Anda di halaman 1dari 26

REKOMENDASI

IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA

Pendekatan Diagnosis dan Tata Laksana


Masalah Makan pada Batita
di Indonesia

UKK NUTRISI DAN PENYAKIT METABOLIK


2014
Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia:
Pendekatan Diagnosis dan Tata Laksana
Masalah Makan pada Batita di Indonesia

Hak Cipta Dilindungi Undang-undang


Dilarang memperbanyak, mencetak, dan menerbitkan sebagian atau seluruh
isi buku ini dengan cara dan bentuk apapun juga tanpa seijin penulis dan
penerbit.

Disusun oleh:
Unit Kerja Koordinasi Nutrisi dan Penyakit Metabolik
Ikatan Dokter Anak Indonesia

Diterbitkan pertama kali tahun 2014


Cetakan Pertama
Tim Penyusun
UKK Nutrisi dan Penyakit Metabolik
Ikatan Dokter Anak Indonesia

Damayanti Rusli Sjarif


Klara Yuliarti
Tiangsa Sembiring
Gustina Lubis
Julius Anzar
Titis Prawitasari
Endang Dewi Lestari
Maria Mexitalia
Neti Nurani
Nur AisiyahWidjaja
Anik Puryatni
I Gusti Lanang Sidiartha
Aidah Juliaty Baso

iii
iv
Sambutan
Pengurus Pusat
Ikatan Dokter Anak Indonesia

Salam sejahtera dari Ikatan Dokter Anak Indonesia

Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (PP IDAI) mengucapkan


selamat kepada Unit Kerja Koordinasi (UKK) Nutrisi dan Penyakit Metabolik
IDAI, khususnya tim peneliti multisenter Masalah Makan pada Anak Usia
1 sampai 3 Tahun di Indonesia, atas segala kerja keras dalam pelaksanaan
penelitian dan penyusunan Rekomendasi ini.
Nutrisi merupakan aspek penting dalam pertumbuhan dan
perkembangan seorang anak. Nutrisi optimal akan mendukung tumbuh
kembang anak yang optimal. Dalam upaya memenuhi kebutuhan nutrisi
seorang anak, sering didapatkan masalah makan yang meliputi jenis
makanan dan perilaku makan. Luasnya variasi masalah makan dengan
etiologinya yang kompleks dan multifaktorial menyebabkan variasi yang luas
dalam tata laksana masalah makan. Bila tidak ditata laksana dengan benar,
masalah makan dalam jangka panjang akan menyebabkan penurunan status
gizi yang selanjutnya berdampak jangka panjang terhadap pertumbuhan dan
perkembangan seorang anak.
UKK Nutrisi dan Penyakit Metabolik berusaha mengidentifikasi secara
komprehensif penyebab masalah makan pada bawah tiga tahun (batita) di
Indonesia. Hal ini penting karena rekomendasi klasifikasi dan manajemen
masalah makan di luar negeri tidak dapat serta merta diterapkan di Indonesia.
Rekomendasi ini disusun berdasarkan jerih payah penelitian multisenter
masalah makan batita yang telah dimulai sejak tahun 2010. Oleh karena
itu, sudah sepantasnya IDAI mengucapkan terima kasih kepada tim peneliti
untuk upaya dan hasil yang diperolehnya.

v
Rekomendasi yang dikeluarkan IDAI diharapkan dapat memberikan
penyamaan persepsi tentang berbagai masalah kesehatan anak kepada semua
anggota IDAI dan praktisi kesehatan anak lainnya. Diharapkan dengan
rekomendasi ini kesimpangsiuran mengenai penatalaksanaan masalah
makan dapat diluruskan.

Dr. Badriul Hegar, Ph.D, SpA(K)


Ketua Umum

vi
Kata Pengantar

Puji Syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas berkat dan
rahmatNyalah Rekomendasi Pendekatan Diagnosis dan Tata Laksana Masalah
Makan pada Anak usia 1 sampai 3 Tahun dapat diselesaikan. Terimakasih
kepada seluruh anggota Unit Kerja Koordinasi (UKK) Nutrisi dan Penyakit
Metabolik IDAI yang telah bekerja keras menyusun rekomendasi ini.
Semua dokter anak dalam prakteknya pernah mendapat pasien
yang dikeluhkan oleh orangtuanya memiliki masalah makan, baik berupa
makan sedikit, makan lama, dan pilih-pilih makan. Masalah makan dapat
mengganggu asupan nutrisi dan status nutrisi. Selanjutnya, gizi kurang
atau gizi buruk berisiko mengakibatkan dampak jangka panjang terhadap
perkembangan serorang anak. Makan dan pemberian makan merupakan
aktivitas yang dipengaruhi faktor budaya, sosio-ekonomi dan tingkat
pendidikan, sehingga penatalaksanaan masalah makan merupakan hal yang
spesifik untuk tiap negara, bahkan antar suku dalam satu negara. Oleh
karena itu, UKK Nutrisi dan Penyakit Metabolik IDAI pada tahun 2012
melakukan penelitian multisenter masalah makan pada bawah tiga tahun
(batita) di 11 kota di Indonesia, yaitu Padang, Medan, Palembang, Jakarta,
Semarang, Solo, Yogyakarta, Surabaya, Bali, Malang, dan Makasar dalam
upaya menyusun rekomendasi masalah makan yang berbasis bukti dan
dapat diterapkan di Indonesia.
Hasil penelitian multisenter masalah makan pada batita menunjukkan
bahwa pengetahuan orangtua mengenai makanan yang tepat untuk usia (age-
appropriate food) dan perilaku makan yang benar masih rendah, sehingga
menyebabkan praktek pemberian makan yang tidak tepat (inappropriate
feeding practice). Masalah makan lain yang didapatkan dari penelitian ini
adalah small eaters, parental misperception, dan food preference. Pendidikan
mengenai pemberian makan pada batita perlu diberikan sejak masa bayi
sebagai upaya pencegahan terjadinya masalah makan.

vii
Rekomendasi ini dilengkapi dengan algoritme praktis diagnosis dan
tata laksana masalah makan pada batita untuk menuntun pola berpikir
seorang dokter anak yang mendapat pasien dengan masalah makan. Kami
menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam pembuatan rekomendasi
ini. Untuk itu kami mohon kritik dan saran untuk perbaikan lebih lanjut.
Semoga Rekomendasi ini bermanfaat sesuai dengan harapan.

