Anda di halaman 1dari 690

KUMPULAN MAKALAH

KONGRES NASIONAL ILMU KESEHATAN ANAK XVII

Implementing
Advances in Pediatrics
for Better Child Health

Penyunting
Abdus Samik Wahab Ekawaty Lutfia Haksari
Amalia Setyati Indah Kartika Murni
Bambang Ardianto Kristy Iskandar
Braghmandita W. I. Mei Neni Sitaresmi
Desy Rusmawatiningtyas Neti Nurani
E. S. Herini Retno Sutomo

KONGRES NASIONAL ILMU KESEHATAN ANAK XVII


JOGJAKARTA 2017
Kumpulan Makalah Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Penyunting: Abdus Samik Wahab, Amalia Setyati, Bambang Ardianto, Braghmandita
W. I., Desy Rusmawatiningtyas, E. S. Herini, Ekawaty Lutfia Haksari,
Indah Kartika Murni, Kristy Iskandar, Mei Neni Sitaresmi, Neti Nurani,
Retno Sutomo

Hak Cipta dilindungi Undang-undang


Dilarang memperbanyak, mencetak dan menerbitkan sebagian atau seluruh buku
dengan cara dan dalam bentuk apapun juga tanpa seizin penulis dan penerbit

Isi diluar tanggung jawab penerbit

Diterbitkan oleh:
Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia

Cetakan ke 1 : 2017

ISBN 978-602-61961-1-8

9 786026 196118
Kontributor

Agus Firmansyah Mei Neni Sitaresmi


Agustini Utari Meita Dhamayanti
Ahmad Suryawan Muh. Heru Muryawan
Anang Endaryanto Mulyadi M. Djer
Andi Ade Wijaya Murti Andriartuti
Anggraini Alam Ninik Asmaningsih S.
Anna Alisjahbana Novie Amelia Chozie
Antonius Pudjiadi Oke Rina Ramayani
Ari Prayitno Ponpon Idjradinata
Ariani Pramita G. D
Aryono Hendarto Reni Ghrahani
Bambang Supriyatno Retno Asih Setyoningrum
Bernie Endyarni Medise Retno Sutomo
Budi Setiabudiawan Retno Widyaningsih
Cissy B. Kartasasmita Reza Ranuh
Connie Untario Rinawati Rohsiswatmo
Dadang Hudaya S. Rini Sekartini
Damayanti Rusli Sjarif Rivaldi Ardiansyah
Debbie Latupeirissa Saptadi Yuliarto
Eddy Supriyadi Sastiono
Ekawaty Lutfia Haksari Setya Wandita
Elisabeth Yohmi Sri Endah Rahayuningsih
Endang Lestari Sri Rezeki S. Hadinegoro
Endang Windiastuti Sudigdo Sastroasmoro
Evita K. B. Ifran Sukman Tulus Putra
Frida Soesanti Sunartini
Gartika Sapartini Sutaryo
Hanifah Oswari Tandyo Triasmoro
Hapsari Taralan Tambunan
Hartono Gunardi Teddy Ontoseno
Hindra Irawan Satari Tinuk Agung Meilany
I Wayan Bikin Suryawan Toar J. M. Lalisang
IDG Ugrasena Toto Wisnu Hendrarto
IGA Trisna W. Tubagus Rachmat Sentika
Indra Sandinirwan Wahyuni Indawati
Irene Yuniar Wisnu Barlianto
Ketut Suarta Wiyarni Pambudi
Kusnandi Rusmil Yati Soenarto
Lanny C. Gultom Yazid Dimyati
Luh Karunia Wahyuni Yetty Ramli
Madarina Julia Zakiudin Munasir
Margaret Zacharin

iii
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Kata Pengantar

Sejawat yang terhormat,

Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Mahakuasa karena atas rahmat dan
karunia-Nya buku Kumpulan Makalah KONIKA XVII ini dapat terbit dan sampai ke
Bapak /Ibu sekalian.
Buku ini merupakan kumpulan makalah dari sidang paripurna dan simposium
paralel yang disampaikan pada kegiatan Kongres Ilmu Kesehatan Anak (KONIKA) ke-17
yang dilaksanakan pada tanggal 8-11 Agustus 2017
Isi dari semuanya tersebut disesuaikan dengan tema “Implementing Advances in
Pediatrics for Better Child Health” yang kami kumpulkan dari para pembicara dan telah
dilakukan penyuntingan oleh tim penyunting di kepanitiaan KONIKA XVII.
Ucapan terima kasih, kami sampaikan kepada seluruh pembicara sekaligus sebagai
penulis yang telah bersedia membuat makalah sehingga semua yang disampaikan di saat
kongres akan lebih mudah diterima sekaligus dapat digunakan sebagai sumber rujukan
apabila diperlukan.
Seperti kata pepatah “tak ada gading yang tak retak”, kami menyadari banyak
kekurangan dalam penyusunan buku ini, kami berharap hal tersebut tidak mengurangi
makna dan manfaat dari buku ini.

Terima kasih.

Penyunting

v
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Kata Sambutan
Ketua Umum Pengurus Pusat IDAI

Para sejawat yang terhormat,

Salam jumpa kembali di Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak ke-17 (KONIKA XVII)
yang diadakan di Yogyakarta pada tanggal 6 – 11 Agustus 2017. Acara ilmiah kali ini
mengusung tema “Implementing advances in pediatrics for better child health”. Tema ini
dipilih dengan tujuan agar seluruh dokter spesialis anak di Indonesia memiliki wawasan
yang luas dan dilengkapi oleh pengetahuan, keterampilan dan sikap yang unggul dalam
membantu terwujudnya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development
Goals; SDGs) terkait kesehatan anak.
Upaya pencapaian tujuan tersebut tidaklah lepas dari peningkatan kompetensi
tenaga kesehatan khususnya dokter anak dalam menangani kesehatan anak Indonesia.
Peran dokter anak sangatlah penting untuk mengantarkan anak Indonesia dapat
tumbuh dan berkembang secara optimal. Tumbuh kembang anak pada masa seribu hari
pertama kehidupan penting untuk diperhatikan. Periode ini merupakan peluang dalam
membangun kesehatan jangka panjang anak untuk mendapatkan generasi yang sehat dan
kuat demi terwujudnya Indonesia prima.
Selamat mengikuti KONIKA XVII di Yogyakarta, kami berharap sejawat dokter
spesialis anak dapat mengambil manfaat secara maksimal dari kegiatan ini serta dapat
menerapkannya dalam praktik sehari-hari. Penerapan ilmu dapat dilakukan baik melalui
praktik klinis masing-masing maupun dalam bidang edukasi dan pengabdian masyarakat.
Terima kasih kepada Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) cabang Yogyakarta, Unit
Kerja Koordinasi (UKK) IDAI, Satuan tugas (Satgas) IDAI serta mitra IDAI yang terkait
telah bekerja keras menyelenggarakan kegiatan ini.

Aman B. Pulungan
Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia

vii
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Kata Sambutan
Ketua Cabang D.I Yogyakarta

Sejawat para peserta Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII,

Kami segenap anggota IDAI Yogyakarta menyampaikan apresiasi yang setinggi-tingginya


atas kontribusi sejawat sekalian sehingga dapat diterbitkannya buku kumpulan makalah
KONIKA XVII.
Kami menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada para penulis,
penyunting, pihak terkait lainnya dan panitia yang terlibat dalam penyelenggaraan acara
KONIKA XVII hingga terbitnya buku kumpulan makalah KONIKA XVII. Kami
berharap topik-topik makalah ilmiah dalam buku kumpulan makalah KONIKA XVII ini
dapat memberikan manfaat bagi keilmuan dan sebagai acuan dalam praktik klinis sejawat
sekalian sesuai dengan tema kongres yaitu “Implementing Advances in Pediatric for Better
Child Health”.
Akhir kata, kami ucapkan selamat atas terbitnya buku kumpulan makalah KONIKA
XVII. Semoga dokter anak Indonesia dapat menjadi insan profesi yang siap mengabdi
untuk memberikan pelayanan kesehatan yang terbaik bagi anakIndonesia generasi penerus
bangsa yang sehat, cerdas dan berbudi luhur.

Sumadiono
Ketua IDAI Cabang D.I Yogyakarta

ix
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Kata Sambutan
Ketua Umum Panitia KONIKA XVII

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Kepada Para Peserta Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII

Merupakan suatu kehormatan bagi Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang Yogyakarta
untuk menyelenggarakan Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak (KONIKA) XVII.
Tema kongres ini adalah “Implementing Advances in Pediatric for Better Child Health”.
Kongres ini akan diselenggarakan selama empat hari dengan kegiatan berupa sesi organi-
sasi dan sesi ilmiah.
Acara ilmiah antara lain breakfast meeting, breakthrough meeting, keynote speech,
lunch symposium, parallel symposium, plenary symposia, plenary session dan presentasi oral
maupun poster elektronik dari hasil penelitian para dokter anak anggota Ikatan Dokter
Anak Indonesia.
Tentunya banyak informasi terbaru yang akan disampaikan pada sesi ilmiah.
Panitia selain memberi kesempatan presentasi dalam bentuk oral dan poster elektronik,
juga menerbitkan makalah ilmiah dalam bentuk buku kumpulan makalah KONIKA
XVII. Tujuan dari proses ini adalah untuk memberikan kesempatan kepada peserta
mempublikasikan hasil penelitiannya peneliti yang nantinya dapat digunakan untuk
menilai peningkatan karir mereka.
Panitia berharap dengan terbitnya buku kumpulan makalah KONIKA XVII ini
akan memberikan manfaat dan nilai tambah bagi penulis dan peserta kongres. Panitia
menyadari bahwa penyusunan buku kumpulan makalah KONIKA XVII ini jauh dari
sempurna, untuk itu panitia mohon maaf apabila ada kekurangannya.
Akhir kata, panitia mengucapkan selamat atas terselenggaranya Kongres Nasional Ilmu
Kesehatan Anak XVII.

Mohammad Juffrie
Ketua Umum Panitia KONIKA XVII

xi
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Daftar Isi

Kontributor..........................................................................................................iii
Kata Pengantar.....................................................................................................v
Kata Sambutan Ketua Umum Pengurus Pusat IDAI.............................................vii
Kata Sambutan Ketua Cabang D.I Yogyakarta.....................................................ix
Kata Sambutan.....................................................................................................xi
Ketua Umum Panitia KONIKA XVII...................................................................xi

PLENARY
Stunting Effects on Cognitive Development................................................3
Hardiono D. Pusponegoro
Pediatric Education in Competitive Era (Asian Economic Community).....13
Aryono Hendarto
Research Priority to Solve Major Health Problems of Indonesian
Children......................................................................................................22
Agus Firmansyah
Peran Konsil Kedokteran Indonesia dalam Pembinaan Kompetensi dalam
Praktik Kedokteran....................................................................................27
Bambang Supriyatno
Immunization Promotes Healthy Live and Well Being for All Ages............36
Sri Rezeki Hadinegoro
Forming Intelligent Children by Fighting Iron Deficiency Anemia.............45
Sutaryo
Lesson Learnt from Diarrhea Research: Moral and Social Responsibility of
Researcher...................................................................................................57
Yati Soenarto
Pencegahan dan Intervensi Faktor Risiko Kardiovaskular pada Anak dan
Remaja: Peran Dokter Spesialis Anak.........................................................67
Sukman Tulus Putra
Appropriate Use of Drugs in Pediatrics for Patient’s Safety ........................80
Taralan Tambunan

xiii
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
PARALEL
Resusitasi dan Deresusitasi Cairan pada Anak Sakit Kritis Conservative Fluid
Management or Derescutitation Following the Rescucitation Phase...........89
Dadang Hudaya Somasetia
Early Life Exposure to Endocrine Disruptors: Should We Worried?............104
Agustini Utari
The Infant Motor Profile.............................................................................109
Ahmad Suryawan
Psychoneuroallergology..............................................................................117
Anang Endaryanto
Current Challenges for Dose Optimization of Antimicrobials in Children.127
Anggraini Alam
Efek Samping Jangka Panjang dari Antiretroviral pada Pasien HIV/AIDS.138
Anggraini Alam
Tips for Implementing Community Based Research...................................146
Anna Alisjahbana
Imunoglobulin Intravena............................................................................152
Antonius Pudjiadi
Emerging Pathogen Deaths: A Lesson Learnt from Influenza A (H5N1)
Infection.....................................................................................................157
Ari Prayitno
Role of Pediatrician on Sexual Abuse..........................................................166
Ariani
Mental Health Problems in Adolescent with Chronic Diseases: A Preliminary
Report from Type A Hospitals.....................................................................180
Bernie Endyarni Medise
Dealing with Psychological Problem in Lupus Patient................................188
Budi Setiabudiawan*, Indra Sandinirwan, Gartika Sapartini, Reni Ghrahani
New Vaccines for Indonesian National Immunization Program..................206
Cissy B. Kartasasmita
Strategy to Optimize Catch Up Growth in the Preterm Infants...................215
Damayanti Rusli Sjarif
Managing Perinatally HIV Infected Adolescence........................................224
Debbie Latupeirissa

xiv Kumpulan Makalah Lengkap


Immunophenotyping pada leukemia akut dan keganasan hematologis pada
anak............................................................................................................230
Eddy Supriyadi
Burden and Clinical Problems of Small for Gestational of Age...................236
Ekawaty Lutfia Haksari
Consensus of Tongue-Tie Management.......................................................245
Elisabeth Yohmi
Pencegahan anemia defisiensi besi..............................................................250
Endang Dewi Lestari
Perawatan Paliatif pada Kanker Anak.........................................................259
Endang Windiastuti
Lung Ultrasound.........................................................................................266
Evita Karianni Bermanshah Ifran
Puberty Disorders in Children and Adolescence with Chronic Diseases.....271
Frida Soesanti
Pediatric Liver Transplantation: Where are we now?...................................279
Hanifah Oswari*, Andi Ade Wijaya, Antonius Pudjiadi, Toar J.M. Lalisang, Sastiono
Trends Candidiasis infection therapy in hospitalized children....................289
Hapsari
IDAI Pediatric Online Immunization Reporting System............................298
Hartono Gunardi
Pediatric Lupus Nephritis...........................................................................303
Muhammad Heru Muryawan
Vaccine Safety.............................................................................................309
Hindra Irawan Satari
Infant Growth Assessment..........................................................................320
I Gusti Ayu Trisna Windiani
Quality Indicators in Continuous Renal Replacement Therapy Care in
Pediatric Critically Ill Patients....................................................................329
Irene Yuniar
Complicated Urinary Tract Infection..........................................................335
Ketut Suarta
Application of Ketogenic Diet in Intractable Seizure..................................344
Lanny C Gultom

xv
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Physiology of Oromotor in Breastfeeding Process and Speech Development
in Infants....................................................................................................358
Luh Karunia Wahyuni
The Consequences of Obesity in Childhood: Insulin Resistance, Metabolic
Syndrome and Type 2 Diabetes...................................................................365
Madarina Julia
The Role of Vitamin D in Bone Health in Children and Adolescents with
Referernce to Global Consensus Recommendations on Vitamin D.............372
Margaret Zacharin
Developmental Assessment in Infant..........................................................375
Mei Neni Sitaresmi
Psychosocial Approach to Adolescent with Chronic Disease.......................382
Meita Dhamayanti
Recent Advances in the Pediatric Interventional Cardiology: Where are We
Now? ..........................................................................................................391
Mulyadi M. Djer
Implementation of Reticulocyte Hb Content as A Tool for Early Diagnosis of
Iron Deficiency...........................................................................................397
Murti Andriastuti* Tandyo Triasmoro+
Henoch-Schönlein Purpura Nephritis in Children......................................405
Ninik Asmaningsih Soemyarso
Terapi profilaksis bagi anak dengan hemofilia A.........................................419
Novie Amelia Chozie
Complicated Nephrotic Syndrome..............................................................428
Oke Rina Ramayani
Iron Supplementation for Infants Based on New Report: Is it
Recommended?...........................................................................................435
*Ponpon Idjradinata, Susi Susanah, Nur Melani Sari
Chronic Abdominal Pain: Infection vs Allergy............................................445
Pramita G Dwipoerwantoro
Noisy Breathing in Children.......................................................................452
Retno Asih Setyoningrum
The Effect of Child Abuse and Neglect on Brain Development, Learning, and
Health.........................................................................................................459
Retno Sutomo

xvi Kumpulan Makalah Lengkap


Tata Laksana Asma Persistent pada Anak....................................................468
Retno Widyaningsih
The Power of Gut Microbes: Improving of Child Health with Beneficial
Microbes.....................................................................................................481
Reza Ranuh
The Developmental Paediatric and Neonatal Follow-Up.............................496
Rini Sekartini
Targeted Blood Pressure in Pediatric Shock: Considering Flow, Pressure, and
Ventriculoaortic Coupling .........................................................................506
Saptadi Yuliarto
Pemberian Minum pada Bayi Prematur Kecil Masa Kehamilan..................514
Setya Wandita
Early Detection of Congenital Heart Disease by Fetal Echocardiography: It is
the Time for our Country for the Routine Screening?.................................521
Sri Endah Rahayuningsih
Arah Penelitian Klinis dalam Bidang Kardiologi Anak (Clinical Research
Direction in Pediatric Cardiology)..............................................................528
Sudigdo Sastroasmoro
Tips for Clinical Research Development.....................................................536
Sudigdo Sastroasmoro
Cerebral Palsy Registry to Improve the Quality of Health Services
Management and Education for Children with Cerebral Palsy...................542
Sunartini
National Policy Update on Child Abuse and Neglect Urgency....................551
Tubagus Rachmat Sentika
Creating A National Coverage for Pediatric Cardiac Services, What Can We
Do To Minimize the Gap?...........................................................................558
Teddy Ontoseno
How to Choose the Appropriate Nutrition Support for Children with Short
Bowel Syndrome.........................................................................................565
Tinuk Agung Meilany
Enterokolitis Nekrotikans: Perspektif Pencegahan Tingkat Keparahan
Penyakit......................................................................................................573
Toto Wisnu Hendrarto
Anemia of Chronic Disease: Diagnostic Approach......................................581
IDG. Ugrasena

xvii
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Overuse and Misuse of Nebulisation Therapy in Daily Practice..................585
Wahyuni Indawati
Respiratory Endoscopic Procedure in Respiratory Problems......................592
Wahyuni Indawati
Premature Thelarche and Gynecomastia.....................................................600
I Wayan Bikin Suryawan
Role Epigenetic in Allergy ..........................................................................607
Wisnu Barlianto
Physiology of Breastfeeding and the Role of Counselling...........................614
Wiyarni Pambudi
Central Nervous System Infection...............................................................622
Yazid Dimyati
Epilepsy in Children...................................................................................633
Yetty Ramli
The Pitfall Use of Immunomodulator.........................................................644
Zakiudin Munasir
Recognizing Subtle Endocrine Complaints.................................................650
Connie Untario
DTP Immunization 2, 3, 4 Months Schedule ...........................................658
Kusnandi Rusmil
Community Based Research to Solve Child Health Problems Creating
Evidence-Based Practice for Health and Social Change...............................666
Anna Alisjahbana

xviii Kumpulan Makalah Lengkap


PLENARY
Stunting Effects on Cognitive Development
Hardiono D. Pusponegoro
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

P
erawakan pendek atau stunting ditemukan pada 162 juta anak berumur kurang
dari 5 tahun di seluruh dunia. Sebagian besar disebabkan oleh nutrisi inadekuat
dan infeksi berulang pada 1000 hari pertama kehidupan.1 Stunting menyebabkan
gangguan perkembangan fisik dan kognitif, sehingga anak menjadi orang dewasa yang
kurang produktif dengan keadaan kesehatan yang buruk.1,2 Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) 2013 melaporkan bahwa prevalensi stunting secara nasional adalah 37,2
persen.3 Prevalensi stunting sebesar 30-39% merupakan masalah kesehatan serius, dan
prevalensi stunting sebesar 40% atau lebih merupakan masalah sangat serius.4
Masalah utama yang menyertai stunting adalah gangguan fungsi kognitif, yang sulit
sekali dipulihkan.5 Dengan demikian, walaupun terjadi catch-up tinggi badan, fungsi
kognitif tetap terganggu. Apa jadinya Indonesia di masa depan bila 1/3 penduduknya
mengalami gangguan kognitif?
Dalam makalah ini akan dipaparkan mengenai prevalensi, beberapa faktor risiko,
dampak stunting terhadap fungsi kognitif, dan anjuran untuk mengatasi masalah stunting
di Indonesia secara menyeluruh.

Stunting
Stunting didefinisikan sebagai nilai Z-score tinggi badan menurut umur <2SD di bawah
median pada kurva WHO dari populasi, dan merupakan petanda malnutrisi kronik.2,6
Bayi baru lahir dengan berat lahir kurang dari persentil 10 untuk masa kehamilan dapat
merupakan bayi small for gestational age (SGA) atau bayi yang mengalami intrauterine
growth restriction (IUGR).7–9 IUGR dibagi menjadi tipe 1 (tipe simetris, tipe proporsional,
atau stunting) dan tipe 2 (tipe asimetris, disproporsional, atau wasting) tergantung masa
terjadinya gangguan.8,9 Sebanyak 20-30% di antara bayi dengan IUGR merupakan tipe
stunting, ditandai dengan penurunan ukuran semua organ karena gangguan pada fase
hiperplasia. Sisanya sebanyak 70-80% merupakan IUGR tipe wasting yang ditandai
penurunan ukuran organ tetapi ukuran kepala normal.9,10

3
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Pada anak, Prendergast menggunakan istilah “sindrom stunting” untuk
membedakannya dengan pendek karena faktor konstitusional. Pada sindrom stunting,
berbagai perubahan patologis menyebabkan gangguan pertumbuhan linier pada usia dini
yang berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas, dan berkurangnya
kapasitas fisik pada masa dewasa.11

Prevalensi stunting
Menurut laporan Departemen Kesehatan, prevalensi stunting di tahun 1995 adalah
46,9%, dan di tahun 2007 adalah 36,8%,12 sedangkan prevalensi stunting di tahun 2010
adalah 35,6%.3 Pada tahun 2013 terbit laporan Riskesdas yang menyebutkan prevalensi
stunting di Indonesia adalah 37,2%.3 Beberapa penelitian lain di Indonesia menunjukkan
prevalensi yang kurang lebih sama.13,14
Laporan dari International Policy Research pada tahun 2016 menyebutkan bahwa
prevalensi stunting di Indonesia adalah 36,4%, merupakan ranking terburuk urutan ke
108 dari 132 negara.15 Dari laporan-laporan tersebut terlihat bahwa prevalensi stunting
di Indonesia cenderung tidak berubah sama sekali dari tahun ke tahun. Sejak terbitnya
laporan Riskesdas, timbul kegalauan di kalangan Ikatan Dokter Anak Indonesia, yang
kurang mempercayai angka tersebut. Oleh karena itu, dilakukan penelitian di beberapa
derah tentang prevalensi stunting, tetapi ternyata ditemukan hasil yang kurang lebih sama.

Faktor penyebab stunting


Faktor terpenting sebagai penyebab stunting adalah kurangnya asupan nutrisi termasuk
ASI, makanan pendamping ASI dan mikronutrien,1,16 serta infeksi terutama diare.1,17.
Faktor lingkungan yang berperan misalnya kurangnya sanitasi, kebersihan dan tersedianya
air bersih,14,16,18 pendidikan ibu16 serta kemiskinan.17

Waku terjadinya stunting


Stunting yang dimulai intrauterin ditemukan pada 20% bayi baru lahir.6,19–21 Sebanyak
80% stunting terjadi karena faktor gizi dan infeksi dan ditemukan pada umur 6-18 bulan.19
Masa dalam kandungan sampai 2 tahun pertama dalam kehidupan disebut sebagai 1000
hari pertama kehidupan; dianggap sebagai masa kritis seorang anak dapat mengalami
stunting.22.

Stunting diturunkan ke generasi berikutnya


Penelitian terhadap hewan percobaan menunjukkan bahwa stunting, gangguan kognitif
dan perilaku diturunkan ke generasi berikutnya.23 Hal yang sama juga dilaporkan pada
manusia. Anak yang lahir dari orangtua yang mengalami stunting menunjukkan nilai
developmental quotient (DQ) dan fungsi kognitif yang kurang dibandingkan anak yang
lahir dari orangtua normal.24 Selain itu, ibu yang mengalami stunting dimasa kecilnya dan

4 Kumpulan Makalah Lengkap Plenary


bayi yang lahir prematur atau BBLR juga merupakan faktor risiko.16 Hal ini menunjukkan
bahwa stunting dapat diturunkan lintas generasi.20

Patogenesis stunting
Pertumbuhan linier dipengaruhi oleh osifikasi lempeng pertumbuhan endokondral.
Faktor nutrisi dan inflamasi memengaruhi pertumbuhan linier. Faktor kompleks lain
yang memengaruhi meliputi faktor genetik, fisiologi, endokrin, bahkan kecukupan
tidur (melalui pengaruhnya terhadap sekresi growth hormone). Inflamasi yang menyertai
infeksi dan disfungsi usus menghambat osifikasi endokondral melalui berbagai mediator
misalnya sitokin proinflamasi, activin A-follistatin system, glukokortikoid, dan fibroblast
growth factor 21 (FGF21).18 Pada hewan, pertumbuhan linier sangat sensitif terhadap
asupan protein dan zinc, yang bekerja melalui insulin, insulin-like growth factor-1 (IGF-
1), triiodothyronine, asam amino dan zinc untuk menstimulasi lempeng pertumbuhan.
Hal ini dihambat oleh sitokin inflamasi. Ibu dari bayi yang mengalami stunting intrauterin
menunjukkan kadar IGF-1 yang rendah saat kelahiran. Bayi juga menunjukkan kadar
IGF-1 yang rendah selama tahun pertama kehidupan.
Ada suatu hal baru dalam patogenesis stunting. Penelitian terhadap 313 anak
berumur 12-59 bulan di Malawi, 62% di antaranya merupakan anak dengan stunting.
Anak yang mengalami stunting menunjukkan kadar 9 asam amino esensial yaitu
tryptophan, isoleucine, leucine, valine, methionine, threonine, histidine, phenyl-alanine, lysine
yang rendah dibandingkan kontrol (p<0,01). Beberapa asam amino lain yaitu arginine,
glycine, glutamine; asam amino non esensial asparagine, glutamate, serine, dan sfingolipid
juga menunjukkan kadar yang lebih rendah. Dari penelitian ini muncul hipotesis bahwa
stunting bukan semata-mata kekurangan gizi, tetapi disebabkan kurangnya asam amino
esensial dan kolin yang diperlukan untuk sintesis sfingolipid dan gliserofosfolipid.25–27

Pengaruh stunting terhadap susunan saraf pusat


Patologi
Hanya ada sedikit penelitian mengenai patologi otak yang mengalami gangguan selama
2 tahun pertama kehidupan. Hipotesis yang dibuat adalah malnutrisi menyebabkan
gangguan mielinasi (hipotesis neural).28 Malnutrisi juga mempengaruhi sinaps. Telah
diketahui bahwa perkembangan dan arborisasi dendrit selesai sekitar 2 tahun pertama
kehidupan. Perubahan yang ditemukan pada otak anak yang mengalami malnutrisi adalah
pemendekan dendrit, berkurangnya jumlah percabangan dendrit, dan adanya cabang
abnormal yang disebut sebagai cabang displastik.29,30. Pada anak dengan malnutrisi akut
disertai gangguan perkembangan, sering ditemukan atrofi otak pada pemeriksaan MRI.31

Dampak stunting terhadap kemampuan belajar fungsi kognitif


Anak yang mengalami malnutrisi memperlihatkan perilaku apatis dan kurangnya

5
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
gerak, yang menunjukkan adanya gangguan fungsi susunan saraf pusat. Hipotesis yang
dibuat adalah anak kekurangan enerji untuk belajar, sehingga mempengaruhi fungsi
perkembangan (hipotesis developmental).28
Telah banyak dibuktikan bahwa stunting menyebabkan kurangnya kemampuan
belajar dan prestasi akademis.2,28,32–36 Penelitian terhadap 12.997 orang dewasa di Brazil
melaporkan bahwa stunting masa anak menyebabkan gangguan memori, kemampuan
belajar, konsentrasi dan bahasa pada masa dewasa.37

Dampak stunting terhadap perilaku


Stunting juga mengganggu perilaku anak, yang selanjutnya memengaruhi sikap dalam
pengasuhan anak.28 Anak yang mengalami stunting memperlihatkan berbagai gangguan
perilaku misalnya keterlambatan gerak, apatis dan berkurangnya perilaku eksplorasi.11,38
Semua hal ini memengaruhi interaksi dengan pengasuh dan lingkungan.6 Dilaporkan
pula bahwa anak yang mengalami stunting lebih banyak mengalami gangguan konduk
dengan kemampuan akademik yang lebih rendah dibandingkan kontrol.32 Remaja yang
masih mengalami stunting lebih sering mengalami ansietas, depresi, kurang percaya diri
dan lebih hiperaktif.39

Catch-up
Tinggi badan
Para peneliti umumnya membagi catch-up pada umur 24 bulan, 5 tahun dan remaja. Catch-
up tinggi badan pada umur 24-48 bulan ditemukan pada berbagai penelitian populasi di
Barzil, Guatemala, Filipina, Afrika Selatan dan Gambia.40,41 Catch-up ini merupakan hasil
dari maturasi sistem imun anak sehingga mengurangi inflamasi.40 Catch-up setelah umur
24 bulan merefleksikan tersedianya nutrisi yang baik.40

Catch-up fungsi kognitif


Untuk menilai apakah catch-up menyebabkan perbaikan fungsi kognitif, biasanya
dilakukan pembagian sebagai berikut: 1) Tidak mengalami stunting pada umur 2 dan 5
tahun (normal), 2) Stunting menetap pada umur 2-5 tahun (persisten), 3) Tidak mengalami
stunting pada umur 2 tahun tetapi mengalami stunting pada umur 5 tahun (lambat) dan 4)
Stunting pada umur 2 tahun tetapi tidak stunting pada umur 5 tahun (catch-up)
Anak yang mengalami catch-up menunjukkan fungsi kognitif yang lebih buruk
dibandingkan anak yang tidak mengalami stunting dan sama buruk dengan anak yang
tetap mengalami stunting. Apabila terjadi catch-up pada umur 2 tahun, terdapat perbedaan
hasil penelitian. Satu penelitian melaporkan bahwa fungsi kognitif tetap lebih buruk
dibandingkan anak yang normal.2 Namun satu penelitian longitudinal pada 1674 anak di
Peru menunjukkan bahwa anak yang mengalami catch-up pada umur 2 tahun mempunya

6 Kumpulan Makalah Lengkap Plenary


perbendaharaan kata (P=0,6) dan uji kognitif yang sama baik (P=0,7) dibandingkan anak
normal.42 Penelitian di Peru meliputi anak yang mengalami catch-up pada umur sebelum
2 tahun, sehingga hal ini menunjukkan perlunya catch-up sebelum umur 2 tahun.
Stimulasi pada usia muda menyebabkan peningkatan IQ, kemampuan verbal dan
membaca lebih baik. Bila tidak dilakukan stimulasi, hasilnya lebih buruk dibandingkan
kelompok non-stunting.43 Anak yang lahir dari orangtua yang mengalami stunting dan
tidak mengalami stimulasi memperlihatkan nilai DQ yang lebih rendah, (-5.29 points;
95% CI: -9.06, -1.52 points; P = 0.01) dan skor kognitif lebih rendah (-5.77 points; 95%
CI: -10.68, -0.87 points; P = 0.022).24

Tatalaksana stunting
Target WHO
Pada tahun 2010, jumlah anak berumur kurang dari 5 tahun yang mengalami stunting
adalah 171 juta anak, 167 juta di antaranya tinggal di negara sedang berkembang.44 The
World Health Assembly Resolution mencanangkan pengurangan 40% jumlah anak stunting
berumur kurang dari 5 tahun atau menjadi sekitar 100 juta anak pada tahun 2025,1
yang di adopsi oleh WHO.44 Target tersebut dibuat berdasarkan data dari 148 negara
dan keberhasilan beberapa negara mengatasi stunting. Di Indonesia, proyeksi prevalensi
stunting pada tahun 2025 adalah 23,4% atau 4.397.500 anak.44
Apabila ingin mencapai target tersebut, diperlukan penurunan prevalensi sebesar
3,9% per tahun. Namun, dengan kecepatan penurunan prevalensi stunting seperti
sekarang, target tersebut tidak akan tercapai, dan pada tahun 2025 tetap ada 127 juta
anak di bawah 5 tahun yang mengalami stunting.44

Beberapa asupan mengenai upaya komprehensif untuk menurunan


prevalensi stunting
Stunting dan wasting harus ditangani secara menyeluruh.16,40,44

Pemerintah atau Departemen Kesehatan


Keberhasilan penurunan prevalensi stunting di Peru,41 India,45 dan Brazilia46 berhubungan
erat dengan policy dan komitmen pemerintah, indikator dan survailans yang jelas, prevensi
stunting, dan penatalaksanaan stunting yang cepat, tepat dan terfokus. Di beberapa negara
Afrika, terjadi kegagalan penurunan prevalensi stunting karena faktor politis, ekonomi dan
edukasi.47
Selama ini kesulitan muncul karena data tidak tersedia atau tidak akurat. Pemerintah
dapat membuat suatu sistem surveilans yang baik berbasis internet menggunakan telepon
selular, yang dapat digunakan untuk merencenakan dan memonitor keberhasilan program.
Program-program dadakan dan kecil tidak akan membantu. Program suplementasi dan

7
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
stimulasi kognitif dapat dirancang dengan memperhatikan asupan dari perhimpunan
profesi.

Suplementasi
Berbagai program suplementasi telah diteliti. Penelitian terhadap 2187 anak berumur
6-23 bulan di China dengan menggunakan suplementasi protein, lemak, karbohidrat,
multivitamin, asam folat, zinc dan kalsium tidak mengurangi stunting.48 Di Indonesia,
suplementasi dengan suplemen barbasis lemak memperbaiki pertumbuhan linier dan
mengurangi prevalensi stunting setelah suplementasi 6 bulan.49 Suplementasi harus
diformulasikan dengan tepat untuk mengoptimalkan pertumbuhan tulang dan jaringan,
tanpa kelebihan deposit lemak.50

Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI)


Pertemuan untuk membahas stunting telah dilakukan 2 tahun yang lalu. Dalam pertemuan
tersebut telah ditetapkan bahwa salah satu hal yang penting adalah mempunyai kurva
pertumbuhan secara nasional. Walaupun hal tersebut telah pernah dilakukan,51 entah
mengapa hasilnya tidak dimanfaatkan oleh IDAI. Saat ini IDAI sedang berusaha membuat
kurva pertumbuhan dengan teknik yang lebih sederhana.
Ikatan Dokter Anak Indonesia juga harus membuat program pendidikan
komprehensif mengenai nutrisi dan intervensi gangguan nutrisi, serta deteksi gangguan
perkembangan dan intervensi gangguan perkembangan. Semua hal ini harus dirumuskan
dan dibuat dengan baik bersama-sama lintas unit kerja koordinasi, dipimpin oleh Ikatan
Dokter Anak Indonesia.

Perilaku dokter spesialis anak dan profesional


Sudah saatnya kita memantau pertumbuhan anak menggunakan kurva peryumbuhan
yang dianjurkan. Bukan hanya sekedar mencatat umur dan berat badan. Bagaimana kita
dapat mendeteksi wasting, growth faltering dan stunting bila kita tidak menggunakan
kurva pertumbuhan? Harus diingat bahwa intervensi setelah terjadi stunting tidak
banyak manfaatnya dibandingkan intervensi dini saat mulai terjadi gangguan gizi yang
ringan. Namun kita juga tidak terlatih untuk melakukan asesmen terhadap penyebab
gangguan gizi, serta untuk memberi nutrisi yang baik kepada anak. Demikian juga
dengan pemantauan perkembangan anak yang telah diketahui dengan baik namun tidak
diimplementasikan dalam praktek sehari-hari.

Orangtua
Edukasi terhadap orang tua dengan cara yang mudah dan benar dapat mengurang
kejadian stunting. Namun, edukasi yang tidak dapat dimengerti tidak memengaruhi
kejadian stunting.52 Ikatan Dokter Anak Indonesia harus membuat program edukasi utuk

8 Kumpulan Makalah Lengkap Plenary


orangtua yang komprehensif meliputi beberapa Unit Kerja Koordinasi, sambil sementara
mengesampingkan ego dari masing-masing bidang keahlian.

Perusahaan makanan bayi


Beberapa hal telah diidentifikasi terkait peran perusahaan makanan bayi, yaitu investasi
agrikultur lokal, membantu distribusi dan kontrol kualitas, fortifikasi makanan dan
minuman, perbaikan kualitas makanan pendamping ASI, investasi penelitian ilmiah di
negara berkembang, reformasi produk yang berharga murah, dan advokasi.53 Perusahaan
makanan bayi di Indonesia perlu diajak bekerja bersama, mengesampingkan kepentingan
perusahaan, untuk mencari solusi bantuan bagi masalah stunting.

Penutup
Mari kita membuat target 3 tahun ke depan:
•• Adanya program surveilans yang baik berbasis internet dan telepon selular.
•• Pembuatan kurva pertumbuhan khusus untuk anak Indonesia.
•• Pembuatan program komprehensif nutrisi meliputi deteksi, penilaian dan intervensi
nutrisi.
•• Pembuatan program komprehensif perkembangan dan stimulasi/ intervensi gangguan
perkembangan.
•• Perbaikan perilaku profesional untuk menggunakan kurva pertumbuhan.
•• Pembuatan suplementasi gizi yang baik berdasarkan asupan dari pemerintah, profesi,
dan produsen.

Daftar pustaka
1. Black RE, Victora CG, Walker SP et al. Maternal and child undernutrition and overweight
in low-income and middle-income countries. Lancet. 2013;382:427-451.
2. Casale D, Desmond C. Recovery from stunting and cognitive outcomes in young children:
evidence from the South African Birth to Twenty Cohort Study. J Dev Orig Health Dis.
2016;7:163-171.
3. RI DK. RisetKesehatan Dasar 2013. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Ke-
mentrian Kesehatan Republik Indonesia; 2013
4. Organization WH. Country profile indicators: interpretation guide. … Information System
(NLIS) …. 2010
5. Casale D, Desmond C. Recovery from stunting and cognitive outcomes in young children:
evidence from the South African Birth to Twenty Cohort Study. J Dev Orig Health Dis.
20151-9.
6. de Onis M, Branca F. Childhood stunting: a global perspective. Matern Child Nutr. 2016;12
Suppl 1:12-26.
7. Committee WHOE. The use and interpretation of anthropometry. Geneva CH. WHO
1995, technical report 854. 1995

9
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
8. Mandy GT. Infant with fetal (intrauterine) growth restriction. In: Weisman LE, Kim MS,
editors. UpToDate. Waltham, MA: UpToDate; 2017.
9. Divon MY, Ferber A. Fetal growth restriction: Diagnosis. In: Levine D, Barrs VA, editors.
UpToDate. Waltahm, MA: UpToDate; 2017.
10. Victora CG, Villar J, Barros FC et al. Anthropometric Characterization of Impaired Fetal
Growth: Risk Factors for and Prognosis of Newborns With Stunting or Wasting. JAMA
Pediatr. 2015;169:e151431.
11. Prendergast AJ, Humphrey JH. The stunting syndrome in developing countries. Paediatr Int
Child Health. 2014;34:250-265.
12. RI KK. Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2010
13. Sari M, de Pee S, Bloem MW et al. Higher household expenditure on animal-source and
nongrain foods lowers the risk of stunting among children 0-59 months old in Indonesia:
implications of rising food prices. J Nutr. 2010;140:195S-200S.
14. Torlesse H, Cronin AA, Sebayang SK, Nandy R. Determinants of stunting in Indonesian
children: evidence from a cross-sectional survey indicate a prominent role for the water, sani-
tation and hygiene sector in stunting reduction. BMC Public Health. 2016;16:669.
15. Institute IFPR. From promise to impact. Ending malnutrition by 2030. Washington: Inter-
national Food Policy Research Institute; 2016
16. Shekar M, Kakietek J, D’Alimonte MR et al. Reaching the global target to reduce stunting:
an investment framework. Health Policy Plan. 2017
17. Akombi BJ, Agho KE, Hall JJ, Merom D, Astell-Burt T, Renzaho AMN. Stunting and se-
vere stunting among children under-5 years in Nigeria: A multilevel analysis. BMC Pediatr.
2017;17:15.
18. Millward DJ. Nutrition, infection and stunting: the roles of deficiencies of individual nutri-
ents and foods, and of inflammation, as determinants of reduced linear growth of children.
Nutr Res Rev. 2017;30:50-72.
19. Crookston BT, Dearden KA, Alder SC et al. Impact of early and concurrent stunting on
cognition. Matern Child Nutr. 2011;7:397-409.
20. Martorell R, Zongrone A. Intergenerational influences on child growth and undernutrition.
Paediatr Perinat Epidemiol. 2012;26 Suppl 1:302-314.
21. Christian P, Lee SE, Donahue Angel M et al. Risk of childhood undernutrition related to
small-for-gestational age and preterm birth in low- and middle-income countries. Int J Epi-
demiol. 2013;42:1340-1355.
22. Victora CG, de Onis M, Hallal PC, Blössner M, Shrimpton R. Worldwide timing of growth
faltering: revisiting implications for interventions. Pediatrics. 2010;125:e473-80.
23. Naik AA, Patro IK, Patro N. Slow Physical Growth, Delayed Reflex Ontogeny, and Per-
manent Behavioral as Well as Cognitive Impairments in Rats Following Intra-generational
Protein Malnutrition. Front Neurosci. 2015;9:446.
24. Walker SP, Chang SM, Wright A, Osmond C, Grantham-McGregor SM. Early childhood
stunting is associated with lower developmental levels in the subsequent generation of chil-
dren. J Nutr. 2015;145:823-828.
25. Semba RD, Shardell M, Sakr Ashour FA et al. Child Stunting is Associated with Low Circu-
lating Essential Amino Acids. EBioMedicine. 2016;6:246-252.
26. Semba RD, Trehan I, Gonzalez-Freire M et al. Perspective: The Potential Role of Essential
Amino Acids and the Mechanistic Target of Rapamycin Complex 1 (mTORC1) Pathway in

10 Kumpulan Makalah Lengkap Plenary


the Pathogenesis of Child Stunting. Adv Nutr. 2016;7:853-865.
27. Uauy R, Suri DJ, Ghosh S, Kurpad A, Rosenberg IH. Low Circulating Amino Acids and
Protein Quality: An Interesting Piece in the Puzzle of Early Childhood Stunting. EBioMed-
icine. 2016;8:28-29.
28. Engle PL, Fernández PD. INCAP studies of malnutrition and cognitive behavior. Food Nutr
Bull. 2010;31:83-94.
29. Cordero ME, D’Acuña E, Benveniste S, Prado R, Nuñez JA, Colombo M. Dendritic de-
velopment in neocortex of infants with early postnatal life undernutrition. Pediatr Neurol.
1993;9:457-464.
30. Benítez-Bribiesca L, De la Rosa-Alvarez I, Mansilla-Olivares A. Dendritic spine pathology in
infants with severe protein-calorie malnutrition. Pediatrics. 1999;104:e21.
31. Kumar N, Goyal S, Tiwari K, Goyal V, Meena P. Neuroimaging (MRI) in Children with
Microcephaly and Severe Acute Malnutrition. International Journal of Medical Paediatrics
and Oncology. 2016;2:15-19.
32. Chang SM, Walker SP, Grantham-McGregor S, Powell CA. Early childhood stunting and
later behaviour and school achievement. J Child Psychol Psychiatry. 2002;43:775-783.
33. Crookston BT, Dearden KA, Alder SC et al. Impact of early and concurrent stunting on
cognition. Matern Child Nutr. 2011;7:397-409.
34. Casale D, Desmond C, Richter L. The association between stunting and psychosocial devel-
opment among preschool children: a study using the South African Birth to Twenty cohort
data. Child Care Health Dev. 2014;40:900-910.
35. Perignon M, Fiorentino M, Kuong K et al. Stunting, poor iron status and parasite infection
are significant risk factors for lower cognitive performance in Cambodian school-aged chil-
dren. PLoS One. 2014;9:e112605.
36. Miller AC, Murray MB, Thomson DR, Arbour MC. How consistent are associations be-
tween stunting and child development? Evidence from a meta-analysis of associations be-
tween stunting and multidimensional child development in fifteen low- and middle-income
countries. Public Health Nutr. 20151-9.
37. Araújo LF, Giatti L, Chor D, Passos VMA, Barreto SM. Maternal education, anthropo-
metric markers of malnutrition and cognitive function (ELSA-Brasil). BMC Public Health.
2014;14:673.
38. Hoddinott J, Alderman H, Behrman JR, Haddad L, Horton S. The economic rationale for
investing in stunting reduction. Matern Child Nutr. 2013;9 Suppl 2:69-82.
39. Walker SP, Chang SM, Powell CA, Simonoff E, Grantham-McGregor SM. Early childhood
stunting is associated with poor psychological functioning in late adolescence and effects are
reduced by psychosocial stimulation. J Nutr. 2007;137:2464-2469.
40. Prentice AM, Ward KA, Goldberg GR et al. Critical windows for nutritional interventions
against stunting. Am J Clin Nutr. 2013;97:911-918.
41. Huicho L, Huayanay-Espinoza CA, Herrera-Perez E et al. Factors behind the success sto-
ry of under-five stunting in Peru: a district ecological multilevel analysis. BMC Pediatr.
2017;17:29.
42. Crookston BT, Penny ME, Alder SC et al. Children who recover from early stunting and
children who are not stunted demonstrate similar levels of cognition. J Nutr. 2010;140:1996-
2001.

11
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
43. Walker SP, Chang SM, Powell CA, Grantham-McGregor SM. Effects of early childhood
psychosocial stimulation and nutritional supplementation on cognition and education in
growth-stunted Jamaican children: prospective cohort study. Lancet. 2005;366:1804-1807.
44. 44. de Onis M, Dewey KG, Borghi E et al. The World Health Organization’s global target for
reducing childhood stunting by 2025: rationale and proposed actions. Matern Child Nutr.
2013;9 Suppl 2:6-26.
45. Dasgupta R, Sinha D, Yumnam V. Rapid Survey of Wasting and Stunting in Children: Whats
New, Whats Old and Whats the Buzz? Indian Pediatr. 2016;53:47-49.
46. Leal VS, Lira PICD, Menezes RCED et al. Factors associated with the decline in stunting
among children and adolescents in Pernambuco, Northeastern Brazil. Rev Saude Publica.
2012;46:234-241.
47. Stevens GA, Finucane MM, Paciorek CJ et al. Trends in mild, moderate, and severe stunting
and underweight, and progress towards MDG 1 in 141 developing countries: a systematic
analysis of population representative data. Lancet. 2012;380:824-834.
48. Zhang Y, Wu Q, Wang W et al. Effectiveness of complementary food supplements and di-
etary counselling on anaemia and stunting in children aged 6-23 months in poor areas of
Qinghai Province, China: a controlled interventional study. BMJ Open. 2016;6:e011234.
49. Muslihah N, Khomsan A, Briawan D, Riyadi H. Complementary food supplementation
with a small-quantity of lipid-based nutrient supplements prevents stunting in 6-12-month-
old infants in rural West Madura Island, Indonesia. Asia Pac J Clin Nutr. 2016;25:S36-S42.
50. Briend A, Khara T, Dolan C. Wasting and stunting similarities and differences: policy and
programmatic implications. Food &amp; Nutrition Bulletin. 2015;36:15S-23S.
51. Batubara J, Alisjahbana A, JGMGerver-Jansen A et al. Growth diagrams of Indonesian chil-
dren The nationwide survey of 2005. Paediatrica Indonesiana. 2016;46:118-126.
52. Abebe Z, Haki GD, Baye K. Health Extension Workers’ Knowledge and Knowledge-Sharing
Effectiveness of Optimal Infant and Young Child Feeding Are Associated With Mothers’
Knowledge and Child Stunting in Rural Ethiopia. Food Nutr Bull. 2016
53. Yach D, Feldman ZA, Bradley DG, Khan M. Can the food industry help tackle the growing
global burden of undernutrition? Am J Public Health. 2010;100:974-980.

12 Kumpulan Makalah Lengkap Plenary


Pediatric Education in Competitive Era
(Asian Economic Community)
Aryono Hendarto
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM
Kolegium Ilmu Kesehatan Anak Indonesia, Jakarta

Abstrak
Era masyarakat ekonomi ASEAN (MEA) telah dimulai sejak bulan Desember 2015. Tenaga kerja
terampil juga akan dipermudah untuk bekerja di negara lain, tentunya profesi dokter termasuk dokter
spesialis anak menjadi salah satunya. Akibatnya, tenaga kerja terampil Indonesia harus siap bersaing
dengan tenaga kerja dari negara lain. Persaingan yang lebih ketat tentunya dapat terjadi karena
adanya perbedaan kualitas SDM. Perbedaan yang ada diperuncing juga oleh adanya disparitas dan
minimnya standarisasi pendidikan kedokteran antar negara-negara di ASEAN. Agar dokter spesialis
anak Indonesia mempunyai daya saing internasional, maka pendidikan dokter spesialis anak harus
mampu menghasilkan dokter anak yang mempunyai hard skill dan soft skill mumpuni yang disertai
dengan etika profesional yang baik dan penguasaan teknologi informasi khususnya dibidang kesehatan.
Hal tersebut dapat dicapai bila setiap Program Studi Ilmu Kesehatan Anak (Prodi IKA) di Indonesia
mempunyai kualitas yang baik, tenaga pendidik yang unggul, standar pendidikan dan kurikulum yang
mengandung kompetensi muatan lokal sekaligus bersifat internasional dan setiap prodi mempunyai
networking (jejaring) dengan institusi luar negeri.

K
esepakatan negara-negara di kawasan Asia Tenggara untuk menyatukan wilayah
ASEAN dalam bentuk Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) mulai diberlakukan
sejak akhir Desember tahun 2015. Tenaga kerja terampil akan dipermudah untuk
bekerja di negara lain, tentunya profesi dokter menjadi salah satunya.123 Ada kekuatiran
dokter–dokter negara ASEAN lain akan lebih mudah bekerja di Indonesia karena
beberapa alasan yaitu: jumlah dokter spesialis di Indonesia belum cukup, distribusi dokter
spesialis di Indonesia termasuk dokter spesialis anak belum merata, kualitas pendidikan
dan standar kompetensi dokter di Indonesia belum setara. Belum lagi ditambah beberapa
rumah sakit swasta juga masih menerapkan skema fee-for service untuk pendapatan dokter,
memberikan peluang pendapatan dokter menjadi sangat tinggi. Menunda masuknya
SDM dari luar hanyalah menjadi penyelesaian sementara, persiapan dan peningkatan
mutu SDM kita akan menghasilkan generasi dokter mendatang yang siap bersaing di
kancah Internasional.4,5

13
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Pediatric Education in Competitive Era
Sebelum membahas bagaimana pendidikan dokter spesialis anak di Indonesia untuk
menghadapi era yang kompetitif, maka akan di bahas mengenai pendidikan IKA di
beberapa negara ASEAN. Hal ini dimaksudkan agar kita mendapat gambaran dan
perbandingan untuk bersama-sama memformulasikan pendidikan IKA yang terbaik di
Indonesia. Jadi diberlakukannya MEA jangan dianggap sebagai ancaman tetapi justru
harus dianggap sebagai peluang dokter spesialis anak di Indonesia untuk menyejajarkan
diri dengan kolega dari negara ASEAN lain sehingga bukan saja mampu menjadi tuan
rumah di negera sendiri tetapi juga diminati oleh masyarakat pengguna jasa pelayanan
pediatrik di negara lain

Singapura
Pendidikan kedokteran di Singapura mengikuti program yang ada di negara perserikatan
lainnya. Mahasiswa kedokteran menyelesaikan program Bachelor of Medicine & Bachelor
of Surgery (MBBS) dan melanjutkan pendidikan spesialistik bertajuk Master of Medicine
di bidang yang mereka minati. Program Master of Medicine di Singapura hanya tersedia
di National University of Singapore (NUS) Division of Graduate Medical Studies. Lama
pendidikan untuk memperoleh predikat spesialis anak ditempuh dalam waktu 3 tahun
dan pada akhir pendidikan peserta pendidikan dokter spesialis (PPDS) akan menjalani
ujian nasional yang dilakukan oleh Singapore College of Pediatrics bekerja sama dengan
Royal College of Paediatrics and Child Health (Inggris). Mereka akan mendapat gelar
Master of Medicine dari NUS dan menjadi anggota dari Royal College of Pediatrics dan
Child Health (Inggris). Tidak sedikit dari dokter umum Singapura yang juga memilih
melanjutkan studi mereka di Inggris atau Australia.6

Malaysia
Sebagai negara perserikatan, pendidikan kedokteran Malaysia tidak jauh berbeda dari
Brunei dan Singapura. Setelah mahasiswa menyelesaikan program pendidikan kedokteran
umum, mereka bisa memilih berbagai spesialisasi dengan tajuk pendidikan Master
of Medicine (MM). Program ini tersedia di Universiti of Malaya dan Univesiti Sains
Malaysia. Setelah lulus, mereka dapat memilih untuk langsung kerja sebagai spesialis atau
melanjutkan sekolah sebagai subspesialis.7
Perlu diketahui bahwa gelar spesialis anak yang didapatkan di Malaysia, Brunei dan
Singapura diakui oleh negara-negara perserikatan lainnya. Ini memudahkan dokter dari
Malaysia untuk menjadi klinisi atau melanjutkan studi di negara perserikatan lainnya.

Laos
Di Laos, pendidikan kedokteran berpusat di Mahosot Hospital dan kerjasama banyak
dilakukan dengan Thailand dan Amerika Serikat. Semua mahasiswa yang hendak masuk

14 Kumpulan Makalah Lengkap Plenary


ke sekolah kedokteran harus terlebih dahulu melewati Foundation Study School (FSS)
selama 1 tahun sebelum melanjutkan 2 tahun kuliah pre-klinik dan 3 tahun pelajaran
klinis untuk mencapai gelar Medical Doctor (MD). Pada akhir dari tahun ke 6 mahasiswa
kedokteran harus melewati ujian akhir yang meliputi ujian OSCE dan ujian thesis. Setelah
lulus sebagai MD, mereka mendapatkan pilihan untuk melanjutkan sekolah spesialis atau
post-graduate study dalam berbagai bidang.8

Thailand
Pendidikan dokter spesialis anak berlangsung selama 6 semester atau 3 tahun. Selama 3
tahun tersebut PPDS di didik untuk menjadi dokter spesialis anak umum. Selanjutnya
mereka dapat menjadi subspesialis dengan tambahan 2 tahun masa studi. Subspesialis
yang tersedia antara lain kardiologi, respirologi, gastrohepatologi, alergi-imunologi,
infeksi, neurologi, neonatologi dan perinatologi, pediatri perkembangan, endokrinologi,
hematologi, nutrisi, nefrologi, dermatologi, genetik dan rematologi.9

Vietnam
Setelah lulus menjadi dokter umum, para lulusan dapat memperdalam keilmuan di
bidang IKA melalui 2 cara. Yang pertama mereka menjalan pelatihan IKA selama 6 bulan
atau menjalani pendidikan dokter spesialis anak dengan menjadi PPDS selama 3 tahun.
Hanya saja yang dapat menjadi PPDS anak adalah mahasiswa yang berprestasi. Bila akan
meneruskan ke jenjang pendidikan subspesialis maka diperlukan 6 tahun masa studi
tambahan.10,11

Myanmar
Pendidikan spesialis anak di Myanmar dilaksanakan selama tiga tahun. Pada tahun
pertama PPDS akan mendapatkan pendidikan mengenai masalah di klinik, komunikasi
dan ketrampilan etik dengan cara ronde di bangsal, bedside teaching dan diskusi/pertemuan
di klinik. Pada tahun kedua PPDS akan mendapat pendidikan penyakit-penyakit anak
di berbagai divisi, dan pendidikan di luar bagian anak seperti mata dan THT selama
lebih kurang 18 bulan. Setelah itu pendidikan akan diakhiri dengan serangkaian ujian dan
residen juga harus membuat tesis atau karya tulis akhir.12,13

Filipina
Pendidikan spesialis anak di Filipina berlangsung selama 3 tahun dengan tujuan pendidikan
supaya menjadi dokter spesialis anak yang tidak saja mempunyai kognitif pengetahuan,
tetapi juga ketrampilan psikomotor, perilaku dan nilai-nilai yang dibutuhkan oleh seorang
dokter anak untuk berpraktek. Pendidikan ini berbasis kompetensi dan umumnya
dilakukan di rumah sakit (RS). Pada tahun pertama PPDS akan menghabiskan waktu 6
bulan di bangsal, 4 bulan di departemen rawat jalan dan instalasi gawat darurat (IGD) dan
2 bulan bekerja di Neontal Intensiv Care Unit (NICU) Pada tahun kedua residen belajar 1

15
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
bulan mengenai pediatri komunitas, selanjutnya residen akan belajar di bangsal selama 4
bulan, di departemen rawat jalan dan IGD selama 3 bulan dan 2 bulan di berbagai divisi
pediatri serta 2 bulan lagi di NICU. Pada tahun ketiga PPDS belajar selama 4 bulan di
berbagai divisi pediatri, 2 bulan di NICU, 3 bulan di bangsal, 2 bulan di departemen
rawat jalan serta 1 bulan di pediatri komunitas. Di Filipina terdapat 105 rumah sakit yang
dapat melaksanakan pendidikan dokter spesialis anak yang terdiri dari 46 RS swasta, 47
RS pemerintah dan 12 RS pendidikan/universitas.14

Pendidikan Dokter Spesialis Anak di Indonesia


Berbagai pihak menyatakan bahwa faktor-faktor yang berkontribusi mengapa pelayanan
kesehatan spesialis di Indonesia tidak merata adalah maldistribusi penempatan spesialis
dan produksi dokter spesialis yang belum sesuai dengan kebutuhan. Untuk mengatasi
maldistribusi penempatan dokter spesialis, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan
Presiden No.4 tahun 2017 tentang Wajib Kerja Dokter Spesialis yang pada tahap awal
mengharuskan dokter spesialis Obstetri dan Ginekologi, Bedah, Ilmu Penyakit Dalam,
Ilmu Kesehatan Anak dan Anestesi dan Terapi Intensif yang baru lulus untuk bekerja di
RS Pemerintah yang pelayanan spesialisnya belum ada atau belum lengkap.15 Peraturan ini
sekaligus untuk menjawab alasan pihak asing yang berusaha masuk ke Indonesia dengan
alasan belum semua area di Indonesia mendapat pelayanan spesialis. Bagaimana dengan
produksi dokter spesialis? Data dari kantor BPPSDM Kesehatan Kemenkes menunjukkan
bahwa RS Pemerintah kekurangan tenaga spesialis dan yang terbanyak adalah spesialis
4 dasar dan penunjang yaitu anestesiologi dan terapi intensif. Khusus untuk spesialis
anak data menunjukkan RS milik pemerintah kekurangan spesialis anak sejumlah 482
orang pada tahun 2017. Sejak dilaksanakannya Evaluasi Nasional Terpusat (ENT) oleh
Kolegium IKA Indonesia (KIKAI) pada tahun 2013, maka dari 13 Program Studi ( Prodi)
IKA yang ada di Indonesia dihasilkan lebih kurang 250 orang spesialis anak per tahun.
Dengan demikian kesenjangan jumlah dokter spesialis anak akan teratasi dalam 2 tahun.
Namun demikian apakah para lulusan tersebut mampu bersaing dengan koleganya
yang berasal dari negara ASEAN lain? Untuk menjawab pertanyaan ini tentu kita akan
bertanya lebih lanjut, bagaimana pendidikan dokter anak di Indonesia saat ini, apakah
sudah mampu menghasilkan dokter spesialis anak yang kompetitif yang bukan saja
menjadi tuan rumah di negara sendiri tapi juga mampu menjadi duta bangsa dengan
bekerja di negara lain? Setiap Prodi IKA yang ada di Indonesia akan menghasilkan dokter
spesialis anak yang kompetitif bila didukung oleh beberapa hal di bawah ini :
1. Kualitas pendidikan yang baik
2. Setiap prodi mempunyai tenaga pendidik yang unggul
3. Pendidikan dilaksanakan menggunakan, standar pendidikan dan kurikulum yang
baik
4. Setiap prodi mampu bekerjaa sama di bidang pendidikan dengan berbagai pihak di
dalam dan luar negeri.

16 Kumpulan Makalah Lengkap Plenary


Kualitas Pendidikan yang baik
Kualitas pendidikan dokter spesialis anak akan baik bila kualitas masukan, proses, luaran,
hasil dan dampak terjaga baik. Penjaminan mutu pendidikan yang saat ini dilakukan
secara internal oleh institusi pendidikan dan secara eksternal yang dilakukan oleh
Kementrian Riset dan Dikti menjadi hal yang esensial dan penting. Untuk akreditasi
eksternal telah dituangkan dalam Peraturan Menteri Riset dan Dikti No 32 tahun 2016
yang mewajibkan semua Prodi di Indonesia untuk menjalankan akreditasi.16 Dalam hal
akreditasi eksternal prodi ini KIKA telah berperan dalam beberapa hal yaitu mengirimkan
anggota untuk dilatih menjadi asesor akreditasi Lembaga Akreditasi Mandiri Pendidikan
Tinggi Kesehatan (LAM PTKes). Disamping itu KIKAI juga bekerja sama dengan
LAMPTKes dalam menyusun borang-borang akreditasi yang akan digunakan untuk
mengakreditasi Prodi IKA.
Dalam rangka persiapan akreditasi oleh LAMPTKes maka KIKAI melakukan
pendampingan dengan melaksanakan akreditasi internal terhadap setiap Prodi IKA
menggunakan borang akreditasi LAMPTKes. Hal ini dimaksudkan agar setiap Prodi
terbiasa dan mampu mengisi borang akreditasi dengan baik sehingga kelak mendapat
akreditasi maksimal dari LAMPTKes. Selanjutnya agar tercapai homogenitas kualitas
lulusan Prodi IKA Indonesia, maka sejak 3 tahun yang lalu KIKAI mengubah pelaksanaan
evaluasi nasional dari yang awalnya dilaksanakan oleh masing-masing prodi menjadi
evaluasi nasional terpusat (ENT) yang dilaksanakan oleh KIKAI. Pada ENT ini disyaratkan
penguji nasional harus mempunyai sertifikat penguji yang dikeluarkan oleh KIKAI melalui
pelatihan dan penguji tidak dibenarkan untuk menguji anak didiknya yang berasal dari
prodi yang sama. Selama ini belum pernah ENT berhasil 100% meluluskan kandidat pada
setiap pelaksanaan, hal ini membuktikan bahwa kualitas proses pendidikan Prodi dan
kompetensi calon SpA benar-benar menjadi perhatian utama. Dalam mengembangkan
ENT tersebut KIKAI bekerja sama dengan Royal Australasian College of Physicians (RACP),
kerja sama ini juga dimaksudkan agar program pendidikan dokter spesialis di Indonesia
direkognasi oleh pihak internasional.

Setiap prodi mempunyai tenaga pendidik yang unggul


Untuk meningkatkan kualitas tenaga pendidik walaupun merupakan tugas utama setiap
Prodi dan Departemen IKA, namun demikian KIKAI juga turut berperan yaitu bekerja
sama dengan pihak lain seperti misalnya Nutricia Indonesia Foundation mengirim para
tenaga pendidik meningkatkan keilmuan di luar negeri. Disamping itu KIKAI juga secara
berkala melaksanakan pelatihan-pelatihan terkait proses belajar mengajar seperti misalnya
pelatihan Workplace Based Asessment (WPBA). Disamping itu KIKAI juga melaksanakan
pelatihan penguji nasional secara berkala dalam upaya menghasilkan penguji nasional
yang terstandarisasi.

17
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Pendidikan dilaksanakan menggunakan standar pendidikan dan kurikulum
yang baik
Standar Pendidikan berisi hal-hal umum yang menjadi pedoman bagi setiap prodi
dalam melaksanakan proses pendidikan dan di dalam standar pendidikan ini tercantum
kurikulum yang berisi materi-materi yang harus diberikan kepada PPDS selama menjalani
pendidikan.
Kurikulum yang digunakan oleh Prodi memang dituntut harus selalu diadakan
evaluasi secara berkala untuk kemudian dilakukan pengembangan. Beberapa alasan
mengapa kurikulum perlu dikembangkan antara lain untuk menjawab atau antisipasi yang
merupakan kemajuan ilmu teknologi; memenuhi kebutuhan yang ada dalam masyarakat
dan untuk meningkatkan kemajuan masyarakat serta memenuhi kebutuhan peserta didik.
Kurikulum pendidikan dokter spesialis anak yang sekarang digunakan memang sudah
saatnya dilakukan revisi. Agar revisi kurikulum pendidikan dokter spesialis anak Indonesia
mampu menghasilkan spesialis anak yang kompetitif maka perlu dipertimbangkan
beberapa hal seperti di bawah ini :
a. Kurikulum tersebut harus mampu menghasilkan dokter anak sesuai yang mempunyai
standar kompetensi seperti negara ASEAN lain agar dokter spesialis anak diakui
secara internasional. Untuk itu standar pendidikan/kurikulum dokter spesialis
anak harus mengacu pada Peraturan Presiden No.8 tahun 2012 tentang Kerangka
Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI).17 Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia
adalah kerangka penjenjangan kualifikasi kompetensi yang dapat menyetarakan
dan mengintegrasikan antara bidang pendidikan dan bidang pelatihan kerja serta
pengalaman kerja dalam rangka pemberian pengakuan kompetensi kerja sesuai
dengan struktur pekerjaan diberbagai sektor. Dengan KKNI, kompetensi seseorang
berdasarkan capaian pembelajaran yang kemudian dikualifikasikan sebagai pengakuan
terhadap hasil pembelajaran tenaga kerja, tidak lagi hanya berdasarkan ijazah. Hal
ini bertujuan untuk menjembatani gap antara pendidikan tinggi kesehatan yang
sesuai dengan kebutuhan pasar kerja kesehatan. Karena selama ini tenaga kesehatan
Indonesia cukup sulit bersaing ditingkat global akibat tidak adanya standar kualifikasi
yang jelas, maka adanya KKNI ini standar kualifikasi tenaga kesehatan Indonesia
dapat disetarakan dengan standar kualifikasi di negara lain, sehingga tenaga kesehatan
kita memiliki daya saing tinggi dan memiliki peluang lebih besar untuk bisa bekerja
di tingkat global.
b. Di dalam kurikulum sebagian Negara ASEAN program pendidikan spesialis anak di
berlangsung lebih singkat yaitu 6 semester, sementara di Indonesia selama 8 semester.
Dengan demikian Negara-negara ASEAN lain akan dengan cepat dapat menghasilkan
dokter spesialis anak bila memerlukan jumlah yang lebih banyak untuk bekerja di luar
negeri. Terlebih di Filipina yang pendidikan dokter spesialisnya tidak hanya dilakukan
oleh pemerintah tetapi juga oleh pihak swasta dengan berbasis pendidikan di RS.
Angka rerata kelulusan tepat waktu prodi IKA di Indonesia tidak lebih dari 10%
yang artinya sebagian besar PPDS menyelesaikan pendidikan lebih dari 8 semester.

18 Kumpulan Makalah Lengkap Plenary


Data dari ENT menunjukkan sebagian besar PPDS menyelesaikan pendidikan dalam
waktu 10 semester. Di prediksi faktor yang berkontribusi terhadap memanjangnya
waktu pendidikan adalah terkait penyusunan karya tulis akhir (tesis). Bila mengacu
pada 6 butir kompetensi yang disyaratkan oleh Accreditation Council for Graduate
Medical Education (ACGME) di Amerika maka tidak tercantum di dalamnya
kompetensi tentang keharusan menyusun tesis. Namun demikian Undang-undang
Pendidikan di Indonesia mengharuskan setiap mahasiswa untuk membuat karya tulis
akhir. Untuk mengantisipasi kedua hal tersebut KIKAI mengusulkan untuk membuat
format lain pembuatan tesis oleh PPDS, agar lebih mudah dilaksanakan tetapi tetap
berkualitas misalnya Evidance Based Case Report (EBCR). Pada akhirnya standar
pendidikan dokter spesialis anak dan kurikulum harus mampu menghasilkan dokter
anak yang tidak saja mempunyai hard skill tetapi juga soft skill yang baik serta tidak
kalah penting penguasaan teknologi informasi dibidang kesehatan/kedokteran.
c. Dari paparan di atas terlihat sudah ada Negara ASEAN yang mencantumkan masalah
kesehatan internasional di dalam modul pendidikan dokter spesialis anak, artinya
dalam modul tersebut juga diajarkan masalah-masalah keseahatan anak yang ada di
negara ASEAN lain. Hal ini tentu anak menjadi nilai tambah bagi para lulusan dari
negara tersebut untuk dapat bekerja di negara ASEAN lain. Untuk itu sudah saatnya
setiap Unit Kerja Koordinasi (UKK) dan KIKAI mulai memikirkan kemungkinan
memasukkan masalah kesehatan anak di Negara ASEAN lain sehingga para lulusan
kita terpapar dengan masalah kesehatan anak di negara ASEAN
d. Penugasan dokter spesialis baru dalam program WKDS menuntut para dokter spesialis
anak untuk mengetahui masalah kesehatan anak di area penugasannya. Untuk itu
revsisi standar pendidikan/kurikulum pendidikan dokter spesialis anak harus memuat
kandungan lokal masalah kesehatan anak. Seperti misalnya prodi IKA di Denpasar
Bali telah mencantumkan travelling medicine sebagai salah satu modul spesifik daerah
propinsi Bali. Dengan demikian diharapkan dokter spesialis anak dapat menjadi tuan
rumah di negara sendiri.
e. Hal lain yang harus diantisipasi adalah beberapa negara ASEAN seperti Singapura,
Malaysia dan Thailand telah terlebih dahulu mengembangkan paket wisata medis (
medical tourism) dengan mengedepankan beberapa layanan unggulan. Kolegium IKA
dan PP IDAI serta IDAI Cabang harus siap dengan wisata medis unggulan Indonesia
bila suatu saat nanti pemerintah bermaksud untuk mengembangkan jenis pelayanan
kesehatan ini.

Setiap prodi mempunyai kerja sama dengan pihak luar negeri di bidang
pendidikan.
Seperti sudah diuraikan di atas sebagian negara ASEAN seperti Singapura, Malaysia,
Myanmar dan Brunei merupakan anggota negara persemakmuran di bawah pimpinan
Inggris. Negara Kamboja pendidikan dokter spesialis anak berafiliasi ke Perancis,
sementara negara Thailand dan Laos banyak bekerja sama dengan Amerika di bidang

19
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
pendidikan. Situasi ini memungkinkan mereka lebih mudah mengirimkan tenaga
pendidikan untuk meningkatkan kemampuan baik dibidang pendidikan, penelitian dan
pelayanan. Pertukaran PPDS antar negara persemakmuran juga dimudahkan karena
mereka berbasis kurikulum yang tidak jauh berbeda sehingga kurikulum inti mereka
juga hampir sama. Disamping itu juga mudahkan mereka untuk alih pengetahuan dan
teknologi di bidang pendidikan. Rekognasi program pendidikan oleh institusi dari luar
memberikan kontribusi yang cukup bermakna karena dapat meningkatkan daya saing
internasional para alumninya.
Di dalam MEA bidang kesehatan ini disadari bahwa salah satu kendala dalam sinkronisasi
pelayanan kesehatan adalah adanya perbedaan kompetensi inti dari masing-masing program
pendidikan dokter spesialis termasuk program dokter spesialis IKA. Sehubungan dengan hal
tersebut KIKAI telah berkoordinasi dengan beberapa kolegium negara ASEAN lain seperti
Filipina dan Thailand. Dalam pertemuan-pertemuan tersebut selain bertukar informasi
tentang program pendidikan di masing-masing negara juga diwacanakan di masa mendatang
dibahas kemungkinan menyamakan kompetensi inti untuk negara ASEAN. Paling tidak
persamaan kurikulum inti ini dimulai dari negara yang tingkat pendidikan dan pelayanan
kesehatannya setara seperti Indonesia, Thailand, Vietnam dan Myanmar. Tentunya hal ini
memerlukan diskusi yang lebih kerap dan mendalam.

Penutup
Cepat atau lambat MEA dan persaingan bebas akan membenturkan pengetahuan dan
keahlian dokter Indonesia dengan negara lainnya. Diberlakukannya MEA merupakan
peluang dokter spesialis anak untuk mampu bersaing dengan kolega di regional bahkan
global. Untuk itu diperlukan kualitas Prodi yang baik dengan, tenaga pendidik yang
unggul dan standar pendidikan dan kurikulum yang memuat kandungan lokal tetapi
juga bersifat internasional. Menjadi tugas KIKAI, PP IDAI, IDAI Cabang dan setiap
prodi dengan peran masing-masing untuk mampu menciptakan dan mempertahankan
kompetensi dokter spesialis anak Indonesia yang mempunyai daya saing internasional.

Daftar Pustaka
1. Chong E. Pediatric training in Brunei: work in progress for new curriculum. The Southeast
Asian Journal of Tropical Medicine and Public Health. 2013 Dec;45:3-4.
2. Report of The Eighteenth meeting of The ASEAN Joint Coordinating Commite on Medical
Practitioners, Vientiane Lao PDR, 18 May 2016.
3. Fukunaga Y. Assessing the Progress of ASEAN MRAs on Professional Services. Economic
Research Institute for ASEAN and East Asia,2015.
4. Kittrakulrat J, Jongjatuporn W, Jurjai R, Jarupanich N, Pongpirul K. The ASEAN economic
community and medical qualification. Global Health Action. 2014;7
5. Aragar Putri. Kesiapan Sumber Daya Manusia Kesehatan dalam Menghadapi Masyarakat

20 Kumpulan Makalah Lengkap Plenary


Ekonomi Asean (MEA). Jurnal Medicoeticolegal dan Manajemen Rumah Sakit, 6 (1): 55-60,
Januari 2017
6. Lee CE, Satku K, editors. ‘Singapore’’s Health Care System’: What 50 Years Have Achieved.
World Scientific; 2015 Nov 13.
7. Sivasampu S, Arunah C, Kamilah D, Fatihah M, Goh PP, Hisham AN. National Healthcare
Establishment & Workforce Statistics (Hospital) 2011. Kuala Lumpur: National Clinical
Research Centre. 2013.
8. Akkhavong K, Paphassarang C, Phoxay C, Vonglokham M, Phommavong C, Pholsena S.
Lao People’s Democratic Republic health system review. Geneva: World Health Organisa-
tion. 2014.
9. Lolekha S, Singalavanija S. Pediatric residency training in Thailand. Southeast Asian J Trop
Med Public Health. 2014:45:23-7.
10. World Health Organization. Ministry of Health Viet Nam.(2012). Health Service Delivery
Profile Viet Nam.
11. Nhat An P. Pediatric residency training in Vietnam. Southeast Asian J trop Med public
health. 2014:45:28-9
12. Sein TT, Myint P, Tin N, Win H, Aye SS, Sein T. The republic of the union of Myanmar
health system review. European Observatory on Health Systems and Policies. 2014;4(3):5.
13. Win Z. Pediatric residency training in Myanmar. Southeast Asian J Trop Med Public
Health.2014:21-3.
14. Atienza M. Pediatric residency training in Phillipines. Southeast Asian J Trop Med Public
Health. 2014:45:17-20
15. Peraturan Presiden Republik Indonesia No.4 tahun 2017, tentang Wajib kerja Dokter Spe-
sialis.
16. Peraturan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia No.32 tahun
2016 tentang Akreditasi Program Studi dan Perguruan Tinggi.
17. Peraturan Presiden Republik Indonesia No.8 tahun 2012, tentang Kerangka Kualifikasi Na-
sional Indonesia.

21
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Research Priority to Solve Major Health
Problems of Indonesian Children
Agus Firmansyah
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RSUPN. Dr.Cipto Mangunkusumo
Jakarta

P
residen Joko Widodo dalam Rapat Kerja Kesehatan Nasional tahun 2017
menegaskan masalah kesehatan seperti gizi buruk tidak boleh terjadi lagi di
Indonesia. Jika masih ada penderita gizi buruk, ini memalukan.1 Pernyataan di atas
merupakan tantangan bagi dunia kesehatan, termasuk Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Tentu saja penyebabnya multifaktor, seperti kemiskinan, lingkungan, pendidikan, akses
terhadap fasilitas kesehatan, kepadatan penduduk, stabilitas politik dan urbanisasi.

Masalah utama kesehatan anak di Indonesia


Masalah malnutrisi kronik (stunting) pada anak masih merupakan masalah yang tidak
terselesaikan selama beberapa dasawarsa. Bila melihat ke belakang, Gross dkk2 memotret
prevalensi stunting pada tahun 1989-1993 di 10 daerah di Jawa, Sumatra, Kalimantan
dan Sulawesi dan menemukan prevalensi sebesar 22,6 sampai 68,8 persen dengan rerata
43,5 persen. Dua puluh lima tahun kemudian, RISKESDAS 2013 masih menemukan
prevalens stunting sebesar 37,2 persen.3 Perubahan prevalensi yang tidak bermakna.
Penelitian paling baru di Lombok Timur, Pathurrhman memukan prevalensi stunting
sebesar 11,5 persen pada awal kehidupan, yaitu anak usia 6 bulan sampai 1 tahun di
Kabupaten Lombok Timur, NTB.4
Data kesehatan di Indonesia juga menunjukkan hal yang tidak bagus. Coba simak
data dari dari World Food Program (2014) berikut ini, yang diambil dari data Riskesdas
2013.5
•• Walaupun terjadi pertumbuhan ekonomi, 87 juta penduduk Indonesia tetap rawan
terhadap keamanan pangan.
•• Tidak terjadi kemajuan dalam pengurangan angka stunting: 36,8% pada tahun 2007
dan 37,2% pada tahun 2013.
•• Indonesia menduduki ranking 5 dalam tingginya angka stunting di dunia: 9,5 juta
anak balita malnutrisi.
•• Lebih dari 3 juta balita (12%) dalam keadaan kurus (wasting).
•• Hampir 2/3 baduta (57%) menderita anemia.

22 Kumpulan Makalah Lengkap Plenary


•• Hanya 42% bayi yang menyusui ekslusif dan hanya 36% bayi yang mendapat MP
ASI yang memadai setelah berusia 6 bulan.
•• 14% anak menderita diare berulang menjurus ke arah gizi kurang.
Sekelumit data di atas menunjukkan inekualitas dalam kuantitas dan kualitas
pelayanan kesehatan di Indonesia dibandingkan negara maju. Makalah ini mencoba
mengungkapkan gagasan untuk menyusun prioritas penelitian kesehatan anak dalam
rangka menuntaskan masalah utama kesehatan anak Indonesia.

Penelitian medis di Indonesia


Publikasi kedokteran di Indonesia masih rendah. Data dari Scimago Jurnal & Country
Rank (2017)6 yang mencatat publikasi kedokteran di dunia memperlihatkan diantara 239
negara, Indonesia menduduki urutan ke 55 dengan 54.146 publikasi. Bandingkan dengan
negara Asean lainnya (urutan/jumlah publikasi): Singapura (32/241.361), Malaysia
(34/214.883), Muangthai (43/139.682), Vietnam (62/35.445), Filipina (69/23.843),
Brunei (122/3.041), Mianmar (139/1.864), dan Timor Leste (201/155). Jumlah publikasi
internasional Indonesia masih jauh dibandingkan negara maju lainnya seperti Amerika
Serikat (10.193.964), Inggris (2.898.927), Jepang (2.367.977) dan Australia (1.111.010).
Data di atas menunjukkan inekualitas dalam penelitian antara negara maju dan negara
berkembang, termasuk Indonesia.

Dari riset ke kebijakan publik


Secara sederhana penelitian kedokteran berdasarkan ruang lingkupnya dapat digolongkan
ke dalam penelitian dasar (basic research), penelitian klinik (clinical research) dan penelitian
komunitas (public health research). Hasil riset dasar akan menjadi alasan untuk melakukan
penelitian klinik. Berbagai penelitian operasional dapat dilakukan untuk meningkatkan
tata laksana penyakit di klinik. Selanjutnya penelitian komunitas melanjutkan temuan
penelitian klinik. Berbagai penelitian translasional dapat dilakukan untuk memperoleh
bukti sebagai dasar untuk membuat kebijakan (policy) dalam meningkatkan taraf kesehatan
masyarakat.
Bukti penelitian bermakna penting semua orang tahu, tetapi terdapat banyak faktor
yang menghambat proses penemuan pengetahuan menuju penggunaannya di klinik dan
komunitas.7 Jadi, walaupun tampaknya seperti proses yang lurus, namun tidak mudah
mentransfer temuan riset menjadi kebijakan klinik/komunitas. Diperlukan kerjasama
antara peneliti, praktisi klinis, dan pembuat kebijakan dalam mentransfer pengetahuan
menjadi kebijakan.
Di negara berkembang seperti Indonesia, translasi bukti riset menuju kebijakan
kadangkala masalah finansial. Contohnya vaksin rotavirus. Diare terjadi pada sekurangnya
60 juta kasus per tahun dan 15 persen diantaranya akan melanjut menjadi diare persisten
(9 juta kasus/tahun). Rotavirus merupakan penyebab utama (60%) diare akut pada anak,8

23
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
dan bila menyerang anak kurang gizi akan menyebabkan diare persisten karena regenerasi
mukosa usus yang terhambat.9 Penelitian komunitas telah memberi bukti manfaat vaksin
dalam mencegah diare rotavirus,10 tetapi pemerintah sampai saat ini belum melaksanakan
program nasional untuk imunisasi rotavirus karena hambatan biaya

Prioritas penelitian
Pada tahun 2001-2005, Kementrian Riset dan Teknologi menghimpun penelitian dalam
berbagai bidang pengetahuan dalam Prioritas Utama Nasional Riset dan Teknologi (Punas
Ristem). Topik penelitian berbagai bidang ditentukan prioritasnya. Kemudian topik-topik
tersebut diprioritaskan berdasarkan penelitian dasar dan penelitian terapan. Sebaiknya
IDAI memulai membuat Punas Ristek di bidang ilmu kesehatan anak, seperti contoh
pada Tabel 1.

Tabel 1. Prioritas riset Ilmu Kesehatan Anak di Indonesia


Bidang Topik Penelitian dasar Penelitian Klinik Penelitian Komu-
nitas
Neonatologi Sepsis v vvv vv

Respirologi Tuberkulosis v vv vvvvv

Hematologi Adebe v vv vvvvv

Gastrohepatologi Diare persisten v vvv vvvvv

Nutrisi & Pedsos Stunting v vv vvvvv


Catatan: V = prioritas

Bila misalnya tumbuh-kembang menjadi sasaran utama penelitian, mungkin topik-


topik seperti prematuritas, stunting, malnutrisi, dan infeksi berulang dapat menjadi
prioritas topik penelitian.

Stunting sebagai fokus


Pembahasan berikutnya akan memberi contoh stunting sebagai fokus penelitian karena
prevalensinya yang tinggi (37,2%) menurut Riskesdas 2013.3 Stunting berkaitan dengan
morbiditas & mortalitas, tingkat kecerdasan, produktivitas dan efek jangka panjangnya
terhadap penyakit dan kesehatan.11 Stunting pun berkaitan erat dengan kegagalan pada
seribu hari pertama kehidupan.
Berbagai studi epidemiologi di berbagai negara berkembang di dunia memperlihatkan
5 penyebab utama terjadinya stunting: status ibu yang buruk, menyusui yang kurang
optimal, makanan pendamping ASI (MP ASI) yang tidak adekuat, defisiensi mikronutrien
dan infeksi berulang terutama diare dan pneumonia.12,13 Di Indonesia, penyebab tersebut
benar adanya. Hanya 52,7 persen bayi menyusui pada bulan pertama, kemudian turun
menjadi 30,2 persen pada usia 6 bulan.3 MP ASI lokal tidak sesuai dengan kebutuhan

24 Kumpulan Makalah Lengkap Plenary


nutrisi anak, terutama kalsium, Zn dan besi.14 Infeksi berulang dalam bentuk diare dan
infeksi saluran nafas masih tinggi.3 Defisiensi mikronutrien, terutama besi dan Zn juga
masih tinggi.3,15

Prioritas penelitian stunting


Penelitian dasar mahal biayanya dan juga memerlukan peralatan laboratorium canggih,
karena itu diprioritaskan untuk masalah yang khas Indonesia saja. Tetapi kita dapat
melakukan penelitian klinik berdasarkan temuan riset dasar dari negara lain. Penelitian
translasional ditingkatkan untuk masalah kesehatan nasional utama. Dalam hal stunting,
karena terdapat 4 penyebab utama di bidang kesehatan anak sebagai penyebab stunting,
penelitian harus diarahkan mengatasi penyebabnya. Beberapa contoh topik penelitian
berikut penting dilakukan.
•• Bagaimana menggalakkan penggunaan ASI: survai, promosi, aplikasi program.
•• Bagaimana memperbaiki mutu MP ASI: desain, sumber lokal, fortifikasi, produksi
•• Suplementasi mikronutrien: survai, sumber lokal, produksi
•• Mencegah diare persisten: vaksin rotavirus, gut health, prebiotik,
•• Mencegah pneumonia: etiologi, vaksin, terapi segera
Itu hanya sekedar contoh, IDAI dengan pakarnya perlu merumuskan topik penelitian
untuk mencegah stunting pada anak. Dengan penelitian yang terarah dan berprioritas,
dari penelitian dasar sampai terapan, praktek klinis dan kebijakan kesehatan dapat dibuat
untuk meningkatkan taraf kesehatan anak.

Tahap kegiatan
•• Melibatkan semua UKK, Satgas IDAI dan narasumber lain.
•• Identifikasi masalah kesehatan anak jumlah kasusnya banyak dan yang mengganggu
tumbuh kembang dan kualitas hidup anak.
•• Menentukan prioritas penelitian (translasional).
•• Mengusahakan dana penelitian.
•• Melaksanakan penelitian.
•• Merangkum hasil penelitian.
•• Membuat usulan kebijakan kesehatan anak kepada pemerintah.

Penutup
Taraf kesehatan anak di Indonesia masih kurang baik tercermin dari data Riskedas 2013.
Kualitas dan kuantitas penelitian kedokteran dan pelayanan kesehatan anak di Indonesia
masih kurang dibandingkan negara maju. Penelitian translasional harus digalakkan.
Sasaran utama adalah membina tumbuh kembang anak untuk meningkatkan kualitas
hidup manusia Indonesia di masa depan. Masalah stunting merupakan prioritas utama
yang harus diselesaikan sesuai harapan Presiden Joko Widodo, oleh karena itu perlu

25
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
dibuat kebijakan prioritas utama nasional penelitian di bidang kesehatan anak, yang
komprehensif dan terarah. Ikatan Dokter Anak Indonesia dapat memulai kegiatan seperti
ini.

Daftar pustaka
1. Okezone News. Jokowi: Jika masih ada penderita gizi buruk, ini memalukan. Selasa, 29
Februari 2017.
2. Gross R, Schultink W, Sastroamidjojo S. Stunting as an indicator for health and wealth: an
Indonesian application. Nutr Res 1996; 16: 1829-1837.
3. Riskesdas, Departemen Kesehatan RI, 2013.
4. Pathurrahman. The effect of sanitasion-hygiene and water program on stunting prevention
through diarrhea reduction amongst 6-12 months-old children: a structural equation model-
ing analysis. [Disertasi]. Universitas Indonesia, Jakarta, 2017.
5. Winata J. 10 facts about malnutrition in Indonesia. 2014.
6. Country ranking, Scimago journal & country ranking. Diunduh dari scimagojr.com. Diak-
ses tanggal 1 Juni 2017.
7. Wallace J. Lost in translation: transferring knowledge from research to clinical practice. Ad-
vance Psychiaric Treat 2013; 19: 250-258.
8. Soenarto Y, Aman TA, Bakri A, Waluya H, Firmansyah A, Kadim M, et al. Burden of severe
rotavirus diarrhea in Indonesia. J Infect Dis 2009; 200: S188-194.
9. Zijlstra RT, Donovan SM, Odle J, Gelberg HB, Petschow BW, Gaskins HR. Protein energy
malnutrition delays small intestinal recovery in neonatal pigs infected with rotavirus. J Nutr
1997; 127: 1118-1127.
10. Dennehy PH. Rotavirus vaccines: an update. Pediatr Infect Dis J 2006; 25: 839-848.
11. Prendergast AJ, Humphrey JH. The stunting syndrome in developing countries. Pediatr Int
Child Health 2014; 34: 250-265.
12. Black RE, Allen LH, Bhutta ZA, Caulfield LE, de Onis M, Ezzati M, et al. Maternal and
child undernutrition: global and regional exposures and health consequences. Lancet 2008;
371: 243-260.
13. Coffey D, Deaton a, Dreze J, Spears D, Tarozzi A. Stunting among children: facts abd impli-
cations. Economic Political Weekly 2013; 34: 68-70.
14. Fahmida U, Santika O, Kolopaking R, Ferguson E. complementary feeding recommendation
based on locally available foods in In donesia. Food Nutr Bull 2014;35: 174-179.
15. Herman S. Review on the problem of zinc deficiency, program prevention and its prospect.
Media Penelitian dan peengembangan kesehatan 2009; 19: S75-S83.

26 Kumpulan Makalah Lengkap Plenary


Peran Konsil Kedokteran Indonesia dalam
Pembinaan Kompetensi dalam Praktik
Kedokteran
Bambang Supriyatno
Ketua Konsil Kedokteran Indonesia, Jakarta

Abstrak
Dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan kedokteran diperlukan kompetensi dan profesionalisme
dari dokter maupun dokter spesialis dan pengawasan dari suatu badan, lembaga atau organisasi yang
turut melakukan pembinaan. Proses pembinaan seharusnya dilakukan sejak dari hulu (mahasiswa)
sampai ke hilir (saat sudah menjadi dokter atau dokter spesialis) oleh kementrian, lembaga atau
organisasi profesi seperti Kementerian Riset, Teknologi dan Perguruan Tinggi, Kementerian Kesehatan,
Konsil Kedokteran Indonesia, Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia, Ikatan Dokter
Indonesia, atau Majelis Kehormatan Etik Kedokteran. Peran pembinaan dari hulu sangat menentukan
pembinaan selanjutnya di tingkat hilir. Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) merupakan Lembaga
Negara nonstruktural, bersifat mandiri, independen, dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden
yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 dengan tujuan untuk melindungi
masyarakat dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dokter dan dokter gigi. Dalam melakukan
pembinaan kompetensi tenaga medis, KKI memerlukan kerjasama dengan stakeholders (pemangku
kepentingan) yang harmonis, seiring, sejalan dan seirama.
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) sebagai suatu Perhimpunan profesi, mempunyai peran yang
sangat besar dalam proses pembinaan praktik kedokteran bagi anggotanya melalui Kolegium maupun
Pengurus Pusat dan jajarannya dalam meningkatkan kompetensi. Peningkatan kompetensi dapat
berupa kompetensi pengetahuan tentang ilmu kesehatan anak maupun ilmu pengetahuan lainnya
sebagai penunjang dalam melakukan praktik kedokteran. Salah satu bentuk pembinaan setelah menjadi
dokter atau dokter spesialis adalah adanya lembaga yang mengawasi etik (MKEK) dan disiplin profesi
dokter (MKDKI). Dengan adanya lembaga ini maka proses pembinaan dapat berjalan dengan baik
dan benar.

T
ujuan pendidikan kedokteran berdasarkan Undang-undang No. 20 tahun 2013
tentang Pendidikan Kedokteran, antara lain menjadikan dokter yang kompeten,
profesional, beretika, disiplin, dapat berkomunikasi yang efektif serta beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.1 Tujuan tersebut sangat mulia meskipun
sangat sulit dicapai oleh seluruh fakultas kedokteran yang ada. Mungkin hanya beberapa
fakultas kedokteran (FK) yang berakreditasi tinggi yang dapat mencapainya meskipun
tidak tertutup kemungkinan beberapa FK dengan akreditasi yang lebih rendah. Saat ini
(per Juni 2017) terdapat 83 fakultas kedokteran di Indonesia dengan rincian 20 (24%)
FK dengan akreditasi A, 28 (34%) akreditasi B, dan 35 (42%) akreditasi C. Dari 20 FK
dengan akreditasi A, 16 diantaranya adalah FK dengan status perguruan tinggi negeri.2

27
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Perbedaan akreditasi menunjukkan masih adanya perbedaan mutu pendidikan
kedokteran. Terdapat hubungan yang bermakna antara status akreditasi dengan mutu
pendidikan meskipun tidak benar seluruhnya. Akreditasi menggambarkan proses pendidikan
dari mulai penerimaan sampai dengan outcome dari suatu FK yang mencakup sarana
prasarana, sumber daya manusia, dan proses belajar-mengajar.3 Biasanya status akreditasi
juga mencerminkan angka kelulusan mahasiswa yang mengikuti ujian kompetensi secara
nasional yang disebut UKMPPD (uji kompetensi mahasiswa pendidikan profesi dokter).2
Proses penjaminan mutu dokter harus dilakukan dari hulu sampai hilir yang berarti
sejak mahasiswa (termasuk FK di dalamnya) dan setelah menjadi dokter ataupun dokter
spesialis. Beberapa kementrian, lembaga (negara maupun bukan), organisasi atau insitusi
mempunyai peran penting dalam menjaga mutu dokter seperti Kementrian Riset,
Teknologi dan Perguruan Tinggi (Ristekdikti), Kementrian Kesehatan (Kemkes), Konsil
Kedokteran Indonesia (KKI), Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dan lain-lain.1,4

Penjaminan mutu oleh Konsil Kedokteran Indonesia


Dalam menjamin mutu pelayanan kesehatan, KKI berperan bukan hanya pada hilirnya
saja yaitu menerima hasil lulusan dokter maupun dokter spesialis-subspesialis. Peran
penjaminan mutu harus dimulai dari hulu sampai hilir dengan pengertian mulai saat
penerimaan mahasiswa sampai dengan setelah lulus dan berpraktik sebagai tenaga medis.4
Peran KKI dari hulu sampai hilir sangat penting artinya karena dapat memantau proses
dan perkembangan selama pendidikan kedokteran berlangsung. Apabila KKI hanya
berperan pada saat hilirnya saja, maka akan sulit menjaga mutu karena ada pepatah yang
menyatakan garbage in garbage out yang berarti proses penerimaan yang tidak baik akan
berpengaruh terhadap lulusan yang dihasilkan.

Sebelum melakukan praktik kedokteran


Mutu dokter menjadi tujuan utama pendidikan dokter yang terus harus dipertahankan
dan ditingkatkan untuk menjamin masyarakat terlindungi dari praktik kedokteran
dan sebagai jaminan bahwa dokter kompeten dan profesional.1,4 Dua hal di atas yaitu
perlindungan masyarakat terhadap praktik kedokteran dan peningkatan mutu pelayanan
menjadi tujuan utama terbentuknya Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) berdasarkan
Undang-undang no 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Konsil Kedokteran
Indonesia adalah suatu badan otonom, mandiri, nonstruktural, dan bersifat independen,
yang terdiri atas Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi dan bertanggung jawab
langsung kepada Presiden RI.4
Dalam UU (undang-undang) No. 29 tahun 2004, dijelaskan bahwa dibentuknya
KKI adalah untuk penjaminan mutu pelayanan yang berarti tugas dari KKI adalah
mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan kedokteran dengan cara menjamin
bahwa dokter yang berpraktik mempunyai kompetensi dan profesionalisme yang tinggi.4
Jaminan KKI terhadap dokter maupun dokter gigi adalah dengan memberikan Surat

28 Kumpulan Makalah Lengkap Plenary


Tanda Registrasi (STR) yang merupakan pengakuan negara terhadap tenaga dokter dan
dokter gigi. KKI berhak memberikan atau menolak menerbitkan STR bagi tenaga medis
(dokter dan dokter gigi).4
Selain bertujuan untuk mempertahankan dan meningkatkan mutu dokter dan
dokter gigi, KKI juga mempunyai fungsi pengaturan, pengesahan, penetapan, serta
pembinaan dokter dan dokter gigi yang menjalankan praktik kedokteran, dalam rangka
meningkatkan mutu pelayanan medis. Fungsi pembinaan dilakukan bersama-sama
dengan para stakeholders (pemangku kepentingan) antara lain organisasi profesi (termasuk
di dalamnya IDI: Ikatan Dokter Indonesia; IDAI: Ikatan Dokter Anak Indonesia).4
Peran KKI dalam menjalankan fungsi untuk pendidikan dokter tidak terlepas dengan
stakeholders utama yang bertanggung jawab terhadap proses yang terjadi seperti Kementrian
Riset, Teknologi dan Perguruan Tinggi (Ristekdikti), Organisasi Profesi, Asosiasi Institusi
Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI), Asosiasi Rumah Sakit Pendidikan Indonesia
(ARSPI), Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI), dan unsur masyarakat.4
Pada saat pendirian Fakultas Kedokteran, KKI berperan dalam memberikan
rekomendasi untuk pembukaan FK bersama stakeholders yang lainnya. Dalam proses
pendirian FK, KKI bersama pemangku kepentingan melakukan desk evaluation dan
visitasi sebelum menentukan pemberian rekomendasi. Penilaian tersebut meliputi sumber
daya manusia (dosen), sarana-prasarana, kurikulum, dan pembiayaan sumber dana sebagai
jaminan kelangsungan proses pendidikan ke depan. Dengan dasar rekomendasi dari para
stakeholders, Kemristekdikti memroses pembukaan FK yang baru.5
Untuk pembukaan pendidikan spesialis (program studi spesialis), KKI berperan
dalam proses awal berupa desk evaluation dan visitasi. Tanpa rekomendasi dari KKI, maka
program studi spesialis yang baru tidak akan diproses untuk pembukaan program studi
baru. Pemberian rekomendasi KKI untuk pembukaan program studi spesialis, melihat
juga rekomendasi dari Kolegium terkait sebagai dasar penilaian KKI.5
Salah satu peran KKI dalam melakukan pembinaan terhadap FK adalah mengusulkan
kepada Kemristekdikti untuk melakukan moratorium yaitu penundaan pembukaan FK
dan program studi profesi dokter yang baru serta melakukan pembinaan kepada FK yang
lama dengan prioritas kepada FK dengan akreditasi C dan B. Usaha moratorium dan
pembinaan telah disetujui oleh Kemristekdikti sejak tahun 2017. KKI mengusulkan
moratorium pembukaan FK baru karena melihat masih adanya kesenjangan yang lebar
antara FK di Indonesia.6 Kesenjangan tersebut antara lain angka kelulusan mahasiswa
pada saat UKMPPD (saat itu berkisar 25-97%) dan rasio dosen dan mahasiswa yang tidak
sesuai dengan Standar Pendidikan Profesi Dokter (SPPD).2
Di sisi lain KKI mengusulkan adanya kuota penerimaan mahasiswa baru bagi
FK yang lama sesuai dengan perturan perundang-undangan. Saat itu ada beberapa FK
yang menerima mahasiswa baru melebihi kapasitas rasio dosen-dan mahasiswa. Saat ini
disepakati kuota tentang penerimaan mahasiswa baru berkisar 50 sampai dengan 250
mahasiswa berdasarkan kriteria tertentu antara lain status akreditasi, jumlah prosentase

29
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
kelulusan UKMPPD, kerjasama dengan Rumah Sakit Pendidikan, dan rasio dosen-
mahasiswa. Fakultas Kedokteran yang tidak mematuhi aturan kuota dikenakan sanksi
dan kelebihan mahasiswa yang diterima ‘terancam’ tidak terdaftar di pangkalan data
Kemristekdikti.1
Dalam proses pendidikan kedokteran diperlukan suatu standar pendidikan profesi
dokter (SPPD) dan standar kompetensi dokter Indonesia (SKDI) sebagai landasan
utama untuk standarisasi pendidikan dokter yang berkeadilan, merata, kompeten, dan
profesional. Kedua standar (SPPD dan SKDI) harus disyahkan oleh KKI untuk digunakan
sebagai standar pendidikan dokter di Indonesia.7,8 Seluruh FK yang ada di Indonesia harus
menjalankan proses pendidikannya berdasarkan SPPD dan SKDI. Saat ini untuk proses
pendidikan dokter menggunakan SPPD dan SKDI tahun 2012 yang selanjutnya akan
direvisi untuk menjawab tantangan era globalisasi dan tuntutan masyarakat ekonomi
ASEAN (MEA).
Di dalam SPPD terdapat aturan proses penerimaan mahasiswa kedokteran seperti
lulusan SMA jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), jumlah rasio dosen-dan mahasiswa
(preklinik dan klinik), serta kurikulum yang jelas. Di dalam SKDI terdapat kompetensi
yang harus dimiliki dan dikuasai oleh mahasiwa untuk menjadi dokter yang kompeten.
Kompetensi yang ada dapat berjenjang yang berarti pada kasus tertentu hanya mendiagnosis
saja dan merujuk kepada dokter spesialis sampai pada kasus yang harus ditangani secara
paripurna. Kompetensi berdasarkan SKDI inilah yang menjadi dasar untuk ujian secara
nasional sehingga FK harus menjalani SKDI secara benar dan konsisten.7,8
Untuk program studi spesialis (Sp.1), juga SPPDS (Standar Pendidikan Profesi
Dokter Speialis) dan SKDSI (Standar Kompetensi Dokter Spesialis) yang dibuat oleh
kolegium terkait bersama organisasi profesi, dan harus disyahkan oleh KKI agar dapat
digunakan sebagai landasan dalam proses pendidikan spesialis. Program studi spesialis
tidak boleh menyimpang dari SPPDS dan SKDSI yang sudah disyahkan oleh KKI.4 Proses
ujian akhir secara nasionalpun harus berdasarkan standar-standar tersebut.
Mahasiswa kedokteran harus menempuh UKMPPD untuk mendapatkan ijazah atau
sertifikat profesi dan sertifikat kompetensi. UKMPPD dilaksanakan oleh panitia khusus
yang dibentuk oleh Menristekdikti untuk menyelenggarakan uji kompetensi secara nasional
bagi mahasiswa FK.1 Ujian UKMPPD, selama ini berlangsung 4 (empat) kali dalam
setahun. Konsil Kedokteran Indonesia berperan ikut membidani lahirnya UKMPPD dan
saat ini KKI berfungsi melakukan pengawasan eksternal terhadap pelaksanaan UKMPPD.
Mahasiswa yang dinyatakan lulus UKMPPD disebut dokter yaitu apabila berhasil
melampaui nilai batas lulus ujian berupa OSCE (objective structured clinical examination)
dan CBT (computer based test).1 Sementara itu untuk dokter spesialis dilakukan ujian board
secara nasional yang dilakukan oleh masing-masing kolegium terkait dengan melibatkan
beberapa program studi di Indonesia. Untuk dokter spesialis anak dilakukan ujian nasional

30 Kumpulan Makalah Lengkap Plenary


yang dimulai tahun 1994 dengan nama Evaluasi Nasional dan diubah menjadi Evaluasi
Nasional Terpusat pada tahun 2013.9
Bagi dokter maupun dokter spesialis yang baru lulus harus mempunyai ijazah atau
sertifikat profesi dari Universitas dan sertifikat kompetensi dari kolegium terkait serta
pernyataan akan mematuhi etika profesi untuk selanjutnya mendapat surat tanda registrasi
(STR) dari KKI.4,10 STR merupakan pengakuan Negara terhadap dokter maupun dokter
spesialis bahwa sudah kompeten dan profesional selama 5 (lima) tahun. Namun bukan
berarti jaminan ini tidak dapat dicabut karena apabila dokter atau dokter spesialis
melakukan pelanggaran disiplin profesi dokter maupun pelanggaran hukum, maka STR
ini dapat dicabut secara sementara maupun tetap.4
Pengakuan STR ini bukan hanya berlaku bagi tenaga medis warga Negara Indonesia
tetapi juga bagi warga Negara asing (WNA) yang melakukan praktik kedokteran di
wilayah Indonesia. Persyaratan untuk WNA berbeda dengan persyaratan WNI untuk
mendapatkan STR.11,12

Setelah berpraktik
Bagi dokter yang baru lulus melakukan proses internsip yaitu proses pemahiran keprofesian
di daerah atau wilayah tertentu selama minimal 1 (satu) tahun dengan menggunakan STR
Internsip.1 Setelah menjalani proses internsip, dokter akan diberikan STR definitif yang
berlaku utnuk berpraktik maupun melanjutkan ke jenjang spesialis.
Bagi dokter spesialis tertentu (saat ini 5 spesialis yaitu spesialis penyakit dalam,
spesialis anak, spesialis bedah, spesialis obstetri dan ginekologi, serta spesialis anestesi)
yang menjalani wajib kerja dokter spesialis selama 1 (satu) tahun di daerah tertentu yang
ditetapkan oleh Kementrian Kesehatan.13
Pada pendidikan dokter spesialis diperlukan STR khusus bagi PPDS (peserta
program dokter spesialis) dalam melakukan aktivitas di klinik dengan STR-P yaitu STR-
Pendidikan.14 STR-P berlaku untuk melakukan pembuatan SIP (surat ijin praktik) secara
luas di sarana kesehatan yang mempunyai perjanjian dengan Rumah Sakit Pendidikan.
Dengan satu SIP berdasarkan STR-P maka residen dapat melakukan kegiatan klinis
berupa praktik kedoktern cukup dengan satu SIP.
Di dalam perjalanan proses pendidikan kedokteran, KKI berperan melakukan
monitoring dan evaluasi terhadap proses yang berjalan. Dalam monitoring dan evaluasi,
KKI melakukan visitasi ke program studi baik program studi dokter maupun spesialis.4
KKI melakukan wawancara dan pemeriksaan lapangan tentang proses pendidikan dan
hasilnya dibicarakan untuk rekomendasi kepada FK maupun program studi spesialis
utnuk perbaikan di masa mendatang dan juga pemberitahuan kepada Kemenristekdikti
untuk tindak lanjut sebagai lembaga yang berwenang.
Setelah lulus menjadi dokter ataupun dokter spesialis, KKI berperan dalam
memberikan STR setiap 5 (lima) tahun berupa resertifikasi.4 Persyaratan untuk melakukan

31
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
resertifikasi adalah adanya sertifikat kompetensi dari Kolegium terkait yang didapatkan
melalui Program Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan (P2KB) dari
organisasi profesi atau pendidikan kedokteran berkelanjutan (PKB) atau pendidikan
tambahan untuk tetap kompeten dan konsisiten dengan perkembangan ilmu pengetahuan
kedojteran yag mutakhir.
Masing-masing Kolegium mempunyai cara tersendiri dalam memberikan sertifikat
kompetensi bagi anggotanya. KKI berperan dalam memantau sebagai pengawas eksternal
dalam proses P2KB. Proses P2KB masing-masing kolegium dilakukan tanpa standarisasi
sehingga mungkin saja terdapat kolegium yang lebih ketat tetapi mungkin saja ada
yang lebih longgar. Untuk itu ke depan perlu standarisasi yag dilakukan oleh organisasi
profesi dan kemudian disyahkan oleh KKI. KKI tidak tururt campur secara kontens yang
seharusnya dibuat oleh masing-masing kolegium atau organisasi profesi (perhimpunan).
KKI hanya mengesahkan standarisasi P2KB sebagai mana standarisasi SPPDS dan SKDSI.
Ide ini memang masih perlu kajian karena P2KB merupakan ranah profesi yang sesuai
undang-undang merupakan ranah organisasi profesi sebagai penanggung jawab.4
Dalam proses pembinaan bagi dokter atau dokter spesialis yang sudah lulus, KKI
berperan bersama organisasi profesi.4 Organisasi profesi mempunyai peran dalam keilmuan
yang berarti tetap belajar sepanjang hayat dan peningkatan kompetensi melalui seminar
ataupun kursus. Dalam hal pelanggaran terhadap etik, Organisasi Profesi mempunyai
peran yang sangat baik yaitu melalui MKEK (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran).15
Seorang dokter atau dokter spesialis (termasuk spesialis anak) yang diduga melakukan
pelanggaran etik, akan dimitai keterangan oleh MKEK untuk menentukan adanya
pelanggaran etik kedokteran ataupun tidak. Dalam hal melanggaran etik, maka MKEK
dapat menjatuhkan sanksi.
Seorang dokter atau dokter spesialis anak, dapat melakukan pelanggaran disiplin
profesi dokter. Pelanggaran disiplin profesi dokter merupakan ranah KKI melalui
MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia).4,16 Saat ini terdapat
28 butir jenis pelanggaran disiplin profesi dokter yang tertuang dalam Perkonsil no 4
tahun 2011. Dokter atau dokter spesialis (termasuk anak) yang melakukan pelanggaran
dapat dikenakan sanksi berupa teguran lisan, pencabutan STR sementara, pendidikan
tambahan, dan pencabutan STR selamanya.16

Upaya yang harus dilakukan IDAI


Melihat penjelasan di atas, maka sebagai dokter spesialis anak dituntut untuk tetap
kompetens dan professional dalam melakukan praktik kedokteran. Unsur yag ada dalam
kompeten adalah ilmu tentang pelayanan pasien, ilmu tentang penyakit, komunikasi yang
efektif, professional, problem base learning improvement, dan system base practice.17 Untuk
kompeten seorang dokter spesialis anak harus menguasai ilmu pengetahuan tentang
penyakit dan cara menangani pasien serta berkomunikasi yang efektif.18 Tanpa komunikasi
yag efektif maka sulit bagi seorang dokter untuk menatalaksana pasien dengan baik.

32 Kumpulan Makalah Lengkap Plenary


Dokter yang kompeten bertindak sangat professional yang unsurnya terdiri dari
kompeten, akutabilitas, altruism, etika/disiplin, dan kolegialitas.19,20 Terlihat hubungan
yang saling kait mengait antara kompeten dan profesional. Dokter yang professional
tentu harus kompeten (dengan segala unsur yang ada), bertanggung jawab dengan apa
yang dilakukannya, mementingkan kepentingan pasien dibandingkan keluarga maupun
golongan, mempunyai etika dan disiplin profesi yang mumpuni, dan menjunjung
kolegialitas.19,20
Untuk mendapatkan dokter spesialis anak yang kompetens dan professional maka
diperlkukan proses pendidikan saat menjalani residensi sampai ketika lulus sebagai dokter
spesialis anak. Peran KKI dalam menjamin mutu pendidikan dokter spesialis anak terlihat
pada pengesahan standar pendidikan dan standar kompetensi, monitoring dan evaluasi
program studi, pemberian STR, dan akhirnya pembinaan berupa pengawasan terhadap
pelanggaran disiplin profesi.4,16 Tanpa pemantauan dan pengawasan yag ketat, tidak akan
tercipta dokter spesialis anak yang kompetens dan profesional.
Peran KKI harus ditunjang oleh Perhimpunan profesi dalam hal ini IDAI. Pada
saat proses pendidikan dokter spesialis anak yang sangat berperan adalah Kolegium Ilmu
Kesehatan Anak Indonesia (KIKAI). Standar pendidikan dan standar kompetensi yang
berlaku secara nasional harus direvisi untuk dapat menciptakan dokter spesialis anak yang
mandiri, mampu bersaing dengan dokter spesialis anak asing yang akan masuk ke Indonesia,
kompetens dan professional yang mampu konsisten bekerja tanpa melanggar etik maupun
disiplin profesi dokter. Di dalam proses pendidikannya perlu diberi pengertian tentang
etik dan disiplin profesi dokter yang tidak boleh dilanggar selain pendidikan tentang ilmu
kesehatan anak secara keseluruhan.
Kurikulum pendidikan harus mencantumkan cara berkomunikasi yang baik dan
efektif. Berdasarkan data dari MKDKI, cukup banyak pengaduan oleh masyarakat yang
didasari kurangnya komunikasi antara dokter dan pasien maupun antar dokter dengan
dokter. Dengan komunikasi yang efektif dan baik diharapkan proses pengaduan ke
MKDKI berkurang secara nyata.
Kolegium Ilmu Kesehatan Anak Indonesia perlu melanjutkan kerjasama internasional
dengan negara yang mempunyai sistem pendidikan dokter spesialis anak yang sudah
maju seperti Australia dan Amerika. Kerjasama tersebut dapat menjadi acuan untuk
pengembangan kurikulum pendidikan dokter spesialis anak.
Setelah lulus menjadi dokter spesialis anak, maka tugas utama dalam pembinaan
anggotanya berada pada Pengurus Pusat IDAI (PP IDAI) dengan berbagai unsur di
dalamnya seperti UKK (Unit Kerja Koordinasi) dan Satgas (Satuan Tugas), Pokja
(Kelompok Kerja), Cabang, maupun Badan Pelengkap serta Badan Khusus lainnya.21 Peran
PKB yang dilakukan oleh PP IDAI dan jajarannya sangat perlu untuk mempertahankan
pengetahuan tentang ilmu kesehatan anak yang berkembang sangat pesat. Seharusnya
setiap PKB perlu ditambahkan topik tentang etik dan/atau disiplin profesi dokter
sebagai pengingat bagi dokter spesialis anak khususnya dan dokter pada umumnya agar
tidak terjadi pelanggaran etik dan/atau disiplin profesi dokter. Program PKB oleh IDAI

33
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
hendaknya mengacu kepada keilmuan yang mutakhir sehingga tidak tertinggal dengan
perkembangan ilmu di manca negara. Selain itu kerjasama dengan perhimpunan sejenis
di tingkat internasional akan menambah wawasan dan hubungan yang lebih luas dalam
rangka meningkatkan pengetahuan di bidang ilmu kesehatan anak.
Sebagai individu maupun kelompok dokter spesialis anak harus meningkatkan
kompetensinya dengan mengikuti program PKB baik seminar maupun kursus di dalam
dan di luar negeri. Selain itu perlu peningkatan dalam ilmu berkomunikasi yang efektif,
penguasaan bahasa Inggris, dan berfikir visioner dalam tatalaksana penyakit, serta
mengetahui aturan perundang-undangan yang berlaku. Pengetahuan terhadap perundang-
undangan yang berlaku sangat bermanfaat dalam mengawal praktik kedokteran dan acuan
dalam melakukan tindakan medis.

Penutup
Dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan kedokteran dan menjaga kompetensi
dalam praktik kedokteran diperlukan suatu badan atau lembaga atau organisasi yang turut
melakukan pembinaan seperti misalnya Kementrian, KKI, MKDKI, IDI, atau MKEK.
KKI berperan dalam penjagaan mutu dan pembinaan praktik kedokteran dari hulu
berupa proses menjadi dokter sampai ke hilir berupa pembinaan pada saat setelah lulus
sebagao dokter maupun dokter spesialis. Peran pembinaan dari hulu sangat menentukan
pembinaan selanjutnya di tingkat hilir. KKI alam melakukan pembinaan kompetensi
memerlukan kerjasama dengan pihak stakeholders (pemangku kepentingan) yang
harmonis, seiring, sejalan dan seirama.
Peran IDAI sangat besar dalam proses pembinaan praktik kedokteran baik melalui
KIKAI maupun PP IDAI dan jajarannya serta peran serta anggotanya dalam meningkatkan
kompetensi. Peningkatan kompetensi dapat berupa kompetensi pengetahuan tentang
ilmu kesehatan anak maupun ilmu lain sebagai penunjang dalam melakukan praktik
kedokteran. Salah satu bentuk pembinaan setelah menjadi dokter atau dokter spesialis
adalah adanya lembaga yang mengawasi etik (MKEK) dan disiplin profesi dokter
(MKDKI). Dengan adanya lembaga ini maka proses pembinaan dapat berjalan dengan
baik dan benar.

Daftar pustaka
1. Undang-undang No. 20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran
2. Direktur Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementrian Riset, Teknologi dan Per-
guruan Tinggi. Komunikasi pribadi
3. Permenristekdikti No. 32 tahun 2016 tentang Akreditasi Program Studi dan Perguruan Tinggi.
4. Undang-undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
5. Perkonsil No. 15 tahun 2013 tentang Penerbitan Rekomendasi Pembukaan dan Penutupan
Program Studi Dokter.

34 Kumpulan Makalah Lengkap Plenary


6. Surat Edaran Menristekdikti No. SE 2/M/SE/IX/2016 tertanggal 21 September 2016 ten-
tang Moratorium.
7. Perkonsil No. 10 tahun 2012 tentang Standar Pendidikan Profesi Dokter Indonesia
8. Perkonsil No. 11 tahun 2012 tentang Standar Kompetensi Dokter Indonesia
9. Kolegium Ilmu Kesehatan Anak Indonesia. Standar Pendidikan Profesi Dokter Spesialis
Anak. KIKA Indonesia 2007.
10. Perkonsil No 13 tahun tahun 2013 tentang Etika Profesi
11. Perkonsil No 17. Tahun 2013 tentang Registrasi Sementara dan Registrasi Bersyarat bagi
Dokter dan Dokter Gigi Warga Negara Asing
12. Permenkes No. 67 tahun 2013 tentang Pendayagunaan Tenaga Kesehatan Warga Negara
Asing
13. Peraturan Presiden RI No. 4 tahun 2017 tentang Wajib Kerja Dokter Spesialis.
14. Perkonsil No. 6 tahun 2011 tentang Registrasi Dokter dan Dokter Gigi
15. Kode Etik Kedokteran Indonesia. PB Ikatan Dokter Indonesia
16. Perkonsil No. 4 tahun 2011 tentang Disiplin professional dokter dan dokter gigi
17. Drejer A. Organisational learning and competence development. The learning Org.
200;7:206-20.
18. Konsil Kedokteran Indonesia. Manual Komunikasi Efektif Dokter-Pasien. 2009
19. Garman AN, Evans R, Krause MK, Anfossi J. Professionalism. J Healthcare Management.
2006;51:219-22.
20. Sadikin ZD. Profesionalisme bagi dokter. Majalah Kedokteran Indonesia. 2008:58;95-9.
21. AD/ART Ikatan Dokter Anak Indonesia tahun 2014.

35
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Immunization Promotes Healthy Live and
Well Being for All Ages
Sri Rezeki Hadinegoro
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia / RSUPN Dr. CIpto Mangunkusumo
Jakarta

Abstrak
Untuk mencapai Sustainable Development Goals (SDGs), terutama goal yang ketiga yaitu “Good
healthy and well being, ensure healthy lives and promotes well being for all at all ages” diperlukan
kajian tentang tantangan yang ada dan bagaimana mengatasinya. Pada dasarnya tantangan yang
timbul dalam program imunisasi adalah: (1) penjelasan yang kurang tepat mengenai keuntungan dan
kerugian pemberian imunisasi sehingga menyebabkan kontroversi di antara orang tua, (2) pertanyaan
yang pernah dibaca atau didengar tidak terjawab dengan baik, dan (3) kurang mengerti mengenai
manfaat/ nilai positif (the value of immunization) pemberian imunisasi untuk menunjang kehidupan
yang sehat sepanjang hayat.
Dalam pemberian vaksin yang aman dan efektif diperlukan pengetahuan dan informasi yang benar.
Untuk mencapai keberhasilan program imunisasi diperlukan pencapaian kekebalan komunitas dan
pemantauan keamanan vaksin. Hal-hal lain yang perlu diperhatikan adalah upaya-upaya memperkuat
program imunisasi nasional, penambahan vaksin-vaksin baru, komunikasi dan edukasi masyarakat
yang baik, dan penyediaan vaksin secara teratur dan kesinambungan.
WHO menekankan kembali beberapa hal yang berhubungan dengan kerja vaksin dan value of
vaccination. Secara singkat terdapat lima fakta mengenai vaksin yaitu:1). vaksin yang saat ini diberikan
kepada masyarakat adalah aman dan efektif, 2). vaksin berguna mencegah kematian dan kecacatan,
3). vaksin memberikan kekebalan lebih baik daripada infeksi alami, 4). vaksin kombinasi (combined
vaccine) aman dan sangat bermanfaat dan 5) jika vaksinasi dihentikan maka penyakit infeksi yang
berbahaya akan kembali berjangkit di masyarakat dan akan menimbulkan wabah.
Tidak semua kekebalan dapat bertahan seumur hidup, pada suatu saat akan menurun dan selanjutnya
menghilang. Untuk penyakit yang terus menerus mengancam seumur hidup diperlukan imunisasi
booster. Imunisasi booster ini juga diperlukan untuk mencapai kekebalan komunitas yang penting
untuk memutuskan rantai penularan. Anak-anak yang tidak mendapat imunisasi secara lengkap
perlu dilakukan catch-up immunization. Sedangkan pada lansia yang secara umum kekebalan telah
menurun, diperlukan imunisasi untuk mencegah infeksi yang dapat memicu komplikasi yang serius.
Maka tepatlah jika dalam mencapai SDGs, imunisasi sebaiknya diberikan pada semua kelompok umur.

S
elama hampir tiga abad telah diletakkan dasar-dasar imunisasi yang kita kenal
saat ini. Kini telah dikenal secara luas bahwa vaksin adalah ‘metode’ yang efektif,
murah dan aman untuk meningkatkan kesehatan umat manusia. Anak-anak di
semua negara secara rutin telah mendapat imunisasi untuk mencegah penyakit berbahaya

36 Kumpulan Makalah Lengkap Plenary


sehingga imunisasi merupakan dasar pencegahan dalam bidang kesehatan masyarakat.
Namun disayangkan masih banyak negara berkembang yang masih belum dapat
mencapai universal child immunization (UCI) karena cakupan imunisasi yang rendah.
Sebenarnya jika UCI dapat dicapai maka setiap tahun kita dapat menyelamatkan tiga
juta anak yang meninggal akibat penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I).
Selanjutnya, jika kita amati lebih lanjut imunisasi merupakan upaya pencegahan penyakit
infeksi berbahaya yang sangat aman dan efektif. Tidak dapat disangkal lagi bahwa dengan
melakukan imunisasi, kehidupan di masa mendatang lebih sehat dan bermanfaat untuk
semua kelompok umur.1
Guna menyongsong dan mencapai Sustainable Development Goals (SDGs), terutama
goal yang ketiga yaitu “Good healthy and well being, ensure healthy lives and promotes well
being for all at all ages” maka diperlukan kajian tantangan dan upaya penanggulangannya.
Pada dasarnya tantangan yang timbul dalam program imunisasi adalah, (1) penjelasan
yang kurang tepat mengenai keuntungan dan kerugian pemberian imunisasi sehingga
menyebabkan kontroversi di antara orang tua, (2) pertanyaan yang pernah dibaca atau
didengar tidak terjawab dengan baik, dan (3) kurang mengerti mengenai fakta-fakta/
nilai positif (the value of immunization) yang terjadi akibat pemberian imunisasi guna
menunjang kehidupan yang sehat sepanjang hayat. 2

Sistem kesehatan Nasional


Imunisasi merupakan salah satu pilar yang penting dalam sistem kesehatan nasional.
Oleh karena itu perlu dilaksanakan dengan baik dan bertanggung jawab. Peningkatan usia
harapan hidup di Indonesia, tidak terlepas dari pencegahan penyakit infeksi pada berbagai
kelompok usia. Oleh karena itu, pencegahan melalui pemberian imunisasi diperlukan
pada tiap tahapan kelompok umur sejak lahir sampai lansia.
Untuk mendapatkan vaksin yang aman dan efektif diperlukan pengetahuan dan
informasi yang benar mengenai vaksin “modern” yang diproduksi berdasarkan bio-
teknologi canggih, dan dapat diberikan pada semua kelompok umur.
Keberhasilan program imunisasi sangat tergantung pada tercapainya kekebalan
komunitas yaitu cakupan imunisasi yang tinggi (pada kelompok target), dan
mempertahankan serta pemantauan keamanan vaksin. Selain itu perlu diperhatikan hal-
hal berikut: 3
•• Program imunisasi nasional harus senantiasa diperkuat untuk memberikan kekebalan
yang tinggi dan jangka panjang pada bayi dan anak.
•• Senantiasa diupayakan memberikan vaksin baru sesuai epidemiologi penyakit untuk
meningkatkan kesehatan masyarakat.
•• Diperlukan komunikasi dan edukasi masyarakat yang baik mengenai hal-hal yang
berhubungan dengan pemberian vaksinasi (keuntungan dan efek samping).
•• Upaya penyediaan vaksin secara teratur dan kesinambungan.

37
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
The “Growing immunization gap”
Keberhasilan Program Imunisasi Nasional menggambarkan keberhasilan imunisasi di
suatu negara. Namun, untuk memasukkan vaksin baru dalam program nasional tidaklah
sederhana. Saat ini immunization gap antara negara sedang berkembang dengan negara
berkembang semakin lebar (Gambar 1). 4

Example: The “Growing Immunization Gap” chart compare vaccine availability


in developing versus industrialized countries

Gambar 1. Immunization gap antara negara berkembang dan industri

Rencana tahunan (multi year plan) Kementrian Kesehatan RI mengenai program


imunisasi perlu mendapat dukungan dari instansi lain yaitu DPR dan Bapenas. Untuk
menghitung berapa nilai imunisasi sebagai alat pencegahan penyakit, diperlukan
perhitungan secara farmako-ekonomi. Badan Kesehatan Dunia untuk Regional
Asia Tenggara (WHO SEARO), mengatakan untuk memasukkan vaksin baru
dalam upaya pencegahan penyakit secara nasional, harus melalui beberapa tahapan
pemikiran dan strategi, yaitu: 5
•• Menentukan besaran masalah penyakit yang akan dicegah dengan imunisasi (burden
of disease) meliputi penyebab penyakit, kelompok usia yang terkena, gejala penyakit
dan komplikasi, cara penularan, kematian, pengobatan, apakah jika setelah anak
sembuh akan menderita kecacatan.
•• Kajian terhadap vaksin yang akan dipergunakan meliputi keamanan vaksin,
berapa lama menimbulkan kekebalan, efek samping (kejadian ikutan pasca
imunisasi=KIPI), dan vaccine efficacy dalam upaya mencegah penyakit.
•• Keberadaan jumlah vaksin yang telah beredar harus senantiasa dijaga

38 Kumpulan Makalah Lengkap Plenary


(sustainable).
•• Menghitung keuntungan dan kerugian dalam menerima vaksin baru (cost
benefit analysis). Termasuk biaya perawatan & pengobatan, kerugian tidak
sekolah, kerugian orang tua menunggu anaknya sehingga tidak bekerja, dan
yang paling penting berapa kerugian apabila menjadi cacat seumur hidup. Di
pihak lain berapa keuntungan yang didapatkan termasuk peningkatan kualitas
hidup anak sehingga tidak terkena penyakit, dan peningkatan nilai kesehatan
orang di sekitarnya (indirect impact/herd immunity). Upaya pencegahan ini dapat
diukur dengan menghitung jumlah kesempatan kehidupan yang dapat dinikmati, baik
dari jumlah waktu (DALY) maupun dari jumlah kualitas hidup tanpa cacat (QALY).
•• Selanjutnya diperlukan kajian terhadap prioritas untuk meningkatkan kesehatan
masyarakat, ketersediaan anggaran, persiapan mengatasi isu yang mungkin timbul
berkaitan dengan vaksin baru yang akan diberikan, dan akhirnya diperlukan keputusan
pemegang kebijakan. 1

Value of vaccination
Ada beberapa manfaat/ value of vaccination6 , yaitu:
•• Individual value (manfaat individu), misalnya bila seorang anak sudah
mendapat vaksinasi tertentu, maka 80-95% dia akan terhidar dari penyakit
tersebut
•• Community value (manfaat pada masyarakat). Anak yang sudah mendapat imunisasi dia tidak
akan menjadi sumber penularan. Semakin ti n g gi c aku p an i m u n i s as i .
Se ma kin banyak bayi/anak yang mendapat vaksinasi maka s e makin c e p a t
terlihat penurunan angka kesakitan dan kematian.
•• Nilai sosial (social value), kekebalan di masyarakat tersebut akan memutuskan
rantai penularan infeksi dari anak ke anak lain atau kepada orang dewasa.
•• Herd immunity (kekebalan komunitas), 5%-20% dari anak-anak yang tidak
diimunisasi juga akan terlindung, oleh karena transmisi/penularan penyakit terputus,
kekebalan tersebut disebut .
Keuntungan lain, seiring angka kesakitan yang menurun akan menurun
pula biaya pengobatan dan perawatan di rumah sakit, serta mencegah kematian
dan kecacatan yang akan menjadi beban masyarakat seumur hidupnya. Dengan
mencegah seorang anak dari penyakit infeksi yang berbahaya, berarti akan
meningkatkan kualitas hidup anak dan meningkatkan daya produktivitas di
kemudian hari. Perlu diingat bahwa tiga puluh persen dari anak-anak masa kini
adalah generasi yang akan memegang kendali pemerintahan di masa yang akan
datang. 7

Vaccine-work to Protect Individual and Communities


Kerja vaksin tidak banyak diketahui oleh masyarakat dengan baik. Dalam Pekan Imunisasi

39
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Dunia tahun 2017 (World Immunization Week), WHO menekankan kembali beberapa
hal yang berhubungan dengan kerja vaksin. Secara singkat terdapat lima fakta mengenai
vaksin (five facts on vaccine) 8 yaitu,
•• Vaksin yang saat ini diberikan kepada masyarakat adalah aman dan efektif
•• Vaksin berguna mencegah kematian dan kecacatan
•• Vaksin memberikan kekebalan lebih baik daripada infeksi alami
•• Vaksin kombinasi (combined vaccine) aman dan sangat bermanfaat
•• Jika imunisasi distop maka penyakit infeksi yang berbahaya akan kembali berjangkit
di masyarakat dan akan menimbulkan wabah.
Mengingat hal-hal tersebut, maka program imunisasi mendatang harus diprioritaskan
pada (1) memperkuat program imunisasi yang telah ada, (2) mempertimbangkan
penggunaan vaksin baru yang telah tersedia, dan (3) meningkatkan komunikasi dan advokasi
baik terhadap pemegang kebijakan, organinasi profesi, masyarakat, NGO, dan media.

Imunisasi sebagai Investasi Masa Depan


Imunisasi dianggap mempunyai nilai di bawah keperluan pokok lain seperti
pengobatan dan pendidikan, maka keluarga harus menabung untuk keperluan
tersebut. Padahal pencegahan penyakit akan mengurangi biaya pengobatan dan
meningkatkan mutu pendidikan. P r o g r a m imunisasi sangat efektif dan murah
apabila diberikan dalam cakupan yang luas secara nasional. Da l a m World Development
Report mengenai investing in health disebutkan munisasi merupakan investasi untuk
kesejahteraan anak masa depan. Dapat dinilai berapa uang yang dapat diinvestasikan
dibandingkan pengeluaran yang harus dikeluarkan apabila anak sakit. Sebagai
contoh, kematian anak di bawah umur satu tahun di Indonesia 75% disebabkan
karena infeksi saluran nafas akut, komplikasi perinatal (bayi umur 0-28 hari), dan
diare. Maka upaya untuk mengatasi ketiga penyebab kesakitan dan kematian utama
tersebut harus diutamakan. Cukup banyak vaksin yang dapat mencegah penyakit yang
berhubungan dengan infeksi saluran nafas akut, yaitu vaksinasi campak dapat
mencegah 20%, pertusis 15%, Hib 8%, dan pneumokokus 25%. Mengingat
hampir 50% dari diare disebabkan oleh rotavirus, maka vaksinasi rotavirus akan

Tabel 2. Kegunaan dan jenis vaksin menurut kelompok umur


Kelompok umur Kegunaan Jenis vaksin yang diperlukan
Bayi Imunisasi dasar HepB, BCG, polio, rotavirus, DTP, Hib, PCV, influenza,
campak
Batita Booster DTP, Hib, PCV, influenza, MMR, varisela
Balita Booster, catch-up DTP, MMR, varisela, tifoid, influenza, hepatitis A
Usia sekolah Booster, catch-up dT, MMR, HepB, varisela, hepatitis A, HPV, dengue
Remaja Terpapar (exposed) HepB, varisela, hepatitis A, HPV, dengue
Dewasa muda Terpapar HepB, Tdap, HPV
Lansia Terpapar Influenza, PCV

40 Kumpulan Makalah Lengkap Plenary


sangat bermanfaat dalam menurunkan angka kesakitan dan kematian pada diare. 6,7,9
Waning Immunity and Susceptibility to Disease
Tidak semua kekebalan akibat imunisasi dapat bertahan seumur hidup, pada suatu
saat kekebalan akan menurun dan selanjutnya menghilang. Untuk penyakit yang
terus menerus mengancam seumur hidup, maka untuk memutuskan rantai penularan,
kekebalan komunitas perlu dipertahankan dengan memberikan imunisasi ulangan. Di
samping itu untuk anak yang tidak mendapat imunisasi secara lengkap perlu diberikan
saat mereka menjelang dewasa atau anak hamil (catch-up immunization). Sedangkan pada
lansia yang mempunyai kekebalan secara umum telah menurun, diperlukan pencegahan
untuk infeksi yang dapat memicu komplikasi yang serius. Tabel 2 memperlihatkan jenis
vaksin yang diperlukan untuk setiap kelompok umur disertai kegunaannya. 10

Immunization Advocacy Network


“Advocacy defined as a strategic effort to achieve change by creating an enabling environment
and commitment of political, community/religious leaders and decision-makers at all levels”. 11
Pemangku kebijakan harus diadvokasi dan mendapat informasi yang cukup dan
berbasis bukti (evidence based) untuk mengambil keputusan mengenai vaksin yang telah
ada ataupun vaksin baru, serta telah mengadakan anggaran yang cukup, sehingga program
imunisasi telah siap untuk diberikan kepada semua orang yang memerlukan. Advokasi
menyatukan masyarakat untuk bekerjasama demi mencapai tujuan yang sama. Advokasi
merupakan alat yang menyuarakan perubahan, membantu penentu kebijakan untuk
menyelesaikan isu dan masalah, dan membantu menyelamatkan kehidupan jutaan anak
melalui perbaikan vaksin dan vaksinasi.
Pada Gambar 2 tertera interaksi dalam advokasi, terdiri dari pemangku kebijakan
dalam upaya imunisasi, partner kerja seperti organisasi kemanusiaan, government agency,
non-government organization, periset, dan stakesholder lainnya, masyarakat, dan mass-
media.

Partners

Policy, Mass
Decision Advocacy Media
Makers

The Public

41
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Gambar 2. Interaksi dalam Advokasi

Keamanan Vaksin
Menurut konvensi Hak Anak meliputi hak atas kelangsungan hidup (survival),
hak untuk berkembang (development), hak atas perlindungan (protection), dan hak
untuk berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat (participation). Pemerintah
bersama orang tua mempunyai kewajiban memelihara kesehatan terbaik demi
tumbuh kembang anak. Semakin banyak bayi dan anak yang mendapat imunisasi,
penyakit yang dicegah tersebut makin jarang ditemukan. Di lain pihak, rasa
ketakutan terhadap efek samping vaksinasi menjadi lebih dominan dibandingkan
dengan ketakutan terhadap penyakitnya. Padahal, akibat dari penyakit jelas lebih
m e n a k u t k a n d a n membahayakan dibandingkan kemungkinan efek samping
imunisasi. 12
Misalnya anak yang terkena penyakit campak akan mengalami demam
tinggi (terjadi pada 90% kasus) sehingga anak dapat mengalami kejang untuk
anak yang mempunyai riwayat kejang demam, dapat mengalami pneumonia
pada 40% kasus atau ensefalitis 2% sebagai komplikasi campak. Sedangkan
akibat imunisasi campak, demam yang mungkin timbul satu minggu setelah
imunisasi terjadi pada sekitar 10% dari anak yang diimunisasi dan dapat diobati
dengan obat penurun panas.
Berbagai jenis vaksin yang beredar di masyarakat sejak sepuluh tahun
terakhir, merupakan vaksin yang aman dan ampuh. Vaksin yang digunakan
di seluruh dunia mempunyai keamanan yang sama karena menggunakan standar
internasional. Di samping itu, vaksin tersebut dapat menimbulkan kekebalan
(antibodi) yang lebih baik dan lebih tinggi kadarnya, sehingga bertahan
dalam jangka waktu yang lebih lama daripada vaksin “tradisional”. Vaksin
adalah mikroorganisme atau toksoid yang diubah sedemikian rupa sehingga
patogenisitas atau toksisitasnya hilang tetapi masih tetap mengandung sifat
antigenisitas. Pada dasarnya vaksin dibagi menjadi vaksin hidup yang dilemahkan
(live attenuated vaccine) dan vaksin mati (killed inactivated vaccine). Vaksin hidup
mempunyai kelebihan karena dapat menghasilkan kadar antibodi yang lebih
tinggi dan pada umumnya bertahan lama. Namun, dapat menimbulkan reaksi
simpang yang berat, seperti infeksi alami. Sedangkan vaksin mati, dapat berupa
mikroorganisme utuh atau komponennya. Komponen yang dipilih adalah
komponen mikroorganisme (antigen) yang bersifat imunogen artinya yang
bertanggung jawab terhadap respons antibodi yang diinginkan. Keuntungan
vaksin mati atau komponen pada umumnya tidak memberikan reaksi simpang
yang berat (reaksi sistemik), namun menyebabkan reaksi simpang lokal (pada
tempat suntikan). Reaksi lokal tersebut disebabkan oleh zat lain yang terdapat
di dalam vaksin seperti adjuvant, preservations, buffer, antibiotik, atau zat pelarut.
Zat-zat tersebut diperlukan untuk meningkatkan titer antibodi yang dibentuk,

42 Kumpulan Makalah Lengkap Plenary


sebagai pengawet, ataupun melindungi terhadap kontaminan pada vaksin
yang dikemas dalam multi dose vial.
Keinginan menghasilkan vaksin yang lebih aman dan dapat memberikan
perlindungan selama mungkin, membuat para ahli berupaya mengurangi reaksi
simpang yang dapat ditimbulkan, mencari antigen yang tepat, mencari adjuvan
yang aman untuk meningkatkan kadar antibodi protektif sehingga bertahan
lebih lama, memilih protein aktif yang dapat berkonjugasi dengan antigen
polisakarida, serta mempergunakan DNA recombinant. Maka dengan teknologi
rekayasa genetik, dapat dihasilkan vaksin-vaksin dengan teknologi baru seperti
vaksin rekombinan (vaksin rekombinan hepB), vaksin split (vaksin influenza),
vaksin aselular pertusis, vaksin konjugasi (vaksin pneumokokus, meningokokus),
vaksin kombinasi (vaksin DTP-Hib, DTP-hepatitis B, DTP-Hib-IPV), adjuvanted
vaccine (vaksin HPV), dan vaksin DNA (vaksin dengue).
Keamanan vaksin tercermin dari kualitas dan kuantitas vaksin yang diberikan,
yang akan menentukan keberhasilan vaksinasi, seperti cara pemberian, dosis,
interval pemberian, dan jenis vaksin. Cara pemberian vaksin akan mempengaruhi
respons imun yang timbul. Misalnya vaksin polio oral (OPV) akan
menimbulkan imunitas lokal di samping sistemik, sedangkan vaksin polio
parenteral (IPV) akan memberikan imunitas sistemik yang lebih baik daripada lokal.
Hal lain mengenai dosis vaksin, dosis yang terlalu tinggi atau terlalu rendah akan
mempengaruhi respons imun. Dosis terlalu tinggi akan menghambat respons imun,
sedang dosis terlalu rendah tidak merangsang sel imunokompeten. Maka dosis
yang tepat adalah dosis yang sesuai dengan dosis yang direkomendasikan. Frekuensi
pemberian juga mempengaruhi respons imun yang terjadi. Respons imun
sekunder menimbulkan sel efektor aktif lebih cepat, lebih tinggi produksinya,
dan afinitasnya lebih tinggi. Di samping frekuensi, jarak pemberian pun akan
mempengaruhi respons imun yang terjadi. Apabila pemberian vaksin berikutnya
diberikan pada saat kadar antibodi spesifik masih tinggi, maka antigen yang
masuk segera dinetralkan oleh antibodi spesifik yang masih tinggi tersebut
sehingga tidak sempat merangsang sel imunokompeten. Bahkan dapat terjadi apa
yang dinamakan reaksi Arthus, yaitu bengkak kemerahan di daerah suntikan antigen
akibat pembentukan kompleks antigen-antibodi lokal sehingga terjadi peradangan
lokal. Oleh karena itu jadwal pemberian ulang (booster) sebaiknya mengikuti apa yang
dianjurkan.
Adjuvan adalah zat yang secara nonspesifik dapat meningkatkan respons
imun terhadap antigen. Adjuvan akan meningkatkan respons imun dengan
mempertahankan antigen pada atau dekat dengan tempat suntikan, dan
mengaktivasi sel APC (antigen presenting cells) untuk memproses antigen secara
efektif dan memproduksi interleukin yang akan mengaktifkan sel imunokompeten
lainnya. Namun adjuvan dapat menyebabkan reaksi lokal pasca imunisasi,
walaupun pada umumnya ringan. Keberhasilan imunisasi juga tergantung pada

43
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
status imun pejamu dan faktor genetik maka untuk individu dengan defisiensi
imun diperlukan panduan imunisasi khusus. 12,13
Kesimpulan
Seluruh anggota organisasi profesi harus bekerja sama untuk memastikan bahwa
pemerintah, para pengambil kebijakan, serta masyarakat bertekad bersama bahwa semua
anak, dimanapun dan bagaimanapun keadaan lingkungannya, harus mendapat akses
terhadap imunisasi untuk menyelamatkan hidup. Dalam mencapai SDGs (terutama goal
ketiga) perlu diupayakan strategi baru dalam upaya imunisasi, yaitu dengan memutuskan
rantai penularan dan mencegah terpapar dari penyakit infeksi yang dapat menyebabkan
kematian dan kecacatan. Oleh karena itu imunisasi dianjurkan diberikan pada berbagai
kelompok umur dari bayi sampai lansia.

Daftar pustaka
1. Andre FE, Booy R, Bock HL, Clemens J, Datta SK, John TJ, et al. Vaccination greatly
reduces disease, disability, death and inequity worldwide. Bulletin WHO. 2008; 86: 81-
160.
2. World Health Organization. Health in the sustainable development goal era. www//WHO.
INT/SDGS, 2015.
3. Pollard AJ. Future program on immunization. Arch Dis Child 2007;92:426-33.
4. Global Alliance for Vaccine and Immunization. The growing Immunization gap. GAVI,
2000.
5. World Health Organization. Vaccine Introduction Guidelines: Adding a vaccine to a national
immunization program: decision and implementation, 2010. WHO/IVB/05.18.
6. Bloom DE, Canning D, Weston. The value of vaccination. World Econ, 2005; 6: 16-39.
7. Ehreth J. The global value of vaccination. Vaccine. 2003;21:596-600.
8. World Health Organization. World Immunization Week 2017. Vaccine work to protect in-
dividual and community.WHO, Geneva 2017.
9. Boelen C. Towards unity for health. WHO, Geneva, 2000
10. MMWR. Waning immunity and susceptibility to disease. MMWR 2011;60:41-9.
11. Bedford H, Elliman D. Concerns about immunization. BMJ 2000; 320: 240-3.
12. WHO SEARO. Country health system profile. www/searo.who.int/listfiles/country_ health_
system_profile.
13. Hadinegoro SR, Ismoedijanto M. The value of vaccination. Dalam: Pedoman imunisasi di
Indonesia. Gde Ranuh, Suyitno H, Hadinegoro SR, Kartasamita CB, Ismoedijanto M, Soed-
jatmiko, penyunting. Edisi kelima. Satgas Imunisasi IDAI, Badan Penerbit IDAI, Jakarta
2014.h.9-23.

44 Kumpulan Makalah Lengkap Plenary


Forming Intelligent Children by Fighting Iron
Deficiency Anemia
Sutaryo
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada / RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta

Abstract
Indonesia’s human development index (HDI) posessed the 113th rank of 188 countries. The gross national
income was categorized as low, indicating that wealth was beyond our reach. Hence, it is difficult to
compete with global society in equivalent manner. An important aspect of HDI was intelligence of
the human resources. Good human resources should be supported by good nutritional status, for which
iron status has an important role. Iron deficiency may contribute to anemia. The prevalence of anemia
in Indonesia was approximately 21.7%. The figures were higher in the pregnant women, infant, and
school-aged children.
It is acknowledged that 0-2 years old was the golden period of brain development. Iron deficiency
inhibited this crucial process. Consequently, children may have disturbances of cognitive function, motor
function, work capacity and activities. Some risk factors contributing to the anemia include low birth
weight, prematurity, lack of exclusive breastfeeding, inappropriate consumption of iron inhibitor, or
inadequate intake of iron enhancer.
Early recognition of iron deficiency state and its risk factors, we may modify the children’s future. It is
expected that our next generation will have bright intelligence. Through their hands Indonesia will
subsequently be brought to the welfare.

I
ndeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia tahun 2015 berada pada urutan 113
dari 188 negara. IPM meliputi tiga aspek yaitu kesehatan (angka harapan hidup, AHH),
pendidikan (lama menempuh pendidikan), dan kesejahteraan (pendapatan per kapita).
Dibandingkan tahun 1990, pada tahun 2015 Indonesia mengalami peningkatan IPM
sebesar 30,5% (Tabel 1). Indonesia termasuk ke dalam kelompok negara berkembang tahap
menengah yang setara dengan negara-negara di Asia Selatan. Diantara negara ASEAN,
Indonesia berada di bawah Singapura, Brunei, Malaysia dan Thailand (Gambar 1).1
United Nation Development Programme (UNDP) tahun 2015 menunjukkan bahwa
AHH tertinggi yaitu umur 84 tahun dimiliki oleh Hongkong.1 Sementara itu beberapa
provinsi di Indonesia yang memiliki AHH tinggi Berdasarkan data Badan Pusat Statistik
Indonesia tahun 2016 adalah Daerah Istimewa Yogyakarta (75 tahun), Kalimantan Timur
(74 tahun), Jawa Tengah (73 tahun), Jakarta dan Jawa Barat (72 tahun). Sedangkan rata-rata
AHH terendah tercatat di Provinsi Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku,

45
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Tabel 1. Komponen Indeks Pembangunan Manusia Indonesia sejak tahun 19901
Angka Hara- Waktu yang diharapkan Waktu menem- Pendapatan Nilai
pan Hidup dalam menempuh pen- puh pendidikan kasar negara per IPM
didikan kapita
1990 63,3 10,1 3,3 4270 0,528
1995 65,0 10,1 4,2 5844 0,564
2000 66,3 10,6 6,7 5243 0,604
2005 67,2 10,9 7,4 6495 0,632
2010 68,1 12,3 7,4 8234 0,662
2011 68,3 12,6 7,5 8607 0,669
2012 68,5 12,9 7,6 9017 0,677
2013 68,7 12,9 7,8 9392 0,682
2014 68,9 12,9 7,9 9703 0,686
2015 69,1 12,9 7,9 10053 0,689

Papua, dan Papua Barat yang merupakan provinsi di Indonesia Timur. Perbedaan AHH
tersebut mencerminkan bahwa belum seluruh masyarakat Indonesia hidup sejahtera.2

Gambar 1. Indeks Pembangunan Manusia ASEAN1

Di bidang pendidikan, standar kelulusan ujian akhir sekolah berstandar nasional


(UASBN) sekolah dasar berada pada nilai 4,01 untuk setiap mata pelajaran. Meskipun
demikian, standar kelulusan dikembalikan sesuai kebijakan masing-masing sekolah. Badan
Akreditasi Nasional Sekolah menunjukkan mayoritas SD hingga SMA/SMK terakreditasi
B pada tahun 2008-2012.3 Programme for International Student Assessment (PISA) 2015
terhadap sistem pendidikan menunjukkan bahwa dalam kemampuan ilmiah, Indonesia
berada pada peringkat 62 dari 70 negara. Survei ini menunjukkan kemampuan pelajar
usia <15 tahun di bidang sains, membaca, matematika, dan penyelesaian masalah. Aspek-
aspek tersebut dipandang sebagai kemampuan utama untuk hidup di masyarakat modern
saat ini.4 Dengan standar tersebut, tidak mengherankan jika kualitas lulusan Indonesia
sulit bersaing dengan masyarakat global.

46 Kumpulan Makalah Lengkap Plenary


Pendapatan per kapita Indonesia adalah US$ 3.440 pada tahun 2015. Nilai ini
menempatkan Indonesia pada urutan 146 dari 217 negara. Dibandingkan negara ASEAN
lainnya, Indonesia berada di bawah Singapura, Brunei, Malaysia, Thailand, dan Filipina.5
Keadaan ini menggambarkan bahwa kemiskinan masih mendominasi dan mayoritas
masyarakat prasejahtera memiliki tingkat penghasilan yang relatif rendah.6
IPM menggambarkan kualitas manusia. Strategi meningkatkan kualitas sumber daya
manusia (SDM) dimulai sejak dalam kandungan. Seorang anak harus ditunjang oleh
kecukupan gizi untuk menjamin pertumbuhan dan perkembangannya. Salah satu zat gizi
yaitu besi, diperlukan dalam pembentukan sel otak. Dampak defisiensi besi secara kasat
mata dapat dilihat dari aspek prestasi dan kualitas hidup anak saat ini maupun saat remaja
dan dewasa.7

Epidemiologi anemia defisiensi besi (ADB)


Anemia didefinisikan sebagai kadar hemoglobin (Hb) dalam darah kurang dari -2SD
pada rata-rata kelompok populasi berdasarkan usia, jenis kelamin, dan geografis serta
disertai bukti rendahnya cadangan besi tubuh.8 Populasi paling rentan adalah anak usia
pra-sekolah (6-59 bulan) dan wanita usia subur (WUS, usia 15-49 tahun). Secara global,
prevalensi anemia pada anak usia 6-59 bulan adalah 42,6 %, sedangkan WUS sebesar
29,4%. Wanita hamil lebih sering mengalami anemia (38,2%) dibandingkan wanita
tidak hamil (29,0%). Secara regional, anemia lebih sering dijumpai di Asia Tenggara,
Mediterania Timur, dan Afrika. Prevalensi anemia di Asia Tenggara adalah 53,8% (anak-
anak) dan 41,9% (WUS).9
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Indonesia tahun 2013 menunjukkan bahwa
prevalensi anemia pada usia 1-24 tahun sebesar 21,7%.10 Berdasarkan penggolongan
umur tersebut, prevalensi anemia di Indonesia adalah sebagai berikut :

Tabel 2. Prevalensi anemia berdasarkan kelompok umur di Indonesia tahun 201310


Kelompok Umur Anemia (%)
12 – 59 bulan 28,1 %
5 – 14 tahun 26,4 %
15 – 24 tahun 18,4 %
Ibu Hamil
Pedesaan 37,8 %
Perkotaan 36,4 %

Anemia pada anak kurang dari satu tahun masih sangat tinggi. Survei Kesehatan
Rumah Tangga (SKRT) 2001 menunjukkan bahwa 61,3 % bayi usia 0-6 bulan dan
64,8% usia 6-12 bulan mengalami anemia.11 Pada usia 0-6 bulan, kejadian ADB paling
tinggi pada usia 3-4 bulan.12,13

47
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Zat besi dan proses perkembangan otak
Perkembangan otak sudah dimulai sejak dalam kandungan. Sejak usia 22-44 minggu
setelah konsepsi, terjadi perubahan struktural dan fungsional (Gambar 2). Pembentukan
lobus, girus, dan sulkus disertai peningkatan kompleksitas otak dengan pertumbuhan
neuron dan sinaps. Mielinisasi menjadi sangat rentan apabila terjadi kekurangan nutrisi
selama periode ini.14
Kebutuhan zat besi pada janin meningkat selama trimester akhir untuk proses
pembentukan neuron dan metabolisme energi. Konsentrasi besi dalam otak paling tinggi
saat lahir. Kadarnya akan menurun ketika bayi mengalami masa peralihan dari ASI ke
MPASI. Konsentrasi ini akan meningkat lagi untuk proses mielinisasi. Besi berperan
dalam sintesis neurotransmiter monoamin yaitu serotonin dan dopamin.15 Melalui
pembentukan akson dan sinaps, neurotransmiter ini berpengaruh dalam fungsi otak,
pembentukan mood dan perilaku (inhibisi, afek, perhatian, motorik).15,16
ADB menyebabkan gangguan metabolisme pada hippocampus dan korteks prefrontal.
Konsentrasi glutamat pada neuron akan meningkat yang diimbangi dengan penurunan
konsentrasi dopamin. Hal ini menyebabkan dari perubahan kecepatan berpikir
(mielinisasi), perubahan motorik dan afek (neurotransmiter), serta pengenalan memori
(hippocampus).14

 
Gambar 2. Proses perkembangan otak manusia
17

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, cerdas adalah tajam pikiran atau sempurna
perkembangan akal budinya atau sempurna pertumbuhan tubuhnya.18 Salah satu aspek
dari akal budi adalah fungsi kognitif.15 Anak dengan defisiensi besi kronis memiliki skor
mental dan fungsi motorik lebih rendah.19 Anak menjadi lebih penakut, menarik diri,
tegang, tidak peka, kurang aktif, dan tidak bahagia.20 Selanjutnya, anak akan berisiko
mengalami gangguan perkembangan jangka panjang.16

48 Kumpulan Makalah Lengkap Plenary


Pertumbuhan dapat diukur melalui berat dan tinggi badan. Penelitian di
Cina menyebutkan bahwa anemia berkaitan dengan malnutrisi pada anak. Anemia
meningkatkan risiko berat badan kurang (OR 2,42, IK 95% 1,50-3,88), pendek (OR
1,65, IK 95% 1,05-2,61), dan kurus (OR 2,89, IK 95% 1,45-5,76).21

Faktor risiko ADB


Bayi berisiko tinggi mengalami anemia defisiensi besi. Hal ini dipengaruhi oleh tiga hal
utama, yaitu 1) peningkatan kebutuhan zat besi terutama pada kondisi bayi berat lahir
rendah (BBLR), kurang bulan, kehamilan ganda, proses pertumbuhan, dan kadar Hb yang
rendah saat lahir; 2) kehilangan darah pada masa perinatal; dan 3) faktor nutrisi, seperti
tidak mendapat ASI eksklusif, penggunaan susu formula terlalu dini, dan kandungan zat
besi yang rendah.22
Bayi yang lahir dari ibu dengan anemia mempunyai risiko tiga kali lipat menderita
anemia. Bila bayi tidak mendapat suplementasi selama satu tahun pertama maka akan
terjadi anemia defisiensi besi.23 Bayi kurang bulan dan BBLR memiliki risiko 10 kali lipat
lebih tinggi untuk mengalami ADB. Kelompok bayi ini memiliki cadangan zat besi yang
lebih rendah dibandingkan dengan bayi cukup bulan.24 Cadangan yang kurang ini tidak
dapat mengimbangi peningkatan kebutuhan besi saat pacu pertumbuhan pada usia dua
tahun pertama.11
Pada saat proses kelahiran, pemotongan tali pusat yang terlalu cepat dapat mengurangi
cadangan besi sebesar 15-30%. Bila ditunda selama 3 menit, volume sel darah merah
dapat bertambah sekitar 58%.25 26
Faktor nutrisi juga berperan dalam ADB. ASI mengandung zat besi yang memiliki
bioavailabilitas lebih tinggi dibandingkan dengan susu formula. Oleh karena itu ASI
merupakan sumber zat besi utama pada usia 6 bulan pertama. ASI eksklusif dari ibu
dengan ADB, meskipun diberikan secara eksklusif, tidak dapat mengatasi defisiensi besi
pada bayinya.27 Angka cakupan ASI ekslusif di Indonesia sudah memenuhi target WHO
sebesar 55,7%. Provinsi dengan pencapaian terendah adalah Sulawesi Utara (26,3%)
sedangkan yang tertinggi adalah Nusa Tenggara Barat (86,9%).6
Setelah usia 6 bulan, komposisi besi pada ASI tidak mampu mencukupi kebutuhan
bayi. Pada saat ini dibutuhkan makanan pendamping ASI (MPASI) untuk memenuhi
kebutuhan besi. Pengenalan MPASI terlalu dini (usia <4 bulan) atau terlalu lama (usia
>6 bulan) akan meningkatkan risiko anemia dua kali lipat.21 Jenis MPASI yang diberikan
juga memengaruhi risiko terjadinya ADB. MPASI sebaiknya mengandung sumber zat
besi yang langsung diserap tubuh atau berbentuk heme (Tabel 3). Zat besi non heme yang
lebih sulit diserap terdapat pada sayur dan kacang.28

49
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Tabel 3. Kandungan besi pada MPASI22
Makanan Kandungan besi (mg) Satuan
Susu 0,5-1,5 Liter
Telur 1,2 Butir
Sereal (fortifikasi) 3,0-5,0 Ons
Sayuran (amilum)
Kuning 0,1-0,3 Ons
Hijau 0,3-0,4 Ons
Daging (berserat)
Sapi, domba, hati 0,4-2,0 Ons
Buah (berserat) 0,2-0,4 Ons

Penyerapan zat besi dapat ditingkatkan melalui sediaan besi heme (daging, unggas,
ikan, makanan laut); asam askorbat atau vitamin C (buah, jus, kentang, sayuran hijau,
kubis, kol); dan makanan yang difermentasi termasuk kecap. Sementara itu, komponen
yang dapat menghambat penyerapan besi adalah fitat (serealia, tepung, kacang-kacangan);
inositol; tanin (teh, kopi, coklat, produk herbal, rempah, beberapa sayuran); serta kalsium
pada susu dan produknya.8
Pola konsumsi enhancer dan inhibitor penyerapan zat besi yang tidak seimbang pada
anak di Indonesia merupakan salah satu faktor risiko utama. Anak dengan konsumsi
vitamin C di bawah angka kecukupan gizi (AKG) terbukti berkaitan dengan kejadian
anemia.28 Selain itu kebiasaan minum teh sudah menjadi budaya. Dalam teh terdapat
tanin-polifenol yang mengikat mineral besi (termasuk seng dan kalsium) sehingga
penyerapan zat besi berkurang.29 Sebuah penelitian di Denpasar menunjukkan bahwa
proporsi anak yang terbiasa mengkonsumsi teh setiap hari ternyata mengalami anemia
defisiensi besi.30
Faktor risiko anemia lain yang tidak boleh dilupakan adalah manifestasi parasit. Infeksi
parasit yang disebabkan terutama oleh cacing tambang dan cacing gelang berhubungan
signifikan dengan kejadian anemia.31 WHO merekomendasikan tindakan pencegahan
dua kali setiap tahun untuk negara dengan prevalensi lebih dari 20% termasuk Indonesia,
dilakukan.32

Diagnosis ADB
Defisiensi besi terjadi melalui tiga tahapan. Pertama adalah penurunan cadangan besi di
jaringan tanpa adanya perubahan hematokrit atau besi serum. Pada saat ini, kadar feritin
serum terdeteksi rendah. Selanjutnya terjadi eritropoiesis disertai defisit besi. Cadangan
besi makrofag pada tahap ini benar-benar habis. Kadar besi serum akan menurun dan
total iron-binding capacity (TIBC) meningkat tanpa disertai perubahan hematokrit.
Eritropoiesis terhambat akibat kekurangan besi dan peningkatan reseptor transferin serum.
Tahap terakhir adalah anemia defisiensi besi. Eritrosit menjadi mikrositik hipokromik.

50 Kumpulan Makalah Lengkap Plenary


Terdapat pula peningkatan RDW (red cell distribution width) dan FEP (free erythrocyte
protoporphyrin). Tahap defisiensi besi berlangsung cukup lama sehingga sebagian besar
eritrosit yang bersirkulasi terbentuk dalam kondisi kekurangan besi. (Tabel 4).22,33
Defisiensi besi didefinisikan jika 2 dari 3 indikator besi terpenuhi : SF (<10 µg/L),
zinc protoporphirin (>142 µmol/L sel darah merah), dan saturasi transferrin (<10%);
ADB didefinisikan defisiensi besi dengan anemia.
Sebagian besar pasien memiliki hasil pemeriksaan normal. Manifestasi klinis yang
dapat ditemukan bergantung pada organ sasaran hipoksia: (1) Susunan saraf pusat:
pusing, sakit kepala, mengantuk, dan lesu; (2) Kardiovaskular: nadi cepat; (3) Kulit dan
mukosa: kulit dan konjunctiva pucat, koilonikia, glositis, stomatitis angularis, sklera
biru, sensitif terhadap suhu rendah, disfagia, rambut rontok; (4) Imunologi: rentan
terinfeksi akibat gangguan proliferasi limfosit dan diferensiasi monosit/makrofag; (5)
Metabolik: gangguan pertumbuhan seperti stunting. Berdasarkan Pantauan Status Gizi
Nasional (PSGN) 2016, prevalensi balita stunting di Indonesia 27,5%. 27,34–37data on the
influence of iron deficiency on immune function are often perceived as being confusing
and contradictory.We aimed to evaluate the effect of iron deficiency anemia on humoral,
cellular, nonspecific immunity, and also the effect on the cytokines that are the key factors
of many immunologic steps.Forty children with iron deficiency anemia and 20 age and
sex-matched healthy children were included. All children were subjected to full medical
history, thorough clinical examination, complete blood count, iron indices (serum iron,
serum total iron-binding capacity, serum ferritin, and transferrin saturation

Tabel 4. Spektrum status besi33


Indikator Defisiensi besi tanpa Anemia defisiensi besi
anemia
SFa ↓ ↓↓
Saturasi transferrin ↓ ↓
TfR1 b
↑↑ ↑↑↑
Ret He atau CHr b
↓ ↓
Hb Normal Usia 6-59 bulan : < 11 g/dl
Usia 5-11 tahun : <11,5 g/dl
Usia 12-14 tahun : <12 g/dl
Usia > 15 tahun ♂ : <13 g/dl
♀ : < 12 g/dl
Wanita hamil : < 11 g/dl386
MCV Normal ↓
a
Dipengaruhi oleh adanya inflamasi. Jika SF normal atau meningkat dan CRP normal, tidak ada defisiensi
besi. Jika SF menurun, terdapat defisiensi besi tanpa mempertimbangkan CRP. Jika SF normal atau
meningkat dan level CRP meningkat, defisiensi besi tidak dapat ditentukan.
b
Penggunaanya masih terbatas dan standar untuk bayi dan anak belum ditetapkan.

Pendekatan diagnosis dapat dilakukan dengan memonitor respon terhadap terapi


besi, terutama jika riwayat makanan yang dikonsumsi kurang mengandung zat besi.

51
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Peningkatan Hb 1 g/dl setelah 1 bulan terapi, dapat digunakan untuk menegakkan
defisiensi besi.33

Bagaimana memerangi ADB?


Indonesia melalui Ikatan Dokter Anak Indonesia telah berperan aktif secara nyata
mengurangi ADB pada anak Indonesia dengan membentuk satuan tugas anemia defisiensi
besi (Satgas ADB). Salah satu hasil kerja utama Satgas ADB adalah panduan Rekomendasi
Suplementasi Besi untuk Anak yang telah diterbitkan tahun 2011. Panduan ini bertujuan
untuk membantu mencegah dan menurunkan angka kejadian ADB pada anak Indonesia.7
Pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan pengetahuan kepada masyarakat
dan memberikan suplementasi besi pada target yang sesuai. Pengetahuan meliputi faktor
risiko dan cara menghindari terjadinya ADB (Tabel 5).
Untuk mencegah faktor risiko akibat infeksi, dapat diupayakan dengan program
pengontrolan infeksi oleh tenaga kesehatan dan pemerintah. Serta mengajak masyarakat
untuk menjaga kebersihan makanan dan lingkungan.8

Terapi ADB
Prinsip utama terapi ADB adalah termasuk mendiagnosis, mencari penyebab anemia dan
mengatasi penyebab, mengganti defisiensi, meningkatkan nutrisi dan mengedukasi pasien
dan keluarga.

Tabel 5. Rekomendasi suplementasi besi8,11


Waktu Intervensi Faktor Risiko Rekomendasi
Saat kehamilan • Ibu dengan ADB • Suplementasi besi 60 mg/hari
• Infeksi cacing • Suplementasi asam folat 400 mcg/hari
• Makanan kaya besi
• Pemberantasan cacing
Saat persalinan • Terlalu dini • Menunda pemotongan tali pusat (hingga pulsasi ber-
memotong tali henti ± 2menit) bila bayi bugar
pusat
Pasca kelahiran • Inisiasi Menyusui • Menunda menimbang dan memandikan bayi selama 1
Dini (IMD) ku- jam pertama bila bayi bugar
rang dari 1 jam
Bayi kurang bulan/ • Kebutuhan besi • Suplementasi besi 3 mg/kgBB/ hari dimulai saat usia 1
BBLR tinggi bulan sampai 2 tahun
• ASI eksklusif
• Bila ASI tidak dapat diberikan, maka diberi pengganti
ASI terfortifikasi besi
Bayi cukup bulan • Rendahnya ang- • Suplementasi besi 2 mg/kgBB/hari diberikan sejak usia
ka cakupan ASI 4 bulan sampai 2 tahun
eksklusif • ASI eksklusif
• Bila ASI tidak dapat diberikan, maka diberi pengganti
ASI terfortifikasi besi

52 Kumpulan Makalah Lengkap Plenary


Waktu Intervensi Faktor Risiko Rekomendasi
Balita • Rendahnya • Suplementasi besi 1 mg/kgBB/hari, 2x/minggu selama
(2-5 tahun) dan asupan zat besi 3 bulan berturut-turut setiap tahun
anak usia sekolah dalam makanan • MPASI dengan kandungan zat besi yang tinggi (Tabel
(>5-12 tahun) 3)
Infeksi cacing
Pencegahan cacing (perilaku hidup bersih dan sehat serta medikamentosa preventif )
• Kebiasaan makan • Memberi jeda 2 jam bila akan mengkonsumsi makanan
yang kurang yang menghambat penyerapan zat besi (teh, kopi,
tepat coklat, susu)
• Makan makanan yang meningkatkan penyerapan besi
bersama dengan jam makan (buah, jus, kentang, sayu-
ran hijau, kubis, kol)
Remaja perempuan • Menstruasi • Suplementasi besi 60 mg/hari
• Suplementasi asam folat 400 mcg/hari
a
Angka kecukupan gizi (AKG) zat besi untuk usia 7-12 bulan : 11 mg/hari, usia 1-3 tahun : 7 mg/hari, usia
4-8 tahun 10 mg/hari.40 Sumber protein hewani paling banyak mengandung zat besi adalah hati ayam den-
gan kandungan 9,7 mg dalam 75 gram, sedangkan dalam semangkuk bayam hanya 3.4 mg zat besi.41

Pemberian terapi besi oral bertujuan untuk mengoreksi kadar Hb dan mengganti
cadangan besi tubuh. Dosis yang digunakan adalah 4-6 mg/KgBB/hari besi elemental
diberikan tiga kali sehari selama 10-12 minggu sehingga dapat mengembalikan cadangan
besi tubuh dan serum ferritin kembali normal.42 Efek samping yang dapat terjadi berupa
konstipasi, diare, mual dan muntah karena rasa logam, serta feses yang berwarna gelap.22
Pemberian secara parenteral hanya diberikan jika pemberian secara oral tidak dapat
ditoleransi, anemia harus dikoreksi cepat, dan gangguan penyerapan, contoh celiac disease
atau inflammatory bowel disease. Efek samping yang ditimbulkan berupa reaksi alergi,
anafilaksis, dan hipotensi.43
Penting untuk mengetahui etiologi defisiensi zat besi untuk mencegah kegagalan
terapi dan kambuhnya anemia setelah pengobatan dihentikan, terutama di usia anak-anak
yang lebih tua yang cenderung memiliki ADB sekunder. Pengobatan tersebut meliputi
penanganan kecacingan, giardiasis, perdarahan kronis dari lokasi manapun, dan infeksi
berulang harus diobati.43

Penutup
Anemia defisiensi besi sangat berperan dalam proses perkembangan otak anak. Jika
dibiarkan begitu saja, maka kualitas manusia Indonesia tidak akan bisa bersaing dengan
masyrakat global. Anemia defisiensi besi merupakan anemia yang paling mudah untuk
dicegah. Program pencegahan harus ditinjau apakah sudah terlaksana dengan baik dan
diperlukan partisipasi dari masyarakat untuk meningkatkan pengetahuannya tentang
pencegahan ADB.

53
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Daftar pustaka
1. United Nations Development Programme. Indonesia [Internet]. Briefing note for countries
on the 2016 Human Development Report. New York; 2016.
2. Kementerian Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia 2015. 2016. 403 p.
3. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia Nomor 3 tahun 2017. Jakarta; 2017.
4. Organisation for Economic Co-operation and Development. PISA 2015 Results in Focus.
PISA 2015 Results in Focus. 2016.
5. World Bank. World Development Indicators [Internet]. Washington DC; 2017.
6. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia 2015. Jakarta; 2016.
7. SATGAS ADEBE IDAI. Bersama untuk Anak Indonesia Bebas Anemia Defisiensi Besi.
Buletin IDAI. 2016;4–5.
8. World Health Organization. Iron Deficiency Anaemia: Assessment, Prevention and Control
[Internet]. Iron Deficiency Anaemia. New York; 2001.
9. World Health Organization. The Global Prevalence of Anaemia in 2011 [Internet]. WHO
Library Cataloguing-in-Publication Data. Geneva; 2015.
10. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS)
2013. Laporan Nasional 2013. 2013.
11. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Suplementasi Besi untuk Anak. 1st ed. Gatot D, Idjradinata
P, Abdulsalam M, Lubis B, Soedjatmiko, Hendarto A, et al., editors. Rekomendasi Ikatan
Dokter Anak Indonesia. Jak: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011. 1-23 p.
12. Krishnaswamy S, Bhattarai D, Bharti B, Bhatia P, Das R, Bansal D. Iron Deficiency and Iron
Deficiency Anemia in 3-5 months-old, Breastfed Healthy Infants. Indian J Pediatr. 2017;1–4.
13. Ringoringo HP, Windiastuti E. Profil Parameter Hematologik dan Anemia Defisiensi Zat
Besi Bayi Berumur 0-6 Bulan di RSUD Banjarbaru. Sari Pediatr. 2006;7(4):214–6.
14. Georgieff MK. Nutrition and the Developing Brain. Am J Clin Nutr. 2007;85:614S–620S.
15. Beard J. Iron Deficiency Alters Brain Development and Functioning. J Nutr.
2003;1468S–1472S.
16. Lozoff B, Jimenez E, Wolf AW. Long-Term Development Outcome of Infants with Iron
Deficiency. N Engl J Med. 1991;325:687–94.
17. Casey BJ, Tottenham N, Liston C, Durston S. Imaging the developing brain: What have we
learned about cognitive development? Trends Cogn Sci. 2005;9(3):104–10.
18. Pusat Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Vol. 1. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama; 2008. 103 p.
19. Canadian Pediatric Society. Iron needs of babies and children. Paediatr Child Heal.
2007;12(4):333–6.
20. Lozoff B, Wolf AW, Urrutia JJ, Viteri FE. Abnormal behavior and low developmental test
scores in iron-deficient anemic infants. JDBP. 1985;6(2):69–75.
21. Yang W, Li X, Li Y, Zhang S, Liu L, Wang X, et al. Anemia, malnutrition and their correla-
tions with socio-demographic characteristics and feeding practices among infants aged 0–18
months in rural areas of Shaanxi province in northwestern China: a cross-sectional study.
BMC Public Health [Internet]. 2012;12(1127):1–7.

54 Kumpulan Makalah Lengkap Plenary


22. Lanzkowsky P. Iron-Deficiency Anemia. In: Lanzkowsky’s Manual Pediatric Hematology and
Oncology. 5th ed. Tokyo: Elsevier; 2011. p. 69–70.
23. Meinzen-Derr JK, Guerrero ML, Altaye M, Ortega-Gallegos H, Ruiz-Palacios GM, Morrow
AL. Risk of infant anemia is associated with exclusive breast-feeding and maternal anemia in
a Mexican cohort. J Nutr. 2006;136(2):452–8.
24. Widiaskara I, Pramitha P, Bikin S, Ugrasena I. Gambaran Hematologi Anemia Defisiensi
Besi pada Anak. Sari Pediatr. 2012;13(5):362–6.
25. Raspati H, Reniarti L, Susanah S. Anemia Defisiensi Besi. In: Permono BH, Sutaryo, Ugrase-
na I, Windiastuti E, Abdulsalam M, editors. Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak. 2nd ed.
Jakarta: IDAI; 2012. p. 33.
26. Chaparro CM, Neufeld LM, Tena Alavez G, Eguia-Liz Cedillo R, Dewey KG. Effect of tim-
ing of umbilical cord clamping on iron status in Mexican infants: a randomised controlled
trial. Obstetric Anesthesia Digest. 2006;187–8.
27. Abu-Ouf NM, Jan MM. The impact of maternal iron deficiency and iron deficiency anemia
on child’s health. Saudi Med J. 2015;36(2):146–9.
28. Andarina D, Sumarmi S. Hubungan Konsumsi Protein Hewani dan Zat Besi dengan Kadar
Hemoglobin pada Balita Usia 13 – 36 Bulan. Indones J Public Heal. 2006;3(1):19–23.
29. Besral, Meilianingsih L, Sahar J. Pengaruh minum teh terhadap kejadian anemia pada usila
di kota Bandung. Makara Kesehat [Internet]. 2007;11(1):38–43.
30. Dewi KML, Sutiari NK, Wulandari LPL. Status anemia gizi besi dan konsumsi zat gizi pada
anak usia sekolah di lima panti asuhan di Kota Denpasar. Arc Com Heal. 2012;1(1):35–42.
31. Osazuwa F, Ayo OM, Imade P. A significant association between intestinal helminth infec-
tion and anaemia burden in children in rural communities of Edo state, Nigeria. N Am J
Med Sci. 2011;3(1):30–4.
32. World Health Organization (WHO). Soil-transmitted helminth infections. 2016. p. 1–4.
33. Baker RD, Greer FR. Diagnosis and prevention of iron deficiency and iron-deficiency anemia
in infants and young children (0-3 years of age). Pediatrics [Internet]. 2010;126(5):1040–50.
34. Hassan TH, Badr MA, Karam NA, Zkaria M, El Saadany HF, Abdel Rahman DM, et al. Im-
pact of iron deficiency anemia on the function of the immune system in children. Medicine
(Baltimore) [Internet]. 2016;95(47):1–5.
35. Ferri FF. FERRI’S CLINICAL ADVISOR 2015. Philadelphia: Elsevier Inc.; 2015.
36. Miller JL. Iron deficiency anemia: A common and curable disease. Cold Spring Harb Per-
spect Med. 2013;3(7):1–13.
37. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Buku Saku Pemantauan Status Gizi dan Indika-
tor Kinerja Gizi Tahun 2015. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI; 2016. 42-84 p.
38. WHO. Haemoglobin concentrations for the diagnosis of anaemia and assessment of severity.
Geneva, Switz World Heal Organ. 2011;1–6.
39. Lynch S. Assessing the iron status of populations [Internet]. 2nd ed. World Health Organiza-
tion. Geneva: WHO Library Cataloguing-in-Publication Data; 2007. 655-666 p.
40. Canadian Pediatric Society. Iron needs of babies and children. Paediatr Child Health.
2007;12(4):333–6.
41. Canada D of. Food Sources of Iron. 2010.

55
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
42. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Anemia defisiensi besi. In: Pudjiadi AH, Hegar B, Handryas-
tuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED, editors. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan
Dokter Anak Indonesia. 1st ed. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2009. p. 10–3.
43. Ozdemir N. Iron deficiency anemia from diagnosis to treatment in children. Türk Pediatr
Arşivi [Internet]. 2015;50(1):11–9.

56 Kumpulan Makalah Lengkap Plenary


Lesson Learnt from Diarrhea Research: Moral
and Social Responsibility of Researcher
Yati Soenarto
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta

Abstract
Global civilization widely develops but diarrhea stays as a problem. World Health Assembly (WHA)
defines that the priority of the problem today is non-communicable diseases (NCDs). Although NCDs
have become burdens of mortality and morbidity in recent years, the communicable disease specifically
diarrhea still takes a part in the children morbidity. Why diarrhea in children still lingers? Diarrhea and
NCDs are not comparable because both have different denominators. The stratified disability-adjusted
life-years (DALYs) analysis based on age show that diarrhea is still prevalent on pre-school aged children.
On the other hand, NCDs show higher prevalence on adults and tend to affect younger people. Even
infants and toddlers are affected by risk factors such as hypertension and obesity. Thus, if diarrhea is not
yet completely overcome, it will probably be double burdens on children later or even now.
Sanitation and hygiene are not adequate to overcome diarrhea problems, because rotavirus – the reason
of most diarrhea incidences on children under five years old – is pathogen which cannot be overcome
by LINTAS Diare, sanitation and hygiene. The most recent breakthrough to control diarrhea is the
invention of rotavirus vaccine. Sustainable surveillance will make it possible to identify another pathogen
contributing to diarrhea. Such condition opens opportunity for researchers and clinicians to contribute
new findings to be implemented for improving the children’s quality of life. Such research requires the
researchers to bear the moral philosophy and social responsibility.

M
erupakan suatu kehormatan mendapat tugas PP IDAI untuk menyampaikan
tulisan ilmiah bertema “Implementing Advances in Pediatrics for Better Child
Health” dalam pertemuan akbar ini. Untuk dapat menjelaskan tema yang telah
ditentukan tersebut, saya akan menyampaikan perkembangan diare yang telah diteliti sejak
lebih dari 5 dekade, tepat 10 tahun setelah ditemukannya terobosan besar dunia yaitu
Upaya Rehidrasi Oral (URO) yang diikuti dengan zinc. Kedua penemuan besar tersebut
terbukti secara bermakna dapat menurunkan kematian anak akibat diare. Kesempatan
ini merupakan saat yang tepat untuk berbagi keprihatinan akan beban mortalitas dan
morbiditas anak karena penyakit diare. Lesson learnt dari temuan masa lalu, sekarang,
dan yang akan datang beserta hasil implementasinya merupakan langkah-langkah strategis
untuk menuntaskan permasalahan diare yang tidak kunjung usai. Inilah salah satu bentuk
tanggung jawab moral dan sosial sebagai peneliti sekaligus pelayan kesehatan dan pendidik
yang menyatu/embedded dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi.

57
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Peradaban dunia sudah maju tetapi diare masih tetap menjadi masalah. World Health
Assembly (WHA) menentukan prioritas masalah saat ini adalah non-communicable diseases
(NCDs) karena menimbulkan beban mortalitas maupun morbiditas yang tinggi. Akan
tetapi, communicable diseases terutama diare masih termasuk ke dalam kelompok penyebab
kematian terbesar pada anak.1 Oleh karena itu, diare tidak boleh dilupakan dan semua
dokter anak harus kompeten dalam mencegah dan mengobati diare secara paripurna.
Upaya pencegahan dan pengobatan harus selalu berbasis bukti yang berlandaskan temuan
penelitian ilmiah terkini. Terkait hal ini, timbul pertanyaan: sumbangan temuan penelitian
diare apakah yang berperan terhadap pencapaian target SDGs melalui MDGs?
Untuk memahami pertanyaan di atas, perkenankan saya memulai dari peran diare
dalam mencapai SDGs 2030, yang tentunya sudah melalui Millenium Development Goals
(MDGs) tahun 2015.2 Salah satu poin yang disepakati sejak September 2015 adalah
mengeliminasi kematian bayi dan balita.3 Bagaimana kondisi di Indonesia? Angka kematian
bayi baru lahir tahun 2015 sudah mencapai 13,5 per 1.000 kelahiran hidup sementara
sasaran SDGs setidaknya 12 pada tahun 2030. Sedangkan angka kematian balita Indonesia
adalah 27,2 per 1.000 kelahiran hidup dengan target yang ingin dicapai adalah 25 pada
tahun 2030.4 Setelah sasaran MDGs dalam mengurangi angka kematian balita bisa diraih,
penelitian diare apa lagi yang masih bisa disumbangkan dengan melihat evaluasi mulai
dari perencanaan sampai dengan penerapannya? Melihat pencapaian tersebut, bukankah
kita optimis bahwa sasaran SDGs akan dapat dicapai sebelum tahun 2030?
Meskipun penurunan mortalitas telah berhasil dicapai, namun morbiditas diare
masih tinggi.1 Bagaimanakah nasib anak-anak yang pernah diare dan tidak meninggal
tetapi mengalami malnutrisi, defisiensi zinc, dan berisiko mengalami diare berulang?
Parameter morbiditas diare pada anak yang dapat diacu antara lain health life expectancy
(HALE), disability-adjusted life-years (DALYs), dan socio-demographic index (SDI).1,5 HALE
merupakan rerata usia yang diharapkan dalam kondisi sehat walafiat hingga akhirnya sakit
atau cedera. DALYs menggambarkan besarnya kesenjangan antara status kesehatan saat ini
dengan keadaan sehat yang ideal di mana seluruh populasi hidup hingga lanjut usia, bebas
dari penyakit dan kecacatan. Parameter terakhir yaitu SDI menunjukkan kesejahteraan
suatu negara. Kesejahteraan berdasarkan SDI berkorelasi positif dengan peningkatan
HALE dan disabilitas akibat penyakit atau cedera.6
Suatu studi epidemiologi global memaparkan bahwa HALE meningkat sebesar 2,9-
3,5 tahun sejak tahun 1990 hingga 2015. Fenomena serupa terjadi di Indonesia sejak tahun
2010 dimana terjadi peningkatan sebesar 1,6-2,6 tahun. DALYs akibat communicable
diseases semakin menurun digantikan oleh DALYs akibat NCDs. Pada awalnya di semua
usia, diare menempati peringkat ketiga communicable diseases yang menimbulkan
mortalitas dan morbiditas. Selama 10 tahun terakhir, DALYs akibat diare dapat direduksi
hingga lebih dari 20%. Dengan meningkatnya HALE, maka anak-anak ini rentan
berkembang menjadi generasi penerus yang tidak produktif. Perlu diingat bahwa terdapat
bukti yang menunjukkan ancaman quality of life (QoL) pada anak. Studi kohort mengenai
QoL anak dengan riwayat diare yang dilakukan oleh Guerrant et al. membuktikan adanya

58 Kumpulan Makalah Lengkap Plenary


gangguan pertumbuhan tinggi badan pada anak usia kurang dari 7 tahun sebesar 8,2
cm, penurunan kebugaran jasmani 4-6 tahun setelah episode serangan diare berulang
selama masa anak usia dini.7,8long-term deficits associated with early childhood diarrhea
and parasitic infections, we studied the physical fitness (by the Harvard Step Test Episode
berulangnya diare pada 2 tahun pertama kehidupan dapat menyebabkan penurunan IQ
serta memperpanjang lama sekolah setelah umur 9 tahun selama 12 bulan.9,10
Salah satu hal yang penting untuk diperhatikan selain mortalitas dan morbiditas
diare adalah ancaman permasalahan beban ganda penyakit pada anak. Secara global beban
penyakit terbesar yang dihadapi saat ini berasal dari NCDs sedangkan communicable diseases
seperti HIV/AIDS, malaria, pneumonia, diare, tetanus, dan campak sudah menurun.
Meskipun demikian, mengapa permasalahan diare pada anak tidak kunjung selesai?
Analisis DALYs yang sudah distratifikasi berdasar usia menunjukkan bahwa diare masih
sangat prevalens pada usia bayi dan balita. Sementara itu, NCDs memiliki angka kejadian
yang tinggi pada orang dewasa dan lanjut usia walaupun bukti-bukti menunjukkan ada
kecenderungan NCDs terjadi pada usia yang semakin muda. Bahkan faktor risiko yaitu
hipertensi dan obesitas sudah mulai terdeteksi pada usia balita sampai anak.1,11 Jadi sangat
mungkin jika permasalahan diare tidak dituntaskan, suatu saat bahkan mungkin sekarang
kita sudah menghadapi beban ganda pada anak. Sebagai ilmuan dan tenaga kesehatan
yang profesional, kita memiliki kewajiban moral dan sosial untuk memastikan beban
ganda tersebut tidak terjadi.
Menilik masalah diatas maka evaluasi manajemen diare perlu dilakukan. Penurunan
prevalensi diare tidak lepas dari temuan besar dunia yaitu URO yang dilanjutkan dengan
zinc. Berbagai penelitian sejak 1957 hingga saat ini membuahkan program yang dikenal
dengan Lima Langkah Menuntaskan Diare (LINTAS Diare).12 Meskipun demikian, diare
tetap merupakan penyumbang terbesar disabilitas pada balita. Mengapa hal itu dapat
terjadi? Suatu bukti menunjukkan bahwa pengendalian faktor risiko antara lain higienitas
dan sanitasi yang telah baik di negara maju masih menempatkan diare karena rotavirus
(pada urutan ?) sebagai mortalitas yang tinggi.13,14 Sehingga, usaha yang telah dilakukan
belum cukup. Timbul pemikiran, penelitian apalagi yang perlu dilakukan sehingga dapat
melengkapi keberhasilan pencegahan diare?

Penelitian diare : Dulu, sekarang, dan masa depan


Indonesia memiliki sejarah panjang surveilans rotavirus sejak tahun 1976, dimulai dengan
peneliti Indonesia bekerja sama dengan seorang ahli mikrobiologi penemu rotavirus, Ruth
Bishop, dibawah kepemimpinan seorang klinisi gastroenterologi anak dari Royal Children
Hospital/University of Melbourne, Graeme Barnes. Di sini ditekankan bahwa seorang
ilmuwan dasar calon penerima nobel bekerja dengan seorang klinisi dalam satu departemen,
melakukan seluruh kegiatan klinis dan laboratoris bersama. Suatu pembelajaran baik bagi
peneliti dengan pihak manajemen untuk mengembangkan sampai mengimplementasikan
modifikasi sistem sesuai dengan kearifan lokal. Dari surveilans tersebut ditemukan bahwa

59
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
rotavirus adalah penyebab tertinggi diare cair akut. Dengan demikian praktik pemberian
antibiotik pada setiap diare selama periode itu tidaklah rasional.
Sebagai kelanjutannya, pada tahun 2006 atas inisiatif WHO para peneliti rotavirus di
Asia melakukan surveilans rotavirus dengan menggunakan protokol generik WHO, yang
kemudian disebut Asian Rotavirus Surveillance Network (ARSN). Protokol ini digunakan
diseluruh dunia. Indonesia, membentuk IRSN (Indonesian Rotavirus Surveillance Network)
yang melibatkan 6 fakultas kedokteran (Unsri, UI, Unpad, UGM, Udayana, Unram)
yang terus bertambah sampai sekarang. Saat itu ditemukan 60% rotavirus positif pada
feses. Angka ini terhitung tinggi diantara negera-negara anggota ARSN. Surveilans yang
sejak saat itu sampai sekarang dilakukan merupakan penelitian yang sangat diperlukan
untuk menemukan burden of disease, evolusi strain virus, perencanaan, pengembangan
vaksin, implementasi vaksin, vaccine acceptability study, cost analysis, serta monitor dampak
pemberian vaksin. Setiap temuan baru etiologi diare, pusat kajian dalam surveilansnya
dilibatkan dalam penelitian. Kajian tersebut berupa pendidikan sumber daya manusia dan
sarana laboratorium. Skema inilah yang saat ini dikenal dengan penelitian translasional.12
Penelitian translasional berarti pengalihan penelitian ke dalam praktik dan
sebenarnya bukanlah hal baru. Dalam konteks tersebut peneliti memastikan pengobatan
baru dan pengetahuan yang didapatkan dari penelitian benar-benar mencapai sasaran
dan diimplementasikan secara tepat pada target pasien atau populasi.15 Selama ini
banyak sekali penelitian yang tidak mencapai sasaran sehingga tidak bisa dirasakan
secara langsung oleh masyarakat ketika menerima pelayanan kesehatan. Pemahaman
bahwa penelitian selalu dimulai dari bench (laboratorium) to bedside (layanan kesehatan)
nampaknya membuat klinisi menunggu temuan para ilmuwan untuk diterapkan dalam
praktik sehari-hari. Kenyataannya penelitian translasional sangat mungkin diinisiasi oleh
para klinisi karena merekalah yang selalu berhadapan dengan pasien. Dengan demikian
klinisi tentunya menemukan permasalahan yang menimbulkan pertanyaan. Pertanyaan
inilah yang berusaha dijawab melalui penelitian ilmiah. Perlu diakui betapa sulitnya
menerjemahkan suatu penelitian ilmiah menjadi sesuatu yang dapat diimplementasikan
dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat luas. Pengalaman meneliti dan melayani
pasien diare selama hampir 5 dekade menyadarkan kami bahwa butuh waktu yang tidak
sebentar dalam melakukan penelitian translasional. Setidaknya terdapat tiga hambatan
dalam penelitian translasional yaitu perbedaan budaya antar mitra (akademisi, industri,
pemerintah, masyarakat), kurangnya sumber daya, dan rumitnya regulasi.15 Saya garis
bawahi permasalahan terakhir ini sebagai hambatan terbesar, karena berbagai faktor yang
kompleks. Apakah keadaan ini tidak bisa diatasi? Jawaban atas hal tersebut merupakan
tantangan bagi kita.
Dalam kesempatan singkat ini, akan diangkat beberapa penelitian terkait upaya
memecahkan masalah diare. Di Indonesia, URO (oralit) diperkenalkan pada KONIKA I
tahun 1968 oleh Prof.Sulianti Saroso yang kala itu pernah menjabat direktur ICDDR,B
(International Centre for Diarrheal Disease Research, Bangladesh), Dhaka.12 Oralit merupakan
temuan besar dunia yang efektif dalam menurunkan angka kematian akibat diare pada

60 Kumpulan Makalah Lengkap Plenary


balita sebesar 69%. Hal ini sangat baik untuk pendidikan karena temuan ini diteliti oleh
dua residen dari FK terkemuka di Amerika Serikat yang sedang belajar di pusat tersebut
(David Nalin dan Richard Cash). Pada saat itu dehidrasi akibat kolera dapat diatasi dengan
cairan sederhana yaitu air, garam, dan gula yang diberikan per oral. Hasil guna cairan URO
tersebut pertama kali diujikan kepada para pengungsi perang kemerdekaan Bangladesh
tahun 1971. Selanjutnya penelitian ini dilanjutkan secara internasional di mana kami,
tiga peneliti dari Indonesia menjadi salah satu peneliti utama.16 Pemberian oralit saja tidak
menurunkan durasi dan frekuensi penyakit ini sementara masyarakat menginginkan obat
yang dapat menghentikan diare. Untuk menjawab masalah ini, dilakukan studi mengenai
patomekanisme di mana diketahui bahwa salah satu penyebab keparahan adalah kerusakan
epitel usus akibat defisiensi zinc. Menanggapi hal tersebut, Indonesia berpartisipasi dalam
uji daya guna zinc bersama dengan The Zinc Investigators Collaborative Group.17 Hasil
uji daya guna tersebut konsisten dengan banyak penelitian lanjutan yang menunjukkan
bahwa suplementasi zinc dapat menurunkan durasi dan frekuensi diare.18,19
Dengan besarnya manfaat zinc ditunjang oleh cost analysis yang terbukti dapat
menghemat biaya kesehatan dibentuklah Indonesian Zinc Task Force yang terdiri dari Badan
Koordinasi Gastroenterologi Anak Indonesia (BKGAI) bersama IDAI dan melibatkan
Departemen Kesehatan RI. Kerja sama antara satuan tugas ini dengan United States Agency
for International Development (USAID) bermaksud mengevaluasi program penanggulangan
diare dan implementasi zinc sebagai temuan baru. Evaluasi ini dituangkan dalam Basic
Support for Institutionalizing Child Survival (BASICS) yang selanjutnya digunakan dalam
program nasional penanggulangan diare di Indonesia.21
Sejak tahun 2001 Departemen Kesehatan meresmikan manajemen pokok yang
dikenal sebagai LINTAS Diare: 1) berikan oralit; 2) zinc selama 10 hari berturut-turut; 3)
ASI-makan; 4) antibiotik selektif; dan 5) nasihat pada ibu/keluarga.22 Selain itu, strategi
pengendalian diare juga meliputi edukasi tata laksana diare di rumah tangga, kewaspadaan
dan penanggulangan KLB diare, upaya pencegahan efektif, serta monitoring dan evaluasi.23
Hasil evaluasi BASICS menunjukkan bahwa dengan strategi tersebut, morbiditas diare
masih belum berubah di mana setiap anak diperkirakan mengalami diare berulang hampir
dua kali per tahun.21 Tingginya morbiditas diare tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi
juga di negara berkembang lainnya, bahkan di negara maju seperti Amerika Serikat.14
Melihat kondisi negara maju di mana pencegahan dan pelayanan kesehatan sudah
baik namun masih memiliki masalah yang sama dengan negara berkembang, dapat
disimpulkan bahwa sanitasi dan kebersihan saja tidak cukup untuk menuntaskan
masalah diare. Hal ini berkaitan dengan penyebab sebagian besar diare pada balita yaitu
rotavirus.13,14,24 Rotavirus adalah patogen yang tidak dapat dituntaskan dengan lima
lintas diare, sanitasi dan higienitas. Oleh karena itu, diperlukan vaksinasi sebagai upaya
pencegahan yang bertujuan menurunkan frekuensi diare.14,16
Tingginya prevalensi rotavirus di dunia, termasuk di Indonesia mencetuskan inisiatif
peneliti untuk mencari jalan keluar yang bertujuan menurunkan morbiditas akibat

61
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
mikroorganisme ini. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan ditanggapi oleh WHO dan
Global Alliance of Vaccines and Immunization (GAVI) dalam bentuk Rotavirus Surveillance
Network. Dari surveilans tersebut, diperoleh data bahwa Asia merupakan daerah endemis
rotavirus dengan mortalitas yang tinggi.25 Di taraf nasional, Indonesia membentuk IRSN
yang berhasil mengumpulkan data rotavirus sejak tahun 1978 hingga 2007.12,26 Berbagai
strain yang berhasil diidentifikasi digunakan sebagai landasan dalam pengembangan
vaksin rotavirus.
Penemuan mutakhir vaksin rotavirus telah diimplementasikan di berbagai setting
negara. Di negara maju, daya guna vaksin cukup tinggi sebesar 85% sedangkan di negara
berkembang baru mencapai 51%. Kesenjangan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor
mulai dari karakteristik virus itu sendiri, host immunity, karakteristik vaksin, interaksi
kandungan vaksin dengan host, distribusi vaksin, bahkan kebijakan yang berlaku di setiap
negara.27,28RotaTeq(R Kondisi serupa terjadi di Indonesia disertai kurangnya kesadaran
masyarakat akan pentingnya vaksin dan anggapan klinisi bahwa vaksin rotavirus ‘masih
dalam uji coba’ atau belum masuk National Immunization Programme (NIP) sehingga
enggan untuk merekomendasikan kepada masyarakat. Perilaku ini sangat disayangkan
dan cukup merugikan bagi kesehatan komunitas. Surveilans yang selama ini berjalan
menunjukkan bahwa angka kejadian diare akibat rotavirus berkurang setelah penggunaan
vaksin. Fenomena ini sangat penting dalam pemutusan rantai transmisi rotavirus yang
dikenal sebagai herd immunity yang berarti bila suatu vaksin diberikan kepada seseorang,
maka sekelompok orang disekitarnya akan mendapat kekebalan.29–31 Hasil penelitian
tersebut menandakan peran penting peneliti sekaligus klinisi bekerja sama dengan
pemangku kebijakan dalam menerapkan vaksin sebagai salah satu upaya mereduksi
morbiditas diare.32
Saat ini tengah dikembangkan vaksin rotavirus yang lisensinya diberikan dari WHO
pada PT. Biofarma Indonesia agar dapat masuk ke dalam NIP.12 Dengan terobosan ini,
diharapkan masyarakat secara luas dapat menjangkau dan menerima manfaat vaksin demi
kesehatan anak Indonesia yang lebih baik.
Setelah penemuan rotavirus, apakah penelitian diare terhenti di titik ini? Tentu
saja tidak. Dengan surveilans yang berkesinambungan dari waktu ke waktu, sangat
memungkinkan akan diidentifikasi patogen lain yang berkontribusi terhadap diare. Studi
di India menemukan bahwa lebih dari 90% diare nonbakterial disebabkan oleh norovirus
(NoVs). Saat ini NoVs merupakan patogen gastroenteritis yang endemis di segala usia.33 Di
Indonesia, penelitian serupa sudah mulai dilakukan oleh FK UNAIR dan UGM. Selain
NoVs, patogen penyebab lain sudah mulai kami teliti dengan melibatkan tempat penelitian
di FK lain, termasuk berbagai RS di Papua. Gambaran ini membuka kesempatan bagi kita
sebagai peneliti sekaligus klinisi untuk menyumbangkan temuan-temuan baru yang dapat
digunakan untuk memperbaiki kualitas hidup anak, terutama masyarakat yang belum
mampu dan tinggal di daerah pelosok.

62 Kumpulan Makalah Lengkap Plenary


Tanggung jawab moral dan sosial seorang peneliti
Selama 5 dekade menjadi peneliti dan praktisi dibidang diare, telah banyak pelajaran
yang saya dapatkan. Seperti pendapat dari Hugh Lacey, bahwa ilmu pengetahuan adalah
‘value free’ atau suatu entitas yang bebas nilai maka, menjadi kewajiban bagi peneliti
untuk memberikannya bobot nilai. Ilmu pengetahuan akan menjadi hal yang baik jika
dikelola dan digunakan untuk kebaikan dan akan memiliki nilai moral dan sosial yang
buruk jika tidak dikelola dengan baik. Tanggung jawab moral dan sosial peneliti bermula
dari sejak perencanaan penelitian hingga implementasinya. Tanggung jawab moral
menyiratkan pengetahuan dan pemahaman tentang ‘benar’ dan ‘salah’ serta keinginan dan
kemampuan dalam bersikap sesuai moral.34–36 Di dalam melakukan penelitian, seorang
peneliti berkewajiban memiliki filosofi moral and social responsibility dalam penelitiannya.
Dua ahli psikologi Hughes KJ & Batten L memberi pertanyaan bahwa tanggung jawab
sosial menunjukkan bahwa seseorang memiliki tanggung jawab kepada komunitas terkait
dengan perilaku.37
Bird menguraikan perjalanan etik penelitian sejak awal didiskusikan sampai beberapa
waktu belakangan. Di mana sejak dimulainya bahasan mendalam tentang etika penelitian,
fokus di Amerika Serikat telah mengarah pada penelitian yang bertanggung jawab. Hal
yang ditekankan pada bahasan mengenai misconduct (fabrikasi, falsifikasi, dan plagiarisme),
penanganan pada subjek penelitian, publikasi, dan conflict of interest. Pada waktu itu
disebut dengan mikro etik. Tanggung jawab peneliti juga masih bersifat individual. Baru-
baru ini, terjadi kenaikan perhatian yang lebih besar terhadap konteks sosial dan tanggung
jawab kolektif penelitian. Hal ini membuat peneliti lebih mengedepankan penelitian yang
berdampak langsung ke komunitas yang lebih luas, berdiskusi bersama komunitas, dan
turut mengembangkan komunitas. Teori ini disebut dengan makro etik.38

Penutup
Demikian pemaparan ini kami sampaikan, dalam rangka menjawab keprihatinan
IDAI akan penuntasan permasalahan anak khususnya di bidang diare. Pengalaman
kami sebagai peneliti yang juga mengemban misi Tri Dharma Perguruan Tinggi dalam
mengimplementasikan penelitian-penelitian yang telah, sedang, maupun direncanakan
ternyata berkontribusi terhadap pencapaian target MDGs. Selanjutnya diperlukan upaya
untuk melanjutkan prestasi tersebut hingga tercapainya SDGs dalam rangka menekan
angka kematian balita. Lebih dari itu, seharusnya penurunan mortalitas diimbangi
dengan peningkatan kualitas hidup anak sehingga dapat mewujudkan generasi penerus
yang unggul dalam kesehatan, kecerdasan, dan perilaku.
Inilah tugas peneliti IDAI untuk mempelajari, mengembangkan, merencanakan,
dan mengimplementasikan penelitiannya masing-masing dengan mempertimbangkan
tanggung jawab moral dan sosial, dan dilaksanakan secara etis. Kami optimis bahwa
penelitian terkait hal tersebut sudah dilakukan namun belum banyak dipublikasikan,

63
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
baik secara nasional maupun internasional. Semoga penyampaian ini dapat memacu kita
semua untuk dapat melakukan penelitian dan publikasi khususnya internasional sehingga
dapat melengkapi khasanah ilmu pengetahuan. Perlu diingat bahwa penelitian terkait
pengembangan teknologi seperti obat dan vaksin seharusnya bersifat translasional demi
kepentingan masyarakat dengan dikawal etika moral penelitian.

Acknowledgement: Tim PRO-Konika: dr. Alexandra Pangarso, M.Sc, Sp.A; Anggriana


Minarni, BA, SS; Asal Wahyuni Erlin Mulyadi, MPA; dr. Ayu Anandhika Septisari; dr.
Azid Mahardinata; dr. Kristy Iskandar, M.Sc, Ph.D, Sp. A; dr. Muthia Mukharoma; dr.
Rizki Anindita, MIH; dr. Rony Trilaksono; dr. Saras Alifaningdyah; dr. William Sumoro.

Daftar pustaka
1. Kassebaum NJ, Arora M, Barber RM, Bhutta ZA, Brown J, Carter A, et al. Global, regional,
and national disability-adjusted life-years (DALYs) for 315 diseases and injuries and healthy
life expectancy (HALE), 1990–2015: a systematic analysis for the Global Burden of Disease
Study 2015. Lancet. 2016;1603–58.
2. World Health Organization. Goal 3: Sustainable Development Knowledge Platform [Inter-
net]. Sustainable Development Knowledge Platform. 2015.
3. unicef; World Health Organisation; The world Bank; United Nations. Levels & Trends in
Child Mortality Report 2015. 2015;8–9.
4. Kementerian Kesehatan. Profil Kesehatan Indonesia 2014 [Internet]. Vol. 51, Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia. 2015. 40 p.
5. Lundine J, Hadikusumah RY, & Sudrajat T. Indonesia’s progress on the 2015 Millenium
Development Goals. Indonesia 360. 2013;54–66.
6. World Health Organization. The World Health Report 2004: changing history [Internet].
Vol. 95, World Health Organization. Geneva; 2004.
7. Guerrant DI, Moore SF, Lima AA, Patrick PD, Schorling JB, & Guerrant RL. Association of
early childhood diarrhoea and cryptosporidiosis with impaired physical fitness and cognitive
function four-seven years later in a poor urban community in northeast Brazil. Am J Trop
Med Hyg. 1999;707–13.
8. Moore SR, Lima AA, Conaway MR, Schorling JB, Soares AM, & Guerrant RL. Early child-
hood diarrhoea and helminthiases associate with long-term linear growth faltering. Int J Ep-
idemiol. 2001;1457–64.
9. Bureau of Exceptional Education and Student Services. Nonverbal Tests of Intelligence. Flor-
ida Deparemtne of Education Technical Assisstance Paper. Tallahassee; 2005.
10. Niehaus MD, Moore SR, Patrick PD, Derr LL, Lorntz B, Lima AA, et al. Early childhood
diarrhea is associated with diminished cognitive function 4 to 7 years later in children in a
northeast Brazilian shantytown. Am J Trop Med Hyg. 2002;590–3.
11. Shah SS, Dave BR, Sharma AA, & Desai AR. Prevalence of hypertension and association of
obesity with hypertension in school ggoing children of Surat City, Western India. Online J
Heal Allied Sci. 2013;12–4.
12. Soenarto Y. Penelitian translasional dan kebijakan berbasis bukti: diare pada anak sebagai studi
kasus. Rapat Terbuka Majelis Guru Besar. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada; 2008. p. 34.

64 Kumpulan Makalah Lengkap Plenary


13. WHO | Diarrhoea-related hospitalizations in children before and after implementation of
monovalent rotavirus vaccination in Mexico. WHO [Internet]. 2015;
14. Payne DC, Wikswo M, & Parashar UD. VPD Surveillance Manual - Chapter 13: Rotavirus.
Pediatr Infect Dis J [Internet]. 2011;1–11.
15. Fontanarosa PB, & DeAngelis CD. Basic Science and Translational Research in JAMA.
JAMA. 2002;1728.
16. Munos MK, Fischer Walker CL, & Black RE. The effect of oral rehydration solution and
recommended home fluids on diarrhoea mortality. Int J Epidemiol. 2010;175–87.
17. Bhutta ZA, Das JK, Walker N, Rizvi A, Campbell H, Rudan I, et al. Interventions to address
deaths from childhood pneumonia and diarrhoea equitably: What works and at what cost?
Lancet. 2013;1417–29.
18. Baqui a H, Black RE, S EA, M Y, Zaman K, Begum N, et al. Zinc Therapy for Diarrhea
Increased the Use of Oral Rehydration Therapy and Reduced the Use of Antibiotics in Ban-
gladeshi Children. J Heal Popul Nutr. 2004;440–2.
19. Lukacik M, Thomas RL, & Aranda J V. A Meta-analysis of the Effects of Oral Zinc in the
Treatment of Acute and Persistent Diarrhea. Pediatrics [Internet]. 2008;326–36.
20. Fischer Walker CL, & Black RE. Zinc for the treatment of diarrhoea: Effect on diarrhoea
morbidity, mortality and incidence of future episodes. Int J Epidemiol. 2010;63–9.
21. Aitken I, Rohde J, Schubert J, Nwokike J, Saadé C, & Soenarto Y. Assessment for the Intro-
duction of Zinc in Improved Management of Diarrhea in Indonesia. 2007;
22. Departemen Kesehatan Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkun-
gan. Buku Saku Petugas Kesehatan LINTAS DIARE. 1st ed. Jakarta: Departemen Kesehatan
RI; 2008. 18 p.
23. Kementrian Kesehatan RI. Situasi Diare Di Indonesia. Buletin Jendela Data dan Informasi
Kesehatan. 2011;19–25.
24. Fields BN, Knipe DM, & Howley PM. Fields virology. 5th ed. Knipe DM, Howley PM,
& Cohen JI, editors. Philadelphia: Wolters Kluwer Health/Lippincott Williams & Wilkins;
2007.
25. Bresee JS, Hummelman E, Nelson EAS, & Glass RI. Rotavirus in Asia: The Value of Surveil-
lance for Informing Decisions about the Introduction of New Vaccines. J Infect Dis [Inter-
net]. 2005;S1–5.
26. Soenarto Y, Sebodo T, Ridho R, Alrasjid H, Rohde JE, Bugg HC, et al. Acute diarrhea and
rotavirus infection in newborn babies and children in Yogyakarta, Indonesia, from June 1978
to June 1979. J Clin Microbiol. 1981;123–9.
27. Jiang V, Jiang B, Tate J, Parashar UD, & Patel MM. Performance of rotavirus vaccines in
developed and developing countries. Hum Vaccin. 2010;532–42.
28. Lopman BA, Pitzer VE, Sarkar R, Gladstone B, Patel M, Glasser J, et al. Understanding re-
duced rotavirus vaccine efficacy in low socio-economic settings. PLoS One. 2012;
29. Soenarto Y. Unpublished data.
30. Seybolt LM, & Bégué RE. Rotavirus vaccination and herd immunity: an evidence-based
review. Pediatr Heal Med Ther [Internet]. 2012;25–37.
31. Pollard SL, Malpica-Llanos T, Friberg IK, Fischer-Walker C, Ashraf S, & Walker N. Estimat-
ing the herd immunity effect of rotavirus vaccine. Vaccine [Internet]. 2015;3795–800.
32. Kempe A, Daley MF, Parashar UD, Crane LA, Beaty BL, Stokley S, et al. Will Pediatricians
Adopt the New Rotavirus Vaccine? Pediatrics [Internet]. 2007;1–10.

65
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
33. Ramani S, & Kang G. Viruses causing childhood diarrhoea in the developing world. Curr
Opin Infect Dis [Internet]. 2009;477–82.
34. Lacey H. Is Science Value Free?: Values and Scientific Understanding. 1st ed. London: Rout-
ledge; 1999. 304 p.
35. Gardner H. The ethical responsibilities of scientists. Cambridge; 2000.
36. Lucas S, & Communications E. The responsibility of scientists to society. Effective Commu-
nications. 1833.
37. Hughes KJ, & Batten L. The Development of Social and Moral Responsibility in Terms of
Respect for the Rights of Others. J Ilm Peuradeun. 2016;147–60.
38. Bird SJ. Socially responsible science is more than “good science”. J Microbiol Biol Educ [In-
ternet]. 2014;169–72.

66 Kumpulan Makalah Lengkap Plenary


Pencegahan dan Intervensi Faktor Risiko
Kardiovaskular pada Anak dan Remaja: Peran
Dokter Spesialis Anak
Sukman Tulus Putra
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RSUPN. Dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta

P
enyakit kardiovaskular (PKV) khususnya penyakit jantung koroner (PJK) akibat
proses aterosklerosis saat ini merupakan penyebab kematian utama baik di negara
maju maupun negara sedang berkembang. PKV menyebabkan sekitar 17 juta
kematian per tahun yang merupakan 31% dari seluruh angka kematian global.(1) Meskipun
aterosklerosis secara klinis bermanifestasi pada usia dewasa atau menengah, namun
telah diketahui secara luas bahwa terjadinya aterosklerosis melalui suatu perkembangan
proses yang panjang dimulai sejak awal kehidupan sampai usia anak dan remaja.(2,3) Pada
sebagian besar anak, perubahan vaskular yang merupakan awal ateroskelrosis sangat
ringan atau minimal yang dapat dikurangi atau diminimalisasi dengan gaya hidup sehat
(‘healthy lifestyle’) atau diet yang sehat. Namun demikian, pada beberapa kelompok anak
proses tersebut dapat terjadi lebih cepat oleh karena terdapat faktor risiko (‘cardiovascular
risk factors’) atau penyakit-penyakit tertentu. Untuk itu, identifikasi anak-anak yang
mempunyai faktor risko menjadi sangat penting agar intervensi dini untuk menghambat
berlanjutnya proses aterosklerosis guna mencegah penyakit kardiovaskular dikemudian
hari seperti infark miokard, stroke dan penyakit arteri perifer.

Pencegahan faktor risiko kardiovaskular


Pada dasarnya terdapat dua tujuan utama untuk promosi kesehatan kardiovaskular
pada anak yaitu: (1) pencegahan berkembangnya faktor risiko aterosklerosis (primordial
prevention) berdasarkan penilaian umum dan terfokus pada gaya hidp sehat, dan (2)
identifikasi dan tatalaksana anak dengan risiko aterosklerosis dini yang mempunyai faktor
risiko seperti hipertensi, obesitas, dyslipidemia, insulin resistance, aktivitas fisik yang
kurang, dan merokok (smoke exposure) yang disebut primary prevention.
Berikut ini akan diuraikan tentang proses terjadinya ateroskelrosis sejak usia dini,
beberapa bukti bahwa proses awal ateroskerosis terjadi di usia muda, upaya-upaya
pencegahan PKV di usia dewasa serta apa peran penting dokter spesialis anak saat ini agar
generasi muda dalam 3-4 dasawarsa kemudian akan terhindar dari PKV khususnya PJK
dan stroke.

67
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Aterosklerosis sejak usia anak (childhood) dan remaja
(adolescents)
Proses awal aterosklerosis yang dimulai sejak usia anak berupa akumulasi fatty streak-lipid-
engorged macrophag (foam cells) dan T-limfosit pada tunika intima pembuluh darah arteri.
Kemudian dapat berkembang dengan terbentuknya fatty streak atau bisa terjadi regresi.
Pada bbeberapa individu akumulasi lipid makin bertambah seiring dengan pertambahan
waktu yang diselimuti oleh fibromuskular dan terbentuk fibrous plaque. Setelah itu semakin
lama fibrous plaque makin bertambah besar sampai terbentuk kalsifikasi, perdarahan atau
ruptur dan trombosis.
Tahapan proses aterosklerosis sesuai pertambahan umur,sampai terjadi manifestasi
dapat terlihat pada diagram berikut ini (Gambar 1). 4

Greenland P et al. Int. J. Epidemiol. 2002;31:1129-1134

© International Epidemiological Association 2002

Terlihat bahwa pada usia dekade ke 3-4 sudah mulai terjadi penebalan tunika
intima media arteri dengan manifestasi disfungsi endotel (endothelial dysfunction) yang
sudah dapat dideteksi dengan pemeriksaan fungsi vaskular berupa flow mediated dilation
(FMD) atau dengan pemeriksaan struktur vaskular berupa ketebalan tunika intima media
(cIMT=carotid intima media thickness).
Terdapat beberapa bukti (evidence) bahwa aterosklerosis telah terjadi sejak usia muda.
Identifikasi faktor risiko kardiovaskular pada usia muda sangat penting dilakukan untuk
mencegah komplikasi kardiovaskular pada usia dewasa. Aterosklerosis yang terjadi sejak
usia muda terbukti dari hasil studi autopsi terhadap tentara AS yang terbunuh pada perang
Korea, bahwa 70% pada individu yang berumur rata-rata 22 tahun telah mengalami
aterosklerosis arteri koroner.5

68 Kumpulan Makalah Lengkap Plenary


Pada penelitian secara nasional di Jepang mennujukkan bahwa kelompok umur 1
bulan sampai 39 tahun ditemukan fatty streaks di aorta pada 29% anak < 1 tahun dan
3,1% arteri koroner pada anak berumur 1-9 tahun.6 Berlangsungnya proses aterosklerosis
sejak usia muda didukung oleh studi PDAY (pathological determinants of atherosclerosis in
youth) terhadap 2.876 individu dengan kelompok umur 15-34 tahun. Fatty streak pada
aorta abdominal meningkat dari 20% pada umur 15-19 tahun dan 40% pada umur 30-
34 tahun, sedangkan pada arteri koroner kanan sekitar 10% pada subjek kelompok umur
15-19 tahun dan 30% pada kelompok umur 30-34 tahun.

Faktor risiko kardiovaskular yang dapat diidentifikasi pada anak


dan remaja
Faktor risiko dapat didefinisikan sebagai faktor yang menyebabkan peningkatan risiko
terjadinya suatu penyakit. Ternyata semakin banyak faktor risiko pada individu, semakin
tinggi angka morbiditas dan mortalitas. Pada penelitian yang dilaporkan oleh Berenson
dkk.,3 bahwa semakin banyak jumlah faktor risiko yang terdapat pada seorang individu
maka semakin besar persentase kelainan pada arteri koroner. Autopsi yang dilakukan
terhadap subyek yang berumur 2-39 tahun menunjukkan bahwa p arteri koroner berupa
fibrous plaque berturut-turut 0,6%, 0,7%, 2,4% dan 7,2%. ada subjek yang mempunyai
faktor risiko 0,1, 2, dan 3 atau 4.
Proses aterosklerosis dipercepat oleh berbagai faktor risiko yang ditemukan pada
masa anak dan remaja seperti faktor nutrisi, aktivitas fisis yang kurang, merokok, obesitas,
penyakit-penyakit tertentu termasuk hipertensi, diabetes melitus dan penyakit Kawasaki.
Selain itu ternyata faktor nutrisi pada periode neonatal sampai masa bayi berperan dalam
terjadinya proses aterosklerosis. Pada anak dan remaja terdapat bukti secara tidak langsung
bahwa telah terjadi proses aterosklerosis dengan ditemukannya perubahan anatomi
vaskular seperti peningkatan ketebalan tunika intima media (KTIM) arteri karotis,
perubahan mekanik kelenturan pembuluh darah (penurunan distensibilitas) dan terjadi
perubahan fisiologi pembuluh darah arteri dengan penurunan flow mediated vasodilatation
(FMD).
Oleh karena proses atrosklerosis terjadi sejak awal kehidupan termasuk sejak masa
bayi maka deteksi faktor risiko pada masa anak dan remaja sangat penting agar dapat
mencegah terjadi komplikasi di kemudian hari. Pamantauan faktor risiko pada anak akan
dapat mengidentikasi serta memodifikasi faktor tersebut sehingga disfungsi dari endotel
pembuluh darah akan dapat dihindari. Pada dasarnya faktor risiko kardiovaskular berada
dalam 4 ranah yakni: behavioral (tingkah laku), lingkungan, patofisiologik dan genetik.
Telah diketahui bahwa faktor risiko kardiovaskular yang teridentifikasi berhubungan
dengan kondisi kehidupan meliputi riwayat keluaga, umur dan jenis kelamin. Sementara
itu yang ternasuk faktor risiko patofisiologik meliputi tekanan darah tinggi, lipids,
obesitas/overweight dan diabetes mellitus. Faktor behavioral meliputi merokok, nutrisi/

69
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
diet, in-aktivitas fisis. Selain itu ada faktor risiko yang “emerging“ yang meliputi sindrom
metabolik, petanda inflamasi dan faktor-faktor perinatal. Secara tradisional faktor risiko
kardiovaskular dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok yakni,: 1) Faktor risiko
yang dapat diubah (modifiable/changeable) yang disebut juga dengan faktor risiko
tradisional (traditional risk factors), meliputi hiperlipidemia, obesitas/kurang aktivitas,
diabetes mellitus, merokok dan hipertensi, 2) Faktor risiko intrinsik (intrinsic risk
factors) meliputi predisposisi genetik, faktor lingkungan dan peningkatan susceptibility,
3) Faktor risiko yang baru muncul (“emerging”) meliputi inflamasi/infeksi sistemik,
sitokines, CRP dan homosistein. Faktor risiko yang terdapat pada seorang individu akan
menyebabkan disfungsi endotel vaskular yang dapat menimbulkan penurunan produksi
NO, peningkatan respons inflamasi endotel dan hiperplasia intima yang pada akhirnya
terbentuk lesi aterosklerotik.
Gaya hidup (lifestyle) dan kebiasaan makan merupakan faktor risiko yang cukup
penting dalam pencegahan progresivitas penyakit akibat aterosklerosis. Hal ini berarti
bahwa gaya hidup yang sehat dan kebiasaan makanan sehat harus merupakan bagian dari
program pencegahan penyakit kardiovaskular pada anak dan remaja.7 Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa derajat aterosklerosis pada anak dan remaja mempunyai korelasi
yang kuat dengan faktor risiko yang ditemukan pada masa dewasa. Dengan demikian
apabila faktor-faktor risiko ini tidak mendapat perhatian kemungkinan besar nanti akan
terjadi peningkatan kejadian penyakit kardiovaskular pada remaja sekarang ini ketika
mereka memasuki usia dewasa. Oleh karena itu eliminasi dan mengurangi faktor risiko
kardiovaskular harus segera dilakukan pada anak dan remaja ataupun kelompok umur
lainnya.

Gaya hidup (lifestyle)  Hipertensi
Sidentary Faktor genetik

Faktor risiko 
kardiovaskular
Obesitas
Sindrom metabolik
Diet  aterogenik
Dislipidemia
 

Gambar 2. Faktor yang berpengaruh terhadap faktor risiko kardiovaskular pada anak dan remaja. Faktor
gaya hidup, dislipidemia, obesitas dan diet merupakan faktor penting selain faktor genetik

Pada gambar 2 terlihat beberapa faktor risiko kardiovaskular seperti genetik,


hipertensi, dislipidemia, obesitas, sindrom metabolik, aktivitas fisik dan diet aterogenik
dapat terkait dengan penyakit kardiovaskular.

70 Kumpulan Makalah Lengkap Plenary


Promosi gaya hidup sehat (healthy lifestyle) sebagai upaya
pencegahan PKV di usia dewasa
Pencegahan berkembangnya faktor risiko kardiovaskular di usia muda harus ditalaksana
melalui upaya promosi dan edukasi pada tingkat pelayanan primer anak berupa gaya
hidup sehat (healthy lifestyle) baik secara individu maupun pada tingkat populasi/
komunitas dengan mengadvokasi program kesehatan sekolah dan juga ”public awareness”
terhadap pemilihan makanan yang sehat. Dengan pendekatan dan strategi pencegahan
pada kelompok anak dan remaja maka diharapkan akan terjadi penurunan ateroskelrosis
pada populasi sehingga kemudian akan terjadi penurunan PKV.
Pada tahun 2011 National Heart, Lung and Blood Institute (NHLBI) menyusun
pedoman yang merekomendasikan pemeriksaan rutin dan supervisi ke arah yang positif
untuk kesehatan kardiovaskular.8 Hal ini sesuai dengan rekomendasi American Academy
of Pediatrics (AAP) yang memfokuskan pada 3 area penting untuk menurunkan risiko
berkembangnya proses aterosklerosis yakni: (1) Nutrisi, (2) Aktivitas fisis (physical activity),
dan (3) Pajanan terhadap rokok (smoke exposure).
Konstruksi ideal dalam pencegahan penyakit kardiovaskular pada orang dewasa
telah diadaptasi untuk anak dan remaja yang meliputi: pajanan terhadap rokok, indeks
masa tubuh, aktivitas fisis, nutrisi, kolesterol, gula darah puasa dan tekanan darah.9
Ternyata dalam studi kohort dengan pemantauan jangka panjang, kesehatan kardiovaskular
yang baik pada anak remaja dan dewasa muda berhubungan erat dengan rendahnya
prevalensi PKV pada usia dewasa. 10 Hal tersebut terkait dengan rendahnya prevalensi
hipertensi, dislipidemia dan menurunnya ketebalan tunika intima media (KTIM) aorta
dan arteri karotis.

Nutrisi
Nutrisi yang baik sejak masa kelahiran sangat bermanfaat untuk kesehatan kardiovaskular
khususnya utuk mencegah obesitas , dislipiemia dan hipertensi serta resistensi insulin/
diabetes. Pemberian ASI (breastfeeding) dapat menurunkan risiko terjadinya obesitas dan
dislipidemia. Oleh karena itu sejalan dengan rekomendasi WHO, AAP menganjurkan
untuk pemberian ASI eksklusif sampai 6 bulan kemudian dapat diteruskan sampai
umur 12 bulan. Penelitian terhadap anak remaja yang berumur 15-18 tahun di Jakarta
menunjukkan bahwa ketebalan tunika intima media (KTIM) yang mendapat ASI
eksklusif 4-6 bulan, lebih rendah dibandingkan kelompok yang mendapat ASI dalam
periode singkat atau terlalu lama.11 Dengan demikian terbukti bahwa pemberian ASI
eksklusif mengurangi timbulnya salah satu faktor risiko aterosklerosis. Selain itu terdapat
kecenderungan rendahnya kadar kolesterol total trigliserida pada subyek dengan durasi
ASI 4-6 bulan dibandingkan dengan subyek kelompok durasi ASI yang lebih singkat.
Sesuai dengan kebutuhan berdasarkan gender dan kebutuhan nutrisi untuk pertumbuhan
total lemak/fat dibatasi tidak lebih dari 30% total kebutuhan kalori dengan lemak jenuh
(saturated) 7-10% total kalori dan kolesterol kurang dari 300 mg/hari. Namun demikian

71
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
pembatasan lemak tidak dianjurkan pada bayi kurang dari 12 bulan, kecuali ada indikasi
medik. Selain itu anak sampai remaja dan dewasa muda dianjurkan untuk mengkonsumsi
lebih banyak sayuran dan buah-buahan.

Aktivitas fisis
Meskipun dengan data penelitian yang terbatas pada anak telah dilaporkan
bahwa peningkatan aktivitas fisis dan pengurangan waktu ”sedentary” pada anak remaja
memberikan manfaat dalam menurunkan risiko aterosklerosis dan PKV. Pada studi
STRIP (Special Turku coronary risk factor intervention project for children) di Finlandia
menunjukkan bahwa aktivitas fisis yang rendah pada remaja berhubungan erat dengan
peningkatan KTIM dan penurunan fungsi endotel vaskular (FMD).12 Pada remaja
”sedentary” yang meningkatkan aktivitas fisisnya ternyata progresivirtas KTIM menurun
dibandingkan dengan remaja yang tidak meningkatkan aktivitas fisis. Studi STRIP yang
lain menunjukkan bahwa kelompk remaja yang ”sedentary” mempunyai risiko menderita
sindrom metabolik dibandingkan dengan kelompok subyek yang lebih banyak melakukan
aktivitas fisis.
Dalam suatu penelitian jangka panjang (longitudinal study) cardiovascular risk in young
Finns dengan subyek berumur 3-18 tahun menunjukkan bahwa aktivitas fisis yang kurang
berhubungan erat dengan pecepatan progresivitas ketebalan tunika intima media (KTIM)
setelah 27 tahun pengamatan.13 Dalam beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa
program latihan (exercise) yang meningkatkan kebugaran fisis menyebabkan penurunan
faktor risiko kardiovaskular seperti indeks masa tubuh, tekanan darah dan elastisitas arteri
dan memperbaiki profil lipids.14 ,15
Berdasarkan data yang ada,panel ahli NHBL membuat rekomendasi sebagai berikut:
•• Semua anak > 5 tahun harus mengikuti kegiatan moderate to vigorous activity (MVA)
setidaknya 60 menit perhari. Contoh aktivitas yang moderate adalah jogging, main
baseball. Sementara aktivitas yang vigorous seperti lari, tennis dan sepak bola.
•• Untuk anak-anak yang lebih muda hendaknya orangtua tidak membatasi aktivitas
bermain sepanjang aman dan pada lingkungan yang mendukung.
•• Waktu untuk ”leisure” harus tidak lebih dari 2 jam per hari misalnya duduk di depan
TV atau bermain game.

Hindari merokok (smoke exposure)


Dokter, khususnya dokter spesialis anak harus selalu memberikan konseling/edukasi
tentang pentingnya bebas asap rokok di lingkungan anak dan keluarga. Anak dan
orangtua selalu harus diberitahu tentang efek buruk merokok termasuk risiko penyakit
kardiovaskular untuk mereka dan anak-anak
Sebagai pedoman dalam promosi kesehatan kardiovaskular pada anak dan remaja
meliputi hal-hal yang terkait nutrisi/diet, merokok dan aktivitas fisis (tabel 1)

72 Kumpulan Makalah Lengkap Plenary


Tabel 1. Tujuan promosi kesehatan dan rekomendasi yang terkait dengan nutrisi, pajanan asap rokok dan
aktivitas fisis.16
Tujuan promosi kesehatan Rekomendasi
Nutrisi/Diet
• Pola makanan sehat secara menyeluruh • Penilaian diet setiap visit
• Berat badan yang sesuai • Kebutuhan energi disesuaikan dengan pertumbuhan
• Lipid profil yang sesuai dan perkembangan yang normal
• Tekanan darah yang sesuai • Konsumsi buah dan sayur, ikan
• Fat tidak dibatasi sampai umur 2 tahun, setelah 2 ta-
hun batasi makan dengan lemajk jenuh(<10% per hari)
kolesterol kurang dari 300 mg/hari)
• Pembatasan makan gram (< 6 g/hari)
• Pembatasan gula
Merokok/Smoking • Tanyakan apakah ada yang merokok setiap kunjungan
• Tidak ada perokok baru • Tanyakan papakah ada anak yang merokok tiap kali
• Tidak ada pajanan rokok di lingkungan kunjungan
• Pemberhentian total merokok bagi • Berikan informasi yang jelas dan edukasi terhadap
yang sudah merokok bahaya merokok
• Sarankan untuk menghindari menjadi perokok pasif
baik di rumah, sekolah atau lingkungan
Aktivitas fisik
• Setiap hari harus melakukan aktivitas • Penilaian aktivitas fisis setiap kali visit
fisik • Anjurkan anak muda untuk mengikuti aktivitas fisis
• Kurangi waktu: ”sedentary”(TV, kom- yang sedang selama 60 menit per hari
puter, game dan telefon) • Aktivitas fisis haruslah ”fun” untuk anak dan remaja
• Wakti ”sedentary” harus dibatasi seperti nonton TV
paling lama 2 jam per hari

Pedoman (guidelines) yang telah disusun oleh American Heart Association (AHA)
dapat digunakan oleh dokter spesialis anak sebagai upaya promosi kesehatan pada anak
untuk menghindari risiko penyakit kardiovaskular (lihat Tabel 2 di bawah ini). Beberapa
intervensi harus dilakukan bilamana ditemukan faktor-faktor risiko pada anak dan remaja
baik intervensi farmakologis maupun non-farmakologis.

73
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Tabel 2. Panduan Upaya mengurangi Faktor Risiko Kardiovaskular pada Anak dan Remaja..17
Dislipidemia
Definisi
–– Kolesterol total (TC) >200mg/dL (5,18mmol/L)
–– LDL-C >130 mg/dL (3,36 mmol/L)
–– HDL-C <40-45 mg/dL (1,0 mmol/L)
–– TG >150mg/dL (1,7 mmol/Lpada remaja, >130mg/dL (1,47mmol/L) pada anak yang lebih
muda
Terapi non-farmakologi: Intervensi diet dan meningkatkan aktivitas fisik sekitar 6-12 bulan kemudian
diulangi pemeriksaan LDL
Terapi farmakologi: Jika terapi non-farmakologistidak menurunkankadar kolesterol yang cukup setelah
6-12 bulan, atau jika kadar kolesterol anak atau kadar trigliserida (TG) tinggi, atau lebih obat dapat
diberikan.

Hipertensi
Definisi
–– Hipertensi: >95th percentile
–– Prehipertensi: 90-95th percentile
Terapi non-farmakologi
•• Diet dan peningkatan aktivitas
–– Mengurangi garam dalam makanan
–– Banyak makan buah-buahan dan sayur
–– Evaluasi penyebab sekunder (contoh: penyakit ginjal, koarktasio aorta)
Terapi farmakologis
•• Jika tekanan darah (TD) menetap di atas target yang ditentukan dengan terapi non-farmakologis:
maka pemberian antihipertensi dapat dimulai
•• Untuk anak dengan hipertensi berat/severe (5 mmHg di atas persentil 99) dan mereka dengan
hipertensi menyebabkan kerusakan target organ (misal hipertrofi ventrikel kiri) atau penyakit risiko
tinggi dengan TD di atas persentil 95: maka terapi farmakologis dapat dimulai.

Obesitas / overweight
Definisi
–– Overweight: BMI >85th percentile
–– Obesitas: >95th persentile
Terapi/intervensi
–– Perubahan lifestyles
–– Edukasi nutrisi: diet, follow-up berat badan tiap 2-4 minggu selama 6 bulan
–– Konseling tentang aktivitas
–– Jika BMI meningkat, program penurunan berat badan
–– Penyeimbangan kebutuhan energi untuk pertumbuhan dan perkembangan yang normal
–– Menjaga penambahan beratpada anak yang lebih untuk mencapai BMI yang sehat untuk
pertumbuhan
–– Penurunan berat badan perlahan-lahan (1-2 kg/bulan) pada remaja yang overweightatau pada
setiap overweight anak yang lebih muda atau bagi punya kondisi ko-morbiditas.

Insulin resistance and diabetes mellitus


Insulin resistance
–– Glukosa puasa = 100-126 mg/dL: diet rendah kalori, peningkatan aktivitas dengan 5-10%
penurunan berat dalam 6 bulan.
–– Jika diulangi glukosa puasa = 100-126 mg/dL: obat Insulin-sensitizing yang diresepkan oleh
seorang ahli endokrin.
Diabetes mellitus
–– Gula darah sewaktu >200mg/dL gula darah puasa >126 mg/dL: rujuk ke endokrin untuk evaluasi
dan tatalaksana.
–– Menjaga “glycated hemoglobin” <7%
TC: total choleseterol, LDL-C: low-density lipoprotein cholesterol, HDL-C: high density lipoprotein-
cholesterol, TG: triglyceride, BP: blood pressure

74 Kumpulan Makalah Lengkap Plenary


Uji Tapis (screening) dan identifikasi faktor risiko aterosklerosis
Pada saat pemeriksaan rutin dan supervisi anak, uji tapis (screening) dapat dilakukan
sesuai dengan anjuran AAP, AHA dan NHLBI untuk mengidentifikasi apakah seorang
anak mempunyai faktor risiko ateroskelrosis. Screening atau uji tapis didefinisikan sebagai
suatu uji terhadap penyakit pada individu atau populasi yang terlihat normal. Tujuan
dari uji tapis adalah untuk mengidentifikasi anak yang mempunyai risiko suatu penyakit.
Karakteristik penyakit dengan kandidat untuk uji tapis: (a) Jelas akan terjadi morbiditas
dan mortalitas bila tidak diobati, (b) Prevalens yang jelas pada populasi normal.
Sampai saat ini tidak direkomendasikan untuk melakukan uji tapis faktor
risiko aterosklerosis pada semua anak. Rekomendasi mutakhir dari American Academy
of Pediatrics (AAP) untuk skrining faktor risiko dilakukan pada anak dan remaja yang
mempunyai satu atau lebih faktor risiko sebagai berikut:
•• Riwayat keluarga (family history) dengan penyakit kardiovaskular dini (untuk
•• laki-laki umur < 55 tahun dan wanita < 65 tahun), kolesterol dan lipid tinggi
•• serta diabetes mellitus
•• Obesitas/ overweight, hiperetensi,
•• Dislipidemia dan insulin resistance
•• Penyakit-penyakit risiko tinggi (high risk disease) seperti penyakit Kawasaki, penyakit
ginjal, HIV/AIDS
Skrining harus dilakukan setelah umur 2 tahun, namun tidak lebih dari umur 10
tahun yang meliputi:
•• Tekanan darah (diperiksa pada 3 tempat terpisah)
•• Indeks massa tubuh (IMT)
•• Profil lipid (puasa)
•• Kadar gula darah (puasa)
•• Exercise/latihan, diet dan tidur
•• Riwayat merokok atau terpapar (exposure) terhadap rokok
Seperti pada orang dewasa yang mempunyai beberapa faktor risiko PKV, maka pada
anak dan remaja harus dilakukan intervensi bila mempunyai faktor risiko sebagai berikut:
•• Profil lipid abnormal
•• Hipertensi
•• Peningkatan indeks massa tubuh (BMI) atau obesitas
•• Gula darah puasa > 100mg/dL (5,6mmol/L)
•• Terpapar rokok (smoke exposure)
•• Gaya hidup “sedentary”
•• Riwayat PKV dalam keluarga (heart attack, intervensi pada penyakit koroner, stroke
dan sudden cardiac death pada orang tua atau saudara laki-laki sebelum umur 55 tahun
dan orangtua perempuan atau saudara perempuan sebelum umur 65 tahun).

75
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Dalam Pedoman terintegrasi tentang kesehatan kardiovaskular NHLBI (National
Heart Lung and Blood Institute) merekomendasikan untuk melakukan uji tapis terhadap
faktor risiko kardiovaskular pada beberapa tingkatan umur anak (Tabel 3).1

Tabel 3: Uji tapis (screening) faktor risiko penyakit kardiovaskular (PKV) pad anak dan remaja sesuai
rekomendasi NHLBI
Uji tapis Rekomendasi NHLBI
Pengukuran tekanan darah setiap tahun pada anak mulai umur 3 ta-
Tekanan darah hun. Target utama pengukuran harus dilakukan pada dengan riwayat
kelainan ginjal/urulogi/jantung atau riwayat dirawat di intensive care
pada usia kurang dari 3 tahun
Uji tapis ecara universal pada umur 9-11 tahun; pengukuran profil
Dislipidemia / abnormal lipid lipid dalam keadaan puasa dan tidak puasa ; target uji tapis berdasar-
kan riwayat keluarga atau keadaan risiko tinggi pada umur 9-11 tahun
Target uji tapis pada umur 9-11 tahunmengikuti pedoman American
Diabetes mellitus Diabetes Association antara lainpasien overweight dengan 2 atau lebih
faktor tambahan untuk diabetes
Penilaian terhadap penggunaan tembakau mulai umur 9-11 tahun
Merokok

Dengan mengetahui atau mengidentifikasi faktor risiko aterosklerosis sudah dapat


diidentifikasi pada anak sejak usia dini maka dapat dilakukan berbagai upaya intervensi
sehingga seorang anak di kemudian hari akan terhindar dari komplikasi aterosklerosis
yang dapat menyebabkan PKV yang fatal. Sayangnya di dalam praktik klinis sehari-hari
para dokter termasuk dokter spesialis anak (SpA) sangat jarang memberikan perhatian
terhadap faktor risiko kardiovaskular yang mungkin terdapat pada anak dan remaja.
Dengan memperhatikan berbagai berbagai hal yang terkait dengan proses
aterosklerosis yang telah terjadi sejak usia anak dan remaja seperti yang telah diuraikan di
atas maka dalam praktik klinis sehari-hari dokter atau dokter spesialis anak (SpA) dapat
melakukan Uji tapis rutin dan pemeriksaan yang meliputi :18
•• Mengenai kemungkinan riwayat seorang anak terpajan asap rokok baik individual,
atau perokok pasif (second-hand smoker)
•• Pemilaian terhadap diet serta frekuensi dan kualitas cukup/kurangnya aktivitas fisik.
•• Penilaian riwayat tidur (sleep history). Durasi dan kualitas tidur merupakan salah satu
faktor risko yang baru terhadap kejadian PKV.
•• Riwayat PKV dalam keluarga (heart attack, intervensi pada penyakit koroner, stroke
dan sudden cardiac death pada orang tua atau saudara laki-laki sebelum umur 55 tahun
dan orangtua perempuan atau saudara perempuan sebelum umur 65 tahun)
•• Pengukuran tekanan darah (tentukan percentile umur dan tinggi badan)
•• Menilai indeks massa tubuh (sesuai percentile BMI)
•• Lakukan uji tapis lipid pada anak dan remaja. Untuk anak tanpa faktor risiko
dilakukan pada umur 9-11 tahun dan peemriksaan berikutnya pada umur 17-21

76 Kumpulan Makalah Lengkap Plenary


tahun. Dianjurkan pemantauan lebih awal dan agak sering bila terdapat faktor risiko
PKV.
•• Lakukan screening diabetes tipe-2 pada anak-anak dan remaja yang berisiko dengan
melakukan pemeriksaan gula darah puasa atau HbA1C setiap 3 tahun pada pasien
>10 tahun yang mengalami obesitas ataupun overweight, dan mempunyai 2 faktor
risiko tambahan diabetes.
•• Lakukan identifikasi keadaan lain yang terkait dengan terjadi percepatan
aterosklerosis.

