Anda di halaman 1dari 239

Proceeding Book PIKAB XIII

Improving Knowledge and Skill in


Pediatric Health Care

Bandung, 2627 November 2016

Editor: Prof. Herry Garna, dr., Sp.A(K), Ph.D

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


FK UNPAD/RSUP Dr. HASAN SADIKIN BANDUNG
Proceeding Book PIKAB XIII

Improving Knowledge and Skill in


Pediatric Health Care
Bandung, 2627 November 2016

ISBN: 978-602-71594-5-7

Editor: Prof. Herry Garna, dr., Sp.A(K), Ph.D

Diterbitkan oleh
Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung
Jl. Pasteur No. 38 Bandung 40161
Telp. & Faks. 0222035957; E-mail: dikarshs@yahoo.com

Cetakan pertama, November 2016

Hak Cipta dilindungi oleh undang-undang.


Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh
isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit
SAMBUTAN KETUA PANITIA

Anak adalah investasi masa depan yang perlu dijaga dan dipersiapkan potensinya dari
sejak dini. Oleh karena itu, Ilmu Kesehatan Anak memiliki tujuan untuk dapat
mengembangkan potensi dari setiap anak sampai semaksimal mungkin. Ilmu
kedokteran sendiri selalu berkembang dari masa ke masa dan menghasilkan ilmu
pengetahuan baru, baik dari sisi etiologi penyakit, pemeriksaan maupun tata
laksananya. Long life study menjadi suatu kewajiban yang harus diterapkan bagi semua
pihak, terutama para dokter dan tenaga kesehatan. Seorang spesialis anak wajib
mempelajari secara berkesinambungan setiap pembaharuan yang terjadi dalam ilmu
pengetahuan kedokteran demi meningkatkan kualitas penanganan pasien terutama
dalam era jaminan kesehatan nasional BPJS sekarang ini.

Kegiatan dalam Pendidikan Ilmu Kedokteran Berkelanjutan kali ini berupa kuliah
umum, simposium, dan workshop. Proceeding book ini memuat semua materi yang
disampaikan pada kuliah umum PIKAB XIII yang bertujuan agar peserta dokter dan
dokter spesialis anak dapat meningkatkan kemampuan dan keahliannya dalam
menghadapi dan menangani masalah kesehatan anak.

Di dalam proses penyusunannya, buku ini tentu tidak luput dari berbagai kesalahan,
namun kami mengharapkan hal tersebut tidak akan mengurangi makna buku ini. Kami
berharap buku ini bermanfaat dan dapat menjadi rujukan sejawat sekalian dalam
praktik sehari-hari. Akhir kata, selamat mengikuti kegiatan Pendidikan Ilmu
Kedokteran Anak Berkelanjutan.

Ketua Panitia,

Dr. Dwi Prasetyo, dr., SpA(K)., MKes.

Bandung, 2627 November 2016 iii


SAMBUTAN KEPALA DEPARTEMEN
ILMU KESEHATAN ANAK FK UNIVERSITAS PADJADJARAN/
RSUP Dr. HASAN SADIKIN BANDUNG

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ilmu kedokteran adalah ilmu yang selalu berkembang dari masa ke masa dan
menghasilkan penemuan baru baik dari sisi etiologi penyakit maupun pengobatannya.
Dalam praktik sehari-hari dokter dan dokter spesialis anak diharapkan selalu dapat
meningkatkan kompetensi dalam keilmuan dan keahlian seiring dengan ilmu
kedokteran yang selalu berkembang. Untuk dapat mencapai tujuan tersebut, dokter
dan dokter spesialis anak dituntut untuk mengikuti perkembangan muktahir dalam
bidang Ilmu Kesehatan Anak. Tantangan global yang dihadapi oleh dokter anak
Indonesia adalah berlakunya masyarakat ekonomi ASEAN sejak tahun 2015 sehingga
kualitas dokter anak Indonesia harus ditingkatkan agar memiliki daya saing yang tinggi.

Saat ini Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK Unpad/RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung
menyelenggarakan acara PIKAB XIII dengan mengambil tema "Improving Knowledge
and Skill in Pediatric Health Care". Para dokter spesialis anak diharapkan dapat selalu
meningkatkan keilmuan mereka dalam praktik sehari-hari sehingga dapat memberikan
pelayanan kesehatan yang berkualitas dan bermutu.

Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih kepada para pembicara dan penghargaan
kepada panitia penyelenggara serta semua pihak yang telah membantu dan
memberikan dukungan sehingga PIKAB XIII dapat terlaksana dengan baik.

Wassalamu'alaikum warahmatullohi wabarakatuh.

Kepala Departemen Ilmu Kesehatan Anak


FK Unpad/RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung

Dr. H. Djatnika Setiabudi, dr., Sp.A(K)., MCTM(Trop.Ped.)

iv Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


DAFTAR ISI

Sambutan Ketua Panitia iii


Sambutan Kepala Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK Universitas iv
Padjadjaran/RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung
Daftar Isi v
Susunan Panitia vi
Daftar Kontributor viii
Susunan Acara ix

Simposium Hari Pertama


Basic Concept of Critical Congenital Heart Diseases 1

Deteksi Dini Penyakit Jantung Bawaan Kritis dalam 19


Praktik Sehari-hari
Endokarditis Infektif pada Anak: Etiologi dan Tata Laksana 36
Pemberian Antimikrob
Asma pada Anak 49
Diagnostik dan Tata Laksana Kolestasis pada Bayi 68
Diagnostik Penyakit Autoimun dalam Fasilitas KesehatanTerbatas 85

Simposium Hari Kedua


Tuberkulosis pada Anak: Update 2016 97
Diagnosis dan Tata Laksana Alergi Makanan pada Anak 119
Pitfall dalam Terapi Antibiotik 145
Masalah yang Sering Ditemukan dalam Tata Laksana Diabetes Melitus 165
pada Anak (Diabetes Melitus Tipe-1 dan Ketoasidosis Diabetikum)
Pendekatan Komprehensif Nyeri Perut pada Anak 186
Children Living with Human Immunodeficiency Virus (HIV) 207

Bandung, 2627 November 2016 v


SUSUNAN PANITIA

Pelindung Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran


Direktur Utama RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung
Penasihat Prof. Dr. Nanan Sekarwana, dr., Sp.A(K)., MARS
Panitia Pengarah Kepala Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Padjadjaran/RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung
Ketua Dr. Dwi Prasetyo, dr., Sp.A(K), MKes.
Wakil Ketua Aris Primadi, dr., Sp.A(K)
Sekretaris Anggraini Alam, dr., Sp.A(K)
Mia Milanti Dewi, dr., Sp.A, MKes.
Bendahara Diah Asri Wulandari, dr., Sp.A(K)

Seksi Ilmiah
Koordinator Dr. Sri Endah Rahayuningsih, dr., Sp.A(K)
Anggota Prof. Herry Garna, dr., Sp.A(K., Ph.D
Sri Sudarwati, dr., Sp.A(K)
Rd. Reni Ghrahani, dr., Sp.A(K), MKes.
Rahmat Budi Kuswiyanto, dr., Sp.A(K), MKes.
Novina, dr., Sp.A, MKes.
Yudith Setiati Ermaya, dr., Sp.A, MKes.
Nur Melani Sari, dr., Sp.A, MKes.
Seksi Dana
Koordinator Dr. Nelly Amalia Risan, dr., Sp.A(K)
Anggota Prof. Cissy B. Kartasasmita, dr., Sp.A(K), MSc., Ph.D
Prof. Dr. Sjarief Hidajat Effendi, dr., Sp.A(K)
Prof. Dr. Kusnandi Rusmil, dr., Sp.A(K), MM
Prof. Dr. Budi Setiabudiawan, dr., Sp.A(K), MKes.
Viramitha Kusnandi Rusmil, dr., Sp.A, MKes.
Seksi Pameran Stanza Uga Peryoga, dr., Sp.A, MKes.

vi Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


Seksi Sidang dan Acara
Koordinator Nur Suryawan, dr., Sp.A, MKes.
Anggota Putria Rayani Apandi, dr., Sp.A, MKes.

Seksi Publikasi, Ahmedz Widiasta, dr, Sp.A, MKes.


Dokumentasi & Fina Meilyana, dr., Sp.A, MKes.
Dekorasi
Seksi Konsumsi Dewi Hawani, dr., Sp.A(K)

Seksi Logistik & Riyadi, dr., Sp.A, MKes.


Perlengkapan

Seksi Akomodasi Gartika Sapartini, dr., Sp.A, MKes.


Rini Rossanti, dr., Sp.A, MKes.
Seksi Keamanan & Rodman Tarigan, dr., Sp.A, MKes.
Kesehatan

Bandung, 2627 November 2016 vii


DAFTAR KONTRIBUTOR

Prof. Alex Chairulfatah, dr., Sp.A(K) Prof. Dr. Heda Melinda N. Nataprawira, dr.,
Divisi Infeksi dan Penyakit Tropis Sp.A(K), MKes.
Divisi Respirologi

Anggraini Alam, dr., Sp.A(K) Novina, dr., Sp.A, MKes.


Divisi Infeksi dan Penyakit Tropis Divisi Endokrinologi

Prof. Dr. Budi Setiabudiawan, dr., Sp.A(K), Rahmat Budi Kuswiyanto, dr., Sp.A(K),
MKes. MKes.
Divisi Alergi dan Imunologi Divisi Kardiologi

Prof. Cissy B. Kartasasmita, dr., Sp.A(K), Rd. Reni Ghrahani, dr., Sp.A(K), MKes.
MSc., Ph.D Divisi Alergi dan Imunologi
Divisi Respirologi

Dr. Djatnika Setiabudi, dr., Sp.A(K)., Dr. Sri Endah Rahayuningsih, dr., Sp.A(K)
MCTM(Trop.Ped.) Divisi Kardiologi
Divisi Infeksi dan Penyakit Tropis

Dr. Dwi Prasetyo, dr., SpA(K)., MKes. Yudith Setiati Ermaya, dr., Sp.A, MKes.
Divisi Gastroenterohepatologi Divisi Gastroenterohepatologi

viii Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


SUSUNAN ACARA

Sabtu, 26 November 2016


07.3008.30 Registrasi
08.3008.45 Pembukaan:
Sambutan Ketua Panitia
Sambutan Kepala Departemen
Sesi 1:
Moderator: Prof. Dr. Kusnandi Rusmil, dr., Sp.A(K), MM
08.4509.05 Basic Concept of Critical Congenital Heart Diseases
Dr. Sri Endah Rahayuningsih, dr., Sp.A(K)
09.0509.25 Deteksi Dini Penyakit Jantung Bawaan Kritis dalam
Praktik Sehari-hari
Rahmat Budi Kuswiyanto, dr., Sp.A(K), MKes.
09.2509.45 Endokarditis Infektif pada Anak: Etiologi dan Tata Laksana
Pemberian Antimikrob
Dr. Djatnika Setiabudi, dr., Sp.A(K), MCTM(Trop.Ped.)
09.4510.15 Diskusi
10.1510.45 Coffee Break Meeting
Sesi 2:
Moderator: Prof. Azhali M. S., dr., Sp.A(K)
10.4511.05 Asma pada Anak
Prof. Cissy B. Kartasasmita, dr., Sp.A(K), MSc., Ph.D
11.0511.25 Diagnostik dan Tata Laksana Kolestasis pada Bayi
Dr. Dwi Prasetyo, dr., Sp.A(K), MKes.
11.2511.45 Diagnostik Penyakit Autoimun dalam Fasilitas Kesehatan
Terbatas
Rd. Reni Ghrahani, dr., Sp.A(K), MKes.
11.4512.15 Diskusi
12.1513.15 Lunch Symposium
13.1514.00 ISHOMA
14.0017.00 Workshop

WORKSHOP
Alergi Imunologi : Henoch Schonlein Purpura Management
Endokrinologi : Skrining Hipotiroid Kongenital
Gastrohepatologi : Cholestatic Jaundice
Infeksi & Penyakit Tropis : Common Problems of Infectious Disease in
Outpatient Care
Kardiologi : Screening for Critical Congenital Heart Diseases in
Newborn
Respirologi : Asma pada Anak

Bandung, 2627 November 2016 ix


Minggu, 27 November 2016
Sesi 3:
Moderator: Prof. Dr. Dedi Rachmadi Sambas, dr., Sp.A(K), MKes.
08.3008.50 Tuberkulosis pada Anak: Update 2016
Prof. Dr. Heda Melinda N. Nataprawira, dr., Sp.A(K), MKes.
08.5009.10 Diagnosis dan Tata Laksana Alergi Makanan pada Anak
Prof. Dr. Budi Setiabudiawan, dr., Sp.A(K), MKes.
09.1009.30 Pitfall dalam Terapi Antibiotik
Prof. Alex Chairulfatah, dr., Sp.A(K)
09.3010.00 Diskusi
10.0010.30 Rehat kopi
Sesi 4:
Moderator: Prof. Dr. Dida A. Gurnida, dr., Sp.A(K), MKes.
10.3010.50 Masalah yang Sering Ditemukan dalam Tata Laksana
Diabetes Melitus pada Anak (Diabetes Melitus Tipe-1
dan Ketoasidosis Diabetikum)
Novina, dr., Sp.A, MKes.
10.5011.10 Pendekatan Komprehensif Nyeri Perut pada Anak
Yudith Ermaya, dr., Sp.A, MKes.
11.1011.30 Children Living with Human Immunodeficiency Virus (HIV)
Anggraini Alam, dr., Sp.A(K)
11.3012.00 Diskusi
12.0013.00 Lunch Symposium
13.0014.00 ISHOMA
14.0017.00 Workshop

WORKSHOP
Alergi Imunologi : Cows Milk Allergy Prevention and Management
Endokrinologi Neonatologi : Neonatal Hypoglicemia Management
Gastrohepatologi : Recurrent Abdominal Pain: Diagnostic and
Management
Infeksi & Penyakit Tropis : Common Problem in Infectious Disease in
Outpatients
Kardiologi : Screening for Critical Congenital Heart Diseases in
Newborn
Respirologi : Tuberculosis Update: the Role of Pediatrician in
Ambulatory Care Setting

x Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


Basic Concept of Critical Congenital Heart Diseases
Sri Endah Rahayuningsih

Pendahuluan
Penyakit jantung bawaan (PJB) kritis merupakan bagian dari penyakit jantung bawaan
yang menyebabkan gejala yang berat dan mengancam jiwa yang memerlukan
intervensi dalam tahun pertama kehidupan.1
Insidensi penyakit jantung bawaan di Amerika Serikat dan Eropa berkisar antara 7
hingga 9 kasus tiap 1.000 kelahiran hidup. Dua puluh lima hingga 30% di antaranya
merupakan penyakit jantung bawaan kritis. Penyakit jantung bawaan merupakan
penyebab kematian terbanyak pada tahun pertama kehidupan dengan prevalensi 3%
dari total kematian pada bayi dan lebih dari 40% total kematian akibat malformasi
kongenital.1
Angka kelahiran di Indonesia menurut profil kependudukan dan pembangunan
BKKBN tahun 2013 adalah 4.242.300 jiwa,2 dengan insidensi PJB sebesar 810%
kelahiran hidup maka jumlah penderita PJB Indonesia tahun 2013 diperkirakan sekitar
339.384 hingga 424.230 kasus. Angka kelahiran di Jawa Barat pada tahun 2013
menurut Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat sebesar 850.000 kelahiran tiap tahun 3
sehingga diperkirakan terdapat 68.000 hingga 85.000 kasus PJB tiap tahunnya di Jawa
Barat. Dengan perkiraan prevalensi PJB kritis sebesar 25% dari seluruh PJB maka dapat
diperkirakan pevalensi PJB kritis di Indonesia sebesar 84.846 hingga 106.057 kasus
pada tahun 2013, sementara di Jawa Barat sekitar 17.00021.250 kasus tiap tahunnya.
Angka kematian akibat PJB kritis di Amerika Serikat mencapai 29% dari seluruh
kematian akibat kelainan kongenital dan sekitar 5,7% seluruh kematian pada bayi. 4 Di
Eropa Barat prevalensinya 45% dari seluruh kematian yang disebabkan oleh kelainan
kongenital, sementara di Amerika Latin, Amerika Utara, Eropa Timur, dan Asia Pasifik
(termasuk Jepang) proporsinya sekitar 35%, 37%, 42%, dan 48%. 5
Penyakit jantung bawaan kritis memiliki onset gejala dan derajat keparahan yang
beragam. Gejala dapat timbul beberapa jam, hari bahkan minggu setelah kelahiran

Bandung, 2627 November 2016 1


dengan gambaran klinis yang tidak begitu jelas, sementara pada keadaan lain dapat
menimbulkan kebiruan, penurunan perfusi jaringan, serta sesak secara mendadak.
Keadaan ini disebabkan oleh sirkulasi transisi pada 68 minggu pertama kehidupan
serta mekanisme kompensasi tubuh untuk mempertahankan keseimbangan normal.
Gejala baru jelas muncul setelah tubuh gagal mengompensasi proses kegawatan yang
terus berlanjut atau pada kelainan yang sangat berat.4
Penyakit jantung bawaan kritis mencakup 7 kelainan primer yang menjadi target
utama untuk skrining oksimetri karena hampir selalu menyebabkan hipoksemia.
Penyakit jantung bawaan kritis primer meliputi sindrom hipoplasia jantung kiri, atresia
pulmonal, tetralogi Fallot, anomali total aliran vena pulmonal, transposisi arteri besar,
atresia trikuspidalis, dan trunkus arteriosus.1
Keterlambatan diagnosis penyakit jantung bawaan kritis akan menyebabkan
komplikasi serius termasuk kejang serta kegagalan organ vital termasuk henti jantung
dan kematian. Deteksi dini merupakan kunci untuk dapat menegakkan diagnosis
sebelum terjadi komplikasi serius pada PJB kritis.4
Untuk dapat melakukan deteksi dini diperlukan pengetahuan mengenai sirkulasi
pada masa janin dan perinatal merupakan bagian terpenting dalam memahami
patofisiologi, manifestasi klinis, dan perjalanan penyakit penyakit jantung bawaan
kritis.

Sirkulasi Janin
Terdapat perbedaan antara sirkulasi janin dan sirkulasi dewasa dalam beberapa hal.
Hampir keseluruhan perbedaan terkait pada perbedaan lokasi pertukaran gas. Pada
sirkulasi dewasa pertukaran gas terjadi di paru-paru, sedangkan pada janin pertukaran
gas dan nutrisi terjadi di plasenta.6
Terdapat empat pirau pada sirkulasi janin, yaitu plasenta, duktus venosus, foramen
ovale, dan duktus arteriosus. Hal-hal yang perlu diketahui pada sirkulasi janin. 6
1. Plasenta menerima darah terbanyak dari keluaran ventrikel (55% dari kiri dan
kanan) dan memiliki tahanan terendah pada janin.

2 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


2. Vena kava superior menerima aliran darah yang berasal dari bagian atas tubuh,
termasuk aliran darah yang berasal dari otak (15% dari luaran ventrikel), vena kava
inferior menerima aliran darah dari bagian bawah tubuh dan plasenta (70% dari
total luaran ventrikel). Oleh karena oksigenasi darah terjadi di plasenta, saturasi
oksigen di vena kava inferior (70%) lebih tinggi dibanding dengan vena kava
superior (40%). Kadar tekanan oksigen tertinggi didapat dari vena umbilikalis (32
mmHg).
3. Sebagian besar aliran darah dari vena kava superior akan kembali ke ventrikel
kanan. Sepertiga () darah dari vena kava inferior dengan kadar oksigen yang lebih
tinggi akan kembali ke atrium kanan melalui foramen ovale dan -nya kembali ke
ventrikel kanan dan arteri pulmonal. Dampak dari sirkulasi ini adalah otak dan
sirkulasi koroner akan menerima darah dengan kadar oksigen yang tinggi (PO2: 28
mmHg) dibanding dengan bagian tubuh bawah (PO2: 24 mmHg).
4. Darah dengan kadar oksigen rendah pada arteri pulmonal akan mengalir melalui
duktus arteriosus menuju aorta desenden dan selanjutnya ke plasenta untuk
dioksigenasi.

Dimensi Ruang Jantung


Perbandingan gabungan luaran ventrikel yang melewati ruang jantung dan pembuluh
darah utama digambarkan pada dimensi relatif ruang jantung dan pembuluh darah.
Oleh karena paru-paru hanya menerima 15% dari luaran ventrikel, percabangan
dari arteri pulmonal sangat kecil yang akan menimbulkan terdengarnya murmur pada
bayi baru lahir yang diaikbatkan oleh aliran darah yang melalui arteri pulmonal
percabangan penting dalam pembentukan murmur pulmonalis pada bayi baru lahir.
Ventrikel kanan memiliki ukuran yang lebih besar dan dominan dibanding dengan
ventrikel kiri. Ventrikel kanan menerima 55% dari luaran ventrikel gabungan,
sedangkan ventikel kiri menerima 45% dan luaran ventrikel gabungan. Sebagai
tambahan, tekanan pada ventrikel kanan sama dengan tekanan ventrikel kiri (tidak
seperti pada sirkulasi dewasa). Hal ini dapat tertangkap pada gambaran EKG bayi baru

Bandung, 2627 November 2016 3


lahir yang memperlihatkan tekanan
ventrikel kanan yang lebih tinggi
dibanding dengan EKG pada orang
dewasa.6

Gambar 1 Diagram Sirkulasi Janin yang


menunjukkan 4 pirau: plasenta, duktus
venosus, foramen ovale, dan duktus
arteriosus. Arsiran pada gambar
menunjukkan kadar saturasi oksigen,
dengan arsiran terang menunjukkan
kadar PO2 tinggi. Angka pada ruang bilik
dan kamar menunjukkan kadar PO2
dalam mmHg. IVC, inferior vena cava; LA,
left atrium; LV, left ventricle; PV,
pulmonary vein; RA, right atrium; RV,
right ventricle; SVC, superiorvena cava; v,
vein.

Curah Jantung Janin


Tidak seperti jantung orang dewasa yang mampu menambah isi sekuncup apabila
terjadi penurunan denyut jantung, jantung bayi tidak mampu meningkatkan isi
sekuncup apabila terjadi penurunan denyut jantung karena komplians jantung yang
rendah. Oleh karena itu, curah jantung bayi sangat bergantung pada denyut jantung,
apabila denyut jantung turun seperti pada keadaan tertekan, dampak bahaya muncul
sebagai akibat penurunan curah jantung.6

Perubahan pada Sirkulasi Darah Setelah Lahir


Perubahan utama yang terjadi pada sirkulasi darah setelah lahir adalah perpindahan
tempat pertukaran gas dan nutrisi dari plasenta ke paru-paru. Sirkulasi plasenta
berangsur-angsur menghilang dan sirkulasi paru-paru menetap.6

4 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


1. Pemotongan tali pusat yang akan menghentikan sirkulasi ke plasenta
mengakibatkan hal-hal sebagai berikut:
a. terjadi peningkatan tahanan sirkulasi sistemik (karena plasenta memiliki
tahanan vaskular sistemik terendah pada janin);
b. berhentinya aliran darah pada vena umbilikal menyebabkan penutupan duktus
arteriosus.
2. Pengembangan paru-paru akan menyebabkan:
a. penurunan tahanan vaskular pulmonal, peningkatan aliran darah pulmonal, dan
penurunan tekanan arteri pulmonal (Gambar 2);
b. penutupan foramen ovale secara fungsional akibat tekanan atrium kiri lebih
tinggi daripada atrium kanan. Tekanan atrium kanan menurun akibat
penutupan duktus venosus;
c. penutupan duktus arteriosus persisten akibat peningkatan saturasi oksigen
arteri pulmonalis.
Perubahan tekanan vaskular pumonal dan penutupan duktus arterious persisten
sangat penting dalam memahami berbagai jenis penyakit jantung bawaan.

Tahanan Vaskular Paru


Tahanan vaskular pulmonal hampir sama tinggi dengan tahanan vaskular sistemik
menjelang atau pada saat lahir. Tahanan vaskular pulmonal yang tinggi dipertahankan
oleh peningkatan jumlah otot polos dinding pembuluh darah arteriol dan hipoksia
alveoli yang disebabkan oleh kolaps paru. Pengembangan paru yang mengakibatkan
peningkatan tekanan oksigen dalam alveoli menyebabkan penurunan cepat tahanan
pembuluh darah paru. Penurunan yang cepat ini juga disebabkan oleh efek
vasodilatasi dari oksigen pada pembuluh darah paru. Pada usia minggu ke-6 dan ke-8
terjadi penurunan yang lambat tahanan vaskular pulmonal dan tahanan sistemik.
Penurunan ini berhubungan dengan penipisan lapisan tengah pembuluh darah
pulmonal. Penurunan tahanan vaskular pulmonal akan berlangsung hingga usia

Bandung, 2627 November 2016 5


setelah 2 tahun. Hal ini disebabkan oleh peningkatan jumlah alveoli dan pembuluh
darah sekitarnya.6
Kondisi pada neonatus yang menyebabkan oksigenasi inadekuat dapat mengganggu
proses pematangan (contoh: penipisan) arteri pulmonalis, menyebabkan pulmonal
hipertensi atau penurunan tahanan vaskular pulmonal menjadi terlambat. 6 Contoh
kasus adalah sebagai berikut:
1. Bayi dengan defek septum ventrikel besar (DSV) dapat tidak mengalami gagal
jantung kongestif bila tinggal di dataran tinggi, tetapi dapat berkembang menjadi
gagal jantung kongestif bila pindah ke daerah permukaan laut. Hal ini disebabkan
oleh penurunan yang terlambat tahanan vaskular pulmonal di daerah dataran
tinggi.
2. Bayi prematur dengan penyakit membran hialin berat biasanya tidak berkembang
menjadi gagal jantung kongestif karena tahanan vaskular pulmonal yang tinggi yang
menyebabkan aliran pirau dari kiri ke kanan terbatas. Asidosis yang biasanya
muncul pada bayi dengan penyakit ini dapat berkontribusi dalam mempertahankan
tingginya tekanan vaskular paru. Gagal jantung kongestif dapat muncul jika
penyakit membran hialinnya perbaikan karena terjadi peningkatan tekanan oksigen
arteri yang menyebabkan dilatasi pembuluh darah paru
3. Pada bayi dengan DSV besar disebabkan oleh aliran darah melalui pirau langsung
menuju ke arteri pulmonalis yang menyebabkan tekanan arteri pulmonalis tetap
tinggi. Gagal jantung terjadi bila terjadi penurunan tahanan pembuluh darah paru
sehingga, gagal jantung kongestif tidak akan terjadi sebelum usia usia 68 minggu.
Keadaan neonatus yang dapat mengganggu proses pematangan arteri pulmonalis.
Peningkatan tekanan atrium kiri atau vena pulmonalis disebabkan oleh
1. hipoksia atau ketinggian;
2. penyakit paru (contoh: penyakit membran hialin);
3. asidemia;
4. peningkatan tekanan arteri pulmonal akibat dari defek septum ventrikel besar atau
patent ductus arteriosus.

6 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


Penutupan Duktus Arteriosus
Penutupan duktus arteriosus secara fungsional terjadi dalam 1015 jam setelah proses
persalinan yang terjadi akibat konstriksi otot polos bagian medial duktus. Penutupan
anatomi terjadi secara sempurna pada usia 23 minggu dengan perubahan secara
permanen pada lapisan endotelium dan subintimal duktus. Oksigen, kadar
prostaglandin E2 (PGE2), dan maturitas neonatus merupakan faktor yang berperan
dalam penutupan duktus tersebut. Asetilkolin dan bradikinin juga memiliki pengaruh
pada konstriksi duktus.6

Oksigen dan Duktus. Pada kondisi pascapersalinan terjadi peningkatan saturasi


oksigen dalam sirkulasi sistemik (dari PO2 25 mmHg di dalam uterus menjadi 50 mmHg
setelah terjadi pengembangan paru). Hal ini merupakan stimulus terkuat untuk terjadi
konstriksi pada otot polos duktus sehingga pada akhirnya terjadi penutupan duktus.
Respons otot polos duktus terhadap oksigen berhubungan dengan usia gestasi;
jaringan duktus pada bayi prematur kurang berespons terhadap oksigen dibanding
dengan bayi cukup bulan. Penurunan respons duktus bayi prematur terhadap oksigen
disebabkan oleh penurun sensitivitas konstriksi yang diinduksi oleh oksigen; hal ini
bukan akibat perkembangan otot polos yang kurang karena duktus bayi prematur
memiliki respons konstriksi yang baik terhadap asetilkolin. Hal ini juga dapat
disebabkan oleh kadar PGE2 yang tetap tinggi pada bayi kurang bulan.6

Peran Prostaglandin E pada Duktus Arteriousus


Beberapa keadaan klinis yang memperlihatkan kadar prostaglandin penting dalam
menjaga patensi duktus arteriosus pada janin.6
1. Penurunan kadar PGE2 setelah persalinan akan menyebabkan konstriksi duktus.
Penurunan kadar tersebut terjadi karena hilangnya plasenta yang menghasilkan
PGE2 pada saat persalinan dan juga karena peningkatan aliran darah pulmonal yang
menyebabkan pembuangan PGE2 oleh pulmonal.

Bandung, 2627 November 2016 7


2. Efek konstriksi indometasin atau ibuprofen serta efek dilatasi dari PGE 2 dan PGI2
lebih besar pada jaringan duktus bayi kurang bulan dibanding dengan bayi cukup
bulan.
3. Pertahanan patensi duktus dapat dijaga dengan pemberian sintentik PGE 1
intravena yang dapat diberikan pada bayi atresia pulmonal yang kehidupannya
bergantung pada patensi duktus.
4. Indometasin atau ibuprofen, suatu inhibitor siklooksigenase (inhibitor sintesis PG)
dapat digunakan untuk menutup PDA pada bayi kurang bulan.
5. Konsumsi aspirin, inhibitor sintesis PG oleh ibu dalam jumlah cukup banyak, dapat
membahayakan janin. Aspirin dapat menyebabkan konstriksi duktus pada masa
fetus dan dapat menyebabkan hipertensi pulmonal persisten pada bayi.

Pembukaan Duktus yang Berkonstriksi


Duktus arteriousus yang telah berkonstriksi dan tertutup secara fungsional masih
dapat berdilatasi akibat penurunan PO2 arteri atau peningkatan konsentrasi PGE2.
Pembukaan kembali duktus yang berkonstriksi dapat terjadi pada penderita asfiksia
atau dengan berbagai penyakit pulmonal (hipoksia dan asidosis jaringan duktus).
Penutupan duktus dapat terjadi terlambat pada penderita yang tinggal di dataran
tinggi. Insidensi PDA lebih tinggi di daerah dengan dataran tinggi lebih tinggi dibanding
dengan pada permukaan laut. Pada beberapa neonatus (contoh: pada penderita
koartasio aorta), pemberian PGE1 secara intravena dapat membuka duktus yang
mengalami konstriksi baik secara parsial dan komplet. 6

Respons Arteri Pulmonal dan Duktus Arteriosus terhadap Berbagai Rangsangan


Respons arteri pulmonal terhadap oksigen dan asidosis berlawanan terhadap duktus
arteriosus. Hipoksia dan asidosis menyebabkan efek dilatasi pada duktus arteriosus,
namun dapat menyebabkan konstriksi pada arteri pulmonalis. Arteri pulmonalis juga
dapat mengalami konstriksi akibat stimulasi simpatis dan stimulasi -adrenergik

8 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


(epinefrin, nor-epinefrin). Stimulasi vagal, stimulasi -adrenergik (isoproterenol), dan
bradikinin menyebabkan dilatasi arteri pulmonalis.6

Klasifikasi
Penderita PJB kritis dapat dibagi dalam 4 kelompok:7,8
1. PJB kritis dengan sirkulasi pulmonal yang kurang (inadequate pulmonary blood
flow)/ductal dependent pulmonary circulation/right sided obtructive lesions
Pada PJB ini aliran pembuluh darah paru untuk oksigenasi disediakan oleh sirkulasi
sistemik (aorta) melalui duktus arteriosus (yang berasal dari aorta ke arteri
pulmonalis). Lesi ini biasanya disertai dengan sianosis berat. Contoh lesi PJB pada
kelompok ini antara lain:
- tetralogy of Fallot (TOF) dengan atresia pulmonal;
- atresia pulmonal;
- atresia pulmonal dengan septum ventrikular intak;
- stenosis pulmonal berat;
- Ebsteins anomaly berat;
- transposition of great arteries (TGA) komplet dengan septum ventrikular intak.
2. PJB kritis dengan sirkulasi sistemik yang kurang (inadequate systemic blood
flow)/ductal dependent systemic circulation/left sided obtructive lesions
Pada PJB ini output sistemik disediakan oleh sistem arteri pulmonalis melalui
duktus arteriosus (mengalir dari arteri pulmonalis utama ke aorta). Lesi ini biasanya
bergejala hipotensi sistemik, syok, atau kolaps seiring dengan penutupan duktus
ateriosus setelah proses kelahiran. Kelompok ini adalah:
- hypoplastic left heart syndrome (HLHS);
- stenosis aorta berat;
- koarktasio aorta;
- interrupted aortic arch (IAA).

Bandung, 2627 November 2016 9


3. PJB kritis dengan pencampuran darah yang tidak memadai (inadequate
mixing)/ductal independent mixing lesions
Pada PJB ini didapatkan sianosis dan gagal jantung kongestif atau edema paru dan
terjadi peningkatan aliran darah menuju paru. Contoh lesi jantung pada kelompok
ini adalah TGA. Pada TGA terdapat sirkulasi yang bersifat paralel antara sirkulasi
sistemik dan pulmonal, sedangkan untuk dapat bertahan hidup harus terjadi
pencampuran darah (mixing) antara kedua sistem sirkulasi tersebut melalui PFO
(persistent foramen ovale) atau PDA (persistent ductus arteriosus).
4. PJB kritis dengan pertukaran gas/udara yang tidak memadai (inadequate gas
exchange)
Lesi PJBK pada kelompok ini adalah TAPVR (total anomalous pulmonary venous
return). Pada lesi ini semua aliran darah vena pulmonalis kembali ke atrium kanan
melalui berbagai koneksi antara vena pulmonalis dan sistem jantung kanan (vena
innominata, vena kava superor, sinus koronarius, sistem porta atau vena kava
inferior). Akibatnya, terjadi pencampuran darah (mixing) di level atrium kanan
(menimbulkan sianosis) dan oversirkulasi paru (menimbulkan edema paru).
Sirkulasi sistemik dipertahankan dengan pirau kanan ke kiri melalui PFO atau ASD
(atrial septal defek).6
Berdasarkan target utama skrining PJB kritis, terdapat 7 kelainan primer yang
menjadi target utama untuk skrining oksimetri karena hampir selalu menyebabkan
hipoksemia. Penyakit jantung bawaan kritis primer meliputi sindrom hipoplasia
jantung kiri, atresia pulmonal, tetralogi Fallot, anomali total aliran vena pulmonal,
transposisi arteri besar, atresia trikuspidalis, dan trunkus arteriosus. 1

Sindrom Hipoplasia Jantung Kiri (Hypoplastic Left Heart Syndrome, HLHS)


Sindrom hipoplasia jantung kiri (hypoplastic left heart syndrome, HLHS) merupakan
sekelompok kelainan anatomi jantung berspektrum luas yang pada umumnya berupa
hipoplasia pada ventrikel kiri disertai hipoplasia aorta asenden. 6,7 Spektrum ini
bervariasi dari hanya berupa hipoplasia ringan ventrikel kiri, stenosis ringan katup

10 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


aorta dan koartasio aorta, hingga berupa tidak terbentuknya ventrikel kiri sama sekali,
atresia aorta disertai terputusnya arkus aorta (interrupted aortic arch).7 Tanpa
intervensi dini kelainan ini berakibat fatal.1,6,9,10

Gambar 2 Anatomi dan Patofisiologi Hypoplastic Left Heart Syndrome

I. Tetralogy of Fallot
Tetralogy of Fallot (TOF) merupakan kelainan jantung bawaan sianotik yang pada
umumnya terdiri atas 4 kelainan: defek septum ventrikel (VSD) perimembran, aorta
overriding terhadap VSD, stenosis pulmonalis infundibular dengan atau tanpa
stenosis valvar atau supravalvar, dan hipertrofi ventrikel kanan (Gambar 2).6,11

Gambar 3 Anatomi dan Patofisiologi Tetralogi Fallot

Bandung, 2627 November 2016 11


II. Atresia Katup Pulmonal dengan Septum Ventrikel Utuh (Pulmonary Atresia with
Intact Septum, PA-IVS)
Pada jantung dengan PA-IVS tidak ditemukan katup pulmonalis, ventrikel kanan
yang kecil dan katup trikuspidalis yang paten, serta tidak disertai dengan defek
pada septum ventrikel (VSD). Prevalensi PA-IVS <1% dari seluruh PJB dan sekitar
2,5% dari seluruh PJB kritis.6,12
Tertutupnya aliran darah ke arteri pulmonalis akibat PA-IVS menyebabkan
tekanan di ventrikel kanan menjadi tinggi. Pada PA-IVS biasanya foramen ovale
tetap terbuka, hal ini memungkinkan terjadi pirau dari jantung kanan ke jantung kiri
tingkat atrial serta penurunan tekanan dari atrium kanan. Pirau menyebabkan
tercampurnya darah miskin dan kaya oksigen di atrium kiri yang kemudian dipompa
oleh ventrikel kanan ke seluruh tubuh melalui aorta. Duktus arteriosus yang
terbuka menjadi satu-satunya sumber aliran darah pulmonal (Gambar 3).6,12

Gambar 4 Anatomi dan Patofisiologi Atresia Pulmonalis dengan Septum Ventrikel


Intak

III. Transposisi Arteri Besar (Transposition of The Great Arteries, TGA)


Transposisi arteri besar merupakan penyakit jantung bawaan yang ditandai dengan
malposisi pembuluh darah besar, aorta yang seharusnya keluar dari ventrikel kiri
pada TGA keluar dari ventrikel kanan dan membawa darah dengan kadar oksigen

12 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


rendah ke dalam sirkulasi sitemik, sementara arteri pulmonalis yang seharusnya
keluar dari ventrikel kanan pada TGA keluar dari ventrikel kiri di bagian posterior
aorta dan membawa kembali darah yang sudah teroksigenasi kembali ke paru-
paru.6 Untuk dapat bertahan hidup penderita TGA memerlukan defek intrakardiak
yang dapat mencampur darah dari kedua sistem sirkulasi di tingkat atrium,
ventrikel, maupun duktus arteriosus. Gejala PJB kritis muncul bila penderita tidak
memiliki atau bila defek intrakardiak terlalu kecil untuk dapat mempertahankan
saturasi oksigen darah sistemik.6

Gambar 5 Anatomi dan Patofisiologi Transposisi Arteri Besar

IV. Trunkus Arteriosus


Trunkus arteriosus adalah hanya terdapat satu pembuluh darah besar yang keluar
dari ventrikel kanan disertai defek septum ventrikel. Arteri koroner, arteri
pulmonalis, dan aorta keluar dari satu pembuluh yang bermuara (override) di
antara VSD perimembran atau infundibuler besar (Gambar 5). Katup trunkus dapat
berupa katup bikuspidalis, trikuspidalis, atau kuadrikuspidalis yang umumnya
inkompeten.4,13

Bandung, 2627 November 2016 13


Gambar 6 Anatomi dan Patofisiologi Trunkus Arteriosus

VI. Total Anomalous Pulmonary Vein Return (TAPVR)


Total anomalous pulmonary vein return (TAPVR) merupakan penyakit jantung
bawaan yang ditandai dengan bemuaranya semua aliran vena pulmonal ke vena
sistemik atau ke atrium kanan sehingga penderita dapat bertahan hidup hanya jika
terdapat defek interatrial baik melalui defek septum atrial (ASD) dan foramen
ovale persisten (PFO) yang tidak restriktif.6

Gambar 7 Anatomi dan Patofisiologi TAPVR

14 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


VII. Atresia Trikuspidalis
Atresia trikuspidalis adalah tidak terdapat katup trikuspidalis sehingga tidak
terdapat hubungan antara atrium kanan dan ventrikel kanan disertai dengan
ventrikel kanan yang tidak berkembang (Gambar 8). Terdapat defek interatrial,
interventrikel, atau PDA dibutuhkan untuk tetap bertahan hidup. Prevalensi
atresia trikuspidalis sekitar 13% dari PJB pada anak. Atresia trikuspidalis biasanya
diklasifikasikan berdasarkan ada tidaknya stenosis pulmonal dan transposisi
pembuluh darah besar. Tiga puluh persen kasus atresia trikuspidalis disertai
dengan TGA, 3% dalam bentuk L transposisi (congenitally corrected TGA).
Sebanyak 90% kasus disertai dengan VSD yang memungkinkan terjadi pertukaran
darah dari ventrikel kiri ke ventrikel kanan yang selanjutnya ke dalam arteri
pulmonalis. Sianosis terjadi karena aliran darah vena sistemik yang masuk ke
atrium kanan melalui ASD, PFO, atau ASD yang akan bercampur dengan darah v.
pulmonalis di atrium kiri.6,14

Gambar 8 Anatomi dan Patofisiologi Atresia Trikuspidalis

Peran Pemeriksaan Saturasi Oksigen pada Deteksi Dini Penyakit Jantung Bawaan
Kritis
Deteksi dini dengan oksimetri tidak memerlukan waktu lama, kemampuan teknis
maupun harga yang mahal sehingga dapat digunakan sebagai alat deteksi dini yang

Bandung, 2627 November 2016 15


universal. Pemeriksaan oksimetri yang dikombinasikan dengan pemeriksaan prenatal
menggunakan USG meningkatkan keberhasilan deteksi dini penyakit jantung bawaan
kritis yang pada akhirnya meningkatkan long term survival rate penderita.8,15

Semua bayi sehat diruang perawatan usia 24-48 jam


atau sebelum pulang jika pulang <24jam

Pemeriksaan dengan oksimetri

<90% pada kaki 90-<95% atau 95% atau perbedaan


atau tangan perbedaan kaki dan kaki dan tangan kanan
kanan tangan kanan >3% 1%

Pemeriksaan ulang
<90% pada kaki 90-<95% atau 95% atau perbedaan
atau tangan perbedaan kaki dan kaki dan tangan kanan
kanan tangan kanan >3% 1%

Pemeriksaan ulang

<90% pada kaki 90-<95% atau 95% atau perbedaan


atau tangan perbedaan kaki dan kaki dan tangan kanan
kanan tangan kanan >3% 1%

Positif Negatif

Gambar 9 Algoritme Skrining Penyakit Jantung Bawaan Kritis dengan Oksimetri pada
Bayi Baru Lahir

Ringkasan
Penyakit jantung bawaan (PJB) kritis merupakan bagian dari penyakit jantung bawaan
yang menyebabkan gejala yang berat dan mengancam jiwa serta memerlukan
intervensi dalam tahun pertama kehidupan. Penyakit jantung bawaan kritis mencakup
7 kelainan primer yang menjadi target utama untuk deteksi dini dengan oksimetri
karena hampir selalu menyebabkan hipoksemia.
Penyebab kesakitan dan kematian pada anak PJB kritis adalah ketidakstabilan
hemodinamik yang terjadi sebelum sempat dilakukan intervensi paliatif atau definitif.
Deteksi dini dengan oksimetri pada neonatus secara dramatis mengurangi morbiditas

16 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


dan mortalitas dari berbagai kondisi penyakit jantung bawaan kritis.
Pemahamam patomekanisme PJB kritis dapat menjadi dasar dilakukan diagnosis
dini yang memungkinkan tindakan paliatif maupun koreksi definitif segera pada bayi
PJB kritis yang mengancam nyawa sehingga memiliki prognosis jangka pendek maupun
jangka panjang yang lebih baik.
Dokter anak memegang peranan penting dalam melakukan deteksi dini untuk
mempercepat diagnosis dan tindakan emergensi sebelum terjadi komplikasi dan
kematian akibat PJB kritis.

Daftar Pustaka
1. Knapp AA, Matterville DR, Kemper AR, Prosser L, Perrin JM. Evidence review:
critical congenital cyanotic heart disease. Dalam: Perrin J, penyunting. Critical
congenital heart disease final draft. Massachusetts: MGH Center for Child and
Adolescent Health; 2010. hlm. 141.
2. BKKBN. Profile Kependudukan dan Pembangunan Indonesia. Jakarta: BKKBN;
2013.
3. Putra Y. 850 ribu bayi lahir di Jabar tiap tahun. Republika Online. 2013. [diunduh 9
November 2014]. Tersedia dari: http://www.republika.co.id/berita/nasional/jawa-
barat-nasional/13/10/18/muuwhx-850-ribu-bayi-lahir-di-jabar-tiap-tahun.
4. Schultz AH, Localio AR, Clark BJ, Ravishankar C, Videon N, Kimmel SE.
Epidemiologic features of the presentation of critical congenital heart disease:
implications for screening. Pediatrics. 2008;121(4):7517.
5. Sayasathid J, Sukonpan K, Somboonna N. Epidemiology and etiology of congenital
heart diseases. Dalam: Rao PS, penyunting. Congenital heart disease-selected
aspects. Rijeka, Croatia: InTech Europe; 2012. hlm. 4784.
6. Park MK. Pediatric cardiology for practitioners. Edisi ke-5. Philadelphia: Mosby
Elsevier; 2008.
7. Yun SW. Congenital heart disease in the newborn requiring early intervention.
Korean J Pediatr. 2011;54(5):18391.

Bandung, 2627 November 2016 17


8. Lee JY. Clinical presentations of critical cardiac defects in the newborn: decision
making and initial management. Korean J Pediatr. 2010;53(6):66979.
9. Gruber PJ, Spray TL. Hypoplastic left heart syndrome. Dalam: Gruber P,
penyunting. Congenital cardiac surgery. London: MBHD; 2006.
10. Liberman RF, Getz KD, Lin AE, Higgins CA, Sekhavat S, Markenson GR, dkk. Delayed
diagnosis of critical congenital heart defects: trends and associated factors.
Pediatrics. 2014;134(2):e37381.
11. Bailliard F, Anderson R. Tetralogy of Fallot. Orphanet J Dis. 2009;4(2):110.
12. Burkholder H, Balaguru D. Pulmonary atresia with intact ventricular septum:
management options and decision-making. Pediat Therapeut. 2012;S5:007.
doi:10.4172/2161-0665.S5-007.
13. Sommer RJ, Rhodes JF, Parness IA. Physiology of critical pulmonary valve
obstructionin the neonate. Catheter Cardiovasc Interv. 2000;50(4):4739.
14. Berg C, Lachmann R, Kaiser C, Kozlowski P, Stressig R, Schneider M, dkk. Prenatal
diagnosis of tricuspid atresia: intrauterine course and outcome. Ultrasound Obstet
Gynecol. 2010;35(2):18390.
15. Kemper AR, Mahle WT, Martin GR, Cooley WC, Kumar P, Morrow WR, dkk.
Strategies for implementing screening for critical congenital heart disease.
Pediatrics. 2011;128(5):125966.

18 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


Deteksi Dini Penyakit Jantung Bawaan Kritis dalam
Praktik Sehari-hari
Rahmat Budi Kuswiyanto

Pendahuluan
Penyakit jantung bawaan (PJB) atau congenital heart disease (CHD) adalah kelainan
jantung akibat gangguan pertumbuhan dan perkembangan jantung pada masa janin
yang terbawa sampai lahir. PJB merupakan malaformasi bawaan terbanyak pada bayi
baru lahir dengan prevalensi 613 tiap 1.000 kelahiran hidup. Di Indonesia
diperkirakan 50.000 bayi baru lahir dengan PJB setiap tahun. PJB merupakan penyebab
utama kematian perinatal dan bayi akibat kelainan bawaan lahir, walaupun saat ini
luaran mengalami perbaikan dengan kemajuan intervensi terapi, baik bersifat paliatif
atau korektif.1,2
PJB kritis (critical CHD) dengan proporsi 25% dari seluruh PJB adalah PJB yang
membutuhkan intervensi transkateter atau bedah dalam tahun pertama kehidupan,
termasuk di dalamnya PJB bergantung pada duktus dan PJB sianosis yang tidak
bergantung pada duktus. PJB sianosis (cyanotic CHD) adalah PJB dengan lesi yang
menyebabkan pencampuran sirkulasi darah tidak teroksigenasi/miskin oksigen
(deoxygenated blood) ke dalam sirkulasi sistemik melalui pirau intrakardiak atau
ekstrakardiak. PJB bergantung pada duktus (ductal-dependent CHD) adalah PJB dengan
lesi dengan pasokan darah sistemik atau paru atau pencampuran darah kaya oksigen
dengan darah miskin oksigen antara sirkulasi paralel bergantung pada terbukanya
duktus arteriosus. Penutupan duktus akan menyebabkan kematian.3
PJB kritis yang terlambat didiagnosis merupakan penyebab kesakitan dan kematian
pada bayi. Bayi dengan PJB kritis dapat memperlihatkan manifestasi klinis segera
setelah lahir dengan keadaan sakit yang berat dan mengancam jiwa yang memerlukan
intervensi cepat, tetapi dapat pula terlihat normal sampai saat dipulangkan. Hal ini
disebabkan oleh perbedaan bentuk lesi dan perubahan sirkulasi transisi yang terjadi.

Bandung, 2627 November 2016 19


Manifestasi klinis yang berat pada bayi PJB kritis dapat berupa syok, sianosis, napas
cepat (takipnea), dan edema paru. Laporan dari Swedia dan Inggris menyatakan 20
25% PJB kritis terdiagnosis setelah pulang dari rumah sakit dan 5% terdiagnosis setelah
bayi meninggal. Di Amerika 70% bayi PJB kritis tidak terdiagnosis sebelum usia 2 hari
dan 20% di antaranya dipulangkan ke rumah. 48
Oleh karena itu, identifikasi dan deteksi dini PJB kritis penting untuk diketahui serta
dilakukan oleh primary care provider, dokter umum, dan dokter anak terutama dalam
hal mengenali dan identifikasi sedini-dininya sebelum timbul dekompensasi
kardiovaskular atau organ lain. Hal ini dengan melakukan pemeriksaan rutin yang
cermat dalam praktik sehari-hari, melakukan stabilisasi dan rujukan yang tepat
sehingga dapat mengurangi komplikasi serta secara tidak langsung dapat menurunkan
angka kematian bayi.

Presentasi Klinis Penyakit Jantung Bawaan


Penurunan Perfusi Sistemik
Perfusi sistemik dinilai dari warna kulit, suhu kulit, tekanan darah, pulsasi perifer, dan
waktu pengisian kapiler. Pemeriksaan pulsasi arteri pada ekstremitas bawah
merupakan bagian penting untuk evaluasi kelainan jantung pada bayi baru lahir untuk
identifikasi PJB kritis. Pemeriksaan pulsasi nadi ekstremitas bawah dapat dilakukan
pada arteri femoralis, arteri dorsalis pedis, atau arteri tibialis posterior. Pulsasi yang
menurun atau tidak teraba di tempat tersebut merupakan tanda penting untuk PJB
kritis karena merupakan tanda obstruksi saluran keluar ventrikel kiri, misalnya stenosis
aorta kritis, coarctatio aorta yang berat, interrupted aortic arch, hipoplasia ventrikel
kiri, dan disfungsi kardiak primer. Perfusi yang terganggu sering ditemukan pada bayi
dengan sepsis dan kelainan metabolik sehingga bayi dengan lesi obstruktif ventrikel
kiri sering didiagnosis sebagai sepsis. Bayi dengan coarctasio yang signifikan
mempunyai tekanan darah ekstremitas atas lebih tinggi dibanding dengan ekstremitas
bawah, ekstremitas bawah teraba lebih dingin dan tampak mottled yang harus
dibedakan dengan kutis marmorata.

20 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


Pada obstruksi jantung kiri duktus sangat vital untuk memasok darah ke dalam
sirkulasi sistemik, misalnya pada hypoplastic left heart syndrome (HLHS), critical aortic
valve stenosis, critical coarctation of the aorta (COA), dan interrupted aortic arch.
Penutupan duktus dapat menyebabkan penurunan perfusi sistemik dan syok.
Penurunan perfusi sistemik dapat pula terjadi pada total anomalous pulmonary venous
drainage (TAPVD) yang mengalami obstruksi.5

Sianosis
Sianosis merupakan tanda penting untuk PJB kritis akibat peningkatan deoxygenated
hemoglobin ke dalam sirkulasi sistemik walaupun secara klinis sering kali tidak tampak
bila desaturasi bersifat ringan atau pada bayi dengan anemia. Sianosis pada PJB
bersifat sentral karena terjadi pencampuran sirkulasi darah tidak teroksigenasi
(deoxygenated blood) ke dalam sirkulasi sistemik melalui pirau intrakardiak atau
ekstrakardiak. Pencampuran ini dapat terjadi pada tingkat arterial, atrial, dan
ventrikular. Pencampuran darah miskin oksigen ke dalam sirkulasi sistemik disertai
penurunan aliran darah paru terjadi pada pulmonary atresia, tetralogy of Fallot, dan
tricuspid atresia. Pada bayi dengan obstruksi saluran keluar ventrikel kanan, aliran
darah paru akan dipasok dari aorta melalui duktus arteriosus sehingga penutupan
duktus menyebabkan perburukan klinis seperti asidosis metabolik, syok, henti jantung,
kejang, kerusakan organ tubuh lain, bahkan kematian. Kehidupan bayi dengan sirkulasi
paru dan sistemik yang paralel seperti pada transposisi arteri besar bergantung pada
pencampuran darah kaya dan miskin oksigen di tingkat ventrikel, atrial, dan arterial.
Duktus yang terbuka memungkinkan terjadi pencampuran sirkulasi darah kaya oksigen
dengan sirkulasi darah miskin oksigen di tingkat arterial. Pencampuran yang tidak
adekuat menyebabkan sianosis, hipoksemia, asidosis, gagal organ, dan kematian.
Sianosis perifer sering terjadi pada bayi baru lahir yang terlihat pada tangan, kaki,
dan daerah perioral, sedangkan sianosis sentral dapat terlihat pada lidah, gusi serta
mukosa bukal, dan lebih terlihat saat menangis atau minum. Dibanding dengan anak
besar, sianosis pada bayi baru lahir sering kali tidak tampak secara klinis, terutama bila

Bandung, 2627 November 2016 21


desaturasi bersifat ringan atau pada bayi anemia sehingga diperlukan pemeriksaan
tambahan seperti pemeriksaan saturasi oksigen.3
Bayi dengan sianosis dapat pula disebabkan oleh kelainan lain di luar jantung
seperti kelainan struktur saluran napas, respiratory distress syndrome, congenital or
acquired airway obstruction, pneumotoraks, hypoventilation, methemoglobin, perfusi
yang buruk seperti pada sepsis, hipoglikemia, dehidrasi, hipoadrenalisme, dan
persistent pulmonary hypertension.9

Gejala dan Tanda pada Sistem Respirasi


Pada bayi PJB dapat terjadi perubahan frekuensi dan kualitas napas yang harus
dibedakan terutama akibat kelainan pada saluran napas dan paru. Evaluasi lebih lanjut
diperlukan untuk mencari etiologi bila ditemukan bayi dengan takipnea, apakah
kelainan jantung atau organ lain. Tanda yang lebih mengarah kepada kelainan pada
saluran napas dan paru bila didapatkan peningkatan upaya napas seperti retraksi,
pernapasan cuping hidung, bunyi napas abnormal atau bunyi napas tambahan seperti
penurunan atau peningkatan suara napas, stridor, grunting, dan crackles. Pada bayi
PJB kritis terdapat napas cepat sering kali tidak disertai upaya napas yang menonjol
tanpa disertai bunyi napas tambahan. Bayi dapat memperlihatkan napas yang cepat
atau kesulitan bernapas, sesak yang bertambah saat minum atau batuk terus menerus,
kesulitan minum berupa terbatasnya jumlah minum, atau membutuhkan waktu yang
lama saat minum, minum yang terputus karena perlu istirahat atau tertidur, tersedak,
atau muntah. Hal ini terjadi akibat peningkatan aliran darah paru yang berlebihan
seperti pada truncus arteriosus, TAPVD, lesi dengan pirau kiri ke kanan seperti pada
PDA atau VSD besar. Gejala ini umumnya dapat terlihat mulai 4 jam sampai 6 minggu
setelah lahir karena penurunan resistensi vaskular paru. 5

22 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


Tabel 1 Perbedaan Tanda Kelainan Jantung dan Paru pada Bayi dengan Sianosis
Kelainan Jantung Kelainan Paru
Menangis Sianosis bertambah. Sianosis berkurang.
Pemeriksaan fisis Takipnea. Retraksi, grunting, apnea.
Murmur, pulsasi lemah/hilang. Suara napas berubah, BJ
PD paru normal. normal.
PaCO2 Normal atau menurun. Meningkat.
Pemberian oksigen Respons minimal. Responsif.
Foto dada Bentuk dan ukuran jantung Kelainan dominan di
abnormal, situs abnormal, parenkim paru.
vascular marking berubah.
EKG Dapat abnormal. Normal.