Penyusun

viii
Daftar Isi

Tim Penyusun ..........................................................................................iii


Sambutan Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia ......................... v
Kata Pengantar ........................................................................................ vii
Daftar Singkatan ....................................................................................... x

1. Latar belakang.................................................................................... 1
Penjelasan algoritma .......................................................................... 4
1.1. Red flag (tanda bahaya) yang harus dievaluasi dan ditangani pada
setiap keluhan masalah makan ................................................ 4
1.2. Status Nutrisi .......................................................................... 5
1.3. Feeding rules............................................................................. 5
2. Tata laksana ....................................................................................... 6
2.1. Inappropriate feeding practice ..................................................... 6
2.2. Small eaters................................................................................ 7
2.3. Food preference ........................................................................ 10
2.4. Parental misperception .............................................................. 12
3. Tata laksana multidisiplin ............................................................... 13
Daftar Pustaka ......................................................................................... 14

ix
Daftar Singkatan

ASI : Air Susu Ibu


BB : Berat Badan
FSMP : Foods for Special Medical Purposes
IDAI : Ikatan Dokter Anak Indonesia
IMT : Indeks Massa Tubuh
KGB : Kelenjar Getah Bening
kkal : kilo kalori
MP-ASI : Makanan Pendamping – Air Susu Ibu
ng : nanogram
ONS : Oral Nutrition Supplement
SD : Standar Deviasi
TB : Tinggi Badan
PB : Panjang Badan
WHO : World Health Organization

x
1. Latar belakang
Pemberian makan merupakan bagian penting dari kehidupan bayi dan anak
di bawah tiga tahun (batita) dan sebagian besar interaksi orangtua dan anak
terjadi pada saat pemberian makan.1 Pemberian makan pada bayi dan batita
dianggap sebagai proses yang natural, namun demikian, 50-60% orangtua
melaporkan bahwa anak mereka mengalami masalah makan. Setelah
dievaluasi lebih lanjut, didapatkan bahwa anak yang memang memiliki
masalah makan adalah 20-30% dan hanya 1-2% mengalami masalah
makan yang serius dan berkepanjangan.1 Sedangkan, pada anak dengan
gangguan neurologis, prevalensi masalah makan lebih tinggi, yaitu sekitar
80%.2 Prevalensi masalah makan yang bervariasi disebabkan oleh variasi
terminologi dan klasifikasi yang digunakan. Studi di Chicago melaporkan
bahwa masalah perilaku makan yang paling sering dijumpai pada bayi
adalah tidak selalu lapar pada saat makan (33%), sedangkan masalah
perilaku makan pada batita meliputi tidak selalu lapar saat jam makan
(52%), mencoba mengakhiri makan setelah beberapa suapan (42%), “picky
eating” (35%), dan kuatnya preferensi makanan tertentu (33%). Batita picky
eaters makan lebih lambat dibandingkan yang bukan picky eaters (23,3 menit
vs 19,7 menit, p<.04).3 Studi di New Zealand melaporkan 24% anak usia 2
tahun memiliki masalah makan4 dan the Gateshead Millenium Baby Study
di Inggris melaporkan 20% orangtua menganggap batita mereka mengalami
masalah makan, terutama hanya mau makanan tertentu (17%) dan memilih
minuman dibandingkan makanan (13%).5
Masalah makan berdampak buruk terhadap kesehatan anak, seperti
gangguan pertumbuhan, rentan terhadap infeksi, dan bahkan kematian.6
Selain itu, masalah makan berpotensi menyebabkan gangguan kognitif
dan perilaku, serta dikaitkan dengan gangguan cemas dan kelainan makan
(eating disorder) pada anak, remaja, dan dewasa muda.7 Satu bukti ilmiah
melaporkan bahwa hanya 50% ibu yang menyatakan bahwa nasihat dari
dokter anak memecahkan masalah makan pada anak mereka yang berusia
1-6 tahun.8 Oleh karena itu, sangatlah penting bagi seorang dokter anak
untuk memahami, mampu mengidentifikasi serta menangani masalah
makan secara dini.
Penyebab masalah makan sangat bervariasi sehingga memunculkan
berbagai klasifikasi masalah makan dengan kelebihan dan keterbatasan

Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia 1


masing-masing. Berdasarkan Diagnosis of State and Mental Disorders-IV
(DSM-IV), masalah makan diklasifikasikan dalam tiga kelompok, yaitu
feeding disorder of infancy or early childhood, pika, dan ruminasi.9 Bonnin
membagi masalah makan berdasarkan tiga penyebab, yaitu abnormalitas
struktural, kelainan neurodevelopmental, dan masalah perilaku makan.10
Chatoor mengklasifikasikan kesulitan makan menjadi enam kelompok
dan lebih menekankan pada masalah perilaku makan,11 sedangkan Kerzner
membagi masalah makan mejadi empat kelompok besar, yaitu limited
appettite, highly selective intake, colic, dan fear of feeding.12
Berbagai klasifikasi masalah makan yang tumpang tindih menyulitkan
dokter maupun dokter anak untuk menerapkan klasifikasi tersebut dalam
penanganan masalah makan di praktek. Klasifikasi masalah makan ini pun
dapat berbeda antar negara karena perbedaan latar belakang budaya, tingkat
pendidikan, dan sosio-ekonomi. Untuk mendiagnosis dan menangani
masalah makan dengan benar dibutuhkan klasifikasi yang sesuai dengan
negara, serta pendekatan diagnosis dan tata laksana yang praktis.
Penelitian pendahuluan di Jakarta, Indonesia pada tahun 2011
menunjukkan bahwa inappropriate feeding practice merupakan salah satu
penyebab masalah makan yang bermakna (30%) pada anak usia 1-3 tahun.13
Inappropriate feeding practice didefinisikan sebagai perilaku makan yang
salah, yaitu tidak mengikuti feeding rules atau pemberian makanan yang tidak
sesuai usia. Praktek pemberian makan yang salah, meliputi jenis makanan
dan perilaku makan, berkontribusi besar terhadap terjadinya inappropriate
feeding practice. Praktek pemberian makan yang salah sering kali sudah
terjadi sejak periode penyapihan, yaitu saat dimulainya pemberian makanan
pendamping ASI (MPASI).14 Periode penyapihan merupakan periode
penting untuk mengenalkan makanan dan melatih kemampuan oromotor
agar anak dapat mengonsumsi makanan keluarga.15
Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan ini, dilakukan penelitian
nasional multisenter yang melibatkan 1116 anak usia 1-3 tahun dari 11
propinsi di Indonesia yang mengalami masalah makan atau berat badan.
Hasilnya didapatkan bahwa terdapat tiga temuan utama yang menjadi acuan
penegakan diagnosis, yaitu keluhan orangtua, status gizi, dan penerapan
feeding rules. Berdasarkan tiga temuan utama ini, masalah makan dapat
diklasifikasikan menjadi inappropriate feeding practice, small eaters,
dan parental misperception. Inappropriate feeding practice dapat terjadi

2 Pendekatan Diagnosis dan Tata Laksana Masalah Makan pada Batita di Indonesia
Algoritma pendekatan diagnosis dan
tata laksana masalah makan


Keluhanmasalah Elaborasidantatalaksana
 makan redflags



Gizikurang Gizibaik




Feedingrulesbenar Feedingrulessalah Feedingrulessalah Feedingrulesbenar


Smalleaters Inappropriatefeedingpractice ParentalMisperception


 Edukasifeedingrules danpenerapanAsuhanNutrisi
PediatrikÆPemantauansetelah1Ͳ2minggu


 Penerapanfeedingrules Penerapanfeedingrules
benar salah



Beratbadannaik Beratbadan tetap/
 turun


Primer(Kurang Sekunder
 pengetahuan)


Kuantitatif Kualitatif
Smalleaters Foodpreference



Picky Selective
 eater eater


Feedingrules Feedingrules
 Systematic introduction of Reassurance of
Highcaloriefood, Feedingrules Highcaloriefood,
include ONS include ONS new food Feedingrules


*Asuhan Nutrisi Pediatrik diterapkan pada semua pasien secara simultan dengan pendekatan tata laksana
masalah makan

**ONS, Oral Nutrition Supplement

3
primer karena kurangnya pengetahuan orangtua mengenai pemberian
makan yang benar atau sekunder sebagai respons terhadap small eaters,
parental misperception, dan food preference.16 Ketidakmampuan orangtua
untuk memberi makan secara benar dapat mengakibatkan masalah makan.
Ketidakmampuan ini dapat disebabkan karena kurangnya pengetahuan
mengenai empat aspek cara pemberian makan yang benar, yaitu (1) tepat
waktu, (2) kuantitas dan kualitas makanan, (3) penyiapan dan penyajian
yang higienis, serta (4) pemberian makan yang sesuai dengan tahapan
perkembangan anak dengan menerapkan feeding rules.6,15
Berdasarkan hasil penelitian nasional multisenter “Identifikasi dan
Klasifikasi Masalah Makan pada Anak Usia 1-3 Tahun di Indonesia” yang
dilakukan tahun 2012, maka UKK Nutrisi dan Penyakit Metabolik IDAI
menyusun rekomendasi Pendekatan Diagnosis dan Tata Laksana Masalah
Makan.

Penjelasan algoritma
1.1. Red flag (tanda bahaya) yang harus dievaluasi dan di-
tangani pada setiap keluhan masalah makan:10,12,17
Terdapat manifestasi klinis tertentu merupakan tanda bahaya yang harus
dievaluasi dan ditangani secara komprehensif oleh ahli yang kompeten dan
simultan pada setiap keluhan masalah makan, yaitu:
1. Kelainan struktural
- Abnormalitas naso-orofaring: atresia koana, bibir sumbing,
sekuens Pierre Robin, makroglosia, ankiloglosia
- Abnormalitas laring dan trakea: laryngeal cleft, kista laring, stenosis
subglotis, laringo-trakeomalasia
- Abnormalitas esofagus: fistula trakeoesofageal, atresia/stenosis
esofagus, striktur esofagus, cincin vaskular
2. Kelainan neurodevelopmental, misalnya:
- Palsi serebral
- Malformasi Arnold-Chiari
- Meningomielokel
- Disautonomia familial

4 Pendekatan Diagnosis dan Tata Laksana Masalah Makan pada Batita di Indonesia
- Distrofi muskular
- Miastenia gravis
- Distrofi okulofaringeal
3. Tanda dan gejala yang mengindikasikan adanya masalah medis yang
mendasari masalah makan, antara lain:
- Muntah/regurgitasi berulang
- Posisi Sandifer (back arching)
- Diare berulang / diare kronik / diare berdarah
- Batuk lebih dari 2 minggu atau batuk lebih dari 3 episode dalam
kurun waktu 3 bulan
- Tampak kesakitan/menangis/menjengking saat diberi makan
- Pucat
- Demam yang tidak diketahui penyebabnya selama 2 minggu
- Pembesaran kelenjar getah bening (KGB) leher/inguinal/aksila
- Sesak saat minum