Penutup
Proses aterosklerosis yang merupakan faktor risiko terjadinya penyakit kardiovaskular
terukama penyakit jantung koroner dan stroke telah dimulai secara perlahan-lahan dan
bertahap sejak usia anak dan remaja. Oleh karena itu untuk mencegah terjadinya PKV
pada usia dewasa maka identifikasi dan intervensi faktor risko kardiovaskular tersebut
sedini mungkin. Pada anak dan remaja yang berisiko PKV perlu dilkaukan uji tapis/
screening agar anak dan remaja tersebut terhindar dari komplikasi yang fatal di kemudian
hari.
Pencegahan pada populasi “pediatric” untuk mengurangi atau menghindari risiko
PKV pada usia dewasa maka perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut :
•• Pemeriksaan umum dan upaya yang terkait dengan gaya hidup sehat (healthy lifestyle)
akan dapat menurunkan perkembangan risiko aterosklerosis (lihat Tabel 1-3)
•• Identifikasi dan tatalaksana anak dengan risiko aterosklerosis dini berdasarkan
ditemukannya faktor-faktor risiko: hipertensi, obesitas, dislipidemia, insulin resistance,
aktivitas fisis yang kurang (in-activity), terpajan asap rokok atau kondisi penyakit
risiko tinggi)
•• Pada waktu kunjungan rutin di klinik, dokter hendaknya memberikan edukasi atau
promosi tentang gaya hidup sehat (healthy lifestyle) termasuk informasi pada keluarga
tentang nutrisi yang sehat, perlu pembatasan lemak jenuh, banyak konsumsi sayur
dan buah-buahan serta menghindari pajanan terhadap asap rokok (aktif maupun
pasif, baik di rumah, sekolah maupun lingkungan)
•• Pada kunjungan rutin di klinik setiap anak/remaja diperlukan suatu penilaian dan
screening terhadap faktor risiko aterosklerosis atau fakror risiko kardiovaskular seperti
yang tersebut diatas.
Berdasarkan hal-hal di atas maka untuk memperlihatkan peran dan partisipasi dokter
spesialis anak dalam pencegahan PKV sejak dini, sudah saatnya di dalam Buku Kesehatan
Anak yang ada sekarang perlu tambahan kolom dengan format Identifikasi Faktor Risiko
Kardiovaskular selain dari kolom catatan Imunisasi dan Tumbuh kembang.

77
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Daftar pustaka
1. WHO. NCD mortality and morbidity. Diunduh dari www.who.int/gho/ncd/mortality_
morbidity/en.16 Sept.2014
2. Brenson GS, Wattigney WA, Tracy RE, Newman WP, Srinivasan SR, Webber LS, et al. Ath-
erosclerosis of the aorta and coronary arteries and cardiovascular risk factors in persons aged 6
to 30 years and studied at necropsy (The Bogalusa Heart Study). Am J Cardiol. 1992;70:851-
8.
3. Brenson GS, Srinivasan SR, Bao W, Newman WP, Tracy RE, Wattigney WA. Association
between multiple cardiovascular risk factors and atherosclerosis in children and young adults.
(The Bogalusa Heart Study). N Engl J Med. 1998;338:1650-6.
4. Greenland P, Gidding SS, Tracy RP. Commentary: Lifelong prevention of atheroschlerosis:
the critical importance of major risk factor exposures. Int J Epidemiol. 2002;31:1129-34.
5. Enos WF, Holmes RH, Beyer J. Coronary disease among United States soldiers killed in
action in Korea: preliminary report. J Am Med Assoc. 1953;152:1090-3.
6. Tanaka K, Masuda J, Imamura T, Sueishi K, Nakashima T, Sakurai I, et al. A nation-wide
study of atherosclerosis in infants and children and young adults in Japan. Atherosclerosis.
1988;72:143-156.
7. Guedes DP, Guedes JREP. Cardiovascular Investigation: When should it start? Diunduh dari
www.intechopen.com(2006)
8. Expert panel on integrated guidelines for cardiovascular health and risk reduction in children
and adolesecents: summary report. Pediatrics. 2011;128:S213.
9. Steinberger J, Daniels SR, Hagberg N, Isasi CR, Kelly AS, Lloyd-Jones D, et al. Cardiovas-
cular health promotion in children: challenges and opportunities for 2020 and beyond, a
scientific statement from the American Heart Association. Circulation. 2016;134:e236.
10. Laitinen TT, Pahkala K, Magnussen CG, Viikari JS, Oikonen M, Taittonen L, et al. Ideal car-
diovascular health in childhood cardiometabolic outcomes in adulthood: the cardiovascular
risk in young Finns study. Circulation. 2012;125:1971-8.
11. Putra ST. Deteksi disfungsi endotel vascular pada remaja sebagai penanda awal aterosklerosis:
pengaruh pemberian ASI pada masa bayi terhadap fungsi dan struktur vaskular serta bebera-
pa faktor risiko kardiovaskular lainnya. [Tesis]. Universitas Indonesia, Jakarta, 2013.
12. Pahkala K, Heinonen OJ, Simell O, Viikari JS, Ronnemma T, Niinikoski H, et al. Asso-
ciation of physical activity with vascular endothelial function and intima-media thickness.
Circulation. 2011;124:1956-63.
13. Juonala M, Viikari JS, Kähönen M, Taittonen L, Laitinen TT, Hutri-Kahonen N, et al. Life-
time risk factors and progression of carotid atherosclerosis in young adults: the cardiovascular
risk in young Finns study. Eur Heart J. 2010;31:1745-51.
14. Farpour-Lambert NJ, Aggoun Y, Marchand LM, Martin XE, Herrmann FR, Beghetti M, et
al. Physical activity reduces systemic blood pressure and improves early markers of atheroscle-
rosis in pre-pubertal obese children. J Am Coll Cardiol. 2009;54:2396-406.
15. Tolfrey K, Jones AM, Campbell IG. The effect of aerobic exercise training on the lipid-lipo-
protein profile of children and adolescents. Sports Med. 2000;29:99.
16. Kavey RW, Daniels SR, Lauer RM, Atkins DL, Hayman LL, Taubert K. American Heart
Association Guidelines for Primary Prevention of Atherosclerotic Cardiovascular Disease Be-
ginning in Childhood. Circulation. 2003;107:1562-6.

78 Kumpulan Makalah Lengkap Plenary


17. Lule E, Rosen JE, Singh S, Knowles JC, Behrman JR. Adolesecents health Program. In dis-
ease control priority in developing countries (2006) New York-Oxford University
18. Feranti SD, Newburger JW. Pediatric prevention of adult cardiovascular disease: Promoting a
healthy lifestyle and identifying at-risk children. UptoDate 2016. Diunduh dari http//www.
uptodate.com.

79
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Appropriate Use of Drugs in Pediatrics for
Patient’s Safety
Taralan Tambunan
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Abstract
The rational use of medicine was defined to represent a situation in which patients receive medications
appropriate to their clinical needs, in doses that meet their own individual requirement, for an adequate
period of time, and at the lowest cost to them and their community. Medicine plays an important role in
health care delivery and, when used properly, it can help control diseases and alleviate patient’s suffering.
Irrational use of medicines, nevertheless, remains a major issues faced by most health systems across
the world. Monitoring the safety of medicine use in children is very important. Pediatric population
by itself is a spectrum of different physiologies with significant variation in pharmacodynamics and
pharmacokinetics. Additionally, many drugs in pediatrics are off label or unlicensed.
As a global issue, rational drug use is a multifactorial subject. The responsibility of health care
professionals has assumed great significance. There exist various strategies to change patients’ and
prescribers’ behavior towards the promotion of rational prescribing. Targeted approaches comprises
educational and managerial interventions, while systems oriented strategies include regulatory and
economic interventions. The role of prescribers is pivotal for all healthcare providers. The ultimate goal
of promotion of rational drug use is to improve patients’ safety.

P
engobatan rasional didefinisikan sebagai pengobatan terhadap pasien oleh seorang
professional kedokteran (dokter atau dokter gigi) sesuai dengan indikasi klinis
dengan pemilihan obat yang tepat, dosis adekuat dengan waktu dan lama pemberian
yang tepat sesuai kebutuhan pasien termasuk pertimbangan harga yang terjangkau sesuai
kemampuan pasien.1,2
Pengobatan adalah salah satu tahapan kegiatan dalam penanganan pasien secara
keseluruhan. Keberhasilan pemilihan terapi medikamentosa yang tepat dan rasional
merupakan hasil sintesis pemahaman seorang dokter terhadap patogenesis dan patofisiologi
penyakit serta aspek farmakologi obat yang digunakan. Pada sisi lain penggunaan obat
yang tidak tepat (irasional) masih merupakan masalah pelik di seluruh dunia.3 Setiap
pemberian obat kepada pasien harus dipertimbangkan manfaat dan risikonya melalui
kajian efektivitas, keamanan, kenyaman, harga dan ketersediaan obat.4 Hal tersebut
sejalan dengan upaya menuju keselamatan pasien seperti yang tercantum dalam Peraturan
Menteri Kesehatan no. 11 tahun 2017 yang bertujuan untuk meningkatkan mutu

80 Kumpulan Makalah Lengkap Plenary


pelayanan fasilitas kesehatan melalui penerapan manajemen risiko dalam seluruh aspek
pelayanan yang disediakan oleh fasilitas kesehatan.5
Pengobatan sebagai komponen penting dalam penanganan pasien harus dikelola
secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan akhir peloayanan kesehatan yaitu
keselamatan pasien.6 Penggunaan obat secara rasional (POR) merupakan dasar medication
safety practices, baik bagi penulis resep, peracik obat dan terutama bagi pengguna obat.7
Pemantauan keamanan penggunaan obat pada anak sangat penting karena dalam
perkembangan penggunaan obat hanya sebagian kecil obat yang beredar di pasaran yang
telah melalui uji klinik pada anak. Penggunaan obat yang tergolong off-label dan off-licence
pada anak merupakan masalah yang perlu mendapat perhatian agar penggunaannya sesuai
dengan tujuan patient safety.8

Masalah penggunaan obat yang tidak rasional


Penggunaan obat yang tidak rasional hingga saat ini masih merupakan masalah global.3
WHO memperkirakan lebih dari separuh obat yang diresepkan diracik atau dijual secara
tidak tepat, sementara sekitar 50% penggunaan obat gagal mengkomsumsinya secara benar.9
Masalah pengobatan irasional lebih buruk lagi di negara berkembang dengan sistem
kesehatan yang lemah dalam hal pemantauan obat yang belum berjalan baik atau bahkan
belum terbentuk. Di negara yang kondisi ekonomi masih lemah seringkali obat masuk ke
dalam negeri melalui jalur tidak resmi dan tidak melalui jalur sistem pelayanan kesehatan.
Praktek pengobatan sendiri (self medication) juga merupakan hal yang biasa sehingga
dapat diramalkan kualitas pengobatan yang buruk. Demikian juga bila terjadi reaksi yang
tidak diinginkan hampir tidak ada laporan resmi dari pihak kesehatan yang berwenang.8
Pengobatan yang irasional mencakup peresepan yang tidak memenuhi kaidah
pengobatan dan peresepan yang baku, dapat berupa peresepan yang kurang, peresepan
berlebihan, peresepan yang tidak tepat sesuai indikasi, pemborosan dalam penulisan resep
dengan memilik obat mahal, serta penulisan resep secara polifarmasi.2,10
Pengobatan irasional juga meliputi penggunaan antibiotik yang tidak bijak, termasuk
indikasi yang tidak tepat. Pemilihan antibiotik yang tidak tepat, pemberian terlalu
lama, dosis serta interval yang tidak tepat, pengobatan untuk diri sendiri tanpa melalui
pemeriksaan dan resep dari dokter juga tergolong pengobatan irasional.1,2
Berbagai faktor yang berperan terjadinya pengobatan irasional antara lain:10
•• faktor pasien
•• dokter penulis resep
•• sistem kesehatan yang belum tertata dengan baik
•• sistem pengadaan obat (termasuk peranan industri farmasi)
•• sistem regulasi obat
•• informasi obat yang belum terbina
•• kombinasi berbagai faktor

81
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Sebagian pasien kurang mendapat informasi kegunaan obat yang diterima dari:
dokternya. Kurangnya komunikasi mengakibatkan pasien kurang memahami manfaat
obat yang diresepkan sehingga kepatuhan minum obat jadi berkurang. Sebaliknya ada
juga pasien yang memengaruhi dokter agar diberi resep antibiotik.10,11
Faktor dokter penulis resep sangat dominan dalam pengobatan irasional. Semasa
pendidikan kedokteran umum, mahasiswa fakultas kedokteran kurang dibekali
pengetahuan dan ketrampilan menulis resep dengan baik dan benar. Pendidikan kedokteran
lebih mengutamakan keterampilan diagnostik ketimbang kemampuan memilih obat dan
menulis resep. Seringkali seorang anak didik hanya meniru dokter seniornya cara menulis
resep.4 Ketidak-mampuan dokter dalam penulisan resep sesuai dengan panduan klinik
termasuk dalam pemilihan jenis obat, dosis, interval, cara pemberian yang tepat serta
lama pengobatan dan pertimbangan biaya akan menyebabkan pengobatan irasional.10
Demikian juga penggunaan obat yang sebenarnya tidak dibutuhkan dan hanya bersifat
efek plasebo sangat merugikan pasien.2
Bad prescribing habit seperti ini berlangsung turun-temurun dan berdampak makin
maraknya peresepan irasional. 4 Industri farmasi juga berperan dalam maraknya peresepan
irasional. Promosi obat melalui sales representative yang mengunjungi dokter dapat
memengaruhi sikap dokter.10
Berbagai dampak peresepan irasional akan menyebabkan efek buruk yang masif
antara lain:2,8,11
•• menurunnya kualitas pengobatan akan berakibat pada peningkatan morbiditas dan
mortalitas penyakit, baik pada kasus infeksi dan penyakit menahun, seperti hipertensi,
diabetes, epilepsi dan gangguan jiwa.
•• peresepan yang tidak tepat atau berlebihan akan berdampak pada peningkatan biaya
pengobatan dan menurunkan ketersediaan obat
•• menimbulkan efek terapi yang tidak diinginkan atau efek samping pengobatan atau
meningkatkan resistensi bakteri terhadap antibiotik yang dipilih
•• menimbulkan dampak sosial akibat penggunaan obat yang sesungguhnya tidak
dibutuhkan oleh pasien.

Masalah dalam penggunaan obat pada anak


Peresepan obat pada anak lebih rumit dibandingkan pengobatan pada orang dewasa
dan membutuhkan pertimbangan yang lebih seksama. Populasi pediatrik terdiri dari
berbagai kelompok umur dengan variasi fisiologis akibat perbedaan farmakokinetik dan
farmakodinamik obat. Pemberian obat dan perhitungan dosis pada anak tidak dapat
diekstrapolasikan berdasarkan berat badan atau luas perumahan tubuh orang dewasa.
Ringkasnya anak bukanlah miniatur orang dewasa.8,12
Masalah yang cukup rumit dan sulit diatasi antara lain penggunaan obat yang tergolong
unlicensed dan off-label drugs.8,13-14 Penggunaan obat off-label dan unlicensed menimbulkan
dilema dari segi etis akibat kurangnya data efektivitas dan keamanan obat yang digunakan.8

82 Kumpulan Makalah Lengkap Plenary


Banyak obat yang beredar di pasaran yang tidak disebutkan indikasi pada anak dan juga
belum jelas manfaat dan kerugian yang ditimbulkan terutama pada penggunaan jangka
panjang.8 Hal ini timbul akibat kurangnya informasi tentang penggunaan obat pada
anak. Meskipun telah terjadi pergeseran paradigma dari pemahaman lama yang menolak
uji klinik pada anak sebagai upaya perlindungan terhadap anak menjadi upaya yang justru
menekankan upaya perlindungan melalui uji klinik yang bertanggung jawab,13 namun
masih banyak obat yang beredar yang tergolong unlicensed dan off-label drugs untuk
penggunaan pada anak.14
Formulasi bentuk sediaan juga merupakan masalah yang cukup rumit.
Pengembangan formulasi dosis untuk tiap kelompok umur harus mempertimbangkan
aspek farmakokinetik dan farmakodinamik obat yang sangat dipengaruhi oleh proses
tumbuh kembang anak dan juga kemampuan untuk menerima bentuk sediaan yang
tepat misalnya bentuk larutan sirop atau tetes, tablet kunyah.15 Rasa obat yang sebagian
terbesar berasa pahit juga merupakan kendala tersendiri. Pada pihak lain industri farmasi
pun enggan melakukan riset dan uji klinik pada anak karena tantangan yang dihadapi
cukup besar antara lain pangsa pasar yang kecil dibandingkan riset obat untuk orang
dewasa, besarnya variasi formulasi bentuk sediaan obat yang cocok untuk setiap golongan
umur pada anak. Bentuk sediaan yang beragam ini akan berdampak pada biaya produksi
yang meningkat.
Ringkasnya setiap pembuatan formulasi obat pada anak harus dikelola secara lege-
artis. Bila kemasan obat yang cocok untuk anak belum tersedia, para klinisi berupaya
menulis resep untuk diracik di apotek dari kemasan bentuk tablet atau kapsul dalam
bentuk bubuk atau pulveres, maka bentuk kemasan baru ini sudah termasuk dalam kategori
off-label atau extemporaneous formulation.14-15 Bentuk sediaan seperti ini memerlukan
pertimbangan khusus terutama dalam hal stabilitasnya. Peracikan obat tunggal dalam
satu pulvis masih lazim dan dapat diterima.14,16 Penggunaan obat seperti ini tidak serta
merta dikategorikan sebagai tindakan malpraktek namun perlu dipertimbangkan secara
hati-hati dan bijaksana berdasarkan bukti klinis yang memadai untuk kepentingan pasien
sesuai dengan paragidma evidence based medicine.17 Namun perlu diingat bahwa ada
beberapa kemasan berbentuk tablet salut gula atau tablet lepas lambat yang tidak boleh
digerus karena dapat mengubah farmakokinetik dan farmakodinamik yang diinginkan.

Upaya mengatasi pengobatan irasional


Pengobatan irasional sesungguhnya identik dengan penyakit ; sulit mengatasinya namun
pencegahan masih dapat diupayakan.10 Pengetahuan dasar tentang penggunaan obat
rasional sebenarnya sudah sejak lama digagas dan disosialisasikan oleh WHO dengan
menggunakan buku yang berjudul Guide to Good Prescribing dan diterapkan dalam
pendidikan dokter. Topik utama dalam buku tersebut adalah langkah-langkah pengobatan
rasional yang terdiri dari 6 langkah yaitu:18
•• mendefinisikan masalah pasien

83
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
•• menentukan tujuan pengobatan’
•• melakukan pemilihan obat yang tepat indikasinya melalui analisis terhadap efektivitas,
keamanan, kenyamanan serta keterjangkauan harganya
•• penulisan resep yang baik dan benar
•• memberikan informasi yang adekuat, instruksi yang jelas dan peringatan yang
dibutuhkan
•• melakukan pemantauan dan bila perlu menghentikan pengobatan
Keenam langkah ini harus dituruti secara lengkap, karena setiap langkah tersebut
merupakan upaya yang komprehensif untuk mengurangi kemungkinan terjadinya reaksi
obat yang tidak diinginkan. Khusus tentang pemilihan obat, penulisan resep dan edukasi
kepada pasien atau orangtua pasien sangat penting dalam bidang pediatri. Penulisan resep
sangat berkaitan dengan pemilihan obat dan bentuk sediaan yang ada dan pertimbangan
kemampuan pasien untuk mengkomsumsinya. Ketersediaan formulasi obat pada anak
menjadi tantangan yang harus dicermati terutama oleh indsutri farmasi. Demikian
juga tentang pemberian edukasi kepada orantua, terutama tentang peringatan terhadap
kemungkinan timbulnya efek samping obat.12
Berbagai upaya dapat dilakukan untuk mengubah perilaku pasien maupun dokter
terhadap pengobatan dan peresepan rasional. Upaya tersebut sejalan dengan Kebijakan
Obat Nasional (KONAS) yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Bina Kefarmasiaan
dan Alat Kesehatan berlandaskan surat ketetapan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
no. 189 tahun 2006 dengan tujuan KONAS yaitu:18
•• menjamin ketersediaan, pemerataan dan ketejangkauan obat, termasuk obat esensial
•• menjamin keamanan, khasiat dan mutu obat yang beredar serta melindungi
masyarakat dari penggunaan yang salah dan penyalah-gunaan obat
•• menjamin penggunaan obat yang rasional.
Arah kebijakan dalam KONAS tersebut meliputi pembinaan, advokasi dan promosi
penggunaan obat rasional. Khusus dalam bidang promosi penggunaan obat secara
nasional pemerintah melalui Kementererian Kesehatan menerapkan 3 strategi utama yang
saling mendukung yaitu strategi edukasi, managerial dan strategi regulasi. Di samping itu
strategi ekonomi juga dianggap perlu digalakkan untuk menunjang keberhasilan strategi
utama.10
Bentuk edukasi dapat beragam berupa tatap muka dalam seminar, pelatihan maupun
melalui brosur. Intervensi edukasi diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan
kesadaran para penulis resep, namun dampaknya pada perubahan sikap tidak terlalu
bermakna.
Strategi managerial meliputi kebijakan membuat pedoman praktek, melakukan
monitoring kegiatan, supervisi dan umpan balik, penyusunan daftar obat esensial,
formularium nasional sebagai panduan untuk menyusun formularium rumah sakit serta
membuat format baku peresepan.10

84 Kumpulan Makalah Lengkap Plenary


Strategi regulasi disusun oleh pembuat kebijakan baik tingkat nasional maupun
tingkat lokal di lingkungan rumah sakit. Di Indonesia registrasi obat nasional dikelola
oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Badan POM mengeluarkan
nomor izin edar (NIE) obat yang boleh beredar dan merupakan syarat agar obat tersebut
dapat dimasukkan dalam Formularium Nasional (FORNAS) setelah melalui seleksi yang
ketat dengan mengutamakan khasiat dan keamanan yang baik berdasarkan bukti ilmiah
terkini dan sahih.20
Untuk memperoleh surat ijin praktek bagi dokter dan dokter gigi diperlukan surat
tanda registrasi yang dikeluarkan secara berkala setelah melalui berbagai syarat tertentu.10
Strategi regulasi juga mencakup keharusan para penulis resep untuk menggunakan obat
dengan nama generik.10
Strategi ekonomi juga perlu diterapkan sebagai upaya untuk mencapai pengobatan
rasional. Harga obat yang tinggi dan tidak terjangkau oleh pasien bukanlah masalah
ekonomi semata namun berimbas juga pada kelangsungan pengobatan yang adekuat.
Putus obat dan kepatuhan mengkonsumsi obat sebagian diakibatkan oleh daya beli
yang terbatas. Ironisnya sebagian dokter penulis resep tidak menanyakan apakah pasien
mampu membeli obat yang diresepkan dan bila ditanyakan pun kebanyakan dokter tidak
tahu jalan keluarnya. Untuk mengatasi kemungkinan dokter memperoleh insentif sebagai
imbalan penulisan resep juga perlu dibuat regulasi termasuk larangan bagi dokter untuk
menjual obat di tempat prakteknya.10,21
Agar semua intervensi berlangsung efektif maka fokus utama ditujukan pada
perbaikan pola perilaku dokter penulis resep beserta sarana pendukungnya. Strategi
yang digunakan harus bersifat komprehensif dan saling mendukung.10 Di samping itu
edukasi dan perbaikan perilaku masyarakat atau komunitas juga merupakan sasaran
pokok pengobatan rasional. Untuk menilai keberhasilan program pengobatan rasional
dibutuhkan kegiatan surveilans pada setiap komponen yang berperan terutama terhadap
kemungkinan timbulnya kejadian yang tidak diharapkan atau efek samping obat agar
tujuan utama keselamatan pasien dapat terwujud.8,12
Dalam upaya penerapan penggunaan obat secara rasional, sudah sejak lama WHO
mencetuskan berbagai langkah antara lain mengidentifikasi 12 kebijakan sebagai berikut:1
•• membangun sistem multi disiplin, lintas program, dan lintas sektoral untuk
mengkoordinasikan kebijakan penggunaan obat rasional
•• adanya pedoman standar klinis
•• daftar obat esensial nasional (DOEN)
•• komite farmasi dan terapi pada tingkat wilayah (distrik) dan rumah sakit
•• pelatihan (training) farmakoterapi dalam kurikulum pendidikan dokter umum
•• pendidikan kedokteran berkelanjutan (PKB) sebagai persyaratan kredit profesi
•• kegiatan supervisi, audit medic, dan umpan balik
•• pusat informasi obat yang independent
•• edukasi penggunaan obat kepada masyarakat

85
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
•• mencegah praktek pemberian insentif berlebihan kepada petugas kesehatan
•• adanya regulasi/legislasi yang tepat dan dilaksanakan kepada petugas kesehatan
•• dana pemerintah yang cukup untuk ketersediaan obat dalam pelayanan kesehatan
masyarakat.

Penutup
Pengobatan rasional selalu diawali dengan diagnosis yang tepat, tujuan pengobatan yang
jelas, pemilihan obat yang bijak melalui kajian efektivitas keamanan, kenyamanan serta
pertimbangan harga yang terjangkau. Pemantauan keamanan penggunaan obat pada
anak amatlah penting mengingat masih banyak obat yang masih tergoloong off-label dan
unlicence untuk penggunaan pada anak. Berbagai faktor yang berperan dalam terjadinya
pengobatan irasional sangat kompleks dan saling berpengaruh antara lain faktor dokter
penulis resep, faktor pasien, sistem kesehatan regulasi obat, dan sebagainya.
Dampak pengobatan irasional dapat menyebabkan efek buruk yang masif dan
berakibat pada peningkatan morbiditas, mortalitas, biaya pengobatan yang meningkat
dan juga berakibat pada peningkatan efek samping penggunaan obat. Berbagai upaya
yang dapat dilakukan antara lain dengan pendekatan target melalui intervensi edukasi,
strategi managerial dan strategi regulasi oleh instansi yang berwenang dalam bidang
kesehatan dengan tidak mengesampingkan faktor ekonomi pendukung.
Upaya tersebut sejalan dengan KONAS yang menjamin penggunaan obat rasional.
Melalui penggunaan obat secara rasional diharapkan dapat mencapai cita-cita mulia yaitu
menuju keselamatan pasien (patient safety).

Daftar pustaka
1. World Health Organization. Promoting rational use of medicine: core component. 2002.
2. WHO country office for India. Promoting rational drug use under NHRM. 2009.
3. World Health Organization. World medicine situation report 2011. 2011.
4. De Vries TPGM, Henning RH, Hogerzeil HV, Fresle DA. Guide to good prescribing. 1994.
5. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 11 tahun 2017 tentang kesela-
matan pasien
6. Joint Commission International Accreditation Standard for Hospital including standards for
Academic Medical Center Hospitals. 6th ed. 2017.
7. Dwiprahasto J. Penggunaan obat yang rasional sebagai dasar medication safety practice. Ja-
karta, 2013, pp.35-45.
8. WHO. Promoting safety of medicine for children. 2007.
9. World Health Organization. The world medicine situation; World Health Organization: Ge-
neva, Switzerland, 2004
10. Ofori-Asenso R, Agyman AA. Irrational use of medicines – a summary of key concept. Phar-
macy. 2016; 4:35.
11. Holloway K, Dijk L. Rational use of medicine the world medicine situation. 2011.

86 Kumpulan Makalah Lengkap Plenary


12. Yewale VN, Dharmapalan D. Promoting appropriate use of drug in children. International
J Pediatr. 2012.
13. Rose K. Unlicensed and off-label drug use in general practice. European perspective. Dalam:
Melberg AE, Silber SA, Vd Anher JN (penyunting). Pediatric drug development New Jersey:
Willy-Blackwell; 2009, pp.137-1520.
14. Nakamura H, Ono S, Japanese perspective. Dalam: Mulberg AE, Silber SA, Vd Anker JN
(penyunting). Pediatric drug development. New Jersey: Willey-Blackwell; 2009, pp.153-164.
15. McNally GP, Railkar AM. Formulation of pediatric dosage darius. Dalam: Mulberg AE,
Silber SA, Vd Anker JN. Pediatric drug-development. New Jersey: Willy-Blackwell; 2009,
pp.553-65.
16. Teichman PG, Caffe AE. Prescription writing to maximize patient safety. Fam Pract. Manag.
2002; 9:27-30.
17. Neville KA. Off-label use of drugs in children. Policy statement. Pediatrics 2014; 133:563-
566.
18. De Vries TPGM, Henning RH, Hogerzeil HV, Fresle DA. Guide to good prescribing. World
Health Organization. 1994:1-3.
19. Surat Ketetapan Menteri Kesehatan Republik Indonesia no. 189/Menkes/SK/III/2006 ten-
tang Kebijakan Obat Nasional
20. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor HK.02.02/MENKES/524/2015
tentang pedoman penyusunan dan penerapan Formularium Nasional
21. Sellmeyer S. Help patient save on prescription drugs. Diunduh dari www.medscape.com
tanggal 4 Juni 2017.

87
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
88 Kumpulan Makalah Lengkap Plenary
PARALEL
Resusitasi dan Deresusitasi Cairan
pada Anak Sakit Kritis
Conservative Fluid Management or Derescutitation
Following the Rescucitation Phase
Dadang Hudaya Somasetia
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran/RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung

Abstrak
Tata laksana syok sepsis dewasa berdasarkan penelitian Rivers dkk (2001) dengan resusitasi cairan
agresif (early, goal-directed therapy [EGDT])  memakai pemantau hemodinamis statis tekanan vena
sentral masih menjadi acuan Surviving Sepsis Campaign (SSC 2016), ternyata tidak lebih baik
daripada protokol resusitasi cairan standar. Hal ini ditunjukkan oleh tiga buah penelitian uji klinis acak
multisenter di Amerika Serikat (Protocolized Care for Early Septic Shock [ProCESS]), di Australasia
(Australasian Resuscitation in Sepsis Evaluation [ARISE]), dan di Inggris (Protocolised Management
in Sepsis [ProMISe]). Protokol resusitasi cairan agresif pada anak sakit kritis (syok hipovolemia dan
syok distributif ) dengan bolus kristaloid 20 mL/kgBB dalam 5–20 menit, dapat diulang sampai 60
mL/kgBB, bahkan sampai 200 mL/kgBB (syok sepsis). Resusitasi cairan agresif dapat menyebabkan
lebih cairan bila penyakitnya berat dan bolus cairan diulang, dapat menyebabkan Global Increased
Permeability Syndrome (GIPS) yang memerlukan deresusitasi setelah melewati fase stabilisasi. Lebih
cairan >15% pada anak sakit kritis akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Penelitian FEAST
study pada anak sakit kritis di Afrika menunjukkan terapi cairan tanpa bolus lebih baik daripada bolus
cairan agresif. Protokol resusitasi cairan konservatif dengan pemantau hemodinamis sepanjang waktu
pada anak sakit kritis untuk memantau kecukupan jumlah resusitasi cairan dan tanda lebih cairan
tampaknya menjadi kecenderungan baru.

R
esusitasi cairan agresif tanpa pemantauan yang memadai dapat memperburuk
luaran anak sakit kritis yang telah mengalami gangguan keseimbangan asam basa,
elektrolit dan metabolik. Resusitasi cairan konservatif dilakukan pada anak sakit
kritis dengan berbagai etiologi diterapkan untuk mengatasi gangguan hemodinamis dan
menghindari lebih cairan1,2 Protokol resusitasi cairan awal memakai kristaloid isotonis
(NaCl 0,9%, Ringer Laktat, Ringer Asetat) dilakukan secara agresif terkendali kemudian
diteruskan ke terapi cairan tahap lanjut. Tindakan ini akan meningkatkan tekanan
hidrostatis dan dapat menyebabkan akumulasi cairan interstisial serta lebih cairan.
Resusitasi dan terapi cairan pada anak sakit kritis memerlukan pemantauan hemodinamis
ketat untuk melihat mampu-respons cairan (fluid responsiveness) dan kecukupan
hemodinamis tubuh serta mencegah terjadinya lebih cairan. Syok sepsis sering dipakai
sebagai model resusitasi dan terapi cairan pada anak sakit kritis.3,4,5

91
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Manifestasi klinis lebih cairan dapat berupa sesak, sembab, hepatomegali serta peningkatan
pemakaian otot napas tambahan dan denyut jantung.6 Lebih cairan sebanyak >15% dari
kebutuhan efektif pascaresusitasi pada fase pulih setelah stabilitas hemodinamis tercapai pada
anak akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Balans cairan positif dapat menyebabkan
edema jaringan yang mengganggu absorbsi saluran cerna dan ekskresi ginjal, meningkatkan
tekanan intra abdomen yang merupakan faktor risiko dari sindrom kompartemen abdomen
dan sebagai bagian dari Global Increased Permeability Syndrome (GIPS).2,5-9
Bila terjadi lebih cairan maka harus dilakukan deresusitasi cairan, karena balans
cairan negatif pasca stabilisasi hemodinamis menghasilkan luaran lebih baik. Supaya tidak
terjadi lebih cairan, maka dilakukan pemantauan mampu-respons cairan pada anak sakit
kritis yang dapat dilakukan dengan memantau tanda vital klasik, pemantau hemodinamis
statis atau kontinyu dengan menggunakan alat sederhana non invasif, alat canggih, baik
alat yang invasif, invasif minimal maupun non invasif.9-12

Inflamasi sistemis, vasoplegi dan permeabilitas mikrovaskuler


Respons inflamasi sistemis anak sakit kritis menyebabkan perubahan permeabilitas endotel
yang memiliki implikasi penting dalam resusitasi dan terapi cairan. Kapiler merupakan
membran semi permeabel, cairan dapat melewati membran ini karena tekanan osmosis
dan hidrostatis. Selama terjadi inflamasi sistemis, permeabilitas kapiler meningkat akibat
rusaknya struktur glikokaliks endotel sehingga terjadi perembesan cairan plasma ke dalam
jaringan interstitial.13
Pada keadaan sepsis terjadi vasoplegi, kehilangan tonus arteri, venodilatasi,
sekuestrasi cairan serta perubahan fungsi ventrikel dan penurunan preload responsiveness
yang memberi respons buruk terhadap resusitasi cairan, jadi masalah utamanya bukan
deplesi cairan. Karena keadaan tersebut, hampir semua cairan resusitasi (90%) terkumpul
di dalam jaringan interstitial sehingga menyebabkan edema berat di dalam organ vital
yang meningkatkan risiko disfungsi organ. Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan
konservatif fisiologis dan hemodinamis individual pada resusitasi cairan penderita sakit
kritis yang mengalami syok sangat penting dan dapat menurunkan morbiditas dan
memerbaiki luaran penyakitnya.13,14,15
Resusitasi cairan agresif dapat meningkatkan tekanan hidrostatis mikrovaskuler dan
menyebabkan lebih cairan yang berakumulasi di dalam ruang interstitial. Lebih cairan secara
independen berhubungan dengan gangguan fungsi organ, hipertensi intraabdomen dan luaran
yang buruk. Resusitasi cairan konservatif, membatasi asupan dan merangsang pembuangan
bila terjadi lebih cairan, sehingga diharapkan akan memerbaiki luaran penyakitnya.5,16

Resusitasi cairan, lebih cairan (fluid overload) dan deresusitasi


Anak sakit kritis sering mengalami hipoperfusi, hipoksemia, disoksia jaringan dan edema
interstitial yang menyebabkan disfungsi mikrovaskuler. Resusitasi cairan dini (<24 jam)

92 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


bertujuan memulihkan perfusi jaringan, tetapi terapi cairan selanjutnya tidak memberikan
efek tersebut, malah bila terus diberikan resusitasi cairan agresif bisa menyebabkan lebih
cairan. Untuk membuang cairan yang berlebih perlu tindakan deresusitasi.13,17
Menurut protokol resusitasi cairan pada anak syok sepsis, cairan kristaloid isotonis
diberikan sebanyak 20 mL/kgBB (dan/atau koloid 10-20 mL/kgBB), bolus cepat dalam
waktu 5 menit, dapat diulang sampai total 60mL/kgBB dalam jam pertama dan dapat
diberikan sampai 120 mL/kgBB atau lebih dalam beberapa jam kemudian dengan
pemantauan ketat. Resusitasi cairan anak sakit kritis biasanya memakai cairan kristaloid
isotonis, yaitu NaCl 0,9%, Ringer laktat, Ringer asetat dan cairan yang relatif baru yaitu
cairan berimbang (balanced solution) dengan komposisi mirip plasma.3-6 Koloid alami
albumin 5% dapat ditambahkan bila jumlah cairan kristaloid untuk resusitasi syok
distributif anak sudah mencapai 40-60 mL/kbBB dan syok belum pulih (risiko lebih
cairan).4,5,12,13,18-20 Albumin 5% dapat diberikan juga pada keadaan hipoalbuminemia
(kadar albumin <3 gr/dL) atau terjadi asidosis metabolik hiperkloremia.20 Cairan koloid
semisintetis (kanji hidroksi etil, gelatin, dekstran) pada syok sepsis dewasa meningkatkan
risiko gagal ginjal akut, koagulopati dan kematian dibandingkan dengan kristaloid (NaCl
0,9% dan Ringer’s asetat).20,21 Cairan kristaloid hipertonis dapat dipakai untuk resusitasi
cairan volume kecil,5,12 (misalnya NaCl 3% dan natrium laktat hipertonis) bolus 5mL/
kgBB dalam waktu 5-15 menit, selain hemat cairan, dapat menghindari jejas reperfusi
dan lebih cairan pada sok distributif (syok sepsis).23,24 Lebih cairan pasca resusitasi dalam
keadaan bocor endotel (terutama organ vital paru, gastro-intestinum, ginjal, otak dan
jantung) dapat menyebabkan Global Increased Permeability Syndrome (GIPS).2,17
Target resusitasi cairan adalah pulih perfusi organ dalam satu jam sejak syok
terdeteksi (walaupun sering sulit tercapai), meliputi pulih tanda vital, derajat kesadaran,
waktu pengisian kapiler dan luaran urin.12,13,15,18,20 Bila jumlah resusitasi cairan >60 mL/
kgBB sangat berisiko mengalami GIPS dan akan menurunkan kemampuan pertukaran
gas di tingkat alveolus maupun di tingkat jaringan. Kemampuan difusi oksigen sangat
berhubungan dengan derajat edema membran alveolus-kapiler akibat lebih cairan.12,13,17-19

Model three hit resusitasi cairan penderita sakit kritis
Resusitasi cairan agresif dapat menyebabkan lebih cairan dengan manifestasi edema,
sindrom polikompartemen (dua atau lebih kompartemen anatomis meningkat
tekanannya), gagal multi organ dan luaran buruk. Pedoman EGDT resusitasi cairan pada
syok sepsis sangat menekankan resusitasi awal. Malbrain mengembangkan model Three
Hit pada penderita sakit kritis dewasa untuk mengatasi lebih cairan pasca resusitasi yang
dapat mengakibatkan GIPS.2,17 Model ini tampaknya bisa diterapkan pada anak. Model
Three Hit diuraikan berikut:17

Early adequate goal directed fluid management (EAFM)


Kebanyakan penelitian mengacu pada tata laksana resusitasi agresif EGDT (EAFM) untuk

93
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
mencapai target resusitasi cairan sebanyak 25−50 mL/kgBB dalam 6−8 jam pertama
resusitasi pada kasus syok hipovolemia dan syok sepsis. Resusitasi agresif dapat berefek
merugikan, yaitu terjadi lebih cairan sehingga muncul strategi resusitasi cairan yang lebih
konservatif.

Late Conservative Fluid Management (LCFM)


Tata laksana cairan konservatif kasip (LCFM) yang didefinisikan sebagai balans cairan nol
atau negatif selama dua hari berturut-turut dalam minggu pertama perawatan di ruang
intensif, merupakan prediktor kelangsungan hidup yang kuat dan independen. Sebaliknya,
pasien yang mengalami inflamasi sistemis persisten akan tetap mengalami bocor albumin
transkapiler, tidak bisa mencapai fase Flow, dan terus mengalami balans cairan positif.

Late Goal Directed Fluid Removal (LGFR).


Penderita yang mengalami lebih cairan perlu pembuangan cairan agresif dan aktif
memakai diuretik dan terapi sulih ginjal dengan teknik ultrafiltrasi. Tindakan ini disebut
deresusitasi.17

Gambar 1. Perjalanan Syok, Model Three-Hit dan Global Increased Permeability Syndrome.
Dikutip dari:Cordemans dkk.2

94 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Konsep Model “Three Hit” (Gambar 1, Tabel 1):2,17
•• First Hit = jejas akut (misalnya pneumonia menyebabkan syok sepsis)
•• Sencond Hit = multi-organ dysfunction syndrome (MODS)
•• Third Hit = glogal increased permeability syndrome (GIPS)

Tabel 1. Konsep Model “Three Hit” dan Pemantau Mampu Respons Cairan
Fist Hit Second Hit Third Hit
Etiologi Efek merugikan inflamasi Reperfusi iskemia GIPS
Fase Ebb Flow No Flow
Resusitasi cairan Resusitasi Biomarker penyakit kritis Toksis
Pemantauan Mampu Hemodinamis fungsional Fungsi organ Perfusi
Respons Cairan (SSV, PPV) (EVLWI, IAP) (ICG, PDR)
Terapi Konsep EGDT Late conservative fluid Late goal-directed fluid
management (LCFM) removal (LGFR)
Keseimbangan cairan Lebih cairan Netral Negatif
SSV: stroke volume variation, PPV: pulse pressure variation, EVLWI: extravascular lung water index, IAP:
intra abdominal pressure ICG-PDG: indocyanine green plasma dissapearrance rate
Dikutip dari: Mallbrain17

Untuk membedakan resusitasi cairan fase awal dan fase lanjut, syok dibagi menjadi
dua fase yaitu fase Ebb (fase surut) dan fase Flow (fase alir). Fase Ebb (surut)/First Hit,
ditandai dengan “nadi lemah, ekstremitas dingin dan lembab”. Pada fase Ebb, curah
jantung rendah (low cardiac output) dan perfusi jaringan buruk; terjadi peningkatan
kebutuhan natrium dan air sebagai respons terhadap penurunan volume intravaskuler,
disfungsi vasoregulator (vasoplegi) dan miokardium; kebutuhan metabolisme meningkat
serta terjadi gangguan hantaran oksigen. Gangguan hemodinamis menyebabkan hipoksia
jaringan global, inflamasi dan gagal napas. Pada fase Ebb sering diberikan resusitasi cairan
agresif (Gambar 1, Tabel 1).2,17
Fase Flow (fase alir)/Second Hit/reperfusi/MODS adalah saat mengakhiri fase Ebb.
Untuk menghindari balans cairan positif, edema jaringan serta disfungsi dan gagal organ,
maka penderita harus melewati masa transisi dari fase Ebb ke fase Flow yang berlangsung
selama 48−72 jam. Pada fase ini terjadi peningkatan curah jantung, perfusi jaringan normal,
diuresis, dan penurunan berat badan bertahap. Pada fase Flow terjadi keseimbangan antara
mediator proinflamasi dan antiinflamasi, tidak diperlukan tunjangan hemodinamis agresif
dan terapi cairan, tetapi bila mengalami inflamasi sistemis persisten, penderita tetap berada
pada fase bocor kapiler, tidak mengalami fase Flow (Third Hit/No Flow, GIPS, Gambar 1,
Tabel 1).2,17,22,23
Kebocoran endotel menyebabkan cairan terakumulasi sehingga terjadi balans cairan
positif, disebut Global Increased Permeability Syndrome (GIPS),5 yaitu kondisi penderita
yang tidak memberi respons terhadap resusitasi cairan, terjadi peningkatan capillary leak
index (CLI), tidak membaik dengan tata laksana CLFM, dan terus berlanjut menjadi
gagal multi organ. Capillary leak index = rasio C-reactive protein (CRP, mg/dL) terhadap

95
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
albumin (g/liter) x 100. Hal ini terjadi pada fase Third Hit, setelah First Hit dan Second
Hit (jejas akut dan MODS).5,17
Model Three Hit dan GIPS merupakan konsep efek merugikan resusitasi cairan
agresif dan lebih cairan pada penderita sakit kritis. First Hit menggambarkan jejas akut
berbagai organ, berlanjut ke fase Second Hit ketika tubuh mengalami disfungsi multi
organ, sedangkan fase Third Hit gambaran utamanya adalah bocor endotel global (GIPS,
Gambar 2).4,5,17,23

First Hit berhubungan dengan JEJAS,


Second Hit dengan REPERFUSI, dan
Third Hit dengan BOCOR KAPILER TAK PULIH

Rhadbo – rhabdomyolysls;
ECS – extremity compartment syndrome;
ICFH – intracranial hypertension;
ALI – acute lung injury;
ARDS – acute respiratory distress syndrome;
IAFH – intra-abdominal hypertension;
ABI – acute bowel injury;
ACS – abdominal compartment syndrome;
AIDS – acute intestinal distress syndrome;
AIPS – acute intestinal permeability syndrome;
AKI – acute kidney injury;
ATN – acute tubular necrosis;
GIPS – global increased permeability syndrome

  Gambar 2. Model Three Hit syok dan Global Increased Permeability Syndrome (GIPS).
Dikutip dari: Duchesne JC, dkk.23

Terjadinya GIPS dapat dipantau dengan peningkatan indeks bocor kapiler (capillary
leak index [CLI]), cairan interstisial berlebih dan indeks cairan ekstravaskular paru menetap
tinggi (extravascular lung water index [EVLWI]), late conservative fluid management
(LCFM) tidak tercapai, dan akan berlanjut menjadi gagal multi organ. Terjadinya GIPS
mencerminkan Third Hit setelah jejas akut (First hit) yang berlanjut menjadi sindrom
disfungsi multiorgan (multi-organ dysfunction syndrome−MODS [Second hit]). Third Hit
mungkin terjadi pada penderita yang tidak masuk ke fase Flow tetapi tidak pulih. Bila
penderita dapat mengatasi respons inflamasi akut maka mikrosirkulasi dan bocor kapiler
pulih dalam waktu 48−72 jam.2,17,22,23

96 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Konsep R.O.S.E. pada penderita sakit kritis
Model Three-Hit dapat diperluas menjadi Four-Hit dan dibagi lima stadium pemberian
cairan: Resusitasi, Optimalisasi, Stabilisasi, dan Evakuasi (R.O.S.E.), diikuti oleh risiko
Hipoperfusi. Konsepnya dapat diuraikan melalui lima fase klinis resusitasi dan terapi
cairan berikut ini:2,17

Fase Resusitasi (R)


•• Resusitasi cairan ( bolus sebanyak 4 mL/kgBB dalam waktu 10−15 menit)
•• Targetnya adalah early adequate goal directed fluid management (EAFM), akan
menyebabkan balans cairan positif. Target resusitasi cairan adalah: MAP >65 mm
Hg, CI >2,5 L/min/m2, PPV < 12%, LVEDAI > 8 cm/m2 (anak menyesuaikan)

Fase Optimalisasi (O)


•• Berlangsung dalam beberapa jam
•• Terjadi iskemia dan reperfusi
•• Derajat balans cairan positif merupakan penanda derajat berat fase ini
•• Risiko mengalami sindrom polikompartemen
•• Tidak stabil, syok terkompensasi yang memerlukan cairan untuk memulihkan curah
jantung
•• Target:  MAP >65 mmHg , CI >2,5 L/min/m2, PPV <14%, LVEDAI 8−12 cm/
m2, pantau IAP (<15 mmHg) dan hitung APP (>55 mm Hg). Optimalisasi preload
dengan GEDVI 640−800 mL/m2 (anak menyesuaikan)

Fase Stabilisasi (S)


•• Terjadi dalam beberapa hari
•• Hanya diberikan terapi cairan untuk rumatan dan pengganti
•• Tidak ada syok atau ancaman syok
•• Pantau berat badan, balans cairan dan fungsi organ setiap hari
•• Target: balans cairan netral atau negatif;  EVLWI <10−12 mL/kgBB, PVPI <2.5,
IAP <15 mmHg , APP >55 mmHg , COP >16−18 mmHg , and CLI <60 (anak
menyesuaikan)

Fase Evakuasi (E)


•• Penderita sakit kritis yang tidak mengalami peralihan dari fase Ebb ke fase Flow setelah
Second Hit akan mengalami global increased permeability syndrome (GIPS)
•• Lebih cairan akan menyebabkan disfungsi end-organ
•• Keadaan ini memerlukan tata laksana buang cairan: late goal directed fluid therapy
(LGDT) (deresusitasi) untuk mencapai balans cairan negatif
•• Hindari tata laksana buang cairan berlebihan yang dapat menyebabkan hipovolemia

97
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Deresusitasi
Resusitasi cairan agresif EGDT mengutamakan resusitasi awal. Setelah resusitasi cairan
agresif awal dapat mengatasi syok kemudian harus melakukan restriksi cairan dan
menghindari edema interstitial organ vital. Bila terjadi lebih cairan, selain restriksi cairan,
dapat dilakukan ekskresi cairan melalui deresusitasi seperti PAL Treatment (Gambar
3): bantuan ventilasi non invasif (NIV, misalnya Positive end expiratory pressure [PEEP]),
Albumin, dan Lasix (furosemid). Akumulasi cairan di rongga ke tiga berhubungan
dengan gangguan fungsi organ dan luaran yang buruk. Sebaliknya balans cairan negatif
berhubungan dengan perbaikan harapan hidup dan peningkatan fungsi paru.17

 ARDS         ARDS  Protokol PAL treatment: 


 PEEP (NIV)  
EVLWI I    NIV PEEP        Cairan bergeser dari alveoli ke dalam interstitium (IS) 
Albumin 20% 200 mL (dewasa), (anak 1−3 gr/kg) 
      Target kadar albumin darah 30 gr/L (3 mg/dL) 
     Cairan bergeser dari IS ke dalam kapiler 
Lasix  60 mg/jam (4 jam), selanjutnya 10−20 mg/jam 
           anak: i.v.  0,5−1 mg/kg, sampai 5mg/kg bila resisten 
                  infus  0.1−1 mg/kg/jam 
      Target luaran urin 1−2 mL/kg/jam 
Paru dan Jantung 

 
Gambar 3 Rasionalisasi dan Cara Kerja PEEP, Albumin dan Lasix (PAL)17

•• Targetnya balans cairan nol atau negatif serendah-rendahnya pada hari ke−3 dan
memertahankan balans cairan kumulatif pada hari ke−7
•• Diuretik atau terapi sulih ginjal (kombinasi dengan albumin) dipakai untuk mobilisasi
cairan pada penderita yang hemodinamisnya stabil dengan hipertensi intraabdomen
dan balans cairan kumulatif positif sesudah melakukan resusitasi cairan dan telah
mengatasi sumber infeksi

Resusitasi cairan agresif berlebih akan memperburuk kondisi anak sakit kritis dan
mungkin terjadi edema, hipertensi, gagal napas, jejas dan paresis saluran cerna yang
lambat pulih.18
Persentase lebih cairan (fluid overload percentage/FO%) dihitung dengan rumus berikut
ini:9
FO% = (jumlah cairan masuk – jumlah cairan keluar [mL])/Berat Badan saat masuk
x100%.
Lebih cairan >15% akan memengaruhi fungsi paru yang dapat diukur dari derajat
hipoksemia dan sering terjadi pada penderita gagal napas akut. Keseimbangan cairan
bergeser menjadi positif secara cepat pada penderita sakit kritis akibat resusitasi cairan

98 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


dan bocor endotel kapiler. Pasien syok dekompensata memerlukan cairan resusitasi lebih
banyak untuk stabilisasi hemodinamis.9

Pendekatan Tata Laksana P.A.L. (PEEP−Albumin−Lasix)


•• Berikan PEEP tinggi selama 30 menit (paling sedikit sama dengan tekanan
intraabdomen) untuk menarik cairan dari alveoli kedalam interstitium, kemudian,
•• Albumin (2 x 100 mL albumin 20% dalam 60 menit untuk hari ke-1, kemudian
titrasi sampai tercapai kadar albumin >30 g/L) untuk menarik cairan dari interstitium
ke dalam sirkulasi
•• Furosemid (Lasix) infus selama 60 menit (sesudah albumin) dosis 60 mg/jam selama
4 jam, kemudian titrasi antara 5-20 mg/jam untuk menghasilkan luaran urin >100
mL/jam
•• Dipakai pada penderita acute lung injury supaya terjadi balans cairan negatif,
mengurangi EVLWI dan IAP, serta memperpendek waktu pemakaian ventilator tanpa
mengganggu fungsi organ (Gambar 3).17

Pemantauan hemodinamis resusitasi cairan dan mampu respons


cairan
Resusitasi cairan terlalu agresif dapat menyebabkan lebih cairan serta gangguan fungsi
jantung dan perfusi jaringan. Beberapa parameter yang digunakan untuk pemantauan
hemodinamis dan mampu respons cairan (fluid responsiveness) yaitu:5,12,17,19,22,23,25-28
a. Penilaian parameter klinis untuk menilai kecukupan perfusi jaringan:
–– Tekanan darah arteri rata-rata (Mean arterial pressure/MAP)
–– Status mental/ tingkat kesadaran
–– Perfusi kulit (pucat, mottling, sianosis)
–– Ekstremitas dingin
–– Waktu pengisian kapiler
–– Luaran urin
–– Laktat plasma
–– Gas darah: pH, BE, HCO3, pCO2
–– Saturasi oksigen

b. Parameter statis
–– Central venous pressure (CVP)
–– Pulmonary artery occlusion pressure (PAOP)
–– RV end-diastolic volume dan LV end-diastolic area (RVEDV dan LVEDV)
–– Global end-diastolic volume dan intrathoracic blood volume (GEDV dan ITBV)

c. Parameter dinamis
–– Variasi volume sekuncup

99
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
–– Variasi tekanan nadi
–– Variasi tekanan sistole dan diastole
–– Aortic blood velocity (DVpeak)
–– Superior vena cava collapsibility index dan inferior vena cava distensibilty index
–– Indeks cairan ekstravaskuler paru (extravascular lung water index/EVLWI)
–– Tekanan intraabdomen (intra-abdominal pressure/IAP)
–– Ultrasound cardiac output monitor device (USCOM)

d. Modified fluid challenge


–– Passive leg raise (PLR) pada dewasa dapat memobilisasi cairan 300 cc (Gambar 3)
–– Bolus cairan mini (100−200 mL, anak sesuaikan dengan berat badan 5 mL/kgBB)

Posisi setengah telentang 450,


kemudian pasien telentang, kaki diangkat 450
dan variabel hemodinamis (EVLWI) atau curah
jantung dievaluasi setelah 30-60 detik.

  Gambar 4. Passive leg raise. Fluid Challenge, Auto-bolus dari Ekstremitas Bawah.
Dikutip dari: Mackenzie DC, Noble VE19

Pemantau statis untuk pasien syok sudah tradisi lama dipakai untuk menilai
curah jantung setelah resusitasi cairan, terutama tekanan vena sentral dan tekanan arteri
pulmonalis (preload responsiveness).5,12 Bukti baru menunjukkan bahwa tekanan vena
sentral dan tekanan arteri pulmonalis merupakan pemantau mampu respons cairan yang
tidak baik.5,12,25-28 Pengaruh variasi respirasi pada tekanan vena sentral berguna untuk
memantau mampu respons cairan pada pasien yang bernapas spontan; juga variabel
hemodinamis tekanan baji kapiler paru dan curah jantung dari pengukuran kateter arteri
pulmonalis berguna untuk menentukan jenis syok dan menilai respons terapi tetapi tidak
bisa memerkirakan preload responsiveness.5
Pemantau dinamis yang paling berguna untuk menilai preload responsiveness adalah
perubahan fase volume sekuncup dan tekanan darah sistole ketika pasien syok dipasang
ventilasi mekanis.5,12 Variasi volume sekuncup (Stroke volume variation/SVV) adalah beda
rasio volume sekuncup maksimum selama beberapa siklus napas dan volume sekuncup
rata-rata dalam periode yang sama.5,12 Nilai SVV >15% pada pasien yang mendapat
volume tidal >8 mL/kgBB atau SVV >10% pada pasien yang mendapat volume tidal 6
mL/kgBB akurat untuk memerkirakan preload responsiveness pada pasien dengan dada
tertutup.5,26 Alat pemantau komersial seperti PiCCO, LiDCOplus, Volume View/
EV1000, dan FloTrac memakai pulse contour analysis untuk mendeteksi curah jantung dan
SVV secara tidak langsung. Pulse contour analysis berdasarkan hubungan antara volume

100 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


sekuncup, komplians aorta dan tahanan vaskuler sistemis. Alat LiDCO memakai pulse
power analysis untuk mengubah gelombang arteri ke dalam gelombang volume-waktu.5,26,
Indikator Perfusi Jaringan. Tujuan utama resusitasi cairan adalan memulihkan
perfusi jaringan, tetapi pemantau hemodinamis tidak mengukur perfusi jaringan.
Indikator kecukupan perfusi meliputi SVO2, ScVO2, dan laktat. Rekomendasi Surviving
Sepsis Campaign tercapainya kadar ScVO2 >70% dalam 6 jam sejak sepsis terdeteksi.
Hiperlaktatemia (kadar laktat plasma >4 mmol/L) sangat baik untuk mendeteksi sepsis
berat.12 Kadar laktat plasma normal (<2 mmol/L) dan bersihan laktat (kadarnya turun
10% per jam) merupakan target resusitasi syok sepsis, disamping parameter hemodinamis
lainnya.5,12 Sirkulasi usus terganggu sejak awal terjadinya hipopperfusi. Karena aliran darah
gaster menurun, maka pH mukosa gaster (pHi) yang diukur dengan tonometer, dapat
mencerminkan perfusi usus. Nilai pHi dihitung dari CO2 lumen gaster dan bikarbonat
darah; nilai rendah menunjukkan hipoperfusi berat. Pemantau perfusi jaringan lainnya
yang jarang dipakai adalah Sidestream Dark Field imaging technique (SDF), kapnometri
sublingual, dan near infrared spectroscopy (NIRS).5
Pemantauan parameter klinis untuk menilai kecukupan perfusi jaringan merupakan
dasar pemantau status hemodimamis pasien syok. Pemantauan statis invasif seperti CVP
dan PAOP saat ini masih banyak dipakai, walaupun sudah ada berbagai bukti bahwa nilai
pemantau statis sering tidak sesuai dengan keadaan klinis sebenarnya, sehingga pemantauan
pasien sakit kritis saat ini sudah beralih ke pemantauan dinamis noninvasif atau invasif
minimal, seperti ultrasonografi dan bioimpedans, serta pemantauan indeks kebocoran
kapiler (CLI), indeks cairan ekstravaskuler paru (EVLWI), tekanan intraabdomen (IAP),
balans cairan dan lebih cairan pada fase ebb dan fase flow.2,4,5,17,18,26,28

Ringkasan
Resusitasi cairan pasien syok (EGDT) harus dilakukan sedini mungkin dan dihitung
sesuai kebutuhan, dilakukan pemantauan hemodinamis ketat untuk menghindari lebih
cairan dan segala risikonya. Kristaloid adalah cairan pilihan pertama, albumin 5% dapat
diberikan bila diperlukan cairan resusitasi yang banyak. Hindari pemberian HES untuk
resusitasi cairan. Waspadai terjadinya GIPS dan harus tanggap kapan saatnya memberi
bolus resusitasi cairan, kapan merestriksi cairan dengan target balans nol sampai balans
negatif melalui fase Ebb dan fase Flow serta kapan melakukan deresusitasi dengan konsep
ROSE dan PAL.

Daftar pustaka
1. Maitland K, Kiguli S, Opoka RO, Engoru C, Olupot-Olupot P, Akech SO, et al. Mortality
after fluid bolus in African children with severe infection. NEJM. 2011;364(26):1–8.
2. Cordemans C, Laet ID, Regenmortel NV, Schoonheydt K, Dits H, Huber W, et al. Fluid
management in critically ill patients: the role of extravascular lung water, abdominal hyper-
tension, capillary leak, and fluid balance. Annals of Intensive Care. 2012;2:S1–12.

101
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
3. Carcillo JA. Intavenous fluid choices in critically ill children. Curr Opin Crit Care.
2014;(20):396–401.
4. Martin K, Weiss SL. Initial resuscitation and management of pediatric septic shock. Minerva
Pediatr. 2015;67(2):141–58.
5. Jaehne AK, Rivers EP Early Liberal Fluid Therapy for Sepsis Patients Is Not Harmful: Hydro-
phobia Is Unwarranted but Drink Responsibly. Crit Care Med 2016;44(12):2263-9.
6. Brierley J, Carcillo JA, Cornell T, Choong K, DeCaen A, Deyman A, et al. Clinical practice
parameter for hemodynamic support of pediatric and neonatal septic shock: 2007 update
from the American College of Critical Care Medicine. Crit Care Med. 2009;37:666–82.
7. Byrne L, Haren FV. Fluid resuscitation in human sepsis; time to rewrite history? Intensive
Care. 2017;1–8.
8. Chen J, Li X, Bai Z, Fang F, Hua J, Pan J et al. Association of fluid accumulation with clinical
outcomes in crically ill children with severe sepsis. Plos one. 2016;1–17.
9. Arikan AA, Zappitelli M, Goldstein SL, Naipul A, Jefferson LS, Loftis LL. Fluid overload
is associated with impaired oxygenation and morbidity in critically ill children. Pediatr Crit
Care Med. 2012;13:253–8.
10. Sekarwana N, Nataprawira HM, Sari NM, Somasetia DH, Kuswiyanto RB. B type natri-
uretic peptide (BNP) as predictor of pediatric severe sepsis fluid responsiveness in limited
resoursec setting country. Ajeid. 2016;4(6):105–9.
11. Alsous F, Khamiess M, DeGirolamo A, Adjepong YA, Manthous CA. Negative fluid balance
predict survival in patient with septic shock. Chest. 2000;117:1749–54.
12. Rhodes A, Evans LE, Alhazzani W, Levy MM, Antonelli M, Ferrer R et al. Conference
reports and expert panel. Surviving Sepsis Campaign: International Guidelines for  Man-
agement of Sepsis and Septic Shock: 2016. Intensive Care Med, 2017; 43:304–377. DOI
10.1007/s00134-017-4683-6.
13. Raman S, Peters MJ. Fluid management in the critically ill child. Pediatr Nephrol 2014;
29:23–34.
14. Long E, Oakley E, Babl F, Duke T and Pediatric Research in Emergency Departements
International Collaborative (PREDICT). An observasional study using ultrasound to assess
physiological changes following fluid bolus administration in paediatric sepsis in the emer-
gency department. BMC Pediatrics. 2016;16(93):1–7.
15. Marik P, Bellomo R. A rational approach to fluid therapy in sepsis.   Br J Anaesth. 2016
Mar;116(3):339-49.
16. Abulebda K, Cvijanovich NZ, Thomas NJ, Allen GL, Anas N, Bigham MT, et all. Post-in-
tensive care unit admission fluid balance and pediatric septic shock outcomes:A risk-stratified
analysis. Crit Care Med. 2014; 42(2): 397–403
17. Malbrain MLNG, Marik LE, Witters I, Cordemans C, Kirkpatrick AW, Robert DJ, Van
Regenmortel N. Fluid overload, de-resuscitation, and outcomes in critically ill or injured
patients: a systematic review with suggestions for clinical practice. Anaesth Intens Ther 2014,
vol. 46(5), 361–380.
18. Plunkett A, Tong J. Sepsis in children. BMJ 2015;350:h3017 doi: 10.1136/bmj.h3017.
19. Mackenzie DC, Noble VE. Assessing volume status and fluid responsiveness in the emergen-
cy department. Clin Exp Emerg Med 2014;1(2):67-77.
20. Weiss SL, Pomerantz WJ, Randolph AG, Torrey SB, Kaplan SL, Wiley JF. Septic shock: Rapid
recognition and initial resuscitation in children. UpToDate, updated Jun 20, 2017. Diunduh

102 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


tanggal 3 Juli 2017. Tersedia dari: https://www.uptodate.com/contents/septic-shock-rap-
id-recognition-and-initial-resuscitation-in-children.
21. Weiss SL, Keele L, Balamuth F, Vendetti N, Ross R, Fitzgerald JC, et al. Crystalloid fluid
choice and clinical outcomes in pediatric sepsis; a matched retrospective cohort study. J Pe-
diatr 2016;(4):1–10.
22. Malbrain M. Why should I bother about the ebb and flow phases of shock? (interactive ses-
sion). PULSION Abstract Book - ISICEM Brussels 2012. p 25–7.
23. Duchesne JC,  Kaplan LJ, Balogh ZJ, Malbrain MLNG. Role of permissive hypotension,
hypertonic resuscitation and the global increased permeability syndrome in patients with
severe haemorrhage: adjuncts to damage control resuscitation to prevent intra-abdominal
hypertension. Anest Intens Ter. 2015, 47( 2), 148-160.
24. Somasetia DH, Setiati TE, Sjahrodji AM, Idjradinata PI, Setiabudi D,  Roth H, et al. Early
resuscitation of dengue shock syndrome in children with hyperosmolar sodium-lactate: a
randomized single-blind clinical trial of efficacy and safety. Critical Care. 2014;18(5):466.
Published online Sep 5, 2014. doi:  10.1186/s13054-014-0466-4.
25. Marik PE., Baram M, Vahid B. Does the central venous pressure predict fluid responsiveness?
A systematic review of the literature and the tale of seven mares,” Chest 2008, vol. 134, no.
1, pp. 172–178.
26. Elwan MH, Roshdy A, Elsharkawy EM, Eltahan SM, Coats TJ. The haemodynamic dilem-
ma in emergency care: Is fluid responsiveness the answer? A systematic review. SJTREM.
2017;25(25): 1–11.
27. Osborn TM. Severe sepsis and septic shock trials (ProCESS, ARISE, ProMISe) what is opti-
mal resuscitation. Crit Care Clin. 2017;(33):323–44.
28. Wise R, Faurie M, Malbrain MLGN, Hodgson E. Strategies for intravenous fluid resuscita-
tion in trauma patients. World J Surg (2017) 41:1170–1183. DOI 10.1007/s00268-016-
3865-7.

103
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Early Life Exposure to Endocrine Disruptors:
Should We Worried?
Agustini Utari
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro/RSUD Dr. Karyadi , Semarang

Abstract
Endocrine Disrupting Chemicals (EDCs) are compound that disrupt the normal function of endocrine
systems. According to U.S. Environmental Protection Agency (EPA) statement, Endocrine-disrupting
compound is defined as “an exogenous agent that interferes with synthesis, secretion, transport, metabolism,
binding action, or elimination of natural blood-borne hormones that are present in the body and are
responsible for homeostasis, reproduction, and developmental process.” Children are considerably having
more risk to EDCs exposure due to their behaviors and metabolism rate. Age at exposure and latency from
exposure is one of the important issues in endocrine disruption. The effect of developmental exposure may
not be immediately apparent in early life but may be occurred in adulthood. A large number of studies of
EDCs have appeared in recent years, and this may indicate that the regular human and environmental
exposure have serious effects to human homeostasis. This paper reviews the potential impact of EDCs in
the early life.

E
ndocrine Disrupting Chemicals (EDCs) didefinisikan sebagai suatu agen eksogen
yang bisa mengganggu sintesis, sekresi, transportasi, metabolisme, pengikatan atau
eliminasi dari hormon-hormon alami yang berada dalam tubuh dan bertanggung
jawab atas proses homeostasis, reproduksi dan perkembangan 1,2 Pada mulanya EDCs
diduga beraksi melalui nuclear hormone receptors, termasuk reseptor estrogen, reseptor
androgen, reseptor progresteron, reseptor tiroid, dan reseptor retinoid. Saat ini dengan
berkembangnya penelitian, maka diduga mekanismenya tidak sesederhana itu. EDCs
beraksi selain melalui nuclear receptors juga melalui non nuclear steroid hormone receptor
(misal membran reseptor estrogen), reseptor non steroid (misal reseptor neurotransmitter
seperti reseptor serotonin, reseptor dopamin, reseptor nor epinefrin) dan orphan receptors.1
EDCs diklasifikasikan berdasarkan struktur kimiawi, efek terhadap sistem endokrin,
bioakumulasi dan persistensi pada lingkungan atau efek klinis yang bisa diamati.
Hingga saat ini sudah lebih dari 100.000 bahan kimiawi yang dibuat manusia. Beberapa
kelompok molekul yang diidentifikasi sebagai senyawa pengganggu sistem endokrin
sangat bervariasi, termasuk di dalamnya adalah zat-zat kimiawi yang dipakai sebagai
pelarut atau pelumas dalam industri dan produk sampingannya (polychlorinated biphenyls
(PCBs), polybrominated biphenyls (PBBs), dioxin), plastik (biphenol A (BPA)), plasticizers
(phthalates), pestisida (methoxychlor, chlorpyrifos, dichlorodiphenyltrichloroethane (DDT)),
fungisida (vinclozolin) dan obat-obatan (dietilstilbestrol).1,3

104 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Sebagai klinisi yang menangani pasien secara individu, EDCs merupakan tantangan
tersendiri terutama melihat keterlibatan EDCs dalam beberapa kelainan yang terkait.
Pada tulisan ini akan dibahas tentang beberapa kemungkinan paparan dan dampak yang
mungkin terjadi akibat EDCs.

Aspek klinis akibat EDCs pada manusia


Masing masing individu mempunyai paparan yang unik dari berbagai macam EDCs baik
yang diketahui maupun tidak diketahui. Perbedaan metabolisme dan komposisi tubuh
akan menyebabkan variasi terhadap waktu paruh dan persistensi dari EDCs serta degradasi
dalam cairan tubuh dan jaringan. Gangguan pada tubuh manusia kemungkinan besar
adalah hasil dari paparan kronik dari berbagai gabungan EDCs.4 Suseptibilitas terhadap
EDCs juga bervariasi tergantung polimorfisme genetik.5,6
Paparan EDCs pada orang dewasa akan sangat memiliki konsekuensi yang berbeda
dengan paparan yang ditimbulkan saat masih dalam kandungan, bayi atau masa anak.
Seringkali paparan tidak segera menimbulkan manifestasi klinis namun kemudian
berkembang saat dewasa. Hal penting lainnya dalam paparan EDCs adalah bahwa paparan
ini jarang yang disebabkan oleh komponen tunggal, sehingga banyak kelompok EDCs
yang sifatnya adiktif atau sinergistik.1 Penelitian pada hewan coba menunjukkan bahwa
saat yang sangat rentan adalah masa periode kritis perkembangan yakni saat embrio, fetus
dan bayi baru lahir. 2,7
Paparan EDCs bisa melalui makanan, minuman, air, debu rumah, tanah atau kontak
langsung melalui berbagai material atau produk. Khusus pada anak, paparan harus lebih
dipertimbangkan khususnya melalui tanah dan debu karena anak sering melakukan
aktivitas memasukkan tangan atau benda-benda ke dalam mulut. Anak juga makan,
minum dan bernafas lebih banyak per berat badannya dibandingkan orang dewasa. Anak
berkembang sangat pesat sehingga mereka bahkan lebih rentan terhadap dosis per menit
dari stressor lingkungan. Fetus dan bayi juga harus mendapatkan perhatian khusus karena
banyak zat zat kimiawi yang mungkin masuk melalui plasenta dan melalui ASI. 4,8
Di bawah ini akan dibahas beberapa EDCs penting yang terkait dengan paparan dan
dampak di masa anak.

Dampak paparan EDCs terhadap tiroid


Seorang anak sangat rentan terhadap paparan EDC. Kondisi anak yang unik dan laju
metabolisme yang lebih tinggi menempatkan mereka terhadap risiko yang lebih besar
terhadap paparan EDCs. Salah satunya adalah paparan pestisida.4 Gangguan terhadap
hormon tiroid akibat EDCs diduga melalui aksis hipotalamus hipofisis dan tiroid.9
Namun demikian kisaran fisiologis yang luas dari Thyroid Stimulating Hormone (TSH)
dan hormon tiroid perifer pada manusia menyebabkan luasnya pengukuran antar individu
sehingga penelitian populasi menjadi sangat sulit.1

105
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Pada tingkat kelenjar tiroid itu sendiri, zat kimiawi bisa mengganggu aktivitas
keseluruhan dari kelenjar dengan mengganggu reseptor TSH. Fungsi dari sodium iodide
symporter (NIS) atau thyroid peroxidase (TPO) bisa terganggu oleh zat-zat kimiawi melalui
inhibisi atau stimulasi. Selain itu EDCs diduga mengganggu reseptor hormon tiroid.
Gangguan terhadap ekspresi dari reseptor tiroid juga mengganggu perkembangan dari
susunan saraf pusat.10
Penelitian tentang paparan pestisida pada bayi dan ibu hamil menunjukkan bahwa
kadar organofosfat (salah satu jenis pestisida yang sering digunakan di daerah pertanian)
pada ibu dan bayi baru lahir di daerah pertanian lebih tinggi dibandingkan populasi pada
umumnya dan bayi lebih rentan terpapar pestisida.11 Penelitian di Indonesia menunjukkan
adanya angka kejadian hipotiroid yang cukup tinggi pada anak usia sekolah di daerah
paparan pestisida. Pada penelitian ini didapatkan bahwa kandungan metabolit organofosfat
pada urine yang positif meningkatkan risiko hipotiroid dibandingkan dengan metabolit
urine yang tidak mengandung metabolit organofosfat.12 Sementara itu penelitian lain di
Indonesia pada usia balita di daerah paparan pestisida menunjukkan bahwa prosentase
anak balita dengan kadar TSH di atas normal lebih tinggi di daerah paparan pestisida
dibandingkan daerah non paparan.13

Dampak paparan EDCs terhadap perkembangan organ reproduksi


Beberapa kondisi yang sering dikaitkan dengan EDCs antara lain adalah kriptorkismus,
hipospadia, gangguan pubertas, kanker testis dan penurunan fertilitas. Penelitian hewan
coba yang dilakukan dengan memberikan paparan phthalates dalam masa kehamilan dan
laktasi menyebabkan turunnya kadar dan konsentrasi testosteron pada anaknya.14
Kriptorkismus (undesensus testis) merupakan masalah yang sering dikaitkan dengan
EDCs. Penurunan testis terjadi dalam dua fase yang dikontrol oleh Leydic cell-derived
hormones insulin-like peptide 3 (INSL3) dan testosteron. Gangguan pada produksi
androgen fetus atau supresi dari Insl3 merupakan mekanisme yang diduga menyebabkan
kriptokismus pada hewan pengerat. Zat kimiawi estrogenik diduga bisa mengganggu
perkembangan organ reproduksi pada penelitian hewan coba. Sedangkan pada manusia,
paparan prenatal oleh dietilstilbestrol (DES), sebuah obat nonsteroid estrogen sintetik,
dikaitkan dengan risiko terjadinya kriptorkismus.15
Beberapa penelitian menduga EDCs juga berkaitan angka kejadian hipospadia.
Pada ibu-ibu yang mengalami paparan EDCs dalam pekerjaannya meningkatkan faktor
risiko kejadian hipospadia pada anaknya.16 Sedangkan salah satu penelitian di Rusia
menunjukkan bahwa paparan timah yang lebih tinggi berhubungan dengan keterlambatan
onset pubertas pada anak laki-laki.17

106 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Dampak paparan EDCs terhadap perkembangan dan
pertumbuhan anak
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa paparan pestisida terkait pekerjaan selama
ibu hamil merupakan salah satu faktor risiko terhadap gangguan perkembangan dan
pertumbuhan pada anak akibat toksisitas neuron.18

Penutup
EDCs merupakan salah satu permasalahan yang terus meningkat. Pencegahan paparan
EDCs dalam kehidupan sehari hari sejak masa fetus diharapkan bisa mengurangi dampak
yang bisa ditimbulkan di kemudian hari.

Daftar Pustaka
1. Diamanti-Kandarakis E, Bourguignon J-P, Giudice LC, et al. Endocrine-Disrupting Chemi-
cals, an Endocrine Society Scientific Statement. Endocr Rev. 2009;30(4):293-342.
2. Mallozzi M, Bordi G, Garo C, Caserta D. The Effect of Maternal Exposure to Endocrine
Disrupting Chemicals on Fetal and Neonatal Development : A Review on the Major Con-
cerns. Birth Defects Res. 2016;Part C:1-19. doi:10.1002/bdrc.21137.
3. Acerini CL, Hughes IA. Endocrine disrupting chemicals: a new and emerging public health
problem ? Arch Dis Child. 2006;91(8):633-641.
4. Roberts JR, Karr CJ. Pesticide Exposure in Children. Pediatrics. 2012;130(6):1-24.
doi:10.1542/peds.2012-2758.
5. Christiansen L, Andersen HR, Wohlfahrt-veje C, et al. Paraoxonase 1 Polymorphism and
Prenatal Pesticide Exposure Associated with Adverse Cardiovascular Risk Profiles at School
Age. PLoS One. 2012;7(5):1-10. doi:10.1371/journal.pone.0036830.
6. Povey AC. Gene – environmental interactions and organophosphate toxicity. Toxicology.
2010;278:294-304. doi:10.1016/j.tox.2010.02.007.
7. Mnif W, Ibn A, Hassine H, Bouaziz A, Bartegi A, Thomas O. Effect of Endocrine Dis-
ruptor Pesticides : A Review. IntJEnvironResPublic Heal. 2011;8:2265-2303. doi:10.3390/
ijerph8062265.
8. Meeker JD. Exposure to Environmental Endocrine Disruptors and Child Development. Arch
Pediatr Adolesc Med. 2012;166(6):1-12. doi:10.1001/archpediatrics.2012.241.Exposure.
9. Schmutzler C, Gotthardt I, Hofmann PJ, et al. Endocrine Disruptors and the Thyroid Gland
— A Combined in Vitro and in Vivo Analysis of Potential New Biomarkers. Env Heal Pers.
2007;115(December):77-83. doi:10.1289/ehp.9369.
10. Boas M, Feldt-rasmussen U, Main KM. Molecular and Cellular Endocrinology Thyroid
effects of endocrine disrupting chemicals. Mol Cell Endocrinol. 2012;355(2):240-248.
doi:10.1016/j.mce.2011.09.005.
11. Huen K, Bradman A, Harley K, et al. Organophosphate pesticide levels in blood and urine
of women and newborns living in an agricultural community. Env Res. 2012;117:8-16.
doi:10.1016/j.envres.2012.05.005.
12. Suhartono, Subagio HW, Kartini A, Budiyono, Utari A, Suratman. Pesticide exposure and
thyroid function among primary school children living in an agricultural area. In: Conference

107
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
of International Society for Environmental Epidemiology and International Society of Exposure
Science-Asia Chapter 2016. Sapporo, Japan; 2016.
13. Utari A, Suhartono, Anwar A, Budiyono. Thyroid Profile of Indonesian Children living in
Agricultural Area. In: Australia Paediatric Endocrine Group (APEG) Meeting. Sidney; 2013.
14. Wang X, Sheng N, Cui R, Zhang H, Wang J, Dai J. Chemosphere Gestational and lactation-
al exposure to di-isobutyl phthalate via diet in maternal mice decreases testosterone levels in
male offspring. Chemosphere. 2017;172:260-267. doi:10.1016/j.chemosphere.2017.01.011.
15. Virtanen HE, Adamsson A. Cryptorchidism and endocrine disrupting chemicals. Mol Cell
Endocrinol. 2012;355(2):208-220. doi:10.1016/j.mce.2011.11.015.
16. Haraux E, Braun K, Buisson P, et al. Maternal Exposure to Domestic Hair Cosmetics and
Occupational Endocrine Disruptors Is Associated with a Higher Risk of Hypospadias in the
Offspring. IntJEnvironResPublic Heal. 2017;14:1-14. doi:10.3390/ijerph14010027.
17. Williams PL, Sergeyev O, Lee MM, et al. Blood Lead Levels and Delayed Onset of Puberty
in a Longitudinal Study of Russian Boys. Pediatrics. 2012;125:e1088-e1096. doi:10.1542/
peds.2009-2575.
18. Grandjean P, Harari R, Barr DB, Debes F. Pesticide Exposure and Stunting as Independent
Predictors of Neurobehavioral Deficits in Ecuadorian. Pediatrics. 2005;117(3):e546-e556.
doi:10.1542/peds.2005-1781.

108 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


The Infant Motor Profile
Ahmad Suryawan
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas KedokteranUniversitas Airlangga / RSUD Dr. Soetomo, Surabaya

Abstract
A sensitive, reliable and valid instrument is a prerequisite for early detection of infants with motor
disorders. It is also indispensable for the evaluation of the effectiveness of intervention strategies. The
infant motor profile (IMP) is a new observational instrument developed in the Netherlands to assess motor
development and abilities in infancy. It may be used for early detection and developmental evaluation of
infants at high risk of developmental motor disorders, such as cerebral palsy or developmental coordination
disorders. The IMP evaluates spontaneous motor behavior of infants aged 3 to 18 months, or rather until
the age at which they have a few months experience of walking independently. It is based on a video
of about 15 minutes of spontaneous motor behavior in supine, prone, sitting, standing, walking and
during reaching and grasping – depending on the age of the infant. Spontaneous motor behavior is
evaluated in a qualitative way based on the principles of the neuronal group selection theory (NGST) of
motor development. The IMP does not only include information about the infant’s motor achievement
but also that the way in which the infant accomplishes his/her achievements. The IMP consists of 80
items classified into five subscales: (1) Variation: the size of the infant’s motor repertoire – 25 items; (2)
Variability or Adaptability: ability to select adaptive motor strategies from infant’s movements repertoire
– 15 items; (3) Symmetry – 10 items; (4) Fluency – 7 items, and (5) Performance – 23 items. Studies
indicate that the IMP is an instrument with good reliability and promising validity. The construct
validity of the IMP shows clear relation to relevant risk factors for developmental motor problems and
support the use of the IMP in clinical follow-up of high-risk infants.

P
enilaian perkembangan kemampuan motorik bayi di masa neonatus membutuhkan
instrumen yang valid dan reliable serta didesain untuk penggunaan longitudinal
sejak periode prenatal sampai awal periode pasca-kelahiran. Para klinisi dan peneliti
sangat membutuhkan instrumen yang dapat digunakan untuk menilai perkembangan
bayi dengan setting NICU, yaitu bayi dengan kondisi klinis yang masih rawan dan tidak
stabil. Dengan demikian, parameter utilitas klinis akan digunakan sebagai faktor utama
dalam mempertimbangkan instrumen mana yang paling cocok digunakan.1
Penilaian perilaku motorik di masa bayi mempunyai berbagai macam tujuan, antara
lain deteksi dini disfungsi susunan saraf pusat atau otak, memprediksi luaran (outcome)
jangka panjang, mengevaluasi kemajuan perkembangan secara longitudinal, dan
mengevaluasi dampak terapi.2,3 Berdasar hal tersebut, instrumen penilaian perkembangan
bayi dapat digolongkan menjadi beberapa jenis tergantung dari tujuan penilaiannya, yaitu:
(1) Instrumen diskriminatif (untuk membedakan perkembangan normal dan abnormal);
(2) Instrumen prediktif (untuk memprediksi berbagai jenis masalah perkembangan di

109
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
masa depan); dan (3) Instrumen evaluatif (untuk mengevaluasi perubahan perkembangan
di setiap waktu yang berbeda).2,3
Berdasar review sistematis yang menganalisis berbagai instrumen penilaian
perkembangan perilaku motorik bayi, terdapat dua metode penilaian perkembangan
bayi yang mempunyai nilai utilitas dan nilai psikometrik paling baik, yakni metode
penilaian kualitas general movements (GMs) dan test of infant motor performance (TIMP).
Metode GMs merupakan instrumen terbaik dalam hal validitas prediktif, sedangkan
TIMP terbaik dalam hal validitas evaluatif. 2,3 Akan tetapi, kedua metode tersebut
hanya dapat diaplikasikan untuk bayi sampai berusia sekitar 3-4 bulan. Oleh karena itu,
dikembangkan sebuah instrumen baru yang dikenal dengan infant motor profile (IMP)
yang dapat diaplikasikan untuk bayi pada usia 3-4 bulan sampai sekitar 18 bulan. Pada
tulisan ini akan diberikan gambaran singkat, validitas, dan reliabilitas metode IMP sebagai
instrumen penilaian perilaku motorik bayi.
IMP merupakan metode penilaian kualitatif yang terstandarisasi untuk menilai
kemampuan motorik bayi. IMP dikembangkan pertama kali di Groningen, Belanda sebagai
salah satu alternatif instrumen untuk menilai kemampuan motorik bayi.4,5 Metode IMP
dapat digunakan sebagai deteksi dini dan juga instrumen untuk mengevaluasi kemajuan
perkembangan motorik anak setelah mendapatkan intervensi atau terapi tertentu. Metode
IMP mempunyai dasar teori yang sama dengan metode GMs, yakni neuronal group selection
theory (NGST).6 Metode IMP tidak hanya akan memberi informasi tentang pencapaian
perkembangan motorik seorang bayi, tetapi juga informasi tentang dengan cara apa dan
bagaimana bayi tersebut mencapai perkembangan motoriknya.4

Dasar teori
Menurut teori NGST faktor genetik dan faktor lingkungan keduanya mempunyai peran
yang penting dalam perkembangan motorik.7,8 Dalam teori NGST, perkembangan
motorik normal ditandai dengan adanya dua fase variabilitas. Fase pertama adalah
variabilitas primer, yakni variasi dalam perilaku motorik yang tidak dipengaruhi oleh
faktor lingkungan, melainkan berupa aktivitas gerak spontan yang dihasilkan oleh
jaringan neuronal primer yang sudah ada pada saat anak lahir. Contoh dalam hal ini
dapat dilihat pada gerakan spontan yang disebut general movements (GMs), yaitu pola
gerakan yang sering terjadi pada janin dan bayi muda sampai usia sekitar 4 bulan yang
ditandai oleh adanya gerakan yang sangat bervariasi dan sangat kompleks. Gerakan ini
bersifat spontan, tidak bertujuan dan tidak dipengaruhi oleh adaptasi faktor lingkungan.9
Setelah bayi berusia di atas 3-4 bulan, gerakan GMs secara bertahap akan digantikan
dengan gerakan-gerakan yang mempunyai tujuan (goal-directed movements), misalnya
gerakan untuk meraih sesuatu. Pada awalnya, gerakan bertujuan tersebut ditandai dengan
variasi dalam amplitudo dan kecepatan. Secara bertahap, variasi gerakan tersebut akan
semakin menurun dan digantikan oleh fase kedua dalam perkembangan motorik, yaitu
variabilitas sekunder. Pada fase ini anak mengembangkan kemampuan untuk memilih

110 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


strategi motorik terbaik dalam menghadapi situasi tertentu sebagai hasil adaptasi dengan
lingkungannya melalui proses eksplorasi dan seleksi. Proses ini terjadi pada usia yang
spesifik-fungsional untuk setiap jenis kemampuan motorik anak.7,8
Penggunaan konsep NGST untuk pengembangan instrumen penilaian perkembangan
motorik bayi pada usia baru lahir sampai dengan 3-4 bulan ternyata dapat diterapkan
dengan baik melalui metode GMs. Dengan dasar teori yang sama IMP dikembangkan
untuk menjadi instrumen penilaian perkembangan motorik untuk bayi berusia di atas 3
bulan.10

Aspek Praktis 4,10


Secara umum IMP dapat diaplikasikan untuk mengevaluasi perilaku motorik bayi
berusia 3 bulan sampai 18 bulan, atau sampai pada usia beberapa bulan setelah anak
mempunyai kemampuan berjalan secara mandiri. Pada anak yang mengalami beberapa
jenis gangguan motorik sedang sampai berat, IMP dapat digunakan hingga di atas usia
18 bulan. Instrumen IMP menggunakan penilaian berdasarkan sebuah rekaman video
dengan durasi sekitar 15 menit. Perilaku motorik bayi dievaluasi pada berbagai kondisi,
secara berurutan: posisi berbaring, tengkurap, duduk, berdiri, dan berjalan. Untuk evaluasi
kemampuan anak dalam hal meraih, menggenggam, dan memainkan atau memanipulasi
sebuah obyek benda dilakukan dalam posisi berbaring dan posisi duduk ditopang, seperti
saat sedang dipangku oleh ibu.
Aktivitas perilaku motorik bayi saat penilaian IMP dapat saja menunjukkan
seluruhnya berupa gerakan spontan atau berupa gerakan yang muncul karena ketertarikan
terhadap berbagai obyek yang diberikan kepadanya (Gambar 1). Urutan berbagai posisi

Gambar 1. Berbagai contoh obyek mainan yang digunakan dalam instrumen IMP
(Sumber: Heineman, 2010)10

111
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
dalam penilaian IMP tergantung pada usia bayi, kemampuan fungsional, mood dan daya
ketertarikan bayi saat diperiksa. Pada bayi usia muda, penilaian IMP umumnya dimulai
dengan pengamatan perilaku motorik bayi dalam posisi terlentang selama kurang lebih 5
menit. Pada bayi berusia lebih tua, penilaian umumnya dimulai pada posisi duduk, baik
saat duduk di pangkuan orangtua atau pada saat posisi duduk sendiri tanpa bantuan.10
Penilaian IMP terdiri dari 80 item penilaian perilaku motorik yang dikelompokkan
dalam lima sub-skala, yaitu antara lain:4,10
1. Sub-skala “variation”: untuk menilai seberapa besar cadangan variasi gerakan
motorik yang dimiliki oleh bayi. Sub-skala ini terdiri dari 25 item. Skor “tidak cukup
bervariasi” diberikan bila bayi menunjukkan keterbatasan variasi gerakan dalam
melakukan sebuah kemampuan tertentu. Skor “cukup bervariasi” diberikan bila
bayi menunjukkan banyak variasi gerakan yang berbeda untuk melakukan sebuah
kemampuan tertentu.
2. Sub-skala “variability/adaptability”: untuk menilai kemampuan bayi atau anak
dalam memilih strategi motorik adaptif terbaik dari berbagai variasi gerakan yang
dimilikinya, yang terdiri dari 15 item. Skor “tidak ada seleksi” diberikan pada bayi tidak
mempunyai pilihan strategi gerakan tertentu dalam melakukan sebuah kemampuan
tertentu, namun bayi melakukannya melalui berbagai strategi gerakan yang berbeda-
beda. Bila bayi mampu memilih salah satu strategi gerakan tertentu sepanjang waktu
untuk melakukan sebuah kemampuan maka diberi skor “seleksi adaptif ”.
3. Sub-skala “symmetry”: terdiri dari 10 item untuk mengevaluasi ada atau tidaknya
gerakan-gerakan stereotipi yang asimetris. Kesimetrisan sebuah gerakan sebenarnya
merupakan salah satu bentuk khusus variabilitas gerakan, namun pada IMP
dimasukkan ke dalam sub-skala terpisah karena kemungkinan mempunyai nilai
diagnostik khusus.11
4. Sub-skala “fluency”: terdiri dari 7 item, untuk menilai kelancaran gerakan bayi
dalam melakukan sebuah kemampuan motorik yang lebih halus. Dalam sub-skala
ini termasuk dua item tentang adanya tremor. Gerakan motorik yang tidak fluens
atau tidak lancar merupakan salah satu tanda awal kondisi neurologis yang tidak
optimal.9,12
5. Sub-skala “performance”: terdiri dari 23 item yang merupakan evaluasi pencapaian
kemampuan motorik seorang bayi. Hal tersebut berarti IMP tidak hanya bertujuan
untuk mengetahui kualitas pencapaian perilaku motorik saja, tetapi juga mengevaluasi
bagaimana kemampuan tersebut dicapai.

Skor IMP dihitung secara terpisah untuk masing-masing sub-skala, dengan


menggunakan rumus:10

112 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Σ skor semua item
SKOR = ---------------------------------------------------------------------------------- x 100%
(Σ item dalam sebuah sub-skala – Σ item yang tidak diperiksa) x maksimum
skor dari semua item pada satu sub-skala

Skor total IMP dihitung dari penjumlahan skor untuk kelima sub-skala dan kemudian
dibagi lima. Semua skor untuk masing-masing sub-skala dan skor total dinyatakan dalam
bentuk persentase dengan skor maksimum sebesar 100%.10 Saat ini telah tersedia program
khusus berupa kalkulator untuk menghitung skor IMP secara otomatis. Kalkulator
tersebut dapat diperoleh pada saat pelatihan IMP.

Reliabilitas dan Validitas IMP


Instrumen IMP mempunyai reliabilitas intra-observer dan inter-observer yang sangat
baik untuk item seleksi adaptif pada penilaian pergerakan abdominal dan untuk item
aktivitas motorik saat posisi duduk. Reliabilitas pergerakan lengan pada saat penilaian
kemampuan meraih juga berada pada level yang baik. Sementara itu, untuk pergerakan
tangan saat menggenggam mempunyai reliabilitas intra-observer moderat, dan reliabilitas
inter-observer yang sangat baik (Tabel 1).10

Tabel 1. Reliabilitas intra-observer dan inter-oberserver metode IMP


(Sumber: Heineman, 2010)10

Studi pendahuluan oleh Heineman, dkk (2008), merupakan studi pertama yang
mengevaluasi reliabilitas dan validitas keseluruhan (concurrent validity) IMP, dengan
membandingkannya dengan metode Alberta Infant Motor Scale (AIMS). Reliabilitas
intra-observer dan inter-observer skor total IMP berada pada level yang kuat (Spearman’s
rho 0.9 untuk keduanya; dengan 95%CI masing-masing 0,8-0,9 dan 0,8-1,0). Validitas
keseluruhan IMP terhadap AIMS sangat tinggi untuk sub-skala “performance” dan moderat
untuk skor IMP total.4
Studi terbaru oleh Hecker dkk (2016) menunjukkan bahwa IMP mempunyai
reliabilitas intra-observer dan inter-observer yang sangat kuat untuk skor IMP total (inter:
r = 0.80-0.96; intra: r = 0.85-0.97) dan sub-skala “performance” (r = 0.95-0.99). Untuk

113
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
reliabilitas sub-skala “variation”, “variability”, dan “fluency” berada pada level yang cukup
baik (inter: r = 0.15-0.85; intra: r = 0.30-0.92). Reliabilitas terendah didapatkan untuk
sub-skala “symmetry” (inter: r = 0.20-0.69; intra: r = 0.33-0.65).13
Studi untuk menilai validitas konstruktif IMP dilakukan oleh Heineman dkk (2010
dan 2013), untuk menilai korelasi skor IMP dengan berbagai kondisi prenatal, perinatal,
dan neonatal, dan korelasi skor IMP dengan kondisi patologis otak yang tampak pada
studi imaging, serta perbedaan skor IMP pada bayi kurang-bulan dan cukup-bulan.14,15
Analisis univariat menunjukkan adanya hubungan yang signifikan skor IMP dengan status
sosio-ekonomi, usia gestasi, tanda-tanda distres janin, persalinan sectio Caesaria (SC),
dan skor Apgar menit ke-5. Bayi kurang-bulan mempunyai skor IMP yang lebih rendah
dan mempunyai rentang skor IMP yang lebih lebar dibandingkan dengan bayi cukup-
bulan (Mann-Whitney; P<0,001), dan tidak didapatkan perbedaan skor IMP dalam hal
jenis kelamin bayi (Gambar 2). Bayi kurang-bulan dengan lesi di otak mempunyai skor
IMP lebih rendah dibandingkan yang tidak mempunyai lesi di otak, pada usia 4 bulan
(P=0,002), 6 bulan (P=0,003), 10 bulan (P=0,01) dan 18 bulan (P=0,004)14.

Gambar 2. Perbedaan skor IMP Total pada bayi kurang-bulan dan cukup-bulan
(Sumber: Heineman, 2010)14

IMP di Indonesia
Sepanjang penulis ketahui, sampai saat ini belum ada informasi tentang aplikasi secara
klinis penggunaan metode IMP dalam kegiatan follow-up bayi-bayi risiko tinggi di
Indonesia. Divisi Tumbuh Kembang Anak – Departemen Ilmu Kesehatan Anak, RSUD
Dr Soetomo / FK Unair Surabaya saat ini sedang dalam tahap penelitian longitudinal
tentang penerapan metode IMP untuk pemantauan perkembangan bayi yang lahir
prematur melalui studi LONGSPRINT (Longitudinal Surabaya Pediatric Research in
Infants), yang bekerjasama dengan Prof. Mijna Hadders-Algra dari Beatrix Children

114 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Hospital, University Medical Centre Groningen (UMCG), The Netherlands. Pada medio
bulan Oktober 2017 direncanakan akan diselenggarakan kursus atau pelatihan IMP
pertama kali di Surabaya, Indonesia.

Penutup
IMP merupakan instrumen baru yang dikembangkan untuk penilaian kualitatif perilaku
motorik bayi/anak berusia 3 bulan sampai 18 bulan. Instrumen IMP dapat dipergunakan
sebagai piranti deteksi dini dan evaluasi perkembangan motorik bayi dengan risiko tinggi
untuk mengalami gangguan motorik, seperti CP atau DCD. Instrumen IMP dikembangan
dengan dasar teori NGST. NGST menjelaskan bahwa perkembangan motorik normal
pada anak usia dini mempunyai dua fase variabilitas, yakni variabilitas primer (ditandai
dengan perilaku gerakan spontan yang ekploratif dan variatif ) dan variabilitas sekunder
atau variabilitas adaptif (ditandai dengan perilaku gerakan bertujuan tertentu sebagai hasil
seleksi strategi motorik terbaik untuk beradaptasi dengan lingkungan di sekitar bayi).
Instrumen IMP mempunyai dua sub-skala yang berbasis teori NGST (variation dan
variability/adaptability), dan tiga sub-skala tambahan (fluency, symmetry, dan performance).
Berbagai studi membuktikan bahwa IMP mempunyai reliabilitas dan validitas yang sangat
baik, serta mempunyai korelasi dengan berbagai faktor risiko yang terkait dengan gangguan
motorik. Hal tersebut mendukung penggunaan IMP untuk kegiatan deteksi dini dan
evaluasi penilaian perkembangan bayi risiko tinggi dalam praktik sehari-hari meskipun
masih mendapat beberapa kritik dari klinisi untuk disempurnakan pada beberapa aspek
dalam menilai validitas dan teknis pelaksanaanya.16

Daftar Pustaka
1. Heineman KR and Hadders-Algra M. Evaluation of neuromotor function in infancy – a
systematic review of availablemethods. J Dev Behavior Ped 2008;29:315-23
2. Spittle AJ, Doyle LW, Boyd RN. A systematic review of the clinimetric properties of neu-
romotor assessments for preterm infants during the first year of life. Dev Med Child Neurol
2008; 50: 254–66 (erratum in Dev Med Child Neurol 2008; 50: 800).
3. Noble Y, Boyd R. Neonatal assessments for the preterm infant up to 4 months corrected age:
a systematic review. Dev Med Child Neurol 2012, 54: 129–139.
4. Heineman KR, Bos AF, Hadders-Algra M. The Infant Motor Profile: a standardized and
qualitative method to assess motor behaviour in infancy. Dev Med Child Neurol 2008;
50:275-282.
5. Heineman KR, Bos AF, Hadders-Algra M. Infant Motor Profile and cerebral palsy: promising
associations. Dev Med Child Neurol 2011; 53(Suppl.4):40-46.
6. Hadders-Algra M. Variation and variability: key words in human motor development. Phys
Ther 2010;90:1823-1837.
7. Hadders-Algra M. The Neuronal Group Selection Theory: a framework to explain variation
in normalmotor development. Dev Med Child Neurol 2000;42:566-572.

115
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
8. Hadders-Algra M. The Neuronal Group Selection Theory: promising principles for under-
standing and treating developmental motor disorders. Dev Med Child Neurol 2000;42:707-
715.
9. Hadders-Algra M. General movements: A window for early identification of children at high
risk for developmental disorders. J Pediatr 2004;145:S12-18.
10. Heineman KR, Middelburg KJ, Hadders-Algra M. Development of adaptivemotor be-
haviour in typically developing infants. Acta Paediatr 2010;99:618-24
11. Guzzetta A, Haataja L, Cowan F, Bassi L, Ricci D, Cioni G, Dubowitz L,Mercuri E. Neuro-
logical examination in healthy term infants aged 3-10 weeks. Biol Neonate 2005;87:187-196
12. Hadders-Algra M, Mavinkurve-Groothuis AM, Groen SE, Stremmelaar EF, Martijn A,
Butcher PR. Quality of general movements and the development of minor neurological dys-
function at toddler and school age. Clin Rehabil 2004;18:287-299
13. Hecker E, Baer GD, Stark C, Herkenrath P, Hadders-Algra M. Inter- and intrarater reliability
of the Infant Motor Profile in 3- to 18-month-old infants. Pediatr Phys Ther 2016; 28:217-
222
14. Heineman KR, Bastide-van Gemert SL, Fidler V, Middelburg KJ, Bos AF, Hadders-Algra M.
Construct validity of the Infant Motor Profile: relation with prenatal, perinatal, and neonatal
risk factors. Dev Med Child Neurol 2010; 52:e209-e215
15. Heineman KR, Middelburg KJ, Bos AF, Eidhof L, Bastide-van Gemert SL, van Den Heuvel
ER, Hadders-Algra M. Reliability and concurrent validity of the Infant Motor Profile. Dev
Med Child Neurol 2013; 55:539-545.
16. Koseck K. A clinician’s view of the Infant Motor Profile. Dev Med Child Neurol 2008; 50:245-
245.

116 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Psychoneuroallergology
Anang Endaryanto
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RSUD Dr. Soetomo, Surabaya

Abstract
The underlying pathophysiology of allergy involves immunoregulatory dysfunctions similar to those noted
in highly stressed populations. There is a bi-directional relationship between psychosocial factors and
allergic disorders. Allergy is an instructive model to study neuroendocrine-immune interaction in chronic
inflammation, a key research task taken on by a relatively new scientific field: psychoneuroallergology.
Activation of the neuroendocrine and sympathetic systems through catecholamine and cortisol secretion
exerts an influence upon the immune system, modifying the balance between Th1/Th2 response in
favor of Th2 action. It is not possible to affirm that chronic stress is intrinsically able to cause allergy.
Psychoneuroallergology is a term used to describe the interdisciplinary field of research at the interface
of allergology, psychobiology and clinical psychology. Environmental factors ranging from allergens to
perceived stress can trigger the release of neuropeptides from peripheral nerve endings that activate mast
cells and induce an exaggerated alarm response in peripheral organs such as the skin. Beyond this innate
immune response, neuroendocrine-immune interaction regulates specific immune balance depending
on intensity and timing of neuroendocrine activation, especially neuropeptides and neurotrophins
either enhance or suppress tissue regeneration and inflammation. Allergic inflammation thus serves to
understand the clinical and therapeutic implications of neuroendocrine-immune interaction in chronic
inflammatory disease and its implications for future treatment strategies.

P
sikoneuroalergologi adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan bidang
penelitian interdisipliner pada antar disiplin keilmuan alergi, psikobiologi dan
psikologi klinis. Psikoneuroalergologi memiliki dua tujuan utama: studi tentang
hubungan dua arah antara kehidupan psikologis individu yang memiliki predisposisi
genetik dan evolusi alerginya; dan reaksi pasien terhadap gejala alergi. Pengembangan
psikoneuroalergologi merupakan hasil kerja sama dari berbagai disiplin ilmu yaitu alergi,
psikosomatika, psikologi, psikobiologi, dermatologi dan pneumologi. Psikoneuroalergologi
menjelaskan peran faktor psikososial dalam evolusi penyakit alergi, misalnya hubungan
antara distress dan alergi pada tingkat klinis dan eksperimental, dampak alergi terhadap
kehidupan psikologi dan sosial pasien, psikoterapi dan psikofarmasi, dan kepatuhan
pasien terhadap rekomendasi terapeutik (1). Psikoneuroalergologi sebagai bagian dari
psikoneuroimunologi adalah konsep modern pada persilangan faktor-faktor psikososial
dengan faktor-faktor imunologi alergi yang mengeksplorasi hubungan yang kompleks
antara sistem saraf, sistem neuroendokrin, sistem kekebalan, dan penyakit alergi (2,3).

117
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Psikoneuroalergologi
Psikoneuroalergologi sebagai bagian dari psikoneuroimunologi, karena penyakit alergi
adalah penyakit sistem kekebalan. Saat ini ada tiga alasan utama mengapa minat
terhadap psikoneuroimunologi di bidang alergi (psikoneuroalergologi) menguat
(4-8), alasan-alasan tersebut adalah: (1). Keinginan memahami hubungan antara
stres dengan penyakitalergi. Psikoneuroalergologi menyediakan landasan untuk
memahami bagaimana paparan stres dan stresor mungkin relevan dengan onset dan
perkembangan penyakit klinis; (2). Keinginan memahami fenomena persepsi individu
dengan predisposisi penyakit alergi. Psikoneuroalergologi menjelaskan bagaimana
fenomena subjektif - misalnya sebagai persepsi dan pengalaman pribadi, emosi negatif
yang tidak terselesaikan (misalnya kemarahan, rasa bersalah), keadaan psikologis, konflik
internal, sifat kepribadian, perilaku emosional dan penanganan - dapat dikaitkan dengan
predisposisi penyakit dan prognosis; (3). Keinginan mempelajari intervensi pikiran untuk
penyembuhan penyakit. Jalur neuro-imunomodulator yaitu jalur psikoneuroimunologi
alergi (psikoneuroalergologi) memodulasi sistem kekebalan melalui jaringan saraf
memberikan penjelasan yang kuat tentang berapa banyak pendekatan pelengkap yang
benar-benar dapat bekerja dan bagaimana membuatnya menjadi lebih efektif pada basis
yang dapat diprediksi dan dapat direproduksi.
Psikoneuroimunologi alergi (psikoneuroalergologi) menunjukkan bahwa hampir
semua pertahanan tubuh berada di bawah kendali sistem saraf pusat (SSP). Ada aspek
psikologis yang menonjol pada pengaruh sentral ini. Setiap nilai, keyakinan, pemikiran
atau gagasan yang dipegang secara pribadi, semua yang kita pelajari dan perhatikan, dapat
memiliki konsekuensi neuro-kimia jarak jauh pada tingkat sel (efek perifer) (4,5). Sebagai
ilmu pengetahuan, psikoneuroimunologi alergi (psikoneuroalergologi) menjelaskan
bagaimana perubahan yang relatif kecil yang terjadi pada tingkat pusat yang tinggi dapat
mengalir ke bawah untuk menciptakan efek yang beragam dan meluas di perifer. Efek
perifer pada penyakit alergi dan hubungannya dengan stres dan subjektivitas individu
merupakan komponen yang sangat penting untuk pertimbangan terapeutik.

Bagaimana tubuh berinteraksi dengan stres?


Stres adalah stimulus (stressor) yang membangkitkan atau menonjolkan reaksi alarm
di otak (persepsi stres) dan mengaktifkan reaksi fisiologis dan biokimia preservasi pada
tubuh (respons stres). Ini sepenuhnya subjektif dan individual. Pandangan seseorang
tentang apa yang merupakan stres bervariasi. Stres keseluruhan timbul ketika seseorang
percaya bahwa tuntutan terhadap mereka melebihi sumber daya pribadi yang dirasakan
untuk memenuhi jumlah tantangan mereka dalam jangka waktu tertentu. Respon stres
dimulai di SSP sebagai reaksi terhadap rangsangan internal dan atau eksternal. Sistem
limbik mengintegrasikan jumlah informasi sensorik yang berlebihan (109 bit per detik)
dari ‘dunia dalam’ (variabel fisiologis) dan ‘dunia luar’ (parameter fisik) dan menentukan
program mana yang harus dijalankan hipotalamus. SSP juga berkomunikasi dengan

118 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


perifer melalui sistem saraf somatik, dan menerima informasi dari saraf sensorik dan
organ. Fungsi kesehatan dan fungsi jaringan juga tergantung parameter fisiologis dan
biokimia lainnya. Ada dua pilihan utama program hipotalamus ‘reaksi alarm’ atau
‘reaksi non-alarm’. Program mana yang berjalan bergantung pada keseluruhan sistem
limbik kesejahteraan. Sistem limbik memberikan signifikansi persepsi, eksperiensial dan
emosional untuk rangsangan yang masuk, sehingga tanggapan yang dihasilkannya melalui
hipotalamus memiliki peran penting dalam menentukan bagaimana fisiologi individu
dapat mencerminkan subjektivitas mereka. Efek fisiologis dan biokimia dari peningkatan
aktivitas sistem saraf simpatis terwujud bahkan jika ancaman eksternal tidak ‘nyata’. (9)
Stres adalah salah satu penyebab utama dan faktor pendorong penyakit mental
dan fisik. Banyak kondisi patologis dikaitkan dengan peningkatan (misalnya anorexia
nervosa, gangguan obsesif-kompulsif, pelecehan seksual masa kecil) atau penurunan
(misalnya depresi musiman, alkoholisme, rheumatoid arthritis) aktivitas sumbu limbik-
hipotalamus-hipofisis (10). Sistem limbik mengintegrasikan data fisiologis dan fisik yang
masuk dengan informasi dari korteks (mengenai interpretasi, rencana, minat, dan lain-
lain), dan dengan sendirinya memberikan makna emosional dan pengalaman pada data
dari arsipnya sendiri. Mekanisme bagaimana respon fisiologis individu terhadap data
sensorik yang masuk dipengaruhi oleh pengalaman subyektif. Sistem limbik berhubungan
dengan perilaku naluriah atau terkondisi (limbik) terhadap perilaku sengaja yang disengaja
(kortikal) - oleh karena itu sangat penting untuk memusatkan perhatian pada apa yang
sebenarnya diinginkan (10, 11).
Salah satu tantangan bagi sistem limbik adalah memastikan rute apa yang harus
ditempuh ketika ada banyak tuntutan simultan untuk sumber daya yang terbatas. Hal
ini dapat mengakibatkan stres fisiologis yang dapat mengakibatkan dis-ekuilibrium, yang
dapat mengakibatkan penyakit. Manakah dari berbagai tuntutan fisiologis yang diberikan
signifikansi terbesar sebagian juga ditentukan oleh kriteria subyektif. Subyektivitas
individu, pengalaman masa lalu, emosi negatif, kepribadian, nilai dan sistem kepercayaan
sangat penting bagi persepsi stres mereka dan oleh karena itu respons stres penting untuk
mengatasi faktor subyektif ini pada tingkat yang paling tinggi) untuk menghasilkan
perbaikan berkelanjutan yang berarti dalam kondisi klinis atau psikologis dimana stres
merupakan faktor pemicu, penambahan atau pengabaian yang signifikan.

Psikoneuroalergologi dalam aplikasi klinis


Subjektivitas adalah aspek psikologis penyembuhan dan kesehatan tingkat tinggi.
Pendekatan psikologis saja dapat mengembalikan seseorang ke keseimbangan yang
dibutuhkan untuk kesehatan terpadu tubuh yang berkelanjutan (13). Masalah psikologis
mungkin sekunder akibat perubahan fisiologis (misalnya penyakit jantung menyebabkan
kekhawatiran tentang aktivitas fisik) atau faktor fisik (misalnya anggota tubuh yang rusak;
isyarat fisik yang terkait dengan respons stres dll) dan seterusnya.

119
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Psikoneuroalegologi klinis terapan melibatkan: (1). Memahami bagaimana dan
mengapa variabel yang berbeda (misalnya ‘faktor stres’) mempengaruhi individu
tertentu dengan cara tertentu dari perspektif klinis alergi; (2). Memastikan bagaimana
mengembalikan keseimbangan yang diperlukan agar individu tersebut sehat dari sudut
pandang psikologis, fisik dan fisiologis; (3). Menetapkan cara paling efektif untuk
menangkap dan menyelesaikan proses penyakit alergi dengan menggunakan semua opsi
yang ada (pendekatan berbasis psikoneuroalergologi, tradisional dan komplementer)-mulai
dari masalah tingkat tertinggi ke bawah; (4). Mengkondisikankan apa yang seharusnya
terjadi bagi individu tersebut untuk mempertahankan kesehatan yang sedang berlangsung;
(5). Memberdayakan individu dan memungkinkan mereka untuk memfokuskan usaha
mereka pada apa yang benar-benar membuat perbaikan dari kondisi alergi (1,2,3).

Stres dan penyakit


Dalam beberapa dekade terakhir, banyak penelitian telah menunjukkan hubungan antara
sistem saraf, endokrin dan sistem kekebalan tubuh. Bidang psikoneuroimunologi telah
dan terus menggambarkan berbagai hubungan antara perilaku, fungsi neuroendokrin,
respon kekebalan dan kesehatan. Banyak kondisi alergi telah lama dianggap sebagai
kelainan psikosomatik yang dapat memburuk akibat pada tingkat stres psikososial yang
tinggi. Misalnya, asma sering disebut pada sebagian besar buku lama sebagai “asma
nervosa” berdasarkan keyakinan bahwa, pada banyak anak, ini adalah hasil reaksi konversi
dari hidup dengan ibu (14). Deskripsi awal dermatitis atopik menggunakan istilah
“neurodermatitis” karena kepercayaan bahwa siklus gatal dan goresan yang menyebabkan
ruam itu terkait dengan “saraf ” dan emosi.
Stres dapat dianggap sebagai proses psikofisiologis yang merupakan hasil penilaian
penilaian situasi tertentu untuk menilai potensi kesulitan dan kemampuan (baik dirasakan
atau aktual) untuk mengatasi situasi yang berpotensi merugikan tersebut (15). Peristiwa
atau situasi yang menimbulkan ancaman potensial disebut stresor. Situasi dapat menjadi
pengalaman dalam kehidupan sehari-hari, termasuk kerepotan sehari-hari (stres biasa dari
interaksi dengan keluarga, lingkungan dan atau sekolah) serta peristiwa kehidupan utama,
yang mungkin bersifat positif atau negatif. Berdasarkan durasi, stres sering dianggap akut
(menit ke jam), subakut (durasi kurang dari satu bulan) atau kronis (berbulan-bulan
sampai bertahun-tahun). Intensitas stres, bahkan saat akut, mungkin memiliki efek
jangka lebih lama yang bisa melonjak dengan stressor yang kurang kuat yang bertahan
dalam jangka waktu yang lebih lama.
Stres yang akut berulang (yang sama atau bahkan berbeda) dapat, dengan waktu dan
intensitas, memiliki efek yang sama dengan stressor jangka panjang tunggal. Penelitian
psikoneuroalergologi berfokus utama pada pemahaman hubungan antara persepsi stres
psikologis (baik sadar dan bawah sadar) dan perilaku hilir, perubahan endokrin dan
kekebalan tubuh yang terjadi sebagai respons terhadap persepsi stres tersebut. Respons
host yang khas terhadap episode stres akut yang terisolasi disesuaikan untuk perlindungan

120 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


host sedangkan stres kronis dapat menyebabkan disregulasi mediator dan memperburuk
patofisiologi penyakit inflamasi.
Berbagai sumber memperkirakan bahwa sampai 75% dari semua kunjungan ke
dokter berhubungan dengan stres, terutama terjadi dalam hubungan dengan disfungsi
kekebalan lainnya seperti peningkatan kerentanan terhadap infeksi dan berbagai penyakit
autoimun (16). Stres juga terkait dengan morbiditas dan mortalitas penyakit nflamasi
lainnya seperti kanker, HIV/AIDS, penyakit radang usus dan yang terkait dengan penuaan.
Stres juga dapat menyebabkan peningkatan aktivitas sistem saraf simpatik yang terus-
menerus, termasuk peningkatan tekanan darah, denyut jantung dan sekresi katekolamin
serta agregasi trombosit, perubahan kekebalan dan penyakit kardiovaskular. Selain itu,
perubahan tidur dapat memodulasi hubungan stres dengan kesehatan. Gangguan tidur
telah dikaitkan dengan kesehatan fisik yang buruk termasuk peningkatan morbiditas
dan mortalitas dibandingkan dengan populasi dengan pola dan lama tidur yang
memadai. Penyakit lain lain yang terkait dengan stres kronis yang meliputi depresi (17),
kecenderungan berperilaku tidak sehat (18), diabetes (19), dislipidemia (20); sindrom
iritasi usus besar (21) dan cedera serebrovaskular (22).

Stres dan alergi


Reaksi alergi dapat dimodulasi oleh stress mood dan psikologis. Gauci dkk menemukan
korelasi antara Minnesota Multiphasic Personality Inventory yang berkaitan dengan skala
bahaya dengan reaktivitas kulit sebagai respons terhadap pajanan alergen (22). Dampak
peristiwa kehidupan dan dukungan yang negatif dan gangguan mood dikaitkan dengan
peningkatan morbiditas asma (23, 24). Progresivitas asma dapat didahului dengan adanya
masalah perilaku dan konflik keluarga pada populasi anak-anak tertentu (25, 26).
Stres juga mendorong terjadinya peningkatan respons inflamasi alergi. Hal ini
dibuktikan dengan hasil dari sebuah penelitan membandingkan antara kadar eosinofil
sputum siswa asma (yang diukur sebelum dan sesudah pajanan alergen) pada tingkat stres
yang rendah (pada ujian pertengahan semester) dengan kadar eosinofil sputum siswa asma
tingkat stres yang tinggi (pada ujian akhir semester). Sebelum pajanan alergen tidak ada
perbedaan antara kadar eosinofil, setelah pajanan alergen kadar eosinofil sputum pada
siswa dengan tingkat stres yang tinggi meningkat lebih tinggi dan kadar eosinofil yang
tinggi tersebut bertahan lebih lama pada siswa asma (27).
Dampak buruk dari stres pada ibu hamil terhadap kekebalan janin dan kemungkinan
timbulnya penyakit pada bayi setelah dilahirkan sangat memprihatinkan. Stres psikologis
pada itu mempengaruhi salah satu faktor dalam pemrograman perinatal. Pemrograman
perinatal terjadi bila karakteristik lingkungan in utero, terlepas dari kerentanan genetik,
mempengaruhi secara permanen regulasi dan perkembangan sistem fisiologis fetus.
Tingkat hormon stres intrauterine (baik ibu maupun janin) diperkirakan meningkat
pada ibu hamil yang mengalami stres. Paparan hormon stres prenatal dapat mengubah

121
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
mekanisme imunoregulasi alami sehingga kelak anak memiliki peningkatan risiko
menderita berbagai penyakit inflamasi termasuk alergi dan asma.
Stres pada ibu berpengaruh pada disregulasi sistem kekebalan pada anak. Wright
dkk melaporkan bahwa peningkatan stres pada anak usia dini berhubungan dengan
profil imunitas atopik pada anak atopik dan asma alergi (28). Stres pada pengasuh juga
meningkatkan kejadian mengi pada anak asma alergi yang diasuhnya (29, 30).
Prevalensi alergi dan asma meningkat di hampir semua negara di seluruh dunia
dan lebih umum terjadi di negara-negara terbelakang dan negara-negara berkembang.
Sebanyak 1 dari 3 individu menderita beberapa bentuk alergi (31).
Hubungan antara otak dan sistem kekebalan tubuh melibatkan dua jalur utama,
yaitu sistim saraf otonom (ANS) dan sumbu hyphophyseal-pituitary - adrenal (HPA).
Persepsi tentang stres menyebabkan aktivasi sistem HPA yang dimulai dengan sekresi
hormon pelepas kortikotropin (CRH) yang pada gilirannya menginduksi sekresi hormon
adrenocortictrophic (ACTH) oleh lobus anterior lobus hipofisis. ACTH mengaktifkan
sekresi kortikoid oleh korteks adrenal dan katekolamin (adrenalin dan noradrenalin) oleh
medula adrenal. Katekolamin dan kortikoid menekan produksi IL-12 oleh sel penyaji
antigen yang merupakan stimulan induksi utama dari TH1.
Corticoids juga dapat memberikan efek langsung pada sel TH2 sehingga
meningkatkan produksi IL-4, IL-10 dan IL-13 (32). Hasil akhirnya adalah dominasi
respon imun yang dimediasi sel TH2 yang mendukung respons inflamasi “alergi” pada
individu yang rentan. Sistim saraf otonom (ANS) terdiri dari sistem simpatis (adrenergik,
noradrenergik) dan parasimpatis (kolinergik) di SSP dengan noradrenalin dan asetil kolin
sebagai neurotransmitter, dan sistem non-adrenergik, non-kolinergik (peptidergik) yang
terutama ada di saluran cerna. Peptida utama dari sistem ini adalah peptida intestinal
vasoaktif (VIP), substansi P (SP) dan peptida yang terkait gen kalsitonin (CGRP) (33).
Sebagian besar sel sistem kekebalan tubuh memiliki reseptor membran permukaan untuk
berbagai kombinasi neurotransmiter, neuropeptida dan hormon (34). SSP memformat
sistem kekebalan tubuh melalui neurotransmitter [asetil kolin, noradrenalin, serotonin,
histamin, asam γ-aminobutyric (GABA), asam glutamat], neuropeptida (ACTH,
prolaktin, vasopresin, bradikinin, somatostatin, VIP, SP, neuropeptida Y, encephalin,
endorfin), faktor pertumbuhan neurologis (neuron growth factor [NGF]), dan hormon
(adrenalin dan kortikoid). Sistem kekebalan tubuh juga dapat memodulasi fungsi SSP
melalui berbagai molekul termasuk sitokin (TNFα dan TGFβ), kemokin (interferon )
dan NO (35).
Persepsi terhadap stres akut menstimulasi lokus ceruleus mengeluarkan noradrenalin.
Noradrenalin mengaktifkan sistem saraf simpatik yang menyebabkan penurunan produksi
IL-12. Neuropeptida termasuk SP, CGRP dan VIP adalah vasodilator kuat dan juga
meningkatkan permeabilitas vaskular. SP meningkatkan produksi TNFα dan IL-12 oleh
monosit dan makrofag. SP dan CRH dapat meregenerasi sel mast dalam fokus inflamasi.
Semua proses di atas menyebabkan perubahan inflamasi (36). SP dan CGRP telah

122 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


diidentifikasi pada mukosa bronkial sebagai agen peradangan neurogenik (37). Selain itu,
Neurokinin-1, reseptor untuk SP terdapat pada pembuluh bronkial, otot polos bronkus,
sel epitel, kelenjar submukosa dan sel kekebalan tubuh. Stres memberikan efek pada
mukosa bronkus penderita asma (38). Peningkatan kadar neurotropin mempengaruhi
alergi pernapasan dan kulit, dengan cara mempengaruhi sel kekebalan tubuh, sel struktural
(keratinosit, sel epitel) dan angiogenesis (39). Eosinofil dan kelenjar submukosa hidung
merupakan sumber utama neurotrophins (40) yang mengatur kelangsungan hidup
eosinofil di paru-paru, meningkatkan produksi IgE spesifik dan mengubah profil sitokin
terhadap dominasi TH2. Temuan ini dan yang lainnya menunjukkan bahwa interaksi
antara SSP dan sistem kekebalan tubuh bersifat kompleks dan dua arah.

Mengatasi stres dalam penanganan penyakit alergi menyeluruh.


Strategi untuk manajemen stres sebagai bagian dari rencana perawatan komprehensif
harus melibatkan identifikasi populasi berisiko tinggi atau, idealnya, individu. Upaya
yang saat ini dilakukan adalah mengidentifikasi biomarker yang akan mengkategorikan
individu ke dalam kategori risiko stres psikologis untuk kepentingan program profilaksis
pada individu berisiko tertingg, dalam rangka meminimalkan ketidakseimbangan
imunoregulator. Metode psikologis, fisiologis, farmakologis atau beberapa kombinasi
untuk memperbaiki kemampuan individu dalam mengatasi situasi stres secara klinis
bisa menjadi inti strategi intervensi untuk manajemen stres (41). Banyak penelitian
menunjukkan efek menggembirakan dari intervensi psikologis pada penyakit alergi.
Tulisan ekspresif tentang kejadian stres dikaitkan dengan pengurangan gejala pada pasien
asma. Biofeedback serta citra mental memiliki peran positif dalam manajemen asma (42-
44). Dalam tinjauan sistematis, dijelaskan bahwa terapi relaksasi memiliki efek positif
pada asma (45). Psikoterapi dapat mengurangi jumlah eksaserbasi asma dan kunjungan
ke unit emergensi pada pasien asma yang depresi (46). Olahraga memiliki beragam efek
pada fungsi kekebalan tubuh. Program latihan ldapat ditoleransi dengan baik pada anak
dengan asma ringan sampai sedang dengan cara meningkatkan kebugaran (47). Program
rehabilitasi dengan latihan memperbaiki kapasitas ventilasi serta penurunan hiperpnea
pada penderita asma ringan (48). Namun olahraga yang berlebihan dapat menyebabkan
eksaserbasi asma yang tidak terkontrol dengan baik.
Intervensi farmakologis pada stres mencakup agen psikoaktif. Antidepresan trisiklik
mungkin memiliki peran terapeutik pada asma dengan menekan sitokin proinflamasi,
menginduksi molekul anti-inflamasi dan mencegah efek dari molekul inflamasi ini di
otak (49). Populasi anak-anak dan remaja dengan asma memiliki prevalensi gangguan
kecemasan yang tinggi (50). Obat anxiolytic mungkin bermanfaat dalam meningkatkan
kualitas terapi penderita asma yang memiliki gangguan kecemasan (51). Vitamin C dan
vitamin E dapat mengurangi ketidakseimbangan imunoregulasi pada individu yang
mengalami stres (53). Penelitian selanjutnya yang diperlukan adalah pengembangan cara
untuk mengidentifikasi individu berisiko stres tinggi serta penilaian yang lebih akurat
mengenai dampak spesifik dari stres pada imunoregulator yang terkait alergi.

123
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Penutup
Stres pada individu yang rentan mendorong manifestasi penyakit alergi serta memperburuk
dan mempersulit pengendalian penyakit alergi. Penelitian saat ini telah memberikan bukti
anatomis dan fisiologis tentang adanya komunikasi intens antara mediator neuroendokrin,
serabut saraf dan sel kekebalan pada penyakit alergi, serta adanya hubungan dua arah
antara faktor psikososial dan alergi. Manajemen alergi yang optimal harus melibatkan
pendekatan multifaktor termasuk di dalamnya intervensi psikologis.

Daftar Pustaka
1. Iamandescu IB. Psychoneuroallergology. 2nd ed. Basel: Karger; 2007
2. Lekander M. Book review (Psychoneuroallergolog, Iamandescu IB). Allergy. 2000;55(8):790.
3. Iamandescu IB. Psychoneuroallergology. 1st ed. Bucuresti: Romania; 1998
4. Rossi E. The Psychobiology of Gene Expression. Norton: London; 2002
5. Segerstrom S. Individual Difference Factors in Psychoneuroimmunology. In: Ader R, Felten
DL and Cohen N eds. Psychoneuroimmunology. Academic Press: London; 1999
6. Callahan RJ,Trubo R. Tapping the Healer Within. Contemporary Books: New York; 2001
7. Kaminski P. Flower Essence Therapy: Integrating Body and Soul Wellness. In: Bassman L
editor. Mind, Mood & Emotion: A Book of Therapies. MJF Books: New York; 1998.
8. Zachariae R. Hypnosis and Immunity. In Ader R, Felten DL and Cohen N editors. Psycho-
neuroimmunology. Academic Press; London; 1999.
9. Coleman F, Kay J. The Biology of the Brain. In: Kay J, Tasman A, Lieberman JA editors.
Psychiatry: Behavioural Science and Clinical Essentials. WB Saunders: Pennsylvania; 2000.
10. Cohen S. Happiness and The Immune System. Positive Health. 2006; 82: 9-12.
11. Willenberg H. Stress-Induced Disease: an overview. In: Fink G ed. Encyclopaedia of Stress.
Academic Press: London; 2009
12. Guyton A. Behavioural Functions of the Brain: The Limbic System, Role of the Hypothal-
amus, and Control of Vegetative Functions of the Body. In Guyton AC ed. Textbook of
Medical Physiology. WB Saunders; Pennsylvania; 1986.
13. Vickers A. Against Mind-Body Medicine. Positive Health. 1999; 37
14. Osler, W. The principles and practice of medicine. Edinburgh: YJ Pentland; 1892.

15. McEwen BS. Central effects of stress hormones in health and disease: Understanding the pro-
tective and damaging effects of stress and stress mediators. Eur J Pharmacol. 2008; 583(2–
3):174–185.
16. McEwen BS, Stellar E. Stress and the individual. Mechanisms leading to disease. Arch Intern
Med. 1993;153(18):2093–2101.
17. Clays E, De Bacquer D, Leynen F, Kornitzer M, Kittel F, De Backer G. Job stress and depres-
sion symptoms in middle-aged workers--prospective results from the Belstress study. Scand J
Work Environ Health. 2007; 33(4):252–259.
18. Muller N, Ackenheil M. Psychoneuroimmunology and the cytokine action in the CNS:
implications for psychiatric disorders. Prog Neuropsychopharmacol Biol Psychiatry. 1998;
22(1):1–33.

124 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


19. Golden SH. A review of the evidence for a neuroendocrine link between stress, depression
and diabetes mellitus. Curr Diabetes Rev. 2007; 3(4):252–259.
20. Blanchard EB, Lackner JM, Jaccard J, et al. The role of stress in symptom exacerbation among
IBS patients. J Psychosom Res. 2008; 64(2):119–128.
21. Harmsen P, Lappas G, Rosengren A, Wilhelmsen L. Long-term risk factors for stroke: twen-
ty- eight years of follow-up of 7457 middle-aged men in Goteborg, Sweden. Stroke. 2006;
37(7): 1663–1667.
22. Gauci M, King MG, Saxarra H, Tulloch BJ, Husband AJ. A Minnesota Multiphasic Person-
ality Inventory profile of women with allergic rhinitis. Psychosom Med. 1993; 55(6):533–
540.
23. Wainwright NW, Surtees PG, Wareham NJ, Harrison BD. Psychosocial factors and incident
asthma hospital admissions in the EPIC-Norfolk cohort study. Allergy. 2007; 62(5):554–560.
24. Wright RJ. Alternative modalities for asthma that reduce stress and modify mood states:
evidence for underlying psychobiologic mechanisms. Ann Allergy Asthma Immunol. 2004;
93(2 Suppl 1):S18–23.
25. Calam R, Gregg L, Simpson A, Simpson B, Woodcock A, Custovic A. Behavior problems
antecede the development of wheeze in childhood: a birth cohort study. Am J Respir Crit
Care Med. 2005; 171(4):323–327.
26. Stevenson J. Relationship between behavior and asthma in children with atopic dermatitis.
Psychosom Med. 2003; 65(6):971–975.
27. Liu LY, Coe CL, Swenson CA, Kelly EA, Kita H, Busse WW. School examinations en-
hance airway inflammation to antigen challenge. Am J Respir Crit Care Med. 2002; 165(8):
1062–1067.
28. Wright RJ, Finn P, Contreras JP, et al. Chronic caregiver stress and IgE expression, allergen-
induced proliferation, and cytokine profiles in a birth cohort predisposed to atopy. J Allergy
Clin Immunol. 2004; 113(6):1051–1057.
29. Wright RJ, Cohen S, Carey V, Weiss ST, Gold DR. Parental stress as a predictor of wheez-
ing in infancy: a prospective birth-cohort study. Am J Respir Crit Care Med. Feb 1; 2002
165(3):358– 365.
30. Hahn EL, Bacharier LB. The atopic march: the pattern of allergic disease development in
childhood. Immunol Allergy Clin North Am. May; 2005 25(2):231–246.
31. Peroni DG, Piacentini GL, Alfonsi L, et al. Rhinitis in pre-school children: prevalence, associ-
ation with allergic diseases and risk factors. Clin Exp Allergy. Oct; 2003 33(10):1349–1354.
32. DeKruyff RH, Fang Y, Umetsu DT. Corticosteroids enhance the capacity of macrophages
to induce Th2 cytokine synthesis in CD4+ lymphocytes by inhibiting IL-12 production. J
Immunol. 1998; 160(5):2231–2237.
33. Felten SY, Felten DL, Bellinger DL, et al. Noradrenergic sympathetic innervation of lym-
phoid organs. Prog Allergy. 1988; 43:14–36.
34. Steinman L. Elaborate interactions between the immune and nervous systems. Nat Immu-
nol. 2004; 5(6):575–581.
35. Mix E, Goertsches R, Zettl UK. Immunology and neurology. J Neurol. May; 2007 254(Sup-
pl 2):II2–7.
36. Elenkov IJ. Neurohormonal-cytokine interactions: implications for inflammation, common
human diseases and well-being. Neurochem Int. 2008; 52(1–2):40–51.

125
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
37. Lamb JP, Sparrow MP. Three-dimensional mapping of sensory innervation with substance p
in porcine bronchial mucosa: comparison with human airways. Am J Respir Crit Care Med.
2002; 166(9):1269–1281.
38. Joachim RA, Sagach V, Quarcoo D, Dinh QT, Arck PC, Klapp BF. Neurokinin-1 receptor
mediates stress-exacerbated allergic airway inflammation and airway hyperresponsiveness in
mice. Psychosom Med.2004; 66(4):564–571.
39. Nockher WA, Renz H. Neurotrophins in allergic diseases: from neuronal growth factors to
intercellular signaling molecules. J Allergy Clin Immunol. 2006; 117(3):583–589.
40. Wu X, Myers AC, Goldstone AC, Togias A, Sanico AM. Localization of nerve growth factor
and its receptors in the human nasal mucosa. J Allergy Clin Immunol. 2006;118(2):428–433.
41. Barton C, Clarke D, Sulaiman N, Abramson M. Coping as a mediator of psychosocial imped-
iments to optimal management and control of asthma. Respir Med. 2003; 97(7):747–761.
42. Lehrer PM, Vaschillo E, Vaschillo B, et al. Biofeedback treatment for asthma. Chest. 2004;
126(2):352–361.
43. Epstein GN, Halper JP, Barrett EA, et al. A pilot study of mind-body changes in adults with
asthma who practice mental imagery. Altern Ther Health Med. 2004; 10(4):66–71.
44. Freeman LW, Welton D. Effects of imagery, critical thinking, and asthma education on symp-
toms and mood state in adult asthma patients: a pilot study. J Altern Complement Med.
2005 ;11(1): 57–68.
45. Huntley A, White AR, Ernst E. Relaxation therapies for asthma: a systematic review. Thorax.
Feb; 2002 57(2):127–131
46. Markham AW, Wilkinson JM. Complementary and alternative medicines (CAM) in the
management of asthma: an examination of the evidence. J Asthma. 2004; 41(2):131–139.
47. Counil FP, Varray A, Matecki S, et al. Training of aerobic and anaerobic fitness in children
with asthma. J Pediatr. 2003; 142(2):179–184.
48. Hallstrand TS, Bates PW, Schoene RB. Aerobic conditioning in mild asthma decreases the
hyperpnea of exercise and improves exercise and ventilatory capacity. Chest. 2000; 118(5):
1460–1469.
49. Krommydas G, Gourgoulianis KI, Karamitsos K, Krapis K, Kotrotsiou E, Molyvdas PA.
Therapeutic value of antidepressants in asthma. Med Hypotheses. 2005; 64(5):938–940.
50. Katon WJ, Richardson L, Lozano P, McCauley E. The relationship of asthma and anxiety
disorders. Psychosom Med. 2004; 66(3):349–355.
51. Haida M, Itoh K. Clinical effect of alprazolam and trazodone on bronchial asthmatics with
anxiety disorder. Arerugi.1997; 46(10):1058–1071.
52. Kang DH, McCarthy DO. The effect of psychological stress on neutrophil superoxide re-
lease. Res Nurs Health. 1994; 17(5):363–370.
53. Wakikawa A, Utsuyama M, Wakabayashi A, Kitagawa M, Hirokawa K. Vitamin E enhances
the immune functions of young but not old mice under restraint stress. Exp Gerontol. 1999;
34(7):853–862.

126 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Current Challenges for Dose Optimization of
Antimicrobials in Children
Anggraini Alam
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran/RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung

P
emberian antibiotik telah terbukti meningkatkan kualitas hidup manusia dan angka
menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat penyakit infeksi. Cara pemberiannya
tidak terlalu sulit dan karena sebagian besar antibiotik memiliki avaibilitas yang
baik, memungkinkan petugas kesehatan memberikan terapi empiris dengan spektrum
luas terhadap berbagai penyakit infeksi.
Luasnya pemakaian antibiotik kemudian memberikan dampak peningkatan resistensi
sehingga pemilihan pemberian antibiotik menjadi semakin sempit dan mahal. Untuk
menghindari hal makin meluasnya resistensi, dalam penggunaan antibiotik diperlukan
ketepatan diagnosis, tentunya dengan mempertimbangkan kondisi klinis serta usia pasien,
serta mengetahui pola kuman dan suseptibilitas antibiotik di fasilitas kesehatan tersebut,
sebagai dasar pemberian terapi empirik. Selanjutnya dibutuhkan modifikasi penggunaan
antibiotik dengan memberikan spektrum yang lebih sempit berdasarkan hasil kultur serta
respons klinis terhadap pengobatan yang telah diberikan.
Untuk mendapatkan hasil optimal dalam mengatasi penyakit infeksi, pemberian
antibiotik diharapkan mampu memberikan perbaikan klinis pasien dengan mengetahui
secara tepat target terapi, yaitu terhadap patogen penyebab penyakit dengan antibiotik
yang tepat, serta dosis dan durasi pemberian yang sesuai. Tentunya hal ini diharapkan
mampu mempercepat kesembuhan, meminimalkan efek samping, serta mengurangi
angka resistensi akibat pemberian antibiotik.

Pemilihan Antibiotik
Berbagai antibiotik telah tersedia di tiap fasilitas kesehatan di Indonesia, bahkan beberapa
golongan yang poten untuk mengatasi infeksi berat seperti seftazidim, meropenem,
vankomisin, secara luas digunakan sebagai terapi inisial atau empiris terhadap pasien
dengan infeksi ringan-sedang yang dirawat di ruang rawat inap biasa. Diperberat dengan
rendahnya kesadaran petugas kesehatan atas pentingnya pencegahan dan pengendalian
infeksi di fasilitas kesehatan tersebut, maka dapat dibayangkan sulitnya memilih regimen

127
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
antibiotik bagi pasien dalam kondisi infeksi berat, mengingat kemungkinan telah terjadi
resistensi kuman.
Beberapa langkah di bawah ini (Tabel 1) diharapkan mampu memberikan wawasan
dalam memutuskan penggunaan dan pemilihan regimen antibiotik.

Tabel 1. Tahapan untuk Memberikan Antibiotik


Langkah Contoh
1 Tegakkan diagnosis Artritis septik
2 Pertimbangkan usia pasien Anak usia 2 tahun
Bagaimana kondisi pasien sebelum sakit (apakah Kondisi sebelumnya, sehat
terdapat penyakit dasar/kronis sebelumnya)
3 Perlu mengetahui organisme yang sering menyebab- Staphylococcus aureus
kan penyakit tersebut
4 Bagaimana suseptibilitas mikroorganisme terhadap Masih sensitif terhadap metisilin
antibiotik di fasilitas kesehatan ybs
5 Lakukan pengambilan kultur Dilakukan pengambilan kultur darah
dan cairan sendi
6 Dilakukan pemberian terapi empiris berdasarkan: Kloksasilin i.v.
Langkah 1–4
Literatur dan keputusan klinis
7 Lakukan modifikasi terapi apabila diperlukan, ber- Hasil kultur: S. aureus sensitif terhadap
dasarkan hasil kultur dan respons klinis metisilin (MSSSA)
8 Monitoring kondisi pasien Melalui anamnesis, pemeriksaan fisis,
dan apabila dibutuhkan dilakukan pula
pemeriksaan penunjang
9 Terapi dihentikan Apabila klinis membaik atau sembuh
Pemberian antibiotik selama 3–4
minggu
Sumber: Ogle, 2011

Pemilihan regimen antibiotik ditentukan oleh berbagai pertimbangan, termasuk di


dalamnya kemungkinan jenis bakteri yang menyebabkan infeksi berdasarkan beratnya
tanda dan gejala klinis, hasil pemeriksaan laboratorium, lokasi anatomi, obat-obatan yang
diberikan sebelumnya, serta perlu mengetahui apakah infeksi yang terjadi berasal dari
komunitas atau rumah sakit. Tentunya faktor harga antibiotik serta efek samping yang
mungkin ditimbulkan, perlu menjadi pertimbangan pula.
Semakin tinggi kemampuan seorang dokter melakukan “educated guess” atas
kemungkinan etiologi infeksi pasien, maka akan semakin tepat pemilihan antibiotik
yang akan diberikan. Antibiotik memiliki berbagai spektrum berdasarkan kemampuan
aktivitasnya, mulai dari yang sempit sampai sangat luas. Sebagaimana pemberian terapi
empiris, maka antibiotik inisial akan dengan spektrum luas akan dipersempit setelah
diperoleh hasil kultur. Seluas apa pun spektrum antibiotik awal, tetap diharapkan memiliki
spektrum yang cukup sempit dan apabila memungkinkan berupa suatu monoterapi. Tabel
2 memperlihatkan klasifikasi antibiotik berdasarkan spektrum aktivitasnya.

128 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Tabel 2. Klasifikasi Antibiotik berdasarkan Spektrum
Sempit Sedang Luas Sangat Luas
Penisilin Ampisilin Ampisilin-sulbaktam Piperasilin-tazobaktam
Kloksasilin Piperasilin Amoksisilin-klavulanat Sefepim
Sefazolin Sefuroksim Seftriakson Meropenem
Aminoglikosid Siprofloksasin Sefotaksim Moksifloksasin
Vankomisin Azitromisin Seftazidim Tigesiklin
Eritromisin Klaritromisin Sefiksim
Klindamisin Trimetoprim-sulfametoksazol Doksisiklin
Linezolid Sefaklor Kloramfenikol
Metronidazol Levofloksasin
Sefaleksin/Sefradin
Sumber: Southwick FS, 2008

Dosis Antibiotik
Berbagai karakteristik dibutuhkan dalam memberikan antibiotik, termasuk kemampuan
absorpsinya, distribusi obat dalam tubuh, metabolisme, serta ekskresinya, atau dengan kata
lain farmakokinetik dan farmakodinamik memegang peranan penting dalam menentukan
dosis antibiotik.
Pada infeksi berat, dosis antibiotik dapat diberikan lebih tinggi bahkan mungkin
memerlukan frekuensi pemberian lebih sering. Penentuan dosis yang akan diberikan
sangat tergantung oleh kondisi masing-masing pasien (“tailored”). Contoh dosis antibiotik
dapat dilihat pada Tabel 3 di bawah ini.

Tabel 3. Dosis Antibiotik berdasarkan Beratnya Infeksi


Antibiotik Rute Pembe- Infeksi Ringan sampai Sedang Infeksi Berat
rian (per kgBB) (per kgBB)
Prokain penisilin i.m. 600.000–1.000.000U untuk GAS Tidak sesuai
Kloksasilin p.o. 50–100mg terbagi atas 4 dosis Tidak sesuai
Amoksisilin p.o. 25–90 mg dalam 2–3 dosis Tidak sesuaI
Amoksisilin p.o. 45 – 90 mg dalam 2 – 3 dosis Tidak sesuai
klavulanat
Ampisilin i.v., i.m. 100 – 200 mg terbagi atas 4 dosis 200 – 400 mg dalam 4 – 6
dosis
Ampisilin sul- i.v. 100 – 200 mg ampisilin atas 4 dosis 200 – 400 mg ampisilin dalam
baktam 4 – 6 dosis
Piperasilin-tazo- i.v. Tidak sesuai 240 – 300 mg piperasilin
baktam dalam 3 – 4 dosis
Sefadroksil p.o. 30 mg dalam 2 dosis Tidak sesuai
Sefazolin i.v., i.m. 50 mg dalam 3 dosis 50 100 mg dalam 3 – 4 dosis
Sefuroksim i.v., i.m. Tidak sesuai 100 – 150 mg dalam 3 – 4
dosis
Sefiksim p.o. 8 mg dalam 1 – 2 dosis Tidak sesuai

129
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Antibiotik Rute Pembe- Infeksi Ringan sampai Sedang Infeksi Berat
rian (per kgBB) (per kgBB)
Sefotaksim i.v., i.m. Tidak sesuai 100 – 180 mg dalam 4 – 6
dosis
Seftazidim i.v., i.m. Tidak sesuai 100 – 150 mg dalam 3 dosis
Seftriakson i.v., i.m. Tidak sesuai 100 – 150 mg dalam 2 –3 dosis
Sefepim i.v., i.m. Tidak sesuai 100 – 150 mg dalam 3 dosis
Meropenem i.v. Tidak sesuai 60 – 120 mg dalam 3 dosis
Azitromisin p.o. 10 mg hari ke-1, selanjutnya 5 mg Tidak sesuai
Klaritromisin p.o. 15 mg dalam 2 dosis Tidak sesuai
Eritromisin p.o. 30 – 50 mg dalam 4 dosis Tidak sesuai
Klindamisin i.v., i.m. Tidak sesuai 20 – 40 mg dalam 3 – 4 dosis
Amikasin i.v., i.m. Tidak sesuai 15 – 22,5 mg dalam 3 dosis
Gentamisin i.v., i.m. Tidak sesuai 5 – 7,5 mg dalam 3 dosis
Streptomisin i.m. Tidak sesuai 20 – 40 mg dalam 1 – 2 dosis
Doksisiklin p.o. 2,2 – 4,4 mg dalam 1 – 2 dosis Tidak sesuai
Kloramfenikol i.v., p.o. Tidak sesuai 50 – 100 mg dalam 4 dosis
Kotrimoksazol p.o. 8 – 12 mg TMX/40 – 60 mg SMX Tidak sesuai
dalam 2 dosis
Siprofloksasin p.o. 10 – 20 mg dalam 2 dosis Tidak sesuai
i.v. Tidak sesuai 20 – 30 mg dalam 2 dosis
Metronidazol i.v. Tidak sesuai 30 mg dalam 4 dosis
p.o. Tidak sesuai 20 – 30 mg dalam 2 – 3 dosis
Linezolid i.v. Tidak sesuai 20 – 30 mg dalam 2 – 3 dosis
p.o. Tidak sesuai 22,5 mg dalam 3 dosis
Sumber: Michelow IC, 2009

Bayi dan anak memiliki farmakokinetik yang berbeda dengan dewasa sehingga cara
mudah dalam perhitungan dosis dengan mengurangi kebutuhannya dengan mengacu
dosis dewasa boleh jadi kurang adekuat untuk efektivitas dan keamanan obat bagi pasien
bayi dan anak. Informasi dosis untuk anak seringkali kita peroleh dari brosur obat, namun
demikian keterangannya masih terbatas mengingat penelitian pascapemasaran oleh farmasi
terhadap efek obat pada anak sangat minim.
Pada umumnya dosis pediatri menggunakan mg/kgBB. Namun apabila dosis tersebut
tidak tersedia, usia, berat badan, atau luas permukaan tubuh dapat digunakan dengan
menentukan dosis obat.
Perhitungan dosis berdasarkan usia atau berat badan merupakan cara konservatif
yang cenderung hasilnya lebih rendah daripada yang dibutuhkan.
•• Usia (cara Young):
•• Dosis = dosis dewasa x
•• Berat badan (cara Clark; lebih akurat dibandingkan perhitungan berdasarkan usia)
Dosis = dosis dewasa x

130 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Perhitungan dosis antibiotik dapat pula menggunakan luas permukaan tubuh. Cara
perhitungannya dapat dilihat pada tabel di bawah ini, yaitu dengan membandingkan luas
permukaan tubuh bayi dan anak terhadap dewasa untuk selanjutnya disesuaikan dengan
dosis dewasa.

Tabel 4 Perhitungan Dosis Obat melalui Luas Permukaan Tubuh


Berat Badan Usia Luas Permukaan Tubuh Persentase terhadap Dosis Dewasa
(kg) (m2)
3 Bayi baru lahir 0,2 12
6 3 bulan 0,3 18
10 1 tahun 0,45 28
20 5,5 tahun 0,8 48
30 9 tahun 1 60
40 12 tahun 1,3 78
50 14 tahun 1,5 90
60 Dewasa 1,7 102
70 Dewasa 1,76 103
Contoh: dosis dewasa 10mg/kg maka dosis bagi bayi 3 bulan 1,8 mg/kg (total bila BB 6 kg = 11 mg)
Sumber: Wagner JL, 2009

Dosis obat pada umumnya krusial sampai usia 12–36 bulan (toddlerhood) mengingat
sampai usia tersebut laju metabolisme berbagai obat tinggi sehingga memerlukan dosis
lebih tinggi dibandingkan usia selanjutnya. Demikian pula kemampuan ginjal dalam
mengeliminasi obat, sampai masa toddler, waktu paruh obat lebih pendek dibandingkan
dengan anak yang lebih besar, sehingga boleh jadi akan meningkatkan eliminasi ginjal
dan metabolisme. Mekanisme terjadinya perubahan farmakokinetik obat berdasarkan usia
sampai saat ini belum diketahui secara jelas.
Sering kali klinisi mengalami kesulitan dalam menentukan dosis antibiotik pada
pasien anak dengan obesitas sehingga seringkali melakukan konversi penghitungan
dengan menggunakan berat badan ideal pasien dewasa. Perhitungan untuk melakukan
estimasi berat badan ideal pasien dewasa, tidak dapat digunakan pada pasien anak. Berat
badan ideal (ideal body weight/IBW) anak adalah menggunakan kurva tumbuh kembang
yang dikeluarkan oleh WHO-CDC 2005. Pada obesitas, dosis antibiotik membutuhkan
penyesuaian dosis, yaitu dengan mengetahui penyesuaian berat badan (adjusted body
weight/ABW) berdasarkan IBW, berat badan aktual pasien atau berat badan total (total
body weight/TBW), serta konstanta (Tabel 5).

131
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Tabel 5. Cara menentukan Dosis Antibiotik untuk Obesitas
Antibiotik Dosis Penyesuaian
Sefazolin Menggunakan dosis dalam tertinggi
Sefotaksim ABW = IBW = 0,3 (TBW – IBW)
Seftriakson ABW = IBW = 0,3 (TBW – IBW)
Aminoglikosid ABW = IBW + 0,4 (TBW – IBW)
Meropenem Tidak memerlukan penyesuaian
Eritromisin Dosis tergantung IBW
Azitromisin Tidak ada data untuk obesitas
Klindamisin Tidak ada data untuk obesitas
Kotrimoksazol Tidak ada data untuk obesitas
Metronidazol Tidak ada data untuk obesitas
Vankomisin Dosis tergantung TBW
ABW: adjusted body weight; IBW: ideal body weight; TBW: total body weight
Sumber: Wagner JL, 2009

Dosis antibiotik juga tergantung dari kondisi ginjal pasien karena pada umumnya
eksresi obat adalah di ginjal, maka dalam kondisi insufisiensi akan membutuhkan
penyesuain dosis. Kalkulasi dengan menggunakan metode Cockroft-Gault atau Jelifffe
yang dipakai pada pasien dewasa tidak boleh digunakan pada anak. Pada anak, perhitungan
kreatinin klirens diperlukan untuk mengukur laju filtrasi glomerulus, adalah dengan
menggunakan metode Schwartz dan pemeriksaan nuklir.
Penyesuaian pemberian antibiotik pada insufisiensi renal (Tabel 6) dapat dilakukan
dengan memperpanjang interval pemberian atau mengurangi dosis atau menggunakan
kedua cara. Apabila pasien sedang dalam hemodialisis dan peritoneal dialisis, mungkin
diperlukan dosis tambahan akibat terbuangnya obat setelah dilakukan tindakan dialisis.

Tabel 6. Pemberian Antibiotik pada Gagal Ginjal


Farmakokinetik Klirens Kreatinin
Antibiotik Eksresi Normal T½ Dosis Metode Ringan Sedang Berat Dosis
(jam) Interval (>50) (10-50) (<10) Tambahan
(jam) setelah
Dialisis
Ampisilin Ginjal 1-4 6 I q6h q6-12 q12h Ya (He, P)
Amikasin Ginjal
Sefadroksil Ginjal 1-2 12 I q12h q24h q36h Ya (He, P)
Sefepim Ginjal 1,8-2 8 DI q12 dan q24h dan q24 dan Ya (He, P)
100% 50% 25%
Sefiksim Ginjal 3-4 12 D 100% 50-75% - Tidak
(hati)
Sefotaksim Ginjal 1-3,5 6-12 D 100% 50% - Ya (He, P)
Seftazidim Ginjal 1-2 8-12 I q8-12h q12-24h q24-48h Ya (He, P)
Siproflok- Ginjal 1,2-5 q8-12 D, I 100% q18-24h Ya (He, P)
sasin atau
50-75%

132 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Farmakokinetik Klirens Kreatinin
Antibiotik Eksresi Normal T½ Dosis Metode Ringan Sedang Berat Dosis
(jam) Interval (>50) (10-50) (<10) Tambahan
(jam) setelah
Dialisis
Klaritromi-Ginjal 3-7 q12h DI Tetap q12-24h - Ya (He, P)
sin (hati) dan 50%
Kotrimok- Ginjal 8-12 q12h D Tetap 50% -
sazol (hati)
EritromisinHati 1,5-2 q6-8h D 100% 100% 50-75% tidak
(ginjal)
Gentamisin Ginjal
Meropenem Ginjal 1-1,4 q8h DIq8h dan q12h dan q24h Ya (He)
100% 50-100% dan
50%
Metroni- Hati 6-12 q6-12h D 100% 100% q12h Ya (He)
dazol (ginjal) dan
50%
Vankomisin Ginjal 2,2-8 q6-12h I q6-12h q18-48h q48-96h Ya (He)
D: dose reduction; DI: dose reduction and interval extension; D, I: dose reduction or interval extension; He:
hemodialisis, P: peritoneal dialisis
Sumber: Wagner JL, 2009

Pasien dengan gagal hati diperlukan pula penyesuaian dosis obat. Berbagai tingkatan
kegagalan hati dibuat skoring berdasarkan klinis dan pemeriksaan biokimia atau dikenal
sebagai skor Child-Pugh (Tabel 7) menjadi acuan dalam pemberian dosis antibiotik.

Tabel 7. Skor Child-Pugh


Kondisi Klinis Skor
dan Pemeriksaan Penunjang Penentuan Beratnya Kelainan Hati
1 2 3
Hepatic encephalopathy Tidak ada Derajat I-II Derajat III-IV
Asites Tidak ada Ringan Sedang
(perbaikan dengan (refrakter)
terapi)
Bilirubin total (mg/dL) <2 2–3 >3
Serum albumin (g/dL) >3,5 2.8 – 3,5 <2,8
INR <1,7 1,71 – 2,20 >2,20
Atau Atau Atau Atau
Prothrombin time <4” 4 – 6” >6”

Interpretasi:
Poin Tingkatan 1-Year Survival 2-Year Survival
5–6 A 100% 85%
7–9 B 81% 57%
10 – 15 C 45% 35%
Sumber: Wagner JL, 2009

Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII 133


Tabel 8. Dosis Penyesuaian pada Pasien dengan Gangguan Hati
Antibiotik Kewaspadaan Kontraindikasi Dosis Penyesuaian
dalam Penggu-
naannya
Amoksisilin-asam Untuk riwayat amoksisi-
klavulanat lin-asam klavulanat dengan
cholestatic jaundice atau gagal
hati
azitromisin +
Sefazolin +
Sefoperazon + Dosis maksimum 4g/hari
Apabila disertai gangguan
ginjal: 1-2 g/hari
Sefuroksim + (risiko gangguan
protrombin)
Klaritromisin +
Klindamisin Pengurangan dosis pada
gagal hati berat
Kotrimoksazol +
Doksisiklin + Kontraindikasi pada ganggu-
an hati berat
Eritromisin + Kontraindikasi pada ganggu-
an hati berat
Metronidazol + 50-67% penurunan dosis

Sumber: Wagner JL, 2009

Durasi Pemberian Antibiotik


Sampai saat ini, lamanya pemberian antibiotik pada pasien infeksi masih kontroversi.
Walapun berbagai literatur kedokteran menyatakan perlunya waktu yang cukup dalam
terapi, yaitu 10 hari, 14 hari, 4 minggu, 6 minggu atau bahkan 12 bulan, namun pada
praktisnya antibiotik seringkali diberikan dalam jangka waktu lebih pendek (≤7 hari).
Namun demikian, terdapat panduan durasi pemberian antibiotik berdasarkan penyakit

134 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


infeksi dan etiologinya (Tabel 9).
Tabel 9. Durasi pemberian antibiotik
Infeksi Rekomendasi Durasi Antibiotik
CAP ≥5 hari
HAP, VAP, HCAP:
- Bakteri selain NFGNB 7 hari
- NFGNB 14 hari

Meningitis bakterial:
- Neisseria meningitides 7 hari
- Haemophilus influenzae 7 hari
- Streptococcus pneumonia 10 – 14 hari
- Streptococcus agalactiae 21 hari
- Gram-negative bacilli 21 hari
- Listeria monocytogenes 21 hari
CRBSI:
- Coagulase-negative Staphylococcus spp. 5 – 7 hari
- Staphylococcus aureus 4 – 6 minggu
- Staphylococcus lugdunensis 4 – 6 minggu
- Enterococcus spp. 7 – 14 hari
- Gram-negative bacilli 7 – 14 hari
Native valve endocarditis
- Viridans Group and S. bovis (MIC: >.12, ≤0.5μg/mL) 4 minggu
- Viridans Group and S. bovis (MIC: ≤.12μg/mL) 14 hari
- MSSA (uncomplicated right-sided) 14 hari
- MRSA 6 minggu
Prosthetic valve endocarditis
- Viridans Group and S. bovis (MIC: ≤.12μg/mL) 6 minggu
- MSSA and MRSA ≥6 minggu
Complicated intra-abdominal infection 4–7 hari
Pyelonephritis 14 hari

Keterangan: CAP, community-acquired pneumonia; HAP, hospital-acquired pneumonia; HCAP, health


care–associated pneumonia; CRBSI, catheter-associated bloodstream infection; Ref, reference; VAP, ventila-
tor-associated pneumonia
Sumber: Eliopoulos, 2011

Disamping jenis penyakit infeksi dan etiologinya, durasi pemberian juga ditentukan
respons klinis pasien terhadap terapi.

Rute pemberian antibiotik


Pemberian antibiotik secara intravena dilakukan pada pasien sepsis, demam neutropenia,
dan infeksi yang membutuhkan antibiotik dosis tinggi (endokarditis, artritis septik,
osteomielitis, meningitis, abses, infeksi pada pemakaian prostetik). Demikian pula
apabila pasien muntah-muntah, tidak mampu minum, gangguan absorpsi (seperti: diare,
steatore), gangguan mengunyah dan menelan, atau kehilangan kesadaran, membutuhkan
pula pemberian antibiotik intravena (IVOST algorithm). Pemberian antibiotik intravena

135
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
juga dibutuhkan apabila pemberian sediaan oralnya memiliki absorpsi yang buruk.
Pemberian antibiotik secara intramuskuler atau subkutan membutuhkan laju aliran
darah yang baik pada tempat injeksi, sehingga jangan lakukan cara ini dalam kondisi
syok atau vasokonstriksi akibat pemberian obat simpatomimetik. Bagi pasien anak cara
penyuntikan intramuskular dan subkutan kurang kurang disukai karena memberikan rasa
nyeri. Pada bayi prematur dalam kondisi sakit yang kurang masa ototnya ditambah dengan
kurang baiknya perfusi perifer, apabila dilakukan injeksi intramuskular dapat diprediksi
absorpsi antibiotik akan diabsorpsi jauh lebih lambat daripada yang diharapkan. Namun
hal sebaliknya mungkin pula terjadi, yaitu apabila perfusi mendadak baik sehingga kadar
obat yang mencapai sirkulasi meningkat dan mungkin berpotensi toksik, terutama dalam
pemberian antibiotik golongan aminoglikosid.
Pemberian antibiotik secara oral lebih cenderung bermasalah apabila diberikan pada
bayi baru lahir. Terdapat perubahan biokimia dan fisiologi saluran cerna bayi baru lahir,
berupa sekresi asam lambung yang lambat, pemanjangan waktu pengosongan lambung,
peristalsis yang ireguler dan pelan, sehingga pemberian obat oral mungkin meningkatkan
toksisitas. Aktivitas enzim pencernaan juga cenderung lebih rendah, pada duodenum
aktivitas amilase dan enzim pankreas sempurna pada usia 4 bulan, sehingga pemberian
obat yang larut dalam lemak pada bayi usia <4 bulan akan menurunkan absorpsi obat
tersebut. Absorpsi obat oral pada bayi baru lahir dibandingkan dengan anak dapat dilihat
pada Tabel 10.

Tabel 10. Bioavaibilitas (Absorpsi Beberapa Obat via Oral) pada Bayi Baru Lahir Dibandingkan Anak
Obat Absorpsi Oral
Ampisilin Meningkat
Penisilin G Meningkat
Sulfonamid Normal
Asetaminofen Menurun

Sumber: Michelow IC, 2009

Cukup banyak regimen antibiotik memiliki farmakokinetik yang mirip apabila


diberikan secara oral maupun melalui penyuntikan intravena, seperti: kotrimoksazol,
kloramfenikol, metronidazol, klindamisin, kuinolon, serta linezolid, ternyata pada
berbagai kasus infeksi ternyata memberikan keluaran yang sama baiknya. Tentunya hal
ini berdampak dalam menurunkan biaya pengobatan dan penggunaan antibiotik oral
diharapkan mengurangi efek samping pemberian terapi melalui intravena.

Penutup
Banyak faktor yang mempengaruhi pemberian antibiotik secara tepat dalam mengatasi

136 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


infeksi. Pertimbangan klinisi melalui “educated guess” dalam menentukan terapi, tidak
berhenti setelah didapatkan keputusan pemilihan regimen antibiotik yang akan dipakai.
Dosis, durasi atau lamanya terapi, serta rute pemberian obat merupakan merupakan
langkah lanjut dalam pemberian antibiotik.
Pemberian antibiotik juga memerlukan penyesuaian dengan mempertimbangkan
usia pasien (terutama pada bayi baru lahir), serta apabila pasien berada dalam kondisi
khusus, yaitu apabila pasien mengalami gangguan ginjal, gagal hati, dan obesitas.
Berbagai pertimbangan dalam pemberian antibiotik pada pasien infeksi sebenarnya
memperlihatkan bahwa pengelolaannya tidak dapat digeneralisasi, namun kemampuan
seorang dokter untuk melakukan “tailoring” merupakan kunci keberhasilan pengobatan.

Daftar Pustaka
1. Southwick FS. Anti-infective therapy. Dalam: Hirschel B, Lew PD, Ramphal R, Southwick
FS, Swaminathan S, penyunting. Infectious diseases: a clinical short course. Edisi ke-2. New
York. McFraw-Hill; 2008. h. 1–56
2. Wagner JL, Lee CKK. Drug dosing in special circumstances. Dalam: McMillan JA, Siberru
GK, Dick JD, Lee CKK, penyunting. The Harriet Lane handbook of pediatric antimicrobial
therapy. Edisi ke-1. Philadelphia. Mosby-Elsevier; 2009. h. 151-216
3. Lampiris HW, Maddix, DS. Clinical use of antimicrobial agents. Dalam: Basic & clinical
pharmacology. Katzung BG, Masters SB, Trevor AJ, penyunting. Edisi ke-11. New York.
McGraw-Hill; 2009. h. 885–98
4. Eliopoulos GM, Hayashi Y, Paterson DL. Strategies for Reduction in Duration of Antibiotic
Use in Hospitalized Patients. Clin Infect Dis. 2011;52:1232-40.
5. Michelow IC, McCraken GH. Antibacteria therapeutic agents. Dalam: Feigin & Cherry’s
textbook of pediatric infectious diseases. Feigin RD, Cherry JD, Demmler-Harrison GJ,
Kaplan SL, penyunting. Edisi ke-6. Philadelphia. Saunders-Elsevier; 2009. h. 3178-227

137
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Efek Samping Jangka Panjang dari
Antiretroviral pada Pasien HIV/AIDS
Anggraini Alam
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran/RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung

P
enggunaan antiretroviral (ARV) sangat penting untuk pasien HIV, berdampak
pada perjalanan penyakit dan menurunkan kejadian infeksi oportunistik, sehingga
kualitas hidup pasien membaik, walaupun demikian penggunaannya terkait dengan
beberapa efek samping. Efek samping terapi ARV dapat menjadi alasan utama penghentian
minum obat oleh pasien. Sekitar 80% pasien dewasa dengan HIV akan mengalami efek
samping terutama dalam setahun pertama minum obat, data kejadian efek samping pada
anak belum banyak laporannya.
Obat-obatan ARV bersifat toksik. Beberapa reaksi akut yang terasosiasi dengan
ARV antara lain: reaksi hipersensitifitas, neurotoksisitas, gangguan liver, gangguan
distribusi lemak, dislipidemia, disfungsi seksual, resistensi insulin serta diabetes.
Penggunaan nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTI) berhubungan dengan reaksi
hipersenstivitas, anemia, dan neutropenia. Non-nuceloside reverse transcriptase inhibitors
(NNRTI) dikaitkan dengan dengan ruam dan hepatotoksisitas. Protease inhibitors (PI)
juga berhubungan dengan hiperglikemia, dislipdemia, dan gejala gastrointestinal.

Efek samping antiretroviral


Efek samping ARV mengancam kepatuhan minum obat. Terapi ARV sendiri memiliki
efek samping yang luas, umumnya dirasakan pada awal pengobatan, mulai dari rasa
tidak nyaman di perut seperti kembung, mual, dan diare. Efek samping yang sering
didapat adalah sulit tidur dan mimpi buruk terkait penggunaan efavirenz, sedangkan
zidovudine dapat memberi efek lekas lelah dan sakit kepala. Efek samping NRTI dapat
berupa neuropati perifer, anemia, asidosis laktat, steatosis hepatik, dan hiperlaktasemia.
Penggunaan PI dapat terjadi pruritus, nefrolitiasis, dan kuku yang tumbuh ke dalam,
sedangkan efek samping NNRTI dapat mengakibatkan kejadian ruam toksisitas sistem
saraf pusat.

138 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Nucleotide reverse transcriptase inhibitors
Merupakan analog nukleosida yang mencegah elongasi DNA dan reproduksi virus.
Kelompok obat ARV ini terdiri dari beberapa obat seperti zidovudine, lamivudine,
didanosine, zalcitabine, stavudine, tenofovir, dan abacavir. Obat-obat ini akan
terfosforilasi intraselular menjadi nukleosida dan kemudian bergabung menjadi DNA
virus dengan enzim reverse transcription virus; keberadaannya obat ini pada DNA
akan menghentikan transkripsi. Namun dapat mengakibatkan terjadinya disrupsi fungsi
mitokondria sel, melalui inhibisi yang dimediasi NRTI pada polimerase-ɣ DNA, dengan
dampak yang beragam mulai dari asidosis laktat terkait nukleosida hingga steatosis hepatik.
Zidovudine memiliki efek samping, seperti: mielosupresi, yang mengakibatkan
anemia makrositer (1-4%), neutropenia (2-8%), sehingga pemberian harus berhati-hati
bila diberikan bersama gansiklovir dan sitotoksik lainnya; nyeri kepala, mual, asthenia;
insomnia; peningkatan kadar AZT dalam darah bila pemberiannya bersama dengan
fenitoin, flukonazol, dan asam valproat; pada orang-orang berkulit hitam, pengobatan
dengan AZT dapat menyebabkan hiperpigmentasi dari kuku, mukosa mulut dan juga
kulit. Hiperpigmentasi kemungkinan berkaitan dengan peningkatan melanogenesis di
area yang terkena.
Lamivudine memiliki efek samping, seperti: mual, nyeri kepala, dizziness, fatigue.
Stavudine memiliki efek samping, seperti: neuropati perifer, lipodistrofi, hiperlipidemia,
pankreatitis, ascending neuromuscular weakness. Bila pasien dalam kondisi imunosupresi
berat, kemungkinan terjadi neurotoksik akan meningkat. Hati-hati pula bila diberikan
bersama isoniazid dan vincristin. Kejadian asidosis laktat dengan steatosis hepatik dan
lipodistrofi lebih sering bila dibandingkan dengan obat NRTI lainnya.
Tenofovir memiliki efek samping di ginjal. Sebagian dari Tenofovir disekresikan
melalui tubulus proksimal. Hipofosfatemia sebagai akibat dari reabsorpsi tubular yang
rendah dapat berhubungan dengan tingginya level PTH akibat penggunaan tenofovir.
Tenofovir juga dikaitkan dengan peningkatan turnover tulang, terutama pada anak yang
lebih muda dikarenakan pertumbuhan tulang yan lebih cepat.
Abacavir saat ini menjadi terapi lini pertama pada anak <3 tahun. Tanda dan gejala
efek samping muncul setelah 6 minggu pemberian, berupa: demam, mual, muntah, diare,
nyeri perut. 50%-nya mungkin mengalami pula gejala respiratorik (batuk sesak, faringitis)
dan ruam kulit. Penelitan kohort observasional menemukan adanya asosiasi antara
abacavir plus didanosine dengan infark miokard, akan tetapi hal ini belum dikonfirmasi
penelitian RCT. Abacavir juga dikatakan memiliki efek samping berupa peningkatan
fungsi hati ringan yang akan hilang bila obat dihentikan. Efek samping utama adalah
reaksi hipersensitifitas dan bisa fatal.
Beberapa efek samping yang penting dan parah terkait dengan penggunaan NRTI
meliputi:

139
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
1. Lipodistrofi
Lipodistrofi merupakan bagian dari sindrom metabolik, ditandai dengan kondisi
degeneratif tubuh meliputi resistensi insulin, pengeroposan tulang, dan dislipidemia.
Lipodistrofi yang mempengaruhi pasien dengan HIV positif perama kali diketahui
pada tahun 1998. Kondisi klinis tampak berupa hilangnya lemak perifer (lipoatrofi)
pada wajah, anggota gerak dan bokong, payudara, dorsoservikal tulang punggung
(“buffalo hump”), dan terbentuk lipoma. Stavudine (d4T) adalah NRTI yang paling
berhubungan dengan lipodistrofi, studi di Negara Barat menunjukkan insidens sekitar
50% sampai dengan 63%.
Pasien yang menerima PI juga dapat mengalami lipodistrofi, terutama bila
saat mulai terapi ARV memiliki jumlah sel CD4 yang rendah. Hasil studi kohort
di beberapa Negara di Asia Timur menunjukkan angka kejadian lipodistrofi sebesar
3,5%. Studi di Kamerun memperlihatkan lipodistrofi pada 5,3% dari 399 pasien
yang dirawat. Hasil yang lebih tinggi ditemui di Nigeria, yaitu 49,9% dan Rwanda
24,8%. Kondisi lipodistrofi ternyata mempengaruhi suasana hati 36% dan hubungan
sosial 23% pada etnis Tiongkok pasien HIV di Singapura.

2. Asidosis Laktat
Komplikasi serius dari terapi ARV adalah asidosis laktat. Angka insidens bervariasi
mulai dari 1,3 hingga 10 per 1000 orang. Prevalens hiperlaktasemia pada pasien
rawat jalan yang sedang menjalani terapi ARV sekitar 9–16%. Studi menunjukkan
bawa asidosis laktat disebabkan oleh toksisitas mitokondria dan toksisitas tersebut
berkembang melalui inhibisi DNA polymerase-ɣ mitokondria oleh NRTI. Stavudine
(d4T), didanosine (ddI), dan zalcitabine (ddC) menginduksi lebih banyak messenger
transfer DNA (mt-DNA) dibandingkan yang lain.
Dahulu ARV diberikan monoterapi dan asidosis laktat dilaporkan terkait dengan
penggunaan zidovudine, bahkan kejadiannya di Negara Barat mencapai 90%. Case
fatality rate (CRF) zidovudine monoterapi adalah sebesar 68%, dibandingkan dengan
pasien yang mendapat NRTI jenis lainnya, yaitu sebesar 37%.
Pada masa pemberian terapi HIV diberikan minimal 3 macam obat atau dikenal
sebagai highly active antiretroviral therapy (HAART), dilaporkan angka insidensi
asidosis laktat berkisar 1,3–3,9 kasus per 1000 orang per tahun. Penelitian di Afrika
Selatan melaporkan 14 kasus asidosis laktat pada 737 pasien atau insidensnya 19
kasus per 1000 orang per tahun. Didanosine dan stavudine memiliki kapasitas lebih
tinggi untuk menghambat aktifitas DNA g-polimerase in vitro dibandingkan obat
NRTI’s lain dan terbukti dalam studi klinis berhubungan dengan risiko asidosis laktat
yang lebih tinggi pada pasien yang terinfeksi HIV. Studi kohort multipel dan laporan
kasus dari Negara maju relatif jarang ditemukan kasus asidosis laktat, hal ini mungkin
karena monitor yang lebih ketat. Pada pemberian HAART dengan menggunakan
stavudine, ancaman asidosis masih perlu diperhatikan dan perempuan lebih berisiko
mengalami efek samping tersebut.

140 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


3. Neuropati perifer
Efek samping yang cukup umum diketahui terkait NRTI adalah neuropati perifer,
terutama zalcitabine (ddC), didanosine (ddI) dan stavudine (d4T). Gejala yang
dimukan dapat berupa abnormalitas konduksi saraf, abnormalitas elektrik, nyeri, dan
parestesia dengan atau tanpa abnormalitas klinis. Insidens terendah untuk neuropati
perifer adalah 0,13 per 100 orang per tahun yaitu pada kelompok pemberian
didanosine, sedangkan angka insidens tertinggi pada kelompok didanosine + stavudine
dengan angka 0,18 per 100 orang per tahun. Di Malawi, 56% pasien mengalami
neuropati perifer saat menerima terapi stavudine.

4. Anemia
Studi secara luas menunjukkan prevalens tinggi kejadian anemia pada populasi yang
terinfeksi HIV. Meskipun penggunaan ARV terbukti mengurangi anemia dengan
mendukung laju perjalanan penyakit, zidovudine berhubungan dengan toksisitas
hematologis. Saat terapi mulai diberikan, anemia terkait zidovudine biasanya terjadi
dalam jangka waktu 3 bulan. Faktor risiko meliputi tingginya dosis zidovudine,
meningkatnya durasi pengobatan, rendahnya jumlah sel CD4, dan anemia yang telah
ada sebelumnya. Penelitian di Nigeria, Co te d’Ivoire, Haiti, dan India menemukan
insidens anemia terkait zidovudine adalah sebesar 3–12%. Sebuah studi di Gujarat
melaporkan efek samping anemia sebesar 20% dari 71% efek samping pada pasien
yang menerima terapi HAART. Studi Curkendall dkk. memperlihatkan efek samping
anemia sebesar 13% dari pasien yang memulai regimen dengan Zidovudine dan 8,7%
mengalami anemia dengan regimen NRTI lainnya.

Non-nucleotide reverse transcriptase inhibitors


Memiliki cara kerja berikatan dengan kantung hidrofobik pada enzim reverse transcriptase
(RT) dan obat ini menghambat HIV-1 dengan menggantikan residu aspartat di ikatan
polimerase. Antiretroviral ini terdiri dari nevirapine (NVP), delavirdine (DLV), dan
efavirenz (EFV). Nevirapine merupakan NNRTI yang paling sering digunakan pada
Negara berkembang karena lebih murah apabila dibandingkan dengan efavirenz.
Nevirapine dikatakan memiliki efek samping, seperti: mual; nyeri kepala; ruam
(makula papular di daerah telapak tangan dan kaki) yang mencapai 20%, sering kali terjadi
di 4-6 minggu pertama terapi. Ruam dikatakan mengalami perbaikan dengan mengurangi
dosis (pada 7% pasien) terutama pada perempuan; hepatitis fulminan (4%) terkait dengan
severe rash dan gejala konstitusi.
Efavirenz memiliki efek samping yang terjadi bila bioavaibilitas meningkat, terutama
jika dikonsumsi setelah makan tinggi lemak. Efavirenz terutama berefek pada sistem saraf
pusat, dengan tanda dan gejala seperti: dizziness, mengantuk, insomnia, mimpi buruk,
dan nyeri kepala yang sampai mengakibatkan pasien menghentikan obat. Bila terjadi
tanda gangguan psikiatri, obat dapat dihentikan. Efek samping lain berupa: ruam ringan-
sedang dan peningkatan kolesterol total.

141
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Beberapa efek samping yang penting dari NNRTI adalah ruam hipersensitivitas,
hepatotoksisitas, dan toksisitas saraf.
1. Ruam hipersensitivitas
Ruam hipersensitifitas umum terjadi pada pasien infeksi HIV, terjadi pada 16–20%
pasien di Negara maju. Ruam pada umumnya terjadi dalam hari ke sepuluh setelah
dimulainya terapi, berbeda dengan reaksi hipersensitivitas yang dapat timbul kapan
pun.
Pemberian ARV golongan NRTI dan PI tidak berhubungan dengan peningkatan
reaksi alergi obat di awal penggunaannya, namun kejadian ruam terjadi pada 10–20%
pasien yang menerima NNRTI. Data insidens ruam terkait NNRTI yang dilaporkan
sangat bervariasi, dengan risiko lebih tinggi pada perempuan terkait pemberian
nevirapine. Akibat ruam terkait reaksi silang nevirapine dan efivarenz sangat sedikit,
maka terapi nevirapine dapat digantikan dengan efavirenz bila terjadi ruam.

2. Hepatotoksisitas
Peningkatan tes fungsi hati dan interaksi obat merupakan komplikasi yang signifikan
pada pasien HIV dengan terapi ARV. Pada pasien yang memulai terapi, 14–20%
diantaranya akan mengalami peningkatan enzim hati. Sebuah penelitian di Afrika
Selatan melaporkan 17% kejadian hepatotoksisitas serius dari 385 pasien yang
menerima nevirapine. Di Thailand menemukan18,6% pasien dengan nevirapine
mengalami kondisi hepatitis yang serius, dan angka ini akan meningkat apabila
terdapat koinfeksi dengan virus Hepatitis B dan Hepatitis V yaitu sebesar 57,4% dan
72,2%.

3. Gangguan neuropsikiatri
Infeksi HIV meningkatkan risiko pasien terhadap beberapa gangguan psikiatri,
diantaranya depresi, mania, psikosis, dan penyalahgunaan obat, hal ini menjadi
penting karena dokter spesialis anak akan mengelola pasien dalam jangka panjang
hingga mencapai usia 18 tahun. Terapi ARV dapat mempresipitasi atau memperparah
gangguan psikiatri, terutama akibat penggunaan efavirenz.
Penelitian kohort di Negara Barat menunjukkan hampir setengah pasien
mengalami gangguan neuropsikiatri pada saat inisiasi terapi efavifrenz yang akan
menghilang dalam satu bulan. Namun karena neurotoksisitas persisten akibat efavirenz,
10% pasien HIV di Haiti mengganti regimen terapi. Kejadian neurotoksisitas yang
tinggi, yaitu 69% setelah inisiasi efavirens dilaporkan di Coˆte d’Ivoire.
Efek samping sistem saraf pusat dapat terjadi dengan keluhan pusing, nyeri kepala,
konfus, stupor, gangguan konsentrasi, halusinasi, insomnia, dan mimpi buruk. Efek
samping tersebut umumnya akan berhenti setelah menggunakan terapi selama 6–10
minggu, namun beberapa pasien mungkin akan lebih lama.

142 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Protease inhibitor
Penggunaan protease inhibitor (PI) umumnya diberikan pada infeksi HIV lebih lanjut atau
mengalami gagal terapi. Terdapat delapan PI berbeda yang ada, diantaranya saquinavir,
ritonavir, indinavir, nelfinavir, atazanavir, darunavir, fosamprenavir, dan tipranavir. Efek
samping PI yang dapat terjadi adalah hiperlipidemia, lipodistrofi, dan hiperglikemia.
Lopinavir/Ritonavir memiliki efek samping, seperti: nyeri perut, diare, mual, nyeri
kepala, peningkatan kadar trigliserid dan fungsi hati, pankreatitis, dan juga pemanjangan
PR dan QT. Penggunaan PI paling sering dhubungkan dengan kejadian hiperlipidemia,
lebih buruk dibandingkan dengan golongan ARV lainnya. Penelitian memperlihatkan
sekitar 47% mengalami abnormalitas lipid darah setelah penggunaan PI yang ditunjukkan
dengan kejadian hiperkolesterolemia, peningkatan kadar very-low density lipoprotein
(VLDL). Meningkatnya risiko infark miokard akibat dislipidemia pada pasien HIV yang
mendapat terapi ARV telah dikonfirmasi oleh berbagai studi.

Farmakokinetik, farmakodinamik dan interaksinya ARV


Selain efek samping langsung dari obat, farmakokinetik, farmakodinamik dan interaksi
ARV dengan obat lain juga dapat menyebabkan timbulnya efek samping. Pada lambung,
ko-administrasi omeprazole dengan rilpivirine menurunkan paparan rilpivirine sampai
40%, sehingga kombinasi keduanya merupakan kontraindikasi. Pada usus, simeprevir
adalah inhibitor ringan dari CYP3A4 di usus, namun tidak jika di liver. Oleh karena
itu, simeprevir meningkatkan paparan dari midazolam oral hingga 45%. Terkait dengan
klirens liver, beberapa obat menginduksi enzim liver, seperti: efavirenz dan nevirapine.
Terkait interaksi antara ARV dan obat herbal, hal ini dapat menyebabkan peningkatan
efek samping dari obat; menurunkan efek terapeutik dari obat, yang berujung pada
kegagalan pengobatan; memodifikasi aksi kerja obat, yang berujung pada komplikasi
tidak terduga; serta dapat meningkatkan pula efek terapeutik dari obat, yang berujung
pada overmedication.
Terkait dengan farmakogenetik, tidak semua pasien yang meminum ARV dapat
terkena efek samping pengobatan. Asosiasi antara determinan genetik dari ODHA dan
toksisitas klinis berujung dari berbagai ARV.

Strategi kepatuhan minum ARV


Tidak banyak pilihan ARV untuk anak, untuk itu dibutuhkan monitoring yang baik
terutama dalam minggu/bulan pertama dan bisa sampai dalam 6 bulan. Terdapat beberapa
strategi yang dapat diimplementasikan dalam meningkatkan kepatuhan minum ARV.

Terkait obat
Pasien harus diinformasikan, diantisipasikan dan diobati efek samping yang terjadi.

143
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Dalam upaya mencegah interaksi dengan makanan, sebaiknya kebutuhan makanan
disederhanakan. Efek samping dari interaksi obat sebaiknya dihindarkan. Jika
memungkinkan, kurangi frekuensi dosis pemberian obat dan jumlah obat yang diminum.

Terkait pasien
Negosiasikan dengan pasien rencana pengobatan sehingga pasien dapat mengerti dan
memberikan komitmen dalam pengobatannya. Berikan waktu kepada pasien untuk
dapat mengerti tujuan terapi dan pentingnya kepatuhan terapi. Memastikan kesiapan
pasien untuk meminum obat sebelum resep pertama diberikan. Keluarga dan sahabat
dapat diajak untuk memastikan kepatuhan minum obat pasien. Mengembangkan rencana
konkrit untuk regimen spesifik, termasuk perencanaan makan, aktifitas sehari-hari, dan
efek samping yang mungkin terjadi. Dapat dipertimbangkan memberikan obat percobaan
dengan menggunakan permen. Berikan jadwal tertulis atau alat untuk pengingat waktu
minum obat. Pasien juga dapat diajak ke dalam support group.

Terkait dokter
Seorang dokter dalam upaya meningkatkan kepatuhan minum obat pasiennya pertama
harus mengembangkan rasa percaya dari pasiennya tersebut. Dokter harus berperan
sebagai pemberi edukasi dan sumber informasi, dukungan berkelanjutan dan pemantau.
Menyediakan akses di antara kunjungan pasien untuk pertanyaan, baik berupa telepon
ataupun saat cakupan libur kerja. Dokter harus memantau kepatuhan secara terus menerus
dan mengintensifikasikan manajemen di saat periode kepatuhan yang kurang. Dokter
juga dapat bekerja sama dengan tim khusus pada pasien-pasien sulit dengan kebutuhan
khusus. Dokter juga harus mempertimbangkan diagnosis tambahan, seperti depresi, dan
efek sampingnya pada kepatuhan minum obat.

Terkait tim tenaga kesehatan


Tim tenaga kesehatan, yang terdiri dari perawat, farmasi, peer educator, sukarelawan
dan konselor obat dapat diperbantukan untuk meningkatkan kepatuhan minum obat.
Tim dapat diberikan pelatihan agar dapat mendukung kinerjanya, dengan ditambahkan
intervensi kepatuhan sebagai salah satu tugasnya.

Penutup
Perkembangan terbaru penggunaan terapi ARV telah meningkatkan harapan hidup pasien
HIV namun penggunaan jangka panjang agen retroviral dan potensial telah mengarah
kepada masalah baru dan komplikasi. Terapi terkini membutuhkan terapi seumur hidup
yang dapat berhubungan dengan toksisitas tertentu. Banyak efek samping terapi yang
dapat menimbulkan gejala-gejala yang memengaruhi banyak sistem organ. Meski regimen
ARV yang ada potensial menurut perspektif antiviral, namun dapat terjadi kegagalan akibat

144 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


ketidakpatuhan mungkin disebabkan karena terjadinya efek samping. Efek samping pun
sangat luas persepektifnya, mulai dari yang ringan dan dapat hilang sendiri sampai dengan
efek samping yang berpotensi serius. Diperlukan monitor dan edukasi yang baik untuk
mengetahui dan mengatasi efek samping yang terjadi dari penggunaan ARV. Sebagian
besar efek samping dapat diatasi dan pasien tetap mendapatkan ARV tersebut. Pastikan
kepatuhan minum obat (adherence treatment). Cek obat-obat selain ARV yang dikonsumsi
oleh anak termasuk obat herbal Interaksi ARV dengan beberapa obat memerlukan
monitoring yang baik dan penyesuaian dosis.

Daftar pustaka
1. Vidal F, Gutierrez F, Gutierrez M, Olona M, Sanchez V, Mateo G, et al. Pharmacogenetics of
adverse effects due to antiretroviral drugs. AIDS Rev. 2010;12:15-30.
2. Canadian AIDS Treatment Information Exchange (CATIE). A Practical Guide to Herbal
Therapies for People Living with HIV.
3. Chastain DB, Henderson H, Stover KR. Epidemiology and Management of Antiretrovi-
ral-Associated Cardiovascular Disease. Open AIDS J. 2015;9:23-37.
4. German P, Liu HC, Szwarcberg J, Hepner M, Andrews J, Kearney BP, et al. Effect of cobi-
cistat on glomerular filtration rate in subjects with normal and impaired renal function. J
Acquir Immune Defic Syndr 2012;61:32–40.
5. Hima BA, Naga AP. Adverse Effects of Highly Active Anti-Retroviral Therapy (HAART). J
Antivir Antiretrovir. 2011;3:60-4.
6. Khan K, Khan AH, Sulaiman AS, Soo CT, Aftab RA. Adverse effect of highly active anti-ret-
roviral therapy (HAART) in HIV/AIDS patients. Indian J Pharm Practice. 2014;7:29-35.
7. Lepist EI, Ray AS. Renal drug–drug interactions: what we have learned and where we are
going. Expert Opin Drug Metab Toxicol. 2012;8:433–48.
8. Max B, Sherer, R. Management of the adverse effects of antiretroviral therapy and medication
adherence. Clin Infect Dis. 2000;30:S96-116.
9. Patel P, Song I, Borland J, Patel A, Lou Y, Chen S, et al. Pharmacokinetics of the HIV in-
tegrase inhibitor S/GSK1349572 co-administered with acid-reducing agents and multivita-
mins in healthy volunteers. J Antimicrob Chemoter. 2011;66:1567-72.
10. Reust CA. Common Adverse Effects of Antiretroviral Therapy for HIV Disease. Am Fam
Physician. 2011;83:1443-51.
11. Subbaraman R, Chaguturu SK, Mayer KH, Flanigan TP, Kumarasamy N. Adverse Ef-
fects of Highly Active Antiretroviral Therapy in Developing Countries. Clin Infect Dis.
2007;45:1093–101.
12. Teklay G, Legesse B, Legesse M. Adverse Effect and Regimen Switch among Patients on
Antiretroviral Treatment in a Resource Limited Setting in Ethiopia. J Pharmacovigilance
2013;1:1000115.

145
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Tips for Implementing Community
Based Research
Anna Alisjahbana
Research

Abstract
In public health CBR is better known as Community Based Participatory Research, CBR is not a
research method but an approach. In the implementation of CBR the following characteristic need to
be considered: Recognizes community as a unit of identity, builds on strengths and resources within the
community. CBR facilitates collaborative, equitable involvement of all partners in all phases of the
research while integrates knowledge and intervention for mutual benefit of all partners. It also promotes
a co-learning and empowering process that attends to social inequalities. The implementation involves
a cyclical and repetitive process; lastly it addresses health from both positive and ecological perspectives
and disseminates findings and knowledge gained to all partners. Involves a long-term commitment by
all partners.
To illustrate the implementation of CBR / CBPR a case studies will be presented.

B
erbeda dengan CBR yang lebih banyak dilaksanakan di sekolah oleh guru,
penelitian di bidang Kesesahatan Masyarakat lebih difokuskan pada struktur
masyarakat dan mengatasi kesenjangan fisik/sosial melalui partisipasi aktif dari
masyarakat di berbagai bidang yang berkaitan dengan penelitiannya. Beberapa prinsip-
prinsip kunci dari CBPR akan dibahas dan disarankan dalam pelaksaannya Penekanan
diberikan untuk memperlancar kerja sama dengan komunitas sebagai mitra penelitian dan
mengurangi kesenjangan khususnya di bidang kesehatan.1, 2
CBR dibidang Ilmu Kesehatan Masyarakat juga dikenal sebagai “Community Based
Participary Research”. CBPR bukan suatu metode penelitian, tetapi lebih baik disebut
sebagai suatu konsep pendekatan (strategi). Pada pendekatan di sini, berbagai metodologi
penelitian dapat dipakai misalnya penelitian kohort atau kasus – kontrol, atau mengunakan
pendekatan kualitatif dan kuantitatif .1,3
Melaksanakan penelitian di masyarakat diperlukan pengertian dan penyesuaian
dengan daya tangkap dan budaya masyarakat juga tidak meremehkan kondisi masyarakat,
karena itu peneliti seperti Barbara dkk dari University of Michigan School of Public Health
menyarankan bahwa bekerja sama pada penelitian berbasis masyarakat perlu diperhatikan
hal2 sebagai berikut1:
•• Mengakui komunitas sebagai satu kesatuan
•• Difokuskan pada kekuatan dan sumber-sumber yang tersedia di masyarakat.

146 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


•• Menfasilitasi kerjasama dan keterlibatan semua mitra di tiap tahap penelitian
•• Menintegrasikan pengetahuan dan intervensi bagi kepentingan semua pihak yang
terlibat disertai meningkatkan proses pemberdayaan dan mengurangi kesenjangan
sosial
•• Merupakan satu proses yang sifatnya siklus, bertahap dan berulang-ulang
•• Membahas masalah kesehatan dari sisi positif dan perspektif ekologi.
•• Menyebarluaskan hasil penelitian dan pengetahuan baru kepada semua mitra
penelitian agar berkembang komitmen jangka panjang bagi semua mitra.

Peran anda sebagai peneliti komunitas


Sebagai peneliti komunitas tugas anda adalah mengumpulkan informasi mengenai
kehidupan, pengalaman, pendapat dan ide-ide masyarakat. Pada umumnya penelitian
berbasis masyarakat berkepentingan meningkatkan taraf kesehatan dan sosial masyarakat
melalui perubahan perilaku sehat. Memfasilitasi partipasi aktif masyarakat dalam
pelaksanaan penelitian difokuskan pada: apakah mereka mau mendengarkan uraian
mengenai program anda, bila tidak, kenapa tidak? Bila iya, bagaimana pendapat,
reaksi mereka dan bagaimana dampaknya pada penelitian anda dan pada perubahan
sosial masyarakat? Apa saja kendala yang bisa menghambat perubahan perilaku sosial
masyarakat. Untuk mengetahui semua ini, anda perlu melakukan berbagai hal seperti:
Berdialog dengan berbagai kelompok dan organisasi masyarakat setempat, mendorong
dan mengajak mereka untuk ikut berpartisipasi pada penelitian anda, anda perlu mencari
tahu: (1) mengenai perubahan perilaku sejak awal, pertengahan dan akhir penelitian (2)
bagaimana masyarakat menilai program anda (3) apa yang diinginkan masyarakat sebagai
keberlanjutan program.
Keterangan yang rinci juga diperlukan dari berbagai anggota masyarakat atau
kelompok masyarakat apa yang menarik dan tidak menarik bagi masyarakat.. Pemantauan
pendapat masyarakat secara teratur juga penting untuk mengetahui berkembangnya isu-
isu dari masyarakat, yang mungkin berkaitan dan terjadi pada pelaksanaan dan mungkin
menghambat penelitian. Memantau perkembangan perilaku masyarakat menjadikan
penelitian anda lebih efektif dan berkelanjutan.

Melibatkan masyarakat untuk mengembangkan ikatan


(relationship)
Mengembangkan ikatan memerlukan tehnik berkomunikasi yang benar, hal ini penting
untuk keberhasilan penelitian anda. Misalnya diskusi sederhana pada pertemuan desa,
membahasnya dengan beberapa anggota masyarakat memerlukan satu pendekatan
khusus. Pakailah bahasa setempat atau bahasa yang mereka kuasai dan terangkan manfaat
penelitian bagi masyarakat dengan bahasa sederhana. Kadang-kadang diperlukan
penyesuaian pengertian terminologi tertentu ke dalam bahasa setempat, sebagai contoh,

147
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
di Jawa Barat: lahir mati bahasa lokalnya adalah borosot tuluy, perdahan = ngagetih.
Gambar untuk memvisualisasi satu kondisi penyakit juga perlu memperhitungkan budaya
setempat, misalnya gambar ibu dengan perdarahan, tidak bisa diterima dibeberapa daerah
karena selama hamil tidak dibolehkan melihat gambar yang mengerikan.
Libatkan anggota masyarakat yang bersemangat pada penelitian untuk mendapatkan
perubahan perilaku sebagai hasil optimal. Orang-orang seperti ini juga bisa membantu
dan mengidentifikasi anggota masyarakat yang tertarik atau menolak penelitian anda, atau
membantu meningkatkan antusiasme terhadap penelitian anda. Ajak peserta masyarakat
membagi tanggung jawab dalam pelaksanaan kegiatan ini. Segera anda mencapai rasa
kebersamaan dengan masyarakat maka biasanya kegiatan bisa berjalan dengan lancar.
Periksa apakah masih ada peserta yang tidak hadir, padahal ia diperlukan karena bisa
mempengaruhi dampak kegiatan yang anda rencanakan. Dengarlah suara-suara mereka,
tunjukkan respek dan empati anda, hargai semua pendapat sambil dengarkan isu atau
masalah mereka dengan sungguh-sungguh. Hal ini bisa meningkatkan rasa percaya diri
dan mereka lebih setuju berbagi pengalaman dengan sukarela.

Perhatikan dan ajak anggota-anggota masyarakat yang pasif dan


tidak bicara,
Beberapa orang segan untuk bicara dan tidak berpartisipasi pada dialog dengan peneliti
karena mereka malu, tidak berani atau tidak mengerti banyak mengenai apa yang
dibicarakan. Beberapa cara dapat anda lakukan untuk agar mereka merasa bahwa mereka
juga bagian dari penelitian ini, seperti dibawah ini:
•• Berikan pertanyaan umum yang tidak sensitif kepada orang seperti ini atau minta
peserta lain untuk diam dan mendengarkan jawaban mereka..
•• Ceritrakan bahwa anda betul-betul menghargai pendapatnya dan ingin mendengar
opini mereka karena mungkin berbeda dengan pendapat peserta lain.
•• Melalui wawancara mendalam (in depth interview) atau Focus Group Discusion (FGD)
mungkin mereka merasa lebih nyaman dan percaya diri.

Komunikasi dan interaksi dengan masyarakat


Pada penelitian komunitas di Indonesia, peneliti biasanya akademisi, yang melakukan
penelitian yang bertujuan meningkatkan derajat kesehatan atau mengurangi kesenjangan
sosial antara peneliti dan responden (masyarakat). Dalam penelitian berbasis komunitas
kita sering berhubungan dengan responden yang berasal dari tingkat sosial rendah atau
menengah. Permasalahan yang dihadapi adalah cara berkomunikasi untuk mendapatkan
informasi paling jujur dan bisa dipercaya. Biasanya orang desa jujur, tetapi kalau mereka
merasa tidak nyaman karena mereka merasa ada kesenjangan antara mereka dan peneliti,
maka sulit didapatkan jawaban yang diharapkan. Perhatikan cara anda berkomunikasi
dengan anggota masyarakat. Kebanyak peneliti perguruan tinggi kurang memahami

148 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


dan tertarik pada konsep komunikasi interpersonal, sedangkan menerapkan konsep ini
akan melancarkan dialog dan ikatan dengan masyarakat. Berhati-hati dengan pertanyaan
yang bisa merangsang emosi responden, karena itu perlakukan mereka dengan sensitif.
Hargailah pendapat mereka meskipun belum tentu anda setuju dengan pendapat. mereka

Etika penelitian
Dalam pelaksanaannya CBPR sering sulit dan menghadapi banyak kendala, karena itu
anda perlu waspada mengenai berbagai isu. Sebelum memulai pertanyakan pada diri-
sendiri, keuntungan atau manfaat apa yang bisa diberikan kepada masyarakat setempat
dengan penelitian yang direncanakan.
Anda menerangkan tujuan penelitian secara sederhana tapi jelas untuk mencegah
salah paham dari masyarakat. Terangkan mengapa penelitian ini dilakukan, apa yang
diharapkan dari penelitian itu, bagaimana peneliti akan mengunakan informasi yang
diberikan responden dan manfaat penleitian ini bagi masyarakat.4

Karakteristik masyarakat dan anggota masyarakat


Masyarakat kota dan desa jelas berbeda dalam merespons ajakan peneliti. Taraf sosial, usia,
pendidikan juga ikut menentukan bagaimana anda akan menghadapi mereka.

Bekerja dengan peserta masyarakat memerlukan fasilitasi peneliti


Tips bagaimana melakukan fasilitasi yang efektif
CBPR, mengunakan metode partisipatif yang berarti bahwa peneliti berupaya untuk
melibatkan semua peserta dari masyarakat setempat yang telah setuju untuk ikut pada
penelitian. Semua peserta ini harus paham mengenai tujuan dan alasan penelitian itu
dilakukan. Mereka juga harus setuju untuk membantu sesudah mereka mengerti apa
yang akan dilakukan. Memfasilitasi artinya membantu orang lain membahas atau (dalam
hal ini) mengunakan satu metode penelitian tertentu. Memfasilitasi adalah mengajarkan
keterampilan/kemampuan tertentu agar bisa bekerja dalam satu tim untuk tujuan
keberhasilan penelitian. Memfasilitasi bisa dilakukan pada tiap tahap penelitian yaitu:

Pada persiapan sebelum kegiatan penelitian dimulai.


•• Perhatikan taraf pendidikan, membaca dan pengertian/persepsi masyarakat dan
sesuaikan kegiatan dengan hal ini.
•• Pikirkan mengenai budaya setempat dan lingkungan, karena bisa mempengaruhi
sikap orang, ketidakpuasan atau salah pengertian.
•• Cari cara yang paling baik untuk mengatur kegiatan penelitian dan lamanya tiap
tahap penelitian akan berlangsung.

149
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Pada saat penelitian akan dimulai
Anda memperkenalkan diri dan terangkan peran anda sebagai fasilitator. Bila kelompok
belum saling mengenal dipersilahkan masing-masing memperkenalkan diri, beri waktu
sedikit untuk saling mengenal sebelum kegiatan dimulai. Pastikan bahwa semua peserta
mengetahui maksud dan tujuan pertemuan dan setuju akan bekerja bersama sebagai satu
kelompok (tim)
•• Tiap bantuan berharga, tidak ada yang tidak berharga, semua peserta berbagi
bertanggung jawab.
•• Berbicara bergantian satu orang pada satu saat.
•• Memulai dengan cerita yang relevan dengan penelitian yang akan dilaksanakan agar
peserta fokus pada kegiatan penelitian.

Selama penelitian berlangsung


Mengelola kegiatan penelitian dengan peserta yang terlibat aktif dan memberikan
kontribusinya.
•• Pakailah bahasa yang dikenal peserta
•• Jangan menilai apa yang dikatakan peserta dan dorong peserta untuk menghargai
pandangan tiap peserta.
•• Dengarkan dengan intensif apa yang diucapkan peserta, bantu kalau bicaranya kurang
jelas, terutama peserta yang malu atau kurang percaya diri.
•• Buat rangkuman tertulis pada papan tulis atau sehelai kertas lebar - agar bisa dilihat
oleh semua - mengenai tiap informasi dan keputusan.
•• Kumpulkan semua masukan dari kelompok dan buat kesimpulan dari masukan tadi.
•• Berikan perhatian khusus pada tujuan penelitian dan lakukan intervensi bila peserta
tidak mengikuti aturan atau bila kegiatan mengambil waktu terlalu lama.

Pada akhir penelitian


•• Hargai kontribusi ide dan partisipasi semua peserta masyarakat
•• Pastikan bahwa tiap peserta mengetahui apa yang akan dilakukan sesudah kegiatan
penelitian selesai
•• Dari kegiatan yang telah dilaksanakan, review dan bahas apa yang bisa dan tidak bisa
dilakukan Tanyakan peserta bagaimana memperbaiki hasil penelitian untuk penelitian
selanjutnya atau meningkatkan taraf kesehatan/sosial masyarakat
•• Catatlah pendapat dan komentar tiap peserta untuk perbaikan program selanjutnya.

Penutup
•• Menjalin ikatan antara peneliti dan masyarakat untuk jangka waktu yang lama
memerlukan saling percaya dan saling menghargai (respek).

150 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


•• Peneliti-peneliti CBPR berpendapat bahwa masyarakat tidak selamanya ingin terlibat
dalam peneltitian, mereka lebih tertarik pada hasil dan tujuannya yaitu bisa mendapat
program berkelanjutan (sustainable) yang bisa memperbaiki kehidupan dan kesehatan
mereka.
•• Peneliti-peneliti beranggapan bahwa penelitian CBPR biasanya mengambil waktu
lama apalagi bila infrastruktur transportasi tidak tersedia. Pemuka masyarakat
sebaliknya berpendapat bahwa kurangnya kepercayaan pada masyarakat dan
perbedaan sosial merupakan kendala yang paling besar dalam pelaksaan CBPR.
Seorang pemuka masyarakat mengatakan bahwa yang selalu menjadi masalah adalah
kurang menghargai kehidupan dan budaya masyarakat.
•• Pelaksanaan CBPR yang sukses, peneliti harus membawa isu-isu yang bermanfaat ke
masyarakat, tetap konsisten dan saling menghargai. Sikap peneliti yang “hit and run”
sangat merugikan kerja sama dengan masyarakat.

Daftar Pustaka
1. Israel B, Schulz AI, Parker EA, Becker AB. Community based participatory research: en-
gaging communities as partners in health research. Proceedings of the Community-Campus
Partnerships for Health’s 4th Annual Conference, 2000 April 29th-May 2, Washington DC:
Community-Campus Partnerships for Health; 2000.
2. Rosyada D. Community based research (CBR) Salah satu model penelitian akademik [Internet].
Jakarta: Universitas Islam Negeri Hidayatullah ; 2015 (cited 2017 July 5). Available from:
http://www.uinjkt.ac.id/community-based-research-cbr-salah-satu-model-penelitian-akade-
mik/
3. Lantz PM, Viruell-Fuentes E, Israel BA. Can communities and academia work together on
public health research? Evaluation results from a community-based participatory research
partnership in Detroit. J Urban Health. 2001 Sep; 78(3): 495–507.
4. Lennie J, Tacchi J, Koirala B, Wilmore M, Skuse A. Equal access participatory monitoring
and evaluation toolkit. Adelaide: Equal Access;2011. 813 p.

151
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Imunoglobulin Intravena
Antonius Pudjiadi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta

I
munoglobulin intravena (IVIg) adalah suatu preparat cair yang mengandung
imunoglobulin G manusia yang berasal dari plasma yang berasal dari sekurangnya
1000 orang sehat. Sediaan IVIg mengandung IgG utuh dengan waktu paruh 3-4
minggu. Kandungan IVIg pada sediaan dapat bereaksi terhadap antigen eksternal, antara
lain virus, bakteria dan autoantigen. Terdapat perbedaan aktivitas biologis antara produk
yang ada di pasar.1 Pada mulanya sediaan ini digunakan untuk pasien defisiensi antibodi.
Pada tahun 1980, IVIg dosis tinggi digunakan untuk pasien dengan trombositopenia
autoimun. Saat ini IVIg digunakan untuk berbagai indikasi.

Mekanisme kerja
Mekanisme kerja IVIg berbeda-beda pada berbagai penyakit. Secara umum, mekanisme
kerja tersebut dapat dikelompokkan menjadi mekanisme substistusi dan imunomodulasi.

Substitusi
Pada defisiensi imun IVIg mengikat virus, bakteri atau toksin bakteri sekaligus mengaktifkan
respon imun adaptif. Patogen yang terikat dapat dinetralisasi atau diopsonisasi, selanjutnya
dibersihkan dari tubuh. IVIg juga berperan pada pematangan sel dendritic pada X-linked
agammaglobulinemia.2

Imunomodulasi
Imunomodulasi terjadi melalui beberapa cara:
1. Melalui bagian F(ab’)2
Seperti mekanisme substitusi, IVIg menetralisir autoantibodi (tabel 1). IVIg dosis
tinggi juga menghambat aktivasi komplemen.3
2. Melalui bagian Fc
Reseptor Fc𝛾 terdapat pada hampir semua sel imun tubuh. Ikatan IgG dengan
reseptor ini dapat mengakibatkan aktivasi atau inhibisi sel imun.4 Pemberian
IVIg dapat menutup semua reseptor di permukaan lekosit dan sel endotel hingga
memodulasi ekspresinya.

152 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Tabel 1. Penyakit akibat autoantibodi yang dapat dihambat IVIg (modifikasi pustaka 5)5
Anti-factor VIII
Anti-cardiolipin
Anti-thyroglobulin
Anti-DNA
4B4 id+ autoantibody
Anti-platelet
Anti-erythroblast
Anti-intrinsic factor
Anti-endothelial cell
Anti- neutrophil cytoplasmic antigens
Anti-gagliosides
Anti-glomerular basement membrane
C3 Nef
Anti-C1 inhibitor
Anti-mitochondrial antigens
Anti-S retinal antigen
Anti-acetylcholine receptor

Mempengaruhi respon imun adaptif


1. Modulasi sel dendrit
IVIg dapat menurunkan ekspresi molekul permukaan termasuk HLA kelas II. IVIg
juga dapat mempengaruhi produksi sitokin yang diproduksi sel dendritik.6-8
2. Modulasi TH17 dan Tregs
IVIg dapat menghambat produksi IL-17 dari sel Th 17 yang memicu reaksi
autoimun.9 Sebaliknya IVIg dapat memicu proliferasi dan aktivasi Treg yang berperan
menurunkan autoimunitas. Hal ini dibuktikan pada penelitian pada tikus model
dengan autoimun ensefalitis.10 ,11
3. Modulasi sel B
Pemberian IVIg pada pasien dengan demyelinating polyneuropathy dapat
meningkatkan ekspresi Fc𝛾RIIB pada selB.12,13 IVIg juga dapat memodulasi
respon TLR-9 yang dipengaruhi sel B.14

Penggunaan pada Anak


Saat ini terdapat 6 indikasi penggunaan IVIg yang disetujui FDA (Food and Drug
Administration)15, yaitu:
•• Imunodefisiensi priemer
•• Pencegahan infeksi bakteri pada pasien hipogamaglobulinemia dan infeksi berulang
pada leukemia limfositik kronik sel B
•• Pencegahan aneurisma arteri koroner akibat penyakit Kawasaki
•• Pencegahan reaksi akut graft versus host disease (GVHD) setelah transplantasi sumsum
tulang
•• Mengurangi infeksi bakteri serius pada anak dengan HIV
•• Meningkatkan jumlah trombosit pada ITP untuk mencegah dan mengatasi perdarahan

153
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Beberapa penggunaan IVIg pada anak15-20:
•• Neurologi: Sindrom Guillain Barre, Chronic inflammatory demyelinating
polyradiculopathy (CIDP), Dermatomyositis and inflammatory myopathies, Myasthenia
gravis, beberapa jenis epilepsi (Lennox gastaut seizure, Landau kleffner seizure),
Opsoclonus myoclonus ataxia, PANDAS (Paediatric autoimmune neuropsychiatric
disorders associated with streptococcal infection) - OCD anxiety, depression, emotional
lability.
•• Hematologi: ITP (Idiopathic thrombocytopenic purpura), Pure red cell aplasia, Pure
white cell aplasia, Immune neutropenia, Immune haemolytic anaemia.
•• Imunologi: Defisiensi antibodi primer, Defisiensi antibodi sekunder
•• Dermatologi: Sindrom Kawasaki, Dermatomiositis, Toxic epidermal necrolysis,
Blistering diseases, Immune urticaria, Dermatitis atopik, Pyoderma gangrenosum.
•• Neonatologi: Inkompatibilitas rhesus atau ABO, Neonatal alloimmune
thrombocytopenic purpura, Sepsis akibat bakteri pada prematur.
•• Lain-lain: Miocarditis, Systemic lupus erythematosus, Streptococcal toxic shock syndrome,
Uveitis autoimun.

Dosis, cara pemberian dan efek samping


Dosis penggantian antibodi adalah antara 400-600 mg/kg berat badan tiap 2-4 minggu.
Dosis disesuaikan agatr kadar IgG sekurangnya 500 mg/dl. Untuk indikasi lain dosis 400
mg/kg/hari selama 5 hari atau 1-2 g/kg selama 1-2 hari. Penggunaan IVIg harus dilakukan
secara individual. Penyesuaian dosis harus dilakukan pada kondisi khusus, misalnya pada
kondisi kehilangan protein (protein loosing). IVIg umumnya diberikan melalui infus,
mulai dengan kecepatan 0,01-0,02 ml/kg/menit, ditingkatkan hingga 0,1 ml/kg/menit.
Efek samping IVIg umumnya ringan, berupa nyeri punggung, nyeri abdomen, mual,
menggigil, rhinitis, demam ringan, myalgia dan sakit kepala. Reaksi sistemik dapat terjadi
pada 3-15% kasus,21 menghilang dengan sendirinya dan dapat dicegah dengan mengurangi
kecepatan pemberian. Anafilaksis amat jarang terjadi, umumnya berhubungan dengan
antibodi anti IgA pada pasien dengan defisiensi IgA total (IgA < 0,05 g/L).

Penutup
IVIg bekerja melalui mekanisme kerja yang berbeda-beda. Penggunaan klinis ditujukan
sebagai substitusi atau modulasi sistem imun. Beberapa indikasi IVIg pada anak antara
lain adalah: immunodefisiensi primer, sindrom Kawasaki, ITP, sindrom Guillain Bare,
inkompatibilitas golongan darah pada neonatus, pencegahan sepsis bakterial pada bayi
prematur dan pencegahan infeksi bakterial berat pada anak dengan infeksi HIV.

154 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Daftar Pustaka
1. Dhainaut F, Guillaumat PO, Dib H, et al. In vitro and in vivo properties differ among
liquid intravenous immunoglobulin preparations. Vox Sang 2013;104(2):115-26. doi:
10.1111/j.1423-0410.2012.01648.x
2. Bayry J, Lacroix-Desmazes S, Donkova-Petrini V, et al. Natural antibodies sustain differentia-
tion and maturation of human dendritic cells. Proc Natl Acad Sci U S A 2004;101(39):14210-
5. doi: 10.1073/pnas.0402183101
3. Lutz HU, Spath PJ. Anti-inflammatory effect of intravenous immunoglobulin mediated
through modulation of complement activation. Clin Rev Allergy Immunol 2005;29(3):207-
12. doi: 10.1385/CRIAI:29:3:207
4. Nimmerjahn F, Ravetch JV. Anti-inflammatory actions of intravenous immunoglobulin.
Annu Rev Immunol 2008;26:513-33. doi: 10.1146/annurev.immunol.26.021607.090232
5. Spalter S, Kaveri SV, Kazatchkine MD. Anti-idiotypes to autoantibodies in therapeutic
preparations of normal polyspecific human IgG (IVIg). In: Shoenfeld Y, Kennedy RC, Fer-
rone S, eds. Idiotypes in medicine: autoimmunity, infection and cancer: Elsevier Science
1997:217-25.
6. Bayry J, Lacroix-Desmazes S, Carbonneil C, et al. Inhibition of maturation and function of
dendritic cells by intravenous immunoglobulin. Blood 2003;101(2):758-65. doi: 10.1182/
blood-2002-05-1447
7. Wiedeman AE, Santer DM, Yan W, et al. Contrasting mechanisms of interferon-alpha inhi-
bition by intravenous immunoglobulin after induction by immune complexes versus Toll-like
receptor agonists. Arthritis Rheum 2013;65(10):2713-23. doi: 10.1002/art.38082
8. Sharma M, Schoindre Y, Hegde P, et al. Intravenous immunoglobulin-induced IL-33 is in-
sufficient to mediate basophil expansion in autoimmune patients. Sci Rep 2014;4:5672. doi:
10.1038/srep05672
9. Maddur MS, Kaveri SV, Bayry J. Comparison of different IVIg preparations on IL-17 pro-
duction by human Th17 cells. Autoimmun Rev 2011;10(12):809-10. doi: 10.1016/j.au-
trev.2011.02.007
10. Othy S, Hegde P, Topcu S, et al. Intravenous gammaglobulin inhibits encephalitogenic po-
tential of pathogenic T cells and interferes with their trafficking to the central nervous system,
implicating sphingosine-1 phosphate receptor 1-mammalian target of rapamycin axis. J Im-
munol 2013;190(9):4535-41. doi: 10.4049/jimmunol.1201965
11. Othy S, Topcu S, Saha C, et al. Sialylation may be dispensable for reciprocal modulation of
helper T cells by intravenous immunoglobulin. Eur J Immunol 2014;44(7):2059-63. doi:
10.1002/eji.201444440
12. Tackenberg B, Jelcic I, Baerenwaldt A, et al. Impaired inhibitory Fcgamma receptor IIB ex-
pression on B cells in chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy. Proc Natl Acad
Sci U S A 2009;106(12):4788-92. doi: 10.1073/pnas.0807319106
13. Nikolova KA, Tchorbanov AI, Djoumerska-Alexieva IK, et al. Intravenous immunoglobulin
up-regulates the expression of the inhibitory FcgammaIIB receptor on B cells. Immunol Cell
Biol 2009;87(7):529-33. doi: 10.1038/icb.2009.36
14. Seite JF, Guerrier T, Cornec D, et al. TLR9 responses of B cells are repressed by intravenous
immunoglobulin through the recruitment of phosphatase. J Autoimmun 2011;37(3):190-7.
doi: 10.1016/j.jaut.2011.05.014

155
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
15. Orange JS, Hossny EM, Weiler CR, et al. Use of intravenous immunoglobulin in human dis-
ease: a review of evidence by members of the Primary Immunodeficiency Committee of the
American Academy of Allergy, Asthma and Immunology. J Allergy Clin Immunol 2006;117(4
Suppl):S525-53. doi: 10.1016/j.jaci.2006.01.015
16. Leong H, Stachnik J, Bonk ME, et al. Unlabeled uses of intravenous immune globulin. Am
J Health Syst Pharm 2008;65(19):1815-24. doi: 10.2146/ajhp070582
17. Robinson P, Anderson D, Brouwers M, et al. Evidence-based guidelines on the use of in-
travenous immune globulin for hematologic and neurologic conditions. Transfus Med Rev
2007;21(2 Suppl 1):S3-8. doi: 10.1016/j.tmrv.2007.01.004
18. Hughes R. Advances in the use of IVIg in neurological disorders. J Neurol 2008;255 Suppl
3:1-2. doi: 10.1007/s00415-008-3001-1
19. Gottstein R, Cooke RW. Systematic review of intravenous immunoglobulin in haemolytic
disease of the newborn. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2003;88(1):F6-10.
20. Ishii N, Hashimoto T, Zillikens D, et al. High-dose intravenous immunoglobulin (IVIG)
therapy in autoimmune skin blistering diseases. Clin Rev Allergy Immunol 2010;38(2-3):186-
95. doi: 10.1007/s12016-009-8153-y
21. Goddard EA. Intravenous immunoglobulin. Current Allergy and Clinical Immunology
2008;21(1):26-31.

156 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Emerging Pathogen Deaths:
A Lesson Learnt from Influenza A (H5N1)
Infection
Ari Prayitno
Departemen Ilmu Kesehatan Anank
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta

D
alam beberapa tahun terakhir ini perhatian dunia kesehatan terpusat kepada
semakin merebaknya penularan avian influenza A (H5N1). Meningkatnya kasus
infeksi H5N1 yang menyebabkan kematian pada manusia sangat dihawatirkan
dapat berkembang menjadi wabah pandemi yang berbahaya bagi umat manusia di muka
bumi ini. Sejak lebih dari satu abad yang lalu, beberapa subtipe dari virus influenza A telah
menghantui manusia. Berbagai variasi mutasi subtipe virus influenza A yang menyerang
manusia dan telah menyebabkan pandemi, sebagaimana terlihat pada gambar 1, sehingga
tidak mengherankan jika kewaspadaan global terhadap wabah pandemi flu burung
mendapatkan perhatian yang serius.

Sejarah infeksi virus influenza A


Diawali pada tahun 1918 dunia dikejutkan oleh wabah pandemi yang disebabkan virus
influenza, yang telah membunuh lebih dari 40.000 orang, dimana subtipe yang mewabah
saat itu adalah virus H1N1 yang dikenal dengan “Spanish Flu”. Tahun 1957 kembali
dunia dilanda wabah global yang disebabkan oleh kerabatdekat virus yang bermutasi
menjadi H2N2 atau yang dikenal dengan “Asian Flu” yang telah merenggut 100.000 jiwa
meninggal. Pada tahun 1968, virus flu kembali menyebabkan wabah pandemi dengan
merubah dirinya menjadi H3N2. Mutan virus yang dikenal dengan “Hongkong Flu” ini
telah menyebabkan 700.000 orang meninggal dunia. Saat ini dunia kembali dikagetkan
dengan merebaknya avian influenza H5N1 yang pertama kali menyerang dan menewaskan
6 orang penduduk Hongkong pada tahun 1997 dari 18 orang yang terinfeksi. Tahun
2003 sebanyak 83 orang terinfeksi dengan subtipe virus lainnya yaitu H7N7, dan H9N2.
Tahun 2004, subtipe H5N1 dan H7N2 telah menginfeksi puluhan penduduk Vietman,
Thailand, dan Kanada. Virus H5N1 lebih patogen daripada subtype lainnya sehingga
disebut dengan Highly Pathogenic H5N1 Avian Influenza (HPAI).

157
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Human Avian Influenza merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh virus
influenza A subtipe H5N1 yang termasuk ke dalam Orthomyxovirus, merupakan jenis
penyakit zoonosis, yang menular pada unggas, dapat menyebabkan penyakit dan bahkan
kematian pada manusia selain pada spesies hewan lainnya. Avian influenza A (H5N1)
khususnya HPAI, telah menyebabkan wabah yang serius di beberapa negara terutama
di Asia. Human avian influenza (H5N1) telah menjadi masalah kesehatan masyarakat
yang penting karena angka kematian yang tinggi serta karena kemungkinan menimbulkan
pandemi influenza.

Epidemiologi H5N1
Kasus H5N1 pertama kali dilaporkan di Skotlandia setelah terjadi kematian ayam secara
tiba-tiba dan massal pada tahun 1959 dan kemudian kematian kalkun-kalkun pada tahun
1991 di Inggris. Virus influenza H5N1 yang menyebar ke manusia pertama kali ditemukan
pada tahun 1997 di Guangdong, China. Sebelumnya pada tahun 1996, terjadi kematian
pada beberapa angsa secara tiba-tiba, namun saat itu sama sekali tidak menarik perhatian.
Pada tahun 1997, di Hong Kong, 18 manusia terinfeksi dan 6 meninggal dalam kasus
yang diketahui sebagai kasus pertama dari H5N1 yang menginfeksi manusia. H5N1 telah
berevolusi dari tingkat mortalitas nol sampai tingkat kematian 33%.
Laporan pertama, sebagai wabah HPAI A (H5N1) adalah laporan pada 10 Desember
2003 di Republik Korea dan berlanjut selama empat belas minggu. Strain ini menyebabkan
infeksi asimtomatik pada manusia seperti strain yang menginfeksi pada tahun 1959,
sehingga tingkat kematiannya masih rendah dan resikonya kecil untuk terjadinya sebuah
pandemi. Kematian manusia dari strain H5N1 yang terjadi di Vietnam bagian Utara pada
tahun 2003, 2004 dan 2005 yang walaupun menyebabkan kematian, dianggap memiliki
tingkat kematian yang masih lebih rendah daripada strain yang ada saat ini.

Gambar 1. Beberapa subtype virus influenza A yang menjadi penyebab wabah pandemi.

158 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Dari awal tahun 2007, jumlah kasus yang dikonfirmasi WHO adalah 349, dengan
216 korban meninggal (dilaporkan oleh PBB pada tanggal 15 Januari 2008) yang dengan
tingkat kematian 62% di antara kasus yang dikonfirmasi oleh WHO. Pada tahun 2005,
strain yang dianggap tidak mematikan di Vietnam Utara menyebabkan 42 dari 97
orang yang dikonfirmasi oleh WHO terinfeksi H5N1, meninggal dunia, dengan tingkat
kematian 43%. Pada tahun 2006, rasio kematian semakin meningkat, dengan 79 kematian
di antara 114 kasus atau rasio 69%. Pada tahun 2007, 59 dari 86 kasus berakhir dengan
kematian, dengan angka kematian 69%. Pada tahun 2008, 24 orang meninggal dari 31
kasus, dengan tingkat/rasio kematian 77%.
Adanya peningkatan rasio kematian setelah akhir tahun 2005 setelah beredarnya
kasus H5N1 di Vietnam yang awalnya strain dianggap kurang mematikan kemudian
meningkat rasio kematiannya dari tahun ke tahun, mengindikasikan bahwa virus itu
sendiri menjadi lebih patogen atau mematikan dari waktu ke waktu. Hal ini terjadi
karena strain-strain awal yang tidak ganas, akan mati, sedangkan strain yang bertahan
akan berkembang menjadi strain yang lebih ganas.
Kasus pertama avian influenza di Indonesia terjadi pada Juni 2005 yaitu seorang anak
yang juga merupakan anggota kluster keluarga pertama di Indonesia.6 Sejak Juli 2005
sampai December 2007 Indonesia merupakan negara tertinggi di dunia dengan kasus
avian influenza A(H5N1) yaitu 116 kasus dengan proporsi kematian yang sangat tinggi
(81%). Demikian pula sampai November 2010 proporsi kematian kasus avian influenza
di Indonesia semakin meningkat (83 %), sedangkan kasus di dunia tercatat sebanyak 508
kasus dengan proporsi kematian 59,45%. Infeksi virus avian influenza A(H5N1) lebih

Tabel 1. Beberapa kasus infeksi Highly Pathogenic H5N1 Avian Influenza (HPAI) yang dilaporkan ke
WHO sampai dengan bulan Agustus 2006

159
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
sering terjadi pada anak-anak, dewasa muda dan wanita muda. Lebih dari setengah kasus
yang dilaporkan terinfeksi avian influenza A(H5N1) berumur di bawah 18 tahun dan
seperempat dari kasus adalah anak di bawah umur 10 tahun.
Dilaporkan juga kematian yang tinggi (>80%) terjadi di Thailand pada anak-anak
dengan infeksi avian influenza A (H5N1). Menurut WHO, kasus HPAI dapat ditemukan
pada 10 negara pada tahun 2006, sebagaimana tertera pada tabel 1.
Berdasarkan laporan WHO 26 April 2013,dari tahun 2003 hingga 26 April 2013,
terdapat 928 kasus Human Avian Influenza yang sudah terkonformasi secara laboratoris,
dari 15 negara dengan 374 diantaranya meninggal dunia.
Berdasarkan perkembangan terakhir 12 Maret 2013, terdapat 6 kasus baru Human
Avian Influenza yang sudah terkonfirmasi secara laboratoris, dari 4 negara, yaitu Banglades
(1 kasus), Kamboja (1 kasus), Mesir (2 kasus) dan Vietnam (2 kasus).

Penyebaran secara geografis


Ada banyak strain Avian Influenza, namun secara umum dibagi 2 bagian besar, yaitu Low
pathogenic dan Highly pathogenic. Low Pathogenic Avian Influenza (LPAI) menyebabkan
gejala yang ringan atau bahkan tidak bergejala pada unggas karena sifat patogenitasnya
yang rendah. Umumnya menyerang unggas di Amerika Utara. Highly Pathogenic Avian
Influenza menyebabkan gejala klinis yang berat dan atau bahkan kematian pada burung.
Strain inilah yang mendapat perhatian serius karena penyebarannya sangat cepat dan
luas serta menyebabkan Outbreak secara global pada unggas dan bahkan bisa menyerang
manusia dan menyebabkan kematian. Ditemukan pada polpulasi unggas di Asia Selatan
dan sebagian wilayah Afrika. H5N1 yang sangat patogenik dapat menyerang unggas di
alam liar maupun dipeternakan. Gambar 2 menunjukkan penyebaran Avian Influenza
secara global.

Gambar 2. Penyebaran Highly Pathogenic Avian Influenza (H5N1) pada unggas dan manusia secara global

160 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Outbreak Avian Influenza pada hewan dan jumlah kasus AI pada manusia di Asia,
dapat dilihat pada gambar 3.

Gambar 3. Penyebaran flu burung di belahan bumi bagian timur.

Transmisi
Influenza pada manusia ditularkan melalui inhalasi droplet dan nukleus droplet, kontak
langsung, mungkin juga melalui kontak tidak langsung (udara/debu), melalui inokulasi
pada traktus respiratorius atas atau mukosa konjungtiva. Rute penularan lain belum
diketahui. Terjadinya infeksi influenza A pada manusia (H5N1) telah dibuktikan berasal
dari unggas ke manusia, mungkin dari lingkungan ke manusia dan transmisi dari manusia
ke manusia secara terbatas dan tidak menetap. Orang yang mempunyai resiko besar untuk
terserang Avian Influenza A (H5N1) ini adalah pekerja peternakan unggas, penjual dan
penjamah unggah.

Transmisi hewan ke manusia


Pada tahun 1997, pajanan oleh unggas dalam satu minggu sebelum awitan penyakit
berhubungan dengan penyakit pada manusia, sedangkan resiko tidak bermakna bila
memakan atau mengolah produk unggas atau terpajan manusia yang mengalami influenza
A (H5N1). Kebanyakan penderita memiliki riwayat kontak langsung dengan peternakan
unggas, seperti mencabuti bulu, mengobati unggas yang sakit, adu ayam, bermain di
sekitar peternakan unggas atau memasak unggas kurang matang. Transmisi antar hewan
dan hewan ke manusia bisa dilihat pada gambar 4.

161
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Gambar 4. Virus influenza dan pejamunya

Transmisi manusia ke manusia


Transmisi influenza A (H5N1) antar manusia diperkirakan terjadi dengan ditemukannya
kejadian dalam kelompok keluarga yang tinggal serumah, tetapi sejauh ini belum
ditemukan kasus transmisi antar manusia melalui partikel aerosol. Pada tahun 1997,
transmisi antar manusia belum ditemukan dan peneliti serologis pada tenaga kesehatan
yang terpajan menunjukkan bahwa cara penularan tersebut belum efisien. Suatu surveilans
intensif terhadap kontak dengan menggunakan reverse transcriptase PCR (RT-PCR) telah
mendeteksi kasus yang ringan, infeksi lebih banyak dijumpai pada dewasa tua, dan terjadi
peningkatan jumlah serta durasi kelompok keluarga di Utara Vietnam. Hasil ini menyokong
bahwa strain virus lokal mulai beradaptasi pada manusia. Walaupun demikian, penelitian
epidemiologi dan virologi diperlukan untuk memastikan temua tersebut. Saat ini resiko
penularan nosokomial pada tenaga kesehatan masih rendah, walaupun di Vietnam terjadi
sebuah kasus penyakit berat pada perawat yang terpajan oleh penderita.

Transmisi dari lingkungan ke manusia


Transmisi dari lingkungan ke manusia secara teoritis dapat terjadi. Ingesti air yang
terkontaminasi peroral saat berenang dan inokulasi langsung intranasal atau konjungtiva
saat terpajan oleh air, kontaminasi tangan terhadap debu, serta inokulasi langsung.
Penggunaan kotoran ternak sebagai pupuk juga dapat merupakan faktor resiko.

162 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Pencegahan
Belum ada vaksin influenza A(H5) yang secara komersial tersedia untuk manusia. Upaya
pencegahan penularan dilakukan dengan cara menghindari bahan yang terkontaminasi
tinja dan sekret unggas, dengan tindakan sebagai berikut:
•• Setiap orang yang berhubungan dengan bahan dari saluran cerna unggas, harus
menggunakan pelindung (masker, kaca mata renang)
•• Bahan yang berasal dari saluran cerna unggas seperti tinja harus ditatalaksana
dengan baik (ditanam/dibakar) agar tidak menjadi sumber penularan bagi orang
disekitarnya
•• Alat-alat yang dipergunakan dalam peternakan harus dicuci dengan desinfekstan
•• Kandang dan tinja tidak boleh dikeluarkan dari lokasi peternakan
•• Mengkonsumsi daging ayam yang telah dimasak pada suhu 80 ⁰C selama 1 menit,
sedangkan telur unggas perlu dipanaskan pada suhu 64 ⁰C selama 5 menit
•• Melaksanakan kebersihan lingkungan
•• Melakukan kebersihan diri.

Kewaspadaan penularan pada perawatan pasien Avian Influenza A (H5N1)


•• Berdasarkan cara penularan :
–– Kontak : langsung dan tidak langsung
Penularan melalui kontak kulit saat memandikan pasien atau melakukan tindakan
perawatan (secara langsung) atau melalui benda lain seperti alat kesehatan, jarum,
kasa pembalut, tangan yang tidak dicuci dll (tidak langsung)
–– Droplet :
Melalui percikan cairan dari penderita kepada orang lain. Percikan yang berasal dari
bagian tubuh pasien (diameter >5 mm) melalui batuk, bersin, bicara dan selama
pelaksanaan tindakan tertentu (seperti penghisapan lendir dan bronkoskopi).
Percikan tersebut terbang dalam jarak dekat melalui udara dan mengendap di
bagian tubuh pejamu lain yang rentan (konjungtiva, mukosa hidung dan mulut)
•• Kewaspadaan univeral
–– Memperlakukan semua darah dan cairan tubuh pasien sebagai bahan infeksius,
hindari menjamahnya dengan tangan tenajang atau segera cuci bila kemungkinan
tercemar.
–– Cuci tangan dengan air mengalir dan sabun/antiseptik. Hal ini dilakukan sebelum
dan sesudah menjamah penderita maupun sebelum memakai dan setelah melepas
sarung tangan.
–– Alat pelindung diri (masker, kaca mata, pelindung wajah dan sepatu plastik)
dikenakan bila ada kemungkinan terjadi percikan darah atau cairan tubuh pasien
selama melakukan tindakan atau perawtan pasien.
•• Kewaspadaan tambahan
Kewaspadaan tambahan sebagai tambahan kewaspadaan universal terhadap penularan
melalui kontak dan percikan (droplet)

163
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
–– Penempatan penderita: di ruangan tersendiri, atau di ruangan dengan penderita
lain yang sama diagnosisnya
–– Alat pelindung diri (APD) : gunakan bila memasuki ruang rawat penderita,
selama melakukan tindakan atau tindakan lain yang berhubungan dengan bahan
infeksius
–– Transporatsi penderita : batasi pemindahan pasien ke ruangan lain kecuali sangat
diperlukan.
–– Alat kesehatan untuk penderita : sediakan alat khusus untuk pasien dengan
kemungkinan tingkat penularan yang tinggi.

Penutup
•• Penyakit yang biasa menginfeksi pada hewan (zoonotic) dapat menginfeksi manusia,
menimbulkan gejala yang berat dan bahkan bisa menyebabkan kematian. Karena itu
upaya pertama yang dilakukan untuk mengendalikan infeksi ini agar tidak berkembang
lebih jauh adalah bagaimana mengelola perawatan hewan, khususnya unggas, baik itu
di peternakan, di lingkungan tempat tinggal atau perlakukan terhadap hewan liar
baik yang sehat apalagi yang dalam keadaan sakit, sebaik mungkin dan sedemikian
rupa agar resiko penularan dari hewan ke manusia bisa ditekan kalau memang tidak
bisa diputus sama sekali.
•• Penyakit ini disebabkan oleh virus Influenza A subtipe H5N1 yang sebagian
diantaranya bersifat Highly Pathogenic (HPAI), yang memiliki kemampuan bukan
hanya menginfeksi dan menimbulkan gejala berat pada manusia, namun juga mampu
beradaptasi dengan baik terhadap sistim imun tubuh pejamu (manusia dan unggas)
termasuk diantaranya melakukan mutasi genetik, sehingga dapat timbul strain-strain
baru yang lebih patogenik di masa depan. Itu berarti kewaspadaan terhadap virus ini
dan sejenisnya tetap perlu ditingkatkan untuk mengantisipasi ancaman wabah baru
di masa depan.
•• Penyebaran penyakit ini sangat cepat dan meluas. Kasus H5N1 pertama di hewan
pada tahun 1959 di Skotlandia, sementara kasus HPAI pada manusia pertama tahun
1997 di Guangdong, China. Peningkatan kasus Avian Influenza yang disertai kematian
meningkat pesat pada tahun 2003 di Korea dan sampai dengan bulan April 2013,
WHO mencatat (2003-2013) ada 978 kasus AI dengan 374 diantaranya meninggal.
Kecepatan penyebaran kasusnya saat itu menimbulkan kekhawatiran adanya ancaman
pandemi, khususnya bila telah terjadi penyebaran dari manusia ke manusia.
•• Sampai dengan saat ini belum ditemukan bukti-bukti yang nyata transmisi dari
manusia ke manusia, walaupun ada beberapa laporan kasus ditemukannya infeksi
H5N1 pada suatu keluarga di Vietnam. Namun transmisi seperti ini bukan sesuatu
yang mustahil terjadi mengingat kemampuan virus ini beradaptasi dengan lingkungan
dan sistim kekebalan tubuh manusia. Antigenic shift dan antigenic drift dari virus
influenza harus sangat diwaspadai.

164 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


•• WHO dalam laporannya 14 Agustus tahun 2006 menyatakan bahwa keberhasilan
mengendalikan Avian Influenza merupakan buah dari upaya masing-masing negara
dalam menerapkan strategi yang berbeda. Walaupun demikian, fokus pengendalian
infeksi ini adalah pada pengendalian unggas dan upaya komunikasi yang maksimal.
Ada negara dengan wabah yang lebih kecil melakukan penghentian populasi unggas
tertentu, sementara negara dengan kasus wabah yang lebih besar melakukan upaya
vaksinasi pada populasi unggas di negara tersebut. Sebagai contoh strategi pengendalian
adalah dengan stamping out di Thailand dan vaksinasi di Viet Nam

Lesson learnt dari avian influenza A (H5N1)


•• Pengendalian Avcian Influenza harus dilakukan secara multisektoral melibatkan
kerja sama erat antara kesehatan, sektor pertanian, keuangan dan perencanaan, serta
beberapa sektor lain yang terkait
•• Pelayanan kesehatan dan kedokteran hewan perlu diberi sumber daya yang memadai
untuk merespons secara efektif emerging dan reemerging patogen zoonosis untuk
melindungi kesehatan hewan dan masyarakat.
•• Di Afrika dan Asia, khususnya, mata pencaharian kaum miskin di pedesaan
sangat terancam dengan keadaan ini. Keluarga yang kehidupannya miskin, sangat
tergantung dengan usaha mereka yang terkait dengan hewan unggas, dan adanya
kasus Avian Influenza akan menghilangkan sumber pendapatan mereka sehingga
dapat menimbulkan kerawanan pangan.
•• Strategi pengendalian untuk mencegah wabah lebih lanjut dan kasus-kasus infeksi
yang terjadi pada manusia, harus mencakup kampanye informasi dan peningkatan
kesadaran masyarakat yang bertujuan untuk mengubah perilaku berisiko tinggi.

