ISBN: 978-602-71594-5-7
Diterbitkan oleh
Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung
Jl. Pasteur No. 38 Bandung 40161
Telp. & Faks. 0222035957; E-mail: dikarshs@yahoo.com
Anak adalah investasi masa depan yang perlu dijaga dan dipersiapkan potensinya dari
sejak dini. Oleh karena itu, Ilmu Kesehatan Anak memiliki tujuan untuk dapat
mengembangkan potensi dari setiap anak sampai semaksimal mungkin. Ilmu
kedokteran sendiri selalu berkembang dari masa ke masa dan menghasilkan ilmu
pengetahuan baru, baik dari sisi etiologi penyakit, pemeriksaan maupun tata
laksananya. Long life study menjadi suatu kewajiban yang harus diterapkan bagi semua
pihak, terutama para dokter dan tenaga kesehatan. Seorang spesialis anak wajib
mempelajari secara berkesinambungan setiap pembaharuan yang terjadi dalam ilmu
pengetahuan kedokteran demi meningkatkan kualitas penanganan pasien terutama
dalam era jaminan kesehatan nasional BPJS sekarang ini.
Kegiatan dalam Pendidikan Ilmu Kedokteran Berkelanjutan kali ini berupa kuliah
umum, simposium, dan workshop. Proceeding book ini memuat semua materi yang
disampaikan pada kuliah umum PIKAB XIII yang bertujuan agar peserta dokter dan
dokter spesialis anak dapat meningkatkan kemampuan dan keahliannya dalam
menghadapi dan menangani masalah kesehatan anak.
Di dalam proses penyusunannya, buku ini tentu tidak luput dari berbagai kesalahan,
namun kami mengharapkan hal tersebut tidak akan mengurangi makna buku ini. Kami
berharap buku ini bermanfaat dan dapat menjadi rujukan sejawat sekalian dalam
praktik sehari-hari. Akhir kata, selamat mengikuti kegiatan Pendidikan Ilmu
Kedokteran Anak Berkelanjutan.
Ketua Panitia,
Ilmu kedokteran adalah ilmu yang selalu berkembang dari masa ke masa dan
menghasilkan penemuan baru baik dari sisi etiologi penyakit maupun pengobatannya.
Dalam praktik sehari-hari dokter dan dokter spesialis anak diharapkan selalu dapat
meningkatkan kompetensi dalam keilmuan dan keahlian seiring dengan ilmu
kedokteran yang selalu berkembang. Untuk dapat mencapai tujuan tersebut, dokter
dan dokter spesialis anak dituntut untuk mengikuti perkembangan muktahir dalam
bidang Ilmu Kesehatan Anak. Tantangan global yang dihadapi oleh dokter anak
Indonesia adalah berlakunya masyarakat ekonomi ASEAN sejak tahun 2015 sehingga
kualitas dokter anak Indonesia harus ditingkatkan agar memiliki daya saing yang tinggi.
Saat ini Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK Unpad/RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung
menyelenggarakan acara PIKAB XIII dengan mengambil tema "Improving Knowledge
and Skill in Pediatric Health Care". Para dokter spesialis anak diharapkan dapat selalu
meningkatkan keilmuan mereka dalam praktik sehari-hari sehingga dapat memberikan
pelayanan kesehatan yang berkualitas dan bermutu.
Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih kepada para pembicara dan penghargaan
kepada panitia penyelenggara serta semua pihak yang telah membantu dan
memberikan dukungan sehingga PIKAB XIII dapat terlaksana dengan baik.
Seksi Ilmiah
Koordinator Dr. Sri Endah Rahayuningsih, dr., Sp.A(K)
Anggota Prof. Herry Garna, dr., Sp.A(K., Ph.D
Sri Sudarwati, dr., Sp.A(K)
Rd. Reni Ghrahani, dr., Sp.A(K), MKes.
Rahmat Budi Kuswiyanto, dr., Sp.A(K), MKes.
Novina, dr., Sp.A, MKes.
Yudith Setiati Ermaya, dr., Sp.A, MKes.
Nur Melani Sari, dr., Sp.A, MKes.
Seksi Dana
Koordinator Dr. Nelly Amalia Risan, dr., Sp.A(K)
Anggota Prof. Cissy B. Kartasasmita, dr., Sp.A(K), MSc., Ph.D
Prof. Dr. Sjarief Hidajat Effendi, dr., Sp.A(K)
Prof. Dr. Kusnandi Rusmil, dr., Sp.A(K), MM
Prof. Dr. Budi Setiabudiawan, dr., Sp.A(K), MKes.
Viramitha Kusnandi Rusmil, dr., Sp.A, MKes.
Seksi Pameran Stanza Uga Peryoga, dr., Sp.A, MKes.
Prof. Alex Chairulfatah, dr., Sp.A(K) Prof. Dr. Heda Melinda N. Nataprawira, dr.,
Divisi Infeksi dan Penyakit Tropis Sp.A(K), MKes.
Divisi Respirologi
Prof. Dr. Budi Setiabudiawan, dr., Sp.A(K), Rahmat Budi Kuswiyanto, dr., Sp.A(K),
MKes. MKes.
Divisi Alergi dan Imunologi Divisi Kardiologi
Prof. Cissy B. Kartasasmita, dr., Sp.A(K), Rd. Reni Ghrahani, dr., Sp.A(K), MKes.
MSc., Ph.D Divisi Alergi dan Imunologi
Divisi Respirologi
Dr. Djatnika Setiabudi, dr., Sp.A(K)., Dr. Sri Endah Rahayuningsih, dr., Sp.A(K)
MCTM(Trop.Ped.) Divisi Kardiologi
Divisi Infeksi dan Penyakit Tropis
Dr. Dwi Prasetyo, dr., SpA(K)., MKes. Yudith Setiati Ermaya, dr., Sp.A, MKes.
Divisi Gastroenterohepatologi Divisi Gastroenterohepatologi
WORKSHOP
Alergi Imunologi : Henoch Schonlein Purpura Management
Endokrinologi : Skrining Hipotiroid Kongenital
Gastrohepatologi : Cholestatic Jaundice
Infeksi & Penyakit Tropis : Common Problems of Infectious Disease in
Outpatient Care
Kardiologi : Screening for Critical Congenital Heart Diseases in
Newborn
Respirologi : Asma pada Anak
WORKSHOP
Alergi Imunologi : Cows Milk Allergy Prevention and Management
Endokrinologi Neonatologi : Neonatal Hypoglicemia Management
Gastrohepatologi : Recurrent Abdominal Pain: Diagnostic and
Management
Infeksi & Penyakit Tropis : Common Problem in Infectious Disease in
Outpatients
Kardiologi : Screening for Critical Congenital Heart Diseases in
Newborn
Respirologi : Tuberculosis Update: the Role of Pediatrician in
Ambulatory Care Setting
Pendahuluan
Penyakit jantung bawaan (PJB) kritis merupakan bagian dari penyakit jantung bawaan
yang menyebabkan gejala yang berat dan mengancam jiwa yang memerlukan
intervensi dalam tahun pertama kehidupan.1
Insidensi penyakit jantung bawaan di Amerika Serikat dan Eropa berkisar antara 7
hingga 9 kasus tiap 1.000 kelahiran hidup. Dua puluh lima hingga 30% di antaranya
merupakan penyakit jantung bawaan kritis. Penyakit jantung bawaan merupakan
penyebab kematian terbanyak pada tahun pertama kehidupan dengan prevalensi 3%
dari total kematian pada bayi dan lebih dari 40% total kematian akibat malformasi
kongenital.1
Angka kelahiran di Indonesia menurut profil kependudukan dan pembangunan
BKKBN tahun 2013 adalah 4.242.300 jiwa,2 dengan insidensi PJB sebesar 810%
kelahiran hidup maka jumlah penderita PJB Indonesia tahun 2013 diperkirakan sekitar
339.384 hingga 424.230 kasus. Angka kelahiran di Jawa Barat pada tahun 2013
menurut Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat sebesar 850.000 kelahiran tiap tahun 3
sehingga diperkirakan terdapat 68.000 hingga 85.000 kasus PJB tiap tahunnya di Jawa
Barat. Dengan perkiraan prevalensi PJB kritis sebesar 25% dari seluruh PJB maka dapat
diperkirakan pevalensi PJB kritis di Indonesia sebesar 84.846 hingga 106.057 kasus
pada tahun 2013, sementara di Jawa Barat sekitar 17.00021.250 kasus tiap tahunnya.
Angka kematian akibat PJB kritis di Amerika Serikat mencapai 29% dari seluruh
kematian akibat kelainan kongenital dan sekitar 5,7% seluruh kematian pada bayi. 4 Di
Eropa Barat prevalensinya 45% dari seluruh kematian yang disebabkan oleh kelainan
kongenital, sementara di Amerika Latin, Amerika Utara, Eropa Timur, dan Asia Pasifik
(termasuk Jepang) proporsinya sekitar 35%, 37%, 42%, dan 48%. 5
Penyakit jantung bawaan kritis memiliki onset gejala dan derajat keparahan yang
beragam. Gejala dapat timbul beberapa jam, hari bahkan minggu setelah kelahiran
Sirkulasi Janin
Terdapat perbedaan antara sirkulasi janin dan sirkulasi dewasa dalam beberapa hal.
Hampir keseluruhan perbedaan terkait pada perbedaan lokasi pertukaran gas. Pada
sirkulasi dewasa pertukaran gas terjadi di paru-paru, sedangkan pada janin pertukaran
gas dan nutrisi terjadi di plasenta.6
Terdapat empat pirau pada sirkulasi janin, yaitu plasenta, duktus venosus, foramen
ovale, dan duktus arteriosus. Hal-hal yang perlu diketahui pada sirkulasi janin. 6
1. Plasenta menerima darah terbanyak dari keluaran ventrikel (55% dari kiri dan
kanan) dan memiliki tahanan terendah pada janin.
Klasifikasi
Penderita PJB kritis dapat dibagi dalam 4 kelompok:7,8
1. PJB kritis dengan sirkulasi pulmonal yang kurang (inadequate pulmonary blood
flow)/ductal dependent pulmonary circulation/right sided obtructive lesions
Pada PJB ini aliran pembuluh darah paru untuk oksigenasi disediakan oleh sirkulasi
sistemik (aorta) melalui duktus arteriosus (yang berasal dari aorta ke arteri
pulmonalis). Lesi ini biasanya disertai dengan sianosis berat. Contoh lesi PJB pada
kelompok ini antara lain:
- tetralogy of Fallot (TOF) dengan atresia pulmonal;
- atresia pulmonal;
- atresia pulmonal dengan septum ventrikular intak;
- stenosis pulmonal berat;
- Ebsteins anomaly berat;
- transposition of great arteries (TGA) komplet dengan septum ventrikular intak.
2. PJB kritis dengan sirkulasi sistemik yang kurang (inadequate systemic blood
flow)/ductal dependent systemic circulation/left sided obtructive lesions
Pada PJB ini output sistemik disediakan oleh sistem arteri pulmonalis melalui
duktus arteriosus (mengalir dari arteri pulmonalis utama ke aorta). Lesi ini biasanya
bergejala hipotensi sistemik, syok, atau kolaps seiring dengan penutupan duktus
ateriosus setelah proses kelahiran. Kelompok ini adalah:
- hypoplastic left heart syndrome (HLHS);
- stenosis aorta berat;
- koarktasio aorta;
- interrupted aortic arch (IAA).
I. Tetralogy of Fallot
Tetralogy of Fallot (TOF) merupakan kelainan jantung bawaan sianotik yang pada
umumnya terdiri atas 4 kelainan: defek septum ventrikel (VSD) perimembran, aorta
overriding terhadap VSD, stenosis pulmonalis infundibular dengan atau tanpa
stenosis valvar atau supravalvar, dan hipertrofi ventrikel kanan (Gambar 2).6,11
Peran Pemeriksaan Saturasi Oksigen pada Deteksi Dini Penyakit Jantung Bawaan
Kritis
Deteksi dini dengan oksimetri tidak memerlukan waktu lama, kemampuan teknis
maupun harga yang mahal sehingga dapat digunakan sebagai alat deteksi dini yang
Pemeriksaan ulang
<90% pada kaki 90-<95% atau 95% atau perbedaan
atau tangan perbedaan kaki dan kaki dan tangan kanan
kanan tangan kanan >3% 1%
Pemeriksaan ulang
Positif Negatif
Gambar 9 Algoritme Skrining Penyakit Jantung Bawaan Kritis dengan Oksimetri pada
Bayi Baru Lahir
Ringkasan
Penyakit jantung bawaan (PJB) kritis merupakan bagian dari penyakit jantung bawaan
yang menyebabkan gejala yang berat dan mengancam jiwa serta memerlukan
intervensi dalam tahun pertama kehidupan. Penyakit jantung bawaan kritis mencakup
7 kelainan primer yang menjadi target utama untuk deteksi dini dengan oksimetri
karena hampir selalu menyebabkan hipoksemia.
Penyebab kesakitan dan kematian pada anak PJB kritis adalah ketidakstabilan
hemodinamik yang terjadi sebelum sempat dilakukan intervensi paliatif atau definitif.
Deteksi dini dengan oksimetri pada neonatus secara dramatis mengurangi morbiditas
Daftar Pustaka
1. Knapp AA, Matterville DR, Kemper AR, Prosser L, Perrin JM. Evidence review:
critical congenital cyanotic heart disease. Dalam: Perrin J, penyunting. Critical
congenital heart disease final draft. Massachusetts: MGH Center for Child and
Adolescent Health; 2010. hlm. 141.
2. BKKBN. Profile Kependudukan dan Pembangunan Indonesia. Jakarta: BKKBN;
2013.
3. Putra Y. 850 ribu bayi lahir di Jabar tiap tahun. Republika Online. 2013. [diunduh 9
November 2014]. Tersedia dari: http://www.republika.co.id/berita/nasional/jawa-
barat-nasional/13/10/18/muuwhx-850-ribu-bayi-lahir-di-jabar-tiap-tahun.
4. Schultz AH, Localio AR, Clark BJ, Ravishankar C, Videon N, Kimmel SE.
Epidemiologic features of the presentation of critical congenital heart disease:
implications for screening. Pediatrics. 2008;121(4):7517.
5. Sayasathid J, Sukonpan K, Somboonna N. Epidemiology and etiology of congenital
heart diseases. Dalam: Rao PS, penyunting. Congenital heart disease-selected
aspects. Rijeka, Croatia: InTech Europe; 2012. hlm. 4784.
6. Park MK. Pediatric cardiology for practitioners. Edisi ke-5. Philadelphia: Mosby
Elsevier; 2008.
7. Yun SW. Congenital heart disease in the newborn requiring early intervention.
Korean J Pediatr. 2011;54(5):18391.
Pendahuluan
Penyakit jantung bawaan (PJB) atau congenital heart disease (CHD) adalah kelainan
jantung akibat gangguan pertumbuhan dan perkembangan jantung pada masa janin
yang terbawa sampai lahir. PJB merupakan malaformasi bawaan terbanyak pada bayi
baru lahir dengan prevalensi 613 tiap 1.000 kelahiran hidup. Di Indonesia
diperkirakan 50.000 bayi baru lahir dengan PJB setiap tahun. PJB merupakan penyebab
utama kematian perinatal dan bayi akibat kelainan bawaan lahir, walaupun saat ini
luaran mengalami perbaikan dengan kemajuan intervensi terapi, baik bersifat paliatif
atau korektif.1,2
PJB kritis (critical CHD) dengan proporsi 25% dari seluruh PJB adalah PJB yang
membutuhkan intervensi transkateter atau bedah dalam tahun pertama kehidupan,
termasuk di dalamnya PJB bergantung pada duktus dan PJB sianosis yang tidak
bergantung pada duktus. PJB sianosis (cyanotic CHD) adalah PJB dengan lesi yang
menyebabkan pencampuran sirkulasi darah tidak teroksigenasi/miskin oksigen
(deoxygenated blood) ke dalam sirkulasi sistemik melalui pirau intrakardiak atau
ekstrakardiak. PJB bergantung pada duktus (ductal-dependent CHD) adalah PJB dengan
lesi dengan pasokan darah sistemik atau paru atau pencampuran darah kaya oksigen
dengan darah miskin oksigen antara sirkulasi paralel bergantung pada terbukanya
duktus arteriosus. Penutupan duktus akan menyebabkan kematian.3
PJB kritis yang terlambat didiagnosis merupakan penyebab kesakitan dan kematian
pada bayi. Bayi dengan PJB kritis dapat memperlihatkan manifestasi klinis segera
setelah lahir dengan keadaan sakit yang berat dan mengancam jiwa yang memerlukan
intervensi cepat, tetapi dapat pula terlihat normal sampai saat dipulangkan. Hal ini
disebabkan oleh perbedaan bentuk lesi dan perubahan sirkulasi transisi yang terjadi.
