Anda di halaman 1dari 99

PROCEEDING BOOK

WEBINAR & ONLINE WORKSHOP

23.01.2021 - 24.01.2021 - 30.01.2021


Halaman ini sengaja dikosongkan.
Pelantikan Lulusan Dokter FKUI 2021/2022 &
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM
mempersembahkan

PROCEEDING BOOK

Highlights of Pediatric Emergency 2021


23, 24, 30 Januari 2021

Penyunting
dr. Niken Wahyu Puspaningtyas, SpA(K)

dr. Yogi Prawira, SpA(K)

Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia


Halaman ini sengaja dikosongkan.
Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia

PROCEEDING BOOK
Highlights of Pediatric Emergency 2021

PELINDUNG
Dekan Fakultas Kedokteran UI
Prof. Dr. dr. Ari Fahrial Syam, SpPD-KGEH, MMB

Koordinator Kemahasiswaan
dr. Affan Priyambodo, SpBS(K)

PENASIHAT
Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM
Prof. Dr. dr. Aryono Hendarto, SpA(K), MPH

PEMBIMBING
Dr. dr. Rismala Dewi, SpA(K)

PENANGGUNG JAWAB
Ketua BEM IKM FKUI
Reynardi Larope Sutanto

Ketua PLD FKUI 2020/2021


Dorothy Sinur Christabella, S.Ked

KEPANITIAAN INTI
Ketua
Peter Adidharma, SKed, MRes

Sekretaris & Bendahara


Fatmah Azzuhra Lubis S.Ked, B.MedSci

Jasmine Athiyya Wibowo, S.Ked, B.MedSci

Divisi Acara
Asiyah Nurul Fadila, S.Ked, M.Res

Ericko Ongko Joyo, S.Ked

Sylvie Dominic, S.Ked

Redita Noviana Putri, S.Ked


Divisi Publikasi, Dokumentasi dan Dana
Nindya Permata, S.Ked

Amyra Andia Nissa, S.Ked, B.MedSci

Amalia Ghassani Putri, S.Ked

Diajeng Ayesha Soeharto, S.Ked. B.MedSci

Divisi Perlengkapan dan Registrasi


Nathanael, S.Ked

Matheus Nathanael, S.Ked

Fransigor Bai, S.Ked

TATA LETAK CETAK


Asiyah Nurul Fadila, S.Ked, M.Res

Ericko Ongko Joyo, S.Ked

Sylvie Dominic, S.Ked

Redita Noviana Putri, S.Ked

Diajeng Ayesha Soeharto, S.Ked. B.MedSci


Daftar Isi

Bagian I

Etika dan Keselamatan Pasien: Kesalahan Medis dalam


Keadaan Darurat Pediatrik
Prof. Dr. dr. Aryono Hendarto, SpA(K), MPH

Tata Laksana Intoksikasi pada Anak


dr. Yogi Prawira, SpA(K)

Syok pada Anak dan Tata Laksana


Dr. dr. Rismala Dewi, SpA(K)

The ABC of Emergency in Pediatrics: PAT


Dr. dr. Irene Yuniar, SpA(K)

Analisa Gas Darah


Dr. dr. Irene Yuniar, SpA(K)

Gagal Napas pada Anak


dr. Niken Wahyu Puspaningtyas, SpA(K)

Bagian II

Etik dan Keselamatan Pasien di Era Pandemi COVID-19


Dr. dr. Irawan Mangunatmadja, SpA(K)

Sesak: Etiologi, Diagnosis, dan Tata Laksana


Prof. Dr. dr. Bambang Supriyatno, SpA(K), FAAP

Kejang dan Penurunan Kesadaran: Apa, Kenapa, dan Bagaimana


Dr. dr. R. A. Setyo Handryastuti, SpA(K)

Mengenal Ketoasidosis Diabetikum di Masa Pandemi


COVID-19 dan Penanganan Pertamanya
Dr. dr. Aman Pulungan, SpA(K), PhD, FAAP, FRCPI (Hon)
Bagian III

Emergency of Congenital Heart Disease


Prof. Dr. dr. H. Mulyadi M. Djer, SpA(K)

Kegawatdaruratan dalam Bidang Dermatologi Pediatrik


dr. Githa Rahmayunita, SpKK(K)

How to Deal with Acute Abdominal Pain


Prof. Dr. dr. Badriul Hegar, SpA(K)

Kegawatdaruratan Bedah Pediatri


dr. Rizky Amaliah, SpB(K)BA

Imaging in Pediatric Emergency: Conventional Radiology


Ultrasound
dr. Evita Karianni Bermanshah Ifran, SpA(K)
Susunan Acara
Sabtu, 23 Januari 2021

07.30 - 08.00 Registrasi

08.00 - 08.15 Opening dan Pre-test

S Y MP OS I U M
08.15-08.30 Ethics and Patient Safety : Medical Errors in Pediatric Emergency

08.30 - 09.00 Pediatric Intoxication

09.00 - 09.15 Discussion

09.15 - 09.45 Identification and Management of Types of Shocks and Anaphylaxis

09.45 - 10.15 The ABC of Emergency in Pediatrics: Pediatric Assessment Triangle

10.15 - 10.30 Discussion

10.30 - 10.40 Break

WOR K S H OP
10.40 - 11.40 Blood Gas Analysis

11.40 - 11.45 Break

11.45 - 12.45 Airway Breathing Management and Oxygen Therapy


Susunan Acara
Minggu, 24 Januari 2021

07.30 - 08.00 Registrasi

S Y MP OS I U M
08.00 - 08.10 Ethics and Patient Safety in COVID-19 Era

08.10 - 08.40 Dyspnea: Causes, Diagnosis, and Treatment

08.40 - 08.55 Discussion

08.55 - 09.25 Seizure and Loss of Consciousness: What, Why and How

09.25 - 09.55 Pediatric Diabetic Ketoacidosis

09.55 - 10.10 Discussion

10.10 - 10.20 Break

WOR K S H OP
10.20 - 11.20 Fluid and Electrolyte Resuscitation

11.20 - 11.25 Break

11.25 - 12.25 Pediatric ECG Reading & Pediatric Basic and Advanced Life Support
Susunan Acara
Sabtu, 30 Januari 2021

07.30 - 07.45 Registrasi

S Y MP OS I U M
07.45 - 08.00 Ethics and Patient Safety in COVID-19 Era

08.00-08.30 Emergency of Congenital Heart Disease

08.30 - 08.45 Discussion

08.45 - 09.15 Pediatric Dermatologic Emergency

09.15 - 09.45 How to Deal with Acute Abdominal Pain

09.45- 10.15 Surgical Pediatric Emergency

10.15- 10.30 Discussion

10.30 - 10.40 Break

WOR K S H OP
10.40 - 11.40 Imaging in Pediatric Emergency: Conventional Radiology

11.40 - 11.45 Break

11.45 - 12.45 Imaging in Pediatric Emergency: USG


Kata Pengantar

Teman sejawat yang saya hormati,

Puji dan syukur kami haturkan pada Tuhan Yang Maha Esa, oleh karenanya

proceeding book Highlights of Pediatric Emergency (HOPE) 2021 ini dapat

diterbitkan. Highlights of Pediatric Emergency sendiri merupakan simposium dan

lokakarya tahunan yang terselenggara melalui kerjasama Panitia Lulusan Dokter FKUI

2021/2022 dengan Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. Menyambut satu

dekade penyelenggaran Highlights of Pediatric Emergency, proceeding book acara

tahunan ini merupakan fasilitas bagi para sejawat dalam memperoleh ilmu secara

tertulis dalam menjawab masalah-masalah yang dihadapi terkait dengan

kegawatdaruratan pediatrik.

Tentunya tidak lupa kami ucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada

Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM, pihak sponsor, media partner, serta

seluruh pihak yang terlibat dan mendukung penyusunan proceeding book ini.

Akhir kata, besar harapan kami, proceeding book HOPE 2021 dapat menjadi sarana

bagi pada calon dokter dan dokter di Indonesia dalam memutakhirkan pendekatan

dan kemampuan penanganan kegawatdaruratan pediatrik.

Jakarta, 13 Desember 2020

Peter Adidharma, S.Ked, M.Res

Ketua Panitia HOPE 2021


Daftar Penulis

Prof. Dr. dr. Aryono Hendarto, SpA(K), MPH

dr. Yogi Prawira, SpA(K)

Dr. dr. Rismala Dewi, SpA(K)

Dr. dr. Irene Yuniar, SpA(K)

dr. Niken Wahyu Puspaningtyas, SpA(K)

Dr. dr. Irawan Mangunatmadja, SpA(K)

Prof. Dr. dr. Bambang Supriyanto, SpA(K), FAAP

Dr. dr. R. A. Setyo Handryastuti, SpA(K)

Dr. dr. Aman Pulungan, SpA(K), PhD, FAAP, FRCPI (Hon)

Prof. Dr. dr. H. Mulyadi M. Djer, SpA(K)

dr. Githa Rahmayunita, SpKK(K)

Prof. Dr. dr. Badriul Hegar, SpA(K)

dr. Rizky Amaliah, SpB(K)BA

dr. Evita Karianni Bermanshah Ifran, SpA(K)

Departemen Ilmu Kesehatan Anak


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo


BAGIAN I
Prof. Dr. dr. Aryono Hendarto, SpA(K), MPH
Guru Besar Nutrisi dan Penyakit Metabolik Anak,

Kepala Departemen Ilmu Kesehatan Anak, FKUI-RSCM


ETIKA DAN KESELAMATAN PASIEN: KESALAHAN
MEDIS DALAM KEADAAN DARURAT PEDIATRIK
Prof. Dr. dr. Aryono Hendarto, SpA(K), MPH

Etika dalam Manajemen Keadaan Darurat Anak


Etika kedokteran adalah suatu sistem prinsip moral yang menerapkan nilai dan

penilaian pada praktik kedokteran. Dalam buku Principles of Biomedical Ethics, Tom

Beauchamp dan James Childress menguraikan 4 prinsip tingkat menengah yang

dapat diturunkan dari teori moral untuk membantu memandu keputusan klinis dan

kebijakan yang berkaitan dengan perawatan kesehatan. Empat prinsip yang

dijelaskan oleh Beauchamp dan Childress adalah:

Otonomi: pasien yang kompeten memiliki hak untuk menolak atau memilih

perawatan mereka

Benefisens: seorang klinisi harus bertindak demi kepentingan terbaik pasien.

Nonmaleficence: "pertama, jangan menyakiti" atau hindari menyakiti pasien

Keadilan: memastikan bahwa mereka yang berada dalam keadaan serupa

diperlakukan sama, apakah berkenaan dengan distribusi sumber daya kesehatan

yang langka atau siapa yang menerima perlakuan yang mana (keadilan dan

kesetaraan).

Penerapan Profesionalisme dalam Keadaan Darurat Pediatrik


Selama beberapa dekade terakhir, kemajuan luar biasa telah dibuat dalam

kemampuan untuk mendukung sistem organ yang gagal di ICU, terkadang untuk

jangka waktu yang lama. Ventilasi mekanis, alat bantu sirkulasi mekanis seperti alat

bantu ventrikel, dan terapi penggantian ginjal adalah contoh intervensi. itu bisa

menyelamatkan hidup. Namun, ada kalanya terapi semacam itu hanya berfungsi

untuk memperpanjang waktu yang dibutuhkan untuk meninggal. Ada juga

kemungkinan bahwa intervensi agresif semacam itu dapat menyelamatkan nyawa,

kualitas hidup pasien yang diselamatkan tidak sebanding dengan beban terapi.

Berbagai kasus pengadilan menjunjung tinggi hak pasien dewasa yang kompeten

atau surogat mereka, untuk menolak terapi life-sustaining, jika tidak mengarah pada

kelangsungan hidup jangka panjang atau tidak dapat mempertahankan kualitas

hidup yang baik. Untuk anak-anak, juga memungkinkan untuk menahan atau

membatalkan tindakan life-sustaining seperti resusitasi jantung paru (RJP) atau

ventilasi mekanis jika orang tua dan tim medis setuju bahwa beban dari terapi

tersebut lebih besar daripada manfaat yang mungkin didapat.

Perintah do not attempt resuscitation (DNAR) digunakan saat keputusan dibuat untuk

tidak mengejar terapi tertentu. Edukasi pasien tentang tingkat keberhasilan RJP

asdsd
dalam berbagai skenario dapat mengoreksi ekspektasi publik yang terlalu optimis

tentang keberhasilan RJP berdasarkan ekspos media.10 Beberapa pusat telah

melangkah lebih jauh dan menggunakan istilah allow natural death/ANR (izinkan

kematian wajar) dibandingkan DNAR, dengan tujuan untuk menekankan makna

mengizinkan daripada melarang. Saat menulis perintah DNAR, penting untuk

menjelaskan sespesifik mungkin mengenai intervensi mana yang harus dihindari.

Namun, dokter ICU perlu menerjemahkan tujuan keseluruhan tersebut menjadi

perintah khusus untuk memberikan panduan kepada tim tentang bagaimana

melanjutkannya. Secara umum diterima bahwa terapi medis apa pun yang dapat

ditahan juga dapat ditarik secara tepat dalam keadaan yang sama, dan bahwa

hanya karena terapi tersedia tidak berarti bahwa ada kewajiban untuk

melanjutkannya. Banyak keluarga mungkin lebih nyaman memutuskan untuk

membatasi peningkatan terapi daripada menghentikannya. Pemberian nutrisi buatan

dan hidrasi merupakan keadaan khusus karena ini merupakan intervensi medis, tetapi

diyakini oleh banyak orang sebagai bagian normal dari perawatan pasien, yang

karenanya tidak boleh ditahan.

Secara umum diterima bahwa nutrisi dan hidrasi harus ditahan hanya ketika pasien

sekarat secara aktif atau ketika pemberian nutrisi memperburuk penderitaan. Contoh

yang terakhir adalah jika prosedur baru diperlukan untuk memberikan nutrisi (seperti

penempatan selang makanan) atau jika pemberian makan menyebabkan gangguan

gastrointestinal yang sulit atau kelebihan cairan. Menghentikan nutrisi atau hidrasi

juga dapat dibenarkan pada mereka yang tidak sadarkan diri secara permanen.

Keselamatan Pasien dalam Keadaan Darurat Pediatrik


Keselamatan pasien dapat didefinisikan sebagai keadaan dimana seseorang bebas

dari cedera yang tidak disengaja akibat perawatan medis, seperti cedera/luka atau

kematian yang disebabkan oleh efek samping obat, kesalahan identifikasi pasien,

dan infeksi nosokomial. Keselamatan pasien adalah salah satu dari enam bagian

yang termasuk dalam perawatan berkualitas menurut Institute of Medicine (IOM),

tetapi keselamatan pasien menjadi perhatian terbesar, karena IOM memperkirakan

bahwa 44.000 hingga 98.000 kematian pasien per tahun di Amerika Serikat

disebabkan untuk kesalahan medis. Meski begitu, dokter spesialis anak harus mampu

memahami bahwa keselamatan pasien pediatrik berarti mencegah terjadinya cedera

atau kecelakaan pada pasien yang diakibatkan oleh sistem kesehatan itu sendiri.

Kesalahan medis dan bahaya pasien berbeda antara pasien anak dan dewasa.

Pertama, anak-anak lebih rentan terhadap kesalahan medis daripada orang dewasa

karena masalah pertumbuhan, demografi, ketergantungan pada orang tua, dan

epidemiologi penyakit yang berbeda. Kesalahan dalam meresepkan,

mendistribusikan, dan memberikan obat merupakan bagian besar dari kesalahan

medis yang dapat dicegah pada anak-anak. Kedua, sistem computerized physician

order entry (CPOE)


medis yang dapat dicegah pada anak-anak. Kedua, sistem computerized physician

order entry (CPOE) dirancang untuk pasien dewasa, sehingga sistem tersebut kurang

efektif dalam menurunkan tingkat kesalahan medis pada pasien anak. Tindakan yang

efektif pada orang dewasa, seperti upaya mencegah infeksi akibat kateter pada

orang dewasa, tidak dapat memberikan efek yang sama pada anak-anak.

Masalah keselamatan pasien anak-anak dan solusinya bersifat multifaktorial. Woods

dkk menjelaskan bahwa faktor-faktor tersebut melibatkan 3 domain utama yaitu: (1)

karakteristik fisik; (2) masalah perkembangan; dan (3) masalah status hukum pada

pasien anak-anak. Ketiga faktor utama tersebut berhubungan erat dengan

keselamatan pasien umum yang melibatkan 3 poin utama yaitu: (1) memahami

epidemiologi dan identifikasi kesalahan; (2) memahami cara untuk memperbaiki

kesalahan, termasuk budaya keselamatan; dan (3) memiliki solusi inti keselamatan

pasien. Masing-masing strategi menyeluruh ini harus dimasukkan ke dalam penilaian

risiko keselamatan pasien pediatrik dan pengembangan solusinya. Atensi harus

diberikan pada masing-masing domain unik risiko keselamatan pasien pediatrik

seperti yang didefinisikan oleh Woods dkk.

Kesalahan Pengobatan dalam Keadaan Darurat Pediatrik


Kesalahan dalam unit gawat darurat anak (UGD) mungkin disebabkan oleh

identifikasi pasien yang tidak tepat, kurangnya pengalaman staf gawat (adanya

perbedaan kedaruratan dewasa dengan pediatrik), dan tantangan dalam melakukan

prosedur teknis serta menghitung dosis obat untuk anak-anak. Sumber kesalahan

lainnya termasuk komunikasi antara pra-rumah sakit dan staf UGD; di antara staf

UGD, terutama selama pergantian shift; antara staf UGD dan staf rawat inap; dan

antara staf UGD dan anggota keluarga. Sumber kesalahan penting lainnya di UGD

termasuk kesalahan diagnostik, kesalahan pengobatan, dan defisit lingkungan seperti

kerusakan peralatan. Dalam UGD pediatrik Kanada, 100 kesalahan resep dan 39

kesalahan pemberian obat terjadi per 1000 pasien.

Strategi Keselamatan Pasien dalam Keadaan Darurat Pediatrik


Terlepas dari upaya terbaik, deteksi kesalahan aktif, dan budaya keselamatan yang

ideal, kesalahan pasti akan terjadi dalam sistem serumit perawatan kesehatan.

Mengurangi bahaya bagi pasien anak yang disebabkan oleh perawatan medis tidak

hanya membutuhkan pencegahan eror tetapi juga: identifikasi dan pelaporan

kesalahan, melakukan praktik terbaik, dan menumbuhkan budaya keselamatan kerja.

Kepemimpinan diperlukan untuk terus menciptakan perubahan, dan juga mengakui

bahwa penyedia layanan kesehatan (1) bekerja di lingkungan berisiko tinggi dan

kompleks, (2) dapat salah sehingga dapat terjadi kesalahan medis pada anak-anak,

(3) mandiri dan bertanggung jawab secara kolektif untuk keselamatan pasien, dan

(4) merupakan bagian penting dari keberhasilan sistem. Perbaikan sistem sangat

bergantung pada:
bergantung pada: laporan kesalahan dan kecelakaan kerja, sikap adil dan fleksibel,

serta mempelajari dan menerapkan perubahan berdasarkan ilmu dan pengalaman.

Contoh Kasus
Kasus berikut diambil dari narasi Pruitt. Pasien 1 dan 2 berada di tempat tidur yang

bersebelahan di ruang terbuka di UGD, keduanya memiliki keluhan utama di papan

pelacak elektronik yang menyatakan "kesulitan bernapas". Dalam evaluasi pasien 1,

dokter 1 telah memerintahkan beberapa tes laboratorium dan radiografi, karena

riwayatnya membingungkan, dan pemeriksaan fisik tidak konsisten dengan keluhan

utama. Dokter 2, seorang part-timer di UGD, menilai pasien 2 dan secara tidak

sengaja memasukkan grafik pasien 1 pada sistem grafik elektronik dan memesan

steroid intravena (IV) untuk eksaserbasi asma. Dokter 2 bekerja di beberapa area

yang terpisah di UGD dan meninggalkan bagian ini untuk merawat pasien lain.

Perawat 2 (merawat pasien 2) dipanggil untuk membantu di area triase dan tidak

menginformasikan perawat 1 tentang kondisi pasien 2, karena menurutnya dia hanya

akan pergi beberapa menit. Perawat 1 menandatangani perintah pengobatan IV

(ditujukan untuk pasien 2) dan memberikannya kepada pasien 1. Pengasuh pasien 1

menanyakan obat apa yang dia berikan dan mengapa. Perawat 1 menyatakan, itu

karena sulit bernafas dan tidak perlu dipertanyakan lebih lanjut. Dokter 2

menyerahkan pasien 2 ke dokter 3, saat mengantar pasien ke bangsal, dokter

melaporkan bahwa pasien 2 menerima obat IV beberapa jam sebelumnya. Pasien 2

dekompensasi di bangsal dalam 6 jam berikutnya, ia membutuhkan perawatan asma

yang lebih sering dan agresif. Pasien 1 menerima pengobatan yang tidak perlu untuk

diagnosis akhir ketoasidosis diabetik.

Kegagalan kerja tim dan komunikasi biasanya disebut sebagai kontribusi etiologis

dalam analisis dasar penyebab kesalahan medis dan kejadian medis yang merugikan

pasien. Kasus yang disebutkan sebelumnya menggambarkan beberapa gangguan

dalam komunikasi baik lisan maupun tertulis dan bagaimana tim gagal berkolaborasi

karena anggota tim memilih bekerja sendiri-sendiri. Dengan memperbaiki pola

komunikasi dan cara tim bekerja sama, maka niscaya lingkungan UGD pasien

pediatrik yang sulit pun akan dapat teratasi secara lebih baik.

Daftar Pustaka
1. Childress, J. & Beauchamp, T. Principles of biomedical ethics. (2001).

2. Namachivayam, P. et al. Three decades of pediatric intensive care: Who was

admitted, what happened in intensive care, and what happened afterward.

Pediatr. Crit. Care Med. 11, 549–555 (2010).

3. Feudtner, C. & Morrison, W. The darkening veil of ‘do everything’. Archives of

Pediatrics and Adolescent Medicine vol. 166 694–695 (2012).


1.

2.

3. Feudtner, C. & Morrison, W. The darkening veil of ‘do everything’. Archives of

Pediatrics and Adolescent Medicine vol. 166 694–695 (2012).

4. Gostin, L. O. Deciding life and death in the courtroom: From Quinlan to Cruzan,

Glucksberg, and Vacco: A brief history and analysis of constitutional protection

of the ‘right to die’. J. Am. Med. Assoc. 278, 1523–1528 (1997).

5. Prendergast, T. J. & Puntillo, K. A. Withdrawal of life support: Intensive caring at

the end of life. Journal of the American Medical Association vol. 288 2732–2740

(2002).

6. Vernon, D. D. et al. Modes of death in the pediatric intensive care unit:

Withdrawal and limitation of supportive care. Crit. Care Med. 21, 1798–1805

(1993).

7. Lee, K. J., Tieves, K. & Scanlon, M. C. Alterations in end-of-life support in the

pediatric intensive care unit. Pediatrics 126, (2010).

8. Burns, J. P., Edwards, J., Johnson, J., Cassem, N. H. & Truog, R. D. Do-not-

resuscitate order after 25 years. Critical Care Medicine vol. 31 1543–1550 (2003).

9. Berkowitz, I. & Morrison, W. Do Not Attempt Resuscitation Orders in Pediatrics.

Pediatric Clinics of North America vol. 54 757–771 (2007).