Daftar pustaka
1. Avian Influenza (H5N1) Infection in Humans. New England Journal of Medicine.
2006;354(8):884.
2. Murniati D, Giriputro S, Hadinegoro S. Karakteristik Klinis dan Epidemiologis Avian Influ-
enza A (H5N1) Anak Di Indonesia, Tahun 2005-2007. Sari Pediatri. 2016;12(5):347.
3. Li K, Guan Y, Wang J, Smith G, Xu K, Duan L et al. Genesis of a highly pathogenic and po-
tentially pandemic H5N1 influenza virus in eastern Asia. Nature. 2004;430(6996):209-213.
4. Radji M. Avian influenza A (H5N1) : patogenesis, pencegahan dan penyebaran pada manu-
sia. Majalah Ilmu Kefarmasian. 2006;3:2:55-65
5. Sims L. Lessons Learned from Asian H5N1 Outbreak Control. Avian Diseases.
2007;51(s1):174-181.

165
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Role of Pediatrician on Sexual Abuse
Ariani
Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya/RSUD Dr. Saiful Anwar, Malang

Tujuan:
1. Mengetahui epidemiologi kekerasan seksual
2. Mengetahui definisi kekerasan seksual
3. Mengetahui manajemen medis korban kekerasan seksual
4. Mengetahui aspek etik dan hukum pada kasus kekerasan seksual
5. Mengetahui peran dokter anak pada kasus kekerasan seksual

Abstrak
Kekerasan seksual pada merupakan salah satu masalah pediatri sosial utama hampir di seluruh dunia.
Meskipun banyak anak dan remaja terimbas baik secara fisik maupun mental, masih sedikit informasi
yang tersedia untuk dokter anak mengenai bagaimana dokter anak dan petugas kesehatan yang lain dapat
membantu melindungi anak-anak dari bahaya kekerasan seksual serta penanganannya. Pengetahuan
mengenai faktor risiko, praktek perekrutan, indikator-indikator yang mengarah kekerasan seksual,
dan masalah kesehatan serta perilaku terkait korban akan membantu dokter anak mengenali korban
yang diduga mengalami kekerasan seksual sehingga dapat menangani secara tepat. Sebagai penyedia
pelayanan kesehatan, pendidik, dan pemimpin dalam kepentingan advokasi anak, seorang dokter anak
berperan penting dalam menangani masalah isu kesehatan masyarakat yang dihadapi oleh anak korban
kekerasan seksual. Peran seorang dokter spesialis anak termasuk meningkatkan pengetahuan mengenali
kasus, terlibat dalam upaya kolaborasi dengan rekan-rekan medis dan non medis untuk melayani
kebutuhan korban kekerasan seksual yang kompleks, dan mendidik para profesional-profesional dan
masyarakat yang berhubungan dengan perlindungan anak.1

Epidemiologi
Data kasus kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia dari tahun ke tahun semakin
meningkat. Kasus pengaduan anak berdasarkan klaster perlindungan anak KPAI tahun
2011-2017 menunjukkan tren peningkatan kasus pornografi dan cybercrime yang
berhubungan dengan kekerasan seksual. Pada tahun 2014 berada pada peringkat ke-5
(322 kasus), pada tahun 2015 berada pada peringkat ke-4 (463 kasus) dan pada tahun
2016-2017 berada pada peringkat ke-3 (tahun 2016 terdapat 587 kasus dan sampai bulan
April 2017 sebanyak 60 kasus).2
Di dunia, studi epidemiologi sangat bervariasi hasilnya, tergantung dari beberapa
faktor seperti sumber data, definisi kekerasan seksual, dan populasi.3 Studi meta analisis
dari 323 studi melibatkan 9,9 juta korban, prevalensi sebesar 12,7% (18,9% perempuan,
7,6% laki-laki).4,5 Di US pada tahun 2005-2007 insidens kekerasan seksual sebesar

166 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


2,4/1000 anak. Secara keseluruhan, 1 dari 12 anak umur 2-17 tahun mengalami sexual
victimization seperti sexual assault, pelecehan seksual ( 67/1000 anak laki-laki, 96/1000
anak perempuan, dan 168/1000 remaja).3
Dari data ini, korban kekerasan seksual lebih sering terjadi pada perempuan
dibanding laki-laki. Kasus pada laki-laki kemungkinan lebih jarang terungkap meskipun
kemungkinan banyak menjadi korban daripada yang dilaporkan. Kelompok grup
remaja memiliki risiko lebih tinggi. Disabilitas fisik, menjadi korban kekerasan seksual
sebelumnya, kurangnya pengawasan orangtua menjadi faktor risiko. 3
Hal ini disebabkan oleh berbagai hal, antara lain dampak dari teknologi informasi
dimana anak mudah mengakses konten-konten pornografi dari internet melalui telepon
seluler/gadget maupun dari warnet-warnet dan kurangnya pengawasan dari orangtua.
Selain itu, meningkatnya data kasus kekerasan seksual ini mengindikasikan bahwa
kesadaran masyarakat untuk melaporkan kekerasan yang terjadi juga semakin meningkat.

Pengertian
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan (UU Perlindungan Anak Bab I pasal 1 ayat 1 UU no 23 tahun 2002,
perubahan UU Perlindungan Anak no 35 tahun 2014, Konvensi Hak Anak pasal 18,
pasal 19 diratifikasi Keppres no 36 tahun 1990, dan UU no 39 tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia). Orang tua, keluarga, dan masyarakat bertanggungjawab menjaga dan
memelihara hak asasi anak yang merupakan bagian dari hak asasi manusia. Demikian
pula dalam rangka penyelenggaraan perlindungan anak, negara dan pemerintah
bertanggungjawab menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi anak, terutama dalam
menjamin pertumbuhan dan perkembangannya secara optimal dan terarah. 8,9
Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan
hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi (Pasal 1 UU no 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak,
UUD 1945 pasal 28B ayat (2), pasal 28D ayat (1), pasal 28G ayat (1), pasal 28H ayat (1),
pasal 28I ayat (1), dan pasal 34. 8,9
Undang-Undang no 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak telah banyak
menyerap ketentuan dalam UUD 1945 dan Konvensi Hak Anak. Undang - undang ini
memiliki azas non diskriminasi, kepentingan yang terbaik untuk anak, hak untuk hidup-
kelangsungan hidup dan perkembangan, serta penghargaan terhadap pendapat anak.
Dalam undang-undang ini tidak hanya hak anak yang diatur, tetapi juga kewajiban anak,
kewajiban dan tanggungjawab negara, masyarakat, serta orangtua. Anak dilindungi di
bidang agama, kesehatan, pendidikan, sosial, dan perlindungan khusus pada keadaan-
keadaan tertentu. 8

167
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Perlindungan khusus dimaksudkan untuk melindungi anak dalam situasi darurat,
anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak
tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang
menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya,
anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan fisik dan/
atau mental, anak penyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.8
Perlindungan khusus diatur dalam pasal 64 ayat (93) UU no 35 tahun 2014 melalui
upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga, upaya perlindungan dari
pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi, pemberian
jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental, maupun sosial, dan
pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.
Upaya seperti sosialisasi peraturan perundang-undangan, pengawasan perlindungan,
pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi, dilakukan oleh pemerintah maupun tenaga
prosfesional termasuk dokter anak.8,9
Beberapa istilah pengganti Child Abuse and Neglect (CAN) di Indonesia adalah
“penganiayaan dan penelantaran anak”, kekerasan dan penelantaran anak, perlakuan
salah terhadap anak atau penyalahgunaan anak. CAN adalah semua bentuk perlakuan
menyakitkan secara fisik ataupun emosional, penyalahgunaan seksual, penelantaran,
eksploitasi komersial atau eksploitasi lain, yang mengakibatkan cedera/kerugian nyata
ataupun potensial terhadap kesehatan anak, kelangsungan hidup anak, tumbuh kembang
anak, atau martabat anak, yang dilakukan dalam konteks hubungan tanggung jawab,
kepercayaan atau kekuasaan. Terdapat 5 sub tipe CAN yaitu physical abuse, sexual abuse,
emotional abuse, child neglect, dan eksploitasi anak.10

Definisi sexual abuse


Sexual abuse (kekerasan seksual) adalah pelibatan anak dalam kegiatan seksual, dimana
ia sendiri tidak sepenuhnya memahami, atau tidak mampu memberi persetujuan, atau
oleh karena perkembangannya belum siap atau tidak dapat memberi persetujuan, atau
yang melanggar hukum atau pantangan masyarakat. Kekerasan seksual ditandai oleh
adanya aktivitas seksual antara anak dengan orang dewasa atau anak lain, yang baik dari
usia ataupun perkembangannya memiliki hubungan tanggungjawab, kepercayaan atau
kekuasaan; aktifitas tersebut ditujukan untuk memberikan kepuasan bagi orang tersebut.7
Kekerasan seksual meliputi eksploitasi seksual dalam prostitusi atau pornografi,
pemaksaan anak untuk melihat kegiatan seksual, memperlihatkan kemaluan kepada anak
untuk tujuan kepuasan seksual, stimulasi seksual, perabaan (molestation, fonding), memaksa
anak untuk memegang kemaluan orang lain, hubungan seksual, incest, perkosaan, dan
sodomi.11
Hal ini juga mencakup bentuk-bentuk yang bersifat kontak fisik dan non-kontak,
diantaranya tidak terbatas pada: (a) bujukan atau paksaan kepada seorang anak untuk
terlibat dalam kegiatan seksual yang berbahaya secara psikologis maupun ilegal; (b)

168 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


penggunaan anak dalam eksploitasi seksual komersial; (c) penggunaan anak dalam
gambaran visual atau audio terkait kekerasan seksual; dan (d) prostitusi anak, perbudakan
seksual, eksploitasi seksual dalam dunia pariwisata, perdagangan manusia untuk tujuan
eksploitasi seksual (di dalam dan antar negara), penjualan anak untuk tujuan seksual dan
pernikahan paksa.12

Tata cara pemeriksaan, ciri-ciri korban kekerasan dan intepretasi


hasilnya
Komponen manajemen medis korban kekerasan seksual terdiri dari anamnesis, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan laboratorium, dan rencana terapi.

Tata cara pemeriksaan 7, 13


Sebelum pemeriksaan, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
•• Melakukan informed consent untuk menjelaskan kepada anak maupun kepada
orangtuanya tentang maksud, tujuan, proses dan lama pemeriksaan serta mendapatkan
persetujuan dari anak yang diduga sebagai korban maupun orangtua.
•• Petugas kesehatan harus didampingi oleh petugas kesehatan lainnya.
•• Melakukan pemeriksaan dengan ramah dan sopan.
•• Menjalin hubungan akrab dan saling percaya antara petugas kesehatan dan anak yang
diduga sebagai korban.
•• Menyiapkan alat bantu seperti boneka, alat gambar dan mainan untuk berkomunikasi
dan menggali data dari anak.
•• Semua hasil pemeriksaan harus ditulis dan didokumentasikan dalam rekam medis dan
bersifat rahasia.

Langkah-langkah pemeriksaan 7, 13
a. Melakukan persetujuan/penolakan dilakukan pemeriksaan medis (informed consent/
informed refusal)
b. Anamnesis 3,7,13
Anamnesis riwayat kejadian menjadi faktor yang sangat penting pada kasus kekerasan
seksual, karena pemeriksaan tanda dan gejala sendiri tidak dapat digunakan sebagai
diagnosis definitif karena sebagian besar kasus tidak dijumpai adanya kelainan pada
pemeriksaan fisik.16
Auto dan/atau alloanamnesis dapat dilakukan. Jika memungkinkan, anamnesis
terhadap anak yang diduga sebagai korban dan pengantar dilakukan secara terpisah,
menilai adanya kemungkinan ketidaksesuaian yang muncul antara penjelasan
orangtua/pengantar dan anak dennan temuan medis, perhatikan sikap/perilaku anak
yang diduga sebagai korban dan pengantar, lengkapi rekam medis dengan identitas
dokter pemeriksa, pengantar, waktu dan lokasi pemeriksaan dan kejadian, identitas
korban, lakukan konfirmasi ulang urutan kejadian, pemicu, deskripsi rinci apa yang

169
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
telah terjadi, dampak terhadap anak yang diduga sebagai korban.
Gali informasi adanya perubahan perilaku anak setelah mengalami trauma,
keadaan kesehatan sebelum trauma, riwayat trauma sebelumnya, faktor sosial budaya
ekonomi yang berpengaruh terhadap perilaku di dalam keluarga. Minimalkan jumlah
interview yang diulang- ulang dengan orang yang berbeda pada korban.
Pada kasus kekerasan seksual, perlu ditanyakan waktu dan lokasi kejadian, ada
tidaknya kekerasan sebelum kejadian, segala bentuk kegiatan seksual yang terjadi,
termasuk bagian-bagian tubuh yang mengalami kekerasan, ada tidaknya penetrasi,
dengan apa penetrasi dilakukan, adanya rasa nyeri, perdarahan dan atau keluarnya
cairan dari vagina, adanya rasa nyeri dan gangguan buang air besar dan/atau buang
air kecil, apa yang dilakukan korban setelah kejadian kekerasan seksual tersebut,
apakah korban mengganti pakaian, buang air kecil, membersihkan bagian kelamin
dan dubur, mandi atau gosok gigi.

c. Observasi
Lakukan pengamatan tentang adanya keterlambatan yang bermakna antara saat
terjadinya kekerasan dan saat mencari pertolongan medis, adanya ketidaksesuaian
antara tingkat kepedulian orangtua dengan beratnya trauma yang dialami anak,
adanya interaksi yang tidak wajar antara orangtua/pengasuh dengan anak.

d. Pemeriksaan Fisik
Sebagian besar kasus kekerasan seksual tidak didapatkan abnormalitas pada
pemeriksaan fisik termasuk anogenital. Tidak adanya kelainan pada pemeriksaan
fisik tidak menyingkirkan dugaan adanya kekerasan seksual atau adanya penetrasi.3,5
Berbagai penelitian menunjukkan prevalensi yang rendah adanya pemeriksaan fisik
definitif pada korban kekerasan seksual. Pada studi kasus kontrol oleh Berenson et
al menemukan sebagian besar kasus tidak ada perbedaan pada pemeriksaan genital
antara korban dan kontrol. Studi kohort oleh Kellog et al menunjukkan hanya 2,5%
korban didapatkan pemeriksaan fisik yang spesifik. Hal ini disebabkan karena luka
jaringan mukosa dan epitelial genital mengalami penyembuhan secara cepat dan
sempurna ( dalam waktu 4-72 jam), skar hampir tidak dijumpai pada luka hymenal,
jaringan terkadang melonggar tanpa terjadi perlukaan terutama pada jaringan
hymenal dan anal, serta jenis kekerasan seksual non sentuhan yang tidak melibatkan
kontak fisik.3,5,14.15
Pemeriksaan keadaan umum korban yang meliputi kesadaran dan tanda vital.
Tujuan pemeriksaan fisik adalah menemukan luka yang memerlukan penanganan
medis segera, identifikasi abnormalitas anogenital termasuk kondisi yang menyerupai
injuri dan menginterpretasikan pemeriksaan fisik secara benar (varian normal, non
spesifik, indeterminate, indikatif trauma), deteksi tanda Sexual Transmitted Infection,
identifikasi luka di luar area anogenital (misal mulut, dada, ekstremitas), kenali tanda
perlukaan diri sendiri (cakaran) dan kumpulkan bukti forensik.3
Pada kasus kekerasan seksual perlu diperhatikan:7

170 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


–– Adanya tanda-tanda perlawanan atau kekerasan seperti pakaian yang robek, bercak
darah pada pakaian dalam, gigitan, cakaran, ekimosis, hematoma, dan perhatikan
kesesuaian tanda kekerasan dengan urutan kejadian kekerasan. Gunting/kerok
kuku korban kanan kiri, masukkan dalam amplop terpisah dan diberi label.
–– Pemeriksaan ginekologik pada anak perempuan ( hanya dillakukan pemeriksaan
luar, sedang pemeriksaan dalam harus dirujuk). Periksa adanya luka di daerah
sekitar paha, vulva, dan perineum. Catat jenis, lokasi, bentuk, dasar, dan tepi
luka. Periksa selaput dara, adanya robekan baru atau lama, lokasi, rambut pubis
korban dicabut/digunting 3-5 helai dimasukkan ke dalam amplop dan diberi label.
Bercak kering dikerok degan menggunakan skalpel, bercak basah diambil dengan
kapas lidi, dikeringkan pada suhu kamar dan dimasukkan amplop. Pemeriksaan
colok dubur dilakukan baik pada anak laki-laki dan perempuan.

e. Pemeriksaan Status Mental


Anak mungkin akan mengekspresikan masalahnya melalui kata-kata, keluhan fisik
atau tingkah laku yang tidak sesuai dengan tahapan perkembangannya. Gejala yang
muncul antara lain: ketakutan, siaga berlebihan (mudah kaget, terkejut, curiga, panik,
berduka, perasaan sedih terus menerus).

f. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang meliputi Rontgen dan USG (jika tersedia). Pemeriksaan
laboratorium darah yaitu darah rutin dan urin rutin, lakukan penapisan penyakit
kelamin, tes kehamilan, pemeriksaan mikroskop adanya sperma dengan menggunakan
NaCl, apabila diperlukan, pengambilan darah dan urin untuk pemeriksaan NAPZA,
usapan rugae untuk pemeriksaan adanya sperma.

g. Penatalaksanaan Medis yaitu:3,7


Prinsip penatalaksanaan medis pada kasus kekerasan seksual pada anak, yaitu:
1. Tangani kegawatdaruratan yang mengancam nyawa
2. Tangani luka sesuai dengan prosedur
3. Bila dicurigai terdapat patah tuang, lakukan rontgen dan penanganan yang sesuai
4. Bila dicurigai terdapat perdarahan dalam, lakukan USG atau rujuk
5. Beri dukungan pada anak terutama kondisi psikososial
6. Pastikan keamanan anak
7. Periksa dengan teliti, lakukan rekam medis dan berikan surat-surat yang
diperlukan
8. Buat Visum et Repertum bila ada permintaan resmi dari polisi
9. Informasikan dengan hati-hati temuan pemeriksaan dan kemungkinan dapat
yang terjadi, kepada keluarga serta rencana tindak lanjutnya
10. Mencegah kehamilan (jika perlu)
11. Berikan kontrasepsi darurat apabila terjadi perkosaan kurang dari 72 jam
12. Periksa, cegah dan obati infeksi menular seksual atau rujuk ke RS

171
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
13. Berikan konseling untuk pemeriksaan HIV/AIDS dalam 6-8 minggu atau rujuk

h. Rujukan7
Terdapat 2 macam rujukan. Rujukan medis dilakukan dari puskesmas ke RSUD
atau RS Bhayangkara. Rujukan non medis diakukan untuk memperoleh bantuan
pendampingan psikososial dan bantuan hukum antara lain ke Unit Perlindungan
Perempuan dan Anak (UPPA), P2TP2A, rumah aman, Dinas Sosial, Lembaga
Perlindungan Anak (LPA).

i. Pencatatan dan Pelaporan 7


Semua kasus yang ditangani dicatat dalam rekam medis dan dilaporkan secara
berjenjang.

j. Pembuatan Visum et Repertum (VeR)


a. Kewajiban memberikan Informasi 7,13
Kekerasan terhadap anak merupakan tindak pidana yang melanggar hak asasi
manusia yang berdampak negatif bagi kesehatan dan tubuh kembang anak serta
mengancam kualitas hidup anak di masa depan. Tenaga kesehatan sebagai salah
satu unsur pemerintah wajib bertanggungjawab terhadap upaya penyelenggaraan
perlindungan anak. Tenaga kesehatan seringkali sebagai tangan pertama yang
menerima korban dan bertanggungjawab mencegah atau memperkecil dampak
negatif terhadap kesehatan anak, baik aspek fisik, mental, sosial, dan hukum.
Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 68 Tahun 2013 mengatur
tentang Kewajiban Pemberi Layanan Kesehatan untuk memberikan Informasi
Atas Adanya Dugaan Kekerasan terhadap Anak. Kewajiban memberi informasi
disini dimaksudkan adalah kegiatan memberikan keterangan kepada kepolisian
setempat secara lisan maupun tulisan tentang adanya dugaan kekerasan terhadap
anak. Tenaga kesehatan yang dimaksud adalah setiap orang yang mengabdikan
diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau ketrampilan
melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan
kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.

Sistem klasifikasi Adams 15, 17


Klasifikasi ini digunakan jika terdapat dugaan adanya kekerasan terhadap anak melalui
informasi anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratoris (Joyce Adam, 2001).

172 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Bagian I: Temuan pada Pemeriksaan Anogenital
Normal Temuan yang terlihat pada neonatus
Garis (bands) peri uretral atau vestibuler
Tonjolan (ridges atau colums) longitudinal intravena
Jumbai (tags) pada selaput dara
Penebalan (bump atau mound) pada selaput dara
Linea vestibulari
Belahan (cleft atau notch) di anterior setengan dari lebar selaput dara, pada atau
lebih atas dari garis jam 3-9, diamati pada pasien terlentang
Tonjolan (ridges) pada bagian luar selaput dara
Varian Normal Selaput dara berseptum
Kegagalan fusi di garis tengah
Lekuk (groove) di fossa pada puberta
Diastasis ani
Jumbai kulit (skin tag) perianal
Peningkatan pigmentasi kulit perianal
Kondisi Lain Hemangioma labia, selaput dara atau daerah sekitarnya ( dapat memberikan
gambaran seperti hematom atau perdarahan submukosa)
Lichen sclerous et atrophicus (dapat mudah ruptur dan perdarahan)
Celulitis streptokokus pada jaringan perianal
Molluscum contagiosum
Verruca vulgaris
Vaginitis akibat stretokokus atau organisme usus
Prolaps uretral (mengakibatkan perdarahan, tampat seperti akibat trauma)
Benda asing di vagina (dapat akibatkan perdarahan atau discharge)
Temuan tidak spesifik Temuan yang mungkin sebaggai akibat dari kekerasan seksual, tergantung pada
jarak saat pemeriksa dan saat terjadi kekerasan, tetapi mungkin juga akibat sebab
lain atau merupakan varian yang normal
Eritema vestibulum atau jaringan sekitar anus (dapat akibat zat iritan, infeksi
atau trauma)
Pelebaran pembuluh darah vestibulum (akibat iritans)
Adesi labia (mungin akibat iritasi atau rabaan)
Friabilitas (retak) daerah posterior fourchette (akibat iritasi, infeksi, atau karena
traksi labia mayor pada pemeriksaan)
Penebalan selaput dara (mungkin akibat estrogen, terlipatnya tepi selaput, beng-
kak karena infeksi atau trauma)
Kutil genital semu (mungkin jumbai kulit atau kutil bukan genital, mungkin
condyloma accuminata yang didapat bukan dari seksual)
Fisura ani (biasanya akibat konstipasi atau iritasi perianal)
Perdarahan lipatan anus (kibat relaksasi sfingter eksternal)
Pelebaran anus dengan adanya tinja (refleks normal)
Kongesti vena atau pooling vena (biasanya akibat posisi anak, juga ditemukan
pada konstipasi)
Perdarahan per vaginam (mungkin berasal dari sumber lain, seperti uretra, atau
mungkin akibat infeksi vagina, benda asing, atau trauma yang aksidental)
Bagian II: Penilaian keseluruhan kemungkinan ada tidaknya kekerasan
Tak ada indikasi Hasil pemeriksaan normal, tidak ada riwayat, tidak ada perubahan perilaku,
kekerasan tidak ada saksi

173
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Temuan tidak spesifik dengan penjelasan yang cukup, tanpa ada riwayat ke-
kerasan atau perubahan perilaku
Anak dipertimbangkan memiliki risiko kekerasan seksual, tetapi tak ada riwayat
dan hanya ditemukan perubahan perilaku yang tidak spesifik
Temuan cedera fisik yang sesuai dengan riwayat trauma aksidental yang jelas dan
dpaat dipercaya

Kemungkinan terjadi Temuan normal varian normal atau tidak spesifik, dikombinasi dengan perubah-
kekerasan an perilaku yang bermakna, terutama perilaku yang terseksualisasi, tetapi si anak
tak bisa memberi informasi riwayat terjadinya kekerasan
Lesi anogenital Herpes tipe 1, tanpa adanya riwayat kekerasan dan temuan
pemeriksaan lainnya normal
Condyloma accuminata, dengan temuan lainnya normal, tak ada penyakit
hubungan seksual lain, tak ada riwayat kekerasan dari anak, (bila ditemukan
pada anak berusia 3 tahun atau lebih, cenderung akibat aktivitas seksual, seh-
ingga perlu penelitian lebih lanjut )
Anak memberi informasi, tetapi tidak cukup detil bila dibandingkan dengan
usiaperkembangan anak, atau tidak konsisten, atau yang diperoleh dengan
menggunakan pertanyaan yang mengarah fisik tanpa penjelasan adanya ke-
kerasan
Sangat mungkin terja- Anak memberikan uraian yang detil, spontan, jelas dan konsisten tentang ke-
di kekerasan kerasan (penganiayaan), dengan atau tanpa temuan abnormal atau positif
Kultur Chlamydia (bukan rapid antigen test) dari daerah genital pada anak pre-
puber, atau dari serviks anak perempuan remaja dengan mengasumsikan bahwa
transmisi perinatal telah disingkirkan
Kultur herpes simpleks tipe 2 dari lesi genital atau anal positif
Infeksi Trichomonas, didiagnosis dengan sediaan basah atau kultur dari swab
vagina, apabila transmisi perinatal telah dapat disingkirkan
Pelebaran anus yang nyata (marked,immediate), tanpa terlihat/teraba adanya
tinja di daerah rektum bagian bawah, pada pemeriksaan dengan posisi knee-chest,
tanpa riwayat adanya encopresis, konstipasi kronik, gangguan neurologis atau
sedasi)
Belahan (notch atau cleft) selaput dara di daerah posterior, mencapai dekat dasar
(sering merupakan artefak pada posisi pemeriksaan tertentu, tetapi bila konsisten
pada beberapa posisi, maka mungkin akibat kekerasan tumpul atau penetrasi
sebelumnya)
Lecet akut, laserasi atau memar labia,j aringan sekitar selaput dara, atau perine-
um (mungkin akibat trauma aksidetal, keadaan dermatologis seperti lichen
sclerosus atau hemangioma)
Jejak gigitan atau hisapan di genitalia atau paha bagian dalam
Jaringan perut atau laserasi baru daerah posterior fourchette tanpa mengenai
selaput dara (dapat akibat trauma aksidental )
Dugaan kekerasan Temuan pada anak yang telah memiliki riwayat kekerasan, dan mungkin ada
kekerasan, tetapi tidak cukup data yang menunjukkan bahwa kekerasan adalah
satu satunya penyebab.
Riwayat sangat krusial dalam menentukan makna keseluruhannya
Bukti nyata kekerasan Temuan yang tidak dapat dijelaskan bukan karena trauma yang mengenai sela-
tumpul atau trauma put dara atau daerah perianal
penetrasi

174 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Bukti definitif adanya Robekan baru selaput dara
kekerasan/kontak Ekimosis (hematom) pada selaput dara
seksual Laserapi perianal yang dalam meliputi juga sphincter ani eksternal
Robekan lama selaput dara hingga ke dasar ( transeksi) sehingga tidak ada lagi
jaringan selaput dara antara dinding vagina dengan fossa atau dinding vestibu-
lum
Hilangnya jaringan selaaput dara yang luas di daerah posterior, hingga ke dasar,
yang dikonfirmasi pada posisi knee-chest
Bukti fisik yang jelas adanya kekerasan tumpul atau trauma penetrasi, tanpa
adanya riwayat kecelaakan
Ditemukannyaa sperma atau semen dalam vagina atau tubuh pada anak
Kehamilan
Positif adanya penyakit sifilis yang didapat pasca kelahiran ( bukan perinatal)
Kasus dengan bukti fotografi atau video sedang dianiaya
Infeksi HIV, dengan tidak adanya kemungkinan akibat transmisi perinatal atau
transmisi melalui produk darah atau jarum yang terkontaminasi

Aspek etika dan hukum7,8,15


Berbagai peraturan perundangan dan kebijakan perlindungan anak telah banyak
diterbitkan, antara lain Peraturan Pengganti Undang-Undang (PERPU) nomor 01 Tahun
2016 tentang Perubahan Kedua UU no 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
Strategi Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak (STRANAS PKTA) tahun 2016-2020,
dan Rencana Aksi Nasional Perlindungan Anak (RAN PA), serta Inpres no 5 tahun 2014
tentang Gerakan Nasional Anti Kekerasan Seksual pada Anak (GN AKSA). Namun
implementasi berbagai peraturan dan kebijakan tersebut masih belum maksimal.
Permasalahan pokok terkait implementasi perlindungan anak karena pemahaman
dan pengetahuan masyarakat tentang perlindungan anak yang masih rendah. Anak masih
dijadikan obyek untuk kepentingan orangtua, orang dewasa dengan diperlakukan secara
tidak adil dan merampas hak-hak mereka. Dampak yang terjadi anak menjadi depresi,
trauma, dan gangguan fisik dan psikis dalam jangka waktu lama.
Tenaga profesional seringkali menjadi pihak pertama yang menerima korban
kekerasan seksual. Demikian pula tenaga profesional pendidikan, pengasuh anak, konselor,
dan agamawan. Merekalah yang seharusnya mampu mendeteksi dini dan menangani atau
merujuk kasus sesuai prosedur dalam sistem perlindungan anak yang berlaku. Kasus-kasus
yang tercatat hanyalah merupakan ujung atas dari gunung es kasus yang sebenarnya ada
di dalam masyarakat (iceberg phenomenon). Pada banyak kasus kekerasan anak, masalah
utamanya bukan semata masalah medis, tetapi masalah hukum dan psikososial sangat
berperan. Oleh karena itu pendekatan mulltidisipliner harus diterapkan untuk dapat
menangani kasus secara komprehensif.
Dokter anak dituntut untuk mengetahui bidang kerja disiplin lain yang terkait
masalah Kekerasan terhadap Anak (KtA), seperti aspek kesehatan masyarakat dan

175
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
keluarga, aspek etik dan hukum, aspek psikososial, maupun aspek budaya. Pemahaman
ini diharapkan akan mempererat dan mengefektifkan kerjasama tim.

Ketentuan pidana kekerasan seksual terhadap anak 7,8,13,14


Hukum pidana mengancam siapa saja yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan
memaksa seseorang anak berhubungan seksual dengannya (pasal 285 KUHP) atau berbuat
cabul dengannya (pasal 289 KUHP). Pasal 81, 82, dan 88 Undang Undang no 35 tahun
2014 tentang Perlindungan Anak bahkan mengancam pelakunya dengan hukuman berat.
Pasal 287 jo pasal 291 dan 294 KUHP, pasal 290, 293, dan 295 KUHP mengatur
mengenai ancaman pidana apabila melakukan hubungan seksual atau perbuatan cabul
dengan anak.

Kewajiban moral dan kewajiban hukum tenaga kesehatan15,21


The World Medical Association (WMA) telah mengeluarkan Statement on Child Abuse
and Neglect sejak sidang ke 44 di Spanyol pada tahun 1992. Dalam pernyataan tersebut
disebutkan bahwa peran dokter adalah menemukan kasus kekerasan dan penelantaran anak
dan menolong anak tersebut beserta keluarganya sampai proses pemulihan. Untuk mencapai
peran tersebut, para dokter dan tenaga kesehatan harus memiliki ketrampilan khusus agar
dapat memiliki kemampuan yang dibutuhkan, serta membentuk tim yang multidisiplin guna
menangani KtA. Dalam menemukan kasus, tindakan dini yang dilakukan dapat meliputi:
(a) melaporkan kasus tersebut ke Komisi Perlindungan Anak, (b) merawat inap korban yang
membutuhkan perlindungan pada tahap evaluasi awal, dan (c) memberitahukan diagnosis
dan diagnosis banding anak kepada orangtua anak secara obyektif.
Evaluasi medis terhadap korban meliputi: (a) riwayat cedera, (b) pemeriksaan fisik,
(c) survei radiologis terhadap kecurigaan trauma, (d) pemeriksaan kelainan perdarahan,
(e) pemotretan berwarna, (f ) laporan tertulis resmi, (g) skrining perilaku, (h) skrining
tumbuh kembang pada bayi dan anak pra sekolah.
Penanganan medis kasus kekerasan seksual terhadap anak meliputi 3 hal yaitu: (a)
pengobatan trauma fisik dan psikologi, (b) pengumpulan dan pemrosesan bukti (evidence),
dan (c) penanganan dan/atau pencegahan kehamilan dan penyakit hubungan seksual.
Pasal 108 KUHAP memberikan hak kepada setiap orang untuk melaporkan adanya
tindak pidana (termasuk kekerasan terhadap anak) apabila ia mengetahui sebagai saksi,
dan memberikan kewajiban bagi pegawai negri yang mengetahui adanya tindak pidana
(termasuk kekerasan terhadap anak) pada waktu ia menjalankan tugasnya.
UU no 34 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak memberikan ancaman pidana bagi
setiap orang yang mengetahui dan dengan sengaja membiarkan anak dalam situasi darurat
(termasuk anak korban kekerasan) padahal anak tersebut memerlukan pertolongan dan
harus dibantu. Hal ini dapat diartikan mengancam mereka yang “membiarkan dengan

176 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


tidak melaporkannya kepada pihak yang seharusnya tahu seyogyanya dilapori” dan oleh
karenanya dapat dikenai ancaman hukuman. Adanya sanksi bagi mereka yang tidak
melapor dapat disamakan dengan mewajibkannya melapor, meskipun bukan wajib lapor
sebagaimana dimaksud di bidang hukum pidana.
Kewajiban ini diberlakukan bagi setiap orang, siapa saja yang mengetahui adanya anak
dalam situasi darurat. Keadaan darurat tersebut meliputi keadaan-keadaan : (a) Riwayat
kekerasan seksual dalam 72 jam terakhir, (b) Perdarahan akut, (c) Krisis psikologis, (d)
anak tidak memiliki “tempat” yang aman.7

Prinsip penatalaksanaan kasus


Prinsip yang harus diperhatikan adalah penatalaksaan kasus yang “segera, komprehensif,
dan holistik”. Yang lebih penting lagi adalah mengutamakan prinsip-prinsip “kepentingan
yang terbaik bagi anak” dan “penghargaan terhadap pendapat anak”.
Dalam hal anak adalah korban tindak pidana, maka tatalaksananya meliputi: (a)
upaya rehabilitasi baik di dalam lembaga maupun di luar lembaga, (b) upaya perlindungan
dari pemberitaan identitas melalui media massa dan menghindari labelisasi, (c) pemberian
jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental maupun sosial,
(d) pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan
perkara.7,15

Peran dokter anak dalam kerjasama multidisiplin penanganan


sexual abuse 7,15,18,19,20
Penatalaksanaan kasus anak korban kekerasan merupakan pengelolaan multi disiplin,
melibatkan kerja sama dari lembaga pelayanan kesehatan, lembaga perlindungan anak
lembaga bantuan hukum, aparat penegak hukum, pendidik, tenaga profesional kesehatan
mental, dan lembaga sosial masyarakat yang bergerak di perlindungan anak.
Tenaga kesehatan termasuk dokter anak dalam menangani anak dugaan korban
kekerasan seksual sedapat mungkin mencari bukti fisik yang dapat digunakan dalam upaya
pembuktian di pengadilan. Anamnesis yang mendalam, pemeriksaan fisik yang teliti,
pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya, serta uji psikologis dan
psikiatris yang diperlukan. Diperlukan koordinasi multidisiplin di tingkat lokal. Beberapa
hal yang harus diperhatikan dalam upaya koordinasi multidisiplin adalah : (a) komunikasi
terbuka, (b) kesepakatan kesamaan tujuan, (c) tanggungjawab masing-masing disiplin, (d)
adanya formalitas kebijakan, protokol dan prosedur.

Penutup
Sejatinya, pemenuhan hak dan perlindungan anak secara holistik hanya dapat diwujudkan
apabila terdapat koordinasi dan sinergi yang baik antar lembaga terkait, pemerintah,

177
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
serta antar masyarakat. Dokter anak sebagai garda terdepan dalam menghadapi kasus anak
korban kekerasan seksual seyogyanya memiliki ketrampilan dalam melakukan deteksi dini
kasus anak korban kekerasan seksual, melakukan tindakan pertolongan gawat darurat,
intervensi psikososial awal terhadap pasien maupun keluarganya, melakukan rujukan
medik spesialistik, melakukan rujukan psikososial, serta memiliki akses dengan lembaga-
lembaga multidisiplin yang menangani perlindungan anak.

Daftar pustaka
1. Greenbaum, J., Crawford-Jakubiak, JE, Committee on Child Abuse and Neglect.2015.
Child sex trafficking and commercial sexual exploitation: Health care needs of victims. Clin-
ical reports guidance for the clinician in rendering pediatric care. Pediatrics. 2015; 135(3):
566-574.
2. Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Bidang Data Informasi dan Pengaduan. 2017
3. Fortin K, Jenny C. Sexual abuse. Pediatrics in Review. 2012;33: 21-27
4. Stoltenborgh M, van Ijzendoorn MH, Euser EM, Bakermans-Kranenburg MJ. A global per-
spective on child sexual abuse:Meta analysis of prevalence around the world. Child Maltreat
2011;16:79-101.
5. Herrmann B, Banaschak S, Csorba R, Navratil F, Dettmeyer R. Physical examination in child
sexual abuse. Dtsch Arztebl Int. 2014; 111: 692–703
6. Finkelhor D, Ormrod R, Turner H, Hamby SL. The victimization of children and youth: a
comprehensive, national survey. Child Maltreat. 2005;10:5-25.
7. Azwar A. Buku pedoman deteksi dini, pelaporan dan rujukan kasus kekerasan daan pene-
lantaran anak bagi tenaga kesehatan. 2005. Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat. Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
8. Undang-Undang no 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
9. Konvensi Hak Anak setelah diratifikasi Keppres no 19 tahun 1990.
10. World Report on Violence and Health, WHO, 1999.
11. Consultation on Child Abuse Prevention, WHO, 1999.
12. Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap Anak 2016-2020. Kementrian Pember-
dayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. 2015
13. Kementerian Kesehatan RI. Kewajiban pemberi layanan kesehatan untuk memberikan infor-
masi atas adanya dugaan kekerasan terhadap anak. Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 68 tahun 2013.
14. Berenson AB, Chacko MR, Wiemann CM, Mishaw CO, Friedrich WN, Grady JJ. A
case-control study of anatomic changes resulting from sexual abuse. Am J Obstr Gynecol.
2000;182(4):820-831.
15. Kellogg ND, Menard SW, santos A. Genital anatomy in pregnant adolescent:”normal” does
not mean “nothing happened”. Pediatrics. 2004;113:e67-69.
16. Chiesa A, Goldson E. Child sexual abuse. Pediatrics. 2017;38:3.105-115.
17. Adam J, Kellogg ND, Farst KJ, Harper NS, Palusci VJ, Frasier LD, Levitt CJ, Shapiro RA,
Moles RL, Starling SP. Updated guidelines for the medical assessment and care of children
who may have been sexually abused.J Pediatr Adolesc Gynecol. 2016;29: 81-87

178 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


18. Soetjiningsih, Ranuh IG.N G. Tumbuh kembang anak. Jakarta. Penerbit Buku kedokteran
EGC.
19. Jenny C, Crawford-Jakubiak, JE, and Committee on Child Abuse and Neglect. Clinical
Report:The evaluation of children in the primary care setting when sexual abuse is sus-
pected. Clinical reports guidance for the clinician in rendering pediatric care. Pediatrics.
2013;132:558-567
20. Asnes AG, Leventhal JM. Managing child abuse: General principles. Pediatrics. 2010: 31:
48-55
21. Gary Smith, Mary Metcalfe, E.J. Cormode, Norah Holder. Approach to evaluation of sexual
assault in children Experience of a secondary-level regional pediatric sexual assault clinic. Can
Fam Physician 2005;51:1347-1351

179
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Mental Health Problems in Adolescent with
Chronic Diseases: A Preliminary Report from
Type A Hospitals
Bernie Endyarni Medise
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia / RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Abstract
Increased life expectancy due to improvements in nutrition, hygiene, control of infectious diseases and
treatment are producing a transition to an increase of non-communicable diseases including chronic
diseases and disability in children and adolescents. Adolescents with chronic health conditions face
substantially higher risks of mental and psychological illness. Furthermore, they face higher risk of stress
and depression than those with no chronic conditions. They also face behavior, peer-group and compliance
to treatment problems. However, adolescents with chronic illness have the same developmental needs as
healthy teens. Unfortunately, there is still lack of data on adolescent with chronic diseases in Indonesia.
A cross sectional study was conducted by Adolescent Task Force, Indonesian Pediatric Society in 2016,
in three type A hospitals in Jakarta. Adolescents were asked to fill Strength and Difficulty Questionnaires
(SDQ). There were 192 adolescents took part in the study. There were about 6.3% and 2.1% of them
showed borderline and abnormal SDQ scores, respectively. This result shows that mental health screening
is a need in adolescent health services settings. Various mental health screening tools are available for
pediatricians and other health personnels to detect any mental health problems, especially in adolescents
with chronic diseases. Pediatricians should monitor the potential for mental health problem, non-
adherence, and consider the ways they can help to improve care for adolescents with chronic conditions.

I
nsidensi maupun prevalensi penyakit kronis saat ini mulai meningkat baik di negara
berkembang maupun negara maju. Penyakit kronis juga menjadi penting karena
menjadi salah satu penyumbang besar angka mortalitas. Perbaikan dalam penanganan
penyakit kronis baik di bidang nutrisi, kontrol infeksi dan pengobatan, menyebabkan
peningkatan usia harapan hidup, termasuk pada remaja dengan penyakit kronis. Hal ini
menimbulkan kondisi baru di bidang kesehatan yaitu meningkatnya non-communicable
diseases (NCD) serta masalah disabilitas, yang mulai terlihat meningkat terutama di negara
maju.1
Periode remaja sering dianggap sebagai periode paling sehat. Remaja merupakan
populasi yang jarang mendatangi layanan kesehatan. Namun demikian, sebenarnya remaja
menghadapi tidak saja masalah kesehatan fisik, tetapi juga masalah kesehatan mental,
emosi, dan perilaku yang kerap dipengaruhi oleh lingkungan dan gaya hidup.2-5 Data

180 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


epidemiologi menunjukkan bahwa di Amerika Serikat, 1 dari 4 anak usia di bawah 17
tahun menderita penyakit kronis.6
Pada remaja dengan penyakit kronis, masalah bertambah karena fase remaja merupakan
fase terjadinya pacu tumbuh (growth spurt), yang diikuti dengan perubahan pada mental,
emosi, perilaku dan kognitif. Remaja juga sering bermasalah dengan perilaku berisiko.
Penyakit kronis juga memberikan dampak pada perubahan perkembangan mental,
emosi serta kognitif remaja. 1,6Kasus remaja dengan penyakit kronis sering ditemukan di
berbagai tingkat layanan kesehatan terutama di rumah sakit yang menyediakan layanan
subspesialisasi.

Dampak penyakit kronis terhadap pertumbuhan dan pubertas


pada remaja
Penyakit kronis dapat menyebabkan perlambatan pertumbuhan pada remaja, padahal
pada masa remajalah terjadi growth spurt sehingga remaja dengan penyakit kronis juga
akan cenderung mengalami gangguan pertumbuhan. Selain itu, penyakit kronis juga
menyebabkan gangguan pubertas dan sistem biologis lainnya. Hal ini disebabkan berbagai
hal, seperti kurangnya kalori dan zat gizi (baik yang disebabkan malabsorpsi seperti pada
penyakit gastrointestinal, kompetisi pemakaian kalori dan zat gizi, peningkatan kebutuhan
kalori dan lainnya), gangguan pada regulasi hormon yang disebabkan proses inflamasi,
stress, produksi sitokin, serta efek samping pengobatan. Keterlambatan pertumbuhan dan
pubertas ini dapat bersifat sementara atau permanen.1,3
Suatu studi kohort di Inggris memperlihatkan dari 12.537 orang dengan penyakit
fisik kronis tidak menyebabkan perbedaan bermakna pada tinggi badan di usia dewasa.
Namun anak dengan penyakit psikososial dan mental (seperti enuresis dan masalah
kesehatan mental) memiliki tinggi badan 1 cm lebih rendah saat dewasa dibandingkan
kontrol.1

Dampak penyakit kronis terhadap perkembangan mental dan


psikososial
Kesehatan remaja tidak saja ditandai dengan kondisi sehat secara fisik, namun juga
melibatkan kesehatan secara mental, yaitu psikologi dan sosial. Remaja dengan penyakit
kronis seringkali juga mengalami masalah psikososial. Masalah psikososial pada remaja
dengan penyakit kronis cukup beragam dan dapat menimbulkan masalah yang lebih besar
bagi remaja. Berbagai masalah psikososial pada remaja dengan penyakit kronis dapat
dilihat di tabel 1.7,8

181
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Tabel 1. Masalah psikososial pada anak dan remaja dengan penyakit kronis 7
Penyesuaian psikologis
Masalah perilaku dan emosi
Harga diri rendah
Gangguan psikiatri
Gangguan tidur yang menyebabkan gangguan performa dan perilaku
Penyesuaian sosial
Masalah penyesuaian sosial
Dampak penyakit terhadap pertumbuhan dan perkembangan
Masalah dengan teman sebaya
Partisipasi dalam kegiatan teman sebaya
Penyesuaian sekolah dan performa
Dampak penyakit atau pengobatan terhadap fungsi kognitif
Fatigue
Dampak pengobatan terhadap sistem saraf pusat
Ketidakhadiran di sekolah
Kepatuhan terhadap pengobatan

Dampak terhadap perubahan psikologi dan kepatuhan


Sebagian remaja dapat mematuhi pengobatannya dengan baik, namun sebagian lagi tidak
mematuhinya. Kepatuhan terhadap pengobatan memerlukan kemampuan kognitif dan
pengaturan diri yang baik serta pengertian akan perlunya pengobatan. Anak dan remaja
sulit untuk mematuhi pengobatan karena kemampuan pemikiran abstrak masih belum

Tabel 2. Faktor-faktor yang memengaruhi perkembangan dan perilaku anak dan remaja dengan penyakit
kronis.7
Penyakit atau kondisi Berat ringannya penyakit
Lama sakit
Usia saat sakit
Aktifitas
Harapan hidup
Stabil vs progresif
Kepastian (dapat diprediksi vs tidak)
Dampak terhadap mobilitas
Dampak pada kognisi dan komunikasi
Nyeri
Anak Jenis kelamin
Tingkat kecerdasan dan kemampuan berkomunikasi
Temperamen
Kemampuan memecahkan masalah
Keluarga Fungsi keluarga
Kesehatan mental orang tua
Struktur keluarga (jumlah dewasa dan anak)
Status sosio-ekonomi
Sosial Sikap budaya
Akses ke layanan kesehatan
Sumber daya di lingkungan
Geografi
Sistem sekolah

182 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


berkembang dengan baik, sehingga kemampuan untuk merencanakan dan mempersiapkan
pengobatan seringkali belum baik. Peran keluarga dan tenaga kesehatan sangat penting
dalam membantu remaja menerima informasi mengenai penyakitnya dan merencanakan
pengobatannya.1,7,8

Dampak terhadap kesehatan mental: Stress dan depresi


Penyakit kronis kerap menimbulkan berbagai masalah di kesehatan mental dan tidak
jarang pula menyebabkan depresi pada remaja. Adanya pemahaman spiritual maupun
kemampuan remaja mengatasi masalah internalisasi maupun eksternalisasi, dapat
membantu remaja dalam menghadapi berbagai masalah yang berkaitan dengan penyakit
kronis. Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara
pemahaman spiritual yang kurang dan masalah internalisasi (REM r = .34), rendahnya
kualitas hidup (REM r = −.34), dan kondisi kesehatan yang lebih buruk (REM r = −.08).
Di sisi lain, penelitian juga memperlihatkan adanya hubungan antara pemahaman spiritual
yang positif dengan rendahnya masalah internalisasi (r = −.19) dan kondisi kesehatan yang
lebih baik (r = .19).8
Penelitian lain menunjukkan bahwa penyakit kronis merupakan salah satu faktor
risiko munculnya depresi pada remaja yang dapat menyebabkan adanya keinginan bunuh
diri. Kondisi ini dapat berlanjut ke dewasa muda, bila masalah mendasar penyebab depresi
tidak ditangani dengan baik. Untuk mencegah terjadinya keinginan bunuh diri pada
remaja dengan penyakit kronis, remaja perlu secara berkala menjalani skrining ke arah
depresi atau faktor risiko lain yang dalam memicu ke arah keinginan bunuh diri.9

Tabel 3. Berbagai diagnosis pada 121 remaja dengan usaha bunuh diri.9
Gangguan Laki-laki (%) Perempuan (%)
n=31 n=90
Depresi/dysthymia 71 64,5
Disruptive behavior disorder 32,3 12,2
Narkoba 29 13,3
Ketergantungan alkohol 19,4 14,4
Cemas 9,7 18,9
Gangguan adaptasi 6,5 10
Gangguan makan 0 3,3
Gangguan psikiatri lain 87,1 77,8

Dampak terhadap proses sosialisasi


Remaja umumnya memiliki masalah dengan teman sebaya maupun self-image seperti
masalah cara berpakaian, penampilan, perilaku dan sebagainya, yang dapat menjadi
masalah yang lebih besar pada remaja dengan penyakit kronis. Hal ini dapat disebabkan
oleh berbagai hal, seperti efek samping dari pengobatan, timbulnya disabilitas baik yang
tidak terlihat kasat mata maupun yang terlihat (cacat, defek gangguan neurologis), dan
lainnya. 1,7

183
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Masalah pengobatan juga dapat menimbulkan masalah bagi kehidupan sosial remaja
dengan penyakit kronis.10,11 Sebagai contoh, remaja dengan diabetes melitus tipe-1
yang harus rutin melakukan injeksi insulin, seringkali merasa tidak nyaman jika teman
sebayanya mengetahui bahwa ia harus menyuntik dirinya saat makan siang di sekolah.
Lain pula dengan remaja penyandang asma, yang harus selalu membawa inhaler saat
berpergian. Keadaan ini sering merupakan tantangan tersendiri yang harus dihadapi
remaja dalam kehidupan sosialnya.7,10

Masalah perilaku
Kontrol terhadap kepatuhan terhadap pengobatan dan penyakit kronis pada remaja sangat
penting mengingat remaja erat kaitannya dengan perilaku berisiko, impulsif, penolakan
terhadap nilai-nilai yang diterapkan orang tuanya, dan keinginan untuk menilai batas
kemampuannya dalam menyelesaikan masalah. Namun sayangnya keadaan ini kerap tidak
diiringi kemampuan remaja yang baik dalam berpikir dan mengatasi masalah, sehingga
sering menimbulkan masalah perilaku baru pada remaja dengan penyakit kronis. Mereka
tidak saja berpotensi mengabaikan pengobatan, namun juga dapat menjadi pengguna
obat terlarang, alkohol dan lainnya. Berbagai perilaku pada remaja dapat berdampak pada
keberhasilan pengobatan penyakit kronis. 9-11

Tabel 4. Dampak perubahan pada masa remaja terhadap penyakit kronis11


Perubahan perkembangan masa remaja memengaruhi penyakit kronis dan tata laksananya.
Merokok dapat memperburuk luaran remaja dengan asma, cystic fibrosis dan DM
Alkohol dan gaya hidup (pesta dan lainnya) dapat memengaruhi remaja dengan DM
Kelelahan karena gaya hidup (pesta hingga tengah malam) dapat berdampak pada epilepsi
Beberapa penyakit menjadi lebih tidak stabil pada masa remaja yang disebabkan perubahan hormon,
turunnya sensitifitas insulin dan lainnya

Gambaran kesehatan mental remaja di tiga RS tipe A di Jakarta


Satuan Tugas Remaja (Satgas Remaja) Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) pada tahun
2016 melakukan penelitian di tiga rumah sakit tipe A di Jakarta. Salah satu faktor yang
dinilai adalah gambaran kesehatan mental pada remaja yang berobat di ketiga rumah sakit
tersebut. Penelitian dilakukan dengan menggunakan kuesioner Strength and Difficulty
Questionnaire (SDQ) atau Kuesioner Kekuatan dan Kesulitan. Kuesioner ini menilai
masalah emosional, masalah conduct, hiperaktifitas, masalah dengan teman sebaya, dan
juga menilai kekuatan yang dilihat dari nilai prososial.5 Dari ketiga rumah sakit terkumpul
192 remaja berusia 10 hingga 18 tahun dengan berbagai diagnosis yang bersedia mengisi
kuesioner SDQ. Hasil pengisian SDQ terlampir pada tabel 5.
Dari hasil penelitian tersebut diketahui sebanyak 6,3% pasien memiliki nilai gangguan
psikososial, mental dan perilaku borderline, dan 2,1% memiliki nilai abnormal. Hal ini
memperlihatkan pentingnya pemeriksaan masalah mental, psikososial dan perilaku pada
remaja, dan bukan hanya masalah medis semata, saat remaja datang untuk memeriksakan

184 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


dirinya ke dokter. Dokter anak sebaiknya dapat meluangkan waktu untuk melakukan
skrining atau deteksi dini masalah mental dengan menggunakan berbagai alat skrining
yang telah tersedia.

Tabel 5. Gambaran masalah mental, psikososial dan perilaku remaja di tiga rumah sakit tipe A di Jakarta
berdasar penilaian menggunakan SDQ
Item penilaian Normal (%) Borderline (%) Abnormal (%)
Masalah emosional 91,7 4,2 4,2
Masalah conduct 96,9 3,1 0
Hiperaktifitas 99 1 0
Masalah dengan teman sebaya 33,9 56,8 9,4
Nilai total SDQ 91,7 6,3 2,1

Berbagai alat skrining kesehatan mental remaja


Permasalahan kesehatan remaja sering berhubungan dengan perilaku berisiko remaja,
sehingga dalam menangani masalah kesehatan remaja perlu pendekatan melalui masalah
mental, emosional, perilaku dan psikososial, agar masalah dapat segera dicegah dan ditata
laksana dengan baik. Terdapat beragam alat skrining kesehatan mental, emosional dan
psikososial remaja. Ada perangkat yang cukup singkat, ada pula yang terdiri dari ratusan
pertanyaan. Intinya, alat skrining dibuat untuk membantu tenaga kesehatan agar dapat
menilai kesehatan remaja secara lebih komprehensif. Beberapa kuesioner yang telah
direkomendasikan oleh American Academy of Pediatrics (AAP) untuk menilai kesehatan
remaja yang digunakan untuk alat deteksi dini dan pemantau lanjutan antara lain5: 1) Car,
Relax, Alone, Forget, Friends, Trouble (CRAFFT), merupakan suatu alat skrining perilaku
yang sederhana dan praktis untuk mendeteksi remaja dengan risiko tinggi penyalahgunaan
alkohol dan obat-obatan,12 2) Child Depression Inventory (CDI),13 3) Conners Rating Scales-
Revised merupakan alat skrining dan penilaian untuk mengidentifikasi gejala gangguan
pemusatan perhatian dan hiperaktifitas (GPPH),14 4) Home, Education and employment,
Eating, Activities, Drugs, Sexuality, Suicide/depression, Safety (HEEADSSS),15,16 5) Child
Behavioral Checklist (CBCL), merupakan kuesioner untuk mendeteksi adanya masalah
perilaku dan emosional, 6) Patient Health Questionnaire-9 (PHQ-9), 7) Pediatric symptom
checklist (PSC) merupakan alat skrining psikososial yang cukup praktis dan sering
digunakan,17,18 dan 8) The Strengths and Difficulties Questionnaire (SDQ). Kuesioner SDQ
berisi 25 pertanyaan singkat untuk skrining perilaku psikososial anak berusia 3-17 tahun.
Skrining ini terdiri dari beberapa versi untuk memenuhi berbagai keperluan penelitian,
klinisi, dan pengajar, dan telah diterjemahkan ke dalam lebih 40 bahasa, termasuk bahasa
Indonesia.19

Penutup
Masalah kesehatan remaja, khususnya remaja dengan penyakit kronis, bukan hanya
masalah kesehatan fisik namun juga masalah mental, psikososial, emosional, kognitif
dan perilaku. Sebanyak 6,3% dan 2,1% remaja dengan penyakit kronis memperlihatkan

185
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
nilai SDQ yang masuk dalam klasifikasi borderline dan abnormal. Kesehatan mental
dan psikososial remaja dengan penyakit kronis perlu dipantau secara berkala agar dapat
dilakukan intervensi dini sehingga mencegah terjadinya masalah lebih lanjut, seperti
adanya keinginan bunuh diri. Penggunaan berbagai alat skrining masalah kesehatan
mental remaja dapat membantu dokter anak untuk mendeteksi dan menangani masalah
mental remaja.

Daftar pustaka
1. Michaud PA, Suris JC, Viner R. The Adolescent with a Chronic Condition: Epidemiology,
developmental issues and health care provision. WHO. 2007.
2. Dhamayanti M, Endyarni B, Hartanto F, Lestari H. Bunga rampai kesehatan remaja. Jakar-
ta:Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2010.
3. Marcell AV. Adolescence. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE Jenson HB Stanton BF,
penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: Elsevier; 2013. h. 60-5.
4. Gleason MM, Prachi Shah, Boris NW. Assessment and interviewing. Dalam: Nelson text-
book of pediatrics. Edisi ke 18. Kliegman RM, Jenson HB, Behrman RE, Stanton BF. Phil-
adelphia:Saunders Elsevier; 2007. h.101-105.
5. Medise BE. Skrining mental, emosional, perilaku dan psikososial pada remaja. Dalam:
Kurniati N, Kaban RK, Chozie NA, Prawitasari T, Jasin MR, penyunting. Transformation
from fetus to excellent adolescents. Jakarta, Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI.2017,
h.129-136.
6. Compas BE, Jaser SS, Dunn MJ, Rodriguez RM. Coping with Chronic Illness in Childhood
and Adolescence. Annu Rev Clin Psychol . 2012; 8: 455–480.
7. Perrin JM, Gnanasekaran S, Delahaye J. Psychological Aspects of Chronic Health Condi-
tions. Peds in Rev. 2012;33:99-112.
8. Reynolds N, Mrug S, Wolfe K, Schwebel D, Wallander J. Spiritual coping, psychosocial
adjustment, and physical health in youth with chronic illness: a meta-analytic review. Health
Psychol Rev. 2016 Jun;10(2):226-43.
9. Greydanus D, Patel D, Pratt H. Suicide risk in adolescents with chronic illness: implications
for primary care and specialty pediatric practice: a review. Developmental Medicine & Child
Neurology 2010;52: 1083–1087.
10. Huff MB, McClanahan KK, Omar HA. Chronic illness and mental issues.2010. Pediat-
ric Faculty Publication. 109. Diunduh dari: http://uknowledge.uky.edu/pediatrics_facpub.
Diakses tanggal: 30 Mei 2017.
11. Yeo M, Sawyer S. ABC adolescence: Chronic illness and disability. BMJ. 2005;330:721-724.
12. Knight, J.R., Sherritt, L., Shrier, L.A., Harris, S.K., Chang, G. Validity of the CRAFFT sub-
stance abuse screening test among adolescent clinic patients. Arch of Pediatr Adolesc Med.
2002;156:607-14.
13. Kovacs M. Children’s Depression Inventory Profile Report. Diunduh dari: http://www.psy-
chassessments.com.au/products/22/prod22_report1.pdf
14. Conners CK. Conners’ Rating Scale-Revised. Interpretive report. Diunduh dari: http://www.
psychassessments.com.au/products/33/prod33_report1.pdf
15. Goldenring JM, Rosen DS. Getting into an adolescent head: an essential update. Diunduh
dari:http://www2.aap.org/pubserv/PSVpreview/pages/Files/HEADSS.pdf

186 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


16. Klein DA, Goldenring JM, Adelman WP. HEEADSSS 3.0: The psychosocial interview for
adolescents updated for a new century fueled by media. Diunduh dari; http://contempo-
rarypediatrics.modernmedicine.com/contemporary-pediatrics/content/tags/adolescent-med-
icine/heeadsss-30-psychosocial-interview-adolesce?page=full.
17. Harahap DF, Sjarif DR, Soedjatmiko, Widodo DP, Tedjasaputra MS. Identification of emo-
tional and behavior problems in obese children using Child Behavior Checklist (CBCL) and
17-items Pediatric Symptom Checklist (PSC-17). Paediatr Indones. 2010;50:42-9.
18. Jellinek MS, Murphy JM, Little M, Pagano ME, Comer DM, Kelleher KJ. Use of Pediatric
Symptoms Checklist to Screen for Psychosocial problems in pediatric primary care. Arch
Pediatr Adolesc Med 1999:153;254-60.
19. Wiguna T, Manengkei PSK, Pamela C, Rheza AM, Hapsari WA. Masalah Emosi dan Per-
ilaku pada Anak dan Remaja di Poliklinik Jiwa Anak dan Remaja RSUPN dr. Ciptoman-
gunkusumo (RSCM), Jakarta. Sari Pediatri 2010;12:270-7.

187
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Dealing with Psychological Problem in
Lupus Patient
Budi Setiabudiawan*, Indra Sandinirwan, Gartika Sapartini, Reni Ghrahani
* Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran/RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung

Abstract
Systemic lupus erythematosus (SLE) is a chronic, multisystem, autoimmune disease characterized by the
presence of antinuclear antibodies and other autoantibodies, as well as a clinical course that is characterized
by flares and remissions, with extensive clinical manifestations in several organs. Neuropsychiatric
involvement occurs in two thirds of SLE pediatric patients and is the second leading cause of both morbidity
and mortality in patients. The most common manifestations of neuropsychiatric disorders are headache.
Other abnormalities that may occur in patients may include decreased concentration, psychosis, seizures,
cognitive dysfunction, central nervous system vasculitis, or cerebrovascular events. Several antineuronal
antibodies have been implicated in the pathogenesis of Neuropsychiatric Systemic Lupus Erythematosus
(NPSLE). These pathogenic autoantibodies may promote vascular occlusion and also lead to interruption
of the blood-brain barrier. Anti-NR2-glutamate receptor antibodies, anti-N-methyl-D-aspartate receptor
antibodies, and anti-ribosomal P antibodies have been identified. Psychiatric manifestations are also
common among patients. Psychosis, mood disorders, cognitive dysfunction, acute confusional state, and
anxiety disorders are included in the 1999 ACR classification system of NPSLE. However, other causes
of mood disorders must also be considered such as long term corticosteroid treatment. Children with SLE
are at risk of developing psychological problems due to various factors, including repeated hospitalization,
frequent physician visits, periodic laboratory examinations, limited daily activities, and medication side
effects that affect the patient’s physical appearance.

L
upus Eritematosus Sistemik (LES) adalah suatu penyakit autoimun yang terjadi
karena produksi auto-antibodi terhadap komponen sel tubuh sendiri, dengan
manifestasi klinis yang luas pada beberapa organ tubuh, ditandai oleh inflamasi
pada pembuluh darah dan jaringan ikat, bersifat kronik dan episodik, sehingga pasien
mengalami eksaserbasi atau remisi.1
Lupus Eritematosus Sistemik pada anak memiliki manifestasi yang kompleks dan
melibatkan berbagai organ.2,3 Keterlibatan neuropsikiatrik terjadi pada dua pertiga pasien
LES anak dan umumnya muncul pada tahun pertama setelah terdiagnosis. Keterlibatan
neuropsikiatrik merupakan penyebab utama kedua morbiditas dan mortalitas pada pasien.
Manifestasi kelainan neuropsikiatrik yang tersering adalah nyeri kepala. Kelainan lain
yang dapat muncul pada pasien dapat berupa penurunan konsentrasi, psikosis, kejang,
mielitis, vaskulitis sistem saraf pusat, atau stroke.1

188 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Dalam menangani anak dengan LES, selain memantau kondisi fisik juga perlu
diperhatikan kondisi psikologis pada pasien. Anak dengan LES memiliki risiko mengalami
masalah psikologis karena berbagai faktor, termasuk diantaranya perawatan berulang di
rumah sakit, kunjungan ke dokter yang sering, pemeriksaan laboratorium berkala, dan
terbatasnya aktivitas keseharian mereka, yang semuanya memengaruhi keadaan psikologis
pasien.4
Kerusakan yang diakibatkan oleh LES terhadap kesehatan penderita secara fisik
bersifat seumur hidup dan kebanyakan pasien LES membutuhkan terapi imunosupresan
jangka panjang.5 Meskipun angka kelangsungan hidup pasien LES sudah mengalami
perbaikan dalam dekade terakhir, akan tetapi keterlibatan neuropsikiatrik ini masih
menjadi suatu permasalahan. Pengobatan yang diberikan juga memiliki efek samping
dan memengaruhi penampilan fisik pasien.5 Dalam memberikan penanganan yang
komprehensif terhadap pasien, sangat diperlukan perhatian khusus terhadap keterlibatan
neuropsikiatrik, penanganan masalah psikologis, serta efek samping akibat pengobatan
pada pasien LES anak.6

Epidemiologi
Sekitar 15–20% kasus LES terdiagnosis saat dua dekade pertama kehidupan.1,7 Kasus LES
anak umumnya terjadi pada perempuan yang telah melalui masa pubertas, dengan usia
rata-rata awitan 12 tahun. Sebelum pubertas, rasio laki-laki:perempuan adalah 1:3, akan
tetapi setelah usia pubertas meningkat menjadi 1:9. Perbedaan etnis juga memengaruhi
insidensi penyakit ini, angka kejadian LES sebelum usia 19 tahun adalah 6–18 kasus
per 100.000 pada populasi perempuan kulit putih namun lebih tinggi pada etnis Afrika
Amerika yang mencapai 20–30 kasus per 100.000. Angka kejadian LES juga lebih tinggi
pada etnis Hispanik dan Asia.1
Perkiraan prevalensi neuropsikiatrik lupus eritematosus sistemik (NPLES) pada anak
berkisar antara 22–95%.7-11 Penelitian retrospektif NPLES pada 185 anak-anak di Cina
menunjukkan bahwa 11% pasien memiliki manifestasi klinis NPLES pada saat diagnosis
dan angka ini meningkat menjadi 16% dalam kurun waktu 1 tahun.Angka mortalitas
dalam penelitian tersebut adalah sebesar 45% pada anak dengan NPLES dan 17,4% pada
mereka yang tidak memiliki NPLES.8 Penelitian prospektif pada 256 pasien LES anak di
Toronto selama 4 tahun mengonfirmasi morbiditas dan kerusakan organ kumulatif yang
terkait NPLES dengan angka mortalitas sebesar 2,3%.11
Penelitian yang dilakukan di Bandung menunjukkan bahwa prevalensi neuropsikiatrik
lupus pada anak dengan lupus eritematosus sitemik di RS Hasan Sadikin yaitu sebesar
11,7%. Pada penelitian tersebut didapatkan kenaikan titer anti-dsDNA pada semua
pasien.12

189
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Batasan
Neuropsikiatrik Lupus Eritematosus Sistemik (NPLES) merupakan suatu kelainan
padasistem saraf pusat, perifer, dan/atau saraf otonom, serta sindrom psikiatrik yang
ditemukan pada pasien LES setelah penyebab-penyebab lain disingkirkan.8 Patogenesis
NPLES cukup kompleks, terkait dengan vaskulitis, trombosis, dan adanya autoantibodi.13

Patogenesis dan patofisiologi LES


Etiologi NPLES adalah multifaktorial serta melibatkan autoantibodi, mikroangiopati,
produksi sitokin proinflamasi intratekal dan aterosklerosis dini.14 Studi histopatologis
postmortem mengungkapkan berbagai kelainan otak yang disebabkan karena mikroinfark
multifokal, atrofi korteks, infark luas, perdarahan, dan demielinasi iskemik pada individu
dengan LES.15
Mikrovaskulopati yang sebelumnya dikaitkan dengan deposisi kompleks imun saat
ini diduga timbul karena aktivasi komplemen, dan merupakan temuan mikroskopik
yang paling umum pada LES.16 Konsisten dengan perubahan pembuluh darah kecil ini,
studi spektroskopi single-photon emission computed tomography (SPECT) dan magnetic
resonance (MR) menunjukkan bahwa atrofi serebral dan disfungsi kognitif pada pasien
LES berhubungan dengan iskemia serebral yang difus dan kronis. Akan tetapi, gambaran
pencitraan tersebut tidak spesifik karena pasien tanpa manifestasi NPLES yang jelas
juga menunjukkan perubahan ini dan gambaran otak dapat saja normal pada pasien
dengan manifestasi NPLES. Informasi pencitraan otak tersebut menunjukkan bahwa
terjadinya perubahan neurofisiologi otak tidak selalu disertai dengan perubahan secara
neuroanatomi.14,15
Integritas sawar darah-otak sangat penting dalam neuropatologi LES.17 Proses yang
menyebabkan disfungsi otak pada LES mungkin melibatkan interaksi abnormal sel darah
putih endotel yang memungkinkan protein atau sel masuk ke sistem saraf pusat (SSP).
Sel endotel vaskuler dapat distimulasi oleh sitokin proinflamasi atau autoantibodi yang
mengatur ekspresi protein adhesi di permukaannya yang memfasilitasi masuknya limfosit
ke dalam SSP.18 Kadar intercellular adhesion molecule 1 (ICAM-1) serum meningkat sesuai
dengan aktivitas penyakit sistemik pada pasien LES dan kembali ke kadar normal saat
remisi.19 Kerusakan sawar darah-otak juga merupakan faktor risiko gangguan psikiatrik
akibat kortikosteroid pada pasien LES.20
Beberapa antibodi antineuronal diketahui terlibat dalam patogenesis NPLES.
Autoantibodi patogenik ini dapat meningkatkan oklusi vaskular dan juga menyebabkan
gangguan pada sawar darah otak. Antibodi reseptor glutamat anti-NR2, antibodi reseptor
anti-N-metil-D-aspartat, dan antibodi P anti-ribosomal telah diidentifikasi pada serum
dan/atau liquor serebrospinalis pasien dengan NPLES.21-23 Skema patogenesis dapat
dilihat pada Gambar 1.

190 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


 

Gambar 1. Skema patogenesis NPLES


Sumber: Kasama 22

Salah satu autoantibodi yang paling sering diteliti adalah antiphospholipid antibodies
(aPL) yang merupakan suatu autoantibodi heterogen yang terkait dengan trombosis dan
berbagai manifestasi neurologis pada pasien dengan atau tanpa LES.5 Peningkatan aPL
berkaitan dengan disfungsi kognitif pada pasien LES. Defisit memori verbal, penurunan
kemampuan psikomotor, dan penurunan kemampuan kognitif secara signifikan berkaitan
dengan peningkatan kadar aPL pada pasien LES.5
Beberapa penelitian longitudinal mengevaluasi hubungan antara kadar aPL yang
didapat secara serial dan disfungsi kognitif pada pasien LES.24-26 Semua penelitian
menunjukkan bahwa disfungsi kognitif secara signifikan terkait dengan aPL yang positif.
Menon dkk. melaporkan bahwa pasien LES dengan kadar IgG anticardiolipin (aCL)
yang terus meningkat selama periode 2–3 tahun secara signifikan memiliki kapasitas
neuropsikologis lebih buruk dibanding pasien LES dengan kadar IgG aCL yang kadangkala
meningkat atau tidak pernah meningkat. Penurunan kapasitas neuropsikologis ini tidak
berhubungan dengan kadar antibodi anti-DNA maupun kadar C3.26 Hanly dkk. mengikuti
51 pasien LES wanita selama periode lima tahun dan menemukan bahwa peningkatan IgG
aCL yang persisten berhubungan dengan penurunan kemampuan psikomotor, sedangkan
peningkatan IgA aCL berkorelasi dengan penurunan fungsi eksekutif dan penalaran.
Mereka juga tidak menemukan hubungan antara defisit kognitif dengan antibodi anti-
DNA.25
Antibodi reseptor anti-glutamat juga berperan dalam disfungsi kognitif dan kelainan
psikiatrik pada pasien LES. Subset antibodi anti-DNA lupus bereaksi silang dengan
reseptor glutamat NR2 pada pasien dengan LES. Reseptor NR2 dikenali oleh antibodi
anti-DNA, dan antibodi ini selanjutnya akan memediasi apoptosis neuron.27

191
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Antibodi anti limfosit (AAL) akan berikatan dengan berbagai macam antigen
target. Antibodi ini diidentifikasi in vitro karena kemampuannya melisiskan limfosit
dan memiliki aktivitas terhadap permukaan limfosit atau komponen membran plasma.28
Beberapa AAL terbatas berikatan dengan limfosit, namun ada juga yang berikatan dengan
selain limfosit yaitu dengan sel neuron. Antibodi yang berikatan dengan sel neuron adalah
antibodi anti-ribosomal P protein (anti-P), merupakan bagian dari antibodi anti limfosit.
Antibodi anti-acidic ribosomal phosphoprotein/anti-ribosom (anti-P) ditemukan pada 13-
20% pasien LES.29
Antibodi anti limfosit yang bereaksi dengan sel neuron dapat bersifat patogenik pada
NPLES. Antibodi anti-ribosomal P protein selain berikatan dengan antigen di permukaan
limfosit T dan menginduksi apoptosis limfosit T, juga memiliki aktivitas antibodi terhadap
sel neuron.28,29 Limfosit pasien NPLES lebih rentan mati dengan cara neglect apoptosis
dibandingkan pasien bukan NPLES.30,31 Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sapartini
menunjukkan bahwa limfopenia berhubungan secara bermakna dengan NPLES.32 Hal
ini konsisten dengan hasil penelitian Rivero dkk. yang melaporkan bahwa limfopenia
berhubungan dengan keterlibatan saraf dan artritis.33 Penelitian Yu dkk. juga menunjukkan
bahwa limfopenia berat berhubungan dengan neuropsikiatrik LES.34 Kaitan antara AAL,
anti-P, limfopenia, dan NPLES dapat dilihat pada Gambar 2.

 
Produksi autoantibodi ↑
dan kompleks imun

Antibodi Anti Limfosit (AAL) Limfopenia

Anti-P (bagian dari AAL)


bereaksi silang dengan sel Disfungsi
neuron neuron NPLES

Gambar 2. Kaitan antara antibodi anti limfosit (AAL), anti-P, limfopenia, dan NPLES
Sumber: Fayyaz28, Stafford29, Silva 31, Sapartini 32

The European Working Party on SLE mempelajari morbiditas dan mortalitas pada
pasien LES selama periode 10 tahun dalam penelitian kohort 1.000 pasien, yang merupakan
penelitian mengenai risiko kejadian trombosis dan aPL pada LES. Penelitian melibatkan
204 (20,4%) pasien dengan IgG anticardiolipin (aCL) positif, 108 (10,8%) pasien dengan
IgM aCL positif dan 94 (9,4%) dengan lupus anticoagulant (LA) positif. Trombosis adalah
penyebab paling umum kematian selama 5 tahun pemantauan dan dikaitkan dengan
antiphospholipid syndrome (APS). Manifestasi trombosis yang ditemukan dalam penelitian
tersebut adalah stroke (11,8%), infark miokardium (7,4%), dan emboli paru (5,9%).35

192 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Hubungan antara autoantibodi, integritas sawar darah-otak dan NPLES anak cukup
kompleks. Autoantibodi dapat memasuki jaringan otak karena ada kerusakan pada sawar
darah-otak. Autoantibodi selanjutnya menyebabkan kerusakan saraf sehingga terjadi
gangguan plastisitas neuron dan gangguan pada sinaps (Gambar 3).36. Kerusakan pada
substansia alba dan substansia grisea akan memiliki efek yang lebih serius pada pasien
anak yang mana proses mielinasi pada struktur tersebut masih berlangsung.5,37 Apabila
dikaitkan lebih lanjut dengan antibodi anti limfosit dan limfopenia, maka secara garis
besar patomekanisme NPLES dapat dilihat pada Gambar 4.

Cedera Autoantibodi 
Vaskular/Trombosis
Anti-P
Anti-NMDA-r
aPL APL
Anti-Neuronal 

Gangguan neuroplastisitas
Cedera saraf
Gangguan pada sinaps Gangguan sawar darah-otak

Faktor
lingkungan
Stress
Infeksi

Aktivasi sel imun


Sitokin

Gambar 3. Patogenesis Neuropsikiatrik Lupus


Sumber: Kivity36

Manifestasi klinis NPLES


Manifestasi keterlibatan neurologis pada pasien LES anak lebih berat dibanding dengan
pasien LES dewasa.38 Dalam suatu penelitian prospektif selama 6 tahun pada pasien
NPLES anak, manifestasi sistem saraf lebih sering terjadi dibandingkan glomerulonefritis.
Sindrom NPLES yang paling umum dalam penelitian longitudinal tersebut meliputi:
sakit kepala (72%), gangguan mood (57%), disfungsi kognitif (55%), kejang (51%),
kelainan konfusional (35%), gangguan sistem saraf perifer (15%), psikosis (12%), dan
stroke (12%).8 Manifestasi sindrom neurologis lain yang dapat muncul meskipun jarang
dapat dilihat pada Tabel 1.39

193
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
 
Gambar 4. Patomekanisme NPLES
Sumber: Kasama 22 dan sumber lain 27,28,30,31

Manifestasi psikiatrik sangat umum terjadi pada pasien dengan NPLES.8,9 Psikosis,
gangguan mood, disfungsi kognitif, keadaan konfusi akut, dan gangguan kecemasan
termasuk kategori NPLES dalam klasifikasi ACR 1999.39 Depresi merupakan gangguan
mood yang paling sering ditemukan pada anak dengan NPLES. Penyebab depresi lain
yang perlu dipertimbangkan pada anak dengan LES adalah depresi reaktif dan depresi
yang diakibatkan oleh steroid. Depresi reaktif adalah depresi yang dipicu oleh beban hidup
terkait penyakit kronis yang diderita pasien dan bukan karena kelainan neuropsikiatrik.
Manifestasi lain yang dapat ditemukan selain gangguan afektif antara lain halusinasi
visual, halusinasi pendengaran, dan halusinasi taktil.9
Disfungsi kognitif dilaporkan terjadi pada hingga 55% pasien NPLES anak.7-
9
Gangguan perhatian, konsentrasi, memori, dan gangguan kata dapat diamati selama
pengujian fungsi neurokognitif.39 Gejala-gejala tersebut dapat berfluktuasi atau bahkan
memburuk seiring waktu. Pada pasien remaja, penurunan kemampuan akademik
menandakan adanya disfungsi kognitif karena NPLES dan membutuhkan evaluasi lebih
lanjut. Mini-Mental State Examination (MMSE) dapat digunakan untuk mengidentifikasi
adanya disfungsi kognitif pada pasien.21

194 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Tabel 1. Manifestasi Neuropsikiatrik Lupus Eritematosus Sistemik (NPLES)
Manifestasi NPLES
Sistem Saraf Pusat
Kejang
Penyakit Serebrovaskular
Nyeri kepala
Gangguan gerak (chorea)
Mielopati
Sindrom demielinasi
Meningitis aseptik
Keadaan konfusi akut
Disfungsi kognitif
Sistem Saraf Tepi
Polineuropati
Demielinasi inflamasi akut
Gangguan autonomik
Mononeuropati
Myasthenia gravis
Neuropati kranial
Plexopathy
Psikiatrik
Psikosis
Gangguan mood/depresi
Gangguan kecemasan
Sumber: ACR 39

Kejang merupakan pertanda adanya keterlibatan pada SSP. Pasien LES dengan
gangguan serebrovaskular dan disfungsi kognitif memiliki kecenderungan kejang yang
lebih besar. Dalam beberapa penelitian, positivitas aPL akan meningkatkan risiko kejang.
Sebagian besar kejang, sekitar dua-pertiga adalah berupa kejang umum, sedangkan kejang
parsial menempati posisi kedua bentuk kejang yang paling sering.7,9,40
Gangguan gerak adalah manifestasi NPLES lain yang dapat muncul. Chorea adalah
gangguan gerak yang paling umum yang terkait dengan NPLES, dan mungkin dapat
menjadi manifestasi awal NPLES. Berdasarkan pengamatan, pasien anak dengan NPLES
memiliki risiko lebih besar mengalami kejadian trombosis, yang memberi petunjuk bahwa
chorea ini terjadi karena suatu mekanisme vaskulopati.6
Nyeri kepala adalah salah satu manifestasi NPLES yang paling sering terjadi
pada LES anak.9 Pada klasifikasi ACR 1999, nyeri kepala lupus terbagi menjadi lima
kategori: migrain, tension headache, cluster, nyeri kepala akibat hipertensi intrakranial
(pseudotumor cerebri), dan nyeri kepala nonspesifik.39 Nyeri kepala pada anak dengan
LES dapat multifaktorial. Saat ini tidak ada tes tunggal yang dapat membedakan nyeri
kepala yang disebabkan oleh NPLES dari etiologi lainnya, seperti migrain idiopatik,
efek samping obat, atau infeksi SSP. Pada kebanyakan kasus, nyeri kepala karena NPLES
ini akan terkait dengan manifestasi NPLES lainnya. Pada kasus nyeri kepala yang hebat

195
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
atau baru timbul, pasien harus dievaluasi secara menyeluruh dengan pencitraan otak,
dan juga pemeriksaan liquor serebrospinal.6 Keterlibatan neuropsikiatrik pada pasien
LES anak dapat memengaruhi kemampuan prestasi akademik dan kualitas hidup secara
keseluruhan.5,41

Manifestasi psikiatrik akibat steroid


Kortikosteroid adalah obat yang banyak digunakan dan sangat efektif untuk LES. Akan
tetapi, kortikosteroid ini kadangkala dapat menyebabkan efek samping psikiatrik pada
pasien. Mekanisme patofisiologis yang menimbulkan gejala psikiatrik yang terkait dengan
pengobatan kortikosteroid masih belum jelas. Spekulasi mengenai mekanisme ini termasuk
efek kortikosteroid pada sistem dopaminergik dan kolinergik, penurunan pelepasan
serotonin, dan efek toksik pada neuron hipokampus atau di daerah otak lainnya.42 Efek
jangka panjang penggunaan kortikosteroid dapat dilihat pada Gambar 5.
Manifestasi psikiatrik, gejala dan sindrom yang terkait dengan pengobatan
kortikosteroid meliputi gangguan mood (hipomanik, manik, mixed state, depresi),
kecemasan dan gangguan panik, delirium, pemikiran dan perilaku bunuh diri dalam konteks
gangguan afektif atau delirium, perilaku agresif, insomnia dan agitasi, depersonalisasi;
dan, gangguan kognitif terisolasi (gangguan perhatian, konsentrasi, memori, dan kesulitan
penggunaan kata). Istilah psikosis diterapkan pada banyak manifestasi klinis ini, tanpa
membedakan antara manik, depresi psikotik, ataupun delirium.42
Defisit kognitif akibat kortikosteroid tanpa gejala psikotik biasanya melibatkan ingatan
deklaratif maupun verbal.43,44 Defisit kognitif dan gangguan mood yang reversibeltelah
dilaporkan pada subyek kontrol yang sehat setelah pemberian prednison, deksametason,
dan kortisol.45,46 Penelitian yang dilakukan oleh Denburg dkk. justru mengungkapkan
hal sebaliknya yaitu pemberian prednison 0,5 mg/kg/hari pada pasien LES dengan gejala
ringan yang tidak mendapat kortikosteroid (setidaknya selama 6 bulan) memberikan efek
menguntungkan pada aspek kognitif, mood, dan gejala-gejala LES.47
Lewis dan Smith melaporkan angka kejadian rata-rata manifestasi psikiatrik berat
sebesar 5,7% berdasarkan 13 penelitian yang melibatkan 2.555 pasien yang diobati
dengan kortikosteroid.48 Sejumlah publikasi terbaru mendukung kesimpulan bahwa
gejala hipomanik atau manik adalah efek samping psikiatrik yang paling umum akibat
pengobatan kortikosteroid.42 Suatu penelitian melaporkan bahwa risiko depresi meningkat
dengan paparan kortikoteroid jangka panjang.49 Pasien yang mengalami depresi akibat
kortikosteroid selama satu kali pengobatan mungkin akan mengalami episode manik di
waktu lainnya.50
Appenzeller dkk. melaporkan episode psikosis akut yang memenuhi kriteria DSM-
IV pada 17,1% (89/520) pasien LES yang diikuti selama 4–8,8 tahun. Psikosis akibat
kortikosteroid didapatkan sebesar 31,5% (28/89) dari seluruh kasus psikosis yang muncul,
dan 10 diantaranya (35,7%) memiliki lebih dari satu episode psikotik.51

196 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


 

Gambar 5. Efek jangka panjang penggunaan kortikosteroid

Diagnosis
Tidak ada tes diagnostik tunggal yang sensitif dan spesifik untuk manifestasi NPLES.
Penilaian pasien berdasarkan evaluasi neurologis, uji imunoserologis, pencitraan otak,
penilaian psikiatrik, dan penilaian neuropsikologis. Pemeriksaan-pemeriksaan tersebut
digunakan untuk mendukung diagnostik klinis, eksklusi kemungkinan lain, dan
merupakan dasar bagi pemantauan klinis secara jangka panjang maupun respons terhadap
pengobatan. Pendekatan diagnostik terhadap pasien dengan kemungkinan manifestasi
NPLES adalah dengan menentukan apakah sindrom klinis yang muncul memang benar
disebabkan oleh disfungsi organ akibat LES, atau justru disebabkan karena faktor lain
seperti infeksi, efek samping pengobatan, atau kelainan metabolik. Keadaan infeksi
dapat menyebabkan kelainan SSP pada pasien LES, sehingga sangat penting untuk
menyingkirkan penyebab infeksi sebelum menegakkan diagnosis NPLES.5,6

Pemeriksaan penunjang
Pencitraan otak bermanfaat untuk mengidentifikasi NPLES, dan penting untuk
menyingkirkan diagnosis alternatif seperti infeksi dan keganasan pada SSP. Penelitian

197
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
pada orang dewasa menunjukkan bahwa sekitar dua pertiga pasien dengan NPLES
menunjukkan kelainan pada hasil MRI otak.6
Penelitian Appenzeller dkk. mengungkapkan bahwa penurunan volume serebral
dan corpus callosum pada pasien LES dewasa berhubungan dengan durasi penyakit,
kerusakan kognitif, dan manifestasi SSP lainnya, dan tidak berhubungan dengan jumlah
total kortikosteroid atau adanya aPL.52 Gejala neurologis fokal dan gejala neuropsikologis
pada stroke yang terkait LES berkorelasi dengan kelainan struktural yang ditemukan dari
hasil MRI. Dengan menggunakan MRI, sebagian besar (40–80%) kelainan pada NPLES
adalah lesi fokal kecil-kecil yang terkonsentrasi pada daerah substansia alba periventrikular
dan subkortikal. Atrofi kortikal, dilatasi ventrikel, serta infark yang luas dan difus pada
substansia alba juga dapat ditemukan.53
Sebagian besar gambaran MRI pada NPLES adalah akibat keterlibatan pembuluh
darah kecil, dan menunjukkan lesi penyangatan (high-signal intensity) yang kecil, multifokal,
bilateral yang memberi kesan suatu vaskulitis pada pembuluh darah kecil. Dibandingkan
dengan MRI, computed tomography (CT) lebih bernilai dalam menggambarkan perubahan
akut akibat stroke hemoragik, pseudotumor cerebri, atau trombosis vena. Magnetic resonance
angiogram (MRA) juga bermanfaat untuk melihat adanya vaskulitis pembuluh darah besar.54
Di sisi lain, hasil pencitraan bisa memberikan gambaran yang normal, oleh karena itu tidak
adanya lesi pada MRI atau CT tidak sepenuhnya menyingkirkan NPLES.5,6
Analisa visual fluorodeoxyglucose-positron emission tomography (FDG-PET) secara
konsisten menunjukkan abnormalitas pada daerah prefrontal, parietal inferior dan
superior, parieto-oksipital, posterior temporal, dan oksipital substansia grisea dan
substansia alba pada keadaan NPLES yang aktif maupun tidak aktif. Abnormalitas pada
daerah prefrontal, anterior cingulate, dan substansia alba parietal inferior terlihat pada fase
akut NPLES namun tidak pada NPLES yang tenang. Sekitar 60–80% pasien dengan
NPLES aktif akan menunjukkan gambaran hipometabolisme berdasarkan pemeriksaan
FDG-PET pada daerah substansia alba parieto-oksipital bilateral, yang pada pemeriksaan
MRI konvensional menunjukkan hasil normal.52
Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS) dapat menunjukkan abnormalitas
neurometabolik pada substansia alba dan grisea yang terlihat normal pada pemeriksaan
MRI konvensional. Temuan tersebut menandakan adanya cedera neuronal atau
demielinasi yang terjadi pada episode NPLES yang aktif maupun yang tidak aktif.55,56
Pemeriksaan baru yang disebut Magnetization Transfer Imaging (MTI) yaitu metode MRI
yang dapat memberikan informasi secara kuantitatif, merupakan pemeriksaan yang lebih
sensitif dibanding MRI konvensional dalam mendeteksi NPLSE dan mampu mendeteksi
kelainan otak pada pasien dengan riwayat NPLES tanpa gejala aktif neuropsikiatrik saat
pemeriksaan dilakukan.57
Single-photon emission CT (SPECT) memberikan gambaran aliran darah otak dan
dapat menunjukkan daerah yang mengalami penurunan perfusi atau hilangnya fungsi
parenkim otak. Penelitian pada anak menunjukkan bahwa sebagian besar anak dengan

198 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


LES yang memiliki manifestasi neuropsikiatrik juga memiliki hasil pemindaian SPECT
yang abnormal, bahkan ketika hasil CT Scan, MRI, EEG, dan liquor serebrospinalis
memberikan gambaran yang normal. Lebih jauh lagi, pada pasien yang mengalami kelainan,
lesi yang ditemukan pada pemindaian SPECT meluas sampai ke area yang tampak normal
pada MRI. Pemeriksaan SPECT belum digunakan secara rutin untuk evaluasi NPLES
namun akan menjadi alat diagnostik penting di masa yang akan datang.58,59

Permasalahan psikologis
Dikarenakan pasien LES anak sebagian besar adalah remaja perempuan, menangani
permasalahan yang timbul pada masa remaja menjadi sangat penting sehingga remaja
dengan penyakit ini dapat menentukan pilihan-pilihan yang tepat. Pemicu stress dan
komorbiditas perlu dikelola dengan sebaik-baiknya. Pada masa usia remaja, seorang anak
akan mengeksplorasi kebebasan mereka, mulai mempelajari keterampilan hidup, dan mulai
terlibat dalam pemecahan masalah. Mereka pada umumnya memasuki sekolah lanjutan
tingkat menengah dan tingkat atas, yang pergaulan sehari-harinya sangat dipengaruhi
oleh penampilan fisik.41
Selain permasalahan kronisitas penyakit, remaja yang menderita LES umumnya
memiliki permasalahan di lingkungan sekolah, kelompok teman sebaya, dan juga keluarga.
Efek samping pengobatan menambah permasalahan pada anak dengan LES karena
mereka akan mendapatkan terapi kortikosteroid sistemik dosis tinggi yang menyebabkan
penambahan berat badan, “moon face”, striae, dan bahkan jerawat. Oleh karena itu, tidak
mengherankan bahwa banyak remaja dengan LES tidak patuh dengan pengobatan dan
perawatan medis mereka, dan enggan untuk melanjutkan sekolah.41
Perjalanan penyakit LES yang ditandai dengan eksaserbasi dan remisi, memerlukan
pemantauan yang ketat akan aktivitas penyakitnya. Langkah evaluasi penyakit akan
berguna sebagai panduan dalam pemberian terapi. Beberapa indeks untuk menilai aktivitas
penyakit LES antara lain British Isles Lupus Assessment Group (BILAG) dan Systemic Lupus
Erythematosus Disease Activity Index (SLEDAI) yang dapat diadaptasi untuk penggunaan
pasian anak LES.6 Louthrenoo dkk. menyarankan penggunaan The Children’s Depression
Inventory (CDI) dan Multidimensional Anxiety Scale for Children (MASC) yang dilakukan
oleh pasien LES usia remaja dan The Child Behaviour Checklist oleh keluarga untuk
menilai keadaan psikologis dan kompetensi sosial pasien. Pada penelitian didapatkan
bahwa penderita LES anak memiliki kompetensi sosial keseluruhan yang lebih rendah
bahkan pada saat fase remisi dibanding kontrol pada rentang usia yang sama. Hal ini
disebabkan oleh penggunaan terapi kortikosteroid berkelanjutan (bahkan saat fase remisi)
yang mempengaruhi penampilan mereka.3

Tata laksana NPLES


Pengobatan spesifik NPLES tergantung pada sifat dari proses yang mendasarinya, yaitu
inflamasi, trombosis, atau keduanya. Pada kasus dengan dasar mekanisme inflamasi

199
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
yang bertanggung jawab atas manifestasi NPLES, dapat diberikan pengobatan dengan
kortikosteroid tunggal atau dikombinasikan dengan imunosupresan lainnya, seperti
azatioprin, mycophenolate mofetil (MMF), atau siklofosfamid. Pada kasus yang sangat
berat atau mengancam jiwa, dan kasus yang refrakter terhadap pengobatan lain, dapat
dilakukan plasma exchange, pemberian immunoglobulin intravena, atau rituximab.6
Perlu diketahui bahwa pada kebanyakan sindrom NPLES, selain pengobatan dengan
terapi imunomodulasi juga diperlukan terapi simptomatik. Di Amerika Serikat sebanyak
90% pasien LES mendapat pengobatan kortikosteroid. Kortikosteroid sendiri merupakan
satu-satunya obat yang disetujui FDA untuk pengobatan LES, dengan efek samping
yang dcukup luas (hiperlipidemia, diabetes, hipertensi, osteopenia). Kortikosteroid juga
memiliki kontribusi terhadap morbiditas jangka panjang pada pasien LES.5
Terapi antiplatelet dan/atau terapi antikoagulan dapat diberikan untuk pasien NPLES
dengan manifestasi trombosis. Indikasi pemberian antikoagulan ini terutama adalah
trombosis arterial yang bermanifestasi sebagai stroke atau serangan iskemik transien pada
sindrom antifosfolipid. Tata laksana stroke akut pada anak tidak jauh berbeda dengan
stroke pada populasi dewasa. Pasien perlu dikonsultasikan dengan ahli neurologi anak dan
perlu dilakukan evaluasi mengenai kebutuhan terapi trombolitik atau intervensi bedah.
Aspirin harus diberikan kecuali ada kontraindikasi.6
Antikonvulsan dapat diberikan bersamaan dengan kortikosteroid atau imunosupresan
pada penderita NPLES dengan manifestasi kejang. Siklofosfosfamid atau plasma exchange
juga dapat diberikan terutama untuk kasus-kasus yang berat atau refrakter. Terapi
simptomatik dengan antipsikotik atau antidepresan bersamaan dengan imunosupresan
dapat diberikan untuk pasien dengan manifestasi psikiatrik. Pasien dengan chorea
umumnya mengalami perbaikan secara bertahap dengan pemberian antagonis dopamin
yang dikombinasikan dengan kortikosteroid oral. Manifestasi chorea yang disertai dengan
hasil antibodi antifosfolipid positif menunjukkan suatu etiologi thrombosis sehingga
dapat diberikan tambahan terapi antiplatelet/antikoagulan.6
Siklofosfamid yang diberikan secara bulanan dengan dosis (500-1000 mg/m2)
intravena selama enam bulan dilanjutkan dengan dosis rumatan triwulanan selama dua
tahun merupakan pilihan pengobatan imunosupresif sitotoksik dengan manfaat terapeutik
yang telah terdokumentasi untuk pengobatan NPLES yang berat dan tidak responsif
terhadap modalitas pengobatan lainnya.60 Penelitian lain juga menunjukkan bahwa
siklofosfamid memberikan hasil terapeutik keseluruhan yang lebih baik dibandingkan
metil prednisolon jangka panjang untuk pasien LES dengan manifestasi neurologis
(kejang refrakter, neuropati perifer dan kranial, neuritis optik).61
Langkah pencegahan sekunder yaitu mengurangi eksaserbasi lupus dengan
mengoptimalkan terapi, mengurangi faktor pencetuseksaserbasiseperti stress dan infeksi.
Pada pasien yang memiliki titer antibodi antifosfolipid yang tinggi, dapat dipertimbangkan
pemberian aspirin dan/atau antikoagulan oral.5,41

200 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Tata laksana khusus masalah psikologis
Setiap pasien LES anak harus ditangani secara komprehensif dengan tim multidisipliner
yang terdiri dari dokter spesialis anak sebagai kepala tim, didukung oleh perawat,
fisioterapis dan terapis okupasional. Psikiater dan psikolog anak juga memiliki peran
penting dalam memediasi pasien anak untuk beradaptasi terhadap penyakit kronisnya,
memperbaiki komunikasi dan kesepakatan terapi antara tim dengan keluarga, serta
membantu membedakan berbagai manifestasi neuropsikiatri LES anak.41
Pendekatan non farmakologis memiliki peran penting pada pasien LES dengan
gangguan psikiatrik dan disfungsi kognitif. Haupt dkk. menunjukkan bahwa intervensi
psikologis berbasis kelompok ternyata dapat meningkatkan kemampuan coping pada
pasien LES. Coping merupakan usaha mengubah perilaku dan kognisi seseorang secara
konstan untuk menangani, mengurangi, atau mentoleransi ekspektasi yang melebihi
kemampuan orang tersebut. Pasien yang mendapat intervensi menunjukkan perbaikan
yang signifikan dalam berbagai aspek, seperti berkurangnya depresi, tingkat kecemasan
maupun beban mental secara keseluruhan.62
Edukasi pentingnya aktivitas olahraga isotonis, penanganan nyeri, dan manajemen
gangguan pola tidur dapat membantu pasien LES anak menghadapi kelelahan emosional
dan depresi.5 Edukasi kepada keluarga diarahkan untuk memberikan informasi perlunya
dukungan keluarga. Konsep stretegi “coping” dapat diterapkan pada pasien dan juga
keluarga, tujuannya adalah agar keluarga dan lingkungan pasien LES dapat memahami
keterbatasan fisik dan psikologis anak terutama dalam hal menghadapi tuntutan beban
akademik sekolah ataupun pergaulan sosialnya. Strategi coping ini harus diajarkan dan
diterapkan agar pasien dan keluarga dapat membentuk sikap positif mengenai penyakit
yang diderita pasien.5,62

Prognosis
Luaran jangka panjang untuk pasien anak dengan NPLES cukup baik. Angka kelangsungan
hidup secara keseluruhan cukup tinggi yaitu sebesar 97%. Dalam penelitian Hiraki dkk.
pasien yang mengalami kejang atau stroke dan yang memiliki tingkat aktivitas penyakit
yang tinggi atau sering mengalami eksaserbasi SSP memiliki risiko kerusakan sistem saraf
jangka panjang yang lebih besar.11

Daftar pustaka
1. Weiss JE. Pediatric systemic lupus erythematosus: more than a positive antinuclear antibody.
Pediatr in Rev. 2012;33(2):62–74.
2. Mina R, Klein-Gitelman MS, Ravelli A, Beresford MW, Avcin T, Espada G. Inactive dis-
ease and remission in childhood-onset systemic lupus erythematosus. Arthritis Care Res.
2012;64(5):683–93.
3. Aberer E. Epidemiologic, socioeconomic and psychosocial aspects in lupus erythematosus.
Lupus. 2010;19:1118–24.

201
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
4. Louthrenoo O, Krairojananan J, Chartapisak W, Opastirakul S. Psychosocial functioning
of children with systemic lupus erythematosus. J Paediatr Child Health. 2012;28:1091–4.
5. Muscal E, Brey RL. Neurological manifestations of systemic lupus erythematosus in children
and adults. Neurol Clin. 2010;2(1):61–73.
6. Soybilgic A. Neuropsychiatric systemic lupus erythematosus in children. Pediatric Annals.
2015;44(6):e153–e8.
7. Harel L, Sandborg C, Lee T. Neuropsychiatric manifestations in pediatric systemic lupus ery-
thematosus and association with antiphospholipid antibodies. J Rheumatol. 2006;33:1873–
7.
8. Sibbitt WL, Brandt JR, Johnson CR. The incidence and prevalence of neuropsychiatric syn-
dromes in pediatric onset systemic lupus erythematosus. J Rheumatol. 2002;29:1536–42.
9. Yu HH, Lee JH, Wang LC, Yang YH, Chiang BL. Neuropsychiatric manifestations in pedi-
atric systemic lupus erythematosus: A 20-year study. Lupus. 2006;15:651–7.
10. Benseler SM, Silverman ED. Neuropsychiatric involvement in pediatric systemic lupus ery-
thematosus. Lupus. 2007;16:564–71.
11. Hiraki LT, Benseler SM, Tyrrell PN. Clinical and laboratory characteristics and long-
term outcomes of pediatric systemic lupus erythematosus: a longitudinal study. J Pediatr.
2008;152:550–6.
12. Setiabudiawan B, Pambudi J, Ghrahani R, Sapartini G. Prevalensi neuropsikiatrik lupus pada
anak dengan lupus eritematosus sistemik di RS Hasan Sadikin Bandung. Bandung: Univer-
sitas Padjadjaran; 2017.
13. Rizos T, Siegelin M, Hahnel S, Storch-Hagenlocher B, Hug A. Fulminant onset of cerebral
immunocomplex vasculitis as first manifestation of neuropsychiatric systemic lupus erythe-
matosus (NPSLE). Lupus. 2009;18(4):361–3.
14. Hanly JG. Neuropsychiatric lupus. Curr Rheumatol Rep. 2001;3(3):205–12.
15. Hanly JG, Walsh NM, Sangalang V. Brain pathology in systemic lupus erythematosus. J
Rheumatol. 1992;19:732–41.
16. Belmont HM, Abramson SB, Lie JT. Pathology and pathogenesis of vascular injury in sys-
temic lupus erythematosus. Interactions of inflammatory cells and activated endothelium.
Arthritis Rheum. 1996;39:9–22.
17. Abbott NJ, Mendonca LL, Dolman DE. The blood-brain barrier in systemic lupus erythe-
matosus. Lupus. 2003;12:908–15.
18. Zaccagni H, Fried J, Cornell J. Soluble adhesion molecule levels, neuropsychiatric lupus and
lupus-related damage. Frontiers in Bioscience. 2004;9:1654–9.
19. Spronk PE, Bootsma H, Huitema MG. Levels of soluble VCAM-1, soluble ICAM-1, and
soluble E-selectin during disease exacerbations in patients with systemic lupus erythematosus
(SLE); a long term prospective study. Clin Exp Rheumatol. 1994;97:439–44.
20. Nishimura K, Harigai M, Omori M. Blood-brain barrier damage as a risk factor for cortico-
steroid induced psychiatric disorders in systemic lupus erythematosus. Psychoneuroendocri-
nology. 2008;33:395–403.
21. Coin MA, Vilar-Lopez R, Peralta-Garcia I, Hidalgo-Ruzzante N, Perez-Garcia M. The role
of antiphospholipid autoantibodies in the cognitive deficits of patients with systemic lupus
erythematosus. Lupus. 2015;0:1–5.
22. Kasama T, Odai T, Wakabayashi K, Yajima N, Miwa Y. Chemokines in systemic lupus ery-
thematosus involving the central nervous system. Front Biosci. 2008;13:2527–36.

202 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


23. Bravo-Zehnder M, Toledo EM, Segovia-Miranda F. Anti-ribosomal P protein autoantibod-
ies from patients with neuropsychiatric lupus impair memory in mice. Arthritis Rheum.
2015;67(1):204–14.
24. McLaurin EY, Holliday SL, Williams P. Predictors of cognitive dysfunction in patients with
systemic lupus erythematosus. Neurology. 2005;64:297–303.
25. Hanly JG, Hong C, Smith S, Fisk JD. A prospective analysis of cognitive function and anti-
cardiolipin antibodies in systemic lupus erythematosus. Arthritis Rheum. 1999;42(4):728–
34.
26. Menon S, Jameson-Shortall E, Newman-Hall-Craggs SP, Chinn R, Isenberg DA. A longi-
tudinal study of anticardiolipin antibody levels and cognitive functioning in systemic lupus
erythematosus. Arthritis Rheum. 1999;42(4):735–41.
27. DeGiorgio LA, Konstantinov KN, Lee SC, Hardin JA, Volpe BT, Diamond B. A subset of
lupus anti-DNA antibodies cross-reacts with the NR2 glutamate receptor in systemic lupus
erythematosus. Nat Med. 2001;7:1189–93.
28. Fayyaz A, Igoe A, Kurien BT, Danda D, James JA, Stafford HA, dkk. Haematological mani-
festations of lupus. Lupus Science & Medicine. 2015;2:e000078.
29. Stafford HA, Chen AE, Anderson CJ, Paul AGA, Wyatt L, Lee LA. Antiribosomal and P-Pep-
tide-specific autoantibodies bind to T lymphocytes. Clin Exp Immunol. 1997;109:12–9.
30. Sun KH, Tang SJ, Lin ML, Wang YS, Sun GH, Liu WT. Monoclonal antibodies against
human ribosomal P proteins penetrate into living cells and cause apoptosis of Jurkat T cells
in culture. Rheumatology. 2001;40(7):750–6.
31. Silva LM, Garcia AB, Donadi EA. Increased lymphocyte death by neglect-apoptosis is asso-
ciated with lymphopenia and autoantibodies in lupus patients presenting with neuropsychi-
atric manifestations. J Neurol. 2002;249:1048–54.
32. Sapartini G, Ghrahani R, Setiabudiawan B. Hubungan Limfopenia dengan manifestasi klin-
is, anti-dsDNA, dan aktivitas penyakit pada anak lupus eritematosus sistemik. Bandung:
Universitas Padjadjaran; 2017.
33. Rivero SJ, Diaz-Jouanen E, ALarcon-Segovia D. Lymphopenia in systemic lupus erythema-
tosus. Arthritis and Rheumatism. 1978;21(3):295–305.
34. Yu HH, Wang LC, Lee JH, Lee CC, Yang YH, Chiang BL. Lymphopenia is associated with
neuropsychiatric manifestations and disease activity in paediatric systemic lupus erythemato-
sus patients. Rheumatology. 2007;46:1492–4.
35. Cervera R, Khamashta MA, Font J, Sebastiani GD, Antonio Gil, Lavilla P, dkk. Morbidity
and mortality in systemic lupus erythematosus during a 10-year period: a comparison of early
and late manifestations in a cohort of 1,000 patients. Medicine. 2003;82:299–308.
36. Kivity S, Agmon-Levin N, Zandman-Goddard G, Chapman J, Shoenfeld Y. Neuropsychiat-
ric lupus: A mosaic of clinical presentations. BMC Medicine. 2015;13(43):1–11.
37. Nagy Z, Westerberg H, Klingberg T. Maturation of white matter is associated with the devel-
opment of cognitive functions during childhood. J Cogn Neurosci. 2004;166(7):1227–33.
38. Tucker L, Uribe AG, Fernandez M. Adolescent onset of lupus results in more aggressive dis-
ease and worse outcomes: results of a nested matched case-control study within LUMINA, a
multiethnic US cohort (LUMINA LVII). Lupus. 2008;17(4):314–22.
39. The American College of Rheumatology nomenclature and case definitions for neuropsychi-
atric lupus syndromes. Arthritis Rheum. 1999;42(4):599–608.

203
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
40. Olfat MO, Al-Mayouf SM, Muzaffer MA. Pattern of neuropsychiatric manifestations and
outcome in juvenile systemic lupus erythematosus. Clin Rheumatol. 2004;23(5):395–9.
41. Levy DM, Kamphuis S. Systemic lupus erythematosus in children and adolescents. Pediatr
Clin North Am. 2012;59(2):345–64.
42. Kenna HA, Poon AW, Angeles CPdl, Koran LM. Psychiatric complications of treatment with
corticosteroids: Review with case report. Psychiatry Clin Neurosci. 2011;65:549–60.
43. Newcomer J, Craft S, Hershey T, Askins K, Bardgett M. Glucocorticoid-induced impairment
in declarative memory performance in adult humans. J Neurosci. 1994;14(4):2047–53.
44. Newcomer JW, Selke G, Melson AK. Decreased memory performance in healthy humans in-
duced by stress-level cortisol treatment. Archives of General Psychiatry. 1999;56(6):527–33.
45. Wolkowitz OM, Reus VI, Weingartner H, Thompson K, Breier A, Doran A, dkk. Cognitive
effects of corticosteroids. American Journal of Psychiatry. 1990;147(10):1297–303.
46. Wolkowitz OM, Rubinow D, Doran AR. Prednisone effects on neurochemistry and behav-
ior: Preliminary findings. Archives of General Psychiatry. 1990;47(10):963–8.
47. Denburg SD, Carbotte RM, Denburg JA. Corticosteroids and neuropsychological functioning
in patients with systemic lupus erythematosus. Arthritis & Rheumatism. 1994;37(9):1311–
20.
48. Lewis DA, Smith RE. Steroid-induced psychiatric syndromes. A report of 14 cases and a
review of the literature. J Affect Disord. 1983;5:319–32.
49. Sirois F. Steroid psychosis: a review. Gen Hosp Psychiatry. 2003;1:27–33.
50. Wada K, Yamada N, Suzuki H, Lee Y, Kuroda S. Recurrent cases of corticosteroid-induced
mood disorder: clinical characteristics and treatment. J Clin Psychiatry. 2000;61(4):261–7.
51. Appenzeller S, Cendes F, Costallat LTL. Acute psychosis in systemic lupus erythematosus.
Rheumatol Int. 2007;28:237–43.
52. Appenzeller S, Rondina JM, Li LM. Cerebral and corpus callosum atrophy in systemic lupus
erythematosus. Arthritis Rheum. 2005;52(9):2873–9.
53. Sibbitt WL, Sibbitt RR, Brooks WM. Neuroimaging in neuropsychiatric systemic lupus ery-
thematosus. Arthritis Rheum. 1999;42:2026–38.
54. Abreu MR, Jakosky A, Folgerini M, Brenol JCT, Xavier RM, Kapczinsky F. Neuropsychiatric
systemic lupus erythematosus: correlation of brain MR imaging, CT, and SPECT. Clin Im-
aging. 2005;29(3):215–21.
55. Kozora E, Arciniegas DB, Filley CM. Cognition, MRS neurometabolites, and MRI volumet-
rics in non-neuropsychiatric systemic lupus erythematosus: preliminary data. Cogn Behav
Neurol. 2005;18(3):159–62.
56. Chinn RJS, Wilkinson ID, Hall-Craggs MA, Palet MNJ, Shortall E, Carter S, dkk. Magnetic
resonance imaging of the brain and cerebral proton spectroscopy in patients with systemic
lupus erythematosus. Arthritis Rheum. 1997;40:36–46.
57. Huizinga TWJ, Diamond B. Lupus and the central nervous system. Lupus. 2008;17:376–9.
58. Arinuma Y, Kikuchi H, Wada T. Brain MRI in patients with diffuse psychiatric/neuropsy-
chological syndromes in systemic lupus erythematosus. Lupus Sci Med. 2014;1(1):e000050.
59. Jennings JE, Sundgren PC, Attwood J, Mc-Cune J, Maly P. Value of MRI of the brain in
patients with systemic lupus erythematosus and neurologic disturbance. Neuroradiology.
2004;46(1):15–21.

204 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


60. Petri M, Brodsky R. High-dose cyclophosphamide and stem cell transplantation for refracto-
ry systemic lupus erythematosus. JAMA. 2006;95:559–60.
61. Barile-Fabris L, Ariza-Andraca R, Olguin-Ortega L. Controlled clinical trial of IV cyclo-
phosphamide versus IV methylprednisolone in severe neurological manifestations in systemic
lupus erythematosus. Ann Rheumatic Dis. 2005;64(4):620–5.
62. Haupt M, Millen S, Janner M. Improvement of coping abilities in patients with systemic
lupus erythematosus: A prospective study. Ann Rheumatic Dis. 2005;64:1618–23.

205
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
New Vaccines for Indonesian National
Immunization Program
Cissy B. Kartasasmita
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran / RSUP Hasan Sadikin, Bandung

Abstract
Vaccine-preventable diseases remain a major public health problem despite the availability of safe
and efficacious vaccines.   Immunization is one of the safest, most cost-effective, and powerful means
of preventing deaths and improving lives. Over the years, all countries of the world have incorporated
an increasingly broad immunization agenda in their public health interventions. Introduction
and widespread use of new and under-utilised vaccines can contribute greatly to reducing childhood
mortality. The continued discovery, research and development of new and improved vaccines has made
immunization even more effective in combating major causes of childhood illness and death. Expanding
immunisation to other age groups will further maximise the impact of vaccines. Indeed, the number
of vaccines available today to protect infants, children and now, adolescents and adults as well against
infectious diseases has increased substantially.
In 2013 the Indonesian Government introduced the pentavalent vaccine, which contains five antigens
in one shot and protects against diphtheria-tetanus-pertussis (DTP), hepatitis B and Haemophilius
influenzae type b (Hib), reduces the number of separate injections required for protection and minimises
the number of health centre visits required. The pentavalent vaccine was introduced in 2013, in three
phases, four provinces began immunising children immediately, a further nine provinces in January
2014 and the rest of the country in July 2014.
In 2017 the Indonesian Ministry of Health plans to add 3 vaccines into the National Immunization Program
(NIP), which are Measles-Rubella (MR), Pneumococcus PCV) and Human papilloma virus (HPV) vaccines.
In addition, Japanese Encephalitis (JE) vaccine will be added in Bali. By the year of 2019 the Ministry will
implements more new vaccines into the NIP, the program known as New Vaccine Initiative program.

S
ampai saat ini penyakit yang dapat di cegah dengan imunisasi (P3DI) masih
merupakan masalah kesehatan utama dan penting di Indonesia maupun di banyak
negara di dunia. Imunisasi merupakan salah satu tindakan pencegahan yang
aman, paling cost effective dan bermanfaat untuk mencegah kematian dan meningkatkan
kehidupan. Namun sayangnya program tersebut masih belum dimanfaatkan secara
maksimal, bahkan belakangan ini makin meningkat gerakan anti imunisasi.

Sejarah singkat imunisasi di Indonesia


Kegiatan imunisasi diselenggarakan di indonesia sejak tahun 1956 untuk imunisasi
cacar. Pada tahun 1974, cakupan imunisasi di Indonesia baru mencapai 5% sehingga

206 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


pemerintah pada tahun 1977 menyelenggarakan program pengembangan imunisasi (PPI)
atau  expanded program on immunization  (EPI). PPI merupakan program pemerintah
dalam bidang imunisasi guna mencapai komitmen internasional dalam rangka percepatan
pencapaian universal child immunization (UCI) pada akhir tahun 1982. Mulai tahun 1977
kegiatan imunisasi diperluas menjadi PPI dalam rangka pencegahan penularan terhadap
beberapa penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (P3DI), yaitu tuberkulosis, difteri,
tetanus, pertusis, polio, dan campak. Pada tahun 1992 program imunisasi Hepatitis B
mulai diperkenalkan kepada beberapa kabupaten di beberapa propinsi dan baru tahun
1997 dilaksanakan secara nasional.1
Tahun 2013 Kementerian Kesehatan RI memasukkan vaksin pentavalen ke dalam
program imunisasi nasional secara bertahap. Vaksin pentavalen mengandung 4 antigen
dalam satu suntikan yang dapat memberikan kekebalan terhadap penyakit difteri-tetanus-
pertusis (DTP), hepatitis B (HB) dan Haemophilius influenzae type b (Hib). Kombinasi
tersebut mengurangi jumlah kebutuhan kunjungan imunisasi dan suntikan imunisasi
untuk anak. Pelaksanaan vaksinasi pentavalen dilakukan dalam 3 tahapan; di 4 propinsi
segera dilaksanakan pada Juli 2013; dilanjutkan dengan di 9 propinsi mulai Januari 2014
serta sisanya mulai diberikan Juli 2014.2
Tahun 2017, Kementerian Kesehatan (Kemkes) RI akan mengupayakan penambahan
tiga jenis vaksin untuk melengkapi program nasional imunisasi dasar lengkap yaitu: vaksin
Measles-Rubella (MR), vaksin Pneumococcus, dan vaksin Human papilloma virus (HPV).
Selain itu, khusus untuk Bali yang merupakan daerah endemis infeksi japanese encephalitis
(JE) dan tujuan wisata penting, juga ditambahkan vaksin JE. Sampai dengan tahun
2019, Kementerian Kesehatan RI akan menambah imunisasi baru, yang disebut New
Vaccine Initiative. Program tersebut merupakan proyek demonstrasi (bukan pilot project),
karena vaksin ini telah diuji di berbagai negara, jadi tinggal dilaksanakan. Sampai dengan
tahun 2025, Kemkes akan menambah 3 imunisasi lagi. Dengan demikian, nantinya total
imunisasi dasar lengkap akan mencakup 14 vaksin. Bila tahapan tersebut sudah dicapai
maka program imunisasi di Indonesia sudah setara dengan negara maju lain.3
Vaksin MR untuk menggantikan vaksin campak akan mulai diterapkan untuk
digunakan secara berkala sekitar Oktober 2017. Selanjutnya, vaksin Pneumococcus
sebagai proteksi bagi anak-anak dari ISPA akan mulai diterapkan pada akhir tahun 2017.
Sedangkan vaksin HPV, yang sebenarnya sudah mulai diperkenalkan pada program Bulan
Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) tahun 2016 di DKI Jakarta, akan dikembangkan lebih
luas pada tahun 2017. Waktu yang dibutuhkan agar ketiga vaksin baru tersebut dapat
menjadi program nasional yang menyeluruh lebih kurang 2-3 tahun.3,4

Human Papillomavirus (HPV)


Infeksi HPV terjadi bila virus masuk ke dalam tubuh seseorang, biasanya melalui robekan,
atau kulit yang mengelupas atau luka sayat kecil. Penularan terjadi akibat kontak antar
kulit. Penyebaran terjadi melalui kontak dengan kulit yang terinfeksi, membran mukosa,

207
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
atau cairan tubuh, dan hubungan seksual. Infeksi HPV genital terjadi bila ada hubungan
seksual, seks anal, atau kontak kulit dengan kulit di daerah genital. Infeksi bisa juga terjadi
di daerah mulut, bila terjadi oral sex. Infeksi HPV sering terjadi. Penularan juga dapat
terjadi melalui kontak dengan sesuatu yang tercemar virus HPV, seperti alat shower atau
di kolam renang umum, yang dapat meningkatkan risiko. Kebanyakan infeksi HPV (70-
90%) bersifat asimtomatik dan dapat sembuh spontan setelah 1 - 2 tahun. Namun bila
terinfeksi tipe tertentu, tidak terdeteksi dan tidak diobati, infeksi menetap dan berlanjut
progresif, berbulan bulan bahkan bertahun tahun, akhirnya menyebabkan kanker serviks.
Sebanyak 5 sampai 10% wanita yang terinfeksi HPV, menjadi progresif dan menetap.
Bila tidak ditemukan dan diobati secara tepat, bila terinfeksi oleh tipe risiko tinggi, akan
menjadi karsinoma invasif pada tempat terinfeksi, biasanya di saluran genital, yang
kemudian dapat berkembang menjadi kanker servik.5,6
Imunisasi HPV merupakan pencegahan primer kanker serviks yang tingkat
keberhasilannya dapat mencapai 100% jika diberikan sebanyak 2 kali pada kelompok
umur wanita naif atau  wanita yang belum pernah terinfeksi HPV.5
Vaksin HPV, adalah vaksin yang dapat memberikan perlindungan terhadap kanker
serviks akibat virus human papillomavirus (HPV); selain itu, juga penyakit lain akibat
infeksi virus HPV yaitu kanker vagina dan vulva, serta penis pada laki-laki. HPV juga
dapat menyebabkan kanker orofaring (tenggorokan atas), kanker anal dan kutil genital.
Saat ini, yang beredar di Indonesia ada 2 vaksin human papillomavirus (HPV).
Yang pertama, vaksin HPV quadrivalent (HPV4) mengandung 4 subtipe virus (6, 11,
16 dan 18) dan vaksin HPV bivalent (HPV2) yang mengandung 2 subtipe virus (16 dan
18). Kedua vaksin itu mempunyai keefektifan tinggi, sekitar 70%, untuk perlindungan
terhadap kanker serviks (Ca cervix) yang kebanyakan diakibatkan oleh virus HPV subtipe
16 dan 18. Vaksin HPV4 yang mengandung 2 tambahan subtipe 6 dan 11 mempunyai
kelebihan dapat melindungi wanita terhadap kanker dan pra-kanker vagina dan vulva,
juga kutil genital. Vaksin dapat diberikan kepada anak gadis mulai usia 9 tahun, namun
di Amerika direkomendasikan untuk gadis usia 11-12 tahun. Di Indonesia, vaksinasi
HPV direkomendasikan diberikan mulai usia 10 tahun. Vaksin diberikan sebanyak 3
kali suntikan. Namun demikian, penelitian terkini menunjukkan bila vaksin diberikan
pada usia usia 9 - 13 tahun cukup diberikan 2 kali dengan interval waktu 6 - 12 bulan.
Vaksinasi paling efektif diberikan sebelum anak gadis melakukan aktivitas seksual.5
Keamanan vaksin telah dibuktikan dari berbagai penelitian sebelum vaksin disetujui
beredar di Amerika. Uji klinis sebelum diberikan lisensi dan data yang dikumpulkan
setelah vaksin beredar menunjukan vaksin sangat aman. Efek samping yang dilaporkan
bisa terjadi ringan berupa sakit di tempat suntikan, demam, tidak enak badan dan
kemerahan atau bengkak. Bisa juga ada mual, pusing dan nyeri otot dan sendi.
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, kasus kanker di Indonesia
terjadi sebanyak lebih kurang 330.000 orang dengan kasus terbesar adalah kanker serviks
atau kanker leher rahim. Sementara itu, data dari WHO Information Centre on HPV

208 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


and Cervical Cancer menunjukkan bahwa 2 dari 10.000 wanita di Indonesia menderita
kanker serviks dan diperkirakan 26 wanita meninggal setiap harinya karena kanker serviks.
Program nasional pencegahan kanker leher rahim yang sudah dilaksanakan saat ini adalah
dengan deteksi dini kanker leher rahim dengan metode IVA. Pencegahan kanker leher
rahim akan semakin efektif jika dibarengi dengan melakukan upaya proteksi spesifik
dengan memberikan imunisasi HPV. Karena tingginya angka kanker servik di Indonesia
serta menyebabkan kematian pada 26 orang perempuan per hari, Kemkes memutuskan
untuk memasukkan vaksinasi HPV secara bertahap ke dalam program imunisasi nasional
untuk anak gadis di kelas 5 SD dan diulang 12 bulan kemudian di kelas 6 SD. Kegiatan
pemberian imunisasi HPV melalui program BIAS ini diawali dengan pemberian imunisasi
di lokasi percontohan yang memiliki angka prevalensi kanker serviks yang tinggi dan
dipandang memiliki kesiapan dalam melaksanakan imunisasi HPV, yaitu di provinsi DKI
Jakarta. Pada bulan Oktober 2016 telah dilakukan vaksinasi HPV pertama pada semua
anak perempuan kerlas 5 SD di Jakarta, dilangsungkan bersama Program BIAS. Vaksinasi
yang kedua akan diberikan tahun 2017. Setelah itu pada tahun 2017 akan dilaksanakan
vaksinasi di Kabupaten Kulonprogo dan Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, menyusul
kemudian di Surabaya, Makassar dan Manado secara bertahap.7

Rubela (MR)
Rubela adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh virus rubella, biasanya ringan
dan bisa menyerang anak maupun dewasa. Melalui strategi implementasi vaksinasi rubela,
insidensi rubela menurun signifikan di berbagai negara, dan rantai transmisi endemik
virus rubela di WHO Region of the Americas diputus sejak tahun 2009. Epidemi rubela
biasanya terjadi secara berkala, pola musimnya tiap 5 sampai 9 tahun. Namun demikian
lamanya dan periode epidemi rubela sangat bervariasi di dunia. Bila infeksi rubela terjadi
saat sebelum konsepsi, atau saat hamil muda, bisa terjadi abortus, kematian janin atau
defek kongenital yang dikenal sebagai congenital rubella syndrome (CRS). Risiko tinggi
untuk CRS terdapat di negara dengan angka wanita subur yang rentan terhadap infeksi
virus rubela tinggi. Kejadian CRS sangat bervariasi antar negara; faktor epidemiologi
dan sosio-ekonomi berperan. Selain itu, ada juga perbedaan pola antara daerah urban dan
rural. Sebelum introduksi vaksin rubela, insidensi CRS berkisar antara 0.1 – 0.2/1000
kelahiran hidup pada periode endemik, dan mencapai 0.8 – 4/1000 kelahiran hidup saat
epidemi rubela. Epidemi yang luas menyebabkan peningkatan morbiditas. Epidemi yang
luas di Amerika Serikat tahun pada 1964 - 1965, diperkirakan mengakibatkan 12.5 juta
kasus rubela, mencakup > 2.000 kasus ensefalitis, > 11.250 kematian janin, > 20.000
kasus CRS, > 8.000 kasus tuli, 3. 580 anak dengan buta-tulidan 1.800 anak dengan
disabilitas intelektual.8
Berbeda dengan CRS, penyakit rubela adalah penyakit ringan yang dapat sembuh
spontan yang biasanya menyerang anak-anak. Dalam waktu 2 minggu setelah terpapar
memasuki fase prodromal timbul demam < 39°C, lemas dan konjungtivitis ringan, yang
lebih sering terjadi pada orang dewasa. Limfadenopati peri aurokuler, oksipital dan servikal

209
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
posterior sangat khas, dan biasanya muncul 5 - 10 hari sebelum timbulnya ruam. Ruam
makulo-papular, eritematosus dan gatal didapat pada 50% - 80% penderita rubela. Ruam
terjadi selama 1 sampai 3 hari. Ruam mulai timbul ruam di wajah dan leher kemudian ke
seluruh tubuh. Hasil penelitian serologis menunjukkan pada 20 sampai 50% kasus, tidak
ditemukan ruam atau subklinis. Gejala sendi (artritis, artralgia), berlangsung tidak lama,
bisa didapat pada 70% wanita tetapi tidak pada laki-laki dan anak-anak.8,9
Ensefalitis pasca infeksi didapatkan pada 1/6000 kasus rubela, namun pernah
dilaporkan insiden sebesar 1/500 dan 1/1600. Manifestasi perdarahan dan Guillain–Barré
syndrome jarang didapat. Pada ibu hamil yang terinfeksi segera setelah konsepsi atau hamil
muda 8 - 10 minggu, infeksi rubela dapat mengakibatkan defek multipel, bisa mencapai
90% kasus, selain mengakibatkan kematian janin dan lahir mati. Risiko menurun drastis
dan jarang ditemukan defek pada janin, bila terjadi saat, kehamilan di atas 16 minggu,
meskipun kelainan syaraf sensorik pendengaran masih bisa terganggu sampai usia kehamilan
20 minggu. Defek akibat CRS bisa terjadi pada mata (cataracts, microphthalmia, glaucoma,
pigmentary retinopathy, chorioretinitis); telinga (tuli sensorik); jantung (peripheral pulmonary
artery stenosis, patent ductus arteriosus atau ventricular septal defects); dan kraniofasial
(mikrosefali). CRS dapat timbul dengan manifestasi neonatal berupa meningoencephalitis,
hepatosplenomegali, hepatitis, thrombocytopenia dan gambaran radiolusen tulang panjang
(karakteristik untuk gambaran radiologis pada CRS). Komplikasi thrombocitopenia bisa
fatal. Dapat juga terjadi interstitial pneumonitis pada bayi dengan CRS. Bayi yang bisa
bertahan hidup, dapat mengalami gangguan perkembangan berupa gangguan penglihatan
dan pendengaran dan berisiko mengalami perkembangan yang terlambat, termasuk
autis, diabetes melitus tipe I, dan tiroiditis. Pernah ditemukan pasien dengan progressive
encephalopathy serupa subacute sclerosing panencephalitis pada pasien dengan CRS.
Vaksin rubela tersedia, baik yang monovalen maupun dalam bentuk kombinasi
dengan vaksin lain, misalnya kombinasi dengan campak/measles (MR), measles dan mumps
(MMR), atau measles, mumps and varicella (MMRV).8
Program yang direncanakan Kementerian Kesehatan adalah pengenalan vaksin  MR
di Indonesia yang menyasar anak berusia 9 bulan sampai 15 tahun; vaksin diberikan sekali
pada semua anak rentang usia itu, sebanyak 70 juta jiwa. Untuk Jawa, fase pengenalan
MR adalah Agustus-September 2017, dan luar Jawa pada bulan Agustus-September 2018.
Mulai Oktober 2017, vaksin MR akan menggantikan vaksin campak di Jawa, sesuai
jadwal imunisasi campak (di usia 9 bulan, 2 tahun, dan di usia 7 tahun). Vaksin MR
menggantikan vaksin campak (M) di seluruh Indonesia mulai Oktober 2018 setelah area
luar Jawa tercakup.8

Pneumokokus (Streptococcus pneumoniae)


Infeksi pneumokokus merupakan salah satu penyakit dengan prevalensi tinggi di Asia Pasifik
(55%) dengan kematian mencapai 28%. Prevalensi meningitis akibat pneumokokus sangat
tinggi, sekitar 36% dengan kematian mencapai 29%. Pneumonia akibat pneumokokus

210 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


di Asia Pasifik mencapai sekitar 58% dengan kematian sebesar 25%. Beban penyakit
pneumokokus (pneumonia, meningitis dan sepsis) di Asia, termasuk di Indonesia, umumnya
disebabkan oleh pneumokokus invasif dengan mortalitas yang tinggi.10
Infeksi pneumokokus dapat mengakibatkan penyakit yang serius seperti meningitis,
bekteremia dan pneumonia, tetapi juga penyakit yang lebih ringan seperti otitis media
akut dan sinusitis. Bakteri penyebabnya adalah S. pneumoniae (Pneumococcus), yang
berkolonisasi di nasofaring, bisa transmisi melalui percikan ludah. Kolonisasi pada bayi
dan anak usia muda, yang merupakan reservoar utama bakteri, prevalensinya di negara
maju adalah sekitar 27% dan di negara bekembang mencapai 80%. S. pneumoniae
terdiri dari > 90 serotipe. Sebelum dipakainya PCV (pneumococcal conjugate vaccines),
ada 6 – 11 serotipe yang menyebabkan ≥ 70% invasive pneumococcal disease (IPD) pada
anak di dunia. Sebelum vaksinasi PCV 7 diberikan secara luas insidensi tahunan IPD
pada anak usia < 2 tahun mencapai 44.4/100 000 per tahun. Di banyak negara, setelah
PCV diberikan secara rutin, angka IPD menurun drastis, bahkan serotipe yang sesuai
dengan vaksin tidak didapatkan lagi, juga hilang pada kelompok lingkungannya yang
tidak mendapat vaksinasi.
Vaksin yang beredar saat ini ada 2 macam yaitu 23-valent pneumococcal polysaccharide
vaccine (PPV23) yang berisi 23 serotipe yaitu 1, 2, 3, 4, 5, 6B, 7F, 8, 9N, 9V,10A,
11A, 12F, 14, 15B,17F, 18C, 19A, 19F, 20, 22F, 23F dan 33F. Untuk imunisasi primer,
diberikan 1 kali intra-muskular atau subkutan; vaksinasi ulangan tidak perlu pada anak
sehat; namun pada anak imunokompromais ada yang memberikan imunisasi ulangan
1 - 2 kali. Vaksin tidak dapat diberikan pada anak umur < 2 tahun, padahal infeksi
pneumokokus tinggi pada kelompok umur tersebut. Vaksin konjugat (conjugate vaccines)
mulai dipasarkan tahun 2000 di Amerika Serikat, yaitu PCV 7. Namun saat ini PCV 7
tidak dipasarkan lagi, yang ada di pasaran sejak 2010 adalah PCV10 yang mengandung
10 serotipe: 1, 4, 5, 6B, 7F, 9V, 14, 18C, 19F dan 23F; dan PCV13 mengandung serotipe
yang sama dengan PCV 10 ditambah 3 serotipe: 1, 3, 4, 5, 6A, 6B, 7F, 9V, 14,18C, 19A,
19F, and 23F. Dengan PCV 10 dan PCV 13 penurunan IPD akibat pneumokokus yang
sesuai serotipe vaksin, menurun secara signifikan, sebesar > 70%. Kedua vaksin, PCV
10 dan PCV 13, direkomendasikan oleh WHO untuk dipakai dalam NIP; dan dapat
diberikan pada anak mulai usia 2 bulan sampai 5 tahun. Untuk PCV 13, ada tambahan
bisa diberikan pada orang dewasa > 50 tahun.10,11
Kementerian Kesehatan akan melaksanakan program demonstrasi imunisasi PCV
tahun 2017 ini di Lombok, NTB (Lombok Barat dan Lombok Timur). Vaksin yang
akan dipakai adalah PCV13, yang diberikan dengan jadwal 2 + 1 (2 kali dasar dan 1
booster) bersamaan dengan vaksin pentavalen 1 dan 2, dan ulangan pada usia 1 tahun.

Japanese Encephalitis
Japanese encephalitis (JE) merupakan penyebab utama ensefalitis di Asia, banyaknya kasus
diperkirakan 67.000 JE per tahun. Hampir di setiap negara di Asia didapatkan JE, di

211
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
sebarkan oleh nyamuk Culex yang telah terinfeksi. Saat ini diperkirakan terdapat 3 milyar
orang yang tinggal di 24 negara, terutama di WHO South-East Asia and Western Pacific
Regions, menghadapi risiko tertular JE. Untuk mengendalikan JE, Badan Kesehatan Dunia
(WHO) merekomendasikan vaksin JE dimasukkan ke dalam program imunisasi nasional
di daerah JE. Namun pelaksanaan pengendalian berjalan lambat, dan hanya dilaksanakan
di beberapa negara Asia yang kaya saja. Baru belakangan ini program pengendalian mulai
menunjukkan peningkatan, setelah banyak negara melaksanakan survailen JE dan bisa
diperoleh vaksin yang aman dan efektif.12,13,14.
JE adalah penyakit infeksi serius yang disebabkan oleh virus JE yang ditularkan
terutama melalui gigitan nyamuk yang telah terinfeksi. JE tidak menular antar-manusia.
Risiko untuk terkena penyakit ini terutama pada orang yang tinggal di daerah yang
sering ditemukan penderita JE dan pada pelancong yang tinggal lama di daerah tertentu.
Nyamuk Culex tritaeniorhynchus, merupakan spesies vektor yang terpenting, berkembang
biak di kolam dan genangan sawah dan menggigit pada malam har; binatang seperti babi
dan burung merupakan reservoar virus. Oleh karena itu, virus JE tidak dapat dieliminasi,
namun penyakit dapat dikendalikan dengan universal human vaccination di daerah
endemis. Faktor risiko untuk penyakit JE antara lain hidup berdekatan dengan persawahan
dan bila memiliki atau bertetangga dengan pemilik babi. Sebetulnya JE adalah penyakit
daerah rural, namun di India dan Katmandu ditemukan kasus tanpa pernah melancong
ke daerah rural; mungkin sudah terjadi pola dan vektor sudah beradaptasi.12,13,14,15,16
Infeksi JE umumnya asimtomatis. Penyakit yang berat diperkirakan 1 kasus per 250
infeksi JE. Masa inkubasi JE 4 -14 hari, diikuti gejala klinis, tiba-tiba demam tinggi,
menggigil, sakit kepala, pegal-pegal/nyeri otot, gangguan mental dan opistotonus, dan bisa
disertai acute flaccid paralysis (lumpuh layu). Kejadian kejang seringkali terjadi pada anak
(> 75%) dan lebih jarang pada dewasa. Pada anak, gejala muntah dan nyeri perut dominan
sebagai gejala pertama. Penyakit berlangsung progresif menjadi ensefalitis berat disetai
gangguan mental, kelainan nerologis umum atau fokal, penurunan kesadaran sampai
koma. Penderita bisa memerlukan bantuan ventilator. Sebanyak 30% dari kasus berat
yang hidup, menunjukan gangguan nerologis serius, psikososial, disabilitas intelektual
dan/atau fisik. Laju kematian pada anak yang muda mencapai 20 sampai 30%.13,14,15,16
Tidak ada obat untuk penyakit JE, hanya pengobatan suportif saja. Kematian pada
JE biasanya disebabkan karena aspirasi, kejang-kejang, peningkatan tekanan intra kranial
dan hipoglikemia. Satu-satunya cara pencegahan adalah dengan dengan imunisasi.
Vaksin JE sudah cukup lama beredar. Tahun 2012 hanya di 11 dari 24 (46%) negara
berisiko transmisi JE, mempunyai program imunisasi JE, 7 negara (29%) di antaranya
memasukkan imunisasi JE ke dalam program imunisasi nasional atau pada daerah dengan
risiko JE. Vaksin JE pada tahun 2009 hanya diperuntukan untuk dipakai pada usia ≥ 17
tahun, tetapi tahun 2013 FDA (Food and Drug Adimistration) mgeluarkan lisensi vaksin
JE untuk dapat diberikan kepada anak usia 2 bulan sampai 16 tahun juga. Dosis vaksin
JE primer adalah 2 kali suntikan dengan jarak minimal 28 hari untuk anak 2 bulan sampai
2 tahun tiap dosis 0,25 ml dan untuk anak ≥ 3 tahun setiap dosisnya 0.5 ml. Sampai

212 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


saat ini belum terkumpul data mengenai pemberian buster untuk JE. Advisory Committee
on Immunization Practices (ACIP), merekomendasikan bila orang usia ≥ 17 tahun akan
bepergian ke daerah risiko penularan JE tinggi direkomendasikan pemberian ulangan bila
pemberian vaksin yang primer sudah > 1 tahun sebelumnya.13,14,15
Program demonstrasi JE di Indonesia direncanakan akan dimulai bulan Oktober
2017 pada anak usia 9 - 15 bulan hanya di Bali. Selanjutnya diberikan rutin pada anak
usia 9 bulan bersamaan dengan vaksinasi campak.

Penutup
Kegiatan imunisasi di indonesia dilaksanakan secara rutin sejak tahun 1956. Kegiatan
imunisasi ini telah berhasil membasmi penyakit cacar, dibuktikan dengan Indonesia
dinyatakan bebas cacar oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 1974.
Kemudian pada tahun 1977 dimulai PPI, yang dimulai secara resmi di 55 puskesmas.
Beberapa antigen mulai menjadi program imunisasi nasional, seperti BCG tahun 1973,
tetanus toksoid (TT) ibu hamil tahun 1974, difteri, pertusis, dan tetanus (DPT) pada
tahun 1976. Berikutnya, polio pada tahun 1981, campak pada tahun 1982, dan hepatitis
B tahun 1997. Tahun 2013 ditambahkan Hib yang disatukan dengan DPT dan hepatitis
B (Pentavalen). Tahun 2017 direncanakan penambahan vaksin secara bertahap yaitu MR,
HPV, PCV, dan JE. Kementerian Kesehatan telah merencanakan untuk menambahkan
vaksin baru ke dalam program imunisasi nasional sehingga pada tahun 2025 ada 14
penyakit dapat dicegah. Vaksin baru yang sudah di pipeline adalah rotavirus, influenza,
dengue, hepatitis A, dan varisela, yang semuanya sudah beredar di Indonesia.

Daftar pustaka
1. Sejarah Imunisasi di Indonesia. http://infoimunisasi.com/vaksin/sejarah-imunisasi-di-indo-
nesia
2. WHO/GAVI/UNICEF. Indonesia introduces five-in-one vaccine for children Immuniza-
tion, Vaccines and Biological. http://www.who.int/immunization/newsroom/indonesia_
five_in_one_20130822/en/
3. M Subuh. Tahun ini kemenkes upayakan tiga vaksin lengkapi program imunisasi nasional
www.depkes.go.id
4. Jane Supardi. 2018, Pemerintah akan Masukkan Vaksin Campak Jerman jadi Imuniasi Wajib
Bagi Balita Indonesia. www.depkes.go.id
5. WHO. Human papillomavirus vaccines: WHO position paper, May 2017. Weekly epidemi-
ological record/ Relevé épidémiologique hebdomadaire 12 MAY 2017, 92th YEAR / 12 MAI
2017, 92, 241–268 http://www.who.int/wer
6. Rusmil K. Human Papiloma Vitrus. Pedoman Imunisasi di Indonesia. Edisi 5. Ed. Gde
Ranuh dkk. Satgas Imunisasi IDAI. Halaman 342 -346, 2014
7. Kendalikan kanker servix sejak dini dengan imunisasi. Dipublikasikan pada : Sabtu, 26 No-
vember 2016 00:00:00, dibaca : 3.806 kali j. www.depkes.go.id

213
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
8. WHO. Rubella vaccines: WHO position paper Weekly epidemiological record Relevé épidé-
miologique hebdomadaire 15 july 2011, No. 29, 2011, 86, 301–316 http://www.who.int/
wer
9. Salimo H dan Pasaribu S. Campak, Gondongan dan Rubela (Measles, Mumps, Rubella =
MMR). Pedoman Imunisasi di Indonesia. Edisi 5. Ed. Gde Ranuh dkk. Satgas Imunisasi
IDAI. Halaman 322-3292014
10. WHO. Pneumococcal vaccines WHO position paper – 2012. Weekly epidemiological re-
cord, /Relevé épidémiologique hebdomadair6 APRIL 2012, 87th YEAR / 6 AVRIL 2012,
87, 129–144 http://www.who.int/wer
11. Kartasasmita CB. Pneumokokus. Pedoman Imunisasi di Indonesia. Edisi 5. Ed. Gde Ranuh
dkk. Satgas Imunisasi IDAI. Halaman 288 - 298, 2014
12. WHO. Japanese Encephalitis Vaccines: WHO position paper – February 2015 Weekly ep-
idemiological record/ Relevé épidémiologique hebdomadaire 27 FEBRUARY 2015, 90th
YEAR / 27 FÉVRIER 2015, 90, 69–88 http://www.who.int/wer
13. CDC. Japanese Encephalitis Vaccines: Recommendations of the Advisory Committee on Im-
munization Practices (ACIP). Recommendation and Reports. March 12, 2010/59(RR01);1-
27
14. CDC. Japanese Encephalitis Surveillance and Immunization- Asia and the Western Pacific
2012. August 23, 2013/62(33);658-662
15. CDC. Use Japanese Encephalitis Vaccine in Children: Recommendation of the Advisory Com-
mittee on Immunization Practices (ACIP), 2015. Weekly, November 15, 2013/62(45);898-
900
16. Pusponegoro H. Japanese Ensefalitis. Pedoman Imunisasi di Indonesia. Edisi 5. Ed. Gde
Ranuh dkk. Satgas Imunisasi IDAI. Halaman 362-367, 2014

214 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Strategy to Optimize Catch Up Growth in the
Preterm Infants
Damayanti Rusli Sjarif
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia / RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Abstract
Preterm infants are vulnerable to extra-uterine growth restriction (EUGR) during neonatal ward
stay and after discharge, related to cumulative protein and energy deficits. The goal of nutritional
management of preterm infants should be to optimise quantitative and qualitative rates of growth to
limit long-term morbidity and enhance long-term outcomes. The adequacy of nutrient intakes among
infants is monitored by changes in weight gain, length and head circumference. The earlier recovery
from initial weight loss during the first days of life appears to be key for optimising growth in extremely
preterm infants, as later catch-up requires a higher growth rate that would be difficult to achieve in most
infants. Anthropometric measurements should be plotted on an appropriate growth chart which provided
the basis for growth and nutritional assessment of infants by presenting a comparison of an infant’s
actual size and growth trajectory with reference data. To ensure optimal growth and body composition is
achieved, preterm infants’s nutritional management should be personalised to meet their individual needs
according to their gestational age, birth weight and their need for catch-up growth. The development and
implementation of responsive, personalised nutritional support in preterm infants is mandatory.

P
erkembangan pengetahuan mutakhir mengungkapkan bahwa dampak malnutrisi
yang terjadi di 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) bersifat permanen. Waber
dkk (2014) yang meneliti skor IQ pada 77 orang dewasa berusia 40 tahun dengan
riwayat pernah mengalami malnutrisi sedang maupun berat pada saat bayi, menemukan
bahwa 65% mempunyai skor IQ dibawah 90 termasuk 25% yang mempunyai skor IQ
dibawah 70.1 Hal ini akan mempengaruhi kemampuan didiknya serta lapangan pekerjaan
yang dapat diperoleh. Bayi yang dilahirkan prematur juga akan mengalami malnutrisi jika
tidak mencapai tumbuh kejar yang optimal.
Di pelbagai belahan dunia, angka kejadian restriksi pertumbuhan ekstrauterin
diantara bayi dengan berat lahir sangat rendah bervariasi dari 43% sampai 97%. Kecukupan
asupan energi dan protein pada minggu pertama kehidupan terbukti berkorelasi dengan
defisit perkembangan neurokognitif pada usia 18 bulan. Sejak akhir abad ke 20, para
ahli melakukan pelbagai penelitian untuk menyelamatkan masa depan bayi prematur,
sehingga muncullah rekomendasi pemberian nutrisi yang agresif pada awal kehidupan
untuk mengembalikan BB lahir secepatnya sebelum 2 minggu dilanjutkan dengan
tahapan tumbuh kejar dengan mengoptimalkan nutrisi enteral atau oral (lihat Gambar
1). Pemberian protein yang tinggi pada awal kehidupan terbukti dapat mengoptimalkan

215
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Gambar 1. Nutrisi agresif untuk mencegah restriksi pertumbuhan ekstrauterin
(dikutip dari Adamkin DH. 2006)2

Gambar 2. Asupan tinggi protein serta rendah lemak diawal kehidupan akan meningkatkan risiko terjad-
inya early adiposity rebound (jangka pendek) sedangkan jangka panjang meningkatkan risiko terjadinya
sindrom metabolik (Dikutip dari Rolland-Cachera MF, Scaglioni S 2015)5

216 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


tumbuh kejar sehingga menyelamatkan perkembangan neurokognitifnya 3,4. Meskipun
demikian, pemberian protein dosis tinggi disinyalir meningkatkan risiko terjadinya
sindrom metabolik di kemudian hari (lihat Gambar 2).5
Situasi ini mengharuskan seorang dokter spesialis anak yang menangani bayi
prematur untuk menentukan tumbuh kejar yang optimal yang menghasilkan fungsi
kognitif yang optimal tanpa harus mengalami penyakit degeneratif dikemudian hari.
Untuk itu diperlukan kemampuan untuk menerapkan asuhan nutrisi prematur mulai
dari menilai status nutrisi, menghitung kebutuhan zat gizi, menentukan jalur asupan serta
jenis nutrisi dan yang terpenting memantau serta menganalisisnya.

Bagaimana menilai tumbuh kejar pada bayi prematur ?


Tumbuh kejar dalam bahasa kedokteran disebut catch up growth adalah suatu percepatan
pertumbuhan sebagai kompensasi adanya periode deprivasi sebelumnya. Tumbuh kejar
mulai diperhitungkan jika terdapat status gizi kurang. Idealnya diharapkan kenaikkan
berat badan meningkat 1,5-2 X kecepatan pertambahan BB normal (weight velocity).
Secara umum perhitungan tumbuh kejar dinyatakan dengan

(kenaikan BB per hari x BB ideal untuk usia tinggi )


(BB aktual)

Tumbuh kejar pada bayi prematur sebelum dan sesudah 40 mg sbb ;


•• Kenaikan BB sebelum 40 mg
–– Berat lahir < 1500 g: 13,5-16 g/kg/hari
–– Berat lahir > 1500 g: 10-13 g/kg/ hari
•• Kenaikan BB setelah 40 mg usia gestasi6.

Tabel 1. Pertumbuhan berat badan, panjang badan dan lingkar kepala. Diterjemahkan dan dimodifikasi dari
Nelson Texbook of Pediatrics Eds 18th 6.
Age Kenaikan berat badan setiap Penambahan panjang Penambahan Lingkat
hari (g/hari) badan setiap bulan (cm/ Kepala (cm/bulan)
bulan)
0-3 bulan 30 3,5 2
3-6 20 2 1
6-9 15 1,5 0,5
9-12 12 1,2 0,5
1-3 tahun 8 1 0,25
4-6 tahun 6 3 cm/tahun 1 cm/tahun

217
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Bagaimana menghitung kebutuhan zat gizi untuk tumbuh kejar?
Menghitung kebutuhan enegi dan protein berdasarkan perhitungan sbb:

BB ideal berdasarkan PB x RDA energi/protein bayi prematur


BB aktual

Tahun 1961, Waterlow menyampaikan rangkuman dari beberapa penelitiannya yang


mencatat bahwa kecepatan kenaikkan BB sangat erat hubungannya dengan rasio protein
energi (PER) setiap 150 kkal/kg/hari diperlukan protein 3-4 g/kg/hari.

Tabel 2. Energi dan protein yang dibutuhkan untuk mencapai pelbagai kecepatan tumbuh kejar7
Protein* (g/kg/hari) Energi† (kcal/kg/hari) Protein/energi (%)
1 g/kg/hari 1,02 89 4,6
2 g/kg/hari 1,22 93 5,2
5 g/kg/hari 1,82 105 6,9
10 g/kg/hari 2,82 126 8,9
20 g/kg/hari 4,82 167 11,5
*Deposit jaringan 14% disesuaikan untuk efisiensi penggunaan 70% ditambah kadar rumatan yang aman
(0,82g/kg/hari)
†Energi rumatan pada 85 kkal/kg + biaya energi keseluruhan pada 4,1 kkal/kg/hari. 9,7% deposit jaringan
disesuaikan untuk efisiensi penggunan 70% itambah kadar rumatan yang aman (0,82 d g/kg/hari)

Cooke dkk (2006) untuk pertama kali menganjurkan rasio protein energi (PER)
3,6 g/100 kkal untuk tumbuh kejar bayi sangat prematur, karena selain toleransinya
baik juga memenuhi kebutuhan protein dan energi untuk tumbuh kejar optimal. Untuk
memantau kecukupan asupan protein8 Polberger dkk (1990) menemukan bahwa kadar
ureum serum >1,6 mmol/L dan kadar ureum urin >18 mmol/L(urin dikumpulkan dalam
8 jam) mengindikasikan asupan protein yang tinggi jika kecepatan pertumbuhan adekuat.
Sebaliknya jika kadar keduanya lebih rendah secara konsisten dan kecepatan pertumbuhan
belum adekuat menunjukkan bahwa asupan protein harus ditingkatkan. Pedoman ini
dapat diterapkan secara individual pada bayi sesuai masa kehamilan (AGA) dengan berat
lahir sangat rendah setelah berusia 3 minggu9

Bagaimana memilih jenis nutrisi yang tepat ?


Pilihan nutrisi khusus (food for special medically purposed = pangan khusus untuk keperluan
medis) bayi prematur berlaku pada bayi sangat prenatur (<32 minggu) atau berat lahir
sangat rendah (<1500 g), di atas usia dan BB tersebut jenis makanan yang diberikan sama
dengan bayi cukup bulan. Urutan pilihan adalah sebagai berikut ASI → ASI donor yang
aman → ASI + Human Milk Fortifier → susu formula prematur (lihat Gambar 3)

218 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Gambar 3. Algoritma pemilihan nutrisi enteral pada bayi prematur

Tabel 3. Komposisi zat gizi dalam 1000 mL ASI, ASI+HMF, Susu Formula Standar, Susu Formula Pre-
matur,Susu Formula Postdischarge, dan Nutrisi Enteral Khusus Bayi ≥ 40 minggu usia gestasi
Nutrien ASI ASI + Hu- Susu Susu Susu Formu- Nutrisi En-
man Milk Formula Formula la Postdis- teral Bayi
Fortifier Standar Prematur charge
Energi (Kkal) 670 850 670 810 744 1010
Protein (g) 10 25 14 24 21 26
Lemak (g) 35 36 36 43 39 54
Karbohidrat (g) 70 97 73 87 77 103
Kalsium (mg) 280 1120 530 1400 890 1000
Fosfor (mg) 147 590 320 740 490 500
Natrium (mmol) 8 10 8 18 11,7 16
Zat Besi (mg) 0.4 14,8 12.2 14.6 13,3 12
Seng (mg) 1.2 10,30 6 12.2 7,4 8
Vitamin A (mg) 0.7 3,55 0.6 3.0 0.9 0,81
Vitamin D3 (mcg) 0.5 38 10 40 14 15
PER (%) 5,9 11,8 8,4 11,9 11,2 10,3
Osmolarity (mOsm/L) Tidak tersedia data 270 280 270 305
Osmolality (mOsm/kg) 296,25† 351,25† 300 320 310 360
PRSL (mOsm/100mL) 14‡ 24 12,5 25 18,4 22,3
† Data dikutip dari Srinivasan L et al. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2004;89:F514–F517
‡ Data dikutip dari Fomon SJ.Pediatrics 2000;106 suppl 4:1284-1285

Jika mengacu pada perhitungan PER pada Tabel 2, hanya ASI + HMF, dan susu
formula prematur yang mempunyai PER ≥11,5% sehingga memungkinkan catch up
growth ≥ 20 g/kg/hari.

219
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Pemantauan serta analisis
Setiap penerapan asuhan nutrisi wajib diakhiri dengan pemantauan akseptabilitas,
toleransi dan efektifitas asuhan nutrisi tersebut. Pemantaun dapat dilakukan setiap hari
saat bayi masih dirawat inap atau setiap 1-2 minggu setelah bayi dipulangkan kerumah.
Penilaian efektifitas pertumbuhan menggunakan parameter berat badan, panjang badan
dan lingkar kepala menurut umur grafik Intergrowth 21st International Postnatal Growth
Standard for Preterm yang lebih praktis karena pemantauan dapat dilakukan sejak 27
minggu sampai 64 minggu usia gestasi kemudian dilanjutkan dengan grafik WHO
2006 mulai usia 6 bulan, kedua merupakan grafik standar. Jika menggunakan grafik
Fenton pemantauan dilakukan sejak 24 minggu sampai 40 minggu, setelah itu beralih
menggunakan grafik WHO 2006.

Contoh kasus 1 :
Seorang bayi perempuan dibawa oleh ibunya ke dokter spesialis anak karena gagal tumbuh.
Bayi adalah anak kedua dari orang tua yang tidak ada consanguinitas, dilahirkan spontan
prematur 36 minggu. Berat lahir 1638 g, panjang badan 42 cm dan lingkar kepala 30
cm, bayi mendapat ASI dan HMF, dipulangkan pada usia 16 hari dengan berat 1716 g,
usia 34 hari berat 2068 g dan panjang 44 cm. Ibu bertanya apakah perlu tambahan susu
formula ?

Gambar 4. The International Postnatal Growth Standarr for Preterm Infants Panjang Badan menurut
umur postmenstrual, z-score dan jenis kelamin permpuan

220 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Gambar 5. The International Postnatal Growth Standarr for Preterm Infants Berat Badan menurut umur
postmenstrual, z-score dan jenis kelamin permpuan.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, lakukan asuhan nutrisi


bayi prematur sbb:
Bayi dilahirkan prematur 36 minggu, berdasarkan anamnesis kesannya stabil karena segera
diberikan ASI kemudian ditambah Human Milk Fortifier (HMF). Jika menggunakan
grafik The International Postnatal Growth Chart for Preterm Infants di atas, panjang badan
42 cm sesuai untuk bayi prematur 33-34 minggu dengan berat ideal di antara 1,55-1,86
g (analisis status gizi baik).
Pada usia 16 hari kenaikkan berat badannya seharusnya 10-13 g/kg BB/hari, yaitu
minimal 262 g, pada pasien ini kenaikkan berat badan aktual adalah 178 g, jadi dibawah
kenaikkan BB minimal. Saat itu pasien masih melanjutkan konsumsi ASI dan HMF
(jumlah tidak diketahui). Pada saat dirujuk usia 34 hari, pasien sudah memasuki 40
mg 6 hari, sehingga kenaikkan BB yang diharapkan minimal 25 g/hari jadi 450 g/18
hari, sedangkan kenaikan berat badan aktual adalah 352 g, masih tidak sesuai dengaan
kenaikan berat badan yang diharapkan.

221
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Jika mengacu pada BB saat 34 hari, bayi diperkirakan mendapat asupan ASI dan
HMF sebanyak 2,068 x 120 kkal/hari = 248 kalori (300 ml ASI perah ditambah 12 sachet
HMF). BB ideal berdasarkan panjang badan saat 34 hari yaitu 44 cm adalah 2.280 kg
diperlukan 273 kkal/hari untuk mencapainya. Untuk menenuhi kebutuhan 273-248
kkal =25 kkal diperlukan tambahan ASI 37 ml. Sesuai dengan indikasi penggunaan
FSMP bayi prematur, untuk bayi yang usia gestasinya > 32 minggu dan atau berat lahirnya
>1500 g, maka jika ASI ibu hanya 300 ml ∞ 200 kkal maka perlu ditambah susu formula
standard 73 kkal setara dengan 3,65 takar (1 takar = 20 kkal) atau 3,3 takar susu formula
postdischarge (1 takar = 22 kkal). atau 73 ml Infantrini® (1 ml = 1 kkal) tergantung
ketersediaan produk serta toleransinya.

Contoh Kasus 2
Bayi perempuan usia 21 hari, usia gestasi 30 minggu, berat lahir 1300 g, panjang 38 cm,
lahir secara bedah kaisar atas indikasi eklamsia. Bayi dirawat selama 20 hari karena distres
napas. Pada hari ke-1 diberikan priming ASI dan selanjutnya dinaikkan bertahap sehingga
mencapai nutrisi enteral penuh pada hari ke-10. Saat ini berat bayi 1500 g, panjang 39
cm, diberikan ASI perah campur formula prematur lewat OGT sebanyak 160 ml/kg/hari
(ASI 4x30 dan PF 4x30 ml). Produksi ASI ibu berkisar 120 ml/hari. Ibu bertanya apakah
bisa menggunakan HMF ?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, lakukan asuhan nutrisi


bayi prematur sbb :.
Bayi dilahirkan prematur 30 minggu, jika menggunakan grafik The International Postnatal
Growth Chart for Preterm Infants panjang badan 38 cm sesuai untuk bayi prematur 31
minggu dengan berat ideal 1,27 g. ( analisis sesuai masa kehamilan, status gizi baik ).
Pada usia 21 hari kenaikkan berat badannya seharusnya 13,5-16 g/kg BB/hari ,
yaitu minimal 283,5 g, pada pasien ini kenaikkan berat badan aktual adalah 200 g, jadi
dibawah kenaikkan BB minimal. Saat itu pasien masih melanjutkan konsumsi ASI 120 ml
dan susu formula prematur 120ml. BB ideal berdasarkan panjang badan saat 21 hari yaitu
39 cm adalah 1,45 kg , jadi diperlukan 174 kkal/hari.
Jika akan menggunakan HMF , untuk setiap 25 ml ASI bisa ditambahkan 1 sachet
HMF (4 kkal). 100 ml ASI (± 67 kkal) dengan 4 sachet HMF akan menghasilkan 83 kkal.
Untuk memenuhi kebutuhan 174 kkal/hari diperlukan ± 200 ml ASI ditambah 8 sachet
HMF. Berarti ibu harus menyediakan tambahan ASI donor yang memenuhi persyaratan
higienis sebanyak 80 ml.
Jika hal tersebut sulit dilaksanakan maka pilihan kedua adalah menggunakan susu
formula prematur dengan perhitungan sebagai berikut: ASI ibu saat ini hanya 120 ml/
hari setara dengan 80,4 kkal, kekurangan yang harus dipenuhi adalah 93,6 kkal dapat

222 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


terpenuhi oleh 4 takar susu formula prematur/hari (4X30 ml). Jadi dengan ASI 4X30 ml
dan 4X30 ml susu formula prematur diharapkan bayi bisa mencapai BB 1,45 kg.

Penutup
Sebagai kesimpulan, untuk mencapai tumbuh kejar optimal diperlukan penerapan asuhan
nutrisi bayi prematur yang sempurna, artinya tahapan pemantauan akseptabilitas, toleransi
serta efisiensi merupakan suatu keharusan. Tumbuh kejar optimal bervariasi berdasarkan
berat lahir, serta usia bayi. Penggunaan pangan untuk keperluan medis khusus (Food for
special medically purposes) harus di bawah pengawasan dokter spesialis anak. Indikasi,
kapan digunakan, kapan dihentikan serta kemungkinan reaksi simpang yang mungkin
terjadi merupakan kompetensi dasar seorang dokter spesialis anak.

Daftar pustaka
1. Waber, D. P., Bryce, C. P., Fitzmaurice, G. M., Zichlin, M., McGaughy, J., Girard, J. M.,
& Galler, J. R.. Neuropsychological Outcomes at Mid-Life Following Moderate to Severe
Malnutrition in Infancy. Neuropsychology, 2014: 28(4), 530–540.
2. Adamkin DH. Nutrition Management of the Very Low -birthweight Infant.II. Optimizing
Enteral Nutrition and Postdischarge Nutrition. NeoReviews Dec 2006:7 (12), e608-e614
3. Thureen PJ. Early Aggressive Nutrition in the Neonates. Pediatrics in Review 1999;20;e45
4. Su BH. Optimizing Nutrition in Preterm Infants. Pediatr Neonatol. 2014 Feb;55(1):5-13
5. Rolland-Cachera MF, Scaglioni S. Role Of Nutrients In Promoting Adiposity Development.
In M.L. Frelut (Ed.), The ECOG’s eBook on Child and Adolescent Obesity.2015
6. Keane V. Assessment of growth. In Kliegman,Behrman,Jenson,Stanton. Nelson textbook of
pediatrics 18th eds.2007; hal 72
7. WHO.Protein and amino acid requirements in human nutrition : report of a joint FAO/
WHO/UNU expert consultation. WHO technical report series 2007; 935; hal 185-191
8. Cooke R, Embleton N, Rigo J, et al. High protein pre-term infant formula: effect on nutrient
balance, metabolic status and growth. Pediatr Res 2006;59:265–70
9. Polberger, S K.T., Axelsson, I.E., Räihä, N C R. Urinary and Serum Urea as Indicators of Pro-
tein Metabolism in Very Low Birthweight Infants Fed Varying Human Milk Protein Intakes.
Acta Pædiatrica, 1990;79: 737–742.
10. Srinivasan L et al. Increased osmolality of breast milk with therapeutic additivesArch Dis
Child Fetal Neonatal Ed 2004;89:F514–F517
11. Fomon SJ. Potential Renal Solute Load: Considerations Relating to Complementary Feed-
ings of Breastfed Infants.Pediatrics 2000;106 suppl 4:1284-1285

223
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Managing Perinatally HIV Infected
Adolescence
Debbie Latupeirissa
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta

Abstract
Perinatal-infected HIV positive adolescent is growing up with better treatment options, longer survival
rates and improved quality of life; however this population faced many new problems and issues that
is really challenging. These are including monitoring their medical therapy as they grow older and
management of treatment failures, which may be the result of many factors including drug resistance and
adherence issues. Therefore, more studies are needed to determine the effect of treatment options and the
disease itself in children who are living with it, surviving longer and going on to have their own children.

P
engelolaan infeksi HIV pada anak akibat penularan perinatal sebelum tersedianya
obat antiretroviral (ARV) adalah lebih berfokus pada perawatan dan pencegahan
infeksi oportunistik dan paliatif. Perawatan ini dilakukan karena mortalitas
dan morbiditas yang masih sangat tinggi pada masa tersebut. Sejak tersedianya terapi
antiretroviral HAART pada awal tahun 1990an dan dibuatnya pedoman terapi dari
rejimen obat tunggal menjadi rejimen tiga jenis obat ganda didapatkan hasil yang sangat
baik. Anak-anak dengan terapi ARV yang tepat memiliki tingkat kematian yang jauh lebih
rendah, kelangsungan hidup, dan kualitas hidup mereka menjadi lebih baik dibandingkan
sebelumnya. Rerata usia anak di Amerika Serikat dengan HIV-positif yang terinfeksi pada
masa perinatal saat ini adalah 15 tahun. Suatu penelitian kohort prospektif di Perancis,
juga mendapatkan hasil yang sama yaitu rerata usia HIV anak yang terinfeksi pada masa
perinatal adalah 15 tahun.
Keberhasilan ini ternyata menimbulkan tantangan baru dalam pengelolaan anak
terinfeksi HIV yang mencapai usia adolesen. Beberapa dari tantangan ini termasuk
memantau terapi medis mereka karena seiring dengan bertambahnya usia, perlu penanganan
kegagalan pengobatan yang mungkin diakibatkan oleh banyak faktor termasuk masalah
resistensi obat ARV, farmakodinamik obat ARV, dan kepatuhan penderita minum obat.
Komplikasi akibat penggunaan obat ARV jangka panjang juga menjadi tantangan yang
besar yang harus dideteksi sejak dini.

Pemantauan gagal terapi


Adolesen yang terinfeksi perinatal pada umumnya memiliki riwayat klinis dan pengobatan

224 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


yang panjang serta terpapar berbagai jenis obat antiretroviral. Meskipun anak-anak
dapat tetap memakai rejimen antiretroviral yang stabil selama bertahun-tahun, perlu
dilakukan penilaian rutin yaitu antara lain pemantauan berkala terhadap jumlah virus
dan hitung CD-4 yang berguna untuk menilai efektivitas rejimen obat yang digunakan.
Pedoman terapi di Amerika Serikat merekomendasikan agar anak-anak dan remaja yang
mendapatkan ARV perlu dipantau jumlah virus dan hitung CD-4 secara berkala setiap
3 sampai 4 bulan untuk menilai keefektifan rejimen yang sedang digunakan, dan dapat
menentukan bila ada kegagalan pengobatan. Kegagalan pengobatan meliputi kegagalan
virologik, kegagalan imunologik, dan kegagalan klinis.

1. Kegagalan virologis
Kegagalan virologis didefinisikan sebagai respon yang tidak baik terhadap terapi ARV
yang diketahui dari jumlah virus (viral load) HIV atau terdeteksinya virus kembali
setelah sebelumnya mencapai tidak terdeteksinya virus. Respon yang tidak baik
terhadap terapi ARV didefinisikan sebagai penurunan jumlah HIV RNA < 1,0 log10
setelah 8 sampai 12 minggu pengobatan, jumlah virus HIV masih > 400 setelah 6
bulan pengobatan, dan virus HIV tetap terdeteksi setelah 12 bulan pengobatan.

2. Kegagalan imunologik
Kegagalan imunologi dinilai dengan mengevaluasi hitung sel limfosit T CD-4 di
dalam tubuh pasien. Remaja dan orang dewasa memiliki hitung sel limfosit T CD-4
normal lebih dari 200 sel/mm3. Kegagalan imunologi dapat didefinisikan sebagai
kegagalan untuk mencapai dan mempertahankan respons sel limfosit T CD-4 yang
memadai meskipun ada penekanan jumlah virus. Tidak ada definisi spesifik untuk
kegagalan imunologis, walaupun beberapa penelitian berfokus pada pasien yang
gagal meningkatkan hitung sel T CD-4 di atas ambang batas tertentu (misalnya>
350 atau 500 sel/mm3) selama periode waktu tertentu (misalnya selama 4-7 Tahun).
Definisi lain berfokus pada ketidakmampuan untuk meningkatkan hitung sel CD-4
di atas jumlah sebelum pengobatan dan juga didefinisikan sebagai penurunan yang
berkesinambungan 5 poin persentase hitung CD-4 dalam persentase di bawah
garis dasar sebelum pengobatan ARV. Proporsi pasien yang mengalami kegagalan
imunologi bergantung pada bagaimana kegagalan didefinisikan, periode pengamatan,
dan hitung sel CD-4 saat pengobatan dimulai.

3. Kegagalan klinis
Didefinisikan sebagai timbulnya infeksi oportunistik baru dan atau menjadi
progresif walaupun telah menggunakan HAART selama beberapa bulan. Meskipun
keadaan tersebut timbul pada beberapa bulan pertama setelah dimulainya rejimen
antiretroviral, tidaklah selalu ditafsirkan sebagai kegagalan terapi, pemantauan klinis
harus terus berlanjut dan perlu pertimbangan yang kuat untuk memutuskan bahwa
rejimen saat ini gagal.

225
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Pasien yang mengalami gagal terapi ARV akibat kegagalan virologis, imunologis dan
klinis, harus diperhatikan permasalahan yang melatarbelakanginya, yaitu:

1. Masalah kepatuhan mengkonsumsi obat ARV


Kepatuhan pengobatan sangat penting untuk keberhasilan terapi ARV. Ketidakpatuhan
mengkonsumsi obat ARV dengan teratur dapat mempengaruhi terjadinya kegagalan
pengobatan sehingga harus selalu dinilai saat pasien kontrol. Penting juga memantau
dan menilai apakah masalah kepatuhan terkait dengan formulasi obat, jumlah tablet
yang dikonsumsi, waktu dan frekuensi dosis obat, batasan diet atau efek samping
obat. Hal ini diperlukan untuk menentukan perubahan apa yang diperlukan sehingga
dapat menjaga kepatuhan pasien dan pengasuhnya. Pemantauan berkala penting
untuk identifikasi dini masalah yang mungkin timbul.

2. Farmakokinetik Obat ARV


Selain masalah kepatuhan minum obat yang buruk, dosis obat yang tidak memadai
dapat menyebabkan kegagalan pengobatan. Dosis obat ARV yang tepat pada
remaja sangat kompleks dan bergantung pada banyak faktor, termasuk perubahan
perkembangan selama masa pubertas. Penyebab lain dari tingkat obat yang tidak
mencapai kadar terapi, mungkin juga disebabkan oleh gangguan penyerapan pada
saluran gastrointestinal. Tenaga kesehatan juga sering dihadapkan pada dilema
memberikan dosis pada adolesen berdasarkan berat badan, luas permukaan tubuh,
atau berdasarkan pedoman dosis tetap pasien dewasa, sehingga akibatnya tidak
mencapai dosis terapeutik yang diharapkan.

3. Resistensi obat
Sejumlah penelitian pada pasien dewasa menunjukkan adanya hubungan antara
beberapa mutasi dan resistensi banyak obat pada isolat HIV. Namun data resistansi
pada anak dan remaja dengan HIV positif yang terinfeksi perinatal masih kurang.
Sebagian besar anak remaja yang terinfeksi perinatal sangat sering terpapar beberapa
jenis obat ARV sehingga sangat mungkin terjadi mutasi pada RNA HIV mereka. Oleh
karena itu penting untuk melakukan pengujian resistensi obat pada kelompok ini
sebelum mengganti terapi untuk menentukan kegagalan pengobatan. Uji genotipik
dan fenotipik digunakan untuk menilai ada tidaknya virus yang resisten terhadap
penghambat HIV reverse transcriptase (RT) dan protease (PR).

Pemantauan Komplikasi
Oleh karena anak-anak yang terinfeksi HIV saat perinatal yang dapat bertahan sampai
usia remaja dan adolesen karena tersedianya ARV, maka dilaporkan adanya komplikasi
jangka panjang seperti gangguan metabolik, penyakit ginjal dan penyakit tulang yang
akan menyebabkan risiko penyakit yang berat di kemudian hari.

226 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


1. Penyakit ginjal
Kejadian penyakit ginjal pada anak terinfeksi HIV dilaporkan sebanyak 2-5%.
Kematian pada anak yang terinfeksi HIV akibat gagal ginjal dilaporkan kurang dari
1-5%. Jenis penyakit ginjal kronis yang paling umum dikenal pada pasien terinfeksi
HIV adalah nefropati terkait HIV (HIV-associated nephropathy/HIVAN) yaitu adanya
gambaran glomerulosklerosis fokal. Selain itu juga terdapat gambaran klinis sindrom
nefrotik (proteinuria, edema, dan hipoalbunemia).
US Registry mengungkapkan bahwa anak-anak dengan HIVAN memiliki
prognosis yang lebih baik daripada orang dewasa dengan HIVAN. Oleh karena itu
penting untuk mengidentifikasi kelainan ginjal pada anak dengan riwayat terapi ARV
jangka panjang sedini mungkin. Dalam studi kohort prospektif yang dilakukan oleh
Pediatric AIDS Clinical Trials Group (PACTG) Study 219 / 219C, sebanyak 22%
dari 2.102 anak terinfeksi HIV yang diikuti selama lebih dari 30 bulan ditemukan
setidaknya memiliki satu kelainan laboratorium ginjal yang persisten (peningkatan
kreatinin serum atau proteinuria). Kelangsungan hidup yang lebih lama, etnis hitam
dan hispanik, terpapar antiretroviral seperti tenofovir dan indinavir, diidentifikasikan
sebagai faktor risiko terjadinya penyakit ginjal pada anak terinfeksi HIV. Pemantauan
proteinuria, hematuria, peningkatan kreatinin serum atau nitrogen urea darah, dan
hipertensi pada anak yang terinfeksi HIV harus menjadi bagian dari pemantauan
rutin.

2. Kelainan tulang
Penelitian sebelumnya melaporkan adanya penurunan kepadatan mineral tulang/Bone
mass density (BMD) pada anak terinfeksi HIV sehingga berisiko mengalami patah
tulang di masa depan. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan metabolisme
tulang tersebut yaitu infeksi HIV itu sendiri, kekebalan tubuh pejamu, inisiasi
terapi antiretroviral serta faktor lain yang belum dipahami secara jelas. Suatu studi
longitudinal terhadap sejumlah kecil anak terinfeksi HIV yang diobati dengan
tenofovir disoproxil fumarate menunjukkan penurunan BMD yang signifikan selama
periode 48 minggu. Studi longitudinal lainnya melaporkan nilai dasar BMD yang
rendah pada pasien terinfeksi HIV dibandingkan dengan kontrol yang sehat. Masih
ada kekhawatiran bahwa anak mungkin tidak mencapai puncak massa tulang yang
memadai. Penelitian selanjutnya diperlukan untuk menjelaskan mekanisme yang
mengendalikan resorpsi tulang pada anak yang terinfeksi HIV, peran sitokin kronis
dan dampak berbagai terapi antiretroviral pada BMD.

3. Gangguan metabolik
Meluasnya penggunaan protease inhibitor (PI) sebagai salah satu rejimen ARV, dapat
pula menimbulkan gangguan metabolik seperti lipodistrofi (sindrom redistribusi
lemak), dislipidemia (hiperkolesterolemia dan hipertrigliseridemia) dan resistensi
insulin. Hal ini sebelumnya telah dilaporkan pada pasien dewasa, terjadi pula pada
pasien HIV anak. Akibat kelangsungan hidup anak terinfeksi HIV pada masa perinatal

227
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
dapat bertahan sampai usia dewasa muda, maka mereka berisiko mengalami gangguan
kardiovaskular yang merugikan di usia adolesen. Suatu penelitian sebelumnya
terhadap pasien HIV anak, melaporkan prevalensi lipodistrofi adalah 10-43%.
Anak-anak pada kelompok usia remaja dan adolesen pada umumnya sangat
memperhatikan penampilan tubuh mereka, sehingga ketika mereka menyadari
bahwa perubahan tubuh dikaitkan dengan pengobatan, beberapa kelompok usia
tersebut berhenti minum obat-obatan mereka. Perubahan tubuh ini terus bertahan
bahkan setelah penghentian atau perubahan rejimen antiretroviral selama beberapa
waktu lamanya. Faktor risiko belum sepenuhnya dapat diidentifikasi, namun
mencakup paparan dan lamanya penggunaan NRTI (paling sering stavudin), yang
dikombinasikan dengan protease inhibitor (ritonavir). Faktor lain yang berpengaruh
termasuk kelompok etnis tertentu, usia dan penanda penyakit (hitung CD-4 dan
jumlah virus). Penting memantau kadar lipid pada anak-anak yang minum PI.
Diet dan olahraga sangat dianjurkan sebagai intervensi awal anak-anak dengan
hiperlipidemia. Selain itu penggunaan obat penurun lipid harus dipertimbangkan
pada anak-anak yang tidak bereaksi terhadap pengaturan diet yang ketat.
Gangguan metabolisme glukosa, termasuk toleransi glukosa terganggu, glukosa
puasa dan diabetes mellitus telah dilaporkan pada anak terinfeksi HIV. Meskipun
tidak ada perbedaan yang berarti tingkat glukosa puasa di antara kelompok tersebut,
anak-anak yang terpajan dengan PI memiliki kadar insulin puasa serta kadar glukosa
dan insulin 2 jam yang lebih tinggi dibandingkan kontrol.

4. Gangguan kognitif
Infeksi HIV primer pada sistem saraf pusat (SSP) sudah diketahui dan di era pra-ART
(ART), spektrum yang luas dari keterlambatan neurokognitif dan perkembangan
diamati pada anak yang terinfeksi HIV. Di negara-negara yang dengan sumber
daya terbatas, sejumlah besar anak terinfeksi HIV yang tidak mendapatkan terapi
ARV, kemungkinan terjadi kelainan neurologis ini. Kelainan neurologis juga bisa
diakibatkan oleh infeksi oportunistik SSP seperti meningitis TB, Kriptokokus atau
Toksoplasmosis. Suatu penelitian melaporkan dampak HIV pada perkembangan
anak meliputi gangguan kognitif, motorik dan adaptif. Prevalensi keterlambatan
kognitif berkisar antara 8 sampai lebih dari 60%. Kelambatan perkembangan meliputi
gangguan dalam kemampuan berbahasa, keterampilan motorik, fungsi kognitif
eksekutif, defisit, keterampilan integratif, dan perilaku impulsif. Pemantauan dan
identifikasi dini kelainan neurokognitif serta intervensi medis dan psikososial adalah
kunci untuk memastikan kualitas hidup yang optimal dalam mencegah gangguan
tersebut.

Penutup
Anak dengan infeksi HIV-positif saat perinatal kini tumbuh di era baru dengan pilihan
pengobatan yang lebih baik, tingkat kelangsungan hidup yang lebih lama dan peningkatan

228 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


kualitas hidup; namun masih dihadapkan dengan tantangan, khususnya kelompok
adolesen dengan permasalahan baru yang harus ditangani. Sehingga diperlukan penelitian
lebih lanjut untuk mengetahui efek dari pilihan pengobatan ARV dan penyakit itu sendiri
pada anak-anak terinfeksi HIV yang dapat bertahan hidup lebih lama.

Daftar pustaka
1. Gaur S, Williams PW, Malhotra A. Growing up with HIV: The Challenges and concerns
associated with perinatally infected HIV-1 positive youth. In: Lala MM, Merchant RH,ed.
Principles of perinatal and pediatric HIV/AIDS. Jaypee, New Delhi 2012; p.389-403.
2. Lee LM, Karon JM, Selik R, Neal JJ, Fleming PL. Survival after AIDS diagnosis in adoles-
cents and adults during the treatment era, United States, 1984-1997. JAMA 2001;285:1308-
15.
3. Storm DS, Boland MG, Gortmaker SL, He Y, Skumick J, Howland L, Oleske JM. Protease
inhibitor combination therapy, severity of illness, and quality of life among children with
perinatally acquired HIV-1 infection. Pediatrics 2005;115;e173-e182.
4. Patel K, Hernan MA, Williams PL, Seeger JD, McIntosh K, Van Dyke RB, Seage GR. Long-
term effectiveness of highly active antiretroviral therapy on the survival of children and ado-
lescents with HIV infection: A 10-year follow-up study. CID 2008; 46:507-15.
5. Working Group on Antiretroviral Therapy and Management of HIV Infected Children.
Guidelines for the Use of Antiretroviral Agents in Pediatric infection. February 23, 2009; pp
1-139. Available at http://aidsinfo.nih.gov/ContentFiles/Pediatric Guidelines.pdf. Accessed
2010.

229
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Immunophenotyping pada leukemia akut dan
keganasan hematologis pada anak
Eddy Supriyadi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

I
mmunophenotyping untuk diagnosis kasus keganasan hematologis pada anak merupakan
salah satu aplikasi klinis dari flow cytometry. Pemeriksaan immunophenotyping bisa juga
dilakukan dengan cara manual biasa seperti kita mengerjakan imunohistochemistry.
Prinsip yang dipakai pada prosedur pemeriksaan ini adalah bahwa secara imunologis,
sel leukemia/limfoma mencerminkan karakteristik imunofenotipik dari berbagai tahap
tertentu dari proses kematangan sel, dari sel muda menjadi sel yang matur. Berbagai hasil
penelitian menunjukkan bahwa sel neoplastik ditengarai menampilkan beberapa pola
fenotipik yang menyimpang. Fenotip yang menyimpang ini diyakini sebagai cerminan
dari kelainan genetik yang ada pada sel patologis tersebut. Berbagai macam kelainan
tersebut setidaknya terdapat pada kasus leukemia akut, sindrom mielodisplastik, kelainan
limfoproliferatif kronis, dan diskrasia sel plasma. Berbagai keuntungan dari fungsi flow
cytometer adalah sebagai alat skrining, bisa dipakai juga untuk menetukan klasifikasi,
skrining untuk kelainan genetik, dan lainnya.

Berbagai fungsi dari flow cytometer tercantum pada tabel di bawah ini.
Type of medical indication Disease category
Diagnostic screening B- and T-cell chronic lymphoproliferative disorders (CLPD)
Myelodyplastic syndromes (MDS)
Plasma cell dyscrasias (PCD)
Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria
Systemic mastocytosis
Immunophenotypic classi- Lineage commitment and maturation stage of blast cells in acute leukae-
fication mias
Immunologic classification of acute lymphoblastic leukaemias (ALL)
Identification of acute myeloblastic leukemia (AML)-M0 and M7
Identification of biphenotypic leukaemias
New subtypes of acute non-lymphoblastic leukaemias
B-, T-, and NK-cell CLPD
PCD
Screening for genetic abnor- AML
malities Childhood and adult ALL
B-cell CLPD
Others Prognostic stratification (e.g. CLPD, MDS)
Staging and evaluation of disease extension (e.g. CLPD)
Minimal residual disease detection (e.g. acute leukemias, CLPD, PCD)
Prediction/monitoring of response to therapy (e.g. CLPD, AML)

230 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Epidemiologi
Data epidemiologis pasti tentang keganasan pada anak secara nasional masih menjadi
pekerjaan rumah bagi kita bersama. Selain sulit diadapatkan, akurasinya masih perlu
diperdebatkan. Data yang relatif paling mudah ditemukan adalah data leukemia pada anak.
Secara umum, komposisi penderita leukemia akut di negara berkembang terdiri dari 83%
leukemia limfoblastik akut (LLA) dan 17% leukemia mieloblastik akut (LMA). Di Asia,
kejadian leukemia pada anak lebih tinggi dibandingkan dengan anak dari ras kulit putih.
Faktor-faktor yang diduga dapat berperan dalam kejadian leukemia adalah genetik, radiasi,
kimia dan obat-obatan, infeksi, status sosial ekonomi, dan status imunologis. Di negara-
negara berpenghasilan rendah seperti Indonesia, faktor lingkungan diduga memiliki peran
dalam kejadian LLA pada anak. Peran day care ataupun playgroup, di mana terjadi kontak
dini anak-anak di usia awal, akan memiliki dampak awal terkena infeksi. Hal ini berperan
dalam mengurangi kejadian LLA. Pada penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Umum
Pusat (RSUP) Dr. Sardjito, Yogyakarta, pada tahun 2011, didapatkan adanya peningkatan
kasus baru leukemia akut pada anak dari 45 per tahun di tahun 1999 menjadi 91 per
tahun di tahun 2009. Dari hasil analisis terpisah, diperoleh hasil angka rerata kejadian
tahunan dalam kurun waktu tahun 1998-2009 di provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
sebesar 20,8 untuk LLA dan 8,0 untuk LMA. Di Jakarta, pada tahun 1994, insidensiya
mencapai 2,76 per 100.000 anak usia 1-4 tahun. Di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD)
Dr. Soetomo, Surabaya, sepanjang tahun 2002, dijumpai 70 kasus leukemia baru.
Insidensi LLA pada anak sebesar 3,0-3,5 per 100.000 bervariasi pada setiap negara,
wilayah geografis, ras, dan etnis. Hal ini juga terkait dengan laju pertumbuhan penduduk
di daerah pedesaan, di mana faktor lingkungan diduga kuat berpengaruh terhadap
kejadian penyakit ini. Insidensi LLA di Eropa sebesar 46,7 kasus per juta per tahun pada
tahun 2000. Di Perancis, insidensi LLA dilaporkan sebesar 34,3 dan LMA sebesar 7,1 per
juta penduduk. Rasio laki-laki dan perempuan adalah 1,15 untuk LLA dan mendekati
1 untuk LMA. Puncak kejadian pada umur 2-5 tahun spesifik untuk anak kulit putih
dengan LLA. Hal ini disebabkan oleh banyaknya kasus LLA pre-B pada rentang usia ini.
Kejadian ini tidak tampak pada kulit hitam. Kemungkinan puncak tersebut merupakan
pengaruh faktor-faktor lingkungan di negara industri yang belum diketahui.

Immunophenotyping untuk diagnosis leukemia akut


Sebelum tahun 2006, diagnosis leukemia pada anak di Yogyakarta ditegakkan hanya
berdasarkan morfologi dan pemeriksaan sitokimiawi. Pemeriksaan tersebut belum
memenuhi standar kriteria World Health Organization (WHO) dalam penegakan kasus
leukemia, di mana salah satunya harus disertai pemeriksaan immunophenotyping di
samping pemeriksaan morfologis, sitokimiawi, dan pemeriksaan genetik. Pemeriksaan
immunophenotyping mulai dilakukan pada awal tahun 2006. Pada tahap awal, dilakukan
pemeriksaan pada 136 sampel dengan metode pewarnaan tunggal (single color) yang
menggunakan sembilan antibodi monoklonal. Hasil analisis dalam kurun waktu tersebut

231
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
menunjukkan adanya perbedaan yang terlalu besar antara hasil pemeriksaan morfologis
LMA dan hasil pemeriksaan immunophenotyping dengan nilai kesepakatan sebesar 0,43
(moderate agreement). Oleh karena itu, sejak bulan Desember 2007, metode baru diterapkan
dengan metode pemeriksaan tiga warna (three-color FACS scan) dan menggunakan panel
yang terdiri dari 15 antibodi monoklonal. Panel baru ini adalah hasil penyempurnaan
panel lama dengan penambahan antibodi terhadap antigen sitoplasmik. Penambahan
antibodi monoklonal pada metode baru ini adalah untuk LLA-T digunakan cytoplasmic
CD3, untuk LLA-B digunakan cytoplasmic CD79a dan cytoplasmic myeloperoxidase
(MPO), serta CD117 untuk sel-sel LMA. Metode baru ini diterapkan untuk mendeteksi
kecurigaan leukemia pada 318 sampel. Hasilnya menunjukkan hasil 1% dengan ‘low
marker expression’. Angka ini sangat menurun bila dibandingkan dengan panel yang
lama, yaitu sebesar 14,7%. Nilai kesepakatan morfologis dan hasil immunophenotyping
meningkat tajam dengan skor kappa 0,82 (hampir mendekati sempurna).
Pada penelitian ini, didapatkan hasil sebesar 83% dari sampel LLA merupakan
LLA-B dan 17% adalah LLA-T. Sembilan dari 239 sampel yang secara morfologis LLA
sebenarnya adalah LMA dan 12 dari 79 sampel yang secara morfologis LMA faktanya
merupakan LLA. Hal ini berarti bahwa sejumlah pasien (6,6%) mengalami perubahan
dari protokol LLA ke LMA maupun sebaliknya. Dari data tersebut, angka kejadian
LLA di Indonesia relatif rendah, sementara angka kejadian LMA serupa dengan yang
dilaporkan di negara-negara barat, dengan proporsi LMA sebesar 23%. Karena relatif
rendahnya angka LLA, kami mendapatkan persentase yang relatif tinggi dari pasien
LMA sebesar 23%. Immunophenotyping pada leukemia anak di Indonesia berperan untuk
memperbaiki kualitas diagnosis, yang sebelumnya hanya berdasarkan pada morfologi saja.
Oleh karena itu, stratifikasi risikonya dapat dilakukan dengan lebih baik, sehingga hal ini
akan menentukan pemilihan protokol pengobatan yang paling optimal.
Pemeriksaan immunophenotyping bisa mendeteksi ekspresi antigen campuran pada
sel LLA. Campuran antigen yang dimaksud adalah adanya ekspresi antigen mieloid pada
LLA dan bagaimana kombinasi ekspresi CD10, CD34, atau kombinasi keduanya.
Secara keseluruhan, didapatkan ekspresi antigen mieloid pada 25% populasi LLA
di Indonesia. Ditemukan hubungan antara klasifikasi French-American-British (FAB)
dengan ekspresi mieloid, bahwa mayoritas pasien ALL-L1 tidak memiliki ekspresi antigen
mieloid (p = 0,02). Analisis Kaplan-Meier pada pasien leukemia menunjukkan bahwa
pasien-pasien tanpa ekspresi antigen myeloid memiliki prognosis yang lebih baik. Pada
LLA-B, proporsi mieloid adalah 27%, sementara pada LLA-T, adalah 18%. Pada LLA-T,
ekspresi antigen mieloid menjadi faktor prognostik buruk (p = 0,04). Dari hasil analisis,
didapatkan bahwa tidak adanya ekspresi antigen mieloid pada LLA-T memiliki prognosis
yang lebih baik.
Hal lain yang bisa kita ambil manfaat dari pemeriksaan immunophenotyping adalah
melihat kombinasi ekspresi dari masing-masing antibodi monoklonal, misalnya pada
kombinasi antara CD10 dan CD34. Ekspresi CD10 dan CD34 bervariasi pada beberapa

232 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


penelitian yang berbeda. Pasien-pasien dengan CD10+ memiliki angka survival yang
lebih tinggi dibandingkan dengan CD10- (p < 0,001). Ekspresi CD34 tidak berpengaruh
terhadap prognosis, sementara kombinasi ekspresi CD10+ dan/atau CD34+ berhubungan
dengan prognosis baik. Overall survival (OS) untuk kombinasi CD10+ dan/atau CD34+
adalah 61% vs. 31% pada kelompok yang negatif keduanya (p < 0,001). Pada analisis
multivariat, didapatkan hasil bahwa double negative (CD10- dan CD34-) menjadi faktor
prognosis yang independen pada populasi kami, selain usia saat diagnosis dan stratifikasi.
Pada LLA-T, ekspresi CD10 berhubungan dengan angka leukosit yang lebih rendah.
Survival pada pasien-pasien CD10+ adalah 88% vs. 26% pada CD10- (p = 0,005). Ekspresi
CD34 tidak memiliki pengaruh yang signifikan pada luaran. Kombinasi CD10 dan CD34
pada LLA-T ini secara signifikan berpengaruh pada OS. Kombinasi CD10- and CD34-
merupakan satu-satunya faktor prognostik yang signifikan dengan hazard ratio 5,9 (95%
CI, 1,6-21,3; p = 0,007). Kombinasi CD10- dan CD34- pada LLA-T secara signifikan
memiliki prognosis buruk, yaitu 13% vs. 77% pada kombinasi CD10+ dan/atau CD34+
(p = 0,002).
Untuk diagnosis myelodysplastic syndromes (MDS), digunakan antibodi monoklonal,
seperti CD35, CD11a, CD11b, CD15, CD16, CD54, dan CD116. Ekspresi dari antibodi
tersebut menurun dan dibarengi dengan ekspresi yang tinggi dari antibodi CD33+,
CD87+, CD14+, CD44+, dan CD64+. Penggunaan flow cytometry untuk diagnosis MDS
ini sangat disarankan, mengingat sulitnya mendiagnosis penyakit ini hanya berdasarkan
pemeriksaan apusan darah maupun apusan dari sumsum tulang.
Kegunaan lain dari flow cytometer adalah untuk deteksi minimal residual disease
(MRD) yang hal ini hampir tidak mungkin dilakukan hanya dengan pemeriksaan dengan
mikroskop. Pemantauan penyakit dengan melihat MRD ini menjadi hal yang semestinya
rutin dilakukan karena MRD ini mempunyai nilai prognostik untuk leukemia.

Daftar pustaka
1. Smith, M. A. & Ries, L. A. G. (2002). Childhood Cancer: Incidence, Survival and Mortality.
In Principles and Practice of Pediatric Oncology 4th edit. (Pizzo, P. A. & Poplack, D. G., eds.),
pp. 1-12. Lippincott, Williams and Wilkins, Philadelphia.
2. Ries, L. A. G. (2008). Childhood Cancer Mortality pp. 165-170. Surveillance Research Pro-
gram, NCI, Bethesda.
3. Yaris, N., Mandiracioglu, A. & Buyukpamukcu, M. (2004). Childhood cancer in developing
countries. Pediatr Hematol Oncol 21, 237-53.
4. Coebergh, J. W., Reedijk, A. M., de Vries, E., Martos, C., Jakab, Z., Steliarova-Foucher, E. &
Kamps, W. A. (2006). Leukaemia incidence and survival in children and adolescents in Eu-
rope during 1978-1997. Report from the Automated Childhood Cancer Information System
project. Eur J Cancer 42, 2019-36.
5. Bhatia, S., Ross, J. A., Greaves, M. F. & Robinson, L. L. (1999). Epidemiology and etiology.
In Childhood Leukemias (Pui, C. H., ed.), pp. 38-49. Cambridge University Press, Cam-
bridge.

233
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
6. Hjalgrim, L. L., Rostgaard, K., Schmiegelow, K., Soderhall, S., Kolmannskog, S., Vetten-
ranta, K., Kristinsson, J., Clausen, N., Melbye, M., Hjalgrim, H. & Gustafsson, G. (2003).
Age- and sex-specific incidence of childhood leukemia by immunophenotype in the Nordic
countries. J Natl Cancer Inst 95, 1539-44.
7. Pui, C. H. & Evans, W. E. (2006). Treatment of acute lymphoblastic leukemia. N Engl J Med
354, 166-78.
8. Vardiman, J. W., Thiele, J., Arber, D. A., Brunning, R. D., Borowitz, M. J., Porwit, A., Har-
ris, N. L., Le Beau, M. M., Hellstrom-Lindberg, E., Tefferi, A. & Bloomfield, C. D. (2009).
The 2008 revision of the World Health Organization (WHO) classification of myeloid neo-
plasms and acute leukemia: rationale and important changes. Blood 114, 937-51.
9. Carroll, W. L., Bhojwani, D., Min, D. J., Raetz, E., Relling, M., Davies, S., Downing, J. R.,
Willman, C. L. & Reed, J. C. (2003). Pediatric acute lymphoblastic leukemia. Hematology
Am Soc Hematol Educ Program, 102-31.
10. Pui, C. H. (2009). Toward a total cure for acute lymphoblastic leukemia. J Clin Oncol 27,
5121-3.
11. Margolin, J. F., Steuber, C. P. & Poplack, D. G. (2002). Acute Lymphoblastic Leukemia. In
Principles and practice of pediatric oncology 5th edit. (Pizzo, P. A. & Poplack, D. G., eds.), pp.
1605-16. Lippincott, Williams & Wilkins, Philadelphia.
12. Browman, G. P., Neame, P. B. & Soamboonsrup, P. (1986). The contribution of cytochem-
istry and immunophenotyping to the reproducibility of the FAB classification in acute leu-
kemia. Blood 68, 900-5.
13. Pui, C. H., Robison, L. L. & Look, A. T. (2008). Acute lymphoblastic leukaemia. Lancet
371, 1030-43.
14. Han, X. & Bueso-Ramos, C. E. (2007). Precursor T-cell acute lymphoblastic leukemia/lym-
phoblastic lymphoma and acute biphenotypic leukemias. Am J Clin Pathol 127, 528-44.
15. Paredes-Aguilera, R., Romero-Guzman, L., Lopez-Santiago, N., Burbano-Ceron, L., Cama-
cho-Del Monte, O. & Nieto-Martinez, S. (2001). Flow cytometric analysis of cell-surface
and intracellular antigens in the diagnosis of acute leukemia. Am J Hematol 68, 69-74.
16. L. Kinlen and R. Doll, “Population mixing and childhood leukaemia: Fallon and other US
clusters,” Br J Cancer, vol. 91, pp. 1-3, Jul 5 2004.
17. E. Supriyadi, P. H. Widjajanto, I. Purwanto, et al., “Incidence of childhood leukemia in
Yogyakarta, Indonesia, 1998-2009,” Pediatr Blood Cancer, vol. 57, pp. 588-93, Oct 2011.
18. Van Dongen, Immunophenotyping of hematopoietic malignancies. Rotterdam: Departe-
ment of Immunology, Erasmus University Medical Center, 2003.
19. R. Garand and N. Robillard, “Immunophenotypic characterization of acute leukemias and
chronic lymphoproliferative disorders: practical recommendations and classifications,” He-
matol Cell Ther, vol. 38, pp. 471-86, Dec 1996.
20. B. H. Davis, J. T. Holden, M. C. Bene, et al., “2006 Bethesda International Consensus
recommendations on the flow cytometric immunophenotypic analysis of hematolymphoid
neoplasia: medical indications,” Cytometry B Clin Cytom, vol. 72 Suppl 1, pp. S5-13, 2007.
21. J. W. Coebergh, H. A. van Steensel-Moll, E. R. Van Wering, et al., “Epidemiological and
immunological characteristics of childhood leukaemia in The Netherlands: population-based
data from a nationwide co-operative group of paediatricians,” Leuk Res, vol. 9, pp. 683-8,
1985.

234 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


22. W. D. Ludwig, J. Harbott, C. R. Bartram, et al., “Incidence and prognostic significance of
immunophenotypic subgroups in childhood acute lymphoblastic leukemia: experience of the
BFM study 86,” Recent Results Cancer Res, vol. 131, pp. 269-82, 1993.
23. N. Dakka, H. Bellaoui, M. Khattab, et al., “Immunologic profile and outcome of childhood
acute lymphoblastic leukemia (ALL) in Morocco,” J Pediatr Hematol Oncol, vol. 29, pp.
574-80, Aug 2007.
24. P. Tiensiwakul, T. Lertlum, I. Nuchprayoon, et al., “Immunophenotyping of acute lympho-
blastic leukemia in pediatric patients by three-color flow cytometric analysis,” Asian Pac J
Allergy Immunol, vol. 17, pp. 17-21, Mar 1999.
25. Pui C. H., F. G. Behm, and W. M. Crist, “Clinical and biologic relevance of immunologic
marker studies in childhood acute lymphoblastic leukemia,” Blood, vol. 82, pp. 343-62, Jul
15 1993.
26. Supriyadi E, P. H. Widjajanto, A. J. Veerman, et al., “Immunophenotypic patterns of child-
hood acute leukemias in Indonesia,” Asian Pac J Cancer Prev, vol. 12, pp. 3381-7, 2011.
27. Orfao, G. Schmitz, B. Brando, et al., “Clinically useful information provided by the flow
cytometric immunophenotyping of hematological malignancies: current status and future
directions,” Clin Chem, vol. 45, pp. 1708-17, Oct 1999.
28. Behm F and D. Campana, “Immunophenotyping,” in Acute Leukemias, C. H. Pui, Ed., 1 ed
Cambridge: Cambridge University Press, 1999, pp. 111-135.
29. Campana D and F. G. Behm, “Immunophenotyping of leukemia,” J Immunol Methods, vol.
243, pp. 59-75, Sep 21 2000.

235
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Burden and Clinical Problems of Small for
Gestational of Age
Ekawaty Lutfia Haksari
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada / RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta

Abstract
Small for gestational age (SGA) infant is an infant whose body weight is smaller than its gestational
age (GA). It is frequently defined as low birthweight (LBW) infant with lower than 10 percentile or 2
SD based on GA and a specific curve, update from each population.  The prevalence of SGA depends on
the birthweight curve used. High number of SGA infants with various levels is found in low-medium
income countries whose prevalence of LBW infants is high.
Physical examination on an SGA infant shows decreased fat tissue, loose dry folded skin, lack of
subcutaneous and muscle, the head bigger than the body, old looking face, alert eyes, long nails, and
small umbilical cord sometimes meconium stained. There are 2 types of SGA infants based on their
bodies are symmetrical and asymmetrical. Symmetrical SGA infants have lower birthweight, shorter
body length, and smaller head circumference than the GA standards. The incidence may cover  20-30%.
The problem has occurred since the early pregnancy. The prognosis is worse than asymmetrical SGA.
Asymmetrical infants, on the other hand, exhibit birthweight less than the GA standards, body length
and head circumference close to the expected GA standards. It occurs in late trimester due to placental
insufficiency and or nutritional deficiency.
Compared with Appropriate for Gestational Age (AGA) infants, SGA infants are more likely to have short-
term clinical problems with initial identification of asphyxia, hypoglycemia, hypothermia, polycitemia,
jaundice, respiratory distress, pulmonary hemorrhage, and Persistent Pulmonary Hypertension (PPHN)
which need to be managed immediately. Some subsequent problems that may appear include feeding
problem, necrotizing enterocolitis (NEC), retinopathy of prematurity (ROP), peri-intraventricular
hemorrhage, bronchopulmonary dysplasia (BPD), long-term use of oxygen, ventilator and hospitalization.
Long-term risks may include growth, development, and cardiovascular disorders. SGA infants are at risk
of stillbirth, neonatal and postneonatal death. Risk of death may increase in preterm SGA infants. SGA
infants have become a big problem in countries with low moderate income. Prevention, preparation, and
intervention are required to save SGA infants and to lessen long-term impact.

B
ayi dengan kecil masa kehamilan (KMK) ataupun bayi dengan riwayat intrauterine
growth retriction (IUGR) mempunyai masalah besar yang sering tersamar dari
berbagai macam kesakitan dan kematian pada populasi mulai dari janin sampai
dengan neonatus1
Bayi KMK adalah bayi yang ukurannya kecil dibandingkan usia kehamilan (UK).
KMK tidak mempertimbangkan apakah semula bayi tersebut pada saat janin didapatkan

236 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


atau IUGR atau pertumbuhan janin terlambat (PJT). Sedangkan IUGR adalah
pertumbuhan janin yang kurang dari normal pertumbuhan spesifik janin sesuai ras dan
gender. Dalam hal tersebut minimal dengan 2 kali pengukuran janin2.
Ada berbagai definisi KMK yang didapatkan dan masih menjadi perdebatan.
Menurut WHO bayi KMK atau bayi yang lahir dengan pertumbuhan janin lambat jika
didapatkan bayi dengan berat lahir dibawah 10 persentil dari kurve berat lahir sesuai
gender dan spesifik3. Definisi yang lain adalah bayi dengan berat lahir kurang dari 10
persentil dibandingkan usia UK, karena kondisi ini akan meningkatkan risiko kematian
neonatal4. Bagaimanapun tidak semua bayi < 10 persentil merupakan patologi, bisa juga
disebabkan karena konstitusional dari ibu. Beberapa peneliti lain menggunakan batasan
bayi KMK dengan berat lahir 15, 5, 3 persentil dihubungkan dengan usia UK.5,6 Beberapa
keterbatasan dari definisi KMK masih menjadi perdebatan, terutama untuk pemeriksaan
risiko pemantauan karena berdampak buruk. Kebanyakan secara ekslusif mengaitkan
dengan berat lahir, sebagai contoh bayi berat lahir rendah (BBLR) dengan berat lahir
kurang dari 2500 gram atau dibawah 1 atau 2 SD jika dihubungkan dengan UK sesudah
disesuaikan dengan UK dan gender.6,7 Konsensus Amerika Latin mendefinisikan bayi KMK,
jika berat lahir atau dan panjang badan saat lahir < 2SD dibawah mean populasi spesifik
sesuai usia kehamilan. KMK merupakan referensi ukuran tubuh dan menggambarkan
referensi data panjang –berat badan sesuai populasi geografi etnik yang diketahui spesifik,
dan update.8 Lebih lanjut derajat KMK akan diklasifikasi sebagai KMK sedang 3-<10
dan berat <3 persentil UK.9 Penggunaan definisi yang berbeda untuk kelompok dalam
berbagai penelitian akan memberikan kesimpulan yang bervariasi. Penggunaan definisi
KMK diperlukan bukan hanya untuk memenuhi syarat untuk analisis penelitian tertentu,
tetapi juga untuk membandingkan berbagai penelitian.10

Epidemiologi
BBLR bisa disebabkan karena kurang bulan atau KMK.11 Indonesia termasuk dalam 11
negara dengan kelahiran kurang bulan lebih dari 15%12 dan termasuk dalam 10 negara
dengan jumlah KMK tertinggi didunia.13 Diperkirakan sepertiga BBLR adalah KMK,
sedangkan dua-pertiganya adalah bayi yang sesuai masa kehamilan (SMK) dan kurang
bulan. Dari sejumlah BBLR yang diteliti, 59% merupakan KMK cukup bulan dan 41%
kurang bulan. Kebanyakan BBLR dinegara dengan penghasilan rendah dan sedang adalah
KMK. Di negara berkembang, BBLR sering merupakan gambaran dari besarnya KMK,
karena penilaian yang valid dari pengukuran usia kehamilan sering tidak tersedia. Pada
negara dengan penghasilan rendah dan menengah, dimana prevalensi BBLR tinggi akan
didapatkan jumlah KMK yang tinggi dengan berbagai tingkatan.13,14
Prevalensi KMK bervariasi dari 10,5% -72,5% di Nepal, dan 12-78,4% di India
tergantung dari kurve berat lahir dari populasi rujukan yang digunakan. Jumlah KMK
perempuan lebih banyak dari laki-laki. Prevalensi KMK menurun jika menggunakan
rujukan dari populasi negara dengan penghasilan rendah.14 Karena prevalensi bayi dengan

237
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
risiko tergantung kurva berat lahir yang digunakan, diperlukan kurva yang spesifik gender,
berdasar populasi terkait dan update setiap 10 tahun.8,15,16,17

Gambar 1. Estimasi prevalensi bayi KMK (Lee et al, 2013)

Masalah bayi KMK pada negara dengan penghasilan rendah dan menengah dan
tertinggi di Asia tengah. Implementasi dengan intervensi efektif pada bayi yang lahir terlalu
awal atau terlalu kecil merupakan hal yang mendesak untuk meningkatkan survival dan
menurunkan disabilitas, stunted dan penyakit tidak menular. 13

Etiologi
Bayi KMK disebabkan karena faktor maternal, janin, plasenta dan genetik.1 Penyebab
bayi KMK secara garis besar karena adanya hipoksia dan atau malnutrisi saat janin dan
atau konstitusional tubuh ibu ataupun orang tua.2, 18,19 Pada penyebab hipoksia dan
malnutrisi disebabkan karena masalah pada maternal, plasenta dan janin. Risiko luaran
akan lebih rendah jika saat pemeriksaan kehamilan sudah diketahui adanya janin dengan
risiko KMK.20

Pemeriksaan fisik bayi KMK


Pemeriksaan fisik pada bayi KMK, jika infeksi kongenital dan kelainan bawaan diekslusi;
secara umum didapatkan bayi kecil dengan jaringan lemak pipi berkurang, wajah tampak
tua dengan keriput, kurangnya jaringan otot dan subkutan, perut mengempis, kulit
kering dan longgar, kulit berlipat-lipat, kepala lebih besar dibandingkan tubuh, tangan
dan kaki relative lebih besar dari tubuh, mata yang awas, jari kuku panjang, tali pusar kecil
dan kadang tercemar meconium. 2,21
Berdasarkan proporsi tubuh ada 2 macam bayi KMK, simetris (proporsional ) dan
asimetris (tidak proporsional). Untuk melihat derajat malnutrisi menggunakan indeks
masa tubuh dengan Ponderal indeks (PI). Bayi KMK simetris,dimana lingkar kepala,
panjang badan dan berat lahir secara proporsional kurang dari UK. Insidens sekitar
20-30%. Masalah didapat pada awal kehamilan, misal infeksi kongenital atau masalah
genetik ( trisomi 13, trisomy 18, gangguan kromosom lain), dwarf syndrome, inborn error
metabolism atau penggunaan obat-obat saat kehamilan. Jumlah sel turun tetapi ukuran
sel normal. Ponderal indeks normal >2. Prognosis lebih buruk dibandingkan asimetri.
Sedangkan pada bayi asimetri atau tidak proporsional, hanya berat lahir yang kurang dari
UK. Panjang dan lingkar kepala mendekati persentil UK yang diharapkan. Penyebab terjadi
pada trimester akhir dan selalu terkait dengan insufisiensi uteroplasenta (preeklampsia,
hipertensi kronik, diabetes klas D atau F) atau defisiensi nutrisi.2,18,19 Saat awal sampai
pertumbuhan melebihi substrat yang disediakan, umumnya terjadi di semester 3;
dimana akan terjadi 2/3 pertumbuhan janin. Pertumbuhan janin akan melambat sampai
dengan kenaikan yang buruk dan didapat relatif pertumbuhan lengan dan otak substrat

238 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


pilihan yang diberikan (lingkar kepala). Dengan sedikit saja penurunan energi kejanin,
pertumbuhan glikogen dan otot terbatas. Pertumbuhan tulang dan panjang sedikit tidak
terkena, sedangkan pertumbuhan kepala, dimana sparing pertumbuhan kepala disebabkan
karena pengiriman substrat akan didistribusi ke otak setelah redistribusion cardiac output.19

Masalah klinis bayi KMK


Bayi KMK lebih sering didapatkan masalah dibandingkan bayi SMK. Konsekuensi jangka
pendek bayi KMK adalah asfiksia dan masalah adaptasi neonatus, sedangkan jangka
panjang adalah didapatkannya gangguan pertumbuhan dan perkembangan neurologik.19
Adaptasi neonatus termasuk didapatkannya regulasi glukosa yang abnormal, suhu tubuh
yang tidak stabil, polisitemia, dan distres respirasi karena aspirasi mekonium, persisten
pulmonary hypertension (PPHN), perdarahan paru.2,18,19
Isu spesifik dari KMK kurang bulan adalah peningkatan bronkhopulmonary dysplasia
(BPD), enterokolitis nekrotikans (EKN), retinopathy of prematurity (ROP) dan gangguan
pertumbuhan pasca-natal. Diperkirakan 30-50% ekstrem kurang bulan adalah KMK.
19
Diperkirakan gangguan pertumbuhan tersebut karena intoleransi feeding. 22 Secara
umum KMK mempunyai risiko kematian dan meningkat jika kurang bulan.23,24,25 Risiko
kematian dan kesakitan makin meningkat pada bayi yang lebih kecil; bayi berat lahir
sangat rendah (BBLSR) ataupun sangat kurang bulan.16,26
Secara umum didapatkan luaran kematian dan kesakitan major bayi KMK yang lebih
buruk dari SMK. Beberapa hasil lain mendapatkan risiko yang sama atau lebih sedikit
risiko pada KMK. Hasil yang berbeda dalam membandingkan luaran KMK dan SMK,
kemungkinan disebabkan karena perbedaan dalam menggunakan kurva bayi baru lahir,
berdasar berat lahir atau usia kehamilan, batasan titik potong dalam definisi KMK <10,
<10-3, <5 atau <3 persentil berdasar UK, dan variabel konfonding yang digunakan16
Distres napas karena SDR pada bayi KMK masih menjadi perdebatan. Konsep
terdahulu menyampaikan bahwa stress pada janin yang menyebabkan KMK akan
meningkatkan maturasi paru sehingga menurunkan kejadian RDS. Tetapi hal tersebut
disebabkan karena membandingkan kedua kelompok dengan berat lahir yang sama.
Hal yang penting untuk mempelajari dampak karena KMK dengan membandingkan
perbedaan dengan SMK pada UK yang sama. Pada penelitian dengan membandingkan
UK, ras dan jenis kelamin sama didapatkan kenaikan risiko.27 Zaw et al mendapatkan
RDS meningkat KMK dengan menggunakan standard kurve janin, sedangkan jika
menggunakan standar kurva bayi baru lahir tidak didapatkan perbedaan yang bermakna.28
Kenaikan distress napas juga dilaporkan pada bayi <26 persentil dibandingkan bayi yang
berat lahirnya lebih pada umur kehamilan yang sama.5 Hasil yang lain mendapatkan RDS
tidak berbeda pada kedua kelompok KMK dan SMK, dengan definisi operasional RDS
pada bayi yang menggunakan surfaktan.16
Bayi KMK mempunyai angka metabolik yang lebih tinggi dibandingkan bayi kurang
bulan dengan berat lahir sama, hal ini kemungkinan karena relatif rasio kepala lebih besar

239
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
dari tubuh. Bayi KMK kurang bulan, terutama BBLSR memerlukan pengamatan dan
penilaian yang ketat. Bayi KMK memerlukan sedikit cairan dibanding SMK kurang bulan
ataupun cukup bulan karena meningkatnya volume ekstra cairan. Penurunan berat bayi
KMK lebih sedikit dibanding bayi SMK pada 10 hari pertama kehidupan.29

Rawat inap
Rawat inap dan penggunaan sarana pelayanan oksigen, ventilator bayi KMK kurang
bulan secara umum meningkat lebih lama dibanding bayi SMK.26,30 Pada bayi cukup
bulan, bayi KMK lebih sering masuk ke neonatal intensive care (NICU) dan rawat inap
lebih lama dibanding bayi SMK. Gangguan neurologi, infeksi saluran nafas yang serius
dan kesakitan lain memelukan rawat inap dan pemantauan 5-10 kali lebih sering sampai
berumur 1 tahun.18

Pertumbuhan dan Perkembangan


Pertumbuhan
Pemantauan pertumbuhan selama masa awal pasca kelahiran dapat memberikan informasi
yang bermanfaat; pola yang berbeda dapat diketahui pada bayi umur 3 bulan. Setelah
lewat masa neonatal, kejar tumbuh terjadi pada usia 6-9 bulan pertama dalam kehidupan
bayi KMK, baik kurang bulan maupun cukup bulan.9 Tetapi kemudian dibandingkan
bayi SMK beratnya akan kekurangan – 0,75 SD, panjang badan dan lingkar kepala
juga kekurangan -0,60 SD (Hediger,1998). Secara keseluruhan bayi KMK yang tidak
proporsional didapatkan tetap pendek dan ringan daripada bayi SMK. Kira-kira 44%
bayi KMK kurang bulan dan 29% bayi cukup bulan tetap berada dibawah 5 persentil.9
Penelitian lain dengan sampel nasional dari anak2 kulit putih, non hispanik, kulit hitam
non hispanik, dan anak2 keturunan Meksiko-Amerika menunjukkan bahwa anak2 yang
lahir dengan KMK secara signifikan tetap lebih pendek dan ringan selama masa awal
anak2.31 Bayi KMK yang pertumbuhan kepalanya tidak mengalami kemajuan atau nilai
Ponderal indeksnya proporsional pada berat dan panjang badan tetap menunjukkan
tingkat perkembangan yang paling rendah.32
Pemberian ASI praktis, aman dan terpilih bahkan pada bayi KMK yang sebelumnya
dianggap mempunyai risiko adaptasi pada masa neonatal. Pemberian ASI ekslusif dapat
meningkatkan berat dan panjang badan dalam beberapa bulan pertama, dengan tidak
didapatkannya penurunan neurologi pada saat berumur 12 bulan. Hal ini mendukung
rekomendasi terbaru dari WHO dan UNICEF.33 Susu formula sebaiknya tidak
direkomendasikan pada bayi KMK.34 Meskipun pemberian ASI pada bayi kurang bulan
pertumbuhannya lebih lambat, sehingga beberapa bayi tersebut diberi anjuran pemberian
suplementasi nutrisi pasca pulang dari rumah sakit. Tetapi pertumbuhannya yang lambat
tersebut dihubungkan dengan kesehatan yang lebih baik dan rawat inap yang lebih pendek
dibandingkan dengan yang mendapat formula.35

240 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Perkembangan, neurosensori, kognitif dan prestasi sekolah
Abnormalitas neurologi yang berat, didiagnosis pada tahun pertama, selalu menetap
pada pemantauan selanjutnya, sedangkan abnormalitas sedang biasanya akan membaik.
Abnormalitas sedang bagaimanapun mungkin merupakan prediksi dari gangguan
perkembangan minor yang bisa diindentifikasi pada usia sekolah.36 Tingkah laku pada
masa neonatal dievaluasi pada umur koreksi 40+1minggu dengan Neonatal Behavioral
Assessment Scale. Bayi KMK yang cukup bulan tanpa insufisiensi plasenta mempunyai
kompetensi tingkah laku neurologi yang buruk, dan kemungkinan adanya keterlambatan
maturasi neurologi.37
Bayi dan anak yang lahir KMK kemudian akan terpapar dengan gangguan neurologi,
keterlambatan perkembangan kognitif, dan buruknya pencapaian prestasi akademi.
Adolesen dan orang dewasa yang lahir dengan KMK mempunyai risiko tinggi terjadinya
beberapa morbiditas, diantaranya adalah komplikasi gangguan kardiovaskuler, penyakit
obstruksi pulmoner, diabetes tipe 2, insufisiensi ginjal, dan gangguan fungsi reproduksi.38
BBLR yang selamat, adalah bayi risiko tinggi, dimana 0,5-3% dari BBLR tersebut
sampai dengan umur kurang dari 3 tahun mempunyai risiko gangguan kognitif dan
perkembangan.39 Pada bayi kurang bulan, meningkatnya berat badan dan indeks masa
tubuh mencapai ukuran cukup bulan dihubungkan luaran perkembangan syaraf yang
lebih baik.40 Status KMK mempunyai efek independen pada kognitif, atensi dan prestasi
belajar pada masa adolesen. Tingkat beratnya KMK diprediksi akan mengalami kesulitan
belajar.41
Anak yang lahir KMK sebaiknya dipantau dengan ketat oleh berbagai disiplin ilmu,
termasuk perinatologi, ilmu kesehatan anak, ahli nutrisi, dan endokrin anak, karena 10-
15% kekurangan berat dan tinggi sampai perkembangan dimana kemungkinan akan
membaik dengan pemberian hormon pertumbuhan. Perlu dikembangkan pedoman
untuk hal tersebut diatas.8

Penutup
Prevalensi bayi KMK tinggi di negara dengan penghasilan rendah dan menengah termasuk
Indonesia. Akan mempunyai arti klinis yang lebih jika definisi pada BBLR dengan KMK
yang ringan–sedang (3-<10 ) dan berat (<3) persentil UK.
Prevalensi KMK tergantung dari kurva spesifik disesuaikan geografi dan update
berkala.
Mempunyai risiko kematian dan kesakitan yang tinggi. Kematian mulai dari lahir
mati, neonatal dini, neonatal, pasca-natal sampai dengan masa bayi. Kesakitan yang
sering didapat secara umum disebabkan karena hipoksia, malnutrisi meskipun ada yang
penyebabnya konstitusi. Masalah jangka pendek yang didapat adalah asfiksia, hipoglikemi,
hipotermi, iketrus, distres napas. Pada saat dirawat mempunyai risiko ROP, perdarahan
PIV, feeding yang tidak baik karena tidak toleran sehingga mengganggu pertumbuhan

241
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
pada BBLSR, sampai dengan terjadinya EKN dan pada beberapa kasus terjadinya BPD.
Masalah jangka panjang stunted, gangguan perkembangan dan risiko kardiovaskuler.
Merupakan masalah besar di negara dengan penghasilan rendah dan menengah. Selain
upaya pencegahan, persiapan dan intervensi, didapatkannya diagnosis dan pemantauan
yang ketat KMK sejak masa janin, lahir dan masa neonatus sangat diperlukan supaya
berhasil diselamatkan dan untuk menurunkan dampak jangka panjang.

Daftar pustaka
1. Sharma D, Shastri S, Farahbakhsh N, Sharma P. Intrauterine growth restriction – part 1. The
Journal of Maternal-Fetal & Neonatal Medicine, 2006;29(24):3977-87.
2. Sharma D, Farahbakhsh N, Shastri S, Sharma P. Intrauterine growth restriction – part 2. The
Journal of Maternal-Fetal & Neonatal Medicine. 2016;29(24):4037-48.
3. World Health Organization. Intrauterine growth retardation in newborn children. 2002. [On-
line]. Available from http://www.who.int/ceh/indicators/iugrnewborn.pdf
4. Lubchenco LO, Hansman C, Dressler M, Boyd E. Intrauterine growth as estimated from
live born birth-weight data at 24 to 42 weeks of gestation. Pediatrics. 1963;32(5):793-800.
5. McIntire DD, Bloom SL, Casey BM, Leveno KJ. 1999. Birth weight in relation to morbidity
and mortality among newborn infants. N Engl J Med. 1999;340:1234-8.
6. Usher R, McLean F. Intrauterine growth of liveborn Caucasian infants at sea level: Standards
obtained from measurements in 7 dimensions of infants born between 25 and 44 weeks of
gestation. J Pediatrics. 1969;74(6):901-10.
7. Lapillonne A, Braillon P, Claris O, Chatelain PG, Delmas PD, Salle BL. Body composition
in appropriate and in small for gestational age infants. Acta Paedtr. 1997;86:196-200.
8. Boguszewski MCS, Mericq V, Bergada I, Damiani D, Belgorosky A, Gunczler P, et al. Small
for gestational age birth weight: impact on lung structure and function. Paediatr Respir Rev.
2013;14(4):256-62.
9. Lee PL, Chernausek SD, Hokken-Kolega ACS. International small for gestational age adviso-
ry board consensus development conference statement: management of short children born
small for gestational age. Pediatrics. 2003;111:1253-61.
10. Lapillone A, Peretti N, Ho PS, Claris O, Salle BL. Aetiology, morphology and body compo-
sition of infants born small for gestational age. Acta Paeditr. 1997;423, pp.173-6.
11. World Health Organization. Guidelines on optimal feeding of low birth-weight infants in
low-and middle-income countries. 2011.
12. World Health Organization. Born too soon: the global action report on preterm birth. 2012.
13. Lee ACC, Katz J, Blencowe H, Cousens S, Kozuki N, Vogel JP, et al. National and regional
estimates of term and preterm babies born small for gestational age in 138 low-income and
middle-income countries in 2010. Lancet Glob Health. 2013;1:e26–36.
14. Katz J, Wu LA, Mullany LC, Coles CL, Lee ACC, Kozuki N, et al. Prevalence of small for
gestational age and its mortality risk varies by choice of birth weight for gestational reference
population. PLoS ONE. 2014;9(3):e92074.
15. Kramer MS, Platt RW, Wen SW, Joseph KS, Allen A, Abrahamowicz M, et al. A new and im-
proved population-based Canadian reference for birth weight for gestational age. Pediatrics.
2001;108(2):E35.

242 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


16. Tsai LY, Chen YL, Tsou KI, Mu SC. The impact of small-for-gestational-age on neonatal out-
come among very-low-birth- weight infants. Pediatrics and Neonatology. 2015;56(101):e107.
17. Haksari EL, Lafeber HN, Hakimi M, Pawirohartono EP, Nyström L. Reference curves of
birth weight, length,
and head circumference fo gestational
ages in Yogyakarta, Indonesia.
BMC Pediatrics. 2016;16:188.
18. Thureen PJ, Anderson MS, Hay WH. The small for gestational age infant. NeoReviews.
2001;2(6):e139-49.
19. Rosenberg A. IUGR newborn. Semin Perinatol. 2008;32:219-24
20. Lindqvist PG, Molin J. Does antenatal identification of small-for-gestational age fetuses sig-
nificantly improve their outcome? Ultrasound Obstet Gynecol. 2005;25:pp.258-64.
21. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Manajemen bayi berat lahir rendah. Jakarta.;
2008.
22. Marks K, Reichman B, Lusky A, Zmora E. Fetal growth and postnatal growth failure in very-
low-birthweight infants. Acta Paediatrica. 2006;95(2):pp.236-43.
23. Marchant T, Willey B, Katz J, Clarke S, Kariuki S, Kuile F, et al. Neonatal mortality risk as-
sociated with preterm birth in East Africa, adjusted by weight for gestational age: individual
participant level meta-analysis. PLoS Med. 2012; 9(8):p.e1001292.
24. Katz J, Lee ACC, Kozuki N, Lawn JE, Cousens C, Blencowe H, et al. Mortality risk in
preterm and small for gestational age infants in low income and middle-income countries: a
pooled country analysis. Lancet. 2013;82(9890):417-25.
25. Katz J, Lee ACC, Kozuki N, Black RE. Mortality risk among term and preterm small for
gestational age infants. Nestle Nutrition Institute. 2004;81.
26. Qiu X, Lodha A, Shah PS, Sankaran K, Seshia, MMK, Yee W, Jefferies N, Lee SK, and the
Canadian Neonatal Network. Neonatal outcomes of small for gestational age preterm infants
in Canada. Am J Perinatol. 2012;29:87–94.
27. Tyson JE, Nehal AP, Langer J, Green C, Higgins RD. Intensive care for extreme prematurity
- moving beyond gestational age. N Engl J Med. 2008;358:1672­81.
28. Zaw W, Gagnon R, Da Silva O. The risks of adverse neonatal outcome among preterm small
for gestational age infants according to neonatal versus fetal growth standards. Pediatrics.
2003;111(6):1273-9.
29. Gardner SL, Carter BS, Enzman-Hines M, Hernandez JA. Respiratory Diseases, in Meren-
stein & Gardner’s Handbook of Neonatal Intensive Care. 8th ed. Philladelphia: Elsevier Inc.;
2016. pp. 565–643.
30. Sharma P, McKay K, Rosenkrantz TS, Hussain N. Comparison of mortality and pre-dis-
charge respiratory outcome in small-for gestational age and appropriate for gestational age
premature infants. BMC Pediatrics, 2004;4:9.
31. Hediger, M.L., Overpeck, M.D., McGlynn, A., Kuczmarcki, R.J., Maurer, K.R. and Davis,
W.W. 1999. Growth and fatness at three to six years of age of children born small or large for
gestational age. Pediatrics. 104(3).
32. Lapillonne, A., Braillon, P., Claris, O., Chatelain, P.G., Delmas, P.D. and Salle, B.L. 1997.
Body composition in appropriate and in small for gestational age infants. Acta Paedtr. 86,
pp.196-200.
33. Kramer, M.S., Guo, T., Platt, R.W., Shapiro, S., Collet, J.P., Chalmers, B., Hodnett, E.,
Sevkovskaya, Z., Dzikovich, I. and Vanilovich, I. 2002. Breastfeeding and infant growth:
Biology or bias? Pediatrics. 110, pp.343-347.

243
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
34. Rooy, L. and Hawdon, J. 2002. Nutritional factors that affect the postnatal metabolic adap-
tation of full-term small-and large-for-gestational-age infants. Pediatrics. 109, pp.1-8.
35. Schanler RJ, Lau C, Hurst NM, Smith EO. Randomized trial of donor human milk versus
preterm formula as substitutes for mothers’ own milk in the feeding of extremely premature
infants. Pediatrics. 2005 Aug;116(2):400-6.
36. Farooqi, A, and Serenius, F. 2005. Outcome after preterm birth. Annales Nestle, pp.39-56.
37. Figueras F, Oros D, Cruz-Martinez R, Padilla N, Hernandez-Andrade E, Botet F, Cos-
tas-Moragas C, Gratacos E. Neurobehavior in term, small-for-gestational age infants with
normal placental function. Pediatrics. 2009 Nov;124(5):e934-41. doi: 10.1542/peds.2008-
3346.
38. Saenger, P., Czernichow, P., Hughes, I. and Reiter, E.O. 2007. Small for gestational age: short
stature and beyond. Endocrine reviews. 28, pp.219-251.
39. Saigal, S. 2012. Methodology and guidelines for conducting follow-up of KMC Premature in-
fants. IX International Conference of Kangaroo Mother Care, India.
40. Belfort MB, Rifas-Shiman SL, Sullivan T, Collins CT, McPhee AJ, Ryan P, Kleinman KP,
Gillman MW, Gibson RA, Makrides M. Infant growth before and after term: effects on
neurodevelopment in preterm infants. Pediatrics. 2011 Oct;128(4):e899-906. doi: 10.1542/
peds.2011-028
41. O’Keeffe MJ, O’Callaghan M, Williams GM, Najman JM, Bor W. Learning, cognitive,
and attentional problems in adolescents born small for gestational age. Pediatrics. 2003
Aug;112(2):301-7.

244 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Consensus of Tongue-Tie Management
Elisabeth Yohmi
RS St. Corulus, Jakarta

Abstract
Tongue tie, or also known as ankyloglossia, a minor congenital anomaly in which the frenulum is attached
near the tip of the tongue. Abnormalities that occur in the tongue tie will cause the attachment of the tip
of the tongue to the floor of the mouth so that interfere with the movement of the tongue. There is evidence
associating this condition with feeding, swallowing, and speech difficulties. In particular, between
12.8% and 44% of infants reportedly experience breastfeeding problems, yet the clinical significance of
ankyloglossia still remains controversial. Symptoms attributed to ankyloglossia associated to breastfeeding
are include nipple pain and trauma, difficulty in the baby attaching to the breast, frequent feeding, and
uncoordinated sucking. These problems may result in the mother deciding to terminate breastfeeding
prematurely, and also slow weight gain for the baby. Diagnosis of ankyloglossia is not easily enforced.
Thorough and careful assessment is needed in diagnosing this condition. We must be careful diagnosis
within the first 2-3 days prior to lactation management is done. The quantitative methods that can
be used to assess the function of the tongue is The Hazelbaker Assessment Tool for Lingual frenulum
Function. This tool can also be used as a predictor of whether patients eligible for the treatment of
frenotomi. Procedures for tongue tie is resection or frenotomi/ frenectomy/ frenuloplasty. This procedure
should be followed by the correct breastfeeding technique and good skills support. Although frenotomi is a
simple low risk procedure, it should be carried out only by those who have been trained in the procedure.

D
iagnosis dan manajemen ankyloglossia masih tetap kontroversial sejak isu ini
kembali diangkat menjadi penyebab kegagalan menyusui pada awal tahun 2000-
an. Fenomena menarik dari isu ini adalah adanya perbedaan opini antar profesi
kesehatan, mengenai dampak ankyloglossia terhadap menyusui. Hampir 99% konsultan
laktasi mempercayai bahwa ankyloglossia adalah pemicu kesulitan menyusui yang dapat
diselesaikan dengan tindakan frenotomi, sedangkan hanya 30% dokter spesialis THT-
KL dan 10% dokter spesialis anak menyetujui pendapat tersebut. Fenomena lain adalah
peningkatan bermakna dari tindakan frenotomi, sebagaimana dilaporkan oleh data
populasi British Columbia, klaim frenotomi melonjak 89% dari 2,8 per 1000 kelahiran
hidup (KH) pada tahun 2004 menjadi 5,3 per 1000 KH di tahun 2013. Peningkatan
ini diperkirakan terjadi akibat makin tingginya kewaspadaan ankyloglossia, ketertarikan
terhadap frenotomi, dan kemajuan penegakan diagnosis ankyloglossia. American Academy
of Pediatrics (AAP) mengakui bahwa ankyloglossia adalah entitas klinis yang ikut
menentukan keberhasilan menyusui dan perlu tatalaksana untuk meminimalkan masalah
menyusui. Dengan mempertimbangkan segala kebaikan menyusui, penting bagi dokter
spesialis anak untuk memahami tatalaksana sedini mungkin dari kondisi apapun yang
berpotensi mengganggu proses menyusui.

245
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Definisi
Ankyloglossia didefinisikan sebagai ‘sisa embriologis dari jaringan membran frenulum di
garis tengah antara permukaan bawah lidah dan dasar mulut - yang pendek, tebal, dan
tidak elastis sehingga membatasi gerakan lidah normal’ (International Affiliation of Tongue-
Tie Professionals = IATP, 2011)

Epidemiologi
Insidens ankyloglossia dilaporkan berkisar 4,2-10,7% pada bayi baru lahir, dan hanya
sekitar 25% dari keseluruhan kasus mengalami kesulitan menyusui. Kondisi ankyloglossia
dapat merupakan varian genetik dalam keluarga

Kriteria diagnostik
Diagnosis ankyloglossia berdasar klasifikasi anatomis:
•• Tipe I : insersi frenulum pada ujung permukaan bawah lidah
•• Tipe II : insersi frenulum di belakang ujung permukaan lidah
•• Tipe III : frenulum tebal dan ketat (tidak elastis)
•• Tipe IV : frenulum ketat di pangkal lidah
Ankyloglossia tipe I dan II dikenal dengan ankyloglossia anterior, tipe III disebut
ankyloglossia posterior, dan tipe IV tergolong ankyloglossia sub-mukosa.
Indikasi frenotomi ditegakkan berdasar penilaian tampilan struktur dan fungsi
frenulum lingual. Kriteria diagnostik bervariasi dari inspeksi visual yang sederhana hingga
system klasifikasi menggunakan instrumen Hazelbaker’s Assessment Tool for Lingual
Frenulum Function (ATLFF). Instrument ATLFF telah teruji sebagai alat skrining yang
reliabel untuk penilaian bayi di bawah usia 3 (tiga) bulan.
•• Skor ATLFF 14 menunjukkan fungsi frenulum yang sempurna, dan tidak
memerlukan tindakan frenotomi.
•• Skor ATLFF 11-13 masih dapat ditoleransi, apabila skor penampilan ≥10.
•• Skor ATLFF <11 mengindikasikan kebutuhan frenotomi, apabila konseling dan
manajemen laktasi tidak berhasil menyelesaikan masalah menyusui.
•• Skor tampilan frenulum<8 mendukung diagnostik ankyloglossia, namun tidak
direkomendasikan frenotomi kecuali jika bayi mengalami kesulitan menyusu.

Tatalaksana
Penilaian dan seleksi yang tepat sangat penting mengingat 50-75% bayi dengan kondisi
ankyloglossia tetap dapat menyusu tanpa kendala apabila diberikan konseling dan
pendampingan manajemen menyusui yang adekuat.

246 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Pertimbangkan konsultasi laktasi jika mendapati kondisi:
•• Bayi sulit melekat di payudara atau sulit mengisap ASI
•• Puting ibu nyeri atau lecet
•• Menyusu sangat lama dan sering (terputus-putus)
•• Kenaikan berat badan bayi sangat lambat tidak sesuai dengan kurva pertumbuhan
BB/U
Pelekatan yang kurang tepat dan nyeri pada puting ibu dapat terjadi karena
penyebab lain. Frenotomi dipertimbangkan apabila terdapat masalah menyusui pada bayi
dengan kondisi ankyloglossia yang simtomatik. Untuk menentukan indikasi frenotomi
direkomendasikan pendampingan sekitar 2-3 minggu sambil memperbaiki proses
menyusu, memantau keluhan yang dirasakan ibu, serta menilai status kesehatan dan
pertumbuhan bayi.

Tindakan yang diambil bergantung kondisi sebagai berikut: [Level IIA]


•• Ankyloglossia membranosa (tipis dan lentur) dengan skor ATLFF 11-14
Observasi oleh semua dokter anak, lazimnya pada saat menyusu dari waktu ke waktu
terjadi pergerakan lidah yang diikuti peregangan frenulum.
Tidak cukup data untuk membuktikan manfaat frenotomi profilaksis.
•• Ankyloglossia membranosa dengan skor ATLFF <11 atau skor tampilan frenulum <8
tipis
Frenotomi sederhana (tanpa anestesi dan tanpa jahitan) dapat dikerjakan oleh dokter
anak terlatih (yang telah mengikuti pelatihan dukungan menyusui yang dilaksanakan
IDAI). Keuntungan dari tindakan ini adalah perbaikan yang segera dengan risiko
infeksi 1:10.000 dan perdarahan yang jarang.
•• Ankyloglossia sub-mukosa
Jangan lakukan frenotomi karena meningkatkan risiko perdarahan dan terbentuknya
jaringan parut. Rujuk ke spesialis bedah mulut, bedah anak, THT (?) untuk
frenektomi atau frenuloplasti (Z plasti)
Studi efektivitas frenotomi: [Level IA-B]
•• Terjadi perbaikan skor HATLFF dan penurunan skor nyeri/keluhan ibu, dilaporkan
segera pasca frenotomi sampai dengan 2 minggu setelahnya
•• Data perbaikan skor LATCH, IBFAT, BSES pasca frenotomi dilaporkan inkonsisten
•• Tidak cukup data untuk membuktikan frenotomi menentukan durasi dan keberhasilan
menyusui jangka panjang

Prognosis
Sekitar 25% bayi dengan ankyloglossia mungkin mengalami kesulitan perlekatan
saat menyusu, sehingga terjadi perlukaan dan nyeri pada puting, yang menyebabkan
penurunan suplai ASI karena pengosongan kurang optimal, mastitis, kenaikan berat
badan bayi lambat, gagal tumbuh dan penyapihan dini.