1.2. Status Nutrisi


Status nutrisi untuk anak usia 1-3 tahun ditentukan berdasarkan kurva berat
badan menurut panjang/tinggi badan WHO 2006.18

Tabel 1. Interpretasi status nutrisi berdasarkan kurva WHO 200618


BB/TB Z-score Interpretasi
>+3 SD Obese (Obesitas) Æ hitung dan plot IMT
Diagnosis obesitas ditegakkan berdasarkan kurva IMT
>(+2 SD) sampai (+3 SD) Overweight (Gizi lebih) Æ hitung dan plot IMT
Diagnosis gizi lebih ditegakkan berdasarkan kurva IMT
>(+1 SD) sampai (+2 SD) At risk of overweight
(+2 SD) sampai (-2 SD) Normal (Gizi baik/cukup)
<(-2 SD) sampai (-3 SD) Wasted (Gizi kurang)
<(-3 SD) Severely wasted (Gizi buruk)

IMT, Indeks Massa Tubuh

Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia 5


1.3. Feeding rules
Feeding rules adalah aturan dasar pemberian makan, tercantum pada Tabel 2.
Tabel 2. Feeding rules (Aturan pemberian makan)10,19
Jadwal Ada jadwal makanan utama dan makanan selingan (snack) yang
teratur, yaitu tiga kali makanan utama dan dua kali makanan kecil di
antaranya. Susu dapat diberikan dua – tiga kali sehari.
Waktu makan tidak boleh lebih dari 30 menit
Hanya boleh mengonsumsi air putih di antara waktu makan
Lingkungan Lingkungan yang menyenangkan (tidak boleh ada paksaan untuk
makan)
Tidak ada distraksi (mainan, televisi, perangkat permainan elek-
tronik) saat makan
Jangan memberikan makanan sebagai hadiah
Prosedur Dorong anak untuk makan sendiri
Bila anak menunjukkan tanda tidak mau makan (mengatupkan
mulut, memalingkan kepala, menangis), tawarkan kembali makanan
secara netral, yaitu tanpa membujuk ataupun memaksa. Bila setelah
10-15 menit anak tetap tidak mau makan, akhiri proses makan.

Sumber: Bernard-Bonnin10, Benoit19

2. Tata laksana
2.1. Inappropriate feeding practice
Inappropriate feeding practice adalah masalah makan yang disebabkan
oleh perilaku makan yang salah ataupun pemberian makanan yang tidak
sesuai dengan usia. Penyebab inappropriate feeding practice perlu ditelusuri
lebih lanjut, primer ataukah sekunder. Inappropriate feeding practice primer
disebabkan karena kurangnya pengetahuan orangtua mengenai empat aspek
cara pemberian makan yang benar, yaitu (1) tepat waktu, (2) kuantitas dan
kualitas makanan, (3) penyiapan dan penyajian yang higienis, serta (4)
pemberian makan yang sesuai dengan tahapan perkembangan anak dengan
menerapkan feeding rules.10,15
Penatalaksanaan inappropriate feeding practice adalah edukasi feeding
rules yang benar (Tabel 2) sebagai bagian dari penerapan asuhan nutrisi
pediatrik. Perlu diberikan edukasi mengenai pemberian makanan sesuai
usia (age-appropriate food) serta kualitas dan kuantitas makanan. Pemberian

6 Pendekatan Diagnosis dan Tata Laksana Masalah Makan pada Batita di Indonesia
makanan sesuai usia mencakup aspek tekstur dan rasio makanan padat dan
cair.20 Beberapa orangtua mengeluhkan anak tidak mampu mengonsumsi
makanan dengan tekstur yang sesuai dengan usianya, misalnya anak usia 1
tahun hanya mampu mengonsumsi makanan lumat atau diblender. Pada
anak sehat dengan perkembangan normal, hal ini umumnya terkait dengan
kurangnya latihan oromotor pada periode kritis, yaitu usia 6-12 bulan.14,20
Rasio makanan padat dan cair juga harus diperhatikan, untuk anak usia
1 tahun, dianjurkan makanan padat sebanyak 70% dan makanan dalam
bentuk cair (susu) sebanyak 30% dari total kebutuhan kalori dalam sehari.20
Kualitas dan kuantitas makanan juga perlu dievaluasi. Kuantitas
makanan yang cukup akan menghasilkan status gizi yang baik, namun tidak
otomatis menyatakan kualitas makanan yang baik. Sebagai contoh, pada
anak dengan gizi baik terdapat 10% anak yang mengalami defisiensi besi
(feritin serum <10 ng/mL).16 Kualitas makanan dinilai dari kelengkapan
konsumsi empat kelompok utama makanan, yaitu (1) karbohidrat, (2)
protein, (3) sayur dan buah, dan (4) susu. Konsumsi makanan yang tidak
seimbang berisiko menyebabkan defisiensi makronutrien atau mikronutrien
tertentu.20

2.2. Small eaters


Small eaters adalah terminologi yang dipakai untuk anak dengan keluhan
makan sedikit, status gizi kurang, dan feeding rules benar. Literatur lain
menggunakan terminologi infantile anorexia,11 vigorous child with little
interest in feeding.12 Menurut Chatoor, anak yang termasuk dalam kelompok
ini memiliki respons otonomik yang berbeda. Onset penolakan makan
umumnya terjadi pada saat transisi ke makanan pendamping ASI atau makan
mandiri, yaitu pada usia 6 bulan sampai 3 tahun.11 Anak yang termasuk small
eaters adalah anak aktif, perkembangan normal, seringkali lebih tertarik pada
lingkungan dibandingkan makanan, dan tidak memiliki masalah medis yang
mendasari. Orangtua yang memiliki anak dengan masalah ini umumnya
menjadi cemas dan mengompensasi makan yang sedikit dengan pemberian
camilan, yang justru menurunkan selera terhadap makanan utama dan pada
akhirnya menyebabkan orangtua memaksa anak makan. Bila small eaters
tidak ditangani dengan benar, anak dapat mengalami gagal tumbuh.
Tata laksana ditujukan untuk meningkatkan nafsu makan dengan

Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia 7


menciptakan rasa lapar, sehingga anak dapat menikmati makan. Ini dapat
dicapai dengan penerapan feeding rules, yaitu adanya jadwal makan yang
terstruktur dan teratur sehingga menciptakan rasa lapar dan kenyang.
Walaupun anak hanya makan sedikit, perlu diingatkan agar orangtua tidak
tergoda untuk menawarkan makanan maupun susu di luar jadwalnya. Air
putih diperbolehkan sesudah makan atau di antara jam makan. Orangtua
juga disarankan agar mengurangi seminimal mungkin distraksi selama
proses pemberian makan dan memberikan hukuman yang konsisten untuk
memperbaiki perilaku yang merusak. Distraksi dapat berupa televisi,
mainan, perangkat permainan elektronik, dan lain-lain.
Anak dengan small eaters berisiko mengalami gagal tumbuh karena
asupan yang kurang. Oleh karena itu, pertumbuhan harus dipantau berkala
dan berat badan harus naik sesuai grafik pertumbuhan. Untuk menangani
gagal tumbuh pada kelompok ini, dibutuhkan peningkatan densitas energi
dan nutrien yang dapat dicapai dengan beberapa cara. Koletzko dan Doukopil
menyarankan pendekatan berikut secara berurutan untuk meningkatkan
densitas energi:20 (1) analisis diet, kebutuhan kalori, dan masalah makan; (2)
konseling individu mengenai asupan diet dan praktek pemberian makan;
(3) tawarkan makanan utama dan camilan lebih sering; (4) peningkatan
kalori makanan rumah atau formula dengan polimer glukosa dan/atau
lemak dalam bentuk minyak, mentega, santan, atau susu; (5) penggunaan
suplemen nutrisi oral (ONS, Oral Nutrition Supplement); (6) pemberian
nutrisi enteral; (7) pemberian nutrisi parenteral.
Makanan yang dianjurkan untuk anak usia 1-3 tahun terdiri dari
makanan keluarga berupa makanan padat dan ASI/susu dengan rasio 70%
makanan padat dan 30% ASI/susu.21 Perhitungan kebutuhan kalori total
dilakukan berdasarkan rekomendasi asuhan nutrisi pediatrik IDAI.22 Susu
formula untuk anak usia 1-3 tahun dikelompokkan sebagai susu formula
pertumbuhan dan komposisinya diatur oleh Codex Standard for Follow-
up Formula (Codex 1987).23 Susu formula untuk anak usia 6-36 bulan
memiliki kalori 60-85 kkal/100 mL.23
Suplemen nutrisi oral (ONS) didefinisikan sebagai suplemen asupan
oral yang digunakan berdasarkan tujuan medis khusus sebagai tambahan
makanan normal. Sinonim untuk ONS adalah sip feeds.24 Menurut regulasi
the European Union Commission Directive 1992/21/EC tertanggal 25 Maret
1999, ONS diklasifikasikan sebagai nutrisi enteral.25 Terminologi nutrisi

8 Pendekatan Diagnosis dan Tata Laksana Masalah Makan pada Batita di Indonesia
enteral mencakup semua bentuk dukungan nutrisi yang menggunakan
makanan untuk keperluan medis khusus, tanpa memandang rute pemberian,
artinya dapat diberikan lewat sonde (enteral) maupun oral.24,26 Produk yang
tersedia untuk anak dapat berupa kemasan cair siap minum atau bubuk yang
harus dilarutkan dengan air sebelum diberikan. Komposisi nutrien untuk
nutrisi enteral harus disesuaikan dengan usia. Densitas energi standar untuk
formula enteral adalah 0,9-1,2 kkal/mL.26 Formula dengan densitas energi
tersebut sesuai digunakan untuk memenuhi kebutuhan batita small eater
tanpa membutuhkan forced feeding, karena batita small eater hanya dapat
mengonsumsi makanan dalam jumlah kecil. Formula dengan densitas energi
tinggi (>1,2 kkal/mL) berguna untuk anak dengan peningkatan kebutuhan
energi.24,26
Menurut Codex Standard for the Labelling and Claims for Foods for Special
Medical Purposes, Codex-STAN 180-1991, foods for special medical purposes
(FSMP) dikategorikan sebagai makanan untuk keperluan diet khusus yang
diproses atau diformulasi secara khusus dan digunakan untuk manajemen
diet pasien dan hanya digunakan di bawah pengawasan dokter. Pengiklanan
produk untuk publik harus dilarang.27 Penggunaan ONS harus di bawah
pengawasan dokter yang mengetahui indikasi pemberian, memastikan
pasien mendapatkan dosis serta cara pemberian yang benar (diresepkan),
memantau akseptabilitas, toleransi dan efektivitas, serta menghentikan
penggunaan ONS bila sudah tidak diperlukan lagi.
Suatu studi di Irlandia menunjukkan bahwa peresepan ONS
meningkat dalam empat tahun terakhir, namun dokter yang meresepkan
tidak melakukan kajian nutrisi komprehensif pada pasien. Studi tersebut juga
menemukan bahwa edukasi yang diberikan dokter kepada pasien malnutrisi
sangat terbatas, baik dalam hal diet maupun edukasi berkaitan dengan
ONS yang diresepkan.28 Jumlah pemberian ONS harus dihitung dengan
menerapkan asuhan nutrisi pediatrik untuk memastikan jumlah pemberian
tepat sehingga efektif namun di sisi lain juga tidak kurang atau berlebihan.25
Harus diingat bahwa tujuan akhir adalah anak dapat makan normal sesuai
usia (age-appropriate food), yaitu untuk anak 1-3 tahun berupa makanan
padat 70% dan susu atau makanan cair 30%.21 Bila menggunakan ONS 1
mL/kkal, maka maksimal penggunaan untuk anak usia 1-3 tahun berkisar
300-400 mL per hari. Penelitian multisenter masalah makan pada batita di
Indonesia menunjukkan sebanyak 115 dari 605 (24%) batita mengonsumsi

Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia 9


susu lebih dari 500 mL/hari, berupa susu formula dan ONS.16 Pemberian
ONS dengan densitas 1 kkal/ml tanpa pengawasan dokter berisiko
menyebabkan obesitas, karena penelitian Evi dan Sjarif (2007) pada anak
obesitas menunjukkan bahwa pemberian susu formula bayi (dengan densitas
energi yang lebih rendah 0,6-0,72 kkal/ml) sudah merupakan faktor risiko
obesitas dengan adjusted odds ratio 1,71 (interval kepercayaan 95% 1,04-
2,82) dengan attributable risk 25,7.29 Perlu diperhatikan bahwa persentase
obesitas pada anak usia 2-5 tahun di Indonesia yang dianalisis berdasarkan
data Riskesdas dengan kriteria Indeks Massa Tubuh lebih dari persentil 95
(kurva CDC-NCHS 2000) meningkat dari 12,8% (2007) menjadi 19,9%
(2010).30

2.3. Food preference


Terminologi food preference mencakup keluhan pilih-pilih makan atau
penolakan terhadap makanan tertentu. Terdapat gradasi yang cukup luas
dalam hal food preference. Anak normal dapat mengalami neofobia dalam
fase perkembangannya, yaitu penolakan terhadap makanan baru.31 Dovey
menyatakan bahwa terminologi ini berasal dari teori Rozin’s omnivore’s
dilemma, yaitu suatu proses yang digambarkan sebagai mekanisme evolusi
survival yang menguntungkan untuk membantu anak menghindari
konsumsi substansi beracun saat sang anak sudah memiliki kemampuan
mobilitas dan memilih makanannya sendiri tanpa pengawasan orangtua.32
Terdapat argumentasi mengenai onset usia terjadinya food neophobia.
Beberapa literatur menyatakan food neophobia mulai terjadi pada usia 1-3
tahun dan mencapai puncak pada usia 2-6 tahun.32-35 Perilaku ini menurun
seiring bertambahnya usia dan relatif stabil pada titik terendah pada usia
dewasa.36
Mennella melaporkan bahwa paparan terhadap rasa sudah terjadi
melalui cairan amnion in utero atau melalui ASI.37 Neofobia yang
merupakan fase normal dalam perkembangan seorang anak dapat berlanjut
menjadi penolakan berkepanjangan dan konsisten terhadap makanan
tertentu sehingga menimbulkan masalah makan berupa food preference, yang
memiliki spektrum mulai dari picky eater sampai selective eater.32,33
Picky eater umumnya didefinisikan sebagai anak yang mau mengonsumsi
berbagai jenis makanan baik yang sudah maupun belum dikenalnya tetapi

10 Pendekatan Diagnosis dan Tata Laksana Masalah Makan pada Batita di Indonesia
menolak mengonsumsinya dalam jumlah yang cukup.38-40 Selain kuantitas
makanan yang tidak adekuat,41 picky eating juga mencakup masalah rasa
dan tekstur makanan. Sedangkan food neophobia adalah terminologi yang
menyatakan penolakan terhadap jenis makanan yang belum dikenal. Pada
dasarnya, picky eater dibedakan dari food neophobia melalui novelty makanan
(apakah makanan tersebut baru bagi sang anak).32
Pada rekomendasi ini, food preference dikelompokkan menjadi dua
berdasarkan kelengkapan kelompok makanan yang dikonsumsi, yaitu picky
eater dan selective eater. Picky eater didefinisikan sebagai anak yang menolak
makanan tertentu atau pilih-pilih makan, namun masih mengonsumsi
minimal satu macam dari setiap kelompok makanan, yaitu karbohidrat,
protein, sayur/buah, dan susu, sedangkan selective eater adalah anak yang
menolak semua jenis makanan dalam kelompok makanan tertentu, misalnya
menolak semua makanan sumber protein.32, 42 Picky eater masih merupakan
fase normal dalam perkembangan seorang anak, sedangkan selective eater
merupakan food preference yang patologis karena menyebabkan hilangnya
asupan salah satu dari keempat kelompok makanan sehingga anak berisiko
mengalami defisiensi makronutrien atau mikronutrien tertentu.40 Selective
eater umumnya terjadi pada anak dengan gangguan perkembangan tertentu,
misalnya autistic spectrum disorder, posttraumatic feeding disorder, gangguan
menelan, keterlambatan oromotor, dan kelainan gastrointestinal.42
Faktor yang memengaruhi terjadinya food neophobia dan food preference
antara lain paparan makanan pada usia dini, tekanan dalam proses makan,
tipe kepribadian, parental feeding styles, dan pengaruh lingkungan.32 Intervensi
perilaku berupa pengenalan makanan baru sejak usia dini merupakan salah
satu upaya pencegahan picky eater.32 Tata laksana picky eater maupun selective
eater adalah mengatasi ketidaksukaan terhadap makanan dengan pengenalan
sistematik terhadap makanan baru (systematic introduction of new food),
menggunakan prinsip berikut:
1. Sajikan makanan dalam porsi kecil10,19
2. Pilihan makanan orangtua akan memengaruhi menu yang disajikan
bagi anak.43 Oleh karena itu, perlu diperhatikan agar orangtua me-
nyajikan berbagai jenis makanan walaupun makanan tersebut bukan
kesukaan orangtua.
3. Paparkan anak terhadap makanan baru sebanyak 10-15 kali.32 Peneli-
tian menunjukkan 10 atau lebih paparan dibutuhkan untuk mening-

Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia 11


katkan penerimaan terhadap makanan pada anak usia 2 tahun, sedang-
kan untuk anak usia 4-5 tahun dibutuhkan 8 sampai 15 kali paparan.44
Untuk pengenalan awal, makanan dapat disajikan di piring orangtua.
4. Sajikan makanan di meja pada jarak yang terjangkau oleh anak, tanpa
menawarkan ke anak. Batita umumnya lebih tertarik mencoba makan-
an baru bila mereka memegang kendali, namun bila mereka diminta
atau disuruh memakan sesuatu, maka umumnya mereka secara spon-
tan akan menolak.
5. Orangtua memberikan contoh makan yang menyenangkan tanpa
menawarkan makanan sampai ketakutan anak menghilang dan anak
mengekspresikan ketertarikan pada makanan. Semakin banyak orang
di sekitar anak yang makan makanan serupa, maka anak akan makin
tertarik.
6. Jika paparan terhadap makanan menyebabkan anak ingin muntah atau
bahkan muntah, hentikan makanan tersebut dan cobalah makanan
yang lebih mendekati makanan yang disukai anak.
7. Campurlah sedikit makanan baru dengan makanan yang sudah disu-
kai anak dan perlahan-lahan tingkatkan proporsi makanan baru (food
chaining).
8. Orangtua harus tetap bersikap dan berpikir netral dan tenang dalam
menyikapi asupan makanan anak.
Salah satu metode pengenalan makanan secara sistematik adalah
food chaining, yaitu suatu program pemberian makanan yang dirancang
secara individual, bertujuan meningkatkan khasanah makanan dengan
menekankan pada gambaran yang sama (rasa, suhu, penampilan, dan
tekstur) antara makanan yang telah diterima dan makanan yang ditargetkan
untuk diberikan. Sebagai contoh, pemberian modifikasi olahan kentang
memungkinkan progresivitas dari french fries ke pai ayam.45 Penelitian Cox
pada 10 anak usia 1-14 tahun dengan food selectivity ekstrim menunjukkan
bahwa food chaining selama tiga bulan dapat meningkatkan penerimaan
makanan secara bermakna.45

2.4. Parental misperception


Parental misperception didefinisikan sebagai anak yang menurut pendapat
orangtua memiliki masalah makan, namun setelah dianamnesis lebih lanjut

12 Pendekatan Diagnosis dan Tata Laksana Masalah Makan pada Batita di Indonesia
orangtua/pengasuh sudah menerapkan feeding rules dengan benar dan anak
memiliki status gizi baik. Pada kasus ini, diberikan reassurance dan apresiasi
pada orangtua bahwa status gizi anak sudah baik dan orangtua sudah
menerapkan feeding rules dengan benar.

3. Tata laksana multidisiplin


Keberhasilan tata laksana masalah makan bergantung pada derajat masalah
makan dan kerjasama keluarga dengan tim dokter. Keluarga yang dimaksud
mencakup orangtua dan seluruh anggota keluarga yang terlibat dalam proses
pemberian makan dan pengasuhan anak.6
Untuk masalah makan yang berat, dibutuhkan tim multidisiplin
yang terdiri dari dokter anak sebagai ketua tim, dokter spesialis kedokteran
fisik dan rehabilitasi, dokter spesialis kedokteran jiwa yang berpengalaman
menangani masalah makan pada anak, dan dietisien anak. Masalah medis
yang mendasari masalah makan juga harus ditangani dengan benar.

Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia 13


Daftar Pustaka
1. Lindberg L, Bahlin G, Hagekull S. Early feeding problems in a normal
population. Int J Eat Disord 1991;10:395-405.
2. Reilly SM, Skuse DH, Wolke D, et al. Oral-motor dysfunction in children who
fail to thrive: Organic or non-organic? Dev Med Child Neurol 1999;4:115-
122.
3. Reau NR, Senturia YD, Lebailly SA, Christoffel KK, the Pediatric Practice
Research Group. Infant and toddler feeding patterns and problems: normative
data and a new direction. J Dev Behav Pediatr. 1996;17:149-53.
4. Beautrais A, Fergusson D, Shannon F. Family life events and behavioral
problems in preschool-aged children. Pediatrics. 1982;70:774–9.
5. Wright CM, Parkinson KN, Shipton D, Drewett RF. How do toddler eating
problems relate to their eating behavior, food preferences, and growth?
Pediatrics. 2007;120;e1069-75.
6. Manikam R, Perman JA. Pediatric feeding disorders. J Clin Gastroenterol.
2000;30:34-46.
7. Marchi M, Cohen P. Early childhood eating behaviors and adolescent eating
disorder. J Am Acad Child Adolesc Psychiatry 1990;29:112-7.
8. Jin X, et al. Chinese J Child Health Care. 2009;17:387-92
9. Bryant-Waugh R, Markham L, Kreipe RE, Walsh BT. Feeding and eating
disorders in childhood. Int J Eat Disord. 2010;43:98-111.
10. Bernard-Bonnin AC. Feeding problems of infants and toddlers. Can Fam
Physician 2006;52:1247-51.
11. Chatoor I. Diagnosis and treatment of feeding disorders in infants, toddlers,
and young children. Washington: Zero to Three; 2009.
12. Kerzner B. Clinical investigation of feeding difficulties in young children: a
practical approach. Clin Pediatr. 2009;48:960-5.
13. Masalah makan pada batita. Penelitian pendahuluan. Sjarif DR. UKK Nutrisi
dan Penyakit Metabolik, Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2011. [unpublished]
14. WHO. Global strategy for infant and young child feeding. Geneva: World
Health Organization; 2003.
15. Sullivan SA, Birch LL. Infant dietary experience and acceptance of solid foods.
Pediatrics 1994;93:271-7.
16. Sjarif DR, Yuliarti K, Lubis G, Sembiring T, Anzar J, Prawitasari T, dkk.
Identifikasi dan klasifikasi masalah makan pada anak usia 1 sampai 3 tahun di
Indonesia [Dalam proses publikasi].