10. Diem, S. J., Lantos, J. D. & Tulsky, J. A. Cardiopulmonary Resuscitation on

Television — Miracles and Misinformation. N. Engl. J. Med. 334, 1578–1582 (1996).

11. Cohen, R. W. A tale of two conversations. Hastings Cent. Rep. 34, 49 (2004).

12. Knox, C. & Vereb, J. A. Allow natural death: A more humane approach to

discussing end-of-life directives. J. Emerg. Nurs. 31, 560–561 (2005).

13. Solomon, M. Z. et al. New and lingering controversies in pediatric end-of-life

care. Pediatrics 116, 872–883 (2005).

14. Weise, K. L. et al. Guidance on forgoing life-sustaining medical treatment.

Pediatrics 140, (2017).

15. Diekema, D. S. et al. Clinical report - Forgoing medically provided nutrition and

hydration in children. Pediatrics vol. 124 813–822 (2009).

16. Casarett, D., Kapo, J. & Caplan, A. Appropriate Use of Artificial Nutrition and

Hydration — Fundamental Principles and Recommendations. N. Engl. J. Med. 353,

2607–2612 (2005).

17. Carter, B. S. & Leuthner, S. R. The Ethics of Withholding/Withdrawing Nutrition in

the Newborn. Semin. Perinatol. 27, 480–487 (2003).

18. LT, K., JM, C. & MS, D. To Err Is Human. (National Academies Press, 2000).

doi:10.17226/9728.

19. Crossing the Quality Chasm. (National Academies Press, 2001).

doi:10.17226/10027.

20. Santell, J. P. & Hicks, R. Medication errors involving pediatric patients. Jt. Comm.

J. Qual. Patient Saf. 31, 348–353 (2005).

21. Miller, M. R., Robinson, K. A., Lubomski, L. H., Rinke, M. L. & Pronovost, P. J.

Medication errors in paediatric care: A systematic review of epidemiology and an

evaluation of evidence supporting reduction strategy recommendations. Qual.

Saf. Heal. Care 16, 116–126 (2007).n


21. Miller, M. R., Robinson, K. A., Lubomski, L. H., Rinke, M. L. & Pronovost, P. J.

Medication errors in paediatric care: A systematic review of epidemiology and an

evaluation of evidence supporting reduction strategy recommendations. Qual.

Saf. Heal. Care 16, 116–126 (2007).

22. Kaushal, R., Jaggi, T., Walsh, K., Fortescue, E. B. & Bates, D. W. Pediatric

medication errors: What do we know? What gaps remain? Ambul. Pediatr. 4, 73–

81 (2004).

23. Kaushal, R. et al. Medication errors and adverse drug events in pediatric

inpatients. J. Am. Med. Assoc. 285, 2114–2120 (2001).

24. McPhillips, H. A. et al. Potential medication dosing errors in outpatient pediatrics.

J. Pediatr. 147, 761–767 (2005).

25. McKee, C. et al. Reduction of catheter-associated bloodstream infections in

pediatric patients: Experimentation and reality. Pediatr. Crit. Care Med. 9, 40–46

(2008).

26. Miller, M. R. et al. Decreasing PICU catheter-associated bloodstream infections:

NACHRI’s quality transformation efforts. Pediatrics 125, 206–213 (2010).

27. Woods, D. et al. Child Specific Risk Factors in Patient Safety. J. Patient Saf. 1, 17–

22 (2005).

28. Barata, I. A., Benjamin, L. S., Mace, S. E., Herman, M. I. & Goldman, R. D.

Pediatric patient safety in the prehospital/emergency department setting.

Pediatric Emergency Care vol. 23 412–418 (2007).

29. O’Neill, K. A., Shinn, D., Starr, K. T. & Kelley, J. Patient misidentification in a

pediatric emergency department: Patient safety and legal perspectives.

Pediatric Emergency Care vol. 20 487–492 (2004).

30. Kozer, E., Berkovitch, M. & Koren, G. Medication Errors in Children. Pediatric

Clinics of North America vol. 53 1155–1168 (2006).

31. Reason, J. Human error: Models and management. West. J. Med. 172, 393–396

(2000).

32. C, P. Normal accidents. Journal of Data and Information Quality vol. 4 1–26

(2013).

33. Mueller, B. U. et al. Principles of pediatric patient safety: Reducing harm due to

medical care. Pediatrics 143, (2019).

34. Pruitt, C. M. & Liebelt, E. L. Enhancing Patient Safety in the Pediatric Emergency

Department Teams , Communication , and Lessons From Crew Resource

Management. 26, 942–951 (2010).


dr. Yogi Prawira, SpA(K)
Staf Divisi Emergensi dan Rawat Intensif Anak,

Departemen Ilmu Kesehatan Anak, FKUI-RSCM


TATA LAKSANA INTOKSIKASI PADA ANAK
dr. Yogi Prawira, SpA(K)

“Sola dosis facit venenum” (Paracelsus)

Pernyataan yang dibuat circa 1564, masih sangat relevan hingga saat ini, “Semua

substansi adalah racun, yang membuatnya berbeda hanya dosis.” Dosis toksik,

sejalan dengan hal di atas, menggambarkan bahwa apakah keracunan dan

kerusakan yang terjadi akibat ingesti, absorbsi atau pun inhalasi zat toksik,

tergantung dari berapa banyak unsur kimia zat tersebut yang diserap oleh tubuh.

Berdasarkan laporan WHO, terdapat lebih dari 1 miliar orang mengalami inflamasi di

sistem pernafasan akibat inhalasi asap. Data lainnya menyebutkan bahwa sebesar

3,6-13,2% keracunan zat inhalan pada anak disebabkan oleh karbon monoksida

(CO). Gigitan ular berbisa, sebagai salah satu penyebab keracunan, diperkirakan

terjadi terhadap 5 juta orang di seluruh dunia per tahun, dan menyebabkan 50% di

antaranya mengalami keracunan, dengan mortalitas mencapai 100.000 jiwa.

Patofisiologi
Toksisitas adalah kemampuan suatu zat atau unsur kimia menyebabkan kerusakan.

Paparan zat toksik terhadap korban bisa melalui ingesti, absorbsi atau pun inhalasi.

Pada inhalasi asap, terjadi cedera jaringan akibat inhalasi langsung udara panas

(150oC atau lebih), sehingga dapat terjadi luka bakar di area wajah, orofaring dan

jalan napas bagian atas (di atas plica vocalis). Zat kimia dalam bentuk gas akan

berikatan pada permukaan partikel kecil, menyebabkan edema paru dan kerusakan

mukosa trakeobronkial. Efek sistemik inhalasi asap disebabkan oleh terhirupnya gas

toksik saat pembakaran bahan organik dan anorganik, yang dapat menimbulkan

asfiksia.

Bahan kaustik yang tertelan dapat menyebabkan dua jenis kerusakan, yaitu akibat

zat yang bersifat basa dan asam. Mekanisme liquefaction necrosis akibat ingesti

basa kuat akan menyebabkan safonifikasi jaringan lemak dan degradasi protein

sehingga penetrasi cedera yang ditimbulkan menjadi lebih dalam. Lebih jauh lagi,

akan terjadi kerusakan sel akibat emulsifikasi dan disrupsi membran sel. Bahan asam

memiliki mekanisme yang berbeda, yaitu coagulation necrosis, sehingga terjadi

denaturasi protein jaringan superfisial yang dapat menimbulkan eschar atau pun

gumpalan.

Bisa ular dapat bersifat hematotoksik yaitu menyebabkan perdarahan di tempat

gigitan dan multiorgan (paru, jantung, ginjal, peritoneum, otak, gusi, saluran cerna

dan kulit. Manifestasi klinis perdarahan mulai dari petekie, ekimosi, hemoptoe,

hematuri,
hematuri, bahkan disseminated intravascular coagulation (DIC). Bisa ular juga dapat

bersifat neurotoksik, yang bermanifestasi klinis pada korban berupa hipertonik,

fasikulasi, paresis, paralisis pernapasan, ptosis oftalmoplegi, paralisis otot laring,

kejang dan koma. Efek lain bisa ular adalah kardiotoksik, sehingga korban dapat

mengalami hipotensi dan kegagalan sirkulasi.

Gejala gastrointestinal akut akibat zat toksik non-infeksius (misalnya racun alami dari

jamur) belum diketahui secara pasti. Toksin yang bekerja pada sistem saraf pusat

dapat menimbulkan gejala muntah. Berdasarkan masa laten (waktu antara ingesti

jamur beracun dan timbulnya gejala klinis) dibagi menjadi: awitan lama, misalnya

pasca ingesti jamur A. phalloides, Galerina spp. Kerusakan sel yang dapat berlanjut

menjadi kegagalan multi organ disebabkan oleh oktapeptida siklik (racun

protoplasma: amanitin). Kelompok kedua adalah awitan dini, misalnya paparan

spesies jamur scopolamine, A. pantherina, yang menghasilkan neurotoksin.

Pestisida organofosfat juga bersifat neurotoksik, mekanisme kerjanya menghambat

asetilkolin esterase sehingga terjadi akumulasi asetilkolin (efek muskarinik dan efek

nikotinik). Sindroma klinis botulismus terjadi akibat racun botulinum yang

menyebabkan inhibisi pelepasan asetilkolin pada ujung saraf. Singkong dapat

menghasilkan asam sianida (racun glikosida sianogenik) yang mekanisme kerjanya

mengganggu ikatan hemoglobin dengan oksigen sehingga terjadi gangguan

oksigenasi jaringan, dengan dosis lethal 0,5-3,5 mg HCN/kgBB. Jengkol dapat

menghasilkan asam jengkolat, yaitu jenis asam amino dalam biji jengkol, yang dapat

mengendap dalam saluran kemih sehingga menyebabkan penyumbatan saluran

kemih.

Penilaian Awal
Penilaian awal meliputi penilaian jalan napas (airway), pernapasan (breathing) dan

sirkulasi (circulation), serta anamnesis riwayat keracunan serta pemeriksaan fisis lain

(disabilities dan exposure).

Anamnesis

Informasi lengkap dapat ditanyakan setelah pasien stabil. Data yang dimintakan

dari pasien, anggota keluarga, penolong atau orang yang berada di lokasi

kejadian adalah: kapan anak terpapar dengan racun tersebut, jenis dan

jumlahnya, ada tidaknya riwayat alergi atau penyakit dasar, apa saja

pertolongan pertama yang telah diberikan. Kemasan obat atau bahan kimia

sebaiknya diteliti dengan seksama.

Pemeriksaan Fisis

Lakukan pemeriksaan fisik dengan ringkas, fokus utama pada status neurologis

dan kardiopulmonal. Nilai status mental atau level kesadaran dengan Glasgow

Coma Scale atau


Coma Scale atau sistem AVPU. Jika terdapat perubahan status mental, cari

kemungkinan adanya ketidakseimbangan metabolik atau trauma. Pemeriksaan

fisik dan tanda vital dapat menolong saat melakukan identifikasi kelompok toksin

tertentu. Hipertensi ditemukan pada overdosis amfetamin, phencyclidine, obat

simpatomimetik, gejala putus obat sedatif atau narkotik. Hipotensi didapatkan

pada keracunan beta blocker, sedatif hipnotik atau obat narkotik. Takikardi

pada keracunan obat akan menyebabkan hipertensi. Bradikardi berhubungan

dengan keracunan digitalis, beta blocker dan calcium channel antagonist.

Demam dapat terjadi akibat keracunan salisilat, organofosfat, antikolinergik,

putus obat narkotik atau alkohol. Depresi napas ditemukan pada keracunan

hipnotik sedatif dan narkotik. Pada kasus pneumonia aspirasi (hidrokarbon),

edema pulmonum (inhalasi asap, narkotik, salisilat) dan asidosis metabolik (etilen

glikol, metanol, salisilat) sering terjadi depresi napas. Ukuran pupil dan tanda di

kulit juga dapat membantu identifikasi golongan bahan racun yang tertelan.

Identifikasi Sindrom Toksik

Adanya sindrom toksik membantu menegakkan diagnosis banding berdasarkan

golongan racun yang tersering, seperti pada tabel berikut.

Tabel 1. Sindrom Toksik

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan analisis gas darah dan kadar elektrolit dapat membantu investigasi

kemungkinan bahan toksik atau metabolik penyebab. Pemeriksaan gula darah

penting dikerjakan sebagai pedoman apakah perlu diberikan glukosa.

Pemeriksaan fungsi hati dan ginjal untuk menyingkirkan kemungkinan gangguan

hati akut atau acute kidney injury. Skrining toksikologi terhadap darah dan urin

jarang memberi kontribusi pada penanganan


jarang memberi kontribusi pada penanganan akut, sehingga pemeriksaan ini

lebih dilakukan atas indikasi akademik atau forensik. Jika suatu obat tertentu

diduga sebagai penyebab, komunikasikan hal ini kepada pihak laboratorium.

Hasil skrining toksikologi yang negatif tidak menyingkirkan kemungkinan

keracunan.

Jika ditemukan adanya gangguan kesadaran atau respirasi, pertahankan jalan

napas dan lakukan foto rontgen dada, untuk menyingkirkan kemungkinan

pneumonia aspirasi atau edema paru non-kardiogenik. Obat-obatan tertentu

seperti zat besi, logam berat lainnya dan kapsul enteric-coated, kemungkinan

akan terlihat pada foto polos abdomen. Pasien dengan status kardiopulmonal

atau susunan saraf pusat yang membahayakan memerlukan pengawasan ketat.

Jika terdapat gangguan irama jantung atau pasien diketahui telah menelan

racun yang bersifat kardiotoksik (seperti anti depresan trisiklik), lakukan EKG dan

pantau denyut jantung, denyut nadi serta tekanan darah.

Tata Laksana Awal


1. Prosedur emergensi (ABC), secara simultan melakukan anamnesis dan

pemeriksaan fisis (DE). Airway, Breathing, dan Circulation merupakan prioritas

utama. Evaluasi respirasi, denyut nadi, pengisian kapiler dan tekanan darah.

Pertahankan patensi jalan nafas. Penanganan airway dan bantuan pernafasan

dilakukan untuk mengoreksi keadaan hipoksia dan asidemia sambil mencegah

aspirasi. Pulse oximetry harus dipasang pada pasien yang mengalami distres

napas dan sianosis. Pemantauan jantung diindikasikan pada instabilitas

hemodinamik.

2. Mencegah atau meminimalisasi absorbsi (dekontaminasi). Minimalisasi absorbsi

obat atau bahan toksik yang tertelan dapat dilakukan dengan:

Pemberian karbon aktif dosis tunggal: pemberian karbon aktif setelah lebih

dari 1 jam masih memberikan sedikit manfaat, namun pemberian karbon aktif

lebih dari 4 jam sejak ingesti zat beracun sudah tidak berguna. Kontra

indikasi pemberian karbon aktif adalah pada pasien dengan penurunan

kesadaran (karena risiko tinggi aspirasi), yang berisiko perdarahan atau

perforasi saluran cerna. Karbon aktif tidak dapat mengabsorbsi substansi di

bawah ini sehingga tidak diindikasikan pada intoksikasi ion – ion sederhana

(mis. besi, lithium, sianida), alkohol (mis. etanol, metanol), dan asam atau

basa kuat (mis. HCl, NaOH).

Bilas lambung (gastric lavage): belum ada penelitian yang membuktikan

manfaat bilas lambung dalam memperbaiki luaran pasien keracunan. Bilas

lambung terindikasi pada kasus tertelan bahan kimia atau obat-obatan

dalam jumlah/dosis besar yang berpotensi menjadi racun. Bilas lambung

dikontraindikasikan pada pasien dengan jalan napas tidak terproteksi,

tertelan bahan/obat yang berpotensi tinggi untuk menyebabkan aspirasi


Bilas lambung (gastric lavage): belum ada penelitian yang membuktikan

tertelan bahan/obat yang berpotensi tinggi untuk menyebabkan aspirasi

(mis. hidrokarbon), tertelan asam kuat atau basa kuat, tertelan benda asing

yang besar atau benda bertepi tajam/runcing dan pasien dengan risiko

tinggi terjadinya perdarahan atau perforasi saluran cerna. Komplikasi yang

bisa ditemukan adalah pnemonia aspirasi, perforasi esofagus atau lambung,

tension pneumothorax dan empiema.

Pencahar: manfaat pencahar dalam penanganan lebih dosis atau

keracunan akut belum dapat dibuktikan. Menurunkan waktu transit dapat

mencegah penyerapan toksin dalam saluran cerna. Pencahar harus dihindari

pada anak usia < 6 tahun karena risiko ketidakseimbangan cairan dan

elektrolit, dipertimbangkan jika tertelan obat-obat enteric-coated dalam

jumlah banyak dan yang tidak dapat diabsorbsi dengan baik oleh karbon

aktif. Kontra indikasi pada obstruksi saluran cerna, perforasi saluran cerna,

peristaltik usus menghilang, diare dan ketidakseimbangan elektrolit.

Irigasi saluran cerna (whole bowel irrigation): irigasi saluran cerna adalah

membersihkan saluran cerna secara mekanik dengan larutan polyethilen

glycol electrolyte (PEG) yang diinfus melalui selang nasogastrik atau

diminumkan sampai luaran rektum menjadi bersih. Cara ini aman dilakukan

pada anak kecil tapi tidak digunakan untuk menggantikan pemakaian

karbon aktif sebagai terapi utama. Irigasi lebih bermanfaat pada pasien

yang tertelan bahan/obat yang tidak terserap dengan baik oleh karbon

aktif. Irigasi diindikasikan pada pasien yang tertelan obat enteric-coated

atau kurang dapat diabsorbsi oleh karbon aktif. Kontraindikasi pada pasien

tanpa proteksi jalan napas, ileus atau obstruksi saluran cerna, bising usus

menghilang, dan instabilitas hemodinamik. Komplikasi yang sering dijumpai

1. adalah muntah dan iritasi rektum.

2. Induksi muntah dengan sirup ipecac: cara ini sudah tidak dianjurkan lagi.

3. Meningkatkan ekskresi (eliminasi), dengan beberapa cara sebagai berikut.

Ion trapping: peningkatan keasaman dan kebasaan urin akan meningkatkan

ekskresi basa lemah dan asam lemah. Peningkatan keasaman urin harus

dihindari karena risiko asidemia. Alkalisasi urin dapat dipertimbangkan pada

keracunan salisilat, trisiklik dan fenobarbital.

Diuresis netral: pada kasus keracunan lithium atau bromide, dapat

dipertimbangkan meningkatkan aliran urin dengan infus cairan kristaloid

intravena. Edema pulmonum, edema cerebral dan gagal ginjal merupakan

kontra indikasi.

Pemberian karbon aktif dosis ganda: pada kasus keracunan lithium atau

bromide, dapat dipertimbangkan meningkatkan aliran urin dengan infus

cairan kristaloid intravena. Edema pulmonum, edema cerebral dan gagal

ginjal merupakan kontra indikasi.


Hemodialisis: teknik ini diindikasikan untuk kasus keracunan methanol,

1. ethylene glycol, INH, dan sejumlah besar lithium dan salisilat.

2. Hemoperfusi dengan karbon: cara ini jarang dikerjakan, biasanya pada

3. kasus keracunan sejumlah besar theophylline.

4. Pemberian antidot: antidot dan agen antagonis hanya dipunyai oleh sejumlah

kecil jenis racun. Beberapa racun beserta antidot-nya adalah sebagai berikut.

5.

6. Tabel 2. Beberapa Jenis Racun dan Antidotum-nya

Daftar Pustaka
1. Arisman MB. Keracunan Makanan. Buku Ajar Ilmu Gizi. Edisi ke-1. Jakarta: EGC;

2008. h. 1-151.

2. Assar S, et al. Acute poisoning in children. Pak J Med Sci. 2009;25:51-4.

3. Ahmed SM, Ahmed M, Nadeem A, Mahajan J, Choudhary A, Pal J. Emergency

treatment of a snake bite: Pearls from literature. J of Emerg Tr and Shock. 2008;1:

97-105.

4. Anonymus. Snakebite and spiderbite clinical management guidelines. NSW

health. 2007;3:8-26.

5. Betalli P, et al. Update on management of caustic and foreign body ingestion in

children. Hindawi publishing corporation diagnostic and therapeutic endoscopy.

2009.

6. Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM. Bahaya kesehatan lingkungan. Dalam: Ilmu

Kesehatan Anak. Nelson. Edisi ke-15. Jakarta: EGC; 2000. h. 2431-58.


children. Hindawi publishing corporation diagnostic and therapeutic endoscopy.

2009.

6. Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM. Bahaya kesehatan lingkungan. Dalam: Ilmu

Kesehatan Anak. Nelson. Edisi ke-15. Jakarta: EGC; 2000. h. 2431-58.

7. Demling RH. Smoke inhalation injury: An update. J Plast Surg. 2008;254-82.

8. Fleisher GR, Ludwig S. Textbook of pediatric emergency medicine. Edisi ke-6.

Williams & Wilkins; 2010.

9. Frithsen IL, Simpson WM. Recognition and management of acute medication

poisoning. AAFP. 2010;61:1-8.

10. Gamarra RM, Manuel DM, Piper MH. Food poisoning. Diunduh dari:

http://emedicine.medscape.com. Diakses pada 23 Oktober 2020.

11. Garcia-willis CE, Vela-Ortega R, Leal ME. Epidemiology of accidental snake

poisoning in the pediatric population. Bol Med Hosp Infant Mex. 2009;66:36- 40.

12. Gold BS, Dart RC, Barish RA. Bites of venomous snakes: A current concepts.

Review Article. N Engl J Med. 2002. 347 (5) : 347-356.

13. Haller A, Johnston C, Luten R, Singer J. Toxycology (Ingestion, Inhalation Injuries,

Envenomation). APLS: The Pediatric Emergency Medicine Course. Second ed.

American Academy of Pediatric, p. 129-42.

14. Haller A. APLS: The Pediatric Emergency Medicine Course. Edisi ke-2. American

Academy of Pediatrics/American College of Emergency Physicians All Rights

Reserved. 1993. h. 129-42.

15. Jacob S. Mechanism of toxic smoke inhalation and burn injury: Role of neutral

endopeptidase and vascular leakage in mice. Toxic Mech Meth. 2009;19:191-6.

16. Kasturiratne A. The global burden of snakebite: A literature analysis and

modelling based on regional estimates of envenoming and deaths. PloS Med.

2008;5:e218.

17. Lattery KA, Goett HJ. Smoke inhalation. Diunduh dari http://emedicine.

medscape.com/article/771194. Diakses pada 15 November 2020.

18. Miller H. Can genetic engineering prevent food poisoning? J of Commerc

Biotechnology. 2009;15:197-8.

19. Murakami K, Trabel DL. Pathophysiological basis of smoke inhalation injury. New

physiol sci. 2003;18:125-9.

20. Nicholds DG. Roger’s textbook of pediatric intensive care. Edisi ke-4.

Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2008.

21. Rehberg S, et al. Pathophysiology, management and treatment of smoke

inhalation injury. Expert rev respir med. 2009;3:283-97.

22. Sekretaris Jenderal Jejaring Intelijen Pangan. Departemen Kesehatan. KLB

Keracunan Pangan. Food watch. Sistem keamanan pangan terpadu. 2005.

23. Shannon M. Ingestion of toxic substances by children. NEJM. 2000:1.

24. Weigert A, Black A. Caustic ingestion in children, continuing education in

anaesthesia, critical care & pain. 2005.