247
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Pada anak yang lebih besar, ankyloglossia dapat menyebabkan kesulitan artikulasi
(huruf D, N, L, S, T), susunan gigi yang abnormal, kebersihan mulut yang buruk, dan
gangguan rasa percaya diri akibat kendala pergaulan sosial. Kondisi ankyloglossia tidak
menyebabkan keterlambatan bicara dan berbahasa, namun kendala artikulasi mungkin
menimbulkan masalah sosial-pergaulan.
Tidak cukup data untuk membuktikan bahwa frenulum bibir atau Lip-Tie (LT) juga
menyebabkan gangguan pelekatan saat bayi menyusui.

Penutup
Identifikasi ankyloglossia pada bayi baru lahir dapat dilakukan dengan melihat adanya tali
lidah yang melekat di bawah lidah dengan berbagai variasi. Sebagian besar bayi dengan
ankyloglossia tetap dapat menyusu dengan baik. Hanya 25% dari bayi dengan ankyloglossia
memerlukan tindakan untuk membebaskan pelekatan frenulum agar bisa menyusu dengan
baik. Kemampuan bimbingan menyusui dan diagnosis ankyloglossia yang memerlukan
tindakan frenotomi sebaiknya dimiliki oleh tenaga medis agar tidak terjadi under atau
over-treatment

Daftar pustaka
1. Coryllos E, Genna CW, Salloum AC. Congential tongue-tie and its impact on breastfeeding.
AAP section onbreastfeeding 2004;S:1-6.
2. Edmunds J, Miles S, Fulbrook P. Tongue-tie and breastfeeding: a review of the literature.
Breastfeeding Review 2011;19 (1): 19-21
3. Rowan-legg. Canadian Paediatric Society. Community Paediatrics committee. Ankyloglossia
and Breastfeeding. Paediatr child Health 2015;20(4):209-213.
4. Ballard JL, Auer CE, Khoury JC. Ankyloglossia: Assessment, Incidence, and Effect of
Frenuloplasty on the Breastfeeding Dyad. Pediatrics 2002;110(5).e63 DOI: 10.1542/
peds.110.5.e63
5. Marchesan IQ. Lingual frenulum: quantitative evaluation proposal. Intl J Orofacial Myology
2005; 31: 39–48.
6. Segal LM, Stephenson R, Dawes M, Feldman P. Prevalence, diagnosis, and treatment of an-
kyloglossia. Can Fam Physician 2007; 53: 1027-33.
7. Hazelbaker AK. The Assessment Tool for Lingual Frenulum Function (ATLFF): Use in a
Lactation Consultant Private Practice. Pasadena, CA: Pacific Oaks College; 1993. Thesis
8. Amir LH, James JP, Donath SM. Reliability of the hazelbaker assessment tool for lingual
frenulum function. Int Breastfeed J. 2006;1(1):3
9. Darshan HE, Pavithra PM. Tongue Tie: From Confusion to Clarity-A Review. Intl J Dent
Clin 2011:3(1):48-51.
10. Power RF, Murphy JF. Tongue-tie and frenotomy in infants with breastfeeding difficulties:
achieving a balance. Arch Dis Child. 2015 May;100(5):489-94. doi: 10.1136/archdis-
child-2014-306211
11. Brookes A, Bowley DM. Tongue tie: the evidence for frenotomy. Early Hum Dev
2014;90(11):765-8

248 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


12. Hogan M, Westcott C, Griffiths M. Randomized, controlled trial of division of tongue-tie in
infants with feeding problems. J Pae- diatr Child Health. 2005; 41: 246-50.
13. Krol, D.M., Keels, M.A. Oral conditions. Pediatr Rev. 2007; 28: 15–22
14. Francis DO, Krishnaswami S, McPheeters M. Treatment of Ankyloglossia and Breastfeeding
Outcomes: A Systematic Review. Pediatr 2015;135(6): e1458

249
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Pencegahan anemia defisiensi besi
Endang Dewi Lestari
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret/RSUD Dr. Moewardi Surakarta

D
efisiensi zat besi maupun anemia defisiensi besi pada anak masih merupakan
masalah kesehatan utama di Indonesia. Defsisensi zat besi merupakan penyebab
anemia yang umum terjadi pada anak. Defisiensi zat besi tanpa anemia dapat
mengakibatkan efek jangka panjang terhadap perkembangan neurologis dan perilaku.
Efek tersebut dapat menetap.1,2 Prevalensi anemia pada anak usia 0,5-1,9 tahun di
Indonesia adalah 55%.3 Defisiensi zat besi merupakan kondisi anak karena kekurangan
asupan nutrisi. Kondisi ini dapat dicegah dengan pemberian nutrisi dengan sumber zat
besi yang memadai.

Definisi
Anemia adalah konsentrasi hemoglobin (Hb) 2SD di bawah rerata konsentrasi Hb
untuk populasi normal dari kisaran umur dan jenis kelamin yang sama, sesuai definisi
World Health Organization, the United Nations Children’s Fund, dan United Nation
University.4 Berdasarkan pada the 1999-2002 United States National Health and Nutrition
Examination Survey, anemia didefiniskan sebagai konsentrasi Hb kurang dari 11 g/dl, baik
untuk laki-laki maupun perempuan umur 12-35 bulan.5,6 Defisiensi zat besi adalah suatu
kondisi, di mana tidak cukup zat besi untuk mempertahankan fungsi fisiologis normal.
Defisiensi zat besi merupakan hasil dari absorpsi zat besi yang kurang memadai untuk
mengakomodasikan meningkatnya kebutuhan untuk proses pertumbuhan atau hasil dari
balans zat besi yang negatif dalam jangka waktu yang lama. Kedua situasi tersebut dapat
mengakibatkan menurunnya penyimpanan zat yang dapat diukur dengan konsentrasi
feritin serum (SF). Defisisensi zat besi bisa dengan maupun tanpa anemia.

Penyebab defisiensi zat besi pada anak


Penyebab defisiensi zat besi pada anak-anak secara umum dibagi dua, yaitu karena
asupan zat besi dalam diet yang tidak adekuat dan karena kehilangan darah. Kehilangan
darah dapat merupakan kehilangan darah yang nyata maupun terselubung. Perdarahan
terselubung pada saluran cerna sering disebabkan karena infestasi cacing maupun oleh
karena proses alergi pada protein makanan, terutama alergi terhadap protein susu sapi

250 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


akibat anak/bayi mengonsumsi susu formula berbahan dasar susu sapi.7 Defisiensi zat besi
pada anak berumur 1-3 tahun adalah umum. Selain disebabkan oleh diet yang kurang
adekuat, anak pada masa ini pada umumnya, juga banyak mengkonsumsi susu formula
berbahan dasar susu sapi, sehingga terjadi perdarahan terselubung yang sifatnya kronis.
Perdarahan yang terus-menerus ini menyebabkan terjadinya defisiensi zat besi.8 Defisiensi
zat besi merupakan penyumbang anemia.

Berbagai diet sebagai sumber zat besi


Sumber zat besi terdapat pada berbagai bahan makanan, baik dari bahan makanan nabati
maupun hewani. Daging merah, termasuk hati, merupakan sumber zat besi yang baik.
Selain itu, sayuran yang berwarna hijau, kacang tanah, kacang kedelai juga mengandung
zat besi. Banyak sumber zat besi dapat diambil dari berbagai bahan makanan tersebut,
tetapi hasil penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa sumber zat besi dari Makanan
Pendamping Air Susu Ibu (MPASI) yang dikonsumsi anak-anak masih belum sesuai
dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan.9
Makanan berbentuk cair adalah jenis makanan yang paling mudah dikonsumsi oleh
bayi pada umur kurang dari 6 bulan. ASI maupun susu formula merupakan sumber zat besi
pada periode ini. Makanan padat sudah harus diberikan sebagai makanan sumber zat gizi
selain ASI sejak bayi berusia 6 bulan. Pada saat ini, anak sudah mulai dikenalkan dengan
makanan berbentuk padat yang dimulai dengan makanan berbentuk sereal atau makanan
saring.10 Pada bayi berumur 6 bulan, sumber zat besi dari bahan makanan kaya zat besi
dapat diberikan dalam bentuk tepung yang dimasak atau makanan saring, misalnya sereal
atau sayuran yang disaring. Setelah bayi berumur 7 bulan, selain sereal dan sayuran saring,
daging yang disaring juga bisa ditambahkan, sehingga bayi akan mendapat kesempatan
untuk memperoleh zat besi yang lebih banyak dari sumber hewani (daging sapi, ayam,
ikan, hati). Selanjutnya, pada saat bayi berumur 8-10 bulan, makanan berbentuk lumat
sudah dapat diberikan dan bayi juga sudah mulai dapat diberikan makanan yang dapat
dipegangnya sendiri.10 Pada masa ini, berbagai sumber zat besi sudah dapat diberikan
kepada bayi dengan bentuk makanan lumat atau mudah lumat. Pada bayi berumur 10-
12 bulan, makanan berbentuk lunak atau cincang sudah mampu dikonsumsi oleh bayi.
Dengan demikian, pada masa ini, anak mampu memakan makanan dari berbagai sumber
zat besi dalam bentuk lunak atau dicincang, misalnya daging cincang, hati cincang, ikan
cincang, kacang kedelai lunak, bayam lunak, dan sebagainya. Makanan seperti yang
dimakan oleh keluarga sudah dapat diberikan kepada anak mulai umur 12 bulan.

Besi dalam ASI dan susu formula


ASI mengandung 0,5 mg/l zat besi dengan bioavailabilitasnya sebesar 50%, susu sapi
segar mempunyai kandungan zat besi yang sama dengan ASI, yaitu 0,5 mg/l, tetapi
bioavailabilitasnya adalah sebesar 10%, sedangkan susu fortifikasi mempunyai kandungan
zat besi yang tinggi (10-12,8 mg/l), tetapi bioavailabilitasnya rendah, yaitu sebesar 4%.

251
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Sebagian besar susu formula dengan fortifikasi zat besi mengandung energi kurang lebih
680 kkal/l dengan kandungan zat besi 6,8 mg/l. Cadangan zat besi pada bayi berumur
4-6 bulan sudah berkurang, sehingga tanpa asupan zat besi dari luar yang memadai, bayi
kurang mampu mencukupi kebutuhannya untuk tumbuh cepat.
Penelitian pada bayi yang lebih tua yang diberi ASI, susu sapi, susu formula berbasis
susu sapi, atau susu formula yang berasal dari kedelai menunjukkan bahwa penyerapan
zat besi secara signifikan lebih baik pada ASI dibandingkan dengan susu formula atau susu
sapi. Faktor yang bertanggung jawab pada ASI, sehingga absorpsinya lebih baik dibanding
susu formula, sampai sekarang belum jelas. Sesuai rekomendasi American Academy of
Pediatrics (AAP, 2010), bayi cukup bulan yang sehat mempunyai cadangan zat besi yang
cukup sampai bayi tersebut berumur 4 bulan. Air susu ibu hanya mengandung sedikit
sumber zat besi, sehingga bayi dengan ASI saja harus mendapatkan tambahan zat besi
sebesar 1 mg/kg berat badan per hari dari zat besi oral sejak bayi berumur 4 bulan sampai
bayi tersebut mampu mendapatkan makanan pendamping dengan fortifikasi zat besi.11
Bagi bayi yang mendapat susu formula yang difortifikasi zat besi, penambahan zat besi
sudah ada didalam susu formula sesuai rekomendasi CODEX Alimentarius.
AAP (2010) juga merekomendasikan tambahan besi dimulai pada usia 1 bulan
untuk bayi kurang bulan. Semua bayi kurang bulan harus mendapatkan suplemen zat
besi 2 mg/kg berat badan per hari sampai bayi berumur 12 bulan sesuai dengan jumlah
zat besi yang ada pada susu formula bayi kurang bulan. Bayi kurang bulan yang hanya
minum ASI, sebaiknya mendapatkan tambahan zat besi sebesar 2 mg/kg berat badan
per hari sejak usia 1 bulan sampai bayi disapih untuk mendapatkan susu formula atau
makanan pendamping yang mengandung zat besi sebesar 2 mg/kg berat badan. Bayi
kurang bulan dapat mengabsorpsi zat besi dengan baik. Persentase penyerapan zat besi
tampaknya berhubungan langsung dengan usia pascanatal, pertumbuhan, kadar Hb, dan
jenis makanan. Susu formula fortifikasi untuk bayi kurang bulan memasok zat besi 33
mg/dl atau 1,67 mg/100 kkal dengan asumsi masukan dari 150 ml/kg/hari dari 81 kkal/
dl susu formula.

Tabel 1. Absorpsi zat besi pada bayi dengan ASI/susu formula12


Substansi Kandungan zat besi Bioavaibilitas zat besi % Absorpsi zat besi
(mg/L) (mg/L)
Formula nonfortifikasi 1.5–4.8* ~10 0.15–0.48
Formula fortifikasi zat besi 10.0–12.8* ~4 0.40–0.51
Susu sapi segar 0.5 ~10 0.05
ASI 0.5 ~50 0.25
Sumber: CDC and Prevention. MMWR 2002

Enhancers dan inhibitors absorbsi zat besi


Pada umumnya, bayi mengkonsumsi makanan dari berbagai bahan makanan dalam satu
porsi makanan. Bahan makanan yang dicampurkan dalam satu porsi makanan dapat

252 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


bersifat sebagai peningkat absorbsi zat besi atau bahkan penghambat absorbsi zat besi. Hal
ini berakibat bahwa anak dengan konsumsi sumber zat besi yang tampaknya cukup dapat
menderita anemia defisiensi zat besi karena dalam makanan tersebut terkandung bahan
makanan yang bersifat sebagai penghambat absorpsi zat besi.
Vitamin C, asam sitrat, dan asam laktat merupakan peningkat absorpsi zat besi.
Sumber makanan hewani yang dapat meningkatkan absorpsi zat besi adalah daging,
ikan, dan daging ayam. Makanan yang meningkatkan absorpsi zat besi dari sumber gula
adalah fruktosa dan sorbitol, sedangkan dari sumber asam amino adalah sistein, lisin,
dan histidin. Alkohol juga bersifat meningkatkan penyerapan zat besi. Tanin (pada teh),
polifenol (pada vegetarian), oksalat, fosfat, fitat (pada kulit padi), albumin pada kuning
telur, kacang-kacangan, kalsium (pada susu dan olahannya), kuprum, mangan, kadmium,
dan kobalt merupakan penghambat absorpsi zat besi.12 Torjorn Lind pada tahun 2003
meneliti kelompok bayi yang diberi makanan pendamping dengan pengurangan kadar
fitat dibandingkan dengan kelompok bayi dengan makanan pendamping komersial
tanpa pengurangan kadar fitat dan kelompok dengan formula sejak bayi berumur 6-12
bulan. Kadar Hb dan kadar SF diukur sebelum intervensi dan setelah 6 bulan intervensi.
Pengurangan fitat memberikan hasil sebagai peningkatan Hb, sehingga menurunkan
prevalensi anemia, tetapi tidak memberikan hasil terhadap perbedaan kadar SF.13

Absorpsi zat besi pada berbagai jenis diet


Diet zat besi diabsorpsi di duodenum, tetapi tidak semua sumber zat besi diabsorpsi dengan
jumlah yang sama. Zat besi heme yang ada pada daging dan ikan lebih mudah diabsorpsi
dibanding dengan sumber zat besi nonheme, seperti sumber zat besi pada biji-bijian dan
sayuran. Meskipun konsentrasi zat besi pada ASI dan susu formula sama, zat besi pada ASI
lebih mudah diabsorpsi dari pada zat besi pada susu formula.7 ASI mengandung kadar zat
besi yang rendah (0,06-0,09 mg/100 ml), tetapi mudah diabsorpsi serta penggunaannya
lebih efektif. Penyebab keadaan ini belum jelas. Beberapa kepustakaan menyatakan bahwa
rendahnya kadar kalsium dan fosfor pada ASI serta adanya laktoferin mungkin merupakan
salah satu penyebabnya. Walaupun demikian, bayi berumur 9 bulan yang mendapatkan
ASI seringkali dilaporkan menderita anemia, kecuali jika mereka mendapatkan sumber
zat besi dalam dietnya. Absorpsi zat besi pada susu formula yang difortifikasi zat besi lebih
rendah dibandingkan dengan ASI, tetapi pemberian susu formula fortifikasi zat besi ini
sangat bermanfaat untuk mencegah terjadinya anemia kekurangan zat besi. Persentase
zat besi yang diabsorpsi menurun sejalan dengan tingginya konsentrasi zat besi dari susu
formula. Zat besi yang diabsorpsi dari susu formula yang mengandung zat besi 0,6 mg/l
(sekitar 6%), sedangkan susu formula yang mengandung zat besi 1,2 mg/l (hanya 4%).14
Lebih dari 90% dari zat besi dalam diet bayi dan anak dalam bentuk bentuk
nonheme.15 Absorpsi zat besi nonheme ini dapat ditingkatkan dengan pemberian vitamin
C, daging, ikan, serta produk peternakan lain dan dihambat oleh bran, tanin (dalam teh),
kalsium, dan fosfor (dalam susu sapi murni). Jus jeruk dapat meningkatkan absorpsi besi

253
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
nonheme sampai dua kali lipat, sedangkan teh justru dapat mengurangi sampai 75%.15
Penelitian epidemiologis dan kesehatan masyarakat di Surakarta memberikan hasil bahwa
bila anak-anak mengonsumsi jeruk dua kali per minggu atau lebih, dapat mencegah
terjadinya anemia.15 Peneliti lain juga mengatakan bahwa mengonsumsi makanan asam
dalam diet meningkatkan absorpsi zat besi.7
Protein bersumber nabati banyak dikonsumsi oleh anak-anak di Indonesia.15
Protein kedelai mempunyai efek menghambat absorpsi zat besi nonheme pada diet anak
dibandingkan dengan protein dari daging sapi.16

Pengaruh susu sapi terhadap defisiensi zat besi


Pemberian susu sapi murni yang terlalu dini pada anak umur 6 bulan sering menjadi
penyebab utama anemia defsiensi besi pada anak berumur 1 tahun. Sesuai rekomendasi
AAP (2010), bayi dibawah umur 12 bulan tidak diperbolehkan mengonsumsi susu
segar. Di Inggris, defisiensi zat besi sering ditemukan pada anak yang mengonsumsi susu
sapi murni lebih dari 1 liter per hari dan diberikan sebelum umur 8 bulan. Anak yang
mengonsumsi susu sapi segar dalam jumlah yang banyak akan mengalami perdarahan
pada saluran cerna yang mengakibatkkan terjadinya defisiensi zat besi. Konsumsi susu
sapi segar pada anak-anak sebaiknya dibatasi jumlahnya, jumlah yang disarankan adalah
kurang dari 16 oz per hari.7
Selain kandungan zat besi dalam susu sapi yang rendah, tampaknya ada faktor
lain yang berperan pada kejadian anemia akibat mengkonsumsinya, yaitu perdarahan
mikro maupun makro di saluran cerna seperti disebutkan di muka. Hal ini terbukti dari
penelitian Steven dan Nelson yang mendapatkan bahwa penderita anemia pada bayi yang
mendapatkan susu formula tanpa penambahan zat besi, tidak lebih banyak dibandingkan
dengan mereka yang mendapatkan susu formula yang telah mengalami fortifikasi zat besi.
Pemberian susu sapi segar dapat menyebabkan adanya peningkatan kehilangan darah
melalui gastrointestinal. Anak maupun bayi yang mengkonsumsi susu formula berbahan
dasar susu sapi akan mengalami perdarahan saluran cerna, baik mikroskopik maupun
makroskopik.7

Makanan dengan fortifikasi zat besi


Anak-anak di Indonesia banyak mengonsumsi makanan pendamping yang bersumber
dari makanan buatan rumah. Asupan makanan dengan makanan buatan rumah dari
bahan alam kurang bisa diperkirakan dengan tepat kandungan zat besinya. Prevalensi
anemia pada anak di beberapa daerah di Indonesia masih tinggi, yaitu sekitar 55%.3
Penelitian di Surakarta mendapatkan hasil bahwa anak-anak berusia kurang dari 2 tahun
yang mengkonsumsi MPASI yang difortifikasi buatan pabrik mengalami anemia sebanyak
3 kali lebih rendah dibanding kelompok yang hanya mengonsumsi makanan berbahan
dasar beras buatan rumah.15 Fortifikasi zat besi cukup efektif untuk mencegah anemia
defisiensi zat besi. Sebagian besar anak Indonesia mengonsumsi makanan berbahan dasar

254 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


beras buatan sendiri dan mereka juga banyak mengonsumsi makanan sebagai inhibitor
pemanfaatan zat besi, sehingga hal ini berkontribusi sebagai penyebab terjadinya defisiensi
zat besi pada anak-anak.17 Di Filipina, fortifikasi zat besi pada beras telah dilakukan untuk
mencegah defisiensi zat besi, tetapi hal ini belum diikuti oleh negara berkembang lain,
termasuk Indonesia.18,19 Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa sebagian besar anak di
beberapa daerah di Indonesia jarang mengonsumsi makanan sumber zat besi heme.15 Pada
penelitian potong lintang, makanan pendamping buatan pabrik berhubungan dengan
prevalensi anemia yang rendah.15 Makanan pendamping buatan pabrik telah difortifikasi
dengan zat besi sesuai anjuran CODEX Alimentarius. Di samping itu, hasil penelitian
juga telah membuktikan bahwa susu maupun sereal fortifikasi dapat diterima sebagai
media untuk memberikan kekurangan mikronutrien pada anak. Lagi pula, konsumsi
susu fortifikasi dengan mikronutrien dapat secara signifikan menurunkan beban penyakit
umum pada anak prasekolah, terutama pada anak berumur dua tahun pertama dari
kehidupan.20

Konseling pemberian makan sumber zat besi dan taburia sebagai


sumber zat besi
Taburia merupakan bubuk yang ditaburkan pada sajian makanan (nasi). Taburia terdiri
dari berbagai macam zat gizi mikro. Beberapa penelitian menunjukkan hasil yang
postif terhadap kenaikan Hb.21,22 Akan tetapi, pada tindak lanjut setelah pemberian
taburia diterapkan kepada masyarakat, hal ini menunjukkan hasil bahwa kepatuhannya
rendah. Pada penelitian kualifikasi, dikatakan bahwa makanan dengan taburia tidak
disukai anak-anak karena menjadikan bau makanan tidak enak, sehingga anak kurang
dapat menghabiskan porsi makanan yang diberikan.23 Sebaliknya, penelitian di Bogota
mengatakan bahwa dengan memberikan konseling tentang pedoman cara pemberian
makan pada anak selama enam bulan, yaitu dengan 1) melanjutkan menyusu ibu selain
MPASI; 2) pentingnya memberi makan dengan daging merah sebagai sumber zat besi
untuk mencegah anemia; 3) pentingnya memberikan sayuran dan buah setiap hari sebagai
bagian dari makanan sehat serta memberikan nasihat tambahan berupa memberikan lima
porsi daging per minggu, yang meliputi tiga kali daging merah per minggu, ibu juga
dinasihati untuk memberikan hati ayam dan jantung, hal tersebut akan memberikan
kenaikan Hb.24

Suplementasi zat besi


Suplementasi zat besi diberikan pada daerah, di mana prevalensi anemia defsiensi zat
besi (ADB) lebih dari 40% atau tidak mendapatkan makanan dengan fortifikasi zat besi.
Suplementasi ini diberikan mulai usia 6-23 bulan dengan dosis 2 mg/kg berat badan/
hari.25

255
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Dosis dan lama pemberian zat besi untk pencegahan ADB adalah sebagai berikut:25

Keterangan: * Dosis maksimum untuk bayi: 15 mg/hari, dosis tunggal


#
Khusus remaja perempuan ditambah 400 µg asam folat

Simpulan
Zat besi merupakan nutrien penting yang harus dikonsumsi oleh setiap anak. Anak dengan
kekurangan zat besi dapat berakibat buruk pada perkembangan neurologis maupun
perilaku. Pencegahan terjadinya defsiensi zat besi dapat dilakukan dengan memakan
sumber zat besi yang memadai. Pengetahuan tentang makanan sumber zat besi serta bahan
makanan lain sebagai enhancers maupun inhibitor penyerapan zat besi perlu ditingkatkan
agar asupan zat besi yang diberikan pada anak memadai. Pemberian suplemen zat besi
pada anak dapat diberikan bila prevalensi ADB di daerah tersebut lebih dari 40% dan
anak tidak mengonsumsi makanan berfortifikasi zat besi.

Daftar pustaka
1. Lozoff B, Jimenez E, Smith JB. Double burden of iron deficiency in infancy and low socio-
economic status: a longitudinal analysis of cognitive test scores to age 19 years. Arch Pediatr
Adolesc Med. 2006;160(11):1108–1113.
2. Bruner AB, Joffe A, Duggan AK, Casella JF, Brandt J. Randomized study of cogni-
tive effects of iron supplementation in nonanemic iron-deficient adolescent girls. Lancet.
1996;348(9033):992–6.
3. Sandjaja S, Budiman B, harahap H, Ernawati F, Soekatri M, Widodo Y, Sumedi E, Rustam
E, Sofia G, Syarief SN, Khouw J. Food consumption and nutritional and biochemical status
of 0.5 – 12-year-old Indonesian children: the SEANUTS study.. British Journal of Nutrition
2013 (110):s11-s20.
4. World Health Organization. Iron Deficiency Anemia: Assessment, Prevention, and Control—
A Guide for Program Managers. Geneva, Switzerland: World Health Organization; 2001.
WHO/NHD/01.3.
5. Centers for Disease Control and Prevention, National Center for Health Statistics. National
Health and Nutrition Examination Survey. Diunduh pada tahun 2017 dari www.cdc.gov/
nchs/nhanes.htm.
6. Cusick SE, Mei Z, Freedman DS, Looker AC, Ogden CL, Gunter E, Cogswell ME. Unex-

256 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


plained decline in the prevalence of anemia among US children and women between 1988
–1994 and 1999 –2002. Am J Clin Nutr. 2008;88:1611–7.
7. Richardson M. Microcityc anemia. Pediatrics in Review, 2007:28,pp.5
8. Loannou GN, Spector J, Scott K, Rockey DC. Prospective evaluation of a clinical guideline
for the diagnosis and management of iron deficiency anemia. The American Journal of Med-
icine 2002;113(4):281-7.
9. Ninuk TSH, Dibley MJ, Sadjimin T, Serdula M. Food and nutrient intakes of infants and
young children in Central Java, Indonesia.Yogyakarta, Indonesia: Clinical Epidemiology and
Biostatistics Unit, University of Gadjah Mada 1997.
10. Akers SM, Groh-Wargo SL, Normal nutrition during infancy, in Samour PQ, Helm K.K,
Lang CE. Handbook of pediatric nutrition. Aspen Publisher, Inc. Gaithersburg, Mary-
land,1999:pp.84-6.
11. AAP Offers guidannce to boost iron levels in children. 2010. Diunduh pada tahun 2017 dari
<http://www.aap.org/pressroom/Ironfinal.pdf>.
12. CDC and Prevention, 2002. Iron deficiency – United States, MMWR, 1999–2000:51:897–
99.
13. Lind T, Lönnerdal B, Persson LA, Stenlund H, Tennefors C, Hernell O. Effects of weaning
cereals with different phytate contents on hemoglobin, iron stores, and serum zinc: a ran-
domized intervention in infants from 6 to 12 mo of age. Am J Clin Nutr 2003;78:168–75.
14. Siegenberg D, Baynes RD, Bothwell TH. Ascorbic acid prevents the dose-dependent in-
hibitory effects of polyphenols and phytates on nonheme-iron absorption. Am J Clin Nutr
1994;53:.537–41.
15. Lestari ED, Moelya AG, Rohana E., Wiboworini B. Relation of complementary foods and
anemia in urban underprivileged children in Surakarta. Paediatr Indones,2007;47:196-201.
16. Etcheverry P, Hawthorne KM, Liang LK, Abrams SA, Griffin IJ. Effect of beef and soy
proteins on the absorption of non-heme Iron and inorganic zinc in children. Journal of the
American College of Nutrition, 2006;25(1):34–40.
17. Lestari ED, Hartini TNS, Hakimi M, Surjono A. Nutritional status and nutrient Intake
from complementary foods among breast-fed children in Purworejo District, Central Java,
Indonesia. Pediatr Indones,2005;45:31-9.
18. Mannar V, Gallego EB.. Iron fortification: country level experiences and lesson learned. J.
Nutr, 2002;32::S856-8.
19. Uauy R, Hertrampf E, Reddy M. Iron fortification of foods overcoming technical and prac-
tical barriers. J Nutr,2002;132::S849-52.
20. Sazawal S, Dhingra U., Hiremath G, Kumar J., Dhingra P., Sarkar A., Menon VP, Black
RE. Effects of fortified milk on morbidity in young children in north India: communi-
ty based, randomised, double masked placebo controlled trial. BMJ 2006, doi:10.1136/
bmj.39035.482396.55.
21. Al-Mamari A, Al-Hegami MA, Al-Hag S, Al-Buryhi M, Al-Amawi S, Ahmed L, Al-Awadi L,
Al-Jamal S, Mohammad W, Mohammad Y. Prevalence of iron deficiency and iron deficiency
anemia in infants and children and treatment with microencapsulated iron II fumarate and
supplied ascorbic acid as “Sprinkles” Pharmacology & Pharmacy, 2014,5,716-724.
22. Wahyuni Kunayarti W, Julia M, Susilo J. Pengaruh taburia terhadap status anemia dan status
gizi balita gizi kurang. Jurnal Klinik Indonesia 2014;10(4):38-47.
23. Tri Wahyuni, Djunaidi M. Dachlan, Abdul Salam. Studies of Program Implementation Grants

257
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Taburia Powder at Public Health Center of Sudiang Raya in Makassar . Diunduh pada tahun
2017 dari http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/1234567).
24. Olaya GA, Lawson M, and Fewtrell MS. Efficacy and safety of new complementary feeding
guidelines with an emphasis on red meat consumption: a randomized trial in Bogota, Co-
lombia. Am J Clin Nutr 2013;98:983–93.
25. Rekomendasi IDAI: Suplementasi zat besi. 2011

258 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Perawatan Paliatif pada Kanker Anak
Endang Windiastuti
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta

P
elayanan paliatif pada anak dengan kanker menjadi perhatian di dunia akhir-
akhir ini. Namun demikian, program ini belum sepenuhnya dijalankan, sehingga
penanganan anak dengan kanker terutama ditujukan hanya dari segi pengobatan
utama, seperti kemoterapi, radioterapi, dan pembedahan. Banyak anak saat pengobatan
kanker dan pada akhir hayatnya meninggal dengan dengan penderitaan, seperti nyeri,
sesak nafas, dan lain-lain. Hal ini dapat disebabkan karena ketidaktahuan tenaga medis
mengenai penanganan gejala atau orang tua yang tidak mengenali gejala.
Pelayanan paliatif adalah suatu pendekatan yang bertujuan meningkatkan kualitas
hidup pasien maupun keluarganya, terutama bagi mereka yang menghadapi masalah atau
situasi yang berhubungan dengan penyakit yang telah lanjut atau penyakit kronik dan
mengancam hidup. Pada pelayanan paliatif, diutamakan pencegahan terhadap terjadinya
penderitaan yang ditimbulkan oleh penyakit dasarnya, termasuk penanganan nyeri, serta
dukungan fisik, psikologis, dan spiritual. Pelayanan paliatif yang efektif memerlukan
keterlibatan dan ketrampilan multidisiplin dalam bentuk tim.1,2 Badan Kesehatan Dunia
[World Health Organization (WHO)] telah menetapkan bahwa penanganan paliatif pada
anak dengan keganasan terbukti meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarganya
dalam menghadapi keadaan yang sulit dan untuk mencapai tujuan ini, diperlukan peran
dari tim yang terpadu antara tenaga medis, pasien-keluarga, dan masyarakat.3

Definisi pediatric palliative care (penanganan paliatif anak)1,4


Penanganan paliatif anak adalah penanganan aktif yang bertujuan untuk meningkatkan
kualitas hidup anak yang menderita penyakit yang mengancam hidup beserta keluarganya
dengan cara meredakan/menghilangkan masalah fisik, sosial, emosi, dan spiritual.
Penanganan harus dimulai segera setelah diagnosis ditegakkan dan berkesinambungan,
tanpa melihat pasien sedang dalam pengobatan atau tidak. Pada konsep yang baru,
penanganan paliatif yang dilakukan bersama dengan pengobatan penyakit dasar
merupakan kesatuan yang terintegrasi sepanjang perjalanan penyakit pasien tersebut.5
Penanganan paliatif yang efektif memerlukan pendekatan multidisiplin yang melibatkan
keluarga dan sumber yang ada di sekitarnya, baik di rumah sakit maupun di rumah.

259
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Kualitas hidup anak dengan kanker
Penelitian di bidang onkologi anak terutama ditujukan untuk meningkatkan kesintasan
dengan menurunkan angka kematian. Dengan kesintasan yang meningkat, perhatian
beralih pada efek toksik kemoterapi. Data mengenai outcome pelayanan paliatif anak
dengan kanker sangat sedikit, terutama penelitian prospektif untuk menentukan gejala-
gejala yang dapat mempengaruhi kualitas hidup. Strategi pengembangan pelayanan
paliatif anak dengan kanker harus dimulai dengan menentukan angka kejadian gejala
yang sering dialami anak saat menjalani kemoterapi atau radioterapi maupun gejala pada
saat kanker sudah tidak mungkin disembuhkan.2,3,6
Secara global, angka kejadian kanker pada anak adalah 160.000 kasus baru pertahun
pada anak berusia kurang dari 15 tahun dengan angka kematian sebesar 90.000 anak
pertahun. Penelitian yang dilakukan oleh Wolfe et al. terhadap 186 orang tua anak kanker
mendapati bahwa dengan pengendalian gejala dan perhatian, baik tenaga medis maupun
keluarga, dapat mengurangi penderitaan anak dengan kanker. Kunci utama adalah
komunikasi yang kontinyu.4 Hasil akhir dari memperbaki komunikasi adalah kualitas
hidup anak dengan kanker menjadi lebih baik; begitu pula terhadap keluarga.

Prinsip dasar pada pelayanan paliatif anak1,5,6


•• Informasi dan pengambil keputusan
•• Dukungan pada keluarga
•• Dukungan sepanjang waktu
•• Konsultasi para pakar
•• Pelayanan yang terkoordinasi
•• Kualitas pelayanan
•• Dukungan komunitas

Pelayanan paliatif anak dengan kanker secara global


Di dunia, setiap hari, terdapat anak yang meninggal dengan penyebab yang beragam.
Apapun penyebabnya, kejadian ini membuat depresi dan kehilangan yang luar biasa bagi
keluarga maupun komunitas di sekitarnya. Hal ini menyadarkan dan menggerakkan
beberapa tenaga medis, komunitas, dan tenaga nonmedis lainnya untuk memberikan
dukungan bagi keluarga yang mempunyai anak dengan penyakit kronik atau sulit
disembuhkan, termasuk kanker, untuk menghadapi situasi yang sulit ini. Pelayanan
paliatif pada anak dengan kanker merupakan pelayanan multidisiplin yang melibatkan
dokter, perawat, psikiater, psikolog, pemuka agama, dan relawan, sedangkan dari pihak
keluarga, terdiri dari ayah, ibu, kakak, adik, nenek, dan kakek.5,6

260 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Di bawah ini disampaikan pelayanan paliatif anak di beberapa negara:
1) Afrika Selatan7
Afrika Selatan merupakan negara yang menjadi perintis pelayanan paliatif di
benua Afrika selama kira-kira 30 tahun. Meningkatnya kasus anak dengan human
immunodeficiency virus (HIV) dan acquired immunodeficiency syndrome (AIDS)
menyebabkan banyak populasi anak yang menderita. Komunitas medis, organisasi
profesi, dan lembaga swadaya masyarakat bersama pemerintah melakukan advokasi
dan rencana yang rinci untuk membantu anak dengan HIV/AIDS. Komponen dasar
program komprehensif pada pelayanan paliatif anak adalah sebagai berikut:
- Visi dan misi yang jelas
- Tim multiprofesi yang terlatih dalam bidang pelayanan paliatif
- Mempunyai akses pada obat-obatan paliatif
- Mempunyai jaringan kerja sama dengan organisasi lain yang berfokus pada anak
- Pelayanan lebih terfokus pada home-based care di rumah dengan dukungan
keluarga
- Pelayanan meliputi segi psikososial
- Mengerti tentang aspek legal
- Dapat mengidentifikasi aspek etik dalam pelayanan paliatif anak
- Dukungan donor didapat dari komunitas dan lembaga swadaya masyarakat

2) India8
Pelayanan paliatif dimulai pada tahun 1980. Hingga saat ini, di seluruh negeri
terdapat 138 hospice dan pelayanan paliatif di 16 provinsi/teritorial. Meskipun
umumnya pelayanan ini berpusat di kota-kota besar, perkembangan pelayanan paliatif
cukup pesat yang diselenggarakan tidak hanya oleh pemerintah, tetapi juga lembaga
swadaya masyarakat dan rumah sakit swasta. Pelayanan paliatif terutama ditujukan
kepada anak dari keluarga tidak mampu yang menderita kanker, HIV/AIDS, kelainan
neurologis, dan penyakit kronik lainnya. Beberapa hambatan yang dihadapi adalah:
- Kurangnya tenaga terampil dalam bidang paliatif anak
- Ketersediaan obat, terutama morfin
- Pelayanan paliatif kanker anak masih berpusat di kota besar
- Belum ada aturan kesehatan yang baku tentang paliatif
Meskipun pelayanan paliatif anak dengan kanker sudah dijalankan, perhatian
dan bantuan pemerintah maupun komunitas mulai meningkat. Perkembangan
pengetahuan tentang paliatif dan pelatihan secara rutin dilakukan.

3) Jerman9
Di Jerman, secara primer, pelayanan paliatif anak dengan kanker dilakukan terutama
di hospice, baik yang rawat inap maupun yang rawat jalan. Penanganan di rumah
sakit ditujukan untuk pemberian kemoterapi ataupun pada keadaan gawat darurat.
Terdapat kerjasama dan koordinasi yang sangat baik antara pihak rumah sakit dan

261
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
hospice dalam pelayanan anak dengan kanker maupun penyakit kronik lainnya.
Pelayanan paliatif anak dengan kanker bertujuan untuk memberikan pelayanan secara
menyeluruh bagi keluarga dan anggotanya yang meliputi:
- Terapi medis, terutama terhadap nyeri dan gejala lainnya
- Dukungan dan konsultasi bagi orang tua dan saudara kandung
- Fisioterapi
- Supervisi sosial dan psikososial
- Dukungan saat kematian
Selain pelayanan, program penelitian juga dilakukan, dengan topik sebagai berikut:
- Tingkat kesulitan dan stres bagi perawat dan keluarga dalam pelayanan paliatif
anak
- Evaluasi terhadap pelaksanaan pelayanan paliatif bagi saudara kandung
Setiap anak beserta keluarganya mendapat dukungan yang luas dari hospice yang
ditangani oleh tenaga fulltimer yang berdedikasi. Selain itu, mereka juga melakukan
kunjungan rumah. Terdapat sembilan hospice yang melayani sekitar 90 anak rawat
jalan. Pengembangan terus dilakukan dengan menambah hospice dan tenaga karena
pada pelayanan dengan sistem hospice, biaya dapat ditekan jika dibandingkan
pelayanan di rumah sakit.

Pelayanan paliatif anak dengan kanker di Indonesia10


Pelayanan paliatif secara umum belum dilaksanakan secara paripurna. Beberapa individu
dan rumah sakit telah menjalankannya, terutama pada pasien kanker. Pada tahun 2013,
Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan Pedoman Teknis Pelayanan Paliatif Kanker.

Tujuan umum
Terselenggaranya pelayanan paliatif yang terpadu dalam tata laksana kanker di setiap
jenjang pelayanan kesehatan di Indonesia untuk meningkatkan kualitas hidup pasien
kanker dan keluarganya

Tujuan khusus
•• Tersosialisasinya pelayanan paliatif pasien kanker di semua tingkat pelayanan kesehatan
•• Terkoordinasinya pelayanan paliatif pasien kanker, sehingga terwujud pelayanan
paripurna
•• Terlaksananya pelayanan paliatif sesuai pedoman

Tata laksana paliatif anak dengan kanker.


Komunikasi dengan orang tua dan anak
Hal ini diperlukan bagi orang tua dan anak, di mana mereka diberi kesempatan untuk
mendapatkan informasi sebagai berikut:

262 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


•• Mengetahui kondisi mereka yang sebenarnya
•• Mengetahui apa yang mungkin akan terjadi
•• Berbicara mengenai perasaan mereka dan apa yang dikhawatirkan
•• Menjelaskan tentang pilihan perwatan yang akan diberikan
•• Membantu memutuskan tentang pilihan perawatan dan pengobatan
Program pelayanan paliatif yang efektif melalui pendekatan kesehatan masyarakat
akan tercapai jika didukung oleh komitmen kuat pimpinan yang sesuai dengan
rekomendasi WHO melalui tiga langkah kebijakan, yaitu:
•• Integrasi layanan perawatan paliatif ke dalam struktur dan pendanaan pada sistem
kesehatan nasional
•• Pelatihan profesional kesehatan relawan dan masyarakat
•• Ketersediaan obat esensial untuk pengelolaan nyeri dan gejala lain, khususnya tekanan
psikologis
Dalam pengembangan pelayanan paliatif anak dengan kanker, terdapat enam domain
yang harus dilaksanakan, yaitu11:
Domain 1 : Struktur dan proses pelayanan
Pelayanan harus berbasis interdisiplin yang mampu berkolaborasi dengan
keluarga. Koordinasi yang berkesinambungan sangat diperlukan, sehingga
diperlukan anggota tim yang mempunyai kualifikasi tertentu serta
pendidikan dan pelatihan.
Domain 2 : Aspek pelayanan fisik
Pengenalan gejala secara dini harus dilakukan oleh tim interdisiplin dan
dalam pelayanan fisik, perlu bekerja sama dengan orang tua dan keluarga.
Penanganan harus terkoordinasi dengan baik agar pelayanan paliatif
berkesinambungan.
Domain 3 : Aspek psikologis dan psikiatrik
Kedua aspek ini berfokus pada gejala yang timbul dari segi psikologis dan
psikiatrik. Faktor yang penting adalah mengajak orang tua dan keluarga
untuk dapat mengerti terjadinya gejala dan menanganinya bersama dengan
komunikasi terbuka.
Domain 4 : Aspek pelayanan sosial
Pelayanan sosial sangat erat hubungannya dengan dukungan keluarga dan
tim paliatif. Masalah sosial sama pentingnya dengan masalah medis dan
mengidentifikasi masalah sosial tidak mudah karena perlu komunikasi
yang berulang, sehingga orang tua/keluarga merasa nyaman untuk
mengemukakannya.
Domain 5 : Aspek pelayanan spiritual dan eksistensi
Kerja sama dengan pihak terkait sangat diperlukan untuk membantu
pasien beserta kelaurga agar mendapat dukungan yang paripurna.
Domain 6 : Aspek pelayanan kultural
Pelayanan paliatif sangat terkait dengan aspek kultural pasien dan

263
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
keluarganya. Tim pelayanan paliatif harus mengetahui dengan detail
dan pasti aspek kultural yang melatarbelakangi suatu keluarga karena
keberhasilan pelayanan paliatif akan terwujud bila aspek kultural masuk
ke dalam pertimbangan tim untuk berkomunikasi serta merencanakan
pelayanan.
Domain 7 : Aspek pelayanan pada masa akhir kehidupan
Pelayanan ini memerlukan komunikasi yang cukup intens dan pengenalan
gejala akhir kehidupan. Dengan komunikasi yang terjalin baik, keluarga
akan mengetahui tindakan yang harus dilakukan dan yang terpenting
adalah pasien teratasi gejalanya, sehingga keluarga merasa lebih siap untuk
menghadapi masa sulit.
Domain 8 : Aspek etika dan legalitas
Komukasi atas segala tindakan dan tujuan pelayanan menjadi bagian
yang penting. Umumnya, orang tua/keluarga mengerti mengenai hal ini.
Menghargai pendapat dan permintaan pasien serta keluarga perlu didengar
dan dimusyawarahkan. Perlu adanya komite etik yang menjadi konsultan
pada tim pelayanan paliatif.

Penutup
Sebuah rencana perawatan paliatif nasional harus mencakup langkah-langkah kebijakan.
Untuk memberikan berbagai obat yang dibutuhkan untuk mengelola gejala umum
kanker, termasuk nyeri, mual, muntah, delirium, agitasi, insomnia, kelelahan, depresi, dan
kecemasan, obat ini harus dimasukkan ke dalam daftar obat esensial untuk memastikan
bahwa keputusan mengenai sumber daya didasarkan pada kebutuhan medis dari mayoritas
penduduk.
Penyusunan daftar obat esensial dan protokol perawatan paliatif harus dilakukan
oleh tim multidisiplin. Sistem rujukan berjenjang perlu dibangun dan mempersiapkan
sumber daya manusia yang terlatih dalam bidang paliatif kanker pada anak.

Daftar pustaka
1. Goldman A. Palliative care for children. Dalam: Fallon M, Hanks G, penyunting. ABC Of
Palliative Care. Edisi kedua. Massachusetts: Blackwell Publishing Ltd, 2006,hal 48-51
2. Tammy I. Kang, MD, MSCE,* David Munson, MD,* Jennifer Hwang, MD, MHS,* Chris
Feudtner, MD, Integration of Palliative Care Into the Care of Children With Serious Ill-
ness. Pediatrics in Review.2008; 35:318-325:
3. Huijer HAS. Palliative Care in Children. Dalam : Chang E, Johnson A, penyunting. Con-
temporary and Innovative practice in Palliative care. Edisi pertama. Croatia: publisher In-
Tech, 2012 hal.235-52.
4. Harris MB. Palliative care in children with cancer: Which child and when? J Natl Cancer Inst
Monogr 2004;32:144-9.

264 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


5. Wolfe J, Grier H, Klar N, Levin SB, Ellenbogen JM, Salem-Schatz S, Emanuel EJ, Weeks
JC. Symptoms and Suffering at the End of Life in Children with Cancer. N Engl J Med
2000; 342:326-333
6. Knapp C, Madden V, Woodworth L, Fowler-Kerry S. An overview of pediatric palliative care
. Dalam: Knapp C, Madden V, Woodworth L, Fowler-Kerry S, penyunting. Edisi pertama.
London: Springer;2012.h 3-17
7. Marston J, Nkosi B, Bothma A. pediatric palliative care in South Africa. Dalam: Knapp C,
Madden V, Woodworth L, Fowler-Kerry S, penyunting. Edisi pertama. London: Spring-
er;2012. h.27-40
8. Mathews L, Kumar KS. Pediatric Palliative Care in India. Dalam: Knapp C, Madden V,
Woodworth L, Fowler-Kerry S, penyunting. Edisi pertama. London: Springer;2012. h. 91-
108.
9. Loffing C, Loffing D, Kraft S, Goberg M, Van Dijk M, Schellenberg T, Kunzler HG. Pedi-
atric Palliative Care in Germany. Dalam: Knapp C, Madden V, Woodworth L, Fowler-Kerry
S, penyunting. Edisi pertama. London: Springer;2012. h.209-237
10. Pedoman Tehnis Pelayanan Paliatif Kanker. Kemkes , 2013
11. Abernelthy AP, Dahlin C, Herman C. The national project for quality palliatice care. Dalam:
Ferree B, Meier D, penyunting.Clinical practice guideline for quality palliative care. Pitts-
burg: NCP publisher; 2013. h.5-19

265
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Lung Ultrasound
Evita Karianni Bermanshah Ifran
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta

Abstract
Although ultrasound is an old imaging tool and has been used since 70’s, in the past ultrasound is not
optimal for evaluating of the lung. Daniel Lichtenstein developed lung ultrasound for evaluating acute
disease using lung signs as a clue for the abnormality.
There are 10 lung signs at the beginning: Bat sign, lung sliding, A line, quad sign, tissue-like sign, shred
sign, B line (lung rockets), stratosphere sign, and lung point. These signs can detect acute respiratory
failure, hemodynamic therapy (shock), neonate assessment, ARDS, traumatic patients. BLUE protocol is
allowing immediately diagnosis of acute respiratory failure. FALLS protocol is allowing to define needs
in fluid therapy in acute circulatory failure.
Conclusion: Lung ultrasound is an old tool of imaging, but the use of lung ultrasound increasingly
widespread in many specialities. Every physician or medical staff who work in intensive unit, who facing
critical ill patients must use lung ultrasound as a regular tool for diagnosis acute respiratory failure or
acute circulatory failure.

P
emeriksaan ultrasonografi (USG) merupakan salah satu alat pencitraan yang telah
lama dikenal dan dilakukan oleh ahli radiologi atau sonografer. Keuntungan alat
USG adalah tidak adanya bahaya radiasi, pemeriksaan dapat dilakukan di sisi tempat
tidur pasien, pemeriksaan dapat dilakukan berulang-ulang, serta hasil dapat diperoleh
saat itu juga. Kekurangan dari USG adalah pemeriksaan ini sangat operator dependent,
tergantung alat (probe) yang dipergunakan, serta adanya udara dapat menghalangi alat
USG untuk melihat organ atau jaringan yang akan dinilai karena organ tersebut tertutup
oleh bayangan udara. Udara akan mengganggu gelombang ultra yang akan menilai organ
tersebut. Berdasarkan hal ini, dahulu dikenal istilah ‘udara adalah musuh bagi USG”.
Salah satu pemeriksaan USG yang sering dilakukan adalah USG thoraks. Biasanya
dipergunakan untuk mendeteksi adanya cairan dalam rongga pleura1 adanya konsolidasi
atau melihat pergerakan diafragma. USG mempunyai sensitifitas yang lebih tinggi dalam
mendeteksi adanya cairan dalam rongga pleura dibandingkan dengan menggunakan foto
thoraks. Pemeriksaan USG paru biasanya merupakan pelengkap pada pemeriksaan radiologi
konvensional atau sebelum dilakukan pemeriksaan CT-scan paru. Paru merupakan salah
satu organ tubuh yang berisi udara, sehingga penggunaanya sangat terbatas. Sebelumnya,
menilai paru dengan menggunakan USG dinyatakan tidak mungkin atau sulit dilakukan.

266 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Daniel Lichtenstein2, yang kemudian dikenal sebagai “Father of Lung ultrasound”
mempertanyakan ‘apakah USG paru dapat dipergunakan lebih luas?’, telah
mengembangkan dan memperkenalkan pendekatan diagnostik baru pada USG paru.
Kelemahan paru sebagai organ terisi udara, yang sebelumnya dinyatakan sebagai penghalang
untuk menegakkan diagnosis menggunakan USG justru dipergunakan sebagai petunjuk
adanya kelainan pada paru. USG paru dapat memberikan diagnosis yang akurat terhadap
kelainan paru akut. Dua kelompok utama penggunaan USG paru adalah: Bedside lung
ultrasound in an emergency (BLUE protocol) yang dipergunakan untuk pendekatan standar
pada gagal napas akut, dan fluid administration limited by lung ultrasound (FALLS protocol)
yang dipergunakan untuk tatalaksana hemodinamik pada gagal sirkulasi akut dengan
menggunakan USG.

Pemeriksaan USG paru


Perkembangan penggunaan USG paru belakangan ini memberikan diagnosis yang
akurat pada penyakit paru akut. Interstitial syndrome yang disebabkan oleh edema paru,
baik disebabkan kelainan hemodinamik (kelebihan cairan atau gagal jantung) maupun
gangguan permiabilitas (acute lung injury/ARDS) yang disebabkan pneumonia intestitial
atau pneumonitis, dan fibrosis paru dapat dievaluasi dengan menggunakan USG.
Ultrasonografi memiliki sensitivitas dan spesifisitas 100% dalam mendeteksi edema paru
dibandingkan CT-scan. Penggunaan USG paru terus dikembangkan pada kasus trauma,
di ruang perawatan intensif dan lainnya.
Penggunaan USG toraks pada awalnya untuk melihat adanya efusi pleura.1 Ahli
radiologi menggunakan transduser abdomen dengan pendekatan diagnosis melalui
abdomen.3 Adanya efusi pleura akan terlihat sebagai gambaran ekolusen berbentuk bulan
sabit pada potongan transversal atau berbentuk segitiga pada potongan sagital (Gambar
1). Kemudian dikembangkan pendekatan diagnostik efusi pleura menggunakan lung signs
berupa quad sign dan sinusoid sign.

Gambar 1. efusi pleura, gambaran anekoik (cairan) berbentuk bulan sabit pada potongan transversal (a),
berbentuk segitiga pada potongan sagital (b)

267
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Melihat adanya konsolidasi paru dengan USG juga telah dikenal sejak lama. Shred sign
atau tissue-like sign merupakan gambaran konsolidasi paru yang mempunyai sensitifitas
90% dan spesifisitas 98,5%.4,5
Adanya pneumotoraks sebelumnya tidak dapat ditegakkan dengan USG. Tidak
adanya pergerakan antara pleura parietalis dan viseralis pada saat pernapasan atau disebut
lung sliding, merupakan petunjuk (lung sign) kecurigaan adanya pneumotoraks. Diagnosis
pneumotoraks dengan lung signs tidak dapat hanya berdasarkan menghilangnya lung sliding
saja, karena keadaan ini juga ditemukan pada keadaan berat lainnya. Lung sliding harus
bersamaan dengan gambaran A line dan yang terpenting ditemukannya lung point.6 Pada
makalah ini akan dibahas penggunaan USG paru untuk melihat kelainan berdasarkan
lung sign, yang akan menunjukkan gambaran normal dan abnormal pada USG paru.

Lung sign
Untuk melakukan pemeriksaan USG paru, alat yang diperlukan adalah probe dengan
footprint dan frekuensi yang sesuai untuk neonatus atau bayi/anak yang akan diperiksa.
Umumnya probe microconvex dapat dipergunakan untuk semua usia.

Gambar 2. (a) Bat sign, (b) Garis pleura, (c) A line

Gambaran pada USG paru (gambar2)


a. Bat sign
b. Lung sliding
c. line

Beberapa lung sign pada USG paru yang perlu diketahui


1. Quad sign
2. Sinusoid sign
3. Shred sign
4. Tissue like sign
5. B line - Lung rocket
6. Stratosphere sign
7. Lung point

268 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Sunday, November 14, 2010

Gambar 3. BLUE protocol.2

Gambar 4. FALLS protocol.2

Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII 269


Menguasai gambaran lung sign akan membantu mendeteksi gagal napas akut,
menentukan adanya shock dan terapi cairan, pemeriksaan pada neonatus, acute respiratory
distress syndrome (ARDS) dan akibat trauma pasien.
BLUE protocol dipergunakan untuk melihat adanya gagal napas akut. Penggunaan
protokol ini untuk mendapatkan diagnosis dengan cepat, mengurangi pemeriksaan yang
memberikan radiasi, mengurangi biaya pemeriksaan yang mahal, mengurangi pemeriksaan
yang sifatnya invasif, dengan tujuan meningkatkan kualitas pelayanan. (Gambar 3)
sedangkan FALLS protocol dipergunakan untuk melihat kecukupan cairan (shock) serta
terapi cairan (gambar 4).

Penutup
Setiap dokter atau petugas kesehatan yang menangani kasus emergency, bekerja pada
unit intensif atau menghadapi pasien dengan sakit berat, harus memiliki kemampuan
untuk melakukan pemeriksaan USG paru. Dengan USG paru keterlambatan diagnostik
disebabkan masalah transportasi (pemeriksaan CT scan), menunggu petugas radiologi
serta hasil yang kurang akurat (alat radiologi konvensional), bahaya radiasi yang dihadapi
anak, disamping biaya yang tinggi serta tindakan yang invasif, menjadikan pertimbangan
melakukan pemeriksaan USG paru sebagai skrining, atau menggantikan posisi CT scan
paru bila keadaan anak tidak memungkinkan untuk dimobilisasi.

Daftar pustaka
1. Joyner CR, Herman RJ, Reid JM. Reflected ultrasound in the detection and
localisation of pleural effusion. JAMA 1967; 200: 399–402
2. Lichtenstein D. Should lung ultrasonography be more widely used in the
assessment of acute respiratory disease? Expert Rev. Resp. Med. 2010; 4(5):
533–8
3. Weinberger SE, Drazen JM. Diagnostic procedures in respiratory diseases. In:
Harrison’s Principles of Internal Medicine (15th Edition). McGraw-Hill, NY,
USA, 1454 (2001)
4. Weinberg B, Diakoumakis EE, Kass EG, Seife B, Zvi ZB. The air broncho-
gram: sonographic demonstration. AJR Am. J. Rontgenol. 1986; 147: 593–5.
5. Lichtenstein D, Lascols N, Mezière G, Gepner A. Ultrasound diagnosis of
alveolar consolidation in the critically ill. Intensive Care Med. 2004; 30:
276–281
6. Lichtenstein D, Mezière G, Lascols N et al. Ultrasound diagnosis of occult
pneumothorax. Crit. Care Med. 2005; 33: 1231–8.

270 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Puberty Disorders in Children and Adolescence
with Chronic Diseases
Frida Soesanti
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Cipto Mangunkusumo

Abstract
Recent advanced in health technology has improved the overall survival of children with chronic diseases.
As the consequences, many problems arise due to the chronic disease itself, its therapy or other factors.
Some of the problems are growth retardation, pubertal disorders, and secondary osteoporosis. The most
common pubertal disorder in children with chronic diseases is delay of puberty, but detained puberty
and menstrual disorder (in girls) are not uncommon. The incidence of pubertal delay in children with
chronic diseases is not well established. Puberty is fundamental not only for fertility and final height, but
also to achieved peak bone mass in order to prevent osteoporosis. Factors associated with delay puberty in
chronic diseases includes malnutrition, emotional deprivation, long term steroid administration, chronic
diseases itself, and side effect of therapy. Efforts should be made in each of these factors to prevent and
manage the pubertal disorder which in turn will improve the final height of children with chronic
diseases. Comprehensive management of the primary chronic diseases, careful administration of steroid,
optimal nutritional management and psychological support are essential to prevent pubertal delay. Thus,
evaluation of pubertal development should be part of daily practice in managing children with chronic
diseases which lead to early detection of pubertal disorders and its optimal treatment. Further, this paper
will discuss the mechanism of pubertal disorders in specific chronic diseases, including HIV infection,
gastrointestinal disorders, chronic renal disorders, chronic anemia, and eating disorders.

K
emajuan teknologi di bidang kesehatan mampu meningkatkan angka kesintasan
anak dengan penyakit kronik. Namun sebagai konsekuensinya timbul berbagai
gangguan akibat penyakit kronik itu sendiri ataupun akibat terapinya, meliputi
gangguan pubertas, gangguan pertumbuhan, dan osteoporosis. Tujuan tata laksana anak
dengan penyakit kronik saat ini telah bergeser, tidak hanya untuk meningkatkan angka
kesintasan tetapi juga untuk meningkatkan kualitas hidup anak dengan penyakit kronik.
Salah satu gangguan yang sering ditemukan adalah retardasi pertumbuhan dan gangguan
pubertas.1,2
Pubertas sangat penting tidak hanya untuk fertilitas dan tinggi akhir tetapi juga
untuk mencapai peak bone mass (puncak kepadatan tulang) dan mencegah osteoporosis.3
Gangguan pubertas yang sering ditemukan pada anak dengan penyakit kronik adalah
pubertas terlambat dan pubertas yang terhenti (detained puberty).1,2 Pada anak perempuan
juga ditemukan adanya gangguan menstruasi. Insidens pubertas terlambat pada anak
dengan penyakit kronik belum diketahui dengan pasti. Berbagai faktor yang berperan

271
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
terhadap terjadinya gangguan pubertas antara lain malnutrisi, penyakit kronik itu sendiri,
terapi steroid, dan stres emosional.1,2 Evaluasi pubertas secara berkala perlu dikerjakan
pada semua anak dengan penyakit kronik, terutama anak yang memasuki usia pubertas
sehingga memungkinkan tata laksana lebih dini gangguan pubertas yang terjadi. Deteksi
dini dan tata laksana yang adekuat terhadap gangguan tersebut akan meningkatkan
kualitas hidup anak dan remaja dengan penyakit kronik.

Pubertas Normal
Fisiologi Pubertas Normal
Pubertas akan berlangsung apabila aksis hipotalamus-pituitari-gonad sudah aktif (Gambar
1). Hipotalamus akan memproduksi gonadotropin-releasing hormone (GnRH).4-7 Pada
pre-pubertal, generator GnRH ini berada dalam kondisi dorman akibat inhibisi sistem
saraf yang lebih tinggi, seperti sistem GABAergik dan glutaminergik. Pubertas akan
mulai jika inhibisi terhadap hipotalamus ini berkurang atau menghilang. GnRH yang
diproduksi oleh hipotalamus ini kemudian akan menstimulasi pituitari (hipofisis) untuk
menghasilkan luteinizing hormone (LH) dan follicle stimulating hormone (FSH).4-7 Pada
awitan pubertas, sekresi LH mulai meningkat bermakna pada malam hari, kemudian
kadarnya turun dan menjadi sangat rendah pada siang hari.4-7 Pada awitan pubertas juga
terjadi peningkatan sekresi FSH yang paralel terhadap peningkatan kadar LH namun tidak

Gambar 1. Aksis hipotalamus-pituitari-gonad


Keterangan: GnRH: gonadotropin-releasing hormone, LH :luteinizing hormone, FSH: follicle-stimulating
hormone E2: estradiol, P: progesterone, T: testosterone

272 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


sebesar peningkatan LH. Peningkatan kadar LH merangsang gonad untuk menghasilkan
hormon steroid seks.4-7 Pada perempuan, LH akan merangsang sel interstisial (sel teka)
ovarium untuk menghasilkan estradiol, sedangkan pada lelaki LH merangsang sel Leydig
testis untuk menghasilkan testosteron. Pada perempuan, FSH merangsang pertumbuhan
sel folikel, sedangkan pada lelaki, FSH akan merangsang sel sertoli dan sel granulosa testis
untuk spermatogenesis dan pertumbuhan gonad.4-7
Pada lelaki, peningkatan LH malam hari ini akan langsung diikuti dengan
peningkatan kadar testosteron, sedangkan pada perempuan peningkatan kadar LH
baru diikuti dengan peningkatan kadar estrogen pada keesokan harinya. Dengan makin
berlanjutnya pubertas maka sekresi LH makin lama makin meningkat, baik dari segi
frekuensi maupun amplitudo. Peningkatan sekresi LH ini akan terus meningkat namun
tetap mempertahankan ritme siang-malam (diurnal) dan akan ritme diurnal ini akan
berakhir saat dewasa.4-7
Estrogen pada perempuan menstimulasi pertumbuhan payudara dan perkembangan
genitalia interna dan genitalia eksterna. Estrogen merangsang pertumbuhan endometrium
dan sekresi mukus serviks uteri. Androgen menstimulasi target organ lelaki seperti
pertumbuhan rambut seksual dan kelenjar sebasea.4-7 Estrogen dan testosteron berperan
penting terhadap terjadinya pacu tumbuh, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Keduanya menstimulasi pertumbuhan dan maturasi epifisis. Kedua steroid seks ini penting
untuk kepadatan tulang (bone mineral density).4-7

Tahapan Pubertas
Dua karakteristik utama pubertas adanya perkembangan karakteristik seks sekunder dan
pacu tumbuh. Perkembangan karakteristik seks sekunder dinyatakan dalam skala maturasi
seksual (SMS) berdasarkan Tanner, disebut dengan tahapan Tanner.3-6 Skala maturasi
seksual ini menunjukkan progresivitas perkembangan pubertas anak dengan cara inspeksi
dan palpasi.3-6 Skala maturasi seksual Tanner untuk anak perempuan adalah Payudara
(Mammae, M) dan rambut pubis (P); sedangkan untuk anak lelaki adalah Genital (G)
dalam hal ini adalah volume testis dan rambut pubis (P). Tahapan Tanner 1 disebut
pre-pubertal dan disebut pubertas jika sudah mencapai tahap Tanner 2. Perkembangan
pubertas akan berlanjut pada Tanner 3, kemudian Tanner 4 dan menjadi sempurna atau
komplit pada Tanner 5.3-6
Awitan pubertas pada anak perempuan dimulai pada usia 8-13 tahun, yang ditandai
dengan tumbuhnya payudara atau breast budding (tahap Tanner M2, telarke).3-6 Tahapan
pubertas kemudian dilanjutkan dengan tumbuhnya rambut pubis yang terjadi 1-1,5
tahun setelah telarke. Perkembangan pubertas selanjutnya adalah terjadinya menstruasi
(menarke) biasanya terjadi 2 sampai 2,5 tahun setelah telarke. Usia rerata usia menarke
anak Indonesia adalah 12,9 tahun.8 Pacu tumbuh mulai terjadi saat awitan pubertas dan
berlangsung selama 2-3 tahun dengan puncak kecepatan tumbuh terjadi sesaat sebelum
pubertas komplit.3-6

273
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Pubertas pada lelaki diawali dengan pembesaran testis yang kemudian disusul
dengan pubarke. Awitan pubertas pada lelaki dimulai pada usia 9-14 tahun, ditandai
dengan pertambahan volume testis menjadi > 3 mL (atau ≥ 4 mL).3-6 Setelah gonadarke,
pubertas berlanjut dengan pertumbuhan rambut pubis yang terjadi kurang lebih 1-1,5
tahun setelah pertambahan volume testis. Maskulinisasi lebih lanjut termasuk tumbuhnya
rambut wajah dan perubahan suara timbul pada tahap Tanner G4.3-6
Pacu tumbuh (growth spurt) saat pubertas ditandai dengan adanya akselerasi dan
deselerasi pertumbuhan.3-6 Pada saat awal pubertas akan terjadi akselerasi pertumbuhan
hingga mencapai puncaknya kemudian pertumbuhan akan menurun dan berhenti.
Pacu tumbuh ini disebabkan akibat meningkatnya hormon steroid seks yang juga
menstimulasi peningkatan produksi growth hormone. Pacu tumbuh pada anak perempuan
mulai terjadi pada Tanner 2. Puncak pacu tumbuh terjadi pada Tanner P3 atau kira-kira
1 tahun sebelum menarke.3-6 Rerata pertambahan tinggi badan pada anak perempuan
saat pubertas adalah 8,25 cm/tahun. Meskipun terjadi deselerasi pertumbuhan setelah
menarke, tetapi anak perempuan masih bisa bertambah tinggi sekitar 7 cm sebelum
akhirnya terhenti. Pertumbuhan tinggi badan biasanya sudah mencapai 99% saat usia 15
tahun. Pacu tumbuh pada anak lelaki terjadi dua tahun lebih lambat dibandingkan anak
perempuan. Pacu tumbuh dimulai saat Tanner P2. Puncak pacu tumbuh terjadi pada
Tanner P3-P4.3-6 Pada anak lelaki, rerata pertambahan tinggi badan saat pubertas adalah
9,5 cm/tahun. Pertumbuhan tinggi badan sudah mencapai 99% saat usia tulang 17 tahun.
Periode prepubertal yang lebih lama dan puncak kecepatan tumbuh yang lebih tinggi
pada lelaki menjelaskan perbedaan tinggi badan akhir lelaki dan perempuan.3-6

Pubertas pada anak dengan penyakit kronik


Gangguan pubertas yang sering terjadi pada anak dengan penyakit kronik adalah pubertas
terlambat atau pubertas yang terhenti (detained puberty).2 Pada anak perempuan dapat
ditemukan gangguan menstruasi, baik amenorea primer, amenorea sekunder ataupun
menstruasi yang ireguler. Pubertas terlambat didefinisikan sebagai tidak tumbuhnya
karakteristik seks sekunder pada usia 13 tahun untuk anak perempuan dan usia 14 tahun
untuk anak lelaki.5,6 Dengan kata lain pubertas terlambat didefinisikan sebagai belum
adanya pertumbuhan payudara pada usia 13 tahun pada anak perempuan dan tidak
adanya pertambahan volume testis ≥ 4 mL saat usia 14 tahun pada anak lelaki.
Tergantung penyakit kronik yang mendasari, pubertas terlambat dapat disebabkan
oleh malnutrisi, gangguan emosional, degradasi protein yang berlebihan, akumulasi zat
toksik, efek samping dari terapi, dan penyakit kronik itu sendiri.1,2 Salah satu faktor yang
dianggap selalu berperan sebagai salah satu faktor yang berperan dalam menyebabkan
pubertas terlambat adalah malnutrisi.2
Malnutrisi sendiri dapat menyebabkan pubertas terlambat dan melambatnya
kecepatan tumbuh.2 Sistem hormonal secara keseluruhan (terutama insulin, hormon
tiroid, kortisol, growth hormone dan aksis hipotalamus-pituitari-gonad) sangat dipengaruhi

274 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


oleh proses adapatasi terhadap kondisi malnutrisi.1,2 Pada kondisi malnutrisi juga terjadi
penurunan produksi Leptin yang berperan sebagai sinyal penghubung antara status nutrisi
dengan aksis HPG.2 Malnutrisi menghambat sekresi gonadotropin (LH dan FSH) dengan
menghambat langsung sekresi LHRH. Penurunan berat badan sampai kurang dari 80%
dari berat badan ideal dapat menyebabkan defisiensi gonadotropin dan penurunan kadar
leptin.2
Berikut ini adalah mekanisme terjadinya pubertas terlambat spesifik untuk masing-
masing penyakit kronik, meliputi infeksi berulang, imunodefisiensi (terutama infeksi
HIV), penyakit gastrointestinal, gangguan ginjal, anemia kronik (terutama talasemia),
dan gangguan makan.

Infeksi HIV
Salah satu manifestasi klinis yang menonjol pada pasien sindrom imunodefisiensi
didapat (SIDA) adalah gagal tumbuh yang timbul pada 25-100% pasien dengan infeksi
simptomatik.9 Mekanisme pasti terjadinya pubertas terlambat dan gagal tumbuh masih
belum diketahui namun berbagai faktor seperti malnutrisi, gangguan emosional, infeksi
berulang, malabsorpsi, dan gangguan metabolik, dan disregulasi hormonal berperan
dalam terjadinya pubertas terlambat.9-11
Penelitian Szuberg dkk9 menunjukkan bahwa pubertas terlambat dan menarke
berhubungan dengan usia awitan terapi anti retroviral dan tidak berhubungan dengan
status imun sebelum terapi dimulai. Infeksi HIV mengganggu pertumbuhan dan pubertas
melalui beberapa mekanisme yaitu akibat defisiensi nutrisi, infeksi berulang, dan proses
inflamasi kronik, dimana semuanya ini mengganggu aksis endokrin.9-11 Makin dini awitan
penyakit dan makin berat penyakitnya, maka makin besar kemungkinan terjadinya
gangguan pubertas dan menurunnya pacu tumbuh pubertas.9-11 Pubertas terlambat lebih
sering ditemukan pada perempuan dibandingkan lelaki. Pubertas terlambat yang terjadi
adalah tipe hipogonadotropik dan hipogonadisme akibat menurunnya sekresi GnRH
oleh hipotalamus. Tata laksana pubertas terlambat mencakup terapi penyakit utamanya,
optimalkan nutrisi, terapi hormonal untuk induksi pubertas dan jika memungkinkan
konseling psikoligis dan sosial.9-11

Penyakit gastrointestinal
Faktor yang berperan terhadap terjadinya gagal tumbuh dan pubertas terlambat pada
pasien dengan penyakit gastrointestinal (inflammatory bowel syndrome/IBD, gangguan
hepar, penyakit celiac) cukup banyak, meliputi malnutrisi, meningkatnya kebutuhan
energi, terapi steroid, diet restriktif dan gangguan sintesis faktor pertumbuhan.2 Malnutrisi
baik defisiensi mikronutrien atau makronutrien merupakan salah satu faktor yang paling
penting dalam menyebabkan terjadinya pubertas terlambat.2 Pubertas terlambat pada IBD,
malnutrisi, proses inflamasi kronik dan terapi kortikosteroid. Pada penyakit hepar kronik,

275
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
gangguan pertumbuhan dan pubertas terlambat terjadi akibat malnutrisi, efek samping
terapi steroid, gangguan dalam metabolisme intermediet, dan akibat infeksi berulang.2
Transplantasi hepar mampu mengembalikan fungsi pubertas pada pasien dengan penyakit
hepar kronik. Pada 3-5 tahun setelah transplantasi pubertas berkembang secara normal.2

Penyakit ginjal kronik


Saat ini, angka kesintasan 10 tahun anak dan remaja dengan gagal ginjal terminal mencapai
70-85%.12 Meningkatnya angka kesintasan ini menyebabkan meningkatnya gangguan
lainnya, seperti gangguan pertumbuhan, gangguan pubertas dan juga kelainan tulang
(chronic kidney disease-metabolic and bone diseases).2,12 Pertumbuhan lebih terhambat pada
kelainan kongenital daripada yang didapat. Makin dini usia awitan penyakitnya maka
semakin berat gangguan pertumbuhan yang ada.2,12
Pada insufisiensi ginjal kronik, pubertas biasanya timbul 2,5 tahun lebih lambat
dari pubertas normal dan bahkan bisa lebih lambat lagi jika durasi insufisiensi ginjal
lebih lama.12 Pacu tumbuh yang terjadi saat pubertas hanya 50% dari pacu tumbuh
yang normal. Hal ini disebabkan karena kecepatan tumbuh saat pubertas menurun dan
durasi pacu tumbuh pubertas pada anak dengan gangguan ginjal kronik lebih pendek.12
Berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya pubertas terlambat dan gangguan pubertas
pada insufisiensi ginjal kronik, antara lain adalah malnutrisi, gangguan asam-basa dan
elektrolit, osteodistrofi ginjal, disfungsi hormonal, anemia, efek samping terapi, serta
faktor psikologis.2,12 Pubertas terlambat dapat terjadi pada pasien yang mendapat terapi
dialisis. Kadar gonadotropin cenderung meningkat, hal ini disebabkan karena menurunnya
klirens LH dan stimulasi GnRH yang berlebihan. Kadar estrogen dan testosteron rendah.
Hal ini disebabkan oleh disfungsi gonad akibat uremia.2,12

Thalasemia
Patofisiologi yang mendasari gangguan pertumbuhan dan pubertas terlambat pada anemia
kronik belum jelas tetapi faktor yang berperan cukup bervariasi meliputi jenis anemia,
hipoksemia intermiten, malnutrisi, defisiensi mikronutrien atau efek samping terapi.2,13
Pubertas terlambat ditemukan pada 70-80% pasien thalasemia.13 Pubertas terlambat
ini disebabkan karena defisiensi gonadotropin (LH dan FSH), menyebabkan anak
thalasemia memiliki risiko tinggi untuk mengalami osteoporosis dan infertilitas.2,13
Defisiensi gonadotropin ini disebabkan oleh akumulasi besi di pituitari, namun hipoksia
kronis, faktor nutrisi, terapi kelasi besi juga berperan terhadap terjadinya pubertas
terlambat. Akumulasi besi juga dapat terjadi di gonad, biasanya terjadi jika kerusakan
aksis hipotalamus-pituitari sudah lanjut dan ireversibel.2,13
Steroid seks meregulasi maturasi skeletal dan massa tulang, akibatnya insufisiensi
gonad berpengaruh besar terhadap integritas skeletal.13 Pubertas yang abnormal
menyebabkan peak bone mass tidak tercapai sehingga anak thalasemia memiliki

276 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


risiko tinggi mengalami osteoporosis sejak dini. Pemeriksaan MRI T2* pituitari dapat
menunjukkan adanya akumulasi besi di pituitari dan kerusakan pituitari yang terjadi.
Tidak diketahui dengan pasti usia pertama kali besin dideposisi dan pada tahapan mana
besi menstimulasi terjadinya disfungsi aksis hipotalamus-pituitari.13

Gangguan makan
Gangguan makan (anoreksia nervosa, bulimia) menyebabkan malnutrisi.2 Penurunan
berat badan secara drastis dan malnutrisi dapat menyebabkan pubertas terlambat jika
pasien masih dalam tahap prepubertal, pubertas jadi terhenti dengan amenorea primer jika
pasien sudah pubertas atau oligomenorea atau amenorea sekunder dengan regresi tanda
seks sekunder pada pasien yang sudah menarke.1,2 Gangguan pubertas ini disebabkan
karena menurunnya kadar LH dan FSH akibat menurunnya rangsangan oleh GnRH.1,2
Pada pasien dengan gangguan makan juga terjadi gangguan pada aksis hormonal lain
menyebabkan terjadinya gangguan pertumbuhan. Peningkatan berat badan akan
mengembalikan fungsi aksis hormonal ini.
Latihan yang berlebihan juga berpengaruh terhadap pubertas. Jika hal ini terjadi
pada fase prepubertal maka akan menyebabkan pubertas terlambat dan gangguan
pertumbuhan.2 Pada atlet yang sudah menarke dapat terjadi amenorea atau menstruasi
yang ireguler. Salah satu penyebabnya adalah lemak tubuh yang kurang dan adanya
gangguan generator GnRH. Lemak memproduksi leptin yang berperan sebagai sinyal
penghubung antara status nutrisi dengan aksis hipotalamus-pituitari-gonad dan defisiensi
leptin berperan dalam menyebabkan gangguan pubertas.2

Penutup
Seiring dengan meningkatnya kesintasan anak dengan penyakit kronik maka timbul
berbagai masalah lain yang memengaruhi kualitas hidup anak dengan penyakit kronik.
Gangguan pertumbuhan, gangguan pubertas, dan osteoporosis merupakan beberapa
masalah yang mungkin timbul. Pubertas terlambat dan pubertas yang terhenti (detained
puberty) merupakan gangguan pubertas yang sering ditemukan. Penyebab gangguan
pubertas bersifat multifaktorial, meliputi malnutrisi, gangguan emosional, degradasi
protein yang berlebihan, akumulasi zat toksik, efek samping terapi, penyakit kronik
itu sendiri, dan gangguan hormonal. Evaluasi pubertas secara berkala harus merupakan
bagian integral dalam perawatan sehari-hari anak dengan penyakit kronik sehingga
memungkinkan dilakukannya intervensi secara optimal. Kemampuan untuk mendeteksi
adanya gangguan pubertas sangat penting perannya sehingga diharapkan setiap profesional
yang merawat pasien dengan penyakit kronik mampu mengidentifikasi adanya gangguan
pubertas. Tata laksana gangguan pubertas memerlukan kerja sama antara dokter dibidang
terkait dengan dokter endokrinologi anak. Hal ini diharapkan mampu meningkatkan
kualitas hidup anak dan remaja dengan penyakit kronik.

277
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Daftar Pustaka
1. Simon D. Puberty in chronically diseased patients. Horm Res. 2002;57:53-6.
2. Pozo J, Argente J. Delayed puberty in chronic illness. Best Pract Res Clin Endocrinol Metab.
2002;16:73-90.
3. Bordini B, Rosenfield RL. Pubertal Development: part II: clinical aspects of puberty. Pediat-
rics in Review. 2011;32:281.
4. Delemarre-van de Waal HA. Regulation of puberty. Best Pract Res Clin Endocrinol Metab.
2002;16: 1-12.
5. Palmert MR, Dunkel L, Witchel SF. Puberty and its disorders in the male. Dalam:Sperling
MA, penyunting. Pediatric endocrinology. Edisi keempat. Philadelphia: Elsevier Saunders.
2014. h.697-773.
6. Rosenfield RL, Cooke DW, Radovick S. Puberty and its disorders in the female. Dalam:Sper-
ling MA, penyunting. Pediatric endocrinology. Edisi keempat. Philadelphia: Elsevier Saun-
ders. 2014. h.569-604.
7. Bordini B, Rosenfield RL. Pubertal Development: part I: the endocrine basis of puberty.
Pediatrics in Review. 2011;32:223.
8. Batubara JR, Soesanti F, Van de Waal HD. Age at menarche in Indonesia girls: a national
survey. Acta Med Indones. 2010;42:78-81.
9. Szubert AJ, Musiime V, Bwakura-Dangarembizi M, Nahirya-Ntege P, Kekitiinwa A, Gibb
DM, et al. Pubertal development in HIV-infected African children on first-line antiretroviral
therapy. AIDS. 2015;29:609-18.
10. Majaliwa ES, Mohn A, Chiarelli F. Growth and puberty in children with HIV infection. J
Endocrinol Invest. 2009;32:85-90.
11. Loomba-Albrecht LA, Bregman T, Chantry CJ. Endocrinopathies in children infected with
human immunodeficiency virus. Endocrinol Metab Clin N Am. 2014;43:807-28.
12. Ferris ME, Miles JA, Seamon ML. Adolescents and young adults with chronic or end-stage
kidney disease. Blood Purif. 2016;41:205-10.
13. Chatterjee R, Bajoria R. Critical appraisal of growth retardation and pubertal disturbances in
thalassemia. Ann NY Acad Sci. 2010;1202:100-14.

278 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Pediatric Liver Transplantation:
Where are we now?
Hanifah Oswari*, Andi Ade Wijaya, Antonius Pudjiadi, Toar J.M. Lalisang,
Sastiono
*Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta

Abstract
The first pediatric liver transplantation in Indonesia was started in Semarang at year of 2006, and later
in Jakarta at year of 2010. However, Only Cipto Mangunkusumo Hospital (CMH) in Jakarta that is
still active performing liver transplantation in children until now. Around 8-12 patients/year has been
transplanted at this center since 2015 using Living Donor Liver Transplantation (Living Related Liver
Transplantation). There were all 27 children had been transplanted at CMH since 2010. Biliary atresia
is being the most frequent (77.8%) diagnosis that needs transplantation. The most frequent complication
after transplantation is infection. One year patient survival after liver transplantation in children is
79% in year 2016.

Sejarah
Setelah operasi pertama kali transplantasi hati pada anak dengan atresia bilier dilakukan
oleh Thomas E. Starzl pada tahun 1963, transplantasi hati pada anak yang berhasil
pertama kali dilakukannya pada tahun 1967 dengan angka harapan hidup setelah 1
tahun adalah 4 dari 8 resipien. Pada tahun 1986 unit transplantasi hati dewasa umumnya
melaporkan angka harapan hidup 1 tahun 80%, untuk anak hanya 60%. Saat ini di
dunia angka harapan hidup 1 tahun setelah transplantasi hati mencapai lebih dari 90%.
Walaupun transplantasi hati telah mencatat keberhasilan, tetapi prosedur transplantasi
hati merupakan prosedur yang kompleks melibatkan banyak tenaga ahli, sarana dan
prasarana yang hebat, biaya tinggi, sehingga perlu berhati-hati melakukan seleksi potensial
resipien dan memang tidak ada terapi lain selain transplantasi hati.
Transplantasi hati anak di Indonesia dimulai pertama kali di Semarang, di RS Karyadi
bekerja sama dengan tim transplantasi hati dari National University Hospital. Pada tanggal
1 Oktober 2006, seorang anak berusia 1 tahun 3 bulan dengan Atresia Bilier menjalani
transplantasi hati. Transplantasi hati anak selanjutnya dilakukan di RS Dr. Soetomo
bekerja sama dengan tim tranplantasi hati dari Oriental Organ Transplant Center (OOTC)
pada 24 April 2010pada anak dengan atresia bilier. Setelah itu barulah dilakukan operasi
transplantasi dewasa pertama kali di Indonesia pada tanggal 13-12-2010, dan sekaligus
transplantasi hati anak pada tanggal 15-12-2010 di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
(RSCM). Tim RSCM-FKUI bekerja sama dengan tim transplantasi hati dari The First
Affiliated Hospital of Zhejiang University, Cina

279
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Tim yang sama juga melakukan transplantasi hati pada orang dewasa di RS Puri
Indah, Jakarta pada tanggal 14-12-2010. Tim RS Pertamedika Sentul, Bogor, Jawa Barat,
juga pernah melakukan operasi cangkok hati terhadap pasien anak dengan Sindrom
Alagille, pada tanggal 24/2/2014. Operasi cangkok hati ini bekerjasama dengan Tim
dari Kobe (KIFMEC), Jepang.Selanjutnya, pada tanggal 11-11-2015 juga dilakukan
transplantasi hati anak di RSUP dr Sardjito Yogyakarta pada anak dengan atresia bilier
berkerja sama dengan tim transplantasi dari Kyoto, Jepang. Kemudian juga dilakukan
transplantasi hati di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) H Adam Malik Medan pada
orang dewasa pada tanggal 21 September 2015 bekerja sama dengan tim transplantasi dari
Korea Selatan.Walaupun transplantasi hati telah dilakukan di rumah sakit di beberapa
kota besar di Indonesia, tetapi saat ini yang masih teratur melakukan operasi transplantasi
hati anak adalah hanya di RSCM-FKUI, Jakarta.Transplantasi hati anak di RSCM-FKUI
awalnya dimotori oleh Dr. Sastiono (Bedah Anak), Dr. Hanifah Oswari dan Dr, Antonius
Pujiadi (IKA), dan Dr Andi Ade (Anestesi). Selanjutnya akan dibahas perkembangan
transplantasi hati anak di RSCM.

Perkembangan transplantasi hati Di RSCM-FKUI sampai saat ini


Operasi transplantasi pada anak mulanya berjalan lambat dari tahun 2010, bahkan sempat
tidak ada operasi transplantasi hati anak sama sekali pada tahun 2011 (Lihat Tabel 1),
karena kerjasama dengan tim dari Zhejiang University mengalami gangguan. Transplantasi
hati anak dimulai kembali pada 2012 tetapi kali ini bekerja sama dengan Tim transplantasi
hati dari National university Hospital, kerjasama ini berlangsung sampai tahun 2014.
Pada tahun 2012-2014 operasi transplantasi hati anak masih berjalan lambat, hanya
berlangsung 1 pasien setahun.
Percepatan transplantasi hati mulai terjadi sejak April tahun 2015, yaitu sejak Tim
transplantasi hati RSCM-FKUI berkerjasama dengan tim Transplantasi hati dari National
Center for Child Health and Development (NCCHD) Jepang. Tim dari Jepang ini
dimotori oleh Prof Murio Kasahara. Tahun 2015 berlangsung operasi transplantasi 5

Tabel 1. Jumlah Operasi Transplantasi hati di RSCM-FKUI dan NUH-Singapore


RSCM-FKUI* NUH-Singapore**
Tahun Dewasa Anak Total Dewasa Anak Total
2010 1 1 2
2011 1 0 1
2012 0 1 1 7 5 12
2013 0 1 1 23 4 27
2014 0 1 1 17 12 29
2015 3 5 8 25 12 37
2016 0 12 12 20 6 26
2017* 0 6 6
Total 5 27 32 92 39 131
Data sampai Juni 2017. ** Data transplantasi hati dari National University Centre for Organ Transplanta-
tion (NUCOT)-komunikasi pribadi dengan Prof Prabhakaran-data sampai dengan 16 Desember 2016.

280 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


pasien anak, meningkat pada tahun 2016 sebanyak 12 operasi transplantasi hati anak dan
tahun ini sampai dengan bulan Juni 2017 telah berlangsung 6 operasi transplantasi anak,
direncanakan 2 operasi transplantasi dilakukan pada bulan Juli, dan 2 pasien lagi pada
bulan Agustus 2017.Sebagai perbandingan, di National University Hospital, Singapore,
tahun 2015 terdapat 12 pasien anak dan 2016 terdapat 6 pasien anak di transplantasi hati
(Tabel 1).Di Filipina, transplantasi hati berlangsung pada rata-rata 8-9 pasien pertahun,
3-4 pasien diantaranya adalah anak.

Jenis transplantasi hati anak


Di lihat dari donor, transplantasi hati dapat berasal dari donor jenazah (orthotopic liver
transplantation/OLT atau disebut juga deceased donor liver transplantation/DDLT) atau
bila donor berasal dari donor hidup disebut living donor liver transplantation (LDLT).
Untuk LDLT bila donor berasal dari keluarga disebut juga living related liver transplantation
(LRLT). Pada LDLT penting untuk dinilai ukuran graft yang adekuat untuk resipien
dengan hati yang ditinggalkan juga cukup untuk donor. Ukuran yang cukup adalah bila
dicapai minimal 0.8% graft-to recipient body weight ratio (GRWR), ukuran idealnya adalah
1%. Setelah LDLT, graft dan hati donor akan melakukan regenerasi ke ukuran normalnya
dalam waktu 4 minggu.1
Kelebihan transplantasi hati menggunakan LDLT adalah skrining donor dapat
secara mendalam, saat operasi dapat diatur optimal, dan minimal cold ischemia time.2Cold
ischemia time adalah interval dari mulai preservasi dingin organ sampai pengangkatan
graft hati dari penyimpanan 4oC.Cold ischemia time berhubungan dengan prognosis
pasien transplantasi hati. Selain itu LDLT berhubungan dengan lebih rendahnya kematian
resipien saat menunggu transplantasi dibandingkan dengan DDLT.3 Umumnya operasi
LDLT pada anak menggunakan segmen lateral kiri atau lobus kiri hati. 4 Di tangan dokter
bedah transplantasi hati yang berpengalaman operasi LDLT dapat sangat berhasil.5,6
Operasi transplantasi hati pada anak di RSCM-FKUI seluruhnya adalah LDLT yang juga
LRLT, mengambil lobus kiri hati, pada segmen 2 dan 3 donor.

Tim Transplantasi hati dan prosedur transplantasi


Saat ini tim transplantasi hati RSCM terdiri dari:Dokter spesialis dan sub spesialis, Perawat,
Dietisien, Pekerja sosial (social worker), Fisioterapis, Farmasis, Tim PPIRS(Pencegahan
dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit), dan Tenaga penunjang non-medis
Untuk urusan managemen, RSCM-FKUI telah membentuk Tim Transplantasi
Organ dan Jaringan. Tim ini membawahi Tim Transplantasi Hati, Transplantasi Ginjal,
Transplantasi Kornea, dan Transplantasi Sumsum Tulang. Kegiatan Tim transplantasi hati
dalam bekerja sehari-hari diatur oleh 2 orang koordinator transplantasi hati dan satu orang
koordinator transplantasi organ dan jaringan.Untuk alur resipien pasien transplantasi
organ termasuk hati, dapat dilihat pada Gambar 1. Sedangkan alur donor dapat dilihat
pada Gambar 2.

281
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Pada Gambar 1 dapat dilihat bahwa semua pasien baik dari internal ataupun
eksternal didaftarkan ke koordinator transplantasi RSCM dahulu, dan dilanjutkan sampai
dinilai apakah pasien merupakan kandidat transplantasi atau bukan. Sebelum operasi
transplantasi dilakukan pasien harus mendapat persetujuan dari Komite Etik dan Hukum
untuk dapat dilanjutkan operasinya.
Sedangkan untuk donor, pada alur di Gambar 2 terlihat bahwa diperiksa golongan
darah dan fungsi organ hati,calon donor akan dikirim ke tim advokasi donor RSCM
dan dinilai kelayakan sebagai donor. Tim advokasi adalah tim diluar tim transplantasi
hati RSCM. Tim ini independen, tidak dapat dipengaruhi dan tidak di bawah tim
transplantasi hati. Bila telah lolos dari tim advokasi, donor akan menjalani skrining untuk
donor selanjutnya. Bila lolos dari tim transplantasi hati, sebelum dilakukan operasi, donor
harus dinilai oleh Komite Etik dan Hukum.

Indikasi transplantasi hati


Transplantasi hati merupakan terapi untuk gagal hati akut dan kronik. Pada gagal hati
kronis dapat dilakukan transplantasi hati untuk penyakit hati kolestasis (atresia bilier,
hepatitis neonatal idiopatik, sindrom Alagille, Progressive familial intrahepatic cholestasis
(PFIC), Nonsyndromic biliary hypoplasia), Penyakit metabolik hati (Wilson’s disease,
Glycogen storage tipe IV, Tirosinemia), dan Hepatitis kronis (autoimmune, hepatitis B dan
C, Primary immunodeficiency). Sedang indikasi pada gagal hati akut dapat dilakukan

Gambar 1. Alur resipien transplantasi hati di RSCM-FKUI

282 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


pada fulminant hepatitis (autoimmune hepatitis, acetaminophen poisoning, hepatitis
virus A,B,C atau Non A-G), penyakit metabolic (fatty acid oxidation defect, Neonatal
haemachromatosis, tyrosinemia tipe I, Wilson’s disease), Inborn error of metabolism (Sindrom
Criggler Najjar tipe I, Familial hypercholesterolemia, Organic aciduria, Urea cycle defect),
Tumor hati (tumor jinak, tumor ganas hati yang tidak dapat direseksi).7
Saat ini di RSCM-FKUI hanya melakukan transplantasi untuk gagal hati kronik,
belum melakukan transplantasi untuk gagal hati akut, mengingat persiapan untuk gagal
hati akut memerlukan kecepatan yang lebih tinggi. Diagnosis gagal hati kronik anak yang
ditransplantasi di RSCM-FKUI dapat dilihat pada Tabel 2.

Evaluasi pratransplantasi dan persiapan transplantasi hati


Evaluasi pasien pre-transplantasi hati meliputi:7
•• Penilaian beratnya penyakit hati dan kemungkinan penanganan medis.
•• Penilaian kemampu-laksana teknik operasi
•• Penilaian ada tidaknya kontraindikasi
•• Persiapan psikologis keluarga dan anak.

Gambar 2. Alur Donor Transplantasi hati di RSCM-FKUI

283
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Tabel 2. Diagnosis Pasien Transplantasi hati anak di RSCM
Diagnosis Jumlah pasien (%)
Atresia bilier 21 (77,8%)
Sindrom Alagille 2 (7,4%)
Caroli disease 1 (3,7%)
Neonatal hepatitis 1 (3,7%)
Auto immune hepatitis 1 (3.7%)
Budd Chiary 1 (3.7%)

Tahap evaluasi di atas telah dilakukan di RSCM-FKUI. Untuk penilaian beratnya


penyakit pre-transplantasi di RSCM-FKUI dibagi menjadi 4 tahapan yaitu tahap I-IV
yaitu Tahap I. Pemeriksaan awal untuk resipien dan donor, donor kemudian dikirim ke
tim advokasi RS, pada tahap II. Pemeriksaan psikologis, Tahap III. Pemeriksaan lanjutan
resipien dan donor bila disetujui tim advokasi, dan Tahap IV. Pesiapan operasi.
Sebelum transplantasi hati dilakukan, pasien transplantasi hati anak perlu
dipersiapkan untuk mendapat vaksinasi selengkap mungkin dalam waktu yang tersisa
sebelum transplantasi hati dilakukan. Vaksin hidup merupakan kontraindikasi diberikan
setelah transplantasi karena adanya risiko diseminasi sekunder akibat pemakaian
imunosupresan. Ada jadwal imunisasi khusus yang dipercepat untuk anak yang akan
menjalani transplantasi hati.8 Setelah transplantasi hati pemberian vaksinasi yang optimal
belum jelas, tetapi banyak senter transplantasi memberikan setelah 3-6 bulan transplantasi
ketika level imunosupresan yang diinginkan dicapai.8
Selain imunisasi, pasien perlu mendapat tatalaksana untuk komplikasi penyakit
gagal hati yang dialami seperti penanganan perdarahan varises berulang, sepsis termasuk
kolangitis asendens, peritonitis bakterial spontan, dan penanganan asites.
Pemberian tunjangan nutrisi untuk pasien transplantasi juga penting karena status
nutrisi merupakan faktor prognostik yang penting untuk pasien hidup setelah transplantasi
hati. Divisi nutrisi metabolik IKA ikut serta dalam tim transplantasi hati RSCM-FKUI.
Pasien umumnya mendapat nutrisi menggunakan nasogastric tube (NGT) dan bila perlu
dirawat inap untuk menaikkan status nutrisi pasien sebelum transplantasi hati.
Persiapan psikologis merupakan hal yang penting dilakukan untuk anak dan orangtua
sebelum transplantasi hati dilakukan.7 Di RSCM-FKUI, konseling psikologis melibatkan
tim psikiater anak yang juga masuk dalam tim transplantasi hati RSCM-FKUI.

Kontraindikasi
Sebelum tahun 2015, anak usia < 1 tahun dan berat badan < 10 kg masih menjadi
kontraindikasi untuk transplantasi hati di RSCM-FKUI. Sejak tahun 2015, dengan
bantuan Profesor Mureo Kasahara, yang telah dianugrahi Adjuct Professor dari Universitas
Indonesia pada tanggal 10 Agustus 2016, hal ini tidak menjadi masalah lagi. Bayi dengan

284 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


berat badan 6-7 kg telah dilakukan transplantasi hati di RSCM-FKUI. Pada bayi yang
sangat kecil Prof Kasahara dikenal dapat melakukan transplantasi hati dengan teknik
mono-segmen (1 segmen dari donor saja, buka 2 segmen seperti pada umumnya).9,10
Dengan teknik ini bayi dengan berat badan 2,4 kg telah pernah dilakukan transplantasi
hati dan berhasil baik.
Kontraindikasi transplantasi hati yang berlaku saat ini di RSCM adalah: Sepsis berat,
tumor ganas hati dengan metastasis di luar hati, infeksi HIV, Penyakit di luar hati yang
berat yang tidak reversible dengan transplantasi hati, gagal multiorgan.

Komplikasi transplantasi hati anak


Komplikasi segera setelah operasi (early postoperative complication) adalah primary graft
non-functioning, komplikasi bedah (misalnya perdarahan intra-abdomen), thrombosis
vaskular, dan obstruksi jalan keluar vena (venous outflow obstruction)
Komplikasi transplantasi hati pada anak yang sering adalah infeksi, thrombosis arteri
hepatika, dan striktur bilier.11-14 Thrombosis arteri hepatika setelah transplantasi hati di
luar negeri dilaporkan 10%, dan menurun setelah adanya reduksi hepatektomi atau pada
LDRT. Adanya rekonstruksi arteri hepatika dengan operasi mikro makin menurunkan

Tabel 3. Komplikasi pascatransplantasi hati anak di RSCM-FKUI


Komplikasi post-transplantasi hati anak Jumlah pasien (N= 27 orang)
Komplikasi segera setelah operasi
Primary graft non-functioning 0
Komplikasi bedah 5
Obstruksi jalan keluar vena 1
Komplikasi awal
Rejeksi selular akut 4
Komplikasi bilier 1
Infeksi 16
Komplikasi lain 12
Komplikasi lambat
Infeksi bakteri 9
Infeksi CMV 8
Infeksi EBV 4
Efek samping imunosupresan 8
Striktur bilier lambat 0
Trombosis arteri hepatika 0
Trombosis vena porta 0
Rejeksi kronis 3
Post-transplant lymphoproliferative Disease (PTLD) 0

285
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
komplikasi trombosis arteri hepatika. Di RSCM-FKUI, penyambungan arteri hepatika
dilakukan dengan cara operasi mikro menggunakan mikroskopi. Sampai saat ini
komplikasi trombosis arteri hepatika dapat dicegah di RSCM-FKUI (lihat Tabel 3).
Pada hari ke 7-10 setelah transplantasi hati dapat terjadi rejeksi selular akut. Insidens
rejeksi selular akut pada bayi sekitar 20%, meningkat menjadi 50-60% pada anak besar
dan dewasa. Gejalanya adalah demam, iritabilitas, rasa tidak nyaman di perut, dan kadang-
kadang asites. Terjadi peningkatan kadar bilirubin, fosfatase alkali, dan gamma glutamyll
transpeptidase, ALT dan AST. Penting dilakukan biopsi hati untuk memastikan terjadinya
rejeksi selular akut.Komplikasi post-transplantasi hati anak di RSCM-FKUI dapat dilihat
pada Tabel 3.Tidak terdapat kematian donor transplantasi hati anak di RSCM-FKUI.
Komplikasi donor pada operasi transplantasi hati anak di RSCM sampai saat ini tidak
ditemukan.

Asal pasien transplantasi hati (rujukan)


Pasien transplantasi hati anak di RSCM-FKUI berasal dari pelbagai kota di Indonesia.
Rujukan pasien dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Asal pasien transplantasi hati anak RSCM-FKUI


Asal rujukan Jumlah
Jakarta 9
Jawa Barat 7
Jawa Tengah 2
Lampung 2
Banten 1
Aceh 1
Sumatera Utara 1
Sumatera Barat 1
Kalimantan Tengah 1
Sulawesi Utara 1
Sulawesi Tengah 1
Total 27

Biaya transplantasi hati


Biaya tranplantasi hati anak di RSCM-FKUI dapat dilihat pada Tabel 5. Dibandingkan
dengan biaya di luar negeri, biaya di RSCM-FKUI tergolong cukup murah, tetapi tentu
saja sangat memberatkan keluarga muda yang anaknya memerlukan operasi transplantasi
hati. Sebagian dana ditanggung oleh BPJS.

286 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Tabel 5. Biaya Transplantasi hati Anak di RSCM
Total BPJS
Screening tahap I-IV
Resipien + Rp. 25 juta/orang Ditanggung penuh
Donor + Rp. 25 juta/orang Tidak dibiayai
Sebelum-Saat-Sesudah Transplantasi
Resipien tanpa hepatitis Rp. 600 juta Maksimal
Resipien dengan hepatitis Rp. 900 juta Rp. 269 juta
Donor Rp. 150juta
Kontrol Setelah Transplantasi Hati
Resipien Rp. 5-10 juta/bulan Ditanggung penuh
Donor Rp. 1 juta/bulan Ditanggung penuh

Angka harapan hidup


Pada anak yang menjalani transplantasi hati LDLT di Jepang, Negara yang paling banyak
melakukan LDLT pada anak. Dari 2224 anak yang menjalani LDLT, angka harapan
hidup 1 tahun dan 5 tahun adalah 88.3% dan 85,4%.5
Angka harapan hidup 1 tahun pasien transplatasi hati anak dengan LDLT di RSCM
adalah 89% pada tahun 2015 dan 79% pada tahun 2016.Terjadi penurunan cukup besar
pada angka harapan hidup dari tahun 2015 ke tahun 2016 karena pada tahun 2015 terjadi
lonjakan pasien yang dioperasi transplantasi dari 1 pasien anak setahun pada tahun 2014
menjadi 5 setahun. Kematian resipien sejak awal transplantasi hati terjadi pada 3 pasien
semuanya karena sepsis bakteria. Sejak saat ini, perbaikan perawatan dilakukan, mulai
dari ruang tunggu dan ruang periksa pasien transplantasi hati di rawat jalan dipisahkan
dari pasien lain yang infeksius, ruang rawat inap terpisah, dan mengajak divisi infeksi IKA
untuk bergabung. Sejak saat itu sampai saat ini belum ada lagi pasien yang meninggal
karena infeksi. Diharapkan di akhir 2017 ini angka harapan hidup 1 tahun pasien
transplantasi hati di RSCM dapat meningkat menyamai angka harapan hidup 1 tahun di
Jepang kembali.

Penutup
Transplantasi hati anak telah dilakukan pada di pelbagai tempat di Indonesia, tetapi
karena satu dan lain hal, terutama pembiayaan pasien transplantasi hati, maka saat ini
hanya RSCM-FKUI yang masih teratur melakukannya. Sampai saat ini di RSCM-FKUI
telah dilakukan transplantasi hati berjumlah 27 anak, atresia bilier paling sering dilakukan
tranplantasi hati. Angka keberhasilan hidup pasien 1 tahun setelah transplantasi untuk
tahun 2016 adalah 79%.

287
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Daftar pustaka
1. Marcos A, Fisher RA, Ham JM, et al. Liver regeneration and function in donor and re-
cipient after right lobe adult to adult living donor liver transplantation. Transplantation.
2000;69:1375-9.
2. Malago M, Rogiers X, Broelsch CE. Liver splitting and living donor techniques. Br Med Bull.
1997;53:860-7.
3. Berg CL, Gillespie BW, Merion RM, et al. Improvement in survival associated with adult-to-
adult living donor liver transplantation. Gastroenterology. 2007;133:1806-13.
4. Emond JC, Whitington PF, Broelsch CE. Overview of reduced-size liver transplantation.
Clin Transplant. 1991;5:168-73.
5. Kasahara M, Umeshita K, Inomata Y, et al. Long-term outcomes of pediatric living donor
liver transplantation in Japan: an analysis of more than 2200 cases listed in the registry of the
Japanese Liver Transplantation Society. Am J Transplant. 2013;13:1830-9.
6. Oh SH, Kim KM, Kim DY, et al. Long-term outcomes of pediatric living donor liver trans-
plantation at a single institution. Pediatr Transplant. 2010;14:870-8.
7. Kelly D. Liver Transplant. In: Walker WA, Goulet O, Kelinman RE, et al., editors. Pediatric
Gastrointestinal Disease: Pathophysiology-Diagnosis-Management. 4 ed. Ontario: BC Decker;
2004. p. 1532-50.
8. Danziger-Isakov L, Kumar D, Practice ASTIDCo. Vaccination in solid organ transplanta-
tion. Am J Transplant. 2013;13 Suppl 4:311-7.
9. Kasahara M, Kaihara S, Oike F, et al. Living-donor liver transplantation with monosegments.
Transplantation. 2003;76:694-6.
10. Ogawa K, Kasahara M, Sakamoto S, et al. Living donor liver transplantation with reduced
monosegments for neonates and small infants. Transplantation. 2007;83:1337-40.
11. Drews D, Sturm E, Latta A, et al. Complications following living-related and cadaveric liver
transplantation in 100 children. Transplant Proc. 1997;29:421-3.
12. Egawa H, Uemoto S, Inomata Y, et al. Biliary complications in pediatric living related liver
transplantation. Surgery. 1998;124:901-10.
13. Inomoto T, Nishizawa F, Sasaki H, et al. Experiences of 120 microsurgical reconstructions of
hepatic artery in living related liver transplantation. Surgery. 1996;119:20-6.
14. Rela M, Muiesan P, Bhatnagar V, et al. Hepatic artery thrombosis after liver transplantation
in children under 5 years of age. Transplantation. 1996;61:1355-7.

288 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Trends Candidiasis infection therapy in
hospitalized children
Hapsari
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro/RSUP DR Karyadi Semarang

Abstract
Pediatric Candida infections are associated with worse clinical outcomes and increased costs. Candidemia
is the fourth most common nosocomial bloodstream infection. Its incidence is increasing, particularly in
hospitalized patients. The attributable mortality and morbidity associated with hospitalization remain
significant (10.0%-14.5%) in all age groups despite therapeutic advances.
Disseminated or invasive Candida infections in pediatric patients, though relatively rare, are associated
with significant morbidity and mortality, along with increased societal cost. Mortality in children with
invasive candidiasis – that is, infection of the bloodstream or solid organ infection – has been reported
from 19% to 26% and as high as 43%–54% in infants. Invasive candidiasis has been associated with
a mean 21.1-day increase in length of stay among pediatric patients.
In studies published within the last decade, mortality rates in children with candidemia range from
19% to 31%. Invasive aspergillosis in children is associated with even greater mortality: 68% to 77%.
A higher mortality rate is seen in those with greater degrees of immunosuppression, particularly after
hematopoietic stem cell transplantation.
Risk factors for Candidemia may be assigned into two groups: host-related factors and health-care-
associated factors including catheter use, total parenteral nutrition, surgical interventions, and the use
of antimicrobial drugs. The leading host-related factors are immunosuppressive diseases, neutropenia,
age, and a deteriorating clinical condition due to underlying diseases. The most common health-care-
associated risks are long hospital or ICU stay. Risk factors associated with long ICU stay include invasive
interventions and colonization. Candida colonization is a risk factor, the importance of which has been
realized in recent years. According to various studies, this risk factor for IC development is more related
to the presence or absence of colonization than the number of regions colonized.
Systemic antifungal agents shown to be effective for the treatment of invasive candidiasis comprise 4
major categories: the polyenes (amphotericin B [AmB] deoxycholate, liposomal AmB, AmB lipid complex
[ABLC], and amphotericin B colloidal dispersion, the triazoles (fluconazole, itraconazole, voriconazole,
and posaco-nazole), the echinocandins (caspofungin, anidulafungin, and micafungin), and flucytosine.

I
nfeksi jamur merupakan penyebab terbanyak morbiditas dan mortalitas pada manusia,
menyebabkan spektrum klinis yang luas, dari infeksi superfisial dan mukosa sampai
penyakit invasif. Candida spp dan Aspergillus spp adalah dua jenis jamur yang tersering
ditemukan. Angka mortalitas akibat kandidasis dan aspergillosis invasif pada anak,masing-
masing 19-31% dan 68-77%. 1

289
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Candidemia penyebab ke empat terbanyak pada nosocomial bloodstream infection.
Kejadian meningkat terutama di rumah sakit. Angka kematian dan kesakitan di rumah
sakit masih tinggi (10%-14,5%) pada semua umur walaupan diberikan pengobatan. 2
Disseminated atau infeksi kandida invasif pada anak termasuk jarang, namun
berhubungan dengan angka kesakitan dan kematian yang tinggi. Angka kematian pada
candidiasis invasif yang terjadi pada infeksi pada darah dan organ telah dilaporkan
dari 19% menjadi 26% dan pada bayi lebih tinggi yaitu dari 26% menjadi 43-54%.
Candidiasis invasif secara umum berhubungan dengan peningkatan lama perawatan 21
hari. Infeksi candida pada anak berhubungan dengan luaran yang jelek dan peningkatan
biaya. Belum diketahui dengan pasti spesies yang menyebabkan penyakit menjadi berat.
Sampai sekarang data tentang infeksi candidiasis masih sulit didapatkan, oleh karena
banyak yang “underdiagnosis”, dan sulit untuk memperkirakan ke arah candidemia oleh
karena gejala yang tidak khas atau spesifik. 3
Pasien yang dirawat di rumah sakit yang menderita “invasive candidiasis” berhubungan
dengan neutropenia, pemakaian central venous or peripher catheters, terapi antibiotik yang
akan mengganggu keseimbangan flora endogen. Selain Candida albicans, ada jenis spesies
lain pada pasien anak misalnya Candida tropicalis yang sering berhubungan dengan
pasien leukemia dengan prolonged granulocytopenia. Candida parapsilosis dan Candida
zeylanoides yang berhubungan dengan insersi kateter sentral yang lama. Candida lusitaniae
berhubungan dengan fungemia pada pasien imunokompromis. Demikian juga Candida
galbrata sering didapatkan pada pasien onkologi. 3

Epidemiologi
Epidemiologi kejadian candidemia berubah kearah candida-non albicans. 1 Study dari
Departemen Anak Lousiana New Orleans USA mendapatkan data dari mulai Januari
2003-April 2010, ada 106 kasus yang memenuhi persayaratan, dengan gambaran sebagai
berikut: perbandingan jenis kelamin perempuan dan laki-laki (46,2%; 53,8%), umur
non-neonates dan neonates (54,7%; 45,3%), diagnosis bukan kancer dan kancer (88,7%;
11,3%), tidak dan mengalami Concurrent infection (CIs) (39,6%; 61,9 %). Dari 64 (61,9
%) yang mengalami Concurrent infection (CIs), 41 ( 64,1%) mengalami 1 CIs, dan 12
(18,8%) dua CIs serta lima (7,8%) alami lebih dari dua CIs. Penyebab kuman pada
CIs yang gram positif, didominasi Staphylococcus dan Enterococcus spesies, untuk gram
negatif didominasi Klebsiella, Pseudomonas dan Eschericia coli. Sedangkan kebanyakan
kasus dengan penyakit–penyakit Berat Badan Lahir Sangat Rendah (BBLSR), preterm,
necrotizing enterocolitis, dan sepsis, pneumonia, gagal nafas. 2
Dari tahun ke tahun ada perubahan kejadian spesies candida, dapat dilihat di gambar
1, sedangkan perbedaan spesies candida pada neonates dan non-neonates yang didapatkan
pada penelitian Hawksheed 3, dapat lihat gambar 2.

290 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Gambar 1.Perubahan jenis Candida dari waktu ke waktu 3

Gambar 2. Spesies Candida pada pasien neonatus dan non neonatus3

Patogenesis
Candida albicans berada dalam tubuh manusia sebagai saprofit dan infeksi baru terjadi
bila terdapat faktor predisposisi pada tubuh pejamu. Faktor-faktor yang dihubungkan
dengan meningkatnya kasus kandidiasis antara lain disebabkna oleh:
•• Kondisi tubuh yang lemah atau keadaan yang memburuk.
•• Penyakit tertentu misalnya diabetes mellitus.

291
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
•• Kehamilan.
•• Rangsangan setempat pada kulit oleh cairan yang terjadi terus menerus misalnya air
liur, keringat, dan urin.
•• Penggunaan obat diantaranya : antibiotik, kortikosteroid dan sitostatik.

Faktor risiko infeksi Candida sistemik


Penyakit invasif akibat jamur terbanyak dan menjadi patogen penyebab terbanyak infeksi
rumah sakit adalah Candida spp. Jamur seperti candida spp (yeast atau ragi) merupakan
organisme yang hidup vegetative pada permukaan mukosa rongga mulut, spesies terbanyak
adalah C. albicans. Dalam kondisi imunitas normal maka jamur ini juga bisa berkolonisasi
pada permukaan kulit dan mukosa lain. Candida spp menjadi penyakit dan invasif
tergantung pada virulensi spesies, imunitas inang (host), dan jumlah dari koloni jamur.
Flora normal lain juga berpengaruh terhadap risiko invasi candida. Pasien yang tergolong
berisiko menderita candidosis invasive adalah neonates terutama premature, wanita hamil,
individu dengan defisiensi imun kongenital atau didapat, kondisi imunosupresif akibat
pengobatan (kemoterapi dan kortikosteroid) atau radiasi, pasien hematoonkologi,
endokrinopati (diabetes mellitus), pascatrauma atau pembedahan, dan perubahan kondisi
pertahanan kulit/mukosa yang disebabkan oleh alat medis invasif (kateter atau implant)
atau pengobatan (antimikroba baik lokal maupun sistemik yang berlebihan).
Pasien anak-anak yang berisiko tinggi menderita infeksi candida invasif selain pasien
onkologi, HIV, sepsis dengan penggunaan antibiotika lama, adalah prematur. Bayi prematur
menjadi salah saru fokus penting karena masalah sistem imunologi yang kurang baik.
Semakin muda usia gestasi dan berat badan bayi maka semakin risiko menderita infeksi
candida invasif. Angka kematian kasus pediatrik dengan candidosis invasif sekitar 50%.5
Studi dari Zaoutis dkk mendapatkan dari 110 pasien dengan candidemia (insiden
3,5 kasus per 1000 pasien masuk di PICU), faktor-faktor yang berhubungan dimulai dari

Tabel 1. Faktor risiko candidiasis invasif pada anak dan dewasa. 7


Dewasa Neonatus dan Anak
Keganasan hematologi atau tumor solid Prematur
Neutropenia Berat lahir rendah
Gagal ginjal Nilai Apgar rendah
Pancreatitis akut Malformasi kongenital
Transplantasi organ
Perawatan lama di rumah sakit
APACHE skor tinggi
Hemodialisis
Penggunaan antibiotik spectrum luas
Penggunaan antijamur
Kolonisasi candida
Prosedur bedah

292 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


central venous catheter (CVC) (OR), 30,4; 95% (CI) 7,7-119,5), keganasan (OR, 4,0;
95% CI, 1,23-13,1), penggunaan vancomycin lebih dari 3 hari dalam 2 minggu (OR,3,5;
95% CI, 1,5-8,4).6

Hospital Acquired infection (HAIs) Candidiasis


Peningkatan kejadian fungal healthcare-associated infections (HAIs) merupakan konsekuensi
dari kemajuan terapi bedah, penanganan hematopoetic stem cell transplantation (HSCT),
solid organ transplantation (SOT) dan kemoterapi baru. Predisposisi faktor terjadinya
infeksi jamur invasif terutama candida adalah pada pasien dengan imunokompromais
termasuk neutropenia, cell mediated immune dysfunction, kerusakan integritas mukosa.
Terlebih pada peningkatan penggunaan kateter terutama intravascular central lines, akan
menyebabkan peningkatan nosocomial catheter-related bloodstream infections (CRBSIs) oleh
karena candida. 8
Candida spp penyebab terbanyak dari infeksi jamur yang menyebabkan HAIs yang
serius/berat terutama pasien yang dirawat di Intensive Care Unit (ICU), dan candidemia
termasuk tiga per empat penyebab healthcare-associated bloodstream infections di rumah
sakit di USA. 8

Diagnosis infeksi candida invasif


Diagnosis dini infeksi Candida invasif tidak mudah, keluhan dan gejala klinis tidak khas
dan sering timbul setelah fase penyakit sudah lanjut. Jamur terutama jamur penyebab
infeksi sistemik terbanyak, dapat menginvasi semua organ. Gejala klinis spesifik yang
terjadi tergantung pada organ yang terkena. Bila Candida spp menyerang mukosa mulut
maka tampilan klinisnya adalah candidosis oral. Infeksi Candida yang berat terjadi
pada kasus defisiensi imun dan perubahan flora normal akibat antibiotika. Candidemia
termasuk penyebab tersering sepsis infeksi rumah sakit setelah gram positif dan gram
negatif pada anak dengan kanker, terutama kasus dengan neutropenia ANC < 100 per
mm3. Faktor risiko lain adalah pemakaian obat-obatan yang mempengaruhi respon imun
dalam jangka panjang seperti kortikosteroid dan juga lekopenia lama. 5
Jamur yang menyebabkan fungemia terpenting adalah Candida spp, secara teoritis
jamur lain juga dapat menyebabkan fungemia dengan gejala klinis utama yaitu demam
dan atau menggigil yang terjadi pada pasien dengan penyakit mendasar sebelumnya dan
tidak membaik dengan tatalaksana antibiotika sesuai dengan asal atau jenis kulturnya.
Keadaan umum pasien akan memburuk dengan cepat terutama pada neonatus. 5
Gambaran darah tepi tidak khas pada fungemia atau dalam hal ini candidemia, tetapi
darah tepi yang menunjukkan lekopeni berat dengan ANC sangat rendah < 100 /mm3
menunjukkan risiko tinggi candidemia. Netrofil adalah lekosit paling potensial untuk
membunuh candida dan mampu mendesak candida dari bentuk komensal (yeast) menjadi
patologis (hifa/pseudohifa). Sehingga bila dalam sediaan darah tepi atau urine, feses, dan

293
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
cairan tubuh lain menunjukkan adanya yeast like fungi maka artinya terdapat Candida
dalam bentuk komensal aau kolonisasi di organ asal cairan tubuh tersebut. 5
Diagnosis Candida secara dini memang tidak mudah, sehingga dibuat Candida
score untuk menilai risiko candidosis invasif pada pasien non neutropenia. Komponen
Candida score adalah sepsis berat (2), total parenteral nutrition (1), tindakan pembedahan
(1), dan kolonisasi Candida multifokal (1). Skor kurang dari 3 menunjukkan risiko
rendah candidosis invasif. Tetapi pasien–pasien ini masih harus dievaluasi dengan baik
karena menurut beberapa penelitian pada kasus dengan skor kurang dari 3 masih terjadi
candidosis invasif sekitar 0-5%; dan skor Candida masih dapat berubah selama pasien
dalam perawatan. Selain itu juga masih ada faktor risiko candidosis yang belum termasuk
dalam komponen Candida score diatas. Setidaknya terdapat beberapa faktor yang menjadi
faktor risiko seperti pasien dengan kateter pembuluh darah atau urine, pasien perawatan
lama di ICU, pasien dengan neutropenia, pasien dengan antibiotika lama, premature, ibu
hamil, diabetes mellitus, dsb.5
Gejala yang ditampakkan pada neonatus tidak begitu jelas, dan keterlibatan system
saraf pusat (meningoensefalitis) memiliki prevalens yang lebih tinggi bila dibandingkan
dengan populasi dewasa, oleh karena itu neonatus memiliki risiko tinggi terjadinya
gangguan neurologi persisten. Deteksi antigen fungi atau amplifikasi asam nukleat fungi
dengan PCR dapat dilakukan untuk deteksi awal candidemia. Dalam studi prospektif,
13 dari 57 neonatus dan anak di ICU memperlihatkan hasil PCR yang positif walaupun
kultur darah menunjukkan hasil negatif. Suatu pemeriksaan komponen dinding fungi
dengan menggunakan 1-3-β-D-glucan dalam serum memiliki sensitifitas 70%. Mortalitas
berhubungan dengan segera dimulai terapi dan pengawasan terhadap sumber infeksi.
CVC sering berhubungan dengan candidemia, namun kateter tidak selalu menjadi sumber
infeksi, terutama pada pasien neutropenia dimana sistim gastrointestinal merupakan
sumber yang sering menjadi penyebab infeksi 8

Terapi
Pada pasien anak, belum ada bukti berbasis medik yang memadai untuk menyimpulkan
bahwa pemberian antijamur empiris pada demam neutropenia dapat menurunkan angka
mortalitas. Beberapa studi yang ada melibatkan pasien dari segala usia atau menggabungkan
teraoi empiris, profilaksi dan definitif, sehingga kurang tepat mengunakannya untuk
menjawab pertanyaan klinis. Namun demikian, karena kesulitan mendiagnosis dan
mortalitas yang tinggi akibat infeksi jamur invasif, sebaiknya anak dengan demam
neutropenia yang menetap lebih dari lima hari setelah pemberian antibiotik yang adekat,
juga diberikan antijamur empiris. 10

294 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Pedoman Internasional dalam penatalaksanaan candidiasis sebagai berikut :
I. Pada Candidemia non-neutropeni 11 :
a. Echinocandin (apofung): loading dose 70 mg, kemudian 50 mg setiap hari.
Micafungin: 100 mg setiap hari; anidulafungin: loading dose 200 mg, kemudian
100 mg setiap hari merupakan terapi inisial.
b. Flukonazol: intravena atau oral, 800 mg (12 mg/kgBB) loading dose, kemudian
400 mg (6 mg/kgBB) setiap hari merupakan alternatif selain echinocandin
sebagai terapi inisial pada beberapa pasien tertentu terutama pada pasien yang
tidak berada pada kondisi kritis dan yang kemungkinan terinfeksi spesies Candida
yang tidak resisten terhadap flukonazol.
c. Transisi dari echinocandin ke flukonazol (biasanya pada hari ke 5-7) dilakukan
pada pasien yang stabil, terbukti kuman suseptibel terhadap flukonazol (misalnya
Candida albicans) dan kultur darah yang steril setelah evaluasi,
d. Formulasi lipid Ampotericin B (3-5 mg/kgBB setiap hari) merupakan alternatif
bila terdapat intoleransi, ketersediaan yang terbatas atau resistensi terhadap
antifungal lainnya.
e. Transisi dari Ampotericin B ke flukonazol (biasanya pada hari ke 5-7) dilakukan
pada pasien yang stabil, terbukti kuman yang siusesptibel terhadap flukonazol
dan kultur darah yang steril setlah evaluasi.
f. Voriconazol 400 mg (6 mg/kgBB) dua kali sehari, kemudian 200 mg (3 mg/kgBB)
dua kali sehari adalah efektif untuk candidemia, namun memiliki keuntungan
yang lebih kecil dibandingkan flukonazol sebagai terapi inisial
g. Durasi terapi candidemia tanpa koplikasi metastase adalah 2 minggu setelah
hilangnya spesies candida dari aliran darah (hasil kultur terdokumentasi) dan
resolusi gejala candidemia.
h. Semua pasien nonneutropenia dengan candidemia harus melakukan pemeriksaan
opthalmologi dalam 1 minggu setelah terdiagnosis oleh karena dapat terjadi
keterlibatan ocular seperti endoftalmitis yang mnegancam penglihatan.
i. Pelepasan central venous catheter (CVC) harus dilakukan sejak awal bila dicurigai
candidemia dengan CVC sebagai sumber infeksinya.

II. Pada Candidemia neutropenia:


a. Ehinocandin (caspofungi): loading dose 70 mg, kemudian 50 mg setiap hari;
micafungin: 100 mg setiap hari; anidulafungin: loading dose 200 mg, kemudian
100 mg setiap hari merupakan terapi inisial.
b. Formulasi lipid AmB 3-5 mg/kgBB setiap hari, efektif namun bukan suatu
alternative yang baik karena potensi toksisitasnya.
c. Fluconazol, 400 mg (6mg/kgBB) setiap hari, dapat digunakan untuk terapi step-
down selama neutropenia persisten pada pasien dengan klinis yang baik dan
kuman yang suseptibel terhadap obat ini serta hasil kultur darah menunjukkan
“bersih”.

295
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
d. Voriconazol 400 mg (6 mg/kgBB) dua kali sehari, kemudian 200 mg (3 mg/kgBB)
dua kali sehari adalah efektif untuk candidemia, dapat digunakan untuk terapi
step-down selama neutropenia persisten pada pasien dengan klinis yang baik dan
kuman yang suseptibel terhadap obat ini serta hasil kultur darah menunjukkan
“bersih”.
e. Durasi terapi candidemia tanpa koplikasi metastase adalah 2 minggu setelah
hilangnya spesies Candida dari aliran darah (hasil kultur terdokumentasi) dan
resolusi gejala candidemia
f. Semua pasien non-neutropenia dengan candidemia harus melakukan pemeriksaan
opthalmologi dalam 1 minggu setelah terdiagnosis oleh karena dapat terjadi
keterlibatan ocular seperti endoftalmitis yang mnegancam penglihatan.
g. Pelepasan central venous catheter (CVC) harus dilakukan sejak awal bila dicurigai
candidemia dengan CVC sebagai sumber infeksinya.

Penutup
Candida albicans merupakan mikrobiota komensal yang jika dengan berbagai faktor
risiko yang mempengaruhi imunologi mukosa, yang alami imunokompromais, maka
candida tersebut dapat menjadi patogen. Diagnosis candida secara dini sangat sulit
dilakukan oleh karena gejala yang tidak khas atau spesifik, sehingga sering candidemia
invasif terlambat terdiagnosis, oleh karena gejala klinis muncul setelah candida menyebar
keseluruh organ. Mortalitas pasien dengan candida invasif sangat tinggi, walupun angka
kejadian candidiasis invasif jarang. Mortalitas candidemia adalah 19-31%. Keberhasilan
tatalaksana candidemia selain anti fungi juga mengendalikan faktor risiko.

Daftar pustaka
1. Blyth CC, Palsanthrallan P, O Brlen A. Antifungl therapy in children with invasive fungal
infections: a systematic review. Pediatrics 2007;119;772-84.
2. Blyth CC, Chen SA, Slavin MA, Serena C. Not just little adults: Candidemia Epidemiology,
molecular charactrzation, and antifungal susceptibility in neonatal and pediatric patients.
Pediatrics 2009;123:1361-8.
3. Hawkshead JJ, Vand Dyke RB, Webber LS, Begue RE. Species-based comparison of disease
severity and risk factors for diseminated Candida infections in pediatric patients. Infect Drug
Resist. 2016;9:59-70.
4. Feglo PK, Narkwa P. Prevalence and antifungal susceptibility patterns of yeasy isolates at the
komfo anokye teaching hospital (KATH), Kumasi, Ghana. Br Microbiol Res J 2012;2:10-22.
5. Huwae IR. Faktor risiko dan diagnosis infeksi candida sistemik pada anak. Dalam: Hapsari
MM, Anam MS, Hardaningsih G. Improving knowledge in infectious disease and antibiotic
usage. Undip Press. Semarang, 2017: 158-173.
6. Zaoutis TE, Prasad PA, Locallo AR, Coffin SE, Bell LM, Gross R. Risk factors and predictor
for candidemia in pediatric intensive care unit patients : implication for prevention. Clin
Infect Dis. 2010;6:e38-46.

296 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


7. Yapar N. Epidemiology and risk factors for invasive candidiasis. Ther Clin Risk Manag.
2014;10;95-105.
8. Suleyman G, Alangden GJ. Nosocomial fungal infections –Epidemiology, infection control
and prevention. Infect Dis Clin N Am. 2016;30:1023-52.
9. Lestner JM, Smith PB, Wolkowiez MC, et all. Antifungal agents and therapy for infants and
children with invasive fungi infections: pharmacological perspectiv. Br J Clin Pharmacol.
2012;75:1381-95.
10. Maureen A. Windiastuti E. Pemberian antijamur empiris pada keganasan dengan demam
neutropenia. Sari Pediatri 2010;12; 211-6.
11. Pappas PG, Kauffman CA, Andes DR, Clancy CJ, Marr KA, Ostrosky-Zeichner L, et al.
Clinical Practice guideline for the management of candidiasis: 2016 Update by the Infectious
Disease Society of America. Clin Infect Dis. 2016;62:e1-50.

297
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
IDAI Pediatric Online Immunization Reporting
System
Hartono Gunardi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia / RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Abstract
Immunization is one of effective ways to prevent and reduce morbidity, disability, and mortality caused
by vaccine-preventable diseases. Online immunization reporting is now possible to be done through
IDAI Pediatric Online Immunization Reporting System (I-POINTS). I-POINTS is useful in recording
immunization data, and therefore it will be convenient for parents if they lose their immunization books
or moved to another area. Immunization reporting with I-POINTS will help pediatrician to record and
report immunization as stated in 2017 Indonesian Ministry of Health regulation number 12 regarding
immunization implementation. I-POINTS is able to summarize routine or optional immunization
coverage that has not been reported fully to date. Thus, it could help to increase immunization coverage.
Furthermore, I-POINTS can be used to report adverse events following immunization. Immunization
reporting through I-POINTS could also be converted to Professional Credit Unit or Satuan Kredit Profesi
(SKP). In the future, I-POINTS will be developed further to be a mobile application to enable offline
reporting, increase utilization by another medical staffs (general practitioner, obstetrician, internist), and
also be integrated to immunization reporting system by Indonesian Ministry of Health.

I
munisasi merupakan upaya pencegahan dengan menimbulkan kekebalan terhadap
kuman patogen yang berbahaya.1 Imunisasi merupakan salah satu investasi kesehatan
yang paling cost-effective karena terbukti dapat mencegah dan mengurangi kejadian
sakit, cacat dan kematian akibat penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I).2,3
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan no 42 tahun 2013 imunisasi dibagi
menjadi imunisasi rutin dan imunisasi pilihan.3 Imunisasi rutin yaitu hepatitis B, BCG,
DTP, Hib, polio, dan campak.4 Menurut Peraturan Menteri Kesehatan no 12 tahun 2017,
imunisasi rutin dikelompokkan dalam imunisasi program yang terdiri dari imunisasi
rutin, imunisasi tambahan dan imunisasi khusus.5 Imunisasi program pada umumnya
telah dilaporkan dengan baik, baik dari fasilitas pelayanan pemerintah maupun swasta.
Sementara itu imunisasi pilihan mencakup imunisasi pneumokokus, rotavirus, influenza,
cacar air, MMR, hepatitis A, HPV, JE, dan dengue. Imunisasi pilihan belum dilaporkan
secara nasional. Belum adanya sistem laporan untuk imunisasi pilihan menimbulkan
kelangkaan data tentang cakupan imunisasi kelompok tersebut.

298 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Pelaporan imunisasi dalam jaringan
Pelaporan imunisasi dalam jaringan atau daring (online) telah dilakukan di negara maju
seperti Amerika Serikat 6 dan Kanada.7 Pelaporan dapat dilakukan oleh penyedia jasa
maupun oleh orangtua anak. Selain untuk pelaporan imunisasi, sistem pelaporan daring
ini juga dapat dilakukan untuk melaporkan kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI)
yang dikenal dengan nama Vaccine Adverse Event Reporting System (VAERS). VAERS
dikembangkan pada tahun 1990 dan disponsori oleh Centers for Disease Control and
Prevention (CDC) dan Food and Drug Administration (FDA).8,9 Adanya pelaporan KIPI
diharapkan dapat meningkatkan penerimaan dan kepercayaan terhadap vaksinasi.10

Pelaporan imunisasi daring IDAI


Ikatan Dokter Anak Indonesia didukung oleh American Academy of Pediatrics (AAP)
dalam rangka meningkatkan system imunisasi secara global, mengembangkan ssstem
pelaporan imunisasi pilihan maupun imunisasi rutin secara daring (online) pada tahun
2016 yang disebut sebagai IDAI Pediatric Online Immunization Reporting System atau
disingkat sebagai I-POINTS.

I-POINTS
I-POINTS adalah suatu sistem pelaporan berbasis web untuk melaporkan imunisasi,
baik rutin maupun pilihan, dan kejadian ikutan imunisasi pasca imunisasi (KIPI) untuk
anggota IDAI yang melakukan imunisasi di fasilitas kesehatan pemerintah maupun swasta.
I-POINTS dapat diakses melalui alamat URL: imunisasi.idai.or.id. Untuk dapat masuk ke
dalam I-POINTS diperlukan 5 Nomor Pokok Anggota (NPA) dan password (Gambar 1).

Gambar 1. Tampilan URL : imunisasi.idai.or.id.

Jika Anda adalah anggota IDAI, maka Anda dapat login. Password yang berlaku
adalah yang telah diubah semenjak tanggal 9 November 2015. Bila NPA adalah 01 03456
1985 11, maka ketik 03456. Silakan reset password, jika Anda lupa password atau ingin
mendapatkan password baru untuk pertama kali.

299
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Manfaat I-POINTS
I-POINTS membantu anggota IDAI dalam melaksanakan pencatatan dan pelaporan
imunisasi seperti tertera dalam Permenkes no 12 tahun 2017 yang menyatakan bahwa
setiap fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan imunisasi harus
melakukan pencatatan dan pelaporan secara rutin dan berkala serta berjenjang kepada
Menteri Kesehatan melalui Dinas Kesehatan Provinsi dan Dinas Kesehatan Kabupaten/
Kota. Pasal berikutnya menyatakan bahwa pelaksana pelayanan imunisasi harus melakukan
pencatatan terhadap pelayanan imunisasi yang dilakukan.5
Manfaat lain bagi dokter anak adalah I-POINTS merupakan sarana untuk mencatat
imunisasi dan KIPI. Data KIPI dapat dicatat oleh dokter yang bersangkutan atau dokter
anak yang lain bila ada KIPI. Pelaporan imunisasi melalui I-POINTS dapat dilakukan
pada hari berikutnya (back-date) sehingga mempermudah dokter anak yang praktiknya
hingga larut malam. I-POINTS dapat memberikan gambaran kinerja dokter dalam
imunisasi setiap bulan. Manfaat I-POINTS lainnya adalah jumlah laporan imunisasi
dapat dikonversikan sebagai Satuan Kredit Profesi (SKP) yang dapat digunakan untuk
memperpanjang izin praktik di kemudian hari.
Bagi anak dan orangtua, I-POINTS bermanfaat untuk merekam catatan imunisasi
anak dalam jaringan (online) sehingga dapat diakes oleh dokter anak (anggota IDAI)
dimana pun sehingga imunisasi anak tersebut dapat diketahui dan dilanjutkan bila anak
berpindah domisili atau pindah dokter. Apabila data antropometri anak dimasukkan,
maka dapat diperoleh status gizi anak tersebut. Dengan I-POINTS, pesan pengingat
(reminder) imunisasi berikutnya dapat dikirim ke orang tua sehingga menurunkan
kemungkinan drop-out imunisasi karena lupa maupun ketidaktahuan tentang jadwal
imunisasi berikutnya.
Untuk Kementerian Kesehatan I-POINTS merupakan laporan imunisasi yang
dilakukan oleh dokter anak yang sementara ini belum dimasukkan dalam cakupan
imunisasi, terutama untuk imunisasi pilihan. Selain itu, dengan sistem tersebut akan
dapat diperoleh cakupan imunisasi per daerah maupun secara nasional, baik imunisasi
rutin maupun pilihan, yang dilakukan oleh dokter anak.
Untuk penyedia vaksin, I-POINTS dapat digunakan untuk memprediksi kebutuhan
vaksin dalam periode tertentu sehingga kecukupan ketersediaan vaksin dapat diantisipasi
untuk mencegah terjadinya kekosongan vaksin tertentu.

Perangkat yang diperlukan
Pelaporan imunisasi melalui I-POINTS dapat menggunakan telepon gengam, dawai
(tablet atau ipad), computer, atau laptop. Browser yang disarankan adalah Google Chrome
atau Mozilla Firefox. Alamat website I-POINTS adalah imunisasi.idai.or.id. Username
yang digunakan adalah 5 nomor pokok anggota, sebagai contoh bila NPA adalah 01
03456 1985 11, maka NPA adalah 03456. Adapun password yang digunakan adalah sama

300 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


dengan password untuk website IDAI. Selain itu diperlukan hubungan internet ke website
imunisasi.idai.or.id.

Informasi yang dimasukkan


Data yang perlu dimasukkan meliputi data identitas, data klinik, data imunisasi dan
data KIPI. Identitas meliputi nama, jenis kelamin anak, tanggal lahir. Identitas orangtua
meliputi nama orangtua, alamat rumah, nomor telepon, dan alamat email.
Data klinik meliputi nama rumah sakit, klinik atau fasilitas kesehatan lainnya, alamat,
no telepon, no faksimili. Data imunisasi meliputi nama atau merk vaksin, no lot/batch
vaksin, tanggal kedaluwarsa, rute pemberian, lokasi penyuntikan. Data KIPI meliputi
data yang sesuai dengan formulir KIPI kemenkes RI. Tidak semua data tersebut di atas
harus dimasukkan. Data yang penting yang harus dimasukkan diberi tanda asterisk (*).
Informasi yang dimasukkan juga dapat diinput oleh orang lain, seperti misalnya perawat,
dengan supervisi dokter anak yang bersangkutan.

Pengembangan masa depan


Untuk mempermudah pencatatan imunisasi melalui I-POINTS, saat ini sedang
dikembangkan aplikasi I-POINTS sehingga input data dapat dilakukan secara off-line.
I-POINTS diharapkan juga dapat digunakan oleh tenaga medis lain yang melakukan
imunisasi seperti antara lain dokter umum, dokter spesialis penyakit dalam, dokter
spesialis kebidanan.
Pada masa mendatang diharapkan I-POINTS dapat terintegrasi dengan sistem
pelaporan imunisasi dan KIPI Kementerian Kesehatan sehingga pelaporan lebih efisien.

Penutup
Pelaporan imunisasi dan KIPI secara daring telah tersedia bagi anggota IDAI di seluruh
Indonesia. Pelaporan dengan I-POINTS ini bermanfaat bagi anak dan keluarganya
mengingat data dapat diakses dari mana saja tanpa membawa buku imunisasi serta ada
mekanisme pengingat imunisasi berikutnya. I-POINTS berguna bagi dokter untuk
mencatat dan melaporkan imunisasi maupun KIPI, mendapatkan gambaran status
nutrisi dan kinerja imunisasi. Bagi kementerian kesehatan I-POINTS dapat memberikan
sumbangan tentang cakupan imunisasi terutama imunisasi pilihan.

Daftar pustaka
1. Prommalikit O, Tangsathapornpong A, Thisyakorn U. General aspect of vaccination. In:
Vaccines. Bangkok, 8th Asian Congress of Pediatric Infectious Diseases, 2017, h 2-4.
2. Pusat data dan informasi kementerian kesehatan RI. Situasi imunisasi di Indonesia. Diunduh
pada 17 Juni 2017. Didapat dari URL: http://www.depkes.go.id/resources /download/pus-
datin/infodatin/InfoDatin-Imunisasi-2016.pdf Diakses 17 Juni 2017.

301
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
3. Ranuh IGN. Imunisasi Upaya Pencegahan Primer. Dalam Ranuh IGN, Suyitno H, Hadi-
negoro SRS, Kartasasmita CB, Ismoedijanto, Soedjatmiko, penyunting. Pedoman Imunisasi
di Indonesia. Edisi 5. Jakarta: Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2014, h 2-8.
4. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2013 tentang Penye-
lenggaraan Imunisasi. Diunduh pada 14 April 2016. Didapat dari URL: http://pppl.depkes.
go.id/asset/regulasi/92_PMK%20No.%2042%20ttg%20Penyelengga raan%20Imunisasi.
pdf
5. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2017 tentang Penye-
lenggaraan Imunisasi. Diunduh pada 21 April 2017. Didapat dari URL: http://www.in-
donesian-publichealth.com/tag/permenkes-nomor-12-tahun-2017-tentang-penyelengga-
raan-imunisasi/
6. Utah Department of Health. Immunization reporting. Diunduh pada : 17 Juni 2017.
Didapat dari URL : http://www.immunize-utah.org/immunization%20reporting/
7. Kingston, Frontenac and Lennox & Addington (KFL&A) Public Health. Immunization re-
porting. Diunduh pada 17 Juni 2017. Didapat dari URL: https://www. kflaph.ca/en/Immu-
nization-Reporting.aspx
8. Vaccine Adverse Event Reporting System. Diunduh pada 17 Juni 2017. Didapat dari
URL: https://vaers.hhs.gov/index
9. Centers for Disease Control and Prevention. Vaccine Adverse Event Reporting System
(VAERS). Diunduh pada 17 Juni 2017. Didapat dari URL : https://www.cdc.gov /vac-
cinesafety /ensuringsafety/monitoring/vaers/index.html
10. Scherer LD, Shaffer VA, Patel N, Zikmund-Fisher BJ. Can the vaccine adverse event report-
ing system be used to increase vaccine acceptance and trust? Vaccine. 2016;34:2424-9.

302 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Pediatric Lupus Nephritis
Muhammad Heru Muryawan
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro/RSUP Dr. Kariadi Semarang

Abstract
Lupus nephritis (LN) is one of the major clinical manifestations of systemic lupus erythematosus (LES)
which occurs frequently in the early stages of pediatric onset cases. Since LES is a chronic disease associated
with frequent disease flares and effective and safe maintenance therapy is required for achieving a
favorable outcome, optimal treatment for LN in pubertal patients is a great challenge that remains to
be overcome. Although its etiology remains unclear, it has been reported that the innate and adaptive
immune systems have been reported to play an important role in the pathogenesis of LES. Diagnosis of
lupus nephritis is enforced if found kidney abnormalities like proteinuria with or without hematuria,
hypertension, acute glomerulonephritis, or nephrotic syndrome. The treatment and prognosis depend
on the classification of lupus nephritis that established by renal biopsy. The LES commonly treated by
corticosteroid, cytostatic, and supportive therapy.

N
efritis Lupus (NL) merupakan salah satu manifestasi klinis berat pada pasien
Lupus eritematosus sistemik (LES), sehingga nefritis lupus merupakan
penyebab morbiditas dan mortalitas pada pasien LES.1, 2 Sekitar 50% populasi
LES memiliki keterlibatan ginjal, dengan prevalensi terendah sekitar 29% dan prevalensi
tertinggi 81%. Sekitar 80-90% pasien dengan keterlibatan ginjal akan menjadi nefritis
pada tahun pertama diagnosis dan 10-20% akan hadir pada pertengahan anatara tahun
pertama dan kedua setelah onset, namun masih sangat mungkin terjadi lebih lama lagi.1D 
Alatas melaporkan 41 kasus nefritis lupus dalam waktu lima tahun (1995-1999) pada
5 pusat nefrologi anak di Indonesia, angka kejadian pada anak perempuan lebih sering
(perempuan : laki-laki = 9:1) dan rentang usia saat diagnosis adalah 4 -18 tahun dengan
umur rerata 10 tahun.2

Definisi
Nefritis Lupus adalah LES yang diikuti dengan kelainan ginjal, sehingga jika dijabarkan
NL adalah suatu penyakit autoimun kronik yang ditandai dengan inflamasi dan adanya
circulating autoantibodies terhadap self-antigens dengan keterlibatan ginjal.3

Manifestasi Klinis Nefritis Lupus


Manifestasi kelainan ginjal pada nefritis lupus dapat berupa hipertensi, hematuria,
proteinuria, sindrom nefrotik, glomerulonefritis akut, dan gagal ginjal. Pengobatan yang

303
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
agresif dengan kortikosteroid dan imunosupresan lain dapat mengurangi lesi aktif nefritis
lupus dan memberikan prognosis yang lebih baik. Sebaliknya pengobatan yang terlambat
akan menyebabkan prognosis yang buruk sebab dapat terjadi gagal ginjal disertai
hipertensi. Gagal ginjal, sepsis, miokarditis, dan perdarahan otak merupakan penyebab
kematian pada anak dengan nefritis lupus.2, 4
Pada tahun 1974, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkenalkan klasifikasi
untuk lupus nephritis, dan direvisi oleh Society of Nephrology/Renal Pathology Society (ISN/
RPS) Internasional pada tahun 2003.1D  Pada nefritis lupus klas I WHO didapatkan
adanya proteinuria tanpa adanya kelainan pada sedimen urin. Pada NL klas II WHO
didapatkan kelainan ginjal yang ringan. Biasanya hanya didapatkan anti-dsDNA yang
positif dan kadar komplemen serum yang rendah. Sedimen urin tidak aktif, tanpa
hipertensi, proteinuria ± 1 gram/24jam, dan kadar kreatinin serum serta laju filtrasi
glomerulus (LFG) normal. Pada NL klas III WHO biasanya didapatkan sedimen urin
yang aktif. Proteinuria lebih dari 1 gr/24 jam, kira-kira 25-35% pasien dengan proteinuria
>3 gr/24 jam. Peningkatan kreatinin serum didapatkan pada 25% pasien. Pada sebagian
pasien juga didapatkan hipertensi. Pada nefritis lupus klas IV WHO ditemukan sedimen
urin yang aktif pada seluruh pasien. Proteinuria >3gr/24 jam didapatkan pada 50%
pasien, dan hipertensi ditemukan pada hampir semua pasien, dan penurunan fungsi ginjal
sangat tipikal. Pada pasien nefritis lupus klas V WHO secara klinis ditemukan sindrom
nefrotik, sebagian dengan hematuria dan hipertensi, akan tetapi fungsi ginjal masih
normal sedangkan pada nefritis lupus klas VI WHO dijumpai penurunan fungsi ginjal
yang progresif lambat, dengan urin yang relatif normal.5
Menurut klasifikasi ISN/RPS, yang paling umum kelas glomerulonefritis yang terlihat
pada LES dan prevalensinya masing-masing adalah (1) Kelas IV dan III atau gromerulonefitis
proliferative (PLN) (40-50% dan 15-24%), (2) Kelas II atau gromerulonefritis mesangial
(19-27%) , dan (3) Kelas V atau glomerulonefritis membranosa (10-20%). Kelas LN

Tabel 1. Hubungan gejala klinis dan kelainan histopatologi nefritis lupus1,

304 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


bisa tumpang tindih, oleh karena itu, tidak jarang ditemukan, misalnya, gambaran LN
proliferatif dan membranosa dalam biopsi yang sama.1
Kelainan tubulointerstitial tidak jarang ditemukan pada nefritis lupus. Berat
ringannya kelainan ini menentukan prognosa pasien. Bila kelainannya berat, pada
prognosisnya lebih buruk. Secara skematis, hubungan antara gejala klinis dan kelainan
histopatologi dapat dilihat pada tabel berikut:1

Diagnosis Nefritis Lupus


Nefritis Lupus ditegakkan jika sebelumnya pasien telah terdiagnosis LES, karena seperti
telah disebutkan sebelumnya, NL adalah komplikasi ginjal pada LES dan ditemukan pada
25-50% dari semua pasien LES. Diagnosis LES ditegakkan berdasarkan kriteria American
Rheumatism Association yang telah dimodifikasi pada tahun 1997. Ditemukan 4 dari 11
kriteria mempunyai sensitifitas dan spesifisitas sebesar 96% untuk LES, kriteria tersebut
meliputi:4, 7

Tabel 2. Kriteria ARA untuk diagnosis LES4, 7


Kriteria Batasan
Ruam malar Eritema menetap, datar atau menonjol, pada malar eminence dan lipat nasola-
bial
Ruam discoid Bercak eritema menonjol dengan gambaran SLE keratotik dan sumbatan foli-
kular. Pada SLE lanjut dapat ditemukan parut atrofik
Fotosensitifitas Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar matahari, baik
dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh dokter pemeriksa
Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat oleh dokter
pemeriksa
Atritis non-erosif Melibatkan dua atau lebih sendi perifer, ditandai oleh rasa nyeri, bengkak dan
efusi
Pleuritis/ perikarditis Pleuritis  riwayat nyeri pleuritik atau pleuritik friction rub yang didengar oleh
dokter pemeriksa atau bukti efusi pleura
atau
Perikarditis  bukti rekaman EKG atau pericardial friction rubyang didengar
oleh dokter pemeriksa atau bukti efusi pericardial
Gangguan renal Proteinuria menetap >0.5 gram per hari atau > +3, atau
Sedimen urin (bisa eritrosit, hemoglobin, granular, tubular, atau gabungan)
Gangguan neurologi Kejang atau psikosis tanpa sebab yang jelas
Gangguan hematologi Anemia hemolitik atau leukopenia (<4000 /µL) atau limfopenia (<1500 /µL)
atau trombositopenia (<100.000 /µL) tanpa disebabkan oleh obat-obatan
Gangguan imunologik Anti-dsDNA, anti-Sm, dan/atau anti-fosfolipid
Antibodi antinuclear Titer abnormal imunoflouresensi ANA

Untuk diagnosis NL ini ditegakkan bila pada presentasi klinis ringan/minimal berupa
ditemukannya proteinuria dengan atau tanpa hematuria/silinderuria, normalnya fungsi

305
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
ginjal (serum kreatinin) dan biasanya tanpa hipertensi. Sedangkan pada tanda tanda-
tanda presentasi klinis berat berupa glomerulonefritis (acute nephritic syndrome) yaitu
proteinuria, hematuria, disertai peningkatan kreatinine serum >1.2 mg/dL dengan atau
tanpa hipertenis dan dapat disertai gejala klinik sindroma nefrotik proteinuria dalam jumlah
lebih atau sama dengan 40mg/m2/jam, hipoalbuminemia <2.5gr/dL, hiperkolesterolemia.
Biopsi ginjal diperlukan untuk mengetahui gambaran patologi anatomi ginjal untuk
menentukan klasifikasi NL yang penting untuk terapi dan menentukan prognosis.1, 4
Tata laksana
Pengobatan LES umumnya dilakukan dengan pemberian kortikosteroid, sitostatik,
dan terapi suportif. Dengan pengobatan seperti ini, mortalitas nefritis lupus semakin
berkurang. Kortikosteroid dianggap sebagai obat terbaik untuk nefritis lupus dan dapat
diberikan per oral atau dengan cara puls intravena. Pada NL dengan gambaran patologi
anatomi ginjal yang minor dan manifestasi klinis yang ringan, biasanya tidak diberikan
kortikosteroid. Sitostatik biasanya diberikan jika hasil pengobatan dengan kortikosteroid
tidak memuaskan, terdapat efek samping steroid, atau pada nefritis lupus.3
Sitostatik yang sering digunakan pada pengobatan nefritis lupus adalah siklofosfamid
yang dapat diberikan per oral dan secara intravena dosis tinggi atau puls. Pemberian
siklofosfamid puls pada nefritis lupus telah dilakukan oleh beberapa peneliti dengan hasil
yang baik.8

Nefritis Lupus kelas I dan II9, 10


Diberikan steroid dimulai dengan prednisone oral 60mg/m2/hari atau 2mg/kg/hari
(max.80mg/hari) selama 8 minggu kemudian diturunkan bertahap 5-10mg/minggu
hingga mencapai setengah dosis, dan selanjutnya selang sehari. Dosis kemudian diturunkan
sampai 10 mg/hari dipertahankan 1-2 tahun, baru dipertimbangkan untuk dihentikan.

Nefritis Lupus kelas III dan IV


Diberikan terapi steroid ditambah dengan sitostatika. Sitoatatika yang sering digunakan
adalah Siklifosfamid (CPA), Siklosporin, atau Mycophenolate mofetil (MMF). Untuk
pengobatan NL kelas III dan IV secara garis besar terapi dibagi menjadi terapi induksi
dan terapi rumatan.9
Terapi induksi diberikan kombinasi CPA dan kortikosteroid pada 6 bulan pertama.
Steroid yang diberikan diawali dengan metilprednisolone puls (15-30mg/kg/kali atau
600-1000mg/m2, max. 1 gr) selang sehari (sebelum pemberian CPA) selama 3x lalu
dilajutkan prednisone oral dengan dosis 2mg/kg/hari (60mg/m2/hari). CPA diberikan
setiap bulan, setelah pemberian steroid puls selang sehari sebelumnya sebanyak 3x. CPA
diberikan intravena (puls 500mg/m2 per infus). Dosis dapat dinaikan menjadi 1000mg/m2
bila tidak ada leukopenia (<2000/mm3). Bila terjadi leukopenia <1000/mm3 diturunkan
menjadi 125mg/m2. Untuk mencegah sistitis dapat diberikan hidrasi yang cukup sebelum

306 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


dan setelah terapi puls. Pemberian puls 1 kali perbulan selama 6 bulan. Efek samping
pemberian CPA jangka panjang adalah azotemia dan amenorrhea.9
Terapi Rumatan dapat diberikan prednisone oral alternating atau 5-10mg tiap hari
dikombinasi MMF oral dimulai 500mg/hari max 30mg/kgbb/hari (2gr/hari) dibagi 2
dosis. Efek samping pemberian MMF adalah gangguan gastrointestinal. Lama pemberian
terapi rumatan 2-3 tahun, tetapi bias sampai seumur hidup.9
Bila telah terjadi penurunan kondisi akut yang ditunjukan dengan kondisi klinis
dan laboratoris terutama klinis, dosis steroid dapat dikurangi sampai dengan sama
dengan dosis pemberian steroid pada kelas I dan II. 10
Evaluasi biposi ginjal diulang 1-2 tahun setelah mulai pengobatan. Perbaikan
histologi diharapkan terjadi setelah pemberian pengobatan pada tahap awal serangan akut.
Masih menjadi kontroversi untuk dilakukannya biopsi evaluasi, namun masih menjadi
pertimbangan bagi pasien dengan lesi awal yang parah

Nefritis Lupus kelas V


NL kelas V ini dikaitkan dengan proteinuria yang parah, terapi yang digunakan sama
dengan terapi NL kelas I dan II.

Untuk terapi tambahan lainnya pada NL dapat dilihat pada table di bawah ini.

Tabel 3. Terapi Suportif11, 12


Dosis Keterangan
1. Obati Proteinuria proteinuria >0,5g/hari/1.73m2 harus diobati
dengan ACE inhibitors dan atau ARB
2. Kontrol Hipertensi Target kontrol tekanan darah :
- usia <18 tahun
<90th percentile (clinic BP)
<50th percentile jika terdapat proteinuria >1g/
day/1.73 m2
3. Kontrol hyperlip- - pasien dengan LDL kolesterol >3,36 mmol/L
idemia Pilihan statin :
- Lovastatin atau atorvastatin
- Hindari simvastatin karena meningkatkan
risiko rhabdomyolysis
4. Manajemen Aspirin 5mg/kg/dosis, mak- - LMW heparin untuk kejadian trombotik
sindrom anti simal 100mg diberikan pada - Warfarin merupakan standar pengobatan
fosfolipid pasien dengan antibodi anti untuk pengobatan kronis pada sindrom anti
fosfolipid positif. fosfolipid pada pasien yang tidak hamil
5. Hindari NSAID Jika fungsi ginjal menurun (<80ml/
menit/1,73m2)

307
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Prognosis
Pada NL faktor yang dapat meningkatkan mortalitas adalah adanya krisis hipertensi,
laju filtrasi gromerulus (LFG) yang kurang dari 75ml/menit/1.73m2, dan gambaran
histopatologi yang menunjukan lesi proliferatif.13, 14

Daftar Pustaka
1. Borgia RE, Bargman JM, Silverman ED. Pediatric Lupus Nephritis. In: Sawhney S, Aggarwal
A, editors. Pediatric Rheumatology. Singapore: Springer; 2017. p. 345-64.
2. Puspanjono MT, Pardede SO, Trihono PP, Tambunan T. Nefritis Lupus dengan Perdarahan
Intrakranial pada Anak: laporan kasus. Sari Pediatri. 2006;7(4):219-24.
3. Alatas H. Nefritis lupus. In: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editors. Buku
ajar nefrologi anak. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2002. p. 366-80.
4. Cameron JS. Lupus nephritic in childhood and adolescence 1994;8:230-49. Pediatr Nephrol.
1994;8:230-49.
5. Perfume F, Martini A. Lupus nephritis in children. Lupus. 2005;14(1):83-8.
6. Tan EM, Cohen AS, Fries JF, Masi AT, McShane DJ, Rothfield NF, et al. The 1982 revised
criteria for the classification of SLE. Arthritis Rheum. 1982;25(11):1271-4.
7. Sinha R, Raut S. Pediatric lupus nephritis: Management update. World Journal of Nephrol-
ogy. 2014;3(2):16-23.
8. Lehmann TJA, Mouradian JA. Systemic lupus erythematouseditors. In: Barratt TM, Avner
ED, Harmon WE, editors. Pediatric nephrology. Baltimore: Lippincott Williams & Wilkins;
1999. p. 793-810.
9. Alatas H. Nefritis Lupus pada anak. In: Noer MS, Soemyarso NA, Subandiyah K, Prasetyo
RV, Alatas H, Tambunan T, et al., editors. Kompendium Nefrologi Anak. Jakarta: Badan
Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011. p. 118-23.
10. Tanaka H, Joh K, Imaizumi T. Treatment of pediatric-onset lupus nephritis: a proposal of
optimal therapy. Clin Exp Nephrol. 2017.
11. Yap DYH, Chan TM. Lupus Nephritis in Asia: clinical features and management. Kidney
diseases. 2015;1:100-9.
12. Sing A, Lau PYW, Liu DI, Yap HK. Management of lupus nephritis. In: Yap HK, Liu DI,
Tay WC, editors. Pediatric Nephrology-On The Go. 1 ed. Singapore: National University
Children’s Medical Institute, National University Hospital; 2012. p. 136-53.
13. Oktadianto L, prasetyo RV, Soemyarso NA, Noer MS. Predictors of mortality in children
with lupus nephritis. Paediatrica Indonesiana. 2014;54(6):338-43.
14. Wu J-Y, Yeh K-W, Huang J-L. Early predictors of outcomes in pediatric lupus nephritis :
focus on proliferative lession. Elsevier. 2013.

308 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Vaccine Safety
Hindra Irawan Satari
Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia / RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Abstract
As vaccine usage increases, and the incidence of vaccine-preventable diseases is reduced, vaccine-related
adverse events become more attract parents, public and media. Therefore, an understanding of vaccine
safety is important for all immunization providers, who have responsibilities to identify, report, and
prevent adverse events. Aim of this articele is to strengthening understanding among professionals whose
work is linked to vaccine safety issues, including the response to vaccination and the pathogenesis of
adverse events. This article describes introduction to vaccine safety, type of vaccine and adverse reactions,
adverse events following immunization, surveillance, vaccine safety institution and communication.

S
elama kurun waktu 100 tahun, produsen farmasi di dunia, telah membuat berbagai
macam vaksin, diantaranya terhadap pertusis, polio, campak, campak jerman
dan hemofilus influenza. Sebagai bukti yang tidak terbantahkan, jumlah anak di
dunia yang terinfeksi penyakit penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi jumlahnya
menurun secara bermakna.1
Vaksin telah membuktikan manfaatnya, yang terlihat dari meningkatnya penggunaan
vaksin serta menurunnya insidensi penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi
(PD3I). Namun demikian, dalam perjalanan sejarah vaksin, tercatat berbagai kejadian
ikutan pasca imunisasi (KIPI) yang menarik perhatian bagi orang tua, masyarakat dan
media.2
Karena vaksin diberikan kepada anak sehat maka disepakati bahwa dalam
pelaksanaannya harus digunakan standar keamananan tertinggi dibandingkan dengan
intervensi medik lain. Vaksin harus melalui uji klinis sebelum pemberian lisensi untuk
mengkaji efek formula vaksin, strain vaksin, umur saat pemberian, jumlah dan dosis,
serta pemberian secara bersamaan berbagai vaksin dan pengaruh terhadap daya lindung
dan keamanan pada pemakaian produk yang berbeda. Untuk meningkatkan kemampuan
mendeteksi kejadian simpang, di negara maju produsen vaksin harus melakukan secara
formal surveilans pasa lisensi (fase IV) dengan besar sampel yang memadai.3

Tipe dan reaksi vaksin


Vaksin dirancang dengan berbagai tipe antigen, menggunakan metode pembuatan
yang berbeda. Beberapa tipe vaksin yang tersedia diantaranya: live-attenuated (hidup
dilemahkan), inactivated (mati), subunit (antigen dimurnikan) dan toksoid (toksin

309
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
diinaktivasi). Vaksin dapat berupa monovalen atau polivalen. Vaksin monovalen terdiri
atas strain tunggal dari antigen tunggal (contoh vaksin campak). Beberapa antigen dapat
dikombinasikan dengan suntikan tunggal yang dapat menghambat beberapa penyakit
atau melindungi terhadap strain multiple gen (seperti vaksin kombinasi difteri, pertusis
dan antigen tetanus), sedangkan vaksin polivalen terdiri atas 2 atau lebih strain/serotipe
dari antigen yang sama, (contoh: vaksin polio oral). Vaksin kombinasi berguna untuk
mengatasi hambatan logistik suntikan multipel, dan mengatasi ketakutan anak terhadap
jarum dan nyeri.4
Beberapa jenis vaksin mengandung komponen untuk meningkatkan respons imun,
seperti ajuvan dan protein konjugat. Vaksin dapat juga mengandung antibiotik untuk
membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri. Antibiotik dalam jumlah terlacak
digunakan dalam proses pembuatan untuk mencegah kontaminasi bakteri sewaktu proses
pembiakan jaringan sel. Komponen stabilisator digunakan untuk mempertahankan
efektivitas selama penyimpanan. Kestabilan vaksin sangat penting, terutama bila rantai
dingin tidak dapat diandalkan. Faktor yang mempengaruhi stabilitas adalah suhu dan
pH. Komponen preservativ ditambahkan pada vaksin multi-dosis untuk menghambat
pertumbuhan bakteri dan jamur. Produk yang sering digunakan adalah tiomersal,
komponen yang mengadung merkuri. Oleh karena vaksin mengandung berbagai
komponen, maka potensi risiko meningkat untuk terjadinya reaksi vaksin.
Cara pemberian (intradermal, subkutan atau intramuskuler), oral, atau intranasal
juga berperan untuk terjadinya reaksi simpang. Cara pemberian tiap vaksin yang
direkomendasikan produsen bertujuan agar efektivitas vaksin maksimal dan membatasi
reaksi simpang.
Kontraindikasi pemberian vaksinasi merupakan kondisi yang jarang, namun
apabila diabaikan dapat mengakibatkan KIPI serius. Kontraindikasi pada umumnya
bersifat sementara sehingga pemberian dapat dilakukan pada kesempatan berikutnya.
Kontraindikasi yang berlaku untuk semua vaksin adalah riwayat reaksi alergi berat
setelah pemberian vaksin sebelumnya. Lembar perhatian yang tertera pada label produk
kadang tidak digunakan dengan semestinya dan dipakai sebagai kontraindikasi absolut,
yang berakibat melewatkan peluang untuk diimunisasi. Kewaspadaan bukan merupakan
kontraindikasi absolut, namun keadaan yang harus dipertimbangkan antara risiko dan
manfaat pada waktu vaksin diberikan. Tenaga kesehatan harus mengetahui gejala reaksi
alergi dan mempersiapkan agar dapat segera memberikan tindakan apabila diperlukan.

Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)


KIPI adalah setiap kejadian medik setelah imunisasi dan tidak selalu mempunyai
hubungan kausal dengan penggunaan vaksin.5 Ada 5 kategori KIPI yaitu: 1) reaksi terkait
produk vaksin (disebabkan atau dicetuskan oleh vaksin disebabkan oleh satu atau atau
lebih kandungan produk vaksin, contoh bengkak pasca vaksinasi DTP), 2) reaksi terkait
defek kualitas vaksin (disebabkan atau dipresipitasi oleh satu atau lebih defek kualitas

310 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


produk vaksin, contoh: kegagalan produsen untuk menginativasi vaksin polio yang
dirancang pada tahun 1955 oleh Dr. Jonas Salk, sehingga menyebabkan polio paralisis),
3) reaksi terkait immunization-error (disebabkan persiapan yang tidak memadai, cara
pemberian yang tidak semestinya, yang sebenarnya secara alamiah dapat dicegah, sebagai
contoh: transmisi infeksi pada vial dosis multipel), 4) reaksi terkait kecemasan (muncul
akibat cemas terhadap imunisasi, contoh: sinkop vasovagal, reaksi neurovaskuler yang
mengakibatkan pingsan pada remaja setelah di vaksinasi), dan 5) koinsiden (disebabkan
oleh sesuatu yang bukan produk vaksin, immunization-error atau kecemasan imunisasi;
contoh: demam yang muncul saat vaksinasi, jadi merupakan dua atau lebih kejadian yang
terjadi pada waktu yang sama). Kejadian sebelumnya dapat atau tidak dapat berhubungan
dengan kejadian setelahnya. Kejadian koinsiden merupakan masalah kesehatan yang
biasanya ada di masyarakat setempat.8 KIPI dapat berupa gejala tidak nyaman atau tidak
dikehendaki, hasil laboratorium yang abnormal atau penyakit. Reaksi vaksin atau reaksi
simpang adalah kejadian yang dicetuskan oleh vaksin meskipun vaksin telah diberikan
secara benar. Reaksi tersebut diakibatkan oleh kandungan vaksin. Angka KIPI jauh lebih
rendah dibanding angka kejadian penyakit pada individu yang tidak di vaksinasi.
Frekuensi KIPI dibagi menjadi 5 (lihat table 1), yaitu very common, common/frequent,
infrequent, rare dan very rare. Reaksi KIPI yang common biasanya bersifat umum, ringan
dan sembuh sendiri, sedang reaksi yang jarang, umumnya berat dan memerlukan tindakan
medis.
KIPI dikatakan serius, apabila berakhir dengan kematian, mengancam jiwa,
memerlukan perawatan di Rumah Sakit, disabilitas menetap atau menimbulkan
keresahan di mayarakat. KIPI berat digunakan pada keadaan kejadian spesifik (seperti
ringan sedang atau berat, meski kejadian tersebut mungkin relatif kejadian minor yang
bermakna (contoh: demam umumnya difahami sebagai kejadian medik ringan, namun
berdasar derajat berat dapat, demam dapat di beri peringkat seperti demam ringan atau
demam moderate). Penting untuk dicatat bahwa berat dan serius merupakan terminologi
yang kadang dipertukarkan, padahal sebenarnya tidak dapat dilakukan.

Tabel 1. Frekuensi dan tingkat reaksi KIPI5


Frekuensi Angka kejadian Tingkat reaksi
Very common ≥ 10% Reaksi umum / minor,
• Sembuh sendiri
• Contoh:
Common/ Frequent ≥ 1% dan < 10%
o Demam,
o Malaise.
Infrequent ≥ 0.1% dan < 1% Rare, biasanya berat:
1. Memerlukan tindakan medik,
Rare ≥ 0.01% and 2. Contoh:
< 0.1% • Reaksi alergi berat (seperti, anafilaksis)
Very rare < 0.01% • Reaksi vaksin spesifik, seperti BCG osteitis.

311
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Definisi pharmacovigilance menurut CIOMS/WHO Working Group on Vaccine
Pharmacovigilance, adalah ilmu pengetahuan dan aktivitas yang berhubungan
dengan deteksi, pengkajian, pengertian dan komunikasi dari KIPI dan persoalan
yang terkait vaksin atau imunisasi, serta mencegah efek yang tidak diinginkan
dari vaksin atau imunisasi.6 Vaksin pharmacovigilance bertujuan mendeteksi secara
dini kejadian simpang agar dapat dengan tepat mengkaji risiko dan respons memadai
(manajemen risiko) terhadap masalah. Target lain dari kemanan vaksin ialah, untuk
mempelajari dampak negatif terhadap program imunisasi. Untuk itu keamanan vaksin
bergantung kepada tiga langkah, yaitu: deteksi sinyal, penyusunan hipotesis kausal, dan
uji hipotesis kausal.

Surveilans
Setiap KIPI, meski jarang, harus diupayakan investigasi dibandingkan dengan apabila
terjadi efek samping obat, meski kejadian ini lebih sering terjadi. Pemantauan dapat
dilakukan sebelum atau setelah vaksin di lisensi, dengan sedikit perbedaan tujuan berdasar
kekuatan dan kelemahan setiap langkah, serta berbagai peraturan diberbagai negara
berdasar program imunisasi nasional dan sarana yang tersedia.
Sistem pelaporan dapat bersifat pasif maupun aktif. Pelaporan pasif merupakan
dasar post-licensure safety monitoring systems dan rendah biaya. Berbagai sistem pelaporan
KIPI telah dilakukan diberbagai negara di dunia, termasuk di Indonesia, termasuk di
Indonesia.7,8
Sistem surveilans KIPI di Indonesia dirancang untuk memenuhi kebutuhan program
imunisasi Kementerian Kesehatan dan Badan POM. Ketentuan umum sistem surveilans
KIPI adalah sebagai berikut:
•• Deteksi, koreksi dan pencegahan kesalahan imunisasi.
•• Identifikasi potensi masalah dari lot vaksin spesifik.
•• Pencegahan terjadinya tuduhan terhadap kejadian koinsiden.
•• Menjaga kesinambungan program, dengan memberikan respons yang memadai pada
orang tua/masyarakat.
•• Identifikasi sinyal atau kejadian simpang yang tidak diharapkan dan menyusun
hipotesis untuk selanjutnya diuji secara ilmiah.
•• Memperkirakan rate KIPI pada populasi lokal.
•• Melengkapi informasi bagi orang tua mengenai kontraindikasi, keseimbangan antara
risiko/manfaat yang disediakan produsen bagi masyarakat.

Di Indonesia surveilans KIPI telah dimuIai sejak 1996, sesuai dengan himbauan
WHO yang ditandai dengan dibentuknya Pokja KIPI.7 Dalam perjalanannya, atas
dasar diperlukannya koordinasi yang lebih tingg, maka pada tahun 2002, berdasarkan
Surat Keputusan Menteri Kesehatan, dibentuklah Komite Nasional Pengkajian dan
Penanggulangan KIPI (Komnas PP-KIPI) yang terdiri atas wakil berbagai organisasi

312 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


profesi, Departemen Kesehatan, Badan Pengawasan Obat dan Makanan serta pakar
berbagai bidang keilmuwan terkait.8 Tugas Komnas KIPI adalah adalah melakukan
evaluasi terhadap setiap laporan dan data kejadian KIPI yang diterima, atau yang menjadi
perhatian masyarakat, menganalisis untuk selanjutnya memberikan rekomendasi atau
tindak lanjut. Untuk pengkajian KIPI di provinsi dibentuk pula Komite Daerah (KOMDA)
di seluruh Indonesia. Melalui surveilans yang baik diharapkan dapat dideteksi , diperbaiki
dan dicegah kesalahan dalam prosedur program imunisasi, dengan harapan setiap tenaga
kesehatan akan cepat tanggap terhadap perhatian masyarakat tentang keamanan vaksin,
ditengah kesadaran masyarakat tentang adanya risiko KIPI. Hal ini, merupakan indikator
kualitas program imunisasi. Kegiatan pemantauan KIPI meliputi penemuan, pelacakan,
analisis, tindak lanjut, laporan dan evaluasi. Dengan data surveilans dapat diperoleh
angka KIPI. Adanya peningkatan angka yang tidak wajar pada batch vaksin atau merek
vaksin tertentu dapat memastikan apakah suatu KIPI merupakan koinsiden atau bukan.
Hal terpenting dalam pemantauan KIPI adalahnya tersedianya informasi yang lengkap
agar penilaian, analisis dan respons dapat cepat dilakukan. Respons merupakan aspek
tindak lanjut penting dalam pemantauan KIPI. Laporan dapat dilakukan oleh siapapun,
termasuk orang tua/pasien, masyarakat ataupun tenaga kesehatan. Laporan harus
ditanggapi secara serius dan ditindak lanjuti. Apabila diperkirakan akan ada perhatian
berlebihan dari masyarakat, maka pelacakan dapat ditunda, dan apabila perlu, pemuka
masyarakat dapat dilibatkan.
Pelaporan KIPI dilakukan secara berjenjang dari lapangan sampai ke Sekretariat
KOMDA PP-KIPI melalui institusi kesehatan sesuai daerah tempat KIPI terjadi untuk
akhirnya diterima oleh Kementerian Kesehatan cq Sub Direktorat Imunisasi/Komnas
(PP-KIPI).
Komnas KIPI harus menelaah KIPI serius dan yang tidak lazim serta KIPI lain,
bila diminta oleh kelompok ahli lain seperti National Immunization Technical Advisory
group on Immunization (ITAGI). ITAGI adalah suatu kelompok yang bertujuan
memberikan rekomendasi bagi pemerintah dan penentu kebijakan untuk menyusun
dan mengimplementasikan berbasis bukti, kebijakan strategis imunisasi yang relevan
dan memperlihatkan prioritas nasional, dan/atau pusat keamanan vaksin nasional, suatu
pusat yang diakui oleh pemerintah (atau sistem yang terintergasi) dalam suatu negara
dengan nara sumber para klinisi dan pakar, untuk dikumpulkan, untuk menganalisis
dan memberikan nasihat berupa informasi yang berhubungan dengan keamanan
vaksin. Komnas KIPI harus membuktikan hubungan kasual antara vaksin dengan
KIPI, memantau data KIPI atau adanya petanda yang tidak dikenal sebagai KIPI yang
mempunyai hubungan dengan vaksin, menyusun rekomendasi untuk tindak lanjut,
pendidikan, perbaikan dan komunikasi dengan fihak terkait, termasuk media. Laporan,
pertimbangan dan keputusan serta umpan balik setiap kasus yang ditelaah harus diberikan
kepada pemangku kepentingan terkait. Susunan anggota Komite tidak boleh pengelola
program imunisasi, melainkan para pakar yang mampu menelaah KIPI. Bidang-bidang
yang dimaksud di antaranya adalah spesialis anak, ahli neurologi, ahli penyakit dalam,

313
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
spesialis forensik, ahli patologi, ahli mikrobiologi, imunologi dan epidemiologi. Apabila
diperlukan, pakar lain dapat diundang untuk membantu menganalisis kejadian klinis
khusus. Untuk menghindari konflik berkepentingan, manajer program imunisasi nasional,
ahli laboratorium vaksin, perwakilan Badan POM, dinas kesehatan kota/provinsi tidak
dimasukkan sebagai anggota komite, namun harus tetap mendukung sesuai kewenangan
yang dimilikinya.
Badan POM harus menjamin, semua obat, termasuk vaksin, yang digunakan di dalam
negeri aman, efektif dan berkualitas tinggi. Fungsi Badan POM harus dalam kerangka
kebijakan nasional pengobatan dan kesehatan, untuk itu diharapkan keterbukaan,
kejujuran dan dapat dipertanggungjawabkan. Setelah penerbitan lisensi vaksin baru, maka
Badan POM bertanggung jawab untuk memastikan bahwa vaksin tersebut aman dan
memenuhi syarat (lihat table 2). Pertukaran informasi harus dilakukan antara Badan POM
dan program imunisasi nasional. Oleh karena Badan POM mempunyai pengetahuan
terbatas mengenai struktur dan manajemen program imunisasi nasional maka diperlukan
keterlibatan manajer program imunisasi nasional dan semua yang berperan dalam
pemantaun KIPI sehingga tanggapan terhadap persoalan keselamatan vaksin menjadi
jelas.

Tabel 2. Fungsi Badan POM yang berkaitan dengan vaksin9


Fungsi Badan POM yang berkaitan dengan vaksin
Otorisasi pemasaran dan Otorisasi menerbitkan izin pemasaran dan izin fasilitas memproduksi serta
aktivasi lisensi distribusi vaksin
Post-marketing sur- Menjamin terlaksananya post-marketing surveillance, dengan fokus pada
veillance (termasuk deteksi, investigasi dan menanggapi KIPI yang tidak diharapkan.
surveilans)
Pelepasan lot vaksin Verifikasi kesinambungan dan kemantapan dari keamanan serta kualitas
berbagai batch produksi vaksin.
Ketersediaan laboratorium Mempunyai laboratorium tingkat nasional untuk menguji sampel vaksin
apabila diperlukan.
Melakukan pengawasan Memeriksa pabrik vaksin dan jalur distribusi.
Mengawasi uji klinis Memastikan dan mengawasi uji klinis yang harus dilakukan di dalam negeri.

National immunization technical advisory group (NITAGs) dibentuk untuk memandu


pemerintah dan pemangku kebijakan untuk menyusun kebijakan imunisasi lokal dan
strategis yang berbasis bukti. Badan ini mendukung otoritas nasional dan menunjang
pemerintah untuk mengatasi persoalan yang berkaitan dengan keamanan dan kualitas
valsin, introduksi vaksin dan teknologi imunisasi baru, memperkuat kredibilitas kebijakan
vaksin dan imunisasi nasional, membantu pemerintah dan otorisasi program imunisasi
terhadap tekanan dari kelompok yang mempunyai kepentingan tertentu, meningkatkan
kemampuan untuk memastikan pemerintah atau donor dalam membiayai program
imunisasi, mendorong pendekatan menyeluruh pemerintah mengenai kebijakan imunisasi
yang menjangkau masyarakat rentan masalah kesehatan, memadukan berbagai kelompok
kerja spesifik vaksin yang telah tersedia.

314 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Institusi keamanan vaksin
Saat ini diperlukan kerjasama internasional untuk mempertahankan pencapaian bermakna
imunisasi dan mempertahankan penyebatan misinformasi tentang keamanan vaksin yang
dapat melumpuhkan dan menggagalkan program imunisasi. Keamanan vaksin merupakan
prirotas utama dan merupakan tantangan di berbagai negara. Berbagai tantangan yang
perlu diselesaikan bergantung dari masalah dalam negeri, seperti: pemakaian alat suntik dan
penyuntikan yang tidak aman, tatakelola yang tidak memadai mengenai kejadian simpang
dan desas desus, rendahnya akses teknologi penyuntikan secara aman, tumbuhnya gerakan
anti imunisasi, termasuk laman anti vaksinasi, surveilans yang tidak adekwat, globalisasi dan
internet (mempunyai dampak terbesar meningkatnya misinformasi seiring meningkatnya
kesadaran masyarakat mengenai cedera yang diakibatkan vaksinasi. Organisasi Kesehatan
Dunia dan mitra lain mendukung berbagai prakarsa global yang bertujuan memperkuat,
mendukung surveilans nasioanl KIPI, investigasi dan tanggapan. Bagan pada gambar 1
berikut ini menggambarkan prakarsa tingkat global yang mendukung pemerintah dalam
menanggapi masalah keselamatan vaksin.

Gambar 1. Komponen keamanan vaksin global,sistem pemantauan, investigasi dan respons 9

The Global Advisory Committee on Vaccine Safety (GACVS) dibentuk pada tahun 1999
agar apabila ada persoalan keamanan vaksin yang berpotensi menjadi kepentingan global,
Komite dapat memberikan tanggapan secara efisien dengan dasar ilmiah.11 Komite dibentuk
untuk memberikan nasihat yang bersifat independen, mempunyai kewewenangan dan
mempunyai dasar ilmiah yang kuat terhadap adanya persoalan keamanan vaksin, baik
global ataupun regional yang dikhawatirkan memengaruhi program imunisasi nasional
baik jangka pendek maupun panjang.

315
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Pada tahun 2000, di Brighton, para ahli dari beberapa negara di dunia secara sukarela
membentuk The Brighton Collaboration untuk menyusun standar keamanan vaksin.12
Kelompok ini memfasilitasi pembentukan, evaluasi dan diseminasi informasi berkualitas
mengenai keamanan vaksin pada manusia. Tujuan utama kerjasama ini adalah:
•• Meningkatkan kesadaran ketersediaannya standar definisi kasus KIPI dan petunjuk
dalam cara mengumpulkan, analisis dan presentasi data, serta untuk mendidik
manfaat pemantauan global KIPI dan memfasilitasi kemudahan akses
•• Menyusun standar definisi tunggal bagi KIPI spesifik
•• Mempersiapkan petunjuk pengumpulan data, analisis dan cara presentasi untuk
digunakan secara global
•• Menyusun dan melaksanakan protokal penelitian untuk evaluasi definisi kasus dan
pedoman uji klinik dan sistem surveilans.
The Council for International Organizations of Medical Sciences (CIOMS) adalah
suatu badan internasional, swadaya masyarakat, non-profit, organisasi ini dibentuk dengan
kerjasama antara WHO and the United Nations Educational, Scientific and Cultural
Organization (UNESCO) pada tahun 1949, termasuk didalamnya technical working
groups (e.g. vaccine pharmacovigilance).9
The WHO Programme for International Drug Monitoring (PIDM), didirikan pada
tahun 1968, terdiri atas jaringan beberapa national pharmacovigilance centres, WHO
headquarters in Geneva, and the WHO Collaborating Centre for International Drug
Monitoring, Uppsala Monitoring Centre, Sweden. Badan ini dibentuk saat Sidang 16th
World Assembly  pada mana saat tersebut diterbitkan resolusi untuk mengumpulkan
informasi secara sistimatis serious adverse drug reactions selama pembuatan dan terutama
setelah obat tersedia terutama apabaial sudah digunakan masyarakat.13
The Vaccine Safety Net adalah laman jaringan global, dievaluasi oleh WHO,
menyediakan informasi keamanan vaksin yang dapat diandalkan.14 Sehubungan dengan
berhasilnya imunisasi, beberapa penyakit sudah tidak merupakan ancaman. Beberapa
kelompok mempertanyakan pemanfaatana vaksin disamping keberhasilannya dalam
mengendalikan penyakit. Dalam beberapa tahun terakhir, terlihat beberapa laman menulis
informasi yang tidak herimbang, menyesatkan dan membahayakan kemanan vaksin, yang
dapat menimbulkan kekhawatiran, terutama antar orang tua dan pasien. Proyek ini dimulai
pada tahun 2003 atas desakan beberapa pemerintahan, lembaga swadaya masyarakat dan
UNICEF. Jaringan VSN merupakan berbagai kelompok dari sumber informasi digital
(website dan media social), anggota VSN, berlokasi di berbagai negara di seluruh dunia
dan menyediakan data ilmiahndasar kemanan vaksin dalam berbagai bahasa. Hasil awal
proyek ini adalah ditentukannya empat criteria praktek informasi yang harus diterapkan
bila akan menyampaikan informasi digital mengenai keamanan vaksin yaitu desain yang
baik, terjangkau, isi dan dapat diandalkan.
Peningkatkan kemampuan pengetahuan dan keterampilan, serta sikap dan perilaku
sistem surveilans, investigasi dan respons KIPI nasional, didukung oleh CIOMS/WHO

316 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


working group dan Brighton Collaboration. GAVCS dan badan penasihat lain di dunia, tutur
berperan juga. Deteksi, evaluasi dan petadna KIPI global dipantau oleh WHO PIDM,
Global Vaccine Safety DataNet dan mitra lain. Surveilans KIPI nasional dilakukan Badan
POM, bersama Komnas KIPI dan kelompok pendukung lainnya. Pemantauan produk
dilakukan secara simultan oleh produsen vaksin, otoritas lisensi di negara produsen dan
agen pembeli seperti UNICEF (divisi pembelian) dan WHO.
Ratusan juta dosis vaksin digunakan setiap tahun di negara negara berkembang, namun
dari hasil pengamatan yang dilakukan oleh WHO mengenai Badan POM di berbagai
negara, didapatkan hanya sedikit negara yang mempunyai kemampuan untuk memantau
dan memastikan keamanan penggunan vaksin. Dari pengamatan sistem kemanan vaksin
di negara miskin dan pendapatan menengah, dan telah tersedianya kerjasama antar negara
dan mekanisme dukungan global, maka WHO menyusun cetakbiru strategi keamanan
vaksin global, yang mempunyai tiga tujuan utama, yaitu:
•• Membantu negara berpenghasilan rendah dan menengah agar mempunyai
kemampuan aktivitas sistem keamanan vaksin paling tidak minimal.
•• Meningkatkan kemampuan pemantauan keselamatan vaksin di negara yang
memperkenalkan vaksin baru.
•• Menetapkan struktur dukungan global sehingga setiap negara yang memerlukan
dapat memperoleh manfaat dari kerjasama pelatihan internasional dan pertukaran
informasi.

Komunikasi
Setiap tahun, jutaan dosis diberikan pada program imunisasi di seluruh dunia. Vaksin
dirancang untuk merangsang respons imun dalam tubuh, dan disadari, bahwa akan ada
risiko kesehatan yang tidak dapat dihindari pada sebagian kecil penerima, manfaat yang
diperoleh jauh lebih besar daripada resiko yang dialami dalam hal perlindungan terhadap
penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi dan konsekuensi lain yang mempunyai
spektrum luas. Menerangkan manfaat dan risiko vaksin pada orang tua, pengasuh dan
penerima vaksin memerlukan komunikasi yang efektif dan kemampuan pribadi dari
tenaga kesehatan yang harus dilatih oleh tenaga profesional dalam program imunisasi.15

Tabel 3. Risiko untuk mendapatkan penyakit versus terkena KIPI campak


  Infeksi akibat campak KIPI campak
Otitis
7 – 9% 0

Pneumonia 1 – 6% 0
Diare 6% 0
Post-infectious encephalomyelitis 0.5/1 000 1/100.000 – seperjutaan
SSPE 1/100 000 0
Anafilaksis 0 1/100.000 – seperjutaan
Trombositopeni tidak dapat dihitung dengan pasti 1/30.000
Kematian 0.1-1/1.000 (sampai 5-15%) 0

317
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Penutup
Vaksinasi penting dalam pengendalian penyakit infeksi, untuk itu harus dikuasai
prinsip dasar vaksinasi. Masyarakat kurang dapat menerima KIPI (meski rendah) yang
diberikan pada anak sehat, bila dibandingkan dengan obat yang biasa digunakan untuk
mengobati penyakit. Oleh karena itu diperlukan teknik komunikasi yang efektif dan
ketrampilan pribadi dari tenaga kesehatan dalam mengatasi persoalan KIPI. Dalam
upaya mempertahankan kesinambungan program imunisasi, post marketing surveillance
sangatlah penting untuk dilakukan.

Daftar pustaka
1. WHO vaccine-preventable disease monitoring system, 2016 global summary.
2. Buttery JP, Danchin MH, Lee KJ, Carlin JB, Mc Intyre PB, Elliott EJ, Booy R, Bines JE.
Intussusception following rotavirus vaccine administration: Post-marketing surveillance in
the National Immunization Program in Australia. Vaccine 29,(16): 3061–6, 2011.
3. World Health Organization. Vaccine Safety Basics: e-learning course. Module 1: Introduc-
tion to vaccine safety. Geneva, Switzerland. [Diakses pada tanggal 30 May 2017]. Diunduh
dari: http://vaccine-safety-training.org/summary-module1.html.
4. World Health Organization. Vaccine Safety Basics: e-learning course. Module 2: Introduc-
tion to vaccine safety. Geneva, Switzerland. [Diakses pada tanggal 31 May 2017]. Diunduh
dari: http://vaccine-safety-training.org/summary-module2.html.
5. World Health Organization. Vaccine Safety Basics: e-learning course. Module 3: Introduc-
tion to vaccine safety. Geneva, Switzerland. [Diakses pada tanggal 31 May 2017]. Diunduh
dari: http://vaccine-safety-training.org/summary-module3.html.
6. World Health Organization. Vaccine Safety Basics: e-learning course. Module 4: Introduc-
tion to vaccine safety. Geneva, Switzerland. [Diakses pada tanggal 31 May 2017]. Diunduh
dari: http://vaccine-safety-training.org/summary-module4.html.
7. Tim Pokja KIPI Pusat. Pedoman tatalaksana medik kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI)
bagi petugas kesehatan. Edidi ke-3. Jakarta; Direktorat Jenderal PPM-PL, Departemen Kes-
ehatan dan Kesejahteraan Sosial RI, 2000.
8. Komite Nasional Pengkajian dan Penanggulangan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KN-PP
KIPI). Kementrian Kesehatan RI.4th Ed.Jakarta: Direktorat Jenderal PPM-PL, Departemen
Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RepubIik Indonesia, 2002.
9. World Health Organization. Vaccine Safety Basics: e-learning course. Module 5: Introduc-
tion to vaccine safety. Geneva, Switzerland. [Diakses pada tanggal 31 May 2017]. Diunduh
dari: http://vaccine-safety-training.org/summary-module5.html
10. WHO. Immunization,vaccines and biologicals. National advisory committees on immuni-
zation. [Diakses pada tanggal 31 May 2017]. Diunduh dari: http://www.who.int/immuniza-
tion/sage/national_advisory_committees/en/
11. WHO. Global Vaccine Safety. The Global Advisory committee on Vaccine Safety. [Diakses
pada tanggal 31 May 2017]. Diunduh dari: http://www.who.int/vaccine_safety/committee/
en/.

318 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


12. Bonhoeffer J, Kohl K, Chen R, Duclos P, Heibel H, Heininger U, Jefferson T, Loupi E.
The Brighton Collaboration: addressing the need for standardized case definitions of adverse
events following immunization (AEFI). Vaccine 21(3-4);298-302, 2001.
13. WHO. Essential medicines and health products. [Diakses pada tanggal 31 May 2017]. Diun-
duh dari: http://www.who.int/medicines/areas/quality_safety/safety_efficacy/National_PV_
Centres_Map/en/.
14. WHO. Global vaccine safety. Vaccine safety net. [Diakses pada tanggal 31 May 2017]. Di-
unduh dari: http://www.who.int/vaccine_safety/initiative/communication/network/vac-
cine_safety_websites/en/.
15. World Health Organization. Vaccine Safety Basics: e-learning course. Module 6: Introduc-
tion to vaccine safety. Geneva, Switzerland. [Diakses pada tanggal 31 May 2017]. Diunduh
dari: http://vaccine-safety-training.org/summary-module6.html.

319
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Infant Growth Assessment
I Gusti Ayu Trisna Windiani
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana / RSUP Sanglah, Denpasar

Abstract
Recent advances in modern perinatal and neonatal intensive care have led to an increase in the survival of
premature infants. This increased survival has not been accompanied by an improvement in growth and
neurodevelopmental outcome. Prematurity has long-term impact on growth and development, so that
preterm infant need early and long-term follow up. Assessment of growth is an integral part of the clinical
screening and monitoring of infant. Atypical growth patterns may be indicative of medical, nutritional
or developmental problems. Growth charts are essential for evaluating infant growth. Preterm infants has
an initial period of poor growth, which render them growth retarded during the first years of life. The first
year of life provides an important opportunity for human somatic and brain growth to compensate for
earlier deprivation. Length or height, weight, and head circumference are anthropometric measurements
commonly used to assess growth. The measurement of all growth indicators must be serial, continuous,
and be started from the birth. Numerous reference growth charts are available worldwide. The revised
sex-specific actual-age growth charts are based on the recommended growth goal for preterm infants, the
fetus, followed by the term infant. The Fenton curve 2013, equivalent to the WHO growth charts at 50
weeks’ gestational age. This curves are harmonized with the WHO Growth Standard at 50 weeks, may
support an improved transition of preterm infant growth monitoring to the WHO charts.

K
emajuan dalam penanganan di bidang perawatan intensif perinatal dan
neonatal mengakibatkan peningkatan survival, utamanya bayi-bayi prematur.
Peningkatan survival ini tidak diikuti dengan perbaikan luaran pertumbuhan
dan neurodevelopmental.1 Bayi yang bertahan hidup mempunyai risiko yang lebih tinggi
mengalami morbiditas jangka panjang, gangguan perkembangan dan neurologis.2 Bayi
yang lahir prematur dan/atau bayi dengan riwayat perawatan intensif tidak saja terdampak
dalam perkembangan tapi juga pertumbuhannya.
Angka kejadian kelahiran prematur masih tinggi dan cenderung meningkat di seluruh
dunia.3 Berdasar data dari 184 negara di dunia, angka kejadian prematuritas sebesar 11,1%,
dan Indonesia menduduki rangking kelima dengan insidensi sebesar 15,5%.4 Sementara
itu, angka kejadian bayi small-for gestational age (SGA) atau kecil-masa-kehamilan (KMK)
tertinggi di dunia adalah di India, dengan insidensi sekitar 46,9%.5
Pertumbuhan pada tahun pertama sangat menentukan luaran kognitif dan perilaku
anak di kemudian hari.6,7 Pertumbuhan somatik yang buruk dalam 1 tahun pertama
kehidupan berhubungan dengan keterlambatan neurodevelopmental pada bayi prematur.8
Gangguan kognitif yang terjadi sekitar 26%-40%, palsi serebral 12%-17%, buta bilateral

320 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


1%-2%, dan tuli 2%-9%. Gangguan jangka panjang meliputi IQ yang rendah sampai
borderline, gangguan belajar, gangguan motorik halus, problem visual-motor, prestasi
akademik yang rendah, masalah-masalah perilaku seperti gangguan pemusatan perhatian
dan hiperaktif, atau defisit neuropsikologis.1
Pemantauan pertumbuhan dimulai pada saat periode antenatal, terutama pada
bayi-bayi prematur. Bayi prematur mempunyai periode awal pertumbuhan yang buruk,
yang dapat menyebabkan retardasi pertumbuhan pada satu tahun pertama kehidupan.
Pengukuran pertumbuhan harus dilakukan secara serial pada semua parameter
pertumbuhan, untuk mengetahui penyimpangan dan percepatan pertumbuhan.9
Pengukuran berat, panjang dan lingkar kepala, diperlukan mulai saat perawatan, untuk
mengetahui potensi masalah-masalah pada periode neonatal. Berbagai macam kurva
pertumbuhan telah tersedia namun masih banyak keterbatasannya.

Penentuan usia gestasi


Semua bayi yang lahir diklasifikasikan sesuai berat lahir dan usia gestasi. Usia gestasi bisa
ditentukan pada saat prenatal dan postnatal. Pada masa prenatal, penentuan usia gestasi
berdasarkan riwayat maternal, pemeriksaan klinis dan ultrasonografi (USG). Pada masa
postnatal salah satu penentuan usia gestasi adalah dengan menggunakan New Ballard
Score (NBS).10
Definisi bayi prematur menurut WHO adalah semua bayi yang lahir kurang dari 37
minggu berdasar completed weeks of gestation atau di bawah 259 hari dari hari pertama haid
terakhir (HPHT). Kesalahan menentukan usia gestasi akan mempengaruhi intervensi
selanjutnya.11
Istilah SGA atau KMK bukan merujuk pada pertumbuhan janin, melainkan ukuran
bayi saat lahir, yakni berat lahir < - 2SD atau < persentil 10 terhadap usia gestasi. SGA
berhubungan dengan faktor maternal (penyakit kronis, malnutrisi, kehamilan multipel,
hipertensi, merokok), faktor plasenta (infark, previa, abrupsi, malformasi anatomi),
faktor janin (biasanya simetris, berat lahir, panjang dan lingkar kepala semuanya kurang),
infeksi kongenital (TORCH), abnormalitas kromosom, malformasi kongenital (sindrom
dismorfik, fetal diabetes mellitus dan anomali kongenital lainnya).10
Pertumbuhan intrauterin dapat dinilai dengan menggunakan rasio berat terhadap
panjang badan (Indeks Ponderal), yaitu: (100xberat(gram))/panjang (cm).10 Berdasarkan
Indeks Ponderal dapat ditentukan apakah bayi termasuk KMK asimetris atau simetris.
Indeks Ponderal normal jika berat, panjang, dan lingkar kepala dalam proporsi seimbang,
tapi masih di bawah gestasi sebenarnya. Kondisi tersebut terjadi pada KMK simetris,
yang sering disebabkan oleh faktor genetik atau infeksi selama kehamilan pada kehamilan
trimester pertama. Indeks Ponderal meningkat bila panjang dan lingkar kepala normal
namun berat tidak sesuai dengan masa gestasi. Akibatnya pertumbuhan bayi asimetris,
dan hal tersebut umumnya disebabkan oleh faktor maternal atau plasenta.10

321
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Perbandingan berbagai kurva pertumbuhan
Para klinisi atau peneliti sebelumnya menggunakan data reference untuk menilai
pertumbuhan bayi. Penggunaan data reference ini belum memuaskan. Berbagai hal
yang menjadi alasannya adalah: sampel diambil dari rumah sakit sehingga dapat terjadi
bias seleksi, tidak dapat digeneralisasi pada populasi, status sosial ekonomi, bayi yang
diikutsertakan tidak diketahui faktor risiko yang bisa memengaruhi pertumbuhan janin,
tidak membedakan jenis kelamin (1 jenis kelamin/unisex), tidak mencantumkan interval
kepercayaan, tidak membedakan apakah variasi pertumbuhan janin termasuk fisiologis
atau patologis.12
Banyak kurva yang telah digunakan untuk menilai pertumbuhan intrauterin sebelum
era Fenton 2013, di antaranya yang paling sering digunakan adalah Lubchenco (1966),
Usher dan McLean (1969), Beeby (1996), Niklasson (1991), Fenton (2003), Olsen
(2010).10 Perbandingan kurva pertumbuhan dapat dilihat pada tabel 1.13-15

Tabel 1. Perbandingan berbagai kurva pertumbuhan intrauterin


Lubchenco The Babson dan Bren- Fenton Fenton
1966 da 1976 2003 2013
Besar Kecil Kecil Besar Besar
sampel (lingkar kepala 4720 (4000 bayi kulit putih Kanada (Kramer dkk) 4 juta bayi
bayi; panjang 4716 sampai usia 1 tahun) 676.605;
bayi; berat/panjang Swedia
4706 bayi) (Niklasson dkk)
376.000;
Australia (Beeby dkk)
lingkar kepala 29.090
bayi; panjang 26.973bayi
Usia gestasi 26 minggu - 26 minggu - 22 minggu - 22 minggu -
42 minggu 50 minggu 50 minggu 50 minggu
Sumber Colororado General Child Health Devel- Data prematur dari Negara maju yaitu
data Hospital opmental studies, the NICHD Jerman, Italia,
Kaiser Health Plan, (kohort multisenter USA, Australia,
area Oakland Kanada, Swedia, Aus- Skotlandia dan
tralia) Kanada
Data postterm dari CDC
2000

Jenis Kurva Lelaki dan perem- Lelaki dan perempuan Lelaki dan perempuan Lelaki dan perem-
puan satu kurva satu kurva dibedakan puan dibedakan
(unisex curve) (unisex curve)
NICHD: National Institute of Child Health and Human Development Neonatal Research Network

Lubchenco mengambil sampel bayi kurang-bulan dan cukup-bulan yang lahir di


Colorado dengan usia gestasi 26-42 minggu, dengan besar sampel yang kecil dan tidak
membedakan jenis kelamin.13 Babson dan Brenda juga menggunakan sampel yang kecil
dengan usia gestasi mulai 26 minggu.14

322 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Kurva Fenton 2003 mengambil data dari NICHD, yang berasal dari studi kohort
multisenter (Kanada, Swedia, Australia). Sampel diambil dari bayi berat lahir sangat
rendah (VLBW/very low birth weight). Bayi yang mengalami kelainan dan yang tidak
hidup dieksklusi, namun bayi yang mengalami berbagai morbiditas diinklusi. Koreksi
prematuritas dilakukan sampai usia gestasi 40 minggu. Setelah usia gestasi lebih dari 40
minggu dipakai kurva CDC. Data CDC mengambil sampel dari survei yang dilakukan
di Amerika, terhadap bayi-bayi yang mendapatkan ASI ataupun susu formula, dan
multirasial. Kurva Babson dan Brenda umumnya memiliki pola yang sama dengan kurva
NICHD, namun pada usia cukup bulan kedua kurva tersebut menunjukkan perbedaan
yang bermakna secara statistik.
Telah dilakukan harmonisasi antara kurva pertumbuhan Fenton 2003 dan kurva
WHO dan menghasilkan kurva pertumbuhan yang bisa digunakan untuk memantau
pertumbuhan janin dan bayi prematur (usia pada saat kelahiran 22-36 minggu) sampai
usia 50 minggu. Kurva pertumbuhan ini disebut dengan kurva Fenton 2013 (gb. 1 dan
gb.2). Kurva WHO 2006 menggambarkan standar pertumbuhan bagaimana seharusnya
anak tersebut tumbuh, bukan suatu reference pertumbuhan.16
Terdapat persamaan antara kurva pertumbuhan Fenton 2003 dan Fenton 2013.
Pada umumnya, kurva pertumbuhan (berat, panjang/tinggi, lingkar kepala) Fenton
2013 untuk perempuan sedikit lebih rendah dibandingkan dengan kurva Fenton
2003. Terdapat beberapa keunggualan kurva pertumbuhan Fenton 2013, yaitu: 1)
Menggambarkan pertumbuhan yang direkomendasikan untuk bayi prematur, 2)
Dilengkapi kurva pertumbuhan spesifik untuk perempuan dan lelaki; 3) Ekuivalen
dengan kurva pertumbuhan WHO pada usia kehamilan 50 minggu (10 minggu post-
matur), 4) Dikembangkan berdasar studi dengan jumlah subyek yang besar, yaitu 4
juta bayi, 5) Berbasis survei dari populasi terkini yang dikumpulkan antara tahun 1991
sampai dengan 2007, 6) Data berasal dari negara maju seperti Jerman, Italia, USA,
Australia, Skotlandia dan Kanada, 7) Kurva dapat digunakan untuk usia kehamilan
sampai 36 minggu, dan 8) Kurva dibuat untuk memplot hasil pengukuran bayi, bukan
berdasarkan pembulatan dalam minggu (completed weeks).

Pola pertumbuhan bayi prematur pada umumnya konsisten dengan pertumbuhan


intrauterin, namun penyimpangan terbesar dalam percepatan penambahan berat badan
terjadi antara bayi prematur dan fetus dan bayi sebelum lahir lahir aterm, antara 37
dan 40 minggu. Pada periode ini, pertumbuhan bayi prematur lebih superior dan
mendekati linear. Periode antara fetal akhir dan awal masa bayi adalah fase transisi
yang memerlukan dukungan dan pemantauan yang baik.15

323
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Penilaian pertumbuhan pada bayi
Penilaian pertumbuhan merupakan bagian dari deteksi dini kondisi klinis dan monitoring
pada bayi. Pola pertumbuhan yang tidak normal mengindikasikan adanya masalah-masalah
medis, nutrisi, pertumbuhan atau perkembangan. Panjang atau tinggi badan, berat badan,
dan lingkar kepala merupakan parameter antropometris yang sering digunakan untuk
menilai pertumbuhan.17
Pemantauan pertumbuhan dimulai pada saat periode antenatal. Pemantauan
pertumbuhan intrauterin penting untuk mendeteksi adanya hambatan pertumbuhan
dalam rahim (intrauterine growth retardation/IUGR). Bayi yang lahir dengan IUGR dan/
atau SGA akibat kondisi intrauterin yang tidak kondusif lagi untuk tumbuh, memerlukan
pemantauan pertumbuhan dan perkembangan yang baik agar tumbuh kembang bayi
tersebut optimal. Restriksi pertumbuhan pada janin, baik yang lahir prematur (kurang-
bulan) atau cukup-bulan, dapat memengaruhi survival, kesehatan, pertumbuhan dan
perkembangan. Peningkatan berat badan janin yang pesat sekitar enam kali lipat terjadi
antara usia kehamilan 22 sampai 40 minggu. Oleh karena itu, bayi yang lahir pada periode
ini memerlukan penanganan profesional untuk menilai pertumbuhan dan menyediakan
nutrisi dan perawatan yang memadai.9
Pengukuran pertumbuhan dilakukan tidak hanya berdasarkan satu parameter,
melainkan semua parameter, yaitu berat, panjang atau tinggi, dan lingkar kepala.
Pengenalan disproporsi pertumbuhan tinggi badan, berat badan dan lingkar kepala
penting untuk mengevaluasi bayi dan anak. Jika berat badan menurun, namun panjang
dan lingkar kepala normal, berarti terdapat gangguan nutrisi pada janin. Sebaliknya,
jika berat, panjang dan lingkar kepala semua di bawah rata-rata usia gestasi, berarti bayi
mungkin normal, kurang nutrisi berat atau mengalami malformasi.14
Pengukuran serial juga diperlukan untuk mengetahui perubahan percepatan
pertumbuhan.14 Penurunan percepatan pertumbuhan biasanya ditandai pertama
dengan penurunan berat badan, kemudian panjang badan, dan terakhir lingkar kepala.
Peningkatan pertumbuhan terjadi jika asupan kalori terpenuhi. Pada janin yang
mengalami undernutrition, pertumbuhan normal sesuai target tidak bisa tercapai dengan
baik walaupun sampai periode remaja.14 Tahun pertama kehidupan sangat penting
dalam pemenuhan nutrisi yang adekuat, untuk survival, pertumbuhan, perkembangan,
dan kesehatan jangka panjang. Jika pemenuhan nutrisi tidak adekuat pada masa bayi,
maka bayi akan jatuh pada gangguan pertumbuhan linear yang irreversible dan terjadi
defisit kognitif.18 Pertumbuhan yang menurun umumnya terjadi pada 2 tahun pertama
kehidupan; stunting terjadi sekitar 30-40%. Berat lahir rendah berisiko 2,5-3,5 kali lebih
banyak mengalami wasting, stunting, dan underweight.19
Pemantauan pertumbuhan memerlukan standar yang tepat. Kurva WHO 2006
menekankan pada bagaimana anak seharusnya tumbuh dan saat ini dipakai untuk
memantau pertumbuhan.20 Pengukuran pertumbuhan pada bayi meliputi:

324 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Pengukuran berat badan
Alat ukur yang direkomendasikan oleh WHO adalah timbangan elektronik/digital yang
kokoh dan durable, ditera (taring scale), mampu mengukur sampai presisi 0,1 kg (100 g),
mampu mengukur sampai 150 kg. Bayi ditimbang dalam keadaan tidak berpakaian.20,21
Suatu penelitian kohort, multisenter, dilakukan oleh Ehrenkranz dkk, pada 1660
bayi yang lahir di rumah sakit, dengan berat badan 501 gram sampai 1500 gram, dan usia
gestasi 24 sampai 29 minggu. Bayi yang tidak mengalami morbiditas berat mempunyai
penambahan berat yang lebih cepat. Kecepatan penambahan berat juga berhubungan
dengan durasi pemberian nutrisi parental yang lebih pendek dan pemberian nutrisi enteral
yang lebih dini.22
Studi longitudinal yang mengukur pertumbuhan bayi premature dengan usia gestasi
<29 minggu di Swedia mendapatkan bayi mengalami penurunan berat pada bulan pertama,
kemudian meningkat dengan pencapaian peningkatan berat maksimum pada usia gestasi
36-40 minggu. Peningkatan kecepatan berat badan kedua terjadi pada usia koreksi 6 bulan
sampai 2 tahun. Periode catch-up growth terjadi pada usia 4-5 tahun. Semua bayi prematur
mengalami pertumbuhan yang buruk, terutama pada 1 tahun pertama kehidupan. Bayi
prematur yang kehilangan berat badan pada 1 bulan pertama kehidupan, membutuhkan
sekitar 4-7 tahun untuk mencapai pertumbuhan yang diharapkan.23
Beberapa penelitian observasional secara konsisten mendapatkan hubungan
penambahan berat badan dan lingkar kepala setelah rawat inap dengan luaran kognitif
pada usia 1 tahun sampai dewasa.3 Pada usia gestasi 40 minggu, bayi prematur secara
umum lebih kecil dibandingkan dengan bayi aterm. Bayi prematur tetap mengalami
retardasi pertumbuhan untuk beberapa tahun, morbiditas dan mortalitas lebih tinggi,
undermineralized bones, gagal tumbuh, dan keterlambatan neurodevelopmental yang
dapat menetap sampai usia sekolah.8

Pengukuran panjang badan/tinggi badan


Pengukuran panjang badan/tinggi badan sejak lahir sampai usia 2 tahun dilakukan
pada posisi berbaring terlentang(recumbent) menggunakan papan pengukur panjang
(length board/ infantometer) yang diletakkan di atas permukaan datar dan stabil misalnya
meja. Setelah usia 2 tahun pengukuran dilakukan pada posisi berdiri, menggunakan
stadiometer.21,24 Papan pengukur tinggi kira-kira 0,7 cm lebih pendek daripada papan
pengukur panjang. Perbedaan ini diambil dari perhitungan standar pertumbuhan WHO.
Jika anak berusia kurang dari 2 tahun namun pengukuran panjang dilakukan dengan
berdiri, bukan berbaring, maka hasil pengukuran ditambah 0,7 cm untuk mengubahnya
ke dalam ukuran panjang. Jika anak berusia 2 tahun atau lebih, tidak bisa berdiri, ukur
panjang dalam posisi berbaring dan hasilnya dikurangi 0.7 cm untuk mengubahnya ke
dalam ukuran tinggi.20,21

325
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Pengukuran lingkar kepala
Pertumbuhan otak dapat dilihat dari lingkar kepala. Lingkar kepala mencerminkan volume
otak. Pertumbuhan otak terjadi sangat pesat pada periode bayi, sehingga pengukuran
lingkar kepala seharusnya dilakukan setiap bulan pada satu tahun pertama. Pengukuran
lingkar kepala berdasarkan ukuran lingkar kepala terbesar dari occipital-frontal, dengan
menggunakan pita logam (metal tape). Pita ukur ini dipakai karena lebih kuat, tidak
elastis, dan akurat.20,24,25
Peningkatan lingkar kepala lebih dari 2,5 cm/minggu atau di atas 2SD berhubungan
dengan hidrosefalus. Pada hidrosefalus, terjadi disproporsi lingkar kepada dengan panjang
dan berat badan. Pada mikrosefali, pertambahan ukuran lingkar kepala kurang dari 0,5
cm/minggu. Pada kondisi ini terjadi disproporsi lingkar kepala (lebih kecil) dibandingkan
panjang dan berat badan. Catch-up pertumbuhan lingkar kepala yang terjadi pada anak
yang sebelumnya lingkar kepalanya kecil akibat kurang nutrisi menunjukkan adanya
pemenuhan asupan kalori yang sudah sesuai, sehingga terjadi pemulihan ukuran sel-sel
otak. Tingkat percepatan pertumbuhan lingkar kepala tergantung periode undernutrition
yang dialami; semakin lama dan berat deprivasi yang terjadi, semakin sulit untuk
mendapatkan pemulihan yang sempurna. Percepatan pertumbuhan lingkar kepala terjadi
pada tahun pertama kehidupan.14
Smithers dkk (2013), meneliti hubungan penambahan berat badan dan lingkar kepala
pada periode neonatus dengan skor IQ dan perilaku pada usia 6,5 tahun. Penambahan
berat atau lingkar kepala pada 4 minggu setelah lahir berkontribusi terhadap IQ anak
di kemudian hari. Anak yang mengalami penambahan berat dan lingkar kepala yang
lebih cepat pada 1 bulan pertama mempunyai IQ 1,5 kali lebih tinggi daripada anak
yang mengalami penambahan berat atau lingkar kepala yang lebih sedikit.6 Anak yang
mengalami gagal tumbuh mempunyai IQ 3-4 poin lebih rendah daripada yang tidak
mengalami gagal tumbuh.26,27

Penutup
Pemantauan pertumbuhan secara serial dan kontinyu sejak lahir sangat diperlukan untuk
mengetahui perubahan percepatan pertumbuhan, baik pada bayi prematur atau aterm.
Pengukuran pertumbuhan dilakukan untuk semua parameter yaitu berat, panjang dan
lingkar kepala. Kurva Fenton 2013 adalah hasil harmonisasi kurva pertumbuhan Fenton
2003 dan kurva WHO, yang menghasilkan kurva yang bisa digunakan untuk memantau
pertumbuhan janin dan bayi prematur (usia pada saat kelahiran 24-36 minggu) sampai
usia 50 minggu. Pemantauan sangat diperlukan pada 1 tahun pertama kehidupan.

326 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Daftar pustaka
1. ModdemannD., Shea S. The developmental paediatrician and neonatal follow-up. Paedtr
Child Health.2006;11:295-98.
2. Frey HA, Klebanoff MA. The Epidemiology,etiology, and cost of preterm birth. Semin Fetal
Neonatal Med. 2016;21:68-73
3. Ong KK, Kennedy K, Castaneda-Gutierrez E, Forsyth S, Godfrey KM, Koletzko B, dkk.
Postnatal growth in preterm infants and later health outcomes: a systematic review. Acta
Pediatrica. 2015;104:974-86.
4. Blencowe H, Cousens S, Oestergaard MZ, Chou D, Moller AB, Narwal R, dkk. National, re-
gional, and wordwide estimates of preterm birth rates in the year 2010 with time trends since
1990 for selected countries: a systematic analysis and implications. Lancet.2012;379:2162-72.
5. Black RE. Global prevalence of small for gestational age births. Dalam: Embleton ND, Katz
J, Ziegler EE, penyunting. Global epidemiology. Nestle Nutr Inst Workshop Ser.2015:1-7.
6. Smithers LG, Lynch JW, Yang S, Dahhou M, Kramer MS. Impact of neonatal growth on IQ
and behavior at early school age. Pediatrics. 2013;132:53-60.
7. Franz AR,Pohlandt F, Bode H, Mihatsch WA, Sander S, Kron M, Steinmacher J. Intra-
uterine, early neonatal, and postdischarge growth and neurodevelopmental outcome at 5.4
years in extremely preterm infants after intensive neonatal nutrition support. Pediatrics.
2009;123:101-9.
8. Carver JD, Wu PYK, Hall RT, Ziegler EE, Sosa R, Jacobs J, dkk. Growth of preterm infants
fed nutrient-enriched or term formula after hospital discharge. Pediatrics. 2001;107:683-89.
9. Fenton FR, Kim JH. A systematic review and meta-analysis to revise the Fenton growth chart
for preterm infants. BMC Ped. 2013;13:59.
10. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FD. Gestational age and birthweight classification.
Dalam: Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FD, penyunting. Neonatology. Management,
procedures, on-call problems, diseases, and drugs. Edisi ke-7. USA: McGraw-Hill Education;
2013. h. 71-87.
11. Vogel JP, Chawanpaiboon S, Watananirun K, Lumbiganon P, Pezold M, Moller AB, dkk.
Global, regional and national levels and trends of preterm birth rates for 1990 to 2014:
protocol for development of Word Health organization estimates. Reproductive Health.
2016;13:76.
12. Kramer MS, Platt RW, Wen SW, Joseph KS, Allen A, Abrahamowicz M,dkk. A new and im-
proved population-based Canadian reference for birth weight for gestational age. Pediatrics.
2001;108:35.
13. Lubchenco LO, Hansman C, Boyd E. Intrauterine growth in length and head circumference
as estimated from live births at gestational ages from 26 to 42 weeks. Pediatrics. 1966;37:403-
8.
14. Babson SG, Bebda GI. Growth graphs for the clinical assessment of infants of varying gesta-
tional age. The J of Pediatr. 1976;89:814-20.
15. Fenton TR. A new growth chart for preterm babies: Babson and Benda’s chart updated with
recent data and a new format. BMC Pediatrics. 2003;3:13.
16. Ahmad UN, Yiwombe M, Chisepo P, Cole TJ, Heikens GT, Kerac M. Interpretation of
Word health Organization growth charts for assessing infant malnutrition: a randomized
controlled trial. J Pediatr Child Health. 2014;40:32-9.

327
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
17. Nash A, Corey M, Sherwood K, Secker D, Saab J, O’Connor DL. Growth assessment in
infants and toaddlers using three different reference charts. J Pediatr Gastroenterol Nutr.
2005;40:283-88.
18. Turck D, Michaelsen KF, Shamir R, Braegger C, Campoy C, Colmb V, dkk. Word Health
Organization 2006 child growth standards and 2007 growth reference charts: a discussion
paper by the committed on nutrition of European society for pediatric gastrology, hepatolo-
gy, and nutrition. JPGN. 2013;57:258-64.
19. Christian P, Lee SE, Angel MD, Adair LS, Arifeen SE, Ashorn P, dkk. Risk of childhood un-
dernutrition related to small-for-gestational age and preterm birth in low-and middle-income
countries. Int J Epidemiol. 2013;42:1340-55.
20. WHO Multicentre Growth Reference Study Group. WHO Child Growth Standards based
on length/height, weight and age. Acta Pediatrica. 2006;450:76-85.
21. WHO. Measuring a child’s growth. Dalam: WHO, penyunting. Training course on child
growth assessment. WHO Child Growth Standards. 2008.
22. Ehrenkranz RA, Younes N, Lemons JA, Fanaroof AA, Donovan EF, Wright LL, dkk. Longi-
tudinal growth of hospitalized very low birth weight infants. Pediatr.1999;104:280.
23. Niklasson A, Engstrom E, Hard AL, Wikland KA, Hellstrom A. Growth in very preterm
children: a longitudinal study. Pediatr Res. 2003;54:899-903.
24. de Onis M, Onyango AW, Van den Broeck J, Chlumlea WC, Martorell R, WHO MGRS.
Measurement and standardization protocols for anthropometry used in the construction of a
new international growth reference. Food and Nutrition Bulletin. 2004;25:27-36
25. Garza C, de Onis M, WHO MGRS. Rationale for developing a new international growth
reference. Food and Nutrition Bulletin 2004;25. h. S5-S13.
26. Corbett SS, Drewett RF. To what extent is failure to thrive in infancy associated with pooer
cognitive development? A review and meta-analysis. J Child Psychol Psychiatry. 2004;45:641-
54.
27. Emond AM, Blair PS, Emmett PM, Drewett RF. Weight faltering in infancy and IQ levels at
8 years in the Avon longitudinal study of parents and children. Pediatrics.2007;120:1051-8.

Gb. 1 Grafik pertumbuhan Fenton 2013 untuk perempuan


Gb. 2 Grafik pertumbuhan Fenton 2013 untuk lelaki

328 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Quality Indicators in Continuous Renal
Replacement Therapy Care in Pediatric
Critically Ill Patients
Irene Yuniar
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta

Tujuan
1. Mengetahui indikasi terapi sulih ginjal kontinu (continuous renal replace-
ment therapy/ CRRT) pada anak yang mengalami sakit kritis
2. Mengetahui berbagai ndicator kualitas keberhasilan pemakaian CRRT
pada pasien anak yang mengalami sakit kritis

A
cute kidney injury (AKI) sering dialami oleh pasien yang dirawat di ruang rawat
intensif (intensive care unit atau ICU) dengan mortalitas mencapai 60%.(1-3)
Pada beberapa ndica terakhir, epidemiologi AKI pada anak telah berubah secara
signifikan. Seiring dengan hal ini penggunaan continuous renal replacement therapy
(CRRT) semakin meningkat dalam tatalaksana AKI pada anak serta mengatasi kelebihan
cairan pada anak.(4, 5)
Terapi sulih ginjal akut digunakan pada 8-10% pasien yang mengalami sakit kritis
(6, 7) dan menunjukkan peningkatan 10% per tahun.(8, 9) Sejumlah data menyatakan
penggunaan CRRT mampu memperbaiki fungsi ginjal jangka panjang.(10) Terapi
sulih ginjal kontinu (CRRT) adalah suatu metode purifikasi darah yang secara teori
bertujuan membersihkan darah dari toksin endogen dan eksogen secara perlahan-lahan,
mempertahankan keseimbangan asam-basa, elektrolit dan menjaga homeostasis tubuh.
(11)
Terapi CRRT memerlukan kecepatan aliran darah dan dialisat yang rendah sehingga
CRRT ini dijalankan selama 24 jam, menyerupai fungsi ginjal yang sesungguhnya.(11,
12) Terapi sulih ginjal kontinu merupakan salah satu terapi yang dilakukan di ruang rawat
intensif yang memerlukan alat canggih serta biaya yang mahal. Oleh sebab itu diperlukan
berbagai ndicator yang menentukan apakah CRRT yang dilakukan cukup berkualitas dan
bermanfaat baik bagi pasien maupun bagi unit ICU. Indikator ini dipakai sebagai patokan
untuk mengurangi penggunaan CRTT yang tidak berkualitas, mengoptimalkan sumber
daya pengguna CRRT serta memperbaiki luaran pasien.(13) Terapi sulih ginjal kontinu
lebih sering dikerjakan pada anak yang mengalami ketidak-stabilan hemodinamik.(11)

329
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
CRRT pada anak
Prinsip dasar CRRT pada anak sama dengan dewasa. Hal-hal yang perlu diperhatikan
dalam melakukan CRRT pada anak adalah volume darah ndicatoria, kebutuhan priming
sirkuit sebelum melakukan CRRT, adaptasi terhadap alat-alat yang dipasang ke tubuh
pasien serta penggunaan CRRT untuk pasien yang mengalami inborn errors of metabolism.
(11) Terapi CRRT dapat dilakukan pada neonates dan bayi dengan berat badan < 10
kg.(14, 15)
Nomenklatur CRRT disesuaikan dengan tipe akses vaskuler dan metode bersihan
molekul. Pada mulanya CRRT dimulai dengan kombinasi tipe akses vaskuler arteri-
vena (continuous arterio-venous hemofiltration /CAVH). Pada perkembangan selanjutnya
muncul istilah continuous veno-venous hemofiltration (CVVH), continuous veno-venous
hemodialysis (CVVHD), continuous veno-venous hemodiafiltration (CVVHDF).
Keunggulan CRRT pada anak dengan kondisi kritis bila dibandingkan dengan terapi
sulih ginjal yang lain yaitu CRRT dapat mempertahankan stabilitas hemodinamik, dapat
membuang kelebihan volume dalam jumlah yang besar secara perlahan dalam waktu
yang lebih panjang sehingga terhadap pasien dapat diberikan produk darah dan nutrisi
sesuai kebutuhan pasien. Sayangnya, saat melakukan CRRT sering terjadi komplikasi
pada sirkuit seperti bekuan, dan sulit untuk melakukan prosedur lain serta pemeriksaan
radiologi. Pasien juga sering mengalami hipotermia (meski pada sirkuit sudah ada proses
pemanasan sebelumnya) dan pasien potensial mengalami ketidakseimbangan elektrolit
karena selama proses CRRT diberikan cairan yang mengandung elektrolit.(11)

Indikasi terapi sulih ginjal kontinu pada anak


Secara garis besar, terapi sulih ginjal kontinu dikerjakan pada pasien yang mengalami AKI
dan kelebihan cairan.(16) Lebih dari 90% pasien menggunakan CRRT untuk mengatasi
gangguan ndicator berupa ndicatoria, uremia simptomatik (ensefalopati, perdarahan,
pericarditis) asidosis ndicator dan gangguan elektrolit lain.(11) Selain dari indikasi
tersebut di atas, CRRT juga digunakan untuk tatalaksana hiperamonia dan intoksikasi
atau overdosis.

Indikator kualitas terapi sulih ginjal kontinu (CRRT)


Berdasarkan The United States Strategic Framework Board for National Quality Measurement
and Reporting System, ndicator kualitas terapi sulih ginjal kontinu (CRRT) dinilai
berdasarkan 4 kriteria yaitu importance, scientific acceptability, usability dan feasibility. (13)
Importance dinilai berdasarkan seberapa pentingnya dilakukan tindakan CRRT pada
pasien tersebut. Dalam hal ini dibicarakan tentang peresepan atau perencanaan tindakan,
pelaksanaan dan monitoring yang dilakukan selama proses CRRT berlangsung. Semuanya
ini tergantung kepada kondisi dan kebutuhan masing-masing pasien yang memerlukan
tindakan CRRT. Terapi sulih ginjal ini merupakan tindakan yang cukup mahal dalam

330 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


sehingga dibutuhkan perhitungan yang cermat mengenai untung rugi tindakan CRRT
bagi pasien dan rumah sakit.
Scientific acceptability dilakukan untuk menilai keberhasilan tindakan CRRT dan
luaran selanjutnya. Usability dan feasibility berhubungan dengan sarana dan prasarana
tindakan CRRT serta implementasi tiap ndicator terhadap praktek sehari-hari.
Berbagai ndicator yang digunakan untuk menilai kualitas CRRT dapat dilihat pada
ndic 1.(13) Perhitungan dosis dan pelaksanaan CRRT dapat dilakukan baik oleh intensivis
maupun oleh nerfrologis. Pelaksaan CRRT harus mempertimbangkan ketersediaan sirkuit
pasien, sumber daya manusia (dokter, perawat), biaya dan pencatatan rekam medis yang
baik.(7) Pertimbangan kapan memulai CRRT juga dapat menjadi ndicator kualitas. Terapi
sulih ginjal yang dilakukan sesegera mungkin (early strategy) dikatakan dapat memperbaiki
kerusakan ginjal, kerusakan organ lain akibat kelebihan cairan, membuang zat-zat toksik,
gangguan elektrolit dan inflamasi sistemik.(1, 17)

Tabel 1. Berbagai indikator yang digunakan untuk menilai kualitas CRRT(13)


Indikator Pengukuran
Perhitungan dosis Dosis tinggi versus (vs) dosis rendah
Dosis yang diberikan Persentasi dari perhitungan dosis
Pemilihan antikoagulan Heparin vs. sitrat vs. tanpa antikoagulan
Monitoring antikoagulan Pemeriksaan PTT, sitrat
Komplikasi antikoagulan Perdarahan, hipokalsemia,
heparin-induced thrombocytopenia (HIT)
Diskontinu terapi Jumlah diskontinu, lamanya diskontinu dan waktu yang dibutuhkan
untuk pemasangan sirkuit baru
Masalah kateter pasien Infeksi, perdarahan, obstruksi/trombosis
Masalah dalam sirkuit CRRT Bekuan pada filter, alarm tekanan

Di lain pihak, CRRT early strategy dikatakan dapat mengganggu stabilitas


hemodinamik, perdarahan akibat pemakaian antikoagulan, infeksi aliran darah dan
inflamasi atau stress oksidatif akibat bio-inkompatibilitas membrane dialiser.(18) Gaudry
dkk menemukan bahwa angka kejadian infeksi aliran darah yang berkaitan dengan
pemasangan kateter untuk tindakan terapi sulih ginjal early strategy lebih tinggi daripada
terapi sulih delayed strategy (10% berbanding 5%, p=0,03). Perbaikan fungsi ginjal pun
lebih cepat tercapai pada terapi sulih ginjal delayed strategy (p <0,01).(19)
Terapi sulih ginjal early strategy dilakukan segera setelah diagnosis AKI stadium
3 ditegakkan sedangkan delayed strategy dilakukan bila telah muncul tanda-tanda
hiperkalemia berat, asidosis metabolik, edema paru, kadar blood urea nitrogen (BUN)
lebih dari 112 mg/dL atau oliguria lebih dari 72 jam setelah diagnosis AKI ditegakkan.
(19) Studi randomized controlled trial (RCT) yang membandingkan terapi sulih ginjal early
dan delayed strategy menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna dalam jumlah
mortalitas, waktu perawatan ICU dan rumah sakit.(19, 20) Tetapi bila jenis terapi sulih
ginjal yang dikerjakan adalah CRRT didapatkan mortalitas yang rendah dan perawatan
pasien yang singkat bila CRRT dilakukan sesegera mungkin.(21-23)

331
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Intensitas optimal CRRT sampai saat ini masih belum jelas. Penelitian yang
membandingkan CRRT intensitas tinggi (40 ml/kg berat badan/jam) dengan intensitas
rendah (25 ml/kg berat badan/jam) menjelaskan bahwa tidak ada perbedaan mortalitas
dalam 90 hari pertama. Meski demikian, hipofosfatemi lebih sering terjadi pada kelompok
CRRT intensitas tinggi dibandingkan dengan intensitas rendah (65% berbanding 54%,
P<0,001).(6, 24)
Pada sirkuit yang digunakan untuk CRRT terjadi aktivasi kaskade pembekuan
darah akibat darah mengalir melalui kateter pembuluh darah. Aliran darah yang lambat,
turbulensi pada kateter, ukuran kateter yang kecil serta hematokrit yang tinggi dapat
menyebabkan bekuan pada sirkuit. Sebab itu, pada pelaksanaan CRRT antikoagulan
sering digunakan. Antikoagulan yang sering dipakai adalah heparin atau sodium sitrat.
Kedua antikoagulan ini sama efektifnya, meskipun komplikasi perdarahan lebih sering
ditimbulkan oleh heparin. Pada pasien yang tidak menggunakan antikoagulan sering
mengalami koagulopati, disseminated intravascular coagulation (DIC) dan gagal hati.(25)
Pada pemakaian sitrat sebagai antikoagulan sering menyebabkan hipokalsemia pada pasien
akibat sitrat mengikat kalsium darah. Sebab itu pemakaian sitrat sebagai antikoagulan
sering bersamaan dengan kalsium klorida atau kalsium glukonas.(26) Hemofilter CRRT
dapat dipakai lebih lama pada pasien yang menggunakan antikoagulan sitrat dibanding
dengan heparin (72 jam berbanding 18 jam, p < 0,0001)(27, 28)
Infeksi yang sering terjadi pada proses CRRT disebabkan oleh bacteremia pasca
terkait kateter CRRT. Tidak ada perbedaan kejadian infeksi berdasarkan lokasi pemasangan
kateter. Angka kejadian infeksi lebih tinggi bila kateter terpasang lebih dari 4 hari. Kejadian
infeksi ini membuat lama rawat di rumah sakit dan ICU memanjang.(29)

Penutup
Penggunaan CRRT pada pasien dengan sakit kritis semakin meningkat. Terapi dengan
CRRT merupakan suatu terapi dengan tekhnologi kompleks, memerlukan pemantaun
ketat oleh orang yang berkompetensi khusus serta membutuhkan biaya yang besar. Oleh
sebab itu diperlukan indikator kualitas keberhasilan terapi CRRT sehingga terapi ini dapat
dilakukan secara optimal dengan hasil yang baik. Indikator kualitas ini diharapkan dapat
menjadi acuan terbentuknya konsensus tatalaksana AKI dengan menggunakan CRRT
terutama pada pasien anak yang dirawat di ICU.

Daftar pustaka
1. Wald R, Bagshaw SM. The timing of renal replacement therapy initiation in acute kidney
injury: is earlier truly better?. Crit Care Med. 2014;42:1933-4.
2. Hoste EA, Clermont G, Kersten A, Venkataraman R, Angus DC, De Bacquer D, et al. RI-
FLE criteria for acute kidney injury are associated with hospital mortality in critically ill
patients: a cohort analysis. Crit Care. 2006;10:R73.

332 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


3. Uchino S, Bellomo R, Goldsmith D, Bates S, Ronco C. An assessment of the RIFLE criteria
for acute renal failure in hospitalized patients. Crit Care Med. 2006;34:1913-7.
4. Belsha CW, Kohaut EC, Warady BA. Dialytic management of childhood acute renal failure:
a survey of North American pediatric nephrologists. Pediatr Nephrol. 1995;9:361-3.
5. Warady BA, Bunchman T. Dialysis therapy for children with acute renal failure: survey re-
sults. Pediatr Nephrol. 2000;15:11-3.
6. RENAL Replacement Therapy Study Investigators, Bellomo R, Cass A, Cole L, Finfer S,
Gallagher M, et al. Intensity of continuous renal-replacement therapy in critically ill patients.
N Engl J Med. 2009;361:1627-38.
7. Rewa O, Bagshaw SM. Acute kidney injury-epidemiology, outcomes and economics. Nat
Rev Nephrol. 2014;10:193-207.
8. Prowle JR, Bellomo R. Continuous renal replacement therapy: recent advances and future
research. Nat Rev Nephrol. 2010;6:521-9.
9. Uchino S, Bellomo R, Morimatsu H, Morgera S, Schetz M, Tan I, et al. Continuous renal re-
placement therapy: a worldwide practice survey. The beginning and ending supportive ther-
apy for the kidney (B.E.S.T. kidney) investigators. Intensive Care Med. 2007;33:1563-70.
10. Wald R, Shariff SZ, Adhikari NK, Bagshaw SM, Burns KE, Friedrich JO, et al. The as-
sociation between renal replacement therapy modality and long-term outcomes among
critically ill adults with acute kidney injury: a retrospective cohort study*. Crit Care Med.
2014;42:868-77.
11. Sutherland SM, Alexander SR. Continuous renal replacement therapy in children. Pediatr
Nephrol. 2012;27:2007-16.
12. Tolwani A. Continuous renal-replacement therapy for acute kidney injury. N Engl J Med.
2012;367:2505-14.
13. Rewa O, Villeneuve PM, Eurich DT, Stelfox HT, Gibney RT, Hartling L, et al. Quality indi-
cators in continuous renal replacement therapy (CRRT) care in critically ill patients: protocol
for a systematic review. Syst Rev. 2015;4:102.
14. Goldstein SL. Continuous renal replacement therapy: mechanism of clearance, fluid remov-
al, indications and outcomes. Curr Opin Pediatr. 2011;23:181-5.
15. Symons JM, Brophy PD, Gregory MJ, McAfee N, Somers MJ, Bunchman TE, et al. Contin-
uous renal replacement therapy in children up to 10 kg. Am J Kidney Dis. 2003;41:984-9.
16. 16. Lattouf OM, Ricketts RR. Peritoneal dialysis in infants and children. Am Surg.
1986;52:66-9.
17. Gibney N, Hoste E, Burdmann EA, Bunchman T, Kher V, Viswanathan R, et al. Timing of
initiation and discontinuation of renal replacement therapy in AKI: unanswered key ques-
tions. Clin J Am Soc Nephrol. 2008;3:876-80.
18. Shingarev R WK, Tolwani A. Management of complications in renal replacement therapy.
Semin Dial. 2011;24:164-8.
19. Gaudry S HD, Schortgen F, Martin-Lefevre L, Pons B, Boulet E, et al. Initiation strategies
for renal replacement therapy in the intensive care unit. N Engl J Med. 2016;375:122-33.
20. Lai T, Shiao C, Wang J, Huang C, Wu P, Chueh E, et al. Earlier versus later initiation of
renal replacement therapy among critically ill patients with acute kidney injury: a systematic
review and meta-analysis of randomized controlled trials. Ann Intensive Care. 2017;7:38.

333
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
21. Sugahara S, Suzuki H. Early start on continuous hemodialysis therapy improves survival
rate in patients with acute renal failure following coronary bypass surgery. Hemodial Int.
2004;8:320-5.
22. Koo JR YJ, Oh JE, Lee YK, Kim SG, Seo JW, et al. Prospective evaluation of early continuos
venovenous hemofiltration (CVVH) on the outcome in patients with severe sepsis or septic
shock. Am J Soc Nehrol. 2006;17:50A.
23. Combes A BN, Amour J, Cozic N, Lebreton G, Guidon C, et al. Early high-volume hemofil-
tration versus standart care for post cardiac surgery shock. The HEROICS study. Am J Respir
Crit Care Med. 2015;192:1179-90.
24. Fayad AI, Buamscha DG, Ciapponi A. Intensity of continuous renal replacement therapy for
acute kidney injury. Cochrane Database Syst Rev. 2016;10:CD010613.
25. Brophy PD, Somers MJ, Baum MA, Symons JM, McAfee N, Fortenberry JD, et al. Multi-cen-
tre evaluation of anticoagulation in patients receiving continuous renal replacement therapy
(CRRT). Nephrol Dial Transplant. 2005;20:1416-21.
26. Bunchman TE, Maxvold NJ, Barnett J, Hutchings A, Benfield MR. Pediatric hemofiltration:
Normocarb dialysate solution with citrate anticoagulation. Pediatr Nephrol. 2002;17:150-4.
27. Rico MP, Fernandez Sarmiento J, Rojas Velasquez AM, Gonzalez Chaparro LS, Gastelbondo
Amaya R, Mulett Hoyos H, et al. Regional citrate anticoagulation for continuous renal re-
placement therapy in children. Pediatr Nephrol. 2017;32:703-11.
28. Raymakers-Janssen P, Lilien M, van Kessel IA, Veldhoen ES, Wosten-van Asperen RM, van
Gestel JPJ. Citrate versus heparin anticoagulation in continuous renal replacement therapy in
small children. Pediatr Nephrol. 2017. doi: 10.1007/s00467-017-3694-4
29. Santiago MJ, Lopez-Herce J, Vierge E, Castillo A, Bustinza A, Bellon JM, et al. Infection in
critically ill pediatric patients on continuous renal replacement therapy. Int J Artif Organs.
2017;40:224-9.