Murmur
Murmur sering kali dihubungkan dengan PJB, tetapi tidak semua PJB disertai murmur
dan bayi dengan murmur tidak selalu disertai dengan kelainan struktur jantung yang
berat. Sampai saat ini murmur pada bayi baru lahir sering disalahartikan sebagai tanda
kelainan jantung yang harus segera dirujuk. Murmur saja tanpa sianosis, perfusi yang
menurun atau takipnea bukan merupakan tanda PJB kritis dan tidak perlu segera
dirujuk. Murmur dapat ditemukan pada bayi normal tanpa kelainan jantung, tetapi
tidak ditemukan pada 50% bayi dengan kelainan jantung simtomatis dan kritis
sehingga murmur mempunyai nilai yang tidak signifikan untuk menilai PJB kritis dan
hanya memerlukan evaluasi ulang untuk menentukan kelainan yang mendasarinya.
Pemahaman perubahan sirkulasi dan hemodinamik yang terjadi secara alamiah pada
bayi lahir akan memengaruhi presentasi klinis. Murmur terdengar makin jelas setelah
bayi berusia 48 minggu pada saat tahanan vaskular paru sudah menurun. Kecepatan
turbulensi darah tidak cukup untuk menimbulkan murmur seperti pada hypoplastic left
heart syndrome (HLHS), transposition of the great artery (TGA), total anomalous
pulmonary venous drainage (TAPVD), pulmonary atresia, dan kardiomiopati.
Peningkatan resistensi vaskular paru mengurangi aliran darah sehingga jumlah dan
kecepatan darah yang melewati tidak cukup untuk sampai terdengar pada auskultasi
sebagai murmur.

Bandung, 2627 November 2016 23


Pertumbuhan yang Tidak Optimal
Penilaian terhadap pertumbuhan sangat penting untuk menilai kelainan jantung lebih
dini terutama pada saat bulan pertama atau lebih setelah lahir. Bayi PJB dapat
mengalami kesulitan minum berupa terbatasnya jumlah minum atau membutuhkan
waktu yang lama saat minum, sering terputus karena perlu istirahat, atau lebih cepat
tertidur, tersedak, dan muntah. Selain itu, bayi PJB berisiko mengalami
ketidakseimbangan energi akibat peningkatan kebutuhan energi, kesulitan minum,
asupan nutrisi yang tidak adekuat, gangguan absorpsi saluran pencernaan, dan
regulasi pertumbuhan yang terganggu.

Peranan Pulse Oximetry untuk Skrining PJB Kritis


Identifikasi dan deteksi PJB kritis sulit dilakukan dengan pemeriksaan fisis saja. Bahkan
program fetal ekokardiografi terbukti gagal untuk dapat meningkatkan angka deteksi.
Banyak penelitian menyatakan pemeriksaan pulse oximetry yang melengkapi
pemeriksaan fisis dapat meningkatkan efektivitas deteksi dini PJB kritis dengan
sensitivitas 76,5% dan spesifisitas 99%. Untuk program skrining PJB kritis pada bayi
baru lahir pemeriksaan pulse oximetry selain bersifat noninvasif dan tidak menyakitkan,
juga lebih unggul dibanding dengan ekokardiografi karena lebih murah dan mudah
disediakan walaupun hasil tes negatif belum menyingkirkan kemungkinan kelainan
jantung dan hasil tes positif tidak selalu disebabkan oleh kelainan jantung dengan false
positive sebesar 0,14%.1016 Skrining PJB kritis menggunakan pulse oximetry merupakan
program yang penting dengan tujuan memperbaiki luaran anak dengan mengenali
secara dini PJB kritis sebelum terjadi gejala dan dekompensasi kardiovaskular. Oleh
karena itu, sejak bulan September 2011 pemeriksaan pulse oximetry telah resmi
masuk panel skrining untuk bayi baru lahir di Amerika.17
Levesque dkk.18 mengamati terdapat peningkatan saturasi oksigen pada bayi baru
lahir cukup bulan yang normal saat lahir, usia 24 jam dan saat pulang dengan median
97,2% dan saturasi di bawah 2SD sebesar 94%, serta tidak terdapat perbedaan pada
bayi yang lahir spontan atau melalui operasi cesar.18 Banyak laporan lain mendapatkan

24 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


hasil yang sama sehingga rekomendasi untuk batas normal saturasi oksigen adalah
95% atau lebih. Saturasi oksigen arterial dalam 24 jam pertama setelah lahir
memperlihatkan hasil yang bervariasi dan banyak bayi baru lahir yang sehat
mempunyai saturasi kurang dari 95% sehingga skrining sebelum 24 jam memberikan
hasil false-positive yang signifikan. Pengukuran pulse oximetry yang dilakukan pada
tangan kanan dan kaki meningkatkan sensitivitas tanpa menurunkan spesifisitas. PJB
kritis dianggap positif pada pengukuran pulse oximetry bila saturasi kurang dari 95%
pada tangan atau kaki atau perbedaan tangan dengan kaki 3%, dengan sensitivitas
mencapai 98,5%, spesifisitas 96%, positive predictive value 89%, dan negative
predictive value 99,5%.12,13,17
Pemeriksaan pulse oximetry untuk skrining PJB kritis dilakukan pada bayi bugar
yang belum memperlihatkan gejala dan tanda kelainan jantung pada pemeriksaan fisis,
dilakukan di ruang bayi pada usia lebih dari 24 jam atau paling sedikit sebelum
dipulangkan,12,13,17 bahkan dapat dilakukan pada bayi lahir di rumah yang dilakukan
pada tangan kanan dan salah satu kaki dalam keadaan tenang dan tanpa pemberian
oksigen.1920 Hasil disebut positif (gagal) bila hasil pengukuran pulse oximetry kurang
dari 90% pada kedua tempat pengukuran, disebut negatif (lolos) bila saturasi di tangan
kanan dan kaki 95% dan perbedaan di kedua tempat 3%, tetapi bila hasil
pengukuran saturasi 90<95% atau perbedaan di tangan kanan dan kaki >3%,
pemeriksaan diulang dalam 1 jam. Bila hasil ulang masih tetap sama seperti
pemeriksaan pertama disebut positif (gagal). Perlu diingat hasil negatif bukan berarti
telah menyingkirkan kelainan jantung sama sekali. Hasil positif memerlukan evaluasi
lebih lanjut berupa monitoring pulse oximetry kontinu dan ekokardiografi (Gambar
1).12,13,17

Pendekatan Praktis Deteksi Dini PJB Kritis


Target Skrining
PJB pada bayi baru lahir sulit dideteksi hanya dengan anamnesis dan pemeriksaan fisis
karena terdapat proses perubahan sirkulasi transisi intrauterin ke ekstrauterin.

Bandung, 2627 November 2016 25


Sianosis, perfusi sistemik yang menurun, napas cepat atau bunyi jantung tambahan
sering kali belum terlalu jelas bermanifestasi pada bayi baru lahir. Oleh karena itu,
diperlukan pendekatan praktis yang dapat dilakukan oleh primary care provider dalam
praktik sehari-hari untuk meningkatkan identifikasi dan deteksi dini PJB kritis sebelum
timbul komplikasi.21,22 Informasi yang diperoleh untuk evaluasi harus menuntun secara
logis, mulai dari mengenali tanda utama, menentukan proses patofisiologi yang terjadi,
dan menentukan diagnosis yang spesifik. Menurut AAP skrining dan identifikasi dini
PJB kritis terutama ditujukan untuk tujuh target kelainan spesifik berikut.17
1. Hypoplastic left heart syndrome.
2. Pulmonary atresia.
3. Tetralogy of Fallot.
4. Total anomalous pulmonary venous return.
5. Transposition of the great arteries.
6. Tricuspid atresia.
7. Truncus arteriosus.
Selain itu, CDC menambahkan lesi lain sebagai target skrining.
1. Coarctation of the aorta.
2. Double-outlet right ventricle.
3. Ebsteins anomaly.
4. Interrupted aortic arch.
5. Single ventricle.
6. PJB sianosis kritis lain.

26 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


Bayi bugar/rawat gabung usia
24 jam atau sesaat sebelum
bayi pulang bila usia <24 jam

Pemeriksaan
pulse oximetry

90<95% di tangan kanan


95% di tangan kanan atau
<90% di tangan kanan dan kaki atau perbedaan
kaki dan perbedaan 3% di
dan kaki >3% di tangan kanan
tangan kanan dan kaki
dan kaki

Ulangi
pemeriksaan
dalam 1 jam

90<95% di tangan kanan


95% di tangan kanan atau
<90% di tangan kanan dan kaki atau perbedaan
kaki dan perbedaan 3% di
dan kaki >3% di tangan kanan
tangan kanan dan kaki
dan kaki

Ulangi
pemeriksaan
dalam 1 jam

90<95% di tangan kanan


95% di tangan kanan dan
<90% di tangan kanan dan kaki atau perbedaan
kaki dan perbedaan 3 % di
dan kaki >3% di tangan kanan
tangan kanan dan kaki
dan kaki

POSITIF/GAGAL NEGATIF/LOLOS

Gambar 1 Skrining PJB Kritis dengan Pulse Oximetry


21
Sumber: Kemper

Anamnesis untuk Identifikasi Faktor Risiko


Informasi yang didapat selama kehamilan penting untuk mencari faktor risiko PJB
seperti kondisi atau penyakit pada ibu saat hamil, usia kehamilan, infeksi perinatal,
kelainan genetik, riwayat keluarga dengan PJB, bahkan fetal eko yang mengindikasikan
PJB. Risiko PJB meningkat bila terdapat riwayat keluarga, terutama ayah, ibu, dan

Bandung, 2627 November 2016 27


saudara kandung dengan PJB, kelahiran kurang bulan, serta penyakit pada ibu seperti
diabetes melitus, hipertensi, obesitas, fenilketonuria, kelainan tiroid, lupus, dan
epilepsi.2325 Penggunaan obat-obatan selama kehamilan seperti fenitoin dan retinoic
acid, merokok, konsumsi alkohol, infeksi rubela, influenza atau flu-like illness
dihubungkan dengan peningkatan risiko terjadi PJB. Congenital cardiomyopathy dapat
disebabkan oleh cytomegalovirus, coxsackie, herpes virus 6, parvovirus B19, herpes
simplex, Toxoplasmosis gondii, dan human immunodeficiency virus (HIV). Kelainan
genetik (7%) dan kelainan ekstrakardiak (22%) sering ditemukan pada bayi PJB. 2629
Bayi PJB kritis umumnya mempunyai riwayat persalinan tanpa komplikasi dengan
skor APGAR yang baik. Gejala dan tanda tidak tampak setelah persalinan karena
dipengaruhi oleh perubahan sirkulasi transisisi yang terjadi secara bertahap, beberapa
jam, hari bahkan minggu. Duktus arteriosus masih memberikan suplai darah yang
adekuat segera setelah lahir sehingga sianosis belum muncul. Bayi dapat terlihat
sianosis terutama bila minum atau menangis, dan sering kali tanpa disertai distres
napas, retraksi, grunting, atau pernapasan cuping hidung. Bayi dengan perfusi sistemik
yang menurun umumnya stabil segera setelah lahir, tetapi kemudian memperlihatkan
minum yang tidak adekuat, tampak pucat, diaforesis, dan takipnea yang dapat terjadi
sampai 34 minggu setelah lahir. Takipnea pada PJB umumnya terjadi perlahan
mengikuti penurunan resistensi vaskular paru, berbeda pada kelainan saluran napas
dan paru yang lebih sering terjadi segera setelah lahir. Sianosis pada bayi dengan
kelainan paru primer umumnya disertai distres napas berat yang memerlukan ventilasi
mekanik. Bayi dengan hipertensi pulmonal dengan distres napas yang ringan atau
sedang disertai riwayat faktor risiko seperti asfiksia atau aspirasi mekonium, kecil
untuk masa kehamilan, atau penggunaan obat-obatan seperti NSAID pada ibu.

Pemeriksaan Fisis yang Cermat


Pemeriksaan fisis harus dilakukan secara sistematis dan lengkap, terutama difokuskan
untuk mengenali tiga tanda utama, yaitu sianosis, penurunan perfusi sistemik, dan
tanda gangguan napas terutama takipnea, perubahan bunyi jantung, identifikasi

28 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


murmur, serta kurva pertumbuhan untuk bayi mulai bulan pertama.
Pemeriksaan jantung yang lengkap meliputi inspeksi impuls jantung, thrill, dan
auskultasi bunyi jantung untuk menilai bunyi jantung normal serta bunyi jantung
tambahan. Bayi baru lahir sampai usia 6 hari mempunyai laju jantung normal 90
160/menit. Palpasi prekordial menentukan apakah letak jantung normal atau
berubah serta menilai peningkatan aktivitas ventrikel. Penilaian bunyi jantung pertama
dan kedua penting dilakukan. Bunyi jantung ke-2 terdengar splits saat inspirasi dan
tunggal saat ekspirasi. Bunyi jantung ke-2 terdengar tunggal pada atresia katup
semilunar, trunkus arteriosus, pulmonary stenosis berat, dan tetralogy of Fallot. Bunyi
jantung ke-2 yang terdengar widely atau fixed split terjadi pada atrial septal defect dan
kelainan lain yang menyebabkan kelebihan volume di ventrikel kanan. Bunyi jantung
tambahan dapat menandakan kelainan jantung seperti clicks, gallop, pericardial
friction rubs, dan terutama murmur.
Kelainan ekstrakardiak sering kali didapatkan pada anak PJB. PJB dapat merupakan
salah satu bagian dari sindrom atau kelainan kromosom tertentu. Penampilan
dismorfik dapat memberikan petunjuk untuk investigasi penyakit jantung bawaan
seperti pada sindrom Down, sindrom William, sindrom rubela kongenital, dan lain-lain.

Pendekatan Praktis Deteksi Dini PJB Kritis


Secara praktis deteksi dini PJB kritis meliputi pemeriksaan yang lengkap untuk menilai
gejala dan tanda dini, menilai tanda kegawatan, dan menentukan waktu yang tepat
untuk melakukan rujukan. Pendekatan tersebut dilakukan dengan melakukan
pemeriksaan yang cermat pada waktu berikut, yaitu saat di ruang perawatan bayi, saat
akan dipulangkan, serta saat kunjungan ulang untuk evaluasi rutin yang lengkap dalam
waktu satu minggu setelah lahir dan saat bayi berusia 12 bulan.
Pemeriksaan yang cermat bayi di kamar bayi, saat pulang rawat, dan saat
kunjungan ulang dalam minggu pertama bertujuan identifikasi PJB kritis, terutama PJB
kritis dengan lesi bergantung pada duktus karena bersifat letal bila tidak terdeteksi
dan dilakukan intervensi yang tepat. Gejala dan tanda penting yang perlu dievaluasi

Bandung, 2627 November 2016 29


terutama difokuskan untuk menilai tiga tanda utama, yaitu sianosis, perfusi sistemik
dengan pemeriksaan pulsasi tungkai bawah, frekuensi, dan kualitas napas. Jika
ditemukan salah satu tanda tersebut perlu dipertimbangkan PJB kritis sebagai
diagnosis banding. Kelainan-kelainan lain yang dapat menyebabkan hipoksemia pada
periode ini adalah transient tachypnea of the newborn, sepsis, respiratory distress
syndrome, aspirasi mekonium, hernia diafragmatika, hipotermia, kelainan paru
kongenital, hipertensi pulmonal persisten, dan hemoglobinopati. Bila tiga gejala di atas
tidak didapatkan dilakukan pemeriksaan pulse oximetry. Bila hasil pulse oximetry
positif maka bayi memerlukan evaluasi lebih lanjut, tetapi bila hasil negatif maka bayi
dapat menjalani evaluasi ulang pada usia satu bulan.
Kunjungan ulang saat usia satu bulan atau lebih bertujuan untuk identifikasi bayi
dengan PJB dan menentukan bayi mana yang memerlukan rujukan, evaluasi lebih
lanjut, dan terapi lebih lanjut untuk kelainan jantungnya. PJB kritis terutama PJB
dengan lesi bergantung pada duktus sudah tidak menjadi perhatian utama untuk
kunjungan rutin di atas satu bulan, tetapi lebih difokuskan untuk identifikasi PJB kritis
dengan lesi yang tidak bergantung pada duktus. Evaluasi pada kunjungan ulang satu
bulan terutama untuk menilai pola napas dan pola pertumbuhan selain bunyi jantung
tambahan, sianosis, dan gangguan perfusi sistemik. Pola pertumbuhan dapat dinilai
dengan pengukuran berat badan, tinggi badan, dan lingkar kepala dengan melakukan
plotting pada kurva pertumbuhan seperti yang terdapat pada kartu menuju sehat.
Kelainan jantung dapat ditandai oleh napas cepat disertai diaforesis saat minum dan
kenaikan berat badan yang tidak adekuat. Bayi dengan pertumbuhan yang baik
umumnya jarang mempunyai masalah dengan kelainan jantung yang memerlukan
intervensi segera.
Berdasarkan gejala dan tanda yang didapatkan, waktu untuk melakukan rujukan
terlihat pada Tabel 2.

30 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


Tabel 2 Gejala dan Tanda PJB Kritis pada Bayi dan Waktu Rujukan
Sianosis
Pulsasi Napas Kenaikan
(Klinis/ Murmur Tindakan
Femoral Cepat Berat Badan
Oximetry)
Tidak Normal Ya Ya Buruk Rujuk
Ya Normal Tidak Tidak Baik Rujuk
Tidak Abnormal Tidak Tidak Baik Rujuk
Tidak Normal Ya Tidak Buruk Evaluasi untuk
kelainan paru/lain
Tidak Normal Tidak Ya Baik Evaluasi ulang

Ringkasan
Penyakit jantung bawaan (PJB) merupakan kelainan bawaan paling banyak pada bayi
baru lahir. PJB kritis adalah PJB dengan lesi yang membutuhkan pembedahan atau
intervensi kateter dalam tahun pertama kehidupan dengan proporsi 25% dari seluruh
bayi baru lahir dengan PJB, serta merupakan penyebab kesakitan dan kematian pada
bayi bila terlambat didiagnosis. Peningkatan deteksi dini PJB kritis pada bayi dapat
dilakukan dengan identifikasi faktor risiko, pemeriksaan fisis untuk mencari tanda
utama sianosis, gangguan perfusi dengan pemeriksaan pulsasi arteri tungkai bawah,
takipnea, serta gangguan pertumbuhan dan murmur pada bayi yang berusia satu
bulan atau lebih. Pemeriksaan pulse oximetry yang melengkapi pemeriksaan fisis
dilakukan bila tidak didapatkan tanda-tanda utama PJB kritis. Identifikasi dini dan
rujukan yang tepat untuk PJB kritis secara tidak langsung dapat menurunkan angka
kematian bayi.

Bandung, 2627 November 2016 31


Bayi baru lahir
KAMAR BAYI

Cardinal Sign
Sianosis, Gangguan Perfusi, Takipnea

+
Rujuk/Evaluasi Lebih Lanjut Pulse Oximetry

Fail Pass

PULANG

Kontrol 1 minggu

Cardinal Sign
Sianosis, Gangguan Perfusi,
Takipnea, Murmur
RAWAT JALAN

+
Fail Pulse Oximetry

Kontrol 1 bulan Pass

Cardinal Sign
+ Sianosis, Gangguan Perfusi,
Takipnea, Murmur,
Gangguan Pertumbuhan

Fail
Pulse Oximetry
Pass

Gambar 2 Algoritme Penegakan Diagnosis PJB Kritis

32 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


Daftar Pustaka
1. Wren C, Irving CA, Griffiths JA, O'Sullivan JJ, Chaudhari MP, Haynes SR, dkk.
Mortality in infants with cardiovascular malformations. Eur J Pediatr. 2012;171(2):
2817.
2. Boneva RS, Botto LD, Moore CA, Yang Q, Correa A, Erickson JD. Mortality
associated with congenital heart defects in the United States: trends and racial
disparities, 1979-1997. Circulation. 2001;103(19):237681.
3. Report of the New England Regional Infant Cardiac Program. Pediatrics.
1980;65(2):375461.
4. Brown KL, Ridout DA, Hoskote A, Verhulst L, Ricci M, Bull C. Delayed diagnosis of
congenital heart disease worsens preoperative condition and outcome of surgery
in neonates. Heart. 2006;92(9):1298302.
5. Schultz AH, Localio AR, Clark BJ, Ravishankar C, Videon N, Kimmel SE.
Epidemiologic features of the presentation of critical congenital heart disease:
implications for screening. Pediatrics. 2008;121(4):7517.
6. Chang RK, Gurvitz M, Rodriguez S. Missed diagnosis of critical congenital heart
disease. Arch Pediatr Adolesc Med. 2008;162(10):96974.
7. Peterson C, Ailes E, Riehle-Colarusso T, Oster ME, Olney RS, Cassell CH, dkk. Late
detection of critical congenital heart disease among US infants: estimation of the
potential impact of proposed universal screening using pulse oximetry. JAMA
Pediatr. 2014;168(4):36170.
8. Liberman RF, Getz KD, Lin AE, Higgins CA, Sekhavat S, Markenson GR, dkk.
Delayed diagnosis of critical congenital heart defects: trends and associated
factors. Pediatrics. 2014;134(2):e37381 .
9. Hoke TR, Donohue PK, Bawa PK, Mitchell RD, Pathak A, Rowe PC, dkk. Oxygen
saturation as a screening test for critical congenital heart disease: a preliminary
study. Pediatr Cardiol 2002;23(4):4039.
10. Koppel RI, Druschel CM, Carter T, Goldberg BE, Mehta PN, Talwar R, dkk.
Effectiveness of pulse oximetry screening for congenital heart disease in

Bandung, 2627 November 2016 33


asymptomatic newborns. Pediatrics. 2003;111(3):4515.
11. de-Wahl Granelli A, Wennergren M, Sandberg K, Mellander M, Bejlum C, Ingans
L,, dkk. Impact of pulse oximetry screening on the detection of duct dependent
congenital heart disease: a Swedish prospective screening study in 39,821
newborns. BMJ. 2009;338:a3037.
12. Mahle WT, Newburger JW, Matherne GP, Smith FC, Hoke TR, Koppel R, dkk. Role
of pulse oximetry in examining newborns for congenital heart disease: a scientific
statement from the AHA and AAP. Pediatrics. 2009;124(2):82336.
13. Mahle WT, Newburger JW, Matherne GP, Smith FC, Hoke TR, Koppel R, dkk. Role
of pulse oximetry in examining newborns for congenital heart disease: a scientific
statement from the AHA and AAP. Circulation. 2009;120(5):44758.
14. Thangaratinam S, Brown K, Zamora J, Khan KS, Ewer AK. Pulse oximetry screening
for critical congenital heart defect in asymptomatic newborn babies: a systematic
review and meta-analysis. Lancet. 2012;379(9835):245964.
15. Ewer AK, Furmston AT, Middleton LJ, Deeks JJ, Daniels JP, Pattison HM, dkk. Pulse
oximetry as a screening test for congenital heart defects in newborn infants: a test
accuracy study with evaluation of acceptability and cost-effectiveness. Health
Technol Assess. 2012;16(2):vxiii, 1184.
16. Peterson C, Gross SD, Glidewell J, Garg LF, Van Naarden Braun K, Knapp MM, dkk.
A public health economic assessment of hospitals cost to screen newborns for
critical congenital heart disease. Public Health Rep. 2014;129(1):8693.
17. Mahle WT, Martin GR, Beekman RH 3rd, Morrow WR; Section on Cardiology and
Cardiac Surgery Executive Committee. Endorsement of Health and Human
Services recommendation for pulse oximetry screening for critical congenital
heart disease. Pediatrics. 2012;129(1):1902.
18. Levesque BM, Pollack P, Griffin BE, Nielsen HC. Pulse oximetry: whats normal in
the newborn nursery? Pediatr Pulmonol. 2000;30(5):40612.
19. Narayen IC, Blom NA, Bourgonje MS, Haak MC, Smit M, Posthumus F, dkk. Pulse
oximetry screening for critical congenital heart disease after home birth and early

34 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


discharge. J Pediatr. 2016;170:18892.
20. Lhost JJ, Goetz EM, Belling JD, van Roojen WM, Spicer G, Hokanson JS. Pulse
oximetry screening for critical congenital heart disease in planned out-of-hospital
births. J Pediatr. 2014;165(3):4859.
21. Kemper AR, Mahle WT, Martin GR, Cooley WC, Kumar P, Morrow WR, dkk.
Strategies for implementing screening for critical congenital heart disease.
Pediatrics. 2011;128(5):125967.
22. Oster ME, Aucott SW, Glidewell J, Hackell J, Kochilas L, Martin GR, dkk. Lesson
learned from newborn screening for critical congenital heart defects. Pediatrics.
2016;137(5):e20154573.
23. Liu S, Joseph KS, Lisonkova S, Rouleau J, Van den Hof M, Sauve R, dkk. Association
between maternal chronic conditions and congenital heart defects: a population-
based cohort study. Circulation. 2013;128(6):5839.
24. Tanner K, Sabrine N, Wren C. Cardiovascular malformations among preterm
infants. Pediatrics. 2005;116(6):e8338.
25. yen N, Poulsen G, Boyd HA, Wohlfahrt J, Jensen PK, Melbye M. Recurrence of
congenital heart defects in families. Circulation. 2009;120(4):295301.
26. yen N, Diaz LJ, Leirgul E, Boyd HA, Priest J, Mathiesen ER, dkk. Prepregnancy
diabetes and offspring risk of congenital heart disease: a Nationwide Cohort Study.
Circulation. 2016;133(23):224353.
27. Lser H, Majewski F. Type and frequency of cardiac defects in embryofetal alcohol
syndrome. Report of 16 cases. Br Heart J. 1977;39(12):13749.
28. Sullivan PM, Dervan LA, Reiger S, Buddhe S, Schwartz SM. Risk of congenital heart
defects in the offspring of smoking mothers: a population-based study. J Pediatr.
2015;166(4):97884.
29. Oster ME, Riehle-Colarusso T, Alverson CJ, Correa A. Associations between
maternal fever and influenza and congenital heart defects. J Pediatr.
2011;158(6):9905.

Bandung, 2627 November 2016 35


Endokarditis Infektif pada Anak:
Etiologi dan Tata Laksana Pemberian Antimikrob
Djatnika Setiabudi

Pendahuluan
Endokarditis infektif (EI) ialah peradangan pada selaput endotel yang melapisi jantung
atau katup jantung (endokardium) yang disebabkan oleh infeksi. Mikroorganisme
penyebab infeksi tersering adalah bakteri sehingga sering kali pembahasan tentang
endokarditis infektif ini sebenarnya yang dimaksud adalah endokarditis bakterialis.
Kejadian penyakit ini pada anak tidak sering, tetapi angka kematiannya masih cukup
tinggi sehingga kecurigaan terhadap penyakit ini perlu ditingkatkan agar dapat
melakukan tata laksana yang cepat dan tepat. Angka kejadian di berbagai negara
sangat bervariasi karena sangat bergantung kepada faktor risiko terjadi EI, khususnya
perbedaan insidensi dan jenis kelainan jantung, serta banyaknya operasi jantung yang
dilakukan. Menurut laporan di Amerika Serikat angka kejadian EI adalah 1 kasus
setiap 1.000 anak yang dirawat di rumah sakit.1
Sejalan dengan perkembangan dalam bidang kedokteran, khususnya dalam
penanganan anak dengan penyakit jantung bawaan (PJB) terjadi perubahan pola
penyebab EI. Pada masa lalu sebagai faktor risiko tersering adalah penyakit jantung
reumatik (PJR) dan sekarang mengalami perubahan, yaitu PJB menjadi yang lebih
sering, baik disebabkan oleh tindakan pembedahan maupun pemasangan katup
buatan.2,3 Menurut sebuah laporan diperkirakan sekitar 7590% EI pada anak
mempunyai kelainan jantung sebelumnya.4 Perubahan pola faktor risiko ini juga
mempunyai dampak terhadap pola kuman penyebab EI. Pemahaman etiologi EI
penting untuk pemilihan antimikrob yang akan diberikan, khususnya pada saat awal
sebagai terapi empirik (sebelum ada hasil biakan) dan bila hasil biakan kuman negatif.

36 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


Dalam makalah ini akan dibahas EI khusus ditinjau dari aspek etiologi serta
pemilihan dan tata cara pemberian antimikrob. Supaya pemahaman hal tersebut lebih
jelas, akan dibahas juga faktor risiko dan kriteria diagnostik EI.

Faktor Risiko
Beberapa keadaan atau kelainan/penyakit merupakan faktor risiko untuk terjadi EI.
Mengenali faktor risiko ini sangat penting sebagai langkah awal untuk kecurigaan
diagnosis EI pada anak yang memperlihatkan gejala atau sindrom yang sering
ditemukan pada EI. Beberapa faktor risiko juga mempunyai hubungan dengan
mikroorganisme penyebab EI sehingga sangat berguna untuk pemilihan antimikrob
awal sebagai terapi empirik sebelum ada hasil biakan darah atau pada keadaan EI
dengan hasil biakan negatif.
Beberapa faktor risiko tersebut antara lain sebagai berikut:
- penyakit jantung bawaan sianotik;
- pemasangan katup buatan/protesa;
- valvulopati pada anak dengan transplantasi jantung;
- riwayat endokarditis infektif (bakterial) sebelumnya;
- penyakit jantung reumatik;
- tindakan pemasangan akses vena sentral (khususnya neonatus);
- pengguna narkoba suntik (penasun)/intravenous drug user (IDU);
- neonatus dan keadaan imunokompromais.

Diagnosis Endokarditis Infektif


Manifestasi klinis EI sering tidak spesifik sehingga menimbulkan kesulitan dalam
penegakan diagnosis. Untuk keperluan penetapan diagnosis saat ini dipakai kriteria
Duke yang telah dimodifikasi.5,6 Pada dasarnya kriteria diagnosis tersebut berdasarkan
manifestasi klinis dan pemeriksaan penunjang, baik mikrobiologis, histopatologis,
maupun pemeriksaan khusus pada jantung seperti ekokardiografi.

Bandung, 2627 November 2016 37


Tabel 1 Definisi Kriteria Mayor dan Kriteria Minor pada Modifikasi Kriteria DUKE
Kriteria Mayor Kriteria Minor
1. Kultur darah positif untuk EI 1. Ada faktor predisposisi seperti
i. Mikroorganisme khas yang konsisten untuk kelainan jantung atau pemakai
EI dari 2 kultur darah: narkoba suntik /IDU.
Streptococci viridans, Streptococcus bovis, 2. Demam: suhu tubuh >38C.
grup HACEK, S. aureus atau community- 3. Fenomena vaskular: emboli arteri,
acquired enterococci, tanpa fokus infeksi infark paru, aneurisma mikotik,
primer atau perdarahan intrakranial, perdarahan
ii. Mikroorganisme yang konsisten untuk EI konjungtiva, dan lesi Janeway.
dari kultur darah positif secara persisten 4. Fenomena imunologik: nodus Osler,
(definisi sebagai berikut): Roths spots, glomerulonefritis, dan
a. Minimal 2 kultur darah positif yang faktor reumatoid.
diambil dalam jarak waktu >12 jam atau 5. Bukti mikrobiologis: kultur darah
b. Bila semua dari 3 kultur atau mayoritas positif, tetapi tidak memenuhi
dari 4 kultur darah yang diambil secara sebagai kriteria mayor atau bukti
terpisah tanpa memperhatikan jarak serologis infeksi aktif oleh organisme
waktu pengambilan (tetapi jarak waktu penyebab EI.
pengambilan pertama dengan terakhir
minimal 1 jam).
iii. Kultur darah positif untuk Coxiella burnetii
(cukup sekali pengambilan) atau titer
antibodi IgG (antiphase I) >1:800.
2. Bukti keterlibatan endokardium
i. Pemeriksaan ekokardiografi positif untuk EI:
a. Massa intrakardiak yang bergerak
(osilasi)
pada katup atau struktur pendukung,
pada
jalan aliran regurgitasi, atau pada
implant
tanpa penjelasan anatomik lain atau
b. abses atau
c. defek baru pada katup buatan.
ii. Regurgitasi katup yang baru.
5 6
Sumber: Li dkk. dan Baltimore dkk.

Klasifikasi diagnosis EI berdasarkan modifikasi kriteria Duke.


1. Definitif:
Kriteria patologi:
Dapat ditemukan mikroorganisme dari biakan darah atau vegetasi atau dari abses
intrakardiak
atau
ditemukan lesi patologik seperti vegetasi atau abses intrakardiak yang

38 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


dikonfirmasi dengan pemeriksaan histopatologis menunjukkan endokarditis

Kriteria klinis:
2 kriteria mayor atau
1 kriteria mayor + 3 kriteria minor atau
5 kriteria minor
2. Posibel:
Tidak cukup untuk memenuhi diagnosis definitif, juga tidak termasuk dalam
klasifikasi yang ditolak (rejected), bila ditemukan 1 kriteria mayor + 1 kriteria minor
atau 3 kriteria minor.
3. Ditolak (rejected):
Dapat ditegakkan diagnosis alternatif untuk manifestasi klinis endokarditis
atau
manifestasi endokarditis menghilang setelah terapi antibiotik selama 4 hari
atau
tidak ditemukan bukti kelainan patologis EI pada saat tindakan pembedahan atau
autopsi dalam 4 hari pemberian antibiotik.

Etiologi
Etiologi EI sangat bervariasi bergantung pada faktor risiko atau predisposisi, apakah
ada atau tidak kelainan pada jantung, serta apakah infeksi terjadi di komunitas atau
merupakan infeksi rumah sakit.79 Pengetahuan mengenai etiologi EI sangat penting
terutama untuk pemberian antimikrob yang tepat. Selain itu, perbedaan
mikroorganisme penyebab juga dapat memberikan manifestasi klinis dan prognosis
yang berbeda pula.10
Mikroorganisme penyebab EI yang paling sering adalah bakteri kokus gram positif
seperti golongan streptokokus -hemolitikus (Streptococcus viridans), Staphylococcus
aureus, dan golongan stafilokokus koagulase-negatif (coagulase-negative staphylococci/
CONS). Pada saat ini S. aureus adalah penyebab tersering dan sering kali menimbulkan
keadaan yang gawat dengan angka kematian yang tinggi. Golongan enterokokus lebih

Bandung, 2627 November 2016 39


jarang sebagai penyebab EI, tetapi sangat sulit pengobatannya karena sering kali
sudah resisten terhadap antibiotik yang biasa diberikan.
Etiologi EI pada neonatus dan anak imunokompromais yang sering adalah
sekumpulan bakteri yang biasa disingkat menjadi HACEK, terdiri atas Haemophilus
spp., Actinobacillus spp., Cardiobacterium hominis, Eikenella corrodens, dan Kingella
spp.
Endokarditis infektif dapat juga disebabkan oleh jamur, biasanya secara klinis berat
dengan prognosis yang buruk. Insidensi EI yang disebabkan oleh jamur ini meningkat
karena semakin banyak neonatus yang dirawat di NICU, biasanya yang mendapat
terapi bedah jantung dan mendapat nutrisi parenteral total. Penyebab infeksi jamur
juga lebih sering terjadi pada anak yang dipasang katup buatan. Etiologi jamur ini juga
perlu dipertimbangkan pada anak yang mendapat terapi antibiotik jangka lama. Angka
kejadian sekitar 012% (rata-rata 1,1%) dari seluruh EI pada anak dengan angka
kematian 7590%.1113 Jamur penyebab EI antara lain:
Candida spp.: merupakan yang tersering sekitar dari semua jamur penyebab.
Aspergillus spp.: terutama pada pasien pascapembedahan (merupakan penyebaran
infeksi sistemik dari paru-paru serta pada anak imunokompromais).
Histoplasma capsulatum, Blastomyces dermatitidis, Cryptococcus neoformans, dan
Coccidioides immitis: lebih sering perikarditis daripada endokarditis.

Endokarditis dengan Biakan Negatif


Pada beberapa keadaan tertentu dapat ditemukan manifestasi klinis dan hasil
pemeriksaan ekokardiografi yang sesuai dengan kriteria diagnosis EI, tetapi pada
biakan kuman (yang dilakukan beberapa kali) tidak berhasil ditemukan
mikroorganisme penyebab. Keadaan ini disebut endokarditis dengan biakan negatif
(culture-negative endocarditis).

40 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


Hal tersebut dapat disebabkan oleh14
1. organisme penyebab sulit untuk dibiak (jamur, bakteri anaerob, kelompok HACEK);
2. jumlah volume darah untuk kultur yang kurang;
3. penderita telah mendapat antibiotik sebelum dilakukan kultur;
4. kuman yang berasal dari kelainan rongga jantung sisi kanan (right-sided) terfiltrasi
di paru-paru;
5. sekuestrasi organisme penyebab dalam vegetasi sehingga tidak dapat mencapai
aliran darah.

Tabel 2 Dugaan Etiologi Endokarditis Biakan Negatif berdasarkan Faktor Risiko


Faktor Risiko Etiologi
Pemasangan katup buatan Coagulase-negative staphylococci (CONS), S. aureus,
(1 tahun). Aerobic Gram-negative bacilli, jamur,
Corynebacterium spp., Legionella spp.
Pemasangan katup buatan CONS, S. aureus, Streptococcus (grup viridans), Enterococcus
( >1 tahun). spp., jamur, Corynebacterium spp.
Indwelling cardiovascular S. aureus, CONS, jamur, Aerobic Gram-negative bacilli,
medical devices. Corynebacterium spp.
Solid-organ transplant. S. aureus, Aspergillus fumigatus, Enterococcus spp.,
Candida spp.
Kelainan kulit kronik S. aureus, -hemolytic streptococci.
(infeksi kulit berulang).
Luka bakar. S. aureus, Aerobic Gram-negative bacilli (termasuk P.
aeruginosa), jamur.
Higiene oral/dental buruk dan Streptococcus (grup viridans), Abiotrophia defective,
prosedur/tindakan dental. Granulicatella spp., Gemella spp., HACEK.
Kelainan/gangguan urogenital Enterococcus spp., Grup B streptococci (Strep. agalactiae),
(infeksi, manipulasi/tindakan). Listeria monocytogenes, Aerobic Gram-negative bacilli,
Neisseria gonorrhoeae.
Kelainan gastrointestinal. Streptococcus bovis, Enterococcus spp.,
Clostridium septicum.
Pengguna jarum suntik (IDU). S. aureus, termasuk community-acquired methicillin/
oxacillin/nafcillin resistant S. aureus (C-MRSA),
CONS, -hemolytic streptococci,
Aerobic Gram-negative bacilli (termasuk P. aeruginosa),
jamur, polimikrobial.
6
Sumber: Baltimore dkk.

Bandung, 2627 November 2016 41


Terapi Antimikrob
Pemilihan antimikrob (antibiotik dan antijamur) yang tepat merupakan kunci sukses
dalam pengobatan EI. Prinsip pemberian antibiotik pada EI antara lain: 1517
1. pemilihan antibiotik yang diberikan harus disesuaikan dengan pola kepekaan
organisme penyebab terhadap antibiotik;
2. diutamakan antibiotik yang mempunyai sifat bakterisidal;
3. direkomendasikan pemberian antibiotik intravena secara intermiten untuk
mencapai konsentrasi yang tinggi dalam darah;
4. diperlukan pemberian antibiotik yang lama (48 minggu) untuk eradikasi organisme
penyebab;
5. sebelum pemberian antibiotik dihentikan, disarankan ada bukti hasil kultur darah
sudah negatif.

Tabel 3 Rekomendasi Antibiotik Empirik Endokarditis Infektif pada Anak


Kondisi Pasien Rekomendasi Alternatif Dosis/Keterangan
Katup alamiah Ampicillin-sulbactam Vancomycin Ampicillin-sulbactam:
(community acquired) + gentamisin (+ gentamisin). 200300 mg/kgBB/hari, i.v.,
atau katup buatan >1 +/ vancomycin dibagi tiap 46 jam
tahun pemasangan. Untuk katup buatan (maksimum 12 g).
ditambah rifampin. Gentamisin:
36 mg/kgBB/hari, i.v., dibagi
tiap 8 jam.
Hospital acquired Vancomycin --- Vancomycin:
pada pemasangan + Gentamisin 60 mg/kgBB/hari, i.v., dibagi
kanula vaskular atau (+ rifampin bila ada tiap 6 jam (maksimum 2 g).
katup buatan 1 katup buatan) Rifampin:
tahun pemasangan. + cefepime atau 1520 mg/kgBB/hari, p.o.,
ceftazidime. dibagi tiap 12 jam (maks. 600
mg).
Cefepime:
100150 mg/kgBB/hari, i.v.,
dibagi tiap 812 jam
(maks. 6 g).
Ceftazidime:
100150 mg /kg/hari, i.v.,
dibagi tiap 8 jam (24 g/hari).
Keterangan: etiologi belum diketahui atau kultur darah negatif, sedangkan keadaan pasien kritis.
6
Sumber: Baltimore dkk.

42 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


Tabel 4 Rekomendasi Pemberian Antibiotik Definitif untuk Kokus Gram Positif
Etiologi Rekomendasi Alternatif
Streptococcus
- Sangat peka terhadap Penicillin G atau ceftriaxone Vancomycin atau
penicillin G (MBC 0,1 g/mL); Penicillin G: 200.000300.000 sefalosporin generasi
termasuk Streptococcus U/kgBB/hari, i.v., dibagi tiap 4 pertama atau ceftriaxone.
viridans, Streptococcus grup A, jam (sampai 24 juta U/hari). Vancomycin: 40 mg/kgBB/
B, C, G (non-enterococcus), hari, i.v., dibagi tiap 812
Ceftriaxone: 100 mg/kgBB/
grup D (S. bovis, S. equinus). jam (maks. 2 g).
hari, i.v., dibagi tiap 12 jam
atau 80 mg/kgBB/hari, sekali Cefazolin: 100 mg/kgBB/
sehari (maks. 4 g/hari, bila >2 hari, i.v., dibagi tiap 8 jam
g, sebaiknya dibagi dalam (maks. 12 g/hari).
2 dosis).
- Relatif resisten terhadap Penicillin G (atau ampicillin) Vancomycin plus
penicillin (MBC 0,2 g/mL, plus gentamisin (untuk 2 gentamisin untuk
termasuk enterococci dan minggu pertama, atau sampai streptococci.
Streptococcus viridans yang selesai pengobatan khusus Ampicillin plus
kurang peka). untuk enterococci). ceftriaxone (untuk
Penicillin G: sama dengan di enterococci resisten
atas. aminoglikosida).
Ampicillin: 200300 mg/kgBB/ Ceftriaxone plus
hari, i.v., dibagi tiap 46 jam gentamisin (untuk selain
(maks. 12 g). enterococci).
Gentamisin: 36 mg/kgBB/
hari, i.v., dibagi tiap 8 jam.
Staphylococci (S. aureus atau CONS).
- Peka terhadap 1 g/mL Penicillin G (dosis sama Oxacillin atau nafcillin
penicillin G. dengan di atas). atau sefalosporin
generasi pertama atau
vancomycin.
Oxacillin atau nafcillin:
200 mg/kgBB/hari, i.v.,
tiap 46 jam (sampai 12
g/hari).
- Resisten terhadap 0,1 g/mL Penicillinase-resistant penicillin Cefazolin dan
pencillin G. (oxacillin atau nafcillin) vancomycin: dosis sama
gentamisin (35 hari). dengan di atas.
- Resisten terhadap 4 g/mL Vancomycin (dosis sama Vancomycin atau
oxacillin (MRSA). dengan di atas). sefalosporin generasi
pertama.
Dosis vancomycin dan
cefazolin sama dengan di
atas.
- Resisten vancomycin atau Daptomycin (dosis sama Daptomycin untuk right-
pasien intoleran terhadap dengan di atas). sided endocarditis.
vancomycin.
- Untuk semua staphylococci Plus rifampin, plus gentamisin Daptomycin: 6 mg/kgBB/
(untuk 2 minggu pertama), hari, i.v.,tiap 24 jam (<6
bila ada benda/katup buatan. tahun: 10 mg/kgBB).
6
Sumber: Baltimore dkk.

Bandung, 2627 November 2016 43


Rekomendasi pemberian antibiotik sebagai terapi empirik dapat dilihat pada Tabel
3, sedangkan terapi definitif untuk organisme tertentu pada berbagai kondisi dan
lamanya pemberian antibiotik dilihat pada Tabel 4Tabel 6.

Tabel 5 Rekomendasi Pemberian Antibiotik Definitif untuk Gram Batang Negatif


Etiologi Rekomendasi Alternatif
Gram-negative enteric Ceftazidime, cefepime, cefotaxime Penicillin spektrum luas plus
bacilli atau ceftriaxone plus gentamisin gentamisin (atau tobramycin
(Enterobacteriacea). (atau tobramycin atau amikacin atau amikacin).
bergantung pada kepekaan
Piperazillin-tazobactam: 240
kuman).
mg/kgBB/hari, i.v., tiap 8 jam
Ceftazidime: 100150 mg/kgBB/ (sampai 18 g/hari).
hari, i.v., tiap 8 jam (sampai 24
Gentamisin atau tobramycin:
g/hari).
36 mg/kgBB/hari, i.v.
Cefotaxime: 200 mg/kgBB/hari, i.v.,
Amikacin: 15 mg/kgBB/hari,
tiap 6 jam (sampai 12 g/hari).
i.v.
Ceftriaxone: 100 mg/kgBB/hari, i.v.
setiap 12 jam atau 80 mg/kgBB/
hari, sekali sehari (sampai 4
g/hari).
Gentamisin atau tobramycin: 36
mg/kgBB/hari, i.v. dibagi tiap 8 jam.
Grup HACEK. Amikacin: 15 mg/kgBB/hari, i.v., Ampicillin (untuk kuman yang
dibagi tiap 812 jam. sensitif) plus aminoglikosida.
Ceftriaxone atau cefotaxime Ampicillin: 200300 mg/kgBB/
atau ampicillin-sulbactam. hari, i.v., tiap 46 jam (sampai
12 g/hari).
Ceftriaxone dan cefotaxime: dosis
sama dengan di atas. Gentamisin atau tobramycin
dan amikacin: dosis sama
Ampicillin-sulbactam:
dengan di atas.
200300 mg/kgBB/hari, i.v., tiap
46 jam (sampai 12 g/hari).
6
Sumber: Baltimore dkk.

Pada keadaan endokarditis dengan hasil biakan negatif, pemilihan antibiotik


empirik dipilih berdasarkan dugaan kuman penyebab tersering dan faktor risiko terjadi
endokarditis. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 7.

44 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


Tabel 6 Lama Pemberian Antibiotik pada Endokarditis Infektif
Jenis Kuman dan Faktor Rrisiko Lama Terapi
Streptokokus (sangat peka atau relatif resisten) dengan katup alamiah. 4 minggu
Streptococcus viridans atau Streptococcus bovis dengan benda/katup 6 minggu
buatan.
Stafilokokus peka terhadap oxacillin dengan katup alamiah. 46 minggu
Stafilokokus resisten terhadap oxacillin dengan katup alamiah. 6 minggu
Stafilokokus dengan katup buatan. minimal 6 minggu
Enterokokus dengan katup alamiah atau buatan. 46 minggu
Enterokokus yang diobati dengan vancomycin, katup alamiah, atau 6 minggu
buatan.
Kelompok HACEK, katup alamiah atau buatan. 4 minggu
Endokarditis biakan negatif dengan katup alamiah. 46 minggu
Endokarditis biakan negatif dengan katup buatan. 6 minggu
Enteric Gram-negative. minimal 6 minggu
6
Sumber: Baltimore dkk.

Tabel 7 Terapi Empirik Endokarditis Infektif Biakan Negatif


Kondisi/Rejimen Dosis dan Jalur Lama Terapi Keterangan
Katup alamiah:
1) Ampicillin-sulbactam 300 mg./kgBB/hari, i.v., 46 minggu Konsensus para pakar
+ dibagi 46 kali pemberian. bila hasil biakan
Gentamicin sulfate 3 mg/kgBB/hari, i.v./i.m., 46 minggu negatif harus
dibagi 3 kali pemberian. konsultasi ahli
penyakit infeksi.
2) Vancomycin 40 mg/kgBB/hari, i.v., 46 minggu Vancomycin hanya
+ dibagi 23 kali pemberian. direkomendasikan bila
Gentamicin sulfate Dosis sama dengan di 46 minggu pasien tidak dapat
atas. diberi penicillin.
+
Ciprofloxacin 2030 mg/kgBB/hari, 46 minggu
i.v./p.o., dibagi 2 kali
pemberian.
Katup buatan (lama Sama dengan di atas. 6 minggu Rejimen sama dengan
pemasangan >1 tahun). EI dengan katup
alamiah.
Katup buatan (lama
pemasangan 1 tahun).
Vancomycin Dosis sama dengan 6 minggu
+ di atas.
Gentamicin sulfate Dosis sama dengan 2 minggu
+ di atas.
Cepefime 150 mg/kgBB/hari, i.v., 6 minggu
+ dibagi 3 kali pemberian.
Rifampin 20 mg/kgBB/hari p.o., 6 minggu
dibagi 2 kali pemberian.
6
Sumber: Baltimore dkk.

Bandung, 2627 November 2016 45


Untuk EI pada anak yang disebabkan oleh jamur, antijamur yang direkomendasikan
adalah sebagai berikut (untuk Candida spp. dan Aspergillus spp.):
Amphotericin B (1 mg/kgBB/hari, i.v. dosis tunggal drip dalam 34 jam) +/ Flucytosine
(150 mg/kgBB/hari, p.o., dibagi setiap 6 jam; dan dilakukan terapi bedah. Amphotericin
B dapat diganti amphotericin liposomal/lipid-associated dengan dosis 35 mg/kgBB/
hari, i.v. dosis tunggal. Sebagai alternatif bila tidak dapat dilakukan terapi bedah,
amphotericin B diikuti dengan pemberian golongan imidazole (seperti fluconazole,
itraconazole, atau voriconazole).6

Penutup
Telah dibahas EI pada anak dengan tinjauan khusus mengenai etiologi dan tata laksana
pemberian antimikrob. Etiologi EI pada anak bergantung pada faktor risiko dan apakah
infeksi didapat di komunitas atau merupakan infeksi rumah sakit (health-care
associated infections/HAIs). Mengenali faktor risiko juga penting sebagai langkah awal
untuk menduga terjadi EI pada anak. Faktor risiko telah mengalami pergeseran dari
PJR kepada PJB. Selain bakteri sebagai penyebab tersering, perlu juga dipertimbangkan
jamur sebagai penyebab apabila terdapat faktor risiko khusus untuk infeksi jamur.
Terapi antimikrob empirik dapat diberikan sebelum ada hasil biakan (sedangkan
keadaan pasien dalam keadaan kritis), atau pada keadaan endokarditis dengan hasil
biakan negatif. Pemilihan antimikrob empirik didasarkan pada dugaan etiologi
tersering berdasarkan faktor risiko, terutama pada keadaan apakah katup jantung
alamiah atau katup buatan/protesa. Terapi antimikrob definitif harus ditujukan kepada
organisme penyebab EI dan disesuaikan dengan hasil uji kepekaannya. Lama
pemberian antimikrob umumnya 46 minggu bergantung pada etiologi, hasil uji
kepekaan, dan apakah katup alamiah atau katup buatan/protesa.

Daftar Pustaka
1. Pasquali SK, He X, Mohamad Z, McCrindle BW, Newburger JW, Li JS, dkk. Trends in
endocarditis hospitalizations at US children's hospitals: impact of the 2007

46 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


American Heart Association Antibiotic Prophylaxis Guidelines. Am Heart J. 2012;
163(5):8949.
2. Elder RW, Baltimore RS. The changing epidemiology of pediatric endocarditis.
Infect Dis Clin North Am. 2015;29(3):51324.
3. Johnson JA, Boyce TG, Cetta F, Steckelberg JM, Johnson JN. Infective endocarditis
in the pediatric patient: a 60-year single-institution review. Mayo Clin Proc. 2012;
87(7):62935.
4. Tseng WC, Chin SN, Shao PL, Wang JK, Chen CA, Lin MT, dkk. Changing spectrum of
infective endocarditis in children: a 30 years experiences from a tertiary care
center in Taiwan. Pediatr Infect Dis J. 2014;33(5):46771.
5. Li JS, Sexton DJ, Mick N, Nettles R, Fowler VG Jr, Ryan T, dkk. Proposed
modifications to the Duke criteria for the diagnosis of infective endocarditis. Clin
Infect Dis. 2000;30(4):6338.
6. Baltimore RS, Gewitz M, Baddour LM, Beerman LB, Jackson MA, Lockart PB, dkk.
Infective endocarditis in childhood: 2015 update: a scientific statement from the
American Heart Association. Circulation. 2015;132(15):1487515.
7. Rushani D, Kaufman JS, Ionescu-Ittu R, Mackie AS, Pilote L, Therrien J, dkk.
Infective endocarditis in children with congenital heart disease: cumulative
incidence and predictors. Circulation. 2013;128(13):14129.
8. Lin YT, Hsieh KS, Chen YS, Huang IF, Cheng MF. Infective endocarditis in children
without underlying heart disease. J Microbiol Immunol Infect. 2013;46(2):1218.
9. Marom D, Levy I, Gutwein O, Birk E, Ashkenazi S. Healthcare-associated versus
community-associated infective endocarditis in children. Pediatr Infect Dis J.
2011;30(7):5858.
10. Ishiwada N, Niwa K, Tateno S, Yoshinaga M, Terai M, Nakazawa M, dkk. Causative
organism influences clinical profile and outcome of infective endocarditis in
pediatric and adults with congenital heart disease. Circ J. 2005;69(10):126670.
11. Ankola PA, Perveen S, Fish B. Fungal endocarditis. J Perinatol. 2006;26(8):50910.

Bandung, 2627 November 2016 47


12. Millar BC, Jugo J, Moore JE. Fungal endocarditis in neonates and children. Pediatr
Cardiol. 2005;26(5):51736.
13. Tissires P, Jaeggi ET, Beghetti M, Gervaix A. Increase of fungal endocarditis in
children. Infection. 2005;33(4):26772.
14. Hoyer A, Silberbach M. Infective endocarditis. Pediatr Rev. 2005;26(11):3949.
15. Baddour LM, Wilson WR, Bayer AS, Fowler VG Jr, Bolger AF, Levison ME, dkk.
Infective endocarditis: diagnosis, antimicrobial therapy, and management of
complications: a statement for healthcare professionals from the Committee on
Rheumatic Fever, Endocarditis, and Kawasaki Disease, Council on Cardiovascular
Disease in the Young, and the Councils on Clinical Cardiology, Stroke, and
Cardiovascular Surgery and Anesthesia, American Heart Association: endorsed by
the Infectious Diseases Society of America. Circulation. 2005;111(23):394434.
16. Habib G. Management of infective endocarditis. Heart. 2006;92(1):12430.
17. Nichols KR, Israel EN, Thomas CA, Knoderer CA. Optimizing guideline-
recommended antibiotic doses for pediatric infective endocarditis. Ann
Pharmacother. 2016;50(5):4237.

48 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


Asma pada Anak
Cissy B. Kartasasmita

Asma merupakan penyakit inflamasi saluran pernapasan kronik yang sering pada anak.
Diperkirakan sebesar 14% anak di dunia pernah menunjukkan gejala asma dengan
kisaran prevalensi 1030%. Jumlah penderita asma di dunia adalah 334 juta orang
pada tahun 2014, meningkat dari total 235 juta pada tahun 2011.
Asma merupakan penyakit respiratori kronik yang heterogen dengan dasar
inflamasi kronik yang bervariasi luas dalam manifestasi klinis, mekanisme inflamasi,
patogenesis, dan perjalanan alamiah dengan banyak sekali faktor yang berperan.
Kejadian utama pada serangan asma akut adalah obstruksi saluran respiratori secara
luas yang disebabkan oleh kombinasi spasme otot polos bronkus, edema mukosa
karena inflamasi saluran respiratori, dan sumbatan mukus. Sumbatan tidak terjadi
secara merata di seluruh paru. Gejala utama asma adalah wheezing, namun tidak pada
semua penderita asma didapatkan wheezing. Gejala lain yang sering ditemukan adalah
sulit bernapas, sesak napas, dan batuk. Diagnosis asma pada anak tidak mudah, hal ini
sering kali mengakibatkan under-diagnosis dan under-treatment.
Tujuan pengobatan asma adalah untuk mencapai dan mempertahankan kontrol
dan menjamin tercapainya tumbuh kembang anak secara optimal. Obat asma dapat
dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever) dan obat pengendali
(controller). Dianjurkan sebaiknya obat asma diberikan secara inhalasi. Inhalasi dosis
terukur/metered-dose inhaler (MDI) dengan spacer merupakan pilihan utama untuk
anak di bawah usia 7 tahun karena memberikan kenyamanan kepada pasien, jumlah
obat yang mencapai paru lebih banyak, serta risiko dan efek samping minimal.
Tata laksana serangan asma ditujukan untuk mengatasi segera penyumbatan yang
terjadi, sedangkan tata laksana jangka panjang untuk mencegah agar anak terbebas
dari serangan asma.

Bandung, 2627 November 2016 49


Diagnosis dan Klasifikasi Asma
Diagnosis asma ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan
penunjang. Anamnesis memegang peranan sangat penting mengingat diagnosis asma
pada anak sebagian besar ditegakkan secara klinis.

