Anda di halaman 1dari 188

CABANG DKI JAKARTA

PERKUMPULAN GASTROENTEROLOGI HEPATOLOGI


DAN NUTRISI ANAK INDONESIA (PGHNAI)
dan
IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA CABANG DKI JAKARTA

PROSIDING
PERTEMUAN ILMIAH BERKALA PGHNAI XIV

Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan


Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi
Anak dalam Deteksi dan Pencegahan
Stunting di Indonesia

Jakarta, 18-19 November 2023


CABANG DKI JAKARTA

PERKUMPULAN GASTROENTEROLOGI HEPATOLOGI


DAN NUTRISI ANAK INDONESIA (PGHNAI)
dan
IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA CABANG DKI JAKARTA

Prosiding
PERTEMUAN ILMIAH BERKALA PGHNAI XIV
Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan
Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi
Anak dalam Deteksi dan Pencegahan
Stunting di Indonesia

Jakarta, 18-19 November 2023


Judul : Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran
Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan
Pencegahan Stunting diIndonesia
Pelaksanaan : Jakarta, 18 - 19 November 2023

SUSUNAN PANITIA
Pelindung Ketua Pengurus Pusat PGHNAI
Penasehat dan Pengarah Prof. Dr. dr. Pramita Gayatri, Sp.A(K)
dr. Hadjat Digdowirogo, Sp.A
Prof. dr. Badriul Hegar Syarief, PhD, Sp.A(K)
DR. dr. Eva Jeumpa Soelaeman, Sp.A(K)
Panitia Pelaksana
Ketua dr. Yuli Yafri Razak, Sp.A
Wakil ketua dr. Budi Purnomo, Sp.A(K)
Sekretaris dr. Syahminar Rahmani, SpA, Heni Pratiwi, SE
Bendahara DR. dr. Nuraini Irma Susanti, Sp.A(K)
Sie Dana • Prof. Dr. dr. Pramita Gayatri, Sp.A(K)
• DR. dr. Eva Jeumpa Soelaeman, Sp.A(K)
• dr. Budi Purnomo, SpA(K)
• dr. Fatima Safira Alatas, SpA(K), Ph.D
Sie Acara • dr. Barry Army Bakry, Sp.A(K)
• dr. Ade D Pasaribu, Sp.A
Sie Ilmiah • Dr. dr. Ariani Widodo, Sp.A(K)
• dr. Frieda Handayani, Sp.A(K)
• dr. Ezy Barnita, Sp.A(K)
• dr. Himawan Aulia Rahman, Sp.A
Sie Registrasi • dr. Erwin Lukas Hendrata, Sp.A(K)
Akomodasi, Teknologi • Dr. dr. Dedi Rahmat, Sp.A
Informatika dan Perlengkapan
Sie Dokumentasi/Buletin • Dr. dr. Andy Darma, Sp.A(K)
• dr. Barry Army Bakry, Sp.A(K)
• dr. Erwin Lukas Hendrata, Sp.A(K)
Sie Konsumsi • dr. Endang Poerwati, Sp.A(K)
• dr. Hartaniah Sadikin, Sp.A

Hak Cipta dilindungi Undang-undang


Dilarang memperbanyak, mencetak, dan menerbitkan sebagian atau seluruh
buku dengan cara dan dalam bentuk apapun juga tanpa seizin penulis dan
penerbit
Kata Sambutan
Ketua Panitia Pertemuan Ilmiah Berkala XIV
PGHNAI 2023

Bismilahirohmanirronirohim Assalamualaikum ww

Para sejawat dan Mitra Sponsor yang kami hormati

Perhimpunan Gastroenterologi Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia


(PGHNAI) bekerjasama dengan IDAI DKI Jakarta menyelenggarakan PIB
XlV yang in Syaa Allah akan diselenggarakan pada bulan November 2023
di Jakarta.
Tema yg diangkat pada kegiatan PIB XiV PGHNAI ini adalah
“Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna , Hati dan
Nutrisi Anak dalam deteksi dan pencegahan Stunting di Indonesia.”
Permasalahan saluran Cerna pada anak kini makin meluas tidak hanya
pada keluhan Diare namun juga pada jeluhsn keluhan terserng lainnya
seperti Sakit perut, muntah, konstipasi dengan konsekwensinya berkaitan
dengan Tumbuh Kembang mengarah ke Stunting.
Kami mengundang Dokter Umum , Dokter Spesialis Anak , Dokter
Spesialis seminat , dan Praktisi kesehatan untuk bergabung meng up date
informasi berdiskusi dan berkolaborasi dengan PGHNAI DKI Jakarta.

Selamat mengikuti PIB PGHNAI XIV DKI Jakarta.

Salam Sejahtera

Dr. Yafri Razak, Sp.A

Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV iii


iv Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Daftar Isi

Kata Sambutan Ketua Panitia Pertemuan Ilmiah Berkala XIV


PGHNAI 2023........................................................................................ iii
Strategi Layanan Gastrohepatologi Anak di Layanan Primer Sampai
dengan Tersier*.........................................................................................1
Pramita Gayatri
Penanganan Pertama pada Perdarahan Saluran Cerna pada Anak........7
Fatima Safira Alatas
Deteksi Dini dan Pencegahan Stunting pada Pelayanan Primer..........18
Aryono Hendarto
Waspada Kegawatdaruratan Saluran Cerna dari Pencitraan ...............27
Evita karianni Bermanshah Ifran
Sakit Perut Akut pada Anak: Red Flag..................................................48
Nuraini Irma Susanti
Pitfalls Tata laksana Anak dengan Berat Badan Tidak Naik: Aspek
Gastroenterologi....................................................................................60
Eva Jeumpa Soelaeman
Mengenal Obstruksi Saluran Cerna pada Anak....................................67
Alexandra
Berbagai Alternatif Upaya Rehabilitasi Nutrisi pada Anak dengan
Kelainan Gastrohepatologi....................................................................83
Ariani Dewi Widodo, Juliana Susantio
Kuning pada Bayi: Mana Normal dan Mana Tidak?.............................93
Himawan Aulia Rahman
Diare Akut, Virus vs Bakteri................................................................ 105
Barry Army Bakry
Kuning pada Bayi: Atresia Bilier atau Hepatitis?................................ 113
Himawan Aulia Rahman, Hanifah Oswari

Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV v


Diare Kronis pada Anak: Kapan Curiga Tuberkulosis Usus?............. 122
Ezy Barnita
Diare Akibat Infeksi Jamur dan Amoeba............................................ 128
Syahminar Rahmani
Gangguan Saluran Cerna Fungsional pada Anak............................... 139
Erwin Lukas Hendrata
Konstipasi pada Anak.......................................................................... 149
Frieda Handayani
Makanan Pendamping ASI Tepat dan Berkualitas.............................. 159
Novitria Dwinanda
Interpretasi Pemeriksaan Feses pada Anak......................................... 165
Diana Aulia

vi Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Strategi Layanan Gastrohepatologi Anak di
Layanan Primer Sampai dengan Tersier*
Pramita Gayatri

Tujuan:
1. Permasalahan gastrohepatologi anak di Indonesia
2. Selayang pandang kasus-kasus gastrohepatologi anak dilayanan tersier
3. Mengenal berbagai kasus gastrohepatologi anak yang perlu dirujuk
4. Peran layanan primer pada penanganan gastrohepatologi anak di Indonesia

T
ujuan pembangunan hanya dapat tercapai jika menjangkau semua
anak, di mana pun mereka berada. Investasi dalam intervensi dini
akan memanfaatkan tahap-tahap penting dalam perkembangan otak
dan membantu untuk memastikan bahwa semua anak dapat berkembang
mencapai potensi penuh mereka, serta mendukung pertumbuhan masyarakat
yang sejahtera.
Indonesia telah memperlihatkan kemajuan yang mengesankan
menuju SDG. Sebagai negara berpenghasilan menengah dan pelopor
SDG, Pemerintah Indonesia dan UNICEF telah bekerja sama untuk
mengidentifikasi target dan indikator SDG yang paling penting bagi anak-
anak di Indonesia. Sebagian besar target prioritas ini telah dituangkan dalam
perencanaan dan pemantauan SDG Pemerintah.1
Di seluruh dunia, 155 juta anak mengalami stunting, yaitu bila tinggi
atau panjang badan kurang dari dua SD dari median nilai yang diharapkan
berdasarkan usia dan gender.2 Stunting pada masa kanak-kanak adalah hal
yang penting dicermati karena berhubungan dengan peningkatan angka
kematian anak, gangguan kognitif, dan risiko penyakit kronis yang lebih
tinggi di kemudian hari3 sehingga hal tersebut merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang serius.

Permasalahan gastrohepatologi anak di Indonesia


Secara umum periode anak merupakan periode yang dinamik untuk
pertumbuhan dan perkembangan. Menjadi anak Indonesia yang sehat dan
tercapainya tumbuh kembang optimal sesuai potensi genetik merupakan
suatu anugerah, yang bagi sebagian kecil anak Indonesia hal tersebut sulit
<?> Dipresentasikan di Pertemuan Ilmiah Berkala PGHNAI XIV. Hotel Harris Jakarta, 18 – 19 November 2023

1
dicapai. Berbagai faktor berperan pada kondisi tersebut, di antaranya adalah
fungsi saluran cerna yang tidak optimal sehingga tubuh tidak mendapatkan
nutrisi yang adekuat. Tentunya hal ini akan memengaruhi dua tahun
pertama kehidupan anak yang merupakan tahapan penting pada kurun
waktu tersebut, yang ditandai dengan akselerasi percepatan tumbuh dan
perkembangan.4-6
Pada pertumbuhan linier yang suboptimal sebagian dapat dijelaskan
akibat pola makan yang tidak memadai secara kronis. Hal ini didukung oleh
data bahwa sebagian besar individu mengalam1i stunting berasal dari rumah
tangga yang rawan pangan.7 Bila intervensi hanya berfokus pada perbaikan
gizi saja maka hal tersebut akan gagal mencapai kejar tumbuh yang normal.8
Penyebab terjadinya hal tersebut karena adanya inflamasi kronis seperti yang
ditemukan pada beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa anak-anak
yang mengalami stunting mengalami peningkatan petanda peradangan
dalam darah.9-12 Penyebab timbulnya inflamasi tersebut akibat adanya aktivasi
yang menyimpang dan berkelanjutan dari sistem imunologik mukosa saluran
cerna. Telah dibuktikan adanya hubungan antara stunting dan kelainan usus
akibat pengaruh lingkungan (environmental enteric disorder, EED).
Manifestasi kelainan saluran cerna secara klinis dapat dibagi dua yaitu
gejala klinis terkait kelainan saluran cerna atas, contohnya muntah dengan
atau tanpa darah, mual, nyeri perut, kembung; dan kelainan saluran cerna
bawah, contohnya diare dengan atau tanpa darah, konstipasi, BAB hitam
(melena), BAB darah (hematoskezia). Permasalahan muntah kronik maupun
diare kronik tersebut (dengan atau tanpa perdarahan maupun muntah atau
tinja berwarna hijau) pada seorang anak yang disertai gangguan tumbuh
ataupun gagal tumbuh, merupakan tanda bahaya yang menunjukkan
adanya kelainan organik, bukan hanya gangguan fungsional semata, yang
memerlukan evaluasi lebih lanjut.13,14
Penyakit diare pada anak di Indonesia masih merupakan penyebab angka
kesakitan pada anak.14 Beberapa faktor memengaruhi terjadinya diare kronik,
di antaranya bacterial overgrowth yang berdampak lanjut pada dekonyugasi
asam empedu, gangguan motilitas, menurunnya sekresi pankreas dan bilier,
dan sistem imunitas saluran cerna yang abnormal menyebabkan berkurangnya
produksi sIgA maupun terjadinya defisiensi mikronutrien. Kerusakan mukosa
usus dan peningkatan integritas permeabilitas usus menyebabkan malabsorpsi
nutrien dan asam empedu, hilangnya cairan dan elektrolit, maupun translokasi
endotoksin dan alergen makanan. Hal ini dapat terjadi pada diare kronik
ataupun akibat reaksi alergi terhadap makanan,15-19 Kondisi hilangnya protein
(protein-losing enteropathy) akibat kerusakan mukosa usus tersebut (dengan
atau tanpa erosi mukosa) akan menyebabkan kondisi malnutrisi pada anak.
Kondisi tersebut juga dapat terjadi pada keluhan esofagitis maupun gastritis
kronik dengan manifestasi gastropati luas.14,16,18

2 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Penelitian di Departemen Ilmu Kesehatan Anak (IKA) FKUI – RSCM19
menunjukkan bahwa anak yang dirawat dengan diare kronik sebagian besar
(57%) dengan gizi kurang dan 43% dengan gizi buruk. Kadar selenium plasma
secara signifikan rendah (p<0,0001), padahal selenium merupakan salah satu
mikronutrien dasar yang penting untuk kesehatan karena berfungsi sebagai
antioksidan dan aktivator sistem imunitas tubuh serta fungsinya sebagai
antiinflamasi dan antiviral. Kadar alfa-1-antitripsin (AAT) tinja pada anak
dengan diare kronik 7 kali lebih tinggi dibandingkan anak normal seusianya
(p=0,010) yang menunjukkan adanya kebocoran protein dari saluran
cerna yang mengalami kerusakan, sebelum terjadinya hipoalbuminemia.19
Kasus diare kronik yang ditemukan sehari-hari oleh seorang dokter anak
memerlukan pemeriksaan lanjutan yang dapat membantu tata laksana
definitif agar lingkaran “infeksi – malabsorpsi – malnutrisi – infeksi” yang
berakibat lanjut terjadinya stunting dapat dihentikan.19
Sejak 5 tahun terakhir, di Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM
mulai bermunculan kasus-kasus diare kronik yang merupakan bagian entitas
penyakit inflamasi usus (IBD) yang bermanifestasi sebagai Crohn’s Disease, Kolitis
Ulseratif, atau Indefinite Colitis.20 Ketiganya dapat dikenali dan dibedakan setelah
dilakukan pemeriksaan endoskopi saluran cerna dan gambaran patologi anatomi
jaringan yang diambil pada saat endoskopi.20,21 Faktor infeksi dan penggunaan
antibiotik yang lama (lebih dari 3 bulan, terutama pada masa bayi dan balita
awal) atau penggunaan antibiotik berulang merupakan salah satu faktor eksternal
lingkungan yang diduga berperan pada penyakit ini.21 Pada tata laksana kelainan
saluran cerna dibutuhkan pemeriksaan yang dapat menampilkan kelainan
makroskopik maupun mikroskopik agar tata laksana definitif dapat optimal.

Gambar 1. (a) Anak lelaki, 4 tahun 3 bulan, 11 kg, dengan diare kronik berdarah pasca-rawat dengan demam
tifoid. (b) Gambaran kolonoskopi terdapat banyak ulserasi sepanjang rektum sampai kolon asendens dengan
poliposis dan mukosa normal di antaranya. Dilakukan polipektomi. (c) Tindak lanjut 1 bulan BB 12,4kg. (d)
Kolonoskopi perbaikan pasca terapi dengan metronidazole, steroid, koreksi albumin, transfusi PRC, dan
rehabilitasi nutrisi.20

Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 3


Keluhan saluran cerna akan membaik sejalan dengan perbaikan mukosa dan
rehabilitasi nutrisi akan lebih optimal karena protein-losing enteropathy yang
terjadi mengalami perbaikan, sehingga kejar tumbuh (catch-up growth) yang
diharapkan dapat dicapai. Namun, sejalan dengan perjalanan penyakitnya,
seringkali manifestasi kelainan ekstra-intestinal tidak dapat dihindari dan
memerlukan keterlibatan multidisiplin.20,22
Kerusakan usus halus (enteropati) tersebut dapat dijumpai pada
keluarga dengan sumber daya rendah. Kelainan saluran cerna ini memiliki
karakteristik inflamasi mukosa, vili usus halus yang rata, dan meningkatnya
permeabilitas usus.13-18 Pemicu gangguan tersebut dapat akibat dari pola
makan yang tidak memadai, paparan terus menerus terhadap lingkungan
yang terkontaminasi, dan/atau perubahan flora normal komensal.
Penyakit gastroesofageal refluks merupakan penyakit akibat inflamasi
daerah esofagus yang cukup kerap terjadi dan menyebabkan problem makan
aladaptive pada anak maupun kejadian malnutrisi.20 Penggunaan nasojejunal
feeding tube mulai meningkat terutama di rumah sakit yang memiliki fasilitas
endoskopi anak. Nasojejunal feeding tube (NJFT) akan menyintas lambung
jika asupan makanan via lambung tidak bisa ditoleransi atau terdapatnya
komplikasi berat yang signifikan akibat penyakit gastroesofageal refluks
(PRGE). Indikasi ini makin meningkat penggunaannya sejalan dengan bukti-
bukti yang menguatkan rekomendasi penggunaan NJFT sebagai pilihan
yang valid pada bayi atau anak yang gagal pemberian nutrisi intragastrik.21,22
Penyakit hati akut karena infeksi ataupun hal lain (intoksikasi) serta
penyakit hati kronik akibat infeksi maupun kelainan bawaan anatomi,
genetik, metabolik, ataupun endokrin memerlukan deteksi dini yang akurat,
rujukan yang tepat terutama waktu, serta pemantauan yang seksama. Risiko
terjadinya malnutrisi dan stunting cukup besar akibat organ terbesar pusat
metabolisme mengalami gangguan yang berat, yang bila tidak dideteksi
sejak awal dan mendapatkan penaganan yang adekuat maka akan berakhir
dengan gagal hati. Contohnya adalah atresiua bilier, kista duktus koledokus,
Allagille syndrome, Progressive Familial Intrahepatic Cholestasis (PFIC),
Wilson’s Disease, dan sebagainya..
Baik kelainan saluran cerna maupun kelainan hati, pankreas, maupun
kantung dan/atau saluran empedu berisiko untuk terjadinya malnutrisi dan
stunting. Sebagai dokter layanan primer di faskes pratama (dokter umum)
maupun di RSUD (spesialis anak) perlu memahami dan mencermati
kurva tumbuh bayi dan balita apakah ada faltering growth maupun gagal
tumbuh (failure to thrive). Kejelian dalam anamnesis dan pemeriksaan
fisik merupakan hal yang utama termasuk pengetahuan terkait fisiologi,
patofisiologi maupun pathogenesis penyakit. Menghadapi pasien neonatus
dengan kuning harus dapat membedakan kuning akibat ikterus fisiologis
atau kecurigaan terhadap kelainan hati akibat infeksi, hipotiroid, kelainan

4 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
anatomi, ataupun akibat kelainan metabolik, ataupun genetik. Pastikan
warna tinja (3 porsi, pagi-siang-malam) apakah dempul atau kuning agar
penapisan akan kecurigaan atresia bilier yang memerlukan prosedur Kasai
dapat dilakukan perujukan segera bila usia < 90 hari (ideal <60 hari); sehingga
penapisan menggunakan prosedur intra-operatif cholangiography dapat
dilakukan sesegera mungkin sebelum keputusan tindakan Kasai.
Gangguan saluran cerna atas maupun bawah yang telah berdampak
pada status nutrisi perlu dirujuk segera ke RSUD. Penanganan faltering
growth disesuaikan dengan berat-ringannya kelainan dan harus dikaitkan
apakah terdapat feeding problem. Bila terdapat malnutrisi berat maka
sebaiknya dirujuk ke RSUP yang memiliki konsultan gastrohepatologi.
Diagnostik non-invasif (laboratorium) dapat dilakukan oleh seorang Sp.A,
sedangkan diagnostik invasif (endoskopi diagnostik ataupun terapeutik)
dilakukan oleh konsultan gastrohepatologi di RSUP Tipe A (provinsi), dan
dapat bekerja sama dengan Konsultan lainnya (Sp.A(K)) maupun dengan
Konsultan lintas Bidang Keahlian lainnya. Kasus kelainan saluran cerna berat
yang melibatkan asesorisnya (hati, empedu, pancreas) yang berat disertai
malnutrisi berat dengan stunting dan memerlukan pendekatan multidisiplin,
sebaiknya dirujuk ke RSUP rujukan nasional; antara lain RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo.

Daftar pustaka
1. Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional. Roadmap of SDGs Indonesia:
A Highlight. 2016.
2. WHO, World Bank, UNICEF, 2017. Joint Child Malnutrition Estimates New
York, NY: United Nations Children’s Fund, the World Health Organization, the
World Bank Group.
3. Prendergast AJ, Humphrey JH. The stunting syndrome in developing countries.
Paediatr Int Child Health. 2014;34: 250–265.
4. Wopereis H, Oozeer R, Knipping K, Belzer C, Knol J. The first thousand days
– intestinal microbiology of early life: establishing a symbiosis. Pediatr Allergy
Immunol. 2014;25:428-38.
5. Koletzko B, Brands B, Chourdakis M, Cramer S, Grote V,Hellmuth C, dkk. The
power of programming and the Early Nutrition Project: opportunities for health
promotion by nutri-tion during the first thousand days of life and beyond. Ann
Nutr Metab. 2014;64:187-96.
6. Vandenplas Y, Gutierrez-Castrellon P, Velasco-Benitez C,Palacios J, Jaen D,
Ribeiro H, dkk. Practical algorithms for managing common gastrointestinal
symptoms in infants. Nutrition.2013;29:184-94.
7. Misselhorn A, Hendriks SL. A systematic review of subnational food insecurity
research in South Africa: missed opportunities for policy insights. PLoS One.
2017;12: e0182399.
8. Dewey KG, Adu-Afarwuah S. Systematic review of the efficacy and effectiveness
of complementary feeding interventions in developing countries. Matern Child
Nutr. 2008;4: 24–85.

Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 5


9. Campbell DI, Elia M, Lunn PG, Growth faltering in rural Gambian infants
is associated with impaired small intestinal barrier function, leading to
endotoxemia and systemic inflammation. J Nutr 133: 1332–1338.
10. Prendergast AJ, Rukobo S, Chasekwa B, Mutasa K, Ntozini R, Mbuya MN, Jones
A, Moulton LH, Stoltzfus RJ, Humphrey JH, 2014. Stunting is characterized by
chronic inflammation in Zimbabwean infants. PLoS One. 2003;9: e86928.
11. Panter-Brick C, Lunn PG, Langford RM, Maharjan M, Manandhar DS, Pathways
leading to early growth faltering: an investigation into the importance of mucosal
damage and immune-stimulation in different socio-economic groups in Nepal.
Br J Nutr. 2009;101: 558–567.
12. Campbell DI, Murch SH, Elia M, Sullivan PB, Sanyang MS, Jobarteh B, et al.
Chronic T cell-mediated enteropathy in rural west African children: relationship
with nutritional status and small bowel function. Pediatr Res. 2003.54: 306–311.
13. Chacko CJ, Paulson KA, Mathan VI, Baker SJ,. The villus architecture of the
small intestine in the tropics: a necropsy study. J Pathol. 1969;98: 146–151.
14. Hossain MI, Nahar B, Hamadani JD, AhmedT, Roy AK, Brown KH, Intestinal
mucosal permeability of severely underweight and non-malnourished
Bangladeshi children and effects of nutritional rehabilitation. J Pediatr
Gastroenterol Nutr. 2010;51:638–644.
15. Kelly P, Menzies I, Crane R, Zulu I, Nickols C, Feakins R, et al. Responses of
small intestinal architecture and function over time to environmental factors
in a tropical population. Am J Trop Med Hyg. 2004;70: 412–419.
16. Kosek M, Haque R, Lima A, Babji S, Shrestha S, Qureshi S, Amidou S, et al.,
Fecal markers of intestinal inflammation and permeability associated with the
subsequent acquisition oflinear growth deficits in infants. Am J Trop Med Hyg.
2013;8:390–6.
17. Prendergast A, Kelly P, Enteropathies in the developing world: neglected effects
on global health. Am J Trop Med Hyg. 2012;86:756–63.
18. Weisz AJ, Manary MJ, Stephenson K, Agapova S, Manary FG, Thakwalakwa C,
et al. Abnormal gut integrity is associated with reduced linear growth in rural
Malawian children. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2012;55: 747–50.
19. Kementerian Kesehatan RI. Sekretariat Jenderal Profil Kesehatan Indonesia
Tahun 2020. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. 2021
20. V Oktaria, KJ Lee JE Bines, E Watts , CD Satria, J Atthobari, et al. Nutritional
status, exclusive breastfeeding and management of acute respiratory illness and
diarrhea in the first 6 months of life in infants from two regions of Indonesia.
BMC Pediatr. 2017 Dec 21;17(1):211. doi: 10.1186/s12887-017-0966-x.
21. Ilse J. Broekaert, yJackie Falconer, zJiri Bronsky, §Frederic Gottrand, jjLuigi
Dall’Oglio, Eunice Goto, et al. The Use of Jejunal Tube Feeding in Children:
A Position Paper by the Gastroenterology and Nutrition Committees of the
European Society for Paediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition.
2019;239-58.
22. Rosen R, Vandenplas Y, Singendonk M, et al. Pediatric Gastroesophageal Reflux
Clinical Practice Guidelines: Joint Recommendations of the North American
Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition and the
European Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition. J
Pediatr Gastroenterol Nutr. 2018;66:516–54.

6 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Penanganan Pertama pada Perdarahan
Saluran Cerna pada Anak
Fatima Safira Alatas

P
erdarahan saluran cerna merupakan suatu kondisi yang tidak sedikit
ditemui pada anak dan memiliki manifestasi yang sangat beragam.
Meskipun jarang, perdarahan saluran cerna masif pada anak dapat
berakibat fatal dan berujung pada kematian apabila tidak ditangani dengan
tepat. Angka insiden perdarahan saluran cerna sendiri diperkirakan sebesar
6.4%, dengan angka mortalitas sebesar 3.5-14%.1-3 Berdasarkan lokasinya,
perdarahan saluran cerna atas diketahui memiliki insidensi 3 kali lipat
lebih tinggi jika dibandingkan dengan pendarahan saluran cerna bawah.2
Tingginya angka kematian anak akibat perdarahan saluran cerna menjadi
landasan pentingnya penguasaan tatalaksana perdarahan saluran cerna
khususnya pada populasi pediatri. Untuk itu, makalah ini akan membahas
secara mendalam terkait penanganan pertama perdarahan saluran cerna
pada anak.

Definisi dan klasifikasi


Perdarahan saluran cerna secara garis besar dapat dibagi menjadi 2;
perdarahan saluran cerna atas dan saluran pencernaan bawah. Klasifikasi
ini ditentukan oleh letak perdarahan terhadap ligamentum Treitz. 3
Perdarahan saluran cerna atas sendiri dapat dibagi menjadi dua kategori,
yaitu perdarahan akibat varises (akibat pecahnya pembuluh darah varises)
dan perdarahan non-varises (perdarahan saluran cerna atas selain yang
disebabkan oleh pecahnya varises).3, 4 Perdarahan saluran cerna juga dapat
diklasifikasikan berdasarkan penyebab utamanya. Perdarahan yang penyebab
utamanya terletak pada saluran cerna dikategorikan sebagai perdarahan
lokal. Sedangkan, perdarahan sistemik merupakan perdarahan yang biasanya
terjadi akibat penyakit sistemik seperti defisiensi faktor pembekuan darah.1

Diagnosis
Pendekatan Diagnosis Perdarahan Saluran Cerna pada Anak
Pendekatan diagnosis perdarahan saluran cerna pada anak didahului

7
dengan mengonfirmasi apakah benar gejala yang dialami oleh pasien
merupakan perdarahan saluran cerna atau akibat hal lain, seperti konsumsi
buah naga merah. Langkah selanjutnya adalah menentukan ada tidaknya
kegawatdaruratan pada pasien akibat perdarahan saluran cerna. Setelah
seluruh kondisi kegawatdaruratan pada pasien telah diatasi, baru kemudian
dapat dicari sumber perdarahan saluran cerna serta menegakkan diagnosis
dan diagnosis banding. Alur pendekatan diagnosis perdarahan saluran
cerna dapat dilihat pada Gambar 1. Pada kasus perdarahan saluran cerna
pada anak, diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan
penunjang untuk membantu mencari penyebab perdarahan dan menegakkan
diagnosis.1, 4

Gambar 1. Alur pendekatan diagnosis perdarahan saluran cerna pada anak1

Anamnesis
Pada anamnesis perlu ditanyakan mengenai berbagai kondisi yang dapat
menyerupai perdarahan saluran cerna seperti konsumsi makanan tertentu
(buah naga merah, beet, pewarna merah, karbon aktif, zat besi) atau adanya
perdarahan pada saluran nafas yang tertelan. Setelah menyingkirkan berbagai
kondisi yang menyerupai perdarahan saluran cerna, kemudian perlu digali
mengenai frekuensi dan jumlah perdarahan serta apakah perdarahan sedang
berlangsung atau tidak agar dapat mengestimasi volume darah yang telah
hilang. Selain itu, perlu juga ditanyakan mengenai kondisi pasien yang
mengarah ke tanda kegawatdaruratan seperti pucat, akral dingin, letargi atau
penurunan kesadaran. Anamnesis juga dapat memberi petunjuk mengenai
lokasi perdarahan. Perdarahan pada saluran cerna bagian atas gejala yang
umumnya muncul yaitu hematemesis dan melena. Namun pada perdarahan
dengan jumlah yang banyak pada saluran cerna bagian atas, bisa juga
ditemukan gejala hematochezia. Sedangkan pada perdarahan saluran cerna
bagian bawah, gejala yang muncul adalah hematochezia.4 Baik perdarahan
saluran cerna bagian atas maupun bawah, memiliki etiologi yang berbeda-

8 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
beda menurut usia sehingga diperlukan diagnosis banding yang berbeda
pula (Tabel 1).3

Tabel 1. Etiologi Perdarahan Saluran Cerna Berdasarkan Kelompok Usia3

Kelompok Usia Lokasi Perdarahan Etiologi


Bayi (<1 tahun) Perdarahan saluran cerna atas Gastritis
Sepsis
Defisiensi vitamin K
Trauma
Alergi susu sapi
Perdarahan saluran cerna bawah Kolitis
Enterokolitis nekrotikans
Alergi susu sapi
Fisura anal
Volvulus
Penyakit Hirschsprung
Defisiensi vitamin K
Intususespsi
Duplikasi intestinal
Anak usia 1-5 tahun Perdarahan saluran cerna atas Esofagitis
Varises esofagus
Sindrom Mallory-Weiss
Gastritis
Ulkus gaster atau duodenum
Korpus alienum
Perdarahan saluran cerna bawah Polip
Fisura Anal
Enterokolitis infektif
Divertikulum Meckel
Intususespsi
Henoch Schonlein purpura
Sindrom hemolitik uremik
Angiodisplasia
Hiperplasia limfonodular
Anak diatas 5 tahun Perdarahan saluran cerna atas Esofagitis
Sindrom Mallory-Weiss
Lesi Dieulafoy
Varises esofagus
Perdarahan saluran cerna bawah Fisura Ani
Enterokolitis infektif
Polip
Inflammatory bowel disease (IBD)
Hiperplasia limfonodular
Henoch Schonlein purpura
Angiodisplasia
Sindrom hemolitik uremik

Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 9


Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pada kasus perdarahan saluran cerna sangat diperlukan
untuk mengidentifikasi kegawatdaruratan hemodinamik. Pada kondisi
syok hipovolemik, dapat ditemukan takikardia, pucat dan hipotensi
serta diperlukan tindakan resusitasi segera untuk mencegah mortalitas
dan morbiditas pada pasien. Setelah kegawatdaruratan ditangani, maka
pemeriksaan fisik dapat dilanjutkan secara menyeluruh. Pada kulit perlu
diperiksa adanya pucat, jaundice, turgor kulit, petekie, purpura serta kondisi
akral dingin atau hangat. Kemudian pemeriksaan dilanjutkan pada bagian
telinga, hidung dan tenggorokan untuk mencari sumber perdarahan yang
mungkin dapat tertelan sehingga menimbulkan gambaran perdarahan
saluran cerna. Pada sistem kardiovaskular perlu dilakukan pemeriksaan
denyut nadi, frekuensi nadi, suara jantung serta waktu pengisian kapiler.
Pada abdomen perlu diperiksa apakah terdapat hepatomegali, splenomegali,
asites, pelebaran pembuluh darah superfisial atau apakah terdapat massa
intraabdomen. Terakhir, pada daerah perineum dan rektum, perlu dilakukan
pemeriksaan untuk melihat apakah terdapat trauma, fisura, fistula atau
hemorrhoid. Pemeriksaan colok dubur (rectal touche) juga dapat dilakukan
untuk melihat apakah perdarahan masih berlangsung atau tidak.3, 4

Pemeriksaan penunjang
Salah satu pemeriksaan penunjang yang penting dilakukan untuk kasus
perdarahan saluran cerna adalah pemeriksaan darah tepi lengkap. Pada
pemeriksaan ini didapatkan nilai hemoglobin dan hematokrit yang dapat
menggambarkan seberapa banyak volume darah yang telah hilang serta
menentukan kebutuhan transfusi darah. Selanjutnya nilai trombosit serta
prothrombin time (PT) dan activated partial thromboplastin time (APTT)
juga dapat digunakan untuk menyingkirkan penyebab perdarahan akibat
kelainan sistemik. Selain itu, keadaan trombositopenia juga dapat ditemukan
pada kondisi sepsis, infeksi virus, immune thrombocytopenic purpura
(ITP), hipersplenisme dan enterokolitis nekrotikans. Disamping darah
perifer lengkap, perlu juga dilakukan pemeriksaan fungsi hati terutama
apabila terdapat tanda sirosis pada pemeriksaan fisik. Peningkatan kadar
transaminase, penurunan kadar albumin dan pemanjangan waktu PT dan
APTT merupakan suatu pertanda sirosis hati yang dapat menyebabkan
hipertensi porta dan pecahnya varises esofagus. Selain itu, pemeriksaan
kadar urea dan kreatinin serum juga dapat membantu menentukan apakah
perdarahan terjadi pada saluran cerna bagian atas atau bawah. Perbandingan
peningkatan kadar blood urea nitrogen (BUN) dengan kadar kreatinin ≥30
merupakan suatu pertanda perdarahan saluran cerna bagian atas dengan
sensitivitas sebesar 98% dan spesifisitas sebesar 69%.1, 4, 5

10 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Pada kasus perdarahan saluran cerna, umumnya pemeriksaan
radiologi tidak dapat memberikan banyak manfaat jika dibandingkan
dengan pemeriksaan endoskopi. Namun, pada beberapa kasus tertentu
seperti enterokolitis nekrotikans, pemeriksaan foto polos abdomen dapat
memberikan gambaran dilatasi usus dan pneumatosis intestinalis.6
Pemeriksaan endoskopi merupakan pemeriksaan terbaik yang dapat
digunakan untuk mencari sumber perdarahan sekaligus menentukan etiologi
penyebab perdarahan saluran cerna.4 Selain itu, pemeriksaan ini juga dapat
memberikan gambaran mukosa usus dengan jelas serta dapat digunakan
sebagai tindakan terapeutik seperti ligasi, skleroterapi, ekstraksi polip dan
lainnya.1, 4

Tatalaksana perdarahan saluran cerna


Tatalaksana awal
Kondisi anak dengan perdarahan saluran cerna dapat bervariasi bergantung
dari keparahan perdarahan yang dialami. Sama seperti penanganan kondisi
kegawatdaruratan lainnya, prioritas utama dari penanganan perdarahan
saluran cerna pada anak adalah stabilisasi kondisi pasien. Pada survei primer,
penilaian terkait patensi jalan napas wajib dilakukan. Pada pasien dengan
gangguan patensi jalan napas atau risiko aspirasi, perlu dipertimbangkan
pemasangan intubasi.2 Oksigenasi dapat diberikan terutama pada pasien
dengan saturasi <94% atau 3% dibawah baseline (pada pasien dengan kondisi
kronis).7 Untuk mengevaluasi kondisi perdarahan, perlu dilakukan penilaian
yang cepat dan akurat terhadap derajat dan kecepatan perdarahan, faktor
risiko dari perdarahan, serta manifestasi klinis yang terkait.3 Pengukuran
parameter hemodinamik, terutama perubahan denyut nadi dan tekanan
darah, dapat menjadi patokan untuk dalam melakukan evaluasi perdarahan.
Selama dilakukan evaluasi, akses vaskular juga dipasang dan apabila
diperlukan resusitasi dimulai sesegera mungkin dengan menggunakan cairan
kristaloid (salin normal atau ringer laktat).3, 4, 8
Resusitasi dilakukan pada pasien yang menunjukkan tanda syok,
seperti peningkatan laju nadi atau takikardia, pemanjangan waktu pengisian
kapiler, akral dingin, perabaan nadi melemah, penurunan tekanan darah
sistolik, penurunan jumlah urin, perubahan warna kulit menjadi pucat /
mottled, hingga penurunan kesadaran. Pada kondisi syok, cairan resusitasi
diberikan secara bolus sebesar 20 mL/kgBB dalam 5-10 menit berdasarkan
algoritma Pediatric Advance Life Support (PALS). Pemberian cairan dapat
diulang sebanyak tiga kali dengan total pemberian cairan maksimal sebesar
60 mL/kgBB. Lakukan evaluasi, identifikasi, serta intervensi terhadap kondisi
terkini anak setelah pemberian setiap bolus cairan.9 Apabila pemberian cairan

Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 11


resusitasi tidak menghasilkan respons yang diharapkan, transfusi darah
dapat diberikan berdasarkan kebutuhan pasien dengan mempertimbangkan
kondisi klinis serta komorbiditas pasien.8 Transfusi diberikan terutama pada
pasien tidak stabil dengan penurunan kadar hemoglobin ≤ 7 g/dL dengan
target kadar hemoglobin 7-8 g/dL.2 Pemantauan yang ketat diperlukan pada
pemberian resusitasi cairan atau transfusi darah, terutama pada pasien
dengan penyakit hati. Hal ini dikarenakan resusitasi cairan yang agresif dapat
memperburuk kondisi asites, sedangkan transfusi darah yang berlebihan
dapat menyebabkan terjadinya perdarahan berulang akibat peningkatan
tekanan pada pasien dengan hipertensi portal.8 Pertimbangkan pemberian
FFP dan platelet pada pendarahan masif dan terus menerus. Identifikasi
serta koreksi terhadap gangguan koagulopati juga perlu dilakukan sesegera
mungkin. Pemberian vitamin K dianjurkan terutama pada bayi tanpa
menunggu hasil parameter koagulasi. Dosis vitamin K yang diberikan
adalah 1-2 mg/dosis secara parenteral untuk bayi, sedangkan dosis pada
anak sebesar 5-10 mg/dL.3, 10
Pemasangan pipa nasogaster (NGT) dan bilas lambung (gastric lavage)
dilakukan dengan tujuan utama untuk menentukan adanya perdarahan
saluran pencernaan atas, serta memastikan apakah perdarahan masih
terjadi atau tidak. Selain itu, tindakan bilas lambung juga dapat membantu
mencegah terjadinya ensefalopati hepatikum akibat peningkatan kadar
amonia terutama pada pasien dengan sirosis. Namun, tidak ditemukannya
bukti perdarahan pasca bilas lambung tidak menyingkirkan kemungkinan
terjadinya perdarahan saluran cerna atas. Seluruh pasien dengan perdarahan
saluran cerna sebaiknya dipuasakan untuk persiapan sekiranya dibutuhkan
tindakan operasi atau endoskopi darurat.2, 8

Tatalaksana perdarahan saluran cerna atas


Pada kondisi perdarahan saluran cerna atas, tatalaksana perdarahan
dilakukan berdasarkan jenis perdarahan (akibat varises atau non varises) dan
bertujuan untuk menurunkan risiko perdarahan.4 Pasca stabilisasi, pasien
dengan kecurigaan perdarahan saluran cerna atas dapat diberikan penekan
asam lambung seperti proton-pump inhibitors (PPI) dan histamin-2 antagonist
(H2-antagonist). Pemberian obat penekan asam lambung bertujuan untuk
menjaga kestabilan bekuan darah dan mendukung penyembuhan ulkus,
sehingga mengurangi risiko perdarahan berulang, kebutuhan transfusi dan
kebutuhan operasi.3, 8 Pada pasien dengan kecurigaan perdarahan akibat
pecahnya varises, dapat diberikan agen vasoaktif terutama octreotide serta
antibiotik spektrum luas seperti seftriakson intravena.3, 8 Agen vasoaktif
diberikan untuk menghentikan perdarahan khususnya akibat hipertensi
portal dengan cara menurunkan tekanan darah splanknik.3, 8 Penghambat
beta non selektif (NSBB) diketahui dapat menurunkan tekanan hipertensi

12 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
portal dan menurunkan frekuensi perdarahan varises, namun studi terhadap
efektivitas serta keamanan penggunaannya pada anak masih perlu diteliti
lebih lanjut.3 Pedoman pemberian pengobatan farmakologi pada anak
dengan perdarahan saluran cerna atas dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Farmakologi pada Perdarahan Saluran Cerna Atas4, 11

Terapi Dosis
Proton Pump Inhibitor
Omeprazole Oral:
1 mg/kgBB/hari per oral (PO), dalam 1-2 dosis terbagi
Parenteral:
0.2 – 3.5 mg/kgBB/hari intravena (IV) 1 kali sehari
Antagonis Reseptor H2
Ranitidin Oral:
2-4 mg/kgBB/hari, diberikan dua kali sehari
Parenteral:
2-4 mg/kgBB/hari, dalam dosis terbagi per 6-8 jam
Agen Vasoaktif
Octreotide 1 µg/kgBB bolus IV, dilanjutkan dengan 1- 2 µg/kg/jam infus
NSBB
Propanolol 0.5 – 2 mg/kgBB/hari dalam 2-4 dosis terbagi, dengan target penurunan
denyut jantung sebanyak 25% dari nilai awal
Adhesive protection
Sucralfate 40 – 80 mg/kgBB/hari dalam 4 dosis terbagi (dosis maksimum 1000 mg/
dosis dalam 4 dosis terbagi)

Terapi endoskopi merupakan first-line treatment pada perdarahan


saluran cerna atas dan perlu dilakukan terutama pada perdarahan masif
/ perdarahan yang terus-menerus. 7 Tujuan utama endoskopi adalah
menghentikan perdarahan dan mencegah terjadinya perdarahan berulang.3
Endoskopi dalam 24 jam pasca onset manifestasi direkomendasikan pada
pasien dengan kebutuhan transfusi akibat penurunan kadar Hb sebanyak 2
g/dL atau penurunan Hb dibawah 8 g/dL2. Terdapat berbagai macam jenis
teknik endoskopi yang dapat digunakan untuk mengatasi perdarahan pada
saluran cerna. Pada perdarahan akibat pecahnya varises, endoscopic variceal
ligation dan banding direkomendasikan karena memiliki tingkat keberhasilan
yang lebih tinggi, kecuali pada bayi dimana sclerotherapy menjadi pilihan
karena perangkat ligasi terlalu besar untuk digunakan pada kelompok usia
ini.2, 8 Apabila prosedur endoskopi tidak dapat menghentikan perdarahan,
perlu dipertimbangkan tindakan operasi atau transjugular intrahepatic
portosystemic shunt (TIPS).2, 4
Pada perdarahan saluran cerna atas yang dicurigai bukan akibat
pecahnya pembuluh darah varises, pemeriksaan esophagogastroduodenoscopy
(EGD) dalam 24 jam pasca perawatan perlu dilakukan untuk menentukan
sumber perdarahan.4 Pada kondisi perdarahan yang diakibatkan oleh
ulkus peptikus, malformasi arteriovenosa, Mallory-Weiss tear, dan ulkus

Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 13


Dielafoy, tatalaksana dilakukan dengan menggunakan modalitas endoskopi,
diantaranya terapi injeksi menggunakan epinefrin dan cairan salin,
termokoagulasi, serta teknik mekanik seperti pemasangan klip. Terapi injeksi
epinefrin sebesar 1:10.000 pada 4 kuadran di sekitar lesi merupakan terapi
yang direkomendasikan untuk pasien pediatrik dengan perdarahan saluran
cerna. Namun, terapi ini diketahui memiliki tingkat efektivitas yang lebih
tinggi dalam menurunkan risiko perdarahan berulang (rebleeding) apabila
digunakan sebagai terapi kombinasi dengan terapi termal maupun mekanik.
Penggunaan termokoagulasi biasanya lebih disarankan pada perdarahan
yang disebabkan oleh kerusakan vaskuler. Sedangkan, penggunaan metode
mekanik khususnya endoklip dapat digunakan dalam berbagai jenis
perdarahan non-varises seperti ulkus Dielafoy dan dapat dipertahankan
hingga beberapa hari/minggu. Pada pasien dengan esofagitis erosiva, dapat
diberikan terapi menggunakan PPI maupun antagonis reseptor H2. Apabila
pada EGD tidak ditemukan sumber perdarahan, dapat dilakukan beberapa
pemeriksaan lain seperti enteroskopi, endoskopi kapsul, kolonoskopi, serta
bleeding scan. Pada perdarahan yang berhasil dihentikan menggunakan terapi
endoskopi tanpa kejadian perdarahan berulang dapat dipertimbangkan terapi
menggunakan penekan asam lambung (PPI atau antagonis reseptor H2) serta
eradikasi infeksi H. Pylori apabila terindikasi. Pada kondisi perdarahan yang
kembali berulang, endoskopi dapat kembali dilakukan. Apabila intervensi
menggunakan terapi endoskopi tidak dapat menghentikan perdarahan,
dapat dilakukan teknik angiografi dengan embolisasi. Tindakan operasi
merupakan opsi terakhir yang dapat dipertimbangkan apabila perdarahan
masif dan tidak dapat dihentikan.2-4, 7

Figur 1. Algoritma Tatalaksana Perdarahan Saluran Cerna Atas4

14 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Tatalaksana perdarahan saluran cerna bawah
Berbeda dengan pengobatan pada perdarahan saluran cerna atas, perdarahan
pada saluran cerna bawah lebih jarang menyebabkan perdarahan hebat
seperti pada perdarahan saluran cerna. Terapi pada perdarahan saluran
cerna bawah biasanya diberikan berdasarkan etiologi terjadinya perdarahan
(Tabel 2).

Tabel 2. Pilihan terapi pada perdarahan saluran cerna bagian bawah12

Etiologi Terapi
Kolitis Infektif
• Campylobacter dan Yersinia, E. coli, Antibiotik spesifik sesuai guideline
Salmonella, Shigella
• Clostridium difficile Metronidazol, oral vancomycin
• Giardia lamblia Metronidazol
• Amebiasis Metronidazol
Necrotizing enterocolitis (NEC) Antibiotik, apabila diperlukan operasi
Fisura Ani Modifikasi diet, pelunak feses, toilet training, gel
anestesi lokal
Hemoroid Ligasi, injeksi sklerosan, operasi
Polip Polipektomi
Divertikulum Merkel Eksisi bedah
Intususepsi Reduksi radiologis atau operasi
Alergi Susu Sapi Menghentikan konsumsi susu sapi dan penggantian
susu
Penyakit Hirschsprung dengan Antibiotik dan operasi
enterokolitis
Henoch Schönlein purpura Terapi suportif, steroid
Inflammatory Bowel Disease (IBD) Steroid dan imunosupresan
Hiperplasia limfonoduler Terapi suportif
Malformasi arteriovenosa Endoskopi / terapi angiografi, operasi

Untuk menentukan etiologi perdarahan secara cepat, beberapa


modalitas dapat digunakan dan bergantung pada kondisi anak. Pada anak
dengan manifestasi klinis yang cukup stabil dengan jumlah perdarahan yang
sedikit, pemeriksaan dapat dilakukan berdasarkan gejala yang ditunjukkan.
Sedangkan, pada anak dengan perdarahan klinis serta hemodinamik yang
tidak stabil, identifikasi sumber perdarahan perlu diidentifikasi segera setelah
stabilisasi pasien. Pada keadaan tersebut, modalitas proktosigmoidoskopi
menjadi pilihan pertama karena memiliki fungsi terapeutik sehingga
dapat menghentikan perdarahan dalam waktu yang cepat. Apabila
perdarahan berada pada bagian proksimal kolon, tindakan kolonoskopi
dapat menjadi pilihan. Apabila perdarahan tidak ditemukan menggunakan
proktosigmoidoskopi maupun kolonoskopi, modalitas lain seperti CT-scan,
Tc 99m RBC scan, angiografi, dan enteroskopi dapat dilakukan. Apabila
perdarahan masih tidak dapat diidentifikasi, dapat dilakukan enteroskopi
intraoperatif.12, 13

Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 15


Penilaian Airway, Breathing, dan Circulation

Perdarahan berlanjut dan parah


Hemodinamik tidak stabil

Pendarahan sedikit Pemasangan 2 kanul IV besar / akses sentral


Anak tampak stabil / baik
Penggantian cairan dengan cairan kristaloid

Pemeriksaan golongan darah, hematokrit,


trombosit, koagulogram, dan tes fungsi hati
Rencanakan pemeriksaan
berdasarkan manifestasi klinis Vitamin K

1. Tanda colitis – Analisa feses dan Penekan asam lambung (antagonis reseptor
kultur H2 atau PPI)
2. Curiga NEC, obstruksi, atau
intususepsi – Radiologi dan USG Pemasangan pipa nasogaster untuk
abdomen menyingkirkan Perdarahan saluran cerna atas
3. Perdarahan berulang dan
persisten – pertimbangkan Transfusi darah / FF plasma – jika terindikasi
Sigmoidoskopi / kolonoskopi
Pemantauan tanda vital secara berkala

Proktosigmoidoskopi
Sumber perdarahan
tidak ditemukan
Sumber Perdarahan
ditemukan
CT-scan
Tc 99m RBC scan
Tatalaksana sesuai kondisi
Sumber Angiografi
Perdarahan Enteroskopi
ditemukan
Sumber perdarahan
tidak ditemukan

Enteroskopi intraoperatif

Figur 2. Algoritma Tatalaksana Perdarahan Saluran Cerna Bawah12

Kesimpulan
Perdarahan saluran cerna pada anak dapat bermanifestasi dalam bentuk yang
beragam. Tingginya angka mortalitas menunjukkan pentingnya penguasaan
tatalaksana perdarahan saluran cerna. Pendekatan penanganan yang cepat
dan akurat dalam penanganan perdarahan saluran cerna dapat dilakukan
dengan mengkonfirmasi terjadinya perdarahan, mengatasi kegawatdaruratan
hemodinamik, menentukan lokasi perdarahan serta menetapkan diagnosis
penyebab perdarahan.