Sianosis
Sianosis merupakan tanda penting untuk PJB kritis akibat peningkatan deoxygenated
hemoglobin ke dalam sirkulasi sistemik walaupun secara klinis sering kali tidak tampak
bila desaturasi bersifat ringan atau pada bayi dengan anemia. Sianosis pada PJB
bersifat sentral karena terjadi pencampuran sirkulasi darah tidak teroksigenasi
(deoxygenated blood) ke dalam sirkulasi sistemik melalui pirau intrakardiak atau
ekstrakardiak. Pencampuran ini dapat terjadi pada tingkat arterial, atrial, dan
ventrikular. Pencampuran darah miskin oksigen ke dalam sirkulasi sistemik disertai
penurunan aliran darah paru terjadi pada pulmonary atresia, tetralogy of Fallot, dan
tricuspid atresia. Pada bayi dengan obstruksi saluran keluar ventrikel kanan, aliran
darah paru akan dipasok dari aorta melalui duktus arteriosus sehingga penutupan
duktus menyebabkan perburukan klinis seperti asidosis metabolik, syok, henti jantung,
kejang, kerusakan organ tubuh lain, bahkan kematian. Kehidupan bayi dengan sirkulasi
paru dan sistemik yang paralel seperti pada transposisi arteri besar bergantung pada
pencampuran darah kaya dan miskin oksigen di tingkat ventrikel, atrial, dan arterial.
Duktus yang terbuka memungkinkan terjadi pencampuran sirkulasi darah kaya oksigen
dengan sirkulasi darah miskin oksigen di tingkat arterial. Pencampuran yang tidak
adekuat menyebabkan sianosis, hipoksemia, asidosis, gagal organ, dan kematian.
Sianosis perifer sering terjadi pada bayi baru lahir yang terlihat pada tangan, kaki,
dan daerah perioral, sedangkan sianosis sentral dapat terlihat pada lidah, gusi serta
mukosa bukal, dan lebih terlihat saat menangis atau minum. Dibanding dengan anak
besar, sianosis pada bayi baru lahir sering kali tidak tampak secara klinis, terutama bila
Murmur
Murmur sering kali dihubungkan dengan PJB, tetapi tidak semua PJB disertai murmur
dan bayi dengan murmur tidak selalu disertai dengan kelainan struktur jantung yang
berat. Sampai saat ini murmur pada bayi baru lahir sering disalahartikan sebagai tanda
kelainan jantung yang harus segera dirujuk. Murmur saja tanpa sianosis, perfusi yang
menurun atau takipnea bukan merupakan tanda PJB kritis dan tidak perlu segera
dirujuk. Murmur dapat ditemukan pada bayi normal tanpa kelainan jantung, tetapi
tidak ditemukan pada 50% bayi dengan kelainan jantung simtomatis dan kritis
sehingga murmur mempunyai nilai yang tidak signifikan untuk menilai PJB kritis dan
hanya memerlukan evaluasi ulang untuk menentukan kelainan yang mendasarinya.
Pemahaman perubahan sirkulasi dan hemodinamik yang terjadi secara alamiah pada
bayi lahir akan memengaruhi presentasi klinis. Murmur terdengar makin jelas setelah
bayi berusia 48 minggu pada saat tahanan vaskular paru sudah menurun. Kecepatan
turbulensi darah tidak cukup untuk menimbulkan murmur seperti pada hypoplastic left
heart syndrome (HLHS), transposition of the great artery (TGA), total anomalous
pulmonary venous drainage (TAPVD), pulmonary atresia, dan kardiomiopati.
Peningkatan resistensi vaskular paru mengurangi aliran darah sehingga jumlah dan
kecepatan darah yang melewati tidak cukup untuk sampai terdengar pada auskultasi
sebagai murmur.
Pemeriksaan
pulse oximetry
Ulangi
pemeriksaan
dalam 1 jam
Ulangi
pemeriksaan
dalam 1 jam
POSITIF/GAGAL NEGATIF/LOLOS
Ringkasan
Penyakit jantung bawaan (PJB) merupakan kelainan bawaan paling banyak pada bayi
baru lahir. PJB kritis adalah PJB dengan lesi yang membutuhkan pembedahan atau
intervensi kateter dalam tahun pertama kehidupan dengan proporsi 25% dari seluruh
bayi baru lahir dengan PJB, serta merupakan penyebab kesakitan dan kematian pada
bayi bila terlambat didiagnosis. Peningkatan deteksi dini PJB kritis pada bayi dapat
dilakukan dengan identifikasi faktor risiko, pemeriksaan fisis untuk mencari tanda
utama sianosis, gangguan perfusi dengan pemeriksaan pulsasi arteri tungkai bawah,
takipnea, serta gangguan pertumbuhan dan murmur pada bayi yang berusia satu
bulan atau lebih. Pemeriksaan pulse oximetry yang melengkapi pemeriksaan fisis
dilakukan bila tidak didapatkan tanda-tanda utama PJB kritis. Identifikasi dini dan
rujukan yang tepat untuk PJB kritis secara tidak langsung dapat menurunkan angka
kematian bayi.
Cardinal Sign
Sianosis, Gangguan Perfusi, Takipnea
+
Rujuk/Evaluasi Lebih Lanjut Pulse Oximetry
Fail Pass
PULANG
Kontrol 1 minggu
Cardinal Sign
Sianosis, Gangguan Perfusi,
Takipnea, Murmur
RAWAT JALAN
+
Fail Pulse Oximetry
Cardinal Sign
+ Sianosis, Gangguan Perfusi,
Takipnea, Murmur,
Gangguan Pertumbuhan
Fail
Pulse Oximetry
Pass
Pendahuluan
Endokarditis infektif (EI) ialah peradangan pada selaput endotel yang melapisi jantung
atau katup jantung (endokardium) yang disebabkan oleh infeksi. Mikroorganisme
penyebab infeksi tersering adalah bakteri sehingga sering kali pembahasan tentang
endokarditis infektif ini sebenarnya yang dimaksud adalah endokarditis bakterialis.
Kejadian penyakit ini pada anak tidak sering, tetapi angka kematiannya masih cukup
tinggi sehingga kecurigaan terhadap penyakit ini perlu ditingkatkan agar dapat
melakukan tata laksana yang cepat dan tepat. Angka kejadian di berbagai negara
sangat bervariasi karena sangat bergantung kepada faktor risiko terjadi EI, khususnya
perbedaan insidensi dan jenis kelainan jantung, serta banyaknya operasi jantung yang
dilakukan. Menurut laporan di Amerika Serikat angka kejadian EI adalah 1 kasus
setiap 1.000 anak yang dirawat di rumah sakit.1
Sejalan dengan perkembangan dalam bidang kedokteran, khususnya dalam
penanganan anak dengan penyakit jantung bawaan (PJB) terjadi perubahan pola
penyebab EI. Pada masa lalu sebagai faktor risiko tersering adalah penyakit jantung
reumatik (PJR) dan sekarang mengalami perubahan, yaitu PJB menjadi yang lebih
sering, baik disebabkan oleh tindakan pembedahan maupun pemasangan katup
buatan.2,3 Menurut sebuah laporan diperkirakan sekitar 7590% EI pada anak
mempunyai kelainan jantung sebelumnya.4 Perubahan pola faktor risiko ini juga
mempunyai dampak terhadap pola kuman penyebab EI. Pemahaman etiologi EI
penting untuk pemilihan antimikrob yang akan diberikan, khususnya pada saat awal
sebagai terapi empirik (sebelum ada hasil biakan) dan bila hasil biakan kuman negatif.
Faktor Risiko
Beberapa keadaan atau kelainan/penyakit merupakan faktor risiko untuk terjadi EI.
Mengenali faktor risiko ini sangat penting sebagai langkah awal untuk kecurigaan
diagnosis EI pada anak yang memperlihatkan gejala atau sindrom yang sering
ditemukan pada EI. Beberapa faktor risiko juga mempunyai hubungan dengan
mikroorganisme penyebab EI sehingga sangat berguna untuk pemilihan antimikrob
awal sebagai terapi empirik sebelum ada hasil biakan darah atau pada keadaan EI
dengan hasil biakan negatif.
Beberapa faktor risiko tersebut antara lain sebagai berikut:
- penyakit jantung bawaan sianotik;
- pemasangan katup buatan/protesa;
- valvulopati pada anak dengan transplantasi jantung;
- riwayat endokarditis infektif (bakterial) sebelumnya;
- penyakit jantung reumatik;
- tindakan pemasangan akses vena sentral (khususnya neonatus);
- pengguna narkoba suntik (penasun)/intravenous drug user (IDU);
- neonatus dan keadaan imunokompromais.
Kriteria klinis:
2 kriteria mayor atau
1 kriteria mayor + 3 kriteria minor atau
5 kriteria minor
2. Posibel:
Tidak cukup untuk memenuhi diagnosis definitif, juga tidak termasuk dalam
klasifikasi yang ditolak (rejected), bila ditemukan 1 kriteria mayor + 1 kriteria minor
atau 3 kriteria minor.
3. Ditolak (rejected):
Dapat ditegakkan diagnosis alternatif untuk manifestasi klinis endokarditis
atau
manifestasi endokarditis menghilang setelah terapi antibiotik selama 4 hari
atau
tidak ditemukan bukti kelainan patologis EI pada saat tindakan pembedahan atau
autopsi dalam 4 hari pemberian antibiotik.
Etiologi
Etiologi EI sangat bervariasi bergantung pada faktor risiko atau predisposisi, apakah
ada atau tidak kelainan pada jantung, serta apakah infeksi terjadi di komunitas atau
merupakan infeksi rumah sakit.79 Pengetahuan mengenai etiologi EI sangat penting
terutama untuk pemberian antimikrob yang tepat. Selain itu, perbedaan
mikroorganisme penyebab juga dapat memberikan manifestasi klinis dan prognosis
yang berbeda pula.10
Mikroorganisme penyebab EI yang paling sering adalah bakteri kokus gram positif
seperti golongan streptokokus -hemolitikus (Streptococcus viridans), Staphylococcus
aureus, dan golongan stafilokokus koagulase-negatif (coagulase-negative staphylococci/
CONS). Pada saat ini S. aureus adalah penyebab tersering dan sering kali menimbulkan
keadaan yang gawat dengan angka kematian yang tinggi. Golongan enterokokus lebih
Penutup
Telah dibahas EI pada anak dengan tinjauan khusus mengenai etiologi dan tata laksana
pemberian antimikrob. Etiologi EI pada anak bergantung pada faktor risiko dan apakah
infeksi didapat di komunitas atau merupakan infeksi rumah sakit (health-care
associated infections/HAIs). Mengenali faktor risiko juga penting sebagai langkah awal
untuk menduga terjadi EI pada anak. Faktor risiko telah mengalami pergeseran dari
PJR kepada PJB. Selain bakteri sebagai penyebab tersering, perlu juga dipertimbangkan
jamur sebagai penyebab apabila terdapat faktor risiko khusus untuk infeksi jamur.
Terapi antimikrob empirik dapat diberikan sebelum ada hasil biakan (sedangkan
keadaan pasien dalam keadaan kritis), atau pada keadaan endokarditis dengan hasil
biakan negatif. Pemilihan antimikrob empirik didasarkan pada dugaan etiologi
tersering berdasarkan faktor risiko, terutama pada keadaan apakah katup jantung
alamiah atau katup buatan/protesa. Terapi antimikrob definitif harus ditujukan kepada
organisme penyebab EI dan disesuaikan dengan hasil uji kepekaannya. Lama
pemberian antimikrob umumnya 46 minggu bergantung pada etiologi, hasil uji
kepekaan, dan apakah katup alamiah atau katup buatan/protesa.
Daftar Pustaka
1. Pasquali SK, He X, Mohamad Z, McCrindle BW, Newburger JW, Li JS, dkk. Trends in
endocarditis hospitalizations at US children's hospitals: impact of the 2007
Asma merupakan penyakit inflamasi saluran pernapasan kronik yang sering pada anak.
Diperkirakan sebesar 14% anak di dunia pernah menunjukkan gejala asma dengan
kisaran prevalensi 1030%. Jumlah penderita asma di dunia adalah 334 juta orang
pada tahun 2014, meningkat dari total 235 juta pada tahun 2011.
Asma merupakan penyakit respiratori kronik yang heterogen dengan dasar
inflamasi kronik yang bervariasi luas dalam manifestasi klinis, mekanisme inflamasi,
patogenesis, dan perjalanan alamiah dengan banyak sekali faktor yang berperan.
Kejadian utama pada serangan asma akut adalah obstruksi saluran respiratori secara
luas yang disebabkan oleh kombinasi spasme otot polos bronkus, edema mukosa
karena inflamasi saluran respiratori, dan sumbatan mukus. Sumbatan tidak terjadi
secara merata di seluruh paru. Gejala utama asma adalah wheezing, namun tidak pada
semua penderita asma didapatkan wheezing. Gejala lain yang sering ditemukan adalah
sulit bernapas, sesak napas, dan batuk. Diagnosis asma pada anak tidak mudah, hal ini
sering kali mengakibatkan under-diagnosis dan under-treatment.
Tujuan pengobatan asma adalah untuk mencapai dan mempertahankan kontrol
dan menjamin tercapainya tumbuh kembang anak secara optimal. Obat asma dapat
dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever) dan obat pengendali
(controller). Dianjurkan sebaiknya obat asma diberikan secara inhalasi. Inhalasi dosis
terukur/metered-dose inhaler (MDI) dengan spacer merupakan pilihan utama untuk
anak di bawah usia 7 tahun karena memberikan kenyamanan kepada pasien, jumlah
obat yang mencapai paru lebih banyak, serta risiko dan efek samping minimal.
Tata laksana serangan asma ditujukan untuk mengatasi segera penyumbatan yang
terjadi, sedangkan tata laksana jangka panjang untuk mencegah agar anak terbebas
dari serangan asma.
Anamnesis
Keluhan mengi dan atau batuk berulang merupakan manifestasi klinis yang diterima
luas sebagai titik awal diagnosis asma. Gejala respiratori asma berupa kombinasi
batuk, wheezing, sesak napas, rasa dada tertekan, dan produksi sputum. Gejala
dengan karakteristik yang khas diperlukan untuk menegakkan diagnosis asma.
Karakteristik yang mengarah ke asma adalah gejala timbul secara episodik atau
berulang. Gejala timbul bila ada faktor pencetus misalnya iritan (asap rokok, asap
bakaran sampah, asap obat nyamuk, suhu dingin, udara kering, makanan minuman
dingin); alergen (debu, tungau debu rumah, rontokan hewan, serbuk sari); infeksi
respiratori; aktivitas fisik (lari, teriak, menangis, atau tertawa berlebihan). Sering kali
ada riwayat alergi pada pasien atau keluarganya.
Intensitas gejala dapat bervariasi dari waktu ke waktu, bahkan dalam 24 jam.
Biasanya gejala lebih berat pada malam hari (nokturnal). Gejala juga dapat membaik
secara spontan dengan atau dengan pemberian obat pereda asma.
Pemeriksaan Fisis
Sering kali pada pemeriksaan fisis pasien karena penyakitnya stabil tidak ditemukan
kelainan. Dalam keadaan sedang bergejala batuk atau sesak dapat terdengar
wheezing, baik yang terdengar langsung (audible wheeze) atau yang terdengar dengan
stetoskop. Perlu dicari gejala lain alergi pada pasien seperti dermatitis atopik atau
rinitis alergi. Dapat pula dijumpai tanda alergi seperti allergic shiners atau geographic
tongue.