334 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Complicated Urinary Tract Infection
Ketut Suarta
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar

Abstrak
Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan penyebab infeksi yang cukup sering ditemukan pada bayi dan
anak. Diagnosis ISK sering luput dari perhatian para klinisi karena gejalanya tidak spesifik terutama
pada bayi. Kegagalan identifikasi ini dapat menimbulkan terjadinya ISK berulang dan berlanjut
dengan kerusakan ginjal. Infeksi saluran kemih diklasifikasikan menjadi ISK simpleks dan ISK
kompleks berdasakan ada tidaknya factor penyulit. Dikatakan ISK kompleks bila ISK disertai dengan
kelainan anatomis atau fungsionil saluran kemih yang menyebabkan terjadinya stasis urin. Pielonefritis
dikatagorikan sebagai ISK kompleks.
Kelainan saluran kemih yang sering ditemukan antara lain, refluks vesiko-ureter, uropati obstruktif,
batu saluran kemih, neurogenic bladder, dll. Mikroorganisme pathogen yang paling sering diisolasi pada
penderita ISK adalah E. coli, selain itu dapat juga ditemukan spesies Proteus, Klebsiella, Enterococcus,
Pseudomonas, dll. Pada ISK kompleks dapat ditemukan lebih dari satu jenis kuman. Penjalaran kuman
dapat melalui hematogen atau asending dari kolonisasi kuman pada perineum. Adanya kelainan
anatomis maupun fungsional saluran kemih mempermudah mikroorganisme berkembang pada saluran
kemih.
Manifestasi klinis ISK tidak selalu jelas khususnya pada bayi dan anak kecil. Sebagai gold standar
dalam menegakkan diagnosis ISK adalah biakan urin, sedang pemeriksaan urinalisis sebagai skrining.
Pemeriksaan pencitraan seperti USG, VCUG, DMSA dll. sangat diperlukan untuk deteksi kelainan
saluran kemih. Tatalaksana ISK terdiri dari pemberiaan antibiotik fase akut, terapi suportif, tindakan
pembedahan dan antibiotik profilaksis. Pada ISK kompleks diberikan antibiotik parenteral bisanya
golongan sefalosforin generasi ke 3. Terapi suportif berupa pemberian cairan yang cukup adekuat,
sedangkan tindakan pembedahan berkoordinasi dengan bedah urologi. Pemberiaan antibiotik profilaksis
masih kontroversi. Infeksi saluran kemih kompleks sangat sering menimbulkan komplikasi antara lain,
ISK berulang, terjadi parut ginjal yang akan berlanjut dengan gagal ginjal serta hipertensi.

I
nfeksi saluran kemih merupakan penyebab infeksi bakteri cukup sering pada bayi
dan anak. Penegakkan diagnosis infeksi saluran kemih pada anak memiliki tantangan
tersendiri karena gejala klinis yang tidak spesifik, terutama pada bayi dan anak kurang
dari 3 tahun. Anak dengan anomali saluran kemih memiliki tendensi yang lebih tinggi
untuk mengalami infeksi saluran kemih dan 30% anak dengan anomali saluran kemih
memiliki gejala awal berupa infeksi saluran kemih. Identifikasi infeksi saluran kemih
pada anak penting dilakukan untuk mendeteksi adanya kelainan struktural yang dapat
berlanjut menjadi gangguan fungsi ginjal. Kegagalan identifikasi pada kondisi ini dapat
menimbulkan kerusakan lebih lanjut pada saluran kemih bagian atas dan infeksi rekuren.

335
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Infeksi saluran kemih diklasifikasikan berdasarkan adanya faktor penyulit, dibagi
menjadi infeksi saluran kemih simpleks dan infeksi saluran kemih kompleks. ISK simpleks
didapatkan pada pasien dengan fungsi dan morfologi saluran kemih dan fungsi ginjal
dalam batas normal. ISK kompleks didapatkan pada pasien dengan kelainan struktural
atau fungsional saluran kemih atas atau bawah yang dapat disebabkan oleh penyebab
intrinsik maupun ekstrinsik.

Definisi
Infeksi saluran kemih kompleks adalah ISK yang disertai dengan kelainan anatomi dan
atau fungsional saluran kemih yang menyebabkan stasis atau aliran balik (refluks) urin.
Kelainan saluran kemih dapat berupa batu saluran kemih, uropati obstruksi, anomali
saluran kemih, kista ginjal, buli-buli neurogenic, benda asing, dan sebagainya. Pielonefritis
diklasifikasikan sebagai ISK kompleks
Guideline United State 2015 mendefinisikan ISK kompleks sebagai suatu sindrom
klinis yang dikarakteristikan dengan pyuria dan ditemukannya mikroba pathogen
dalam kultur urine, disertai oleh adanya tanda dan gejala lokal dan sistemik, terdiri dari
demam (temperatur oral atau tympani > 38oC), menggigil, malaise, nyeri area flank, nyeri
punggung, dan/atau nyeri/tidak nyaman area costo-vertebral angle, yang terjadi karena
abnormalitas struktur atau fungsional pada saluran kemih yang disebabkan oleh faktor
intrinsik atau ekstrinsik.

Epidemiologi
Infeksi saluran kemih merupakan infeksi bakteri terbanyak pada anak. Bayi dibawah
usia 1 tahun ditemukan insiden lebih banyak pada anak lelaki (3,7%) dibandingkan
perempuan (2%). Sementara insiden pada anak prepubertal lebih banyak ditemukan pada
anak perempuan (3%) dibandingkan lelaki (1%).
Kelainan anatomi yang sering ditemukan pada ISK kompleks adalah ureteropelvic
junction obstruction dengan angka insiden lebih tinggi pada anak lelaki dibandingkan anak
perempuan (2:1). Penyebab lainnya dapat berupa ureterokel dan ureter ektopik yang lebih
sering ditemukan pada anak perempuan dibandingkan lelaki, posterior urethral valve yang
terjadi pada 1 dari 8000 anak lelaki dan refluks vesikoureter yang terjadi pada 1% anak.

Obstruksi saluran kemih


Obstruksi saluran kemih dapat terjadi sepanjang saluran kemih mulai dari pelvis sampai
uretra. Adanya obstruksi ini menyebabkan terjadi stasis urin yang merupakan media
perkembangan kuman dalam saluran kemih. Obstruksi saluran kemih dapat terjadi
karena adanya kelainan anatomis antara lain: stenosis hubungan pelvis-ureter, stenosis
hubungan vesiko-ureter, katup uretra posterior, batu saluran kemih dll, atau karena
kelainan fungsional antara lain: refluks vesiko-ureter, kandung kemih neurogenik dll.

336 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Gejala adanya obstruksi saluran kemih sangat sulit diketahui dan biasanya diketahui pada
pelacakan pencitraan ginjal dan saluran kemih setelah anak menderita ISK.
Dalam keadaan normal pada ureter terdapat dua tempat yang mengalami
penyempitan yaitu pada peralihan antara pelvis dengan ureter dan pada peralihan antara
ureter dan vesika. Tempat ini dapat terjadi stenosis sehingga terjadi hambatan aliran urin
yang menyebabkan terjadi hidronefrosis maupun hidroureter. Kejadian ini lebih banyak
ditemuka pada laki-laki dan dapat terjadi unilateral maupun bilateral dan lebih sering
merupakan kelainan kongenital.
Katup uretra posterior ditemukan pada anak laki-laki. Katup uretra posterior ini
dapat mengganggu pancaran aliran urin sehingga terjadi stasis urin. Kejadian ini terjadi
pada 1/5000 kelahiran. Katup uretra posterior dapat dicurigai saat prenatal dengan USG
dan diagnosis pasti melalui pemeriksaan VCUG (Voiding Cystourethrogram).
Batu saluran kemih dapat terjadi mulai dari ginjal sampai uretra. Batu saluran kemih
dapat menyebabkan obstruksi saluran kemih dan merupakan tempat bersembunyinya
kuman sebaliknya adanya infeksi terutama oleh mikroorganisme penghasil urease dapat
menyebabkan terjadinya batu saluran kemih. Diagnosis batu saluran kemih dapat melaui
pemeriksaan radiologi foto polos abdomen maupun USG.
Refluks vesiko ureter adalah suatu kelainan traktus urinarius yaitu terjadinya aliran
balik urin dari vesika urinaria ke ureter selanjutnya menuju ginjal. Pada umumnya
penyebab RVU adalah abnormalitas sistem katup ureterovesikal pada pertemuan ureter-
vesika urinaria yaitu saluran bawah ureter yang masuk ke dalam otot vesika (ureter
intramural) tidak cukup panjang, seperti kita ketahui ureter intramural merupakan
mekanisme alamiah antirefluks, tetapi sejalan dengan pertumbuhan keadaan ini akan
terkoreksi. Penyebab lain letak ureter terlalu ke lateral sehingga terbentuk saluran yang
pendek dan sulit terkoreksi dengan pertumbuhan. Penyebab lain adalah bentuk muara
ureter pada vesika seperti bentuk lubang golf (golf hole) atau bentuk tapal kuda. Kriteria
diagnosis standar untuk RVU adalah x-ray voiding cystourethrogram (VCUG). Pemeriksaan
radionuclide voiding cystography (RVC) dengan technetium TC 99 m mempunyai
kelebihan karena dosis radiasi rendah dan lebih sensitif. ketebalan parenkim dan dilatasi
sistem duktus. Echo-enhanced voiding urosonography (VUS) dengan metode siklik, lebih
akurat dibanding RVC dalam penentuan derajat refluks.
Neurogenic bladder adalah suatu disfungsi kandung kemih akibat kerusakan sistem
saraf yang terlibat dalam pengendalian berkemih. Keadaan ini bisa berupa kandung
kemih tidak mampu berkontraksi dengan baik untuk miksi (underactive bladder) maupun
kandung kemih terlalu aktif dan melakukan pengosongan kandung kemih berdasar refleks
yang tak terkendali (overactive bladder). Urografi intravena, sistografi maupun uretrografi
dilakukan untuk memperkuat diagnosis. Bisa juga dilakukan pemeriksaan USG atau
sistoskopi. Dengan memasukkan kateter melalui uretra bisa diketahui jumlah air kemih
yang tersisa. Untuk mengukur tekanan di dalam kandung kemih dan uretra bisa dilakukan
dengan sistometografi.

337
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Etiologi
Terdapat beberapa factor yang mendasari terjadinya ISK kompleks, baik dari faktor
intrinsik berupa kelainan anatomi dan fungsional dari sistem saluran kemih, yang dapat
berupa penyakit ginjal intrinsik (kista ginjal, batu ginjal), adanya uropathy obstruktif
(nephrolithiasis, fibrosis, striktur uretra, obstruksi pada pelviureteric junction, posterior
urethral valve, bladder neck obstruction, tumor saluran kemih, benda asing, indwelling
catheter), neurogenic bladder, dan dari faktor ekstrinsik berupa anak dengan status
immunocompromised dan adanya penyakit komorbid.
Infeksi saluran kemih simpleks pada umumnya disebabkan oleh satu bakteri patogen,
sementara pada ISK kompleks dapat disebabkan oleh infeksi ganda yang dapat terdiri dari
dua atau lebih bakteri patogen. Penyebab ISK kompleks biasanya lebih bervariasi dan sulit
untuk diprediksi. Escherichia coli masih menjadi bakteri patogen yang pada umumnya
ditemukan pada ISK kompleks. Organisme lainnya dapat berupa spesies Proteus, spesies
Klebsiella, Enterococci, Pseudomonas aeruginosa, dan bahkan jamur.

Patogenesis
Patogenesis ISK kompleks pada umumnya sama dengan ISK. Namun, pada ISK
kompleks terdapat faktor risiko berupa kelainan anatomi dan fungsional saluran kemih.
Infeksi saluran kemih dapat timbul karena adanya kolonisasi bakteri secara asenden
ataupun penyebaran secara hematogen yang terjadi pada kondisi septicemia. Bakteri yang
berkolonisasi di perineum pada anak perempuan atau di preputium pada anak lelaki,
masuk ke saluran kemih mulai dari uretra secara asenden. Bakteri bermultiplikasi di dalam
urin di saluran kemih dan menjadi koloni yang dapat menimbulkan infeksi saluran kemih.
Saluran kemih memiliki mekanisme pertahanan yang dapat mencegah timbulnya
infeksi saluran kemih, yaitu terdiri dari mekanisme fungsional, anatomis dan imunologis.
Ginjal memiliki mekanisme anti refluks yang dapat mencegah urin mengalir secara
retrograde. Kandung kemih memiliki proses pengosongan kandung kemih yang
regular, dengan drainase urin yang baik. Bakteri juga akan dihancurkan oleh leukosit
polimorfonuklear dan komplemen. Dengan adanya mekanisme pertahanan ini seorang
anak tidak mudah menderita ISK, namun pada anak dengan kelainan pada anatomi
dan fungsional saluran kemih juga dengan status imunocompromised lebih berisiko untuk
terjadinya ISK kompleks.

Manifestasi klinis
Manifestasi klinis infeksi saluran kemih pada umumnya bergantung pada usia anak.
Infeksi saluran kemih pada neonatus pada umumnya merupakan bagian dari sepsis
dengan manifestasi klinis berupa demam, letargis, mual/muntah, ikterik dan kejang.
Infeksi saluran kemih pada anak usia kurang dari 2 tahun ditemukan gejala demam tanpa
fokus infeksi yang jelas, dapat disertai gejala penyerta berupa mual/muntah, diare, nyeri

338 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


perut dan berat badan sulit naik. Gejala pada anak lebih besar dapat berupa demam yang
disertai disuria, urgensi, polakisuria dan nyeri pada abdominal dan area flank.
Anak dengan infeksi saluran kemih kompleks memiliki manifestasi sistemik yang
lebih berat. Pada umumnya ditemukan demam dengan suhu >39oC, tampak toksik,
muntah persisten, dehidrasi, nyeri atau tidak nyaman pada costovertebral angle, dapat
disertai peningkatan serum kreatinin, tidak berespon secara klinis dengan pengobatan
selama 48 jam. ISK kompleks pada umumnya rekuren dan melibatkan saluran kemih
bagian atas.
Anak dengan pemeriksaan fisik ditemukan sinekia vagina, fimosis, hipospadia,
epispadia, dilatasi kandung kemih, hidronefrosis, inkontinensia urine, spina bifida
atau dimple, riwayat pembedahan pada saluran kemih, malformasi anorektal atau
meningomyelocele merupakan faktor penting yang mengarahkan diagnosis ke ISK
kompleks.
Anak dengan kecurigaan ISK harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan urinalisis dan
kultur urine. Pengambilan sampel urine dapat dilakukan dengan pemasangan kateter
urine, aspirasi suprapubik dan urine pancar tengah. Neonatus dan bayi disarankan melalui
kateter urine, anak yang lebih besar dapat dikerjakan dengan pengambilan urine pancar
tengah.
Interpretasi hasil pemeriksaan urinalisis adalah adanya leukosituria (>5/LBP),
proteinuria, hematuria (eritrosit >5/LBP), nitrit, leukosit esterase, silinder dan antibody
coated bacteria. Sensitivitas urinalisis dapat dilihat pada Tabel 1. Pemeriksaan lainnya
diantaranya darah lengkap, C-reactive protein, procalcalcitonin. Procacitonin merupakan
prediktor lebih kuat dibandingkan dengan hitung leukosit maupun C-reactive protein
untuk diagnosis pielonefritis akut. Diagnosis ISK ditegakkan apabila pada pemeriksaan
kultur urin ditemukan adanya >105 koloni/ml urin.

Tabel 1. Sensitifitas dan spesifisitas dari komponen urinalisis, tunggal maupun kombinasi
Uji urinalisis Sensitifitas (rent- Spesifisitas (rentang),
ang), % %
Tes leukosit esterases 83 (67-94) 78 (64-92)
Tes nitrit 53 (15-82) 98 (90-100)
Tes leukosit esterase atau tes nitrit positif 93 (90-100) 72 (58-91)
Mikroskopis leukosit (White Blood Cell) 73 (32-100) 81 (45-98)
Tes leukosit esterase, tes nitrit, atau miskropkopis leukosit 99,8 (99-100) 70 (60-92)

Pemeriksaan radiologi pada ISK bertujuan untuk mencari adanya kelainan struktural
dari sistem saluran kemih. Pemeriksaan USG ginjal dan saluran kemih urgent diperlukan
bila terdapat kecurigaan ISK kompleks yaitu ISK pada neonatus dan anak dengan kandung
kemih yang dilatasi dan ballotable kidney. Pemeriksaan USG direkomendasikan untuk
semua anak yang mengalami ISK pertama kalinya. Pemeriksaan radiologi lainnya yaitu
(Micturating Cystourethrogram) MCUG dan DMSA scan. Micturating Cystourethrogram

339
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
adalah pemeriksaan untuk mengevaluasi abnormalitas pada kandung kemih dan
uretra, pemeriksaan ini juga dapat mendeteksi adanya vesicouretral refluks. Micturating
Cystourethrogram sebaiknya dilakukan setelah 6 minggu ISK teratasi, kecuali dalam kondisi
obstruksi pengeluaran kandung kemih, pemeriksaan ini dapat dilakukan secepatnya.
Pemeriksaan ini diindikasikan pada anak kurang dari 1 tahun pada ISK pertama, dan
pada anak kurang dari 5 tahun pada ISK kedua dengan gejala klinis pielonefritis akut
atau dimana pemeriksaan DMSA scan tidak tersedia. Dimercaptosuccinic acid (DMSA)
scan dikerjakan untuk mendeteksi adanya scarring pada ginjal. DMSA scan diindikasikan
pada anak usia kurang dari 1 tahun untuk ISK pertama, dan pada anak kurang dari 5
tahun dengan ISK kedua atau gejala klinis pielonefritis akut, abnormalitas USG ginjal
dan saluran kemih.

Gambar 1. Algoritma Pencitraan pada ISK

Pemeriksaan penunjang lainnya yang diperlukan adalah pemeriksaan darah rutin


bila terdapat demam, pemeriksaan urea darah dan serum kreatinin, dan kultur darah bila
terdapat kecurigaan sepsis.

Tata laksana
Infeksi saluran kemih kompleks memerlukan tata laksana yang lebih komprehensif
dibandingkan ISK simpleks. Deteksi awal adanya kelainan anatomi dan fungsional ginjal
dan saluran kemih merupakan hal yang sangat penting dalam tatalaksana ISK kompleks.
Pada umumnya tatalaksana ISK kompleks terdiri dari tata laksana fase akut yang terdiri
dari pemberian antibiotika dan terapi suportif, tata laksana pembedahan, dan pemberian
antibiotik profilaksis bila diperlukan.

340 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Tatalaksana fase akut
•• Tatalaksana antimikroba
Pemberian antibiotika bertujuan untuk eradikasi infeksi akut dan mencegah
terjadinya komplikasi berupa urosepsis atau kerusakan parenkim ginjal. Antibiotik
diberikan setelah pengambilan sampel urine untuk pemeriksaan kultur urine.
Pemilihan antibiotika untuk ISK kompleks lebih bervariasi karena kuman penyebab
ISK biasanya lebih dari satu mikroorganisme. Pemberian antibiotika secara parenteral
merupakan pilihan terapi pada ISK kompleks. Pemilihan antibiotik disesuaikan
dengan pola kuman setempat, dan selanjutnya diberikan sesuai hasil kultur urine.
Sefalosporin generasi ketiga (cefotakxim, seftriason) dapat digunakan sebagai pilihan.
Golongan aminoglikoside juga aman dan efektif untuk mengatasi ISK kompleks. Jika
terdapat resistensi terhadap sefalosporin, antibiotika golongan nitrofurantoin dapat
menjadi pilihan. Beberapa antibiotika parenteral yang digunakan untuk penanganan
ISK kompleks dapat dilihat pada Tabel 3. Pengobatan ISK kompleks biasanya belum
berespon dalam 48-72 jam pertama setelah pemberian antibiotik.
Lama pemberian antibiotik untuk ISK kompleks diberikan 10-14 hari, apabila
dalam 48-72 hari kondisi pasien sudah membaik dan gejala sudah mereda maka
antibiotik dapat diganti melalui oral.

Tabel 2. Pilihan antibiotika oral pada ISK


Jenis antibiotic Dosis per hari
Amoksisilin 20-40 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis
Sulfonamide 6-12 mg TMP dan 30-60 mg SMX/kgBB/hari dibagi 2 dosis
Trimetroprim (TMP)- 120-150 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis
Sulfametoksazol (SMX)
Sulfisoksazol
Sefalosporin 8 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis
Sefiksim 10 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis
Sefpodiksim 30 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis
Sefprozil 50-100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis
Sefaleksin 15-30 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis
Lorakarbef

Tabel 3. Pilihan antibiotik parenteral pada ISK kompleks


Jenis antibiotik Dosis per hari
Seftriakson 75 mg/kgBB/hari dibagi setiap 24 jam
Sefotaksim 150 mg/kgBB/hari dibagi setiah 6 jam
Seftazidim 150 mg/kgBB/hari dibagi setiap 6 jam
Sefazolin 50 mg/kgBB/hari dibagi setiap 8 jam
Gentamisin 7,5 mg/kgBB/hari dibagi setiap 6 jam
Amikasin 15 mg/kgBB/hari dibagi setiap 12 jam
Tobramisin 5 mg/kgBB/hari dibagi setiap 8 jam
Tikarsilin 300 mg/kgBB/hari dibagi setiap 6 jam
Ampisilin 100 mg/kgBB/hari dibagi setiap 6 jam

341
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
•• Tatalaksana suportif
Tatalaksana suportif pada ISK kompleks meliputi pemberian cairan yang adekuat dan
tatalaksana demam dan mual/muntah. Bila muntah persisten dapat diberikan obat
domperidone.
•• Tata laksana pembedahan
Tindakan pembedahan dilakukan bila terdapat indikasi berupa kasus uropati
obstruktif, yang dalam hal ini harus bekerjasama dengan ahli bedah urologi. Tindakan
bedah dapat berupa drainase perkutaneus bila didapatkan uropati obstruktif. Abses
renal atau perirenal pada anak juga memerlukan intervensi pembedahan.
•• Antibiotika profilaksis
Pemberian antibiotika profilaksis pada ISK kompleks masih merupakan suatu
kontroversi. Beberapa penelitian mendapatkan adanya penurunan risiko ISK berulang
dengan pemberian antibiotic profilaksis, namun penelitian lain gagal menunjukkan
penurunan kejadian ISK berulang dengan pemberian antibiotic profilaksis bahkan
terjadinya resistensi antibiotika masih menjadi permasalahan.
Pemberian antibitik profilaksis dianjurkan pada: anak bibawah 1 tahun sambil
menunggu pemeriksaan pencitraan, ISK dengan RVU dan anak yang menderita
ISK yang disertai sering mengalami demam (3 atau lebih dalam setahun). Antibiotik
profilakis diberikan dengan dosis 2/3 dosis terapi satu kali sehari dan diberikan pada
malam hari. Antibiotik profilaksis tidak dianjurkan pada ISK yang disertai dengan
obstruksi saluran kemih seperti pada katup uretra posterior, urolitiasis atau neurogenic
bladder.

Komplikasi
Kondisi ISK kompleks memiliki risiko yang tinggi terjadinya komplikasi, baik komplikasi
jangka pendek maupun jangka panjang. Komplikasi jangka pendek dapat berupa gagal
ginjal akut, sepsis dan meningitis. Komplikasi jangka panjang dapat menyebabkan
terjadinya parut ginjal, yang selanjutnya dapat menimbulkan insufisiensi ginjal, hipertensi,
dan kondisi penyakit ginjal kronis. Infeksi saluran kemih sering berulang. Kejadian ISK
berulang 30-50 % dan lebih sering pada bayi. sebagian besar terjadi dalam 3 bulan episode
pertama. Faktor predisposisi ISK berulang anatara lain: pada anak perempuan, anak
dibawah 6 bulan, adanya RVU, kebiasaan miksi yang kurag baik, konstipasi dan seringnya
melakukan kateter pada neurogenic bladder.

Daftar pustaka
1. Bagga A, Sinha A, Gulati A. Protocols in Pediatric Nephrology. Edisi pertama. New Dehli: CBS
Publishers & Distributors Pvt Ltd. 2012.
2. Borton C. Urinary tract obstruction. 2016. (Diakses tanggal 26 Mei 2017). Available from:
URL: https://patient.info/doctor/urinary-tract-obstruction.
3. Habib S. Highlights for management of a child with a urinary tract infection. International
Journal of Pediatrics. 2012: 6.

342 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


4. Jaimes EC, Roman GC, Fraga AG, Escoto PG, Juarez SL, Espinosa SM, et al. Diagnosis and
treatment of urinary tract infections : a multidisciplinary approach for uncomplicated cases.
Bol Med Hosp Infant Mex. 2013;70:3-10.
5. Karavanaki KA, Soldatou A, Koufadaki AM, Tsentidis C, Haliotis FA, Stefanidis CJ. Delayed
treatment of the first febrile urinary tract infection in early childhood increased the risk of
renal scarring. Acta Paediatr. 2017;106(1):149-154.
6. Lee KY. New insights for febrile urinary tract infection (Acute Pyelonephritis) in children.
Child Kidney Dis.2016;20:37-44.
7. Leroy S, Lopez AF, Nikfar R, dkk. Association of procalcitonin with acute pyelonephritis and
renal scars in pediatric UTI. Pediatrics. 2013;131(5):870-9.
8. Mazzulli T. Diagnosis and Management of simple and complicated urinary tract infections
(UTIs). The Canadian Journal of urology. 2012;19:42-9.
9. Pardede SO, Tambunan T, Alatas H, Trihono PP, Hidayati EL. Konsensus Infeksi Saluran
Kemih pada Anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia Unit Kerja Koordinasi (UKK) Nefrologi.
Jakarta. 2011.
10. Peters CA, Skoog SJ. Management and screening of primary vesicoureteral refluk in children
: AUA Guideline. American urological. 2010;3:272-8.
11. Rusdidjas, Ramayati R, Tambunan T. Infeksi Saluran Kemih. Dalam: Noer M, Soemyarso
N, Subandiyah K, dkk. Penyunting. Kompendium Nefrologi Anak. Jakarta. Badan Penerbit
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2011. Hal. 131-40.
12. Silva D, Abeysekera C. Management of childhood urinary tract infections. Guidelines on
management of childhood urinary tract infections.
13. Stein R, Dogan HS, Hoekebe P, Kocvara R, Nijman RJM, Radmayr C. Urinary tract infec-
tions in children: AEU/ESPU guidelines. European Urologi. 2015; 67:546-58.
14. Subcommittee on Urinary Tract Infection, Steering Committee on Quality Improvement
and Management. Urinary tract infection: clinical practice guideline for the diagnosis and
management of the initial UTI in febrile infants and children 2 to 24 months. Pediatrics.
2011;128:595-610.
15. The RIVUR Trial Investigators. Antimicrobial prophylaxis for children with vesicoureteral
reflux. N Engl J Med. 2014;370:2367-76.
16. Urinary tract infection in children. National institute for health and clinical excellence. 2007
(diakses tanggal 1 April 2010). Diunduh dari www.nice.org.uk.
17. Urinary tract infection in infants and children in developing countries in the context of
IMCI. World Health Organization. 2005:1-24.
18. Uwaezuoke SN, Echetabu KN. Obstructive uropathy secondary to posterior urethral
valves: retarding the progression to end-stage kidney disease in children. J Urol Nephrol.
2015;2(2):1-4.
19. Vijaya KM. Revised statement on management of urinary tract infections. Indian pediatrics.
2011;48:709-18.
20. Wu TS, Huang FL, Fu LS, dkk. Treatment of recurrent complicated urinary tract infections
in children with vesicoureteral reflux. Journal of Microbiology, Immunology and Infection.
2016;49:717-722.

343
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Application of Ketogenic Diet in Intractable
Seizure
Lanny C Gultom
RSUP Fatmawati, Jakarta

Abstract
Ketogenic diet is a specific diet contains of high fat, very low carbohydrates, and enough protein for child
to grow well, which is one of the treatments in childhood intractable seizures. Many researches have shown
the proven benefit of ketogenic diet in children with epilepsy, such as complete seizure control (15.6%)
and greater than 50% reduction in seizures (33%). Its implementation needs a multidisciplinary team
consisting of a pediatrician, trained dietisian in the use of ketogenic diet, and specialist nurse. It can
be applied in daily clinical practice by using the principal of pediatric nutrition care which includes
assessment, calculation of calories, decision of food’s type, determination of food’s access, and monitoring
and evaluation steps.

K
ejang intraktabel atau epilepsi resisten obat adalah kegagalan penggunaan dua
obat anti kejang yang dipilih dan digunakan dengan tepat serta ditolerir dengan
adekuat, baik sebagai monoterapi atau dalam kombinasi, untuk mencapai kondisi
bebas kejang yang berkelanjutan.1 Sekitar 1 dari 10 anak dengan kejang akan mengalami
kejang intraktabel yang mengakibatkan anak mengalami morbiditas yang bermakna,
kualitas hidup yang menurun, dan seringkali memerlukan konsultasi dengan ahli saraf
anak.2 Diet ketogenik adalah diet dengan kandungan lemak sangat tinggi, karbohidrat
sangat rendah, dan protein yang cukup untuk anak dapat bertumbuh. Berbagai penelitian
klinis terandomisasi menunjukkan hasil yang menjanjikan dalam penggunaan diet
ketogenik pada epilepsi.3 Berbagai penelitian menunjukkan diet ketogenik terbukti
bermanfaat pada anak dengan epilepsi intraktabel, yaitu 15,6% pasien mengalami bebas
kejang dan 33% pasien mengalami penurunan frekuensi kejang lebih dari 50%.4-8

Mekanisme diet ketogenik dalam menurunkan kejang


Mekanisme diet dalam menurunkan kejang pada epilepsi masih belum diketahui, tetapi
badan keton diperkirakan menghasilkan efek antikonvulsan atau perubahan metabolik
yang terkait dengan ketosis yang dijelaskan dalam berbagai hipotesis sebagai berikut:9-13
•• Perubahan metabolisme energi di otak
Kegagalan dalam memenuhi kebutuhan energi otak dapat berkontribusi pada inisiasi
dan perluasan aktivitas epilepsi. Diet ketogenik meningkatkan energi cadangan energi
otak dengan memintas jalur glikolisis yang kurang efisien dan memaksimalkan fungsi
siklus tricarboxylic acid (krebs).

344 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


•• Perubahan penggunaan asam amino
Penggunaan badan keton sebagai substrat untuk otak mempengaruhi metabolisme
glutamat yang merupakan neurotransmiter eksitasi yang penting. Penurunan
transaminase glutamat menjadi aspartat meningkatkan ketersediaan glutamat untuk
sintesis neurotransmitter inhibisi utama otak, yaitu gamma amino butyric acid
(GABA), baik secara langsung dan melalui produksi glutamin.
•• Peranan neuropeptida dan norepinefrin
Neuropeptida antikonvulsan, galanin dan neuropeptide Y, diregulasi oleh kondisi
energi dan mungkin memperantarai kerja diet ketogenik dengan meningkatnya kadar
neuropeptida tersebut di otak. Norepinefrin, suatu neurotransmitter inhibisi, juga
berkontribusi pada mekanisme antikonvulsan diet.
•• Restriksi kalori
Restriksi kalori (energi) mungkin mendasari mekanisme antikonvulsan diet yang
dapat menurunkan kerentanan kejang pada tikus. Asupan kalori tidak dibatasi sampai
lebih rendah dari kebutuhan normal ketika menggunakan diet ketogenik karena
kalori sangat penting untuk mengoptimalkan pertumbuhan anak.

Indikasi dan kontraindikasi penggunaan diet ketogenik


Indikasi primer penggunaan diet ketogenik adalah epilepsi refrakter obat atau epilepsi
intraktabel. Tipe kejang, sindrom epilepsi, etiologi yang mendasari, ataupun usia tidak
mempengaruhi efektivitas diet ketogenik. Penggunaan poli-terapi dengan efek samping
antikonvulsan yang berulang juga merupakan indikasi untuk mencoba diet ketogenik.
Selain itu, diet ketogenik juga secara medis diindikasikan pada kelainan metabolisme
bawaan karbohidrat, seperti glucose transporter 1 (Glut 1) deficiency dan pyruvate
dehydrogenase (PDH) deficiency. Kontraindikasi mutlak penggunaan diet ketogenik
meliputi kelainan metabolisme bawaan lemak dan kelainan yang membutuhkan asupan
karbohidrat yang tinggi. Kontraindikasi relatif meliputi steroid, diuretik, dan obat-obatan
yang menyebabkan efek sekunder peningkatan asam dalam darah. Penggunaan obat-obat
tersebut harus hati-hati. Kontraindikasi penggunaan diet ketogenik tertera dalam Tabel
1.14-17

Tabel 1. Kontraindikasi pengunaan diet ketogenik14-17


Kontraindikasi absolut Kontraindikasi relatif
Defek oksidasi asam lemak Penggunaan steroid yang membatasi ketosis
Organik asiduria
Pyruvate Carboxylase deficiency
Familial hyperlipidaemia
Hipoglikemia dalam investigasi
Defek ketoneogenesis/ketolisis
Diabetes melitus
Refluks gastro-esofagus berat
Penyakit hati berat
Pasien/pengasuh yang tidak patuh

345
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Jenis diet ketogenik yang dapat digunakan pada kejang
intraktabel
Sampai saat ini terdapat 4 jenis diet ketogenik, yaitu diet ketogenik klasik, diet medium
chain triglyceride (MCT), diet ketogenik yang dimodifikasi (modified ketogenic diet), dan
diet low glycaemic index treatment (LGIT). Semua jenis diet tersebut tinggi lemak dengan
karbohidrat yang terbatas.9,11,16
•• Diet ketogenik klasik
Diet ketogenik klasik berdasarkan pada rasio gram lemak (long chain triglycerides)
terhadap gram karbohidrat dan protein [lemak : (karbohidrat + protein)]. Rasio diet
ketogenik 4:1 setara dengan 90% kalori dari lemak dengan sisanya (10%) berasal dari
protein dan karbohidrat.
•• Diet medium chain triglycerides (MCT)
Modifikasi diet ini diperkenalkan pada tahun 1970 menggunakan MCT sebagai
sumber lemak alternatif. Medium chain triglycerides memberikan lebih banyak keton
per kalori energi dibandingkan LCT, diabsorbsi lebih efisien, dan dibawa langsung
ke hati. Potensi ketogenik yang lebih tinggi ini menyebabkan lemak total yang
dibutuhkan di dalam diet menjadi lebih rendah sehingga lebih banyak karbohidrat
dan protein yang dikonsumsi. Diet MCT tradisional mengandung sekitar 75% kalori
dari lemak, yaitu 45-55% kalori dari MCT dan 21-25% kalori dari LCT. Minyak
MCT atau Liquigen, suatu emulsi MCT 55% dalam air, dapat digunakan sebagai
sumber MCT.
•• Diet ketogenik modifikasi (modified ketogenic diet) atau diet Atkins modifikasi
(modified Atkins diet)
Diet ini memperbolehkan asupan protein yang bebas, karbohidrat yang sangat
rendah, dan lemak yang bebas (sekitar 75% kalori harian). Diet ini sering digunakan
pada anak yang lebih besar dan remaja yang tidak menyukai diet ketogenik klasik atau
diet MCT.
•• Diet low glycaemic index treatment (LGIT)
Diet ini diciptakan untuk membatasi peningkatan kadar glukosa darah post-
prandial dengan membatasi jumlah karbohidrat hingga 10% kalori total dan hanya
menggunakan karbohidrat dengan indeks glikemik rendah (GI) <50. Sebanyak 60%
kalori berasal dari lemak dan 30% dari protein.

Aplikasi penggunaan diet ketogenik


Penggunaan diet ketogenik tetap menggunakan prinsip asuhan nutrisi pediatrik yang
terdiri dari lima langkah, yaitu assessment (penilaian), penentuan kebutuhan, penentuan
cara pemberian, penentuan jenis makanan, serta pemantauan dan evaluasi.18 Implementasi
diet ketogenik membutuhkan tim multidisipliner yang meliputi dietisian yang terampil
dalam menggunakan diet ketogenik, dokter anak, serta perawat yang berpengalaman. Tim

346 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


tersebut mampu memberikan saran dan mendampingi keluarga ketika keluarga mendapat
masalah yang disebabkan atau dieksaserbasi oleh diet.
Diet ketogenik dapat dilakukan dengan rawat jalan, tetapi hanya jika dietisian/
dokter dapat dihubungi oleh keluarga secara teratur untuk memberikan dukungan. Hal
ini perlu dilakukan setiap hari dalam beberapa minggu pertama. Jika diet sudah dapat
dilakukan, keluarga memerlukan dukungan berkelanjutan untuk memantau dan membuat
penyesuaian diet. Beberapa senter memulai diet ketogenik dengan rawat inap. Bayi harus
memulai diet di rumah sakit karena mereka memerlukan pemantauan yang sangat ketat.

a. Assessment (penilaian)
Hal yang penting sebelum mempertimbangkan tata laksana diet ketogenik adalah
memastikan bahwa diagnosis epilepsi sudah ditegakkan dan berbagai tata laksana yang
sesuai sudah dilakukan, namun belum ada perbaikan gejala. Pemeriksaan medis dan
pemeriksaan penunjang diperlukan sebelum memulai diet ketogenik terutama untuk
menyingkirkan kondisi yang menjadi kontraindikasi penggunaan diet ketogenik
(Tabel 1.). Catatan makanan selama 3–4 hari penting untuk menilai kesesuaian tata
laksana diet ketogenik dan memberikan petunjuk pilihan makanan dan pola makan
anak. Hal ini digunakan dalam menentukan diet yang paling sesuai untuk anak dan
membuat rencana makanan. Berbagai faktor yang dipertimbangkan dalam penilaian
diet sebelum memulai diet ketogenik tertera dalam Tabel 2.9,16

Tabel 2. Faktor yang dipertimbangkan dalam penilaian diet sebelum memulai diet ketogenik9,16
• Catatan makanan selama 3 – 4 hari untuk menilai asupan diet, pola makan, dan status nutrisi
• Pilihan dan pembatasan makanan
• Masalah perilaku terkait makan
• Alergi atau intoleransi makanan
• Kesulitan menelan
• Kemampuan perkembangan makan, tekstur makanan, cairan kental
• Asupan cairan dan jenis cairan
• Pemeriksaan antropometri dan tren pertumbuhan, seperti BB, TB, lingkar kepala (< 2 tahun),
dan mem-plot pada kurva pertumbuhan untuk mengetahuitren pertumbuhan
• Tingkat mobilitas dan aktivitas anak. Anak yang tidak dapat bergerak aktif (immobilitas) mun-
gkin memerlukan kalori yang lebih rendah dibandingkan anak yang bergerak aktif
• Suplementasi vitamin dan mineral
• Frekuensi BAB
• Makanan, obat, atau nutrisi yang digunakan untuk mengatasi konstipasi
• Orang-orang yang terlibat dalam perawatan anak, seperti anggota keluarga, pengasuh, perawat,
sekolah, dan ahli kesehatan (tim multidisipliner local, perawat sekolah, terapis wicara dan bahasa)
• Tipe dan frekuensi kejang yang mungkin mempengaruhi kebutuhan energi
• Formulasi dan kandungan karbohidrat di dalam obat, serta efek samping obat
• Pemeriksaan darah dan urinalisis lengkap , seperti darah perifer lengkap, profil lipid darah, kadar
gula darah, fungsi hati (SGOT/SGPT), asam organik urin, carnitine dan acylcarnitine darah

b. Penentuan kebutuhan
Kebutuhan kalori ditentukan berdasarkan berat badan ideal dikalikan requirement

347
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
daily allowances (RDA) menurut usia tinggi (height age). Berat badan ideal adalah berat
badan menurut tinggi badan pada P50 atau z-score 0 berdasarkan grafik pertumbuhan
yang digunakan, sedangkan usia tinggi adalah usia bila tinggi badan anak merupakan
P50 atau z-score 0 berdasarkan grafik pertumbuhan yang digunakan. Anak berusia 0
– 5 tahun menggunakan grafik pertumbuhan WHO 2006, sedangkan anak berusia
>5 – 18 tahun menggunakan grafik pertumbuhan CDC 2000.18

c. Penentuan cara pemberian dan jenis makanan


Diet ketogenik dapat diberikan secara oral atau enteral. Makanan biasa yang
memenuhi prinsip diet ketogenik diberikan per-oral, sedangkan formula khusus
(Ketocal) dapat diberikan per-oral ataupun enteral. Catatan makanan selama 3 – 4
hari akan memberikan gambaran mengenai jenis diet ketogenik yang akan digunakan,
tetapi pilihan anak dan keluarga, rasa, serta kemudahan penggunaan juga harus
dipertimbangkan.9 Keuntungan, kerugian, dan kemudahan penerapan dari masing-
masing diet ketogenik tercantum dalam Tabel 3.

Tabel 3. Keuntungan, kerugian, dan kemudahan penerapan dari masing-masing diet ketogenik
Jenis diet Keuntungan Kerugian Kemudahan penggu-
naan
• Menggunakan makanan biasa • Makanan sedikit karena • Mudah digunakan
• Lebih banyak digunakan kandungan lemak yang tinggi
Klasik
• Dapat digunakan dengan pipa • Karbohidrat dan protein
nasogastrik (Ketocal) sangat terbatas
• Lemak total lebih sedikit den- • Kemungkinan efek samping • Sulit untuk digu-
gan protein dan karbohidrat gastrointestinal atau efek nakan karena memer-
yang lebih banyak sehingga laksatif lukan minyak MCT
lebih tampak seperti makanan • MCT diperlukan di setiap • Perhitungan sulit
MCT biasa makan/selingan karena menggunakan
• Mungkin sesuai pada pasien satuan penukar ter-
dengan pilihan makanan yang tentu (choice) untuk
terbatas, asupan karbohidrat protein, karbohidrat,
lebih tinggi atau sangat selektif dan lemak
• Protein dan kalori bebas • Asupan lemak total 75% • Sulit untuk digu-
• Tidak menimbang makanan kalori nakan karena tidak
atau menggunakan alat ukur • Karbohidrat sangat terbatas terdapat pengukuran
rumah tangga (10 – 20 g/hari) yang tepat
• Membantu keluarga atau rema- • Menyulitkan tata laksana diet
MKD
ja untuk lebih patuh dengan karena kalori tidak terkontrol
diet ketogenik • Membutuhkan lebih banyak
asupan dari orangtua/pen-
gasuh dalam perencanaan
makan
• Makanan tidak ditimbang, • Karbohidrat terbatas (10% • Sulit untuk digu-
menggunakan sistem penukar kalori total) nakan karena tidak
LGIT
• Lebih sedikit digunakan • Asupan lemak total 60% terdapat pengukuran
kalori yang tepat

348 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Berdasarkan Tabel 3 maka diet ketogenik klasik yang lebih mudah diterapkan
pada praktek di Indonesia. Perhitungan diet ketogenik berdasarkan kebutuhan energi,
kebutuhan protein, dan rasio lemak dengan karbohidrat dan protein [contoh 4:1 = 4g
lemak : 1g (protein + karbohidrat)]. Kebutuhan energi dihitung berdasarkan penentuan
kebutuhan kalori harian, sedangkan kebutuhan protein diberikan 1,0 – 1,2 g/kg/hari.
Proporsi lemak untuk rasio diet ketogenik klasik yang berbeda tertera pada Tabel 4. Pada
diet ketogenik klasik, masing-masing makanan dan selingan harus mempunyai rasio
ketogenik yang tepat.9

Tabel 4. Proporsi lemak pada rasio diet ketogenik klasik yang berbeda
Rasio Persentase kalori dari lemak
(sisa kalori dari protein dan karbohidrat)
4:1 90
3,5 : 1 89
3:1 87
2,5 : 1 85
2:1 82
1,5 : 1 77
1:1 69

Pada saat anak dalam kondisi sakit, seperti batuk/nyeri tenggorokan dan tidak mau
menghabiskan makanan dapat diberikan formula medis khusus untuk diet ketogenik,
yaitu Ketocal 3:1 atau Ketocal 4:1. Hal yang harus diperhatikan adalah jarang sekali
memulai diet ketogenik dengan konsentrasi 4:1, karena diet tersebut harus dilaksanakan
di rumah sakit dengan hati-hati. Berbagai senter di Inggris menganjurkan rasio 2:1
jika diet ketogenik dilakukan di rumah dan ditingkatkan menjadi 3:1 atau 4:1 selama
beberapa hari atau minggu tergantung toleransi anak dan pengendalian kejang pada tiap
tahap. Rasio diet dapat ditingkatkan lebih bertahap pada pasien yang mengalami masalah
toleransi terhadap jumlah lemak yang digunakan, misal rasio 2:1 menjadi 2,5:1 menjadi
3:1, dan sebagainya. Jika kejang dapat terkontrol dengan baik pada rasio yang rendah,
maka tidak perlu meningkatkan rasio menjadi 4:1. Semua obat yang dikonsumsi harus
mengandung rendah karbohidrat karena ekstra karbohidrat dapat mempengaruhi ketosis
dan menyebabkan kejang menjadi lebih sulit untuk dikontrol, sehingga kandungan
karbohidrat di dalam seluruh obat yang digunakan harus dihitung dan dipertimbangkan
jika digunakan.19 Cara perhitungan diet ketogenik dan contoh menu dijelaskan dalam
Tabel 5 – 7.
Selama tata laksana diet ketogenik, anak dianjurkan untuk mengkonsumsi cairan
sesuai dengan kebutuhannya. Diet ketogenik memerlukan suplementasi vitamin dan
mineral, namun suplementasi tersebut harus dalam bentuk bebas karbohidrat. Dosis
suplementasi disesuaikan untuk setiap individu agar dapat memenuhi kebutuhannya.
Selain itu, asupan seluruh vitamin dan mineral harus dipantau ketat untuk memastikan
kecukupan nutrisi.17

349
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Tabel 5. Cara perhitungan diet ketogenik klasik dengan menggunakan makanan biasa
Kasus:
An. MJ, laki-laki, berusia 2 tahun, BB 14 kg dan TB 86 cm, datang dirujuk dari konsultan neurologi anak
dengan kejang intraktabel untuk memulai diet ketogenik. Pasien sudah mendapat terapi Depakene® 2 x
5 mL dan Tegretol® puyer 3 x 125 mg. Pasien mempunyai BB yang baik, perawakan baik, dan status gizi
overweight. Kebutuhan kalori = 11,9 x 100 = 1190 kal.

Tahap 1. Tentukan rasio diet ketogenik yang akan digunakan


Pada umumnya anak-anak dapat diberikan diet ketogenik 4:1 Rasio diet ketogenik 3:1 digunakan pada
anak berusia < 15 bulan, gizi lebih (overweight), dan anak >12 tahun.
Pada kasus ini  diet ketogenik yang diberikan adalah 4:1. Oleh karena pasien adalah pasien rawat jalan,
seharusnya dimulai dengan rasio 2:1 dan kemudian dinaikkan menjadi 3:1 dan kemudian 4:1. Perhitun-
gan di bawah ini hanya menjelaskan cara perhitungan diet ketogenik 4:1.

Tahap 2. Perhitungan unit diet


Unit diet adalah unsur pendukung diet ketogenik, yaitu protein, karbohidrat, dan lemak yang akan
dijelaskan sebagai berikut:

Rasio Lemak CHO dan Pro Kalori/unit diet Persentase


Lemak : (Lemak + CHO + Pro)
2:1 2 g x 9 kal/g = 18 1 g x 4 kal/g = 4 18 + 4 = 22 18 : 22 = 81,8%
3:1 3 g x 9 kal/g = 27 1 g x 4 kal/g = 4 27 + 4 = 31 27 : 31 = 87,1%
4:1 4 g x 9 kal/g = 36 1 g x 4 kal/g = 4 36 + 4 = 40 36 : 40 = 90,0%

Tahap 3. Perhitungan:
Rasio 4:1 = 90% kalori dari lemak 90/100 x 1190 = 1071 kal
1071 kal/9 kal per g lemak = 119 g lemak
Kalori untuk protein dan karbohidrat 1190 – 1071 = 119 kalori untuk karbohidrat dan protein
119 kal/4 kal per g karbohidrat atau protein
= 29,75 g karbohidrat dan protein
Protein 1g/kg = 14 g
Karbohidrat = 29,75 – 14 = 15,75 g

Jumlah kandungan karbohidrat di dalam obat


Depakene sirup (4,5 g/5 mL) = 10/5 x 4,5 = 9 g
Tegretol tab 100 mg (0,3 g/tab) = 375/100 x 0,3 = 1,125 g

Peresepan makanan
Lemak = 119 g/hari
Protein = 14 g/hari
Karbohidrat = 15,75 -10,125 = 5,625 g/hari = 5,6 g/hari

Komposisi makanan/hari
Makan pagi (30% total kalori) yang terdiri dari lemak 35,7 g; protein 4,3 g; karbohidrat 1,68 g
Makan siang (35% total kalori) yang terdiri dari lemak 41,65 g: protein 4,9; karbohidrat 1,96
Makan malam (35% total kalori) yang terdiri dari lemak 41,65 g: protein 4,9; karbohidrat 1,96

350 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Tabel 6. Contoh diet ketogenik klasik dengan menggunakan makanan biasa
Makanan Komposisi Menu
Makan Pagi: 35,7 g lemak 1 telur ayam ukuran kecil (38 g)
Telur orak-arik dengan sayur 4,3 g protein 1 sendok makan seledri (8 g)
1,68 g karbohidrat 1 sendok makan mentega (14 g) untuk menggoreng
2 potong timun tanpa kulit (14 g)
1½ sendok makan olive oil untuk topping

Makan Siang: 41,65 g lemak 28 g daging ayam dengan kulit yang direbus
Daging ayam rebus dengan 4,9 g protein 15 g wortel bayi rebus
sayur 1,96 g karbohidrat 1 sendok makan mentega (14 g) dicairkan
2 sendok makan olive oil (28 g) untuk topping

Makan Malam: 41,65 g lemak 28 g daging sapi panggang yang dicincang


Daging sapi panggang cin- 4,9 g protein 1 sendok makan mentega (14 g) dicairkan
cang dengan sayur 1,96 g karbohidrat 20 g buncis rebus
2 sendok makan olive oil untuk topping

351
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Tabel 7. Cara perhitungan diet ketogenik klasik dengan menggunakan formula Ketocal
Kasus:
An. MJ, laki-laki, berusia 2 tahun, BB 14 kg dan TB 86 cm, datang dirujuk dari konsultan neurologi anak
dengan kejang intraktabel untuk memulai diet ketogenik. Pasien sudah mendapat terapi Depakene® 2 x
5 mL dan Tegretol® puyer 3 x 125 mg. Pasien mempunyai BB yang baik, perawakan baik, dan status gizi
yang baik. Kebutuhan kalori = 11,9 x 100 = 1190 kal. Diet pasien saat ini adalah Nasi biasa 3x/hari dan
susu formula Bebelac 3® rasa madu 3 x 200 mL.

Perhitungan:
• Kebutuhan cairan/hari = (10 x 100) + (4 x 50) = 1000 + 200 = 1200 mL/hari
• Mulai dengan rasio 2:1 yang dinaikkan bertahap menjadi 3:1 dan 4:1 sesuai dengan toleransi serta
tergantung pada ketosis dan kontrol kejang. Menurunkan rasio dilakukan dengan menambahkan susu
formula biasa

Rasio diet ketogenik 4:1


Rasio diet ketogenik 4:1 dapat diperoleh dengan menggunakan Ketocal 4:1. Konsentrasi 30 kal/oz (1 kal/
mL) diperoleh dengan mencampurkan 14,3 g Ketocal 4:1 ke dalam 86 mL air matang sehingga diperoleh
100 kal/100 mL 2 g protein 1,2 g karbohidrat 9,8 g lemak
1200 kal/1200 mL 24 g protein 14,4 g karbohidrat 117,6 g lemak
 Kandungan lemak tidak sesuai dengan rasio lemak dengan karbohidrat dan protein 4:1 (88,2%
dari total kalori)
 Protein terlalu tinggi (1,7 g/kgBB/hari)

Rasio diet ketogenik 3:1


Rasio diet ketogenik 3:1 dapat diperoleh dengan menggunakan Ketocal 3:1. Konsentrasi 30 kal/oz (1 kal/
mL) diperoleh dengan mencampurkan 14,3 g Ketocal 3:1 ke dalam 86 mL air matang sehingga diperoleh
100 kal/100 mL 2,2 g protein 1,0 g karbohidrat 9,7 g lemak
1200 kal/1200 mL 26,4 g protein 12,0 g karbohidrat 116,4 g lemak
 Kandungan lemak sesuai dengan rasio lemak dengan karbohidrat dan protein 3:1 (87,3% dari total
kalori)
 Protein terlalu tinggi (1,88 g/kgBB/hari)

Rasio diet ketogenik 2:1


Rasio diet ketogenik 2:1 dapat diperoleh dengan mencampurkan Ketocal 4:1 dengan susu formula standar
yang dikonsumsi pasien (Bebelac 3® rasa madu). Konsentrasi Ketocal 4:1 yang digunakan adalah 30 kal/oz
(1 kal/mL) yang diperoleh dengan mencampurkan 14,3 g Ketocal 4:1 ke dalam 86 mL air matang dengan
½ sendok takar susu formula (3,3 g) sehingga diperoleh
Ketocal 4:1 100 kal/100 mL 2 g protein 1,2 g karbohidrat 9,8 g lemak
Susu Formula 12 kal/100 mL 0,5 g protein 2,1 g karbohidrat 0,5 g lemak
Total 112 kal/100 mL 2,5 g protein 3,3 g karbohidrat 10,3 g lemak
Total/hari 1344 kal/1200 mL 30 g protein 39,6 g karbohidrat 123,6 g lemak
 Kandungan lemak sesuai dengan rasio lemak dengan karbohidrat dan protein 2:1 (82,7% dari total
kalori)
 Protein terlalu tinggi (2,14 g/kgBB/hari)
 Kalori terlalu tinggi (112,9 kal/kgBB ideal/hari)

Pemantauan dan evaluasi


Pada kebanyakan kasus, diet ketogenik diberikan selama 3 bulan. Setelah itu dilakukan
telaah ulang bersama keluarga untuk memutuskan apakah diet ketogenik dilanjutkan atau
dihentikan. Diet ketogenik dapat dihentikan jika tidak terdapat perbaikan kejang selama 3
bulan. Jika terdapat penurunan frekuensi kejang, obat anti-epilepsi dapat dipertimbangkan

352 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


untuk diturunkan setelah 3 – 6 bulan. Beberapa faktor dapat mengakibatkan diet
ketogenik tidak dapat dilanjutkan, seperti anak dan keluarga kesulitan untuk menerapkan
diet serta ingin menghentikan diet, diet tidak efektif dalam mengontrol kejang, efek
samping yang timbul lebih besar dibandingkan manfaat, seperti gangguan pertumbuhan,
ataupun tidak patuh dalam melaksanakan diet. Diet dilanjutkan selama 2 tahun untuk
menentukan efektivitas terapi. Pada kasus glucose transporter -1 (GLUT-1) deficiency dan
pyruvate dehydrogenase deficiency, diet ketogenik dapat digunakan dalam jangka waktu
lama tergantung respons individu. Penghentian diet ketogenik dilakukan bertahap dengan
cara menurunkan rasio selama 2 – 3 bulan.9,17,20
Pemantauan dilakukan secara berkala untuk menentukan efektivitas diet dan
memutuskan untuk meneruskan atau menghentikan obat. Hal-hal yang harus dipantau
pada saat pasien kontrol adalah sebagai berikut:9,15,16,19,20
•• Pertumbuhan dengan mengukur BB, TB, lingkar kepala pada anak < 2 tahun, dan
mem-plot hasil pengukuran pada grafik pertumbuhan. Pengukuran dilakukan tiap
minggu atau tiap 2 minggu untuk menilai kecukupan energi. Tinggi badan harus
diukur pada saat memulai diet dan dipantau setiap kali pasien kontrol
•• Penilaian nutrisi oleh dietisian untuk memastikan bahwa diet mengandung nutrisi
yang adekuat berdasarkan catatan harian makanan
•• Kejang berdasarkan catatan harian kejang, seperti frekuensi dan tipe kejang sebelum
dan selama diet
•• Keton darah atau urin yang diukur pada pagi hari sebelum sarapan dan sebelum
tidur. Pemeriksaan ini memberikan indikasi kepatuhan diet dan memastikan bahwa
kadar keton tidak terlalu tinggi. Apabila diet sudah dapat dijalankan dengan baik dan
teratur, maka pemeriksaan keton dapat dilakukan lebih jarang.
–– Pemeriksaan keton urin: tes dipstik digunakan untuk mengukur kadar asetoasetat.
Target kadar asetoasetat urin adalah 4 – 16 mmol/L
–– Pemeriksaan keton darah: alat monitor keton darah dapat digunakan untuk
mengukur kadar β-hidroksibutirat darah. Metode ini lebih mudah dan akurat
dibandingkan pemeriksaan keton urin. Target minimal kadar β-hidroksibutirat
darah adalah 2 mmol/L, walaupun kontrol kejang lebih optimal jika kadar
β-hidroksibutirat darah adalah 4 mmol/L atau lebih
–– Hiperketosis atau asidosis harus dipantau ketat apabila kadar keton darah >5
mmol/L atau keton urin >16 mmol/L
•• Obat-obatan, seperti obat anti-epilepsi yang masih dikonsumsi dan kemungkinan
untuk menghentikan obat anti-epilepsi
•• Skrining laboratorium dilakukan sebelum memulai diet, 3 bulan dan 6 bulan pasca
menjalankan diet, serta tiap 6 bulan setelahnya (Tabel 8.)
•• Efek samping yang timbul selama penggunaan diet ketogenik (Tabel 9.)

353
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Tabel 8. Skrining laboratorium pada diet ketogenik
Pemeriksaan Awal 3 bulan 6 bulan dan 6 bulan
setelahnya
Darah
Asam amino plasma 
Darah perifer lengkap   
Profil ginjal yang meliputi   
Natrium
Kalium
Urea
Kreatinin
Bikarbonat
Albumin
Tes fungsi hati   
Kalsium dan Fosfat   
Magnesium   
Glukosa   
Profil lipid*   
Kolesterol total
Trigliserida
Vitamin
A, E   
D (25-OH Vit D plasma)  
Vitamin B12  
Folat  
Tembaga  
Vitamin C  
Feritin  
Trace elements   
Zink
Selenium
Keton dan asam lemak bebas darah (β-hidroksibutirat dan   
asam lemak tidak teresterifikasi)
Laktat plasma 
Profil karnitin dan acylcarnitine (dengan menggunakan kertas   
saring Guthrie)

Urin
Pemeriksaan hematuria/bulan (menggunakan dipstik)
Asam organik urin 
Kalsium:kreatinin   
Urat urin   
*Jika sampel diambil tidak dalam keadaan puasa dan hasilnya meningkat, pemeriksaan diulang dalam
keadaan puasa

354 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Tabel 9. Berbagai efek samping akibat penggunaan diet ketogenik
Efek samping jangka pendek Efek samping jangka panjang Efek samping yang jarang
Asidosis Perubahan pada apolipoprotein B Alergi
Konstipasi Perubahan pada fungsi arteri Perubahan basal ganglia
Dehidrasi Fenotip aterogenik Kardiomiopati
Eksaserbasi penyakit refluks Fraktur tulang Esofagitis
gastroesofagus
Ketosis yang berlebihan Memar Asidosis tubulus ginjal tipe
Fanconi
Lelah Penurunan densitas mineral tulang Batu empedu
Menolak makanan Dislipidemia Hepatitis
Gangguan gastrointestinal Hiperurisemia Hipokalsemia
Hipoglikemia Batu ginjal Hipomagnesemia
Frekuensi kejang meningkat Pertumbuhan yang buruk Hiponatremia
Letargi Defisiensi karnitin sekunder Hipoproteinemia
Muntah Defisiensi vitamin D Sering sakit (increased illness)
Defisiensi vitamin, mineral dan Defisiensi selenium
enzim Pneumonia lipoid
Penurunan berat badan Kematian mendadak

Penutup
•• Diet ketogenik adalah salah satu tata laksana yang dapat diaplikasikan pada kejang
intraktabel dengan mengunakan konsep asuhan nutrisi pediatrik baik dalam bentuk
makanan biasa atau formula siap minum (Ketocal®).
•• Penggunaan diet ketogenik dalam bentuk makanan biasa mempunyai kelemahan yaitu
kesulitan dalam perhitungan diet dan ukuran makanan yang sedikit karena kandungan
lemak yang tinggi. Dilain pihak, penggunaan diet ketogenik dalam bentuk formula
siap minum (Ketocal®) sangat mudah untuk digunakan namun memiliki kandungan
protein yang tinggi yang berisiko membebani ginjal dan mencetuskan obesitas. Selain
itu, formula siap minum (Ketocal®) 4:1 mempunyai rasio lemak dengan karbohidrat
dan protein sebesar 88,7% dan rasio tersebut tidak sesuai dengan yang seharusnya,
yaitu 90%.
•• Diet ketogenik sebaiknya dilakukan pada pasien rawat inap, namun diet tersebut
juga dapat dilakukan pada pasien rawat jalan. Pada pasien rawat jalan, diet ketogenik
dimulai dengan rasio 2:1 dan dinaikkan bertahap menjadi 3:1 dan 4:1 sambil
memantau kadar keton darah/urin dan frekuensi kejang. Rasio diet ketogenik yang
lebih rendah dapat dipertahankan jika kejang sudah terkontrol dan kadar keton
darah/urin sesuai dengan target yang diharapkan.
•• Untuk mengetahui efektivitas diet ketogenik dalam mengontrol kejang, diet ketogenik
diberikan selama 3 bulan dan selanjutnya dinilai kembali untuk memutuskan apakah
diet dilanjutkan/dihentikan. Jika frekuensi kejang menurun dalam waktu 3 bulan
penggunaan diet ketogenik, maka:

355
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
–– Obat anti-epilepsi dapat diturunkan selama 3 – 6 bulan.
–– Diet ketogenik dapat dilanjutkan selama 2 tahun dan kemudian diturunkan
secara bertahap dengan cara menurunkan rasio diet ketogenik selama 2 – 3 bulan.
•• Pemantauan berkala dilakukan untuk evaluasi pertumbuhan dan efek samping
penggunaan diet ketogenik.
•• Selama penggunaan diet ketogenik diusahakan untuk menggunakan obat anti-epilepsi
serta suplementasi vitamin dan mineral yang bebas karbohidrat. Penggunaan bentuk
sirup sedapat mungkin dihindari karena sediaan tersebut umumnya mengandung
karbohidrat yang tinggi.

Daftar pustaka
1. Kwan P, Arzimanoglou A, Berg AT, Brodie MJ, Hauser WA, Mathern G, dkk. Definition of
drug resistant epilepsy: Consensus proposal by the ad hoc Task Force of the ILAE Commis-
sion on therapeutic strategies. Epilepsia. 2010;51(6):1069-77.
2. Kossof EH. Intractable childhood epilepsy: choosing between the treatments. Semin Pediatr
Neurol. 2011;18:145-9.
3. Martin K, Jackson CF, Levy RG, Cooper PN. Ketogenic diet and other dietary treatments
for epilepsy (Review). Cochrane Database of Systematic Reviews 2016, Issue 2. Art. No.:
CD001903. DOI: 10.1002/14651858.CD001903.pub3.
4. Henderson CB, Filloux FM, Alder SC, Lyon JL, Caplin DA. Efficay of the ketogenic diet as
a treatment option for epilepsy: meta-analysis. J Child Neurol. 2006;21(3):193-8.
5. Keene DL. A systematic review of the use of the ketogenic diet in childhood epilepsy. Pediatr
Neurol. 2006;35(1):1-5.
6. Neal EG, Chaffe H, Schwartz RH, Lawson MS, Edwards N, Fitzsimmons G, dkk. The ke-
togenic diet for the treatment of childhood epilepsy: a randomized controlled trial. Lancet
Neurol. 2008;&:500-6.
7. Lambrechts DA, de Kinderen RJ, Vles JS, de Louw AJ, Aldenkamp AP, Majoie HJ. A ran-
domized controlled trial of the ketogenic diet in refractory childhood epilepsy. Acta Neurol
Scand. 2017;135(2):231-9.
8. Nam SH, Lee BL, Lee CG, Yu HJ, Joo EY, Lee J, dkk. The role of ketogenic diet in the treat-
ment of refractory status epilepticus. 2011;52(11):e181-4.
9. Fitzsimmons G, Sewell M. Ketogenic diets. Dalam: Shaw V, penyunting. Clinical Paediatric
Dietetics. Edisi ke-4. Wiley Blackwell, United Kingdom; 2015.p.354-80.
10. de Lima PA, de Brito Sampaio LP, Damasceno NRT. Neurobiochemical mechanisms of a
ketogenic diet in refractory epilepsy. Clinics. 2014;69(10):699-705.
11. Gano LB, Patel M, Rho JM. Ketogenic diets, mitochondria, and neurological disease. J.
Lipid Res. 2014;55:2211-28.
12. McNally MA, Hartman AL. Ketone bodies in epilepsy. J. Neurochem. 2012;121:28-35.
13. Nylen K, Likhodii S, Burnham WM. The ketogenic diet: proposed mechanisms of action.
Neurotherapeutics. 2009;6:402-5.
14. Bergqvist AGC. Indications and contraindications of the ketogenic diet. Dalam: Stafstrom
CE, Rho JM, editor. Dalam: Epilepsy and the ketogenic diet. Humana Press Inc. Totowa,
New Jersey. 2004.p.111-21.

356 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


15. Felton EA, Cervenka MC. Dietary therapy is the best option for refractory non surgical epi-
lepsy. Epilepsia. 2015;56(9):1325-9.
16. Lee PR, Kossoff EH. Dietary treaments for epilepsy: management guidelines for the general
practitioner. Epilepsy & Behavior. 2011;21:115-21.
17. Kossoff EH, Zupec-Kania BA, Amark PE, Ballaban-Gil KR, Bergqvist AGC, Blackford R,
dkk. Optimal clinical management of children receiving the ketogenic diet: Recommenda-
tions of the International Ketogenic Diet Study Group. Epilepsia. 2009;50(2):304-17.
18. Asuhan nutrisi pediatrik (pediatric nutrition care). Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indone-
sia. UKK Nutrisi dan Penyakit Metabolik. 2011.
19. Bernard M. The ketogenic diet. Dalam: Hendricks KM, Duggan C, Walker WA, editor.
Manual of Pediatric Nutrition. Third Edition. BC Decker; London, 2000.p.445-53.
20. Ulamek-Koziol M, Pluta R, Bogucka-Kocka A, Czuczwar SJ. To treat or not to treat drug-re-
fractory epilepsy by the ketogenic diet? That is the question. Ann Agric Environ Med.
2016;23(4):533-6.

357
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Physiology of Oromotor in Breastfeeding
Process and Speech Development in Infants
Luh Karunia Wahyuni
Departemen Rehabilitasi Medik
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta

K
egiatan menghisap ASI dan memproduksi bicara membutuhkan keterampilan gerakan
yang berbeda. Namun demikian seluruh aktifitas ini memiliki persamaan mendasar
yakni mempergunakan alat gerak oral (oromotor).1 Kemampuan untuk melakukannya
dicapai secara bertahap dimulai dari gerakan dasar (reflek), yang selanjutnya melalui proses
belajar pengalaman sensoris serta melalui percobaan melakukan gerakan oromotor dengan pola
gerak yang benar, akan tercapai gerakan oromotor secara otomatis dan terampil.1-5
Proses menyusu pada ibu bukanlah sekedar untuk pemenuhan gizi semata. Pada ak-
tifitas tersebut terkandung proses belajar mempraktekkan keterampilan oromotor, keter-
ampilan motorik kasar (stabilitas, kesegarisan dan kesimetrisan kepala dan batang tubuh) dan
motorik halus serta keterampilan berkomunikasi.4-6 Mekanisme oromotor utama adalah kes-
inambungan sinkronisasi ritmis fungsi menghisap-menelan-bernapas. Sinkronisasi yang
utuh ini menjadi elemen kritis terhadap perkembangan sensorimotor dan perkembangan
kognisi termasuk perkembangan bicara bahasa, kemampuan mengatur regulasi, mengontrol
postur, makan, serta perkembangan ego.5,7

Salah satu pertanyaan populer pada bidang ilmu komunikasi adalah apakah terdapat
hubungan antara kontrol motorik yang digunakan ketika makan dan ketika memproduksi
bicara. Banyak peneliti dan akademisi yang tidak setuju tentang hubungan antara kedua
hal tersebut, dan beranggapan bahwa keduanya memiliki sistem kontrol yang terpisah
dan bertanggung jawab terhadap perkembangan keterampilan yang terpisah. Teori ini
didukung oleh model teoritis dan laboratoris kontrol neuromotor. Peneliti lainnya dan
sebagian besar klinisi mendukung anggapan bahwa kedua sistem ini saling berhubungan
untuk menjalankan suatu sistem. Hal ini didukung oleh observasi klinis perkembangan
normal dan abnormal. Sampai saat ini, belum terdapat data penyokong yang mendukung
kedua pandangan tersebut. Pada makalah ini akan dibahas fisiologi oromotor pada proses
menghisap, menyusu pada ibu dan kaitannya dengan perkembangan bicara.

358 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Anatomi fungsional terkait fungsi oromotor
Anatomi kepala dan leher bayi berbeda dengan dewasa. Pada neonatus, palatum durum
lebih mendatar, laring dan tulang hyoid terletak lebih tinggi dari rongga mulut. Epiglotis
tumpang tindih dengan bagian posterior palatum molle sehingga laring terbuka menuju
nasofaring. Letak epiglotis seperti ini membantu mencegah aspirasi.
Bagian lateral rongga mulut distabilkan oleh sucking pads (bantalan lemak). Adanya
sucking pads pada pipi akan mengesankan rongga mulut semakin kecil dan pipi bayi
menjadi ‘tembem’. Struktur anatomi leher yang pendek, rahang bawah berukuran kecil,
dan berada pada posisi retraksi, serta adanya sucking pads pada pipi akan menghasilkan
stabilitas struktural dan posisional bagi struktur lain seperti lidah, bibir, dan pipi. Dengan
stabilitas ini, neonatus mampu memperluas rongga oral dengan menggerakkan rahang ke
arah bawah (terbuka) serta mampu melakukan penutupan bibir yang baik untuk fungsi
kompresi dan hisap yang optimal.

Gambar 1. Anatomi kepala dan leher pada bayi dan orang dewasa6

Rongga mulut yang kecil memberi kesan seolah lidah tampak besar memenuhi
seluruh rongga mulut. Lidah bersentuhan secara simultan dengan dasar mulut, palatum,
gusi serta bagian dalam pipi sehingga tidak banyak ruang untuk melakukan gerakan ke
atas-bawah. Hal ini menjadi alasan, pada gerakan menghisap lidah bergerak ke depan dan
belakang. Disamping itu, kekayaan sentuhan sensoris taktil pada setiap inci permukaan
lidah dengan rongga mulut akan memungkinkan lidah mempelajari totalitas batasannya
sendiri. Sensasi internal garis tengah rongga oral diperoleh dengan menyadari batas
tepinya. Kesadaran garis tengah di dalam mulut membantu neonatus menemukan pusat
(home base) yaitu suatu tempat terletaknya lidah. Saat neonatus menyempurnakan garis
tengah oral horizontal, vertikal dan diagonal, maka neonatus akan memiliki sensasi yang
lebih jelas pada pusat mulut.5,6,9

359
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Neonatus mengembangkan kekuatan dan gradasi secara progresif dari 1/3 lidah
bagian posterior ke bagian anterior. Ukuran dan bentuk puting serta penempatannya yang
benar di dalam rongga oral saat proses menghisap berperan penting dalam perkembangan
tersebut. Payudara adalah bentuk yang ideal untuk tujuan tersebut karena cukup fleksibel
terhadap perubahan bentuk anatomis dan perkembangan keterampilan oromotor. 7

Fisiologi oromotor pada proses menyusu pada Ibu


Neonatus normal pada dasarnya terlahir dalam keadaan siap untuk bertahan hidup. Proses
menyusu pada Ibu pada awalnya merupakan rangkaian proses menghisap, menelan, dan
bernapas. Komponen-komponen tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain dan
sepenuhnya dikontrol oleh reflek. Sejalan dengan maturasi neurologis, perkembangan
kontrol postur dan perkembangan keterampilan oromotor maka proses menghisap tidak
selalu diikuti dengan proses menelan.
Sebagian besar reflek oral dan faringeal mempunyai satu tujuan, yaitu untuk
pertahanan hidup neonatus. Reflek rooting yang terstimulasi oleh sentuhan pada tepi
mulut atau pipi maupun bibir neonatus akan menstimulasi gerakan kepala ke arah
stimulus serta gerakan mencengkram puting susu ibu. Inilah mekanismenya sehingga
neonatus pada awalnya dapat menemukan payudara ibu. Oleh karena itu, kemampuan
untuk menerima sentuhan pada pipi, bibir, gusi, dan lidah merupakan prasyarat untuk
makan, dan itulah yang menjadi pertahanan hidup neonatus.5,10 Respon mencari makanan
ini mempersiapkan neonatus untuk makan. Selanjutnya respon ini diikuti oleh reflek suck
— swallow, dimana bayi akan mulai menghisap ASI
Menghisap adalah tahapan proses memasukkan makanan atau cairan ke dalam
mulut, dan menggerakkannya ke belakang rongga mulut untuk ditelan. Gerakan menelan
haruslah mudah dimulai, bersifat ritmis, kuat, terus menerus, dan efisien.6 Menghisap
diasumsikan sebagai sistem pompa karena bekerja untuk menggerakkan cairan melalui
penggunaan perubahan tekanan. Konsep kunci proses menghisap adalah cairan bergerak
secara primer karena perubahan tekanan. Terdapat dua tipe tekanan yakni tekanan positif
atau kompresi “dorong” cairan keluar, dan tekanan negatif atau menghisap “tarikan” cairan
keluar. Tekanan positif terjadi pada saat bayi melakukan kompresi memeras cairan dari
payudara ibu melalui aktifitas menjepit puting dengan bibir, gusi, dan lidah. Sedangkan
tekanan negatif terjadi saat terbentuk vakum dimana bayi harus melakukan penutupan
disekeliling puting dan memperbesar ruang di dalam rongga oral, dengan menjatuhkan
bagian posterior lidah dan rahang. Untuk menghasilkan penghisapan, rongga oral harus
tertutup penuh. Untuk menyokong penutupan yang sempurna, juga diperlukan bentuk
dan kesesuaian puting yang adekuat. Bentuk dan kesesuaian puting ini akan secara langsung
mempengaruhi kemampuan bayi untuk membentuk katup sehingga dapat menciptakan
keadaan vakum yang optimal di dalam rongga oral. Keadaan vakum ini penting agar
tenaga yang dibutuhkan untuk menghisap tidak besar, mencegah efek kompensasi, dan
mempermudah proses inisiasi reflek menelan.6,7,11

360 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Berikut adalah tahapan proses menghisap:
•• Lidah, rahang, bibir, pipi, dan palatum masing-masing memiliki fungsi yang spesifik
dan bergerak secara terintergrasi pada proses menghisap. Lidah membentuk palung
atau lekukan sentral sepanjang sumbu longitudinal, pada arah antero-posterior untuk
mengakomodasi puting dan menyalurkan cairan ke dalam orofaring
•• Bibir dan lidah menutup, mencengkeram puting dan membentuk sekat anterior
rongga oral. Sekalipun demikian balk bibir maupun lidah dapat melakukan relaksasi
di rentang waktu antar proses menghisap. Lidah terletak di batas bawah alveolar ridge
dan di sisi dalam bibir bagian bawah
•• Sedangkan sekat posterior dibentuk oleh lidah bagian posterior yang melengkung naik
kontak dengan palatum molle. Bagian lateral lidah kontak dengan pipi membentuk
batas lateral.
•• Rahang dan Iidah kemudian secara bersamaan melakukan gerakan. Rahang bergerak
naik-turun, sedangkan lidah melakukan gerakan peristaltik anterior-posterior atau
gerakan menyerupai gelombang.
•• Saat rahang bergerak naik, bagian anterior lidah terangkat dan menekan puting ke
palatum, sehingga cairan terdorong keluar dari puting.
•• Saat rahang bergerak turun, gerakan peristaltik bergelombang bergerak menyelusuri
lidah, menyebabkan bagian posterior lidah membentuk palung dan menimbulkan
pelebaran rongga oral serta membentuk tekanan hisap negatif. Hal ini menyebabkan
terhisapnya cairan dari puting ke arah faring. 5,7
Pada proses penghisapan ASI dari payudara, diperlukan tekanan negatif sebagai
prasyarat untuk mengalirkan cairan dari puting susu ibu dan mempertahankannya di
dalam rongga oral. Pada pemberian ASI tidak jelas komponen tekanan mana yang lebih
penting. Meskipun ibu dapat memperoleh ASI hanya dengan menggunakan tekanan
negatif (seperti dengan pompa payudara listrik) atau pun hanya dengan tekanan positif
(seperti dengan ekspresi manual), kombinasi kedua tekanan sangat penting untuk
pemberian ASI efektif.5
Terdapat dua pola utama proses menghisap pada neonatus yaitu hisapan nutritif dan
hisapan non-nutritif. Hisapan nutritif adalah proses untuk mendapatkan nutrisi, serta
memberikan pengalaman oromotor awal yang penting untuk perkembangan sensorimotor
oral serta pembentukan ikatan ibu dan anak.7 Sedangkan hisapan non-nutritif dalah
hisapan tanpa adanya aliran makanan digunakan untuk meregulasi diri dan memberi
kenyamanan. Hisapan non-nutritif digunakan untuk meregulasi keadaan, mengontrol
postural, mengembangkan persepsi visual, dan pendengaran; koordinasi kontrol motorik,
serta mengarahkan fungsi tangan dan eksplorasi. Pola hisapan non-nutritif sangat jelas
berbeda seperti terlihat pada tabel di bawah ini. 7,1
Proses penghisapan/pembentukan tekanan negatif (vakum) sangat penting untuk
memulai proses menelan.

361
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Gambar 3. Fase Menelan 9

Menelan dibagi menjadi 3 fase yaitu fase oral, fase faringeal, dan fase esofageal (Fisher,
Painter and Milmore, 1981). Fase oral meliputi pengolahan makanan sebagai persiapan
untuk masuk ke faring. Bagian integral proses tersebut termasuk pembentukan tekanan
negatif (vakum) di dalam rongga oral untuk menggerakkan bolus ke bagian belakang
mulut untuk ditelan. Fase oral terdiri dari proses menghisap dan menggerakkan makanan
ke bagian belakang rongga oral dalam suatu gerakan yang berkelanjutan sementara menjaga
cairan tertahan sebagai bolus untuk mencegah kebocoran ke dalam faring sebelum proses
menelan dimulai. Fase ini sangat tergantung pada koordinasi motorik yang kompleks dari
muskulatur motorik oral.7
Fase faringeal dipercaya teraktivasi oleh reseptor sensoris di belakang tenggorokan
(pada pallatum molle, faring, bagian belakang lidah, dan lain sebagainya) saat ada sentuhan
dari cairan atau makanan. Sentuhan dan tekanan itulah yang kemudian menginisiasi
aksi reflek — yaitu proses menelan, yang merupakan suatu rangkaian aktifitas motorik
yang menggerakkan makanan (sementara menutup kedua saluran nafas atas dan bawah)
melalui daerah faring dan esofagus.
Kemampuan untuk mempertahankan fungsi respirasi penting untuk koordinasi
sinergis menghisap-menelan-bernapas, serta menjadi faktor penentu pula pada proses
regulasi diri, mengontrol postur dan gerakan serta memproduksi suara.7 Fungsi menghisap,
menelan, dan bernapas, bila bekerja dengan baik akan membantu perkembangan pemusatan
(centeredness) dan sensasi garis tengah yang diperlukan untuk gerakan di sekeliling titik
stabil (atau midline) dalam ruang tiga dimensi. Garis tengah yang terbentuk dengan baik
juga merupakan fondasi persepsi yang penting untuk body scheme, orientasi spasial, dan
koordinasi motorik bilateral. Bahkan pada kenyataannya, saat berfungsi dengan baik,
maka sistem respirasi itu sendiri akan terhubung dalam gerakan tiga dimensi disekitar
garis tengah tubuh. Stabilitas pusat dan kesadaran ini juga penting untuk perkembangan
pola gerakan rotasi dan reaksi ekuilibirum.7

362 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Hubungan proses makan dan berbicara
Pada dasarnya terdapat kemiripan perkembangan pola gerakan oromotor pada proses
makan dan berbicara. Sebagai contoh, menarik pipi kedalam selama mengisap payudara
dan memindahkan makanan yang dikunyah dari satu sisi ke bagian tengah dari lidah
akan menciptakan sebuah saluran di tengah lidah agar makanan dapat bergerak ke lidah
belakang untuk ditelan. Pola yang mirip juga dibutuhkan pada perkembangan bicara.
Kontraksi otot pipi dan penarikan pipi kedalam diperlukan untuk meniupkan udara
kedepan dan mencegah kebocoran udara ke lateral sebagai fungsi untuk memproduksi
konsonan fricative (f, v, sh, zh, s, z).
Saat bayi menginjak usia 6 – 9 bulan, saat berkembangnya babbling dimana bayi
lebih aktif menghasilkan suara vokal dan variasi bunyi lain, ternyata terjadi bersamaan
dengan berkembangnya kemampuan gerakan bibir secara aktif mencegah keluarnya
cairan dari mulut selama menyusu dari payudara, serta menyuap habis makanan dari
sendok beberapa saat setelah diperkenalkan pada makanan lunak. Konsonan pertama
yang umumnya terbentuk adalah konsonan yang membutuhkan kontak bibir yang putus
– putus. Kata “ma–ma” diucapkan pertama kali pada hampir seluruh bayi.
Gerakan lidah ke depan dan ke belakang mendominasi proses makan bayi hingga
usia 6 – 9 bulan. Perkembangan kemampuan elevasi ujung lidah terjadi secara bertahap
sejalan dengan perubahan pola makan bayi dari pola mengisap awal ke pergerakan naik
turun lidah yang mulai terjadi saat usia 6 – 7 bulan. Perkembangan konsonan yang
dihasilkan oleh elevasi lidah bagian depan (t, d, n) terjadi pada sebagian besar bayi setelah
mereka mampu menghasilkan konsonan bibir (m, b, p). Awalnya, rahang dan lidah
bergerak bersamaan saat mengatakan “da-da” atau “nah-nah-nah”. Pada saat usia 9 bulan,
bayi mampu melakukan gerakan lidah terpisah dari gerakan rahang yang menghasilkan
elevasi ujung lidah secara independen. Produksi konsonan yang membutuhkan elevasi
lidah bagian belakang berkembang pada periode yang sama. Bayi perlu memisahkan
gerakan lidah bagian depan dan belakang selama makan untuk menghasilkan konsonan.
Produksi konsonan selanjutnya membutuhkan keterampilan yang jauh lebih tinggi
dan keterampilan motorik yang lebih halus (f, v, s, z, sh, zh, ch, j, th, r, dan l). Hal ini
membutuhkan pola gerakan yang mirip dengan gerakan mengunyah yang sudah baik dan
terampil.
Kemiripan perkembangan ini tidak membuktikan bahwa proses makan merupakan
prasyarat sebelum berbicara. Jika memang demikian, maka seorang bayi yang makan via
selang tidak akan memiliki kemungkinan untuk berbicara. Kita tahu bahwa hal ini tidak
benar. Banyak bayi memerlukan makan via selang karena berbagai kondisi medis yang
bukan merupakan masalah neurologis. Meskipun terdapat beberapa kasus keterlambatan
perkembangan bicara dan bahasa, anak seperti ini tetap mampu berbicara. Beberapa anak
dengan gangguan kontrol faring dan esophagus dapat berbicara dengan spontan. Apakah
hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara kedua keterampilan ini? Apakah
merupakan pola perkembangan yang saling terpisah?

363
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Pada anak normal, pada dasarnya proses makan memberikan kesempatan latihan
berulang terhadap kemampuan kontrol sensorimotor dan diferensiasi. Selama proses
perkembangan, kebutuhan untuk mengulangi gerakan penting untuk simbolisasi ide,
gerakan yang familiar dan terasah. Bayi telah melatih komponen gerakan dasar berbicara
selama satu tahun sebelumnya sebagai fondasi kebutuhan artikulasi saat berbicara. Proses
pembelajaran awal ini akan menyediakan dasar kontrol sistem motorik berbicara. Segala
pembelajaran merupakan koneksi dan interkoneksi yang akan dibentuk oleh otak ketika
menambahkan pengalaman baru.
Sejak terdapat kemungkinan kuat bahwa sistem kontrol makan dan bicara saling
berhubungan maka sangat penting melatih pola gerak oromotor saat makan pada anak,
sekalipun belum dapat dipastikan bahwa dengan hanya melatih kemampuan makan akan
menyelesaikan kesulitan kontrol motor saat berbicara dan berartikulasi. Koneksi dan
interkoneksi untuk belajar harus dibangun dalam suatu program. Pada akhirnya melatih
pola gerakan oromotor yang tepat dan benar dan memfasilitasi produksi bicara merupakan
hal yang esensial dalam program latihan untuk anak yang tidak makan per oral.

Daftar pustaka
1. Fletcher SG. Articulation. A Physiological Approach Diego, Singular Publishing Group, San
Diego, 1992; 17 — 50
2. Birch LL. Children’s food acceptance patterns. Annales Nestle 1998; 56 : 11 —8
3. Farber SD. A Multisensory approach to neurorehabilitation. WB Saunders Company,
Philadelphia, 1982; 115 — 71
4. Stevenson RD, Allaire JH. The development of normal feeding and swallowing. Ped Clin
of North Am 1991; 38; 1430 — 53
5. Wolf LS, Glass RP. Feeding and swallowing disorder in infancy. Asseement and manage-
ment. Therapy Skill Builders, Texas, 1992;16-19,402
6. Morris SE, Kline MD, Prefeeding skills, A Comprehensive resource for feeding develop-
ment. Therapy Skill Builders, Arizona, 1987;16-18, 28
7. Oetter P, Ritchter EW, Frick SM. MORE integrating the mouth with sensory and postural
functions. ed. Hugo, MN: PDP press inc; 1995

364 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


The Consequences of Obesity in Childhood:
Insulin Resistance, Metabolic Syndrome and
Type 2 Diabetes
Madarina Julia
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada / RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta

Abstract
Obesity has become a worldwide pandemi. Obesity problem is an important issue because of its
association with the world’s top killer, the cardiovascular disease. Obesity, especially central obesity, lead
to dysregulation of glucose and lipid metabolism, i.e. the insulin resistance, which manifested as the
metabolic syndrome. The metabolic syndrome is a closely related condition, i.e.: obesity, especially central
obesity, hypertension, dyslipidemia, insulin resistance or hyperglycemia, that are the most significance
risk factors for type 2 diabetes mellitus and cardiovascular diseases. Unless serious measures to prevent
childhood obesity are implemented, we have to face the serious pandemi of type 2 diabetes mellitus and
cardiovascular diseases.

S
aat ini, praktisi kesehatan anak di seluruh dunia, di negara maju maupun negara
berkembang, mengkhawatirkan makin meningkatnya jumlah anak yang mengalami
obesitas. Di negara-negara maju seperti Amerika Serikat atau Australia, sepertiga
sampai setengah anak dan remaja mengalami obesitas. Di kota-kota besar di Indonesia,
lebih dari 10% anak telah mengalami obesitas.
Obesitas merupakan masalah kesehatan yang penting, selain karena merupakan
faktor risiko timbulnya penyakit kronis degeneratif di kemudian hari, obesitas juga
sudah banyak menimbulkan masalah pada usia anak dan remaja. Banyak penelitian yang
menunjukkan bahwa obesitas pada masa anak berkaitan dengan kejadian obesitas pada
masa dewasa. Berbagai pengamatan juga menunjukkan bahwa makin dini seorang anak
mengalami obesitas, makin rendah usia harapan hidupnya akibat menderita penyakit-
penyakit kronis degeneratif seperti diabetes mellitus tipe 2, penyakit jantung, stroke dan
kanker.
Pada masa anak dan remaja, obesitas juga dapat mengakibatkan hipertensi, sleep
apnea, masalah pernapasan, masalah postur dan perkembangan tulang ekstremitas,
masalah psikososial, masalah hormonal dan sistem reproduksi, alergi dan hipersensitivitas
dan masih banyak lagi.

365
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Efek samping obesitas yang paling menjadi perhatian adalah sindroma metabolik.
Melalui efeknya pada metabolisme glukosa dan lemak, obesitas merupakan faktor risiko
terpenting penyakit-penyakit yang menjadi pembunuh utama umat manusia di dunia saat
ini yaitu penyakit kardiovaskular dan diabetes mellitus tipe 2.

Obesitas
Obesitas sebagai faktor risiko utama sindrom metabolik, prevalensinya pada anak secara
nasional makin meningkat. Riset kesehatan dasar (RISKESDAS) 2013 menunjukkan
bahwa prevalensi kegemukan pada usia 5-12 tahun adalah 18,8%, sementara pada usia
13-15 tahun 10,8%, dan pada usia 16-18 tahun 7,3%. Lebih tingginya prevalensi pada
usia yang lebih muda menunjukkan kemungkinan adanya cohort effect, prevalensi makin
meningkat pada generasi yang lebih muda. Perbandingan antara RISKESDAS 2010 dan
2013 menunjukkan bahwa prevalensi obesitas pada usia 16-18 tahun meningkat dari
1,4% pada RISKESDAS 2010 menjadi 7,3% pada RISKESDAS 2013.
Obesitas pada masa anak berisiko tinggi menjadi obesitas di masa dewasa, yang
selanjutnya berpotensi menjadi sindrom metabolik dan penyakit degeneratif. Suatu
penelitian di Amerika Serikat menemukan bahwa prevalensi sindroma metabolik secara
keseluruhan pada remaja usia 12-19 tahun adalah 6,4%. Akan tetapi, pada mereka yang
mengalami obesitas prevalensinya meningkat menjadi 28,7%. Beberapa penelitian di
Indonesia, dengan menggunakan kriteria NCEP-ATP III atau sensitivitas insulin sebagai
parameter sindrom metabolik menunjukkan prevalensi yang bervariasi antara 34% - 62%
pada remaja obes, tergantung populasi dan kriteria yang digunakan.
Obesitas, terutama obesitas sentral (abdominal), merupakan komponen kunci
sindrom metabolik. Semua hal yang merupakan faktor risiko obesitas, seperti pola makan
salah dan gaya hidup sedenter merupakan faktor risiko sindroma metabolik. Hal-hal yang
juga dianggap berperan meningkatkan resiko sindrom metabolik adalah riwayat diabetes
gestasional pada ibu, berat badan lahir rendah dan pola pemberian makan pada masa bayi.
Faktor genetik, sosioekonomi dan lingkungan obesogenik juga mungkin berpengaruh.

Resistensi insulin
Resistensi insulin merupakan mekanisme utama terjadinya sindroma metabolik. Resistensi
insulin dan hiperinsulinemia mengakibatkan disregulasi metabolisme lipid di level seluler,
peningkatan kadar asam lemak bebas dan penumpukan trigliserida pada tempat-tempat
ektopik, seperti pada otot, hepar dan lemak viseral. Selanjutnya, peningkatan kadar asam
lemak bebas akan menghambat transportasi glukosa yang distimulasi insulin sehingga
akan memperberat kondisi resistensi insulin. Resistensi insulin dan peningkatan kadar
asam lemak bebas akan membentuk lingkaran setan pada sindroma metabolik. Penyebab
lain sindroma metabolik adalah gangguan metabolisme asam lemak yang diakibatkan oleh
gangguan metabolism malonyl CoA, disfungsi mitokondria dan disfungsi AMP-Activated
Protein Kinase.

366 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Secara umum mekanisme patofisiologi sindroma metabolik merupakan bidang yang
sangat cepat berkembang dan masih memerlukan berbagai penelitian untuk bisa dengan
lebih jelas mengetahui mekanismenya. Pembaca yang tertarik disarankan untuk membaca
publikasi-publikasi terbaru dalam bidang ini.

Sindroma Metabolik
Definisi atau kriteria diagnosis sindroma metabolik telah mengalami banyak diskusi
dan penyesuaian sejak ditetapkan oleh World Health Organization (WHO) pada tahun
1998. Secara umum, para ahli sepakat bahwa sindroma metabolik terdiri atas obesitas
abdominal, hiperglikemia, hipertrigliseridemia, kadar HDL yang rendah dan hipertensi
beserta variasinya.
Menurut Konsensus bersama International Diabetes Federation (IDF) dan American
Heart Association/National Heart, Lung, and Blood Institute (AHA/NHLBI) pada tahun
2009, kriteria diagnosis sindroma metabolik pada dewasa adalah adanya paling sedikit 3
(tiga) komponen dari kelima komponen berikut:
•• Lingkar pinggang lebih besar daripada cut off > yang sesuai untuk populasi negara
masing-masing. Bila belum ada, IDF menggunakan batasan >90 cm untuk laki-laki
Asia dan > 80 cm untuk wanita Asia.
•• Hipertrigliseridemia (kadar trigliserida serum ≥150 mg/dl atau ≥1,7 mmol/L) atau
riwayat pengobatan untuk hipertrigliseridemia
•• Kadar kolesterol High Density Lipid (HDL) <40 mg/dl atau 1.0 mmol/L pada laki-
laki dan <50 mg/dl atau 1.3 mmol/L pada wanita atau riwayat pengobatan untuk
untuk HDL-C rendah
•• Tekanan darah ≥130/85 mmHg atau riwayat pengobatan untuk hipertensi
•• Gula darah puasa ≥100 mg/dl (5,6 mmol/L) atau riwayat pengobatan untuk
hiperglikemia.

Kriteria diagnosis sindroma metabolik pada anak dan remaja


Kriteria diagnosis sindroma metabolik untuk anak dan remaja lebih sulit ditentukan.
Meskipun faktor-faktor risiko terjadinya penyakit kardiovaskular dan diabetes mellitus
tipe 2 di kemudian hari relatif tetap, namun cut-off yang digunakan bisa sangat tidak
konsisten karena masih adanya perubahan kondisi metabolisme akibat pertumbuhan dan
perkembangan anak dan remaja.
Pada tahun 2007, IDF menyusun kriteria diagnosis sindroma metabolik pada anak
dan remaja berdasarkan 3 kelompok usia, yaitu 6-10 tahun, 10-16 tahun dan lebih dari
16 tahun. Pada ketiga kelompok usia tersebut, obesitas sentral atau obesitas abdominal
merupakan kriteria kunci. International Diabetes Federation tidak menyarankan
mendiagnosis sindrom metabolik pada anak yang berusia kurang dari 10 tahun, namun
bila ditemukan obesitas abdominal maka dokter perlu dengan tegas menyarankan perlunya

367
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
kendali berat badan.
Diagnosis sindrom metabolik dapat ditegakkan pada anak usia 10 tahun atau lebih
yang memenuhi kriteria berikut: obesitas sentral (abdominal) ditambah dengan 2 dari
4 komponen lainnya (peningkatan kadar trigliserida, penurunan kadar kolesterol HDL,
hipertensi dan peningkatan kadar glukosa plasma puasa). Kriteria diagnosis untuk remaja
di atas 16 tahun sama dengan kriteria diagnosis untuk dewasa. Perlu diingat bahwa kriteria
ini dibuat sebelum ditetapkannya konsensus bersama IDF dan AHA/NHLBI pada tahun
2009, sehingga masih menggunakan acuan kriteria diagnosis IDF yang lama.

Diabetes mellitus tipe 2


Tanpa tatalaksana yang baik, remaja penderita sindrom metabolik sangat berisiko
mengalamai diabetes mellitus tipe 2 dan penyakit kardiovaskular yang bahkan sudah
bisa terjadi sebelum mereka memasuki usia dewasa. Obesitas, intoleransi glukosa, dan
hipertensi pada masa kanak-kanak merupakan faktor risiko kematian dini. Penelitian di
Israel menunjukkan bahwa remaja dengan persentil Indeks Masa Tubuh (IMT) antara
P80-90 dan antara P90-100, mempunyai risiko menderita diabetes mellitus tipe 2
dikemudian hari sekitar 2-4 kali lipat.
Diagnosis diabetes mellitus dibuat berdasarkan ada/ tidaknya gejala klinis diabetes
mellitus dan hasil pengukuran kadar glukosa plasma. Gejala klinis klasik diabetes mellitus
adalah: poliuria, polidipsia, nokturia dan penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas.
Tanpa adanya gejala klinis diabetes mellitus, pemeriksaan harus diulang pada hari yang
berbeda.
Diagnosis diabetes mellitus tipe 2 ditegakkan melalui dua tahap: (1) menegakkan
diagnosis DM, dan (2) menentukan tipe DM. Diagnosis diabetes mellitus ditegakkan
dengan kriteria American Diabetes Association (ADA) (Boks 1). DM tipe 2 tidak selalu
dapat dibedakan dengan mudah dari DM tipe lain pada anak dan remaja.

Boks 1. Diagnosis diabetes mellitus menurut American Diabetes Association (ADA)


Diagnosis diabetes mellitus dapat ditegakkan dengan salah satu kriteria berikut:
Glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/ dL (7.0 mmol/L)
* puasa berarti tanpa asupan kalori selama setidaknya 8 jam.
Glukosa plasma post-prandial ≥ 200 mg/dL (11.1 mmol/L)
*Pembebanan dilakukan sesuai dengan pedoman WHO, menggunakan 75g glukosa (atau 1,75g/kg bila
kurang dari 75g) dilarutkan dalam air
Gejala klinis diabetes mellitus disertai kadar glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL (11,1 mmol/L)
* sewaktu, berarti tanpa memperhatikan jarak waktu dengan makan terakhir
* gejala klasik DM: poliuria, polidipsia, nokturia, dan penurunan berat badan tanpa sebab yang tidak
jelas
HbA1c > 6,5%
* Pemeriksaan kadar HbA1c harus dilakukan di fasilitas laboratorium yang terstandarisasi

368 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


CATATAN:
•• Satu pemeriksaan glukosa plasma sewaktu yang diambil pada saat stress (trauma,
infeksi berat, dll.) tanpa gejala DM sebelumnya, tidak dapat menjadi dasar diagnosis
DM. Pemeriksaan harus dikonfirmasi lagi.
•• Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) tidak boleh dilakukan bila diagnosis telah
dapat ditegakkan dengan kriteria glukosa plasma puasa atau sewaktu karena berisiko
mengakibatkan hiperglikemia berat
•• Adanya ketonemia atau ketonuria yang menyertai hiperglikemia berat menunjukkan
diagnosis DM dan membutuhkan tatalaksana segera.

Membedakan diabetes mellitus tipe 2 dan diabetes mellitus tipe 1


Sesuai patogenesisnya, proses autoimun yang mendestruksi sel beta pankreas terjadi
pada diabetes mellitus tipe 1 dan resistensi insulin terjadi pada diabetes mellitus tipe
2, kedua jenis diabetes mellitus ini seharusnya bisa dibedakan dari kadar insulin atau
c-peptide-nya. Pada diabetes mellitus tipe 1, kadar insulin/ c-peptide akan rendah atau
sangat rendah, sedangkan pada diabetes mellitus tipe 2, kadar insulin/ c-peptide akan
normal atau meningkat. Selain itu, pada diabetes mellitus tipe 1 akan terdeteksi auto-
antibodi terhadap sel beta pankreas sedangkan pada diabetes mellitus tipe 2 tidak. Kedua
hal tersebut secara teoritis merupakan pembeda antara diabetes mellitus tipe 1 dan tipe
2, namun kenyataannya, membedakan diabetes mellitus tipe 1 dan tipe 2 tidak selalu
mudah, KARENA:
•• Seiring dengan makin meningkatnya prevalensi obesitas pada anak, dapat dijumpai
penderita diabetes mellitus tipe 1 yang obes. Penderita diabetes mellitus tipe 1 yang
obes mungkin mempunyai sisa kadar c-peptide yang lebih tinggi.
•• Penderita diabetes mellitus tipe 2 dapat datang dalam kondisi ketosis atau ketoasidosis
sehingga menyerupai diabetes mellitus tipe 1. Pada keadaan tersebut, kadar insulin
atau c-peptide penderita bisa sangat rendah akibat adanya glukotoksisitas atau
memang sudah ada ketergantungan insulin.
•• Obesitas dan resistensi insulin merupakan faktor risiko penyakit autoimun sehingga
15-40% penderita diabetes mellitus tipe 2 terdeteksi mempunyai autoantibodi terkait
diabetes mellitus tipe 1. Keadaan ini mempercepat penderita jatuh ke dalam keadaan
tergantung insulin.
Salah satu cara membedakan antara diabetes mellitus tipe 2 dan tipe 1 yang mungkin
dapat digunakan adalah pemeriksaan c-peptide sekitar 12-24 bulan setelah diagnosis
karena sangat jarang penderita diabetes mellitus tipe 1 yang masih mempunyai kadar
c-peptide normal pada saat tersebut.
Di Jepang telah dilakukan skrining glukosuria pada semua remaja. Cara ini dianggap
cukup cost effective untuk mendeteksi diabetes mellitus tipe 2. Penelitian di Bali, Indonesia
pada 1020 anak usia 6-12 tahun mendapatkan prevalensi glukosuria 1,7%. Sebelum terjadi

369
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
diabetes mellitus tipe 2, penderita sering mengalami kondisi yang disebut pradiabetes.
Pada remaja obes, kondisi pradiabetes bisa bersifat transien, namun bila berat badan sulit
dikendalikan, sangat berisiko mengalami progresivitas menjadi diabetes mellitus tipe 2.

Simpulan
Obesitas merupakan masalah kesehatan masyarakat yang sangat penting. Dia tidak hanya
penting karena jumlahnya yang terus meningkat, tetapi juga penting karena efek jangka
panjangnya, serta kontibusinya yang besar sebagai penyebab kematian.

Daftar pustaka
1. Alberti SG, Zimmet P. The IDF Consensus definition of the Metablic Syndrome in Children
and Adolescents. Int Diabetes Fed. 2007;24.
2. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS)
2013. Lap Nas 2013. 2013;1–384.
3. Franks P, Hanson R, Knowler W, Sievers M, Bennett P, Looker H. Childhood Obesity, Other
Cardiovascular Risk Factors, and Premature Death. N Engl J Med. 2010;362(6):485–93.
4. Goodman E, Daniels SR, Meigs JB, Dolan LM. Instability in the diagnosis of metabolic
syndrome in adolescents. Circulation. 2007;115(17):2316–22.
5. Gopalakrishnan G. Metabolic Syndrome: Basic Information. Downloaded from ClinicalKey.
com at Universitas Gadjah Mada April 12, 2016
6. Hannon TS, Rofey DL, Lee S, Arslanian S a. Depressive symptoms and metabolic markers of
risk for type 2 diabetes in obese adolescents. Pediatr Diabetes. 2013;14(7):497–503.
7. Huriyati E, Nugroho PS, Susilowaty R, Julia M. Physical activity, eating patterns, and insulin
resistance in obesity. 2014;54(2):82–7.
8. Julia M, van Weissenbruch MM, Prawirohartono EP, Surjono A, Delemarre-van de Waal
HA. Tracking for underweight, overweight and obesity from childhood to adolescence: a
5-year follow-up study in urban Indonesian children. Horm Res. 2008;69(5):301–6.
9. Milici N. A short history of the metabolic syndrome definitions. Proc. Rom. Acad., Series B,
2010; 1:13-20
10. Parikh RM, Mohan V. Changing definitions of metabolic syndrome. Indian J Endocrinol
Metab. 2012;16(1):7-12
11. Ruderman NB, Shulman GI. chapter 43 - Metabolic Syndrome [Internet], Seventh Ed. En-
docrinology: Adult and Pediatric, 2-Volume Set. Elsevier Inc.; 2016. 752-769.e7 p. Available
from: http://dx.doi.org/10.1016/B978-0-323-18907-1.00043-3
12. Steinberger J, Daniels SR, Eckel RH, Hayman L, Lustig RH, McCrindle B, et al. Progress
and Challenges in Metabolic Syndrome in Children and Adolescents A Scientific Statement
From the American Heart Association Atherosclerosis, Hypertension, and Obesity in the
Young Committee of the Council on Cardiovascular Disease in the Young; C. Circulation.
2009;119(4):628–47.
13. Survey E. Prevalence of a Metabolic Syndrome Phenotype in Adolescents. 2016;157:1988–
94.

370 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


14. Tirosh A, Shai I, Afek A, Dubnov-Raz G, Ayalon N, Gordon B, et al. Adolescent BMI
trajectory and risk of diabetes versus coronary disease. N Engl J Med [Internet]. 2011 Apr
7;364(14):1315–25.
15. Zimmet P, Alberti G, Shaw J. A new IDF worldwide definition of the metabolic syndrome:
the rationale and the results. Diabetes Voice. 2005;50(3):31–3.

371
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
The Role of Vitamin D in Bone Health in
Children and Adolescents with Referernce
to Global Consensus Recommendations on
Vitamin D
Margaret Zacharin
Royal Children Hospital, Melbourne

I
t is estimated that 1 billion people worldwide have Vitamin D deficiency or insufficiency.
Vitamin D is a secosteroid derived from action of sunlight on dehydrocholesterol. It is
stored in the liver and adipose tissue. Thus, measurement of 25 hydroxy vitamin D (25
OHD) levels reflects total body vitamin status. To maintain adequate calcium absorption
when 25 OHD drops below 50 nmol/L there is a progressive rise in parathyroid hormone.
Without vitamin D only 15 – 20% of dietary calcium and 60% of dietary phosphate
is absorbed. Interactions of 1,25 dihydroxy vitamin D with vitamin D receptor increase
the efficiency of intestinal calcium absorption to 30 – 40% and phosphate absorption to
80%. Without adequate calcium phosphate product mineralisation of collagen matrix
reduces and rickets occurs in children and osteomalacia in adults.
Vitamin D sufficiency is defined as a 25 OHD of >50 nmol/L, insufficiency at
30 – 50 nmol/L and deficiency <30 nmol/L with severe deficiency below 12.5 nmol/L.
Conversely Vitamin D toxicity occurs when serum 25 OHD exceeds 250 nmol/L,
associated with hypercalciuria and suppressed PTH.
Adequate calcium intake is defined as >500 mg per day, insufficiency 300 – 500 mg
per day and deficiency at < 300 mg per day. Breast milk calcium should contain 200 mg
per day for the infant aged 0 – 6 months and 260 mg per day at 6 months to 12 months.
For children up to the age of 18 years daily calcium intake of between 700 and
1300 mg per day is required. An intake of <300 mg per day increases the risk of rickets
independent of 25 OHD level. There is little date to indicate the lowest calcium intake
that may prevent rickets. When the environment alters, the balance changes such that in
low calcium environments, the amount of vitamin D required to maintain, serum calcium
rises. It is particularly seen in societies where calcium intake is negligible after the time of
breast feeding.

372 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Rickets is defined as a disorder of defective chondrocyte differentiation and
mineralisation of the growth plate leading to defective osteoid mineralisation. It can be
due to deficiency of calcium or disorders of phosphate metabolism. The most common
cause is nutritional vitamin D deficiency.
Rickets usually presents in the toddler age group with leg bowing, motor
developmental delay, muscle weakness, bone pain and the physical signs of expanded
metaphyseal long bones and rachitic rosary. In the very young or the adolescent age group,
due to extremely rapid growth rate, radiological evidence may not be present and the child
may present with convulsions or muscle pain. Similarly, in the severely ill infant who
has negligible linear growth, radiological evidence will be absent, even in the presence of
profoundly low levels of calcium and vitamin D. Rickets is a clinical diagnosis, confirmed
with biochemical estimation of calcium, 25 OHD, alkaline phosphatase, PTH and x-rays.
Children with radiologically confirmed rickets have an increased fracture risk but
children who have simple vitamin D deficiency are not at increased risk of fracture.
Factors limiting vitamin D production include reduced sun exposure with
decreased formation of vitamin D, particularly with increased skin pigment, full body
clothing cover, indoor living, atmospheric pollution or poor sun exposure at high latitudes
and those with disability. Decreased vitamin D action occurs with low intake of calcium
and vitamin D with special diets, poverty or malnutrition. Vitamin D action is interfered
by anticonvulsants, hepatic and renal disease.
Risk factors for vitamin D deficiency in children include maternal vitamin D
deficiency resulting in neonatal vitamin D deficiency, lack of infant supplementation with
vitamin D, prolonged breastfeeding without complementary feeding or supplementation
over the age of 6 months and in the presence of reduced socio-economic circumstances.
Avoidance of infant Vitamin D deficiency should be undertaken by care of the mother.
Pregnant women should take 600 units per day of vitamin D which will present neonatal
hypocalcaemia, congenital rickets, elevated cord blood ALP ,increased fontanelle size and
will improve dental enamel. Maternal supplementation however does not improve birth
size or neonatal bone mass accrual.
Breast milk calcium does not improve by high maternal calcium intake and excess
maternal vitamin D intake should not be used to increase infant vitamin D. Infants
of mothers supplemented with 2000 units per day have similar serum vitamin D
concentrations as those infants who receive 400 units of vitamin D per day. It is therefore
recommended for all infants to have 400 units of vitamin D per day and mothers only
to take 600 units vitamin D.
Over the age of 12 months, in order to meet their nutritional requirements, all
children should have 600 unit of vitamin D per day through diet and/or supplementation.
There are no reports of radiologically confirmed rickets in children who have doses in
excess of 400 unit/day.

373
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Thus preventative treatment should be given to pregnant women, children
and adults at high risk of vitamin D deficiency with factors that reduce synthesis
or intake of vitamin D and all children who have a children of symptomatic D
deficiency that has required treatment.

Dietary sources of vitamin D are minimal without fortification.

Treatment of nutritional rickets should be undertaken with a minimal recommended


dose of vitamin D of 2000 unit/day for a minimum of 3 months plus at least 500 mg of
oral calcium per day either by dietary intake or supplement, regardless of age or weight.
Oral treatment more rapidly restores 25 OHD than intramuscular injection.
Both Vitamin D2 and D3 are equally effective but D3 has a longer half-life and
is therefore preference when single, large doses are used. Treatment should be given
for a minimal of 12 weeks and it may be necessary in some patients for longer. Food
fortification with calcium can increase dietary calcium intake where dairy products are
minimal. This includes fortification of flour and cereal as vehicles.
Extra skeletal actions of vitamin D are postulated with vitamin D receptors
present in gonads, breast, pancreas, cardiomyocytes, brain and immune cells. Postulated
non-classical actions being anti-infectious, anti-inflammatory, anti-proliferative and
immunomodulatory. However in more than 50 randomised controlled trials of various
conditions, vitamin D supplementation has not been shown to improve outcome and it
may simply be a marker of poor metabolic and socio-economic health.
Should a healthy population be screened? Over the last 20 years there has been a
vast increase in the use of vitamin D testing and retesting with no evidence of treatment
benefit in healthy adults. Routine screening of healthy adults is not recommended.
Selective testing should be undertaken for those individuals at risk of vitamin D deficiency.
Screening for rickets should be based on clinical features with radiographic
confirmation of suspected cases and prevalence of rickets determined by population based
samples and mandatory reporting.
Research should consider cost-effectiveness of different vitamin D supplementation
strategies and indirect costs of treatment and complications. It should evaluate current
practice vs different approaches including adherence, quality of life and healthcare costs.

374 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Developmental Assessment in Infant
Mei Neni Sitaresmi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada / RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta

S
aat ini dengan kemajuan tatalaksana perinatal, banyak bayi prematur maupun bayi
cukup bulan yang membutuhkan perawatan neonatal intensive care unit (NICU)
bisa diselamatkan. Bayi tersebut mempunyai risiko yang lebih tinggi mengalami
gangguan tumbuh kembang di kemudian hari dibandingkan dengan bayi yang lahir
cukup bulan atau bayi sehat1. Pada bayi yang dilahirkan prematur, risiko gangguan
neurodevelopment, seperti gangguan perkembangan gerak, kognitif dan perilaku,
meningkat dengan semakin rendahnya usia gestasi. Meta-analisis yang dilakukan oleh
Oskoui et al., (2013) menunjukkan prevalensi palsi serebral paling sering terjadi pada bayi
prematur dengan usia gestasi kurang dari 28 minggu yaitu 111/ 1000 kelahiran hidup,
95% CI 69.53-179.78, p < 0.032. Gangguan neurologis minor, seperti kesulitan belajar,
gangguan kognitif, gangguan pemusatan perhatian/hiperaktifitas (GPPH), dan gangguan
perkembangan koordinasi juga dilaporkan lebih sering terjadi pada bayi-bayi dengan
riwayat perawatan di NICU.
Program intervensi dini pada bayi risiko tinggi terbukti memperbaiki luaran beberapa
domain perkembangan. Meta-analisis yang menilai program intervensi dini pada bayi
prematur setelah pulang dari rumah sakit menunjukan perbaikan luaran jangka panjang
pada fungsi kognitif dan fungsi gerak pada masa bayi dan menetap sampai usia pra sekolah3.
Hal ini menunjukkan pentingnya identifikasi awal gangguan perkembangan sehingga
intervensi dini bisa dilakukan seawal mungkin untuk mencegah atau memperbaiki luaran
perkembangan.
Penilaian perkembangan dilakukan dalam 3 tahap yaitu surveillance, screening dan
assessment perkembangan. Surveillance perkembangan adalah suatu proses pemantauan
perkembangan yang bersifat fleksibel, longitudinal, berkesinambungan, dan kumulatif;
dilakukan setiap kali anak datang ke petugas medis, menggunakan milestone perkembangan.
Screening perkembangan adalah suatu penilaian yang singkat dengan menggunakan
instrumen yang terstandarisasi, untuk mengidentifikasi anak yang berisiko mengalami
masalah perkembangan/perilaku, dan apakah anak tersebut membutuhkan penilaian/
assesment perkembangan lebih lanjut. Sementara itu, assesment perkembangan adalah
suatu penilaian perkembangan yang komprehensif pada anak yang dicurigai mengalami
gangguan perkembangan/perilaku pada tahap skrining4.

375
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Assessment perkembangan merupakan serangkaian proses penilaian perkembangan
yang komprehensif yang bertujuan untuk menegakkan diagnosis dan menentukan
derajat fungsional perkembangan seorang anak agar dapat ditentukan apakah anak
tersebut membutuhkan bantuan dan intervensi dini. Assessment perkembangan dilakukan
dengan menggunakan instrument yang lebih baku dan menghasilkan suatu skor yang
menggambarkan suatu developmental quotients or intelligence quotients. Assessment
perkembangan hanya bisa dilakukan oleh petugas yang sudah terlatih/ahli, yang dapat
memberikan rekomendasi mengenai intervensi yang dibutuhkan dan dapat menilai
kemajuan program intervensi yang sudah dijalankan.
Assessment perkembangan seorang anak sebaiknya meliputi seluruh aspek/domain
perkembangan yaitu kognitif, bahasa, gerak, adaptif dan sosiol emosi, karena perkembangan
satu domain sangat tergantung dari domain lainnya. Sebagai contoh, kemampuan seorang
anak untuk menyusun balok sangat dipengaruhi oleh kemampuan fungsi kognitif, gerak
halus dan bahasa, dimana anak harus paham instruksi yang disampaikan oleh penilai 5.
Menurut WHO (2012)6, ada 10 prinsip utama yang harus diperhatikan dalam
assessment perkembangan, yaitu
1. Assessment perkembangan harus berdasarkan prinsip family-centered care. Dalam
melakukan proses assessment perkembangan, klinisi dan keluarga merupakan mitra.
Keluarga harus dilibatkan dalam seluruh proses assessment. Keluarga memberi informasi
mengenai kemampuan fungsional dan kekuatan anak, kerentanan/keterlambatan
anak dan kebutuhan anak dan kekuatiran, harapan dan usaha yang sudah dilakukan
oleh keluarga. Keluarga harus diberi penjelasan mengapa perlu dilakukan assessment
perkembangan, proses rinci yang akan dilakukan, dan peran keluarga dalam proses
assessment perkembangan. Dalam proses assessment perkembangan, klinisi yang baik
adalah yang tahu bahwa dia belajar bersama dengan keluarga, mengetahui kekuatan
anak, keluarga dan komunitas, dan mengetahui perannya dalam membantu anak
dan keluarga mengenali dan menggunakan kekuatan ini dalam mendukung proses
assessment. Assessment perkembangan yang dilakukan bersama dengan keluarga akan
membantu keluarga mengenali kekuatan/kemampuan anak dan domain apa yang
kurang yang membutuhkan intervensi.
2. Assessment perkembangan harus komprehensif dan melibatkan semua aspek
perkembangan anak. Penilaian perkembangan harus menilai kesehatan fisik,
pertumbuhan, penglihatan, pendengaran dan pemeriksaan penunjang sesuai indikasi,
yang mungkin bisa menunjukkan etiologi gangguan perkembangan. Komposisi
keluarga, kesehatan fisik dan mental keluarga, fungsi dan dukungan sosial dari
keluarga besar dan komunitas, dan pengasuhan dan stimulasi yang sudah dilakukan
di lingkungan rumah merupakan elemen penilaian yang penting dalam proses
assessment perkembangan. Selain itu perlu diketahui juga apa yang sudah dilakukan
oleh keluarga, pemahaman orang tua terhadap perkembangan anak, apa yang telah
dilakukan oleh orang tua yang menunjang perkembangan, kekuatiran, dan harapan
keluarga

376 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


3. Identifikasi “concerns/kekuatiran” orang tua harus menjadi komponen penting dalam
penilaian perkembangan. Kekuatiran orang tua bisa menjadi titik awal assessment
perkembangan dan klinisi bisa memeriksa lebih rinci pada area yang menjadi
perhatian/kekuatiran orang tua.
4. Klinisi harus menganamnesis secara lengkap riwayat perkembangan anak, faktor
risiko dan protektif pada anak dan keluarga.
5. Observasi mengenai interaksi antara pengasuh dengan anak merupakan bagian
penting dalam assessment perkembangan. Observasi anak saat bermain bisa menjadi
informasi berharga mengenai fungsi perkembangan, bahkan seringkali lebih penting
daripada penggunaan test terstandard.
6. Informasi mengenai pengasuhan dan stimulasi yang dilakukan sangat diperlukan
dalam penilaian perkembangan anak. Penilaian di lingkungan rumah bisa memberi
gambaran yang lebih reliable dan valid mengenai perkembangan anak. Jika
kunjungan rumah tidak dimungkinkan, assessment harus memuat pertanyaan yang
menggambarkan kegiatan harian anak, bagaimana proses pengasuhan dan stimulasi
yang dilakukan di lingkungan rumah.
7. Identifikasi dukungan sosial dari pengasuh dan keluarga sangat penting dalam proses
penilaian perkembangan untuk menentukan apakah keluarga dapat mendorong
perkembangan anak.
8. Kesehatan fisik dan mental pengasuh harus diidentifikasi dalam proses penilaian
perkembangan
9. Instrumen penilaian perkembangan memuat kerangka interaraksi antara klinisi
keluarga dan anak. Penilaian perkembangan harus dilakukan dengan kehadiran
pengasuh atau dengan bantuan pengasuh, terutama penilaian aspek bahasa, gerak
halus dan personal sosial. Klinisi bersama dengan pengasuh dapat menggunakan alat/
instrument yang standar atau alat permainan untuk mendapatkan pemahaman tentang:
rentang perhatian, keterlibatan dengan orang dan objek, minat terhadap lingkungan,
kemampuan untuk memulai interaksi dan permainan, keterlibatan dalam interaksi
dan perilaku yang terarah, keterampilan memecahkan masalah, temperamen, rasa
ingin tahu, dan kemampuan untuk mengatasi frustrasi dan emosi. Hasil assesment
perkembangan biasanya berupa skor. Klinisi harus bisa mengintepretasikan hasil skor
ini kepada keluarga dan mencegah konsekwensi negatif misalnya stigmatisasi anak
dengan skor suboptimal.
10. Assessment perkembangan anak harus dihubungkan dengan intervensi yang akan
dilakukan. Klinisi harus mengidentifikasi intervensi/tindakan apa saja yang telah
keluarga lakukan. Klinisi bersama dengan keluarga harus mengidentifikasi intervensi
apa yang akan dilakukan dan apakah intervesi tersebut tersedia dan bila memungkikan
mencari alternative intervensi yang tersedia.
Metode untuk menilai perkembangan anak dapat mencakup: (A) penilaian langsung
terhadap aktivitas terstandardisasi oleh petugas terlatih di lingkungan klinis, (B) pelaporan
/ penyelesaian kuesioner tentang kemampuan anak oleh orang tua atau guru dan (C) tidak
terstruktur dengan melakukan observasi di lingkungan yang akrab bagi anak (misalnya

377
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
rumah / sekolah). Pengujian langsung di lingkungan yang tidak biasa oleh orang dewasa
yang tidak dikenal dapat membatasi keterlibatan dan partisipasi anak dalam penilaian.
Pelaporan orang tua, di sisi lain, mungkin terpengaruh oleh bias ingat. Pengamatan yang
tidak terstruktur menjadi sulit untuk direproduksi dan ditafsirkan. Sehingga assessment
perkembangan yang ideal mencakup ketiga metode tersebut 7.
Penilaian perkembangan paling baik dilakukan secara transdisiplin, yakni satu
klinisi bertanggung jawab terhadap anak dan keluarga dan berkonsultasi dengan disiplin
lainnya secara tertulis. Pendekatan ini lebih sesuai dan nyaman bagi anak dan keluarga
dibandingkan pendekatan multidisiplin dimana anak dan keluarga harus berkonsultasi
dengan beberapa ahli.

Instrument assessment perkembangan pada masa bayi


a. General Movements:
Penilaian general movements (GMs) berdasarkan observasi pola gerakan spontan
dari rekaman video, yang terdiri dari 2 periode yaitu writhing movement yang
muncul sampai usia koreksi 6- 9 minggu dan berubah menjadi fidgety movements
yang muncul sampai usia koreksi 15 sd 20 minggu. Systematic review yang dilakukan
oleh Craciunolu O (2016) yang menilai predictive validity beberapa instruments
neurobehavioral assessment pada bayi prematur yang dilakukan sebelum usia aterm
menyimpulkan GMs dapat memprediksi luaran neurodevelopment jangka panjang 8.
GMs dapat memprediksi kejadian cerebral palsy (CP) pada bayi prematur dengan
NPV dan PPV sampai 100%9. Selain itu abnormalitas GMs pada bayi prematur juga
bisa memprediksi terjadinya gangguan fungsi kognitif sampai setidaknya usia 10
tahun. Review yang dilakukan Einspieler C, et al (2016) menyimpulkan anak yang
lahir prematur dengan GMs abnormal sampai usia koreksi 8 minggu mempunyai IQ
yang lebih rendah dibandingkan dengan anak dengan GM normal, GMs pada usia
koreksi 3 sd 5 bulan memprediksi IQ pada usia 7 sd 10 tahun dan anak prematur
dengan GM normal pada bulan pertama usia koreksi dapat memprediksi IQ yang
normal paling tidak sampai usia 10 tahun 10. Keterbatasan pemeriksaan GMs adalah
dibutuhkan waktu dan ahli yang sudah terbiasa melakukan pemeriksaan ini

b. Hammersmith Infant Neurological Examination (HINE)


Suatu metode assessment dengan menggunakan prinsip yang serupa dengan pemeriksaan
neuologi Dubowitz. Pemeriksaan HINE dapat dilakukan pada bayi usia 2-24 bulan.
Pemeriksaan HINE terdiri dari 26 item yang menilai beberapa aspek neurologi yaitu
fungsi saraf kranial, postur, gerakan, tonus dan reflek, diskripsi perkembangan gerak,
dan diskripsi perilaku bayi selama pemeriksaan. Hasil pemeriksaan HINE berupa
nilai skor yang merupakan penjumlahan skor dari 26 item. Masing masing item
mempunyai skor 0 sampai 3, sehingga jumlah maksimal skor global adalah 78. Skor
global dianggap optimal bila > 73 pada bayi usia 9 sd 12 bulan, > 70 pada usia 6
bulan dan > 67 pada usia 3 bulan. Nilai skor global lebih rendah pada bayi yang

378 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


lebih muda karena rendahnya nilai skor yang berhubungan dengan trunk control pada
usia yang lebih muda11. Hasil pemeriksaan HINE bisa mengidentifikasi bayi-bayi
yang membutuhkan intervensi. Pemeriksaan HINE sederhana, mudah dan dapat
dikerjakan oleh semua klinis, membutuhkan waktu 5 sd 10 menit dan mempunyai
Inter observer reliability yang baik, bahkan pada klinisi yang belum berpengalaman.
Penelitian yang dilakukan di klinik follow up bayi risiko tinggi di Columbus (2016)
menunjukkan bahwa HINE dapat diimplementasikan dengan melakukan pelatihan
yang terstandarisasi12. Pelatihan tersebut terdiri dari beberapa sesi yaitu: pre-course
workshop test (30 menit), kuliah teori mengenai HINE (30 menit), review mengenai
cara pemeriksaan dan skoring 26 item (45 menit), peragaan HINE bersamaaan
dengan video (15 menit per pasien), review pemeriksaan HINE dengan video 20
menit per patien, HINE video test (30 menit). Video mengenai cara pemeriksaan
dan skoring bisa dilihat di http://dx.doi.org/10.1016/j.pediatrneurol.2016.09.010).
Review yang dilakukan oleh Romeo DM et.al (2015) menyimpulkan peran
penting HINE dalam diagnosis dan prognosis palsi cerebral 13. Hal ini dikuatkan
dalam International Conference on Cerebral Palsy and Other Childhood-Onset
Disabilities di Stockholm pada June 2016. Dalam konferensi itu dinyatakan bahwa
HINE merupakan pemeriksaan neurologis pada awal kehidupan yang paling mampu
memprediksi terjadinya palsi serebral. Konferensi merekomendasikan penggunaan
HINE pada tahun pertama kehidupan jika assessment GMs tidak dapat dilakukan
pada usia 3 sampai 4 bulan untuk mendeteksi dini kejadian palsi serebral.14

c. Test of Infant Motor Performance (TIMP)


TIMP merupakan instrumen untuk menilai perkembangan neurobehavioral pada
bayi mulai usia gestasi 32 minggu sampai 4 bulan usia koreksi. Penilaian TIMP terdiri
dari 42 item dan dilakukan dengan melakukan observasi pada bayi yang meliputi
orientasi kepala, respon terhadap stimulasi suara dan visual, gerak kaki dan posisi
tubuh. Beberapa item TIMP merefleksikan praktik perawatan oleh orang tua, sehingga
sangat relevan untuk klinisi dan orang tua. Pemeriksaan TIMP membutuhkan
waktu sekitar 20-40 menit. Review yang dilakukan oleh Noble Y, et al (2011)15
menyimpulkan bahwa TMIP merupakan metode assessment neurobehavioral yang
mempunyai validitas dan relaibilitas yang baik, bisa dilakukan di setting klinik,
pemeriksa tidak membutuhkan training khusus, cukup dengan mempelajari melalui
VCD. Pemeriksaan direkomendasikan dilakukan oleh klinisi yang terbiasa merawat
bayi.

d. Bayley Scales of Infant and Toddler Development (BSID)


BSID merupakan instrument assessment perkembangan bayi yang paling banyak
digunakan di dunia. Saat ini telah tersedia BSID versi 3 yang merupakan revisi dari
BSID 2. BSID 3 menilai aspek perkembangan bahasa, kognitif, sosial-emosi, gerak
dan perilaku adaptif (laporan pengasuh). BSID bisa dikerjakan pada bayi usia 2-42
bulan, tetapi BSID lebih akurat dan reliable bila dikerjakan pada bayi diatas usia 6

379
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
bulan16. BSID telah tervalidasi dan mempunyai korelasi kuat terhadap pencapaian
kemampuan akademik di kemudian hari. Pemeriksaan BSID harus dilakukan oleh
klinisi yang terlatih, dan membutuhkan waktu pemeriksaan sekitar 1 jam sehingga
biaya pemeriksaan cukup mahal.

Penutup
Bayi-bayi yang lahir prematur atau yang membutuhkan perawatan NICU mempunyai
risiko yang lebih tinggi untuk mengalami gangguan neurodevelopment. Intervensi dini
pada bayi risiko tinggi terbukti memperbaiki luaran perkembangan jangka panjang. Oleh
karena itu, diperlukan deteksi dini dan assessment perkembangan untuk menentukan
apakah bayi membutuhkan intervensi dini. Assessment perkembangan harus bersifat
komprehensif, menilai seluruh aspek perkembangan, kesehatan fisik, pertumbuhan dan
lingkungan anak. Selain itu, assessment perkembangan harus bersifat family-centered care.
Beberapa instrument assessment perkembangan pada masa bayi yang dapat memprediksi
luaran neurodevelopment jangka panjang adalah GMs (dikerjakan pada bayi sampai usia
20 minggu), HINE (pada bayi 2-24 bulan), TIMP (sampai usia 4 bulan), dan BSID
(sampai usia 42 bulan).

Daftar pustaka
1. Doyle et al. BMC Pediatrics 2014, 14:279 diakses pada 12 Juni 2017 di http://www.biomed-
central.com/1471-2431/14/279
2. Oskoui, M., Coutinho, F., Dykeman, J., Jette ́n, N., & Pringsheim, T. (2013). An update
on the prevalence of cerebral palsy: A systematic review and meta-analysis. Developmental
Medicine & Child Neurology, 55, 509–519
3. Spittle A, Orton J, Anderson PJ, Boyd R, Doyle LW. Cochrane Database Syst Rev. 2015 Nov
24;(11):CD005495. doi: 10.1002/14651858.CD005495.pub4
4. Council on Children With Disabilities, AAP. Identifying infant and young children with
developmental disordees in the medical home: an algoritme for developmental surveillance
and screening. Paediatric. 2006118: 405
5. Sabanathan S, Wills B, Gladstone M. Arch Dis Child Published Online First: [please include
Day Month Year] doi:10.1136/ archdischild-2014-308114
6. WHO. Developmental difficulties in early childhood: Prevention, early identification, as-
sessment and intervention in low-and middle –income countries: a review 2012. Cited 2
Mei 2014 didapat dari http://www.who.int/maternal_child_adolescent/documents/develop-
ment_difficulties_early_childhood/en/
7. Fernald LC, Kariger P, Engle P, Raikes A. Examining Early Child development in Low-In-
come Countries. A Toolkit for the assessment of development in the First five years of life.
The World Bank. 2009
8. Craciunolu O, Holsti L. A systematic Review of the Predictive of neurobehavioral assessment
during the preterm period. Phys Occup Ther Pediatr. 2017 Aug;37(3):292-307

380 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


9. Darsaklis, V., Snider, L.M., Majnemer, A. & Mazer, B. 2011, “Predictive validity of Prechtl’s
Method on the Qualitative Assessment of General Movements: a systematic review of the
evidence”, Developmental medicine and child neurology, vol. 53, no. 10, pp. 896-906
10. Einspieler C, Bos AF, Libertus ME and Marschik PB (2016) The General Movement Assessment
Helps Us to Identify Preterm Infants at Risk for Cognitive Dysfunction. Front. Psychol. 7:406. doi:
10.3389/fpsyg.2016.00406
11. Haataja L, Cowan F, Mercuri E, Bassi L, Guzzetta A, Dubowitz L. Application of a scorable
neurologic exam- ination in healthy term infants aged 3 to 8 months. J Pediatr 2003; 143:
546
12. Maitre NL1, Chorna O2, Romeo DM3, Guzzetta A4. Implementation of the Hammersmith
Infant Neurological Examination in a High-Risk Infant Follow-Up
13. Romeo DM1, Ricci D1, Brogna C1, Mercuri E1. Use of the Hammersmith Infant Neuro-
logical Examination in infants with cerebral palsy: a critical review of the literature. Dev Med
Child Neurol. 2016 Mar;58(3):240-5. doi: 10.1111/dmcn.12876. Epub 2015 Aug 25
14. International Conference on Cerebral Palsy and Other Childhood- onset Disabilities 2016.
Available at: http://eacd2016.org/2016. Accessed January 8, 2016
15. Noble Y, Boys R. Neonatal assessment for the preterm infant up to 4 months corrected age:
a systematic review. Developmetal& Child Neurology. 2012,54:129-139
16. Albers, C. A., & Grieve, A. J. (2007). Test Review: Bayley, N. (2006). Bayley Scales of Infant
and Toddler Development- Third Edition. San Antonio, TX: Harcourt Assessment. Journal
of Psychoeducational Assessment, 25(2), 180-190

381
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Psychosocial Approach to Adolescent with
Chronic Disease
Meita Dhamayanti
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran / RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung

Abstract
Despite the availability of excellent biomedical treatment for most common chronic diseases, optimal
management of illness in adolescents is not limited to biomedical prescription alone. Developmental,
psychosocial, and family factors all feature prominently in the on-going care of adolescents with chronic
disease. Chronic condition, by definition, have no cure and, therefore, must be endured and managed
on daily basis. Having such a condition is a continuing source of stress for the adolescent and his or her
family and can contribute to maladaptive coping and dysfunction. Helping adolescents manage the
chronic illness well and reach their full developmental potential can be very rewarding for clinician.

M
asa remaja merupakan masa yang penuh gejolak. Pada masa ini mood (suasana
hati) bisa berubah dengan sangat cepat. Perubahan mood (swing) yang drastis
pada para remaja ini seringkali disebabkan oleh beban pekerjaan rumah,
pekerjaan sekolah, atau kegiatan sehari-hari di rumah. Meski mood remaja mudah
berubah-ubah dengan cepat, hal tersebut belum tentu merupakan gejala atau masalah
psikologis. Dalam hal kesadaran diri, para remaja mengalami perubahan yang dramatis
dalam kesadaran diri mereka (self-awareness).1-3
Faktor biologis yang sangat mempengaruhi tumbuh kembang remaja adalah penyakit
kronis. Kondisi penyakit kronis dapat memengaruhi perkembangan fisis, kognitif, sosial
dan emosional pada remaja. Hal ini akan menyebabkan terjadinya penurunan kualitas
hidup remaja.4 Seiring kemajuan teknologi kedokteran dalam beberapa dekade terakhir,
prevalensi remaja dengan penyakit kronis meningkat dramatis. Banyak anak dengan
kondisi penyakit kronis, misalnya penyakit jantung bawaan, asma, keganasan, atau gagal
ginjal dapat bertahan hidup dan mencapai masa remaja.3-5
Untuk mendapatkan tumbuh kembang anak yang optimal sampai mencapai usia
dewasa bukanlah hal yang mudah. Pada remaja dengan kondisi kesehatan kronis dapat
terjadi gangguan dalam tumbuh kembangnya. Mereka dapat mengalami keterlambatan
dalam perkembangan fisis, kognitif, komunikasi, motorik, adaptif, atau sosialisasi
dibandingkan dengan anak yang normal, termasuk didalamnya timbulnya perilaku risiko
tinggi yang “khas” pada remaja seperti emosi yang meledak-ledak, sikap menentang dan
cenderung nekat, serta penyalahgunaan NAPZA.1

382 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Kondisi kesehatan kronis
Menurut American Academy of Pediatrics (1993), kondisi kesehatan kronis adalah penyakit
atau cacat yang diderita dalam waktu lama dan memerlukan perhatian dalam bidang
kesehatan dan perawatan khusus dibandingkan dengan anak normal seusianya, baik
dalam perawatan di rumah sakit, maupun perawatan kesehatan di rumah.5-7
Stein dkk mengembangkan suatu pendekatan non-kategori untuk menentukan
kondisi penyakit kronis yang terdiri dari 3 konsep yang harus terpenuhi 8
•• Kelainan yang merupakan penyakit biologis, psikososial, atau kognitif.
•• Durasi penyakit > 12 bulan.
•• Konsekuensi dari kelainan tersebut menyebabkan:
–– Keterbatasan fungsional dibandingkan kelompok sehat yang seumur.
–– Bergantung pada jenis pelayanan yang dibutuhkan misalnya medikasi atau
pengobatan, diet khusus, teknologi medis, alat bantu, atau bantuan personal.
–– Membutuhkan perawatan medis atau sejenisnya, misalnya pelayanan psikologis
atau pendidikan lebih dari yang biasa seusianya.

Penyakit yang sering menimbulkan kondisi kronis pada remaja di Amerika Serikat
dapat dilihat pada tabel 1 di bawah ini:2,3

Tabel 1. Prevalensi beberapa kondisi kronis pada remaja usia 10-17 tahun di Amerika Serikat
Jumlah kasus
Kondisi
per 1000 Remaja
Kecacatan
Kecacatan muskuloskeletal 20.9
Gangguan bicara 18.9
Ketulian dan gangguan pendengaran 17.0
Ketulian dan gangguan pendengaran 16.0
Penyakit
Asma 46.8
Penyakit jantung 17.4
Artritis 8.7
Epilepsi 3.3
Diabetes melitus 1.5
Penyakit sickle cell 0.9
Sumber: Stein RE8

Perkembangan psikososial remaja


Perkembangan psikososial adalah proses pematangan emosi-sosial remaja dengan cara
berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, yang didorong oleh kebutuhan internal yang
disadari dan tidak disadari. Pada mulanya dorongan tersebut terutama berupa kebutuhan
kepuasan biologis. Setelah kemampuan anak makin berkembang dan interaksi sosial

383
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Tabel 2. Karakteristik remaja dini, menengah dan akhir
Karakteristik Remaja Dini Remaja Menengah Remaja Akhir
Pertanyaan “Apakah saya normal?” “ Siapakah saya?” “Kemanakah saya seharusnya?”
Sentral “ Di mana saya seharusnya
berada?”
Rentang Usia • mulai usia 11 dan 13 tahun • mulai usia 14–15 tahun Usia 17–21tahun;
Ada variabel atas, tergantung
kultur, ekonomi dan edukasi.
Pertumbuhan • Karakteristik seks sekunder • Tanda seks sekunder semakin • Maturasi fisik
mulai muncul berkembang • Pertumbuhan reproduksi
• Dalam kecepatan puncak • Pertumbuhan mencapai 95% hampir tuntas
dari pertumbuhan dari tinggi dewasa
Kognitif • Pemikiran konkret • Cepat mencari kompetensi • Mampu berpikir abstrak
• Orientasi eksistensi diri berpikir abstrak • Berorientasi masa depan
• Belum dapat memperkirakan • Mampu mempertimbangkan • Mampu menganalisis pilihan
dampak jangka panjang atas dampak masa depan atas tinda- masa depan
keputusan dan tindakannya kan saat ini
Bisa berubah menjadi tindakan
dalam stres
Psikologi Preokupasi oleh penampilan Penyesuaian pencitraan tubuh saat Pemahaman emansipasi
dan perubahan fisik pertumbuhan melambat dan stabil • Fungsi intelektual dan identitas
Terganggu dengan citra tubuh Preokupasi antara fantasi dan ideal- sudah mapan
Panggul melebar isme dalam perluasan kognitif Dapat menderita krisis usia 21
Rambut dan kulit berminyak dalam menghadapi fungsi oto-
Jerawat nomi sosial
Rambut ketiak
Perubahan nafsu makan
Keluarga • Mendefinisikan ikatan • Terjadi konflik besar dengan • Transposisi dari ketergantungan
ketergantungan dan tanpa otorisasi orang tua seorang anak menjadi dewasa
ketergantungan dengan • Berjuang untuk emansipasi
keluarga
• Tidak ada konflik besar
dengan orangtua
Rekan Sebaya • Mencari situasi dengan • Keinginan kuat untuk identifikasi • Menurunnya kepentingan
sebaya untuk mengatasi rasa untuk memastikan pencitraan sahabat karib
instabilitas akibat perubahan diri
yang cepat • Mencari kelompok sebaya untuk
• Membandingkan konsep mendefinisikan perilaku selama
normal dirinya dengan emansipasi
teman sebaya
• Penerimaan hubungan inter-
personal dengan sebaya
Seksualitas • Eksplorasi dan evaluasi • Hubungan multipel yang ‘jamak’ • Menjalin hubungan yang stabil
• Kasih sayang yang terbatas • Aktivitas seksual menghebat • Mampu menjalin hubungan
• Kedekatan yang terbatas • Menguji kemampuan daya tarik timbal balik yang setara, tidak
seksual kepada lawan jenis sekedar orientasi narsis
• Menilai parameter maskulinitas • Membuat rencana masa depan,
dan femininitas berpikir untuk menikah dan
• Preokupasi dengan fantasi roman- membentuk keluarga sendiri
tisme • Kedekatan melibatkan komit-
men, bukan sekedar eksplorasi
seksual dan romantisme
Kompilasi dari : Fleming 19 Soeroso 20

384 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


semakin luas, dorongan tersebut berupa kebutuhan pemuasan non-biologis (id, ego dan
superego).17
Tahap pembentukan identitas diri (self image and identity) merupakan tahapan
psikososial remaja, ditandai dengan keinginan untuk bebas berpikir dan berbuat sesuai
opininya, bebas dari batasan, tetapi masih tergantung orangtua. Jika seorang remaja
mendapat sarana yang memadai dan bimbingan untuk menyatakan pendapat maka ia
akan mengenali potensi kemampuan, sifat-sifat, dan kedudukannya di keluarga, sekolah
dan masyarakat. Namun, jika hal tersebut tidak terpenuhi, dapat timbul berbagai perilaku
yang menyimpang. Remaja mulai melihat adanya kenyataan lain dari yang selama ini
diketahuinya. Kemampuan berpikir dalam dimensi moral (moral reasoning) remaja
berkembang seiring daya observasi akan kejanggalan dan ketidakseimbangan antara nilai
yang telah ditanam dengan kenyataan yang dilihat, dilanjutkan dengan rekonstruksi ulang
pola pikir sesuai hal baru tersebut. Perubahan ini mendasari sikap “pemberontakan” remaja
terhadap regulasi yang berlaku.17 Karakteristik remaja berdasar periode dini, menengah,
dan akhir disajikan pada tabel 2.

Perkembangan mental emosional remaja dengan penyakit


khronis
Pada periode remaja awal terjadi percepatan pertumbuhan dan perkembangan pubertas,
sedangkan remaja pertengahan dan akhir percepatan terjadi pada perkembangan
psikososial dan kognitif.
Interaksi dua arah antara penyakit kronis dengan perkembangan mental emosianal
sangat kompleks pada remaja. Penyakit kronis dapat memengaruhi perkembangan mental
emosional, seperti penyakit sickle cell atau fibrosis kistik, dapat menyebabkan keterlambatan
masa pubertas. Di sisi lain perkembangan mental emosional remaja memengaruhi kelainan
kronis, seperti diabetes melitus, asma, dan gangguan ginjal menjadi cenderung meningkat
kejadiannya.
Ketergantungan, hubungan keluarga dan teman serta lingkungan sangat
mempengaruhi kondisi remaja dengan penyakit kronis. Enam puluh penelitian
menunjukkan depresi meningkat pada remaja dengan penyakit kronis, dan lebih dari
100 remaja setelah dilakukan transplantasi organ mengalami post-traumatic stress disorder
(PTSD).
Faktor risiko dan faktor protektif yang berkaitan dengan interaksi mental emosional
dan penyakit kronis pada remaja, yaitu;

Faktor risiko:
•• Laki-laki
•• Riwayat gangguan mental emosional pada orangtuanya
•• Keluarga tidak harmonis

385
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
•• Status sosio-ekonomi rendah

Faktor Protektif
•• Temperamen positif
•• Kecerdasan di atas rata-rata
•• Dukungan yang kuat dari salah satu atau kedua orangtua
•• Kerekatan hubungan keluarga
•• Suasana kedisiplinan/keteraturan
Berbagai sikap remaja dalam menghadapi penyakit kronis yang dideritanya, antara
lain menerima, menolak, regresi, proyeksi, melakukan kompensasi, meningkatkan
kecerdasan, dsb.
Pada periode remaja sering muncul perilaku untuk melakukan banyak hal, termasuk
hal-hal berisiko. Periode ini jika terjadi pada penderita dengan penyakit kronis yang
mengalami masalah mental dan emosional akan meningkatkan dampak buruk. Sebagai
contoh, pasien remaja dengan asma yang mencoba menghilangkan depresi dengan cara
merokok akan memiliki risiko terjadinya eksaserbasi asma lebih tinggi. Pada beberapa
penyakit, perilaku berisiko yang dilakukan oleh remaja dapat memengaruhi pertumbuhan
atau perkembangannya. Remaja dengan penyakit kronis sering melakukan perilaku yang
berisiko (risk taking behaviour) dalam seksualitas (pergaulan seks bebas, gangguan perilaku
seksual, infeksi menular seksual), dan penyalahgunaan NAPZA yang berdampak pada
masalah-masalah lain.
Kestabilan mental dan emosional akan memengaruhi kesehatan dan penyakit kronis
pada penderita. Keadaan mental dan emosional yang baik akan memperbaiki prognosis
pasien. Oleh karena itu, penanganan pasien dengan penyakit kronis tidak semata-mata
untuk memberi obat untuk mengontrol penyakit kronisnya, tetapi juga untuk menangani
masalah mental dan emosional pasien. Penanganan harus dilakukan secara holistik.

Tata laksana penyakit kronis pada remaja


Selain perawatan medis yang optimal, pada penanganan remaja dengan penyakit kronis
perlu diperhatikan masalah mental, dukungan keluarga dan pemantauan secara terus
menerus. Pemberian obat-obatan saja tidak cukup karena remaja perlu kerjasama dengan
tenaga medis, perlu diberi pemahan tentang kepatuhan dalam pengobatan. Beberapa hal
yang dapat dilakukan antara lain:
1. Berikan penjelasan langsung kepada remaja tentang penyakit yang diderita dan cara
pengobatan, didampingi oleh orangtua/keluarga, secara jelas dengan bahasa yang
mudah dipahami. Apabila remaja mengetahui penyakit pada usia muda sesuai dengan
perkembangan usia, pemahaman dan penerimaan tentang penyakitnya akan berubah
pula.

386 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


2. Responsif terhadap perasaan remaja; berikan waktu remaja dan keluarganya untuk
mencurahkan perasaan ketakutan dan kekuatiran terhadap penyakit yang dideritanya.
3. Melibatkan keluarga untuk memberi dukungan dan tuntunan; berikan pemahaman
tentang kemandirian dan keinginan untuk tidak tergantung pada orang lain, hindari
sikap overprotection, overanxiety, overattention.
4. Melibatkan penuh remaja penderita penyakit kronis akan memberi kesempatan
kemajuan penyakitnya.
5. Menangani secara multidisiplin antara lain: dokter, psikolog, pekerja sosial, perawat,
dan terapi okupasi.
6. Perawatan secara terus menerus dan berkelanjutan; umumnya remaja dengan penyakit
kronis memerlukan hubungan yang erat dan lama dengan dokter yang merawatnya.
7. Menyediakan layanan rawat jalan yang komprehensif terpadu antara dokter, psikolog,
pekerja sosial, dsb. Hal ini memang membutuhkan dukungan dana yang lebih besar,
tetapi akan menurunkan angka rawat inap.
8. Mengajak ikut serta dalam kelompok penyandang penyakit kronis, sehingga remaja
dapat berbagi pengalaman dan wawasan tentang penyakitnya.
9. Memberi pelatihan pertolongan diri sendiri, seperti latihan kognitif (cognitive behavior
therapy) untuk mengelola stress, rasa takut, rasa nyeri, contohnya latihan relaksasi,
hypnosis, dsb
10. Bentuk layanan yang lebih sederhana diperlukan apabila didapatkan masalah tingkat
kepatuhan dan kepribadian.
11. Rawat inap merupakan upaya terakhir apabila remaja sangat membutuhkan dukungan
medis maupun psikososial.
Penatalaksanaan masalah mental dan emosional remaja dengan penyakit kronis harus
dilakukan secara holistik. Terdapat lima prinsip dalam penatalaksanaan masalah mental
dan emosional pada remaja dengan penyakit kronis, yaitu23:
•• Fokus terhadap masyarakat lingkungan sekitarnya dengan mempertimbangkan pasien
dan keluarga pasien
•• Kolaborasi multidisiplin
•• Menciptakan lingkungan yang mendukung dan membangun keterampilan
•• Penyesuaian dengan lingkungan pasien
•• Keseimbangan antara masalah mental dan emosional penderita dengan kesehatan
mental yang positif (positive mental health)
Berdasarkan model yang disarankan oleh Public Health Approach to Children’s Mental
Health, ada tiga tahapan yang harus dilakukan ketika menghadapi remaja dengan penyakit
kronis disertai masalah mental dan emosional, yaitu24:

387
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
1. Assessing
Mengumpulkan dan menganalisis data untuk menentukan intervensi yang dapat
diberikan. Dalam mengumpulkan informasi dari pasien dibutuhkan keterampilan
tanya jawab yang bagus. Keterampilan komunikasi dengan remaja berbeda dengan
anak-anak, disampaikan harapan, keinginan dan ekspektasi agar memperoleh data
yang akurat. Pemeriksaan fisik harus dilakukan dengan mempertimbangkan privasi
remaja.

2. Intervening
Penatalaksanaan masalah mental dan emosional, diberikan dalam 4 bentuk:
a. Promoting
Memberi pengetahuan kepada masyarakat mengenai penyakit kronis yang dialami
oleh pasien. Kegiatan berupa edukasi masyarakat, dan meningkatkan aktivitas
fisik di luar kegiatan sekolah. Peningkatan aktivitas fisik harian disekolah dapat
memperbaiki fungsi kesehatan mental dan berkontribusi positif menurunkan
perilaku berisiko.
b. Prevention
Mengidentifikasi adanya masalah mental dan emosional pada pasien dengan
penyakit kronis dengan deteksi dini, penilaian dan mengikuti perkembangan
pasien. Pada pasien remaja dengan berat badan berlebihan sering dijadikan bahan
candaan dilingkungan sosialnya. Keadaan ini dapat menimbulkan masalah mental
bagi pasien tersebut, sehingga perlu dilakukan deteksi dini untuk mengetahui
munculnya masalah mental dan emosional serta mengedukasi khusus lingkungan
sekolah atau teman bermain untuk mencegah bullying pada pasien dengan
penyakit kronis.
c. Treating
Menurunkan dampak masalah kesehatan mental dan emosional, seperti terapi
dan dukungan dari kelompok, penilaian secara terpadu, layanan diagnostik dan
melakukan rujukan, pemberian obat jika ada indikasi. Bagi pasien yang telah
diketahui masalah kesehatan, penatalaksanaannya dapat memodifikasi aktivitas
sekolah dan program nutrisi.
d. Re/Claiming
Optimalisasi tatalaksana promosi, prevensi dan penanganan. Tahap ini ditujukan
untuk menciptakan dukungan kesehatan dan perilaku positif pada pasien
yang sudah tegak status kesehatan mental dan emosionalnya. Dukungan antar
sesama anggota kelompok, layanan masyarakat dan program aktivitas fisik yang
disesuaikan dengan penyakit pasien.

3. Ensuring
Memastikan kualitas, akses dan dukungan yang diberikan terhadap pasien sesuai
dengan yang diharapkan.

388 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Penutup
Remaja dengan kondisi kesehatan kronik perlu mendapat perhatian khusus karena
kondisinya berbeda dengan remaja yang normal. Remaja ini dapat mengalami gangguan
pada setiap sektor tumbuh kembangnya, oleh karena itu diperlukan pelayanan yang
bertujuan mengoptimalkan kemampuan fungsional anak, kesehatan yang terkait
dengan kualitas hidupnya. Dokter anak harus dapat menangani penderita baik secara
medis maupun sebagai motivator dalam semua aspek kehidupan secara komprehensif.
Diperlukan kerja sama dari berbagai multidisiplin dalam mengatasi hal ini, sehingga
keadaan-keadaan yang dialami oleh remaja dengan kondisi penyakit kronis tersebut dapat
dilewati dengan baik.

Daftar pustaka
1. Dhamayanti M. Overview Adolescent Health Problems And Services. Sinas Remaja II. Ja-
karta. 2009.
2. Sawyer SM AR, Bearinger LH, Blakemore S-J, Dick B, Ezeh AC, dkk. Adolescence: a foun-
dation for future health. Lancet. 2012;379:1630-40.
3. Sawyer SM, Afifi RA, Bearinger LH, Blakemore S-J, Dick B, Ezeh AC, et al. Adolescence: a
foundation for future health. Lancet. 2012;379:1630–40
4. Wiguna T. Masalah Kesehatan Mental Remaja di Era Globalisasi. Sinas Remaja II. Jakarta.
2009.
5. Yeo M, Sawyer S. Chronic illness and disability. BMJ. 2005;330:721-3.
6. Suris JC, Michaud PA, Viner R. The adolescent with a chronic condition: developmental
issues. Arch Dis Child. 2004;89:938-42.
7. Michaud PA, Suris JC, Viner R. The adolescent with a chronic condition: healthcare provi-
sion. Arch Dis Child. 2004;89:943-9.
8. Stein RE, Westbrook LE, Bauman LJ, Pless B. The questionnaire for identifying children with
chronic conditions: a measure based on a noncategorical approach. Pediatrics. 1997;99:513-
20.
9. Shannon KE, Beauchaine TP, Brenner SB, Neuhaus E, Gatzke L.Familial and temperamental
predictors of resilience in children at risk for conduct disorder and depression. Development
and psychopathology.2007;19:701–727.
10. Silk JS, Vanderbilt-Adriance AE,Shaw DS,Forbes EE,Whalen AD,Ryan ND, et al. Dahlare-
silience among children and adolescents at Risk for depression: Mediation and moderation
Across social and neurobiological contexts. Development and Psychopathology.2007;19:
841–865.
11. Bauman LJ, Drotar D, Leventhal JM, Perrin EC. A review of psychosocial interventions for
children with chronic health condition. Pediatrics. 1997;100:244-51
12. Soetjiningsih. Kondisi kesehatan kronik pada remaja. Dalam: Soetjiningsih, penyunting.
Tumbuh kembang remaja dan permasalahannya. Jakarta: Sagung Seto ;2004. h.177-89.
13. Suris JC, Michaud PA, Akre C, Sawyer SM. Health risk behaviors in adolescents with chronic
conditions. Pediatrics. 2008;122:1113-7.

389
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
14. Perrin EC, Newacheck P, Pless B, Drotar D, Gortmaker SL, Leventhal JM, et al. Is-
sues involved in the definition and classification of health chronic conditions. Pediatrics.
1993;189:787-93.
15. Ziring PR, Bradziunas D, Gonzales L. General principles in the care of children and adoles-
cents with genetic disorders and other chronic health conditions. Pediatrics. 1997;99:643-4.
16. Coupey SM. Chronic illness in the adolescent. Dalam: Neinstein LS, penyunting. Adolescent
health care. Edisi ke-5. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2008. h. 1056-66.
17. Meuleners L. Quality of life for adolescent. Curtin University of Technology. 2001. h.10-45.
Suris JC, Michaud PA, Viner R. The adolescent with a chronic condition: developmental
issues. Arch Dis Child. 2004;89:938-42.
18. Michaud PA, Suris JC, Viner R. The adolescent with a chronic condition: healthcare provi-
sion. Arch Dis Child. 2004;89:943-9.
19. Michaud PA, Suris JC, Viner R. The adolescent with a chronic condition; epidemiology,
developemental issues, and health care provision. World Health Organization 2007.h. 1- 52.
20. McInnes RA. Chronic illness and sexuality. MJA. 2003;179: 263-266.
21. Pinzon J. Care of adolescents with chronic conditions. Paediatr Child Health 2006;11: 43-
48.
22. Eiser C. Effects of chronic ilness on children and their families. Advances in Psychiatric
Treatment 1997;3:204-210.
23. Chiang Rachelle Johnson, Barbour I, Greene A, Hansen M, Hughes K, Jeter S et al. Integrat-
ing Mental Health into Chronic Disease Prevention Strategies for Youth: An Opportunity
for Change.NACDD
24. Neinstein Lawrence S. The treatment of adolescent with a chronic illness. West J Med.
2001;175:293-295

390 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Recent Advances in the Pediatric Interventional
Cardiology: Where are We Now?
Mulyadi M. Djer
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta

Abstract
Congenital heart disease (CHD) is a most common congenital anomaly in children. Its incidence is
about 8-10 in every 1000 live births. In Indonesia with population of 254.9 million and birth rates of
2.3%, every year there are 50.000 baby born with CHD. Early diagnosis is important to give proper
management as well as education to their parents. Management of CHD consists of medical treatment,
surgery, cardiac intervention or hybrid intervention. Cardiac intervention is now being a current
treatment of certain CHD.

P
enyakit jantung bawaan (PJB) merupakan kelainan kongenital yang paling sering
ditemukan pada bayi dan anak dan merupakan sepertiga dari seluruh kelainan
kongenital. Angka kejadian PJB adalah satu setiap 1.000 kelahiran hidup.1 Di
Indonesia dengan jumlah penduduk 254,9 juta dengan angka kelahiran 2,3%, maka setiap
tahun akan lahir 50.000 bayi dengan PJB.2 Rumah sakit yang dianggap memadai untuk
melakukan operasi atau intervensi jantung dengan volume kerja 900-1200 pasien setiap
tahun di Indonesia hanya ada dua, yaitu RS Dr. Cipto Mangunkusumo dan Pusat Jantung
Nasional Harapan Kita, keduanya terletak di Jakarta. Di beberapa rumah sakit di daerah
juga melakukan tindakan operasi dengan volume yang kecil. Dengan fasilitas di atas,
cakupan layanan jantung yang memadai di negara kita tidak lebih dari 10 persen. Angka
cakupan ini jika dibandingkan dengan angka cakupan beberapa negara di ASEAN seperti
Singapura, Malaysia, Vietnam, Thailand termasuk terendah. Dengan diberlakukannya
Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) jumlah pasien yang dilayani semakin
merata. Namun kapasitas layanan masih merupakan hal yang belum dapat dipecahkan
hingga saat ini.2
Dalam dua dekade terakhir, terjadi perkembangan yang pesat dalam tata laksana
PJB.3-5 Sebelum kardiologi intervensi berkembang, operasi merupakan satu-satunya
pilihan untuk menangani PJB. Selama ini operasi merupakan tata laksana PJB yang
dianggap efektif.6 Hanya saja tindakan operasi termasuk invasif karena pasien harus
menggunakan mesin jantung-paru untuk mengambil alih fungsi jantung selama operasi.
Pasca-bedah pasien harus dirawat di ruang rawat ICU pasca-bedah jantung. Kardiologi
intervensi sama efektifnya dengan tindakan operasi, namun intervensi relatif kurang
invasif, karena tidak memerlukan by-pass dan pasien tidak memerlukan perawatan ICU.

391
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Dengan adanya keterbatasan fasilitas bedah jantung dan kelangkaan ICU pasca-bedah
jantung di negara kita, pengembangan kardiologi intervensi merupakan salah satu jalan
keluar untuk meningkatkan cakupan layanan PJB.2
Makalah ini membahas perkembangan terkini kardiologi intervensi pediatrik
khususnya di Indonesia.

Klasifikasi penyakit jantung bawaan


Secara garis besar PJB dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu PJB non-sianotik dan
PJB sianotik. Secara patogenesis, non-sianotik dan sianotik ditentukan oleh arah pirau.
Pada PJB non-sianotik, arah pirau dari kiri ke kanan sehingga darah yang dipompakan ke
aorta tetap mengandung saturasi oksigen yang tinggi. Pada PJB sianotik, arah pirau dari
kanan ke kiri sehingga darah yang dipompakan ke aorta mengandung saturasi oksigen
yang rendah. PJB sianotik umumnya lebih kompleks dari PJB non-sianotik.1,2
PJB non-sianotik berdasarkan aliran darah ke paru dibagi lagi menjadi dua kelompok
yaitu kelompok yang aliran darah ke paru normal dan kelompok yang aliran darah ke paru
meningkat. Kelompok yang aliran darah ke paru normal yaitu kelompok PJB yang ditandai
dengan adanya sumbatan jalan keluar ventrikel kiri atau kanan seperti stenosis pulmoner,
stenosis aorta atau koarktasio aorta. Pada kelompok ini meskipun ada penyempitan, darah
yang dipompakan ke paru tetap normal karena tidak ada jalan keluar alternatif darah
dari ventrikel kanan. Pada kelompok ini bising umumnya sudah terdengar sejak lahir.
Kelompok kedua dengan aliran darah ke paru meningkat, disebabkan karena adanya
defek atau pirau kiri ke kanan seperti defek septum ventrikel, defek septum atrium atau
duktus arteriosus persisten. Kelompok PJB nonsianotik dengan lesi pirau ini, umumnya
saat lahir belum terdengar bising yang jelas karena tahanan paru masih tinggi. Bising baru
jelas terdengar usia 2-3 bulan saat tahanan paru sudah turun. Sebagian dari kelompok PJB
non-sianotik saat ini dapat ditata laksana dengan kardiologi intervensi.
Pada PJB sianotik berdasarkan aliran darah ke paru, kelompok ini dibagi lagi ke
dalam 3 kelompok yaitu PJB sianotik dengan aliran darah ke paru normal seperti pada
transposisi arteri besar tanpa defek septum ventrikel, kelompok dengan aliran darah ke
paru meningkat seperti pada trunkus arteriosus dan kelompok dengan aliran darah ke
paru berkurang seperti pada atresia pulmoner. Kegawatan pada PJB sianotik dengan
aliran darah paru normal atau menurun adalah serangan sianotik. Umumnya sianosis
pada kelompok ini sudah tampak sejak lahir. Pada kelompok PJB sianotik dengan aliran
darah ke paru meningkat, biasanya datang dengan tanda atau gejala gagal jantung, justru
sianosis tidak begitu nyata.

Tata laksana PJB


Dalam tata laksana PJB, diagnosis dini memegang peranan penting. Diagnosis harus
ditegakkan sedini mungkin agar tata laksana dan edukasi yang tepat bisa dikerjakan. Jika

392 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


pasien tergolong PJB kritis, ia perlu intervensi segera. Jika bukan termasuk PJB kritis, tata
laksana selanjutnya tergantung keluhan (Gambar 1).2

Gambar 1. Tata laksana penyakit jantung bawaan

Tata laksana PJB meliputi pemberian obat-obatan, terapi bedah dan terapi intervensi
non-bedah. Pengobatan medikamentosa dapat berupa pengobatan awal seperti pemberian
prostaglandin atau pengobatan komplikasi PJB seperti gagal jantung, atau serangan
sianotik. Terapi bedah atau intervensi non-bedah bersifat paliatif atau sementara atau
bersifat definitif atau korektif (Gambar 1 dan 2).2

Gambar 2. Terapi terkini penyakit jantung bawaan

393
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Pilihan terapi pada penyakit jantung bawaan
Pertimbangan untuk menentukan seorang anak untuk dilakukan operasi atau intervensi
adalah pertimbangan efektivitas dan invasivitas suatu prosedur. Terapi medikamentosa
jelas hanya terapi sementara bukan untuk menangani kelainan anatomis kecuali pemberian
obat untuk menutup duktus arteriosus pada neonatus. Operasi memang cukup efektif
mengoreksi kelainan pada PJB. Namun operasi sangat invasif, pasien memerlukan by-pass
dan perawatan ICU pasca-bedah. Intervensi non-bedah relatif kurang invasif dibandingkan
operasi. Tindakan kardiologi intervensi tidak memerlukan by-pass, juga tidak memerlukan
ICU pasca-tindakan dan secara kosmetik lebih baik karena tidak ada jaringan parut bekas
operasi di dada pasien. Dari segi risiko, tindakan kardiologi intervensi relatif lebih kecil
dibandingkan dengan bedah.2
Dari segi biaya pada awal tindakan intervensi baru mulai, peralatan seperi
alat penutup dan kateter yang diperlukan masih sangat mahal sehingga dari segi biaya
kardiologi intervensi relatif lebih mahal dibandingkan prosedur operasi. Namun dengan
makin banyaknya kasus intervensi yang ditangani, harga peralatan tersebut sudah mulai
turun sehingga saat ini harga yang diperlukan untuk kardiologi intervensi menjadi lebih
murah dibandingkan dengan bedah karena lama rawat rata-rata pasca-intervensi rata-
rata 3 hari. Dengan dimulainya BPJS, semua pasien PJB sudah mulai mendapat biaya
pemeriksaan sampai pengobatan sehingga mereka sudah dapat ditangani secara merata.2

Perkembangan Kardiologi Intervensi


Kardiologi intervensi di Indonesia dimulai pada tahun 1996 berupa penutupan DAP
transkateter menggunakan koil yang dilakukan di PJN Harapan Kita Jakarta, diikuti
dengan tindakan septostomi atrium dan valvuloplasti balon pada SP pada tahun 1997.7
RS Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta memulai kardiologi intervensi pada tahun
1998 berupa septostomi balon pada pasien TAB dengan septum ventrikel intak tahun
1998.2 Selanjutnya pada tahun 2002 mulai dilakukan tindakan penutupan DAP dan DSA
menggunakan Amplatzer™ duct occluder. Hingga kini terdapat total 13 RS di Indonesia
yang sudah melakukan tindakan kardiologi intervensi yaitu RSCM Jakarta, PJN Harapan
Kita Jakarta, RS Jantung Jakarta, RS Dr. Soetomo Surabaya, RS Dr. Sardjito Yogyakarta,
RS Dr. M. Hoesin Palembang, RS Adam Malik Medan, RS Eka Pekanbaru, RS Dr. Hasan
Sadikin Bandung, RS Sanglah Denpasar, RS Dr. Kariadi Semarang, RS Dr. Moewardi
Surakarta dan RS Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar. Jumlah KI beserta jenisnya dapat
dilihat pada Tabel 1. Jumlah kasus yang ditangani di RSCM dapat dilihat pada Tabel 2.2

394 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Tabel 1. Jumlah Tindakan Kardiologi Intervensi di Tiap Rumah Sakit di Indonesia
No Rumah Sakit Lokasi Jenis Intervensi Total
DAP DSA DSV SP Lain 2

1 RSCM Jakarta 424 162 107 70 66 830


2 PJNHK Jakarta 718 319 121 125 122 1405
3 RSJJ Jakarta 35 20 26 1 6 88
4 RSHS Bandung 291 91 79 31 62 554
5 RSK Semarang 29 1 - - - 30
6 RSM Surakarta 65 30 36 1 1 133
7 RSS Yogyakarta 318 83 129 67 17 614
8 Soetomo Surabaya 256 95 119 102 107 679
9 RSAM Medan 75 3 3 - 5 86
10 Eka Pakanbaru 19 7 9 - - 35
11 RSMH Palembang 33 11 10 - 7 61
12 Sanglah Denpasar 155 30 110 15 16 326
13 RSWS Makasar 51 14 6 - - 71
Total Kasus 2469 866 755 412 408 4912
Keterangan singkatan: DAP, duktus arteriosus persisten; DSA, defek septum atrium; DSV, defek septum
ventrikel; PJNHK, Pusat Jantung Nasional Harapan Kita; RSAM, Rumah Sakit Adam Malik; RSCM, Rumah
Sakit Cipto Mangunkusumo; RSHS, Rumah Sakit Hasan Sadikin; RSJJ, Rumah Sakit Jantung Jakarta; RSK,
Rumah Sakit Kariadi; RSM, Rumah Sakit Moewardi; RSMH, Rumah Sakit M. Hoesin; RSS, Rumah Sakit
Sardjito; RSWS, Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo; SP, stenosis pulmoner. Data sampai Juli 2016

Tabel 2. Kardiologi intervensi yang dilakukan di PJT RSCM Jakarta


Jenis Tindakan Jumlah Tindakan Jumlah
1998 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 *2016
Tutup DAP - 10 21 39 23 24 31 25 25 32 42 35 27 37 30 23 424
Tutup DSA - 1 3 15 15 6 15 13 19 10 17 16 15 - 8 9 162
Tutup DSV - - 1 1 5 2 1 5 7 7 7 10 16 9 20 16 107
Balon SP - - 6 10 1 3 19 8 5 5 6 2 1 - - 4 70
Balon KoA - - - - - - - - - 1 - 1 1 - - 3 6
BAS 1 - 2 3 1 1 3 - 5 1 3 2 - - - - 22
Tutup FOP - - - 1 - - - - 2 - 1 - - - - - 4
Vascular Plug - - - - - 2 2 - - - - - - - - - 4
Sten KoA - - - - - - 1 - 1 - - - - - - - 2
Sten PA - - - 1 - - - - - - - - - - - - 1
PJ sementara - - - - - - 3 5 1 - 1 - 1 - - - 11
Cutting ballon - - - - - - - - 1 - - - - - - - 1
PJ permanen - - - - - - - - 1 - - - - - - - 1
Sten DAP - - - - - - - - - 2 - - - - - 2 4
Balon SA - - - - - 1 1 - - 1 1 - 1 - - - 5
RFA-PTBV - - - - - - - - - 1 1 - - - - - 2
Sten renal - - 1 - - - - - - - - - - 1 1 1 4
Jumlah 1 11 34 70 45 39 76 56 67 60 79 66 62 47 59 58 830

Keterangan singkatan: BAS, balloon atrial septostomy; DAP, duktus arterosus persisten; DSA, defek septum
atrium; DSV, defek septum ventrikel; FOP, foramen ovale persisten; KoA, koarktasio aorta; PA, pulmonary

395
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
artery; PJ, pacu jantung; RFA-PTBV, radiofrequency assisted pulmonary transcatheter balloon valvuloplasty; SA,
stenosis aorta; SP, stenosis pulmoner.

Penutup
Dalam menangani PJB, diagnosis dini perlu ditegakkan sesegera mungkin karena
menentukan saat dan jenis tindakan, edukasi orangtua dan prognosis. Penanganan PJB
saat ini sudah berkembang pesat. Selama ini sebelum kardiologi intervensi berkembang,
operasi merupakan satu-satunya cara untuk menangani PJB. Dibandingkan dengan
operasi, kardiologi intervensi memiliki kelebihan yaitu relatif kurang invasif, lama rawat
singkat dan secara kosmetik lebih baik karena pasien terbebas dari jaringan parut pasca-
bedah. Oleh karena kardiologi intervensi tidak memerlukan penggunaan mesin jantung
paru dan ICU pasca-bedah, pengembangan kardiologi intervensi di daerah merupakan
solusi dalam mengatasi kelangkaan fasilitas bedah dan keterbatasan fasilitas ICU pasca-
bedah di negara kita.

Daftar pustaka
1. Wren C. The epidemiology of cardiovascular malformation. Dalam: Moller JH, Hoffman
JIE, Benson W, Van Hare GF, Wren C. Pediatric cardiovascular medicine. Edisi ke-2. Oxford:
Blackwell Publishing; 2012. h. 268-75.
2. Djer MM. Kardiologi intervensi pada penyakit jantung bawaan: Masa kini dan akan datang.
Pidato pengukuhan guru besar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Jakarta: FKUI; 2016.
3. Rao PS. Interventional pediatric cardiology: state of the art and future directions. Pediatr
Cardiol 1998; 19:107-24.
4. Kato H. Foreword: catheter interventional treatment for pediatric heart disease- a new ther-
apeutic strategy. Pediatr Int 2001; 43:527-8.
5. Mullins CE. History of pediatric international catheterization: pediatric therapeutic cardiac
catheterization. Pediatr Cardiol 1998; 19:3-7.
6. Kirklin JW, Barrat-Boyes BG. Cardiac surgery. Edisi ke 2. New York: Churchill Livingstone;
1993. h. 841-59.
7. Harimurti GM. Penyakit jantung bawaan di Indonesia: Dari pisau ke jarum. Pidato pen-
gukuhan guru besar ilmu kardiologi pediatric FKUI. Jakarta: FKUI; 2008.

396 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Implementation of Reticulocyte Hb Content as
A Tool for Early Diagnosis of Iron Deficiency
Murti Andriastuti* Tandyo Triasmoro+
*Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Cipto Mangunkusumo
+
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Abstract
The high prevalence of iron deficiency anaemia in Indonesia has been an important issue to be managed.
According to South East Asian Nutrition Survey (SEANUTS), 55% children under 2 years old suffer
from anaemia, and some of them have iron deficiency. The negative impacts of iron deficiency on growth
and development of children had been numerously studied, and irreversible. Thus, early detection on iron
deficiency is very important, therefore the growth and development could reach its optimal potential. The
utilization of Reticulocyte Haemoglobin Content (Ret-He) as a screening tool for iron deficiency could be
ease and less expensive alternative examination rather than SI/TIBC and ferritin examination. Ret-He
assessment also has been recommended and proven by valid evidences. Ret-He examination can assess
iron status on reticulocyte in a “real-time”, thus, it presents iron level in the bone marrow that is needed
in erythropoiesis process. The implementation of Ret-He examination hopefully could be a solution in
screening children’s iron status.

S
emenjak dua dekade lalu, World Health Organization (WHO) dan United Nations
International Children’s Emergency Fund (UNICEF) memprakarsai sebuah gerakan
untuk memantau defisiensi mikronutrien guna memerangi masalah malnutrisi pada
anak-anak.1 Defisiensi besi tanpa anemia adalah salah satu agenda yang menjadi prioritas
dan baru terlaksana pada tahun 1993. Program WHO untuk pencegahan defisiensi besi
pada ibu hamil sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 25 tahun lalu, namun tidak dipantau
ataupun dievaluasi secara sistematis.1 Prevalensi anemia defisiensi besi (ADB) di Indonesia
sendiri sudah cukup menjadi sorotan. Menurut Survei Kesahatan Rumah Tangga (SKRT)
tahun 2001, sekitar 55% bayi dibawah usia 1 tahun mengalami ADB.7 Penelitian oleh
Sekartini dkk, (2004) di Jakarta Timur, menunjukkan bahwa sekitar 38% dari 55 bayi
mengalami anemia, 71.4% di antaranya mengalami ADB.8 Menurut RISKESDAS 2013,
secara nasional penduduk Indonesia yang mengalami anemia dibawah usia 2 tahun
sekitar 21.7%, balita 1-5 tahun 28.1%, dan ibu hamil sebesar 37.1%.12 Sebuah penelitian
oleh South East Asian Nutrition Survey (SEANUTS) menunjukkan angka yang cukup
megejutkan, 55% anak usia 0.5 - 1.9 tahun mengalami anemia dan usia 2 -12 tahun
berkisar antara 10.6% – 15.5%, dan 4.1% - 8,8% di antaranya mengalami defisiensi
besi.13

397
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Pentingnya besi untuk kelangsungan pertumbuhan dan perkembangan anak sudah
banyak dilaporkan dalam pelbagai penelitian. Defisiensi besi sampai saat ini masih menjadi
masalah kesehatan di dunia.1 Dampak defisiensi besi pada anak dapat mengakibatkan
gangguan pertumbuhan, kognitif dan imunitas. Jika terjadi pada ibu hamil, maka
akan meningkatkan risiko kematian janin dalam kandungan.1,2 Deteksi dini defisiensi
besi merupakan hal penting dalam pencegahan anemia defisiensi besi. Derajat anemia
berbanding lurus dengan tingkat keparahan gangguan tumbuh kembang yang terjadi dan
bersifat ireversibel. Baku emas pemeriksaan laboratorium dalam menegakkan diagnosis
anemia defisiensi besi adalah feritin, serum iron (SI), total iron binding capacity (TIBC),
dan saturasi transferin.
Reticulocyte haemoglobin content (CHr) atau reticulocyte haemoglobin equivalent (Ret-
He) dapat digunakan sebagai alternatif pemeriksaan untuk mendeteksi dini status besi
sebelum terjadinya anemia. Pemeriksaan ini sudah banyak diteliti dan menunjukan hasil
yang relatif sama dibandingkan dengan pemeriksaan SI/TIBC maupun ferritin. 2,3,4,5
Kelebihan lain adalah pemeriksaan ini dapat langsung terlihat dari hasil darah perifer
lengkap sehingga tidak memerlukan sampel pemeriksaan darah yang banyak dan biaya
yang mahal.
Menurut Lorenz dkk, penggunaan Ret-He pada kasus-kasus defisiensi besi sangat
korelatif dengan kadar besi, dibandingkan pemeriksaan konsentrasi hemoglobin (Hb),
karena kadar Ret-He lebih menggambarkan suplai besi ke sumsum tulang sebagai
penghasil sel darah merah.2 Penelitian lain oleh Rungngu dkk, menunjukkan bahwa kadar
Ret-He berbanding lurus dengan anemia defisiensi besi (ADB), semakin tinggi kadar
Hb, kadar Ret-He pun tinggi, begitupun sebaliknya, semakin rendah Ret-He, semakin
besar resiko mengalami ADB. Batas potong ≤27.8 pg/L dengan sensitivitas sebesar 43.8%
dan spesifisitas 85.3% menjadi rekomendasi penegakkan diagnosis dari ADB pada anak-
anak. Tingginya spesifisitas menunjukkan seberapa menjanjikannya penggunaan Ret-He
sebagai skrining di masa depan.3

Peran besi pada pertumbuhan dan perkembangan anak


Kebutuhan akan nutrisi pada awal-awal kehidupan merupakan salah satu alasan rentannya
anemia pada bayi dan anak-anak, terutama pada bayi-bayi prematur yang cadangan besinya
jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan bayi cukup bulan. Infeksi mikroorganisme
merupakan penyakit yang umum ditemui, komplikasi terseringnya adalah perdarahan
sehingga menyebabkan kekurangan darah. Anemia Defisiensi Besi (ADB) adalah anemia
yang paling sering ditemukan pada bayi dan anak-anak.6
Bayi aterm (usia gestasi 37-42 minggu), memiliki cadangan besi yang relatif banyak
dan cukup hingga usia 6 bulan. Namun, pada bayi-bayi prematur, cadangan besi ini
hanya sedikit, sehingga hanya bisa digunakan sampai usia 2-3 bulan. Oleh karena itu,
bayi prematur lebih rentan mengidap anemia defisiensi besi dibandingkan bayi cukup
bulan.6Defisiensi besi pada awal kehidupan sangat berpengaruh pada pertumbuhan

398 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


dan perkembangan anak. Kurangnya cadangan besi akan mengakibatkan terlambatnya
perkembangan otak, gangguan pencernaan, hingga gangguan kekebalan tubuh.

Dampak defisiensi besi pada pertumbuhan dan perkembangan


anak
Sebuah penelitian menunjukan bahwa banyak area dari otak menggunakan besi sebagai
sumber utama pembentukan sel neuron. Teori ini pun didukung oleh banyak bukti
yang menunjukan bahwa pada anak yang mengalami anemia defisiensi besi cenderung
mengalami keterlambatan psikomotor dan gangguan kognitif.1,3 Anemia defisiensi besi
sudah terbukti mempunyai peranan dalam perubahan neurotransmitter dan pengiriman
sinyal ke otak, bahkan pada tahap sebelum terjadinya anemia pun, defisiensi besi dipercaya
mampu merusak perkembangan kognitif seorang anak.3
Di Kosta Rika, anak dengan anemia derajat sedang pada saat bayinya, memiliki
skor intelligent quotient (IQ) dan performa kognitif yang lebih rendah dibandingkan
dengan teman lainnya yang tidak memiliki anemia semasa kecil.1 Kasus lain juga terjadi
di Thailand, banyak ditemukan anak-anak dengan anemia yang tidak diberikan suplemen
besi mengalami kesulitan mempelajari bahasa Thailand dan ilmu matematika. Defisiensi
besi tidak hanya berpengaruh pada perkembangan kecerdasan saja tapi juga pada sistem
dan organ lainnya, salah satunya adalah sistem imun. Anak-anak dengan defisiensi besi
cenderung memiliki morbiditas yang tinggi.1 Kurangnya besi berakibat pada menurunnya
kapasitas leukosit untuk membunuh patogen. Hal ini didukung dengan adanya perbaikan
angka morbiditas setelah pemberian suplementasi besi. Pada anak-anak dengan defisiensi
besi, pemberian suplementasi besi terbukti memberikan manfaat pada pertumbuhan,
walaupun tidak terlepas dari faktor-faktor lainnya, seperti infeksi, diet, dan umur
terdiagnosis kekurangan besi.1

Diagnosis defisiensi besi dan parameter yang digunakan


Defisiensi besi merupakan salah satu masalah defisiensi nutrisi paling umum pada
anak.8 Kekurangan besi menimbulkan efek jangka panjang yang beraikibat fatal pada
pertumbuhan dan perkembangan anak. Gangguan kognitif, gangguan mielinisasi, dan
gangguan sistem imun adalah sebagian efek samping yang bersifat merusak dan seringkali
menetap hingga dewasa. Diagnosis dini defisiensi besi tentu menjadi kunci agar efek
samping tersebut tidak terjadi.
Diagnosis defisiensi besi jarang ditegakkan berdasarkan hasil analisis mandiri.
Seringkali baru terdeteksi setelah terjadi anemia defisiensi besi (ADB). Selain itu, parameter
yang digunakan tidak hanya satu, melainkan beberapa parameter yang berkaitan satu
dengan lainnya. Diagnosis ADB sendiri biasanya ditegakkan setelah diketahui terjadi
anemia, dengan index eritrosit yang mendukung, yakni mean corpuscular volume (MCV)
dibawah normal (<80fL) dan mean corpuscular haemoglobin (MCH) dibawah normal

399
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
(<20pg), atau sering disebut mikrositik hipokromik. Selain, itu untuk membedakan dengan
thalassemia, dilakukan uji mikroskopik dan analisis status besi. Pada uji mikroskopik akan
ditemukan sel pensil, sedangkan analisis status besi menggunakan parameter umum yang
sering digunakan, seperti SI, TIBC, feritin, transferin, dan saturasi transferin.

Feritin

Dikutip dari World Health Organization. Iron deficiency anemia: assessment, prevention, and control. A
guide for programme managers. Geneva: WHO; 2001.

Feritin adalah salah satu biomarka paling spesifik untuk melihat cadangan total besi
dalam tubuh. Rendahnya feritin atau serum ferritin menunjukan rendahnya cadangan besi
yang ada di dalam tubuh manusia, dan hal ini bisa menggambarkan keadaan defisiensi besi
pada kasus-kasus yang tidak terdapat infeksi atau peradangan.1 World Health Organization
sudah memberikan batasan nilai untuk menduga bahwa seseorang kekurangan besi.
Batasan yang ditentukan adalah <15µg/l untuk setiap kekurangan besi.
Perbedaan nilai feritin juga tidak terlepas dari beberapa indikator, seperti umur,
jenis kelamin, ras, dan sebagainya. Bayi, anak-anak, dan ibu hamil memiliki cadangan
besi yang lebih sedikit dibandingkan dengan yang lain, namun hal ini tidak menunjukan
bahwa mereka langsung terkena defisiensi besi. Defisiensi besi terjadi apabila jumlah besi
tidak mencukupi untuk melakukan tugas fungsionalnya.

Serum iron, transferin, dan saturasi transferin


Defisiensi besi biasanya ditentukan apabila terdapat perbedaan antara SI dan transferin.
Rendahnya SI dan tingginya transferin (peningkatan TIBC) sehingga terjadi penuruan
kadar saturasi transferin, biasanya cukup menunjukan kadar kekurangan besi dalam tubuh.

400 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Namun, seringkali terjadi tumpang tindih pada parameter diatas, sehingga menimbulkan
kerancuan pada penegakan maupun penolakan akan diagnosis defisiensi besi.1

Implementasi reticulocyte hemoglobin content (Ret-he) sebagai


penanda deteksi dini dimasa depan
Tingginya prevalensi anemia defisiensi besi di dunia, menjadi salah satu alasan badan
kesehatan dunia untuk melaksanakan gerakan khusus untuk memantau defisiensi besi.1
Survei oleh badan nutrisi di Amerika menunjukkan 9% dari bayi usia 1-2 tahun mengalami
defisiensi besi, dan 3 % di antaranya mengalami ADB.11
Seseorang mencapai tahap anemia defisiensi besi (ADB) akan mengalami 3 fase9:
1. Fase deplesi besi
Pada fase ini jumlah besi di tempat produksinya mengalami penurunan, namun
jumlah hemoglobin maupun kadar besi dalam serum terbilang normal. Keadaan ini
hanya bisa dideteksi dengan pemeriksaan sitokimia di hati dan sumsum tulang.9
2. Fase defisiensi besi
Pad fase ini, sudah mulai terlihat penurunan kadar besi dalam serum yang dapat
dengan pelbagai pemeriksaan besi pada umumnya, seperti feritin, transferin, dan
TIBC.
3. Fase anemia defisiensi besi
Pada fase ini, didapatkan jumlah hemoglobin MCV, MCH, dan MCHC mengalami
penurunan, sehingga dapat terlihat pada pemeriksaan fisik. Biasanya baru pada fase
ini pasien datang berobat ke layanan kesehatan.
Pentingnya deteksi dini untuk melihat kadar besi dalam tubuh sudah seyogyanya
menjadi salah satu program pemerintah, terutama untuk anak-anak, karena mereka sangat
rentan terhadap kondisi ini. Komplikasi yang ditimbulkan pun sangat fatal terhadap
pertumbuhan dan perkembangan anak. 1,3
Dalam mendiagnosis defisiensi besi, aspirasi sumsum tulang merupakan baku emas
yang digunakan.2 Akan tetapi, prosedur ini terbilang invasif dan sudah digantikan dengan
pemeriksaan yang lebih aman untuk menilai kadar besi, seperti pemeriksaan Hb, MCV,
MCH, feritin, saturasi transferin, dan TIBC. Akan tetapi penggunaannya pun masih
dirasa kurang akurat, misalnya penggunaan Hb sebagai salah satu tolak ukur deteksi dini
ADB, Hb dirasa kurang akurat karena terpengaruh oleh masa hidupnya yakni 120 hari,
karena itu rentan adanya perubahan yang terjadi pada status besi saat itu.4 Selain itu,
penggunaan Hb sebagai alat deteksi dini dirasa akan memperlambat penanganan pada
pasien-pasien dengan defisiensi besi tanpa anemia yang sudah mengalami komplikasi
neurologis. Oleh karena itu, para ahli mencari biomarka yang akurat dan efektif untuk
mendiagnosis ADB dalam tahap sedini mungkin.
Dewasa ini, penggunaan Ret-He sebagai salah satu penanda deteksi dini kekurangan
besi sudah mulai direkomendasikan.2-5,10,11 Kelebihan pemeriksaan retikulosit untuk

401
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
menilai status besi dibandingkan dengan kadar Hb serum adalah masa hidup yang sangat
singkat. Masa hidup retikulosit yang hanya berkisar 24-48 jam menjadi sangat baik karena
mencerminkan keadaan status besi secara langsung pada sumsum tulang. Pada keadaan
defisiensi besi, hal ini menjadi sangat baik, perubahan pada suplai besi ke sumsum tulang
akan tercermin pada penurunan Hb di retikulosit, yang terlihat pada penurunan Ret-
He.4 Selain itu, banyak studi-studi terbaru menunjukan bahwa penggunaan Ret-He untuk
deteksi dini defisiensi besi dikatakan lebih baik jika dibandingkan dengan penggunaan
alat skrining pada umumnya. Pemeriksaannya pun tidak memerlukan biaya maupun
pengambilan darah tambahan diluar pemeriksaan darah lengkap, karena hasilnya akan
terbaca sebagai bagian dari pemeriksaan retikulosit oleh alat tes pemeriksaan darah.4
Sebuah penelitian oleh Ullrich dkk, mengemukakan kadar Ret-He dibawah 27.5 pg
menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas menjanjikan untuk mendeteksi defisiensi besi
sebelum anemia pada bayi usia 9-12 bulan.4 Penelitian lain oleh Rungngu, et al (2016)
juga mendukung bukti bahwa kadar Ret-He berbanding lurus dengan kadar Hb dalam
serum. Semakin rendah kadar Ret-Hel, maka semakin tinggi resiko untuk terkena ADB.
Menurut Rungngu, kadar Ret-He ≤ 27.8 pg menjadi tolak ukur deteksi pasien dengan
ADB pada anak, dengan sensitivitas 43.8% dan spesifisitas 85.3%.3
American Association of Pediatric (AAP) juga sudah merekomendasikan penggunaan
CHr atau Ret-He sebagai alat deteksi dini defisiensi besi, dengan kadar CHr kurang dari
11.0 mg/dL sebagai ambang batas resiko terkena ADB. 11 Sebuah penelitian berdasarkan
popluasi oleh Kuehn, menunjukkan bahwa penggunaan CHr sebagai alat deteksi dini

Gambar 1. Area Under the Curve (AUC) lebih tinggi pada CHr dibandingkan dengan feritin5

402 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


menyaring prevalensi lebih banyak sekitar 18.8% anak dengan defisiensi besi dibandingkan
penggunaan pemeriksaan status besi pada umumnya yang dikombinasikan.11 Hal ini tentu
menjadi kabar gembira bagi kita khususnya para tenaga kesehatan, penggunaan Ret-He
sebagai alat deteksi dini mempermudah kita untuk menemukan anak-anak dengan resiko
ADB lebih awal, sehingga bisa dilakukan penanganan lebih awal pula.
Penelitian lain oleh Brugnara dkk, membandingkan antara circulating transferrin
receptor (TfR) dengan CHr, hasilnya menunjukkan bahwa CHr tetap lebih superior
dibandingkan dengan biomarka lain termasuk TfR. Pada analisis ditemukan bahwa
area under the curve (AUC) untuk CHr lebih tinggi jika dibandingkan dengan feritin.
Batas bawah nilai 26 pg untuk CHr memiliki sensitivitas 70% dengan spesifisitas 78%
untuk mendeteksi defisiensi besi. Untuk ADB, batas 26 pg juga memiliki sensitivitas dan
spesifisitas yang tinggi yaitu 83% dan 75%.5

Penutup
Anemia defisiens besi masih menjadi masalah kesehatan. Dampak negatif jangka panjang
terhadap tumbuh kembang seorang anak menjadi fokus perhatian untuk megatasi masalah
ADB. Diperlukan suatu terobosan dalam pemeriksaan laboratorium untuk membantu
menjaring anak yang termasuk fase defisiensi besi sebelum terjadi anemia sehingga dapat
segera diberikan suplementasi besi. Reticulocyte Hemoglobin Content (Ret-He) diharapkan
menjadi alat skrining dalam menilai status besi sebagai upaya menurunkan prevalensi
anak dengan defisiensi besi.

Daftar pustaka
1. World Health Organization. Iron deficiency anemia: assessment, prevention, and control. A
guide for programme managers. Geneva: WHO; 2001.
2. Lorenz L, Arand J, Bucher K, Wacker-Gussman A, Peter A, et al. Reticulocyte haemoglobin
content as a marker of iron deficiency. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2015;100:F198–
F202.
3. Rungngu S, Wahani A, Mantik M F.J. Reticulocyte hemoglobin equivalent for diagnosing
iron deficiency anemia in children. Paediatr Indones 2016;56(2).
4. Ullrich, dkk. Screening healthy infants for iron deficiency using reticulocyte hemoglobin
content. JAMA 2005;294(8).
5. Brugnara, dkk. Reticulocyte hemoglobin content to diagnose iron deficiency in children.
JAMA 1999;281(23).
6. Bamber R. Occurrence and detection of iron deficiency anemia in infants and toddlers. Clin
Lab Sei 2008;21(4): 225.
7. Ringoringo H P. Insidens defisiensi besi dan anemia defisiensi besi pada bayi berusia 0-12 bu-
lan di Banjarbaru Kalimantan Selatan: studi kohort retrospektif. Sari Pediatri 2009;11(1):8-
14.
8. Sekartini, dkk. Prevalensi anemia defisiensi besi pada bayi usia 4-12 bulan di Kecamatan
Matraman dan sekitarnya, Jakarta Timur. Sari Pediatri 2005;7(1):2-8

403
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
9. Abdulsalam M, Daniel A. Diagnosis, pengobatan, dan pencegahan anemia defisiensi besi.
Sari Pediatri 2002;4(2):74 – 77.
10. Bakr A F, Sarette G. Measurement of reticulocyte hemoglobin content to diagnose iron defi-
ciency in Saudi children. Eur J Pediatr 2006;165: 442–445.
11. Kuehn MAJ, dkk. Reticulocyte hemoglobin content testing for iron deficiency in healthy
toddlers. Military Medicine 2012;177, 1:91.
12. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Riset kesehatan dasar 2013: RISKESDAS 2013.
Jakarta: Kementrian Kesehatan RI. 2013.
13. Sandjaja S, dkk. Food consumption and nutritional and biochemical status of 0.5-12-year-
old Indonesian children: the SEANUTS study. Br J Nutr 2013;110, S11–S20.

404 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Henoch-Schönlein Purpura Nephritis in
Children
Ninik Asmaningsih Soemyarso
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RSUD Dr. Soetomo Surabaya

Abstract
Henoch-Schönlein purpura nephritis (HSPN) is one of the most common type vasculitis in children.
Renal involvement is frequently found about 30-50% children with HSP. The pathogenesis of HSPN
is deposition aberrant glycosylated IgA1 in glomeruli. Acute episode of HSPN is characterized by
glomerular inflammation with endocapilary and mesangial proliferation, fibrin deposit and epithelial
crescents. These injuries might heal spontaneously or lead to chronic kidney disease. The treatment HSPN
according to Kidney Disease Improving Global Outcomes (KDIGO) 2012 depends on the severety of
proteinuria. Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACE-I) or angiotensin receptors blocker (ARB)
therapy for HSPN with mild proteinuria (< 1 g/d per 1.73m2), and HSPN with heavy proteinuria can
be treated with 6 months course corticosteroid. While HSPN with nephrotic syndrome and/or deterior
renal function can be treated with corticosteroid pulsesand cyclophosphamide. The prognosis of HSPN
depends on the severety of renal involvement.

H
enoch-Schönlein purpura (HSP) merupakan kelainan vaskulitis akut pada
pembuluh darah kecil yang sering ditemukan pada anak, dapat menimbulkan
berbagai macam gejala pada beberapa organ. Etiologi HSP sampai saat ini
masih belum jelas. Gejala klinis karakteristik HSP terdapat purpura tanpa disertai
trombositopenia, arteritis, gangguan gastrointestinal dan nefritis. Keterlibatan ginjal pada
HSP disebut Henoch-Schönlein purpura nephritis (HSPN)1,2,3,4,5
Sembilan puluh persen kasus HSP terjadi pada anak usia kurang dari 10 tahun, rerata
kejadian HSP pada usia 6 tahun, dengan angka kejadian bervariasi. HSP lebih banyak
pada anak lelaki dari pada perempuan. Di Netherlands angka kejadian HSP 6,1 kasus per
100.000 anak, sedang di UK 20,4 kasus per 100.000 anak. Angka kejadian anak HSP
keturunan Asia, tertinggi pada usia 4-7 tahun, sekitar 70 kasus per 100.000 anak. Di
RSUD Dr Soetomo dalam kurun waktu 5 tahun (2012-2017) terdapat 31 kasus HSPN
pada anak usia antara 5 sampai 18 tahun.1,5,6
Tiga puluh sampai lima puluh persen anak HSP mengalami gangguan ginjal, dengan
gejala hematuria mikroskopik paling sering ditemukan. Penelitian systematic review dari
12 penelitian melibatkan 1133 anak, diperoleh 34% terdapat kelainan pada pemeriksaan
urinalisis, 79% hematuria mikroskopik dengan atau tanpa proteinuria, dan 21% dengan
gejala nefritik dan atau sindrom nefrotik.3

405
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Prognosis anak HSP pada umumnya baik dan merupakan self limiting disease.
Namun demikian morbiditas dan mortalitas anak HSP tergantung beratnya komplikasi
pada ginjal. Penderita HSPN mempunyai kesamaan dengan IgA nephropathy oleh karena
mempunyai kesamaan gambaran histopatologi.1,3,7

Gejala klinis HSPN


Gejala klinis HSP menurut Schönlein yaitu adanya rash purpura, arteritis dan gangguan
pada ginjal. Henoch menyatakan ada hubungan antara rash purpura, nyeri abdomen
disertai berak darah dan terjadinya proteinuria.8 Empat gejala utama HSP yaitu rash
purpura, nyeri sendi, gangguan abdomen dan gangguan pada ginjal, merupakan gejala
yang mengawali anak dengan HSP. Rash purpura merupakan gejala yang harus ada
(Mandatory). Gangguan ginjal jarang ditemukan sebagai gejala awal anak HSP. Penelitian
di Finlandia melibatkan 223 anak HSP, faktor risiko gangguan ginjal ditemukan pada
anak usia lebih besar 8 tahun, disertai gejala nyeri abdomen dan vaskulitis berulang.1,9

Gambar 1. Rash purpura pada anak HSP.6

Penelitian di The Netherlands melibatkan 232 anak HSP, 60% ditemukan pada anak
laki laki dan 29% gangguan pada ginjal ditemukan dalam kurun waktu 1 bulan dengan
gejala hematuria maupun proteinuria ringan. Gejala lain pada anak HSPN 3% dengan
proteinuria >1gram/L, 2% dengan sindrom nefrotik, 3% dengan hipertensi dan gangguan
fungsi ginjal ditemukan pada 1% anak dengan HSPN.1
Beberapa penelitian lain mendapatkan gangguan ginjal pada anak HSP dengan
jumlah yang berbeda yaitu berkisar 20-100%. Gangguan ginjal pada anak HSP
mempunyai persentase dengan interval lebar karena tidak semua penelitian menggunakan
definisi yang sama baik sindrom nefrotik maupun nefritik.5

406 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Gangguan ginjal pada anak HSP akut, 85% terjadi setelah 4 minggu dari gejala awal
HSPN, 90% terjadi setelah 8 minggu, dan 97% terjadi setelah 6 bulan, sehingga perlu
dilakukan observasi jangka panjang. Anak HSP dengan gejala nefritik sering terjadi pada
anak usia lebih besar.3,5

Klasifikasi Henoch-Schönlein Purpura Nefritis


Klasifikasi HSPN ditentukan dengan pemeriksaan biopsi ginjal. Biopsi ginjal merupakan
baku emas untuk menentukan beratnya HSPN dan prognosis. Terdapat korelasi antara
klasifikasi HSPN dengan luaran.7 Klasifikasi HSPN menurut International Study of
Kidney Disease in Children (ISKDC) masih banyak dianut. Menurut ISKDC terdapat 5
kelas yang dibuat berdasar adanya glomerulus yang mengalami crescents (dalam persen).
Tabel 1.1,7
Tabel 1. Klasifikasi Henoch-Schönlein Purpura Nephritis berdasarkan biopsi ginjal menurut ISKDC7
ISKDC grade Description
Grade I Minimal changes
Grade II Mesangial proliferation
Grade II Crescents <50% of the glomeruli; A: Focal, B: Diffuse
Grade IV Crescents 50-75% of the glomeruli; A: Focal, B: Diffuse
Grade V Crescents >75% of the glomeruli
Grade VI Membranoproliferative glomerulonephritis

Pada fase akut terdapat lesi pada glomerulus disertai peningkatan lekosit dan
hiperseluler endokapiler. Terbentuknya crescents ditandai adanya nikrosis pada glomerulus.
Gambaran histologi pada HSPN ini juga ditemukan pada anak IgA nephropathy. Pada
anak HSPN, gambaran proliferasi endokapiler dan adanya infiltrasi sel radang poly-nuclear
neutrophil dan bentukan crescents lebih sering ditemukan. Gangguan pada tubulus dan
tubulus interstisial ditandai adanya edema, infiltrasi limfosit, makrofag dan sel plasma,
menggambarkan keparahan glomerulus.1,10
Klasifikasi ISKDC ini menurut para ahli kurang sensitif untuk menentukan luaran
dan prognosis HSPN oleh karena klasifikasi ini hanya berdasarkan proliferasi mesangial
dan jumlah glomerulus yang mengalami crescents (dalam persen). Klasifikasi ISKDC tidak
mengevaluasi keadaan tubulus, interstisial tubulus dan vaskularisasi. Koskela melakukan
semiquantitative classification (SQC) dengan menambahkan evaluasi pada tubulus, tubule-
interstitial, perubahan kapiler serta penjelasan keadaan aktif atau kronik.7
Nilai keadaan kronis dan total skor biopsi sangat penting menentukan luaran. Skor
SQC ≤10 mempunyai prognosis baik, sedang skor SQC ≥11 mempunyai luaran kurang
baik dan beresiko terjadi gangguan ginjal lebih berat. Namun demikian skor SQC juga
harus mempertimbangkan terapi yang telah diberikan, karena dapat mempengaruhi hasil
SQC.7

407
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Patogenesis
Gangguan ginjal pada anak HSP sering ditemukan setelah gejala awal HSP. Namun
demikian patogenesis HSPN masih belum jelas diketahui. Beberapa peneliti mendapatkan
HSP terjadi pada anak setelah mendapat infeksi saluran napas, infeksi virus dan bakteri
patogen. Pada pemeriksaan ditemukan peningkatan kadar IgA, IgA immune complexes
dan IgA rheumatoid factor. Patogenesis HSP diduga akibat peran immune-complexes
yang ditandai adanya polymeric IgA1 (pIgA1), merupakan immune-complexes terutama
terdapat di kulit, gastrointestinal dan kapiler glomerulus. Kesamaan anak HSPN dan
IgA nephropathy terdapat timbunan IgA1 dan komplemen C3 pada mesangial. Demikian
pula terdapat kesamaan gambaran immunohistologi ginjal anak HSPN dengan dermatitis
herpetiformis, sirosis hati, celiac disease dan penyakit kronik inflamasi pada paru.2,6,11,12,13
Peningkatan kadar serum IgA ditemukan sekitar 40% pada anak dengan HSP.
Namun demikian peningkatan kadar IgA bukan merupakan petanda sensitif anak HSP,
karena peningkatan IgA juga ditemukan pada penyakit lain misalnya multiple myeloma
serta tidak ada perbedaan signifikan kadar serum IgA pada anak HSP dengan atau tanpa
gangguan pada ginjal.12

Abnormal glikosilasi struktur IgA pada anak dengan HSPN


Patogenesis HSPN dan IgA nephropathy (IgAN) diduga akibat glikosilasi abnormal pada
IgA1. Normal, IgA terdiri dari dua subklas yaitu IgA1 dan IgA2. Kedua subklas ini
dibedakan ada atau tidak adanya 13-amino-acid. Pada IgA1 terdapat O-linked glycosylation
dalam jumlah banyak dan berperan sebagai faktor patogen. Rantai IgA2 terutama
polymeric, berperan pada kelenjar sel epitel, sehingga mampu melakukan sekresi. Pada
keadaan normal N-acetylgalactosamine (GalNAc) sebagai rantai IgA1, dapat atau tidak
mengalami sialisasi. Rantai IgA1 banyak mengandung GalNAc disaccharide. Pada HSPN,
banyak ditemukan timbunan IgA1 polymeric disertai adanya J protein, sehingga tidak
mempunyai kemampuan sekresi. Keadaan ini juga ditemukan pada anak dengan IgA
nephropathy.6,11,12,14

Peran IgA immune complexes dalam sirkulasi pada anak HSPN


Pada HSP diduga terjadi gangguan sistem imun yang ditandai peningkatan kadar IgA1,
IgA1-containing circulating immune complexes, circulating IgA-antineutrophil cytoplasmic
antibodies (ANCA) dan IgA-rheumatoid factors. Beberapa peneliti mendapatkan pada
HSPN terdapat IgA1-containing circulating immune complexes mengandung molekul
besar selain molekul kecil. Lau dkk mendapatkan, pemeriksaan menggunakan GalNAc-
specific lectin ditemukan galactose-deficient IgA1 (Gd-IgA1) lebih banyak pada anak HSPN
dibanding dengan anak C1q nephropathy. Sedang kadar GdIgA1 anak HSP tanpa nefritis
tidak berbeda dengan kontrol anak normal.11,12

408 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Timbunan IgA 1 pada mesangial
Timbunan IgA1 pada jaringan diduga karena peningkatan IgA-immune complexes dan
menurunnya proses pembuangan atau pembersihan IgA1-immune complexes. Produksi
IgA1polymeric diduga akibat antigen bakteri, virus maupun jamur. Penelitian invitro
mendapatkan terjadi reaksi berlebihan pada sel B dan sel T terhadap rangsangan antigen,
sehingga terjadi IgA1polymeric maupun Gd-IgA1 pada mukosa dan sel pada tonsil. Gd-
IgA1 diduga mempunyai peran penting pada patogenesis HSPN.11
Kerusakan ginjal pada HSPN diduga karena peran sel mesangial dan aktivasi
komplemen. Timbunan Gd-IgA1 immune complexes di mesangial menimbulkan
beberapa reaksi. Aktivasi sel mesangial terjadi akibat timbunan Gd-IgA1 immune
complexes, selanjutnya terjadi proliferasi sel makrofag, limfosit, produksi sitokin, kemokin
proinflamasi dan profibrogenik. Reaksi ini sangat penting karena dapat merusak ginjal,
sehingga terjadinya fibrosis ginjal. Kawasaki melaporkan bahwa akumulasi fibroblas pada
ginjal merupakan petanda prognosis kurang baik.11,14
Timbunan Gd-IgA1 immune complexes di daerah mesangial juga akan mengaktivasi
komplemen. Aktivasi komplemen diduga ikut berperan pada patogenesis HSPN. Aktivasi
komplemen pada HSPN diduga melalui alternative dan lectin pathway karena pada biopsi
kulit dan ginjal ditemukan timbunan komplemen C3 tanpa ditemukan komplemen C4
maupun C1q. Hisano dkk mendapatkan, aktivasi komplemen melalui lectin pathway
menyebabkan kerusakan glomerulus hebat dan menyebabkan urin abnormal dalam waktu
lama.11,14

Gambar 2. Peran IgA1 dan IgA1-immune complexes pada patogenesis HSPN.12

409
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Selain aktivasi sel mesangial dan komplemen, gangguan sel endotel ikut berperan
merusak ginjal. Fujieda dkk mendapatkan kerusakan endotel pembuluh darah disertai
peningkatan kadar serum IgA antiendothelial cells antibody dan serum thrombomodulin,
sehingga peningkatan kadar serum IgA antiendothelial cells antibody dan serum
thrombomodulin dapat dipakai sebagai petanda kerusakan ginjal. Gangguan fungsi
endotel karena stress oksidatif, gangguan asetylcholine atau hiperemia, akan merangsang
nitrit oxide dan menyebabkan vasodilatasi.11,15
Beberapa faktor lain diduga berperan pada patogenesis HSPN adalah nephritis-
associated plasmin receptor (NAPlr), Peningkatan IgE, aktivasi eosinophil, alpha-smooth
muscle actin (α-SMA), c-Met dan receptor hepatocyte growth factor. Namun demikian
faktor di atas masih memerlukan penelitian lebih lanjut.11,14

Diagnosis16,17,18
Diagnosis HSPN dibuat berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan penunjang dan biopsi
ginjal.
I. Gejala klinis
Gejala klinis HSP pertama kali dinyatakan oleh Schönlein (1837). Diagnosis HSP
dibuat berdasar tiga gejala yaitu rash purpura, arteritis dan sedimen urin abnormal.
Selanjutnya Henoch (1874) menyatakan ada hubungan antara rash purpura, nyeri
perut dengan berak darah dan proteinuria. Lebih lanjut beberapa kriteria dibuat oleh
para ahli yaitu The American College of Rheumatology (ACR) tahun 1990, Michel’s
criteria tahun 1992, Chapel Hill Consensus Conference (CHCC) tahun 1994,
Helander‘s criteria tahun 1995 dan European League Againts Rheumatism/Paediatric
Rheumatology International Trial Organization/Paediatric Rheumatology European
Sociaty (EULAR/PRINTO/Pres) criteria tahun 2010.8,19
Saat ini banyak dipakai adalah kriteria EULAR/PRINTO/Pres. Gejala klinis yaitu:
a. Palpable purpura merupakan gejala mutlak yang harus ada pada anak dengan
HSP
- Palpable purpura karakteristik terdapat pada bagian ekstensor ekstrimitas bawah
dan bokong.
- Palpable purpura bisa ditemukan pada tangan, wajah, muka dan telinga.
Palpable purpura (mandatory) pada HSP ditambah satu dari empat gejala di bawah:
b. Nyeri perut yang menjalar
c. Akut arteritis atau atralgia
Biasanya atralgia pada sendi besar dari ektrimitas bawah
d. Gangguan pada ginjal yaitu hematuria dengan atau proteinuria
e. Biopsi ginjal tampak timbunan IgA
Gejala lain yang menyertai antara lain
a. Gejala gastrointestinal: muntah, perdarahan saluran cerna, intussusepsi, bowel
ischemia
b. Neurologi: headache non spesifik, ensefalopati, kejang

410 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


c. Pulmonary (jarang dan berat): Alveolar hemorrhage difuse
d. Genitourinary: Orchitis

Keterlibatan ginjal pada HSPN menentukan prognosis.Tabel 3.

Tabel 3. Manifestasi spesifik ginjal dan prognosis18


Initial renal symptoms Progression to chronic kidney disease (%)
Nephrotic-nephritic syndrome >50
Nephrotic syndrome 40
Nephritic syndrome 15
Heavy non-nephrotic proteinuria 15
Hematuria and/or minimal proteinuria <5
Severely impaired glomerular filtration rate Relative risk of progression = 3.83

II. Pemeriksaan penunjang


Pemeriksaan penunjang yang diperlukan yaitu urinalisis, pemeriksaan darah,
pemeriksaan ultrasografi abdomen dan pemeriksaan penunjang lain.
1. Urinalisis
- Pemeriksaan urin secara mikroskopis untuk melihat sedimen urin, ada tidaknya
eritrosit, casts
- Pemeriksaan morfologi sel eritrosit untuk menentukan apakah eritrosi berasal
dari glomerulus atau non glomerulus
- Rasio protein/kreatinin atau pemeriksaan ekskresi protein per 24 jam
2. Pemeriksaan darah
- Darah lengkap
- Laju endap darah
- Ureum, kreatinin, sodium, potasium, klorida, bikarbonat
- Kalsium, fosfat, alkali fosfatase
- Asam urat
- Fungsi liver, total protein, albumin, alanine amino-transaminase (ALT),
aspartate aminotransferase (AST), bilirubin
- Serum IgA
3. Ultrasonografi abdomen
Mengevaluasi apakah ada intususepsi pada kasus dengan nyeri abdomen berat,
berak darah
4. Pemeriksaan lain yang diperlukan
Pemeriksaan darah:
- Komplemen C3, C4,
- Anti-nuclear antibodies, anti couble stranded DNA antibodies
- Kadar anti streptolisin O (ASTO) dan atau kadar anti-DNAase B dan atau
streptozym test
- Anti-neutrophil cytoplasmic antibodies (ANCA)

411
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Biopsi kulit pada daerah yang mengalami purpura untuk melihat adanya
timbunan IgA

III. Biopsi ginjal


1. Indikasi
- Untuk memastikan diagnosis HSPN dengan ditemukan timbunan IgA1 pada
mesangial
- Bila diperlukan, sebelum mengawali terapi dengan immunosupresan pada
keadaan berikut:
• Proteinuria menetap ≥1g/hari/1,73 m2
• Penyakit ginjal kronis dengan penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG)
• Gejala nefritik dan atau nefrotik
• Penurunan LFG secara akut dan progresif, untuk membedakan tubular
nikrosis akut dan crescents pada glomerulus
2. Menentukan klasifikasi HSPN berdasar ISKDC

Tatalaksana
Terapi HSPN dilakukan dengan mempertimbangkan patofisiologi terjadinya HSP. Target
terapi HSPN meliputi:
1. Mencegah penetrasi antigen pada tingkat mukosa
Infeksi saluran nafas atas (ISPA) sering mendahului anak HSP. Infeksi bakteri kronis
diduga sebagai pencetus HSPN, sehingga tindakan tonsilektomi diharapkan dapat
mencegah penetrasi antigen bakteri pada ISPA, namun bukti klinis masih belum
jelas.14
2. Menekan produksi IgA1
Terapi imunosupresif dengan steroid, cyclophosphamide, azathioprine dan calcineurin
inhibitor pada HSPN terutama untuk mencegah penyakit ginjal kronis (PGK). Namun
demikian belum ada penelitian yang membuktikan peran imunosupresif diatas dengan
penurunan IgA1, GalNac-IgA1, plgA1. Terapi rituximab (RTX) pada HSP dengan gejala
neurologi dan gastrointestinal yang resisten terhadap kortikosteroid dan cyclophosphamide
mempunyai respon terapi baik, tanpa disertai efek samping yang serius.14,20
3. Menghilangkan / membersihkan IgA1 dan IgA1 komplek
Pembersihan IgA1 dan IgA1 komplek dilakukan dengan plasma exchange (PE).
Penelitian penderita HSP dengan gejala ekstra renal berat memberi respon baik.
Demikian pula penelitian yang dilakukan oleh Hattori dkk dan Shenoy mendapatkan
penderita HSPN dengan gangguan ginjal akut (GgGA), proteinuria masif dengan
atau sindrom nefrotik dan gambaran histopatologi setara dengan grade 3 atau grade
5, observasi selama 4-10 tahun, diperoleh hasil cukup baik. 13 dari 14 pasien, serta 6
dari 9 pasien LFG normal kembali.
4. Menekan aktivasi komplemen
Aktivasi komplemen terbukti sebagai pemicu reaksi inflamasi, misalnya aktivasi C5a

412 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


dan C5b9 berperan merusak membran. Penggunaan eculizumab terbukti dapat
mencegah terjadinya episode paroxysmal nocturnal hemoglobinuria, demikian juga
diduga berperan pada penyakit ginjal lain.14
5. Mencegah pembentukan fibrin
Fibrin pada HSPN diduga berperan terjadinya crescents pada glomerulus. Untuk
mencegah terjadinya fibrin, peneliti menggunakan warfarin, dipyridamole dan
asam asetil salisilat disamping terapi imunosupresan. Namun demikian belum ada
bukti sahih luaran penggunaan obat mencegah fibrin, karena pengobatan HSPN
menggunakan beberapa macam obat. Penggunaan obat mencegah fibrin dikhawatirkan
memperberat perdarahan sebagai komplikasi HSPN, sehingga penggunaan obat
tersebut tidak banyak digunakan.14
6. Mencegah proliferasi mesangial, glomerulosklerosis dan proteinuria
Anak HSPN, dapat progres menjadi lebih berat, karena timbunan IgA1 pada
mesangial, merangsang proliferasi sel mesangial, timbunan matrik ekstra sel dan
terjadi glomerulosklerosis. Proteinuria terjadi akibat gangguan serta penurunan
jumlah podosit karena kemokin merangsang proliferasi sel mesangial pada podosit.
Untuk mencegah mekanisme diatas digunakan angiotensin converting enzyme inhibitor
(ACEI). Kortikosteroid digunakan untuk menghambat proliferasi sel mesangial
dan progresivitas HSPN. Penggunaan cyclosporine A pada HSPN resisten terhadap
kortikosteroid belum terbukti keberhasilannya dan bersifat nefrotoksik.14
7. Mencegah terbentuknya crescents glomerulus
Terjadinya crescents glomerulus merupakan petanda kurang baik, karena crescents
menyebabkan kerusakan ginjal menetap, sehingga penderita HSPN akan menjadi
gagal ginjal terminal (GGT). Upaya mencegah terbentuknya crescents glomerulus
perlu terapi agresif dengan melakukan plasmapheresis. Selain itu pemberian methyl
prednisolone (MPNS) dosis tinggi secara pulse terbukti mempunyai luaran yang baik
pada HSPN dibanding pemberian steroid secara oral saja.14

Aplikasi klinis terapi HSPN18


Terapi HSPN menurut KDIGO3
- HSPN dengan proteinuria persisten >0,5-1 gram/hari/1.73m2 terapi dengan ACE-I
atau ARB
- HSPN proteinuria >1 gram/hari/1.73m2 terapi dengan kortikosteroid pulses 6 bulan
- HSPN crescents dengan sindrom nefrotik dan atau penurunan fungsi ginjal, terapi
dengan kortikosteroid pulses 6 bulan dan cyclophosphamide.
- Terapi kortikosteroid tidak dapat dipakai untuk mencegah komplikasi pada ginjal
anak HSP.

Terapi anak HSPN harus mempertimbangkan berat ringannya penyakit.


I. Penderita HSPN dengan kondisi berat
1. Terapi imunosupresan, indikasi:

413
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
- HSPN dengan gejala sindrom nefrotik-nefritik
- Penurunan fungsi ginjal akut bukan karena tubular nekrosis akut
- Terdapat bentukan crescents pada glomerulus
2. Imunosupresan menggunakan protokol multi-target
a. Kortikosteroid
- Methyl prednisolon (MP) intravena / pulses diberikan setiap bulan dosis
10-30 mg/kg/dosis (maksimum 1 gram) selama tiga hari berturut turut,
selama 6 siklus.
- Prednisolone oral mengikuti MP pulses dengan dosis 0,5-1mg/kg/
bb dengan maksimum dosis 30 mg/hari. Selanjutnya prednisolone
diturunkan 5mg/hari tiap bulan mengikuti MP pulses
- Metylprednisolon pulses dihentikan bila
• Proteinuria membaik <0,3 gram/hari/1.73m2
• Fungsi ginjal membaik
• Prednisolone oral diturunkan bertahap selama 6-12 bulan, dapat
diberikan secara alternate atau selang sehari bila proteinuria <1
gram/hari/1.73m2
• Sebagai terapi alternatif prednisolone dapat diberikan 1-2 mg/kgbb/
hari selama 3 bulan sebagai terapi awal
b. Mycophenolate mofetil (MPA)
- MPA diberikan bersamaan dengan terapi kortikosteroid
- Dosis MPA 600mg/m2/dosis tiap 12 jam (15-23mg/kg/dosis) maksimum
1 gram tiap 12 jam
- Monitor darah tepi tiap bulan. Bila neutrophil <1.5x109 MPA dihentikan
- Bila memungkinkan diperiksa kadar MPA dengan target 2-4mg/L
- Efek samping yang harus diwaspadai yaitu neutropenia, gastritis, ulkus
peptikum, kolik abdomen, diare, perdarahan gastrointestinal
- Ranitidin diberikan dengan dosis 3 mg/kgbb/malam hari untuk
mencegah komplikasi. Terapi lain omeprazole 0,4-08 mg/kgbb/hari
malam hari
- Bila komplikasi gastrointestinal menetap, MPA dapat diganti dengan
Myfortic
c. Terapi proteinuria
- Calcineurin inhibitor yaitu cyclosporine A atau tacrolimus
- ACEI dan angiotensin receptor blocker (ARB)
3. Protokol cyclophophamide dosis tinggi
- Terapi MP pulses dosis 10 mg/kgbb/hari (maksimum 1 gram per hari) selama
tiga hari berturut turut
- Prednisolone oral diberikan mengikuti terapi MP pulses, dosis 0,5-1 mg/kgbb/
hari. Prednisolone diturunkan bertahap tiap bulan sampai dosis minimal untuk
mengontrol HSPN

414 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


- Cyclophosphamide intravena 500-1000 mg/m2/bulan selama enam siklus.
Selanjutnya diberi terapi azathioprine atau MPA

II. Penderita HSPN dengan gejala ringan sampai sedang


1. ACEI dengan atau ARB
ACEI
- Enalapril 0,08 mg/kgbb/hari diberikan tiap 12-24 jam maksimum 1 mg/
kgbb/hari
- Ramipril 0,05 mg/kgbb/hari maksimum 0,2 mg/kgbb/hari
- Lisinopril 0,1 mg/kgbb/hari
ARB
- Losartan 0,5-0,7 mg/kgbb/hari maksimum 1,4mg/kgbb/hari
- Valsartan 0,8-3,0 mg/kgbb/hari
Efeksamping
- Hiperkalemia
- Peningkatan serum kreatinin
Monitor serum kalium dan serum kreatinin tiga hari setelah pemberian ACEI /
ARB setelah pemberian 3 – 6 bulan
2. Imunosupresan
Pemberian imunosupresan pada HSPN ringan - sedang bila terdapat gejala:
- Proteinuria ≥1 gram/hari/1.73m2
- Sindrom nefrotik
- Proteinuria menetap 0,5 - <1 gram/hari/1.73m2 walaupun telah diberi
terapi suportif selama 3-6 bulan
- Nyeri abdomen hebat, rash berulang serta gross hematuria
- Kortikosteroid dengan atau tanpa MPA selama 3-6 bulan
Oral prednisolone 1-2 mg/kgbb/hari dengan dosis terbagi selama 2 minggu,
selanjutnya dosis dapat diberikan sekali sehari. Dosis prednisolone diturunkan 5mg
tiap dua minggu tergantung perbaikan urinalisis. Prednisolone dapat diberikan
secara alternate bila proteinuria menurun sampai 0,3mg/kgbb/1.73m2
3. MPA dapat diberikan sebagai obat pendamping prednisolone

III. Penderita HSP dengan gejala sistemik tanpa nefritik


Kortikosteroid tidak diberikan bila tidak ada komplikasi pada ginjal. Pemberian
kortikosteroid dipertimbangkan pada keadaan sebagai berikut:
- Nyeri abdomen hebat. Steroid diberikan secara intravena. Bila gejala kolik
abdomen membaik, kortikosteroid intravena diganti oral
- Nyeri sendi hebat
- Arteritis berulang
- Purpura berulang

415
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Gambar 2. Algoritme tatalaksana HSPN18\

Prognosis
Prognosis HSP pada umumnya baik dan merupakan penyakit self limiting, namun
komplikasi pada ginjal merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak
dengan HSP. Prognosis jangka panjang anak dengan HSP tergantung beratnya gangguan
pada ginjal. 25% HSPN klas 2 (tanpa bentukan crescents pada glomerulus) dengan
proteinuria menetap mempunyai resiko menjadi PGK.1,3,7,21,22
Komplikasi HSP pada organ lain misalnya paru, saluran cerna, otak dan testis
kadang sangat berat. Sekitar 30% anak HSP akan mengalami rash dan HSP berulang.
Penelitian 78 anak HSP, gejala nefritik lebih sering ditemukan pada anak usia lebih besar.
Penelitian mendapatkan 44% anak HSP dengan gejala nefritik atau nefrotik pada saat
awal gejala HSP, akan mengalami hipertensi dan atau gangguan fungsi ginjal. Sedang
anak dengan gejala hematuria dengan atau tanpa proteinuria pada awal gejala HSP, 82%
dengan urinalisis normal serta tanpa disertai hipertensi maupun gangguan fungsi ginjal.
Proteinuria menetap pada satu tahun pertama merupakan petanda prognosis kurang
baik.1,3,7

416 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Penutup
HSP merupakan self limiting disease. Namun demikian berat ringannya komplikasi pada
ginjal mempengaruhi morbiditas dan mortalitas anak dengan HSP. Komplikasi pada ginjal
sering terjadi beberapa bulan dari gejala awal. Sehingga observasi jangka panjang harus
dilakukan. ACE-I atau ARB dan kortikosteroid merupakan terapi pilihan utama HSPN
dengan gangguan ginjal yang berat disamping terapi pendamping dan terapi suportif.

Daftar Pustaka
1. Davin JC, Coppo R. Henoch-Schӧnlein purpura nephritis in children. Nat Rev Nephrol.
2014;10:563-73.
2. Kawasaki Y, Ono A, Ohara S, Suzuki Y, Suyama K, Suzuki J, et al. Henoch-Schönlein purpu-
ra nephritis in childhood: pathogenesis, prognostic factors and treatment. Fukushima J Med
Sci. 2013;59:15-26.
3. Kidney Disease Improving Global Outcomes (KDIGO). KDIGO Clinical Practice Guide-
line for Glomerulonephritis. Kidney Kidney Int. 2012;2:218-20.
4. Lu S, Liu D, Xiao J, Yuan W, Wang X, Zhang X, et al. Comparison between adults and chil-
dren with Henoch-Schönlein purpura nephritis. Pediatr Nephrol. 2015;30:791-6.
5. Pohl M. Henoch-Schӧnlein purpura nephritis. Pediatr Nephrol. 2015; 30(2): 245-52.
6. Chen JY, Mao JH. Henoch-Schӧnlein purpura nephritis in children: incidence, pathogenesis
and management. World J Pediatr. 2015;11:29-34.
7. Koskela M, Ylinen E, Ukonmaanaho EM, Harmainen HA, Heikkilӓ P, Lohi J, et al. The
ISKDC classification and a new semiquantitative classification for predicting outcomes of
Henoch-Schӧnlein purpura nephritis. Pediatr Nephrol. 2017;32:1201-9.
8. Yang YH, Yu HH, Chiang BL. The diagnosis and classification of Henoch-Schӧnlein purpu-
ra: An updated review. Autoimmun Rev. 2014;13:355-8.
9. Akl K. Childhood Henoch Schönlein purpura in Middle East countries. Saudi J Kidney Dis
Transpl. 2007;18:151-8.
10. Pan YX, Ye Q, Shao WX, Shang SQ, Mao JH, Zhang T, et al. Relationship between immune
parameters and organ involvement in children with Henoch-Schönlein purpura. PLoS One.
2014;9:1-12.
11. Kawasaki Y. The pathogenesis and treatment of pediatric Henoch-Schӧnlein purpura nephri-
tis. Clin Exp Nephrol. 2011;15:648-57.
12. Lau KK, Suzuki H, Novak J, Wyatt RJ. Pathogenesis of Henoch-Schӧnlein purpura nephri-
tis. Pediatr Nephrol. 2010;25:19-26.
13. Zaffanello M. Henoch-Schӧnlein purpura nephritis in childhood. Dalam Prabhakar SS, Edi-
tor. An Update Glomerulopathies – Clinical and Treatment Aspects. 2011:209-30. Available
at: http://www.intechopen.com/books/an-update-on-glomerulophaties-clinical-and-treat-
ment-aspects/henoch-scho-nlein-purpura-nephritis-in-childhood
14. Davin JC. Henoch-Schӧnlein purpura nephritis: pathophysiology, treatment and future
strategy. Clin J Am Soc Nephrol. 2011;6:678-89.
15. Aviel YB, Dafna L, Pilar G, Brik R. Endothelial function in children with a history of henoch
Schönlein purpura. Pediatr Rheumatol Online J. 2017;15:1-6.

417
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
16. Modi S, Mohan M, Jennings A. Acute Scrotal Swelling in Henoch-Schönlein Purpura: Case
Report and Review of the Literature. Urol Case Rep. 2016;6:9-11.
17. Smith G. Management of Henoch-Schӧnlein purpura. Paediatr Child Health. 2016:1-5.
18. Liu ID, Resontoc LPR, Yap HK. Management of Henoch-Schӧnlein purpura nephritis. Da-
lam: Yap HK, Liu ID, Ng KH, Editor. Pediatric Nephrology On-The-Go. Edisi 2. Singapore:
Shaw-NKF-National University Hospital Children’s Kidney Center, 2015: 261-8.
19. Woerner A, Rudin C, Bonetto C, Santuccino C, Ozen S, Wise RP, et al. IgA vasculitis (He-
noch-Schӧnlein): Case definition andguidelines for data collection, analysis, and presenta-
tion of immunization safety data. Vaccine. 2016;35:1559-66.
20. Kaneko M, Ikezumi Y, Yamada T, Hasegawa H, Kaneko U, Saitoh A. Local leukocyte pro-
liferation as a target for cyclophosphamide in the treatment of Henoch-Schönlein purpura
nephritis grade VI. Nephrology. 2016;21:68-71.
21. Delbet JD, Hogan J, Aoun B, Stoica I, Solomon R, Decramer S, et al. Clinical outcomes
in children with Henoch-Schönlein purpura nephritis without crescents. Pediatr Nephrol.
2017;32:1193-9.
22. Floege J, Feehally J. Treatment of IgA nephropathy and Henoch-Schönlein nephritis. Nat
Rev Nephrol. 2013;9:320-7.

418 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Terapi profilaksis bagi anak dengan
hemofilia A
Novie Amelia Chozie
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta

Abstract
Replacement therapy is the main treatment in the management of hemophilia, given as on-demand
(when there is bleeding) or prophylaxis (to prevent bleeding). The World Federation of Haemophilia has
recommended prophylaxis to prevent bleeding and joint destruction to preserve normal musculoskeletal
function (level of recommendation 2). Results from observational studies clearly showed that continuous
prophylaxis begins at early age is superior to on-demand treatment in delaying or preventing the
development of arthropathy. Although prophylaxis has been demonstrated to be the standard of care to
prevent haemophilic joint arthropathy, some issues remain to be challenges that affect decision to choose
prophylaxis especially in young children. Besides the cost, regimen and dose issues, problems with venous
access, appropriate age to start prophylaxis, availability of clotting factors, access to hemophilia care,
strategies to early detect and monitor joint arthropathy after the onset of bleeding needs to be explored.
In Indonesia, factor VIII concentrate has become a standard for on-demand treatment for hemophilia
A patients. However, prophylaxis with current standard dose is beyond the affordability regarding high
cost, availability of concentrate across all provinces and restricted financial support from government.
The WFH has suggested effective low dose prophylaxis for countries with resources constraints. Studies
in developing countries has proved efficacy of low dose prophylaxis to reduce joint bleeding and prevent
arthropathy progression, with lower and more affordable cost.

D
alam tata laksana hemofilia, profilaksis didefinisikan sebagai pemberian konsentrat
faktor pembekuan intravena sebelum terjadi perdarahan atau untuk mencegah
perdarahan sendi. Profilaksis mulai diadopsi menjadi prinsip pengobatan hemofilia
berdasarkan bukti pengalaman para ahli di Swedia, yang telah menjalankan profilaksis
pada anak hemofilia A berat usia dini sejak tahun 1958.1 Berdasarkan observasi para ahli
di Swedia, penyandang hemofilia derajat sedang (kadar faktor pembekuan >1–5%) lebih
jarang mengalami perdarahan sendi spontan, sehingga memiliki fungsi muskuloskeletal yang
lebih baik dan jarang mengalami artropati bila dibandingkan dengan penyandang hemofilia
berat. Atas dasar observasi ini, para dokter di Swedia berpendapat bila kadar faktor VIII
dapat dinaikkan di atas 1%, gejala klinis penyandang hemofilia A berat dapat dimanipulasi
menjadi seperti penyandang hemofilia A sedang atau ringan. Nilsson dkk.2 melaporkan hasil
observasi selama 25 tahun bahwa anak hemofilia A berat yang mendapat profilaksis sejak
usia 1–2 tahun tidak mengalami kerusakan sendi dan menjalani hidup normal. Sebaliknya,
profilaksis yang dimulai pada usia lebih tua dapat mencegah progresivitas kerusakan sendi,
namun tidak dapat memperbaiki kerusakan yang telah terjadi.3

419
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Pada penelitian prospektif di Jerman, sebanyak 44% pasien hemofilia A berat
mengalami perdarahan sendi pertama pada usia ≤ 1 tahun, dengan rata-rata usia adalah
1,9 tahun.4 Dalam penelitian ini didapatkan bahwa awitan terjadinya perdarahan sendi
terjadi sekitar 6 bulan setelah perdarahan lainnya. Telah diketahui bahwa kejadian
artropati hemofilik meningkat seiring bertambahnya usia. Pada usia < 10 tahun jarang
pasien hemofilia A berat mengalami artropati, namun pada usia 10–19 tahun artropati
makin sering ditemukan. Pada usia dekade ke-3 lazim ditemukan minimal 1 sendi besar
dengan artropati berat, dengan 1–2 sendi besar lainnya mengalami artropati sedang, dan
1–2 sendi lainnya baru mulai memasuki tahap awal artropati.5

Definisi profilaksis
Untuk memperoleh kesepakatan tentang definisi profilaksis, pada tahun 2002
diselenggarakan konferensi internasional di London yang menghasilkan Consensus
Perspectives on Prophylactic Therapy for Hemofilia sebagai berikut:6
1. Profilaksis primer
a. Berdasarkan usia: yaitu terapi profilaksis jangka panjang berkesinambungan
dimulai sebelum usia dua tahun dan sebelum perdarahan sendi (klinis).
b. Berdasarkan terjadinya perdarahan sendi pertama: yaitu terapi profilaksis jangka
panjang berkesinambungan dimulai sebelum awitan kerusakan sendi (dianggap
setelah perdarahan sendi yang pertama kali atau sebelum perdarahan kedua).
2. Profilaksis sekunder, yaitu terapi profilaksis jangka panjang berkesinambungan
yang tidak memenuhi kriteria profilaksis primer (contoh: profilaksis dimulai setelah
perdarahan sendi ≥ 2 kali).
3. Profilaksis jangka pendek: profilaksis jangka pendek untuk mencegah perdarahan.
4. Definisi jangka panjang pada butir 1 dan 2 adalah pemberian terapi profilaksis
dimaksudkan selama 52 minggu (minimal 46 minggu) per tahun, sampai mencapai
usia dewasa.
Walau telah dibuat konsensus definisi profilaksis oleh para ahli, regimen yang
digunakan dalam praktek sehari-hari maupun dalam penelitian tetap bervariasi, bahkan
di satu negara sekali pun. Di satu sisi, regimen profilaksis idealnya sedapat mungkin
ditentukan secara individual, sesuai dengan usia, akses vena, fenotip perdarahan,
farmakokinetik, aktivitas fisis, dan ketersediaan konsentrat faktor pembekuan. Di
sisi lain belum ada cukup data yang memperlihatkan efikasi dan keamanan jangka
panjang berbagai variasi regimen profilaksis di berbagai negara.7,8,9
Pada tahun 2012, World Federation of Haemophilia mengeluarkan definisi terapi
profilaksis sebagai berikut: 7
1. Profilaksis berkesinambungan (kontinyu)
a. Profilaksis primer, yaitu pengobatan kontinyu secara teratur dimulai sebelum
ada kelainan osteokondral pada sendi (dibuktikan dengan pemeriksaan fisis dan/
atau radiologis), diberikan sebelum terdapat bukti klinis perdarahan pada sendi
besar (pergelangan kaki, bahu, siku, lutut, pinggul) dan di bawah usia tiga tahun.

420 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


b. Profilaksis sekunder, yaitu pengobatan kontinyu secara teratur dimulai
setelah terdapat perdarahan dua kali/lebih pada sendi besar, namun belum
terjadi awitan kerusakan sendi yang dibuktikan dengan pemeriksaan fisis dan
radiologis.
c. Profilaksis tersier, yaitu pengobatan kontinyu secara teratur setelah adanya
kerusakan sendi yang dibuktikan dengan pemeriksaan fisis dan radiologis.
2. Profilaksis intermiten atau periodik, yaitu pengobatan yang diberikan untuk
mencegah perdarahan tidak lebih dari 45 minggu dalam setahun.
World Federation of Hemofilia merekomendasikan terapi profilaksis untuk mencegah
perdarahan dan destruksi sendi, untuk mempertahankan fungsi muskuloskeletal yang
normal (level of recommendation 2).7 Bahkan bila kadar faktor pembekuan dalam plasma
tidak dapat mencapai > 1% setiap waktu, profilaksis tetap bermanfaat untuk mencegah
kerusakan sendi.10 Pada penyandang hemofilia yang mengalami perdarahan sendi berulang
≥ 4 kali dalam 6 bulan pada sendi yang sama (sendi target), dianjurkan pemberian profilaksis
jangka pendek selama 4–8 minggu untuk menginterupsi perdarahan berulang (level of
recommendation 3).7 Profilaksis jangka pendek ini dapat dikombinasi dengan fisioterapi
intensif atau sinoviortesis.11 Bila telah terjadi kerusakan sendi, profilaksis tidak dapat
memperbaiki kerusakan sendi yang telah terjadi, namun dapat mencegah perdarahan
selanjutnya, memperlambat terjadinya artropati, dan memperbaiki kualitas hidup.3
Masih menjadi perdebatan apakah semua penyandang hemofilia sebaiknya tetap
mendapat profilaksis sampai usia dewasa muda. Data menunjukkan bahwa sebagian
penyandang hemofilia berusia dewasa muda dapat beraktivitas dengan baik tanpa
profilaksis, namun masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut sebelum rekomendasi dapat
dibuat.12,13 Belum ada kesepakatan juga mengenai profilaksis bagi penyandang hemofilia
yang mempunyai inhibitor faktor VIII.14
Kesulitan menentukan usia awitan atau waktu optimal untuk memulai profilaksis
disebabkan variabilitas usia awitan terjadinya perdarahan pada penyandang hemofilia
A berat. Sebanyak 10–15% kasus hemofilia A berat menunjukkan fenotipe perdarahan
seperti hemofilia ringan atau sedang.15 Dengan bervariasinya manifestasi klinis hemofilia
A berat, sebagian ahli berpendapat bahwa profilaksis sebaiknya dimulai setelah pola gejala
perdarahan sendi lebih jelas. Dengan demikian pasien dan keluarga lebih memahami
masalah yang timbul dan memotivasi kepatuhan berobat.16
Masalah keamanan terapi profilaksis terutama mengenai transmisi penyakit
infeksi melalui konsentrat faktor pembekuan serta risiko infeksi dan trombosis akibat
penggunaan kateter implan vena sentral.2 Di negara berkembang seperti Indonesia dengan
segala keterbatasannya, terapi profilaksis belum menjadi pilihan utama bagi penyandang
hemofilia. Namun demikian cost effectiveness jangka panjang perlu dipertimbangkan,
dibandingkan dengan biaya tata laksana artropati hemofilik kronik yang seringkali
membutuhkan operasi berulang dan konsumsi faktor pembekuan yang sangat besar,
kualitas hidup serta produktivitas para penyandang hemofilia

421
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Saat ini terdapat dua regimen standar profilaksis primer di negara tanpa keterbatasan
sumber daya, dengan efikasi jangka panjang yang telah terbukti, yaitu protokol Malmö dan
protokol Utrecht. Protokol Malmö menggunakan dosis faktor VIII 25–40 IU/kgBB 3 kali
seminggu sedangkan protokol Utrecht menggunakan dosis faktor VIII 15–30 IU/kgBB 3
kali seminggu.7 Rekomendasi National Hemofilia Foundation (NHF) Amerika Serikat dan
Medical and Scientific Advisory Council (MASAC) mirip dengan protokol Malmö yaitu
faktor VIII dosis 25–50 IU/kgBB 3 kali seminggu untuk hemofilia A berat.17
Profilaksis sekunder dapat diberikan pada rentang usia yang cukup besar, dengan
luaran bervariasi bergantung pada jumlah kumulatif perdarahan sendi sebelumnya dan
tahap kerusakan sendi yang telah terjadi pada saat dimulainya terapi.16 Beberapa penelitian
profilaksis sekunder menunjukkan luaran yang cukup menjanjikan yakni berkurangnya
jumlah perdarahan sendi.18,19

Terapi profilaksis dosis rendah


Untuk negara-negara dengan sumber daya terbatas, WFH menganjurkan profilaksis
dengan dosis lebih rendah, namun masih perlu diteliti efektivitas dan keamanannya.20
Beberapa penelitian mengenai efektivitas profilaksis dosis rendah akhir-akhir ini dilaporkan
peneliti dari Cina dan India. Penelitian Wu dkk.21 di Beijing Children Hospital pada 34
pasien hemofilia berat dan sedang dengan median usia 7,8 tahun, melakukan observasi
pasien selama mendapat terapi on-demand 12 minggu, dilanjutkan pemberian konsentrat
faktor VIII 10 IU/kg dua kali seminggu selama 12 minggu berikutnya. Wu21 melaporkan
terdapat penurunan jumlah perdarahan sendi sebesar 83% dengan terapi profilaksis, juga
perbaikan fungsi sendi dan kualitas hidup (kehadiran di sekolah, partisipasi dalam olah
raga dan kegiatan sehari-hari).
Penelitian Wu dkk.21 dilanjutkan dengan melibatkan 15 pusat hemofilia di Cina,
dengan total subjek 191 anak hemofilia berat dan sedang. Seluruh subjek diobservasi selama
8 minggu mendapat terapi on-demand, dilanjutkan 6–12 minggu terapi profilaksis dosis
rendah, namun pada akhir penelitian hanya 66 subjek dapat dianalisis karena banyaknya
subjek tidak mematuhi protokol. Pada penelitian multisenter tersebut didapatkan
penurunan jumlah perdarahan sendi dengan terapi profilaksis (p < 0,001) dan penurunan
jumlah episode perdarahan serius yang mengancam jiwa sebesar 68,9%. Penurunan
jumlah perdarahan sendi lebih bermakna pada subjek yang mendapat profilaksis lebih
dari 10 minggu (p = 0,001), subjek hemofilia berat (p = 0,005) dan subjek berusia lebih
dari 12 tahun (p = 0,024).22
Verma dkk.23 di India melakukan penelitian pada 21 anak hemofilia berat usia 1- 10
tahun, membandingkan efektivitas terapi profilaksis dosis 10 IU/kg dua kali seminggu
dan on-demand, selama 11,5 bulan. Penelitian tersebut mendapatkan jumlah perdarahan
sendi kelompok profilaksis lebih rendah dibandingkan kelompok on-demand (p < 0,05),
demikian pula skor HJHS dan skor Pettersson pada enam sendi utama (siku, lutut dan
mata kaki, bilateral).

