population surveillance study. Lancet Gastroenterol Hepatol.
2017;2(1):43–51.
10. Morgan J, Young L, McGuire W. Delayed introduction of progressive enteral feeds to prevent
necrotising enterocolitis in very low birth weight infants. Cochrane Database of Systematic
Reviews. 2014. Issue 12. Art. No.: CD001970.
11. Sallakh-Niknezhad A, Bashar-Hashemi F, Satarzadeh N, Ghojazadeh M, Sahnazarli G. Early
versus Late Trophic Feeding in Very Low Birth Weight Preterm Infants. Iran J Pediatr. 2012
Jun;22(2):171–6.
12. Dunn L, Hulman S, Weiner J, Kliegman R. Beneficial effects of early hypocaloric enteral
feeding on neonatal gastrointesting function: Preliminary report of a randomized trial. J
Pediatr. 1988 Apr 1;112(4):622–9.
13. Morgan J, Bombell S, McGuire W. Early trophic feeding versus enteral fasting for very
preterm or very low birth weight infants. Cochrane Database of Systematic Reviews. 2013.
Issue 3. Art. No.: CD000504.
14. Salhotra A, Ramji S. Slow versus fast enteral feed advancements in very low birth weight
infants: a randomized controlled trial. Indian Pediatr. 2004;41(5):435–442.
15. Morgan J, Young L, McGuire W. Slow advancement of enteral feed volumes to prevent
necrotising enterocolitis in very low birth weight infants. Cochrane Database of Systematic
Reviews. 2015. Issue 10. Art. No.: CD001241.
16. Premji SS, Chessell L. Continuous nasogastric milk feeding versus intermittent bolus milk
feeding for premature infants less than 1500 grams. Cochrane Database Systematic Review.
2011. Issue 9. Art. No.: CD001819.
17. Dawson JA, Summan R, Badawi N, Foster JP. Push versus gravity for intermittent bolus
gavage tube feeding of premature and low birth weight infants. Cochrane Database of Sys-
tematic Reviews. 2012. Issue 11. Art. No.: CD005249.
18. Watson J, McGuire W. Nasal versus oral route for placing feeding tubes in preterm or low
birth weight infants. Cochrane Database of Systematic Reviews. 2013. Issue 2. Art. No.:
CD003952.
Abstract
CHDs are one of the most common forms of congenital anomalies found in humans. Early detection of
CHDs in prenatal period by foetal echocardiography is of paramount importance in management of such
cases. Prental diagnosis helps family in making a decision regarding the outcome of pregnancy including
termination. Prenatal diagnosis of CHDs also decreases mortality and morbidity by smooth transition
between pre- and post-natal states by providing the appropriate medical care immediately after birth.
Studies have shown that prenatal diagnosis improves neonatal survival after surgical repair compared to
post-natal diagnosis
P
enyakit jantung bawaan (PJB) masih menjadi masalah di negara maju maupun
negara berkembang. Diperkirakan prevalens PJB adalah 8 sampai 10 dalam 1.000
kehamilan. Prevalens ini tidak banyak berbeda antara satu negara dengan negara
lain. PJB menyebabkan kematian perinatal sekitar 40%, lebih dari 20% kematian terjadi
pada bulan pertama kehidupan. PJB berkontribusi pada beban ekonomi sistem perawatan
kesehatan. Fetal echocardiography merupakan salah satu alat untuk mendeteksi PJB semasa
janin masih berada di kandungan ibu. Fetal echocardiography diharapkan dapat membantu
keluarga dalam mengambil keputusan mengenai melanjutkan atau menghentikan
kehamilan, mempersiapkan biaya pengobatan dan mempersiapkan keluarga memilih
tempat untuk melahirkan. 1-4
Di negara maju fetal echocardiography ini sebagian besar dilakukan pada kehamilan
berisiko tinggi. Tetapi di negara berkembang perannya sebagai alat skrining rutin prenatal
rutin masih kontroversi. Beberapa laporan menunjukkan bahwa fetal echocardiography
yang dilakukan hanya berdasarkan indikasi ternyata dapat menyebabkan sejumlah besar
PJB tidak terdeteksi yang akan berakibat penanganan bayi baru lahir yang tidak tepat
sehingga menyebabkan peningkatan angka kematian neonatal dini. Bila dilakukan pada
semua janin tanpa melihat indikasi akan menghabiskan waktu dan biaya yang besar. 1-4
521
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Ketepatan diagnosis fetal echocardiography
Ketepatan diagnosis fetal echocardiography sangat tergantung dengan individu yang
melakukan juga alat atau mesin ekokardiografi. Mengingat spektrum dan kompleksitas
anatomi patologi jantung pada janin, fetal echocardiography seharusnya dilakukan dan
diinterpreatsi oleh orang yang telah memiliki pelatihan formal atau pengalaman dalam fetal
echocardiography. Untuk melakukan evaluasi ekokardiografi janin yang terinci diperlukan
pengetahuan tentang anatomi dan fungsi jantung. 1-4 Skrining awal dapat dilakukan oleh
dokter yang telah menjalani pelatihan dasar, sedangkan penilaian selanjutnya dilakukan
oleh pediatric cardiology yang sudah terlatih dan berpengalaman, dokter spesialis kebidanan
atau dokter radiologi yang telah mempunyai pengetahuan dan ketrampilan yang dapat
direkomendasikan melakukan ekokardiografi janin.1-4
523
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Waktu yang tepat untuk melakukan fetal echocardiography
Beberapa faktor berperan terhadap waktu yang tepat untuk dilakukan fetal echocardiography,
yaitu untuk saat rujukan oleh dokter SpOG setelah melakukan USG rutin pada trisemester
kedua, dan kehamilan berisiko tinggi, fetal echocardiography dilakukan pada usia 18-22
minggu. 1-4
Saat ini fetal echocardiography dapat dilakukan pada usia kehamilan lebih awal yaitu
trimester kedua dan awal trimester kedua (usia gestasi <18 minggu). Hal ini dimungkinkan
dengan terdapatnya probe dengan transduser frekuensi tinggi, termasuk yang probe
transvaginal. Indikasi untuk dilakukan fetal echocardiography pada usia kehamilan lebih
awal, sama dengan pada kehamilan trisemester kedua. Terutama ditujukan pada ibu
hamil dengan risiko kehamilan yang lebih tinggi misalnya anak sebelumnya lahir dengan
PJB kompleks. Fetal echocardiography transabdominal dapat memvisualisasikan struktur
jantung janin dengan baik pada usia 13 sampai 14 minggu. Fetal echocardiograhy yang
dilakukan sebelum usia tersebut dilakakan dengan probe transvaginal karena adanya jarak
antara dinding abdomen dan ukuran jantung janin yang kecil.4
Indikasi
Pemeriksaan fetal echocardiography dilakukan pada kehamilan dengan risiko tinggi 4
Ibu
•• Diabetes mellitus
•• Phenylketonuria
•• Rubella
•• Infeksi pada ibu dengan kemungkinan janin suspek fetal myocarditis
•• Maternal autoantibodies (SSA/SSB+)
Ibu mengkonsumsi
•• Angiotensin converting enzim (ACE) inhibitors
•• Retinoic acid
•• NSAIDs pada trisemester ke tiga
525
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
prognosis. Pada kasus dengan PJB kompleks sebaiknya dirujuk ke pusat rujukan yang
telah berpengalamam melakukan tatalaksana PJB kompleks.4
Penutup
Saat ini penanganan PJB telah berkembang dan dimulai sejak bayi masih didalam
kandungan. Deteksi PJB semasa janin dengan fetal ekokardiografi sudah dilaksanakan di
Negara maju maupun Negara berkembang. Walupun penelitian menunjukkan sensitifitas
yang berbeda-beda, tergantung kompetensi individu yang melakukan fetal echocardiography
dan alat yang digunakan.
Deteksi PJB dengan fetal echocardiography dapat menyiapkan orang tua dan keluarga
untuk menyiapkan mental maupun finansial menghadapi penanganan PJB bila bayi telah
dilahirkan.
Saat ini sistim rujukan untuk deteksi PJB semasa janin masih berbeda di tiap negara.
Di Indonesia pemeriksaan USG janin telah dilakukan oleh dokter umum dan dokter
SpOG. Bila USG rutin menunjukkan kecurigaan adanya PJB, maka dapat di rujuk
ke dokter kardiologi anak, untuk dilakukan fetal echocardiography. Hasil pemeriksaan
fetal echocardiography dapat digunakan untuk menyiapkan orangtua, tenaga medis
Daftar pustaka
1. Randall P, Brealey S, Hahn S, Khan KS, Parsons JM. Accuracy of fetal echocardiography in
the routine detection of congenital heart disease among unselected and low risk populations:
a systematic review. BJOG. 2005;112:24-30.
2. Nayak K, Chandra G S N, Shetty R, Narayan PK. Evaluation of fetal echocardiography as a
routine antenatal screening tool for detection of congenital heart disease. Cardiovasc Diagn
Ther. 2016;6:44-9.
3. YF Zhang, XL Zeng, EF Zhao, HW Lu . Diagnostic Value of Fetal Echocardiography for Con-
genital Heart Disease A Systematic Review and Meta-Analysis. Medicine. 2005;94:e1759.
4. Donofrio MT, Moon-Grady AJ, Hornberger LK, et al Diagnosis and treatment of fetal
cardiac disease: a scientific statement from the American Heart Association. Circulation.
2014;129:2183-242.
5. Borenstein M, Minekawa R, Zidere V, Nicolaides KH, Allan LD. Aberrant right subclavian
artery at 16 to 23 + 6 weeks of gestation: a marker for chromosomal abnormality. Ultrasound
Obstet Gynecol. 2010;36:548-52.
6. Polguj M, Chrzanowski L, Kasprzak JD, Stefanczyk L, Topol M, Majos A. The aberrant right
subclavian artery (arteria lusoria): the morphological and clinical aspects of one of the most
important variations: a systematic study of 141 reports. Scientific World J. 2014, article ID
29273, 6 pages.
527
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Arah Penelitian Klinis dalam Bidang
Kardiologi Anak (Clinical Research Direction in
Pediatric Cardiology)
Sudigdo Sastroasmoro
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta
Abstract
Pediatric cardiology as a discipline was born in 1938 when Robert Gross ligated a patent ductus
arteriosus. Soon after that the discipline progressed, and by 1961 pediatric cardiology became the first
sub-discipline of pediatrics. In the following 2 decades cardiac surgery developed rapidly so that many
congenital heart defects that could not be treated previously could then be managed properly; this not
only for simple cardiac anomalies but also for the complex ones. This was followed by the development
of interventional cardiology to manage certain forms of congenital cardiac defects. The development
has been so intense so that currently cardiac catheterization for the purpose of diagnosis is very rarely
used, while catheterization for treatment purposes becomes more and more established. In recent years
intervention in utero has been done in some conditions, and it is predicted that the procedure will
progress more. All of the developments of course were done following research, mainly clinical research. In
the future more development of technology can be expected. In clinical studies there are actually room to
conduct randomized trials, because most of the drugs used in pediatric cardiology have not been proven
useful in pediatrics. Recently attention on basic research has been increasing, and the results can be used
as the basis for improvement of cardiac disease prevention and care. Prevention for the development of
congenital heart disease certainly needs attention, and this should involve many disciplines from inside
and outside pediatrics. Another aspects is the management of obesity, a world wide problem that makes
a significant risk factor for the development of cardiovascular problems in adults. The role of gene in the
development of congenital heart disease is another aspect that need to be investigated. Although there
have been limited resources in Indonesia, we still can contribute in every aspects of the clinical research
in pediatric cardiology. Developing collaborations among pediatric cardiology centers and establishing
national cardiovascular registry is a must if optimal clinical research is to be expected.
K
ardiologi anak sebagai disiplin ilmu diawali ketika pada tahun 1938 Robert Gross
melakukan pembedahan untuk menutup duktus arteriosus persisten. Disiplin ini
cepat berkembang dan pada tahun 1961 kardiologi anak menjadi subspesialisasi
pertama dalam spesialisasi ilmu kesehatan anak. Perkembangan kardiologi anak amat
cepat diawali dengan kemajuan tata laksana pasien khususnya bedah jantung pada
penyakit jantung bawaan sehingga pasien yang menyandang penyakit jantung bawaan
yang semula tidak dapat diobati sebagian besar dapat dipulihkan. Kemajuan teknik
pencitraan termasuk ekokardografi, Doppler berwarna serta magnetic resonance imaging
Penelitian etiologi
Banyak penyakit jantung bawaan yang terkesan mempunyai predileksi familial atau
genetik. Sebagian telah cukup baik diketahui, seperti yang tampak pada sindrom tertentu,
namun masih banyak yang perlu dikaji peran genetika sebagai faktor risiko penyakit
jantung bawaan. Selain itu faktor lingkungan terutama pada masa awal kehamilan, pada
saat embrio terbentuk, perlu dikaji dengan cermat. Para peneliti di negara maju seperti
Amerika Serikat yang memiliki Human Genome Project sangat diuntungkan karena dapat
mengkaji faktor etiologi atau faktor risiko untuk terjadinya penyakit jantung bawaan.
Dengan tersedianya data genomik, anak yang berpotensi mengandung faktor risiko
terjadinya penyakit jantung pada masa dewasa dapat diidentifikasi secara dini dan dapat
dilakukan tindakan pencegahan yang sesuai.
Pelbagai aspek kelainan jantung didapat yang berkaitan dengan penyakit sistemik
lain meskipun secara garis besar telah diketahui namun masih memerlukan kajian yang
lebih mendalam, agar tindakan preventif atau tata laksana adekuat sedini mungkin lebih
dapat dijadwalkan. Demam reumatik dan penyakit jantung reumatik yang masih cukup
banyak dijumpai di negara yang sedang berkembang, bahkan kadang muncul epidemi
di beberapa negara maju, juga masih memerlukan perhatian untuk dilakukan penelitian.
Terdapat kesan bahwa ilmu tentang demam reumatik dan penyakit jantung reumatik
“terhenti” dalam arti tidak terdapat kemjauan yang berarti, mungkin karena dianggap
sudah tidak merupakan beban di negara-negara maju. Penyakit Kawasaki yang di negara-
529
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
negara maju merupakan penyakit jantung didapat terbanyak, juga masih menyimpan
misteri tentang kepastian etiologinya.
Bayi yang lahir dari ibu dengan kelainan tertentu juga mempunyai risiko yang
lebih tinggi untuk menderita kelainan kardiovaskular. Misalnya bayi yang lahir dari ibu
penderita HIV cenderung mengalami kelainan kardiovaskular dengan morbiditas dan
mortalitas yang setara dengan pajanan HIV in utero. Hal ini menggaris-bawahi peran
faktor janin dan perkembangan untuk terjadinya penyakit tertentu. Diet ibu selama hamil
juga dapat memengaruhi status kardiovaskuar janin dan bayi yang lahir. Misalnya masukan
kalsium yang tinggi pada trimester kedua kehamilan berkaitan dengan tekanan darah
sistolik bayi yang dilahirkan. Hal ini lagi-lagi menggarisbawahi the fetal and developmental
origins of adult cardiovascular disease, yang memerlukan penelitian jangka panjang untuk
menemukan hal-hal lain yang mungkin berperan dalam kejadian penyakit jantung pada
anak dan dewasa.
Penelitian terhadap janin makin berkembang dengan diketahuinya lebih baik
perkembangan janin termasuk perkembangan jantung janin. Dengan demikian lambat
laun tindakan intervensi terhadap janin yang mengalami masalah kardiovaskular dapat
dilakukan dengan lebih baik.
Penelitian diagnostik
Kemajuan dalam pelbagai aspek diagnosis penyakit jantung bawaan diprediksi berlanjut.
Bila sebelumnya kateterisasi jantung merupakan modalitas utama untuk memastikan
diagnosis pelbagai penyakit jantung bawaan, dewasa ini kateterisasi jantung untuk
keperluan diagnosis sudah minimal. Kateterisasi jantung sekarang lebih banyak digunakan
untuk tindakan terapeutik, dan hal ini terus berlanjut dengan perkembangan teknologi
yang berkelanjutan.
Perkembangan pencitraan mulai dari radiologi konvesional, ultrasonografi /
ekokardiografi, magnetic resonance imaging, CT scan dan seterusnya dapat dipastikan
makin dipercanggih. Ultrasonografi intrauterin yang sudah lama dilaksanakan namun
masih belum dapat mendeteksi sebagian besar penyakit jantung bawaan, dengan penelitian
yang terstruktur dan ketersediaan alat dan sumber daya manusia di masa depan terus
berkembang. Saat ini sudah banyak ahli kardiologi anak yang mengkhususkan diri pada
pencitraan kardiovaskular dari janin, bayi, anak, sampai remaja. Penelitian dasar termasuk
pengembangan penelitian biomolekular cenderung bersifat multidimensi, salah satunya
dapat dimanfaatkan untuk keperluan diagnosis gangguan kardiovaskular.
Penelitian terapeutik
Tata laksana kelainan kardiovaskular pada bayi dan anak telah menunjukkan perkembangan
yang amat pesat. Bila semula bayi dan anak dengan kelainan jantung bawaan harus
dilakukan operasi paliatif atau definitif, sekarang sudah merupakan kesepakatan bahwa
531
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
yang masih merupakan masalah besar saat ini, dengan kemajuan dalam bioengineering
secara bertahap dapat diatasi.
Beberapa studi observasional pada anak dengan kelainan jantung memberi petunjuk
untuk tata laksana yang lebih baik. Misalnya dari registri kardiomiopati diketahui bahwa
pasien kardiomiopati yang menyertai penyakit distrofi muskular lebih buruk prognosisnya
dibanding dengan kardiomiopati oleh sebab lain, sehingga pemantauan yang lebih teratur
dan intensif perlu dilakukan pada pasien kardiomiopati dengan distrofia muskular.
Pada masa depan ahli kardiologi anak harus memahami farmakogenomik sehingga
pemberian obat disesuaikan dengan genotip masing-masing pasien (personalized medicine in
pediatric cardiology). Lebih lanjut dengan mengetahui peran gen dalam terjadinya kelainan
kardiovaskular mungkin dapat dilakukan modifikasi faktor lingkungan untuk mencegah
mutasi genetik tertentu. Obat lain selain asam folat mungkin dapat memengaruhi efek
samping gen atau mencegah beberapa jenis penyakit jantung bawaan.
Penelitian prognostik
Penelitian perawatan jangka panjang dan prognosis pasien pasca-tindakan diperlukan
agar dapat diantisipasi terdapatnya kelainan yang terjadi lama setelah prosedur. Seperti
kita ketahui penyakit jantung bawaan bukan merupakan kelainan yang statis. Dia dapat
menetap, dapat pula membaik secara spontan, dan dapat pula memburuk. Hal-hal tersebut
terjadi pada lesi awalnya, atau juga pada lesi setelah dilakukan tindakan. Oleh karenanya
diperlukan pemantauan yang komprehensif.
Dengan makin meluasnya universal health coverage (UHC) maka para remaja dan
dewasa dengan penyakit jantung bawaan dapat memperoleh perawatan jantung yang
memadai. Diharapkan muncul berbagai pusat untuk perawatan pasien dewasa dengan
penyakit jantung bawaan baik yang murni maupun pascabedah atau pasca-tindakan
kateterisasi intervensi. Dengan pemahaman yang lebih baik terhadap gagal jantung,
fungsi miokard yang cenderung berangsur menurun dan berakhir pada gagal jantung pada
mantan pasien penyakit jantung bawaan yang dilakukan operasi saat bayi dan anak dapat
dicegah atau ditangani lebih baik.
Pencegahan
Besar kemungkinan ke depan terjadi lebih banyak sub-divisi dalam kardiologi anak. Pada
saat ini sudah banyak ahli kardiologi anak yang mengkhususkan diri dalam intervensi,
pencitraan, elektrofisiologi, dan transplantasi jantung. Salah satu yang penting dan
diharapkan berkembang adalah kardiologi pencegahan.
Pencegahan terhadap kejadian penyakit jantung bawaan memerlukan bukti ilmiah
yang mungkin tidak dapat diperoleh dalam waktu dekat. Namun termasuk dalam
konteks ini termasuk pencegahan terjadinya penyakit kardiovaskular pada dewasa akibat
masalah yang ditemukan pada masa bayi dan anak. Obesitas merupakan masalah dunia
533
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
klinis dalam bidang kardiologi anak. Lipshultz dkk. (2009) mengusulkan topik-topik dan
pertanyaan penelitian yang perlu dikembangkan segera dalam bidang kardiologi anak.
Lihat Lampiran. Dengan penyesuaian kondisi lokal para ahli kardiologi anak di Indonesia
dapat berperan serta.
Daftar pustaka
1. Brojendra Agarwala, History of development of pediatric cardiology. J Clin Exp Cardiolog
2016, 7:6(Suppl) http://dx.doi.org/10.4172/2155-9880.C1.035
2. Chung W, Towbin J. Genetic issues in pediatric cardiomyopathy: Future research directions.
Prog Pediatr Cardiol. 2012;32:3-4.
3. Hijazi ZM. Technology & the future of pediatric cardiology. Dec 04, 2014. Tersedia di: http://www.car-
diovascularbusiness.com/topics/structural-heart/technology-future-pediatric-cardiology.
4. Kugler JD, Beekman III RH, Rosenthal GL, Jenkins KJ, Klitzner TS, Martin GR, dkk. De-
velopment of a pediatric cardiology quality improvement collaborative: from inception to
implementation. From the Joint Council on Congenital Heart Disease Quality Improvement
Task Force. Congen Heart Dis. 2009;4:318-28.
5. Lipshultz SE, Wilkinson JD, Messiah SE, Miller TL. Clinical research directions in pediatric
cardiology. Curr Opin Pediatr. 2009;21:585–593.
6. Medrano-Lopez C, Fouron J-C. Fetal cardiology, the frontier of pediatric cardiovascular
medicine. Editorial. Rev Esp Cardiol. 2012;65:700–4.
7. Noonan JA. A history of pediatric specialties: the development of pediatric cardiology. Pedi-
atr Res. 2004;56:298–306.
8. Pearson GD. Advancing pediatric cardiovascular research. Interview with clinical innovator.
Cardiology Magazine, April 27, 2017.
9. Ravichandran PS. Heart transplantation: the present and future. JACC. May 26, 2015.
10. Subramanyan R. Comprehensive training for the future pediatric cardiologist. Ann Pediatr
Cardiol. 2016;9:1-8.
11. Pearson GD, Kaltman JR, Lauser MS. Evidence-Based Medicine Comes of Age in Pediatric
Cardiology. J Am Coll Cardiol. 2013;61:2565–7.
* Diringkas dan dimodifikasi dari: Lipshultz SE, Wilkinson JD, Messiah SE, Miller TL.
Clinical research directions in pediatric cardiology. Curr Opin Pediatr. 2009;21:585–
593..
535
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Tips for Clinical Research Development
Sudigdo Sastroasmoro
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta
Abstract
Clinical research is best conducted by, or at least involving, clinicians. This is considered a good practice
because its is the clinicians who know the problems encountered in their daily practice. When a clinician
practicing evidence based medicine find a problem in the management of his or her patient, and he
develops clinical questions, searching the evidence and find definite answer that is ideal. But if they do
not appropriate evidence to answer the question that is bad for practice but good for research aspects.
Because it is needed by practitioner but not available in the literature. When someone plan to do clinical
research he or she must find the recent publication and then think if the topic he or she planned to do is
feasible, interesting, has some kind of novelty , ethical, and relevant (acronym: FINER) with the clinical
works. If the answer is not then he or she should modify or leave the topic. The protocol of the research is
next to be developed, that include all guidance according to the institution or funder. One that should
remember is the researcher should determine only one (or 2 at the most) primary research question and
several secondary research questions, followed by primary and secondary hypotheses. Failure to do so
would make a tendency that the researcher do not exactly know what he or she will do. When everything
is well planned in the academic aspects, then one should think whether it is will be done by himself, or
develop small team with administrative and scientific members, or will contact CEO to organize the
study. In every moment the first author should be responsible to monitor the development of the study
from time to time. In these days it is advisable to make some collaboration or multidisciplinary approach,
both with the different divisions in pediatrics or experts form other disciplines.
P
enelitian klinis baik yang bersifat observasional maupun eksperimental merupakan
aktiitas yang memerlukan perhatian, waktu, pemikiran, biaya dan bahkan emosi.
Oleh karena itu klinikus yang mempunyai minat untuk melakukan penelitian klinis
harus mempertimbangkannya masak-masak sebelum penelitian dilakukan. Usahakan agar
topik yang diteliti relevan dengan praktik, mampu laksana, menarik bagi yang meneliti,
mempunyai novelty atau kebaruan, dan dapat dilaksanakan tanpa melanggar kaidah etika
penelitian. Dalam bidang anak maka etika yang diperlukan harus lebih diperhatikan.
537
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
pernag diteliti sebelumnya. 2. Melanjutkan hasil penelitian orisinal sebelumnya. Misal
kelompok peneliti membuat vaksin flu burung, kita meneruskannya membuat vaksin flu
babi. 3. Peneliti yang mengembangkan dan melaksanakan ide orisinal dari orang lain,
misalnya seniornya. 4. Menggunakan teknik baru untuk mendeteksi masalah lama, misal
penggunaan MRI untuk perdarahan subarakhnoid. 5. Merancang dan mengorganisasi
penelitian, padahal pelaksanaannya diserahkan kepada kelompok lain. 6. Penelitian yang
menemukan data empiris yang belum pernah dilaporkan peneliti lain, misal mutasi genetik
di kelompok suku terasing. 7. Melakukan penelitian yang sama dengan penelitian yang
telah dilakukan di luar negeri. Harus ada syarat bahwa hasilnya diperkirakan berbeda. 8.
Penelitian yang telah dilakukan orang lain namun dengan polulasi yang berbeda. Misalnya
yang sudah diteliti pada subyek dewasa namun belum pada anak. 9. Menggunakan teknik
baru untuk memecahkan masalah lama. 10. Melakukan penelitian lintas disiplin untuk
masalah lama. 11. Menerapkan hasil penelitian orang lain untuk kelompok yang berbeda.
12. Mengulang penelitian yang sudah dikerjakan namun dengan desain dan pelaksanaan
yang lebih valid.
Penyusunan protokol
Penyusunan protokol atau proposal penelitian merupakan hal yang amat penting dalam
rangkaian penelitian. Untuk ini diperlukan pengetahuan yang mendalam tentang topik
yang akan diteliti. Oleh karena itulah terdapat syarat bahwa peneliti harus mempunyai
penguasaan yang cukup tentang masalah yang diteliti. Jalan terbaik utnuk menyusun
protokol yang baik adalah melakukan penelusuran pustaka yang tuntas. Dengan demikian
maka masalah penelitian yang mungkin tadinya masih bersifat longgar dapat dipertajam,
sehingga persiapan pelaksanaannya juga menjadi lebih terarah. Langkah-langkah berikut
kemudan secara automatis akan menyusual:
•• Apakah masalah yang dihadapi?
•• Apa yang sudah dilakukan oleh orang?
•• Apa yang sudah terjawab?
•• Apa yang belum terjawab, atau sudah terjawab namun kurang lengkap?
•• Hasil apakah yang dapat kita peroleh dari penelitin kita kelak?
Dari uraian tersebut kemudian dapat disusun pertanyaan penelitin, hipotesis, serta
tujuan penelitian utnuk kemudian mengarah pada metode yang akan digunakan.
Pertanyaan penelitian. Sesuai dengan namanya maka harus dinyatakan dalam kalimat
tanya.
Hipotesis penelitian. Hipotesis dapat didefinisikan sebagai pernyataan atau jawaban
sementara atas pertanyaan penelitian.
Seringkali pertanyaan dan hipotesis penelitian lebih dari satu, tidak jarang pula
lebih dari lima. Bila ini terjadi, seyogianya peneliti menentukan dari awal mana yang
menjadi pertanyaan primer (kemudian dikembangkan hipotesis primer untuk kemudian
539
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
emas pemeriksaan mikroskopis. Untuk ini diperlukan uji diagnostik. Misalnya penelitian
dilanjutkan untuk menilai obat baru Q untuk malaria falsiparum pada kehamilan,
diperlukan uji klinis.
Bila ini terjadi kita harus hati-hati dalam menentukan perkiraan jumlah subyek
yang diperlukan. Karena ketiga hal di atas merupakan hal-hal penting dalam penelitian
tersebut, maka besar sampel harus dihitung untuk setiap desain. Berapa yang akhirnya
diperlukan tentu tergantung pada pertanyaan penelitian dan hasil perhitungan masing-
masing desain tersebut.
Masalah besar sampel untuk uji klinis dapat mengundang masalah sendiri. Tidak
jarang seseorang sudah membuat hipotesis yang masuk akal, kemudian menghitung besar
sampel dengan cara dan rumus yang tepat. Namun setelah penelitian selesai ternyata hasil
yang diperoleh menunjukkan beda yang secara klinis cukup penting tetapi secara statistika
tidak bermakna. Hal ini dapat dijelaskan bahwa khusus untuk obat, kemajuan kita saat
ini sudah cukup jauh sehingga kalaupun orang membuat obat baru bedanya dengan efek
obat lama tidak begitu drastis lagi. Bila dalam penghitungan besar sampel digunakan
effect size (beda proporsi kesembuhan yang secara klinis penting) sebesar 20%, kita harus
waspada bahwa mungkin sekali obat baru tidak memberi beda klinis kesembuhan 20%
(misal dari rerata 75% menjadi 95%. Mungkin akan beda 8 atau 12%; dan kalau ini
terjadi maka hasil yang diperoleh secara statistika tidak bermakna padahal angka 8-12
sebenarnya secara klinis cukup penting. Itu sebabnya saat ini banyak RCT yang dilakukan
multisenter, bahkan multinasional, dengan jumlah peserta ratusan bahkan ribuan, agar
power statistika penelitian cukup besar.
Kolaborasi antar-disiplin
Meskipun tajuknya penelitian klinis, namun tidak jarang hal-hal klinis ditautkan dengan
aspek lain misalnya ilmu-ilmu dasar atau kedokteran komunitas. Hal tersebut dewasa ini
dianggap sebagai keharusan, oleh karena apa yang ditemukan dalam klinik tidak lepas
dari penelitian praklinis. Kita juga mengenal pragmatic research yang semata-mata hasilnya
akan digunakan dalam praktik tanpa mempedulikan mekanisme terjadinya kesembuhan
atau hubungan apapun, namun kita juga mengenal explanatory research yang mencoba
menerangkan mekanisme terjadinya hubungan atau perbedaan, Untuk itu diperlukan
Penutup
Penelitian klinis akan diperlukan dari waktu ke waktu. Meski banyak hal telah berubah
namun ada beberapa prinsip lama yang masih tetap berlaku, yakni bahwa setiap penelitian
harus relevan dengan masalah klinis, harus menarik bagi peneliti, harus mengandung
sesuatu yang baru dan tidak boleh bertentangan dengan etika. Protokol penelitian klinis,
meskipun bukan untuk tujuan pendidikan harus disusun dengan baik, dan dimintakan
kajian etika terlebih dahulu sebelum penelitian mulai dilakukan. Perkembangan ilmu
kedokteran saat ini memerlukan kolaborasi dalam bidang penelitian, baik antar disiplin
dalam ilmu kesehatan anak maupun kolaborasi dengan disiplin lain di luar ilmu kesehatan
anak. Penelitian multisenter ke depan sangat diperlukan, sebab perbaikan dalam tata
laksana klinis pada sebagian besar penyakit sudah cukup tinggi, sehingga mengharapkan
perbaikan yang dramatis dari apa yang sekarang dilakukan menjadi tidak realistis. Untuk
studi tersebut jumlah subyek yang diperlukan seringkali menjadi sangat besar yang hanya
dapat dipenuhi dengan kerja sama antara rumah sakit atau antar fakultas kedokteran dan
lain-lain.