25. Yarar C. Neurological effects of acute carbon monoxide (CO). Poisoning in

children. J Pediatr Sci. 2009;1:1-5.


Dr. dr. Rismala Dewi, SpA(K)
Kepala Divisi Emergensi dan Rawat Intensif Anak

Departemen Ilmu Kesehatan Anak, FKUI-RSCM


SYOK PADA ANAK DAN TATA LAKSANA
Dr. dr. Rismala Dewi, SpA(K)

Syok adalah suatu sindrom klinis yang diakibatkan oleh kegagalan sistem sirkulasi

dalam memenuhi fungsinya. Berdasarkan komponen sirkulasi, syok dibagi menjadi

syok hipovolemik, syok kardiogenik, syok distributif, dan syok obstruktif. Syok

hipovolemik merupakan syok yang diakibatkan oleh volume intravaskular yang

inadekuat dan merupakan syok yang terbanyak ditemukan pada pasien anak.

Penyebab yang sering diantaranya muntah, diare, perdarahan, serta luka bakar.

Mekanisme yang terjadi adalah volume intravaskular yang inadekuat, preload

menurun sehingga stroke volume (SV) dan cardiac output (CO) menurun. Tubuh akan

mengkompensasi dengan meningkatkan detak jantung dan vasokonstriksi pembuluh

perifer, sehingga aliran darah difokuskan ke organ vital. Manifestasi klinis syok

hipovolemik mirip dengan syok lainnya, yaitu peningkatan detak jantung, perubahan

pada palpasi nadi perifer, dan hipotensi. Pada fase kompensasi, manifestasi berupa

takikardia, akral dingin, dan capillary refill time (CRT) memanjang, tekanan darah

normal dan kesadaran cukup baik. Pada fase dekompensasi, muncul hipotensi,

penurunan urine output hingga anuria, asidosis metabolik, penurunan kesadaran

akibat penurunan perfusi otak, hingga kegagalan sistem organ.

Syok kardiogenik disebabkan oleh kegagalan pompa jantung karena kontraktilitas

miokardium mengalami penurunan; dapat disebabkan oleh penyakit jantung bawaan

(PJB), miokarditis, aritmia, kardiomiopati, kontusio miokard, infark miokard, penyakit

Kawasaki, dan intoksikasi obat. Jika kontraktilitas miokardium tidak optimal, SV akan

menurun, lalu CO dan tekanan darah juga menurun sehingga perfusi ke jaringan

tidak optimal. Mekanisme kompensasi tubuh dengan melepaskan vasokonstriktor

untuk meningkatkan resistensi vaskular. Respon tubuh berupa vasokonstriksi sistemik

untuk meretensi cairan akan membuat resistensi vaskular sistemik dan afterload

meningkat, sehingga kerja ventrikel semakin berat. Takikardia menyebabkan aliran

darah pembuluh koroner terganggu sehingga suplai oksigen untuk miokardium

menurun. Kegagalan ventrikel kiri untuk mengosongkan darah seluruhnya akan

meningkatkan volume dan tekanan ventrikel, jika terus berlanjut dapat menyebabkan

edema paru dan gagal jantung kanan. Manifestasi klinis khas yang dapat ditemukan

pada syok kardiogenik merupakan manifestasi klinis dari gangguan jantung itu

sendiri.

Syok distributif terjadi karena abnormalitas tonus vaskular sehingga resistensi

vaskular sistemik menurun, dan terjadi akumulasi darah di perifer dan penurunan

aliran balik vena. Dapat disebabkan oleh syok neurogenik, sepsis (paling banyak

pada anak), serta anafilaksis. Abnormalitas tonus vaskular menyebabkan akumulasi

darah di pembuluh perifer dan penurunan volume intravaskular, sehingga perfusi

jaringan menjadi tidak adekuat. Pada syok sepsis, kontraktilitas jantung juga dapat

menurun. Pada syok neurogenik, tonus simpatis hilang dan menyebabkan vasodilatasi
darah di pembuluh perifer dan penurunan volume intravaskular, sehingga perfusi

jaringan menjadi tidak adekuat. Pada syok sepsis, kontraktilitas jantung juga dapat

menurun. Pada syok neurogenik, tonus simpatis hilang dan menyebabkan vasodilatasi

dan kurangnya mekanisme kompensasi seperti takikardia dan vasokonstriksi perifer.

Berbeda dengan syok lain yang bermanifestasi sebagai suhu akral yang dingin, pada

fase awal syok distributif justru ditemukan akral yang hangat dan kemerahan akibat

vasodilatasi perifer dan akumulasi darah yang disebabkan oleh abnormalitas tonus

vaskular. Pada syok distributif juga ditemukan upaya kompensasi berupa peningkatan

detak jantung. Manifestasi klinis juga dipengaruhi oleh etiologi.

Syok obstruktif terjadi saat adanya obstruksi mekanik dari pengisian ventrikel atau

aliran keluar ventrikel. Penyebab tersering pada syok obstruktif adalah seperti tension

pneumothorax, tamponade jantung, dan emboli pulmoner masif. Penyebablain yaitu

lesi kongenital seperti koarktasio aorta dan stenosis katup aorta. Patofisiologi dari

syok obstruktif dapat dibedakan berdasarkan lokasi obstruksi terhadap jantung. Pada

emboli arteri pulmoner atau massa mediastinum, afterload ventrikel kanan

meningkat, dan menyebabkan penurunan preload ventrikel kiri. Pada obstruksi aorta,

akan terjadi peningkatan afterload ventrikel kiri. Secara umum, segala penyebab dari

syok obstruktif akan menurunkan SV dan CO, dan menurunkan tekanan darah.

Manifestasi klinis yang dapat muncul diantaranya adalah takikardia, takipnea,

oliguria, dan penurunan kesadaran. Pada kondisi awal, dapat juga ditemukan

penurunan tekanan darah. Manifestasi klinis yang muncul bersifat nonspesifik dan

ditimbulkan sebagai mekanisme kompensasi dari syok itu sendiri.

Pada beberapa kasus, penyebab syok jelas seperti penyakit jantung bawaan (PJB),

imunodefisiensi, trauma, pembedahan, ingesti toksin, alergi penting, dan memiliki

sumber infeksi jelas. Pada neonatus, perlu ditanyakan riwayat maternal dan

kelahiran, distres fetal, dan informasi obstetri lainnya. Riwayat imunodefisiensi,

penggunaan imunosupresan, demam, dan gejala lain (letargi, muntah, diare,

penurunan asupan oral, penurunan kesadaran) dapat menunjukan adanya infeksi dan

kemungkinan syok septik atau dehidrasi. Informasi lain seperti paparan lingkungan,

ingesti obat, riwayat penyakit dahulu, dan alergi juga penting.

Tanda syok pada anak adalah takikardia dengan tanda penurunan perfusi organ

atau perifer, perubahan kesadaran, CRT >2 detik, ekstremitas dingin, dan penurunan

urine output. Hipotensi merupakan tanda akhir dari syok. Fase pada syok dapat

dibagi menjadi tiga, yakni fase kompensasi, dekompensasi dan ireversibel. Di awal

fase kompensasi, tekanan darah, urine output, dan fungsi jantung dapat tampak

normal, tetapi perubahan metabolik selular sudah terjadi. Pada fase dekompensasi,

kompensasi sirkulasi gagal, kemudian akan terjadi penurunan fungsi selular dan

abnormalitas pada semua sistem organ, yang dapat menyebabkan kegagalan multi

organ sehingga syok menjadi ireversibel dan menyebabkan kematian. Pada

pemeriksaan fisik, didapat penurunan perfusi jaringan; penurunan perfusi kulit dan

temperatur (dingin, pucat, clammy, mottled, CRT meningkat).


abnormalitas pada semua sistem organ, yang dapat menyebabkan kegagalan multi

organ sehingga syok menjadi ireversibel dan menyebabkan kematian. Pada

pemeriksaan fisik, didapat penurunan perfusi jaringan; penurunan perfusi kulit dan

temperatur (dingin, pucat, clammy, mottled, CRT meningkat).

Syok merupakan suatu kondisi gawat darurat sehingga harus segera dikenali status

syok terkompensasi atau tidak, penerapan pediatric assessment triangle (PAT), usaha

cepat mengembalikan kondisi ke sebelum syok, dan identifikasi serta tata laksana

etiologi syok. Setelah peniaian primer, beri oksigen dan pasang akses vaskular

secepatnya untuk mengembalikan volume darah atau akses obat. Akses vena sentral

sangat dianjurkan pada pasien dengan syok refrakter cairan atau jika agen vasoaktif

diinisiasi dan untuk membantu pemantauan target terapi. Resusitasi cairan

dianjurkan pada awal dan agresif dengan bolus cairan 20 mL/kgBB secara cepat,

evaluasi perfusi serta tanda vital selama dan setelah bolus cairan hingga 60mL/kgBB

jika masih dalam kondisi syok pada 20-60 menit. Hentikan resusitasi cairan jika

terjadi hepatomegali atau edema pulmoner. Resusitasi perlu dilakukan dengan hati-

hati pada neonatus usia <30 hari dan pasien dengan masalah jantung, ginjal atau

syok kardiogenik. Pada kondisi tersebut, berikan cairan bolus mulai dari 5-10 mL/kgBB

dan lakukan evaluasi berulang. Pemberian cairan dilakukan melalui intravena IV push

atau infuser cepat untuk mencapai target waktu. Dopamin, norepinefrin dan

epinefrin dianggap sebagai lini pertama syok refrakter cairan. Agen vasoaktif dapat

diberikan via akses IV pada konsentrasi dilusi tetapi perlu transisi menuju vena yang

lebih besar. Agen vasoaktif kedua diberikan jika masih hipotensi. Pasien warm shock

direkomendasikan diberikan norepinefrin jika pada awalnya diberikan dopamin. Pada

pasien cold shock, beri inotropik yaitu dopamin atau epinefrin dosis rendah

(maksimal 0,1 mcg/kg/menit).

Pemberian oksigen perlu dilakukan untuk meningkatkan pasokan oksigen sambil

mendapatkan akses IV, administrasi cairan, dan inisiasi vasoaktif. Intubasi pada

pasien dengan gagal napas akibat syok harus hati-hati karena ventilasi tekanan

positif akan menurunkan venous return pada pasien hipovolemik dan akan

memunculkan kolaps kardiovaskular.

Penanganan etiologi syok perlu dilakukan di awal. Pasien dengan syok hipovolemik

akibat perdarahan perlu ditatalaksana dengan kristaloid dan darah. Untuk

tatalaksana definitif, kontrol sumber perdarahan; resusitasi cairan dan koreksi

elektrolit pada dehidrasi. Pada syok kardiogenik, faktor risiko harus ditanyakan

misalnya anak dengan PJB, kardiomiopati, atau miokarditis. Infus prostaglandin dapat

diberikan pada kecurigaan lesi jantung dependen duktus. Pada syok distributif akibat

sepsis, administrasi antibiotik spektrum luas dianjurkan pada 1 jam pertama. Pada

syok anafilaktik, epinefrin merupakan terapi definitif.


Tanda klinis keberhasilan resusitasi adalah denyut jantung, laju napas dan tekanan

darah kembali normal, urine output > 1 mL/kg/jam, perbaikan status mental, CRT <2

detik. Setelah pasien stabil berikan antihistamin H1 (difenhidramin IV 1,25 mg/kg max

50 mg) dan H2 (ranitidine IV 0,5-1 mg/kg max 50 mg). Kortikosteroid yang dipilih

adalah metilprednisolon IV dengan dosis 1-2 mg/kg max 125 mg untuk mencegah

anafilaktik bifasik. Observasi dilakukan pada semua pasien.

Syok neurogenik terjadi akibat trauma medula spinalis pada daerah servikal/upper

thoracic yang mengganggu saraf simpatis pembuluh darah dan jantung. Tanda yang

dapat ditemukan adalah hipotensi dengan tekanan nadi memanjang, nadi yang

normal ataupun bradikardia walaupun resusitasi sudah adekuat dan perdarahan

sudah di eliminasi. Posisikan anak supine atau kepala dibawah untuk meningkatkan

venous return, berikan trial terapi cairan (isotonik kristaloid) dan evaluasi respons,

pada fluid-refractory hypotension gunakan vasopressor (norepinefrin dan epinefrin)

sesuai indikasi, dan berikan supplementary warming atau cooling sesuai kebutuhan.

Manifestasi syok sepsis pada neonatus dan anak lebih sering ditemukan dengan cold

shock (SVR tinggi, CO rendah) dibanding warm shock. Sepsis adalah SIRS dengan

kecurigaan/sudah terbukti infeksi. Sebelum pemberian antibiotik, perlu dilakukan

pemeriksaan laboratorium (darah perifer lengkap, elektrolit, glukosa darah, fungsi

ginjal dan hati, panel koagulasi, laktat, kultur darah). Antibiotik (spektrum luas

empiris) harus diberikan dalam 1 jam pertama setelah dicurigai syok sepsis. Jika

setelah pemberian cairan (40-60 ml/kg) tidak ada perbaikan klinis maka pemberian

inotropik atau vasoaktif harus dilakukan dalam 1 jam pertama. Jika pasien memiliki

risiko insufisiensi adrenal ataupun mengalami katekolamin-refrakter syok maka

berikan stress-dose hidrokortison (50-100 mg/m2/24 jam).

Tension pneumothorax terjadi saat udara yang terakumulasi pada rongga pleura

akan menyebabkan tensi dan shifting mediastinum, sehingga jantung serta pembuluh

darah besar tertekan. Gejala berupa hipoksemia, takikardia, distress pernapasan,

penurunan venous return ke jantung, perfusi menurun, dan syok. Hipotensi merupakan

tanda akhir dari syok. Tatalaksana yang disarkankan adalah dengan needle

decompression, dan tatalaksana definitifnya adalah dengan penempatan

torakostomi.

Pada tamponade jantung, efusi perikardial dapat terjadi akibat pericarditis,

neoplastic, atau idiopatik. Diagnosis klinis ditandai dengan Beck’s triad, dispnea,

takikardia dan penurunan perfusi; auskultasi terdengar friction rub dan suara jantung

menjauh, nadi teraba pulsus paradoksus. Perlu dilakukan perikardiosentesis dengan

tuntunan echocardiogram.
Emboli paru sulit didiagnosis pada anak, bersifat fatal dan perlu dilakukan CT

venografi dan scan ventilasi/perfusi (V/Q) namun sulit diinterpretasi pada anak.

Tatalaksana emboli paru akut pada anak dimulai dengan inisiasi heparin dengan

atau tanpa agen fibrinolitik.

Syok obstruksi dapat muncul pada lesi kardiak spesifik yang ductal-dependent

seperti koartasio aorta, stenosis katup aorta, terganggunya lengkung aorta, dan

sindrom jantung kiri hipoplastik, perlu penanganan segera pada neonatus.

Tatalaksana melibatkan ventilasi mekanik, inotropik, dan mengamankan patensi

duktus dengan infus prostaglandin E2, serta penanganan definitif melalui

pembedahan.

Komplikasi syok adalah disfungsi organ ireversibel, kegagalan multi organ, hingga

kematian. Syok hipovolemik dapat menyebabkan gagal ginjal akut, depresi

miokardium dan gangguan hati. Syok neurogenic dapat menyebabkan pneumonia

aspirasi, pressure ulcer, dan deep vein thrombosis. Syok septik dapat menyebabkan

acute respiratory distress syndrome (ARDS), gagal ginjal, disseminated intravascular

coagulation (DIC), gagal hati akut, dan gangguan miokard. Syok kardiogenik dapat

menyebabkan disritmia jantung, henti jantung, gagal ginjal, aneurisma, stroke,

tromboemboli, edema pulmonal, hingga kematian. Mortalitas syok berkisar antara 3-

9% (syok septik), 50-75% (syok kardiogenik), 20%-80% (syok distributif). Syok dan

multi organ dysfunction syndrome masih merupakan salah satu penyebab kematian

terbanyak pada bayi dan anak.

Daftar Pustaka
1. Kushartono H, Pudjiadi A. Syok. Dalam: Pudjiadi AH, Latief A, Budiwardhana N.

Buku ajar pediatri gawat darurat. Jakarta: IDAI; 2011. p108. 



2. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED.

Pedoman pelayanan medis ikatan dokter anak indonesia. Jakarta: IDAI; 2009.

P294. 

3. Sethuraman U, Bhaya N. Pediatric shock. Therapy. 2008 Jul 1;5(4):405-23. 

4. Petersen TL, Lee KJ. Shock. In: Marcdante KJ, Kliegman RM. Nelson essentials of

pediatrics. 8th ed. Philadelphia (PA): Elsevier;2019. p151-154.

5. Standl T, Annecke T, Cascorbi I, Heller AR, Sabashnikov A, Teske W. The

Nomenclature, 
Definition and Distinction of Types of Shock. Dtsch Arztebl Int.

2018;115(45):757-768. 


6. Turner DA, Cheifetz M. Shock. In: Kliegman RM, Stanton BF, Geme JW, Schor NF.

Nelson 
textbook of pediatrics, 20th ed. Philadelphia: Elsevier; 2016. p. 516-28.


7. Sinha R, Nadel S, Kissoon N, Ranjit S. Recognition and initial management of

shock. In: Nichols DG, Shaffner DH. Roger’s textbook of pediatric intensive care,

5th ed. Wolters Kluwer. p. 380-91.


7. Sinha R, Nadel S, Kissoon N, Ranjit S. Recognition and initial management of

shock. In: Nichols DG, Shaffner DH. Roger’s textbook of pediatric intensive care,

5th ed. Wolters Kluwer. p.

380-91. 

8. Balamuth F. Shock. In:Shaw KN, Bachur R. Fleisher & ludwig’s textbook of

pediatric 
emergency medicine. 7th ed. Philadelphia: Wolter Kluwers; 2015. P.

167-83. 

9. Hobson JM, Chima RS. Pediatric hypovolemic shock. The open pediatric medicine

journal. 
2013; 7: 10-5. 



10. Ho rezcko T. The pediatric assessment triangle: Accuracy of its application by

nurses in the triage of children. J Emerg Nurs. 2013 March. 39(2): 182–9.

11. American Heart Association, American Academy of Pediatrics. Pediatric

advanced life 
support (PALS). USA; American Heart Association; 2016. p185-7,

219-25.

12. Lane RD, Bolte RG. Pediatric anaphylaxis. Ped Emerg Care. 2007; 23(1):49-60. 

13. Martin K, Weiss SL. Initial resuscitation and management of pediatric septic

shock. Minerva 
Pediatr. 2015;67(2):141–158. 



14. Morgan C, Wheeler DS. Obstructive shock. The open pediatric medicine journal.

2013; 7:35-37. 

15. Taghavi S, Askari R. Hypovolemic Shock. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island

(FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan [Cited 2020 Aug 29]. Available from:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK513297/ 

16. Mahapatra S, Heffner AC. Septic Shock (Sepsis). In: StatPearls [Internet].

Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan [Updated 2020 Jun 25;

Cited 2020 Aug 29]. Available from:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430939/ 

17. Kosaraju A, Pendela VS, Hai O. Cardiogenic Shock. In: StatPearls [Internet].

Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan [Updated 2020 Jun 25;

Cited 2020 Aug 29]. Available from:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK482255/ 

18. Percy D. Obstructive shock: pathogenesis, complications, an clinical findings.

Calgary Guide. 2013 Jul 7. Cited 2020 Aug 29. Available from

http://calgaryguide.ucalgary.ca/wp-

19. Haseer Koya H, Paul M. Shock. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL):

StatPearls Publishing; 2020 Jan [Updated 2020 Apr 28; Cited 2020 Aug 29].

Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK531492/ 



20. Smith N, Lopez RA, Silberman M. Distributive Shock. In: StatPearls [Internet].

Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan [Updated 2020 Jun 30;

Cited 2020 Aug 29]. Available from:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470316/
Dr. dr. Irene Yuniar, SpA(K)
Staf Divisi Emergensi dan Rawat Intensif Anak,

Departemen Ilmu Kesehatan Anak, FKUI-RSCM


THE ABC OF EMERGENCY IN PEDIATRICS: PAT
Dr. dr. Irene Yuniar, SpA(K)

Objektif
1. Mengetahui penilaian kegawat- daruratan anak dengan metode Pediatric

Assessment Triangle (PAT)

2. Memahami cara melakukan tatalaksana jalan napas pada anak

3. Memahami cara melakukan tataksana gangguan sirkulasi pada anak

Penilaian kegawatdaruratan anak dilakukan dengan segera saat pasien datang ke

unit gawat darurat (UGD). Penilaian pada anak dilakukan dengan menggunakan

metode PAT yang terdiri dari penilaian airway, breathing dan circulation (ABC).

Penilaian PAT ini dilakukan di triage sebelum dilakukannya survai primer (primary

survey). Karena dalam penilaian primary survey juga dilakukan penilaian ABC, maka

untuk membedakannya pada PAT istilah awal ABC diganti dengan behavior,

breathing dan body colour (BBB).

Pada behavior dinilai tingkat kesadaran pasien secara cepat (bukan dengan

penilaian Glasgow Comma Scale atau GCS) melainkan dengan singkatan yang

disebut TICLS yang terdiri dari tonus, interactiveness, consolability, look atau gaze

serta speech atau cry.

Pada breathing dinilai usaha napas pasien hanya oleh pengamatan pemeriksa,

seperti adanya usaha napas yang meningkat (napas cuping hidung, atau pemakaian

otot bantu napas), posisi pasien (apakah harus atau bisa berbaring tanpa sesak),

adanya head bobbing dan lain sebagainya.

Pada circulation dilihat adanya perubahan warna pada kulit (pucat atau sianosis),

adanya cutis marmorata dan lain sebagainya.

Hasil penilaian PAT dapat diklasifikasikan menjadi 4 kondisi yaitu : stabil, terdapat

kegawat-daruratan pernapasan, kegawat-daruratan neurologi atau metabolik dan

kegawat-daruratan kardiorespirasi. Hasil penilaian ini menjadi dasar untuk langkah

tata laksana pasien selanjutnya. Bila pada pasien ditemukan kegawat-daruratan

kardiorespirasi maka pasien selayaknya ditempatkan di ruang resusitasi untuk

penanganan selanjutnya.

Kesimpulan
Penilaian kegawatdaruratan anak dengan metode PAT harus mampu dikuasai dan

dikerjakan oleh tenaga medis yang bekerja di UGD untuk dapat mengambil langkah

tata laksana selanjutnya secara cepat dan tepat.


ANALISA GAS DARAH
Dr. dr. Irene Yuniar, SpA(K)

Objektif
1. Mengetahui kegunaan pemeriksaan analisa gas darah

2. Memahami cara melakukan intepretasi hasil pemerilksaan analisa gas darah

Analisa gas darah (AGD) sering dilakukan terutama pada pasien dalam kondisi

emergensi baik pada gangguan ventilasi perfusi, gangguan hemodinamik serta

metabolik. Hasil AGD sebenarnya adalah suatu pemeriksaan penunjang yang

seharusnya disesuaian dengan kondisi klinis pasien. Sayangnya masih banyak yang

kurang memahami cara melakukan intepretasi hasil AGD sehingga melakukan tata

laksana hanya sesuai nilai AGD tanpa melihat klinis pasien. Atas dasar inilah penting

bagi kita untuk mengetahui kegunaan pemeriksaan AGD serta melakukan inteprtasi

hasil sehingga dapat dilakukan tata laksana lebih lanjut pada pasien.