422 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Studi klinis acak terbuka telah dilakukan di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
Jakarta tahun 2016 pada 50 anak hemofilia A berat usia 4 −18 tahun dengan riwayat
perdarahan sendi berulang, dengan tujuan membandingkan efikasi terapi profilaksis
dosis rendah (10 IU/kgBB 2 kali seminggu) dan terapi on-demand. Kekerapan
perdarahan sendi pada kelompok profilaksis (5 ± 4,3) lebih baik secara bermakna
daripada kelompok on-demand (8(3–30)), IK95% 0.9–6.99; p = 0,009. Demikian pula
hasil ultrasonografi sendi yang dinilai dengan skor HEAD-US kelompok profilaksis
lebih baik dibandingkan kelompok on-demand (IK95% 2– 8,81; p = 0,003). Tidak
didapatkan subjek yang mengalami inhibitor faktor VIII pada kedua kelompok selama
penelitian. Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa terapi profilaksis sekunder
dosis rendah efektif mengurangi kekerapan perdarahan sendi dan memperbaiki hasil
ultrasonografi sendi dibandingkan terapi on-demand. 24

Pengaruh profilaksis terhadap timbulnya inhibitor


Inhibitor faktor VIII adalah antibodi IgG yang dibentuk oleh tubuh sebagai respons
terhadap terapi sulih. Antibodi ini bersifat menetralisasi faktor VIII. Inhibitor lebih
sering ditemukan pada hemofilia A, terutama hemofilia A berat, dengan insidens sekitar
30%.7,25,26
Data klinis dari banyak penelitian memperlihatkan bahwa profilaksis sejak usia dini
dan penghindaran terapi intensif pada awal pajanan faktor VIII kemungkinan memiliki
efek protektif terhadap timbulnya inhibitor.27 Dugaan ini diperkuat oleh rendahnya
insidens inhibitor di Swedia.28 Mekanisme yang mendasari hal itu belum sepenuhnya
jelas, diduga profilaksis faktor VIII secara teratur sejak usia dini tanpa adanya pemicu
‘danger signal’ respons imun, akan menimbulkan anergi limfosit T spesifik faktor VIII
sehingga mencegah pembentukan antibodi.29
Penelitian retrospektif di Spanyol terhadap 50 anak dengan hemofilia A berat,
mendapatkan bahwa 15 dari 19 pasien yang mendapat terapi on-demand ternyata timbul
inhibitor, sedangkan dari 31 anak dengan terapi profilaksis tidak ditemukan inhibitor (p
< 0,05).30 Analisis subkelompok berdasarkan jenis mutasi genetik memperlihatkan bahwa
dari 20 anak dengan mutasi genetik risiko tinggi terhadap timbulnya inhibitor, delapan
anak yang mendapat profilaksis tidak satu pun yang terdeteksi mempunyai inhibitor,
sedangkan 12 anak lainnya mendapat terapi on-demand dan 11 di antaranya timbul
inhibitor (0% vs. 92%, p < 0,05).
Penelitian kasus kontrol oleh Santagostino dan kawan-kawan merupakan studi
pertama yang menganalisis faktor risiko inhibitor lain yang relevan dengan analisis
multivariat, seperti jenis mutasi gen faktor VIII dan riwayat keluarga dengan inhibitor
(rasio Odds 0,2, interval kepercayaan 95%: 0,06–0,9). Analisis subkelompok pada anak
yang mendapat profilaksis usia < 3 tahun menunjukkan risiko inhibitor berkurang sebesar
70%.31

423
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Penelitian CANAL,32 yang merupakan studi kohort retrospektif multisenter,
bertujuan mengevaluasi hubungan antara karakteristik pengobatan dengan timbulnya
inhibitor pada pasien hemofilia A berat yang belum pernah mendapat terapi faktor VIII.
Subjek penelitian ini sebanyak 366 anak berasal dari 14 pusat hemofilia di Eropa dan
Canada. Delapan puluh tujuh subjek (24%) timbul inhibitor yang bermakna secara klinis
dan 69 di antaranya adalah high responders (titer inhibitor ≥ 5 BU). Timbulnya inhibitor
berkaitan erat dengan tindakan bedah dan terapi intensif faktor VIII pada awal pengobatan.
Pasien yang mendapat terapi profilaksis memperlihatkan risiko timbulnya inhibitor 60%
lebih rendah dibandingkan pasien dengan terapi on-demand. Penelitian-penelitian yang
menunjukkan bukti protektif profilaksis primer terhadap timbulnya inhibitor pada
hemofilia A berat semakin banyak, namun sampai saat ini belum ada uji klinis prospektif
dengan randomisasi, yang sulit dilakukan karena masalah etika. Demikian pula risiko
timbulnya inhibitor pada profilaksis sekunder, tersier maupun intermiten masih perlu
diteliti lebih lanjut.

Penutup
Tidak dapat dipungkiri bahwa biaya pengobatan hemofilia sangatlah mahal. Biaya
yang sangat besar ini terutama disebabkan karena proses pembuatan konsentrat faktor
pembekuan yang perlu mengedepankan faktor keamanan, mengingat obat ini digunakan
seumur hidup. Seperti negara berkembang lainnya, saat ini pengobatan hemofilia di
Indonesia masih menggunakan pola on-demand. Berdasarkan data Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) 2016 (dipresentasikan oleh Direktur BPJS pada Kongres Nasional
ke-5 Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia, 2017), hemofilia menempati urutan
ke-7 terbesar pengguna biaya BPJS secara nasional. Namun demikian, dengan pola on-
demand, sebagian besar penyandang hemofilia akan mengalami artropati hemofilik yang
berujung pada cacat fisik dan kualitas hidup yang rendah pada usia dekade ke-3 dan ke-4.
Biaya kesehatan yang dibutuhkan pada tahap ini akan semakin besar karena dibutuhkan
tindakan operasi korektif yang membutuhkan konsentrat lebih banyak lagi.
Farrugia dkk.34 meneliti cost-utility model yang membandingkan terapi profilaksis
dengan terapi on-demand pada subjek hemofilia A berat seumur hidup, menggunakan
standar tata laksana hemofilia untuk mengatasi perdarahan, komplikasi inhibitor (bypassing
agent dan immune tolerance therapy) dan operasi muskuloskeletal sesuai sistem kesehatan
di Inggris dan Amerika Serikat. Peneliti menyimpulkan bahwa pengobatan seumur hidup
dengan profilaksis adalah cost-effective untuk sistem kesehatan di kedua negara tersebut.
Peneliti juga mendapatkan bahwa cost per quality-adjusted life year (QALY) berdasarkan
model tersebut yang diterapkan di Swedia juga masih sesuai dengan biaya kesehatan yang
ada di negara tersebut.
Walaupun sistem dan pembiayaan kesehatan di Indonesia berbeda dengan ketiga
negara yang diteliti oleh Farrugia dkk.,33 dengan bukti sahih manfaat klinis yang ada,
terapi profilaksis dosis rendah sangat perlu dipertimbangkan menjadi pilihan utama bagi

424 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


anak penyandang hemofilia A berat. Saat ini tengah dilakukan kajian health technology
assesment berbasis rumah sakit di Jakarta terhadap cost effectiveness dan kualitas hidup
terapi profilaksis dosis rendah dibandingkan on-demand, dan diharapkan dapat memberi
masukan bagi para pemangku kebijakan kesehatan nasional untuk menjadikan terapi
profilaksis dosis rendah sebagai terapi pilihan utama bagi anak penyandang hemofilia.

Daftar pustaka
1. Löfqvist T, Nilsson IM, Berntorp E, Pettersson H. Haemophilia prophylaxis in young pa-
tients – a longterm follow-up. J Intern Med. 1997;241:395–400.
2. Nilsson IM, Berntorp E, Lofqvist T, H P. Twenty-five years experience of prophylactic treat-
ment in severe haemophilia A and B. J Intern Med. 1992;232:25–32.
3. Fischer K, van der Bom JG, Mauser-Bunschoten EP, Roosendaal G, Prejs R, de Kleijn P, dkk.
The effects of postponing prophylactic treatment on long-term outcome in patients with
severe hemophilia. Blood. 2002;99:2337‒41.
4. Pollmann H, Richter H, Ringkamp H, H J. When are children diagnosed as having severe
haemophilia and when do they start to bleed? A 10-year single-centre PUP study. Eur J Pe-
diatr. 1999;158:S166–70.
5. Ahlberg A. Haemophilia in Sweden VII. Incidence, treatment and prophylaxis of arthropa-
thy and other musculo-skeletal manifestations of haemophilia A and B. Acta Orthop Scand.
1965;77:S5–99.
6. Berntorp E, Astermark J, Björkman S, Blanchette VS, Fischer K, Giangrande PL, dkk. Con-
sensus perspectives on prophylactic therapy for haemophilia: Summary statement. Haemo-
philia. 2003;9:S1–4.
7. Srivastava A, Brewer AK, Mauser-bunschoten EP, Key NS, Kitchen S. Treatment Guidelines
Working Group on Behalf of The World Federation of Hemophilia: Guidelines for the man-
agement of hemophilia. Haemophilia. 2013;19:1–47.
8. Astermark J, Petrini P, Tengborn L, Schulman S, Ljung R, Berntorp E. Primary prophylaxis
in severe haemophilia should be started at an early age but can be individualized. Br J Hae-
matol. 1999;105:1109‒13.
9. Blanchette VS. Prophylaxis in the haemophilia population. Haemophilia. 2010;16:S181‒8.
10. Feldman BM, Pai M, Rivard GE, Israels S, Poon MC, Demers C, dkk. Association of Hemo-
philia Clinic Directors of Canada Prophylaxis Study Group. Tailored prophylaxis in severe
hemophilia A: Interim results from the first 5 years of the Canadian Hemophilia Primary
Prophylaxis Study. J Thromb Haemost. 2006;4:1228–36.
11. Luchtman-Jones L, Valentino LA, Manno. Recombinant therapy workshop participants.
Considerations in the evaluation of haemophilia patients for short-term prophylactic thera-
py: A paediatric and adult case study. Haemophilia. 2006;12:82–6.
12. Fischer K, van Der Bom JG, Prejs R, Mauser-Bunschoten EP, Roosendaal G, Grobbee DE,
dkk. Discontinuation of prophylactic therapy in severe haemophilia: Incidence and effects on
outcome. Haemophilia. 2001;7:544‒50.
13. Hay CR. Prophylaxis in adults with haemophilia. Haemophilia. 2007;13:S10‒5.
14. Fischer K, Valentino L, Ljung R, Blanchette V. Prophylaxis for severe haemophilia: Clinical
challenges in the absence as well as in the presence of inhibitors. Haemophilia. 2008;14:S196–
201.

425
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
15. Aledort LM, Haschmeyer RH, Petterssont H, & the Orthopaedic Outcome Study Group. A
longitudinal study of orthopaedic outcomes for severe factor-VIII-deficient haemophiliacs. J
lnt Med. 1994;236:391‒9.
16. Valentino LA. Secondary prophylaxis therapy: What are the benefits, limitations and un-
knowns? Haemophilia. 2004;10:147–57.
17. National Hemophilia Foundation. MASAC recommendation concerning prophylaxis (reg-
ular administration of clotting factor concentrate to prevent bleeding) (DocumentM#179).
New York: National Hemophilia Foundation. 2007.
18. van den Berg HM, Fischer K, Mauser-Bunschoten EP, Beek FJA, Roosendaal G, van der
Bom JG, dkk. Long-term outcome of individualized prophylactic treatment of children with
severe haemophilia. Br J Haematol. 2001;112:561–5.
19. Yee TT, Beeton K, Griffioen A, Harrington C, Miners A, Lee CA, dkk. Experience of prophy-
laxis treatment in children with severe haemophilia. Haemophilia. 2002;8:76–82.
20. Fischer K, van der Bom JG, Mauser-Bunschoten EP, Roosendaal G, Prejs R, Grobbee DE,
dkk. Changes in treatment strategies for severe haemophilia over the last 3 decades: Effects on
clotting factor consumption and arthropathy. Haemophilia. 2001;7:446‒52.
21. Wu R, Luke KH, Poon MC, Wu X, Zhang N, Zhao L, dkk. Low dose secondary prophylaxis
reduces joint bleeding in severe and moderate haemophiic children: a pilot study in China.
Haemophilia. 2011;17:70–4.
22. Tang L, Wu R, Sun J, Zhang X, Feng X, Luke KH, dkk. Short-term low-dose secondary
prophylaxis for severe/moderate haemophilia A children is beneficial to reduce bleed and
improve daily activity, but there are obstacle inits execution: A multi-centre pilot study in
China. Haemophilia. 2013;19:27–34.
23. Verma SP, Dutta TK, Mahadevan S, Nalini P, Basu D, Biswal N, dkk. A randomized study of
very low-dose factor VIII prophylaxis in severe haemophilia - A success story from a resource
limited country. Haemophilia. 2016;22:342‒8.
24. Novie Amelia Chozie. Terapi profilaksis sekunder dosis rendah dibandingkan terapi on-de-
mand untuk mencegah progresivitas artropati pada anak penyandang hemofilia A berat: ka-
jian pada luaran klinis, skor muskuloskeletal, ultrasonografi sendi, kadar C-Terminal Telo-
peptide of Collagen Type II urin dan terbentuknya inhibitor faktor VIII. Jakarta : Universitas
Indonesia; 2016.
25. Gatot D, Moeslichan MZ. Gangguan pembekuan darah yang diturunkan : hemofilia. Da-
lam: Permono HB, Sutaryo, Ugrasena IDG, Windiastuti E, Abdulsalam M, editor. Buku ajar
hematologi-onkologi. Edisi: Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter anak Indonesia; 2005. h.
174‒6.
26. Montgomery RR, Gill JC, Scott JP. Hemophilia and von Willebrand disease. Dalam: Nathan
DG, Orkin SH, editor. Nathan and Oski’s hematology of infancy and childhood. Edisi ke-6:
Tokyo: WB Saunders Company; 2003. h. 1631–69.
27. Mancuso ME, Graca L, Auerswald G, Santagostino E. Haemophilia care in children – bene-
fits of early prophylaxis for inhibitor prevention. Haemophilia. 2009;15:S8–14.
28. Nilsson IM. The management of hemophilia patients with inhibitors. Transfus Med Rev.
1992;6:285–93.
29. Matzinger P. The danger model: A renewed sense of self. Science. 2002;296:301–5.
30. Morado M, Villar A, Jimenez Yuste V, Quintana M, F HN. Prophylactic treatment effects on
inhibitor risk: Experience in one centre. Haemophilia. 2005;11:79–83.

426 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


31. Santagostino E, Mancuso ME, Rocino A, Mancuso G, Mazzucconi MG, Tagliaferri A, dkk.
Environmental risk factors for inhibitor development in children with haemophilia A: A
case-control study. Br J Haematol. 2005;130:422–7.
32. Gouw SC, van der Bom JG, van den Berg HM. Treatment-related risk factors of inhibitor
development in previously untreated patients with hemophilia A: The CANAL cohort study
Blood. 2007;109:4648‒54.
33. Farrugia A, Cassar J, Kimber C, Bansal M, Fischer K, Auserswald G, dkk. Treatment for life
for severe haemophilia A– A cost-utility model for prophylaxis vs. on-demand treatment.
Haemophilia. 2013;19:e228–38

427
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Complicated Nephrotic Syndrome
Oke Rina Ramayani
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara /RSUP H.Adam Malik Medan

Abstract
Nephrotic syndrome (NS) is a common manifestation of glomerulopathy in children. Children with
NS have a decreased quality of live, also have risk of a wide range complications. These complications
associated with significant morbidity and experience mortality rates of up to 2.7%. Urinary loss of plasma
protein, changing in oncotic pressure and adverse effect of immunosuppressant drug, are caused of higher
complication in children with NS compare with normal population. Complications related to disease
itself are infection; hypovolemia; thromboemboli, and renal insufficiency, meanwhile complications
related to drug are growth disturbances, encephalopathy and decreased renal or hepatic function.

M
ekanisme utama terjadi komplikasi pada SN adalah hilangnya protein
plasma ke dalam urin. Kehilangan protein menyebabkan penurunan tekanan
onkotik intravaskular yang selanjutnya menyebabkan cairan merembes ke
ruang interstisial. Pengurangan volume intravaskular akan menurunkan perfusi ginjal
dengan akibat penurunan laju filtrasi glomerulus, dan memicu sistem renin-angiotensin.
Aldosteron, sebagai hasil dari aktivasi sistem renin-angiotensin, bersama dengan
peningkatan sintesis dan sekresi hormon antidiuretik sebagai respon penurunan volume
intravaskular, menyebabkan peningkatan reabsorbsi natrium dan air di tubulus. Hal ini
juga menimbulkan gejala klinis seperti takikardia, vasokonstriksi perifer, tekanan darah
rendah, oliguria dan retensi sodium urin.1,2
Teori underfill di atas tidak selalu dapat diterapkan pada pasien sindrom nefrotik.
Pada beberapa pasien didapatkan peningkatan volume intravaskular, dengan kadar renin
dan aldosteron rendah. Pada pasien-pasien ini, terjadi kelainan primer pada fungsi ginjal
yang menyebabkan retensi air dan natrium, peningkatan volume sirkulasi sehingga terjadi
transudasi cairan ke rongga interstisial, hipertensi, dan penurunan fungsi ginjal 1-3 Oleh
karena itu penanganan edema pada pasien SN harus mempertimbangkan keadaan klinis
setiap individu (Tabel 1).4,5
Selain perubahan hemodinamik akibat perubahan tekanan onkotik, komplikasi
SN juga disebabkan hilang protein plasma yang turut membawa zat zat peting dalam
pencegahan infeksi, tromboemboli dan gangguan kalsium. Komplikasi tersebut dapat
terjadi sehubungan dengan penyakit dan akibat obat-obatan yang diberikan. Komplikasi
SN sehubungan dengan penyakit tersebut adalah infeksi, hipovolemia, tromboemboli,
insufisiensi renal dan gangguan pertumbuhan.

428 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Tabel 1. Manajemen edema pada SN4,5
Derajat edema Manejemen Keterangan
Edema ringan • Restriksi sodium • <1-2 g/hari atau < 35 mg/kg/hari
• Restriksi cairan
Edema moderat • Restriksi sodium
• Restriksi cairan
• Diuretika loop • Furosemid oral 1-3 mg/kg/hari
• Diuretika hemat kalium • Spironolakton oral 2-4 mg.kg/hari
Edema berat/edema • Restriksi sodium
refrakter • Restriksi cairan
• Diuretika loop +/- diuretika hemat • Furosemid iv dengan monitoring
kalium
• Diuretika tiazide • HCT 1-2 mg/kg/hari
• Albumin diikuti bolus furosemid1 • Albumin 20% 0,5-1 g/kg dengan
Furosemid bolus 1-3 mg/kg/kali atau
drip 0,3 mg/kg/jam
1.
Kewaspadaan pada pasien dengan gangguan ginjal akut dan kontraindikasi pada edema paru

Komplikasi hipovolemia
Penderita SN mempunyai risiko besar untuk mengalami hipovolemia dan syok. Gejala
dan tanda hipovolemia ialah hipotensi, takikardia, akral dingin dan perfusi buruk,
peningkatan kadar urea dan asam urat dalam plasma.2,6,7 Nyeri abdomen juga dapat
menjadi gejala hipovolemia dan peritonitis. Komplikasi ini dapat terjadi sebagai akibat
pemakaian diuretik yang tidak terkontrol, terutama pada kasus yang disertai dengan
sepsis, diare dan muntah.8
Walaupun penderita SN memiliki peningkatan total air tubuh dan sodium untuk
mengkompensasi deplesi volume intra vaskular, namun status volume pasien (hipovolemia
atau masih normovolemia) terkadang sulit dideteksi, bahkan penderita jatuh dalam
keadaan gangguan ginjal akut.8,9 Pemantauan volume sirkulasi penting dilakukan misalnya
berdasarkan data klinis maupun laboratorium pasien (Tabel 2). Pemberian diuretik loop
aman diberikan apabila volume sirkulasi normal, namun apabila volume sirkulasi menurun
maka penggunaan diuretik perlu berhati-hati diberikan.3

Tabel 2. Pemantauan volume sirkulasi


Volume sirkulasi normal Volume sirkulasi menurun
Perbedaan temperatur tubuh dan perifer < 2 °C > 2 °C
Jari kaki/tangan merah kebiruan
Waktu pengisian kapiler < 2 detik > 2 detik
Denyut jantung Normal Meningkat
Tekanan darah Normal Menurun
Volume urin output Normal Menurun
Sodium urin > 20 mmol/L < 10 mmol/L
Hipovolemia diterapi dengan pemberian cairan fisiologis (NaCL 0,9%) sebanyak 15-20 ml/kg dengan cepat,
atau albumin 0,5-1 gram/kg selama 4 jam. Apabila penderita SN mendapatkan terapi diuretik, maka pence-
gahan hipovolemia perlu dilakukan dengan pemantauan volume sirkulasi, berat badan dan elektrolit secara
regular. Bila terbukti atau tersangka infeksi berat (selulitis atau peritonitis atau sepsis) maka diberi terapi
antibiotika parenteral.3,4

429
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Komplikasi infeksi
Peningkatan risiko infeksi terjadi oleh karena kekurangan konsentrasi immunoglobulin
yang hilang melalui urin, gangguan dalam membuat antibodi spesifik, kurang faktor
komplemen dan pemakaian obat imunosupresif. Kumulatif insidensi infeksi berkaitan
dengan mortalitas menurun dari 40% hingga 1,5% dengan pemakaian antibiotika.10
Infeksi, yang paling sering adalah peritonitis (2-6%), kemudian selulitis, pneumonia, dan
infeksi saluran napas atas oleh virus (Tabel 3).11
Komplikasi infeksi terutama infeksi bakteri berkapsul memperlihatkan peningkatan
frekuensi pada penderita SN. Selain itu, asites dan efusi pleura memberikan media
kultur alami untuk pertumbuhan bakteri, dengan demikian, pneumonia, empiema, dan
peritonitis merupakan infeksi serius yang sering terjadi.2,12 Peranan dokter dalam praktik
untuk menganjurkan imunisasi merupakan salah satu cara mencegah komplikasi infeksi
serius pada penderita SN.

Tabel 3. Komplikasi infeksi11


Infeksi Gambaran klinis Organisma penye- Antibiotika Lama pengo-
bab batan
Peritonitis Nyeri dan distensi ab- S. pneumoniae, Penisilin/ampisilin dan 10-14 hari
domen,diare, muntah S. pyogenes, aminoglikosida; atau
Demam, bisa ada bisa E. coli, sefotaksim/ceftriakson
tidak S. aureus

Pneumonia S. pneumoniae, Amoksisilin, 7-10 hari


Demam, batuk H. influenzae eritromisin, sefaleksin
takipnu, Ampisilin dan
aminoglikosida atau
sefotaksim/seftriakson
Infeksi saluran Disuria, demam , E. coli, Amoxicillin, cefalek- 7-10 hari
kemih urgency, Klebsiella spp. sin,
Proteus spp. cotrimoksazol,
co-amoksiklav,
amikasin
Selulitis Nyeri tekan, kemerah- Group A streptococci, Ampicillin dan 7-10 hari
an, indurasi H. influenzae aminoglikosida; atau
sefotaksim/seftriakson
Infeksi jamur Infiltrat pada foto Candida, Flukonazol 7-10 hari
Paru thoraks, demam, Aspergillus spp. Amfoterisin B 14-21 hari
ada hypa pada sputum
Infeksi varicel- Infeksi varicella-zoster Varicella Zoster Asiklovir 80 mg/kg/hari
la-zoster virus selama 5 hari

Komplikasi tromboemboli
Dua sampai 5% dari anak SN berkomplikasi tromboemboli. Risiko lebih tinggi pada
anak resisten steroid dibanding dengan sensitif steroid, selain itu penderita SN kongenital

430 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


dan SN sekunder lebih berisiko mengalami tromboemboli. Lokasi potensial untuk
tromboemboli termasuk deep vein, trombosis vena renalis, emboli paru, dan situs arteri.13
Patofisiologi trombogenesis pada SN tidak sepenuhnya dimengerti, tetapi dapat
disebabkan multi faktor. Secara umum mekanisme ini termasuk peningkatan konsentrasi
protein urin yang mencegah terjadinya trombosis (antitrombin III, protein C dan protein
S) dan peningkatan faktor sintesis yang menyebabkan trombosis (faktor V dan VIII, faktor
von Willebrand, α2­plasmin inhibitor, plasminogen activator inhibitor1 dan fibrinogen).14
Kombinasi faktor risiko lainnya adalah hipovolemia, hiperlipidemia dan trombositosis.14-16
Antikoagulan profilaksis tidak rutin direkomendasikan kecuali jika pasien mengalami
tromboemboli atau risiko tinggi trombosis (konsentrasi albumin kurang 2 g/dL, level
fibrinogen lebih dari 6 g/L atau level antitrombin III kurang dari 70% normal). Penderita
yang menunjukkan gejala trombosis, baik secara klinis maupun radiologis, diberikan
heparin subkutan, dilanjutkan dengan warfarin oral selama 6 bulan.13-16

Gangguan metabolisme kalsium dan vitamin D


Hipokalsemia dikaitkan dengan penurunan kadar albumin, yang menyebabkan
pengurangan kalsium terikat dan terionisasi (50 sampai 80% kasus). Penderita SN sering
memiliki hipokalsiuria karena penurunan penyerapan kalsium di gastrointestinal dan
peningkatan reabsorpsi kalsium di tubulus ginjal. Kelainan dalam metabolisme vitamin
D terjadi oleh karena peningkatan filtrasi metabolit vitamin D-binding globulin. Gejala
klinis yang timbul adalah hipokalsemia, hiperparatiroidisme sekunder dan gangguan
kalsifikasi tulang
Pengobatan steroid jangka lama juga dapat menimbulkan risiko osteoporosis. Dua
puluh dua persen penderita SN menunjukkan massa tulang yang rendah. Penurunan massa
tulang ini berkaitan dengan usia awitan yang lebih tua, asupan kalsium yang rendah, dan
dosis kumulatif steroid.17 Selain itu pada sindrom nefrotik, terjadi defisiensi vitamin D,
sekalipun dalam keadaan remisi.18 Dalam keadaan ini diperlukan pemberian kalsium oral
(250-500 mg) dan vitamin D (125-250 IU), terutama pada anak dengan SN relaps sering,
dependen steroid, dan resisten steroid.11

Gangguan ginjal akut


Gagal ginjal akut merupakan komplikasi SN yang mengkhawatirkan. Ketika proteinuria
masif terjadi dan albumin menurun, volume sirkulasi di plasma berkurang sehingga
terjadi kolaps sirkulasi. Oleh karena itu, penggunaan diuretik pada keadaan seperti di
atas perlu ditunda pemberiannya minimal 8 jam.3 Penurunan LFG dapat pula ditemukan
pada keadaan normovolemia, hal ini disebabkan oleh kerusakan pada foot processus yang
mengakibatkan berkurangnya area filtrasi dan penurunan permeabilitas air.6
Gangguan ginjal akut dapat pula dipicu oleh sepsis, zat radiokontras, akut tubular
nekrosis dari antibiotik nefrotoksik dan obat anti inflamasi non-steroid, selain itu dapat

431
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
pula terjadi sekunder akibat trombosis vena renalis, atau terjadi nefritis interstisalis akibat
pemakaian furosemid dosis tinggi. Jika gagal ginjal terus berlanjut selama lebih dari
beberapa hari, dialisis mungkin diperlukan untuk pemulihan lengkap.3,6

Komplikasi yang berhubungan dengan obat


Kortikosteroid
Kortikosteroid telah mengurangi angka kematian SN sekitar 3%, namun, kortikosteroid
dapat menyebabkan efek samping yang serius seperti gambaran cushing, obesitas,
gangguan pertumbuhan, hipertensi, osteoporosis, katarak, gangguan metabolisme glukosa,
dislipidemia, gangguan emosional, perubahan perilaku. Selain itu beberapa obat dapat
menurunkan efek terapi kortikosteroid misal rifampisin, karbamazepin, fenobarbital,
fenitoin, sehingga penggunaan obat obat tersebut bersama kortikosteroid harus dipantau.
Komplikasi gangguan pertumbuhan berhubungan dengan pemakaian jangka
panjang steroid. Steroid menekan maturasi kondrosit pada epifisis tulang, selain itu
menghambat sekresi hormon pertumbuhan dan aktifitas insulin like growth factor 1 (IGF-
1). Penggunaan prednisolon selama 6 bulan dengan dosis 0,75 mg/kg/hari atau lebih
dari 0,35 mg/kg/hari selama 3 tahun, terbukti berhubungan dengan kejadian retardasi
pertumbuhan.19,20 Untuk mengurangi komplikasi gangguan pertumbuhan akibat terapi
kortikosteroid, strategi berikut mungkin membantu yaitu monitoring pertumbuhan/
indeks massa tubuh, suplementasi kalsium dan vitamin D; penggunaan steroid selang hari
dosis rendah dan dilakukan secara bertahap serta gabungan dengan imunosupresan lain.

Cyclophosphamide (CPM)
Efek samping agen alkylating, termasuk komplikasi awal penekanan sumsum tulang,
alopecia, gangguan pencernaan, hemorrhagic cystitis dan infeksi, komplikasi akhir
dari kemungkinan keganasan dan gangguan kesuburan, terutama pada laki-laki. Untuk
menghindari toksisitas gonad, CPM tidak boleh digunakan untuk lebih dari 12 minggu
(2 mg/kg berat badan, dosis tunggal) dan harus direduksi jika jumlah lekosit darah kurang
dari 5.000/mm3 selama penggunaan CPM. Asupan cairan yang adekuat dianjurkan untuk
menghindari hemorrhagic cystitis selama menggunakan CPM.21

Cyclosporin A(CsA)
CsA merupakan metabolit imunosupresif bertugas dengan cara dengan memodifikasi
fungsi sel T dan menghambat pelepasan interleukin-2. Penggunaan jangka panjang dari
CsA menyebabkan berkurangnya fungsi ginjal (nefrotoksisitas), gangguan enzim hati,
hiperplasia gingival, hirsutisime, hipertensi, hiperkalemia, hipertrikosis dan ensefalopati.
Dampak pemberian CsA ditemukan 30 sampai 40% lesi tubulointerstitial dari anak-anak
yang telah menerima CsA selama lebih dari 12 bulan. Faktor risiko terjadi komplikasi CsA

432 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


adalah lama pemberian terapi CsA, dosis yang CsA tinggi, dan penerimaan terapi CsA
pada usia lebih muda. Oleh karena itu, dosis efektif terendah CSA dianjurkan untuk
pengobatan perawatan SN, dengan penurunan dosis lebih dari satu tahun untuk 1 sampai
3 mg / kg / hari. 22

Obat-obat lain
Tacrolimus adalah inhibitor kalsineurin dapat memiliki beberapa efek samping, seperti
hipertensi, kelainan fungsi ginjal, tremor, kram otot, hiperkalemia, hypophosphatemia,
leukopenia, dan hiperglikemia.23 Komplikasi mikofenolat mofetil (MMF) termasuk
gangguan gastrointestinal, penekanan sumsum tulang, dan sakit kepala. Levamisol, agen
antihelminthik, dapat digunakan pada pasien steroid dependent, tetapi tidak efektif sebagai
terapi permanen untuk SN. Levamisol memiliki efek samping ringan dari leukopenia,
efek gastrointestinal dan vaskulitis.
Rituximab merupakan obat baru penghambat proliferasi sel B dan diindikasikan
pada penderita SN relaps sering, steroid dependen dan steroid resisten. Komplikasi
rituximab termasuk bronkospasme yang mengancam jiwa, pneumonia pneumocystis
carinii, infark miokard, progressive multifocal leukoencephalopathy, dan reaktivasi virus
seperti cytomegalovirus dan hepatitis B. 24

Penutup
Kemampuan dokter dalam mengenali, mendiagnosis dan melakukan tata laksana
komplikasi SN merupakan hal penting dilaksanakan dalam praktik. Beberapa komplikasi
dihubungkan dengan penyakit SN adalah infeksi, hipovolemia, tromboemboli, insufisiensi
renal, gangguan pertumbuhan serta komplikasi akibat obat imunosupresan untuk SN.

Daftar pustaka
1. Vogt BE, Avner ED. Nephrotic syndrome. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson
HB, penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-17. Pensylvania; Saunders: 2004.
h. 1753-7.
2. Haycock G. The child with idiopathic nephrotic syndrome. Dalam: Webb N, Postlethwaite
R, penyunting. Cinical Paediatric Nephrology. Edisi ke-3. Oxford; University Press: 2003.
h. 341-66.
3. McCaffrey J, Lennon R, Webb NJA. The non immunosuppressive management of childhood
nephrotic syndrome. Pediatr Nephrol. 2016;31:1383-402.
4. Trihono PP, Alatas H, Tambunan T, Pardede SO. Konsensus tata laksana sindrom nefrotik
idiopatik pada anak. Edisi ke-2. Jakarta: UKK Nefrologi IDAI; 2012.
5. Passini A, Benetti E, Conti G, Ghio L, Lepore M, Massella L et al. The Italian Society for
Pediatric Nephrology (SINePe) consensus document on the management of nephrotic syn-
drome in children: Part I- diagnosis and treatment of the first episode and the first relapse.
Ital J Pediatr. 2017;43:41.

433
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
6. Niaudet P, Boyer O. Idiopathic nephrotic syndrome in children: clinical aspects. Dalam:
Avner ED, Harmon WE, Niaudet P, Yashikawa N, penyunting. Pediatric Nephrology. Edisi
ke-6. Berlin:Springer-Verlag, 2009. h.667-702.
7. Rheault MN, Wei C, Hains DS, Wang W, Kerlin BA, Smoyer WE. Increasing frequen-
cy of acute kidney injury amongst children hospitalized with nephrotic syndrome. Pediatr
Nephrol. 2014;29:139–47.
8. Cadnapaphornchai MA, Tkachenko O, Shchekochikhin D, Schrier RW. The nephrotic syn-
drome: pathogenesis and treatment of edema formation and secondary complications. Pedi-
atr Nephrol. 2014;29:1159–67.
9. Doucet A, Favre G, Deschenes G. Molecular mechanism of edema formation in nephrotic
syndrome: therapeutic implications. Pediatr Nephrol. 2007;22:1983–90.
10. International Study of Kidney Disease in Children. Minimal change nephritic syndrome in
children during the first 5 to 15 years observation. Pediatrics. 1987;73:497-501.
11. Indian Pediatric Nephrology Group. Consensus statement on management of steroid re-
sponsive nephrotic syndrome. Indian Academy of Pediatrics. Indian Pediatr. 2001;38:975-
86.
12. Alwadhi RK,Mathew JL,Rath B.Clinical profile of children with nephrotic syndrome not on
glucorticoid therapy, but presenting with infection. J Paediatr Child Health. 2004;40:28-30.
13. Kerlin BA, Ayoob R, Smoyer WE. Epidemiology and pathophysiology of nephrotic syn-
drome associated thromboembolic disease. Clin Am J Soc Nephrol. 2012;7:513-20.
14. Loscalzo J. Venous thrombosis in the nephrotic syndrome. N Engl J Med. 2013;368:956-8.
15. Eneman B, Levtchenko E, Heuvel BV, Geet CV, Freson K. Platelet abnormalities in nephrot-
ic syndrome. Pediatr Nephrol. 2015;31:1267-79.
16. Hafni A, Hilmanto D, Rachmadi D, Sekarwana N. Trombocytosis in childhood relapsing
nephrotic syndrome. Sari Pediatri. 2007; 47:100-3.
17. Gulati S, Godbole M, Singh U, Gulati K, Srivastava A. Are children with idiopathic nephritic
syndrome at risk for metabolic bone disease? Am J Kidney Dis. 2003;41:1163-9.
18. Weng FL, Shults J, Herskovits RM, Zemel BS, Leonard MB. Vitamin D insufficiency in
steroid-sensitive nephrotic syndrome in remission. Pediatr Nephrol. 2005;20:56-63.
19. Simmonds J, Trompeter R, Tullus K. Long-term steroid treatment and growth: a study in
steroid-dependent nephritic syndrome. Arch Dis Child. 2010;95:146-9.
20. Rivkees SA, Danon M, Herrin J. Prednisone dose limitation of growth hormone treatment
of steroid-induced growth failure. J Pediatr. 1994;125:322-5.
21. Latta K, von Schnakenburg C, Ehrich JH. A meta-analysis of cytotoxic treatment for fre-
quently relapsing nephrotic syndrome in children. Pediatr Nephrol. 2001;16:271-82.
22. Kim JH, Park SJ, Yoon SJ, Lim BJ, Jeong HJ, Lee JS, et al. Predictive factors for ciclospo-
rin-associated nephrotoxicity in children with minimal change nephrotic syndrome. J Clin
Pathol. 2011;64:516-9.
23. De Rycke A, Dierickx D, Kuypers DR. Tacrolimus-induced neutropenia in renal transplant
recipients. Clin J Am Soc Nephrol. 2011;6:690-4.
24. Iijima K, Sako M, Nozu K. Rituximab therapy for nephrotic syndrome in children. Cur
Pediatr Rep. 2015;3:71-7.

434 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Iron Supplementation for Infants Based on
New Report: Is it Recommended?
*Ponpon Idjradinata, Susi Susanah, Nur Melani Sari
*Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran/RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung

Abstract
Iron deficiency (ID) is a single micronutrient deficiency that remains a big problem in Indonesia with
long-term adverse effects. Iron supplementation (IS) in infants and children is one of the community-
level prevention attemp to reduce the prevalence of ID and iron deficiency anemia (IDA) in Indonesia.
On the other hand, excessive iron supplementation of infants may lead to increased risk of infection,
impaired growth, and disturbed absorption or metabolism of other minerals. Iron is also a known pro-
oxidant, and non-protein bound iron may cause formation of free oxygen radicals. Various single and
multisenter studies have been conducted to examine the growing controversy about efficacy and negative
impact of IS on various age groups with diverse quality and heterogenous results. Young children were
a special age group because their rapid growth leads to high iron requirements. We summarized the
benefit, safety, and the harm of iron supplementation studies in infant (<24 months). Some of systematic
review and metaanalysis studies were also reviewed. Those were the source of development of the new
recommendation of IS in Indonesia. Currently, the implementation of IS in Indonesia was based on
recommendation from Indonesian Pediatrician Association for IDA Task Force 2011. It seems need to be
revised regarding the new recent evidences.

D
efisiensi besi (DB) termasuk defisiensi mikronutrien yang paling sering terjadi di
seluruh dunia, khususnya di Asia Tenggara dan Afrika Tengah.1,2 Besi merupakan
nutrisi penting dan berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan.
Kekurangan besi pada masa bayi dikaitkan dengan serangkaian masalah klinis dan
perkembangan, meliputi defisit perkembangan saraf, penundaan pematangan respon
batang otak terhadap pendengaran, serta gangguan memori dan perilaku.3
Suplementasi besi bayi dan anak merupakan tindakan yang terbukti efektif dalam
mencegah kekurangan besi selain tindakan suplementasi besi ibu hamil dan menunda
penjepitan tali pusat.4 Pelaksanaan suplementasi besi di Indonesia hingga kini adalah
berdasarkan rekomendasi satuan tugas (satgas) ADEBE IDAI tahun 2011 yang
membaginya ke dalam 4 kelompok umur yaitu: bayi hingga usia 2 tahun, anak usia 2–5
tahun, usia sekolah (5–12 tahun), dan remaja (12–18 tahun)(tabel 1).5 Suplementasi besi
pada bayi dan anak menuai berbagai kontroversi diantaranya mengenai efektifitas dan
risiko infeksi. Manfaat SB terhadap profil hematologis, status besi, dan tumbuh kembang
telah dilakukan di berbagai negara mulai dari penelitian bersifat uni senter hingga multi
senter melalui berbagai kajian sistematis mendapatkan hasil beragam. Kepustakaan ini

435
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
merupakan rangkuman berbagai penelitian dan rekomendasi SB yang telah dikeluarkan
oleh berbagai organisasi dunia, diantaranya World Health Organization, pada bayi dan
anak yang diharapkan dapat menjadi pertimbangan perubahan rekomendasi SB pada bayi
di Indonesia.6,7
Saat ini prevalensi anemia pada bayi dan anak Indonesia masih berdasarkan data
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan yaitu sekitar 21,7%, terbagi
pada kelompok usia 12–59 bulan sebesar 28,1%, 5–14 tahun 26,4%, dan 14–24 tahun
18,2%.8 Berdasarkan data Vitamin and Mineral Nutrition Information System (VMNIS)
WHO, Indonesia tergolong kedalam kelompok prevalensi anemia moderat (sedang)
untuk anak 6–59 bulan, yaitu 32%.9 Data populasi DB lainnya adalah survey Indonesia
Life yang menujukkan penurunan prevalensi ADB dalam 1 dasawarsa terakhir dari
40–45% menjadi usia 31,4% (0–5 tahun), 20,6% (5–12 tahun), dan 15,8% (12–<15
tahun).10,11 Belum terdapat data populasi terbaru prevalensi anemia bayi dan anak di
Indonesia. Penelitian prevalensi anemia anak dan remaja di Indonesia sangat minim dan
sebagian bersifat bersifat lokal seperti yang di lakukan di pedesaan Sumatera Barat dan
Kalimantan Selatan yang menunjukkan prevalensi yang lebih tinggi, yaitu 53,9% dan
47,4%.12,13 Data prevalensi ini demikian penting, karena merupakan dasar pertimbangan
rekomendasi pemberian SB di tiap negara.

Tabel 1. Dosis dan lama pemberian suplementasi besi berdasarkan Satgas Adebe 2011
Usia (tahun) Dosis besi elemental Lama pemberian
Bayi*
BBLR(<2500 g) 3 mg/kgBB/hari Usia 1 bulan sampai 2 tahun
Cukup bulan 2 mg/kgBB/hari Usia 4 bulan sampai 2 tahun
2–5 tahun 1 mg/kgBB/hari 2x/minggu selama 3 bulan berturut-turut
setiap tahun
>5–12 (usia sekolah) 1 mg/kgBB/hari 2x/minggu selama 3 bulan berturut-turut
setiap tahun
12–18 (remaja) 60 mg/hari# 2x/minggu selama 3 bulan berturut-turut
setiap tahun
Keterangan: * Dosis maksimal untuk bayi 15 mg/hari, dosis tunggal
# Khusus remaja perempuan ditambah 400 µg asam folat
Sumber: Djajadiman5

Dasar pemberian suplementasi besi bayi kurang bulan (BKB)


Sekitar 25–85% BKB berisiko mengalami DB dan terjadi lebih dini yaitu pada 6 bulan
pertama kehidupan. Semakin muda usia gestasi semakin dini kejadian DB. Faktor lain yang
memengaruhi kejadian DB, yaitu tinggal negara berkembang dan hanya mengonsumsi
air susu ibu (ASI) eksklusif tanpa suplementasi.14,15 Total kadar besi, hemoglobin (Hb),
cadangan dan serum besi lebih rendah pada BKB. Kondisi lain seperti DB selama
kehamilan, pertumbuhan janin terganggu (PJT), dan kehilangan darah kronis selama
kehamilan juga memengaruhi cadangan besi bayi.14

436 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Cadangan besi akan sangat cepat berkurang selama 6–8 minggu pertama kehidupan,
bertepatan dengan awal eritropoesis dan percepatan tumbuh kejar. Status besi pada saat
persalinan tidak memengaruhi tingkat pertumbuhan, bayi akan mengalami percepatan
pertumbuhan tanpa memandang kadar besi. Percepatan pertumbuhan ini akan
meningkatkan volume darah dan massa Hb, sehingga diperlukan tambahan besi. Rata-rata
penurunan Hb terjadi pada usia 9 minggu dan berlanjut hingga usia 12 bulan, sehingga
dapat disimpulkan bahwa suplementasi besi dapat diberikan mulai bulan pertama
kehidupan dan dilanjutkan hingga usia 12 bulan.14,15
Pada bayi kurang bulan dengan tingkat eritropoesis dan pertumbuhannya yang
cepat, kandungan besi pada ASI saja tidak cukup. Pemberian besi bagi BKB adalah dengan
memerkirakan kebutuhannya melalui analogi tingkat kebutuhan besi pada pertumbuhan
intrauterin untuk memertahankan serum besi normal. Berdasarkan analogi pertumbuhan
ini, BKB memerlukan asupan besi harian sebesar 1,6–2,0 mg/kg intravena atau 5–6 mg/kg
secara enteral, karena penyerapan besi enteral hanya sekitar 30%.14 Namun perhitungan
ini tidak praktis dan fisiologis, karena eritropoesis dan pertumbuhan berhenti setelah lahir
sehingga kebutuhan dapat lebih rendah, perkiraan kebutuhan paling sesuai adalah dengan
melakukan penelitian acak silang terkontrol, namun kekurangannya penelitian saat ini
hanya melakukan pemantauan jangka pendek, sedikit sekali penelitian yang menilai
dampak jangka panjang SB pada BKB, terlebih lagi penelitian SB pada BKB< 1500 gram
sangat kurang.16
Pada BKB dengan berat badan <1500 gram (BBLSR) status besi lebih sulit untuk
diprediksi, karena sebagian besar bayi saat dilahirkan memerlukan perawatan intensif.
Bayi dapat berada dalam kondisi deplesi besi, normal, maupun kelebihan besi. Faktor
yang memengaruhi kebutuhan besi saat bayi dipulangkan adalah status besi pada
saat dipulangkan, besi yang terkandung dalam diet, riwayat transfusi, dan kecepatan
pertumbuhan. Kondisi BBLSR yang dipulangkan dari ruang intensif bayi beragam.
Kebutuhan BBLSR yang pulang dengan berat badan mendekati 2000–2500 gram dengan
Hb 13 g/dL dengan kadar feritin normal tentunya kebutuhan besinya akan mendekati
BBLR yaitu 2 mg/kg/hari. Kondisi yang lebih sering ditemukan adalah bayi pulang
dengan Hb 8,5 g/dL memerlukan tambahan besi 50 mg selama pertumbuhan cepat 1
tahun awal. Jika cadangan besi rendah, ditunjukkan dengan konsentrasi ferritin <40 μg/L
maka tambahan besi diperlukan tambahan besi 30 mg.16
Suplementasi besi dapat diberikan dalam bentuk fortifikasi besi pada human milk
fortifier (HMF), susu formula (SF), maupun besi elemental. Fortifikasi HMF yang tersedia
di Amerika Serikat mengandung 3,5–14,4 mg/L besi dan memberikan 0,7–2,2 mg/kg/
hari besi tambahan jika susu tersebut dikonsumsi sebanyak 150 mL/kg/hari. Alternatif
lain yang dapat digunakan adalah susu formula yang difortifikasi besi.14 Susu formula
yang mengandung 5–9 mg/L besi cukup untuk memenuhi kebutuhan eritropoesis BKB
sehat selama 6 bulan kehidupan, dosis lebih rendah berisiko mengalami DB. Susu formula
lanjutan yang beredar luas mengandung 12–14 mg/L besi dan dapat diabsorbsi 1,8–2,2
mg/kg/hari dalam perhitungan kebutuhan SF 150 ml/hari sedangkan formula lanjutan

437
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
memiliki kandungan besi 13 mg/L menyediakan besi 2 mg/kg/hari, dan jumlah ini cukup
untuk memenuhi kebutuhan besi.14

Dasar pemberian suplementasi besi bayi cukup bulan


Air Susu Ibu mengandung besi dengan kandungan yang rendah (0,5 mg/L) namun penelitian
menunjukkan bahwa DB sering terjadi pada kelompok bayi yang diberi SF, meskipun
kandungan besi pada formula tersebut 3–4 kali lebih tinggi dibandingkan ASI. Sebagian besar
penelitian sepakat bahwa besi diabsorbsi lebih baik pada ASI karena adanya iron binding protein
laktoferin pada ASI yang tidak didapatkan pada SF. Laktoferin tahan terhadap proteolisis dan
terdapat pada feses dalam bentuk yang utuh. Laktoferin diserap melalui membran sel apikal
usus halus melalui reseptor laktoferin dan diinternalisasikan bersama besi. Berbeda dengan
SF sebagian besar besi terikat pada kasein dan forfopeptida yang dibentuk selama proses
pencernaan dapat menghambat absorbsinya. Jumlah kasein pada ASI lebih rendah dibanding
SF.17 Defisiensi besi dapat terjadi pada bayi cukup bulan sebelum usia 6 bulan di negara
berkembang karena defisiensi ibu selama kehamilan, berat lahir rendah, infeksi, dan konsumsi
makanan pendamping ASI yang kandungan besinya rendah.
Satu penelitian yang membandingkan status besi bayi cukup bulan di negara
berkembang dan maju yaitu Swedia dan Honduras memperlihatkan kadar besi bervariasi
saat awal intervensi SB (1 mg/kg/hari vs plasebo) mulai usia 4 atau 6 bulan sampai usia 9
bulan. Hasil lainnya adalah kelompok yang diberi suplementasi besi mulai dari usia 4 bulan
memiliki respons positif yang sama (Hb, feritin, free protoporfirin, reseptor transferin)
pada bayi Honduras dan Swedia, terlepas dari data bahwa bayi Swedia memiliki status besi
yang cukup pada usia 4 bulan. Fenomena yang berbeda pada kelompok suplementasi yang
dimulai dari usia 6 bulan, terdapat peningkatan hemoglobin dan berkurangnya anemia
dari 29% menjadi 9% hanya pada bayi Honduras, yaitu pada kelompok dengan DB pada
baseline. Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam indikator status besi antara kelompok
yang menerima besi dari mulai usia 4 atau 6 bulan.18 Penelitian absorbsi besi pada bayi
usia 6 bulan menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara bayi Swedia
yang telah menerima suplemen besi dan mereka diberi plasebo, sedangkan pada usia
9 bulan bayi yang diberi suplemen besi menyerap 17% besi dari ASI sedangkan bayi
yang tidak diberikan suplementasi menyerap 37%. Hal ini dapat menjadi pertimbangan
mulainya pemberian suplementasi besi pada bayi cukup bulan yang diberi ASI eksklusif.
Sebelum usia 6 bulan regulasi homeostatik besi belum matang dan maturasi absorbsi besi
saluran cerna terjadi pada usia 9 bulan, data ini ditunjang dari penelitian dari hewan
coba yang menunjukkan bahwa pada usia <6 bulan, kemampuan keseimbangan besi dan
down regulation dari transporter intestinal masih belum matur. Ekspresi hepsidin berespon
terhadap cadangan besi tubuh, namun divalent metal transporter 1 (DMT1) dan feroportin
(FPN1) tidak berespons, menunjukkan bahwa imaturitas bukan disebabkan oleh sinyal
dari cadangan besi namun maturasi absorbsi besi di saluran pencernaan yang ditentukan
oleh DMT1, FPN1, hephaestin dan perubahan letak protein transfer dalam enterosit
(gambar 1).1,19

438 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Gambar 1. Skema regulasi absorbsi besi pada usus (intestinal)
Sumber: Lonnerdal17

Rekomendasi pemberian suplementasi besi bagi bayi kurang


bulan/bayi berat lahir rendah (BBLR)
Rekomendasi WHO terbaru (2016) mengenai SB harian tidak membahas mengenai
pemberian SB pada BKB maupun BBLR. Rekomendasi berbagai organisasi dunia
sebelumya terangkum pada tabel 2.6 Sumber eksogen 2–4 mg/kg/hari direkomendasikan
selama periode pertumbuhan stabil, dimulai pada 4–8 minggu dan berlanjut sampai usia
12–15 bulan.3,14

Tabel 2. Rekomendasi pemberian SB pada BKB stabil


Rekomendasi Dosis Mulai pemberian Durasi Keterangan
American Academic 2 mg/kg/hari 1 bulan 12 bulan Pemberian SF hanya
of Pediatric Pada pemberian ASI yang telah difortifika-
Komisi Nutrisi20 1 mg/kg/hari si besi
Pada pemberian susu
formula
1–6 mg/kg/hari
Pada pemberian eritro-
poetin
ESPGHAN yaitu berat lahir kurang <8 minggu 12-15 bulan
Komisi Nutrisi Bayi (2000-2500) sebaiknya
Prematur1,21 mendapatkan dosis 1–2
mg/kg tanpa melihat usia
gestasi, sedangkan <2000
g diberikan suplementasi
2–3 mg/kg.1
WHO BBLR
Komisi Nutrisi 7,22 2 mg/kg/hari 2 bulan 23 bulan
BBLSR diberikan lebih 2 minggu 6 bulan
awal dengan dosis 2–4
mg/kg/hari.
Satgas Adebe IDAI5 3 mg/kg/hari 1 bulan 2 tahun

439
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Rekomendasi SB pada kelompok usia ini adalah berdasarkan bukti ilmiah yang
kurang kuat, SB hanya bermanfaat dalam mengurangi anemia berat yang memerlukan
transfusi, sedangkan dampak negatif seperti kejadian penyakit paru kronis, retinopati
prematur, dan enterokolitis nekrotikan tidak terbukti.7 Penelitian masih belum cukup jelas
membuktikan efektivitas SB terhadap pertumbuhan, perkembangan. Dosis,waktu,dan
lama pemberiannyapun masih diperdebatkan.3
Terdapat 3 telaah sistematis dan metaanalisis terbaru mengenai dosis, durasi,
dan waktu pemberian SB bayi kurang bulan/BBLR.3,23,24 Luaran penelitian meliputi
pertumbuhan, perkembangan, profil hematologis, mortalitas dan morbiditas BKB. Dosis
yang digunakan bervariasi mulai 2–4 mg/kg/hari hingga dosis tinggi 7–12 mg/kg/hari.
Durasi pemberian pun bervariasi, dikatakan jangka pendek bila diberikan ≤6 bulan dan
jangka panjang >6 bulan.3 Dosis 2–3 mg/kg/hari memiliki manfaat yang paling optimal.
Suplementasi besi dini (< 2minggu) terbukti mengurangi anemia berat yaitu didefiniskan
sebagai anemia yang memerlukan transfusi pada masa bayi dan profil hematologis lebih
baik setelah usia 8 minggu, memerbaiki cadangan besi (mencegah penurunan dan
meningkatkan kadar ferritin) dan mencegah penurunan kadar Hb.3,24,25 Suplementasi
besi terbukti secara lemah tidak meningkatkan risiko morbiditas bayi meliputi sepsis
awitan lanjut, penyakit paru kronis maupun ROP. Durasi pemberian SB ≤6 bulan yang
menunjukkan perbedaan signifkan pada profil hematologis (Hb dan mean corpuscullar
volume/MCV) kelompok suplementasi dan non suplementasi.3 Kesimpulan hasil tinjauan
Cochrane neonatal menunjukkan bayi yang mendapatkan SB memiliki kadar Hb yang
lebih tinggi, cadangan besi yang lebih baik, dan risiko IDA yang lebih rendah. Namun
bukti efektivitas jangka panjang terhadap pertumbuhan dan perkembangan masih belum
jelas. Waktu dan durasi yang paling optimal masih belum jelas.3 Penelitian Long dkk.
menunjukkan hasil yang serupa.23

Rekomendasi suplementasi besi pada bayi cukup bulan 6–23


bulan
Rekomendasi SB WHO terbaru pada kelompok usia ini berbeda dengan rekomendasi
Satgas ADEBE IDAI yang merekomendasikan memulai SB pada usia 4 bulan. World
Health Organization tahun 2016 merekomendasikan SB sejak usia 6 bulan. Perbedaan
lainnya adalah durasi pemberian, pada rekomendasi IDAI diberikan dosis harian hingga
2 tahun,sementara pada rekomendasi WHO terbaru, SB cukup diberikan 3 bulan dalam
setahun. Tabel 3 menerangkan rekomendasi WHO untuk bayi cukup bulan usia 6-23
bulan.
Intervensi komunitas pada bayi dan anak usia 6–23 bulan, pada tempat dengan
prevalensi tinggi (40%) untuk mencegah DB dan ADB sangat direkomendasikan
berdasarkan bukti ilmiah dengan kualitas sedang.6 Dasar rekomendasi ini berdasarkan
tinjauan sistematis 33 penelitian pada bayi 4–23 bulan.26 Bayi yang mendapatkan
suplementasi besi memiliki risiko yang lebih rendah terhadap anemia (risk ratio [RR]:

440 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Tabel 3. Suplementasi besi bayi cukup bulan 6–23 bulan
Kelompok sasaran Bayi 6-23 bulan
Komposisi Suplemen 10–12,5 mg besi elemental
Bentuk Suplemen Drop/sirup/tablet
Frekuensi Harian
Durasi 3 bulan berturut-turut per tahun
Seting Daerah dengan prevalensi anemia >40% atau lebih tinggi
Keterangan: 10–12.5 besi elemental sebanding dengan 50–62.5 mg ferosulfat, 30–37.5 mg fero fumarat
atau 83.3–104.2 mg feroglukonat
Sumber: WHO 20166

0.61; 95% confidence interval [CI]: 0.50–74; 17 penelitian, n = 4825), DB (RR: 0.30;
95% CI: 0.15–0.60; 9 penelitian, n = 2464) dan ADB (RR: 0.14; 95% CI: 0.10–0.22; 6
penelitian, n = 2145), dibandingkan kelompok plasebo. Tidak terdapat perbedaan antara
dua kelompok tersebut pada aspek pertumbuhan (stunting dan wasting). Dampak negatif
infeksi meliputi infeksi saluran napas atas, diare, dan malaria tidak terbukti ( RR: 1,1 ;
CI: 0,91–1,34).6
Pada rekomendasi ini tidak dijelaskan alasan mulai diberikan pada usia 6 bulan,
namun dipertimbangkan berdasarkan metabolisme besi bahwa bayi memiliki maturitas
homeostasis besi pada usia 6 bulan dan salah satu penelitian di Amerika Serikat 37
bayi diberi besi 7 mg sejak usia 1 bulan dibandingkan 38 plasebo menunjukkan bahwa
pemberian besi dari usia 1 bulan–5.5 bulan dapat memiliki efek pencegahan, namun
efek tersebut tidak bertahan sampai usia pasca suplementasi.27 Selain itu rekomendasi ini
sejalan dengan rekomendasi WHO lainnya mengenai pemberian ASI eksklusif hingga
usia 6 bulan.
Metaanalisis terbaru SB usia 6–23 bulan dilakukan oleh Marian dkk. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa SB tidak terbukti dapat memperbaiki perkembangan
dan pertumbuhan yang dinilai melalui pemeriksaan Bayley Scales of Infant Development
Scores pada usia 3–12 bulan dan Griffith. Sedangkan dampak terhadap profil hematologis
lainnya sejalan dengan tinjauan sistematis sebelumnya.28 Durasi pemberian SB selama
3 bulan berturut-turut dianggap cukup untuk memenuhi kebutuhan besi anak 6–23
bulan.29 Luaran positif terhadap neurodevelopmental (perkembangan) diamati pada
kelompok usia pra sekolah (24–5 tahun) dan usia sekolah (5–12 tahun).30,31 Pada usia pra
sekolah sekolah terdapat pada ada aspek kognitif terdapat perbedaan minimal pada aspek
bahasa dan visual antara kelompok yang beri SB dan yang tidak. Sedangkan dampak SB
terhadap pertumbuhan diamati terdapat pada kelompok usia sekolah (6–12 tahun).
Rekomendasi SB pada bayi cukup bulan yang sehat perlu mempertimbangkan
berdasarkan risiko ADB, European Society for Paediatric Gastroenterology Hepatology and
Nutrition (ESPGHAN) tidak merekomendasikan SB bayi cukup bulan yang sehat karena
tindakan ini karena terbukti tidak mengurangi ADB pada daerah dengan prevalensi yang
rendah (5–10% populasi).1 Rekomendasi ini serupa dengan United State Preventive Task
Force yang hanya merekomendasikan SB pada bayi dengan risiko tinggi ADB.32

441
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Implementasi rekomendasi suplementasi besi WHO 2016
Rekomendasi WHO ini merupakan pencegahan tingkat populasi sehingga bila seorang
anak telah didiagnosis ADB maka tata laksana adalah berdasarkan pedoman nasional tiap
negara. Jika prevalensi adalah 20–40%, regimen intermitten dapat dipertimbangkan.
Pemberian SB intermitten sebagai intervensi komunitas untuk memperbaiki status besi
dan mengurangi risiko ADB.33 Rekomendasi ini berdasarkan 2 tinjauan sistematis dan
metaanalisis.34,35 Suplementasi besi intermiten dapat diberikan 1 kali per minggu, dua atau
3 kali per minggu merupakan cara yang cukup efektif untuk meningkatkan asupan besi.
Regimen ini memiliki efek samping yang lebih minimal dan meningkatkan kepatuhan
minum SB. 33
Pemilihan cara pemberian suplementasi harus spesifik dengan permasalah tiap daerah
dengan tujuan mencapai populasi yang paling rentan mengalami DB, dan memastikan
kesediaan dan kelangsungan obat. Pada daerah endemis malaria, suplementasi tidak
meningkatkan risiko malaria atau kematian bila surveilans dan terapi malaria tersedia,
intervensi besi oral tidak diberikan kepada anak yang tidak memiliki akses terhadap
program pencegahan malaria Risiko malaria klinis lebih rendah pada anak dengan besi
yang cukup, tidak diperlukan skrining anemia sebelum DB di daerah anemia prevalensi
tinggi. Malaria pada bayi berbahaya, maka suplementasi besi hanya diberikan pada
bayi yang tidur dalam kelambu berinsektisida, dan malaria dapat diobati sesuai dengan
pedoman nasional

Penutup
•• Suplementasi besi bermanfaat untuk mencegah DB dan ADB pada bayi (0–23 bulan)
dengan memerbaiki profil besi dan hematologi, sedangkan manfaat jangka panjang
terhadap pertumbuhan, perkembangan belum didapatkan bukti ilmiah yang cukup.
Manfaat jangka panjang SB hanya didapatkan usia prasekolah dan sekolah. Dampak
negatif SB terhadap risiko infeksi dan peningkatan stress oksidatif tidak terbukti pada
semua kelompok usia.
•• Pemberian SB pada BKB perlu memertimbangkan berat badan dosis yang paling
optimal adalah 2–3 mg/kg/hari, dengan pemberian lebih dini yaitu mulai dari usia
2 minggu selama 6 bulan pemberian. Bayi berat lahir sangat rendah (< 1500 gram),
perlu perhatian khusus karena status besi pada saat memulai SB sangat beragam,
sehingga dipertimbangkan untuk dilakukan skrining pada awal memulai SB.
•• Suplementasi besi BCB diperbarui dengan memulai onset pemberian pada usia 6
bulan, dengan durasi pemberian 3 bulan berturut-turut per tahun hingga 23 bulan
dengan dosis intermiten karena Indonesia termasuk negara dengan prevalensi anemia
moderat (20-40%).

442 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Daftar pustaka
1. Domello M, Braegger C, Campoy C, Colomb V, Decsi T, Fewtrell M, et al. Iron require-
ments of infants and toddlers. J Pediatr Gastroenterol Nutr.2014;119–29.
2. GA S, MM F, LM D-R, CJ P, SR F, F B, et al. Global, regional, and national trends in hae-
moglobin concentration and prevalence of total and severe anaemia in children and pregnant
and non-pregnant women for 19952011: a systematic analysis of population-representative
data. Lancet Glob Health. 2013;1:16–25.
3. Mills RJ, Davies MW . Enteral iron supplementation in preterm and low birth weight infants
(Review). Cochrane Database of Systematic Reviews 2012.
4. WHO. Essential nutrition actions: improving maternal, newborn, infant and young child
healt and nutrition. . Geneva: World Health Organization;2013.
5. Djajadiman G, Idjradinata P, Abdulsalam M, Lubis B, Soedjatmiko, Hendarto A. Rekomen-
dasi Ikatan Dokter Anak Indonesia: Suplementasi besi pada anak. Jakarta: Badan Penerbit
IDAI; 2011.
6. WHO. Guideline: Dailiy iron supplementatio in infants and children. Geneva: WHO; 2016.
7. WHO. Guidelines on Optimal feeding of low birth-weight infants in low-and middle-in-
come countries Geneva: World Health Organization; 2011.
8. Kemenkes. Riset Kesehatan Dasar2014.
9. WHO. The global prevalence of anaemia in 2011. Geneva: World Health Organization;
2015 [cited 2017 1 March ]; Available from: http://www.who.int/nutrition/publications/
10. Hellen Keller International (Indonesia). Iron deficiency anemia in Indonesia. Jakarta; 1997;
1-16
11. Barkley JS, Kendrick KL, Codling K, Muslimatun S, Pach H. Anaemia prevalence over
time in Indonesia: estimates from the 1997, 2000, and 2008 Indonesia Family Life Sur-
veys. Asia Asia Pac J Clin N. 2015;24(3):452–5.
12. Widjaja IR, Widjaja FF, Santoso LA. Anemia among children and adolescent in a rural
area. Pediatrica Indonesia. 2014;54:88–93.
13. Ringoringo HP. Insidensi Anemia defisiensi besi pada bayi berusia 0-12 bulan di Banjar-
baru Kalimantan Selatan: studi kohort prospektif. Sari Pediatri. 2009;11(1):8–14.
14. Rao R, Georgieff MK. Iron therapy for preterm infants. Clin Perinatol. 2009;36:27–42
15. Jin H.X. WRS, Chen S.J., Wang A.P. dan Liu X.Y. Early and late Iron supplementation for
low birth weight infants: a meta-analysis. Italian Journal of Pediatrics. 2015;41.
16. Domellöf M, Georgieff MK. Post-discharge iron requirements of the preterm infant. J
Pediatr. 2015;167(40):S31–5.
17. Lonnerdal B, Georgieff Mk, Hernell O. Development physiology of iron absorption, ho-
meostasis and metabolism in the healty term infant J Pediatr. 2015;167(4):S8–14.
18. Domellöf M, Cohen RJ, Dewey KG, Hernell O, Rivera LL, Lönnerdal B. Iron supple-
mentation of breast-fed Honduran and Swedish infants from 4 to 9 months of age. J
Pediatr. 2001;138:679–7.
19. Lönnerdal B, Kelleher SL. Iron metabolism in infants and children. Food Nutr Bull.
2007;28(4(supp)):491–9.
20. Baker RD, Greer FR. Clinical report: diagnosis and prevention of iron deficiency and iron
deficiency anemia in infants and young children (0–3 years of age). Pediatric. 2010;126.

443
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
21. Agostoni C, Buonocore G, Carnielli VP, De Curtis M, Darmaun D, Decsi T, et al. Enteral
nutrient supply for preterm infants: commentary from the European Society of Paediatric
Gastroenterology, Hepatology and Nutrition Committee on Nutrition. J Pediatr Gastroen-
terol Nutr. 2010;50:85–91.
22. World Health Organization. Iron deficiency anemia: assessment, prevention, and control.
A guide for programme managers. Geneva: WHO; 2001.
23. Long H, Yi J-M, Hu P-L, Li Z-B, Qiu W-Y, Wang F, et al. Benefits of Iron supplemen-
tation for low birth weight infants: A systematic review. BMC Pediatr. 2012;12:99–110.
24. Jin HX., Wang RS., Chen S.J., Wang AP, Liu XY. Early and late Iron supplementation for
low birth weight infants: a meta-analysis. Italian Journal of Pediatr. 2015;41.
25. Anabrees J. Early enteral prophylactic iron supplementation may be preferred in preterm
very low birth weight infants. J Clin Neonatol. 2014;3(1):14–5.
26. Pasricha SR, Hayes E, Kongolo K, Biggs BA. Eff ect of daily iron supplementation on
health in children aged 4–23 months: a systematic review and meta-analysis of ran-
domised controlled trial. Lancet Glob Health. 2013;1:e77–8.
27. Ziegler EE, Nelson SE, Jeter JM. Iron supplementation of breastfed infants from an early
age. Am J Clin Nutr. 2009;89:525–32.
28. McDonagh MS, Blazina I, Dana T, Cantor A, Bougatsos C. Screening and Routine Supple-
mentation for Iron Deficiency Anemia: A Systematic Review. Pediatric. 2015;135:723–
33.
29. Stoltzfus RJ, Dreyfuss ML Guidelines for the use of iron supplements to prevent
and treat iron deficiency anemia Washington DC: ILSI Press, 1998.
30. Low M, Farrell A, Biggs BA, Parisch SR. Effect of daily supplementation in primary
schoolage children: systematic review and meta-analysis of randomized controlled trial.
CMAJ. 2013;185(17):791–81.
31. Thompson J, Beverley-Ann Biggs, Pasricha S-R, D A. ffects of Daily Iron Supplemen-
tation in 2- to 5-Year-Old Children: Systematic Review and Meta-analysis. Pediatric.
2013;131:739–53.
32. US Preventive Services Task Force.Screening for iron deficiency anemia,including iron
supplementation forchildren and pregnant women:February 3, 2015. 2006 [cited 2017 2
June]; Available from: www.uspreventiveservicestaskforce.org/uspstf/uspsiron.htm.
33. World Health Organization Intermittent iron supplementation for preschool and school
age children e-Library of Evidencefor Nutrition Actions (eLENA). Available at:www-
whoint/elena/titles/iron_infants/en/indexhtml Accessed October 6, 2017.
34. De-Regil LM, Jefferds MED, Sylvetsky AC, Dowswell T. Intermittent iron supplementa-
tion for improving nutrition and development in children under 12 years of age (Review).
Cochrane Database of Systematic Reviews. 2011(12).
35. Pena Rosas JP, De Regil LM, Rogers LM, Bopadikar A. Translating re-search into action:
WHO evidence-informed guidelines for safe and effective micro-nutrient interventions. J
Nutr. 2012;142(1):197–204.

444 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Chronic Abdominal Pain: Infection vs Allergy
Pramita G Dwipoerwantoro
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta

Abstract
It is very important to distinguish organic pain and functional pain, while evaluate a patient with
chronic abdominal pain. A wide range of potential organic causes of chronic abdominal pain must be
considered before establishing a diagnosis of functional pain (non-organic). Recently (2016), the new
consensus of classification system for functional gastrointestinal disorders (FGIDs) of ROME IV criteria
has been published. Frequently cited causes of chronic abdominal pain include infections and possibly
allergy will be discussed.
Children with chronic abdominal pain might have associated headaches, anorexia, nausea, vomiting,
excessive gas, diarrhea or constipation, and joint pain, but this does not help distinguish between
functional and organic disorder. Several etiologies of infections include H. pylori, parasites infection
(amoebiasis, giardiasis), and bacterial infections (Salmonellosis, small intestine bacterial overgrowth).
Allergy in infants and children might play a role in the pathogenesis of abdominal pain. Children with
multiple allergy-related disease may have a low-grade inflammation in the gut, resulting in barrier defects
in the gastrointestinal tract, thus increasing the risk for disturbed motility and pain sensitivity. Chronic
abdominal pain related to allergy involves eosinophilic-esophagitis or gastroenteritis, food hypersensitivity
related inflammatory bowel syndrome (IBS).
Supporting examinations are performed if there are alarm signs and/or symptoms. Management depends
on the etiology of chronic abdominal pain. Nutrition plays an important role in managing chronic
abdominal pain in children, as well as definitive therapy.

Definisi
Nyeri perut kronik (chronic abdominal pain, CAP) adalah nyeri perut intermiten yang
berlangsung lama atau konstan dan penyebabnya fungsional atau organik (penyakit),
tergantung dari penyebab atau etiologi spesifik dapat ditemukan atau tidak. Nyeri perut
non-organik atau nyeri perut fungsional menunjukkan etiologi nyeri terbukti akibat
kelainan anatomi, inflamasi, metabolik, ataupun neoplastik.1
Istilah “nyeri perut berulang” (recurrent abdominal pain) didefinisikan sebagai
nyeri perut yang terjadi 3 episode minimal dalam 3 bulan yang menyebabkan gangguan
fungsi. Pada beberapa kondisi terminologi “nyeri perut berulang” digunakan pula untuk
mendeskripsikan “nyeri perut fungsional”. Terminologi lain seperti “nyeri perut kronik”,
“nyeri perut non-organik”, dan “nyeri perut psikogenik” ketiga istilah tersebut digunakan
juga untuk menggambarkan nyeri perut pada anak. The American Academy of Pediatrics
Subcommittee on Chronic Abdominal Pain dan The North American Society for Pediatric
Gastroenterology Hepatology and Nutrition on Abdominal Pain mengusulkan untuk

445
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
terminologi “nyeri perut berulang” hanya digunakan untuk mendeskripsikan kondisi dan
tidak digunakan lagi sebagai diagnosis.1
Nyeri perut kronik (NPK) pada anak merupakan kondisi yang cukup sering
dijumpai di klinik gastroenterologi anak dan berkisar antara 9-25% dari kunjungan.2,3
Etiologi tersering nyeri perut kronik organik adalah infeksi, inflamasi, obstruksi (malrotasi
dengan atau tanpa malrotasi), sindrom malabsorpsi (penyakit celiac), kelainan ginekologik
(dismenore, penyakit inflamasil rongga pelvik), kelainan neurologis (epilepsi perut,
migrain), dan lainnya (contoh: alergi).4-6 Beberapa konsensus dibuat untuk panduan
mengatasi keluhan nyeri perut (kriteria ROME) mulai tahun 1999, 2006, dan terakhir
tahun 2016 dengan terbentuknya kriteria ROME IV. Kriteria ROME IV membagi pediatric
functional gastrointestinal disorder (pediatric FGIDs) menjadi 3 kelompok kelainan yaitu:7
•• Nausea dan muntah
•• Nyeri perut
•• Kelainan defekasi

Evaluasi
Pada saat mengevaluasi anak dengan nyeri perut kronik, perlu ditentukan apakah etiologi
nyeri perut kronik tersebut organik atau fungsional. Langkah awal adalah mencari etiologi
organik sebelum menentukan bahwa diagnosisnya adalah nyeri perut fungsional (non-
organik).1 Pasien dengan nyeri perut perlu dievaluasi anamnesis dan pemeriksaan fisik

Tabel 1: Hubungan antara gejala dan tanda nyeri perut berulang8


Tanda Bahaya Nyeri Perut Berulang 95% IK
Organik Non-Or- Nilai-P Rasio Batas Batas
ganik Odds Bawah Atas
Nyeri perut tidak di daerah periumbilikal 39 15 0.001*
Perut tegang 25 7 0.003* 4.01 1.5 10.5
Nyeri malam hari 23 3 <0.001* 9.2 2.4 32.6
Penurunan berat badan 18 1 <0.001* 19.3 2.4 152.1
Diare dan muntah 17 10 0.5 1.4 0.56 3.4
Gangguan tumbuh 12 2 0.02* 5.4 1.1 25.9
Demam 7 0 0.02*
Anemia 6 3 0.5 1.5 0.36 6.6
Peningkatan LED 6 0 0.03*
Riwayat keluarga dengan ulkus peptikum 6 1 0.2 4.9 0.57 42.6
Frequency dan disuria 5 0 0.06
Darah dalam tinja 3 0 0.2
Gejala di luar usus halus 3 1 0.6 2.3 0.23 23.2
Komplikasi perianal 3 4 0.4 0.35 0.06 2.03
Disfagia 2 0 0.5
Hematemesis 2 0 0.5
Hematoschezia 2 0 0.5
Hematuria 1 0 1
Rash 1 0 1
IK = interval kepercayaan, LED = laju endap darah, signifikan bila nilai-P<0.05

446 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


dengan cermat dengan cara mencari gejala dan tanda bahaya.7 Motamed F dkk8 mencoba
mencari tanda bahaya yang cukup spesifik bagi nyeri perut berulang organik pada 100
anak dengan nyeri perut berulang (Tabel 1. dengan modifikasi). Dengan adanya gejala
dan tanda bahaya tersebut maka pemeriksaan lanjut yang lebih spesifik dapat dilakukan.9
Stresor yang terjadi pada anak dapat meningkatkan episode nyeri, walaupun tidak
terbukti bahwa masalah psikologis dapat membedakan apakah penyebab nyeri perut
kronik tersebut adalah organik atau non-organik. Saat mengatasi nyeri perut kronik,
masalah psikologis perlu dicari dan di tata laksana, karena terbukti anak dengan nyeri
perut kronik memiliki ansietas yang tinggi dan menunjukkan gejala depresi. Namun
demikian apakah hal tersebut sebagai penyebab atau akibat nyeri perut kronik belum
dapat diketahui.1

Etiologi infeksi
Infeksi saluran cerna pada masa anak sudah diketahui dapat menyebabkan konsekuensi
jangka panjang berupa nyeri perut kronik fungsional (contoh: sindrom usus iritabel, IBS)
pada masa dewasa.2,10-13 Hubungan sebab akibat antara infeksi saluran cerna pada anak
dan IBS pertama kali diajukan oleh Chaudary dan Truelove pada tahun 1962.14 Sejak saat
itu banyak penelitian menunjukkan hubungan antara infeksi saluran cerna pada masa
anak sebagai faktor risiko IBS pasca infeksi. Cremon dkk14 melaporkan bahwa infeksi
Salmonella pada masa anak memiliki nilai rasio Odds 1,92 untuk menjadi IBS pasca
infeksi. Penelitian di Cina menunjukkan bahwa faktor risiko (rasio Odds) terjadinya IBS
pasca infeksi gastroenteritis sebesar 1,29.15 Schwille-Kiuntke dkk16 melaporkan gejala nyeri
perut kronik disertai dengan nyeri kepala, back-pain, nyeri pada lengan dan/atau tungkai,
dan nyeri dada pada anak yang mengalami riwayat infeksi bakteri (Salmonella). Collins
dan Lin (2010) melaporkan sebanyak 78-84% pasien dengan IBS yang mengalami nyeri
perut kronik terbukti mengalami pertumbuhan lampau bakteri di usus halus dibandingkan
dengan 20% kontrol.2
Penyebab infeksi tertinggi lainnya pada anak dengan gejala nyeri perut kronik adalah
infeksi H. pylori; terutama pada negara dengan penghasilan perkapitanya rendah, infeksi
H. pylori terjadi pada usia muda.17 Infeksi H. pylori dapat menyebabkan gastritis dan ulkus
peptikum, disertai dengan keluhan muntah, anemia defisiensi besi refrakter, ataupun
gangguan pertumbuhan.18 Pada penelitian tersebut prevalens H. pylori lebih tinggi di
kelompok usia 6-8, dan 9-11 tahun dibandingkan dengan kelompok usia 12-15 tahun.
Temuan ini berbeda dengan yang ditemukan oleh peneliti Korea, yaitu infeksi H. pylori
pada anak <12 tahun lebih rendah dibandingkan dengan anak berusia > 12 tahun.19 Pada
penelitian ini didapatkan data analisis PCR terhadap saliva ibu menunjukkan bahwa 78%
ibu yang terinfeksi H. pylori memiliki anak yang terinfeksi H. pylori. Faktor risiko yang
berhubungan dengan infeksi H. pylori adalah tingkat edukasi ibu, higienitas sumber air
minum, dan pendapatan keluarga. Diagnosis yang akurat menggunakan endoskopi dan
biopsi jaringan dengan uji CLO maupun pemeriksaan patologi anatomi. Pemeriksaan

447
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
urea breath test (UBT) pada anak memiliki akurasi yang relatif untuk menilai kesuksesan
terapi. Karena peluang hasil positif palsu yang cukup tinggi pada anak yang usianya di
bawah 6 tahun (8,3%)20 maka Yang dkk21 menganjurkan nilai cut-off untuk anak <6 tahun
adalah 7% untuk mengurangi nilai positif palsu. Peneliti lain mendapatkan bahwa saudara
kandung yang lebih muda memiliki 8 kali peluang terinfeksi bila saudara kandung yang
lebih tua menderita infeksi H. pylori yang persisten.22
Infeksi D. fragilis yang berlangsung kronik dapat memberikan gejala klinis antara
lain nyeri perut kronik, diare persisten, tidak nafsu makan, gangguan nutrisi dan flatulens,
maupun gejala mirip IBS.23 Peneliti lain membuktikan bahwa Blastocystis spp dapat
menyebabkan nyeri perut pada anak dan hal ini secara klinis masih kontroversi.24

Etiologi alergi
Esofagitis eosinofilik (EoE) pada anak dan remaja dapat bermanifestasi sebagai nyeri
perut kronik, ataupun disfagia, muntah (penyakit refluks gastroesofageal), maupun gagal
tumbuh.25 Diagnosis EoE berdasarkan temuan eosinofil di esofagus tanpa eosinofil di perut
maupun duodenum. Penyebab nyeri perut kronik lainnya yang terkait alergi pada bayi
maupun anak besar adalah gastroenteritis eosinofilik alergi (GEA). Gejala lainnya yang
menyertai penyakit ini adalah muntah, diare dan gagal tumbuh, di antaranya mengalami
hilang protein melalui saluran cerna (protein-losing enteropathy).26 Lima puluh persen anak
yang menderita GEA adalah anak yang atopi dan terbukti memiliki antibodi IgE terhadap
spesifik makanan. Namun demikian uji kulit tusuk (skin prick test) dan kadar serum IgE-
makanan menunjukkan korelasi yang buruk dengan eliminasi makanan. Tata laksana
esofagitis eosinofilik pada anak adalah pemberian steroid dan/atau diet. Gejala klinis
dan/atau gambaran histologis akan mengalami perbaikan sebesar 50-100% tergantung
pada dominan gejala yang timbul; dan pada umumnya gejala nyeri perut kronik lebih
sulit diatasi dibandingkan dengan gejala disfagia.26 Diet elemental berbasis formula asam
amino selama 6 minggu berdampak pada perbaikan inflamasi eosinofil di saluran cerna.25
Sindrom usus iritabel dengan inflamasi rendah merupakan manifestasi kelainan
alergi sistemik (atopi) yang diinduksi oleh makanan (alergi makanan atau hipersensitivitas
terhadap makanan).27 Anak atopi dengan nyeri perut akibat kelainan gastrointestinal
memiliki peningkatan eosinofil dan sel mast di antrum. Akumulasi sel-sel tersebut
mengalami degranulasi saat diberikan susu sapi, mengakibatkan stimulasi persarafan dan
kontraksi otot halus, dan selanjutnya memberikan gejala gastrointestinal seperti kram
perut, perut tidak nyaman, maupun flatus.28-30

Pemeriksaan penunjang
Pada dasarnya pemeriksaan penunjang dilakukan bila pada anamnesis dan pemeriksaan
fisik didapatkan gejala dan tanda bahaya (alarm symptoms). Pemeriksaan awal berupa
pemeriksaan darah tepi lengkap, hitung jenis, dan urinalisis. Tergantung anamnesis maka
pemeriksaan laju endap darah, C-reactive protein, maupun evaluasi etiologi infeksi (parasit,

448 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


bakteri, atau virus) perlu dilakukan, termasuk 13C-urea breath test jika H. pylori diduga
sebagai etiologi. Uji hidrogen napas (hydrogen breath test) dapat memberikan informasi
adanya malabsorpsi karbohidrat ataupun bakteri tumbuh lampau (overgrowth bacteria)
pada keluhan nyeri perut kronik. Kecurigaan kepada sindrom usus halus iritabel (IBS)
perlu dilakukan uji tapis calprotectin untuk menyingkirkan keterkaitan inflamasi mukosa
usus (nilai <50mg/g tinja). Bila tidak ada tanda bahaya maka pemeriksaan USG abdomen
hanya mendeteksi kelainan sebesar 1%. Penggunaan CT-scan abdomen sangat dibatasi
sebagai alat diagnostik karena risiko kanker dikemudian hari.9 Pemeriksaan endoskopi
saluran cerna pada nyeri perut kronik bermanfaat untuk menemukan kelainan pada 25-
56% kasus pada kasus-kasus yang memiliki gejala dan tanda bahaya.1,9

Penutup
Nyeri perut kronik akibat dugaan infeksi ataupun alergi merupakan penyebab organik
yang memerlukan pemeriksaan lebih lanjut. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat
mencari gejala dan tanda bahaya merupakan langkah awal yang perlu dilakukan. Nutrisi
memegang peranan penting di samping tata laksana definitif pada nyeri perut kronik
organik akibat infeksi ataupun alergi.

Daftar pustaka
1. Di Lorenzo C, Colletti RB, Lehmann HP, Boyle JT, Gerson WT, Hyams JS, et al. American
Academy of Pediatrics Subcommittee on Chronic Abdominal Pain; NASPGHAN Commit-
tee on Abdominal Pain: Chronic abdominal pain in children: a clinical report of the Amer-
ican Academy of Pediatrics and the North American Society for Pediatric Gastroenterology,
Hepatology and Nutrition.  J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2005;40(3):245–8.
2. Collins BS, Lin HC. Chronic abdominal pain in children is associated with high prevalence
of abnormal microbial fermentation. Dig Dis Sci. 2010; 55(1);124-30.
3. El-Matary W, Spray C, Sandhu B. Irritable bowel syndrome: the commonest cause of recur-
rent abdominal pain in children. Eur J Pediatr. 2004;163(10):584-8.
4. Buch NA, Ahmad SM, Ahmed SZ, et al. Recurrent abdominal pain in children. Indian Pe-
diatr. 2002;39(9):830-4.
5. Thiessen PN. Recurrent abdominal pain. Pediatr Rev. 2002;23(2):39-46.
6. Stordal K, Nygaard EA, Bentsen B. Organic abnormalities in recurrent abdominal pain in-
children. Acta Paediatr. 2001;90(6):638-42.
7. DiLorenzo C, Hyams J, Saps M, et al. Childhood functional gastrointestinal disorders, child/
adolescent. In: Drossman D, Chang L, Chey W, et al, editors. ROME IV, functional gastro-
intestinal disorders, disorders of gut-brain interaction. Raleigh (NC): The Rome Foundation;
2016. p.1297-371.
8. Motamed F; Mohsenipour R, Seifirad S,Yusefi A, Farahmand F, Khodadad A, et al. Red Flags
of Organic Recurrent Abdominal Pain in Children: Study on 100 Subjects. Iran J Pediatr.
2012;22(4): 457-62.
9. Zeiter DK. Abdominal pain in children: from the eternal city to the examination room. Pe-
diatr Clin N Am. 2017;64:525-41.

449
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
10. Spiller R and Garsed K. Postinfectious irritable bowel syndrome. Gastroenterology 2009;
136: 1979–1988.
11. Borgaonkar MR, Ford DC, Marshall JK, et al. The incidence of irritable bowel syndrome
among community subjects with previous acute enteric infection. Dig Dis Sci 2006; 51:
1026–1032.
12. Halvorson HA, Schlett CD and Riddle MS. Postinfectious irritable bowel syndrome—a me-
ta-analysis. Am J Gastroenterol. 2006;101:1894–1899.
13. Thabane M, Kottachchi DT and Marshall JK. Systematic review and meta-analysis: The in-
cidence and prognosis of post-infectious irritable bowel syndrome. Aliment Pharmacol Ther.
2007; 26: 535–544.
14. Barbara G, Cremon C, Pallotti F, et al. Post infectious irritable bowel syndrome. J Pediatr
Gastroenterol Nutr. 2009; 48(Suppl 2): S95–S97.
15. Cremon C, Stanghellini V, Pallotti F, et al. Salmonella gastroenteritis during childhood is a
risk factor for irritable bowel syndrome in adulthood. Gastroenterol Nurs. 2014; 147: 69–77.
16. Schwille-Kiuntke J, Unverdorben A, Weimer K, Schlarb AA, Gulewitsch MD, Ellert U, et al.
Bacterial infections in childhood: A risk factor for gastrointestinal and other diseases? UEG
J. 2015;3(1):31-8.
17. Rosenberg JJ. Helicobacter pylori. Pediatr Rev. 2010;31:85-6.
18. Mohanna MA, Al-Zubairi LM, Sallam AK. Prevalence of Helicobacter pylori and parasites
in symptomatic children examined for Helicobacter pylori antibodies, antigens, and parasites
in Yemen. Saudi Med J. 2014;35(11):1408-11.
19. Jang KM, Choe BH, Choe JY, Hong SJ, Park HJ, Chu MA, et al. Changing prevalence of
Helicobacter pylori infections in Korean children with recurrent abdominal pain. Pediatr
Gastro-enterol Hepatol Nutr. 2015;18(1):10-6.
20. Kindermann A, Demmelmair H, Koletzko B, Krauss-Etschmann S, Wiebecke B, Koletzko
S. Influence of age on 13C-urea breath test results in children. J Pediatr Gastroenterol Nutr.
2000;30:85-91.
21. Yang HR, Ko JS, Seo JK. Does the diagnostic accuracy of the 13C-urea breath test vary with
age even after the application of urea hydrolysis rate? Helicobacter. 2008;13:239-44.
22. Cervantes DT, Fischbach LA, Goodman KJ, Phillips CV, Chen S, Broussard CS. Exposure to
Helicobacter pylori-positive siblings and persistence of Helicobacter infection in erly child-
hood. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2010;50:481-5.
23. Fletcher S, Caprarelli G, Merif J, Andresen D, Hal SV, et al. Epidemiology and geograph-
ical distribution of enteric protozoan infections in Sydney, Australia. J Publ Health Res.
2014;3:298.
24. Mehlhorn H, Tan KS, Yoshikawa H. Blastocystis: Pathogen or passenger? Heidelberg: Spring-
er, 2012. 225p.
25. Gunasekaran T, Prabhakar G, Schwartz A, Gorla K, Gupta S, Berman J. Eosinophilic esopha-
gitis in children and adolescents with abdominal pain: Comparison with EoE-dysphagia and
functional abdominal pain.
26. Maloney J, Nowak-Wegrzyn A. Educational clinical case series for pediatric allergy and
immunology: allergic proctocolitis, food protein-induced enterocolitis syndrome and aller-
gic eosinophilic gastroenteritis with protein-losing gastroenteropathy as manifestations of
non-IgE-mediated cow’s milk allergy. Pediatr Allergy Immunol. 2007;18(4):360-7.

450 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


27. Mansueto P, D’Alcamo A, Seidita A, Carroccio A. Food allergy in irritable bowel syn-
drome: The case of non-celiac wheat sensitivity. World J Gastroenterol. 2015;21(23)7089-
109.
28. Schappi MG, Borrelli O, Knafelz D, et al. Mast cell-nerve interactions in children with
functional dyspepsia. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2008;47:472-80.
29. Walker MM, Salehian SS, Murray CE, et al. Implications of eosinophilia in the normal
duodenal biopsy - an association with allergy and functional dyspepsia. Aliment Pharma-
col Ther. 2010;31: 1229-36.
30. Lee EH, Yang HR, Lee HS. Analysis of gastric and duodenal eosinophils in children with
abdominal pain related functional gastrointestinal disorders according to ROME III crite-
ria. J Neurogastro-enterol Motil. 2016;22(3):459-69.

451
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Noisy Breathing in Children
Retno Asih Setyoningrum
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga / RSUD Dr. Sutomo, Surabaya

Abstract
Noisy breathing is an additional sound symptom that can be resulted from a respiratory process. There
are many types of noisy breathing that occur in children. The presence of noisy breathing in children can
be the sign of any abnormalities in the airway system. Many types of diseases in the airway or outside the
airway can be the cause of the noisy breathing. To determine the cause, physician should taking history
carefully, do the physical examination well, and take a laboratory examination to make the diagnosis, so
that the definitif cause of noisy breathing in the children can be treated properly.

M
embedakan antara suara pernapasan normal dan tidak normal merupakan hal
yang penting untuk membuat suatu diagnosis yang akurat. Suara pernapasan
dihasilkan berdasarkan proses fisiologis dan patologis dari paru dan saluran
napas. Noisy breathing pada anak merupakan gejala yang umum didapatkan saat dilakukan
1

pemeriksaan fisik.2 Gejala tersebut dapat disebabkan oleh adanya suatu kelainan bawaan
atau kelainan yang didapat. Mengetahui karakteristik noisy breathing pada anak dapat
membantu dokter untuk mengarahkan kemungkinan sumber penyebabnya.3

Jenis noisy breathing


Sovijarvi (2000), mempublikasikan jurnal di European Respiratory Journal dan menulis
definisi dari istilah-istilah suara pernapasan.
Stridor: suara berfrekuensi sangat rendah yang berasal dari laring dan trakea. Suara
ini dapat timbul saat fase inspirasi, ekspirasi, atau keduanya.4,5 Suara ini dapat didengarkan
langsung dari dekat mulut, trakea, atau sekitar dinding dada. Stridor dapat muncul
bersamaan dengan whooping cough, stenosis laring, atau stenosis trakea.4
Wheeze: suara bernada tinggi yang terdengar terus menerus yang dihasilkan
saat ekspirasi. Suara ini memiliki karakter suara seperti alat musik dan secara akustik
digambarkan dengan bentuk gelombang periodik dengan frekuensi dominan lebih dari
100Hz dan dengan durasi ≥100ms.6 Wheeze setidaknya harus terdiri dari 10 getaran
berturut-turut. Wheeze biasanya berhubungan dengan obstruksi saluran napas oleh karena
berbagai sebab. Wheeze disebut monofonik jika terdiri dari satu macam frekuensi. Jika
terdiri dari beberapa frekuensi, maka disebut wheeze polifonik.4

452 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Crackles: suara eksplosif dan terputus-putus ini umumnya muncul selama fase
inspirasi yang ditandai dengan bentuk gelombang, durasi, dan lokasi yang spesifik dalam
siklus pernapasan. Karakter dari crakles dapat dibedakan berdasarkan durasi totalnya, yaitu
halus (durasi pendek) atau kasar (durasi lama). Adanya kelainan pada suara paru biasanya
mencerminkan proses patologis pada jaringan paru atau saluran pernapasan.4
Cough sound: suara yang diinduksi oleh refleks batuk dengan frekuensi antara 50Hz
hingga 3000Hz. Karakteristik batuk akan terdengar berbeda pada beberapa penyakit
paru.4 Suara batuk disebabkan oleh getaran pada saluran napas besar dan laring yang
terjadi saat ekspirasi.7
Rhonchi: suara bernada rendah yang terdiri dari gelombang periodik dengan
durasi>100 ms dan frekuensi <300Hz. Rhonchi dapat ditemukan misalnya pada pasien
dengan sekresi atau penyempitan di saluran napas besar dan dengan kelainan saluran
napas yang tidak normal.4
Snoring sound: suara tambahan berfrekuensi rendah dengan komponen periodik
(frekuensi dasar 30-250Hz) yang biasanya terdengar saat tidur dan disebabkan oleh
getaran abnormal di dinding orofaring. Suara ini umumnya terdengar saat fase inspirasi
namun dapat pula terjadi saat fase ekspirasi, terutama pada pasien dengan obstructive sleep
apnea.4,8

Penyebab noisy breathing


A. Stridor
Laryngotracheobronchitis atau croup merupakan penyebab umum stridor akut.5 Kondisi
ini umumnya disebabkan oleh infeksi saluran pernapasan pada anak.9 Penyakit ini
paling sering terjadi pada anak antara usia 6 bulan hingga 2 tahun dan lebih sering
terjadi pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan (3:2).3 Beberapa virus
yang dapat menyebabkan laringotracheobronchitis seperti virus parainfluenza, virus
influenza, adenovirus, rhinovirus, dan respiratory syncytial virus (RSV).10
Epiglotitis juga merupakan salah satu penyebab stridor.5 Epiglotitis adalah proses
peradangan akut dari struktur supraglotis yang disebabkan oleh berbagai jenis bakteri.3
Haemophilus influenzae tipe B adalah organisme penyebab yang paling umum.11 Pada
pasien mungkin juga dapat menderita sakit tenggorokan, disfagia, suara sayu, atau
batuk ringan dan mungkin juga bisa meneteskan air liur.3,11
Aspirasi benda asing adalah penyebab umum stridor seperti halnya juga croup.
Kejadian ini paling sering terjadi pada anak usia antara 1 hingga 2 tahun.5 Gejala
klinis yang dapat muncul mulai dari tanpa gejala, batuk, stridor, sesak, hingga henti
napas tergantung pada lokasi benda asing.3,12 Cricopharyngeus adalah lokasi yang
paling sering ditemukannya benda asing yang terperangkap.13
Meskipun bacterial tracheitis relatif jarang terjadi, penyakit ini bisa juga menjadi
penyebab stridor pada anak.14 Bacterial tracheitis biasanya terjadi setelah mengalami
infeksi virus pada saluran pernapasan bagian atas pada anak di bawah 4 tahun yang

453
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
disebabkan oleh H. Influenza, streptococcus, atau staphylococcus.3
Laryngomalacia adalah penyebab stridor kronis yang terjadi karena prolapsnya
jaringan ke dalam laring.3,15 Laryngomalacia biasanya terjadi pada bayi yang mengalami
keterlambatan pada proses pematangan struktur pendukung laring, Diagnosis dapat
ditegakkan dari gejala klinis dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan endoskopi yang
telah banyak direkomendasikan oleh sebagian besar para ahli.3
Subglottis stenosis biasanya disebabkan oleh penggunaan alat intubasi yang
berkepanjangan. Patogenesis dari subglottis stenosis mungkin dimulai dengan proses
tekanan mukosa subglotik akibat intubasi endotrakeal yang menyebabkan nekrosis,
kemudian diikuti ulserasi mukosa, perikondritis, dan pembentukan jaringan parut.16
Normalnya luas crosssectional dari korda vokalis pada batas bawah kartilago krikoid
adalah 5 mm hingga 6 mm. Stenosis terjadi bila luas tersebut kurang dari 4 mm. Ada
juga jenis lain dari subglottis stenosis yang didapatkan sejak lahir (kongenital) yang
biasanya ditandai dengan gejala croup yang persisten pada bayi.3

B. Wheeze (Mengi)
Asma adalah penyebab mengi tersering pada anak yaitu penyakit kronis pada masa
kanak dan merupakan penyebab utama morbiditas masa kecil yang diukur dari
seringnya tidak masuk sekolah, masuk unit gawat darurat (UGD), dan rumah sakit.3,17
Asma adalah peradangan saluran napas yang dimediasi oleh berbagai subtipe sel yang
mengakibatkan saluran udara menjadi hyperresponsive. Proses ini dimulai dengan
mekanisme bronkokonstriksi dan diikuti oleh edema jalan napas serta produksi lendir
yang berlebihan, disertai dengan respon berlebih pada jalan napas, dan diikuti oleh
perubahan kronis pada epitel saluran napas dengan gejala umum berupa batuk, mengi,
dan kesulitan bernapas.18 Diagnosis dapat ditegakkan dari pemeriksaan spirometri,
bronchoprovocation test, dan tes alergi yang mungkin bisa membantu.3
Bronkiolitis juga merupakan penyebab umum mengi pada anak seperti halnya
asma.3,19 Penyakit ini termasuk dalam gangguan saluran pernapasan bagian bawah
yang paling sering terjadi pada anak kecil yang disebabkan oleh infeksi virus seperti
RSV.20 Sebagian besar kasus bronkiolitis pada anak di bawah 2 tahun yang merupakan
penyebab paling umum rawat inap di antara bayi pada 12 bulan pertama kehidupan.21
Infeksi virus ini terjadi melalui saluran pernapasan bagian atas dan menyebar ke bawah
akibat radang epitel bronkiolar dengan infiltrasi sel darah putih pada peribronkial,
dan edema submukosa dan adventisia. Tumpukan epitel nekrotik dan fibrin di saluran
napas bagian bawah dapat menyebabkan penyumbatan sebagian atau total terhadap
aliran udara dan menghasilkan suara berupa mengi.20.
Tracheomalacia merupakan kelainan pada saluran udara besar. Trakea mengalami
deformasi atau salah bentuk sehingga menghasilkan suara mengi pada saat respirasi.
Kejadian ini jarang ditemukan di fasilitas kesehatan primer dan biasanya baru
ditemukan pada praktik pediatri tingkat tersier. Tracheomalacia memiliki spektrum
gejala pernapasan yang luas dari gejala pernapasan umum seperti batuk kronis dan
wheezing hingga apnea berulang yang mengancam jiwa.22

454 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Gastroesophageal reflux (GER) juga dapat menyebabkan terjadinya wheezing.
Keadaan ini disebabkan oleh inkompetensi dari sfingter esofagus bagian bawah.
Pada pasien ini dapat terjadi aspirasi yang menyebabkan sumbatan jalan napas
bagian bawah.3 Gastroesophageal reflux merupakan keadaan kembalinya isi lambung
ke kerongkongan dengan atau tanpa muntah. Gastroesophageal reflux sebenarnya
merupakan keadaan fisiologis yang terjadi beberapa kali dalam sehari pada bayi dan
anak sehat.23

C. Rales/Crackles
Penyebab tersering rales pada anak adalah pneumonia dan edema paru.3
Pneumonia didefinisikan sebagai infeksi pada parenkim paru (alveoli) yang disebabkan
oleh agen mikroba seperti virus, bakteri, atau organisme atipikal.24,25 Pneumonia
merupakan penyebab kematian tersering pada anak di negara berkembang.24,26
Gejala pneumonia pada anak dapat berupa demam, tachypnea, sesak napas atau sulit
bernapas, batuk, hingga nyeri pada mata atau di dada.25 Diagnosis dapat ditegakkan
berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan foto toraks, dan
kultur dari sputum.27
Rales dapat juga ditemukan pada pasien dengan edema paru. Edema paru
didefinisikan sebagai meningkatnya kandungan air ekstravaskular pada jaringan paru.
Keadaan ini dapat terjadi bila laju filtrasi cairan melebihi laju penyerapan cairan oleh
sistem limfatik. Secara umum, ada dua jenis penyebab edema paru: cardiac dan non-
cardiac.3,28
Bronkiektasis dapat juga menimbulkan suara rales yang bersifat kronis.3
Bronkiektasis pada anak masih menjadi salah satu penyebab kematian anak di negara
berkembang. Bronkiektasis didefinisikan sebagai pelebaran bronkus permanen
dan abnormal yang disebabkan oleh rusaknya komponen elastis dan otot dinding
bronkus.29,30 Di negara barat, cystic fibrosis (CF) masih merupakan penyebab
bronkiektasis yang paling umum.29,31 Sedangkan di negara berkembang, penyebab
bronkiektasis meliputi berbagai infeksi saluran pernapasan, seperti pneumonia,
pertusis, campak, dan tuberkulosis.29

D. Cough (Batuk)
Batuk adalah salah satu mekanisme refleks perlindungan tubuh yang alami untuk
melindungi saluran pernapasan dan salah satu gejala yang muncul pada penyakit
sistem pernapasan.32,33 Sebenarnya batuk merupakan hal yang normal pada anak.
Dalam sehari anak dapat mengalami periode batuk rata-rata sebanyak 11 kali.34
Sebagian besar anak dengan gejala batuk akut disebabkan oleh infeksi virus
di saluran pernapasan. Infeksi pernapasan akut seperti croup, bacterial tracheitis,
bronchiolitis, common cold, faringitis, sinusitis, dan pneumonia, juga memiliki gejala
batuk dalam perjalanan penyakitnya. Selain itu batuk dapat juga menjadi gejala adanya
benda asing yang terperangkap di saluran pernapasan. Batuk dapat juga bersifat kronik.
Pada pemeriksaan awal untuk batuk kronis, klinisi harus mendapatkan gejala dan

455
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
tanda bahaya yang mungkin mengindikasikan adanya penyakit serius serta mencari
tahu apakah ada kaitan dengan gejala batuk kronis. Beberapa kelainan dengan gejala
batuk kronis yang dimulai pada saat periode neonatus seperti tracheobronchomalacia,
cystic fibrosis, primary cilial dyskinesia, atau aspirasi karena tracheoesophageal fistula.34

E. Snooring
Obstructive sleep apnea syndrome (OSAS) merupakan penyebab tersering gejala snoring
ada anak. Snoring pada anak dikaitkan dengan meningkatnya resistensi saluran napas
bagian atas saat tidur dan merupakan gejala kardinal dari sleep disordered breathing
(SDB). Snoring pada anak juga memiliki hubungan yang kuat dengan riwayat atopi
dan infeksi virus serta riwayat adenotonsilektomi dan riwayat orang tua yang memiliki
kebiasaan merokok dan mendengkur. 35,36

Tata laksana
Penanganan noisy breathing pada anak dilakukan berdasarkan etiologi penyakitnya. Seperti
contoh pada laryngotracheobronchitis, dapat diberikan tatalaksana berupa pemberian
oksigen, steroid, dan nebulisasi epinefrin.5 Kemudian pada kasus pneumonia dapat
diberikan terapi oksigen, koreksi cairan, dan pemberian antibiotik.25

Penutup
Evaluasi noisy breathing pada anak harus dilakukan secara hati-hati dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik untuk mencari tahu kemungkinan penyebabnya. Gejala dan tanda
penyerta juga harus dicari untuk menentukan dan menyingkirkan penyakit tertentu.
Setelah mengetahui penyebabnya, pemeriksaan diagnostik lebih lanjut dapat dilakukan
untuk menegakkan diagnosis dan terapi definitif sudah dapat dimulai.

Daftar pustaka
1. Reichert S, Gass R, Brandt C, Andrès E. Analysis of Respiratory Sounds: State of the Art.
Clinical Medicine Circulatory. Respir and Pulmonary Med 2008;2:45-58.
2. Filippone M, Narne S, Pettenazo A, Zacchello F, Baraldi E. Functional Approach to Infants
and Young Children with Noisy Breathing. Am J Respir Crit Care Med 2000;162: 1795-
1800.
3. Pryor MP. Noisy breathing in children. Postgraduate Medicine 1987; 101:2: 103-12.
4. Sovijarvi, A.R., Dalmasso, F., Vanderschoot, J., Malmberg, L.P., Righini, G. and Stoneman,
S.A. Definition of terms for applications of respiratory sounds. Eur. Respir. Rev 2000;
10:597–610.
5. Maloney E, Meakin GH. Acute stridor in children. Contin Educ Anaesth Crit Care Pain 2007;
7 (6): 183-186.
6. Brand PLP, Baraldi E, Bisgaard H, Boner AL, Castro-Rodriguez JA, Custovic A, et al. Defi-
nition, assessment and treatment of wheezing disorders in preschool children: an evidence-based
approach. Eur Respir J 2008 32: 1096-1110.

456 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


7. Chang BA, Gaffney JT, Eastburn MM, Faoagali J, Cox NC, Masters IB. Cough quality
in children: a comparison of subjective vs. bronchoscopic findings. Respiratory Research,
2005;.6(1): 3.
8. Ferreira AM, Clemente V, Gozal D, Gomes A, Pissarra C, César H, et al. Snoring in Portu-
guese Primary School Children. Pediatrics Nov 2000;106 (5): e64.
9. Arthur Marx, Thomas J. Török, Robert C. Holma, Matthew J. Clarke, Larry J. Anderson. Pe-
diatric Hospitalizations for Croup (Laryngotracheobronchitis): Biennial Increases Associated
with Human Parainfluenza Virus 1 Epidemics. J Infect Dis 1997; 176 (6): 1423-7.
10. Knutson D, Aring A. Viral Croup. Am Fam Physician 2004;69:535-40,541-2.
11. Abdallah C. Acute epiglottitis: Trends, diagnosis and management. Saudi J Anaesth
2012;6:279-281.
12. Louie MC, Bradin S. Foreign Body Ingestion and Aspiration. Ped in Rev 2009;30;295-301.
13. Murty PSN, Ingle VS, Ramakrishna S, Shah Fam Varghese P. Foreign bodies in the upper
aero-digestive tract. J Sci Res Med Sci. 2001; 3(2): 117–120.
14. Al-Mutairi B, Kirk V. Bacterial tracheitis in children: Approach to diagnosis and treat-
ment. Paediatrics & Child Health 2004; 9 (1): 25-30.
15. Thomson DM. Abnormal Sensorimotor Integrative Function of the Larynx in Congenital
Laryngomalacia: A New Theory of Etiology. The Laryngoscope 2007;117:1-33.
16. Louie MC, Bradin S. 2009. Foreign Body Ingestion and Aspiration. Ped in Rev 2009;30;295-
301.
17. Pedersen SE., Hurd SS., Lemanske RF., Becker A., Zar HJ., Sly PD., et al. Global strategy for
the diagnosis and management of asthma in children 5 years and younger. Pediatr. Pulmonol
2011; 46: 1–17.
18. Hill VL, Wood PR. Asthma Epidemiology, Pathophysiology, and Initial Evaluation. Ped in
Rev 2009;30;331.
19. King BR. Bronchiolitis: Children with Fever. Emergency Med News 2001; 23 (3); 52.
20. Zorc JJ, Hall CB. Bronchiolitis: Recent Evidence on Diagnosis and Management. Pediatrics
2010;125;342.
21. Ralston SL, Lieberthal AS, Meissner HC, Alverson BK, Baley JE, Gadomski AE, et al Clin-
ical Practice Guideline: The Diagnosis, Management, and Prevention of Bronchiolitis. Pedi-
atrics 2014; 134 (5): e1474-e1502.
22. Goyal V, Masters IB, Chang AB. Interventions for primary (intrinsic) tracheomalacia in chil-
dren. Cochrane Database of Systematic Reviews 2012, Issue 10. Art. No.: CD005304.
23. Vandenplas Y, Rudolph CD. Pediatric Gastroesophageal Reflux Clinical Practice Guide-
lines: Joint Recommendations of the North American Society for Pediatric Gastroenterology,
Hepatology, and Nutrition (NASPGHAN) and the European Society for Pediatric Gastroen-
terology, Hepatology, and Nutrition (ESPGHAN). J of Ped Gastroenterology & Nutr 2009;
(4) : 498-547.
24. Kabra SK, Lodha R, Pandey RM. Antibiotics for community-acquired pneumonia in chil-
dren. Cochrane Database of Systematic Reviews 2010, Issue 3. Art. No.:CD004874.
25. Harris M, Clark J, Coote N. British Thoracic Society guidelines for the management of com-
munity acquired pneumonia in children: update 2011. Thorax 2011;66:ii1-ii23.
26. Cherian T, Mulholland EK, Carlin JB, Ostensen H, Amin R, Campo M, et al. Standardized
interpretation of paediatric chest radiographs for the diagnosis of pneumonia in epidemiolog-

457
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
ical studies. Bull World Health Organ [Internet]. 2005 May [cited 2017 May 31];83(5):353-
359.
27. Ostapchuk M, Robberts DM, Haddy R. Community-Acquired Pneumonia in Infants and
Children. Am Fam Physician. 2004;70(5):899-908.
28. Murray, JF. Pulmonary edema: pathophysiology and diagnosis. Int J Tuberc Lung Dis.
2011;15(2):155-60
29. Kim HY, Kwon JW, Seo J, Song YH, Kim BJ, Yu J, Hong SJ. Bronchiectasis in Children:
10-Year Experience at a Single Institution. Allergy Asthma Immunol Res. 2011;3(1):39-45.
30. Chang AB, Grimwood K, Mulholland EK, Torzillo PJ. Bronchiectasis in Indigenous children
in remote Australian communities. MJA 2002;177:200-204.
31. Sly PD, Gangell CL, Chen L, Ware RS, Ranganathan S, Mott LS, Murray CP, Stick SM. Risk
Factors for Bronchiectasis in Children with Cystic Fibrosis. N Engl J Med 2013; 368:1963-
1970.
32. Gibson PG, Chang AB, Glasgow NJ, Holmes PW, Katelaris P, Kemp AS, et al. CICADA:
Cough in Children and Adults: Diagnosis and Assessment. Australian Cough Guidelines
summary statement. Med J Aust 2010; 192 (5): 265-271.
33. Abaza AA, Day JB, Reynolds JS, Mahmoud AM, Goldsmith WT, McKinney WG, et al.
Classification of voluntary cough sound and airflow patterns for detecting abnormal pulmo-
nary function. BioMed Central 2009, DOI: 10.1186/1745-9974-5-8
34. Shields MD, Bush A, Everard ML. Recommendations for the assessment and management
of cough in children. Thorax 2008;63:iii1-iii15.
35. Sanders JC, King MA, Mitchell RB, Kelly JP. Perioperative Complications of Adenotonsil-
lectomy in Children with Obstructive Sleep Apnea Syndrome. Anesthesia & Analgesiar
2006;103 (5):1115-21.
36. Liukkonen K, Virkkula P, Aronen ET, Kirjavainen T, Pitkäranta A. All snoring is not ade-
noids in young children. International J of Ped Otorhinolaryngology 2008; 72 (6): 879 –84.

458 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


The Effect of Child Abuse and Neglect on Brain
Development, Learning, and Health
Retno Sutomo
Fakultas Kedoteran Universitas Gadjah Mada/RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta

Abstract
Kasus kekerasan dan penelantaran terhadap anak (child abuse and neglect, CAN) cenderung meningkat
dari tahun ke tahun meskipun insidensnya secara pasti sulit diketahui karena seringkali under-reported.
Telah lama diduga bahwa kondisi stres di awal kehidupan, termasuk CAN, berdampak buruk
terhadap pertumbuhan dan perkembangan otak anak. Kemajuan perkembangan ilmu semakin mampu
mengungkap mekanisme neurobiologi yang terkait dengan CAN. CAN diketahui mempengaruhi aksis
hipotalamus-pituitari-adrenal yang merupakan pusat sistem pengaturan tubuh menghadapi kondisi
stres. Studi neuroimaging dan functional neuroimaging banyak mengungkap dampak CAN terhadap
struktur dan aktivitas fungsional otak. Lebih menarik lagi, di tingkat molekular ternyata CAN juga
mempengaruhi mekanisme genetik dan epigenetik yang kompleks. Berbagai mekanisme neurobiologis
tersebut dapat menjelaskan dampak multisistem CAN pada peningkatan kejadian gangguan psikososial
(depresi, post-traumatic stress disorder, hiperaktivitas, bipolar, substance abuse, dan lain-lain) maupun
gangguan medis (penyakit autoimun, penyaikit jantung iskemik, gangguan hati, dan lain-lain).

K
ekerasan dan penelantaran anak (child abuse and neglect, CAN) atau sering disebut
juga perlakuan salah terhadap anak (child maltreatment) meliputi semua tindakan
(perlakuan) yang mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan bahaya atau
kerugian (harm) terhadap kesehatan, tumbuh kembang, atau martabat anak. Dalam definisi
tersebut tercakup kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan emosional, penelantaran,
dan eksploitasi. World Health Organization (WHO)1 melaporkan 25% orang dewasa
mengaku mengalami kekerasan fisik dan satu di antara 5 wanita dewasa dan 1 di antara
13 lelaki dewasa mengalami kekerasan seksual pada masa anak-anak. Menurut pantauan
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)2, kejadian kekerasan pada anak di Indonesia
meningkat setiap tahun. Selama periode 4 tahun berturut-turut (2011-2014) masing-
masing dilaporkan 2.178, 3.512, 4.311, dan 5.066 kasus. Jumlah tersebut diyakini masih
jauh dari angka sesungguhnya mengingat kasus CAN umumnya hanya sebagian kecil yang
dilaporkan. CAN paling banyak terjadi di lingkungan keluarga dan pelakunya sebagian
besar merupakan orang-orang dekat korban. Hal tersebut selaras dengan pantauan KPAI
yang menunjukkan bahwa 91% CAN terjadi di lingkungan keluarga.
Sampai saat ini pembahasan mengenai dampak CAN umumnya lebih terfokus pada
aspek psikososial. Meningkatnya risiko berbagai gangguan psikososial pada korban CAN
sudah banyak diketahui dan menjadi perhatian berbagai pihak.

459
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Berbagai penelitian akhir-akhir ini memperlihatkan bahwa dampak CAN tidak hanya
terbatas pada masalah psikosoial, namun juga masalah medis biologis dan melibatkan
berbagai sistem tubuh. Demikian pula, kemajuan di bidang kedokteran selular dan
molekular serta teknologi pencitraan radiologis semakin dapat menguak mekanisme
neurobiologis dampak CAN terhadap otak dan sistem tubuh.

Efek CAN terhadap aksis hipotalamus-pituitary-adrenal (HPA)


CAN dapat dipandang secara lebih luas sebagai bagian dari stres, lebih spesifik lagi sebagai
early life stress (ELS). Sistem respon tubuh terhadap stress diperankan oleh aksis HPA.
Pada aksis HPA terjadi perpaduan kerja sistem saraf pusat dan sistem endokrin. Sebagai
respon terhadap stress hipotalamus melepaskan corticotropin-releasing factor (CRF) atau
sering juga disebut corticotropin-releasing hormone (CRH), dan arginin vasopresin (AVP).
CRF dan AVP memacu pelepasan adrenocorticotropic hormone (ACTH) oleh kelenjar
hipofisis (pituitary) anterior. Selanjutnya ACTH memacu konversi pregnenolon menjadi
glukokortikoid, yakni kortisol, oleh kelenjar adrenal. Selanjutnya kortisol disekresi ke dalam
sirkulasi darah. Kortisol akan dilepas selama beberapa jam sejak onset stres. Peningkatan
kadar kortisol dalam darah akan memberi umpan balik negatif terhadap pelepasan CRF
oleh hipotalamus dan ACTH oleh kelenjar pituitari untuk mempertahankan homeostasis
tubuh. Kortisol merupakan hormon steroid dan otak merupakan organ target utama kerja
kortisol.3–5
Dalam jangka pendek keberadaan kortisol bersifat protektif sebagai respon terhadap
stres. Namun bila terjadi disregulasi dan kadarnya berlebihan justru menimbulkan
berbagai masalah. Gangguan irama sirkadian kortisol banyak dijumpai pada pasien
depresi. Kadar tinggi kortisol dapat memacu atrofi sel-sel hipokampus, struktur yang kaya
akan reseptor glukokortikoid dan pening untuk fungsi memori dan belajar. Peningkatan
glukokortikoid meningkatkan pelepasan glutamat dan meningkatkan neurotoksisitas
terhadap sel-sel hipokampus. Penelitian menemukan penurunan volume hipokampus
dan kinerja memori pada orang tua dengan kadar kortisol tinggi. Jadi, peningkatan kadar
kortisol yang berlebihan berhubungan dengan penurunan volume hipokampus dan dapat
mengganggu fungsi integrasi dan kognitif otak.5
Aksis HPA belum sepenuhnya matang ketika bayi lahir. Terjadi perubahan seiring
perkembangan anak, baik dalam hal aktifitas basal aksis HPA maupun reaktivits kortisol,
yang sangat dipengaruhi oleh hal-hal yang dialami oleh anak. Pada anak-anak yang
mengalami CAN terjadi disregulasi aksis HPA dan peningkatan berlebihan kadar kortisol.
Temuan yang sama secara konsisten juga ditemukan pada subyek yang mengalami depresi
dan post-traumatic stress disorder (PTSD).3

Efek CAN pada struktur dan fungsi otak anak


Tumbuh kembang anak sangat bergantung pada keutuhan struktur dan fungsi otak,
terutama pada periode awal kehidupan. Otak pada masa anak-anak, terutama di awal-

460 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


awal kehidupan, berkembang secara cepat. Hal tersebut menempatkan periode tersebut
sebagai periode keemasan (golden period) sekaligus sebagai periode kritis perkembangan
otak. Dalam konteks ini, CAN dapat dipandang secara lebih luas sebagai bagian dari
early life stress (ELS). Banyak penelitian menunjukkan dampak negatif CAN terhadap
struktur dan aktifitas otak. Anak-anak dan dewasa dengan riwayat mengalami CAN
sering berespons secara berlebihan terhadap hal-hal kecil, sebagai akibat penurunan fungsi
korteks prefrontal dan hipersensitivitas sistem limbik (hipokampus dan amigdala).6–11
Pengetahuan baru tentang perubahan struktural dan fungsional otak saat ini banyak
difasilitasi oleh kemajuan di bidang radiologi, terutama penggunaan magnetic resonance
imaging (MRI) dan MRI fungsional (functional MRI, fMRI).
Korteks otak terutama berkaitan dengan fungsi belajar dan pemecahan masalah
(fungsi kognitif ). Proses belajar bergantung pada pengalaman-pengalaman yang dialami
anak. Pengalaman-pengalaman tersebut dicatat dalam korteks prefrontal (prefrontal cortex,
PFC), disandingkan dengan pengalaman-pengalaman lain, untuk selanjutnya dievaluasi
untuk menghasilkan respons yang tepat. Ketika anak menghadapi ancaman, sistem limbik
akan teraktivasi lebih cepat daripada PFC sehingga anak tidak sempat melakukan evaluasi
memadai terhadap jenis stimulus yang diterima tersebut. Fungsi belajar dan pemecahan
masalah dari korteks prefrontal hanya akan terjadi dengan baik bila tidak ada kondisi
hyper-arousal.12,9,13
Beberapa studi memperlihatkan hubungan antara ELS dan CAN dengan volume
PFC. Studi oleh Hanson et al.12 menemukan semakin tinggi ELS (dinilai berdasar Youth
Life Stress Interview) pada anak semakin kecil volume PFC, baik gray matter maupun white
matter dan semakin buruk fungsi eksekutifnya. pada remaja dan dewasa yang mengalami
penelantaran pada masa anak-anak memperlihatkan volume korteks prefrontal yang lebih
kecil. PFC berperan penting pada regulasi perilaku, emosi dan kognisi. Anak-anak yang
mengalami kekerasan fisik juga cenderung memiliki korteks orbitofrontal yang lebih kecil.
Korteks orbitofrontal merupakan bagian dari PFC yang berperan penting dalam regulasi
emosi dan sosial.
Sistem limbik yang meliputi struktur amigdala, hipokampus, talamus, hipotalamus,
ganglia basalis, dan girus cingulatus sering disebut sebagai otak emosional (emotional
brain). Sistem limbik bekerja mengendalikan banyak respon emosional fundamental yang
penting untuk survival. Sistem limbik menginisiasi respon bertarung, menghindar, atau
diam saja (fight, flight, or freeze). Di antara komponen sistem limbik, hipokampus dan
amigdala merupakan struktur yang paling banyak diteliti terkait dengan dampak ELS.
Penelitian oleh Teicher et al. menemukan peningkatan hipersensitivitas sistem limbik
pasca kekerasan fisik, seksual, dan kombinasi 2 atau lebih kekerasan masing-masing sebesar
38%, 49%, dan 113%. Sebagian besar penelitian menunjukkan tidak ada pengaruh
CAN terhadap volume amigdala. Namun demikian, CAN mengakibatkan overaktivitas
amigdala sehingga dapat mengganggu fungsinya sebagai pusat pengatur emosi dan yang
menentukan apakah suatu stimulus dianggap mengancam diri atau tidak. Stimulus yang

461
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
bersifat menyenangkan akan direspon dengan pelepasan hormon yang menimbulkan emosi
senang. Sebaliknya, bila ada stimulus yang berupa atau dianggap ancaman, amigdala akan
memacu pelepasan hormone-hormon yang menimbulkan respon fight, flight, atau freeze.
Karena amigdala kebal terhadap efek hormon stress maka ada kemungkinan amigdala
akan terus melepaskan alarm yang salah.9,14–18
Hipokampus membantu memproses transfer informasi awal ke korteks otak
untuk memunculkan “sense” terhadap informasi tersebut. Namun, hipokampus rentan
terhadap hormone stress, terutama hormone-hormon yang dilepaskan oleh amigdala.
Bila hormon-hormon tersebut mencapai kadar tinggi, fungsi hipokampus terganggu.
Akibatnya, informasi tersebut tidak dapat mencapai korteks otak untuk dapat dibedakan
antara informasi/stimulus yang mengancam atau tidak. Penelitian menunjukkan bahwa
lingkungan penuh stress akan menaikkan kadar kortisol dan dapat mengurangi volume
hipokampus. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang menunjukkan bahwa orang
dewasa yang mengalami CAN pada masa anak-anak memiliki volume hipokampus yang
lebih kecil. Temuan tersebut didukung oleh penelitian-penelitian berikutnya. Penelitian
pada wanita-wanita dewasa yang mengalami depresi memperlihatkan temuan menarik.
Volume hipokampus lebih kecil hanya ditemukan pada mereka yang mengalami CAN,
sementara pada wanita depresi tanpa riwayat CAN volume hipokampus normal. Temuan
neuroimaging ini sebagian dapat dijelaskan dengan mekanisme epigenetik yang akan
diuraikan pada bagian selanjutnya.9,15,19,20
Kondisi stres (termasuk CAN) menurunkan kapasitas hipokampus untuk memfasilitasi
kembalinya kadar kortisol menjadi normal. Pengurangan volume hipokampus berhubugan
dengan buruknya memori deklaratif yang menaikkan risiko munculnya gejala klinis mirip
post-traumatic stress disorder (PTSD), depresi, dan proses inflamasi.
Anak-anak yang mengalami CAN cenderung memiliki volume korpus kalosum
yang lebih kecil. Korpus kalosum merupakan struktur white matter terluas pada otak dan
berperan penting dalam komunikasi interhemisfer otak dan proses-proses lain, seperti
kesadaran (arousal), emosi, dan kemampuan kognitif. Volume korpus kalosum yang lebih
kecil menyababkan gangguan integrasi antara kedua hemisfer otak dengan akibat lanjut
berupa mood dan kepribadian yang mudah berubah secara drastis.21,22

Mekanisme genetik dan epigenetik pada CAN6,19,20,23–26


Penelitian Tytka et al menemukan pemendekan telomere kromosom pada orang dewasa
yang memiliki riwayat mengalami CAN pada masa anak-anak. Sementara penelitian
Shalev et al. menemukan bahwa anak yang mengalami lebih dari 2 jenis kekerasan akan
memiliki panjang telomere yang lebih pendek pada umur 5-10 tahun. Telomer merupakan
kompleks DNA-protein yang berada di ujung kromosom, berfungsi sebagai penutup
dan melindungi genom dari kerusakan. Telah dibuktikan bahwa pemendekan telomer
mengakibatkan premature cell shortening yang berkaitan dengan peningkatan morbiditas
dan mortalitas penyakit-penyakit yang berhubungan dengan proses penuaan.

462 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Banyak penelitian menunjukkan peran beberapa polimorfisme genetik sebagai
pemodifikasi risiko munculnya depresi dan PTSD pada anak korban kekerasan. Caspi
et al. melaporkan kejadian depresi dan bunuh diri saat dewasa lebih banyak dijumpai
pada korban yang memiliki 1 atau 2 kopi alel pendek promoter gen transporter serotonin
dibandingkan dengan yang memiliki 2 kopi alel panjang polimorfisme promoter gen
tersebut. Tanpa adanya ELS, tidak ada pengaruh polimorfisme tersebut terhadap
kecenderungan depresi. Hubungan genotipe dan fenotipe tersebut sudah direplikasi
dalam beberapa penelitian selanjutnya, termasuk dalam meta-analisis, dan menunjukkan
arah hubungan yang sama.
Aksis HPA memegang peran penting dalam hubungan antara ELS dan risiko
depresi dan PTSD. Oleh karena itu banyak penelitian yang menganalisis kemungkinan
adanya peran variasi genetik beberapa kandidat gen yang terkait dengan aksis tersebut.
Salah satu gen yang banyak diteliti adalah gen FKBP5. Gena tersebut mengkode sintesis
protein co-chaperon dari heat shock protein (hsp) 90 yang mengatur sensitivitas reseptor
glukokortikoid. Sampai saat ini telah ditemukan empat polimorfisme berupa single
nucleotide polymorphism (SNP) yang memodifikasi risiko terjadinya PTSD pada anak-
anak korban kekerasan. Risiko PTSD meningkat pada individu homozgot untuk alel
minor SNP tersebut. Penelitian-penelitian selanjutnya mendukung temuan tersebut
dan bahkan memperlihatkan bahwa variasi genetik tersebut tidak hanya berhubungan
dengan peningkatan PTSD tetapi juga dengan bunuh diri, dan perilaku agresif.
Mekanisme molekular hubungan tersebut juga sudah ditemukan. Polimorfisme tersebut
mempengaruhi transcription start site dan transcription enhancer gen tersebut yang pada
akhirnya mempengaruhi pola metilasi DNA elemen respons 6C pada FKBP6. Temuan ini
mendasari pengembangan obat antidepresan dan anxiolytic baru berupa inhibitor selektif
FKBP5.
Sirkuit coticotropin releasing hormone receptor (CRHR) aktif berlebihan pada depresi.
Studi molekular menemukan polimorfisme gen CRHR1 yang menjadi faktor risiko
depresi dan bunuh diri pada orang dewasa yang mengalami CAN. Beberapa penelitian
selanjutnya mendukung temuan tersebut. Beberapa polimorfisme genetik lain yang diduga
berperan sebagai pemodifkasi hubungan antara CAN dengan gangguan psikitaris, antara
lain polimorfism Val66Met brain-derived neurotrophic factor (BDNF), reseptor beta-
2 adrenergik, reseptor PAC1, opioid receptor-like 1 receptor, dan methylentetrahyrofolate
reductase (MTHFR).
Lebih menarik lagi bahwa ternyata patofisiologi dampak CAN tidak hanya
menyangkut mekanisme genetik tetapi juga epigenetik. Epigenetik adalah mekanisme
yang terjadi pada adanya perubahan ekspresi gen yang bukan disebabkan oleh perubahan
sekuens DNA tetapi oleh metilasi atau asetilasi DNA, modifikasi histon pasca translasi
atau akibat adanya segmen kecil RNA non-pengkode (small non-coding RNA). Bahkan saat
ini telah banyak diyakini bahwa mekanisme epigenetik yang terutama bisa menjelaskan
bagaimana pengalaman-pengalaman hidup anak pada awal-awal kehidupan mempengaruhi
ekspresi DNA, yang seringkali berlangsung seumur hidup. Di bagian terdahulu telah

463
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
diuraiakan beberapa contoh mekanisme epigenetik, yakni polimorfisme genetik yang
baru mempengaruhi munculnya gejala klinis (fenotipe) ganggguan-gangguan psikiatris
ketika individu pembawa alel tersebut mengalami ELS, antara lain berupa CAN. Regulasi
epigenetik pada reseptor glukokortikoid juga telah diperlihatkan pada analisis molekular
jaringan otak postmortem korban bunuh diri studi sel leukosit perifer pada pasien dengan
gangguan bipolar, gangguan kepribadian, dan depresi. Mekanisme epigenetik dapat terjadi
pada masa pra-konsepsi, prenatal maupun postnatal.

Dampak CAN pada fungsi kognitif dan proses belajar13,22,27–29


Penelitian-penelitian menunjukkan anak-anak yang mengalami kekerasan dan
penelantaran cenderung memiliki pencapaian akademik yang lebih buruk dan lebih
sering memerlukan pendidikan khusus atau luar biasa dibandingkan dengan anak-anak
lain yang tidak mengalaminya. Lebih rinci lagi bahwa anak-anak korban kekerasan
fisik dan penelantaran memiliki kinerja yang lebih rendah pada kemampuan membaca
dan matematika dan lebih sering memiliki masalah dengan kedisiplinan. Studi lain
menemukan hubngan antara penelantaran anak dengan perkembangan inteketual yang
lebih rendah, skor IQ lebih rendah dan menetap, serta kinerja akademik yang buruk pada
masa dewasa. Studi kohort di Australia30 mengevaluasi fungsi kognitif pada umur 14 tahun
terhadap anak-anak yang mengalami kekerasan dan/atau penelantaran. Setelah adjustment
terhadap berbagai perancu dan modifier, ditemukan bahwa child abuse dan child neglect
secara independen berhubungan dengan rendahnya kemampuan kemampuan membaca
dan perceptual reasoning.
Satu review sistematik menelaah 17 artikel publikasi mengenai efek CAN terhadap
perkembangan fungsi kognitif. Sebelas studi (63,6%) menunjukkan fungsi kognitif pada
anak yang mengalami CAN lebih rendah sementara 6 studi (35,3%) tidak menemukan
perbedaan. Dari 11 studi yang dilakukan pada dewasa 6 studi (63,6%) memperlihatkan
bahwa orang dewasa dengan riwayat CAN pada masa anak lebih banyak mengalami
gangguan pada declarative memory, fungsi eksekutif (seperti pemecahan masalah,
merencanakan, fleksibilitas mental, kecepatan pemrosesan informasi), dan abstract
reasoning. Empat dari 6 studi (66.7%) yang dilakukan pada anak dan remaja menunjukkan
bahwa CAN berhubungan dengan defisit atensi, gangguan fungsi eksekutif, memori,
fleksibilitas mental, bahasa, dan integrasi visual-motor. Secara keseluruhan review
sistematik tersebut menyimpulkan bahwa CAN berhubungan dengan peningkatan risiko
gangguan fungsi kognitif, baik pada masa anak dan remaja maupun dewasa.

Dampak CAN pada masalah psikiatris dan masalah medis lain


Pada awalnya perhatian peneliti lebih terfokus pada dampak CAN terhadap munculnya
gangguan psikiatris. Banyak penelitian membuktikan bahwa CAN meningkatkan risiko
terjadinya gangguan depresi, gangguan kepribadian, gangguan bipolar, gangguan tidur,
PTSD, hiperaktifitas, usaha bunuh diri, dan sebagainya. Norman et al.21 melakukan

464 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


review sistematik dan meta analisis terhadap 124 publikasi tentang dampak jangka
panjang CAN (mencakup kekerasan fisik, emosional, dan penelantaran, namun tidak
mencakup kekerasan seksual) dan menghitung effect size masing-masing tipe kekerasan
atau penelantaran terhadap keluaran. Studi tersebut menunjukkan adanya hubungan yang
bermakna antara kekerasan fisik, emosional, dan child neglect dengan gangguan depresif
(kekerasan fisik [odds ratio (OR) = 1,54; 95%CI 1,16–2,04], kekerasan emosional [OR =
3,06; 95%CI 2,43–3,85], dan neglect [OR = 2,11; 95%CI 1,61–2,77]); penyalahgunaan
obat (kekerasan fisik [OR = 1,92; 95%CI 1,67–2,20], kekerasan emosional [OR = 1,41;
95%CI 1,11–1,79], dan neglect [OR = 1,36; 95% CI 1,21–1,54]); usaha bunuh diri
(kekerasan fisik [OR = 3,40; 95%CI 2,17–5,32], kekerasan emosional [OR = 3,37; 95%CI
2,44–4,67], dan neglect [OR = 1,95; 95%CI 1,13–3,37]); dan infeksi menular seksual
dan perilaku seks berisiko (kekerasan fisik [OR = 1,78; 95% CI 1,50–2,10], kekerasan
emosional [OR = 1,75; 95%CI 1,49–2,04], dan neglect [OR = 1,57; 95%CI 1,39–1,78]).
Pada perkembangan selanjutnya ternyata CAN juga berhubungan dengan
timbulnya gangguan medis lain, seperti penyakit jantung iskemik, kanker, penyakit
paru kronis, fraktur tulang, gangguan autoimmun, dan gangguan liver. Hubungan
tersebut berbanding lurus dengan jumlah dan besarnya ELS. Beberapa meta-analisis
mengonfirmasi temuan tersebut. Meta-analisis oleh Paras et al.31 memperlihatkan bahwa
kekerasan seksual berhubungan dengan peningkatan kejadian gangguan gastrointestinal,
nyeri kronis, dan kejang psikogenik, dan fibromialgia. Meta-analisis lain menunjukkan
CAN meningkatkan kejadian gangguan neurologis dan muskuloskeletal, gastrointestinal,
pernapasan, kardiovaskular, dan metabolik, serta migren.
Banyak penelitian memperlihatkan adanya peningkatan proses inflamasi pada
individu yang terpapar ELS. Oleh karena itu banyak peneliti tertarik untuk mengetahui
apakah terdapat peningkatan biomarker inflamasi pada individu korban CAN. Ternyata
terbukti bahwa pada korban CAN ditemukan peningkatan kadar interleukin 6 (IL-6)
dan C-reactive protein (CRP). Peningkatan proses inflamasi tersebut mungkin berkaitan
dengan munculnya keluhan-keluhan medis pada korban CAN.32–34

Penutup
Dampak CAN mencakup multi-organ dan multi-sistem. Penelitian-penelitian terkini
telah mampu mengungkap basis neurobiologis di tingkat selular maupun molekular yang
mampu menjelaskan patofisiologi dampak CAN. Pemahaman yang lebih baik tersebut
tidak hanya memperkaya sisi teoritis CAN tetapi juga dapat diimplementasikan pada
pengembangan modalitas penanganan CAN secara lebih spesifik.

Daftar pustaka
1. WHO. Child maltreatment. http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs150/en/. Pub-
lished 2016. Accessed June 4, 2017.
2. Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Laporan Tahunan. 2015.

465
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
3. Maniam J, Antoniadis C, Morris MJ. Early-life stress, HPA axis adaptation, and mecha-
nisms contributing to later health outcomes. Front Endocrinol. 2014;5. doi:10.3389/fen-
do.2014.00073.
4. Juruena MF. Early-life stress and HPA axis trigger recurrent adulthood depression. Epilepsy
and Behav. 2014;38:148-59.
5. Tarullo AR, Gunnar MR. Child maltreatment and the developing HPA axis. Horm Behav.
2006. doi:10.1016/j.yhbeh.2006.06.010.
6. Heim C, Binder EB. Current research trends in early life stress and depression: Review of
human studies on sensitive periods, gene-environment interactions, and epigenetics. Exp
Neurol. 2012;233:102-11.
7. Heim C, Nemeroff CB. Neurobiology of early life stress: Clinical studies. Semin Clin Neuro-
psychiatry. 2002;7:ascnp0070147. doi:10.1053/scnp.2002.33127.
8. Kirouac S, Mcbride DL. The impact of childhood trauma on brain development: a literature
review and supporting handouts. 2009.
9. Hanson JL, Nacewicz BM, Sutterer MJ, Cayo AA, Schaefer SM, Rudolph KD, et al. Behav-
ioral problems after early life stress: Contributions of the hippocampus and amygdala. Biol
Psychiatry. 2015;77:314-23.
10. Korosi A, Baram TZ. Plasticity of the stress response early in life: Mechanisms and signifi-
cance. Deve Psychobiol. 2010;52:661-70.
11. Malter Cohen M, Jing D, Yang RR, Tottenham N, Lee FS, Casey BJ. Early-life stress has
persistent effects on amygdala function and development in mice and humans. Proc Nat
Acad Sci. 2013;110:18274-8.
12. Hanson JL, Chung MK, Avants BB, Rudolph KD, Shirtcliff EA, Gee JC, et al. Structural
variations in prefrontal cortex mediate the relationship between early childhood stress and
spatial working memory. J Neurosci. 2012;32:7917-25.
13. Hedges DW, Woon FL. Early-life stress and cognitive outcome. Psychopharmacology.
2011;214:121-30.
14. Fareri DS, Tottenham N. Effects of early life stress on amygdala and striatal development.
Dev Cogn Neurosci. 2016;19:233-47.
15. Fenoglio KA, Brunson KL, Baram TZ. Hippocampal neuroplasticity induced by early-life
stress: Functional and molecular aspects. Front Neuroendocr. 2006;27:180-92.
16. Frodl T, Janowitz D, Schmaal L, Tozzi L, Dobrowolny H, Stein DJ, et al. Childhood adversi-
ty impacts on brain subcortical structures relevant to depression. J Psychiatr Res. 2017;86:58-
65.
17. Glaser D. Child Abuse and Neglect and the Brain-A Review. J Child Psychol Psychiatry.
2000;41:97-116.
18. Bremner JD. Long-term effects of childhood abuse on brain and neurobiology. Child Adolesc
Psychiatr Clin N Am. 2003;12:271-92.
19. Nemeroff CB. Paradise Lost: The Neurobiological and Clinical Consequences of Child Abuse
and Neglect. Neuron. 2016;89:892-909.
20. McCrory E, De Brito SA, Viding E. The impact of childhood maltreatment: A review of
neurobiological and genetic factors. Front Psychiatry. 2011;2:48.
21. Norman RE, Byambaa M, De R, Butchart A, Scott J, Vos T. The Long-Term Health Conse-
quences of Child Physical Abuse, Emotional Abuse, and Neglect: A Systematic Review and
Meta-Analysis. PLoS Med. 2012;9:e1001349.

466 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


22. Pechtel P, Pizzagalli DA. Effects of early life stress on cognitive and affective function: An
integrated review of human literature. Psychopharmacology. 2011;214:55-70.
23. Romens SE, Mcdonald J, Svaren J, Pollak SD. Associations Between Early Life Stress and
Gene Methylation in Children. Child Dev. 2015;86:303-9.
24. McCrory E, De Brito SA, Viding E. Research review: The neurobiology and genetics of mal-
treatment and adversity. J Child Psychol Psychiatry Allied Discip. 2010;51:1079-95.
25. Kinnally EL, Feinberg C, Kim D, Ferguson K, Leibel R, Coplan JD, et al. DNA methylation
as a risk factor in the effects of early life stress. Brain Behav Immun. 2011;25:1548-1553.
26. Murgatroyd C, Patchev A V, Wu Y, Micale V, Bockmuhl Y, Fischer D, et al. Dynam-
ic DNA methylation programs persistent adverse effects of early-life stress. Nat Neurosci.
2009;12:1559-66.
27. Gould F, Clarke J, Heim C, Harvey PD, Majer M, Nemeroff CB. The effects of child abuse
and neglect on cognitive functioning in adulthood. J Psychiatr Res. 2012;46:500-6.
28. Irigaray TQ, Pacheco JB, Grassi-Oliveira R, Fonseca RP, Leite JCC, Kristensen CH. Child
Maltreatment and Later Cognitive Functioning: A Systematic Review. Psicol Reflex Crit.
2013;26:376-87.
29. Wang X-D, Rammes G, Kraev I, Wolf M, Liebl C, Scharf SH, et al. Forebrain CRF1 Modu-
lates Early-Life Stress-Programmed Cognitive Deficits. J Neurosci. 2011;31:13625-34.
30. Mills R, Alati R, O’Callaghan M, Najman JM, Williams GM, Bor W, et al. Child Abuse and
Neglect and Cognitive Function at 14 Years of Age: Findings From a Birth Cohort. Pediat-
rics. 2011;127:4-10.
31. Paras ML, Murad MH, Chen LP, Goranson EM, Sattler AL, Colbenson KM, et al. Sexual
Abuse and Lifetime Diagnosis of Somatic Disorders: a systematic review and metaanalysis.
JAMA. 2009;302:550-61.
32. Slopen N, Kubzansky LD, McLaughlin KA, Koenen KC. Childhood adversity and inflam-
matory processes in youth: A prospective study. Psychoneuroendocrinology. 2013;38:188-
200.
33. Slopen N, Koenen KC, Kubzansky LD. Childhood adversity and immune and inflammatory
biomarkers associated with cardiovascular risk in youth: A systematic review. Brain Behav
Immun. 2012;26:239-50.
34. Pace TWW, Mletzko TC, Alagbe O, Musselman DL, Nemeroff CB, Miller AH, et al. In-
creased stress-induced inflammatory responses in male patients with major depression and
increased early life stress. Am J Psychiatry. 2006;163:1630-3.

467
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Tata Laksana Asma Persistent pada Anak
Retno Widyaningsih
RSAB Harapan Kita Jakarta

Tujuan:
1. Mengetahui klasifikasi asma persisten
2. Mengetahui tatalaksana asma persisten yang tepat pada anak
3. Mengetahui beberapa penyakit penyerta pada asma persisten
4. Mengetahui beberapa pitfalls dalam tatalaksana asma

A
sma adalah penyakit kronik saluran napas yang ditandai oleh hiperreaktifitas
saluran napas yaitu kepekaan saluran napas terhadap berbagai rangsangan. Asma
ditandai oleh penyempitan saluran napas dengan berbagai gejala mulai dari batuk,
rasa berat di dada, bunyi mengi dan sesak napas.1
Penyakit asma adalah penyakit dengan faktor risiko multifaktor dengan perjalanan
klinis yang bervariasi serta tidak terduga pada setiap anak dan dapat berubah seiring
berjalannya waktu.1 Bebas gejala penyakit asma bukan berarti penyakit asma ini sudah
hilang. Beberapa anak dapat saja mengalami apa yang terlihat seperti remisi atau
berkurangnya gejala, sehingga dianggap bahwa penyakitnya sudah hilang dan tidak
membutuhkan perhatian. Akan tetapi, pada saat berhenti memonitor penyakitnya, berhenti
mengunjungi dokter setidaknya sekali setiap 6 bulan, serta mengabaikan pengobatan dan
pengendalian pemicu penyebab asma, maka penyakit asma ini dapat kembali lagi dengan
keparahan yang sama atau bahkan dengan gejala lebih berat lagi.
Untuk menanggulangi asma telah disusun berbagai panduan/konsensus, baik yang
bertingkat nasional maupun internasional. Beberapa pedoman tersebut mempunyai
prinsip dan komponen tata laksana serta pesan kunci yang konsisten yaitu untuk mencapai
asma yang terkendali dengan frekuensi serangan seminimal mungkin. UKK Respirologi
PP IDAI telah menyusun Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA 2015) yang disusun dan
diperbaharui berdasarkan beberapa pedoman terbaru yang disesuaikan dengan kondisi di
Indonesia. Makalah ini menekankan tatalaksana asma persisten pada anak.2

Klasifikasi asma
Penegakan diagnosis asma pada anak mengikuti alur klasik diagnosis medis yaitu melalui
anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis memegang peranan
sangat penting mengingat diagnosis asma pada anak sebagian besar ditegakkan secara
klinis.2

468 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Keluhan wheezing dan atau batuk berulang merupakan manifestasi klinis yang
diterima luas sebagai titik awal diagnosis asma. Gejala respiratori asma berupa kombinasi
dari batuk, wheezing, sesak napas, rasa dada tertekan, dan produksi sputum.1,3 Batuk
kronik berulang (BKB) dapat menjadi petunjuk awal untuk membantu diagnosis asma.
Gejala dengan karakteristik yang khas diperlukan untuk menegakkan diagnosis asma.
Karakteristik yang mengarah ke asma adalah:2
•• Episodisitas, yaitu gejala timbul secara episodik atau berulang. Timbul bila ada faktor
pencetus
•• Variabilitas, yaitu intensitas gejala bervariasi dari waktu ke waktu, bahkan dalam 24
jam. Biasanya gejala lebih berat pada malam hari (nokturnal)
•• Reversibilitas, yaitu gejala dapat membaik secara spontan atau dengan pemberian
obat pereda asma
•• Adanya riwayat alergi pada pasien atau keluarganya

Kasus 1
Seorang anak laki-laki usia 13 tahun datang dengan keluhan batuk pilek sejak 2 hari yang
kemudian memicu kambuhnya asma. Saat datang ke poli, anak mengalami serangan asma.
Anak masih dapat berjalan dan berbicara dalam kalimat. Ia sering mengalami batuk berulang
yang kemudian disusul oleh sesak. Batuk biasanya berdahak, warna kekuningan. Batuk dan
sesak terkadang disertai pilek namun tidak disertai demam. Batuk dan sesak dirasakan lebih
berat pada pagi dan malam hari. Selain dipicu oleh batuk, sesak juga dapat dipicu oleh udara
dingin, aktivitas berat, makanan seperti kacang, es, dan cokelat. Dalam seminggu, ia selalu
mengalami sesak, walaupun tidak setiap hari. Anak didiagnosis sebagai asma persisten sedang
dengan serangan ringan-sedang.
Saat ini, klasifikasi asma dibagi berdasarkan derajat penyakitnya (aspek kronik)
dan serangannya (aspek akut). Berdasarkan penggolongan derajat penyakitnya, asma
diklasifikasikan berdasarkan kekerapan timbulnya gejala, yaitu:1-3
•• Asma intermiten
•• Asma persisten ringan
•• Asma persisten sedang
•• Asma persisten berat
Klasifikasi berdasarkan kekerapan gejala dipakai sebagai dasar penilaian awal pasien,
sesuai dengan mayoritas pedoman internasional asma yang ada saat ini. Klasifikasi ini
berubah dari PNAA sebelumnya yang membagi asma menjadi asma episodik jarang, asma
episodik sering, dan asma persisten.

469
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Tabel 1. Kesetaraan klasifikasi PNAA 2004 dengan PNAA 20152
PNAA 2004 PNAA 2015
Episodik Jarang Intermiten
Episodik Sering Persisten Ringan
Persisten Persisten Sedang
Persisten Berat

Kriteria penentuan derajat asma atau klasifikasi kekerapan asma juga dapat dibuat
pada kunjungan-kunjungan awal berdasarkan anamnesis. Klasifikasi berdasarkan
kekerapan gejala dibuat setelah dibuat diagnosis kerja asma dan dilakukan tata laksana
umum (pengendalian lingkungan, penghindaran pencetus) selama 6 minggu:1,2

Derajat asma Uraian kekerapan gejala asma


Intermiten Episode gejala asma <6x/tahun atau jarak antar gejala ≥6 minggu
Persisten ringan Episode gejala asma >1x/bulan, <1x/minggu
Persisten sedang Episode gejala asma >1x/minggu, namun tidak setiap hari
Persisten berat Episode gejala asma terjadi hampir setiap hari

Penilaian derajat asma ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain gambaran klinik
sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam hari,  pemberian obat inhalasi
β-2 agonis dan uji faal paru) serta obat-obat yang digunakan untuk mengontrol asma
(jenis obat, kombinasi obat dan frekuensi pemakaian obat). Tidak ada suatu pemeriksaan
tunggal yang dapat menentukan derajat penyakit asma. Dengan adanya pemeriksaan klinis
termasuk uji faal paru dapat menentukan klasifikasi derajat asma yang sangat penting
dalam penatalaksanaannya.

Berikut adalah penilaian derajat asma yang dapat digunakan:4


•• Gejala: jika anak mengalami batuk, mengi, sesak napas, dada tertekan lebih dari 2 hari
dalam seminggu (bulan lalu), maka mereka menderita asma persisten
•• Gejala malam hari: jika anak terbangun di malam hari lebih dari 2 kali dalam sebulan
karena gejala asma, maka mereka memiliki asma persisten
•• Membutuhkan SABA (short-acting beta agonis, misalsalbutamol) untuk meredakan
gejala dengan cepat: jika anak membutuhkan penggunaan SABA lebih dari 2 hari
dalam seminggu (bulan lalu) untuk gejala asma, mereka memiliki asma persisten.
(Tidak termasuk yang menggunakan SABA untuk pencegahan EIB– exercise induced
bronchospasm)
•• Gangguan aktivitas normal (termasuk olahraga): jika anak mengalami keterbatasan
apapun dalam aktivitas normal (walaupun keterbatasan kecil) karena memiliki gejala
asma, mereka memiliki asma persisten.
•• Fungsi paru diukur dengan spirometri: penggunaan FEV1 / FVC digunakanpada

470 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


pedoman terbaru untuk mengklasifikasikan tingkat keparahan pada anak karena
menjadi ukuran yang lebih sensitif dari FEV1.
–– Jika FEV1>80% dari prediksi dan rasio FEV1/FVC normal atau>80%, anak
diklasifikasikan memiliki asma persisten ringan
–– Jika FEV1 adalah antara 60-80% dari prediksi, atau FEV1/FVC adalah75-80%,
anak tersebut memiliki asma persisten sedang
–– Jika FEV1 <60% dariprediksi, atau FEV1 / FVC <75%, anak tersebut memiliki
asma persisten berat
Jika penilaian dilakukan selama waktu dimana anak dirawat karena eksaserbasi
akut, maka diminta anak (atau pengasuh) untuk mengingat gejala pada periode sebelum
timbulnya eksaserbasi saat ini yang memadai sampai kunjungan lanjutan dapat dilakukan.

Tata laksana asma persisten


Tujuan
Tatalaksana asma bertujuan untuk mencapai kendali asma sehingga menjamin tercapainya
potensi tumbuh kembang anak secara optimal, yaitu:2,4
•• Mencegah terjadinya penurunan kualitas hidup anak asma:
–– Mencegah gejala asma kronik yang menyulitkan
–– Mengurangi kebutuhan penggunaan agonis beta2 short-acting (SABA) (2 hari/
minggu)
–– Menjaga fungsi paru senormal mungkin
–– Menjaga agar aktivitas normal tidak terganggu (termasuk olahraga, bermain/
aktivitas fisik lainnya dan kehadiran di sekolah)
–– Pasien dan keluarga mendapatkan kepuasan dalam perawatan asma sesuai dengan
harapannya
•• Mengurangi risiko perjalanan asma:
–– Mencegah eksaserbasi dan meminimalkan kebutuhan kunjungan di gawat darurat
maupun rawat inap
–– Mencegah penurunan fungsi paru secara progresif atau pertumbuhan paru yang
sehat
–– Menggunakan farmakoterapi secara optimal dengan efek samping minimal atau
tidak ada sama sekali
Tujuan tatalaksana asma dapat tercapai melalui kerjasama pasien, orang tua, pengasuh
dan tim petugas kesehatan dengan penilaian (diagnosis, kontrol gejala, faktor risiko, teknik
inhalasi, kepatuhan, sikap orang tua), penyesuaian pengobatan ( obat-obatan, strategi non
farmakologi, pengobatan yang disesuaikan faktor risiko) dan ulasan respons (efektivitas
dan efek samping).1,5

471
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Tata laksana non medikamentosa
Komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) merupakan unsur yang sangat penting dalam
tatalaksana asma. Pendidikan orang tua/ pengasuh dan anak (tergantung usia pasien),
pelatihan ketrampilan dalam penggunaan alat inhaler yang efektif dan dorongan
kepatuhan yang baik, pemantauan gejala oleh orang tua/ wali dan mengikuti rencana
aksi asma tertulis.1,5 Orang tua dan pengasuh perlu dilibatkan karena anak perlu dibantu
dalam penggunaan obat, menjaga ketersediaan obat inhalasi, menghindari faktor pemicu,
mengatasi variabilitas, dan dampak terhadap pasien dan gaya hidup keluarga. Hubungan
keluarga dan lingkungan dikatakan mempengaruhi keberhasilan pengobatan asma.5

Tata laksana medikamentosa


Obat asma dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu obat pereda (reliever) dan pengendali
(controller). Obat pereda sering disebut juga sebagai obat pelega atau obat serangan karena
digunakan untuk meredakan serangan atau gejala asma yang timbul dan bila serangan
sudah teratasi maka obat ini dihentikan. Obat pengendali digunakan untuk mencegah
serangan asma dengan mengatasi masalah inflamasi respiratori kronik sehingga tidak
timbul serangan dan gejala asma. Obat pengendali ini dipakai secara terus menerus dalam
jangka waktu yang relatiflama tergantung pada kekerapan gejala asma dan respons terhadap
pengobatan/ penanggulangan. Obat pengendali asma terdiri dari steroid anti-inflamasi
inhalasi atau sistemik, antileukotrien, kombinasi steroid-agonis B2 kerja panjang, teofilin
lepas lambat, dan anti-imunoglobulin E.1,2

Cara pemberian obat


Pemberian obat asma umumnya secara inhalasi. Teknik pemberian inhalasi disesuaikan
dengan umur dan kemampuan anak sehingga pemilihan alat inhalasi harus disesuaikan
dengan kondisi masing-masing anak dan mempertimbangkan efikasi obat, keamanan,
kenyamanan penggunaan dan biaya. Inhalasi dosis terukur/ metered dose inhaler (MDI)
dengan spacer merupakan pilihan utama karena memberikan kenyamanan pada pasien,
jumlah obat yang mencapai paru lebih banyak, risiko dan efek samping minimal dan
biaya lebih murah. Lebih dari 50% anak asma tidak dapat menggunakan alat hirupan
tanpa spacer.2
Spacer mengurangi deposisi obat dalam mulut (orofaring) yang menyebabkan jumlah
obat yang tertelan berkurang sehingga mengurangi efek sistemik. Deposisi obat dalam
paru lebih baik sehingga didapatkan efek terapeutik yang baik. Pemakaian spacer dapat
mengatasi masalah kesulitan teknik pemakaian obat MDI. Obat hirupan dalam bentuk
bubuk kering/dry powder inhaler (DPI) seperti diskhaler, swinghaler, turbuhaler dan
easyhaler memerlukan inspirasi yang kuat dan bentuk ini dianjurkan untuk anak usia
sekolah. Sayangnya spacer seperti volumatic, nebuhaler, aerochamber, babyhaler, autohaler
tidak dapat atau sulit diperoleh. Spacer dapat dibuat sendiri dari gelas plastic atau botol
plastic dengan volume 500ml yang dikatakan sama efektif dengan MDI.2

472 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Tabel 2. Jenis alat inhalasi sesuai usia. 2
Umur Alat inhalasi
<5 tahun Nebulizer dengan masker
Metered dose inhaler (MDI) dengan spacer: aerochamber, optichamber, babyhaler
5-8 tahun Nebulizer dengan mouth piece
MDI dengan spacer
Dry powder inhaler (DPI): diskhaler, easyhaler, swinghaler, turbuhaler
>8 tahun Nebulizer dengan mouth piece
MDI dengan atau tanpa spacer
DPI: diskhaler, swinghaler, turbuhaler

Konsep tata laksana asma


Penilaian derajat penyakit. Jika sudah yakin diagnosis asma, dibuat diagnosis kerja
asma dan klasifikasi sejak kunjungan awal, kemudian tata laksana dapat dilakukan sesuai
klasifikasi. Penilaian klasifikasi derajat penyakit atau kekerapan gejala ditujukan sebagai
acuan awal penetapan jenjang tata laksana jangka panjang. Jika ada keraguan dalam
menentukan klasifikasi kekerapan, masukkan ke dalam klasifikasi lebih berat.2,4
Penilaian derajat kendali. Setiap pasien asma harus ditentukan derajat kendali asma
untuk memulai pengobatan jangka panjang. Klasifikasi derajat kendali dipakai untuk
menilai keberhasilan tata laksana yang tengah dijalani yaitu terkendalinya penyakit. Asma
terkendali adalah asma yang tidak bergejala, dengan atau tanpa obat pengendali dan
kualitas hidup pasien baik.
•• Asma terkendali penuh (well controlled)
–– Tanpa obat pengendali: pada asma intermiten
–– Dengan obat pengendali: pada asma persisten (ringan/sedang/berat)
•• Asma terkendali sebagian (partly controlled)
•• Asma tidak terkendali (uncontrolled)
Derajat kendali digunakan untuk penentuan naik jenjang (stepup), pemeliharaan
(maintenance) atau turun jenjang (stepdown) tata laksana yang akan diberikan. Untuk turun
atau naik jenjang harus dinilai kepatuhan terhadap pengobatan, teknik inhalasi, dosis obat
inhalasi dan mengendalikan faktor pencetus asma. Untuk menilai derajat kendali asma
dapat menggunakan penilaian seperti pada tabel dibawah ini.2,4

473
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Tabel 3. Derajat kendali asma2
Penilaian klinis (dalam 6-8 minggu)
Manifestasi klinis Terkendali dengan/tanpa Terkendali sebagian Tidak terkendali
obat pengendali (minimal 1 kriteria
(bila semua kriteria terpenuhi) terpenuhi)
Gejala siang hari Tidak pernah >2 kali/ minggu
(< 2 kali/ minggu)
Aktivitas terbatas Tidak ada Ada 3 atau lebih kriteria
Gejala malam hari Tidak ada Ada terkendali sebagian
Pemakaian pereda Tidak ada >2 kali/ minggu
(< 2 kali/ minggu)

Jenjang pengendalian asma


Kasus 2
Seorang anak perempuan usia 8 tahun mempunyai riwayat batuk berulang dan kadang
sesak terutama setelah kegiatan yang melelahkan seperti olah raga dan juga batuk
pada malam hari. Keluhan sesak kadang disertai napas berbunyi, menghilang setelah
dinebulisasi dengan salbutamol. Kadang ia harus datang ke Unit Gawat Darurat karena
sesak dan harus dirawat. Ayahnya perokok dan saat dikatakan agar berhenti merokok,
ayah mengatakan merokok di luar rumah. Saat bayi ia menderita alergi susu sapi, dalam
keluarga ada riwayat asma. Ia telah mendapat pengobatan dengan inhalasi steroid dan
LABA namun keluhan tidak juga membaik.
Umumnya pasien asma dipantau setiap bulan dan pencapaian perbaikan setelah 3
bulan. Selain jenis dan dosis obat serta cara pemberian dan kepatuhan pasien juga harus
dipantau upaya penghindaran terhadap pencetus dan penyakit penyerta.
•• Asma intermitten tidak membutuhkan tata laksana asma jangka panjang sesuai
dengan jenjang 1
•• Asma persisten dilakukan tata laksana jangka panjang sesuai dengan jenjang 2 sampai
4 kemudian dievaluasi secara berkala untuk menaikkan atau menurunkan jenjang
dalam pemakaian obat pengendali asma. 1,5
•• Bila suatu jenjang sudah berlangsung 6-8 minggu dan asma belum terkendali maka
tata laksana naik ke atasnya (step up)
•• Bila suatu jenjang dalam tata laksana sudah berlangsung selama 8-12 minggu dan
asma terkendali penuh, maka tata laksana turun jenjang ke bawahnya (step down).
Penurunan dosis sebesar 25-50%.1,2,6
•• Pada setiap jenjang pengendalian, apabila terjadi serangan/ eksaserbasi asma, pasien
harus mendapatkan obat pereda asma yaitu obat inhalasi agonis beta2 kerja pendek.
•• Perubahan jenjang tata laksana harus memperhatikan aspek-aspek penghindaran,
penyakit penyerta, dan keteraturan penggunaan obat.

474 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Jenjang 1
Pasien dengan kondisi terkendali penuh dengan atau tanpa obat pengendali, hanya
mengalami gejala ringan ≤ 2 kali/ minggu dan diantara serangan tidak mengalami
gangguan tidurmaupun aktivitas sehari-hari. Pada saat ini pasien hanya mendapatkan obat
pereda berupa inhalasi agonis β2 kerja pendek apabila mengalami serangan asma. Sebagai
alternatif bisa diberikan inhalasi agonis β2 kerja pendek kombinasi dengan ipratropium
bromide, agonis β2 kerja pendek oral, atau teofilin kerja pendek oral. Apabila penggunaan
obat pereda asma melebihi 2 kanister setiap bulannya menandakan anak memerlukan
obat pengendali asma.1,2

Jenjang 2
Pilihan obat pada jenjang ini adalah steroid inhalasi dosis rendah. Pilihan lain adalah
antileukotrien yang diberikan pada pasien asma yang tidak memungkinkan menggunakan
steroid inhalasi atau pasien asma disertai rinitis alergi.1,2 Hossny E, dkk mengatakan bahwa
pemberian steroid inhalasi lebih efektif dibandingkan dengan pemberian leukotrien yang
digunakan sebagai obat pengendali tunggal.6

Jenjang 3
Pilihan utama pada jenjang ini untuk anak > 5 tahun adalah kombinasi steroid dosis
rendah - agonis β2 kerja panjang. Pilihan lainnya dengan menaikkan dosis steroid inhalasi
pada dosis menengah. Pemberian inhalasi dosis terukur dengan spacer akan memperbaiki
deposisi obat di paru. Selain itu dapat diberikan kombinasi steroid inhalasi dosis rendah
– antileukotrien atau kombinasi inhalasi steroid dosis rendah – teofilin lepas lambat.
Apabila tidak berhasil dikendalikan pada jenjang ini sebaiknya pasien dirujuk ke dokter
spesialis respirologi anak untuk pemeriksaan lebih lanjut.1,2 Hossny E, dkk mengatakan
bahwa menaikkan dosis steroid inhalasi lebih dianjurkan untuk anak < 12 tahun tetapi
menambah dengan agonis β2 kerja panjang lebih dianjurkan pada anak >12 tahun.6
Abramson SL mengatakan bahwa turun ke jenjang bawah (step down) pada kombinasi
steroid dosis rendah - agonis β2 kerja panjang sering menyebabkan asma tidak terkontrol
lagi.8 Price D mengatakan bahwa penurunan jenjang pengobatan dapat memperbaiki
asma dan penurunan dosis dari 2 kali menjadi sekali sehari tidak menyebabkan asma
menjadi tidak terkontrol.9

Jenjang 4
Pada jenjang ini dikategorikan sebagai asma sulit (difficult to treat asthma). Pilihan pertama
pada jenjang ini adalah kombinasi steroid inhalasi dari dosis sedang ke tinggi hanya
memberikan sedikit perbaikan. Keputusan ini dapat dilaksanakan setelah pemberian
steroid inhalasi dosis sedang - agonis β2 kerja panjangdiberikan selama 6-8 minggu.

475
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Pilihan lain adalah kombinasi steroid inhalasi dosis tinggi – antileukotrien atau kombinasi
steroid inhalasi dosis tinggi – teofilin lepas lambat. Pada jenjang ini dapat dipertimbangkan
penambahan anti immunoglobulin E (omalizumab).1,2

Jenjang 5
Semua pasien yang mencapai jenjang ini harus sudah dirujuk ke dokter spesialis respirologi
untuk tatalaksana lebih lanjut. Pada jenjang ini mulai dipertimbangkan pemberian steroid
oral sehingga pasien harus dijelaskan efek samping yang ditimbulkan steroid oral jangka
panjang.1,5

Penyakit penyerta pada asma


Kasus 3
Seorang anak terdiagnosis asma persisten ringan. Ia mempunyai keluhan batuk 1-2
kali dalam sebulan, terutama pada malam hari dan biasanya dipicu oleh common
cold. Pengobatan yang diberikan adalah steroid inhaler yang digunakan dengan spacer.
Pemantauan selama 3 bulan keluhan tidak membaik. Gejala asma tetap ada dengan
episode > 1 kali perminggu, namun tidak setiap hari. Ia batuk dengan berdehem-dehem
dan bersin setiap pagi. Oleh dokter ia diberikan pengobatan tambahan anti leukotrienyang
diminum setiap hari dan pada pemantauan gejala asma berkurang dan membaik.
Dalam menghadapi pasien asma yang tidak dapat mencapai derajat kendali, kadang
hanya dipikirkan bahwa gejala respiratori yang berkelanjutan disebabkan semata-mata
oleh asmanya. Salah satu yang harus dipikirkan adalah adanya kondisi komorbid atau
penyakit penyerta yang sering terjadi bersama dengan asmanya. Penyakit penyerta atau
komorbid yang sering ditemukan pada pasien asma diantaranya rinitis alergi, rinosinusitis,
penyakit refluks gastroesofageal (gastroesophageal reflux disease=GERD), obesitas, dan infeksi
respiratori. Sebagian besar pasien asma dapat mencapai derajat kendali yang baik, tetapi
beberapa ada yang tidak dapat mencapai derajat kendali meskipun sudah dengan terapi
yang optimal. Pasien yang tidak dapat mencapai derajat kendali pada tahap 4 tata laksana
asma jangka panjang (obat pereda dan dua atau lebih obat pengendali) dikategorikan
sebagai difficult-to-treat asthma. Pasien difficult-to-treat asthma merupakan pasien asma yang
memiliki respons buruk atau parsial terhadap pengobatan, baik karena pengaruh asma itu
sendiri maupun karena adanya pengaruh faktor- faktor lain.1,2

Pitfalls dalam tata laksana asma


Kasus 4

476 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Seorang anak perempuan usia 6 tahun, datang dengan keluhan batuk asma yang tidak
membaik walaupun telah diberi pengobatan dengan MDI steroid dan LABA selama 8
minggu. Faktor pemicu telah dihindari semaksimal mungkin namun batuk tidak membaik.
Obat inhalasi diberikan setiap hari dibantu oleh ibunya.Ibu menjadi khawatir dan
mengatakan bahwa obatnya tidak mempan. Pada pemeriksaan fisis ditemukan wheezing
namun anak tetap aktif. Pada pemantauan, diminta anak memperagakan cara pemakaian
MDI dan tampak anak tidak dapat menghirup dan tidak pula menahan napasnya setelah
obat disemprotkan.Hal ini yang menyebabkan pengobatan menjadi tidak efektif.
Asma merupakan penyakit paru kronik yang sering dijumpai pada anak. Asma yang
berkembang menjadi asma persisten memerlukan tidak hanya pengobatan jangka panjang,
tetapi juga pemantauan dan penghindaran terhadap faktor-faktor pemicu. Kendala yang
dihadapi dalam praktek sehari-hari salah satunya adalah respons pengobatan yang kurang
baik akibat terjadinya kekeliruan (pitfalls) dalam proses tata laksana. Beberapa kekeliruan
yang sering ditemui adalah sebagai berikut:2

Penggunaan bronkodilator kerja pendek (SABA) sebagai


pengendali
Bronkodilator merupakan obat pilihan saat terjadinya serangan asma. Pada asma persisten
serangan asma dapat terjadi hampir setiap bulan sehingga dapat mengganggu aktivitas
sehari-hari. Oleh sebab itu perlu diberikan bronkodilator setiap hari. Penggunaan
bronkodilator kerja pendek dalam waktu lama tidak dianjurkan karena akan menyebabkan
takifilaksis dan pengurangan reseptor agonis β2 yang berakibat kurang efektif terhadap
bronkodilator. Perlu pertimbangan khusus pada asma yang sering menggunakan
bronkodilator dalam waktu lama apakah asmanya sudah termasuk asma persisten yang
membutuhkan obat pengendali atau tidak (misal steroid inhalasi).

Obat asma dalam bentuk inhalasi berbahaya


Prinsip dasar terapi inhalasi adalah pemberian obat dalam bentuk aerosol melalui hirupan
langsung ke saluran respiratori. Pemberian obat secara inhalasi diharapkan bahwa obat
langsung ke organ target (saluran respiratori). Selain itu dosis obat dapat diminimalisir
sehingga efek sistemik kecil tetapi efek di organ target maksimal, serta awitan kerja obat
lebih cepat.

Pemakaian obat asma jangka panjang berbahaya


Penyakit asma merupakan proses inflamasi kronik sehingga diperlukan pengobatan jangka
panjang. Pengobatan asma anak secara umum bertujuan mencapai kendali asma sehingga
menjamin tercapainya potensi tumbuh kembang anak secara optimal. Tata laksana jangka
panjang asma memiliki jenjang yang akan dievaluasi 6-8 minggu kemudian untuk
ditentukan apakah kendali asma tercapai, sehingga menentukan tata laksana selanjutnya,

477
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
naik jenjang atau turun jenjang. Pemberian obat jangka panjang tidak berbahaya, justru
dengan mengendalikan inflamasi kronik dan mengontrol gejala asma, anak dapat
beraktivitas normal dan memiliki tumbuh kembang yang baik.

Obat asma menyebabkan ketergantungan


Tidaklah benar bahwa obat pengendali asma akan dipakai selama hidupnya. Pada anak
asma penggunaan obat pengendali dapat dihentikan apabila selama pengobatan dan
proses penurunan obat pengendali, anak dapat normal tanpa obat. Dikenal istilah step-
up dan step down yaitu pada asma yang membutuhkan obat pengendali dapat diberikan
dengan dosis tinggi lalu diturunkan bertahap sampai tidak memakai obat bila mungkin
(stepdown). Disebut step up apabila dimulai dengan dosis kecil dan tidak ada respons maka
dinaikkan sampai dosis yang optimal dan dipertahankan sampai akhirnya diturunkan
secara bertahap.

Steroid oral sebagai pengendali


Obat pengendali yang berupa steroid inhalasi umumnya diberikan dalam waktu yang lama.
Namun pemberian secara inhalasi membutuhkan teknik yang khusus dan kadang-
kadang sulit bagi anak sehingga diberikan dalam bentuk sistemik (oral). Pemberian
steroid sistemik dalam jangka panjang mempunyai efek samping yang berbahaya seperti
hipertensi, gangguan pertumbuhan, dan osteoporosis. Oleh karena itu pemberian steroid
sistemik jangka panjang tidak dianjurkan karena efek sampingnya dan pemberian steroid
jangka panjang harus dalam bentuk inhalasi.

Udara pantai menyembuhkan asma


Banyak orangtua pasien asma berpendapat bahwa udara pantai dapat mengurangi kejadian
serangan asma karena tungau debu rumah akan berkurang jumlahnya pada lingkungan
pantai. Hal ini tidak terbukti karena ternyata prevalens asma di daerah pantai tetap tinggi
dibanding daerah non pantai. Tungau debu rumah memang kurang dapat hidup dan
berkembang biak pada udara pantai, tetapi penyebab asma adalah multi faktor sehingga
tidak ada perbedaan antara daerah pantai dan non pantai.

Bagian tubuh binatang tertentu dapat digunakan sebagai obat


asma
Di berbagai daerah tertentu, ada kepercayaan bahwa konsumsi daging hewan tertentu,
misalnya kalong dan kelinci, serta rambut binatang dapat menyembuhkan asma. Pendapat
ini tentu tidak didukung dengan bukti ilmiah. Bahkan dapat mengurangi kepatuhan
pasien dalam mengikuti tata laksana asma yang benar. Prinsip utama tata laksana asma
adalah penghindaran pencetus serangan asma, pemberian pereda saat serangan, dan
pemberian tata laksana jangka panjang. Hal yang perlu diwaspadai adalah bagian tubuh

478 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


hewan tersebut justru berperan sebagai pencetus asma pada anak tertentu.

Kekeliruan pada terapi inhalasi


Agar efek terapi inhalasi dapat optimal dan efektif, maka kesalahan-kesalahan berikut
dapat diminimalisir seperti:
1. Cara atau teknik pemberian terapi inhalasi perlu diperhatikan, penggunaan spacer
pada anak yang lebih kecil penggunaan MDI. Tanpa penggunaan spacer, hasil yang
didapat tidak akan maksimal. Langkah-langkah penggunaan terapi inhalasi baik
MDI, DPI maupun nebuliser harus dipahami sesuai dengan prosedur baku
2. Spacer harus dibersihkan dengan cara yang benar. Hindari membersihkan spacer dengan
cara digosok, karena menimbulkan gaya elektrostatis yang menyebabkan partikel obat
inhalasi menempel pada spacer sehingga tidak dapat mencapai saluran napas yang kecil.
Spacer dibersihkan dengan menggunakan air mengalir dan air sabun lalu diletakkan
hingga kering dengan sendirinya.
3. Pemilihan alat inhalasi yang sesuai usia menjadi penting karena tidak semua anak
dapat menggunakan berbagai jenis alat. Anak yang kecil harus menggunakan MDI
dengan spacer atau nebuliser sedangkan anak yang lebih besar dapat menggunakan
DPI. Pada anak sangat dianjurkan menggunakan spacer apabila alat inhalasi yang
dipilih adalah MDI. Sementara, nebuliser dapat digunakan pada semua umur.
4. Ada pemahaman yang keliru bahwa penggunaan masker saat terapi inhalasi lebih baik
dibandingkan mouth piece. Yang benar adalah penggunaan mouth piece lebih baik
dibandingkan masker pada penggunaan nebulisasi kecuali pada bayi yang kurang
kooperatif. Pada bayi penggunaan masker lebih baik dibandingkan mouth piece karena
kesulitan teknik pada bayi yang harus berkoordinasi.
5. Pada penggunaan MDI kesalahan yang sering terjadi adalah lupa untuk mengocok
kanisternya, sehingga akibatnya homogenisasi antara zat aktif dan propelan kurang
merata. Tindakan mengocok kanister dilakukan sesaat sebelum digunakan. Tujuan
pengocokan adalah agar obat yang ada menjadi merata karena proses penyimpanan
akan mengakibatkan adanya perubahan ke larutan cairan.
6. Selain teknik, jenis obat yang diberikan juga berperan pada terapi inhalasi. Inhalasi
dengan agonis β2 sering diberikan pada kasus rinitis padahal pemberian agonis β2
bermanfaat pada saluran napas intratorakal, karena partikel yang dihasilkan lebih
mencapai saluran napas kecil.

Penutup
•• Batuk kronik berulang (BKB) dapat menjadi petunjuk awal untuk membantu
diagnosis asma. Gejala batuk dengan karakteristik yang khas mengarah ke asma
adalah: episodisitas, variabilitas, reversibilitas, dan adanya faktor pemicu dan riwayat
alergi dalam keluarga.
•• Klasifikasi asma dibagi berdasarkan derajat penyakitnya (aspek kronik) dan

479
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
serangannya (aspek akut). Berdasarkan penggolongan derajat penyakitnya, asma
diklasifikasikan berdasarkan kekerapan timbulnya gejala, yaitu: asma intermiten,
asma persisten ringan, asma persisten sedang, asma persisten berat
•• Asma intermitten tidak membutuhkan tatalaksana asma jangka panjang sesuai dengan
jenjang 1
•• Anak yang membutuhkan SABA (short-acting beta agonis, misal salbutamol) untuk
meredakan gejala dengan cepat lebih dari 2 hari dalam seminggu (bulan lalu), dapat
digolongkan menderita asma persisten.
•• Asma persisten dilakukan tatalaksana jangka panjang sesuai dengan jenjang 2 sampai
4 kemudian dievaluasi secara berkala untuk menaikkan atau menurunkan jenjang
dalam pemakaian obat pengendali asma
•• Pertimbangkan rujuk ke dokter spesialis respirologi untuk tatalaksana lebih lanjut
pada pasien asma jenjang 3 yang tidak berhasil dikendalikan.
•• Bila asma tidak terkendali, evaluasi penyebabnya:
–– Teknik inhalasi-periksa dan monitor teknik inhalasi pasien
–– Kepatuhan-tanyakan kapan dan seberapa banyak obat yang digunakan
–– Lingkungan –tanyakan pada pasien dan orang-tua apakah ada sesuatu dalam
lingkungan hidupnya yang berubah

Daftar pustaka
1. Global Initiative for Asthma. Global strategy for asthma management and prevention. 2017.
2. UKK Respirologi PP IDAI. PedomanNasional AsmaAnak. Edisi ke-2. Jakarta 2015.
3. H.K. Reddel et al. A summary of the new GINA strategy:a roadmap to asthma control.
EurRespir J 2015.
4. National Heart, Lung, and Blood Institute. Expert panel report 3: guidelines for the diagno-
sis and management of asthma: full report 2007.
5. Gillisen A. Patient’s adherence in asthma. Jpp 2007;58(5):205-22.
6. Hossny E, Rosario N, Lee BW, Singh M, Ghoneimy DE, Soh JY, et al. The use of inhaled
corticosteroids in pediatric asthma: update. World allergi Org J. 2016;9:1-26.
7. Chen E, Schreier HMC. Does the social enviromnment contribute to asthma? J Immunol
allergy clin N Am 2008;28:649-64.
8. Abramson SL. Addressing a step down process in control asthma. J allergy clin immunol.
2016;137(5):1380-1.
9. Price D, Chisholm A, Hillyer EV, Burden A, Ziedenweidt JV, Svedsater A, et al. Effect of
inhaled corticosteroid therapy step down and dosing regimen on measure of asthma control.
J aller ther. 2013;4(1):1-8.

480 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


The Power of Gut Microbes: Improving of Child
Health with Beneficial Microbes
Reza Ranuh
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RSUD Dr. Soetomo Surabaya

Abstract
Gut microbiota is an important part of all aspects of human life. Gut microbiota is a collection of germs
that normally colonized in gastrointestinal system. Its existence is determined from the very beginning
of human life that should be understood by clinicians. Many factors can influence the colonization gut
microbiota such as birth procedures, diet, environment, health or status of the disease, medicine, anatomy,
gender and age. The role of gut microbiota is to regulate the functions of physiology of gastrointestinal
tract and non-gastrointestinal organs.
Almost all aspects of health, energy, regulatory risk of autoimmune diseases, diseases of the heart and
blood vessels, cancer, obesity, diabetes and many health issues are determined by the important role
of gut microbiota. Disruption of the gut microbiota balance will affect the environment of gut such
as abdominal pain, but can provide a greater impact for the rest of our body, including the brain.
The relationship between the gut health with central nervous system (gut-brain axis) is important and
fundamental to guarantee human life as a whole.
All types of neurotransmitters are also found in the enteric nervous system. Enteric nervous system
is strongly influenced by the balance function of the gut microbiota. Disorder of the central nervous
system functions such as autism is a multisystem disease, and a number of autistic children showed
gastrointestinal problem. Disorder of the gut-brain axis microbiota and interaction of gut microbiota
abnormality as one factor that is believed to be the cause.

B
erapa banyak gen yang diperlukan untuk membangun manusia sehingga
berfungsi normal? Lee Rowen dari Human Genome Project melaporkan bahwa
manusia tersusun dari 21.000 gen. Gen adalah perangkat pembuat protein, yang
merupakan komponen penting untuk menyusun manusia secara lengkap dan sempurna.
Bila dibandingkan dengan makhluk hidup lain, seperti tikus misalnya, memiliki 23.000
gen, tanaman gandum 26.000 gen, cacing 20.500 gen, sedangkan kutu air, makhluk
hidup yang sederhana disusun oleh 31.000 gen.1
Gen inilah selanjutnya akan memproduksi protein yang menyusun makhluk tersebut
sehingga dapat hidup dan berfungsi normal. Manusia bisa dikatakan lebih sederhana
jumlah gen yang bertanggung jawab untuk memproduksi protein tersebut. Namun
yang membedakan antara manusia dan mahluk hidup lainnya adalah, tak satu pun dari
spesies atau makhluk hidup lainnya diatas dapat berbicara dan mempunyai pikiran yang

481
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
cerdas seperti manusia. Manusia mempunyai kemampuan lebih dibandingkan dengan
makhluk hidup lainnya oleh karena ada “superorganisme”, mikrobiota yang selalu hidup
memdampingi, menjaga dan menjamin fungsi seluruh komponen organ manusia bisa
berjalan sempurna 2.
Manusia secara kolektif hidup berdampingan dengan mikroba yang ada sejak manusia
dilahirkan. Jumlah mikroba yang jumlahnya lebih 100 triliun, dikenal sebagai mikrobiota
yang mayoritas adalah bakteri di saluran cerna. Bersama bakteri adalah mikroba lainnya,
virus, jamur dan archaea. Virus begitu kecil dan sederhana bahwa mereka, bergantung
sepenuhnya pada sel-sel makhluk lainnya untuk mereplikasi diri. Jamur yang hidup
lebih kompleks daripada bakteri, kecil, bersel tunggal. Archaea adalah kelompok yang
serupa dengan bakteri, tetapi mereka berbeda evolusioner seperti bakteri, tanaman atau
binatang. Secara bersama, mikroba ini hidup di tubuh manusia mengandung 4,4 juta
gen. Kumpulan dari gen secara keseluruhan disebut sebagai mikrobium, merupakan
kumpulan genome dari mikrobiota. Gen ini berkolaborasi dalam menjalankan tubuh kita
bersama 21.000 gen-gen manusia. Bila dihitung , yang disebut manusia hanya setengah
persen manusia, secara umum manusia hanya disusun oleh 10% gen, sedangkan 90%
manusia disusun oleh gen mikrobiota. Mikrobiota yang mayoritas di dalam saluran cerna
mempunyai kekuatan yang penting untuk menjaga, menjamin fungsi fisiologi manusia
berjalan normal 2.
Fungsi fisiologi, maupun kelainan organik yang terjadi pada manusia, sebagai akibat
gangguan keseimbangan mikrobiota yang ada sering dilupakan. Gangguan keseimbangan
mikroba saluran cerna disebut sebagai disbiosis. Disbiosis merupakan keadaan gangguan
keseimbangan mikrobiota, yang bisa terjadi sebagai akibat perubahan lingkungan atau
pola hidup yang mengganggu 2–4.

Kolonisasi mikrobiota saluran cerna


Pada saat lahir, saluran cerna bayi yang pada awalnya steril, selanjutnya terkontaminasi
(terkolonisasi) oleh bakteri yang diawali dengan berkembangnya kuman Bifidobacteria,
Clostridia, dan Cocci gram positive berada di jalan lahir (vagina) dan saluran cerna ibu.
Mikroba prokariotik dan eukariotik dapat ditemukan, pada saluran cerna bayi dengan
dominasi oleh spesies bakteri, sebagian besar spesies bakteri anaerob (97%), 3% adalah
aerobik (fakultatif anaerob) 2,4.
Genera anaerobik yang paling umum dalam konsentrasi dalam saluran pencernaan
adalah Bacteroides, Bifidobacterium, Eubacterium, Fusobacterium, Clostridium dan
Lactobacillus. Koloni mikrobiota aerob adalah bakteri Gram-negatif enterik (Escherichia
coli dan Salmonella spp.) dan bakteri gram-positif cocci (Enterococcus, Staphylococcus
dan Streptococcus). Selain bakteri aerob, spesies jamur aerobik, seperti Candida albicans,
yang juga termasuk anggota mikrobiota normal5. Bayi yang mendapatkan ASI sejak awal
kehidupan, Bifidobacteria merupakan flora normal yang paling dominant, dibandingkan
dengan kelompok bayi yang mendapatkan susu formula.6,7

482 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Setelah itu, terjadi perubahan yang pesat dari flora normal usus, dan dalam perjala-
nan perkembangan kolonisasi ini juga dipengaruhi oleh nutrisi pada kehidupan seorang
bayi. Pola mikrobiota usus akan mengalami modifikasi yang besar pada tahap awal ke-
hidupan dan keadaan in mempunyai peran penting dalam perkembangan fungsi fisiologi
sistem imun innate dan adaptif saluran cerna yang penting untuk pertahanan mukosa
saluran cerna maupun sistemik. Faktor lingkungan seperti antibiotik, diet dan inokulasi
mikroba, dapat menyebabkan perubahan dalam stabilitas mikrobiota baik yang bersifat
sementara dan permanen 8–10

Penjelasan di atas mempertegas kembali bahwa kolonisasi dan perkembangan


mikrobiota normal yang seimbang pada masa neonatal khususnya pada saluran pencernaan
mempunyai peranan yang penting. Terjadinya gangguan keseimbangan mikrobiota pada
masa ini akan mempengaruhi perkembangan system imunitas neonatal. Gangguan
perkembangan sistem imunitas ini merupakan faktor predisposisi terjadingan infeksi dan
masalah kesehatan lainnya.

Interaksi mikrobiota saluran cerna


Interaksi mikrobiota saluran cerna dan host, merupakan interaksi yang saling
menguntungkan. Host akan menyediakan nutrisi sebagai sumber yang menguntungkan,
demikian pula sebaliknya bahwa mikrobiota akan merubah nutrisi menjadi komponen yang
memberikan manfaat baik untuk kesehatan penjamu. Namun beberapa mikrobiota dalam
jumlah dominan (berlebihan), eseperti misalnya Clostridium difficile dapat memproduksi
toksin yang merugikan. Beberapa mikrobiota tertentu akan berubah menjadi patogen pada
keadaan kerusakan mukosa usus seperti misalnya kuman gram negatip Enterobacteriaceae
2
. Namun demikian, pengetahuan mengenai manfaat mikrobiota saluran cerna secara
keseluruhan belum sepenuhnya dipahami. Beberapa bukti ilmiah menyebutkan bahwa,
hewan coba tanpa mikrobiota saluran cerna (free germ animal model) menunjukan adanya
perbedaan nyata dalam hal struktur anatomi dan fungsi organ, bila dibandingkan dengan
hewan coba dengan kolonisasi mikrobiota saluran cerna yang normal. Perbedaan dalam hal
berat organ saluran cerna, fungsi fisiologi dan kerentanan saluran cerna terhadap infeksi,
merupakan parameter perbedaan yang nyata terjadi 2,11,12. Demikian juga organ lainnya
seperti misalnya jantung, hati, cardiac output, kelenjar getah bening akan berkurang
pada kelompok free germ animal model. Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bhwa
keseimbangan mikrobiota saluran cerna mutlak diperlukan untuk keseimbangan fisiologi
individu 9

Mikrobiota dan peran untuk pertahanan saluran cerna


Mikrobiota sangat penting dalam memberikan pertahanan saluran cerna dengan cara
menghambat kolonisasi kuman patogen. Peningkatan jumlah mikrobiota seperti misalnya

483
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
kuman bifidobakteria pada bayi yang mendapatkan ASI yang mengandung bifidus faktor,
merupakan salah satu faktor penting untuk menghambat kolonisasi kuman patogen pada
bayi yang mendapatkan ASI 13.
Beberapa cara eliminasi kuman patogen oleh bifidobakteria antara lain dengan
meningkatnya status imun mukosa usus, proses inhibisi, mengeluarkan hasil akhir
metabolik seperti misalnya asam yang akan menurunkan pH lingkungan saluran cerna,
dalam suasana asam bakteri probotik dapat hidup dengan subur sedangkan bakteri
patogen tak dapat hidup. Banyak spesies kuman laktobaksilus, dan bifidobakteria,
mampu untuk memproduksi antibiotika alamiah, yang mempunyai efek bakteriostatik
atau bakteriosidik spektrum luas seperti lactocins, helveticins, lactacins, curvacins, nisin
atau bifidocin). Kuman bifidobakteria sendiri mempunyai kemampuan mensekresi
antimikrobial yang dapat mengeliminasi berbagai macam kuman pathogen gram
negatif saluran cerna termasuk salmonella, campylobacters dan E. coli 14. Mikrobiota di
dalam saluran cerna juga mampu menurunkan konsentrasi endotoksin bakteri secara
signifikan, hal ini dimungkinkan oleh karena kemampuannya meningkatkan pertahanan
mukosa untuk mencegah translokasi kuman. Beberapa spesies bifidobakteria, seperti
Bifidobacterium infantis dan B. longum mempunyai efek yang kuat untuk eliminasi kuman
E. coli 0157. Dengan bukti ini , maka dapat disimpulkan bahwa dengan meningkatnya
jumlah bifidobakteria dengan spesies tertentu akan meningkatnya sistem imun mukosa
dan akan memberikan proteksi terhadap infeksi saluran cerna 15–17indigenous microbiota

Mikrobiota dan perkembangan sistem imunitas mukosa saluran


cerna
Saluran cerna bayi baru lahir steril dan secara fungsional belum sempurna dan merupakan
masa kritis bagi perkembangan sistem imunitas saluran cerna bayi. Mikrobiota komensal
(non-patogen) yang didapat pada saat proses kehamilan dan kelahiran sangat penting
perannya untuk perkembangan fungsi saluran cerna kehidupan selanjutnya. Kolonisasi
mikrobiota di dalam saluran cerna dengan mikrobiota non-patogen (komensal) sangat
penting bagi pembentukan struktur normal saluran cerna untuk menjalankan fungsi
imunitas saluran cerna yang optimal 16,18
Sistem imun bawaan tidak spesifik belum sepenuhnya dikembangkan atau aktif
dalam tahun pertama kehidupan seorang bayi. Sistem imun memiliki kemampuan untuk
membedakan spesies mikroba berbahaya dan bermanfaat yang dipengaruhi paparan pada
ibu masa prenatal dan postnatal. Respon induksi sistem imun pada saluran pencernaan
berkorelasi dengan folikel dari gut associated lymphoid tissue (GALT) khususnya M cell pada
Peyer patches melalui kemampuan mengikat antigen, makromolekul dan mikroorganisme.
Dengan demikian, sistem kekebalan tubuh inang harus menjaga keseimbangan lingkungan
pencernaan yang menguntungkan bagi komunitas mikrobiota untuk melindungi invasi atau
perkembangan dari spesies patogen. Mukosa intestinal dilengkapi dengan trans-membrane
atau reseptor intra sitoplasmik (intra-cytoplasmic receptors) yang dikenal dengan pattern

484 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


recognition receptors (PRRs) yang mampu mengenali, membedakan dan berikatan dengan
ligan mikroba. Microbial-associated molecular patterns (MAMPs) seperti lipopolysakarida,
flagelin, peptidoglikan dan formylated peptides. Mikroba alami (commensal bacteria) dan
patogen pada permukaan mukosa dapat menginduksi sinyal MAMPs untuk menstimulasi
PRRs yang meliputi Toll-like receptors (TLRs), formylated peptide receptors (FPRs) atau
nucleotide-binding oligomerization domainlike receptors (NODs) yang akan menentukan
keluaran sinyal yang didasarkan pada stimulasi awal. Respon yang dapat terjadi dapat
berupa respon proteksi terhadap bakteri komensal, respon inflamasi terhadap organisme
patogen atau stimulasi reaksi apoptosis. Abnormalitas yang terjadi pada proses ligan PRRs
dan MAMPs berkaitan dengan penyakit inflamasi pada saluran pencernaan 15–19
Mikrobiota saluran cerna juga mempunyai peran penting untuk menjamin produksi
immunoglobulin. Sintesis awal IgG dan IgM awalnya terjadi di limpa pada masa
kehamilan sekitar 10 minggu, kemudian mengalami peningkatan hingga masa kehamilan
26 minggu. Level ini meningkat dengan drastis pada saat kelahiran. Bayi yang baru
lahir, mempunyai level serum IgM, IgA, IgE yang rendah. Proteksi awal bayi diperoleh
dari ASI dimana bayi yang mendapatkan asupan ASI akan memperoleh IgA khususnya
sebagai proteksi terhadap mikroba saluran pencernaan dan juga IgG dipindahkan dari
ibu melalui plasenta sebagai proteksi selama satu tahun pertama kehidupan bayi. Belum
matangnya sel limphosit T dan B dan juga Antigen Presenting Cell (APC) ikut berperan
pada rendahnya produksi antibodi pada bayi yang baru lahir. Produksi immunoglobulin
ini akan terus bertambah, seiring dengan kolonisasi normal saluran cerna optimal hingga
usia 3-5 tahun 20–23.

Mikrobiota saluran cerna dan kesehatan saluran cerna


Gangguan saluran cerna fungsional (functional gastrointestinal disorders/FGIDs) adalah
gangguan fungsi saluran cerna tanpa diketahui adanya kelainan organik saluran cerna.
Beberapa hal yang mempengaruhi prevalensi FGIDs pada anak antara lain pola infeksi dan
pelayanan kesehatan berbeda, penggunaan antibiotik terutama dalam 2 tahun pertama
kehidupan, infeksi saluran cerna dan infeksi ekstraintestinal. Riwayat alergi, diet, proses
kelahiran (persalinan normal maupun sectio secaria) dan lama menyusui juga merupakan
faktor penting terjadinya masalah gangguan fungsional saluran cerna 24
Patogenesis terjadinya FGIDs belum diketahui dengan jelas. Namun diyakini banyak
peneliti bahwa unsur-unsur hormonal, neuronal dan psikogenik berperan dalam timbulnya
gejala FGIDs. Beberapa faktor penting yang diperkirakan mempunyai pengaruh pada
FGIDs antara lain sistem saraf enterik (ENS), motilitas, sekresi enzim dan mikrosirkulasi,
respon imun dan proses inflamasi saluran cerna. Kemampuan respon adaptif dari ENS
sebagai pemicu fisiologis dan stres psikologi mempengaruhi terjadinya FGIDs 24,25.
Gangguan kolonisasi mikrobiota dan atau kolonisasi mikrobiota saluran cerna yang
belum optimal pada usia awal kehidupan hingga usia 2 tahun pertama merupakan faktor
penting terjadinya gangguan fungsional saluran cerna pada anak 9,26–30

485
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Gangguan saluran cerna fungsional yang sering dijumpai antara lain regurgitasi,
konstipasi dan kolik.
Saluran cerna pada bayi baru lahir steril. Namun, beberapa faktor internal dan
ekternal akan mempengaruhi fungsi fisiologi saluran cerna dan ekosistem kolonisasi
mikrobiota pada saat bayi lahir. Beberapa faktor prenatal, seperti penggunaan antibiotika
pada ibu hamil mempunyai pengaruh terhadap kolonisasi mikrobiota saluran cerna bayi
31
. Segera setelah lahir, mikrobiota secara aktip melakukan kolonisasi diseluruh permukan
tubuh bayi, termasuk saluran cerna. Kolonisasi ini berlangsung secara bertahap sesuai usia
kehamilan dan usia bayi. Sebagai contoh bayi prematur mempunyai gambaran kolonisasi
mikrobiota yang berbeda dengan bayi dengan cukup bulan 6,7
Demikian juga pada bayi yang sering mengalami kolik, mempunyai gambaran
kolonisasi mikrobiota saluran cerna yang berbeda bila dibandingkan dengan kelompok
bayi tanpa kolik 32,33
Kolonisasi mikrobiota pada kelompok usia bayi ini sangat mempunyai peran
terhadap fungsi motilitas saluran cerna. Intestinal mikrobiota diketahui memproduksi
bahan-bahan penting untuk menstimulasi sistem saraf saluran cerna yang berperan untuk
fungsi motilitas saluran cerna yang terjadi pada kondisi sehat maupun sakit 34.

Mikrobiota dan fungsi digesti nutrisi saluran cerna


Digesti bermula dari suatu kejadian intraluminal yang memerlukan enzim oral, gastrik
dan pankreatik serta asam empedu. Pembuluh darah dan limfa, juga sel ganglion dan serat
saraf dari pleksus Meissner dan kelenjar asinar bercabang Brunner (di duodenum bagian
atas), merupakan komponen penting dalam fungsi digesti. Absorpsi memerlukan luas
permukaan mukosa yang cukup, enzim yang ada didalam tepi brush border dan intraseluler
serta mekanisme yang spesifik. Untuk menjalankan fungsi absorpsi yang optimal, brush
border yang baik memerlukan susunan protein yang baik. Diantara dasar vili penyusun
brush border terdapat kripta dari Liberkuhn yang menjorok sampai ke lapisan submukosa
dimana berlokasi sel yang tidak berdiferensiasi dan sel sekretori. Sel ini berasal dari dasar
kripta dan bergerak ke arah puncak vili, menjadi matur dalam bentuk dan fungsi digestif
maupun fungsi absorpsi. Pada membran sel usus, terjadi proses hidrolisis dari disakarida
dan peptida oleh enzim yang terdapat pada tepi brush border. Proses ini akan terus
dilanjutkan dengan proses absorpsi seluler dari asam amino, peptida kecil, monogliserida,
monosakarida dan asam lemak. Nutrien yang diabsorpsi kemudian ditransport ke
dalam darah dan limfa dan akhirnya dibawa ke organ yang jauh untuk disimpan atau
dimetabolisasi (Erdman and Udall 1993). Kolonisasi mikrobiota yang optimal, akan
menjamin terjadinya proses digesti secara optimal. Gangguan keseimbangan kolonisasi
akan mengganggu fungsi digesti, yang selanjutnya akan menganggu fungi absorpsi yang
paripurna 8.

486 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Mikrobiota Saluran Cerna, Obesitas dan Diabetes
Hubungan antara mikrobiota saluran cerna dengan masalah metabolik seperti obesitas
dan diabetes pada anak banyak diketahui. Mikrobiota saluran cerna diperlukan untuk
mempertahankan fungsi normal saluran cerna. Mikrobiota saluran cerna adalah bakteri
hidup atau bakteri campuran yang memiliki efek menguntungkan pada saluran cerna host
melalui kemampuannya menjaga keseimbangan mikroflora usus secara keseluruhan dan
mempunyai manfaat mempertahankan kesehatan host.35 Terdapat lebih dari 100 spesies
dan lebih dari 10 milyar bakteri dalam usus manusia. Bakteri dalam usus manusia dapat
dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok bakteri yang berguna (useful) dan kelompok
yang berbahaya (harmful)8. Gangguan keseimbangan kolonisasi mikrobiota saluran cerna
dalam kehidupan anak, akan memberikan dampak yang merugikan, seperti gangguan
funsional salura cerna yang sering dijumpai pada awal kehidupan. Pemahaman fungsi
mikrobiota saluran cerna untuk menjaga kesehatan dan mencegah penyakit untuk
meningkatkan status kesehatan secara menyeluruh sangat penting untuk diketahui.10,34,36,37
Terkait dengan pengaruhnya terhadap masalah obesitas, mikrobiota saluran cerna
memberikan kontribusi membantu dalam proses metabolisme nutrisi hingga perannya
untuk memberikan modulasi ekspresi gen untuk semua aspek kehidupan. Walaupun
masih dalam tahap perdebatan, perbedaan komposisi mikrobiota pada hewan coba
maupun manusia, memberikan pengaruh pada berat badan. Pada kelompok anak gemuk
dan langsing, mempunyai komposisi mikrobiota yang berbeda. Hal ini memberikan
petunjuk adanya hubungan antara berat badan dan komposisi mikrobiota saluran cerna
dan energi homeostasis.38,39
Hasil fermentasi polisakarida dan protein menjadi short chain fatty acid (SCFA)
yang terdiri dari komponen acetate propionate dan butyrate, dipengaruhi oleh kolonisasi
mikrobiotas saluran cerna di usus besar. SCFA merupakan sumber energi (10-70%) untuk
epitel usus daerah kolon. Pada keadaan berlebihan, akan mengakibatkan deposit lemak
secara keseluruhan. Absorpsi SCFA yang berlebihan, bersama dengan pola hidup yang
kurang baik dan lingkungan merupakan faktor terjadinya obesitas pada anak. 40
Beberapa alasan yang dapat digunakan sebagai penjelasan adanya pengaruh mikrobiota
saluaran cerna dengan kejadian diabetes tipe 2. Ada perbedaan komposisi, kempok
pasien dengan diabetes tipe 2 dan kempok pasien normal. Pada keleompok dibaters tipe
2, mikrobiota pathogen lebih dominan dibandingkan dengan mikrobiota komensal.
Sedangkan pada diabetes tipe 1, secara signifikan mempunyai jumlah Bifidobakterium,
Lactobaccillus dan Clostridium yang dominan dibandingkan dengan Bacteroidetes.
Perbedaan ini mempunyai pengaruh untuk menjaga integritas usus yang lebih rendah
yang dapat diaktifkan dengan masalah tingkat glikemik pada kelompok diabetes. Temuan
ini dapat digunakan sebagai salah satu startegi tatalaksana diabetes tipe 1.41,42

487
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Mikrobiota saluran cerna dan fungsi, perkembangan otak
hehavior
Kolonisasi mikrobiota saluran cerna mempunyai peran yang sagat penting untuk menjamin
perkembangan dan fungsi otak yang baik. Gangguan keseimbangan mikrobiota saluran
cerna sebagai akibat faktor diluar otak dapat mempengaruhi keseimbangan kolonisasi
mikrobiota saluran cerna. Peran penting mikrobiota ini diperankan oleh karena produk
biokimiawi mikrobiota yang dapat menjaga permeabilitas blood brain barrier, sehingga
dengan demikian bloob brain barrier secara selektif melaksanakan fungsi proteksi terhadap
bahan-bahan pathogen dapat dapat mempengaruhi fungsi fiologis otak. Hubungan dua
arah antara saluran cerna dan otak (gut-brain axis) telah banyak diketahui. Hubungan dua
arah ini dapat terjadi oleh karena produksi beberapa neurotransmiter dari saluran cerna
mempunyai pengaruh terhadap fungsi otak, demikian juga produk neurotransmiter juga
mempunyai pengaruh terhadap funsi saluran cerna secara langsung.
Beberapa keadaan klinis gangguan perkembangan otak dengan manifestasi gangguan
perilaku pada anak, seperti misalnya ADHD dan autis, merupakan contoh adanya
pengaruh fungsi otak oleh karena gangguan kolinisasi mikrobiota saluran cerna. Pada
hewan coba dengan free microbiota, mempunyai kadar kortikosteron, brain-derived
neurotrophic factor (BDNF; suatu protein yang berfungsi untuk menstimulasi neurogenesis
dan synaptic growth, dan modulasi synaptic plasticity dan transmisi) 43,44.

Penutup
Mikrobiota saluran cerna merupakan bagian penting dalam menentukan kesehatan
anak. Peran mikrobiota adalah untuk menjaga dan mengatur fungsi fisiologi kehidupan
yang diharapkan dapat memberikan kesehatan yang optimal. Beberapa faktor yang
menentukan keseimbangan mikrobiota saluran cera antara lain dimulai sejak proses
kelahiran, nutrisi (ASI), penggunaan antibiotika yang tidak rasional perlu diperhatikan.
Gangguan keseimbangan mikrobiota di dalam saluran cerna akan memberikan dampak
yang merugikan seperti misalnya dampak lokal di dalam saluran cerna maupun dampak
sistemik yang merugikan untuk kesehatan secara keseluruhan. Beberapa penyakityang
timbul sebagai akibat gangguan keseimbangan mikrobiota saluran cerna antara lain infeksi
saluran cerna, alergi, obesitas, diabetes serta gangguan perilaku anak.

Daftar pustaka
1. Hood L, Rowen L. The human genome project: big science transforms biology and medicine.
Genome Med. 2013;5:79.
2. Tannock GW. Assembling Communities. In: Tannock GW, editor. Understanding The Gut
Microbiota. New Jersey: Wiley& Sons,Inc; 2017. p. 1314–759.
3. Collen A. The Other 90%. In: Collen A, editor. 10% Human: How Your Body’s Microbes
Hold The To Health and Happines. New York, London, Toronto, Sydney: Harper; 2017. p.
194–449.

488 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


4. Perlmutter D, Loberg K. Bug Alert: You’ve Got Company. In: Brain Maker, The Power of
Gut Microbes to Heal and Protect Your Brain For Life. New York, Boston, London: Little
Brown and Company; 2017. p. 18–192.
5. Noverr MC HG. Does the microbiota regulate immune responses outside the gut? Trends
Microbiol USA. 2004;
6. Duttaa Sourabh, Ganesh Meenakshi, Anesh RP and NA. Week of Life. Indian Pediatr.
2014;1082:8–10.
7. Rotimi VO, Olowe SA, Ahmed I. The development of bacterial flora of premature neonates.
J Hyg. 1985;94:309–18.
8. Purchiaroni F, Tortora A, Gabrielli M, Bertucci F, Gigante G, Ianiro G, et al. The role of in-
testinal microbiota and the immune system. Eur Rev Med Pharmacol Sci. 2013;17:323–33.
9. Guarner F, Malagelada J-R. Gut flora in health and disease. Lancet. 2003;361:512–9.
10. Groer MW, Luciano AA, Dishaw LJ, Ashmeade TL, Miller E, Gilbert JA. Development of
the preterm infant gut microbiome: a research priority. Microbiome. 2014;2:38.
11. Wallace TC, Guarner F, Madsen K, Cabana MD, Gibson G, Hentges E, et al. Human gut
microbiota and its relationship to health and disease. Nutr Rev. 2011;69:392–403.
12. Isolauri E. Development of healthy gut microbiota early in life. J Paediatr Child Health.
2012;48:1–6.
13. Parletta N. Breastfeeding and child neurodevelopment - a role for gut microbiota? Dev Med
Child Neurol. 2014;56:101–2.
14. Gibson GR, Roberfroid MB. Dietary modulation of the human colonic microbiota: intro-
ducing the concept of prebiotics. J Nutr. 1995;125:1401–12.
15. Tlaskalová-Hogenová H, Štěpánková R, Hudcovic T, Tučková L, Cukrowska B, Lodi-
nová-Žádníková R, et al. Commensal bacteria (normal microflora), mucosal immunity and
chronic inflammatory and autoimmune diseases. Immunol Let. 2004;93:97–108.
16. Mantis NJ, Rol N, Corthésy B. Secretory IgA’s complex roles in immunity and mucosal ho-
meostasis in the gut. Mucosal Immunol. 2011;4:603–11.
17. Sommer F, Bäckhed F. The gut microbiota--masters of host development and physiology. Nat
Rev Microbiol. 2013;11:227–38.
18. Brandtzaeg P. Induction of secretory immunity and memory at mucosal surfaces. Vaccine.
2007;25:5467–84.
19. Owens BMJ, Simmons A. Intestinal stromal cells in mucosal immunity and homeostasis.
Mucosal Immunol. 2013;6:224–34.
20. Vajdy M. Immunity against mucosal pathogens. Immunity Against Mucosal Pathogens.
2008. p. 1-524.
21. Sato A, Iwasaki A. Peyer’s patch dendritic cells as regulators of mucosal adaptive immunity.
Vol. 62, Cellular and Molecular Life Sciences. 2005. p. 1333–8.
22. Chang S-Y, Ko H-J, Kweon M-N. Mucosal dendritic cells shape mucosal immunity. Exp Mol
Med. 2014;46:e84.
23. Lavelle EC, Murphy C, O’Neill LAJ, Creagh EM. The role of TLRs, NLRs, and RLRs in
mucosal innate immunity and homeostasis. Mucosal Immunol. 2010;3:17–28.
24. Ammoury RF, Pfefferkorn MDel R, Croffie JM. Functional gastrointestinal disorders: past
and present. World J Pediatr. 2009;5:103–12.

489
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
25. Chiou E, Nurko S. Functional abdominal pain and irritable bowel syndrome in children and
adolescents. Therapy. 2011;8:315–331.
26. Kim J, Lin H. Contribution of gut microbes to gastrointestinal motility disorders. Pract
Gastroenterol. 2007;31.
27. Allan Walker W. Initial intestinal colonization in the human infant and immune homeosta-
sis. Ann Nutr Metab. 2013;63(Suppl 2):8–15.
28. Bachner HA. A Healthy Gut and a Healthy Brain: Implications for Counseling and Lifestyle.
VISTAS Online. 2015;Article 47.
29. Quigley EMM. Intestinal Microbiota in Health and Disease. Gastroenterology.
2015;535:7610.
30. Versalovic J. The human microbiome and probiotics: Implications for pediatrics. Ann Nutr
Metab. 2013;63(Suppl 2):42–52.
31. Bailey MT, Lubach GR, Coe CL. Prenatal stress alters bacterial colonization of the gut in
infant monkeys. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2004;38:414–21.
32. Pärtty A, Yliopisto T. Infant colic crying and Causes, consequences and cure. Turun Yliopisto
University of Turku; 2013.
33. Pärtty A, Isolauri E. Gut microbiota and infant distress – the association between compo-
sitional development of the gut microbiota and fussing and crying in early infancy. Microb
Ecol Heal Dis. 2012;23:26–7.
34. Pier M, Guarino L. Microbiota and gut motility.
35. Bested AC, Logan AC, Selhub EM. Intestinal microbiota, probiotics and mental health: from
Metchnikoff to modern advances: Part II - contemporary contextual research. Gut Pathog.
2013;5:3.
36. Korpela K. Intestinal Microbiota Development in Childhood: Implications for Health and
Disease. University of Helsinki; 2016.
37. Kasubuchi M, Hasegawa S, Hiramatsu T, Ichimura A, Kimura I. Dietary gut microbial me-
tabolites, short-chain fatty acids, and host metabolic regulation. Nutrients. 2015;7:2839–49.
38. Gastrointestinal F. Obesity and Functional Gastrointestinal Diseases in Children. J Neuro-
gastroenterol Motil. 2014;20:414–6.
39. Phatak UP. Obesity and gastrointestinal disorders in children. 2016.
40. Bäckhed F, Ley RE, Sonnenburg JL, Peterson DA, Gordon JI. Host-bacterial mutualism in
the human intestine. Science. 2005;307:1915–20.
41. Murri M, Leiva I, Gomez-Zumaquero JM, Tinahones FJ, Cardona F, Soriquer F, et al. Gut
microbiota in children with type 1 diabetes differs from that in healthy children: a case-con-
trol study. BMC Med. 2013;11:2–12.
42. Tai N, Wong FS, Wen L. The role of gut microbiota in the development of type 1, type 2
diabetes mellitus and obesity. Rev Endocrine Metabolic Dis. 2015;16:55–65.
43. Sudo N, Chida Y, Aiba Y, Sonoda J, Oyama N, Yu XN, et al. Postnatal microbial colonization
programs the hypothalamic-pituitary-adrenal system for stress response in mice. J Physiol.
2004;558:263-75.
44. Lu B, Nagappan G, Guan X, Nathan PJ WP. BDNF-based synaptic repair as a disease-modi-
fying strategy for neurodegenerative diseases. Nat Rev Neurosci. 2013;14:401–16.

490 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Retinopathy of Prematurity Screening
Guideline’s Applied: Ten Years Experiences
Rinawati Rohsiswatmo, Rivaldi Ardiansyah
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Cipto Mangunkusumo

Abstracts
Retinopathy of prematurity (ROP) is a vasoproliferative disorder of retina of preterm infants. ROP is
one of the major cause of blindness in infants. Due to improved Neonatal Intensive Care Unit (NICU),
it increased survival of preterm infants. Furthermore, it effects on increasing of high risk population
infants to ROP. Better understanding of the disease and its risk factors can lower the incidence of ROP.
The major risk factors for ROP are very preterm infants and prolonged exposure to high level of oxygen.
Other potential risk factors such as respiratory distress syndrome, sepsis, recurrent blood transfusion,
peri-intraventricular hemorrhage, necrotizing enterocolitis, bronchopulmonary dysplasia, patent ductus
arteriosus are mentioned. Aggressive parenteral nutrition is mentioned might be protective effect for
developing ROP. Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM) is following National ROP screening
guidelines. Infants with birth weight ≤1500 g or gestational age of ≤34 weeks should be examined
for ROP screening. Examinations of larger infants or higher gestational age infants with risk should
be requested by pediatrician. For the past ten years, there is no ROP case found in RSCM. It might
be related to strict protocol to limit exposure of oxygen to preterm infants starting from delivery room,
prevention of nosocomial infection in NICU care, and aggressive nutritional support. Excellence in
prenatal and neonatal care starting from delivery room and screening of ROP are the major factors to
prevent and early detection of ROP.

K
elahiran prematur merupakan masalah global. Lebih dari 60% kelahiran prematur
terjadi di Afrika dan Asia selatan. Angka kejadian kelahiran prematur di Indonesia
15,5 dari 100 kelahiran hidup. Indonesia termasuk 10 negara dengan jumlah
kelahiran prematur terbanyak dan menduduki peringkat kelima di dunia.1, 2 Di Indonesia,
belum ada data yang adekuat mengenai angka kejadian ROP. Oleh karena itu, penulis
ingin menyampaikan data angka kejadian ROP di RSCM selama kurun waktu sepuluh
tahun terakhir.
Semua bayi yang lahir di RSCM mengikuti algoritma resusitasi neonatus IDAI 2013.
RSCM menerapkan prinsip the first golden minutes dan the first golden hour.6 Selanjutnya
3-5

bayi risiko tinggi akan dilakukan skrining ROP sesuai Pedoman Nasional Skrining dan
Terapi Retinopathy of Prematurity di Indonesia (lihat Tabel 1).
Retinopathy of prematurity (ROP) adalah gangguan vasoproliferative pada retina
bayi prematur. ROP adalah salah satu penyebab utama kebutaan pada bayi.7, 8 Seiring
dengan makin berkembangnya unit perawatan intensif neonatal, angka harapan hidup

491
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Tabel 1. Pedoman skrining ROP di Indonesia
Kriteria bayi yang memerlukan skrining ROP.
1. Bayi dengan berat lahir ≤ 1500 gr.
2. Bayi dengan usia gestasi ≤ 34 minggu.
3. Bayi dengan berat lahir lebih besar atau usia gestasi lebih tua dapat diminta oleh dokter
anak, yang bergantung pada keparahan faktor resiko diantaranya paparan fraksi oksigen
yang tinggi lebih dari satu minggu, transfusi berulang, sepsis, distress napas, asfiksia, kecil
masa kehamilan, displasia bronkopulmoner, patent ductus arteriosus, riwayat ROP dalam
keluarga. Bayi dengan usia gestasi 37 minggu atau lebih tidak perlu dilakukan pemeriksaan
skrining ROP.
Waktu yang dianjurkan pemeriksaan skrining ROP.
1. Jika usia gestasi > 30 minggu, diperiksa 2-4 minggu setelah kelahiran.
2. Jika usia gestasi ≤ 30 minggu, diperiksa 4 minggu setelah kelahiran.
3. Setidaknya satu kali pemeriksaan sebelum pulang dari rumah sakit.
Tempat pemeriksaan.
1. Jika di rumah sakit, pemeriksaaan di unit perinatologi sangat dianjurkan. Perlu dilakukan
monitor denyut jantung dan saturasi O2 pada saat pemeriksaaan.
2. Jika di poliklinik, pemeriksaan dilakukan di klinik mata jika keadaan umum bayi stabil.
Apabila memungkinkan, denyut jantung harus dimonitor selama pemeriksaan.
Dokter yang melakukan pemeriksaan.
Dokter spesialis mata yang terlatih dan berpengalaman dalam deteksi ROP.
(Sumber: Sitorus R, Andayani G, Djatikusumo A, Barliana JD, Yulia DE. Pedoman Nasional Skrining dan
Terapi Retinopathy of Prematurity (ROP) pada Bayi Prematur di Indonesia. Jakarta: Persatuan Dokter Spesi-
alis Mata Indonesia; 2011.)

bayi prematur meningkat sekaligus bayi yang memerlukan skrining ROP juga semakin
meningkat.9,10 Pemahaman mengenai ganguan ROP, faktor risiko ROP dan skrining ROP
dapat membantu menurunkan angka kejadian ROP. Faktor risiko yang penting untuk
terjadinya ROP adalah usia gestasi ≤ 34 minggu dan paparan terhadap fraksi oksigen yang
tinggi. Faktor risiko lain adalah distres napas, sepsis, transfusi darah berulang, perdarahan
peri-intraventrikular, enterokolitis nekrotikans (EKN), displasia bronkopulmonal, duktus
arteriosus persisten.7-9,11-14 Pemberian parenteral nutrisi agresif terutama lipid pada bayi
prematur yang belum dapat mulai diberikan minum sebagai faktor pelindung kejadian
ROP.15-17
RSCM mengikuti pedoman nasional untuk skrining ROP. Setiap bayi yang
mempunyai berat lahir ≤ 1500 gr dan usia gestasi ≤ 34 minggu akan diidentifikasi oleh
dokter maupun perawat yang merawat bayi tersebut. Dokter mata akan diberitahu jumlah
bayi yang memerlukan pemeriksaan skrining ROP. Pemeriksaan ROP dilakukan tiap hari
Jumat di RSCM. Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan oftalmoskopi indirek,
pada kasus tertentu mungkin memerlukan pemeriksaan Retcam. Bayi akan diberikan tetes
mata tropikamid 0.5% dan tetes mata fenilefrin 2.5% setiap 15 menit, dimulai sejak 1 jam
sebelum pemeriksaan (atau sampai pupil lebar maksimal).18 Hasil pemeriksaan tersebut
akan dicatat dan dilaporkan. Dalam sepuluh tahun terakhir tidak didapatkan kasus ROP

492 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


untuk bayi prematur yang lahir di RSCM. Terdapat tiga bayi dengan ROP berasal dari
rujukan rumah sakit lain. Di Jakarta banyak dokter mata yang mampu melakukan skrining
ROP tetapi pada saat ada bayi berisiko tinggi yang mengalami ROP dan memerlukan terapi
laser maka akan dirujuk ke RSCM. Tidak adanya kasus ROP untuk bayi prematur yang
lahir di RSCM tersebut mungkin berhubungan dengan protokol RSCM yang tegas dalam
pembatasan penggunaan oksigen dari mulai kamar bersalin. Selain itu juga penerapan
yang ketat dalam upaya pencegahan terjadinya infeksi di NICU, dan dukungan nutrisi
adekuat baik itu enteral maupun parenteral.
Di RSCM setiap bayi yang lahir diterapkan pedoman resusitasi sesuai algoritma
resusitasi neonatus IDAI 2013. Pedoman ini sangat membatasi penggunaan oksigen dari
mulai lahir sampai dengan saat perawatan. Penggunaan fraksi oksigen pada bayi ≥ usia
gestasi 34 minggu dimulai dengan 21 persen, sedangkan untuk bayi < 34 minggu dapat
dimulai dengan 30 persen. Selanjutnya FiO2 dapat ditingkatkan bertahap sesuai dengan
target SpO2 yang ditunjukan oleh monitor SpO2 yang dipasang di lengan kanan (lihat
Tabel 2).
Penggunaan bantuan napas diupayakan non-invasif dengan monitor SpO2 terpasang.
Target SpO2 yang disepakati adalah 88-92%. Selanjutnya bayi risiko tinggi ini akan
mendapat nutrisi parenteral agresif yaitu pemberian asam amino di usia satu jam pertama
kehidupan. Penggunaan lipid diberikan dalam 24 jam pertama kehidupan. Parenteral
nutrisi agresif (terutama lipid) berefek positif terhadap peningkatan kadar IGF-1 dan
IGFBP3. Angka kejadian ROP menurun seiring dengan meningkatnya kadar IGF-1 dan
IGFBP3 pada bayi prematur ≤ 32 minggu.

Tabel 2. Target saturasi pada saat resusistasi nonatus


Usia Target saturasi
1 menit 60-70 %
2 menit 65-85 %
3 menit 70-90 %
4 menit 75-90 %
5 menit 80-90 %
10 menit 85-90 %
(Sumber: Periode Transisi dan Alur Resusitasi. In: Rohsiswatmo R, Rundjan L, editors. Resusitasi neonatus.
Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2015. p. 1-8.)

Pemberian lipid intravena secara dini berhubungan dengan perkembangan retina


yang lebih baik pada bayi prematur sehingga menurunkan insiden ROP.16, 17
Sepsis neonatal merupakan faktor risiko terjadinya ROP. Dalam sepuluh tahun
terakhir dilaporkan infeksi jamur merupakan faktor risiko yang berhubungan dengan ROP,
namun banyak penelitian yang melaporkan bahwa faktor risiko independen terhadap
ROP tidak hanya infeksi jamur tetapi juga infeksi bakteri. Mediator inflamasi sistemik
akibat sepsis dapat merusak berbagai organ termasuk berperan dalam meningkatkan

493
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
morbiditas pada retina bayi prematur.12, 14 Pada penelitian lain juga melaporkan bahwa
jumlah leukosit bayi yang tinggi pada sepuluh hari pertama kelahiran secara signifikan
berhubungan dengan angka kejadian ROP stadium lanjut.13
Pemberian transfusi darah berulang packed red cell dan whole blood termasuk faktor
risiko yang dapat meningkatkan kejadian ROP. Transfusi lebih dari dua kali selama
perawatan secara signifikan berhubungan dengan peningkatan insiden ROP stadium
lanjut.13, 19

Penutup
Langkah pencegahan agar ROP tidak terjadi merupakan hal yang paling penting. Langkah-
langkah tersebut termasuk strategi resusitasi terkait meminimalisasi penggunaan fraksi
oksigen tinggi dimulai dari kamar bersalin sampai ruang perawatan. Langkah lainnya
adalah penggunaan parenteral nutrisi agresif sejak jam pertama kelahiran, protokol yang
sangat ketat terhadap pencegahan infeksi, dan transfusi darah sesuai indikasi. Skrining
ROP sebaiknya dilakukan sesuai pedoman yang ada di Indonesia. Tujuan dari skrining
ROP tersebut adalah mengetahui lebih awal bayi risiko tinggi yang menderita ROP dan
kemungkinan kebutuhan terhadap terapi ROP. Apabila hal tersebut dilakukan dengan
konsisten, diharapkan dapat mengurangi kebutaan pada bayi prematur.

Daftar pustaka
1. WHO. Preterm birth: WHO; 2016 [updated November 2016; cited 2017 09 June 2017].
Available from: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs363/en/.
2. Blencowe H, Cousens S, Oestergaard MZ, Chou D, Moller AB, Narwal R, et al. National,
regional, and worldwide estimates of preterm birth rates in the year 2010 with time trends
since 1990 for selected countries: a systematic analysis and implications. Lancet (London,
England). 2012;379(9832):2162-72.
3. AAP/AHA. Summary AAP/AHA: 2015 Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care of the Neonate. AAP/AHA; 2015. p. 1-2.
4. FOGSI. Neonatal Resuscitation - Golden First Minute Guidelines. FOGSI; 2015. p. 1-9.
5. Periode Transisi dan Alur Resusitasi. In: Rohsiswatmo R, Rundjan L, editors. Resusitasi neo-
natus. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2015. p. 1-8.
6. Reuter S, Messier S, Steven D. The neonatal Golden Hour--intervention to improve quality
of care of the extremely low birth weight infant. South Dakota medicine : the journal of the
South Dakota State Medical Association. 2014;67(10):397-403, 5.
7. Lee J, Dammann O. Perinatal infection, inflammation, and retinopathy of prematurity. Sem-
inars in fetal & neonatal medicine. 2012;17(1):26-9.
8. Rohsiswatmo R. Retinopathy of prematurity: Prevalence and risk factors. 2016. 2016;45(6):-
265.
9. Badriah C, Amir I, Elvioza E, Ifran E. Prevalence and risk factors of retinopathy of prematu-
rity. 2012. 2012;52(3):-93.

494 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


10. Termote J, Schalij-Delfos NE, Brouwers HA, Donders AR, Cats BP. New developments in
neonatology: less severe retinopathy of prematurity? Journal of pediatric ophthalmology and
strabismus. 2000;37(3):142-8.
11. Demir S, Yucel OE, Niyaz L, Karakus G, Ariturk N. Incidence of retinopathy of prematurity
in the middle Black Sea region of Turkey over a 10-year period. Journal of AAPOS : the of-
ficial publication of the American Association for Pediatric Ophthalmology and Strabismus.
2015;19(1):12-5.
12. Tolsma KW, Allred EN, Chen ML, Duker J, Leviton A, Dammann O. Neonatal bacteremia
and retinopathy of prematurity: the ELGAN study. Archives of ophthalmology (Chicago, Ill:
1960). 2011;129(12):1555-63.
13. Bejeh Mir KP, Mohagheghi P, Bejeh Mir AP, Fereshtehnejad SM. New Predictors for Advanced
Retinopathy of Prematurity among Neonates in Tehran/Iran. Iran J Pediatr. 2012;22(3):375-
84.
14. Mittal M, Dhanireddy R, Higgins RD. Candida sepsis and association with retinopathy of
prematurity. Pediatrics. 1998;101(4 Pt 1):654-7.
15. Can E, Bülbül A, Uslu S, Bolat F, Cömert S, Nuhoğlu A. Early Aggressive Parenteral Nu-
trition Induced High Insulin-like growth factor 1 (IGF-1) and insulin-like growth factor
binding protein 3 (IGFBP3) Levels Can Prevent Risk of Retinopathy of Prematurity. Iran J
Pediatr. 2013;23(4):403-10.
16. Salama GSA, Kaabneh MAF, Almasaeed MN, Alquran MIA. Intravenous Lipids for Preterm
Infants: A Review. Clin Med Insights Pediatr. 2015;9:25-36.
17. Vlaardingerbroek H, Veldhorst MA, Spronk S, van den Akker CH, van Goudoever JB. Par-
enteral lipid administration to very-low-birth-weight infants--early introduction of lipids and
use of new lipid emulsions: a systematic review and meta-analysis. The Am J Clin Nutr.
2012;96(2):255-68.
18. Sitorus R, Andayani G, Djatikusumo A, Barliana JD, Yulia DE. Pedoman Nasional Skrining
dan Terapi Retinopathy of Prematurity (ROP) pada Bayi Prematur di Indonesia. Jakarta:
Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia; 2011.
19. Alajbegovic-Halimic J, Zvizdic D, Alimanovic-Halilovic E, Dodik I, Duvnjak S. Risk
Factors for Retinopathy of Prematurity in Premature Born Children. Medical Archives.
2015;69(6):409-13.

495
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
The Developmental Paediatric and Neonatal
Follow-Up
Rini Sekartini
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta

Tujuan:
5. Mengetahui faktor-faktor risiko tinggi pada bayi
6. Luaran dan jangka panjang bayi risiko tinggi
7. Program pemantauan jangka panjang

S
aat ini kemajuan perawatan bayi baru lahir di unit neonatologi sangatlah pesat,
hal tersebut memberi dampak semakin tinggi angka harapan hidup bayi dengan
morbiditas yang menyertainya. Keberhasilan penanganan dan perawatan pada
perawatan di unit neonatologi akan memberikan konsekuensi pada layanan selanjutnya.
Pemantauan tumbuh kembang bayi berisiko tinggi ini akan menjadi salah satu aspek yang
merupakan tantangan tersendiri bagi dunia medis. Oleh karena itu, metode deteksi dini
dan intervensi dini gangguan tumbuh kembang sangat diperlukan dan diawali sejak masa
perawatan di rumah sakit.1
Bayi risiko tinggi merupakan kelompok yang rentan terhadap keterlambatan
pertumbuhan dan perkembangan. Bayi risiko tinggi adalah kelompok bayi yang memiliki
kemungkinan lebih besar untuk mengalami kematian dan kesakitan termasuk gangguan
tumbuh kembang, sehingga diperlukan pemantauan yang ketat dalam tumbuh
kembangnya baik selama perawatan di RS maupun ketika perawatan di rumah
nantinya. Penyebab risiko tinggi pada bayi adalah gangguan pada masa prenatal, saat
kelahiran, dan pasca-natal.2 Prevalens keterlambatan perkembangan pada bayi dengan
masalah perinatal di Indonesia antara 17,1-26%.3
Bayi prematur terutama pada Extremely Low Birth Weight yang bertahan hidup, pada
usia koreksi 18-24 bulan akan mengalami disabilitas kognitif (Bayley Mental Development
Index kurang dari 70) pada 26-40%, palsi serebral pada 12-17%, buta ganda sekitar 1-2%
dan gangguan pendengaran pada 2-9%.1
Masalah perkembangan lainnya yang mungkin akan timbul pada bayi risiko tinggi,
seperti retardasi mental, gangguan pendengaran, gangguan penglihatan seperti retinopati
prematuritas, gangguan perilaku serta gangguan belajar, semakin kecil usia gestasi, makin
besar risiko terjadinya gangguan tumbuh kembang tersebut. Perawatan bayi di ruang
perawatan intensif (neonatal intensive care unit/NICU) pun akan membatasi peluang

496 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


bayi untuk terlibat pada aktivitas yang biasanya dilakukan oleh bayi sehat. Oleh karena
itu dibutuhkan perawatan bayi yang mendukung perkembangan dan dapat memulai
intervensi dini selama masa perawatan.
Fokus utama intervensi dini pada bayi di ruang perawatan adalah untuk menyediakan
lingkungan yang mendukung partisipasi bayi dan keluarganya dalam aktivitas fungsional
yang diharapkan. Aktivitas fungsional bayi adalah partisipasi bayi dalam tugas dan
aktivitas yang meliputi belajar (mengamati) dan procuring, permainan sosial, makan,
dan permainan eksplorasi. Agar dapat melaksanakan aktivitas fungsional tersebut dengan
optimal, diperlukan elemen pendukung, baik dari faktor bayi sendiri maupun lingkungan.4

Bayi risiko tinggi, kategori, dan sumber daya manusia (PKB)


Bayi risiko tinggi dapat memiliki risiko, baik dari faktor biologis, prosedur intervensi yang
dilakukan maupun faktor lingkungan (Tabel 1). Hal ini dapat ditemukan baik pada bayi
kurang bulan, maupun bayi cukup bulan. Ada pula yang membagi kategori bayi risiko
tinggi menjadi 3 kategori terutama berdasarkan berat lahir dan morbiditas yang dijumpai
pada neonatus yaitu bayi risiko tinggi, risiko menengah, dan risiko rendah.5

Risiko Tinggi
•• Berat lahir< 1000 g dan/atau usia gestasi< 28 minggu 

•• Morbiditas mayor seperti chronic lung disease, intraventricular haemorrhage 
(IVH),
dan periventricular leukomalacia 

•• Asfiksia perinatal – Skor Apgar < 3 pada usia 5 menit dan/atau hipoksik 
iskemik
ensefalopati (HIE) 

•• Kondisi yang membutuhkan pembedahan seperti hernia diafragmatika, fistula
trakeoesofagus
•• Kecil masakehamilan (< P3) dan besar masa kehamilan (>P97) 

•• Hipoglikemi dan hipokalsemi yang menetap lama
•• Kejang 

•• Meningitis 

•• Syok yang membutuhkan agen inotropik/vasopresor 

•• BIHA 

•• Neonatus bilirubin ensefalopati 

•• Twin to twin transfusion 

•• Malformasi mayor 

•• Inborn errors of metabolism/ penyakit genetik lainnya 

•• Pemeriksaan neurologi abnormal saat pulang 


497
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Risiko Menengah
•• Berat lahir 1000 – 1500 g atau usia gestasi< 33 minggu 

•• Kembar/triplet 

•• Moderate neonatal HIE 

•• Hipoglikemi, gula darah< 25 m/dL 

•• Sepsis neonatus 

•• Hiperbilirubinemia> 20 mg/dl atau membutuhkan transfusi tukar 

•• IVH derajat 2 

•• Lingkungan rumah suboptimal 


Risiko Rendah
•• Kurang bulan, berat lahir 1500 – 2500 g 

•• HIE derajat I 

•• Hipoglikemi transien 

•• Tersangka sepsis 

•• Ikterus neonatorum yang membutuhkan terapi sinar 

•• IVH derajat I 


Selain itu risiko neurodevelopmental disability (NDD) dapat diprediksi 
berdasarkan


beberapa faktor, baik faktor neonatus, tindakan intervensi yang dilakukan selama
perawatan maupun faktor lingkungan keluarga.6 Tabel 2 memperlihatkan faktor-
faktor risiko tersebut. Risiko ini berkaitan dengan sumber daya manusia yang harus
melakukan pemantauan tumbuh kembang secara berkala. Semakin tinggi risikonya,
akan semakin banyak tenaga ahli kesehatan yang terlibat. Selanjutnya dapat dilihat
dari paparan di bawah ini :

498 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Dampak jangka panjang tumbuh kembang bayi risiko tinggi
Bayi risiko tinggi termasuk bayi prematur yang bertahan hidup, akan memiliki angka
kejadian luaran yang tidak optimal seperti disfungsi sekolah, kesulitan belajar, dan
kemampuan adaptasi sosial. Hal ini termasuk tingkat kecerdasan (IQ) yang rendah sampai
nilai batas, kesulitan belajar, masalah motor halus, visual motor, pencapaian potensi
akademik yang buruk, masalah perilaku dan defisit neuropsikologi.
Namun demikian, banyak juga bayi prematur yang memiliki tumbuh kembang
yang normal, tetapi memiliki masalah kesulitan belajar yang memerlukan intervensi
khusus. Lebih dari 50 % bayi dengan riwayat Extremely Low Birth Weight yang dilakukan
penelitian secara kohort, mengalami tinggal kelas atau memerlukan guru pendamping
khusus terutama pada usia 8 sampai 11 tahun.7,8

499
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Studi metaanalisis9 yang dilakukan pada tahun 1980 dan 2001, didapatkan bahwa
terdapat penurunan skor IQ 10 poin lebih rendah pada bayi dengan berat badan sangat
rendah dibandingkan dengan bayi normal. Hal ini merupakan masalah utama dampak
jangka penjang dibidang pendidikan bagi anak prematur, dan berdampak pula terhadap
kesediaan layanan pendidikan yang spesial. Studi ini juga mendapatkan bahwa terjadi
peningkatan 2,64 kali risiko anak mengalami kejadian Gangguan Pemusatan Perhatian
Hiperaktivitas (GPPH) dan masalah perilaku baik internal maupun eksternal

Dampak gangguan belajar


Gangguan belajar akan meningkat dengan semakin rendahnya berat lahir dan usia gestasi.
Disabilitas belajar nonverbal dapat dijumpai dengan karakteristik masalah visuospatial,
visual motor, nilai aritmatika yang rendah, kemampuan menulis, dan kemampuan sosial.10
Bayi dengan riwayat prematur walaupun tidak memiliki gangguan neurologi yang
nyata, tetap memiliki risiko mengalami gangguan belajar kompleks, seperti kesulitan
menuliskan hasil, aritmatika, reading, spelling, melakukan refleksi secara visuospatial,
visual motor dan kemampuan verbal.11,12 Hal ini menyebabkan nilai yang rendah untuk
mata ajaran membaca, matematika, dan ejaan. Beberapa kasus ditemukan gangguan
motor kasar dan halus karena kondisi palsi terutama pada bayi dengan riwayat Extremely
Low Birth weight.13

Gangguan perilaku dan emosi


Gangguan perilaku pada masa usia sekolah banyak dijumpai pada bayi prematur, baik
berupa hiperaktivitas, inatensi ataupun campuran keduanya. Selain itu anak-anak tersebut
juga memiliki risiko untuk terjadinya ansietas, depresi, masalah sosial dan conduct
disorders.10,14,15
Salah satu studi kohort yang dilakukan di United Kingdom ditemukan anak dengan
riwayat prematur usia gestasi 26 minggu, hanya 20% yang tidak mengalami disabilitas
pada usia 6 tahun. Pada usia tersebut, 41% memiliki tingkat IQ kurang dari 70, 12%
mengalami palsi serebral, 6% memerlukan alat bantu dengar, dan 2% mengalami
kebutaan.11 Pada usia 8 tahun 55% dari populasi bayi prematur (ELBW) yang lahir di
Australia memiliki masalah neurosensori, masalah kognitif, akademik dan perilaku. Dua
puluh persen anak harus mengulang kelas, dan 39% memerlukan guru pendamping.
Masalah kronik yang dijumpai khususnya pada bayi prematur (ELBW) memberikan
dampak pada terbatasnya kemampuan mengurus diri sendiri (activities of daily living),
meningkatkan ketergantungan dengan orang lain, dan kebutuhan pendidikan khusus.
Beberapa keluarga memiliki pengalaman masalah stres terutama saat anak semakin tua,
terutama bila dijumpai masalah kronis kesehatan, masalah perkembangan dan perilaku.
Keluarga atau orangtua yang mengalami stres akan berpengaruh terhadap fungsi psikososial
anak.