Pada keadaan diagnosis sulit ditegakkan dan fasilitas tersedia, lakukan pemeriksaan
untuk mencari kemungkinan diagnosis banding, misalnya uji tuberkulin, foto sinus
paranasalis, foto toraks, uji refluks gastro-esofagus, uji keringat, uji gerakan silia, uji
defisiensi imun, CT-scan toraks, dan endoskopi respiratori (rinoskopi, laringoskopi,
bronkoskopi).
Tata laksana
sesuai
diagnosis
Tambah steroid
sistemik (35 hari)
Klasifikasi derajat kendali dipakai untuk menilai keberhasilan tata laksana yang
tengah dijalankan dan untuk penentuan peningkatan (step-up), pemeliharaan
(maintenance), atau penurunan (step-down) tata laksana yang akan diberikan.
Langkah 1:
Pasien pada kondisi terkendali hanya mengalami gejala ringan 2 kali/minggu dan di
antara serangan pasien tidak mengala mi gangguan tidur maupun aktivitas sehari- hari.
Pada saat ini pasien hanya mendapatkan obat pereda berupa bronkodilator 2-agonis
hirupan kerja pendek apabila mengalami serangan asma. Sebagai alternatif dapat
diberikan obat inhalasi antikolinergik, 2-agonis kerja pendek oral, teofilin oral.
Pengendalian asma dihubungkan dengan tingkat pemakaian obat pereda asma. Bila
pemakaian obat pereda asma melebihi dua kanister setiap bulannya, menandakan
anak memerlukan obat pengendali asma. Pada tata laksana jangka panjang langkah 2,
3, 4, dan 5 pemilihan obat dinilai berdasarkan pengurangan gejala asma, perbaikan
fungsi paru, dan penurunan frekuensi eksaserbasi asma. Pada pasien yang memiliki
faktor risiko dapat dipertimbangkan pemberian kortikosteroid inhalasi dosis rendah.1
Langkah 2:
Pasien mendapatkan obat pengendali asma berupa kortikosteroid inhalasi dosis
rendah atau antileukotrien. Antileukotrien diberikan pada pasien asma yang tidak
memungkinkan menggunakan kortikosteroid inhalasi atau pada pasien yang menderita
asma disertai rinitis alergi. Teofilin dan kromolin kurang disarankan karena efikasinya
lebih rendah dan lebih sering menimbulkan efek samping. 1
Langkah 3:
Pilihan utama pada langkah 3 untuk anak berusia di atas 5 tahun ialah kombinasi
steroidLABA. Alternatif lain adalah dengan menaikkan dosis steroid inhalasi pada
Langkah 4:
Pasien asma yang tidak berhasil dikendalikan pada langkah 3 sebaiknya dirujuk kepada
dokter spesialis respirologi anak untuk pemeriksaan lebih lanjut. Pada saat ini pasien
asma dikategorikan sebagai asma sulit (difficult-to-treat asthma). Pilihan pertama
pada langkah 4 ialah kombinasi steroid inhalasi dosis sedang-LABA atau kortikosteroid
inhalasi dosis tinggi. Menaikkan dosis steroid inhalasi dari dosis sedang ke dosis tinggi
hanya memberikan sedikit perbaikan. Keputusan ini dapat dilaksanakan setelah
pemberian steroid inhalasi dosis sedang-LABA diberikan selama 3 bulan sampai 6
bulan. Pilihan lain pada langkah 4 ialah kombinasi steroid inhalasi dosis sedang-
antileukotrin atau kombinasi steroid inhalasi dosis sedang-teofilin lepas lambat.
Langkah 5:
Pemberian kortikosteroid oral sebagai obat pengendali asma dapat diberikan hanya
apabila pada langkah 4 pasien tidak memperolah perbaikan gejala dan sering
mengalami kekambuhan. Pasien harus dijelaskan tentang kemungkinan efek samping
yang timbul akibat pemberian steroid oral jangka panjang dan berbagai alternatif
pilihan pengobatan. Penambahan anti-imunoglobulin E (omalizumab) dapat
memperbaiki pengendalian asma yang disebabkan oleh alergi.
Kortikosteroid Inhalasi
Kortikosteroid inhalasi dapat menekan inflamasi saluran respiratori dan berperan
penting dalam tata laksana asma jangka panjang.4
Kortikosteroid inhalasi merupakan obat pengendali asma yang paling efektif.
Pemberian kortikosteroid inhalasi setara dosis budesonid 100200 g per hari dapat
menurunkan angka kekambuhan asma dan memperbaiki fungsi paru pada pasien
asma.1 Beberapa pasien asma memerlukan dosis kortikosteroid inhalasi 400 g per
hari untuk mengendalikan asma dan mencegah timbulnya serangan asma setelah
berolahraga. Pada anak yang berusia di atas 5 tahun, steroid inhalasi dapat
mengendalikan asma, menurunkan angka kekambuhan, mengurangi risiko masuk
RINGANSEDANG BERAT
Bicara dalam kalimat Bicara dalam kata
Lebih senang duduk daripada berbaring ANCAMAN HENTI NAPAS
Duduk bertopang lengan
Tidak gelisah Gelisah Mengantuk/letargi
Frekuensi napas meningkat Suara napas tak terdengar
Frekuensi napas meningkat
Frekuensi nadi meningkat Frekuensi nadi meningkat
Retraksi minimal Retraksi jelas
SpO2 (udara kamar): 9095% SpO2 (udara kamar) <90%
PEF >50% prediksi terbaik* PEF 50% prediksi terbaik*
FOLLOW UP
Obat pereda: diberikan jika perlu
Obat pengendali: lanjutkan dengan dosis yang sesuai
Evaluasi faktor risiko: identifikasi dan modifikasi faktor risiko bila memungkinkan
** PERINGATAN PEMBERIAN
PERINGATANPEMBERIAN STEROID SISTEMIK:
STEROID SISTEMIK:
Steroid hanya diberikan, pada serangan asma
o Bila memerlukan inhalasi 2 agonis kerja cepat lebih dari 2 kali berturut-turut
*
o Bila memiliki riwayat serangan asma berat dalam 1 tahun terakhir
Hati-hati bila dalam 1 bulan terakhir pasien sudah mendapat steroid
oral/sistemik. Perlu dievaluasi apakah indikasi steroid oral/sistemik sudah
tepat, dan pikirkan kemungkinan pasien sudah memerlukan obat pengendali.
Penilaian
Penilaian awalawal
: : APAKAH ADA:
A: airway, B: breathing, mengantuk, letargi, suara
A: airway B: breathing C:
C: circulation paru tak terdengar
circulation
TIDAK YA
MULAI TERAPI
Inhalasi 2 agonis kerja pendek
+ ipratropium bromida
Kortikosteroid oral atau i.v.
Oksigen untuk menjaga
SpO2 9498%
Berikan aminofilin i.v.
Gambar 2 Alur Tata Laksana Serangan Asma di Fasyankes [Draf PNAA 2015]
Pendahuluan
Ikterus atau jaundice ialah suatu keadaan yang ditandai dengan kulit dan sklera
berwarna kuning yang disebabkan oleh akumulasi bilirubin pada kulit dan membran
mukosa karena kadar bilirubin pada tubuh tinggi atau disebut juga hiperbilirubinemia.
Ikterik terlihat secara kasat mata apabila konsentrasi bilirubin dalam darah pada bayi
atau anak >5 mg/L. Ikterik terjadi pada 60% bayi cukup bulan dan 80% bayi kurang
bulan pada minggu pertama kehidupan. Pada sebagian besar bayi kondisi ini
merupakan hal yang fisiologis.1,2
Bila ikterik menetap hingga melebihi dua minggu pada bayi cukup bulan dan tiga
minggu pada bayi kurang bulan maka disebut prolonged jaundice yang terdiri atas
prehepatik, hepatik, dan poshepatik.26 Hal ini dapat terjadi pada kurang lebih 15%
bayi baru lahir. Membedakan jaundice fisiologis dengan kelainan hepatobilier
merupakan hal yang tidak mudah.7 Data epidemiologi menunjukkan bahwa 1 dari
2.500 bayi lahir hidup mengalami kelainan hepatobilier, oleh sebab itu setiap
prolonged jaundice harus mendapatkan perhatian khusus dan pemeriksaan lebih
lanjut.6
Etiologi jaundice menurut peningkatan kadar bilirubin dapat dibagi menjadi karena
peningkatan bilirubin tidak terkonjugasi (unconjugated hyperbilirubinemia) dan
bilirubin terkonjugasi (conjugated hyperbilirubinemia).8 Ditinjau dari letak jaundice,
penyebab utama conjugated hyperbilirubinemia atau kolestasis secara umum dibagi
menjadi dua golongan besar, yaitu kelainan intrahepatik (hepatoseluler) serta kelainan
ekstrahepatik (obstruktif).9
Kolestasis ialah terjadi hambatan aliran empedu dengan manifestasi conjugated
hyperbilirubinemia,911 disertai kadar bilirubin direk >1 mg/dL bila bilirubin total kurang
dari 5 mg, sedangkan bila kadar bilirubin total lebih dari 5 mg/dL, kadar bilirubin direk
lebih dari 20% kadar bilirubin total dan biasanya terjadi pada usia 90 hari kehidupan.
Patofisiologi
Secara umum tidak ada bayi yang jaundice sejak lahir. Jaundice harus diwaspadai
sebagai tanda penyakit dan tidak secara rutin dianggap fisiologis, tetapi jaundice
fisiologis pun tetap merupakan suatu tanda gangguan metabolisme bilirubin.
Prolonged jaundice seharusnya tidak dianggap sebagai kondisi fisiologis sampai
terbukti sebaliknya.4
Ikterus dapat terjadi karena15
1. pembentukan bilirubin yang berlebihan;
2. defek pengambilan bilirubin oleh sel hati;
3. defek konjugasi bilirubin;
4. penurunan ekskresi bilirubin;
5. gabungan antara peningkatan kadar bilirubin yang terjadi karena produksi yang
berlebihan dan penurunan sekresi.
Gangguan berupa pembentukan bilirubin yang berlebihan, defek pengambilan, dan
konjugasi bilirubin akan menghasilkan peningkatan biliribin tidak terkonjugasi.
Penurunan ekskresi bilirubin akan meningkatkan kadar bilirubin terkonjugasi atau
disebut juga kolestasis. Bila mekanismenya bersifat campuran, akan terjadi
peningkatan bilirubin terkonjugasi maupun tidak terkonjugasi. 15
Etiologi
Ditinjau dari letaknya, penyebab utama conjugated hyperbilirubinemia atau kolestasis
secara umum diklasifikasikan menjadi 2 golongan besar, yaitu kelainan intrahepatik
serta kelainan ekstrahepatik9
Intrahepatik
Idiopatik
- Hepatitis neonatal idiopatik.
- Kolestasis intrahepatik persisten.
- Displasia arteriohepatik (sindrom Allagile).
- Bylers disease.
- Trihydroxycoprostanic acidemia.
- Sindrom Zellweger (sindrom serebrohepatorenal).
- Nonsyndromic paucity of intrahepatic ducts.
- Disfungsi mikrofilamen.
- Kolestasis intrahepatik rekurens.
- Familiar benign recurent kolestasis.
- Kolestasis herediter dengan limfedema.
Anatomi
- Fibrosis hepatik kongenital/polikistik infantil pada hati dan ginjal.
- Carolis disease (dilatasi kistik duktus intrahepatik).
Gangguan Metabolisme
1. Gangguan metabolisme asam amino, tirosin, dan hipermetionin
2. Gangguan metabolisme lemak
- Wolmans disease
- Niemann-Pick disease
Hepatitis
1. Infeksi (hepatitis pada neonatus)
- Cytomegalovirus (CMV).
- Hepatitis B virus.
- Rubella virus.
- Reovirus tipe 3.
- Herpes virus.
- Varicella virus.
- Coxsackievirus.
- Echovirus.
- Parvovirus B19.
- Toksoplasmosis.
Lain-lain
1. Histiositosis X.
2. Syok atau hiperperfusi.
3. Obstruksi intestinal.
4. Sindrom polisplenia.
5. Lupus neonatal.
Diagnosis
Membedakan kolestasis intrahepatik tidaklah mudah karena semua bentuk kolestasis
menimbulkan sindrom klinis ikterik yang sama, yaitu disertai pruritus, peningkatan
transaminase dan alkali fosfatase, serta gangguan ekskresi zat warna kolesistografi. 10,12
Beberapa pemeriksaan dapat dilakukan untuk membedakan kolestasis intrahepatik
dengan ekstrahepatik, namun tidak ada cara yang dapat digunakan secara tunggal
dengan akurasi diagnostik 100%. Oleh karena itu, memerlukan anamnesis dan
pemeriksaan fisis yang cermat serta pemeriksaan penunjang yang memadai. 9,10
1. Pada anamnesis harus ditanyakan tentang riwayat prenatal, perinatal dan riwayat
mulai timbulnya sindrom kolestasis, ras serta riwayat keluarga yang menyeluruh,
dan bagaimana perjalanan penyakitnya pada saudara kandung untuk menyingkirkan
Pemeriksaan Laboratorium
1. Kadar bilirubin.
2. Darah lengkap: jumlah trombosit dan retikulosit bila ada anemia.
3. Fungsi hati: transaminase (SGOT, SGPT), gama glutamil transpeptidase (GT), alkali
fosfatase (AF), waktu protrombin, dan tromboplastin.
4. Elektroforesis protein, gula darah, elektrolit, ureum, kreatinin, kolesterol, asam
empedu serum, dan urin serta asam empedu dalam tinja.
Whitington menyampaikan beberapa pemeriksaan laboratorium awal yang dapat
mendukung diagnosis kolestasi ekstrahepatik atau intrahepatik.
Peningkatan SGOT dan SGPT yang lebih dari 10 kali nilai normal atau >800 U/L
terutama yang disertai peningkatan -GT yang kurang dari 5x normal lebih mendukung
kelainan hepatoseluler (kolestasis intrahepatik). Sebaliknya, bila peningkatan SGOT
atau SGPT kurang dari 5x nilai normal dengan peningkatan -GT lebih dari 5x normal
atau >600 U/L, lebih mengarah pada atresia biliaris atau obstruksi duktus biliaris
lainnya.19
Utrasonografi
Ultrasonografi (USG) mempunyai peran yang sangat penting untuk skrining kolestasis
pada bayi. Pemeriksaan ini sebaiknya dikerjakan pada semua penderita kolestasis
karena tekniknya sederhana dan noninvasif. Melalui USG ini kista (duktus koledokus
atau intrahepatik), batu kandung empedu atau biliary sludge akibat nutrisi parenteral
atau penyakit hemolitik, serta tumor dapat dideteksi. Untuk kista duktus koledokus
dan batu, akurasi pemeriksaan ini mencapai 9095%, tetapi untuk biliary sludge atau
inspissated bile akurasinya buruk. Pada pemeriksaan USG juga dapat diukur panjang
Scintigraphy
Disida Tc99m (Tc99m yang berikatan dengan 2.6-diisopropyliminodiacetic acid) adalah
radioisotop yang paling sering digunakan pada pemeriksaan kolestasis jaundice karena
memiliki waktu paruh yang pendek, konsentrasi yang tinggi di dalam hepar, serta
dieksresikan melalui hepar dan ginjal. Disida Tc99m tidak boleh dilakukan bila kadar
blirubin direk >20 mg/dL. Satu minggu sebelum pemeriksaan, penderita diberikan
fenobarbital oral dengan dosis 510 mg/kg/hari dibagi menjadi 2 dosis. Bila terdapat
ekskresi isotop pada usus halus dalam 24 jam setelah pemeriksaan, menunjukkan
patensi sistem duktus biliaris. Hasil scan yang negatif belum pasti dapat menyingkirkan
penyebab kolestatsis jaundice lainnya, karena sekitar 40% penderita hepatitis neonatal
yang lanjut menunjukkan hasil scan yang negatif akibat terjadi disfungsi hepar, oleh
karena itu pemeriksaan scintigraphy dapat diulang 2 minggu kemudian. Hasil
penelitian menunjukkan penggunaan dicida untuk diagnosis atresia biliaris
menghasilkan sensitivitas 100% dan spesifisitas 43%. 22
Cholangiography
Cholangiography dilakukan setelah dengan semua pemeriksaan di atas diagnosis
masih meragukan. Terdapat 3 pemeriksaan cholangiography yang dapat dilakukan
untuk memastikan diagnosis kolestasis, terutama untuk memastikan atresia biliaris.