Pada analisa gas darah terdapat 2 komponen yang dinilai yaitu oksigenasi ventilasi,

serta kondisi metabolik pasien. Sayangnya kedua komponen ini tidak berdiri sendiri-

sendiri sehingga analisis harus dilakukan secara keseluruhan. Pada komponen

oksigenasi ventilasi perlu dilakukan penilaian pO2 dan pCO2 dan saturasi oksigen

(biasanya dilakukan pengambilan AGD dari darah arteri) sedangkan untuk penilaian

metabolik dapat dilakukan melalui darah vena ataupun arteri. Pengaturan pH darah

sangat penting karena bila terjadi gangguan dapat menyebabkan gangguan

berbagai fungsi organ. Penilaian sistem asam basa cara Steward terdapat 2

komponen besar yaitu variabel independent (pCO2, strong ion difference/SID, dan

asam lemah non volatile) dan variabel dependent (H+, OH-, HCO3-). SID merupakan

selisih muatan dari ion-ion kuat.

Pada intepretasi hasil ditemukan kondisi normal (pH 7,35-7,45), asidosis ataupun

alkalosis. Penyebab asidosis atau alkalosis bisa akibat kondisi respiratorik atau

metabolik. Pada asidosis metabolik, harus dilakukan perhitungan unmeasured anion

(UA) dengan memperhitungkan efek eletrolit kuat dan albumin. Setelah mengetahui

kondisi utama harus dilakukan perhitungan kompensasi dengan untuk melihat apakah

pada pasien terdapat gangguan respiratorik dan metabolik secara bersamaan.

Dengan mengetahui kondisi pasien secara keseluhan baru dilakukan tata laksana

yang sesuai dengan kondisi yang ada.

Kesimpulan
Intepretasi AGD harus dilakukan secara keseluruhan untuk menilai gangguan

ventilasi-perfusi dan asam basa yang harus disesuaikan dengan klinis pasien,

sehingga dapat dilakukan tata laksana yang sesuai dengan kondisi pasien.
dr. Niken Wahyu Puspaningtyas, SpA(K)
Staf Divisi Emergensi dan Rawat Intensif Anak,

Departemen Ilmu Kesehatan Anak, FKUI-RSCM


GAGAL NAFAS PADA ANAK
dr. Niken Wahyu Puspaningtyas, Sp.A(K)

Tujuan
Mengetahui definisi gagal napas. 

Mengetahui perbedaan distres napas dan gagal napas pada anak serta cara

mendiagnosisnya. 

Mengetahui konsep terapi oksigen sebagai tatalaksana distres dan gagal napas

pada anak. 

Pengenalan dini non-invasive respiratory support yaitu high flow nasal cannula

sebagai salah satu terapi oksigen pada distres napas dan gagal napas.

Gagal Napas: Definisi


Gagal napas adalah kegagalan proses oksigenasi atau ventilasi atau keduanya yang

ditandai dengan tekanan parsial oksigen arteri dibawah 60 mmHg (hipoksemia) atau

karbondioksida diatas 50 mmHg (hiperkapnia). Kondisi gagal napas merupakan

kegawatdaruratan respirasi karena penyebab terbanyak henti jantung pada anak.

Oleh sebab itu diharapkan klinisi mampu mengenali dan menatalaksana dengan baik

keadaan distres napas sebelum jatuh ke gagal napas. Etiologi dari gagal napas

melibatkan satu atau lebih sistem organ (multipel) yang terlibat pada proses

bernapas yaitu sistem saraf, kardiovaskular, muskuloskeletal dan respirasi. Pada

sistem respirasi sendiri kegagalan dapat terjadi akibat dari masalah di saluran napas

(airway) dan parenkim paru.

Distres dan Gagal Napas: Bagaimana Mengenalinya


Secara umum dibutuhkan pendekatan khusus dalam melakukan penilaian anak dalam

keadaan gawat-darurat agar diperoleh data sebanyak-banyaknya dan mendekati

ketepatan. Penilaian tersebut melingkupi 4 langkah sekuensial yaitu penilaian secara

cepat atau quick look dengan metoda segitiga penilaian pediatrik (PAT= Paediatric

Assessment Triangle), penilaian primer berupa penilaian tanda vital dengan metoda

ABCDE, penilaian sekunder dengan memfokuskan kepada riwayat penyakit dan

pemeriksaan fisis serta penilaian tersier dengan pemeriksaan laboratorium, radiologis

dan pemeriksaan penunjang lainnya.

Melalui metoda awal yaitu quick look, kita dapat mendiagnosis anak dengan distres

napas atau gagal napas dengan cepat. Ada 3 hal yang dinilai pada metode quick

look yaitu penampilan, upaya napas dan sirkulasi. Ketidaknormalan pada satu atau

dua dari tiga komponen tersebut dapat menjadi tanda dari kondisi distres napas

atau bahkan jatuh dalam kondisi gagal napas ( Gambar 1).


Gambar 1. Penilaian Quick Look pada Distres Napas dan Gagal Napas

Asesmen kegawatan respirasi yang kita temui di quick look, sesudah dilakukan tata

laksana awal, dikonfirmasi lebih lanjut lagi melalui tahapan penilaian selanjutnya

yaitu penilaian primer dengan menilai patensi jalan napas dan pernapasan.

Menilai jalan napas (airway) pada anak dilakukan dengan

teknik ‘look, listen, feel’ yaitu membuka jalan napas dengan

posisi sniffing, lalu melihat pengembangan dada sambil

mendengar suara napas dan merasakan udara yang keluar

dari hidung/mulut Gambar 2).


( Penilaian jalan napas

diekspresikan sebagai jalan napas bebas (ada udara napas

yang keluar dari mulut atau hidung, terlihat pergerakan

dinding dada, terdengar suara napas normal) atau jalan

napas berisiko mengalami obstruksi (adanya suara napas

tidak normal seperti stridor, gurgling yang mengindikasikan Gambar 2. Teknik


adanya obstruksi berupa sekret, edema, atau benda asing 'Look, Listen, Feel''

yang melimitasi pergerakan udara).

Penilaian jalan napas berisiko mengalami obstruksi membutuhkan tata laksana cepat

sebelum pemeriksaan dilanjutkan ke penilaian pernapasan. Intervensi ini dapat

berupa suction dan manuver membuka jalan napas.

Pemeriksaan pernapasan lebih lanjut lagi dinilai dengan RWTO yaitu menghitung

frekuensi napas (respiratory rate = R), menilai usaha napas (work of breathing = W),

volume tidal (tidal volume = T) dan oksigenasi (oxygenation = O).

Distres napas dan gagal napas menunjukkan peningkatan frekuensi napas. Sesuai

tingkat tumbuh kembang anak, frekuensi normal berubah sesuai usia Tabel 1).
(

Frekuensi napas juga dipengaruhi oleh berbagai keadaan. Pernapasan yang cepat

dapat terjadi pada demam, nyeri, ketakutan/kecemasan, atau emosi yang meningkat.

Pernapasan yang lambat dapat terjadi pada anak yang kelelahan akibat gawat napas

yang tidak segera ditolong. Karena itu, dalam menilai upaya napas perlu diperhatikan

nilai ekstrim. Frekuensi napas di atas 60 kali/menit untuk semua usia, apalagi disertai

retraksi dan kesadaran menurun sangat mungkin menandakan gagal napas.


Tabel 1. Frekuensi Napas Berdasarkan Usia

Penilaian usaha napas dilakukan dengan melihat, mendengar secara langsung dan

menggunakan stetoskop. Manifestasi klinis peningkatan usaha napas terlihat dari

adanya tarikan otot-otot interkostal, sternal, dan subkostal, napas cuping hidung,

head bobbing. Rangkuman penilaian dengan mendengar langsung dan

menggunakan stetoskop beserta penyebab serta contoh diagnosisnya dapat dilihat

pada Tabel 2.

Tabel 2. Suara Napas pada Auskultasi dan Diagnosis Penyebabnya

Volume tidal dinilai adekuat berdasarkan adanya pengembangan dinding dada yang

dilihat secara langsung dan udara masuk pada semua lapang paru yang dinilai

dengan stetoskop.

Oksigenasi dinilai dengan melihat adanya sianosis sentral (kebiruan pada mukosa

oral) yang mengindikasi hipoksemia dan tanda akhir dari gagal napas. Penilaian

dilanjutkan dengan menggunakan alat saturasi perifer (pulseoxymetry).

Pulseoxymetry merupakan alat sederhana untuk menilai kinerja napas. Pembacaan di

atas saturasi 94% secara kasar dapat menunjukkan kecukupan oksigenasi.

Pembacaan di bawah 90% pada anak dengan oksigen 100% dapat menunjukkan

bahwa anak memerlukan ventilator. Interpretasi pulseoxymetry harus dilakukan

bersama dengan penilaian upaya napas, frekuensi napas dan penampilan anak.

Anak dengan gangguan napas kadang-kadang masih dapat mempertahankan kadar

oksigen darah dengan work of breathing yang meningkat. Sementara anak dengan

kelainan jantung bawaan biru dapat menunjukkan saturasi yang rendah tanpa distres

napas.
kelainan jantung bawaan biru dapat menunjukkan saturasi yang rendah tanpa distres

napas.

Terapi Oksigen pada Distres Napas dan Gagal Napas


Pasien yang datang dengan distres napas atau bahkan gagal napas harus diberikan

terapi oksigen. Tujuan dari terapi oksigen adalah menciptakan oksigenasi yang

adekuat dengan fraksi oksigen yang paling kecil. Pasien yang datang dengan distres

napas dapat diberikan terapi oksigen konvensional mulai dari aliran rendah dengan

nasal kanul 1 liter/menit yang kemudian dapat dinaikkan (ekskalasi) alirannya atau

diganti hingga masker non-rebreathing. Secara umum semakin tinggi aliran (flow),

fraksi oksigen yang dihasilkan juga semakin besar seperti yang ditampilkan pada

Tabel 3.

Tabel 3. Terapi Oksigen dan Alat yang Digunakan

Pantau perubahan dan respon klinis pasca-perubahan terapi. Apabila tidak membaik

atau keadaan memburuk, terapi oksigen dapat diekskalasi hingga intubasi. Pasien

yang datang dengan gambaran gagal napas sebaiknya dipertimbangkan intubasi

sejak awal.

Terapi oksigen secara umum dibagi menjadi sistem aliran rendah (low flow), dan

aliran tinggi (high flow). Oksigen aliran rendah memberikan hantaran oksigen yang

lebih rendah dari flow anak dan diberikan dengan menggunakan nasal kanul atau

masker biasa. Anak terutama dibawah 1 tahun, masker non-rebreathing bahkan

sudah bisa menciptakan


sudah bisa menciptakan aliran tinggi karena aliran udara yang dihasilkan melebihi

inspirasi puncak pasien.

Non-Invasive Respiratory Support: High Flow Nasal Cannula


Selain terapi oksigen konvensional yang sebelumnya sudah dipaparkan, saat ini kita

mengenal non-invasive ventilatory support yaitu pemberian bantuan napas tekanan

positif tanpa tindakan invasif intubasi. High flow nasal cannula (HFNC), continuous

positive airway pressure (CPAP), dan non-invasive ventilator merupakan bagian dari

non-invasive ventilatory support. Untuk dokter umum yang bekerja di ruang gawat

darurat tanpa fasilitas ruang intensif maka HFNC adalah metode non-invasive

ventilatory support yang paling nyaman dan mudah digunakan.

Metode nasal kanul sudah dipakai sejak tahun 1940. Besarnya fraksi oksigen yang

dihasilkan dari nasal kanul meningkat seiring dengan ditambahkannya flow oksigen.

Namun, tidak optimalnya kelembaban udara yang dapat diberikan membatasi

besarnya flow yang dikeluarkan. Penggunaan nasal kanul dalam jangka waktu lama

dapat menimbulkan kekeringan saluran napas sehingga mengiritasi mukosa dan

mengganggu bersihan mukosilier. Menjaga kelembaban udara yang diberikan

penting pada terapi oksigen jenis ini. Humidifikasi yang diberikan melalui nasal kanul

biasa tidak akan adekuat bila diberikan pada aliran udara lebih dari 5 L/m.

High flow nasal cannula Gambar 3)


( adalah terapi

oksigen non-invasif yang memberikan campuran gas yang

terkondisikan (hangat dan lembab) melalui nasal kanul.

HFNC bekerja melalui beberapa mekanisme yaitu sistem

terbuka, memberikan udara yang terkondisikan serta flow

dengan tekanan dan kecepatan tinggi. Yang dimaksud

dengan sistem terbuka pada terapi oksigen jenis ini

adalah memberikan oksigen melalui nasal kanul yang

tidak menutup seluruh lubang hidung (nostril). Aliran yang

tinggi juga disinyalir menghasilkan tekanan positif pada

saluran napas sehingga mencegah kolaps sistem respirasi


Gambar 3. High Flow
serta fraksi oksigen tinggi hingga 100%. HFNC dapat
Nasal Cannula
diberikan pada anak dengan distres napas atau gagal

napas. Bila
Bila diberikan
diberikansejak
sejak dini, HFNC dapat mencegah perburukan kondisi distres

napas dan mengurangi kebutuhkan intubasi pada kondisi gagal napas.


Daftar Pustaka
1. Tromble Batool S, Garg R. Appropriate use of oxygen deliver devices. Open

Anesthesiol J. 2017; 11: 35-38 



2. E, Leetch A. Pediatric respiratory failure (internet). Tersedia di:

https://www.reliasmedia.com/articles/135378-pediatric-respiratory-failure.

3. Hammer J. Acute respiratory failure in children. Paediatr Respir Rev 2013; 
14: 64-
69. 

4. Slain KN, Shein SL, Rotta AT. The use of high-flow nasal cannula in the 
pediatric
emergency department. J Pediatr (Rio J). 2017; 93: 36-45. 

5. Milési C, Boubal M, Jacquot A, Baleine J, Durand S, Odena MP et al. High- flow

nasal cannula: recommendations for daily practice in pediatrics. Ann Intensive

Care. 2014; 4: 29. 



6. Anonim. Recognition of the critically ill child. Dalam: Van de Voorde P 

(penyunting). European resuscitation council: European pediatric advanced 
 life
support. Edisi 5.1. Belgium: european resuscitation council; 2015. p 11-26. 

7. Mace SE. Challenges and advances in intubation: airway evaluation and

controversies with intubation. Emerg Med Clin North Am. 2008; 26: 977- 1000.
BAGIAN II
Dr. dr. Irawan Mangunatmadja, SpA(K)
Staf Divisi Neurologi

Departemen Ilmu Kesehatan Anak, FKUI-RSCM


Etik dan Keselamatan Pasien di Era Pandemi
COVID-19
Dr. dr. Irawan Mangunatmadja, SpA(K)

Pandemi Covid-19 ini menyebabkan tantangan etik tersendiri dalam mengatasi

masalah ini. Pandemi ini memerlukan perubahan yang cepat terhadap keadaan yang

berubah cepat terhadap masalah medis, etik dan tantangan sosial akibat pandemi.

Perubahan kebijaksanaan etik akan menyebabkan perubahan dalam perilaku tenaga

kesehatan, institusi, sistim kesehatan, dan penerapan hukum. Komponen ini akan

saling berhubungan erat dan kebijaksanaan yang diambil sangat berbeda dalam

pelaksanaan nya di waktu tidak adanya pandemi. Virus Covid-19 yang mempunyai

virulensi tinggi dan menyebabkan angka kematian tinggi menyebabkan penerapan

etik yang lebih ketat.

Sebenarnya banyak masalah isu etik yang perlu diperhatikan dalam masa pandemi

ini dibandingkan waktu sebelumnya, tetapi pada kesempatan ini penulis hanya akan

membahas beberapa masalah saja yang menurut penulis penting untuk didiskusikan.

Beberapa hal yang akan dibahas yang berhubungan erat dengan etik adalah:

Standar Pelayanan Pasien Anak


Penentuan pengobatan dapat ditentukan berdasarkan skoring PELOD ditambah

dengan clinical judgement Dokter Penanggung Jawab Pelayanan (DPJP) yang

bertanggung jawab terhadap pasien. Pertimbangan ini menentukan apakah

pengobatan bersifat agresif atau tidak. Pemberian obat-obatan khusus merupakan

masalah etik yang dihadapi, Obat-obatan yang diberikan kepada pasien mungkin

masih dalam penelitian yang sedang berjalan. Kesembuhan dan kelangsungan hidup

pasien berdasarkan Beneficence dan non Maleficence menjadi tujuan utama dalam

pengobatan pasien. Untuk mencegah infeksi nosokomial dan mencegah anggota

keluarga pasien tertular, diberlakukan aturan bahwa selama perawatan pasien tidak

diijinkan untuk di tunggu. Keadaan ini berbeda dengan penyakit saat tidak pandemi.

Tidak tertularnya anggota keluarga lain merupakan isu etik yang harus

dipertimbangkan selama pengobatan.

Menghadapi keadaan ini beberapa Rumah Sakit Pendidikan telah membuat aturan

khusus untuk pelayanan pasien Covid-19. The United Kingdom’s National Institute for

Health and Care Excellence (NICE) telah membuat beberapa protokol pelayanan

yang ditujukan untuk pasien Covid-19 dengan penyakit tertentu. NICE telah membuat

beberapa protokol untuk pelayanan pasien transplantasi sumsum tulang, pengobatan

kanker, serta pelayanan radioterapi. Protokol ini akan memberikan kemudahan bagi

petugas kesehatan yang bertugas untuk dapat memberikan pelayanan yang

maksimal disamping proteksi yang baik untuk petugas kesehatan.


maksimal disamping proteksi yang baik untuk petugas kesehatan.

Prioritas Proteksi Petugas Kesehatan


Petugas kesehatan sebagai garda terdepan dalam penanganan pasien Covid-19

merupakan subjek yang mempunyai risiko terbesar tertular virus Covid-19. Mencegah

hal ini terjadi, isu etik yang ada adalah memberikan seragam proteksi terhadap

petugas kesehatan sesuai dengan tempat mereka bertugas. Pemberian proteksi level

4 diberikan untuk petugas kesehatan yang bertugas di ruang rawat intensif yang

merawat pasien dengan ventilator dan ruang rawat High Care Unit. Saat ini di ruang

gawat darurat, petugas kesehatan juga diharuskan memakai baju proteksi minimal

level 3. Pelayanan pasien di poliklinik dianjurkan menggunakan proteksi level 2. Oleh

karenanya, prosedur proteksi diri mulai saat akan bertugas sampai mereka selesai

bertugas sangatlah penting untuk diatur dengan baik. Sistim aturan ini tentunya

harus disiapkan Rumah Sakit dengan sebaik-baiknya. Suatu sistim tatanan baru untuk

petugas kesehatan yang sangat berbeda dengan waktu sebelum adanya pandemi

ini.

Apabila pemerintah merencanakan pemberian vaksinasi maka kelompok tenaga

kesehatan merupakan kelompok yang harus menjadi sasaran utama. Kelompok

rentan ini yang mempunyai risiko tinggi akan tertular virus Covid-19. Selain mereka

dapat risiko tertular yang dapat menyebabkan kematian juga dapat merupakan

sumber penularan bagi keluarga mereka di rumah.

Pelayanan Pasien Bukan Covid


Dalam masa pandemi ini, Rumah Sakit dituntut untuk mengubah sistim pelayanan

yang ada dibandingkan dengan keadaan sebelumnya. Perlunya alur pasien berobat

rawat jalan dan rawat inap yang berbeda dengan pasien Covid-19. Isu etik sangat

erat dalam perbedaan pelayanan ini. Selain alur pasien di triase, perbedaan

ruangan di Instalasi Gawat Darurat, penggunaan alat pemeriksaan, sampai jalur

pasien masuk rawat inap Covid dan bukan Covid. Perbedaan ruang rawat, tempat

tidur dan peralatan lain perlu dibedakan alat nya maupun cara dalam pelayanannya.

Penggunaan alat pemeriksaan yang berbeda antara pasien Covid dan bukan Covid

memerlukan peralatan kesehatan yang baru, yang tentunya ini pun akan memerlukan

dana yang tidak kecil baik dari Rumah Sakit sendiri maupun dana hibah berupa alat

dari berbagai pihak yang tidak mengikat. Akhirnya Rumah Sakit akan mementukan

berapa kemampuan mereka merawat pasien Covid dan sampai tingkat apa mereka

mampu memberikan pelayanan. Apakah tingkat pelayanan pasien Covid sampai

tingkat perawatan ruang rawat intensif atau hanya mereka dengan gejala ringan

atau sedang saja. Kemampuan ini pun harus dijelaskan kepada keluarga pasien.

sampai berat. Perubahan kondisi pasien dapat berubah setiap waktu tanpa dapat
Informed Consent
Pasien terinfeksi virus Covid-19 dapat memberikan manifestasi klinis mulai dari ringan

sampai berat. Perubahan kondisi pasien dapat berubah setiap waktu tanpa dapat

diprediksi terlebih dahulu. Kegawatdaruratan yang dapat terjadi tiba tiba pada

pasien memerlukan penanganan dengan segera. Pemberian pengobatan harus

cepat dilakukan tanpa dapat berbicara dengan keluarga. Pengambilan keputusan

dalam pemilihan tindakan dan pengobatan perlu diambil dengan cepat tanpa harus

berdiskusi atau mendapat persetujuan dari keluarga pasien. Oleh karenanya

Informed Consent yang harus disetujui keluarga diambil saat awal perawatan.

Informed Consent diberikan kepada dokter dalam menangani pasien dalam

menentukan pemasangan alat bantu napas, pengobatan dan sampai pelaksanaan

tindakan resusitasi kardiovaskular dan lain-lainnya. Penjelasan ini dan Informed

Consent diberikan saat awal pasien di rawat. Informasi yang diberikan kepada

keluarga saat awal harus sudah diberikan dengan jelas.

Keadaan tertentu yang berbeda dengan perawatan penyakit lain perlu

diinformasikan kepada keluarga pasien sejak dari awal. Sejak awal keluarga sudah

diberitahu protokol pengobatan yang akan diberikan dan tindakan yang akan diambil

bila terjadi perburukan.

Untuk mencegah pengobatan yang tidak sesuai alur, sebaiknya penentuan

pengobatan dilakukan oleh Dokter Penanggung Jawab Pelayanan (DPJP) sebagai

penanggung jawab utama dibantu oleh Tim Khusus Covid yang akan memberikan

bantuan pengawasan dan pengobatan terhadap pasien. Sebaiknya keputusan

tindakan dan pengobatan ditentukan dalam Rapat Board Covid. Tatalaksana pasien

akan lebih baik karena akan melibatkan beberapa pertimbangan para pakar yang

akan terlibat dalam penangani pasien.

Saat ini pasien Covid-19 yang di rawat di RSCM Ultimate tatalaksananya selain

ditentukan oleh DPJP juga dibantu oleh Tim Khusus Covid. Tatalaksana pasien

ditentukan dalam Rapat Board Covid. Keputusan tertinggi ditentukan oleh hasil

Rapat Board Covid. Metode ini akan sangat membantu DPJP yang bertugas karena

keadaan perubahan pasien yang tiba-tiba dapat memburuk dapat membuat beban

psikologis pada DPJP.

Kesimpulan
Pandemi Covid-19 ini yang terjadi belakangan ini menyebabkan perubahan etik

dalam tatalaksana pasien Covid-19. Perubahan etik yang terjadi dalam rangka

menjawab perubahan yang terjadi secara cepat akibat pandemi ini. Berapa hal etik

yang berubah adalah:

1. Pengobatan yang diberikan mungkin masih dalam penelitian.

2. Proteksi terhadap tenaga kesehatan merupakan hal penting untuk diri dan

keluarganya.