Daftar pustaka
1. Kadim M. Gastroinstestinal Bleeding in Pediatrics. Archives of Pediatric
Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition. 2022;1(2):28-36.
2. Novak I, Bass LM. Gastrointestinal Bleeding in Children: Current Management,
Controversies, and Advances. Gastrointest Endosc Clin N Am. 2023;33(2):401-
21.
3. Romano C, Oliva S, Martellossi S, Miele E, Arrigo S, Graziani MG, et al. Pediatric
gastrointestinal bleeding: Perspectives from the Italian Society of Pediatric
Gastroenterology. World J Gastroenterol. 2017;23(8):1328-37.
4. Owensby S, Taylor K, Wilkins T. Diagnosis and management of upper
gastrointestinal bleeding in children. J Am Board Fam Med. 2015;28(1):134-45.

16 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
5. Witting MD, Magder L, Heins AE, Mattu A, Granja CA, Baumgarten M.
ED predictors of upper gastrointestinal tract bleeding in patients without
hematemesis. The American journal of emergency medicine. 2006;24(3):280-5.
6. Tierradentro-Garcia LO, Freeman CW, Vuma M, Didier RA, Kaplan SL, Sze R,
et al. Neonatal gastrointestinal emergencies: a radiological review. Archives de
Pédiatrie. 2022;29(3):159-70.
7. Sur LM, Armat I, Sur G, Tisa IB, Bordea MA, Lupan I, et al. Practical Aspects
of Upper Gastrointestinal Bleeding in Children. J Clin Med. 2023;12(8).
8. Pai AK, Fox VL. Gastrointestinal Bleeding and Management. Pediatr Clin North
Am. 2017;64(3):543-61.
9. Davis AL, Carcillo JA, Aneja RK, Deymann AJ, Lin JC, Nguyen TC, et al.
American College of Critical Care Medicine Clinical Practice Parameters for
Hemodynamic Support of Pediatric and Neonatal Septic Shock. Crit Care Med.
2017;45(6):1061-93.
10. Singhi S, Jain P, Jayashree M, Lal S. Approach to a child with upper gastrointestinal
bleeding. Indian J Pediatr. 2013;80(4):326-33.
11. Boyle JT. Gastrointestinal bleeding in infants and children. Pediatr Rev.
2008;29(2):39-52.
12. Balachandran B, Singhi S. Emergency management of lower gastrointestinal
bleed in children. Indian J Pediatr. 2013;80(3):219-25.
13. Sahn B, Bitton S. Lower Gastrointestinal Bleeding in Children. Gastrointest
Endosc Clin N Am. 2016;26(1):75-98.

Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 17


Deteksi Dini dan Pencegahan Stunting pada
Pelayanan Primer
Aryono Hendarto
Departemen IKA FKUI-RSCM, Jakarta

W
orld Health Organization (WHO) memperkirakan 22,3% atau
148,1 juta anak di bawah 5 tahun mengalami stunting pada
tahun 2022. Wilayah Asia memiliki angka stunting tertinggi yaitu
sebanyak 79 juta anak (52,9%), terutama di Asia Tenggara (54,3 juta anak),
diikuti oleh Afrika 61,4 juta anak (41,1%) dan Amerika Latin 5,8 juta anak
(3,8%).1 Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 menunjukkan
prevalensi baduta dan balita dengan status pendek dan sangat pendek di
Indonesia mengalami penurunan dibandingkan Riskesdas sebelumnya.2
Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021 di 34 provinsi menunjukkan angka
stunting nasional juga menurun dibandingkan tahun 2019.3 Pemerintah
menargetkan penurunkan angka stunting pada anak di bawah usia sebesar
14% pada tahun 2024.4
Etiologi stunting beraneka ragam, namun secara garis besar dapat
disebabkan karena asupan kalori yang tidak adekuat, absorsi yang tidak
adekuat dan peningkatan metabolism. Penyebab asupan kalori tidak adekuat
antara lain gastroesofageal refluks, pasokan ASI tidak adekuat atau perlekatan
tidak efektif, penyiapan susu formula yang salah, gangguan mekanik dalam
menyusu (misal celah bibir/ langit-langit), penelantaran atau kekerasan anak
dan kebiasaan makan yang buruk. Selanjut penyebab absorsi yang tidak
adekuat adalah anemia, defisiensi beli, atresia bilier, penyakit celiac, gangguan
gastrointestinal kronis (misal irritable bowel syndrome), infeksi, fibrosis kistik,
kelainan metabolisme bawaan, alergi susu sapi, kolestasis, dan penyakit hati.
Sedangkan penyebab stunting akibat peningkatan metabolism antara lain-
Infeksi kronik (HIV-AIDS, tuberkulosis), kelainan jantung bawaan, penyakit
paru kronik (pada bayi dengan riwayat prematur), keganasan, gagal ginjal,
hipertiroid dan kondisi inflamasi (misal asma, inflammatory bowel disease).5

Dampak stunting
Secara umum stunting dapat berdampak negatif bagi tumbuh kembang
anak, dampak ini dapat terjadi dalam waktu dekat atau di masa depan.
Dalam jangka pendek stunting dapat menyebabkan pertumbuhan anak

18
terhambat, pertumbuhan otak terganggu, gangguan kognitif dan motorik
anak, gangguan metabolisme, dan ukuran fisik tubuh anak tidak berkembang
optimal sesuai usianya. Sedangkan akibat jangka panjang, stunting dapat
menyebabkan kapasitas intelektual anak yang berdampak pada menurunnya
konsentrasi belajar dan kesulitan memahami materi yang disampaikan di
sekolah, sehingga dapat mempengaruhi prestasi dan produktivitas belajar
saat dewasa, menurunnya imunitas/kekebalan tubuh, dan risiko mengalami
penyakit degeneratif.6

Diagnosis dan tata laksana stunting


Stunting merupakan perawakan pendek atau sangat pendek, yang disebabkan
kekurangan gizi kronik. Stunting umumnya berhubungan dengan status
sosioekonomi rendah, asupan nutrisi dan kesehatan ibu yang buruk, riwayat
sakit berulang dan praktik pemberian makan pada bayi dan anak yang tidak
tepat. Diagnosis stunting ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pengukuran antropometrik. Untuk menegakkan diagnosis stunting
digunakan kurva WHO child growth standard tahun 2006 yang merupakan
baku emas pertumbuhan optimal seorang anak. Seorang anak dikatakan
stunting bila panjang/tinggi badan menurut usia kurang dari -2 Standar
Deviasi (SD) pada kurva pertumbuhan WHO tersebut.
Tatalaksana stunting tergantung di fasilitas kesehatan tingkat mana
petugas kesehatan tersebut bertugas. Pada tahun 2022 Kementrian Kesehatan
RI telah menerbitkan Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK)
tentang tata taksana stunting.7

Deteksi dini dan pencegahan stunting


A. Deteksi Dini Stunting
Salah satu dampak malnutrisi kronik pada anak adalah gangguan tumbuh
kembang yang diawali dengan kondisi yang disebut dengan gangguan
pertumbuhan atau dalam istilah internasional dikenal sebagai growth
faltering. Seperti diketahui petumbuhan anak direkognisi dengan 3 parameter
pertumbuhan utama yaitu berat badan, panjang/tinggi badan dan lingkaran
kepala. Gangguan pertumbuhan (growth faltering) mencakup gangguan
penambahan berat badan (weight faltering), gangguan pertumbuhan linier
(length/height faltering) dan gangguan penambahan lingkar kepala ( head
circumference faltering). Secara sikuensial maka dampak malnutrisi kronik
dimulai dengan terjadinya weight faltering sampai gizi buruk, gangguan
penambahan panjang/tinggi badan sampai dengan stunting dan tidak
bertambahnya lingkaran kepala yang berakhir dengan kondisi yang disebut
dengan mikrosefal.
Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 19
Sesuai dengan definisi stunting yaitu perawakan pendek akibat
malnutrisi kronik, maka deteksi dini stunting dilakukan dengan
mengidentifikasi growth faltering sehingga malnutrisi kronik tidak terjadi.
Apabila malnutrisi sudah terjadi, apalagi dalam keadaan malnutrisi berat
maka kemungkinan terjadinya stunting makin tinggi dan upaya untuk
mengoreksi stunting menjadi lebih sulit. Bahkan pada anak dengan usia di
atas 2 tahun probabilitas stunting terkoreksi menjadi lebih kecil dan lebih
sulit. Penelitian menunjukkan penanganan stunting dengan intervensi nutrisi
tidak selalu berhasil, maka tindakan pencegahan menjadi aspek yang penting
dalam penangan stunting
Seperti telah diuraikan di atas perjalanan klinis stunting selalu diawali
dengan keadaan kenaikan berat badan anak yang tidak memuaskan (wight
falterinering). Oleh karena itu konsep pencegahan stunting pada pelayanan
primer adalah dengan mengidentifikasi sedini mungkin weith faltering dan
kemudian melakukan upaya koreksi sehingga malnutrisi tidak terjadi.
Weight faltering merupakan hal yang sering ditemukan di fasilitas
layanan kesehatan primer. Weight faltering penting untuk dikenali karena
mungkin merupakan gambaran dari masalah medis atau sosial yang
mendasarinya. Selain itu, weight faltering yang berlangsung lama, dapat
menyebabkan konsekuensi jangka panjang terhadap pertumbuhan dan
perkembangan anak tersebut
Dua orang peneliti dari Amerika dan Inggris yaitu Andrew J.
Prendergast dan Jean H. Humphrey memperkenalkan konsep sindrom
stunting . Terkait dengan respon intervensi keduanya menyatakan seribu hari
pertama kehidupan merupakan masa paling responsif terhadap intervensi.8

WEIGHT FALTERING

DEFINISI
Weight faltering lebih menggambarkan pola penurunan berat badan
dibandingkan sebagai diagnosis. Kondisi ini untuk melukiskan varian
normal pada anak-anak yang mempunyai masalah serius dalam kenaikan
berat badan. Dalam praktik klinis weight faltering direkognisi sebagai berat
badan yang memotong 2 persentil mayor di bawahnya.7

DETEKSI
Weight faltering dikonfirmasi melalui pengukuran yang akurat dan
interpretasi dari hasil pengukuran tersebut. Penting untuk dicatat bahwa
identifikasi weight faltering bergantung pada pengukuran pertumbuhan
yang akurat, diambil dari waktu ke waktu, bukan hanya satu kali pengukuran
saja.

20 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Weight faltering biasanya terdeteksi karena adanya kekhawatiran dari
orangtua maupun anggota keluarga lainnya mengenai pertumbuhan anak.
Biasanya, orangtua akan mengatakan bahwa anaknya lebih kecil atau lebih
pendek dari teman-teman seusianya. Selain itu, weight faltering juga dapat
ditemukan saat kunjungan berkala oleh tenaga kesehatan. Weight faltering
juga dapat dilihat di layanan kesehatan primer saat pemeriksaan fisik
walaupun keluhan utama pasien bukan mengenai pertumbuhan pasien.
Mengingat hal tersebut, merupakan hal yang penting untuk mengukur berat
badan dan tinggi badan secara akurat, serta menge-plot secara tepat. Tidak
hanya pengukuran saat itu, pengukuran sebelumnya juga penting untuk
identifikasi weight faltering.7,9

PENYEBAB WEIGHT FALTERING


Penelitian menunjukkan penyebab weight faltering biasanya multifaktorial.
Berikut ini adalah beberapa faktor yang berperan mengakibatkan weight
faltering.10

1. Penyakit Organik
Dua studi berbasis populasi di Inggris menemukan penyakit organik
yang substansial hanya pada 5-10% anak dengan pertambahan berat
badan yang lambat. Pada beberapa anak bisa saja tanpa gejala, sehingga
diagnosis yang menjadi penyebab weight faltering sulit ditegakkan.
Beberapa penyakit organik yang dapat menjadi penyebab weight faltering
antara lain leukemia, defisiensi besi, gagal ginjal, ketidakseimbangan
elektrolit, gangguan tiroid, TB paru, dan infeksi saluran kemih.10

2. Status Sosioekonomi dan Edukasi


Weight faltering dilihat secara tradisional sebagai manifestasi dari
kemiskinan, hal ini terjadi terutama di negara tergolong miskin.
Penelitian berbasis populasi yang dilakukan di Inggris menunjukkan
bahwa terjadinya weight faltering tidak berhubungan dengan status
sosioekonomi rendah, pendidikan yang rendah. Mungkin hal ini
dikarenakan program jaminan sosial yang sudah berjalan baik di negara
tersebut. Penelitian tersebut juga mengidentifikasi anak-anak dengan
kenaikan berat badan yang lambat sudah terjadi sejak masa masa bayi.10

3. Penelantaran (Child neglect)


Penelantaran anak diduga menjadi salah satu penyebab terjadinya weight
faltering. Namun demikian dalam studi kohort terhadap 97 anak dengan
weight faltering hanya 5% anak yang terbukti mengalami penelantaran.10

Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 21


4. Kesulitan makan (Feeding/Eating difficulties)
Beberapa studi observasional menunjukkan bahwa feeding difficulties
atau kesulitan makan, seperti nafsu makan rendah, sulit mengisap, dan
sulit menyapih berkaitan dengan penurunan berat badan. Dua studi
kasus kontrol memperlihatkan perbedaan terkait perilaku pemberian
makan ibu. Contohnya, anak yang mengalami weight faltering cenderung
memiliki interaksi positif yang lebih sedikit selama proses pemberian
makan. Penelitian menunjukkan kesulitan makan tampaknya merupakan
faktor tersering sebagai penyebab terjadinya weight faltering.10

5. Depresi pada Ibu


Satu studi kasus kontrol menemukan hubungan antara weight
faltering dan depresi pada ibu, namun demikian beberapa penelitian
lain mendapatkan hasil sebaliknya. Ikatan antara anak dan orangtua
memiliki pengaruh terhadap kesehatan fisik dan mental anak, yang
selanjutnya dapat mempengaruhi pertumbuhan anak. Penelitian lain
menunjukkan bahwa pengaruh depresi ibu terhadap terjadinya wight
faltering pada anak bersifat sementara ( kurang lebih 12 bulan). Hal ini
masih merupakan kontroversi dan perlu banyak penelitian lebih lanjut.10

6. Bervariasi Tergantung Usia


Studi populasi pada anak-anak dengan weight faltering menemukan
bahwa di dua minggu pertama kehidupan, weight faltering berhubungan
dengan faktor perinatal seperti kelahiran prematur dan kebiasaan ibu
merokok, sedangkan di usia yang lebih tua, weight faltering lebih terkait
dengan penyakit organik dan masalah makan.10

Mengingat penyakit organik ditemukan hanya pada 5% dan


penelantaran anak hanya sedikit sebagai penyebab weight faltering, maka
anamnesis dan pemeriksaan yang cermat penting dalam upaya untuk
mencari faktor-faktor penyebab. Selain itu, perlu juga diidentifikasi faktor
yang berkontribusi terhadap kasus weight faltering yang bersifat intrinsik,
seperti hambatan pertumbuhan intrauterin, berat badan lahir rendah,
pertumbuhan konstitusional, dan faktor potensi genetik. Berbagai faktor
psikososial juga dapat berkontribusi terhadap kejadian weight faltering.
Kesehatan mental orangtua, termasuk depresi dan kecemasan pasca kelahiran
serta penyalahgunaan zat merupakan faktor penting, sama pentingnya
dengan kemisikan dan parental isolation. Faktor-faktor tersebut dapat
ditemukan secara terpisah, namun terkadang saling tumpang tindih.11

22 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
B. Pencegahan stunting
Pencegahan stunting di fasilitas kesehatan primer merupakan pencegahan
sekunder yang dilakukan oleh dokter di fasilitas kesehatan tingkat
primer. Tugas dokter di fasilitas kesehatan primer adalah memastikan
(mengonfirmasi) hasil pengukuran antropometrik sebelumnya dilakukan
oleh kader di posyandu. Disamping itu dokter pelayanan primer juga
melakukan identifikasi apa yang merupakan penyebab potensial terjadinya
stunting.
Bila ditemukan anak yang mempunyai berat badan kurang/rendah ,
weight faltering atau gizi kurang namun dari pemeriksaan antropometri tidak
mengalami stunting (PB/U atau TB/U ≥-2 SD), maka pada anak seperti ini
dapat diberikan nutrisi yang tergolong Pangan untuk Keperluan Diet Khusus
(PDK) sesuai indikasi. Dapat pula dikombinasi atau diberikan pangan padat
energi yang mempunyai komposisi gizi yang memenuhi persyaratan PDK
dan terbukti secara ilmiah. Tujuan pemberian pangan di atas adalah dalam
rangka mengoreksi gangguan gizi yang terjadi sedini mungkin sehingga
gangguan gizi tidak berlanjut menjadi gangguan gizi berat yang dapat
berdampak terjadinya stunting. Di dalam PDK ini terdapat kelompok pangan
olahan yang disebut dengan Pangan Olahan untuk Keperluan Gizi Khusus
(PKGK). Formula yang termasuk kelompok ini adalah susu formula standar
untuk bayi usia 0-12 bulan dan susu pertumbuhan untuk anak usia 1-3 tahun.
Perlu diperhatikan bahwa pemberian PDK ini harus dengan resep dokter
dan penggunaannya di bawah pengawasan dokter di FKTP.7
Seperti diketahui kebutuhan energi pada anak-anak dengan gizi kurang
meningkat sesuai dengan laju pertambahan berat badan selama masa kejar
tumbuh (catch-up growth). Dengan demikian harus dipastikan asupan
nutrisi (nutrition intake) minimal mengandung 30% lemak dan 10-15%
protein. Disamping itu 4.5% dari total kebutuhan energi anak gizi kurang
harus mengandung n-6 polyunsaturated fatty acids (PUFAs) dan 0.5% dari
n-3 PUFAs, dengan rasio asam linoleic/alpha-linolenic berkisar antara 5-15.
Untuk mengetahui apa yang menjadi penyebab stunting perlu dilakukan
pemeriksaan penunjang dasar seperti pemeriksaan darah rutin, urinalisis,
feses rutin dan uji Mantoux untuk mengelaborasi kemungkinan infeksi
tuberkulosis. Jika teridentifikasi ada penyebab medis atau komplikasi yang
mendasari misalnya penyakit maka perlu dilakukan rujukan ke FKRTL
setelah dilakukan edukasi kepada keluarga tentang penilaian pertumbuhan
anak dan alasan mengapa anak harus dirujuk.
Mengingat FKTP juga melakukan pelayanan kesehatan maka
pencegahan stunting juga dilakukan dengan mengidentifikasi sedini
mungkin terjadinya weight faltering dengan secara berkala memantau
parameter pertumbuhan utama anak yaitu berat badan, panjang badan/
tinggi badan, dan lingkaran kepala. Namun, oleh karena parameter pertama

Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 23


yang terdampak bila terjadi malnutrisi adalah berat badan, maka parameter
berat badan menjadi perhatian awal. Hal penting lain yang harus mendapat
perhatian adalah pengukuran berat badan panjang/tinggi badan dan
lingkaran kepala harus dilakukan secara benar dan menggunakan alat ukur
yang sahih.12,13
Pemantauan adanya weight faltering dapat dilakukan dengan
menimbang secara berkala berat badan anak, kekerapan penimbangan berat
badan dapat merujuk pada Peraturan Menteri Kesehatan No 66 tahun 2014
tentang Pemantauan Pertumbuhan, Perkembangan dan Gangguan Tumbuh
Kembang Anak.14 Di dalam peraturan tersebut, pemantauan pertumbuhan
anak dilakukan dengan mengukur berat badan tiap bulan dan panjang
badan tiap tiga bulan untuk anak usia 0 (nol) sampai dengan usia 72 bulan.
Sementara itu, berdasarkan rekomendasi dari National Institute for Health
and Care Excellence (NICE), pemantauan di layanan primer dilakukan
seperti di bawah ini:11
• <1 bulan : setiap hari
• 1 – 6 bulan : setiap minggu
• 6 – 12 bulan : setiap dua minggu
• ≥ 1 tahun : setiap bulan

Penilaian klinis
Dokter yang bekerja di FKTP diharapkan dapat menegakkan diagnosis
penyebab weight faltering dengan akurat melalui anamnesis dan pemeriksaan
fisik. Diagnosis yang akurat akan menentukan pilihan tata laksana tepat
untuk pasien. Anamnesis pasien meliputi status nutrisi, tanda-tanda anemia,
serta diikuti dengan pemeriksaan sistematis menyeluruh, terutama untuk
mencari tanda kelainan di sistem gastrointestinal, respirasi, kardiovaskular,
dan endokrin.
Dalam anamnesis pasien, harus diperhatikan usia pasien dan tipe
makanan atau diet yang saat itu sedang dikonsumsi. Untuk bayi yang masih
minum ASI eksklusif, riwayat makannya akan fokus pada frekuensi menyusui
dalam sehari, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk sekali menyusui,
dan apakah ada susu formula yang dikonsumsi anak. Tidak hanya itu, gejala
gastrointestinal, seperti refluks dan kembung juga harus ditanyakan untuk
anak usia tersebut.11

Rujukan ke fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut (FKRTL)


Pada beberapa kasus weight faltering tidak dapat di tangani di FKTP maka
perlu dirujuk ke FKRTL untuk mengelaborasi lebih lanjut kemungkinan
penyebab dan tata laksana yang lebih paripurna.
Di bawah ini indikasi untuk merujuk anak dengan weight faltering ke
FKRTL:7,11,

24 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Tabel 2. Faktor risiko neurotoksisitas akibat hiperbilirubinemia.17
Faktor risiko
Usia gestasi <38 minggu dan risiko meningkat sejalan dengan derajat prematuritas
Albumin <3 g/dL
Penyakit hemolitik atau defisiensi G6PD
Sepsis
Instabilitas yang signifikan dalam 24 jam terakhir

y Weight faltering menetap walaupun sudah diberikan intervensi di FKTP


dengan intervensi nutrisi yang adekuat.
y Ditemukan kondisi klinis yang mengindikasikan bahwa kondisi weight
faltering tersebut merupakan sesuatu yang sekunder dari penyakit
tertentu.
y Weight faltering derajat berat atau terjadi pada bayi dan anak balita.

Ringkasan
Stunting merupakan masalah kesehatan nasional yang dapat berdampak
jangka pendek dan jangka panjang terhadap pertumbuhan anak. Koreksi
stunting mempunyai prognosis paling baik bila dilakukan sebelum anak
berusia 2 tahun. Mengingat tata laksana stunting tidak selalu berhasil
mengoreksi tinggi badan anak sesuai potensi tinggi genetiknya, maka upaya
pencegahan menjadi aspek yang sangat penting. Upaya pencegahan stunting
di FKTP meliputi deteksi dini stunting dengan merekognisi adanya weight
faltering dan melakukan koreksi weight faltering menggunakan Pangan
olahan untuk Keperluan Diet Khusus(PDK) dan atau Pangan olahan untuk
Keperluan Gizi khusus (PKGK). Untuk mengidentifikasi weight faltering
sedini mungkin berat badan anak harus ditimbang secara berkala yang
kekerapannya berdasarkan pada panduan yang berlaku.

Daftar pustaka
1. UNICEF/WHO/World Bank Group – Joint Child Malnutrition Estimates 2023
edition
2. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Riset Kesehatan Dasar tahun 2018.
3. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Studi Status Gizi Indonesia Tingkat
Nasional,Propinsi dan Kabupaten/Kota Tahun 2021.
4. Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 72 Tahun 2021 Tentang Perecepatan
Penurunan Stunting.
5. WHO. Childhood Stunting: Context, Causes and Consequences, 2013.
6. Soliman A , De Sanctis V , Alaaraj N , Ahmed S , Alyafei F , Hamed N , Soliman
N. Early and Long-term Consequences of Nutritional Stunting: From Childhood
to Adulthood. Acta Biomed 2021;92:1-11.

Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 25


7. Kementrian Kesehatan. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia.
No. HK.01 .07/ MENKES/ 1928/2022.Tentang Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran Tata laksana Stunting.
8. Prendergast AJ, Humphrey JH. The stunting syndrome in developing countries.
Paediatrics and International Child Health 2014;34:250-65.
9. Onyango AW, Borghi E, de Onis M, Frongillo EA, Victora CG, Dewey KG, et
al. Successive 1-month weight increments in infancy can be used to screen for
faltering linear growth. J Nutr 2015;145(2): 2725-2731.
10. Shields B. Weight faltering and failure to thrive in infancy and early childhood.
BMJ 2012;345:e5931
11. Roche E, Shrestha B. Faltering growth. InnovAiT 2017;10(12): 734–739.
12. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan No
2 Tahun 2020 tentang Standar Antropometri Anak
13. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan No.
HK.01.07/MENKES/1919/2022 Tentang Perubahan Kedua Atas Keputusan
Menteri Kesehatan No.HK.01.07/MENKES/1182/2022 Tentang Standar Alat
Antropometri Dan Alat Deteksi Dini Perkembangan Anak
14. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan No.66
Tahun 2014 Tentang Pemantauan Pertumbuhan, perkembangan Dan gangguan
Tumbuh Kembang Anak.

26 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Waspada Kegawatdaruratan Saluran Cerna
dari Pencitraan
Evita karianni Bermanshah Ifran

K
egawatdaruratan saluran cerna pada anak dapat bermanifestasi
sebagai gejala abdomen akut. Adanya muntah bilious (berwarna
hijau) atau non-bilious pada minggu pertama kehidupan neonatus
perlu dicurigai terdapat obstruksi pada saluran cerna atas. Penting
ditanyakan warna muntah, karena dari warna muntah dapat diperkirakan
lokasi obstruksi berada di atas ampulla vater, muntah yang terjadi akan non-
bilous; atau obstruksi berada di bawah ampulla vater, muntah akan bilious
atau berwarna hijau, karena bercampur dengan cairan empedu. Apabila
obstruksi terletak di saluran cerna bawah gejala yang timbul dapat berupa
terlambat keluarnya mekonium, kembung, atau ganguan defekasi. Bila telah
berlangsung lama gejala tersebut dapat disertai dengan muntah.
Pada neonatus khsusunya bayi prematur, sering terjadi muntah yang
disebabkan gastroesofageal refluks (GER) akibat masih lemahnya katup
esofagus distal, atau timbul muntah sebagai salah satu gejala alergi susu sapi.
Keadaan ini tidak memerlukan tindakan bedah. Selain itu mekonium yang
terlambat keluar dapat menyebabkan gejala kembung akibat mekonium
plak, yang juga tidak memerlukan tindakan bedah. Keadaan tersebut
harus ditentukan apakah merupakan kasus medis yang hanya memerlukan
pengobatan medikamentosa atau merupakan kasus bedah yang memerlukan
tindakan operasi segera.
Penyebab bedah gangguan saluran cerna akut pada neonatus dapat
disebabkan obstruksi saluran cerna atas, seperti atresia esofagus, atresia/
stenosis duodeni, volvulus lambung, malrotasi usus, atau disebabkan
obstruksi saluran cerna bawah, seperti atresia ileum, mikrokolon, penyakit
Hirschsprung. Pada anak kurang dari 2 tahun penyebab tersering adalah
intususepsi, stenosis pilorik hipertropi, hernia inkarserata, malrotasi dan
midgut volvulus. Apendisitis kadang dapat terjadi pada kelompok usia ini.
Beberapa keadaan lain juga dapat menimbukan gejala abdomen akut (tabel
1).
Pada anak lebih besar, abdomen akut biasanya datang dengan keluhan
nyeri perut, dan merupakan keluhan yang menyebabkan orangtua membawa
anaknya ke doker. Diferensial diagnosis nyeri perut akut pada anak

27
tergantung usianya. Perlu dilakukan anamnesis yang lengkap, pemeriksaan
fisis yang detail, demikina pula pemeriksaan pencitraan abdomen untuk
mempersempit dianosisn diferensial agar diagnosis dapat sagera ditegakkan
dan tindakan dilakukan pada waktunya.(tabel 2)1

Tabel 1. Etiologi abdominal akut

Obstruksi gastrointestinal Obstruksi Penyakit yang


letak tinggi gastrointestinal didapat
letak rendah
Atresia esofagus Atresia ileum Enterokolitis nekrotikan (EKN)
Atresia duodenum Ileus mekonium Stenosis pilorus hipertropi (SPH)
Duodenal web Mekonium plak Hernia inguinalis inkarserata
Anulare pankreas Mikrokolon Intususepsi
Malrotasi usus Penyakit Hirschsprung Gastroenteritis
Atresia jejunum Atresia ani Sepsis
Perforated stress ulcus
Torsio ovarium

Tabel 2. Diagnosis diferensial nyeri perut berdasarkan usia1

< 2 than 2-5 than 5-12 than > 12 than


Kolik infantil Gastroenteritis Gastroenteritis Apendisitis
Gastroenteritis Apendisitis Apendisitis Gastroenteritis
Konstipasi Konstipasi Konstipasi Konstipasi
UTI ISK Nyeri fungsional Dismenorrhoe
Volvulus Intususepsi ISK Mittrzleschme
Hernia inkarserata Volvulus Trauma Pelvic Inflammatory
Disease
Penyakit Hirschsprung Trauma Faringitis Imminent abortion
Faringitis Pneumonia Kehamilan ektopik
Krisis Sickle Cell Krisis Sickle Sell Torsio ovarium/testis
Henoch-Schonlein Purpura
Adenitis mesenterium

Nyeri perut akut dapat disebabkan oleh kasus bedah atau non-bedah.
Nyeri perut akut umumnya ringan dan akan menghilang sendiri. Pada
kasus non-bedah biasanya disebabkan diare, konstipasi atau infeksi virus.
Walaupun demikian, nyeri perut akut dalam jumlah kecil dapat disebabkan
kelainan yang memerlukan tindakan bedah segera dan dapat mengancam
jiwa. Sayangnya, pada fase awal sering kali gejalanya masih ringan dan
tidak spesifik. Diperlukan anamnesis yang teliti dan pemeriksaan fisik yang
cermat. Adanya muntah bilious mengarah pada obstruksi saluran cerna
atas, adanya current jelly stool mengarah pada kelainan pada saluran cerna
bawah, dikenal dengan intususepsi.2

28 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Merupakan tantangan bagi dokter untuk dapat mengidentifikasi kasus
mana yang memerlukan tindakan badah dan berpotensi menyebabkan
kematian bila tidak segera ditangani dengan tepat pada waktunya. Berbeda
dengan dewasa, pada anak, khususnya anak kecil atau bayi, merupakan
dilema, karena sering anak belum dapat menjelaskan dengan baik nyeri perut
yang dirasakannya. Diperlukan anamnesis yang lengkap, pemeriksaan fisik
yang teliti, kadang diperlukan pemeriksaan darah, untuk dapat menentukan
apakah nyeri perut pada anak tersebut merupakan kasus non-bedah
atau bedah, yang memerlukan operasi segera. Penyebab nyeri perut akut
bergantung dari usia anak dan gejala klinisnya. Pada kelompok ini anamnesis
sangat berperan. Antara lain menanyakan kapan timbulnya gejala, sudah
berapa lama gejala tersebut timbul, keadaan apa yang menimbulkannya,
adakah muntah, atau didahului dengan keluhan kembung, konstipasi, atau
diare, adakah darah pada feses. dan apakah disertai demam. 1,2
Pada anak yang lebih besar dapat ditanyakan dimana lokasi
nyerinya di perut. Bila mungkin anak diminta menunjukkan lokasinya
sendiri, nyeri menetap atau berpindah tempat. Bagaima sifat nyeri
itu, apakah seperti menusuk-nusuk, nyeri tumpul, kolik. Berapa berat
nyeri yang dirasakannya. Apakah nyeri timbul pertama kali atau sudah
pernah terjadi sebelumnga. Timbul mendadak atau bergelombang.
Apakah disertai gejala lain selain nyeri perut seperti muntah, diare
atau konstipasi, atau terdapat riwayat trauma sebelumnya.

Modalitas pencitraan
Pemeriksaan pencitran berperan dalam menegakkan diagnosis kelainan
pada kegawatdarautan. Tujuan pemeriksaan pencitraan adalah untuk
mempersempit diagnsosis banding. Menentukan apakah merupakan kasus
bedah atau non-bedah.
Pemeriksaan pencitran merupakan penunjang diagnostik yang tidak
dapat terpisah dari masalah pada saluran cerna. Ada beberapa pemeriksaan
pencitran yang dapat dilakukan untuk membantu menyingkirkan atau
mengakkan diagnosis kelainan pada saluran cerna. Pemeriksaan pencitraan
yang dapat digunakan :

1. Foto Polos Abdomen


Foto polos abdomen masih merupakan pemeriksaan pencitraan awal yang
sering dilakukan. Dari gambaran yang terlihat dapat dibedakan adanya
obstruksi saluran cerna atas atau bawah. Perlu diperhatikan usia saat
pengambilan foto. Pengambilan foto pada usia dini akan memperlihatkan

Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 29


distribusi udara usus belum mencapai distal yang merupakan gambaran
normal, karena pada usia < 12 jam udara usus belum mencapai rektum. Hal
ini jangan disalahartikan sebagai obstruksi saluran cerna bawah. Hal lain
yang harus dipertimbangkan adalah gambaran lambung yang melebar sering
ditemukan pada neonatus yang mendapatkan tindakan resusitasi aktif/CPAP
pada saat lahir (disebut CPAP belly syndrome). Jangan disalahartikan sebagai
obstruksi lambung pada foto abdomen yang dilakukan pada bayi baru lahir
dengan tindakan resusitasi aktif atau menggunakan CPAP. Gambaran ini
biasanya akan menghilang sendiri beberapa waktu kemudian.

2. Pemeriksaan khusus dengan fluoroskopi dan zat kontras


Foto polos abdomen dan pemeriksaan fluoroskopi dengan menggunana
kontras masih memegang peranan panting untuk menegagkkan diagnosis
bahkan dapat juga sebagai terapeutik. Pada keadaan tertentu seperti
adanya obstruksi parsial diperlukan pemeriksaan khsusus menggunakan
fluoroskopi dan zat kontras. Pemeriksaan ini berbeda dengan foto polos
abdomen yang merupakan pemeriksaan statis, fluoroskopi merupakan
pemeriksaan dinamis, selain dapat melihat anatomi saluran cerna juga
dapat melihat pergerakannya untuk menilai fungsi atau patennya saluran
cerna. Meskipun fluoroskopi sebelumnya berperan sebagai modalitas
pencitraan yang penting dalam penilaian obstruksi usus halus pada anak,
penggunaannya pada populasi anak-anak, dibandingkan dengan neonatus,
jauh lebih terbatas. Dalam keadaan akut, fluoroskopi umumnya digunakan
untuk mereduksi intususepsi atau untuk menilai kemungkinan malrotasi.3
Kelemahan pemeriksaan ini memberikan radiasi yang besar.

3. Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi (USG) tidak melibatkan radiasi pengion dan, tidak seperti
pencitraan magnetic resonance imaging (MRI), harganya relatif murah,
tersedia secara luas, dan tidak memerlukan sedasi. Keuntungan utama lain
dari USG dalam pencitraan perut adalah memungkinkan penilaian dinamis
peristaltik usus dan kompresibilitas.
Pemeriksaan USG belakangan ini sering dilakukan menggantikan
pemeriksaan khusus dengan zat kontras. Perlu diingat bila pada USG tidak
ditemukan kelainan, namun bila secara klinis anak tidak membaik, terdapat
dugaan kuat adanya obstruksi saluran cerna, anak tetap muntah, dan berat
badan tidak naik, pemeriksaan khusus dengan zat kontras harus dilakukan.
Penelitian yang dilakukan oleh Hajalioghli dkk. (2020)4 menunjukkan pada
kecurigaan adanya obstruksi saluran cerna,penggunaan kombinasi foto
polos abdomen dan ultrasonografi meningkatkan sensitivitas dan negative
predicvtive value diagnostik. Sensitivitas, spesifisitas, positive predictive value
dan negative predictive value pada foto abdomen masing-masing 87,5%, 75%,

30 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
94,6% dan 54,6%, bila dengan USG masing-masing 95%, 100%, 100%, and
80%. Bila kombinasi foto abdomen dan USG menjadi 97.5%, 100%, 100%
and 88.9%.. Dengan meningkatnya pengalaman ultrasonografi, semakin
membaiknya resolusi gambar alat USG, modalitas ini harus dipertimbangkan
sebagai prosedur samping tempat tidur pertama ketika mencurigai adanya
obstruksi saluran cerna bagian atas, dan kemudian dikonfirmasi dengan
radiogram.

4. Pemeriksaan Computerized Tomography (CT) Scan


Pemeriksaan ini hanya dilakukan atas indikasi yang jelas karena CT scan
memberikan radiasi yang sangat besar dan memberi risiko radiasi pada anak.
Meskipun USG dapat digunakan untuk pencitraan awal, namun CT scan
merupakan modalitas pencitraan alternatif yang penting, karena penilaian
yang lebih baik terhadap lokasi obstruksi usus, perubahan inflamasi kuadran
kanan bawah yang terkait, dan kemungkinan abses para-appendiceal.

5. Magnetic Resonance Imaging (MRI).


Walaupun tidak memberikan radiasi dan dapat memberikan gambaran lebih
detail, di sebagian besar unit gawat darurat, penggunaan pencitraan MRI
sebagai modalitas utama untuk evaluasi anak dengan nyeri perut masih
tidak praktis dalam penggunaan sehari-hari, karena biayanya yang mahal,
ketersediaannya yang terbatas, dan seringnya kebutuhan akan obat penenang
CT scan atau MRI abdomen walaupaun belakangan ini semakin sering
digunakan, khusunya pada kasus apendisitis yang meragukan, atau melihat
komplikasi yang terjadi. Pemeriksaan ini kurang disukai, karena CT scan
abdomen memberikan radiasi yang tinggi pada anak, dan ketersedian MRI
abdomen yang masih terbatas serta memerlukan sedasi. American Academy
of Pediatric menyatakan tidak diperlukan evaluasi rutin pemeriksaan CT
scan abdomen pada apendisitis. Demikian pula American College of Surgeon
menyatakan untuk tidak melakukan CT scan abdomen untuk evaluasi dugaan
apendisitis pada anak-anak sampai ultrasnonografi telah dilakukan.

A. Kelainan saluran cerna tersering yang membutuhkan


pemeriksaan encitraan
1. Atresia esofagus
Atresia esophagus adalah kelainan bawaan dimana pemisahan esophagus
dari trakhea pada usia kehamilan 4-8 minggu tidak terjadi dengan sempurna,
sehingga bagian atas esofagos tidak berhungan dengan bagian bawah
esofagus dan lambung. Diagnosis umtumnya ditegakkan dalam 24 jam

Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 31


pertama, bahkan bisa diketahui sejak intrauterin pada USG fetomaternal.
Kecurigaan terdapat atresia esofagus bila neonatus hipersalivasi, saliva
keluar berbusa, tersedak saat minum, sianosis, dan sesak akibat aspirasi
serta pipa orogastrik tidak datar masuk. Terdapata riwayat ibu dengan
polihidroamnion, Pada 33% atresia esofagus dengan fistel distal dan 100%
pada atresia esophagus tanpa fistel ditemukan riwayat ibu polihidramnion.5
Terdapat 5 tipe atresia esophagus.5,6

Gambar 1. Atresia Esofagus (AE) tanpa dan dengan fistel: Tipe A (8-9%) AE sejati tanpa fistel proksimal
maupun distal, Tipe B (2%): AE dengan fistel dari kantung esofagus proksimal ke trakea, Tipe C (82-86 %): AE
dengan fistel dari trakea ke bagian esofagus distal. Tipe D (2%): AE dengan fistel dari bagian proksimal dan
distal esofagus ke trakea, Tipe E (6%): Fistula esofagus ke trakea tanpa adanya AE.5,6

Pemeriksaan pencitran dan gambaran yang terlihat:


y Foto Torakoabdomen AP: Pada neonatus dengan kecurigaan terdapat
atresia esofagus dilakukan pemeriksaan foto torakoabdomen untuk
melihat letak atresia dan ada tidaknya fistel trakeoesofagus. Sebelum di
foto dipasang sonde lambung sejauh yang dapat dicapai sampai sonde
tidak data masuk lagi. Biasanya sonde akan melingkar di dalam kantung
esofagus yang buntu sehingga dapat diperkirakan letak esofagus yang
buntu (atresia). Berdasarkan ada tidaknya udara di dalam lambung dapat
diperkirakan tipe atresia esofagus. Bila pada foto torako-abomen terlihat
udara di dalam lambung, menunjukkan terdapat fistel trakeo-esofagus
yaitu tipe C atau D (Gambar 1) .5,6

Hal yang harus diperhatikan setelah tindakan operasi adalah mengawasi


kemungkinan terjadinya komplikasi: yang utama selama periode pasca
operasi adalah terjadinya kebocoran dan stenosis pada anastomosis,
gangguan gastro-esofagus, dismotilitas esofagus, kekambuhan fistula,
gangguan pernafasan, dan kelainan bentuk dinding dada. Seringkali bayi
hilang dari pemantauan. Perlu diingtakn bayi agar tetap kontrol setelah
operasi.

32 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
2. Volvulus lambung
Neonatus dengan gejala muntah pada hari-hari pertama kehidupan harus
dicurigai terdapat obstruksi saluran cerna bagian atas. Bila muntahnya non-
bilious, diperkirakan obstruksi pada jalan keluar lambung (gastric outlet)
atau onbstruksi terletak di atas ampulla vater. Bila muntahnya bilious ,
obstrujsi tarletak di bawah amputa vater.
Neonatus dengan muntah non-bilious dapat disebabkan volvulus
lambung, yaitu terpuntirnya lambung. Biasanya, lambung relatif terfiksasi
di rongga peritoneum pada persimpangan esofagogastrik, dengan empat
ligamen tambahan: (1) gastrohepatik, (2) gastrosplenik, (3) gastrokolik, dan
(4) gastrofrenia. Pada volvulus terjadi rotasi lambung lebih dari 180 derajat,
bila mengikuti sumbu panjang lambung disebut volvulus organoaksial, bila
mengikuti sumbu melintang disebut volvulus mesenteroaksial. (Gambar
2). Volvulus dapat menyertai malrotasi midgut dan dapat juga ditemukan
pada anak (didapat).

3. Stenosi pilorus hipertropi (SPH)


Penyebab tersering obstruksi pada gastric outlet adalah stenosi pilorus
hipertropi (SPH)) . Terjadi penebalan otot pilorus dan kegagalan relaksasi
kanal pilorus yang menyebabkan obstruksi pada jalan keluar lambung.8
Angka kejadian 3 dari 10000 kelahiran hidup. Angka kejadian ini berrvariasi

Gambar 2. A. Volvulus organo-aksial, lambung berputar pada sumbu panjang, B. Volvulus mesenteroaksial,
lambung berputar pada sumbu yang tegak lurus dengan sumbu panjang.7

Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 33


tergantung daerah dan suku. Sering ditemukan pada anak lelalki dengan
perbandingan 4:1. Bila dijumpai riwayat yang sama dalam keluarga (first
degree) akan meningkatkan risiko 5 kali lipat. Biasanya pada anak perrtama
dalam keluarga. Faktor risiko antara lain pada bayi prematur, ibu yang
merokok, mengkonsumsi eritromisin atau azitromisin. Biasanya bayi
mempunyai nafsu makan yang rakus.8,9 Bayi muntah hilang timbul, atau
setiap makan. Bila muntah berlangsung terus bayi akan menjadi dehidrasi,
hipokloremia, alkalosis, dan ikterik.
Gejala klinis SPH muntah proyektil (menyemprot) non-bilious pada
usia 2-7 minggu, dengan frekuensi yang semakin sering dan muntah non-
bilious terjadi beberapa saat setelah minum. Keadaan ini sering disalah
artikan sebagai alergi susu sapi. Perlu diingat bila bayi muntah tersangka
alergi susu sapi, bila tidak membaik harus difikirkan kemungkinan kelainan
anatomi. Bayi terlihat kurus, peristaltik lambung dapat terlihat, dan teraba
massa pilorus sebesar buah olive di abdomen atas. yang merupakan pilorus
yang menebal. Anak terlihat kehausan, namun setiap minum muntah. Bila
tidak segera ditangani terjadi failure to thrive dan anak terlihat cachexia.

Pemeriksaan Pencitraan dan Gambaram yang Ditemukan


y Foto Polos Abdomen: Sering tidak memberikan informasi yang jelas,
abdomen dapat terlihat normal. Foto abdomen bukan merupakan
indikasi pada kecurigaan SPH. Dahulu digunakan pemeriksaan dengan
fluoroskopi untuk melihat adanya SPH. Belakangan ini pemeriksaan
dengan USG lebih disukai karena tidak memberikan radiasi, diagnostik
lebih baik, lebih mudah, cepat dan lebih tersedia.
y Ultrasonografi merupakan modalitas diagnostik pilihan karena non-
invasif, pemeriksaan dinamis yang memungkinkan pengamatan langsung
terhadap morfologi dan perilaku saluran pilorus.8 Pada USG dapat
dilihat secara langsung bentuk otot pilorus. Pada potongan transversal
otot pilorus terlihat tebal (> 3 mm) dengan kanalis pilorus yang sempit
(target sign/donut sign) dan pada potongan longitudinal kanalis pilorus
terlihat panjang (>15 mm). (Gambar 3). Gambaran ini perlu dibedakan
dengan pilorospasme dengan cara melakukan observasi pada saat
pemeriksaan dilakukan lebih lama. Pada pilorospasme akan terlihat
penebalan otot pilorus bersifat sementara. Jika lapisan otot tebalnya
2-3 mm, dan tidak mengendur selama pemeriksaan, disarankan untuk
melakukan tindak lanjut klinis dengan USG berulang.10 Perhatian khusus
harus diberikan pada bayi prematur dan bayi dalam rentang usia lebih
muda. Pada bayi prematur, SPH berkembang pada usia yang sama
dengan bayi cukup bulan, namun ukurannya yang lebih kecil harus
dipertimbangkan. Argyropoulou dkk.11 menunjukkan bahwa dimensi
pilorus yang normal meningkat seiring bertambahnya usia kehamilan

34 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Gambar 3A. Skema gambaran SPH yang dilihat dengan fluoroskopi. B. USG potongan longitudinal terlihat
otot pilorus yang tebal (5,4 mm) dengan panjang pilorus kanal 18,6 mm sesuai dengan SPH.

dan mendokumentasikan korelasi yang lebih kuat dengan berat badan,


memberikan nilai normal untuk ketebalan otot, panjang saluran dan
lebar saluran dari bayi prematur hingga bayi cukup bulan.
y Pemeriksaan Fluoroskopi: Bila telah dilakukan pemeriksaan USG
berulang beberapa minggu kemudian, namun hasil tetap meragukan
dengan dugaan klinis kuat, maka harus dilakukan pemeriksaan dengan
fluoroskopi untuk memastikannya atau mencari penyebab lain. Pada
fluoskopi ditemukan gambaran mushroom, beak, teat dan shoulder sign
yang merupakan tanda adanya penenbalan otot pilorus dan kanalis
pilorus yang sempit dan panjang.