Biopsi Hepar
Terdapat beberapa parameter yang dapat membedakan kolestasis antara intrahepatik
dan ekstrahepatik. Parameter yang merupakan tanda kolestasis ekstrahepatik
walaupun tidak terdapat patognomoni, tetapi spesifik terhadap atresia biliaris adalah
proliferasi duktus pada porta hepatis, trombus di daerah porta hepatis, proses
inflamasi, serta fibrosis pada porta hepatis dan limfedema. Biopsi hepar memiliki
sensitivitas 85% dan spesifisitas 95%. 22
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan kolestasis terdiri atas tindakan operatif dan pemberian obat-obatan
dengan tujuan mengatasi etiologi, meningkatkan aliran empedu, melindungi hepatosit,
Obat-obatan Suportif
Akhir-akhir ini obat yang sering digunakan untuk terapi suportif adalah
ursodeoxycholic acid (UDCA).
Ursodeoxycholic acid (3, 7-dihydroxi-5-cholanic acid) merupakan asam empedu
yang terbentuk secara alami dan secara normal terdapat pada 12% asam empedu
manusia. Ursodeoxycholic acid merupakan asam empedu tersier endogen yang
disintesis di hepar dari 7 ketolithicolic acid yang merupakan hasil produk dari
oksigenasi asam kenodeoksikolat (AKDK) oleh bakteri usus.
Asam ursodeoksikolat bekerja dengan beberapa cara.
1. Mengubah pool asam empedu
Pada manusia, asam empedu terutama terdiri atas 3854% AKDK, 2639% asam
kolat (AK), dan 1633% asam deoksikolat; UDCA dan asam litokolat (LK) didapatkan
hanya dalam jumlah kecil (0,15%). Kecuali UDCA, semua asam empedu bersifat
toksis terhadap hati. Pada keadaan kolestasis karena terjadi hambatan aliran
empedu ke dalam usus maka asam empedu tersebut akan merusak hati yang bila
berlangsung lama akan menyebabkan sirosis hati. Selama pengobatan dengan
UDCA terdapat perubahan komposisi asam empedu yang utama, sementara AKDK
dan asam deoksikolat berkurang. Hal ini menyebabkan UDCA memegang peranan
penting dalam pengobatan kolestasis.3032
Nutrisi
Kekurangan energi protein (KEP) sering terjadi sebagai akibat dari kolestasis (lebih dari
60%). Penurunan ekskresi asam empedu menyebabkan gangguan pada lipolisis
intraluminal, solubilisasi, dan absorbsi trigliserid rantai panjang. Oleh karena itu, pada
bayi dengan kolestasis diperlukan kalori yang lebih tinggi untuk menjaga tumbuh
kembang bayi, serta vitamin, mineral, dan trace element:
Simpulan
Ikterik menetap hingga melebihi 2 minggu pada bayi cukup bulan dan 3 minggu pada
bayi kurang bulan maka disebut prolonged jaundice yang terdiri atas prehepatik,
hepatik, dan poshepatik. Etiologi jaundice menurut peningkatan kadar bilirubin dapat
dibagi atas peningkatan bilirubin tidak terkonjugasi (unconjugated hyperbilirubinemia)
dan bilirubin terkonjugasi (conjugated hyperbilirubinemia). Ditinjau dari letaknya,
penyebab utama conjugated hyperbilirubinemia atau kolestasis secara umum dibagi
menjadi 2 golongan besar, yaitu kelainan intrahepatik (hepatoseluler) serta kelainan
ekstrahepatik (obstruktif).
Dalam menentukan diagnostik kolestasis yang paling penting adalah menetapkan
apakah intrahepatik atau ekstrahepatik, terutama atresia biliar yang prognosisnya
bergantung usia pada saat dioperasi. Pada usia kurang 8 minggu angka keberhasilan
dapat mencapai 80%, sedangkan setelah 12 minggu angka keberhasilan tinggal 20%
karena telah terjadi sirosis.
Daftar Pustaka
1. Elias E. Jaundice and cholestasis. Dalam: Dooley JS, Lok ASF, Burroughs AK,
Heathcote EJ, penyunting. Sherlock's diseases of the liver and biliary system. Edisi
ke-12. Chichester: Wiley-Blackwell; 2011. hlm. 23456.
Pendahuluan
Prevalensi penyakit autoimun di dunia cenderung meningkat meskipun frekuensinya
berbeda untuk setiap negara.13 Penyakit autoimun belum dikenal luas di masyarakat.
National Institute of Health (NIH) melaporkan 23,5 juta penduduk Amerika Serikat
menderita penyakit autoimun, dan hanya 15% penduduk Amerika yang mengenal
penyakit autoimun, sebagaimana dinyatakan oleh Americam Autoimmune Diseases
Related Association (AARDA).4
Peningkatan prevalensi penyakit autoimun ini memerlukan penanganan berupa
peningkatan proses diagnostik dan tata laksana yang lebih baik. Penyakit autoimun
yang tersering ditemukan di beberapa senter pelayanan di Indonesia adalah systemic
lupus erythemathosus (SLE), Henoch Schonlein purpura (HSP), dan juvenile idiopathic
arthritis (JIA). Penyakit lain yang lebih jarang antara lain juvenile dermatomyositis
(JDM), scleroderma, dan poly arteritis nodosa (PAN).
Sering kali ditemukan kasus rujukan penyakit autoimun yang berat sehingga
memerlukan tindakan yang lebih kompleks serta prognosis yang buruk. Hal ini terjadi
umumnya karena kesulitan geografis selama rujukan, proses diagnostik yang sulit, atau
tata laksana yang terbatas di rumah sakit asal. Kesulitan geografis masih sering terjadi
pada saat pasien tidak dapat ditangani di fasilitas kesehatan tahap primer (FKTP)
sehingga perlu dirujuk ke fasilitas kesehatan tahap 2 atau bahkan tahap 3, namun
terkendala jarak geografis yang jauh, sarana transportasi yang tidak memadai, dan
juga mahal. Transportasi ini tentunya tidak termasuk dalam pelayanan Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN). Hambatan pada proses diagnosis dapat disebabkan oleh
pengenalan penyakit autoimun yang tergolong jarang sehingga dirasakan sulit dan
fasilitas pemeriksaan penunjang yang terbatas. Rumah sakit asal umumnya hanya
memiliki pemeriksaan penunjang dasar sementara dalam diagnosis penyakit autoimun
memerlukan pemeriksaan laboratorium dan pencitraan yang lebih maju.
Tabel 1 Persentase Rawat Inap Penyakit Autoimun Tersering pada Anak Dibanding
dengan Seluruh Penyakit di Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUP Dr.
Hasan Sadikin Bandung
Tahun
Penyakit
2011 2012 2013 2014 2015
1 Systemic Lupus Erythematosus 1,25% 1,28% 1,54% 1,40% 1,67%
2 Henoch Schonlein Purpura 0,90% 0,76% 0,76% 0,75% 1,07%
3 Juvenile Idiopatic Arthritis 0,16% 0,14% 0,16% 0,20% 0,28%
Sumber: Data Divisi Alergi Imunologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung
Pemeriksaan Penunjang yang Tersedia di Rumah Sakit Perujuk dan Tempat Rujukan
Pemeriksaan Laboratorium dan Pencitraan yang Tersedia di Rumah Sakit Perujuk di
Jawa Barat
Di beberapa rumah sakit perujuk di Jawa Barat yang umumnya merupakan RS tipe D,
C, dan B (fasilitas kesehatan sekunder), sedangkan fasilitas pemeriksaan laboratorium
yang tersedia adalah yang dasar, tidak menyediakan pemeriksaan yang lebih canggih
seperti pemeriksaan imunoserologis. Pemeriksaan imunoserologis dirujuk ke rumah
sakit rujukan tersier seperti RSUP Dr. Hasan Sadikin. Pemeriksaan pencitraan juga
terbatas pada jenis pencitraan dasar (foto rontgen dan USG), untuk pencitraan yang
lebih canggihpun seperti ekokardiografi dan CT-scan pasien harus dirujuk ke RS
rujukan tersier. Hal ini merupakan tantangan bagi dokter yang bekerja di fasilitas
kesehatan sekunder/perujuk untuk memanfaatkan fasilitas pemeriksaan penunjang
yang ada semaksimal-maksimalnya.
Pemeriksaan Urinalisis
Urinalisis adalah cara yang mudah dan efektif untuk menapis keterlibatan ginjal dalam
penyakit autoimun. Proteinuria adalah tanda kerusakan glomerulus yang dapat
ditemukan pada pasien SLE atau HSP. Leukosit dan eritrosit pada pemeriksaan
mikroskopis urin merupakan indikator patologi ginjal pada SLE atau HSP. Asidosis
tubular renal merupakan tanda awal pada SS onset anak. Evaluasi lebih lanjut urin
yang dapat dilakukan di rumah sakit pusat rujukan tersier adalah pemeriksaan urin 24
jam untuk memeriksa bersihan kreatinin dan protein total yang kemudian akan
dihitung rasio protein/kreatinin. Biopsi ginjal dengan pewarnaan hematoxylin-eosin
(H&E) dan imunouoresensi dilakukan untuk evaluasi pada SLE dan ANCA-associated
vasculitides untuk menentukan patologi yang mendasari serta menentukan rencana
terapi.11,12,14
Simpulan
Hambatan pada proses diagnosis dapat disebabkan oleh pengenalan penyakit yang
sulit dan fasilitas pemeriksaan penunjang yang terbatas. Banyak tantangan yang
dihadapi oleh dokter umum dan dokter anak dalam melakukan diagnostis penyakit
autoimun di Indonesia, khususnya di Jawa Barat. Untuk hambatan dalam proses
diagnostik diharapkan dapat dikurangi dengan mengedepankan pengenalan dini,
khususnya meningkatkan anamnesis dan pemeriksaan fisis yang lengkap, serta
memanfaatkan pemeriksaan penunjang yang tersedia di rumah sakit asal seoptimal-
optimalnya. Kesulitan dalam proses rujukan juga merupakan masalah besar yang
terkait dengan masalah geografis dan transportasi. Diagnosis optimal di tempat
rujukan diharapkan dapat meningkatkan tata laksana awal penyakit autoimun sesuai
Daftar Pustaka
1. Miller FW, Alfredsson L, Costenbader KH, Kamen DL, Nelson L, Norris JM, dkk.
Epidemiology of environmental exposures and human autoimmune diseases:
findings from a national institute of environmental health sciences expert panel
workshop. J Autoimmun. 2012;39(4):25971.
2. Hayter SM, Cook MC. Updated assessment of the prevalence, spectrum and case
definition of autoimmune disease. Autoimmunity Rev. 2012;11:75465.
3. Cooper GS, Bynum MLK, Somers EC. Recent insights in the epidemiology of
autoimmune diseases: improved prevalence estimates and understanding of
clustering of diseases. J Autoimmun. 2009;33(3-4):197207.
4. (NCAPG) NCoAPG. News briefing: the status of autoimmune disease. 2014.
5. Mackay IR, Rosen FS. Autoimmune diseases. N Engl J Med. 2001;345(5):34050.
6. Standar Kompetensi Dokter Indonesia (diunduh 28 Oktober 2016). Tersedia dari:
http://www.kki.go.id/assets/data/arsip/SKDI_Perkonsil,_11_maret_13.pdf.
7. Kolegium Ilmu Kesehatan Anak Indonesia. Standar Pendidikan Profesi Dokter
Spesialis Anak. Jakarta: IDAI; 2007.
8. Committee Report: population-to-pediatrician ratio estimates: a subject review.
Pediatrics. 1996;97:597601.
9. Jumlah dokter anak minim, sebaran tak merata [database on the Internet]. Badan
Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 2012.
10. Lehman TJA. A Clinicians guide to rheumatic diseases in children. New York:
Oxford University Press; 2009.
11. Dalrymple AM, Moore TL. Laboratory evaluation in pediatric autoimmune
diseases. Pediatr Rev. 2015;36(11)496502; DOI: 10.1542/pir.36-11-496
12. Nurhidayat Pua Upa, penyunting. 65 tahun Potret Dinamika Dunia Kedokteran
Indonesia di Era JKN. Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia; 2015.
Pendahuluan
World Health Organization (WHO) telah mencanangkan visi strategi tuberkulosis (TB)
global pasca-tahun 2015, yaitu dunia bebas TB (a world free TB) yang berarti bahwa
tidak ada lagi kematian dan penyakit akibat TB. Tujuan tersebut adalah untuk
mengakhiri epidemiologi TB global pada tahun 2035. Walaupun target Millenium
Development Goals (MDGs) dalam implementasi Stop TB Strategy (20062015) telah
tercapai, yaitu menurunkan prevalensi dan kematian akibat TB sebesar 50% dibanding
dengan tahun 1990, namun dalam target Sustainable Development Goals (SDGs) untuk
mencapai End TB strategy (20152035) diharapkan 95% penurunan kematian akibat
TB, 90% pengurangan insidens TB dari 110/100.000 menjadi 10/100.000 dibanding
dengan tahun 2015.13 Untuk mencapai End TB strategy tersebut maka pada tahun
2025 diharapkan tersedia perangkat diagnostik tambahan baru, point-of-care test,
vaksin dan obat, serta regimen pengobatan baru untuk TB aktif dan TB laten.1,2
Indonesia sebagai negara dengan jumlah kasus TB terbanyak ke-2 di dunia setelah
India3,4 harus segera mengadopsi strategi global ini dengan membuat revisi Pedoman
TB Nasional termasuk untuk TB anak.5,6
Walaupun penekanan pentingnya TB anak sudah dimulai tahun 2006, namun
tantangan permasalahan TB anak belum terselesaikan.48 World Health Organization
2013 melaporkan perkiraan kasus TB anak (usia 15 tahun) di antara seluruh kasus TB
mencapai 6% (530.000 TB anak/tahun), sedangkan kematian TB anak dengan kasus
HIV negatif mencapai 74.000 kematian/tahun, atau sekitar 8% dari kematian karena
TB.8 Penegakan diagnosis sering mengalami hambatan karena prosedur diagnostik
yang menjadi baku emas sulit dilaksanakan.57 Konfirmasi TB secara mikrobiologis tidak
dilakukan pada sebagian besar anak dengan berbagai alasan sehingga pengobatan TB
anak hanya berdasarkan pada riwayat, gejala, tanda penyakit yang disertai atau tanpa
temuan gambaran radiologis. Untuk mengatasi hal ini telah dikembangkan teknologi
Diagnosis
Penjelasan mengenai perjalanan alamiah (natural history) TB dari masa prekemoterapi
menunjukkan risiko dan deskripsi penyakit yang bermanfaat dalam penatalaksanaan
TB anak.13,25 Fakta yang diamati adalah bahwa >90% anak yang mengalami
progresivitas menjadi TB aktif terjadi dalam 12 bulan setelah infeksi primer (window of
risk).13 Pengamatan lainnya yang mencolok adalah risiko bimodal, yaitu risiko terbesar
mengenai anak usia di bawah 2 tahun, berkurang pada usia 510 tahun, dan
meningkat kembali seiring masa pubertas. Pada anak usia muda, penyakit kelenjar
getah bening mediastinum (dengan atau tanpa penekanan saluran respiratorik)
umumnya mendominasi. Hal ini akibat respons kelenjar getah bening yang masih
tinggi dan saluran respiratorik yang masih relatif kecil dan cukup lentur. Penyakit
akibat penyebaran hematogen juga lebih sering ditemukan akibat respons sel T yang
imatur dan imunitas terhadap penyakit yang masih lemah. Perubahan mendadak
menjadi TB dewasa (yang sering bersifat infeksius) terjadi pada masa pubertas.13
Perbedaan penting antara TB dewasa dan TB anak disimpulkan pada Tabel 1.13
WHO dan berbagai organisasi dunia telah menyusun standar pengelolaan TB, yaitu
International Standar for Tuberculosis Care (ISTC) yang terdiri atas 21 standar, yaitu 6
Usia <5 tahun atau terinfeksi HIV Usia 5 tahun dan tidak terinfeksi HIV
Evaluasi untuk TB
6H# Tidak diterapi
Gambar 1 Alur Pendekatan yang Dianjurkan untuk Tata Laksana Kontak pada
Keadaan Tidak Tersedia Pemeriksaan Radiologis dan Uji Tuberkulin
(INH 10 mg/kgBB/hari selama 6 bulan)
12
Sumber: WHO
Uji Tuberkulin
Hingga saat ini uji tuberkulin secara umum digunakan untuk membantu mendiagnosis
TB laten dan menegakkan diagnosis TB anak.5,6,12,16 Uji tuberkulin mempunyai nilai
sensitivitas 75% dan menurun pada anak dengan malnutrisi dan HIV (56%), sedangkan
nilai spesifisitas adalah 69%.17 Keterbatasan utama uji tuberkulin pada subjektivitas
dalam hal pembacaan indurasi yang muncul.16,17
Radiologis
Foto rontgen toraks digunakan untuk mendeteksi TB paru, termasuk limfadenopati,
parenkim paru, dan TB milier.5,6,16 Pemeriksaan pencitraan berguna untuk mendeteksi
penyakit paru tahap awal seperti kavitas dan limfadenopati pada saluran
respiratorik.15 Pencitraan dengan kontras dapat mengidentifikasi penyakit sistem
saraf pusat, seperti meningitis TB yang ditunjukkan dengan gambaran meningeal
Definisi Terduga TB (presumtive TB) adalah anak dengan gejala atau tanda klinis
sugestif TB (previously TB suspect).6,12,14
Kasus TB
Kasus TB dengan konfirmasi bakteriologis (bacteriologically confirmed TB case)
adalah anak yang terdiagnosis TB dengan hasil BTA atau kultur positif.