500 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Program pemantauan jangka panjang tumbuh kembang dan
perilaku anak.
Bayi risiko tinggi perlu dilakukan penanganan dan pemantauan sejak awal perawatan
bayi, dan selanjutnya akan berintegrasi dengan pelayanan di komunitas. Berbagai model
dikembangan untuk hal ini, meliputi kegiatan surveillance, skrining tumbuh kembang,
dan pelayanan di masyarakat berbasis keluarga dengan program terintegrasi sejak masa
perawatan neonatus di rumah sakit.1
Perawatan bayi prematur di ruang perawatan intensif harus dapat memberikan
kenyamanan dengan mengurangi rangsangan yang tidak diperlukan, mendukung
perkembangan yang positif, dan meminimalisasi efek negatif dari perawatan jangka
panjang, kelahiran yang terlalu dini, dan efek pemisahan dari orangtua. Perawatan jangka
panjang di NICU dapat menyebabkan dampak kurang baik bagi masa depan seorang bayi,
sehingga kita membutuhkan strategi pencegahan efek negatif perawatan jangka panjang.
Developmental care merupakan model perawatan yang meminimalisasi stres
yang ditimbulkan oleh perawatan jangka panjang di NICU. Hal-hal yang tercakup di
dalamnya adalah pengendalian rangsangan eksternal yang berlebihan (vestibular, auditori,
visual, taktil), penerapan sistem satu ruangan (single room) pada ruang perawatan dan
intervensi medis, dan memposisikan bayi seperti posisi dalam rahim.16 The Newborn
and Infant Developmental Care and Assesment Program (NIDCAP) diciptakan untuk
mengkombinasikan keseluruhan komponen dalam sebuah cara yang spesifik untuk
individu yang spesifik, menggunakan sistem pengamatan yang terinci.
Strategi intervensi pada NIDCAP meliputi pengaturan irama sirkadian, posisi bayi,
intervensi taktil dan kinestetik, intervensi pendengaran, dan intervensi visual. Strategi
tersebut dilakukan guna mengubah stresor lingkungan dan perawatan yang berpotensi
mengganggu stabilitas fisiologik, membantu organisasi dan maturasi neurobehavioral
dengan meminimalisasi perilaku yang menimbulkan stres, menghemat energi,
mengedukasi orangtua mengenai cara interpretasi perilaku bayi, dan membantu interaksi
antara orangtua dan bayi serta pengasuh. Program ini harus dilakukan secara konsisten,
dimulai sesegera mungkin sejak di kamar bersalin, dan dilanjutkan pada saat melakukan
prosedur ataupun perawatan rutin. Pelaksanaan NIDCAP ini harus selalu melibatkan
keluarga supaya terdapat ikatan batin antara keluarga dan bayi, serta membiasakan
orangtua merawat anaknya sehingga persiapan pulang berjalan dengan lebih mudah.17
Intervensi dini meliputi positioning, menggendong, pijat bayi, dan pemberian makanan,
dilakukan untuk mencegah keterlambatan atau gangguan perkembangan, dan harus
dimulai sejak di ruang perawatan (NICU).
Perawatan bayi setelah pulang dari rumah sakit, memerlukan kerja sama antar
disiplin ilmu dan dimotori oleh dokter spesialis anak. Adapun jadwal yang dianjurkan
untuk monitoring tumbuh kembang bayi risko tinggi, sebagai berikut (tabel 3)6 :

501
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Pemantauan apa yang perlu dilakukan dapat dilihat pada tabel 4,6,18 sebagai berikut :

Penanganan dan intervensi secara menyeluruh


Permasalahan pemantauan jangka panjang tumbuh kembang dapat meliputi gangguan
fungsi mental, emosional dan perilaku, komunikasi, dan gerak maupun masalah
pertumbuhan. Luasnya dampak yang dihadapi maka penatalaksanaannya memerlukan
kerjasama tim. Masing-masing anggota diharapkan memahami peran dan tanggung
jawabnya dalam penatalaksanaan gangguan tumbuh kembang.19 Masing-masing memiliki
kompetensi dan ruang lingkup dalam pelayanan masalah tumbuh kembang anak. Pusat
layanan tumbuh kembang dapat terdiri dari berbagai ahli dengan kompetensi yang
berbeda (Tabel 5)6
Selain itu peran orangtua dan keluarga sangatlah penting, hal ini bertujuan
membantu anak mencapai potensi untuk mandiri dalam gerak, komunikasi dan aktifitas

502 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


fungsional, mengajarkan dan memberi kesempatan untuk belajar melalui pengalaman
melakukan aktifitas dengan pola yang benar, tetapi tidak untuk menggantikan intervensi
yang diberikan oleh terapis.19

Pelayanan paripurna yang dilakukan untuk bayi risiko tinggi meliputi penilaian
(assesment), skrining pertumbuhan dan perkembangan, penentuan intervensi, dan evaluasi
kemajuan intervensi. Pada awal penilaian dapat dilakukan oleh dokter umum, dokter anak
umum maupun dokter ahli tumbuh kembang. Setelah itu dilakukan penilaian terhadap
pertumbuhan dan perkembangan sesuai usia anak dan menggunakan berbagai perangkat
skrining perkembangan. Pada penentuan intervensi, dapat bekerja sama dengan ahli lain,
seperti dokter ahli rehabilitasi medis beserta para terapis yang berkaitan. Bila dijumpai
morbiditas lain, dapat dilakukan konsultasi dengan ahli lainnya. Bila tidak ada ahli
lainnya, dokter anak dapat melakukan penilaian awal, skrining, dan penentuan intervensi
serta evaluasi kemajuan intervensi yang dilakukan.

Penutup
Peran dokter anak sangatlah penting pada penanganan bayi risiko tinggi seperti pada bayi
prematur. Penanganan sejak awal kehidupan, mulai dari perawatan di ruang neonatologi,
dan pemantauan kesehatan, pertumbuhan dan perkembangan pada masa neonatus dan
selanjutnya sangat penting diperhatikan. Hal ini bertujuan untuk melakukan deteksi dini
adanya masalah atau gangguan pertumbuhan, perkembangan maupun masalah perilaku

503
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
pada anak. Dampak jangka panjang berupa gangguan perilaku, kesulitan belajar, dan
masalah emosi sosial harus dapat dideteksi dan dilakukan intervensi sedini mungkin,
sehingga anak dapat memiliki kualitas hidup yang optimal.

Daftar pustaka
1. Moddemann D, Shea S. The developmental paediatrics and neonatal follow-up. Paediatr
Child Health 2006;11(5):295-9.
2. Purwanti R, Chair I, Soedjatmiko. Penilaian Perkembangan Bayi Risiko Tinggi dan Rendah
pada Usia 3 dan 6 Bulan dengan Instrumen Bayley Scales of Infant and Toddler Develop-
ment Edisi III. Sari Pediatri. 2012;14:24-9.
3. Alam A, Sukadi A, Risan NA, Dhamayanti M. Preterm and low birth weight as risk factors
for infant delayed development. Paediatr Indones. 2008;48:1-4.
4. Bonier C. Evaluation of early stimulation programs for enhancing brain development.
Acta Paediatr. 2008;97:853-8.
5. O’Shea TM, Kuban KC, Allred EN, Paneth N, Pagano M, Dammann O, et al. Neonatal
cranial ultrasound lesions and developmental delays at 2 years of age among extremely
low gestational age children. Pediatrics. 2008;122:e662-9. 

6. Kumar P, Sankar MJ, Sapra S, Agarwal R, Deorari A, Paul V. Follow-up of High Risk Neo-
nates. Diunduh dari www.newbornwhocc.org. Diakses tanggal 15 Juni 2017
7. Pinto-Martin J, Whitaker A, Feldman J, et al. Special education services and school perfor-
mance in a regional cohort of low- birthweight infants at age nine. Paediatr Perinat Epide-
miol 2004;18:120-9.
8. Saigal S, den Ouden L, Wolke D, et al. School-age outcomes in children who were extremely
low birth weight from four international population-based cohorts. Pediatrics 2003;112:943-
50.
9. Bhutta AT, Cleves MA, Casey PH, Cradock MM, Anand KJ. Cognitive and behavior-
al outcomes of school-aged children who were born preterm: A meta-analysis. JAMA
2002;288:728-37. 

10. Aylward GP. Cognitive and neuropsychological outcomes: More than IQ scores. Ment
Retard Dev Disabil Res Rev 2002; 8:234-40. 

11. Anderson P, Doyle LW; Victorian Infant Collaborative Study Group. Neurobehavioral
outcomes of school-age children born extremely low birth weight or very preterm in the
1990s. JAMA 2003; 289:3264-72. 

12. Grunau RE, Whitfield MF, Davis C. Pattern of learning disabilities
in children with ex-
tremely low birth weight and broadly average intelligence. Arch Pediatr Adolesc Med
2002; 156:615-20.

13. American Psychiatric Association: Diagnostic and Statistical Manual of Mental Health
Disorders, 4th edn revised. Washington: American Psychiatric Association, 1994.

14. Botting N, Powls A, Cooke RW, Marlow N. Attention deficit hyperactivity disorders and
other psychiatric outcomes in very low birthweight children at 12 years. J Child Psychol
Psychiatry 1997; 38:931-41.
15. Gray RF, Indurkhya A, McCormick MC. Prevalence, stability, and predictors of clinically
significant behavior problems in low birth weight children at 3, 5, and 8 years of age.
Pediatrics 2004; 114:736-43. 


504 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


16. Als H. A synactive model of neonatal behavioral organization. Phys Occup Ther Pedi-
atr.1986;6:3-55.
17. Westrup B. Newborn individualized developmental care and assessment program(NID-
CAP)-family-centered developmentally supportive care. Early Hum Dev. 2007;83:443-9.
18. American Academy of Pediatrics. Follow-up care of High-risk Infants. Pediatrics 2004;114:
1377-97. 

19. Kementerian Kesehatan RI. Kurikulum dan Modul pendukung Pedoman 
Penanganan Ka-
sus Rujukan Kelainan Tumbuh Kembang Balita, 2013. 


505
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Targeted Blood Pressure in Pediatric
Shock: Considering Flow, Pressure, and
Ventriculoaortic Coupling
Saptadi Yuliarto
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya/RSUD Dr. Saiful Anwar Malang

Abstract
Blood pressure is one of the parameters in shock assessment and monitoring. Moreover, various shock
protocols use normal mean arterial pressure (MAP) as a therapeutic target. Recently, some study
determine optimal blood pressure ​​as a target of shock management in ICU population. Comparing
outcomes between high and low MAP groups, however, the results were inconclusive. There have been no
studies in pediatric patients so the optimal target of blood pressure in this population is still unknown.
Therefore, the basic pathophysiology is very important to solve the problem. The interrelated components
affecting blood circulation are: blood flow, pressure gradient, vascular resistance, blood pressure (MAP),
and ventriculo-arterial (VA) coupling. Blood flow is the quantity of blood passes a given point in a
blood vessel at a given period of time. In the clinical context, blood flow is known as cardiac output. The
amount of blood flow is directly proportional to the pressure gradient and inversely proportional to the
vascular resistance. Whereas, vascular resistance is directly proportional to the vascular length and blood
viscosity, but inversely proportional to the 4th power of vascular radius. The vascular diameter is strongly
influenced by the sympathetic system via vascular tone modulation. In increased sympathetic stimulation,
vasoconstriction causes a significant decrease in vascular diameter so that vascular resistance increases,
resulting in decreased blood flow. The balance between blood flow and vascular tone is called VA coupling,
which can be measured using the ratio of arterial elastance (Ea) to left ventricular elastance (Ees) or
potential energy to kinetic ratio (PKR) ratio. VA uncoupling lead to heart failure and circulation. At the
microcirculation level, MAP affects the tissue perfusion pressure. However, tissue perfusion is also affected
by the blood flow distribution and tissue oxygenation. Therefore, blood pressure (MAP) can not be used
as a single hemodynamic parameter because of the many factors affect each other. Monitoring of blood
flow and pressure at the macro- and microcirculation levels may represent comprehensive hemodynamic
condition.

T
ekanan darah merupakan salah satu parameter penilaian derajat dan pemantauan
syok. Selain itu, berbagai protokol syok menggunakan mean arterial pressure
(MAP) normal sebagai target terapi.1 Saat ini, beberapa peneliti mencari nilai
tekanan darah optimal sebagai target terapi syok pada populasi pasien ICU dewasa.2
Mereka membandingkan luaran antara kelompok MAP tinggi (80-85 mmHg) dan rendah
(65-70 mmHg). Dua uji acak terkontrol menujukkan tidak ada perbedaan mortalitas 28
hari, bahkan efek samping berupa fibrilasi atrium lebih besar pada kelompok MAP tinggi.

506 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Penelitian lain berupa uji silang, menunjukkan terget MAP tinggi berhubungan dengan
peningkatan denyut jantung dan curah jantung, namun tidak berpengaruh pada kadar
laktat.3 Belum ada penelitian serupa pada pasien anak sehingga target optimal tekanan
darah pada populasi ini belum diketahui.
Kajian dasar patofisiologi sangat penting untuk menjawab permasalahan ini.
Komponen yang saling berkaitan dan mempengaruhi sirkulasi darah adalah: aliran
darah (blood flow), beda tekanan (pressure gradient), tahanan vaskular (vascular resistance),
tekanan darah arterial (arterial blood pressure), dan ventriculo-arterial (VA) coupling.4-6
Keseimbangan berbagai komponen tersebut dibutuhkan dalam sirkulasi darah normal,
dan seharusnya menjadi target terapi syok; tidak sekedar mencapai nilai “normal” pada
salah satu komponen. Pada makalah ini akan dibicarakan fisiologi hemodinamik berkaitan
dengan tekanan darah, penelitian-penelitian tentang target tekanan darah, dan terapi syok
dengan mempertimbangkan keseimbangan tekanan darah dengan komponen lain.

Fisiologi Hemodinamik
Fisiologi di Tingkat Makrosirkulasi
Hantaran oksigen (oxygen delivery, DO2) ke jaringan dipengaruhi oleh curah jantung
(cardiac output, CO) dan kandungan oksigen (oxygen content, CaO2). CaO2 terdiri atas:
kadar hemoglobin (Hb), saturasi oksigen arterial (SaO2), dan oksigen terlarut plasma
(tekanan parsial oksigen arterial, PaO2). Curah jantung, yang merupakan perkalian antara
volume sekuncup (stroke volume, SV) dan denyut jantung, berperan 60-70% dalam DO2.
Tekanan darah arterial terdiri atas komponen pulsatil dan tetap (steady). Komponen
pulsatil adalah tekanan darah sistolik dan diastolik, sedangkan komponen steady adalah
tekanan rerata arteri (mean arterial pressure, MAP). Saat ini, MAP dianggap sebagai
driving pressure perfusi jaringan sehingga menjadi target dalam tatalaksana syok; namun
pada beberapa kondisi patologis, nilai MAP ternyata tidak menunjukkan tekanan perfusi
sesungguhnya (overestimated). Contohnya pada kasus peningkatan tekanan ekstravaskular
regional (hipertensi intrakranial, sindrom kompartemen abdominal) atau peningkatan
tekanan sistemik vena (gagal jantung kanan).
Berdasarkan hukum Ohm, aliran darah ke jaringan hanya dapat terjadi bila ada
perbedaan tekanan (pressure gradient) antara dua ujung vaskular. Aliran darah ini
berbanding terbalik dengan tahanan vaskular (rumus 1).4

∆P
F= (rumus 1)
R

F = aliran darah (flow)


∆P = beda tekanan (pressure gradient)
R = tahanan vaskular (resistance)

507
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Dalam konteks klinis, hukum Ohm tersebut menjadi (rumus 2):4,7
MAP - mRAP
CO = (rumus 2)
SVR
MAP = mean arterial pressure
mRAP = mean right arterial pressure sebagai parameter pengganti mean systemic pressure
CO = cardiac output
SVR = systemic vascular resistance

Persamaan di atas menunjukkan bahwa curah jantung atau aliran darah bukan
dipengaruhi oleh nilai MAP itu sendiri, namun oleh beda MAP dan mRAP. Pada kondisi
normal, mRAP dapat diabaikan karena bernilai sekitar 0-5 mmHg; namun pada kondisi
gagal jantung kanan, peningkatan mRAP cukup bermakna dalam mempengaruhi pressure
gradient, sehingga dibutuhkan MAP yang lebih tinggi untuk menjamin aliran darah
optimal.7
Tahanan vaskular sistemik (systemic vascular resistance, SVR) berbanding lurus dengan
panjang vaskular dan viskositas darah, namun berbanding terbalik dengan pangkat 4
radius vaskular. Diameter vaskular sangat dipengaruhi oleh sistem saraf simpatis. Pada
peningkatan stimulasi simpatis, vasokonstriksi menyebabkan penurunan diameter
vaskular secara bermakna sehingga tahanan vaskular meningkat, akibatnya aliran darah
akan menurun.4 Kesesuaian antara aliran darah dan tonus vaskular inilah yang disebut VA
coupling. Parameter ini dapat diukur menggunakan rasio arterial elastance (Ea) terhadap
left ventricular elastance (Ees)6 atau rasio energi potensial terhadap energi kinetik jantung
(potential to kinetik ratio, PKR).5
Ees merupakan gambaran kemampuan sistolik LV, yang merupakan interaksi
antara kinerja kontraktilitas, efisiensi inotropik, dan karakteristik struktural, fungsional,
geometrik LV. Sedangkan Ea adalah total tahanan (afterload) yang harus dihadapi oleh LV,
yang merupakan interaksi kompleks antara komplians, tahanan, dan kekakuan dinding
sistem arteri. VA coupling normal bila Ea/Ees ≤1, yaitu menunjukkan kesesuaian optimal
antara beban kerja ventrikel kiri (LV) dan sistem arterial, saat LV mengeluarkan darah ke
sistem arterial.6
Gangguan VA coupling menyebabkan gagal jantung dan gagal sirkulasi. Sebagai
contoh, pada kasus gagal jantung atau syok kardiogenik, kemampuan ejeksi LV menurun
sehingga volume sekuncup (stroke volume, SV) menurun. Ini akan diikuti oleh stimulasi
simpatis melalui vasokonstriksi arteriol di seluruh tubuh untuk meningkatkan volume
darah di arteri besar sehingga mempertahankan MAP. Pada kondisi terkompensasi, MAP
dapat dipertahankan normal; namun penurunan Ees menyebabkan VA uncoupling (Ea/
Ees >1). Pada kasus ini, MAP normal tidak menunjukkan sirkulasi normal karena Ea
yang relatif lebih tinggi daripada Ees menyebabkan penurunan aliran darah menuju
jaringan. Pada kondisi lanjut, kinerja LV (Ees) semakin menurun karena makin tingginya

508 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


total tahanan di sistem arteri (Ea). Begitu pula, vasokonstriksi arteriol menyebabkan
berkurangnya pressure gradient antara arteri besar dan arteriol sehingga aliran darah
menjadi berkurang.6

Fisiologi di tingkat mikrosirkulasi


Pada tingkat mikrosirkulasi, MAP mempengaruhi tekanan perfusi ke jaringan. Tekanan
pada kapiler sistemik berkisar antara 35 mmHg pada area dekat akhir arteriol sampai 10
mmHg pada area dekat akhir venula, dengan tekanan rerata fungsional di sebagian besar
vascular bed sebesar 17 mmHg. Tekanan ini cukup rendah untuk menyebabkan plasma
keluar melalui dinding kapiler menuju sel atau jaringan.4
Aliran darah sangat dipengaruhi oleh kebutuhan jaringan. Jaringan yang sangat aktif
membutuhkan oksigen dan nutrien 20-30 kali lebih besar dibandingkan pada kondisi
basal. Untuk memenuhinya diperlukan peningkatan aliran darah menuju jaringan;
namun hal ini tidak mungkin dipenuhi hanya dengan meningkatkan curah jantung
karena keterbatasan peningkatan curah jantung 4-7 kali dari kondisi basal. Oleh karena
itu, melalui pengaturan saraf otonom, pembuluh darah lokal (terutama arteriol) dapat
mengatur kalibernya berupa vasodilatasi atau vasokonstriksi. Karena aliran darah sebanding
dengan pangkat 4 radiusnya, peningkatan sedikit saja diameter pembuluh darah dapat
meningkatkan aliran darah dalam jumlah besar. Mekanisme inilah yang menyebabkan
kecukupan nutrien dan oksigen jaringan pada kondisi aktif.4
Selain tekanan perfusi dan aliran darah, ternyata perfusi jaringan dipengaruhi pula
oleh distribusi aliran darah. Pada kasus syok septik, hipovolemik, dan kardiogenik, terjadi
penurunan functional capillary density (FCD). Akibatnya terjadi penurunan jumlah aliran
darah dan peningkatan jarak difusi ke jaringan. Pada syok septik, terjadi pula perubahan
aliran darah berupa aliran yang melambat, terhenti, atau intermitten, sehingga terjadi
heterogenitas aliran. 8-11
Fakta di atas menunjukkan tekanan darah tidak dapat digunakan sebagai parameter
hemodinamik tunggal karena banyaknya faktor yang saling mempengaruhi. Pemantauan
terhadap aliran darah dan tekanan pada tingkat makro- dan mikrosirkulasi dapat
menggambarkan hemodinamik secara holistik.

Target tekanan darah: MAP tinggi atau rendah?


Pada populasi anak, nilai tekanan darah sangat bervariasi tergantung usia, berkaitan dengan
perbedaan volume sekuncup, denyut nadi, dan tahanan vaskular. Saat ini, protokol syok
sepsis anak menetapkan target MAP dengan rumus:
Tekanan perfusi = MAP – CVP = (1,5 x usia) + 55 (rumus 3)
Perlu dicermati bahwa hasil perhitungan ini menunjukkan persentil 50 MAP pada
anak sehat dengan tinggi badan persentil 50 sesuai usia, dengan perkiraan tekanan vena

509
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
sentral (central venous pressure, CVP) sebesar 0 mmHg. Bila CVP >0 mmHg, MAP harus
disesuaikan untuk mendapatkan tekanan perfusi optimal.1
Beberapa penelitian membandingkan luaran pasien antara kelompok MAP tinggi dan
rendah pada pasien ICU dewasa.2 Sayangnya, belum ada penelitian serupa pada populasi
anak sehingga target tekanan darah pada syok anak belum disepakati. Pada penelitian
pasien dewasa (2 uji klinis acak dan 10 uji silang) menunjukkan tidak adanya perbedaan
mortalitas 28 hari antara kelompok MAP tinggi dan rendah, bahkan prevalensi fibrilasi
atrium lebih tinggi pada kelompok MAP tinggi (tabel 1). Curah jantung dan denyut
jantung lebih tinggi pada kelompok MAP tinggi, namun kadar laktat tidak berbeda
(gambar 1). Namun, pada akhir makalahnya, para peneliti tersebut menyatakan masih
kurangnya bukti kuat target MAP pada pasien.2,3

Tabel 1. Perbandingan Luaran antara Kelompok MAP Rendah dan TInggi


Luaran MAP 65-70 mmHg MAP 80-85 mmHg RR (IK 95%) n
Mortalitas 28 hari 34/100 36.6/100 1.08 (0.89 - 1.30) 776
Fibrilasi atrial 2,8/100 6,7/100 2.36 (1.18 - 4.72) 776
Dikutip dengan modifikasi dari D’Aragon F, Belley-Cote EP, Meade MO, et al. Blood pressure targets for
vasopressor therapy: a systematic review. Shock 2015;43:530-9.

Gambar 1. Data dari uji silang.


Dikutip dari D’Aragon F, Belley-Cote EP, Meade MO, et al. Blood pressure targets for vasopressor therapy: a
systematic review. Shock 2015;43:530-9.

510 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Tatalaksana syok komprehensif
Pilihan terapi sesuai gangguan komponen hemodinamik
Karena MAP merupakan perkalian curah jantung (CO) dan tahanan vaskular sistemik
(SVR), MAP normal tidak selalu menunjukkan kondisi hemodinamik normal. Pada syok
dingin (hipodinamik) terkompensasi, penurunan CO akan diikuti oleh peningkatan
SVR untuk mempertahankan MAP (tekanan perfusi). Pada keadaan ini curah jantung
harus tetap diperbaiki melalui pemberian resusitasi cairan atau obat-obatan inotropik dan
vasodilator. MAP juga dapat normal pada syok hangat (hiperdinamik) karena penurunan
SVR diikuti oleh peningkatan CO. Pada kondisi ini, SVR harus ditingkatkan dengan
menggunakan vasopressor.
Pada kondisi dekompensasi, MAP akan menurun; namun harus dianalisis komponen
hemodinamik yang terganggu. Anggapan bahwa vasopressor merupakan satu-satunya
terapi untuk meningkatkan MAP, adalah tidak tepat. Terutama karena 80% fenotipe
syok anak adalah hipodinamik (penurunan kontraktilitas dan curah jantung), dan hanya
20% yang hiperdinamik (penurunan tekanan perfusi akibat vasoplegia).12 Bila pada
kondisi hipodinamik, diberikan vasopressor, akan terjadi gangguan VA coupling, karena
obat tersebut menurunkan diameter vaskular dan meningkatkan SVR, sementara curah
jantung tetap rendah. Akibatnya, terjadi penurunan aliran darah ke jaringan, sekalipun
MAP normal dapat dicapai. Vasopressor hanya digunakan sebagai terapi pada syok
hiperdinamik.
Berdasarkan ulasan di atas, tekanan darah tidak bisa dijadikan parameter tunggal
target terapi syok. Lagipula, tekanan darah merupakan hasil interaksi berbagai komponen
hemodinamik sehingga terapi harus ditargetkan untuk memperbaiki masing-masing
komponen yang terganggu. Dibutuhkan keseimbangan seluruh komponen hemodinamik,
terutama untuk menjamin aliran darah dan perfusi jaringan optimal.

Pemantauan komponen hemodinamik


Secara klinis, target terapi syok tidak sekedar MAP normal, namun harus disertai perbaikan
perfusi jaringan. Perbaikan perfusi menunjukkan tercapainya keseimbangan antara aliran
darah dan tekanan perfusi. Tanda perbaikan perfusi antara lain: nadi perifer menguat,
suhu ekstremitas hangat, CRT <2 detik, perbaikan kesadaran, dan peningkatan diuresis.
Selanjutnya akan diikuti perbaikan denyut nadi menuju nilai normal. Namun, untuk
tujuan penyesuaian terapi, parameter klinis mempunyai kelemahan dalam hal sensitivitas
dan spesifitas. Sebagai contoh, tanda klinis tidak mampu dengan cepat menunjukkan
kondisi refrakter cairan saat resusitasi. Begitu pula, tanda klinis tidak mampu menunjukkan
kecukupan perfusi di tingkat mikrosirkulasi. Oleh karena itu, perlu adanya pemantauan
hemodinamik canggih.

511
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Saat ini, untuk pemantauan curah jantung dapat digunakan alat-alat invasif dan
non-invasif. Kateter arteri pulmonal (teknik termodilusi) masih menjadi standar baku
pemantauan curah jantung. Pemantauan lain secara tranpulmonal (PiCCO, LiDCO)
bersifat less invasive dan memberikan akurasi hasil yang mirip dengan kateter arteri
pulmonal. Ultrasonografi (termasuk ekokardiografi dan USCOM) juga telah digunakan
secara luas dengan memberikan keuntungan berupa: non-invasif, akurasi baik, reliabel,
dan portable.13
Selain pemantauan curah jantung, ultrasonografi mempunyai keunggulan lain,
yaitu dalam pengukuran VA coupling. Ekokardiografi menentukan VA coupling melalui
pengukuran Ees dan Ea,6 sedangkan USCOM mengukurnya melalui ratio energi potensial
terhadap kinetik (PKR).5 Banyak penelitian menunjukkan VA coupling digunakan sebagai
panduan penyesuaian dan target terapi pada kondisi gangguan sirkulasi.
Pemantauan mikrosirkulasi dapat dilakukan dengan berbagai metode. Secara garis
besar, dapat dibagi menjadi metode tidak langsung, metode langsung, dan dinamik.
Metode tidak langsung meliputi pemeriksaan surrogate oksigenasi jaringan seperti saturasi
oksigen mixed vein, kadar CO2 darah dan jaringan, laktat, dan NIRS (near infrared
spectroscopy). Pemeriksaan langsung meliputi laser Doppler dan teknik videomikroskopi
(Orthogonal Polarisation Spectral,OPS; Sidestream Dark-Field, SDF; dan Incident Dark-
Field, IDF). Vascular occlusion tests (VOT) merupakan contoh pemeriksaan dinamik.14

Penutup
Saat ini disepakati target tekanan perfusi pada anak sebesar (1,5 x usia) + 55 mmHg. Namun,
target terapi syok tidak hanya berdasarkan nilai optimal MAP sebagai representasi tekanan
perfusi. Perlu pula diperhatikan kecukupan aliran darah ke jaringan serta keseimbangan
keduanya. Kecukupan aliran darah ditunjukkan oleh nilai curah jantung, densitas kapiler
fungsional (FCD), dan distribusi aliran mikrosirkulasi. Keseimbangan antara aliran darah
dan tahanan ditunjukkan oleh parameter VA coupling. Oleh karena itu, terapi cairan,
inotropik, vasodilator, dan vasopressor harus memperhatikan dasar patofisiologi dan
kondisi klinis pasien, serta menargetkan keseimbangan seluruh komponen hemodinamik.

Daftar pustaka
1. Davis AL, Carcillo JA, Aneja RK, Deymann AJ, Lin JC, Nguyen TC, et al. American college
of critical care medicine clinical practice parameters for hemodynamic support of pediatric
and neonatal septic shock. Crit Care Med. 2017;45:1061-93.
2. Asfar P, Meziani F, Hamel J-Fo, Grelon F, Megarbane B, Anguel N, et al. High versus low
blood-pressure target in patients with septic shock. N Engl J Med. 2014;370:1583-93.
3. D’Aragon F, Belley-Cote EP, Meade MO, Lauzier F, Adhikari NK, Briel M, et al. Blood pres-
sure targets for vasopressor therapy: a systematic review. Shock. 2015;43:530-9.
4. Guyton AC, Hall JE. Textbook of Medical Physiology. 11 ed. Philadelphia, Pennsylvania:
Elsevier Saunders; 2006.

512 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


5. Smith BE, Madigan1 VM. Non-invasive method for rapid bedside estimation of inotropy:
theory and preliminary clinical validation. Br J Anaesth. 2013;111:580-8.
6. Guarracino F, Baldassarri R, Pinsky MR. Ventriculo-arterial decoupling in acutely altered
hemodynamic states. Crit Care. 2013;17:213.
7. Lamia B, Chemla D, Richard C, Teboul J-L. Clinical review: Interpretation of arterial pres-
sure wave in shock states. Crit Care. 2005;9:601-6.
8. Donati A, Domizi R, Damiani E, Adrario E, Pelaia P, Ince C. From macrohemodynamic to
the microcirculation. Crit Care Res Pract. 2013;2013:892710.
9. Backer DD, Donadello K, Sakr Y, Ospina-Tascon G, Salgado D, Scolletta S, et al. Microcir-
culatory alterations in patients with severe sepsis: impact of time of assessment and relation-
ship with outcome. Crit Care Med. 2013;41:791-9.
10. Backer DD, Donadello K, Taccone FS, Ospina-Tascon G, Vincent DSJ-L. Microcircula-
tory alterations: potential mechanisms and implications for therapy. Ann Intensive Care.
2011;1:27.
11. Sakr Y, Dubois M-J, Backer DD, Creteur J, Vincent J-L. Persistent microcirculatory alter-
ations are associated with organ failure and death in patients with septic shock. Crit Care
Med. 2004;32:1825-31.
12. Ceneviva G, Paschall JA, Maffei F, Carcillo JA. Hemodynamic support in fluid-refractory
pediatric septic shock. Pediatrics. 1998;102:e19.
13. 13. Vincent J-L, Rhodes A, Perel A, Martin GS, Della Rocca G, Vallet B, et al. Clinical re-
view: Update on hemodynamic monitoring - a consensus of 16. Crit Care. 2011;15:229.
14. 14. Charlton M, Sims M, Coats T, Thompson JP. The microcirculation and its measurement
in sepsis. J Intensive Care Soc. 2016;0:1-7.

513
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Pemberian Minum pada Bayi Prematur Kecil
Masa Kehamilan
Setya Wandita
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

N
utrisi merupakan salah satu hal yang penting pada manajemen bayi baru lahir.
Sudah lama diketahui bahwa nutrisi berperan pada kesintasan dan tumbuh
kembang jangka panjang pada masa anak dan dewasa.1 Pada bayi prematur,
tujuan pemberian nutrisi adalah bayi tumbuh seperti pertumbuhan dalam rahim,
komposisi tubuh dan fungsi hormonal yang sama dengan bayi cukup bulan.2
Manajemen nutrisi pada bayi prematur yang tidak memadai dapat menyebabkan
gangguan pertumbuhan ekstrauteri, di mana hal ini kejadiannya sekitar 50%. Gangguan
ini selanjutnya akan mempengaruhi tumbuh kembang. Manajemen nutrisi yang adekuat
diharapkan dapat mengatasi masalah ini. Sebagian besar asupan nutrisi pada bayi prematur
tidak memenuhi kebutuhan yang direkomendasikan.2
Pertumbuhan yang paling baik adalah dengan nutrisi enteral. Namun nutrisi enteral
ini sering terganggu dengan adanya penyulit-penyulit yang timbul seperti enterokolitis
nekrotikans (EKN), sepsis neonatorum, gangguan hemodinamik, penyakit paru kronik,
gangguan saluran cerna.2

Bayi kecil masa kehamilan


Terminologi kecil masa kehamilan (KMK) digunakan untuk menggambarkan bayi
baru lahir yang berat lahir dan/atau panjang badan (crown-heel) lebih rendah daripada
yang diharapkan berdasarkan standar pertumbuhan menurut umur kehamilan dan jenis
kelamin. Umumnya istilah KMK digunakan bila pertumbuhannya <2 standar deviasi
(SD) di bawah rerata pertumbuhan intrauteri atau 2,3 persentil berdasarkan standar yang
dipakai berdasarkan populasi.3-5
Istilah intrauterine growth restriction (IUGR) digunakan untuk janin yang dalam
2 kali atau lebih pengukuran, pertumbuhannya melambat atau tidak mengikuti kurva
pertumbuhan janin. Istilah KMK dan IUGR tidak sinonim. Bayi IUGR belum tentu
KMK dan bayi KMK belum tentu IUGR. Bayi IUGR bisa sesuai masa kehamilan (SMK)
atau KMK. Hal ini terjadi pada 38-80% bayi berat lahir rendah (BBLR).4,5
Banyak faktor yang menyebabkan bayi menjadi KMK, yaitu faktor ibu, janin,
plasenta.4 Etiologi yang paling sering adalah insufisiensi plasenta sehingga terjadi gangguan

514 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


pertumbuhan janin. Secara patofisiologis, bayi KMK mengalami hipoksia kronik,
utamanya pada trimester ketiga. Ketidaksesuaian antara kebutuhan nutrisi dan oksigen
oleh janin dengan suplai dari plasenta menyebabkan gangguan pertumbuhan janin.4,5
Pertumbuhan dan fungsi organ-organ pada bayi KMK dapat mengalami gangguan akibat
hal ini, termasuk organ saluran cerna. Usus bayi KMK berkurang berat, panjang, dan
ketebalan dindingnya.5 Kondisi saluran cerna ini mengganggu pemberian nutrisi enteral.
Bayi KMK lebih tinggi risiko mortalitas dan morbiditasnya.5 Mortalitas bayi KMK
5-6 kali lebih tinggi daripada bayi SMK.4 Dibandingkan dengan bayi SMK, bayi KMK
lebih berrisiko terjadi morbiditas seperti hipotermia, asfiksia, hipertensi pulmonal,
hipoglikemia, polisitemia, sepsis neonatorum, perdarahan intraventrikular, sindrom
distres respirasi, EKN, penyakit paru kronik.4,6 Morbiditas-morbiditas ini mempersulit
pemberian nutrisi enteral pada bayi KMK.4

Pemberian minum pada bayi kecil masa kehamilan


Pemberian nutrisi pada bayi KMK diutamakan secara enteral. Hal ini untuk menghindari
komplikasi yang berhubungan dengan pemberian nutrisi parenteral. Pemberian nutrisi
parenteral berrisiko terjadi komplikasi yang berhubungan dengan kateter, metabolisme,
infeksi, dan pemuasaan yang lebih lama. Nutrisi parenteral pada awal kehidupan tetap
diperlukan, namun harus sesegera mungkin dihentikan dengan meningkatkan nutrisi
enteral. Oleh karena itu peningkatan nutrisi enteral merupakan hal yang penting. Pada
bayi berat lahir sangat rendah (BBLSR) minum penuh diharapkan tercapai dalam 1
minggu, sedang pada bayi berat lahir ekstrim rendah (BBLER) dalam 2 minggu.7,8
Pemberian nutrisi enteral pada bayi KMK merupakan tantangan tersendiri. Pada
waktu sekarang belum ada panduan yang betul-betul baku mengenai hal ini. Pada
prakteknya, banyak sekali variasi yang lebar pemberian nutrisi pada bayi KMK.5
Salah satu hal yang paling dikhawatirkan dalam pemberian nutrisi enteral adalah
terjadinya EKN. Pada tahun 1990 Lancet mempublikasikan artikel tentang hubungan
EKN dengan nutrisi enteral. Pada publikasi ini disebutkan bahwa banyak bayi prematur
yang mengalami EKN pada pemberian minum enteral dengan susu formula. Sejak saat
itu banyak dilakukan penelitian terkait dengan kejadian EKN ini. Manajemen nutrisi
pada bayi prematur banyak mengalami perbaikan.8 Publikasi pemberian minum pada bayi
prematur kebanyakan adalah dengan subjek bayi SMK, jarang penelitian yang fokus pada
bayi KMK.

Jenis minuman
Dini versus ditunda (Early vs Delayed)
Pemberian minum dini mempunyai keuntungan karena meningkatkan adaptasi fungsional
saluran cerna dengan mensekresi hormon dan motilitas gastrointestinal. Juga menurunkan
kebutuhan nutrisi parenteral dan komplikasinya.7 Pemberian minum pada bayi prematur

515
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
dihubungkan dengan kekhawatiran terjadinya EKN.8 Namun, bukti-bukti menunjukkan
bahwa pemberian minum dini tidak berhubungan dengan EKN. Pemberian minum dini
pada bayi KMK tidak meningkatkan risiko terjadinya EKN (RR 0.89; IK-95%: 0,58-
1,37). Sebaliknya, penundaan pemberian minum tidak menurunkan risiko terjadinya
EKN.5 Asfiksia, distres respirasi, sepsis, hipotensi, gangguan glukosa, ventilasi, dan kateter
umbilikal bukan merupakan kontraindikasi pemberian minum.7
Pada satu reviu sistematik Cochrane didapatkan bahwa penundaan pemberian
minum progresif tidak menurunkan kejadian EKN pada bayi KMK (RR 0,87; IK-95%:
0,54-1,41).(10) Kematian pada bayi KMK ini juga tidak berbeda dengan memberikan
minum progresif dini (RR: 1,06; IK-95%: 0,55-2,05)10, begitu pula dengan intoleransi
minum tidak berbeda (RR: 0,84; IK-95%: 0,62-1,15), dan menunda pemberian minum
lama rawat lebih panjang (mean difference (MD): 2,11 (0,31-3,90)).10
Penelitian lain yang membandingkan pemberian minum dini (<48 jam) dibandingkan
dengan yang lambat (>72 jam) didapatkan bahwa pencapaian berat lahir (weight gain)
lebih cepat pada bayi yang diberi minum <48 jam (13.75±5.21 vs 20.53±6.3; p<0.001)
dan pemberian nutrisi parenteral lebih pendek (9.26±4.572 hari vs 14.11±6.415 hari,
p<0.001), serta lama rawat lebih pendek pula (12.14±8.612 vs 21.11±1.156, p<0.001).
Kejadian sepsis (p: 0,73) dan EKN tidak berbeda. Subjek pada penelitian ini tidak
disebutkan apakah bayi KMK atau SMK.11 Manfaat lain pemberian nutrisi awal adalah
penurunan kadar bilirubin lebih cepat dan foto terapi lebih pendek (6.8 vs 9.5 hari),
kolestasis lebih rendah (6,7% vs 33%), kadar puncak bilirubin direk lebih rendah (0,7 vs
2,5 mg/dL), osteopenia lebih rendah (kalsium 1,3 vs 0,8 gram).12

Trophic Feeding
Trophic feeding (TF) atau nutrisi enteral minimal diberikan pada bayi kecil (BBLSR) pada
awal setelah lahir. Memuasakan bayi KMK adalah merugikan. Memuasakan bayi akan
menyebabkan dismotilitas usus sehingga terjadi intoleransi minum.5 TF didefinisikan
sebagai pemberian minum minimal (10-15 mL/kg/hari). Pemberian TF dianjurkan
dalam 24 jam pertama setelah lahir.7 Tujuan TF adalah mengakselerasi fisiologi (endokrin,
metabolik) saluran cerna sehingga transisi dari nutrisi parenteral ke enteral lebih
cepat. Namun TF dikhawatirkan meningkatkan risiko terjadinya EKN. Volume yang
diberikan antara 12-24 mL/kg/hari dimulai pada beberapa hari pertama setelah lahir
tanpa peningkatan volume selama minggu pertama kehidupan.13 Pemberian TF awal
dibandingkan dengan memuasakan tidak meningkatkan kejadian EKN (RR: 1,07; IK-
95%: 0,67-1,70), kematian (RR: 0,66; IK-95%: 0,41-1,07). Juga tidak ada perbedaan
dalam kembali ke berat lahir (MD: -0,01; IK-95%: -0,96-0,95) pencapaian minum
penuh (MD: -1,05; IK-95%: -2,61-0,51), kejadian infeksi (RR: 1,06; IK-95%: 0,72-
1,56), lama rawat inap (MD: -3,85; IK-95%: -11,54-3,84). Namun subjek pada reviu ini
tidak disebutkan apakah bayi KMK.13

516 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Peningkatan pemberian minum
Peningkatan pemberian minum
Peningkatan pemberian minum harus dilakukan agar tercapai minum penuh pada
bayi prematur. Minum penuh adalah 150-180 mL/kg/hari. Target ini dicapai dalam 1
minggu pada BBLSR dan 2 minggu pada BBLER. Peningkatan pemberian minum pada
bayi prematur dihubungkan dengan EKN, di mana peningkatan minum yang cepat
meningkatkan risiko terjadinya EKN. Namun peningkatan yang lambat memperlama
tercapainya minum penuh dan lebih lama pemberian nutrisi parenteral dengan
segala risikonya, yang juga berkonsekuensi terhadap kesintasan, pertumbuhan dan
perkembangan.7
Penelitian-penelitian menunjukkan bahwa luaran peningkatan yang cepat
dibandingkan lambat waktu tercapainya minum penuh lebih pendek, tercapainya berat
lahir lebih cepat, lama rawat lebih pendek, dan tidak meningkatkan risiko terjadinya
EKN, baik pada bayi yang diberi ASI maupun susu formula. Suatu meta analisis yang
melibatkan 496 bayi BBLSR SMK menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan peningkatan
minum cepat (30-35 mL/kg/hari) versus lambat (15-20 mL/kg/hari) (RR: 0,91 IK-95%:
0,47-1,75). Tercapainya minum penuh pada peningkatan minum yang cepat tercapai 2-5
hari lebih awal daripada yang lambat. Namun hal ini harus hati-hati pada KMK karena
subjek pada meta analisis ini adalah SMK.5 Pada penelitian lain yang subjeknya lebih dari
95% KMK didapatkan bahwa pencapaian minum penuh lebih awal 4,8 hari pada yang
peningkatan cepat daripada lambat (10 vs 14,8 hari), dan hanya ada 2 kasus EKN pada
kelompok yang cepat yang tidak berbeda dengan yang lambat. Pencapaian berat lahir
lebih awal pada yang cepat (18 vs 23 hari).14 Pada waktu sekarang belum ada penelitian
yang subjeknya KMK yang membandingkan peningkatan pemberian minum cepat vs
lambat.5
Satu reviu sistematik Cochrane didapatkan bahwa peningkatan cepat (30-40 mL/kg/
hari) dibandingkan lambat (10-24 mL/kg/hari) tidak ada perbedaan dalam hal terjadinya
EKN (RR: 0,34; IK-95%: 0,06-2,04) pada bayi KMK.15 Pada keseluruhan subjek,
kematian lebih tinggi pada yang peningkatan cepat (RR: 2,13; IK-95%: 1,02-4,47) dan
meningkatkan risiko infeksi invasif (RR: 1,46; IK-95%: 1,03-2,06), namun tidak ada
perbedaan intoleransi minum (RR 1,20; IK-95%: 0,95-1,50).15

Cara pemberian minum


Pada BBLSR, karena kurangnya koordinasi antara mengisap, menelan dan napas
diperlukan pemberian minum lewat sonde. Alternatif pemberian minum dengan sonde
ini adalah secara intermiten bolus atau kontinyu. Pemberian secara intermiten bolus
berdasarkan gravitasi, biasanya selama 10-20 menit. Pemberian secara kontinyu pertama
diperkenalkan pada tahun 1972 oleh Valman. Masing-masing mode ini ada kelebihan dan
kekurangannya. Keuntungan Pemberian minum secara kontinyu adalah meningkatkan

517
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
absorbsi, pengeluaran energi lebih rendah, menurunkan intoleransi minum, dan
meningkatkan pertumbuhan.16 Namun pemberian secara kontinyu dapat mempengaruhi
pola pelepasan siklik hormon yang dapat mempengaruhi homeostasis dan pertumbuhan.
Sedangkan bolus lebih fisiologis, di mana pengeluaran hormon terjadi secara siklik seperti
bayi sehat, hal ini diperlukan untuk pertumbuhan saluran cerna.5,16
Pemberian minum secara bolus dan intermiten sudah lama diperdebatkan. Sebagian
penelitian menyatakan bahwa pemberian minum secara bolus lebih baik dalam hal
pertumbuhan dan tercapainya minum penuh, sedangkan penelitian-penelitian lain
menghasilkan hal yang sebaliknya. Satu reviu sistematik Cochrane didapatkan bahwa
pemberian minum secara kontinyu dibandingkan bolus tidak ada perbedaan pertumbuhan
(berat, kembali ke berat lahir, pertambahan berat badan, panjang badan, lingkar kepala,
lipatan kulit), lama rawat inap (MD: -1,94; -8,26-4,38), kejadian EKN (RR: 1,53; IK-
95%: 0,40-5,89), apnea (MD: 14; -0,20-28,20).16
Pemberian minum secara intermiten dapat dibagi menjadi 2 yaitu didorong atau
berdasarkan gravitasi. Pemberian secara didorong yaitu dengan pemberian lewat sonde
ke lambung dan dilakukan pemberian tekanan untuk memasukkan minuman ke dalam
lambung. Sedangkan gravitasi adalah minuman dibiarkan masuk berdasarkan gravitasi,
kontrol masuknya minuman berdasarkan tingginya siring, di mana semakin tinggi siring
semakin cepat minuman masuk ke dalam lambung.17
Pada pemberian minum dengan gravitasi, peristaltik usus dan lambung tergantung
adanya cairan di lambung. Pemberian minum dengan gravitasi merangsang respons
fisiologis peristaltik. Pemberian dengan didorong akan memasukkan cairan terlalu cepat
ke dalam lambung, dan dapat terjadi refluks gastroesofageal. Pemberian terlalu cepat
merangsang stimulasi vagal yang menyebabkan bradikardia dan apnea terutama pada
BBLSR. Pemberian secara gravitasi dapat dikontrol kecepatannya namun susu yang
masuk mungkin belum dicerna pada pemberian minum berikutnya bila pemberiannya
lambat.17 Pada prakteknya pemberian minum apakah secara gravitasi atau didorong
sangat bervariasi.17 Pada waktu sekarang, praktek cara pemberian minum ini lebih pada
asesmen pribadi daripada praktek berbasis bukti.5 Reviu Cochrane pada BKB dan BBLR
didapatkan bahwa tidak ada perbedaan pada frekuensi napas (MD 3,10; -3,43-9.63),
denyut jantung (MD -2,60; -9,71-4,51). Subjek pada reviu ini adalah bayi SMK. Tidak
disimpulkan untuk luaran yang lain.17 Pada waktu sekarang belum ada penelitian yang
membandingkan cara pemberian minum pada KMK.
Pemberian minum lewat sonde dapat dilakukan dengan nasogastric tube (NGT) atau
orogastric tube (OGT). NGT meningkatkan tahanan jalan napas 30-50%, apnea sentral.(8)
Satu reviu sistematik Cochrane didapatkan bahwa tidak ada perbedaan antara OGT dan
NGT dalam hal pencapaian minum penuh (MD -2,7; -11,95-6,54), kembali ke berat lahir
(MD: 0,90; IK-95%: -1,27-3,07), perlu tambahan oksigen (MD 7,60; IK-95%: -15,17-
30,37).(18) Frekuensi pemberian minum pada bayi KMK tiap 2 jam atau 3 jam. Namun
sampai waktu sekarang belum cukup bukti mana yang lebih baik pada kedua frekuensi ini.7

518 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Pemberian minum pada bayi dengan alat bantu napas
Bayi prematur sering mengalami gangguan napas yang memerlukan alat bantu continuous
positive airway pressure (CPAP) atau ventilator mekanik. Pertanyaannya adalah apakah pada
bayi-bayi ini dapat tetap diberi minum? CPAP atau ventilator mekanik dengan intubasi
bukan kontraindikasi pemberian minum enteral. Ventilasi mekanik tidak meningkatkan
refluks gastroesofageal. Pada bayi dengan CPAP nasal dapat terjadi distensi abdomen
karena masuknya udara ke dalam saluran cerna. Namun hal ini tidak mengganggu
pemberian minum enteral dan tidak ada hubungannya dengan EKN.8

Intoleransi minum
Intoleransi minum tanda-tandanya adalah adanya residu lambung, emesis, dan distensi
abdomen. Residu lambung merupakan banyak digunakan sebagai petanda intoleransi
minum dan tanda awal EKN.5 Aspirasi lambung untuk mengevaluasi residu lambung dapat
menunda pemberian minum berikutnya dan merusak mukosa lambung.8 Peningkatan
lingkar perut <1,5 cm adalah normal, dan tanpa adanya tanda lain tidak mengindikasikan
adanya penyakit.8 Pada waktu sekarang sulit untuk menentukan batas residu lambung
di mana pemberian minum harus dihentikan. Residu 2 mL pada bayi ≤750 gram dan
sampai 3 mL pada bayi750 to 1000 gram adalah masih dalam batas normal. Penelitian
lain menyatakan bahwa residu lambung >3.5 mL atau 33% pada satu kali pemberian
minum berhubungan dengan risiko yang lebih tinggi EKN, dan residu lambung <1,5
mL atau 25% adalah normal. Residu lambung berdarah berisiko tinggi EKN. Sedangkan
residu bilous bukan faktor risiko EKN.5 Oleh karena itu pengecekan residu lambung dan
lingkar perut secara rutin tidak dianjurkan.8

Penutup
Bukti ilmiah pemberian minum pada KMK terbatas. Bukti-bukti ilmiah yang ada sampai
sekarang tidak fokus pada bayi KMK. Penelitian lebih lanjut diperlukan pada KMK agar
didapatkan bukti ilmiah yang kuat mengenai pemberian minum pada bayi KMK, mengenai
waktu pemberian minum enteral, kecepatan pemberian minum. Sampai sekarang tidak
ada bukti ilmiah untuk menunda atau penambahan lambat peningkatan pemberian
minum. Bayi KMK secara nutrisional adalah keadaan emergensi yang berdampak tidak
baik pada jangka pendek dan panjang bila tidak dikelola dengan baik.5

Daftar pustaka
1. Lucas A, Bloom SR, Aynsley-Green A. Metabolic and Endocrine Consequences of Depriving
Preterm Infants of Enteral Nutrition. Acta Pædiatrica. 1983 Mar 1;72(2):245–9.
2. van Goudoever JB, de Waard M, Kouwenhoven SM. Chapter 16 - Programming Long-Term
Health: Nutritional and Dietary Needs in Infant Prematurity. In: Saavedra JM, Dattilo AM,
editors. Early Nutrition and Long-Term Health. Woodhead Publishing; 2017. p. 413–25.

519
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
3. Lee PA, Chernausek SD, Hokken-Koelega ACS, Czernichow P. International Small for Ges-
tational Age Advisory Board Consensus Development Conference Statement: Management
of Short Children Born Small for Gestational Age, April 24–October 1, 2001. Pediatrics.
2003 Jun 1;111(6):1253–61.
4. Gleason CA, Devaskar SU, Avery ME, editors. Avery’s diseases of the newborn /: [edited
by] Christine A. Gleason, Sherin U. Devaskar. 9th ed. Philadelphia, PA: Elsevier/Saunders;
2012. 1498 p.
5. Barone G, Maggio L, Saracino A, Perri A, Romagnoli C, Zecca E. How to feed small for
gestational age newborns. Ital J Pediatr. 2013 May 10;39:28.
6. Gardosi J. New Definition of Small for Gestational Age Based on Fetal Growth Potential.
Horm Res Paediatr. 2006 Apr 10;65(3):15–8.
7. Dutta S, Singh B, Chessell L, Wilson J, Janes M, McDonald K, et al. Guidelines for Feeding
Very Low Birth Weight Infants. Nutrients. 2015 Jan 8;7(1):423–42.
8. Kumar RK, Singhal A, Vaidya U, Banerjee S, Anwar F, Rao S. Optimizing Nutrition in
Preterm Low Birth Weight Infants—Consensus Summary. Front Nutr. 2017;4.
9. Battersby C, Longford N, Mandalia S, Costeloe K, Modi N, others. Incidence and enter-
al feed antecedents of severe neonatal necrotising enterocolitis across neonatal networks in
England, 2012–13: a whole-population surveillance study. Lancet Gastroenterol Hepatol.
2017;2(1):43–51.
10. Morgan J, Young L, McGuire W. Delayed introduction of progressive enteral feeds to prevent
necrotising enterocolitis in very low birth weight infants. Cochrane Database of Systematic
Reviews. 2014. Issue 12. Art. No.: CD001970.
11. Sallakh-Niknezhad A, Bashar-Hashemi F, Satarzadeh N, Ghojazadeh M, Sahnazarli G. Early
versus Late Trophic Feeding in Very Low Birth Weight Preterm Infants. Iran J Pediatr. 2012
Jun;22(2):171–6.
12. Dunn L, Hulman S, Weiner J, Kliegman R. Beneficial effects of early hypocaloric enteral
feeding on neonatal gastrointesting function: Preliminary report of a randomized trial. J
Pediatr. 1988 Apr 1;112(4):622–9.
13. Morgan J, Bombell S, McGuire W. Early trophic feeding versus enteral fasting for very
preterm or very low birth weight infants. Cochrane Database of Systematic Reviews. 2013.
Issue 3. Art. No.: CD000504.
14. Salhotra A, Ramji S. Slow versus fast enteral feed advancements in very low birth weight
infants: a randomized controlled trial. Indian Pediatr. 2004;41(5):435–442.
15. Morgan J, Young L, McGuire W. Slow advancement of enteral feed volumes to prevent
necrotising enterocolitis in very low birth weight infants. Cochrane Database of Systematic
Reviews. 2015. Issue 10. Art. No.: CD001241.
16. Premji SS, Chessell L. Continuous nasogastric milk feeding versus intermittent bolus milk
feeding for premature infants less than 1500 grams. Cochrane Database Systematic Review.
2011. Issue 9. Art. No.: CD001819.
17. Dawson JA, Summan R, Badawi N, Foster JP. Push versus gravity for intermittent bolus
gavage tube feeding of premature and low birth weight infants. Cochrane Database of Sys-
tematic Reviews. 2012. Issue 11. Art. No.: CD005249.
18. Watson J, McGuire W. Nasal versus oral route for placing feeding tubes in preterm or low
birth weight infants. Cochrane Database of Systematic Reviews. 2013. Issue 2. Art. No.:
CD003952.

520 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Early Detection of Congenital Heart Disease by
Fetal Echocardiography: It is the Time for our
Country for the Routine Screening?
Sri Endah Rahayuningsih
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran/RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung

Abstract
CHDs are one of the most common forms of congenital anomalies found in humans. Early detection of
CHDs in prenatal period by foetal echocardiography is of paramount importance in management of such
cases. Prental diagnosis helps family in making a decision regarding the outcome of pregnancy including
termination. Prenatal diagnosis of CHDs also decreases mortality and morbidity by smooth transition
between pre- and post-natal states by providing the appropriate medical care immediately after birth.
Studies have shown that prenatal diagnosis improves neonatal survival after surgical repair compared to
post-natal diagnosis

P
enyakit jantung bawaan (PJB) masih menjadi masalah di negara maju maupun
negara berkembang. Diperkirakan prevalens PJB adalah 8 sampai 10 dalam 1.000
kehamilan. Prevalens ini tidak banyak berbeda antara satu negara dengan negara
lain. PJB menyebabkan kematian perinatal sekitar 40%, lebih dari 20% kematian terjadi
pada bulan pertama kehidupan. PJB berkontribusi pada beban ekonomi sistem perawatan
kesehatan. Fetal echocardiography merupakan salah satu alat untuk mendeteksi PJB semasa
janin masih berada di kandungan ibu. Fetal echocardiography diharapkan dapat membantu
keluarga dalam mengambil keputusan mengenai melanjutkan atau menghentikan
kehamilan, mempersiapkan biaya pengobatan dan mempersiapkan keluarga memilih
tempat untuk melahirkan. 1-4
Di negara maju fetal echocardiography ini sebagian besar dilakukan pada kehamilan
berisiko tinggi. Tetapi di negara berkembang perannya sebagai alat skrining rutin prenatal
rutin masih kontroversi. Beberapa laporan menunjukkan bahwa fetal echocardiography
yang dilakukan hanya berdasarkan indikasi ternyata dapat menyebabkan sejumlah besar
PJB tidak terdeteksi yang akan berakibat penanganan bayi baru lahir yang tidak tepat
sehingga menyebabkan peningkatan angka kematian neonatal dini. Bila dilakukan pada
semua janin tanpa melihat indikasi akan menghabiskan waktu dan biaya yang besar. 1-4

521
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Ketepatan diagnosis fetal echocardiography
Ketepatan diagnosis fetal echocardiography sangat tergantung dengan individu yang
melakukan juga alat atau mesin ekokardiografi. Mengingat spektrum dan kompleksitas
anatomi patologi jantung pada janin, fetal echocardiography seharusnya dilakukan dan
diinterpreatsi oleh orang yang telah memiliki pelatihan formal atau pengalaman dalam fetal
echocardiography. Untuk melakukan evaluasi ekokardiografi janin yang terinci diperlukan
pengetahuan tentang anatomi dan fungsi jantung. 1-4 Skrining awal dapat dilakukan oleh
dokter yang telah menjalani pelatihan dasar, sedangkan penilaian selanjutnya dilakukan
oleh pediatric cardiology yang sudah terlatih dan berpengalaman, dokter spesialis kebidanan
atau dokter radiologi yang telah mempunyai pengetahuan dan ketrampilan yang dapat
direkomendasikan melakukan ekokardiografi janin.1-4

Gambar 1. Potongan transfersal


1. Pandangan 4 ruang terlihat
1. Left arterial out flow tracts

2. Right arterial out flow tracts
4. Three-vessel trachea view
Ao =aorta; Asc Ao = ascending aorta; LA =left atrium; LV =left ventricle; PA=pulmonary artery; RA =right
atrium; RV= right ventricle; SVC= superior vena cava; Tra= trachea
Dikutip dari 4

522 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Struktur jantung kecil, denyut jantung janin yang cepat, kedalaman pencitraan yang
substansial melalui perut hamil, dan kondisi pencitraan suboptimal, termasuk window
yang terbatas, ibu obesitas, dan posisi janin yang berubah-ubah merupakan kesulitan
untuk melakukan fetal echocardiography. 1-4
Penelitian menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas yang berbeda-beda. Spesifisitas
untuk PJB dengan defek mayor, defek minor dan defek non-struktural sekitar 99,6%,
sedangkan sensitivitas untuk 4 defek mayor 84,6 sampai 94%, untuk defek minor 23,1
sampai 82,1%, untuk defek non-struktural defek atau aritmia 83,3 sampai 95,2%, dan
untuk seluruh defek 35,4 sampai 86,1%.1-4
Sensitivitas bila fetal echocardiography dilakukan pandangan apikal empat ruang
dapat mendeteksi 4,5 sampai 8,1% (Gambar 1), pada pandangan right out flow tract dan
left out flow tract meningkat menjadi 43,8 sampai 85,5% (Gambar 2). Namun bila fetal
echocardiography dilakukan secara menyeluruh dan terperinci dapat meningkatkan deteksi
PJB lebih dari 85 sampai 90%. 4

Gambar 2. Pandangan Sagittal superior and inferior vena cavae


(1). Aortic arch
(2). Ductal arch

(3). Antara ductal arch dan thoracic aorta
Dikutip dari 4

523
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Waktu yang tepat untuk melakukan fetal echocardiography
Beberapa faktor berperan terhadap waktu yang tepat untuk dilakukan fetal echocardiography,
yaitu untuk saat rujukan oleh dokter SpOG setelah melakukan USG rutin pada trisemester
kedua, dan kehamilan berisiko tinggi, fetal echocardiography dilakukan pada usia 18-22
minggu. 1-4
Saat ini fetal echocardiography dapat dilakukan pada usia kehamilan lebih awal yaitu
trimester kedua dan awal trimester kedua (usia gestasi <18 minggu). Hal ini dimungkinkan
dengan terdapatnya probe dengan transduser frekuensi tinggi, termasuk yang probe
transvaginal. Indikasi untuk dilakukan fetal echocardiography pada usia kehamilan lebih
awal, sama dengan pada kehamilan trisemester kedua. Terutama ditujukan pada ibu
hamil dengan risiko kehamilan yang lebih tinggi misalnya anak sebelumnya lahir dengan
PJB kompleks. Fetal echocardiography transabdominal dapat memvisualisasikan struktur
jantung janin dengan baik pada usia 13 sampai 14 minggu. Fetal echocardiograhy yang
dilakukan sebelum usia tersebut dilakakan dengan probe transvaginal karena adanya jarak
antara dinding abdomen dan ukuran jantung janin yang kecil.4

Indikasi
Pemeriksaan fetal echocardiography dilakukan pada kehamilan dengan risiko tinggi 4
Ibu
•• Diabetes mellitus

•• Phenylketonuria
•• Rubella
•• Infeksi pada ibu dengan kemungkinan janin suspek fetal myocarditis
•• Maternal autoantibodies (SSA/SSB+)

Ibu mengkonsumsi
•• Angiotensin converting enzim (ACE) inhibitors
•• Retinoic acid

•• NSAIDs pada trisemester ke tiga

Assisted reproduction technology


Riwayat PJB di keluarga (orangtua atau saudara kandung menderita PJB)
Pemeriksaan rutin USG yang dilakukan oleh dokter kebidanan menunjukkan kecurigaan
kelainan di jantung atau di luar jantung pada fetus
Abnormal fetal karyotype
Takikardia atau bradikardia yang ditemukan pada fetus
Fetal hydrops

524 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Aberrant right subclavian artery
Kelainan pada lengkung aorta adalah malformasi yang umum terjadi, sebagai varian pada
populasi normal atau dapat merupakan kaitannya dengan anomali intrakardiak. Salah
satu kelainan lengkung seperti itu adalah anomali asal mula arteri subklavia kanan atau
aberrant right subclavian artery (ARSA). Arteri ini biasanya muncul di atas permukaan
lengkung aorta, sebagai cabang pertama dari arteri innominata (atau brachiocephalic), dan
merupakan pembuluh pertama yang timbul dari lengkung aorta (Gambar 4). Namun,
penelitian sebelum nya telah menunjukkan bahwa sekitar 1-2% orang normal, arteri
subklavia kanan (RSA) muncul secara anomali sebagai cabang keempat lengkung aorta
dan merupakan Aberrant right subclavian artery (Gambar 5) dan ternyata berhubungan
trisomi 21.5-6

Gambar 4 Arkus aorta dan percabangan normal


Dikutip dari5

Gambar 5. Aberrant right subclavian artery


Dikutip dari5

Evaluasi pasca fetal echocardiography


Bila hasil ekokardiografi menemukan atau mencurigai atau menemukan PJB. Setelah
diagnosa ditegakkan, harus dilakukan rujukan ke pediatric cardiology dan selanjutnya
dilakukan konseling yang terperinci, mengenai diagnosis, rencana tatalaksana dan

525
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
prognosis. Pada kasus dengan PJB kompleks sebaiknya dirujuk ke pusat rujukan yang
telah berpengalamam melakukan tatalaksana PJB kompleks.4

Dilakukan serial ekokardiografi bila ditemukan:4


•• Insufisiensi katup atrioventrikular atau semilunar progresif yang dapat menyebabkan
dilatasi ventrikel
•• Obstruksi katup atrioventrikular, aorta, arteri pulmonalis, cabang arteri pulmonalis,
dan hipoplasia arkus aorta sekunder akibat lesi obstruktif
•• Miokarditis atau kardiomiopati
•• Disfungsi miokardium progresif sekunder akibat gangguan irama, hidrops atau
kematian janin mendadak
•• Tumor intrakardiak
•• Aritmia janin
•• Konstriksi duktus arteriosus
•• Retriksi foramen ovale
•• Kardiomegali progresif akibat curah jantung yang meningkat
Setelah diagnosis PJB prenatal yang akurat dilakukan, kondisi dan implikasinya
harus disampaikan kepada keluarga dengan konseling prenatal. Tujuan konseling prenatal
adalah memberikan diagnosis PJB yang akurat, memberikan gambaran prognosis yang
jelas dan jujur, menjelaskan pilihan pengelolaan dan pengobatan yang tersedia, dan
membantu orang tua mengambil keputusan mengenai bentuk terapi yang terbaik. Juga
pemilihan tempat melahirkan perlu menjadi bahan pertimbangan.

Penutup
Saat ini penanganan PJB telah berkembang dan dimulai sejak bayi masih didalam
kandungan. Deteksi PJB semasa janin dengan fetal ekokardiografi sudah dilaksanakan di
Negara maju maupun Negara berkembang. Walupun penelitian menunjukkan sensitifitas
yang berbeda-beda, tergantung kompetensi individu yang melakukan fetal echocardiography
dan alat yang digunakan.
Deteksi PJB dengan fetal echocardiography dapat menyiapkan orang tua dan keluarga
untuk menyiapkan mental maupun finansial menghadapi penanganan PJB bila bayi telah
dilahirkan.
Saat ini sistim rujukan untuk deteksi PJB semasa janin masih berbeda di tiap negara.
Di Indonesia pemeriksaan USG janin telah dilakukan oleh dokter umum dan dokter
SpOG. Bila USG rutin menunjukkan kecurigaan adanya PJB, maka dapat di rujuk
ke dokter kardiologi anak, untuk dilakukan fetal echocardiography. Hasil pemeriksaan
fetal echocardiography dapat digunakan untuk menyiapkan orangtua, tenaga medis

526 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


dan tempat persalinan bila ditemukan kecurigaan PJB kompleks. Kelemahannya, fetal
echocardiography memerlukan individu yang kompeten dan terlatih untuk melakukannya
dan membutuhkan waktu yang lama untuk mengerjakan juga memerlukan alat dan probe
yang harus disesuaikan dengan usia kehamilan.

Daftar pustaka
1. Randall P, Brealey S, Hahn S, Khan KS, Parsons JM. Accuracy of fetal echocardiography in
the routine detection of congenital heart disease among unselected and low risk populations:
a systematic review. BJOG. 2005;112:24-30.
2. Nayak K, Chandra G S N, Shetty R, Narayan PK. Evaluation of fetal echocardiography as a
routine antenatal screening tool for detection of congenital heart disease. Cardiovasc Diagn
Ther. 2016;6:44-9.
3. YF Zhang, XL Zeng, EF Zhao, HW Lu . Diagnostic Value of Fetal Echocardiography for Con-
genital Heart Disease A Systematic Review and Meta-Analysis. Medicine. 2005;94:e1759.
4. Donofrio MT, Moon-Grady AJ, Hornberger LK, et al Diagnosis and treatment of fetal
cardiac disease: a scientific statement from the American Heart Association. Circulation.
2014;129:2183-242.
5. Borenstein M, Minekawa R, Zidere V, Nicolaides KH, Allan LD. Aberrant right subclavian
artery at 16 to 23 + 6 weeks of gestation: a marker for chromosomal abnormality. Ultrasound
Obstet Gynecol. 2010;36:548-52.
6. Polguj M, Chrzanowski L, Kasprzak JD, Stefanczyk L, Topol M, Majos A. The aberrant right
subclavian artery (arteria lusoria): the morphological and clinical aspects of one of the most
important variations: a systematic study of 141 reports. Scientific World J. 2014, article ID
29273, 6 pages.

527
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Arah Penelitian Klinis dalam Bidang
Kardiologi Anak (Clinical Research Direction in
Pediatric Cardiology)
Sudigdo Sastroasmoro
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta

Abstract
Pediatric cardiology as a discipline was born in 1938 when Robert Gross ligated a patent ductus
arteriosus. Soon after that the discipline progressed, and by 1961 pediatric cardiology became the first
sub-discipline of pediatrics. In the following 2 decades cardiac surgery developed rapidly so that many
congenital heart defects that could not be treated previously could then be managed properly; this not
only for simple cardiac anomalies but also for the complex ones. This was followed by the development
of interventional cardiology to manage certain forms of congenital cardiac defects. The development
has been so intense so that currently cardiac catheterization for the purpose of diagnosis is very rarely
used, while catheterization for treatment purposes becomes more and more established. In recent years
intervention in utero has been done in some conditions, and it is predicted that the procedure will
progress more. All of the developments of course were done following research, mainly clinical research. In
the future more development of technology can be expected. In clinical studies there are actually room to
conduct randomized trials, because most of the drugs used in pediatric cardiology have not been proven
useful in pediatrics. Recently attention on basic research has been increasing, and the results can be used
as the basis for improvement of cardiac disease prevention and care. Prevention for the development of
congenital heart disease certainly needs attention, and this should involve many disciplines from inside
and outside pediatrics. Another aspects is the management of obesity, a world wide problem that makes
a significant risk factor for the development of cardiovascular problems in adults. The role of gene in the
development of congenital heart disease is another aspect that need to be investigated. Although there
have been limited resources in Indonesia, we still can contribute in every aspects of the clinical research
in pediatric cardiology. Developing collaborations among pediatric cardiology centers and establishing
national cardiovascular registry is a must if optimal clinical research is to be expected.

K
ardiologi anak sebagai disiplin ilmu diawali ketika pada tahun 1938 Robert Gross
melakukan pembedahan untuk menutup duktus arteriosus persisten. Disiplin ini
cepat berkembang dan pada tahun 1961 kardiologi anak menjadi subspesialisasi
pertama dalam spesialisasi ilmu kesehatan anak. Perkembangan kardiologi anak amat
cepat diawali dengan kemajuan tata laksana pasien khususnya bedah jantung pada
penyakit jantung bawaan sehingga pasien yang menyandang penyakit jantung bawaan
yang semula tidak dapat diobati sebagian besar dapat dipulihkan. Kemajuan teknik
pencitraan termasuk ekokardografi, Doppler berwarna serta magnetic resonance imaging

528 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


telah membuat kateterisasi jantung untuk tujuan diagnostik saat ini banyak ditinggalkan,
dan lebih dimanfaatkan untuk tujuan terapeutik seperti penutupan pelbagai defek,
pelebaran obstruksi dan lain-lain yang menggantikan peran tindakan bedah.
Semua yang telah berjalan tentu saja berlatar belakang riset dalam kardiologi anak.
Dalam waktu dua puluh tahun terakhir selain beranjutnya penelitian klinis juga ditandai
dengan kemajuan dalam penelitian ilmu dasar yang mulai mengungkap penyebab
penyakit jantung bawaan, dengan harapan kelak dapat dijadikan jalan untuk pendekatan
pencegahan.
Perkembangan akan beranjut; kemajuan dalam bidang bedah, anestesi, serta
perawatan intensif sangat berperan, demikian pula pelbagai teknologi yang mempermudah
diagnosis. Penelitian kardiologi anak memang harus melibatkan banyak disiplin, termasuk
patologi, fisiologi, kardiologi, bedah, perawatan intensif, anestesioloigi, pencitraan. Di
masa depan ahli genetika biologi molekular, serta pakar ilmu dasar yang lain juga akan
makin terlibat dalam penelitian kardiologi anak.
Dengan pendekatan klinis penelitian dalam bidang kardiologi anak dapat
dikelompokkan dalam aspek berikut (meskipun cenderung bersifat tumpang-tindih):
penelitian etiologi, diagnosis, terapi, prognosis dan tata laksana jangka panjang, dan
tidak kurang penting pencegahan. Berikut diuraikan secara ringkas arah penelitian dalam
bidang kardiologi anak.

Penelitian etiologi
Banyak penyakit jantung bawaan yang terkesan mempunyai predileksi familial atau
genetik. Sebagian telah cukup baik diketahui, seperti yang tampak pada sindrom tertentu,
namun masih banyak yang perlu dikaji peran genetika sebagai faktor risiko penyakit
jantung bawaan. Selain itu faktor lingkungan terutama pada masa awal kehamilan, pada
saat embrio terbentuk, perlu dikaji dengan cermat. Para peneliti di negara maju seperti
Amerika Serikat yang memiliki Human Genome Project sangat diuntungkan karena dapat
mengkaji faktor etiologi atau faktor risiko untuk terjadinya penyakit jantung bawaan.
Dengan tersedianya data genomik, anak yang berpotensi mengandung faktor risiko
terjadinya penyakit jantung pada masa dewasa dapat diidentifikasi secara dini dan dapat
dilakukan tindakan pencegahan yang sesuai.
Pelbagai aspek kelainan jantung didapat yang berkaitan dengan penyakit sistemik
lain meskipun secara garis besar telah diketahui namun masih memerlukan kajian yang
lebih mendalam, agar tindakan preventif atau tata laksana adekuat sedini mungkin lebih
dapat dijadwalkan. Demam reumatik dan penyakit jantung reumatik yang masih cukup
banyak dijumpai di negara yang sedang berkembang, bahkan kadang muncul epidemi
di beberapa negara maju, juga masih memerlukan perhatian untuk dilakukan penelitian.
Terdapat kesan bahwa ilmu tentang demam reumatik dan penyakit jantung reumatik
“terhenti” dalam arti tidak terdapat kemjauan yang berarti, mungkin karena dianggap
sudah tidak merupakan beban di negara-negara maju. Penyakit Kawasaki yang di negara-

529
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
negara maju merupakan penyakit jantung didapat terbanyak, juga masih menyimpan
misteri tentang kepastian etiologinya.
Bayi yang lahir dari ibu dengan kelainan tertentu juga mempunyai risiko yang
lebih tinggi untuk menderita kelainan kardiovaskular. Misalnya bayi yang lahir dari ibu
penderita HIV cenderung mengalami kelainan kardiovaskular dengan morbiditas dan
mortalitas yang setara dengan pajanan HIV in utero. Hal ini menggaris-bawahi peran
faktor janin dan perkembangan untuk terjadinya penyakit tertentu. Diet ibu selama hamil
juga dapat memengaruhi status kardiovaskuar janin dan bayi yang lahir. Misalnya masukan
kalsium yang tinggi pada trimester kedua kehamilan berkaitan dengan tekanan darah
sistolik bayi yang dilahirkan. Hal ini lagi-lagi menggarisbawahi the fetal and developmental
origins of adult cardiovascular disease, yang memerlukan penelitian jangka panjang untuk
menemukan hal-hal lain yang mungkin berperan dalam kejadian penyakit jantung pada
anak dan dewasa.
Penelitian terhadap janin makin berkembang dengan diketahuinya lebih baik
perkembangan janin termasuk perkembangan jantung janin. Dengan demikian lambat
laun tindakan intervensi terhadap janin yang mengalami masalah kardiovaskular dapat
dilakukan dengan lebih baik.

Penelitian diagnostik
Kemajuan dalam pelbagai aspek diagnosis penyakit jantung bawaan diprediksi berlanjut.
Bila sebelumnya kateterisasi jantung merupakan modalitas utama untuk memastikan
diagnosis pelbagai penyakit jantung bawaan, dewasa ini kateterisasi jantung untuk
keperluan diagnosis sudah minimal. Kateterisasi jantung sekarang lebih banyak digunakan
untuk tindakan terapeutik, dan hal ini terus berlanjut dengan perkembangan teknologi
yang berkelanjutan.
Perkembangan pencitraan mulai dari radiologi konvesional, ultrasonografi /
ekokardiografi, magnetic resonance imaging, CT scan dan seterusnya dapat dipastikan
makin dipercanggih. Ultrasonografi intrauterin yang sudah lama dilaksanakan namun
masih belum dapat mendeteksi sebagian besar penyakit jantung bawaan, dengan penelitian
yang terstruktur dan ketersediaan alat dan sumber daya manusia di masa depan terus
berkembang. Saat ini sudah banyak ahli kardiologi anak yang mengkhususkan diri pada
pencitraan kardiovaskular dari janin, bayi, anak, sampai remaja. Penelitian dasar termasuk
pengembangan penelitian biomolekular cenderung bersifat multidimensi, salah satunya
dapat dimanfaatkan untuk keperluan diagnosis gangguan kardiovaskular.

Penelitian terapeutik
Tata laksana kelainan kardiovaskular pada bayi dan anak telah menunjukkan perkembangan
yang amat pesat. Bila semula bayi dan anak dengan kelainan jantung bawaan harus
dilakukan operasi paliatif atau definitif, sekarang sudah merupakan kesepakatan bahwa

530 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


sebagian besar kasus penyakit jantung bawaan dapat ditata laksana tanpa pembedahan,
yakni dengan kateterisasi intervensi. Penyempurnaan alat untuk tindakan kateterisasi
terapeutik ini sangat penting dalam ranah terapi penyakit jantung bawaan.
Tindakan intervensi in utero yang saat ini baru dapat dilakukan di beberapa senter
terkemuka pada masa mendatang juga diharapkan makin banyak dilakukan. Dengan
penelitian yang komprehensif persyaratan, peralatan, dan sumber daya manusia yang
lebih maju dapat memberikan hasil yang makin baik.
Dalam bidang pemakaian obat, peluang untuk melakukan penelitian masih terbuka
lebar. Kita tahu bahwa sebagian besar obat yang digunakan untuk penanganan gagal
jantung, disritmia, bahkan juga kardiomiopati pada bayi dan anak hampir semuanya
bedasarkan pada evidence pada orang dewasa. Bahkan digoksin yang sudah berpuluh tahun
diberikan kepada bayi dan anak dengan gagal jantung akibat penyakit jantung bawaan
maupun penyakit jantung didapat, dasarnya adalah hasil penelitian pada orang dewasa.
Praktis belum ada evidence yang definitif dari penelitian yang dilakuan pada bayi dan
anak. Hal serupa juga terjadi pada pemakaian obat-obat lain seperti kaptopril, verapamil,
penghambat beta, dan sebagainya. Pemanfaatan obat untuk anak dari ekstrapolasi dari
obat yang digunakan pada orang dewasa seharusnya tidak dibenarkan, sehingga masih
terbuka uji klinis untuk berbagai obat yang sudah digunakan dan tentu saja obat-obat yang
dikembangkan kemudian. Tentu saja penelitian tersebut semua harus memperhatikan
masalah etika pada studi yang melibatkan bayi dan anak.
Minat penggunaan biomarker untuk menilai satus kardiovaskular anak makin
meningkat. Cardiac troponin T (cTnT) adalah biomarker yang berhubungan dengan
kerusakan miokardium oleh berbagai sebab. Biomarker lain yang bermanfaat untuk menilai
status jantung adalah N-terminal pro-hormone brain natriuretic peptide (NT-proBNP),
yang disekresi oleh miosit di ventrikel jantung. Biomarker ini meningkat pada disfungsi
miokardium, baik yang secara klinis simptmatis (termasuk gagal jantung) maupun tidak.
Penggunaan alat / kateterisasi selain bermanfaat untuk menutup pelbagai defek juga
dimanfaatkan untuk melebarkan pembuluh atau katup yang menyempit. Meskipun pada
umumnya berhasil baik, namun masih cukup banyak kasus yang mengalami obstruksi
ulang. Dengan penelitian menggunakan alat-alat yang telah lebih disempurnakan
diharapkan hasil tindakan terebut dapat makin baik.
Transplantasi jantung yang sekarang dapat dilakukan di pusat-pusat jantung anak
terkemuka terus berlanjut dan memperbaiki prognosis. Namun ke depan diharapkan
sebagian pasien yang sekarang harus menjalani transplantasi jantung dapat diganti dengan
sel–sel jantung; misalnya pada pasien kardiomiopati dan gagal jantung yang tidak dapat
diatasi dengan medikamentosa.
Katup bioengineering diharapkan dapat makin berkembang dan mengantikan katup
mekanik dan homograft untuk beberapa jenis kelainan jantung tertentu. Katup-katup
tersebut dibuat dengan sel-sel pasien sendiri dan tumbuh sejalan dengan pertumbuhan
pasien sehingga tidak perlu diganti salama hidup. Kardiomiopati dan hipertensi pulmonal

531
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
yang masih merupakan masalah besar saat ini, dengan kemajuan dalam bioengineering
secara bertahap dapat diatasi.
Beberapa studi observasional pada anak dengan kelainan jantung memberi petunjuk
untuk tata laksana yang lebih baik. Misalnya dari registri kardiomiopati diketahui bahwa
pasien kardiomiopati yang menyertai penyakit distrofi muskular lebih buruk prognosisnya
dibanding dengan kardiomiopati oleh sebab lain, sehingga pemantauan yang lebih teratur
dan intensif perlu dilakukan pada pasien kardiomiopati dengan distrofia muskular.
Pada masa depan ahli kardiologi anak harus memahami farmakogenomik sehingga
pemberian obat disesuaikan dengan genotip masing-masing pasien (personalized medicine in
pediatric cardiology). Lebih lanjut dengan mengetahui peran gen dalam terjadinya kelainan
kardiovaskular mungkin dapat dilakukan modifikasi faktor lingkungan untuk mencegah
mutasi genetik tertentu. Obat lain selain asam folat mungkin dapat memengaruhi efek
samping gen atau mencegah beberapa jenis penyakit jantung bawaan.

Penelitian prognostik
Penelitian perawatan jangka panjang dan prognosis pasien pasca-tindakan diperlukan
agar dapat diantisipasi terdapatnya kelainan yang terjadi lama setelah prosedur. Seperti
kita ketahui penyakit jantung bawaan bukan merupakan kelainan yang statis. Dia dapat
menetap, dapat pula membaik secara spontan, dan dapat pula memburuk. Hal-hal tersebut
terjadi pada lesi awalnya, atau juga pada lesi setelah dilakukan tindakan. Oleh karenanya
diperlukan pemantauan yang komprehensif.
Dengan makin meluasnya universal health coverage (UHC) maka para remaja dan
dewasa dengan penyakit jantung bawaan dapat memperoleh perawatan jantung yang
memadai. Diharapkan muncul berbagai pusat untuk perawatan pasien dewasa dengan
penyakit jantung bawaan baik yang murni maupun pascabedah atau pasca-tindakan
kateterisasi intervensi. Dengan pemahaman yang lebih baik terhadap gagal jantung,
fungsi miokard yang cenderung berangsur menurun dan berakhir pada gagal jantung pada
mantan pasien penyakit jantung bawaan yang dilakukan operasi saat bayi dan anak dapat
dicegah atau ditangani lebih baik.

Pencegahan
Besar kemungkinan ke depan terjadi lebih banyak sub-divisi dalam kardiologi anak. Pada
saat ini sudah banyak ahli kardiologi anak yang mengkhususkan diri dalam intervensi,
pencitraan, elektrofisiologi, dan transplantasi jantung. Salah satu yang penting dan
diharapkan berkembang adalah kardiologi pencegahan.
Pencegahan terhadap kejadian penyakit jantung bawaan memerlukan bukti ilmiah
yang mungkin tidak dapat diperoleh dalam waktu dekat. Namun termasuk dalam
konteks ini termasuk pencegahan terjadinya penyakit kardiovaskular pada dewasa akibat
masalah yang ditemukan pada masa bayi dan anak. Obesitas merupakan masalah dunia

532 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


saat ini, bahkan di negara-negara yang sedang berkembang. Di beberapa negara maju
kurang lebih 20% persen anak tergolong obes, dan 30% lainnya overweight dan terancam
untuk menjadi obes. Sudah cukup bukti untuk menyatakan bahwa obesitas pada anak
merupakan faktor risiko penting untuk terjadinya obesitas pada usia dewasa sehingga
mencakup masalah kardiovaskular. Karena itulah diperlukan perhatian yang cukup untuk
melakukan penelitian pada anak obesitas dan bagaimana penanggulangannya. Anak obes
cenderung untuk mengalami sindrom metabolik yang merupakan kombinasi dari insulin
resistance, dislipidemia, dan hipertensi sehingga terancam menderita diabetes melitus tipe
2 serta komplikasi aterosklerosis. Upaya pencegahan tersebut memerlukan kolaborasi
multidisiplin termasuk ahli kardiologi, gastroenterologi, nefrologi, endokrinologi, nutrisi,
dan sebagainya. Perlu diperhatikan bahwa lebih-kurang 25% pasien dengan penyakit
jantung bawaan juga mengalami obesitas, antara lain karena mereka disarankan untuk
mengurangi aktivitas fisis sehingga menjalani sedentary life style. Keuntungan hidup
sehat, mulai dengan penggunaan air susu ibu eksklusif makin banyak didokumentasi.
Selain diet, olah raga terstruktur makin dipahami sebagai satu cara untuk mengurangi
obesitas sehingga dampak buruk terhadap stats kardiovaskular di masa dewasa menjadi
berkurang. Terdapat bukti bahwa pasien dengan penyakit jantung bawaan, kardiomiopati,
transplantasi jantung, obesitas, memperoleh manfaat dengan melakukan diet yang terarah
dan aktivitas fisis. Semua hal tersebut memerlukan penelitian lanjutan dengan tujuan
utama meningkatkan kualitas pelayanan.

Penelitian kardologi anak di Indonesia


Ilmu pengetahuan bersifat universal, sehingga review yang telah disampaikan di atas
juga berlaku untuk Indonesia. Para pakar kardiologi anak di Indonesia berperan penting
dan harus berupaya untuk melaksanakan semua yang mungkin dilaksanakan. Penelitian
klinis kardiologi anak harus terus diakselerasi, dengan memperhatikan semua aspek yang
menunjang peningkatan kualitas tata laksana pasien bayi dan anak dengan kelainan
kardiovaskular. Faktor epigenetik, kemungkinan memodifikasi faktor risiko, penggunaan
biomarker untuk surrogate endpoints yang secara klinis penting, kolaborasi dengan
disiplin lain, penguatan serta registry merupakan cara yang dianjurkan untuk penelitian
kardiovaskular anak pada masa mendatang.
Akhir-akhir ini makin banyak laporan penelitian klinis dan penelitian yang berdasar
pada registry pada pasien dengan penyakit jantung bawaan. Untuk itu diperlukan pusat
penelitian klinis dengan infrastrukturnya, dan disertai dengan registry yang bagus,
setidaknya yang bersifat nasional dengan menyertakan pusat-pusat jantung anak di seluruh
negeri. Dengan demikian dapat diperkuat semua peranti untuk penelitian klinis yang
baik, termasuk perumusan masalah klinis, hipotesis, desain, besar sampel, pengukuran,
membuang perancu dan sebagainya yang amat diperlukan dalam penelitian klinis. Beberapa
ahli mengusulkan dibentuknya pediatric cardiac clinical research dengan menekankan pada
kolaborasi dengan pelbagai pihak terkait yang lebih menjamin keberhasilan penelitian

533
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
klinis dalam bidang kardiologi anak. Lipshultz dkk. (2009) mengusulkan topik-topik dan
pertanyaan penelitian yang perlu dikembangkan segera dalam bidang kardiologi anak.
Lihat Lampiran. Dengan penyesuaian kondisi lokal para ahli kardiologi anak di Indonesia
dapat berperan serta.

Daftar pustaka
1. Brojendra Agarwala, History of development of pediatric cardiology. J Clin Exp Cardiolog
2016, 7:6(Suppl) http://dx.doi.org/10.4172/2155-9880.C1.035
2. Chung W, Towbin J. Genetic issues in pediatric cardiomyopathy: Future research directions.
Prog Pediatr Cardiol. 2012;32:3-4.
3. Hijazi ZM. Technology & the future of pediatric cardiology. Dec 04, 2014. Tersedia di: http://www.car-
diovascularbusiness.com/topics/structural-heart/technology-future-pediatric-cardiology.
4. Kugler JD, Beekman III RH, Rosenthal GL, Jenkins KJ, Klitzner TS, Martin GR, dkk. De-
velopment of a pediatric cardiology quality improvement collaborative: from inception to
implementation. From the Joint Council on Congenital Heart Disease Quality Improvement
Task Force. Congen Heart Dis. 2009;4:318-28.
5. Lipshultz SE, Wilkinson JD, Messiah SE, Miller TL. Clinical research directions in pediatric
cardiology. Curr Opin Pediatr. 2009;21:585–593.
6. Medrano-Lopez C, Fouron J-C. Fetal cardiology, the frontier of pediatric cardiovascular
medicine. Editorial. Rev Esp Cardiol. 2012;65:700–4.
7. Noonan JA. A history of pediatric specialties: the development of pediatric cardiology. Pedi-
atr Res. 2004;56:298–306.
8. Pearson GD. Advancing pediatric cardiovascular research. Interview with clinical innovator.
Cardiology Magazine, April 27, 2017.
9. Ravichandran PS. Heart transplantation: the present and future. JACC. May 26, 2015.  
10. Subramanyan R. Comprehensive training for the future pediatric cardiologist. Ann Pediatr
Cardiol. 2016;9:1-8.
11. Pearson GD, Kaltman JR, Lauser MS. Evidence-Based Medicine Comes of Age in Pediatric
Cardiology. J Am Coll Cardiol. 2013;61:2565–7.

534 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Lampiran
Tabel. Topik dan pertanyaan penelitian penting dalam penelitian
kardiologi anak*

1. Mekanisme penyakit jantung pada anak: presentasi klinis, diagnosis, evidence-based


management penyakit genetik dan mitokondria.
2. Pendalaman pemantauan fisiologi dan hemodimanik dengan functional
echocardiography.
3. Membentuk birth cohort untuk mempelajari faktor risiko dan natural course
4. Faktor risiko dari janin sampai remaja untuk terjadinya penyakit kardiovaskular
dewasa
5. Faktor risiko penyakit kardiovaskular pada anak: maternal, bayi, lingkungan.
6. Faktor risiko penyebab atau berulangnya kelainan jantung pada anak
7. Epegenomik, transkripsi genetik, DNA, perubahan epigenetika.
8. Skrining pada bayi dengan faktor risiko genetika tertentu
9. Validasi pelbagai biomarker kelainan kardiovaskular
10. Disparitas kesehatan anak dalam hal keamanan dan kualitas akibat perbedaan terapi
11. Morbiditas dan implikasi obesitas pada anak dan remaja
12. Uji klinis dan studi observasional
13. Terapi biologis untuk mengurangi insidens dan derajat kelainan kardiovaskular
14. Upaya mempercepat penggunaan hasil penelitian dalam tata laksana pasien
15. Masalah etika berkaitan dengan riset kardiovaskular pada bayi dan anak
16. Pendidikan dan pelatihan untuk menunjang riset kardiovaskular pada banyi dan anak
17. Pengembangan metode, keahlian dan fasilitas penelitian klinis
18. Penelitian patient-based quality-of-care improvement research.
19. UJi kliis fase 4 terhadap obat-obat yang digunakan pada anak
20. Studi keamanan obat kardiovaskular
21. Modeling untuk peningkatan layanan anak dengan penyakit kronik dan kardiovaskular
22. Cost-effectiveness analyses teknologi baru pada bayi dan anak dengan kelainan
kardiovaskular.

* Diringkas dan dimodifikasi dari: Lipshultz SE, Wilkinson JD, Messiah SE, Miller TL.
Clinical research directions in pediatric cardiology. Curr Opin Pediatr. 2009;21:585–
593..

535
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Tips for Clinical Research Development
Sudigdo Sastroasmoro
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta

Abstract
Clinical research is best conducted by, or at least involving, clinicians. This is considered a good practice
because its is the clinicians who know the problems encountered in their daily practice. When a clinician
practicing evidence based medicine find a problem in the management of his or her patient, and he
develops clinical questions, searching the evidence and find definite answer that is ideal. But if they do
not appropriate evidence to answer the question that is bad for practice but good for research aspects.
Because it is needed by practitioner but not available in the literature. When someone plan to do clinical
research he or she must find the recent publication and then think if the topic he or she planned to do is
feasible, interesting, has some kind of novelty , ethical, and relevant (acronym: FINER) with the clinical
works. If the answer is not then he or she should modify or leave the topic. The protocol of the research is
next to be developed, that include all guidance according to the institution or funder. One that should
remember is the researcher should determine only one (or 2 at the most) primary research question and
several secondary research questions, followed by primary and secondary hypotheses. Failure to do so
would make a tendency that the researcher do not exactly know what he or she will do. When everything
is well planned in the academic aspects, then one should think whether it is will be done by himself, or
develop small team with administrative and scientific members, or will contact CEO to organize the
study. In every moment the first author should be responsible to monitor the development of the study
from time to time. In these days it is advisable to make some collaboration or multidisciplinary approach,
both with the different divisions in pediatrics or experts form other disciplines.

P
enelitian klinis baik yang bersifat observasional maupun eksperimental merupakan
aktiitas yang memerlukan perhatian, waktu, pemikiran, biaya dan bahkan emosi.
Oleh karena itu klinikus yang mempunyai minat untuk melakukan penelitian klinis
harus mempertimbangkannya masak-masak sebelum penelitian dilakukan. Usahakan agar
topik yang diteliti relevan dengan praktik, mampu laksana, menarik bagi yang meneliti,
mempunyai novelty atau kebaruan, dan dapat dilaksanakan tanpa melanggar kaidah etika
penelitian. Dalam bidang anak maka etika yang diperlukan harus lebih diperhatikan.

Pemilihan topik penelitian


Seorang klinikus yang berkeinginan untuk menjadi peneliti sebenarnya sesuatu yang
sangat menguntungkan dan sekaligus membanggakan. Disengaja atau tidak, klinikus akan
cenderung memilih topik yang sesuai dengan bidang keahliannya atau peminatannya.
Ini sekaligus menjawab persyaratan bahwa peneliti seyogianya menguasai bidang yang
ditelitinya. Bayangkan contoh ekstrem seorang dokter yang diminta meneliti prospek

536 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


ekonomi lima tahun ke depan, atau sebaliknya ahli komunikasi internasional yang diminta
meneliti manfaat diet dan olahraga terhadap faktor risiko kardiovaskular.
Saat ini kita berpraktik diminta menggunakan kaidah EBM. Bila ada masalah dalam
klinik, maka kita diminta untuk memformulasikan masalahnya dalam pertanyaan klinis
yang dapat dijawab (answerable clinical question) yang terdiri atas Patient - Intervention –
Comparison – Outcome. Dengan kata kunci yang ada pada PICO tersebut kita searching
di internet untuk mendapat jawaban yang sesuai. Bila jawaban tersedia maka itu berarti
menguntungkan bagi klinikus. Sebaliknya bila jawaban atas pertanyaan klinis tersebut
tidak ada sama sekali, itu merupakan hal yang buruk bagi klinikus namun baik bagi
peneliti. Sesuatu yang dibutuhkan oleh peneliti ternyata tidak ada jawabannya, atau
belum pernah diteliti. Hal tersebut bagi klinikus yang minat meneliti memberi peluang
untuk mengembangkannya menjadi penelitian.
Ilustrasi di atas memberi gambaran bahwa klinikus sebenarnya mempunyai akses
yang luas untuk mengetahui apa yang sudah diketahui dan apa yang belum diketahui,
tidak tentang banyak hal yang di luar bidang kerja dan peminatannya, namun terbatas
pada bidang yang diminatinya. Karenanya sering disebut bahwa dari banyak sumber yang
mungkin dapat diperoleh untuk mendapat topik penelitian, sumber yang berasal dari
praktik sehari-hari merupakan salah satu yang terbaik.

Persyaratan untuk topik yang memadai


Baik dengan belajar dari pengalaman sendiri maupun dari membaca pelbagai artikel
dan buku tetang penelitian, kita pada umumnya tahu topik penelitian apa, bagaimana
bentuknya, kemungkinan pelaksanaan, hambatan, biaya, waktu dan seterusnya bila kita
menentukan topik tertentu. Hal-hal tersebut diformulasikan dengan baik dan mudah
diingat oleh Hulley dan Cummings menjadi akronim FINER yakni akronim dari Feasible,
Interesting, Novelty, Ethical, dan Relevant. Apa maksudnya?
Feasibility artinya kemungkinan kemampulaksanaan penelitian. Apakah suatu topik
mungkin dilakukan dengan sumber daya yang tersedia? (waktu, biaya, ketersediaan
subyek, fasilitas, konsultan, dsb). Bila jawabannya jelas ya, maka dari segi kemamputerapan
topik tersebut layak untuk diteliti. Namun bila satu atau lebih hal-hal tersebut tidak
memungkinkan untuk dilakukan, disarankan untuk melakukan modifikasi atau bahkan
melupakannya.
Interesting artinya menarik bagi peneliti dan rekan-rekannya. Bila sesuatu dianggap
menarik tentu dengan segala cara bila ada masalah akan dilakukan pemecahan sebaik-
baiknya, sedangkan bila tidak menarik maka bila terdapat masalah akan membuat peneliti
berkurang semangatnya atau membuat pemecahan masalah yang cenderung asal-asalan.
Novelty, artinya mengandung sesuatu yang baru. Ada yang mengira bahwa baru
berarti sesuatu yang belum pernah diteliti orang. Padahal sebenarnya tidak demikian.
Berikut daftar sesuatu penelitian yang dianggap memiliki novelty: 1. Sama sekali belum

537
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
pernag diteliti sebelumnya. 2. Melanjutkan hasil penelitian orisinal sebelumnya. Misal
kelompok peneliti membuat vaksin flu burung, kita meneruskannya membuat vaksin flu
babi. 3. Peneliti yang mengembangkan dan melaksanakan ide orisinal dari orang lain,
misalnya seniornya. 4. Menggunakan teknik baru untuk mendeteksi masalah lama, misal
penggunaan MRI untuk perdarahan subarakhnoid. 5. Merancang dan mengorganisasi
penelitian, padahal pelaksanaannya diserahkan kepada kelompok lain. 6. Penelitian yang
menemukan data empiris yang belum pernah dilaporkan peneliti lain, misal mutasi genetik
di kelompok suku terasing. 7. Melakukan penelitian yang sama dengan penelitian yang
telah dilakukan di luar negeri. Harus ada syarat bahwa hasilnya diperkirakan berbeda. 8.
Penelitian yang telah dilakukan orang lain namun dengan polulasi yang berbeda. Misalnya
yang sudah diteliti pada subyek dewasa namun belum pada anak. 9. Menggunakan teknik
baru untuk memecahkan masalah lama. 10. Melakukan penelitian lintas disiplin untuk
masalah lama. 11. Menerapkan hasil penelitian orang lain untuk kelompok yang berbeda.
12. Mengulang penelitian yang sudah dikerjakan namun dengan desain dan pelaksanaan
yang lebih valid.

Penyusunan protokol
Penyusunan protokol atau proposal penelitian merupakan hal yang amat penting dalam
rangkaian penelitian. Untuk ini diperlukan pengetahuan yang mendalam tentang topik
yang akan diteliti. Oleh karena itulah terdapat syarat bahwa peneliti harus mempunyai
penguasaan yang cukup tentang masalah yang diteliti. Jalan terbaik utnuk menyusun
protokol yang baik adalah melakukan penelusuran pustaka yang tuntas. Dengan demikian
maka masalah penelitian yang mungkin tadinya masih bersifat longgar dapat dipertajam,
sehingga persiapan pelaksanaannya juga menjadi lebih terarah. Langkah-langkah berikut
kemudan secara automatis akan menyusual:
•• Apakah masalah yang dihadapi?
•• Apa yang sudah dilakukan oleh orang?
•• Apa yang sudah terjawab?
•• Apa yang belum terjawab, atau sudah terjawab namun kurang lengkap?
•• Hasil apakah yang dapat kita peroleh dari penelitin kita kelak?
Dari uraian tersebut kemudian dapat disusun pertanyaan penelitin, hipotesis, serta
tujuan penelitian utnuk kemudian mengarah pada metode yang akan digunakan.
Pertanyaan penelitian. Sesuai dengan namanya maka harus dinyatakan dalam kalimat
tanya.
Hipotesis penelitian. Hipotesis dapat didefinisikan sebagai pernyataan atau jawaban
sementara atas pertanyaan penelitian.
Seringkali pertanyaan dan hipotesis penelitian lebih dari satu, tidak jarang pula
lebih dari lima. Bila ini terjadi, seyogianya peneliti menentukan dari awal mana yang
menjadi pertanyaan primer (kemudian dikembangkan hipotesis primer untuk kemudian

538 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


memperoleh luaran primer), dan mana yang menjadi pertanyaan sekunder (kemudian
dibuat hipotesis sekunder untuk memperoleh luaran sekunder). Ada kesan bahwa peneliti
sebenarnya tidak tahu apa yang akan dicari kalau ada 6 pertanyaan penelitian dan 6
hipotesis yang bobotnya sama, sehingga tidak diklasifikasi menjadi mana yang primer
dan mana yang sekunder. Hal ini peting dikemukakan, oleh karena dalam perencanaan
semua sumber daya yang ada termasuk waktu, biaya, fasilitas, bahkan jumlah subyek yang
diperlukan harus didasarkan pada pertanyaan dan hipotesis primer. Biasanya dianjurkan
untuk memilih satu atau paling banyak 2 pertanyaan primer, dan beberapa pertanyaan
sekunder, dengan catatan tidak menyertakan pertanyaan sekunder yang membutuhkan
jumlah subyek yang tidak terpenuhi oleh subyek yang telah dihitung untuk menjawab
pertanyaan primer. Menuliskan pertanyaan dan hipotesis primer dan sekunder justru oleh
sebagian ahli dikatakan dapat memperkuat validitas penelitian.
Tidak jarang setelah data terkumpul dan dianalisis, tampak ada hasil menarik
misalnya hubungan antara variabel yang sebelumnya tidak dirumuskan dalam protokol.
Tidak haram untuk mengeksplorasi data tersebut, bahkan melakukan uji hipotesis, namun
apa pun hasilnya tidak dapat dimasukkan sebagai simpulan penelitian. Hasil tersebut
dituliskan sebagai hasil tambahan, atau other findings yang tidak konklusif dan biasanya
bagus untuk digunakan dalam latar belakang penelitian selanjutnya.
Tinjauan pustaka. Tinjauan pustaka secara terpisah hanya diperlukan pada protokol
penelitian untuk pendidikan (skripsi, tesis, disertasi). Untuk penelitian non-pendidikan,
termasuk untuk minta bantuan dana dari pemberi dana penelitian, biasanya tidak
diperlukan tinjaun pustaka yang terpisah. Semua hal yang diperlukan untuk membuat
pertanyaan penelitian dan membangun hipotesis harus sudah tergambar di latar belakang
protokol.
Pada protokol untuk pendidikanpun, seyogianya tidak semua aspek penyakit /
kelainan yang diteliti harus diuraikan secara rinci. Rincian seyogianya diterapkan pada
aspek yang diteliti saja. Sebagai contoh, pada penelitian untuk pengobatan penyakit X,
tidak semua aspek penyakit X harus diuraikan dengan bobot yang sama. Bisa sebagai
pengantar umum, namun rincian yang diperlukan hanya dilakukan pada aspek yang akan
diteliti saja.
Metode penelitian. Metode penelitian harus sesuai untuk menjawab pertanyaan
penelitian. Kita mengenal penelitian observasional dan penelitian eksperimental. Mana
yang lebih penting? Tidak dapat dijawab secara umum, tergantung pertanyaan penelitian.
Untuk membandingkan pengobatan mana yang lebih baik, tidak salah lagi penelitian
yang diperlukan adalah penelitian eksperimental, dalam hal ini uji klinis. Namun untuk
menjawab pertanyaan penelitian apakah variabel A merupakan faktor risiko untuk
penyakit B, studi observasional yang diperlukan.
Dapat saja satu penelitian memerlukan lebih dari 1 desain. Misalnya pertanyaan
penelitian pertama berapa prevalens malaria falsiparum pada ibu hamil di kabupaten X.
Pertanyaan kedua ingin membandingkan keakuratan uji diagnostik baru dengan baku

539
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
emas pemeriksaan mikroskopis. Untuk ini diperlukan uji diagnostik. Misalnya penelitian
dilanjutkan untuk menilai obat baru Q untuk malaria falsiparum pada kehamilan,
diperlukan uji klinis.
Bila ini terjadi kita harus hati-hati dalam menentukan perkiraan jumlah subyek
yang diperlukan. Karena ketiga hal di atas merupakan hal-hal penting dalam penelitian
tersebut, maka besar sampel harus dihitung untuk setiap desain. Berapa yang akhirnya
diperlukan tentu tergantung pada pertanyaan penelitian dan hasil perhitungan masing-
masing desain tersebut.
Masalah besar sampel untuk uji klinis dapat mengundang masalah sendiri. Tidak
jarang seseorang sudah membuat hipotesis yang masuk akal, kemudian menghitung besar
sampel dengan cara dan rumus yang tepat. Namun setelah penelitian selesai ternyata hasil
yang diperoleh menunjukkan beda yang secara klinis cukup penting tetapi secara statistika
tidak bermakna. Hal ini dapat dijelaskan bahwa khusus untuk obat, kemajuan kita saat
ini sudah cukup jauh sehingga kalaupun orang membuat obat baru bedanya dengan efek
obat lama tidak begitu drastis lagi. Bila dalam penghitungan besar sampel digunakan
effect size (beda proporsi kesembuhan yang secara klinis penting) sebesar 20%, kita harus
waspada bahwa mungkin sekali obat baru tidak memberi beda klinis kesembuhan 20%
(misal dari rerata 75% menjadi 95%. Mungkin akan beda 8 atau 12%; dan kalau ini
terjadi maka hasil yang diperoleh secara statistika tidak bermakna padahal angka 8-12
sebenarnya secara klinis cukup penting. Itu sebabnya saat ini banyak RCT yang dilakukan
multisenter, bahkan multinasional, dengan jumlah peserta ratusan bahkan ribuan, agar
power statistika penelitian cukup besar.

Organisasi pelaksanan penelitian


Di masa ini jarang orang dapat melakukan penelitian penting yang dilakukan sendiri. Pada
umumnya diperlukan organisasi tertentu, baik yang dibentuk sendiri dengan melibatkan
beberapa staf administrative, asisten peneliti dan sebagainya, atau menyewa organisasi
pelaksana penelitian yang profesional. Kebijakan dan kehati-hatian diperlukan di sini,
jangan sampai di satu sisi ada beberapa atau banyak hal yang tidak tertangani dengan baik
karena dikerjakan sendiri, di lain sisi jangan menyerahkan “semua hal” kepada pelaksana
tanpa pemantauan yang teliti pada semua aspek penelitian.

Kolaborasi antar-disiplin
Meskipun tajuknya penelitian klinis, namun tidak jarang hal-hal klinis ditautkan dengan
aspek lain misalnya ilmu-ilmu dasar atau kedokteran komunitas. Hal tersebut dewasa ini
dianggap sebagai keharusan, oleh karena apa yang ditemukan dalam klinik tidak lepas
dari penelitian praklinis. Kita juga mengenal pragmatic research yang semata-mata hasilnya
akan digunakan dalam praktik tanpa mempedulikan mekanisme terjadinya kesembuhan
atau hubungan apapun, namun kita juga mengenal explanatory research yang mencoba
menerangkan mekanisme terjadinya hubungan atau perbedaan, Untuk itu diperlukan

540 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


kerja sama dengan ahli praklinik. Hindarkan melakukan penelitian dengan aspek yang
tidak kita kuasai, misalnya melakukan uji klinis explanatory tanpa melibatkan ahlinya.
Mungkin nanti akan ditemukan suatu hasil yang menarik bila dipandang dari sudut
ilmu yang bersangkutan, namun karena klinikus tidak menguasi ilmu tersebut, hasil tu
dibiarkan tanpa dibahas. Demikian pula kolaborasi antar klinikus, katakanlah sebatas
ilmu kesehatan anak, peneliti kardiologi anak untuk topik tertentu perlu berkolaborasi
dengan disiplin nutrisi, hematologi, pencitraan dan seterusnya.

Penutup
Penelitian klinis akan diperlukan dari waktu ke waktu. Meski banyak hal telah berubah
namun ada beberapa prinsip lama yang masih tetap berlaku, yakni bahwa setiap penelitian
harus relevan dengan masalah klinis, harus menarik bagi peneliti, harus mengandung
sesuatu yang baru dan tidak boleh bertentangan dengan etika. Protokol penelitian klinis,
meskipun bukan untuk tujuan pendidikan harus disusun dengan baik, dan dimintakan
kajian etika terlebih dahulu sebelum penelitian mulai dilakukan. Perkembangan ilmu
kedokteran saat ini memerlukan kolaborasi dalam bidang penelitian, baik antar disiplin
dalam ilmu kesehatan anak maupun kolaborasi dengan disiplin lain di luar ilmu kesehatan
anak. Penelitian multisenter ke depan sangat diperlukan, sebab perbaikan dalam tata
laksana klinis pada sebagian besar penyakit sudah cukup tinggi, sehingga mengharapkan
perbaikan yang dramatis dari apa yang sekarang dilakukan menjadi tidak realistis. Untuk
studi tersebut jumlah subyek yang diperlukan seringkali menjadi sangat besar yang hanya
dapat dipenuhi dengan kerja sama antara rumah sakit atau antar fakultas kedokteran dan
lain-lain.

Daftar pustaka
1. Sastroasmoro S. Mengurai dan merajut disertasi dan tesis. Bidang kedokteran dan kesehatan.
Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2010.
2. Bowen M, Evans O, Terry S. CRO, TLF, SOP? OMG!: A Beginner’s Guide to the Clinical
Research Organization. PharmaSUG 2015 - Paper CP04
3. Stone J. Conducting clinical research – A practical guide. Marryland: Mountainside MD
Press, 2006.
4. Best practice in clinical research. Seattle: Kinetiq. 2016.
5. Bell M, Brady L-M, Hayes H, Lodemore M, Rennard U, Rhodes C, dkk. Involving children
and young people in research: top tips and essential key issues for researchers. National Insti-
tute for Health Research, 2016.
6. Hulley, Cummins. Designing clinical research.

541
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Cerebral Palsy Registry to Improve the Quality
of Health Services Management and Education
for Children with Cerebral Palsy
Sunartini
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada / RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta

Abstract
Since 2012, Academic Hospital Universitas Gadjah Mada (UGM) in collaboration with Wahana
Keluarga Cerebral Palsy Yogyakarta (WKCP) already tried to do a Cerebral Palsy (CP) register. This
simple preliminary registry applied for children with CP who got therapy from Academic Hospital UGM
and all WKCP member in Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). We did this CP register because there
were no information about the prevalence of children with CP in DIY until now and we hope this
register will help us to do an optimal integrated management of CP with bigger benefits for children
with CP. This CP register contain personal data from children with CP and their families, pregnancy
and delivery history of the mother, condition of neonate, history of physical and supporting examinations,
health services and education of children with CP.
The result of this preliminary CP register showed that there were various situations and conditions,
whether the possible cause, type, nursery and handling also the social economy effect for the family,
considering the very high cost to manage children with CP so they can live in the optimal condition.
There were a lot of family of children with CP who didn’t mention in their “Kartu Keluarga”, how many
family member with disability, so WKCP can’t reach all families of children with CP.
After some evaluations and form development, we are preparing a community-based of CP register using
Community Mobilizer (CM) and Key Informant (KI) method. We will held an Integrated Assessment
Camp (IntAC) to determine the diagnosis and severity level of CP. For any patients who lives in the
remote areas and or/ have difficulties to access IntAC, there will be a home visit for them. This CP register
will improve the quality, health services coverage and education for children with CP.

C
erebral Palsy (CP) atau Palsi Serebral (PS) merupakan suatu kelompok kelainan
yang permanen dari perkembangan motorik dan postur tubuh, yang menyebabkan
keterbatasan aktivitas, sebagai akibat dari gangguan non progresif yang terjadi pada
saat pembentukan otak janin atau bayi. Kelainan motorik dan postur tubuh pada CP
biasanya disertai oleh gangguan sensasi, persepsi, kognisi, komunikasi dan tingkah laku,
epilepsi serta masalah-masalah muskuloskeletal sekunder lainnya.1 Konsensus tentang
definisi CP dari The American Academy of Cerebral Palsy and Developmental Disabilities
ini tidak hanya mengakui situasi awal atau cedera non progresif pada otak yang imatur
akan tetapi juga mengakui dinamika dan status kesehatan, timbulnya masalah-masalah

542 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


sosial yang disebabkan oleh adanya gangguan terhadap perkembangan otak yang normal
sepanjang hidup.2
Cerebral Palsy sendiri merupakan salah satu bentuk disabilitas fisik yang terjadi pada
masa awal perkembangan otak anak dan menjadi penyebab tersering dari disabilitas
pada anak di banyak negara berkembang. Penyebab pasti CP pada kebanyakan kasus
tidak dapat diketahui. Banyak penderita CP akan mengalami lebih dari satu gangguan
penyerta, yang akan menyulitkan terapi dan mengurangi kualitas hidup penyandang CP
dan keluarganya, Kondisi ini akan meningkatkan anggaran keluarga dan masyarakat.
Karena itulah, anak penyandang CP sebagian besar membutuhkan bantuan dan perhatian
khusus selama hidupnya.
Masih banyak masyarakat yang tidak mengerti perbedaan antara beberapa bentuk
disabilitas fisik dengan CP. Dokter dan petugas kesehatan pun banyak yang belum bisa
mengenali apakah ini CP atau bukan. Karena itu perlu dilakukan skrining disabilitas fisik
di masyarakat kemudian dianalisis dan ditetapkan apakah kelainannya itu termasuk dalam
kelompok CP atau bukan.
Layanan kesehatan dan pendidikan bagi kelompok ini akan sangat berbeda mengingat
kerusakan fungsinyapun berbeda, karena itu diperlukan data penyandang CP yang
lengkap dan akurat agar dapat ditetapkan kebijakan dan per-undangan yang mendukung
penanganan penyandang CP yang lebih baik dan manusiawi.

Epidemiologi CP
Cerebral Palsy terjadi pada 2,0-2,5 kasus per 1000 kelahiran hidup di banyak populasi3 di
banyak negara, angka ini relatif stabil selama kurang lebih 40 tahun terakhir.4
Data CP dunia : data dari World CP Day tahun 2013, ada sekitar 17 juta penyandang
CP di dunia.5 Penelitian yang dilakukan di sub distrik pedesaan di Bangladesh pada tahun
2012 menunjukkan bahwa CP merupakan jenis disabilitas/gangguan yang terbanyak
pada anak-anak, yaitu sebesar 324 (37,7%).6 Berdasarkan data dari Bangladesh Cerebral
Palsy Register (BCPR), di Shahjadpur, salah satu distrik pedesaan di Bangladesh, pada
tahun 2015 ditemukan estimasi prevalensi CP sebesar 4,0 per 1.000 anak.7 Data dari
Australia Cerebral Palsy Register (ACPR) pada tahun 2016 menunjukkan adanya prevalensi
2,1 setiap 1000 kelahiran hidup.7
Data CP Indonesia : prevalensi kasus CP di Indonesia belum diketahui secara pasti
karena masih terbatasnya penelitian CP. Menurut Soetjiningsih8, prevalensi penderita
CP diperkirakan sekitar 1-5 per 1.000 kelahiran hidup. Data kecenderungan persentase
disabilitas pada anak berusia 24-59 bulan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian
Kesehatan pada tahun 2010 menyebutkan bahwa persentase penderita CP adalah
sebesar 0,09%.9 Data lain dari YPAC Surakarta, tercatat anak yang mengalami CP terus
meningkat. Pada tahun 2007 sebanyak 198 anak, tahun 2008 sebanyak 307 anak, tahun
2009 sebanyak 313 anak, tahun 2010 sebanyak 330 anak, dan 2011 sebanyak 343 anak.10

543
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Data CP Yogyakarta : pada tahun 2012, RSA UGM yang bekerjasama dengan
Wahana Keluarga Cerebral Palsy (WKCP), mencoba melakukan suatu registrasi CP untuk
anak-anak penyandang CP di wilayah DIY. Survey pendahuluan dilaksanakan pada 28
Desember 2013 sampai dengan 18 Januari 2014 dengan responden 110 keluarga yang
tinggal di 5 kabupaten di DIY. Hasilnya terdapat 106 anak dengan CP. Di RSUP DR
Sardjito, sepanjang tahun 2016, ditemukan sebanyak 127 penderita CP di poliklinik
rawat jalan bagian Ilmu Kesehatan Anak yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia,
dan 18 diantaranya merupakan kasus baru.

Registrasi Cerebral Palsy Indonesia (RCPI)


Masih terbatasnya data lengkap tentang prevalensi CP di Indonesia dan Yogyakarta pada
umumnya, termasuk data tentang faktor risiko, penyebab CP terbanyak, jenis gangguan
motorik CP yang dominan, dan bermacam gangguan/penyakit penyerta CP, mendorong
RS Akademik UGM dan WKCP Yogyakarta untuk melakukan suatu Registrasi CP
selama bulan Desember 2013 sampai dengan Januari 2014 dengan responden 110
keluarga yang tinggal di 5 kabupaten di DIY. Hasilnya terdapat 106 anak CP, dengan
jumlah penyandang CP laki-laki 66 (55%), lebih banyak dibanding penyandang CP
perempuan, yaitu 49 (45%). Dari 106 anak CP 30% diantaranya, yaitu 33 anak lahir
dengan berat badan <2.500 gram (BBLR), lahir dengan asfiksia sebanyak 41 anak atau
39 %. Survey registrasi CP awal menunjukkan adanya anak-anak CP dengan gangguan
penyerta, seperti gangguan bahasa dan berbicara 66 (72%), gangguan emosional 42
(52%), bermasalah dengan gigi 40 (50%), terdapat disabilitas intelektual dan kesulitan
belajar 39 (48%). Masalah sosial ekonomi membuka mata kita betapa besar beban biaya
perawatan, habilitasi dan rehabilitasi anak CP. Untuk fisioterapi, terapi okupasi dan terapi
wicara diperkirakan minimal Rp 625.000,00 per bulan dan maksimal diperlukan biaya
sebesar Rp 2.325.000,00 per bulan. Upah Minimun Regional (UMR) di DIY sebesar
Rp 1.500.000,00. Anak dengan CP merupakan kondisi penyakit dengan beban penyakit
(burden of disease) yang sangat besar, yang seharusnya bisa dicegah melalui tindakan
preventif, mengingat anak CP memerlukan terapi, habilitasi dan rehabilitasi seumur
hidup yang menghabiskan biaya yang sangat besar.
Perkiraan biaya tersebut belum termasuk sarana transportasi ke lokasi terapi, dan alat
bantu terapi. Bisa dibayangkan berapa anggaran yang harus disediakan untuk terapi apabila
anak tersebut harus diterapi selama 3 - 5 tahun, lebih–lebih bila seumur hidup. Perlu
diprediksi pula berapa usia harapan hidup anak CP. Lalu, berapa besar pemerintah harus
memberikan subsidi untuk biaya terapi, perawatan serta obat-obatan yang diperlukan.
Berkaitan dengan urutan anak keberapa dalam keluarga tersebut, survey register awal
ini belum dapat dikaitkan dengan informasi mengenai proses persalinannya fisiologis
atau patologis. Begitu juga umur ibu saat melahirkan anak CP harus dianalisis secara
khusus pula mengingat risiko terjadinya kelainan janin saat di dalam kandungan semakin
meningkat sejalan dengan meningkatnya umur ibu. Peningkatan jumlah orang tua yang

544 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


tidak bekerja tidak hanya menyebabkan bertambahnya beban biaya tetapi juga berakibat
pada kualitas hidup anak selanjutnya. Karena itu perlu didata lebih cermat penyebab
peningkatan jumlah orang tua anak CP yang tidak bekerja. Terdapat kenaikan 5% jumlah
ayah yang tidak bekerja setelah anaknya didiagnosis CP, sedangkan ibu yang tidak bekerja
menunjukkan kenaikan sampai 26%. Beban keluarga dengan anak CP ternyata sangat
besar. Apalagi tidak semua yang diperlukan untuk perawatan rutin anak CP ditanggung
BPJS. Dari survey registrasi awal tersebut diperkirakan biaya yang harus dikeluarkan
untuk terapi saja sekitar Rp625.000,00 sampai Rp2.325.000,00 perbulan. Padahal UMR
di DIY Rp1.500.000,00 perbulan.
Registrasi Cerebral Palsy Indonesia (RCPI) adalah suatu riset registrasi, studi yang
berdasarkan populasi (population-based study), yang berisi karakteristik epidemiologi dari
CP, seperti prevalensi/insidensi, etiologi, faktor-faktor risiko, keparahan fungsi motorik
dan informasi demografik. Pilot project registrasi CP ini akan dilakukan di kabupaten
Kulonprogo, DIY. Anak-anak dengan CP akan diidentifikasi dengan menggunakan
metode Key Informant (KI) yang berbasis komunitas. Data-data lengkap RCPI bersama
dengan hasil pemeriksaan oleh peneliti/petugas medis akan dimasukkan ke dalam suatu
data penyimpanan online (online data repository) yang terjaga kerahasiaannya. Pilot project
registrasi CP yang disempurnakan ini sebagai upaya menuju register CP Nasional (Register
Cerebral Palsy Indonesia/RCPI).

Tujuan utama dari RCPI ini adalah :


1. Sebagai alat skrining CP untuk mendapatkan prevalensi CP, sehingga dapat dibuat
map/peta penyebaran populasi penyandang CP di masyarakat
2. Sebagai pusat informasi untuk mengetahui/meneliti lebih lanjut tentang faktor risiko
dan penyebab CP di Indonesia.
3. Sebagai landasan/bukti faktual untuk menentukan dan mengevaluasi berbagai
program deteksi dini dan pencegahan CP di masyarakat. Sebagai upaya pemberdayaan
masyarakat dalam penanganan terpadu penyandang CP
4. Membantu proses rehabilitasi dan pemberian bantuan alat bantu bagi penyandang
CP.
5. Untuk peningkatan pelayanan terpadu yang terintegrasi bagi anak dengan CP.
6. Untuk peningkatan layanan informasi dan kemudahan akses pendidikan anak CP
7. Sebagai sumber informasi untuk membantu pemerintah dalam penetapan kebijakanyang
terkait masalah pendanaan atau anggaran, BPJS, Jamkesda untuk peningkatan kualitas
hidup dan pemenuhan kebutuhan kesehatan dan pendidikan penyandang CP.

Populasi Cerebral Palsy yang di registrasi


Populasi CP yang diregistrasi adalah seluruh anak dengan disabilitas fisik hasil penjaringan.
Datanya dianalisis sesuai dengan kriteria, diagnosis dan klasifikasi jenis dan keparahan CP
yang dilakukan setelah IntAC. Hasil inilah yang kemudian di masukkan sebagai data dasar
CP dengan nomor register yang telah ditetapkan.

545
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Metode registrasi
Key Informant (KI) akan melakukan skrining anak dengan disabilitas fisik di daerahnya,
untuk kemudian dilaporkan ke Community Mobilizer (CM). Community Mobilizer ini
akan menghubungi tim, dan pada hari yang sudah ditentukan, para penderita disabilitas
fisik tersebut akan dikumpulkan dalam suatu Integrated Assesment Camp (IntAC) untuk
dilakukan pemeriksaan oleh tim yang terintegrasi, yang terdiri dari dokter anak, dokter
rehabilitasi medis, dokter umum, fisioterapi, dan psikolog. Pemeriksaan ini bertujuan
untuk mendiagnosis, apakah penderita disabilitas fisik tersebut menderita CP ataukah
tidak. RCPI akan mengadopsi pendekatan dari Australia Cerebral Palsy Register (ACPR),
Surveillance of Cerebral Palsy in Europe (SCPE) dan Bangladesh Cerebral Palsy Register
(BCPR) yang sudah dimodifikasi disesuaikan dengan kondisi di Indonesia. Dengan
menggunakan kuesioner yang berisi informasi-informasi tentang sosial ekonomi, riwayat
kesehatan maternal, riwayat kelahiran, jenis disabilitas dan penyakit penyerta pada
penyandang CP. Data anak dengan CP dalam kuesioner selanjutnya akan diregistrasi dan
dimasukkan dalam suatu penyimpanan online yang terjaga kerahasiaannya.
Registrasi CP dilakukan dengan ketentuan yang dimasukkan kedalam data dasar
register adalah yang memenuhi kriteria diagnosis klinis CP. Sebagian besar registrasi CP

Gambar 1. Alur registrasi CP di komunitas

546 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


di negara Eropa menyetujui bahwa kriteria CP harus memenuhi 5 elemen di bawah ini
sesuai definisi yang dipublikasikan oleh Bax, Rosenbaum, dan Mutch sebagai berikut7,11

Kriteria CP :
1. Merupakan suatu terminologi payung untuk suatu kelompok gangguan
2. Merupakan suatu kondisi yang permanen akan tetapi suatu waktu dapat terjadi
perubahan dari kondisi awal CP
3. Meliputi gangguan gerak dan atau postur serta fungsi motorik lainnya
4. Sebagai akibat dari gangguan yang non progresif, berupa lesi, atau abnormalitas, pada
otak
5. Gangguan, lesi atau abnormalitas yang disebabkan oleh otak yang imatur.

Diagnosis dan klasifikasi Cerebral Palsy


Pastikan bahwa bukan penyakit saraf pusat yang progresif atau degeneratif, yaitu dengan
anamnesis lengkap tentang riwayat kehamilan ibu, riwayat kelahiran anak, riwayat setelah
lahir, mencari dan menemukan faktor risiko kemungkinan penyebab CP dan pemeriksaan
fisik yang teliti meliputi pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan neurologi (termasuk
pemeriksaan reflek-reflek primitif yang masih menetap), ukuran dan bentuk kepala,
adanya dismorfi, deformitas maupun telah adanya kontraktur, pemeriksaan penglihatan
dan pendengaran.
Pemeriksaan penunjang untuk penegakan diagnosis dan mencari kemungkinan
penyebab CP yang bisa dilakukan antara lain pemeriksaan neuroimaging (MRI lebih
disarankan daripada CT Scan), pemeriksaan laboratorium tes metabolik dan genetik.
Klasifikasi CP berdasarkan tipe gangguan motorik, terdiri dari spastik CP, ataksik
CP, diskinetik CP (bisa berupa distonik maupun choreo-athetotic), CP campuran.
Klasifikasi CP juga dibuat berdasarkan topografi, terdiri dari spastik unilateral (hemiplegia
dan monoplegia) dan spastik bilateral (diplegia, triplegia dan kuadriplegia). Selain itu
klasifikasi CP berdasarkan derajat beratnya penyakit, dibagi menjadi minimal, ringan,
sedang dan berat.
Penetapan diagnosis CP tersebut diatas dilakukan Tim asesmen terpadu CP di
Rumah Sakit rujukan melibatkan beberapa profesional yang berkaitan dengan penetapan
diagnosis, tipe dan derajat keparahan CP. Tim asesmen ini meliputi : Dokter Spesialis
Anak, Dokter Spesialis Rehabilitasi Medik, Dokter Spesialis Ortopedi, Dokter Umum,
Dokter Gigi, Ners/perawat, Psikolog, Dietetisian/ahli gizi, pekerja sosial. Kemudian
untuk penetapan diagnosis di IntAC akan dilakukan oleh tim yang lebih sederhana
ditambah guru dan relawan (dari WKCP, mahasiswa UNY jurusan Pendidikan Luar Biasa
dan Dria Manunggal). Tim ini secara terpadu interprofesional baik serentak bersama-
sama atau terpisah tetapi berkoordinasi dan berkolaborasi Asesmen dilakukan melalui
IntAC di kelurahan yang terdekat dengan tempat tinggal anak CP. Pemberdayaan

547
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
masyarakat melibatkan kader, guru dan relawan dipikirkan akan memberikan hasil yang
menggembirakan.IntAC ini sekaligus juga memberikan edukasi dan terapi pada beberapa
anak CP yang saat itu membutuhkan. IntAC dilengkapi dengan fasilitas Code Blue untuk
mengantisipasi apabila terjadi kegawatan pada anak CP yang mengikuti acara ini.

Penanganan Terpadu CP
Penanganan anak dengan CP bertujuan untuk memperbaiki kemampuan motorik anak
sehingga kualitas hidupnya dapat meningkat, dan melihat begitu luasnya permasalahan
yang sedang dan akan dihadapi oleh anak dengan CP, maka pendekatan menyeluruh dari
berbagai disiplin ilmu sangatlah penting, sehingga tujuan dari penatalaksanaan palsi serebral
dapat tercapai dengan optimal, dengan melibatkan orangtua penyandang CP, keluarga
dan para ahli dari berbagai macam sub disiplin ilmu (misalnya dokter anak, dokter bedah
tulang, dokter saraf, dokter THT, dokter mata, dokter gigi, speech terapist, occupational
terapist, psikolog, ahli nutrisi, pekerja sosial, edukator, dll). Semua bekerjasama dalam 1
tim. Tatalaksana untuk anak dengan CP meliputi terapi fisik, terapi okupasi, terapi wicara,
terapi fisik, operatif, medikamentosa, alat ortotik, alat adaptif (kursi roda, tongkat).
Dalam penanganan dan program-program yang berhubungan dengan anak-anak
penyandang CP, sejak tahun 2012, RS UGM sudah bekerjasama dengan Wahana Keluarga
Cerebral Palsy (WKCP), yaitu suatu organisasi dengan bentuk komunitas yang anggotanya
terdiri dari orang tua yang memiliki anak dengan CP, penyandang CP, masyarakat profesi,
dan masyarakat umum yang peduli dan bergelut dengan CP di Yogyakarta. WKCP sendiri
didirikan pada bulan Maret tahun 2012. Dilakukan juga seminar-seminar dan workshop
tentang CP yang rutin diadakan setiap tahun oleh RS UGM. Tim medis dari RS UGM
yang terdiri dari dokter anak, dokter gigi, fisioterapi dan ahli gizi juga menyusun suatu
Buku Kesehatan Anak Cerebral Palsy yang memuat informasi penting tentang kesehatan
anak CP, growth chart khusus untuk anak CP, bagaimana tips sederhana melakukan
fisioterapi di rumah oleh keluarga, edukasi tentang asupan nutrisi yang baik dan perawatan
gigi yang baik untuk anak CP.

Fasilitas dan per undang-undangan yang berkaitan dengan


penanganan penyandang Cerebral Palsy
Upaya perlindungan bagi anak dengan disabilitas sama dengan anak lainnya, yaitu upaya
pemenuhan kebutuhan dasar anak dan kebutuhan mereka akan fasilitas kesehatan yang
memadai agar mereka dapat hidup, tumbuh, dan berkembang secara optimal serta
berpartisipasi sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Kemudahan akses ke fasilitas-
fasilitas umum yang ramah untuk anak dengan disabilitas sehingga mereka dapat
beraktifitas dengan leluasa, aman dan nyaman sesuai kemampuannya. Hal ini didukung
dengan dikeluarkannya Peraturan Gubernur (Pergub) DIY No. 4 Tahun 2012 tentang
Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas, Pergub No. 51 Tahun
2013 tentang Sistem Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Khusus Penyandang Disabilitas

548 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


dan Analisis Implementasinya, Pergub No. 41 Tahun 2013 tentang Pusat Sumber
Pendidikan Inklusi, Peraturan Daerah Kota Yogyakarta No. 1 Tahun 2016 tentang Kota
Layak Anak dan Peraturan Walikota Yogyakarta No. 49 Tahun 2012 tentang Sekolah
Ramah Anak, sehingga anak-anak dengan disabilitas, dalam hal ini khususnya anak-anak
dengan CP dapat mendapat hak yang sama dalam hal pendidikan yang berkualitas tidak
berbeda dengan anak-anak lainnya. Disebutkan dalam Profil Kesehatan DIY tahun 2013,
anak berkebutuhan khusus yang mengikuti pendidikan di DIY telah mencapai 63,24%12.

Hasil yang diharapkan


Pelaksanaan CP Register ini diharapkan akan 1) memudahkan para peneliti/petugas
medis dalam estimasi prevalensi CP di masyarakat, memfasilitasi pengawasan klinis
dan pengadaan riset untuk meningkatkan perawatan individu dengan CP di Indonesia.
2) Membantu dalam proses penanganan CP secara terintegrasi oleh tim-tim yang
terkait sehingga dapat menjadi dasar peningkatan kualitas hidup jangka pendek dan
jangka panjang anak dengan CP. 3) Registrasi CP dapat membantu pemerintah untuk
menentukan dengan tepat, bantuan/rehabilitasi apa yang bisa diberikan kepada anak-anak
dengan CP dalam peningkatan kualitas hidup serta memiliki hak dan kesempatan yang
sama dengan anak-anak lain, seperti yang tertuang dalam UU Perlindungan Anak, Nomor
23 Tahun 2002 dan Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 4
Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas. 4)
Data prevalensi CP yang terdapat dalam register CP ini diharapkan mampu membantu
pemerintah daerah terkait pembuatan mapping untuk pemenuhan kebutuhan dan proses
pembangunan sekolah inklusi yang sesuai standar jenis disabilitas di wilayah tersebut
seperti yang dimaksud dengan Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta no 41
tahun 2013 tentang Pusat Sumber Pendidikan Inklusi, dan 5) Diharapkan sebagai tindak
lanjut adanya data-data dari RCPI ini, dapat dilakukan penanganan terpadu penyandang
CP dalam wilayah kota/kabupaten layak anak .

Daftar pustaka
1. Rosenbaum P, Paneth N, Leviton A, Goldstein M, Bax M. 2007. A report: The Definition
and Classification of Cerebral Palsy. Dev Med Child Neurol;109 (Suppl):8–14
2. Hurley DS, Sukal-Moulton T, Msall ME, Gaebler-Spira D, Krosschell KJ, Dewald JP. 2011.
The cerebral palsy registry: development and progress toward national collaboration in the
United States. J Child Neurol;26(12):1534–41
3. Odding E, Roebroeck ME, Stam HJ. 2006. The Epidemiology of Cerebral Palsy: Incidence,
Impairments and Risk Factors. Disabil Rehabil;28:183–91
4. Reddihough D. 2011. Cerebral Palsy in Childhood. From Australian Family Physician vol.
40, no. 4
5. Cerebral Palsy Diagnosis and Treatment. World Cerebral Palsy Day. worldcpday.org

549
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
6. Khandaker G, Muhit M, Rashid H, Khan A, Islam J, Jones C, Booy R. 2014. Infectious
Causes of Childhood Disability: Results from a Pilot Study in Rural Bangladesh. Journal Of
Tropical Pediatrics, Vol. 60, No. 5
7. Australian Cerebral Palsy Register Report 2016. Available from https://www.cpregister.com/
pubs/pdf/ACPR-Report_Web_2016.pdf
8. Soetjiningsih, 1995. Tumbuh Kembang Anak. ECG, 223 – 35.\
9. Mujaddid.2014. Buletin Jendela Situasi Penyandang Disabilitas : Kesehatan Anak dengan
Disabilitas : 25. Kementerian Kesehatan RI
10. Wulandari R, Weta I.W, Imron M.A. 2016. Penambahan Latihan Hidroterapi Pada Terapi
Bobath Lebih Meningkatkan Kecepatan Berjalan Pada Cerebral Palsy Spastik Diplegi. Sport
and Fitness Journal Volume 4, No.1 : 25-36
11. Surveillance of Cerebral Palsy in Europe (SCPE). 2000. Surveillance of cerebral palsy in
Europe: a collaboration of cerebral palsy surveys and registers. Dev Med Child Neu-
rol;42(12):816–24
12. Dinas Kesehatan DI Yogyakarta. Profil Kesehatan Daerah Istimewa Yogyakarta 2013. Vol.
8, Health Care. 2013. Available from : http://www.depkes.go.id/resources/download/profil/
PROFIL_KES_PROVINSI_2012/14_Profil_Kes.Prov.DIYogyakarta_2012.pdf

550 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


National Policy Update on Child Abuse and
Neglect Urgency
Tubagus Rachmat Sentika

Abstract
There has been an increase in cases of violence against children in Indonesia, especially in the last five
years. The increasing abuses occur in schools such as sexual, physical and psychological bullying, to violence
within the family environment. As of October 2016, Indonesian Children Protection Committee (Komisi
Perlindungan Anak Indonesia/KPAI) and its partners recorded 3.581 cases of child violation. Increasing
cases of violence against children is a sign that violence against children still occurs in Indonesia. This
has prompted Indonesian government to update its national policies related to child protection to tackle,
reduce and prevent cases of violence involving children in Indonesia.
To adjust to the changing circumstances, the Government of Indonesia has initiated a national policy
update on child protection against abuse and neglect, such as revision of revision of UU No. 23/2002
on Child Protection into UU no. 35/2015, Perppu No. 1 of 2016 on the Second Amendment to
UU. 23/2002 on Child Protection, and the National Strategy on the Elimination of Violence against
Children 2016-2020. The national strategy covers six areas of intervention, namely: (1) Legislation and
implementation of policies that protect children from all forms of violence. (2) Changing social norms
and cultural practices that accept, justify, or ignore violence. (3) Parenting interventions that support safe
and caring relationships between care givers (especially parents) and their children to prevent violence.
4) Improving children’s life skills and self-resilience in preventing violence and supporting compulsory
education for children. (5) Affordable and quality support services for victims, perpetrators and children
at risk, and (6) Improving the quality of data and supporting evidence on violence against children.
This paper proposes two recommendations. First, promoting the socialization of UU No. 1 of 2016
both at the national and local levels to support community education efforts on the child protection
policies reform. Secondly, to improve the capacity of local government and child protection networks in
implementing national policies and formulate strategies and programs appropriate to local conditions
and situations.

K
ekerasan terhadap anak merupakan salah satu permasalahan yang terjadi di
seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Tindakan ini tidak saja mengancam anak-
anak secara langsung, tetapi juga mempengaruhi anak-anak di semua tahapan
perkembangan semenjak usia dini hingga remaja, dan berlangsung dalam berbagai situasi.
Di Indonesia, khususnya dalam lima tahun terakhir, terjadi peningkatan kasus kekerasan
terhadap anak terutama bentuk kekerasan yang terjadi di sekolah seperti bullying baik
dalam bentuk seksual, fisik maupun psikologis, hingga kekerasan di lingkungan keluarga.
Sampai dengan Oktober 2016, KPAI beserta mitranya mencatat 3.581 kasus pengaduan
anak. Angka ini dapat dibandingkan dengan angka kasus pengaduan pada tahun 2011
sebesar 2.178 kasus, tahun 2012 sebesar 3.512 kasus, tahun 2013 sebesar 4.311 kasus,

551
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
tahun 2014 sebesar 5.066 kasus, dan tahun 2015 sebesar 4.309 kasus. Kasus terbanyak
terjadi pada kluster keluarga dan pengasuhan alternatif serta kluster pendidikan (KPAI,
2016).

Kekerasan terhadap Anak di Indonesia


 Hasil Survey Kekerasan terhadap Anak (SKTA) Tahun 2013 yang dilakukan oleh Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bekerjasama dengan Kementerian Sosial,
Bappenas dan UNICEF pada dua kelompok umur yaitu 18-24 tahun dan 13-17 tahun,
menunjukkan pada anak kelompok umur 18-24 tahun ditemukan 1 dari 2 anak laki-laki dan 1
dari 6 anak perempuan setidaknya mengalami salah satu jenis kekerasan; baik kekerasan seksual,
fisik atau emosional sebelum mereka berumur 18 tahun, dan pada kelompok umur 13-17
tahun menunjukkan jumlah anak laki-laki yang mengalami kekerasan seksual/fisik/ emosional,
sebesar 1 dari 3 anak laki-laki dan 1 dari 5 anak perempuan mengalami kekerasan seksual/fisik/
emosional dalam 12 bulan tahun terakhir.
 Penelitian yang dilakukan terhadap 1738 siswa kelas 8 di Jakarta dan Serang menunjukkan bahwa
84 % siswa mengaku pernah mengalami berbagai bentuk kekerasan di sekolah, dan 75 %mengaku
pernah melakukan kekerasan dalam 6 bulan terakhir (Malhotra, Warner, McGonagle, & Lee-Rife,
2011).
 1 dari 6 perempuan di Indonesia menikah sebelum berusia 18 tahun (BPS, 2012) yang
menempatkan anak dalam risiko kesehatan, putus sekolah, dan jerat kemiskinan.
 26 %anak mengalami hukuman fisik di rumah dan pelaku utamanya adalah orang tua (BPS,
2014).
 Jumlah laporan kasus kekerasan anak hingga April 2015 mencapai 6.006 kasus. Meningkat
signifikan dari tahun 2010 yang hanya 171 kasus, 2011 (2.179), 2012 (3.512), 2013 (4.311),
dan2014 sebanyak 5.066 kasus (KPAI, 2016).

Meningkatnya kasus kekerasan terhadap anak-anak merupakan sinyalemen bahwa


meski berbagai produk hukum dan kebijakan nasional telah tersedia serta berbagai upaya
yang telah dilakukan untuk melindungi anak dari kekerasan dan diskriminasi, namun
kekerasan terhadap anak masih terjadi dan tersebar di penjuru tanah air.

Peningkatan komitmen pemerintah


Peningkatan kasus kekerasan terhadap anak-anak di Indonesia ini kemudian mendorong
pemerintah untuk memperbarui kebijakan nasional terkait dengan perlindungan anak
untuk menanggulangi, mengurangi dan mencegah kasus kekerasan yang melibatkan
anak-anak di Indonesia. Komitmen ini juga sejalan dengan target global baru yang
diartikulasikan ke dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development
Goals/SDGs) yang telah diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada September 2015 .
Sasaran khusus No. 16 dan Target 16.2 tegas menyatakan bahwa negara-negara anggota
harus berupaya untuk “menghentikan kekerasan, eksploitasi, perdagangan, serta segala

552 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


bentuk kekerasan dan penyiksaan terhadap anak”. Sasaran lanjutan pun disertakan untuk
mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan. Sasaran khusus No. 5
menyatakan komitmen negara anggota untuk mengakhiri segala bentuk kekerasan dan
diskriminasi terhadap perempuan dan anak perempuan, termasuk perkawinan anak dan
mutilasi kelamin perempuan.
Komitmen untuk mengakhiri kekerasan terhadap anak menjadi prioritas
pembangunan nasional. Seperti yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, bahwa Pemerintah harus berupaya dalam
mengatasi “tantangan utama dalam meningkatkan perlindungan perempuan dan anak
dari kekerasan dan penyalahgunaan” dan “mengimplementasikan sistem yang holistik dan
terkoordinasi dalam melindungi perempuan dan anak”. RPJMN 2015-2019 menjabarkan
perlindungan merupakan salah satu dari 5 tantangan dalam penguatan sumber daya
manusia. Indikator target tentang perlindungan anak dari segala bentuk kekerasan,
eksploitasi, dan penelantaran adalah pengurangan prevalensi kekerasan terhadap anak di
Indonesia. Secara khusus, terkait perlindungan anak, RPJMN berfokus pada: 1) Tumbuh
kembang anak; di dalamnya juga tercakup penguatan partisipasi anak, 2) Meningkatkan
perlindungan dari kekerasan, perlakuan salah, eksploitasi, dan penelantaran, 3)
Peningkatan keefektifan perlindungan.
Upaya memperbarui kebijakan nasional terkait dengan perlindungan anak dari
kekerasan dan penelantaran ini juga berdasarkan kepada dokumen-dokumen kebijakan
yang relevan. Formulasi pembaruan kebijakan nasional ini juga merujuk kepada beberapa
dokumen seperti Rencana Aksi Nasional Perlindungan Anak, Rencana Aksi Nasional
Kesehatan Anak Usia Sekolah dan Remaja 2015-2019, Rencana Aksi Nasional Hak
Asasi Manusia (RAN HAM) 2015-2019, Rencana Aksi Nasional Perlindungan dan
Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial (RAN P3AKS) 2014-2019,
dan Rencana Aksi Nasional Percepatan Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender dan Hak
Anak melalui Forum Organisasi Keagamaan 2014-2018.

Update kebijakan nasional kekerasan terhadap anak


Ada lima pembaruan penting di dalam kebijakan nasional perlindungan anak dari
kekerasan dan urgensi penelantaran (National Policy Update on Child Abuse and Neglect
Urgency). Pertama adalah revisi Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
anak yang dilakukan pada tahun 2015 menjadi Undang-undang No. 35 tahun 2015.
Revisi ini berisi perubahan umur kategori anak yang melakukan tindakan pidana dari usia
8 tahun menjadi usia 12 tahun. Selain itu, perubahan penting lainnya adalah penambahan
poin (f ) di dalam Pasal 15 yang menyatakan bahwa setiap anak berhak untuk mendapat
perlindungan dari kejahatan seksual yang memperlihatkan urgensi isu kejahatan seksual
terhadap anak di Indonesia. Kedua adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Perppu ini menyisipkan Pasal

553
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
81A yang memberlakukan pemberatan hukuman untuk pelaku kekerasan anak dengan
hukuman kebiri. Ketiga, upaya pemerintah dalam meningkatkan program perlindungan
anak terpadu berbasis masyarakat. Keempat, upaya Pemerintah Indonesia untuk
meningkatkan kemampuan jejaring perlindungan anak melalui implementasi program
seperti “Kota Layak Anak” serta meningkatkan kemampuan pemangku kepentingan
seperti KPAI dan pemerintah daerah. Kelima adalah penyusunan dan pengesahan Strategi
Nasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak 2016-2020 yang secara komprehensif
memetakan arah kebijakan dan upaya perlindungan dan penghapusan kekerasan terhadap
anak dalam jangka lima tahun.

Strategi nasional penanggulangan kekerasan terhadap anak


Area Intervensi
STRANASPKTA 2016-2020 berfokus pada 6 area intervensi untuk mencegah dan
menangani kekerasan terhadap anak, dengan prioritas utamanya adalah upaya pencegahan.
Keenam area tersebut adalah:
1. Legislasi dan penerapan kebijakan yang melindungi anak dari segala bentuk kekerasan
Beberapa tantangan yang dihadapi Indonesia antara lain; minimnya pengaturan
mengenai pelarangan hukuman fisik terhadap anak; minimnya kerangka hukum
yang menempatkan anak yang terlibat dalam eksploitasi seksual sebagai korban; dan
pelarangan sunat bagi anak perempuan. Selain itu, penegakan hukum juga menjadi
catatan khusus dalam pelaksanaan kebijakan dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Studi di negara-negara ASEAN pada tahun 2015 bahkan memperlihatkan bahwa
hanya 42% kebijakan di Indonesia yang sesuai dengan standar hak asasi manusia
internasional (UNICEF, 2015), termasuk hak asasi anak. Strategi legislasi dan
penerapan kebijakan yang mendukung penghapusan segala jenis kekerasan terhadap
anak ini memberi pesan yang kuat kepada masyarakat tentang pentingnya melindungi
anak dari segala bentuk kekerasan.
Aksi: Harmonisasi peraturan perundang-undangan, evaluasi pelaksanaan
kebijakan perlindungan anak, revisi peraturan yang melanggar hak-hak anak, advokasi
dan sosialisasi mengenai kebijakan terkait anak, serta asistensi kepada daerah untuk
mengembangkan peraturan daerah terkait perlindungan anak.
2. Mengubah norma sosial dan praktik budaya yang menerima, membenarkan, atau
mengabaikan kekerasan
Kekerasan terhadap anak dipengaruhi oleh norma-norma sosial yang dianut
oleh keluarga dan masyarakat di lingkungan anak. Masih ada norma sosial dalam
keluarga dan masyarakat yang menganggap bahwa kekerasan terhadap anak adalah
bagian dari proses mendisiplinkan anak. Padahal tidak ada satu pun bentuk kekerasan
yang dapat diterima. Kekerasan terhadap anak merupakan hal yang dapat dicegah.
Penghapusan kekerasan terhadap anak membutuhkan transformasi cara pandang
dan sikap masyarakat yang mengabaikan dan menerima kekerasan. Oleh karena itu,

554 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


penghapusan kekerasan terhadap anak memerlukan perubahan besar terhadap apa
yang masyarakat anggap sebagai perilaku yang dapat diterima.
Beragam studi membuktikan bahwa program yang efektif untuk menangani
kekerasan terhadap anak adalah kegiatan yang bersifat partisipatoris, lintas sektor,
dan mendukung sikap sosial yang anti-kekerasan (Ellsberg, et al., 2015).
Aksi: Program yang fokus pada perubahan perspektif dan perilaku yang
mendukung kekerasan anak, misalnya dengan intervensi kepada tokoh masyarakat
untuk mengubah cara pandang dan perilaku sosial yang menerima kekerasan, serta
kampanye kreatif sebagai upaya memberikan pesan anti-kekerasan kepada keluarga
dan masyarakat.
3. Intervensi pengasuhan yang mendukung relasi yang aman dan penuh kasih sayang
antara pengasuh (khususnya orang tua) kepada anaknya untuk mencegah kekerasan
Berbagai hasil studi menunjukkan bahwa orang tua yang mempunyai relasi yang
penuh kasih sayang secara signifikan dapat mengurangi risiko anak menjadi korban
kekerasan (Hillis, et al., 2015). Adanya hubungan kasih sayang dalam keluarga
berdampak positif yang ditunjukkan dengan adanya pengurangan terpaparnya anak
dalam penindasan, penyalahgunaan, kekerasan fisik, seksual dan emosional, dan
viktimisasi oleh rekan sebaya.
Aksi: Program pendidikan pengasuhan yang mempromosikan upaya
mendisiplinkan anak tanpa menggunakan kekerasan; mendorong komunikasi dan
interaksi yang positif antara pengasuh dengan anak, serta meningkatkan kemampuan
orang tua dalam melindungi dan merespons segala bentuk kekerasan yang dialami
anak.
4. Meningkatkan keterampilan hidup dan ketahanan diri anak dalam mencegah
kekerasan serta mendukung program wajib belajar untuk anak
Pendidikan keterampilan hidup dapat membantu anak dalam melindungi diri
dan bersikap ketika mengalami kekerasan. Keterampilan hidup dimaksud mencakup
pengembangan kepercayaan diri anak, kemampuan berpikir kritis, pembekalan
mengenai pola relasi yang sehat, komunikasi yang efektif, serta pengetahuan terhadap
layanan yang dapat diakses ketika mengalami kekerasan, dan pemberdayaan ekonomi
untuk remaja.
Berbagai kajian juga memperlihatkan pentingnya menyelesaikan sekolah
menengah sebagai upaya prioritas dalam mencegah perkawinan anak dan kekerasan
dalam hubungan antar remaja (Malhotra, Warner, McGonagle, & Lee-Rife, 2011).
Aksi: Program pengembangan ketahanan diri anak dan remaja, program
pendidikan teman sebaya dalam pencegahan kekerasan, pembekalan terhadap
informasi menyeluruh tentang kesehatan reproduksi, serta membangun komunikasi
yang efektif dengan orang tua.
5. Layanan pendukung yang terjangkau dan berkualitas untuk korban, pelaku, dan anak
dalam risiko
Upaya untuk mengurangi kekerasan harus difokuskan pada penanganan dan
dukungan yang komprehensif yang berpusat pada kebutuhan anak. Karena itu,

555
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
penyediaan layanan konseling, dukungan rekan sebaya atau kelompok masyarakat
terhadap korban, pelayanan kesehatan yang memadai, dan informasi bantuan hukum,
merupakan upaya penting dalam mencegah tindakan kekerasan dan mengatasi
dampak dari kekerasan yang dialami anak.
Aksi: Program bantuan sosial anak dengan prioritas pada bantuan pemeriksaan
kesehatan anak, pemantauan hasil belajar anak, pelatihan pengasuhan; penyediaan
lembaga konseling dan bantuan hukum; penguatan mekanisme penanganan dan
advokasi kasus kekerasan anak dan peningkatan kapasitas aparat penegak hukum
yang responsif hak anak serta penyediaan sarana dan prasarana yang ramah anak.
6. Peningkatan kualitas data dan bukti pendukung tentang kekerasan terhadap anak
Sebuah studi yang dilakukan Columbia University, Amerika Serikat (Boothby & Stark,
2011) menemukan fakta mengenai minimnya informasi yang akurat mengenai hal-hal
terkait pengasuhan dan perlindungan anak di Indonesia, termasuk besaran masalah,
analisis sebab-akibat, dan dampak terhadap respons program yang dilakukan.
Padahal, upaya menyusun kebijakan perlindungan anak yang efektif harus
didasari oleh bukti yang kuat. Berbagai studi menunjukkan bahwa data surveilans
dan studi tematik terbukti efektif dalam memahami masalah dan merencanakan aksi,
mengimplementasikan, dan menilai dampak dari intervensi penanganan kekerasan
terhadap anak.
Aksi: Prioritas akan diberikan pada pembentukan mekanisme untuk pengumpulan
data yang komprehensif tentang kekerasan terhadap anak di Indonesia. Di sisi lain,
berbagai riset diperlukan untuk menggali faktor pemicu dan pelindung terkait
kekerasan, kajian pelaku, hingga survei berkala di tingkat nasional.

Mekanisme implementasi, pemantauan, dan evaluasi STRANAS PKTA 2016-


2020
STRANAS PKTA 2016-2020 memberi mandat terhadap Kementerian/Lembaga serta
kelompok masyarakat sebagai pelaksana program dari enam strategi tersebut. Secara
spesifik, pelaksanaan Stranas ini akan dikoordinasikan oleh tiga kementerian yaitu:
•• Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko
PMK): Melakukan fungsi koordinasi dalam pelaksanaan STRANAS PKTA serta
penyusunan rencana kegiatan tahunan bersama Kementerian/Lembaga dan kelompok
masyarakat.
•• Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA):
Melakukan pemantauan, evaluasi, sosialisasi, advokasi, dan bimbingan teknis kepada
Kementerian/Lembaga serta organisasi masyarakat dalam pelaksana Stranas baik di
tingkat nasional maupun daerah.
•• Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas: Melakukan
koordinasi dalam penyusunan perencanaan dan penganggaran tahunan untuk
implementasi Stranas PKTA 2016-2020

556 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Setiap tahun, ketiga kementerian diatas mengkoordinasikan perencanaan kegiatan
penghapusan kekerasan terhadap anak, bersama Kementerian/Lembaga dan kelompok
masyarakat pelaksana program. Adapun sumber pendanaan utama pelaksanaan Stranas ini
berasal dari APBN, dan bantuan dari berbagai mitra pembangunan.

Penutup
Berdasarkan pemaparan di atas, maka terdapat dua rekomendasi yang diajukan:
Pertama, menggalakkan sosialisasi UU No. 1 Tahun 2016, baik di tingkat nasional
maupun daerah. Hal ini untuk menunjang upaya pendidikan masyarakat terhadap
pembaruan kebijakan perlindungan anak serta memberikan akses informasi terhadap
masyarakat yang belum mengetahui keberadaan kebijakan ini.
Kedua, meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dan jejaring perlindungan
anak dalam mengimplementasikan kebijakan nasional serta memformulasikan strategi
dan program yang sesuai dengan kondisi dan situasi di tingkat daerah seperti peningkatan
kepedulian terhadap anak melalui keluarga dan sekolah serta penggalakan kelompok hobi
sebagai jejaring awal perlindungan anak di lingkungan sekolah.

Daftar pustaka
1. Boothby, N., & Stark, L. (2011). Data Surveillance in Child Protection System Develop-
ment: An Indonesian case study. Child Abuse & Neglect, 35(12), 993-1001.
2. BPS. (2012). Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia. Jakarta: BPS.
3. BPS. (2014). The selected districts of Papua Province multiple indicator cluster survey 2011.
Jakarta: BPS.
4. Ellsberg, M., Arango, D. J., Morton, M., Gennari, F., Kiplesun, S., Contreras, M., & Watts,
C. (2015). Prevention of violence against women and girls: what does the evidence say? The
Lancet, 385(9977), 1555-1566.
5. Hillis, S. D., Mercy, J. A., Saul, J., Gleckel, J., Abad, N., & Kress, H. (2015). THRIVES: A
global technical package to prevent violence against children. Atlanta, GA: Centers for Disease
Control and Prevention.
6. KPAI. (2016, Oktober 25). Kasus Pengaduan Anak Berdasarkan Kluster Perlindungan Anak.
Diambil kembali dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia: http://bankdata.kpai.go.id
7. Malhotra, A., Warner, A., McGonagle, A., & Lee-Rife, S. (2011). Solutions to End Child
Marriage: What the Evidence Shows. Washington, DC: International Center for Research on
Women.
8. Tranquilli, A., & Munive, A. (2015). Are Schools Safe and Gender Equal Spaces? Open Plan,
1(4), 1-4.
9. UNICEF. (2014). Hidden in Plain Sight: A Statistical Analysis of Violence against Children.
New York: UNICEF.
10. UNICEF. (2014). Violence against Children in East Asia and the Pacific: A Regional Review and
Synthesis of Findings. Bangkok: UNICEF EAPRO.
11. UNICEF. (2015). Legal Protection from Violence: Analysis of domestic laws related to violence
against children in ASEAN member States. Bangkok: UNICEF EAPRO.

557
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Creating A National Coverage for Pediatric
Cardiac Services, What Can We Do To Minimize
the Gap?
Teddy Ontoseno
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RSUD Dr. Soetomo Surabaya

Abstract
In the present era, demands on the specialist services provided in pediatric cardiology centers have
increased dramatically. The approach, however, including diagnosis and management varies considerably
depending on manpower available. Definitive care requires highly sophisticated equipment, drugs,
and above all a specially trained professional team. In developing countries like Indonesia establishing
pediatric cardiology service is the important program right now. Diagnoses are often late due to the lack
of screening programs and trained personnel, limited technology, insufficient nursing staff, shortage of
medical supplies, limited access to continuous medical education, medical literature and finance. Caring
for children with heart defects remains a challenge in developing countries, diagnoses are often late due
to the lack of screening programs and trained personnel. The problem is worsened by limited availability
of hospital beds and the remoteness of rural communities from main urban centers where pediatric
cardiology specialists are available. Telemedicine has not been a feasible tool for pediatric cardiac
intensivists in developing countries seeking medical advice from more experienced international centers.
The primary aim of the network is to make integral pediatric cardiology services available to patients
in or near their communities, relying on multidisciplinary teamwork and emphasizing early detection,
follow-up, and lifetime monitoring and care, if necessary.
Bridging the huge gap needs extensive official as well as non-governmental efforts, training more
staff, a group of physicians must began receiving advanced training at the Pediatric Cardiology and
Cardiovascular Surgery. Supporting families and collaboration with regional and international centers.
A pediatric cardiac team has to form and then the services in different disciplines are gradually established.

P
elayanan anak dengan penyakit jantung, terutama penyakit jantung bawaan
(PJB), di negara maju sudah memberikan hasil yang memuaskan. Namun di
negara berkembang termasuk Indonesia pelayanan yang diperoleh masih belum
memuaskan dan merupakan tantangan besar yang harus diselesaikan pada saat ini. Inti
permasahannya sangat kompleks, melibatkan banyak faktor yang saling terkait dan harus
diselesaikan secara simultan.
Belum meratanya pelayanan jantung anak disetiap daerah di Indonesia yang
menyangkut sumber daya manusia baik kualitas maupun kuantitas serta sarana pendukung
untuk identifikasi faktor penyebab terjadinya PJB yaitu penyimpangan pembentukan

558 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


organ jantung pada trimester I kehamilan juga masih belum jelas, masih merupakan
hipotesis, dengan demikian upaya di bidang pencegahan juga masih belum optimal.
Deteksi sekaligus perawatan dini, sistem rujukan ke pusat pelayanan jantung yang lebih
memadai untuk penegakan diagnosis serta tata laksana definitifnya. Keterbatasan sarana
untuk perawatan intensif serta perawatan pre- dan pasca-operasi, jalur konsultasi dan
komunikasi ilmiah berupa pertemuan ilmiah berkelanjutan, pembahasan kasus baik
nasional maupun internasional. Jarangnya road show dari tim ahli jantung anak nasional
dan internasional untuk memberikan alih skills, knowledge dan teknologi yang belum
merata disetiap daerah di negera berkembang.
Diagnosa dini sering terlambat bahkan lolos dari pengamatan terutama pada bayi
yang berisiko tinggi terjadi penyakit jantung bawaan kritis. Tampilan klinis PJB pada
bayi baru lahir sering tidak jelas, bahkan adanya PJB kritis pada masa neonatal sering
lolos dari pengamatan. Hal ini terjadi karena adanya sirkulasi transisi menyebabkan bayi
tampak “normal”, gejala klinis yang cukup jelas baru tampak beberapa hari atau minggu
bahkan setelah 2 atau 3 bulan, sehingga bayi sering dipulangkan tanpa diagnosis penyakit
jantung. Keterlambatan diagnosis baik prenatal maupun postnatal sering merupakan ciri
khas untuk diagnosis PJB di negara berkembang.
Semua ini masih dirasakan sangat kurang. Akibatnya angka kejadian bayi baru lahir
dengan PJB, juga bayi lahir yang lolos dari diagnosis PJB kritis kemudian dipulangkan
tanpa program selanjutnya yang jelas makin meningkat. Selain itu sering menolak atau
terlambatnya pasien memeriksakan bayinya, ketidakpatuhan minum obat yang dianjurkan
dokter serta pemeriksaan untuk kontrol rutin mungkin karena kekurangpahaman
atau kesadaran masyarakat tentang penyakit jantung pada anak, sering menolak bila
memerlukan tindakan invasif maupun pembedahan, bahkan banyak masyarakat yang
masih sering menganggap bahwa penyakit jantung hanya diderita pada orang dewasa.
Dengan melihat latar belakang yang begitu kompleks dan saling terkait menyebabkan
mengapa layanan jantung anak di negara berkembang termasuk Indonesia masih
belum memuaskan perlu sekali tanpa menunda lagi memperbaiki sistem, transportasi,
pembangunan pusat pelayanan jantung anak dengan saran yang memadai serta
menciptakan atau mendidik tenaga-tenaga profesional dokter dan perwatan mahir khusus
dibidang jantung anak. Memerlukan penyelesaian yang serius dan tidak hanya melibatkan
instansi kesehatan saja tapi juga pemerintah.
Bedasarkan fakta mutakhir menunjukkan bahwa angka kejadian penyakit jantung
bawaan (PJB) masih tinggi, jumlah kunjungan pasien baru di Unit Rawat Jalan PJB di RS
Dr Sutomo Surabaya dalam 5 tahun terakhir cenderung meningkat dari tahun ke tahun.

559
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Upaya penyelesaian masalah
Sumber daya manusia dan distribusinya
Dalam tim Layanan jantung pada anak melibatkan beberapa ahli dari berbagai disiplin
ilmu yaitu :
•• dokter spesialis anak
•• dokter spesialis anak konsultan
•• dokter ahli anastesi kardiovaskular
•• dokter intensivis
•• dokter ahli bedah jantung anak
•• dokter ahli radiologi
•• dokter ahli patologi klinik
•• dokter ahli rehabilitasi medik
•• perawat mahir di bidang perawatan intensif atau tindakan kateterisasi
•• Angiografi, perawatan pre- dan pasca-intervensi
•• pembantu perawat mahir
Perlu mempunyai kompetensi melalui kurikulum pendidikan serta mendapatkan
legitimasi atau sertifikasi dari lembaga yang berwenang. Untuk itu diperlukan lembaga
pendidikan profesional yang sudah terakreditasi untuk melaksanakan fellowship training
program dalam jumlah yang memadai sesuai dengan kebutuhan lulusannya. Pada saat ini
di Indonesia baru ada 2 pusat pendidikan dokter spesialis anak konsultan yaitu di FKUI
(pendiri) dan FK Unair diharapkan Perguruan tinggi yang lain secepatnya menyusul.
Perlu peningkatan dan kemudahan dalam kerjasamanya dengan lembaga pendidikan
di luar negeri yaitu Malaysia, Vietnam dan China sebagai finishing program. Distribusi
sumber daya manusia yang profesional tersebut harus merata sesuai dengan pengembangan
pembangunan PUSAT PELAYANAN JANTUNG TERPADU di seluruh Indonesia

Membentuk tim layanan jantung anak handal yang bekerja dalam pusat
layanan jantung anak terpadu
Sangat ideal di negara berkembang sudah ada pusat layanan jantung anak terpadu dan
merupakan tantangan utama karena membutuhkan investasi yang sangat besar dengan
teknologi yang canggih, infrastruktur yang sempurna dan sumber daya manusia yang
profesional.
Kekurangpedulian tenaga kesehatan tentang penyakit jantung pada anak serta
kekurangpahaman bahkan ketrampilan yang belum memadai merupakan ciri khas tim
layanan jantung anak di negara berkembang. Oleh karena itu harus segera dibentuk tim
jantung anak yang lengkap, profesional dan kompak yang bisa duduk bersama dalam

560 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


mengambil keputusan yang terbaik terhadap setiap masalah yang dihadapi, bisa saling
bertukar pendapat untuk memantapkan keputusan akhir sebagai tatalaksana yang
sophisticated baik intervensi bedah maupun non-bedah.
Mengurangi keterbatasan informasi ilmiah yang mutakhir serta komunikasi dengan
pusat layanan jantung nasional maupun internasional yang sangat terbatas dan tidak
merata. Harus dibentuk jejaring ilmiah di tingkat nasional maupun internasional di setiap
daerah layanan jantung anak. Meningkatkan frekuensi pertemuan rutin semua tim yang
tergabung dalam layanan jantung anak.

Sarana dan prasarana serta finansial


Keterlambatan atau ketidaktepatan diagnosis, kunjungan pertama pasien sudah dalam
stadium terlambat, sehingga terapi yang tepat, cepat dan akurat sering tidak terlaksanakan
dan ini merupakan ciri khas layanan jantung anak di negara berkembang. Dengan terpen
uhinya sarana, prasarana dan finansial maka semua langkah pelayanan jantung bisa
dilakukan secara merata disetiap daerah. Fetal ekokardiografi sangat penting untuk deteksi
saat usia janin, walau tidak semua malformasi jantung serta gangguan irama jantung bisa
dideteksi. Dengan demikian bisa meberikan informasi dan pendidikan kepada orangtua,
konseling dan indikasi terminasi kehamilan, memilih tempat rujukan yang memadai,
merencanakan tata laksana jangka panjang, menekan mortalitas PJB kritis.
Dibidang diagnostik non invasif (laboratorium, EKG, Roentgen dada, ekokardiografi,
MSCT, MRI), diagnosis invasif (ruang kateterisasi dan angiografi), dan dibidang perawatan
(cardiac intensive care unit) harus sudah lengkap dengan dokter ahli dan perawat mahirnya.
Perlunya finansial yang memadai baik dari asuransi kesehatan, lembaga swadaya
masyarakat ataupun pemerintah daerah setempat, sehingga bisa merealisasikan rencana
tatalaksana definitifnya. Keterbatasan dana, walaupun sudah banyak pasien dengan PJB
yang sudah menikmati berbagai jaminan kesehatan namun cakupannya masih terbatas
dan belum seluruhnya bisa terlaksana dengan baik.

Memperbaiki komunikasi antara orangtua penderita dengan tim jantung


anak
Kekurangpahaman tentang penyakit jantung pada anak dari pihak keluarga, pendidikan
yang kurang serta rasa bersalah, putus asa, bingung, marah, saling menyalahkan kepada
orangtua serta kakek-nenek dan saudara-saudaranya. Pada situasi seperti ini sangat
memerlukan kehadiran tenaga perawat untuk membantu tim layanan jantung anak.
Perlu dibentuknya komunikasi antara tim layanan jantung anak dengan pihak
orangtua pasien secara terbuka, sehingga memberikan suasana tenang serta memberikan
informasj yang jelas dan mudah diapahami pihak keluarga tentang kondisi pasien serta
semua pemeriksaan yang akan dikerjakan, selain untuk menegakkan diagnosis serta
tindakan penyelamatan dari kematian dini.

561
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Khususnya pasien dengan kelainan kompleks sehingga perlu dua sampai tiga
kali tindakan operasi (multi stage operation), diperlukan pendekatan khusus untuk
memahaminya sehingga pasien dan keluarganya setelah operasi yang pertama dianggapnya
sudah tuntas sehingga tidak ada keinginan untuk kontrol dan loss of observation.
Terbentuknya jalinan psikologi dan sosial serta legalisasi atau informed consent tentang
semua yang akan dilakukan terhadap pasien harus berjalan dengan baik. Dengan demikian
terhindar dari dugaan malpraktek serta ketidak nyamanan pihak orang tua pasien selama
dirawat di rumah sakit, kepuasan bisa tercapai pada kedua belah pihak.

Sarana transportasi rujukan


Sarana transportasi rujukan untuk mencapai pusat layanan jantung pada anak yang lebih
memadai juga merupakan kendala besar, pemahaman kepada pihak orang tua pasien tujuan
rujukan, selain itu terjalinnya komunikasi yang baik antara tim layanan jantung anak sebagai
perujuk pasien kepada tim layanan jantung anak sebagai penerima rujukan (konsultan).
Letak geografis yang sulit mencapai pusat rujukan, sehingga harus menggunakan pesawat
terbang dengan biaya yang tidak murah. Risiko timbulnya penyulit selama transportasi,
hipoksia berat, hipotermi, asidosis, hipoglikemia, serangan sianosis, gagal jantung. Kondisi
seperti ini tentu memerlukan pendamping tenaga ahli serta fasilitas kegawatan jantung yang
tidak murah dan bila hal ini terjadi pesawat harus segera mendarat bila didalam pesawat
tidak disediakan peralatan kegawatan jantung serta tenaga profesional yang mendampingi
selama perjalanan, tentu hal ini akan menambah biaya perjalanan yang tidak murah.

Tugas tim di pusat layanan jantung anak yang menerima rujukan


Setelah menerima informasi tentang data-data pasien yang akan diterima, maka perlu
dilakukan:
•• Meneruskan dan melengkapi terapi medik yang telah diberikan.
•• Menegakkan diagnosis definitip
•• Menentukan terapi yang akan diberikan, pembedahan paliatif atau korektif, intervensi
non-bedah melalui prosedur kateterisasi jantung.
•• Atau sementara konserfatif dulu sambil menunggu keadaan umum optimal

Data survailans epidemiologi


Data tentang insidens dan prevalens bayi dengan PJB sangat kurang, sering hanya
merupakan ekstrapolasi atau asumsi dari data yang diperoleh dari seluruh dunia, sehingga
data yang diperoleh sebenarnya lebih tinggi dibanding negara maju.
Untuk itu sangat perlu mendapatkan data epidemiologi yang akurat disetiap pusat
pelayanan jantung agar bisa menentukan program prioritas pelayanan jantung anak di
masing-masing daerah, sumberdaya manusia serta sarana dan prasarana disesuaikan
dengan kebutuhan.

562 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Upaya pencegahan kejadian PJB
Pencegahan kejadian PJB seperti juga pencegahan penyakit lainnya yaitu bergantung pada
penyebabnya, seperti juga di negara maju. Genetik sebagai penyebab primer (chromosomal
and single gene defects) dengan lingkungan yang tidak kondusif. Multi factor inheritance
yaitu interaksi genetik dan lingkungan yang tidak bisa dicegah, walaupun angka kejadian
kelainan kromosom meningkat selaras dengan bertambahnya usia ibu serta belum
sempurnanya keluarga berencana dan masih banyaknya ibu hamil dengan usia diatas 35
tahun, sehingga di negara berkembang didapatkan insiden yang tinggi dari kromosom
trisomi. Penyakit jantung bawaan sering ditemukan pada Sindroma Down dan trisomi
13, 18, yang tersering adalah 21.
Bahan teratogen sering meimbulkan PJB di negara berkembang dan kejadiannya bisa
dicegah. Infeksi intrauterin (rubella) di negara maju bisa dicegah dengan vaksinasi anti
rubella. Kemiskinan dengan predisposisi wanita sebelum dan selama hamil kurang gizi,
perkawinan yang masih ada pertalian darah masih sangat menonjol di negara berkembang.
Oleh karena itu di negara berkembang perlu dipertimbangkan biaya pencegahan,
pengobatan dan rehabilitasi penyakit jantung pada anak.

Penutup
Masyarakat di negara berkembang perlu kesadaran yang tinggi tentang penyakit
jantung pada anak terutama PJB, tampilan awal, gejala serta diagnosis awal, disamping
meningkatkan kualitas dan kuantitas tenaga medis dan paramedik dengan memberikan
kesempatan meningkatkan kompetensi, kolaborasi dengan pusat pelayanan jantung anak
di negara maju, sehingga mempunyai standar internasional. Memperlancar sumber
dana yang tersedia, serta meningkatkan upaya dibidang pencegahan, tata laksana dan
rehabilitasi penyakit jantung pada anak.

Daftar pustaka
1. Benjamin Lee K. 2012, Pediatric Cardiac Surgery in Developing Countries of Africa: Current
State and Future Direction.The University of Texas Southwestern Medical Center Interna-
tional Medical Exchange Program 2012 – 2013.
2. Hoosen EGM, Cilliers AM, Hugo-Hamman CT, Brown ST, Harrisberg JR, Takawiras FF, et
al. Optimal paediatric cardiac services in South Africa – what do we need? Statement of the
Paediatric Cardiac Society of South Africa.
3. Fidelia, Bode-Thomas. Challenges in the Management of Congenital Heart Disease in De-
veloping Countries University of Jos Nigeria
4. Minai F. Editorial view Establishing a congenital cardiac anesthesia service: challenges in a
developing country. Pak Anaesth Pain intensive care. 2016; 20 (supplement).
5. Fellowship training program in pediatric cardiology and cardiovascular research 2004 – 2005
Department of Cardiology Children’s Hospital Boston Department of Pediatrics.

563
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
6. Pozzani G, Pozzi G. Telemedicine for Developing Countries A Survey and Some Design
Issues
7. Liebert MA, Burbano NH, Motoa MV, Santiago G, Klevemann M, et al. ,2012 .
8. Vol. 18 no. elemedicine and e-health 1Original Research Telemedicine in Pediatric Cardiac
Critical Care
9. 8. Ontoseno T. 2013. buku ajar kardiologi anak penyakit jantung bawaan sianosis.Airlangga
University Pers.
10. 9. Ontoseno T. 1999. Penyakit Jantung pada anak dan permasalahannya. Pendidikan Ke-
dokteran Berkelanjutan I / 1999. Ikatan Dokter Indonesia cabang Jombang.Hal 17-30
11. 10. Ontoseno T. 2007. PERINATAL CARDIOLOGY : What Paediatrician Should Know ?
Forum Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) Ilmu Kesehatan Anak, Jogjakarta,6-9 Mei 2007
12. 11. da Silva Mattos S, Hazin SMV, Regis CT, de Araújo JSS, de Lira Albuquerque FC, Moser
LRDN, et al. A telemedicine network for remote pediatric cardiology services in North-East
Brazil, Bulletin of the World Health Organization.
13. 12 Sulafa KMA. Paediatric cardiology programs in countries with limited resources: How to
bridge the gap.  J Saudi Heart Assoc. 2016;22:137-41.

564 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


How to Choose the Appropriate Nutrition
Support for Children with Short Bowel
Syndrome
Tinuk Agung Meilany
Nutrition and Metabolic Disease

Abstract
Short Bowel Syndrome (SBS) is a malabsorption disorder when a person is unable to absorb nutrients
properly due a congenital disease or surgical removal of a significant proportion of the small intestine.
Navigating through the diagnostic and therapeutic decisions is ideally accomplished by a multidisciplinary
team that includes dedicated staff from Nutrition, Gastroenterology, Pediatric surgery, Nurses, and
Social workers, Pharmacy, Home care services staff, and Family. Early identification of patient at risk
for long term Parenteral Nutrition dependency is the first step toward avoiding severe complications.
Close monitoring of nutritional status, steady to early introduction of enteral nutrition, and aggressive
prevention, diagnosis and treatment of infections such as a central venous catheter, sepsis, and bacterial
overgrowth can significantly improve the prognosis. The goals of SBS management are to support optimal
nutritional status, promote quality of life, and limit morbidity and mortality by promoting enteral
autonomy and oral feeding as follow up and monitoring parenteral nutrition

P
ada anak dengan Short Bowel Syndrome (SBS) terdapat adanya kesulitan pemberian
nutrien yang diakibatkan oleh kegagalan fungsi pencernaan. Penyebab umum SBS
adalah kelainan akibat operasi: multiple intestinal atresias, Hirschsprung‘s disease
(long segment), necrotizing enterocolitis, gastroschisis, complicated meconeum ileus, meconeum
peritonitis, midgut volvulus from malrotation, mislocation of the stoma, inflammatory bowel
disease, tumor, trauma. Sedangkan, penyebab kelainan bukan akibat operasi di antaranya:
congenital short bowel, pseudo intestinal obstruction. Konsekuensi yang akan terjadi adalah
ketidakmampuan menjaga keseimbangan energi, protein, cairan, elektrolit, balans
mikronutrien.
Fisiologi saluran cerna.1 Lambung dibantu oleh asam lambung dan enzim, di mana
terjadi absorpsi vitamin B12. Lambung juga memberikan reaksi terhadap reseksi luas
pada usus dengan hipersekresi asam lambung. Duodenum mempunyai panjang 10-12
cm, di duodenum terjadi absorbsi besi dan folat. Jejunum merupakan 3/5 panjang usus
halus, memiliki villi yang panjang, area absorbsi luas terhadap bahan karbohidrat, protein,
lemak, kalsium, magnesium dan besi. Reseksi menyebabkan hilangnya enzim, sehingga
tidak terjadi absorpsi bahan tersebut di atas. Ileum merupakan 2/5 panjang usus halus,
memiliki area absorbsi lebih kecil daripada jejunum. Terjadi absorpsi asam empedu,

565
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
vitamin A, D, E, K, B12, karbohidrat, protein, cairan, elektrolit. Katup Ileosecal berfungsi
meningkatkan waktu transit, dan mencegah bakteri ‘overgrowth’. Kolon melakukan
absorpsi cairan, natrium, ekskresi kalium dan bikarbonat.
Pada keadaan SBS absorpsi tidak adekuat, terjadi malabsorpsi, dan malnutrisi.
Absorpsi tidak adekuat dari produk sistem pankreatik dan bilier dan gangguan sekresi
usus akan menyebabkan kehilangan banyak cairan dan elektrolit dengan manifestasi
diare sekretorik dan osmotik. Gangguan absorbsi vitamin B12, vitamin larut lemak, serta
absorpsi garam empedu, menyebabkan defisiensi vitamin, terbentuknya batu oksalat, batu
ginjal, serta batu empedu.
Proses patogenik dan prognosis kegagalan saluran cerna digambarkan oleh panjang
sisa usus halus.2 Panjang sisa usus merupakan faktor prognosis SBS, meskipun juga terdapat
pengaruh variabel lain yang akan mempengaruhi adaptasi usus. Contohnya adalah, pada
bayi matur mempunyai panjang usus halus 250 cm, dan dikatakan sebagai SBS berat bila
terdapat sisa usus halus kurang dari 40 cm. Namun karena adanya proses adaptasi usus,
pasien dapat hidup tanpa nutrisi parenteral dengan sisa usus halus 15-30 cm.
Tujuan pembahasan ini adalah memahami lebih jauh keterbatasan absorbsi
karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral dan mikronutrien. Menentukan nutrisi
yang tepat dan adekuat untuk dapat mendukung pertumbuhan normal serta mencegah
gangguan keseimbangan elektrolit serta monitoring yang tepat untuk mengantisipasi
komplikasi.
Tata laksana nutrisi pada SBS bervariasi pada setiap individu anak tergantung faktor
fisiologi dan klinis yang dialami. Secara garis besar terdapat 3 fase tata laksana dukungan
nutrisi setelah dilakukan reseksi saluran cerna.3
Fase Awal (fase akut) dimulai setelah operasi, berlangsung sekitar 1-3 minggu. Saat ini
terjadi hipersekresi, kehilangan elektrolit dan cairan, sehingga memerlukan penggantian
cairan intravena dan nutrisi parenteral menggunakan akses vena sentral. Fase kedua (fase
recovery). berlangsung dalam minggu atau bulan, diikuti perbaikan kehilangan cairan
dan adaptasi usus. Nutrisi enteral makin meningkat bertahap, dan diikuti berkurangnya
nutrisi parenteral. Fase ketiga (fase maintenance), pada fase ini pemberian nutrisi enteral
seluruhnya dapat ditoleransi yang dapat diartikan usus berhasil adaptasi, dan nutrisi
parenteral dapat dihentikan.
Kebutuhan nutrien secara parenteral dan enteral yang diajukan oleh ESPGHAN
disajikan pada tabel 1.4,5
Menurut pedoman dari ESPGHAN, kebutuhan energi untuk neonatus adalah 110-
135 kkal/kg, dengan protein 3,5-4 g protein/kg untuk bayi prematur dan BBLSR 1000-
1800 gram. Kebutuhan energi parenteral 10% lebih rendah daripada enteral, karena
peranan diet yang dipengaruhi termogenesis. Jadi contoh pemberian nutrisi parenteral
yang dianjurkan adalah 110-120 kkal/kg energi, 3-4 g lipid/kg, 1,5-4 gr asam amino/kg
dan karbohidrat sampai dengan 18 gr/kg/hari.

566 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Tabel 1. Kebutuhan nutrien secara parenteral dan enteral
Nutrien Parenteral (Unit/kg/hr) Enteral (Unit/kg/hr)
Energi (kka//kg) 110-120 110-135
Protein (g/kg) 1,5-4 3,5-4,0
Karbohidrat (g/kg) 13-18 11,6-13,2
Lemak (g/kg) 3-4 4,8-6,6
Natrium (mmol/kg) 3.5-5.0 3-5
Kalium (mmol/kg) 2,5-5 1,7-3,4
Klorida (mmol/kg) 2.0-3.0 3-5
Kalsium (mmol/kg) 1,5-2.0 3-3,5
Fosfor (mmol/kg) 1,5-1,9 1,9-2,9

Nutrisi parenteral
Indikasi pemberian nutrisi perenteral (NP) pada SBS adalah untuk mengoreksi
keseimbangan cairan dan elektrolit, maintenans dan memperbaiki status nutrisi, dan
memperbaiki kualitas hidup. Jalur parenteral tersebut sudah diprediksi bila sisa usus
halus <100 cm dengan Jejunum, dan <50 cm bila terdapat kolon. Nutrisi parenteral
dimulai pada fase awal periode pasca operasi, setelah terlebih dahulu mencapai stabilitas
hemodinamik, dan keseimbangan cairan dan elektrolit. Nutrisi parenteral menggunakan
akses vena sentral untuk memfasilitasi kebutuhan kalori dan nutrien. Pemberian nutrisi
kebutuhan utama kalori meliputi karbohidrat, protein dan lemak.6 Dua per tiga kalori
berasal dari karbohidrat dan 1/3 dari lipid. Total energi termasuk protein dapat mencapai
0,85-1,5 kali REE. Pada bayi, dekstrose dimulai pada 5–7 mg glukosa/kg/menit, dengan
dosis peningkatan 1–3 mg glukosa/kg/menit, dan tujuan maksimum 12–14 mg/kg/menit.
Lipid, dimulai dengan 1 gr/kg/hari, dosis peningkatan 1 gr/kg/hari dan maksimal 3 gr/kg/
hari pada bayi dan 2gr/kg/hari pada anak. Pemberian lipid tidak melebihi 30–40% kalori
total per hari. Asam Amino parenteral dimulai dengan 1,5–2 gr/kg/hari. Pemberian secara
adekuat elektrolit, mineral dan vitamin juga esensial diberikan harian secara parenteral
pada bayi dan anak dengan SBS.7
Lama pemberian nutrisi perenteral dan peralihan ke enteral tergantung faktor
fisiologi termasuk sisa panjang usus halus, kemampuan hidrasi, dan toleransi terhadap
nutrisi enteral, ada tidaknya bakteri tumbuh lampau, dan gangguan hepatobilier yang
terjadi.
Bila anak sudah tidak memerlukan lagi perawatan di rumah sakit dan masih
tergantung pemberian nutrisi parenteral jangka panjang, sementara NP merupakan
pilihan yang paling tepat untuk memperbaiki kualitas hidupnya maka dipersiapkan untuk
Home Parenteral Nutrition (HPN)8

Nutrisi enteral
Konsep dasar. Saat stabilisasi hemodinamik, cairan dan elektrolit tercapai, serta terjadi
perbaikan pada terapi nutrisi parenteral, maka pemberian nutrisi enteral dapat dimulai

567
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
untuk menyiapkan adaptasi usus dan pertumbuhan. Adaptasi usus dipengaruhi proses
hiperplasi selular, hipertrofi villous, panjang usus, peningkatan respon hormon yang mana
akan mempengaruhi luas permukaan absorpsi. Sementara kebutuhan nutrisi enteral dan
penggantian cairan tergantung pada panjang dan kualitas usus yang tersisa, serta ada
tidaknya katup ileocaecal. Adaptasi usus terjadi segera pada 24-48 jam setelah reseksi.
Ileum memiliki kemampuan adaptasi lebih besar daripada duodenum dan jejunum.
Nutrisi enteral diberikan dimulai dengan volume minimal (10-12 ml/kg/hr) dan
secara bertahap dinaikkan. Pada bayi prematur, kenaikan volume dimulai dengan 1 ml/
kg/hari. Gangguan pada nutrisi enteral yang umum adalah mual, kembung atau perut
distensi, peningkatan produksi stoma yang juga meningkat seiring dengan peningkatan
volume pemberian nutrien. Peningkatan produksi stoma dijaga tidak melebihi 30 ml/
kg untuk menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit. Bila telah melebihi 50 ml/kg/hari
merupakan kontra indikasi untuk meningkatkan volume pemberian nutrien enteral.
Cara dan jalur NE. Pemberian secara kontinu akan efisien untuk luas permukaan
absorpsi yang terbatas dan transpor protein. Pemberian secara intermiten sesuai dengan
siklus hormon dan pengosongan kantung empedu. Oleh karena itu NE kontinu diberikan
segera setelah operasi dan selanjutnya dapat dilakukan secara enteral intermiten dan
akhirnya berlanjut secara oral.
Jenis nutrien. Diet nutrisi enteral standar dapat diberikan bila masih didapatkan
kolon. ASI, tetap masih ditoleransi dibandingkan dengan bila hanya dengan formula.
Pada pemakaian dengan ASI, waktu pemberian Nutrisi parenteral total lebih singkat, dan
mengurangi morbiditas yang timbul. (Choquette et al. 2014) ASI mengandung nutrien
yang bersifat imunologi yang mendukung maturasi dan adaptasi intestinal, memperbaiki
toleransi makanan, dan menyiapkan nutrien pada bayi prematur.
Terdapat beberapa kontroversi pendapat mengenai pemilihan formula enteral untuk
pasien anak dengan SBS, yakni elemental, semi-elemental, atau formula dengan bahan
dasar peptide. Pada kasus lain juga ditemukan reaksi alergi terhadap pemberian nutrien
pada pasien SBS. Bakteri tumbuh lampau pada SBS dapat menjadi faktor predisposisi
terjadi reaksi alergi saluran cerna. Pemilihan lemak LCT dilaporkan dapat mendukung
adaptasi usus, sementara MCT mendukung penyerapan lebih baik.
Ksiazyk dkk. (2002),9 menyimpulkan bahwa permeabilitas usus, kenaikan berat
badan, balans nitrogen pasien SBS tidak berbeda antara yang menggunakan formula
terhidrolisat atau tidak, namun lebih dipengaruhi oleh panjang, sisi dan fungsi usus yang
tersisa, dengan pemberian formula polimerik standar untuk bayi dan anak.
Formula berbahan dasar Asam Amino, Neocate, mempengaruhi lama pemberian NP
dalam 4 bulan, 6 bulan, 13 bulan tergantung sisa panjang usus halus dan usus besar.10
Rossouw L, 2016,11 melaporkan manajemen nutrisi pada bayi prematur dengan
SBS. Pemberian nutrisi parenteral dilakukan setelah stabilisasi hemodinamik, cairan
dan elektrolit pada 3 hari pasca operasi, dilanjutkan nutrisi parenteral, dan kemudian

568 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


dipadukan dengan enteral, serta selanjutnya oral. Pilihan pertama nutrien untuk nutrisi
enteral adalah ASI, yang meningkatkan imunitas, toleransi dan adaptasi pada usus yang
lebih cepat. Belum didapatkan konsensus pilihan formula mana yang dipilih. Bila ASI
tidak memungkinkan, formula terhidrolisat atau formula dasar asam amino merupakan
langkah bertahap yang bisa dilakukan bila intolerans terhadap nutrien polimerik. Bila ada
gangguan terhadap absorpsi lemak maka pemakaian MCT akan menguntungkan.
Perhatian khusus yang perlu dilakukan yaitu evaluasi balans Natrium, Kalium, dan
Magnesium serta hidrasi oral dengan larutan gula garam (cairan rehidrasi oral) pada pasien
dengan jejunostomi.

Nutrisi per oral


Waktu memulai pemberian per oral adalah sedini mungkin untuk mendukung stimulasi
mengisap dan menelan serta perkembangan motorik mulut. Keuntungan lain minum
per oral adalah meningkatkan sekresi tropik faktor gastrointestinal dan salivary epidermal
growth factor dan secara keseluruhan membantu adaptasi usus serta mencegah parenteral
nutrition associated liver diseases (PNALD). Makanan padat dan cair per-oral diberikan
secara pelan dan bertahap. Pada keadaan tidak adanya kolon, perlu penambahan pemberian
cairan rehidrasi oral.
Evaluasi laboratorium darah selama terapi nutrisi adalah hemoglobin, leukosit,
trombosit, natrium, kalium, kalsium, magnesium, fosfor, albumin, ureum, kreatinin,
bilirubin direk, alkali pospatase, transaminase, CRP, GGT.
Komplikasi yang perlu diantisipasi dalam perawatan pasien SBS
• Gangguan pertumbuhan
• Alergi makanan
• Kelainan metabolisme:
- acidosis, D-lactic acidosis
- water and electrolyte disorders
• Distensi abdomen karena gangguan pasase usus:
- pseudo-obstruction
- small bowel bacterial overgrowth
- bacterial translocation, sepsis
- secretory and osmotic diarrhoea
- cholestasis
- liver fibrosis
• Komplikasi lain saluran cerna:
- stenosis and obstruction
- prolapse, stenosis dan infection of stomas
• Nefropati:
- hyperoxaluria
- kidney stones
- kidney failure
• Metabolic bone disease
• Komplikasi akibat akses vena:

569
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
- central venous catheter related sepsis
- obstruction or dislocation of, or damage to the catheter
- thrombosis
• Liver disease:
- IFALD
- gallstones, cholecystitis, biliary sludge
• Masalah psikologi
- food aversion
- hospitalisation
- family relationship problems

Rangkuman tata laksana nutrisi pada anak dengan short bowel syndrome dimulai
sejak pasca operasi, disajikan dalam bagan dibawah

Prosedur Nutrisional pasca operasi


1. Fase akut
Hari 1-5 pasca operasi H 0 pasca operasi
• Stabilisasi, terapi infus • Maintenans cairan dan elektrolit
• Nutrisi parenteral total • H-1 mulai NP, bila stabilisasi tercapai
• H2-4 meningkatkan laju volume NP
2. Fase adaptasi
H-5:
• Proses dapat terjadi sampai 1-2 tahun
• Mulai dengan trophic feeding
• Peralihan bertahap dari NP ke EN
• Mulai EN bila pasase lancar
Mulai dengan 5-10ml/jam secara kontinu atau 10-20ml/kg/24 jam
Pilihan nutrient enteral 1. Usus halus < 100cm, hanya Jejunum + tanpa KIS + tanpa
• Tergantung ukuran dan lokasi usus kolon : ASI atau formula elemental
yang tersisa, ada tidaknya katup 2. Usus halus < 100cm + KIS + tanpa kolon : ASI atau formula
ileosekal (KIS) dan ada tidaknya semi-elemental
kolon 3. Usus halus < 100cm + KIS + Kolon tapi tidak sambung: ASI
• Monitor ketat toleransi atau formula semi-elemental
• Lanjutkan ke formula lebih terhi- 4. Usus halus < 100cm + KIS + kolon: ASI atau Polimerik
drolisat atau total PN bila toleransi
buruk
Nutrisi lanjutan
Monitor toleransi sebelum meningkatkan lebih banyak
1. Produksi stoma
2. Produksi feses
3. Dehidrasi
4. Gangguan elektrolit
5. Aspirat lambung
6. Gap osmolaritas fecal
• Evaluasi toleransi sekali/hari
• Meningkatkan laju/volume sekali sehari
• Bila toleransi baik tingkatkan 5ml/jam atau 10-20ml/kg/24jam
• Bila tidak baik kurangi laju tetesan pertahankan 8 jam dan kemudian mulai kembali ke tetesan
semula
• Bila tercapai 50% kebutuhan melalui NE, kurangi NP

570 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Produksi stoma • Bila <2gr/kg/hr naikkan 10-20ml/kg
• 2-3gr/kg/hr tidak dinaikkan/tetap
• >3 gr/kg/hr kurangi tetesan atau kurangi asupan
• >40-50 gr/kg/hr kurangi atau puasa
BAB • Kurang 10gr/kg/hr tingkatkan asupan
• 10-20 gr/kg/hr tetap
• > 20 gr/kg/hr kurangi
Gangguan elektrolit dan dehidrasi Koreksi dan rehidrasi
Gap osmolaritas feses Diare sekretorik, pertimbangkan periksa FL, mungkin kurangi
karbohidrat.
Diare osmotic > 100 mmol/L, puasa, NP total
Obat Loperamid sebagai antimotilitas
Ocreotide untuk memperlama transit time
Kolestiramin:
Antibiotic spektrum luas, pada kasus bakteri tumbuh lampau
3. Fase rumatan
• Berhasil weaning NP • Nutrisi parenteral stop bila EN telah mencapai 75%
• NE dilanjutkan 12 bulan • Lanjutkan EN sampai minggu berikutnya
• Terus melanjutkan monitoring • Bertahap mulai pemberian secara bolus, setiap 2 jam per oral
• Monitor ketat toleransi ( muntah, produksi stoma)
• Bila ketrampilan makan oral tidak baik, gunakan NGT
• Konsultasi rehabilitasi oromotorik dan terapi wicara
Manajemen komplikasi
• Overgrowth bakteri • Antibiotik spectrum luas
• Dehidrasi • Rehidrasi
• Defisiensi mikronutrien • Vitamin larut lemak, B12, Calsium, Besi, Zinc
• Malabsorpsi nutrien • Tentukan osmolaritas fecal gap
• Bila terdapat malabsorpsi lemak, gunakan formula semiele-
mental, atau formula Asam amino
• Lemak asupan konsentrasinya tidak > 5-6% (5-6gr/100ml
untuk bayi dan 7 gr/100ml untuk anak)
• Pemberian makanan padat bebas laktosa dan sukrosa
Tindak lanjut/pulang
• Edukasi diet etik
• Rujukan fasilitas medis terdekat
• Spesialis gizi anak
• Ahli gizi: follow up, analisis diet, anjuran bahan makanan yang sesuai
• Surat kontrol

Daftar pustaka
1. Neu J, Li N. The neonatal gastrointestinal tract: Developmental Anatomy, Physiology and
Clinical implications. NeoReviews 2003;4:7-12
2. Kim SJ, Kim BR, Lee SM, Kong HJ, Sin CS. Nutritional support process for a patient
with Short bowel Syndrome in conjuction with panperitonitis; A case report. Clin Nutr Res
2013;2:149-153.
3. Duro D, Kamin D, Duggan C. Overview of Pediatric Short Bowel Syndrome. J Pediatr Gas-
troenterol Nutr. 2008;47: S33-36.

571
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
4. Agotoni C, Buonocore G, Carnielli VP, et al. Enteral nutrient supply for preterm infants:
commentary from the European Society of Pediatric Gastroenterology, Hepatology and Nu-
trition Committee on Nutrition. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2010;50(1):85-91.
5. Koletzko B, Goulet O, Hunt J, et al. Guidelines on Pediatric Parenteral Nutrition of the Eu-
ropean Society of Pediatric Gastroenterology, Hepatology and Nutrition (ESPGHAN) and
the Eupopean Society for Clinical Nutrition and Metabolism (ESPEN), supported by the
Eupopean Society of Pediatric Research (ESPR). J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2005;41Sup-
pl.2:S1-87
6. Sinden AA, Sutphen J. Nutritional management of pediatric short bowel Syndrome. Practical
Gastroenterology 2003;12:28-48
7. Gossum AV, et al. ESPEN Guideline on Parenteral Nutrition: Gastroenterology. Clinical
Nutrition 2009; 28:415-427.
8. Gosselin KB, Duggan C. Enteral nutrition in the management of pediatric intestinal failure.
J Pediatr.2014;165:1085-1090.
9. Goulet O, Olieman J, Ksiazyk J, et al. Neonatal short bowel syndrome as a model of intestine
failure; Physiological background for enteral feeding. Clin Nutr. 2013;32: 162-171
10. Greef AD, Mahler T, Cuypers JH, Wauters GV. The influence of Neocate I Pediatric Short
Bowel Syndrome on PN waening. J Nutr Metab. 2010;1-6
11. Rossouw L. The Nutritional management of short bowel syndrome in a very low-birthweight
neonate. S Afr J Clin Nutr 2016;29:42-46

572 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Enterokolitis Nekrotikans: Perspektif
Pencegahan Tingkat Keparahan Penyakit
Toto Wisnu Hendrarto
RSAB Harapan Kita, Jakarta

Abstract
Necrotizing enterocolitis (NEC) can be defined as an acute inflammatory disease occurring in the
intestines of the newborn, particularly in preterm infants, and is char­acterized by hemorrhagic necrosis
of intestinal tissue which may lead to perforation and destruction of the gut. It is estimated that nearly
90% of premature infants suffered from with NEC, 13% were infants born weighing less than 1500
gram and about 20-30% did not survive.
The most important thing in preventing the occurrence of the NEC is identifying the predicting risk
factors and establishing of diagnosis. Prenatal predicting risk factors are maternal drug use, maternal
hypertensive disease, maternal infection, and placental blood flow insufficiency. The postnatal risk factors
are prematurity with impaired host defense (altered gut motility, reduced enzymatic function, altered
mucus production and composition, dysregulation of the immune system, and reduced innate defense
mechanisms), enteral feeding (rapid introduction and advancement of enteral feeding alongside intestinal
hypoxia-ischemia reperfusion, formula and not breast-human milk) and disturbance of normal neonatal
bacterial colonization.
The diagnosis is established base on grading system, incorporate with clinical symptoms, laboratory indices,
and radiological findings in order to define the severity of illness and to select the adequate treatment in
routine clinical practice. There were scoring system will be used as the determinant of predicting factor.
The main final score of determinant factors of NEC are feeding practices, gastric residuals, and laboratory
signs of inflammation. The composite risk score to predict the severity of the disease score was higher
among the cases at 24 hours and 12 hours prior to suspicion of NEC to predict the severity of the disease.
Competency to identify the occurrence and prevention of NEC is needed by neonatal clinical practitioners
for identifying the occurrence and preventing the severity illness of NEC . Mortality and morbidity will
decrease if early detection and management of NEC is conducted properly.

N
ecrotizing enterocolitis (NEC) atau enterokolitis nekrotikans (EKN) adalah
penyakit radang akut usus yang terjadi pada bayi baru lahir, terutama pada bayi
prematur, yang ditandai dengan nekrosis hemoragik jaringan usus yang dapat
menyebabkan perforasi dan rusaknya jaringan usus.1 Enterokolitis nekrotikans harus
dibedakan dengan gejala mirip EKN (NEC-like symptoms) yang berbeda patogenesis,
pencegahan dan terapinya.2 Gejala mirip EKN terjadi minggu pertama pasca lahir pada
neonatus cukup bulan dan late preterm sedangkan EKN terjadi di minggu kedua dan
ketiga pada neonatus dengan usia kehamilan <32 minggu. Berbagai faktor menjadi
penyebab terjadinya gejala mirip EKN yaitu asfiksi, penyakit jantung bawaan sianotik,
aganglionosis, susu formula, pemberian nutrisi cepat, polisitemia dan korioamnionitis.

573
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Perforasi usus spontan (PUS, SIP=spontaneous intestinal perforation) merupakan
diagnosis diferensial utama terhadap EKN. Perbedaan terutama pada waktu terjadinya
perforasi pada PUS yaitu pada hari-hari pertama pasca lahir dan secara patogenesis tidak
terbukti ada hubungannya dengan inflamasi atau pemberian minum, tetapi terkait adanya
pemberian steroid dan indometasin.3 Gejala ileus paralitik yang menimbulkan muntah
dan distensi abdomen pada sepsis sering terdiagnosis sebagai EKN. Perbedaannya terdapat
pada gambaran foto polos abdomen, pada sepsis hanya didapatkan air fluid level multiple
sedangkan pada EKN didapatkan pneumatosis atau udara pada sistem bilier.

Epidemiologi
Kejadian EKN berhubungan dengan kelahiran bayi prematur, tidak dipengaruhi oleh
seks, ras atau etnis. Secara global kejadian diperkirakan sebanyak 15 juta bayi setiap tahun
dan tertinggi (13%) pada neonatus dengan berat lahir <1.000 g.4,5 Surveilans di Eropa,
Amerika Utara, Australia dan Selandia Baru didapatkan angka kejadian 13% terutama
pada neonatus dengan usia kehamilan ≤32 minggu kehamilan atau berat lahir ≤1,500
g.6 Ahle dkk. melaporkan epidemiologi EKN di Swedia sekitar 3,4 per 10.000 kelahiran
hidup, bayi laki-laki lebih sering dari bayi perempuan (3,7 vs 3,0/ 10.000 kelahiran hidup;
p=0,02, RR=1,2; IK 95%, 1,06-1,40).7 Angka kematian NEC rata-rata adalah 20-30%,
meningkat 50% berbanding lurus dengan rendahnya berat lahir dan usia kehamilan,
terutama pada penderita yang membutuhkan tindakan bedah.8

Patogenesis EKN
Faktor risiko utama terjadinya EKN adalah prematuritas (gestasi ≤32 minggu) atau bayi
berat lahir amat rendah (berat lahir ≤1500 gram).7 Imaturitas sistem pencernaan didapatkan
baik pada struktur maupun fungsi sistem pencernaan menimbulkan permeabilitas mukosa
lebih tinggi, lapisan mucin pada mukosa usus lebih tipis akan meningkatkan daya lekat
bakteri sehingga meningkatkan permeabilitas dinding usus. Faktor tersebut memudahkan
timbulnya jejas pada mukosa usus.9
Imaturitas sistem imun merupakan dasar timbulnya jejas pada sel dan jaringan
mukosa usus. Sistem imun bawaan yang diperankan oleh berbagai toll like receptor
(TLR) tidak berfungsi dengan normal.10 Terjadi perubahan fungsi dalam pengenalan
bakteri patogen oleh TLR terutama pada TLR-4 dan TLR-9. Reaksi berlebihan TLR4 di
permukaan usus akan berekspresi negatif terhadap kolonisasi bakteri gram negatif dalam
usus sehingga menimbulkan kerusakan, meningkatnya apoptosis enterosit, kegagalan
penyembuhan mukosa dan pelepasan sitokin proinflamasi inflamasi yang tidak adekuat.11
Aktifasi TLR4 juga terjadi pada sel endotel permukaan usus sehingga terjadi vasokonstriksi
dan mengurangi aliran darah serta timbul iskemi dan nekrosis. Penjelasan tersebut dikenal
sebagai “hipotesis cross-switching”.

574 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Faktor lain yang berperan pada patogenesis EKN adalah12:
•• Meningkatnya fungsi apoptosis enterosit di permukaan usus akibat peningkatan stres
pada sel retikulo endoplasmik saluran cerna bayi prematur.
•• Menurunnya jumlah sel goblet penghasil lendir pada bayi prematur sehingga
mengurangi fungsi protektif mekanik.
•• Menurunnya motilitas usus sehingga mengurangi fungsi pembersihan lumen usus.
•• Menurunnya fungsi pencernaan dan absorbsi usus karena imaturitas dari enterosit.
•• Meningkatnya tonus mikrovasuler pada pembuluh darah mesenterial bayi prematur.
•• Imaturitas tight junctions sel epitel saluran cerna.
Asupan nutrisi enteral merupakan salah satu faktor risiko terjadinya EKN. Faktor
penyebabnya adalah cara pemberiannya dan jenis nutrisi yang diberikan melalui mekanisme
gangguan keseimbangan kolonisasi bakteri, perubahan aliran darah saluran cerna, stres
hiperosmolar, efek protein susu sapi dan aktivasi reaksi proinflamasi.13 Cara pemberian
nutrisi enteral harus terstandarisasi sebagai upaya pencegahan terjadinya EKN.14 Tetapi
sampai saat ini belum ada kesepakatan yang dianut secara global tentang ini.15 Kesepakatan
umum saat ini adalah pemberian trophic feeding 15-25mL/kgBB/hari ASI atau susu
formula, diberikan setiap 2-3 jam pada minggu pertama pasca lahir. Pertambahan volume
pemberian trophic feeding secara cepat dilakukan setelah toleransi tercapai pada hari ke
3-7 pasca lahir.16 Intoleransi terhadap pemberian nutrisi enteral lebih ditekankan pada
keadaan klinis adanya distensi abdomen, muntah hijau bilier dan darah. Volume residu
cairan lambung yang berisiko tinggi berhubungan dengan terjadinya EKN adalah 2-3mL/
kgBB atau >50% dari volume pemberian minum sebelumnya.17 Osmolaritas nutrisi yang
diberikan secara enteral tidak boleh melebihi 400mOsm/L. Pada umumnya semua susu
formula bayi prematur memiliki osmolaritas 400mOsm/L, ASI sekitar 300mOsm/L dan
apabila diberikan fortifikasi osmolaritasnya masih di bawah 400mOsm/L.16,18
Gangguan keseimbangan kolonisasi bakteri komensal usus juga merupakan penyebab
terjadinya EKN. Prosedur kelahiran dengan bedah Caesar akan mengurangi kontak bakteri
normal maternal di jalan lahir seperti Bifidobacteria, Lactobacillus, dan Bacteroides.19
Pemberian terapi antibiotik lama pada neonatus tersangka infeksi akan mengganggu
keseimbangan kolonisasi bakteri komensal dan meningkatkan kolonisasi bakteri patogen
yang resisten. Pemberian susu formula sebagai pengganti ASI akan kehilangan kesempatan
mendapatkan prebiotik yang terkandung dalam ASI sehingga mengalami gangguan
keseimbangan bakteri komensal dalam usus.20 Air susu ibu merupakan pilihan utama
jenis nutrisi untuk mencegah terjadinya EKN. Pada ASI terdapat komponen utama yang
dapat mencegah terjadinya EKN seperti nitrit/nitrat, L-arginin, glutamin, oligosakarida,
laktoferin dan faktor pertumbuhan.

Diagnosis
Enterokolitis nekrotikans terutama terjadi pada bayi prematur yang secara klinis

575
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
menunjukkan gejala secara tiba-tiba meliputi intoleransi pemberian minum, distensi
abdomen, buang air besar berdarah dan adanya tanda klinis sepsis.5 Intoleransi minum
merupakan gejala dini terkait EKN15, tetapi parameter ini masih belum disepakati karena
tidak adanya standar prosedur dalam pengambilan aspirat cairan lambung.21 Penentuan
tingkat beratnya penyakit masih menggunakan tanda klinis dan gambaran radiologis
berdasarkan sistem skor modifikasi dari Bell, yaitu EKN ringan (Bell stadium I), sedang
(Bell stadium II dan berat (Bell stadium III). Diagnosis EKN secara klinis ditentukan
adanya tanda patognomonik berdasarkan gambaran radiologis foto polos abdomen dengan
ditemukannya pneumatosis intestinalis (Bell stadium II).22,23 Pada Tabel 1 di bawah ini
dikutip sesuai aslinya stadium tingkat keparahan EKN.

Tabel 1 Klasifikasi klinis tingkat keparahan EKN menurut stadium Bell.22,23

Dikutip sesuai aslinya.24

Prediksi diagnosis EKN dapat ditegakkan berdasarkan sistem skor parameter klinis
intoleransi minum dengan adanya residu cairan lambung pada 24 dan 12 jam sebelum
terjadinya EKN.25 Grino dkk (2016)25 menyusun sistem skor berdasarkan tanda klinis
dalam peneliltian retrospektifnya. Akurasi sistem skor tersebut cukup baik tetapi masih
perlu dilakukan validasi eksterna dengan suatu penelitian prospektif untuk dapat
digunakan secara klinis. Beberapa penelitian sistem skor dilakukan oleh Gephart dkk
(2014)26 dan Mc Keown dkk (1994)27, tetapi secara klinis tidak dapat diimplementasikan

576 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


karena parameter sistem skor yang digunakan adalah faktor risiko meliputi usia kehamilan,
riwayat pemberian tranfusi, adanya sepsis, asidosis metabolik dan pemberian ASI.
Awitan terjadinya EKN menurut penelitian Yee dkk (2012)28 dibagi dalam awitan
dini, yaitu terjadi tujuh hari pasca lahir dan awitan lambat 32 hari pasca lahir. Faktor
risiko terjadinya EKN awitan dini adalah pemberian steroid sebelum lahir dan proses
kelahiran dengan bedah Caesar. Sedangkan faktor risiko terjadinya EKN awitan lambat
ditandai oleh adanya faktor risiko penyakit membran hialin, terapi patensi duktus
arteriosus dengan indometasin dan lamanya pemberian bantuan ventilator.

Tata laksana
Tatalaksana medis terutama untuk mengatasi masalah inflamasi, toleransi pemberian
nutrisi enteral dan gangguan keseimbangan kolonisasi bakteri dalam usus. Masalah
inflamasi dilakukan dengan tindakan terhadap penyebabnya yaitu adanya gangguan
ventilasi atau sirkulasi.29 Intoleransi pemberian nutrisi enteral dihentikan untuk waktu
tertentu yaitu 5-7 hari pada tingkat kelainan ringan dan 7-10 hari pada tingkat kelainan
sedang dan berat. Antibiotik dibutuhkah sesuai dengan jenis kuman penyebab berdasarkan
pola kuman di masing-masing pusat pelayanan.30
Tindakan bedah dibutuhkan pada 50% kasus untuk mengeliminasi jaringan nekrotik
pada usus. Tindakan dekompresi ruang abdomen untuk mengurangi desakan ruang
abdomen ke rongga dada dilakukan dengan memasang drain pada sekitar 74% kasus.30,31
Algoritme tatalaksana EKN dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini.32

Gambar 1. Algoritma tatalaksan EKN32

577
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Pencegahan
Pencegahan paling efektif adalah pemberian nutrisi enteral dengan ASI, baik ASI ibu
sendiri maupun ASI donor.33,34 Salah satu mekanisme pencegahan terjadinya EKN oleh
ASI adalah aktivitas enzim glikoten sintetasi kinase dalam menghambat kerja TLR4
sehingga terjadi proliferasi sel stem dan penyembuhan mukosa.35
Upaya pencegahan lain adalah dengan memberikan probiotik sebagai upaya menjaga
keseimbangan kolonisasi bakteri usus. Robinson (2014) melakukan kajian sistematik
pencegahan EKN menggunakan probiotik dengan hasil adanya penurunan mortalitas
dan morbiditas EKN,36 tetapi secara tepat jenis probiotik yang digunakan, waktu dan
lama pemberian masih belum ada kesepakatan. Pemberian probiotik bakteri Lactobacillus
rhamnosus akan meningkatkan proliferasi dan diferensiasi sel Paneth enterosit dengan
merangsang TLR9 dan menghambat TLR4.
Tatalaksana adekuat bayi prematur dibutuhkan untuk mengurangi risiko terjadinya
EKN yaitu pemberian steroid antenatal, retriksi cairan dan tatalaksana adekuat patensi
duktus arteriosus.37 Strategi pencegahan sedang dalam penelitian adalah suplementasi
laktoferin, imunoglobulin per oral dan imunonutrien seperti glutamin dan arginin.
Laktoferin adalah glikoprotein antimikroba yang terkandung dalam kolostrum dan ASI.
Hasil kajian Cochrane menunjukkan tidak adanya penurunan bermakna morbiditas EKN
dengan pemberian imunoglobulin.38 Glutamin dan arginin adalah asam amino dalam ASI
yang berfungsi melindungi kerusakan mukosa usus. Arginin dapat menghasilkan nitrit
oksida sebagai vasodilator dan mencegah terjadinya jejas usus karena iskemi perfusi.39

Penutup
Enterokolitis nekrotikans adalah kelainan saluran cerna pada bayi prematur yang paling
sering dan mortalitasnya tinggi. Upaya untuk mengidentifikasi faktor prediktor dan strategi
pencegahan dapat mengurangi risiko terjadinya EKN. Diperlukan penelitian multisenter
untuk meningkatkan akurasi hasil penelitian yang sudah dan sedang dilakukan saat ini,
sehingga kematian akibat EKN dapat dikurangi secara bermakna.

Daftar pustaka
1. Zubarioglu U, Uslu S, Bulbul A. New Frontiers of Necrotizing Enterocolitis: From Patho-
physiology to Treatment. Health. 2017;9:106-123.
2. Haque KN. Necrotizing enterocolitis - Some things old and some things new: A comprehen-
sive review. J Clin Neonatol. 2016;5:79-90.
3. Attridge JT, Clark R, Walker MW, Gordon PV. New insights into spontaneous intestinal
perforation using a national data set: (2) Two populations of patients with perforations. . J
Perinatol. 2006;26:185‑188.
4. Stoll BJ. et al. Trends in care practices, morbidity, and mortality of extremely preterm neo-
nates, 1993–2012. JAMA. 2015;314:1039–1051.

578 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


5. Sharma R, Hudak ML. A clinical perspective of necrotizing enterocolitis: past, present, and
future. Clin Perinatol. 2013;40:27-51.
6. Hossain S. et al. Outborns or inborns: where are the differences a comparison study of very
preterm neonatal intensive care unit infants cared for in Australia and New Zealand and in
Canada. . Neonatology. 2016;109:76–84.
7. Ahle M, Drott P, Andersson RE. Epidemiology and trends of necrotizing enterocolitis in
Sweden: 1987‑2009. Pediatrics. 2013;132:e443‑451.
8. Fitzgibbons SC. et al. Mortality of necrotizing enterocolitis expressed by birth weight catego-
ries. J Pediatr Surg. 2009;44:1072–1075.
9. Piena-Spoel M, Albers MJ, Kate J, Tibboel D. Intestinal permeability in newborns with nec-
rotizing enterocolitis and controls: Does the sugar absorption test provide guidelines for the
time to (re-)introduce enteral nutrition? . J Pediatr Surg. 2001;36(4):587–592.
10. De-Plaen IG. Inflammatory signaling in necrotizing enterocolitis. Clin Perinatol.
2013;40(1):109–124.
11. Tanner SM. et al. Pathogenesis of Necrotizing Enterocolitis: Modeling the İnnate İmmune
Response. Am J Path. 2015;185:4-16.
12. Anand RJ, Leaphart CL, Mollen KP, Hackam DJ. The Role of the İntestinal Barrier in the
Pathogenesis of Necrotizing Enterocolitis. Shock. 2007;27:124-133.
13. Caplan MS. Necrotizing Enterocolitis in Preterm Infants is Related to Enteral Feeding,
But the Mechanisms Remain Uncertain and Have Changed Over Time. Curr Pediatr Rep.
2014;2:241-247.
14. Jasani B, Patole S. Standardized feeding regimen for reducing necrotizing enterocolitis in
preterm infants: an updated systematic review. J Perinatol. 2017;00:1–7.
15. Good M, Sodhi CP, Hackam DJ. Evidence based feeding strategies before and after the devel-
opment of necrotizing enterocolitis. Expert Rev Clin Immunol. 2014;10(7):875-884.
16. Ramani M, Ambalavanan N. Feeding Practices and NEC. Clin Perinatol. 2013;40(1):1-10.
17. Cobb BA, Carlo WA, Ambalavanan N. Gastric residuals and their relationship to necrotizing
enterocolitis in very low birth weight infants. Pediatrics. 2004;113(1 Pt 1):50-53.
18. Choi A, Fusch G, Rochow N, Fusch C. Target Fortification of Breast Milk: Predicting the
Final Osmolality of the Feeds. PLoS ONE. 2016;11(2):e0148941.
19. Penders J, Thijs C, Vink C. et al. Factors influencing the composition of the intestinal micro-
biota in early infancy. Pediatrics. 2006;118:511–521.
20. Patel RM, Denning PW. Intestinal microbiota and its relationship with necrotizing enteroco-
litis. Pediatr Res. 2015;78(3):232-238.
21. Li YF, Lin HC, Torrazza RM, Parker L, Talaga E, Neu J. Gastric Residual Evaluation in
Preterm Neonates: A Useful Monitoring Technique or a Hindrance? Pediatr Neonatol.
2014;55:e335-340.
22. Bell MJ. et al. Neonatal necrotizing enterocolitis. Therapeutic decisions based upon clinical
staging. Ann Surg. 1978;187:1-7.
23. Neu J, Walker WA. Necrotizing enterocolitis. N Engl J Med. 2011;364:255-264.
24. Niño DF, Sodhi CP, Hackam DJ. Necrotizing enterocolitis: new insights into pathogenesis
and mechanisms. Nat Rev Gastroenterol Hepatol. 2016;13(10):590–600.

579
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
25. Grino CU, Miller M, Carrasquilla-Lopez V, Rojas M, Bhutada A, Rastogi S. Early prediction
of severity of necrotizing enterocolitis in preterm infants: A composite scoring tool. Clin Nurs
Stu. 2016;4(3):47-53.
26. Gephart SM, Spitzer AR, Effken JA. et al. Discrimination of GutCheck(NEC): a clinical risk
index for necrotizing enterocolitis. J Perinatol. 2014;34:468-475.
27. McKeown RE, March TD, Garrison CZ. et al. The prognostic value of a risk score for necro-
tizing enterocolitis. Paediatr Perinatal Epidemiol. 1994;8:156-165.
28. Yee WH, Soraisham AS, Shah VS, Aziz K, Yoon W, Lee SK. Incidence and Timing of Pre-
sentation of Necrotizing Enterocolitis in Preterm Infants. Pediatrics. 2012;129(2):298-304.
29. Papillon S, Castle SL, Gayer CP, Ford HR. Necrotizing enterocolitis: contemporary manage-
ment and outcomes. Adv Pediatr. 2013;60:263-279.
30. Shah D, Sinn JK. Antibiotic regimens for the empirical treatment of newborn infants with
necrotising enterocolitis. Cochrane Database Syst Rev. 2012;8:CD007448.
31. Blakely ML, Tyson JE, Lally KP. et al. Laparotomy versus peritoneal drainage for necrotizing
enterocolitis or isolated intestinal perforation in extremely low birth weight infants: out-
comes through 18 months adjusted age. . Pediatrics. 2006;117(4):e680–687.
32. Brittany MR, Thompson-Branch A. Necrotizing Enterocolitis: A Narrative Review of Updat-
ed Therapeutic and Preventive Interventions. J Pediatr Rev. 2016;4(2):e6093.
33. Boyd CA, Quigley MA, Brocklehurst P. Donor breast milk versus infant formula for
preterm infants: systematic review and metaanalysis. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed.
2007;92(3):F169–175.
34. Pammi M, Abrams S. Oral Lactoferrin for the Prevention of Sepsis and Necrotizing Entero-
colitis in Preterm İnfants. Cochrane Database of Syst Rev. 2015;2:CD007137.
35. Good M. et al, Breast Milk Protects against the Development of Necrotizing Enterocolitis
through İnhibition of Toll-Like Receptor 4 in the İntestinal Epithelium via Activation of the
Epidermal Growth Factor Receptor. Mucosal Immunol. 2015;8:1166-1179.
36. Robinson J. Cochrane in Context: Probiotics for Prevention of Necrotizing Enterocolitis in
Preterm İnfants. Evidence -Based Child Health. 2014;9:672-674.
37. Bell EF, Acarregui MJ. Restricted versus liberal water intake for preventing morbidity and
mortality in preterm infants. Cochrane Database of Syst Rev. 2000;2:CD000503.
38. Foster J, Cole M. Oral immunoglobulin for preventing necrotizing enterocolitis in preterm
and low birth-weight neonates. Cochrane Database Syst Rev. 2004;1:CD001816.
39. Amin HJ, Zamora SA, McMillan DD. et al. Arginine supplementation prevents necrotizing
enterocolitis in the premature infant J Pediatr 2002. 2002;140(4):425-431.

580 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Anemia of Chronic Disease: Diagnostic
Approach
IDG. Ugrasena
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RSUD Dr. Soetomo Surabaya

Abstract
Anemia of chronic disease is a multifactorial anemia. Three pathophysiologic mechanisms have been
identified: 1.Slightly shortened RBC survival, thought to be due to release of inflammatory cytokines,
occurs in patients with cancer or chronic granulomatous infections, 2. Erythropoiesis is impaired because
of decreases in both  erythropoietin  (EPO) production and marrow responsiveness to EPO, 3. Iron
metabolism is altered due to an increase in hepcidin, which inhibits iron absorption and recycling,
leading to iron sequestration.
Diagnosis generally requires the presence of a chronic inflammatory condition, such as infection,
autoimmune disease, kidney disease, or cancer. It is characterized by a microcytic or normocytic anemia
and low reticulocyte count. Values for serum iron transferrin are typically low to normal, while ferritin
can be normal or elevated. Clinical findings are usually those of the underlying disorder (infection,
inflammation, or cancer). Anemia of chronic disease should be suspected in patients with microcytic or
normocytic anemia with chronic illness, infection, inflammation, or cancer. If anemia of chronic disease
is suspected, serum iron, transferrin, reticulocyte count and serum ferritin are measured. Hb usually
is > 8 g/dL unless an additional mechanism contributes to anemia, such as concomitant iron deficiency.

A
nemia penyakit kronis merupakan bentuk anemia yang terjadi akibat: infeksi
kronis, peradangan, trauma dan penyakit neoplastik yang telah berlangsung
kurang lebih 1 bulan dan tidak disertai penyakit hati, ginjal dan endokrin.
Jenis anemia ini ditandai dengan kelainan metabolism besi, sehingga terjadi hipoferemia
dan penumpukan besi di makrofag1.  Anemia penyakit kronis sering bersamaan dengan
anemia defisiensi besi dan keduanya memberikan gambaran penurunan besi serum. Oleh
karena itu penentuan parameter besi yang lain diperlukan untuk membedakannya.2
Anemia penyakit kronik merupakan anemia multifaktorial. Diagnosisnya ditegakkan
berdasar pada adanya kondisi infeksi atau inflamasi kronik seperti adanya infeksi, penyakit
autoimun, penyakit ginjal, atau kanker. Adanya anemia mikrositik atau normositik dan
rendahnya retikulosit merupakan tanda yang spesifik dari anemia penyakit kronik. Kadar
besi serum dan transferrin menurun atau normal, sementara kadar feritinnya normal atau
meningkat.2

581
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Patofisiologi
Ada 3 mekanisme yang bisa menjelaskan terjadinya anemia pada penyakit kronik,
•• Terjadinya pemendekan usia eritrosit karena terjadi pelepasan sitokin inflamasi,
biasanya terjadi pada pasien kanker atau infeksi granulomatous kronik.
•• Terganggunya eritropoisis karena turunnya produksi eritropoitin (EPO) dan respon
sumsum tulang terhadap EPO
•• Metabolisme besi terganggu karena meningkatnya hepsidin yang selanjutnya
menghambat absorpsi besi .
Keadaan inflamasi kronik meningkatkan produksi sitokin seperti IL-1, TNF-α,
dan interferon-γ yang langsung menghambat diferensiasi progenitor sel eritroid.
Sitokin inflamasi ini akan menekan produksi dari EPO, menurunnya konsentrasi EPO
di plasma dan meningkatnya apoptosis sel eritroid 3,4,5

Gambar 1 . Patogenesis anemia pada anemia penyakit kronik 2.


Sumber. Weiss and Goodnough. Anemia of Chronic Disease. N Engl J Med.2005;352:1011-23

Infeksi oleh invasi mikroorganisme dapat mempengaruhi homeostasis tubuh


dalam metabolisme besi. Panel A menggambarkan bahwa invasi mikroorganisme, sel
ganas ataupun disregulasi autoimun dapat mengaktivasi sel T (CD3) dan monosit yang
menyebabkan timbulnya respon imun untuk memproduksi sitokin seperti IFN∂, TNFα,
IL-1, IL-6, IL-10 (dari monosit dan makrofag). IL-6 dan lipopolisakarida akan merangsang
hati untuk memproduksi protein hepcidin yang merangsang penurunan penyerapan besi
dari duodenum. IFN∂ dan lipopolisakarida juga akan merangsang ekspresi transporter besi
DMT-1 sehingga meningkatkan penyerapan besi ke intrasel dalam bentuk diferric (Fe2+),
selain juga mempengaruhi penurunan ekspresi dari transporter makrofag besi ferroportin

582 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


yang memacu penyimpanan besi di makrofag. IL-10 akan meningkatkan ekspresi reseptor
transferring dan memediasi penyerapan besi terikat transferrin ke dalam monosit. TNF-α
akan mengaktifkan fagositosis oleh makrofag dan merangsang penurunan pemecahan
eritrosit tua. IL-1, IL-6,IL-10 merangsang ekspresi ferritin memicu penyimpanan dan
retensi besi di makrofag lebih lanjut. Semua mekanisme tersebut akan menyebabkan
konsentrasi besi di sirkulasi menurun dan mempengaruhi ketersediaan besi baik untuk
metabolise sel-sel tubuh maupun untuk proses erytropoiesis yang akan berkembang
menjadi anemia. dan dapat membatasi perkembangan invasi mikroorganisme yang juga
membutuhkan besi untuk proliferasi 6,7,8.

Pendekatan diagnosis
Sebagian besar anemia penyakit kronik secara klasifikasi morfologi tergolong anemia
normokromik normositer, tapi sekitar sepertiga dari kasus tergolong hipokromik
mikrositer. Adanya defisiensi besi fungsional adalah sebagai konsekuensi meningkatnya
produksi hepsidin, dan bila dilihat hapusan darah tepinya mirip dengan defisiensi besi atau
thalassemia yang dipengaruhi oleh produksi hem atau globin 4,5,6. Ciri khas dari anemia
penyakit kronik ini adalah hipoproliferasi yang ringan hingga sedang (derajat 1 atau 2).
Jika menjadi lebih berat (derajat 3, atau memburuk, kadar Hb < 8 g/dl ), maka anemianya
merupakan multifaktorial bersama dengan keadaan yang lain seperti perdarahan saluran
cerna, kehilangan darah (blood loss) dan inflamasi, terutama pada pasien anak dengan
gagal ginjal kronis, keganasan saluran cerna, pasien yang sedang mendapat terapi steroid,
atau obat anti inflamasi non steroid. Serum ferritin dan saturasi transferrin sering rendah
pada anemia penyakit kronik. Kadar serum ferritinnya kurang dari 20 ng/mL. Walau
sebagai protein fase akut, kadar ferritin bisa normal pada keadaan inflamasi. Kadar ferritin
> 50 ng/mL jarang pada anemia penyakit kronik 8,9
Pada saat kita menemui pasien dengan anemia, langkah berikutnya adalah melihat
indeks sel darah merah (MCV,MCH, MCHC). Dari melihat indeks sel darah merah ini
kita bisa menggolongkan anemia berdasar morfologi ini menjadi 3 jenis yaitu : anemia
hipokromik mikrositer, anemia normokromik normositer, dan anemia makrositer. Bila
anemianya tergolong hipokromik mikrositer, periksa kadar besi serum dan daya ikat
besi total (total iron binding capacity, TIBC). Pada anemia penyakit kronik kadar besi
serumnya rendah dan TIBC normal atau rendah. Kalau morfologinya merupakan anemia
normokromik normositer selanjutnya dilihat kadar retikulosit yang rendah 10,11.

Penutup
Anemia penyakit kronis merupakan bentuk anemia derajat ringan sampai sedang yang
terjadi akibat infeksi kronis, peradangan trauma atau penyakit neoplastik yang telah
berlangsung sekitar 1 bulan. Secara garis besar patogenesis anemia penyakit kronis adalah
karena ketahanan hidup eritrosit yang memendek akibat terjadinya lisis eritrosit lebih dini,

583
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
adanya respon sumsum tulang akibat respon eritropoetin yang terganggu atau menurun,
gangguan metabolisme berupa gangguan reutilisasi besi. Pada pemeriksaan status besi
didapatkan penurunan besi serum, transferin saturasi transferin, dan total protein pengikat
besi, sedangkan kadar feritin dapat normal atau meningkat. Kadar reseptor transferin di
anemia penyakit kronis adalah normal. Terdapatnya peradangan dapat mengacaukan
interpretasi pemeriksaan status besi. Proses terjadinya radang merupakan respon fisiologis
tubuh terhadap berbagai rangsangan termasuk infeksi dan trauma. Pada fase awal proses
infamasi terjadi induksi fase akut oleh makrofag yang teraktivasi berupa penglepasan
sitokin radang seperti Tumor Necrotizing Factor (TNF)-α, Interleukin (IL)-1, IL- 6 dan
IL-8. Interleukin-1 menyebabkan absorbsi besi berkurang akibat pengelepasan besi ke
dalam sirkulasi terhambat sehingga terjadi anemia.

Daftar pustaka
1. Papadaki HA, Kritikos HD, Valatas V, et al. Anemia of chronic disease in rheumatoid ar-
thritis is associated with increased apoptosis of bone marrow erythroid cells: improvement
following anti-tumor necrosis factor-α antibody therapy. Blood. 2002;100:474-482.
2. Weiss G, Goodnough LT. Anemia of chronic disease. N Engl J Med. 2005;352: 1011 – 23.
3. Nemeth E, Rivera S, Gabayan V, Keller C, Taudorf S, Pedersen BK, et al. IL-6 mediates
hypoferremia of inflammation by inducing the synthesis of the iron regulatory hormone
hepcidin. J Clin Invest 2004;113:1271-76.
4. Vildan Kosan, et al., 2002, The Importance of serum transferrin receptor and TfR-F index
diagnosis of iron deficiency accompanied by acute and chronic infections.Turkey J Haema-
tology 19(4) 453−59. 23.
5. Rimon, et al., 2002, Diagnosis of iron deficiency anemia in the elderly by transferrin recep-
tor-ferritin index. Arch Intern Med. J;162(4): 445−9.
6. Davis SL, Littlewood TJ. The investigation and treatment of secondary anaemia. Blood Rev.
2012;26:65-71.
7. Ganz T, Nemeth E. Hepcidin and iron homeostasis. Biochim Biophys Acta. 2012;1823:1434-
1443.
8. Miller CB, Jones RJ, Piantadosi S, et al. Decreased erythropoietin response in patients with
the anemia of cancer. N Engl J Med. 1990;322:1689-1692.
9. Thomas C, Thomas L.  Biochemical markers and hematologic indices in the diagnosis of
functional iron deficiency. Clin Chem. 2002;48:1066-1076.
10. Pincus T, Olsen NJ, Russell IJ, et al. Multicenter study of recombinant human erythropoietin
in correction of anemia in rheumatoid arthritis. Am J Med. 1990;89:161-168.
11. Sasu BJ, Cooke KS, Arvedson TL et al.  Antihepcidin antibody treatment modulates iron
metabolism and is effective in a mouse model of inflammation-induced anemia. Blood.
2010;115:3616-3624.

584 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Overuse and Misuse of Nebulisation Therapy in
Daily Practice
Wahyuni Indawati
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta

Abstract
Inhalation therapy as known as aerosol therapy has been the cornerstone of treatment for respiratory
diseases, mainly in asthma and other respiratory diseases such as cystic fibrosis. There are basically three
types of inhalation therapy devices: conventional nebulizer, dry powder inhalers and pressurized metered
dose inhalers. The drugs that are suitable for each devices are limited and should be based on appropriate
indication. For years, conventional nebulizer were the only inhalation devices available. Yet the
effectiveness of nebulization is generally low. In Indonesia nebulization therapy in daily practice has been
increased dramatically for the past ten years since its introduction. Frequently, the usage of nebulization
therapy are not concordance with prompt indication and also with the best choice of inhalation device.
Thus it is relevant to discuss about principle as well as judicious indications and technique of nebulization
therapy to avoid overuse and misuse of its procedure.

S
ecara harfiah istilah overuse berarti menggunakan terlalu sering atau terlalu banyak
(too often or too much), dengan kata lain menggunakan secara berlebihan (excessive
use). Sedangkan istilah misuse mengandung arti menggunakan sesuatu dengan cara
yang salah atau tujuan/indikasi yang salah atau secara ringkas diartikan sebagai penggunaan
sesuatu yang kurang tepat (the wrong or improper use of something). Fenomena yang banyak
terjadi sejak satu dekade terakhir alat nebulisasi dapat diakses di Indonesia menunjukkan
penggunaan nebulizer secara overuse dan misuse. Hal ini ditengarai tidak hanya terjadi
di kalangan medis namun juga meluas hingga kalangan non medis. Perlu kiranya kita
kembali pada penggunaan yang bijaksana nebulisasi pada kasus respiratori. Oleh karena
itu pada makalah ini akan dibahas mengenai prinsip terapi inhalasi khususnya nebulisasi,
tehnik dan indikasi pemberian yang tepat serta pitfall yang banyak terjadi dalam praktek
sehari-hari.