Anamnesis
Keluhan mengi dan atau batuk berulang merupakan manifestasi klinis yang diterima
luas sebagai titik awal diagnosis asma. Gejala respiratori asma berupa kombinasi
batuk, wheezing, sesak napas, rasa dada tertekan, dan produksi sputum. Gejala
dengan karakteristik yang khas diperlukan untuk menegakkan diagnosis asma.
Karakteristik yang mengarah ke asma adalah gejala timbul secara episodik atau
berulang. Gejala timbul bila ada faktor pencetus misalnya iritan (asap rokok, asap
bakaran sampah, asap obat nyamuk, suhu dingin, udara kering, makanan minuman
dingin); alergen (debu, tungau debu rumah, rontokan hewan, serbuk sari); infeksi
respiratori; aktivitas fisik (lari, teriak, menangis, atau tertawa berlebihan). Sering kali
ada riwayat alergi pada pasien atau keluarganya.
Intensitas gejala dapat bervariasi dari waktu ke waktu, bahkan dalam 24 jam.
Biasanya gejala lebih berat pada malam hari (nokturnal). Gejala juga dapat membaik
secara spontan dengan atau dengan pemberian obat pereda asma.

Pemeriksaan Fisis
Sering kali pada pemeriksaan fisis pasien karena penyakitnya stabil tidak ditemukan
kelainan. Dalam keadaan sedang bergejala batuk atau sesak dapat terdengar
wheezing, baik yang terdengar langsung (audible wheeze) atau yang terdengar dengan
stetoskop. Perlu dicari gejala lain alergi pada pasien seperti dermatitis atopik atau
rinitis alergi. Dapat pula dijumpai tanda alergi seperti allergic shiners atau geographic
tongue.

50 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan ini untuk menunjukkan variabilitas gangguan aliran napas akibat
obstruksi, hiper-reaktivitas, dan inflamasi saluran respiratori, atau terdapat atopi pada
pasien. Pemeriksaan meliputi
- uji fungsi paru dengan spirometri sekaligus uji reversibilitas dan variabilitas. Pada
fasilitas terbatas dapat dilakukan pemeriksaan dengan peak flow meter;
- uji cukit kulit (skin prick test), eosinofil total darah, IgE spesifik;
- uji inflamasi respiratori: FeNO (fractional exhaled nitric oxide), eosinofil sputum;
- uji provokasi bronkus dengan exercise, metakolin, hipertonik salin.

Tabel 1 Kriteria Diagnosis Asma


Gejala Karakteristik
Wheezing, batuk, sesak napas, - Biasanya lebih dari 1 gejala respiratori.
dada tertekan, produksi sputum. - Gejala berfluktuasi intensitasnya seiring waktu.
- Gejala memberat pada malam atau dini hari.
- Gejala timbul bila ada pencetus.
Konfirmasi terdapat limitasi aliran udara ekspirasi
Gambaran obstruksi saluran FEV1 rendah (<80% nilai prediksi).FEV1 / FVC 90%.
respiratori.
Uji reversibilitas. Peningkatan FEV1 >12%.
Variabilitas. Perbedaan PEFR harian >13%.
Uji provokasi. Penurunan FEV1 >20%, atau PEFR >15%.
1
Sumber: GINA

Pada keadaan diagnosis sulit ditegakkan dan fasilitas tersedia, lakukan pemeriksaan
untuk mencari kemungkinan diagnosis banding, misalnya uji tuberkulin, foto sinus
paranasalis, foto toraks, uji refluks gastro-esofagus, uji keringat, uji gerakan silia, uji
defisiensi imun, CT-scan toraks, dan endoskopi respiratori (rinoskopi, laringoskopi,
bronkoskopi).

Bandung, 2627 November 2016 51


Berikan -agonis*
Selama 35 hari

Tata laksana
sesuai
diagnosis

Tambah steroid
sistemik (35 hari)

Gambar 1 Alur Diagnosis Asma


7
Sumber: PNAA
Keterangan gambar:
*) -agonis sebaiknya diberikan dalam bentuk inhalasi
**) Uji fungsi paru diulangi setelah 4 minggu dari uji fungsi paru sebelumnya

Klasifikasi Derajat Asma


Derajat asma berdasarkan kekerapan serangan dapat dikelompokkan menjadi
intermiten, persisten ringan, persisten sedang, dan persisten berat.

52 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


Tabel 2 Kriteria Derajat Asma bedasarkan Kekerapan Serangan
Derajat Asma Uraian Kekerapan Gejala Asma
Intermiten. Episode gejala asma<6/tahun atau jarak antar serangan 6 minggu.
Persisten ringan. Episode gejala asma>1/bulan, <1/minggu.
Persisten sedang. Episode gejala asma>1/minggu, namun tidak setiap hari.
Persisten berat. Episode gejala asma terjadi hampir tiap hari.

Jika ada keraguan dalam menentukan derajat kekerapan, masukkan ke dalam


derajat yang lebih berat.

Klasifikasi asma berdasarkan derajat beratnya serangan


Asma merupakan penyakit kronik yang dapat mengalami episode gejala akut yang
memberat dengan progresif yang disebut sebagai serangan asma. Klasifikasi
berdasarkan beratnya serangan adalah asma serangan ringan, asma serangan sedang,
dan asma serangan berat.

Klasifikasi asma berdasarkan derajat kendali


Tujuan utama tata laksana asma adalah terkendalinya penyakit. Asma terkendali
adalah asma yang tidak bergejala, dengan atau tanpa obat pengendali dan kualitas
hidup pasien baik.
- Asma terkendali penuh (well controlled).
- Asma terkendali sebagian (partly controlled).
- Asma tidak terkendali (uncontrolled).

Klasifikasi derajat kendali dipakai untuk menilai keberhasilan tata laksana yang
tengah dijalankan dan untuk penentuan peningkatan (step-up), pemeliharaan
(maintenance), atau penurunan (step-down) tata laksana yang akan diberikan.

Tata Laksana Asma


Tujuan tata laksana asma anak secara umum adalah untuk mencapai kendali asma
sehingga menjamin tercapainya potensi tumbuh kembang anak secara optimal. Secara

Bandung, 2627 November 2016 53


lebih rinci, tujuan yang ingin dicapai adalah
1. aktivitas pasien berjalan normal, termasuk bermain dan berolahraga;
2. gejala tidak timbul pada siang maupun malam hari;
3. kebutuhan obat seminimal-minimalnya dan tidak ada serangan;
4. efek samping obat dapat dicegah untuk tidak atau sesedikit-sedikitnya terjadi,
terutama yang memengaruhi tumbuh kembang anak.
Apabila tujuan ini belum tercapai maka tata laksananya perlu dievaluasi kembali.

Tata Laksana Serangan Asma


Serangan asma adalah episode peningkatan yang progresif (perburukan) dari gejala-
gejala batuk, sesak napas, wheezing, rasa dada tertekan, atau berbagai kombinasi dari
gejala-gejala tersebut. Serangan asma biasanya mencerminkan gagalnya tata laksana
asma jangka panjang atau terdapat pajanan dengan pencetus. Derajat serangan asma
bermacam-macam, mulai dari serangan ringan hingga serangan berat yang dapat
mengancam nyawa.
Serangan asma akut merupakan kegawatan medis yang lazim dijumpai dan perlu
ditekankan bahwa serangan asma berat dapat dicegah. Serangan asma dapat ringan
sedang, berat, atau ancaman henti napas.
Tujuan tata laksana serangan asma antara lain sebagai berikut: 1) mengatasi
penyempitan saluran respiratori secepat-cepatnya; 2) mengurangi hipoksemia; 3)
mengembalikan fungsi paru ke keadaan normal secepatnya; dan 4) mengevaluasi dan
memperbarui tata laksana jangka panjang untuk mencegah kekambuhan.
Semua pasien/orangtua pasien asma seharusnya diberikan edukasi tentang
bagaimana memonitor gejala asma, gejala-gejala serangan asma, dan rencana tata
laksana asma yang diberikan tertulis (asthma action plan). Orangtua perlu diberikan
edukasi untuk memberikan pertolongan pertama serangan asma di rumah. Tata
laksana serangan asma di rumah ini penting agar pasien dapat segera mendapatkan
pertolongan dan mencegah serangan yang lebih berat. Tenaga medis/dokter juga
harus menilai seberapa baik pemahaman dan ketaatan pasien/orangtua tentang tata

54 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


laksana serangan asma di rumah untuk memastikan pasien mendapatkan tata laksana
yang adekuat di rumah. Pada beberapa kondisi pasien harus segera dibawa ke fasilitas
pelayanan kesehatan terdekat jika pasien mempunyai satu atau lebih faktor risiko
seperti: riwayat serangan asma yang mengancam nyawa, pernah intubasi karena
serangan asma, pneumotoraks dan atau pneumomediastinum, serangan asma
berlangsung dalam waktu yang lama, penggunaan steroid sistemik (saat ini atau baru
berhenti), kunjungan ke UGD atau perawatan rumah sakit (RS) karena asma dalam
setahun terakhir, tidak teratur berobat sesuai rencana terapi, berkurangnya persepsi
tentang sesak napas, penyakit psikiatrik atau masalah psikososial, atau pasien tiba-tiba
dalam kondisi distres respirasi.

Tabel 3 Penilaian Derajat Serangan Asma


Asma Serangan Serangan Asma dengan
Asma Serangan Berat
RinganSedang Ancaman Henti Napas
- Bicara dalam kalimat - Bicara dalam kata - Mengantuk
- Lebih senang duduk - Duduk bertopang lengan - Letargi
daripada berbaring - Gelisah - Suara napas tak
- Tidak gelisah - Frekuensi napas terdengar
- Frekuensi napas meningkat meningkat
- Frekuensi nadi meningkat - Frekuensi nadi meningkat
- Retraksi minimal - Retraksi jelas
- SpO2 (udara kamar): 9095% - SpO2 (udara kamar) <90%
- PEF >50% prediksi atau - PEF 50% prediksi atau
terbaik terbaik

Serangan asma ringansedang


Pada pasien yang memenuhi kriteria gejala klinis untuk serangan asma ringan sedang,
sebagai tindakan awal pasien diberikan agonis 2 kerja pendek lewat nebulisasi atau
MDI dengan spacer yang dapat diulang hingga 2 kali dalam 1 jam dengan
pertimbangan untuk menambahkan ipratropium bromida pada nebulisasi ketiga.
Pasien diobservasi, jika tetap baik pasien dapat dipulangkan.
Bila keadaan baik pasien dipulangkan dan dibekali dengan obat agonis 2 (hirupan
atau oral) yang diberikan setiap 46 jam. Inhalasi bronkodilator diberikan dalam
bentuk MDI dengan spacer atau nebulisasi yang sama keefektifannya. Pemberian MDI

Bandung, 2627 November 2016 55


dengan spacer dapat diberikan dengan dosis 24 puff, bila belum ada perbaikan dapat
diulang lagi 24 puff dengan selang 30 menit dalam waktu 1 jam. Pasien kemudian
dianjurkan untuk kontrol ke klinik rawat jalan dalam waktu 2448 jam untuk dire-
evaluasi tata laksananya. Selain itu, jika sebelum serangan pasien sudah mendapat
obat pengendali, obat pengendali dilanjutkan dapat ditambahkan steroid oral jangka
pendek (35 hari) dan obat tersebut diteruskan hingga re-evaluasi di klinik rawat jalan.
Jika selama 1 jam observasi gejala timbul kembali, pasien ditatalaksana sebagai
serangan asma berat.
Pada serangan asma ringansedang diberikan steroid sistemik (oral) metil
prednisolon dengan dosis 0,51 mg/kgBB/hari selama 35 hari. Steroid lain yang dapat
diberikan selain metil prednisolon adalah prednison. Ada yang berpendapat bahwa
steroid nebulisasi dengan dosis yang sangat tinggi (1.6002.400 g budesonid) dapat
digunakan untuk serangan asma, tetapi belum banyak kepustakaan yang mendukung.
Steroid nebulisasi dosis rendah tidak bermanfaat untuk serangan asma.
Walaupun mungkin tidak diperlukan, tetapi untuk persiapan keadaan darurat, sejak
di UGD pasien yang akan diobservasi di RS sebaiknya langsung dipasangkan jalur
parenteral.

Serangan asma berat


Bila dengan nebulisasi tiga kali berturut-turut pasien tidak menunjukkan respons (poor
response), yaitu gejala dan tanda serangan masih ada (penilaian ulang sesuai
pedoman) maka pasien harus dirawat di ruang rawat inap. Bila sejak awal dinilai
sebagai serangan berat maka nebulisasi yang diberikan pertama kali adalah 2-agonis
dengan penambahan antikolinergik. Oksigen 24 L/menit diberikan sejak awal
termasuk pada saat nebulisasi. Pasang jalur parenteral pada pasien dan lakukan
pemeriksaan rontgen toraks.
Apabila pasien menunjukkan gejala dan tanda ancaman henti napas, pasien harus
langsung dirawat di ruang rawat intensif. Untuk pasien dengan serangan berat dan
ancaman henti napas, langsung dilakukan pemeriksaan rontgen toraks untuk
mendeteksi komplikasi pneumotoraks dan atau pneumomediastinum.

56 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


Tata Laksana di Ruang Rawat Sehari (RSS)
Oksigen yang telah diberikan saat pasien masih di UGD tetap diberikan. Setelah pasien
menjalani dua kali nebulisasi dalam 1 jam dengan respons parsial di UGD, di RRS
diteruskan dengan nebulisasi 2-agonis + antikolinergik setiap 2 jam. Kemudian,
berikan steroid sistemik oral berupa metil prednisolon atau prednison. Pemberian
steroid ini dilanjutkan hingga 35 hari. Jika dalam 12 jam klinis tetap baik maka pasien
dipulangkan dan dibekali obat seperti pasien serangan ringansedang yang
dipulangkan dari Klinik/UGD. Bila dalam 12 jam responsnya tetap tidak baik maka
pasien dialih rawat ke ruang rawat inap dengan tata laksana serangan asma berat.

Tata Laksana di Ruang Rawat Inap


Di ruang perawatan inap, pemberian oksigen diteruskan. Jika ada dehidrasi dan
asidosis maka berikan cairan intravena dan koreksi asidosisnya. Steroid intravena
diberikan secara bolus setiap 68 jam. Dosis steroid intravena adalah 0,51
mg/kgBB/hari. Nebulisasi 2-agonis + antikolinergik dengan oksigen dilanjutkan setiap
12 jam. Jika dalam 46 kali pemberian mulai terjadi perbaikan klinis, jarak pemberian
dapat diperlebar menjadi tiap 46 jam. Aminofilin diberikan secara intravena dengan
dosis:
- bila pasien belum mendapat aminofilin sebelumnya, aminofilin dosis awal (inisial)
sebesar 68 mg/kgBB yang dilarutkan dalam dekstrosa atau garam fisiologis
sebanyak 20 mL, dan diberikan selama 30 menit dengan infusion pump atau
mikroburet;
- bila respons belum optimal dilanjutkan dengan pemberian aminofilin dosis rumatan
sebanyak 0,51 mg/kgBB/jam;
- jika pasien telah mendapat aminofilin (kurang dari 8 jam), dosis diberikan separuhnya,
baik dosis awal (34 mg/kgBB) maupun rumatan (0,250,5 mg/kgBB/jam);
- bila memungkinkan, sebaiknya kadar aminofilin diukur dan dipertahankan 1020
mcg/mL;
- pantau gejala-gejala intoksikasi aminofilin.

Bandung, 2627 November 2016 57


Bila telah terjadi perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan setiap 6 jam hingga
mencapai 24 jam dan steroid serta aminofilin diganti dengan pemberian per oral. Jika
dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan dengan dibekali obat 2-
agonis (hirupan atau oral) yang diberikan setiap 46 jam selama 2448 jam. Selain itu,
steroid oral dilanjutkan hingga pasien kontrol ke klinik rawat jalan dalam 2448 jam
untuk re-evaluasi tata laksana.

Tata Laksana Asma Jangka Panjang


Setiap pasien asma harus ditentukan derajat kendali asma untuk memulai pengobatan
jangka panjang. Sebelum memutuskan meningkatkan atau menurunkan langkah tata
laksana jangka panjang asma, dokter harus menilai kepatuhan pasien terhadap
pengobatan, teknik inhalasi, dosis obat inhalasi, dan mengendalikan faktor pencetus
asma. Untuk menentukan derajat kendali asma dapat menggunakan penilaian seperti
pada Tabel 4.

Tabel 4 Derajat Kendali Penyakit Asma


A. Penilaian Klinis (dalam 68 Minggu)
Terkendali Terkendali Sebagian
Manifestasi Klinis (Bila Semua Kriteria (Minimal Satu Tidak Terkendali
Terpenuhi) Kriteria Terpenuhi)

Tidak pernah (2 kali/minggu) Tiga atau lebih kriteria


Gejala siang hari >2 kali/minggu
terkendali sebagian*

Aktivitas terbatas Tidak ada Ada

Gejala malam hari Tidak ada Ada

Pemakaian Tidak ada (2 kali/minggu)


>2 kali/minggu
pereda

B. Penilaian Risiko Perjalanan Asma (Risiko Eksaserbasi, Ketidakstabilan, Penurunan


Fungsi Paru, Efek Samping)
Asma yang tidak terkendali, sering eksaserbasi, pernah masuk ICU karena asma, FEV 1 yang rendah,
paparan terhadap asap rokok, mendapat pengobatan dosis tinggi.

Pengendalian asma senantiasa dilakukan berdasarkan derajat kendali asma. Apabila


asma belum terkendali maka dilakukan pemberian obat sesuai langkah selanjutnya

58 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


(step up). Sebelumnya, perlu dicermati apakah dosis, cara pemberian obat yang
diberikan sudah tepat, apakah penghindaran faktor pencetus telah dilaksanakan
dengan benar. Pada asma persisten yang belum pernah mendapatkan obat pengendali
maka pemberian obat dimulai sesuai dengan langkah 2, apabila asma sangat tidak
terkendali mulai dengan langkah 3. Pada setiap langkah pengendalian apabila terjadi
serangan/eksaserbasi asma, pasien harus mendapatkan obat pereda asma, yaitu obat
inhalasi kerja cepat.

Langkah 1:
Pasien pada kondisi terkendali hanya mengalami gejala ringan 2 kali/minggu dan di
antara serangan pasien tidak mengala mi gangguan tidur maupun aktivitas sehari- hari.
Pada saat ini pasien hanya mendapatkan obat pereda berupa bronkodilator 2-agonis
hirupan kerja pendek apabila mengalami serangan asma. Sebagai alternatif dapat
diberikan obat inhalasi antikolinergik, 2-agonis kerja pendek oral, teofilin oral.
Pengendalian asma dihubungkan dengan tingkat pemakaian obat pereda asma. Bila
pemakaian obat pereda asma melebihi dua kanister setiap bulannya, menandakan
anak memerlukan obat pengendali asma. Pada tata laksana jangka panjang langkah 2,
3, 4, dan 5 pemilihan obat dinilai berdasarkan pengurangan gejala asma, perbaikan
fungsi paru, dan penurunan frekuensi eksaserbasi asma. Pada pasien yang memiliki
faktor risiko dapat dipertimbangkan pemberian kortikosteroid inhalasi dosis rendah.1

Langkah 2:
Pasien mendapatkan obat pengendali asma berupa kortikosteroid inhalasi dosis
rendah atau antileukotrien. Antileukotrien diberikan pada pasien asma yang tidak
memungkinkan menggunakan kortikosteroid inhalasi atau pada pasien yang menderita
asma disertai rinitis alergi. Teofilin dan kromolin kurang disarankan karena efikasinya
lebih rendah dan lebih sering menimbulkan efek samping. 1

Langkah 3:
Pilihan utama pada langkah 3 untuk anak berusia di atas 5 tahun ialah kombinasi
steroidLABA. Alternatif lain adalah dengan menaikkan dosis steroid inhalasi pada

Bandung, 2627 November 2016 59


dosis medium. Pemberian melalui inhalasi dosis terukur dengan spacer akan
memperbaiki deposisi obat di paru, mengurangi impaksi obat di orofaring, dan
mengurangi efek sistemik. Selain itu, dapat diberikan kombinasi steroid inhalasi dosis
rendah dan antileukotrien atau kombinasi steroidteofilin lepas lambat. Pada pasien
asma dewasa, pemberian budesonid/formoterol sebagai pengobatan pada serangan
asma selain penggunaannya sebagai pengendali asma, memberikan hasil yang cukup
baik. Pasien asma dewasa yang memakai budesonid/formoterol untuk meredakan
gejala asma harus dievaluasi setiap hari.

Langkah 4:
Pasien asma yang tidak berhasil dikendalikan pada langkah 3 sebaiknya dirujuk kepada
dokter spesialis respirologi anak untuk pemeriksaan lebih lanjut. Pada saat ini pasien
asma dikategorikan sebagai asma sulit (difficult-to-treat asthma). Pilihan pertama
pada langkah 4 ialah kombinasi steroid inhalasi dosis sedang-LABA atau kortikosteroid
inhalasi dosis tinggi. Menaikkan dosis steroid inhalasi dari dosis sedang ke dosis tinggi
hanya memberikan sedikit perbaikan. Keputusan ini dapat dilaksanakan setelah
pemberian steroid inhalasi dosis sedang-LABA diberikan selama 3 bulan sampai 6
bulan. Pilihan lain pada langkah 4 ialah kombinasi steroid inhalasi dosis sedang-
antileukotrin atau kombinasi steroid inhalasi dosis sedang-teofilin lepas lambat.

Langkah 5:
Pemberian kortikosteroid oral sebagai obat pengendali asma dapat diberikan hanya
apabila pada langkah 4 pasien tidak memperolah perbaikan gejala dan sering
mengalami kekambuhan. Pasien harus dijelaskan tentang kemungkinan efek samping
yang timbul akibat pemberian steroid oral jangka panjang dan berbagai alternatif
pilihan pengobatan. Penambahan anti-imunoglobulin E (omalizumab) dapat
memperbaiki pengendalian asma yang disebabkan oleh alergi.

60 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


Obat Pengendali Asma
Obat pengendali asma adalah obat yang dapat mencegah terjadi serangan asma. Obat
ini digunakan untuk mengatasi masalah dasar asma, yaitu inflamasi respiratorik kronik
sehingga tidak timbul serangan atau gejala asma. Dengan demikian, pemakaian obat
ini secara terus-menerus dalam jangka waktu yang relatif lama bergantung pada
kekerapan gejala asma dan responsnya terhadap pengobatan/penanggulangan.
Termasuk obat pengendali asma adalah anti-inflamasi kortikosteroid inhalasi atau
sistemik, antileukotrien, kombinasi steroid-long acting 2-agonist (LABA), teofilin lepas
lambat, sodium kromoglikat, nedokromil, dan anti-imunoglobulin E.

Kortikosteroid Inhalasi
Kortikosteroid inhalasi dapat menekan inflamasi saluran respiratori dan berperan
penting dalam tata laksana asma jangka panjang.4
Kortikosteroid inhalasi merupakan obat pengendali asma yang paling efektif.
Pemberian kortikosteroid inhalasi setara dosis budesonid 100200 g per hari dapat
menurunkan angka kekambuhan asma dan memperbaiki fungsi paru pada pasien
asma.1 Beberapa pasien asma memerlukan dosis kortikosteroid inhalasi 400 g per
hari untuk mengendalikan asma dan mencegah timbulnya serangan asma setelah
berolahraga. Pada anak yang berusia di atas 5 tahun, steroid inhalasi dapat
mengendalikan asma, menurunkan angka kekambuhan, mengurangi risiko masuk

Bandung, 2627 November 2016 61


rumah sakit, memperbaiki kualitas hidup, memperbaiki fungsi paru, dan menurunkan
serangan asma akibat berolahraga. Pemakaian kortikosteroid inhalasi atau sistemik
pada asma episodik jarang dan wheezing akibat infeksi virus masih kontroversial.
Kortikosteroid inhalasi sebagai obat pengendali asma tidak memengaruhi tinggi badan
dan densitas tulang. Steroid inhalasi dapat memengaruhi kecepatan pertumbuhan,
tetapi tidak memengaruhi tinggi badan secara keseluruhan. Kandidiasis oral, suara
parau sebagai efek samping dapat dicegah dengan cara berkumur setiap selesai
pemberian kortikosteroid inhalasi. Pada anak asma yang mendapatkan kortikosteroid
inhalasi harus dipantau pertumbuhan (persentil tinggi badan dan berat badan) setiap
tahun. Kortikosteroid inhalasi umumnya diberikan dua kali dalam sehari, kecuali
ciclesonide yang diberikan sekali sehari. Ciclesonide merupakan preparat
kortikosteroid inhalasi yang baru, efek sistemik minimal, dan deposisi obat di orofaring
lebih sedikit dibanding dengan preparat kortikosteroid inhalasi yang lain. Efikasi dan
keamanannya dibanding dengan preparat yang lain masih memerlukan penelitian
lebih lanjut.

Long Acting 2-agonist (LABA)


Sebagai pengendali asma, LABA selalu digunakan bersama kortikosteroid inhalasi.
Kombinasi steroidLABA terbukti memperbaiki fungsi paru dan menurunkan angka
kekambuhan asma. Pemberian preparat kombinasi steroid-LABA banyak diteliti pada
anak asma yang berusia di atas 5 tahun, pada saat pemberian kortikosteroid inhalasi
dosis rendah tidak menghasilkan perbaikan. Pemberian kombinasi steroid-LABA dalam
satu kemasan memberikan hasil pengobatan yang lebih baik dibanding dengan
kortikosteroid inhalasi dan LABA dalam sediaan terpisah. Penelitian penggunaan
kombinasi steroid-LABA pada anak yang berusia di bawah 5 tahun masih terbatas.
Kombinasi LABA-steroid inhalasi juga dapat digunakan untuk mencegah spasme
bronkus yang dipicu olahraga dan mampu memproteksi lebih lama dibanding dengan
2 agonis inhalasi kerja cepat. Formoterol memiliki kerja yang lebih cepat daripada
salmeterol sehingga formoterol lebih cocok untuk mengurangi gejala dan mencegah
timbulnya gejala.

62 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


Antileukotrien
Antileukotrien terdiri atas antagonis reseptor cysteinyl-leukotrien 1 (CysLT1) seperti
montelukast, pranlukast, zafirlukast, dan inhibitor 5-lipoxygenase seperti zileuton.
Studi klinik menunjukkan antileukotrien memiliki efek bronkodilatasi kecil dan
bervariasi, mengurangi gejala termasuk batuk, memperbaiki fungsi paru, serta
mengurangi inflamasi jalan napas dan eksaserbasi.
Antileukotrien dapat menurunkan gejala asma, namun secara umum tidak lebih
unggul dibanding dengan kortikosteroid inhalasi. Jika digunakan sebagai obat
pengendali tunggal, efeknya lebih rendah dibanding dengan kortikosteroid inhalasi.
Kombinasi kortikosteroid inhalasi dan antileukotrien dapat menurunkan angka
kekambuhan asma dan menurunkan kebutuhan dosis kortikosteroid inhalasi.
Antileukotrien dapat mencegah serangan asma akibat berolahraga. Antileukotrien juga
dapat mencegah kekambuhan asma akibat infeksi virus pada anak usia di bawah 5
tahun. Pemberian kombinasi kortikosteroid inhalasi dan antileukotrien pada asma
persisten episodik sering dan asma persisten kurang efektif dibanding dengan
kortikosteroid inhalasi dosis sedang.
Pemberian antileukotrien tunggal dapat diberikan sebagai alternatif dari pemberian
steroid inhalasi.

Teofilin Lepas Lambat


Sebagai obat pengendali asma teofilin lepas lambat dapat diberikan sebagai preparat
tunggal atau diberikan sebagai kombinasi dengan kortikosteroid inhalasi pada anak
usia di atas 5 tahun. Kombinasi steroid inhalasi dan teofilin akan memperbaiki kontrol
asma dan dapat menurunkan dosis steroid inhalasi pada anak dengan asma persisten.
Preparat teofilin lepas lambat lebih dianjurkan untuk pengendalian asma karena
kemampuan absorbsi dan bioavaibilitas yang lebih baik. Eliminasi teofilin bervariasi
antarindividu sehingga pada penggunaan jangka lama kadar teofilin dalam plasma
harus dimonitor. Efek samping teofilin dapat berupa mual, muntah, anoreksia, sakit
kepala, palpitasi, takikardia, aritmia, nyeri perut, dan diare. Efek samping teofilin
terutama timbul pada pemberian dosis tinggi di atas 10 mg/kgBB/hari.

Bandung, 2627 November 2016 63


Anti Ig-E
Anti Ig-E (omalizumab) adalah antibodi monoklonal mampu mengurangi kadar IgE
bebas dalam serum. Pada orang dewasa dan anak di atas usia 6 tahun, omalizumab
boleh diberikan pada pasien asma yang mendapat kortikosteroid inhalasi dosis tinggi
dan LABA yang masih sering mengalami eksaserbasi dan terbukti disebabkan oleh
alergi. Omalizumab diberikan sebagai injeksi subkutan setiap dua sampai empat
minggu. Reaksi anafilaksis dapat terjadi dini ketika pemberian dosis pertama, tetapi
juga dapat terjadi setelah pemberian selama satu tahun. Karena risiko anafilaksis,
omalizumab seharusnya di bawah pengawasan dokter spesialis.
Anti Ig-E (omalizumab) terbukti memperbaiki gejala asma pada asma persisten
sedang dan berat yang disebabkan oleh alergi. Pemberian omalizumab akan
menurunkan kebutuhan kortikosteroid inhalasi dan menurunkan angka kekambuhan
asma. Pemberian anti Ig-E membutuhkan beberapa kali dosis penyuntikan dan relatif
mahal. Efek samping yang pernah dilaporkan antara lain urtikaria, kemerahan, dan
gatal. Belum dilakukan penelitian jangka panjang (di atas satu tahun) untuk efikasi
anti Ig-E.

64 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


Pasien dengan serangan
asma

Nilai derajat serangan asma


Cari riwayat asma risiko tinggi

RINGANSEDANG BERAT
Bicara dalam kalimat Bicara dalam kata
Lebih senang duduk daripada berbaring ANCAMAN HENTI NAPAS
Duduk bertopang lengan
Tidak gelisah Gelisah Mengantuk/letargi
Frekuensi napas meningkat Suara napas tak terdengar
Frekuensi napas meningkat
Frekuensi nadi meningkat Frekuensi nadi meningkat
Retraksi minimal Retraksi jelas
SpO2 (udara kamar): 9095% SpO2 (udara kamar) <90%
PEF >50% prediksi terbaik* PEF 50% prediksi terbaik*

MULAI TERAPI AWAL SEGERA


MEMBURUK
2 agonis kerja cepat
o Via nebuliser atau via MDI dan spacer
o Nebulisasi dapat diulang sampai 3 kali tiap 20 menit
dihitung dari awal terapi dalam 1 jam RUJUK KE RUMAH SAKIT
o Untuk nebulisasi ketiga pertimbangkan kombinasi B2 Sambil menunggu, lakukan terapi:
agonis kerja cepat dan ipratropium bromida Nebulisasi 2 agonis kerja cepat +
Pada serangan: steroid sistemik (prednison/prednisolon): ipratropium bromida
12 mg/kgBB, maksimum 40 mg per oral (bila tidak Steroid sistemik
memungkinkan, i.v.) selama 35 hari (pilihan steroid lain lihat (prednison/prednisolon): 12
tabel)** Berikan oksigen 12 L/min jika SpO2 <94% mg/kgBB, maksimum 40 mg i.v.
Hati-hati dalam penggunaan kortikosteroid* Berikan oksigen

Lanjutkan terapi dengan B2 agonis kerja cepat jika diperlukan


MEMBURUK atau
NILAI RESPON TERAPI DALAM 1 JAM BERIKUTNYA (atau lebih cepat)
tidak respons
MEMBAIK
PENILAIAN SEBELUM SIAPKAN UTK RAWAT JALAN
DIPULANGKAN OBAT PEREDA: jika diperlukan
Gejala: membaik OBAT PENGENDALI: dimulai, dilanjutkan,
SpO2 >94% (udara kamar) dinaikkan sesuai dengan derajat kekerapan asma
PEF membaik, dan 6080% nilai Steroid oral: lanjutkan 35 hari
prediksi terbaik* Kunjungan ulang ke RS dalam 27 hari

FOLLOW UP
Obat pereda: diberikan jika perlu
Obat pengendali: lanjutkan dengan dosis yang sesuai
Evaluasi faktor risiko: identifikasi dan modifikasi faktor risiko bila memungkinkan

** PERINGATAN PEMBERIAN
PERINGATANPEMBERIAN STEROID SISTEMIK:
STEROID SISTEMIK:
Steroid hanya diberikan, pada serangan asma
o Bila memerlukan inhalasi 2 agonis kerja cepat lebih dari 2 kali berturut-turut

*
o Bila memiliki riwayat serangan asma berat dalam 1 tahun terakhir
Hati-hati bila dalam 1 bulan terakhir pasien sudah mendapat steroid
oral/sistemik. Perlu dievaluasi apakah indikasi steroid oral/sistemik sudah
tepat, dan pikirkan kemungkinan pasien sudah memerlukan obat pengendali.

Bandung, 2627 November 2016 65


Pasien dengan serangan asma berat atau
ancaman henti napas
yang dirujuk ke rumah sakit

Penilaian
Penilaian awalawal
: : APAKAH ADA:
A: airway, B: breathing, mengantuk, letargi, suara
A: airway B: breathing C:
C: circulation paru tak terdengar
circulation
TIDAK YA

BERAT ANCAMAN HENTI NAPAS


Bicara dalam kalimat
SIAPKAN PERAWATAN ICU
Lebih senang duduk daripada
Inhalasi 2 agonis kerja pendek
berbaring
Oksigen
Tidak gelisah
Siapkan intubasi jika perlu
Frekuensi napas meningkat
Frekuensi nadi meningkat
Retraksi minimal
SpO2 (udara kamar): 9095%
PEF >50% prediksi terbaik*

MULAI TERAPI
Inhalasi 2 agonis kerja pendek
+ ipratropium bromida
Kortikosteroid oral atau i.v.
Oksigen untuk menjaga
SpO2 9498%
Berikan aminofilin i.v.

Jika memburuk, kelola sebagai


SERANGAN BERAT
dan pertimbangkan rawat ICU

Nilai kondisi klinis secara berkala


Periksa spirometri/PEF*
(satu jam setelah terapi awal)

FEV1 atau PEF <60% dan tidak


FEV1 atau PEF 6080% dan
terdapat perbaikan gejala
terdapat perbaikan gejala
BERAT
SEDANG Lanjutkan tata laksana dan
Pertimbangkan rawat jalan evaluasi berkala

Gambar 2 Alur Tata Laksana Serangan Asma di Fasyankes [Draf PNAA 2015]

66 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


Daftar Pustaka
1. Global Initiative for Asthma (GINA). Global strategy for asthma management and
prevention (2016 update) [diunduh 10 September 2016]. Tersedia dari:
http://www.ginasthma.org.
2. Hamasaki Y, Kohno Y, Ebisawa M, Kondo N, Nishima S, Nishimuta T, dkk. Japanese
Guideline for Childhood Asthma 2014. Allergol Inter. 2014;63(3):33556.
3. Papadopoulus NG, Arakawa H, Carlsen KH, Custovic A, Gern J, Lemanske R, dkk.
International consensus on (ICON) pediatric asthma. Allergy. 2012;67(8):97697.
4. Robinson PD, Van Asperen P. Asthma in childhood. Pediatr Clin North Am.
2009;56(1):191226.
5. British Thoracic Society. British Guideline on the Management of Asthma: a
National Clinical Guideline. London: BMJ Publishing; 2011.
6. Global Asthma Network. The Global Asthma Report 2016 [diunduh 10 September
2016]. Tersedia dari: http://www.globalasthmareport.org.
7. Rahayu N, Kartasasmita CB, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Pedoman
Nasional Asma Anak (PNAA). Edisi ke-2. Jakarta; UKK Respirologi PP IDAI; 2015.

Bandung, 2627 November 2016 67


Diagnostik dan Tata Laksana Kolestasis pada Bayi
Dwi Prasetyo

Pendahuluan
Ikterus atau jaundice ialah suatu keadaan yang ditandai dengan kulit dan sklera
berwarna kuning yang disebabkan oleh akumulasi bilirubin pada kulit dan membran
mukosa karena kadar bilirubin pada tubuh tinggi atau disebut juga hiperbilirubinemia.
Ikterik terlihat secara kasat mata apabila konsentrasi bilirubin dalam darah pada bayi
atau anak >5 mg/L. Ikterik terjadi pada 60% bayi cukup bulan dan 80% bayi kurang
bulan pada minggu pertama kehidupan. Pada sebagian besar bayi kondisi ini
merupakan hal yang fisiologis.1,2
Bila ikterik menetap hingga melebihi dua minggu pada bayi cukup bulan dan tiga
minggu pada bayi kurang bulan maka disebut prolonged jaundice yang terdiri atas
prehepatik, hepatik, dan poshepatik.26 Hal ini dapat terjadi pada kurang lebih 15%
bayi baru lahir. Membedakan jaundice fisiologis dengan kelainan hepatobilier
merupakan hal yang tidak mudah.7 Data epidemiologi menunjukkan bahwa 1 dari
2.500 bayi lahir hidup mengalami kelainan hepatobilier, oleh sebab itu setiap
prolonged jaundice harus mendapatkan perhatian khusus dan pemeriksaan lebih
lanjut.6
Etiologi jaundice menurut peningkatan kadar bilirubin dapat dibagi menjadi karena
peningkatan bilirubin tidak terkonjugasi (unconjugated hyperbilirubinemia) dan
bilirubin terkonjugasi (conjugated hyperbilirubinemia).8 Ditinjau dari letak jaundice,
penyebab utama conjugated hyperbilirubinemia atau kolestasis secara umum dibagi
menjadi dua golongan besar, yaitu kelainan intrahepatik (hepatoseluler) serta kelainan
ekstrahepatik (obstruktif).9
Kolestasis ialah terjadi hambatan aliran empedu dengan manifestasi conjugated
hyperbilirubinemia,911 disertai kadar bilirubin direk >1 mg/dL bila bilirubin total kurang
dari 5 mg, sedangkan bila kadar bilirubin total lebih dari 5 mg/dL, kadar bilirubin direk
lebih dari 20% kadar bilirubin total dan biasanya terjadi pada usia 90 hari kehidupan.

68 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


Akibat penumpukan empedu di sel hati, secara klinis bayi terlihat ikterik, urin
berwarna lebih gelap, dan tinja berwarna lebih pucat sampai seperti dempul.
Kolestasis harus dipikirkan sebagai salah satu penyebab ikterus pada bayi baru lahir
bila ikterus menetap setelah bayi berusia 2 minggu. 912
Diagnosis dini kolestasis sangat diperlukan untuk mencegah progesivitas dan
prognosis penyakit terutama pada atresia biliaris.9,13,14

Patofisiologi
Secara umum tidak ada bayi yang jaundice sejak lahir. Jaundice harus diwaspadai
sebagai tanda penyakit dan tidak secara rutin dianggap fisiologis, tetapi jaundice
fisiologis pun tetap merupakan suatu tanda gangguan metabolisme bilirubin.
Prolonged jaundice seharusnya tidak dianggap sebagai kondisi fisiologis sampai
terbukti sebaliknya.4
Ikterus dapat terjadi karena15
1. pembentukan bilirubin yang berlebihan;
2. defek pengambilan bilirubin oleh sel hati;
3. defek konjugasi bilirubin;
4. penurunan ekskresi bilirubin;
5. gabungan antara peningkatan kadar bilirubin yang terjadi karena produksi yang
berlebihan dan penurunan sekresi.
Gangguan berupa pembentukan bilirubin yang berlebihan, defek pengambilan, dan
konjugasi bilirubin akan menghasilkan peningkatan biliribin tidak terkonjugasi.
Penurunan ekskresi bilirubin akan meningkatkan kadar bilirubin terkonjugasi atau
disebut juga kolestasis. Bila mekanismenya bersifat campuran, akan terjadi
peningkatan bilirubin terkonjugasi maupun tidak terkonjugasi. 15

Etiologi
Ditinjau dari letaknya, penyebab utama conjugated hyperbilirubinemia atau kolestasis
secara umum diklasifikasikan menjadi 2 golongan besar, yaitu kelainan intrahepatik
serta kelainan ekstrahepatik9

Bandung, 2627 November 2016 69


Ekstrahepatik
- Atresia biliaris.
- Hipoplasia biliaris.
- Stenosis duktus biliaris.
- Anomalies choledochopancreaticoductal junction.
- Perforasi spontan duktus biliaris.
- Massa (neoplasma, batu).

Intrahepatik
Idiopatik
- Hepatitis neonatal idiopatik.
- Kolestasis intrahepatik persisten.
- Displasia arteriohepatik (sindrom Allagile).
- Bylers disease.
- Trihydroxycoprostanic acidemia.
- Sindrom Zellweger (sindrom serebrohepatorenal).
- Nonsyndromic paucity of intrahepatic ducts.
- Disfungsi mikrofilamen.
- Kolestasis intrahepatik rekurens.
- Familiar benign recurent kolestasis.
- Kolestasis herediter dengan limfedema.

Anatomi
- Fibrosis hepatik kongenital/polikistik infantil pada hati dan ginjal.
- Carolis disease (dilatasi kistik duktus intrahepatik).

Gangguan Metabolisme
1. Gangguan metabolisme asam amino, tirosin, dan hipermetionin
2. Gangguan metabolisme lemak
- Wolmans disease
- Niemann-Pick disease

70 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


- Gaucherss disease
3. Gangguan metabolisme karbohidrat
- Galaktosemia.
- Fruktosemia.
- Glikogenosis IV.
4. Gangguan metabolisme asam empedu
- 3-hidroksisteroid dehidrogenase/isomerase.
- 4-3 oksosteroid 5-reduktase.
5. Gangguan metabolik yang tidak khas
- Defisensi alfa-1 antitripsin.
- Fibrosis kistik.
- Hipopituarisme idiopatik.
- Hipotiroid.
- Neonatal iron storage disease.
- Infantile copper overload.
- Multiple acyl-coA dehydrogenation deficiency.
- Familiar erytrophagocytic lymphohistiocytosis.

Hepatitis
1. Infeksi (hepatitis pada neonatus)
- Cytomegalovirus (CMV).
- Hepatitis B virus.
- Rubella virus.
- Reovirus tipe 3.
- Herpes virus.
- Varicella virus.
- Coxsackievirus.
- Echovirus.
- Parvovirus B19.
- Toksoplasmosis.

Bandung, 2627 November 2016 71


- Sifilis.
- Tuberkulosis.
- Listeriosis.
2. Toksik
- Kolestasis akibat nutrisi perenteral.
- Sepsis.

Gangguan genetik atau kromosom


1. Trisomi E.
2. Sindrom Down.
3. Sindrom Donahue.

Lain-lain
1. Histiositosis X.
2. Syok atau hiperperfusi.
3. Obstruksi intestinal.
4. Sindrom polisplenia.
5. Lupus neonatal.

Diagnosis
Membedakan kolestasis intrahepatik tidaklah mudah karena semua bentuk kolestasis
menimbulkan sindrom klinis ikterik yang sama, yaitu disertai pruritus, peningkatan
transaminase dan alkali fosfatase, serta gangguan ekskresi zat warna kolesistografi. 10,12
Beberapa pemeriksaan dapat dilakukan untuk membedakan kolestasis intrahepatik
dengan ekstrahepatik, namun tidak ada cara yang dapat digunakan secara tunggal
dengan akurasi diagnostik 100%. Oleh karena itu, memerlukan anamnesis dan
pemeriksaan fisis yang cermat serta pemeriksaan penunjang yang memadai. 9,10

1. Pada anamnesis harus ditanyakan tentang riwayat prenatal, perinatal dan riwayat
mulai timbulnya sindrom kolestasis, ras serta riwayat keluarga yang menyeluruh,
dan bagaimana perjalanan penyakitnya pada saudara kandung untuk menyingkirkan

72 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


kolestasis hepatik akibat kelainan genetik atau metabolik. Demikian pula mengenai
riwayat morbiditas ibu selama kehamilan, misalnya infeksi Toksoplasma, others,
rubela, cytomegalovirus dan Herpes (TORCH), hepatitis B serta infeksi lainnya, dan
riwayat kelahiran (infeksi intrapartum, berat lahir), riwayat pemberian nutrisi
parenteral, transfusi darah, serta penggunaan obat hepatotoksik. 10
2. Pemeriksaan fisis penderita kolestasis harus mencakup berat badan, tinggi badan,
dan lingkar kepala selain pemeriksaan abdomen yang mencakup lingkar perut, hati,
limpa, serta terdapat massa atau asites. Walaupun etiologi kolestasis sangat
beragam, terdapat beberapa gambaran klinis yang dapat memberi petunjuk
kolestasis tersebut, apakah suatu kelainan intrahepatik atau ekstrahepatik.
Misalnya, bayi kolestasis yang disertai gejala muntah dan riwayat hipoglikemia
harus dicurigai kemungkinan sepsis, galaktosemia, intoleransi fruktosa, atau
tirosinemia. Contoh lainnya adalah kecurigaan sindrom paucity duktus biliaris
intrahepatik (sindrom Alagille) sebagai penyebab kolestasis bila ditemukan defek
vertebra dan kardiovaskular serta peningkatan trigliserida. Selain itu, keadaan
umum penderita kolestasis intrahepatik biasanya lebih berat dan mungkin disertai
dengan kelainan nonhepatik seperti katarak, kalsifikasi intrakranial, wajah
dismorfik, hipotoni atau gejala perinatal lainnya, sedangkan penderita kolestasis
ekstrahepatik bisanya memiliki keadaan umum yang baik. Atresia biliaris juga dapat
disertai dengan levokardia, atresia intestinal, dan sindrom Turner.11
3. Selain pengamatan di atas, juga dapat dilakukan pengamatan warna tinja harian
dengan mengumpulkan tinja 3 porsi (porsi pertama jam 06.0014.00, porsi kedua
jam 14.0022.00, dan porsi ketiga jam 22.0006.00) dalam wadah yang transparan
dan disimpan di dalam kantong plastik yang berwarna gelap. Tindakan ini dapat
digunakan sebagai penyaring tahap pertama karena kolestasis ekstrahepatik
terutama atresia biliaris hampir selalu menyebabkan tinja yang akolis pada semua
porsi tinja. Bila ketiga porsi tinja tetap berwarna dempul selama beberapa hari
maka kemungkinan besar adalah kolestasis ekstrahepatik (atresia biliaris). Pada
kolestasis intrahepatik, warna tinja kuning atau dempul berfluktuasi dan pada
keadaan lanjut tinja dapat pula seperti dempul terus-menerus.16,17

Bandung, 2627 November 2016 73


Pemeriksaaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium.
2. Pencitraan.
3. Biopsi hati.

Pemeriksaan Laboratorium
1. Kadar bilirubin.
2. Darah lengkap: jumlah trombosit dan retikulosit bila ada anemia.
3. Fungsi hati: transaminase (SGOT, SGPT), gama glutamil transpeptidase (GT), alkali
fosfatase (AF), waktu protrombin, dan tromboplastin.
4. Elektroforesis protein, gula darah, elektrolit, ureum, kreatinin, kolesterol, asam
empedu serum, dan urin serta asam empedu dalam tinja.
Whitington menyampaikan beberapa pemeriksaan laboratorium awal yang dapat
mendukung diagnosis kolestasi ekstrahepatik atau intrahepatik.

Tabel 1 Data Laboratorium Awal Kolestasis Bayi

Uji Fungsi Hati Kolestasi Ekstrahepatik Kolestasis Intrahepatik


Bilirubin total (mg/dL) 10,24,5 12,19,6
Bilirubin direk (mg/dL) 6,22,6 8,06,8
SGOT <5 x normal >10x normal/>800 U/L
SGPT <5 x normal >10x normal/>800 U/L
-GT >5 x normal/>600 U/L <5 x normal atau normal
18
Sumber: Whitington

Peningkatan SGOT dan SGPT yang lebih dari 10 kali nilai normal atau >800 U/L
terutama yang disertai peningkatan -GT yang kurang dari 5x normal lebih mendukung
kelainan hepatoseluler (kolestasis intrahepatik). Sebaliknya, bila peningkatan SGOT
atau SGPT kurang dari 5x nilai normal dengan peningkatan -GT lebih dari 5x normal
atau >600 U/L, lebih mengarah pada atresia biliaris atau obstruksi duktus biliaris
lainnya.19

74 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


Bila AF tinggi dan -GT rendah (<100 U/L), penderita mungkin mengidap kolestasis
familial progesif atau gangguan sintesis garam empedu dengan cara pemeriksaaan
spektrometri terhadap urin penderita. Kelainan metabolisme asam empedu seperti
defisiensi 3--hidroksisteroid-dehidrogenase/isomerase yang bermanifestasi sebagai
penyakit hati yang berat dapat dideteksi pula.20
Meskipun demikian, beberapa penelitian lain didapatkan hasil yang berbeda. Pada
penelitian di Bandung hasil pemeriksaan laboratorium untuk membedakan kolestasis
seperti bilirubin total, SGPT dan SGOT, serta AF dan -GT tidak didapatkan perbedaan
bermakna antara kolestasis intrahepatal dan ekstrahepatal.21
Pemeriksaan lain yang dilakukan pada kecurigaan kolestasis intrahepatik adalah
pemeriksaan serologis untuk mendeteksi infeksi TORCH, petanda hepatitis B (bayi dan
ibu), dan kadar a-1-antitripsin serta fenotipenya. Sementara pemeriksaan khusus
seperti hormon tiroid, asam amino serum dan urin, kultur darah dan urin, zat reduktor
dalam urin, galaktosa-1 fosfat uridil-transferase, uji klorida keringat, dan pemeriksaan
kromosom dilakukan atas indikasi, yaitu bila ada gejala klinis lainnya yang mendukung
ke arah penyakit-penyakit tersebut.20
Pemeriksaan oftalmologis dilakukan pada kolestasis intrahepatik untuk mencari
korioretinitis (infeksi CMV, toksoplasmosis, rubela), embriotokson posterior (pada
sindrom Alagille), katarak (pada galaktosemia), atau cherry-red spot (pada lipid
storage disease).20

Utrasonografi
Ultrasonografi (USG) mempunyai peran yang sangat penting untuk skrining kolestasis
pada bayi. Pemeriksaan ini sebaiknya dikerjakan pada semua penderita kolestasis
karena tekniknya sederhana dan noninvasif. Melalui USG ini kista (duktus koledokus
atau intrahepatik), batu kandung empedu atau biliary sludge akibat nutrisi parenteral
atau penyakit hemolitik, serta tumor dapat dideteksi. Untuk kista duktus koledokus
dan batu, akurasi pemeriksaan ini mencapai 9095%, tetapi untuk biliary sludge atau
inspissated bile akurasinya buruk. Pada pemeriksaan USG juga dapat diukur panjang

Bandung, 2627 November 2016 75


dan kontraktilitas gall bladder. Pada atresia biliaris dapat ditemukan panjang gall
bladder <1,5 cm, kolaps, tidak berlumen, atau bahkan gall bladder tidak terlihat sama
sekali. Selain itu, pada atresia biliaris didapatkan nilai kontraktilitas gall bladder rendah
atau tidak terdapat kontraktilitas sama sekali. Pemeriksaan ini dilakukan setelah
penderita dipuasakan minimal 34 jam dan diulang kembali setelah bayi minum. Pada
pemeriksaan USG dapat ditemukan gambaran triangular cord sign (gambaran masa
fibrotik membentuk kerucut atau tubular pada bagian kranial dan bifurkasio vena
porta) yang sangat membantu untuk mendiagnosis atresia biliaris. Triangular cord sign
dengan ketebalan >4 mm memberikan kepastian diagnosis atresia biliaris dengan
sensitivitas 80% dan spesifisitas 100%. 22

Scintigraphy
Disida Tc99m (Tc99m yang berikatan dengan 2.6-diisopropyliminodiacetic acid) adalah
radioisotop yang paling sering digunakan pada pemeriksaan kolestasis jaundice karena
memiliki waktu paruh yang pendek, konsentrasi yang tinggi di dalam hepar, serta
dieksresikan melalui hepar dan ginjal. Disida Tc99m tidak boleh dilakukan bila kadar
blirubin direk >20 mg/dL. Satu minggu sebelum pemeriksaan, penderita diberikan
fenobarbital oral dengan dosis 510 mg/kg/hari dibagi menjadi 2 dosis. Bila terdapat
ekskresi isotop pada usus halus dalam 24 jam setelah pemeriksaan, menunjukkan
patensi sistem duktus biliaris. Hasil scan yang negatif belum pasti dapat menyingkirkan
penyebab kolestatsis jaundice lainnya, karena sekitar 40% penderita hepatitis neonatal
yang lanjut menunjukkan hasil scan yang negatif akibat terjadi disfungsi hepar, oleh
karena itu pemeriksaan scintigraphy dapat diulang 2 minggu kemudian. Hasil
penelitian menunjukkan penggunaan dicida untuk diagnosis atresia biliaris
menghasilkan sensitivitas 100% dan spesifisitas 43%. 22

Cholangiography
Cholangiography dilakukan setelah dengan semua pemeriksaan di atas diagnosis
masih meragukan. Terdapat 3 pemeriksaan cholangiography yang dapat dilakukan
untuk memastikan diagnosis kolestasis, terutama untuk memastikan atresia biliaris.

76 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


1. Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)
Endoscopic retrograde cholangiopancreatography adalah endoskopi ke duktus
biliaris melalui ampula vateri dengan cara memasukkan kontras untuk
memvisualisasikan duktus biliaris. Sensitivitas dan spesifisitasnya 100%. Namun,
ERCP memerlukan general anestesia dan merupakan pemeriksaan operator
dependen yang membutuhkan keahlihan dan pengalaman klinis. Karena itu,
pemeriksaan ini tidak direkomendasikan sebagai pemeriksaan rutin. 23
2. Magnetic Resonance Cholangiopancreatography (MRCP)
Saat ini MRCP merupakan gold standar untuk atresia biliaris dengan akurasi 100%.
Namun, pemeriksaan ini memerlukan sedasi dalam atau general anestesia.
Diperlukan keahlian dan pengalaman klinis khusus untuk menerapkan MRCP pada
anak. Karena itu, pemeriksaan ini tidak direkomendasikan sebagai pemeriksaan
rutin.23
3. Intraoperative Cholangiography (IOC)
Langkah akhir untuk menegakkan diagnosis adalah dengan melakukan laparotomi
diagnostik dengan persiapan intraoperative cholangiography (IOC), wedge biopsy
hepar, dan jika atresia biliaris ditemukan maka dilakukan Prosedur Kasai
(portoenterostomi).23

Biopsi Hepar
Terdapat beberapa parameter yang dapat membedakan kolestasis antara intrahepatik
dan ekstrahepatik. Parameter yang merupakan tanda kolestasis ekstrahepatik
walaupun tidak terdapat patognomoni, tetapi spesifik terhadap atresia biliaris adalah
proliferasi duktus pada porta hepatis, trombus di daerah porta hepatis, proses
inflamasi, serta fibrosis pada porta hepatis dan limfedema. Biopsi hepar memiliki
sensitivitas 85% dan spesifisitas 95%. 22

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan kolestasis terdiri atas tindakan operatif dan pemberian obat-obatan
dengan tujuan mengatasi etiologi, meningkatkan aliran empedu, melindungi hepatosit,

Bandung, 2627 November 2016 77


mengurangi absorpsi lemak, mencegah dan mengatasi komplikasi di luar sistem
hepatobilier, serta mempertahankan tumbuh kembang bayi seoptimal-optimalnya
dengan pemberian nutrisi dan suplemen/vitamin yang larut dalam lemak. 9,24
Terapi operatif dilakukan pada kolestasis ekstrahepatik, misalnya portoenterostomi
pada atresia biliaris ekstrahepatik. Penggunaan obat-obatan pada kolestasis terbagi
menjadi 2, yaitu sebagai terapi spesifik pada tipe intrahepatik dan terapi suportif pada
semua jenis kolestasis.16,19

Obat-obatan untuk Mengatasi Etiologi Kolestasis


1. Obat-obatan yang sering digunakan adalah untuk infeksi toksoplasma, yaitu
pirimetamin, sulfadiazin, asam folinik, dan spiramisin.
a. Pirimetamin
Dosis yang diberikan 2 mg/kgBB/hari (maksimum 50 mg/hr) diberikan selama 2
hari pertama, selanjutnya dosis pemeliharaan 1 mg/kgBB/hr selama 6 bulan,
kemudian 1 mg/kgBB/hari diberikan selang sehari sampai 1 tahun. Efek samping
yang sering terjadi adalah anemia defisiensi asam folat. 25
b. Sulfadiazin
Dosis yang diberikan 100 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis selama 1 tahun.
Sulfadiazin diekskresikan dengan cepat melalui ginjal dan dapat menimbulkan
kristaluria sehingga pada pemberian sulfadiazin harus selalu dilakukan
pemantauan terhadap diuresis. Pemberian sulfadiazin dan pirimetamin
mempunyai efek sinergisme. 26
c. Asam folat
Dosis 510 mg/kgBB/hari, 3x per minggu untuk mencegah toksisitas
pirimetamin.