3. Inform Consent untuk diberikan pada awal pengobatan untuk semua tindakan
1. Pengobatan yang diberikan mungkin masih dalam penelitian

2. Proteksi terhadap tenaga kesehatan merupakan hal penting untuk diri dan

keluarganya

3. Informed Consent untuk diberikan pada awal pengobatan untuk semua tindakan

yang akan diberikan.

4. Pelayanan pasien bukan Covid-19 di Rumah Sakit harus berbeda dengan pasien

Covid-19.

Daftar Pustaka

1. McGuire Al, Aulisio MP, Davis FD , Erwin C , Harter TD , Jagsi R, et al. Ethical

Challenges Arising in the COVID-19 Pandemic: An Overview from the Association

of Bioethics Program Directors (ABPD) Task Force. The American Journal of

Bioethics, 20:7, 15-27, DOI: 10.1080/15265161.2020.1764138

2. Bakewell F, Pauls MA, Migneault D. Ethical considerations of the duty to care and

physician safety in the COVID-19 pandemic. CJEM 2020:1–4 DOI

10.1017/cem.2020.376

3. Kramer JB, Brown DE, Kopar PK. Ethics in the Time of Coronavirus:

Recommendations in the COVID-19 Pandemic. J Am Coll Surg 2020; 230:1114-8.


Prof. Dr. dr. Bambang Supriyatno, SpA(K), FAAP
Guru Besar Respirologi Anak,

Departemen Ilmu Kesehatan Anak, FKUI-RSCM


SESAK: ETIOLOGI, DIAGNOSIS, DAN TATA LAKSANA
Prof. Dr. dr. Bambang Supriyatno, SpA(K), FAAP

Sesak merupakan kedaan darurat yang sering ditemukan pada anak dan keluhan

yang sering menyebabkan anak dibawa ke ruang emergensi (gawat darurat). Sesak

bukanlah suatu diagnosis melainkan suatu gejala yang harus dicari penyebabnya

untuk menentukan diagnosis dan tata laksana yang tepat dan cepat.

Sesak didefinisikan sebagai suatu rasa atau sensasi dari keadaan yang

mengakibatkan kesulitan bernapas. Ada dua kelompok besar yang membedakan

yaitu sesak saat menarik napas (inspirasi) dan saat mengeluarkan napas (ekspirasi).

Hal ini penting karena dengan mengetahui tipe sesaknya maka pendekatan klinis

dapat lebih terarah. Untuk mengetahui sesak, harus dipahami dahulu tentang cara

pelaporan sistem pernapasan. Dalam melaporkan status pernapasan maka

diperlukan frekuensi napas dalam satu menit, keteraturan pernapasan, adanya

kesulitan napas yang bersifat inspirasi atau ekspirasi atau keduanya, kedalaman

pernapasan (amplitudo), adanya usaha napas tambahan (retraksi), dan suara

tambahan seperti wheezing atau ronki.

Tipe sesak dapat mengarahkan kepada kelainan yang terjadi. Pada inspiratory effort

(kesulitan menarik napas), kemungkinan kelainan berupa lost of volume seperti

kelainan pada parenkim, desakan dari dalam maupun luar rongga dada yang

menekan volume paru. Pada expiratory effort kemungkinan kelainannya berupa

penyempitan saluran napas seperti bronkiolitis atau asma.

Gejala sesak, biasanya tidak berdiri sendiri melainkan ada gejala tambahan seperti

batuk, pilek, demam, sianosis, atau stridor. Gejala tambahan di atas dapat

membantu untuk menegakkan diagnosis. Diperlukan anamnesis yang cermat untuk

menggali gejala tambahan lainnya.

Dalam menegakkan diagnosis anak dengan sesak beberapa faktor perlu

dipertimbangkan seperti usia, pemeriksaan fisik yang khas, dan pemeriksaan

penunjang rutin atau khusus. Faktor usia menjadi penting karena dengan keluhan

sesak tetapi berbeda usia, maka diagnosisnya akan berbeda. Salah satu contoh

adalah anak dengan wheezing pada bayi kemungkinan diagnosisnya adalah

bronkiolitis sedangkan pada anak usia di atas 5 tahun diagnosis yang sangat

mungkin adalah asma.

Pada pemeriksaan fisik perlu dilihat adanya tanda obstruksi saluran napas yang

bersifat lama (kronis) seperti pectus excavatus atau bentuk lainnya seperti pigeon

chest. Adanya pectus excavatus mengindikasikan terjadinya sumbatan jalan napas

bagian atasbersifat
bagian atas yang bersifat kronis seperti laringo-trakeomalasia, hipertrofi timus, atau

vascular ring.

Pemeriksaan penunjang dilakukan atas indikasi yang sesuai dengan kemungkinan

diagnosisnya. Beberapa pemeriksaan penunjang yang sering dilakukan adalah foto

Ronsen dada baik posisi antero posterior atau lateral, CT scan dada, ultrasonografi

(USG), uji fungsi paru, bahkan yang bersifat intervensif seperti bronkoskopi.

Gambaran Ronsen dada merupakan pemeriksaan penunjang yang rutin pada sesak.

Gambaran dapat berupa adanya infiltrat, atelektasis, efusi pleura, konsolidasi, hiper-

aerasi, pneumotoraks ataupun desakan ruang oleh massa. Pada keadaan efusi

pleura dapat digunakan pemeriksaan USG untuk melihat seberapa banyak volume

cairan atau adanya septa-septa atau lobus. Pada gambaran Ronsen yang kurang

jelas maka dapat dilakukan pemeriksaan CT Scan dada untuk melihat keadaan

secara lebih rinci.

Ujifungsiparu diperlukan pada anak yang sudah mampu melakukannya. Pemeriksaan

ini memerlukan koordinasi dan kerja sama dengan pemeriksa karena hasilnya

dianggap bermakna apabila memenuhi standar, yaitu diambil nilai terbaik dari 3 kali

dengan perbedaan hasil ketiganya tidak lebih dari 10%. Umumnya pemeriksaan uji

fungsi paru dapat dilakukan pada anak di atas usia 6 tahun.

Pemeriksaan darah tepi dapat menunjukkan keadaan infeksi yang ditandai adanya

peningkatan leukosit atau neutrofil pada hitung jenis leukosit. Pemeriksaan analisis

gas darah diperlukan untuk melihat bagaimana gambaran nilai PaO2 atau PaCO2.

Pada hasil nilai analisis gas darah dapat terjadi penurunan PaO2 (hipoksemia),

sedangkan kadar PaCO2 dapat rendah, normal ataupun tinggi.

Pada keadan tertentu, bronkoskopi dapat dilakukan seperti atelektasis yang tidak

ada perbaikan dengan pengobatan standar, adanya kemungkinan sumbatan atau

stenosis saluran napas yang berlangsung lama, serta kemungkinan adanya benda

asing. Tidak jarang bronkoskopi digunakan pada kecurigaan trakeomalasia atau

laringomalasia untuk menentukan tipe laringo-trakeomalasia serta kemungkinan

kelumpuhan pita suara. Pemeriksaan penunjang lain dapat dilakukan dengan indikasi

yang tepat seperti penggunaan radioisotop pada kecurigaan agenesis atau

hipoplasi paru. Dengan pemeriksaan radioisotop dapat mendeteksi berapa persen

serapan radioaktif pada kedua sisi paru untuk menentukan agenesis ataupun

hipoplasia.

Diagnosis yang sering pada anak dengan expiratory effort adalah bronkiolitis, asma,

atau benda asing. Pada bronkiolitis, biasanya terjadi pada anak di bawah 2 (dua)

tahun, dengan keluhan sesak bersifat akut ditandai dengan gejala tambahan lain

seperti demam,
seperti demam, batuk pilek, dan tanda-tanda infeksi virus. Pada pemeriksaan fisik

dapat dijumpai adanya tanda infeksi virus dan wheezing yang ditemukan secara

bilateral, dengan retraksi sebagai upaya menggunakan otot bantu napas.

Pada sesak dengan tipe expiratory effort lainnya adalah asma yaitu selain adanya

sesak, dapat disertai batuk yang bersifat berulang, lebih sering keluhan pada malam

hari, dapat berkurang dengan atau tanpa pengobatan dengan bronkodilator, dan

timbul akibat adanya pencetus. Pada asma, pemeriksaan fisik ditemukan wheezing

yang bilateral, adanya retraksi, kadang-kadang sianosis apabila serangan asmanya

berat. Pada uji fungsi paru didapatkan adanya tanda obstruksi saluran napas berupa

rendahnya FEV1 (forced expiratory volume in 1 second) yaitu nilainya kurang dari 70%

dari nilai prediksi. Pada pemeriksaan Ronsen dada, dapat dijumpai adanya

hiperaerasi atau emfisema pada asma yang kronik atau persisten.

Adanya expiratory effort lainnya adalah benda asing yang ditandai adanya keluhan

menelan benda asing dapat berupa logam atau non logam. Riwayat tersedak atau

menelan benda asing ini perlu karena tanpa riwayat ini akan sulit didiagnosis. Pada

pemeriksaan fisik dapat dijumpai wheezing yang bersifat unilateral dapat kiri atau

kanan. Pada keadaan wheezing yang unilateral diperlukan pemeriksaan Ronsen

dada. Pada pemeriksaan Ronsen dada dapat terlihat jelas adanya benda asing atau

dapat pula tidak terlihat bergantung pada jenis benda asing yang teraspirasi. Pada

benda asing logam dapat terlihat gambaran radio-opak yang berupa gambaran

seperti apa yang ditelan misalnya jarum pentul.

Pada benda asing yang non radio-opak dapat tidak terlihat benda asingnya

misalnya tersedak kacang. Pada Ronsen dada dapat terlihat adanya gambaran paru

kiri dan kanan yang berbeda intensitasnya terutama pada saat ekspirasi maksimal

pada saat difoto. Tetapi pada saat Ronsen dilakukan tidak pada ekspirasi maksimal

(yaitu dilakukan saat inspirasi), gambaran Ronsen paru kiri dan kanan dapat sama

intensitasnya. Dalam kondisi demikian (Ronsen kiri dan kanan sama) dan terdapat

riwayat menelan benda asing maka harus dilakukan pemeriksaan Ronsen dada

tambahan yaitu dalam kondisi ekspirasi maksimal.

Pada keadaan inspiratory effort yang tersering adalah pneumonia atau adanya efusi

pleura. Pada pneumonia, dapat terlihat gambaran sesak dan gejala tambahan lain

seperti batuk, pilek, demam, dan sianosis. Pada gambaran Ronsen dapat terlihat

gambaran infiltrat, atelektasis, ataupun konsolidasi serta efusi pleura. Gambaran

Ronsen berupa pneumotoraks ataupun pneumomediastinum dapat dijumpai pada

pneumonia sebagai komplikasi yang terjadi.

Tata laksana sesak tergantung kepada penyakit dasarnya (underlying disease). Pada

sesak karena infeksi pada paru yang disebabkan bakteri maka terapi
sesak karena infeksi paru yang disebabkan bakteri maka terapi farmakologis

diberikan antibiotik sesuai dengan data empiris. Pada pneumonia komunitas dapat

diberikan sefotaksim atau ampisilin-kloramfenikol sebagai lini pertama, sedangkan

pada kasus pneumonia di rumah sakit atau pneumonia akibat ventilator pemberian

yang dianjurkan adalah antibiotik seftazidim atau sefalosporin generasi tiga lainnya.

Pada kedaan inflamasi sebagai penyakit dasarnya seperti pada asma maka

diperlukan pengobatan antiinflamasi berupa kortikosteroid. Pada serangan akut

diberikan kortikosteroid sistemik maupun inhalasi dosis tinggi secara singkat (3-5

hari) disamping bronkodilator. Pada penanganan asma jangka panjang diberikan

kortikosteroid dalam bentuk inhalasi dengan atau tanpa tambahan LABA (long-

acting beta-2 agonist) atau anti-leukotrien, atau teophylline slow release.

Pada sesak karena tuberkulosis yang berat (misalnya dengan meningitis tuberkulosis

atau tuberkulosis-pneumonia) atau efusi pleura diperlukan obat antituberkulosis.

Pemberian obat antituberkulosis harus mengikuti standar yang ada yaitu minimal

gabungan antara rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid. Selain pemberian obat untuk

penyakit dasarnya, pada sesak diperlukan pengobatan suportif berupa pemberian

oksigen karena hipoksemia dan pemberian cairan untuk penggantian cairan yang

mungkin hilang, atau penggunaan mukolitik.

Prognosis sesak tergantung pada penyebabnya dan lamanya waktu mendapatkan

pertolongan. Keterlambatan penanganan akan mempengaruhi prognosis yang

kurang baik disamping derajat beratnya penyakit.

Sebagai kesimpulan bahwa sesak adalah merupakan gejala yang harus ditangani

dengan tepat, cepat, dan benar. Sesak harus dicari diagnosisnya untuk penanganan

yang tepat sesuai penyakit dasarnya. Untuk menegakkan diagnosis diperlukan

anamnesis yang akurat, pemeriksaan fisik yang komprehensif dan pemeriksaan

penunjang yang sesuai indikasi. Pemberian obat bergantung pada etiologi penyakit

dasarnya serta terapi suportif seperti pemberian oksigen, cairan dan lainnya.

Prognosis tergantung pada penyakit dasar dan kecepatan dan ketepatan dalam

penanganan awal.

Daftar Pustaka
1. Stevens JP, Sheridan AR, Berstein HB, Baker K, Lansing RW, Schwartzstein RM, et

al. A multidimensional profile of dyspnea in hospitalized patients. Chest.

2019;156:507-17.

2. Lands LC. Dyspnea in children: What is driving it and how to approach it. Paediatr

Respir Rev. 2017;24:29-31.


1.

2. Lands LC. Dyspnea in children: What is driving it and how to approach it. Paediatr

Respir Rev. 2017;24:29-31.

3. Powell CVE. How accurate is the clinical assessment of acute dyspnea and

wheezing in children. Arch Dis Child. 2015;100:813-4.

4. Viniol A, Beidatsch D, Frese T, Bergman M, Grevenrath P, Schmidt, et al. Studies

of the symptom dyspnoea. A systematic review. BMC Fam Pract. 2015;16:152-62.

5. Indinnimeo L, Chioppini E, delGiudice MM,. Guideline on management of the

acute asthma attack in children by Italian Society of Pediatrics. Italian J Pediatr.

2018;44:46-55.

6. UKK Respirologi. Pedoman Nasional Asma Anak. UKK Respirologi. 2015.

7. Coccia CBI, Palkowski GH, Schweitzer B, Motsohi T, Ntusi NAB. Dyspnoea:

pathophysiology and a clinical approach. S Afr Med J. 2016;106:32-8.

8. Garske LA, Kunarajah K, Zimmerman PV, Adams L, Stewart IB. In patients with

unilateral pleural effusion, restricted lung inflation is the principal predictor of

increased dyspnoea. PLOS ONE//https://doi.org/10.1371/journal.pone.0202621;

1-11.

9. Nejasmikj VR, Stojkovska S, Stavrikj K. Dyspnea in children as a symptom of acute

respiratory tract infections and antibiotic prescribing. J Med Sci. 2018;6:578-81.

10. Krivchenia K, Hawkins SM, Iyer NP, Hayes D, Deterding RR, Ruminjo J, et al. 2019

clinical practice guideline summary for clinicians: Home oxygen therapy in

children. Ann Am Thorac Soc. 2019;16:781-5.

11. Rochweis B, Brochard L, Elliot MW, Hess P, Hill NS, Nava S, dkk. Official ERS/ATS

clinical practice guidelines: Non invasive ventilation for acute respiratory failure.

Eur Respir J. 2017;50:1-20.


Dr. dr. R. A. Setyo Handryastuti, SpA(K)
Staf Divisi Neurologi Anak,

Departemen Ilmu Kesehatan Anak, FKUI-RSCM


KEJANG DAN PENURUNAN KESADARAN:
APA, KENAPA, DAN BAGAIMANA
Dr. dr. R. A. Setyo Handryastuti, SpA(K)

Kejang dan penurunan kesadaran merupakan kegawatdaruratan dalam bidang

neurologi anak. Dua topik ini termasuk kompetensi dokter umum, oleh karena itu

deteksi dini, penegakan diagnosis merupakan hal yang penting karena akan

memengaruhi prognosis pasien. Tata laksana kejang juga penting untuk mencegah

suatu serangan kejang berubah menjadi status epileptikus.

Kejang
Kejang adalah tanda dan/atau gejala sementara yang timbul akibat aktifitas

sekelompok sel-sel neuron di otak bersifat berlebihan, abnormal dan simultan,

disebabkan kelainan anatomi, fisiologi, biokimia atau gabungan. Gejala tersebut

bersifat paroksismalitas, dapat berupa gangguan kesadaran, tingkah laku/emosi,

motorik/sensorik/otonom. Kejang harus dibedakan dengan serangan bukan kejang.

Kejang bersifat tiba-tiba, jika kejang umum maka kesadaran terganggu, gerakan

ekstremitas sinkron, sering disertai sianosis dan gerakan bola mata yang abnormal,

berlangsung beberapa detik sampai menit, tidak dapat diprovokasi, pada saat

kejang terdapat kelainan pemeriksaan elektroensefalografi, serta terdapat gejala

pasca kejang. Serangan bukan kejang awitan gradual, kesadaran tidak terganggu,

gerakan ekstremitas asinkron, tidak disertai sianosis maupun gerakan abnormal bola

mata, dapat berlangsung sampai beberapa jam, dapat diprovokasi, tidak terdapat

kelainan EEG dan gejala pasca kejang.

Pendekatan kejang dapat dibagi menjadi : (1) Kejang disertai demam, seperti kejang

demam dan infeksi SSP; (2) Kejang tanpa demam seperti: epilepsi, first unprovoked

seizures, trauma kepala, tumor dan kelainan metabolik. Pendekatan diagnosis kejang

dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik-neurologi. Anamnesis dan pemeriksaan

penunjang yang baik dan teliti akan mempertajam diagnosis klinis, sehingga

pemeriksaan penunjang dapat lebih terarah.

Tata laksana kejang sudah ditetapkan dalam rekomendasi status epileptikus pada

bayi dan anak UKK Neurologi 2016. Obat antikonvulsan yang dipakai sebagai pilihan

lini pertama adalah golongan benzodiazepin (diazepam dan midazolam) yang

bersifat rapid onset dan short acting. Lini kedua dan ketiga dalam algoritme adalah

fenitoin dan fenobarbital yang dapat dipakai secara bergantian tergantung

ketersediaan obat yang ada di masing-masing fasilitas kesehatan. Obat-obat lini

kedua dan ketiga ini bersifat slow onset dan long acting. Lini terakhir yang dapat

dipakai
dipakai sebagai obat antikonvulsan adalah infus kontinyu midazolam, fenobarbital

dan propofol. Ketika kejang sudah berhenti maka terapi rumatan tergantung dari

etiologi.

Penurunan Kesadaran
Kesadaran terdiri dari dua aspek, yaitu bangun (awake) dan tanggap (aware) yang

ditentukan oleh formasio retikularis (pusat kesadaran) di brainstem dan proyeksinya

ke korteks otak sehingga kita bisa tanggap/sadar orientasi diri, tempat dan waktu.

Penilaian kesadaran dilakukan dengan skor Glasgow Coma Scale, disertai

pemeriksaan tanda vital, pemeriksaan pupil, gerak bola mata (Doll’s eye maneuver),

refleks kornea, batuk dan muntah. Pemeriksaan motorik juga dilakukan, adakah

postur deserebrasi/dekortikasi. Letak lesi etiologi penurunan kesadaran dapat

ditentukan dari pemeriksaan pupil, gerak bola mata dan respons motorik.

Pendekatan diagnosis penurunan kesadaran dapat dibagi menjadi: (1) Struktural:

abses, trauma kepala, tumor, perdarahan, hidrosefalus); (2) Non struktural: infeksi

SSP, ensefalopati sepsis, inflamasi, metabolik (ensefalopati uremikum/hepatikum/

hipoksik-iskemik, ketoasidosis), intoksikasi. Pendekatan diagnosis penurunan

kesadaran dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik-neurologi. Anamnesis dan

pemeriksaan penunjang yang baik dan teliti akan mempertajam diagnosis klinis,

sehingga pemeriksaan penunjang dapat lebih terarah.

Tata laksana penurunan kesadaran terbagi 3, yaitu : (1) Tata laksana kedaruratan

seperti kejang jika ada; (2) Tata laksana peningkatan tekanan intrakranial; (3) Tata

laksana etiologi, tergantung penyakit yang meyebabkan penurunan kesadaran. Tata

laksana peningkatan tekanan intrakranial tergantung dari jenis edema yang

diakibatkan oleh etiologi penurunan kesadaran. Edema vasogenik yang disebabkan

lesi desak ruang (tumor, abses, tuberkuloma) dapat diberikan kortikosteroid. Edema

sitotoksik karena infeksi, hipoksik-iskemik, metabolik dapat diberikan manitol 20%

atau NaCl 3%. Edema interstisiel pada hidrosefalus dengn peningkatan tekanan

intraventrikel dapat diberikan asetazolamid. Terapi bedah dilakukan untuk mengatasi

etiologi struktural.

Evaluasi pasien dengan penurunan kesadaran dilakukan dengan cara yang sama

seperti saat penegakan diagnosis yaitu evaluasi Glasgow Coma Scale, pemeriksaan

pupil, doll’s eye manuever, refleks batuk dan muntah selain tanda-tanda vital.

Kesimpulan
Kejang dan penurunan kesadaran merupakan kegawatdaruratan yang harus

ditangani segera. Pendekatan diagnosis dilakukan secara cermat untuk mencari

etiologi dan memberikan tatalaksana yang tepat.


Daftar Pustaka
1. Glauser T, Shinnar S, Gloss D, dkk. Evidence-based guideline: treatment of

convulsive status epilepticus in children and adults: report of the guideline

committee of the American Epilepsy Society.2016;16:48-61.

2. Rekomendasi Penatalaksanaan Status Epileptikus. Unit Kelompok Kerja Neurologi

Ikatan Dokter Anak Indonesia 2016. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.

3. Ashwal S. Disorders of consciousness in children. Dalam : Swaiman KF, Ashwal S,

Ferriero DM, Schor NF, Finkel RS, Gropman AL, Peral PL, Shevell MI, penyunting.

Swaiman’s Pediatric neurology: principle and practice. Edisi 6. Philadelphia:

Mosby Elsevier 2017.h.767 – 80.

4. Kessler SK, Licht DJ, Abend NS. Approach to Acute Encephalopathy and Coma.

Dalam: Abend NS, Helfaer MA, penyunting. Pediatric Neurocritical Care. New

York: Demos Medical 2013.h.1-16.