Kasus TB terdiagnosis secara klinis (clinically diagnosed TB case) adalah kasus
yang tidak terbukti secara radiologis, tetapi didiagnosis sebagai TB aktif oleh
klinisi yang diputuskan untuk diberikan pengobatan TB (previously a case of TB,
not considered definite).
- TB Ekstraparu
TB yang terjadi pada organ selain paru, misalnya pleura, kelenjar limfe, abdomen,
saluran kencing, kulit, sendi, selaput otak, dan tulang.
Diagnosis TB ekstraparu dapat ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan
bakteriologis atau klinis. Diagnosis TB ekstraparu harus diupayakan berdasarkan
penemuan M. tuberculosis.
Pasien TB ekstraparu yang menderita TB pada beberapa organ diklasifikasikan
sebagai pasien TB ekstraparu pada organ yang menunjukkan gambaran TB yang
terberat.
Tata Laksana
Pedoman dan rekomendasi tata laksana TB baik regimen, jenis obat antituberkulosis
(OAT), maupun dosis yang direkomendasikan WHO terus-menerus di-update secara
rutin. Prinsip pengobatan TB anak pada dasarnya sama dengan dewasa. Kombinasi
OAT bertujuan membunuh mikroorganisme intraseluler maupun ekstraseluler untuk
mencegah resistensi obat dengan tetap memperhatikan efek toksisitas pada anak.13
Penelitian Mcllleron dkk.19,20 menunjukkan bahwa konsentrasi isoniazid (INH) dalam
darah 58% lebih rendah dengan dosis oral 46 mg/kgBB dibanding dengan dosis 812
mg/kgBB. Pada awalnya etambutol jarang atau tidak diberikan pada anak karena
potensi toksisitasnya pada mata.20 Obat ini memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi
dapat juga bersifat bakterisid jika diberikan dalam dosis tinggi dan intermiten sehingga
dapat digunakan untuk mencegah timbulnya resistensi terhadap obat-obat lain.20 Pada
anak usia 5 tahun konsentrasi etambutol dalam darah rendah sehingga pengobatan
berakibat tidak adekuat sehingga dosis perlu ditingkatkan dengan tetap
memperhatikan keamanan obat di dalam darah. Pemberian dosis etambutol 1520
mg/kgBB per hari dengan pemberian tunggal sekali sehari selama 2 bulan dinyatakan
aman.19,20 Pada tahun 2010, WHO21 mengeluarkan panduan pengobatan TB pada anak
dengan perubahan regimen dan dosis OAT pada (Tabel 4)12,19,21 dan mekanisme kerja
obat, toksisitas, dan dosis harian OAT lini pertama untuk TB anak (Tabel 5).12,20
Tabel 5 Rekomendasi Terkini Obat Antituberkulosis Lini Pertama pada Anak dan
Perbandingannya dengan Rekomendasi Sebelumnya
Rekomendasi
WHO setelah Rekomendasi WHO 2003
Agutus 2010
Nama Obat Mekanisme Toksisitas Dosis tiga
Dosis harian Dosis harian kali per
(mg/kgBB) (mg/kgBB) minggu
(mg/kgBB)
Isoniazid Bakterisidal Hepatitis, 10 (715), 5 (46) 10 (812)
(INH) neuropati maks. 300 mg
perifer
Rifampisin Bakterisidal Hepatitis 15 (1020), 10 (812) 10 (812)
(RIF) maks. 600 mg
Pirazinamid Sterilisasi Hepatitis, 35 (30-40), 25 (2030) 35 (3040)
(PZA) artralgia maks. 2,000 mg
Etambutol Bakteriostatik Gangguan 20 (1525), 15 (1520) 30 (2535)
(ETH) penglihatan maks. 1.200 mg
Streptomisin Bakteriostatik Ototoksik dan 15 (1218), 15 (1218) 15 (1218)
(SM) nefrotoksik maks. 1.000 mg
12 20 21
Sumber: WHO; Graham; WHO
Pemeriksaan TCM*
OAT RHZE
Pengobatan MDR-TB Kondisi klinis Kondisi klinis
standar stabil tanpa ada tidak stabila) atau
Lakukan biakan dan uji kegawatan ada gejala TB
kepekaan obat beratb)
Klinis membaik
Pyrazinamide (Z)
Gunakan OAT Golongan I yang masih sensitif Etambutol (E)
INH (H)
Etionamid (Eto)
Tambahkan OAT dari Golongan IV sampai Sikloserin (Cs)
didapatkan 4 OAT Lini II yang tidak terbukti Para amino salisilat (PAS)
resisten Sodium para amino salisilat
Lama pengobatan MDR-TB masih belum jelas. Pedoman dari WHO 201412 pada
tahap awal minimal 8 bulan dengan total lama pengobatan minimal 10 bulan.
Inisiasi pengobatan pada anak dilakukan secara rawat inap di RS Rujukan/
Subrujukan MDR-TB selama 2 minggu.6 Pemberian piridoksin (vitamin B6)
ditambahkan pada pasien yang mendapat sikloserin dengan dosis 10 mg untuk
setiap 50 mg sikloserin dan pada penderita HIV.6,12 Dianjurkan pemberian OAT
dalam dosis tinggi jika memungkinkan. Dosis obat disesuaikan dengan kenaikan
berat badan.6,12 Penggunaan kortikosteroid sama dengan pada TB sensitif obat.
Golongan OAT pada MDR-TB anak dijelaskan pada Tabel 6.6,12 Berikan dukungan,
konseling, dan edukasi pada orangtua/pengasuh anak tentang efek samping obat,
lama pengobatan, dan pentingnya kepatuhan minum obat pada setiap kunjungan.6
Strategi Pencegahan
Strategi pencegahan/prevensi meliputi vaksinasi, profilaksis pre dan postpajanan,
pengobatan infeksi TB laten, dan profilaksis sekunder setelah pengobatan TB. Hasil
meta-analisis penelitian vaksinasi BCG memberikan efek proteksi yang bervariasi,
namun dapat mengurangi risiko penyakit diseminasi (milier) dan meningitis TB pada
anak usia sangat muda.5,6,12 Terapi preventif diberikan pada semua anak usia 5 tahun
dan imunokompromais dengan INH profilaksis 10 mg/kgBB/hari dosis tunggal selama 6
bulan.5,6,12 Selain itu, sumber kontak sebagai sumber penular juga diobati pada saat
yang bersamaan.6,12 Saat ini belum ada panduan yang konklusif untuk pemberian
terapi preventif pada anak dengan gambaran klinis maupun radiologis yang tidak
menunjukkan kelainan, tetapi berada/kontak dengan pasien MDR-TB.
Simpulan
Situasi global yang ditargetkan dalam menghadapi beban berat global dalam
menghadapi eliminasi TB pada tahun 2035 melalui strategi Sustainable Development
Goals (SDGs) dalam mencapai End TB strategy (20152035) menekankan kembali
Daftar Pustaka
1. World Health Organization. Introducing the end TB strategy: gear up to end TB.
Genewa: WHO; 2015.
2. World Health Organization. The end TB strategy. Genewa: WHO; 2015.
3. World Health Organization. Global Tuberculosis Report. Genewa: WHO; 2016.
4. World Health Organization. Global Tuberculosis Report. Genewa: WHO; 2015.
5. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk Teknis Manajemen TB Anak.
Jakarta: Kemenkes RI; 2013.
6. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk Teknis Manajemen dan
Tatalaksana TB pada Anak. Jakarta: Kemenkes RI (in press); 2016.
7. World Health Organization. Global Tuberculosis Report. Genewa: WHO; 2012.
8. World Health Organization. Global Tuberculosis Report. Genewa: WHO; 2013.
9. World Health Organization. Xpert MTB/RIF implementation manual. Genewa:
WHO; 2014.
10. World Health Organization TB Care I. International Standards for Tuberculosis
Care. Edisi ke-3. Genewa: WHO; 2014.
11. World Health Organization. Global Tuberculosis Control. Genewa: WHO; 2011.
12. World Health Organization. Guidelines for National Tuberculosis Programmes on
the Management of Tuberculosis in Children. Edisi ke-2. Genewa: WHO; 2014.
13. Marais BJ. Update on childhood tuberculosis. Pulmo RJ. 2013;22(3):5864.
Pendahuluan
Alergi makanan merupakan masalah kesehatan penting yang dapat mengenai semua
usia dan terjadi peningkatan prevalensi selama 23 dekade terakhir. Pengertian istilah
alergi makanan sering salah atau kurang tepat. Reaksi simpang makanan adalah istilah
yang dipakai untuk menyatakan reaksi yang tidak diinginkan setelah memakan sesuatu
makanan. Alergi makanan adalah reaksi simpang makanan akibat respons imunologik
yang abnormal, sedangkan intoleransi makanan akibat mekanisme nonimunologik.
Sebagian besar reaksi simpang makanan tergolong intoleransi makanan.13
Berbagai efek simpang dapat disebabkan oleh makanan, namun hanya berdasarkan
respons imun yang dapat disebut sebagai alergi makanan. Alergi makanan
diperkirakan mengenai hingga 10% populasi dunia. Prevalensi alergi makanan
meningkat sampai tiga kali lipat untuk alergi kacang tanah sejak tahun 1990-an.
Perkiraan prevalensi alergi makanan tertinggi didapat jika menggunakan metode self-
report (sekitar 1213%) dibanding dengan studi menggunakan tes, seperti open
foodchallenge (sekitar 3%). Prevalensi alergi makanan pada anak berkisar 68%.
Penyebab alergi makanan berasal dari 170 jenis makanan, akan tetapi delapan alergen
makanan yang diduga sebagai penyebab utama adalah telur, susu sapi, kedelai,
gandum, kacang tanah, kenari pohon, ikan, dan shellfish.14
Alergi makanan pada anak menyebabkan berbagai manifestasi klinis yang dapat
mengganggu kualitas hidup dan gangguan nutrisi. Anak alergi makanan dengan
pembatasan makanan dan pengaturan diet yang sangat ketat dapat mengalami intake
energi yang tidak adekuat untuk tumbuh kembangnya.5
Definisi
Pengertian istilah alergi makanan sering dipakai dalam arti yang salah atau kurang
tepat. Berikut adalah beberapa pengertian yang penting untuk dipahami berkaitan
dengan alergi makanan.1
Epidemiologi
Alergi makanan merupakan masalah kesehatan penting yang dapat mengenai semua
usia dengan prevalensi yang semakin meningkat selama 23 dekade terakhir.
Prevalensi alergi makanan pada anak berkisar 68% dan terjadi pada tahun pertama
kehidupan. Peningkatan prevalensi ini diduga terjadi karena peningkatan
kewaspadaan terhadap alergi makanan. Pemahaman dari segi epidemiologi alergi
makanan memberi nilai tambah dalam pendekatan diagnostik yang rasional. Alergi
makanan dipengaruhi oleh pola dietetik, budaya dan geografis, serta faktor genetik.6, 7
Prevalensi alergi makanan sulit untuk diidentifikasi karena beberapa alasan.1
- Meskipun lebih dari 170 makanan telah dilaporkan sebagai penyebab reaksi IgE-
mediated, akan tetapi angka kejadian hanya terfokus pada makanan yang paling
umum.
- Insidensi dan prevalensi alergi makanan berubah dari waktu ke waktu dan beberapa
penelitian menunjukkan kenaikan prevalensi selama 1020 tahun terakhir.
Klasifikasi
Efek simpang terhadap makanan dapat dikategorikan menjadi 2 kelompok, yaitu
imunologis dan nonimunologis. Efek simpang makanan yang didasari reaksi imunologis
disebut alergi makanan dapat dilihat pada Gambar 1. Alergi makanan dikategorikan
menjadi 3 kelompok, yaitu alergi makanan yang diperantarai IgE, yang tidak
diperantarai IgE, dan campuran antara yang diperantarai IgE dan tidak diperantarai IgE
(Tabel 1). Efek simpang nonimunologis terhadap makanan dapat dikategorikan sebagai
intoleransi makanan dan reaksi ini tidak diperantarai sistem imun. Intoleransi makanan
dibagi menjadi 2 kelompok lagi, yaitu toksik dan nontoksik. Reaksi toksik timbul akibat
reaksi farmakologis terhadap substansi dalam makanan dan dapat timbul pada semua
orang yang terpapar oleh makanan tersebut serta tidak bergantung pada faktor
host.1,5,9
Patofisiologi
Alergi makanan merupakan respons imun spesifik terhadap protein dalam makanan
yang secara predominan diperantarai IgE (IgE mediated immune response) dan/atau
seluler (cellular immune response). Komponen imunologi terdiri atas imunitas innate
dan imunitas adaptive. Imunitas innate terdiri atas neutrofil, makrofag, NK-cell, sel
epitel, dan Toll-like receptors. Pada bayi dan anak kecil efisiensi barier mukosa tidak
optimal karena imaturitas dari berbagai komponen barier usus dan sistem imun.10,11
Alergen makanan akan dikenali oleh sel penyaji antigen untuk selanjutnya
mengekspresikan pada sel T secara langsung atau melalui sitokin. Sel T tersensitisasi
akan merangsang sel B menghasilkan antibodi dari berbagai subtipe. Allergen yang
utuh akan diserap oleh usus dalam jumlah cukup banyak dan mencapai sel-sel
pembentuk antibodi di dalam mukosa usus dan organ limfoid usus yang pada
kebanyakan anak membentuk antibodi dari subtipe IgG, IgA, dan IgM.10,11
Pada anak-anak atopi cenderung membentuk IgE lebih banyak yang selanjutnya
mengadakan sensitisasi sel mast pada saluran cerna, saluran napas, dan kulit. Bayi
yang sangat atopi juga mendapatkan sensitisasi melalui air susu ibu terhadap satu
makanan yang dikonsumsi ibu. Bayi-bayi dengan alergi awal terhadap suatu makanan,
misalnya susu, juga mempunyai risiko yang tinggi untuk berkembang menjadi alergi
terhadap makanan lain. Pembuatan antibodi IgE dimulai sejak paparan awal dan
berlanjut walaupun dilakukan diet eliminasi. Komplemen akan mulai mengalami
aktivasi oleh kompleks antigen antibodi.10,11
Reaksi Hipersensitivitas
Hipersensitivitas ialah reaksi imun yang patologik, terjadi akibat respons imun yang
berlebihan sehingga menimbulkan kerusakan jaringan tubuh. Reaksi hipersensitivitas
menurut Coombs dan Gell dibagi menjadi 4 tipe reaksi berdasarkan kecepatan dan
mekanisme imun yang terjadi, yaitu tipe I, II, III, dan IV.10,1315
1. Reaksi tipe I yang disebut juga reaksi cepat atau reaksi anafilaksis, timbul segera
setelah tubuh terpajan dengan alergen. Pada reaksi tipe I, alergen yang masuk ke
dalam tubuh menimbulkan respons imun berupa produksi IgE dan penyakit alergi
seperti rinitis alergi, asma, alergi makanan, dermatitis atopi, dan reaksi anafilaksis.