2. Obat yang digunakan adalah untuk infeksi cytomegalovirus adalah gansiklovir.


Gansiklovir ialah obat antiviral yang banyak mempunyai kesamaan dengan
asiklovir, hanya berbeda dengan terdapat gugus hidroksimetil tambahan. Cara
pemberian terbagi menjadi terapi induksi dan pemeliharaan. Pada dosis induksi

78 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


diberikan 5 mg/kgBB/hari setiap 12 jam intravena dalam 3 minggu. Dosis
pemeliharaan diberikan 5 mg/kgBB/hari intravena sehari sekali selama 3
minggu.27,28 Efek samping obat ini adalah supresi sumsum tulang, neutropenia
terjadi pada sekitar 1540% kasus dan trombositopenia terjadi pada sekitar 520%.
Neutropenia sering terjadi pada minggu kedua terapi dan biasanya reversibel
dalam 1 minggu setelah obat dihentikan. Efek samping lain adalah gangguan fungsi
ginjal dan pada sistem saraf pusat sekitar 515%. Gejalanya dapat berupa sakit
kepala, perubahan tingkah laku, kejang, sampai koma.2730

Obat-obatan Suportif
Akhir-akhir ini obat yang sering digunakan untuk terapi suportif adalah
ursodeoxycholic acid (UDCA).
Ursodeoxycholic acid (3, 7-dihydroxi-5-cholanic acid) merupakan asam empedu
yang terbentuk secara alami dan secara normal terdapat pada 12% asam empedu
manusia. Ursodeoxycholic acid merupakan asam empedu tersier endogen yang
disintesis di hepar dari 7 ketolithicolic acid yang merupakan hasil produk dari
oksigenasi asam kenodeoksikolat (AKDK) oleh bakteri usus.
Asam ursodeoksikolat bekerja dengan beberapa cara.
1. Mengubah pool asam empedu
Pada manusia, asam empedu terutama terdiri atas 3854% AKDK, 2639% asam
kolat (AK), dan 1633% asam deoksikolat; UDCA dan asam litokolat (LK) didapatkan
hanya dalam jumlah kecil (0,15%). Kecuali UDCA, semua asam empedu bersifat
toksis terhadap hati. Pada keadaan kolestasis karena terjadi hambatan aliran
empedu ke dalam usus maka asam empedu tersebut akan merusak hati yang bila
berlangsung lama akan menyebabkan sirosis hati. Selama pengobatan dengan
UDCA terdapat perubahan komposisi asam empedu yang utama, sementara AKDK
dan asam deoksikolat berkurang. Hal ini menyebabkan UDCA memegang peranan
penting dalam pengobatan kolestasis.3032

Bandung, 2627 November 2016 79


2. Proteksi hepatosit dan kolangiosit
Asam empedu toksik mempunyai efek merusak membran sel dengan cara
meningkatkan polaritas pada bagian apolar membran hepatosit dan kolangiosit.
Ursodeoxycholic acid secara kompetitif akan berikatan dengan bagian apolar
membran tersebut sehingga efek yang ditimbulkan oleh asam empedu toksik dapat
dikurangi. Asam empedu toksik juga merusak sel dengan cara membuka pori-pori
protein pada membran mitokondria bagian dalam dan meningkatkan permeabilitas
mitokondria sehingga terjadi kerusakan membran potensial dan pembengkakan
mitokondria. Ursodeoxycholic acid akan mengubah stuktur dan komposisi miscelles
yang terbentuk ini bersifat protektif terhadap hepatosit maupun kolangiosit. 33,34
3. Efek imunomodulator
Pada kolestasis terjadi peningkatan ekspresi major histocompability complex (MHC)
kelas I dan II yang berakibat dekstrusi sel oleh limfosit sitotoksik. Ursodeoxycholic
acid bekerja mengurangi ekspresi kelas I dan II tersebut.34,35
4. Meningkatkan Sekresi Hepatobilier
Mekanisme retensi asam empedu antara lain disebabkan oleh gangguan sekresi
bikarbonat di kolangiosit. Pemberian UDCA akan meningkatkan kalsium intraseluler
yang akan mengaktifkan kanal klorida ini, kemudian akan meningkatkan sekresi
bikarbonat ke dalam saluran biliaris.33,35
Dosis pemberian UDCA bervariasi, 1016 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis.31,33,34
Efek samping UDCA yang pernah dilaporkan adalah diare, mual, dan muntah. 32,33

Nutrisi
Kekurangan energi protein (KEP) sering terjadi sebagai akibat dari kolestasis (lebih dari
60%). Penurunan ekskresi asam empedu menyebabkan gangguan pada lipolisis
intraluminal, solubilisasi, dan absorbsi trigliserid rantai panjang. Oleh karena itu, pada
bayi dengan kolestasis diperlukan kalori yang lebih tinggi untuk menjaga tumbuh
kembang bayi, serta vitamin, mineral, dan trace element:

80 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


a. formula medium chain triglyceride (MCT) karena relatif larut dalam air sehingga
tidak memerlukan garam empedu untuk absorbsi;
b. kebutuhan kalori 125% dari normal dan protein 23 g/kgBB/hari;
c. vitamin yang larut dalam lemak:
- A: 5.00025.000 U/hari;
- D3: calcitriol 0,050,2 ug/kgBB/hari;
- E : 2550 IU/kgBB/hari;
- K1: 2,55 mg/27x/minggu.
d. Mineral dan trace element: Ca, P, Mn, Selenium, dan Fe.

Simpulan
Ikterik menetap hingga melebihi 2 minggu pada bayi cukup bulan dan 3 minggu pada
bayi kurang bulan maka disebut prolonged jaundice yang terdiri atas prehepatik,
hepatik, dan poshepatik. Etiologi jaundice menurut peningkatan kadar bilirubin dapat
dibagi atas peningkatan bilirubin tidak terkonjugasi (unconjugated hyperbilirubinemia)
dan bilirubin terkonjugasi (conjugated hyperbilirubinemia). Ditinjau dari letaknya,
penyebab utama conjugated hyperbilirubinemia atau kolestasis secara umum dibagi
menjadi 2 golongan besar, yaitu kelainan intrahepatik (hepatoseluler) serta kelainan
ekstrahepatik (obstruktif).
Dalam menentukan diagnostik kolestasis yang paling penting adalah menetapkan
apakah intrahepatik atau ekstrahepatik, terutama atresia biliar yang prognosisnya
bergantung usia pada saat dioperasi. Pada usia kurang 8 minggu angka keberhasilan
dapat mencapai 80%, sedangkan setelah 12 minggu angka keberhasilan tinggal 20%
karena telah terjadi sirosis.

Daftar Pustaka
1. Elias E. Jaundice and cholestasis. Dalam: Dooley JS, Lok ASF, Burroughs AK,
Heathcote EJ, penyunting. Sherlock's diseases of the liver and biliary system. Edisi
ke-12. Chichester: Wiley-Blackwell; 2011. hlm. 23456.

Bandung, 2627 November 2016 81


2. Gomella TC, Cunningham MD, Eyal FG. Neonatology: management, procedures,
on-call problems, diseases, and drug. Edisi ke-6. Columbus: The McGraw-Hill
Companies Inc.; 2009. hlm. 28893.
3. Martin CR, Cloherty JP. Neonatal hyperbilirubinemia. Dalam: Cloherty JP, Stark AR,
Eichenwald EC, penyunting. Manual of neonatal care. Edisi ke-6. Philadelphia:
Lippincott Williams and Wilkins; 2004. hlm. 81212.
4. American Academy of Pediatrics Subcommittee on Hyperbilirubinemia,.
Management of hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more weeks of
gestation. Pediatrics. 2004;114(1):297316.
5. Gilmour SM. Prolong neonatal jaundice: when to worry and what to do. Pediatr
Child Health. 2004;9(10):7004.
6. Tyler W, Mckiernan PJ. Prolonged jaundice in the preterm infantwhat to do,
when and why. Curr Paediatr. 2006;16(1):4350.
7. D'Agata ID, Balistreri WF. Evaluation of liver disease in the pediatric patient.
Pediatr Rev. 1999;20(11):37690.
8. Omer M, Khattak TA, Shah SHA. Etiological spectrum of persistent neonatal
jaundice. JMRC. 2010;14(2):879.
9. Suchy FJ. Approach to the infant with kolestasis. Dalam: Suchy FJ, Sokol RJ,
Balistreri WF, penyunting. Liver disease in children. Edisi ke-2. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2001. hlm. 18794.
10. Moyer MS, Balistreri WF. Prolonged neonatal obstructive jaundice. Dalam: Walker
WA, Durie PR, Hamilton JR, Walker-Smith JA, Watkins JB, penyunting. Pediatric
gastrointestinal disease. Philadelphia: BC Dekker Inc; 1991. hlm. 83548.
11. Mews C, Sinatra FR. Cholestasis in infancy. Pediatr Rev. 1994;15(6):23340.
12. Balistreri WF. Neonatal cholestasis. J Pediatr. 1985;106(2):17184.
13. Ryckman FC, Alonso MH, Bucuvalas JC, Balistreri WF. Liver transplantation in
children. Dalam: Suchy FJ, Sokol RJ, Balistreri WF, penyunting. Liver disease in
children. Edisi ke-2. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2001. hlm.
94973.

82 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


14. Mieli-Vergani G, Howard ER, Portman B, Mowat AP. Late referral for biliary
atresia-missed oportunity for effective surgery. Lancet. 1989;1(8635):4213.
15. Billing BH. Bilirubin metabolism. Postgrad Med J. 1963;39(450):17687.
16. Mowat AP, penyunting. Liver disorders in childhood. Oxford: Buttenworth-
Heinemann; 1994.
17. D'Agata ID, Balistreri WF. Evaluation of liver disease in pediatric patient. Pediatr
Rev. 1999;20(11):37689.
18. Whitington PF. Chronic cholestasis of infancy. Pediatr Clin North Am.
1996;43(1):126.
19. Lai MW, Chang MW, Hsu CS, Hsu CH, Su CT, Kao CL, dkk. Differential diagnosis of
extrahepatic biliary atresia from neonatal hepatitis; a prospective study. J Pediatr
Gastroenterol Nutr. 1994;18(2):1226.
20. Suharyono, Ghazali V, Sunoto, Adnan SW. DAT (duodenal aspiration test) as a
diagnostic tool for obstructive jaundice. Paediatr Indones. 1986;26(78):1525.
21. Prasetyo D, Ermaya YS, Martiza I. Perbedaan manifestasi klinis dan laboratorium
kolestasis intrahepatal dengan ekstrahepatal pada bayi. MKB. 2016;48(1):4550.
22. Cauduro SM. Extra-hepatic biliary atresia: diagnostic methods. J Pediatr (Rio J).
2003;79(2):10714.
23. Moyer V, Freese D, Whitington PF, Olson AD, Brewer F, Colletti RB, dkk. Guideline
for the evaluation of cholestatic jaundice in infants: recommendation of the
North American Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology and Nutrition.
J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2004;39(2):11528.
24. Tracy JW, Webster LT. Drugs used in the chemotherapy of protozoal infections
malaria. Dalam: Hardman J, Limbird L, Gilman A, penyunting. Goodman &
Gilman's the pharmacological basis of therapeutics. New York: McGraw-Hill; 2001.
hlm. 10801.
25. Petri WA. Antimicrobial agents sulfonamides, trimethoprime-sulfamethoxazole,
quinolones and agents for urinary tract infections. Dalam: Hardman J, Limbird L,
Gilman A, penyunting. Goodman & Gilman's the phamacological basis of
theurapeutics. New York: McGraw-Hill; 2001. hlm. 11716.

Bandung, 2627 November 2016 83


26. Hayden FG. Antimicrobial agents: antiviral agents (nonretroviral). Dalam:
Hardman JG, Limbird LE, Gilman AG, penyunting. Goodman & Gilman's the
pharmacological basis of theurapeutics. Edisi ke-10. New York: McGraw-Hill;
2001. hlm. 13256.
27. Schimdt GM, Horak DA, Niland JC, Duncan SR, Forman SJ. A randomized
controlled trial of prophylactic ganciclovir for cytomegalovirus pulmonary
infection of allogeneic bone marrow transplant; The City of Hope-Stanford-Syntex
CMV Study Group. N Engl J Med. 1991;324(15):100511.
28. Crumpacker CS. Ganciclovir. N Engl J Med. 1996:335(10):7219.
29. Fischler B, Casswall TH, Malmborg P, Nemeth A. Ganciclovir treatment in infants
with cytomegalovirus infections and cholestasis. J Pediatr Gastroenterol Nutr.
2002;34(2):1547.
30. Feranchak AP, Ramirez RO, Sokol RJ. Medical and nutritional management of
kolestasis. Dalam: Suchy FJ, Sokol RJ, Balistreri WF, penyunting. Liver disease in
children. Edisi ke-2. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2001. hlm.
195225.
31. Biro Pengawasan Farmaseutikal Kebangsaan Kementerian Kesihatan Malaysia.
Ursodeoxycholic acid. Petaling Jaya: 2000.
32. Kumar D, Tandon RK. Use of ursodeoxycholic in liver disease. J Gatroenterol
Hepatol. 2001;16(1):314.
33. Paumgartner G, Beuers U. Ursodeoxycholic acid in cholestatic liver disease:
mechanisms of actions and teurapeutic use revisited. Hepatology. 2002;36(3):
52531.
34. McNamara JO. Drugs effective`in the therapy of epilepsies. Dalam: Hardman JG,
Limbird LE, Gilman AG, penyunting. Goodman & Gilman's the pharmacologycal
basis of theurapeutics. Edisi ke-10. New York: McGraw-Hill; 2001. hlm. 5312.
35. Berg CL, Gollan JL. Pharmacotherapy of hepatobiliary disease. Dalam: Wolfe MM,
penyunting. Gastrointestinal pharmacotherapy. Philadelphia: WB Saunders
Company; 1993. hlm. 24559.

84 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


Diagnostik Penyakit Autoimun dalam Fasilitas KesehatanTerbatas
Rd. Reni Ghrahani

Pendahuluan
Prevalensi penyakit autoimun di dunia cenderung meningkat meskipun frekuensinya
berbeda untuk setiap negara.13 Penyakit autoimun belum dikenal luas di masyarakat.
National Institute of Health (NIH) melaporkan 23,5 juta penduduk Amerika Serikat
menderita penyakit autoimun, dan hanya 15% penduduk Amerika yang mengenal
penyakit autoimun, sebagaimana dinyatakan oleh Americam Autoimmune Diseases
Related Association (AARDA).4
Peningkatan prevalensi penyakit autoimun ini memerlukan penanganan berupa
peningkatan proses diagnostik dan tata laksana yang lebih baik. Penyakit autoimun
yang tersering ditemukan di beberapa senter pelayanan di Indonesia adalah systemic
lupus erythemathosus (SLE), Henoch Schonlein purpura (HSP), dan juvenile idiopathic
arthritis (JIA). Penyakit lain yang lebih jarang antara lain juvenile dermatomyositis
(JDM), scleroderma, dan poly arteritis nodosa (PAN).
Sering kali ditemukan kasus rujukan penyakit autoimun yang berat sehingga
memerlukan tindakan yang lebih kompleks serta prognosis yang buruk. Hal ini terjadi
umumnya karena kesulitan geografis selama rujukan, proses diagnostik yang sulit, atau
tata laksana yang terbatas di rumah sakit asal. Kesulitan geografis masih sering terjadi
pada saat pasien tidak dapat ditangani di fasilitas kesehatan tahap primer (FKTP)
sehingga perlu dirujuk ke fasilitas kesehatan tahap 2 atau bahkan tahap 3, namun
terkendala jarak geografis yang jauh, sarana transportasi yang tidak memadai, dan
juga mahal. Transportasi ini tentunya tidak termasuk dalam pelayanan Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN). Hambatan pada proses diagnosis dapat disebabkan oleh
pengenalan penyakit autoimun yang tergolong jarang sehingga dirasakan sulit dan
fasilitas pemeriksaan penunjang yang terbatas. Rumah sakit asal umumnya hanya
memiliki pemeriksaan penunjang dasar sementara dalam diagnosis penyakit autoimun
memerlukan pemeriksaan laboratorium dan pencitraan yang lebih maju.

Bandung, 2627 November 2016 85


Hambatan dalam tata laksana dapat terjadi baik di rumah sakit asal maupun rumah
sakit rujukan, umumnya karena ketersediaan obat-obatan yang terbatas. Tata laksana
penyakit autoimun tertentu seharusnya dapat diberikan di rumah sakit asal, pasien
tidak perlu dirujuk selama proses pengobatan tidak memerlukan evaluasi khusus
ataupun penanganan dokter konsultan setiap saat, namun obat-obatan tertentu hanya
tersedia di rumah sakit rujukan tersier.
Pada makalah ini akan dibahas bagaimana mengedepankan pengenalan dini dalam
penyakit autoimun, khususnya meningkatkan anamnesis dan pemeriksaan fisis yang
lengkap, serta memanfaatkan pemeriksaan penunjang yang tersedia di rumah sakit
asal seoptimal-optimalnya.

Penyakit Autoimun yang Sering pada Anak


Penyakit autoimun merupakan kumpulan gejala dan kelainan kompleks yang terjadi
akibat respons imun terhadap jaringan tubuh sendiri yang diidentifikasi sebagai benda
asing atau self-antigen. Penyakit autoimun diklasifikasikan sebagai berikut: 5
1. penyakit autoimun sistemik yang dapat melibatkan seluruh organ seperti SLE;
2. penyakit autoimun spesifik organ seperti diabetes melitus tipe 1 yang mengenai sel
B pankreas.
Insidensi tertinggi penyakit autoimun pada anak di Amerika Serikat adalah JIA. 5 Di
beberapa senter di Indonesia prevalensi penyakit autoimun yang tersering adalah SLE,
sedangkan JIA di urutan kedua. Di RS Dr. Hasan Sadikin Bandung sebagai pusat
rujukan, prevalensi penyakit autoimun terlihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 1 Persentase Rawat Inap Penyakit Autoimun Tersering pada Anak Dibanding
dengan Seluruh Penyakit di Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUP Dr.
Hasan Sadikin Bandung
Tahun
Penyakit
2011 2012 2013 2014 2015
1 Systemic Lupus Erythematosus 1,25% 1,28% 1,54% 1,40% 1,67%
2 Henoch Schonlein Purpura 0,90% 0,76% 0,76% 0,75% 1,07%
3 Juvenile Idiopatic Arthritis 0,16% 0,14% 0,16% 0,20% 0,28%
Sumber: Data Divisi Alergi Imunologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung

86 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


Peran Dokter Umum dan Dokter Spesialis Anak
Penyakit autoimun memiliki prevalensi yang relatif rendah dibanding dengan penyakit
lain seperti penyakit infeksi sehingga dokter dan tenaga kesehatan lain jarang
menjumpai penyakit ini. Namun, pengenalan dini seharusnya dapat dilakukan dengan
melakukan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang sesuai
ketersediaan di tempat bekerja masing-masing.

Peran Dokter Umum


Dalam menghadapi penyakit autoimun, dokter umum diharapkan dapat mengenali
sesuai dengan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang sesuai
ketersediaan di tempat bekerja masing-masing. Terdapat tingkatan kompetensi
berbeda yang diharapkan dari seorang dokter umum sesuai dengan Standar
Kompetensi Dokter Indonesia. Untuk penyakit SLE, seorang dokter umum diharapkan
dapat melakukan diagnosis klinis dan memberi terapi pendahuluan pada keadaan
bukan gawat darurat (tingkat kemampuan 3A). Untuk penyakit HSP dan JIA seorang
dokter umum diharapkan dapat mendiagnosis dan merujuk (tingkat kemampuan 2). 6

Peran Dokter Spesialis Anak


Dokter spesialis anak diharapkan dapat mengenali penyakit autoimun dengan
anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang sesuai ketersediaan di
tempat bekerja masing-masing. Terdapat tingkatan kompetensi berbeda yang
diharapkan dari seorang dokter spesialis anak untuk setiap penyakit sesuai dengan
Standar Pendidikan Profesi Dokter Spesialis Anak (Kolegium Ilmu Kesehatan Anak
Indonesia, 2007). Untuk penyakit SLE, HSP, dan JIA, seorang dokter spesialis anak
diharapkan kompeten dalam menatalaksana (level kompetensi B), tentunya sesuai
dengan ketersediaan fasilitas di tempat bekerja masing-masing.7
Jumlah dokter yang masih sedikit dibanding dengan jumlah penduduk juga
merupakan salah satu masalah penyebab keterlambatan diagnosis penyakit autoimun.
Menurut American Academy of Pediatric, proporsi dokter anak dibanding dengan

Bandung, 2627 November 2016 87


jumlah anak yang ideal adalah 8851750:1.7 Pada tahun 2012, jumlah anak di
Indonesia sekitar 82,5 juta jiwa sehingga menurut rasio ideal untuk tercapainya
pelayanan kesehatan yang optimal maka dibutuhkan sekitar 8.250 dokter anak.
Sayangnya, saat ini Indonesia hanya memiliki 2.700 dokter anak dengan sebaran yang
tidak merata. Di Jakarta terdapat 670 dokter spesialis anak, Jawa Barat 312 orang,
Jawa Timur 283 orang, Jawa Tengah 222 orang, dan Sumatera Utara 142 orang,
sementara daerah lain seperti Jambi dan Kalimantan Barat hanya memiliki belasan
dokter anak.8
Jumlah dokter subspesialis atau konsultan yang sedikit di bidang alergi-imunologi
juga merupakan salah satu tantangan di Indonesia. Dokter spesialis anak yang bekerja
di bidang alergi-imunologi dan terhimpun di UKK Alergi Imunologi hingga saat ini yang
tercatat adalah 51 orang, sedangkan yang sudah memperoleh gelar konsultan alergi
dan imunologi sebanyak 29 orang dan hanya tersebar di 11 provinsi, yaitu Daerah
Istimewa Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatra Selatan, Jakarta, Jawa Barat,
Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, dan Sulawesi Utara.

Pemeriksaan Penunjang yang Tersedia di Rumah Sakit Perujuk dan Tempat Rujukan
Pemeriksaan Laboratorium dan Pencitraan yang Tersedia di Rumah Sakit Perujuk di
Jawa Barat
Di beberapa rumah sakit perujuk di Jawa Barat yang umumnya merupakan RS tipe D,
C, dan B (fasilitas kesehatan sekunder), sedangkan fasilitas pemeriksaan laboratorium
yang tersedia adalah yang dasar, tidak menyediakan pemeriksaan yang lebih canggih
seperti pemeriksaan imunoserologis. Pemeriksaan imunoserologis dirujuk ke rumah
sakit rujukan tersier seperti RSUP Dr. Hasan Sadikin. Pemeriksaan pencitraan juga
terbatas pada jenis pencitraan dasar (foto rontgen dan USG), untuk pencitraan yang
lebih canggihpun seperti ekokardiografi dan CT-scan pasien harus dirujuk ke RS
rujukan tersier. Hal ini merupakan tantangan bagi dokter yang bekerja di fasilitas
kesehatan sekunder/perujuk untuk memanfaatkan fasilitas pemeriksaan penunjang
yang ada semaksimal-maksimalnya.

88 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


Pemeriksaan Laboratorium dan Pencitraan yang Tersedia di Rumah Sakit Pusat
Rujukan
Khususnya di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung sebagai pusat rujukan tersier dengan
menggunakan fasilitas BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial), pemeriksaan yang
dilakukan dapat lebih canggih daripada pemeriksaan laboratorium dasar. Pemeriksaan
imunoserologis tertentu dapat dilakukan sehingga cukup membantu proses diagnosis.
Pemeriksaan pencitraan yang lebih mendetil juga dapat dilakukan, seperti CT-scan,
MRI, dan angiografi.
Namun, bukan berarti di pusat rujukan tersier tidak terdapat masalah dalam
diagnostik. Hambatan terjadi karena pada pasien rawat jalan tidak semua pemeriksaan
imunoserologis dapat dilakukan pada sekali kunjungan yang terkait dengan pagu
jaminan sehingga pasien harus melakukan kunjungan berulang kali untuk beberapa
pemeriksaan imunoserologis yang diperlukan. Hal ini menimbulkan kesulitan bagi
pasien yang terkendala faktor geografis. Untuk pemeriksaan pencitraan canggih
seperti CT/MRI angiografi, pasien dihadapkan dengan antrian pelayanan yang panjang.
Hal ini sering menghambat proses diagnostik, padahal bila diagnostik dapat segera
ditegakkan, tata laksana definitif dapat segera dilakukan, masa perawatan lebih
singkat, dan prognosis akan lebih baik.

Menyiasati Keterbatasan Pemeriksaan Penunjang


Peran Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis dalam Diagnostik Penyakit Autoimun
Anamnesis memegang peranan penting dalam proses diagnostik penyakit autoimun
pada anak. Namun, tidak semua anak dapat mengungkapkan keluhannya atau
memberikan informasi yang diperlukan, dapat karena usianya yang belum
memungkinkan atau karena keterbatasan dan sakitnya. Sering kali terdapat keadaan
dokter sangat bergantung kepada orangtua pasien untuk mendaparkan informasi
mengenai keluhan utama maupun keluhan penyerta, juga riwayat penyakit dan
pengobatannya. Di samping itu orangtua sering berada dalam kondisi cemas sehingga
tidak dapat optimal memberikan informasi kepada dokter. Dokter diharapkan dapat

Bandung, 2627 November 2016 89


membangun komunikasi dengan pasien dan orangtuanya untuk mendapatkan
informasi yang diperlukan terlebih untuk penyakit kronik. Hal yang dapat diperoleh
dari anamnesis antara lain menentukan rencana pemeriksaan selanjutnya,
menentukan diagnosis banding untuk kemudian menentukan diagnosis pasti,
menentukan kondisi yang mendasari penyakit pasien anak (psikologi, keluarga atau
sosial), menjaga hubungan yang baik dengan orangtua dan anak, serta interaksi
dengan anak dan orangtuanya sebagai bagian dari proses terapi. 10
Pada anamnesis kita mungkin dapat memperoleh beberapa keluhan yang secara
umum berkaitan dengan penyakit autoimun seperti panas badan hilang timbul yang
tidak terlalu tinggi (low grade fever), rasa cepat lelah (fatigue), pusing (dizziness), berat
badan turun, ruam kulit, kaku sendi, bengkak sendi rambut rontok, dan anak tampak
tidak sehat secara umum. Diupayakan informasi yang didapat juga meliputi keluhan-
keluhan sebelum timbulnya keluhan utama saat datang. 10
Pemeriksaan fisis akan mengonfirmasi keluhan yang didapatkan dari anamnesis.
Pemeriksaan fisis dilakukan secara lengkap dari kepala hingga ekstremitas bawah. Bila
diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan fisis sendi (Pediatric Gait Arm Leg Spine).
Terkadang harus dilakukan pemeriksaan fisis pada organ yang mungkin tidak
dikeluhkan oleh pasien.10

Peran Pemeriksaan Laboratorium Sederhana dalam Diagnostik Penyakit Autoimun


Evaluasi umum pada dugaan kasus penyakit autoimun yang pertama dilakukan antara
lain: pemeriksaan hematologi lengkap, urinalisis, panel metabolik seperti laju endap
darah (LED), C-reactive protein (CRP), serta enzim otot seperti creatine phosphokinase
(CPK), aldolase, dan lactat dehydrogenase (LDH).11

Pemeriksaan Hematologi Lengkap


Pada penderita penyakit autoimun ditemukannya hemoglobin dan hematokrit yang
rendah dapat merupakan tanda anemia kronik (misalnya pada JIA atau SLE), tanda

90 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


anemia akut (misalnya pada JIA sistemik, atau tanda anemia hemolitik (contohnya
pada kasus SLE yang didukung uji Coombs).11-13
Terdapat leukositosis menunjukkan respons inflamasi pada JIA, efek terapi
kortikosteroid, atau infeksi. Leukopenia merupakan akibat terdapat anti sel darah
putih, sebagai contoh pada SLE dan skleroderma sistemik (SS) berkaitan dengan
terdapat anti-SS-A dan anti-SS-B. Dengan hitung jenis leukosit mungkin dapat
ditemukan limfopenia yang dapat berkaitan dengan SLE. Salah satu kriteria diagnostik
SLE menurut ACR 1997 adalah terdapat limfopenia <1.500/mm 3 dan leukopenia
<4.000/mm3 pada lebih dari satu kali pemeriksaan.11,12
Trombositosis dapat ditemukan pada JIA sistemik yang terjadi akibat proses
inflamasi akut sebagai reaktan fase akut. Sebaliknya, trombositopenia dapat
ditemukan pada pasien SLE yang memiliki antibodi antiplatelet. 1113

Pemeriksaan Urinalisis
Urinalisis adalah cara yang mudah dan efektif untuk menapis keterlibatan ginjal dalam
penyakit autoimun. Proteinuria adalah tanda kerusakan glomerulus yang dapat
ditemukan pada pasien SLE atau HSP. Leukosit dan eritrosit pada pemeriksaan
mikroskopis urin merupakan indikator patologi ginjal pada SLE atau HSP. Asidosis
tubular renal merupakan tanda awal pada SS onset anak. Evaluasi lebih lanjut urin
yang dapat dilakukan di rumah sakit pusat rujukan tersier adalah pemeriksaan urin 24
jam untuk memeriksa bersihan kreatinin dan protein total yang kemudian akan
dihitung rasio protein/kreatinin. Biopsi ginjal dengan pewarnaan hematoxylin-eosin
(H&E) dan imunouoresensi dilakukan untuk evaluasi pada SLE dan ANCA-associated
vasculitides untuk menentukan patologi yang mendasari serta menentukan rencana
terapi.11,12,14

Pemeriksaan Petanda Inflamasi


Laju endap darah (LED) pada anak yang normal adalah di bawah 5 mm/jam. CRP yang
normal adalah di bawah 0,3 mg/dL (28,6 nmol/L), beberapa laboratorium melaporkan

Bandung, 2627 November 2016 91


nilai normal adalah 3 mg/L. Bila ditemukan nilai yang tinggi, umumnya terdapat
komponen proses inflamasi.11

Pemeriksaan Panel Metabolik


Kreatinin
Peningkatan kreatinin lebih dari 1,5 mg/dL (132,6 mmol/L) menunjukkan kerusakan
ginjal yang terjadi pada SLE. Bila ditemukan kadar >0,8 mg/dL (70,7 mmol/L, pasien
memerlukan monitoring terutama bila ada kecenderungan peningkatan.

Aspartate aminotransferase dan alanine aminotransferase


Peningkatan aspartate aminotransferase (serum glutamic oxaloacetic transaminase/
SGOT) dan alanine aminotransferase (serum glutamic piruvic transaminase/SGPT)
dapat terjadi akibat hepatitis, efek penyakit primer, atau efek simpang terapi. Hal ini
dapat terjadi pula pada penyakit otot. Pada tahapan rujukan selanjutnya kadar
globulin dapat diukur, bila didapatkan hubungan terbalik rasio albumin/globulin dapat
merupakan tanda awal connective tissue disease (CTD). Bila rasio albumin/globulin
mendekati 1 (dapat mendekati 1,5) menunjukkan terdapat proses inflamasi. Enzim
otot yang meningkat seperti creatinin phosphokinase (CPK), aldolase, dan LDH
merupakan indikator miositis. Ketiganya harus diperiksa pada dugaan penyakit otot
karena satu atau dua dapat meningkat juga pada penyakit lain. Bila ditemukan
peningkatan dapat menunjukkan suatu polymyositis atau yang didasari CTD. Lactat
dehydrogenase (LDH) adalah suatu enzim sitoplasmik yang dapat meningkat pada
miositis, hepatitis, dan kerusakan sel darah merah. 11

Aplikasi Klinis Diagnosis pada Fasilitas Terbatas


Di bawah ini adalah contoh aplikasi klinis dalam proses diagnostik 3 penyakit autoimun
yang tersering.

92 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


Tabel 2 Aplikasi Klinis Proses Diagnostik Sederhana Penyakit Autoimun Tersering
Anamnesis Pemeriksaan Fisis Pemeriksaan Penunjang
SLE low grade fever, fatigue, berat Kepala: Hematologi lengkap.
badan turun, ruam kulit, kaku alopesia, ruam malar, Anemia hemolitik.
dan bengkak sendi, rambut aphthous ulcer pada palatum; Leukopenia, limfopenia.
rontok, dan anak tampak tidak toraks: pada paru mungkin Trombositopenia.
sehat secara umum. terdapat tanda pleuritis, efusi LED meningkat.
pleura atau efusi perikardium; Urinalisis: proteinuria, eritrosit,
ekstremitas: bengkak & nyeri dan leukosit (mikroskopis).
sendi. Kreatinin: dapat meningkat.
kulit: ruam discoid. Foto rontgen: efusi pleura, efusi
perikardium.
HSP Ruam merah dominan di Palpable purpura, dominan di Hematologi lengkap dapat normal
kedua ekstremitas bawah, kedua ekstremitas bawah. atau meningkat.
nyeri dan bengkak sendi, nyeri Tanda artritis. Urinalisis: proteinuria, eritrosit,
perut hilang timbul. Tanda akut abdomen. dan leukosit (mikroskopis).
Kreatinin: dapat meningkat.
Foto abdomen: tanda obstruksi,
dapat penurunan motilitas usus
dan pelebaran usus.
USG: pseudokidney sign.
JIA Nyeri dan bengkak sendiri Tanda artritis Hematologi lengkap dapat normal
lebih dari 6 minggu. atau meningkat.
Usia <16 tahun. LED meningkat.
Mungkin terdapat panas Foto sendi: penyempitan celah
badan. sendi, akumulasi cairan sendi.
Sumber: Dalrymple dan Moore,11 Nurhidayat Pua Upa,12 Silverman dan Eddy,13 Petty dan Cassidy.14

Simpulan
Hambatan pada proses diagnosis dapat disebabkan oleh pengenalan penyakit yang
sulit dan fasilitas pemeriksaan penunjang yang terbatas. Banyak tantangan yang
dihadapi oleh dokter umum dan dokter anak dalam melakukan diagnostis penyakit
autoimun di Indonesia, khususnya di Jawa Barat. Untuk hambatan dalam proses
diagnostik diharapkan dapat dikurangi dengan mengedepankan pengenalan dini,
khususnya meningkatkan anamnesis dan pemeriksaan fisis yang lengkap, serta
memanfaatkan pemeriksaan penunjang yang tersedia di rumah sakit asal seoptimal-
optimalnya. Kesulitan dalam proses rujukan juga merupakan masalah besar yang
terkait dengan masalah geografis dan transportasi. Diagnosis optimal di tempat
rujukan diharapkan dapat meningkatkan tata laksana awal penyakit autoimun sesuai

Bandung, 2627 November 2016 93


dengan ketersediaan di tingkat fasilitas rumah sakit asal rujukan, serta meningkatkan
prognosisnya.

Daftar Pustaka
1. Miller FW, Alfredsson L, Costenbader KH, Kamen DL, Nelson L, Norris JM, dkk.
Epidemiology of environmental exposures and human autoimmune diseases:
findings from a national institute of environmental health sciences expert panel
workshop. J Autoimmun. 2012;39(4):25971.
2. Hayter SM, Cook MC. Updated assessment of the prevalence, spectrum and case
definition of autoimmune disease. Autoimmunity Rev. 2012;11:75465.
3. Cooper GS, Bynum MLK, Somers EC. Recent insights in the epidemiology of
autoimmune diseases: improved prevalence estimates and understanding of
clustering of diseases. J Autoimmun. 2009;33(3-4):197207.
4. (NCAPG) NCoAPG. News briefing: the status of autoimmune disease. 2014.
5. Mackay IR, Rosen FS. Autoimmune diseases. N Engl J Med. 2001;345(5):34050.
6. Standar Kompetensi Dokter Indonesia (diunduh 28 Oktober 2016). Tersedia dari:
http://www.kki.go.id/assets/data/arsip/SKDI_Perkonsil,_11_maret_13.pdf.
7. Kolegium Ilmu Kesehatan Anak Indonesia. Standar Pendidikan Profesi Dokter
Spesialis Anak. Jakarta: IDAI; 2007.
8. Committee Report: population-to-pediatrician ratio estimates: a subject review.
Pediatrics. 1996;97:597601.
9. Jumlah dokter anak minim, sebaran tak merata [database on the Internet]. Badan
Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 2012.
10. Lehman TJA. A Clinicians guide to rheumatic diseases in children. New York:
Oxford University Press; 2009.
11. Dalrymple AM, Moore TL. Laboratory evaluation in pediatric autoimmune
diseases. Pediatr Rev. 2015;36(11)496502; DOI: 10.1542/pir.36-11-496
12. Nurhidayat Pua Upa, penyunting. 65 tahun Potret Dinamika Dunia Kedokteran
Indonesia di Era JKN. Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia; 2015.

94 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


13. Silverman E, Eddy A. Systemic lupus erythematosus. Dalam: Cassidy JT, Laxer RM,
Petty RE, Lindsley CB, penyunting. Textbook of pediatric rheumatology.
Philadelphia: Elsevier; 2011. hlm. 31543.
14. Petty RE, Cassidy JT. Chronic arthritis in childhood. Dalam: Cassidy JT, Laxer RM,
Petty RE, Lindsley CB, penyunting. Textbook of pediatric rheumatology.
Philadelphia: Elsevier; 2011. hlm. 21135.
15. De Benedetti F, Scheneider R. Systemic juvenile idiopathic arthritis. Dalam:
Cassidy JT, Laxer RM, Petty RE, Lindsley CB, penyunting. Textbook of pediatric
rheumatology. Philadelphia: Elsevier; 2011. hlm. 23648.
16. Brogan P, Bagga A. Leukocytoclastic vasculitis. Dalam: Cassidy JT, Laxer RM, Petty
RE, Lindsley CB, penyunting. Textbook of pediatric rheumatology. Philadelphia:
Elsevier; 2011. hlm. 483504.

Bandung, 2627 November 2016 95


96 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII
Tuberkulosis pada Anak: Update 2016
Heda Melinda N. Nataprawira

Pendahuluan
World Health Organization (WHO) telah mencanangkan visi strategi tuberkulosis (TB)
global pasca-tahun 2015, yaitu dunia bebas TB (a world free TB) yang berarti bahwa
tidak ada lagi kematian dan penyakit akibat TB. Tujuan tersebut adalah untuk
mengakhiri epidemiologi TB global pada tahun 2035. Walaupun target Millenium
Development Goals (MDGs) dalam implementasi Stop TB Strategy (20062015) telah
tercapai, yaitu menurunkan prevalensi dan kematian akibat TB sebesar 50% dibanding
dengan tahun 1990, namun dalam target Sustainable Development Goals (SDGs) untuk
mencapai End TB strategy (20152035) diharapkan 95% penurunan kematian akibat
TB, 90% pengurangan insidens TB dari 110/100.000 menjadi 10/100.000 dibanding
dengan tahun 2015.13 Untuk mencapai End TB strategy tersebut maka pada tahun
2025 diharapkan tersedia perangkat diagnostik tambahan baru, point-of-care test,
vaksin dan obat, serta regimen pengobatan baru untuk TB aktif dan TB laten.1,2
Indonesia sebagai negara dengan jumlah kasus TB terbanyak ke-2 di dunia setelah
India3,4 harus segera mengadopsi strategi global ini dengan membuat revisi Pedoman
TB Nasional termasuk untuk TB anak.5,6
Walaupun penekanan pentingnya TB anak sudah dimulai tahun 2006, namun
tantangan permasalahan TB anak belum terselesaikan.48 World Health Organization
2013 melaporkan perkiraan kasus TB anak (usia 15 tahun) di antara seluruh kasus TB
mencapai 6% (530.000 TB anak/tahun), sedangkan kematian TB anak dengan kasus
HIV negatif mencapai 74.000 kematian/tahun, atau sekitar 8% dari kematian karena
TB.8 Penegakan diagnosis sering mengalami hambatan karena prosedur diagnostik
yang menjadi baku emas sulit dilaksanakan.57 Konfirmasi TB secara mikrobiologis tidak
dilakukan pada sebagian besar anak dengan berbagai alasan sehingga pengobatan TB
anak hanya berdasarkan pada riwayat, gejala, tanda penyakit yang disertai atau tanpa
temuan gambaran radiologis. Untuk mengatasi hal ini telah dikembangkan teknologi

Bandung, 2627 November 2016 97


baru untuk tujuan meningkatkan ketepatan diagnosis. Pada tahun 2010 WHO
merekomendasikan uji diagnostik berbasis molekuler dengan metode Nucleid Acid
Amplification Tests (NATTs) contohnya Xpert MTB/RIF dan pada tahun 2014
merekomendasikan pemeriksaan ini untuk mendiagnosis TB anak dan harus digunakan
dalam mendiagnosis multidrug-resistant TB (MDR-TB) dan TB-HIV.312

Target WHO dalam Eliminasi Tuberkulosis


Indikator dan target WHO End TB Strategy adalah pemantauan implementasi bahwa
semua negara di dunia pada akhir tahun 2025 harus memenuhi cakupan pengobatan
90%, keberhasilan pengobatan TB 90%, cakupan preventif 90%, anggota keluarga
dengan beban pengeluaran besar akibat TB 0%, jumlah pasien yang diperiksa dengan
metode diagnostik baru 90%. Penurunan angka kematian akibat TB hingga 95% dan
penurunan insidens penyakit TB hingga 90% diharapkan tercapai pada tahun 2035.1,2

Diagnosis
Penjelasan mengenai perjalanan alamiah (natural history) TB dari masa prekemoterapi
menunjukkan risiko dan deskripsi penyakit yang bermanfaat dalam penatalaksanaan
TB anak.13,25 Fakta yang diamati adalah bahwa >90% anak yang mengalami
progresivitas menjadi TB aktif terjadi dalam 12 bulan setelah infeksi primer (window of
risk).13 Pengamatan lainnya yang mencolok adalah risiko bimodal, yaitu risiko terbesar
mengenai anak usia di bawah 2 tahun, berkurang pada usia 510 tahun, dan
meningkat kembali seiring masa pubertas. Pada anak usia muda, penyakit kelenjar
getah bening mediastinum (dengan atau tanpa penekanan saluran respiratorik)
umumnya mendominasi. Hal ini akibat respons kelenjar getah bening yang masih
tinggi dan saluran respiratorik yang masih relatif kecil dan cukup lentur. Penyakit
akibat penyebaran hematogen juga lebih sering ditemukan akibat respons sel T yang
imatur dan imunitas terhadap penyakit yang masih lemah. Perubahan mendadak
menjadi TB dewasa (yang sering bersifat infeksius) terjadi pada masa pubertas.13
Perbedaan penting antara TB dewasa dan TB anak disimpulkan pada Tabel 1.13

98 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


Tabel 1 Perbedaan Penting antara TB Dewasa danTB Anak
Aspek Dewasa Anak
Epidemiologi dan Beban penyakit secara global telah Beban penyakit secara global
kewaspadaan terukur dengan baik; kewaspadaan belum terukur dengan baik,
tinggi. kewaspadaan minimal.
Muatan bakteri Multibasiler. Pausibasiler.
Transmisi dan Risiko infeksi tinggi setelah kontak Risiko infeksi rendah, namun dapat
kontrol infeksi erat. menjadi infeksius jika terdapat
keterlibatan paru ekstensif (dengan
atau tanpa kavitas); penanda
transmisi epidemiologis.
Resistensi obat Sulit membedakan resistensi obat Resistensi obat hampir selalu ada
didapat dengan resistensi primer akibat transmisi dari dewasa,
mengindikasikan transmisi baru.
Riwayat pajanan Penting, namun sering terabaikan. Merupakan hal sangat penting
dalam pemeriksaan.
Progresivitas Risiko relatif rendah setelah Risiko progresivitas penyakit lebih
penyakit pajanan/infeksi TB. tinggi setelah pajanan/infeksi TB,
terutama anak imunokompromais
dan usia muda.
Terapi preventif Terbatas, kecuali pada dewasa Harus diberikan untuk anak (usia
imunokompromais. <5 tahun) dan imunokompromais.
Pencitraan Radiologis tidak diperlukan secara Radiologis (AP dan lateral) dengan
rutin meskipun hasil sputum kualitas baik dan dapat dibaca
negatif. merupakan sumber informasi
utama.
Klasifikasi Paru dan ekstraparu. Penyakit kelenjar getah bening
penyakit intratoraks diklasifikasikan sebagai
TB paru.
Uji mikrobiologis Spesimen mudah diperoleh dan Spesimen sulit diperoleh (anak usia
dapat mengonfirmasi mikobakteri. muda sulit mengeluarkan dahak).
Tata laksana Setidaknya dengan 4 jenis obat. 34 jenis obat bergantung pada
keparahan penyakit.
Prognosis Luaran yang baik dapat dicapai dan Luaran yang baik dapat dicapai
obat-obatan yang sesuai dengan dengan tepat waktu dan obat-
tepat waktu. obatan yang sesuai. Diagnosis yang
tertunda dapat mengakibatkan
luaran yang buruk.
13
Sumber: Marais

WHO dan berbagai organisasi dunia telah menyusun standar pengelolaan TB, yaitu
International Standar for Tuberculosis Care (ISTC) yang terdiri atas 21 standar, yaitu 6

Bandung, 2627 November 2016 99


standar diagnosis, 7 standar pengobatan, 4 standar penanganan TBHIV, dan 4 standar
untuk pelayanan kesehatan masyarakat.10 Pada ISTC edisi terakhir telah dimasukkan
perihal terkait TB anak (Tabel 2).10

Tabel 2 Standar Diagnosis TB


Standar 1 Untuk memastikan diagnosis dini, fasilitas pelayanan kesehatan harus
waspada terhadap faktor risiko individu atau kelompok dengan melakukan
evaluasi klinis yang baik dan uji diagnosis yang tepat.
Standar 2 Seluruh pasien termasuk anak dengan batuk 2 minggu dengan temuan
sugestif TB lain pada foto rontgent toraks harus dievaluasi TB.
Standar 3 Seluruh pasien, termasuk anak dengan suspek TB paru dan dapat
mengeluarkan sputum harus diperiksa paling sedikit dua spesimen sputum
untuk pemeriksaan mikroskopis atau satu spesimen sputum untuk uji Xpert
MTB/RIF pada laboratorium yang mempunyai kualitas baik.
Standar 4 Untuk seluruh pasien termasuk anak dengan suspek TB ekstraparu,
pemeriksaan mikrobiologis dan histologis dilakukan dengan spesimen yang
tepat dari tempat yang tepat. Uji Xpert MTB/RIF direkomendasikan sebagai
tes mikrobiologis awal untuk kasus suspek meningitis TB karena kebutuhan
untuk diagnosis secara cepat.
Standar 5 Pasien dengan suspek TB paru basil tahan asam (BTA) sputum negatif harus
dilakukan uji Xpert MTB/RIF dan/atau kultur sputum. Apabila pewarnaan
dan Xpert MTB/RIF negatif dengan bukti klinis sugestif TB, terapi
antituberkulosis harus segera dilakukan setelah pengambilan spesimen
untuk pemeriksaan kultur. Idealnya jika hasil Xpert MTB/RIF negatif dan hasil
pewarnaan negatif, namun klinis positif, kultur harus dilakukan.
Standar 6 Untuk seluruh anak dengan suspek TB intratoraks (paru, pleura, dan
mediastinal atau kelenjar getah bening hilar), konfirmasi bakteriologis harus
dilakukan pemeriksaan dari sekret saluran respiratorik (sputum yang
dikeluarkan, bilas lambung) untuk pewarnaan mikroskopis, uji Xpert
MTB/RIF, dan/atau kultur.
10
Sumber: WHO

Implementasi ISTC di lapangan terutama untuk Indonesia khususnya untuk


mendiagnosis TB anak pada praktik klinis sehari-hari belum seluruhnya dapat atau
sudah dilaksanakan terutama terkait dengan pemeriksaan mikrobiologis termasuk
ketersediaan uji Xpert MTB/RIF. Walaupun Kementerian Kesehatan telah juga
menerbitkan rekomendasi untuk uji tersebut, namun masih terbatas pada beberapa
rumah sakit di Indonesia.5,6

100 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


Skrining TB anak pada umumnya dilakukan setelah diketahui kontak dengan pasien
TB terutama dewasa atau jika didapatkan gejala atau tanda sugestif TB aktif.5,6,12
Skrining dapat dilakukan secara aktif oleh klinisi atau pasif melalui kesadaran dari
orangtua.5,6 Interpretasi foto rontgen toraks pada anak asimtomatik sering kali
membingungkan karena kompleks primer atau kompleks Ghon sering didapatkan,
tetapi tidak selalu menunjukkan penyakit aktif. Tidak ada uji imunologi yang dapat
menyingkirkan penyakit TB anak dengan pasti.13 Panduan WHO tahun 201412
menyarankan bahwa semua anak berusia 5 tahun dan semua anak HIV yang kontak
dengan kasus BTA positif harus dilakukan penapisan TB secara aktif dan segera
diberikan terapi preventif dengan monoterapi isoniazid selama 6 bulan setelah
penyakit TB disingkirkan.5,6 Untuk daerah dengan keterbatasan atau tidak tersedia uji
tuberkulin dan pemeriksaan radiologis direkomendasikan pemberian terapi preventif
tersebut (Gambar 1).12 Dengan terapi preventif diharapkan dapat mengurangi risiko
terjadi kekambuhan di masa mendatang dan juga mengurangi pool of latent infection
di masyarakat.13

Anak kontak erat dengan kasus TB paru

Usia <5 tahun atau terinfeksi HIV Usia 5 tahun dan tidak terinfeksi HIV

Baik Simtomatis Simtomatis Baik

Evaluasi untuk TB
6H# Tidak diterapi

Jika menjadi simtomatis Jika menjadi simtomatis

Gambar 1 Alur Pendekatan yang Dianjurkan untuk Tata Laksana Kontak pada
Keadaan Tidak Tersedia Pemeriksaan Radiologis dan Uji Tuberkulin
(INH 10 mg/kgBB/hari selama 6 bulan)
12
Sumber: WHO

Bandung, 2627 November 2016 101


Metode Pemeriksaan Diagnostik TB

Pemeriksaan Mikroskopis dan Kultur


Diagnosis pasti TB ditegakkan bila ditemukan bakteri M. tuberculosis. Uji mikrobiologis
terdiri atas mikroskopis dan biakan. Pemeriksaan biakan lebih sensitif dibanding
dengan mikroskopis. Jenis media biakan secara umum terdiri atas dua macam, yaitu
medium padat dan cair. Medium padat terdiri atas dua jenis, yaitu medium padat
berbasis telur dan berbasis agar. Medium padat berbasis telur merupakan pilihan
pertama untuk biakan yang berasal dari spesimen sputum. Medium padat berbasis
telur terdiri atas 2 jenis, yaitu medium Lowenstein Jensen (LJ) dan Ogawa.15 Walaupun
medium LJ digunakan secara luas di dunia, namun khususnya di Laboratorium
Mikrobiologi RS Dr. Hasan Sadikin (RSHS) digunakan medium Ogawa. Beberapa jenis
medium cair antara lain Middlebrook 7H9 (medium cair konvensional), broth base
culture system (Bactec 460TB, Septi-Check AFB, dan MGIT), dan yang terbaru
adalah MB/BacT 240 yang menggunakan sistem kolorimetrik. Walaupun WHO
merekomendasikan perihal pemeriksaan mikrobiologis (Tabel 3),10 namun di Indonesia
khususnya RSHS tidak tersedia media cair dan keterbatasan kesinambungan
pemeriksaan berbasis molekuler.

Uji Tuberkulin
Hingga saat ini uji tuberkulin secara umum digunakan untuk membantu mendiagnosis
TB laten dan menegakkan diagnosis TB anak.5,6,12,16 Uji tuberkulin mempunyai nilai
sensitivitas 75% dan menurun pada anak dengan malnutrisi dan HIV (56%), sedangkan
nilai spesifisitas adalah 69%.17 Keterbatasan utama uji tuberkulin pada subjektivitas
dalam hal pembacaan indurasi yang muncul.16,17

102 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


Tabel 3 Uji Mikrobiologis TB yang Direkomendasikan WHO
Uji Lokasi
Temuan Mayor/Hasil dan Systematic Review
Infeksi
Pewarnaan Paru-paru - Mikroskop fluorescence 10% lebih sensitif daripada
mikroskopis mikroskop konvensional. Spesifisitas mikroskop
sputum fluorescence dan konvensional adalah sama. Mikroskop
fluorescence berhubungan dengan efisiensi waktu.
- Pewarnaan sputum pada hari yang sama dengan
pewarnaan mikroskop standar memiliki tingkat keakuratan
yang sama, sensitivitas 63% vs 64% dan spesifisitas 98% vs
98%.
Tes amplifikasi TB paru dan - Komersial, NAATs standar memiliki spesifisitas dan nilai
asam nukleat ekstraparu prediktif positif yang tinggi, namun memiliki sensitivitas
(nucleic acid dan nilai prediktif negatif yang relatif rendah untuk seluruh
amplification bentuk TB, terutama jika BTA negatif dan penyakit
test [NAATs] ekstraparu.
selain Xpert
MTB/RIF
Xpert MTB/RIF TB paru, - Xpert MTB/RIF digunakan sebagai uji yang sensitif dan
ekstraparu spesifik untuk diagnosis paling awal deteksi M. tuberculosis
dan dan resisten rifampisin. Jika resistensi rifampisin positif
resistensi RIF harus dipertimbangkan MDR TB.
- Sensitivitas 88% dan spesifisitas 98%. Sensitivitas BTA
positif dan kultur positif 98%, dan 68% BTA negatif
spesifisitas 96%.
- Untuk deteksi resistensi rifampisin, sensitivitas 94%,
spesifisitas 96%.
Kultur cair dan TB paru dan - Kultur cair lebih sensitif daripada kultur padat, waktu
deteksi cepat ekstraparu deteksi lebih cepat daripada kultur padat.
MPT64 - Uji imunokromatografi berdasarkan MPT64 memiliki
sensitivitas dan spesifisitas tinggi.
MDR (Multi-drugs resistence)
10
Sumber: International Standars for Tuberculosis Care

Radiologis
Foto rontgen toraks digunakan untuk mendeteksi TB paru, termasuk limfadenopati,
parenkim paru, dan TB milier.5,6,16 Pemeriksaan pencitraan berguna untuk mendeteksi
penyakit paru tahap awal seperti kavitas dan limfadenopati pada saluran
respiratorik.15 Pencitraan dengan kontras dapat mengidentifikasi penyakit sistem
saraf pusat, seperti meningitis TB yang ditunjukkan dengan gambaran meningeal

Bandung, 2627 November 2016 103


enhancement. Magnetic resonance imaging (MRI) bermanfaat pada pemeriksaan TB
ekstrapulmonal di antaranya muskuloskeletal yang melibatkan tulang dan sendi.13,16

Perkembangan Diagnosis (Advanced in Diagnosis)


Imunodiagnosis
- Interferon Gamma Release Assays (IGRAs)
Interferon gamma release assays (IGRAs) sebenarnya dirancang untuk
menggantikan uji tuberkulin untuk mendiagnosis TB laten (latent TB Infection=LTBI)
dan tidak digunakan untuk mendeteksi TB aktif.16,18 Uji diagnostik terbaru tersebut
mempunyai spesifisitas yang lebih baik dibanding dengan uji tuberkulin dan memiliki
reaktivitas silang yang lebih rendah terhadap vaksin BCG.15 Pemeriksaan IGRAs
merupakan pemeriksaan in vitro yang mendeteksi respons imun seluler antigen
spesifik dari M. tuberculosis seperti early secretory antigenic target-6 (ESAT-6),
culture filtrate protein 10 (CFP-10), dan TB7.7.16,18 Target utama respons
imun seluler adalah ESAT-6 dan CFP-10. Sensitisasi dari sel T memori/efektor
menghasilkan interferon gamma dalam merespons antigen M. tuberculosis.
Pemeriksaan IGRAs yang tersedia adalah QuantiFERON-TB Gold In-Tube dan Assay T
SPOT.TB assay.16,18 Interpretasi IGRAs berdasarkan jumlah interferon gamma yang
dilepaskan tubuh dan diinterpretasi secara kualitatif (berupa positif, negatif, atau
intermediate) dan secara kuantitatif. Hasil positif menunjukkan sugestif infeksi M.
tuberculosis, intermediate menunjukkan ketidakpastian infeksi M. tuberculosis, hasil
negatif menunjukkan bukan infeksi M. tuberculosis.16,18 Kombinasi uji tuberkulin dan
IGRA memberikan nilai sensitivitas yang lebih tinggi. Rekomendasi terbaru dari
American Academy of Pediatrics Committee on Infectious Diseases menyatakan
skrining pasien TB laten anak usia 5 tahun lebih diutamakan menggunakan uji
tuberkulin dan bukan IGRAs.16 Untuk negara dengan sosial ekonomi menengah dan
rendah, WHO tidak merekomendasikan pemeriksaan IGRAs untuk mendiagnosis TB
paru maupun TB ekstraparu anak.12,18

104 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


Tes Cepat Molekuler (TCM)
Tes cepat molekuler (rapid test) telah diperluas secara substansial oleh WHO sejak
tahun 2010, namun pada tahun tersebut belum banyak yang menggunakan.79,11,12
Tahun 2015 baru 69% negara yang menggunakan Xpert MTB/RIF sebagai uji diagnostik
untuk TB resisten ganda atau multi drug resistence (MDR)-TB dan 60% untuk uji
diagnostik TB-HIV.4 Pemeriksaan dapat dilakukan secara cepat, akurat, dan hasil dapat
diperoleh dalam waktu kurang dari 2 jam menggunakan molecular beacon dengan
target gen rpoB, menggunakan catridge plastik sekali pakai yang mampu mendeteksi
M. tuberculosis secara langsung pada spesimen dan secara bersamaan dan mendeteksi
mutasi pada gen rpoB terkait dengan resistensi rifampisin. Penelitian meta-analisis
melaporkan Xpert MTB/RIF mempunyai sensitivitas 90,4% dan spesifisitas 98,4%. Hal
ini menunjukan peningkatan 23 kali lipat dari penilaian mikroskopis.16 Seperempat
sampai sepertiga dari kasus anak dapat menggunakan Xpert MTB/RIF sebagai
pengganti kultur yang hingga saat ini masih menjadi baku emas pada TB.9,16
Rekomendasi WHO 2013 terkait Xpert MTB/RIF adalah810
- Xpert MTB/RIF seharusnya menjadi pilihan utama dibanding dengan mikroskop
konvensional, kultur, dan uji suseptibilitas obat (drugs susceptility testing=DST)
sebagai pemeriksaan diagnostik awal individu yang kemungkinan MDR atau TB-HIV;
- Xpert MTB/RIF seharusnya menjadi pilihan utama untuk anak dengan MDR TB atau
TBHIV;
- Xpert MTB/RIF dapat digunakan sebagai uji diagnostik pada anak dengan kecurigaan
TB (suspected TB) dibanding dengan mikroskop konvensional dan kultur;
- Xpert MTB/RIF dapat digunakan untuk memantau kecurigaan TB (suspected TB)
dengan BTA negatif tanpa faktor risiko MDR-TB atau TB-HIV.