5. Pina-Garza JE, James KC.Fenichel’s Clinical Pediatric Neurology. A signs and

Symptoms Approach. Edisi ke 8. Philadelphia: Elsevier Saunders. 2019.h. 49–77


Dr. dr. Aman B. Pulungan, SpA(K), PhD, FAAP, FRCPI(Hon)
Staf Divisi Endokrinologi Anak,

Departemen Ilmu Kesehatan Anak, FKUI RSCM


MENGENAL KETOASIDOSIS DIABETIKUM
DI MASA PANDEMI COVID-19
DAN PENANGANAN PERTAMANYA
Dr. dr. Aman B. Pulungan, SpA(K), PhD, FAAP, FRCPI (Hon)

Diabetes adalah salah satu penyakit kronik yang paling sering ditemukan pada anak

dan remaja, dengan diabetes tipe 1 (T1D) sebagai tipe yang paling banyak

ditemukan. Data dari International Diabetes Federation menunjukkan bahwa pada

tahun 2011, sekitar 490.000 anak berusia kurang dari 14 tahun menderita T1D, dengan

78.000 kasus baru ditemukan setiap tahunnya. Di tahun 2017, terdapat sekitar

586.000 anak di bawah usia 14 tahun dengan T1D, dengan insidens tahunan yang

meningkat sekitar 3-5%. Di Indonesia sendiri, tercatat sekitar 1.200 pasien dengan

T1D di tahun 2019, dan sekitar 71% mengalami KAD saat diagnosis (data register T1D

IDAI). Anak usia dibawah 3 tahun lebih mungkin untuk datang dengan KAD saat

diagnosis. Mayoritas pasien T1D di Indonesia didiagnosis di usia 10-14 tahun, sesuai

dengan literatur yang menyatakan bahwa puncak angka diagnosis baru T1D adalah

pada rentang usia 11-14 tahun.

Ketoasidosis diabetikum (KAD) adalah kelainan metabolik yang ditandai dengan

adanya triad hiperglikemi, asidosis, dan ketosis, yang terjadi dalam keadaan kerja

insulin yang sangat rendah. Diagnosis ketoasidosis diabetik dapat ditegakkan jika

terdapat hiperglikemia >200 mg/dL (>11 mmol/L), asidosis yaitu pH <7,3 dan/atau

HCO3- <15 mEq/L, dan adanya ketonemia dan ketonuria. KAD dapat diklasifikasikan

menjadi tiga derajat berdasarkan pH dan kadar bikarbonat, yaitu:

KAD ringan : pH < 7,3 atau HCO3 < 15mEq/L

KAD sedang : pH < 7,2 atau HCO3 < 10mEq/L

KAD berat : pH < 7,1 atau HCO3 < 5mEq/L

KAD adalah suatu kegawatdaruratan yang harus ditangani dengan tepat, untuk

mencegah terjadinya komplikasi seperti hipokalemi dan edema serebri. Mortalitas

yang terjadi karena KAD dapat disebabkan karena dehidrasi dan syok, sehingga

manajemen cairan adalah komponen penting dari penanganan KAD.

Penegakkan diagnosis KAD dimulai dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Dari

anamnesis dapat didapatkan gejala yang seringkali tidak jelas, tetapi berpola

gradual menjadi lebih berat. Gejala yang menyertai KAD antara lain lelah/malaise,

mual/muntah, nyeri perut, polidipsia, poliuria, polifagia, penurunan berat badan,

demam, dan pandangan yang kabur. Saat pemeriksaan fisik dilakukan, dapat

ditemukan penurunan kesadaran tanpa trauma kepala, takikardia, takipnea atau

hiperventilasi (pola napas Kussmaul), tekanan darah yang normal/rendah,

sssssssssssssssssss
peningkatan capillary refill time, perfusi yang buruk, letargi, demam, dan napas

berbau aseton yang menandai adanya asidosis metabolik.

Tujuan tata laksana KAD adalah untuk koreksi dehidrasi, koreksi asidosis dan ketosis,

memperbaiki hiperosmolaritas dan glukosa darah agar mendekati normal, memantau

komplikasi, dan identifikasi dan tata laksana pencetus KAD. Dalam tata laksana awal

KAD, lakukan pemantauan jantung menggunakan EKG untuk evaluasi

hiper/hipokalemia, pasanglah dua kateter intravena, dan timbang berat badan

pasien untuk menghitung kebutuhan cairan dan kebutuhan insulin. Nilai derajat

dehidrasi pada pasien; karena derajat dehidrasi secara klinis subyektif, maka

direkomendasikan bahwa pada KAD sedang derajat dehidrasinya adalah 5-7%, dan

pada KAD berat 7-10%.

Pemantauan yang dilakukan untuk pasien KAD dapat dilihat di Tabel 1. Pemantauan

kadar beta-hidroksibutirat dalam darah berkorelasi kuat dengan kadar pH dan

bikarbonat dalam pasien KAD, dibandingkan dengan pendekatan tradisional dengan

uji keton urin, sehingga pemantauan menggunakan beta-hidroksibutirat lebih

bermanfaat pada pasien anak dan remaja. Jika pasien mengalami KAD berat,

dengan risiko edema serebri, berusia dibawah 5 tahun, atau dengan aritmia, maka

disarankan untuk dirawat di ruang rawat intensif.

Tabel 1. Pemantauan yang Dilakukan pada Pasien Ketoasidosis Diabetik

Terapi penggantian cairan dan elektrolit pada KAD bertujuan untuk mengganti

volume sirkulasi, mengganti natrium dan defisit cairan di ekstra- dan intra-sel, serta

memperbaiki GFR dan meningkatkan clearance glukosa dan keton dari darah. Dalam

tata laksana cairan pada KAD, gunakan cairan kristaloid, bukan koloid, dengan

volume dan laju pemberian yang bergantung pada status sirkulasi dan indikasi klinis,

biasanya 10 ml/kg. Infus insulin dimulai paling tidak 1 jam setelah terapi pengganti

cairan. Walaupun rehidrasi saja dapat menurunkan konsentrasi glukosa darah, insulin

tetap perlu diberikan untuk normalisasi kadar gula darah, serta menekan lipolisis dan

ketogenesis. Insulin diberikan dengan dosis 0.05-0.1 unit/kgBB/jam secara intravena,

dan insulin bolus tidak diperlukan pada tata laksana KAD karena dapat

meningkatkKAD karena dap


meningkatkan risiko edema serebri, menyebabkan syok, dan memperberat

hipokalemia.

Penentuan kadar kalium dapat dilakukan melalui pemeriksaan EKG, jika pemeriksaan

kalium darah tidak segera tersedia. Koreksi kalium diperlukan pada semua pasien

KAD, kecuali jika terdapat gagal ginjal. Pemberian awal kalium adalah 40 mEq/L,

selanjutnya disesuaikan dengan hasil pemeriksaan kadar kalium plasma. Jika pasien

hipokalemia, pemberian kalium dilakukan bersamaan dengan terapi cairan awal dan

sebelum terapi insulin. Jika pasien memiliki kadar kalium normal, pemberian kalium

dilakukan setelah terapi cairan awal dan bersamaan dengan terapi insulin. Jika

hiperkalemi, pemberian kalium ditunda hingga terdapat data urine output.

Kondisi asidosis berat pada pasien KAD dapat membaik dengan pemberian cairan

dan insulin. Pemberian bikarbonat tidak direkomendasikan, kecuali pada

hiperkalemia berat atau jika pH darah < 6,8; dosis 1-2 mEq/kgBB secara IV, diberikan

selama lebih dari 60 menit.

Komplikasi yang harus diwaspadai dari KAD adalah edema serebri, yang memiliki

angka mortalitas 0.15-0.30%. Diagnosis edema serebri dapat ditegakkan dengan

adanya 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor. Kriteria mayor

terdiri dari penurunan kesadaran, penurunan tekanan darah <20 mmHg yang tidak

dipengaruhi dengan peningkatan volum intravaskular atau keadaan tidur, dan

inkontinensia yang tidak sesuai usia. Kriteria minor adalah muntah, nyeri kepala 2-12

jam sebelum serangan, letargi atau tidur yang sulit dibangunkan, tekanan darah

diastolik >90 mmHg, dan usia <5 tahun. Kriteria diagnosis ini memiliki sensitivitas 92%

dan spesifisitas 96% untuk diagnosis dini edema serebri, agar dapat segera

melakukan intervensi.

T1D dan COVID-19


Saat ini, literatur menunjukkan bahwa T1D pada pasien anak dan remaja tidak

menjadi faktor komorbiditas yang signifikan, berbeda dengan diabetes mellitus tipe

2 pada pasien dewasa. Tetapi, apakah adanya reseptor ACE2 di pankreas dapat

menyebabkan terjadinya disglikemia pada infeksi COVID-19 masih menjadi suatu

pertanyaan yang harus diteliti lebih lanjut. Jika terjadi infeksi COVID-19, protokol

manajemen gula darah saat sakit, seperti yang diterbitkan oleh International Society

for Pediatric and Adolescents Diabetes (ISPAD) harus dipatuhi.

Usaha pencegahan penularan COVID-19 di masyarakat seperti physical distancing

dan lockdowns dapat menjadi penghalang bagi pasien T1D untuk mengakses layanan

kesehatan untuk kontrol rutin. Pusat pelayanan diabetes disarankan untuk membuat

layanan telemedicine dan mengatur komunikasi dengan pasien agar pemantauan

kontrol
kontrol gula darah dan konsultasi tetap dapat berjalan, sembari mengurangi risiko

infeksi. Telemedicine tidak hanya perlu dilakukan dengan dokter spesialis anak yang

menangani pasien, tetapi juga dengan ahli gizi, psikolog, dan layanan kesehatan lain

yang terkait.

Walaupun belum ditemukan adanya risiko infeksi COVID-19 yang meningkat pada

anak dengan T1D, sebuah studi di Jerman menemukan adanya peningkatan kasus

KAD sejak pandemi COVID-19 di bulan Maret hingga Mei 2020. Hal ini diperkirakan

terjadi karena adanya keraguan masyarakat untuk mendatangi pusat layanan

kesehatan karena takut tertular COVID-19 dan berkurangnya akses ke layanan

kesehatan. Sebuah studi preliminer di Amerika Serikat meneliti 64 orang pasien

dengan T1D yang terkonfirmasi terinfeksi COVID-19, dan sekitar sepertiga mengalami

KAD. Oleh karena itu, perlu kewaspadaan yang lebih dalam pengelolaan pasien T1D

di masa pandemi ini untuk menghindari komplikasi seperti KAD.

Kesimpulan
KAD adalah komplikasi serius yang mengancam nyawa pada anak dengan T1D.

Deteksi dan terapi dini adalah kunci untuk meminimalisasi risiko KAD. Tata laksana

sesuai dengan pedoman sangat penting dilakukan. Deteksi dini edema serebri

penting untuk mencegah morbiditas dan mortalitas akibat KAD. KAD yang terjadi

saat pandemi COVID-19 harus ditatalaksana dengan lebih serius dengan protokol

yang sesuai.

Referensi
1. International Diabetes Federation. Pocketbook for managing diabetes in

childhood and adolescence in under-resourced countries [Internet]. 2017. 3–57 p.

Available from: https://www.lifeforachild.org/about/education-resources/

guidelines/57:pocketbook-for-management-of-diabetes-in-childhood-and-ado

lescence-in-under-resourced-countries.html

2. Bui H, To T, Stein R, Fung K, Daneman D. Is Diabetic Ketoacidosis at Disease

Onset a Result of Missed Diagnosis? J Pediatr [Internet]. 2010 Mar 1 [cited 2020

Nov 8];156(3):472–7. Available from: http://www.jpeds.com/article/S0022347

609009949/fulltext

3. Yati NP, Tridjaja B. Panduan Praktik Klinis Ikatan Dokter Anak Indonesia

Ketoasidosis Diabetik dan Edema Serebri pada Diabetes Melitus Tipe-1. Ikatan

Dokter Anak Indonesia. 2017.

4. Wolfsdorf JI, Glaser N, Agus M, Fritsch M, Hanas R, Rewers A, et al. ISPAD Clinical

Practice Consensus Guidelines 2018: Diabetic ketoacidosis and the

hyperglycemic hyperosmolar state. Pediatr Diabetes [Internet]. 2018 Oct 1 [cited

2020 Nov 8];19:155–77. Available from: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/

29900641/
Practice Consensus Guidelines 2018: Diabetic ketoacidosis and the

hyperglycemic hyperosmolar state. Pediatr Diabetes [Internet]. 2018 Oct 1 [cited

2020 Nov 8];19:155–77. Available from: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/

29900641/

5. Pulungan AB, Juwita E, Pudjiadi AH, Rahmayanti S, Tsaniya I. Diabetic

Ketoacidosis in Adolescents and Children: A Prospective Study of Blood versus

Urine Ketones in Monitoring Therapeutic Response. Acta Med Indones.

2018;50(1):46–52.

6. Chua H, Schneider A, Bellomo R. Bicarbonate in diabetic ketoacidosis - a

systematic review. Ann Intensive Care [Internet]. 2011 Jul 6 [cited 2020 Nov

8];1(1):23. Available from: http://annalsofintensivecare.springeropen.com/

articles/10.1186/2110-5820-1-23

7. Muir AB, Quisling RG, Yang MCK, Rosenbloom AL. Cerebral edema in childhood

diabetic ketoacidosis: Natural history, radiographic findings, and early

identification [Internet]. Vol. 27, Diabetes Care. Diabetes Care; 2004 [cited

2020 Nov 8]. p. 1541–6. Available from: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/

15220225/

8. d’Annunzio G, Maffeis C, Cherubini V, Rabbone I, Scaramuzza A, Schiaffini R, et

al. Caring for children and adolescents with type 1 diabetes mellitus: Italian

Society for Pediatric Endocrinology and Diabetology (ISPED) statements during

COVID-19 pandemia. Diabetes Res Clin Pract. 2020;168.

9. Laffel LM, Limbert C, Phelan H, Virmani A, Wood J, Hofer SE. ISPAD Clinical

Practice Consensus Guidelines 2018: Sick day management in children and

adolescents with diabetes. Pediatr Diabetes [Internet]. 2018 Oct 1 [cited 2020

Nov 8];19:193–204. Available from: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/30079506/

10. Kamrath C, Mönkemöller K, Biester T, Rohrer TR, Warncke K, Hammersen J, et al.

Ketoacidosis in Children and Adolescents with Newly Diagnosed Type 1 Diabetes

during the COVID-19 Pandemic in Germany [Internet]. Vol. 324, JAMA - Journal

of the American Medical Association. American Medical Association; 2020

[cited 2020 Nov 8]. p. 801–4. Available from: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/

32702751/

11. Ebekozien OA, Noor N, Gallagher MP, Alonso GT. Type 1 diabetes and covid-19:

Preliminary findings from a multicenter surveillance study in the U.S. Diabetes

Care. 2020;43(8):e83–5.
BAGIAN III
Prof. Dr. dr. H. Mulyadi M. Djer, SpA(K)
Guru Besar Kardiologi Anak

Departemen Ilmu Kesehatan Anak, FKUI-RSCM


EMERGENCY OF CONGENITAL HEART DISEASE
Prof. Dr. dr. H. Mulyadi M. Djer, SpA(K)

Emergency of congenital heart disease atau kegawatdaruratan pada penyakit

jantung bawaan (PJB) merupakan kondisi klinis yang harus dideteksi secara dini

sehingga terapi yang adekuat dapat segera diberikan. Sepertiga kasus PJB akan

mengalami kegawatdaruratan pada masa bayi, dan memerlukan intervensi segera.

Keterlambatan dalam deteksi dini dan penatalaksanaannya akan berdampak pada

outcome klinis dan tumbuh-kembang anak di kemudian hari. Kondisi ini sering

ditemukan di tempat praktik, baik di poliklinik atau di ruang rawat. Oleh karena itu,

petugas kesehatan mulai dari dokter umum, dokter spesialis anak, dokter spesialis

lainnya serta perawat harus bisa mengenalinya dan memberikan tata laksana awal.

Pada makalah ini, akan dibahas lima keadaan yang sering merupakan

kegawatdaruratan pada PJB yaitu: (1) PJB kritis pada neonatus, (2) gagal jantung, (3)

serangan sianotik, (4) takikardia supraventrikel dan (5) tamponade jantung.

Penyakit Jantung Bawaan Kritis pada Neonatus


Penyakit jantung bawaan kritis--critically congenital heart disease--selanjutnya

disingkat dengan PJB kritis, merupakan penyakit jantung bawaan (PJB) kompleks yang

aliran darah ke paru atau ke sistemik tergantung pada duktus arteriosus (DA). Jenis

PJB ini memerlukan diagnosis segera dan intervensi dini. PJB jenis ini sering

mengelabui petugas kesehatan (dokter, bidan, dll) yang menolongnya waktu lahir

karena bayi tampak seperti bayi sehat. Berat lahir sering di atas rerata, saat lahir

belum tampak sianosis dan skor APGAR pada menit pertama 10 dan menit ke-5 juga

10. Dokter sudah terlanjur memberitahu ayahnya bahwa pasien sehat. Demikian juga

selama dalam kehamilan, dokter kandungan juga menyatakan kepada orangtua

anaknya tidak ada masalah. Sianosis sebagai tanda awal PJB ini baru muncul setelah

lahir, bervariasi dari hitungan jam sampai usia 3 hari. Bagaimana menjelaskannya

kepada orangtua sehingga orangtua mengerti dan mau menerima? Apa yang harus

dilakukan?

Pada saat lahir bayi tampak sehat, aktif dan tidak sianosis karena DA masih terbuka

lebar sehingga aliran darah ke paru atau ke sistemik masih cukup banyak. Begitu DA

menutup, pasien mulai tampak biru. Sering dokter memberikan instruksi untuk

memberikan oksigen begitu mendapat laporan dari perawat jika pasien biru.

Pemberian oksigen mempercepat DA menutup sehingga memperburuk kondisi pasien

dan akhirnya pasien meninggal. Tentunya orangtua tidak akan menerima jika

anaknya bermasalah, karena sudah terlanjur mendapat penjelasan bahwa anaknya

normal
normal dan selama kontrol waktu hamil dikatakan tidak ada kelainan jantung pada

janin yang ia kandung.

Pada PJB kritis pemberian oksigen bisa berbahaya. Oksigen hanya diberikan untuk

membedakan apakah sianosis akibat kelainan jantung, kelainan paru atau pada

hipertensi pulmoner persisten pada neonatus (persistence pulmonary hipertension in

neonates, PPHN). Jika terdapat kenaikan pO2 yang signifikan setelah diberikan

oksigen 100% selama 10 menit, berarti kelainannya adalah kelainan paru. Jika tidak

ada kenaikan yang signifikan pada pO2, bisa karena kelainan jantung atau PPHN.

Untuk itu, perlu diperiksa SpO2 darah aorta asenden dan darah aorta desenden. Jika

ada perbedaan pO2 lebih dari 10-15 mmHg berarti PPHN. Akan tetapi, jika tidak ada

perbedaan, berarti kelainan jantung, oksigen tidak boleh diberikan lagi. Pada pasien

ini harus diberikan prostaglandin untuk membuka DA. Baru setelah pasien stabil

tindakan berikutnya dikerjakan.

Gagal Jantung
Gagal jantung adalah kumpulan gejala akibat berkurangnya kemampuan jantung

untuk memompakan darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh,

mengalirkan darah vena sistemik dan pulmoner atau keduanya.

Jantung sebagai pompa mempunyai kinerja yang terdiri dari: (1) preload atau beban

saat diastolik, (2) afterload atau beban saat sistolik, (3) kontraksi dan (4) laju

jantung. Gangguan dari satu atau lebih kinerja di atas menimbulkan gagal jantung.

Penyebab gagal jantung pada anak bisa karena PJB, penyakit jantung didapat,

aritmia, atau keadaan lain seperti asidosis dan kelainan elektrolit.

Tata laksana gagal jantung meliputi tiga hal yaitu: (1) stabilisasi keadaan pasien, (2)

pemberian obat untuk mengatasi gagal jantung dan (3) koreksi kelainan anatomik

dari PJB atau kelainan yang mendasarinya.

Obat yang sering digunakan pada gagal jantung adalah: (1) inotropik. Inotropik yang

sering digunakan adalah dopamin dengan dosis 5-15 mikrogram/kgbb/menit,

dobutamin dengan dosis 5-15 mikrogram/kgbb/menit, atau digoksin dengan dosis

0,01 mg/kgbb/hari dibagi dua dosis, (2) diuretik. Furosemid dengan dosis 1

mg/kgbb/kali diberikan dua kali. Spironolakton, dosis untuk BB di bawah 10 kg

diberikan 2 X 6,25 mg; untuk BB 10-20 kg diberikan 2 x 12,5 mg dan untuk BB di atas

20 kg diberikan 2 x 25 mg, (3) Kaptopril. Dosis 0,3 mg/kgbb/hari dibagi tiga dosis.

Serangan Sianotik
Serangan sianotik ditandai dengan bertambah sianosisnya pasien yang sebelumnya

memang
memang sudah sianosis, terkadang bisa sampai kejang atau meninggal mendadak.

Serangan sianotik sering terjadi pada PJB sianosis seperti: tetralogi Fallot. atresia

pulmoner. transposisi arteri besar, trunkus arteriosus atau atresia trikuspid.

Patogenesis utama serangan sianotik adalah meningkatnya pirau kanan ke kiri. Pada

pasien tetralogi Fallot, peningkatan pirau kanan ke kiri disebabkan karena spasme

infundibulum. Mekanisme serangan sianotik pada PJB kompleks lainnya adalah

karena ketidakseimbangan aliran darah di kapiler paru. Biasanya serangan sianotik

terjadi setelah pasien menangis lama sebagai pemicu.

Tata laksana awal adalah menenangkan penderita, jika perlu diberikan obat sedasi

seperti morfin 0,1 mg/kg intramuskular. Pasien diposisikan sebagai knee-chest

position. Jika ada ketidakseimbangan asam-basa, dilakukan koreksi asam-basa.

Untuk mengurangi spasme infundibulum atau ketidakseimbangan aliran darah di

kapiler paru diberikan propranolol 0,2-0,5 mg/kg 2-4 kali sehari peroral atau

intravena.

Takikardia Supraventrikular
Takikardia supraventrikular atau supraventricular tachycardia (SVT) adalah jenis

takiaritmia ditandai dengan laju jantung yang sangat cepat di atas 200 kali

permenit. Akibat laju jantung yang sangat cepat, waktu pengisian ventrikel saat

diastolik berkurang sehingga isi sekuncup berkurang. Takikardia supraventrikular yang

berlangsung lama dapat menyebabkan gagal sirkulasi.

Mekanisme terjadinya takikardia supraventrikular ada dua yaitu: otomatisasi dan

reentri atau resirkulasi. Pada otomatisasi terdapat sel jantung yang berdepolarisasi

lebih awal karena terjadi pemendekan fase empat dari potensial aksi jantung. Pada

mekanisme reentri atau resirkulasi, terdapat jaras abnormal. Jaras abnormal dengan

jaras normal akan membentuk sirkuit tertutup sehingga satu impuls dapat berputar-

putar dengan cepat.

Tata laksana takikardia supraventrikular terdiri dari: (1) perasat vagus, (2) pemberian

obat-obatan dan (3) terapi ablasi radiofrekuensi. Perasat vagus dilakukan dengan

meletakkan kantong plastik berisi batu es di wajah pasien, sehingga saraf

parasimpatis akan terangsang sehingga laju jantung berkurang. Jika tidak

memberikan respons, diberikan adenosin 0,1 mg/kg bolus cepat. Terapi jangka

panjang untuk mencegah berulangnya serangan dilakukan ablasi radiofrekuensi

untuk membakar jaras abnormal.