Daftar pustaka
1. Sastroasmoro S. Mengurai dan merajut disertasi dan tesis. Bidang kedokteran dan kesehatan.
Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2010.
2. Bowen M, Evans O, Terry S. CRO, TLF, SOP? OMG!: A Beginner’s Guide to the Clinical
Research Organization. PharmaSUG 2015 - Paper CP04
3. Stone J. Conducting clinical research – A practical guide. Marryland: Mountainside MD
Press, 2006.
4. Best practice in clinical research. Seattle: Kinetiq. 2016.
5. Bell M, Brady L-M, Hayes H, Lodemore M, Rennard U, Rhodes C, dkk. Involving children
and young people in research: top tips and essential key issues for researchers. National Insti-
tute for Health Research, 2016.
6. Hulley, Cummins. Designing clinical research.
541
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Cerebral Palsy Registry to Improve the Quality
of Health Services Management and Education
for Children with Cerebral Palsy
Sunartini
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada / RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta
Abstract
Since 2012, Academic Hospital Universitas Gadjah Mada (UGM) in collaboration with Wahana
Keluarga Cerebral Palsy Yogyakarta (WKCP) already tried to do a Cerebral Palsy (CP) register. This
simple preliminary registry applied for children with CP who got therapy from Academic Hospital UGM
and all WKCP member in Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). We did this CP register because there
were no information about the prevalence of children with CP in DIY until now and we hope this
register will help us to do an optimal integrated management of CP with bigger benefits for children
with CP. This CP register contain personal data from children with CP and their families, pregnancy
and delivery history of the mother, condition of neonate, history of physical and supporting examinations,
health services and education of children with CP.
The result of this preliminary CP register showed that there were various situations and conditions,
whether the possible cause, type, nursery and handling also the social economy effect for the family,
considering the very high cost to manage children with CP so they can live in the optimal condition.
There were a lot of family of children with CP who didn’t mention in their “Kartu Keluarga”, how many
family member with disability, so WKCP can’t reach all families of children with CP.
After some evaluations and form development, we are preparing a community-based of CP register using
Community Mobilizer (CM) and Key Informant (KI) method. We will held an Integrated Assessment
Camp (IntAC) to determine the diagnosis and severity level of CP. For any patients who lives in the
remote areas and or/ have difficulties to access IntAC, there will be a home visit for them. This CP register
will improve the quality, health services coverage and education for children with CP.
C
erebral Palsy (CP) atau Palsi Serebral (PS) merupakan suatu kelompok kelainan
yang permanen dari perkembangan motorik dan postur tubuh, yang menyebabkan
keterbatasan aktivitas, sebagai akibat dari gangguan non progresif yang terjadi pada
saat pembentukan otak janin atau bayi. Kelainan motorik dan postur tubuh pada CP
biasanya disertai oleh gangguan sensasi, persepsi, kognisi, komunikasi dan tingkah laku,
epilepsi serta masalah-masalah muskuloskeletal sekunder lainnya.1 Konsensus tentang
definisi CP dari The American Academy of Cerebral Palsy and Developmental Disabilities
ini tidak hanya mengakui situasi awal atau cedera non progresif pada otak yang imatur
akan tetapi juga mengakui dinamika dan status kesehatan, timbulnya masalah-masalah
Epidemiologi CP
Cerebral Palsy terjadi pada 2,0-2,5 kasus per 1000 kelahiran hidup di banyak populasi3 di
banyak negara, angka ini relatif stabil selama kurang lebih 40 tahun terakhir.4
Data CP dunia : data dari World CP Day tahun 2013, ada sekitar 17 juta penyandang
CP di dunia.5 Penelitian yang dilakukan di sub distrik pedesaan di Bangladesh pada tahun
2012 menunjukkan bahwa CP merupakan jenis disabilitas/gangguan yang terbanyak
pada anak-anak, yaitu sebesar 324 (37,7%).6 Berdasarkan data dari Bangladesh Cerebral
Palsy Register (BCPR), di Shahjadpur, salah satu distrik pedesaan di Bangladesh, pada
tahun 2015 ditemukan estimasi prevalensi CP sebesar 4,0 per 1.000 anak.7 Data dari
Australia Cerebral Palsy Register (ACPR) pada tahun 2016 menunjukkan adanya prevalensi
2,1 setiap 1000 kelahiran hidup.7
Data CP Indonesia : prevalensi kasus CP di Indonesia belum diketahui secara pasti
karena masih terbatasnya penelitian CP. Menurut Soetjiningsih8, prevalensi penderita
CP diperkirakan sekitar 1-5 per 1.000 kelahiran hidup. Data kecenderungan persentase
disabilitas pada anak berusia 24-59 bulan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian
Kesehatan pada tahun 2010 menyebutkan bahwa persentase penderita CP adalah
sebesar 0,09%.9 Data lain dari YPAC Surakarta, tercatat anak yang mengalami CP terus
meningkat. Pada tahun 2007 sebanyak 198 anak, tahun 2008 sebanyak 307 anak, tahun
2009 sebanyak 313 anak, tahun 2010 sebanyak 330 anak, dan 2011 sebanyak 343 anak.10
543
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Data CP Yogyakarta : pada tahun 2012, RSA UGM yang bekerjasama dengan
Wahana Keluarga Cerebral Palsy (WKCP), mencoba melakukan suatu registrasi CP untuk
anak-anak penyandang CP di wilayah DIY. Survey pendahuluan dilaksanakan pada 28
Desember 2013 sampai dengan 18 Januari 2014 dengan responden 110 keluarga yang
tinggal di 5 kabupaten di DIY. Hasilnya terdapat 106 anak dengan CP. Di RSUP DR
Sardjito, sepanjang tahun 2016, ditemukan sebanyak 127 penderita CP di poliklinik
rawat jalan bagian Ilmu Kesehatan Anak yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia,
dan 18 diantaranya merupakan kasus baru.
545
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Metode registrasi
Key Informant (KI) akan melakukan skrining anak dengan disabilitas fisik di daerahnya,
untuk kemudian dilaporkan ke Community Mobilizer (CM). Community Mobilizer ini
akan menghubungi tim, dan pada hari yang sudah ditentukan, para penderita disabilitas
fisik tersebut akan dikumpulkan dalam suatu Integrated Assesment Camp (IntAC) untuk
dilakukan pemeriksaan oleh tim yang terintegrasi, yang terdiri dari dokter anak, dokter
rehabilitasi medis, dokter umum, fisioterapi, dan psikolog. Pemeriksaan ini bertujuan
untuk mendiagnosis, apakah penderita disabilitas fisik tersebut menderita CP ataukah
tidak. RCPI akan mengadopsi pendekatan dari Australia Cerebral Palsy Register (ACPR),
Surveillance of Cerebral Palsy in Europe (SCPE) dan Bangladesh Cerebral Palsy Register
(BCPR) yang sudah dimodifikasi disesuaikan dengan kondisi di Indonesia. Dengan
menggunakan kuesioner yang berisi informasi-informasi tentang sosial ekonomi, riwayat
kesehatan maternal, riwayat kelahiran, jenis disabilitas dan penyakit penyerta pada
penyandang CP. Data anak dengan CP dalam kuesioner selanjutnya akan diregistrasi dan
dimasukkan dalam suatu penyimpanan online yang terjaga kerahasiaannya.
Registrasi CP dilakukan dengan ketentuan yang dimasukkan kedalam data dasar
register adalah yang memenuhi kriteria diagnosis klinis CP. Sebagian besar registrasi CP
Kriteria CP :
1. Merupakan suatu terminologi payung untuk suatu kelompok gangguan
2. Merupakan suatu kondisi yang permanen akan tetapi suatu waktu dapat terjadi
perubahan dari kondisi awal CP
3. Meliputi gangguan gerak dan atau postur serta fungsi motorik lainnya
4. Sebagai akibat dari gangguan yang non progresif, berupa lesi, atau abnormalitas, pada
otak
5. Gangguan, lesi atau abnormalitas yang disebabkan oleh otak yang imatur.
547
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
masyarakat melibatkan kader, guru dan relawan dipikirkan akan memberikan hasil yang
menggembirakan.IntAC ini sekaligus juga memberikan edukasi dan terapi pada beberapa
anak CP yang saat itu membutuhkan. IntAC dilengkapi dengan fasilitas Code Blue untuk
mengantisipasi apabila terjadi kegawatan pada anak CP yang mengikuti acara ini.
Penanganan Terpadu CP
Penanganan anak dengan CP bertujuan untuk memperbaiki kemampuan motorik anak
sehingga kualitas hidupnya dapat meningkat, dan melihat begitu luasnya permasalahan
yang sedang dan akan dihadapi oleh anak dengan CP, maka pendekatan menyeluruh dari
berbagai disiplin ilmu sangatlah penting, sehingga tujuan dari penatalaksanaan palsi serebral
dapat tercapai dengan optimal, dengan melibatkan orangtua penyandang CP, keluarga
dan para ahli dari berbagai macam sub disiplin ilmu (misalnya dokter anak, dokter bedah
tulang, dokter saraf, dokter THT, dokter mata, dokter gigi, speech terapist, occupational
terapist, psikolog, ahli nutrisi, pekerja sosial, edukator, dll). Semua bekerjasama dalam 1
tim. Tatalaksana untuk anak dengan CP meliputi terapi fisik, terapi okupasi, terapi wicara,
terapi fisik, operatif, medikamentosa, alat ortotik, alat adaptif (kursi roda, tongkat).
Dalam penanganan dan program-program yang berhubungan dengan anak-anak
penyandang CP, sejak tahun 2012, RS UGM sudah bekerjasama dengan Wahana Keluarga
Cerebral Palsy (WKCP), yaitu suatu organisasi dengan bentuk komunitas yang anggotanya
terdiri dari orang tua yang memiliki anak dengan CP, penyandang CP, masyarakat profesi,
dan masyarakat umum yang peduli dan bergelut dengan CP di Yogyakarta. WKCP sendiri
didirikan pada bulan Maret tahun 2012. Dilakukan juga seminar-seminar dan workshop
tentang CP yang rutin diadakan setiap tahun oleh RS UGM. Tim medis dari RS UGM
yang terdiri dari dokter anak, dokter gigi, fisioterapi dan ahli gizi juga menyusun suatu
Buku Kesehatan Anak Cerebral Palsy yang memuat informasi penting tentang kesehatan
anak CP, growth chart khusus untuk anak CP, bagaimana tips sederhana melakukan
fisioterapi di rumah oleh keluarga, edukasi tentang asupan nutrisi yang baik dan perawatan
gigi yang baik untuk anak CP.
Daftar pustaka
1. Rosenbaum P, Paneth N, Leviton A, Goldstein M, Bax M. 2007. A report: The Definition
and Classification of Cerebral Palsy. Dev Med Child Neurol;109 (Suppl):8–14
2. Hurley DS, Sukal-Moulton T, Msall ME, Gaebler-Spira D, Krosschell KJ, Dewald JP. 2011.
The cerebral palsy registry: development and progress toward national collaboration in the
United States. J Child Neurol;26(12):1534–41
3. Odding E, Roebroeck ME, Stam HJ. 2006. The Epidemiology of Cerebral Palsy: Incidence,
Impairments and Risk Factors. Disabil Rehabil;28:183–91
4. Reddihough D. 2011. Cerebral Palsy in Childhood. From Australian Family Physician vol.
40, no. 4
5. Cerebral Palsy Diagnosis and Treatment. World Cerebral Palsy Day. worldcpday.org
549
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
6. Khandaker G, Muhit M, Rashid H, Khan A, Islam J, Jones C, Booy R. 2014. Infectious
Causes of Childhood Disability: Results from a Pilot Study in Rural Bangladesh. Journal Of
Tropical Pediatrics, Vol. 60, No. 5
7. Australian Cerebral Palsy Register Report 2016. Available from https://www.cpregister.com/
pubs/pdf/ACPR-Report_Web_2016.pdf
8. Soetjiningsih, 1995. Tumbuh Kembang Anak. ECG, 223 – 35.\
9. Mujaddid.2014. Buletin Jendela Situasi Penyandang Disabilitas : Kesehatan Anak dengan
Disabilitas : 25. Kementerian Kesehatan RI
10. Wulandari R, Weta I.W, Imron M.A. 2016. Penambahan Latihan Hidroterapi Pada Terapi
Bobath Lebih Meningkatkan Kecepatan Berjalan Pada Cerebral Palsy Spastik Diplegi. Sport
and Fitness Journal Volume 4, No.1 : 25-36
11. Surveillance of Cerebral Palsy in Europe (SCPE). 2000. Surveillance of cerebral palsy in
Europe: a collaboration of cerebral palsy surveys and registers. Dev Med Child Neu-
rol;42(12):816–24
12. Dinas Kesehatan DI Yogyakarta. Profil Kesehatan Daerah Istimewa Yogyakarta 2013. Vol.
8, Health Care. 2013. Available from : http://www.depkes.go.id/resources/download/profil/
PROFIL_KES_PROVINSI_2012/14_Profil_Kes.Prov.DIYogyakarta_2012.pdf
Abstract
There has been an increase in cases of violence against children in Indonesia, especially in the last five
years. The increasing abuses occur in schools such as sexual, physical and psychological bullying, to violence
within the family environment. As of October 2016, Indonesian Children Protection Committee (Komisi
Perlindungan Anak Indonesia/KPAI) and its partners recorded 3.581 cases of child violation. Increasing
cases of violence against children is a sign that violence against children still occurs in Indonesia. This
has prompted Indonesian government to update its national policies related to child protection to tackle,
reduce and prevent cases of violence involving children in Indonesia.
To adjust to the changing circumstances, the Government of Indonesia has initiated a national policy
update on child protection against abuse and neglect, such as revision of revision of UU No. 23/2002
on Child Protection into UU no. 35/2015, Perppu No. 1 of 2016 on the Second Amendment to
UU. 23/2002 on Child Protection, and the National Strategy on the Elimination of Violence against
Children 2016-2020. The national strategy covers six areas of intervention, namely: (1) Legislation and
implementation of policies that protect children from all forms of violence. (2) Changing social norms
and cultural practices that accept, justify, or ignore violence. (3) Parenting interventions that support safe
and caring relationships between care givers (especially parents) and their children to prevent violence.
4) Improving children’s life skills and self-resilience in preventing violence and supporting compulsory
education for children. (5) Affordable and quality support services for victims, perpetrators and children
at risk, and (6) Improving the quality of data and supporting evidence on violence against children.
This paper proposes two recommendations. First, promoting the socialization of UU No. 1 of 2016
both at the national and local levels to support community education efforts on the child protection
policies reform. Secondly, to improve the capacity of local government and child protection networks in
implementing national policies and formulate strategies and programs appropriate to local conditions
and situations.
K
ekerasan terhadap anak merupakan salah satu permasalahan yang terjadi di
seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Tindakan ini tidak saja mengancam anak-
anak secara langsung, tetapi juga mempengaruhi anak-anak di semua tahapan
perkembangan semenjak usia dini hingga remaja, dan berlangsung dalam berbagai situasi.
Di Indonesia, khususnya dalam lima tahun terakhir, terjadi peningkatan kasus kekerasan
terhadap anak terutama bentuk kekerasan yang terjadi di sekolah seperti bullying baik
dalam bentuk seksual, fisik maupun psikologis, hingga kekerasan di lingkungan keluarga.
Sampai dengan Oktober 2016, KPAI beserta mitranya mencatat 3.581 kasus pengaduan
anak. Angka ini dapat dibandingkan dengan angka kasus pengaduan pada tahun 2011
sebesar 2.178 kasus, tahun 2012 sebesar 3.512 kasus, tahun 2013 sebesar 4.311 kasus,
551
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
tahun 2014 sebesar 5.066 kasus, dan tahun 2015 sebesar 4.309 kasus. Kasus terbanyak
terjadi pada kluster keluarga dan pengasuhan alternatif serta kluster pendidikan (KPAI,
2016).
553
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
81A yang memberlakukan pemberatan hukuman untuk pelaku kekerasan anak dengan
hukuman kebiri. Ketiga, upaya pemerintah dalam meningkatkan program perlindungan
anak terpadu berbasis masyarakat. Keempat, upaya Pemerintah Indonesia untuk
meningkatkan kemampuan jejaring perlindungan anak melalui implementasi program
seperti “Kota Layak Anak” serta meningkatkan kemampuan pemangku kepentingan
seperti KPAI dan pemerintah daerah. Kelima adalah penyusunan dan pengesahan Strategi
Nasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak 2016-2020 yang secara komprehensif
memetakan arah kebijakan dan upaya perlindungan dan penghapusan kekerasan terhadap
anak dalam jangka lima tahun.
555
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
penyediaan layanan konseling, dukungan rekan sebaya atau kelompok masyarakat
terhadap korban, pelayanan kesehatan yang memadai, dan informasi bantuan hukum,
merupakan upaya penting dalam mencegah tindakan kekerasan dan mengatasi
dampak dari kekerasan yang dialami anak.
Aksi: Program bantuan sosial anak dengan prioritas pada bantuan pemeriksaan
kesehatan anak, pemantauan hasil belajar anak, pelatihan pengasuhan; penyediaan
lembaga konseling dan bantuan hukum; penguatan mekanisme penanganan dan
advokasi kasus kekerasan anak dan peningkatan kapasitas aparat penegak hukum
yang responsif hak anak serta penyediaan sarana dan prasarana yang ramah anak.
6. Peningkatan kualitas data dan bukti pendukung tentang kekerasan terhadap anak
Sebuah studi yang dilakukan Columbia University, Amerika Serikat (Boothby & Stark,
2011) menemukan fakta mengenai minimnya informasi yang akurat mengenai hal-hal
terkait pengasuhan dan perlindungan anak di Indonesia, termasuk besaran masalah,
analisis sebab-akibat, dan dampak terhadap respons program yang dilakukan.
Padahal, upaya menyusun kebijakan perlindungan anak yang efektif harus
didasari oleh bukti yang kuat. Berbagai studi menunjukkan bahwa data surveilans
dan studi tematik terbukti efektif dalam memahami masalah dan merencanakan aksi,
mengimplementasikan, dan menilai dampak dari intervensi penanganan kekerasan
terhadap anak.
Aksi: Prioritas akan diberikan pada pembentukan mekanisme untuk pengumpulan
data yang komprehensif tentang kekerasan terhadap anak di Indonesia. Di sisi lain,
berbagai riset diperlukan untuk menggali faktor pemicu dan pelindung terkait
kekerasan, kajian pelaku, hingga survei berkala di tingkat nasional.
Penutup
Berdasarkan pemaparan di atas, maka terdapat dua rekomendasi yang diajukan:
Pertama, menggalakkan sosialisasi UU No. 1 Tahun 2016, baik di tingkat nasional
maupun daerah. Hal ini untuk menunjang upaya pendidikan masyarakat terhadap
pembaruan kebijakan perlindungan anak serta memberikan akses informasi terhadap
masyarakat yang belum mengetahui keberadaan kebijakan ini.
Kedua, meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dan jejaring perlindungan
anak dalam mengimplementasikan kebijakan nasional serta memformulasikan strategi
dan program yang sesuai dengan kondisi dan situasi di tingkat daerah seperti peningkatan
kepedulian terhadap anak melalui keluarga dan sekolah serta penggalakan kelompok hobi
sebagai jejaring awal perlindungan anak di lingkungan sekolah.
Daftar pustaka
1. Boothby, N., & Stark, L. (2011). Data Surveillance in Child Protection System Develop-
ment: An Indonesian case study. Child Abuse & Neglect, 35(12), 993-1001.
2. BPS. (2012). Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia. Jakarta: BPS.
3. BPS. (2014). The selected districts of Papua Province multiple indicator cluster survey 2011.
Jakarta: BPS.
4. Ellsberg, M., Arango, D. J., Morton, M., Gennari, F., Kiplesun, S., Contreras, M., & Watts,
C. (2015). Prevention of violence against women and girls: what does the evidence say? The
Lancet, 385(9977), 1555-1566.
5. Hillis, S. D., Mercy, J. A., Saul, J., Gleckel, J., Abad, N., & Kress, H. (2015). THRIVES: A
global technical package to prevent violence against children. Atlanta, GA: Centers for Disease
Control and Prevention.
6. KPAI. (2016, Oktober 25). Kasus Pengaduan Anak Berdasarkan Kluster Perlindungan Anak.
Diambil kembali dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia: http://bankdata.kpai.go.id
7. Malhotra, A., Warner, A., McGonagle, A., & Lee-Rife, S. (2011). Solutions to End Child
Marriage: What the Evidence Shows. Washington, DC: International Center for Research on
Women.
8. Tranquilli, A., & Munive, A. (2015). Are Schools Safe and Gender Equal Spaces? Open Plan,
1(4), 1-4.
9. UNICEF. (2014). Hidden in Plain Sight: A Statistical Analysis of Violence against Children.
New York: UNICEF.
10. UNICEF. (2014). Violence against Children in East Asia and the Pacific: A Regional Review and
Synthesis of Findings. Bangkok: UNICEF EAPRO.
11. UNICEF. (2015). Legal Protection from Violence: Analysis of domestic laws related to violence
against children in ASEAN member States. Bangkok: UNICEF EAPRO.
557
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Creating A National Coverage for Pediatric
Cardiac Services, What Can We Do To Minimize
the Gap?
Teddy Ontoseno
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RSUD Dr. Soetomo Surabaya
Abstract
In the present era, demands on the specialist services provided in pediatric cardiology centers have
increased dramatically. The approach, however, including diagnosis and management varies considerably
depending on manpower available. Definitive care requires highly sophisticated equipment, drugs,
and above all a specially trained professional team. In developing countries like Indonesia establishing
pediatric cardiology service is the important program right now. Diagnoses are often late due to the lack
of screening programs and trained personnel, limited technology, insufficient nursing staff, shortage of
medical supplies, limited access to continuous medical education, medical literature and finance. Caring
for children with heart defects remains a challenge in developing countries, diagnoses are often late due
to the lack of screening programs and trained personnel. The problem is worsened by limited availability
of hospital beds and the remoteness of rural communities from main urban centers where pediatric
cardiology specialists are available. Telemedicine has not been a feasible tool for pediatric cardiac
intensivists in developing countries seeking medical advice from more experienced international centers.
The primary aim of the network is to make integral pediatric cardiology services available to patients
in or near their communities, relying on multidisciplinary teamwork and emphasizing early detection,
follow-up, and lifetime monitoring and care, if necessary.
Bridging the huge gap needs extensive official as well as non-governmental efforts, training more
staff, a group of physicians must began receiving advanced training at the Pediatric Cardiology and
Cardiovascular Surgery. Supporting families and collaboration with regional and international centers.
A pediatric cardiac team has to form and then the services in different disciplines are gradually established.
P
elayanan anak dengan penyakit jantung, terutama penyakit jantung bawaan
(PJB), di negara maju sudah memberikan hasil yang memuaskan. Namun di
negara berkembang termasuk Indonesia pelayanan yang diperoleh masih belum
memuaskan dan merupakan tantangan besar yang harus diselesaikan pada saat ini. Inti
permasahannya sangat kompleks, melibatkan banyak faktor yang saling terkait dan harus
diselesaikan secara simultan.
Belum meratanya pelayanan jantung anak disetiap daerah di Indonesia yang
menyangkut sumber daya manusia baik kualitas maupun kuantitas serta sarana pendukung
untuk identifikasi faktor penyebab terjadinya PJB yaitu penyimpangan pembentukan
559
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Upaya penyelesaian masalah
Sumber daya manusia dan distribusinya
Dalam tim Layanan jantung pada anak melibatkan beberapa ahli dari berbagai disiplin
ilmu yaitu :
•• dokter spesialis anak
•• dokter spesialis anak konsultan
•• dokter ahli anastesi kardiovaskular
•• dokter intensivis
•• dokter ahli bedah jantung anak
•• dokter ahli radiologi
•• dokter ahli patologi klinik
•• dokter ahli rehabilitasi medik
•• perawat mahir di bidang perawatan intensif atau tindakan kateterisasi
•• Angiografi, perawatan pre- dan pasca-intervensi
•• pembantu perawat mahir
Perlu mempunyai kompetensi melalui kurikulum pendidikan serta mendapatkan
legitimasi atau sertifikasi dari lembaga yang berwenang. Untuk itu diperlukan lembaga
pendidikan profesional yang sudah terakreditasi untuk melaksanakan fellowship training
program dalam jumlah yang memadai sesuai dengan kebutuhan lulusannya. Pada saat ini
di Indonesia baru ada 2 pusat pendidikan dokter spesialis anak konsultan yaitu di FKUI
(pendiri) dan FK Unair diharapkan Perguruan tinggi yang lain secepatnya menyusul.
Perlu peningkatan dan kemudahan dalam kerjasamanya dengan lembaga pendidikan
di luar negeri yaitu Malaysia, Vietnam dan China sebagai finishing program. Distribusi
sumber daya manusia yang profesional tersebut harus merata sesuai dengan pengembangan
pembangunan PUSAT PELAYANAN JANTUNG TERPADU di seluruh Indonesia
Membentuk tim layanan jantung anak handal yang bekerja dalam pusat
layanan jantung anak terpadu
Sangat ideal di negara berkembang sudah ada pusat layanan jantung anak terpadu dan
merupakan tantangan utama karena membutuhkan investasi yang sangat besar dengan
teknologi yang canggih, infrastruktur yang sempurna dan sumber daya manusia yang
profesional.
Kekurangpedulian tenaga kesehatan tentang penyakit jantung pada anak serta
kekurangpahaman bahkan ketrampilan yang belum memadai merupakan ciri khas tim
layanan jantung anak di negara berkembang. Oleh karena itu harus segera dibentuk tim
jantung anak yang lengkap, profesional dan kompak yang bisa duduk bersama dalam
561
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Khususnya pasien dengan kelainan kompleks sehingga perlu dua sampai tiga
kali tindakan operasi (multi stage operation), diperlukan pendekatan khusus untuk
memahaminya sehingga pasien dan keluarganya setelah operasi yang pertama dianggapnya
sudah tuntas sehingga tidak ada keinginan untuk kontrol dan loss of observation.
Terbentuknya jalinan psikologi dan sosial serta legalisasi atau informed consent tentang
semua yang akan dilakukan terhadap pasien harus berjalan dengan baik. Dengan demikian
terhindar dari dugaan malpraktek serta ketidak nyamanan pihak orang tua pasien selama
dirawat di rumah sakit, kepuasan bisa tercapai pada kedua belah pihak.
Penutup
Masyarakat di negara berkembang perlu kesadaran yang tinggi tentang penyakit
jantung pada anak terutama PJB, tampilan awal, gejala serta diagnosis awal, disamping
meningkatkan kualitas dan kuantitas tenaga medis dan paramedik dengan memberikan
kesempatan meningkatkan kompetensi, kolaborasi dengan pusat pelayanan jantung anak
di negara maju, sehingga mempunyai standar internasional. Memperlancar sumber
dana yang tersedia, serta meningkatkan upaya dibidang pencegahan, tata laksana dan
rehabilitasi penyakit jantung pada anak.
Daftar pustaka
1. Benjamin Lee K. 2012, Pediatric Cardiac Surgery in Developing Countries of Africa: Current
State and Future Direction.The University of Texas Southwestern Medical Center Interna-
tional Medical Exchange Program 2012 – 2013.
2. Hoosen EGM, Cilliers AM, Hugo-Hamman CT, Brown ST, Harrisberg JR, Takawiras FF, et
al. Optimal paediatric cardiac services in South Africa – what do we need? Statement of the
Paediatric Cardiac Society of South Africa.
3. Fidelia, Bode-Thomas. Challenges in the Management of Congenital Heart Disease in De-
veloping Countries University of Jos Nigeria
4. Minai F. Editorial view Establishing a congenital cardiac anesthesia service: challenges in a
developing country. Pak Anaesth Pain intensive care. 2016; 20 (supplement).
5. Fellowship training program in pediatric cardiology and cardiovascular research 2004 – 2005
Department of Cardiology Children’s Hospital Boston Department of Pediatrics.
563
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
6. Pozzani G, Pozzi G. Telemedicine for Developing Countries A Survey and Some Design
Issues
7. Liebert MA, Burbano NH, Motoa MV, Santiago G, Klevemann M, et al. ,2012 .
8. Vol. 18 no. elemedicine and e-health 1Original Research Telemedicine in Pediatric Cardiac
Critical Care
9. 8. Ontoseno T. 2013. buku ajar kardiologi anak penyakit jantung bawaan sianosis.Airlangga
University Pers.
10. 9. Ontoseno T. 1999. Penyakit Jantung pada anak dan permasalahannya. Pendidikan Ke-
dokteran Berkelanjutan I / 1999. Ikatan Dokter Indonesia cabang Jombang.Hal 17-30
11. 10. Ontoseno T. 2007. PERINATAL CARDIOLOGY : What Paediatrician Should Know ?
Forum Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) Ilmu Kesehatan Anak, Jogjakarta,6-9 Mei 2007
12. 11. da Silva Mattos S, Hazin SMV, Regis CT, de Araújo JSS, de Lira Albuquerque FC, Moser
LRDN, et al. A telemedicine network for remote pediatric cardiology services in North-East
Brazil, Bulletin of the World Health Organization.
13. 12 Sulafa KMA. Paediatric cardiology programs in countries with limited resources: How to
bridge the gap. J Saudi Heart Assoc. 2016;22:137-41.
Abstract
Short Bowel Syndrome (SBS) is a malabsorption disorder when a person is unable to absorb nutrients
properly due a congenital disease or surgical removal of a significant proportion of the small intestine.
Navigating through the diagnostic and therapeutic decisions is ideally accomplished by a multidisciplinary
team that includes dedicated staff from Nutrition, Gastroenterology, Pediatric surgery, Nurses, and
Social workers, Pharmacy, Home care services staff, and Family. Early identification of patient at risk
for long term Parenteral Nutrition dependency is the first step toward avoiding severe complications.