Dengan mengacu pada rekomendasi WHO tersebut seyogianya pemeriksaan awal


untuk diagnosis TB anak menggunakan Xpert MTB/RIF.

Bandung, 2627 November 2016 105


Tuberkulosis Aktif dan Tuberkulosis Laten
Tuberkulosis dikategorikan menjadi TB aktif dan TB laten. Pasien TB aktif memiliki
tanda dan gejala yang dapat dipastikan dengan pemeriksaan konvensional
(mikroskopis atau kultur) atau molekular, sedangkan pasien TB laten bersifat
asimtomatik. Membedakan TB aktif dengan TB laten penting karena terkait penentuan
pengobatan yang berbeda.17

Definisi dan Klasifikasi TB Anak


Kesulitan dalam mendiagnosis TB pada anak menyebabkan perubahan dalam
memberikan definisi dan klasifikasi TB anak. Dalam panduan terakhir dikemukakan
beberapa definisi/panduan terkait TB anak.

Definisi Terduga TB (presumtive TB) adalah anak dengan gejala atau tanda klinis
sugestif TB (previously TB suspect).6,12,14

Kasus TB
Kasus TB dengan konfirmasi bakteriologis (bacteriologically confirmed TB case)
adalah anak yang terdiagnosis TB dengan hasil BTA atau kultur positif.
Kasus TB terdiagnosis secara klinis (clinically diagnosed TB case) adalah kasus
yang tidak terbukti secara radiologis, tetapi didiagnosis sebagai TB aktif oleh
klinisi yang diputuskan untuk diberikan pengobatan TB (previously a case of TB,
not considered definite).

Klasifikasi berdasarkan Lokasi Penyakit TB


Selain pengelompokan pasien berdasarkan definisi tersebut di atas, pasien juga
diklasifikasi berdasarkan6,12,14
lokasi anatomis penyakit;
riwayat pengobatan sebelumnya;
hasil pemeriksaan uji kepekaan obat; dan
status HIV.

106 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


Klasifikasi berdasarkan Lokasi Anatomis
- TB Paru
TB yang terjadi pada parenkim paru termasuk TB milier.
Limfadenitis TB di rongga dada (hilus dan atau mediastinum) atau efusi pleura
tanpa terdapat gambaran radiologis yang mendukung TB paru.
TB paru dan sekaligus juga menderita TB ekstraparu diklasifikasikan sebagai TB paru.

- TB Ekstraparu
TB yang terjadi pada organ selain paru, misalnya pleura, kelenjar limfe, abdomen,
saluran kencing, kulit, sendi, selaput otak, dan tulang.
Diagnosis TB ekstraparu dapat ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan
bakteriologis atau klinis. Diagnosis TB ekstraparu harus diupayakan berdasarkan
penemuan M. tuberculosis.
Pasien TB ekstraparu yang menderita TB pada beberapa organ diklasifikasikan
sebagai pasien TB ekstraparu pada organ yang menunjukkan gambaran TB yang
terberat.

Klasifikasi berdasarkan Riwayat Pengobatan Sebelumnya (Previously TB Treatment


History)
- Pasien baru TB adalah pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan TB
sebelumnya atau sudah pernah memperoleh OAT, namun kurang dari 1 bulan (<28
dosis).
- Pasien yang pernah diobati TB (previously treated) adalah pasien yang sebelumnya
pernah menelan OAT selama 1 bulan (28 dosis). Pasien ini selanjutnya
diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan TB terakhir, yaitu
o pasien kambuh (relapse) adalah pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan hasil pemeriksaan
bakteriologis atau klinis (baik karena benar-benar kambuh atau karena infeksi);
o pasien yang diobati kembali setelah gagal (treatment after failure) adalah
pasien TB yang pernah diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir;

Bandung, 2627 November 2016 107


o pasien yang diobati kembali setelah putus obat (treatment after loss to follow-
up) adalah pasien TB yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow up
(klasifikasi ini sebelumnya dikenal sebagai pengobatan pasien putus
berobat/default);
o lain-lain adalah pasien TB yang pernah diobati, namun hasil akhir pengobatan
sebelumnya tidak diketahui.
- Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui adalah pasien TB
yang tidak termasuk dalam kelompok pasien kambuh maupun pasien yang diobati
kembali setelah gagal.

Klasifikasi berdasarkan Hasil Pemeriksaan Uji Kepekaan Obat


Pengelompokan pasien berdasarkan hasil uji kepekaan adalah hasil uji M. tuberculosis
terhadap OAT yang dapat berupa6,12,14
1. mono resisten (MR-TB): resisten terhadap salah satu jenis OAT lini pertama saja;
2. poli resisten (PR-TB): resisten terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama selain
izoniazid (INH) dan rifampisin (R) secara bersamaan;
3. multi drug resisten (MDR-TB): resisten terhadap isoniazid (I) dan rifampisin (R)
secara bersamaan;
4. extensive drug resistence (XDR-TB): MDR-TB yang sekaligus juga resisten terhadap
salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu dari OAT lini kedua
jenis suntikan;
5. resisten rifampisin (RR-TB): resisten terhadap rifampisin dengan atau tanpa
resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan metode genotif (rapid
test) atau metode fenotip (konvensional).

Klasifikasi Pasien TB berdasarkan Status HIV6,12,14


HIV positif.
HIV negatif.
HIV tidak diketahui.

108 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


Diagnosis TB Resisten Obat (TB-RO)
Secara global kejadian TB-RO masih belum diketahui terkait kesulitan memperoleh
konfirmasi bakteriologis. Diagnosis TB-RO harus diperkirakan pada anak yang
mempunyai gejala TB disertai dengan kondisi berikut: 1) riwayat pengobatan TB 612
bulan sebelumnya; 2) tidak ada perbaikan setelah pengobatan TB lini pertama
berlangsung 23 bulan; 3) kontak dengan pasien TB-RO; 4) kontak dengan pasien TB
yang meninggal saat pengobatan TB; atau 5) pengobatan TB yang gagal.6

Tata Laksana
Pedoman dan rekomendasi tata laksana TB baik regimen, jenis obat antituberkulosis
(OAT), maupun dosis yang direkomendasikan WHO terus-menerus di-update secara
rutin. Prinsip pengobatan TB anak pada dasarnya sama dengan dewasa. Kombinasi
OAT bertujuan membunuh mikroorganisme intraseluler maupun ekstraseluler untuk
mencegah resistensi obat dengan tetap memperhatikan efek toksisitas pada anak.13
Penelitian Mcllleron dkk.19,20 menunjukkan bahwa konsentrasi isoniazid (INH) dalam
darah 58% lebih rendah dengan dosis oral 46 mg/kgBB dibanding dengan dosis 812
mg/kgBB. Pada awalnya etambutol jarang atau tidak diberikan pada anak karena
potensi toksisitasnya pada mata.20 Obat ini memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi
dapat juga bersifat bakterisid jika diberikan dalam dosis tinggi dan intermiten sehingga
dapat digunakan untuk mencegah timbulnya resistensi terhadap obat-obat lain.20 Pada
anak usia 5 tahun konsentrasi etambutol dalam darah rendah sehingga pengobatan
berakibat tidak adekuat sehingga dosis perlu ditingkatkan dengan tetap
memperhatikan keamanan obat di dalam darah. Pemberian dosis etambutol 1520
mg/kgBB per hari dengan pemberian tunggal sekali sehari selama 2 bulan dinyatakan
aman.19,20 Pada tahun 2010, WHO21 mengeluarkan panduan pengobatan TB pada anak
dengan perubahan regimen dan dosis OAT pada (Tabel 4)12,19,21 dan mekanisme kerja
obat, toksisitas, dan dosis harian OAT lini pertama untuk TB anak (Tabel 5).12,20

Bandung, 2627 November 2016 109


Tabel 4 Regimen Pengobatan TB Anak
Obat Anti-TB
Jenis TB
Fase Intensif Fase Lanjutan
TB paru BTA negatif
TB paru kelenjar 2 HRZ 4 HR
TB limfadenitis
Efusi pleura TB
TB paru dengan kerusakan luas 2 HRZE 4 HR
TB paru BTA positif
TB ekstraparu berat (selain meningitis TB/osteoartikular TB)
TB ekstraparu BTA positif
TB ekstraparu BTA negatif dengan atau tanpa kerusakan 2 HRZE 4 HR
parenkim paru
Semua TB ekstraparu keculai meningitis TB meningitis dan
osteoartikular TB
TB meningitis dan TB osteoartikular 2 HRZE 10 HR
MDR-TB Regimen
individual
12 20 21
Sumber: WHO; Graham; WHO

Tabel 5 Rekomendasi Terkini Obat Antituberkulosis Lini Pertama pada Anak dan
Perbandingannya dengan Rekomendasi Sebelumnya

Rekomendasi
WHO setelah Rekomendasi WHO 2003
Agutus 2010
Nama Obat Mekanisme Toksisitas Dosis tiga
Dosis harian Dosis harian kali per
(mg/kgBB) (mg/kgBB) minggu
(mg/kgBB)
Isoniazid Bakterisidal Hepatitis, 10 (715), 5 (46) 10 (812)
(INH) neuropati maks. 300 mg
perifer
Rifampisin Bakterisidal Hepatitis 15 (1020), 10 (812) 10 (812)
(RIF) maks. 600 mg
Pirazinamid Sterilisasi Hepatitis, 35 (30-40), 25 (2030) 35 (3040)
(PZA) artralgia maks. 2,000 mg
Etambutol Bakteriostatik Gangguan 20 (1525), 15 (1520) 30 (2535)
(ETH) penglihatan maks. 1.200 mg
Streptomisin Bakteriostatik Ototoksik dan 15 (1218), 15 (1218) 15 (1218)
(SM) nefrotoksik maks. 1.000 mg
12 20 21
Sumber: WHO; Graham; WHO

110 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


Obat antituberkulosis (OAT) dapat diberikan dengan formula obat satuan atau
dalam bentuk kombinasi dosis tetap (KDT) dan keduanya direkomendasikan untuk
pengobatan TB anak.12

Pengobatan TB Resisten Obat (TB-RO) pada Anak


Insidens TB-RO anak secara global masih belum pasti karena kesulitan mendapatkan
konfirmasi bakteriologis pada anak. Di Indonesia kewaspadaan terhadap kasus ini
perlu ditingkatkan mengingat penatalaksanaan kasus TB anak masih belum optimal
dan angka kejadian TB-RO pada dewasa yang terus meningkat.5,6 Alur pemeriksaan
anak terduga TB-RO dijelaskan pada (Gambar 2).6

Bandung, 2627 November 2016 111


Gejala TB dengan salah satu atau lebih kriteria berikut:
a. Riwayat pengobatan TB 612 bulan sebelumnya.
b. Kontak erat dengan pasien MDR-TB (bisa kontak serumah, di sekolah, di tempat
penitipan anak, dsb).
c. Kontak erat dengan pasien yang meninggal akibat TB, gagal pengobatan TB atau tidak
patuh dalam pengobatan TB.
d. Tidak menunjukkan perbaikan (hasil pemeriksaan dahak dan atau kultur yang masih
positif, gejala tidak membaik atau tidak ada penambahan berat badan) setelah
pengobatan dengan OAT lini pertama selama 23 bulan.

Pemeriksaan TCM*

TB resisten TB sensitif M.tb tidak


rifampisin rifampisin terdeteksi

OAT RHZE
Pengobatan MDR-TB Kondisi klinis Kondisi klinis
standar stabil tanpa ada tidak stabila) atau
Lakukan biakan dan uji kegawatan ada gejala TB
kepekaan obat beratb)

Observasi gejala klinis


Foto toraks sesuai indikasi Pertimbangkan
Sesuaikan paduan OAT
pengobatan
berdasarkan hasil uji
secara empirisc)
kepekaan obat
Lakukan biakan
Gejala menetap
dan Uji Kepekaan
Obat

OAT Lini 1d)


Hasil Uji Kepekaan Obat: Biakan dan Uji Kepekaan
Resisten (+) Obat
Observasi gejala klinis

Biakan tidak Gejala menetap atau


tumbuh memberat

Klinis membaik

Lanjutkan OAT Lini 1

Gambar 2 Alur Pemeriksaan Anak Terduga TB-RO


6
Sumber: Kementerian Kesehatan RI

112 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


Catatan:
a
) suhu >40C hipoksia, distres napas, batuk berdarah, gizi buruk, kejang, penurunan kesadaran
b
) TB meningitis, TB milier
c
) Pemberian terapi secara empiris harus didiskusikan dan diputuskan oleh Tim Ahli Klinis TB-RO anak.
Regimen terapi empiris disesuaikan dengan pola resistensi dari kasus indeks penularnya
d
) OAT lini satu tidak diberikan jika kasus indeks adalah pasien TB-RO terkonfirmasi atau jika anak gagal
terapi TB

Prinsip pengobatan TB-RO pada anak5,6,12


- Pengobatan TB monoresistenbila diduga atau telah terkonfirmasi resisten INH
atau bila pasien berada di daerah prevalensi resisten INH tinggi maka
direkomendasikan untuk menambahkan etambutol pada RHZ tahap awal. Pada
kondisi berat diberikan penambahan flurokuinolon atau memperpanjang tahap
awal menjadi minimal 9 (sembilan) bulan.
- Pengobatan TB poliresisten, pengobatan menggunakan regimen yang tersedia
sesuai dengan hasil uji kepekaan obat.
- Pengobatan MDR-TB pada prinsipnya sama dengan dewasa.6,12,23
Gunakan OAT lini pertama yang terbukti masih sensitif. OAT diberikan sepanjang
durasi pengobatan.
Tambahkan satu obat dari golongan 2 (obat injeksi) berdasarkan hasil kepekaan
obat dan riwayat pengobatan.
Tambahkan satu obat golongan 3 (fluorokuinolon) berdasarkan hasil uji kepekaan
obat dan riwayat pengobatan sebelumnya. Obat diberikan sepanjang durasi
pengobatan. Levofloksasin dan moksifloksasin lebih direkomendasikan untuk anak.
Siprofloksasin tidak direkomendasikan.
Obat-obat golongan 4 ditambahkan sampai obat terdiri atas minimal 4 OAT lini
kedua. Pemilihan obat golongan 4 mempertimbangkan riwayat pengobatan, efek
samping, dan ketersediaan obat.
Jika paduan 4 OAT lini kedua tidak dapat dipenuhi dari paduan golongan 14,
pertimbangkan penambahan setidaknya 2 obat golongan 5 (OAT lini ketiga)
Penambahan ini harus dikonsultasikan terlebih dahulu. Panduan pengobatan MDR-
TB dapat dilihat pada Gambar 3.6

Bandung, 2627 November 2016 113


MDR-TB terdiagnosis

Pyrazinamide (Z)
Gunakan OAT Golongan I yang masih sensitif Etambutol (E)
INH (H)

Tambahkan 1 OAT Golongan II Kanamisin (Km)


(OAT Injeksi) Kapreomisin (Cm)

Tambahkan 1 OAT Golongan III Levofloksasin (Lfx)

Etionamid (Eto)
Tambahkan OAT dari Golongan IV sampai Sikloserin (Cs)
didapatkan 4 OAT Lini II yang tidak terbukti Para amino salisilat (PAS)
resisten Sodium para amino salisilat

INH dosis tinggi


Clofazimin (Cfz)
Tambahkan OAT dari Golongan V sampai
Linezolid (Lzd)
didapatkan 4 OAT Lini II yang tidak terbukti
Amoksilin/asam klavulanat (Amx/Clv)
resisten
Imipenem/Cilastatin (Ipm/Cln)
Thioacetazone (Thz)
Klaritromisin (Clr)

Gambar 3 Panduan Pengobatan MDR-TB


6
Sumber: Kementrian Kesehatan RI

Lama pengobatan MDR-TB masih belum jelas. Pedoman dari WHO 201412 pada
tahap awal minimal 8 bulan dengan total lama pengobatan minimal 10 bulan.
Inisiasi pengobatan pada anak dilakukan secara rawat inap di RS Rujukan/
Subrujukan MDR-TB selama 2 minggu.6 Pemberian piridoksin (vitamin B6)
ditambahkan pada pasien yang mendapat sikloserin dengan dosis 10 mg untuk
setiap 50 mg sikloserin dan pada penderita HIV.6,12 Dianjurkan pemberian OAT
dalam dosis tinggi jika memungkinkan. Dosis obat disesuaikan dengan kenaikan
berat badan.6,12 Penggunaan kortikosteroid sama dengan pada TB sensitif obat.
Golongan OAT pada MDR-TB anak dijelaskan pada Tabel 6.6,12 Berikan dukungan,
konseling, dan edukasi pada orangtua/pengasuh anak tentang efek samping obat,
lama pengobatan, dan pentingnya kepatuhan minum obat pada setiap kunjungan.6

114 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


Tabel 6 Golongan dan Dosis OAT MDR-TB Anak
Dosis Harian
Golongan Jenis Obat Keterangan
(mg/kgBB)
Golongan 1 Isoniazid (INH) 1520
Lini pertama Rifampicin (RIF) 1020
Etambutol (ETH) 1525
Pirazinamid (PZA) 3040
Golongan 2 Sreptomisin (S) 2040 Maks. 1.000 mg
Obat Injeksi Amikasin (Am) 1530 Maks. 1.000 mg
Kanamisin 1530 Maks. 1.000 mg
Kapreomisin 1530 Maks. 1.000 mg
Golongan 3 Levofloksasin 7,510 - <5 tahun 2x/hari
Fluorokuinolon Moksifloksasin 7,510 - >5 tahun 1x/hari
Ofloksasin 1520 - Tidak
direkomendasikan
pada anak BB <14 kg
Golongan 4 Etonamid (Eto) 1520 Sikloserin dapat
Bakteriostatik Protinamid (Pto) 1525 dilarutkan dengan akua
Lini kedua Sikloserin (Cs) 1020 10 mL
Terizidon (Trd) 1020
Para amino salisilat (PAS) 200300
Golongan 5 Klofazimin 1 Maksimal 200 mg
Belum terbukti Linezolid 10 (3x/hari) Maksimal 600 mg
efikasinya dan ditambah vitamin B6
belum Amoksilin/asam 80 (2x/hari) Amoksisilin maksimal
direkomedasikan klavulanat 4.000 mg
WHO Asam klavulanat
maksimal 500 mg
Klaritromisin 7,5 (2x/hari) Maksimal 1.000 mg
Meropenem 2040 (i.v.) tiap Maksimal 6.000 mg
8 jam
6 12
Sumber: Kementrian Kesehatan RI; WHO

Pengobatan TB pada Pasien HIV


Tuberkulosis merupakan infeksi oportunistik yang paling sering ditemukan pada anak
terinfeksi HIV dan menyebabkan peningkatan angka kematian. Diagnosis TB anak yang
terinfeksi HIV pada prinsipnya sama dengan pada anak tanpa infeksi HIV. Infeksi HIV
menyebabkan imunokompromais pada anak sehingga diagnosis TB menjadi lebih sulit
karena beberapa factor, yaitu 1) beberapa gejala TB mirip gejala HIV; 2) gambaran foto
toraks pada anak terinfeksi HIV sering disebabkan oleh penyakit respiratorik lain selain

Bandung, 2627 November 2016 115


TB; dan 3) uji tuberkulin sering menunjukkan negatif.5,6,12 Terapi antiretroviral (ARV)
diketahui dapat menekan mortalitas dan mengurangi insidens infeksi oportunistik.
Tujuan pemberian terapi OAT adalah mengobati pasien dengan efek samping minimal,
mencegah transmisi kuman, dan mencegah resistensi obat. Pengobatan OAT pada TB-
HIV adalah INH, rifampisin, PZA, dan etambutol selama fase intensif 2 bulan pertama,
selanjutnya INH dan rifampisin selama 10 bulan untuk fase lanjutan. Pengobatan
pasien TB-HIV adalah OAT, ARV, dan kotrimoksazol dan suplemen piridoksin dengan
dosis 10 mg/hari. Hal-hal penting yang perlu diperhatikan apabila pasien telah
ditegakkan diagnosis TB maka segera diberikan pengobatan OAT selama 2 minggu dan
dimulai lebih awal sebelum ARV.5,6,12 Tujuan pemberian OAT lebih dahulu adalah
menurunkan risiko sindrom pulih imun. Tata laksana OAT dengan ARV perlu perhatian
khusus karena interaksi obat antara keduanya.5,6,12,22

Strategi Pencegahan
Strategi pencegahan/prevensi meliputi vaksinasi, profilaksis pre dan postpajanan,
pengobatan infeksi TB laten, dan profilaksis sekunder setelah pengobatan TB. Hasil
meta-analisis penelitian vaksinasi BCG memberikan efek proteksi yang bervariasi,
namun dapat mengurangi risiko penyakit diseminasi (milier) dan meningitis TB pada
anak usia sangat muda.5,6,12 Terapi preventif diberikan pada semua anak usia 5 tahun
dan imunokompromais dengan INH profilaksis 10 mg/kgBB/hari dosis tunggal selama 6
bulan.5,6,12 Selain itu, sumber kontak sebagai sumber penular juga diobati pada saat
yang bersamaan.6,12 Saat ini belum ada panduan yang konklusif untuk pemberian
terapi preventif pada anak dengan gambaran klinis maupun radiologis yang tidak
menunjukkan kelainan, tetapi berada/kontak dengan pasien MDR-TB.

Simpulan
Situasi global yang ditargetkan dalam menghadapi beban berat global dalam
menghadapi eliminasi TB pada tahun 2035 melalui strategi Sustainable Development
Goals (SDGs) dalam mencapai End TB strategy (20152035) menekankan kembali

116 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


penegakan diagnosis TB anak walaupun pada kenyataan dalam implementasinya
menemui kendala dan kesulitan. Uji diagnostik berbasis molekuler yang telah
direkomendasikan WHO, yaitu Xpert MTB/RIF dapat membantu untuk konfirmasi
diagnosis pada kasus TB, MDR-TB, dan TB-HIV anak. Pemberian terapi prevensi dengan
INH selama 6 bulan, pengobatan TB anak dengan regimen, dosis, serta memerhatikan
kepatuhan yang tepat dan baik seiring juga dengan upaya memutus mata rantai
sumber penularan TB merupakan langkah dan usaha yang tepat untuk mencapai
eliminasi TB.

Daftar Pustaka
1. World Health Organization. Introducing the end TB strategy: gear up to end TB.
Genewa: WHO; 2015.
2. World Health Organization. The end TB strategy. Genewa: WHO; 2015.
3. World Health Organization. Global Tuberculosis Report. Genewa: WHO; 2016.
4. World Health Organization. Global Tuberculosis Report. Genewa: WHO; 2015.
5. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk Teknis Manajemen TB Anak.
Jakarta: Kemenkes RI; 2013.
6. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk Teknis Manajemen dan
Tatalaksana TB pada Anak. Jakarta: Kemenkes RI (in press); 2016.
7. World Health Organization. Global Tuberculosis Report. Genewa: WHO; 2012.
8. World Health Organization. Global Tuberculosis Report. Genewa: WHO; 2013.
9. World Health Organization. Xpert MTB/RIF implementation manual. Genewa:
WHO; 2014.
10. World Health Organization TB Care I. International Standards for Tuberculosis
Care. Edisi ke-3. Genewa: WHO; 2014.
11. World Health Organization. Global Tuberculosis Control. Genewa: WHO; 2011.
12. World Health Organization. Guidelines for National Tuberculosis Programmes on
the Management of Tuberculosis in Children. Edisi ke-2. Genewa: WHO; 2014.
13. Marais BJ. Update on childhood tuberculosis. Pulmo RJ. 2013;22(3):5864.

Bandung, 2627 November 2016 117


14. World Health Organization. TB definition revised. Genewa: WHO; 2013.
15. Working Group of the Stop TB Partnership. Mycobacteriology laboratory manual.
Edisi ke-1. Genewa: Global Laboratory Initiative. 2014.
16. Marc T, Nigel C, Delane S. Diagnosis tests for childhood tuberculosis past
imperfect, present tense and future tense. ESPID reports and review. Pediatr
Infect Dis J. 2015;34(9):10149.
17. Schumacher SG, van Smeden M, Dendukuri N, Joseph L, Nicol PM, Pai M, dkk.
Diagnostic test accuracy in childhood pulmonary tuberculosis: a Bayesian latent
class analysis. Am J Epidemiol. 2016;184(9):690700.
18. World Health Organization. Use of tuberculosis interferon-gamma release assays
(IGRAs) in low and middle income countries. Policy Statement. Genewa: WHO;
2011.
19. Mcllleron H, Willemse M, Werely C, Hussey DG, Schaaf SH, Smith JS, dkk. Isoniazid
plasma concentrations in a cohort of South African children with tuberculosis:
implications for international pediatric dosing guidelines. Clin Infect Dis.
2009;48:154753.
20. Graham MS. Treatment of paediatric TB: revised WHO guidelines. Paediatr Respir
Rev. 2011;12:226.
21. World Health Organization. Rapid advice treatment of tuberculosis in children.
Genewa: WHO; 2010.
22. Zumla A, Chakaya J, Centis RD, Ambrosio l, Mwaba P, Bates M, dkk. Tuberculosis
treatment and management an update on treatment regimens, trials, new drugs,
and adjunct therapies. Lancet Respir Med. 2015;3:22034.
23. World Health Organization. WHO treatment guidelines for drug-resistant
tuberculosis. 2016 update. Genewa: WHO; 2016.
24. Kumar MK, Kumar P, Singh A. Recent advances in the diagnosis and treatment of
childhood tuberculosis. J Nat Sci Biol Med. 2015;6(2):31420.
25. Perez-Velez CM, Marais BJ. Tuberculosis in children. N Engl J Med.
2012;367(4):34861.

118 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


Diagnosis dan Tata Laksana Alergi Makanan pada Anak
Budi Setiabudiawan

Pendahuluan
Alergi makanan merupakan masalah kesehatan penting yang dapat mengenai semua
usia dan terjadi peningkatan prevalensi selama 23 dekade terakhir. Pengertian istilah
alergi makanan sering salah atau kurang tepat. Reaksi simpang makanan adalah istilah
yang dipakai untuk menyatakan reaksi yang tidak diinginkan setelah memakan sesuatu
makanan. Alergi makanan adalah reaksi simpang makanan akibat respons imunologik
yang abnormal, sedangkan intoleransi makanan akibat mekanisme nonimunologik.
Sebagian besar reaksi simpang makanan tergolong intoleransi makanan.13
Berbagai efek simpang dapat disebabkan oleh makanan, namun hanya berdasarkan
respons imun yang dapat disebut sebagai alergi makanan. Alergi makanan
diperkirakan mengenai hingga 10% populasi dunia. Prevalensi alergi makanan
meningkat sampai tiga kali lipat untuk alergi kacang tanah sejak tahun 1990-an.
Perkiraan prevalensi alergi makanan tertinggi didapat jika menggunakan metode self-
report (sekitar 1213%) dibanding dengan studi menggunakan tes, seperti open
foodchallenge (sekitar 3%). Prevalensi alergi makanan pada anak berkisar 68%.
Penyebab alergi makanan berasal dari 170 jenis makanan, akan tetapi delapan alergen
makanan yang diduga sebagai penyebab utama adalah telur, susu sapi, kedelai,
gandum, kacang tanah, kenari pohon, ikan, dan shellfish.14
Alergi makanan pada anak menyebabkan berbagai manifestasi klinis yang dapat
mengganggu kualitas hidup dan gangguan nutrisi. Anak alergi makanan dengan
pembatasan makanan dan pengaturan diet yang sangat ketat dapat mengalami intake
energi yang tidak adekuat untuk tumbuh kembangnya.5

Definisi
Pengertian istilah alergi makanan sering dipakai dalam arti yang salah atau kurang
tepat. Berikut adalah beberapa pengertian yang penting untuk dipahami berkaitan
dengan alergi makanan.1

Bandung, 2627 November 2016 119


- Reaksi simpang makanan (adverse food reactions) Istilah umum untuk reaksi
yang tidak diinginkan terhadap makanan. Reaksi ini dapat merupakan reaksi
sekunder terhadap alergi makanan atau intoleransi makanan.
- Alergi makanan (food allergy) alergi makanan adalah reaksi imunologis yang
menyimpang karena masuknya bahan makanan ke dalam tubuh (alergen). Sebagian
besar reaksi ini melalui reaksi hipersensitivitas tipe 1.
- Intoleransi makanan reaksi makanan nonimunologik dan merupakan sebagian
besar penyebab reaksi yang tidak diinginkan terhadap makanan. Reaksi ini dapat
disebabkan oleh zat yang terkandung dalam makanan karena kontaminasi toksik
(misalnya toksin yang disekresi oleh Salmonella, Campylobacter dan Shigella,
histamin pada keracunan ikan), zat farmakologik yang terkandung dalam makanan
misalnya tiramin pada keju, kafein pada kopi, atau kelainan pada pejamu sendiri
seperti defisiensi laktase, maltase, atau respons idiosinkrasi pada pejamu.

Epidemiologi
Alergi makanan merupakan masalah kesehatan penting yang dapat mengenai semua
usia dengan prevalensi yang semakin meningkat selama 23 dekade terakhir.
Prevalensi alergi makanan pada anak berkisar 68% dan terjadi pada tahun pertama
kehidupan. Peningkatan prevalensi ini diduga terjadi karena peningkatan
kewaspadaan terhadap alergi makanan. Pemahaman dari segi epidemiologi alergi
makanan memberi nilai tambah dalam pendekatan diagnostik yang rasional. Alergi
makanan dipengaruhi oleh pola dietetik, budaya dan geografis, serta faktor genetik.6, 7
Prevalensi alergi makanan sulit untuk diidentifikasi karena beberapa alasan.1
- Meskipun lebih dari 170 makanan telah dilaporkan sebagai penyebab reaksi IgE-
mediated, akan tetapi angka kejadian hanya terfokus pada makanan yang paling
umum.
- Insidensi dan prevalensi alergi makanan berubah dari waktu ke waktu dan beberapa
penelitian menunjukkan kenaikan prevalensi selama 1020 tahun terakhir.

120 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


- Beberapa penelitian menunjukkan insidensi, prevalensi, dan perjalanan alamiah
alergi makanan, tetapi sulit untuk dibandingkan karena beberapa keterbatasan
penelitian tersebut.
Anak dengan atopi memiliki prevalensi lebih tinggi menderita alergi makanan
dibanding dengan anak nonatopi. Anak dengan dermatitis atopi moderate to severe
mengalami alergi makanan yang diperantarai IgE sekitar 35%. Beberapa penelitian
melaporkan sekitar 75% anak dengan dermatitis atopi berkembang menjadi rinitis
alergi dan 80% lainnya menjadi asma.1,8

Klasifikasi
Efek simpang terhadap makanan dapat dikategorikan menjadi 2 kelompok, yaitu
imunologis dan nonimunologis. Efek simpang makanan yang didasari reaksi imunologis
disebut alergi makanan dapat dilihat pada Gambar 1. Alergi makanan dikategorikan
menjadi 3 kelompok, yaitu alergi makanan yang diperantarai IgE, yang tidak
diperantarai IgE, dan campuran antara yang diperantarai IgE dan tidak diperantarai IgE
(Tabel 1). Efek simpang nonimunologis terhadap makanan dapat dikategorikan sebagai
intoleransi makanan dan reaksi ini tidak diperantarai sistem imun. Intoleransi makanan
dibagi menjadi 2 kelompok lagi, yaitu toksik dan nontoksik. Reaksi toksik timbul akibat
reaksi farmakologis terhadap substansi dalam makanan dan dapat timbul pada semua
orang yang terpapar oleh makanan tersebut serta tidak bergantung pada faktor
host.1,5,9

Patofisiologi
Alergi makanan merupakan respons imun spesifik terhadap protein dalam makanan
yang secara predominan diperantarai IgE (IgE mediated immune response) dan/atau
seluler (cellular immune response). Komponen imunologi terdiri atas imunitas innate
dan imunitas adaptive. Imunitas innate terdiri atas neutrofil, makrofag, NK-cell, sel
epitel, dan Toll-like receptors. Pada bayi dan anak kecil efisiensi barier mukosa tidak
optimal karena imaturitas dari berbagai komponen barier usus dan sistem imun.10,11

Bandung, 2627 November 2016 121


Tabel 1 Klasifikasi Reaksi Simpang Makanan
Alergi Makanan (Imunologis) Intoleransi Makanan (Nonimunologis)
Diperantarai IgE Toksik
- urtikaria, angioedema, ruam morbiliform, - kafein (jitterness), tiramin (migren),
rinokonjungtivitis akut, eksaserbasi akut alkohol, histamin, logam berat, bakteri.
asma, anafilaksis, food-associated
exercise-induced anaphylaxis, alergi oral.
Tidak diperantarai IgE Nontoksik
- food protein-induced proctocolitis dan - Intoleransi laktosa, galaktosemia.
enterokolitis, dermatitis kontak,
dermatitis herpetiformis, celiac disease.
Campuran Menyerupai intoleransi makanan/alergi
- Dermatitis atopi, asma, allergic makanan
eosinophilic esophagitis, dan/atau - Insufisiensi pankreas, penyakit hati dan
gastroenteritis. kandung empedu, hernia hiatus,
anoreksia nervosa, auriculotemporal
syndrome.
5
Sumber: Davis

Alergen makanan akan dikenali oleh sel penyaji antigen untuk selanjutnya
mengekspresikan pada sel T secara langsung atau melalui sitokin. Sel T tersensitisasi
akan merangsang sel B menghasilkan antibodi dari berbagai subtipe. Allergen yang
utuh akan diserap oleh usus dalam jumlah cukup banyak dan mencapai sel-sel
pembentuk antibodi di dalam mukosa usus dan organ limfoid usus yang pada
kebanyakan anak membentuk antibodi dari subtipe IgG, IgA, dan IgM.10,11
Pada anak-anak atopi cenderung membentuk IgE lebih banyak yang selanjutnya
mengadakan sensitisasi sel mast pada saluran cerna, saluran napas, dan kulit. Bayi
yang sangat atopi juga mendapatkan sensitisasi melalui air susu ibu terhadap satu
makanan yang dikonsumsi ibu. Bayi-bayi dengan alergi awal terhadap suatu makanan,
misalnya susu, juga mempunyai risiko yang tinggi untuk berkembang menjadi alergi
terhadap makanan lain. Pembuatan antibodi IgE dimulai sejak paparan awal dan
berlanjut walaupun dilakukan diet eliminasi. Komplemen akan mulai mengalami
aktivasi oleh kompleks antigen antibodi.10,11

122 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


Pada paparan selanjutnya mulai terjadi produksi sitokin oleh sel T. Sitokin
mempunyai berbagai efek terhadap berbagai sel terutama dalam menarik sel-sel
radang, misalnya neutrofil dan eosinofil sehingga menimbulkan reaksi peradangan.
Aktivasi komplemen dan terjadinya kompleks imun akan menarik neutrofil. Kombinasi
alergen dengan IgE pada sel mast dapat terjadi ketka IgE telah melekat pada sel mast,
atau ketika IgE masih belum melekat pada sel mast, atau IgE telah melekat pada sel
mast kemudian diaktivasi oleh pasangan nonspesifik. Kombinasi ini akan menimbulkan
degranulasi mediator. Gejala klinis yang timbul adalah hasil interaksi mediator, sitokin,
dan kerusakan jaringan yang ditimbulkannya.10,11

Gambar 1 Patofisiologi Alergi


12
Sumber: Valenta

Reaksi Hipersensitivitas
Hipersensitivitas ialah reaksi imun yang patologik, terjadi akibat respons imun yang
berlebihan sehingga menimbulkan kerusakan jaringan tubuh. Reaksi hipersensitivitas
menurut Coombs dan Gell dibagi menjadi 4 tipe reaksi berdasarkan kecepatan dan
mekanisme imun yang terjadi, yaitu tipe I, II, III, dan IV.10,1315
1. Reaksi tipe I yang disebut juga reaksi cepat atau reaksi anafilaksis, timbul segera
setelah tubuh terpajan dengan alergen. Pada reaksi tipe I, alergen yang masuk ke
dalam tubuh menimbulkan respons imun berupa produksi IgE dan penyakit alergi
seperti rinitis alergi, asma, alergi makanan, dermatitis atopi, dan reaksi anafilaksis.

Bandung, 2627 November 2016 123


2. Reaksi tipe II atau reaksi sitotoksik atau sitolitik terjadi karena dibentuk antibodi
jenis IgG atau IgM terhadap antigen permukaan sel pejamu dan menimbulkan
destruksi sel dengan bantuan komplemen. Manifestasi klinis yang biasa ditemukan:
reaksi transfusi, eritroblastosis fetalis, anemia hemolitik autoimun, dan alergi obat.
3. Reaksi tipe III terjadi bila kompleks antigen-antibodi ditemukan dalam sirkulasi/
pembuluh darah atau jaringan dan mengaktifkan komplemen dan respons inflamasi
melalui infiltrasi masif neutrofil. Manifestasi klinis yang khas: reaksi lokal seperti
reaksi Arthus dan sistemik seperti serum sickness, vaskulitis dengan nekrosis,
glomerulonefritis, artritis reumatoid, dan lupus eritematosus sistemik.
4. Reaksi hipersensitivitas tipe IV dibagi dalam DTH (delayed type hypersensitivity)
yang terjadi melalui sel CD4+ dan T cell mediated cytolysis yang terjadi melalui sel
CD8+. Manifestasi klinis yang khas: dermatitis kontak, lesi tuberkulosis, dan reaksi
penolakan tandur.

Tipe I Tipe II Tipe III Tipe IV


Reaktan Sel Th1 Sel Th2
Imun

Antigen Antigen Antigen


Antigen Reseptor Antigen Antigen Antigen
terlarut terhubung permukaan terlarut terlarut terlarut terhubung sel
sel/matriks sel

Mekanisme Komplemen,, Antibodi Produksi IgE,


Aktivasi sel FcR mengubah Komplemen, Aktivasi aktivasi
Efektor mastosit Siitotoksisitas
(fagosit, sel Signaling Fagosit makrofag eosinofil,
NK) mastositosis

Contoh reaksi Rinitis alergi, Beberapa Urtikaria kronis Serum Dermatitis Asma dan Penolakan
hipersensitivitas Asma, reaksi Alergi obat: (antibodi thd sickness, Kontak, Rinitis alergi Tandur
anafilaktik Penisilin Sel F Reaksi Arthus Reaksi Kronis
sistemik
tuberkulin

Gambar 2 Reaksi Hypersensitivitas Tipe I-IV


15
Sumber: Murphy dkk.

124 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


Tabel 2 Tipe Reaksi Hipersensitivitas
Jenis Hipersensitivitas Mekanisme Imun Patologik Mekanisme Kerusakan Jaringan dan Penyakit
Tipe I IgE Sel mast dan mediatornya (amin vasoaktif,
Hipersensitivitas cepat mediator lipid, dan sitokin).
Tipe II IgM, IgG terhadap Opsonisasi dan fagositosis sel.
Reaksi melalui antibodi permukaan sel atau matriks Pengerahan leukosit (neutrofil, makrofag) atas
antigen ekstraseluler. pengaruh komplemen dan FcR.
Kelainan fungsi seluler (misal dalam sinyal
reseptor hormon).
Tipe III Kompleks imun (antigen Pengerahan dan aktivasi leukosit atas
Kompleks imun dalam sirkulasi dan IgM atau pengaruh komplemen dan Fc-R.
IgG).
Tipe IV (melalui sel T) 1. CD4+ : DTH 1. Aktivasi makrofag, inflamasi atas pengaruh
Tipe IVa 2. CD8+ : CTL sitokin.
Tipe IVb 2. Membunuh sel sasaran direk, inflamasi
atas pengaruh sitokin.
13
Sumber: Baratawidjaya

Imunopatogenesis Penyakit Alergi


Imunopatogenesis penyakit alergi dapat terjadi melalui 2 mekanisme, yaitu10
1. melalui respons imun yang dimediasi antibodi (humoral): hipersensitivitas tipe I,
II, dan III;
2. melalui respons imun yang dimediasi sel (seluler): hipersensitivitas tipe IV.
Mekanisme inflamasi jaringan pada alergi melalui respons imun yang dimediasi
oleh IgE dapat diklasifikasikan menjadi tiga bentuk reaksi.11
1. Reaksi fase dini atau awal, merupakan respons segera setelah pengenalan alergen
ke dalam organ target.
Reaksi ini dihasilkan dari degranulasi mastosit yang diikuti pelepasan mediator-
mediator, terjadi dalam 10 menit setelah pajanan alergen dan menghilang dalam
13 jam. Reaksi akut berhubungan dengan peningkatan permeabilitas vaskular
lokal yang memicu terjadinya kebocoran protein plasma, pembengkakan jaringan,
peningkatan aliran darah, bersamaan dengan timbul rasa gatal, bersin, wheezing,
kram perut akut, yang terjadi di kulit, hidung, saluran napas, dan saluran
pencernaan, bergantung pada organ target yang terkena.11

Bandung, 2627 November 2016 125


2. Reaksi fase lanjut terjadi selama beberapa jam setelah pajanan alergen, mencapai
keadaan maksimal dalam 612 jam dan membaik dalam 24 jam.
Pada kulit ditandai edema, kemerahan, dan indurasi; pada hidung terdapat
sumbatan aliran udara; pada saluran napas terdapat wheezing.
Respons fase lanjut diawali infiltrasi neutrofil dan eosinofil yang diikuti basofil,
monosit, dan makrofag; serta sel-sel T helper tipe 2 (Th2). Beberapa jam setelah
pajanan alergen, TNF- yang dilepaskan oleh mastosit teraktivasi merangsang
endotel vaskular untuk menghasilkan molekul-molekul adhesi sel yang mengawali
migrasi transendotelial dari berbagai sel-sel inflamasi.11
3. Ketiga, pada penderita dengan penyakit alergi kronik, inflamasi jaringan dapat
bertahan selama beberapa hari hingga bertahun-tahun. Beberapa faktor yang
memberikan kontribusi terhadap inflamasi jaringan yang menetap antara lain
pajanan berulang terhadap alergen dan agen mikrob dengan stimulasi berulang
dari sel-sel efektor alergi seperti sel mast, basofil, eosinofil, dan sel-sel Th2. Sitokin-
sitokin Th2 [Interleukin 3 (IL-3), Interleukin 5 (IL-5), GM-CSF] dilepaskan selama
reaksi alergi dan memperpanjang efek sel-sel efektor alergi dikarenakan terjadi
apoptosis yang terlambat. Diferensiasi lokal dari infiltrasi prekursor eosinofil ke
jaringan yang diinduksi IL-5 menyebabkan self-generation dari eosinofil yang
menyebabkan kerusakan jaringan lokal lebih lanjut. Remodelling jaringan
mengakibatkan perubahan-perubahan ireversibel pada organ target yang juga
merupakan gambaran dari penyakit alergi kronik.11
Pada alergi diperantarai non-IgE, inflamasi dapat terjadi melalui respons imun
yang dimediasi oleh
a. ikatan antara alergen dan limfosit spesifik seperti pada dermatitis kontak
alergi;10
b. antibodi non-IgE (IgG atau IgM) akan membentuk kompleks imun dan
merangsang aktivasi komplemen sehingga menimbulkan destruksi sel.
Komplemen yang diaktifkan melepas anafilatoksin (C3a, C5a) yang memacu sel
mast dan basofil melepaskan histamin.10,11

126 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


Diagnosis
Anamnesis
Dalam penegakan diagnosis alergi makanan dibutuhkan anamnesis yang akurat dan
detail yang berhubungan dengan gejala yang timbul. Anamnesis riwayat penyakit yang
detail dapat menentukan makanan penyebab alergi termasuk jumlah yang dicerna,
waktu terjadinya reaksi, aktivitas dan obat-obatan, konsistensi reaksi, terapi, serta
perjalanan penyakit dan respons terhadap pengobatan. Untuk menegakkan diagnosis
alergi makanan diperlukan evaluasi dari kulit, sistem pencernaan, dan sistem
pernapasan. Pada alergi makanan yang diperantarai IgE terdapat gejala-gejala yang
melibatkan kulit, saluran pencernaan, dan sistem pernapasan yang biasanya timbul
beberapa menit sampai 4 jam setelah ingesti makanan. Pada alergi makanan yang
diperantarai IgE biasanya terdapat gejala urtikaria baik lokal maupun di seluruh tubuh,
angioedema, hidung gatal, gatal daerah mulut, bersin, rhinorrhea, konjungtivitis,
batuk, mengi, bronkospasme, dan gejala yang mengancam jiwa berupa reaksi
anafilaktik. Pada alergi makanan yang tidak diperantarai IgE biasanya didapatkan
gejala-gejala atopic eczema, gastro-oesophageal reflux, kolik, buang air besar berlendir
atau berdarah, konstipasi, kemerahan perianal, pucat, dan gagal tumbuh (Tabel 3).5

Bandung, 2627 November 2016 127


Tabel 3 Panduan Anamnesis dalam Langkah Diagnosis Alergi Makanan
Pertanyaan Keterangan
Apakah gejala yang diduga suatu reaksi Gejala dapat timbul di kulit, saluran napas, saluran
alergi? cerna, bahkan suatu reaksi anafilaksis.
Apakah ada korelasi waktu saat Untuk jenis alergi makanan dimediasi oleh IgE (dengan
konsumsi makanan dengan timbulnya keluhan urtikaria, angioedema, ruam kulit, dermatitis
gejala? atopi, muntah, diare, rinokonjungtivitis,
bronkospasme, anafilaksis), maka waktu antara
konsumsi makanan dan gejala yang timbul kurang dari
2 jam.
Pada alergi makanan yang tidak dimediasi oleh IgE
(eosinophilic gastroenteropathy, kolik, enterokolitis,
proktokolitis, anemia, gagal tumbuh) maka timbulnya
gejala dapat mencapai 72 jam setelah konsumsi
makanan.
Apakah jenis makanan yang Jenis makanan yang paling sering menimbulkan alergi
menimbulkan gejala? pada bayi dan anak adalah susu, telur, makanan laut
(ikan laut, udang, kepiting, kerang), kedelai, gandum,
kacang tanah, tree nuts (kacangmede, hazelnuts, dll.).
Apakah makanan ini telah menimbulkan
gejala yang sama lebih dari satu kali?
Apakah makanan tersebut pernah dapat
Pertanyaan ini melakukan evaluasi adanya konsistensi
dimakan tanpa gejala alergi yang
dan reprodusibilitas antara pajanan makanan dan
timbul?
gejala alergi.
Apakah gejala yang diduga sebagai
reaksi alergi pernah timbul saat tidak
mengonsumsi makanan?
Apakah makanan yang dikonsumsi saat Pengelolaan makanan (pemanasan dengan suhu
gejala timbul dimasak, dipanggang, atau tinggi) dapat berpengaruh terhadap alergenisitas
dalam bentuk mentah? suatu makanan.
Adakah faktor lain yang terlibat, seperti Evaluasi untuk kondisi lain yang dapat mencetuskan
aktivitas atau penggunaan obat? gejala: obat-obatan, aktivitas (food-dependent
exercise-induced anaphylaxis).
Apakah pengobatan yang pernah Evaluasi untuk respons pengobatan terhadap obat-
diberikan dan berapa lama gejala obatan yang diberikan.
timbul?
16
Sumber: Konsensus IDAI

Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan fisis digunakan untuk mengevaluasi keterlibatan sistem organ pada
pasien dengan alergi makanan. Pada pemeriksaan kulit diperlukan pemeriksaan yang
teliti pada erythematous papulovesicles yang berhubungan dengan ekskoriasi, eksudat
serous, xerosis, likenifikasi, papul-papul, dan keratosis pilaris. Distribusi dan pola ruam
pada kulit penting untuk diperhatikan. Pada bayi dan anak kecil banyak muncul pada

128 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


wajah, leher, dan permukaan kulit ekstensor. Pada anak usia lebih besar biasanya
muncul pada lipatan fleksural dari ekstremitas.5,17
Gejala penurunan berat badan atau gagal tumbuh lebih sering terjadi pada alergi
makanan yang tidak diperantarai IgE atau enteropati gastrointestinal dibanding
dengan alergi makanan yang diperantarai IgE. Gejala dan tanda klasik reaksi yang
diperantarai IgE seperi urtikaria, angioedema, dan anafilaksis mengarahkan kita pada
alergi makanan yang diperantari IgE. Gejala-gejala saluran pencernaan seperti nausea,
vomitus, nyeri abdomen, atau diare tanpa gejala lain mengarahkan kita pada alergi
makanan yang diperantarai non IgE.4,5
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis, temuan beberapa gejala klinis yang
terjadi dapat dikelompokkan menjadi beberapa tipe reaksi sesuai dengan tabel
berikut.