4. Atrersia duodenum, jejunum, dan ileum


Muntah bilious merupakan gejala adanya obstruksi saluran cerna atas yang
terletak di bawah ampula vateri. Tergantung lokasinya, semakin tinggi letak
obstruksi pada saluran cerna semakin cepat timbul gejala muntah bilious.
Prevalensi atresia duodenum adalah satu dari 10.000 bayi baru lahir. Atresia
jejunum terjadi pada satu dari 3000-5000 kelahiran. Tidak ada perbedaan
prevalensi berdasarkan jenis kelamin.
Penyebab atresia usus halus yang lebih distal diyakini merupakan akibat
sekunder dari episode iskemik, sedangkan atresia duodenum dianggap akibat
kegagalan rekanalisasi lumen usus yang merupakan saluran padat di awal
kehidupan janin.12,13 Atresia duodenum dapat berkaitan dengan sindrom
kongenital. Sekitar 30% anak-anak dengan atresia duodenum menderita
trisomi 21.14
Bila ditemukan atresia duodenum harus dicari kemungkinan adanya
anomali VACTERL - anomali (V)ertebral, (A)norektal, jantung/(C)ardiac,
trakeoesofagus (TE), ginjal/(R)enal, dan ekstremitas/ (L))imb.12

Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 35


Bila ditemukan dilatasi usus halus pada neonatus dari ibu dengan
riwayat polihidramnion, adanya obstruksi usus halus harus disingkirkan.
Obstruksi usus halus sudah dapat dicurigai prenatal melalui USG
fetomaternal. Sebagian besar didasarkan pada temuan tanda gelembung
ganda (double bubble) pada atresia duodenum, dan multipel loop usus berisi
cairan pada atresia jejuno-ileal.13,14 Normalnya udara usus harus sudah
mencapai rektum pada saat bayi berusia 12-18 jam. Bila pada neonatus
foto abdomen menunjukkan double bubble, harus dipertimbangkan adanya
obstruksi intrinsik atau ekstrinsik. Penyebab obstruksi intrinsik antara
lain atresia duodenum, stenosis duodenum, dan duodenal web; sedangkan
penyebab ekstrinsik termasuk pankreas annular, malrotasi usus dengan
obstruksi yang disebabkan oleh midgut volvulus atau Ladd band, dan posisi
vena portal preduodenal.

Pemeriksaan Pencitraan dan Gambaran yang Terlihat


y Foto Polos Abdomen: gambaran obstruksi usus halus yang terlihat dapat
berupa double bubble yang menunjukkan terdapat atresia duodenum.
Bubble pertama adalah lambung dan bubble kedua adalah duodenum
yang melebar. (gambar 4A). Bila ditemukan bubbel lebih banyak,
menunjukkan obstruksi lebih distal dari duodenum yaitu pada jejunum
atau ileum.12,14 Bila ditemukan triple bubble maka lokasi obstruksi dapat
ditentukan lebih tepat yaitu pada jejunum proksimal.12-14. Bila terdapat
gambaran double bubble tapi masih terlihat sedikit udara di distalnya
(gambar 4B) menunjukkan obstruksi bersifat incomplete misalnya pada
stenosis duodenum/duodenal web/pancreas annulare/aberrant pancreatic
duct atau keadaan yang baru terjadi kemudian (didapat) pada malrotasi
midgut dengan volvulus.15

T
AA y
p
B

Gambar 4. Foto abdomen AP: A. Lambung (L) dan duodenum (D) yang melebar terlihat sebagai double
bubble.Tidak tampak gambaran udara usus di distal duodenum menunjukkan adanya obstruksi total pada
atresia duodenum. B. Juga terlihat dua buah bubble yang merupakan gambaran lambung (L) dan duodenum
(D) yang melebar, masih terlihatnya gambaran udara usus di distalnya (panah) menunjukkan obstruksi
incomplete (parsial).

36 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
y Pemeriksaan Khusus: Pada obstruksi total saluran cerna atas, diagnosis
dapat ditegakkan cukup dengan melihat gambaran pada foto polos
abdomen. Tidak diperlukan pemeriksaan khusus fluoroskopi dengan
kontras atau pencitraan lebih lanjut, kecuali pada atresia ileum. Pada
kecurigaan atresia ileum perlu dilanjutkan dengan pemeriksaan khusus
fluoroskopi enema dengan zat kontras untuk konfirmasi dan melihat
kondisi kolon apakah terdapat mikrokolon/disused colon atau kelainan
lain.

5. Malrotasi usus dan midgut volvulus


Malrotasi adalah kelainan rotasi normal usus saat embrio dan biasanya
melibatkan usus kecil dan usus besar yang ditandai dengan letak
duodenojejunal yang abnormal. Angka kejadian malrotasi 1 dari 500
kelahiran.17,18 Berbeda dengan neonatus dan bayi yang biasanya menjalani
pemeriksaan saluran cerna bagian atas untuk mengevaluasi dugaan malrotasi
secara klinis.Pada anak yang lebih besar, biasanya datang dengan keluhan
nyeri perut dan muntah, sering kali awalnya diarahkan untuk pemeriksaan
CT. 3
Malrotasi disertai dengan fiksasi usus yang tidak normal oleh pita
mesenterika atau tidak adanya fiksasi bagian usus, menyebabkan obstruksi
usus. Keadaan ini dapat menyebabkan midgut volvulus, yang berpotensi
mengancam jiwa.16-18. Gejala klinis yang muncul dapat akut atau dengan gejala
gastrointestinal intermiten kronis. Sebagian malrotasi usus asimtomatis,
namun bila terdapat gejala obstruksi, malrotasi usus dengan volvulus
merupakan keadaan darurat bedah pediatrik. Diagnosis cepat dan akurat
pada midgut volvulus diperlukan untuk menghindari iskemia dan nekrosis
usus, dan menurunkan mornbiditas maupun mortalitas. Keterlambatan
penanganan akan berakibat komplikasi seperti short bowel syndrome,
nekrotik usus, dan anak tergantung pada nutrisi parenteral. 15-16

Pemeriksaan Pencitraan dan Gambartan yang terlihat:


y Pemeriksaan Fluoroskopi: Secara historis, pemeriksaan gastrointestinal
bagian atas dengan fluoroskopi (upper gastrointestinal series) telah
menjadi modalitas pencitraan pilihan untuk mengevaluasi malrotasi usus
dengan/tanpa midgut volvulus. Sampai saat ini pemeriksaan fluoroskopi
masih merupakan gold standard. Secara klasik, malrotasi dengan volvulus
digambarkan pada pemeriksaan fluoroskopi upper gastrointestinal series
berupa gambaran usus terlihat seperti spiral pembuka botol berada di
perut kanan.3 Normalnya duodenum pars dua terletak retroperioneal di
posterior dan duonenojejenal junction berada di sisi kiri pedikel tulang
vertebra.

Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 37


y Kegunaan melakukan enema kontras pada pasien dengan dugaan
malrotasi adalah untuk mecari kemungkinan terdapat kelainan pada
kolon. karena posisi sekum yang normal tidak menyingkirkan diagnosis.18
Tatalaksananya adalah koreksi bedah (prosedur Ladd) karena risiko
iskemia usus. Adanya midgut volvulus dikaitkan dengan angka kematian
yang tinggi. Gejala dapat diatasi dengan pembedahan namun angka
kematian yang tinggi tetap ada setelahnya karena komplikasi terkait
seperti sepsis dan sindrom usus pendek.18
y Ultrasonografi dengan Color Doppler: Dengan berkembangnya alat
USG baik resolusi gambar maupun ketersediannya, penggunaan USG
semakin meningkat, khususnyan dinegara maju dengan kemampuan
diagnostik menggunakan USG setara dengan pemeriksaan fluoroskopi.
Bila pada USG ditemukan posisi arteri dan vena mesenterika superior
terbalik, kemungkinan adanya malrotasi sangat mungkin, namun
gambaran ini bukan patognomonik.19 (Gambar 5) Perlu dilanjutkan
dengan pemeriksaan khusus dengan fluoroskopi untuk konfirmasi. Perlu
diingat letak arteri mesenterika superior (AMS) dan vena mesenterika
superior (VMS) yang normal tidak menyingkirkan adanya malrotasi,
karena dapat juga ditemukan pada malrotasi midgut. Pada dugaan
kuat malrotasi pemeriksaan dengan fluoroskopi diperlukan dan masih
merupakan gold standar. 19 Adanya volvulus dapat dicurigai bila pada
USG diidentifikasi gambaran pusaran searah jarum jam (wheerpool sign)
dari SMV dan cabang-cabangnya serta lengkung usus di sekitar SMA
pada saat melakukan pemeriksaan USG abdomen potongan transversal
dengan cara melihat dari arah epgigastrium ke arah pusar (geser probe
kraniokaudal). Wheerpool sign memiliki sensitivitas 92% dan spesifisitas
99%.20

Kanan Kanan

a b

Gambar 5. a. Letak arteri mesenterika superior (AMS) normalnya berada di sisi kiri abdomen dan vena
mesenterika superior (VMS )di didi kanan abdomen. b. AMS berada di sisi kanan abdomen sedangkan VMS
berada di sisi kiri, mencurigakan terdapat malrotasi midgut. Gambaran ini dapat dijumpai pada malrotasi
midgut.

38 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
y CT Scan Abdomen: Penting untuk memahami gambaran karakteristik
malrotasi dengan obstruksi usus pada pemeriksaan CT scan.
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa tidak adanya sepertiga bagian
retroperitoneal dari duodenum mungkin merupakan temuan pencitraan
yang paling spesifik dan sensitif untuk malrotasi pada CT, sedangkan
temuan pencitraan lain yang umum dijelaskan, seperti hubungan
abnormal antara vena mesenterika superior dan arteri atau gambaran
wheerpool, kurang dapat diandalkan.3

6. Penyakir Hirschsprung
Penyakit Hirschsprung (PH) atau dikenal juga sebagai congenital aganglionic
megacolon adalah kelainan bawaan yang ditandai dengan tidak adanya
sel ganglion pada pleksus Meissner (submukosa) dan pleksus Auerbach
(muscularis) rektum terminal yang memanjang dalam jarak yang bervariasi
secara proksimal. Berdasarkan panjangnya kolon yang agangglion dibagi
atas long segment dan short segment (80%).

Pemeriksaan Pencitraan dan Gambaram yang Terlihat:


y Foto Polos Abdomen AP dan Tengkurap (Prone) Sinar Horisontal
(Cross Table Beam): Pada foto abdomen AP terlihat gambaran dilatasi
usus di seluruh abdomen pada bayi dengan keluhan kembung dengan
mekonium terlambat keluar atau sulit defekasi sejak lahir. Pada foto polos
abdomen bayi tengkurap dan pengambilan gambar dari samping disebut
sinar horisontal (cross table beam) kadang sudah dapat terlihat rektum
yang kecil atau sempit. Untuk memastikan dilakukan pemeriksaan enema
dengan kontras (fluoroskopi) atau biopsi.
y Pemeriksaan Khusus Enema dengan Kontras Menggunakan
Fluoroskopi: Untuk memastikan adanya penyakit Hirschsprung dan
menyingkirkan kelainan saluran cerna bawah lainanya, perlu dilakukan
pemeriksaan ini. Berbeda dengan konstipasi dietetik biasanya keluhan
konstipasi terjadi saat anak mulai mendapatkan makanan padat.
Anamnesis yang cermat perlu dilakukan kapan konstipasi mulai terjadi.
Pada penyakit Hirschsprung gambaran yang khas adalah kaliber rektum
lebih kecil dari sigmoid (rasio rektosigmoid < 1) (Gambar 6).
y Ada dua tipe penyakit Hirschprung, yaitu long segment dan short
segment. Pada pemeriksaan dengan kontras enema terlihat zona transisi
antara bagian kolon yang aganglion (kaliber lebih kecil) dengan bagian
proksimalnya yang lebih besar. Terdapat 3 bentuk zona transisi: (a)
mendadak (kaliber dari kolon anganglion dengan kolon normal terlihat
medadak jauh berbeda, (perubahan terjadi mendadak). (b) berbentuk
kerucut, dan ( c ) berbentuk corong.

Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 39


S

R S

Gambar 6. Foto emnema tengan kontras. Rasio rektum dan sigmoid. A. Normal. Kaliber rektum lebih besar
Gambar 6. Foto emnema tengan kontras. Rasio rektum dan sigmoid. A. Normal.
sigmoid. B. Rektum lebih kecil dari sigmoid dengan rasio <1. Sesuai dengan penyakit Hirschsprung.
Kaliber rektum lebih besar sigmoid. B. Rektum lebih kecil dari sigmoid dengan rasio
<1. Sesuai dengan penyakit Hirschsprung.

• Hirschprung,
y Pada pemeriksaan
yaitu long segment danfluoroskopi
short segment.yang
Pada perlu diperhatikan
pemeriksaan adalah
dengan kontras kaliber
enema
terlihat zona kolon sertabagian
transisi antara perubahan
kolon yangrasio rekto-sigmoid.
aganglion Dengan
(kaliber lebih kecil) denganpemberian
bagian
proksimalnyakontras
yang lebihdapat dilihat 3adanya
besar. Terdapat perubahan
bentuk zona transisi: ( a kaliber kolon
) mendadak dari
(kaliber dari rektum
ke
kolon
proksimalnya. Normalnya rektum yang merupakan reservoir memiliki
anganglion dengan kolon normal terlihat medadak jauh berbeda, (perubahan terjadi mendadak).(
kaliber yang lebih besar dari sigmoid. Bila ditemukan rasio rektum dan
b ) berbentuk kerucut, dan ( c ) berbentuk corong.
sigmoid terbalik,atau adanya zona transisi kolon bagian distal yang
• Pada
kecil dengan bagian proksimal yang melebar kemungkinan penyakit
Hirschsprung sangat besar (Gambar 6). Daerah perubahan kaliber kolon
ini disebut zona transisi yang perdu diketahui untuk menentukan tipe
penyakit Hirschsprung dan sejauh mana tindakan bedah harus dilakukan,
Bila gambaran zona transisi tidak terlihat jelas, sebaiknya dilakukan
biopsi. Alernatif lain, bila dugaan kuat penyakit Hirschsprung namun
gambaran zona transisi pada enema belum terlihat jelas, pemeriksaan
dapat diulang kembali 1 bulan kemudian. Biasanya akan memberikan
gambaran yang lebih jelas.

7. Atresia Ani
Anus imperforata atau atresia ani adalah malformasi anorektal (MAR)
kongenital di mana tidak ada lubang anus pada saat bayi lahir. Malformasi
anorektal terdiri dari berbagai kelainan mulai dari malformasi ringan
(misalnya tertutup membran) hingga malformasi kloaka kompleks yang
juga melibatkan saluran kemih dan genital. Malformasi anorektal sering
dijumpai pada neonatus.21 Bila tidak ditemukan anus, perlu dilihat apakah
terdapat fistel dan lokasinya. Perhatikan letak fistel dengan melihat darimana
keluarnya mekonium, apakah melalui saluran kemih/urine menjadi kotor,
melalui vagina, atau perineal, apakah terdapat kloaka. Penjelasdan keadan
ini diperlukan untuk menentukan tatalaksana bedah malformasi anorektal
sesuai kelainan yang ditemukan.21-22

40 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Pemeriksaan Pencitraan dan Gambaram yang Terlihat:
y Foto Polos Abdomen AP: pemeriksaan foto polos abdomen AP pada
kecurigaan atresia ani bertujuan untuk melihat gambaran usus secara
keseluruhan dan melihat beratnya gambaran obstruksi usus. Pada atresia
ani tanpa fistel akan terlihat dilatasi usus yang semakin lama semakin
hebat, sedangkan bila atresia ani tanpa fistel, biasanya dilatssi tidak terlalu
hebat, atau bahkan gambaran usus terlihat normal, karena udara usus
masih dapat keluar melalui fistel.
y Foto Posisi Knee Chest: Bayi diposisikan seperti bersujud dan
pengambilan gambar dari samping. Tujuannya untuk melihat jarak antara
udara usus terendah dengan marker (lokasi anal dimpel). Pengambilan
foto posisi ini dilakukan setelah bayi berusia > 12-18 jam, agar udara usus
normalnya sudah mencapai rektum, sehingga pengukuan jarak udara
terendah di rektum terhadap anal dimpel tidak salah. Bila jarak antara
udara rektum terendah dengan marker pada anal dimpel menunjukkan >
2 cm, maka atresia ani dikatakan letak tinggi, bila terletak < 2cm, maka
• dikatakan atresia ani letak rendah (gambar 7)

Gambar 7.A. Foto diambil saat bayi berusia 8 jam. Jarak dari marker (diletakkan pada anal dimpel) ke udara
Gambar 7.A. Foto diambil saat bayi berusia 8 jam. Jarak dari marker (diletakkan pada anal
usus terendah > 2 cm. B. Foto diambil kembali saat bayi berusia 18 jam. Tampak jarak marker ke udara rektum
dimpel) ke udara usus terendah > 2 cm.terendah B. Foto diambil kembali saat bayi berusia 18 jam.
< 2 cm.
Tampak jarak marker ke udara rektum terendah < 2 cm.

B. Kegawatdaruratan yang Sering Ditemukan pada Anak

1. Intususepsi
Intususepsi adalah suatu kondisi serius di mana bagian usus masuk ke bagian
usus yang berdekatan. Tindakan teleskopik ini sering kali menghalangi
makanan atau cairan untuk lewat. Intususepsi juga memutus suplai darah
ke bagian usus yang terkena. Hal ini dapat menyebabkan infeksi, kematian
jaringan usus, atau robekan pada usus yang disebut perforasi. Ada beberapa
tipe, yaitu ilreokolika, kolo-kolika dan ileo-kolo-kolika.5 Tersering adalah

Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 41


ileikolika (87%). Merupakan penyebab kegawatdaruratan tersering pada anak
usia 3 bulan - 5 tabun, dengan 60% terjadi pada anak usia dibawah 1 tahun.
Pada anak kecil jarang ditemukan lead point sebagai penyebab
invaginasi. Penyebabnya antara lain diverticulum Meckel, perdarahan
submukosa Henoch-Schoenlein Purpura (HSP), limfoma. Risiko lain antara
lain gastroenteritis virus, pasca vaksinasi roravirus, poliposis, kista dupliksi,
fibrosius kistik, dan penyakit Crohn.5,23,24
Trias klinis “klasik” gejala intususpsi ditemukan pada 20-40% kasus,
yaitu: (a) nyeri perut kolik akut, (b) current jelly stool (tinja berdarah dennen
lendir), dan (c) muntah. Gejala lain seperti lemas dan teraba massa di perut.
Prediktor klinis intususepsi “tradisional” harus ditafsirkan dengan hati-
hati ketika menilai anak di atas 2 tahun. 24 Pada anak kecil biasanya jarang
ditemukan lead point. Pada anak > 5 tahun lebih sering ditemukan, Perlu
dilakukan pemeriksaan USG abdomen atau CT scan utuk mencari lead point
yang menjadi penyebab intususepsi.

Pemeriksaan Pencitraan dan Gambaram yang Terlihat:


y Foto Polos Abdomen: Sensitivitas foto polos abdomen rendah (45%),23
sebaiknya hanya dilakukan bila USG tidak tersedia. Pada foto polos
abdomen dapat memperlihatkan adanya massa opak bulat, tersering di
kuadran kanan atas abdomen. Bila ditemukan gambaran ini, sepsifik
untuk intususepsi. Lakukan pemeriksaan USG abdomen untuk melihat
gambaran secara lebih ditail. Setiap kelainan yang ditemukan pada foto
abdomen merupakan prediktor intususpsi pada anak di bawah maupun
diatas usia 2 tahun.24
y Pemeriksaan Khusus Enema Kontras: Sebelum alat USG berkembang,
dilakukan pemeriksaan dengan barium enema. Selain untuk menegakkan
dignosis, tindakan ini juga dapat sebagai terapetik melepas invaginasi.
Bila terdapat leadpoint pelepasan invaginasi tidak boleh dengan enema,
karena leadpoint itu merupakan penyebab terjadinya invaginasi. Karena
dapat berulang kembali bila penyebabnya tidak dihilangkan. Tindakan
bedah merupakan pilihan.
y Pemeriksaan USG Abdomen: Dalam kasus dugaan intususepsi pada
pasien anak, pemeriksaan USG lebih sensitif, spesifik, hemat biaya, dan
merupakan modalitas pencitraan utama pilihan pertama.24-26 Sensitivitas
USG untuk mendeteksi intususepsi adalah 97,9% dan spesifisitasnya
97,8%. Nilai prediksi positif tes sebesar 86,6% dan nilai prediksi negatif
sebesar 99,7%.25 Pada USG akan terlihat “doughnut sign”, yaitu usus
yang mengalami invaginasi terlihat meyerupai target/ginjal/donat
karena lapisan-lapisan intususeptum dan intususepien. Kelebihan USG
dapat melihat lead point sebagai penyebab invaginasi, selain itu dapat
menilai viabilitas usus yang mengalami invaginasi. Sebagian besar kasus

42 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
intususepsi pada masa kanak-kanak bersifat idiopatik, tanpa kelainan
anatomi kecuali jaringan limfoid yang mengalami hipertrofi. Hanya
5% pasien yang memiliki massa di bawahnya (misalnya divertikulum
Meckel, kista duplikasi, polip, atau tumor) yang menjadi titik awal
terjadinya intususepsi.23 Pilihan pengobatan awal untuk intususepsi
adalah reduksi non-bedah dengan enema udara atau hidrostatik. Bila
ditemukan lead point tindakan bedah merupakan pilihan. Bila aliran
darah usus menurun yang menunjukkan viabilitas usus menurun atau
menghilang artinya sudah terjadi nekrotik pada usus, maka merupakan
kontraindikasi melakukan pelepasan invaginasi dengean enema, karena
risiko perforasi pada usus yang sudah mengalami nekrotik tersebut.
Berdasarkan temuan tersebut pada USG dapat diputuskan apakah operasi
merupakan pilihan atau pelepasan invaginasi dapat dilakukan dengan
menggunakan barium enema.
y Pemeriksan CT abdomen dilakukan atas indikasi, pada kasus yang
meragukan, untuk mencari lead pont atau komplikasi yang terjadi.

2. Apendisitis
Apendisitis dapat terjadi pada semua kelompok umur tetapi insidennya lebih
tinggi pada anak-anak antara usia 5 dan 15 tahun. Secara umum disepakati
bahwa kondisi ini disebabkan oleh obstruksi lumen apendiks. Lumen yang
tersumbat menjadi melebar, tekanan pada dindingnya meningkat, dan
selanjutnya terjadi penurunan perfusi mural.
Gambaran klasiknya adalah timbulnya nyeri periumbilikal yang
berpindah ke kuadran kanan bawah (RLQ) pada titik McBurney selama 12-24
jam, disertai anoreksia, leukositosis, dan, seringkali demam ringan. Anak-
anak yang lebih kecil tidak dapat menggambarkan gejala yang mereka alami,
dan sepertiganya mempunyai temuan klinis apendisitis yang tidak lazim.
Apendisitis harus dicurigai pada setiap nyeri perut di abdomen kanan
bawah pada daerah McBurney, demam, dan jumlah sel leukosit yang tinggi.
Apendisitis akut mungkin tidak terlihat pada pemeriksaan klinis awal pada
28% –57% anak berusia 12 tahun ke bawah dan pada hampir 100% anak
di bawah usia 2 tahun.27. Pemberian antibiotika akan meghilangkan gejala
apendisitis dan merancukan dalam membuat diagnosis. Pastikan dahulu
anak tidak menderita apendisitis sebelum memberikan antibiotika agar
tidak menutupi gejala dan menyulitkan menegakkan diagnosis. Tindakan
bedah yang tertunda akan menyebabkan kematian.

Pemeriksaan Pencitraan dan Gambaran yang t]erlihat:


y Foto Polos Abdomen: Gambaran foto polos abdomen pada apendisitis
tidak spesifik, kecuali bila terlihat adanya apendikolit (batu di dalam

Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 43


apendiks), namun gambaran ini hanya ditemukan pada 10% kasus.
Gambaran lain dapat terlihat ileus terlokalisir dan gambaran otot psoas
yang menghilang.
y Ultrasonsografi Abdomen: Pemeriksaan USG saat ini merupakan
pemeriksaan pencitraan pilihan yang sering dilakukan. Walaupun
apendisitis sebenarnya merupakan diagnosis klinis dari pemeriksaan
fisik dan laboratorium, pada keadaan yang meragukan dapat dilakukan
USG untuk membantu menegakkan diagnosis. Ultrasonografi
diindikasikan dalam diagnosis apendisitis pada pasien anak dan memiliki
sensitivitas dan spesifisitas yang optimal dalam diagnosis. Selain itu,
USG dapat mengevaluasi komplikasi apendisitis.4 Ultrasonografi dapat
memperlihatkan apendiks lebih baik daripada foto polos abdomen.
Sensitivitas USG 44-94% dengan spesifisitas 47-95%. pada anak.
Apendiks pada USG terlihat besar dengan diameter > 6 mm, tidak terlihat
peristaltik, dan kaku tidak mengempis pada penekanan. Pada color
Doppler terlihat dinding apendiks yang hiperemis. Dapat terlihat juga
inflamasi pada lemak periapendial, dan kadang ditemukan apendikolit di
dalamnya.23 Dapat terjadi abses pada apendiks dengan gambaran udara
cairan di dalamnya dan berisiko terjadi perforasi. Adanya cairan di sekitar
apendiks menunjukkan adanya inflamasi atau telah terjadi perforasi.
Kegagalan teknis pemeriksaan dengan USG kadang-kadang dapat terjadi
akibat pasien yang obes atau nyeri tekan yang parah, membatasi kompresi
yang memadai dalam penilaian apendiks.
American Academy of Pediatric (AAP) menyatakan tidak diperlukan
evaluasi rutin pemeriksaan CT scan abdomen pada apendisitis. Demikian
pula American College of Surgeon menyatakan untuk tidak melakukan
CT scan abdomen untuk evaluasi dugaan apendisitis pada anak-anak
sampai ultrasnonografi telah dilakukan.
y Ulttasonografi Color Doppler: pada USG color Doppler dapat terlihat
peningkatan vaskular (ring of fire) atau hilangnya aliran darah apabila
sudah terjadi nekrotik (non-viable) yang berisiko terjadinya perforasi.
Bila ditemukan gejala obstruksi usus maka kemungkinan terjadi perforasi
atau perlengketan perlu dipertimbangkan.
y Pemeriksaan CT Scan Abdomen dengan Kontras: pemeriksaan ini
hanya dilakukan dengan indikasi yang jelas, karena merberikan radiasi
yang besar pada anak, misalnya untuk memastikan adanya apendisitis
pada kecurigaan klinis yang kuat, namun pemeriksaan USG yang tidak
jelas, atau untuk melihat komplikasi yang terjadi, dan menyingkirkan
penyebab nyeri perut lainya. Gambaran apendisitis yang terlihat pada
CT scan meliputi pembesaran apendiks (diameter transversal 7 mm),
lumen apendiks yang tidak opak, dan penyangatan dinding apendiks
pada pemberian zat kontras. Teknik pemeriksaan ini lebih superior dalam
melihat lokasi obstruksi, perubahan inflamasi pada abdomen kanan

44 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
bawah, serta kemungkinan adanya periapendiseal abses.3 CT scan secara
dramatis telah meningkatkan kemampuan untuk mendeteksi radang usus
buntu dan komplikasinya. Hal ini telah meningkatkan hasil pada pasien
dan mengurangi jumlah operasi yang tidak diperlukan. Namun, perannya
sebagai alat diagnostik masih belum jelas, dan masih banyak pertanyaan
penting yang belum terjawab yang memerlukasn penelitian lebih lanjut.27

3. Penutup
y Pengetahuan gejala klinis serta kelainan fisik yang ditemukan merupakan
dasar dalam menentukan penyebab nyeri perut atau adanya obstruksi
pada saluran cerna yang dapat merpakan kegawat daruratan pada anak
y Foto polos abdomen tetap mash merupakan pilihan pertama pada kasus
kecurigaan adanya obstruksi usus pada neonatus
y Usia saat pengambilan foto dan posisi foto akan mempengaruhi penilaian
foto polos abdomen pada obstruksi saluran cerna
y Dengan semakin berkambangnya alat ultrasonografi yang memberikan
resolusi gambar yang lebih baik, lebih tersedia, penggunaannya pada
kasus obstruksi saluran cerna semakin meningkat dan merupakan pilihan
pertama pada anak dengan keluhan nyeri perut
y Perlu ditingkatkan kemampuan diagnostik USG untuk mendeteksi
adanya beberapa kasus obstruksi saluran cerna, khusunya pada anak,
agar tidak memberikan radiasi yang besar seperti pada pemeriksaan
dengan fluoroskopi, lebih cepat, disamping biaya yang lebih murah dan
sarana yang lebih tersedia.
y Pemeriksaan khusus fluoroskopi dengan zat kontras diperlukan pada
dugaan kuat adanya obstruksi usus, namun tidak terlihat pada pemriksaan
dengan USG, berujuan mengkonfirmasi dan mencari penyebab lainnya.
y Pemeeriksaan CT scan dan MRI hanya dilakukan atas indikasi kuat
kelainan pada saluran cerna, untuk mencari luasnya serta komplikasi yang
terjadi, Walaupun kedua pemeriksaan canggih ini dapat memberikan
gambaran yang lebih detail, namun CT scan memberikan radiasi yang
sangat besar pada anak, sedangkan MRI tidak praktis dalam penggunaaan
sehari-hari disamping mahal juga memerlukan sedasi.

Daftar pustaka
1. Yang WC, Chen CY, Wu HP. Etiology of non-traumatic acute abdomen in
pediatric emergency departments. World J Clin Cases. 2013 Dec;1(9):276-84.
https://doi.org/10.12998/wjcc.v1.i9.276
3. Kuppermann N, O’Dea T, Pinckney L, Hoecker C. Predictors of intussusception
in young children. Arch Pediatr Adolesc Med. 2000;154(3):250-5. PMID:
10710022

Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 45


3. Hryhorczuk A, Lee E. Imaging Evaluation of Bowel Obstruction in Children:
Updates in Imaging Techniques and Review of Imaging Findings. Seminars in
Roentgenology 2012;47(2): 159-170. doi:10.1053/j.ro.2011.11.007
4. Hajalioghli P, Mostafavi S, Mirza-Aghazadeh-Attar M. Ultrasonography in
diagnosis of appendicitis and its complications in pediatric patients: a cross-
sectional study. Annals of Pediatric Surgery 2020; 16:12. https://doi.org/10.1186/
s43159-020-00023-1
5. Tamaela LA, Pramuljo HS, Bermanshah EK. Sistem Pencernaan. Dalam
Bermanshah Tamaela LA, Pramuljo HS, Bermanshah EK, editor. Buku Ajar
Pencitraan Anak. Jakarta, Badan Penerbit IDAI 2010; hal: 136-86
6. Pinheiro PFM, Simoes AC, Pereira RM. Current knowledge on esophageal
atresia. World J Gastroenterol 2012, 18(28):3662–72
7. VM, Lattin Jr GE, Lewis RB. Abdominal twists and turns: Part 1, gastrointestinal
tract torsions with pathologic correlation. AJR Am J Roentgenol. 2011;197(1):86–
9.
8. Sílvia Costa Dias & Sophie Swinson & Helena Torrão & Lígia Gonçalves &
Svitlana Kurochka & Carlos Pina Vaz & Vasco Mendes. Hypertrophic pyloric
stenosis: tips and tricks for ultrasound diagnosis. Insights Imaging 2012;
3:247–50. DOI 10.1007/s13244-012-0168-x
9. Chandran L, Chitkara M. Vomiting in children: reassurance, red flag, or referral?
Pediatr Rev. 2008; 29:183–192
10. Hernanz-Schulman M (2009) Pyloric stenosis: role of imaging. Pediatr Radiol.
2009; 39(Suppl 2):S134-39
11. Argyropoulou MI, Hadjigeorgi CG, Kiortsis DN. Antro-pyloric canal values
from early prematurity to full-term gestational age: an ultrasound study. Pediatr
Radiol. 1998;28:933–6. doi: 10.1007/s002470050504.
12. Traubici J. The double bubble sign. Radiology 2001;220(2):463e4
13. Tongsong T, Chanprapaph P. Triple bubble sign: a marker of proximal jejunal
atresia. Int J Gynaec Obstet 2000;68(2):149e50.
14. Bishop JC, McCormick B, Johnson CT, et al. The double bubble sign: duodenal
atresia and associated genetic etiologies. Fetal Diagn Ther 2020;47(2):98e103
15. Tsitsiou Y, Calle-Toro J, Zouvani A, Andronikou S. Diagnostic decision-
making tool for imaging term neonatal bowel obstruction. Clinical Radiology.
2021;76(3):163-171. https://doi.org/10.1016/j.crad.2020.09.016
16. Nguyen HN, Navarro OM, DBloom DA, Feinstein KA, Guillerman P, Munden
MM,, Marla B. K. Sammer MBK, Silva CT, MD8. Ultrasound for Midgut
Malrotation and Midgut Volvulus. AJR 2022; 218:931–9. doi.org/10.2214/
AJR.21.27242.
17. Applegate KE, Anderson JM, Klatte EC. Intestinal Malrotation in Children: A
Problem-solving Approach to the Upper Gastrointestinal Series1. RadioGraphics
2006;26(5):1485–1500. doi:10.1148/rg.265055167
18. Hiorns MP. Gastrointestinal tract imaging in children: current techniques. Ped
Rad 2011;41(1):42e54.
19. Quail MA. Is Doppler ultrasound superior to upper gastrointestinal contrast
study for the diagnosis of malrotation? Arch Dis Child 2011; 96: 317-8

46 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
20. Nguyen HN, Kulkarni M, Jose J, et al. Ultrasound for the diagnosis of malrotation
and volvulus in children and adolescents: a systematic review and meta-analysis.
Arch Dis Child. 2021; 106:1171-8
21. Gans SL. Classification of anorectal anomalies: a critical analysis. J Pediatr Surg
1970; 5:511–22. Singh M, Mehra K. Imperforate Anus. [Updated 2022 Sep 8].
In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2023 Jan-.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK549784/
23. Cogley JR, O’Connor SC, Houshyar R, Dulaimy KA. Emergent pediatric US:
what every radiologist should know. Radiographics 2012;32(3):651-5. PMID:
22582352
24. Kimia AA , Peter N Hadar 2, Scotty Williams 1, Assaf Landschaft 1, Michael
C Monuteaux 1, Richard G Bachur 1. Variation in the Presentation of
Intussusception by Age. Pediatr Emerg Care 2020;36(8):372-7. DOI: 10.1097/
PEC.0000000000002179
25. Hryhorczuk AL, Strouse PJ: Validation of US as a first-line diagnostic test for
assessment of pediatric ileocolic intussusception. Pediatr Radiol. 2009;39:1075-9
26. Bucher BT, Hall BL, Warner BW, et al: Intussusception in children: Cost-
effectiveness of ultrasound vs diagnostic contrast enema. J Pediatr Surg. 2011;
46:1099-105
27. Callahan, Michael J.; Rodriguez, Diana P.; Taylor, George A. (2002). CT of
Appendicitis in Children1. Radiology 2002: 224(2): 325–32. doi:10.1148/
radiol.2242010998.

Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 47


Sakit Perut Akut pada Anak: Red Flag
Nuraini Irma Susanti

S
akit perut atau nyeri abdomen akut pada anak sering dijumpai
dalam praktek sehari-hari, dengan jumlah kasus sekitar 9% pada
fasilitas kesehatan primer.1 Sakit perut akut pada anak sering menjadi
tantangan bagi dokter yang menanganinya, karena pasien datang mulai
dari keluhan ringan hingga adanya kegawatan. Walaupun hanya sedikit
persentasinya, yaitu sekitar 1%, kasus sakit perut akut memerlukan
intervensi medis dan tindakan bedah segera untuk mencegah terjadinya
disabilitas dan kematian. Namun, tantangan bagi dokter adalah untuk
mengidentifikasi anak-anak yang memiliki kondisi yang jarang terjadi dan
berpotensi mengancam jiwa yang memerlukan evaluasi dan pengobatan
segera, seperti apendisitis, intususepsi, volvulus, atau adhesi. Frekuensi
intervensi bedah pada pasien yang datang dengan nyeri abdomen akut adalah
sekitar 1%, tetapi kemungkinan mengabaikan etiologi organik yang serius
adalah perhatian utama bagi para dokter.1 Namun, dalam beberapa kasus,
anak-anak dengan konstipasi juga dapat mengalami nyeri perut akut yang
hebat dengan penyebab yang tidak terkait adanya kelainan organik.2 Pada
kebanyakan anak, rasa sakit adalah fungsional , yaitu tidak terdapat kelainan
patologis atau organik, seperti anatomi, metabolisme, infeksi, inflamasi atau
gangguan neoplastik yang mendasari. Karena itu pengambilan keputusan
medis berdasarkan riwayat penyakit yang komprehensif, pemeriksaan fisik
yang teliti, dan memperhatikan konteks dari rasa sakit secara tepat sangat
dibutuhkan.3

Patofisiologi
Nyeri abdominal akut dapat diklasifikasikan sebagai nyeri visceral,
somatoparietal, dan nyeri rujukan, tergantung pada jenis reseptor nyeri yang
terlibat. Sebagian besar nyeri perut terkait dengan reseptor nyeri visceral.
Reseptor nyeri visceral terletak pada permukaan serosa, di mesenterium,
dalam otot usus, dan mukosa organ berongga. Reseptor nyeri ini merespons
rangsangan mekanis dan kimia, seperti peregangan, ketegangan, dan iskemia.
Karena serat nyeri visceral tidak bermyelinasi (C-fiber) dan memasuki
sumsum tulang belakang secara bilateral pada beberapa tingkat, nyeri visceral
biasanya terasa tumpul, sulit dilokalisasi, dan dirasakan secara tersebar
di abdomen. Selain itu, ada tiga area nyeri luas dengan asosiasi anatomi.

48
Nyeri yang berasal dari struktur foregut (misalnya, bagian bawah esofagus,
lambung) terasa di daerah epigastrik, nyeri dari struktur midgut (misalnya,
usus kecil) terasa di daerah periumbilikal, dan nyeri dari struktur hindgut
(misalnya, kolon) terasa di bagian bawah perut.4
Reseptor nyeri somatoparietal terletak di peritoneum parietal, otot,
dan kulit. Nyeri umumnya disebabkan oleh peradangan, peregangan,
atau robekan peritoneum parietal, dengan rasa nyeri dikirimkan oleh
serat A-δ yang bermyelinasi ke ganglion akar saraf dorsal tertentu. Nyeri
somatoparietal ditandai oleh sensasi yang tajam, lebih intens, dan lebih
terlokalisasi. Gerakan dapat memperparah nyeri; oleh karena itu, anak akan
cenderung untuk mengurangi gerakan.4
Nyeri rujukan terlokalisasi dengan baik tetapi terasa di area jauh dari
dermatom kulit yang sama dengan organ yang terpengaruh. Ini disebabkan
oleh tingkat sumsum tulang belakang bersama untuk neuron afferen dari
situs yang berbeda. Sebagai contoh, kondisi inflamasi yang memengaruhi
diafragma dapat dirasakan sebagai nyeri di daerah bahu atau leher bagian
bawah.4

Etiologi
Berbagai kondisi bedah dan non-bedah dapat menyebabkan sakit perut akut
pada anak-anak. Penyebab sakit perut yang mengancam jiwa sering kali

Tabel 1. Etiologi Sakit Perut Akut pada Anak Berdasarkan Usia6

Semua usia Usia 0-4 tahun Usia 5-11 tahun Usia 12-18 tahun
• Appendisitis • Penyakit • Migrain • Kehamilan ektopik
• Obstruksi usus Hirschsprung Abdomen • Nyeri fungsional
• Kekerasan terhadap • Kolik pada Bayi • Nyeri Fungsional • Penyakit radang
anak (Kolik Infantil) • Purpura Henoch- usus
• Konstipasi • Hernia Inguinal Schönlein • Sindrom usus
• Ketidakpatuhan • Intususepsi • Intususepsi iritabel
dalam pola makan • Intoleransi • Keracunan • Kondisi terkait
• Penyakit kantong Laktosa Timbal menstruasi
empedu • Keracunan • Mononukleosis • Mononukleosis
• Gastroenteritis Timbal • Volvulus • Infarktus omentum
• Sindrom uremia • Malrotasi Usus • Masalah kehamilan
hemolitik Tengah lainnya
• Adenitis mesenterik • Divertikulum • Torsi ovarium atau
• Pankreatitis Meckel testis
• Krisis sel sabit • Volvulus • Penyakit radang
• Trauma panggul
• Infeksi saluran • Infeksi menular
pernapasan atas seksual
• Infeksi saluran
kemih

Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 49


disebabkan oleh perdarahan, obstruksi, atau perforasi saluran pencernaan
atau organ intra-abdominal, dan mungkin terkait dengan gejala klinis
tertentu. Penyebab sakit perut di luar abdomen (misalnya, ketoasidosis
diabetik, sindrom uremia hemolitik, dan miokarditis) juga memiliki
gejala klinis yang membedakannya. Penyebab umum sakit perut termasuk
gastroenteritis, konstipasi, penyakit virus sistemik, infeksi di luar saluran
pencernaan (misalnya, faringitis streptokokus, pneumonia lobus bawah, dan
infeksi saluran kemih), adenitis mesenterik, dan kolik pada bayi.4,5

Penyakit yang perlu diketahui pada sakit perut akut pada


anak
1. Apendisitis akut
Apendisitis akut adalah kegawatan pembedahan yang relatif jarang namun
signifikan pada anak, terutama pada anak berusia di bawah 5 tahun.
Progresinya dapat terjadi dengan cepat, dengan risiko terjadinya perforasi
dalam waktu kurang dari 12 jam. Biasanya, anak-anak dengan apendisitis
mengalami nyeri periumbilikal visceral yang sulit untuk diposisikan. Pada
periode 6 hingga 48 jam setelah nyeri pertama kali dirasakan, nyeri menjadi
lebih terlokalisir di kuadran kanan bawah, yang merupakan ciri khas dari
appendicitis kronis. Namun, terkadang manifestasi ini absen pada anak-
anak yang lebih kecil. Berbagai sistem penilaian telah dikembangkan untuk
membantu diagnosis, seperti Skor Alvarado dan Skor Apendisitis Pediatric,
meskipun efektivitasnya masih diperdebatkan. Sistem penilaian ini sebagian
besar telah digantikan oleh teknik pencitraan, terutama ultrasonografi dan
Computerized Tomography (CT). Selain itu, meskipun tidak spesifik, penanda
serum seperti hitung leukosit dengan shift-to-the-left dan kadar protein
C-reaktif, jika digunakan bersama-sama, dapat memberikan spesifisitas
sekitar 94% dalam membantu diagnosis. Namun, pengelolaan definitif untuk
apendisitis tetap intervensi bedah. 3,5-7
Ultrasonografi memiliki beberapa kelebihan, seperti aksesibilitas,
non-invasif, dan tidak ada risiko paparan radiasi. Ultrasonografi dapat
mengonfirmasi diagnosis dalam sekitar 51% kasus, sehingga berpotensi
menghilangkan kebutuhan akan CT. Namun, efikasinya dapat berkurang
pada beberapa kasus, seperti pada anak-anak gemuk atau yang tidak
kooperatif. Sedangkan, CT sekarang merupakan metode pencitraan
paling akurat untuk mendiagnosis apendisitis dan telah menjadi modalitas
pilihan di banyak fasilitas medis. CT secara signifikan mengurangi tingkat
apendektomi negatif palsu dalam sebuah studi jangka panjang. 3,5-6

50 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
2. Kolesistitis, Kolelitiasis, Koledokolitiasis
Ketiganya memiliki faktor predisposisi yang sama, yaitu nutrisi parenteral
total, gangguan hemolitik, infeksi sistemik, antibiotik tertentu, dan anomali
anatomi. Kolelitiasis pada anak memiliki komposisi yang mencakup
kolesterol, glikoprotein, dan garam kalsium. Manifestasi klinis pada anak
seringkali lebih tidak terlihat dibandingkan pada orang dewasa, dengan gejala
dan tanda kolesistitis yang tidak spesifik. Diagnosis melibatkan serangkaian
tes, termasuk hitung sel darah putih, penanda inflamasi, evaluasi fungsi hati,
dan analisis enzima. Ultrasonografi abdomen merupakan alat yang sangat
andal untuk mendiagnosis kolelitiasis, dan akan mendapatkan gambaran
bayangan batu empedu (gallstone shadow) yang khas. Penatalaksanaan
bergantung pada jenis dan severitas penyakit, mulai dari observasi dengan
perawatan simtomatik untuk neonatus, hingga kolesistektomi, terutama
penting untuk kondisi seperti siklemia dan sferositosis pada anak-anak yang
lebih besar. Pada kasus kolesistitis akut, rawat inap, puasa, pemberian cairan
intravena, manajemen nyeri, dan pemberian antibiotik pada beberapa kasus
sangat penting, dengan kolesistektomi laparoskopi dilakukan setelah stabil.
Kolesistisis membutuhkan penanganan medis segera. 8,9

3. Pankreatitis
Pankreatitis memiliki banyak etiologi, mencakup beberapa penyakit sistemik,
penyakit bilier, penggunaan beberapa obat-obatan, trauma, dan dugaan
infeksi. Patofisiologi pankreatitis melibatkan aktivasi sinyal kalsium dalam
sel acinar pankreas, yang menyebabkan konversi tripsinogen menjadi
tripsin aktif, memulai peradangan, edema, dan mengakibatkan kerusakan
seluler. Diagnosis bergantung pada evaluasi klinis, biokimia, dan pencitraan.
Gejala mungkin bersifat tidak terlihat dan bergantung pada usia; meskipun
nyeri epigastrik mendominasi, nyeri perut luas dapat muncul, terutama
pada anak-anak. Bayi dan anak-anak yang lebih kecil lebih sulit untuk
dapat mendeskripsikan lokasi sumber nyeri perut, akan tetapi mungkin
datang dengan keluhan demam dan rasa tegang pada perut. Ultrasonografi
umumnya digunakan sebagai pemeriksaan awal karena tersebar secara luas,
tidak menggunakan radiasi, dan kemampuannya untuk mengidentifikasi
batu. Namun, obesitas dan keberadaan gas pada usus dapat mengurangi
efektivitasnya. Computed Tomography (CT) mulai meningkat relevansinya
dalam evaluasi pankreatitis, karena dapat mengevaluasi komplikasi
seperti perdarahan, nekrosis, dan pembentukan pseudokista, adapun CT
umumnya dilakukan ketika dicurigai adanya komplikasi beberapa hari
setelah perawatan. Pengobatan meliputi manajemen nyeri, rehidrasi cairan,
dan nutrisi. Analgesik yang utamanya digunakan adalah morfin, walaupun
ada induksi spasme sfingter Oddi. Terapi cairan agresif, dengan pemberian
cairan rumatan 2 hingga 3 kali lipat dalam 24 jam pertama. Penggunaan

Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 51


rutin antibiotik tidak disarankan, tetapi dalam kasus kecurigaan infeksi
berat, antibiotik spektrum luas dapat diindikasikan. Sampai saat ini belum
ada kriteria resmi yang dapat digunakan untuk mengklasifikasikan kasus
pankreatitis. 2,3,8

4. Trauma abdominal
Trauma abdominal dapat menyebabkan pendarahan atau robekan pada organ
padat, perforasi usus, iskemia organ dari cedera vaskular, dan hematoma
intramural. Trauma tumpul lebih banyak terjadi dibandingkan cedera
tembus. Mekanisme paling banyak dari terjadinya trauma kecelakaan, di
antaranya adalah akibat kendaraan bermotor, jatuh dari tempat tinggi, dan
kekerasan terhadap anak. Tatalaksana trauma abdomen sangat bervariatif
tergantung masing-masing kasus. Studi oleh Shimizu et al, misalkan
menemukan bahwa sebagian besar kasus cedera pada limpa dan liver dapat
ditatalaksana tanpa menggunakan operasi, sedangkan kasus cedera pancreas
dan usus halus lebih sering membutuhkan intervensi operatif.8,10,11

5. Obstruksi usus
Obstruksi usus dapat menyebabkan nyeri kram perut yang khas. Ciri
klinis ini biasanya dihubungkan dengan gangguan intra-abdominal serius
yang memerlukan diagnosis dan penatalaksanaan segera. Obstruksi usus,
di antaranya, dapat disebabkan oleh atau merupakan manifestasi dari
intususepsi, malrotasi dengan volvulus midgut, enterokolitis nekrotik, hernia
inguinal incarcerata, dan adhesi post-operasi. 8,12

6. Intususepsi
Intususepsi adalah perlipatan salah satu segmen usus dan menyusup ke
bagian usus yang lain, mengakibatkan obstruksi aliran darah, nyeri perut
berat, massa yang dapat dipalpasi, dan penampilan tinja khas (“currant
jelly stool”). Intususepsi umumnya muncul pada anak-anak berusia 6
hingga 36 bulan, biasanya di daerah ileum dan cecum. Intususepsi sering
kali disebabkan oleh infeksi virus pada plak Peyer yang dapat menjadi titik
awal terjadinya penyakit, namun kelainan lain seperti divertikulum Meckel,
polip, dan limfoma juga dapat menjadi titik awal, terutama di luar kisaran
usia biasa. 8
Kemajuan dalam radiologi, terutama melalui penggunaan ultrasonografi,
telah mengurangi kejadian gejala klasik. Spesifitas tinggi dan citra khas
berupa “target sign” membuat penggunaan ultrasonografi menjadi efektif
dan digunakan sebagi alat diagnostik utama. CT dan MRI dapat juga
digunakan, walaupun biasanya hanya pada kasus-kasus sulit. Intususepsi