Close monitoring of nutritional status, steady to early introduction of enteral nutrition, and aggressive
prevention, diagnosis and treatment of infections such as a central venous catheter, sepsis, and bacterial
overgrowth can significantly improve the prognosis. The goals of SBS management are to support optimal
nutritional status, promote quality of life, and limit morbidity and mortality by promoting enteral
autonomy and oral feeding as follow up and monitoring parenteral nutrition
P
ada anak dengan Short Bowel Syndrome (SBS) terdapat adanya kesulitan pemberian
nutrien yang diakibatkan oleh kegagalan fungsi pencernaan. Penyebab umum SBS
adalah kelainan akibat operasi: multiple intestinal atresias, Hirschsprung‘s disease
(long segment), necrotizing enterocolitis, gastroschisis, complicated meconeum ileus, meconeum
peritonitis, midgut volvulus from malrotation, mislocation of the stoma, inflammatory bowel
disease, tumor, trauma. Sedangkan, penyebab kelainan bukan akibat operasi di antaranya:
congenital short bowel, pseudo intestinal obstruction. Konsekuensi yang akan terjadi adalah
ketidakmampuan menjaga keseimbangan energi, protein, cairan, elektrolit, balans
mikronutrien.
Fisiologi saluran cerna.1 Lambung dibantu oleh asam lambung dan enzim, di mana
terjadi absorpsi vitamin B12. Lambung juga memberikan reaksi terhadap reseksi luas
pada usus dengan hipersekresi asam lambung. Duodenum mempunyai panjang 10-12
cm, di duodenum terjadi absorbsi besi dan folat. Jejunum merupakan 3/5 panjang usus
halus, memiliki villi yang panjang, area absorbsi luas terhadap bahan karbohidrat, protein,
lemak, kalsium, magnesium dan besi. Reseksi menyebabkan hilangnya enzim, sehingga
tidak terjadi absorpsi bahan tersebut di atas. Ileum merupakan 2/5 panjang usus halus,
memiliki area absorbsi lebih kecil daripada jejunum. Terjadi absorpsi asam empedu,
565
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
vitamin A, D, E, K, B12, karbohidrat, protein, cairan, elektrolit. Katup Ileosecal berfungsi
meningkatkan waktu transit, dan mencegah bakteri ‘overgrowth’. Kolon melakukan
absorpsi cairan, natrium, ekskresi kalium dan bikarbonat.
Pada keadaan SBS absorpsi tidak adekuat, terjadi malabsorpsi, dan malnutrisi.
Absorpsi tidak adekuat dari produk sistem pankreatik dan bilier dan gangguan sekresi
usus akan menyebabkan kehilangan banyak cairan dan elektrolit dengan manifestasi
diare sekretorik dan osmotik. Gangguan absorbsi vitamin B12, vitamin larut lemak, serta
absorpsi garam empedu, menyebabkan defisiensi vitamin, terbentuknya batu oksalat, batu
ginjal, serta batu empedu.
Proses patogenik dan prognosis kegagalan saluran cerna digambarkan oleh panjang
sisa usus halus.2 Panjang sisa usus merupakan faktor prognosis SBS, meskipun juga terdapat
pengaruh variabel lain yang akan mempengaruhi adaptasi usus. Contohnya adalah, pada
bayi matur mempunyai panjang usus halus 250 cm, dan dikatakan sebagai SBS berat bila
terdapat sisa usus halus kurang dari 40 cm. Namun karena adanya proses adaptasi usus,
pasien dapat hidup tanpa nutrisi parenteral dengan sisa usus halus 15-30 cm.
Tujuan pembahasan ini adalah memahami lebih jauh keterbatasan absorbsi
karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral dan mikronutrien. Menentukan nutrisi
yang tepat dan adekuat untuk dapat mendukung pertumbuhan normal serta mencegah
gangguan keseimbangan elektrolit serta monitoring yang tepat untuk mengantisipasi
komplikasi.
Tata laksana nutrisi pada SBS bervariasi pada setiap individu anak tergantung faktor
fisiologi dan klinis yang dialami. Secara garis besar terdapat 3 fase tata laksana dukungan
nutrisi setelah dilakukan reseksi saluran cerna.3
Fase Awal (fase akut) dimulai setelah operasi, berlangsung sekitar 1-3 minggu. Saat ini
terjadi hipersekresi, kehilangan elektrolit dan cairan, sehingga memerlukan penggantian
cairan intravena dan nutrisi parenteral menggunakan akses vena sentral. Fase kedua (fase
recovery). berlangsung dalam minggu atau bulan, diikuti perbaikan kehilangan cairan
dan adaptasi usus. Nutrisi enteral makin meningkat bertahap, dan diikuti berkurangnya
nutrisi parenteral. Fase ketiga (fase maintenance), pada fase ini pemberian nutrisi enteral
seluruhnya dapat ditoleransi yang dapat diartikan usus berhasil adaptasi, dan nutrisi
parenteral dapat dihentikan.
Kebutuhan nutrien secara parenteral dan enteral yang diajukan oleh ESPGHAN
disajikan pada tabel 1.4,5
Menurut pedoman dari ESPGHAN, kebutuhan energi untuk neonatus adalah 110-
135 kkal/kg, dengan protein 3,5-4 g protein/kg untuk bayi prematur dan BBLSR 1000-
1800 gram. Kebutuhan energi parenteral 10% lebih rendah daripada enteral, karena
peranan diet yang dipengaruhi termogenesis. Jadi contoh pemberian nutrisi parenteral
yang dianjurkan adalah 110-120 kkal/kg energi, 3-4 g lipid/kg, 1,5-4 gr asam amino/kg
dan karbohidrat sampai dengan 18 gr/kg/hari.
Nutrisi parenteral
Indikasi pemberian nutrisi perenteral (NP) pada SBS adalah untuk mengoreksi
keseimbangan cairan dan elektrolit, maintenans dan memperbaiki status nutrisi, dan
memperbaiki kualitas hidup. Jalur parenteral tersebut sudah diprediksi bila sisa usus
halus <100 cm dengan Jejunum, dan <50 cm bila terdapat kolon. Nutrisi parenteral
dimulai pada fase awal periode pasca operasi, setelah terlebih dahulu mencapai stabilitas
hemodinamik, dan keseimbangan cairan dan elektrolit. Nutrisi parenteral menggunakan
akses vena sentral untuk memfasilitasi kebutuhan kalori dan nutrien. Pemberian nutrisi
kebutuhan utama kalori meliputi karbohidrat, protein dan lemak.6 Dua per tiga kalori
berasal dari karbohidrat dan 1/3 dari lipid. Total energi termasuk protein dapat mencapai
0,85-1,5 kali REE. Pada bayi, dekstrose dimulai pada 5–7 mg glukosa/kg/menit, dengan
dosis peningkatan 1–3 mg glukosa/kg/menit, dan tujuan maksimum 12–14 mg/kg/menit.
Lipid, dimulai dengan 1 gr/kg/hari, dosis peningkatan 1 gr/kg/hari dan maksimal 3 gr/kg/
hari pada bayi dan 2gr/kg/hari pada anak. Pemberian lipid tidak melebihi 30–40% kalori
total per hari. Asam Amino parenteral dimulai dengan 1,5–2 gr/kg/hari. Pemberian secara
adekuat elektrolit, mineral dan vitamin juga esensial diberikan harian secara parenteral
pada bayi dan anak dengan SBS.7
Lama pemberian nutrisi perenteral dan peralihan ke enteral tergantung faktor
fisiologi termasuk sisa panjang usus halus, kemampuan hidrasi, dan toleransi terhadap
nutrisi enteral, ada tidaknya bakteri tumbuh lampau, dan gangguan hepatobilier yang
terjadi.
Bila anak sudah tidak memerlukan lagi perawatan di rumah sakit dan masih
tergantung pemberian nutrisi parenteral jangka panjang, sementara NP merupakan
pilihan yang paling tepat untuk memperbaiki kualitas hidupnya maka dipersiapkan untuk
Home Parenteral Nutrition (HPN)8
Nutrisi enteral
Konsep dasar. Saat stabilisasi hemodinamik, cairan dan elektrolit tercapai, serta terjadi
perbaikan pada terapi nutrisi parenteral, maka pemberian nutrisi enteral dapat dimulai
567
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
untuk menyiapkan adaptasi usus dan pertumbuhan. Adaptasi usus dipengaruhi proses
hiperplasi selular, hipertrofi villous, panjang usus, peningkatan respon hormon yang mana
akan mempengaruhi luas permukaan absorpsi. Sementara kebutuhan nutrisi enteral dan
penggantian cairan tergantung pada panjang dan kualitas usus yang tersisa, serta ada
tidaknya katup ileocaecal. Adaptasi usus terjadi segera pada 24-48 jam setelah reseksi.
Ileum memiliki kemampuan adaptasi lebih besar daripada duodenum dan jejunum.
Nutrisi enteral diberikan dimulai dengan volume minimal (10-12 ml/kg/hr) dan
secara bertahap dinaikkan. Pada bayi prematur, kenaikan volume dimulai dengan 1 ml/
kg/hari. Gangguan pada nutrisi enteral yang umum adalah mual, kembung atau perut
distensi, peningkatan produksi stoma yang juga meningkat seiring dengan peningkatan
volume pemberian nutrien. Peningkatan produksi stoma dijaga tidak melebihi 30 ml/
kg untuk menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit. Bila telah melebihi 50 ml/kg/hari
merupakan kontra indikasi untuk meningkatkan volume pemberian nutrien enteral.
Cara dan jalur NE. Pemberian secara kontinu akan efisien untuk luas permukaan
absorpsi yang terbatas dan transpor protein. Pemberian secara intermiten sesuai dengan
siklus hormon dan pengosongan kantung empedu. Oleh karena itu NE kontinu diberikan
segera setelah operasi dan selanjutnya dapat dilakukan secara enteral intermiten dan
akhirnya berlanjut secara oral.
Jenis nutrien. Diet nutrisi enteral standar dapat diberikan bila masih didapatkan
kolon. ASI, tetap masih ditoleransi dibandingkan dengan bila hanya dengan formula.
Pada pemakaian dengan ASI, waktu pemberian Nutrisi parenteral total lebih singkat, dan
mengurangi morbiditas yang timbul. (Choquette et al. 2014) ASI mengandung nutrien
yang bersifat imunologi yang mendukung maturasi dan adaptasi intestinal, memperbaiki
toleransi makanan, dan menyiapkan nutrien pada bayi prematur.
Terdapat beberapa kontroversi pendapat mengenai pemilihan formula enteral untuk
pasien anak dengan SBS, yakni elemental, semi-elemental, atau formula dengan bahan
dasar peptide. Pada kasus lain juga ditemukan reaksi alergi terhadap pemberian nutrien
pada pasien SBS. Bakteri tumbuh lampau pada SBS dapat menjadi faktor predisposisi
terjadi reaksi alergi saluran cerna. Pemilihan lemak LCT dilaporkan dapat mendukung
adaptasi usus, sementara MCT mendukung penyerapan lebih baik.
Ksiazyk dkk. (2002),9 menyimpulkan bahwa permeabilitas usus, kenaikan berat
badan, balans nitrogen pasien SBS tidak berbeda antara yang menggunakan formula
terhidrolisat atau tidak, namun lebih dipengaruhi oleh panjang, sisi dan fungsi usus yang
tersisa, dengan pemberian formula polimerik standar untuk bayi dan anak.
Formula berbahan dasar Asam Amino, Neocate, mempengaruhi lama pemberian NP
dalam 4 bulan, 6 bulan, 13 bulan tergantung sisa panjang usus halus dan usus besar.10
Rossouw L, 2016,11 melaporkan manajemen nutrisi pada bayi prematur dengan
SBS. Pemberian nutrisi parenteral dilakukan setelah stabilisasi hemodinamik, cairan
dan elektrolit pada 3 hari pasca operasi, dilanjutkan nutrisi parenteral, dan kemudian
569
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
- central venous catheter related sepsis
- obstruction or dislocation of, or damage to the catheter
- thrombosis
• Liver disease:
- IFALD
- gallstones, cholecystitis, biliary sludge
• Masalah psikologi
- food aversion
- hospitalisation
- family relationship problems
Rangkuman tata laksana nutrisi pada anak dengan short bowel syndrome dimulai
sejak pasca operasi, disajikan dalam bagan dibawah
Daftar pustaka
1. Neu J, Li N. The neonatal gastrointestinal tract: Developmental Anatomy, Physiology and
Clinical implications. NeoReviews 2003;4:7-12
2. Kim SJ, Kim BR, Lee SM, Kong HJ, Sin CS. Nutritional support process for a patient
with Short bowel Syndrome in conjuction with panperitonitis; A case report. Clin Nutr Res
2013;2:149-153.
3. Duro D, Kamin D, Duggan C. Overview of Pediatric Short Bowel Syndrome. J Pediatr Gas-
troenterol Nutr. 2008;47: S33-36.
571
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
4. Agotoni C, Buonocore G, Carnielli VP, et al. Enteral nutrient supply for preterm infants:
commentary from the European Society of Pediatric Gastroenterology, Hepatology and Nu-
trition Committee on Nutrition. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2010;50(1):85-91.
5. Koletzko B, Goulet O, Hunt J, et al. Guidelines on Pediatric Parenteral Nutrition of the Eu-
ropean Society of Pediatric Gastroenterology, Hepatology and Nutrition (ESPGHAN) and
the Eupopean Society for Clinical Nutrition and Metabolism (ESPEN), supported by the
Eupopean Society of Pediatric Research (ESPR). J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2005;41Sup-
pl.2:S1-87
6. Sinden AA, Sutphen J. Nutritional management of pediatric short bowel Syndrome. Practical
Gastroenterology 2003;12:28-48
7. Gossum AV, et al. ESPEN Guideline on Parenteral Nutrition: Gastroenterology. Clinical
Nutrition 2009; 28:415-427.
8. Gosselin KB, Duggan C. Enteral nutrition in the management of pediatric intestinal failure.
J Pediatr.2014;165:1085-1090.
9. Goulet O, Olieman J, Ksiazyk J, et al. Neonatal short bowel syndrome as a model of intestine
failure; Physiological background for enteral feeding. Clin Nutr. 2013;32: 162-171
10. Greef AD, Mahler T, Cuypers JH, Wauters GV. The influence of Neocate I Pediatric Short
Bowel Syndrome on PN waening. J Nutr Metab. 2010;1-6
11. Rossouw L. The Nutritional management of short bowel syndrome in a very low-birthweight
neonate. S Afr J Clin Nutr 2016;29:42-46
Abstract
Necrotizing enterocolitis (NEC) can be defined as an acute inflammatory disease occurring in the
intestines of the newborn, particularly in preterm infants, and is characterized by hemorrhagic necrosis
of intestinal tissue which may lead to perforation and destruction of the gut. It is estimated that nearly
90% of premature infants suffered from with NEC, 13% were infants born weighing less than 1500
gram and about 20-30% did not survive.
The most important thing in preventing the occurrence of the NEC is identifying the predicting risk
factors and establishing of diagnosis. Prenatal predicting risk factors are maternal drug use, maternal
hypertensive disease, maternal infection, and placental blood flow insufficiency. The postnatal risk factors
are prematurity with impaired host defense (altered gut motility, reduced enzymatic function, altered
mucus production and composition, dysregulation of the immune system, and reduced innate defense
mechanisms), enteral feeding (rapid introduction and advancement of enteral feeding alongside intestinal
hypoxia-ischemia reperfusion, formula and not breast-human milk) and disturbance of normal neonatal
bacterial colonization.
The diagnosis is established base on grading system, incorporate with clinical symptoms, laboratory indices,
and radiological findings in order to define the severity of illness and to select the adequate treatment in
routine clinical practice. There were scoring system will be used as the determinant of predicting factor.
The main final score of determinant factors of NEC are feeding practices, gastric residuals, and laboratory
signs of inflammation. The composite risk score to predict the severity of the disease score was higher
among the cases at 24 hours and 12 hours prior to suspicion of NEC to predict the severity of the disease.
Competency to identify the occurrence and prevention of NEC is needed by neonatal clinical practitioners
for identifying the occurrence and preventing the severity illness of NEC . Mortality and morbidity will
decrease if early detection and management of NEC is conducted properly.
N
ecrotizing enterocolitis (NEC) atau enterokolitis nekrotikans (EKN) adalah
penyakit radang akut usus yang terjadi pada bayi baru lahir, terutama pada bayi
prematur, yang ditandai dengan nekrosis hemoragik jaringan usus yang dapat
menyebabkan perforasi dan rusaknya jaringan usus.1 Enterokolitis nekrotikans harus
dibedakan dengan gejala mirip EKN (NEC-like symptoms) yang berbeda patogenesis,
pencegahan dan terapinya.2 Gejala mirip EKN terjadi minggu pertama pasca lahir pada
neonatus cukup bulan dan late preterm sedangkan EKN terjadi di minggu kedua dan
ketiga pada neonatus dengan usia kehamilan <32 minggu. Berbagai faktor menjadi
penyebab terjadinya gejala mirip EKN yaitu asfiksi, penyakit jantung bawaan sianotik,
aganglionosis, susu formula, pemberian nutrisi cepat, polisitemia dan korioamnionitis.
573
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Perforasi usus spontan (PUS, SIP=spontaneous intestinal perforation) merupakan
diagnosis diferensial utama terhadap EKN. Perbedaan terutama pada waktu terjadinya
perforasi pada PUS yaitu pada hari-hari pertama pasca lahir dan secara patogenesis tidak
terbukti ada hubungannya dengan inflamasi atau pemberian minum, tetapi terkait adanya
pemberian steroid dan indometasin.3 Gejala ileus paralitik yang menimbulkan muntah
dan distensi abdomen pada sepsis sering terdiagnosis sebagai EKN. Perbedaannya terdapat
pada gambaran foto polos abdomen, pada sepsis hanya didapatkan air fluid level multiple
sedangkan pada EKN didapatkan pneumatosis atau udara pada sistem bilier.
Epidemiologi
Kejadian EKN berhubungan dengan kelahiran bayi prematur, tidak dipengaruhi oleh
seks, ras atau etnis. Secara global kejadian diperkirakan sebanyak 15 juta bayi setiap tahun
dan tertinggi (13%) pada neonatus dengan berat lahir <1.000 g.4,5 Surveilans di Eropa,
Amerika Utara, Australia dan Selandia Baru didapatkan angka kejadian 13% terutama
pada neonatus dengan usia kehamilan ≤32 minggu kehamilan atau berat lahir ≤1,500
g.6 Ahle dkk. melaporkan epidemiologi EKN di Swedia sekitar 3,4 per 10.000 kelahiran
hidup, bayi laki-laki lebih sering dari bayi perempuan (3,7 vs 3,0/ 10.000 kelahiran hidup;
p=0,02, RR=1,2; IK 95%, 1,06-1,40).7 Angka kematian NEC rata-rata adalah 20-30%,
meningkat 50% berbanding lurus dengan rendahnya berat lahir dan usia kehamilan,
terutama pada penderita yang membutuhkan tindakan bedah.8
Patogenesis EKN
Faktor risiko utama terjadinya EKN adalah prematuritas (gestasi ≤32 minggu) atau bayi
berat lahir amat rendah (berat lahir ≤1500 gram).7 Imaturitas sistem pencernaan didapatkan
baik pada struktur maupun fungsi sistem pencernaan menimbulkan permeabilitas mukosa
lebih tinggi, lapisan mucin pada mukosa usus lebih tipis akan meningkatkan daya lekat
bakteri sehingga meningkatkan permeabilitas dinding usus. Faktor tersebut memudahkan
timbulnya jejas pada mukosa usus.9
Imaturitas sistem imun merupakan dasar timbulnya jejas pada sel dan jaringan
mukosa usus. Sistem imun bawaan yang diperankan oleh berbagai toll like receptor
(TLR) tidak berfungsi dengan normal.10 Terjadi perubahan fungsi dalam pengenalan
bakteri patogen oleh TLR terutama pada TLR-4 dan TLR-9. Reaksi berlebihan TLR4 di
permukaan usus akan berekspresi negatif terhadap kolonisasi bakteri gram negatif dalam
usus sehingga menimbulkan kerusakan, meningkatnya apoptosis enterosit, kegagalan
penyembuhan mukosa dan pelepasan sitokin proinflamasi inflamasi yang tidak adekuat.11
Aktifasi TLR4 juga terjadi pada sel endotel permukaan usus sehingga terjadi vasokonstriksi
dan mengurangi aliran darah serta timbul iskemi dan nekrosis. Penjelasan tersebut dikenal
sebagai “hipotesis cross-switching”.
Diagnosis
Enterokolitis nekrotikans terutama terjadi pada bayi prematur yang secara klinis
575
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
menunjukkan gejala secara tiba-tiba meliputi intoleransi pemberian minum, distensi
abdomen, buang air besar berdarah dan adanya tanda klinis sepsis.5 Intoleransi minum
merupakan gejala dini terkait EKN15, tetapi parameter ini masih belum disepakati karena
tidak adanya standar prosedur dalam pengambilan aspirat cairan lambung.21 Penentuan
tingkat beratnya penyakit masih menggunakan tanda klinis dan gambaran radiologis
berdasarkan sistem skor modifikasi dari Bell, yaitu EKN ringan (Bell stadium I), sedang
(Bell stadium II dan berat (Bell stadium III). Diagnosis EKN secara klinis ditentukan
adanya tanda patognomonik berdasarkan gambaran radiologis foto polos abdomen dengan
ditemukannya pneumatosis intestinalis (Bell stadium II).22,23 Pada Tabel 1 di bawah ini
dikutip sesuai aslinya stadium tingkat keparahan EKN.
Prediksi diagnosis EKN dapat ditegakkan berdasarkan sistem skor parameter klinis
intoleransi minum dengan adanya residu cairan lambung pada 24 dan 12 jam sebelum
terjadinya EKN.25 Grino dkk (2016)25 menyusun sistem skor berdasarkan tanda klinis
dalam peneliltian retrospektifnya. Akurasi sistem skor tersebut cukup baik tetapi masih
perlu dilakukan validasi eksterna dengan suatu penelitian prospektif untuk dapat
digunakan secara klinis. Beberapa penelitian sistem skor dilakukan oleh Gephart dkk
(2014)26 dan Mc Keown dkk (1994)27, tetapi secara klinis tidak dapat diimplementasikan
Tata laksana
Tatalaksana medis terutama untuk mengatasi masalah inflamasi, toleransi pemberian
nutrisi enteral dan gangguan keseimbangan kolonisasi bakteri dalam usus. Masalah
inflamasi dilakukan dengan tindakan terhadap penyebabnya yaitu adanya gangguan
ventilasi atau sirkulasi.29 Intoleransi pemberian nutrisi enteral dihentikan untuk waktu
tertentu yaitu 5-7 hari pada tingkat kelainan ringan dan 7-10 hari pada tingkat kelainan
sedang dan berat. Antibiotik dibutuhkah sesuai dengan jenis kuman penyebab berdasarkan
pola kuman di masing-masing pusat pelayanan.30
Tindakan bedah dibutuhkan pada 50% kasus untuk mengeliminasi jaringan nekrotik
pada usus. Tindakan dekompresi ruang abdomen untuk mengurangi desakan ruang
abdomen ke rongga dada dilakukan dengan memasang drain pada sekitar 74% kasus.30,31
Algoritme tatalaksana EKN dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini.32
577
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Pencegahan
Pencegahan paling efektif adalah pemberian nutrisi enteral dengan ASI, baik ASI ibu
sendiri maupun ASI donor.33,34 Salah satu mekanisme pencegahan terjadinya EKN oleh
ASI adalah aktivitas enzim glikoten sintetasi kinase dalam menghambat kerja TLR4
sehingga terjadi proliferasi sel stem dan penyembuhan mukosa.35
Upaya pencegahan lain adalah dengan memberikan probiotik sebagai upaya menjaga
keseimbangan kolonisasi bakteri usus. Robinson (2014) melakukan kajian sistematik
pencegahan EKN menggunakan probiotik dengan hasil adanya penurunan mortalitas
dan morbiditas EKN,36 tetapi secara tepat jenis probiotik yang digunakan, waktu dan
lama pemberian masih belum ada kesepakatan. Pemberian probiotik bakteri Lactobacillus
rhamnosus akan meningkatkan proliferasi dan diferensiasi sel Paneth enterosit dengan
merangsang TLR9 dan menghambat TLR4.
Tatalaksana adekuat bayi prematur dibutuhkan untuk mengurangi risiko terjadinya
EKN yaitu pemberian steroid antenatal, retriksi cairan dan tatalaksana adekuat patensi
duktus arteriosus.37 Strategi pencegahan sedang dalam penelitian adalah suplementasi
laktoferin, imunoglobulin per oral dan imunonutrien seperti glutamin dan arginin.
Laktoferin adalah glikoprotein antimikroba yang terkandung dalam kolostrum dan ASI.
Hasil kajian Cochrane menunjukkan tidak adanya penurunan bermakna morbiditas EKN
dengan pemberian imunoglobulin.38 Glutamin dan arginin adalah asam amino dalam ASI
yang berfungsi melindungi kerusakan mukosa usus. Arginin dapat menghasilkan nitrit
oksida sebagai vasodilator dan mencegah terjadinya jejas usus karena iskemi perfusi.39
Penutup
Enterokolitis nekrotikans adalah kelainan saluran cerna pada bayi prematur yang paling
sering dan mortalitasnya tinggi. Upaya untuk mengidentifikasi faktor prediktor dan strategi
pencegahan dapat mengurangi risiko terjadinya EKN. Diperlukan penelitian multisenter
untuk meningkatkan akurasi hasil penelitian yang sudah dan sedang dilakukan saat ini,
sehingga kematian akibat EKN dapat dikurangi secara bermakna.
Daftar pustaka
1. Zubarioglu U, Uslu S, Bulbul A. New Frontiers of Necrotizing Enterocolitis: From Patho-
physiology to Treatment. Health. 2017;9:106-123.
2. Haque KN. Necrotizing enterocolitis - Some things old and some things new: A comprehen-
sive review. J Clin Neonatol. 2016;5:79-90.
3. Attridge JT, Clark R, Walker MW, Gordon PV. New insights into spontaneous intestinal
perforation using a national data set: (2) Two populations of patients with perforations. . J
Perinatol. 2006;26:185‑188.
4. Stoll BJ. et al. Trends in care practices, morbidity, and mortality of extremely preterm neo-
nates, 1993–2012. JAMA. 2015;314:1039–1051.
579
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
25. Grino CU, Miller M, Carrasquilla-Lopez V, Rojas M, Bhutada A, Rastogi S. Early prediction
of severity of necrotizing enterocolitis in preterm infants: A composite scoring tool. Clin Nurs
Stu. 2016;4(3):47-53.
26. Gephart SM, Spitzer AR, Effken JA. et al. Discrimination of GutCheck(NEC): a clinical risk
index for necrotizing enterocolitis. J Perinatol. 2014;34:468-475.
27. McKeown RE, March TD, Garrison CZ. et al. The prognostic value of a risk score for necro-
tizing enterocolitis. Paediatr Perinatal Epidemiol. 1994;8:156-165.
28. Yee WH, Soraisham AS, Shah VS, Aziz K, Yoon W, Lee SK. Incidence and Timing of Pre-
sentation of Necrotizing Enterocolitis in Preterm Infants. Pediatrics. 2012;129(2):298-304.
29. Papillon S, Castle SL, Gayer CP, Ford HR. Necrotizing enterocolitis: contemporary manage-
ment and outcomes. Adv Pediatr. 2013;60:263-279.
30. Shah D, Sinn JK. Antibiotic regimens for the empirical treatment of newborn infants with
necrotising enterocolitis. Cochrane Database Syst Rev. 2012;8:CD007448.
31. Blakely ML, Tyson JE, Lally KP. et al. Laparotomy versus peritoneal drainage for necrotizing
enterocolitis or isolated intestinal perforation in extremely low birth weight infants: out-
comes through 18 months adjusted age. . Pediatrics. 2006;117(4):e680–687.
32. Brittany MR, Thompson-Branch A. Necrotizing Enterocolitis: A Narrative Review of Updat-
ed Therapeutic and Preventive Interventions. J Pediatr Rev. 2016;4(2):e6093.
33. Boyd CA, Quigley MA, Brocklehurst P. Donor breast milk versus infant formula for
preterm infants: systematic review and metaanalysis. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed.
2007;92(3):F169–175.
34. Pammi M, Abrams S. Oral Lactoferrin for the Prevention of Sepsis and Necrotizing Entero-
colitis in Preterm İnfants. Cochrane Database of Syst Rev. 2015;2:CD007137.
35. Good M. et al, Breast Milk Protects against the Development of Necrotizing Enterocolitis
through İnhibition of Toll-Like Receptor 4 in the İntestinal Epithelium via Activation of the
Epidermal Growth Factor Receptor. Mucosal Immunol. 2015;8:1166-1179.
36. Robinson J. Cochrane in Context: Probiotics for Prevention of Necrotizing Enterocolitis in
Preterm İnfants. Evidence -Based Child Health. 2014;9:672-674.
37. Bell EF, Acarregui MJ. Restricted versus liberal water intake for preventing morbidity and
mortality in preterm infants. Cochrane Database of Syst Rev. 2000;2:CD000503.
38. Foster J, Cole M. Oral immunoglobulin for preventing necrotizing enterocolitis in preterm
and low birth-weight neonates. Cochrane Database Syst Rev. 2004;1:CD001816.
39. Amin HJ, Zamora SA, McMillan DD. et al. Arginine supplementation prevents necrotizing
enterocolitis in the premature infant J Pediatr 2002. 2002;140(4):425-431.
Abstract
Anemia of chronic disease is a multifactorial anemia. Three pathophysiologic mechanisms have been
identified: 1.Slightly shortened RBC survival, thought to be due to release of inflammatory cytokines,
occurs in patients with cancer or chronic granulomatous infections, 2. Erythropoiesis is impaired because
of decreases in both erythropoietin (EPO) production and marrow responsiveness to EPO, 3. Iron
metabolism is altered due to an increase in hepcidin, which inhibits iron absorption and recycling,
leading to iron sequestration.
Diagnosis generally requires the presence of a chronic inflammatory condition, such as infection,
autoimmune disease, kidney disease, or cancer. It is characterized by a microcytic or normocytic anemia
and low reticulocyte count. Values for serum iron transferrin are typically low to normal, while ferritin
can be normal or elevated. Clinical findings are usually those of the underlying disorder (infection,
inflammation, or cancer). Anemia of chronic disease should be suspected in patients with microcytic or
normocytic anemia with chronic illness, infection, inflammation, or cancer. If anemia of chronic disease
is suspected, serum iron, transferrin, reticulocyte count and serum ferritin are measured. Hb usually
is > 8 g/dL unless an additional mechanism contributes to anemia, such as concomitant iron deficiency.