Tabel 4 Gejala pada Alergi Makanan Diperantarai IgE dan Non IgE
Non-alergi
IgE-mediated Non-IgE-mediated
Hipersensitivitas
Onset reaksi Cepat (dalam hitungan Lambat (dalam hitungan Lambat (hitungan
detik hingga menit). hari). jam hingga hari).
Mekanisme IgE-mediated dengan Bermacam-macam Multipel.
granulasi sel mast. termasuk sel-T,
eosinofil.
Kondisi klinis khas Spektrum luaswheeze, Failure to thrive, diare Bermacam-
urtikaria, muntah, kronik, eczema, rhinitis, macam, diare,
angioedema, anafilaksis. perdarahan rektal. nyeri perut.
Contoh umum Kacang, telur, susu sapi, Intoleransi protein, Laktosa, kafein,
ikan, soya, gandum, celiac disease, susu sapi. dan intoleransi
shellfish. gandum.
Sistem yang Respirasi, Respirasi, Dapat mengenai
terkena gastrointestinal, kulit. gastrointestinal, kulit. keseluruhan
sistem.
Investigasi SPT, IgE spesifik. Menghindari makanan Menghindari
penyebab dengan makanan
arahan dietisian. penyebab dengan
arahan dietisian.
8
Sumber: Butt dan Mcdougall

Bandung, 2627 November 2016 129


Pemeriksaan Penunjang
Jenis alergi makanan di tiap negara berbeda-beda bergantung pada usia dan kebiasaan
memakan makanan tertentu. Hingga kini diagnosis alergi makanan adalah diagnosis
klinis yang dibuktikan dengan eliminasi, provokasi makanan, dan pemeriksaan
penunjang lain yang mendukung. Berikut adalah beberapa pemeriksaan yang
umumnya diperiksakan.19
1. Uji provokasi
Untuk melakukan uji provokasi makanan pasien atau orangtua pasien harus
diberikan penjelasan rinci mengenai prosedur pemeriksaan, keuntungan, kegunaan
pemeriksaan, serta komplikasi yang mungkin terjadi. Sebelum dilakukan uji
provokasi eliminasi makanan harus dilakukan terlebih dahulu selama 3 minggu
dengan bentuk diet yang disesuaikan dengan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan
pemeriksaan laboratorium. Jika eliminasi tidak dapat menunjukkan gejala alergi
makanan maka dapat dilakukan uji provokasi.1,5,19
a) Uji provokasi makanan terbuka
Jika uji kulit negatif dan riwayat reaksi terhadap makanan meragukan maka uji
provokasi makanan terbuka dapat dilakukan setelah melakukan eliminasi
makanan selama 3 minggu. Pemilihan makanan untuk provokasi dilakukan oleh
pasien sendiri dan dianjurkan untuk memulai makanan yang paling tidak
dicurigai akan menimbulkan reaksi alergi. Setiap kali provokasi dipilih satu jenis
bahan makanan dalam bentuk apa saja yang diberikan selama seminggu dalam
jumlah seperti biasa dimakan oleh pasien. Provokasi dilakukan di rumah pasien
dan bila terjadi reaksi alergi maka makanan tersebut dihentikan, serta semua
gejala yang muncul tersebut dicatat.5,18
b) Uji provokasi makanan buta ganda (double blind placebo controlled food
challenge=DBPCFC).
Uji provokasi makanan buta ganda merupakan cara yang paling ideal untuk
menentukan reaksi alergi pada makanan. Tidak ada pemilihan makanan pada uji
tersebut, semua bahan makanan dan cara pemberian disembunyikan agar
pasien tidak mengetahui jenis makanan apa yang dimakan. Makanan dapat

130 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


diubah dalam bentuk kapsul atau tepung sehingga bau, rasa, dan penampilan
makanan tidak dapat diketahui. Pemberian harus bertahap mulai dari jumlah
yang diperkirakan tidak menyebabkan serangan gejala alergi, kemudian
ditingkatkan 2 kali lipat setiap 1560 menit sampai timbul gejala yang nyata,
atau dihentikan setelah mencapai 810 gram makanan kering atau 60100 gram
makanan basah dosis tunggal. Jika provokasi buta ganda sampai 8 gram
makanan kering hasilnya negatif maka makanan tersebut boleh dicoba secara
terbuka yang dianjurkan dilakukan dengan pengawasan. Selama provokasi catat
skor gejala yang diamati selama 2 jam.4,7

Gambar 3 Algoritme Diagnosis Klinis Menggunakan Uji Provokasi


18
Sumber: Niggeman dan Beyer

2. Uji kulit
Uji kulit dapat dilakukan dengan cara uji gores (scratch test), uji tusuk (prick test),
dan uji suntik intradermal. Uji ini dapat dilakukan sebagai pemeriksaan penyaring
dengan menggunakan ekstrak alergen yang ada di lingkungan penderita, misalnya:
alergen tungau, kapuk, debu rumah, bulu kucing, tepung sari rumput, atau alergen
makanan seperti susu, telur, kacang, ikan. Skin prick test adalah salah satu jenis tes

Bandung, 2627 November 2016 131


kulit sebagai alat diagnosis yang banyak digunakan oleh para klinisi untuk
membuktikan IgE spesifik yang terikat pada sel mastosit kulit. Terikatnya IgE pada
mastosit ini menyebabkan keluarnya histamin dan mediator lainnya yang dapat
menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah,
akibatnya timbul flare/kemerahan dan wheal/bentol pada kulit tersebut.5,17

3. Pemeriksaan IgE spesifik


Pemeriksaan IgE spesisfik digunakan sejak tahun 1990-an. Pemeriksaan IgE spesifik
serum in-vitro generasi pertama menggunakan radioallergosorbic (RAST) dan
serum pasien diinkubasi dengan jumlah antigen yang bersangkutan dan generasi
kedua dan ketiga berturut-turut adalah immunoCAP FEIA test. Pemeriksaan-
pemeriksaan ini memiliki sensitivitas tinggi (>90%), tetapi hanya memiliki
spesifisitas 50%. Tes IgE yang tersedia untuk antibodi IgE alergen spesifik
menggunakan prinsip dari immunoansorption. Dalam beberapa tahun terakhir
metode lainnya telah banyak digantikan RAST untuk menghindari masalah terkait
dengan penanganan dan penyimpanan bahan-bahan radioaktif. Uji RAST
merupakan tes yang sudah tidak digunakan, akan tetapi istilah ini terkadang
digunakan untuk mendeskripsikan tes IgE spesifik serum. Keuntungan pemeriksaan
IgE spesifik adalah mudah dilakukan, tidak didapatkan risiko anafilaktik, pasien yang
sangat sensitif terhadap bahan alergen, dan bila pasien tidak kooperatif untuk
pemeriksaan uji tusuk kulit.5

Tabel 5 Nilai Prediktif Kadar IgE Spesifik Alergen Makanan


Alergen 95% Kadar Prediktif PPV
(kIUA/L)
Telur 7 98
bayi 2 tahun 2 95
Susu 15 95
bayi 2 tahun 5 95
Kacang 14 100
Ikan 20 100
Kacang pohon ~15 ~95
Soya 30 73
Gandum 26 74
5
Sumber: Davis

132 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


Beberapa macam pemeriksaan lain dapat digunakan untuk memperkuat diagnosis.
Pemeriksaan endoskopi dan biopsi dari saluran gastrointestinal dapat digunakan untuk
mendiagnosis eosinophilic gastrointestinal disease atau penyakit celiac. Breath
hydrogen testing dapat berguna dalam mendiagnosis intoleransi laktosa sebagai
etiologi diare pada konsumsi susu.5
Beberapa pemeriksaan telah dicoba dilakukan untuk mendiagnosis alergi makanan,
namun pemeriksaan-pemeriksaan tersebut belum dapat dibuktikan kegunaannya.
Pemeriksaan-pemeriksaan tersebut antara lain IgG atau IgG4 terhadap makanan,
analisis rambut, food immune complexes, tes sitotoksik, pemeriksaan netralisasi
provokasi secara intrakutan, pemeriksaan elektrodermal, dan kinesiology.5

Tata Laksana
Non-medikamentosa
1. Penghindaran makanan
Setelah diagnosis alergi makanan telah ditegakkan dengan tepat, menghindari
makanan penyebab alergi secara ketat merupakan satu-satunya terapi yang telah
dibuktikan. Penderita alergi makanan perlu mengingat alergi tidak dapat
disembuhkan, tetapi dikendalikan jumlah frekuensi serangannya, dikurangi
penggunaan obatnya, dan ditingkatkan kualitas hidupnya. Penghindaran alergen
dilakukan dengan memberikan edukasi termasuk membaca label kandungan
alergen dalam makanan kemasan, menghindari situasi berisiko tinggi, mengenali
gejala awal alergi, anafilaksis, penanganan dini reaksi alergi, anafilaksis, menyuntik
epinefrin secara mandiri (khusus penderita anafilaksis).5,7,19
2. Pada anak dengan alergi makanan perlu dilakukan penilaian kembali dengan cara:
Dianjurkan untuk dilakukan uji evaluasi bagi anak dengan alergi makanan,
bergantung pada jenis makanan penyebab alergi. Uji re-evaluasi tersebut dapat
dilakukan tiap tahun atau pada waktu tertentu yang ditetapkan berdasarkan
pada jenis makanan, usia, dan riwayat perjalanan penyakit.16

Bandung, 2627 November 2016 133


Perjalanan alamiah alergi makanan bervariasi bergantung pada alergen dan
pasen, pemantauan bukti toleransi, atau alergi makanan baru harus selalu
dilakukan. Alergi terhadap susu sapi dan telur dapat hilang lebih cepat,
sementara alergi terhadap makanan lain seperti kacang tanah, tree nuts, ikan,
dan shellfish dapat berlangsung seumur hidup. Dianjurkan menilai ulang
toleransi setiap 1218 bulan pada anak usia <5 tahun dan setiap 23 tahun pada
anak usia >5 tahun.16
3. Selain hal di atas perlu juga dilakukan pemantauan pertumbuhan (dan
perkembangan) untuk deteksi dini gangguan pertumbuhan akibat penghindaran
alergen makanan.16

Medikamentosa
Semua pasien dengan riwayat anafilaksis yang disebabkan oleh makanan dan semua
pasien dengan riwayat atau yang telah terbukti mengalami reaksi sistemik yang
diperantarai IgE harus diresepkan epinefrin yang dapat disuntikkan sendiri dan
diberikan penjelasan mengenai cara penggunaannya. Pada pasien alergi makanan,
antihistamin berguna untuk mengurangi rasa gatal pada oral allergy syndrome dan
dapat meredakan gejala kulit pada alergi makanan yang diperantarai IgE. Antihistamin
seperti cetirizine sebaiknya diberikan segera untuk reaksi ringan dan kemudian
diberikan teratur selama 23 hari bergantung pada responsnya.19 Pemberian
kortikosteroid topikal atau pada kasus berat diberikan kortikosteroid sistemik dapat
membantu pada gejala kronik seperti dermatitis atopi dan eosinofilic esophagitis.5,19

134 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


Kecurigaan penyakit akibat makanan, contoh:
Terdapat hubungan waktu dengan alergen makanan
Eksklusi kelainan anatomi, metabolik, menyakit infeksi, dan inflamatori
Perbaikan gejala dengan menghindari makanan
Serupa dengan sindrom klinis yang dicetuskan oleh hipersensitivitas terhadap makanan

Anamnesis terarah, pemeriksaan fisis, pertimbangkan memilih tes laboratorium, seperti


Tes antibodi IgE (skinpricktest/RAST)
Negatif pada penyakit alergi makanan cell-mediated
Endoskopi/biopsi
Darah perifer lengkap, laju endap darah
Analisis tinja (heme, leukosit, eosinofil, parasit)

Possiblefoodallergy Penyebab lain teridentifikasi, tidak konsisten dengan alergi makanan


--> setop, bukan alergi makanan

Diet eliminasi (diagnostik dan/atau terapeutik) Alergi makan berat: rujuk subspesialis alergi

Perbaikan Tidak membaik --> tidak terkait alergi makanan/teridentifikasi


makanan keliru, pertimbangkan ulang diagnosis

Pertahankan diet

Pertimbangkan pemberian kembali makanan tertentu dan/atau


provokasi resmi jika diperlukan konfirmasi (kecuali celiac disease)

Provokasi positif, gejala muncul Makanan dapat


ditoleransi/provokasi lulus -->
tambahkan makanan dalam diet

Lanjutkan hindari makanan


Pertimbangkan reevaluasi
berkala/provokasi ulang (kecuali untuk
celiac disease)

Gambar 4 Diagnosis dan Tata Laksana Alergi Makanan pada Anak


16
Sumber: Konsensus IDAI

Bandung, 2627 November 2016 135


Rekomendasi Diagnosis dan Tata Laksana Alergi Susu Sapi
1. Untuk bayi dengan ASI eksklusif
Diagnosis ditegakkan dengan cara eliminasi protein susu sapi pada diet ibu selama
24 minggu. Lama eliminasi bergantung pada berat ringannya reaksi alergi. Bila
gejala menghilang setelah eliminasi, ibu dapat konsumsi kembali nutrisi yang
mengandung protein susu sapi. Bila gejala muncul kembali maka dapat ditegakkan
diagnosis susu sapi. Bila gejala tidak menghilang setelah eliminasi maka perlu
dipertimbangkan diagnosis lain.
Tata laksana alergi susu sapi pada kelompok ini adalah pemberian ASI dapat
diteruskan dan Ibu harus menghindari susu sapi dan produk turunannya pada
makanan sehari-harinya sampai usia bayi 912 bulan atau minimal selama 6 bulan.
Setelah kurun waktu tersebut, uji provokasi dapat diulang kembali, bila gejala tidak
timbul kembali berarti anak sudah toleran dan susu sapi dapat dicoba diberikan
kembali. Bila gejala timbul kembali maka eliminasi dilanjutkan kembali selama 6
bulan dan seterusnya.20

136 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


Diagram 1 Alur Tata Laksana Alergi Susu Sapi pada Bayi dengan ASI Eksklusif
20
Sumber: UKK Imunologi IDAI dan Vandenplas

2. Untuk bayi yang mengonsumsi susu formula


Diagnosis ditegakkan dengan cara eliminasi protein susu sapi, yaitu dengan
mengganti susu formula berbahan dasar susu sapi dengan susu formula hidrolisat

Bandung, 2627 November 2016 137


ekstensif (untuk kelompok dengan gejala klinis ringan atau sedang) atau susu
formula asam amino (untuk kelompok dengan gejala klinis berat). Eliminasi
dilakukan selama 24 minggu.20
Bila gejala menghilang setelah eliminasi, perkenalkan kembali dengan protein
susu sapi. Bila gejala muncul kembali maka dapat ditegakkan diagnosis susu sapi.
Bila gejala tidak menghilang setelah eliminasi maka perlu dipertimbangkan
diagnosis lain.20
Tata laksana alergi susu sapi pada kelompok ini adalah pemberian susu formula
berbahan dasar susu sapi dengan susu formula terhidrolisat ekstensif (untuk
kelompok dengan gejala klinis ringan atau sedang) atau susu formula asam amino
(untuk kelompok dengan gejala klinis berat). Penggunaan formula khusus ini
dilakukan sampai usia bayi 912 bulan atau minimal 6 bulan. Setelah kurun waktu
tersebut, uji provokasi dapat diulang kembali, bila gejala tidak timbul kembali
berarti anak sudah toleran dan susu sapi dapat diberikan kembali. Bila gejala timbul
kembali maka eliminasi dilanjutkan kembali selama 6 bulan dan seterusnya. Pada
bayi yang sudah mendapatkan makanan padat maka perlu penghindaran protein
susu sapi dalam bubur atau biskuit bayi.20

138 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


Diagram 2 Alur Tata Laksana Alergi Susu Sapi pada Bayi dengan Susu Formula
20
Sumber: UKK Imunologi IDAI dan Vandenplas

3. Apabila susu formula terhidrolisat ekstensif tidak tersedia atau terdapat kendala
biaya maka sebagai alternatif bayi dapat diberikan susu formula yang mengandung
isolat protein kedelai dengan penjelasan kepada orangtua kemungkinan reaksi

Bandung, 2627 November 2016 139


silang alergi terhadap protein kedelai pada bayi. Formula kedelai yang dapat
digunakan adalah formula kedelai yang sudah diformulasikan untuk anak dan tidak
boleh menggunakan susu kedelai segar/murni atau yang dibuat untuk dewasa
karena kandungan nutrisinya tidak sesuai untuk anak.20
4. Pemeriksaan IgE spesifik (uji tusuk kulit/IgE RAST) untuk mendukung penegakan
diagnosis dapat dilakukan pada alergi susu sapi yang diperantarai IgE.20

Infant Feeding Practice (Penyapihan pada Anak)


Pada umumnya setelah usia 6 bulan kebutuhan nutrisi bayi baik makronutrien maupun
mikronutrien tidak dapat terpenuhi hanya oleh ASI. Selain itu, keterampilan makan
(oromotor skills) terus berkembang dan bayi mulai memperlihatkan minat akan
makanan lain selain susu (ASI atau susu formula).21
Oleh karena itu, memulai pemberian MPASI pada saat yang tepat akan sangat
bermanfaat bagi pemenuhan kebutuhan nutrisi dan tumbuh kembang bayi. Periode ini
dikenal pula sebagai masa penyapihan (weaning) yang merupakan suatu proses
dimulainya pemberian makanan khusus selain ASI secara bertahap jenis, jumlah,
frekuensi maupun tekstur dan konsistensinya sampai seluruh kebutuhan nutrisi anak
dipenuhi oleh makanan. Masa peralihan ini yang berlangsung antara 6 bulan sampai
23 bulan merupakan masa rawan pertumbuhan anak karena bila tidak diberi makanan
yang tepat, baik kualitas maupun kuantitasnya, dapat terjadi malnutrisi.21

Ciri-Ciri Bayi Siap Mendapat MPASI


Kesiapan Fisik
Bayi akan menunjukkan tanda-tanda siap untuk menerima makanan selain ASI, yaitu
makannya. 21
1. Refleks ekstrusi (menjulurkan lidah) telah sangat berkurang atau sudah
menghilang.
2. Mampu menahan kepala tetap tegak.

140 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


3. Duduk tanpa/hanya dengan sedikit bantuan dan mampu menjaga
keseimbangan badan ketika tangannya meraih benda di dekatnya.

Kesiapan Psikologis
Bayi akan memperlihatkan perilaku makan lanjutan. 21
1. Dari reflektif ke imitatif.
2. Lebih mandiri dan eksploratif.
3. Pada usia enam bulan, bayi mampu menunjukkan
- keinginan makan dengan cara membuka mulutnya;
- rasa lapar dengan memajukan tubuhnya ke depan/ke arah makanan;
- tidak beminat atau kenyang dengan menarik tubuh ke belakang/menjauh.
Telaah sistematik WHO pada tahun 2002 yang bertujuan mengevaluasi apakah
terdapat hasil yang berbeda antara bayi dengan ASI eksklusif selama 4 bulan versus 6
bulan menyatakan bahwa tidak ada studi yang menunjukkan bahwa bayi yang
mendapat ASI eksklusif selama 6 bulan mengalami defisit pertumbuhan dalam hal
berat badan maupun panjang badan sehingga WHO merekomendasikan pemberian
ASI eksklusif sampai usia 6 bulan dan MPASI dimulai pada usia 6 bulan. MPASI yang
diberikan sebelum usia 4 bulan diklasifikasikan sebagai MPASI dini, sedangkan bila
diberikan setelah usia 6 bulan diklasifikasikan sebagai MPASI terlambat. Usia 69 bulan
adalah masa kritis untuk mengenalkan makanan padat secara bertahap sebagai
stimulasi keterampilan oromotor. Jika pada usia di atas 9 bulan belum pernah
dikenalkan makanan padat maka kemungkinan untuk mengalami masalah makan di
usia batita meningkat. Oleh karena itu, konsistensi makanan yang diberikan sebaiknya
ditingkatkan seiring bertambahnya usia. Mula-mula diberikan makanan padat berupa
bubur halus pada usia 6 bulan. Makanan keluarga dengan tekstur yang lebih lunak
(modified family food) dapat diperkenalkan sebelum usia 12 bulan. Pada usia 12 bulan
anak dapat diberikan makanan yang sama dengan makanan yang dimakan anggota
keluarga lain (family food). 21

Bandung, 2627 November 2016 141


Prognosis
Pada prinsipnya alergi tidak dapat disembuhkan. Anak dengan alergi terhadap susu
sapi, telur, kacang kedelai, atau gandum memiliki prognosis yang baik. Sebagian besar
penderita bayi atau anak usia 3 tahun yang alergi susu sapi dan telur mengalami
remisi bersama bertambahnya usia (outgrow). Sekitar separuhnya sembuh dalam 23
tahun. Sekitar 80% penderita alergi kacang tanah, biji pepohonan, dan makanan laut
akan menetap seumur hidup. Namun, data terakhir menunjukkan sekitar 20% anak
usia dini mengalami outgrow alergi kacang tanah pada usia sekolah.5
Sebaliknya, bayi dengan alergi susu sapi yang dimulai sejak tahun pertama
kehidupan, 80% di antaranya toleran (remisi) pada usia 5 tahun. Enam puluh persen
bayi alergi susu sapi di Amerika mengalami alergi yang diperantarai oleh IgE, 25% di
antaranya bertahan sampai 2 dekade kehidupan, 35% selanjutnya disertai alergi
makanan lain. Beberapa penelitian sebelumnya menyatakan alergi makanan
menghilang pada usia 3 tahun. Penelitian terbaru menunjukkan hanya 11% alergi telur
dan 19% alergi susu menghilang pada usia 4 tahun, dan 80% alergi makanan tersebut
baru menghilang pada usia 16 tahun.6,22

Simpulan
Alergi makanan adalah reaksi imunologik yang menyimpang. Alergi makanan pada
anak menyebabkan berbagai manifestasi klinis yang mengganggu kualitas hidup dan
gangguan nutrisi. Manifestasi klinis yang muncul pada alergi makanan dapat
menyerang seluruh sistem organ. Penegakan diangnosis alergi makanan dapat
menggunakan uji provokasi, uji kulit, darah tepi, serta IgE total dan spesifik. Prinsip
penatalaksanaan pada alergi makanan, yaitu alergen yang sudah ditemukan harus
dihindari sebaik-baiknya dan perlu diingat alergi tidak dapat disembuhkan.

Daftar Pustaka
1. Boyce JA, dkk. NIAID-sponsored 2010 guidelines for managing food allergy:
application in the pediatrics population. Pediatrics. 2011;128(5):9558.

142 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


2. Cianferoni A, Spergel JM. Food allergy: review, classification and diagnosis. Allergol
Int. 2009;58(4):45766.
3. Parrish CR. Food allergies: dietary management. Practical Gastroenterol. 2013;123:
4654.
4. Comberiati P, dkk. Diagnosis and treatment of pediatric food allergy: an update.
Italian J Pediatr. 2015:18.
5. Davis CM. Food allergies: clinical manifestations, diagnosis, and management.
Current problems pediatrics adolelescen health care. Houston: Baylor College
Medicine; 2009.
6. Sampson HA. Update on food allergy. J Allergy Clin Immunol. 2004;113:80519.
7. Toit GD, Lack G. Can food allergy be prevented? The current evidence. Pediatr Clin
Am. 2011;58::481509.
8. Butt C, Macdougall C. Diagnosing and managing food allergy in children. Paediatr
Child Health. 2008;17:31722.
9. Fleischer DM, Walker MK, Christie L, Burks AW, Wood RA. Peanut allergy:
recurrence and its management. J Allergy Clin Immunol. 2004;114 1195201.
10. Herz U. Immunological basis and management of food of allergy. J Pediatr
Gastroenterol Nutr. 2008;47:S547.
11. Abbas A, Lichtman A. Cellular and molecular immunology. Philadelphia: Elseviers
Saunders; 2005.
12. Valenta R. The future of antigen specific immunotherapy of allergy. Nature Rev
Immunol. 2002:44653.
13. Baratawidjaja KG. Imunologi dasar. Edisi ke-7. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2006.
14. Munasir Z, Suyoko EMD. Reaksi hipersensitivitas. Dalam Akib AAP, Munasir Z,
Kurniati N, penyunting. Buku ajar alergi-imunologi anak. Edisi kedua. Jakarta: Balai
Penerbit IDAI; 2008. hlm. 11531.
15. Murphy K, Travers P, Walport M. Janeways Immunobiology. Edisi ke-7. New York:
Garland Science; 2008.

Bandung, 2627 November 2016 143


16. UKK Imunologi, UKK Gastrohepatologi, UKK Nutrisi dan Penyakit Metabolik Ikatan
Dokter Anak Indonesia. Diagnosis dan tatalaksana alergi makanan pada anak.
Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2015.
17. Kim JS, Sicherer. Living with food allergy: allergen avoidance. Pediatr Clin N Am.
2011;58:45970.
18. Niggemann B, Beyer K. Diagnosis of food allergy in children: toward a
standardization of food challenge. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2007;45:399404.
19. Sicherer SH, Sampson HA. Food allergy. J Allergy Clin Immunol. 2010;125(2):116
25.
20. UKK Imunologi, UKK Gastrohepatologi, UKK Nutrisi dan Penyakit Metabolik.
Rekomendasi ikatan dokter anak indonesia: diagnosis dan tatalaksana alergi susu
sapi. Edisi ke-2. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2014.
21. Unit Kerja Koordinasi Nutrisi dan Penyakit Metabolik Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Rekomendasi Praktik Pemberian Makan Berbasis Bukti pada Bayi dan
Batita di Indonesia untuk Mencegah Malnutrisi. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan
Dokter Anak Indonesia; 2015.
22. Waserman S, Watson W. Food allergy. Allergy, Asthma Clin Immunol. 2011:S17.

144 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


Pitfall dalam Terapi Antibiotik
Alex Chairulfatah

Tujuan: Memahami masalah pitfall dalam pemberian antibiotik dan diharapkan


dapat diperoleh wawasan sehingga pada praktik sehari-hari dalam
pemberian antibiotik dapat dihindari kerugian akibat masalah tersebut.

Secara terminologi obat antimikrobial atau anti-infektif meliputi obat-obat antibakteri,


antijamur, antivirus, dan antiparasit. Obat-obat antibakteri secara khusus dipakai
istilah antibiotik. Pitfall secara harfiah berarti jebakan atau perangkap. Dalam konteks
dengan pemberian antibiotik. Pitfall diartikan sebagai suatu kondisi baik keadaan sakit
pasien atau pola pengelolaan yang apabila tidak diwaspadai dapat menimbulkan efek
merugikan dari pemberian antibiotik. Pemberian antibiotik yang tidak hati-hati dapat
menimbulkan berbagai kerugian antara lain reaksi alergi, toksisitas (misal depresi
sumsum tulang), superinfeksi (misal pertumbuhan berlebih Clostridium difficile dan
Candida sp. pada pemakaian antibiotik yang lama), biaya, penyakit yang tidak sembuh
bahkan menimbulkan kematian, dan tumbuhnya bakteri yang resisten terhadap
antibiotik (antibiotic resistant bacteria/ABRB).
Penggunaan antibiotik dalam klinis dibagi dalam tiga kategori, yaitu profilaksis,
empiris, dan definitif. Dengan demikian, pitfall dalam pemberian antibiotik dapat
terjadi di semua kategori tersebut.

Terapi Antibiotik Profilaksis


Antibiotik diberikan untuk mencegah penyakit infeksi yang belum terjadi, namun
mempunyai potensi untuk menimbulkan penyakit tersebut. Dengan perkataan lain,
terapi profilaksis ditujukkan untuk melindungi seseorang yang memiliki risiko untuk
terkena infeksi, baik tertular dari penderita, diturunkan dari ibu hamil ke janin, akibat
status imunologi yang tidak baik, trauma, profilaksis terhadap wisatawan, maupun

Bandung, 2627 November 2016 145


akibat tindakan pembedahan. Prinsip pemberian antibiotik profilaksis adalah dengan
mempertimbangkan:
- risiko bila antibiotik tidak diberikan;
- lama pemberian: pada umumnya harus sesingkat-singkatnya;
- fungsi status imunologi;
- kuman penyebab: efektivitas antibiotik terhadap bakteri yang diperkirakan sebagai
penyebab;
- organ yang dituju; dan
- keamanan antibiotik yang diberikan;
- kemungkinan terjadi resistensi bakteri;
- biaya dan ketersediaan obat;
- tepat waktu: misal pemberian antibiotik yang terlalu awal sebelum dilakukan
tindakan pembedahan tanpa dosis pemeliharaan akan menyebabkan konsentrasi
antibiotik yang rendah pada saat dilakukan pembedahan.

Beberapa macam pemberian antibiotik profilaksis dapat dilihat pada Tabel 4 sampai
Tabel 10.

Tabel 1 Pitfall dalam Terapi Profilaksis


Prinsip Pitfall
Diberikan bila ada evidence-based Hanya sedikit bahkan tanpa bukti seperti
indication. pemberian antibiotik pada operasi hernia
inguinalis tanpa penyulit.
Pilih antibiotik dengan spektrum sempit. Diberikan sefalosporin generasi ke-3
dengan potensi untuk terjadi MRSA,
vancomycin resistant enterococci.
Waktu pemberian antibiotik harus tepat Terlambat memberikan atau tidak tepat
waktu. waktu untuk pemberian dosis berikut pada
operasi yang lama.
Pemberian pascaoperasi yang sesingkat- Pemberian pascaoperasi yang lama.
singkatnya.

146 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


Pemberian Antibiotik Secara Empiris/Terapi Empiris
Berbeda dengan terapi profilaksis, terapi empiris diberikan pada pasien yang telah
terbukti terkena infeksi, namun bakteri penyebab belum dapat diidentifikasi. Jenis
terapi ini paling banyak diberikan baik di sarana rawat jalan maupun rawat inap.
Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan laboratorium tertentu seorang
klinisi menentukan ada tidaknya suatu infeksi. Kemudian, dilakukan pemeriksaan
kultur serta uji kepekaan untuk menentukan jenis bakteri penyebab, namun hasilnya
memerlukan waktu beberapa hari. Oleh karena itu, klinisi memberi antibiotik sebelum
hasil kultur dan uji kepekaan datang. Perlu diingat bahwa terapi empiris tidak
ditujukan terhadap setiap jenis bakteri, hanya ditujukan terhadap bakteri yang
diperkirakan sebagai penyebab. Dengan perkataan lain, antibiotik dengan spektrum
luas bukan merupakan pengganti dari nalar yang sehat.
Beberapa pertimbangan dalam pemberian terapi empiris adalah sebagai berikut:
- diagnosis klinis;
- mikrobiologi: kemungkinan bakteri penyebab tersering dan pola antibiogram bakteri
di rumah sakit setempat;
- farmakodinamik antibiotik yang dipilih: apakah terapi antibiotik akan memberikan
khasiat yang kita harapkan? Apakah perlu dilakukan penyesuaian dosis? Apakah
perlu pemberian antibiotik kombinasi atau cukup tunggal (monoterapi)?
- farmakokinetik: bagaimana distribusi obat, waktu pemberian dan dosis yang tepat?
Bagaimana kompatibilitasnya dengan cairan infus/obat lain? (ceftazidime tidak
kompatibel dengan cairan yang mengandung vancomycine dan aminoglikosida);
- penderita: bila sakit berat i.v. bila sudah membaik usahakan per oral;
- efek samping antibiotik;
- resistensi bakteri: misal, ceftazidime merupakan antibiotik yang dapat menginduksi
timbulnya bakteri Klebsiella sp., Enterobacter sp., dan E. coli yang resisten terhadap
berbagai betalaktam.

Berbagai pilihan terapi empiris dapat dilihat pada Tabel 11 sampai Tabel 13.

Bandung, 2627 November 2016 147


Tabel 2 Pitfall dalam Terapi Empiris
Prinsip Pitfall
Nilai pasien dengan saksama. Diagnosis tidak tepat.
Obati infeksi bakteri, bukan kontaminan. Antibiotik diberikan pada kontaminan atau
infeksi virus.
Obati infeksi bukan kolonisasi. Antibiotik ditujukan pada isolat urin pada
pasien yang asimtomatis apapun hasil
urinalisis.
Tujukan antibiotik pada patogen yang paling Tidak diambil kultur sebelum pemberian
mungkin (data lokal/guideline). Ambil dulu antibiotik. Stabilitas antibiotik tidak
kultur. Dosis-cara pemberian-penyimpanan diperhatikan.
obat harus tepat.
Jangan memakai vancomycin sembarangan. Vancomycin diberikan pada penderita dengan
kultur negatif atau gram (+) sensitif
betalaktam.
Nilai penderita tiap 2448 jam: Tidak dilakukan pemeriksaan mikrobiologi.
Bukan infeksi bakteri: setop
Bukti pemeriksaan mikrobiologi tersedia:
ganti pada terapi definitif.
Re-asses penyebab pada demam yang Menambah antibiotik, mengobati leukositosis.
menetap.
Monoterapi lebih dipilih karena mengurangi Kombinasi antibiotik.
interaksi obat, kesalahan dosis, efek
samping, dan biaya.
Penetrasi antibiotik harus baik. Abses, osteomielitis tidak dilakukan tindakan
bedah.
Materi yang dipasang (implanted material)
yang diduga berhubungan dengan infeksi,
tidak diangkat.

Terapi Definitif
Setelah hasil kultur dan uji kepekaan diterima, fase pengobatan empiris beralih
menjadi terapi definitif. Pada fase ini sangat penting pemilihan antibiotik dengan
mempertimbangkan efektivitas, spektrum yang sempit, keamanan, dan biaya. Pada
umumnya perpindahan dari terapi empiris ke terapi definitif meliputi pemilihan
antibiotik dengan spektrum yang lebih sempit/terarah dan sedapat-dapatnya
diberikan per oral.

148 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


Tabel 3 Pitfall dalam Terapi Definitif
Sering: lama pemberian bila memungkinkan pilih lama pemberian yang pendek.
Terlalu lama memberikan antibiotik intravena. Pasien yang mendapat terapi i.v. bila
mampu meminum obat p.o./harus segera dilakukan switching. Pada umumnya
sekitar 3 hari setelah didapat perbaikan klinis.
Pemilihan obat p.o. yang tidak setara dengan i.v.

Tabel 4 Antibiotik Profilaksis pada Tindakan Operasi


Antibiotik
Tindakan Organisme Alternatif Keterangan
Profilaksis
Pemasangan S. epidermidis MRSA Sefotaksim 1 dosis Pemberian secepatnya
vp-shunt, S. aureus Seftriakson i.v. atau sebelum tindakan
kraniotomi, 1 dosis Vankomisin 1 dosis
trauma CNS
Bedah toraks S. aureus Sefazolin i.v. Sefoaksim i.v. Pemberian secepatnya
(MSSA) 1 dosis 1 dosis sebelum tindakan
atau
Seftriakson i.v.
1 dosis
Operasi S. epidermidis Vankomisin i.v. Linezolid i.v. 1 Pemberian vankomisin
jantung S. aureus 1 dosis dosis dan gentamisin diberikan
Enterobacter ditambah ditambah perlahan lebih dari 1 jam
Gentamisin i.v. Gentamisin i.v. sebelum tindakan
1 dosis 1 dosis
Tindakan S. aureus Sefazolin i.v. Sefotaksim i.v Pemberian dilakukan
operasi bypass 1 dosis 1 dosis sebelum tindakan. Untuk
(CABG) atau Seftriakson dosis diulang
Seftriakson i.v. pada saat intraoperatif
1 dosis pada operasi yang lebih
dari 3 jam
Kandung E. coli Sefazolin i.v. Ampisilin Diberikan segera sebelum
empedu Klebsiella 1 dosis sulbaktam i.v. 1 tindakan
E. faecalis atau dosis
Meropenem i.v.
1 dosis
Operasi hati E. coli Ampisilin Meropenem i.v. Diberikan segera sebelum
Klebsiella Sulbaktam 1 1 dosis tindakan
E. faecalis dosis atau
B. fragilis Sefazolin
Operasi usus S. aureus Seftriakson i.v. Sefotaksim i.v. Diberikan segera sebelum
halus Grup A 1 dosis 1 dosis tindakan
streptokokus

Bandung, 2627 November 2016 149


Operasi usus E. coli Per oral: Metronidazol i.v. Diberikan segera sebelum
bagian bawah, Klebsiella Neomisin ditambah tindakan
kolon B. fragilis ditambah Seftriakson i.v.
Eritromisin atau Levofloksasin
atau i.v.
Metronidazol atau
Parenteral: Gentamisin i.v.
Etrapenem i.v.
1 dosis
Operasi S. epidermidis Sefazolin i.v Seftriakson i.v. Diberikan segera sebelum
ortopedi, S. aureus Vankomisin i.v tindakan
pemasangan
implan
Ortopedi S. aureus Seftriakson i.v Klindamisin i.v. Diberikan lebih awal,
(fraktur ditambah bukan sebagai profilaksis
terbuka) Gentamisin i.v.
Operasi urologi S. aureus Seftriakson i.v. Sefotaksim i.v. Diberikan segera sebelum
Aerobik GNBs tindakan
Sumber: Gardner dkk.

Tabel 5 Antibiotik Profilaksis Setelah Terpapar Suatu Penyakit

Terpapar Organisme Profilaksis Alternatif Keterangan

Meningitis N. meningitidis Kuinolon per oral Minosilin per oral 2 Diberikan segera kurang dari 24
1 kali kali sehari selama 2 jam. Observasi dan dilakukan
hari terapi definitif jika infeksi timbul
H. influenzae Rifampin per oral Quinolon per oral Diberikan segera kurang dari 24
1 kali selama 3 selama 3 hari jam.
hari
Virus Influenza virus Oseltamivir Rimantadin per Diberikan kepada penderita
Influenza A dan B (tamiflu) per oral oral selama 710 risiko tinggi dan penderita yang
sekali selama 7 hari belum dilakukan imunisasi
hari
Avian Influenza A Oseltamivir Rimantadin atau
Influenza (H5N1) Amantadin
Swine Influenza A Oseltamivir Amantadin atau Dilanjutkan 10 hari setelah
Influenza (H1N1) Rimantadin kontak
Pertusis B. pertussis Eritromisin per Trimetropin- Segera setelah kontak dengan
oral tiap 6 jam, sulfametoksazol penderita pertusis
selama 14 hari per oral tiap 12
jam selama 14 hari
Diptheria C. diphtheriae Eritromisin per Azitromisin per Segera setelah kontak dengan
oral tiap 6 jam oral tiap 24 jam penderita difteria
selama 1 minggu selam 3 hari
Tuberculosis M. tuberculosis INH tiap 24 jam Rifamfin tiap 24 Pemberian INH harus dimonitor
selama 9 bulan jam selama 4 bulan SGOT/SGPT tiap 4 minggu. Setop
terapi jika fungsi hati >5 kali

150 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


Varicella VZV Kurang 72 jam, diberikan imunisasi Diberikan segera sebelum 72
varicella-zoster (VZIG) i.m. 1 kali jam. Jika infeksi timbul berikan
Alternatif: terapi dengan asiklovir
Vaksin varisella 0,5 mL s.c. 1 kali,
diulang 4 minggu kemudian
Hepatitis B Hepatitis B Status imunisasi () Jika titer HbsAg 10 IU/mL, tidak
virus Hepatitis immune globulin (HBIG) 0,06 diterapi
mg/kgBB i.m. satu kali Titer 10 terapi sebagai status
ditambah imunologi ()
HBV vaksin
Hepatitis A Hepatitis A HAV vaksin 1 mL Immune serum Diberikan sebelum 14 hari
virus globulin (IG) 0,02
mL/kgBB 1 kali
Sumber: Gardner dkk.

Tabel 6 Antibiotik Profilaksis yang Diberikan Lama (Terapi Supresi)


Organisme
Kelainan Profilaksis Alternatif Keterangan
Penyebab
Asplenia S. pneumoniae Amoksisilin Quinolon Pemberian dalam jangka
H. influenzae per oral waktu lama akan efektif.
N. meningitidis Untuk jangka
waktu tidak
terbatas
Rekuren UTI Gram negatif Nitrofurantoin Amoksisilin satu kali Profilaksis reinfeksi UTI
bacilli satu kali sehari sehari selama 6 bulan diberikan lebih dari 3
Enterococci selama 6 bulan atau trimetropim- tahun. Kasus kambuh
sulfametoksazol 1 kali kembali harus dievaluasi
sehari selama 6 bulan kelainan struktur ginjal atu
terdapat batu.
Profilaksis CMV CMV Valgansiklovir setiap hari atau valasiklovir Profilaksis dimulai ketika
pada organ sampai level CMV antigen menurun antigen CMV
transplantasi

Profilaksis Candida Posaconazol tiap 8 jam per oral Profilaksis diberikan


infeksi jamur albicans atau sampai neutropenia
pada penderita Non albican Itraconazol tiap 12 jam per oral perbaikan (ANC
3
neutropenia candida >500/mm
Aspergilus
Eksaserbasi S. pneumoniae Maksilofloksasin atau levofloksasin Pengobatan disesuaikan
Bronkitis kronik H. influenzae tiap 24 jam selama 5 hari secara individu.
M. catarrhalis atau
Amoksisilin/asam klavulanat tiap 12 jam
selama 5 hari
atau
Klaritomisin per oral tiap 24 jam
selama 5 hari
atau
Azitromisin per oral tiap 24 jam
selama 3 hari

Bandung, 2627 November 2016 151


Demam rematik Streptokokus Benzatin Amoksisillin per oral
akut grup A penisin setiap tiap 24 jam atau
bulan sampai Azitromisin per oral tiap
usia 30 tahun 72 jam
sampai
usia 30 tahun
Infeksi neonatal Streptokokus Ampisilin i.v. Klindamisin i.v. 8 jam Ibu terbukti terdapat
disebabkan grup B 4 jam setelah setelah lahir kolonisasi GBS dari vagina
streptokokus lahir atau atau rektal kultur, ketuban
Grup B Vankomisin i.v. 12 jam pecah dini 12 jam, suhu
o
setelah lahir ibu 38,5 C.
Sumber: Gardner dkk.

Tabel 7 Pemberian Antibiotik Profilaksis Endokarditis pada Tindakan di Atas


Pinggang (Pencabutan Gigi, Tindakan pada Mulut, Esofagus, dan Saluran
Pernapasan)
Reaksi terhadap
Profilaksis Antibiotik
Penisilin
Oral Tidak ada Amoksisilin 1 jam sebelum tindakan
Reaksi anafilaksis () Sefaleksin 1 jam sebelum tindakan
Reaksi anafilaksis (+) Klindamisin 1 jam sebelum tindakan
i.v. Tidak ada Ampisilin 30 menit sebelum tindakan
Reaksi anafilaksis () Sefazolin 15 menit sebelum tindakan
Reaksi anafilaksis (+) Klindamisin 30 menit sebelum tindakan
Sumber: Gardner dkk.

Tabel 8 Pemberian Antibiotik Profilaksis Endokarditis pada Tindakan di Bawah


Pinggang (Genitouria, Gastrointestinal)

Profilaksis Reaksi terhadap Penisilin Antibiotik


Oral Tidak ada Amoksisilin 1 jam sebelum tindakan
Reaksi anafilaksis ()
Reaksi anafilaksis (+) Linezolid 1 jam sebelum tindakan
i.v. Tidak ada Ampisilin 30 menit sebelum tindakan
Reaksi anafilaksis () ditambah
Gentamisin i.m. atau i.v. 1 jam sebelum
tindakan
Reaksi anafilaksis (+) Vankomisin lebih dari 60 menit sebelum
tindakan
ditambah
Gentamisin i.v dan i.m. lebih dari 60 menit
sebelum tindakan
Sumber: Gardner dkk.

152 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


Tabel 9 Terapi Profilaksis pada Wisatawan

Paparan Bakteri Regimen Keterangan


Diare E. coli Doksisilin 24 jam Pemberian antibiotik
Salmonela setelah terpapar ketika datang dan 1
Shigella atau hari setelah sampai di
V. cholera Kuinolon per oral rumah.
Rotavirus atau
Amebiasis Trimetroprim-
Giardia lamblia sulfametoksazol per
oral.
Meningoccal N. meningitidis Sebelum pergi 1
meningitis bulan diberikan
imunisasi
meningokokus.
Hepatitis Hepatitis virus Vaksin hepatitis A
sebelum pergi dan
booster pada 3 dan 6
bulan kemudian.
Tifoid Salmonella typhi Vaksin ViCPS
dilakukan booster
tiap 2 tahun
atau vaksin oral tiap
48 jam diberikan
selama 4 kali.
Booster tiap 5 tahun.
Tetanus C. tetani Vaksin Tidap.
Diftheria C.diptheriae
Pertusis B. pertusis
Malaria P. vivax Klorokuin fosfat Klorokuin atau
P. ovale atau meflokuin diberikan 1
P. malariae Meflokuin per oral minggu sebelum
P. falciparum atau perjalanan dan
(sensitif klorokuin) Doksisiklin per oral. diteruskan sampai 4
minggu setelah datang
di rumah.
P. falciparum Doksisiklin
(resisten klorokuin) atau
meflokuin.
Sumber: Gardner dkk.

Bandung, 2627 November 2016 153


Tabel 10 Pemberian Antibiotik Profilaksis pada Imunokompromais
Infeksi Antimikrob Efikasi
Pneumocystic jerovecii Trimetoprim- Telah digunakan
sulfametoksazol.
Mycobacterium avium Rifabutin, Azitromisin, Telah digunakan
complex Klaritomisin.
Bakteremia fulminan Penisilin, Amoksisilin. Telah digunakan
(asplenia)
Infeksi bakteri pada kronik Trimetoprim- Diajukan
granulomatosis sulfametoksazol.
Mycoplasma pneumoniae Eritromisin. Diajukan
pada penderita sikle cell
hemoglobinopathy
Sumber: Reed Book 2006

Tabel 11 Terapi Kombinasi dan Resistensi Antibiotik


Kombinasi antibiotik yang mencegah resistensi
Penisilin antipseudomonas + aminoglikosida
Rifampin + obat TB lain
5-flucytosin + amphotericin
Kombinasi antibiotik yang tidak mencegah resistensi
Seftazidim + azteronam
Sefepim + siprofloksasin
Imipenem + aminoglikosida
Sumber: Cunha dkk.

Tabel 12 Bioavaibilitas Antibiotik Oral

Biovaibilitas Antibiotik
Sangat baik (>90%) Amoksisilin TMP Linezolid
Sefaleksin TMP-SMX Rifampin
Sefadroksil Minosiklin INH
Klindamisin Kloramfenikol Pirazinamid
Kuinolon Metronidazol
Baik (6090%) Beta-laktam Makrolid Sefiksim
Sefpodoksim Seftibuten Sefuroksim
Sefaklor
Buruk (<90%) Vankomisin Sefditoren
Sumber: Cunha dkk.

154 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


Tabel 13 Pemilihan Antibiotik Empiris

Diagnosis Klinis Bakteri Patogen Terapi Keterangan

Infeksi kulit dan jaringan lunak


Serangga, hewan, dan manusia Pasteurella multocida, Amoksisilin klavulanat, untuk penderita rumah sakit, Pertimbangan terhadap
Eikenella corrodens gunakan tikarsilin/klavulanat atau ampisilin dan klindamisin. profilaksis rabies pada gigitan
(manusia), hewan:
Staphylococcus spp., dan Pertimbangan terhadap

Bandung, 2627 November 2016


Streptococcus spp. profilaksis tetanus.
Impetigo S. aureus (methicillin- Mupirosin topikal atau sefaleksin. Bersihkan area yang terinfeksi
susceptible atau dengan sabun dan air, untuk CA-
methicillin resisten), grup MRSA: klindamisin, TMP/SMZ,
A strep (S. pyogenes). atau linezolid.
Limfadenitis S. aureus (MSSA atau Empirik terapi: oksasilin atau sefazolin. Terapi oral MSSA: Sefaleksin
MRSA), grup A strep Untuk kemungkinan CA-MRSA: klindamisin atau vankomisin. atau Dikloksasilin.
Untuk CA-MRSA: klindamisin,
TMP/SMZ atau linezolid.
Miositis, supuratif S. aureus Oksasilin atau sefazolin, alternatif: vankomisin atau Drainase atau eksisi bila
(sinonim: miositis tropikal, klindamisin diperlukan.
piomiositis)
Fasitis nekrotik S. aureus, grup A strep, Penicillin G dan klindamisin ditambah sefotaksim atau
campuran aerobik/ meropenem atau imipenem (terapi tunggal) jika terdapat
anaerobik, atau gram-negatif aerob.
Stafilokokus, bergantung
pada lokasi infeksi dan
usia anak.
Pioderma, abses, limfadenitis S. aureus, grup A strep Sefaleksin atau diklokasilin Jika indikasi untuk insisi atau
servikal drainase untuk mengikat toksin
bakteri.
Selulitis, periorbital (infeksi S. aureus, grup A strep Oksasilin atau sefazolin, untuk pencegahan CA-MRSA lebih Antibiotik antistaphylococcal
preseptal) baik: klindamisin atau sefazolin. oral untuk beberapa infeksi.

155
Bakteremia S. pneumoniae
Sefuroksim atau sefotaksim, atau seftriakson.

156
(pneumococcus) atau
H. influenzae tipe b pada
anak yang tidak
diimunisasi.
Berhubungan dengan sinusitis Sefuroksim atau sefotaksim atau seftriakson. Untuk terapi antibiotik oral
seperti otitis media dan sinusitis.
Selulitis, orbital Sefotaksim,atau seftriakson dan terapi antistaphylococcal
(Infeksi postseptal) (Oksasilin atau sefazolin atau untuk CA-MRSA: vankomisin
atau klindamisin).
Infeksi tulang dan persendian
Osteomielitis S. aureus, grup A strep, Mulai terapi empiris dengan klindamisin atau vankomisin, di Pada anak dengan trauma
Bayi dan anak, infeksi akut Kingella (tidak terlalu samping itu mulai dengan oksasilin atau sefazolin. terbuka, pertimbangkan
sering). pemberian Seftazidim untuk
bakteri gram negative aerobik.
Osteomielitis pada kaki Pseudomonas aeruginosa Seftazidim atau tikarsilin dan tobramisin atau meropenem.
(osteokondrosis setelah luka
tusuk)
Artritis, bakteri S. aureus. grup A strep Untuk MSSA isolasi: oksasilin atau sefazolin.
Bayi Terapi empiris untuk suspek MRSA: klindamisin atau
vankomisin.
Anak-anak S. aureus. grup A strep Untuk MSSA isolasi: oksasilin atau sefazolin.
Terapi empiris untuk suspek MRSA: klindamisin atau
vankomisin.
Infeksi telinga dan sinus
Otitis eksternal P. aeruginosa, Neomisin/polimiksin B atau fluorokuinolon (siprofloksasin Terapi yang optimal belum
S. aureus atau ofloksasin) dengan hidrokortison. ditemukan.
Otitis media akut
Catatan: Beberapa regimen antibiotik efektif untuk terapi otitis media akut. Antibiotik yang diperkirakan paling efektif adalah dosis tinggi amoksisilin untuk
melawan S. pneumoniae.
Otitis media akut Pneumococcus, Terapi yang biasa dipakai: Amoksisilin. Amoksisilin sangat baik
H. influenzae, paling Haemophilus dan Moraxella: Amoksisilin/klavulanat digunakan sebagai terapi
sering Moraxella (Augmentin), Sefdinir, Sefprozil, Sefpodoksim, empiris.
Sefuroksim, Azitromisin, Klaritromisin-sulfisoksazol p.o.

Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


Sinusitis akut H. influenzae, Antibiotik sama dengan yang digunakan untuk otitis akut
pneumococcus, media.
Streptococci, Moraxella.
Matoiditis S. pneumoniae, Ampisilin atau klindamisin.
Infeksi akut S. pyogenes,
S. aureus.
Kronik (termasuk OMSK) Pseudomonas, organisme Seftazidim atau sefepim.
gram (), S. aureus.
Infeksi orofaringeal

Bandung, 2627 November 2016


Abses gigi Aerobik oral. Klindamisin atau penisilin G. Ekstraksi gigi bila perlu.
Epiglotitis (supraglotitis) H. influenzae tipe b, Sefuroksim i.v, sefotaksim.
S. aureus pada anak yang
telah diimunisasi.
Abses peritonsilar atau selulitis Streptokokus Grup A Klindamisin dan sefotaksim. Alternatif: Meropenem atau
peritonsilar imipenem,
piperasilin/tazobaktam
Faringitis Streptokokus Grup A Penisilin atau amoksisilin atau benzatin penisilin. Pada kasus yang berulang
antibiotik seperti
amoksisilin/klavulanat,
sefalosporin, atau klindamisin
dapat menjadi terapi yang
efektif.
Selulitis retrofaringeal atau Campuran aerobik dan Klindamisin dan sefotaksim atau seftriakson. Alternatif terapi:
faringeal anaerobik flora mulut meropenem atau imipenem.
Trakeitis bakteri S. aureus (CA-MRSA), Vankomisin atau oksasilin atau sefazolin dan sefotaksim atau
streptokokus grup A, seftriakson.
pneumococcus,
H. influenzae.
Infeksi saluran napas bagian bawah
Abses paru S. aureus (CA-MRSA), Seftriakson atau sefotaksim dan vankomisin. Jika terbukti MSSA: Oksasilin
streptokokus grup A, atau Sefazolin
pneumococcus, Jika CA-MRSA: klindamisin
H. influenzae.

157
158
Pertusis Eritromisin atau azitromisin, atau klaritomisin.
Aspirasi pneumonia Polimikrob. Klindamisin atau meropenem jika berat. Alternatif: imipenem.
Community acquired pneumonia Pneumokokus, Jika dirawat: Sefuroksim atau seftriakson atau sefotaksim jika
steptokokus grup A, S. ada dugaan infeksi atipikal diberikan tambahan golongan
aureus pada usia yang makrolid (eritromisin atau azitromisin, klaritomisin).
lebih muda, sedangkan Jika rawat jalan: amoksisilin jika ada dugaan infeksi atipikal
pada usia sekolah atau tambahkan golongan makrolid.
remaja Mycoplasma
pneumoniae atau agen
atipikal lain.
Empiema Patogen sama dengan Sefotaksim atau seftriakson dan vankomisin. Perbaikan biasanya lambat
CAP (paling sering CA-
MRSA).
Pneumonia nosokomial P. aeureginosa, batang Meropenem atau piperasilin atau sefepim atau seftazidim
gram negatif dikombinasikan dengan gentamisin dan atau vankomisin.
(Enterobacter, Klebsiella,
Seratia, E. coli)
Acinetobacter, MRSA,
atau Enterococcus, dan
VRE.
Infeksi Gastrointestinal
Kolitis yang disebabkan C. Clostridium dificile Metronidazol atau vankomisin.
difficile
Gastritis atau ulkus peptikum Helicobacter pylori Klaritomisin dan amoksisilin dan omeprazol.
Gastroenteritis Akromonas Kotrimoksazol.
E. coli Untuk infeksi ringansedang: kotrimoksazol sebagai terapi
inisial,
jika infeksi berat: sefalosporin generasi dua atau tiga.
Kolera Vibrio cholerae Doksisilin Alternatif: siprofloksasin atau
kotrimoksazol.
Demam tifoid S. typhii Kloramfenikol atau ampisilin atau sefotaksim atau
seftriakson.

Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


Shigellosis Shigela Di daerah yang masih sensitif dapat digunakan kotrimoksazol
atau ampisilin jika tidak sensitif dapat digunakan sefiksim
atau azitromisin atau siprofloksasin.
Abses perirektal S. aureus, batang gram- Klindamisin dan gentamisin, sefotaksim atau seftriakson.
negatif, anaerob.
Abses hepar atau lien S. aureus, Brucella sp., Klindamisin dan (sefotaksim atau seftriakson atau
Bartonela, enterik gram sefepim atau seftazidim) dan metronidazol.
negatif, anaerob.
Abses intraabdomen (community Enterik gram-negatif, Ampisilin dan gentamisin dan metronidazol.
acquired) anaerob, enterokokus.

Bandung, 2627 November 2016


Abses intraabdomen (infeksi Sama dengan community Seftazidim atau sefepim dan metronidazol.
nosokomial) acquired + pseudomonas.
Infeksi retroperitoneal S. aureus, enterik gram- Klindamisin dan (sefotaksim atau seftriakson atau sefepim
negatif. atau seftazidim).
Kolesistitis atau kolangitis Enterik gram-negatif, Ampisilin dan gentamisin dan metronidazol.
anaerob, enterokokus
Esofagitis C. albicans, HSV, CMV Flukonazol
Enterokolitis
Di luar masa neonatal Gram negatif enterik, (Seftazidim atau sefepim) dan metronidazol ampisilin. Terapi alternatif:
anaerob, enterokokus, meropenem
pseudomonas pada Jika alergi penisilin aztreonam +
penderita yg berada di RS. klindamisin.
Masa neonatal Gram-negatif enterik, Ampisilin dan gentamisin dan metronidazol. Terapi alternatif:
streptokokus, ampisilin dan sefotaksim dan
stafilokokus, kandida. metronidazol.
Peritonitis
Infeksi yang berhubungan Stafilokokus koagulase (Seftriakson atau sefotaksim) dan vankomisin.
dengan dialisis peritoneal (), S. aureus, gram-
negatif termasuk
Pseudomonas, kandida.
Infeksi primer (peritonitis bakteri S. pneumoniae Seftriakson atau sefotaksim.
spontan) Streptokokus,
S. aureus, gram-negatif.

159
160
Infeksi sekunder (karena Gram-negatif enterik, (Ampisilin dan gentamisin dan metronidazol) atau (seftazidim Terapi alternatif: Meropenem
pergerakan usus) anaerob, enterokokus, atau meropenem) dan metronidazol atau klindamisin). atau jika alergi penisilin
dapat juga pseudomonas azteronam + klindamisin.
pada yang dirawat.

Infeksi Genitourinaria
Servisitis/uretritis/epididimimitis C. trachomatis, N. (Azitromisin dosis tunggal atau doksisiklin selama 7 hari) dan Terapi alternatif:
gonorrhae, lain- lain: (seftriakson atau sefiksim atau siprofloksasin dosis tunggal). (eritromisin selama 14 hari dan
Trichomonas vaginalis, setriakson/sefiksim).
HSV, Mycoplasma
genitalium, Ureaplasma
urealyticum.

ISK
Sistitis Gram-negatif (terbanyak Kotrimoksasol atau sefiksim.
E. coli, selain itu Proteus,
Enterobacteriaceae),
Enterokokus,
Stafilokokus.
Pielonefritis Gram-negatif (terbanyak (Ampisilin dan gentamisin) atau seftriakson.
E. coli, selain itu Proteus,
Enterobacteriaceae),
Enterokokus.
Bayi <3 bulan Sama seperti di atas (Ampisilin dan gentamisin) atau seftriakson. Alternatif: sefiksim atau
ditambah streptokokus siprofloksasin.
grup B.
ISK komplikata Sama seperti di atas Seftazidim. Alternatif: sefiksim atau
ditambah organisme florokuinolon atau
gram negatif. aminoglikosida.

Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


Infeksi Susunan Saraf Pusat
Abses otak
Penderita yang sebelumnya sehat Streptokokus, enterik Seftriakson dan metronidazol. Jika alergi penisilin
(di luar masa neonatus) gram (), anaerob, kloramfenikol dan metronidazol.
S. pneumoniae,
N. menigitidis,
S. aureus
Penderita gangguan sistem imun Listeria, Psedomonas, (Seftazidim atau sefepim) dan vankomisin dan metronidazol
Nocardia, anaerob dan dan ampisilin.

Bandung, 2627 November 2016


jamur ditambah bakteri
penyebab meningitis
bakterialis.
Organisme gram-negatif (Seftazidim atau sefepim) dan vankomisin.
Pascapembedahan (bedah saraf,
(termasuk Pseudomonas)
taruma kepala, gangguan CSF)
dan S. aureus.
Meningitis aseptik
Menigitis bakterialis Borellia burgdorferi Seftrikson atau doksisiklin.
<1 bulan E. coli, streptococcus gr B, Ampisilin + sefotaksim/seftazidim atau ampisilin dan
L. monocytogenes gentamisin.
13 bulan E. coli, streptococcus gr B, Ampisilin + sefotaksim/seftriakson.
L. monocytogenes,
H. influnzae
S. pneumoniae
3 bulan18 tahun H. influnzae, Sefotaksim/seftriakson atau ampisilin + kloramfenikol.
S. pneumoniae,
N. menigitidis
Sumber: Pong dan Bradley

161
Daftar Pustaka Terapi Antibiotik Profilaksis
1. Gardner P, Nicholas RL, Cunha BA. Antibiotic prophylaxis and imunizations. Dalam:
Burke A, Cunha BA, penyunting. Antibiotic essensials. Edisi ke-9. New York:
Physicians Press; 2010. hlm. 34571.
2. Antimicrobial prophylaxis. Dalam: Pickering LK, Baker CJ, Overturf GD, Prober CD,
penyunting. Red Book: 2006 Report of the Committee on Infectious Disease. Edisi
ke-27. Nortwest: American Academy of Pediatrics; 2006. hlm. 7738.
3. Antimikrob profilaksis. Dalam: Soedarmo P, Garna H, Hadinegoro S, Satari H,
penyunting. Buku ajar infeksi dan pediatri tropis. Edisi ke-2. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI; 2008. hlm. 7780.
4. Canadian Paediatric Society. Prophylactic antibiotics in children. Paediatr Child
Health. 1999;4(7):4904.
5. Scottish Intercollegiate Guidelines Network. Antibiotic prophylaxis in surgery.
Edinburgh: Scottish Intercollegiate Guidelines Network (SIGN)-Healthcare
Improvement Scotland; 2008.
6. Saveli CC, Belknap RW, Morgan SJ, Price CS. The role of prophylactic antibiotics in
open fractures in an era of community acquired methicillin-resistant
Staphylococcus aureus. Orthopedics. 2011;34(6):6116.
7. Bratzler DW, Houck PM, Richards C, Steele L, Dellinger EP, Fry DE, dkk. Use of
antimicrobial prophylaxis for major surgery: baseline results from the National
Surgical Infection Prevention Project. Arch Surg. 2005;140(2):17484.
8. Wood RK, Dellinger EP. Current guidelines for antibiotic prophylaxis of surgical
wounds. Am Fam Physician. 1998;57(11):273140.
9. Gosselin RA, Roberts I, Gillespie WJ. Antibiotics for preventing infection in open
limb fractures. Cochrane Database Syst Rev. 2004;(1):CD003764.
10. Craig JC, Simpson JM, Wiliams GJ, Lowe A, Reynolds GJ, McTaggart SJ, dkk.
Antibiotic prophylaxis and recurrent urinary tract infection in children. N Engl J
Med. 2009;361(18):174859.

162 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


11. Copp HL, Nelson CP, Shortliffe LD, Lai J, Saigal CS, Kennedy WA, dkk. Compliance
with antibiotic prophylaxis in children with vesicoureteral reflux: results from a
national pharmacy claims database. J Urol. 2010;183:19942000.
12. Mathew Jl. Antibotic prophylaxis following urinary tract infection in children: a
sytematic review of randomized controled trials. Indian Pediatr. 2010;47:599
605.
13. Keren R, Carpenter M, Greenfield S, Hoberman A, Mathews R, Matto T, dkk. Is
antibiotic prophylaxis in children with vesicoureteral reflux effective in preventing
pyelonephritis and renal scars ? a randomized, controlled trial. Pediatrics.
2008;122:1409.
14. del Pozo PP, Soto JB, Troisfontaines ESE. Antibiotic prophylaxis in pediatric
odontology. An update. Patol Oral Cir Bucal. 2006;11:E3527.
15. Canadian Dental Association. CDA position on antibiotik prophylaxis for dental
patients at risk. CDA. 2005.
16. Chen LH, Wilson ME, Schlagenhauf P. Prevention of malaria in long-term
travelers. JAMA. 2006;296:223444.
17. Galagher JC, MacDougall C. Antibiotic simplified. Edisi ke-2. Massahusett: :Jones&
Bartlett; 2011.

Daftar Pustaka Terapi Antibiotik Empiris


1. Cunha AB, Schoch PE, Bottone EJ. Overview of antimicrobial therapy. Dalam:
Cunha AB, penyunting. Antibiotic essentials. Edisi ke-9. Massachusetts: Jones and
Bartlet; 2010. hlm 116.
2. Pong AL Bradley JS. Guidelines for the selection of antibacterial therapy in children.
Pediatr Clin N Am. 2005;52:86994.
3. Drusano GL. Antimicrobial pharmacodynamics: critical interactions of bug and
drug. Nat Rev Microbiol. 2004;2:289300.