52 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
usus halus yang asimtomatik cukup umum terjadi dan sering kali membaik
tanpa intervensi. 2,7
Penatalaksanaan non-bedah, menggunakan enema (kontras, saline,
atau udara) yang dikombinasikan dengan visualisasi (fluoroskopi atau
ultrasonografi), digunakan untuk mereduksi intususepsi. Enema saline
hangat dan ultrasonografi, tanpa radiasi ion, menawarkan visibilitas tinggi.
Pada pasien yang tidak stabil, penatalaksanaan dengan pembedahan
memiliki tingkat keberhasilan 80% dan risiko perforasi kurang dari 1%.8,13

7. Volvulus midgut
Volvulus Midgut adalah kegawatdaruratan pembedahan yang ditandai
dengan adanya torsio pada midgut (bagian tengah usus halus), menyebabkan
iskemia berat dan berisiko menimbulkan nekrosis. Intervensi harus
dilakukan secara cepat, seringkali dalam hitungan jam, terutama pada kasus
berat yang memerlukan reseksi usus halus yang luas, mulai dari sambungan
duodenojejunal hingga pertengahan kolon transversus, termasuk katup
ileosekal dan sekum. Hal ini dapat mengakibatkan sindrom usus pendek
ekstrem, mengganggu sirkulasi enterohepatik, yang kemungkinan dapat
menyebabkan ketergantungan terhadap nutrisi parenteral dan kemungkinan
transplantasi usus halus. Volvulus midgut seringkali terkait dengan malrotasi
usus, terjadi pada 45% kasus, di mana lipatan cecum di kuadran kanan atas
dapat menyebabkan obstruksi intermiten dan menimbulkan rasa nyeri.
Volvulus midgut juga dapat disebabkan oleh berbagai gangguan lain, meliputi
adhesi, pita pengikat usus lain (30% dari kasus), divertikulum Meckel, atau
secara idiopatik. Diagnosis membutuhkan kewaspadaan, dengan gejala-
gejala seperti muntah hijau, distensi perut yang bervariasi, dan nyeri perut
yang tidak konsisten. Pemeriksaan laboratorium nonspesifik. Pemeriksaan
diagnostik yang direkomendasikan adalah penggunaan CT kontras pada
system GI atas, dengan sensitivitas sebesar 96%, yang dapat mengungkapkan
malrotasi dan tanda khas “corkscrew” pada volvulus midgut. Ultrasonografi,
meskipun kurang konsisten, juga dapat mendeteksi volvulus midgut.
Tatalaksana dengan tindakan bedah korektif yang cepat, didahului dengan
rehidrasi cairan, pemasangan nasogastric tube, dan antibiotik spektrum
luas.8,14

8. Gastroenteritis
Gastroenteritis (GEA) akut ditandai dengan diare akut yang sering disertai
demam atau muntah. Infeksi Virus yang umumnya menyebabkan GEA,
di antaranya adalah rotavirus dan norovirus, dengan norovirus kini
mendominasi karena resistensinya terhadap disinfektan. Meskipun biasanya
dianggap self-limiting, GEA dapat menyebabkan pasien harus di rawat inap

Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 53


dan bahkan dapat menyebabkan kematian . Anak-anak dengan gastroenteritis
akut ditandai dengan adanya keluhan demam, nyeri perut hebat, dan nyeri
perut yang luas sebelum diare dimulai. Diagnosisnya didasari oleh penemuan
klinis, akan tetapi kultur tinja diperlukan dalam beberapa kasus spesifik.
Pengobatan utamanya berhubungan dengan rehidrasi, terutama secara
peroral, dan pengelolaan gejala. Kasus dehidrasi berat akan memerlukan
rawat inap, untuk tatalaksana resusitasi cairan rehidrasi. Memprioritaskan
pemberian ASI dan nutrisi, juga zink, kebersihan tangan yang sempurna, dan
praktik pengolahan makanan yang bersih merupakan sebagian dari langkah
pencegahan GEA. Penggunaan probiotik seperti Lactobacillus rhamnosus
GG dan Saccharomyces boulardii-I745 dapat mengurangi durasi dan risiko
kekambuhan penyakit. Langkah preventif lain yang bisa diambil adalah
dengan vaksinasi, utamanya pada rotavirus. 3,6

9. Konstipasi
Konstipasi fungsional pada anak ditandai dengan konstipasi tanpa penyebab
organik. Pedoman Rome IV menyediakan kriteria diagnostik berdasarkan
usia, dengan penyebab organik biasanya diidentifikasi pada periode neonatal.
Berbagai faktor, seperti perubahan diet, masalah psikososial, obat-obatan,
maupun kondisi medis yang dapat menjadi dasar penyakit, seperti fibrosis
kistik, hiperkalsemia, dan intoleransi laktosa, dapat mempengaruhi severitas
konstipasi. Melakukan anamnesis yang komprehensif sangat penting dalam
kasus konstipasi, karena stres atau perubahan gaya hidup apa pun dapat
memicu konstipasi. Konstipasi pada anak-anak ditandai oleh setidaknya
dua dari beberapa karakteristik berikut: kurang dari tiga kali buang air besar
per minggu, inkontinensia feses, tinja besar yang dapat diraba di rektum
atau melalui dinding perut, sikap retentive (menahan defekasi dengan
mengontraksikan otot lantai pelvis), atau defekasi yang menyakitkan.
Pemeriksaan fisik, termasuk pemeriksaan perut dan inspeksi daerah perianal
dan lumbosakral, bersama dengan pemeriksaan neurologis, mungkin
diperlukan. Biasanya, diagnosis konstipasi bersifat klinis, dengan tes radiologi
atau laboratorium jarang diperlukan. Pedoman Rome IV penting dalam
membantu menentukan arah diagnosis. Pengobatan melibatkan edukasi
pasien mengenai patofisiologi konstipasi dan inkontinensia feses, serta
modifikasi gaya hidup seperti diet tinggi serat dan peningkatan asupan air.
Disimpaksi direkomendasikan jika massa feses dapat diraba. Penggunaan
laksatif osmotik, seperti polietilen glikol, adalah pilihan utama untuk
disimpaksi kimiawi dan terapi rumatan. Jika tidak efektif, laksatif stimulan
seperti bisakodil atau senna dapat ditambahkan sebagai terapi lini kedua.
Laksatif harus terus digunakan selama setidaknya 2 bulan, dengan satu bulan
buang air besar normal sebelum penghentian. Manajemen jangka panjang

54 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
meliputi edukasi lanjutan, penyesuaian diet, dan modifikasi gaya hidup untuk
mencegah kekambuhan. 3,6

10. Limfadenitis mesenterik


Karena kelenjar getah bening mesenterik biasanya berada di kuadran
kanan bawah, kondisi ini terkadang di-misdiagnosis sebagai apendisitis,
perbedaannya adalah rasa nyeri yang lebih difus. Tanda-tanda peritonitis
seringkali tidak ditemukan. Dalam satu penelitian, dari 70 anak dengan
kecurigaan klinis apendisitis akut, 16% memiliki diagnosis akhir limfadenitis
mesenterik yang ditetapkan melalui ultrasonografi, perkembangan klinis,
atau operasi. Etiologi limfadenitis mesenteric, di antaranya adalah:
gastroenteritis virus dan bakteri, radang usus, dan limfoma; infeksi virus. 5,13

11. Kolik bayi


Bayi dengan kolik, khususnya pada kasus dengan kolik hipertonik,
kemungkinan mengalami nyeri perut berat. Biasanya, bayi dengan kolik
menunjukkan tangisan paroksismal dan menarik lutut mereka ke perut.
Kolik dapat mereda dengan keluarnya angin. 8,14

Gejala dan tanda bahaya nyeri abdomen anak


Tabel 2. Gejala dan Tanda Bahaya (Red Flag) Nyeri Perut pada Anak12

Gejala Tanda
■ Demam berulang atau tidak dapat dijelaskan ■ Pucat yang tidak dapat dijelaskan
■ Nyeri yang tidak terletak di daerah ■ Defans muskular (perut)
periumbilikal (sekitar pusar) ■ Pembengkakan abdomen (perut)
■ Nyeri malam dan terbangun di malam hari ■ Gangguan pertumbuhan
■ Kehilangan berat badan yang tidak disengaja ■ Kelambatan awal pubertas
■ Pertumbuhan yang lambat ■ Laju Endap Darah yang meningkat (ESR)
■ Nyeri sendi yang persisten ■ Luka di mulut
■ Darah dalam tinja ■ Clubbing (penebalan ujung jari)
■ Diare dan muntah yang berlanjut atau parah ■ Hipertensi/takikardia (denyut jantung cepat)
■ Riwayat keluarga penyakit radang usus/
penyakit seliak
■ Stres, kecemasan

Diagnosis
1. Anamnesis
Evaluasi awal harus difokuskan pada severitas penyakit dan potensi
kebutuhan pembedahan. Insiden kasus bedah pada anak dengan nyeri perut
akut di unit gawat darurat bervariasi dari 10% hingga 30%. Anamnesis
yang komprehensif melibatkan evaluasi penampilan anak, asupan makanan

Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 55


dan cairan, dan tingkat aktivitas. Usia memainkan peran penting dalam
memahami presentasi gejala. Sedangkan, untuk karakteristik nyeri, penting
untuk menanyakan lokasi, onset, karakter, keparahan, durasi, dan radiasi
nyeri, dengan mempertimbangkan usia anak. Anak-anak kecil mungkin
menunjukkan tanda-tanda ketidaknyamanan pada perut. Gejala yang
patut diperhatikan termasuk muntah berwarna kuning atau kehijauan
(menunjukkan obstruksi usus), tinja berdarah (menyiratkan iskemia usus),
dan pola demam. Demam pada awal rasa nyeri memiliki potensi risiko
pembedahan lebih kecil, sementara demam yang muncul setelah muntah
atau nyeri dapat mengindikasikan peritonitis. Karakteristik nyeri (lokal/
tersebar, terkait gerakan/tidak) dapat membantu membedakan antara
sumber nyeri viseral dan somatoparietal, yang memiliki lokasi reseptor
yang berbeda. Sebagai contoh, nyeri parietal yang bertambah parah dengan
gerakan dan membaik setelah buang air besar mungkin menunjukkan nyeri
kolonik. Riwayat ginekologis juga harus diperhatikan pada anak perempuan,
mencakup pola menstruasi, aktivitas seksual, dan metode kontrasepsi.
Kesehatan masa lalu, termasuk penyakit atau operasi, dapat memberikan
informasi mengenai diagnosis dan faktor risiko. 2,6,13

2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik harus lengkap dari kepala sampai ujung kaki walaupun
titik beratnya pada abdomen. Pemeriksaan tanda vital sangat perlu dilakukan.
Adanya demam mengindikasikan adanya infeksi atau inflamasi. Demam
tinggi disertai menggigil , tipikal adanya pielonefritis dan pneumonia.
Takikardi dan hipotensi, bisa karena hipovolemia. Hipertensi mungkin
dapat dihubungkan dengan Henoch-Schonlein purpura atau Hemolytic
uremic syndrome.
Perhatikan keadaan umum anak, posisi anak waktu berjalan, apakah
masih dapat berlompat- lompat atau berjalan sambil membungkuk. Waktu
anak tidur di meja periksa, apakah terbaring diam dan kesakitan bila diubah
posisinya, hal ini mungkin adalah tanda akut abdomen.
Pemeriksaan abdomen pada anak yang kesakitan dan menangis bisa
sulit dilakukan.. Pemeriksaan abdomen harus dilakukan pada posisi anak
yang santai. Meminta anak untuk menunjuk bagian abdomen yang paling
sakit, lalu menghindari area tersebut pada awalnya, juga dapat memudahkan
pemeriksaan. Pada inspeksi dilihat adakah asimetri perut, bentuk perut
( buncit, skapoid), gambaran usus. Palpasi lebih dalam dimulai di atas
SIAS diperlukan untuk mendeteksi pembesaran organ atau massa. Defans
muskuler pada palpasi dan perkusi yang menyebabkan nyeri lepas dapat
menjadi indikasi peritonitis.. Jika terdapat temuan dinding abdomen yang
kaku, defans muskular , nyeri tekan dan nyeri lepas dapat merupakan tanda
peritonitis.

56 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Auskultasi usus dapat membantu mengindentifikasi area yang sensitif.
Tidak adanya bising usus dapat menandakan ileus atau peritonitis, sementara
bunyi usus yang berlebih dapat menunjukkan obstruksi.6,13,14
Pemeriksaan rektal mungkin diperlukan untuk mengidentifikasi
abses panggul atau darah tersembunyi dalam tinja. Pemeriksaan panggul
diperlukan pada gadis remaja untuk mengevaluasi adanya kehamilan
dan potensi infeksi menular seksual; sementara anak laki-laki mungkin
memerlukan pemeriksaan alat kelamin eksternal.1,2,13 Pada pemeriksaan di
luar abdomen, dicari kemungkinan adanya hernia inginalis strangulata atau
inkarserata, pneumonia, ruam dikulit kaki dan bokong (Henoch Schonlein
purpura).1,2,13

3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium preliminer untuk menilai nyeri perut pada anak
harus mencakup hitung darah lengkap, laju endapan eritrosit atau protein
C-reaktif, pengujian kehamilan jika relevan, dan urinalisis. Sampel urin yang
dikumpulkan harus sesuai dengan tata cara ekstraksi, karena hasil dipstick
positif untuk leukosit, esterase, dan nitrit menunjukkan kemungkinan
infeksi saluran kemih. Penyelidikan lain mungkin mencakup tes fungsi hati,
amilase, lipase, dan studi tinja untuk berbagai patogen. Kadar hemoglobin
yang rendah dapat menandakan kondisi seperti kehilangan darah atau
gangguan hematologi mendasar, seperti penyakit sel sabit. Keberadaan
leukositosis, terutama bila ditemukan bersamaan dengan adanya shift to the
left dan granulasi toksik dalam sediaan tepi, sangat menunjukkan infeksi
mendasar. Selain itu, urinalisis sangat berharga untuk mendeteksi kelainan
saluran kemih seperti infeksi atau keberadaan batu. 1,2,7
Risiko paparan radiasi adalah faktor yang penting untuk diperhatikan
pada radiografi, terutama pada anak-anak. CT Scan memaparkan anak pada
radiasi dengan jumlah yang signifikan, dengan potensi efek jangka panjang.
Ultrasonografi adalah metode pencitraan awal lebih direkomendasikan
karena efektivitas biaya dan tidak adanya risiko radiasi. Ultrasonografi
sangat banyak digunakan dalam berbagai macam kondisi, seperti penyakit
radang usus, Henoch-Schönlein Purpura, intususepsi, stenosis pilorus,
kolesistitis, pankreatitis, dan lainnya. Ultrasonografi adalah alat utama
untuk mengevaluasi apendisitis, baru setelahnya menggunakan CT Scans
atau MRI dalam kasus dengan temuan-temuan yang meragukan. Di unit
gawat darurat, ultrasonografi mungkin paling berguna dalam mendiagnosis
patologi ginekologis seperti kista ovarium, torsio ovarium, atau peradangan
periapendiksia lanjutan. Radiografi perut lebih mungkin memberikan
informasi diagnostik dalam kasus-kasus khusus, seperti riwayat bedah
perut atau tanda-tanda abdominal yang jelas. CT mungkin diperlukan

Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 57


untuk mendiagnosis komplikasi seperti nekrosis akibat pankreatitis atau
pembentukan abses pada apendisitis. 1,4,7

Tatalaksana
Tatalaksana nyeri perut akut membutuhkan evaluasi cepat, dengan
mengutamakan hidrasi dan pengendalian nyeri. Opioid dapat diberikan
untuk pasien dengan nyeri berat tanpa mengurangi akurasi diagnostik.
Konsultasi bedah mendesak sebaiknya dilakukan secepat mungkin sambil
menunggu hasil diagnostik. Untuk kasus yang tidak memiliki penyebab
bedah akut yang teridentifikasi, pemeriksaan ulang dalam 24 hingga 48
jam direkomendasikan, karena hingga 30% anak-anak masih mungkin
mengalami perubahan diagnosis. Apendisitis adalah salah satu kecurigaan
terbesar, terutama selama masa remaja, dan penggunaan skor seperti Skor
Apendisitis Pediatrik dan skor Alvarado dapat digunakan untuk membantu
evaluasi pasien. Perbedaan diagnosis mungkin dialami bayi dan balita
yang berbeda seperti invaginasi dan kelainan kongenital, sementara remaja
mungkin mengalami patologi terkait gonad atau ginekologik seperti torsio
ovarium atau kehamilan ektopik. 1,7,15-16

Penutup
Sakit perut akut adalah keluhan umum pada anak-anak, dan dapat
disebabkan oleh berbagai kondisi bedah dan non-bedah yang mendasarinya.
Kondisi non-bedah yang paling umum adalah konstipasi, gastroenteritis,
sedangkan kondisi bedah yang paling umum adalah apendisitis. Sakit
perut pada anak bervariasi berdasarkan usia, gejala yang terkait, dan lokasi
nyeri. Meskipun sakit perut akut biasanya bersifat jinak dan bersifat swa-
batas, terdapat kondisi yang jarang tapi mengancam jiwa yang memerlukan
perawatan segera. Anamnesis dan pemeriksaan fisik sangat penting untuk
menentukan penyebab sakit perut akut dan mengidentifikasi anak-anak
dengan kondisi bedah seperti apendisitis.

Daftar pustaka
1. Reust CE. Acute Abdominal Pain in Children. 2016;93(10).
2. Montgomery DF, Hormann MD. Acute abdominal pain: a challenge for the
practitioner. J Pediatr Health Care. 1998;12(3):157-159
3. Raymond M, Marsicovetere P, DeShaney K. Diagnosing and managing acute
abdominal pain in children. 2022;35(1).
4. Kim JS. Acute Abdominal Pain in Children. Pediatr Gastroenterol Hepatol Nutr.
2013;16(4):219.

58 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
5. Bundy DG, Byerley JS, Liles EA, Perrin EM, Katznelson J, Rice HE. Does this
child have appendicitis? JAMA. 2007; 298(4):438-451.
6. Toorenvliet B, Vellekoop A, Bakker R, et al. Clinical differentiation between acute
appendicitis and acute mesenteric lymphadenitis in children. Eur J Pediatr Surg.
2011; 21(2):120-123
7. Leung AKC. Acute Abdominal Pain in Children. 2003;67(11).
8. P Blackwood B, Grabowski J. Chronic cholecystitis in the pediatric population:
an underappreciated disease process. Gastroenterol Hepatol Bed Bench. 2017
Spring;10(2):125-130. PMID: 28702136; PMCID: PMC5495900.
9. Baker RD. Acute Abdominal Pain. Pediatrics In Review. 2018 Mar 1;39(3):130–9.
10. Shimizu T, Umemura T, Fujiwara N, Nakama T. Review of pediatric abdominal
trauma: operative and non-operative treatment in combined adult and pediatric
trauma center. Acute Med Surg. 2019 Apr 7;6(4):358-364. doi: 10.1002/ams2.421.
PMID: 31592319; PMCID: PMC6773634.
11. Notrica, D. M., Eubanks, J. W., Tuggle, D. W., Maxson, R. T., Letton, R. W., Garcia,
N. M., et al. (2015). Nonoperative management of blunt liver and spleen injury
in children. Journal of Trauma and Acute Care Surgery, 79(4), 683–693
12. Carty HM. Paediatric emergencies: non-traumatic abdominal emergencies. Eur
Radiol 2002;12:2835-48.
13. Millar AJ, Rode H, Cywes S. Malrotation and volvulus in infancy and childhood.
Semin Pediatr Surg. 2003 Nov;12(4):229-36.
14. Lucassen P. Colic in infants. BMJ Clin Evid. 2015 Aug 11;2015:0309. PMID:
26581647; PMCID: PMC4531337.
15. Kim JS. Acute Abdominal Pain in Children. Pediatr Gastroenterol Hepatol Nutr.
2013;16(4):219.
16. Sharwood LN, Babl FE. The efficacy and effect of opioid analgesia in
undifferentiated abdominal pain in children: a review of four studies. Paediatr
Anaesth. 2009;19(5): 445-451.

Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 59


Pitfalls Tata laksana Anak dengan Berat
Badan Tidak Naik: Aspek Gastroenterologi
Eva Jeumpa Soelaeman

B
erat badan (BB) tidak naik merupakan suatu keadaan yang sering
ditemukan pada anak karena berbagai sebab dan bisa menyebabkan
pertumbuhannya terganggu. Penyebab terbanyak BB tidak naik
adalah asupan kalori yang kurang,1 asupan makanan tidak cukup (akibat
pengetahuan pemberi makanan kurang),2 infeksi kronis (penyakit TBC/
HIV),3 gangguan mengunyah dan kelainan di mulut,4 kelainan medis seperti
palsi serebral palsi atau kelainan oromotor,4 kelainan gastroenterologi seperti
Gastroesophageal reflux disease (GERD)5 atau malabsorbsi, 6 konstipasi,7 sukar
menelan,4 kelainan pancreas,8 kelainan pencernaan (penyakit Crohn/celiac),9
kelainan metabolik,8 kelainan hormon tiroid,/paratiroid,8 kelainan jantung/
ginjal (sindrom nefrotik,9 kelainan ginjal kronik atau masalah genetik.9
Dalam makalah ini hanya akan membahas topik mengenai penyakit
gastroenterologi yang sering menjadi penyebab BB tidak naik seperti GERD,
malabsorbsi usus dan konstipasi kronis

Gastroesophageal reflux disease


Definisi: Yang dimaksud dengan GERD adalah terjadinya aliran balik isi
gaster kembali ke kerongkongan akibat tidak menutupnya sfingter esofagus
bagian bawah secara sempurna.5
Gejala: nyeri di ulu hati yang menjadi lebih berat setelah makan10,
regurgitasi, nyeri dada, kesulitan menelan, batuk yang sukar sembuh, mulut
asam, suara serak atau sakit tenggorokan, asma yang sukar sembuh, napas
berbau, sering kembung, rewel saat makan atau kalau tidur, cegukan, berat
badan tidak naik, perdarahan saluran cerna.11
Pada beberapa kasus gejala GERD ini sering tidak jelas sehingga luput
dari perhatian orang tua dan tidak terdiagnosis oleh dokter, misalnya berat
badan tidak naik.11
Faktor risiko terjadinya GERD adalah pengosongan lambung yang
lambat, tidur setelah makan, sering memakai celana ketat dan obesitas.12
Patofisiologi terjadinya berat badan tidak naik pada pasien GERD
adalah karena anak akan mengeluh tidak nafsu makan sampai menolak

60
makan akibat gejala2 GERD atau kompilkasi yang terjadi.11

Diagnosis
Cara diagnosis yang termasuk baku emas adalah dengan pemeriksaan
pH metri12, tapi bisa dibantu dengan pemeriksaan Barium meal atau
gastroskopi.13

Tata laksana
Bila GER fisiologis tidak perlu pengobatan tetapi kalau mulai ditemukan
gejala GER yang patologis (GERD) seperti muntah sering yang terjadi
diluar waktu makan maka perlu diberikan pengobatan dengan Proton pump
inhibitor ( PPI),13 atau prokinetik seperti domperidone atau cisapride.14
Komplikasi
Komplikasi yang sering ditemukan adalah esofagitis, striktur esofagus/ Barret
dan yang berat bisa sampai keganasan di esophagus. 15

Malabsorbsi
Yang dimaksud dengan malabsorbsi adalah keadaan yang menyebabkan
usus halus sukar untuk mencerna dan menyerap zat gizi yang ada dalam
makanan sehingga tubuh kita akan kekurangan asupan gizi dan berat
badannya tidak naik.16
Malabsorbsi bisa dibedakan atas malabsorbsi makronutrien ( protein,
karbohidrat dan lemak) dan malabsorbsi mikronutrien (vitamin dan
mineral) atau gabungan keduanya.17

Malabsorbsi protein
Malabsorbsi protein terjadi karena mukosa usus kekurangan enzim protease
yang dipakai untuk mencerna protein. Bisa juga BB tidak naik karena asupan
yang kurang terutama terjadi akibat asupan golongan asam amino esensial
yang kurang.18
Gejala yang ditemukan biasanya berupa berat badan tidak naik, kaki
bengkak akibat hipoalbuminemia dan kulit kering. Pada keadaan berat
tampak gambaran kwashiorkor: perut membuncit karena asites dan kaki
edema17

Malabsorbsi Karbohidrat
Malabsorbsi karbohidrat terjadi akibat asupan karbohidrat yang kurang

Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 61


atau akibat produksi enzim amilase di mukosa usus atau pankreas yang
berkurang.6 Gejalanya adalah perut kembung, begah dan bisa disertai diare. 19

Malabsorbsi lemak
Malabsorbsi lemak terjadi akibat kita kekurangan enzim lipase yang
diproduksi di pankreas dan di mukosa usus halus.6
Gejalanya adalah BAB tampak berminyak, bau menyengat dan agak
lembek.2.

Malabsorbsi yang mengakibatkan defisiensi vitamin


Malabsorbsi jenis ini bisa diakibatkan karena zat yang membantu absorbsi
vitamin dan mineral berkurang selain asupan yang kurang.20
Yang paling sering ditemukan adalah anemia defisiensi Fe yang juga
sering menimbulkan anoreksia dan akhirnya berat badan tidak naik.21

Penyebab malabsorbsi bisa dibagi menjadi:


1. Gangguan sekresi enzim pankreas. Enzim pankreas sangat dibutuhkan
usus untuk digesti zat makanan. Hal itu terjadi bila ada gangguan
pankreas seperti infeksi/radang atau trauma, pasca operasi, atau penyakit
pankreas lainnya.22
2. Kerusakan mukosa usus bisa terjadi akibat diare berulang, pasca operasi
usus, sindrom usus pendek, penyakit Crohn22
3. Faktor lain seperti diare kronis karena defisiensi imun pada HIV/
AIDS, gangguan sekresi empedu pada kolestasis, gangguan pola makan,
kebiasaan makan yang tidak biasa (pica), konsumsi obat jangka lama
seperti antibiotik, juga bisa memicu BB tidak naik, termasuk intoleransi
laktosa22. Kerusakan mukosa usus juga bisa karena terapi radiasi dosis
tinggi atau obat seperti tetrasiklin, colchicine, kolestiramin pada pasien
tertentu.22

Faktor risiko
Faktor risiko terjadinya malabsorbsi termasuk konsumsi pencahar yang
berlebihan, riwayat malabsorbsi dalam keluarga, dan pasca operasi usus
halus.23

Diagnosis
Diagnosis malabsorbsi bisa diketahui dengan melakukan pemeriksaan darah
kadar vitamin B12 vitamin D, asam folat, zat besi, kalsium, karoten, fosfor,
albumin, protein, elektrolit, dan tes tinja untuk mencari malabsorbsi lemak,
karbohidrat atau protein.24

62 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Uji hidrogen napas dilakukan pada pasien yang diduga menderita
intoleransi laktosa.24

Tatalaksana malabsorbsi
Pertama yang dilakukan adalah mengatasi kegawatannya kalau ada seperti
diare, lemas, dehidrasi. Selanjutnya adalah mengatasi penyakit dasar,
baru kemudian dilakukan rancangan diet yang sesuai dengan keadaan
penyakitnya.
Suplementasi enzim bisa membantu mukosa usus mendigesti dan
menabsorbsi makanan. Selain itu, perlu diberi suplemen vitamin karena
absorbsi vitamin juga berkurang.24
Perubahan diet. Biasanya jangan makan yang bisa menimbulkan
diare. Pada intoleransi laktosa bisa diberi enzim laktase atau pemberian
susu rendah laktosa.24
Pada kelainan hati seperti sirosis hati diberikan multivitamin A, D,E,
K dan makanan tinggi protein.25
Pada yang pola makannya salah bisa dilakukan perubahan pola makan
bertahap untuk mengurangi gejala dan mengembalikan kemampuan mukosa
usus sebagai organ utama yang fungsinya sebagai tempat absorbsi zat gizi.

Tatalaksana Diet pada malabsorbsi


Monitoring ketat asupan dan pengeluaran zat gizi agar bisa mencegah
terjadinya kekurangan gizi jangka pendek dan jangka panjang serta bisa
mencegah terjadinya stunting yang akhirnya menyebabkan penurunan IQ.26

Konstipasi
Konstipasi pada anak termasuk penyakit gastroenterologi yang sering
ditemukan. Penyakit ini merupakan 25% dari pasien Poliklinik
Gastroenterologi.7
Yang dimaksud dengan konstipasi adalah BAB dengan frekuensi 2 kali
perminggu atau kurang yang berlangsung paling sedikit 2 minggu.7 Gejala
yang ditemukan adalah bab jarang, volumenya besar dan konsistesinya keras,
rasa sakit saat Bab, kembung dan nafsu makan berkurang.7 Pada penderita
konstipasi bisa disertai bab encer akibat pembusukan feses yang keras di
dalam kolon yang disebut soiling.27
Penyebab konstipasi 95% fungsional antara lain diet rendah serat,
dehidrasi, asupan makanan yg kurang dan sering menahan BAB, sedangkan
yang 5% organik.7

Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 63


Pada pasien konstipasi kronis, sering menyebabkan berkurangnya nafsu
makan yang menahun yang bisa mengakibatkan berat badan tidak naik.28
Karena itu, pada pasien ini harus diwaspadai adanya anoreksia kronis yang
harus cepat diatasi agar tidak melanjut.

Tatalaksana konstipasi
Pada pasien konstipasi perlu diberi edukasi yang adekuat dan dosis pencahar
yang cukup agar tidak terjadi konstipasi berulang atau konstipasi kronis.
Selain itu juga perlu juga dicari penyebab konstipasinya seperti diet rendah
serat, kegagalan toilet training atau trauma saat BAB.
Pencahar yang sering dipakai pada konstipasi adalah macrogol dan
lactulose,29 selain itu juga bisa diberikan sinbiotik. 29

Penutup
Berat badan tidak naik dari aspek gastroentrologi merupakan gejala yang
perlu diwaspadai terutama kalau penyebabnya tidak jelas dan kronis sehingga
sering luput dari perhatian. Penyebab tersering adalah GERD, malabsorbsi
dan konstipasi.
Pada GERD, pasien sering menolak makan karena sudah mulai muncul
gejala esofagitis sedangkan pada malaborbsi, pasien mengeluh makan
banyak, BAB banyak tetapi berat badan tidak naik.
Pada konstipasi, bab keras dan tertumpuk di kolon yang mengakibatkan
BB anak tidak naik karena nafsu makannya juga menurun.

Daftar pustaka
1. Danaei G, Andrews KG, Sudfeld CR, Fink G, McCoy DC, Peet E, et al. Risk
factors for childhood stunting in 137 developing countries: a comparative
risk assessment analysis at global, regional, and country levels. PLoS Med.
2016;13(11):e1002164.
2. Attia S, Feenstra M, Swain N, Cuesta M, Bandsma RHJ. Starved guts: morphologic
and functional intestinal changes in malnutrition. J Pediatr Gastroenterol Nutr.
2017; 65(5): 491–5.
3. Penda CI, Maukoo ECE, Nolla NP, Eundi NOA, Ndombo PK. Malnutrition
among HIV infected children under 5 years of age at the Laquintinie Hospital,
Doula, Cameroon. Pan Afr J 2018; 30 (1): 91-8.
4. Johnson A, Gambrah-Sampaney C, Khurana E, Baier J, Baranov E, Manokwane
B, et al. Risk factors for malnutrition among children with Cerebral Palsy in
Botswana. Ped Neur.2017;70:50-5.
5. Clarret DM, Haschem C. Gastroesophageal reflux disease. J Miss Med Ass 2018;
115 (3): 214-8.

64 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
6. Babonji MS, Asiri LS, Alamri SM , Ajwa GI, Alsoliman RK, Ismail LN, et al.
Common malabsorption syndromes in different pediatrics age. Int J Community
Med Public Health. 2021 Jun;8(6):3146-50.
7. Tran DJ, Sintusek P. Functional constipation in children: what physcians should
know. World J. Gastroenetrol. 2023; 29 (8): 1261-88.
8. Othman MO, Harb D, Barkin JA. Introduction and practical approach to exocrine
pancreatic insufficiency for the practicing clinician. Int J Clin Pract. 2018;72(2):
30-5
9. Dispasqualle V, Cucinata L, romano C. Acute malnutrition in children:
pathophysiology, clinical effects and treatment. Nutrients 2020; 12(8): 2413-18
10. Rosen R, Vandenplas Y, Singendonk M, et al: Pediatric Gastroesophageal Reflux
Clinical Practice Guidelines: Joint Recommendations of the North American
Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition and the
European Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition. J
Pediatr Gastroenterol Nutr 2018; 66(3): 516-554.
11. Khan S, Matta SKR. Gastroesophageal reflux disease. In: Kliegman RM, St.
Geme JW, Blum NJ, Shah SS, Tasker RC, Wilson KM, eds. Nelson Textbook of
Pediatrics. 21st ed. Philadelphia, PA: Elsevier; 2020:chap 349.
12. Vandenplas Y. Gastroesophageal reflux. In: Wyllie R, Hyams JS, Kay M,
eds. Pediatric Gastrointestinal and Liver Disease. 6th ed. Philadelphia, PA:
Elsevier; 2021:chap 21.
13. Richards MK, Goldin AB. Neonatal gastroesophageal reflux. In: Gleason CA, Juul
SE, eds. Avery’s Diseases of the Newborn. 10th ed. Philadelphia, PA: Elsevier;
2018:chap 74.
14. Tillman EM, Smetana KS, Bantu L, Buckley MG: Pharmacologic Treatment
for Pediatric Gastroparesis: A Review of the Literature. J Pediatr Pharmacol
Ther 2016; 21(2):120-32.
15. Berg EA, Khlevner J. Treatment of Gastroesophageal reflux in children. Pediatr
Rev 2021; 42(1): 51-3
16. Babonji MS, Asiri LS, Alamri SM , Ajwa GI, Alsoliman RK, Ismail LN, et al.
Common malabsorption syndromes in different pediatrics age. Int J Community
Med Public Health. 2021 Jun;8(6):3146-50.
17. Clark R, Johnson R. Malabsorption Syndromes. Nurs Clin North Am. 2018
Sep;53(3):361-374.
18. El Baba M. Approach to a child with malabsorption. Textbook of Clinical
Pediatrics Editors, ElZuki AY, Harfi HA, Nazer HM, Stapleton FB, Oh W, Whitley
RJ pp 1823-28
19. Canani RB, Pezzela V, Amoroso a, Cozzolino t, Di Scala c, Pasariello A. Diagnosing
and treating intolerance to carbohydrate in children. Nutrients 2016;8(3): 157-67
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4808885/
20. Martini L, Pecoraro, L, Salvottini C, Piacentini G, Atkinson R, Pietrobelli A.
Appro[riate and appropriate vitamin supplementation in children. J. Nutr Sci
2020; 9: e20-35
21. Saboor M, Zehra A, Qamar K, Maiuddin: Disorders associated with
malabsorption of iron: Amalabsoption critical review; Pak J med sci 2015;31(6):
1549-53.

Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 65


22. VanderHeide F.: Acquired causes of intestinal malabsorption. Best Pract Res
Clin Gastroenterol. 2016; 30(2):213-24.
23. Ensari A. The malabsorption syndrome and its causes and consequences.
Pathobiol hum dis. 2014; 8: 1266-87
24. Guandalini S. Pediatric malabsorption syndromes. Medscape
25. Mc Clain CJ. Nutrition in Patients with cirrhosis. Gastroenterol Hepatol; 2016;
12(8)
26. Missel malabsorbtionwitz B, Butter M, Verbeke K, Fox MR. Update on
lactose malabsorption and intolerance: pathogenesis, diagnosis and clinical
management. Gut. 2019 Nov;68(11):2080-91.
27. Koppen IJN, Vriesman MH, Saps M, Rajindrajith S, Shi X, van Etten-Jamaludin
FS, et al. Prevalence of functional defecation disorders in children: a systematic
review and meta-analysis. J Pediatr. (2018);198:121-30
28. Tabbers MM, DiLorenzo C, Berger MY, Faure C, Langendam MW, Nurko s, et
al. Evaluation and treatment of functional constipation in infants and children:
evidence-based recommendations from EPSGHAN and NAPSGHAN. J Pediatr
Gastroenterol Nutr 2014; 58:258- 74
29. Hyams JS, Di Lorenzo C, Saps M, Shulman RJ, Staiano A, Van Tilburg M. Childhood
functional gastrointestinal disorders: child/adolescent. Gastroenterology. (2016)
150:1456–68

66 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Mengenal Obstruksi Saluran Cerna
pada Anak
Alexandra

S
aluran Pencernaan adalah salah satu sistem dalam tubuh manusia.
Anatomi dan ukuran saluran pencernaan pada anak dan dewasa
tentunya berbeda. Pasase yang lancar dari saluran Cerna akan
membantu anak untuk tumbuh dan berkembang karena penyerapan
makan berjalan lancar. Obstruksi atau sumbatan pada Saluran Cerna dapat
merupakan kejadian yang serius bahkan bisa mengancam kehidupan.
Obstruksi saluran cerna dapat muncul di segala usia. Bisa saat
usia neonatus, balita , bahkan usia remaja. Tentunya dengan gejala dan
karakteristik yang berbeda. Pada usia neonatus lebih banyak karena kelainan
kongenital , sedangkan pada anak usia diluar neonatus bisa disebabkan oleh
penyebab kelainan bawaan ataupun didapat. Contoh : Hirschsprung disease
yang gejala nya baru muncul di usia > 1 bulan.
Gejala pada anak/pasien dengan obstruksi saluran cerna paling sering
adalah muntah, nyeri perut, distensi abdomen, kadang disertai dengan
demam, sesak nafas. Gejala yang muncul disetiap kelompok usia kadang
berbeda.

Obstruksi saluran cerna


Obstruksi testinal harus dicurigai pada setiap anak dengan muntah persisten,
distensi perut, dan sakit perut. Diagnosis dan pengobatan yang tertunda
dapat menyebabkan kegawat daruratan pada anak. Bayi dan anak-anak
dengan obstruksi usus dapat terlihat dengan intoleransi makan, lekas marah,
muntah, nyeri, dan distensi perut. Obstruksi yang tidak terdiagnosis atau
tidak dikelola dengan benar dapat berkembang menjadi iskemia usus, yang
pada gilirannya dapat berkembang menjadi nekrosis, perforasi, dan sepsis
bila tidak ditatalaksana dengan baik dan tepat. Gejala yang sering muncul
adalah muntah, nyeri perut, distensi abdomen

Muntah
Muntah adalah kondisi ketika isi lambung keluar secara paksa melalui mulut.
Berbeda dari regurgitasi atau keluarnya isi lambung tanpa kontraksi, muntah
disertai kontraksi pada lambung dan otot perut. Muntah sendiri bukan suatu

67
penyakit, melainkan gejala. Dengan melihat pola muntah, isi dan warna dari
muntahan tersebut kita bisa memperkirakan lokasi sumbatan tersebut.
Bila muntah proyektil, maka lokasi sumbatan didaerah Pylorus.
Bila muntah keluar banyak tapi tidak menyemprot, kemungkinan lokasi
sumbatan lebih distal dari Pylorus
Warna muntahan bisa juga memperirakan lokasi obstruksi nya. Bila
berwarna kuning atau jernih, kemungkinan sumbatannya didaerah Pylorus
atau gastric outlet. Bila muntahan berwarna hijau, maka sumbatanya
kemungkinan didaerah duodenum. Bila berwarna menyerupai feces maka
obstruksi diperkirakan daerah usus halus atau lebih rendah.

Nyeri perut
Nyeri perut (nyeri adomen/abdominal pain) merupakan sensasi tidak
nyaman yang dirasakan pada area dibawah tepi tulang rusuk/iga (right and
left costal margin) sampai sekitar lipat paha (inguinal fold). Secara skematis
kadang daerah perut dibagi menjadi 4 bagian dengan pusatnya adalah
umbilikus. Nyeri pada 4 daerah tersebut bisa memperkirakan organ apa
yang mengalami masalah. Kanan atas daerah hepatobilier dan duodenum,
kiri atas daerah lambung dan pancreas, kanan bawah daerah Appendix dan
Caecum, kiri bawah daerah Colon Sygmoid. Sedangkan bila mengeluh nyeri
daerah sekitar pusar lebih ke organ usus halus.
Nyeri perut bisa berupa kolik ataupun terus menerus. Kolik abdomen
timbul biasanya berhubungan oragan yang ber peristaltik, seperti usus ,
sedangkan nyeri yang terus menerus berhubungan dengan infeksi ataupun
terhjadinya perforasi pada organ saluran cerna. Nyeri yang dirasakan pada

68 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
keadaan obstruksi saluran cerna lebih bersifat kolik yang berhubungan
dengan peristaltik usus

Distensi abdomen
Distensi abdomen terjadi ketika isi dari saluran cerna, seperti udara (gas) atau
cairan, menumpuk di dalam usus yang disebabkan tidak bisa mengalir ke
distal sehingga menyebabkan penumpukan atau melebarnya organ tersebut.
Ini biasanya merupakan gejala dari penyakit yang mendasari atau disfungsi
atau gangguan pasase saluran cerna dalam tubuh. Pasien dengan kondisi ini
sering menggambarkannya sebagai “merasa kembung”. Orang yang terkena
sering mengalami sensasi kenyang, tekanan perut yang lebih tinggi, dan
kadang-kadang mual, nyeri, atau kram. Dalam kasus yang paling ekstrim,
tekanan ke atas pada diafragma dan paru-paru juga dapat menyebabkan
sesak napas. Melalui berbagai penyebab, kembung paling sering disebabkan
oleh penumpukan gas di perut, usus kecil, atau usus besar. Sensasi tekanan
sering terasa lega, atau setidaknya berkurang, dengan bersendawa atau
kentut ( flatus )
Distensi abdomen tidak terlalu terlihat bila sumbatan berada di daerah
gaster dan duodenum, hanya terlihat seperti distensi di daerah epigastrium
saja. Sedangkan bila sumbatan di usus halus akan lebih terlihat distensi
abdomen nya. Bila sumbatan di daerah colon, maka abdomen lebih terlihat
melebar ke samping.
Pada pemeriksaan fisik abdomen bila terjadi distensi abdomen kadang
terlihat kontur dari usus halus ataupun pergerakan dari usus halus. Hal
ini menunjukan adanya obstruksi pada usus halus. Sedangkan bila hanya
cembung saja tanpa terlihat kontur dan pergerakan usus halus , lebih
kemungkinan gangguan pasase atau paralitik dari saluran cerna tersebut.
Pada keadaan infeksi ataupun perforasi usus selain terlihat cembung, juga
teraba tegang dan gambaran kemerahan pada dinding abdomen.
Gambar

Gambaran obstruksi saluran cerna

Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 69


Gejala lain
Gejala lain yang mungkin muncul pada anak dengan obstruksi saluran
cerna adalah :
y Demam
y Dehidrasi

Pemeriksaan penunjang
Yang diperlukan untuk membantu diagnosa dari obstruksi saluran cerna
tersebut. Pemeriksaan Laboratorium untuk membantu penilaiaan diagnostik
dari kemungkinan adanya obstruksi saluran cerna dan infeksi
Pemeriksaa Radiologi dibutuhkan juga untuk membantu menegakkan
diagnosa. USG sangat membantu untuk menilai adakah cairan bebas di
intra abdomen atau tidak, apakah kelainan tersebut disertai ascites ataukah
sudah terjadi perforasi karena adanya akumulasi cairan di intra abdominal.
Pemeriksaan foto polos abdomen AP dan Lateral Sinar Horizontal ( Cross
table) bisa membantu menilai apakah terjadi obstruksi saluran cerna ataukah
parlaitik dari saluran cerna. Juga bisa menilai apakah sudah terjadi perforasi
usus atau tidak

Pemeriksaan Foto Abdomen AP dan Lateral Sinar Horizontal lebih bisa


memperkirakan apakah kasus Obstruksi , Paralitik ataukah sudah terjadi
perforasi usus
Pemeriksaan Radiologi yang lain adalah Kontras Meal untuk melihat
obstruksi sal cerna bagian atas, Kontras enema untuk melihat obstruksi
saluran cerna bagian bawah. Kadang diperlukan juga pemeriksaan CT Scan
ataupun MRI untuk melihat adakah penyebab extrinsik yang menyebabkan
obstruksi saluran cerna , seperti yumor yang mendesak saluran cerna dan
menyebabkan obstruksi

70 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Obstruksi saluran cerna pada neonatus lebih banyak disebabkan
karena kelainan kongenital , seperti Atresia pada duodenum, usus halus,
ataupun Malrotasi dan Hirschsprung. Sedangkan pada anak lebih besar
bisa disebabkan oleh kelainan bawaan ataupun didapat. Seperti misalnya
Hirschsprung Disease, Hernia Incarcerata, Adhesi pasca operasi, ataupun
obstruksi saluran verna karena penekanan tumor.

Beberapa kelainan obstruksi saluran cerna :


1. Pylorus : Hypertropic Pyloric Stenosis
2. Duodenum : Atresia Duodenum, Anulare Pancreas, Stenosis Duodenum,
Malrotasi
3. Usus Halus : Atresia Usus Halus, Volvulus, Meconium Ileus, Adhesi pasca
operasi, Diverticle Meckle, Adhesive Band, Hernia Incarcerata
4. Usus Besar : Invaginasi, Hirschsprung Disease, Meconium Plug
Syndrome, Volvulus sygmoid

Pylorus
Kelainan yang sering terlihat pada lokasi ini adalah Hypertropic Pyloric
Stenosis. Kelainan ini adalah kongenital yang disebabkan karena menebalnya
otot pada daerah Pylorus yang menyebabkan lumen Pylorus jadi menyempit.
Sehingga cairan dari lambung tidak bisa melewati daerah tersebut. Serirng
ditemukan pada usia neonatus
Gejala yang terlihat adalah muntah yang proyektil yang biasanya
terlihat beberapa saat setelah minum ASI. Karena berada di proksimal dari
duodenum makan muntahan hanya berisi ASI saja
Pemeriksaan fisik yang terlihat adalah gambaran kontur gaster di daerah
epigastrium saja. Kadang teraba adanya benjolan didaerah epigastrium.

Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 71


Pemeriksaan penunjang USG, Foto abdomen
Foto Abdomen  single buble Pemeriksaan USG  penebalan dinding Pylorus

Tindakan operasi yang dilakukan adalah Pyloromyotomy


Operasi Pyloromyotomy

Duodenum
Kelainan pada daerah Duodenum banyak disebabkan karena kelainan
kongenital, dengan gejala yang khas yaitu muntah hijau ( Bilious vommiting
), hal ini disebabkan karena aliran ke distal di daerah duodenum yang
terganggu.
Pemeriksaan fisik ditemukan gambaran kontur dan pergerakan usus
di daerah epigastrium saja, tidak ditemukan perut kembung

72 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Atresia Duodenum dan Anulare Pancreas

Pemeriksaan Radiologi  gambaran Double buble

Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 73


Operasi By Pass Duodenoduodenostomy pada Atresia Duodenum dan
Anulare Pancreas

Malrotasi
Gejala dan pemeriksaan fisik hampir sama dengan Atresia Duodenum –
gangguan pada saat perputaran usus dalam perkembangan janin

Malrotasi tanpa Volvulus Malrotasi dengan Volvulus

Pemeriksaan radiologi

Foto polos Abdomen Kontras Enema  Lokasi Caecum di kanan atas

74 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Operasi Ladds Procedure (eksisi Ladd band, cranialisasi duodenojejunal,derotasi
volvulus)

Usus Halus
Obstruksi saluran cerna pada usus halus ada yang muncul pada saat neonatus
ataupun pada anak lebih besar. Yang bmuncul pada masa neonatus adalah
Atresia Usus Halus, Volvulus, Meconium Ileus. Sedangkan yang muncul
pada anak yang lebih besar adalah Volvulus, Adhesi pasca operasi, Adhesif
band, Hernia incarccerata.
Gejala yang muncul pada obstruksi saluran cerna daerah ini adalah
muntah yang warnanya kehijauan atau kadang coklat menyerupai feces,
perut kembung dan kadang disertai nyeri perut yang kolik
Pemeriksaan fisik yang terlihat adalah perut cembung disertai dengan
gambaran kontur usus dan pergerakan usus halus yang terlihat di dinding
abdomen

Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 75


Atresia usus halus
Kelainan bawaan berupa terputusnya kontinuitas dari usus halus

Pemeriksaan Penunjang
Foto polos abdomen dan Kontras Enema

Tatalaksana operasi
Anastomose Usus Ileostomy Bishoop Koop dan Santuli
(bila ditemukan perbedaan diameter usus)

76 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Meconium Ileus
Mekonium kadang-kadang menjadi menebal dan padat di ileum, suatu
kondisi yang dikenal sebagai ileus mekonium. Di dalam usus tersebut
mekonium berwarna lebih pucat dan mungkin ada beberapa pelet globular
abu-abu-putih yang terpisah. Di bagian distal nya usus akan terlihat kecil dan
kosong. Di proksimal dari obstruksi, ada beberapa loop usus yang melebar
dan berisi cairan. Gambaran klinis mirip seperti Atresia usus halus

Pemeriksaan Radiologi Kontras enema  gambaran luscent diantara


gambaran opaqu

Tatalaksana sama seperti yang dilakukan pada Atresia Usus Halus

Volvulus usus halus


Gejala dan pemeriksaan fisik sama seperti kelainan pada obstruksi usus halus
lainnya , hanya nyeri perut yang dikeluhkan bersifat kolik. Volvulus bisa
terjadi karena axis pembuluh darah yang pendek pada daerah Mesenterium
sehingga memudahkan usus untuk berputar

Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 77


Pemeriksaan Radiologi  gambaran dilatasi usus halus dan tanda air fluid
level

Tatalaksana operasi : Laparotomy Explorasi dan dilakukan de rotasi usus


halus dari volvulusnya

Usus besar
Obstruksi saluran cerna pada daerah usus besar sebagian karena kongenital
dan sebgaian lain karena didapat. Kelainan kongenital antara lain : Meconium
Plug Syndrome, Hirschsprung disease. Kelainan yang didapat volvulus
sygmoid ataupun faktor etrinsik yang menekan usus besar seperti tumor
Gejala biasanya terlihat perut cembung, muntah ke coklatan menyerupai
feces , dan nyeri perut kolik pada kasus volvulus. BAB jarang atau BAB darah
pada kasus invaginasi
Pada pemeriksaan fisik kadang terlihat abdomen melebar ke samping
dan tidak terlalu kesakitan bila dibandingkan dengan kelainan pada daerah
usus halus. Pada kasus invaginasi akan teraba massa pada daerah abdomen
yang merupakan bagian usus invaginat nya.
Pemeriksaan Radiologi yang dilakukan untuk membantu penegakkan
diagnosa adalah Kontras Enema

Hirschsprung disease
Penderita biasanya dengan keluhan sulit BAB disertai dengan perut yang
menjadi cembung. Hirschsprung disease disebabkan karena tidak adanya
ganglion saraf pada bagian usus besar, sehingga bagian usus yang tidak ada
ganglion saraf tersebut akan menjadi spastik dan megecil

78 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Pemeriksaan Penunjang diagnostik dengan menggunakan biopsi
rectum untuk memastiksan tidak adanya gangglion saraf dan Kontras enema
untuk melihat daerah transitional zone nya.
Pemeriksaan Biopsi Rectum bisa menggunakan Suction biopsi ataupun
Full Thickness biopsi rectum.