A
nemia penyakit kronis merupakan bentuk anemia yang terjadi akibat: infeksi
kronis, peradangan, trauma dan penyakit neoplastik yang telah berlangsung
kurang lebih 1 bulan dan tidak disertai penyakit hati, ginjal dan endokrin.
Jenis anemia ini ditandai dengan kelainan metabolism besi, sehingga terjadi hipoferemia
dan penumpukan besi di makrofag1. Anemia penyakit kronis sering bersamaan dengan
anemia defisiensi besi dan keduanya memberikan gambaran penurunan besi serum. Oleh
karena itu penentuan parameter besi yang lain diperlukan untuk membedakannya.2
Anemia penyakit kronik merupakan anemia multifaktorial. Diagnosisnya ditegakkan
berdasar pada adanya kondisi infeksi atau inflamasi kronik seperti adanya infeksi, penyakit
autoimun, penyakit ginjal, atau kanker. Adanya anemia mikrositik atau normositik dan
rendahnya retikulosit merupakan tanda yang spesifik dari anemia penyakit kronik. Kadar
besi serum dan transferrin menurun atau normal, sementara kadar feritinnya normal atau
meningkat.2
581
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Patofisiologi
Ada 3 mekanisme yang bisa menjelaskan terjadinya anemia pada penyakit kronik,
•• Terjadinya pemendekan usia eritrosit karena terjadi pelepasan sitokin inflamasi,
biasanya terjadi pada pasien kanker atau infeksi granulomatous kronik.
•• Terganggunya eritropoisis karena turunnya produksi eritropoitin (EPO) dan respon
sumsum tulang terhadap EPO
•• Metabolisme besi terganggu karena meningkatnya hepsidin yang selanjutnya
menghambat absorpsi besi .
Keadaan inflamasi kronik meningkatkan produksi sitokin seperti IL-1, TNF-α,
dan interferon-γ yang langsung menghambat diferensiasi progenitor sel eritroid.
Sitokin inflamasi ini akan menekan produksi dari EPO, menurunnya konsentrasi EPO
di plasma dan meningkatnya apoptosis sel eritroid 3,4,5
Pendekatan diagnosis
Sebagian besar anemia penyakit kronik secara klasifikasi morfologi tergolong anemia
normokromik normositer, tapi sekitar sepertiga dari kasus tergolong hipokromik
mikrositer. Adanya defisiensi besi fungsional adalah sebagai konsekuensi meningkatnya
produksi hepsidin, dan bila dilihat hapusan darah tepinya mirip dengan defisiensi besi atau
thalassemia yang dipengaruhi oleh produksi hem atau globin 4,5,6. Ciri khas dari anemia
penyakit kronik ini adalah hipoproliferasi yang ringan hingga sedang (derajat 1 atau 2).
Jika menjadi lebih berat (derajat 3, atau memburuk, kadar Hb < 8 g/dl ), maka anemianya
merupakan multifaktorial bersama dengan keadaan yang lain seperti perdarahan saluran
cerna, kehilangan darah (blood loss) dan inflamasi, terutama pada pasien anak dengan
gagal ginjal kronis, keganasan saluran cerna, pasien yang sedang mendapat terapi steroid,
atau obat anti inflamasi non steroid. Serum ferritin dan saturasi transferrin sering rendah
pada anemia penyakit kronik. Kadar serum ferritinnya kurang dari 20 ng/mL. Walau
sebagai protein fase akut, kadar ferritin bisa normal pada keadaan inflamasi. Kadar ferritin
> 50 ng/mL jarang pada anemia penyakit kronik 8,9
Pada saat kita menemui pasien dengan anemia, langkah berikutnya adalah melihat
indeks sel darah merah (MCV,MCH, MCHC). Dari melihat indeks sel darah merah ini
kita bisa menggolongkan anemia berdasar morfologi ini menjadi 3 jenis yaitu : anemia
hipokromik mikrositer, anemia normokromik normositer, dan anemia makrositer. Bila
anemianya tergolong hipokromik mikrositer, periksa kadar besi serum dan daya ikat
besi total (total iron binding capacity, TIBC). Pada anemia penyakit kronik kadar besi
serumnya rendah dan TIBC normal atau rendah. Kalau morfologinya merupakan anemia
normokromik normositer selanjutnya dilihat kadar retikulosit yang rendah 10,11.
Penutup
Anemia penyakit kronis merupakan bentuk anemia derajat ringan sampai sedang yang
terjadi akibat infeksi kronis, peradangan trauma atau penyakit neoplastik yang telah
berlangsung sekitar 1 bulan. Secara garis besar patogenesis anemia penyakit kronis adalah
karena ketahanan hidup eritrosit yang memendek akibat terjadinya lisis eritrosit lebih dini,
583
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
adanya respon sumsum tulang akibat respon eritropoetin yang terganggu atau menurun,
gangguan metabolisme berupa gangguan reutilisasi besi. Pada pemeriksaan status besi
didapatkan penurunan besi serum, transferin saturasi transferin, dan total protein pengikat
besi, sedangkan kadar feritin dapat normal atau meningkat. Kadar reseptor transferin di
anemia penyakit kronis adalah normal. Terdapatnya peradangan dapat mengacaukan
interpretasi pemeriksaan status besi. Proses terjadinya radang merupakan respon fisiologis
tubuh terhadap berbagai rangsangan termasuk infeksi dan trauma. Pada fase awal proses
infamasi terjadi induksi fase akut oleh makrofag yang teraktivasi berupa penglepasan
sitokin radang seperti Tumor Necrotizing Factor (TNF)-α, Interleukin (IL)-1, IL- 6 dan
IL-8. Interleukin-1 menyebabkan absorbsi besi berkurang akibat pengelepasan besi ke
dalam sirkulasi terhambat sehingga terjadi anemia.
Daftar pustaka
1. Papadaki HA, Kritikos HD, Valatas V, et al. Anemia of chronic disease in rheumatoid ar-
thritis is associated with increased apoptosis of bone marrow erythroid cells: improvement
following anti-tumor necrosis factor-α antibody therapy. Blood. 2002;100:474-482.
2. Weiss G, Goodnough LT. Anemia of chronic disease. N Engl J Med. 2005;352: 1011 – 23.
3. Nemeth E, Rivera S, Gabayan V, Keller C, Taudorf S, Pedersen BK, et al. IL-6 mediates
hypoferremia of inflammation by inducing the synthesis of the iron regulatory hormone
hepcidin. J Clin Invest 2004;113:1271-76.
4. Vildan Kosan, et al., 2002, The Importance of serum transferrin receptor and TfR-F index
diagnosis of iron deficiency accompanied by acute and chronic infections.Turkey J Haema-
tology 19(4) 453−59. 23.
5. Rimon, et al., 2002, Diagnosis of iron deficiency anemia in the elderly by transferrin recep-
tor-ferritin index. Arch Intern Med. J;162(4): 445−9.
6. Davis SL, Littlewood TJ. The investigation and treatment of secondary anaemia. Blood Rev.
2012;26:65-71.
7. Ganz T, Nemeth E. Hepcidin and iron homeostasis. Biochim Biophys Acta. 2012;1823:1434-
1443.
8. Miller CB, Jones RJ, Piantadosi S, et al. Decreased erythropoietin response in patients with
the anemia of cancer. N Engl J Med. 1990;322:1689-1692.
9. Thomas C, Thomas L. Biochemical markers and hematologic indices in the diagnosis of
functional iron deficiency. Clin Chem. 2002;48:1066-1076.
10. Pincus T, Olsen NJ, Russell IJ, et al. Multicenter study of recombinant human erythropoietin
in correction of anemia in rheumatoid arthritis. Am J Med. 1990;89:161-168.
11. Sasu BJ, Cooke KS, Arvedson TL et al. Antihepcidin antibody treatment modulates iron
metabolism and is effective in a mouse model of inflammation-induced anemia. Blood.
2010;115:3616-3624.
Abstract
Inhalation therapy as known as aerosol therapy has been the cornerstone of treatment for respiratory
diseases, mainly in asthma and other respiratory diseases such as cystic fibrosis. There are basically three
types of inhalation therapy devices: conventional nebulizer, dry powder inhalers and pressurized metered
dose inhalers. The drugs that are suitable for each devices are limited and should be based on appropriate
indication. For years, conventional nebulizer were the only inhalation devices available. Yet the
effectiveness of nebulization is generally low. In Indonesia nebulization therapy in daily practice has been
increased dramatically for the past ten years since its introduction. Frequently, the usage of nebulization
therapy are not concordance with prompt indication and also with the best choice of inhalation device.
Thus it is relevant to discuss about principle as well as judicious indications and technique of nebulization
therapy to avoid overuse and misuse of its procedure.
S
ecara harfiah istilah overuse berarti menggunakan terlalu sering atau terlalu banyak
(too often or too much), dengan kata lain menggunakan secara berlebihan (excessive
use). Sedangkan istilah misuse mengandung arti menggunakan sesuatu dengan cara
yang salah atau tujuan/indikasi yang salah atau secara ringkas diartikan sebagai penggunaan
sesuatu yang kurang tepat (the wrong or improper use of something). Fenomena yang banyak
terjadi sejak satu dekade terakhir alat nebulisasi dapat diakses di Indonesia menunjukkan
penggunaan nebulizer secara overuse dan misuse. Hal ini ditengarai tidak hanya terjadi
di kalangan medis namun juga meluas hingga kalangan non medis. Perlu kiranya kita
kembali pada penggunaan yang bijaksana nebulisasi pada kasus respiratori. Oleh karena
itu pada makalah ini akan dibahas mengenai prinsip terapi inhalasi khususnya nebulisasi,
tehnik dan indikasi pemberian yang tepat serta pitfall yang banyak terjadi dalam praktek
sehari-hari.
585
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
organ terapi inhalasi dapat bersifat lokal atau sistemik. Target lokal terapi inhalasi dimulai
dari hidung hingga ke alveolus, sedangkan target sistemik umumnya tidak ditujukan pada
kelainan di saluran napas tetapi pada kelainan yang bersifat sistemik. Hal yang terpenting
agar aerosol dapat masuk dan terdeposisi sesuai dengan target organ yang dituju sangat
tergantung beberapa faktor yaitu karakteristik fisik partikel aerosol yaitu ukuran (diameter)
dan massa partikel yang digambarkan sebagai mass median aerodynamic diameter
(MMAD). Ukuran MMAD ini akan menentukan lokasi partikel tersebut terdeposisi.4-6
Lokasi deposisi partikel sesuai ukuran MMADnya dapat dilihat pada gambar 1.7
Efektifitas terapi inhalasi sangat tergantung dari konsentrasi obat yang terdeposisi
di target organ. Deposisi aerosol di saluran napas dapat terjadi melalui 3 mekanisme:6,8-10
1. Impaksi merupakan proses deposisi yang terjadi pada partikel aerosol yang berukuran
>3 mikron umumnya terjadi di saluran napas besar seperti orofaring akibat benturan
partikel dengan anatomi saluran napas.
2. Sedimentasi merupakan proses deposisi yang terjadi pada partikel aerosol yang
berukuran 1-3 mikron umumnya terjadi di bronkus dan percabangannya akibat gaya
gravitasi.
3. Difusi merupakan proses deposisi yang terjadi pada partikel aerosol yang berukuran <
0.5 mikron akibat adanya gerak acak brown.
Faktor lain yang juga dapat mempengaruhi deposisi aerosol adalah faktor anatomi
atau kondisi saluran napas dan faktor ventilasi. Beberapa faktor ventilasi yang penting
587
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
yang dipakai harus sesuai dengan target organ yang dituju. Jika kelainan terdapat pada
saluran napas atas tentunya terapi inhalasi yang dipakai harus dapat menghasilkan partikel
yang terutama terdeposisi di saluran napas atas misalnya kelainan di hidung dan nasofaring
tentunya lebih tepat jika menggunakan intranasal drop atau spray. 5,7,9 Pada target organ
saluran napas bawah yaitu bronkus terdapat 3 jenis alat inhalasi yang saat ini kita kenal
yaitu nebuliser, dry powder inhaler dan metered dose inhaler.5,7,9 Pada makalah ini alat
inhalasi untuk target organ saluran napas bawah yang terutama dibahas adalah nebuliser.
Nebuliser merupakan alat inhalasi yang berfungsi mengubah cairan (solution)
menjadi aerosol. Alat yang dipakai dapat berupa aliran udara bertekanan tinggi yang
dihasilkan oleh kompresor (jet nebulizer) atau getaran (vibrasi) dari kristal piezoelektrik
(ultrasonic nebulizer). Pada alat ini obat dalam bentuk cairan akan dimasukkan ke dalam
labu nebulisasi. Jumlah cairan yang harus diisikan ke dalam labu tersebut disebut fill
volume. Tiap alat mempunyai fill volume yang bervariasi tergantung kecepatan alat tersebut
menghasilkan aeorosol, namun umumnya jet nebulizer mempunyai fill volume antara 4-6
ml. Fill volume ini berkorelasi dengan waktu nebulisasi, dimana waktu optimal nebulisasi
umumnya dicapai antara 6-10 menit. Dikenal juga istilah dead volume yaitu volume yang
tersisa dalam labu nebulisasi dan sudah tidak dapat diubah lagi menjadi aerosol, pada
jet nebulizer umumnya dead volume adalah 1 ml. Pengisian cairan obat yang kurang
dari fill volume ataupun mendekati dead volume akan membuat respon klinis terhadap
terapi inhalasi tidak optimal. Pemilihan interface (bagian alat inhalasi yang langsung
berhubungan ke pasien) juga memegang peranan penting. Pada anak usia > 5 tahun atau
anak yang kooperatif penggunaan mouthpiece lebih diutamakan untuk mengurangi proses
impaksi di hidung. Jika menggunakan masker wajah harus diupayakan masker wajah
cukup ketat dan tidak kebesaran agar tidak banyak obat yang terbuang. Upayakan juga
anak dalam kondisi nyaman dan jika memungkinkan tidak menangis. Pada masker wajah
yang kebesaran deposisi di saluran napas hanya 0,1% sedangkan pada anak yangmenangis
deposisi di saluran napas hanya kurang lebih 1%.13
Keuntungan terapi inhalasi menggunakan nebuliser adalah tidak atau sedikit
memerlukan koordinasi penderita, hanya memerlukan pernapasan tidal, beberapa jenis
obat dapat dicampur (misalnya salbutamol dan ipratropium bromida). Kekurangannya
adalah alatnya cukup besar sehingga kurang praktis, memerlukan sumber tenaga listrik
dan relatif mahal.
Misuse yang sering terjadi adalah menggunakan nebuliser untuk kelainan di saluran
napas atas seperti selesma. Overuse yang sering terjadi adalah menggunakan nebulisasi
dengan sistem paket atau tidak memperhatikan lama kerja obat. Misalnya pada pasien
asma diberikan secara paket tanpa memperhatikan respon terapi. Obat beta 2 agonis kerja
cepat (4-6 Jam) sering diberikan hanya 1-3 kali sehari. Seringkali obat yang diberikan
tidak sesuai indikasi misalnya pemberian antiinflamasi hirupan yang digunakan untuk
obat pengendali asma digunakan pada keadaan inflamasi akut dengan dosis kecil. Misuse
yang lain yang dapat terjadi adalah menggunakan nebuliser ultrasonik untuk obat berbasis
steroid. Padahal nebuliser ultrasonik tidak dapat memecah obat yang berbasih steroid.
Misuse lain yang sering terjadi adalah terkait dosis obat. Pada terapi inhalasi karena
merupakan terapi topikal maka tidak perlu memberikan terapi berdasarkan berat badan
atau usia, yang perlu diperhatikan adalah respon pasien. Persepsi bahwa menggunakan
nebuliser lebih baik daripada metered dose inhaler dengan spacer juga merupakan kekeliruan
yang kerap terjadi.15-17
589
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Perawatan nebuliser
Nebulizer di klinik atau rumah sakit biasanya digunakan dalam frekuensi tinggi oleh
banyak pasien. Aerosol yang terkontaminasi dari nebulizer merupakan risiko terjadinya
infeksi respiratorik. Kontaminasi ini berhubungan dengan jarang dan kurang adekuatnya
pembersihan nebuliser.18 Aspek ini seringkali terabaikan dan tidak mendapat perhatian
serius. Idealnya 1 alat nebulizer hanya digunakan oleh 1 pasien, namun hal ini tentunya
akan memerlukan biaya tinggi. Cara yang relatif murah adalah dengan menyediakan
masker atau mouthpiece untuk masing-masing pasien. Pasca pemakaian segera didisinfeksi
dengan cairan antiseptik, dibilas, dikeringkan untuk kemudian dapat digunakan lagi oleh
pasien lain. Untuk labunya juga perlu didisinfeksi pasca tiap penggunaan.
Penutup
Terapi inhalasi merupakan cara pemberian obat yang tidak sesederhana pemberian obat
secara oral ataupun pemberian secara sistemik lainnya. Pemberian obat dengan cara ini
memerlukan alat khusus dan keterampilan atau manuver tertentu agar obat dapat bekerja
dengan optimal. Berbagai hal tersebut yang seringkali menyebabkan pemakaian yang
kurang tepat dan sebagai dampaknya respon klinis pengobatan menjadi kurang baik. Hal
ini yang menyebabkan terjadinya misuse pada terapi inhalasi. Di lain pihak perkembangan
alat inhalasi dan ketersediaannya yang meluas membuat terapi inhalasi mulai banyak
digunakan. Namun sayangnya seringkali penggunaannya tidak didasari oleh indikasi yang
tepat sehingga sering terjadi overuse pada terapi inhalasi. Oleh karenanya perlu pemahaman
yang baik mengenai prinsip dasar terapi inhalasi untuk menghindari kekeliruan yang
sering terjadi dalam praktek sehari-hari.
Daftar pustaka
1. Newman SP. New aerosol delivery system. Dalam: Barnes PJ, Grunstein MM, Leff AR, Wool-
cock AJ, penyunting. Asthma. Philadelphia: Lippincott-Raven. Volume 2. 1997:1805-15.
2. Barry PW, Fouroux B, Pederson S, O’Callaghan C. Nebulizers in childhood. Eur Respir Rev
2000; 10: 527-35.
3. Dolovich MB, Everard ML. Delivery of aerosols to children: devices and inhalation tech-
niques. Dalam: Naspitz C, Szefler SJ, Tinkelman D, Warner JO, penyunting. Textbook of
pediatric asthma. An International Perspective. London: Martin Dunitz Ltd 2001: 327-46.
4. Cole CH. Special problems in aerosol delivery: neonatal and pediatric consideration. Respir
Care 2000;45:646-51.
5. Khilnani GC, Banga A. Aerosol therapy. Indian J Chest Dis Allied Sci 2008;50:209-19.
6. Devadason SG, Everard ML, Le Souef PN. Aerosol therapy and delivery system. Dalam:
Taussig LM, Landau LI, penyunting. Pediatric respiratory medicine. St Louis: Mosby;
2008:235-40.
7. Laube BL, Janssens HM, De Jongh FHC, Devadason SG, Dhand R, Diot P, dkk. What
the pulmonary specialist should know about the new inhalation therapies. Eur Respir J
2011;37:1308-31.
591
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Respiratory Endoscopic Procedure in
Respiratory Problems
Wahyuni Indawati
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta
Abstract
Respiratory endoscopy is one of pivotal tool in the investigation and management of pediatric airway and
respiratory pathology. Examination can be performed using rigid and/or flexible endoscope. The procedures
will directly visualize airway pathology and facilitate to performed appropriate interventional techniques.
Flexible endoscopy examination of the airway without sedation enables timely and dynamic respiratory
tract examination, however is limited to visualization of more proximal anatomy, from pharynx to
glottis. On the other hand, respiratory endoscopic techniques used in distal airway examination facilitate
simultaneous interventional techniques will need general anaesthesia or conscious sedation. Rigid
endoscopy can examine laringotracheobronchial area up to main bronchi and has multiple therapeutic
applications. Flexible bronchoscopy allows examination of the respiratory tract beyond main bronchi.
Both technique are complementary and need collaboration between different specialties.
D
alam memandang penyakit respiratori dapat disederhanakan menjadi 2 aspek
penting yaitu penyakit yang terutama terkait saluran napas dan penyakit yang
terkait parenkim paru. Endoskopi saluran napas merupakan salah satu prosedur
penting dalam diagnosis dan tata laksana berbagai patologi di saluran napas.1-3 Berbagai
teknik dapat digunakan untuk menilai berbagai struktur yang berbeda menggunakan
endoskopi rigid/kaku dan/atau fleksibel baik untuk diagnosis atau terapeutik.Sedangkan
peran endoskopi pada kelainan paru parenkimal lebih terbatas dan lebih banyak ditujukan
dalam upaya diagnostik.1-3
Bunyi vibrasi atau getaran dihasilkan oleh adanya hambatan atau Bunyi vibrasi atau getaran yang dihasilkan oleh sumbatan ini
obstruksi inspirasi terdengar selama inspirasi, biasanya monofonik, terbaik didengar pada saat ekspirasi dan dapat berupa focal atau
dan dapat berupa pitch tinggi seperti pada croup ( batuk rejan ) monofonik serta pitch rendah sampai dengan medium atau dapat
atau pitch rendah sampai dengan sedang seperti pada snoring yang berupa diffuse atau polifonik serta pitch medium sampai dengan
merupakan hasil dari adanya hipertrofi adenotonsilar. tinggi.
Masalah metabolik
Hipoglikemia atau hipomagnesemia
Tumor didapat (langka)
593
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Struktur saluran napas
Struktur saluran napas meliputi hidung hingga bronkiolus. Secara artifisial saluran napas
dapat dibagi menjadi saluran napas atas dan saluran napas bawah.
1. Saluran napas atas meliputi hidung hingga struktur supraglotis diatas pita suara. Area
ini dapat divisualisasi dengan pemeriksaan endoskopi saluran napas atas yaitu dengan
rinofaringolaringoskop.2
2. Saluran napas bawah meliputi glottis hingga bronkiolus. Namun yang dapat
divisualisasikan oleh bronkoskopi hanya mencapai percabangan bronkus generasi
ke 3-4 jika menggunakan bronkoskopi fleksibel sedangkan jika menggunakan
bronkoskopi kaku atau rigid/kaku visualisasi hanya sampai di bronkus utama atau
segmen generasi kedua percabangan bronkus.3
595
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
pasien dengan imunokompromais atau pneumonia yang refrakter/berulang.9-12 Namun
demikian kekurangan endoskopi saluran napas adalah tidak dapat menilai kondisi
ekstraluminal sehingga untuk mendapat gambaran yang utuh mengenai kelainan di
sistem pernapasan perlu pemeriksaan penunjang yang lain seperti rontgen thoraks atau
CT scan thoraks.
Indikasi terapeutik endoskopi saluran napas antara lain meliputi penyedotan
misalnya pada mukus plak, reinflasi lobus yang mengalami atelektasis, ekstraksi benda
asing, alat untuk memasukkan obat intra bronkial dan memberikan panduan pada kasus
intubasi yang sulit.12 Bahkan pada beberapa negara saat ini telah dilakukan pemasangan
sten saluran napas pada anak. Indikasi bronkoskopi yang lebih rinci dapat dilihat pada
tabel 2.8
597
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Gambar 3a. Bronkoskopi fleksibel
Penutup
Endoskopi saluran napas merupakan prosedur di bidang respirologi yang banyak memiliki
manfaat dalam aspek diagnostik maupun terapetik dalam mengatasi masalah/penyakit
respiratorik. Prosedur ini merupakan prosedur yang aman dan memiliki efek samping
minimal jika dilakukan oleh tenaga terlatih. Manfaat utama prosedur ini adalah pada
kelainan di saluran napas terutama obstruksi saluran napas yang dapat disebabkan oleh
berbagai hal. Pada kelainan parenkimal manfaat endoskopi terbatas untuk kepentingan
diagnostik.
599
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Premature Thelarche and Gynecomastia
I Wayan Bikin Suryawan
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Udayana / RSUP Sanglah, Denpasar
Abstract
Premature thelarche in females and gynecomastia in males are common conditions in the
pediatric population. Although premature thelarche and gynecomastia represent benign
physiologic conditions in most cases, it is important to recognize and treat those patients who
may have underlying pathologic conditions.
Premature thelarche is defined as isolated breast development without evidence of sexual hair
development, estrogenization of vaginal mucosa, acceleration of linear growth, rapid bone
maturation, adult body odor, or behavioral changes typical of puberty. Typically occurs during
the first 2 years after birth, and breast size may fluctuate cyclically. Usually does not progress
to precocious puberty and typically resolves during childhood. Premature thelarche may result
from exposure to exogenous estrogen, xenoestrogens, other mechanisms that may play a role in
inducing thelarche include increased sensitivity of breast receptors to estrogen and increased
aromatization of adrenal precursors. Premature thelarche usually is benign, but may signify
a more complicated condition. Premature thelarche is isolated breast development in girls
younger than 8 years of age.
Gynecomastia is the presence of breast tissue in males. It is common and often is a concern for
families, but it usually is a normal part of adolescent development. Pathologic gynecomastia
does occur and can be related to a serious underlying problem.
Imbalance in the serum concentrations or in the synthesis of androgen or estrogen can lead
to gynecomastia or premature thelarche. Sex steroid concentrations remain low until the onset
of puberty and rise gradually until adult concentrations are achieved at the end of puberty.
Estradiol concentration reaches the adult range before testosterone concentration does. The
testes are responsible for more than 95% of testosterone production and about 15% of estradiol
production. Aromatization of androgens in extragonadal tissue is the primary source of estrogen
in males. Pathological gynecomastia results from absolute or relative estrogen excess owing
to exogenous estrogen administration, endogenous overproduction, or increased peripheral
conversion of androgens to estrogens as is seen with excessive aromatase activity or androgen
deficiency. Several drug associated with gynecomastia, many drugs have an estrogenic or
antiandrogenic effect, but the underlying mechanisms remain unknown for other drugs. For
those patients who appear to have pathologic gynecomastia, additional evaluation is necessary.
Candidates for specialist referral and laboratory evaluation include; Patients who have history
or physical examination findings suggestive of underlying pathologic conditions, patients who
have gynecomastia and present between 3 months of age and before puberty, patients who
have macrogynecomastia (>4 cm) or who experience rapid increase in breast size, patients
who have galactorrhea. The initial laboratory investigation may include determining serum
concentrations of LH, FSH, testosterone, estradiol, beta-hCG, DHEAS, and liver enzymes.
Pharmacologic treatment can decrease estrogen effect either by blocking estrogen receptors or by inhibiting
aromatase activity. Surgery is an option to reduce breast size, but some experts advocate a trial of
tamoxifen before considering surgery.
Ginekomastia
Ginekomastia merupakan pembesaran kelenjar mamae yang terjadi pada laki-laki. Hal
ini terjadi karena adanya gangguan fisiologi hormon steroid yang bersifat sementara
maupun menetap. Ginekomastia terjadi karena berbagai macam perubahan dalam
payudara termasuk jaringan penunjang, proliferasi duktus kelenjar mamae, penambahan
vaskularisasi, dan sel –sel radang kronik. Pembesaran seringkali terjadi pada regio tepat
di bawah papila dan areola mamae, dan dapat disertai atau tanpa sekresi menyerupai
kolostrum, teraba lunak, dan pembesaran papila dan areola mamae. Ginekomastia jangan
dikacaukan dengan lipomastia yaitu lemak subkutan, teraba lunak yang seringkali tampak
seolah-olah mempunyai payudara pada laki-laki gemuk. Perjalanan klinis ginekomastia
seperti juga efek obat-obatan dapat dipantau dengan mengukur diameter lempeng
jaringan kelenjar mamae setiap 3 bulan sekali. Sering terjadi asimetri pada perkembangan
ginekomastia, dan perkembangan mamae unilateral dapat selalu dipertimbangkan sebagai
stadium perkembangan ginekomastia bilateral. Hormon stimulans pertumbuhan mamae
yang dominan adalah estrogen, sedangkan androgen mempunyai efek inhibisi yang lemah.
Ginekomastia ini akan terjadi bila terdapat penurunan ratio androgen terhadap estrogen.
Peran prolaktin pada genesis ginekomastia masih belum jelas. Prolaktin serum pada
kebanyakan pasien ginekomastia dalam batas normal. Prolaktin adakalanya ikut berperan
melalui efek tidak langsung pada gonad dan kemungkinan pada fungsi adrenal yang dapat
menyebabkan perubahan ratio estrogen atau androgen dalam sirkulasi.
601
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Telars Prematur
Patogenesis
Patogenesis telars prematur masih kontroversial. Ada yang mengatakan telars prematur
disebabkan oleh meningkatnya sensitivitas secara abnormal jaringan mamae (lokal)
terhadap peningkatan sekresi estrogen fisiologis. Bidlingmaer dkk, melaporkan telars
prematur mungkin disebabkan oleh peningkatan sedikit estrogen ovarium sebagai respons
terhadap peningkatan kadar gonadotropin transient. Penulis lain menduga telars prematur
disebabkan oleh produksi estrogen yang berlebihan secara autonom dari folikel ovarium
yang mengalami transformasi kistik dan luteinisasi pada tahun pertama hingga ke-empat
kehidupan. Selain itu telars prematur juga diduga dapat disebabkan oleh peningkatan
produksi estrogen dari prekursor adrenal.
Diagnosis
Secara klinis akan tampak pola pertumbuhan linier masih normal tanpa adanya akselerasi,
usia tulang masih sesuai dengan usia kronologik. Pada pemeriksaan USG pelvis terlihat
uterus berukuran prepurbertal ruangan (rasio korpus banding serviks adalah 1: 2), tidak
adanya menstruasi. Pemeriksaan hormonal pada telars prematur memperlihatkan pola
prepubertal. Kadar hormon estradiol berada dalam tingkat prepubertal sesuai dengan usia
pasien, namun kadang-kadang sedikit meningkat. Kadar FSH basal dan LH biasanya
normal, namun FSH mungkin agak meningkat. Demikian juga terhadap uji stimulasi
LHRH menunjukkan pola prepubertas.
Tata laksana
Telars prematur merupakan suatu keadaan yang self limited dan jarang sekali menjadi
pubertas prekoks sentral. Kebanyakan peneliti berpendapat telars prematur yang terjadi
usia kurang dari 3 tahun mempunyai prognosis yang baik, karena payudara umumnya
akan mengalami regresi spontan, sehingga disarankan untuk tidak melakukan pemeriksaan
dan pengobatan yang tidak perlu. Yang lebih penting pada kasus telars prematur adalah
pemantauan sedini mungkin kemungkinan terjadinya pubertas prekoks sentral yang dapat
dilakukan baik secara klinis, laboratoris, maupun pemeriksaan penunjang radiologis. Hal
ini penting agar terapi sedini mungkin dapat segera dilakukan pada pasien telars prematur
yang berkembang menjadi pubertas prekok sentral. Walaupun angka kejadian dari telars
prematur yang berkembang menjadi pubertas dini sangat kecil, namun dampak yang
ditimbulkan pubertas prekoks sentral sangat mengganggu. Oleh sebab itu setiap pasien
telars prematur perlu diamati secara berkala.