Contoh reaksi Rinitis alergi, Beberapa Urtikaria kronis Serum Dermatitis Asma dan Penolakan
hipersensitivitas Asma, reaksi Alergi obat: (antibodi thd sickness, Kontak, Rinitis alergi Tandur
anafilaktik Penisilin Sel F Reaksi Arthus Reaksi Kronis
sistemik
tuberkulin
Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan fisis digunakan untuk mengevaluasi keterlibatan sistem organ pada
pasien dengan alergi makanan. Pada pemeriksaan kulit diperlukan pemeriksaan yang
teliti pada erythematous papulovesicles yang berhubungan dengan ekskoriasi, eksudat
serous, xerosis, likenifikasi, papul-papul, dan keratosis pilaris. Distribusi dan pola ruam
pada kulit penting untuk diperhatikan. Pada bayi dan anak kecil banyak muncul pada
Tabel 4 Gejala pada Alergi Makanan Diperantarai IgE dan Non IgE
Non-alergi
IgE-mediated Non-IgE-mediated
Hipersensitivitas
Onset reaksi Cepat (dalam hitungan Lambat (dalam hitungan Lambat (hitungan
detik hingga menit). hari). jam hingga hari).
Mekanisme IgE-mediated dengan Bermacam-macam Multipel.
granulasi sel mast. termasuk sel-T,
eosinofil.
Kondisi klinis khas Spektrum luaswheeze, Failure to thrive, diare Bermacam-
urtikaria, muntah, kronik, eczema, rhinitis, macam, diare,
angioedema, anafilaksis. perdarahan rektal. nyeri perut.
Contoh umum Kacang, telur, susu sapi, Intoleransi protein, Laktosa, kafein,
ikan, soya, gandum, celiac disease, susu sapi. dan intoleransi
shellfish. gandum.
Sistem yang Respirasi, Respirasi, Dapat mengenai
terkena gastrointestinal, kulit. gastrointestinal, kulit. keseluruhan
sistem.
Investigasi SPT, IgE spesifik. Menghindari makanan Menghindari
penyebab dengan makanan
arahan dietisian. penyebab dengan
arahan dietisian.
8
Sumber: Butt dan Mcdougall
2. Uji kulit
Uji kulit dapat dilakukan dengan cara uji gores (scratch test), uji tusuk (prick test),
dan uji suntik intradermal. Uji ini dapat dilakukan sebagai pemeriksaan penyaring
dengan menggunakan ekstrak alergen yang ada di lingkungan penderita, misalnya:
alergen tungau, kapuk, debu rumah, bulu kucing, tepung sari rumput, atau alergen
makanan seperti susu, telur, kacang, ikan. Skin prick test adalah salah satu jenis tes
Tata Laksana
Non-medikamentosa
1. Penghindaran makanan
Setelah diagnosis alergi makanan telah ditegakkan dengan tepat, menghindari
makanan penyebab alergi secara ketat merupakan satu-satunya terapi yang telah
dibuktikan. Penderita alergi makanan perlu mengingat alergi tidak dapat
disembuhkan, tetapi dikendalikan jumlah frekuensi serangannya, dikurangi
penggunaan obatnya, dan ditingkatkan kualitas hidupnya. Penghindaran alergen
dilakukan dengan memberikan edukasi termasuk membaca label kandungan
alergen dalam makanan kemasan, menghindari situasi berisiko tinggi, mengenali
gejala awal alergi, anafilaksis, penanganan dini reaksi alergi, anafilaksis, menyuntik
epinefrin secara mandiri (khusus penderita anafilaksis).5,7,19
2. Pada anak dengan alergi makanan perlu dilakukan penilaian kembali dengan cara:
Dianjurkan untuk dilakukan uji evaluasi bagi anak dengan alergi makanan,
bergantung pada jenis makanan penyebab alergi. Uji re-evaluasi tersebut dapat
dilakukan tiap tahun atau pada waktu tertentu yang ditetapkan berdasarkan
pada jenis makanan, usia, dan riwayat perjalanan penyakit.16
Medikamentosa
Semua pasien dengan riwayat anafilaksis yang disebabkan oleh makanan dan semua
pasien dengan riwayat atau yang telah terbukti mengalami reaksi sistemik yang
diperantarai IgE harus diresepkan epinefrin yang dapat disuntikkan sendiri dan
diberikan penjelasan mengenai cara penggunaannya. Pada pasien alergi makanan,
antihistamin berguna untuk mengurangi rasa gatal pada oral allergy syndrome dan
dapat meredakan gejala kulit pada alergi makanan yang diperantarai IgE. Antihistamin
seperti cetirizine sebaiknya diberikan segera untuk reaksi ringan dan kemudian
diberikan teratur selama 23 hari bergantung pada responsnya.19 Pemberian
kortikosteroid topikal atau pada kasus berat diberikan kortikosteroid sistemik dapat
membantu pada gejala kronik seperti dermatitis atopi dan eosinofilic esophagitis.5,19
Diet eliminasi (diagnostik dan/atau terapeutik) Alergi makan berat: rujuk subspesialis alergi
Pertahankan diet
3. Apabila susu formula terhidrolisat ekstensif tidak tersedia atau terdapat kendala
biaya maka sebagai alternatif bayi dapat diberikan susu formula yang mengandung
isolat protein kedelai dengan penjelasan kepada orangtua kemungkinan reaksi
Kesiapan Psikologis
Bayi akan memperlihatkan perilaku makan lanjutan. 21
1. Dari reflektif ke imitatif.
2. Lebih mandiri dan eksploratif.
3. Pada usia enam bulan, bayi mampu menunjukkan
- keinginan makan dengan cara membuka mulutnya;
- rasa lapar dengan memajukan tubuhnya ke depan/ke arah makanan;
- tidak beminat atau kenyang dengan menarik tubuh ke belakang/menjauh.
Telaah sistematik WHO pada tahun 2002 yang bertujuan mengevaluasi apakah
terdapat hasil yang berbeda antara bayi dengan ASI eksklusif selama 4 bulan versus 6
bulan menyatakan bahwa tidak ada studi yang menunjukkan bahwa bayi yang
mendapat ASI eksklusif selama 6 bulan mengalami defisit pertumbuhan dalam hal
berat badan maupun panjang badan sehingga WHO merekomendasikan pemberian
ASI eksklusif sampai usia 6 bulan dan MPASI dimulai pada usia 6 bulan. MPASI yang
diberikan sebelum usia 4 bulan diklasifikasikan sebagai MPASI dini, sedangkan bila
diberikan setelah usia 6 bulan diklasifikasikan sebagai MPASI terlambat. Usia 69 bulan
adalah masa kritis untuk mengenalkan makanan padat secara bertahap sebagai
stimulasi keterampilan oromotor. Jika pada usia di atas 9 bulan belum pernah
dikenalkan makanan padat maka kemungkinan untuk mengalami masalah makan di
usia batita meningkat. Oleh karena itu, konsistensi makanan yang diberikan sebaiknya
ditingkatkan seiring bertambahnya usia. Mula-mula diberikan makanan padat berupa
bubur halus pada usia 6 bulan. Makanan keluarga dengan tekstur yang lebih lunak
(modified family food) dapat diperkenalkan sebelum usia 12 bulan. Pada usia 12 bulan
anak dapat diberikan makanan yang sama dengan makanan yang dimakan anggota
keluarga lain (family food). 21
Simpulan
Alergi makanan adalah reaksi imunologik yang menyimpang. Alergi makanan pada
anak menyebabkan berbagai manifestasi klinis yang mengganggu kualitas hidup dan
gangguan nutrisi. Manifestasi klinis yang muncul pada alergi makanan dapat
menyerang seluruh sistem organ. Penegakan diangnosis alergi makanan dapat
menggunakan uji provokasi, uji kulit, darah tepi, serta IgE total dan spesifik. Prinsip
penatalaksanaan pada alergi makanan, yaitu alergen yang sudah ditemukan harus
dihindari sebaik-baiknya dan perlu diingat alergi tidak dapat disembuhkan.
Daftar Pustaka
1. Boyce JA, dkk. NIAID-sponsored 2010 guidelines for managing food allergy:
application in the pediatrics population. Pediatrics. 2011;128(5):9558.
Beberapa macam pemberian antibiotik profilaksis dapat dilihat pada Tabel 4 sampai
Tabel 10.
Berbagai pilihan terapi empiris dapat dilihat pada Tabel 11 sampai Tabel 13.
Terapi Definitif
Setelah hasil kultur dan uji kepekaan diterima, fase pengobatan empiris beralih
menjadi terapi definitif. Pada fase ini sangat penting pemilihan antibiotik dengan
mempertimbangkan efektivitas, spektrum yang sempit, keamanan, dan biaya. Pada
umumnya perpindahan dari terapi empiris ke terapi definitif meliputi pemilihan
antibiotik dengan spektrum yang lebih sempit/terarah dan sedapat-dapatnya
diberikan per oral.
Meningitis N. meningitidis Kuinolon per oral Minosilin per oral 2 Diberikan segera kurang dari 24
1 kali kali sehari selama 2 jam. Observasi dan dilakukan
hari terapi definitif jika infeksi timbul
H. influenzae Rifampin per oral Quinolon per oral Diberikan segera kurang dari 24
1 kali selama 3 selama 3 hari jam.
hari
Virus Influenza virus Oseltamivir Rimantadin per Diberikan kepada penderita
Influenza A dan B (tamiflu) per oral oral selama 710 risiko tinggi dan penderita yang
sekali selama 7 hari belum dilakukan imunisasi
hari
Avian Influenza A Oseltamivir Rimantadin atau
Influenza (H5N1) Amantadin
Swine Influenza A Oseltamivir Amantadin atau Dilanjutkan 10 hari setelah
Influenza (H1N1) Rimantadin kontak
Pertusis B. pertussis Eritromisin per Trimetropin- Segera setelah kontak dengan
oral tiap 6 jam, sulfametoksazol penderita pertusis
selama 14 hari per oral tiap 12
jam selama 14 hari
Diptheria C. diphtheriae Eritromisin per Azitromisin per Segera setelah kontak dengan
oral tiap 6 jam oral tiap 24 jam penderita difteria
selama 1 minggu selam 3 hari
Tuberculosis M. tuberculosis INH tiap 24 jam Rifamfin tiap 24 Pemberian INH harus dimonitor
selama 9 bulan jam selama 4 bulan SGOT/SGPT tiap 4 minggu. Setop
terapi jika fungsi hati >5 kali
Biovaibilitas Antibiotik
Sangat baik (>90%) Amoksisilin TMP Linezolid
Sefaleksin TMP-SMX Rifampin
Sefadroksil Minosiklin INH
Klindamisin Kloramfenikol Pirazinamid
Kuinolon Metronidazol
Baik (6090%) Beta-laktam Makrolid Sefiksim
Sefpodoksim Seftibuten Sefuroksim
Sefaklor
Buruk (<90%) Vankomisin Sefditoren
Sumber: Cunha dkk.
155
Bakteremia S. pneumoniae
Sefuroksim atau sefotaksim, atau seftriakson.
156
(pneumococcus) atau
H. influenzae tipe b pada
anak yang tidak
diimunisasi.
Berhubungan dengan sinusitis Sefuroksim atau sefotaksim atau seftriakson. Untuk terapi antibiotik oral
seperti otitis media dan sinusitis.
Selulitis, orbital Sefotaksim,atau seftriakson dan terapi antistaphylococcal
(Infeksi postseptal) (Oksasilin atau sefazolin atau untuk CA-MRSA: vankomisin
atau klindamisin).
Infeksi tulang dan persendian
Osteomielitis S. aureus, grup A strep, Mulai terapi empiris dengan klindamisin atau vankomisin, di Pada anak dengan trauma
Bayi dan anak, infeksi akut Kingella (tidak terlalu samping itu mulai dengan oksasilin atau sefazolin. terbuka, pertimbangkan
sering). pemberian Seftazidim untuk
bakteri gram negative aerobik.
Osteomielitis pada kaki Pseudomonas aeruginosa Seftazidim atau tikarsilin dan tobramisin atau meropenem.
(osteokondrosis setelah luka
tusuk)
Artritis, bakteri S. aureus. grup A strep Untuk MSSA isolasi: oksasilin atau sefazolin.
Bayi Terapi empiris untuk suspek MRSA: klindamisin atau
vankomisin.
Anak-anak S. aureus. grup A strep Untuk MSSA isolasi: oksasilin atau sefazolin.
Terapi empiris untuk suspek MRSA: klindamisin atau
vankomisin.
Infeksi telinga dan sinus
Otitis eksternal P. aeruginosa, Neomisin/polimiksin B atau fluorokuinolon (siprofloksasin Terapi yang optimal belum
S. aureus atau ofloksasin) dengan hidrokortison. ditemukan.
Otitis media akut
Catatan: Beberapa regimen antibiotik efektif untuk terapi otitis media akut. Antibiotik yang diperkirakan paling efektif adalah dosis tinggi amoksisilin untuk
melawan S. pneumoniae.
Otitis media akut Pneumococcus, Terapi yang biasa dipakai: Amoksisilin. Amoksisilin sangat baik
H. influenzae, paling Haemophilus dan Moraxella: Amoksisilin/klavulanat digunakan sebagai terapi
sering Moraxella (Augmentin), Sefdinir, Sefprozil, Sefpodoksim, empiris.
Sefuroksim, Azitromisin, Klaritromisin-sulfisoksazol p.o.
157
158
Pertusis Eritromisin atau azitromisin, atau klaritomisin.
Aspirasi pneumonia Polimikrob. Klindamisin atau meropenem jika berat. Alternatif: imipenem.
Community acquired pneumonia Pneumokokus, Jika dirawat: Sefuroksim atau seftriakson atau sefotaksim jika
steptokokus grup A, S. ada dugaan infeksi atipikal diberikan tambahan golongan
aureus pada usia yang makrolid (eritromisin atau azitromisin, klaritomisin).
lebih muda, sedangkan Jika rawat jalan: amoksisilin jika ada dugaan infeksi atipikal
pada usia sekolah atau tambahkan golongan makrolid.
remaja Mycoplasma
pneumoniae atau agen
atipikal lain.
Empiema Patogen sama dengan Sefotaksim atau seftriakson dan vankomisin. Perbaikan biasanya lambat
CAP (paling sering CA-
MRSA).
Pneumonia nosokomial P. aeureginosa, batang Meropenem atau piperasilin atau sefepim atau seftazidim
gram negatif dikombinasikan dengan gentamisin dan atau vankomisin.
(Enterobacter, Klebsiella,
Seratia, E. coli)
Acinetobacter, MRSA,
atau Enterococcus, dan
VRE.
Infeksi Gastrointestinal
Kolitis yang disebabkan C. Clostridium dificile Metronidazol atau vankomisin.
difficile
Gastritis atau ulkus peptikum Helicobacter pylori Klaritomisin dan amoksisilin dan omeprazol.
Gastroenteritis Akromonas Kotrimoksazol.
E. coli Untuk infeksi ringansedang: kotrimoksazol sebagai terapi
inisial,
jika infeksi berat: sefalosporin generasi dua atau tiga.
Kolera Vibrio cholerae Doksisilin Alternatif: siprofloksasin atau
kotrimoksazol.
Demam tifoid S. typhii Kloramfenikol atau ampisilin atau sefotaksim atau
seftriakson.
159
160
Infeksi sekunder (karena Gram-negatif enterik, (Ampisilin dan gentamisin dan metronidazol) atau (seftazidim Terapi alternatif: Meropenem
pergerakan usus) anaerob, enterokokus, atau meropenem) dan metronidazol atau klindamisin). atau jika alergi penisilin
dapat juga pseudomonas azteronam + klindamisin.
pada yang dirawat.