Pemeriksaan Radiologi

Foto polos abdomenm Kontra enema pada Hirschsprung

Tatalaksana: awal dengan Spooling rectal, kemudian diagnostik


Ada 2 jenis operasi : 1 tahap ( Primary Pullthroug ) dan 2 tahap
(Colostomy dan Pullthrough)
Primary Pullthrough (opwerasi dilakukan melalui anus untuk
membuang bagian yang aganglionik)

Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 79


Invaginasi
Invaginasi adalah obstruksi saluran cerna berupa masuknya usus kedalam
usus distalnya. Pasien datang dengan keluahan rewel dan BAB lendir dan
darah. Saat tiba di Rumah Sakit sudah dalam keadaan kembung. Paling
sering ileum masuk ke dalam colon

Pemeriksaan Penunjang
USG Abdomen (gambaran target sign) Kontras Enema

Tatalaksana
Bila terjadinya masih < 24 jam dan tidak kembung, maka bisa dilakukan
reduksi dengan Enema Reduksi, bisa menggunakan kontras, cvairan normal
saline, udara dengan menggunakan guiding USG ataupun Fluoroscopy. Bila
> 24 jam atau perutnya kembung maka sebaiknya dilakukan Lparotomy
explorasi dan reduksi manual

Volvulus sygmoid
Adalah terputarnya usus di daerah Colon Sygmoid, dikarenakan Colon
sygmoid yang panjang dan aksisi pembuluh daerah di Mesocolon yang
pendek

80 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Penderita biasanya datang dengan keluhan nyeri perut kolik dan bagian
perut bawah terlihat lebih kembung.

Pemeriksaan Penunjang dengan Radiologi

Tatalaksana:
Laparotomy Explorasi + derotasi colon sygmoid. Kadang perlu dilakukan
reseksi sygmoid ataupun Colostomy

Apa yang bisa kita lakukan bila menemukan kasus kecurigaan Obstruksi
Saluran Cerna
Tatalaksana awal bila ditemukan kecurigaan kearah obstruksi saluran
cerna adalah :
y Pasang infus untuk rehidrasi
y Pasaang NGT untuk dekompresi dan melihat warna cairan yang keluar

Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 81


dari NGT agar bisa memperkirakan kelainan obstruksi saluran cerna nya
y Lakukan pemeriksaan penunjang Laboratorium
y Lakukan pemeriksaan Radiologi kopnsvensional seperti foto abdomen
dan USG. Bila diperlukan bisa dilanjutkan dengan pemeriksaan Foto
Abdomen yang menggunakan kontras, seperti Kontras Meal, Kontras
enema.

Beberapa kasus obstruksi saluran cerna memerlukan tindakan Bedah


segera, tetapi beberapa kasus bisa disiapkan sebagai tindakan semi cito.

Penutup
Obstruksi saluran cerna pada anak biasanya ditandai dengan keluhan
muntah, nyeri perut dan distensi abdomen. Dengan mengamati ke 3 gejala
diatas kita bisa membedakan ataupun menduga organ apa yang mungkin
mengalami sumbatana tersebut.
Pemeriksaan penunjang seperti Radiologi sangat dibutuhkan untuk
menentukan diagnosa obstruksi saluran cerna tersebut dan bisa menentukan
apakah memerlukan tindakan Bedah segera ataukah tidak
Beberapa kasus obstruksi saluran cerna memerlukan tindakan Bedah
segera, sedangkan sebagian lain bisa dilakukan sebagai tindakan semi cito.
Tatalaksana awal pada kasus obstruksi saluran cerna sangat membantu
penanganan lanjutan dari kasus tersebut.

82 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Berbagai Alternatif Upaya Rehabilitasi
Nutrisi pada Anak dengan Kelainan
Gastrohepatologi
Ariani Dewi Widodo, Juliana Susantio

P
enyakit gastrohepatologi mencakup berbagai gangguan saluran
pencernaan dan hati dan merupakan tantangan signifikan pada
pasien anak-anak.1 Kondisi-kondisi ini dapat memengaruhi sistem
pencernaan, hati, dan organ-organ terkait, seringkali menyebabkan
malnutrisi, gangguan pertumbuhan, dan penurunan kualitas hidup pada
anak-anak yang terkena dampak.2 Gangguan gastrohepatologi adalah
sekelompok penyakit kompleks yang memerlukan strategi manajemen
komprehensif dengan nutrisi yang memainkan peran sentral dalam
pengobatan dan rehabilitasi.
Penyakit gastrohepatologi pada anak-anak meliputi kondisi seperti
inflammatory bowel disease (IBD), penyakit hati kronis, atresia bilier,
dan berbagai gangguan saluran pencernaan.3 Penyakit-penyakit ini dapat
memiliki dampak yang mendalam pada pertumbuhan, perkembangan,
dan kesejahteraan anak. Memahami sifat dan prevalensi kondisi-kondisi ini
sangat penting bagi para profesional kesehatan, karena hal ini menjadi dasar
untuk mengatasi aspek-aspek nutrisi dalam pengelolaannya.
Dalam konteks gastrohepatologi pediatrik, metode rehabilitasi nutrisi
alternatif, terutama nutrisi enteral, merupakan hal yang signifikan karena
kemampuannya untuk memberikan nutrisi dan mendukung pertumbuhan
ketika asupan makanan biasa tidak mencukupi atau bermasalah. Dengan
demikian, makalah ini dibuat untuk membahas rehabilitasi nutrisi alternatif
dan potensinya dalam mengatasi tantangan khusus yang ditimbulkan oleh
penyakit gastrohepatologi pada pasien anak-anak.

Penyakit gastrohepatologi pada anak


Penyakit gastrohepatologi pada anak mencakup beragam kondisi medis yang
memengaruhi sistem pencernaan, termasuk saluran pencernaan dan hati.4
Kondisi-kondisi ini dapat muncul dalam berbagai bentuk, masing-masing
dengan etiologi, presentasi klinis, dan tantangan manajemen. Memahami
keragaman penyakit ini sangat penting bagi para profesional kesehatan,

83
peneliti, dan pengasuh yang bekerja dengan pasien anak-anak yang terkena
dampaknya.
Inflammatory Bowel Diseases (IBD) utamanya mencakup penyakit
Crohn dan kolitis ulserativa, yang merupakan kondisi peradangan kronis
pada saluran pencernaan.5 Kondisi-kondisi ini ditandai dengan gejala seperti
nyeri perut, diare, dan penurunan berat badan, dan seringkali menyebabkan
malnutrisi dan gangguan pertumbuhan pada anak-anak yang terkena
dampak. Selain itu, penyakit hati kronis pada anak-anak dapat disebabkan
oleh faktor genetik, infeksi virus, gangguan autoimun, atau gangguan
metabolisme.6 Penyakit hati kronis dapat berkembang menjadi sirosis, yang
menyebabkan disfungsi hati. Anak-anak dengan penyakit hati kronis dapat
mengalami gejala seperti kuning pada kulit dan mata (jaundice), kelelahan,
dan pembengkakan perut.
Atresia bilier adalah suatu kondisi bawaan di mana saluran empedu
yang mengalirkan empedu dari hati ke usus tidak terbentuk.7 Ini adalah
salah satu penyebab utama kolestasis neonatal dan dapat menyebabkan
sirosis jika tidak diobati. Gastrohepatologi pediatrik juga mencakup berbagai
gangguan saluran pencernaan, seperti penyakit celiac, esofagitis eosinofilik,
dan alergi makanan, yang dapat memengaruhi kemampuan seorang anak
untuk menyerap nutrisi dan dapat menyebabkan malnutrisi dan gejala
saluran pencernaan.
Kondisi-kondisi ini menjadi lebih menantang pada anak-anak karena
potensi mereka untuk mengganggu pertumbuhan dan perkembangan.
Sifat kronis dari banyak penyakit gastrohepatologi dapat mengganggu
perkembangan anak yang normal, menyebabkan gagal tumbuh, pubertas
yang tertunda, dan masalah perkembangan lainnya. Selain gejala fisik,
penyakit-penyakit ini dapat secara signifikan memengaruhi kualitas hidup
secara keseluruhan pada seorang anak.8 Anak-anak dapat mengalami
peningkatan frekuensi dirawat di rumah sakit, nyeri, pembatasan diet, dan
tantangan dalam sekolah dan interaksi sosial, yang dapat memiliki dampak
psikologis dan emosional.
Memahami setiap penyakit ini, termasuk fitur-fitur klinisnya, kriteria
diagnostik, dan perkembangannya, sangat penting bagi para penyedia
layanan kesehatan dan pengasuh untuk memberikan manajemen dan
perawatan yang efektif. Perlu diperhatikan bahwa banyak penyakit
gastrohepatologi pediatrik bersifat kronis, memerlukan manajemen jangka
panjang dan perawatan multidisiplin yang melibatkan gastrohepatologi,
ahli gizi, dan spesialis lainnya untuk mengatasi aspek medis dan nutrisi
dari kondisi tersebut. Selain itu, penyakit-penyakit ini sering memerlukan
rencana perawatan yang dipersonalisasi yang disesuaikan dengan kebutuhan
dan situasi khusus dari masing-masing anak

84 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Pendekatan manajemen nutrisi saat ini dan batasan-
batasannya
Manajemen nutrisi pada pasien anak dengan penyakit gastrohepatologi
adalah komponen penting dalam perawatan mereka secara keseluruhan.
Berbagai pendekatan saat ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi
anak-anak ini, namun mereka datang dengan serangkaian batasan dan
tantangan mereka sendiri.
Salah satu strategi mendasar dalam pengelolaan penyakit
gastrohepatologi melibatkan modifikasi diet. 9 Ini dapat mencakup
pembatasan makanan tertentu yang memicu gejala atau memperburuk
kondisi. Meskipun penyesuaian diet dapat efektif dalam beberapa kasus,
mereka dapat sulit untuk dilaksanakan, terutama pada anak-anak yang
mungkin menolak pembatasan tersebut. Selain itu, modifikasi diet mungkin
tidak memberikan nutrisi yang memadai, dan sulit untuk memastikan
kepatuhan.
Dalam kasus di mana modifikasi diet tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan nutrisi anak, seringkali digunakan suplemen oral.10 Suplemen ini
dapat memberikan vitamin, mineral, dan kalori penting. Namun, efektivitas
mereka dapat bervariasi, dan anak-anak mungkin mengalami kesulitan
dalam menoleransi atau mematuhi suplemen oral karena masalah rasa dan
tekstur.
Nutrisi parenteral melibatkan penyampaian nutrisi langsung ke dalam
aliran darah, melewati sistem pencernaan.11 Biasanya digunakan untuk
anak-anak dengan malnutrisi parah atau yang tidak dapat mentoleransi
nutrisi enteral. Meskipun dapat menyelamatkan nyawa, nutrisi parenteral
tidaklah tanpa batasan. Ini membawa risiko komplikasi, termasuk infeksi
dan masalah hati, dan mungkin tidak mendukung fungsi usus normal,
yang sangat penting untuk kesehatan jangka panjang. Dalam beberapa
kasus, upaya untuk mencapai nutrisi yang memadai dapat mengakibatkan
overnutrisi, yang dapat memperburuk kondisi atau menyebabkan obesitas.
Menemukan keseimbangan yang tepat antara memenuhi kebutuhan nutrisi
dan menghindari overnutrisi dapat menjadi tugas yang rumit dan kompleks.
Setiap kondisi anak adalah unik, memerlukan pendekatan individual
dalam manajemen nutrisi. Apa yang berhasil untuk satu pasien mungkin
tidak cocok untuk yang lain, dan penyedia layanan kesehatan harus
menyesuaikan strategi nutrisi mereka dengan kebutuhan, gejala, dan tingkat
toleransi yang spesifik dari setiap anak.
Keterbatasan pendekatan manajemen nutrisi saat ini dalam
gastrohepatologi pediatrik menegaskan perlunya metode alternatif, seperti
nutrisi enteral, yang dapat menjadi cara yang lebih terarah dan efektif
untuk menyediakan nutrisi penting. Dengan mengakui keterbatasan-

Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 85


keterbatasan ini, para profesional kesehatan dan pengasuh dapat menjelajahi
jalur baru untuk rehabilitasi nutrisi yang lebih baik mengatasi kebutuhan
nutrisi kompleks anak-anak dengan penyakit gastrohepatologi sambil
mempertimbangkan kesejahteraan dan kualitas hidup mereka secara
keseluruhan.12

Nutrisi enteral dan perannya pada pasien pediatrik


Nutrisi enteral adalah metode penyediaan nutrisi penting, termasuk protein,
karbohidrat, lemak, vitamin, dan mineral, secara langsung ke saluran
pencernaan, melewati rute oral. Ini tidak melibatkan metode oral dalam
memberikan nutrisi tersebut.13 Pendekatan ini memegang peranan penting
dalam manajemen nutrisi pasien pediatrik dengan penyakit gastrohepatologi.
Untuk menyampaikan nutrisi secara langsung ke saluran pencernaan,
berbagai jenis selang makanan digunakan. Ini bisa termasuk selang
nasogastrik (NG tubes), selang nasojejunal, selang gastrostomi (G-tubes),
dan selang jejunostomi (J-tubes). Pemilihan jenis selang bergantung pada
kebutuhan khusus dan kondisi medis anak tersebut.14
Solusi nutrisi enteral hadir dalam beragam formulasi yang dirancang
untuk memenuhi kebutuhan nutrisi pasien pediatrik dengan penyakit
gastrohepatologi.15 Solusi-solusi ini dapat disesuaikan untuk memberikan
keseimbangan yang tepat antara makronutrien dan mikronutrien.
Formulasi dapat bervariasi dalam hal konsistensi, kandungan kalori, dan
komposisi nutrisi, memungkinkan para penyedia layanan kesehatan untuk
menyesuaikan rencana nutrisi enteral sesuai dengan kebutuhan anak tersebut.
Nutrisi enteral dapat diberikan secara kontinu atau secara intermittent,
tergantung pada toleransi anak dan kebutuhan nutrisi yang spesifik.16
Pemberian makanan secara kontinu dapat melibatkan penggunaan pompa
untuk memberikan infus lambat dan berkelanjutan, sementara pemberian
makanan secara intermittent dapat diberikan dalam beberapa kali makan.

Peran nutrisi enteral pada pasien pediatrik


Nutrisi enteral memastikan bahwa pasien pediatrik menerima nutrisi yang
diperlukan, bahkan ketika mereka mengalami kesulitan dalam makan
atau menyerap nutrisi melalui asupan makanan reguler.17 Nutrisi enteral
dapat membantu mencegah malnutrisi dan mendorong pertumbuhan
dan perkembangan. Salah satu keunggulan signifikan dari nutrisi enteral
adalah bahwa itu mempertahankan fungsi usus.18 Hal ini sangat penting
pada pasien pediatrik, karena menjaga kesehatan usus mendukung
kemampuan anak untuk akhirnya kembali makan secara oral. Ini juga dapat

86 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
membantu mencegah komplikasi yang terkait dengan nutrisi parenteral yang
berkepanjangan, seperti masalah hati dan infeksi.
Nutrisi enteral efektif dalam mengelola aspek nutrisi dari penyakit
gastrohepatologi.19 Nutrisi enteral dapat mengurangi peradangan dan gejala
pada kondisi seperti penyakit Crohn, mendorong pemulihan hati dalam
penyakit hati, dan meminimalkan risiko komplikasi akibat obstruksi bilier
pada atresia bilier.
Nutrisi enteral dapat meningkatkan kualitas hidup pasien pediatrik
dengan mengurangi pembatasan diet dan beban psikologis dari manajemen
diet.20 Anak-anak dapat menerima nutrisi melalui pemberian enteral sambil
melakukan aktivitas normal, seperti sekolah dan bermain. Nutrisi enteral
sangat fleksibel dan dapat disesuaikan untuk memenuhi kebutuhan dan
toleransi unik masing-masing anak. Ini memungkinkan presisi dalam
memenuhi kebutuhan nutrisi khusus anak dan mengatasi tantangan yang
terkait dengan kondisi gastrohepatologi mereka.

Nutrisi enteral dalam gastrohepatologi pediatrik


Nutrisi enteral, komponen penting dalam pengelolaan penyakit
gastrohepatologi pediatrik, melibatkan berbagai rute dan memiliki
keunggulan dan kelemahan yang berbeda. Berbagai rute enteral digunakan
berdasarkan kebutuhan individu. Selang nasogastrik (NG tube) sering
digunakan untuk nutrisi enteral jangka pendek, sementara selang nasojejunal
(NJ tube) dapat diindikasikan ketika pemberian makanan lambung tidak
ditoleransi dengan baik.21 Selang gastrostomi (G-tube) ditempatkan secara
bedah langsung ke dalam lambung dan cocok untuk nutrisi enteral jangka
panjang, dan selang jejunostomi (J-tube) digunakan ketika pemberian
makanan pada lambung dan usus halus bagian atas tidak ditoleransi.22
Kelebihan dari nutrisi enteral termasuk kemampuannya untuk
mempertahankan fungsi usus, menyesuaikan nutrisi sesuai dengan kebutuhan
individu, mengurangi risiko komplikasi dibandingkan dengan nutrisi
parenteral, dan meningkatkan kualitas hidup pasien pediatrik.23 Namun,
ada juga tantangan. Proses penempatan selang dapat menyebabkan distres,
dan ada risiko pergeseran selang atau komplikasi di tempat penempatan.
Beberapa anak mungkin tidak mentoleransi pemberian makanan melalui
lambung, yang dapat menyebabkan masalah seperti refluks atau aspirasi.
Nutrisi enteral diindikasikan pada pasien pediatrik dengan penyakit
gastrohepatologi ketika mereka mengalami malnutrisi, gangguan
pertumbuhan, inflammatory bowel disease (IBD), sirosis, atresia bilier, atau
asupan makanan oral yang tidak mencukupi karena kondisi mereka.

Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 87


Jenis-jenis formula nutrisi enteral
Formula nutrisi enteral untuk pasien pediatrik dengan penyakit
gastrohepatologi hadir dalam berbagai jenis.24 Formula polimerik, yang
mengandung protein utuh, karbohidrat, lemak, vitamin, dan mineral, banyak
digunakan dan dapat ditoleransi dengan baik. Formula elemental terdiri dari
protein hidrolisis yang diuraikan menjadi asam amino dan berguna untuk
mengurangi respon alergi dan meningkatkan penyerapan dalam kasus alergi
atau kondisi peradangan.25 Formula khusus penyakit disesuaikan untuk
mengatasi kebutuhan nutrisi unik dari kondisi tertentu, sementara formula
modular memungkinkan penyesuaian dengan menambahkan suplemen
protein, karbohidrat, atau lemak. Berbagai jenis formula ini memberikan
fleksibilitas dalam memenuhi kebutuhan nutrisi pasien pediatrik dengan
penyakit gastrohepatologi.
Kebutuhan nutrisi untuk pasien pediatrik dengan penyakit
gastrohepatologi bervariasi tergantung pada kondisi spesifik mereka.9 Protein
penting untuk pertumbuhan dan massa tubuh yang sehat, tetapi mungkin
memerlukan modifikasi untuk mengurangi penumpukan amonia pada
penyakit hati. Karbohidrat dan lemak menyediakan energi dan mungkin
perlu disesuaikan untuk mendukung pertumbuhan dan mengurangi tekanan
pada hati. Penyediaan vitamin dan mineral yang cukup sangat penting untuk
mencegah kekurangan. Keseimbangan cairan dan elektrolit juga harus
dikelola dengan hati-hati, terutama pada anak-anak dengan status cairan
dan elektrolit yang terganggu akibat kondisi mereka.9
Pemantauan dan penyesuaian rutin rencana nutrisi enteral adalah hal
yang sangat penting untuk kesejahteraan pasien pediatrik dengan penyakit
gastrohepatologi.14 Evaluasi pertumbuhan, pemantauan gejala klinis, dan
pemeriksaan laboratorium membantu menentukan efektivitas rencana
nutrisi dan kesehatan keseluruhan anak. Penyesuaian mungkin diperlukan
berdasarkan target pertumbuhan, perubahan fungsi hati, atau gejala
klinis. Memantau toleransi pasien dan melakukan modifikasi diet sesuai
kebutuhan adalah aspek penting dalam memastikan kebutuhan nutrisi anak
terpenuhi. Kolaborasi antara penyedia layanan kesehatan, termasuk ahli
gizi, gastrohepatologi, adalah kunci untuk mengoptimalkan rencana nutrisi
enteral dan menyelarasannya dengan pengelolaan medis anak tersebut.

Komplikasi dan tantangan


Nutrisi enteral pada pasien pediatrik dengan penyakit gastrohepatologi
tidak terlepas dari komplikasi dan tantangan.26 Pergeseran selang adalah
masalah umum yang dapat mengganggu regimen pemberian makanan dan
mengakibatkan kurangnya pemberian makanan yang memadai. Infeksi

88 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
di tempat penempatan selang, terutama pada penggunaan selang jangka
panjang, adalah kekhawatiran yang dapat menyebabkan ketidaknyamanan
lokal dan, dalam kasus yang parah, memerlukan perhatian medis. Gejala
gastrointestinal, seperti refluks dan ketidaknyamanan perut, dapat
memengaruhi toleransi terhadap pemberian makanan enteral. Pasien dan
pengasuh juga mungkin mengalami ketidaknyamanan, kecemasan, atau stres
terkait dengan proses pemberian makanan enteral, termasuk penempatan
selang dan manajemen harian. Memastikan kecukupan nutrisi dari rencana
nutrisi enteral, terutama dalam kehadiran penyakit gastrohepatologi yang
kompleks yang memengaruhi penyerapan nutrisi dan metabolisme, dapat
menjadi tantangan.
Mengatasi komplikasi dan tantangan ini melibatkan pendekatan
multifaktorial. Teknik pengamanan selang yang tepat sangat penting untuk
mengurangi risiko pergeseran selang, dan pengasuh harus diberikan edukasi
tentang praktik pengamanan yang benar.27 Tindakan pencegahan infeksi,
termasuk kebersihan yang baik, pembersihan rutin tempat penempatan
selang, dan pemantauan yang cermat terhadap tanda-tanda infeksi,
membantu mengurangi risiko infeksi. Gejala gastrointestinal dapat dikelola
dengan berkolaborasi dengan spesialis untuk menyesuaikan parameter
pemberian makanan, jenis formula, dan mempertimbangkan obat atau
intervensi jika diperlukan. Mengakui dampak psikososial pada pasien
dan pengasuh sangat penting, dan memberikan dukungan psikologis dan
edukasi dapat mengurangi kekhawatiran dan tekanan. Evaluasi nutrisi
secara teratur dan penyesuaian rencana nutrisi enteral memastikan bahwa
kebutuhan yang berkembang terpenuhi, dan kolaborasi dengan tim
multidisiplin, termasuk penyedia layanan kesehatan, ahli gizi, psikolog, dan
staf keperawatan, dapat menghasilkan strategi efektif dalam mengelola dan
mengatasi komplikasi dan tantangan ini. Pendekatan holistik ini membantu
mengoptimalkan penggunaan nutrisi enteral pada pasien pediatrik dengan
penyakit gastrohepatologi sambil meminimalkan potensi komplikasi dan
ketidaknyamanan.

Perbandingan dengan pendekatan nutrisi lain


Dalam konteks pengelolaan pasien pediatrik dengan penyakit
gastrohepatologi, pertimbangan kritis adalah perbandingan antara nutrisi
enteral dan metode rehabilitasi nutrisi lainnya. Nutrisi enteral menawarkan
beberapa keuntungan, seperti mempertahankan fungsi usus dan mengurangi
komplikasi, sehingga menjadi pilihan yang disukai ketika usus setidaknya
sebagian berfungsi. 28 Namun, tantangan seperti ketidaknyamanan
penempatan selang dan gejala gastrointestinal dapat muncul. Sebaliknya,
nutrisi parenteral adalah alternatif yang cocok untuk kasus di mana usus

Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 89


tidak berfungsi atau tidak mentoleransi pemberian makanan enteral,
memungkinkan inisiasi yang lebih cepat. Namun, ini membawa risiko yang
lebih tinggi terkait dengan infeksi dan komplikasi hati potensial, terutama
pada pasien pediatrik.
Nutrisi enteral unggul dalam kemampuannya untuk memberikan
nutrisi yang disesuaikan sambil mempertahankan fungsi usus, tetapi ini
dapat melibatkan ketidaknyamanan penempatan selang dan membatasi
pengalaman makan sosial.14 Sebaliknya, diet oral menawarkan kesejahteraan
psikologis dan kepuasan emosional, memungkinkan anak-anak berpartisipasi
dalam makanan normal dan interaksi sosial. Namun, tantangan nutrisi dan
potensi memperburuk gejala bisa menjadi masalah.
Pada akhirnya, pilihan antara pendekatan nutrisi ini harus dipandu
oleh kebutuhan khusus dan kondisi medis masing-masing pasien pediatrik.
Keputusan ini melibatkan evaluasi yang cermat terhadap keadaan individu,
tujuan perawatan, dan preferensi pasien, dengan menekankan pentingnya
pendekatan kolaboratif antara penyedia layanan kesehatan, pasien, dan
keluarganya untuk menentukan metode rehabilitasi nutrisi yang paling
sesuai untuk setiap anak.

Kesimpulan
Rehabilitasi nutrisi yang efektif sangat penting dalam gastrohepatologi
pediatrik untuk mendukung pertumbuhan dan kesejahteraan anak-anak
dengan gangguan gastrointestinal dan hati. Makalah ini menekankan
pentingnya rehabilitasi nutrisi alternatif, khususnya rute enteral, untuk
mengatasi tantangan ini. Ini membahas nutrisi enteral dalam gastrohepatologi
pediatrik, termasuk jenis formula, kebutuhan nutrisi, dan pemantauan.
Nutrisi enteral menawarkan keuntungan seperti mempertahankan
fungsi usus, mengurangi komplikasi, dan menyesuaikan nutrisi. Namun,
kerjasama dengan penyedia layanan kesehatan, ahli gizi, dan pasien atau
pengasuh sangat penting. Pemantauan dan penyesuaian secara teratur
penting untuk memastikan rencana nutrisi mengikuti perkembangan
kebutuhan pasien, sementara memperhatikan aspek psikososial, penempatan
selang, dan gejala gastrointestinal meminimalkan tantangan.
Dalam konteks pendekatan nutrisi, makalah ini menekankan nilai
nutrisi enteral, seimbang dengan manfaat seperti mempertahankan fungsi
usus dengan tantangan seperti penempatan selang dan gejala gastrointestinal.
Ini menegaskan pendekatan kolaboratif untuk mengoptimalkan rehabilitasi
nutrisi dalam gastrohepatologi pediatrik.

90 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Daftar pustaka
1. Mouzaki M, Bronsky J, Gupte G, Hojsak I, Jahnel J, Pai N, et al. Nutrition support
of children with chronic liver diseases: a joint position paper of the North
American Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition and
the European Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition.
Journal of pediatric gastroenterology and nutrition. 2019 Oct 1;69(4):498-511.
2. Tessitore M, Sorrentino E, Schiano Di Cola G, Colucci A, Vajro P, et al.
Malnutrition in pediatric chronic cholestatic disease: an up-to-date overview.
Nutrients. 2021 Aug 13;13(8):2785.
3. Vo HD, Xu J, Rabinowitz SS, Fisher SE, Schwarz SM. The liver in pediatric
gastrointestinal disease. Journal of pediatric gastroenterology and nutrition.
2014 Sep 1;59(3):288-99.
4. Furuta, G.T., Liacouras, C.A., Collins, M.H., Gupta, S.K., Justinich, C., et al. and
First International Gastrointestinal Eosinophil Research Symposium (FIGERS)
Subcommittees, 2007. Eosinophilic esophagitis in children and adults: a
systematic review and consensus recommendations for diagnosis and treatment:
sponsored by the American Gastroenterological Association (AGA) Institute
and North American Society of Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and
Nutrition. Gastroenterology, 133(4), pp.1342-1363.
5. Wehkamp J, Götz M, Herrlinger K, Steurer W, Stange EF. Inflammatory bowel
disease: Crohn’s disease and ulcerative colitis. Deutsches Ärzteblatt International.
2016 Feb;113(5):72.
6. Pinto RB, Schneider AC, da Silveira TR. Cirrhosis in children and adolescents:
An overview. World journal of hepatology. 2015 Mar 3;7(3):392.
7. Verkade HJ, Bezerra JA, Davenport M, Schreiber RA, Mieli-Vergani G, Hulscher
JB, et al. Biliary atresia and other cholestatic childhood diseases: advances and
future challenges. Journal of hepatology. 2016 Sep 1;65(3):631-42.
8. Guerrant RL, DeBoer MD, Moore SR, Scharf RJ, Lima AA. The impoverished
gut—a triple burden of diarrhoea, stunting and chronic disease. Nature reviews
Gastroenterology & hepatology. 2013 Apr;10(4):220-9.
9. Guarino A, Ashkenazi S, Gendrel D, Vecchio AL, Shamir R, Szajewska H.
European Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition/
European Society for Pediatric Infectious Diseases evidence-based guidelines
for the management of acute gastroenteritis in children in Europe: update 2014.
Journal of pediatric gastroenterology and nutrition. 2014 Jul 1;59(1):132-52.
10. Turck D, Braegger CP, Colombo C, Declercq D, Morton A, Pancheva R, et al.
ESPEN-ESPGHAN-ECFS guidelines on nutrition care for infants, children, and
adults with cystic fibrosis. Clinical nutrition. 2016 Jun 1;35(3):557-77.
11. Worthington P, Balint J, Bechtold M, Bingham A, Chan LN, Durfee S, et al. When
is parenteral nutrition appropriate?. Journal of Parenteral and Enteral Nutrition.
2017 Mar;41(3):324-77.
12. Squires JE, Alonso EM, Ibrahim SH, Kasper V, Kehar M, et al. North American
Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition position
paper on the diagnosis and management of pediatric acute liver failure. Journal
of pediatric gastroenterology and nutrition. 2022 Jan 9;74(1):138-58.
13. Johnson T. Enteral nutrition. Clinical Paediatric Dietetics. 2020 Jul 14:52-63.

Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 91


14. Boullata JI, Carrera AL, Harvey L, Escuro AA, Hudson L, et al. ASPEN safe
practices for enteral nutrition therapy. Journal of Parenteral and Enteral
Nutrition. 2017 Jan;41(1):15-03.
15. Limketkai BN, Shah ND, Sheikh GN, Allen K. Classifying enteral nutrition:
tailored for clinical practice. Current gastroenterology reports. 2019 Sep;21:1-7.
16. Prieto MB, Cid JL. Malnutrition in the critically ill child: the importance of
enteral nutrition. International journal of environmental research and public
health. 2011 Nov;8(11):4353-66.
17. Trehan A, Viani K, da Cruz LB, Sagastizado SZ, Ladas EJ. The importance of
enteral nutrition to prevent or treat undernutrition in children undergoing
treatment for cancer. Pediatric Blood & Cancer. 2020 Jun;67:e28378.
18. Schörghuber M, Fruhwald S. Effects of enteral nutrition on gastrointestinal
function in patients who are critically ill. The Lancet Gastroenterology &
Hepatology. 2018 Apr 1;3(4):281-7.
19. Lochs H, Dejong C, Hammarqvist F, Hébuterne X, Leon-Sanz M, Schütz T, et
al. ESPEN guidelines on enteral nutrition: gastroenterology. Clinical nutrition.
2006 Apr 1;25(2):260-74.
20. Ojo O, Keaveney E, Wang XH, Feng P. The effect of enteral tube feeding on
patients’ health-related quality of life: a systematic review. Nutrients. 2019 May
10;11(5):1046.
21. Larsen JA. Enteral nutrition and tube feeding. Applied veterinary clinical
nutrition. 2023 Aug 23:515-45.
22. Brett K, Argáez C. Gastrostomy versus gastrojejunostomy and/or jejunostomy
feeding tubes: a review of clinical effectiveness, cost-effectiveness and guidelines.
23. Hron B, Fishman E, Lurie M, Clarke T, Chin Z, et al. Health outcomes and
quality of life indices of children receiving blenderized feeds via enteral tube.
The Journal of pediatrics. 2019 Aug 1;211:139-45.
24. Hansen T, Duerksen DR. Enteral nutrition in the management of pediatric and
adult Crohn’s disease. Nutrients. 2018 Apr 26;10(5):537.
25. Cámara-Martos F, Iturbide-Casas M. Enteral nutrition formulas: current
evidence and nutritional composition. Nutrients in Beverages. 2019 Jan 1:467-
508.
26. Yi DY. Enteral nutrition in pediatric patients. Pediatric gastroenterology,
hepatology & nutrition. 2018 Jan 1;21(1):12-9.
27. Lord LM. Enteral access devices: types, function, care, and challenges. Nutrition
in Clinical Practice. 2018 Feb;33(1):16-38.
28. Kohli M, Andrade A, Dharmarajan TS. Enteral nutrition. Geriatric
Gastroenterology. 2020:1-23.

92 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Kuning pada Bayi: Mana Normal dan
Mana Tidak?
Himawan Aulia Rahman

S
ebagian besar bayi baru lahir mengalami gejala kuning (ikterus) pasca-
lahir. Penyebab dari gejala kuning bayi baru lahir adalah peningkatan
bilirubin atau disebut juga hiperbilirubinemia. Gambaran klinis kuning
pada bayi dapat dilihat dari perubahan warna kulit, sklera, atau mukosa.
Sebagian besar ikterus terjadi dalam kondisi yang ringan dan dapat membaik
tanpa terapi, yang sering disebut juga ikterus fisiologis. Namun, ikterus juga
dapat disebabkan karena kondisi patologis. Oleh karena itu, penting bagi
tenaga kesehatan untuk mengetahui mana ikterus fisiologis dan mana kondisi
yang membutuhkan pemeriksaan dan terapi lanjutan. Makalah ini akan
membahas karakteristik ikterus pada bayi serta bagaimana membedakan
antara kondisi ikterus yang tidak berbahaya dan kondisi yang patologis.

Metabolisme bilirubin
Bilirubin dihasilkan sebagian besar dari produk pemecahan hemoglobin.
Pemecahan ini dilakukan pertama kali oleh enzim heme oksigenase
(HO) yang memecah heme menjadi karbon monoksida (CO), zat besi,
dan biliverdin.1 Biliverdin kemudian diubah segera oleh enzim biliverdin
reduktase menjadi bilirubin. Bilirubin kemudian beredar di dalam plasma
dengan berikatan pada albumin. Ikatan bilirubin-albumin biasanya bersifat
reversibel, namun pada kondisi hiperbilirubinemia yang terkonjugasi
(conjugated hyperbilirubinemia) ikatan ini bisa irreversibel (ikatan kovalen)
yang disebut dengan bilirubin delta. Bilirubin delta bereaksi secara langsung
(direk) dengan reagen diazo, sehingga bilirubin direk dapat menjadi penanda
adanya obstruksi bilier.2
Di sinusoid hati, ikatan bilirubin dan albumin ini lepas dan kemudian
diambil (uptake) oleh sel hati (hepatosit), untuk selanjutnya menjalani
proses ekskresi. Pengambilan ini dilakukan di pintu masuk sinusoid, dengan
sebagian kecil bilirubin ditranspor kembali ke dalam kanalikuli. Fraksi kecil
bilirubin ini dilakukan pengambilan kembali (re-uptake) oleh hepatosit yang
lebih distal. Gangguan re-uptake ini dapat terjadi pada kondisi sindrom
Rotor.3

93
Gambar 1. Struktur sinusoid dan kanalikuli hati.4

Di dalam hepatosit, enzim uridin difosfat glukuronosiltransferase


(UGT) berperan dalam reaksi konjugasi bilirubin dengan asam glukuronat,
menghasilkan bilirubin diglukuronida dan bilirubin monoglukuronida.
Bilirubin yang sudah terkonjugasi ini lebih bersifat larut air dibandingkan
bilirubin yang belum terkonjugasi. Bilirubin terkonjugasi kemudian
disekresikan oleh hepatosit ke dalam kanalikuli hati melalui transporter,
sehingga membentuk empedu bersama zat lain, untuk selanjutnya
diekskresikan ke saluran cerna melalui duktus bilier. Kelainan yang dapat
menyebabkan gangguan dari ekskresi bilirubin terkonjugasi ke kanalikuli
antara lain sindrom Dubin-Johnson.3
Bilirubin terkonjugasi yang sudah diekskresikan ke dalam saluran cerna
tidak bisa diabsorpsi oleh sel epitel usus. Pada orang dewasa, karena bakteri
di dalam saluran cerna sudah banyak, bilirubin terkonjugasi ini direduksi
oleh enzim yang diproduksi bakteri menjadi urobilin. Namun pada bayi baru
lahir, bakteri di saluran cerna relatif masih sangat sedikit, sehingga sedikit
pula bilirubin terkonjugasi yang direduksi menjadi urobilin. Enzim beta-
glukuronidase di mukosa usus dapat mendekonjugasi bilirubin terkonjugasi
ini. Bilirubin yang tidak terkonjugasi kemudian dapat direabsorpsi oleh usus
dan kembali masuk ke sirkulasi untuk digunakan ulang. Proses ini disebut
juga sirkulasi enterohepatik.5

94 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Gambar 2. Metabolisme bilirubin.6

Peningkatan bilirubin secara fisiologis


Pada bayi baru lahir, hiperbilirubinemia secara sementara (transien) terjadi
karena peningkatan produksi bilirubin akibat banyaknya pemecahan sel
darah merah (eritrosit) fetal, masih belum matangnya proses konjugasi
yang terjadi di dalam hati, serta peningkatan sirkulasi enterohepatik.
Sekitar 60% bayi aterm dan 80% bayi prematur mengalami ikterus secara
klinis dalam satu minggu pertama pasca-lahir dengan kadar bilirubin total
>5 mg/dL.7 Sekitar 75% bayi yang ikterus masuk ke dalam kategori ikterus
fisiologis.5 Ikterus fisiologis terjadi karena adanya mekanisme peningkatan
bilirubin secara fisiologis karena proses yang telah disebutkan sebelumnya.
Peningkatan bilirubin ini bervariasi pada tiap bayi, tergantung usia gestasi,
diet, dan etnis (yang berhubungan dengan kecepatan metabolisme di hati).
Ikterus fisiologis biasanya terjadi setelah 24 jam pasca lahir, dengan kadar
memuncak pada usia 48 – 96 jam pasca lahir, dan selesai dalam 2 – 3 minggu
pada bayi aterm.7

Peningkatan bilirubin akibat kondisi patologis


Ikterus disebut patologis bila: 1) onset terjadi pada usia 24 jam pertama, 2)
kadar bilirubin total lebih dari persentil 95 berdasarkan usia (lihat Gambar
4), 3) peningkatan kadar bilirubin total lebih dari 5 mg/dL/hari, atau 4)
kuning yang memanjang lebih dari 2 – 3 minggu.8

Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 95


Breastfeeding jaundice (BFJ) dan breastmilk jaundice (BMJ) adalah
penyebab yang sering hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi (unconjugated
hyperbilirubinemia) pada bayi baru lahir. Onset BFJ biasanya dimulai di
minggu pertama akibat produksi ASI yang masih belum cukup sehingga
menyebabkan asupan ASI berkurang. Hal ini menyebabkan penurunan
motilitas usus dan penurunan eliminasi bilirubin lewat saluran cerna.
Sementara itu, BMJ diakibatkan adanya enzim beta-glukuronidase di dalam
ASI yang mendekonjugasi bilirubin, serta pregnanediol yang menghambat
kerja enzim UGT.9
Peningkatan produksi bilirubin akibat sangat banyaknya pemecahan
eritrosit (hemolisis) dapat menyebabkan kondisi hiperbilirubinemia. Proses
hemolisis dapat diperantarai imun, misalnya pada inkompatibilitas ABO dan
Rhesus. Pada kondisi inkompatibilitas ABO, antibodi (anti-A atau anti-B)
maternal dapat melewati sawar plasenta dan menyebabkan hemolisis pada
bayi bergolongan darah A, B, atau AB.10 Pada kondisi inkompatibilitas
Rhesus, ibu dengan Rhesus negatif yang sebelumnya terpapar dengan
antigen Rhesus (pada kehamilan atau aborsi sebelumnya) membentuk
antibodi yang menembus sawar plasenta dan menyebabkan hemolisis di
bayi Rhesus positif.5
Proses hemolisis yang terjadi secara non-imun dapat diakibatkan
oleh defek enzim eritrosit, defek membran eritrosit, hemoglobinopati,
sekuestrasi eritrosit, polisitemia, dan sepsis. Defisiensi enzim glukosa-6-fosfat
dehidrogenase (G6PD) adalah defek enzim eritrosit tersering dan diturunkan
secara X-linked resesif. Enzim ini berfungsi melindungi eritrosit terhadap
stres oksidatif, oleh karena itu pasien dengan defisiensi G6PD yang terpapar
stres oksidatif seperti infeksi dan obat tertentu akan mengalami anemia dan
hiperbilirubinemia.11 Contoh penyakit yang masuk kategori defek membran
eritrosit adalah sferositosis herediter dan eliptositosis herediter. Sementara
contoh hemolisis akibat sekuestrasi adalah pada kasus sefalhematoma dan
perdarahan subgaleal.
Hiperbilirubinemia juga dapat diakibatkan penurunan metabolisme
bilirubin di hati. Contoh penyakit yang menyebabkan penurunan konjugasi
bilirubin adalah sindrom Crigler-Najjar tipe 1 dan 2, serta sindrom Gilbert.
Pasien dengan sindrom Crigler-Najjar tipe 1 mengalami kehilangan total
aktivitas enzim UGT, sementara pada tipe 2 mengalami penurunan parsial
aktivitas enzim UGT. Pasien dengan sindrom Crigler-Najjar tipe 1 biasanya
mengalami hiperbilirubinemia yang berat dan sering kali berkembang
menjadi ensefalopati (kernikterus). Sindrom Gilbert adalah mutasi pada
gen UGT1A1 yang mengkode enzim UGT. Biasanya karakteristik sindrom
Gilbert adalah hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi ringan pada bayi atau
anak yang lebih besar.3

96 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Penyebab lain dari hiperbilirubinemia akibat kondisi patologis
adalah hipotiroid kongenital, obstruksi usus, dan sepsis. Hipotiroid dapat
menyebabkan penurunan metabolisme bilirubin, berkurangnya aktivitas
UGT, dan motilitas usus yang lambat. Obstruksi usus dapat meningkatkan
sirkulasi enterohepatik sehingga bilirubin yang tidak terkonjugasi jumlahnya
meningkat. Sepsis dapat menyebabkan hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi
dengan menyebabkan stres oksidatif pada eritrosit sehingga terjadi
hemolisis.12
Selain kondisi patologis peningkatan kadar bilirubin tidak terkonjugasi
di atas, terdapat juga kondisi peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi
(conjugated hyperbilirubinemia), yang sering disebut juga kolestasis neonatal.
Kolestasis didefinisikan dengan peningkatan bilirubin direk >1 mg/dL.
Semua kasus peningkatan bilirubin terkonjugasi selalu bersifat patologis.
Kondisi ini disebabkan adanya gangguan fungsi hepatobilier.13

Pendekatan diagnostik kasus kuning pada bayi baru lahir


Gejala kuning dapat dideteksi secara klinis dengan observasi warna kulit,
sklera, atau mukosa. Pemeriksaan visual ikterus harus dilakukan oleh
tenaga kesehatan pada tiap kesempatan pemeriksaan tanda vital bayi.
Metode yang umum digunakan dalam pemeriksaan visual adalah metode
Kramer.14 American Academy of Pediatrics (AAP) merekomendasikan
pemeriksaan dilakukan pada usia 72 jam bila bayi dipulangkan sebelum
usia 24 jam, pada usia 96 jam bila dipulangkan usia 24 – 48 jam, dan usia
120 jam bila dipulangkan usia >48 jam.8 Pemeriksaan sebaiknya dilakukan
dengan pencahayaan sinar matahari. Kuning pada kulit dapat dilihat setelah
dilakukan penekanan pada kulit. Riwayat kehamilan, riwayat kelahiran,

Gambar 3. Metode Kramer.14

Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 97


riwayat keluarga dengan penyakit kuning, onset gejala kuning, serta golongan
darah ibu dan bayi sebaiknya ditanyakan pada semua kasus kuning. Adanya
gejala perdarahan ekstravaskular, gejala pucat, organomegali (hepatomegali
dan splenomegali), tanda infeksi, tanda hipotiroid, dan pemeriksaan visual
warna tinja perlu dicari pada pemeriksaan fisis.

Tabel 1. Korelasi metode pemeriksaan visual dengan kadar bilirubin.15


Area Rata-rata kadar bilirubin indirek serum (mg/dL)
1 4–8
2 5 – 12
3 8 – 16
4 11 – 18
5 >18

Faktor risiko terjadinya hiperbilirubinemia berat antara lain usia gestasi


yang lebih muda, kuning yang terjadi di usia 24 jam pertama, kadar bilirubin
transkutan (transcutaneous bilirubin, TcB) atau bilirubin total serum (total
serum bilirubin, TSB) saat pulang mendekati ambang fototerapi, peningkatan
TSB atau TcB >0,3 mg/dL/jam dalam 24 jam pertama atau >0,2 mg/dL/jam
setelahnya, fototerapi sebelum pulang, riwayat saudara sebelumnya yang
menjalani fototerapi atau transfusi tukar, riwayat keluarga dengan penyakit
genetik terkait eritrosit, ASI eksklusif dengan asupan yang suboptimal,
adanya sefalhematoma atau perdarahan lainnya, sindrom Down, dan bayi
makrosomia dari ibu diabetes melitus.16, 17 Stratifikasi risiko juga dapat dilihat
berdasarkan nomogram.8
Pemeriksaan bilirubin total dilakukan dengan menggunakan
pemeriksaan serum atau dengan pemeriksaan TcB. Terdapat korelasi yang
baik antara TcB dengan TSB dengan kadar TSB berada dalam rentang 3 mg/
dL dari kadar TcB pada kadar TSB <15 mg/dL.18 Pemeriksaan TcB kurang
reliabel pada bayi dengan kulit gelap ataupun pada bayi pasca-fototerapi,
serta tidak bisa mendeteksi bilirubin direk untuk skrining kolestasis
neonatal.19, 20 Pemeriksaan bilirubin direk dan indirek hanya dapat dilakukan
menggunakan pemeriksaan serum.
Karena pentingnya untuk mengetahui etiologi hiperbilirubinemia yang
memanjang, pemeriksaan TSB dan fraksinya (direk dan indirek) diwajibkan
pada bayi berusia >2 minggu. Bayi dengan hiperbilirubinemia tidak
terkonjugasi (unconjugated hyperbilirubinemia) yang berat atau memanjang
(>2 minggu) sebaiknya dilakukan untuk menyingkirkan penyebab hemolisis,
antara lain golongan darah ibu dan bayi, gambaran darah tepi (GDT),
uji Coombs, retikulosit, dan kadar G6PD. Pemeriksaan tiroid (thyroid
stimulating hormone, TSH) perlu dilakukan sebagai bagian dari skrining
hipotiroid kongenital bila belum pernah dilakukan.