Manifetasi Klinis
1. Ginekomastia fisiologis
a. Ginekomastia pada neonatus
Pembesaran payudara pada neonatus diduga disebabkan oleh faktor estrogen
maternal atau plasenta atau kombinasi keduanya. Pembesaran ini dapat atau tidak
berkaitan dengan produksi ASI dan biasanya hilang dalam beberapa minggu,
walaupun pada beberapa kasus tertentu dapat menetap lebih lama.
b. Ginekomastia pubertas
Ginekomastia pubertas selalu diawali dengan tanda-tanda perkembangan seks
laki-laki seperti perkembangan rambut pubis, pigmentasi kulit skrotum, dan
pembesaran testis (volume 8 ml) khas terdapat sedikitnya 6 bulan sebelum
onset pembesaran payudara. Pada usia 10-17 tahun kira-kira 40% anak laki-
laki menderita ginekomastia transien dengan puncak insidens (65%) pada usia
14 tahun. Ginekomastia pubertas akan menghilang 75% dalam 2 tahun dan
menghilang 90% dalam 3 tahun, menjadi ginekomastia besar kira kira 10%.
Pada ginekomastia pubertas, diameter kelenjar mamae biasanya kurang dari
4 cm menyerupai breast bulding. Apabila ukaran mamae pada ginekomastia
serupa dengan M4 atau M5 stadium pubertas perempuan maka disebut
makroginekomastia. Pada makroginekomastia regresi spontan tidak mungkin
terjadi.
c. Ginekomastia usia lanjut
Ginekomastia usia lanjut adalah ginekomastia yang ditemukan pada laki-laki usia
lanjut.
2. Ginekomastia patologis
Ginekomastia patologis adalah ginekomastia yang disebabkan oleh efek samping obat-
obatan atau kelainan endokrin atau penyakit yang mendasarinya. Kelainan endokrin
pada ginekomastia patologis umumnya kelainan endokrin yang secara potensial
menyebabkan penurunan konsentrasi androgen (hipogonadism) atau peningkatan
sekresi estrogen. Androgen akan mengalami aromatisasi perifer di jaringan menjadi
estrogen. Rasio androgen dan estrogen ini yang berperan pada terjadinya ginekomastia.
Pada sindrom Klinefelter terjadi hipergonadotropik hipogonadism seringkali dijumpai
ginekomastia, karena terjadi disgenesis gonad. Pada hipertiroid dapat dijumpai
ginekomastia karena terjadi peningkatan produksi androstenedion dan peningkatan
603
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
aromatisasi androgen perifer. Ginekomastia yang terjadi pada malnutrisi biasanya
timbul setelah peningkatan masukan kalori, mungkin berhubungan dengan disfungsi
hati, selama kelaparan produksi hormon seks turun, ketika masukan makanan menjadi
normal produksi estrogen maupun androgen meningkat dan terjadilah ginekomastia
dan pembesaran payudara biasanya menghilang sesuai perbaikan fungsi hati.
3. Ginekomastia idiopatik
Ginekomastia idiopatik setelah dicari penyebabnya tetap tidak diketahui dan
ginekomastia idiopatik tidak menyebabkan gangguan kesehatan yang berarti.
Diagnosis
Tujuan utama pendekatan diagnosis adalah membedakan ginekomastia fisiologis atau
patologis. Pada anamnesis riwayat pemakaian obat-obatan sangat penting selain riwayat
keluarga dengan ginekomastia menetap. Pada tahap lanjut harus diidentifikasikan ada
tidaknya gagal ginjal, sirosis hepatis, hipertiroid, hipogonadisme, malnutrisi, maupun
trauma lokal dinding dada. Pemeriksaan fisik untuk memeriksa tanda tanda ginekomastia
dan mencari tanda-tanda penyakit yang mendasarinya. Pemeriksaan laboratorium
dilakukan sesuai gambaran klinis yang ditemukan.
Tata laksana
1. Terapi medis
a. Pengobatan ginekomastia tergantung pada penyebab dan lamanya menderita
ginekomastia.
b. Pada 90% kasus ginekomastia pubertas terjadi regresi spontan dalam 3 tahun
atau dalam 6 bulan dengan terapi medis.
c. Hasil terapi demgan raloksifen klomifen sitrat, tamoksifen, testolakton, danasol
dan testosteron atau dihidrotestosteron heptanoat dilaporkan dengan hasil yang
tidak konsisten.
d. Tamoksifen dan raloksifen merupakan anti estrogen, tamoksifen bekerja dengan
cara berkompetisi dengan estrogen binding site jaringan mamae. Obat ini cukup
aman dan efektif bila diberikan dengan dosis 10-20 mg/kali diberikan 2 kali
sehari pada remaja. Efek samping yang ada hanya nause atau abdominal discomfort
yang terjadi pada 5% laki-laki yang diobati dan tidak memerlukan penghentian
pengobatan. Dari kedua obat tersebut raloksifen memberikan respon terapi yang
lebih baik dibanding tamoksifen.
e. Testolakton adalah suatu aromatase inhibitor, dosis yang diberikan 150 mg/ kali 3
kali sehari, merupakan dosis aman yang tidak menghambat sekresi gonadotropin
atau memperlambat pubertas.
f. Dihidrotestosteron heptanoat diberikan secara intra muskuler tapi belum
tersedia secara komersial. Obat ini tidak mengalami aromatisasi sehingga punya
kemampuan menghambat pembentukan mamae.
Penutup
Telars prematur merupakan perkembangan payudara pada anak perempuan tanpa disertai
adanya tanda-tanda seks sekunder yang lain secara klinis maupun laboratorim. Telars
prematur umumnya ditemukan pada anak perempuan usia 2 tahun. Telars prematur
diperkirakan disebabkan oleh paparan estrogen exogen yang bisa masuk lewat ingesti,
digesti maupun absorpsi melalui kulit. Telars prematur perlu dibedakan dengan pubertas
dini oleh karena itu perlu diobservasi secara berkala.
Ginekomastia merupakan pembesaran kelenjar mamae yang terjadi pada laki-laki,
hal ini terjadi karena adanya gangguan fisiologi hormon steroid yang bersifat sementara
maupun menetap. Ginekomastia ini akan terjadi bila terdapat penurunan ratio androgen
terhadap estrogen. Ginekomastia dibedakan menjadi ginekomastia fisiologis ( ginekomastia
pada neonatus, ginekomastia pubertas, ginekomastia usia lanjut), ginekomastia patologi
adalah ginekomastia yang disebabkan oleh efek samping obat-obatan atau penyakit yang
mendasarinya, dan ginekomastia idiopatik. Ginekomastia fisiologis tidak memerlukan
pengobatan, sedangkan ginekomastia patologis memerlukan pengobatan medis seperti
tamoksifen, raloksifen sebagai anti estrogen atau testolakton sebagai aromatase inhibitor.
Terapi pembedahan dilakukan bila ukurannya melebihi 6 cm atau jaringan mamae
metetap lebih dari 4 tahun dan sudah terjadi fibrosis luas dan terjadi stres fisiologi berat.
Daftar pustaka
1. Diamantopoulos S. Gynecomastia and Premature Thelarche: A Guide for Practitioners. Pedi-
atrics in Review. 2007; 28(9):c57-68.
2. Muir A. Precocius Puberty. Pediatrics in Review. 2008; 27(10):373-380.
3. Bell B K. Gynecomastia. Endocrine Secrets. 3rd edition. 2002;47:362-65.
4. Brook CGD. Marshall NJ. Reproductive Endocrinology. Essentiale Endocrinology.
1996;6:94-114.
5. Braunstein GD. Aromatase and Gynecomastia. Endocrine-Related Cancer.1999; 6 :315-324.
6. Dattani MT. Tziaferi V. Hindmarsh PC. Evaluation of Disordered Puberty. Brooks Clinical
Pediatric Endocrinology. 6th edition. 2009;10:213-249.
7. Bembo SA. Carlson HE. Gynecomastia: Its features, and when and how to treat it. Cleveland
Clinic Journal of Medicine. 2004;7(6):511-7.
8. Nakamoto JM. Franklin SL. Geffner ME. Puberty. Pediatric Practise Endocrinology.
2010;7:270-311.
9. Stavros, D. dan Young, B. 2007. Gynekomastia and Premature Thelarche: A Guide for Prac-
titioners. Pediatrics in Review.
605
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
10. Batubara, J. dkk. 2010. Buku Ajar Endokrinologi Anak Edisi I. Badan Penerbit IDAI.
11. IDAI. 2013. Masalah Pubertas pada Anak dan Remaja. Available from: URL; http://www.
idai.or.id/artikel/seputar-kesehatan-anak/masalah-pubertas-pada-anak- dan-remaja.
12. Kaneda, H.J. dkk. 2013. Pediatric and Adolescent Breast Masses: A Review of Pathophysiol-
ogy, Imaging, Diagnosis, and Treatment. American Journal of Roentgenology.
13. Kaplowitz, P.B. 2017. Precocious Puberty. Available from: URL; http://emedicine. med-
scape. com/article/924002-overview.
Abstract
Epigenetics in allergic disease is a field that has expanded greatly in the last decade. Epigenetic refers to
a biochemical reaction, such as DNA methylation, modifications on histones and other structures that
control whether a particular gene is switched on or off. Allergic disease development is affected by both
genes and the environment, and epigenetic mechanisms are hypothesized to mediate these environmental
effects. Recently, several environmental factors have been reported encounter an interactions with gene
expression in regulation of allergic disease, including allergen; microbe; tobacco smoke; folic acid; fish
oil; obesity; and stress. In this review, we discuss the role of epigenetic in allergic diseases and related
environmental risk factors as well as potential underlying mechanisms for these associations. By
understanding epigenetic in allergy, it could provide novel insights and therapeutic interventions that
may be effective in arresting or even reversing the allergy epidemic.
Pengertian epigenetik
Epigenetik akhir-akhir ini menjadi pusat perhatian para peneliti dalam mengembangkan
teori mengenai patogenesis berbagai penyakit termasuk alergi.1 Epigenetik menjelaskan
bagaimana perubahan lingkungan dapat mempengaruhi ekspresi gen dan memanipulasi
perkembangan awal yang dapat menjadi faktor predisposisi timbulnya alergi.2 Epigenetik
adalah sebuah mekanisme yang mengontrol apakah gen tertentu akan menjadi aktif atau
inaktif.3 Setiap orang memiliki beberapa gen yang tidak dieskspresikan atau diekspresikan
pada jaringan tertentu atau pada kondisi tertentu. Sebagai contoh, setiap sel di dalam
tubuh kita memiliki kode genetik yang sama, namun profil gen yang diekspresikan pada
masing-masing sel dan jaringan berbeda, seperti kulit, otot, tulang dan organ lain. Variasi
ini diatur melalui suatu program epigenetik yang kompleks, yang menentukan apa, kapan
dan dimana sebuah gen akan diekspresikan.4 Mekanisme epigenetik ini tidak mengubah
sekuens DNA yang secara mitosis atau meiosis diturunkan. Hal ini menjelaskan mengapa
pada keturunan yang memilki DNA identik belum tentu memunculkan ciri atau
karakteristik yang sama.5
607
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
kromatin dan struktur DNA sehingga gen dapat diekspresikan atau ‘menutup’ untaian
kromatin sehingga gen tidak dieskspresikan.3 Beberapa contoh proses regulasi ekspresi gen
antara lain metilasi DNA dan modifikasi histon. Metilasi DNA adalah proses biokimia
yang berkaitan terhadap penambahan gugus metil terhadap nukleotid DNA. Hal ini
merupakan proses epigenetik yang paling utama pada gene silencing dan secara subsekuens
menginhibisi transkripsi gen. Sedangkan modifikasi histon adalah serangkaian perubahan
berupa metilasi, asetilasi atau fosforilasi sepanjang modifikasi post translasi dari berbagai
macam protein histon. Efek dari modifikasi histon ini dapat bervariasi mulai dari aktivasi
hingga inaktivasi gen serta dapat juga terjadi beberapa perbaikan fungsi DNA.2
Beberapa faktor lingkungan disebutkan berpengaruh terhadap regulasi ekspresi gen
antara lain paparan zat kimia, asap rokok, hormon, perubahan suhu, komponen di dalam
makanan dan stress. Epigenetik menjelaskan bagaimana lingkungan dapat mempengaruhi
ekspresi gen dalam waktu yang sangat cepat tanpa harus mengubah sekuens DNA itu
sendiri.6 Hal inilah yang membawa pandangan baru bahwa lingkungan dapat berpengaruh
terhadap pola penyakit. Dengan mengetahui faktor apa yang mempengaruhi modifikasi
ekspresi gen sehingga menimbulkan suatu penyakit tertentu, maka dapat juga menjadi
strategi untuk melakukan modifikasi gen dalam mencegah terjadinya penyakit tersebut.5
609
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Tabel 1. Faktor Lingkungan yang Dapat Mempengaruhi Fenotip Alergi Melalui Mekanisme Epigenetik
Alergen
Pengaruh alergen terhadap regulasi epigenetik pada pasien dengan asma dan alergi
dikaitkan dengan peningkatan metilasi DNA setelah sensitisasi alergen. Alergen yang
direspon oleh sel Th2 berkorelasi dengan penurunan ekspresi sitokin IFN-ɣ yang
merupakan sitokin utama untuk diferensiasi Th1. Penelitian yang dilakukan oleh Pascual
et al melaporkan bahwa terjadi metilasi DNA pada beberapa lokus gen pada populasi
pasien dengan alergi HDM. Secara klinis, pasien yang terpapar HDM menunjukkan
peningkatan hiperresponsif jalan napas, inflamasi dan remodeling jalan napas.13
Mikroba
Salah satu faktor yang disebutkan protektif terhadap alergi adalah paparan mikroba
pada masa awal kehidupan. Penelitian meta-analisis yang dilakukan oleh Campbell et
al. menunjukkan bahwa anak-anak yang tumbuh besar dalam lingkungan pertanian
tradisional memiliki risiko lebih kecil terhadap penyakit alergi pernapasan. Pada pasien
anak yang tinggal di lingkungan pedesaan menunjukkan gambaran jumlah sel Treg
yang meningkat secara signifikan setelah stimulasi dengan lipopolisakarida. Salah satu
teori menjelaskan bahwa gen antibakterial seperti RANTES, lipocalin-2 (LCN-2), dan
prostaglandin E synthase (PTGES) memperantarai peningkatan kadar asetilasi histon yang
menyebabkan aktivasi gen yang berkaitan dengan respon imun Th1 yang akan mencegah
timbulnya penyakit alergi.14
Asap rokok
Paparan asap rokok selama kehamilan dan anak-anak merupakan faktor risiko untuk
berkembangnya asma pada anak. Hal tersebut dikarenakan komponen yang dihasilkan
Asam folat
Salah satu komponen yang penting dalam donor metil pada proses metilasi DNA adalah
asam folat. Hal tersebut akan mengubah epigenom suatu gen sehingga gen menjadi
inaktif. Konsumsi asam folat pada kehamilan dikaitkan dengan kejadian munculnya alergi
pada anak. Namun beberapa penelitian menunjukkan hal yang sebaliknya. Sejauh ini
belum ada bukti yang menunjukkan rekomendasi penggunaan suplementasi folat selama
kehamilan untuk mencegah terjadinya alergi.17
Minyak ikan
Minyak ikan merupakan salah satu sumber utama asam lemak omega 3 yang menjadi
prekursor sejumlah besar mediator anti-inflamasi. Konsumsi minyak ikan selama
kehamilan, awal kehidupan atau keduanya disebutkan dapat mencegah perkembangan
penyakit alergi. Terdapat data inisial yang menyebutkan terdapat mekanisme perubahan
pada faktor κΒ subunit p65 dan deasetilasi histon pada sel makrofag. Penelitian metaanalisis
yang dilakukan oleh Klemens et al. menunjukkan bahwa konsumsi minyak ikan pada saat
kehamilan dapat menurunkan risiko terjadinya alergi makanan, asma, positif skin prick
test dan kejadian atopi pada anak.18
Obesitas
Perubahan gaya hidup merupakan salah satu faktor terpenting yang mempengaruhi
regulasi epigenetik. Penelitian melaporkan bahwa pada jaringan adiposa terjadi penurunan
tingkat ekspresi gen yang berkaitan dengan fosforilasi oksidatif karbohidrat, asam amino
dan metabolisme lipid. Metilasi DNA yang terjadi pada beberapa lokus gen seperti CCL5,
IL2RA dan faktor transkripsi T-box (TBX21) dapat menyebabkan polarisasi Th1. Pada
studi cross-sectional yang melibatkan 171 sampel dengan obesitas telah terdentifikasi bahwa
tingkat metilasi lebih tinggi dibandingkan kelompok non obesitas. Di sisi lain, terjadi
peningkatan metilasi promoter untuk TGF-β, yang mengkode sitokin yang berhubungan
dengan aktivitas anti-inflamasi dan fungsi sel Treg. Lebih lanjut, metilasi promoter juga
ditemukan pada gen FCER2, yaitu reseptor dengan afinitas yang rendah untuk IgE. Hal
tersebut merupakan contoh peranan alterasi epigenetik sebagai mekanisme perubahan
metabolik dan pengaruhnya terhadap ekspresi gen yang berkaitan pada perkembangan
fenotip alergi.19
611
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Stress
Stress merupakan faktor lingkungan tambahan yang juga penting sedikitnya dalam bagian
modifikasi epigenetik. Stress psikologis menjadi pembicaraan akhir tahun ini sebagai faktor
risiko tambahan terpenting dalam patogenesis dan keparahan asma pada anak. Reseptor
membran untuk adrenal adenylate cyclase-activatingpeptida (ADCYAP1R1) merupakan
ekspresi tertinggi dalam hipotalamus dan struktur limbik yang berintegrasi pada respon
stress. Baru-baru ini, penelitian mengidentifikasi status metilasi lebih tinggi pada gen
ADCYAP1R1 dan peningkatan ini berhubungan dengan perkembangan asma, khususnya
pada anak dengan pengalaman kekerasan dalam keluarga.20 Selain itu, mekanisme ini juga
diperantarai oleh modulasi aksis HPA oleh stressor yang akan menyebabkan gangguan
pada regulasi sistem imun, terutama sistem imun Th2.21
Penutup
Epigenetik merupakan mekanisme yang mengendalikan apakah gen tertentu diekspresikan
atau tidak. Beberapa faktor lingkungan seperti nutrisi, paparan asap rokok, obesitas
dan stres selama kehamilan dibuktikan memiliki efek pada predisposisi alergi melalui
mekanisme epigenetik. Dengan memahami peran epigenetik dalam alergi, hal ini dapat
memberi wawasan baru dan intervensi terapeutik yang mungkin efektif untuk mencegah
kejadian alergi.
Daftar pustaka
1. Kuriakose J. S. and R. L. Miller. Environmental epigenetics and allergic diseases: recent ad-
vances. Clinical & Experimental Allergy 2010, 40;1602–1610.
2. Harb, Hani and Harald Renz. Update on epigenetics in allergic disease. J Allergy Vlinn Im-
munol 2015, 15-24.
3. Tollefsbol, Trygve. Genomic Imprinting. Handbook of Epigenetics The New Molecular and
Medical Genetics Chapter 22, 2011. Elsevier Inc.
4. Holliday, Robin. Epigenetics: A Historical Overview. Epigenetics 2006, 1(2);76-80, DOI:
10.4161/ epi.1.2.2762.
5. Prescott, L. Susan. Genetic and Allergy Disease. The Allergy Epidemic. 2011. UWA Publish-
ing Crawley, The University of Western Australia.
6. Feil Robert and Mario F. Fraga. Epigenetics and the environment: emerging patterns and
implications. Nature Reviews Genetics 2012, 13; 97-109.
7. Piccinni, M.P, Letizia Lombardelli, Federica Logiodice, Ornela Kullolli, Sergio Romagnani,
and Philippe Le Bouteiller. T helper cell mediated-tolerance towards fetal allograft in success-
ful pregnancy. Clinical and Molecular Allergy 2015, 13(9); 1-5.
8. Saito S, Nakashima A, Shima T, Ito M. Th1/Th2/Th17 and regulatory T-cell paradigm in
pregnancy. Am J Reprod Immunol 2010, 63; 601–610.
9. Simon AK, Hollander GA, McMichael A. Evolution of the immune system in humans from
infancy to old age. Proc. R. Soc 2015, B 282; 20143085.
613
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Physiology of Breastfeeding and the Role of
Counselling
Wiyarni Pambudi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanegara Jakarta
Abstract
Despite marked improvements in the composition of such formulas, breastfeeding remains the superior form
of infant nutriture and also serves as an extrauterine directive of immune development. Both professional
and lay supporters had a positive impact on breastfeeding outcomes as an increasing in the length of time
women continued to breastfeed and the length of time women breastfed without introducing any other
types of liquids or foods. Clinicians have a crucial role -from the early pregnancy- in a mother’s decision
to breastfeed and can facilitate her success in lactation since the newborn period. Face-to-face counseling
-as an important role of extra support of breastfeeding-was significantly more effective compared with
telephone or other media support. The clinician must be familiar with how the mammary gland produces
human milk and how its properties nourish and protect the breastfeeding infant. Such early follow-up
makes lactation success more likely and leads to a healthier infant. Successful follow-up depends on the
healthcare provider’s knowledge of the mechanics of breastfeeding, the evaluation of successful lactation,
and the interventions required if difficulties develop. This article reviews the development of the mammary
gland (mammogenesis), the process through which the mammary gland develops the capacity to secrete
milk (lactogenesis), the process of milk production (lactation), and the specific properties of human
milk that make it unique and appropriate for human infants.This article also reviews the mechanics of
breastfeeding, correct breastfeeding techniques, and sufficient versus insufficient milk supplies.
A
ir Susu Ibu (ASI) merupakan sumber asupan yang paling sesuai dengan kebutuhan
neonatus dan bayi. Komposisi zat gizi dan properti lain dalam cairan ASI
berubah dinamis dari waktu ke waktu, memenuhi substansi bioaktif masa kritis
pertumbuhan, perkembangan, dan imunitas bayi. Meski mungkin sebagian ibu belum
sepenuhnya paham manfaat jangka panjang menyusui untuk bayi maupun ibu, hampir
90% ibu telah memiliki niat memberikan ASI pada trimester kedua kehamilan. Kelekatan
psikologis atau bonding ibu-bayi menjadi alasan kuat menyusui, selain keuntungan bio-
neuro-imunologi.
Minimnya pengetahuan tentang menyusui dan singkatnya periode rawat inap pasca
bersalin membuat dua per tiga ibu mengalami kegagalan menyusui. Ditambah lagi, saat
ini rata-rata ibu dan bayi baru lahir dipulangkan dalam 12-24 jam post partum, sebelum
proses menyusui yang benar dan nyaman dimantapkan. Pemantauan setelah pulang perlu
diatur lebih jeli agar semakin optimal menilai kondisi ibu-bayi dan tantangan menyusui
yang mungkin terjadi. Seiring dengan kebutuhan dukungan menyusui, tenaga kesehatan
Laktogenesis
Tahapan laktasi dapat diringkas menjadi empat proses penting: mamogenesis,
laktogenesis, galaktopoiesis, dan involusi. Proses perkembangan kelenjar mamalia hingga
memiliki kapasitas ukuran dan massa payudara disebut mamogenesis.Unit dasar kelenjar
ASI berupa kumpulan alveolus atau sel asinus yang terhubung dengan duktus. Sebelum
publikasi Ramsay dkk (2005), diasumsikan tiap-tiap duktus bermuara ke sinus laktiferus
yang mengalirkan ASI melalui 15-20 saluran di puting. Penelitian tersebutmemberikan
pencerahan tentang anatomi kelenjar ASI, dibuktikan dengan pemeriksaan ultrasonografi
ekstensif yang menunjukkan duktus ASI sebagai struktur tabung hipo-ekhoik superfisial
dengan kelenjar ASI sepanjang dinding ekhogenik (gambar 1). Duktus ini mudah ditekan
mengempis oleh isapan bayi, bukan tipikal sinus atau kantong. Rerata diameter duktus
ASI lebih besar dari 0,55 mm, dan lazimnya ditemui 9-10 pori duktus di masing-masing
puting kanan dan kiri. Jumlah pori-pori duktus ASI tidak berhubungan dengan diameter
puting, radius areola, atau jumlah ASI yang dihasilkan.
Distribusi kelenjar ASI dan jaringan lemak bervariasi tiap individu namun serupa
pada kedua payudara. Proporsi kelenjar ASI dan jaringan lemak serta jumlah dan
ukuran duktus tidak berkorelasi dengan produksi ASI. Di masa pubertas, peningkatan
estrogen memicu pertumbuhan duktus ASI seiring pembesaran payudara. Progesteron
yang disekresi pada pertengahan siklus menstruasi juga berperan dalam perkembangan
lobus alveoli sebagai unit terminal dari duktus ASI. Namun, epitelium alveoli baru akan
mengalami maturasi akibat aktivitas hormon kehamilan.
615
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Pada ibu hamil, proses laktogenesis tahap I mulai terjadi sekitar pertengahan masa
gravida (minggu ke-16 s/d 20), proses ini mengubah epitelium lobus alveoli dari bentukan
sel sekretorik menjadi sel alveolar yang akan berfungsi sebagai kelenjar penghasil ASI.
Konsentrasi laktose, protein dan imunoglobulin dalam cairan yang disekresi kelenjar
ASI meningkat bertahap, sementara kadar natrium dan klorida menurun. Kelenjar ASI
semakin siap memproduksi ASI, sebagian kecil ibu hamil mendapati kolostrumnya sudah
menetes pada trimester kedua atau ketiga. Sebelum persalinan, pengaliran ASI dihambat
oleh tingginya kadar progesteron dan estrogen.
Laktogenesis tahap II berlangsung segera setelah konsentrasi progesteron merosot
drastis mengikuti luruhnya plasenta. Tahapan ini ditandai dengan peningkatan aliran
darah, oksigen dan uptake glukosa serta kadar sitrat dalam ASI. Pada hari kedua atau ketiga
hingga hari ke-8 pasca persalinan, tight junction antar sel alveoli menutup, dan sekresi ASI
mengalami kenaikan bermakna. Payudara berangsur ‘penuh’ dan hangat. Kendali autokrin
oleh hisapan mulut bayi (supply-demand) akan menggantikan efek endokrin. Penelitian
Haslam dan Shyamala menemukan penurunan efek inhibisi progesteron seiring dengan
hilangnya reseptor progesteron pada jaringan payudara ibu menyusui. Sebagai gantinya,
terjadi peningkatan sekresi insulin, hormon pertumbuhan (GH), kortisol dan hormon
paratiroid yang memungkinkan mobilisasi zat nutrisi dan mineral untuk kebutuhan
laktasi.
Setelah hari ke-9, produksi ASI sepenuhnya dikendalikan oleh sistem autokrin.
Volume ASI semakin bertambah sesuai intensitas rangsangan yang diberikan oleh hisapan
mulut bayi. Apabila perangsangan autokrin tidak memadai atau ibu berhenti menyusui
bayi, maka proses involusi akan terjadi akibat inhibisi peptida, dalam 40 hari produksi
ASI semakin berkurang dan berakhir.
Peran hormon prolaktin dan oksitosin selama laktogenesis tahap II penting untuk
dipahami agar proses menyusui di hari-hari awal pasca persalinan dapat berjalan lancar.
Kelenjar ASI memerlukan sinyal untuk memicu hormon yang menghasilkan dan
mengalirkan ASI. Sinyal ini merupakan respon langsung atas perangsangan puting dan
areola mammae, menimbulkan siklus sintesis dan sekresi ASI. Produksi ASI terjadi di
epitel sel alveolar kelenjar ASI setelah reseptor prolaktin teraktivasi. Prolaktin (PRL)
adalah hormon polipeotida yang dihasilkan sel laktotrofik di pituitari anterior, strukturnya
menyerupai growth hormone (GH) dan placental lactogen (PL), yang juga memiliki fungsi
sitokin. Sekresi PRL diatur oleh hypothalamic inhibitory factors (HIF), terutama oleh
dopamin yang berikatan dengan reseptor dopamin subklas D2 pada sel laktotrofik. PRL
menstimulasi pertumbuhan kelenjar ASI dan proliferasi sel epitelial serta menginduksi
sintesis protein ASI. Pemberian analog dopamin seperti bromokriptin, akan menginhibisi
PRL dan menekan produksi ASI
Hormon yang tak kalah penting adalah oksitosin, berperan untuk proses ejeksi ASI
atau let down reflex (LDR). Pada saat mulut bayi melekat di payudara dan mulai menyusu
(suckling), hisapan mulut bayi di puting dan areola menghasilkan impuls yang merangsang
617
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Gambar 2. Pelekatan mulut bayi di payudara.
A. Dengan dukungan lengan atau tangan ibu di bahu bayi, arahkan mulut bayi meraih payudara dari sisi
bawah.
B. Payudara dipegang dengan teknik ‘C’beberapa cm dari batas luar areola.
C. Saat mulut bayi terbuka lebar, bantu ia mendekat untuk melahap puting dan sebagian besar areola masuk
ke mulut.
D. Pastikan dagu menempel di bagian bawah payudara untuk menjamin pelekatan yang efektif.
E. Gerakan rahang bawah dan lidah bayi ke atas membuat areola terperah mengalirkan ASI ke mulut bayi
– ujung puting harus mencapai perbatasan langit-langit keras dan lunak agar seluruh duktus ASI dapat
diperah optimal.
Pangkal lidah bergerak turun memungkinkan bayi menelan ASI yang terkumpul di rongga mulutnya.
menyusu pada ibunya segera setelah lahir), sebelum ia memasuki periode deep sleep 6-12
jam post natal. Kadar oksitosin ibu pada menit ke-15, 30, 45 pasca persalinan meningkat
bermakna menyusul ekspulsi plasenta dari dinding rahim. Tingginya oksitosin terkait
erat dengan kemampuan ibu untuk membentuk maternal bonding dan let down reflex
sehingga kontak kulit-ke-kulit ibu dan bayi selama IMD sangat penting dipertahankan -
sekurangnya selama 60 menit.Keberhasilan IMD meyakinkan ibu akan kemampuannya
menyusui, dan lebih cepat mendapat bantuan apabila terdapat kendala.
619
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Engorgement. Keluhan payudara ‘penuh’ dan berat memerlukan konseling untuk
meyakinkan ibu pentingnya menyusui sesering mungkin mengikuti tanda lapar bayi.
Engorgement di areola dapat diatasi dengan teknik pijat reverse presure softening, sedangkan
engorgement di jaringan payudara akan lebih nyaman dengan kompres, pijat laktasi, dan
memerah ASI.