Infeksi Genitourinaria
Servisitis/uretritis/epididimimitis C. trachomatis, N. (Azitromisin dosis tunggal atau doksisiklin selama 7 hari) dan Terapi alternatif:
gonorrhae, lain- lain: (seftriakson atau sefiksim atau siprofloksasin dosis tunggal). (eritromisin selama 14 hari dan
Trichomonas vaginalis, setriakson/sefiksim).
HSV, Mycoplasma
genitalium, Ureaplasma
urealyticum.
ISK
Sistitis Gram-negatif (terbanyak Kotrimoksasol atau sefiksim.
E. coli, selain itu Proteus,
Enterobacteriaceae),
Enterokokus,
Stafilokokus.
Pielonefritis Gram-negatif (terbanyak (Ampisilin dan gentamisin) atau seftriakson.
E. coli, selain itu Proteus,
Enterobacteriaceae),
Enterokokus.
Bayi <3 bulan Sama seperti di atas (Ampisilin dan gentamisin) atau seftriakson. Alternatif: sefiksim atau
ditambah streptokokus siprofloksasin.
grup B.
ISK komplikata Sama seperti di atas Seftazidim. Alternatif: sefiksim atau
ditambah organisme florokuinolon atau
gram negatif. aminoglikosida.
161
Daftar Pustaka Terapi Antibiotik Profilaksis
1. Gardner P, Nicholas RL, Cunha BA. Antibiotic prophylaxis and imunizations. Dalam:
Burke A, Cunha BA, penyunting. Antibiotic essensials. Edisi ke-9. New York:
Physicians Press; 2010. hlm. 34571.
2. Antimicrobial prophylaxis. Dalam: Pickering LK, Baker CJ, Overturf GD, Prober CD,
penyunting. Red Book: 2006 Report of the Committee on Infectious Disease. Edisi
ke-27. Nortwest: American Academy of Pediatrics; 2006. hlm. 7738.
3. Antimikrob profilaksis. Dalam: Soedarmo P, Garna H, Hadinegoro S, Satari H,
penyunting. Buku ajar infeksi dan pediatri tropis. Edisi ke-2. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI; 2008. hlm. 7780.
4. Canadian Paediatric Society. Prophylactic antibiotics in children. Paediatr Child
Health. 1999;4(7):4904.
5. Scottish Intercollegiate Guidelines Network. Antibiotic prophylaxis in surgery.
Edinburgh: Scottish Intercollegiate Guidelines Network (SIGN)-Healthcare
Improvement Scotland; 2008.
6. Saveli CC, Belknap RW, Morgan SJ, Price CS. The role of prophylactic antibiotics in
open fractures in an era of community acquired methicillin-resistant
Staphylococcus aureus. Orthopedics. 2011;34(6):6116.
7. Bratzler DW, Houck PM, Richards C, Steele L, Dellinger EP, Fry DE, dkk. Use of
antimicrobial prophylaxis for major surgery: baseline results from the National
Surgical Infection Prevention Project. Arch Surg. 2005;140(2):17484.
8. Wood RK, Dellinger EP. Current guidelines for antibiotic prophylaxis of surgical
wounds. Am Fam Physician. 1998;57(11):273140.
9. Gosselin RA, Roberts I, Gillespie WJ. Antibiotics for preventing infection in open
limb fractures. Cochrane Database Syst Rev. 2004;(1):CD003764.
10. Craig JC, Simpson JM, Wiliams GJ, Lowe A, Reynolds GJ, McTaggart SJ, dkk.
Antibiotic prophylaxis and recurrent urinary tract infection in children. N Engl J
Med. 2009;361(18):174859.
Pendahuluan
Diabetes melitus (DM) merupakan kumpulan gejala yang ditandai dengan
ketidaksesuaian kondisi hiperglikemia saat puasa atau postprandial yang disebabkan
oleh resistensi atau defisiensi insulin, baik absolut maupun relatif dengan berbagai
konsekuensi metaboliknya termasuk gangguan pada metabolisme protein dan lemak.1
Pada tahun 2007 diperkirakan total populasi anak usia 0 hingga 14 tahun di dunia
berkisar 1,8 miliar, sekitar 0,02% mengidap diabetes melitus. Hal ini berarti sekitar
497.000 anak dari seluruh dunia mengidap diabetes melitus dengan 79.000 kasus baru
terdiagnosis tiap tahunnya.2
Ketoasidosis diabetikum (KAD) merupakan komplikasi DM yang mengancam jiwa
dan penyebab tersering morbiditas serta mortalitas pada pasien DM tipe-1.3,4 KAD
dapat terjadi pada semua pasien diabetes melitus, akan tetapi lebih sering ditemukan
pada pasien DM tipe-1 dan jarang terjadi pada DM tipe-2. Sekitar 1570% anak DM
tipe-1 terdiagnosis saat perawatan di rumah sakit dengan KAD.5
Penegakan diagnosis secara cepat dan tepat, tata laksana yang adekuat, serta
monitoring dan evaluasi yang berkelanjutan dapat menurunkan morbiditas dan
mortalitas akibat penyakit DM tipe-1. Pada makalah ini akan dibahas masalah-masalah
yang umumnya terjadi pada DM tipe-1 dan komplikasinya (KAD).
Epidemiologi
Sebagian besar di negara-negara barat, kejadian DM tipe-1 terjadi pada 90% diabetes
melitus pada anak dan remaja, serta kurang dari setengahnya didiagnosis DM tipe-1
sebelum usia 15 tahun. Kejadian DM tipe-1 bervariasi di tiap negara, di dalam negara
Definisi
Diabetes melitus tipe-1 (DM tipe-1) adalah diabetes melitus yang disebabkan oleh
kerusakan sel pankreas baik oleh proses autoimun maupun idiopatik sehingga
produksi insulin berkurang atau terhenti.10
Diabetes melitus tipe-2 (DM tipe-2) adalah diabetes melitus yang disebabkan oleh
gabungan resistensi insulin dan sekresi insulin yang tidak adekuat. DM tipe-2 selalu
dihubungkan dengan bentuk sindrom resistensi insulin lainnya (hiperlipidemia,
hipertensi, akantosis nigrikans, dan penyakit perlemakan hati non-alkoholik).11
Ketoasidosis diabetikum (KAD) didefinisikan sebagai komplikasi diabetes melitus
(DM) yang mengancam nyawa akibat defisiensi insulin baik relatif atau absolut disertai
Tabel 1 Karakteristik Klinis Diabetes Melitus Tipe 1, Tipe 2, dan Monogenik pada
Anak serta Remaja
Klasifikasi
International Society of Pediatric and Adolescene Diabetes (ISPAD) dan WHO membagi
diabetes melitus berdasarkan etiologi.10
Kriteria Diagnosis
Diagnosis DM dapat ditegakkan apabila memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut:2
1. ditemukan gejala klinis poliuria, polidipsia, nokturia, enuresis, penurunan berat
badan, polifagia, dan kadar glukosa plasma sewaktu 200 mg/dL (11,1 mmol/L);
atau
Masalah yang Sering Ditemukan dalam Tata Laksana Diabetes Melitus pada Anak
Hipoglikemia dan Hiperglikemia
Penanganan DM pada anak tidaklah mudah, untuk mencapai kontrol metabolik yang
baik diperlukan pengelolaan DM yang sebaik-baiknya, meliputi pemberian insulin,
pengaturan makan, olahraga, edukasi, dan pemantauan mandiri. Kerja sama yang baik
antara pasien, keluarga, serta tim dokter dapat mencapai sasaran dan tujuan
pengelolaan DM.10,15
Monitoring kontrol glikemik harian harus dilakukan setiap individu untuk
mengurangi risiko terjadi hipoglikemia, ketoasidosis diabetikum maupun komplikasi
mikro dan makrovaskular kronik. Pengukuran kadar glukosa sendiri sangat
direkomendasikan untuk mendokumentasikan kondisi hipoglikemia dan hiperglikemia
yang akan menentukan strategi selanjutnya. Waktu pengukuran gula darah adalah
malam hari saat waktu tidur, setelah tengah malam, dan setiap sebelum makan
Hipoglikemia asimtomatik terjadi bila anak tidak menunjukkan gejala dan tanda
hipoglikemia walau kadar glukosa darah terdeteksi <70 mg/dL (4 mmol/L).
Hipoglikemia simtomatik terjadi bila anak atau orangtua menyadari, berespons, dan
menangani hipoglikemia secara oral setelah mendeteksi kadar glukosa darah <70 mg/
dL (4 mmol/L). Menurut berat ringannya hipoglikemia dibagi atas hipoglikemia dan
hipoglikemia berat. Hipoglikemia ringan dan sedang dijadikan satu dalam
pembagiannya karena tidak berbeda dalam penanganannya dan hampir semua
memerlukan penanganan cukup dari orangtua atau pengasuh. Anak dianggap
mengalami hipoglikemia berat bila hipoglikemia disertai gejala neuroglikopenia berat,
seperti koma atau kejang.
Tata laksana hipoglikemia bertujuan dapat meningkatkan gula darah sekitar 34
mmol/L (5470 mg/dL). Pada hipoglikemia asimtomtik, target glukosa darah perlu
ditinggikan bila ditemukan hipoglikemia berulang dan/atau hypoglycemia
unawareness hingga hipoglikemia dapat terhindar selama 23 minggu.
Hipoglikemia ringan dan sedang ditatalaksana dengan pemberian glukosa oral 0,3
g/kgBB (atau sekitar 9 g glukosa untuk anak dengan berat 30 kg dan 15 g untuk anak
50 kg), berupa glukosa sederhana, seperti tablet glukosa, jus atau sirup. Ly dkk.8
menyarankan untuk menghindari pemberian cokelat, susu, dan makanan lain yang
mengandung lemak dalam terapi inisial hipoglikemia dikarenakan lemak dalam
makanan tersebut dapat menyebabkan glukosa diserap lebih lebih lambat. Setelah
Rehidrasi diberikan dengan cara setengah defisit dan setengah rumatan harian
serta setengah diberikan dalam 12 jam, selanjutnya setengah defisit dan rumatan
harian diberikan dalam 24 jam. Rehidrasi direncanakan hingga 48 jam.3,12,27 Kecepatan
pemberian total cairan rumatan 36 jam dalam waktu ini tidak boleh melebihi 1,52
kali kebutuhan rumatan harian.3,12
Jika penderita datang dengan dehidrasi berat tanpa syok, diberikan cairan NaCl
fisiologis (NS) 1020 mL/kgBB selama 12 jam dan dapat diulangi bila perlu. Jika
penderita datang dalam keadaan syok, diberikan bolus cairan NS atau Ringer laktat 20
mL/kgBB secepatnya dan dapat diulangi bila syok belum teratasi. Setelah syok teratasi,
jumlah cairan yang akan diberikan adalah jumlah setengah kebutuhan rumatan harian
ditambah setengah defisit cairan dan concomittant loss dengan cairan bolus yang telah
diberikan.
Cairan yang digunakan untuk rehidrasi adalah cairan saline isotonik (NaCl 0,9%/NS,
ringer laktat atau plasmalyte) dengan ditambah 10 mmol kalium (KCL 7,45%) dalam
Simpulan
Anak yang menderita DM tipe-1 membutuhkan terapi insulin dan juga tim multidisiplin
yang termasuk di dalamnya ahli endokrin anak yang mengerti bagaimana melakukan
tata laksana dan edukasi bagi penderita dan keluarganya. Ketoasidosis diabetik (KAD)
adalah komplikasi DM paling sering, terutama DM tipe 1. Tata laksana segera dan
Daftar Pustaka
1. Sperling M, Tamborlane W. Diabetes mellitus. Dalam: Sperling M, Battelino T,
Weinzimer S, Phillip M, penyunting. Pediatric endocrinology. Philadelphia:
Saunders Elsevier; 2014. hlm. 846919.
2. Craig M, Jefferies C, Dabelea D, Balde N, Seth A, Donaghue K. Definition,
epidemiology, and classification of diabetes in children and adolescents. Pediatr
Diabetes. 2014;15:13.
3. Cohen M, Shilo S, Zuckerman L, Shehadeh N. Diabetic ketoacidosis in the pediatric
population with type 1 diabetes. Intech. 2015.
4. Ugale J, Mata A, Meert K, Sarnaik A. Measured degree of dehydration in children
and adolescents with type 1 diabetic ketoacidosis. Pediatr Crit Care Med.
2012;13(2).
5. Piva J, Garcia P, Branco R. Diabetic ketoacidosis. Dalam: al WDe, penyuting.
Pediatric critical care medicine. London: Springer-Verlag; 2014.
6. Usher-Smith J, Thompson M, Ercole A, Walter F. Variation between countries in
the frequency of diabetic ketoacidosis at first presentation of type 1 diabetes in
children: a systematic review. Diabetologia. 2012;55:287894.
7. Maahs D, Hermann J, Holman N, Foster N, Kapellen T, Allgrove J. Rates of diabetic
ketoacidosis: International comparison with 49,859 pediatric patients with type 1
diabetes from england, wales, the US, Austria and Germany. Diabetes Care.
2015;38:187682.
8. Usher-Smith J, Thompson M, Ercole A, Walter F. Factors associated with the
presence of diabetic ketoacidosis at diagnosis of diabetes in children and young
adults: a systematic review. BMJ. 2011;343(d4092 ).
Pendahuluan
Nyeri perut masih menjadi masalah dalam kesehatan yang sering terjadi pada anak,
meskipun sebagian besar anak yang mengalami nyeri perut akut memiliki kondisi yang
berbeda setiap individu, rasa nyeri tersebut dapat bermanifestasi menjadi nyeri yang
bersifat darurat bedah atau medis. Tantangan yang paling sulit adalah membuat
diagnosis yang tepat waktu sehingga pengobatan dapat dimulai dengan tepat dan
morbiditas dapat dicegah.1
Nyeri perut dapat berupa nyeri perut akut ataupun nyeri perut yang berulang
(kronik). Meskipun banyak kasus sakit perut akut yang tidak berat, namun beberapa
memerlukan diagnosis dan pengobatan yang cepat untuk meminimalkan morbiditas.
Nyeri perut akut biasanya kondisi tidak berat, seperti gastroenteritis, sembelit, atau
penyakit virus. Namun, tantangan bagi dokter adalah untuk mengidentifikasi anak
yang memiliki kondisi umum dan berpotensi mengancam jiwa yang membutuhkan
evaluasi dan pengobatan yang segera, seperti radang usus buntu, intususepsi,
volvulus, atau adhesi. Kejadian nyeri perut anak secara epidemiologi ditemukan
berbeda-beda.2
Dalam kebanyakan kasus, nyeri perut dapat didiagnosis melalui anamnesis dan
pemeriksaan fisis, namun sebagian dari itu memerlukan pemeriksaan penunjang yang
khusus. Usia merupakan salah satu faktor kunci dalam mengevaluasi penyebab
kejadian, kondisi, serta gejala yang berbeda sangat bervariasi berdasarkan usia anak.1
Patofisiologi
Secara klinis, nyeri perut dibagi ke dalam tiga kategori: nyeri viseral (splanchnic), nyeri
parietal (somatik), dan nyeri yang menyebar (referred). Nyeri viseral terjadi apabila
terdapat rangsangan pada otot dan mukosa organ berongga. Apabila terjadi kontraksi,
ketegangan, peregangan, dan iskemia akan merangsang saraf nyeri viseral atau
rangsangan yang berlebihan pada otot yang menyebabkan iskemia, misalnya pada
NYERI ABDOMEN
YANG MENYEBAR
Pankreatitis akut Iskemik mesenterik
Kertoasidosis diabetikum Peritonitis (akibat apapun)
Gejala awal apendisitis Krisis sickle cell
Gastroenteritis Peritonitis spontan
Obstruksi intestinal Demam tifoid
NYERI KUADRAN
KANAN ATAU KIRI ATAS
Pankreatitis akut
Herpes zoster
NYERI KUADRAN Pneumonia lobus bawah
KANAN ATAS Iskemik miokardial
Kolesistitis Radikulitis
dan kolik bilier
Hepatomegali
kongestif
Hepatitis atau NYERI KUADRAN
abses hepatik KIRI ATAS
Ulkus duodenum perforasi Gastritis
Apendisitis retrosekal Gangguan limpa (abses,
(jarang) ruptur
NYERI KUADRAN
KANAN BAWAH
Apendisitis
Divertikulitis sekum NYERI KUADRAN
Divertikulitis Meckel KIRI BAWAH
Adenitis mesenterik Diverkulitis sigmoid
Gambar 2 Alogaritme Pendekatan Diagnosis Nyeri Perut Akut yang Memerlukan Tindakan Segera
2
Sumber: Kim
189
Pada beberapa keadaan dapat dilakukan pendekatan diagnostik berdasarkan usia
selain dari lokasi nyeri untuk menentukan etiologi.