98 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Gambar 4. Nomogram untuk stratifikasi risiko bayi usia gestasi ≥36 minggu berat lahir ≥2000 g atau usia
gestasi ≥35 minggu berat lahir ≥2500 g.8

Pasien dengan hiperbilirubinemia terkonjugasi (conjugated hyperbilirubinemia)


atau kolestasis neonatal perlu pendekatan berbeda yang akan disampaikan
pada makalah lain di prosiding ini (lihat Kuning pada Bayi: Atresia Bilier
atau Hepatitis?).

Penatalaksanaan kasus kuning pada bayi baru lahir


Tujuan tata laksana hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi adalah untuk
mencegah ensefalopati dan kernikterus. Sementara tujuan tata laksana
hiperbilirubinemia terkonjugasi atau kolestasis neonatal adalah untuk
mencegah transplantasi hati dan kematian.
Penatalaksanaan spesifik hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi meliputi
fototerapi dan transfusi tukar. Penentuan tata laksana ini didasarkan
pemeriksaan TSB. Keputusan terkait kapan memulai dan eskalasi terapi
tergantung kepada usia gestasi, kadar TSB berdasarkan usia (jam), dan
adanya faktor risiko neurotoksisitas bilirubin (lihat Tabel 2). Adanya faktor
risiko neurotoksisitas menyebabkan ambang batas fototerapi dan transfusi
tukar menjadi lebih rendah.17 Prinsip tata laksana ini berdasarkan panduan
dari AAP tahun 2022 yang menggantikan panduan AAP tahun 2004.8, 17
Fototerapi dapat menurunkan kadar bilirubin melalui reaksi fotokimia
yang menyebabkan bilirubin menjadi mudah diekskresi. Efektivitas fototerapi
tergantung kepada intensitas fototerapi dan luas permukaan kulit yang

Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 99


Tabel 2. Faktor risiko neurotoksisitas akibat hiperbilirubinemia.17
Faktor risiko
Usia gestasi <38 minggu dan risiko meningkat sejalan dengan derajat prematuritas
Albumin <3 g/dL
Penyakit hemolitik atau defisiensi G6PD
Sepsis
Instabilitas yang signifikan dalam 24 jam terakhir

terpapar. Ambang batas fototerapi pada kondisi tanpa dan dengan faktor
risiko neurotoksisitas dipaparkan pada Gambar 5 dan Gambar 6.

Gambar 5. Ambang batas fototerapi pada bayi usia gestasi ≥35 minggu tanpa faktor risiko neurotoksisitas.17

Gambar 6. Ambang batas fototerapi pada bayi usia gestasi ≥35 minggu dengan faktor risiko
neurotoksisitas.17

100 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Bayi yang menjalani fototerapi sebaiknya dilakukan pemeriksaan
TSB 12 jam pasca fototerapi dimulai. Frekuensi pemantauan TSB harus
mempertimbangkan usia gestasi bayi, adanya faktor risiko neurotoksisitas,
kadar TSB, dan tren perubahan TSB. Keputusan untuk mengakhiri TSB
dapat dipertimbangkan bila kadar TSB sudah <2 mg/dL di bawah ambang
fototerapi. Durasi fototerapi yang lebih lama dapat dipertimbangkan bila ada
faktor risiko rebound hiperbilirubinemia (usia gestasi <38 minggu, usia saat
awal fototerapi <48 jam, adanya hemolisis).17 Pada kondisi terbatas, fototerapi
menggunakan cahaya matahari secara tidak langsung (menggunakan filter)
dapat menjadi alternatif fototerapi konvensional.21
Terapi eskalasi diperlukan pada kondisi peningkatan TSB secara cepat
untuk mencegah transfusi tukar dan kernikterus. Terapi eskalasi dimulai
bila kadar TSB berada pada 2 mg/dL di bawah ambang batas transfusi tukar
(lihat Gambar 7 dan Gambar 8).17 Kondisi ini adalah kondisi emergensi
yang membutuhkan perawatan di NICU dan tata laksana oleh dokter anak
neonatologi. Pemeriksaan TSB harus dilakukan tiap 2 jam sejak awal hingga
akhir terapi eskalasi ini. Tata laksana dalam terapi eskalasi meliputi:17
y Pemeriksaan laboratorium lengkap (bilirubin total, direk, indirek;
darah perifer lengkap, retikulosit; albumin; elektrolit; ureum, kreatinin;
crossmatch; G6PD; direct antiglobulin test).
y Fototerapi intensif.
y Hidrasi intravena.
y Pemberian intravenous immunoglobulin (IVIG) dapat dipertimbangkan
pada kasus hemolisis karena imun.
y Pemasangan askes vena sentral bila transfusi tukar akan dilakukan.
Transfusi tukar harus segera dilakukan bila kadar TSB mencapai ambang
batas transfusi tukar atau apabila terdapat tanda ensefalopati akut
(hipertonia, opistotonus, retrokolis, menangis frekuensi tinggi, apnea
rekuren).

Gambar 7. Ambang batas transfusi tukar pada bayi usia gestasi ≥35 minggu tanpa faktor risiko
neurotoksisitas.17
Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 101
Gambar 8. Ambang batas transfusi tukar pada bayi usia gestasi ≥35 minggu dengan faktor risiko
neurotoksisitas.17

Penatalaksanaan spesifik untuk hiperbilirubinemia terkonjugasi (kolestasis


neonatal) akan dibahas secara tersendiri pada makalah lain di prosiding ini
(lihat Kuning pada Bayi: Atresia Bilier atau Hepatitis?).

Kesimpulan
Kuning (ikterus) merupakan gejala yang umum ditemukan pada bayi baru
lahir. Sebagian besar gejala kuning disebabkan karena ikterus fisiologis yang
ditandai dengan onsetnya yang terjadi setelah 24 jam pasca lahir, kadar
bilirubin total memuncak pada usia 48 – 96 jam pasca lahir, dan selesai
dalam 2 – 3 minggu pada bayi aterm. Selain karena proses fisiologis, ikterus
juga dapat diakibatkan kondisi patologis. Fototerapi dan terapi eskalasi
adalah pilihan terapi pada kondisi patologis akibat hiperbilirubinemia
yang tidak terkonjugasi. Pada kondisi kuning yang memanjang (usia >2
minggu), pemeriksaan bilirubin total, direk, dan indirek perlu dilakukan
untuk membedakan hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi dengan kolestasis
neonatal.

Daftar pustaka
1. Dennery PA, Seidman DS, Stevenson DK. Neonatal hyperbilirubinemia. N Engl
J Med. 2001;344(8):581-90.
2. Kozaki N, Shimizu S, Higashijima H, Kuroki S, Yamashita H, Yamaguchi K, et
al. Significance of serum delta-bilirubin in patients with obstructive jaundice.
J Surg Res. 1998;79(1):61-5.

102 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
3. Memon N, Weinberger BI, Hegyi T, Aleksunes LM. Inherited disorders of
bilirubin clearance. Pediatr Res. 2016;79(3):378-86.
4. Panwar A, Das P, Tan LP. 3D hepatic organoid-based advancements in LIVER
tissue engineering. Bioengineering (Basel). 2021;8(11).
5. Ansong-Assoku B, Shah SD, Adnan M, Ankola PA. Neonatal jaundice.
StatPearls. Treasure Island2023.
6. Hansen TWR, Bratlid D. Physiology of neonatal unconjugated hyperbilirubinemia.
In: Stevenson DK, Maisels MJ, Watchko JF, editors. Care of the jaundiced
neonate. New York: McGraw Hill; 2012.
7. Mitra S, Rennie J. Neonatal jaundice: aetiology, diagnosis and treatment. Br J
Hosp Med (Lond). 2017;78(12):699-704.
8. American Academy of Pediatrics Subcommittee on Hyperbilirubinemia.
Management of hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more weeks
of gestation. Pediatrics. 2004;114(1):297-316.
9. Preer GL, Philipp BL. Understanding and managing breast milk jaundice. Arch
Dis Child Fetal Neonatal Ed. 2011;96(6):F461-6.
10. Christensen RD, Baer VL, MacQueen BC, O’Brien EA, Ilstrup SJ. ABO hemolytic
disease of the fetus and newborn: thirteen years of data after implementing
a universal bilirubin screening and management program. J Perinatol.
2018;38(5):517-25.
11. Luzzatto L, Ally M, Notaro R. Glucose-6-phosphate dehydrogenase deficiency.
Blood. 2020;136(11):1225-40.
12. Maisels MJ, Kring E. Risk of sepsis in newborns with severe hyperbilirubinemia.
Pediatrics. 1992;90(5):741-3.
13. Fawaz R, Baumann U, Ekong U, Fischler B, Hadzic N, Mack CL, et al. Guideline
for the evaluation of cholestatic jaundice in infants: joint recommendations of
the North American Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and
Nutrition and the European Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology,
and Nutrition. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2017;64(1):154-68.
14. Bhutani VK, Vilms RJ, Hamerman-Johnson L. Universal bilirubin screening for
severe neonatal hyperbilirubinemia. J Perinatol. 2010;30 Suppl:S6-15.
15. Rohsiswatmo R, Amandito R. Hiperbilirubinemia pada neonatus >35 minggu
di Indonesia: pemeriksaan dan tatalaksana terkini. Sari Pediatri. 2018;20(2):115-
22.
16. Maisels MJ, Bhutani VK, Bogen D, Newman TB, Stark AR, Watchko JF.
Hyperbilirubinemia in the newborn infant > or =35 weeks’ gestation: an update
with clarifications. Pediatrics. 2009;124(4):1193-8.
17. Kemper AR, Newman TB, Slaughter JL, Maisels MJ, Watchko JF, Downs SM,
et al. Clinical practice guideline revision: management of hyperbilirubinemia
in the newborn infant 35 or more weeks of gestation. Pediatrics. 2022;150(3).
18. Bhutani VK, Gourley GR, Adler S, Kreamer B, Dalin C, Johnson LH.
Noninvasive measurement of total serum bilirubin in a multiracial predischarge
newborn population to assess the risk of severe hyperbilirubinemia. Pediatrics.
2000;106(2):E17.
19. Wainer S, Rabi Y, Parmar SM, Allegro D, Lyon M. Impact of skin tone
on the performance of a transcutaneous jaundice meter. Acta Paediatr.
2009;98(12):1909-15.

Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 103


20. Casnocha Lucanova L, Matasova K, Zibolen M, Krcho P. Accuracy of
transcutaneous bilirubin measurement in newborns after phototherapy. J
Perinatol. 2016;36(10):858-61.
21. Horn D, Ehret D, Gautham KS, Soll R. Sunlight for the prevention and treatment
of hyperbilirubinemia in term and late preterm neonates. Cochrane Database
Syst Rev. 2021;7(7):CD013277.

104 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Diare Akut, Virus vs Bakteri
Barry Army Bakry

P
enyakit diare masih merupakan masalah kesehatan masyarakat
di negara berkembang seperti Indonesia, karena morbiditas dan
mortalitasnya yang masih cukup tinggi. Hal ini sayangnya masih
berlanjut sampai saat ini. Berdasarkan survey morbiditas yang dilakukan oleh
Departemen kesehatan RI yang dilakukan dari tahun 2000 – 2010 terlihat
kecenderungan kenaikan insiden. Pada tahun 2000 IR penyakit Diare adalah
301/1000 penduduk. Tahun 2003 naik menjadi 374/1000 penduduk, tahun
2006 naik menjadi 423/1000 penduduk dan tahun 2010 menjadi 411/1000
penduduk.
Salah satu langkah dalam pencapaian target MDG’s adalah menurunkan
kematian anak menjadi 2/3 bagian dari tahun 1990 sampai pada 2015. Namun
demikian, berdasarkan Survey Kesehatan Rumah tangga (SKRT), diketahui
bahwa diare masih menjadi penyebab utama kematian balita di Indonesia.
Penyebab utama kematian akibat diare adalah karena tatalaksana yang tidak
tepat baik di rumah maupun di sarana kesehatan. Untuk itu salah satu upaya
penting dalam menurunkan kematian karena diare adalah diperlukannya
tatalaksana yang cepat dan tepat.

Epidemiologi
Meskipun angka kematian diare akut menurun dari 4,5 juta kematian pada
tahun 1979 menjadi 1,6 juta pada tahun 2002 di negara berkembang, tetapi
angka kejadian diare akut masih masuk urutan 5 besar dari penyakit yang
sering menyerang anak. Di Indonesia, angka kejadian diare akut diperkirakan
masih sekitar 60 juta episode setiap tahunnya, dan 1-5% diantaranya
berkembang menjadi diare kronis.

Definisi
Yang dimaksud dengan diare adalah buang air besar dengan peningkatan
frekuensi buang air besar dengan perubahan konsistensi tinja lebih lunak
atau cair dan dapat disertai gejala lain seperti mual, muntah, demam, atau
nyeri perut.

105
Etiologi
Diare dapat disebabkan oleh berbagai hal, diantaranya infeksi, gangguan
absorpsi (malabsorpsi), alergi makanan, keracunan makanan, imunodefisiensi.
Infeksi saluran cerna merupakan penyebab tersering. Diare dapat disebabkan
oleh berbagai patogen seperti bakteri, virus dan parasit. Tetapi penelitian
epidemiologis menunjukkan bahwa penyebab utama (>80%) diare akut cair
adalah rotavirus.

Cara penularan dan faktor risiko


Cara penularan diare pada umumnya melalui cara fekal – oral yaitu melalui
makanan atau minuman yang tercemar oleh enteropatogen, atau kontak
langsung tangan dengan penderita atau barang-barang yang telah tercemar
tinja penderita atau tidak langsung melalui lalat. ( melalui 4 F = finger, flies,
fluid, field).

Etiologi
Pada saat ini, dengan kemajuan di bidang teknik laboratorium kuman-
kuman patogen telah dapat diidentifikasikan dari penderita diare sekitar 80
% pada kasus yang datang disarana kesehatan dan sekitar 50 % kasus ringan
di masyarakat. Pada saat ini telah dapat diidentifikasi tidak kurang dari 25
jenis mikroorganisme yang dapat menyebabkan diare pada anak dan bayi.
Penyebab infeksi utama timbulnya diare umumnya adalah golongan virus,
bakteri dan parasit.
Beberapa penyebab diare akut yang dapat menyebabkan diare pada
manusia adalah sebagai berikut :
a) Infeksi bakteri: Vibrio’ E coli, Salmonella, Shigella,
Campylobacter, Yersinia, aeromonas, dan sebagainya.
b) Infeksi virus: Enterovirus (virus ECHO, Coxsacki, Poliomyelitis) Adeno-
virus, Rotavirus, astrovirus, dan lain-lain.
c) Infeksi parasit: cacing (Ascaris, Trichuris, Oxcyuris, Strongyloides)
protozoa (Entamoeba histolytica, Giardia lamblia, Trichomonas
hominis), jamur (Candida albicans)

Faktor Resiko
Menurut jufiri dan Soenarto (2012), ada beberapa faktor resiko diare yaitu :
y Faktor umur yaitu dare terjadi pada kelompok umur 6-11 bulan pada
saat diberikan makanan pendamping ASI. Pola in menggambarkan

106 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
kombinasi efek penurunan kadar antibody ibu, kurangnya kekebalan aktif
bayi, pengenalan makanan yang mungkin terkontaminasi bakteri tinja.
y Faktor musim : variasi pola musim dire dapat terJADI menurut letak
geografis. Di Indonesia diare yang disebabkan oleh rotavirus dapat terjadi
sepanjang tahun dengan peningkatan sepanjang musim kemarau, dan
dare karena bakteri cenderung meningkat pada musim hujan.
y Faktor lingkungan meliputi kepadatan perumahan, kesediaan sarana air
bersih (SAB), pemanfaatan SAB, kualitas air bersih.

Patogenesis diare
Mekanisme dasar yang menyebabkan timbulnya diare
Gangguan osmotik
Pada gangguan osmotik (makanan yang tidak dapat diserap akan
menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga usus meningkat sehingga
terjadi pergeseran air dan elektrolit ke dalam rongga usus, isi rongga
usus berlebihan sehingga timbul diare). Selain itu, diare juga bisa
menimbulkan gangguan sekresi akibat toksin di dinding usus, sehingga
sekresi air dan elektrolit meningkat kemudian menjadi diare. Gangguan
motilitas usus yang mengakibatkan hiperperistaltik. Akibat dari
diare itu sendiri adalah kehilangan air dan elektrolit (dehidrasi) yang
mengakibatkan gangguan keseimbangan asam basa (asidosis metabolik dan
hypokalemia), gangguan gizi (intake kurang, output berlebih), hipoglikemia,
dan gangguan sirkulasi darah. Hal ini umum terjadi pada kondisi infeksi
karena virus. Patogenesis terjadinya diare yang disebabkan virus yaitu virus
yang menyebabkan diare pada manusia secara selektif menginfeksi dan
menghancurkan sel-sel ujung-ujung villus padausus halus. Biopsi usus halus
menunjukkan berbagai tingkat penumpulan villus dan infiltrasi sel bundar
pada lamina propria. Perubahan-perubahan patologis yang diamati tidak
berkorelasi dengan keparahan gejala-gejala klinis dan biasanya sembuh
sebelum penyembuhan diare. Virus akan menginfeksi lapisan epithelium di
usus halus dan menyerang villus di usus halus. Hal ini menyebabkan fungsi
absorbsi usus halus terganggu. Sel-sel epitel usus halus yang rusak diganti
oleh enterosit yang baru, berbentuk kuboid yang belum matang sehingga
fungsinya belum baik. Villus mengalami atrofi dan tidak dapat mengabsorbsi
cairan dan makanan dengan baik. Selanjutnya, cairan dan makanan yang
tidak terserap/tercerna akan meningkatkan tekanan koloid osmotik usus
dan terjadi hiperperistaltik usus sehingga cairan beserta makanan yang tidak
terserap terdorong keluar usus melalui anus, menimbulkan diare osmotik
dari penyerapan air dan nutrien yang tidak sempurna.

Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 107


Gangguan sekresi
Pada kondisi ini, Proses dapat diawali dengan adanya mikroorganisme
(kuman) yang masuk ke dalam saluran pencernaan yang kemudian
berkembang dalam usus dan merusak sel mukosa usu, Selanjutnya teriadi
perubahan kapasitas Usus yang akhirnya mengakibatkan gangguan fungsi
usus dalam absorpsi cairan dan elektrolit. Atau juga dikatakan adanya
toksin bakteri akan menyebabkan transpor aktif dalam usus sehingga sel
mukosa mengalami iritasi yang kemudian sekresi cairan dan elektrolit akan
meningkat. diare terjadi melalui salah satu mekanisme yang berhubungan
dengan pengaturan transpor ion dalam sel-sel usus cAMP,cGMP, dan Ca
dependen. Dimana hal itu terjadi sekresi air dan elektrolit ke dalam usus
halus yang terjadi akibat gangguan absorbsi natrium oleh villus saluran
cerna sedangkan sekresi klorida tetap berlangsung atau meningkat, keadaan
ini menyebabkan air dan elektrolit keluar dari tubuh sebagai tinja dalam
bentuk yang lebih cair. Gangguan sekretorik ini ditemukan pada diare yang
disebabkan oleh infeksi bakteri.

Gangguan motilitas usus


Hiperperistaltik akan mengakibatkan berkurangnya kesempatan usus untuk
menyerap makanan sehingga timbul diare. Sebaliknya bila peristaltik usus
menurun akan mengakibatkan bakeri tumbuh berlebihan, selanjutnya
timbul diare pula.

Tatalaksana penyakit diare


Sebagai dokter penting sekali mempunyai kemampuan klinis dalam menilai
bahaya dari penyakit diare, yakni pasien jatuh dalam kondisi dehidrasi.
Karena hal itu akan menentukan apakah pasien perlu diobati sendiri atau
dirujuk untuk rehidrasi parenteral. Secara umum diare dengan dehidrasi
berat harus dirujuk ke rumah sakit untuk rehidrasi parenteral. Tetapi pada
kasus-kasus yang belum mengalami dehidrasi berat, tetapi pemberian
rehidrasi oral dinilai akan gagal, rujukan ke rumah sakit perlu dilakukan
untuk observasi yang ketat dan kemungkinan rehidrasi parenteral.
Pada saat seorang anak datang dengan keluhan diare, maka yang perlu
dilakukan adalah melakukan langkah-langkah pemeriksaan/penilaian yang
mencakup:6

Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat


Pada pasien dengan keluhan diare perlu dilakukan anamnesis yang cermat
baik pada pasien maupun orangtua pasien agar didapatkan informasi
mengenai perjalanan penyakit pada pasien. Pemeriksaan fisik yang cermat

108 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
juga sangat diperlukan, terutama dalam mengevaluasi adanya kondisi
dehidrasi serta tanda bahaya pada pasien diare.

Menentukan derajat dehidrasi


Setelah kita mengetahui perjalanan penyakit diare pada pasien, maka
sangatlah penting untuk mengetahui derajat dehidrasi pada pasien. Ada
begitu banyak metode pengukuran derajat dehidrasi seperti penilaian
derajat dehidrasi menurut sistem pengangkaan – Maurice King (1974);
WHO maupun MMWR. Namun kesemua metode pengukuran berujung
pada tiga kondisi / derajat dehidrasi, yakni:
y Kondisi tanpa dehidrasi : kekurangan cairan < 5% berat badan (Kategori A)
y Kondisi dehidrasi ringan-sedang : kekurangan cairan 5-10% berat badan
(Kategori B)
y Kondisi dehidrasi berat : kekurangan cairan >10% berat badan (Kategori
C)

Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium lengkap pada diare akut umumnya tidak
diperlukan. Pada keadaan tertentu mungkin diperlukan. Pada keadaan
tertentumungkin diperlukan,misalnya penyebab dasarnha tidak diketahui
atau ada sebab sebab lain selain diare akut atau pada penderita dengan
dehidrasi berat.

Terapi pada diare


Sekedar mengingatkan, bahwasanya terdapat lima pilar penting dalam tata
laksana diare, yaitu rehidrasi, dukungan nutrisi, pemberian antibiotika sesuai
indikasi, pemberian Zinc dan edukasi pada orangtua. Pada kenyataannya
terdapat kesenjangan antara yang dianjurkan dan yang dipraktekkan dalam
menatalaksana anak dengan diare. Di rumah sakit, lebih dari 80 persen anak
dengan diare yang dirawat mendapat antibiotik dan antidiare. Di poliklinik
rawat jalan, lebih dari 60 persen anak dengan diare mendapat antibiotik dan
antidiare. Sementara penggunaan cairan rehidrasi oral banyak diabaikan.
Padahal upaya rehidrasi adalah tatalaksana utama dalam penanganan diare.

Terapi rehidrasi
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam mencegah atau mengatasi
dehidrasi pada anak yang mengalami diare, yaitu (1) mengganti kehilangan
cairan yang telah terjadi, (2) mengganti kehilangan cairan yang sedang
berlangsung, dan (3) pemberian cairan rumatan.

Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 109


Tanpa dehidrasi
Pada keadaan ini, buang air kecil masih seperti biasa. ASI diteruskan, tidak
perlu membatasi atau mengganti makanan, termasuk susu formula. Dapat
diberikan CRO 5-10 ml setiap buang air besar cair.

Dehidrasi ringan-sedang
Anak terlihat haus dan buang air kecil mulai berkurang. Mata terlihat agak
cekung, kekenyalan kulit menurun, dan bibir kering. Pada keadaan ini,
anak harus diberikan cairan rehidrasi dibawah pengawsan tenaga medis,
sehingga anak perlu dibawah ke rumah sakit. CRO diberikan sebanyak
15-20 ml/kgBB/jam. Setelah tercapai rehidrasi, anak segera diberi makan
dan minum. ASI diteruskan. Pemberian minuman seperti cola, gingerale,
aple juice, dan minuman olah raga (sports drink) umumnya mengandung
kadar karbohidrat dan osmolaritas yang tinggi. Minuman tersebut dapat
menyebabkan diare osmotik yang lebih berat disamping mengandung kadar
Na yang rendah sehingga sering menyebabkan hiponatremia. Teh sebaiknya
tidak digunakan sebagai cairan rehidrasi karena juga mengandung kadar Na
yang rendah. Makanan tidak perlu dibatasi karena pemberian makanan akan
mempercepat penyembuhan. Pemberian terapi CRO cukup dilaksanakan
pada ruang observasi di UGD atau Ruang Rawat Sehari.
Muntah bukan larangan untuk pemberian CRO. CRO harus diberikan
secara perlahan-lahan dan konstan untuk mengurangi muntah. Keadaan
anak harus sesering mungkin direevaluasi

Dehidrasi Berat
Selain gejala klinis yang terlihat pada dehidrasi ringan-sedang, pada keadaan
ini juga terlihat napas yang cepat dan dalam, sangat lemas, keasadaran
menurun, denyut nadi cepat, dan kekenayalan kulit sangat menurun. Anak
harus dibawa segera ke Rumah Sakit untuk mendapat cairan rehidrasi
melalui infus.

Dietetik
Memuasakan anak yang menderita diare akut hanya akan memperpanjang
durasi diarenya. Air susu ibu harus diteruskan pemberiannya. Pada bayi yang
telah mendapat susu formula, susu formula bebas laktosa hanya diberikan
kepada bayi yang mengalami dehidrasi berat dan bayi yang secara klinis
memperlihatkan intoleransi laktosa berat dan diarenya bertambah pada saat
diberikan susu. Susu tersebut dapat diberikan selama 1 minggu. Intoleransi
laktosa umumnya bersifat sementara akibat adanya kerusakkan mukosa
usus. Aktivitas laktase akan kembali normal begitu epitel mukosa usus

110 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
mengalami regenerasi. Gejala intoleransi laktosa mencakup diare cair
profus, kembung, sering flatus, sakit perut, kemerahan di sekitar anus dan
tinja berbau asam.

Antibiotika
Antibiotika tidak diberikan secara rutin pada diare akut, meskipun dicurigai
adanya bakteri sebagai penyebab keadaan tersebut, karena sebagian besar
kasus diare akut merupakan kondisi Self Limiting. Pemberian antibiotika
yang tidak tepat akan memperpanjang keadaan diare akibat disregulasi
mikroflora usus.

Pencegahan penyakit diare


Menurut departemen Kesehatan RI (2005), kuman penyebab diare biasanya
menyebar melalui fecal oral antara lain melalui makanan atau minuman
yang tercemar tinja dan atau kontak langsung dengan tinja penderita.
Beberap perilaku yang dapat menyebabkan penyebaran kuman enteric
dan meningkatkan resiko terjadinya dire yaitu: tidak memberikan ASI
secara penuh 4-6 bulanpada pertama kehidupan, menggunakan botol susu,
menyimpan makanan masak pada suhu kamar, menggunakan air minum
yang tercemar, tidak mencuci tangan sesudah membuang tinja anak, tidak
mencuci termasuk tinja bayi yang benar.

Daftar pustaka
1. EFSA Panel on Dietetic Products Nutrition and Allergies (NDA). Scientific
option on dieterary reference values for water. EFSA J. 2010;8:1459.
2. Grandjean AC, Reimers KJ, Buyckx ME. Hydration: Issues for the 21st century.
Nutr Rev. 2003;61:261-71.
3. Popkin BM, D’Anci KE, Rosenberg IH. Water, hydration, and health. Nutr Rev.
2010;68:439-58.
4. Institute of Medicine, Food and Nutrition Board. Dietary reference intakes
for water, potassium, sodium, chloride and slufate. National Academies Press.
Washington DC; 2004.
5. Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI. Situasi Diare di Indonesia. Buletin
Jendela Duta dan Informasi Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia. 2011;2:1-19.
6. Subagyo B, Budi Santoso N. Diare akut. Buku Ajar Gastroenterologi-Hepatologi
Jilid 1. 2009:90-125
7. Konsensus. Kebutuhan Air pada Anak Sehat. Ikatan Dokter Anak
Indonesia,2016:1-6

Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 111


8. Institute of Medicine, Food and Nutrition Board. Dietary reference intakes
for water, potassium, sodium, chloride and slufate. National Academies Press.
Washington DC; 2004.
9. Holliday MA, Segar WE. The maintenance need for water in parenteral fluid
therapy. Pediatrics. 1957:823-32
10. Duggan C, Santosham M, Glass RI. The management of acute diarrhea in
children : oral rehydration, maintenance and nutritional therapy. MMWR.
1992; 41 (RR-16) : 1-20.

112 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Kuning pada Bayi: Atresia Bilier atau
Hepatitis?
Himawan Aulia Rahman, Hanifah Oswari

K
uning adalah gejala yang umum ditemukan pada seorang bayi.
Penyebab dari gejala kuning adalah hiperbilirubinemia yang
ditandai dengan perubahan warna kulit, sklera, atau mukosa.
Sebagian besar kondisi kuning yang terjadi di usia awal (<2 minggu)
adalah kondisi hiperbilirubinemia yang tidak terkonjugasi (unconjugated
hyperbilirubinemia). Pada kondisi gejala kuning yang menetap (>2 minggu),
perlu diwaspadai adanya hiperbilirubinemia terkonjugasi (conjugated
hyperbilirubinemia) atau disebut juga kolestasis neonatal yang ditandai
dengan peningkatan bilirubin direk >1 mg/dL.1 Kondisi ini selalu bersifat
patologis dan disebabkan karena adanya gangguan fungsi hepatobilier.
Makalah ini akan membahas pendekatan dan tata laksana pada kondisi
kolestasis neonatal.

Pengertian kolestasis neonatal


Kata kolestasis pertama kali diperkenalkan tahun 1880-an yang secara harfiah
berasal dari kata Yunani “chole” yang berarti empedu dan “stasis” yang berarti
diam di tempat. Kolestasis didefinisikan sebagai gangguan ekskresi empedu,
yang dapat disebabkan oleh salah satu dari mekanisme berikut: 1) defek dari
produksi empedu di intrahepatik, 2) gangguan transpor transmembran dari
empedu, dan 3) obstruksi mekanik aliran empedu. Istilah kolestasis neonatal
digunakan pada kasus kolestasis yang terjadi sejak lahir hingga beberapa
bulan pasca-lahir, berbeda dengan istilah neonatal yang biasanya digunakan
untuk bayi berusia ≤28 hari.
Empedu adalah cairan yang terdiri atas komponen antara lain asam
empedu, fosfolipid, kolesterol, elektrolit, metabolit lainnya, dan toksin.
Bilirubin terkonjugasi hanyalah salah satu komponen dari empedu, sehingga
peningkatan bilirubin terkonjugasi ini dapat menjadi penanda adanya
kolestasis. Komponen empedu yang diproduksi oleh hepatosit masuk ke
kanalikuli hati melalui masing-masing transporter membran yang spesifik.2
Oleh karena itu, pada kolestasis terdapat peningkatan komponen empedu
di serum seperti asam empedu dan kolesterol, selain hiperbilirubinemia.
Peningkatan bilirubin yang meningkat pada kolestasis adalah bilirubin direk

113
berdasarkan reaksi direk dengan reagen diazo, yang mencakup bilirubin
terkonjugasi dan bilirubin delta (lihat bab Kuning pada Bayi: Mana Normal
dan Mana Tidak?).

Gambar 1. Transporter intrahepatik pada pembentukan empedu dan mekanisme adaptasi pada kolestasis.2

Pendekatan kolestasis neonatal


Evaluasi kolestasis neonatal dilakukan bila ditemukan kadar bilirubin direk
>1 mg/dL.1 Pemeriksaan bilirubin direk wajib dilakukan bila ditemukan
gejala kuning yang memanjang hingga usia >2 minggu. Hal ini sangat
disarankan karena sebagian besar ikterus fisiologis, yang ditandai dengan
hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi, selesai pada usia 14 hari pada 85%
kasus.3 Selain itu, kasus ikterus pada usia perinatal (<2 minggu) yang
menunjukkan peningkatan bilirubin direk ringan (>0,3 mg/dL) juga
disarankan untuk dilakukan pemeriksaan lanjutan berkala dan evaluasi
kolestasis neonatal terutama pada tren kadar bilirubin direk yang terus
meningkat.4
Penyebab kolestasis neonatal sangat beragam dan banyak diagnosis yang
membutuhkan pemeriksaan kompleks. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu
strategi untuk mencari etiologi dari kolestasis neonatal.5 Pada bayi aterm,
penyebab terbanyak dari kolestasis neonatal adalah atresia bilier.1 Pada bayi
prematur, kolestasis seringkali disebabkan karena sepsis atau penggunaan
nutrisi parenteral total (total parenteral nutrition, TPN).
Strategi pertama yang disarankan untuk kasus kolestasis neonatal
adalah menentukan apakah bayi tersebut menderita atresia bilier atau
tidak. Bila tidak terbukti atresia bilier, langkah selanjutnya adalah mencari
penyebab kolestasis neonatal lain yang bisa diperiksakan. Bila penyebab

114 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
kolestasis masih belum ditemukan, konsultasi ke ahli gastrohepatologi anak
perlu dilakukan.

Tabel 1. Beberapa kelainan penyebab kolestasis neonatal.


Klasifikasi penyebab Kelainan
Atresia bilier Koledokolitiasis
Obstruksi bilier Kista duktus koledokus Tumor
Inspissated bile syndrome Neonatal sclerosing cholangitis
Sepsis Rubella
Infeksi saluran kemih (ISK) Herpes
Infeksi
CMV Sifilis
Toksoplasmosis
Sindrom Alagille Niemann-Pick tipe C
Defisiensi alfa-1-antitripsin (AAT) Penyakit Gaucher tipe 2
Galaktosemia Bile acid synthesis defect tipe 1-6
Penyakit genetik Tirosinemia Kelainan mitokondria
Defisiensi sitrin Kelainan siklus urea
Penyakit Wolman Progressive familial intrahepatic
Cystic fibrosis cholestasis tipe 1-4
Hipotiroid
Metabolik
Hipokortisol
Imun Gestational alloimmune liver disease (hemokromatosis neonatal)
Toksin Intestinal failure-associated liver disease (IFALD)
Idiopatik Hepatitis neonatal idiopatik

Pendekatan atresia bilier


Atresia bilier adalah penyakit fibro-obliteratif progresif di duktus bilier
ekstrahepatik yang menyebabkan obstruksi bilier pada bayi. Atresia bilier
merupakan penyebab tersering kolestasis neonatal mencakup 20 – 30%
kasus.6 Di RSCM, atresia bilier adalah penyebab tersering dari transplantasi
hati.7 Bayi dengan atresia bilier biasanya seperti bayi sehat saat lahir, namun
mengalami ikterus yang progresif dalam dua bulan pertama. Karakteristik
yang khas dari atresia bilier adalah seringkali disertai dengan warna tinja
yang pucat (akolik). Penelitian oleh Harpavat dkk menunjukkan bahwa bayi
dengan atresia bilier mengalami hiperbilirubinemia direk saat usia beberapa
hari pertama.4
Atresia bilier harus dieksplorasi pertama kali dan secara dini pada kasus
kolestasis neonatal karena prosedur pembedahan hepatoportoenterostomi
Kasai (KPE) sebelum usia 60 hari dapat memperbaiki luaran pasien secara
signifikan dan mencegah tindakan transplantasi hati.8 Di RSCM, kami
menggunakan usia 100 hari sebagai batasan dalam operasi KPE atau tidak.
Dalam mendiagnosis atresia bilier, pemeriksaan awal yang dapat dilakukan
antara lain:

Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 115


- Tinja pucat (akolik)
Warna tinja akolik, terutama apabila berlangsung secara persisten, adalah
karakteristik yang khas pada atresia bilier. Namun, orang tua seringkali tidak
menyadari warna tinja yang abnormal ini. Tenaga kesehatan juga masih
banyak yang belum rutin menanyakan warna tinja pada bayi kuning. Untuk
membantu standarisasi warna tinja akolik, sejak 1994 telah dikembangkan
kartu warna tinja (stool color card, SCC) yang kemudian banyak diadaptasi
di seluruh dunia.9-14 Kartu warna tinja juga telah masuk ke dalam Buku
Kesehatan Ibu dan Anak (KIA).

Gambar 2. Contoh SCC yang dikembangkan oleh Matsui.11

- Pemeriksaan ultrasonografi (USG)


Pemeriksaan USG dapat membantu dalam penapisan awal atresia bilier
melalui beberapa temuan antara lain kelainan kandung empedu (kandung
empedu yang tidak terlihat atau kecil sekali, iregularitas dinding kandung
empedu), tanda triangular cord, aliran subkapsular hati, pembesaran diameter

116 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
arteri hepatika dan rasio arteri hepatika-vena porta. Pada pemeriksaan USG
2 fase (fase puasa dan pasca-minum susu) dapat tampak penurunan indeks
kontraktilitas kandung empedu.15 Namun, pemeriksaan USG memiliki
keterbatasan karena sangat tergantung dengan kemampuan dan pengalaman
operator dalam mendeteksi kelainan-kelainan tersebut.

- Pemeriksaan laboratorium
Kadar gamma-glutamil-transferase (GGT) yang tinggi dapat mengarahkan
ke diagnosis atresia bilier. Protokol di RSCM menggunakan batas cut-off
250 mg/dL sebagai penanda kecurigaan atresia bilier. Selain atresia bilier,
kadar GGT juga dapat meningkat pada sindrom Alagille dan PFIC tipe
3. Pemeriksaan lain yang menjanjikan untuk atresia bilier adalah matriks
metaloproteinase-7 (MMP-7).16
Temuan lain yang biasanya ditemukan pada kolestasis neonatal namun
tidak spesifik untuk atresia bilier adalah warna urin yang berwarna pekat,
hepatomegali, splenomegali, dan polisplenia.
Diagnosis pasti atresia bilier adalah dengan kolangiografi intraoperatif
(intraoperative cholangiogram, IOC). Bila pada pemeriksaan IOC ditemukan
obstruksi bilier, dokter bedah sebaiknya langsung melakukan operasi KPE
di waktu yang sama. Pemeriksaan lain yang bisa digunakan untuk diagnosis
atresia bilier adalah biopsi hati, skintigrafi hepatobilier, magnetic resonance
cholangiopancreaticography (MRCP). Banyak senter di seluruh dunia yang
melakukan biopsi hati sebelum dilakukan IOC di dalam protokolnya.1
Namun, di Indonesia, pemeriksaan biopsi hati dan MRCP mengalami
kendala karena daftar antrean tindakan yang sangat panjang. Oleh karena
itu, untuk mempersingkat pelayanan pasien atresia bilier, di RSCM tidak
melakukan biopsi hati dalam protokol skrining awal atresia bilier.
Operasi hepatoportoenterostomi Kasai (KPE) sebaiknya dilakukan
sedini mungkin begitu diagnosis atresia bilier ditegakkan. Semakin dini
operasi dilakukan, maka prognosis kesintasan native liver juga semakin
baik.17, 18

Pendekatan kolestasis neonatal non-atresia bilier


Kasus kolestasis neonatal yang tidak terbukti atresia bilier membutuhkan
penelusuran diagnosis yang seringkali tidak mudah. Penelusuran diagnosis
seperti yang tertera di Tabel 1 dapat dilakukan berdasarkan sumber daya yang
ada di masing-masing fasilitas kesehatan. Bila mengalami kesulitan dalam
diagnostik kolestasis neonatal, diperlukan rujukan ke ahli gastrohepatologi
anak.

Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 117


Hepatitis neonatal idiopatik adalah istilah yang digunakan pada
kondisi kolestasis neonatal yang tidak diketahui penyebabnya setelah
penelusuran etiologi yang mampu dilakukan. Di negara maju yang sudah
lebih baik fasilitas diagnostiknya, insidens hepatitis neonatal idiopatik sudah
menurun dibandingkan sebelumnya.19 Hepatitis neonatal idiopatik tidak ada
hubungannya dengan infeksi hepatitis A, B, atau C, sehingga tidak diperlukan
penelusuran infeksi virus tersebut pada kondisi kolestasis neonatal.

Penanganan awal kolestasis neonatal


Setiap bayi yang terbukti mengalami kolestasis memerlukan tata laksana awal
sebelum rujukan dilakukan. Pasien kolestasis neonatal sering mengalami
komplikasi malnutrisi salah satunya akibat malabsorpsi. Salah satu fungsi
empedu adalah melakukan digesti lemak. Oleh karena itu absorpsi lemak
dan vitamin larut lemak turut terganggu akibat kondisi kolestasis neonatal.
Pada pasien yang non-ASI eksklusif, pemberian formula dengan kadar
trigliserida rantai sedang (medium-chain triglyceride, MCT) tinggi dapat
dipertimbangkan. Pemberian vitamin larut lemak (vitamin A, D, E, K) juga
perlu diberikan sejak dini.20

Tabel 2. Dosis awal suplementasi vitamin pada kolestasis neonatal.20


Jenis vitamin Dosis awal
Vitamin A 5000 IU/hari
Vitamin D 2000 IU/hari
Vitamin E 15 – 25 IU/kg/hari
Vitamin K 2 mg intramuskular

Pemberian asam ursodeoksikolat dengan dosis 30 mg/kg/hari terbagi


dalam tiga dosis juga sebaiknya diberikan pada kolestasis neonatal. Asam
ursodeoksikolat adalah asam empedu tersier yang bersifat hidrofilik sehingga
diperkirakan dapat melindungi kerusakan hepatosit.
Rujukan ke fasilitas kesehatan yang memiliki kapasitas diagnostik
kolestasis neonatal (terutama atresia bilier) dan penatalaksanaannya
(termasuk operasi KPE) harus dilakukan secara dini. Oleh karena itu, kami
menyarankan untuk merujuk pasien dengan kecurigaan atresia bilier pada
pasien bayi kuning yang disertai dengan gejala tinja akolik. Hal ini diperlukan
untuk mengurangi kebutuhan transplantasi hati dan mortalitas.

118 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Kuning 2 minggu

Bilirubin direk >1 mg/dL

Pemberian UDCA
Suplementasi vitamin larut lemak

Rujuk bila tidak ada Evaluasi warna tinja


fasilitas diagnostik USG abdomen 2 fase
Pemeriksaan GGT

Suspek atresia bilier Suspek non-atresia bilier

Usia ≤100 hari Usia >100 hari


Rujuk ke dokter
gastrohepatologi anak

Rujuk untuk prosedur Rujuk untuk kemungkinan


KPE transplantasi hati

Gambar 3. Alur penatalaksanaan kolestasis neonatal di fasilitas terbatas.

Kesimpulan
Sebagian pasien bayi dengan kuning disebabkan oleh proses patologis. Pada
bayi kuning yang memanjang (>2 minggu) perlu dievaluasi ke arah kolestasis
neonatal, yang ditandai peningkatan kadar bilirubin direk >1 mg/dL. Atresia
bilier harus dievaluasi pada keadaan kolestasis neonatal. Diagnosis yang dini,
rujukan yang tepat, dan prosedur KPE sesegera mungkin perlu dilakukan
pada kasus atresia bilier untuk mencegah transplantasi hati dan kematian.
Kolestasis neonatal selain atresia bilier membutuhkan penelusuran lebih
lanjut tergantung sumber daya fasilitas kesehatan.

Daftar pustaka
1. Fawaz R, Baumann U, Ekong U, Fischler B, Hadzic N, Mack CL, et al. Guideline
for the evaluation of cholestatic jaundice in infants: joint recommendations of
the North American Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and

Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 119


Nutrition and the European Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology,
and Nutrition. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2017;64(1):154-68.
2. Karpen SJ. Mechanisms of bile formation and the pathogenesis of cholestasis.
In: Suchy FJ, Sokol RJ, Balistreri WF, Bezerra JA, Mack CL, Shneider BL, editors.
Liver disease in children. 5 ed. Cambridge: Cambridge University Press; 2021.
p. 26-35.
3. Kelly DA, Stanton A. Jaundice in babies: implications for community screening
for biliary atresia. BMJ. 1995;310(6988):1172-3.
4. Harpavat S, Garcia-Prats JA, Anaya C, Brandt ML, Lupo PJ, Finegold MJ, et
al. Diagnostic yield of newborn screening for biliary atresia using direct or
conjugated bilirubin measurements. JAMA. 2020;323(12):1141-50.
5. Feldman AG, Suchy FJ. Approach to the infant with cholestasis. In: Suchy FJ,
Sokol RJ, Balistreri WF, Bezerra JA, Mack CL, Shneider BL, editors. Liver disease
in children. 5 ed. Cambridge: Cambridge University Press; 2021. p. 107-15.
6. Gottesman LE, Del Vecchio MT, Aronoff SC. Etiologies of conjugated
hyperbilirubinemia in infancy: a systematic review of 1692 subjects. BMC
Pediatr. 2015;15:192.
7. Oswari H, Rahayatri TH, Soedibyo S. Pediatric living donor liver transplant
in Indonesia’s national referral hospital. Transplantation. 2020;104(7):1305-7.
8. Lien TH, Chang MH, Wu JF, Chen HL, Lee HC, Chen AC, et al. Effects of the
infant stool color card screening program on 5-year outcome of biliary atresia
in Taiwan. Hepatology. 2011;53(1):202-8.
9. Matsui A, Dodoriki M. Screening for biliary atresia. Lancet. 1995;345(8958):1181.
10. Hsiao CH, Chang MH, Chen HL, Lee HC, Wu TC, Lin CC, et al. Universal
screening for biliary atresia using an infant stool color card in Taiwan.
Hepatology. 2008;47(4):1233-40.
11. Gu YH, Yokoyama K, Mizuta K, Tsuchioka T, Kudo T, Sasaki H, et al. Stool
color card screening for early detection of biliary atresia and long-term native
liver survival: a 19-year cohort study in Japan. J Pediatr. 2015;166(4):897-902
e1.
12. Wildhaber BE. Screening for biliary atresia: Swiss stool color card. Hepatology.
2011;54(1):367-8; author reply 9.
13. Woolfson JP, Schreiber RA, Butler AE, MacFarlane J, Kaczorowski J, Masucci L,
et al. Province-wide biliary atresia home screening program in British Columbia:
evaluation of first 2 years. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2018;66(6):845-9.
14. Madadi-Sanjani O, Blaser J, Voigt G, Kuebler JF, Petersen C. Home-based
color card screening for biliary atresia: the first steps for implementation of a
nationwide newborn screening in Germany. Pediatr Surg Int. 2019;35(11):1217-
22.
15. Zhou L, Shan Q, Tian W, Wang Z, Liang J, Xie X. Ultrasound for the diagnosis
of biliary atresia: a meta-analysis. AJR Am J Roentgenol. 2016;206(5):W73-82.
16. Jiang J, Wang J, Shen Z, Lu X, Chen G, Huang Y, et al. Serum MMP-7 in the
diagnosis of biliary atresia. Pediatrics. 2019;144(5).
17. Schreiber RA, Barker CC, Roberts EA, Martin SR, Alvarez F, Smith L, et al.
Biliary atresia: the Canadian experience. J Pediatr. 2007;151(6):659-65, 65 e1.

120 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
18. Wickramasekara N, Ignatius J, Lamahewage A. Prognostic factors and outcomes
of Kasai portoenterostomy (KPE): nine-year experience from a lower-middle
income country. Pediatr Surg Int. 2023;39(1):142.
19. Hertel PM, Hawthorne K, Kim S, Finegold MJ, Shneider BL, Squires JE, et al.
Presentation and outcomes of infants with idiopathic cholestasis: a multicenter
prospective study. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2021;73(4):478-84.
20. Mouzaki M, Bronsky J, Gupte G, Hojsak I, Jahnel J, Pai N, et al. Nutrition support
of children with chronic liver diseases: a joint position paper of the North
American Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition
and the European Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and
Nutrition. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2019;69(4):498-511.

Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 121


Diare Kronis pada Anak: Kapan Curiga
Tuberkulosis Usus?
Ezy Barnita

Objektif:
1. Memahami perbedaan diare kronis dan diare persisten
2. Mengetahui gejala klinis tuberkulosis usus
3. Mengetahui kapan mencurigai tuberkulosis usus pada klinis diare kronis
4. Memahami cara penegakkan diagnosis tuberkulosis usus

D
iare merupakan penyebab mortalitas terbanyak pada populasi anak
dibawah 5 tahun (balita) diseluruh dunia. Data UNICEF tahun
2019 menunjukkan 9% kematian pada balita disebabkan karena
diare, setara dengan 484.000 anak per tahun. Angka kematian tertinggi
terutama berasal dari negara di area Asia selatan, termasuk Indonesia
dengan mortalitas 5%.1 Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Indonesia 2018
menunjukkan prevalensi diare pada bayi sebesar 10,6% dan pada balita
12,3%. Data Profil Kesehatan Indonesia 2020 diketahui diare merupakan
penyebab kematian tertinggi kedua baik pada kelompok umur 1-11 bulan
(9,8%) atau kelompok usia 1-5 tahun (4,55%).2
Tuberkulosis (TB) merupakan 10 penyebab kematian terbanyak
didunia, dengan atau tanpa HIV, 82% diantaranya terjadi di Afrika dan
Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Setelah virus COVID-19, mortalitas
TB menduduki peringkat pertama kategori kematian penyakit infeksi oleh
agen tunggal. Diperkirakan 25% populasi dunia terinfeksi Mycobacterium
tuberculosis (MTB), namun sebagian besar tidak berlanjut menjadi sakit
TB. Insidens TB setiap tahunnya, sebesar 10% terjadi pada anak, dengan
mortalitas global 14% pada anak <15 tahun tanpa HIV, dan 11% pada anak
dengan HIV. Tanpa terapi yang adekuat, angka kematian TB untuk seluruh
usia diperkirakan mencapai 50%.3

Isi
Diare kronis
Berdasarkan durasi terjadinya, diare dibedakan atas diare akut dan diare
kronis. Diare akut umumnya berlangsung dalam waktu kurang dari 7 hari,
dan tidak melebihi 14 hari. Beberapa sentral menggunakan istilah diare
memanjang (prolonged diarrhea) untuk diare yang berlangsung >7 dan

122
<14 hari. Diare yang berlangsung >14 hari secara umum disebut sebagai
diare kronis. Diare kronis yang disebabkan oleh infeksi dirujuk sebagai
diare persisten. Diare persisten pada infeksi enterik dapat berlangsung
simultan atau sekuensial, sehingga mengakibatkan terjadi perlukaan
mukosa usus, hingga berlanjut menjadi diare kronis, malnutrisi dan infeksi
berkepanjangan. Istilah diare kronis sebenarnya digunakan untuk diare yang
diduga tidak berkaitan dengan infeksi, umumnya berlangsung >4 minggu,
berkaitan dengan masalah malabsorpsi dan gagal tumbuh.4

Tuberkulosis abdominal
Penegakkan diagnosis TB pada anak masih merupakan tantangan yang
cukup besar bagi dunia kesehatan. Diperkirakan terdapat 20% kasus TB
pada anak yang underdiagnosed, pada kelompok umur 0-4 tahun persentase
ini diperkirakan lebih tinggi lagi, mencapai 40%. Hal ini berkontribusi
menyebabkan tingginya angka kematian dan disabilitas jangka panjang
untuk survivornya. Hambatan dalam penegakkan diagnosis TB pada anak
antara lain disebabkan:5-7
1. Sulit mendapatkan sampel sputum yang representatif dari anak untuk
penegakkan diagnosis TB, terutama untuk pemeriksaan sederhana
berupa apus bakteri tahan asam (BTA)
2. Pauci-bacillary pulmonal TB, yaitu konsentrasi bakteri MTB yang rendah
di sputum sehingga pemeriksaan sputum sering tidak menemukan basil
TB pada penderita.
3. Rendahnya sensitifitas apus BTA, yaitu sebesar 1% pada kelompok umur
0-4 dan 14% pada kelompok umur 5-14 tahun.
4. Rendahnya kemampuan petugas kesehatan mendiagnosis TB pada anak
5. Tidak efektifnya pelacakan kontak yang berpusat pada keluarga
6. Belum meratanya pelatihan skrining dan diagnosis TB pada anak
7. Kurangnya alat bantu edukasi tentang TB pada anak untuk masyarakat
umum
8. Rendahnya kecurigaan klinisi terhadap infeksi TB pada anak dengan
presentasi klinis batuk dan demam persisten, terutama di negara dengan
prevalensi tuberkulosis anak yang rendah

Tuberkulosis abdominal (TBA) merupakan bentuk TB ekstra paru


(TB-EP) yang lebih sering ditemukan pada anak-anak dibandingkan
dewasa. Angka kejadian TB-EP diperkirakan 16% dari 7,1 juta insidens
tahun 2019, proporsinya berkisar antara 8% di kawasan Pasifik barat hingga
24% di Mediterania timur. Di Indonesia proporsi TB-EP antara 10-19%.8
Dalam praktik klinis, TB-EP sering kali ditemukan secara kebetulan. Tidak

Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 123


spesifiknya gejala dan tanda TB-EP disertai rendahnya gejala khas untuk
organ yang terinfeksi, banyak kasus TB-EP yang terlambat didiagnosis dan
diobati. Karena itu, selain sering bermanifestasi klinis berat, proporsi TB-EP
juga lebih tinggi pada anak.9
Puncak insiden TBA pada usia 20-40 tahun, hanya 10-20% kasus
yang terjadi pada usia anak-anak. Para saat sebelum régimen obat anti
tuberkulosis (OAT) ditemukan, TBA sebagian besar ditemukan pada
kelompok usia <5 tahun. Studi epidemiologi terbaru di India, Taiwan, Turki
dan Tunisia, melaporkan proporsi TBA lebih tinggi pada kelompok usia
pubertas, 9,5-14,7 tahun.10 Diagnosis TBA pada anak menempati proporsi
ke 4-6 tersering dari seluruh kasus TB-EP, tergantung prevalensi kasus TB
área tersebut. Tuberkulosis ekstra paru pada anak diperkirakan mempunyai
proporsi 1-2% dari seluruh kasus TB anak, pada anak usia <15 tahun, TBA
mempunyai proporsi 12% dari kasus TB-EP. Proporsi yang dilaporkan ini
diduga jauh lebih rendah dari kondisi yang sebenarnya, karena gambaran
TBA yang tidak spesifik dan mirip dengan kondisi lain, atau klinisi kurang
cermat mendiagnosis adanya TBA pada kasus TB paru, atau kekurangan alat
bantu diagnosis di negara dengan prevalensi TB tinggi. Sebuah penelitian
di India terhadap 218 anak usia <12 tahun di pelayanan kesehatan tertier,
menyimpulkan terdapat keterlambatan diagnosis TBA pada anak dengan
median 4 bulan (0,5-36 bulan).11
Tuberkulosis abdominal dibedakan berdasarkan organ yang terinfeksi,
yaitu peritoneal, intestinal, kelenjar getah bening, dan organ viseral
abdominal. Pada dewasa TBA terbanyak mengenai intestinal, sementara
pada anak lebih sering di peritoneal dan kelenjar getah bening. Rendahnya
temuan intestinal TB pada anak dapat disebabkan karena keterbatasan
ketersediaan dan kemampuan pemeriksaan kolonoskopi anak di fasilitas
pelayanan kesehatan, sehingga luput dari diagnosis. Klasifikasi TBA
berdasarkan tampilan klinis, proporsi dan cara penyebaran selengkapnya
dapat dilihat pada tabel 1.10
Manifestasi klinis TBA tersering adalah nyeri perut (44-100%), distensi
abdomen (46-100%), demam (31-90%), gagal tumbuh (40-87%), dan asites
(16-82%). Gangguan buang air besar (BAB) dilaporkan pada beberapa
penelitian dengan proporsi 0-67%.10 Penelitian terhadap 115 kasus ATB di
Singapura selama 5 tahun menyimpulkan manifestasi klinis terbanyak adalah
nyeri perut yang tidak spesifik, hilang timbul, tidak terlokalisir, dengan
intensitas nyeri ringan yang kemudian semakin meningkat. Gangguan BAB
ditemukan pada 52% subjek, sebagian besar berupa diare namun juga dapat
berupa konstipasi.12 Studi retrospektif lain dari India, terhadap 218 kasus
ATB pada anak selama 13 tahun di Pediatric Gut Clinic, Chandigarh-India,
melaporkan diare ditemukan pada 21% subjek, lebih tinggi dibandingkan
dengan konstipasi (12%). Keluhan terbanyak adalah nyeri perut (81%),

124 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Tabel 1. Klasifikasi TBA berdasarkan tampilan klinis dan penyebaran.

No Tuberkulosis abdominal Proporsi Penyebaran


1 KGB atau mesenterium 45-80% Drainase limfatik dari KGB intra peritoneal
atau retragrade dari intra torak
Hematogen
2 Peritoneal 44-83% Drainase limfatik dari KGB
Hematogen
Infeksi laten fokus TB
Per-kontinuitatum (jarang)
3 Intestinal 10-23% Limfatik
Tertelan
Area ileum terminal merupakan tempat
tersering karena sangat kaya dengan folikel
limfoid (Peyer’s patches)
4 Viseral 8-23% Hematogen dari TB paru atau milier.
Organ yang sering terkena adalah limpa dan
hati.

demam (76%) dan penurunan berat badan (74%). Nyeri perut, demam dan
penurunan berat badan ditemukan pada 54% subjek penelitian, sehingga
peneliti menyebutnya sebagai trias gejala.11
Area tersering terinfeksi TB intestinal adalah ileosekal (85%), kemudian
jejunum dan kolon. Lesi TB pada duodenum sangat jarang, <3% dari seluruh
kasus TB intestinal.13 Penegakkan diagnosis TB intestinal dengan lesi pada
area jejunum dan ileum proksimal secara histopatologis akan memerlukan
enteroskopi atau endoskopi-kapsul yang hingga saat ini pemeriksaannya
pada anak di negara berkembang masih sangat jarang.
Beragamnya manifestasi klinis TB intestinal berdasarkan area yang
terinfeksi mengakibatkan penundaan dalam penegakkan diagnosis penyakit
ini. Endoskopi saluran cerna disertai biopsi merupakan prosedur diagnostik
utama, dimana operator akan mempunyai visualisasi langsung terhadap
lesi.13 Terdapat 3 fenotip TB intestinal, yaitu ulseratif, hipertrofik, dan
ulserohipertrofik. Tipe ulseratif ditandai dengan berkembangnya ulkus
transversal multipel dengan konglomerasi epiteloid dan granuloma disertai
nekrosis kaseosa, diselingi dengan mukosa normal, sehingga menyerupai
penyakit Crohn. Bentuk hipertrofik ditandai dengan respons inflamasi
yang cepat sehingga terjadi penebalan dan penyempitan dinding usus,
yang memberikan klinis obstruksi saluran cerna. Sesuai dengan namanya,
ulserohipertrofik adalah gabungan dari kedua tipe diatas.11 Klinis diare kronis
pada TBA paling sering adalah pada TB intestinalis tipe ulseratif.
Kecurigaan TB usus pada klinis diare kronis dipikirkan apabila
ditemukan adanya darah pada fekal, penurunan berat badan dan nyeri perut.
Untuk konfirmasi diagnosis perlu dilakukan kolonoskopi untuk penilaian
makroskopik saluran cerna, disertai dengan pemeriksaan miroskopik

Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 125


dari hasil biopsi. Konfirmasi juga dapat dilengkapi dengan pemeriksaan
radiologi, apus BTA dan kultur MTB.10 Berikut disajikan algoritma investigasi
kemungkinan TBA pada anak.

Algoritma 1. Investigasi TBA.10

Penutup
Diare kronis secara umum adalah diare yang berlangsung >14 hari. Pada
diare kronis yang disertai dengan trias gejala berupa nyeri perut, demam dan
penurunan berat badan, perlu dicurigai merupakan kasus TB usus. Berbagai
penelitian menunjukkan potensi keterlambatan klinisi mendiagnosis TB usus
karena tampilan klinisnya yang tidak spesifik, hilang timbul, progresifitas
intensitas nyeri yang lambat; akan berujung pada kondisi pasien yang
menjadi berat dan meningkatkan mortalitas serta morbiditas.

Daftar pustaka
1. https://data.unicef.org/topic/child-health/diarrhoeal-disease/. Desember 2022.
Diakses pada 25 Oktober 2023.
2. Profil Kesehatan Indonesia 2020. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
2021
3. Global Tuberculosis Report 2022. World Health Organization.
4. Shankar S., Rosenbaum J., Chronic diarrhoea in children: A practical algotithm-
based approach. J of Ped and Child Health. 2020;56:1029-38.
5. Yerramsetti S., Cohen T., Atun R., Menzies N.A. Global estimates of paediatric
tuberculosis incidence in 2013-19: a mathematical modelling analysis. Lancet

126 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Glob Health 2022;10: e2017-15.
6. Saraswati LD., Ginandjar P., Widjanarko B., Puspitasari RA. Epidemiology
of child tuberculosis (A cross-sectional study at Pulmonary Health Center
Semarang City, Indonesia. 3rd International Conference on Tropical and Coastal
Region Eco Development 2017.
7. Oshi DC., Chukwu JN., Nwafor CC., Meka AO., Madichie NO., Ogbudebe
CL., et al. Does intensified case finding increase tuberculosis case notification
among children in resource-poor settings? A report from Nigeria. Int J of
Mycobacteriology. 2016;5: 44-50.
8. Global Tuberculosis Report 2022. World Health Organization.
9. Chu P., Chang Y., Zhang X., Han S., Jin Y., et al. Epidemiology of extrapulmonary
tuberculosis among pediatric inpatients in mainland China: a descriptive,
multicenter study. Emerg Microbes & Inf. 2022;11:1090-1102.
10. Sartoris G., Seddon J.A., Rabie H., Nel E.D., Schaaf H.S. Abdominal tuberculosis
in children: Challenge, uncertainty, and confusion. JPIDS. 2020;9:218-27.
11. Lal S.B., Bolia R., Menon J.V., Venkatesh V., Bhatia A., Vaiphei K., et al. Abdominal
tuberculosis in children: A real-world experience of 218 cases from an endemic
region. JGHF. 2019;4:215-20.
12. Basu S., Ganguly S., Chandra P.K. Clinical profile and outcome of abdominal
tuberculosis in Indian children. Sing Med J. 2007;48:900-5.
13. Vlad R.M., Smadeanu E.R., Becheanu G., Darie R., Pacurar D. The diagnostic
challenge in a child with intestinal tuberculosis. Rom J Morphol Embryol.
2021;62:1057-61.

Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 127


Diare Akibat Infeksi Jamur dan Amoeba
Syahminar Rahmani

I. Diare Akibat Infeksi Jamur


Jamur yang terdapat pada saluran cerna manusia dapat diklasifikasikan
menjadi residen dan non-residen. Jamur residen (autokonus) harus
bisa tumbuh pada suhu 37oC agar dapat berkolonisasi di saluran cerna.1
Candida albicans, Candida tropicalis, Candida parapsilosis, dan Candida
glabrata merupakan komponen mikrobiom manusia, dan data publikasi
memperkirakan C. albicans terdapat pada individu sehat dalam kisaran
30-60%.1,2 Malassezia merupakan genus ragi yang juga dilaporkan terdapat
pada sampel tinja dan mungkin memiliki peranan pada saluran cerna.
Namun, dibutuhkan teknik sampling khusus yang lebih invasif dibandingkan
pemeriksaan feses standar untuk mengeliminasi kemungkinan inokulasi
feses oleh flora kulit.3 Pada manusia sehat, terdapat keseimbangan antara
spesies Candida sebagai flora normal dan mekanisme pertahanan tubuh
normal. Namun akan terjadi infeksi oportunistik oleh Candida dengan faktor
predisposisi, yaitu kondisi imunokompromais.4
Istilah imunokompromais terutama berhubungan dengan kelainan
seperti AIDS, kemoterapi, dan transplantasi organ dan sumsum tulang.
Namun, jenis lain imunokompromais juga rentan terhadap infeksi jamur,
termasuk imunodefisiensi primer, pasien dalam terapi imunomodulator
kronik atau steroid, usia sangat muda atau lanjut usia, diabetes, pasca
splenektomi, malnutrisi, dan penyakit kronik lainnnya.5-9 Pada kondisi ini
akan terjadi perubahan sistem pertahanan di saluran cerna dan Candida
sp berkonversi dari komensal menjadi patogen. Tabel 1 menunjukkan
factor predisposisi terjadinya infeksi jamur.10 Saat ini, insidens patogen ini
sebagai penyebab penyakit semakin meningkat karena adanya peningkatan
penggunaan obat-obat imunosupresan, kemoterapi, dan transplantasi, dan
juga infeksi HIV. Walaupun spesies Candida dan Aspergillus merupakan
spesies yang sering berhubungan dengan pasien imunokompromais, jenis
jamur lain juga bisa menjadi patogen serius. Banyaknya organisme pada
individu yang rentan bervariasi tergantung dari berbagai faktor, termasuk
penyakit yang mendasari, derajat imunokompromais, dan faktor lingkungan
seperti dimana pasien tinggal dan tipe serta besaranya paparan. Infeksi jamur
dapat terjadi di berbagai organ, termasuk kolon.5

128
Tabel 1. Penyebab dan faktor predisposisi terjadinya infeksi jamur10
Penyebab Faktor (contoh)
Kondisi fisiologis yang Bayi prematur
sangat rentan terhadap Neonatus
jamur Lanjut usia
Dalam fase perubahan hormon (kehamilan, menopause
Penyakit, kondisi patologis, Penyakit hormon (diabetes mellitus, disfungsi adrenal)
pembedahan Defisiensi imun
Infeksi
Chronic inflammatory bowel disease
Penyakit hematologi onkologi
Tumor ganas
Operasi viseral
Transplantasi organ
Alkohol
Bedridden patients
Dalam pengobatan atau Antibiotik
terapi Kortikosteroid
Imunosupresan
Perawatan intensif
Sitostatik
Radiasi
Kateter

Kandidiasis Intestinal
Kandidiasis intestinal sering ditemukan baik pada orang dewasa maupun
pada bayi dengan gejala perut sering kembung dengan disertai diare.11
Candida sebagai penyebab diare sampai saat ini masih menimbulkan
kontroversi. Menurut Forbes, candida tidak menyebabkan diare pada anak
dengan gizi baik.12 Namun, Levine mendapatkan bahwa candida hanya
menyebabkan diare pada keadaan tertentu saja seperti adanya defisiensi
imun.13
Publikasi melaporkan bahwa C. albicans menyebabkan diare dan gejala
berkurang setelah terapi. Tingginya konsentrasi candida telah diidentifikasi
pada feses anak malnutrisi, dan berhubungan dengan diare. Beberapa laporan
menunjukkan bahwa candida menyebabkan diare pada dewasa dan anak.
Penghentian antibiotik dan pemberian nistatin pada orang dewasa yang
mengalami diare persisten disertai pertumbuhan ragi pada feses dapat
menyembuhkan gejalanya dalam beberapa hari. 14 Gupta dan Ehrinpreis
mengidentifikasi tingginya pertumbuhan candida pada feses pasien lansia,
malnutrisi, dan pasien dengan penyakit kritis yang mengalami diare tetapi
tidak diketahui penyebab mikrobiologi, inflamasi, atau kimia lainnya. Gejala
tersebut perbaikan dengan diberikan terapi anti-candida.15 Penelitian oleh
Danna dkk menunjukkan bahwa diare terkait antibiotik pada pasien lanjut
usia mengalami perbaikan dengan pemberian nistatin.16 Penelitian di Nigeria

Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 129


menunjukkan adanya peningkatan candida pada feses anak yang mendapat
antibiotik dibandingkan pada anak yang tidak mendapatkan antibiotik.17
Candida albicans diidentifikasi terdapat pada feses sepertiga anak
berusia dibawah usia 1 tahun yang mengalami diare, dibandingkan 15% pada
kontrol. Candida albicans dipertimbangkan sebaga patogen oportunistik,
penyebab diare melanjut setelah cedera mukosa oleh patogen lainnya.18
Mycelia jamur di feses dilaporkan sebagai penanda infeksi invasif candida
enterik pada kelompok pasien yang mengalami diare persisten setelah infeksi
lainnya. Diare pada kelompok pasien ini perbaikan setelah mendapat terapi
nistatin.19 Penelitian di India menunjukkan bahwa infeksi candida terjadi
pada 26,7% pasien anak dan dewasa yang mengalami diare kronik (> 2
minggu). Kebanyakan dari candida tersebut sensitif terhadap flukonazol,
flusitosin, amfoterisin B, dan vorikonazol.20
Jamur menginvasi transmural menyebabkan infeksi gastrointestinal.5
Tanda dan gejala infeksi jamur pada saluran cerna antara lain, diare,
muntah, melena, perdarahan, nyeri perut, dan demam. Gejala ini seringnya
serupa pada semua tipe jamur. Diagnosis infeksi jamur pada pasien
imunokompromais merupakan tantangan karena pasien dengan kondisi ini
bisa saja tidak memiliki gejala yang khas.5
Diagnosis kandidiasis ditegakkan bila ditemukan candida dalam
jaringan atau dalam bahan klinis yang diambil secara aseptik. Feses dapat
dibuat menjadi sediaan eosin, lugol, atau sediaan KOH. Jamur akan terlihat
sebagai sel ragi atau pseudohifa. Sel ragi candida akan menunjukkan Gram
positif pada pewarnaan Gram.
Pengobatan kandidiasis intestinal dapat diberikan nistatin 250.000-
500.000 unit 4x sehari selama 10-14 hari.21 Nistatin merupakan merupakan
antimikosis yang tidak diserap (non-absorbable) untuk kandidiasis di traktus
orogastrointestinal. Nistatin lebih murah dan memiliki keuntungan berupa
efek samping yang lebih sedikit dibandingkan flukonazol, derivat azol yang
mudah diserap.10 Untuk kandidiasis yang lebih ekstensif direkomendasikan
pemberian flukonazol 3-6 mg/kg/hari 1 kali sehari per oral atau parenteral.
Untuk kandidiasis hepar dan limpa dapat diberikan amfoterisin B dengan
dosis 1 mg/kgBB intravena selama 4-6 minggu, dapat diberikan bersamaan
dengan flusitosin 25 mg/kgBB/hari dalam 4 dosis pada pasien dengan fungsi
ginjal normal.23

II. Diare Akibat Infeksi Amoeba


Kejadian infeksi parasit pada saluran cerna didapatkan tersebar secara luas
di seluruh dunia, terutama pada masyarakat di negara-negara yang sedang
berkembang di daerah tropis. Anak-anak sering terkena dan lebih parah
penyakitnya dan berbeda dari satu daerah dengan daerah lainnya tergantung

130 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
dari keadaan setempat. Hal ini mencerminkan adanya faktor ekologi dan
imunologi.24,25 Walaupun imunitas protektif kelihatannya tidak mempunyai
peran yang menonjol, namun mungkin dalam batas-batas tertentu berperan
dalam mengurangi jumlah parasit dan beratnya penyakit pada anak besar dan
orang dewasa yang pernah mengalami infeksi parasit ini pada awal usianya.
Protozoa mempunyai kemampuan untuk hidup dan berkembang di
dalam usus seperti halnya bakteri usus. Bentuk yang ditemukan di dalam
usus adalah bentuk trofozoit, sedangkan yang dikeluarkan melalui tinja
adalah dalam bentuk kista yang lebih dapat bertahan menghadapi tekanan
dari lingkungan sekitarnya sehingga memudahkan penyebaran kepada
orang lain. Apabila suatu protozoa ditemukan di dalam tinja, kita harus
mengidentifikasi apakah parasit tersebut suatu komensal atau patogen. Jika
parasit merupakan patogen yang potensial, perlu ditentukan apakah parasit
tersebut condong menyebabkan penyakit. Hal ini hanya dapat dilakukan
dengan memperhatikan manifestasi klinisnya. Jika parasit tersebut adalah
patogen, perlu dilakukan eradikasi karena organisme yang tertinggal hidup
setelah pengobatan mempunyai kemampuan untuk berkembang dan dapat
menyebabkan kekambuhan.
Amoeba merupakan protozoa yang tidak memiliki morfologi tetap.
Amoeba diklasifikasikan menjadi amoeba intestinal atau amoeba yang hidup
bebas (tabel 2)

Tabel 2. Klasifikasi amoeba24


Amoeba intestinal Amoeba yang hidup bebas
Entamoeba histolytica Naegleria fowleri
Entamoeba dispar Acanthamoeba spp
Entamoeba coli Balamuthia mandrillaris
Entamoeba polecki
Entamoeba hartmanni
Entamoeba gingivalis
Endolimax nana
Iodamoeba butschlii
Catatan: semua amoeba intestinali Catatan: Semua amoeba yang hidup bebas
bersifat nonpatogen, kecuali adalah patogen oportunistik
Entamoeba histolytica

Entamoeba histolytica
Entamoeba histolytica pertama kali ditemukan oleh Lösch pada tahun
1875, yang menemukan parasit pada feses pasien disentri di St. Petersburg,
Rusia. Entamoeba histolytica merupakan satu-satunya patogen diantara
spesies lainnya (kecuali dientamoeba fragilis) yang terbukti dapat menghuni
kolon. Entamoeba histolytica memiliki 3 bentuk/tahapan, yaitu: trofozoit,
pre-kista, dan kista.24,26 Kista yang termakan/terminum dari air yang
tercemar, makanan segar, atau dari tangan akan pecah dalam usus kecil dan

Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 131


membentuk trofozoit yang kemudian menjadi matur dan menghuni kolon.
Trofozoit yang termakan tidak dapat bertahan hidup di dalam lingkungan
asam dari lambung. Perlu diingat bahwa klorinisasi air tidak akan membunuh
kista. Tindakan yang harus dilakukan adalah dengan memasak air. 24-28

Gambar 1. E. histolytica. A. Trofozoit, B. Stadium Pre-kista, C. Kista uninukleus, D. Kista binukleus, E.


Kista quadrinukleus matang.24

Kista matang yang tertelan mencapai lambung masih dalam keadaan


utuh karena kista tahan terhadap asam lambung. Di rongga usus halus
terjadi ekskistasi, yaitu saat kista mencapai caecum atau bagian distal
ileum, karena adanya media alkali, dinding kista dirusak oleh trypsin,
dan keluarlah bentuk-bentuk amoeba quadrinukleus. Stadium ini disebut
metacyst. Nukleus-nukleus di dalam metakista membelah menjadi 8
nukleus, masing-masing dikelilingi oleh sitoplasmanya menjadi metacystic
trofozoit (8 amoebulae kecil). Habitat optimal bagi trofozoit adalah jaringan
submukosa caecum dan kolon, dimana mereka berada di glandular kripta
dan membelah. Beberapa akan berkembang menjadi bentuk pre kista dan
kista, yang nantinya akan keluar melalui feses dan mengulang siklusnya
kembali.24,26
Trofozoit merupakan bentuk invasif amuba. Dalam usus kecil kista
akan berubah menjadi bentuk trofozoit dan mengadakan invasi terutama
pada kolon. Invasi amuba diawali dengan perlekatan trofozoit pada sel epitel
kolumnal di kripta Liberkühn di kolon.24 Trofozoit melekat di sel epitel kolon
melalui interaksi galactose dan N-acetyl-D-galactosamine-specific lectin (Gal/
GalNAC lectin) dan lipopeptidophosphoglycan pada permukaan trofozoit dan
toll-like receptor (TLR)2 pada sel epitel. Adhesi pada epitel usus merupakan
prasyarat bagi invasi amuba dan disusul dengan aktivitas sitolitik. 25
Penetrasi amoeba di fasilitasi oleh motilitas trofozoit dan enzim sitolitik,
histolysin, yang akan merusak mukosa epitel. Trofozoit mensekresi sejumlah
protease yang aktif terhadap bagian membran dasar sel, dan kolagen, yang
memudahkan terjadinya lisis dari sel penjamu. Karena berkurangnya lapisan
mukus yang protektif, kerusakan dari barier epitel, dan lisis dari sel radang
penjamu, maka trofozoit dengan mudah melakukan penetrasi jaringan
yang mendalam. Kebanyakan amuba menginvasi jauh ke dalam submukosa
melalui cell junction dan memicu masuknya leukosit polimorfonuklear.
Trofozoit akan membelah biner setiap 8 jam. Bentuk trofozoit dari feses
disentri seringnya mengandung eritrosit yang terfagositosis. Gambaran ini

132 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
didiagnosis sebagai “phagocytosed red cell”, tidak ditemukan pada amoeba
intestinal komensal lainnya. Trofozoit bertahan selama 5 jam pada suhu
37oC dan bisa mati karena pengeringan, pemanasan, dan sterilisasi kimia.
Oleh karena itu, infeksi tidak dapat ditransmisikan oleh trofozoit. Walaupun
trofozoit dari tinja tertelan, mereka akan dengan cepat dihancurkan di
lambung.24-29
Adapun faktor yang memengaruhi virulensi E.histolytica, antara lain:24
y Amoebic cystine proteinase, yang menginaktivasi faktor komplemen C3.
Proteinase ini merupakan faktor virulensi yang penting
y Lectin dan protein ionophore amoeba
y Faktor host (pejamu) : stres, malnutrisi, terapi kortikosteroid, dan
imunodesiensi
y Glikoprotein di mukosa kolon dapat menghambat perlekatan trofozoit
di sel epitel, sehingga
y

Bagan 1. Siklus hidup Entamoeba histolytica (skema). 24

Gambar 2. Siklus hidup Entamoeba histolytica.24

Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 133


Pada kebanyakan kasus, E. histolytica merupakan komensal di usus
besar dan tidak menyebabkan penyakit. Host tersebut menjadi pembawa
parasit (karier) tak bergejala dan berperan terhadap penyebaran infeksi
amoeba di komunitas. Pada suatu waktu infeksi dapat teraktivasi dan muncul
gejala. Periode laten dan reaktivasi merupakan karakteristik amebiasis.
Tidak semua strain E. histolytica bersifat patogenik atau invasif.
Penelitian epidemiologi dari infeksi, analisis isoenzim, dan hibridisasi
prob DNA menunjukkan adanya 2 jenis E. histolytica yang berbeda, yaitu
jenis patogenik dan non patogenik. Trofozoit dan kista patogenik maupun
non patogenik secara morfologis tidak dapat dibedakan. E. histolytica
sekarang dideskripsi ulang sebagai suatu kompleks dari 2 spesies; jenis
patogenik dari Entamoeba histolytica dalam arti sempit dan jenis non
patogenik dari Entamoeba dispar yang dapat dibedakan melalui reaksi rantai
polimerase. Perbedaan antara strain patogenik dan non patogenik dapat
diketahui dari kerentanan terhadap analisis yang dimediasi komplemen dan
aktivitas fagositik atau dengan penggunaan marker. Genetik atau antiibodi
monoklonal dan analisis zymodeme.24-26

Amebiasis usus
Amebiasis usus adalah bentuk paling umum bentuk paling umum dari
infeksi dan mungkin tanpa gejala. Amoeba yang tinggal di lumen usus
tidak menyebabkan penyakit. Mereka menyebabkan penyakit hanya ketika
mereka menginvasi jaringan usus. Hal ini hanya terjadi pada sekitar 10%
kasus infeksi, 90% sisanya tidak menunjukkan gejala.24 Menurut WHO,
amebiasis usus dapat tidak bergejala hingga bergejala. Gejala dapat berupa
disentri dan kolitis non-disentri.
a) pengeluaran kista tanpa gejala
Infeksi E. histolytica tidak selalu menyebabkan penyakit. Jenis non
patogen lebih sering dijumpai daripada jenis patogen, juga di daerah
endemik. Pengeluar kista asimtomatik mempunyai respons antibodi
antiamubik serum, antigen amuba serum, dan dapat mengalami invasi
kolon patologik.
b) diare yang dapat berupa diare berbentuk air, disentri amubik, kolitis non
disenteri, kolitis amubik nekrotik fulminan
Pada diare berair dapat terjadi secara ringan sampai yang dapat
menyebabkan dehidrasi. Pada disentri amuba, gejala biasanya terjadi
secara bertahap dengan nyeri perut kolik, diare yang biasanya berdarah
(dengan lendir), dan tenesmus. Pada umumnya tak tampak gejala sistemik
dan panas tidak selalu ada. Disentri amuba akut dapat berlangsung
beberapa hari sampai beberapa minggu dan sering menjadi kronik atau
intermiten sehingga sulit dibedakan dengan penyakit inflammatory

134 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
bowel disease (IBD). Hal yang perlu diperhatikan adalah pemberian
kortikosteroid (seperti pada IBD) akan memperberat penyakit disentri
seperti kolitis fulminan dan megakolon toksik. Tabel 3 menunjukkan
perbedaan disentri amoba dengan disentri basiler.24

Tabel 3. Perbedaan disentri amoeba dan basiler24


Gambaran Disentri Amoeba Disentri Basiler
Klinis
Onset Gradual Akut
Demam Tidak ada Ada
Toksisitas Tidak ada Ada
Nyeri perut Terlokalisir Umum
Tenesmus Sedang Berat
Feses
Frekuensi 6-8/hari 10/ hari
Bau Busuk Tidak
Warna Merah tua Merah terang
Makroskopis Feses bercampur darah Darah dan lendir dengan
dan lendir sedikit atau tanpa feses
Konsistensi Tidak menempel Melekat pada kontainer
Reaksi Asam Basa
Mikroskopi
Eksudat sel Jarang Penuh
Sel darah merah Tebal Jarang
Coklat kekuningan Merah terang
Makrofag Sedikit Banyak, beberapa dengan
sel darah merah yang
teringesti
Eosinofil Ada Tidak ada
Kristal Charcot-Leyden Ada Tidak ada
Bakteri motil Ada Tidak ada
Amoeba Trofozoit motil dengan
sel darahmerah yang
teringesti

E. histolytica dapat pula memberikan tampilan kolitis non-disentri


yang merupakan episode kekambuhan diare tanpa darah dan lendir yang
tampak dalam tinja, nyeri abdomen, dan flatus. Kolitis amuba nekrotik
fulminan dapat terjadi pada bayi dan anak dan bisa menyebabkan kematian,
menimbulkan gangren di usus, peritonitis, obstruksi usus, perforasi, dan
perdarahan.
Amebiasis usus dapat pula berkaitan dengan prolaps rektum,
hematochezia, kekambuhan kolitis ulserativa, dan apendisitis.

Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 135


Diagnosis amebiasis usus ditegakkan dengan adanya trofozoit atau
kista pada tinja basah atau pada sediaan biopsi kolon.28 Feses harus
diperiksa dalam satu jam pertama dan pada suhu kamar karena trofozoit
akan terurai setelah 1 jam dan tidak dapat dikenali lagi. Sel darah putih
biasanya tidak ditemukan pada pemeriksaan feses. Teknik konsentrasi juga
dapat digunakan dengan pulasan trikrom untuk menemukan kista amuba.
Penggunaan tetrasiklin, sulfonamid, bismut, dan kaolin akan mempersulit
identifikasi amuba. Jika tinja tidak dapat diperiksa dalam waktu satu jam,
tinja dapat diawetkan dalam formalin 10% untuk mendeteksi kista atau
dalam polivinil alkohol untuk mendeteksi trofozoit. Pengujian feses dengan
menggunakan 3-6 sediaan akan meningkatkan kemungkinan diagnosis
hingga 80-90%.21Leukosit dalam tinja dapat tidak terlihat karena aksi sitolitik
dari trofozoit amuba. Pada pemeriksaan mikroskopis tinja dapat terlihat
trofozoit dengan eritrosit di dalamnya (trofozoit hematofagus) dan hal ini
menunjukkan amuba yang invasif.
Deteksi antigen E. histolytica dapat dilakukan dengan pemeriksaan
galactose lectin antigen. Deteksi antibodi juga berperan dalam mendeteksi
amebiasis pada manusia, yaitu complement fixation test (CFT), indirect
hemagglutination (IHA), indirect immunofluorescent antibody test (IFA),
rapid immunochromatography test, dan tes ELISA. Pemeriksaan darah
menunjukkan adanya leukositosis pada kasus abses hati amoeba.24-26 Adapun
tes polymerase chain reaction (PCR) tinja memiliki sensitivitas dan spesifisitas
yang tinggi.27
Kolonoskopi perlu dilakukan bila pemeriksaan tinja selalu negatif pada
kasus yang dicurigai menderita amoebiasis. Pada kolonoskopi akan terlihat
adanya ulserasi berbentuk eliptik yang tersebar dan ditutupi dengan eksudat
kuning dengan mukosa sekitarnya yang normal. Mukosa sangat rapuh dan
mudah berdarah.24-28
Infeksi E. histolytica harus diobati. Terapi ditujukan untuk eliminasi
trofozoit yang menginvasi usus dan organisme yang ada di lumen usus,
termasuk kista. Metronidazol diberikan dalam dosis 35-50 mg/kgBB/hari
dibagi dalam 3 dosis untuk 7-10 hari. Kortikosteroid dan obat antimotilitas
sebaiknya tidak digunakan karena akan memperberat gejala dan proses
penyakit. Walaupun beberapa jenis amoeba tidak patogenik dan tidak
menginvasi jaringan, karena sulit dibedakannya antara patogen dan non
patogen serta karena adanya invasi ekstraintestinal (abses hati) yang sering
terjadi tanpa adanya gejala intestinal, maka mau tidak mau harus dilakukan
pengobatan. Pemeriksaan feses lanjutan direkomendasikan setelah terapi
selesai, karena tidak ada regimen farmakologi yang efektif dalam eradikasi
infeksi saluran cerna secara sempurna.
Untuk mengendalikan penyebaran amebiasis, diperlukan peningkatan
kesadaran akan kebersihan diri dan sanitasi. Membiasakan mencuci

136 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
tangan dengan sabun atau menggunakan sanitizer dengan bahan dasar
alkohol setelah dari kamar mansi, sebelum menyiapkan makanan, sebelum
makan, dan setelah mengganti popok mampu mengendalikan amebiasis.
Menggunakan air matang, air kemasan, makanan atau minuman yang telah
di pasteurisasi juga mampu mencegah infeksi amebiasis. Prognosis amebiasis
usus baik bila tidak ada penyulit. Data statistik mnunjukkan kematian
amebiasis usus tanpa abses hati hanya 1-2%.30

Penutup
Jamur dan amoeba merupakan organisme yang dapat menyebabkan diare
pada anak. Infeksi jamur perlu dipertimbangkan pada populasi yang rentan
mengalami infeksi ini, seperti kondisi imunosupresi, riwayat penggunaan
obat-obatan, dan riwayat operasi. Manifestasi infeksi amoeba pada saluran
cerna dapat berupa tanpa gejala hingga gejala berat. Pengobatan yang efektif
dapat menghindari komplikasi berat. Pencegahan harus dilakukan untuk
memutus penyebaran amebiasis.

Daftar pustaka
1. Hallen-Adams HE, Suhr JM. Fungi in the healthy human gastrointestinal tract.
Virulence. 2017;8: 352-8)
2. Moran G, Coleman D, Sullivan D. An introduction to the medically important
Candida species. Dalam: Calderone RA, Clancy CJ, penyunting. Candida and
candidiasis. ed 2. .Washington DC: ASM Press; 2012.. h. 11-25; http://dx. doi.
org/10.1128/9781555817176.ch2
3. Gouba N, Raoult D, Drancourt M. Plant and fungal diversity in gut microbiota
as revealed by molecular and culture investigations. PLoS One. 2013; 8:e59474;
PMID:23555039; http://dx.doi.org/10.1371/journal.pone.0059474.
4. Hameed AL, Ahmed L, Ali SM. The prevalence of Candida spp. among children
with diarrhea in Baqubah-Iraq. Int.J.adv.eng. technol. 2018;3:34-43.
5. Lamps LW, Lai KKT, Milner Jr DA. Fungal infections of the gastrointestinal tract
in the immunocompromised host-an update. Adv Anat Pathol. 2014:21;217–27.
doi:10.1097/PAP.0000000000000016.
6. Dave M, Purohit T, Razonable R, Loftus EV Jr. Opportunistic infections due to
inflammatory bowel disease therapy. Inflamm Bowel Dis. 2014;20:196-212.
7. Parize P, Rammaert B, Lortholary O. Emerging invasive fungal diseases in
transplantation. Curr Infect Dis Rep. 2012; 14:668–75.
8. Schwesinger G, Junghans D, Schroder G, Bernhardt H, Knoke M. Candidosis
and aspergillosis as autopsy findings from 1994-2003. Mycoses. 2005; 48:176–80.
9. Bitar D, Van Cauteren D, Lanternier F, Dannaoui E, Che D, dkk. Increasing
incidence of zygomycosis (mucormycosis), France, 1997-2006. Emerg Infect
Dis. 2009; 15:1395–401.
10. Schulze J, Sonnenborn U. Yeast in the gut: from commensals to infectious agents.

Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 137


Dtsch Artebl Int. 2009;106:837-42
11. Farthing MJ. Parasitic and fungal infections of the digestive tract. Dalam:
Pediatric Gastrointestinal Disease: Pathophysiology, diagnosis, management.
Philadelphia: B. C. Decker Inc; 1991. h. 546-56.
12. Forbes D. Faecal candida and diarrhoea. Arch Dis Child. 2001;84:328-31.
13. Levine J. Candida-associated diarrhea: a syndrome in search of credibility. Clin
Infect Dis 1995; 21:881-6.
14. Kane JG, Chreteun JH, Garagusi VF. Diarrhoea caused by Candida. Lancet.
1976;i:335–6.
15. Gupta TP, Ehrinpreis MN. Candida-associated diarrhea in hospitalized patients.
Gastroenterology 1990;98:780–5.
16. Danna PL, Urban C, Bellin E, Rahal JJ. Role of candida in pathogenesis of
antibiotic-associated diarrhoea in elderly inpatients. Lancet. 1991;337:511–14.
17. Ezeonu IM, Ntun NW, Ugwu KO. Intestinal candidiasis and antibiotic
usage in children: case study of Nsukka, South Eastern Nigeria. Afri Health
Sci.2017;17:1178-84.
18. Bishop RF, Barnes GL, Townley RRW. Microbial flora of stomach and small
intestine in infantile gastroenteritis. Acta Paediatr Scand. 1974;63:418–22.
19. Kozinn P, Taschdjian C. Enteric candidiasis. Diagnosis and clinical considerations.
Pediatrics. 1962;30:71–85.
20. Banerjee P, Kaur R, Uppal B. Study of fungal isolates in patients with chronic
diarrhea at a tertiary care hospital in north India.. J Mycol Med. 2013:23; 21—26
21. Herbowo, Firmansyah A. Diare akibat infeksi parasit. Sari Pediatri. 2003;4:198-
203.
22. Praneenararat S. Fungal infection of the colon. Clin Exp Gastroenterol. 2014:7
415–26.
23. Pappas PG, Kauffman CA, Andes D, Benjamin DK, Calandra TF, Edwards Jr JE,
et all. Clinical practice guidelines for the management of candidiasis: 2016 update
by the infectious diseases society of america. Clin Infect Dis. 2016;48:503-35.
24. Paniker J, Ghosh S, penyunting. Panicker’s textbook of medical parasitology. Ed
7. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers Ltd; 2013.
25. Hodgec P, Kelly P. Intestinal parasites. Dalam: Guandalini S, Dhawan A,
penyunting. Textbook of pediatric, gastroenterology, hepatology, and nutrition.
A comprehensive guide to practice. ed 2 2021. h. 219-229. https://doi.
org/10.1007/978-3-030-80068-0_16
26. Ishak H. Biomedik: parasitologi kesehatan. Makasar: Masagena Press; 2019.
27. Tan TQ, ed. Red book atlas of pediatric infectious diseases. Ed 5. USA: American
Academy of Pediatrics. 2023.
28. Taherian M, Samankan S, Cagir B. Amebic colitis [StatPearls]. 2022. (Diunduh
pada 3 Nov 203). Diunduh dari https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/
NBK542237/.
29. Betanzos A, Banuelos C, Orozco E. Host invasion by pathogenic amoebae:
epithelial disruption by parasite proteins. Genes. 2019;10: 618; doi:10.3390/
genes10080618.
30. Hapsari D. Amebiasis. Dalam: Hadinegoro SR, Moedjito I, Hapsari MD, Alam A,
penyunting. Buku ajar infeksi dan peyakit tropis. Ed 4. Jakarta: Badan Penerbit
IDAI;2018. h. 555-76.