Nyeri puting dan payudara. Problem ini umumnya muncul akibat teknik pelekatan
yang tidak tepat. Ibu membutuhkan konseling tentang cara memposisikan dan membantu
pelekatan dengan benar, serta petunjuk perawatan payudara yang nyeri. Penggunaan alat
bantu menyusui seperti nipple shield atau breast pump yang kurang tepat, penting untuk
ditanyakan, untuk meyingkirkan pemicu nyeri. Anjuran praktis seperti mengoleskan
hindmilk cukup ampuh mengatasi puting lecet, namun jika ditemui luka yang serius di
daerah puting dan areola, perlu penanganan lanjut yang lebih sesuai. Kondisi mastitis
terkadang memerlukan terapi analgesik, antibiotik dan pijat laktasi, konseling juga
diberikan untuk menyemangati ibu agar tetap menyusui dari kedua payudara. Jika
terjadi abses dikerjakan incisi dan drainase, pemberian antibiotik dan mengusahakan ibu
dapat beristiharat lebih baik. Payudara yang sakit sementara dikosongkan dengan teknik
memerah manual, sementara bayi terus menyusu di payudara yang sehat.
Masalah pelekatan (latch on). Berbagai kondisi dapat menyebabkan bayi
mengalami kesulitan melekat di payudara. Dokter perlu mengidentifikasi penyebab
kegagalan pelekatan secara bijak dan seksama. Primigravida seringkali belum menguasai
teknik posisi dan pelekatan dengan percaya diri, sehingga perlu pendampingan dan
konseling. Bayi dengan masalah neurologis, prematur, menemui kendala keterampilan
oromotor yang memerlukan bantuan fisioterapi. Keterbatasan anatomis, seperti kelainan
bawaan, cleft-lip-palatoschizis, ankyloglossia, torticollis, trauma lahir, dll membutuhkan
penanganan spesifik. Ibu dengan masalah psikologis juga dapat mengalami kesulitan latch
on, terutama karena ketidaknyamanan yang dirasakan oleh ibu selama proses menyusui.
Proses konseling yang dilakukan sesuai kompetensi, akan dapat menolong ibu mengatasi
masalah pelekatan, baik yang disebabkan kendala teknik, anatomis maupun psikologis.
Daftar pustaka
1. American Academy of Pediatrics Section on Breastfeeding. Breastfeeding and the use of hu-
man milk. Pediatrics 2012:129(3):827-841.
2. Hassiotou F, Geddes D. Anatomy of the human mammary gland: Current status of knowl-
edge. Clin Anat. 2012:9:19-21.
3. Lawrence RA, Lawrence RM, Breastfeeding: A Guide for the Medical Profession. 6th ed.
Elsevier Health Sciences. 2011.
4. Riordan J, Auerbach KG. Breastfeeding and human lactation. 5th ed Boston. Mass: Jones and
Bartlett Publishers; 2016.
5. Schanler, Richard, Gartner, LM, Krebs, NF. Breastfeeding Handbook for Physicians. 2nd ed.
AAP-ACOG. 2013.
621
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Central Nervous System Infection
Yazid Dimyati
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / RSUP H. Adam Malik, Medan
Abstract
Central nervous system (CNS) infection is an infection by pathogenic agents can occurs in brain and
medulla spinalis. Mortality rate of these cases are about 2% to 5.3% in infants, and 4% in children.
Infant and children with suspected CNS infection begins with evaluation of clinical symptoms, which
can provide information toward the etiologic diagnosis. Identification of the causative agent that is highly
dependent on the results of cerebrospinal fluid analysis through lumbar punction. Neuroimaging also
important in making diagnostic and therapeutic decisions.
I
nfeksi sistem saraf pusat (SSP) adalah infeksi yang disebabkan oleh patogen yang dapat
mengenai otak dan medula spinalis. Infeksi pada otak seperti meningitis, ensefalitis,
abses otak, empiema subdural dan ventrikulitis merupakan suatu kedaruratan di
bidang neurologi, dan sering menyebabkan anak mendapat perawatan di ruang intensif
yang berdampak pada meningkatnya angka kematian dan kecacatan. Infeksi SSP dapat
menimbulkan gejala sisa akut maupun kronik seperti kejang, hidrosefalus, defisit neurologis
fokal, gangguan pendengaran, kognitif dan tingkah laku. Infeksi SSP dapat disebabkan
oleh bakteri, virus, jamur, parasit maupun autoimun. Menurunkan angka kematian dan
kecacatan sangat tergantung dari cepatnya penegakan diagnosis dan pemberian terapi
yang sesuai.1,2
Pendekatan diagnosis
Pendekatan diagnosis bayi dan anak dengan sangkaan infeksi SSP dimulai dengan evaluasi
gejala klinis yang dapat memberikan informasi ke arah diagnosis etiologi. Identifikasi agen
penyebab yang sangat tergantung dari hasil analisis cairan serebro spinalis (CSS) melalui
tindakan pungsi lumbal. Neuroimaging juga berperan sangat penting dalam membuat
keputusan diagnostik dan terapeutik.1-3
Gejala klinis
Meningitis bakterial akut
Meningitis bakterial merupakan suatu peradangan dari leptomeningen, akibat adanya
bakteri di rongga subarakhnoid. Diagnosis yang cepat sangat diperlukan untuk penyakit
yang mengancam nyawa tetapi dapat diobati ini.1
623
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Infeksi shunt SSP timbul kira – kira pada 5 – 10% kasus, biasanya timbul antara 1 – 2
bulan setelah pemasangan shunt. Kebanyakan infeksi disebabkan Staphylococcus koagulase-
negatif atau Staphylococcus aureus, juga bisa flora di kulit. Infeksi shunt harus dicurigai pada
setiap anak dengan terpasang shunt disertai dengan demam.1,6
Meningitis tuberkulosa
Keterlibatan SSP pada tuberkulosis ekstrapulmoner merupakan suatu keadaan yang
mengancam nyawa anak, sekitar 1 – 2 % anak terkena meningitis apabila penyakit TB
tidak diobati. Meningitis tuberkulosa (MTB) jarang dijumpai pada anak dibawah 3 bulan
tetapi kasus meningkat dalam 5 tahun pertama. Riwayat kontak dengan penderita TB
dewasa sering dijumpai pada meningitis tuberkulosa.1
Onset dari meningitis tuberkulosa dapat dibedakan dengan penyakit lain adalah
menetapnya gejala klinis dan berfluktuasi.12 Gejala klasik MTB berupa rangsangan
meningeal subakut, namun gejala ini biasanya tidak ditemukan pada awal penyakit baik
anak maupun dewasa. Diagnosis dan pengobatan dini merupakan faktor risiko tunggal
untuk menilai luaran pada anak dengan MTB.1,12 Pada anak yang kecil gejala awal berupa
berat badan tidak bertambah, demam tidak tinggi, dan lemah. Kemudian gejala awal yang
dapat disembuhkan total ini dapat berkembang menjadi koma, opistotonus, dan bahkan
kematian. Pada anak yang lebih besar, gejala awal non spesifik yang sering ditemukan
adalah demam, sakit kepala dan muntah yang sangat mirip dengan flu. Kontak dengan
penderita TB aktif dewasa bisa menjadi petunjuk diagnostik yang penting. Apabila gejala
klasik neurologi lanjut MTB (termasuk kaku kuduk, koma, kejang, tanda peninggian
tekanan intra kranial [TIK], parese nervus kranialis, hemiparesis, and gerakan involunter)
timbul, diagnosis MTB biasanya lebih mudah ditegakkan tetapi memerlukan biaya
pengobatan yang mahal.13
Gejala meningitis tuberkulosa biasanya berkembang perlahan dalam beberapa hari
sampai minggu, tetapi awitan akut dijumpai pada separuh anak. Gejala awal sering
tidak jelas terdiri dari status gizi yang buruk, iritabilitas, dan apati (stadium I). Pada bayi
kecil gejala yang sering dijumpai adalah demam, batuk, penurunan kesadaran, UUB
membonjol, kejang tonik-klonik umum. Pada anak yang lebih besar dijumpai demam yang
tidak tinggi, mual, muntah, sakit kepala, dan sakit perut. Kaku kuduk sering tidak begitu
jelas. Pada stadium II, ditemukan defisit saraf kranial unilateral dan bilateral, gangguan
neuro-oftalmologi seperti neuritis retrobulbar, palsi gaze, dan lesi di khorioretina. Stadium
III, kesadaran tambah menurun disertai kejang, papil edema dan defisit neurologis mayor.
Banyak pasien dijumpai hiponatremia yang disebabkan oleh SIADH atau yang lebih
jarang sidroma cerebral salt-wasting.1,14-16
Ensefalitis
Ensefalitis merupakan peradangan akut dari parenkim otak, terbanyak disebabkan oleh
virus seperti mumps, herpes simplex virus (HSV), cytomegalovirus (CMV), varicella zoster
Ensefalitis autoimun
Karena penyebab tersering ensefalitis adalah disebabkan infeksi, terdapat kriteria diagnostik
dan pedoman konsensus untuk ensefalitis sebagai suatu proses infeksi.1,17,18 Namun, dalam
10 tahun terakhir ini meningkatnya jumlah kasus non infeksi, sebagian besar autoimun
dan yang paling banyak adalah ensefalitis reseptor anti N-methyl-D-aspartate (NMDA).18
Berbeda dengan gejala khas ensefalitis, yang cenderung mendadak dari 24 sampai
72 jam, ensefalitis reseptor anti-NMDA dimulai perlahan, sering beberapa hari sampai
beberapa minggu. Manifestasi klinis pada orang dewasa dan anak bisa ditemukan kejang
atau sakit kepala, namun gejala khas dari ensefalitis reseptor anti-NMDA berupa gangguan
tingkah laku seperti kecemasan, agitasi, delusi atau paranoid, disfungsi memori, dan
halusinasi visual atau auditori. Sekitar 50% dari anak-anak dengan gangguan ini memiliki
kejang atau gangguan gerak (koreoatetosis dan tardif orofasial), dan beberapa ditemukan
mutism atau katatonia. Tumor ovarium, pemicu sering pada wanita dewasa dengan anti-
NMDA ensefalitis reseptor, namun jarang ditemukan pada anak. Sekitar 30% dari orang
dewasa dengan ensefalitis reseptor anti-NMDA memiliki pola EEG “extreme delta brush”.
Kira - kira 30% sampai 50% pemeriksaan MRI pada anak dengan ensefalitis reseptor
anti-NMDA terdapat peningkatan intensitas sinyal fokal atau multifokal terutama pada
substansi otak putih.17,18
Mielitis transversa
Demielinasi dari medula spinalis dinamakan mielitis transversa. Gejala klinis dapat berupa
kelemahan bilateral dari ekstremitas bawah, gangguan sensorik dan otonom. Paresis dapat
terjadi dengan hiporefleksi dan kemudian menjadi hiperrefleksi, hal ini dapat terjadi
bergantung pada letak lesi. Pemeriksaan MRI dan analisis cairan serebrospinal sangat
diperlukan untuk evaluasi penegakan diagnosis.19
625
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Pungsi lumbal
Diagnosis etiologi dari infeksi SSP berdasarkan dari analisis CSS. Lumbal pungsi (LP)
sebaiknya dilakukan walaupun hanya sedikit bukti dari gejala meningitis. Jarang dilakukan
pengambilan CSS dari tempat lain termasuk ventrikel dan reservoir VP shunt.1-3
Pungsi lumbal merupakan prosedur yang aman, jarang dijumpai komplikasi yang
serius. Sakit kepala dapat dijumpai 1 – 6 jam pasca LP tapi biasanya ringan. Jika dijumpai
biasanya lokasinya di frontal dan diperberat dengan pergerakan dari posisi tidur ke
duduk atau berdiri. Sakit kepala pasca LP disebabkan terus mengalirnya CSS dari tempat
pungsi yang mengakibatkan turunnya tekanan CSS dan traksi dari struktur sensitif-nyeri.
Masalah ini dapat dikurangi dengan mengambil hanya sedikit CSS dan menggunakan
jarum yang lebih kecil.20
Herniasi batang otak dan serebelum tonsil ke foramen magnum sangat jarang sekali
dijumpai pada anak. Risiko herniasi sangat berhubungan dengan peninggian fokal tekanan
TIK. Risiko timbulnya meningitis pada anak sepsis yang dilakukan LP tidak bermakna,
dan bukan merupakan kontra indikasi.1,20
Bacterial Meningitis Score, untuk mendeteksi anak dengan pleiositosis CSS yang
berisiko rendah untuk meningitis. Pasien diklasifikasikan dengan risiko sangat rendah
apabila tidak dijumpai semua dari yang berikut ini: pewarnaan Gram CSS positif, hitung
neutrofil absolut CSS minimal 1000/μl, kadar protein CSS paling sedikit 80 mg/dl,
hitung absolut netrofil darah tepi minimal 10.000/μl, dan riwayat kejang sebelum atau
pada saat pemeriksaan.21
Lumbal pungsi ulangan pada meningitis bakterial hanya diindikasikan apabila
dijumpai keterlambatan sterilisasi CSS, relaps atau sangkaan rekurensi meningitis. Pungsi
lumbal sebaiknya tidak diulang, kecuali hasil yang diharapkan dapat merubah tatalaksana
pasien. Kebanyakan pasien hanya memerlukan sekali LP.4,20
Pemeriksaan laboratorium
Analisis CSS merupakan pemeriksaan terpenting pada pasien dengan infeksi SSP.
Pasien dengan meningitis bakterial biasanya didahului bakteremia, hal ini berdasarkan
patogenesis penyakitnya. Pengambilan sampel kultur darah pada saat masuk sangat
berharga dan positif pada 80 – 90% kasus meningitis bakterial. Kultur bakteri dari tempat
lain seperti kulit, mukosa, hidung dan tenggorokan tidak membantu. Kultur dari fokus
infeksi seperti sellulitis (periorbital, buccal), efusi telinga tengah, sinusitis, mastoiditis,
dan urin pada bayi muda kemungkinan dapat menemukan bakteri patogen penyebab
meningitis.1,3,4 Pemeriksaan hapusan Gram dan kultur dari ptekie dapat secara cepat
mengetahui penyebab meningitis misalnya meningokokkus.1
Pemeriksaan respon inflamasi kemungkinan dapat membantu, seperti jumlah lekosit/
hitung jenis, LED, CRP. Tetapi pemeriksaan ini tidak dapat mengeksklusi diagnosis
meningitis bakterial.1 Serum procalcitonin merupakan marker baru dengan sensitivitas
dan spesifisitas yang tinggi untuk membedakan meningitis bakterial dengan meningitis
aseptik.4
Pencitraan
Pemeriksaan neuroimaging, seperti CT, MRI, dan USG kranial (bayi dengan UUB terbuka)
sebaiknya dilakukan pada pasien dengan tanda peninggian intrakranial (penurunan
kesadaran, reaksi pupil melambat atau dilatasi pupil, oftalmoplegia, perubahan retina,
pola nafas abnormal, dan gangguan kardiovaskular). Peninggian TIK biasanya disebabkan
edema otak atau komplikasi inrakranial lain seperti efusi subdural, trombosis, infark, abses
otak, dan hidrosefalus.1-3 Penyangatan kortikal mungkin dijumpai dan mengindikasikan
suatu serebritis. Pengulangan pencitraan mungkin diperlukan untuk mengevaluasi
penyakit dan mempertimbangkan intervensi lebih lanjut. Abnormalitas pada pencitraan
berhubungan dengan prognosis yang buruk.18
627
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Pemeriksaan CT dan MRI kepala pada meningitis tuberkulosa sama dengan
meningitis bakterial, ditambah dengan lesi parenkim, infark, dan tuberkuloma di daerah
basal otak. Hidrosefalus dijumpai pada sebagian besar pasien. Tuberkuloma intrakranial
dapat memberikan gambaran seperti SOL dengan keluhan sakit kepala, kejang, dan defisit
neurologis fokal. Foto rontgen dada sering abnormal, dengan gambaran pembesaran
kelenjar di hilus atau gambaran milier tetapi bisa juga normal.22
Untuk sangkaan ensefalitis HSV dan reseptor anti NMDA pemeriksaan MRI
merupakan pemeriksaan pilihan. Setelah periode neonatus MRI pada ensefalitis herpes
simpleks memperlihatkan T2 prolongation di lobus temporalis media, regio orbitofrontal,
atau girus singulus, dan penyangatan kortikal dengan kontras gadolinium. Pada ensefalitis
Japanese atau Epstein-Barr dapat dijumpai abnormalitas fokal di basal ganglia. Pemeriksaan
MRI pada virus – virus lain bisa normal atau edema difus.18,
Pengobatan
Meningitis bakterial
Terapi empiris antibiotik sebaiknya segera diberikan pada seluruh anak dengan sangkaan
bakterial meningitis. Pemberian antibiotik sebaiknya jangan ditunda lebih dari 15
menit untuk keperluan pengambilan sampel CSS dan serum pada anak dengan sakit
berat, walaupun hal ini dapat mengurangi kemungkinan menemukan kuman penyebab
meningitis.1,3,4,6
Pemilihan antibiotik tergantung dari sangkaan patogen penyebab dan kerentanan
antibiotik yang berbeda di berbagai tempat. Semua kemungkinan terbanyak bakteri
penyebab meningitis harus bisa diobati dengan terapi empiris antibiotik (Tabel 2).
Lama pemberian antibiotik pada anak tidak ada pedoman yang bakudan sangat
tergantung dari respon klinis pasien. Meningitis yang disebabkan N. meningitidis dapat
diberikan selama 4 hari.1 Suatu studi meta-analisis menyimpulkan efisiensi pemakaian
antibiotik jangka pendek belum memiliki bukti yang mendukung. Sebuah penelitian
RCT menunjukkan bahwa pemberian antibiotik selama 5 hari memiliki efektivitas
yang sama dengan pemakaian antibiotik selama 10 hari.23 Meningitis yang disebabkan
bakteri Enterobactericeae, L monocytogenes dan bakteri lain yang tidak biasa kemungkinan
memerlukan terapi lebih lama. Pada anak dengan respon klinis yang baik, terapi
antibiotik sebaiknya tidak diperpanjang dari yang dianjurkan karena alasan demam yang
berkepanjangan. Penyebab demam yang lain, seperti demam karena obat, infeksi jalur
vena, infeksi lain yang tidak terdiagnosis, efusi subdural sebaiknya dipertimbangkan.1
Berdasarkan satu studi meta-analisis dexamethasone menurunkan risiko gangguan
pendengaran dan gejala sisa jangka pendek pada meningitis H. influenzae dan kemungkinan
juga meningitis non H.influenzae. Dosis dexamethasone yang direkomendasikan 0.15
mg/kg tiap 6 jam selama maksimal 2 – 4 hari, dan diberikan beberapa saat sebelum
atau bersamaan dengan dosis antibiotika yang pertama. Dexamethasone sebaiknya tidak
diberikan untuk meningitis neonatus karena tidak ada data penelitiannya.1,24
Pengumpulan cairan ektra aksial sebagian besar akan hilang tanpa dilakukan
intervensi. Apabila dijumpai demam dan gejala klinis yang persisten setelah pemberian
antibiotik, dan pengumpulan ini berperan seperti masa, maka perlu dilakukan pungsi
untuk menyingkirkan kemungkinan suatu empiema dan mengurangi efek masa.1,3
Meningitis tuberkulosa
Isoniazid, rifampicin, ethambutol, pyrazinamide, dan streptomycin masih merupakan
obat lini pertama pada pengobatan meningitis tuberkulosa yang organisme sensitif.
629
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Fluoroquinolone juga merupakan obat yang poten terhadap tuberkulosis, namun data
penelitian pada meningitis tuberkulosis anak belum banyak, obat ini sebagai cadangan
untuk kasus yang sulit diobati.1,13
Pengobatan awal dimulai dengan empat macam OAT selama 2 bulan (isoniazid,
rifampicin, pyrazinamide, ethambutol atau streptomycin). Selnjutnya dua macam OAT
(rifampicin, dan isoniazid) selama 9 – 12 bulan. Pyridoxyne direkomendasikn pada anak
dengan malnutrisi untuk mencegah isoniazid-induce peripheral neurophathy.1,13
Ensefalitis Virus
Terapi pada anak dengan ensefalitis virus harus mempertimbangkan berat ringannya
penyakit, sangkaan agen penyebab, dan ketersediaan obat antivirus yang spesifik.2
Ensefalitis virus yang dapat diobati dengan antivirus diantaranya ensefalitis HSV,
ensefalitis VZV, infeksi HIV, dan infeksi CMV. Bayi dan anak dengan ensefalitis HSV
dapat diberikan acyclovir iv 20 mg/kg tiap 8 jam selama 21 hari, untuk remaja dosis
acyclovir 1500 mg/m2 selama 21 hari. Hati – hati dengan efek samping ke ginjal, perlu
pemantauan berkala fungsi ginjal untuk pemakaian jangka panjang. Anak dan remaja
dengan ensefalitis VZV dapat diberikan acyclovir iv dengan dosis 1500 mg/m2 selama
minimal 10 hari.2,25
Banyak virus yang mengenai SSP tidak dapat diobati dengan antivirus spesifik,
sehingga penderita sangat tergantung dari terapi suportif yang baik seperti, antipiretik,
cairan iv, antiepileptik, dan jarang dengan kortikosteroid.
Kejang merupakan komplikasi ensefalitis yang sering dijumpai, dapat diberantas
dengan diazepam dan dilanjutkan dengan phenobarbital atau phenytoin. Peninggian TIK
merupakan komplikasi ensefalitis yang mengancam nyawa, dan dapat diobati dengan
pemberian manitol, NaCl 3%, furosemid dan hiperventilasi. Anak yang sakit kritis
memerlukan perawatan di ruang intensif.2,25
Ensefalitis autoimun
Kortikosteroid merupakan pengobatan lini pertama pada ensefalitis reseptor anti-NDMA.
Metilprednisolon merupakan kortikosteroid yang paling umum digunakan, diberikan
secara intravena dengan dosis 15 sampai 30 mg/kg/hari (maksimum 1 g/hari) selama 3
sampai 5 hari, kemudian diturunkan bertahap dengan metilprednisolon oral 10 sampai 14
hari atau lebih. Imunoglobulin intravena (IVIg), menggunakan dosis yang sama dengan
yang digunakan pada sindroma Guillain-Barre, dan plasmaferesis bermanfaat sebagai
terapi ajuvan terutama pada pasien yang tidak respon terhadap kortikosteroid. Rituximab
dan siklofosfamid telah digunakan pada pasien dengan-NMDA anti ensefalitis reseptor
yang tidak respon terhadap kortikosteroid atau IVIg.7,8,18
Penutup
Pendekatan diagnosis dan tatalaksana bayi dan anak dengan infeksi SSP memerlukan
ketrampilan anamnesis, pemeriksaan fisik neurologi yang baik. Etiologi diagnosis sangat
tergantung dari hasil analisis CSS dari prosedur LP yang baik. Pemeriksaan neuroimaging
diperlukan menunjang diagnostik dan merencanakan terapi yang tepat. Keberhasilan
terapi tergantung dari cepat dan akuratnya diagnosis, terapi antibiotika maupun antivirus,
dan terapi suportif.
Daftar pustaka
1. Weinberg AG, Thompson-Stone R. Bacterial infection of the nervous system. Dalam:
Swaiman KF, Ashwal S, Ferriero DM, Schor NF, Finkel RS,dkk, penyunting. Swaiman’s
pediatric neurology principles and practice. Edisi keenam. Philadelphia: Elsevier Saunder
2017. h. 883-94.
2. Bonthius DJ, Bale JF. Viral infections of the nervous system. Dalam: Swaiman KF, Ashwal S,
Ferriero DM, Schor NF, Finkel RS,dkk, penyunting. Swaiman’s pediatric neurology princi-
ples and practice. Edisi keenam. Philadelphia: Elsevier Saunder 2017. h. 895-906.
3. Garcia CG, McCraken GH. Acute bacterial meningitis beyond the neonatal period. Dalam:
Long SS, Pickering LK, Prober CG, penyunting. Principles and practice of pediatric infec-
tious disease. Edisi keempat. Philadelphia: Elsevier Saunder 2012. h. 272-79.
4. Viallon A, Botelho-Nevers E, Zeni F. clinical decision rules for acute bacterial meningitis:
current insights. OAEM.2016;8:7-16.
5. Jan MM. meningitis and encephalitis in infants and children. Saudi Med J. 2012;33:11-6.
6. Tunkel AR, Hasbun R, Bhimraj A, Byers K, Kaplam SL, dkk. 2017 infectious disease society
of america’s clinical practice guidelines for healthcare-associated ventriculitis and meningitis.
CID. 2017;64:34-65.
7. Vasilopoulou VA, Karanika M, Theodoridou K, Katsioulis AT, Theodoridou MN, Had-
jichristodoulou CS. Prognostic factors related to sequelae in childhood bacterial meningitis:
data from a Greek meningitis registry. BMC Infect Dis. 2011;11:214.
8. Karthikeyan P, Ramalingam KP. Meningitis: is a major cause of disability amongst Papua
New Guinea children? Disabil Rehabil. 2012;34:1585-8.
9. Punjabi NH, Taylor WR, Murphy GS, Purwaningsih S, Picarima H, Sisson J, dkk. Etiology
of acute, non-malaria, febrile illnesses in Jayapura, northeastern Papua, Indonesia. Am J Trop
Med Hyg. 2012;86:46-51.
631
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
10. Ho Dang Trung N, Le Thi Phuong T, Wolbers M, Nguyen Van Minh H, Nguyen Thanh
V, Van MP, dkk.Aetiologies of central nervous system infection in Viet Nam: a prospective
provincial hospital-based descriptive surveillance study. PLoS One. 2012;7:e37825.
11. Hom J, Medwid K.The low rate of bacterial meningitis in children, ages 6 to 18 months, with
simple febrile seizures. Acad Emerg Med. 2011;18:1114-20.
12. McArthur R, Edlow JA, Nigrovic LE. Validation of the bacterial meningitis score in adults
presenting to the ED with meningitis. Am J Emerg. 2016;1-3.
13. Thwaites GE, van Toorn R, Schoeman J: Tuberculous meningitis: More questions, still too
few answers. Lancet Neurol 12:999-1010, 2013.
14. Hristea A, Olaru ID, Baicus C, Moroti R, Arama V, Ion M.Clinical prediction rule for differ-
entiating tuberculous from viral meningitis. Int J Tuberc Lung Dis. 2012;16:793-8.
15. Khemiri M, Bagais A, Becher SB, Bousnina S, Bayoudh F, Mehrezi A, dkk. Tuberculous
meningitis in Bacille Calmette-Guerin-vaccinated children: clinical spectrum and outcome.
J Child Neurol. 2012;27:741-6.
16. Dimyati Y, Tjandradjani A, Mangunatmadja I, Widodo DP, Pusponegoro HD. Outcomes of
tuberculous meningitis in children: a case review study. Paediatr Indones. 2011;51:288-93.
17. Long SS, Glaser C. Encephalitis. Dalam: Long SS, Pickering LK, Prober CG, penyunting.
Principles and practice of pediatric infectious disease. Edisi keempat. Philadelphia: Elsevier
Saunder 2012. h. 297-314.
18. Graus F, Titulaer MJ, Balu R, Benseler S, Bien CG, dkk. A clinical approach to diagnosis of
autoimmune encephalitis. Lancet. 2016;15:391-404.
19. Makhani N, Brenton JN, Banwell B. Acquired disorders affecting the white matter. Dalam:
Swaiman KF, Ashwal S, Ferriero DM, Schor NF, Finkel RS,dkk, penyunting. Swaiman’s
pediatric neurology principles and practice. Edisi keenam. Philadelphia: Elsevier Saunder
2017. h. 759-66.
20. Michelson DJ. Spinal fluid examination. Dalam: Swaiman KF, Ashwal S, Ferriero DM, Schor
NF, Finkel RS,dkk, penyunting. Swaiman’s pediatric neurology principles and practice. Edisi
keenam. Philadelphia: Elsevier Saunder 2017. h. 73-7.
21. Nigrovic LE, Malley R, Kuppermann N.Meta-analysis of bacterial meningitis score valida-
tion studies. Arch Dis Child. 2012;97:799-805.
22. Swanson D, Harrison CJ. Chronic meningitis. Dalam: Long SS, Pickering LK, Prober CG,
penyunting. Principles and practice of pediatric infectious disease. Edisi keempat. Philadel-
phia: Elsevier Saunder 2012. h. 279-86.
23. Beek D, Cabellos C, Dzupova O, Esposito S, Klein M, dkk. ESCMID guideline: diagnosis
and treatment of acute bacterial meningitis. Clin Microbiol Infect. 2016:1-26.
24. Yberg S, Brauner A, Chambers BJ, Wiklund C, Nilsson A. A ten year retrospective case
series of glucocorticoid treatment of bacterial meningitis in children. Acta Paediatr Scand.
2016:1-4.
25. Hughes PS, Jackson AC. Delays in initiation of acyclovir therapy in herpes simplex encepha-
litis. Can J Neurol Sci. 2012;39:644-8.
26. Donovan M, DePiero A. Acute tranverse myelitis a pediatric case report. Am J Emerg Med.
2017:1-2.
Abstract
Epilepsy is a chronic neurological problem due to abnormal excessive or synchronous electric activity in
the brain with many etiology . Epilepsy stigmatize and decrease the quality of life for patients, and their
families, especially uncontrolled epilepsy with current treatment. Etiology of epilepsy occurs in genetic,
idopathic, cryptogenic or symptomatic abnormalities in the brain. The first or recurrent seizures due to
systemic abnormalities that can be corrected or prevented are not epilepsy.
Diagnosis of epilepsy is based on clinical symptoms supported by EEG examination. Epilepsy is often a
misdiagnosis because many of the symptoms and behaviors in children are similar to those of seizures.
Information from witnesses who see seizures is crucial to determine seizures or not. Sometimes for
diagnostic confirmation video monitoring is required with the EEG in questionable cases. Diagnosis
of epilepsy syndrome is established on the basis of age and type of seizures, cognitive development and
neurological deficits. The recurrent risk of epilepsy depends on the type and syndrome of epilepsy, age,
etiology, treatment and other factors.
International League Against Epilepsy (ILAE) 2017 has revised the classification of epilepsy based on focal,
general or focal or general unknown onset. Patients with focal seizures occur because seizure originate from
certain areas of the cerebral cortex and generalized seizures result from diffuse areas in the brain.
Epilepsy treatment is performed after the diagnosis of epilepsy, syndrome and type of seizures is clear, with
monotherapy: duration of treatment depends on the diagnosis, treatment response, and age of onset of
seizures. The use of seizure medication at the onset of a seizure once remains controversial. Selection of
anti-seizure medication is complex and depends on the type of epilepsy / seizure, and possible side effects
and interactions with other drugs. Approximately 60-70% of patients will experience remission (> 5
years) with monotherapy and 30% of patients, will be intractabel that does not improve with treatment
and require surgical treatment, ketogenic diet, vagus nerve stimulation.