Bandung, 2627 November 2016 163


4. Centers for Disease Control and Prevention. Geographic variation in penicillin
resistance in Streptococcus pneumonia-selected sites, United States, 1997.
MMWR. 1999;48:65661.
5. Ma XX, Ito T, Tiensasitorn C. Novel type of staphylococcal cassette chromosome
mec identified in community-acquired methicillin-resistant Staphylococcus aureus
strains. Antimicrob Agents Chemother. 2002;46:114752.
6. Fagade AU, Ezeamagu CU, Oyelade AA, Ogujabi AA. Comparative study of
antibiotics resistance of Staphylococcus species isolated from clinical and
enviromental sample. A U JT. 2010;13(3):1659.
7. Daum RS, Ito T, Hiramatsu K. A novel methicillin resistance cassette in
community-acquired methicillin resistant Staphylococcus aureus isolates of diverse
genetic backgrounds. J Infect Dis. 2002;186:13447.
8. Cherlebois ED, Perdreau-Remington F, Kreiswirth B. Origins of community strains
of methicillin-resistant Staphylococcus aureus. Clin Infect Dis. 2004;39:4754.
9. Galagher JC, MacDougall C. Antibiotic simplified. Edisi ke-2. Massachusett: Jones &
Bartlett; 2011.

164 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


Masalah yang Sering Ditemukan dalam Tata Laksana Diabetes
Melitus pada Anak (Diabetes Melitus Tipe-1 dan Ketoasidosis
Diabetikum)
Novina

Pendahuluan
Diabetes melitus (DM) merupakan kumpulan gejala yang ditandai dengan
ketidaksesuaian kondisi hiperglikemia saat puasa atau postprandial yang disebabkan
oleh resistensi atau defisiensi insulin, baik absolut maupun relatif dengan berbagai
konsekuensi metaboliknya termasuk gangguan pada metabolisme protein dan lemak.1
Pada tahun 2007 diperkirakan total populasi anak usia 0 hingga 14 tahun di dunia
berkisar 1,8 miliar, sekitar 0,02% mengidap diabetes melitus. Hal ini berarti sekitar
497.000 anak dari seluruh dunia mengidap diabetes melitus dengan 79.000 kasus baru
terdiagnosis tiap tahunnya.2
Ketoasidosis diabetikum (KAD) merupakan komplikasi DM yang mengancam jiwa
dan penyebab tersering morbiditas serta mortalitas pada pasien DM tipe-1.3,4 KAD
dapat terjadi pada semua pasien diabetes melitus, akan tetapi lebih sering ditemukan
pada pasien DM tipe-1 dan jarang terjadi pada DM tipe-2. Sekitar 1570% anak DM
tipe-1 terdiagnosis saat perawatan di rumah sakit dengan KAD.5
Penegakan diagnosis secara cepat dan tepat, tata laksana yang adekuat, serta
monitoring dan evaluasi yang berkelanjutan dapat menurunkan morbiditas dan
mortalitas akibat penyakit DM tipe-1. Pada makalah ini akan dibahas masalah-masalah
yang umumnya terjadi pada DM tipe-1 dan komplikasinya (KAD).

Epidemiologi
Sebagian besar di negara-negara barat, kejadian DM tipe-1 terjadi pada 90% diabetes
melitus pada anak dan remaja, serta kurang dari setengahnya didiagnosis DM tipe-1
sebelum usia 15 tahun. Kejadian DM tipe-1 bervariasi di tiap negara, di dalam negara

Bandung, 2627 November 2016 165


itu sendiri maupun di antara populasi etnis yang berbeda. Insidensi DM tipe-1 pada
anak tertinggi di Finlandia adalah 64 per 100.000 per tahun dan terendah 0,1 per
100.000 di negara Cina dan Venezuela. Beberapa laporan kasus menyatakan terjadi
peningkatan pada anak usia di bawah 5 tahun.2
Prevalensi KAD pada DM tipe-1 yang baru terdiagnosis di berbagai negara di dunia
mempunyai rentang angka yang bervariasi dari 12,8% hingga 80% dengan prevalensi
tertinggi di negara Uni Emirat Arab dan Romania, sedangkan prevalensi terendah di
negara Swedia, Republik Slovakia, dan Kanada.3,6 Berdasarkan data kohort di Swedia
dan Amerika secara global terjadi KAD pada pasien DM tipe-1 berkisar antara 1 hingga
12 per 100 anak. Penelitian meta-analisis Usher-Smit dkk.8 menyatakan bahwa KAD
lebih banyak terjadi pada anak di bawah usia 2 tahun, sedangkan data multinasional
dari Amerika dan negara Eropa memperlihatkan usia rata-rata KAD pada DM tipe-1
adalah usia 13,3 tahun dengan jenis kelamin perempuan lebih banyak 23% dibanding
dengan laki-laki.7,8 Data KAD di Selandia Baru sebanyak 26% penderita datang dengan
KAD derajat berat, 26% derajat sedang, dan 46% derajat ringan.9 Di Indonesia laporan
insidensi KAD umumnya berasal dari data di rumah sakit, selama tahun 20122016
tercatat 41 kasus baru dan 3 kasus ulangan KAD di Rumah Sakit Hasan Sadikin
Bandung.

Definisi
Diabetes melitus tipe-1 (DM tipe-1) adalah diabetes melitus yang disebabkan oleh
kerusakan sel pankreas baik oleh proses autoimun maupun idiopatik sehingga
produksi insulin berkurang atau terhenti.10
Diabetes melitus tipe-2 (DM tipe-2) adalah diabetes melitus yang disebabkan oleh
gabungan resistensi insulin dan sekresi insulin yang tidak adekuat. DM tipe-2 selalu
dihubungkan dengan bentuk sindrom resistensi insulin lainnya (hiperlipidemia,
hipertensi, akantosis nigrikans, dan penyakit perlemakan hati non-alkoholik).11
Ketoasidosis diabetikum (KAD) didefinisikan sebagai komplikasi diabetes melitus
(DM) yang mengancam nyawa akibat defisiensi insulin baik relatif atau absolut disertai

166 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


peningkatan kadar hormon antagonis insulin, seperti katekolamin, glukagon, kortisol,
dan hormon pertumbuhan.12 Ketoasidosis dapat terjadi pada pasien DM, tetapi paling
sering ditemukan pada pasien DM tipe-1.13,14

Tabel 1 Karakteristik Klinis Diabetes Melitus Tipe 1, Tipe 2, dan Monogenik pada
Anak serta Remaja

Karakteristik Tipe 1 Tipe 2 Monogenik


Genetik Poligenik Poligenik. Monogenik
Usia awitan 6 bulan hingga Biasanya saat pubertas Sering pada post-
dewasa muda. atau setelahnya. pubertas, kecuali GCK
dan NDM.
Presentasi klinis Biasanya akut, Bervariasi, mulai dari Bervariasi
cepat. lambat, sedang
(tersembunyi), hingga
berat.
Hubungan autoimun Ya Tidak Tidak
Ketosis Sering Jarang Umum pada NDM,
jarang terjadi pada
bentuk lain.
Obesitas Frekuensi populasi Frekuensi meningkat Frekuensi populasi
Akantosis nigrikans Tidak Ya Tidak
Frekuensi (% seluruh Biasanya >90% Di kebanyakan negara 14%
diabetes pada anak <10% (Jepang 680%)
muda)
Orangtua DM 24% 80% 90%
2
Sumber: Craig dkk.

Klasifikasi
International Society of Pediatric and Adolescene Diabetes (ISPAD) dan WHO membagi
diabetes melitus berdasarkan etiologi.10

Bandung, 2627 November 2016 167


Tabel 2 Klasifikasi DM berdasarkan Etiologi
I. DM Tipe 1 (destruksi sel )
a. Immune mediated
b. Idiopatik
II. DM Tipe 2
Akibat resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif atau akibat defisiensi insulin
dengan atau tanpa resistensi insulin.
III. DM tipe lain
A. Defek genetik fungsi pankreas sel E. Terinduksi obat-obat spesifik dan
Kromosom 12, HNF-1 (MODY3) zat kimia
Kromosom 7, glukokinase (MODY2) Vakor
Kromosom 20, HNF-4 (MODY1) Pentamidin
Kromosom 13, (MODY4) Asam nikotinik
Kromosom 17, HNF-1 (MODY5) Glukokortikoid
Kromosom 2, Neuro D1 (MODY6) Hormon tiroid
Kromosom 11, KCNJ11, dll Tiazid
Dilantin, dll.
B. Defek genetik aktivitas insulin F. Infeksi
Resistensi insulin tipe A Kongenital rubela
Leprechaunism Cytomegalovirus
Sindrom Rabson-Mendelhall dll.
Diabetes lipoatropik, dll.
C. Kelainan eksokrin pankreas G. Bentuk jarang diabetes yang
Pankreatitis diperantai imun
Trauma/pankreatomi Sindrom Stiff-man
Neoplasia Anti-insulin receptor antibodies
Kistik fibrosis dll.
Hemokromatosis, dll.
D. Gangguan endokrin H. Sindrom lain yang terkadang
Akromegali berhubungan dengan DM
Sindrom Cushing Sindrom Down
Glukagonoma Sindrom Klinelfeter
Hipertiroid Sindrom Turner
Aldosteronoma, dll. Sindrom Prader Willi
IV. Diabetes melitus gestasional
2
Sumber: Craig dkk.

Kriteria Diagnosis
Diagnosis DM dapat ditegakkan apabila memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut:2
1. ditemukan gejala klinis poliuria, polidipsia, nokturia, enuresis, penurunan berat
badan, polifagia, dan kadar glukosa plasma sewaktu 200 mg/dL (11,1 mmol/L);
atau

168 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


2. kadar glukosa plasma puasa 126 mg/dL (7 mmol/L); atau
3. kadar glukasa plasma 200 mg/dL (11,1 mmol/L) pada jam ke-2 TTGO (tes
toleransi glukosa oral); atau
4. HbA1c >6,5% (dengan standar National Glycohemoglobin Standardization
Program dan Diabetes Control and Complications Trial).

Diagnosis KAD didasarkan pada kriteria biokimia, yaitu12


1. hiperglikemia (kadar gula darah >11 mmol/L ~ 200 mg/dL);
2. pH darah <7,3 atau bikarbonat <15 mEq/L;
3. ketonemia dan ketonuria.

Derajat KAD dikategorikan berdasarkan derajat asidosis, yaitu12


1. ringan (pH darah <7,3, kadar bikarbonat serum 1015 mEq/L);
2. sedang (pH darah <7,2, kadar bikarbonat serum 510 mEq/L);
3. berat (pH darah <7,1, kadar bikarbonat serum <5 mEql/L).

Masalah yang Sering Ditemukan dalam Tata Laksana Diabetes Melitus pada Anak
Hipoglikemia dan Hiperglikemia

Penanganan DM pada anak tidaklah mudah, untuk mencapai kontrol metabolik yang
baik diperlukan pengelolaan DM yang sebaik-baiknya, meliputi pemberian insulin,
pengaturan makan, olahraga, edukasi, dan pemantauan mandiri. Kerja sama yang baik
antara pasien, keluarga, serta tim dokter dapat mencapai sasaran dan tujuan
pengelolaan DM.10,15
Monitoring kontrol glikemik harian harus dilakukan setiap individu untuk
mengurangi risiko terjadi hipoglikemia, ketoasidosis diabetikum maupun komplikasi
mikro dan makrovaskular kronik. Pengukuran kadar glukosa sendiri sangat
direkomendasikan untuk mendokumentasikan kondisi hipoglikemia dan hiperglikemia
yang akan menentukan strategi selanjutnya. Waktu pengukuran gula darah adalah
malam hari saat waktu tidur, setelah tengah malam, dan setiap sebelum makan

Bandung, 2627 November 2016 169


utama. Selain itu, pemeriksaan urin dan keton urin harus diperiksakan saat terjadi
hiperglikemia yang tidak terkontrol untuk menghindarkan terjadi ketoasidosis.16,17
Hipoglikemia adalah komplikasi akut tersering dari DM tipe-1. Hipoglikemia dapat
terjadi pada DM tipe-2 ketika penderita mendapat terapi insulin atau sulfonilurea.18
Sampai saat ini belum ada kesepakatan untuk mendefinisikan hipoglikemia dengan
menggunakan suatu angka tertentu. Menurut the American Diabetes Association dan
kelompok kerja Endocrine Society definisi hipoglikemia pada pasien diabetes melitus
adalah semua episode kadar glukosa darah rendah yang mempunyai potensi
membahayakan.10
Kadar glukosa darah <6070 mg/dL (3,34 mmol/L) dianggap dapat berisiko
hipoglikemia berat pada seseorang. Pada kadar ini terjadi peningkatan respons
hormonal counterregulation untuk menaikkan kadar glukosa darah. Kadar glukosa
darah 70 mg/dL (4 mmol/L) dalam praktik sehari-hari digunakan sebagai nilai batasan
untuk memulai tata laksana hipoglikemia pada anak diabetes melitus dikarenakan
potensi glukosa turun lebih rendah.
Gejala hipoglikemia pada anak dapat diakibatkan oleh aktivasi adrenergik (contoh:
gemetar, jantung berdebar, dan berkeringat) dan neuroglikopenia (contoh: nyeri
kepala, pusing, dan sulit berkonsentrasi). Pada anak perubahan perilaku seperti
iritabilitas, agitasi, pendiam, dan tantrum dapat tampak jelas. Gejala yang dominan
dapat berubah seiring pertambahan usia. Beberapa presipitan klinis hipoglikemia,
antara lain: dosis insulin berlebih; pemberian makan yang terlewat; olahraga; tidur;
dan pada remaja, ingesti alkohol. Faktor risiko termasuk usia muda, riwayat
hipoglikemia berat sebelumnya, dan kurangnya kesadaran hipoglikemia (hypoglycemia
unawareness).18

170 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


Tabel 3 Gejala dan Tanda Hipoglikemia
Gejala dan Tanda Klinis
Autonom Gemetar, berkeringat, tremor, palpitasi, pucat.
Neuroglikopenia Konsentrasi menurun, pandangan kabur atau dobel, gangguan
penglihatan warna, gangguan pendengaran, pelo bingung, sulit
berpikir, lupa, pusing, limbung bila berjalan, penurunan kesadaran,
kejang, kematian.
Perubahan perilaku Rewel, aneh/berubah-ubah pikiran, agitasi, mimpi buruk, menangis
keras sulit ditenangkan.
Nonspesifik Lapar, sakit kepala, mual, lelah.
18
Sumber: Ly dkk.

Hipoglikemia asimtomatik terjadi bila anak tidak menunjukkan gejala dan tanda
hipoglikemia walau kadar glukosa darah terdeteksi <70 mg/dL (4 mmol/L).
Hipoglikemia simtomatik terjadi bila anak atau orangtua menyadari, berespons, dan
menangani hipoglikemia secara oral setelah mendeteksi kadar glukosa darah <70 mg/
dL (4 mmol/L). Menurut berat ringannya hipoglikemia dibagi atas hipoglikemia dan
hipoglikemia berat. Hipoglikemia ringan dan sedang dijadikan satu dalam
pembagiannya karena tidak berbeda dalam penanganannya dan hampir semua
memerlukan penanganan cukup dari orangtua atau pengasuh. Anak dianggap
mengalami hipoglikemia berat bila hipoglikemia disertai gejala neuroglikopenia berat,
seperti koma atau kejang.
Tata laksana hipoglikemia bertujuan dapat meningkatkan gula darah sekitar 34
mmol/L (5470 mg/dL). Pada hipoglikemia asimtomtik, target glukosa darah perlu
ditinggikan bila ditemukan hipoglikemia berulang dan/atau hypoglycemia
unawareness hingga hipoglikemia dapat terhindar selama 23 minggu.
Hipoglikemia ringan dan sedang ditatalaksana dengan pemberian glukosa oral 0,3
g/kgBB (atau sekitar 9 g glukosa untuk anak dengan berat 30 kg dan 15 g untuk anak
50 kg), berupa glukosa sederhana, seperti tablet glukosa, jus atau sirup. Ly dkk.8
menyarankan untuk menghindari pemberian cokelat, susu, dan makanan lain yang
mengandung lemak dalam terapi inisial hipoglikemia dikarenakan lemak dalam
makanan tersebut dapat menyebabkan glukosa diserap lebih lebih lambat. Setelah

Bandung, 2627 November 2016 171


tata laksana tunggu 1015 menit, cek ulang glukosa. Bila respons tidak ada atau tidak
adekuat pemberian glukosa oral dapat diulangi. Cek ulang glukosa darah setelah 20
30 menit untuk memastikan target gula darah sudah tercapai dan tidak terlampaui.
Bergantung pada situasi, pemberian glukosa oral dapat diikuti pemberian karbohidrat
kompleks tambahan, seperti buah, roti, sereal, atau susu untuk mencegah kembalinya
hipoglikemia.
Pada hipoglikemia berat membutuhkan terapi segera. Pada setting rumah sakit,
diberikan dekstrosa 10% intravena dengan dosis 23 mL/kgBB, diikuti infus dekstrosa
untuk menstabilkan kadar glukosa darah 100180 mg/dL (5,610 mmol/L). Pada
setting rumah atau dalam perjalanan ke rumah sakit, pemberian glukagon
intramuskular atau subkutan dengan dosis 0,5 mg bagi anak <12 tahun, dan 1 mg
untuk anak >12 tahun dapat diberikan. Selanjutnya, untuk mencegah hipoglikemia
berulang perlu dilakukan pemantauan klinis ketat dan monitor kadar glukosa darah.
Bila hipoglikemia berulang perlu diberikan tambahan karbohidrat ekstra dan/atau
infus dekstrosa 10% 25 mg/kgBB/menit (1,23 mL/kgBB/jam).10,18
Hiperglikemia terjadi akibat disekresikannya hormon antagonis insulin pada
keadaan insulinopenia yang menyebabkan peningkatan glikogenolisis hepatik dan otot
sehingga terjadi peningkatan kadar glukosa darah dan hiperosmolaritas.5 Bersamaan
dengan itu defisiensi insulin dan peningkataan hormon counter-regulatory juga
meningkatkan lipolisis dan ketogenesis yang menyebabkan ketonemia dan asidosis
metabolik. Kadar glukosa lebih dari 180 mg/dL melebihi kapasitas maksimal tubulus
proksimal ginjal mereabsorpsi glukosa dan hiperketonemia menyebabkan glukosuria
dan diuresis osmotik.5,12 Diuresis osmotik akan menyebabkan kehilangan cairan yang
berat dan kehilangan elektrolit dalam jumlah besar melalui urin. Hiperglikemia
menyebabkan keluarnya air dari intraseluler ke ekstraseluler dan menginduksi dilusi
konsentrasi natrium plasma. Kehilangan air biasanya akan lebih banyak dibanding
dengan natrium karena pergeseran air akibat peningkatan tekanan osmotik
menyebabkan konsentrasi natrium plasma rendah atau normal walaupun terjadi
kehilangan air secara hebat.19

172 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


Tata laksana hiperglikemia apabila tidak ditemukan tanda-tanda ketoasidosis
diabetikum dapat dilakukan koreksi hiperglikemia, evaluasi penyesuaian dosis insulin,
dan pemantauan gula darah secara lanjut. Pemilihan regimen dan penyesuaian dosis
insulin akan dibahas lebih lanjut.

Pemilihan Regimen dan Penyesuaian Dosis Insulin


Pemilihan regimen insulin harus memperhatikan beberapa faktor, yaitu usia, lama
menderita diabetes melitus, gaya hidup penderita (pola makan, jadwal latihan, sekolah
dsb), target kontrol metabolik, dan kebiasaan individu maupun keluarganya. Bagi anak
sangat dianjurkan paling tidak menggunakan 2 kali injeksi insulin per hari (campuran
insulin kerja cepat/pendek dengan insulin basal).10,20

Tabel 4 Sediaan Insulin


Jenis Insulin Awitan (jam) Puncak Kerja (jam) Lama Kerja (jam)
Kerja cepat (rapid acting) 0,150,35 13 35
(aspart, glulisin dan lispro).
Kerja pendek 0,51 24 58
(regular/soluble).
Kerja menengah:
Semilente 12 410 816
NPH 24 412 1224
IZS lense type 34 615 1824
Insulin basal analog:
Glargine 24 Tidak ada 24
Detemir 12 612 2024
Kerja panjang:
Ultralente type 48 1224 2030
Insulin campuran:
Cepat-menengah 0,5 112 1624
Pendek-menengah 0,5 112 1624
20
Sumber: Danne dkk.

Beberapa regimen insulin yang dapat dipilih.


1. Regimen Split-Mix
a. Injeksi 1 kali sehari.

Bandung, 2627 November 2016 173


b. Injeksi 2 kali sehari.
c. Injeksi 3 kali sehari.
2. Regimen Basal-Bolus.
3. Pompa Insulin.
Dosis insulin harian berbeda-beda bergantung pada individu dan berubah seiring
waktu. Dosis bergantung pada beberapa faktor, seperti usia, berat badan, tahapan
pubertas, durasi dan fase diabetes, lokasi penyuntikan, asupan dan distribusi nutrisi,
pola olahraga, rutinitas harian, hasil dari pemantauan gula darah serta hemoglobin
terglikasi, dan penyakit lainnya.20 Beberapa panduan dosis harian insulin menurut
konsensus ISPAD, antara lain:
- selama fase remisi parsial, total dosis harian insulin seringkali <0,5 IU/kgBB/hari;
- prepubertas (di luar fase remisi parsial) biasanya membutuhkan 0,71,0 IU/kgBB/
hari;
- selama pubertas kebutuhan akan meningkat menjadi 1,22 IU/kgBB/hari.10
Penyesuaian dosis biasanya dibutuhkan pada honeymoon period, masa remaja,
masa sakit, dan sedang menjalankan pembedahan.
- pada fase honeymoon period yang dapat mencapai 2 tahun sejak pertama diagnosis,
dosis insulin yang dibutuhkan sangat rendah (<0,5 IU/kgBB/hari), bahkan pada
beberapa kasus kontrol metabolik dapat dicapai tanpa pemberian insulin sama
sekali. Dosis insulin pada fase ini perlu disesuaikan untuk menghindari serangan
hipoglikemia;21
- pada masa remaja kebutuhan insulin meningkat karena bekerjanya hormon seks
steroid, serta peningkatan amplitudo dan frekuensi sekresi growth hormone yang
kesemuanya merupakan hormon kontra insulin;
- pada saat terjadi perubahan pola makan untuk jangka tertentu, misalnya pada
bulan puasa, dosis insulin juga harus disesuaikan hingga atau dari insulin total
harian, serta distribusinya harus disesuaikan dengan porsi dosis sebelum buka puasa
lebih besar daripada dosis sebelum makan sahur.10

174 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


Penyesuaian dosis insulin juga dapat dilakukan dengan jalan memperhitungkan
rasio insulin-karbohidrat (menggunakan rumus 500). Angka 500 dibagi dengan dosis
insulin total harian hasilnya dinyatakan dalam gram, artinya 1 unit insulin akan dapat
mengatasi sekian gram karbohidrat dalam diet penderita.
Koreksi hiperglikemia >200 mg/dL dapat dilakukan dengan rumus 1800 bila
menggunakan insulin kerja cepat dan rumus 1500 bila menggunakan insulin kerja
pendek. Angka 1800 atau 1500 dibagi dengan insulin total harian hasilnya dalam
mg/dL, artinya 1 unit insulin akan menurunkan kadar glukosa darah sebesar hasil
pembagian tersebut dalam mg/dL.10

Penyesuaian Dosis Insulin Saat Sakit


Bila seorang anak diabetes melitus sakit perlu diwaspadai kemungkinan munculnya
hiperglikemia dengan ketoasidosis atau hipoglikemia. Hal ini memerlukan edukasi dan
tata laksana untuk mencegah perburukan keadaan atau bahkan kemungkinan
kematian.
Pada saat sakit dosis insulin perlu disesuaikan dengan asupan makanan, tetapi
jangan menghentikan pemberian insulin. Penghentian insulin akan meningkatkan
lipolisis dan glikogenolisis sehingga kadar glukosa darah meningkat dan penderita
rentan untuk menderita ketoasidosis. Semua anak penderita DM sakit dengan keluhan
muntah harus dipertimbangkan defisiensi insulin sampai dapat dibuktikan tidak. Dosis
insulin sering kali perlu untuk dikurangi saat terdapat gastroenteritis, namun tidak
dikurangi sampai ke tahap keton menjadi diproduksi oleh tubuh.22
Dosis tambahan insulin dapat dipertimbangkan melalui beberapa cara, antara lain:
- tambahkan 510% dari dosis total harian (atau 0,050,1 U/kgBB insulin kerja
pendek atau cepat yang dapat diulang setiap 24 jam bila kadar glukosa darah tinggi
dengan keton negatif atau kecil (small ketone);
- tambahkan 1020% dari dosis total harian (atau 0,10,2 U/kgBB) insulin kerja cepat
atau pendek setiap 24 jam bila glukosa darah tinggi dengan keton sedang atau

Bandung, 2627 November 2016 175


besar (moderate atau large ketones) dikarenakan ancaman terjadi KAD ataupun
kematian;22
- insulin basal, terutama bila menggunakan pompa insulin, mungkin perlu pula
ditingkatkan dosisnya bergantung pada kebutuhan sakit pasien serta hasil
pemantauan gula darah dan keton.10

Perhitungan Rehidrasi pada Penderita Malnutrisi Berat yang Mengalami KAD


Status nutrisi memengaruhi komplikasi KAD sehingga manajemen KAD harus
mempertimbangkan status nutrisi pasien. Diabetes melitus yang tidak diobati sendiri
juga dapat berujung pada malnutrisi sebagaimana ditunjukkan pada penelitian Alemu
dkk.23 di Ethiopia. Pengukuran berat badan harus dilakukan pada saat pertama pasien
datang, selain untuk penilaian diagnosis juga untuk penentuan terapi.24
Derajat dehidrasi pasien harus dinilai sebelum dilakukan terapi cairan atau
rehidrasi. Pada prinsipnya rehidrasi adalah menggantikan cairan yang hilang dan
menambahkan cairan rumatan harian. Oleh karena itu, hal penting yang harus
diketahui adalah penentuan defisit cairan. Namun, menentukan derajat dehidrasi
merupakan hal yang sulit sehingga sering terjadi keadaan under atau overestimated.
Overhidrasi pada anak KAD akan meningkatkan risiko edema otak.12,25
Penentuan derajat dehidrasi dengan mengukur berat badan merupakan standar
baku, namun pada kondisi akut sulit dikerjakan. Pasien KAD diperkirakan mengalami
kehilangan cairan ektraseluler sebanyak 510%.12 Ugale dkk.4 dan Sottosari dkk.25
dalam penelitiannya memperlihatkan bahwa pasien KAD anak mempunyai derajat
dehidrasi rata-rata sebesar 5,2% dan 5,7%.4 Defisit cairan pada KAD derajat sedang
menggunakan 57%, pada KAD derajat berat diperkirakan mengalami defisit 710%.12
Penelitian yang dilakukan oleh Wolfsdorf dkk.12 menyatakan defisit sebanyak 5%
pada anak 15 tahun dengan 3 tanda utama, yaitu pemanjangan capillary refill time,
turgor kulit yang lambat, dan hiperpnea. Terdapat defisit cairan 10% ditandai dengan
nadi yang lemah, hipotensi dan oliguri, namun hal ini jarang terjadi pada KAD anak.

176 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


Pasien malnutrisi berat memiliki kesulitan dalam penentuan derajat dehidrasi.
Penelitian Murunga dan Owira24 pada anak di daerah sub-Zahara, Afrika,
menggunakan beberapa parameter dalam menilai dehidrasi pada anak KAD. Turgor
kulit, membran mukosa yang kering, napas yang dalam, dan takikardia menjadi
indikasi terdapat defisit cairan sebanyak 5%. Oliguria, hipotensi, dan pulsasi nadi
perifer yang lemah menjadi pertanda defisit cairan yang lebih dari 10%.

Tabel 5 Estimasi Derajat Dehidrasi pada Bayi dan Anak


Bayi Anak Derajat
Data Klinis Kendala
EWL mL/kg EWL mL/kg Dehidrasi
5% 50 3% 30 Ringan Mukosa mulut Mukosa mulit kering dapat
kering. disebabkan pernapasan
mulut yang kronik.
Oliguria. Jumlah dan frekuensi sulit
ditentukan saat diare
terutama pada bayi
perempuan.
10% 100 56% 5060 Sedang Oliguria jelas.
+
Turgor kulit Dipengaruhi Na serum.
kembali lambat
Ubun- ubun Hanya pada bayi.
besar cekung.
+
Takikardia. Dipengaruhi demam, Na ,
penyakit yang mendasari.
15% 150 79% 7090 Berat Hipotensi. Dipengaruhi penyakit dasar.
Gangguan
perfusi.
26
Sumber: Robert

Jumlah cairan yang diperlukan untuk rehidrasi dihitung menjumlahkan cairan


defisit, cairan rumatan, dan concomittant loss. Jumlah cairan rumatan dapat
menggunakan formula Holliday-Segar.

Bandung, 2627 November 2016 177


Tabel 6 Kehilangan dan Kebutuhan Rumatan Cairan dan Elektrolit pada Pasien KAD
Anak

Rata-rata Kehilangan Kebutuhan Rumatan 24 jam


per kg
Air 70 mL (30100) 10 kg 100 mL/kgBB/24 jam.
1120 kg 1.000 mL+50 mL/kgBB/24 jam untuk setiap kg
mulai 1120
>20 kg 1.500 mL+20 mL/kgBB/24 jam untuk setiap kg >20
Natrium 6 mmol (513) 24 mmol
Kalium 5 mmol (36) 23 mmol
Chlorida 4 mmol (39 23 mmol
Fosfat (0,52,5) mmol 12 mmol
12
Sumber: Wolfsdorf dkk.

Rehidrasi diberikan dengan cara setengah defisit dan setengah rumatan harian
serta setengah diberikan dalam 12 jam, selanjutnya setengah defisit dan rumatan
harian diberikan dalam 24 jam. Rehidrasi direncanakan hingga 48 jam.3,12,27 Kecepatan
pemberian total cairan rumatan 36 jam dalam waktu ini tidak boleh melebihi 1,52
kali kebutuhan rumatan harian.3,12

12 jam pertama : defisit + rumatan harian + concomittant loss


2436 jam selanjutnya : defisit + rumatan harian + concomittant loss

Jika penderita datang dengan dehidrasi berat tanpa syok, diberikan cairan NaCl
fisiologis (NS) 1020 mL/kgBB selama 12 jam dan dapat diulangi bila perlu. Jika
penderita datang dalam keadaan syok, diberikan bolus cairan NS atau Ringer laktat 20
mL/kgBB secepatnya dan dapat diulangi bila syok belum teratasi. Setelah syok teratasi,
jumlah cairan yang akan diberikan adalah jumlah setengah kebutuhan rumatan harian
ditambah setengah defisit cairan dan concomittant loss dengan cairan bolus yang telah
diberikan.
Cairan yang digunakan untuk rehidrasi adalah cairan saline isotonik (NaCl 0,9%/NS,
ringer laktat atau plasmalyte) dengan ditambah 10 mmol kalium (KCL 7,45%) dalam

178 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


setiap 500 mL NS. Cairan NS diganti menjadi cairan D5 dalam 0,45%NS atau D5 dalam
0,2% NS yang ditambahkan kalium bila glukosa darah mencapai 250 mg/dL.12,27

Tata Laksana Asidosis pada Ketoasidosis Diabetikum


Asidosis berat pada KAD bersifat reversibel dengan pemberian cairan dan insulin.
Insulin menghentikan produksi benda keton lebih lanjut, benda keton dimetabolisme
dan dihasilkan bikarbonat.12 Pemberian insulin sangat penting untuk mengembalikan
metabolisme normal sel, untuk menormalkan konsentrasi konsentrasi gula darah,
serta menghentikan lipolisis dan ketogenesis sehingga dapat mengoreksi keadaan
asidosis.3,5,12 Pemakaian insulin akan menurunkan kadar hormon glukagon sehingga
menekan produksi benda keton di hati, pelepasan asam lemak bebas dari jaringan
lemak, pelepasan asam amino dari jaringan otot, dan meningkatkan utilisasi glukosa
oleh jaringan.12
Kamel dan Halperin28 menyatakan bahwa tidak ada manfaat pemberian bikarbonat
dalam asidosis pada KAD. Efek samping pemberian natrium bikarbonat adalah
hipokalemia, memperburuk hiperosmolaritas, meningkatkan asidosis seluler akibat
produksi CO2 yang berlebihan, asidosis paradoksikal sistem saraf pusat, serta
pergeseran kurva disosiasi hemoglobin sehingga mengakibatkan berkurangnya
pasokan oksigen ke dalam sel dan dapat menyebabkan edema serebri.12,28
Pada beberapa kondisi bikarbonat dapat diberikan, yaitu apabila didapatkan
asidosis berat (pH <6,9) dan menetap setelah rehidrasi selama 1 jam, terdapat
penurunan kontraktilitas jantung, serta hiperkalemia yang mengancam nyawa. Jika
bikarbonat dianggap perlu maka dosis yang diberikan 12 mEq/kgBB dalam NaCl
0,45% selama 60 menit.12,28

Penyesuaian Dosis Insulin Saat KAD dan Transisi Subkutan


Berdasarkan Wolfsdorf dkk.12 insulin diberikan pada 12 jam setelah rehidrasi dimulai.
Insulin yang dipakai adalah regular insulin (RI) dan diberikan secara intravena.
Alternatif penggunaan regular insulin secara subkutan 12 jam diberikan

Bandung, 2627 November 2016 179


diperbolehkan hanya pada kondisi di fasilitas kesehatan yang terbatas karena akses
vena sulit didapatkan, pemberian insulin intravena kontinu tidak dapat dilakukan, dan
pasien KAD ringan tanpa gangguan sirkulasi. Penelitian Cohen dkk.29 tentang alternatif
pemberian insulin subkutan pada KAD anak dengan pH >7,0 disimpulkan memiliki
keamanan dan efektivitas yang baik. Dosis yang direkomendasikan sebagai tata
laksana KAD pada anak adalah insulin dosis rendah mulai 0,050,1 U/kgBB/jam.3,12,27
Carmody dkk.30 dalam sebuah penelitian randomized clinical trial memperlihatkan
bahwa dosis awal insulin 0,05 U/kgBB/jam memberikan hasil yang sama memuaskan
menurunkan glukosa darah dan memperbaiki asidosis. Metode melarutkan insulin
dengan menambahkan 50 unit RI ke dalam 50 mL NS untuk mendapatkan 1 unit RI di
dalam 1 mL NS.12,27 Insulin bolus intravena tidak diperlukan karena dapat
meningkatkan risiko edema otak dan eksaserbasi hipokalemia.12
Tujuan pemberian insulin inisial adalah menurunkan glukosa darah tidak lebih dari
100 mg/dL/jam. Setelah pemberian insulin inisial, glukosa darah biasanya turun pada
kecepatan 25 mmol/L/jam (3690 mg/dL/jam).12,31 Bila penurunan glukosa darah <40
mg/dL/jam naikkan dosis insulin secara gradual 0,10,2 unit/kgBB/jam dan lakukan
evaluasi terlebih dahulu apakah insulin sudah diberikan dengan persiapan preparat
insulin atau ekstravasasi dari jalur intravena.5 Ketika kadar glukosa darah mencapai
250300 mg/dL dan masih terdapat asidosis metabolik, cairan diganti menjadi D5
dalam 0,45% NaCl. Hal ini dilakukan untuk mencegah penurunan cepat kadar glukosa
darah sementara melanjutkan infus insulin untuk mengoreksi asidosis metabolik. Bila
penurunan glukosa darah >100 mg/dL/jam, lanjutkan pemberian insulin berikan
glukosa walaupun glukosa plasma belum mencapai 17 mmol/L (300 mg/dL). 5,12
Namun, bila didapatkan hipoglikemia setelah pemberian glukosa dan penggantian
cairan menjadi D5 dalam 0,45% NaCl maka dosis insulin dapat diturunkan 0,02
unit/kgBB/jam sampai 0,05 unit/kgBB/jam. Selanjutnya, kecepatan infus insulin diatur
agar mampu mempertahankan kadar glukosa darah sekitar 150200 mg/dL.31
Saat proses ketoasidosis telah berhenti, pemberian cairan dan insulin dialihkan
menjadi intake per oral dan pemberian insulin subkutan. Menurut Wolsforf dkk.,12

180 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


asidosis ringan/ketosis masih mungkin ada namun secara klinis sudah terjadi
perbaikan yang substantial. Masa transisi ini dapat dilakukan apabila memenuhi
kriteria sebagai berikut:32
- kesadaran baik;
- tanda vital normal;
- mampu mentoleransi asupan oral sehingga cairan intravena harus dikurangi;
- perbaikan asidosis (pH normal >7,3, kadar bikarbonat serum >15 mEq/L, glukosa
darah <250 mg/dL);
- anion gap normal.
Masa transisi ini paling baik dilakukan tepat sebelum waktu makan penderita.
Untuk mencegah terjadi hiperglikemia, injeksi subkutan insulin kerja cepat diberikan
1530 menit sebelum menghentikan infus insulin RI. Jika insulin kerja pendek
subkutan dipakai maka diberikan 12 jam sebelum menghentikan infus insulin RI.12
Pada pasien yang telah terdiagnosis DM tipe 1 sebelumnya maka dapat
melanjutkan regimen insulin yang sebelumnya. Pada pasien yang baru terdiagnosis
maka dosis yang dipakai untuk anak prepubertas adalah 0,751 unit/kgBB/hari dan
pada anak pubertas 12 unit/kgBB/hari.31 Pemberian insulin diberikan 4 kali sehari
berupa regimen insulin kerja cepat yang diberikan sebelum makan pagi, sebelum
makan siang, sebelum makan malam, dan tengah malam masing-masing diberikan
dosis 2/7 atau dosis insulin total.12 Apabila direncanakan pemberian Regimen Basal
Bolus maka pemberian insulin basal dimulai pada malam hari dan pemberian
bersamaan dengan insulin intravena. Pada pagi hari insulin intravena disetop dan
insulin bolus segera diberikan.31

Simpulan
Anak yang menderita DM tipe-1 membutuhkan terapi insulin dan juga tim multidisiplin
yang termasuk di dalamnya ahli endokrin anak yang mengerti bagaimana melakukan
tata laksana dan edukasi bagi penderita dan keluarganya. Ketoasidosis diabetik (KAD)
adalah komplikasi DM paling sering, terutama DM tipe 1. Tata laksana segera dan

Bandung, 2627 November 2016 181


tepat serta monitoring yang ketat sangat penting untuk mendapatkan hasil yang baik
dan mencegah komplikasi. Kerja sama yang baik antara pasien, keluarga, serta tim
dokter dapat mencapai sasaran dan tujuan pengelolaan DM.

Daftar Pustaka
1. Sperling M, Tamborlane W. Diabetes mellitus. Dalam: Sperling M, Battelino T,
Weinzimer S, Phillip M, penyunting. Pediatric endocrinology. Philadelphia:
Saunders Elsevier; 2014. hlm. 846919.
2. Craig M, Jefferies C, Dabelea D, Balde N, Seth A, Donaghue K. Definition,
epidemiology, and classification of diabetes in children and adolescents. Pediatr
Diabetes. 2014;15:13.
3. Cohen M, Shilo S, Zuckerman L, Shehadeh N. Diabetic ketoacidosis in the pediatric
population with type 1 diabetes. Intech. 2015.
4. Ugale J, Mata A, Meert K, Sarnaik A. Measured degree of dehydration in children
and adolescents with type 1 diabetic ketoacidosis. Pediatr Crit Care Med.
2012;13(2).
5. Piva J, Garcia P, Branco R. Diabetic ketoacidosis. Dalam: al WDe, penyuting.
Pediatric critical care medicine. London: Springer-Verlag; 2014.
6. Usher-Smith J, Thompson M, Ercole A, Walter F. Variation between countries in
the frequency of diabetic ketoacidosis at first presentation of type 1 diabetes in
children: a systematic review. Diabetologia. 2012;55:287894.
7. Maahs D, Hermann J, Holman N, Foster N, Kapellen T, Allgrove J. Rates of diabetic
ketoacidosis: International comparison with 49,859 pediatric patients with type 1
diabetes from england, wales, the US, Austria and Germany. Diabetes Care.
2015;38:187682.
8. Usher-Smith J, Thompson M, Ercole A, Walter F. Factors associated with the
presence of diabetic ketoacidosis at diagnosis of diabetes in children and young
adults: a systematic review. BMJ. 2011;343(d4092 ).

182 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


9. Jefferies C, Cutfield S, Derraik J, Bhagvandas J, Albert B, Hofman P, dkk. 15-year
incidence of diabetic ketoacidosis at onset of type 1 diabetes in children from a
regional setting (Auckland, New Zealand). Nature. 2014;5(10358).
10. Tridijaya B, Yati N, Faizi M, Marzuki A, Moelyo A, Soesanti F. Konsensus nasional
pengelolaan diabetes mellitus tipe 1. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak
Indonesia; 2015.
11. Julia M, Utari A, Nurrochmah, M AG. Konsensus nasional pengelolaan diabetes
mellitus tipe 2. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2015.
12. Wolfsdorf J, Allgrove J, Craig M, Edge J, Glaser N, Jaim V. Diabetic ketoacidosis and
hyperglycemic hyperosmolar state. Pediatr Diabetes. 2014;15(Suppl 20):15479.
13. Sherry N, Levitsky L. Management of diabetic ketoacidosis in children and
adolescent. Pediatr Drugs. 2008;10(4):20915.
14. American Diabetes Association. Type 2 diabetes in children and adolescents.
Diabetes Care. 2000;23(3):3819.
15. Kappy MS, Allen DB, Geffner ME. Diabetes mellitus. Dalam: Cooke DW, Plotnick L,
Dabelea D, Klingensmith GJ, Gallo L, Silverstein JH, penyunting. Pediatric practice:
Endocrinology. New York: McGraw-Hill; 2010. hlm. 34392.
16. Rewers MJ, Pillay K, Neaufort Cd, Craig ME, Hanas R, Acerini CL. Assessment and
monitoring of glycemic control in children and adolescents with diabetes. Pediatr
Diabetes. 2014;15:10214.
17. Malkani S, Mordes JP. Implications of using hemoglobin a1c for diagnosing
diabetes mellitus. Am J Med. 2011;124:395401.
18. Ly T, Maahs D, Rewers A, Dunger D, Oduwole A, Jones T. Hypoglycemia:
assessment and management of hypoglycemia in children and adolescents with
diabetes. Pediatr Diabetes. 2014;15 (Suppl. 20):18092.
19. Akingbola O, Singh D, Yosypiv I, Frieberg E, Younger M, El-Dahr S. The role of renal
regulatory mechanism in the evolution and treatment of pediatric diabetic
ketoacidosis. Open J Endocr Metab Dis. 2013;3:809.

Bandung, 2627 November 2016 183


20. Danne T, Bangstad H-J, Deeb L, Jarosz-Chobot P, Mungaie L, Saboo B, dkk. Insulin
treatment in children and adolescents with diabetes. Pediatr Diabetes.
2014;20:11534.
21. Wherrett D. Type 1 diabetes in children and adolescents. Can J Diabetes.
2013;37:S153S62.
22. Brink S, Joel D, Laffel L, Lee W, Olsen B, Phelan H, dkk. Sick day management in
children and adolescents with diabetes. Pediatr Diabetes. 2014;15(Suppl.
20):193202.
23. Alemu S, Dessie A, Seid E. Insulin-requiring diabetes in rural ethiopia: Should we
re-open the case of malnutrition related diabetes. Diabetologia. 2009;52:18425.
24. Murunga AN, Owira PMO. Diabetic ketoacidosis: an overlooked child killer in sub-
zaharan africa? Trop Med Intern Health. 2013;18:135764.
25. Sottosanti M, Morrison G, Singh R, Sharma A, Fraser D, Alawi K. Dehydration in
children with diabetic ketoacidosis: a prospective study. Arch Dis Child Ed.
2012;97:96100.
26. Roberts K. Fluid and electrolytes: Parenteral fluid theraphy. Pediatr Rev.
2001;22(11).
27. Edge J. Bsped recommended guideline for the management of children and young
people under the age of 18 years with diabetic ketoacidosis 2015. Tersedia dari:
http://www.bsped.org.uk/clinical/docs/DKAguideline.pdf.
28. Kamel K, Halperin M. Acidbase problems in diabetic ketoacidosis. N Engl J Med.
2015;372(6).
29. Cohen M, Leibovitz N, Shilo S, Zuckerman-Levin N, Shavit I, Shehadeh N.
Subcutaneous regular insulin for the treatment of diabetic ketoacidosis in
children. Pediat Diabetes. 2016.
30. Carmody D, Naylor N, Philipson L. Insulin dosing in pediatric diabetic ketoacidosis
where to start? JAMA Pediatr. 2015;168(11):9991005.
31. Sivanandan S, Sinha A, Jain V, Lodha R. Management of diabetic ketoacidosis.
Indian J Pediatr. 2010;10:2948.

184 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


32. Cooke D, Plotnick L. Management of diabetic ketoacidosis in children and
adolescents. Pediatr Rev. 2008;29(12):4316.

Bandung, 2627 November 2016 185


Pendekatan Komprehensif Nyeri Perut pada Anak
Yudith Setiati Ermaya

Pendahuluan
Nyeri perut masih menjadi masalah dalam kesehatan yang sering terjadi pada anak,
meskipun sebagian besar anak yang mengalami nyeri perut akut memiliki kondisi yang
berbeda setiap individu, rasa nyeri tersebut dapat bermanifestasi menjadi nyeri yang
bersifat darurat bedah atau medis. Tantangan yang paling sulit adalah membuat
diagnosis yang tepat waktu sehingga pengobatan dapat dimulai dengan tepat dan
morbiditas dapat dicegah.1
Nyeri perut dapat berupa nyeri perut akut ataupun nyeri perut yang berulang
(kronik). Meskipun banyak kasus sakit perut akut yang tidak berat, namun beberapa
memerlukan diagnosis dan pengobatan yang cepat untuk meminimalkan morbiditas.
Nyeri perut akut biasanya kondisi tidak berat, seperti gastroenteritis, sembelit, atau
penyakit virus. Namun, tantangan bagi dokter adalah untuk mengidentifikasi anak
yang memiliki kondisi umum dan berpotensi mengancam jiwa yang membutuhkan
evaluasi dan pengobatan yang segera, seperti radang usus buntu, intususepsi,
volvulus, atau adhesi. Kejadian nyeri perut anak secara epidemiologi ditemukan
berbeda-beda.2
Dalam kebanyakan kasus, nyeri perut dapat didiagnosis melalui anamnesis dan
pemeriksaan fisis, namun sebagian dari itu memerlukan pemeriksaan penunjang yang
khusus. Usia merupakan salah satu faktor kunci dalam mengevaluasi penyebab
kejadian, kondisi, serta gejala yang berbeda sangat bervariasi berdasarkan usia anak.1

Patofisiologi
Secara klinis, nyeri perut dibagi ke dalam tiga kategori: nyeri viseral (splanchnic), nyeri
parietal (somatik), dan nyeri yang menyebar (referred). Nyeri viseral terjadi apabila
terdapat rangsangan pada otot dan mukosa organ berongga. Apabila terjadi kontraksi,
ketegangan, peregangan, dan iskemia akan merangsang saraf nyeri viseral atau
rangsangan yang berlebihan pada otot yang menyebabkan iskemia, misalnya pada

186 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


kolik atau radang. Pasien yang merasakan nyeri viseral tidak dapat menunjukkan
secara tepat letak nyeri, rasa nyeri ini dikarenakan memiliki ujung saraf lebih sedikit di
dalam usus, tidak bermielin, bilateral, dan masukan sumsum tulang belakang pada
beberapa tingkatan.1,3
Saluran cerna yang berasal dari usus depan (foregut), yaitu lambung, duodenum,
sistem hepatobilier, dan pankreas menyebabkan nyeri di ulu hati atau epigastrium.
Saluran cerna yang berasal dari usus tengah (midgut), yaitu usus halus dan usus besar
sampai pertengahan kolon tranversum menyebabkan nyeri di sekitar umbilkus.
Saluran cerna yang berasal dari usus belakang (hindgut), yaitu pertengahan kolon
transversum sampai dengan kolon sigmoid menimbulkan nyeri perut bagian bawah
termasuk buli-buli dan rektosigmoid. Nyeri viseral tidak disertai rangsangan
peritoneum sehingga pasien dapat aktif bergerak. Rasa sakit dapat digambarkan
berupa rasa tidak nyaman, difus, kram, atau terbakar dan dapat mendorong anak
untuk bergerak dalam upaya untuk mengurangi rasa sakit. Karena saraf autonom
terlibat secara sekunder dalam proses patologis yang sama, pasien juga dapat
menunjukkan berkeringat, mual, muntah, pucat, dan kecemasan.1
Nyeri parietal (somatik) terjadi karena rangsangan pada bagian yang dipersarafi
oleh saraf tepi. Nyeri dirasakan seperti ditusuk-tusuk atau disayat dan pasien dapat
menunjukkan secara tepat letak nyeri dengan jari. Setiap gerakan penderita, baik
gerak tubuh, napas dalam, dan batuk akan menambah rasa nyeri. Nyeri yang terjadi
akibat iskemia, inflamasi, atau peregangan peritoneum parietal. Reseptor nyeri
parietal terletak terutama di peritoneum parietal, otot, dan kulit akan dilanjutkan
melalui saraf aferen bermielin dan banyak, nyeri parietal biasanya tajam, rasa sakit
yang lebih lokal, terkait dengan satu sisi atau yang lain, lebih intens, dan lebih sering.1
Letak dan sifat nyeri perut dapat dibedakan berupa nyeri viseral dari suatu organ
biasanya sesuai dengan letak organ tersebut, sedangkan letak nyeri somatik dekat
dengan organ sumber nyeri somatik. Nyeri kolik merupakan nyeri viseral akibat
spasme otot polos organ berongga dan biasanya disebabkan oleh hambatan pasase
dalam organ tersebut, misalnya obstruksi usus, batu ureter, batu empedu, ataupun
peningkatan intraluminer. Nyeri ini timbul karena hipoksia dan dirasakan hilang

Bandung, 2627 November 2016 187


timbul, mual bahkan sampai muntah, dan dalam serangan penderita sering gelisah.
Trias nyeri kolik antara lain serangan nyeri perut yang hilang timbul disertai mual atau
muntah dan gerak paksa.1,3
Untuk menentukan etiologi nyeri perut akut dapat dibedakan berdasarkan letak
dari nyeri tersebut (Gambar 1) atau pun etiologi berdasarkan usia (Tabel 1). Pada nyeri
abdomen yang kronik memiliki etiologi dan klasifikasi yang berbeda pula, pada nyeri
perut kronik atau berulang dapat disebabkan oleh kelainan fungsional ataupun
kelainan organik. Dengan demikian, pendekatan untuk diagnostik dan tata laksana
pada nyeri perut berbeda.4
Pada gambaran etiologi berdasarkan lokasi kuadran perut dibedakan menjadi 8
kuadran yang memiliki spesifikasi masing-masing seperti pada Gambar 2 di bawah ini.5

NYERI ABDOMEN
YANG MENYEBAR
Pankreatitis akut Iskemik mesenterik
Kertoasidosis diabetikum Peritonitis (akibat apapun)
Gejala awal apendisitis Krisis sickle cell
Gastroenteritis Peritonitis spontan
Obstruksi intestinal Demam tifoid
NYERI KUADRAN
KANAN ATAU KIRI ATAS
Pankreatitis akut
Herpes zoster
NYERI KUADRAN Pneumonia lobus bawah
KANAN ATAS Iskemik miokardial
Kolesistitis Radikulitis
dan kolik bilier
Hepatomegali
kongestif
Hepatitis atau NYERI KUADRAN
abses hepatik KIRI ATAS
Ulkus duodenum perforasi Gastritis
Apendisitis retrosekal Gangguan limpa (abses,
(jarang) ruptur

NYERI KUADRAN
KANAN BAWAH
Apendisitis
Divertikulitis sekum NYERI KUADRAN
Divertikulitis Meckel KIRI BAWAH
Adenitis mesenterik Diverkulitis sigmoid

NYERI KUADRAN BAWAH


KANAN ATAU KIRI
Abses abdomen/psoas
Hematoma dinding abdomen
Sistitis
Endometriosis
Hernia inkarserata/strangulata
Inflammatory bowel disease
Mittelschmerz
Peradangan panggul
Batu ginjal
Ruptur aneurisme aorta abdominal
Ruptur kehamilan ektopik
Kista ovarium/testis terpuntir

Gambar 1 Etiologi Abdomen Akut berdasarkan Lokalisasi Nyeri


Sumber: https://www.pinterest.com/pin/397161260865604285

188 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


Keadaan Berat Tersangka Obstruksi Usus Tersangka Gangguan Hepatobilier
Lemah, tampak sakit berat, Distensi abdomen Nyeri daerah kanan atas atau
nyeri yang hebat, Muntah berulang/bilious epigastrium, ikterus, hepatomegali,
tanda vital tidak stabil mual, muntah

Bandung, 2627 November 2016


Foto polos abdomen Foto polos abdomen Darah rutin, urin rutin Amilase, lipase
Segera konsul bedah anak Konsul bedah anak Konsul bedah anak Tes fungsi hati: SGOT, SGPT, GGT
USG atau CT-scan abdomen USG abdomen USG abdomen USG abdomen
Diagnostik parasinteses CT-scan abdomen CT-scan abdomen Hepatobilier skintigrafi
Laparotomi emergensi Laparotomi

Perforasi Neonatus: volvulus Pankreatitis


Perdarahan intra-abdominal 2 bulan2 tahun: intususepsi Kolesistitis akut
Enterokolitis nekrotikan hirschsprung Kolangitis
Volvulus hernia inkarserata Koleduk olitiasis
Infeksi mesenterial >2 tahun: adhesi

Gambar 2 Alogaritme Pendekatan Diagnosis Nyeri Perut Akut yang Memerlukan Tindakan Segera
2
Sumber: Kim

189
Pada beberapa keadaan dapat dilakukan pendekatan diagnostik berdasarkan usia
selain dari lokasi nyeri untuk menentukan etiologi.

Tabel 1 Diagnosis Banding Nyeri Abdomen Akut Menurut Usia


Lahir s.d. 1 Tahun 25 Tahun 611 Tahun 1218 Tahun
Kolik infantil Gastroenteritis Gastroenteritis Apendisitis
Gastroenteritis Apendisitis Apendisitis Gastroenteritis
Konstipasi Konstipasi Konstipasi Konstipasi
Infeksi saluran kemih Infeksi saluran kemih Nyeri fungsional Dysmenorrhea
Intususepsi Intususepsi Infeksi saluran kemih Penyakit inflamasi pelvis
Volvulus Volvulus Trauma Abortus imminens
Hernia inkarserata Trauma Faringitis Kehamilan ektopik
Hirschprung Faringitis Pneumonia Torsio ovarium/testis
Sickle cell crisis Sickle cell crisis
Henoch-Schonlein Henoch-Schonlein
purpura purpura
Limfadenitis Limfadenitis
mesenterika mesenterika
4
Sumber: Balanchandran dkk.

Anamnesis
Sering kali hal yang paling penting yang dibutuhkan untuk diagnosis adalah riwayat
penyakit. Urutan timbulnya gejala, perjalanan penyakit, karakteristik muntah dan
buang air besar, serta sifat nyeri yang penting. Misalnya, rasa sakit usus buntu
mungkin sudah mulai satu atau dua hari sebelumnya, kemudian meningkat dan
menujukkan lokasi. Rasa sakit yang umumnya mulai sebagai nyeri lokal dan samar-
samar (yaitu reseptor viseral yang terpengaruh) sebagai peradangan.1,3
Pada nyeri akut berupa nyeri dirasakan segera dan dalam waktu yang singkat atau
mendadak perlu ditanyakan pula apakah disertai panas badan, muntah, diare,
konstipasi, disuria, batuk, napas pendek, nyeri dada, nyeri sendi, ruam, urin
kemerahan, amenorrhoea, dan penggunaan obat ataupun keracunan.
Pada nyeri kronik atau berulang terjadi bila keluhan lebih dari 3 bulan hilang
timbul dan penilaian nyeri dapat menggunakan sekala nyeri. Dapat bersifat fungsional
95% ataupun organik 5%.1,3

190 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


Pemeriksaan Fisis
Pada pemeriksaan fisis diperlukan ketelitian selain keadaan unum pasien, diperiksa
pula lokalisasi nyeri, ketegangan dinding perut, peristaltik meningkat atau menurun,
teraba massa di abdomen, colok dubur untuk menilai ampula rekti, tonus sphincter,
terdapat massa, serta lokalisasi rasa nyeri dan darah.1,3

Laboratorium
Dalam kasus yang cukup sulit, pemeriksaan laboratorium yang sering dilakukan
termasuk hitung darah lengkap, laju endap darah, feses, dan urin. Pemeriksaan
penunjang lainnya pun diperlukan pada nyeri abdomen akut: radiologi (foto polos,
barium meal atau barium enema dan ultrasonografi abdomen (USG). Pada nyeri perut
kronik diperlukan pemeriksaan lain, seperti antigen feses untuk Helicobacter pylori, uji
napas dengan urea, uji urease, uji serologi, dan endoskopi.13
Pendekatan pada nyeri perut akut dapat menggunakan alogaritme seperti
diperlihatkan Gambar 2 di atas.