Anamnesis
Sering kali hal yang paling penting yang dibutuhkan untuk diagnosis adalah riwayat
penyakit. Urutan timbulnya gejala, perjalanan penyakit, karakteristik muntah dan
buang air besar, serta sifat nyeri yang penting. Misalnya, rasa sakit usus buntu
mungkin sudah mulai satu atau dua hari sebelumnya, kemudian meningkat dan
menujukkan lokasi. Rasa sakit yang umumnya mulai sebagai nyeri lokal dan samar-
samar (yaitu reseptor viseral yang terpengaruh) sebagai peradangan.1,3
Pada nyeri akut berupa nyeri dirasakan segera dan dalam waktu yang singkat atau
mendadak perlu ditanyakan pula apakah disertai panas badan, muntah, diare,
konstipasi, disuria, batuk, napas pendek, nyeri dada, nyeri sendi, ruam, urin
kemerahan, amenorrhoea, dan penggunaan obat ataupun keracunan.
Pada nyeri kronik atau berulang terjadi bila keluhan lebih dari 3 bulan hilang
timbul dan penilaian nyeri dapat menggunakan sekala nyeri. Dapat bersifat fungsional
95% ataupun organik 5%.1,3
Laboratorium
Dalam kasus yang cukup sulit, pemeriksaan laboratorium yang sering dilakukan
termasuk hitung darah lengkap, laju endap darah, feses, dan urin. Pemeriksaan
penunjang lainnya pun diperlukan pada nyeri abdomen akut: radiologi (foto polos,
barium meal atau barium enema dan ultrasonografi abdomen (USG). Pada nyeri perut
kronik diperlukan pemeriksaan lain, seperti antigen feses untuk Helicobacter pylori, uji
napas dengan urea, uji urease, uji serologi, dan endoskopi.13
Pendekatan pada nyeri perut akut dapat menggunakan alogaritme seperti
diperlihatkan Gambar 2 di atas.
Nyeri Perut
Nyeri perut sering terjadi pada bayi dan anak.
Prognosis lebih baik jika terdiagnosis lebih awal dan tata laksana segera sangat
penting untuk mengurangi risiko kerusakan usus (nekrosis). Anak yang pernah
2. Volvulus
Volvulus diawali karena terdapat malrotasi atau pemutaran pada organ saluran
yang dapat terjadi pada fase pembentukan embrional, terjadi keadaan memuntir
pada lokasi tertentu sehingga dapat menyebabkan vaskularisasi terblokade,
iskemia, dan obstruksi. Hal ini mengakibatkan nekrosis pada jaringan yang terkena
dan menyebabkan kedaruratan bedah, sedangkan keterlambatan dalam intervensi
bedah dapat menyebabkan sindom usus pendek atau kematian.20,21 Pasien dengan
volvulus dapat memiliki gejala seperti muntah, gagal tumbuh, nyeri perut, ataupun
gejala lain yang tidak spesifik.21
Volvulus dapat terjadi pada berbagai lokasi seperti volvulus gaster yang memiliki
gejala muntah tidak hijau (nonbileous) dan jika diketahui lebih awal dan ditata
laksana segera akan memberikan hasil yang baik, sedangkan jika terlambat dapat
mengancam jiwa.2224 Insidensi volvulus gaster tidak diketahui secara jelas karena
masih ada kasus-kasus yang tidak terdiagnosis. Sekitar 1520% terjadi pada anak
usia urang dari satu tahun dan sering berhubungan dengan defek diafragma
kongenital.
Pada volvulus usus kecil dapat berupa gambaran muntah kehijauan (bilious),
sedangkan volvulus pada usus besar sering disertai buang air besar disertai darah.
Volvulus intestinal (midgut) terjadi karena malrotasi terutama pada dasar
mesenterium yang kemudian usus halus berputar atau terpuntir di sekitar arteri
mesentrik superior sehingga terjadi gangguan vaskular yang dapat menyebabkan
iskemia dan nekrosis.21 Volvulus biasanya sering terjadi pada usia kurang dari 1
tahun, tetapi dapat terjadi pada usia berapa pun. Bila terjadi obstruksi dapat
mengakibatkan muntah yang berwarna kehijauan (empedu) dan rasa nyeri,
meskipun rasa nyeri sangat sulit diketahui pada bayi, namun muntah berwarna
hijau merupakan salah satu tanda kedaruratan bedah serta buang air besar disertai
darah sebagai gejala klinis akhir.2123
Gambar 4 Volvulus dengan Gambaran Diagnostik Penunjang (a) Volvulus Gaster, (b)
Volvulus
23 21 20 26
Sumber: a. Jeyarajah dan Harford; b. Saigal dkk.; c. Francesco dkk., Yamamoto,
www.biology-forums.com, dan http://cursoenarm.net/UPTODATE/contentsmobi
preview.htm?31/1/31763
Tata laksananya adalah berupa tindakan bedah, yaitu lambung atau usus harus
dipilin (dikembalikan ke posisi anatomis) sebelum nekrosis.20,21
toksin
clostridium
Disfagia persisten
work up
Abdominal Migraine
dieksklusi
Upper Gi series: jika
aktivitas harian
Gambar 6 Histologi Antrum dengan Infeksi Helicobacter pylori Bakteri Spiral dengan
Flagel, Ulkus Antrum
34
Sumber: Ermaya dan Prasetyo
Manifestasi klinis yang ditemukan sangat bervariasi, sebagian besar tidak bergejala,
dan jarang menimbulkan gejala khusus. Kelainan yang mungkin timbul, yaitu ulkus
peptikum atau ulkus duodenum yang menimbulkan gejala dispepsia atau nyeri perut
berulang, serta juga dilaporkan muntah dan hematemesis.32,34 Pada anamnesis sering
dijumpai keluhan dispepsia, nyeri perut berulang, muntah, dan hematemesis. Dengan
pemeriksaan fisis didapatkan nyeri tekan epigastrum. Pemeriksaan penunjang sebagai
baku emas adalah pemeriksaan endoskopi untuk mengetahui diagnosis anatomis dan
histologis serta mengetahui infeksi HP (Tabel 4).3235
Bila terbukti didapatkan nyeri perut berulang disebabkan oleh infeksi HP, segera
dilakukan eradikasi dengan tujuan penyembuhan ulkus dan menghilangkan gejala.
Target hasil eradikasi >80%.
Tata laksana dan pengobatan memiliki prinsip, yaitu tidak dianjurkan pemberian
antibiotik tunggal; dianjurkan penggunaan 2 macam antibiotik; pilihan selanjutnya: 3
macam antibiotik + penghambat pompa proton (proton pump inhibitor/PPI).3236
Terapi tripel, yaitu PPI, amoksisilin, dan klaritromisin/metronidazol. Pemberian
eradikasi tripel, PPI dan 2 antibiotik 714 hari merupakan obat pilihan utama.32 Pada
tata laksana terapi H. pylori dapat menggunakan alur seperti diperlihatkan Gambar 7.33
Bismuth-AMO-MET atau
HP
tereradikasi?
Tes noninvasif untuk
HP
tereradikasi? Bismuth
Terapi Quadriple
Daftar Pustaka
1. Leung A, Sigalet DL. Acute abdominal pain in children. Am Fam Physician.
2003;67:23216.
2. Kim JS. Acute abdominal pain in children. Pediatr Gastroenterol Hepatol Nutr.
2013;16(4):21924.
3. Ross A, LeLeiko NS. Acute abdominal pain. Pediatr Rev 2010;31(4):13544.
4. Balanchandran B, Singhi S, Lal S. Emergency management of acute abdomen in
children. Indian J Pediatr. 2013;80(3):22634.
5. Acute abdominal pain-symptoms of digestive disorder [diunduh 20 Oktober 2016].
Tersedia dari: https://www.pinterest.com/pin/397161260865604285.
6. Bines JE, Kohl KS, Forster J, Zanardi LR, Davis RL, dkk. Acute intussusception in
infants and children as an adverse event following immunization: case definition
and guidelines of data collection, analysis, and presentation. Vaccine.
2004;22:56974.
7. Bines JE, Patel M, Parashar U. Assessment of postlicensure safety of rotavirus
vaccines, with emphasis on intussusception. J Infect Dis. 2009;200 Suppl 1:S282
90.
8. WHO. Acute intussusception in infants and children. Incidence, clinical
presentation and management: a global perspective. Geneva: World Health
Organization. Document WHO/V & B/02.19. 2002;198.
22. Cribbs RK, Gow KW, Wulkan ML. Gastric volvulus in infants and children.
Pediatrics. 2008;122:e75262 .
23. Jeyarajah DR, Harford WH. Abdominal hernias and gastric volvulus. 2015 (diunduh
10 November 2016). Tersedia dari: www.ClinicalGat.
24. Volvulus [diunduh 11 November 2016]. Tersedia dari: www.biology-forums.com
25. Midgut volvulus [diunduh 10 November 2016]. Tersedia dari: http://cursoenarm.
net/UPTODATE/ contents/mobipreview.htm?31/1/31763.
26. Yamamoto LG. Bilious vomiting in a 3-month old radiology cases in pediatric
emergency medicine [diunduh 8 November 2016]. Tersedia dari: https://www.
hawaii.edu/medicine/pediatrics/ pemxray/v3c17.html.
27. Apley J. The child with recurrent abdominal pain. Pediatr Clin North Am.
1967;14:6372.
28. Chronic abdominal pain in children. American Academy of Pediatrics North
American Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition
Clinical Report Guidance for the clinician in rendering pediatric care. Pediatrics.
2005;115(3):8125.
29. Cooke HJ. Role of the little brain in the gut in water and electrolyte
homeostasis. FASEB J. 1989;3:12738.
30. Drossman DA, Camilleri M, Mayer EA, Whitehead WE. AGA technical review on
irritable bowel syndrome. Gastroenterology. 2002;123:210831.
31. Whitehead WE, Bosmajian L, Zonderman AB, Costa PT Jr, Schuster MM.
Symptoms of psychologic distress associated with irritable bowel syndrome.
Comparison of community and medical clinic samples. Gastroenterology.
1988;95:70914.
Pendahuluan
Anak terinfeksi HIV sering kali didiagnosis saat berusia di bawah 5 tahun, tepatnya
sekitar 60% bayi yang terpajan HIV baru dilakukan pemeriksaan saat usia 1216 bulan.
Hal ini menyebabkan kesulitan yang tinggi untuk mendapatkan kasus bayi yang
terpapar HIV.1 Untuk itu diperlukan upaya pencegahan, perawatan, dan pengobatan
yang komprehensif terhadap bayi yang terpajan dan terinfeksi HIV, dimulai sejak bayi
dalam kandungan.2,3 Perawatan anak yang terinfeksi HIV memerlukan penanganan
komprehensif untuk mengejar ketertinggalannya dibanding dengan pasien dewasa.4
Tantangan untuk memperkuat pelayanan kesehatan HIV pada pasien anak meliputi
sulitnya menerapkan program pencegahan dari ibu ke anak (PPIA), hilangnya
kesempatan identifikasi bayi HIV selama periode postnatal, tantangan dalam diagnosis
dini pada bayi, prioritas terapi belum diberikan pada pasien anak, keterlambatan
ketersediaan dosis obat ARV pada anak, dan keterbatasan jumlah tenaga ahli HIV pada
anak di antara penyedia jasa layanan kesehatan.4
Tes HIV
HIV ditegakkan
selama kehamilan
HIV ditegakkan
sebelum kehamilan
Menyusui
(ASI/botol)
Masalah kognitif selalu relevan dalam HIV. Berikut adalah beberapa masalah atau
gangguan kognitif yang terkait dengan HIV.5
1. Gangguan neurokognitif yang tidak bergejala/asymptomatic neurocognitive
impairment (ANI).
Prestasi atau kinerja minimal 1 SD di bawah rata-rata skor demografis disesuaikan
dengan skor normatif, setidaknya pada dua area kognitif (pengolahan informasi-
perhatian, bahasa, abstraksi-eksekutif, kompleks persepsi keterampilan motorik,
memori termasuk belajar dan mengingat, serta keterampilan motorik sederhana
atau kemampuan perseptual sensorik yang sederhana).
2. Gangguan kognitif sederhana yang berkaitan dengan HIV/HIV-associated mild
neurocognitive disorder (MND).
- Prestasi/kinerja minimal 1 SD di bawah norma demografis terkoreksi pada tes
setidaknya di dua domain kognitif yang berbeda.
- Mengganggu sedikit aktivitas sehari-hari.
3. Gangguan neurokognitif yang berkaitan dengan HIV/grading system for HAND (HIV
associated neurocognitive disorder).
4. Demensia yang berkaitan dengan HIV/HIV-associated dementia (HAD).
Prestasi/kinerja minimal kurang dari 2 SD di bawah rata-rata skor demografis
Penerima manfaat layanan terpadu bersifat lebih luas meliputi pasangan dan/atau
pasangan seksual, anggota keluarga, bahkan mungkin masyarakat sekitar.711 Layanan
kesehatan HIV yang berpusat pada keluarga harus mencakup diagnosis HIV secara
tepat pada ibu dan anak, profilaksis kotrimoksazol, serta terapi ARV jangka panjang
untuk seluruh anggota keluarga. Hal ini juga dapat mencakup sejumlah intervensi
kesehatan lainnya, termasuk pengobatan infeksi oportunistik (IO) di antaranya
PEMERIKSAAN KLIEN
Kajian klinis tanda dan gejala. Pemeriksaan kepatuhan terhadap
Penentuan stadium klinis HIV. pengobatan.
Rujukan untuk layanan khusus, baik (a) Kajian status tuberkulosis dan tata laksana
internal (contoh oftalmologi, kesehatan bila ada.
mental, gigi) dan (b) eksternal
(perawatan untuk dewasa).
PEMANTAUAN
Enam bulan pertama: pengisian ulang Ketika stabil: pengisian ulang tiap 23
kotrimoksazol dan antiretrovirus. bulan.
PENGATURAN
Penyaluran dan pencatatan obat. Pencatatan data pada kartu.
Jadwal kunjungan pemantauan. Pemantauan perawatan anggota
Hubungan dengan layanan komunitas. keluaraga.
Pelayanan kesehatan anak HIV yang terjangkau di masyarakat bukanlah hal yang
mudah karena masalah kemiskinan, akses transpor yang sulit, dan ketika anak
mungkin hidup berpindah-pindah sehingga orangtua serta pengasuh merupakan kunci
utama tata laksana HIV pada anak. Stigma dan diskriminasi terhadap pasien HIV masih
Simpulan
Pendekatan layanan kesehatan HIV yang berpusat pada keluarga telah
mengintegrasikan diagnosis dini pada anak, pencegahan, pengobatan, serta perawatan
ke dalam layanan kesehatan rawat jalan dan rawat inap, juga pelayanan kesehatan ibu
dan anak, baik di rumah sakit maupun puskesmas. Diharapkan dengan pelayanan
terintegrasi, anak terinfeksi HIV akan mendapat pengelolaan yang baik sepanjang
hidupnya.
Daftar Pustaka
1. Republic of Uganda. Global AIDS response progress report. Uganda AIDS
Commission; April 2012.
2. WHO UNICEF. Scale up of HIV related prevention, diagnosis, care and treatment
for infants and children. A programming framework. Geneva, Switzerland: WHO
UNICEF; 2008.
3. DeGennaro V. Strategic advocacy priorities to eliminate pediatric HIV/AIDS, 2007
2008: background paper for advocacy summit on children and AIDS, Brussels,
Belgium, 1315 March 2007. Global AIDS Alliance, New York.
4. Belsey M. AIDS and the family: policy options for a crisis in family capital. New
York, United Nations: Department of Economic and Social Affairs; 2005.