E
pilepsi merupakan penyakit neurologis kronis mengenai semua usia akibat aktivitas
cetusan sinkronisasi neuronal abnormal di otak. Epilepsi ditandai dengan adanya
faktor predisposisi yang menetap untuk mencetuskan kejang berupa kelainan
neurologi, kognitif, psikologi, dan sosial. Epilepsi sering ditemukan pada masa anak-
anak, dan lebih dari 75% pasien mengalami kejang pertama sebelum usia 18 tahun.1
Tingginya angka kejadian epilepsi pada anak-anak karena berhubungan dengan tingginya
angka kejadian infeksi otak dan trauma kepala.2 Data yang akurat angka kejadian dan
prevalensi epilepsi sulit ditemukan karena identifikasi epilepsi masih susah di masyarakat
karena beragam gejala, tanda dan diagnosis banding yang mirip dengan epilepsi. Angka
kejadian penyandang epilepsi yang seharusnya mendapat pengobatan epilepsi tetapi tidak
633
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
mendapat pengobatan dari penelitian meta analisis dan sistematik review di negara dengan
pendapatan rendah sekitar 80% dan di negara berkembang ditemukan 56%.3
Kesalahan diagnosis diperkirakan 5-40% terjadi di dalam penanganan epilepsi,
yang menyebabkan banyak pasien mungkin mendapatkan pengobatan dan pemeriksaan
yang tidak perlu. Penegakan diagnosis berdasarkan anamnesis yang cermat dan terperinci
dari saksi yang melihat kejang disamping pemeriksaan menyeluruh untuk membedakan
gangguan paroksismal nonepileptik dari epilepsi. Electroencephalogram (EEG)
atau pemeriksaan lanjutan mungkin diperlukan untuk mencari etiologi dari kejang.
Ketersediaan rekaman video di telepon genggam dan perangkat lain di rumah atau di
sekolah dapat memberikan informasi yang tepat.
Sekitar 35-40 % pasien epilepsi juga mengalami mental retardasi dan resiko tinggi
mengalami gangguan perilaku dan gangguan belajar. dan menurunkan kualitas hidup
baik bagi penyandang epilepsi maupun bagi keluarga akibat stigma di masyarakat yang
menyebabkan gangguan dalam kehidupan sosial. 4
Definisi
Definisi epilepsi berupa kejang tanpa diprovokasi / reflek berulang 2 kali atau lebih dalam
24 jam atau satu kali kejang tanpa diprovokasi /refleks dan kemungkinan kejang berulang
yang serupa dengan risiko tinggi berulang (setidaknya 60%) setelah dua kali kejang tanpa
di provokasi kemungkinan terjadi dalam 10 tahun ke depan.6
Epilepsi sindrom dipertimbangkan pada inidividu bergantung pada usia saat onset dan
remisi, pencetus kejang, variasi diurnal, penemuan EEG dan imaging yang berhubungan
dengan etiologi, pengobatan dan kadang-kadang prognosis. . yang berlangsung lebih
dari 30 menit atau dua bangkitan atau lebih tanpa adanya pemulihan kesadaran. Status
epileptikus adalah bangkitan di antara bangkitan-bangkitan tersebut.
Klasifikasi
Berdasarkan International League against Epilepsy (ILAE) 2017 membagi klasifikasi
berdasarkan 3 tipe onset fokal, umum dan ,onset yang tidak diketahui. Terjadi perubahan
dari klasifikasi yang lama parsial menjadi fokal dengan memperhatikan sadar atau tidak
sadar
Kejang fokal
Beberapa mekanisme yang menyebabkan terjadinya kejang fokal adalah: 1.Menurunnya
inhibisi neuron terjadi akibat: (1) Penurunan inhibisi oleh neurontransmiter GABA-A dan
GABA-B, (2) Menurunnya aktivasi neuron-GABA, (3) Menurunnya aktivitas buffering
kalsium intraseluler
GABA merupakan neurontransmiter inhibitorik utama di otak. Neurontransmiter
ini memiliki dua reseptor, yaitu reseptor GABA-A dan GABA-B. Pada kasus epilepsi
terjadi mutasi atau penurunan ekspresi reseptor GABA-A. Reseptor GABA-A merupakan
reseptor yang terikat pada kanal klorida. Kanal ini berfungsi meningkatkan ambang
batas membran potensial sehingga letupan potensial aksi susah dicapai. Oleh karena itu,
penurunan ekspresi reseptor GABA-A pada kanal klorida akan menurunkan inhibisi
letupan potensial aksi.
Reseptor GABA-B merupakan reseptor yang terikat dengan kanal potasium. Durasi
inhibisi GABA-B lebih panjang dibanding GABA-A. Oleh karena itu, mutasi pada
reseptor GABA-B diketahui mempengaruhi proses transisi fase inter-iktal ke fase iktal.
Neuron GABA adalah neuron yang berfungsi menghasilkan inhibitory post-synaptic
potensial (IPSP). Neuron ini berfungsi menginhibisi potensial aksi yang dihasilkan oleh
neuron eksitatorik. Aktivasi neuron ini bergantung pada feedforward dan feedback yang
berasal dari neuron eksitatorik. Feedforward dan feedback dari neuron eksitatorik akan
disampaikan ke neuron GABA melalui interneuron (pada girus dentata, interneuron ini
bernama mossy cells). Dari sebuah penelitian diketahui bahwa terjadi penurunan jumlah
mossy cell yang mengakibatkan penurunan feedforward dan feedback yang disampaikan ke
neuron GABA.
Peningkatan kalsium intraseluler seharusnya diikuti dengan meningkatnya konsentrasi
protein yang berfungsi mengikat kalsium (agen kelator). Agen kelator ini kemudian akan
berdifusi ke interneuron yang berfungsi sebagai neuron inhibitorik. Rusaknya interneuron
akibat paparan hipoksia atau proses oksidatif akan mengakibatkan menurunnya aktivitas
inhibisi.
Meningkatnya aktivasi neuron eksitatorik akibat: (1) Peningkatan aktivasi reseptor
NMDA, (2) Peningkatan sinkronisasi neuron akibat adanya interaksi epileptikal, (3)
Peningkatan sinkronisasi dan atau aktivasi akibat eksitasi berulang oleh neuron kolateral
635
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Kejang umum
Mekanisme patofisiologi kejang umum yang paling mudah dipahami adalah mekanisme
kejang absans. Mekanisme kejang ini berkaitan dengan interaksi talamo-kortikal. Sirkuit
talamo-kortikal terdiri atas neuron di neokorteks, neuron penghubung di talamus, dan
neuron pada nukleus retikularis talamus (NRT). Perubahan ritme kerja sirkuit talamo-
kortikal akan berakibat munculnya letupan yang menstimulus kejang umum. Neuron
pada NRT merupakan neuron inhibitor yang mengandung neurontransmiter GABA.
Neuron ini akan mengatur aktivasi kanal kalsium-T yang ada pada neuron pengubung
di talamus. Kanal kalsium ini memiliki tiga cara kerja, yaitu membuka, menutup, dan
inaktif. Ketika terjadi hiperpolarisasi, kanal kalisum-T akan yang awalnya inaktif akan
berubah fase menjadi fase menutup yang siap untuk diaktivasi ketika dibutuhkan.
Diagnosis
Penegakkan diagnosis epilepsi, diperlukan anamnesis lengkap, pemeriksaan fisik yang
mendukung, serta pemeriksaan EEG. Menurut International League Against Epilepsy
(ILAE), dinyatakan epilepsi secara operasional apabila:
1. Ditemukan minimal dua kejadian kejang tanpa provokasi apapun dengan interval
waktu masing-masing lebih dari 24 jam, atau
2. Ditemukan satu kali episode kejang tidak terprovokasi (refleks kejang) dan terdapat
kemungkinan kejang lebih lanjut yang mirip dengan risiko rekurensi umum (minimal
60%) setelah dua episode kejang tanpa provokasi, yang terjadi dalam jangka waktu 10
tahun, atau
3. Diagnosis adanya sindrom epilepsi.6
Pemeriksaan yang dapat dilakukan dalam penegakan diagnosis antara lain:
1. EEG. Pemeriksaan EEG dapat membantu menentukan tipe kejang, lokalisasi,
kemungkinan sindrom, dan perkiraan untuk timbulnya kejang lagi. Hasil EEG
normal, tidak menyingkirkan diagnosis epilepsi. EEG abnormal tidak otomatis
menegakkan diagnosis epilepsi, kecuali kejang terjadi pada saat rekaman EEG. EEG
ulang dilakukan pada epilepsi yang tidak terkontrol dengan obat untuk me0mbantu
klasifikasi kembali tipe bangkitan, sebelum menghentikan pengobatan epilepsi dalam
memprediksi resiko serangan berulang, dan pada anak dengan kemunduran kognitif,
akademik dan perilaku yang tidak bisa diterangkan penyebabnya seperti pada epileptic
ensefalopati, SSPE, non konvulsive status epileptikus. 8,9
2. Neuroimaging; Pemeriksaan MRI diindikasikan untuk
a. pasien dengan kecurigaan penyebab berupa kelainan struktural
b. memiliki gejala defisit neurologis fokal
c. mengalami perubahan bentuk bangkitan
d. usia awitan kejang kurang dari 2 tahun
Anamnesis
Dapat dilakukan secara auto- atau allo-anamnesis. Allo-anamnesis sebaiknya dilakukan
pada orang yang melihat kejadian kejang. Hal yang perlu ditanyakan adalah gejala sebelum,
saat, dan setelah bangkitan adalah: Gejala atau tanda sebelum kejang, pencetus kejang,,
kejadian saat kejang, pola bangkitan, durasi dan frekuensi kejang, keadaan setelah kejang,
kejadian kejang sebelumnya: usia awitan, durasi, frekuensi, dan interval terpanjang antar
bangkitan.
Kemungkinan lain penyebab kejang, seperti: infeksi SSP, trauma, dan tumor kepala,
terapi yang pernah didapatkan dan responnya, penyakit lain yang diderita pasien saat ini,
riwayat penyakit epilepsi atau riwayat penyakit neurologik, psikiatrik, dan sistemik lain
dalam keluarga.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik umum bertujuan untuk mencari tanda-tanda gangguan yang berkaitan
dengan penyakit epilepsi yang diderita pasien, seperti trauma kepala, infeksi telinga atau
sinus, kelainan kongenital, kegasan kelainan pada kulit (neurofakomatosis). Pemeriksaan
fisik neurologi dilakukan dengan tujuan untuk mencari adanya tanda dan gejala defisit
neurologi fokal atau difus. Hasil yang didapatkan dari pemeriksaan fisik neurologi
bergantung pada interval antara waktu dilakukannya pemeriksaan dengan bangkitan
terakhir. Jika dilakukan dalam interval yang pendek (beberapa menit atau jam setelah
bangkitan), akan didapatkan tanda post-iktal yang dapat menjadi petunjuk lokasi
bangkitan di otak, seperti Todd’s paresis, transient aphasic symptoms. Tujuan pemeriksaan
neurologis adalah mencari tanda disfungsi sistem saraf permanen. 9,11,12
637
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Pendekatan diagnosis anak dengan kejang
Apabila kejang tidak terkontrol dengan OAE lini pertama harus dipertimbangkan
apakah diagnosis sudah benar, kepatuhan dari pengobatan beserta efek samping obat, atau
pemilihan OAE sudah sesuai dengan tipe epilepsi. OAE tertentu dapat memperburuk
gejala epilepsi
Tabel 2. Obat OAE yang dapat memperburuk kejang 9
Epilepsi umumnya membaik dengan pengobatan rutin OAE pertama dan kedua
70% kasus, lebih kurang 30 % dari tidak membaik dan perlu penambahan poli terapi.
Penutup
Epilepsi merupakan kelainan pada otak yang ditandai dengan adanya faktor predisposisi
yang menetap sehingga dapat mencetuskan kejang selanjutnya dan terdapat konsekuensi
berupa kelainan neurologi, kognitif, psikologi, dan sosial. Gejala klinis epilepsi tergantung
dari jenis kejang yang dialami, termasuk pada kejang fokal atau kejang umum. Pemeriksaan
penunjang yang paling bermanfaat untuk epilepsi adalah pemeriksaan EEG. Tata laksana
yang dapat diberikan pada pasien epilepsi adalah pemberian obat anti epilepsi (OAE)
dimulai dengan monoterapi dosis kecil dititrasi sampai maksimal tercapai kadar terapeutik
dalam darah. Apabila kejang intraktebel tidak membaik dengan OAE dapat dilakukan
terapi vagus nerve stimulasi, diet ketogenik, dan pembedahan.
Daftar pustaka
1. W Bassel. Abou-Khalil, Gallagher J.Martin,Macdonald Robert L. Epilepsies. Bradley’s Neu-
rology in Clinical Practice. 7th edition. 2016, Elsevier: 1563-1614.
2. Camfield PR, and Camfield CS. Pediatric Epilepsy; An Overview. 2012. Elsevier. 703-710
3. Meyer A , Dua T , Ma J , Saxena S & Gretchen B .Global disparities in the epilepsy treatment
gap: a systematic review. Bulletin of the World Health Organization. 2010;88:260-266.
4. Mohamad A. Mikati and Makram M. Obeid. Conditions That Mimic Seizures. Nelson
Textbook of Pediatrics, ed 20th .Elsevier, 2016 ;2857-2863.
5. Nicole Ryan. Seizures. Netter’s Pediatrics . Elsevier 2011; 466-470.
6. Fisher RS, Acevedo C, Arzimanoglou A, Bogacz A, Cross HJ et al, A practical clinical defini-
tion of epilepsy.. Epilepsia, 2014; 55(4):475–482,
7. Scheffer IE, Berkovic SI, Capovilla G, Connolly MB, French J,et al. ILAE classification of
the epilepsies: Position paper of the ILAE Commission for Classification and Terminology.
Epilepsia, 2017;58(4):512–521,.
8. National Institute for Health and Care Excellence (NICE). The epilepsies: The diagnosis
and management of the epilepsies in adults and children in primary and secondary care.
NICE 2012 Jan:CG137. Diunduh dari: http://www.nice.org.uk/guidance/cg137/resources/
guidance-the-epilepsiesthe-diagnosis-and-management-of-the-epilepsies-in-adults-and-chil-
639
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
dren-inprimary-and-secondary-are-pdf.
9. Mangunatmadja I, Handryastuti S, Risan NA. Epilepsi pada Anak.. Badan Penerbit Ikatan
Dokter Anak Indonesia. 2016
10. Expert Committee on Pediatric Epilepsy, Indian Academy of Pediatrics. Guidelines for Diag-
nosis and Management of Childhood Epilepsy. Indian Pediatrics. 2009; (46) 681-698
11. Kelompok Studi Epilepsi. Pedoman Tatalaksana Epilepsi.. PERDOSSI 2012;3-31.
12. Mikati M A , Hani A J. Seizures in Childhood. Nelson Textbook of Pediatrics,ed 20 th Else-
vier, 2016 ;(593), 2823-2857.
Abstract
Immunology is a branch of medical science that is growing rapidly. The immune system disorders of our
body are divided into two: hyperimmune, including autoimmune and allergies, and immunodeficiency.
However, not all immune disorders can be cured. The research of substances or drugs that are
immunomodulatory is currently being developed. The immunomodulators are classified into two groups:
immunopotentiators and immunosuppressants. In this paper, the topic about immunopotentiators
that is more widely discussed is the use of immunostimulants to overcome infectious diseases and
immunodeficiency.
I
munologi adalah salah satu bidang penelitian bioteknologi medis yang paling cepat
berkembang dan memberikan banyak harapan berkaitan dengan pencegahan dan
penanganan berbagai macam gangguan tubuh, seperti penyakit inflamasi pada kulit,
usus, saluran pernafasan, sendi, dan susunan saraf pusat. Selain itu, sekarang ini penyakit
menular utamanya dianggap sebagai akibat gangguan kekebalan tubuh. Sementara itu,
penyakit neoplastik, transplantasi organ, dan beberapa penyakit autoimun dapat terjadi
dalam keadaan imunosupresif. Sistem kekebalan tubuh adalah salah satu sistem biologis
paling kompleks di tubuh kita. Fungsi dasar sistem kekebalan tubuh adalah membedakan
antigen diri dari antigen asing.1 Antigen asing ini bisa berupa organisme menular, organ
yang ditransplantasikan, atau sel endogen yang bisa dianggap asing. Respons kekebalan
tubuh manusia terhadap antigen asing ada dua jenis: (a) bawaan (alami, tidak spesifik)
dan (b) adaptif (didapat atau spesifik).2
Imunomodulator
Pengertian imunomodulator di sini adalah zat atau obat yang digunakan untuk membantu
mengatur atau menormalkan sistem kekebalan tubuh. Imunomodulasi juga dapat
diartikan sebagai suatu proses yang mengubah atau menyesuaikan respons imun ke level
yang diinginkan melalui tiga strategi, yaitu imunopotensiasi, imunosupresi, atau induksi
imunotoleransi. Zat-zat yang bersifat sebagai imunomodulator juga dibagi ke dalam tiga
grup, yang bisa dilihat pada Tabel 12, yaitu:
1. Immunopotensiator
Zat atau obat yang dapat meningkatkan respons imun. Imunopotensiator ini dapat
dibagi yang nonspesifik dan spesifik.
645
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
pengaktifan sel antigen presenting cells (APCs) dari sistem imun bawaan atau
nonspesifik, paling banyak berupa sel dendrit dan makrofag. Zat ini tidak
memerlukan spesifitas antigen, termasuk dalam hal ini adalah antigen dari luar
(contohnya garam anorganik, seperti garam aluminium) dan zat-zat organik
(seperti squalene yang biasanya dipakai untuk adjuvan vaksin). Zat endogen seperti
hormon, misalnya estrogen, dapat meningkatkan respons imun nonspesifik.
Walaupun adjuvan utamanya merangsang sistem imun bawaan, bila digabung
dengan antigen vaksin yang spesifik maka adjuvan ini akan mengaktifkan sistem
imun yang spesifik serta mempercepat, mempertahankan jangka lama, dan
meningkatkan respons imun yang spesifik. Pengaktifan sel-sel imunitas bawaan
oleh adjuvan terjadi melalui interaksi dengan pattern-recognition receptors (PRRs),
reseptor spesifik toll-like receptors (TLRs) yang berada pada atau di dalam sel.2
Bukti terakhir menunjukkan bahwa mekanisme pengaktifan makrofag secara
molekuler oleh aluminium diperantarai oleh NALP3 inflammasone, pelepasan
sitokin inflamasi, dan interleukin (IL), yaitu IL-1b, IL-18, serta IL-33.
b. Imunopotensiator spesifik
Imunopotensiator ini bekerja berdasarkan antigen spesifik dari respons imun
adaptif, misalnya dengan menggunakan antigen spesifik vaksin (imunisasi aktif )
atau dengan memberikan antibodi poliklonal (imunisasi pasif ) (lihat Tabel 1).
Vaksin antigen spesifik lebih banyak ditujukan untuk mengatasi infeksi. Preparat
gammaglobulin dan hiperimun mengandung kadar antibodi spesifik yang tinggi
terhadap berbagai mikroorganisme, sebagai terapi pengganti pada pasien yang
mengalami defisiensi imunitas humoral.
2. Imunosupresan
Imunomodulator jenis ini mempunyai efek menekan reaktivitas respons imun.
Imunosupresan juga terdiri atas nonspesifik, yaitu bekerja pada banyak tempat
di sistem imun, dan spesifik, yaitu bekerja pada sel target, sitokin, atau reseptor
sitokin. Contoh imunosupresan nonspesifik, antara lain radiasi, obat-obat sitotoksik,
glukokortikoid, imunofilin (misalnya siklosporin) serta plasmaferesis (lihat Tabel 1).
Contoh imunosupresan spesifik, antara lain antibodi monoklonal dan poliklonal, fusi
protein terapeutik (misalnya etanercept), soluble receptor constructs (misalnya anakinra)
serta sitokin-sitokin (misalnya interferon) (lihat Tabel 1).
Obat-obat Imunostimulan
Imunostimulan adalah zat atau obat yang dipertimbangkan untuk meningkatkan daya
tahan tubuh terhadap infeksi. Obat-obat ini meningkatkan respons imun tingkat dasar
dan bekerja sebagai agen imunoterapi pada individu dengan penurunan respons imun.
Sejumlah gangguan, seperti keadaan imunodefisiensi, penyakit autoimun, kanker, dan
infeksi virus, dapat diobati dengan obat imunostimulan. Imunomodulator menjadi
adjuvan yang memadai untuk pendekatan baru pengobatan penyakit menular dalam
dekade mendatang abad ke-21.3
Infeksi saluran napas berulang sangat umum terjadi pada anak dan merupakan
tantangan besar bagi dokter anak. Keadaan ini memengaruhi kualitas hidup anak-anak,
menyebabkan absen dari sekolah dan kehilangan hari kerja orangtua, pemeriksaan medis
berulang, penerimaan di rumah sakit, serta terapi antibiotik yang menyebabkan biaya
tinggi bagi masyarakat. Dengan prevalens dan kepentingan klinisnya, berbagai strategi
pencegahan telah dikembangkan. Salah satu yang paling banyak digunakan adalah
pemberian imunostimulan, yaitu molekul asal bakteri atau sintetis yang berinteraksi
dengan mekanisme imunologis secara in vitro dan in vivo. Sejumlah penelitian telah
menyelidiki dampaknya terhadap kekebalan seluler dan bawaan, serta keefektifan
klinisnya, namun tidak ada konsensus mengenai kegunaan imunostimulan sebenarnya.
Tujuan utama dari tinjauan ini adalah untuk menganalisis data yang tersedia mengenai
aktivitas dan keampuhan imunostimulan dalam mencegah infeksi saluran napas berulang.
Mayoritas penelitian telah menunjukkan bahwa jumlah infeksi menurun setelah
pengobatan imunostimulan, namun penelitian-penelitian tersebut dipengaruhi oleh
berbagai kelemahan metodologis. Dengan demikian, diperlukan penelitian lebih lanjut
untuk memastikan apakah, kapan, dan di mana imunostimulan harus digunakan.4
Dari data pencarian literatur sampai Juni 2005, diidentifikasi enam uji klinis yang
meneliti penggunaan obat-obatan herbal dan sembilan uji coba terapi complementary
and alternative medicine (CAM) lainnya. Semua artikel dievaluasi secara kritis untuk
kepatuhan terhadap standar penelitian efikasi dan keamanan. Echinacea tidak mengurangi
durasi dan tingkat keparahan infeksi saluran napas akut (ISPA). Andrographis paniculata
atau Echinacea menurunkan sekresi hidung (p <0,01), namun tidak untuk gejala ISPA.
Kombinasi Echinacea, propolis, dan asam askorbat dapat menurunkan jumlah episode
ISPA, durasi gejala, dan jumlah hari penyakit (p <0,001). Echinacea dikaitkan dengan
frekuensi ruam yang lebih tinggi dibandingkan dengan plasebo (p = 0,008). Baik asam
askorbat maupun homeopati tidak efektif. Khasiat seng tidak jelas, dan seng mungkin
berhubungan dengan efek samping pada anak-anak. Manipulasi osteopati menurunkan
episode otitis media akut (p = 0,04) dan kebutuhan timpanostomi (p = 0,03) pada anak-
anak dengan otitis media akut berulang. Terapi manajemen stres mengurangi durasi ISPA
dibandingkan dengan terapi relaksasi dengan panduan atau perawatan dasar (p <0,05).
Data saat ini umumnya tidak memadai untuk mendukung CAM untuk pencegahan atau
perawatan ISPA pada anak.5
Dampak sosio-ekonomi dari infeksi berulang ini sangat merugikan. Untuk mengatasi
masalah ini, masih banyak ruang untuk menyusun metode pengobatan dan pencegahannya.
Pendekatan terakhir yang dikembangkan mencakup peningkatan pemberian ASI
eksklusif, penggunaan imunoglobulin intravena, dan imunoglobulin spesifik terhadap
647
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
respiratory sinsytical virus (RSV), serta metode untuk merangsang kekebalan tubuh, seperti
imunoterapi ribosom.6
Inosine pranobex (BAN; juga dikenal sebagai inosine acedoben dimepranol [INN]
atau metisoprinol) adalah obat antiviral yang merupakan kombinasi inosin dan dimepranol
acedoben (garam asam asetat dan asam dimethylaminoisopropanol) dengan perbandingan
1 sampai 3. Inosine pranobex tidak memiliki efek pada partikel virus itu sendiri. Sebagai
gantinya, ia bertindak sebagai imunostimulan, analog hormon timus.7 Hal ini paling
sering digunakan untuk mengobati komplikasi campak langka, yaitu subacute sclerosing
panencephalitis, bersamaan dengan terapi interferon intratekal.8
Di Inggris, inosine pranobex juga diindikasikan untuk infeksi mukokutan karena
virus herpes simpleks (tipe 1 dan tipe 2) dan untuk pengobatan kutil kelamin, yaitu
sebagai terapi tambahan terhadap laser podofilin atau karbondioksida.9
Broncho-Vaxom® adalah ekstrak bakteri yang diberikan secara oral yang telah
terbukti memodulasi respons kekebalan terhadap patogen virus dan bakteri invasif.10 Zat
aktif Broncho-Vaxom® terdiri dari lysophilized bacterial lysate dari 21 strain bakteri yang
berbeda, yang berasal dari delapan spesies dan subspesies utama. Broncho-Vaxom® paling
sering dikaitkan dengan ISPA (Haemophilus influenzae, Moraxella catarrhalis, Klebsiella
pneumoniae pneumoniae, Klebsiella pneumoniae ozaenae, Streptococcus pyogenes, Streptococcus
pneumoniae, Streptococcus sanguinis, dan Staphylococcus aureus).
Broncho-Vaxom® digunakan dalam pencegahan infeksi saluran napas berulang dan/
atau eksaserbasi pada populasi berisiko (termasuk anak-anak). Selain itu, imunostimulan
ini juga digunakan sebagai adjuvan untuk pengobatan infeksi saluran pernapasan bagian
atas.
Penutup
Sistem imun tubuh kita memungkinkan kita bertahan terhadap gangguan-gangguan
antigen dari luar. Adakalanya sistem imun tubuh kita mengalami gangguan sehingga
perlu pengobatan. Salah satu pengobatan yang digunakan adalah imunomodulator yang
bersifat sebagai imunostimulan atau imunosupresan, bergantung kepada jenis gangguan
sistem imunnya. Beberapa jenis imunostimulan, termasuk vaksinasi, sering digunakan
dalam klinik untuk mengatasi penyakit infeksi atau defisiensi imun.
Daftar pustaka
1. Akdis M, Akdis CA. Therapeutic manipulation of immune tolerance in allergic disease. Nat
Res Drug Discov. 2009;8:643-60.
2. Nelson RP Jr, Ballow M, Bellanti JA. Advances in clinical immunomodulation. In: Immu-
nology IV. Clinical application in health and disease. Belanti JA, Escobar-Gutierrez A, Tsokos
GC (eds). Bethesda, Maryland: I Care Press; 2012. pp. 389-422.
3. Patil US, Jaydeokar AV, Bandawane DD. Immunomodulators: a pharmacological Review. Int
J Pharm Pharm Sci. 2012;4(Suppl 1):30-6.
649
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Recognizing Subtle Endocrine Complaints
Connie Untario
Endocrinology
Abstract
Diagnosis remains as one of the most important aspect in a successful medical treatment. Although
many endocrine diseases have become widely known throughout the years, in reality not all endocrine
diseases show symptoms that are easily identifiable. With subtle symptoms and manifestations that appear
gradually, the right diagnosis is often late and therefore causes delay in commencement of therapy. This
issue alone causes a huge impact in growth and development of a child. In fact, disability as a result is
not a rare occurance. This paper discusses how to recognize the subtle complaints or signs of endocrine
diseases that may not be characteristic and different methods of diagnostic approaches. The objective of
this paper is to give a broader view regarding symptoms of endocrine diseases especially symptoms that are
not characteristic so as to enable physicians to provide the appropriate medical treatment.
E
ndokrinologi memberikan kesempatan yang menarik dan menantang bagi klinisi.
Dokter tidak hanya berurusan dengan satu bagian atau satu jenis organ saja,
namun rangkaian yang terkait didalam aksis hormon dan fungsinya. Sebagian
besar kelainan endokrin tidak terlihat sebagai kelainan tunggal yang dapat dilihat
atau dipalpasi. Kecuali kelenjar tiroid dan testis, organ endokrin yang lain tidak dapat
dilakukan pemeriksaan fisik. Diagnostik fisik bergantung pada pengamatan yang teliti
oleh pemeriksa, yang setelah dilakukan anamnesa yang cermat, memiliki beberapa
petunjuk yang mengarah ke suatu diagnosis. Diagnosis endokrin melibatkan anamnesa,
pemeriksaan fisik, laboratorium, dan evaluasi radiologis. Selama dua dekade terakhir,
terdapat kurangnya penekanan terhadap anamnesa dan pemeriksaan fisik dan lebih
mengandalkan evaluasi laboratorium. (1,2) Dalam era dimana pembiayaan menjadi suatu
pertimbangan, kita didorong untuk lebih mengandalkan penilaian klinis. Seorang ahli
endokrinologi harus menerapkan keterampilan kognitif berdasarkan apa yang dia dengar,
lihat, dan rasakan. Dengan menggunakan data ini, pengujian laboratorium yang tepat
dapat dilakukan untuk menyelesaikan evaluasi.
Mengenali suatu penyakit menjadi mudah bila kita telah mempunyai gambaran
mengenai penyakit tersebut. Hipertiroid, miksedema, akromegali, dan penyakit Cushing
kadang dapat segera dikenali pada pemeriksaan fisik. Kadang kala karena gejala yang sangat
nyata, baru melihat wajahnya saja kita tahu diagnosisnya. Berarti kita sudah paham sekali
dengan pola penyakit tersebut. Namun walaupun demikian, penyakit endokrin sering
terlewat, tidak terdiagnosis. Ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya misdiagnosis:
1. dokter tidak berfikir tentang penyakit yang sedang dihadapi; 2. gejala awal yang tidak
khas dan perlahan, misalnya lelah, gelisah, anoreksia; dan 3. onset penyakit yang begitu
perlahan dan tidak khas sehingga pasien sendiri tidak menyadarinya. (2)
651
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
c. Perawakan pendek
Didapatkan pada gangguan yang dipengaruhi oleh faktor genetik, hormon
pertumbuhan, gangguan metabolisme, gangguan penulangan, dan gangguan pubertas.