Nyeri Perut
Nyeri perut sering terjadi pada bayi dan anak.

Nyeri perut akut


1. Intususepsi
Intususepsi merupakan suatu invaginasi atau masuknya satu segmen usus ke dalam
segmen yang lebih distal (a neighbouring loop of bowel) oleh peristaltik.6,7 Ini
adalah penyebab paling umum obstruksi usus pada bayi yang terjadi biasanya
antara usia 4 hingga 10 bulan.8 Pada sebagian besar intususepsi bayi terjadi pada
ileum terminal yang masuk melalui katup ileosekal ke sekum. Pada Intususepsi ini
terjadi penarik pembuluh darah usus yang mensuplai darah jaringan tersebut. Jika
intususepsi terjadi sangat ketat terjadi penekanan maka pasokan vaskular usus
dapat berkurang sehingga menyebabkan iskemia, nekrosis, dan pada akhirnya
perforasi. Intususepsi yang tidak ditata laksana dapat berakibat fatal.9 Dalam

Bandung, 2627 November 2016 191


beberapa kasus, intususepsi dapat disebabkan oleh polip, tumor, atau Meckel
divertikulum yang tertarik ke distal. Penyebab pada bayi biasanya tidak diketahui.
Beberapa penelitian telah diketahui disebabkan oleh hipertrofi kelenjar getah
bening mesenterika karena infeksi virus.3
Insidensi intususepsi pada penelitian di berbagai negara Amerika, Asia, Eropa,
Afrika ataupun Asia tengah sebanyak 75 per 100.000 antara anak <1 tahun dengan
usia puncak kejadian adalah 57 bulan.9 Dari anamnesis dapat diketahui gejala
awal pada intususepsi adalah bayi tiba-tiba mengalami sakit perut yang hebat
dengan muntah pada interval yang sering serta terus menerus, letargis, distensi
pada abdomen, pucat, bayi tampak rewel terutama bersamaan dengan peristaltik,
selama episode nyeri biasanya bayi akan menarik lutut ke perut arah sambil
menangis, dan terkadang anak berbaring tenang antara gelombang peristaltik. Jika
intususepsi tidak segera diobati gejala dapat memburuk berupa muntah berwarna
hijau tua dan buang air besar didapatkan lendir dan darah (currant jelly stool).3,9,10
Pada pemeriksaan fisis didapatkan perut membesar dan tegang serta ditemukan
massa berbentuk sosis di daerah perut yang sesuai dengan usus kecil atau besar
teraba di sisi kanan atau di kuadran kanan atas perut, pada pemeriksaan colok
dubur didapatkan rektum kolaps, dan ditemukan lendir disertai darah.3,11,12,14
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah foto polos abdomen didapatkan
peningkatan udara pada segmen usus halus dan pemeriksaan penunjang USG
abdomen dapat mengonfirmasi kasus intususepsi, berupa bentuk yang disebut
target sasaran atau bentuk donat (target sign/doughnut sign) atau bentuk
sandwich.3,15,16
Tata laksana setelah intususepsi didiagnosis harus segera. Perbaikan keadaan
umum, memeriksa elektrolit serta hemoglobin darah anak, dan dapat memberikan
cairan infus. Pada kasus intususepsi tindakan segera untuk mencegah terjadi
nekrosis usus. Tindakan yang dilakukan adalah dengan enema kontras udara, udara
lebih aman dan lebih bersih daripada cair serta lebih efektif, dokter mendorong
materi udara atau kontras (zat yang digunakan untuk membuat struktur seperti

192 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


usus menonjol pada gambar radiologi) ke dalam usus melalui dubur anak. Hal ini
akan memaksa segmen usus yang terkena keluar kembali ke posisi normal. Jika
enema gagal, operasi harus segera dilakukan untuk mengurangi intususepsi.3
Pembedahan dilakukan bila enema kontras tidak berhasil atau dokter menemukan
kerusakan pada usus. Operasi yang dilakukan adalah reseksi usus yang terkena.12
Sejak tahun 2000, intususepsi di Amerika Serikat sekitar 35 kasus per 100 000 bayi
yang dirawat inap dengan berbagai variasi manajemen tata laksana, telah terjadi
penurunan yang signifikan dengan teknik reduksi enema terhadap tindakan
bedah.17,18 Namun, masih terdapat kondisi intususepsi berulang dan disertai
komplikasi setelah reduksi usus.19

Gambar 3 a. Intususepsi, b. Current Jelly Stool, c. Neighbouring Loop of Bowel, d.


Foto Polos Abdomen dengan Gambaran Dilatasi Segmen Usus Halus, e.
Gambaran USG Longitudinal (Sandwich Appearance) dan Sagital
Doughnut Sign
11
Sumber: a. Amole; b. https://kchemimage.files.wordpress.com/2015/12/2016_01.jpg?w
=620&h=827; c. https://openi.nlm.nih.gov/imgs/512/227/3113992/PMC311399
15
2_1752-1947-5-176-4.png; d. Kang dan Peter; e. https://images.radiopaedia.
org/images/549/fb3d5a46fd6ab4580e2761c5a7d7e4_big_gallery.jpg

Prognosis lebih baik jika terdiagnosis lebih awal dan tata laksana segera sangat
penting untuk mengurangi risiko kerusakan usus (nekrosis). Anak yang pernah

Bandung, 2627 November 2016 193


intususepsi memiliki risiko lebih tinggi mengalami kekambuhan setelah reduksi.3

2. Volvulus
Volvulus diawali karena terdapat malrotasi atau pemutaran pada organ saluran
yang dapat terjadi pada fase pembentukan embrional, terjadi keadaan memuntir
pada lokasi tertentu sehingga dapat menyebabkan vaskularisasi terblokade,
iskemia, dan obstruksi. Hal ini mengakibatkan nekrosis pada jaringan yang terkena
dan menyebabkan kedaruratan bedah, sedangkan keterlambatan dalam intervensi
bedah dapat menyebabkan sindom usus pendek atau kematian.20,21 Pasien dengan
volvulus dapat memiliki gejala seperti muntah, gagal tumbuh, nyeri perut, ataupun
gejala lain yang tidak spesifik.21
Volvulus dapat terjadi pada berbagai lokasi seperti volvulus gaster yang memiliki
gejala muntah tidak hijau (nonbileous) dan jika diketahui lebih awal dan ditata
laksana segera akan memberikan hasil yang baik, sedangkan jika terlambat dapat
mengancam jiwa.2224 Insidensi volvulus gaster tidak diketahui secara jelas karena
masih ada kasus-kasus yang tidak terdiagnosis. Sekitar 1520% terjadi pada anak
usia urang dari satu tahun dan sering berhubungan dengan defek diafragma
kongenital.
Pada volvulus usus kecil dapat berupa gambaran muntah kehijauan (bilious),
sedangkan volvulus pada usus besar sering disertai buang air besar disertai darah.
Volvulus intestinal (midgut) terjadi karena malrotasi terutama pada dasar
mesenterium yang kemudian usus halus berputar atau terpuntir di sekitar arteri
mesentrik superior sehingga terjadi gangguan vaskular yang dapat menyebabkan
iskemia dan nekrosis.21 Volvulus biasanya sering terjadi pada usia kurang dari 1
tahun, tetapi dapat terjadi pada usia berapa pun. Bila terjadi obstruksi dapat
mengakibatkan muntah yang berwarna kehijauan (empedu) dan rasa nyeri,
meskipun rasa nyeri sangat sulit diketahui pada bayi, namun muntah berwarna
hijau merupakan salah satu tanda kedaruratan bedah serta buang air besar disertai
darah sebagai gejala klinis akhir.2123

194 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


Pemeriksaan foto polos abdomen sangat mendukung pada pasien yang
didapatkan perut membesar terutama pada duodenum proksimal, tetapi diagnostik
penunjang utama untuk volvulus adalah barium meal bagian atas dengan kontras
dapat gambaran seperti corkscrew sign. Baru-baru ini, Doppler ultrasonografi telah
digunakan untuk mendeteksi volvulus dan malrotasi.2426

Gambar 4 Volvulus dengan Gambaran Diagnostik Penunjang (a) Volvulus Gaster, (b)
Volvulus
23 21 20 26
Sumber: a. Jeyarajah dan Harford; b. Saigal dkk.; c. Francesco dkk., Yamamoto,
www.biology-forums.com, dan http://cursoenarm.net/UPTODATE/contentsmobi
preview.htm?31/1/31763

Tata laksananya adalah berupa tindakan bedah, yaitu lambung atau usus harus
dipilin (dikembalikan ke posisi anatomis) sebelum nekrosis.20,21

Nyeri Perut Kronik (Berulang)


Definisi sakit perut kronik digunakan secara klinis dan dalam penelitian selama 40
tahun terakhir telah menggunakan kriteria minimal 3 episode nyeri selama setidaknya
3 bulan dan mengganggu secara fungsi.27 Dalam praktik klinis, umumnya rasa sakit
yang melebihi durasi 1 atau 2 bulan dapat dianggap kronik. Seorang anak yang
mengalami nyeri perut kronik memerlukan penanganan yang komprehensif dan
mendalam meskipun gejala biasanya ringan, namun orangtua biasanya sangat

Bandung, 2627 November 2016 195


khawatir nyeri perut tersebut dapat berupa nyeri perut fungsional. Namun, hanya
sejumlah kecil anak tersebut yang mengalami nyeri perut yang disebabkan oleh
penyakit organik yang mendasari. Pada kebanyakan anak, rasa sakit adalah fungsional,
yaitu tanpa bukti kondisi patologis seperti anatomi, metabolisme, infeksi, inflamasi,
atau gangguan neoplastik.27,28
Patofisiologi nyeri perut fungsional diduga melibatkan kelainan pada sistem saraf
enterik (ENS), sistem saraf yang kaya dan kompleks yang menyelubungi seluruh
saluran pencernaan. ENS juga dikenal sebagai "usus otak" atau "otak kecil di dalam
usus."28,29 Saat ini diketahui bahwa orang dewasa dan anak dengan gangguan usus
fungsional (daripada memiliki motilitas dasar disturbance), mungkin memiliki
reaktivitas usus yang abnormal terhadap rangsangan fisiologis (makan, usus distensi,
perubahan hormonal), rangsangan stres berbahaya (proses inflamasi), atau
rangsangan stres psikologis (perceraian, kecemasan).28,30 Selain itu, pasien dewasa
dengan gangguan usus fungsional sering ditemukan memiliki gangguan psikologi tanpa
diagnosis akhir. Disimpulkan bahwa faktor psikologis mungkin lebih penting dalam
menentukan perilaku kesehatan daripada penyebab simtom.28,31
Nyeri perut berulang dikarenakan infeksi H. pylori pada anak berbeda dari orang
dewasa dalam hal prevalensi infeksi, tingkat komplikasi, kecenderungan keganasan
lambung, masalah obat-obatan, dan resistensi antibiotik yang tinggi. Dibanding
dengan orang dewasa, ulkus peptikum jarang ditemukan pada anak terinfeksi yang
dilakukan endoskopi bagian atas. Dalam sebuah studi multisenter di Eropa termasuk
1.233 anak dengan gejala infeksi H. pylori, ulkus peptikum didiagnosis pada <5% anak-
anak muda usia dari 12 tahun dan 10% dari remaja.32,33 Selain itu, nyeri perut
fungsional yang sering dijumpai adalah nyeri perut berulang. Pada penelitian di RSHS
sebagai rumah sakit rujukan tersier pada tahun 2015 didapatkan 90% nyeri perut
berulang pada pasien anak dengan kondisi nyeri perut berulang yang berat
dikarenakan infeksi H. pylori, keluhan yang didapatkan dapat berupa mual, muntah,
nyeri perut berulang, hingga muntah darah.34 Keganasan lambung yang berkaitan
dengan infeksi H. pylori biasanya terjadi pada usia dewasa dengan hanya beberapa

196 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


laporan kasus limfoma di kelompok usia anak.33,35,36 Di negara berkembang dan
industri infeksi H. pylori biasanya diperoleh pada tahun-tahun pertama kehidupan. Di
Eropa dan Amerika Utara, epidemiologi infeksi H. pylori pada anak telah berubah
dalam beberapa dekade terakhir. Tingkat kejadian yang rendah ditemukan di negara-
negara utara dan Eropa Barat, mengakibatkan prevalensi jauh di bawah 10% pada
anak dan remaja.33 Pada nyeri perut kronik dapat menggunakan pendekatan
alogaritme (Gambar 5).34
Pada nyeri perut kronik yang fungsional dapat ditemukan beberapa keadaan seperti
fungsional dispepsia, irritable bowel syndrome (IBS), abdominal migrain, dan nyeri
perut fungsional nonspesifik. Pada nyeri perut kronik yang bersifat organik pada anak
remaja dapat dilihat pada Tabel 2.40

Tabel 2 Penyebab Organik Nyeri Perut Kronik


Beberapa Penyebab Organik Nyeri Perut Kronik pada Anak Remaja
Intoleransi makanan (misalnya, malabsorbsi pencernaan yang buruk laktosa, fruktosa/sorbitol).
Penyakit Celiac.
Gastroesophageal reflux disease/esofagitis.
Dismenore.
Penyakit saluran kemih.
Penyakit radang usus kroniks (penyakit Crohn, ulcerative colitis, kolitis tidak tentu).
Penyakit ulkus peptikum (infeksi Helicobacter pylori).
Infeksi Yersinia (Y. enterocolitica, Y. pseudotuberculosis).
Pankreatitis.
Penyakit hepatobiliari.
Malformasi anatomis (divertikulum Meckel, malrotasi, duplikasi).
Sakit penyakit neoplastik.
40
Sumber: Bufler dkk.

Bandung, 2627 November 2016 197


198
Stool H. pylori antigen atau

toksin
clostridium

Sindrom nyeri fotofobia,


Endoskopi diindikasikan jika perut fungsional
Esofagogastroduodeno

Disfagia persisten
work up
Abdominal Migraine
dieksklusi
Upper Gi series: jika

aktivitas harian

Gambar 5 Alogaritme Pendekatan Diagnosis pada Nyeri Perut Kronik


39
Sumber: Bishop

Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


Pada beberapa kondisi nyeri perut kronik dapat diketahui dari anamnesis dan
pemeriksaan fisis beberapa tanda bahaya red flag sehingga kita lebih waspada
terhadap pasien jika tanda-tanda tersebut muncul dalam memberikan tata laksana
segera.40

Tabel 3 Tanda Bahaya pada Penyebab Organik Nyeri Perut Kronik


Red Flag Tanda-tanda dari Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis Penyebab Organik Sakit
Perut Kronik pada Anak dan Remaja
Gejala persisten di kuadran kanan atas dan bawah.
Disfagia, mulas.
kehilangan lebih 10% berat badan.
Gangguan pertumbuhan.
Muntah berulang.
Diare kronik.
Bukti kehilangan darah gastrointestinal (darah terlihat di feses atau tes darah samar positif).
Demam yang tidak diketahui asalnya.
Temuan secara pemeriksaan fisis yang abnormal, misalnya massa teraba, hepatomegali,
splenomegali.
Riwayat keluarga penyakit kronik inflamasi usus, penyakit celiac, penyakit ulkus peptikum,
atau kondisi perut lainnya.
Artritis.
Gangguan berkemih.
Tertundanya pubertas.
40
Sumber: Bufler dkk.

Nyeri Perut Berulang


Keluhan pada perut dapat berupa nyeri, mual, dispepsia, atau gejala lain yang tidak
spesifik yang dapat disebabkan oleh berbagai penyebab organik ataupun yang
disebabkan oleh penyakit di luar saluran cerna. Pada penyakit ini dapat tidak tepatnya
diagnostik atau tata laksana yang terlambat. Salah satu penyebab tersering secara
organik adalah gastritis ataupun duodenitis yang disertai dengan ulkus peptikum.
Penyakit yang disebabkan oleh infeksi Helycobacter pylori (HP) ditandai dengan biakan
(+) biopsi gaster.3234

Bandung, 2627 November 2016 199


Secara epidemiologi Helicobacter pylori dilaporkan menyebabkan infeksi 50%
penduduk dunia dan infeksi ini didapat sejak anak berusia muda terutama di negara
berkembang. Prevalensi infeksi pada anak usia 04 tahun mencapai 4,542,11%.3236
Helicobacter pylori mempunyai gambaran yang unik, berbentuk spiral dengan flagel,
terdapat 46 flagel pada satu sisinya, flagel berbentuk seperti pentolan (Gambar 6).34

Y, G, 13 yr, Gastric ulcer

Gambar 6 Histologi Antrum dengan Infeksi Helicobacter pylori Bakteri Spiral dengan
Flagel, Ulkus Antrum
34
Sumber: Ermaya dan Prasetyo

Manifestasi klinis yang ditemukan sangat bervariasi, sebagian besar tidak bergejala,
dan jarang menimbulkan gejala khusus. Kelainan yang mungkin timbul, yaitu ulkus
peptikum atau ulkus duodenum yang menimbulkan gejala dispepsia atau nyeri perut
berulang, serta juga dilaporkan muntah dan hematemesis.32,34 Pada anamnesis sering
dijumpai keluhan dispepsia, nyeri perut berulang, muntah, dan hematemesis. Dengan
pemeriksaan fisis didapatkan nyeri tekan epigastrum. Pemeriksaan penunjang sebagai
baku emas adalah pemeriksaan endoskopi untuk mengetahui diagnosis anatomis dan
histologis serta mengetahui infeksi HP (Tabel 4).3235
Bila terbukti didapatkan nyeri perut berulang disebabkan oleh infeksi HP, segera
dilakukan eradikasi dengan tujuan penyembuhan ulkus dan menghilangkan gejala.
Target hasil eradikasi >80%.

200 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


Tabel 4 Pemeriksaan Lain yang Menunjang Diagnosis Helicobacter pylori
Pemeriksaan Invasif Pemeriksaan Noninvasif
Histologi Uji serologis: darah, urin, saliva, feses.
Uji urease Uji napas dengan urea.
Kultur endoskopi Pemeriksaan DNA HP.
Polymerase chain reaction (PCR) Antigen HP dalam feses.

Tata laksana dan pengobatan memiliki prinsip, yaitu tidak dianjurkan pemberian
antibiotik tunggal; dianjurkan penggunaan 2 macam antibiotik; pilihan selanjutnya: 3
macam antibiotik + penghambat pompa proton (proton pump inhibitor/PPI).3236
Terapi tripel, yaitu PPI, amoksisilin, dan klaritromisin/metronidazol. Pemberian
eradikasi tripel, PPI dan 2 antibiotik 714 hari merupakan obat pilihan utama.32 Pada
tata laksana terapi H. pylori dapat menggunakan alur seperti diperlihatkan Gambar 7.33

Tabel 5 Pilihan Obat Terapi Tripel pada Infeksi Helicobacter pylori


Obat Dosis Durasi
Amoksisilin + 50 mg/kgBB/hr dibagi 2 dosis 14 hari
klaritromisin + 15 mg/kgBB/hr dibagi 2 dosis 14 hari
PPI/ 1 mg/kgBB/hr dibagi 2 dosis 1 bulan
H2 antagonis 24 mg/kgBB/hr dibagi 2 dosis
Atau
Amoksisilin + 50 mg/kgBB/hr dibagi 2 dosis 14 hari
metronidazol + 20 mg/kgBB/hr dibagi 2 dosis 14 hari
PPI/ 1 mg/kgBB/hr dibagi 2 dosis 1 bulan
H2 antagonis 24 mg/kgBB/hr dibagi 2 dosis
Atau
Klaritromisin + 15 mg/kgBB/hr dibagi 2 dosis 14 hari
metronidazol + 20 mg/kgBB/hr dibagi 2 dosis 14 hari
PPI/ 1 mg/kgBB/hr dibagi 2 dosis 1 bulan
H2 antagonis 24 mg/kgBB/hr dibagi 2dosis

Bandung, 2627 November 2016 201


202
H. pylori

dan atau gastritis


Terapi berdasarkan Bismuth

Tes noninvasif untuk

Bismuth-AMO-MET atau
HP
tereradikasi?
Tes noninvasif untuk

HP
tereradikasi? Bismuth
Terapi Quadriple

Gambar 7 Alogaritme Terapi Infeksi H. pylori pada Anak


33
Sumber: Koletzko dkk.

Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


Simpulan
Nyeri perut masih menjadi masalah dalam kesehatan yang sering terjadi pada anak.
Nyeri perut dapat berupa nyeri perut akut ataupun kronik yang dapat disebabkan oleh
fungsional ataupun organik. Hal yang merupakan tantangan bagi dokter adalah
mengidentifikasi anak yang memiliki kondisi umum dan berpotensi mengancam jiwa
yang membutuhkan evaluasi dan pengobatan harus segera. Cara mendiagnosis,
melakukan pemeriksaan penunjang, dan tata laksana tepat penting untuk mengurangi
angka morbiditas ataupun mortalitas.

Daftar Pustaka
1. Leung A, Sigalet DL. Acute abdominal pain in children. Am Fam Physician.
2003;67:23216.
2. Kim JS. Acute abdominal pain in children. Pediatr Gastroenterol Hepatol Nutr.
2013;16(4):21924.
3. Ross A, LeLeiko NS. Acute abdominal pain. Pediatr Rev 2010;31(4):13544.
4. Balanchandran B, Singhi S, Lal S. Emergency management of acute abdomen in
children. Indian J Pediatr. 2013;80(3):22634.
5. Acute abdominal pain-symptoms of digestive disorder [diunduh 20 Oktober 2016].
Tersedia dari: https://www.pinterest.com/pin/397161260865604285.
6. Bines JE, Kohl KS, Forster J, Zanardi LR, Davis RL, dkk. Acute intussusception in
infants and children as an adverse event following immunization: case definition
and guidelines of data collection, analysis, and presentation. Vaccine.
2004;22:56974.
7. Bines JE, Patel M, Parashar U. Assessment of postlicensure safety of rotavirus
vaccines, with emphasis on intussusception. J Infect Dis. 2009;200 Suppl 1:S282
90.
8. WHO. Acute intussusception in infants and children. Incidence, clinical
presentation and management: a global perspective. Geneva: World Health
Organization. Document WHO/V & B/02.19. 2002;198.

Bandung, 2627 November 2016 203


9. Jiang J, Jiang B, Parashar U, Ngyuyen T, Bines J, Patel MM. Childhood
intussusception: a literature review. PLoS ONE. 2013;8(7):114. [diunduh 14
Oktober 2016]. Tersedia dari: www.plosone.org.
10. Muhse K, Kassem E, Efraim S, Goren S, Cohen D, Ephros M. Incidence and risk
factors for intussusception among children in Northern Israel from 1992 to 2009:
a retrospective study. BMC Pediatr. 2014;14(218):19.
11. Amole M. Links between new generation rotavirus vaccination and
intussusception [diunduh 8 Oktober 2016]. Tersedia dari:
http://www.mdlingo.com/article/links-between-new-generation-rotavirus-
vaccination-and-intussusception.
12. Punnoose A, Kasturia S, Golub RM. Intussusception. JAMA. 2012;307(6):628.
13. Current jelly stool [diunduh 14 oktober 2016]. Tersedia dari: https://
kchemimage.wordpress.com/category/clinical-images.
14. Intususeption [diunduh 15 November 2016]. Tersedia dari: http://www.
omicsgroup.org/articles-admin/disease-images/intussusception-88470.jpg
15. Kang P, Peter A. Radiological case: intussusception. Appl Radiol. 2014;43(9):423.
[diunduh 15 November 2016]. Tersedia dari:
http://appliedradiology.com/articles/radiological-case-intussusception.
16. Datir A. Intussuseption [diunduh 10 November 2016]. Tersedia dari: https://
radiopaedia.org/cases/intussusception
17. Tate JE, Simonsen L, Viboud C, dkk. Trends in intussusception hospitalizations
among US infants, 19932004: implications for monitoring the safety of the new
rotavirus vaccination program. Pediatrics. 2008;121(5).
18. Daneman A, Navarro O. Intussusception. Part 2: an update on the evolution of
management. Pediatr Radiol. 2004;34(2):97108, quiz 187.
19. Eklof O, Reiter S. Recurrent intussusception. Analysis of a series treated with
hydrostatic reduction. Acta Radiol Diagn (Stockh). 1978;19(1B):2508.

204 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


20. Francesco E, Valerio V, Domenico N, Marco DS, Gianfranco V, Marco S, Oresta,
dkk. Ultrasonographic diagnosis of midgut volvulus with malrotation in children.
JPGN. 2014;59:7868.
21. Saigal G, Therrien JR, Kuo F. Ultrasound in pediatric emergencies, Appl
Radiol. 2014;43(8).

22. Cribbs RK, Gow KW, Wulkan ML. Gastric volvulus in infants and children.
Pediatrics. 2008;122:e75262 .
23. Jeyarajah DR, Harford WH. Abdominal hernias and gastric volvulus. 2015 (diunduh
10 November 2016). Tersedia dari: www.ClinicalGat.
24. Volvulus [diunduh 11 November 2016]. Tersedia dari: www.biology-forums.com
25. Midgut volvulus [diunduh 10 November 2016]. Tersedia dari: http://cursoenarm.
net/UPTODATE/ contents/mobipreview.htm?31/1/31763.
26. Yamamoto LG. Bilious vomiting in a 3-month old radiology cases in pediatric
emergency medicine [diunduh 8 November 2016]. Tersedia dari: https://www.
hawaii.edu/medicine/pediatrics/ pemxray/v3c17.html.
27. Apley J. The child with recurrent abdominal pain. Pediatr Clin North Am.
1967;14:6372.
28. Chronic abdominal pain in children. American Academy of Pediatrics North
American Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition
Clinical Report Guidance for the clinician in rendering pediatric care. Pediatrics.
2005;115(3):8125.
29. Cooke HJ. Role of the little brain in the gut in water and electrolyte
homeostasis. FASEB J. 1989;3:12738.
30. Drossman DA, Camilleri M, Mayer EA, Whitehead WE. AGA technical review on
irritable bowel syndrome. Gastroenterology. 2002;123:210831.
31. Whitehead WE, Bosmajian L, Zonderman AB, Costa PT Jr, Schuster MM.
Symptoms of psychologic distress associated with irritable bowel syndrome.
Comparison of community and medical clinic samples. Gastroenterology.
1988;95:70914.

Bandung, 2627 November 2016 205


32. Koletzko S, Richy F, Bontems P, dkk. Prospective multicenter study on antibiotic
resistance of Helicobacter pylori strains obtained from children living in Europe.
Gut. 2006;55:17116.
33. Koletzko S, Jones NL, Goodman KJ, Gold B, Rowland M, Cadranel S, dkk. Evidence-
based guidelines from ESPGHAN and NASPGHAN for Helicobacter pylori infection
in children. JPGN. 2011;53:23043.
34. Ermaya YS, Prasetyo D. Hubungan antara gambaran endoskopi dan manifestasi
klinis nyeri perut berulang dan infeksi Helicobacter pylori. Indonesian J
Anesthesiol Crit Care. 2015;33(3):17781.
35. Moschovi M, Menegas D, Stefanaki K, dkk. Primary gastric Burkitt lymphoma in
childhood: associated with Helicobacter pylori? Med Pediatr Oncol. 2003;41:444
7.
36. Kurugoglu S, Mihmanli I, Celkan T, dkk. Radiological features in paediatric primary
astric MALT lymphoma and association with Helicobacter pylori. Pediatr Radiol.
2002;32:827.
37. Rowland M, Daly L, Vaughan M, dkk. Age-specific incidence of Helicobacter pylori.
Gastroenterology. 2006;130:6572.
38. Goodman KJ, ORourke K, Day RS, dkk. Dynamics of Helicobacter pylori infection
in a US-Mexico cohort during the first two years of life. Int J Epidemiol.
2005;34:134855.
39. Bishop WP. Chronic abdominal pain. McGraw-Hill Global Education [diunduh 15
November 2016]. Tersedia dari: https://accesspediatrics.mhmedical.com
40. Bufler P, Gross M, Uhlig HH. Recurrent abdominal pain in childhood. Dtsch Arztebl
Int. 2011;108(17):295304.
41. Vandeplas Y. Helicobacter pylori infection. Clin Microbial Infect. 1999;5:111.
42. Malfertheiner P, Megraud F, OMorain C, Bazzoli F, El-Omar E, GrahamD, dkk.
Current conceps in management of Helicobacter pylori infection: the Maastricht
III consensus report. Gut. 2007;56:77281.

206 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


Children Living with Human Immunodeficiency Virus (HIV)
Anggraini Alam

Pendahuluan
Anak terinfeksi HIV sering kali didiagnosis saat berusia di bawah 5 tahun, tepatnya
sekitar 60% bayi yang terpajan HIV baru dilakukan pemeriksaan saat usia 1216 bulan.
Hal ini menyebabkan kesulitan yang tinggi untuk mendapatkan kasus bayi yang
terpapar HIV.1 Untuk itu diperlukan upaya pencegahan, perawatan, dan pengobatan
yang komprehensif terhadap bayi yang terpajan dan terinfeksi HIV, dimulai sejak bayi
dalam kandungan.2,3 Perawatan anak yang terinfeksi HIV memerlukan penanganan
komprehensif untuk mengejar ketertinggalannya dibanding dengan pasien dewasa.4
Tantangan untuk memperkuat pelayanan kesehatan HIV pada pasien anak meliputi
sulitnya menerapkan program pencegahan dari ibu ke anak (PPIA), hilangnya
kesempatan identifikasi bayi HIV selama periode postnatal, tantangan dalam diagnosis
dini pada bayi, prioritas terapi belum diberikan pada pasien anak, keterlambatan
ketersediaan dosis obat ARV pada anak, dan keterbatasan jumlah tenaga ahli HIV pada
anak di antara penyedia jasa layanan kesehatan.4

Dampak dan Tantangan Tata Laksana Anak HIV


Saat ini kita perlu memikirkan berbagai aspek terhadap anak dengan orangtua yang
terinfeksi HIV karena anak yang lahir dalam keluarga tersebut dapat terinfeksi atau
tidak. Saudara kandung dapat pula terinfeksi maupun tidak. Berikut gambar daftar
komprehensif yang menunjukkan dampak infeksi HIV pada anak (Gambar 1).5

Bandung, 2627 November 2016 207


Anak-Anak

HIV (-) HIV (-)


HIV (+) (terpapar) (tidak terpapar)

Diobati Pengaruh positif


Tidak konsumsi ART pada keluarga
pada ibu atau anak

Sakit / sehat Positif pada


ART untuk ibu atau komunitas
anak
Tidak diobati Tidak memengaruhi
HIV (+) pada ayah

Tes HIV
HIV ditegakkan
selama kehamilan

HIV ditegakkan
sebelum kehamilan

Menyusui
(ASI/botol)

Gambar 1 Dampak Infeksi HIV pada Anak

HIV memiliki dampak yang mendalam dan besar pada anak.6


a. Guncangan biologi
Hal ini mengacu pada efek aktual paparan virus pada perkembangan anak.
b. Guncangan pada orangtua
HIV dapat mengakibatkan akumulasi guncangan pada orangtua berupa
kehamilan, sakit, terapi, kehilangan pekerjaan, stigma, kematian, dan penyakit
anak.
c. Guncangan perkembangan
Setiap tahap dan fase perkembangan dipengaruhi oleh banyak faktor yang
semuanya dapat menjadi terhambat karena HIV. Anak mungkin akan
terpengaruh dengan cara perubahan pengalaman belajar.

208 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


d. Guncangan sosial
Dukungan, perhatian, dan lingkungan sosial adalah penting bagi anak. Dunia
sosial menciptakan mikrokosmos karena anak dapat hidup, menjalani, dan
mendapatkan arti pengalaman hidup. HIV dapat membuat guncangan di
berbagai tingkatan sosial.
e. Guncangan medis dan kesehatan
Intervensi medis dapat memengaruhi jalannya HIV untuk setiap anak.

Tabel 1 Guncangan Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV)


Guncangan Pertimbangan
Paparan HIV dalam utero. Infeksi HIV dapat terjadi selama kehamilan. Paparan HIV
mengakibatkan efek panjang yang saat ini masih belum
diketahui.
Tes HIV pada ibu dan penemuan HIV Diagnosis HIV saat kehamilan menyebabkan trauma emosional
positif selama kehamilan. yang hebat pada orangtua. Hal ini dapat berpengaruh secara
langsung maupun tidak langsung pada bayi.
Paparan pengobatan antiretroviral Paparan obat antiretroviral memiliki potensi keuntungan dan
treatment terhadap janin. kerugian. Keuntungannya berkaitan dengan reduksi transmisi.
Bagaimanapun pertimbangan lain harus dipikirkan terutama
mengenai efek jangka panjang paparan tersebut terhadap
perkembangan.
Pengobatan saat melahirkan. HIV pada pada saat persalinan menjadi perhatian medis. Hal ini
dapat memengaruhi bayi secara langsung atau tidak langsung.
Prematuritas. Infeksi HIV berkaitan dengan kelahiran prematur. Hal ini
berkaitan dengan sejumlah tantangan perkembangan.
Tes HIV pada bayi baru lahir. Penting untuk menentukan status HIV pada bayi. Pemeriksaan
bervariasi bergantung pada seting tempat di mana berada. Tes
antibodi merupakan pemeriksaan yang mudah untuk
menentukan status orangtua. Tanpa pemeriksaan virus (PCR),
diagnosis definitif harus menunggu 1824 bulan. Hal ini sering
kali merupakan waktu menunggu yang emosional dan sulit.
Paparan terhadap monoterapi. Paparan terhadap monoterapi akan meningkatkan
kemungkinan resistansi terhadap pengobatan selanjutnya. Efek
jangka panjang masih belum jelas.
Paparan terhadap intervensi Beberapa intervensi untuk mencegah transmisi memengaruhi
(sectio, susu formula). pola perkembangan.
Depresi pascapersalinan (maternal atau Depresi orangtua memengaruhi perkembangan anak. Depresi
paternal). juga berkaitan dengan HIV sehingga pada orangtua dengan HIV
dan depresi perlu diperhatikan perkembangan anak.
Intepretasi berlebih terhadap penyakit Kecemasan berlebih sering terjadi, akibatnya sering didapatkan
anak (HIV dan AIDS). perhatian dan intervensi berlebih yang tidak sesuai dengan
kondisi anak.
Berat badan lahir rendah. HIV berkaitan dengan prematuritas dan berat badan lahir
rendah. Berat badan lahir rendah memengaruhi perkembangan.

Bandung, 2627 November 2016 209


Pola menyusui bayi. Pemberian makan pada bayi merupakan kunci perkembangan
Mengurangi menetek ke ibu. anak, sama halnya dengan ikatan dengan orangtua dan
Penghentian menetek yang tiba-tiba. sejumlah interaksi psikososial lain. HIV dapat mengganggu pola-
Risiko pemberian susu formula. pola ini.
ASI eksklusif.
Ekonomi. HIV merupakan penyakit yang memiskinkan. Orangtua yang
sakit tidak dapat bekerja. Sumber daya menjadi terbatas dan
aset terjual. Hal ini memengaruhi anak secara signifikan.
Energi dan konsentrasi. Membutuhkan pekerjaan rumah yang lebih berat.
Mungkin perlu bekerja di luar rumah untuk mencari
pendapatan.
Kembar. Pemisahan.
Pengungkapan status. Pengungkapan status HIV merupakan proses yang kompleks
dengan berbagai tantangan. Stigma menciptakan penghalang
untuk proses ini.
5
Sumber: Sherr

Masalah kognitif selalu relevan dalam HIV. Berikut adalah beberapa masalah atau
gangguan kognitif yang terkait dengan HIV.5
1. Gangguan neurokognitif yang tidak bergejala/asymptomatic neurocognitive
impairment (ANI).
Prestasi atau kinerja minimal 1 SD di bawah rata-rata skor demografis disesuaikan
dengan skor normatif, setidaknya pada dua area kognitif (pengolahan informasi-
perhatian, bahasa, abstraksi-eksekutif, kompleks persepsi keterampilan motorik,
memori termasuk belajar dan mengingat, serta keterampilan motorik sederhana
atau kemampuan perseptual sensorik yang sederhana).
2. Gangguan kognitif sederhana yang berkaitan dengan HIV/HIV-associated mild
neurocognitive disorder (MND).
- Prestasi/kinerja minimal 1 SD di bawah norma demografis terkoreksi pada tes
setidaknya di dua domain kognitif yang berbeda.
- Mengganggu sedikit aktivitas sehari-hari.
3. Gangguan neurokognitif yang berkaitan dengan HIV/grading system for HAND (HIV
associated neurocognitive disorder).
4. Demensia yang berkaitan dengan HIV/HIV-associated dementia (HAD).
Prestasi/kinerja minimal kurang dari 2 SD di bawah rata-rata skor demografis

210 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


disesuaikan dengan skor normatif, setidaknya pada dua area kognitif.
5. Kesulitan nyata pada aktivitas sehari-hari berkaitan dengan gangguan kognisi.
Kebanyakan penelitian (51/56; 91,1%) mencatat defisit kognitif pada anak dengan
infeksi HIV. Luasnya rentang pengukuran yang digunakan di antara penelitian
membuat sulit dilakukan perbandingan data atau untuk melakukan meta-analisis.5

Pelayanan Kesehatan HIV yang Berpusat pada Keluarga


Pendekatan yang terpusat pada keluarga untuk perawatan HIV merupakan upaya yang
lebih baik dibanding dengan target hanya kepada pasien. Pemeriksaan, perawatan,
serta layanan kesehatan HIV terintegrasi dan komprehensif diharapkan dapat
mendukung berbagai kebutuhan unit keluarga.6
Pendekatan yang terpusat pada keluarga memberikan layanan dalam hubungan
kekeluargaan yang dinamis mengingat bahwa infeksi sering terjadi dalam konteks
keluarga (misalnya hubungan seksual, kehamilan, dan menyusui). Anggota keluarga
sering bertanggung jawab terhadap perawatan kronik pada anak yang terinfeksi HIV
dan dampak HIV memengaruhi keluarga di luar individu yang terinfeksi HIV, bahkan
antargenerasi.7,8
Perawatan HIV pada pasien anak, PPIA, dan pemberian antiretroviral (ARV) tersedia
dalam layanan paralel yang berdiri sendiri-sendiri.9 Alternatif pendekatan perawatan
berpusat pada keluarga bermaksud untuk mengintegrasikan layanan HIV dalam sistem
kesehatan primer yang lebih luas dan menyediakan layanan 'one stop' yang
komprehensif bagi keluarga, serta meningkatkan akses terhadap layanan pasien anak.6

Bandung, 2627 November 2016 211


Gambar 2 Layanan Terpadu Perawatan yang Berpusat pada Keluarga
6
Sumber: Luyirika dkk.

Penerima manfaat layanan terpadu bersifat lebih luas meliputi pasangan dan/atau
pasangan seksual, anggota keluarga, bahkan mungkin masyarakat sekitar.711 Layanan
kesehatan HIV yang berpusat pada keluarga harus mencakup diagnosis HIV secara
tepat pada ibu dan anak, profilaksis kotrimoksazol, serta terapi ARV jangka panjang
untuk seluruh anggota keluarga. Hal ini juga dapat mencakup sejumlah intervensi
kesehatan lainnya, termasuk pengobatan infeksi oportunistik (IO) di antaranya

212 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


terhadap tuberkulosis, pemberian makan bayi, perawatan anak sakit dan sehat, serta
imunisasi.9
Pendekatan layanan kesehatan HIV berpusat pada keluarga merupakan kunci awal
untuk masuk dalam pelayanan HIV yang lebih luas, meliputi layanan kesehatan seksual
dan reproduksi (misalnya PPIA), perawatan pascamelahirkan, rawat jalan serta rawat
inap pasien anak dan dewasa, klinik imunisasi, serta mobilisasi kesehatan berbasis
masyarakat.12,13
Tantangan pendekatan layanan kesehatan HIV yang berpusat pada keluarga ini
adalah untuk mengintegrasikan perawatan HIV ke dalam layanan yang lebih luas dan
berkesinambungan, khususnya dalam upaya untuk menjangkau anak bergejala maupun
yang tanpa gejala, serta mereka yang hidup dengan pengasuh nonbiologis.1014 Hasil
yang baik tampak dari pendekatan layanan kesehatan HIV yang berpusat pada
keluarga dalam mencegah penularan dari ibu ke anak, meningkatkan rujukan pasien
anak, meningkatkan luaran klinis pasien anak, dan mendukung kepatuhan dalam
perawatan HIV.912 Anak, baik yang terinfeksi HIV maupun yang tidak, secara tidak
langsung mendapat manfaat ketika pengasuh mereka mendapat pengobatan, yaitu
penurunan episode diare, rawat inap, kematian, serta perbaikan gizi.1518
Pelayanan ini memiliki variasi yang luas dalam pendekatan pemberian layanan,
metode, sasaran, dan integrasi layanan yang dapat diterapkan pada di dengan sumber
daya yang terbatas. Pasien dapat dirujuk pada fasilitas lain atau dijadwalkan ulang jika
layanan tambahan akan memerlukan waktu menunggu yang panjang. Anggota
keluarga juga cepat dijadwalkan untuk diberikan pengobatan jika mereka datang
bersama anak. Layanan HIV terpadu mengurangi biaya rumah tangga yang dikeluarkan
untuk mencari layanan kesehatan di beberapa fasilitas kesehatan yang berbeda atau
beberapa kunjungan untuk komponen layanan kesehatan yang berbeda.6
Provider-Initiated Counseling and Testing (PITC) telah diintegrasikan ke dalam triase
perawatan antenatal, klinik rawat jalan, dan fasilitas rawat inap. Semua anggota dilatih
untuk mengidentifikasi anak yang terpajan dan terinfeksi. Dalam konseling pascates,
difokuskan terhadap persiapan pasien untuk membawa anggota keluarga yang lain

Bandung, 2627 November 2016 213


agar melakukan tes dan konseling. Provider-Initiated Counseling and Testing (PITC)
yang rutin berkaitan erat dengan diagnosis dini pada bayi.6
Terjadi peningkatan 30% pada pasangan yang menjalani pemeriksaan HIV dan rata-
rata penyingkapan HIV meningkat dari 30% menjadi 70% selama 72 bulan setelah
terdapat bantuan pengungkapan oleh penyedia layanan kesehatan HIV. Hal ini sebagai
pintu masuk ke dalam perawatan HIV terhadap anggota keluarga lain. Pendekatan
berpusat pada keluarga mempromosikan bantuan penyedia pelayanan kesehatan HIV
dalam pengungkapan serostatus HIV terhadap pasangan/anggota keluarga lain bila
klien telah siap sehingga lebih meningkatkan sistem dukungan keluarga. Orangtua dan
wali didorong serta didukung untuk mengungkapkan status HIV kepada anak-anak
yang lebih tua. Panti asuhan dapat memberikan perawatan pada anak, melakukan
pemeriksaan pada anak, dan memberikan pendidikan seperti di sekolah pada anak bila
telah memperoleh persetujuan dari orangtua. Kelompok bermain anak yang
diselenggarakan di fasilitas kesehatan memberi kesempatan anak HIV untuk dapat
berinteraksi bersama pasien HIV anak lain pada hari-hari. Lingkungan yang ramah anak
membuat keluarga percaya anak akan mendapat perawatan yang baik.6
Dokter, perawat, pekerja sosial, konselor, apoteker, dan staf program psikososial
bertemu secara rutin untuk mengkaji kegiatan operasional dan memperkuat hubungan
di antara departemen yang terlibat dalam memberikan perawatan yang berpusat pada
keluarga.6
Gambar 3 memberikan gambaran layanan kesehatan yang membandingkan
operasional layanan saat ini dengan pelayanan terintegrasi yang berpusat pada
keluarga.

214 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


RANGKAIAN JANGKA PENDEK (MINGGU)
- Penggunaan ARV pada sumber daya yang terbatas
- Perawat untuk pasien HIV anak
- Konseling ARV
- Skill laboratorim
- PMTCT
- Perencanaan yang melibatkan partisipasi
- ART untuk proyek manajerial

RANGKAIAN MODULAR KOMUNITAS RELAWAN


- Perawatan dan tata laksana HIV/AIDS - Dasar HIV/AIDS
berdasarkan pendekatan komunitas. - Konseling
- Perawatan dan tata laksana HIV/AIDS - Stigma dan diskriminasi
berdasarkan pendekatan sistem kesehatan.

PENDEKATAN TERINTEGRASI, BERPUSAT PADA


OPERASIONAL SAAT INI
KELUARGA
Penjadwalan Tidak ada sistem penjadwalan Petemuan pada hari yang sama untuk anggota
spesifik keluarga. Fasilitas menambahkan hari klinik dan
terhadap keluarga. sistem janji pertemuan untuk meningkatkan
jumlah klien. Anggota keluarga dapat mengambil
obal kotrimoksazol untuk anaknya sehingga anak
tidak perlu absen di sekolah
Prioritas Keluarga tidak diberikan prioritas Keluarga dengan anak diberikan fasilitas jalur
dalam pelayanan. cepat dalam pelayanan.
Rekam Medis Status individual sehingga kesehatan Status semua anggota keluarga disimpan
anggota keluarga, status HIV, dan bersama.
akses pelayanan kesehatan tidak
dikaji secara bersama-sama sebagai
kesatuan keluarga.
Stigma dan Informasi sensitif (contoh: rencana Informasi kesehatan sensitif dapat disediakan
Konseling keluarga, penggunaan kondom bagi seluruh anggota keluarga. Konseling
Bersama konsisten) diberikan secara individual mempromosikan bantuan pengungkapan status
kepada pasien. Konseling pasangan HIV. Pasangan dan anggota keluarga dipantau
tidak digabungkan dengan keluarga secara rutin (routinely followed up, as are family
sehingga sering tidak terpantau. members).
Pengambilan Tidak ada pertimbangan khusus bagi Seorang anggota keluarga dapat mengambilkan
Obat-obatan keluarga. obat bagi anggota keluarga lain yang memiliki
kondisi stabil untuk maksimal 2 kunjungan
berturut-turut. Hal ini meminimalisasi biaya
kunjungan rutin.
Mobilisasi Komunitas memiliki keterlibatan Rasa kepemilikan komunitas di promosikan,
Komunitas minimal dalam memberikan layanan khususnya dengan
lokal. (a) relawan komunitas yang memberikan
pelayanan dan
(b) melibatkan kepemimpinan lokal.
Gambar 3 Pendekatan yang Berpusat pada Keluarga
6
Sumber: Luyirika dkk.

Bandung, 2627 November 2016 215


Pengalihan tugas menuju pendekatan keperawatan selanjutnya akan diperlukan
sehingga layanan bersifat desentralisasi dengan bantuan dari masyarakat dan
pemerintah. Puskesmas pada akhirnya diharapkan dapat mengelola pasien anak yang
terinfeksi HIV dan dapat mengatasi kasus sederhana sehingga dapat mengurangi
waktu tunggu pada fasilitas kesehatan dan meminimalisasi biaya yang dikeluarkan
(Gambar 4).6

TITIK MASUK KEDALAM PELAYANAN BERBASIS KELUARGA

Departemen Klinik Kesehatan Perawatan Administrasi Jangkauan


Rawat Jalan Ibu dan Anak Antenatal Rawat Inap Komunitas

TRIASE SELAMA KUNJUNGAN PERTAMA PASIEN


1. Konseling dan testing yang diinisiasi 1. Periksa keadaan malnutrisi, TB, dan
oleh penyedia layanan kesehatan (PITC) kehamilan.
rutin (prioritas terhadap keluarga). 2. Registrasi pasien dan atau keluarga.
2. Konseling pasien atau keluarga untuk 3. Menyediakan seperangkat alat kesehatan
layanan keluarga. dasar bagi keluarga meliputi ITN, larutan
3. Anamnesis. natrium hipoklorit, saringan kain, kondom,
dan material IEC.

PENDIDIKAN DAN DUKUNGAN


Memperkuat pentingnya akses Menyediakan ART.
pelayanan kesehatan sebagai keluarga. Kesehatan positif dan pencegahan.
Konseling pascates. Pembicaraan edukasi kesehatan.
Pengungkapan dan pemeriksaan/tes
pasangan.
Memeriksa kesiapan menjalani
pengobatan.

PEMERIKSAAN KLIEN
Kajian klinis tanda dan gejala. Pemeriksaan kepatuhan terhadap
Penentuan stadium klinis HIV. pengobatan.
Rujukan untuk layanan khusus, baik (a) Kajian status tuberkulosis dan tata laksana
internal (contoh oftalmologi, kesehatan bila ada.
mental, gigi) dan (b) eksternal
(perawatan untuk dewasa).

216 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


PEMERIKSAAN STATUS KELUARGA
Kunjungan rumah. Mengirimkan semua anggota keluarga
Kehamilan, keluarga berencana, status pada unit yang sesuai dalam fasilitas untuk
HIV anak, dan semua anggota keluarga. perawatan lebih lanjut (contoh: PPIA).

INISIASI LAYANAN DAN PENGOBATAN


Menyediakan layanan akut untuk kondisi Pemberian ART.
terkini. Mengatur masalah kronik.
Memberikan profilaksis bila ada indikasi Pengobatan paliatif.
(contoh kotrimoksazol).
Rawat rumah sakit.

PENCEGAHAN POSITIF UNTUK ORANG YANG HIDUP DENGAN HIV


Seks yang aman, penggunaan kondom. Rencana pengurangan risiko.
Dukungan pengungkapan. Konseling pasangan yang berselisih.
Tes/pemeriksaan pasangan. Hidup positif.

PEMANTAUAN
Enam bulan pertama: pengisian ulang Ketika stabil: pengisian ulang tiap 23
kotrimoksazol dan antiretrovirus. bulan.

PENGATURAN
Penyaluran dan pencatatan obat. Pencatatan data pada kartu.
Jadwal kunjungan pemantauan. Pemantauan perawatan anggota
Hubungan dengan layanan komunitas. keluaraga.

Gambar 4 Pendekatan Perawatan dan Pengobatan HIV Berpusat pada Keluarga

Layanan kesehatan HIV yang berpusat pada keluarga membutuhkan investasi


sumber daya manusia untuk menciptakan tim manajemen multidisiplin dan apabila
jumlah staf terbatas maka klinik didorong untuk menggunakan relawan. Keterampilan
pegawai dan fasilitas infrastruktur harus siap untuk memberikan layanan yang
berkualitas untuk mengimbangi beban pasien, mencapai keseimbangan beban kerja,
dan meminimalkan waktu tunggu pada pasien. Pengaturan ruang dan alur pasien

Bandung, 2627 November 2016 217


mungkin diperlukan untuk memberikan triase, konseling, dan ruang tunggu yang
memadai.6
Pelatihan staf untuk orientasi one stop perawatan anak dan keluarga diperlukan
untuk pekerja kesehatan, relawan, dan manajer setelah periode integrasi awal
(Gambar 5). Akhirnya, diperlukan pendekatan untuk merencanakan dukungan logistik
terhadap kegiatan berbasis masyarakat seperti jangkauan dan mobilisasi (misalnya
transportasi untuk relawan berbasis masyarakat).6

RANGKAIAN JANGKA PENDEK (MINGGU)

Penggunaan ARV pada sumber daya yang terbatas


Perawat untuk pasien HIV anak
Konseling ARV
Skill laboratorium
PMTCT
Perencanaan yang melibatkan partisipasi
ART untuk proyek manajerial

RANGKAIAN MODULAR KOMUNITAS RELAWAN

Perawatan dan tata laksana HIV/AIDS Dasar HIV/AIDS.


berdasarkan pendekatan komunitas. Konseling.
Perawatan dan tata laksana HIV/AIDS Stigma dan diskriminasi.
berdasarkan pendekatan sistem kesehatan.

Gambar 5 Kapasitas untuk Mengintegrasikan Perawatan Berpusat pada Keluarga


pada Fasilitas Mitra
6
Sumber: Luyirika dkk.

Pelayanan kesehatan anak HIV yang terjangkau di masyarakat bukanlah hal yang
mudah karena masalah kemiskinan, akses transpor yang sulit, dan ketika anak
mungkin hidup berpindah-pindah sehingga orangtua serta pengasuh merupakan kunci
utama tata laksana HIV pada anak. Stigma dan diskriminasi terhadap pasien HIV masih

218 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


tetap ada sehingga membutuhkan waktu untuk dapat mengelola anak terinfeksi HIV
secara terintegrasi.
Manajemen tim multidisiplin dalam pengelolaan rekam medis, pelacakan kematian
pasien, putus berobat, dan registri pasien diharapkan akan lebih baik apabila
pengelolaan pasien berdasarkan pendekatan yang berpusat pada keluarga. Pada
akhirnya program ini diharapkan dapat terlaksana agar anak yang terinfeksi HIV dapat
dikelola dengan baik dan hidup seperti anak normal lainnya sampai mencapai usia
dewasa.

Simpulan
Pendekatan layanan kesehatan HIV yang berpusat pada keluarga telah
mengintegrasikan diagnosis dini pada anak, pencegahan, pengobatan, serta perawatan
ke dalam layanan kesehatan rawat jalan dan rawat inap, juga pelayanan kesehatan ibu
dan anak, baik di rumah sakit maupun puskesmas. Diharapkan dengan pelayanan
terintegrasi, anak terinfeksi HIV akan mendapat pengelolaan yang baik sepanjang
hidupnya.

Daftar Pustaka
1. Republic of Uganda. Global AIDS response progress report. Uganda AIDS
Commission; April 2012.
2. WHO UNICEF. Scale up of HIV related prevention, diagnosis, care and treatment
for infants and children. A programming framework. Geneva, Switzerland: WHO
UNICEF; 2008.
3. DeGennaro V. Strategic advocacy priorities to eliminate pediatric HIV/AIDS, 2007
2008: background paper for advocacy summit on children and AIDS, Brussels,
Belgium, 1315 March 2007. Global AIDS Alliance, New York.
4. Belsey M. AIDS and the family: policy options for a crisis in family capital. New
York, United Nations: Department of Economic and Social Affairs; 2005.

Bandung, 2627 November 2016 219


5. Sherr L. Distinct disadvantage: a review of children under 8 and the HIV/AIDS
epidemic. The Essential Package.
6. Luyirika E, Towle MS, Achan J, Muhangi J, Senyimba C, dkk. Scaling up paediatric
HIV care with an integrated, family-centred approach: an observational case study
from Uganda. 2013;8(8).
7. Belsey M. AIDS and the family: policy options for a crisis in family capital. New
York, United Nations: Department of Economic and Social Affairs; 2005.
8. Richter L, Sherr L, Adato M, Belsey M, Chandan U, dkk. Strengthening
families to support children affected by HIV and AIDS. AIDS Care. 2009;21:312.
9. DeGennaro V. Strategic advocacy priorities to eliminate pediatric HIV/
AIDS, 20072008: background paper for advocacy summit on children and
AIDS, Brussels, Belgium, 1315 March 2007. Global AIDS Alliance, New York.
10. DeGennaro V, Zeitz P. Embracing a family-centred response to the HIV/
AIDS epidemic for the elimination of paediatric AIDS. Global Public Health.
2009:116.
11. Foster SD, Nakamanya S, Kyomuhangi R, Amurwon J, Namara G, dkk.
The experience of medicine companions to support adherence and
antiretroviral therapy: quantitative and qualitative data from a trial population
in Uganda, AIDS Care. 2010;22 (Suppl 1):3543.
12. Leeper SC, Montague BT, Friendman JF, Flanigan TP. Lessons learned
from family-centred models of treatment for children living with HIV: current
approaches and future directions. J Intl AIDS Society. 2010;
(Suppl 2): S3.
13. Tolle MA. A package of primary health care services for comprehensive
family-centred HIV/AIDS care and treatment programs in low-income settings.
Trop Med Intl Health. 2009;14(6):66372.
14. Reddi A, Leeper SC, Grobler AC, Geddes R, France KH, dkk.
Preliminary outcomes of a paediatric highly active antiretroviral therapy cohort
from KwaZulu-Natal, South Africa. BMC Pediatr. 2007;7:13.

220 Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII


15. Betancourt TS, Abrams EJ, McBain R, Fawzi MC. Family-centred
approaches to the prevention of mother to child transmission of HIV. J Intl AIDS
Society. 2010;3:S2.
16. Mermin J, Were W, Ekwaru JP, Moore D, Downing R, dkk. Mortality in
HIV-infected Ugandan adults receiving antiretroviral treatment and survival of
their HIV-uninfected children: a prospective cohort study. Lancet. 2008;
371(9614):7529.
17. Graf ZJ, Thirumurthy H, Goldstein M. AIDS treatment and intrahousehold resource
allocation: childrens nutrition and schooling in Kenya. National
Bureau of Economic Research: Working Papers. 2006:12689.
18. Thirumurthy H, Graf ZJ, Goldstein M. The economic impact of AIDS
treatment: labour supply in Western Kenya. Economic Growth Center
Discussion Paper Number 947. New Haven, Connecticut: Yale University; 2006.

Bandung, 2627 November 2016 221

Anda mungkin juga menyukai