Prinsip dasar terapi inhalasi


Terapi inhalasi merupakan cara pemberian obat melalui hirupan. Obat yang diberikan
melaui cara ini harus memiliki sifat fisik dan kimia tertentu sehingga dapat dihirup dan
masuk menuju target organ.1-3 Bentuk zat yang dapat dihirup ini disebut aerosol sehingga
seringkali terapi inhalasi disebut juga sebagai terapi aerosol.1-3 Aerosol merupakan bentuk
suspensi gas yang terdiri dari campuran partikel berbentuk gas dan padat/cair. Target

585
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
organ terapi inhalasi dapat bersifat lokal atau sistemik. Target lokal terapi inhalasi dimulai
dari hidung hingga ke alveolus, sedangkan target sistemik umumnya tidak ditujukan pada
kelainan di saluran napas tetapi pada kelainan yang bersifat sistemik. Hal yang terpenting
agar aerosol dapat masuk dan terdeposisi sesuai dengan target organ yang dituju sangat
tergantung beberapa faktor yaitu karakteristik fisik partikel aerosol yaitu ukuran (diameter)
dan massa partikel yang digambarkan sebagai mass median aerodynamic diameter
(MMAD). Ukuran MMAD ini akan menentukan lokasi partikel tersebut terdeposisi.4-6
Lokasi deposisi partikel sesuai ukuran MMADnya dapat dilihat pada gambar 1.7

Gambar 1. Lokasi deposisi partikel berdasarkan ukuran MMAD7

Efektifitas terapi inhalasi sangat tergantung dari konsentrasi obat yang terdeposisi
di target organ. Deposisi aerosol di saluran napas dapat terjadi melalui 3 mekanisme:6,8-10
1. Impaksi merupakan proses deposisi yang terjadi pada partikel aerosol yang berukuran
>3 mikron umumnya terjadi di saluran napas besar seperti orofaring akibat benturan
partikel dengan anatomi saluran napas.
2. Sedimentasi merupakan proses deposisi yang terjadi pada partikel aerosol yang
berukuran 1-3 mikron umumnya terjadi di bronkus dan percabangannya akibat gaya
gravitasi.
3. Difusi merupakan proses deposisi yang terjadi pada partikel aerosol yang berukuran <
0.5 mikron akibat adanya gerak acak brown.
Faktor lain yang juga dapat mempengaruhi deposisi aerosol adalah faktor anatomi
atau kondisi saluran napas dan faktor ventilasi. Beberapa faktor ventilasi yang penting

586 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


adalah volume inspirasi, waktu inspirasi, lama waktu menahan napas dan deras aliran
inspirasi. Hal ini seringkali menjadi tantangan tersendiri terapi inhalasi pada bayi dan
anak, sehingga perlu mendapat perhatian khusus.

Indikasi terapi inhalasi


Secara umum terapi inhalasi diindikasikan untuk kelainan respiratori, walaupun dengan
kemajuan teknologi saat ini terdapat beberapa jenis obat inhalasi yang ditujukan untuk
kelainan non respiratori seperti insulin untuk diabetes melitus atau obat untuk hipertensi
pulmonal. Obat-obat yang tersedia untuk terapi inhalasi saat ini indikasinya terbatas
karena obat yang diberikan secara inhalasi tentunya harus memenuhi kompatibilitas
dengan alat yang digunakan Beberapa obat inhalasi yang tersedia dapat digunakan untuk
indikasi sebagai berikut :5,7,11
1. Penyakit inflamasi saluran napas
Asma merupakan indikasi utama terapi inhalasi. Pada asma terapi inhalasi dapat
diberikan sebagai salah satu cara pemberian obat baik untuk mengatasi serangan
maupun untuk penanganan jangka panjang. Penyakit inflamasi saluran napas lainnya
juga menjadi indikasi terapi inhalasi seperti rinitis alergi derajat sedang-berat dan
rinosinusitis. Beberapa indikasi lainnya adalah obstruksi akut akibat inflamasi di
saluran napas seperti bronkiolitis dan sindrom croup.

2. Penyakit infeksi pernapasan


Beberapa sediaan obat antibiotik dan antiviral tersedia untuk diberikan secara inhalasi.
Namun pemberian antibiotik dalam bentuk aerosol tidak tersedia dalam banyak jenis
dan terutama terindikasi untuk infeksi pada penyakit kronik paru seperti cystic fibrosis
atau bronkiektasis yaitu suatu kondisi yang memudahkan terjadinya kolonisasi bakteri
persisten. Gentamicin dan tobramicin tersedia untuk kuman Pseudomonas aeruginosa
dan pentamidin tersedia untuk kuman Pneumocystis carinii. Antiviral yang tersedia
dalam bentuk aerosol adalah ribavirin untuk Respiratory syncytial virus dan zanamivir
untuk virus influenzae. Amphotericin B tersedia untuk infeksi Candida albicans.

3. Membantu bersihan saluran napas (airway clearance)12


Pada keadaan tertentu terdapat gangguan pada sistem bersihan saluran napas misalnya
pada cystic fibrosis, bronkiektasis ataupun penyakit neuromuskular. Pada kondisi
tersebut terapi inhalasi dapat membantu bersihan saluran napas. Indikasi ini terutama
untuk penyakit yang bersifat kronik namun sayangnya sering indikasi ini menjadi
misuse dan overuse dilakukan pada anak dengan selesma tanpa ada penyakit dasar
lain.

Jenis alat inhalasi


Alat inhalasi yang ada saat ini masih terbatas, meskipun sudah banyak alat baru yang
diciptakan sehingga memperbaiki efektifitas pemberian obat. Secara umum alat inhalasi

587
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
yang dipakai harus sesuai dengan target organ yang dituju. Jika kelainan terdapat pada
saluran napas atas tentunya terapi inhalasi yang dipakai harus dapat menghasilkan partikel
yang terutama terdeposisi di saluran napas atas misalnya kelainan di hidung dan nasofaring
tentunya lebih tepat jika menggunakan intranasal drop atau spray. 5,7,9 Pada target organ
saluran napas bawah yaitu bronkus terdapat 3 jenis alat inhalasi yang saat ini kita kenal
yaitu nebuliser, dry powder inhaler dan metered dose inhaler.5,7,9 Pada makalah ini alat
inhalasi untuk target organ saluran napas bawah yang terutama dibahas adalah nebuliser.
Nebuliser merupakan alat inhalasi yang berfungsi mengubah cairan (solution)
menjadi aerosol. Alat yang dipakai dapat berupa aliran udara bertekanan tinggi yang
dihasilkan oleh kompresor (jet nebulizer) atau getaran (vibrasi) dari kristal piezoelektrik
(ultrasonic nebulizer). Pada alat ini obat dalam bentuk cairan akan dimasukkan ke dalam
labu nebulisasi. Jumlah cairan yang harus diisikan ke dalam labu tersebut disebut fill
volume. Tiap alat mempunyai fill volume yang bervariasi tergantung kecepatan alat tersebut
menghasilkan aeorosol, namun umumnya jet nebulizer mempunyai fill volume antara 4-6
ml. Fill volume ini berkorelasi dengan waktu nebulisasi, dimana waktu optimal nebulisasi
umumnya dicapai antara 6-10 menit. Dikenal juga istilah dead volume yaitu volume yang
tersisa dalam labu nebulisasi dan sudah tidak dapat diubah lagi menjadi aerosol, pada
jet nebulizer umumnya dead volume adalah 1 ml. Pengisian cairan obat yang kurang
dari fill volume ataupun mendekati dead volume akan membuat respon klinis terhadap
terapi inhalasi tidak optimal. Pemilihan interface (bagian alat inhalasi yang langsung
berhubungan ke pasien) juga memegang peranan penting. Pada anak usia > 5 tahun atau
anak yang kooperatif penggunaan mouthpiece lebih diutamakan untuk mengurangi proses
impaksi di hidung. Jika menggunakan masker wajah harus diupayakan masker wajah
cukup ketat dan tidak kebesaran agar tidak banyak obat yang terbuang. Upayakan juga
anak dalam kondisi nyaman dan jika memungkinkan tidak menangis. Pada masker wajah
yang kebesaran deposisi di saluran napas hanya 0,1% sedangkan pada anak yangmenangis
deposisi di saluran napas hanya kurang lebih 1%.13
Keuntungan terapi inhalasi menggunakan nebuliser adalah tidak atau sedikit
memerlukan koordinasi penderita, hanya memerlukan pernapasan tidal, beberapa jenis
obat dapat dicampur (misalnya salbutamol dan ipratropium bromida). Kekurangannya
adalah alatnya cukup besar sehingga kurang praktis, memerlukan sumber tenaga listrik
dan relatif mahal.

Ultrasonik nebuliser 4,14


Alat ini menghasilkan aerosol melalui osilasi frekuensi tinggi dari piezo-electric crystal
yang berada dekat larutan dan cairan memecah menjadi aerosol. Keuntungan jenis
nebuliser ini adalah tidak menimbulkan suara bising dan terus menerus dapat mengubah
larutan menjadi aerosol sedangkan kekurangannya alat ini mahal dan memerlukan biaya
perawatan lebih besar.

588 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Jet nebuliser 4,14
Alat ini paling banyak digunakan di banyak negara karena relatif lebih murah daripada
ultrasonic nebuliser. Dengan gas jet berkecepatan tinggi yang berasal dari udara yang
dipadatkan dalam silinder ditiupkan melalui lubang kecil dan akan dihasilkan tekanan
negatif yang selanjutnya akan memecah larutan menjadi bentuk aerosol.
Aerosol yang terbentuk dihirup pasien melalui mouth piece atau sungkup. Dengan
mengisi suatu tempat pada nebuliser sebanyak 4 cc maka dihasilkan partikel aerosol
berukuran < 5 μm, sebanyak 60-80% larutan nebulisasi akan terpakai dan lama nebulisasi
dapat dibatasi. Dengan cara yang optimal maka hanya 12% larutan akan terdeposit di paru-
paru.7 Bronkodilator yang diberikan dengan nebuliser memberikan efek bronkodilatasi
yang bermakna tanpa menimbulkan efek samping.10

Tabel 2. Perbandingan Nebuliser


Parameter Jet Ultrasonik
Teknik
• Sumber tenaga Listrik Listrik
• Cara kerja Aliran udara tekanan tinggi Osilasi frekuensi tingi
Hukum Bernoulli Piezo-electric crystal
• Arus aliran udara 7L/mnt (+3L)
• Suara Bising Tenang
• Posisi alat Bebas Harus datar benar
• Volume isi Sedikit (<5ml) Banyak (>10ml)
Klinis
• Obat yang dinebulisasi Semua Steroid tidak bisa
Lain-lain
• Harga Murah Mahal
• Perawatan Mudah Sulit

Misuse yang sering terjadi adalah menggunakan nebuliser untuk kelainan di saluran
napas atas seperti selesma. Overuse yang sering terjadi adalah menggunakan nebulisasi
dengan sistem paket atau tidak memperhatikan lama kerja obat. Misalnya pada pasien
asma diberikan secara paket tanpa memperhatikan respon terapi. Obat beta 2 agonis kerja
cepat (4-6 Jam) sering diberikan hanya 1-3 kali sehari. Seringkali obat yang diberikan
tidak sesuai indikasi misalnya pemberian antiinflamasi hirupan yang digunakan untuk
obat pengendali asma digunakan pada keadaan inflamasi akut dengan dosis kecil. Misuse
yang lain yang dapat terjadi adalah menggunakan nebuliser ultrasonik untuk obat berbasis
steroid. Padahal nebuliser ultrasonik tidak dapat memecah obat yang berbasih steroid.
Misuse lain yang sering terjadi adalah terkait dosis obat. Pada terapi inhalasi karena
merupakan terapi topikal maka tidak perlu memberikan terapi berdasarkan berat badan
atau usia, yang perlu diperhatikan adalah respon pasien. Persepsi bahwa menggunakan
nebuliser lebih baik daripada metered dose inhaler dengan spacer juga merupakan kekeliruan
yang kerap terjadi.15-17

589
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Perawatan nebuliser
Nebulizer di klinik atau rumah sakit biasanya digunakan dalam frekuensi tinggi oleh
banyak pasien. Aerosol yang terkontaminasi dari nebulizer merupakan risiko terjadinya
infeksi respiratorik. Kontaminasi ini berhubungan dengan jarang dan kurang adekuatnya
pembersihan nebuliser.18 Aspek ini seringkali terabaikan dan tidak mendapat perhatian
serius. Idealnya 1 alat nebulizer hanya digunakan oleh 1 pasien, namun hal ini tentunya
akan memerlukan biaya tinggi. Cara yang relatif murah adalah dengan menyediakan
masker atau mouthpiece untuk masing-masing pasien. Pasca pemakaian segera didisinfeksi
dengan cairan antiseptik, dibilas, dikeringkan untuk kemudian dapat digunakan lagi oleh
pasien lain. Untuk labunya juga perlu didisinfeksi pasca tiap penggunaan.

Penutup
Terapi inhalasi merupakan cara pemberian obat yang tidak sesederhana pemberian obat
secara oral ataupun pemberian secara sistemik lainnya. Pemberian obat dengan cara ini
memerlukan alat khusus dan keterampilan atau manuver tertentu agar obat dapat bekerja
dengan optimal. Berbagai hal tersebut yang seringkali menyebabkan pemakaian yang
kurang tepat dan sebagai dampaknya respon klinis pengobatan menjadi kurang baik. Hal
ini yang menyebabkan terjadinya misuse pada terapi inhalasi. Di lain pihak perkembangan
alat inhalasi dan ketersediaannya yang meluas membuat terapi inhalasi mulai banyak
digunakan. Namun sayangnya seringkali penggunaannya tidak didasari oleh indikasi yang
tepat sehingga sering terjadi overuse pada terapi inhalasi. Oleh karenanya perlu pemahaman
yang baik mengenai prinsip dasar terapi inhalasi untuk menghindari kekeliruan yang
sering terjadi dalam praktek sehari-hari.

Daftar pustaka
1. Newman SP. New aerosol delivery system. Dalam: Barnes PJ, Grunstein MM, Leff AR, Wool-
cock AJ, penyunting. Asthma. Philadelphia: Lippincott-Raven. Volume 2. 1997:1805-15.
2. Barry PW, Fouroux B, Pederson S, O’Callaghan C. Nebulizers in childhood. Eur Respir Rev
2000; 10: 527-35.
3. Dolovich MB, Everard ML. Delivery of aerosols to children: devices and inhalation tech-
niques. Dalam: Naspitz C, Szefler SJ, Tinkelman D, Warner JO, penyunting. Textbook of
pediatric asthma. An International Perspective. London: Martin Dunitz Ltd 2001: 327-46.
4. Cole CH. Special problems in aerosol delivery: neonatal and pediatric consideration. Respir
Care 2000;45:646-51.
5. Khilnani GC, Banga A. Aerosol therapy. Indian J Chest Dis Allied Sci 2008;50:209-19.
6. Devadason SG, Everard ML, Le Souef PN. Aerosol therapy and delivery system. Dalam:
Taussig LM, Landau LI, penyunting. Pediatric respiratory medicine. St Louis: Mosby;
2008:235-40.
7. Laube BL, Janssens HM, De Jongh FHC, Devadason SG, Dhand R, Diot P, dkk. What
the pulmonary specialist should know about the new inhalation therapies. Eur Respir J
2011;37:1308-31.

590 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


8. Rau JL. Administration of aerosolized agents. Dalam: Rau JL, penyunting. Respiratory care
pharmacology. St Louis: Mosby, edisi keenam; 2002: 36-62.
9. Muchao FP, Ribeiro LV, Filho S. Advances in inhalation therapy in pediatrics. J Pediatr
2010;86:367-76.
10. Martonen TB, Katz IM. Deposition patterns of aerosolized drugs within human lungs: effect
of ventilatory parameters. Pharm Research 1993;10:871-7.
11. Mahlmeister M. Pharmacology associated with respiratory care. Dalam: Fink JB, Hunt
GE, penyunting. Clinical practice in respiratory care. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins; 1999:189-218.
12. Hess DR. Airway clearance: physiology, pharmacology, techniques and practice. Respir Care
2007;52:1392-6.
13. Wildhaber JH. Nebuliser therapy in children. Business briefing: global healthcare 2003. 91-
3.
14. Newhouse MT, Dolovich M. Aerosol therapy in children. Dalam: Chernick V, Mellins RB,
penyunting. Basic mechanism of pediatric respiratory disease: cellular and integrative. Phila-
delphia: Decker; 1991: 409-17.
15. Rubilar L, Castro-Rudriguez JA, Girardi G. Randomized trial of salbutamol via metered-dose
inhaler with spacer versus nebulizer for acute wheezing in children less than 2 years of age.
Pediatr Pulmonol 2000; 29:264-6.
16. Lewis RM. Pediatric consideration. Dalam: Fink JB, Hunt GE, penyunting. Clinical practice
in respiratory care. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 1999:437-58.
17. Dhuper S, Chandra A, Ahmed A, Bista S, Moghekar A, Verma R, dkk. Efficacy and cost
comparisons of bronchodilator administration between metered dose inhaler with disposable
spacers and nebulizers for acute asthma treatment. J Emerg Med 2011;40:247-55.
18. Lannefors L, Heslop K, Teirlinck C. Nebulizer systems: contamination, microbial risk, clean-
ing and effect on function. Eur Respir Rev 2000; 10: 76, 571-5.

591
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Respiratory Endoscopic Procedure in
Respiratory Problems
Wahyuni Indawati
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta

Abstract
Respiratory endoscopy is one of pivotal tool in the investigation and management of pediatric airway and
respiratory pathology. Examination can be performed using rigid and/or flexible endoscope. The procedures
will directly visualize airway pathology and facilitate to performed appropriate interventional techniques.
Flexible endoscopy examination of the airway without sedation enables timely and dynamic respiratory
tract examination, however is limited to visualization of more proximal anatomy, from pharynx to
glottis. On the other hand, respiratory endoscopic techniques used in distal airway examination facilitate
simultaneous interventional techniques will need general anaesthesia or conscious sedation. Rigid
endoscopy can examine laringotracheobronchial area up to main bronchi and has multiple therapeutic
applications. Flexible bronchoscopy allows examination of the respiratory tract beyond main bronchi.
Both technique are complementary and need collaboration between different specialties.

D
alam memandang penyakit respiratori dapat disederhanakan menjadi 2 aspek
penting yaitu penyakit yang terutama terkait saluran napas dan penyakit yang
terkait parenkim paru. Endoskopi saluran napas merupakan salah satu prosedur
penting dalam diagnosis dan tata laksana berbagai patologi di saluran napas.1-3 Berbagai
teknik dapat digunakan untuk menilai berbagai struktur yang berbeda menggunakan
endoskopi rigid/kaku dan/atau fleksibel baik untuk diagnosis atau terapeutik.Sedangkan
peran endoskopi pada kelainan paru parenkimal lebih terbatas dan lebih banyak ditujukan
dalam upaya diagnostik.1-3

Paradigma penyakit atau kelainan sistem respiratori


Secara umum penyakit respiratori dapat disederhanakan menjadi 2 jenis yaitu :
1. Penyakit yang terutama mengenai saluran napas (airway diseases) : penyakit atau
kelainan yang terjadi dapat meliputi hidung hingga bronkiolus. Kelainan yang sering
terjadi dan membutuhkan tindakan endoskopi umumnya merupakan kelainan yang
bersifat obstruktif. Berbagai kelainan obstruksi pada saluran napas dapat dilihat pada
tabel 1.
2. Penyakit yang terutama mengenai parenkim paru (parenchymal diseases): penyakit atau
kelainan yang terjadi dapat meliputi alveolus, jaringan interstisial dan vaskular paru.
Pada kelainan ini peran bronkoskopi terbatas untuk pengambilan spesimen bilasan
bronkus untuk kelainan parenkim dan biopsi transbronkial. 4,5

592 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Tabel 1. Jenis obtruksi saluran napas berdasarkan lokasi kelainannya6
Obstruksi Inspirasi : Ekstrathoraks Obstruksi Ekspirasi : Intrathoraks

Bunyi vibrasi atau getaran dihasilkan oleh adanya hambatan atau Bunyi vibrasi atau getaran yang dihasilkan oleh sumbatan ini
obstruksi inspirasi terdengar selama inspirasi, biasanya monofonik, terbaik didengar pada saat ekspirasi dan dapat berupa focal atau
dan dapat berupa pitch tinggi seperti pada croup ( batuk rejan ) monofonik serta pitch rendah sampai dengan medium atau dapat
atau pitch rendah sampai dengan sedang seperti pada snoring yang berupa diffuse atau polifonik serta pitch medium sampai dengan
merupakan hasil dari adanya hipertrofi adenotonsilar. tinggi.

Malformasi kongenital Malformasi kongenital


• Malformasi nasal, nasofaring, orofaring • Malformasi pohon trakeobronkial
• Retrognathi (sindrom Pierre Robin) • Trakeobronkomalasia
• Stenosis nasal, koana, nasofaring; tumor; massa • Trakeobronkomalasia primer (local atau meyebar)
• Anterior encephalocele • Trakeobronkomalasia sekunder akibat kompresi tu-
• Teratoma mor (fokal)
Hipertrofi adenotonsilar • Trakeostenosis
Obesitas atau redundant jaringan faring • Sindrom VATER ( defek vertebra, anus imperforasi,
Hipotonus (contoh : sindrom down) fistul trakeoesofageal, dysplasia ginjal dan radial )
Kavitas oral atau tumor faring • Cincin trakeal lengkap
Tumor lingual
• Tumor tiroid lingual Kompresi vaskuler ( cincin atau sling)
Hemangioma • Aberasi vena sublavia
Massa leher • Sling arteri pulmonel ( aberasi arteri pulmoner kiri)
• Kista bronkhial • Aora thorasis sisi kanan dengan duktus arteriosus kiri
• Kista higroma • Aorta thorasis sisi kiri dengan duktus arteriosus
kanan
Malformasi laring atau saluran nafas subglotis • Arkus aorta ganda
• Laringomalasia • Dilatasi ruang jantung atau dilatasi arteri pulmoner
• Paralisis pita suara dengan kompresi
• Kista laring atau subglotis
• Laringokel Infeksi
• Stenosis subglotis Penyempitan saluran nafas intrinsik
• Hemangioma subglotis • Bronkitis
• Bronkiolitis
Infeksi • Laringotrakeobronkitis
• Infeksi nasal, nasofaring, dan orofaring • Trakeitis bacterial
• Tonsillitis dan Abses peritonsilar • Bronkiektasis
• Abses sublingual (ludwig’s angina) • Kistik fibrosis
• Abses retrofaring • Papilomatosis respiratori juvenili ( akhir )
Kompresi saluran nafas ekstrinsik
Infeksi laring dan subglotis • Infeksi mikobakteri atau jamur dengan pembesaran
• Epiglotitis limfonofi
• Batuk rejan ( spasmodic ) • Infeksi dari malformasi congenital foregut, kista
• Trakeitis bacterial ( umumnya dengan wheezing • Abses paru
respiratori)
• Papilomatosa prespiratori juvenili ( dini ) Benda asing atau aspirasi
• Tetanus dengan laringospasme • Refluks gastroesofageal dengan bronchitis
• Benda asing pada saluran nafas
Benda asing atau aspirasi • Benda asing pada esophagus
• Refluks gastroesofagus dengan edema, laringospasme
• Aspirasi beda asing pada faring, laring, atau subglottis Trauma
• Luka bakal trakeobronkial
Trauma • Cedera trakeobronkial ( tumpul atau penetrasi)
• Hematoma laryngeal
• Luka bakal laryngeal Alergi dan asma
• Stenosis sekunder akibat alat medis • Reaksi anafilaktoid terhadap makanan atau inahalan
• Paralisis pita suara setelah pembedahan • Asma dengan inflamasi atau bronkospasme

Alergi dan asma Penyakit autoimun


• Reaksi anafilaktoid terhadap makanan atau inhalan • Obliteran bronkiolitis setelah transpalantasi paru
atau sumsum tulang
Psikogenik • Obliterans bronkiolitis idiopatik
• Disfungsi pita suara

Masalah metabolik
Hipoglikemia atau hipomagnesemia
Tumor didapat (langka)

593
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Struktur saluran napas
Struktur saluran napas meliputi hidung hingga bronkiolus. Secara artifisial saluran napas
dapat dibagi menjadi saluran napas atas dan saluran napas bawah.
1. Saluran napas atas meliputi hidung hingga struktur supraglotis diatas pita suara. Area
ini dapat divisualisasi dengan pemeriksaan endoskopi saluran napas atas yaitu dengan
rinofaringolaringoskop.2
2. Saluran napas bawah meliputi glottis hingga bronkiolus. Namun yang dapat
divisualisasikan oleh bronkoskopi hanya mencapai percabangan bronkus generasi
ke 3-4 jika menggunakan bronkoskopi fleksibel sedangkan jika menggunakan
bronkoskopi kaku atau rigid/kaku visualisasi hanya sampai di bronkus utama atau
segmen generasi kedua percabangan bronkus.3

Gambar skematik saluran napas dapat dilihat pada gambar 1 dan 2.

Gambar 1. Skema saluran napas dan instrumen endoskopi yang sesuai7

Gambar 2. Skema saluran napas bawah hingga bronkus dan percabangannya8

594 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Indikasi endoskopi saluran napas
Secara umum endoskopi saluran napas dapat berperan diagnostik atau terapeutik.
Kelebihan endoskopi saluran napas untuk diagnostik adalah dapat memvisualisasikan
kondisi anatomi intralumen saluran napas dengan lebih akurat serta dapat menilai kondisi
saluran napas secara dinamis misalnya untuk melihat stenosis ataupun malasia. Endoskopi
saluran napas juga dapat digunakan untuk mendapatkan spesimen dari saluran napas
bawah yang dapat berupa bilasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage), sikatan/biopsi
endobronkial untuk pemeriksaan mikrobiologi atau sitologi yang sangat diperlukan pada

Tabel 2. Indikasi dan Instrumentasi untuk Diagnostik Bronkoskopi8


INDIKASI INSTRUMEN RIGID INSTRUMEN FLEKSIBEL
Stridor Dapat mengubah dinamika perna- Lebih diutamakan
pasan
Mengi menetap (tidak responsif, Lebih diutamakan, terutama
atau kurang responsif terhadap untuk mengevaluasi struktur dan
terapi bronkodilator) pergerakan saluran nafas bagian
distal
Atelektasis (menetap, berulang, Diperlukan untuk menghilangkan
atau masif ) obstruksi saluran nafas (misal :
benda asing)
Hiperinflasi terlokalisasi Lebih diutamakan
Pneumonia Lebih diutamakan (lebih baik da-
Berulang/ lam mendapatkan spesimen BAL)
Menetap
Pasien yang tidak dapat mem-
produksi sputum
Atipikal atau dalam kondisi
yang tidak biasa (contoh : pasien
imunokompromise)
Batuk darah Akan lebih baik jika ada perdarahan Lebih diutamakan untuk men-
segera gevaluasi saluran nafas bagian
distal
Aspirasi benda asing Wajib untuk mengangkat benda Dapat digunakan untuk menilai
Diketahui asing kemungkinan adanya benda asing;
Tersangka jarang untuk pengangkatan
Batuk (menetap) Lebih diutamakan
Tersangka aspirasi Lebih diutamakan untuk men- Lebih diutamakan untuk
gevaluasi laring posterior dan trakea mendapatkan BAL
servikal Kombinasi dalam penggunaan
semua instrumen sangat berman-
faat
Evaluasi pasien dengan trake- Lebih diutamakan untuk men- Lebih diutamakan untuk men-
ostomi gevaluasi laring posterior dan area gevaluasi posisi tuba dan pergera-
subglotik kan saluran nafas
Tersangka massa atau tumor Lebih diutamakan untuk lesi pada Lebih diutamakan untuk lesi pada
laring atau trakea saluran nafas bagian distal
Tersangka kelainan anatomi
saluran nafas

595
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
pasien dengan imunokompromais atau pneumonia yang refrakter/berulang.9-12 Namun
demikian kekurangan endoskopi saluran napas adalah tidak dapat menilai kondisi
ekstraluminal sehingga untuk mendapat gambaran yang utuh mengenai kelainan di
sistem pernapasan perlu pemeriksaan penunjang yang lain seperti rontgen thoraks atau
CT scan thoraks.
Indikasi terapeutik endoskopi saluran napas antara lain meliputi penyedotan
misalnya pada mukus plak, reinflasi lobus yang mengalami atelektasis, ekstraksi benda
asing, alat untuk memasukkan obat intra bronkial dan memberikan panduan pada kasus
intubasi yang sulit.12 Bahkan pada beberapa negara saat ini telah dilakukan pemasangan
sten saluran napas pada anak. Indikasi bronkoskopi yang lebih rinci dapat dilihat pada
tabel 2.8

Prosedur endoskopi saluran napas pada berbagai masalah sistem


pernapasan
Berbagai masalah sistem pernapasan yang akan memperoleh manfaat dari prosedur
bronkoskopi meliputi :
a. Kelainan yang terutama mengenai saluran napas (airway diseases)
Secara klinis pasien dapat datang dengan keluhan stridor, batuk kronik, ataupun
mengi/wheezing yang tidak jelas penyebabnya, obstructive sleep apnea syndrome
(OSAS), sesak napas oleh karena tersangka aspirasi pneumonia ataupun benda asing
dan hemoptysis atau perdarahan paru.
Dengan prosedur endoskopi dapat mendeteksi secara akurat abnormalitas anatomi
saluran napas serta menentukan letak obstruksi seperti polip nasal, celah laring (laryngeal
cleft), hipertrofi tonsiloadenoid, stenosis subglotik, edema subglotik, subglotik dan
supraglotik hemangioma, laryngeal/trakeal web, papilloma laring, kista laring, stenosis
trakea, cincin trakea komplit, stenosis bronkial, massa intraluminal, kompresi saluran
napas ekstraluminal, aspirasi benda asing, mukus plak, granuloma saluran napas, fistula
trakeoesofageal, trakeal bronkus dan menentukan lokasi perdarahan.4
Selain itu obstruksi saluran napas yang bersifat dinamis juga dapat terlihat dengan
endoskopi misalnya laringomalasia, kolaps faring, obstruksi dasar lidah, paresis/
paralisis pita suara. trakeomalasia dan bronkomalasia.4
Endoskopi terapeutik dapat dilakukan pada beberapa kasus seperti menyedot mukus
plak, pemberian mukolitik intrabronkial misalnya pada kasus fibrosis kistik ataupun
pemasangan sten saluran napas.

b. Kelainan yang terutama mengenai parenkim


Peran endoskopi pada kelainan ini terbatas terutama untuk tujuan diagnostik.
Pengambilan spesimen terutama untuk pemeriksaan mikrobiologi, sitologi
maupun histopatologi banyak bermanfaat pada kasus tertentu misalnya pneumonia
berulang atau pneumonia yang tidak berespon dengan pemberian obat standar
(refrakter), pneumonia pada imunokompromais pasien seperti HIV/AIDS,

596 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


imunodefisiensi primer, pasca transplantasi organ ataupun pasien dengan kelainan
paru interstisial maupun gambaran radiologis menetap yang tidak jelas penyebabnya.10
Indikasi pemeriksaan bilasan bronkoalveolar secara rinci dapat dilihat pada tabel 3.8

Tabel 3. Indikasi bilasan bronkoalveolar8


Diagnosis tersangka infeksi
Infiltrat paru
Dispnea
Hipoksia
Takipnea
Infiltrat paru berulang
Infiltrat paru menetap
Infiltrat interstisial
Peradangan alveolar yang menyebar
Perdarahan paru
Alveoli proteinosis
Histiositosis paru
Tersangka aspirasi
Transplantasi paru
Penyakit paru hipereosinofilik
Terapetik pengangkatan materi/benda asing

Kontraindikasi prosedur endoskopi saluran napas


Prosedur endoskopi saluran napas seharusnya tidak dikerjakan jika tidak ada indikasi yang
kuat, peralatan yang lengkap maupun tenaga yang terlatih. Walaupun demikian secara
klinis tidak ada kontraindikasi mutlak untuk melakukan endoskopi, Kontraindikasi relatif
meliputi berbagai kondisi yang akan meningkatkan risiko tindakan seperti instabilitas
kardiovaskular, gangguan perdarahan, bronkospasme berat, dan hipoksemia berat.4,8
Kondisi ini sebaiknya di atasi sebelum tindakan endoskopi dilakukan. Komplikasi pasca
tindakan sangat jarang, hanya beberapa kasus fatal saja yang pernah dilaporkan.13

Prosedur endoskopi saluran napas


Prosedur endoskopi saluran napas pada anak umumnya memerlukan tindakan sedasi
umum, kecuali pada anak besar dan kooperatif yang dapat menggunakan anestesi lokal/
topical. Sedasi yang digunakan dapat berupa sedasi sedang dengan conscious sedation
hingga anestesi umum tergantung kebutuhan.14
Alat endoskopi yang digunakan dapat masuk melalui hidung atau mulut dengan atau
tanpa artificial airway (jalan napas buatan) seperti masker laryngeal, pipa endotrakeal,
masker wajah ataupun kanul trakeostomi.4,15,16 Alat endoskopi yang digunakan
diameternya disesuaikan dengan usia anak, secara umum dikenal ukuran alat untuk bayi
dan anak. Alat endoskopi yang dapat digunakan terdiri dari 2 jenis yaitu endoskopi kaku/
rigid dan fleksibel (gambar 3).7

597
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Gambar 3a. Bronkoskopi fleksibel

Gambar 3b. Bronkoskopi kaku/rigid

Penutup
Endoskopi saluran napas merupakan prosedur di bidang respirologi yang banyak memiliki
manfaat dalam aspek diagnostik maupun terapetik dalam mengatasi masalah/penyakit
respiratorik. Prosedur ini merupakan prosedur yang aman dan memiliki efek samping
minimal jika dilakukan oleh tenaga terlatih. Manfaat utama prosedur ini adalah pada
kelainan di saluran napas terutama obstruksi saluran napas yang dapat disebabkan oleh
berbagai hal. Pada kelainan parenkimal manfaat endoskopi terbatas untuk kepentingan
diagnostik.

598 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Daftar pustaka
1. Nicolai T. Pediatric bronchoscopy. Pediatr Pulmonol. 2001;31:150-64.
2. Adil E, Gergin O, Kawai K, Rahbar R, Watters K. Usefulness of upper airway emdoscopy
in the evaluation of pediatric pulmonary aspiration. JAMA Otolaryngol Head Neck Surg.
2016;4:339-43.
3. Terkawi RS, Altirkawi KA, Terkawi AS, Mukhtar G, Al-Shamrani A. Flexible bronchoscopy
in children: utility and complications. Diunduh dari: http://www. Elsevier.com/locate/ijpam.
4. Faro A, Wood RE, Schechter MS, Leong AB, Wittkugel E, dkk. Official American thoracic
society technical standards: flexible airway endoscopy in children. Am J Respir Crit Care
Med. 2005;191:1066-80.
5. Midulla F, de Blic J, Barbato A, Bush A, Eber E, dkk. Flexible endoscopy of paediatric air-
ways. Eur Respir. 2003:22:698-708.
6. Brown MA, Mutius EV, Morgan WJ. Clinical assessment and diagnostic approach to com-
mon problem. Dalam Taussig LM, Landau LI, penyunting. Edisi kedua. Pediatric Respirato-
ry Medicine 2008. Elsevier.h119-120.
7. Sophie W, Purushothaman S, Alan RS, Matija D. The role of airway endoscopy in children.
Paediatrics and Child Health. 2015;25:4:182-6.
8. Wood RE, Boesch RP. Bronchoscopy and bronchoalveolar lavage in pediatric patient. Dalam
Wilmott RW, Boat TF, Bush A, Chernick V, Deterding RR, Ratjen F, penyunting. Edisi
kedelapan. Kendig and Chernick’s Disorders of the Respiratory Tract in Children 2012 .
Elsevier.h 131-44.
9. Goussard P, Gie RP. The need for bronchoscopic services for children in low and middle-in-
come countries. Expert Rev Respir Med. 2016;5:477-9.
10. Peng Y-Y, Soong W-J, Lee Y-S, Tsao P-C, Yang C-F, Jeng M-J. Flexible bronchoscopy as valu-
able diagnostic and therapeutic tool in pediatric intensive care patients: a report of 5 years of
experience. Pediatr pulmonol. 2011;46:1031-7.
11. Bush A. Review-neonatal bronchoscopy. Eur J Pediatr. 1994;153:S27-9.
12. Selimovic A, Pejcic T, Rancic M, Mujicic E, Bajrovic K. Bronchoscopy and bronchoalveolar
lavage in children with lower airway infection and most common pathologic microorganisms
isolated. Acta Fac Med Nais. 2012;29:17-21.
13. Picard E, Sclesinger Y, Goldberg S, Schwartz S, Kerem E. Fatal pneumococcal sepsis following
flexible bronchoscopy in an immunocompromised infant. Pediatr Pulmonol. 1998;25:390-2.
14. Myung CL. Sedation for pediatric endoscopy. Pediatr Gastroenterol Hepatol Nutr.
2014;17:6-12.
15. Kabra SK, Lodha R, Ramesh P, Sarthi M. Fiberoptic bronchoscopy in children: an audit from
a tertiary care center. Indian Ped. 2008;45:917-9.
16. Wood RE. Pitfalls in the use of the flexible bronchoscope in pediatric patients. Chest.
1990;97:199-203.

599
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Premature Thelarche and Gynecomastia
I Wayan Bikin Suryawan
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Udayana / RSUP Sanglah, Denpasar

Abstract
Premature thelarche in females and gynecomastia in males are common conditions in the
pediatric population. Although premature thelarche and gynecomastia represent benign
physiologic conditions in most cases, it is important to recognize and treat those patients who
may have underlying pathologic conditions.
Premature thelarche is defined as isolated breast development without evidence of sexual hair
development, estrogenization of vaginal mucosa, acceleration of linear growth, rapid bone
maturation, adult body odor, or behavioral changes typical of puberty. Typically occurs during
the first 2 years after birth, and breast size may fluctuate cyclically. Usually does not progress
to precocious puberty and typically resolves during childhood. Premature thelarche may result
from exposure to exogenous estrogen, xenoestrogens, other mechanisms that may play a role in
inducing thelarche include increased sensitivity of breast receptors to estrogen and increased
aromatization of adrenal precursors. Premature thelarche usually is benign, but may signify
a more complicated condition. Premature thelarche is isolated breast development in girls
younger than 8 years of age.
Gynecomastia is the presence of breast tissue in males. It is common and often is a concern for
families, but it usually is a normal part of adolescent development. Pathologic gynecomastia
does occur and can be related to a serious underlying problem.
Imbalance in the serum concentrations or in the synthesis of androgen or estrogen can lead
to gynecomastia or premature thelarche. Sex steroid concentrations remain low until the onset
of puberty and rise gradually until adult concentrations are achieved at the end of puberty.
Estradiol concentration reaches the adult range before testosterone concentration does. The
testes are responsible for more than 95% of testosterone production and about 15% of estradiol
production. Aromatization of androgens in extragonadal tissue is the primary source of estrogen
in males. Pathological gynecomastia results from absolute or relative estrogen excess owing
to exogenous estrogen administration, endogenous overproduction, or increased peripheral
conversion of androgens to estrogens as is seen with excessive aromatase activity or androgen
deficiency. Several drug associated with gynecomastia, many drugs have an estrogenic or
antiandrogenic effect, but the underlying mechanisms remain unknown for other drugs. For
those patients who appear to have pathologic gynecomastia, additional evaluation is necessary.
Candidates for specialist referral and laboratory evaluation include; Patients who have history
or physical examination findings suggestive of underlying pathologic conditions, patients who
have gynecomastia and present between 3 months of age and before puberty, patients who
have macrogynecomastia (>4 cm) or who experience rapid increase in breast size, patients
who have galactorrhea. The initial laboratory investigation may include determining serum
concentrations of LH, FSH, testosterone, estradiol, beta-hCG, DHEAS, and liver enzymes.
Pharmacologic treatment can decrease estrogen effect either by blocking estrogen receptors or by inhibiting
aromatase activity. Surgery is an option to reduce breast size, but some experts advocate a trial of
tamoxifen before considering surgery.

600 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Telars Prematur
Telars prematur pertama kali digunakan oleh Wilkins untuk menyatakan perkembangan
payudara tanpa disertai tanda-tanda seks sekunder lainnya pada anak perempuan berusia
kurang dari 8 tahun. Perkembangan payudara tanpa bukti perkembangan rambut seksual,
estrogenisasi mukosa vagina, percepatan pertumbuhan linier, percepatan pematangan
tulang, bau badan dewasa, atau perubahan perilaku khas pada pubertas. Pada telars
prematur perkembangan payudara dapat terjadi pada salah satu atau kedua payudara.
Prevalensi telars prematur tertinggi terjadi pada dua tahun pertama kehidupan, pembesaran
payudara sebelum usia 2 tahun dianggap sugestif untuk telars prematur dan resolusi 44%
sampai 66% kasus. Perkembangan payudara unilateral dapat mencapai 50% pasien. Studi
hormonal belum banyak membantu menentukan etiologi telars prematur. Beberapa penulis
menemukan bukti adanya pengaruh estrogen sedangkan yang lain tidak menemukannya.
Kadar hormon gonadotropin yang normal maupun meningkat telah dilaporkan. Estrogen
eksogen juga telah dilaporkan sebagai penyebab timbulnya perkembangan telars prematur
baik melalui ingesti, aborpsi melalui kulit atau kontak dengan lingkungan. Perjalanan
alamiah telars prematur bervariasi dari regresi, persisten, progresif tanpa disertai gejala lain
hingga pasien memasuki usia pubertas ataupun berkembang menjadi pubertas prekoks
sentral.

Ginekomastia
Ginekomastia merupakan pembesaran kelenjar mamae yang terjadi pada laki-laki. Hal
ini terjadi karena adanya gangguan fisiologi hormon steroid yang bersifat sementara
maupun menetap. Ginekomastia terjadi karena berbagai macam perubahan dalam
payudara termasuk jaringan penunjang, proliferasi duktus kelenjar mamae, penambahan
vaskularisasi, dan sel –sel radang kronik. Pembesaran seringkali terjadi pada regio tepat
di bawah papila dan areola mamae, dan dapat disertai atau tanpa sekresi menyerupai
kolostrum, teraba lunak, dan pembesaran papila dan areola mamae. Ginekomastia jangan
dikacaukan dengan lipomastia yaitu lemak subkutan, teraba lunak yang seringkali tampak
seolah-olah mempunyai payudara pada laki-laki gemuk. Perjalanan klinis ginekomastia
seperti juga efek obat-obatan dapat dipantau dengan mengukur diameter lempeng
jaringan kelenjar mamae setiap 3 bulan sekali. Sering terjadi asimetri pada perkembangan
ginekomastia, dan perkembangan mamae unilateral dapat selalu dipertimbangkan sebagai
stadium perkembangan ginekomastia bilateral. Hormon stimulans pertumbuhan mamae
yang dominan adalah estrogen, sedangkan androgen mempunyai efek inhibisi yang lemah.
Ginekomastia ini akan terjadi bila terdapat penurunan ratio androgen terhadap estrogen.
Peran prolaktin pada genesis ginekomastia masih belum jelas. Prolaktin serum pada
kebanyakan pasien ginekomastia dalam batas normal. Prolaktin adakalanya ikut berperan
melalui efek tidak langsung pada gonad dan kemungkinan pada fungsi adrenal yang dapat
menyebabkan perubahan ratio estrogen atau androgen dalam sirkulasi.

601
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Telars Prematur
Patogenesis
Patogenesis telars prematur masih kontroversial. Ada yang mengatakan telars prematur
disebabkan oleh meningkatnya sensitivitas secara abnormal jaringan mamae (lokal)
terhadap peningkatan sekresi estrogen fisiologis. Bidlingmaer dkk, melaporkan telars
prematur mungkin disebabkan oleh peningkatan sedikit estrogen ovarium sebagai respons
terhadap peningkatan kadar gonadotropin transient. Penulis lain menduga telars prematur
disebabkan oleh produksi estrogen yang berlebihan secara autonom dari folikel ovarium
yang mengalami transformasi kistik dan luteinisasi pada tahun pertama hingga ke-empat
kehidupan. Selain itu telars prematur juga diduga dapat disebabkan oleh peningkatan
produksi estrogen dari prekursor adrenal.

Diagnosis
Secara klinis akan tampak pola pertumbuhan linier masih normal tanpa adanya akselerasi,
usia tulang masih sesuai dengan usia kronologik. Pada pemeriksaan USG pelvis terlihat
uterus berukuran prepurbertal ruangan (rasio korpus banding serviks adalah 1: 2), tidak
adanya menstruasi. Pemeriksaan hormonal pada telars prematur memperlihatkan pola
prepubertal. Kadar hormon estradiol berada dalam tingkat prepubertal sesuai dengan usia
pasien, namun kadang-kadang sedikit meningkat. Kadar FSH basal dan LH biasanya
normal, namun FSH mungkin agak meningkat. Demikian juga terhadap uji stimulasi
LHRH menunjukkan pola prepubertas.

Tata laksana
Telars prematur merupakan suatu keadaan yang self limited dan jarang sekali menjadi
pubertas prekoks sentral. Kebanyakan peneliti berpendapat telars prematur yang terjadi
usia kurang dari 3 tahun mempunyai prognosis yang baik, karena payudara umumnya
akan mengalami regresi spontan, sehingga disarankan untuk tidak melakukan pemeriksaan
dan pengobatan yang tidak perlu. Yang lebih penting pada kasus telars prematur adalah
pemantauan sedini mungkin kemungkinan terjadinya pubertas prekoks sentral yang dapat
dilakukan baik secara klinis, laboratoris, maupun pemeriksaan penunjang radiologis. Hal
ini penting agar terapi sedini mungkin dapat segera dilakukan pada pasien telars prematur
yang berkembang menjadi pubertas prekok sentral. Walaupun angka kejadian dari telars
prematur yang berkembang menjadi pubertas dini sangat kecil, namun dampak yang
ditimbulkan pubertas prekoks sentral sangat mengganggu. Oleh sebab itu setiap pasien
telars prematur perlu diamati secara berkala.

602 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Ginekomastia
Penyebab Ginekomastia
Penyebab ginekomastia dapat dikelompokkan menjadi oleh karena obat-obatan 10-25%,
tidak ditemukan kelainan pada 25%, ginekomastia pubertas yang menetap 25%, sirosis
hepatis atau malnutrisi 8%, hipogonadisme primer 8%, tumor testis 3%, hipogonadisme
sekunder 2%, hipertiroid 1,5%, dan gagal ginjal kronik 1%.

Manifetasi Klinis
1. Ginekomastia fisiologis
a. Ginekomastia pada neonatus
Pembesaran payudara pada neonatus diduga disebabkan oleh faktor estrogen
maternal atau plasenta atau kombinasi keduanya. Pembesaran ini dapat atau tidak
berkaitan dengan produksi ASI dan biasanya hilang dalam beberapa minggu,
walaupun pada beberapa kasus tertentu dapat menetap lebih lama.
b. Ginekomastia pubertas
Ginekomastia pubertas selalu diawali dengan tanda-tanda perkembangan seks
laki-laki seperti perkembangan rambut pubis, pigmentasi kulit skrotum, dan
pembesaran testis (volume 8 ml) khas terdapat sedikitnya 6 bulan sebelum
onset pembesaran payudara. Pada usia 10-17 tahun kira-kira 40% anak laki-
laki menderita ginekomastia transien dengan puncak insidens (65%) pada usia
14 tahun. Ginekomastia pubertas akan menghilang 75% dalam 2 tahun dan
menghilang 90% dalam 3 tahun, menjadi ginekomastia besar kira kira 10%.
Pada ginekomastia pubertas, diameter kelenjar mamae biasanya kurang dari
4 cm menyerupai breast bulding. Apabila ukaran mamae pada ginekomastia
serupa dengan M4 atau M5 stadium pubertas perempuan maka disebut
makroginekomastia. Pada makroginekomastia regresi spontan tidak mungkin
terjadi.
c. Ginekomastia usia lanjut
Ginekomastia usia lanjut adalah ginekomastia yang ditemukan pada laki-laki usia
lanjut.
2. Ginekomastia patologis
Ginekomastia patologis adalah ginekomastia yang disebabkan oleh efek samping obat-
obatan atau kelainan endokrin atau penyakit yang mendasarinya. Kelainan endokrin
pada ginekomastia patologis umumnya kelainan endokrin yang secara potensial
menyebabkan penurunan konsentrasi androgen (hipogonadism) atau peningkatan
sekresi estrogen. Androgen akan mengalami aromatisasi perifer di jaringan menjadi
estrogen. Rasio androgen dan estrogen ini yang berperan pada terjadinya ginekomastia.
Pada sindrom Klinefelter terjadi hipergonadotropik hipogonadism seringkali dijumpai
ginekomastia, karena terjadi disgenesis gonad. Pada hipertiroid dapat dijumpai
ginekomastia karena terjadi peningkatan produksi androstenedion dan peningkatan

603
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
aromatisasi androgen perifer. Ginekomastia yang terjadi pada malnutrisi biasanya
timbul setelah peningkatan masukan kalori, mungkin berhubungan dengan disfungsi
hati, selama kelaparan produksi hormon seks turun, ketika masukan makanan menjadi
normal produksi estrogen maupun androgen meningkat dan terjadilah ginekomastia
dan pembesaran payudara biasanya menghilang sesuai perbaikan fungsi hati.
3. Ginekomastia idiopatik
Ginekomastia idiopatik setelah dicari penyebabnya tetap tidak diketahui dan
ginekomastia idiopatik tidak menyebabkan gangguan kesehatan yang berarti.

Diagnosis
Tujuan utama pendekatan diagnosis adalah membedakan ginekomastia fisiologis atau
patologis. Pada anamnesis riwayat pemakaian obat-obatan sangat penting selain riwayat
keluarga dengan ginekomastia menetap. Pada tahap lanjut harus diidentifikasikan ada
tidaknya gagal ginjal, sirosis hepatis, hipertiroid, hipogonadisme, malnutrisi, maupun
trauma lokal dinding dada. Pemeriksaan fisik untuk memeriksa tanda tanda ginekomastia
dan mencari tanda-tanda penyakit yang mendasarinya. Pemeriksaan laboratorium
dilakukan sesuai gambaran klinis yang ditemukan.

Tata laksana
1. Terapi medis
a. Pengobatan ginekomastia tergantung pada penyebab dan lamanya menderita
ginekomastia.
b. Pada 90% kasus ginekomastia pubertas terjadi regresi spontan dalam 3 tahun
atau dalam 6 bulan dengan terapi medis.
c. Hasil terapi demgan raloksifen klomifen sitrat, tamoksifen, testolakton, danasol
dan testosteron atau dihidrotestosteron heptanoat dilaporkan dengan hasil yang
tidak konsisten.
d. Tamoksifen dan raloksifen merupakan anti estrogen, tamoksifen bekerja dengan
cara berkompetisi dengan estrogen binding site jaringan mamae. Obat ini cukup
aman dan efektif bila diberikan dengan dosis 10-20 mg/kali diberikan 2 kali
sehari pada remaja. Efek samping yang ada hanya nause atau abdominal discomfort
yang terjadi pada 5% laki-laki yang diobati dan tidak memerlukan penghentian
pengobatan. Dari kedua obat tersebut raloksifen memberikan respon terapi yang
lebih baik dibanding tamoksifen.
e. Testolakton adalah suatu aromatase inhibitor, dosis yang diberikan 150 mg/ kali 3
kali sehari, merupakan dosis aman yang tidak menghambat sekresi gonadotropin
atau memperlambat pubertas.
f. Dihidrotestosteron heptanoat diberikan secara intra muskuler tapi belum
tersedia secara komersial. Obat ini tidak mengalami aromatisasi sehingga punya
kemampuan menghambat pembentukan mamae.

604 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


2. Terapi bedah
Indikasi bedah pada ginekomastia adalah apabila ukuran melebihi 6 cm atau jaringan
mamae menetap lebih dari 4 tahun dan sudah terjadi fibrosis luas, dan adanya stres
psikologis berat.

Penutup
Telars prematur merupakan perkembangan payudara pada anak perempuan tanpa disertai
adanya tanda-tanda seks sekunder yang lain secara klinis maupun laboratorim. Telars
prematur umumnya ditemukan pada anak perempuan usia 2 tahun. Telars prematur
diperkirakan disebabkan oleh paparan estrogen exogen yang bisa masuk lewat ingesti,
digesti maupun absorpsi melalui kulit. Telars prematur perlu dibedakan dengan pubertas
dini oleh karena itu perlu diobservasi secara berkala.
Ginekomastia merupakan pembesaran kelenjar mamae yang terjadi pada laki-laki,
hal ini terjadi karena adanya gangguan fisiologi hormon steroid yang bersifat sementara
maupun menetap. Ginekomastia ini akan terjadi bila terdapat penurunan ratio androgen
terhadap estrogen. Ginekomastia dibedakan menjadi ginekomastia fisiologis ( ginekomastia
pada neonatus, ginekomastia pubertas, ginekomastia usia lanjut), ginekomastia patologi
adalah ginekomastia yang disebabkan oleh efek samping obat-obatan atau penyakit yang
mendasarinya, dan ginekomastia idiopatik. Ginekomastia fisiologis tidak memerlukan
pengobatan, sedangkan ginekomastia patologis memerlukan pengobatan medis seperti
tamoksifen, raloksifen sebagai anti estrogen atau testolakton sebagai aromatase inhibitor.
Terapi pembedahan dilakukan bila ukurannya melebihi 6 cm atau jaringan mamae
metetap lebih dari 4 tahun dan sudah terjadi fibrosis luas dan terjadi stres fisiologi berat.

Daftar pustaka
1. Diamantopoulos S. Gynecomastia and Premature Thelarche: A Guide for Practitioners. Pedi-
atrics in Review. 2007; 28(9):c57-68.
2. Muir A. Precocius Puberty. Pediatrics in Review. 2008; 27(10):373-380.
3. Bell B K. Gynecomastia. Endocrine Secrets. 3rd edition. 2002;47:362-65.
4. Brook CGD. Marshall NJ. Reproductive Endocrinology. Essentiale Endocrinology.
1996;6:94-114.
5. Braunstein GD. Aromatase and Gynecomastia. Endocrine-Related Cancer.1999; 6 :315-324.
6. Dattani MT. Tziaferi V. Hindmarsh PC. Evaluation of Disordered Puberty. Brooks Clinical
Pediatric Endocrinology. 6th edition. 2009;10:213-249.
7. Bembo SA. Carlson HE. Gynecomastia: Its features, and when and how to treat it. Cleveland
Clinic Journal of Medicine. 2004;7(6):511-7.
8. Nakamoto JM. Franklin SL. Geffner ME. Puberty. Pediatric Practise Endocrinology.
2010;7:270-311.
9. Stavros, D. dan Young, B. 2007. Gynekomastia and Premature Thelarche: A Guide for Prac-
titioners. Pediatrics in Review.

605
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
10. Batubara, J. dkk. 2010. Buku Ajar Endokrinologi Anak Edisi I. Badan Penerbit IDAI.
11. IDAI. 2013. Masalah Pubertas pada Anak dan Remaja. Available from: URL; http://www.
idai.or.id/artikel/seputar-kesehatan-anak/masalah-pubertas-pada-anak- dan-remaja.
12. Kaneda, H.J. dkk. 2013. Pediatric and Adolescent Breast Masses: A Review of Pathophysiol-
ogy, Imaging, Diagnosis, and Treatment. American Journal of Roentgenology.
13. Kaplowitz, P.B. 2017. Precocious Puberty. Available from: URL; http://emedicine. med-
scape. com/article/924002-overview.

606 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Role Epigenetic in Allergy
Wisnu Barlianto
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga / RSUD Dr. Sutomo, Surabaya

Abstract
Epigenetics in allergic disease is a field that has expanded greatly in the last decade. Epigenetic refers to
a biochemical reaction, such as DNA methylation, modifications on histones and other structures that
control whether a particular gene is switched on or off. Allergic disease development is affected by both
genes and the environment, and epigenetic mechanisms are hypothesized to mediate these environmental
effects. Recently, several environmental factors have been reported encounter an interactions with gene
expression in regulation of allergic disease, including allergen; microbe; tobacco smoke; folic acid; fish
oil; obesity; and stress. In this review, we discuss the role of epigenetic in allergic diseases and related
environmental risk factors as well as potential underlying mechanisms for these associations. By
understanding epigenetic in allergy, it could provide novel insights and therapeutic interventions that
may be effective in arresting or even reversing the allergy epidemic.

Pengertian epigenetik
Epigenetik akhir-akhir ini menjadi pusat perhatian para peneliti dalam mengembangkan
teori mengenai patogenesis berbagai penyakit termasuk alergi.1 Epigenetik menjelaskan
bagaimana perubahan lingkungan dapat mempengaruhi ekspresi gen dan memanipulasi
perkembangan awal yang dapat menjadi faktor predisposisi timbulnya alergi.2 Epigenetik
adalah sebuah mekanisme yang mengontrol apakah gen tertentu akan menjadi aktif atau
inaktif.3 Setiap orang memiliki beberapa gen yang tidak dieskspresikan atau diekspresikan
pada jaringan tertentu atau pada kondisi tertentu. Sebagai contoh, setiap sel di dalam
tubuh kita memiliki kode genetik yang sama, namun profil gen yang diekspresikan pada
masing-masing sel dan jaringan berbeda, seperti kulit, otot, tulang dan organ lain. Variasi
ini diatur melalui suatu program epigenetik yang kompleks, yang menentukan apa, kapan
dan dimana sebuah gen akan diekspresikan.4 Mekanisme epigenetik ini tidak mengubah
sekuens DNA yang secara mitosis atau meiosis diturunkan. Hal ini menjelaskan mengapa
pada keturunan yang memilki DNA identik belum tentu memunculkan ciri atau
karakteristik yang sama.5

Epigenetik dan kontrol ekspresi gen


Pada sel eukariotik, gen-gen di dalam rantai DNA dikemas membentuk struktur
kromosom yang berada di dalam nukleus sel. Rantai DNA mengelilingi histon membentuk
nukleosome yang terikat menjadi suatu untaian yang disebut kromatin. Dalam hal
ini epigenetik didefinisikan sebagai perubahan kimia yang dapat ‘membuka’ untaian

607
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
kromatin dan struktur DNA sehingga gen dapat diekspresikan atau ‘menutup’ untaian
kromatin sehingga gen tidak dieskspresikan.3 Beberapa contoh proses regulasi ekspresi gen
antara lain metilasi DNA dan modifikasi histon. Metilasi DNA adalah proses biokimia
yang berkaitan terhadap penambahan gugus metil terhadap nukleotid DNA. Hal ini
merupakan proses epigenetik yang paling utama pada gene silencing dan secara subsekuens
menginhibisi transkripsi gen. Sedangkan modifikasi histon adalah serangkaian perubahan
berupa metilasi, asetilasi atau fosforilasi sepanjang modifikasi post translasi dari berbagai
macam protein histon. Efek dari modifikasi histon ini dapat bervariasi mulai dari aktivasi
hingga inaktivasi gen serta dapat juga terjadi beberapa perbaikan fungsi DNA.2
Beberapa faktor lingkungan disebutkan berpengaruh terhadap regulasi ekspresi gen
antara lain paparan zat kimia, asap rokok, hormon, perubahan suhu, komponen di dalam
makanan dan stress. Epigenetik menjelaskan bagaimana lingkungan dapat mempengaruhi
ekspresi gen dalam waktu yang sangat cepat tanpa harus mengubah sekuens DNA itu
sendiri.6 Hal inilah yang membawa pandangan baru bahwa lingkungan dapat berpengaruh
terhadap pola penyakit. Dengan mengetahui faktor apa yang mempengaruhi modifikasi
ekspresi gen sehingga menimbulkan suatu penyakit tertentu, maka dapat juga menjadi
strategi untuk melakukan modifikasi gen dalam mencegah terjadinya penyakit tersebut.5

Peran epigenetik terhadap perkembangan imun dan munculnya


alergi
Selama proses perkembangan embrio dan janin, proses epigenetik ini sangat dinamik
dan bervariasi sehingga sebuah sel dapat berdiferensiasi menjadi berbagai jaringan dan
organ yang kompleks. Begitu juga dengan perkembangan sistem imun pada awal masa
kehidupan. Selama proses kehamilan, perkembangan sistem imun janin sangat rentan
terhadap perubahan lingkungan, fluktuasi hormon selama kehamilan dan juga sistem imun
maternal.5 Janin mengandung antigen asing dari paternal yang selanjutnya direspon oleh
sistem imun berupa T helper 1 (Th1). Sistem imun Th1 bekerja sebagai sistem pertahanan
tubuh yang siap untuk menyerang atau menolak antigen asing. Namun, pada kehamilan,
terjadi perubahan respon imunologi secara kompleks yang mencegah terjadinya rejeksi
antigen janin ini.7 Beberapa teori menyebutkan perubahan hormon mampu menginduksi
respon imun T helper (Th2) yang akan melindungi janin dan menekan respon imun
Th1. Hal ini dibuktikan dengan beberapa penelitian yang melaporkan bahwa terjadi
peningkatan respon imun Th2 dan penurunan Th1 pada masa kehamilan.8
Pada saat bayi baru lahir, didapatkan sel T yang masih imatur dengan dominasi
sel Th2 akibat pengaruh efek Th2 maternal dan pengaruh hormon pada kehamilan.
Meskipun respon imun bayi baru lahir dapat memberikan respon imun pertahanan Th1
bila terjadi paparan infeksi, namun kemampuan ini lebih rendah dibandingkan dengan
respon imun pada anak yang lebih tua atau dewasa. Dilaporkan bahwa pada pasien anak
normal menunjukkan perubahan gradual dan progresif respon imun dari Th2 menjadi
Th1.9 Disebutkan pula bahwa paparan dengan mikroba pada awal kehidupan merupakan

608 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


hal yang penting dalam switching respon imun Th1 dan bila perubahan ini tidak terjadi
maka respon imun akan dominan oleh Th2 sehingga berisiko mengalami penyakit alergi.10
Salah satu mekanisme bagaimana epigenetik mempengaruhi sistem imun selama
proses perkembangan janin adalah teori epigenetik. Perubahan epigenetik mengatur
gen untuk produksi sitokin tertentu yang akan mempengaruhi apakah sel T naive akan
berdiferensiasi menjadi sel Th1 atau Th2. Sitokin Th1 seperti IL-12 dan IFN-ɣ merupakan
komponen yang penting dalam menekan respon imun alergi yang diperankan oleh sel
Th2. Sedangkan sitokin Th2 seperti IL-4 mampu menginduksi diferensiasi sel T naive
menjadi sel Th2. Keseimbangan antara sitokin-sitokin inilah yang salah satunya dapat
mempengaruhi muncul atau tidaknya alergi.10
Pada bayi baru lahir, fungsi gen sitokin Th1 secara epigenetik dinonaktifkan melalui
beberapa mekanisme salah satunya adalah penambahan gugus metil ke dalam rantai DNA.
Seiring dengan bertambahnya usia, gugus metil ini selanjutnya akan hilang sehingga
menyebabkan gen sitokin Th1 menjadi aktif. Disebutkan bahwa terjadinya metilasi DNA
ini disebabkan karena paparan mikroba saat proses kehamilan.10 Teori populer terkait dengan
kondisi ini adalah “hygiene hypothesis” yang menyatakan bahwa paparan mikroba pada saat
awal kehidupan dapat mencegah terjadinya alergi. Paparan mikroba akan menginduksi
respon imun Th1. Dengan berkembangnya respon Th1 yang dominan selanjutnya akan
menekan respon imun Th2 sehingga kejadian alergi dapat dicegah. Penelitian melaporkan
bahwa pada pasien anak dengan alergi, terjadi penurunan respon imun Th1 dan peningkatan
respon imun Th2 bahkan sebelum munculnya gejala klinis alergi.5
Selain itu, respon imun tidak akan terlepas dari respon imun innate yang diperankan
oleh APC (Antigen Presenting Cells). APC merupakan pertahanan awal yang mampu
mengenali bakteri atau mikroba lain dan selanjutnya memberikan sinyal untuk aktivasi
dan diferensiasi sel T. Pada tahap ini, regulasi epigenetik mampu mempengaruhi aktivasi
gen sitokin yang bertanggung jawab terhadap diferensiasi sel T baik melalui proses DNA
metilasi maupun modifikasi histon. Sitokin yang dihasilkan akan mengaktivasi faktor
transkripsi sesuai dengan jalur diferensiasinya, seperti IL-12 dan IFN-ɣ akan mengaktivasi
STAT1/T-bet untuk diferensiasi Th1; IL-4 mengaktivasi STAT6/Gata3 untuk diferensiasi
Th2; sinyal dari sitokin IL-6 dan TGF-β akan mengaktivasi RORγ untuk diferensiasi
Th17; dan TGF-β mengaktivasi FoxP3 untuk diferensiasi T reg.11 Melalui mekanisme
regulasi inilah keseimbangan sel T dipertahankan. Ketidakseimbangan diferensiasi sel T
akan menyebabkan munculnya berbagai kondisi penyakit seperti alergi atau autoimun.
Sebagai contoh pada patogenesis alergi, tanpa sinyal pro-Th1 dari APC, maka diferensiasi
sel T akan cenderung mengarah menjadi sel Th2. Kondisi inilah yang ditemukan pada
pasien anak dengan alergi, dimana respon imun Th2 lebih dominan.12

Peran faktor lingkungan terhadap regulasi epigenetik


kBeberapa faktor lingkungan yang dikaitkan dengan regulasi epigenetik dalam munculnya
penyakit alergi antara lain sebagai berikut:

609
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Tabel 1. Faktor Lingkungan yang Dapat Mempengaruhi Fenotip Alergi Melalui Mekanisme Epigenetik

Alergen
Pengaruh alergen terhadap regulasi epigenetik pada pasien dengan asma dan alergi
dikaitkan dengan peningkatan metilasi DNA setelah sensitisasi alergen. Alergen yang
direspon oleh sel Th2 berkorelasi dengan penurunan ekspresi sitokin IFN-ɣ yang
merupakan sitokin utama untuk diferensiasi Th1. Penelitian yang dilakukan oleh Pascual
et al melaporkan bahwa terjadi metilasi DNA pada beberapa lokus gen pada populasi
pasien dengan alergi HDM. Secara klinis, pasien yang terpapar HDM menunjukkan
peningkatan hiperresponsif jalan napas, inflamasi dan remodeling jalan napas.13

Mikroba
Salah satu faktor yang disebutkan protektif terhadap alergi adalah paparan mikroba
pada masa awal kehidupan. Penelitian meta-analisis yang dilakukan oleh Campbell et
al. menunjukkan bahwa anak-anak yang tumbuh besar dalam lingkungan pertanian
tradisional memiliki risiko lebih kecil terhadap penyakit alergi pernapasan. Pada pasien
anak yang tinggal di lingkungan pedesaan menunjukkan gambaran jumlah sel Treg
yang meningkat secara signifikan setelah stimulasi dengan lipopolisakarida. Salah satu
teori menjelaskan bahwa gen antibakterial seperti RANTES, lipocalin-2 (LCN-2), dan
prostaglandin E synthase (PTGES) memperantarai peningkatan kadar asetilasi histon yang
menyebabkan aktivasi gen yang berkaitan dengan respon imun Th1 yang akan mencegah
timbulnya penyakit alergi.14

Asap rokok
Paparan asap rokok selama kehamilan dan anak-anak merupakan faktor risiko untuk
berkembangnya asma pada anak. Hal tersebut dikarenakan komponen yang dihasilkan

610 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


dari asap rokok merupakan toksik dan menurunkan fungsi metabolik dengan cara
mempengaruhi program epigenetik pada tipe sel yang berbeda. Induksi metilasi DNA
dan asetilasi histon pada beberapa gen mengindikasikan bahwa mekanisme epigenetik
akibat paparan asap rokok dapat mempengaruhi kejadian asma.15 Sebuah studi review
sistematik yang dilakukan oleh Raherison et al. melaporkan bahwa terdapat peningkatan
risiko terjadinya wheezing, asma dan positif skin prick test pada anak dengan ibu yang
terpapar asap rokok selama kehamilan.1

Asam folat
Salah satu komponen yang penting dalam donor metil pada proses metilasi DNA adalah
asam folat. Hal tersebut akan mengubah epigenom suatu gen sehingga gen menjadi
inaktif. Konsumsi asam folat pada kehamilan dikaitkan dengan kejadian munculnya alergi
pada anak. Namun beberapa penelitian menunjukkan hal yang sebaliknya. Sejauh ini
belum ada bukti yang menunjukkan rekomendasi penggunaan suplementasi folat selama
kehamilan untuk mencegah terjadinya alergi.17

Minyak ikan
Minyak ikan merupakan salah satu sumber utama asam lemak omega 3 yang menjadi
prekursor sejumlah besar mediator anti-inflamasi. Konsumsi minyak ikan selama
kehamilan, awal kehidupan atau keduanya disebutkan dapat mencegah perkembangan
penyakit alergi. Terdapat data inisial yang menyebutkan terdapat mekanisme perubahan
pada faktor κΒ subunit p65 dan deasetilasi histon pada sel makrofag. Penelitian metaanalisis
yang dilakukan oleh Klemens et al. menunjukkan bahwa konsumsi minyak ikan pada saat
kehamilan dapat menurunkan risiko terjadinya alergi makanan, asma, positif skin prick
test dan kejadian atopi pada anak.18

Obesitas
Perubahan gaya hidup merupakan salah satu faktor terpenting yang mempengaruhi
regulasi epigenetik. Penelitian melaporkan bahwa pada jaringan adiposa terjadi penurunan
tingkat ekspresi gen yang berkaitan dengan fosforilasi oksidatif karbohidrat, asam amino
dan metabolisme lipid. Metilasi DNA yang terjadi pada beberapa lokus gen seperti CCL5,
IL2RA dan faktor transkripsi T-box (TBX21) dapat menyebabkan polarisasi Th1. Pada
studi cross-sectional yang melibatkan 171 sampel dengan obesitas telah terdentifikasi bahwa
tingkat metilasi lebih tinggi dibandingkan kelompok non obesitas. Di sisi lain, terjadi
peningkatan metilasi promoter untuk TGF-β, yang mengkode sitokin yang berhubungan
dengan aktivitas anti-inflamasi dan fungsi sel Treg. Lebih lanjut, metilasi promoter juga
ditemukan pada gen FCER2, yaitu reseptor dengan afinitas yang rendah untuk IgE. Hal
tersebut merupakan contoh peranan alterasi epigenetik sebagai mekanisme perubahan
metabolik dan pengaruhnya terhadap ekspresi gen yang berkaitan pada perkembangan
fenotip alergi.19

611
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Stress
Stress merupakan faktor lingkungan tambahan yang juga penting sedikitnya dalam bagian
modifikasi epigenetik. Stress psikologis menjadi pembicaraan akhir tahun ini sebagai faktor
risiko tambahan terpenting dalam patogenesis dan keparahan asma pada anak. Reseptor
membran untuk adrenal adenylate cyclase-activatingpeptida (ADCYAP1R1) merupakan
ekspresi tertinggi dalam hipotalamus dan struktur limbik yang berintegrasi pada respon
stress. Baru-baru ini, penelitian mengidentifikasi status metilasi lebih tinggi pada gen
ADCYAP1R1 dan peningkatan ini berhubungan dengan perkembangan asma, khususnya
pada anak dengan pengalaman kekerasan dalam keluarga.20 Selain itu, mekanisme ini juga
diperantarai oleh modulasi aksis HPA oleh stressor yang akan menyebabkan gangguan
pada regulasi sistem imun, terutama sistem imun Th2.21

Penutup
Epigenetik merupakan mekanisme yang mengendalikan apakah gen tertentu diekspresikan
atau tidak. Beberapa faktor lingkungan seperti nutrisi, paparan asap rokok, obesitas
dan stres selama kehamilan dibuktikan memiliki efek pada predisposisi alergi melalui
mekanisme epigenetik. Dengan memahami peran epigenetik dalam alergi, hal ini dapat
memberi wawasan baru dan intervensi terapeutik yang mungkin efektif untuk mencegah
kejadian alergi.

Daftar pustaka
1. Kuriakose J. S. and R. L. Miller. Environmental epigenetics and allergic diseases: recent ad-
vances. Clinical & Experimental Allergy 2010, 40;1602–1610.
2. Harb, Hani and Harald Renz. Update on epigenetics in allergic disease. J Allergy Vlinn Im-
munol 2015, 15-24.
3. Tollefsbol, Trygve. Genomic Imprinting. Handbook of Epigenetics The New Molecular and
Medical Genetics Chapter 22, 2011. Elsevier Inc.
4. Holliday, Robin. Epigenetics: A Historical Overview. Epigenetics 2006, 1(2);76-80, DOI:
10.4161/ epi.1.2.2762.
5. Prescott, L. Susan. Genetic and Allergy Disease. The Allergy Epidemic. 2011. UWA Publish-
ing Crawley, The University of Western Australia.
6. Feil Robert and Mario F. Fraga. Epigenetics and the environment: emerging patterns and
implications. Nature Reviews Genetics 2012, 13; 97-109.
7. Piccinni, M.P, Letizia Lombardelli, Federica Logiodice, Ornela Kullolli, Sergio Romagnani,
and Philippe Le Bouteiller. T helper cell mediated-tolerance towards fetal allograft in success-
ful pregnancy. Clinical and Molecular Allergy 2015, 13(9); 1-5.
8. Saito S, Nakashima A, Shima T, Ito M. Th1/Th2/Th17 and regulatory T-cell paradigm in
pregnancy. Am J Reprod Immunol 2010, 63; 601–610.
9. Simon AK, Hollander GA, McMichael A. Evolution of the immune system in humans from
infancy to old age. Proc. R. Soc 2015, B 282; 20143085.

612 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


10. Prescott S. dan Richard Saffery. The role of epigenetic dysregulation in the epidemic of aller-
gic disease. Clin Epigenet 2011, 2;223–232.
11. Russ, Brendan E., Julia E. Prier, Sudha Rao dan Stephen J.Turner. T cell immunity as a
tool for studying epigenetic regulation of cellular differentiation. Frontiers in Genetics 2013,
4(218); 1-10.
12. Bégin and Nadeau. Epigenetic regulation of asthma and allergic disease. Allergy, Asthma &
Clinical Immunology 2014,10(27);1-12.
13. Brand S, Kesper DA, Teich R, Kilic-Niebergall E, Pinkenburg O, Bothur E, et al. DNA
methylation of TH1/TH2 cytokine genes affects sensitization and progress of experimental
asthma. J Allergy Clin Immunol 2012,129;1602-10.
14. Campbell, B. E., C. J. Lodge, A. J. Lowe, J. A. Burgess, M. C. Matheson and S. C. Dharma-
ge. Exposure to ‘farming’ and objective markers of atopy: a systematic review and meta-anal-
ysis. Clinical & Experimental Allergy 2015, 45;744–757.
15. Klingbeil EC, Hew KM, Nygaard UC, Nadeau KC. Polycyclic aromatic hydrocarbons, to-
bacco smoke, and epigenetic remodeling in asthma. Immunol Res 2014; 58:369-73.
16. Raherison, C., Ce´line Pe´nard-Morand, David Moreau. In utero and childhood exposure to
parental tobacco smoke, and allergies in schoolchildren. Respiratory Medicine 2009, 101;107–
117.
17. Lockett GA, Patil VK, Soto-Ramírez N, Ziyab AH, Holloway JW, Karmaus W. Epigenomics
and allergic disease. Epigenomics 2013, 5(6);685-699.
18. Klemens C, Berman D, Mozurkewich E. The effect of perinatal omega-3 fatty acid sup-
plementation on inflammatory markers and allergic diseases: a systematic review. BJOG
2011,118;916–925.
19. Dietze J, B€ocking C, Heverhagen JT, Voelker MN, Renz H. Obesity lowers the threshold of
allergic sensitization and augments airway eosinophilia in a mouse model of asthma. Allergy
2012, 67;1519-29.
20. Chen W, Boutaoui N, Brehm JM, Han Y, Schmitz C, Cressley A, et al. ADCYAP1R1 and
Asthma in Puerto Rican Children. Am J Respir Crit Care Med 2013,187;584-8.
21. Andersson, P.W, M. V. Hansen, A. D. Larsen, K. S. Hougaard, H. A. Kolstad & V.
Schl€unssen. Prenatal maternal stress and atopic diseases in the child: a systematic review of
observational human studies. Allergy 2016, 71;15–26.

613
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Physiology of Breastfeeding and the Role of
Counselling
Wiyarni Pambudi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanegara Jakarta

Abstract
Despite marked improvements in the composition of such formulas, breastfeeding remains the superior form
of infant nutriture and also serves as an extrauterine directive of immune development. Both professional
and lay supporters had a positive impact on breastfeeding outcomes as an increasing in the length of time
women continued to breastfeed and the length of time women breastfed without introducing any other
types of liquids or foods. Clinicians have a crucial role -from the early pregnancy- in a mother’s decision
to breastfeed and can facilitate her success in lactation since the newborn period. Face-to-face counseling
-as an important role of extra support of breastfeeding-was significantly more effective compared with
telephone or other media support. The clinician must be familiar with how the mammary gland produces
human milk and how its properties nourish and protect the breastfeeding infant. Such early follow-up
makes lactation success more likely and leads to a healthier infant. Successful follow-up depends on the
healthcare provider’s knowledge of the mechanics of breastfeeding, the evaluation of successful lactation,
and the interventions required if difficulties develop. This article reviews the development of the mammary
gland (mammogenesis), the process through which the mammary gland develops the capacity to secrete
milk (lactogenesis), the process of milk production (lactation), and the specific properties of human
milk that make it unique and appropriate for human infants.This article also reviews the mechanics of
breastfeeding, correct breastfeeding techniques, and sufficient versus insufficient milk supplies.

A
ir Susu Ibu (ASI) merupakan sumber asupan yang paling sesuai dengan kebutuhan
neonatus dan bayi. Komposisi zat gizi dan properti lain dalam cairan ASI
berubah dinamis dari waktu ke waktu, memenuhi substansi bioaktif masa kritis
pertumbuhan, perkembangan, dan imunitas bayi. Meski mungkin sebagian ibu belum
sepenuhnya paham manfaat jangka panjang menyusui untuk bayi maupun ibu, hampir
90% ibu telah memiliki niat memberikan ASI pada trimester kedua kehamilan. Kelekatan
psikologis atau bonding ibu-bayi menjadi alasan kuat menyusui, selain keuntungan bio-
neuro-imunologi.
Minimnya pengetahuan tentang menyusui dan singkatnya periode rawat inap pasca
bersalin membuat dua per tiga ibu mengalami kegagalan menyusui. Ditambah lagi, saat
ini rata-rata ibu dan bayi baru lahir dipulangkan dalam 12-24 jam post partum, sebelum
proses menyusui yang benar dan nyaman dimantapkan. Pemantauan setelah pulang perlu
diatur lebih jeli agar semakin optimal menilai kondisi ibu-bayi dan tantangan menyusui
yang mungkin terjadi. Seiring dengan kebutuhan dukungan menyusui, tenaga kesehatan

614 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


dituntut terus mengasah pengetahuan tentang ASI dan menyusui, termasuk menguasai
keterampilan memberikan bantuan praktis pada ibu dan bayi.

Laktogenesis
Tahapan laktasi dapat diringkas menjadi empat proses penting: mamogenesis,
laktogenesis, galaktopoiesis, dan involusi. Proses perkembangan kelenjar mamalia hingga
memiliki kapasitas ukuran dan massa payudara disebut mamogenesis.Unit dasar kelenjar
ASI berupa kumpulan alveolus atau sel asinus yang terhubung dengan duktus. Sebelum
publikasi Ramsay dkk (2005), diasumsikan tiap-tiap duktus bermuara ke sinus laktiferus
yang mengalirkan ASI melalui 15-20 saluran di puting. Penelitian tersebutmemberikan
pencerahan tentang anatomi kelenjar ASI, dibuktikan dengan pemeriksaan ultrasonografi
ekstensif yang menunjukkan duktus ASI sebagai struktur tabung hipo-ekhoik superfisial
dengan kelenjar ASI sepanjang dinding ekhogenik (gambar 1). Duktus ini mudah ditekan
mengempis oleh isapan bayi, bukan tipikal sinus atau kantong. Rerata diameter duktus
ASI lebih besar dari 0,55 mm, dan lazimnya ditemui 9-10 pori duktus di masing-masing
puting kanan dan kiri. Jumlah pori-pori duktus ASI tidak berhubungan dengan diameter
puting, radius areola, atau jumlah ASI yang dihasilkan.

Gambar 1. Hasil ultrasonografi duktus ASI pada payudara ibu menyusui.


A. Duktus ASI (tanda ) tampak sebagai struktur percabangan hipo-ekhoik dengan jaringan kelenjar berupa
titik-titik ekhogenik.
B. Lumen (tanda *) dan percabangan duktus tampak bermuara langsung ke area puting (N).

Distribusi kelenjar ASI dan jaringan lemak bervariasi tiap individu namun serupa
pada kedua payudara. Proporsi kelenjar ASI dan jaringan lemak serta jumlah dan
ukuran duktus tidak berkorelasi dengan produksi ASI. Di masa pubertas, peningkatan
estrogen memicu pertumbuhan duktus ASI seiring pembesaran payudara. Progesteron
yang disekresi pada pertengahan siklus menstruasi juga berperan dalam perkembangan
lobus alveoli sebagai unit terminal dari duktus ASI. Namun, epitelium alveoli baru akan
mengalami maturasi akibat aktivitas hormon kehamilan.

615
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Pada ibu hamil, proses laktogenesis tahap I mulai terjadi sekitar pertengahan masa
gravida (minggu ke-16 s/d 20), proses ini mengubah epitelium lobus alveoli dari bentukan
sel sekretorik menjadi sel alveolar yang akan berfungsi sebagai kelenjar penghasil ASI.
Konsentrasi laktose, protein dan imunoglobulin dalam cairan yang disekresi kelenjar
ASI meningkat bertahap, sementara kadar natrium dan klorida menurun. Kelenjar ASI
semakin siap memproduksi ASI, sebagian kecil ibu hamil mendapati kolostrumnya sudah
menetes pada trimester kedua atau ketiga. Sebelum persalinan, pengaliran ASI dihambat
oleh tingginya kadar progesteron dan estrogen.
Laktogenesis tahap II berlangsung segera setelah konsentrasi progesteron merosot
drastis mengikuti luruhnya plasenta. Tahapan ini ditandai dengan peningkatan aliran
darah, oksigen dan uptake glukosa serta kadar sitrat dalam ASI. Pada hari kedua atau ketiga
hingga hari ke-8 pasca persalinan, tight junction antar sel alveoli menutup, dan sekresi ASI
mengalami kenaikan bermakna. Payudara berangsur ‘penuh’ dan hangat. Kendali autokrin
oleh hisapan mulut bayi (supply-demand) akan menggantikan efek endokrin. Penelitian
Haslam dan Shyamala menemukan penurunan efek inhibisi progesteron seiring dengan
hilangnya reseptor progesteron pada jaringan payudara ibu menyusui. Sebagai gantinya,
terjadi peningkatan sekresi insulin, hormon pertumbuhan (GH), kortisol dan hormon
paratiroid yang memungkinkan mobilisasi zat nutrisi dan mineral untuk kebutuhan
laktasi.
Setelah hari ke-9, produksi ASI sepenuhnya dikendalikan oleh sistem autokrin.
Volume ASI semakin bertambah sesuai intensitas rangsangan yang diberikan oleh hisapan
mulut bayi. Apabila perangsangan autokrin tidak memadai atau ibu berhenti menyusui
bayi, maka proses involusi akan terjadi akibat inhibisi peptida, dalam 40 hari produksi
ASI semakin berkurang dan berakhir.
Peran hormon prolaktin dan oksitosin selama laktogenesis tahap II penting untuk
dipahami agar proses menyusui di hari-hari awal pasca persalinan dapat berjalan lancar.
Kelenjar ASI memerlukan sinyal untuk memicu hormon yang menghasilkan dan
mengalirkan ASI. Sinyal ini merupakan respon langsung atas perangsangan puting dan
areola mammae, menimbulkan siklus sintesis dan sekresi ASI. Produksi ASI terjadi di
epitel sel alveolar kelenjar ASI setelah reseptor prolaktin teraktivasi. Prolaktin (PRL)
adalah hormon polipeotida yang dihasilkan sel laktotrofik di pituitari anterior, strukturnya
menyerupai growth hormone (GH) dan placental lactogen (PL), yang juga memiliki fungsi
sitokin. Sekresi PRL diatur oleh hypothalamic inhibitory factors (HIF), terutama oleh
dopamin yang berikatan dengan reseptor dopamin subklas D2 pada sel laktotrofik. PRL
menstimulasi pertumbuhan kelenjar ASI dan proliferasi sel epitelial serta menginduksi
sintesis protein ASI. Pemberian analog dopamin seperti bromokriptin, akan menginhibisi
PRL dan menekan produksi ASI
Hormon yang tak kalah penting adalah oksitosin, berperan untuk proses ejeksi ASI
atau let down reflex (LDR). Pada saat mulut bayi melekat di payudara dan mulai menyusu
(suckling), hisapan mulut bayi di puting dan areola menghasilkan impuls yang merangsang

616 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


oksitosin dilepaskan oleh kelenjar pituitari posterior. Oksitosin yang mengaliri kelenjar ASI
akan membuat otot polos mioepitel duktus berkontraksi mengosongkan ASI melaluipori-
pori puting.
Pengaturan produksi ASI berlangsung sangat efisien, sekresi ASI berkorelasi langsung
dengan sintesis. Setelah hari ke-9 produksi ASI mulai stabil, sekitar 440 mL/24 jam
– volume ASI bertahap meningkat hingga 750-1035 mL/hari atau rata-rata 800 mL/
hari. Namun pengosongan payudara bergantung pada kebutuhan dan kemampuan bayi,
berkisar antara 30-120 mL tiap penyusuan. ASI yang tertinggal di payudara memicu
keluarnya zat penghambat atau feedback inhibitor of lactation (FIL) yang menutup reseptor
PRL, sehingga kecepatan sintesis ASI akan melambat. Berlaku pula sebaliknya, semakin
sering payudara dikosongkan, semakin cepat produksi ASI bertambah.
Produksi ASI juga sangat dipengaruhi oleh kondisi fisik dan mental ibu. Kelelahan,
stres, kurang percaya diri menurunkan kemampuan ibu menghasilkan ASI. Mekanisme
down-regulation ini terjadi akibat melonjaknya kadar dopamin, norepinephrine, atau
keduanya. Tidak bisa dipungkiri bahwa kunci keberhasilan menyusui adalah relaksasi.

Mekanisme bayi menyusu


Menyusui dan menyusu kerap dianggap sebagai peristiwa alami yang mudah dipraktikkan
menggunakan insting ibu-bayi. Namun mekanisme bayi mendapatkan ASI sesuai
kebutuhannya sangat penting dipahami untuk membantu menjalani dan mendampingi
proses menyusui berlangsung lancar tanpa kendala berarti.
Pada saat menyusu, bibir dan pipi bayi harus melekat dengan baik menutupi puting,
areola dan jaringan payudara di bawahnya (gambar 2). Hisapan bayi akan membuat puting
dan areola di dalam mulut bayi memanjang 2-3 kali lipat mencapai perbatasan langit-langit
keras dan lunak, membentuk formasi ‘empeng’.Gerakan rahang bawah mendorong lidah
bayi memerah duktus ASI di bawah areola dan membuat ASI mengalir ke dalam mulut
bayi. Lidah bayi bagian depan terangkat untuk menuntaskan perahan hingga duktus ASI
berhasil dikosongkan. Pada saat volume ASI terkumpul cukup banyak di rongga mulut,
pangkal lidah terangkat menekan dinding belakang faring, mendorong langit-langit lunak
menutup saluran napas dari arah hidung dan otot laring merapat menutup pintu ke arah
trakhea. Setelahnya, rahang bawah dan lidah bergerak turun, memungkinkan undulasi
peristaltik saluran ASI dan membuat tekanan negatif di dalam mulut bayi. Manuver lidah
ini memungkinkan ASI meluncur ke arah faring dan menstimulus refleks menelan. Secara
otomatis duktus ASI kembali terisi dan dimulailah siklus menyusu berikutnya. Gerak
menelan lazimnya mengikuti 1-3 siklus menyusu. Selama siklus menyusu, puting dan
areola tetap berada di dalam mulut bayi.
Di masa awal kehidupannya, bayi mengalami fenomena human imprintingatau
stamping dalam beberapa jam post natal. Pengenalan proses menyusui segera setelah lahir
atau inisiasi menyusu dini (IMD) sangat membantu keberhasilan bayi menyusu. Bayi
baru lahir dibekali kesadaran penuh untuk menemukan cara bertahan hidup (dengan

617
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Gambar 2. Pelekatan mulut bayi di payudara.
A. Dengan dukungan lengan atau tangan ibu di bahu bayi, arahkan mulut bayi meraih payudara dari sisi
bawah.
B. Payudara dipegang dengan teknik ‘C’beberapa cm dari batas luar areola.
C. Saat mulut bayi terbuka lebar, bantu ia mendekat untuk melahap puting dan sebagian besar areola masuk
ke mulut.
D. Pastikan dagu menempel di bagian bawah payudara untuk menjamin pelekatan yang efektif.
E. Gerakan rahang bawah dan lidah bayi ke atas membuat areola terperah mengalirkan ASI ke mulut bayi
– ujung puting harus mencapai perbatasan langit-langit keras dan lunak agar seluruh duktus ASI dapat
diperah optimal.
Pangkal lidah bergerak turun memungkinkan bayi menelan ASI yang terkumpul di rongga mulutnya.

menyusu pada ibunya segera setelah lahir), sebelum ia memasuki periode deep sleep 6-12
jam post natal. Kadar oksitosin ibu pada menit ke-15, 30, 45 pasca persalinan meningkat
bermakna menyusul ekspulsi plasenta dari dinding rahim. Tingginya oksitosin terkait
erat dengan kemampuan ibu untuk membentuk maternal bonding dan let down reflex
sehingga kontak kulit-ke-kulit ibu dan bayi selama IMD sangat penting dipertahankan -
sekurangnya selama 60 menit.Keberhasilan IMD meyakinkan ibu akan kemampuannya
menyusui, dan lebih cepat mendapat bantuan apabila terdapat kendala.

Pemantauan dan konseling untuk keberhasilan menyusui


Ibu menyusui dan bayinya perlu mendapat dukungan penuh dari lingkungan, termasuk
kesiapan tenaga kesehatan mendampingi dan mengenali masalah yang mungkin timbul.
Pertanyaan singkat “bagaimana menyusuinya, bu?” sering tidak cukup menangkap problem
yang dirasakan ibu. Dokter perlu menggali lebih detail tentang keluhan nyeri puting,
frekuensi dan durasi menyusui, dan sedapat mungkin mengamati proses menyusui, untuk
memastikan semua berlangsung nyaman. Hal-hal yang perlu diamati antara lain:

618 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


•• Posisi ibu, sinyal non verbal dan rasa tegang. Tawarkan bantal untuk menyangga
lengan ibu, bantu mereposisi sampai ibu merasa nyaman. Tangan ibu dapat memegang
payudara untuk memudahkan pelekatan, hindari posisi jari ‘menggunting’ karena
cenderung mengganggu pelekatan (dagu bayi tidak bisa menempel payudara).
•• Posisi bayi. Badan bayi dan ibu harus berhadapan saat menyusu, agar bayi lebih mudah
melekatkan mulut di payudara dan menelan tanpa kesulitan. Bahu dan punggung bayi
ditopang lengan ibu, kepala dan leher dijaga supaya tetap bebas bergerak mencari posisi
paling nyaman. Sebaiknya bayi menyusu tanpa dibedong dan bebas dari sarung tangan.
•• Pelekatan mulut bayi ke payudara. Pastikan areola ikut terhisap bayi, mulut terbuka
lebar, bibir mengarah ke luar dan dagu bayi menempel payudara.
•• Siklus menyusu. Lazimnya bayi akan menghisap 1-3 kali diikuti gerakan menelan,
setelah puas menyusu 20-30 menit bayi mungkin mengantuk dan tertidur. Tanyakan
apakah ibu merasa nyeri selama bayi menyusu.
Dalam 4-5 hari pertama kehidupan, bayi membutuhkan frekuensi menyusu 8-12
kali agar kebutuhannya terpenuhi. Tidak menjadwalkan waktu menyusu terbukti lebih
efisien untuk ibu dan bayi. Ibu baru yang masih kesulitan mengikuti insting bayinya,
perlu mendapat dukungan berupa informasi serta saran relevan dan pendampingan
bantuan praktis teknik menyusui yang nyaman.
Kunjungan neonatus seyogyanya dilakukan dalam 24-48 jam post natal dan kembali
dievaluasi 48-72 jam setelah bayi dipulangkan dari fasilitas kesehatan. Pemantauan
berat badan dan pemeriksaan kesehatan secara umum perlu dikerjakan dengan seksama.
Penilaian proses menyusui wajib disertai pengamatan langsung teknik posisi-pelekatan
dan refleks hisap. Bayi perlu dipastikan dalam kondisi optimal, termasuk status hidrasi
adekuat dan pola BAB/BAK sesuai usianya pada hari ke-5 s/d 7. Tanyakan pada ibu,
bagaimana situasi di rumah, apakah ibu bisa mengatasi transisi perubahan peran sebagai
ibu yang harus mengurus bayi 24 jam, dan bagaimana dukungan suami, keluarga,
dan lingkungan. Pemantauan yang holistik mengantisipasi munculnya masalah yang
lebih besar, menghindari kesakitan dan kematian akibat pemberian ASI tidak adekuat:
dehidrasi hipernatremik, jaundice, failure to thrive, dll. Interaksi ibu-bayi juga menjadi
hal yang penting dipantau oleh dokter, untuk mengenali kelelahan, kebingungan, dan
kemungkinan baby blues syndrome.
Ibu-bayi yang ditengarai memiliki faktor risiko terkendala menyusui perlu mendapat
perhatian khusus, terutama sebelum mereka dipulangkan pasca persalinan. Riwayat
bermasalah menyusui anak sebelumnya, puting datar atau tenggelam, kelainan anatomis
payudara, riwayat bedah payudara, abses, nyeri puting, ASI ‘tidak’ keluar, hingga problem
kesehatan kronis, seperti diabetes atau masalah kejiwaan, semuanya perlu diantisipasi.
Bayi mungkin terlahir dengan BBLR, prematur, refleks hisap lemah, kelainan anatomi
bawaan, kembar, dan berbagai masalah oromotor dan neuromuskuler yang menyulitkan
bayi menyusu. Beberapa masalah menyusui yang kerap ditemui akan dibahas singkat
berikut ini.

619
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Engorgement. Keluhan payudara ‘penuh’ dan berat memerlukan konseling untuk
meyakinkan ibu pentingnya menyusui sesering mungkin mengikuti tanda lapar bayi.
Engorgement di areola dapat diatasi dengan teknik pijat reverse presure softening, sedangkan
engorgement di jaringan payudara akan lebih nyaman dengan kompres, pijat laktasi, dan
memerah ASI.
Nyeri puting dan payudara. Problem ini umumnya muncul akibat teknik pelekatan
yang tidak tepat. Ibu membutuhkan konseling tentang cara memposisikan dan membantu
pelekatan dengan benar, serta petunjuk perawatan payudara yang nyeri. Penggunaan alat
bantu menyusui seperti nipple shield atau breast pump yang kurang tepat, penting untuk
ditanyakan, untuk meyingkirkan pemicu nyeri. Anjuran praktis seperti mengoleskan
hindmilk cukup ampuh mengatasi puting lecet, namun jika ditemui luka yang serius di
daerah puting dan areola, perlu penanganan lanjut yang lebih sesuai. Kondisi mastitis
terkadang memerlukan terapi analgesik, antibiotik dan pijat laktasi, konseling juga
diberikan untuk menyemangati ibu agar tetap menyusui dari kedua payudara. Jika
terjadi abses dikerjakan incisi dan drainase, pemberian antibiotik dan mengusahakan ibu
dapat beristiharat lebih baik. Payudara yang sakit sementara dikosongkan dengan teknik
memerah manual, sementara bayi terus menyusu di payudara yang sehat.
Masalah pelekatan (latch on). Berbagai kondisi dapat menyebabkan bayi
mengalami kesulitan melekat di payudara. Dokter perlu mengidentifikasi penyebab
kegagalan pelekatan secara bijak dan seksama. Primigravida seringkali belum menguasai
teknik posisi dan pelekatan dengan percaya diri, sehingga perlu pendampingan dan
konseling. Bayi dengan masalah neurologis, prematur, menemui kendala keterampilan
oromotor yang memerlukan bantuan fisioterapi. Keterbatasan anatomis, seperti kelainan
bawaan, cleft-lip-palatoschizis, ankyloglossia, torticollis, trauma lahir, dll membutuhkan
penanganan spesifik. Ibu dengan masalah psikologis juga dapat mengalami kesulitan latch
on, terutama karena ketidaknyamanan yang dirasakan oleh ibu selama proses menyusui.
Proses konseling yang dilakukan sesuai kompetensi, akan dapat menolong ibu mengatasi
masalah pelekatan, baik yang disebabkan kendala teknik, anatomis maupun psikologis.

Daftar pustaka
1. American Academy of Pediatrics Section on Breastfeeding. Breastfeeding and the use of hu-
man milk. Pediatrics 2012:129(3):827-841.
2. Hassiotou F, Geddes D. Anatomy of the human mammary gland: Current status of knowl-
edge. Clin Anat. 2012:9:19-21.
3. Lawrence RA, Lawrence RM, Breastfeeding: A Guide for the Medical Profession. 6th ed.
Elsevier Health Sciences. 2011.
4. Riordan J, Auerbach KG. Breastfeeding and human lactation. 5th ed Boston. Mass: Jones and
Bartlett Publishers; 2016.
5. Schanler, Richard, Gartner, LM, Krebs, NF. Breastfeeding Handbook for Physicians. 2nd ed.
AAP-ACOG. 2013.

620 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


6. Moore ER, Anderson GC, Bergman N, Dowswell T. Early skin-to-skin contact for mothers
and their healthy newborn infants. Cochrane Database Syst Rev. 2012 May 16. 5:CD003519.
7. Renfrew MJ, McCormick FM, Wade A, Quinn B, Dowswell T. Support for healthy breast-
feeding mothers with healthy term babies. Cochrane Database Syst Rev. 2012 May 16.
5:CD001141.
8. Victora CG, Bahl R, Barros AJ, Franca GV, Horton S, Krasevec J, et al. Lancet Breastfeeding
Series.
9. Breastfeefing in the 21st century: epidemiology, mechanisms, and lifelong effect. Lancet
2016:387(10017):475-490.

621
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Central Nervous System Infection
Yazid Dimyati
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / RSUP H. Adam Malik, Medan

Abstract
Central nervous system (CNS) infection is an infection by pathogenic agents can occurs in brain and
medulla spinalis. Mortality rate of these cases are about 2% to 5.3% in infants, and 4% in children.
Infant and children with suspected CNS infection begins with evaluation of clinical symptoms, which
can provide information toward the etiologic diagnosis. Identification of the causative agent that is highly
dependent on the results of cerebrospinal fluid analysis through lumbar punction. Neuroimaging also
important in making diagnostic and therapeutic decisions.

I
nfeksi sistem saraf pusat (SSP) adalah infeksi yang disebabkan oleh patogen yang dapat
mengenai otak dan medula spinalis. Infeksi pada otak seperti meningitis, ensefalitis,
abses otak, empiema subdural dan ventrikulitis merupakan suatu kedaruratan di
bidang neurologi, dan sering menyebabkan anak mendapat perawatan di ruang intensif
yang berdampak pada meningkatnya angka kematian dan kecacatan. Infeksi SSP dapat
menimbulkan gejala sisa akut maupun kronik seperti kejang, hidrosefalus, defisit neurologis
fokal, gangguan pendengaran, kognitif dan tingkah laku. Infeksi SSP dapat disebabkan
oleh bakteri, virus, jamur, parasit maupun autoimun. Menurunkan angka kematian dan
kecacatan sangat tergantung dari cepatnya penegakan diagnosis dan pemberian terapi
yang sesuai.1,2

Pendekatan diagnosis
Pendekatan diagnosis bayi dan anak dengan sangkaan infeksi SSP dimulai dengan evaluasi
gejala klinis yang dapat memberikan informasi ke arah diagnosis etiologi. Identifikasi agen
penyebab yang sangat tergantung dari hasil analisis cairan serebro spinalis (CSS) melalui
tindakan pungsi lumbal. Neuroimaging juga berperan sangat penting dalam membuat
keputusan diagnostik dan terapeutik.1-3

Gejala klinis
Meningitis bakterial akut
Meningitis bakterial merupakan suatu peradangan dari leptomeningen, akibat adanya
bakteri di rongga subarakhnoid. Diagnosis yang cepat sangat diperlukan untuk penyakit
yang mengancam nyawa tetapi dapat diobati ini.1

622 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Gejala klinis dari meningitis bakteri adalah demam, kaku kuduk dan penurunan
kesadaran.1,4 Gejala klinis awal pada bayi dapat berupa menangis lemah, gerak yang
kurang aktif, letargi, tidak mau makan sampai yang paling parah dijumpai adanya
gangguan napas.3 Gejala klinis awal pada anak umur 1 – 4 tahun meliputi demam (94%),
muntah (82%), dan kaku kuduk (77%). Letargi, gelisah, anoreksia, dan fotopobia juga
sering ditemukan.Pada keadaan penyakit lebih lanjut dapat ditemukan, kejang, ubun-
ubun besar (UUB) membonjol, dan koma. Anak yang lebih besar bisa dijumpai nyeri
kepala dan leher.1,3,4 Dari pemeriksaan fisik dapat dijumpai paresis nervus kranialis akibat
dari peningkatan tekanan intrakranial, edema papil, kelemahan pada tungkai dan pada
anak yang lebih besar terdapat ataksia.3
Ada dua tampilan gejala klinis pada meningitis bakterial, yang pertama demam
disertai gejala non spesifik yang lain, muncul beberapa hari dengan atau tanpa fokus
infeksi yang jelas (misal saluran napas atas atau saluran cerna). Pasien dengan infeksi SSP
dengan gejala non spesifik akan sulit menentukan kapan awitan yang pasti dari meningitis.
Tampilan yang kedua, sangat akut, tidak jarang fulminan dan disertai gejala dan tanda
sepsis (gangguan kardiovaskuler, manifestasi di kulit seperti ruam eritema, makulopapular
atau ptekial), selanjutnya meningitis berkembang menjadi berat dalam beberapa jam.1,5,6
Meningismus adalah kekakuan leher dan otot di punggung untuk menghindari
nyeri akibat peradangan meningen. Tanda klinis iritasi meningeal termasuk tanda Kernig
(ekstensi pasif sendi lutut pada paha dalam keadaan fleksi dan menimbulkan nyeri di
punggung), tanda Brudzinski (fleksi pasif di leher menimbulkan fleksi spontan di tungkai
bawah, tanda tripod (dalam keadaan duduk, anak menahan punggung dengan meletakkan
kedua lengan dibelakang bokong), tanda knee-kissing (anak tidak dapat mencium lututnya
sendiri). Kaku kuduk hanya 1 – 2 % tidak dijumpai pada bayi dan anak, semakin muda
umur anak gejala kaku kuduk kurang menonjol.1
Kejang timbul sebelum masuk RS atau dalam 2 hari pertama perawatan pada 20
– 30% anak dengan meningitis bakterial. Kejang umum biasanya bukan merupakan
prediktor yang buruk. Adanya tanda neurologis fokal seperti paresis, kelumpuhan saraf
kranial, dan kejang fokal sering merupakan prediktor luaran yang buruk untuk kerusakan
otak yang permanen.5,7
Arthritis dapat mendahului meningitis H. influenzae dan N. meningitidis, dan bisa
menimbulkan kesalahan pada pemeriksaan neurologis dengan monoparesis. Arthritis sering
dijumpai di sendi lutut dan siku. Dari pasien dengan septik arthritis H. influenzae 30%
disertai dengan meningitis. Sellulitis periorbital timbul pada meningitis H.influenzae.1,3
Perlu dipertimbangkan sebagai diagnosis banding, seperti meningitis aseptik,
ensefalitis, abses otak, kejang demam, trauma kepala, perdarahan intrakranial, dan
meningitis neoplasma. Juga dipertimbangkan agen penyebab lain seperti jamur, rikettsia,
atau tuberkulosis.8-10 Anak dengan kejang demam sederhana sangat kecil kemungkinannya
suatu meningitis bakterial.11

623
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Infeksi shunt SSP timbul kira – kira pada 5 – 10% kasus, biasanya timbul antara 1 – 2
bulan setelah pemasangan shunt. Kebanyakan infeksi disebabkan Staphylococcus koagulase-
negatif atau Staphylococcus aureus, juga bisa flora di kulit. Infeksi shunt harus dicurigai pada
setiap anak dengan terpasang shunt disertai dengan demam.1,6

Meningitis tuberkulosa
Keterlibatan SSP pada tuberkulosis ekstrapulmoner merupakan suatu keadaan yang
mengancam nyawa anak, sekitar 1 – 2 % anak terkena meningitis apabila penyakit TB
tidak diobati. Meningitis tuberkulosa (MTB) jarang dijumpai pada anak dibawah 3 bulan
tetapi kasus meningkat dalam 5 tahun pertama. Riwayat kontak dengan penderita TB
dewasa sering dijumpai pada meningitis tuberkulosa.1
Onset dari meningitis tuberkulosa dapat dibedakan dengan penyakit lain adalah
menetapnya gejala klinis dan berfluktuasi.12 Gejala klasik MTB berupa rangsangan
meningeal subakut, namun gejala ini biasanya tidak ditemukan pada awal penyakit baik
anak maupun dewasa. Diagnosis dan pengobatan dini merupakan faktor risiko tunggal
untuk menilai luaran pada anak dengan MTB.1,12 Pada anak yang kecil gejala awal berupa
berat badan tidak bertambah, demam tidak tinggi, dan lemah. Kemudian gejala awal yang
dapat disembuhkan total ini dapat berkembang menjadi koma, opistotonus, dan bahkan
kematian. Pada anak yang lebih besar, gejala awal non spesifik yang sering ditemukan
adalah demam, sakit kepala dan muntah yang sangat mirip dengan flu. Kontak dengan
penderita TB aktif dewasa bisa menjadi petunjuk diagnostik yang penting. Apabila gejala
klasik neurologi lanjut MTB (termasuk kaku kuduk, koma, kejang, tanda peninggian
tekanan intra kranial [TIK], parese nervus kranialis, hemiparesis, and gerakan involunter)
timbul, diagnosis MTB biasanya lebih mudah ditegakkan tetapi memerlukan biaya
pengobatan yang mahal.13
Gejala meningitis tuberkulosa biasanya berkembang perlahan dalam beberapa hari
sampai minggu, tetapi awitan akut dijumpai pada separuh anak. Gejala awal sering
tidak jelas terdiri dari status gizi yang buruk, iritabilitas, dan apati (stadium I). Pada bayi
kecil gejala yang sering dijumpai adalah demam, batuk, penurunan kesadaran, UUB
membonjol, kejang tonik-klonik umum. Pada anak yang lebih besar dijumpai demam yang
tidak tinggi, mual, muntah, sakit kepala, dan sakit perut. Kaku kuduk sering tidak begitu
jelas. Pada stadium II, ditemukan defisit saraf kranial unilateral dan bilateral, gangguan
neuro-oftalmologi seperti neuritis retrobulbar, palsi gaze, dan lesi di khorioretina. Stadium
III, kesadaran tambah menurun disertai kejang, papil edema dan defisit neurologis mayor.
Banyak pasien dijumpai hiponatremia yang disebabkan oleh SIADH atau yang lebih
jarang sidroma cerebral salt-wasting.1,14-16

Ensefalitis
Ensefalitis merupakan peradangan akut dari parenkim otak, terbanyak disebabkan oleh
virus seperti mumps, herpes simplex virus (HSV), cytomegalovirus (CMV), varicella zoster

624 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


virus (VZV), enterovirus, dan virus – virus lainnya. Disamping gejala sakit kepala, muntah
dan gejala sistemik lainnya, anak dengan ensefalitis virus sering dijumpai kejang dan
penurunan kesadaran yang bervariasi dari somnolen sampai koma. Demam merupakan
gejala yang sering ditemukan, dengan suhu bervariasi dari rendah sampai 400C atau lebih.2
Pasien dengan ensefalitis dapat memiliki menifestasi kelainan dari parenkim otak, tetapi
kebanyakan berhubungan dengan manifestasi infeksi meningens, hal ini sering tumpang
tindih dengan meningoensefalitis.17
Kejang, fokal atau umum, dijumpai pada 15 – 60% bayi atau anak dengan ensefalitis.
Kejang fokal yang refrakter mengindikasikan kemungkinan penyebabnya adalah
HSV. Pemeriksaan neurologis pada anak dan remaja dengan ensefalitis dapat dijumpai
hiperrefleksia, ataksia, gangguan kognitif, atau defisit neurologis fokal seperti afasia dan
hemiparesis. Gejala yang berat dijumpai tanda peninggian tekanan intrakranial (TIK)
termasuk abnormalitas pupil, respirasi dan postur.2,18

Ensefalitis autoimun
Karena penyebab tersering ensefalitis adalah disebabkan infeksi, terdapat kriteria diagnostik
dan pedoman konsensus untuk ensefalitis sebagai suatu proses infeksi.1,17,18 Namun, dalam
10 tahun terakhir ini meningkatnya jumlah kasus non infeksi, sebagian besar autoimun
dan yang paling banyak adalah ensefalitis reseptor anti N-methyl-D-aspartate (NMDA).18
Berbeda dengan gejala khas ensefalitis, yang cenderung mendadak dari 24 sampai
72 jam, ensefalitis reseptor anti-NMDA dimulai perlahan, sering beberapa hari sampai
beberapa minggu. Manifestasi klinis pada orang dewasa dan anak bisa ditemukan kejang
atau sakit kepala, namun gejala khas dari ensefalitis reseptor anti-NMDA berupa gangguan
tingkah laku seperti kecemasan, agitasi, delusi atau paranoid, disfungsi memori, dan
halusinasi visual atau auditori. Sekitar 50% dari anak-anak dengan gangguan ini memiliki
kejang atau gangguan gerak (koreoatetosis dan tardif orofasial), dan beberapa ditemukan
mutism atau katatonia. Tumor ovarium, pemicu sering pada wanita dewasa dengan anti-
NMDA ensefalitis reseptor, namun jarang ditemukan pada anak. Sekitar 30% dari orang
dewasa dengan ensefalitis reseptor anti-NMDA memiliki pola EEG “extreme delta brush”.
Kira - kira 30% sampai 50% pemeriksaan MRI pada anak dengan ensefalitis reseptor
anti-NMDA terdapat peningkatan intensitas sinyal fokal atau multifokal terutama pada
substansi otak putih.17,18

Mielitis transversa
Demielinasi dari medula spinalis dinamakan mielitis transversa. Gejala klinis dapat berupa
kelemahan bilateral dari ekstremitas bawah, gangguan sensorik dan otonom. Paresis dapat
terjadi dengan hiporefleksi dan kemudian menjadi hiperrefleksi, hal ini dapat terjadi
bergantung pada letak lesi. Pemeriksaan MRI dan analisis cairan serebrospinal sangat
diperlukan untuk evaluasi penegakan diagnosis.19

625
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Pungsi lumbal
Diagnosis etiologi dari infeksi SSP berdasarkan dari analisis CSS. Lumbal pungsi (LP)
sebaiknya dilakukan walaupun hanya sedikit bukti dari gejala meningitis. Jarang dilakukan
pengambilan CSS dari tempat lain termasuk ventrikel dan reservoir VP shunt.1-3
Pungsi lumbal merupakan prosedur yang aman, jarang dijumpai komplikasi yang
serius. Sakit kepala dapat dijumpai 1 – 6 jam pasca LP tapi biasanya ringan. Jika dijumpai
biasanya lokasinya di frontal dan diperberat dengan pergerakan dari posisi tidur ke
duduk atau berdiri. Sakit kepala pasca LP disebabkan terus mengalirnya CSS dari tempat
pungsi yang mengakibatkan turunnya tekanan CSS dan traksi dari struktur sensitif-nyeri.
Masalah ini dapat dikurangi dengan mengambil hanya sedikit CSS dan menggunakan
jarum yang lebih kecil.20
Herniasi batang otak dan serebelum tonsil ke foramen magnum sangat jarang sekali
dijumpai pada anak. Risiko herniasi sangat berhubungan dengan peninggian fokal tekanan
TIK. Risiko timbulnya meningitis pada anak sepsis yang dilakukan LP tidak bermakna,
dan bukan merupakan kontra indikasi.1,20
Bacterial Meningitis Score, untuk mendeteksi anak dengan pleiositosis CSS yang
berisiko rendah untuk meningitis. Pasien diklasifikasikan dengan risiko sangat rendah
apabila tidak dijumpai semua dari yang berikut ini: pewarnaan Gram CSS positif, hitung
neutrofil absolut CSS minimal 1000/μl, kadar protein CSS paling sedikit 80 mg/dl,
hitung absolut netrofil darah tepi minimal 10.000/μl, dan riwayat kejang sebelum atau
pada saat pemeriksaan.21
Lumbal pungsi ulangan pada meningitis bakterial hanya diindikasikan apabila
dijumpai keterlambatan sterilisasi CSS, relaps atau sangkaan rekurensi meningitis. Pungsi
lumbal sebaiknya tidak diulang, kecuali hasil yang diharapkan dapat merubah tatalaksana
pasien. Kebanyakan pasien hanya memerlukan sekali LP.4,20

Kontra indikasi dari LP ada empat:20


1. Tanda peninggian TIK fokal yang nyata (penurunan kesadaran, abnormalitas fokal
pada pemeriksaan fisik neurologis, lesi masa dan/atau shift of the midline pada
neuroimaging) yang ditemukan pada pemeriksaan fisik atau pencitraan neurologis.
2. Gangguan kardiorespirasi yang berat, terutama pada neonatus atau anak dengan sakit
sangat berat.
3. Riwayat atau gejala gangguan perdarahan.
4. Tanda infeksi di tempat melakukan pungsi (pioderma, sellulitis, erisipelas).
Pada keadaan diatas LP sebaiknya ditunda sampai keadaan penyakitnya dikoreksi
atau dieksklusi kalau memungkinkan.20

Pemeriksaan laboratorium
Analisis CSS merupakan pemeriksaan terpenting pada pasien dengan infeksi SSP.

626 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Gambaran hasil analisis CSS dapat dilihat pada Tabel 1. Konfirmasi diagnosis dengan
ditemukannya bakteri patogen melalui pemeriksaan mikroskopis, kultur, polymerase
chain reaction (PCR), atau tesrapid antigen-detection di CSS. Pewarnaan gram juga harus
dilakukan saat melakukan LP.1,3

Tabel 1. Profil cairan cerebrospinalis pada infeksi susunan saraf pusat 20

Pasien dengan meningitis bakterial biasanya didahului bakteremia, hal ini berdasarkan
patogenesis penyakitnya. Pengambilan sampel kultur darah pada saat masuk sangat
berharga dan positif pada 80 – 90% kasus meningitis bakterial. Kultur bakteri dari tempat
lain seperti kulit, mukosa, hidung dan tenggorokan tidak membantu. Kultur dari fokus
infeksi seperti sellulitis (periorbital, buccal), efusi telinga tengah, sinusitis, mastoiditis,
dan urin pada bayi muda kemungkinan dapat menemukan bakteri patogen penyebab
meningitis.1,3,4 Pemeriksaan hapusan Gram dan kultur dari ptekie dapat secara cepat
mengetahui penyebab meningitis misalnya meningokokkus.1
Pemeriksaan respon inflamasi kemungkinan dapat membantu, seperti jumlah lekosit/
hitung jenis, LED, CRP. Tetapi pemeriksaan ini tidak dapat mengeksklusi diagnosis
meningitis bakterial.1 Serum procalcitonin merupakan marker baru dengan sensitivitas
dan spesifisitas yang tinggi untuk membedakan meningitis bakterial dengan meningitis
aseptik.4

Pencitraan
Pemeriksaan neuroimaging, seperti CT, MRI, dan USG kranial (bayi dengan UUB terbuka)
sebaiknya dilakukan pada pasien dengan tanda peninggian intrakranial (penurunan
kesadaran, reaksi pupil melambat atau dilatasi pupil, oftalmoplegia, perubahan retina,
pola nafas abnormal, dan gangguan kardiovaskular). Peninggian TIK biasanya disebabkan
edema otak atau komplikasi inrakranial lain seperti efusi subdural, trombosis, infark, abses
otak, dan hidrosefalus.1-3 Penyangatan kortikal mungkin dijumpai dan mengindikasikan
suatu serebritis. Pengulangan pencitraan mungkin diperlukan untuk mengevaluasi
penyakit dan mempertimbangkan intervensi lebih lanjut. Abnormalitas pada pencitraan
berhubungan dengan prognosis yang buruk.18

627
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Pemeriksaan CT dan MRI kepala pada meningitis tuberkulosa sama dengan
meningitis bakterial, ditambah dengan lesi parenkim, infark, dan tuberkuloma di daerah
basal otak. Hidrosefalus dijumpai pada sebagian besar pasien. Tuberkuloma intrakranial
dapat memberikan gambaran seperti SOL dengan keluhan sakit kepala, kejang, dan defisit
neurologis fokal. Foto rontgen dada sering abnormal, dengan gambaran pembesaran
kelenjar di hilus atau gambaran milier tetapi bisa juga normal.22
Untuk sangkaan ensefalitis HSV dan reseptor anti NMDA pemeriksaan MRI
merupakan pemeriksaan pilihan. Setelah periode neonatus MRI pada ensefalitis herpes
simpleks memperlihatkan T2 prolongation di lobus temporalis media, regio orbitofrontal,
atau girus singulus, dan penyangatan kortikal dengan kontras gadolinium. Pada ensefalitis
Japanese atau Epstein-Barr dapat dijumpai abnormalitas fokal di basal ganglia. Pemeriksaan
MRI pada virus – virus lain bisa normal atau edema difus.18,

Pengobatan
Meningitis bakterial
Terapi empiris antibiotik sebaiknya segera diberikan pada seluruh anak dengan sangkaan
bakterial meningitis. Pemberian antibiotik sebaiknya jangan ditunda lebih dari 15
menit untuk keperluan pengambilan sampel CSS dan serum pada anak dengan sakit
berat, walaupun hal ini dapat mengurangi kemungkinan menemukan kuman penyebab
meningitis.1,3,4,6
Pemilihan antibiotik tergantung dari sangkaan patogen penyebab dan kerentanan
antibiotik yang berbeda di berbagai tempat. Semua kemungkinan terbanyak bakteri
penyebab meningitis harus bisa diobati dengan terapi empiris antibiotik (Tabel 2).
Lama pemberian antibiotik pada anak tidak ada pedoman yang bakudan sangat
tergantung dari respon klinis pasien. Meningitis yang disebabkan N. meningitidis dapat
diberikan selama 4 hari.1 Suatu studi meta-analisis menyimpulkan efisiensi pemakaian
antibiotik jangka pendek belum memiliki bukti yang mendukung. Sebuah penelitian
RCT menunjukkan bahwa pemberian antibiotik selama 5 hari memiliki efektivitas
yang sama dengan pemakaian antibiotik selama 10 hari.23 Meningitis yang disebabkan
bakteri Enterobactericeae, L monocytogenes dan bakteri lain yang tidak biasa kemungkinan
memerlukan terapi lebih lama. Pada anak dengan respon klinis yang baik, terapi
antibiotik sebaiknya tidak diperpanjang dari yang dianjurkan karena alasan demam yang
berkepanjangan. Penyebab demam yang lain, seperti demam karena obat, infeksi jalur
vena, infeksi lain yang tidak terdiagnosis, efusi subdural sebaiknya dipertimbangkan.1
Berdasarkan satu studi meta-analisis dexamethasone menurunkan risiko gangguan
pendengaran dan gejala sisa jangka pendek pada meningitis H. influenzae dan kemungkinan
juga meningitis non H.influenzae. Dosis dexamethasone yang direkomendasikan 0.15
mg/kg tiap 6 jam selama maksimal 2 – 4 hari, dan diberikan beberapa saat sebelum

628 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Tabel 2. Penyebab terbanyak meningitis bakterial akut dan rekomendasi terapi empirik antibiotik pada
meningitis bakterialis1
Terapi Empirik
Usia Patogen Antimikroba
0 – 1 bulan Streptococcus agalactiae, Escherichia coli, Listeria Ampicillin + Cefotaxime ATAU
monocytogenes Ampicillin + Aminoglikosida
1 – 3 bulan S. agalactiae, L. monocytogenes, Streptococcus Ampicillin + (Cefotaxime or Ceftri-
pneumoniae, Neisseria meningitides, Haemophilus axone) + Vancomycin
influenza b
3 bulan – 21 tahun S. pneumoniae, N. menigitidis (H. influenza b Ceftriaxone atau Cefotaxime +
jika tidak diimunisasi) Vancomycin
Terapi Spesifik
Patogen Terapi
Streptococcus agalactiae Ampicillin ATAU Penicillin G selama 14 – 21 hari, pada hari ke-3 tambahkan
Gentamicin ATAU Cefotaxime
Listeria monocytogenes Ampicillin selama 14 – 21 hari, pada hari ke-3 tambahkan Gentamicin
Streptococcus pneumoniae Penicillin G ATAU Ampicillin selama 10 – 14 hari
Ceftriaxone ATAU Cefotaxime selama 10 – 14 hari
Ceftriaxone ATAU Cefotaxime + Vancomycin selama 10 – 14 hari
Ceftriaxone ATAU Cefotaxime + Vancomycin + Rifampicin selama 10 – 14
hari
Neisseria meningitides Penicillin G selama 7 hari
Haemophilus influenza b Ceftriaxone ATAU Cefotaxime selama 10 hari
Dosis antimikroba (mg/kg/hari)
Agen Usia 0 – 7 hari Usia 8 – 28 hari Bayi dan Anak
Ampicillin 150 – 200 dibagi tiap 200 – 300 dibagi tiap 6 jam 200 – 300 dibagi tiap 6 jam
8 jam
Cefotaxime 100 dibagi tiap 12 jam 200 dibagi tiap 8 jam 200 – 300 dibagi tiap 6 jam
Ceftriaxone Tidak direkomen- 80 – 100 dibagi tiap 12 – 24 80 – 100 dibagi tiap 12 – 24
dasikan jam jam
Gentamicin 5 dibagi tiap 12 jam 7,5 dibagi tiap 8 jam 7,5 dibagi tiap 8 jam
Penicillin G 100,000 – 150,000 150,000 – 200,000 unit 300,000 – 400,000 unit
unit dibagi tiap 12 jam dibagi tiap 6 jam dibagi tiap 4 – 6 jam
Rifampicin 10 dibagi tiap 12 jam 20 dibagi tiap 12 jam 20 dibagi tiap 12 jam
Vancomycin 20 dibagi tiap 12 jam 30 dibagi tiap 8 jam 40 – 60 dibagi tiap 6 jam

atau bersamaan dengan dosis antibiotika yang pertama. Dexamethasone sebaiknya tidak
diberikan untuk meningitis neonatus karena tidak ada data penelitiannya.1,24
Pengumpulan cairan ektra aksial sebagian besar akan hilang tanpa dilakukan
intervensi. Apabila dijumpai demam dan gejala klinis yang persisten setelah pemberian
antibiotik, dan pengumpulan ini berperan seperti masa, maka perlu dilakukan pungsi
untuk menyingkirkan kemungkinan suatu empiema dan mengurangi efek masa.1,3

Meningitis tuberkulosa
Isoniazid, rifampicin, ethambutol, pyrazinamide, dan streptomycin masih merupakan
obat lini pertama pada pengobatan meningitis tuberkulosa yang organisme sensitif.

629
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Fluoroquinolone juga merupakan obat yang poten terhadap tuberkulosis, namun data
penelitian pada meningitis tuberkulosis anak belum banyak, obat ini sebagai cadangan
untuk kasus yang sulit diobati.1,13
Pengobatan awal dimulai dengan empat macam OAT selama 2 bulan (isoniazid,
rifampicin, pyrazinamide, ethambutol atau streptomycin). Selnjutnya dua macam OAT
(rifampicin, dan isoniazid) selama 9 – 12 bulan. Pyridoxyne direkomendasikn pada anak
dengan malnutrisi untuk mencegah isoniazid-induce peripheral neurophathy.1,13

Ensefalitis Virus
Terapi pada anak dengan ensefalitis virus harus mempertimbangkan berat ringannya
penyakit, sangkaan agen penyebab, dan ketersediaan obat antivirus yang spesifik.2
Ensefalitis virus yang dapat diobati dengan antivirus diantaranya ensefalitis HSV,
ensefalitis VZV, infeksi HIV, dan infeksi CMV. Bayi dan anak dengan ensefalitis HSV
dapat diberikan acyclovir iv 20 mg/kg tiap 8 jam selama 21 hari, untuk remaja dosis
acyclovir 1500 mg/m2 selama 21 hari. Hati – hati dengan efek samping ke ginjal, perlu
pemantauan berkala fungsi ginjal untuk pemakaian jangka panjang. Anak dan remaja
dengan ensefalitis VZV dapat diberikan acyclovir iv dengan dosis 1500 mg/m2 selama
minimal 10 hari.2,25
Banyak virus yang mengenai SSP tidak dapat diobati dengan antivirus spesifik,
sehingga penderita sangat tergantung dari terapi suportif yang baik seperti, antipiretik,
cairan iv, antiepileptik, dan jarang dengan kortikosteroid.
Kejang merupakan komplikasi ensefalitis yang sering dijumpai, dapat diberantas
dengan diazepam dan dilanjutkan dengan phenobarbital atau phenytoin. Peninggian TIK
merupakan komplikasi ensefalitis yang mengancam nyawa, dan dapat diobati dengan
pemberian manitol, NaCl 3%, furosemid dan hiperventilasi. Anak yang sakit kritis
memerlukan perawatan di ruang intensif.2,25

Ensefalitis autoimun
Kortikosteroid merupakan pengobatan lini pertama pada ensefalitis reseptor anti-NDMA.
Metilprednisolon merupakan kortikosteroid yang paling umum digunakan, diberikan
secara intravena dengan dosis 15 sampai 30 mg/kg/hari (maksimum 1 g/hari) selama 3
sampai 5 hari, kemudian diturunkan bertahap dengan metilprednisolon oral 10 sampai 14
hari atau lebih. Imunoglobulin intravena (IVIg), menggunakan dosis yang sama dengan
yang digunakan pada sindroma Guillain-Barre, dan plasmaferesis bermanfaat sebagai
terapi ajuvan terutama pada pasien yang tidak respon terhadap kortikosteroid. Rituximab
dan siklofosfamid telah digunakan pada pasien dengan-NMDA anti ensefalitis reseptor
yang tidak respon terhadap kortikosteroid atau IVIg.7,8,18

630 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Mielitis transversa
Terapi mielitis transversa pada anak sangat mempengaruhi prognosis kasus ini. Pemberian
kortikosteroid dosis tinggi (20 – 30 mg/kg/hari) selama 3 – 5 hari, jika klinis membaik
maka tidak diperlukan pemberian terapi lanjutan. Namun, jika klinis berkurang dapat
dilanjutkan dengan steroid oral (1 mg/kg/hari dan tapering selama 14 – 21 hari). Terapi
tambahan lain dapat diberikan jika tidak respon dengan pemberian steroid adalah
pemberian immunoglobulin intravena (2 gr/kg selama 2 – 5 hari), dan plasma exchange
(5 – 8 exchange dalam 10 hari).19,26

Penutup
Pendekatan diagnosis dan tatalaksana bayi dan anak dengan infeksi SSP memerlukan
ketrampilan anamnesis, pemeriksaan fisik neurologi yang baik. Etiologi diagnosis sangat
tergantung dari hasil analisis CSS dari prosedur LP yang baik. Pemeriksaan neuroimaging
diperlukan menunjang diagnostik dan merencanakan terapi yang tepat. Keberhasilan
terapi tergantung dari cepat dan akuratnya diagnosis, terapi antibiotika maupun antivirus,
dan terapi suportif.

Daftar pustaka
1. Weinberg AG, Thompson-Stone R. Bacterial infection of the nervous system. Dalam:
Swaiman KF, Ashwal S, Ferriero DM, Schor NF, Finkel RS,dkk, penyunting. Swaiman’s
pediatric neurology principles and practice. Edisi keenam. Philadelphia: Elsevier Saunder
2017. h. 883-94.
2. Bonthius DJ, Bale JF. Viral infections of the nervous system. Dalam: Swaiman KF, Ashwal S,
Ferriero DM, Schor NF, Finkel RS,dkk, penyunting. Swaiman’s pediatric neurology princi-
ples and practice. Edisi keenam. Philadelphia: Elsevier Saunder 2017. h. 895-906.
3. Garcia CG, McCraken GH. Acute bacterial meningitis beyond the neonatal period. Dalam:
Long SS, Pickering LK, Prober CG, penyunting. Principles and practice of pediatric infec-
tious disease. Edisi keempat. Philadelphia: Elsevier Saunder 2012. h. 272-79.
4. Viallon A, Botelho-Nevers E, Zeni F. clinical decision rules for acute bacterial meningitis:
current insights. OAEM.2016;8:7-16.
5. Jan MM. meningitis and encephalitis in infants and children. Saudi Med J. 2012;33:11-6.
6. Tunkel AR, Hasbun R, Bhimraj A, Byers K, Kaplam SL, dkk. 2017 infectious disease society
of america’s clinical practice guidelines for healthcare-associated ventriculitis and meningitis.
CID. 2017;64:34-65.
7. Vasilopoulou VA, Karanika M, Theodoridou K, Katsioulis AT, Theodoridou MN, Had-
jichristodoulou CS. Prognostic factors related to sequelae in childhood bacterial meningitis:
data from a Greek meningitis registry. BMC Infect Dis. 2011;11:214.
8. Karthikeyan P, Ramalingam KP. Meningitis: is a major cause of disability amongst Papua
New Guinea children? Disabil Rehabil. 2012;34:1585-8.
9. Punjabi NH, Taylor WR, Murphy GS, Purwaningsih S, Picarima H, Sisson J, dkk. Etiology
of acute, non-malaria, febrile illnesses in Jayapura, northeastern Papua, Indonesia. Am J Trop
Med Hyg. 2012;86:46-51.

631
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
10. Ho Dang Trung N, Le Thi Phuong T, Wolbers M, Nguyen Van Minh H, Nguyen Thanh
V, Van MP, dkk.Aetiologies of central nervous system infection in Viet Nam: a prospective
provincial hospital-based descriptive surveillance study. PLoS One. 2012;7:e37825.
11. Hom J, Medwid K.The low rate of bacterial meningitis in children, ages 6 to 18 months, with
simple febrile seizures. Acad Emerg Med. 2011;18:1114-20.
12. McArthur R, Edlow JA, Nigrovic LE. Validation of the bacterial meningitis score in adults
presenting to the ED with meningitis. Am J Emerg. 2016;1-3.
13. Thwaites GE, van Toorn R, Schoeman J: Tuberculous meningitis: More questions, still too
few answers. Lancet Neurol 12:999-1010, 2013. 

14. Hristea A, Olaru ID, Baicus C, Moroti R, Arama V, Ion M.Clinical prediction rule for differ-
entiating tuberculous from viral meningitis. Int J Tuberc Lung Dis. 2012;16:793-8.
15. Khemiri M, Bagais A, Becher SB, Bousnina S, Bayoudh F, Mehrezi A, dkk. Tuberculous
meningitis in Bacille Calmette-Guerin-vaccinated children: clinical spectrum and outcome.
J Child Neurol. 2012;27:741-6.
16. Dimyati Y, Tjandradjani A, Mangunatmadja I, Widodo DP, Pusponegoro HD. Outcomes of
tuberculous meningitis in children: a case review study. Paediatr Indones. 2011;51:288-93.
17. Long SS, Glaser C. Encephalitis. Dalam: Long SS, Pickering LK, Prober CG, penyunting.
Principles and practice of pediatric infectious disease. Edisi keempat. Philadelphia: Elsevier
Saunder 2012. h. 297-314.
18. Graus F, Titulaer MJ, Balu R, Benseler S, Bien CG, dkk. A clinical approach to diagnosis of
autoimmune encephalitis. Lancet. 2016;15:391-404.
19. Makhani N, Brenton JN, Banwell B. Acquired disorders affecting the white matter. Dalam:
Swaiman KF, Ashwal S, Ferriero DM, Schor NF, Finkel RS,dkk, penyunting. Swaiman’s
pediatric neurology principles and practice. Edisi keenam. Philadelphia: Elsevier Saunder
2017. h. 759-66.
20. Michelson DJ. Spinal fluid examination. Dalam: Swaiman KF, Ashwal S, Ferriero DM, Schor
NF, Finkel RS,dkk, penyunting. Swaiman’s pediatric neurology principles and practice. Edisi
keenam. Philadelphia: Elsevier Saunder 2017. h. 73-7.
21. Nigrovic LE, Malley R, Kuppermann N.Meta-analysis of bacterial meningitis score valida-
tion studies. Arch Dis Child. 2012;97:799-805.
22. Swanson D, Harrison CJ. Chronic meningitis. Dalam: Long SS, Pickering LK, Prober CG,
penyunting. Principles and practice of pediatric infectious disease. Edisi keempat. Philadel-
phia: Elsevier Saunder 2012. h. 279-86.
23. Beek D, Cabellos C, Dzupova O, Esposito S, Klein M, dkk. ESCMID guideline: diagnosis
and treatment of acute bacterial meningitis. Clin Microbiol Infect. 2016:1-26.
24. Yberg S, Brauner A, Chambers BJ, Wiklund C, Nilsson A. A ten year retrospective case
series of glucocorticoid treatment of bacterial meningitis in children. Acta Paediatr Scand.
2016:1-4.
25. Hughes PS, Jackson AC. Delays in initiation of acyclovir therapy in herpes simplex encepha-
litis. Can J Neurol Sci. 2012;39:644-8.
26. Donovan M, DePiero A. Acute tranverse myelitis a pediatric case report. Am J Emerg Med.
2017:1-2.

632 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Epilepsy in Children
Yetty Ramli
Departemen Neurologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Abstract
Epilepsy is a chronic neurological problem due to abnormal excessive or synchronous electric activity in
the brain with many etiology . Epilepsy stigmatize and decrease the quality of life for patients, and their
families, especially uncontrolled epilepsy with current treatment. Etiology of epilepsy occurs in genetic,
idopathic, cryptogenic or symptomatic abnormalities in the brain. The first or recurrent seizures due to
systemic abnormalities that can be corrected or prevented are not epilepsy.
Diagnosis of epilepsy is based on clinical symptoms supported by EEG examination. Epilepsy is often a
misdiagnosis because many of the symptoms and behaviors in children are similar to those of seizures.
Information from witnesses who see seizures is crucial to determine seizures or not. Sometimes for
diagnostic confirmation video monitoring is required with the EEG in questionable cases. Diagnosis
of epilepsy syndrome is established on the basis of age and type of seizures, cognitive development and
neurological deficits. The recurrent risk of epilepsy depends on the type and syndrome of epilepsy, age,
etiology, treatment and other factors.
International League Against Epilepsy (ILAE) 2017 has revised the classification of epilepsy based on focal,
general or focal or general unknown onset. Patients with focal seizures occur because seizure originate from
certain areas of the cerebral cortex and generalized seizures result from diffuse areas in the brain.
Epilepsy treatment is performed after the diagnosis of epilepsy, syndrome and type of seizures is clear, with
monotherapy: duration of treatment depends on the diagnosis, treatment response, and age of onset of
seizures. The use of seizure medication at the onset of a seizure once remains controversial. Selection of
anti-seizure medication is complex and depends on the type of epilepsy / seizure, and possible side effects
and interactions with other drugs. Approximately 60-70% of patients will experience remission (> 5
years) with monotherapy and 30% of patients, will be intractabel that does not improve with treatment
and require surgical treatment, ketogenic diet, vagus nerve stimulation.

E
pilepsi merupakan penyakit neurologis kronis mengenai semua usia akibat aktivitas
cetusan sinkronisasi neuronal abnormal di otak. Epilepsi ditandai dengan adanya
faktor predisposisi yang menetap untuk mencetuskan kejang berupa kelainan
neurologi, kognitif, psikologi, dan sosial. Epilepsi sering ditemukan pada masa anak-
anak, dan lebih dari 75% pasien mengalami kejang pertama sebelum usia 18 tahun.1
Tingginya angka kejadian epilepsi pada anak-anak karena berhubungan dengan tingginya
angka kejadian infeksi otak dan trauma kepala.2 Data yang akurat angka kejadian dan
prevalensi epilepsi sulit ditemukan karena identifikasi epilepsi masih susah di masyarakat
karena beragam gejala, tanda dan diagnosis banding yang mirip dengan epilepsi. Angka
kejadian penyandang epilepsi yang seharusnya mendapat pengobatan epilepsi tetapi tidak

633
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
mendapat pengobatan dari penelitian meta analisis dan sistematik review di negara dengan
pendapatan rendah sekitar 80% dan di negara berkembang ditemukan 56%.3
Kesalahan diagnosis diperkirakan 5-40% terjadi di dalam penanganan epilepsi,
yang menyebabkan banyak pasien mungkin mendapatkan pengobatan dan pemeriksaan
yang tidak perlu. Penegakan diagnosis berdasarkan anamnesis yang cermat dan terperinci
dari saksi yang melihat kejang disamping pemeriksaan menyeluruh untuk membedakan
gangguan paroksismal nonepileptik dari epilepsi. Electroencephalogram (EEG)
atau pemeriksaan lanjutan mungkin diperlukan untuk mencari etiologi dari kejang.
Ketersediaan rekaman video di telepon genggam dan perangkat lain di rumah atau di
sekolah dapat memberikan informasi yang tepat.
Sekitar 35-40 % pasien epilepsi juga mengalami mental retardasi dan resiko tinggi
mengalami gangguan perilaku dan gangguan belajar. dan menurunkan kualitas hidup
baik bagi penyandang epilepsi maupun bagi keluarga akibat stigma di masyarakat yang
menyebabkan gangguan dalam kehidupan sosial. 4

Definisi
Definisi epilepsi berupa kejang tanpa diprovokasi / reflek berulang 2 kali atau lebih dalam
24 jam atau satu kali kejang tanpa diprovokasi /refleks dan kemungkinan kejang berulang
yang serupa dengan risiko tinggi berulang (setidaknya 60%) setelah dua kali kejang tanpa
di provokasi kemungkinan terjadi dalam 10 tahun ke depan.6
Epilepsi sindrom dipertimbangkan pada inidividu bergantung pada usia saat onset dan
remisi, pencetus kejang, variasi diurnal, penemuan EEG dan imaging yang berhubungan
dengan etiologi, pengobatan dan kadang-kadang prognosis. . yang berlangsung lebih
dari 30 menit atau dua bangkitan atau lebih tanpa adanya pemulihan kesadaran. Status
epileptikus adalah bangkitan di antara bangkitan-bangkitan tersebut.

Etiologi dan faktor resiko


Sebagian besar kasus epilepsi belum diketahui etiologinya. Umumnya etiologi epilepsi
bergantung pada usia pasien. Etiologi epilepsi sampai saat ini dari akibat kelainan herediter
genetik di otak seperti kelainan malformasi kelainan metabolik, atau karena faktor didapat
setelah kelahiran seperti kelainan struktur di otak akibat stroke,trauma, infeksi, gangguan
imunologi, tumor atau gabungan keduanya.7

Klasifikasi
Berdasarkan International League against Epilepsy (ILAE) 2017 membagi klasifikasi
berdasarkan 3 tipe onset fokal, umum dan ,onset yang tidak diketahui. Terjadi perubahan
dari klasifikasi yang lama parsial menjadi fokal dengan memperhatikan sadar atau tidak
sadar

634 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Patofisiologi
Dalam kondisi normal, terdapat keseimbangan antara aktivitas listrik eksitatorik dengan
inhibitorik. Pada saat kejang epilepsi terjadi, terdapat aktivitas listrik eksitatorik yang
melebihi aktivitas listrik inhibitorik. Sehingga, terjadi bangkitan listrik abnormal akibat
terlalu banyak neuron yang teraktivasi.

Kejang fokal
Beberapa mekanisme yang menyebabkan terjadinya kejang fokal adalah: 1.Menurunnya
inhibisi neuron terjadi akibat: (1) Penurunan inhibisi oleh neurontransmiter GABA-A dan
GABA-B, (2) Menurunnya aktivasi neuron-GABA, (3) Menurunnya aktivitas buffering
kalsium intraseluler
GABA merupakan neurontransmiter inhibitorik utama di otak. Neurontransmiter
ini memiliki dua reseptor, yaitu reseptor GABA-A dan GABA-B. Pada kasus epilepsi
terjadi mutasi atau penurunan ekspresi reseptor GABA-A. Reseptor GABA-A merupakan
reseptor yang terikat pada kanal klorida. Kanal ini berfungsi meningkatkan ambang
batas membran potensial sehingga letupan potensial aksi susah dicapai. Oleh karena itu,
penurunan ekspresi reseptor GABA-A pada kanal klorida akan menurunkan inhibisi
letupan potensial aksi.
Reseptor GABA-B merupakan reseptor yang terikat dengan kanal potasium. Durasi
inhibisi GABA-B lebih panjang dibanding GABA-A. Oleh karena itu, mutasi pada
reseptor GABA-B diketahui mempengaruhi proses transisi fase inter-iktal ke fase iktal.
Neuron GABA adalah neuron yang berfungsi menghasilkan inhibitory post-synaptic
potensial (IPSP). Neuron ini berfungsi menginhibisi potensial aksi yang dihasilkan oleh
neuron eksitatorik. Aktivasi neuron ini bergantung pada feedforward dan feedback yang
berasal dari neuron eksitatorik. Feedforward dan feedback dari neuron eksitatorik akan
disampaikan ke neuron GABA melalui interneuron (pada girus dentata, interneuron ini
bernama mossy cells). Dari sebuah penelitian diketahui bahwa terjadi penurunan jumlah
mossy cell yang mengakibatkan penurunan feedforward dan feedback yang disampaikan ke
neuron GABA.
Peningkatan kalsium intraseluler seharusnya diikuti dengan meningkatnya konsentrasi
protein yang berfungsi mengikat kalsium (agen kelator). Agen kelator ini kemudian akan
berdifusi ke interneuron yang berfungsi sebagai neuron inhibitorik. Rusaknya interneuron
akibat paparan hipoksia atau proses oksidatif akan mengakibatkan menurunnya aktivitas
inhibisi.
Meningkatnya aktivasi neuron eksitatorik akibat: (1) Peningkatan aktivasi reseptor
NMDA, (2) Peningkatan sinkronisasi neuron akibat adanya interaksi epileptikal, (3)
Peningkatan sinkronisasi dan atau aktivasi akibat eksitasi berulang oleh neuron kolateral

635
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Kejang umum
Mekanisme patofisiologi kejang umum yang paling mudah dipahami adalah mekanisme
kejang absans. Mekanisme kejang ini berkaitan dengan interaksi talamo-kortikal. Sirkuit
talamo-kortikal terdiri atas neuron di neokorteks, neuron penghubung di talamus, dan
neuron pada nukleus retikularis talamus (NRT). Perubahan ritme kerja sirkuit talamo-
kortikal akan berakibat munculnya letupan yang menstimulus kejang umum. Neuron
pada NRT merupakan neuron inhibitor yang mengandung neurontransmiter GABA.
Neuron ini akan mengatur aktivasi kanal kalsium-T yang ada pada neuron pengubung
di talamus. Kanal kalsium ini memiliki tiga cara kerja, yaitu membuka, menutup, dan
inaktif. Ketika terjadi hiperpolarisasi, kanal kalisum-T akan yang awalnya inaktif akan
berubah fase menjadi fase menutup yang siap untuk diaktivasi ketika dibutuhkan.

Diagnosis
Penegakkan diagnosis epilepsi, diperlukan anamnesis lengkap, pemeriksaan fisik yang
mendukung, serta pemeriksaan EEG. Menurut International League Against Epilepsy
(ILAE), dinyatakan epilepsi secara operasional apabila:
1. Ditemukan minimal dua kejadian kejang tanpa provokasi apapun dengan interval
waktu masing-masing lebih dari 24 jam, atau
2. Ditemukan satu kali episode kejang tidak terprovokasi (refleks kejang) dan terdapat
kemungkinan kejang lebih lanjut yang mirip dengan risiko rekurensi umum (minimal
60%) setelah dua episode kejang tanpa provokasi, yang terjadi dalam jangka waktu 10
tahun, atau
3. Diagnosis adanya sindrom epilepsi.6
Pemeriksaan yang dapat dilakukan dalam penegakan diagnosis antara lain:
1. EEG. Pemeriksaan EEG dapat membantu menentukan tipe kejang, lokalisasi,
kemungkinan sindrom, dan perkiraan untuk timbulnya kejang lagi. Hasil EEG
normal, tidak menyingkirkan diagnosis epilepsi. EEG abnormal tidak otomatis
menegakkan diagnosis epilepsi, kecuali kejang terjadi pada saat rekaman EEG. EEG
ulang dilakukan pada epilepsi yang tidak terkontrol dengan obat untuk me0mbantu
klasifikasi kembali tipe bangkitan, sebelum menghentikan pengobatan epilepsi dalam
memprediksi resiko serangan berulang, dan pada anak dengan kemunduran kognitif,
akademik dan perilaku yang tidak bisa diterangkan penyebabnya seperti pada epileptic
ensefalopati, SSPE, non konvulsive status epileptikus. 8,9
2. Neuroimaging; Pemeriksaan MRI diindikasikan untuk
a. pasien dengan kecurigaan penyebab berupa kelainan struktural
b. memiliki gejala defisit neurologis fokal
c. mengalami perubahan bentuk bangkitan
d. usia awitan kejang kurang dari 2 tahun

636 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


e. epilepsi intraktabel
f. epilepsi sindrom simptomatik. 8,10
3. Pemeriksaan laboratorium; Pemeriksaan ini bertujuan untuk mencari etiologi seperti
gangguan metabolik (natrium, kalium, calcium, magnesium, fosfat, dan bikarbonat),
toksin dengan skrining toksikologi dari urin dan darah, infeksi dengan pemeriksaan
cairan serebrospinal. Pemeriksaan hematologik yang mencakup pemeriksaan darah
perifer lengkap, elektrolit, kadar glukosa darah, fungsi hati, fungsi ginjal. Pemeriksaan
ini dilakukan pada awal pengobatan, diulang saat gejala timbul, dan rutin setiap
tahun.8
4. EKG; Modalitas ini digunakan untuk melihat adanya pemanjangan QT dan
menyingkirkan penyebab kelainan jantung lain.6
5. Pemeriksaan kadar obat anti epilepsi; Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui
tercapai atau tidaknya target level obat. Dilakukan saat bangkitan terkontrol dengan
baik dan tanpa gejala toksik. Pemeriksaan ini rutin dilakukan tiap tahun untuk
mengetahui tingkat kepatuhan pasien. Pemeriksaan ini juga dilakukan bila bangkitan
timbul kembali atau timbul gejala toksisitas 8,11

Anamnesis
Dapat dilakukan secara auto- atau allo-anamnesis. Allo-anamnesis sebaiknya dilakukan
pada orang yang melihat kejadian kejang. Hal yang perlu ditanyakan adalah gejala sebelum,
saat, dan setelah bangkitan adalah: Gejala atau tanda sebelum kejang, pencetus kejang,,
kejadian saat kejang, pola bangkitan, durasi dan frekuensi kejang, keadaan setelah kejang,
kejadian kejang sebelumnya: usia awitan, durasi, frekuensi, dan interval terpanjang antar
bangkitan.
Kemungkinan lain penyebab kejang, seperti: infeksi SSP, trauma, dan tumor kepala,
terapi yang pernah didapatkan dan responnya, penyakit lain yang diderita pasien saat ini,
riwayat penyakit epilepsi atau riwayat penyakit neurologik, psikiatrik, dan sistemik lain
dalam keluarga.

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik umum bertujuan untuk mencari tanda-tanda gangguan yang berkaitan
dengan penyakit epilepsi yang diderita pasien, seperti trauma kepala, infeksi telinga atau
sinus, kelainan kongenital, kegasan kelainan pada kulit (neurofakomatosis). Pemeriksaan
fisik neurologi dilakukan dengan tujuan untuk mencari adanya tanda dan gejala defisit
neurologi fokal atau difus. Hasil yang didapatkan dari pemeriksaan fisik neurologi
bergantung pada interval antara waktu dilakukannya pemeriksaan dengan bangkitan
terakhir. Jika dilakukan dalam interval yang pendek (beberapa menit atau jam setelah
bangkitan), akan didapatkan tanda post-iktal yang dapat menjadi petunjuk lokasi
bangkitan di otak, seperti Todd’s paresis, transient aphasic symptoms. Tujuan pemeriksaan
neurologis adalah mencari tanda disfungsi sistem saraf permanen. 9,11,12

637
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Pendekatan diagnosis anak dengan kejang

Tata laksana medikamentosa


Prinsip pengobatan epilepsi berdasarkan tipe kejang dan sindrom epilepsi dan tergantung
individual. Pengobatan dimulai dari monoterapi di titrasi dari dosis kecil untuk mengurangi
efek samping pengobatan dan dinaikan sampai tercapai kadar obat terapeutik.. Cara kerja
obat epilepsi tergantung dari mekanisme kerja obat. Berikut pemilihat obat anti epilepsi
(OAE) berdasarkan tipe kejang.

Tabel 1. Pilihan Obat anti epilepsi pilihan pertama. 9

Apabila kejang tidak terkontrol dengan OAE lini pertama harus dipertimbangkan
apakah diagnosis sudah benar, kepatuhan dari pengobatan beserta efek samping obat, atau
pemilihan OAE sudah sesuai dengan tipe epilepsi. OAE tertentu dapat memperburuk
gejala epilepsi
Tabel 2. Obat OAE yang dapat memperburuk kejang 9

Epilepsi umumnya membaik dengan pengobatan rutin OAE pertama dan kedua
70% kasus, lebih kurang 30 % dari tidak membaik dan perlu penambahan poli terapi.

Tabel 2 obat anti epilepsi pilihan kedua 9

638 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Penghentian obat epilepsi
Epilepsi secara umum 60-70% akan remisi dalam 2 tahun pengobatan. Penghentian
pengobatan dapat dipertimbangkan setelah 2 tahun bebas kejang. Sekitar 30-40% dari
penderita akan mengalami kekambuhan dalam 2 tahun setelah bebas kejang. Berikut
panduan penghentian pengobatan epilepsi.9
Epilepsi yang tidak membaik dengan politerapi perlu dipertimbangkan pengobatan
berikut:
Tata laksana Non-medikamentosa: (A) Diet ketogenik, (B) Stimulasi nervus vagus;
(C) Pembedahan, dilakukan dengan indikasi: (1) epilepsi refrakter; (2) epilepsi sudah
mengganggu aktivitas hidup; dan (3) manfaat pembedahan lebih besar dibanding risikonya

Penutup
Epilepsi merupakan kelainan pada otak yang ditandai dengan adanya faktor predisposisi
yang menetap sehingga dapat mencetuskan kejang selanjutnya dan terdapat konsekuensi
berupa kelainan neurologi, kognitif, psikologi, dan sosial. Gejala klinis epilepsi tergantung
dari jenis kejang yang dialami, termasuk pada kejang fokal atau kejang umum. Pemeriksaan
penunjang yang paling bermanfaat untuk epilepsi adalah pemeriksaan EEG. Tata laksana
yang dapat diberikan pada pasien epilepsi adalah pemberian obat anti epilepsi (OAE)
dimulai dengan monoterapi dosis kecil dititrasi sampai maksimal tercapai kadar terapeutik
dalam darah. Apabila kejang intraktebel tidak membaik dengan OAE dapat dilakukan
terapi vagus nerve stimulasi, diet ketogenik, dan pembedahan.

Daftar pustaka
1. W Bassel. Abou-Khalil, Gallagher J.Martin,Macdonald Robert L. Epilepsies. Bradley’s Neu-
rology in Clinical Practice. 7th edition. 2016, Elsevier: 1563-1614.
2. Camfield PR, and Camfield CS. Pediatric Epilepsy; An Overview. 2012. Elsevier. 703-710
3. Meyer A , Dua T , Ma J , Saxena S & Gretchen B .Global disparities in the epilepsy treatment
gap: a systematic review. Bulletin of the World Health Organization. 2010;88:260-266.
4. Mohamad A. Mikati and Makram M. Obeid. Conditions That Mimic Seizures. Nelson
Textbook of Pediatrics, ed 20th .Elsevier, 2016 ;2857-2863.
5. Nicole Ryan. Seizures. Netter’s Pediatrics . Elsevier 2011; 466-470.
6. Fisher RS, Acevedo C, Arzimanoglou A, Bogacz A, Cross HJ et al, A practical clinical defini-
tion of epilepsy.. Epilepsia, 2014; 55(4):475–482,
7. Scheffer IE, Berkovic SI, Capovilla G, Connolly MB, French J,et al. ILAE classification of
the epilepsies: Position paper of the ILAE Commission for Classification and Terminology.
Epilepsia, 2017;58(4):512–521,.
8. National Institute for Health and Care Excellence (NICE). The epilepsies: The diagnosis
and management of the epilepsies in adults and children in primary and secondary care.
NICE 2012 Jan:CG137. Diunduh dari: http://www.nice.org.uk/guidance/cg137/resources/
guidance-the-epilepsiesthe-diagnosis-and-management-of-the-epilepsies-in-adults-and-chil-

639
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
dren-inprimary-and-secondary-are-pdf.
9. Mangunatmadja I, Handryastuti S, Risan NA. Epilepsi pada Anak.. Badan Penerbit Ikatan
Dokter Anak Indonesia. 2016
10. Expert Committee on Pediatric Epilepsy, Indian Academy of Pediatrics. Guidelines for Diag-
nosis and Management of Childhood Epilepsy. Indian Pediatrics. 2009; (46) 681-698
11. Kelompok Studi Epilepsi. Pedoman Tatalaksana Epilepsi.. PERDOSSI 2012;3-31.
12. Mikati M A , Hani A J. Seizures in Childhood. Nelson Textbook of Pediatrics,ed 20 th Else-
vier, 2016 ;(593), 2823-2857.

640 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


641
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
642 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel
643
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
The Pitfall Use of Immunomodulator
Zakiudin Munasir
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta

Abstract
Immunology is a branch of medical science that is growing rapidly. The immune system disorders of our
body are divided into two: hyperimmune, including autoimmune and allergies, and immunodeficiency.
However, not all immune disorders can be cured. The research of substances or drugs that are
immunomodulatory is currently being developed. The immunomodulators are classified into two groups:
immunopotentiators and immunosuppressants. In this paper, the topic about immunopotentiators
that is more widely discussed is the use of immunostimulants to overcome infectious diseases and
immunodeficiency.

I
munologi adalah salah satu bidang penelitian bioteknologi medis yang paling cepat
berkembang dan memberikan banyak harapan berkaitan dengan pencegahan dan
penanganan berbagai macam gangguan tubuh, seperti penyakit inflamasi pada kulit,
usus, saluran pernafasan, sendi, dan susunan saraf pusat. Selain itu, sekarang ini penyakit
menular utamanya dianggap sebagai akibat gangguan kekebalan tubuh. Sementara itu,
penyakit neoplastik, transplantasi organ, dan beberapa penyakit autoimun dapat terjadi
dalam keadaan imunosupresif. Sistem kekebalan tubuh adalah salah satu sistem biologis
paling kompleks di tubuh kita. Fungsi dasar sistem kekebalan tubuh adalah membedakan
antigen diri dari antigen asing.1 Antigen asing ini bisa berupa organisme menular, organ
yang ditransplantasikan, atau sel endogen yang bisa dianggap asing. Respons kekebalan
tubuh manusia terhadap antigen asing ada dua jenis: (a) bawaan (alami, tidak spesifik)
dan (b) adaptif (didapat atau spesifik).2

Imunomodulator
Pengertian imunomodulator di sini adalah zat atau obat yang digunakan untuk membantu
mengatur atau menormalkan sistem kekebalan tubuh. Imunomodulasi juga dapat
diartikan sebagai suatu proses yang mengubah atau menyesuaikan respons imun ke level
yang diinginkan melalui tiga strategi, yaitu imunopotensiasi, imunosupresi, atau induksi
imunotoleransi. Zat-zat yang bersifat sebagai imunomodulator juga dibagi ke dalam tiga
grup, yang bisa dilihat pada Tabel 12, yaitu:
1. Immunopotensiator
Zat atau obat yang dapat meningkatkan respons imun. Imunopotensiator ini dapat
dibagi yang nonspesifik dan spesifik.

644 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


2. Immunosupresan
Zat atau obat yang dapat menekan sistem imun. Imunosupresan dapat dibagi menjadi
yang sistemik dan spesifik terhadap sel, sitokin, atau reseptor sitokin spesifik.
3. Imunoregulator
Suatu zat atau obat yang dapat menginduksi imunotoleransi.

Tabel 1. Klasifikasi tiga kelompok agen imunomodulator2


Kelompok Efek IM Mekanisme kerja Contoh agen IM Subjek sehat atau
sakit yang menerima
imunomodulator
Kelompok 1 ↑ Tidak membutuhkan Adjuvan, hormon (con-
Subjek sehat yang
Imunopotensiator spesifisitas toh: vitamin D)mendapat vaksin untuk
Subgrup 1a tidak antigenik pencegahan penyakit
spesifik menular
Subgrup 1b ↑ Membutuhkan spesi- Vaksin, antibodi poliklon- Terapi antibody re-
spesifik fisitas antigenik al, antibodi monoklonal placement untuk pasien
dengan imunodefisiensi
humoral
Kelompok 2 ↓ Menyebabkan imu- Iradiasi, obat sitotoksik, Subjek dengan kelainan
Imunosupresan nosupresi luas pada glukokortikoid, imunofi- autoimun, penyakit
Subgrup 2a tidak berbagai tempat lin (contoh: siklosporin), alergi, dan kanker
spesifik imunoglobulin
intravena (intravenous
immunoglobulin/IVIG)
Subgrup 2b ↓ Menarget sel, sitokin, Antibodi poliklonal dan
spesifik atau reseptor spesifik monoklonal
terapeutik (contoh: agen
anti-TNF),
protein fusi terapeutik
(contoh: etanercept),
konstruksi reseptor
yang dapat larut (contoh:
anankira), sitokin (con-
toh: interferon)
Kelompok 3 ↓ Memprovokasi tol- Imunoterapi alergi Subjek dengan penyakit
Agen atau eransi imun dengan (SCIT dan SLIT) alergi
prosedur yang melibatkan sel Treg,
menginduksi sitokin imunosupresif
toleransi (contoh: TGF-β, IL-
10), atau mekanisme
lainnya
Keterangan: IM = imunomodulator, SCIT = imunoterapi subkutan, SLIT = imunoterapi sublingual

Pada tulisan ini yang akan dibicarakan adalah imunopotensiator.


1. Imunopotensiator
Zat yang termasuk imunopotensiator adalah adjuvan, vaksin, dan imunoglobulin,
yang digunakan untuk pencegahan dan pengobatan penyakit infeksi.
a. Imunopotensiator nonspesifik
Kelompok zat ini merangsang respons imun secara spesifik, terutama melalui

645
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
pengaktifan sel antigen presenting cells (APCs) dari sistem imun bawaan atau
nonspesifik, paling banyak berupa sel dendrit dan makrofag. Zat ini tidak
memerlukan spesifitas antigen, termasuk dalam hal ini adalah antigen dari luar
(contohnya garam anorganik, seperti garam aluminium) dan zat-zat organik
(seperti squalene yang biasanya dipakai untuk adjuvan vaksin). Zat endogen seperti
hormon, misalnya estrogen, dapat meningkatkan respons imun nonspesifik.
Walaupun adjuvan utamanya merangsang sistem imun bawaan, bila digabung
dengan antigen vaksin yang spesifik maka adjuvan ini akan mengaktifkan sistem
imun yang spesifik serta mempercepat, mempertahankan jangka lama, dan
meningkatkan respons imun yang spesifik. Pengaktifan sel-sel imunitas bawaan
oleh adjuvan terjadi melalui interaksi dengan pattern-recognition receptors (PRRs),
reseptor spesifik toll-like receptors (TLRs) yang berada pada atau di dalam sel.2
Bukti terakhir menunjukkan bahwa mekanisme pengaktifan makrofag secara
molekuler oleh aluminium diperantarai oleh NALP3 inflammasone, pelepasan
sitokin inflamasi, dan interleukin (IL), yaitu IL-1b, IL-18, serta IL-33.
b. Imunopotensiator spesifik
Imunopotensiator ini bekerja berdasarkan antigen spesifik dari respons imun
adaptif, misalnya dengan menggunakan antigen spesifik vaksin (imunisasi aktif )
atau dengan memberikan antibodi poliklonal (imunisasi pasif ) (lihat Tabel 1).
Vaksin antigen spesifik lebih banyak ditujukan untuk mengatasi infeksi. Preparat
gammaglobulin dan hiperimun mengandung kadar antibodi spesifik yang tinggi
terhadap berbagai mikroorganisme, sebagai terapi pengganti pada pasien yang
mengalami defisiensi imunitas humoral.
2. Imunosupresan
Imunomodulator jenis ini mempunyai efek menekan reaktivitas respons imun.
Imunosupresan juga terdiri atas nonspesifik, yaitu bekerja pada banyak tempat
di sistem imun, dan spesifik, yaitu bekerja pada sel target, sitokin, atau reseptor
sitokin. Contoh imunosupresan nonspesifik, antara lain radiasi, obat-obat sitotoksik,
glukokortikoid, imunofilin (misalnya siklosporin) serta plasmaferesis (lihat Tabel 1).
Contoh imunosupresan spesifik, antara lain antibodi monoklonal dan poliklonal, fusi
protein terapeutik (misalnya etanercept), soluble receptor constructs (misalnya anakinra)
serta sitokin-sitokin (misalnya interferon) (lihat Tabel 1).

Obat-obat Imunostimulan
Imunostimulan adalah zat atau obat yang dipertimbangkan untuk meningkatkan daya
tahan tubuh terhadap infeksi. Obat-obat ini meningkatkan respons imun tingkat dasar
dan bekerja sebagai agen imunoterapi pada individu dengan penurunan respons imun.
Sejumlah gangguan, seperti keadaan imunodefisiensi, penyakit autoimun, kanker, dan
infeksi virus, dapat diobati dengan obat imunostimulan. Imunomodulator menjadi
adjuvan yang memadai untuk pendekatan baru pengobatan penyakit menular dalam
dekade mendatang abad ke-21.3

646 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Sekarang banyak obat potensiator di pasaran yang bertujuan untuk meningkat-
kan respons imun pada pasien yang mengalami infeksi atau defisiensi imun. Beberapa
zat imunomodulator yang pernah diteliti, antara lain vaksin BCG, Echinacea purpurea,
Phyllantus niruri, dan juga imunomodulator sintetik seperti metisoprinol.

Infeksi saluran napas berulang sangat umum terjadi pada anak dan merupakan
tantangan besar bagi dokter anak. Keadaan ini memengaruhi kualitas hidup anak-anak,
menyebabkan absen dari sekolah dan kehilangan hari kerja orangtua, pemeriksaan medis
berulang, penerimaan di rumah sakit, serta terapi antibiotik yang menyebabkan biaya
tinggi bagi masyarakat. Dengan prevalens dan kepentingan klinisnya, berbagai strategi
pencegahan telah dikembangkan. Salah satu yang paling banyak digunakan adalah
pemberian imunostimulan, yaitu molekul asal bakteri atau sintetis yang berinteraksi
dengan mekanisme imunologis secara in vitro dan in vivo. Sejumlah penelitian telah
menyelidiki dampaknya terhadap kekebalan seluler dan bawaan, serta keefektifan
klinisnya, namun tidak ada konsensus mengenai kegunaan imunostimulan sebenarnya.
Tujuan utama dari tinjauan ini adalah untuk menganalisis data yang tersedia mengenai
aktivitas dan keampuhan imunostimulan dalam mencegah infeksi saluran napas berulang.
Mayoritas penelitian telah menunjukkan bahwa jumlah infeksi menurun setelah
pengobatan imunostimulan, namun penelitian-penelitian tersebut dipengaruhi oleh
berbagai kelemahan metodologis. Dengan demikian, diperlukan penelitian lebih lanjut
untuk memastikan apakah, kapan, dan di mana imunostimulan harus digunakan.4
Dari data pencarian literatur sampai Juni 2005, diidentifikasi enam uji klinis yang
meneliti penggunaan obat-obatan herbal dan sembilan uji coba terapi complementary
and alternative medicine (CAM) lainnya. Semua artikel dievaluasi secara kritis untuk
kepatuhan terhadap standar penelitian efikasi dan keamanan. Echinacea tidak mengurangi
durasi dan tingkat keparahan infeksi saluran napas akut (ISPA). Andrographis paniculata
atau Echinacea menurunkan sekresi hidung (p <0,01), namun tidak untuk gejala ISPA.
Kombinasi Echinacea, propolis, dan asam askorbat dapat menurunkan jumlah episode
ISPA, durasi gejala, dan jumlah hari penyakit (p <0,001). Echinacea dikaitkan dengan
frekuensi ruam yang lebih tinggi dibandingkan dengan plasebo (p = 0,008). Baik asam
askorbat maupun homeopati tidak efektif. Khasiat seng tidak jelas, dan seng mungkin
berhubungan dengan efek samping pada anak-anak. Manipulasi osteopati menurunkan
episode otitis media akut (p = 0,04) dan kebutuhan timpanostomi (p = 0,03) pada anak-
anak dengan otitis media akut berulang. Terapi manajemen stres mengurangi durasi ISPA
dibandingkan dengan terapi relaksasi dengan panduan atau perawatan dasar (p <0,05).
Data saat ini umumnya tidak memadai untuk mendukung CAM untuk pencegahan atau
perawatan ISPA pada anak.5
Dampak sosio-ekonomi dari infeksi berulang ini sangat merugikan. Untuk mengatasi
masalah ini, masih banyak ruang untuk menyusun metode pengobatan dan pencegahannya.
Pendekatan terakhir yang dikembangkan mencakup peningkatan pemberian ASI
eksklusif, penggunaan imunoglobulin intravena, dan imunoglobulin spesifik terhadap

647
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
respiratory sinsytical virus (RSV), serta metode untuk merangsang kekebalan tubuh, seperti
imunoterapi ribosom.6
Inosine pranobex (BAN; juga dikenal sebagai inosine acedoben dimepranol [INN]
atau metisoprinol) adalah obat antiviral yang merupakan kombinasi inosin dan dimepranol
acedoben (garam asam asetat dan asam dimethylaminoisopropanol) dengan perbandingan
1 sampai 3. Inosine pranobex tidak memiliki efek pada partikel virus itu sendiri. Sebagai
gantinya, ia bertindak sebagai imunostimulan, analog hormon timus.7 Hal ini paling
sering digunakan untuk mengobati komplikasi campak langka, yaitu subacute sclerosing
panencephalitis, bersamaan dengan terapi interferon intratekal.8
Di Inggris, inosine pranobex juga diindikasikan untuk infeksi mukokutan karena
virus herpes simpleks (tipe 1 dan tipe 2) dan untuk pengobatan kutil kelamin, yaitu
sebagai terapi tambahan terhadap laser podofilin atau karbondioksida.9
Broncho-Vaxom® adalah ekstrak bakteri yang diberikan secara oral yang telah
terbukti memodulasi respons kekebalan terhadap patogen virus dan bakteri invasif.10 Zat
aktif Broncho-Vaxom® terdiri dari lysophilized bacterial lysate dari 21 strain bakteri yang
berbeda, yang berasal dari delapan spesies dan subspesies utama. Broncho-Vaxom® paling
sering dikaitkan dengan ISPA (Haemophilus influenzae, Moraxella catarrhalis, Klebsiella
pneumoniae pneumoniae, Klebsiella pneumoniae ozaenae, Streptococcus pyogenes, Streptococcus
pneumoniae, Streptococcus sanguinis, dan Staphylococcus aureus).
Broncho-Vaxom® digunakan dalam pencegahan infeksi saluran napas berulang dan/
atau eksaserbasi pada populasi berisiko (termasuk anak-anak). Selain itu, imunostimulan
ini juga digunakan sebagai adjuvan untuk pengobatan infeksi saluran pernapasan bagian
atas.

Penutup
Sistem imun tubuh kita memungkinkan kita bertahan terhadap gangguan-gangguan
antigen dari luar. Adakalanya sistem imun tubuh kita mengalami gangguan sehingga
perlu pengobatan. Salah satu pengobatan yang digunakan adalah imunomodulator yang
bersifat sebagai imunostimulan atau imunosupresan, bergantung kepada jenis gangguan
sistem imunnya. Beberapa jenis imunostimulan, termasuk vaksinasi, sering digunakan
dalam klinik untuk mengatasi penyakit infeksi atau defisiensi imun.

Daftar pustaka
1. Akdis M, Akdis CA. Therapeutic manipulation of immune tolerance in allergic disease. Nat
Res Drug Discov. 2009;8:643-60.
2. Nelson RP Jr, Ballow M, Bellanti JA. Advances in clinical immunomodulation. In: Immu-
nology IV. Clinical application in health and disease. Belanti JA, Escobar-Gutierrez A, Tsokos
GC (eds). Bethesda, Maryland: I Care Press; 2012. pp. 389-422.
3. Patil US, Jaydeokar AV, Bandawane DD. Immunomodulators: a pharmacological Review. Int
J Pharm Pharm Sci. 2012;4(Suppl 1):30-6.

648 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


4. Esposito S, Musio A. Immunostimulants and prevention of recurrent respiratory tract infec-
tions. J Biol Regul Homeost Agents. 2013;27:627-36.
5. Carr RR, Nahata MC. Complementary and alternative medicine for upper-respiratory-tract
infection in children. Am J Health Syst Pharm. 2006;63:33-9.
6. Bellanti JA. Recurrent respiratory tract infections in paediatric patients. Drugs. 1997;54(Sup-
pl 1):1-4.
7. American Cancer Society. Inosine Pranobex. Archived from the original on 2010 August 23.
Retrieved 2013 July 31.
8. Campoli-Richards DM, Sorkin EM, Heel RC. Inosine pranobex: a preliminary re-
view of its pharmacodynamic and pharmacokinetic properties, and therapeutic effica-
cy. Drugs. 1986;32:383–424.
9. UK Electronic Medicines Compendium. Imunovir 500 mg tablets.
10. Bessler WG, Vor dem Esche U, Masihi N. The bacterial extract OM-85 BV protects mice
against influenza and salmonella infection. Int Immunopharmacol. 2010;10:1086-90.

649
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Recognizing Subtle Endocrine Complaints
Connie Untario
Endocrinology

Abstract
Diagnosis remains as one of the most important aspect in a successful medical treatment. Although
many endocrine diseases have become widely known throughout the years, in reality not all endocrine
diseases show symptoms that are easily identifiable. With subtle symptoms and manifestations that appear
gradually, the right diagnosis is often late and therefore causes delay in commencement of therapy. This
issue alone causes a huge impact in growth and development of a child. In fact, disability as a result is
not a rare occurance. This paper discusses how to recognize the subtle complaints or signs of endocrine
diseases that may not be characteristic and different methods of diagnostic approaches. The objective of
this paper is to give a broader view regarding symptoms of endocrine diseases especially symptoms that are
not characteristic so as to enable physicians to provide the appropriate medical treatment.

E
ndokrinologi memberikan kesempatan yang menarik dan menantang bagi klinisi.
Dokter tidak hanya berurusan dengan satu bagian atau satu jenis organ saja,
namun rangkaian yang terkait didalam aksis hormon dan fungsinya. Sebagian
besar kelainan endokrin tidak terlihat sebagai kelainan tunggal yang dapat dilihat
atau dipalpasi. Kecuali kelenjar tiroid dan testis, organ endokrin yang lain tidak dapat
dilakukan pemeriksaan fisik. Diagnostik fisik bergantung pada pengamatan yang teliti
oleh pemeriksa, yang setelah dilakukan anamnesa yang cermat, memiliki beberapa
petunjuk yang mengarah ke suatu diagnosis. Diagnosis endokrin melibatkan anamnesa,
pemeriksaan fisik, laboratorium, dan evaluasi radiologis. Selama dua dekade terakhir,
terdapat kurangnya penekanan terhadap anamnesa dan pemeriksaan fisik dan lebih
mengandalkan evaluasi laboratorium. (1,2) Dalam era dimana pembiayaan menjadi suatu
pertimbangan, kita didorong untuk lebih mengandalkan penilaian klinis. Seorang ahli
endokrinologi harus menerapkan keterampilan kognitif berdasarkan apa yang dia dengar,
lihat, dan rasakan. Dengan menggunakan data ini, pengujian laboratorium yang tepat
dapat dilakukan untuk menyelesaikan evaluasi.
Mengenali suatu penyakit menjadi mudah bila kita telah mempunyai gambaran
mengenai penyakit tersebut. Hipertiroid, miksedema, akromegali, dan penyakit Cushing
kadang dapat segera dikenali pada pemeriksaan fisik. Kadang kala karena gejala yang sangat
nyata, baru melihat wajahnya saja kita tahu diagnosisnya. Berarti kita sudah paham sekali
dengan pola penyakit tersebut. Namun walaupun demikian, penyakit endokrin sering
terlewat, tidak terdiagnosis. Ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya misdiagnosis:
1. dokter tidak berfikir tentang penyakit yang sedang dihadapi; 2. gejala awal yang tidak
khas dan perlahan, misalnya lelah, gelisah, anoreksia; dan 3. onset penyakit yang begitu
perlahan dan tidak khas sehingga pasien sendiri tidak menyadarinya. (2)

650 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Dikatakan bahwa penyakit endokrin cukup sederhana, gangguannya terjadi sebagai
bentuk kelebihan atau kekurangan hormon dalam suatu aksis dari hipofise ke adrenal,
tiroid, gonad, paratiroid atau kelenjar hormon yang lain. Banyak sekali hormon yang
ikut berperan dalam kehidupan sehari-hari, namun gangguan pada aksis hormon
tertentu mempunyai gambaran keluhan dan gejala yang berbeda dengan gangguan
pada aksis hormon yang lain. Karena adanya aksis untuk masing-masing hormon maka
kejadian tumpang tindih diantara penyakit hormon sangat jarang terjadi. Namun justru
kenyataannya sering terjadi kemiripan dengan penyakit non-endokrin yang menyulitkan
penegakan diagnosis.(2) Pasien dengan gangguan endokrin sering menunjukkan gejala
yang tidak spesifik, seperti mudah lelah, badan lemah, gangguan konsentrasi, perubahan
berat badan, gangguan perilaku dan lain-lain yang juga sering ditemukan pada penyakit
non-endokrin. Untuk memudahkan, penulis akan mengulas materi berdasarkan gejala
penyakit dan menghubungkannya dengan penyakit endokrin terkait. Beberapa contoh
kasus juga akan dikemukakan.

Gejala khas penyakit endokrin


Sebelum mengenali tanda-tanda yang tidak khas dari penyakit endokin, kita harus terlebih
dahulu memahami gejala-gejala khasnya.
a. Berat badan naik
• Terutama berhubungan dengan hormon tiroid yang mengatur aktifitas
metabolisme tubuh. Metabolisme yang melambat menyebabkan kenaikan berat
badan, dan keadaan ini sering terjadi pada hipotiroid.
• Kelainan pada indung telur seperti polycystic ovary syndrome (PCOS) juga
menyebabkan kenaikan berat badan karena ketidak seimbangan estrogen dan
progesteron. (3)
• Kenaikan berat badan terjadi pada sindrom Cushing karena kelebihan hormon
glukokortikoid, baik yang berasal dari produksi endogenous ataupun karena
pemberian dari luar, misalnya obat-obatan steroid. (4)
b. Berat badan turun
Berat badan turun merupakan gejala yang sering didapatkan pada penyakit endokrin.
Namun karena insidens obesitas yang meningkat dalam masyarakat maka penurunan
berat badan dapat tidak terlalu menjadi masalah, sehingga kurang diperhatikan. (1,2)
Beberapa penyakit endokrin dengan berat badan turun:
• Hipertiroid, karena metabolisme yang sangat meningkat pada sekresi hormon
tiroid yang berlebihan. (5)
• Diabetes mellitus, dimana terjadi kegagalan pemakaian gula darah sebagai sumber
energi karena kurangnya insulin atau resistensi insulin, sehingga terjadi proses
katabolisme. (6)
• Insufisiensi adrenal, dimana produksi hormon mineralokortikoid dan/atau
glukokortikoid menurun. Keadaan seperti ini bisa terjadi pada Hiperplasia
Adrenal Kongenital atau penyakit Addison. (7,8)

651
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
c. Perawakan pendek
Didapatkan pada gangguan yang dipengaruhi oleh faktor genetik, hormon
pertumbuhan, gangguan metabolisme, gangguan penulangan, dan gangguan pubertas.
Oleh karenanya perawakan pendek dijumpai pada defisiensi hormon pertumbuhan,
gangguan tiroid seperti pada hipotiroid, diabetes mellitus tipe 1 yang tidak terkontrol
dengan baik, panhipopituitari, hiperkortisol seperti pada sindrom Cushing, beberapa
sindrom lain seperti trisomi 21, sindrom Silver-Russel, sindrom Turner, dan banyak
sindrom yang lain, hipokondroplasia, pubertas prekoks yang tidak tertangani,
Constitutional Growth Delay, dll. (1,7)
d. Perawakan tinggi
Merupakan gejala pada beberapa keadaan dimana didapatkan kelebihan hormon
pertumbuhan, pubertas prekoks pada awal gejala, dan hipertiroid. (1,9)
e. Kecepatan pertumbuhan
Kecepatan pertumbuhan menjadi tanda yang sangat baik akan adanya proses endokrin
yang sedang berlangsung. Kenaikan kecepatan pertumbuhan terjadi pada hipertiroid,
awal pubertas, dan gigantisme. Sedangkan perlambatan kecepatan pertumbuhan
dapat terjadi pada hipotiroid, sindrom Cushing, defisiensi hormon pertumbuhan,
defisiensi vit D, dll. (2)
f. Karakteristik fisik
Penentuan rentang lengan dan rasio segmen atas/bawah berguna dalam evaluasi
perawakan pendek. Misalnya, untuk menunjukkan hipokondroplasia atau
achondroplasia atau kelainan pertumbuhan tidak seimbang lainnya. Juga pada
keterlambatan pubertas, misalnya untuk mencari panjang lengan dan rasio segmen
atas/bawah yang lebih rendah (trunkus lebih pendek dari panjang kaki), seperti pada
hipogonadisme yang disebut proporsi eunuchoid. Rasio segmen atas/bawah yang
menurun ditemukan pada sindrom Klinefelter, dan peningkatan rasio ditemukan
pada hipotiroidisme yang tidak diobati. (1,2,7)
Bentuk perawakan, bentuk wajah dan ciri-ciri khusus merupakan hal yang sering
dijumpai pada penyakit atau sindrom tertentu, dengan sekilas dapat mengingatkan
kita pada satu diagnosis. Misalnya pada sindrom Cushing, didapatkan anak yang
obese dengan distribusi lemak terutama didaerah abdomen, bagian belakang leher
dan punggung atas , yang kita kenal sebagai ‘buffalo hump’. Tidak jarang tampak
guratan-guratan di kulit yang agak keunguan (‘purple stretch mark’) di bagian dengan
penumpukan lemak terbanyak. Wajahnya tampak ‘moonface’. (4) Contoh lain: Kejang
tetani dengan spasme karpopedal karena hipokalsemia hipoparatiroid yang didapat
pada sindrom DiGeorge, struma yang tampak sebagai leher tengah bagian depan
yang membesar atau ‘bengkak’ pada gangguan tiroid, lid lag dan eksoptalmus pada
hipertiroid. (2,10)
g. Gangguan fungsi organ
Walaupun kita jarang berpikir mengenai sistem endokrin, dalam kenyataannya
endokrin mempengaruhi hampir semua sel, organ dan fungsi tubuh sehingga tercipta
suatu homeostasis. Sistem endokrin berperan dalam regulasi suasana hati (mood),

652 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


pertumbuhan dan perkembangan, fungsi jaringan, metabolisme, termasuk fungsi
seksual dan reproduksi. Karena multifungsi sistem endokrin, bila terjadi gangguan
hormon maka akan mempengaruhi fungsi-fungsi organ terkait. Misalnya, gangguan
pencernaan, gangguan konsentrasi, gangguan mata, gangguan muskuloskeletal dan
lain-lain. Hal ini yang perlu dipikirkan dalam penanganan keluhan-keluhan pasien.

Pendekatan diagnosis penyakit endokrin


Mendiagnosis penyakit endokrin akan menjadi mudah apabila semua gejala muncul
sesuai karakteristik tipikal masing-masing. Akan tetapi, pada kenyataannya tidak semua
kasus menunjukkan gejala yang khas. Di sinilah kesulitan dan tantangan yang sebenarnya
bagi dokter anak dalam menegakkan diagnosis yang tepat. Walaupun dalam satu kelainan
atau penyakit, gejala klinis yang muncul dapat berbeda-beda.(tabel.1) (9)

Diambil dari Sari Pediatri, Vol. 14, No. 6, April 2013


Beberapa hal yang dapat membantu kita dalam penegakan satu diagnosis
penyakit endokrin, yaitu:
•• Membuat suatu hipotesa awal tentang penyakit pasien. Hipotesa dibuat berdasarkan
keluhan utama, umur dan gender, kombinasi dari gejala, dan mencari komplikasi
yang mungkin sudah terjadi. Umur penderita, gender, ras dan daerah tempat tinggal,
sering menjadi signal untuk insidens penyakit tertentu. Misalnya hiperplasia adrenal
kongenital yang salt-losing akan banyak dijumpai pada usia bayi, namun yang non
salt-losing sering dijumpai terlambat sebagai pubertas prekoks, hipertiroid lebih
sering ditemukan pada wanita namun bukan berarti tidak terjadi pada anak laki-

653
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
laki, penderita goiter akibat kekurangan yodium secara umum banyak ditemukan
di daerah perbukitan atau dataran tinggi, pasien dengan riwayat poliuri dan koma
membuat kita berfikir tentang ketoasidosis diabetikum, dll. (2)
•• Anamnesa merupakan hal yang sangat penting, dan keluhan utama pasien bisa jadi
bukan tanda yang khusus dari suatu penyakit, oleh karenanya kita perlu menggali
lebih dalam keluhan atau gejala lain yang justru mungkin penting dalam penegakan
diagnosis. Anamnesa yang baik akan membantu kita menarik benang merah suatu
penyakit, membantu kita memilih pemeriksaan fisik yang sesuai, dan membantu kita
menentukan pemeriksaan laboratorium untuk mengkonfirmasi diagnosis. (1,2)
•• Pengetahuan yang mendalam tentang penyakit , baik yang endokrin maupun bukan
sehingga kita dapat membuat diagnosis banding yang benar.
•• Sifat herediter penyakit, apakah suatu penyakit keturunan, seperti penyakit Graves
yang mempunyai potensi manifestasi disetiap generasi keturunannya, atau hiperplasia
adrenal kongenital yang juga bisa diderita oleh saudara kandungnya. (2,11)
•• Beberapa gejala yang khusus memberikan arahan kemana kita harus berpikir, misalnya:
–– Adanya galaktorea menyebabkan kita harus menilai gangguan hipofisis.
–– Ginekomastia pada pria mungkin memiliki nilai klinis yang penting mulai dari
hipogonadisme, hipertiroid sampai keganasan. (12)
–– Pada pria, pemeriksaan alat genitalia bersamaan dengan manifestasi kelainan
gonad perifer mungkin memiliki hasil diagnostik yang tinggi. Klinisi harus
berhati-hati saat memeriksa ada tidaknya testis di dalam skrotum dan melakukan
palpasi untuk menentukan ukuran dan konsistensi.
–– Adanya perbedaan pola rambut kemaluan pada laki-laki dan perempuan dapat
dipakai petunjuk adanya gangguan hormon androgen dan/ estrogen. (7)
–– Pemeriksaan perineum dapat menghasilkan informasi yang penting seperti
klitoromegali, sinekia labia atau kelainan urogenital yang lain. (13)

Kemungkinan terjadinya misdiagnosis dapat diperkecil dengan melakukan beberapa


hal sebagai berikut: 1. Semua gejala penyakit termasuk yang sederhana harus ditinjau
lebih jauh dengan anamnesis yang baik. Gejala yang sederhana itu mungkin merupakan
salah satu bagian dalam kelompok gejala penyakit endokrin. 2. Dengan pemeriksaan fisik
yang baik kita perlu mengamati perkembangan gejala yang ada dan melihat apakah ada
gejala baru yang muncul karena perjalanan penyakit endokrin pada umumnya lambat.
3. Semua keluhan utama harus dicari akar penyebabnya karena mungkin merupakan
bagian dari penyakit endokrin, penyakit non-endokrin atau bahkan beberapa penyakit
yang bersamaan.
Sebagai contoh, jangan mengesampingkan suatu diagnosis penyakit endokrin
bila keluhan utama pasien hanya berupa sakit kepala, atau gangguan neuropsikiatri(11)
Banyak gejala yang harus membuat kita waspada akan adanya penyakit endokrin,
seperti hipertensi, hiperglikemia, gelisah, amenore, polidipsi-poliuri, gangguan tumbuh

654 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


kembang, perubahan yang berhubungan dengan cairan tubuh seperti edema, gangguan
elektrolit, diare berkepanjangan, sakit perut, mual muntah dll, gangguan pada rambut
dan kulit, distribusi rambut atau alopesia, pola berkeringat, dan toleransi terhadap panas
dan dingin. Kita harus ingat, gejala ini tidak akan berdiri sendiri, selalu ada gejala lain
pada suatu penyakit karena setiap penyakit mempunyai kelompok gejala. (14) Seorang
klinisi yang berpengalaman sering menggunakan kelompok gejala sebagai alat bantu
diagnostik. Misalnya pembesaran tiroid, takikardia, dan tidak tahan panas identik dengan
hipertiroid. Poliuria, polidipsia dan polifagia sesuai dengan diabetes mellitus. Komponen
dalam kelompok gejala satu penyakit harus benar-benar saling berhubungan dan bukan
merupakan gejala dari penyakit lain.

Contoh kasus
1. Seorang anak perempuan usia 4 tahun, koma setelah dioperasi usus buntu. Pasien datang
dengan keluhan nyeri perut, gelisah, sesak nafas dan muntah-muntah. Diagnosis kerja
apendisitis akut dan anak tersebut dioperasi. Namun anak tidak kunjung sadar pasca
operasi dan bahkan koma. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan hasil gula darah
sangat tinggi >800mg/dl, HbA1c 13,2 %, hiponatremia dan hipokalemia. Diagnosis:
ketoasidosis diabetikum dengan gejala akut abdomen.
2. Seorang anak laki-laki 11 tahun dikonsulkan dengan kejang berulang walau sudah
minum obat epilepsi. Dia mendapatkan obat epilepsi sejak kecil. Pada pemeriksaan
tampak anak agak dismorfik, ada tetani dan karpopedal saat kejang. Hasil Ca rendah,
dan hasil pemeriksaan kromosom didapatkan 22q11.2 deletion syndrome sesuai dengan
sindrom DiGeorge.
3. Seorang anak laki-laki usia 5,5 tahun datang dibawa ibunya berobat dengan
keluhan anaknya cepat sekali tinggi. Pada pemeriksaan didapatkan tinggi badan
yang melewati batas atas rentang potensial genetik kedua orang tuanya. Indeks
massa tubuh masih dalam batas normal. Dalam anamnesa didapatkan banyak kasus
endokrin dalam riwayat kesehatan keluarganya. Setelah diamati, nampak leher sedikit
membesar. Pemeriksaan hormon menunjukkan adanya hipertiroid. Setelah dilakukan
pengobatan, tinggi badan kembali masuk kedalam rentang potensi genetik orang tua.
4. Seorang bayi usia 9 bulan menunjukkan keterlambatan secara menyeluruh, pada saat
lahir tidak dilakukan skrining TSHs dan ternyata bayi ini merupakan kasus hipotiroid
kongenital yang harusnya bisa terdeteksi sejak awal dengan skrining. Pada saat lahir,
bayi besar dan tidak tampak kelainan.
5. Bayi Ryan lahir dengan ‘penis’ kecil, terdaftar sebagai anak laki-laki di akte
kelahirannya. Warna kulit gelap, yang sebenarnya hiperpigmentasi, namun tidak
mendapatkan perhatian karena diterima sebagai bawaan lahir. Setelah usia mendekati
2 bulan, datang ke dokter karena sering muntah dan diare. Seusia itu sudah 2 kali
masuk rumah sakit untuk mendapatkan infus karena dehidrasi. Pada pemeriksaan
fisik ternyata ‘penis’ kecil adalah klitoromegali, dan ternyata didapatkan sinekia labia.
Karyotyping bayi ini ternyata 46,XX , 17-OH progesteron sangat tinggi 418 nmol/L

655
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
(angka normal 1,10-4,8 nmol/L), kalium tinggi dan natrium rendah. Diagnosis : salt-
losing Congenital Adrenal Hyperplasia pada bayi wanita. Melalui proses hukum, akte
kelahiran diubah sesuai hasil pemeriksaan kromosom dan nama menjadi Ryani.
6. Seperti kasus Ryani, seorang bayi laki-laki usia 7 hari mengalami diare dan perut
kembung, membaik setelah diinfus. Pulang pada usia 10 hari. Pada usia 14 hari datang
kembali karena diare, tapi masih bisa minum walau berkurang. Dalam perawatan di
rumah sakit tiba-tiba bayi pucat dan cardiac arrest, ketika itu kebetulan datang hasil
elektrolit dimana K >7 mmol/L dan Na 124 mmol/L. Tidak ada hiperpigmentasi,
namun melihat hasil laborat dan riwayat penyakitnya, diputuskan diberikan injeksi
hidrokortison. Anak tertolong dan hasil pemeriksaan lanjutan sesuai kasus no 5 namun
pada anak laki-laki. Pada anak perempuan penyakit ini menyebabkan klitoromegali,
sehingga dapat membantu diagnosis.
7. Pasien 5 tahun laki-laki, kurus dengan nafas sesak. Telah mendapatkan pengobatan
untuk batuk namun belum sembuh. Batuk seminggu, panas tidak terlalu tinggi,
minum banyak, makan tak mau. Pada anamnesa didapatkan penurunan berat badan
sejak sebulan terakhir dan sering kencing. Biasanya anak ini sudah tidak ngompol,
namun belakangan ngompol lagi. Suara nafas tanpa ronkhi, tidak ada wheezing, cepat
dan dalam. Pasien dianjurkan periksa darah, urine dan rawat inap dengan dugaan
diabetes ketoasidosis, pasien menolak karena merasa tidak mungkin anak kecil
diabetes dan keluarganya tidak ada yang diabetes. Keesokan harinya pasien datang
dalam keadaan koma. Diagnosis: diabetes mellitus tipe 1 dengan koma ketoasidosis
diabetikum.
8. Bayi laki-laki usia 11 bulan datang dengan keluhan sering diare, kadang hanya sedikit-
sedikit, kadang disertai panas dan berat badan tidak naik dengan baik. Saat datang
berat badan 7,8 kg, anak tampak aktif dan kurus. Tampak ada pembesaran leher dan
pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hipertiroid.
9. Seorang anak laki-laki 4 tahun dikeluhkan hiperaktif dan sudah mendapatkan latihan
selama beberapa bulan, namun tidak ada perkembangan yang membaik. Karena
ibunya penderita hipertiroid, maka ibu minta anaknya diperiksa hormon tiroidnya.
Hasilnya ternyata menunjukkan hipertiroid.
10. Seorang bayi perempuan usia 6 jam. Berat badan 4100g, menangis terus dan tampak
‘berkeringat’ di wajahnya. Pernafasan menjadi cepat dan bayi tiba-tiba kejang. Setelah
dilakukan pemeriksaan ternyata gula darah 20mg/dL, diagnosis: hipoglikemia.

Simpulan
Pasien datang dengan ekspektasi diagnosis yang berbeda tentang penyakit yang dideritanya.
Berdasar apa yang dirasakan, pasien akan datang ke dokter yang menurutnya cocok untuk
keluhannya. Padahal belum tentu dugaannya benar. Oleh karenanya diharapkan siapapun
dokter yang menangani dapat menemukan masalah sebenarnya. Di pihak lain, dokter juga
cenderung membuat diagnosis penyakit yang umum, sedangkan penyakit yang jarang
terjadi selalu mendapat urutan terakhir dalam pikirannya. Dengan pengetahuan yang luas

656 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


dan ketrampilan yang baik dalam pengumpulan data melalui anamnesa, pemeriksaan fisik
dan pemilihan pemeriksaan laboratorium yang benar maka seorang dokter diharapkan
dapat membuat diagnosis yang tepat.

Daftar pustaka
1. Styne DM. The Evaluation of a Child or Adolescent with Possible Endocrine Disease. In
Styne DM. Pediatric Endocrinology a Clinical Handbook. Switzerland: Springer Interna-
tional Publishing AG; 2016. p. 11-13.
2. Cutler P. Problem Solving in Clinical Medicine From Data to Diagnosis. 3rd ed. Balti-
more: Lippincot Williams & Wilkins; 1998.
3. Rosenfield R. What every physician should know about polycystic ovary syndrome. Der-
matol Ther. 2008; 21(5): p. 354.
4. Lacroix A, Feelders R, Stratakis C, Nieman L. Cushing’s syndrome. Lancet. 2015;
386(9996): p. 913.
5. Segni M, Leonardi E, Mazzoncini B, et al. Special features of Graves’ disease in early child-
hood. Thyroid. ; 871(9).
6. Levitsky LL, Misra M. Epidemiology, presentation, and diagnosis of type 1 diabetes mel-
litus in children and adolescents. [Online].; 2017 [cited 2017 April 1. Available from:
HYPERLINK “http://www.uptodate.com” http://www.uptodate.com .
7. Felner I, Umpierrez GE. Basic Endocrinology and Function. In Felner EI, Umpierrez GE,
editors. Endocrine Pathophysiology. Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins; 2014.
p. 1-9.
8. Merke D, Bornstein S. Congenital Adrenal Hyperplasia. Lancet. 2005; 365(9477): p.
2125.
9. Untario C. Hiperplasia Adrenal Kongenital di Surabaya: Analisis Retrospektif Praktek En-
dokrin Anak 1997-2011. Sari Pediatri. 2013 April; 14(6).
10. Bassett A, McDonald-McGinn D, Devriendt K, et a. Practical guidelines for managing
patients with 22q11.2 deletion syndrome. J Pediatr. 2011 Aug; 159(2): p. 332-339.
11. Loomba-Albrecht L, Bremer A, Syne D, Glaser N. High Frequency of Cardiac and Be-
havioral Complaints as Presenting Symptoms of Hyperthyroidism in Children. J Pediatr
Endocrinol Metab. 2011; 24.
12. Taylor AS. Gynecomastia in children and adolescents. [Online].; 2017 [cited 2017 April 1.
Available from: HYPERLINK “http://www.uptodate.com” http://www.uptodate.com .
13. Elford KJ, Spence JE. The forgotten female: Pediatric and adolescent gynecological con-
cerns and their reproductive consequences. J Pediatr Adolesc Gynecol. 2002; 15(2): p. 65.
14. Untario C. Subtle Complaints leading to Hyperthyroidism. In Endocrine Update; 2017;
Malang.

657
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
DTP Immunization 2, 3, 4 Months Schedule
Kusnandi Rusmil
Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran
Universitas Padjajaran, Bandung

Abstract
Immunization program has been done since long time ago. Child immunization is a preventive action
for many serious illnesses especially in childhood. One of child immunization that common in all regions
in the world is diphteria, tetanus, and pertussis (DTP). As early as 1925, the vaccine was shown to
be effective for control of these diseases. In the practices, many countries have differentiation in DTP
immunization schedule. There are some research studies for the immunogenicity, antitoxin effect and
antibody titre of DTP vaccine. Based on WHO recommendation, primary DTP vaccine should be
given before 6 months old, in the first year of life, in three doses, with minimal interval 4 weeks between
each dose, to get higher antibody titre and higher immunogenicity. We found DPT immunization on
2,3,4month schedule was shown to be immunogenic and well tolerant.

I
munisasi pada anak terhadap difteri, tetanus, dan pertusis telah menjadi jadwal
imunisasi penting di seluruh dunia. Sejak tahun 1925, vaksin telah menunjukkan
efektivitas dalam mengontrol penyakit tersebut.1 Vaksin tersebut berisi toksoid difteri,
toksoid tetanus, dan antigen pertusis atau biasa disebut dengan vaksin DTP. Vaksin DTP
kerap kali dikombinasikan dengan vaksin Haemophilus influenzae tipe b (Hib), hepatitis
B (HB), dan virus polio inaktif (IPV) untuk memudahkan pemberian dan meningkatkan
cakupan. Terdapat berbagai macam vaksin DTP yang tersedia di dunia diantaranya ialah
vaksin DTwP, DtaP, Tdap, DT, dan Td, vaksin tersebut tersedia dalam sediaan injeksi 0,5
mL. Berdasarkan rekomendasi, vaksin DTwP, DtaP, dan DT diberikan pada anak berusia
kurang dari 7 tahun, sedangkan vaksin Tdap dan Td diberikan pada anak berusia lebih
dari 7 tahun.2

Rekomendasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,


Ikatan Dokter Anak Indonesia 2017 dan Jadwal Imunisasi DTP di
Beberapa Negara Lain
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 42.Tahun 2013 tentang
penyelenggarakan imunisasi menentapkan pemberian vaksin pentavalen yang berisisi
DPT,HB,HiB untuk imunisasi dasar diberikan pada usia 2,3,43 Selanjutnya di antisipasi
oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia dengan merekomendasikan pemberian vaksin DTPw
atau DTPa sebagai dosis pertama paling cepat saat bayi berusia 6 minggu. Pemberian
vaksin kemudian diikuti dengan pemberian vaksin DTPw pada interval 2, 3, dan 4

658 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


bulan atau vaksin DTPa pada interval 2, 4, dan 6 bulan. Vaksin Hepatitis B monovalen
tidak perlu diberikan saat anak berusia 1 bulan apabila anak telah mendapatkan vaksin
kombinasi DPT-Hib-HB4.
Berbeda dengan aturan di negara Malaysia, vaksin DTP diberikan pada bulan ke-2, 3,
dan 5, serta vaksin hepatitis B diberikan saat lahir, pada bulan pertama dan bulan kelima5.
Di beberapa negara Eropa seperti Belgia, Bulgaria, Republik Ceko, Jerman, Hungaria,
Belanda, dan Inggris, vaksin DTP diberikan pada bulan ke-2, 3, dan 4, sedangkan di
Kroasia, Cyprus, Yunani, Irlandia, Latvia, dan Portugal, vaksin DTP diberikan pada bulan
ke-2, 4, dan 6. Dan di beberapa negara Eropa lainnya seperti Austria, Denmark, Finlandia,
Islandia, Italia, Norwegia, dan Swedia, vaksin DTP diberikan dalam dua dosis, yaitu pada
bulan ketiga dan kelima.

Tabel 1. Perbandingan Jadwal Imunisasi DTP di Beberapa Negara


Negara Bulan
2 3 4 5 6
Indonesia V V V
Iran V V V
India V V V
Belanda V V V
Belgia V V V
Bulgaria V V V
Ceko V V V
Hungaria V V V
Inggris V V V
Jerman V V V
Irlandia V V V
Kroasia V V V
Portugal V V V
Yunani V V V
Cyprus V V V
Malaysia V V V
Austria V V
Denmark V V
Finlandia V V
Norwegia V V
Swedia V V
Islandia V V
Italia V V

Jadwal vaksin dasar di Eropa terdiri dari 3 tipe dosis yaitu 3 dosis pada usia 2,3,4
bulan, 3 dosis pada usia 2,4,6 bulan, dan 2 dosis pada usia bulan ke 3 dan 5. Ketiganya
bermaksud untuk meningkatkan memori imuologis melawan difteri, tetanus, dan pertusis
dari bayi yang mendapatkan vaksin. Jadwal 2,3,4 bulan, maupun 2,4,6 bulan memberikan
proteksi lebih awal dibandingkan dengan 3,5 bulan. Nilai titer antibodi 3 dosis juga

659
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
memberikan nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan 2 dosis. Interval lebih panjang
turut berperan meningkatkan nilai titer antibodi yang memerlukan interval >4 minggu
antar dosis pemberian.7

Perbandingan Jadwal Imunisasi


World Health Organization (WHO) melakukan pemantauan lebih lanjut dalam pemberian
vaksin difteri, tetanus, dan pertusis dalam sebuah systematic review untuk mengetahui
jadwal pemberian yang tepat dan memberikan proteksi yang lebih baik sebagai usaha
menurunkan angka kejadian difteri, tetanus, dan pertusis.8,9

Imunogenisitas Vaksin Difteri , Tetanus, Pertusis


Sebuah penelitian clinical trial oleh Carlsson (1998) membandingkan pemberian vaksin
difteri dan tetanus dalam 3,5 bulan dan 2,4,6 bulan. Pemberian vaksin dengan 2 dosis
mencetuskan kadar antitoksin lebih rendah pada usia 1 dan 7 bulan setelah vaksinasi
dibandingkan dengan 3 dosis, baik untuk melawan difteri maupun tetanus. Oleh karena itu,
pemberian 3 dosis primer vaksin difteri dan tetanus memberikan efek antitoksin lebih baik
dibandingkan dengan 2 dosis primer.8 Penelitian di Turki dan Belgia oleh Hoppenbrouwers
(1999) mendapatkan bahwa jadwal pemberian 2,4,5 bulan mendapatkan titer perlawanan
difteri dan tetanus lebih tinggi dibandingkan dengan jadwal pemberian 3,4,5 bulan. Hal
ini menunjukkan vaksin lebih baik diberikan lebih dini (2 bulan dibandingkan 3 bulan).8
Dalam hal interval antar dosis vaksin, sebuah penelitian kohort dilakukan oleh
Giammanco (1998) dengan membandingkan imunogenitas antara jadwal pemberian
2,4,6 bulan dengan 3,5,11 bulan. Pada akhir dosis ketiga pemberian vaksin didapatkan
bahwa jadwal 2,4,6 bulan mendapatkan nilai GMT (Geometric Mean Titre) lebih tinggi
dibandingkan dengan jadwal 3,5,11 bulan (0,188 vs 0,108 IU/ml). Penelitian lain yang
dilakukan oleh Miller dkk. mendapatkan bahwa jadwal 3,5,8-10 bulan mendapatkan
kadar antibodi lebih tinggi dan titer protektif pada jadwal pemberian vaksin yang lebih
panjang. Penelitinan Ramsay (1993) juga mendapatkan bahwa nilai titer antibodi terhadap
difteri dan tetanus lebih tinggi pada jadwal yang lebih panjang7. Rusmil dkk (2013 ) dgn
jadwal 2,3,4 mendapatkan nilai GMT 0,37 IU/ml untuk difteri, tetanus 1,63 IU/ml .
dan 168,81 IU/ml untuk pertusis 9
Penelitian yang dilakukan oleh Just dkk (1991) membandingkan jadwal 3,4,5 bulan
dengan 2,4,6 bulan dan mendapatkan bahwa nilai anti-FHA GMT pada jadwal 2,4,6
bulan lebih tinggi. Hasil ini mengevaluasi panjang interval antar dosis vaksin. Penelitian
lain yang dilakukan ole Olin dkk. (1998) mendapatkan bahwa jadwal vaksin 2,4,6 bulan
memiliki risiko penyakit yang lebih rendah dibandingkan jadwal pemberian vaksin 3,5,12
bulan. 10
Systematic review ini menyarankan bahwa jadwal pemberian vaksin 2,4,6 bulan
memberikan titer antibodi pertusis lebih tinggi dibandingkan dengan jadwal pemberian

660 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


vaksin 3,4,5 bulan. Hal ini dapat terjadi karena terdapat perbedaan durasi interval antar
dosis. Rusmil dkk (2013) dengan jadwal pemberian vaksin 2,3,4 bulan memberikan titer
pertusis GMT 168,81 IU/ml. 9 Olehkarena itu, vaksin pertusis baik diberikan pada tahun
pertama kehidupan dan lebih baik sebelum usia 6 bulan untuk memberikan proteksi pada
anak kurang dari 6 bulan yang seringkali memiliki gejala penyakit pertusis lebih buruk.10
Penelitian yang dilakukan Madhi, bertujuan untuk mengevaluasi imunogenitas dan
keamanan pemberian vaksin DTaP-IPV-Hib dan vaksin HB monovalen pada bayi berusia
6, 10, dan 14 minggu di Afrika Selatan menunjukkan bahwa terdapat imunogenitas tinggi
terhadap setiap antigen. Hasil penelitian Madhi serupa dengan penelitian sebelumnya
yang dilakukan di Perancis tentang pemberian vaksin pada bayi berusia 2, 3, dan 4 bulan.11
Penelitian yang dilakukan oleh Rusmil dkk 8 di Indonesia pada 575 anak yang
mendapat 3 dosis vaksin kombinasi DTP-HB-Hib di usia 2, 3, dan 4 bulan menilai
imunogenisitas dan keamanan pemberian vaksin tersebut. Subjek dibagi menjadi 3
kelompok, yaitu A, B, dan C. Kelompok A mendapat vaksin yang diproduksi dalam skala
komersial, sedangkan B dan C mendapat vaksin yang diproduksi dalam skala pilot.. Kadar
anti-difteri ≥0,01 IU/ml dimiliki oleh 99,5%, 99,5%, dan 100% subjek kelompok A, B,
dan C. Sedangkan kadar anti-tetanus >0,01 IU/ml dimiliki oleh 100% subjek, dan anti-
HBs dengan kadar protektif dimiliki 99,3% subjek. Sebanyak 84,9% memiliki respon
terhadap vaksin pertusis 9

Tabel 2. Respon Imun Protektif Vaksin DTP Berdasarkan Jadwal Imunisasi


Peneliti Jadwal Imunisasi DTP Respon Positif (%)
Aquino dkk13 2, 4, 6 Anti-D: 95,2
Anti-T: 100
Anti-PT: 99,1
Anti-FHA: 89,5
Madhi dkk9 2, 3, 4 Anti-D: 100
Anti-T: 100
Anti-PT: 89,6
Anti-FHA: 89,5
Chhatwal dkk12 2, 3, 4 Anti-D: 99,3
Anti-T: 100
Anti-PT: 93,8
Anti-FHA: 99,3
2, 4, 6 Difteri: 98,2
Tetanus: 99,7
Pertusis: 81,3
Rusmil dkk11 2, 3, 4 Anti-D: 99,7
Anti-T: 100
Pertusis: 84,9
Zarei dkk.1 2, 4, 6 Difteri: 98,2
Tetanus:100
Pertusis: 81,3
Keterangan: anti-D (difteri); anti-T (tetanus); anti-PT (pertussis toxin); anti-FHA (filamentous hemagglutinin);
anti-PRN (pertactin)

661
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Penelitian lain dilakukan oleh Gatchalian dkk di Filipina (2010) dengan menilai
imunogenitas vaksin DTP-HBV-Hib pada 198 anak yang mendapat 3 dosis pada usia
2, 3, dan 4 bulan. Seroprotektif terhadap difteri ≥0,016 IU/mL didapatkan pada 92,6%
subjek, terhadap tetanus senilai ≥0,1 IU/mL didapatkan pada 89,5% subjek, dan respon
terhadap vaksin pertusis sebesar 100%.12
Penelitian di India yang dilakukan oleh Chhatwal dkk untuk menilai imunogenitas
pada 177 anak pasca diberi 3 dosis vaksin heksavalen (DTaP-IPV-HB-PRP~T) pada usia
2 3, dan 4 bulan menunjukkan seroproteksi 100% untuk anti-HB (≥10 mIU/mL), anti-
PRP (≥0,01 IU/mL), anti-polio 1,2, dan 3 (≥8 [1/dl]), serta seroproteksi 99,3% untuk
difteri (≥0,01 IU/mL). untuk antigen pertussis, persentasi respon vaksin adalah 93,8%
untuk anti-PT dan 99,3% untuk anti-FHA.13
Berbagai penelitian terkait imunogenitas yang dilakukan di beberapa negara
menunjukkan kadar seroprotektif yang tidak berbeda secara signifikan antara pemberian
vaksin 2,3,4 bulan dan 2,4,6 bulan. Mayoritas subjek di Indonesia yang menerima vaksin
dapat menghasilkan konsentrasi antibodi (84 –100%) yang mampu memberikan proteksi
anak dari difteri, tetanus, pertussis, hepatitis B, dan Hib setelah 3 kali pemberian.10 Studi
yang diadakan di India dan Filipina pun menunjukkan kadar seroproteksi yang serupa
dengan studi di Indonesia (89,5-100% dan 93,8-100%).12, 13

Tabel 3. Persentase subjek yang menunjukkan respon antibodi protektif pada studi Pentabio fase III15
No. Antigen 6 weeks of age n(%) 7 weeks of age n(%) > 8 weeks of age n(%)
Pre Post Pre Post Pre Post
1 Diphtheria 33(35.1) 93(98.9) 49(32.0) 153(100.0) 93(28.4) 327(99.7)
2 Tetanus 94(100.0) 94(100.0) 153(100.0) 153(100.0) 328(100.0) 328(100.0)
3 Pertussis 2(2.1) 77(81.9) 9(5.8) 127(83.0) 17(5.1) 287(87.5)

Terdapat 575 subjek yang terlibat dalam studi Pentabio fase III. Studi ini menilai
seroproteksi setelah vaksin pentabio dosis pertama. Subjek dibagi dalam ke dalam 3
kelompok, yaitu usia 6 minggu, 7 minggu, dan 8 minggu. Pada subjek berusia 6 minggu
yang mendapat vaksin, seluruh subjek mencapai kadar antibodi protektif terhadap Hib
dan tetanus. Hanya 1 subjek yang tidak mencapai kadar antibodi protektif terhadap
difteri dan hepatitis B. Lebih dari 81% subjek yang mendapat vaksin di usia 6 minggu
mencapai kadar antibodi protektif terhadap pertusis. Di grup usia 7 minggu, seluruh
subjek mencapai kadar antibodi terhadap Hib, hepatitis B, difteri, dan tetanus.
Sejumlah 83% subjek terlindungi dari pertusis. Pada kelompok usia 8 minggu,
seluruh subjek mencapai kadar antibodi protektif terhadap tetanus dan Hib. Lebih dari
87% terlindungi dari pertusis. Hanya 1 subjek yang tidak terproteksi terhadap difteri, dan
3 subjek tidak terproteksi terhadap hepatitis B. Hal ini menggambarkan bahwa respon
antibodi tidak dipengaruhi oleh kelompok usia.15

662 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) DTP
Reaksi pada tempat menyuntikan merupakan gejala yang paling sering dilaporkan oleh
orangtua (92,8%). Kejadian ikutan lain meliputi nyeri , reaksi sistemik , pireksia , abnormal
crying , rewel , dan anoreksia 9,15

Tabel 4. KIPI pada pemberian vaksin DPT


KIPI Jadwal Imunisasi Peneliti Risiko KIPI (%)
Demam 2,4,6 bulan Gustafsson, 1996 72,3 ; 74,3 ; 65,1
Greco, 1996 40,5
Long, 1990 47,6
Barkin, 1985 51,3
2,3,4 bulan Miller, 1997 11,2
Ramsay, 1992 22; 25; 23
Rusmil, 2013 20; 21; 19
Nyeri lokal 2,4,6 bulan Gustafsson, 1996 59,5 ; 60,2; 50,0
Greco, 1996 29,7
Long, 1990 59,5
2,3,4 bulan Rusmil, 2013 33; 23,7; 21,7 (nyeri ringan, )
Bengkak 2,4,6 bulan Gustafsson, 1996 10,6; 10,0; 10,5
Greco, 1996 26,0
Long, 1990 54,1
2,3,4 bulan Miller, 1997 3,6
Ramsay, 1992 32; 26; 30
Rusmil, 2013 16,7; 11; 12
Kemerahan 2,4,6 bulan Gustafsson, 1996 6,0; 5,1; 6,4
Long, 1990 62,7
2,3,4 bulan Miller, 1997 3,9
Ramsay, 1992 18; 17; 26
Rusmil, 2013 27,5;35;30(<50 mm)
Persistent crying 2,4,6 bulan Gustafsson,1996 11,8 ; 9,3 ; 3,3
Long, 1990 2,6
Greco, 1996 4,0
Barkin, 1985 61,5
2,3,4 bulan Rusmil, 2013 -
Kejang 2,4,6 bulan Greco, 1996 0,022

Sumber: WHO, 8,9

663
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Tabel 5. KIPI sistemik vaksin kombinasi DTPw yang diberikan pada usia 2,3,4 bulan (dalam %)11
Reaksi Simpang Dosis 1 Dosis 2 Dosis 3
DTP-HB-Hib DTP-HB-Hib DTP-HB-Hib
Demam Tidak berat Demam < 39 C
20 21 19
Berat Demam > 39 C aksila
0,5 2 0,3
Iritabel Tidak berat Menangis bisa ditenangkan
39,5 42 35
Berat Inconsolable crying > 3 jam
0 0 0

Tabel 6. KIPI lokal vaksin kombinasi DTPw yang diberikan pada usia 2,3,4 bulan (dalam %)9
Reaksi Simpang Dosis 1 Dosis 2 Dosis 3
DTP-HB-Hib DTP-HB-Hib DTP-HB-Hib
Nyeri Tidak berat Nyeri bila disentuh atau tidak menangis bila disentuh

30 22 20
Berat Menangis bila digerakkan
3 1,7 1,7
Kemerahan Tidak berat < 50 mm
27 35 30
Berat > 50 mm
0,5 0 0
Bengkak < 50 mm
Tidak berat 16 11 12
Berat > 50 mm
0,7 0 0
Indurasi Tidak berat 30 23 19
Berat 0,7 0 0

Simpulan
Vaksin difteri, tetanus dan pertusis (DTP) telah terbukti dapat mencegah penyakit
tersebut sejak tahun 1940-an. Terdapat berbagai tipe jadwal pemberian vaksin diantaranya
ialah dua dosis yaitu 3,5 bulan, tiga dosis yaitu 2,3,4 bulan dan 2,4,6 bulan. Berdasarkan
berbagai penelitian dan systematic review didapatkan bahwa pemberian vaksin DTP dasar
sebaiknya sebelum mencapai usia 6 bulan, selesai dalam tahun pertama, dalam tiga dosis,
dengan interval minimal 4 minggu. Imunogenitas vaksin yang diberikan pada 2,3,4 bulan
dan 2,4,6 tidak menghasilkan perbedaan yang signifikan. Keduanya mampu menghasilkan
kadar seroprotektif yang mampu melindungi anak dari difteri, tetanus, dan pertussis.
Kejadian Ikutan Paska Imunisasi yang terjadi pada 2,3,4 bulan tidak menunjukkan hasil
yang signifikan. Oleh karena itu, pemberian vaksin DPT pada 2, 3, 4 bulan imunogenik
dan aman.

664 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Daftar pustaka
1. Zarei S, Jeddi-Tehrani M, Akhondi MM, Zeraati H, Pourheidari F, Ostadkarampour M,
et al. Primary Immunization with a Triple Diphtheria-Tetanus-Whole Cell Pertussis Vac-
cine in Iranian Infants: An Analysis of Antibody Response. Iran J Allergy Asthma Immunol.
2009;8(2):85-93.
2. Information Sheet Observed Rate of Vaccine Reactions: Diphteria, Pertussis, Tetanus Vac-
cines. In: Organization WH, editor. Geneva: World Health Organization; 2014.
3. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 42.Tahun 2013 tentang penyelengga-
rakan imunisasi.
4. Gunardi H, Kartasasmita CB, Hadinegoro SRS, Satari HI, Soedjatmiko, Oswari H, et al.
Jadwal Imunisasi Anak Usia 0 – 18 tahun Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia 2017.
Sari Pediatri. 2017;18(5):417-22.
5. Luu YM. Jadual Imunisasi: Kementrian Kesihatan Malaysia; 2015 [cited 2017 4 Mei]. Avail-
able from: http://www.myhealth.gov.my/jadual-imunisasi/.
6. Vaccine Schedule: European Centre for Disease Prevention and Control; [cited 2017 4 Mei].
Available from: http://vaccine-schedule.ecdc.europa.eu/.
7. European Centre for Disease Prevention and Control. Scientific panel on childhood immu-
nisation schedule: Diphtheria-tetanus-pertussis (DTP) vaccination. In: Guidance E, editor.
Stockholm. 2009.
8. World Health Organization. Comparative efficacy/effectiveness of schedules in infant immu-
nisation against pertussis, diphtheria and tetanus: Systematic review and meta-analysis. Part
1: Diptheria and tetanus vaccines2014. Available from: http://www.who.int/immunization/
sage/meetings/2015/april/5_Report_D_T_140812.pdf.
9. World Health Organization. Comparative efficacy/effectiveness of schedules in infant immu-
nisation against pertussis, diphtheria and tetanus: Systematic review and metaanalysis. Part 2:
Whole-cell pertussis vaccine2014. Available from: http://www.who.int/immunization/sage/
meetings/2015/april/6_Report_wP_140813.pdf.
10. Madhi SA, Cutland C, Jones S, Groome M, Ortiz E. Immunogenicity and safety of an acel-
lular pertussis, diphtheria, tetanus, inactivated poliovirus, Hib-conjugate combined vaccine
(Pentaxim™) and monovalent hepatitis B vaccine at 6, 10 and 14 weeks of age in infants in
South Africa. S Afr Med J. 2011;101:126-31.
11. Rusmil K, Gunardi H, Fadlyana E, Soedjatmiko, Dhamayanti M, Sekartini R, et al. The
immunogenicity, safety, and consistency of an Indonesia combined DTP-HB-Hib vaccine in
expanded program on immunization schedule. BMC Pediatrics. 2015;15(219).
12. Gatchalian S, Ramakrishnan G, Bock H, Lefevre I, Jacquet J-M. Immunogenicity, reacto-
genicity and safety of three-dose primary and booster vaccination with combined diphthe-
ria-tetanus-whole-cell pertussis-hepatitis B-reduced antigen content Haemophilus influenzae
type b vaccine in Filipino children. Human vaccines. 2010;6(8):664-72.
13. Chhatwal J, Lalwani S, Vidor E. Immunogenicity and Safety of a Liquid Hexavalent Vaccine
in Indian Infants. Indian Pediatrics. 2017;54:15-20.
14. Aquino AGB, Britob MG, Donizc CEA, Herrerad JFG, Maciase M, Zambranof B, et al. A
fully liquid DTaP-IPV-Hep B-PRP-T hexavalent vaccine for primary and booster vaccina-
tion of healthy Mexican children. Vaccine. 2012;30:6492-500.
15. Biofarma. Protectivity and Safety of DTP/HB /Hib (Bio Farma) Vaccines in Infants, Batch
Consistency, Multi Centers Trial. 2013. (Laporan penelitian)

665
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Community Based Research to Solve Child
Health Problems Creating Evidence-Based
Practice for Health and Social Change
Anna Alisjahbana
Research

Abstract
In the field of Public Health, Community based research is better known as Community-based
participatory research (CBPR). CBPR is a collaborative process between community-based organizations
and academic investigators. It has the potential to make research more responsive to existing needs and to
enhance a community’s ability to address important health issues, however CBPR is often an unfamiliar
territory to academic investigators and community organizations.
CBPR begins with a research topic of practical relevance to the community and is carried out in
community settings. Community members and researchers share control of the research agenda through
active and reciprocal involvement in the research design, implementation and dissemination. The process
and results are useful to community members in making positive social change and to promote social
equity. Some basic principles will be presented, including 3 case studies to illustrate activities in the field.

Abstrak
Dibidang Ilmu Kesehatan Masyarakat, Penelitian berbasis komunitas (CBR) lebih dikenal sebagai
Community based research atau CBPR.
CBPR merupakan proses kerjasama antara organisasi masyarakat dan peneliti akademi. CBPR
berpotensi untuk rnenjadikan penelitian lebih responsif terhadap kebutuhan dan meningkatkan
kemampuan masyarakat untuk imenyelesaikan isyu-isyu kesehatan. Sangat disayangkan bahwa CBPR
kurang diterapkan dan dimanfaatkan oleh peneliti-peneliti dari perguruan tinggi dan organisasi
masyarakat.
CBPR biasanya dimulai dengan judul penelitian yang mempunyai relevansi dengan kebutuhan/masalah
masyarakat dan dilaksanakan di lingkungan masyarakat. Anggauta masyarakat dan peneliti berkerja
sama, kedua-duanya terlibat aktif dalam pelaksanaan penelitian sejak penyusunan, implementasi dan
desiminasi hasil penelitian. Proses dan hasil penelitian bermanfaat bagi anggauta masyarakat dalam
upaya perubahan perilaku sosial serta mempromosikan kebersamaan sosial.
Beberapa prinsip dasar CBPR akan dibahas disini dan 3 studi penelitian akan dipresentasikan sebagai
contoh pelaksanaan CBPR di masyarakat

Apa yang dimaksud dengan penelitian berbasis komunitas?


Di abad ke 21 dengan meningkatnya jumlah lansia, jumlah penduduk dengan penyakit
tidak menular (non-communicable disease) dan kecenderungan meningkatnya angka

666 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


kecelakaan dan bencana alam, kita menghadapi berbagai tantangan baru ditinjau
dari segi kesehatan dan demografi. Konsekuensi dari perubahan ini berdampak pada
kondisi kesehatan, sosial ekonomi masyarakat dan memerlukan kebijakan yang tidak
hanya ditujukan pada menurunkan angka mortalitas dan morbiditas, tetapi juga pada
penyusunan kebijakan pemerintah untuk peningkatkan fungsi dan kesejahteraan
masyarakat. Penelitian di komunitas bertujuan untuk sadar sehat dan menurunkan
kesenjangan dibidang kesehatan melalui Penelitian berbasis komunitas (CBR)
Prinsip pendekatan yang dipakai pada Penelitian Berbasis Komunitas dibagi sesuai
dengan penelitian yang relevan dengan kebutuhan masyarakat serta ajktif melibatkan
masyarakat seperti dibawah ini:
1. Community situated, penelitian yang praktis dan relevan bagi masyarakat dan
dilaksanakan bersama mansyarakat.
2. Kolaboratif –disini anggauta masyarakat dan peneltit bekerja sama melaksanakan
penelitian dengan keterlibatan aktif sejak perencanaan, pelaksanaan dan diseminasi
hasil penelitian.
3. Action-oriented yang lebih berorientasi pada proses dengan hasil yang bermanfaat
bagi masyarakat dan bertujuan menghasilkan perubahaan perilaku positif disertai
mempromosikan persamaan hak (social equity). Action research lebih banyak dipakai
dibidang pendidikan (1)

Materi makalah
Janet Weinrt dkk, dengan judul artikelnya: Tiga model CBPR merumuskan beberapa
Prinsip dalam pelaksanaan CBPR (5):
•• CBR merupakan inisiatif yang sifatnya kerjasama antara peneliti dan anggauta
masyarakat dan melibatkan tenaga peneliti dan berbagai anggauta masyarakat.
•• CBR menjastifikasi pemakaian berbagai sumber pengetahuan dan mempromosikan
metode penelitian yang dilanjutkan dengan menyebar luaskan hasil penelitian dan
pengetahuan baru.
•• CBR menetapkan sebagai tujuan: aksi dan perubahan sosial untuk mencapai keadilan
sosial (social justice) bagi semua anggauta masyarakat,
•• Penelitian CBPR sifatnya selain participatori juga kualitatif (perubahan perilaku lebih
mudah dicapai bila masyarakat yang kena dampaknya ikut terlibat).

Tujuan umum Penelitian Berbasis Partsipasi Komunitas (CBPR) a.l sebagai berikut:
•• Mempromosikan hidup-sehat masyarakat disertai peningkatan pengetahuan dan
pencegahan penyakit.
•• Melibatkan anggauta masyarakat dengan lebih efektif, termasuk LSM dan berbagai
kelompok masyarakat agar bisa mengenai masalah penting bagi masyarakat sendiri,
termasuk memperbaiki pelayanan yang lebih mengambarkan keinginan masyarkat,
(bottom-up approach)

667
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
•• Mengembangkan strategi yang lebih efektif dalam upaya merekrut dan
mempertahankan responden pada penelitian.

Penelitian berbasis Komunitas (CBR) lebih banyak dipakai dibidang pendidikan


(3,4). Sedangkan, CBPR banyak diterapkan dibidang Ilmu Kesehatan Masyarakat, dan
pelaksanaannya dilakukan dengan cara (1) aktif melibatkan masyarakat, (2) pengembangan
program yang menguntungkan masyarakat, dengan berpegang pada prinsip “tidak
merugikan masyarakat (komunitas) yang terlibat”
CBPR, merupakan satu cara pendekatan dengan melibatkan semua pengguna
potensial dari penelitian dan stake-holder lainnya sejak menyusun dan pada aplikasi
penelitian. Berbagai metode penelitian epidemiologi, eksperimen, survei, kualitatif dan
kuantitatif dapat dipakai dalam pelaksanaannya. Pemilihan tergantung pada metoda yang
diperlukan untuk menjawab pertanyaan penelitian dan kemudahan dari metoda yang
dipilih. Diantara golongan masyarakat yang tidak percaya pada itikat peneliti-peneliti
dari barat, penelitian participatori di Negara-negara berkembang mempunyai tradisi yang
kaya dan terhormat karena mampu menyebabkankan perubahan sosial (6)
CBPR jarang dilaksanakan di bidang Ilmu Kesehatan Anak, karena penelitiannya
lebih banyak berupa penelitian dasar dan biomedik, sedangkan bagaimana suatu strategi
atau program berdampak pada masyarakat masih kurang mendapat perhatian. Mungkin
hal ini juga menyebabkan bahwa hasil penelitian kesehatan dari perguruan tinggi jarang
diangkat menjadi kebijakan pemerintah. Sangat disayangkan karena menyusun program
dan menilai keberhasilan program kesehatan memerlukan kepastian bahwa program untuk
masyarakat juga mencapai sasaran. Angka kejadian suatu penyakit juga memerlukan data
komunitas, karena data yang dikumpulkan dari Rumah Sakit atau sarana kesehatan tidak
bisa dipakai untuk menjadi angka nasional dan kebijakan pemerintah.
Kegiatan Ilmu Kesehatan Masyarakat/Pediatric social bisa menjembatani penelitian
dasar dan biomedik dengan project dikomunitas, yang disesuaikan dengan kebutuhan
dan budaya setempat, dan memberi kepastian bahwa kegiatan itu relevan dengan
kebutuhan masyarakat. Melibatkan komunitas dengan tenaga ahli tidak semata-mata
akan meningkatkan kualitas penelitian, tetapi yang pasti adalah memberikan kepastian
bahwa penelitiannya bisa diterima (acceptable) dan digunakan (applicable) oleh masyarakat
dimana penelitian tadi dilaksanakan.
Program-program Kesehatan Masyarakat dan kebijakan biasanya dirumuskan
ditingkat regional dan nasional, tetapi pencegahan dan intervensi program kesehatan
berlangsung di masyarakat. Penempatannya di masyarakat ini diakui sebagai determinan
luaran (outcome) kesehatan yang penting. Kenyataan ini meningkatkan kerjasama dengan
masyarakat sebagai strategi penting untuk program kesehatan masyarakat yang berhasil
dan sukses.

668 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Gambar 1, Degree of participation by different stakeholders, by type of research or community action (6)

Meskipun bidang Ilmu Kesehatan Masyarakat cukup berpengalaman dalam


mendesiminasi bukti penelitian (evidence) agar masyarakat mengunakan informasi itu
ke dalam kehidupannya, ternyata hanya menyebabkan perubahan perilaku minimal.
Sebaliknya penelitian partcipatori yang pada tahun-tahun terakhir dikembangkan
kolaboratif dalam kemitraan dengan masyarakat sebagai strategi alternatif dari program-
program Top-down. Bagi tenaga profesi strategi ini lebih banyak memberi kepastian
bahwa hasil penelitian itu bisa dimanfaatkan dan dipakai oleh masyarakat. (6) Gambar 1
memberikan ilustrasi mengenai tingkat partisipasi berbagai kelompok peneliti menurut
cara penelitian dan pengembangan masyarakat,
Beberapa data vital masyarakat memerlukan pelaksanaan CBPR misalnya, Angka
kematian Perinatal (AKP) atau prevalensi BBLR dari Rumah Sakit tidak bisa mewakili
angka nasional. Sedangkan MDG dan SDG memerlukan angka nasional. Contoh lain
yang memerlukan CBPR adalah seberapa jauh Program Pelayanan Kesehatan mencapai
sasarannya dan bagaimana dampaknya pada kesehatan masyarakat secara umum
(Penelitian Sistem Kesehatan). Bagaimana mengetahui respons masyarakat terhadap
program-program kesehatan sama pentingnya dengan keberhasilan penatalaksanaan
penyakit di klinik. Bekerja di lapangan dengan masyarakat biasanya tenaga kesehatan tidak
bisa bekerja sendiri, karena berbagai faktor seperti budaya, kebiasaan, persepsi masyarakat
ikut menentukan keberhasilan program kesehatan. Pada tiap program kesehatan kriteria
“acceptable, affordable, applicable dan efektive” merupakan persyaratan dan indikator
penting agar tujuan akhir yaitu keberhasilan keberlanjutan (sustainable) program bisa
dijamin. Tidak mengherankan bahwa dalam banyak hal, pelaksanaan CBPR diperlukan
tim peneliti multidisiplin dan metoda penelitian epidemiologi yang bervariasi. Misalnya
penelitian kualitatif yang difokuskan pada Why, What, dan How dalam menjawab
pertanyaan penelitian, sedangkan penelitian kuantitatif fakus pada besarnya masalah.

669
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Penelitian kualitatif lebih banyak dipakai dibidang ilmu-ilmu sosial, dan Ilmu Kedokteran
lebih mengunakan metoda kuantitatif. Di bidang kesehatan masyarakat, karena tujuan
utamanya adalah perubahan perilaku (changing behavior) maka penelitian komunitas
tidak jarang mengunakan kedua metoda kualitatif dan kuantitatif.

Siklus penelitian
Gambar 2, memperlihatkan siklus dasar penelitian participatori pengembangan program
disertai perbaikan berkelanjutan, dan bagaimana tahapan pelaksanaan penelitian akan
dijalankan,.
1. Perencanaan, pengembangan program dan kegiatan dan informasi yang diperlukan
2. Memulai kegiatan, Tahap ini memulai kegiatan pengembangan program termasuk
mengumpulkan informasi dari masyarakat, kelengkapan, pelatihan yang diperlukan
3. Cari tahu: apakah penelitian ini berdampak pada perubahan perilaku, apa pendapat
masyarakat mengenai hasil dan bagaimana dapat diperbaiki
4. Analisa data: hasil penelitian dikumpulkan dan perbaikan program kalau hasil tidak
masuk akal, persiapan laporan sebagai hasil penelitian.

Gambar 2. Siklus Penelitian;

Pelaksanaan penelitian Komunitas, sering merujuk ke pendekatan yang dikenal


sebagai siklus penelitian seperti yang terlihat pada gambar 2. (7)
Sementara model penelitiannya sendiri lebih digolongkan sebagai model Action
research, yaitu penelitian pengembangan model yang dilaksanakan dengan ujicoba yang
dinamis dan cyclical, dan terus dievaluasi dan didisain ulang untuk memperoleh model
yang paling baik dan sesuai dengan kebutuhan.(4). Action Reseach biasanya dilakukan
secara kolaboratif antara peneliti dengan mitranya dari kelompok masyarakat yang
menjadi sasaran/responden penelitian.

670 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel


Beberapa manfaat dari CBPR: (2, 8)
•• Pengembangan kepercayaan meningkatkan kualitas dan kuantitas data.
•• Moves beyond definite approaches.
•• Memperbaiki arah dan tujuan penelitian
•• Meningkatkan penerapan dan sustainabilitas hasil penelitian.
•• Meningkatan taraf kesehatan, pendidikan dan ekonomi masyarakat dengan berbagi
pengalaman, informasi dan pengetahuan dari proyek penelitian.
(1) Developing a sound infrastructure and set of processes for making decisions and
working together, (2) building trust among partners, (3) garnering committed and active
leadership from community partners, and (4) receiving support from CDC. (8)
CBPR mempunyai manfaat lain, yaitu di bidang pengembangan program yang
lebih sering dikembangkan Top-down, Program seperti ini masih memerlukan penelitian
tambahan apakah program tadi juga mencapai sasaran (di komunitas). Banyak hambatan
perlu dilalui untuk bisa dikatakan berhasil, dimulai dari distribusi, transportasi, pelatihan,
pendampingan, supervisi dan evaluasi. Bisa dimengerti bahwa tidak semua program Top-
down bisa berhasil dan berdampak pada kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Berbeda
dengan program bottom-up, yang dikembangkan atas dasar kebutuhan masyarakat akan
lebih sustainable.
Satu program untuk menjadi kebijakan masih memerlukan suatu tahap lagi yaitu
advokasi dan sosialiasi hasil penelitian. Inilah perjalanan suatu penelitian komunitas
untuk bisa menjadi kebijakan regional atau nasional. Hingga saat ini sangat sedikit hasil
penelitian perguruan tinggi yang diterima dan menjadi kebijakan pemerintah.

Penutup / Kesimpulan
Peneltitian berbasis Komunitas (CBR) dibidang Ilmu Kesehatan Masyarakat juga dikenal
sebagai Penelitian Partipasitori Berbasis Komunitas (CBPR). Prinsip dan sifat sama tetapi
lebih ditekankan pada kerja-sama dengan masyarakat.
CBPR bukan satu metoda penelitian tetapi merupakan satu strategi pendekatan.
Melibatkan aktif masyarakat sejak perencanaan, pelaksanaan dan ikut merasanakan
manfaat penelitian merupakan salah satu tujuan CBPR. Pendekatan ini juga penting
sebagai alternatif pengembangan program Top-down - yang tidak jarang kurang efektif dan
kurang mencapai sasaran. CBPR juga dianggap sebagai alternatif perencanaan program
yang sifatnya Bottom-up.
Pelaksanaan CBPR dibidang Ilmu Kesehatan Anak masih kurang diterapkan,
penelitiannya masih lebih banyak difokuskan pada penelitian dasar dan biomedik.
Meskipun menghadapi banyak kendala yang berkaitan dengan keondisi, sifat
dan budaya masyarakat, CBPR mempunyai banyak keuntungan dan manfaat seperti:
(1) Program pelayanan kesehatan akan lebih diterima masyarakat dan sustainable, (2)

671
Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVII
Hubungan kemitraan antara peneliti dan masyarakat berlangsung lebih lama, (3) Hasil
penelitian bisa menjadi usulan kepada pemerintah dan menjadi kebijakan pemerintah,
kabupaten, provinsi ataupun nasional, jadi bermanfaat bagi lebih banyak masyarakat dan
mendukung SDG yang memerlukan data hasil penelitian lapangan dan bukan data klinik.

Daftar pustaka
1. Eileen Ferrance, Action Research, Brown University
2. Liam R, Fallon, Frederik L, Tyson Allen Deartry, Successful Models of Community Participa-
ry Research. Final report. National Institute of Health.
3. Barbara Israel, Amy I. Schulz., Edith A. Parker, Ann Becker. Community Based Participary
Research: Engaging Communities as Partners in Health Research, 4th Annual Conference, 2000
Washnton DC.
4. Prof. Dr. Dede Rosyada, M. Community Based Research CBR) Salah Satu Model Penelitian
Akademik.
5. Janet Weinrt, Jasmone A. McDonald, Three Models of Community- based Participatory Re-
search.Centre for Community Based Research: principles.
6. Lawrence W. Green, DrPH, and Shawna L. Mercer, PhD, Can Public Health Researchers and
Agencies Reconcile (settle) the Push from Funding Bodies and the Pull From Communities?
7. June Lennie, Jo Tacchi, Michael Wilmore and Andrew Skuse February 2011, Community
Researcher Manual, Equal Access Participatory Monitoring and Evaluation toolkit..
8. Lantz, P.M., Viruell-Fuentes, E., Israel, B.A. Can communities and academia work together on
public health research? Evaluation results from a community-based participatory research partner-
ship in Detroit, . J Urban Health 2001

672 Kumpulan Makalah Lengkap Paralel

Anda mungkin juga menyukai