Oleh karenanya perawakan pendek dijumpai pada defisiensi hormon pertumbuhan,
gangguan tiroid seperti pada hipotiroid, diabetes mellitus tipe 1 yang tidak terkontrol
dengan baik, panhipopituitari, hiperkortisol seperti pada sindrom Cushing, beberapa
sindrom lain seperti trisomi 21, sindrom Silver-Russel, sindrom Turner, dan banyak
sindrom yang lain, hipokondroplasia, pubertas prekoks yang tidak tertangani,
Constitutional Growth Delay, dll. (1,7)
d. Perawakan tinggi
Merupakan gejala pada beberapa keadaan dimana didapatkan kelebihan hormon
pertumbuhan, pubertas prekoks pada awal gejala, dan hipertiroid. (1,9)
e. Kecepatan pertumbuhan
Kecepatan pertumbuhan menjadi tanda yang sangat baik akan adanya proses endokrin
yang sedang berlangsung. Kenaikan kecepatan pertumbuhan terjadi pada hipertiroid,
awal pubertas, dan gigantisme. Sedangkan perlambatan kecepatan pertumbuhan
dapat terjadi pada hipotiroid, sindrom Cushing, defisiensi hormon pertumbuhan,
defisiensi vit D, dll. (2)
f. Karakteristik fisik
Penentuan rentang lengan dan rasio segmen atas/bawah berguna dalam evaluasi
perawakan pendek. Misalnya, untuk menunjukkan hipokondroplasia atau
achondroplasia atau kelainan pertumbuhan tidak seimbang lainnya. Juga pada
keterlambatan pubertas, misalnya untuk mencari panjang lengan dan rasio segmen
atas/bawah yang lebih rendah (trunkus lebih pendek dari panjang kaki), seperti pada
hipogonadisme yang disebut proporsi eunuchoid. Rasio segmen atas/bawah yang
menurun ditemukan pada sindrom Klinefelter, dan peningkatan rasio ditemukan
pada hipotiroidisme yang tidak diobati. (1,2,7)
Bentuk perawakan, bentuk wajah dan ciri-ciri khusus merupakan hal yang sering
dijumpai pada penyakit atau sindrom tertentu, dengan sekilas dapat mengingatkan
kita pada satu diagnosis. Misalnya pada sindrom Cushing, didapatkan anak yang
obese dengan distribusi lemak terutama didaerah abdomen, bagian belakang leher
dan punggung atas , yang kita kenal sebagai ‘buffalo hump’. Tidak jarang tampak
guratan-guratan di kulit yang agak keunguan (‘purple stretch mark’) di bagian dengan
penumpukan lemak terbanyak. Wajahnya tampak ‘moonface’. (4) Contoh lain: Kejang
tetani dengan spasme karpopedal karena hipokalsemia hipoparatiroid yang didapat
pada sindrom DiGeorge, struma yang tampak sebagai leher tengah bagian depan
yang membesar atau ‘bengkak’ pada gangguan tiroid, lid lag dan eksoptalmus pada
hipertiroid. (2,10)
g. Gangguan fungsi organ
Walaupun kita jarang berpikir mengenai sistem endokrin, dalam kenyataannya
endokrin mempengaruhi hampir semua sel, organ dan fungsi tubuh sehingga tercipta
suatu homeostasis. Sistem endokrin berperan dalam regulasi suasana hati (mood),
653
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
laki, penderita goiter akibat kekurangan yodium secara umum banyak ditemukan
di daerah perbukitan atau dataran tinggi, pasien dengan riwayat poliuri dan koma
membuat kita berfikir tentang ketoasidosis diabetikum, dll. (2)
•• Anamnesa merupakan hal yang sangat penting, dan keluhan utama pasien bisa jadi
bukan tanda yang khusus dari suatu penyakit, oleh karenanya kita perlu menggali
lebih dalam keluhan atau gejala lain yang justru mungkin penting dalam penegakan
diagnosis. Anamnesa yang baik akan membantu kita menarik benang merah suatu
penyakit, membantu kita memilih pemeriksaan fisik yang sesuai, dan membantu kita
menentukan pemeriksaan laboratorium untuk mengkonfirmasi diagnosis. (1,2)
•• Pengetahuan yang mendalam tentang penyakit , baik yang endokrin maupun bukan
sehingga kita dapat membuat diagnosis banding yang benar.
•• Sifat herediter penyakit, apakah suatu penyakit keturunan, seperti penyakit Graves
yang mempunyai potensi manifestasi disetiap generasi keturunannya, atau hiperplasia
adrenal kongenital yang juga bisa diderita oleh saudara kandungnya. (2,11)
•• Beberapa gejala yang khusus memberikan arahan kemana kita harus berpikir, misalnya:
–– Adanya galaktorea menyebabkan kita harus menilai gangguan hipofisis.
–– Ginekomastia pada pria mungkin memiliki nilai klinis yang penting mulai dari
hipogonadisme, hipertiroid sampai keganasan. (12)
–– Pada pria, pemeriksaan alat genitalia bersamaan dengan manifestasi kelainan
gonad perifer mungkin memiliki hasil diagnostik yang tinggi. Klinisi harus
berhati-hati saat memeriksa ada tidaknya testis di dalam skrotum dan melakukan
palpasi untuk menentukan ukuran dan konsistensi.
–– Adanya perbedaan pola rambut kemaluan pada laki-laki dan perempuan dapat
dipakai petunjuk adanya gangguan hormon androgen dan/ estrogen. (7)
–– Pemeriksaan perineum dapat menghasilkan informasi yang penting seperti
klitoromegali, sinekia labia atau kelainan urogenital yang lain. (13)
Contoh kasus
1. Seorang anak perempuan usia 4 tahun, koma setelah dioperasi usus buntu. Pasien datang
dengan keluhan nyeri perut, gelisah, sesak nafas dan muntah-muntah. Diagnosis kerja
apendisitis akut dan anak tersebut dioperasi. Namun anak tidak kunjung sadar pasca
operasi dan bahkan koma. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan hasil gula darah
sangat tinggi >800mg/dl, HbA1c 13,2 %, hiponatremia dan hipokalemia. Diagnosis:
ketoasidosis diabetikum dengan gejala akut abdomen.
2. Seorang anak laki-laki 11 tahun dikonsulkan dengan kejang berulang walau sudah
minum obat epilepsi. Dia mendapatkan obat epilepsi sejak kecil. Pada pemeriksaan
tampak anak agak dismorfik, ada tetani dan karpopedal saat kejang. Hasil Ca rendah,
dan hasil pemeriksaan kromosom didapatkan 22q11.2 deletion syndrome sesuai dengan
sindrom DiGeorge.
3. Seorang anak laki-laki usia 5,5 tahun datang dibawa ibunya berobat dengan
keluhan anaknya cepat sekali tinggi. Pada pemeriksaan didapatkan tinggi badan
yang melewati batas atas rentang potensial genetik kedua orang tuanya. Indeks
massa tubuh masih dalam batas normal. Dalam anamnesa didapatkan banyak kasus
endokrin dalam riwayat kesehatan keluarganya. Setelah diamati, nampak leher sedikit
membesar. Pemeriksaan hormon menunjukkan adanya hipertiroid. Setelah dilakukan
pengobatan, tinggi badan kembali masuk kedalam rentang potensi genetik orang tua.
4. Seorang bayi usia 9 bulan menunjukkan keterlambatan secara menyeluruh, pada saat
lahir tidak dilakukan skrining TSHs dan ternyata bayi ini merupakan kasus hipotiroid
kongenital yang harusnya bisa terdeteksi sejak awal dengan skrining. Pada saat lahir,
bayi besar dan tidak tampak kelainan.
5. Bayi Ryan lahir dengan ‘penis’ kecil, terdaftar sebagai anak laki-laki di akte
kelahirannya. Warna kulit gelap, yang sebenarnya hiperpigmentasi, namun tidak
mendapatkan perhatian karena diterima sebagai bawaan lahir. Setelah usia mendekati
2 bulan, datang ke dokter karena sering muntah dan diare. Seusia itu sudah 2 kali
masuk rumah sakit untuk mendapatkan infus karena dehidrasi. Pada pemeriksaan
fisik ternyata ‘penis’ kecil adalah klitoromegali, dan ternyata didapatkan sinekia labia.
Karyotyping bayi ini ternyata 46,XX , 17-OH progesteron sangat tinggi 418 nmol/L
655
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
(angka normal 1,10-4,8 nmol/L), kalium tinggi dan natrium rendah. Diagnosis : salt-
losing Congenital Adrenal Hyperplasia pada bayi wanita. Melalui proses hukum, akte
kelahiran diubah sesuai hasil pemeriksaan kromosom dan nama menjadi Ryani.
6. Seperti kasus Ryani, seorang bayi laki-laki usia 7 hari mengalami diare dan perut
kembung, membaik setelah diinfus. Pulang pada usia 10 hari. Pada usia 14 hari datang
kembali karena diare, tapi masih bisa minum walau berkurang. Dalam perawatan di
rumah sakit tiba-tiba bayi pucat dan cardiac arrest, ketika itu kebetulan datang hasil
elektrolit dimana K >7 mmol/L dan Na 124 mmol/L. Tidak ada hiperpigmentasi,
namun melihat hasil laborat dan riwayat penyakitnya, diputuskan diberikan injeksi
hidrokortison. Anak tertolong dan hasil pemeriksaan lanjutan sesuai kasus no 5 namun
pada anak laki-laki. Pada anak perempuan penyakit ini menyebabkan klitoromegali,
sehingga dapat membantu diagnosis.
7. Pasien 5 tahun laki-laki, kurus dengan nafas sesak. Telah mendapatkan pengobatan
untuk batuk namun belum sembuh. Batuk seminggu, panas tidak terlalu tinggi,
minum banyak, makan tak mau. Pada anamnesa didapatkan penurunan berat badan
sejak sebulan terakhir dan sering kencing. Biasanya anak ini sudah tidak ngompol,
namun belakangan ngompol lagi. Suara nafas tanpa ronkhi, tidak ada wheezing, cepat
dan dalam. Pasien dianjurkan periksa darah, urine dan rawat inap dengan dugaan
diabetes ketoasidosis, pasien menolak karena merasa tidak mungkin anak kecil
diabetes dan keluarganya tidak ada yang diabetes. Keesokan harinya pasien datang
dalam keadaan koma. Diagnosis: diabetes mellitus tipe 1 dengan koma ketoasidosis
diabetikum.
8. Bayi laki-laki usia 11 bulan datang dengan keluhan sering diare, kadang hanya sedikit-
sedikit, kadang disertai panas dan berat badan tidak naik dengan baik. Saat datang
berat badan 7,8 kg, anak tampak aktif dan kurus. Tampak ada pembesaran leher dan
pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hipertiroid.
9. Seorang anak laki-laki 4 tahun dikeluhkan hiperaktif dan sudah mendapatkan latihan
selama beberapa bulan, namun tidak ada perkembangan yang membaik. Karena
ibunya penderita hipertiroid, maka ibu minta anaknya diperiksa hormon tiroidnya.
Hasilnya ternyata menunjukkan hipertiroid.
10. Seorang bayi perempuan usia 6 jam. Berat badan 4100g, menangis terus dan tampak
‘berkeringat’ di wajahnya. Pernafasan menjadi cepat dan bayi tiba-tiba kejang. Setelah
dilakukan pemeriksaan ternyata gula darah 20mg/dL, diagnosis: hipoglikemia.
Simpulan
Pasien datang dengan ekspektasi diagnosis yang berbeda tentang penyakit yang dideritanya.
Berdasar apa yang dirasakan, pasien akan datang ke dokter yang menurutnya cocok untuk
keluhannya. Padahal belum tentu dugaannya benar. Oleh karenanya diharapkan siapapun
dokter yang menangani dapat menemukan masalah sebenarnya. Di pihak lain, dokter juga
cenderung membuat diagnosis penyakit yang umum, sedangkan penyakit yang jarang
terjadi selalu mendapat urutan terakhir dalam pikirannya. Dengan pengetahuan yang luas
Daftar pustaka
1. Styne DM. The Evaluation of a Child or Adolescent with Possible Endocrine Disease. In
Styne DM. Pediatric Endocrinology a Clinical Handbook. Switzerland: Springer Interna-
tional Publishing AG; 2016. p. 11-13.
2. Cutler P. Problem Solving in Clinical Medicine From Data to Diagnosis. 3rd ed. Balti-
more: Lippincot Williams & Wilkins; 1998.
3. Rosenfield R. What every physician should know about polycystic ovary syndrome. Der-
matol Ther. 2008; 21(5): p. 354.
4. Lacroix A, Feelders R, Stratakis C, Nieman L. Cushing’s syndrome. Lancet. 2015;
386(9996): p. 913.
5. Segni M, Leonardi E, Mazzoncini B, et al. Special features of Graves’ disease in early child-
hood. Thyroid. ; 871(9).
6. Levitsky LL, Misra M. Epidemiology, presentation, and diagnosis of type 1 diabetes mel-
litus in children and adolescents. [Online].; 2017 [cited 2017 April 1. Available from:
HYPERLINK “http://www.uptodate.com” http://www.uptodate.com .
7. Felner I, Umpierrez GE. Basic Endocrinology and Function. In Felner EI, Umpierrez GE,
editors. Endocrine Pathophysiology. Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins; 2014.
p. 1-9.
8. Merke D, Bornstein S. Congenital Adrenal Hyperplasia. Lancet. 2005; 365(9477): p.
2125.
9. Untario C. Hiperplasia Adrenal Kongenital di Surabaya: Analisis Retrospektif Praktek En-
dokrin Anak 1997-2011. Sari Pediatri. 2013 April; 14(6).
10. Bassett A, McDonald-McGinn D, Devriendt K, et a. Practical guidelines for managing
patients with 22q11.2 deletion syndrome. J Pediatr. 2011 Aug; 159(2): p. 332-339.
11. Loomba-Albrecht L, Bremer A, Syne D, Glaser N. High Frequency of Cardiac and Be-
havioral Complaints as Presenting Symptoms of Hyperthyroidism in Children. J Pediatr
Endocrinol Metab. 2011; 24.
12. Taylor AS. Gynecomastia in children and adolescents. [Online].; 2017 [cited 2017 April 1.
Available from: HYPERLINK “http://www.uptodate.com” http://www.uptodate.com .
13. Elford KJ, Spence JE. The forgotten female: Pediatric and adolescent gynecological con-
cerns and their reproductive consequences. J Pediatr Adolesc Gynecol. 2002; 15(2): p. 65.
14. Untario C. Subtle Complaints leading to Hyperthyroidism. In Endocrine Update; 2017;
Malang.
657
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
DTP Immunization 2, 3, 4 Months Schedule
Kusnandi Rusmil
Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran
Universitas Padjajaran, Bandung
Abstract
Immunization program has been done since long time ago. Child immunization is a preventive action
for many serious illnesses especially in childhood. One of child immunization that common in all regions
in the world is diphteria, tetanus, and pertussis (DTP). As early as 1925, the vaccine was shown to
be effective for control of these diseases. In the practices, many countries have differentiation in DTP
immunization schedule. There are some research studies for the immunogenicity, antitoxin effect and
antibody titre of DTP vaccine. Based on WHO recommendation, primary DTP vaccine should be
given before 6 months old, in the first year of life, in three doses, with minimal interval 4 weeks between
each dose, to get higher antibody titre and higher immunogenicity. We found DPT immunization on
2,3,4month schedule was shown to be immunogenic and well tolerant.
I
munisasi pada anak terhadap difteri, tetanus, dan pertusis telah menjadi jadwal
imunisasi penting di seluruh dunia. Sejak tahun 1925, vaksin telah menunjukkan
efektivitas dalam mengontrol penyakit tersebut.1 Vaksin tersebut berisi toksoid difteri,
toksoid tetanus, dan antigen pertusis atau biasa disebut dengan vaksin DTP. Vaksin DTP
kerap kali dikombinasikan dengan vaksin Haemophilus influenzae tipe b (Hib), hepatitis
B (HB), dan virus polio inaktif (IPV) untuk memudahkan pemberian dan meningkatkan
cakupan. Terdapat berbagai macam vaksin DTP yang tersedia di dunia diantaranya ialah
vaksin DTwP, DtaP, Tdap, DT, dan Td, vaksin tersebut tersedia dalam sediaan injeksi 0,5
mL. Berdasarkan rekomendasi, vaksin DTwP, DtaP, dan DT diberikan pada anak berusia
kurang dari 7 tahun, sedangkan vaksin Tdap dan Td diberikan pada anak berusia lebih
dari 7 tahun.2
Jadwal vaksin dasar di Eropa terdiri dari 3 tipe dosis yaitu 3 dosis pada usia 2,3,4
bulan, 3 dosis pada usia 2,4,6 bulan, dan 2 dosis pada usia bulan ke 3 dan 5. Ketiganya
bermaksud untuk meningkatkan memori imuologis melawan difteri, tetanus, dan pertusis
dari bayi yang mendapatkan vaksin. Jadwal 2,3,4 bulan, maupun 2,4,6 bulan memberikan
proteksi lebih awal dibandingkan dengan 3,5 bulan. Nilai titer antibodi 3 dosis juga
659
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
memberikan nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan 2 dosis. Interval lebih panjang
turut berperan meningkatkan nilai titer antibodi yang memerlukan interval >4 minggu
antar dosis pemberian.7
661
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Penelitian lain dilakukan oleh Gatchalian dkk di Filipina (2010) dengan menilai
imunogenitas vaksin DTP-HBV-Hib pada 198 anak yang mendapat 3 dosis pada usia
2, 3, dan 4 bulan. Seroprotektif terhadap difteri ≥0,016 IU/mL didapatkan pada 92,6%
subjek, terhadap tetanus senilai ≥0,1 IU/mL didapatkan pada 89,5% subjek, dan respon
terhadap vaksin pertusis sebesar 100%.12
Penelitian di India yang dilakukan oleh Chhatwal dkk untuk menilai imunogenitas
pada 177 anak pasca diberi 3 dosis vaksin heksavalen (DTaP-IPV-HB-PRP~T) pada usia
2 3, dan 4 bulan menunjukkan seroproteksi 100% untuk anti-HB (≥10 mIU/mL), anti-
PRP (≥0,01 IU/mL), anti-polio 1,2, dan 3 (≥8 [1/dl]), serta seroproteksi 99,3% untuk
difteri (≥0,01 IU/mL). untuk antigen pertussis, persentasi respon vaksin adalah 93,8%
untuk anti-PT dan 99,3% untuk anti-FHA.13
Berbagai penelitian terkait imunogenitas yang dilakukan di beberapa negara
menunjukkan kadar seroprotektif yang tidak berbeda secara signifikan antara pemberian
vaksin 2,3,4 bulan dan 2,4,6 bulan. Mayoritas subjek di Indonesia yang menerima vaksin
dapat menghasilkan konsentrasi antibodi (84 –100%) yang mampu memberikan proteksi
anak dari difteri, tetanus, pertussis, hepatitis B, dan Hib setelah 3 kali pemberian.10 Studi
yang diadakan di India dan Filipina pun menunjukkan kadar seroproteksi yang serupa
dengan studi di Indonesia (89,5-100% dan 93,8-100%).12, 13
Tabel 3. Persentase subjek yang menunjukkan respon antibodi protektif pada studi Pentabio fase III15
No. Antigen 6 weeks of age n(%) 7 weeks of age n(%) > 8 weeks of age n(%)
Pre Post Pre Post Pre Post
1 Diphtheria 33(35.1) 93(98.9) 49(32.0) 153(100.0) 93(28.4) 327(99.7)
2 Tetanus 94(100.0) 94(100.0) 153(100.0) 153(100.0) 328(100.0) 328(100.0)
3 Pertussis 2(2.1) 77(81.9) 9(5.8) 127(83.0) 17(5.1) 287(87.5)
Terdapat 575 subjek yang terlibat dalam studi Pentabio fase III. Studi ini menilai
seroproteksi setelah vaksin pentabio dosis pertama. Subjek dibagi dalam ke dalam 3
kelompok, yaitu usia 6 minggu, 7 minggu, dan 8 minggu. Pada subjek berusia 6 minggu
yang mendapat vaksin, seluruh subjek mencapai kadar antibodi protektif terhadap Hib
dan tetanus. Hanya 1 subjek yang tidak mencapai kadar antibodi protektif terhadap
difteri dan hepatitis B. Lebih dari 81% subjek yang mendapat vaksin di usia 6 minggu
mencapai kadar antibodi protektif terhadap pertusis. Di grup usia 7 minggu, seluruh
subjek mencapai kadar antibodi terhadap Hib, hepatitis B, difteri, dan tetanus.
Sejumlah 83% subjek terlindungi dari pertusis. Pada kelompok usia 8 minggu,
seluruh subjek mencapai kadar antibodi protektif terhadap tetanus dan Hib. Lebih dari
87% terlindungi dari pertusis. Hanya 1 subjek yang tidak terproteksi terhadap difteri, dan
3 subjek tidak terproteksi terhadap hepatitis B. Hal ini menggambarkan bahwa respon
antibodi tidak dipengaruhi oleh kelompok usia.15
663
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Tabel 5. KIPI sistemik vaksin kombinasi DTPw yang diberikan pada usia 2,3,4 bulan (dalam %)11
Reaksi Simpang Dosis 1 Dosis 2 Dosis 3
DTP-HB-Hib DTP-HB-Hib DTP-HB-Hib
Demam Tidak berat Demam < 39 C
20 21 19
Berat Demam > 39 C aksila
0,5 2 0,3
Iritabel Tidak berat Menangis bisa ditenangkan
39,5 42 35
Berat Inconsolable crying > 3 jam
0 0 0
Tabel 6. KIPI lokal vaksin kombinasi DTPw yang diberikan pada usia 2,3,4 bulan (dalam %)9
Reaksi Simpang Dosis 1 Dosis 2 Dosis 3
DTP-HB-Hib DTP-HB-Hib DTP-HB-Hib
Nyeri Tidak berat Nyeri bila disentuh atau tidak menangis bila disentuh
30 22 20
Berat Menangis bila digerakkan
3 1,7 1,7
Kemerahan Tidak berat < 50 mm
27 35 30
Berat > 50 mm
0,5 0 0
Bengkak < 50 mm
Tidak berat 16 11 12
Berat > 50 mm
0,7 0 0
Indurasi Tidak berat 30 23 19
Berat 0,7 0 0
Simpulan
Vaksin difteri, tetanus dan pertusis (DTP) telah terbukti dapat mencegah penyakit
tersebut sejak tahun 1940-an. Terdapat berbagai tipe jadwal pemberian vaksin diantaranya
ialah dua dosis yaitu 3,5 bulan, tiga dosis yaitu 2,3,4 bulan dan 2,4,6 bulan. Berdasarkan
berbagai penelitian dan systematic review didapatkan bahwa pemberian vaksin DTP dasar
sebaiknya sebelum mencapai usia 6 bulan, selesai dalam tahun pertama, dalam tiga dosis,
dengan interval minimal 4 minggu. Imunogenitas vaksin yang diberikan pada 2,3,4 bulan
dan 2,4,6 tidak menghasilkan perbedaan yang signifikan. Keduanya mampu menghasilkan
kadar seroprotektif yang mampu melindungi anak dari difteri, tetanus, dan pertussis.
Kejadian Ikutan Paska Imunisasi yang terjadi pada 2,3,4 bulan tidak menunjukkan hasil
yang signifikan. Oleh karena itu, pemberian vaksin DPT pada 2, 3, 4 bulan imunogenik
dan aman.
665
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Community Based Research to Solve Child
Health Problems Creating Evidence-Based
Practice for Health and Social Change
Anna Alisjahbana
Research
Abstract
In the field of Public Health, Community based research is better known as Community-based
participatory research (CBPR). CBPR is a collaborative process between community-based organizations
and academic investigators. It has the potential to make research more responsive to existing needs and to
enhance a community’s ability to address important health issues, however CBPR is often an unfamiliar
territory to academic investigators and community organizations.
CBPR begins with a research topic of practical relevance to the community and is carried out in
community settings. Community members and researchers share control of the research agenda through
active and reciprocal involvement in the research design, implementation and dissemination. The process
and results are useful to community members in making positive social change and to promote social
equity. Some basic principles will be presented, including 3 case studies to illustrate activities in the field.
Abstrak
Dibidang Ilmu Kesehatan Masyarakat, Penelitian berbasis komunitas (CBR) lebih dikenal sebagai
Community based research atau CBPR.
CBPR merupakan proses kerjasama antara organisasi masyarakat dan peneliti akademi. CBPR
berpotensi untuk rnenjadikan penelitian lebih responsif terhadap kebutuhan dan meningkatkan
kemampuan masyarakat untuk imenyelesaikan isyu-isyu kesehatan. Sangat disayangkan bahwa CBPR
kurang diterapkan dan dimanfaatkan oleh peneliti-peneliti dari perguruan tinggi dan organisasi
masyarakat.
CBPR biasanya dimulai dengan judul penelitian yang mempunyai relevansi dengan kebutuhan/masalah
masyarakat dan dilaksanakan di lingkungan masyarakat. Anggauta masyarakat dan peneliti berkerja
sama, kedua-duanya terlibat aktif dalam pelaksanaan penelitian sejak penyusunan, implementasi dan
desiminasi hasil penelitian. Proses dan hasil penelitian bermanfaat bagi anggauta masyarakat dalam
upaya perubahan perilaku sosial serta mempromosikan kebersamaan sosial.
Beberapa prinsip dasar CBPR akan dibahas disini dan 3 studi penelitian akan dipresentasikan sebagai
contoh pelaksanaan CBPR di masyarakat
Materi makalah
Janet Weinrt dkk, dengan judul artikelnya: Tiga model CBPR merumuskan beberapa
Prinsip dalam pelaksanaan CBPR (5):
•• CBR merupakan inisiatif yang sifatnya kerjasama antara peneliti dan anggauta
masyarakat dan melibatkan tenaga peneliti dan berbagai anggauta masyarakat.
•• CBR menjastifikasi pemakaian berbagai sumber pengetahuan dan mempromosikan
metode penelitian yang dilanjutkan dengan menyebar luaskan hasil penelitian dan
pengetahuan baru.
•• CBR menetapkan sebagai tujuan: aksi dan perubahan sosial untuk mencapai keadilan
sosial (social justice) bagi semua anggauta masyarakat,
•• Penelitian CBPR sifatnya selain participatori juga kualitatif (perubahan perilaku lebih
mudah dicapai bila masyarakat yang kena dampaknya ikut terlibat).
Tujuan umum Penelitian Berbasis Partsipasi Komunitas (CBPR) a.l sebagai berikut:
•• Mempromosikan hidup-sehat masyarakat disertai peningkatan pengetahuan dan
pencegahan penyakit.
•• Melibatkan anggauta masyarakat dengan lebih efektif, termasuk LSM dan berbagai
kelompok masyarakat agar bisa mengenai masalah penting bagi masyarakat sendiri,
termasuk memperbaiki pelayanan yang lebih mengambarkan keinginan masyarkat,
(bottom-up approach)
667
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
•• Mengembangkan strategi yang lebih efektif dalam upaya merekrut dan
mempertahankan responden pada penelitian.
669
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Penelitian kualitatif lebih banyak dipakai dibidang ilmu-ilmu sosial, dan Ilmu Kedokteran
lebih mengunakan metoda kuantitatif. Di bidang kesehatan masyarakat, karena tujuan
utamanya adalah perubahan perilaku (changing behavior) maka penelitian komunitas
tidak jarang mengunakan kedua metoda kualitatif dan kuantitatif.
Siklus penelitian
Gambar 2, memperlihatkan siklus dasar penelitian participatori pengembangan program
disertai perbaikan berkelanjutan, dan bagaimana tahapan pelaksanaan penelitian akan
dijalankan,.
1. Perencanaan, pengembangan program dan kegiatan dan informasi yang diperlukan
2. Memulai kegiatan, Tahap ini memulai kegiatan pengembangan program termasuk
mengumpulkan informasi dari masyarakat, kelengkapan, pelatihan yang diperlukan
3. Cari tahu: apakah penelitian ini berdampak pada perubahan perilaku, apa pendapat
masyarakat mengenai hasil dan bagaimana dapat diperbaiki
4. Analisa data: hasil penelitian dikumpulkan dan perbaikan program kalau hasil tidak
masuk akal, persiapan laporan sebagai hasil penelitian.
Penutup / Kesimpulan
Peneltitian berbasis Komunitas (CBR) dibidang Ilmu Kesehatan Masyarakat juga dikenal
sebagai Penelitian Partipasitori Berbasis Komunitas (CBPR). Prinsip dan sifat sama tetapi
lebih ditekankan pada kerja-sama dengan masyarakat.
CBPR bukan satu metoda penelitian tetapi merupakan satu strategi pendekatan.
Melibatkan aktif masyarakat sejak perencanaan, pelaksanaan dan ikut merasanakan
manfaat penelitian merupakan salah satu tujuan CBPR. Pendekatan ini juga penting
sebagai alternatif pengembangan program Top-down - yang tidak jarang kurang efektif dan
kurang mencapai sasaran. CBPR juga dianggap sebagai alternatif perencanaan program
yang sifatnya Bottom-up.
Pelaksanaan CBPR dibidang Ilmu Kesehatan Anak masih kurang diterapkan,
penelitiannya masih lebih banyak difokuskan pada penelitian dasar dan biomedik.
Meskipun menghadapi banyak kendala yang berkaitan dengan keondisi, sifat
dan budaya masyarakat, CBPR mempunyai banyak keuntungan dan manfaat seperti:
(1) Program pelayanan kesehatan akan lebih diterima masyarakat dan sustainable, (2)
671
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Hubungan kemitraan antara peneliti dan masyarakat berlangsung lebih lama, (3) Hasil
penelitian bisa menjadi usulan kepada pemerintah dan menjadi kebijakan pemerintah,
kabupaten, provinsi ataupun nasional, jadi bermanfaat bagi lebih banyak masyarakat dan
mendukung SDG yang memerlukan data hasil penelitian lapangan dan bukan data klinik.
Daftar pustaka
1. Eileen Ferrance, Action Research, Brown University
2. Liam R, Fallon, Frederik L, Tyson Allen Deartry, Successful Models of Community Participa-
ry Research. Final report. National Institute of Health.
3. Barbara Israel, Amy I. Schulz., Edith A. Parker, Ann Becker. Community Based Participary
Research: Engaging Communities as Partners in Health Research, 4th Annual Conference, 2000
Washnton DC.
4. Prof. Dr. Dede Rosyada, M. Community Based Research CBR) Salah Satu Model Penelitian
Akademik.
5. Janet Weinrt, Jasmone A. McDonald, Three Models of Community- based Participatory Re-
search.Centre for Community Based Research: principles.
6. Lawrence W. Green, DrPH, and Shawna L. Mercer, PhD, Can Public Health Researchers and
Agencies Reconcile (settle) the Push from Funding Bodies and the Pull From Communities?
7. June Lennie, Jo Tacchi, Michael Wilmore and Andrew Skuse February 2011, Community
Researcher Manual, Equal Access Participatory Monitoring and Evaluation toolkit..
8. Lantz, P.M., Viruell-Fuentes, E., Israel, B.A. Can communities and academia work together on
public health research? Evaluation results from a community-based participatory research partner-
ship in Detroit, . J Urban Health 2001