Tamponade Jantung
Efusi perikardium merupakan kelainan berupa terdapatnya penimbunan cairan

berlebihan di dalam rongga perikardium. Jika penimbunan cairan ini sangat banyak

dan berlangsun
dan berlangsung dalam waktu yang cepat menyebabkan tekanan pengisian jantung

saat diastolik meningkat menyebabkan darah dari vena sistemik tidak dapat masuk

ke dalam atrium kanan sehingga atrium kanan kolaps. Keadaan ini disebut dengan

tamponade jantung. Tindakannya adalah dengan melakukan pungsi perikardium.

Pungsi perikardium pada tamponade jantung merupakan tindakan emergensi.

Tanda atau gejala klinis pada tamponade jantung adalah terjadi kolaps sirkulasi.

Pada pemeriksaan auskultasi jantung bunyi jantung terdengar jauh. Pada foto

Rontgen dada tampak jantung membesar dan gambaran jantung berbentuk kendi.

Pada pemeriksaan EKG tampak low voltage yaitu hasil penjumlahan R dan S kurang

dari 5 di lead ekstremitas atau kurang dari 7 pada lead dada.

Ringkasan
Emergency of congenital heart disease atau kegawatdaruratan pada PJB merupakan

kondisi klinis yang harus dideteksi secara dini sehingga terapi yang adekuat dapat

segera diberikan. PJB merupakan kelainan kongenital yang paling sering ditemukan

pada bayi dan anak. Sepertiga dari PJB akan menimbulkan kegawatdaruratan

seperti: (1) PJB kritis pada neonatus, (2) gagal jantung, (3) serangan sianotik, (4)

takikardia supraventrikular dan (5) tamponade jantung.

Kegawatdaruratan ini harus dideteksi secara dini dan memerlukan penanggulangan

segera. Jika penanganannya terlambat akan mempengaruhi outcome klinis dan

mengganggu tumbuh-kembang anak di kemudian hari.

Daftar Pustaka
1. Rahajoe AU. Kegawatan pada penyakit jantung bawaan. Dalam: Rahajoe AU,

Karo-Karo S, penyunting. Lily I Rilantono’s Penyakit Kardiovaskular. Jakarta: Balai

Penerbit FKUI; 2012. h.555-77.

2. Wren C. The epidemiology of cardiovascular malformation. Dalam: Moller JH,

Hoffman JIE, Benson W, Van Hare GF, Wren C, penyunting. Pediatric Cardiovascular

Medicine. Edisi ke-2. Oxford: Blackwell Publishing; 2012. h. 268-75.

3. Rosenthal G. Prevalence of congenital heart disease. Dalam: Garson A, Bricker

JT, Fisher DJ, Neish SR, penyunting. The Science and Practice of Pediatric

Cardiology. Edisi ke 2. Baltimore: Williams & Wilkins; 1998. h. 1083-105.

4. Djer MM. Madiyono B. Tata laksana penyakit jantung bawaan. Sari Pediatri.

2000;2:155-62.

5. Mielke G, Steil E, Kendziorra H, Goeelz R. Ductus arteriosus-dependent

pulmonary circulation secondary to cardiac malformations in fetal life.

Ultrasound Obstet Gynecol 1997; 9:25-9.

6. Danworapongs S, Nakwan N, Napapongsuriya C, Choksuchat D, Danworaphong

S. Assessing the use of pulse oximetry screening for critical congenital heart

disease in asymptomatic term newborns. J Clin Neonatal. 2019;8:28-33.


pulmonary circulation secondary to cardiac malformations in fetal life.

Ultrasound Obstet Gynecol 1997; 9:25-9.

6. Danworapongs S, Nakwan N, Napapongsuriya C, Choksuchat D, Danworaphong

S. Assessing the use of pulse oximetry screening for critical congenital heart

disease in asymptomatic term newborns. J Clin Neonatal. 2019;8:28-33.

7. Plana MN, Zamora J, Suresh G, Fernandez-Pineda L, Thangaratinam S, Ewer AK.

Pulse oximetry screening for critical congenital heart defect (review). Cochrane

database of Systematic Review. 2018, Issue 3.

8. Freed MD, Heymann MA, Lewis AB, Roehl SL, Kensey RC. Prostaglandin E1 in

infants with ductus arteriosus-dependent congenital heart disease. Circulation

1981; 64:899-905.

9. Lewis AB, Freed MD, Heyman MA, Roehl SL, Kensey RC. Side effect of

prostaglandin E1 in infants with critical congenital heart disease. Circulation 1981;

64:893-8.

10. Delacretaz E. Supraventricular tachycardia. N Engl J Med. 2006;354:1039-51.


dr. Githa Rahmayunita, SpKK(K)
Staf Divisi Dermatologi Pediatrik,

Departemen Dermatologi dan Venereologi, FKUI-RSCM


KEGAWATDARURATAN DALAM BIDANG
DERMATOLOGI PEDIATRIK
dr. Githa Rahmayunita, SpKK(K)

Kegawatdaruratan dalam bidang dermatologi adalah suatu kondisi di mana terjadi

perubahan anatomi atau fisiologi kulit secara mendadak, biasanya meliputi >50%

luas permukaan tubuh, dan bersifat berat yang mengakibatkan kulit gagal berfungsi

serta terjadi komplikasi tertentu. Kasus kegawatdaruratan dalam bidang dermatologi

pediatrik (DP) merupakan 4% dari kasus kegawatdaruratan pada anak dengan 30%

di antaranya merupakan true emergency.

Kegawatdaruratan pada bidang DP dapat bersifat primer di mana keterlibatan kulit

merupakan penyebab utama dan/atau manifestasi mayor, serta sekunder di mana

kelainan kulit merupakan manifestasi penyakit sistemik Moon dkk. melaporkan 54,8%

kasus kegawatdaruratan dalam bidang DP berusia 0 hari hingga 5 tahun dan kasus

infeksi merupakan kasus paling banyak. Kegawatdaruratan dapat bervariasi

bergantung pada kelompok usia. Sebagai contoh ratio luas permukaan tubuh

dengan berat badan yang lebih tinggi serta fungsi ginjal dan imunitas yang belum

sempurna pada neonatus menyebabkan kelompok usia ini lebih rentan mengalami

infeksi atau peningkatan trans-epidermal water loss yang mengakibatkan dehidrasi

berat.

Beberapa contoh kasus kegawatdaruratan dalam bidang DP adalah eritroderma;

urtikaria dan angioedema; infeksi misalnya staphylococcal scalded skin syndrome;

erupsi obat alergik misalnya sindrom Stevens-Johnson/nekrolisis epidermal toksik;

genodermatosis misalnya epidermolisis bulosa, colodion baby, dan iktiosis Harlequin;

serta penyakit sistemik misalnya histiositosis sel Langerhans. Berdasarkan data

Departemen Dermatologi dan Venereologi FKUI-RSCM, kasus konsultasi dari Instalasi

Gawat Darurat RSCM terbanyak sejak bulan Januari sampai Oktober 2020 adalah

pada kelompok usia 3-12 tahun dengan kasus infeksi sebagai kasus terbanyak disusul

eritroderma dan erupsi obat alergik. Staphylococcal scalded skin syndrome

merupakan kasus terbanyak dari kasus infeksi yang dikonsulkan. Dari data tersebut,

maka dalam presentasi ini akan dibahas mengenai staphylococcal scalded skin

syndrome, eritroderma, dan sindrom Stevens-Johnson/nekrolisis epidermal toksik.

Eritroderma merupakan eritema dan skuama yang meliputi >90% luas permukaan

tubuh. Penyebab penting eritroderma pada anak adalah perluasan penyakit kulit

misalnya psoriasis, dermatitis atopik, dermatitis seboroik infantil, dan pitiriasis rubra

pilaris; ichtyosiform erytrhoderma; dan alergi obat. Pada eritroderma terjadi

gangguan fungsi sawar kulit sehingga pada anak, terutama pada neonatus, dapat

terjadi
dehidrasi, hiperpireksia, hipotermia, hipoalbuminemia, serta infeksi sistemik. Tata

laksana secara umum ditujukan untuk mencegah kondisi tersebut dan tata laksana

spesifik sesuai etiologi yang mendasari eritroderma.

Etiologi staphylococcal scalded skin syndrome adalah eksotoksin yang dihasilkan

oleh Staphylococcus aureus phage type 71. Secara klinis ditemukan demam, eritema

difus disertai nyeri terutama pada daerah lipatan misalnya inguinal dan aksila yang

kemudian menyebar ke seluruh tubuh. Selain itu juga terdapat bula kendur berukuran

besar yang cepat memecah sehingga menimbulkan epidermolisis luas.1 Komplikasi

yang dapat terjadi antara lain adalah gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit,

infeksi lapisan kulit yang lebih dalam, dan sepsis. Tata laksana yang diberikan adalah

antibiotik serta cairan untuk mencegah terjadinya komplikasi.

Sindrom Stevens-Johnson/nekrolisis epidermal toksik pada anak, selain disebabkan

oleh obat, dapat pula disebabkan oleh infeksi. Obat-obatan yang dilaporkan dapat

menyebabkan kondisi ini pada anak adalah antibiotik, antikonvulsan, obat

antiinflamasi non steroid. Kelainan ini ditandai dengan timbulnya makula eritema

atau purpura luas disertai vesikel atau bula. Selain pada kulit, lesi juga mengenai

daerah mukosa. Pada sindrom StevensJohnson epidermolisis yang terjadi meliputi

<10% luas permukaan tubuh, sedangkan pada nekrolisis epidermal toksik

epidermolisis meliputi >30% luas permukaan tubuh. Sedangkan epidermolisis di

antara 10-30% luas permukaan tubuh disebut sindrom Stevens-Johnson/nekrolisis

epidermal toksik overlap. Komplikasi penyakit ini adalah dehidrasi, gangguan

elektrolit, serta infeksi sekunder yang dapat menyebabkan terjadinya sepsis. Tata

laksana utama adalah menghentikan obat tersangka dan secara umum tata laksana

cairan dan nutrisi yang bersifat suportif. Kortikosteroid sistemik dapat diberikan

walau masih terdapat kontroversi.

Tanda dan gejala klinis penyakit serta komplikasinya penting untuk diketahui agar

dapat menegakkan diagnosis secara dini serta memberikan tata laksana yang sesuai

dengan segera dan mencegah terjadinya morbiditas atau mortalitas. Agar tujuan ini

dapat tercapai, maka diperlukan kerjasama yang baik antara dokter spesialis

Dermatologi dan Venereologi dengan dokter Spesialis Anak.

Daftar Pustaka
1. Hassan I, Anwar P. Pediatric dermatological emergencies: An Overview. J Ped

Sci. 2013;5:e198

2. Moon AT, Castelo-Socio L, Yan AC. Emergency department utilization of

pediatric dermatology (PD) consultations. J Am Acad Dermatol 2016;74: 1173-7.

3. Robinson SK, Jefferson IS, Agidi A, Moy L, Lake E, Kim W. Pediatric dermatology

emergencies. Cutis 2020; 105: 132-6


1.

2.

3.

4. Kress DW. Pediatric dermatology emergencies. Curr Opin Pediatr 2011; 23: 403-6

5. Data presentasi laporan jaga Departemen Dermatologi dan Venereologi FKUI

RSCM 2020

6. Daniel SB, Wheeler RL, Murrel DF. Erythem multiforme, Stevens-Johnson syndrome

and toxic epidermal necrolysis. Dalam: Hoeger P, Kinsler V, Yan A, editor.

Harper’s textbook of pediatric dermatology. 4th ed. Oxford: Blackwell Publishing;

2020. h.777-83
Prof. Dr. dr. Badriul Hegar, SpA(K)
Guru Besar Gastro Hepatologi Anak,

Departemen Ilmu Kesehatan Anak, FKUI-RSCM


HOW TO DEAL WITH ACUTE ABDOMINAL PAIN
Prof. Dr. dr. Badriul Hegar, SpA(K)

Dokter seringkali mendapatkan masalah saat menangani anak dengan nyeri perut.

Sebesar 70% anak dengan nyeri perut merupakan gangguan saluran cerna

fungsional, yaitu kita sebagai dokter tidak dapat menemukan adanya kelainan organ

atau biokimiawi sebagai penyebab keluhan tersebut. Gangguan saluran cerna

fungsional umumnya berlangsung kronis atau berulang, tidak meningkat dan tidak

timbul pada malam hari sampai membangunkan anak dari tidurnya, disertai berbagai

keluhan psikologis lain, dan sering ditemukan pada keluarga dan anak yang

emosional. Sebaliknya, nyeri perut akut pada anak merupakan kondisi yang menjadi

tantangan bagi setiap dokter yang memeriksanya, karena begitu banyak penyebab

yang mendasari keluhan tersebut. Sekitar 15% anak yang dibawa orang tuanya ke

poliklinik dengan keluhan nyeri perut akut.

Nyeri perut akut pada umumnya akan menghilang sendiri dan berlangsung ringan,

yang paling sering ditemukan pada infeksi dan inflamasi, dengan manifestasi seperti

diare, konstipasi, atau kembung. Walapun demikian, nyeri perut merupakan

tantangan bagi dokter untuk mengindentifikasi kondisi yang secara prevalensi jarang

tetapi berpotensi mengancam jiwa yang memerlukan evaluasi dan terapi segera,

sebagai contoh apendisitis, volvulus, atau adesi (perlekatan).

Penyebab
Sebagian kecil anak dengan nyeri perut akut, mungkin tidak dapat ditegakkan

diagnosis definitif pada saat pertama kali dilakukan evaluasi, karena gejalanya yang

masih tidak spesifik. Dalam menghadapi anak dengan nyeri perut akut, ada

beberapa hal yang perlu kita ketahui, yaitu usia anak, apa yang sebenarnya terjadi,

organ apa sebagai penyebabnya, sudah berapa lama keluhan tersebut berlangsung,

mengapa keluhan ini dapat terjadi, dan bagaimana menangani, serta apa risikonya

bila hal ini tidak ditangani dengan baik.

Tiga penyebab utama pada nyeri perut akut adalah inflamasi/infeksi, obstruksi, dan

trauma. Hal tersebut dapat mengenai organ intra abdomen, struktur somatik pada

dinding abdomen, ataupun gangguan di di luar abdomen. Berdasarkan keterlibatan

reseptor nyeri, nyeri perut akut dapat diklasifikasi sebagai nyeri viseral,

somatoparietal, dan referred pain. Sebagian besar sakit perut dikaitkan dengan

reseptor nyeri viseral.

Penyebab nyeri perut sangat banyak sekali, antara lain gangguan pada saluran

cerna, gangguan hati, saluran empedu, limpa, saluran kemih, paru, metabolik, obat-

obatan
obatan dan toksin, gangguan hematologi, serta lainnya. Apendisitis, konstipasi,

limfadenitis mesenterikum, infeksi di luar saluran cerna, intoleransi laktosa, gastritis,

dan ulkus peptikum merupakan beberapa contoh gangguan pada saluran cerna

sebagai penyebab nyeri perut. Apendisitis akut pada anak, diawali dengan nyeri

viseral dengan lokasi para-umbilikal, kemudian dengan berlanjutnya proses inflamasi

yang berlangsung 6-48 jam dapat mengenai peritonium, sehingga rasa nyeri

berubah menjadi nyeri parietal yang terlokalisasi pada area kuadran kanan bawah.

Beberapa hal yang perlu pula diperhatikan, yaitu anak sebelumnya terlihat sehat,

ada riwayat sakit perut yang disertai muntah, dapat disertai demam atau nyeri tekan

terlokalisasi. Oleh karena gejala klinis yang diperlihatkan seringkali tidak spesifik,

maka tidak jarang pula menyebabkan kesulitan bagi para dokter untuk melakukan

penapisan terhadap apendisitis akut pada anak. Ada beberapa kriteria yang dipakai

untuk menapis apendisitis pada anak, salah satunya yang banyak dipakai adalah

Skor Prediksi Alvarado. Skor Alvarado menilai migrasi nyeri, adanya anoreksia,

mual/muntah, tegang di daerah kanan bawah, ‘rebound pain’, kenaikan suhu,

peningkatan leukosit darah dengan hitung jenis yang ‘shift to the left’.

Trauma abdomen seringkali tidak terlihat secara klinis pada anak, selain rasa nyeri.

Walaupun demikian, trauma abdomen dapat menyebabkan berbagai keadaan yang

dapat mengancam jiwa anak, antara lain perdarahan atau kerusakan pada organ

padat, perforasi usus, organ iskemik karena kerusakan pembuluh darah, atau

hematoma intra-lumen. Trauma tumpul lebih sering dialami anak dibanding trauma

dalam bentuk penetrasi. Jangan dilupakan adanya kekerasan pada anak sebagai

penyebab trauma abdomen.

Obstruksi saluran cerna dapat disebabkan oleh berbagai kondisi, antara lain

intususepsi, malrotasi, volvulus, adesi pasca-operasi, hernia inkaserata, dan

enterokolitis nekrotikans. Nyeri pada obstruksi saluran cerna umumnya dikaitkan

dengan kondisi serius intra luminal yang memerlukan diagnosis dan terapi segera.

Limfadenitis mesenterikum umumnya mengenai area kanan bawah, sehingga secara

klinis menyerupai apendisitis, akan tetapi nyeri pada limfadenitis mesenterikum

umumnya lebih difus dan tidak terlihat gejala peritonitis. Berbagai keadaan dapat

menyebabkan limfadenitis mesenterikum, antara lain infeksi virus (terbanyak), bakteri,

‘inflamation bowel disease’, atau limfoma.

Pendekatan Tata Laksana


Tiga hal yang perlu diperhatikan pada pendekatan tata laksana nyeri perut, yaitu

usia (faktor utama dalam mengevaluasi penyebab), anamnesis, dan pemeriksaan

fisis. Pemeriksaan fisis yang dilakukan berulang oleh dokter yang sama sangat

diperlukan saat diagnosis tidak dapat ditegakkan saat pemeriksaan awal.


Anamnesis yang teliti dan pemeriksaan fisis yang cermat, serta didukung oleh

pemeriksaan laboratorium dan radiologi yang tepat dapat memberikan diagnosis

spesifik. Pada anamnesis dapat diketahui onset, progresivitas penyakit, lokasi,

intensitas, maupun karakteristik keluhan. Begitu pula perlu dielaborasi faktor yang

mempresipitasi atau mengurangi rasa nyeri, termasuk gejala lainnya yang mungkin

berhubungan. Riwayat trauma dan operasi sebelumnya juga perlu diketahui.

Pemeriksaan fisis mencakup keadaan umum dan tanda vital harus dilakukan pada

awal pemeriksaan, dan ditentukan apakah merupakan nyeri parietal akibat iritasi

peritonium, atau nyeri viseral yang biasanya terlihat seringnya anak mengubah-ubah

posisi tubuhnya karena rasa nyerinya. Pemeriksaan pada abdomen harus dilakukan

dengan melakukan palpasi secara halus, mulai dari area yang tidak nyeri menuju ke

area yang dirasakan paling nyeri.

Pemiilihan pemeriksaan penunjang yang tepat akan membantu menegakkan

diagnosis. Beberapa gejala perlu dipertimbangkan adanya penyakit yang

memerlukan tindakan bedah, antara lain rasa nyeri diikuti muntah, dinding perut

tegang, atau distensi abdomen. Perdarahan, obstruksi, dan perforasi saluran cerna

adalah keadaan penyebab nyeri perut yang mengancam jiwa. Sekitar 1-2% anak

dengan sakit perut akut dilakukan operasi untuk melihat kemungkinan gangguan

organik serius sebagai penyebabnya.

‘Guidelines’ tata laksana sakit perut terutama pada 24 jam pertama pada perlu

dibuat dan diikuti oleh para dokter agar mempunyai keseragaman pendekatan tata

laksana awal. Tanda katastropik, obstruksi, apendisitis akut, atau gangguan sistem

hepatobilier merupa keadaan yang sering dilihat pada anak dengan nyeri perut akut

pada 24 jam pertama serangan.

Kesimpulan
Nyeri perut akut merupakan salah satu keluhan yang membuat orang tua membawa

anaknya berobat ke dokter. Kondisi ini seringkali memerlukan diagnosis dan terapi

yang cepat dan tepat saat masih di ruang gawat darurat. Oleh karena itu,

anamnesis yang teliti dan pengulangan pemeriksaan fisis yang cermat merupakan

hal esensial untuk menentukan penyebabnya.

Daftar Pustaka
1. Kim JS. Acute abdominal pian in children. Pediatr Gastroenterol hepatol Nutr.

2013; 16(4): 219-24

2. Hijaz NM, Friesen CA. Managing acute abdominal pain in children patients.

Pediatr Health Med Ther. 2017;8:83-91

3. Ross A, LeLeiko NS. Acute abdominal pain. Pediatr Rev. 2010;31:135-44.


1. a

2. b

3. c

4. Leung AK, Sigalet DL. Acute abdominal pain in children. Am Fam Physician. 2003;

67:2321- 26.

5. Carty HM. Paediatric emergencies: non-traumatic abdominal emergencies. Eur

Radiol. 2002;12:2835–48.

6. Kwok MY, Kim MK, Gorelick MH. Evidence-based approach to the diagnosis of

appendicitis in children. Pediatr Emerg Care. 2004;20:690–698.

7. Bundy DG, Byerley JS, Liles EA, Perrin EM, Katznelson J, Rice HE. Does this child

have appendicitis? JAMA. 2007;298:438-51.

8. Mason JD. The evaluation of acute abdominal pain in children. Emerg Med Clin

North Am. 1996;14:629–643.

9. Vignault F, Filiatrault D, Brandt ML, Garel L, Grignon A, Ouimet A. Acute

appendicitis in children: evaluation with US. Radiology. 1990;176:501-4.


dr. Rizky Amaliah, SpB(K)BA
Staf Divisi Bedah Anak,

Departemen Ilmu Bedah, FKUI-RSCM


KEGAWATDARURATAN BEDAH PEDIATRI
dr. Rizky Amaliah, SpB(K)BA

Kegawatdaruratan bedah pediatri secara umum paling banyak disebabkan oleh

penyakit abdomen kongenital dan infeksi. Kegawatdaruratan pada penyakit bedah

pediatri membutuhkan penatalaksanaan suportif yang baik serta tindakan bedah

pada waktu yang tepat untuk mencegah morbiditas dan mortalitas. Pada data yang

terbaru, 4,7% anak membutuhkan intervensi pembedahan per tahunnya dari seluruh

pasien anak yang datang ke rumah sakit dan 1,7% merupakan pembedahan saluran

cerna. Empat persen dari seluruh pasien anak yang datang ke IGD, membutuhkan

tata laksana pembedahan dan angka mortalitas mencapai 10,1–34%. Sedangkan

diagnosis nonbedah tersering adalah infeksi saluran nafas atas dengan/tanpa

komplikasi otitis media atau sinusitis (23,7%), nyeri abdomen akut yang tidak

diketahui etiologinya (15,4%), gastroenteritis (15,4%), konstipasi (9,4%), dan infeksi

saluran kemih (8%).

Evaluasi gawat darurat bedah saluran cerna pada anak selain trauma akan dibahas

pada topik ini. Anak datang ke IGD sering dengan gejala saluran cerna. Kasus

terbanyak dari gejala disebabkan oleh proses yang sembuh sendiri seperti

gastrointestinal akibat virus. Namun, tidak jarang pula disebabkan oleh penyakit yang

memerlukan pembedahan gawat darurat. Karena gejala seperti muntah, diare, nyeri

perut dan demam sangat sering dan tidak spesifik pada anak, mengidentifikasi

etiologi yang membutuhkan pembedahan gawat darurat perlu dikenali oleh dokter

umum dan dokter spesialis anak.