14 Pendekatan Diagnosis dan Tata Laksana Masalah Makan pada Batita di Indonesia
17. Rahajoe NN, Basir D, Makmuri MS, Kartasasmita C. Pedoman nasional
tuberkulosis anak. Edisi ke-2. Jakarta: UKK Respirologi PP Ikatan Dokter
Anak Indonesia; 2007. Bab 3. Hal. 41.
18. WHO Multicentre Growth Reference Study Group. Complementary feeding
in the WHO Multicentre Growth Reference Study. Acta Pædiatrica. 2006;
S450:27-37.
19. Benoit D, Art-Rodas D. Feeding problems in infancy and early childhood:
Identification and management. Paediatr Child Health. 1998;3:21-7.
20. Koletzko B, Dokoupil K. Increasing dietary energy and nutrient supply. Dalam:
Koletzko B, editor. Pediatric Nutrition in Practice. Basel: Karger; 2008. h.296-7
21. Dewey KG. Nutrition, growth, and complementary feeding of the breastfed
infant. Ped Clin North Am. 2001;48:87-104.
22. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Rekomendasi Asuhan Nutrisi Pediatrik. Jakarta:
Badan Penerbit IDAI; 2012.
23. Codex STAN 156-1987. Codex Standard for Follow-up Formula.
24. Loch H, Allison SP, Meier R, Pirlich M, Kondrup J, St. Schneider, van den
Bergh G, et al. Introductory to the ESPEN Guidelines on enteral Nutrition:
Terminology, definitions and general topics. Clin Nutr. 2006;25:180-6.
25. EFSA. Commission Directive 1999/21/EC of 25 March 1999 on dietary foods
for special medical purposes.
26. Braegger C, Decsi T, Dias JA, Hartman C, Kolacek S. Koletzko S, et al.
Practical approach to pediatric enteral nutrition: a comment by the ESPGHAN
Committee on Nutrition. J Pediatr Gastroenterol Nutr 2010;51:110-22.
27. Codex STAN 180-1991. Codex standard for the labelling of and claims for
foods for special medical purposes.
28. Loane D, Flanagan G, deSiún A. Nutrition in the Community – an exploration
study of oral nutritional supplements in a health board area in Ireland. J Hum
Nutr Dietet. 2004;17: 257-66.
29. Evi T. Sjarif DR. Risk factors for childhood obesity. Jakarta: Universitas
Indonesia, 2007. [Tesis]
30. Sjarif DR. Prevalens obesitas pada balita di Indonesia tahun 2007 dan 2010
menggunakan kurva WHO 2006 dan CDC-NCHS 2000. Kuliah mahasiswa
FKUI Obesitas pada Anak dan Remaja, 2011.
31. Birch LL, Fisher JO. Development of eating behavious among children and
adolescents. Pediatrics. 1998;101:539-49
32. Dovey TM, Staples PA, Gibson EL, Halford JCG. Food neophobia and ‘picky/
fussy’ eating in childen: a review. Appetite. 2008;50:181-93

Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia 15


33. Birch LL. Development of food preferences. Annu Rev Nutr. 1999;19:41–62
34. Addessi E, Galloway AT, Visalberghi E, Birch LL. Specific social influences on
the acceptance of novel foods in 2–5-year old children. Appetite. 2005;45:264–
71
35. Cooke LJ, Wardle J, Gibson EL. Relationship between parental report of food
neophobia and everyday food consumption in 2–6-year-old children. Appetite.
2003;41:205–6.
36. McFarlane T, Pliner P. Increased willingness to taste novel foods: Effects of
nutrition and taste information. Appetite. 1997;28:227–38.
37. Mennella JA. Development of food preferences: Lessons learned from
longitudinal and experimental studies. Food Qual Prefer. 2006;17:635–7
38. Pliner P. Development of measures of food neophobia in children. Appetite.
1994;23:147–63
39. Galloway AT, Fiorito LM, Lee Y, Birch, LL. Parental pressure, dietary patterns
and weight status among girls who are ‘‘picky/fussy’ eaters’. J Am Diet Assoc.
2005;105:541–8.
40. Galloway AT, Lee Y, Birch LL. Predictors and consequences of food neophobia
and pickiness in young girls. J Am Diet Assoc. 2003;103:692-8.
41. Rydell AM, Dahl, M, Sundelin C. Characteristics of school children who are
choosy eaters. J Genet Psychol. 1995;156:217–29.
42. Picky eating vs. selective eating disorder. Diunduh dari www.mealtimehostage.
com tanggal 25 Januari 2014.
43. Skinner JD, Carruth BR, Wounds B, Ziegler PJ. Children’s food preferences: a
longitudinal analysis. J Am Diet Assoc. 2002;102:1638-47.
44. Birch LL, Marlin DW. I don’t like it-I’ve never tried it: Effects of exposure on
two-year-old children’s food preferences. Appetite. 1982;3:353-60.
45. Cox SY, Fraker C, Walbert L, Fishbein M. Food chaining: a systematic approach
for the treatment of children with eating aversion. J Pediatr Gastroenterol Nutr.
2004;39:S51

16 Pendekatan Diagnosis dan Tata Laksana Masalah Makan pada Batita di Indonesia

Anda mungkin juga menyukai