Tindakan operasi terbanyak pada bedah pediatri adalah sebanyak 43% terkait

dengan kelainan kongenital (kasus terbanyak adalah hernia, obstruksi usus,

hidrosefalus dan defek dinding abdomen); 29% akibat infeksi (peritonitis, apendisitis,

abses dan lainnya); 17% terkait dengan trauma (jatuh, kecelakaan lalu lintas, dan luka

bakar); dan selebihnya adalah kasus lainnya (tumor, kelainan urologi, dan benda

asing). Nyeri abdomen dan muntah merupakan gejala tersering yang pasien bedah

pediatri keluhkan, kemudian diikuti dengan demam, distensi abdomen, darah pada

feses dan diare. Diagnosis tersering adalah obstruksi usus dan apendisitis, kemudian

diikuti dengan abses dan selulitis. Angka mortalitas berkisar 9,7 – 34%. Angka

komplikasi berkisar 9–10% (tersering sepsis, Infeksi Daerah Operasi (IDO), komplikasi

terkait saluran pernafasan, dan gagal ginjal). Komplikasi terjadi semakin tinggi pada

pasien yang dilakukan pembedahan dengan onset gejala lebih dari 48 jam.

Pendekatan pada Anak dengan Keluhan Nyeri Abdomen Akut


Nyeri abdomen akut merupakan keluhan yang sering dikeluhkan anak. Tantangan

bagi seora
bagi seorang dokter adalah mengidentifikasi pasien dengan penyakit serius yang

membutuhkan intervensi spesifik. Kebanyakan nyeri abdomen akut yang datang ke

IGD adalah self-limited dan penyakit non bedah. Sedangkan etiologi yang

membutuhkan pembedahan sekitar 20%.

Walaupun terjadi peningkatan penggunaan pemeriksaan diagnostik penunjang

seperti laboratorium dan modalitas pencitraan, nyeri abdomen akut masih

merupakan tantangan bagi dokter dalam menemukan etiologinya. Kondisi yang

bermanifestasi sebagai nyeri abdomen akut mempunyai insiden yang bervariasi dari

segi usia dan jenis kelamin. Klasifikasi berdasarkan usia ( Tabel 1) dapat membantu

mempersempit diagnosis banding yang dapat membantu dalam memilih

pemeriksaan penunjang yang tepat serta tata laksana yang sesuai. Pasien yang

memerlukan pembedahan cenderung mengeluhkan nyeri abdomen yang disertai

muntah. Tiga komponen yang perlu ditanyakan pada keluhan nyeri abdomen akut

adalah:

Kualitas dan karakteristik nyeri abdomen

Keluhan penyerta

Kondisi pencetus

Tabel 1. Penyakit Berdasarkan Usia yang Membutuhkan Ahli Bedah Pediatri pada

Kondisi Gawat Darurat

Pendekatan pada Anak dengan Keluhan Mual dan Muntah


Mual dan muntah merupakan kelainan yang sering dari ringan sampai berat bahkan

sampai mengancam nyawa. Mual dan muntah dapat terjadi bersamaan atau tidak.

Contoh, muntah akibat peningkatan tekanan intrakranial tidak didahului oleh mual;

beberapa obat dapat menyebabkan mual, tanpa disertai muntah atau sebaliknya.

Gejala mual dan muntah dapat disebabkan beberapa kondisi patologis pada sistem
Gejala mual dan muntah dapat disebabkan beberapa kondisi patologis pada sistem

gastrointestinal, neurologis, renal dan psikiatrik. Bayi tidak dapat deskripsikan mual,

sehingga akan mempersulit diagnosis. Untuk itu dalam mengidentifikasi etiologi,

harus dapat menilai kondisi serius seperti obstruksi usus atau adanya peningkatan

intrakranial yang membutuhkan intervensi segera atau tidak.

Dokter harus dapat mendeskripsikan dan mendefinisikan keluhan pasien dengan baik.

Muntah harus dibedakan dengan regurgitasi, anoreksia, sitofobia, retching, dan

rumination. Pada kondisi gawat darurat ataupun pasien rawat jalan, tiga langkah

berikut harus dinilai pada pasien dengan keluhan mual dan muntah:

Etiologi, yang dapat dibantu secara epidemiologi berdasarkan usia ( Tabel 1).
Konsekuensi atau komplikasi dari mual dan muntah (dehidrasi, hipokalemia dan

alkalosis metabolik) sehingga perlu dikoreksi.

Tata laksana sesuai dengan etiologi, tidak hanya menghilangkan keluhan mual

atau muntahnya saja.

Kelainan gawat darurat dengan berbagai macam kemungkinan harus diperjelas

bergantung pada berbagai faktor termasuk lama keluhan, klinis pasien secara

keseluruhan (terutama hidrasi, sirkulasi dan status neurologi), serta kelainan terkait lainnya.

Tabel 2. Perbedaan Kasus Bedah atau Nonbedah


Kesimpulan
Manifestasi klinis anak yang membedakan penyebab keluhan saluran cerna adalah

kasus bedah atau medis adalah keluhan muntah hijau; nyeri abdomen yang semakin

progresif; muntah yang disertai dengan distensi abdomen; serta muntah yang

disertai syok. Dalam mendiagnosis penyakit bedah pediatri, perlu pula dikaitkan

dengan usia pasien yang dapat membantu identifikasi etiologi penyakit. Pada pasien

neonatus (<1 tahun), penyakit tersering meliputi penyakit Hirschsprung, malformasi

anorektal, malrotasi, necrotizing enterocolitis, hypertrophic pyloric stenosis; pada

pasien usia 1 bulan sampai 2 tahun, penyakit tersering adalah intususepsi; sedangkan

pada usia > 2 tahun, penyakit tersering adalah apendisitis.

Daftar Pustaka
1. Rabbitts J, Groenewald C. Epidemiology of Pediatric Surgery in the United

States. Pediatric Anesthesia. 2020;00:1-8.

2. Oladije A, Olaniyi A, Olusanya A. Paediatric Surgical Abdominal Emergencies in

a North Central Nigerian Centre. Annals of Pediatric Surgery. 2012;8(2):25-8.

3. Mhando S, Young B, Lakhoo K. The Scope of Emergency Paediatric Surgery in

Tanzania. Pediatr Surg Int. 2008;24:219-22.

4. Ademuyiwa A, Bode C, Adesanya O, OA. E. Non-trauma Related Paediatric

Abdominal Surgical Emergencies in Lagos, Nigeria: Epidemiology and Indicators

of Survival. Nigerian Medical Journal. 2012;53(2):76-9.

5. Hijaz N, Friesen C. Managing Acute Abdominal Pain in Pediatric Patients: Current

Perspectives. Pediatric Health, Medicine and Therapeutics. 2017;8:83-91.

6. Jadhav P, Jadhav B, Raut S, Hegde A. Epidemiology and Clinical Spectrum of

Pediatric Non-traumatic Surgical Emergencies. New Indian Journal of Surgery.

2019;10(6):609-12.
dr. Evita Karianni Bermanshah Ifran, SpA(K)
Kepala Divisi Radiologi Anak,

Departemen Ilmu Kesehatan Anak, FKUI-RSCM


IMAGING IN PEDIATRIC EMERGENCY:
CONVENTIONAL RADIOLOGY AND ULTRASOUND
dr. Evita Karianni Bermanshah Ifran, SpA(K)

Tujuan
1. Mempelajari langkah-langkah interpretasi foto toraks dan abdomen

2. Mempelajari gambaran kelainan pada foto toraks yang sering dijumpai pada

kasus emergensi anak

3. Mempelajari gambaran kelainan pada foto abdomen yang sering dijumpai pada

kasus emergensi anak

4. Mengetahui pemeriksaan ultrasonografi pada kasus emergensi anak

5. Menentukan ketepatan pemasangan alat medis

Pendahuluan
Foto toraks dan abdomen merupakan pemeriksaan pencitraan tersering dilakukan

pada kasus emergensi pada anak. Pemeriksaan tersebut akan membantu dokter

menegakkan diagnosis yang akurat serta tatalaksana yang tepat pada bebagai

masalah yang dihadapinya. Keterampilan interpretasi foto toraks dan foto abdomen

merupakan bagian dari kompetensi yang harus dimilliki oleh setiap dokter umum

maupun dokter spesialis, khususnya yang berkerja di instalasi gawat darurat atau di

unit perawatan intensif.

Dalam Standar Nasional Pendidikan Profesi Dokter Indonesia (SNPPDI) 2019 yang

dikeluarkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia, dicantumkan bahwa seorang dokter

harus mempunyai kompetensi mandiri dalam meminta dan menginterpretasi foto

toraks dan abdomen. Pada kenyataannya seorang dokter yang telah mendapat

pendidikan formal tidak menunjukkan kepercayaan diri dan sering jauh dari

memuaskan dalam melakukan interpretasi foto tersebut.

Waktu pendidikan yang singkat merupakan salah satu faktor penyebab. Untuk

mendapatkan ketrampilan dalam interpretasi foto, tidak hanya perlu mempelajari

kelainan yang terlihat pada foto tersebut tetapi juga harus memiliki pengetahuan

patofisiologi yang melatarbelakangi kelainan tersebut. Anak yang dalam proses

tumbuh kembang berbeda dengan dewasa. Pengetahuan akan tumbuh kembang

anak merupakan keharusan dalam melakukan interpretasi foto pada anak, dan

merupakan faktor yang harus diperhatikan dalam membuat interpretasi foto, selain

melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis dengan baik. Selain itu setiap dokter

harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

kedokteran. Perkembangan alat pencitraan menyebabkan gambaran anatomi dan

kelainan pada pemeriksaan pencitraan terlihat lebih baik. Namun, seorang dokter

harus mampu mengaitkan antara gambaran klinis dan kelainan yang terlihat pada

pemeriksaan pencitraan tersebut.


harus mampu mengaitkan antara gambaran klinis dan kelainan yang terlihat pada

pemeriksaan pencitraan tersebut.

Perkembangan internet dan kemajuan tehnologi multimedia telah membuka jalan

pendidikan pencitraan dengan memanfaatkan situs web. Penggunaan e-learning

untuk menyampaikan pelajaran radiologi kepada mahasiswa kedokteran merupakan

alternatif yang menarik dan merupakan metode yang efektif untuk mengembangkan

kompetensi dalam interpretasi radiologi bagi mahasiswa kedokteran.

Belakangan ini pemeriksaan ultrasonografi berkembang dengan pesat baik teknologi

maupun resolusi gambar yang dihasilkan. Penggunaan ultrasonografi pada kasus

emergensi juga meningkat, pada anak merupakan pemeriksaan pencitraan alternatif

yang lebih disukai karena tidak invasif serta tidak memberikan radiasi. Point of care

ultrasound (POCUS) merupakan teknik pemeriksaan ultrasonografi yang

dikembangkan untuk mengatasi masalah yang dihadapi dokter yang menangani

pasien secara langsung, mempersingkat waktu diagnosis, sehingga tatalaksana

dapat dilakukan secara cepat dan optimal sesuai masalah yang ditemukan.

Pelatihan ini bertujuan untuk mengingatkan kembali cara interpretasi foto toraks dan

foto abdomen kasus emerjensi yang sering dijumpai pada anak, serta mengetahui

pemeriksaan ultrasonografi sebagai alternatif pemeriksaan pencitraan konvensional

X-ray.

. Langkah-Langkah Interpretasi Foto Toraks dan Abdomen


I

Sebelum melakukan interpretasi foto toraks dan abdomen, terlebih dahulu harus

mengetahui anatomi toraks dan abdomen, serta gambarannya yang terlihat pada

foto rontgen. Dengan mengenal gambaran normal, maka dengan mudah diketahui

apabila didapatkan kelainan pada foto rontgen. Kelainan pada foto rontgen harus

disesuaikan dengan riwayat dan gejala klinis anak karena gambaran tersebut dapat

disebabkan oleh berbagai macam etiologi.

Sebelum meminta pemeriksaan foto rontgen, terlebih dahulu diperkirakan diagnosis

kerja berdasarkan riwayat dan pemeriksaan fisik, sehingga dapat ditentukan jenis

dan posisi pemeriksaan rontgen yang diperlukan agar kelainan yang dicurigai dapat

tervisualisasi dengan baik. Kadang diperlukan lebih dari satu posisi bahkan 3 posisi

yang masing-masing mempunyai indikasi dan tujuan tertentu.

Kualitas foto rontgen dipengaruhi oleh rotasi, inspirasi, dan penetrasi. Apabila

pengambilan foto tidak simetris, maka gambaran yang dihasilkan dapat

mempengaruhi interpretasi foto, misalnya jantung dan timus dapat terlihat besar.

Pengambilan foto toraks dilakukan pada saat anak inspirasi (Tabel 1). Bila inspirasi

berlebihan, maka paru akan terlihat lebih lusen sedangkan bila inspirasi kurang maka
berlebihan, maka paru akan terlihat lebih lusen sedangkan bila inspirasi kurang maka

paru akan terlihat lebih opak. Keadaan ini akan mempengaruhi interpretasi foto.

Ekspos radiasi juga berpengaruh terhadap penilaian foto rontgen. Ekspos yang

terlalu kuat akan menyebabkan hilangnya detail yang akan dinilai, demikian pula

sebaliknya. Terdapat berbagai macam cara membaca foto rontgen. Apapun cara

yang digunakan, membaca foto rontgen harus dilakukan secara sistematis agar

kelainan tidak terlewatkan.

Tabel 1. Inspirasi Optimum Menurut Usia

Foto abdomen merupakan pemeriksaan radiologi konvensional tersering kedua

setelah foto toraks. Indikasi klinis pemeriksaan foto abdomen antara lain bila

didapatkan gejala mutah proyektil, bilious, non bilious, adanya episode menangis

hebat, lama, dan berulang, atau kolik, diare berdarah (bloody stool), tanda akut

abdomen, sakit perut hebat akut atau berulang, sakit perut yang sulit ditentukan

lokasinya, teraba massa, mekonium terlambat keluar > 24 jam. Riwayat penyakit, usia

anak, awitan gejala tersebut serta pemeriksaan fisik yang teliti sangat diperlukan

sehingga dapat diperkirakan lokasi kelainan di saluran cerna proksimal atau distal.

Membaca foto abdomen dimulai dengan melihat preperitonel fat line, otot psoas,

hati, limpa, ginjal, lambung, penyebaran udara usus, kaliber usus, dinding usus,

kalsifikasi intra abdomen, tulang dan jaringan lunak. Pada kecurigaan obstruksi

saluran cerna atas biasanya cukup dilakukan foto abdomen supine anterior posterior

(AP) atau upright (tegak). Bila dicurigai obstruksi saluran cerna bawah, dilakukan

pemeriksaan foto abdomen 3 posisi, yaitu supine AP, supine sinar horisontal (Cross-

table) dan prone sinar horisontal (Cross-table). Pemeriksaan supine AP bertujuan

untuk melihat secara umum gambaran organ intraabdomen. Sedangkan foto

abdomen supine sinar horisontal (Cross-table) bertujuan untuk melihat adanya air-

fluid level dan udara bebas. Pada foto prone sinar horisontal (Cross-table), dapat

dilihat gambaran udara usus terendah.

II. Mempelajari Pelajaran Kelainan pada Foto Toraks yang Sering Dijumpai
pada Kasus Emergensi
Gambaran kelainan pada foto toraks dapat berupa gambaran opak atau gambaran

lusen yang seharusnya tidak ada. Untuk itu terlebih dahulu harus mengenal dan

familiar dengan gambaran normal foto toraks (Tabel 2).


Tabel 2. Gambaran Opak dan Lusen pada Foto Toraks

Gambar 2. Foto toraks AP. Hernia


diafragmatika: tampak gambaran

Gambar 1. Foto toraks AP. usus (bulat lusen) masuk dari rongga

Pneumotoraks: tampak bayangan abdomen ke rongga toraks yang

lusen avaskuler di hemitoraks kiri menyebabkan pendorongan jantung,

dengan paru kiri yang kolaps dan trakea dan esofagus ke hemitoraks

mendorong jantung ke kanan kanan

III. Mempelajari Gambaran Kelainan pada Foto Abdomen yang Sering


Dijumpai pada Kasus Emergensi Anak
Gambaran opak abnormal pada foto abdomen juga dapat terlihat, misalnya adanya

organomegali, massa tumor, asites. Sedangkan gambaran lusen abnormal dapat

terlihat antara lain pada keadaan obstruksi usus atau udara bebas intraperitoneum.

Kelainan yang sering dijumpai pada foto abdomen antara lain atresia esofagus,

Hypertrophic Pyloric Stenosis (HPS), volvulus gaster, malrotasi midgut, invaginasi,

hiatal hernia, atresia duodenum, atresia yeyunum, atresia ileum, meconium plaque

syndrome, ileus mekonium, dan atresia ani. Untuk atresia ani, diperlukan pemeriksaan

knee-chest position sehingga dapat ditentukan atresia ani letak rendah atau letak

tinggi (Gambar 3). Pada neonatus sering terjadi Enterokolitis Nekrotikans (EKN) dan
komplikasi berupa pneumoperitoneum yang dalam jumlah besar (Gambar 4A) dapat

terlihat pada foto AP. Untuk melihat pneumoperitoneum dalam jumlah sedikit

diperlukan foto abdomen posisi supine sinar horisontal (Gambar 4B).

Gambar 3. Posisi knee-chest. Atresia ani: jarak

dari marker ke udara usus di rektum bagian

distal menentukan atresia ani letak tinggi (> 2

cm) atau rendah (<2 cm)

IV. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)


Belakangan ini, penggunaan alat USG pada

anak semakin meningkat sebagai pemeriksaan

alternatif yang disukai karena tidak

memberikan radiasi pada anak. USG dapat

melihat organ intraabdomen lebih detail

daripada foto rontgen. Adanya HPS dan

invaginasi (Gambar 5, 6A dan 6B) sangat Gambar 4. Atas: Foto


mudah dilihat dengan USG. Selain itu, Abdomen Supine AP.

apendisitis akut dan adanya kolik yang Pneumoperitoneum:

diakibatkan batu pada traktus urinarius maupun bayangan lusen di seluruh

empedu
(WSD). dapat dilihat dengan USG. USG juga abdomen menunjukkan udara

dapat melihat adanya efusi pleura dalam bebas dalam jumlah besar

jumlah sedikit, adanya pneumotoraks, dan (soccer ball sign).

asites. USG dapat melihat adanya pneumatosis Bawah: Foto abdomen


intestinalis pada EKN lebih dini dibandingkan supine sinar horizontal.

foto abdomen. Selain untuk diagnosis, USG Pneumoperitoneum: udara

dapat dipergunakan untuk terapeutik misalnya bebas dalam jumlah besar

reposisi invaginasi (Gambar 6B). menyebabkan pendorongan

hati, limpa, dan usus ke

V. Letak Alat Medis Intratorakal dan posterior.

Intraabdomen
Dengan semakin majunya teknologi, berbagai

macam alat medis dipergunakan pada anak

antara lain kateter areteri dan vena umbilikalis,


macam alat medis dipergunakan pada anak antara

lain kateter areteri dan vena umbilikalis,

Percutaneous Inserted Central Catheter (PICC),

Central Venous Catheter (CVC), endotracheal tube

(ETT), kanul trakesostomi, pipa Ventriculoperitoneal

(VP) shunt, kateter Water Seal Drainage (WSD).

Perlu ditentukan ketepatan lokasi dan kedalaman

ujung alat tersebut untuk mecegah komplikasi

antara lain ruptur, trombus atau masuk ke organ

lain sehingga dapat menimbulkan kerusakan

bahkan kematian.

Gambar 5. USG
Abdomen. HPS:

tampak penebalan

otot pilorus (>3 mm)

dan kanalis pilorus

yang memanjang

(>15 mm) Gambar 6. Atas: Foto


abdomen AP. Invaginasi:

pada foto abdomen hanya

Pitfals terlihat adanya soft tissue

Terlihatnya trakea yang berkelok pada foto toraks mass yang mencurigakan

anak sering disalahartikan sebagai penarikan atau invaginasi pada anak

pendorongan trakea ke satu sisi hemitoraks. Pada dengan sakit perut dan

neonatus atau bayi, saat inspirasi trakea akan feses bloody-stool.

terlihat lurus, sedangkan pada saat ekpirasi dapat Bawah: USG Abdomen.
terlihat melekuk diatas jalan masuk ke rogga toraks Invaginasi: tampak sebagai

tanpa adanya penyempitan disebut buckling target sign. Kelebihan USG

trachea yang sering disalah artikan sebagai dapat melihat lead point

penarikan atau pendorongan trakea ke satu sisi dan viabilitas usus pada

toraks. Selain itu, pada neonatus atau bayi, timus Color-flow yang

yang masih besar sering disalahartikan sebagai menentukan dapat tidaknya

pembesaran jantung. Perlu dikenal berbagai dilakukan reposisi invaginasi

macam bentuk varian timus yang masih terlihat dengan enema atau harus

besar. Kesalahan lain yaitu kadang terlihat garis dilakukan tindakan operasi.

opak yang berjalan dari toraks meliwati diafragma

sampai ke abdomen. Gambaran ini sering

disalahartikan sebagai garis pneumotoraks atau

efusi pleura.
Penutup
Foto toraks dan abdomen merupakan pemeriksaan radiologi tersering dilakukan

di Instalasi Gawat Darurat.

Untuk menentukan pemeriksaan pencitraan yang sesuai dan melakukan

interpretasi, memerlukan pengetahuan tumbuh kembang anak, serta melakukan

anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti,

Pemeriksaan USG merupakan pemeriksaan alternatif non-radiasi yang dapat

memberikan informasi yang lebih rinci dibandingkan pemeriksaan radiologi.

Pemeriksaan foto rontgen toraks, abdomen, dan USG merupakan kompetensi

yang harus dimiliki dokter umum maupun dokter spesialis khususnya yang bekerja

di Instalasi Gawat Darurat dan Unit Rawat Intensif agar dapat menegakkan

diagnosis dengan cepat dan tatalaksana yang optimal.

Daftar Bacaan
1. Konsil Kedokteran Indonesia. Standar Nasional Pendidikan Profesi Dokter

Indonesia (SNPPDI). 2019. Available from: https://www.pdui-pusat.org/

detailpost/final-snppdi-2019

2. Jeffrey DR, Goddard PR, Callaway MP, Greenwood R. Chest radiograph

interpretation by medical students. Clin Radiol. 2003;58(6):478-81. Available

from: https://www.clinicalradiologyonline.net/article/S0009-9260(03)00113-2/

fulltext

3. Salajegheh, A., Jahangiri, A., Dolan-Evans, E. et al. A combination of traditional

learning and e-learning can be more effective on radiological interpretation skills

in medical students: a pre- and post-intervention study. BMC Med Educ 2016;16,

46. Available from: https://doi.org/10.1186/s12909-016-0569-5

4. Tamaela LA, Pramuljo HS, Bermanshah EKI. Radiologi Anak: Diagnostik Gambar.

Edisi pertama. In: Bermanshah, editor. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 2010

5. Swischuck LE. Emergency Imaging of the Acutely Ill or Injured Child. Fourth ed.

Philadelphia: Lippincott, Williams & Wilkins. 2004

6. Coley BD. Caffey's Pediatric Diagnostic Imaging. Twelfth Ed. Philadelphia:

Elsevier Health Sciences; 2013.


Halaman ini sengaja dikosongkan.

Anda mungkin juga menyukai