138 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Gangguan Saluran Cerna Fungsional
pada Anak
Erwin Lukas Hendrata

G
angguan saluran cerna fungsional adalah pengelompokan gejala
saluran cerna yang memiliki patofisiologi berhubungan dengan
gangguan motilitas, sensitivitas viseral, mekanisme pertahanan
epitel, fungsi imun mukosa, mikrobiota, atau proses syaraf sistim syaraf
pusat – saluran cerna. Salah satu syarat utama gangguan fungsional adalah
tidak ditemukan kelainan struktur saluran cerna yang dapat menjelaskan
timbulnya gejala tersebut.1
Sudah lebih dari 30 tahun, para ahli mengembangkan kriteria kelainan
fungsional karena kebutuhan untuk mendiagnosis pasien-pasien yang
memiliki gejala saluran cerna namun tidak ditemukan penjelasan mekanis
sebagai penyebabnya. Kriteria diagnostik ini juga dipergunakan untuk
kepentingan penelitian klinis untuk gejala-gejala saluran cerna fungsional
yang tidak memiliki biomarker atau kriteria standar. Sebagai contoh
penelitian tentang irritable bowel syndrome (IBS) yang akan sulit dikerjakan
akibat tidak ada kriteria eksklusi stardar yang dapat dipakai.2
Selama periode tersebut, para ahli dari seluruh dunia melakukan
penelitian epidemiologi dan analitik untuk membedakan kebiasaan saluran
cerna populasi normal dengan populasi abnormal. Tahun 1994 kumpulan
hasil penelitian-penelitian tersebut dipublikasikan dengan mencantumkan
“the Rome Foundation” sebagai penulisnya (yang saat ini lebih dikenal
sebagai Roma I). Pengelompokan diagnosis gejala saluran cerna fungsional
ini didasarkan pada organ yang terlibat (esofageal, gastroduodenal, ileum
dan kolon, sistim bilier, dan anorektal.3
Proses pengelompokan dan diagnosis ini terus berlanjut sampai
menghasilkan publikasi Roma II (2000), Roma III (2006) dan Roma IV
(2016). Sebagian besar pusat pendidikan dan badan kesehatan dunia
mengakui kriteria ini dan mempergunakannya dalam penelitian-penelitian
klinis. Sebagai klinisi, kriteria Roma ini mempermudah penegakan diagnosis
pasien-pasien dengan menggunakan proses yang positif, dibanding
melakukan proses diagnosis eksklusi. Hal ini sejalan dengan tujuan para
penggagas kriteria Roma agar pengguna kriteria ini dapat lebih percaya diri
dalam menegakkan diagnosis fungsional yang pada akhirnya meningkatkan
penerimaan pasien, serta mengurangi pemeriksaan penunjang yang
berlebihan.4

139
Saat ini kriteria Roma IV mencakup 33 diagnosis gangguan
gastrointestinal fungsional pada dewasa, dan 17 diagnosis pada anak. Dari
17 diagnosis pada anak dibagi lagi menjadi 7 diagnosis pada usia bayi/balita
(regurgitasi infantil, sindrom ruminasi, cyclic vomiting syndrome, kolik
infantil, diare fungsional, diskesia infantil, dan konstipasi fungsional) dan 10
diagnosis pada usia anak/ remaja (cyclic vomiting syndrome, muntah/ mual
fungsional, sindrom ruminasi, aerofagi, dispepsia fungsional, irritable bowel
syndrome, migrain abdominal, nyeri perut fungsional, konstipasi fungsional
serta inkontinensia fekal non retentif).5 Pada makalah ini akan membahas
beberapa kelainan fungsional yang paling sering terjadi pada anak dengan
gejala utama nyeri perut, yaitu dispepsia fungsional, konstipasi fungsional,
irritable bowel syndrome dan migrain abdomen

Dispepsia fungsional
Pada sebuah penelitian berbasis populasi yang dipublikasikan pada tahun
2018, prevalens dispepsia fungsional adalah sebesar 3%.6 Dispepsia memiliki
karakteristik nyeri di regio epigastrium. Berbeda dengan kriteria Roma III
yang menekankan rasa sakit di perut sebagai gejala utama, pada kriteria
Roma IV nyeri perut dapat bermanifestasi sebagai kembung, mudah kenyang,
mual, muntah, atau rasa penuh di abdomen. Berikut diagnosis dispepsia
fungsional berdasarkan kriteria Roma IV:
Harus termasuk 1 atau lebih gejala yang mengganggu dibawah ini,
sekurangnya 4 hari perbulan, dan telah dirasakan minimal 2 bulan
y Rasa kenyang berlebihan saat makan
y Rasa kenyang dini
y Nyeri atau rasa terbakar di epigastrium, tidak berhubungan dengan defekasi
y Setelah dilakukan pemeriksaan adekuat, tidak dapat dijelaskan penyebab
kondisi medis tertentu.7
Beberapa alarm signs yang perlu dideteksi pada kasus dispepsia sebelum
diangnosis fungsional ditegakkan adalah:8

Tabel 1. Alarm signs dispepsia pada anak


Gejala/ temuan klinis Kemungkinan diagnosis
Penurunan berat badan Malabsorbsi (pankreatitis, penyakit celiac, inflammatory bowel
disease)
Disfagia Eosinophilik esofagitis
Muntah profus Cyclic vomiting syndrome, obstruksi bilier, kolesistitis, lesi
intrakranial
Demam Infeksi
Hepatomegali Penyakit hepatobilier
Splenomegali Penyakit hemolitik, abses limpa
Melena Ulkus peptikum, divertikulum

140 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Dengan defisini tersebut, dispepsia fungsional dapat dibagi menjadi
sindrom nyeri epigastrium dan sindrom distres postpandrial. Sindrom
nyeri epigastrium mencakup semua nyeri/ rasa tidak nyaman yang tidak
diakibatkan oleh motilitas lambung. Diagnosis sindrom distres postpandrial
ditujukan pada anak dengan rasa kenyang lebih awal atau tidak nyaman
saat makan yang sering kali menyebabkan anak tidak menyelesaikan porsi
makannya.9,10
Sampai saat ini patofisiologi dispepsia fungsional belum diketahui
dengan jelas. Beberapa abnormalitas saluran cerna dicurigai mempengaruhi
timbulnya nyeri dispepsia, diantaranya gangguan peristaltik lambung,
keterlambatan pengosongan lambung, gangguan pengembangan kapasitas
lambung, dan dismotilitas antrum. Pada anak yang lebih besar, beberapa
faktor risiko yang memperberat gejala diantaranya abnormalitas motorik
saluran cerna, sensitivitas viseral serta faktor psikososial.11
Sampai saat ini, tidak ada satupun panduan terapi untuk dispepsia
fungsional pada anak. Komite Rome IV hanya memberikan rekomendasi
terapi berdasarkan pendapat ahli dan data penelitian dengan sampel pasien
dewasa. Untuk pasien dengan sindrom nyeri epigastrium, komite Roma IV
merekomendasikan inhibitor pompa proton sebagai terapi lini pertama,
sedangkan pada sebagian kasus nyeri berat diberikan obat antidepresan
trisiklik.12 Terapi rekomendasi untuk sindrom distres postpandrial adalah
obat-obatan fundal relaxant (contoh siproheptadin) dan obat-obatan
prokinetik.12,13 Penelitian oleh Rodriguez L, dkk melaporkan pemberian
siproheptadin dapat memperbaiki gejala dispepsia fungsional pada anak
dengan sedikit efek samping (yaitu somnolen, peningkatan nafsu makan,
dan kenaikan berat badan).14 Dibutuhkan penelitian multisenter lebih
lanjut untuk menetukan patofisiologi utama, faktor-faktor risiko dispepsia
fungsional, sehingga dapat dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai efikasi
dari bermacam terapi yang ada.
Beberapa terapi nonmedikamentosa yang direkomendasikan pada
anak dengan dispepsia fungsional adalah konsumsi makanan lebih sering
dengan porsi kecil, serta penghindaran makanan/ minuman yang dapat
memicu timbulnya gejala (makanan berlemak tinggi, minuman berkafein,
dan obat-obatan antiinflamasi nonsteroid).15

Konstipasi fungsional
Konstipasi diperkirakan terjadi pada hampir 30% anak dan sebagian besar
termasuk kategori fungsional.16 Berdasarkan kriteria Roma IV, diagnosis
konstipasi fungsional ditegakkan berdasarkan temuan berikut ini:

Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 141


Harus mencakup lebih dari 2 gejala dibawah, terjadi lebih dari 1 kali
perminggu selama minimal 1 bulan, serta tidak dapat dikategorikan sebagai
irritable bowel syndrome:
y Defekasi kurang dari 2 kali perminggu pada anak usia lebih dari 4 tahun
y Enkopresis lebih dari 1 kali perminggu
y Riwayat postur atau keinginan keras menahan defekasi
y Riwayat defekasi yang susah dan sakit
y Massa feses besar di rektum
y Riwayat feses berdiameter besar menyumbat toilet
Setelah dilakukan pemeriksaan adekuat, tidak dapat dijelaskan akibat
kondisi medis tertentu.1
Pada sebagian besar kasus, penyebab organik dapat disingkirkan dengan
anamnesis dan pemeriksaan fisis yang teliti. Pemeriksaan laboratorium dan
radiografi biasanya dikerjakan bila ditemukan kecurigaan kelainan organik
atau bila tidak berespon dengan terapi adekuat. Berikut temuan klinis atau
pemeriksan fisis sebagai tanda bahaya dari konstipasi.17

Tabel 2. Alarm signs konstipasi pada anak


Gejala / temuan klinis Kemungkinan penyebab
Onset dari lahir Hirschprung, obstruksi parsial saluran cerna
Distensi abdomen Ileus (pasien sakit berat), kelainan obstruktif
lainnya
Demam, muntah Infeksi, Hirschprung dengan enterokolitis
Perdarahan rektum Fissura ani, proktitis alergi, inflammatory bowel
disease
Feses berdiameter kecil Stenosis / Hirschprung
Inkontinensia urin Kelainan syaraf
Penurunan berat badan Penyakit sistemik (penyakit celiac, fibrosis kistik)
Massa pelvis, cekungan lumbosacral, hair tuft Spinal dysraphism, teratoma, agenesis sakrum
Posisi anus lebih anterior Malformasi anorektal
Fistula perianal, feses menyemprot setelah Hirschrpung
pemeriksaan rectal toucher
Ketiadaan reflek kremaster, penurunan tonus Kelainan syaraf tulang belakang
otot ektremitas bawah
Kelenjar tiroid abnormal Hipotiroid
Ketakutan berlebih saat pemeriksaan anus Perilaku salah seksual

Konstipasi biasanya muncul pertama kali saat 3 periode perkembangan


anak yaitu saat perkenalan makan padat (usia 6 bulan sampai 1 tahun), selama
toilet training (usia 2 sampai 3 tahun), dan saat mulai bersekolah (usia 3
sampai 5 tahun). Gangguan pada periode usia tersebut dapat mengubah
persepsi anak bahwa proses defekasi adalah hal yang tidak menyenangkan,
menimbulkan perilaku-perilaku yang menimbulkan konstipasi.18
Konstipasi pada remaja biasanya berhubungan dengan gangguan pola
makan (contoh anoreksia nervosa atau bulimia), dan stres psikis. Enkopresis

142 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
(inkontinensia fekalis) yang sering menyertai konstipasi, seringkali membuat
anak makin stres, kepercayaan diri rendah, maupun isolasi sosial yang akan
mempengaruhi kualitas hidup.19
Pendekatan terapi konstipasi fungsional tergantung dari usia anak,
adanya kelainan perilaku/ pola makan, dan lamanya onset gejala. Konsep
dasar terapi konstipasi adalah durasi kronik dari kondisi ini mengakibatkan
kolon tidak responsif terhadap adanya feses, sehingga terapi sangat
bergantung dari konsistensi dan pengosongan kolon yang sempurna.
Tahapan terapi konstipasi adalah disimpaksi, terapi laksatif jangka panjang
dan perubahan perilaku, perubahan diet, serta pengurangan dosis terapi
laksatif secara bertahap.20
Sebelum terapi laksatif dimulai, beberapa hal yang harus diterangkan
kepada orangtua atau pengasuh adalah:
y Hindari atribut negatif akibat anak sering mengalami inkontinensia
fekalis
y Pemahaman proses terjadinya konstipasi yang sebagian besar telah
berlangsung lama
y Terapi laksatif, perubahan perilaku dan diet harus dikejakan bersamaan
y Perbaikan klinis akan bertahap, dapat berlangsung bulanan bahkan
tahunan.21
Tahap pertama terapi konstipasi adalah disimpaksi, terutama pada
anak yang teraba massa fekal pada pemeriksaan abdomen, juga pada anak
dengan gejala penyerta inkontinensia fekalis, serta pada anak dengan
riwayat evakuasi feses tidak tuntas/teratur. Regimen obat disimpaksi adalah
polyethylene glycol (PEG) peroral dengan dosis 1-1,5 gr/kg/hari selama
beberapa hari sampai 1 minggu. Penelitian oleh Youssef, dkk melaporkan
tingkat keberhasilan 95% dengan dosis PEG seperti diatas.22 Obat pencahar
oral lain yang dapat digunakan sebagai terapi disimpkasi diataranya mineral
oil, magnesium hidroksida, magnesium sitrat, laktulosa, sorbitol, senna, dan
bisacodyl. Pada anak yang tidak berespon dengan terapi disimpaksi oral,
dapat dikombinasikan dengan terapi disimpaksi rektal, contoh bisacodyl
enema (usia 2-10 tahun = 5 mg/hari, usia diatas 10 tahun = 5-10 mg/hari.23
Setelah terapi disimpaksi berhasil, dilanjutkan ke terapi rumatan dengan
menggunakan PEG 0,5-0,8 gr/kgbb/hari, dalam 2 dosis , atau laktulosa 1-3
ml/kgbb/hari dalam 2 dosis. Lamanya terapi rumatan tergantun respon
klinis yang terjadi. Kedua obat laksatif tersebut terbukti efektif dan aman
untuk pemakaian jangka Panjang. Jenis obat laksatif yang digunakan tidak
berpengaruh kepada keberhasilan terapi, selama dosis benar dan komplians
baik.23,24
Terapi perilaku yang umumnya dikerjakan pada kasus konstipasi
fungsional adalah
y Defekasi di toilet dengan posisi yang benar, rutin 2-3 kali perhari, jadwal

Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 143


yang seragam, tanpa ancaman atau instruksi negatif/ hukuman, serta
penggunaan penyangga kaki bila diperlukan
y Pemberian penghargaan atau hadiah untuk setiap kemajuan usaha
(contoh, anak mulai mau duduk di toilet), tidak hanya saat anak sudah
berhasil evakuasi tinja di toilet.25
Pengurangan dosis terapi rumatan dilakukan bertahap dengan durasi
4 minggu, setelah pola defekasi sudah normal selama minimal 2 bulan.
Orangtua atau pengasuh harus diingatkan untuk tetap memperhatikan
perilaku defekasi dan diet anak saat terapi laksatif dihentikan, agar tidak
terjadi relaps.24,25
Selama terapi konstipasi, anak diharapkan mengkonsumsi makanan
dengan kandungan serat cukup, yang dapat dihitung dengan usia ditambah
5-10 gram perhari. Konsumsi serat berlebihan tidak terbukti bermanfaat,
bahkan pada fase awal terapi konstipasi dapat makin menimbulkan distensi
kolon. Rekomendasi makanan yang mengandung serat yang cukup adalah
sayur, buah, sereal, dan roti gandum.26
Kontras dengan kepercayaan di masyarakat, belum ada penelitian yang
membuktikan pemberian cairan berlebihan dapat memperbaiki pola defekasi
anak. Rekomendasi asupan cairan pada anak adalah 1-2 liter perhari, untuk
mencegah dehidrasi yang dapat membuat konsistensi feses makin padat.27

Irritable bowel syndrome


Karakteristik irritable bowel syndrome (IBS) adalah nyeri perut yang membaik
dengan defekasi dan onset gejala berhubungan dengan perubahan konsistensi
atau frekuensi feses, serta tidak dapat dijelaskan oleh abnormalitas struktural
atau biokemikal saluran cerna. Menurut kriteria Roma IV, diagnosis IBS
ditegakkan bila terdapat semua gejala dibawah ini, dan telah dirasakan
selama lebih dari 2 bulan:
y Nyeri perut sekurangnya 4 hari perbulan, berhubungan dengan lebih
dari 1 gejala dibawah ini
Ŝ Berhubungan dengan defekasi
Ŝ Perubahan frekuensi defekasi
Ŝ Perubahan konsistensi feses
y Pada kasus konstipasi, nyeri tidak membaik dengan perbaikan
konstipasinya
y Setelah dilakukan pemeriksaan adekuat, tidak dapat dijelaskan akibat
kondisi medis tertentu.1
Berdasarkan kriteria tersebut IBS dapat dikategorikan menjadi 4 subtipe
sesuai dengan pola defekasi, yaitu subtipe konstipasi (IBS-K), subtipe diare
(IBS-D), subtipe campuran (IBS-C), dan subtipe kelompok pasien yang tidak
dapat dimasukkan kedalam subtipe lainnya. Subtipe yang paling banyak

144 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
ditemukan pada populasi anak adalah IBS-K. Tidak jarang seorang anak
IBS berganti subtipe sesuai dengan perubahan gejala yang terjadi. Komite
Roma IV juga merekomendasikan pasien dengan gejala konstipasi dan nyeri
perut, lebih dahulu ditatalaksana untuk konstipasinya. Bila nyeri perut tetap
ada dengan terapi konstipasi yang adekuat, maka diagnosis IBS-K dapat
ditegakkan.28
Sampai saat ini belum ada satupun kemungkinan patofisiologi yang
dapat menerangkan terjadinya IBS. Diperkirakan gangguan pada brain-
gut axis (kontak 2 arah antara saluran cerna dengan sistim syaraf pusat)
menyebabkan perubahan sensorik, motorik dan kemungkinan sistim imun
saluran cerna. Hal-hal yang dapat mengganggu brain-gut axis diantaranya
hipersensitivias mukosa saluran cerna, serta profil mikrobiota dan metabolit
yang dihasilkannya.29
Rekomendasi terapi utama adalah edukasi atau reassurance kepada
pasien dan keluarga tentang konsep fungsional pada tata laksana IBS yang
umumnya non farmakologis. Semakin banyak penelitian tentang pendekatan
terapi IBS dari segi non farmakologis, diantaranya terapi modifikasi
biopsikososial (konseling, penanganan stres) dan terapi intervensi diet (tinggi
serat untuk IBS-C, rendah serat untuk IBS-D, maupun diet rendah/bebas
laktosa). Pemberian probiotik patut dipertimbangkan dan aman digunakan,
meskipun masih membutuhkan bukti efikasi ilmiah lebih banyak.30
Pada pasien yang memilih pengobatan medikamentosa, komite Roma
IV merekomendasikan obat-obatan antispasmodik sebagai lini pertama
dan antidepressant trisiklik pada pasien dengan komplians kurang baik.
Penelitian pada pasien dewasa, obat-obatan loperamid, kolestiramin,
lubiproston, prucalopride, rifaximin, dan alosetron memperlihatkan
efek positif dibanding placebo. Masih perlu penelitian lebih lanjut untuk
menentukan terapi medikamentosa untuk kasus IBS pada anak.10

Migrain abdomen
Sebagai kelainan fungsional, sampai saat ini tidak ada pemeriksaan
penunjang yang dapat menegakkan diagnosis migrain abdomen. Diagnosis
klinis migrain abdomen menurut kriteria Roma IV adalah sebagai berikut,
harus mencakup semua gejala dibawah sekurangnya 2 kali, dan telah
dirasakan lebih dari 6 bulan:
y Episode serangan sakit perut yang berat, periumbilikal atau difus atau
disekitar midline, berlangsung lebih dari 1 jam
y Antar episode berjarak beberapa minggu sampai bulan
y Nyeri tidak dapat dicegah atau dihilangkan dengan aktivitas normal
y Pola yang stereotipikal tiap pasien atau paroksismal (sering, berlangsung
singkat)

Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 145


y Nyeri berhubungan dengan 2 atau lebih gejala:
Ŝ Anoreksia, nausea, muntah, sakit kepala, fotofobia, atau pucat

Setelah dilakukan pemeriksaan adekuat, tidak dapat dijelaskan akibat


kondisi medis tertentu.1
Sebagian besar pasien berusia 2 sampai 10 tahun saat timbulnya gejala
pertama kali, yang berangsur membaik di usia remaja. Meskipun migrain
abdomen jarang bertahan sampai usia dewasa, sebagian besar pasien anak
dengan migrain abdomen akan mengalami sakit kepala migrain di kemudian
hari.31
Intervensi utama untuk migrain abdomen adalah penghindaran faktor
pemicu, terapi perilaku, dan modifikasi diet. Sebagian pasien melaporkan
perbaikan klinis dengan menghidari tindakan-tindakan yang dapat memicu
timbulnya gejala seperti stres, berpergian, olahraga berlebihan, puasa
terlalu lama, serta perubahan pola tidur. Makanan atau minuman yang
dipertimbangkan perlu dihindari diantaranya sitrus, kafein, keju, coklat,
minuman bersoda, serta zat pewarna/ penambah rasa.32
Terapi medikamentosa dapat dipertimbangkan bila gejala tidak
membaik dengan terapi nonfarmakologis. Sumatriptan intranasal dan
asam valproat dapat dipertimbangkan untuk terapi simptomatik. Beberapa
penelitian kecil menggunakan beta blocker (propranolol), antagonis 5-HT
(siproheptadin), calcium channel blockers (flunarizine) dan agonis 5-HT
(pizotifen) untuk terapi profilaksis.32

Daftar pustaka
1. Drossman D A. Fuctional gastrointestinal disorders: history, pathophysiology,
clinical features and Rome IV. Gastroenterology. 2016;150:1262-79.
2. Klein K B. Controlled treatment trials in the irritable bowel syndrome: a critique.
Gastroenterology. 1988;95:232-41.
3. Drossman D A, Tack J. Rome Foundation clinical diagnostic criteria for disorder
of gut-brain interaction. Gastroenterology. 2021;162:675-9.
4. Drossman DA, Richter JE, Talley NJ. The fuctional gastrointestinal disorders:
diagnosis, pathophysiology and treatment. Boston: Little, Brown and
Company;1994.
5. Stanghellini V, Chan FK, Hasler WL. Gastroduodenal disorders. Gastroenterology.
2016;150:1380-92.
6. Saps M, Velasco-Benitez CA, Langshaw AW, Ramirez-Hernandez CR. Prevalence
of functional gastrointestinal disorders in children and adolescents: comparison
between Rome III and Rome IV criteria. J Pediatr. 2018;199: 212-6.
7. Koppen IJN, Nurko S, Saps M, Di Lorenzo C, Benninga MA. The pediatric Rome
IV criteria: what’s new?. Expert Rev Gastroenterol Hepatol. 2017;11: 193-201.

146 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
8. Noe JD, Li BU. Navigating reccurent abdominal pain through clinical cue, red
flags, and initial testing. Pediatr Ann. 2009;38:259-70.
9. Hyams JS, Di Lorenzo C, Saps M, Shulman RJ, Staiano A, van Tilburg M.
Gastroenterology. 2016; suppl 00116:181-5.
10. Baaleman DF, Carlo Di Lorenzo, Benninga MA, Saps M. The effects of the
Rome IV criteria on pediatric gastrointestinal practice. Curr Gastroenterol Rep.
2020;22:21.
11. Chitkara DK, Delgado-Aros S, Bredenoord AJ, Cremonini F, El-Youssef M, Freese
D, dkk. Functional dyspepsia, upper gastrointestinal symptoms, and transit in
children. J Pediatr. 2003;143:609-13.
12. Browne PD, Nagelkerke SCJ, van Etten-Jamaludin FS, Benninga MA, Tabbers
MM. Pharmacological treatments for functional nausea and functional dyspepsia
in children: a systematic review. Expert Rev Clin Pharmacol. 2018;11: 1195-208.
13. Rodriguez L, Diaz J, Nurko S. Safety and efficacy of cyproheptadine for treating
dyspeptic symptoms in children. J Pediatr. 2013;163:261-7.
14. Madani S, Cortes O, Thomson R. Cyproheptadine use in children with functional
gastrointestinal disorders. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2016;62:409-13.
15. Boyle JT. Recurrent abdominal pain: an update. Pediatr Rev. 1997;18:310-20.
16. van den Berg MM, Benninga MA, Di Lorenzo C. Epidemiology of childhood
constipation: a systemic review. Am J Gastroenterol. 2006;101: 2401-9.
17. Sood MR. Functional constipation in infants, children, and adolescents: clinical
features and diagnosis. Didapat dari www.uptodate.com
18. Di Lorenzo C. Pediatric anorectal disorder. Gastroenterol Clin North
Am.2001;30: 269-87.
19. Vriesman MH, Rajindrajith S, Koppen IJN, Van Etten-Jamaludin FS, van Dijk M,
Devanarayana NM, et al. Quality of life in children with fuctional constipation:
a systematic review and meta-analysis. J pediatr. 2019;214:141-50.
20. Tabbers MM, Di Lorenzo C, Berger MY, Faure C, Langendam MW, Nurko S, et
al. Evaluation and treatment of functional constipation in infants and children:
evidence-based recommendations from ESPGHAN and NASPGHAN. J Pediatr
Gastroenterol Nutr. 2014;58:258-74.
21. Abi-Hanna A, Lake AM. Constipation and encopresis in childhood. Pediatr
Rev.1998;19:23-30.
22. Yousses NN, Peters JM, Henderson W, Shultz-Peters S, Lockhart DK, Di Lorenzo
C. Dose response of PEG 3350 for the treatment of childhood fecal impaction.
J Pediatr. 2002;141:410-4.
23. Hegar B, Kadim M, Prasetyo D, Karyana IPG, Damayanti W, Jurnalis YD,
dkk. Pedoman tata laksana regurgitasi dan refluks gastro-esofagus, konstipasi
fungsional, kolik infantil, diare cair akut. Edisi pertama. Unit Kerja Koordinasi
Gastrohepatologi Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2023.
24. Gordon M, MacDonald JK, Parker CE, Akobeng AK, Thomas AG. Osmotic and
stimulant laxative for the management of childhood constipation. Cochrane
Database Syst Rev. 2016.
25. Schonwald A, Rappaport L. Consultation with the specialist: encopresis:
assessment and management. Pediatr Rev. 2004;25:278-83.
26. Tabbers M, Boluyt N, Berger MY, Benninga MA. Nonpharmacologic treatments
ofr children constipation: systemic review. Pediatrics.2011;128:753-61.

Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 147


27. Young RJ, Beerman LE, Vanderhoof JA. Increasing oral fluids in chronic
constipation in children. Gastroenterol Nurs. 1998;21:156-61.
28. Self MM, Czyewski DI, Chumpitazi BP, Weidler EM, Shulman RJ. Subtypes of
irritable bowel syndrome in children and adolescents. Clin Gastroenterol Heptol.
2014;12:1468-73.
29. Camilleri M. Peripheral mechanism in irritable bowel syndrome. N Eng J Med.
2012;367:1626-1635.
30. Sandhu BK, Paul SP. Irritable bowel syndrome in children: pathogenesis,
diagnosis and evidence-based treatment. World J Gastroenterol. 2014;20:6013-
23.
31. Dignan F, Abu-Arafeh I, Russel G. The prognosis of childhood abdominal
migraine. Arch Dis Child.2001;84:415-8.
32. Mani J, Madani S. Pediatric abdominal migraine: current perspectives on a lesser
known entity. Pediatric Health Med Ther. 2018;9:47-58.

148 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Konstipasi pada Anak
Frieda Handayani

K
onstipasi merupakan masalah kesehatan pencernaan yang umum
terjadi pada anak, dengan estimasi prevalensi mencapai 3% di
seluruh dunia. Konstipasi seringkali dianggap sebagai variasi
normal yang akan teratasi seiring dengan bertambahnya usia, menyebabkan
hilangnya kesempatan untuk intervensi dini dan terjadi komplikasi seperti
fisura ani, retensi tinja dan inkontinensia/ encopresis. Pada 17−40% anak
dengan konstipasi umumnya dimulai pada dua tahun pertama kehidupan.
Konstipasi dapat disebabkan oleh berbagai penyebab yang mendasarinya,
tetapi sebagian besar anak mengalami gejala konstipasi tanpa dasar etiologi
penyakit tertentu.1 Tatalaksana konstipasi bergantung dari usia anak dan
durasi gejala, meliputi kombinasi dari edukasi, perubahan pola makan,
perubahan perilaku, dan farmakoterapi. Pencegahan konstipasi terfokus
pada pengaturan waktu yang tepat terkait waktu makan, toilet training, dan
perilaku kebiasaan buang air yang benar.2 Dalam praktik klinis, penting untuk
membedakan konstipasi yang terjadi secara dini/akut (gejala berlangsung
kurang dari 8 minggu) dan konstipasi kronik dengan gejala konstipasi yang
persisten atau sering berulang.3

Definisi, patofisiologi, dan tipe konstipasi


Konstipasi adalah suatu keadaan buang air besar dengan frekuensi ≤ 2 kali/
minggu yang disertai rasa nyeri, atau disertai pengejanan berlebihan akibat
ukuran feses yang besar dan keras. Konstipasi fungsional merupakan suatu
keadaan buang air besar yang sulit, jarang, dan tidak tuntas, tanpa adanya
bukti penyebab kelainan anatomi primer maupun gangguan neurologis.
Prevalensi konstipasi fungsional pada bayi dan balita bervariasi pada
berbagai studi sekitar 5−27%. Dengan median onset yaitu usia 2,3 tahun.2
Suatu studi menyatakan bahwa prevalensi konsipasi pada tahun pertama
kehidupan adalah 2,9% dan meningkat menjadi 10,1% pada dua tahun
pertama kehidupan.4
Gejala dari konstipasi fungsional anak dapat bervariasi, meliputi buang
air besar yang keras dan nyeri, dan pada beberapa kasus dapat muncul
gejala inkontinensia fekal. Gejala menahan buang air besar berperan
penting dalam patofisiologi dari konstipasi fungsional. Pengalaman yang
tidak menyenangkan saat proses defekasi/buang air besar (umumnya

149
nyeri), menyebabkan anak secara volunteer menahan buang air besar untuk
menghindari perasaan nyeri yang tidak menyenangkan tersebut, yang pada
akhirnya menyebabkan siklus lingkaran adanya retensi feses yang kemudian
meningkatkan absorpsi air pada feses, sehingga feses semakin keras dan
buang air besar semakin sulit dan semakin nyeri, menyebabkan kembali
gejala menahan buang air besar yang volunter dan retensi yang memburuk.2
Kriteria diagnosis untuk konstipasi fungsional berdasarkan Rome IV
untuk bayi dan balita ≤4 tahun dan anak ≥4 tahun dapat dilihat pada Tabel
1. Roma IV membedakan antara anak yang sudah terlatih untuk buang air
besar di toilet/ toilet training dan yang belum terlatih.2

Tabel 1. Kriteria Rome IV untuk diagnosis konstipasi fungsional pada anak 4,5
Bayi dan balita ≤ 4 tahun Anak (usia >4 tahun) dan remaja
Setidaknya 2 dari gejala berikut, terjadi selama 1 Setidaknya 2 dari gejala berikut, terjadi selama 1
bulan atau lebih: bulan atau lebih:
• Frekuensi buang air besar ≤ 2 kali/minggu • Frekuensi buang air besar ≤ 2 kali/minggu
• Riwayat retensi feses • Inkontinensia feses setidaknya 1 kali/minggu
• Riwayat nyeri saat buang air besar • Riwayat perilaku menahan buang air besar/
• Riwayat buang air besar dengan ukuran yang retensi belebihan
besar • Riwayat nyeri saat buang air besar
• Teraba masa feses yang besar di rectum • Teraba masa feses yang besar di rectum
• Riwayat buang air besar dengan ukuran besar
Beberapa kriteria tambahan untu anak yang yang menyumbat toilet
sudah berhasil toilet training: Gejala tersebut tidak terjadi akibat kondisi medis
• Inkontinensia feses setidaknya 1 kali/minggu lainnya.
setelah berhasil toilet training Gejala tersebut tidak mencukupi kriteria
• Riwayat buang air besar dengan ukuran besar diagnosis untuk irritable bowel syndrome.
yang menyumbat toilet

Walaupun tidak ada defisini berdasarkan konsesus yang membagi


konstipasi berdasarkan durasi waktu, dalam praktik klinis penting untuk
membedakan konstipasi yang baru terjadi secara akut (gejala berlangsung
kurang dari 8 minggu) dan konstipasi yang sudah berlangsung dengan
durasi yang lebih lama/ konstipasi kronik yang membutuhkan penanganan
dalam jangka yang lebih panjang. Konstipasi kronik umumnya sudah terjadi
selama lebih dari 3 bulan yang dapat mencakup beberapa episode gejala.
Keadaan konstipasi kronik umumnya membutuhkan pengobatan dengan
pencahar yang lebih lama dan perubahan perilaku yang lebih intensif dan
berkelanjutan.3

Red flags/tanda bahaya pada konstipasi


Saat melakukan evaluasi klinis pada konstipasi, perlu untuk diperhatikan
tanda dan gejala bahaya dan tanda khas diagnosis tertentu yang dapat
membantu dalam mengidentifikasi penyakit yang dapat mendasari keadaan
konstipasi pada anak. Tanda bahaya/ alarm symptoms pada konstipasi

150 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
diantaranya:1,5
y Pengeluaran meconium pertama pada bayi cukup bulan >48 jam
y Konstipasi dengan onset pada bulan pertama kehidupan
y Riwayat keluarga dengan penyakit Hirschsprung
y Tinja berbentuk pita (ribbon stools)
y Gagal tumbuh/failure to thrive
y Muntah hijau
y Distensi abdomen berat
y Fungsi tiroid abdnormal
y Posisi anus yang abnormal
y Tidak ada refleks anus atau kremaster
y Penurunan kekuatan otot/tonus/refleks ekstremitas bawah
y Adanya sacral dimple
y Tumbuh rambut pada area tulang belakang
y Deviasi celah gluteus
y Bekas luka pada anus

Pemeriksaan penunjang seperti foto polos abdomen tidak memiliki


peran dalam diagnosis konstipasi fungsional. Foto polos abdomen dapat
dilakukan pada anak dengan kecurigaan impaksi feses yang tidak dapat
dilakukan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan rutin terhadap alergi susu sapi uga
tidak disarankan, khususnya pada keadaan konstipasi yang tidak ada tanda
bahaya. Skrining laboratorium seperti pemeriksaan untuk hipotiroidisme,
penyakit Celiac, dan hiperkalsemia juga tidak direkomendasikan pada
keadaan konstipasi yang tidak ada tanda bahaya. Pemeriksaan contrast
enema sebaiknya tidak digunakan sebagai alat diagnostik awal untuk evaluasi
keadaan konstipasi fungsional.1,5
Pada populasi bayi, diagnosis banding dari konstipasi meliputi obtruksi
terkait anatomi, penyakit Hirschsprung, masalah tulang belakang dan
masalah metabolik maupun neurologis lainnya. Sebagian besar bayi cukup
bulan yang sehat 90% diantaranya mengeluarkan mekonium pertama
pada 24 jam pertama kehidupan. Begitupula <10% bayi dengan penyakit
Hirschsprung akan tetap mengeluarkan mekonium pertama pada 24 jam
pertama kehidupan. Oleh sebab itu, pemeriksaan biopsi rektum diperlukan
pada bayi dengan keterlambatan pengeluaran mekonium pertama, yakni
diatas 24 jam, apabila disertai gejala seperti muntah, menolak makan,
distensi abdomen, demam, gagal tumbuh, dan adanya darah apda feses,
untuk menyingkirkan kemungkinan penyakit Hirschsprung.4

Pencegahan
Pencegahan konstipasi meliputi edukasi dan diskusi terkait pola makan dan

Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 151


kebiasaan buang air besar, khususnya terfokus pada masa perkembangan
anak untuk konstipasi sering terjadi, yaitu saat pengenalan makanan padat
atau pengenalan susu sapi, saat toilet training, dan saat masuk sekolah. Saat
pengenalan makanan padat, pengasuh harus memerhatikan dan waspada
akan gejala konstipasi. Hal ini dapat disebabkan oleh kurangnya serat dan
cairan pada makanan padat. Memastikan kadar serat dan pemberian cairan
yang adekuat dapat mencegah konstipasi pada periode ini. Pada beberapa
kasus, pengenalan susu sapi juga dapat menyebabkan gejala konstipasi
khususnya pada periode balita. Perlu dilakukan langkah diagnosis lanjut
salah satunya dengan eliminasi dan provokasi protein susu sapi untuk
mendiagnosis konstipasi yang terkait dengan alergi susu sapi. Kedua,
konstipasi juga umumnya terjadi saat periode belajar buang air besar di toilet/
toilet training. Tindakan pencegahan dapat meliputi tidak memberi tekanan
saat buang air besar di toilet, dan mengajarkan anak untuk melakukan buang
air besar dengan postur yang tepat, seperti dapat dilihat pada Gambar 1,
Pemberian pijakan kaki dapat membantu postur tubuh yang memberikan
kenyamanan untuk buang air besar dan relaksasi dasar panggul yang
adekuat. Pada periode balita ini juga, seringkali pemberian susu sapi yang
berlebihan dapat mencetuskan konstipasi, karena dapat menyebabkan anak
mudah kenyang sehingga mengurangi asupan cairan lain, buah-buahan dan
sayur-sayuran. Ketiga, seringkali periode anak mulai masuk sekolah juga
merupakan waktu anak mengalami konstipasi dikarenakan keengganan
untuk menggunakan toilet di sekolah, atau adanya perubahan jadwal sehari-
hari yang juga mengganggu jadwal buang air besar rutin sebelumnya. Untuk
mencegah hal tersebut, pengasuh anak sebaiknya memantau apakah anak
memiliki masalah dalam menggunakan toilet di sekolah, dan mendorong
anak untuk rutin buang air besar setelah makan dengan tidak tergesa-gesa.
Pemberian susu sapi juga dapat berperan terhadap kejadian konstipasi pada
naak berusia 6−12 tahun, khususnya pada anak dengan atopi atau fisura ani
akibat intoleransi laktosa.3

Siku diletakkan di lutut


Posisi lutut lebih tinggi dari panggul

Pijakan kaki

Gambar 1. Posisi penggunaan toilet yang benar untuk anak 3

152 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Asupan serat penting untuk diperhatikan pada seluruh kelompok usia
pada keadaan konstipasi. Berdasarkan rekomendasi konsensus gizi terkait
pemberian serat, bayi dan balita dibawah 2 tahun membutuhkan asupan serat
sekitar 5 gram/hari. Dan untuk anak atatas 2 tahun, kebutuhan serat harian
dapat dihitung dengan rumus usia anak ditambah 5−10 gram/hari, sehingga
untuk anak berusia 1−3 tahun kebutuhan serat harian berkisar antara 19
gram/hari dan untuk anak 4−8 tahun ditargetkan 25 gram/hari, berdasarkan
konsensus yang dikeluarkan oleh Institute of Medicine, Amerika Serikat.6
Bila diberikan edukasi yang tepat, diharapkan intervensi yang dini
dapat mencegah episode konstipasi sederhana berlanjut. Keadaan buang
air besar yang nyeri dapat menyebabkan perilaku menahan buang air besar,
yang kemudian dapat memperberat konstipasi, menyebabkan impaksi dan
inkontinensia.1

Tatalaksana
Intervensi pada keadaan adanya gejala konstipasi penting untuk segera
dilakukan bahkan pada awal mula gejala konstipasi, misalnya pada dua
minggu pertama. Intervensi dilakukan untuk mencegah terjadinya siklus
menahan buang air besar yang dapat menyebabkan perburukan konstipasi,
Intervensi meliputi rencana tindak lanjut untuk memastikan gejala konstipasi
teratasi secara penuh dan anak memiliki pola buang air besar yang baik.5
Pada populasi bayi, karena umumnya konstipasi dipicu oleh perubahan
pola makan misalnya saat pengenalan makanan padat atau pada pemberian
susu sapi, maka umumnya konstipasi pada periode ini akan memberi
respons pada intervensi diet/nutrisi, dan umumnya hanya membutuhkan
waktu yang singkat. Pada bayi yang mengalami konstipasi yang berat dan
berulang, terutama yang memberi gejala sejak lahir harus dievaluasi untuk
kemungkinan penyebab organik. Selain itu, penting untuk membedakan
diskezia pada bayi dengan konstipasi. Pada diskezia, terjadi buang air besar
yang tidak efektif, dengan gejala mengejan atau menangis minimal selama
10 menit (dapat diikuti dengan berhasil atau tidaknya pengeluaran tinja yang
lunak), tanpa adanya kosntipasi. Apabila konstipasi sudah ditegakkan, maka
tatalaksana untuk populasi bayi meliputi:3
y Pada bayi yang belum mulai makanan padat, konstipasi dapat diintervensi
dengan memberikan tambahan karbohidrat aktif osmotik yang tidak
dicerna ke dalam formula. Misalnya dengan menambahkan jus yang
mengandung sorbitol. Untuk bayi dengan usia 4 bulan keatas dapat
diberikan jus buah yang diencerkan.7 Alternatif lain yaitu dengan
menambahkan laktulosa 1 ml/kg dalam formula. Kontrol rutin dan
konseling lanjut diperlukan untuk menghindari asupan jus berlebihan
setelah periode konstipasi teratasi, karena berpotensi untuk memberikan

Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 153


efek negatif terhadap kualitas makanan dan peningkatan berat badan
bayi, dapat menyebabkan kurang atau berlebihnya asupan nutrisi pada
bayi tersebut.3,4
y Pada bayi yang sudah memulai makanan padat, pemberian puree
buah yang mengandung sorbitol dapat menjadi opsi intervensi. Selain
itu, untuk meningkatkan asupan serat harian, dapat digunakan sereal
multigrain. Bila ditemukan tinja yang keras pada rektum, pemberian
supositoria dengan gliserin secara per rektal dapat menstimulasi rektum
dan memicu buang air besar, tetapi intervensi ini sebaiknya tidak sering
digunakan karena dapat berkembang menjadi suatu toleransi. Selain
itu, gliserin juga dapat mengiritasi anus atau mukosa rektum. Pada bayi
berusia 6 bulan atau lebih yang mengalami konstipasi berulang walaupun
dengan intervensi diet, disarankan untuk menggunakan laksatif osmotik
seperti polietilen glikol (PEG) tanpa elektrolit, laktulosa, atau sorbitol.
Penggunaan obat-obatan tersebut diberikan setiap hari dengan dosis yang
disesuaikan untuk mencapai pengeluaran tinja yang lunak setidaknya
sekali sehari. Keterlambatan penggunaan laksatif merupakan faktor risiko
luaran yang buruk pada anak dengan konstipasi. Penggunaan mineral
oil, enema, dan bisakodil tidak disarankan pada bayi karena potensi efek
samping yang besar.3,4

Pada bayi, keberhasilan terapi dalam bentuk perbaikan gejala


bergantung pada seberapa cepat gejala ditangani. Edukasi kembali
merupakan langkah pertama tatalaksana. Perlu dijelaskan kepada keluarga
mengenai patofisiologi konstipasi, dan bahwa keadaan ini tidak berbahaya
dan tidak mengkhawatirkan, juga menjelaskan mengenai rencana tatalaksana
selanjutnya. Perlu juga dijelaskan bahwa toilet training tidak akan berjalan
dengan lancar sebelum rasa takut akan proses buang air besar yang nyeri
teratasi, sehingga perlu dijelaskan pada orangtua bahwa memaksa toilet
training pada fase ini justru akan semakin memperburuk luaran. Pemberian
laksatif seperti PEG atau laktulosa dapat membantu melunakkan tinja,
sehingga anak dapat buang air besar dengan lebih mudah untuk waktu-waktu
kedepan. Tujuan dari melunakkan tinja adalah memastikan proses buang air
besar yang tidak nyeri, hingga konstipasi fungsional sembuh sepenuhnya.
Untuk anak pra-sekolah dapat dibantu juga dengan memberikan hadiah/
reward apabila berhasil buang air besar secara rutin, dan diberikan ‘bintang’
sebagai salah satu bentuk penghargaan atas usaha anak tersebut untuk buang
air besar.4
Terdapat data yang inkostisten mengaitkan antara keadaan alergi susu
sapi dan pengaruhnya dengan konstipasi. Suatu studi menunjukkan bahwa
17,3% anak dengan konstipasi fungsional memiliki bukti adanya alergi susu
sapi dan mengalami perbaikan setelah dilakukan eliminasi protein susu sapi.

154 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Begitupula sebaliknya, konstipasi dilaporkan menjadi salah satu gejala pada
4,6% anak dengan alergi susu sapi. Studi lain menunjukkan bahwa pada 78%
anak dengan konstipasi dan alergi susu sapi, gejala konstipasi perbaikan
setelah dilakukan eliminasi susu sapi. Namun demikian hasil yang konsisten
tidak ditemukan pada populasi anak dengan konstipasi kronik. Studi lainnya
mengemukakan adanya keterkaitan antara riwayat alergi susu sapi pada usia
pertama kehidupan dengan kemungkinan terjadinya konstipasi fungsional
di kemudian hari. Sehingga dapat disarankan untuk melakukan uji coba
pemberian formula hipoalergenik selama 2−4 minggu pada bayi dan balita
yang tidak mengalami perbaikan dengan pemberian terapi laksatif.4,8–11
Selanjutnya, untuk populasi balita dan anak, tatalaksana tahap awal
untuk anak usia diatas satu tahun dengan gejala konstipasi yang baru yaitu
memberikan edukasi pada orangtua dan pengasuh, diantaranya terkait
informasi dan saran perilaku buang air tepat. Pemberian laksatif dapat
juga diberikan bergantung dari beratnya gejala. Pada anak dengan buang
air besar yang keras, perlu mengejan namun tidak ada perilaku menahan
buang air besar dan tidak ada lecet atau darah pada anus, perubahan diet saja
dapat cukup. Pemberian makan tinggi serat (≥3 gram/hari) dan pemberian
cairan yang adekuat (1000-2000 ml/hari) dapat direkomendasikan. Namun
demikian, pada anak dengan perilaku menahan buang air besar atau bila
ditemukan luka/lecet atau perdarahan dari rektum atau fisura ani, maka
disarankan penggunaan PEG tanpa mineral dengan dosis 0,4 gram/kg/
hari. Pada keadaan impaksi feses, dapat diberikan PEG dengan dosis yang
lebih tinggi, yakni 1−1,5 gram/kg/hari paling lama 6 hari berturut-turut.
Bila PEG tidak tersedia, dapat juga digunakan laktulosa. Fisura ani dapat
diobati dengan pemberian minyak ter/petroleum jelly. Pada balita dan anak
yang tidak memberi respons adekuat setelah intervensi awal, maka perlu
diidentifikasi adanya masalah diet dan atau pencetus yang mendasari.
Pencetus dapat berupa trauma akibat episode berulang buang air besar
yang nyeri sebelumnya, keengganan menggunakan toilet di sekolah, atau
tidak dialokasikan cukup waktu untuk buang air besar setelah makan di
rumah/di sekolah. Intervensi tambahan yang dapat dilakukan diantaranya
memastikan asupan serat yang adekuat sesuai rekomendasi, penggunaan
laksatif, atau melakukan disimpaksi feses. Asupan serat harian yang adekuat
sesuai rekomendasi yaitu usia ditambah 5−10 gram/hari. Bila asupan tidak
mencukupi, dapat diberikan serat tambahan dalam bentuk suplementasi.
Laksatif juga sesekali diperlukan pada setiap onset konstipasi untuk
mengeluarkan tinja yang keras dan menstimulasi keinginan buang air besar.
Pemberian laksatif yang rutin dapat dipertimbangkan apabila buang air
besar tetap keras atau besar dan menyebabkan nyeri. Pada keadaan adanya
impaksi fekal akibat tidak buang air besar selama beberapa hari, anak dapat
diterapi dengan pemberian laksatif dosis lebih tinggi hingga satu minggu,
atau diberikan enema natrium fosfat dan selanjutnya laksatif. Pemberian

Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 155


enama natrium fosfat berulang tidak direkomendasikan. Ringkasan alur
tatalaksana konstipasi pada populasi balita dan anak dapat dilihat pada
Gambar 2.1,3,5

Kons�pasi fungsional onset dini (gejala ≤


8 minggu), tanpa tanda/gejala bahaya

Edukasi orangtua terkait saran perilaku


buang air besar yang tepat sesuai usia,
pemberian laksa�f

Evaluasi dalam 2-3 bulan, �njau ulang


gejala dan kepatuhan dari edukasi
perilaku dan pemberian laksa�f

Gejala perbaikan Sedikit perbaikan atau �dak ada perbaikan gejala

 Lanjut rencana tatalaksana perilaku toileting  Lanjut rencana tatalaksana perilaku toileting
 Turunkan dosis laksa�f  Turunkan dosis laksa�f
 Pantau rekurensi  Pantau rekurensi

Evaluasi kepatuhan tatalaksana


perilaku dan penggunaan laksa�f

Patuh Tidak patuh

 Lanjutkan rencana tatalaksana  Iden�fikasi hambatan kepatuhan


perilaku toileting  Rujuk untuk dukungan perilaku
 Penyesuaian dosis laksa�f bila perlu  Rencana follow up lebih dini (kunjungan
bulanan)

Gejala perbaikan Gejala berlanjut


dalam 6 bulan ≥ 6 bulan

 Follow up gejala klinis se�ap 2-3 Kons�pasi fungsional kronik


bulan
 Rujuk gastroenterologis anak untuk
 Turunkan dosis laksa�f bertahap
evaluasi dan tatalaksana lanjut
 Pantau rekurensi
 Rujuk untuk dukungan perilaku
 Per�mbangkan pemeriksaan colonic
transit study

Gambar 2. Algoritma tatalaksana konstipasi fungsional pada anak


Gambar 2. Algoritma tatalaksana konstipasi fungsional pada anak

Tindak lanjut penting dalam tatalaksana konstipasi untuk menghindari


perburukan konstipasi akibat siklus konstipasi yang berulang. Pada
anak dengan satu episode konstipasi saja, orangtua/pengasuh sebaiknya
menghubungi dokter apabila konstipasi tidak teratasi. Dan pada anak dengan
konstipasi yang berulang, sebaiknya mengunjungi dokter untuk penentuan
lanjut apakah konstipasi sudah tertangani dengan baik. Bila ada tinja yang
keras dan nyeri saat buang air besar yang berlanjut, frekuensi buang air besar

156 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
sebaiknya ditingkatkan, walaupun sebenarnya tidak wajib untuk buang air
besar setiap hari. Intervensi dini dapat mencegah retensi tinja yang kemudian
dapat berlanjut menjadi konstipasi kronik dan enkopresis.3
Tinjauan sistematik menunjukkan bahwa hanya 50% anak yang
dipantau selama 6-12 bulan mengalami pemulihan total dari gejala konstipasi
dan sukses berhenti dari terapi laksatif. Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, edukasi, konseling, dan perubahan perilaku menahan buang air
besar dengan defekasi yang rutin merupakan terapi medis yang terpenting
dalam penatalaksanaan konstipasi.5 Terkait dengan pilihan laksatif, studi
metaanalisis menunjukkan bahwa PEG lebih superior dibanding laktulosa,
mineral oil atau magnesium dalam memperbaiki gejala konstipasi dan
keberhasilan terapi. Namun demikian, keduanya tidak memberikan efek
samping serius. Beberapa efek samping yang mungkin terjadi diantaranya
diare, nyeri perut, mual, muntah, dan gatal pada area anus.12there has been
a long standing paucity of high quality evidence to support this practice.
Objectives: We set out to evaluate the efficacy and safety of osmotic and
stimulant laxatives used to treat functional childhood constipation. Search
methods: The search (inception to May 7, 2012

Penutup
Tatalaksana komprehensif konstipasi pada anak meliputi pencegahan dan
intervensi dini pada episode konstipasi yang baru atau berulang, sehingga
dapat mencegah komplikasi seperti fisura ani, perilaku menahan buang air
besar, konstipasi kronik, dan enkopresis. Identifikasi pencetus yang umum
sesuai dengan kelompok usia penting untuk dilakukan, diantaranya yang
tersering yaitu pada periode transisi menuju makanan padat, pada saat toilet
training, dan saat mulai masuk sekolah. Tatalaksana meliputi penilaian akan
tanda bahaya dari konstipasi, tatalaksana akut dan pencegahan rekurensi,
yang bergantung pada masing-masing kelompok usia.

Daftar pustaka
1. Tabbers MM, Dilorenzo C, Berger MY, Faure C, Langendam MW, Nurko S, dkk.
Evaluation and treatment of functional constipation in infants and children:
evidence-based recommendations from espghan and naspghan. J Pediatr
Gastroenterol Nutr. 2014;58:258–74.
2. Zeevenhooven J, Koppen IJN, Benninga MA. The new rome iv criteria
for functional gastrointestinal disorders in infants and toddlers. Pediatr
Gastroenterol Hepatol Nutr. 2017;20:1–13.
3. Sood MR. Recent-onset constipation in infants and children (serial online).
2023 (cited Nov 1, 2023); 23 screen. Didapat dari: URL:Https://Www.Uptodate.
Com/Contents/Recent-Onset-Constipation-in-Infants-and-Children.

Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 157


4. Benninga MA, Nurko S, Faure C, Hyman PE, St James Roberts I, Schechter
NL. Childhood functional gastrointestinal disorders: neonate/toddler.
Gastroenterology. 2016;150:1443–55.
5. Hyams JS, Di Lorenzo C, Saps M, Shulman RJ, Staiano A, Van Tilburg
M. Childhood functional gastrointestinal disorders: child/adolescent.
Gastroenterology. 2016;150:1456–68.
6. Hojsak I, Benninga MA, Hauser B, Kansu A, Kelly VB, Stephen AM, dkk.
Benefits of dietary fibre for children in health and disease. Arch Dis Child.
2022;107:973–9.
7. Heyman MB, Abrams SA. Fruit juice in infants, children, and adolescents:
current recommendations. Pediatrics. 2017;139:e20170967.
8. Al-Beltagi M, Saeed NK, Bediwy AS, Elbeltagi R. Cow’s milk-induced
gastrointestinal disorders: from infancy to adulthood. World J Clin Pediatr.
2022;11:437–54.
9. Connor F, Salvatore S, D’auria E, Baldassarre ME, Acunzo M, Di Bella G, dkk.
Cows’ milk allergy-associated constipation: when to look for it? a narrative
review. Nutrients. 2022;14:1–22.
10. Crowley ET, Williams LT, Roberts TK, Dunstan RH, Jones PD. Does milk cause
constipation? a crossover dietary trial. Nutrients. 2013;5:253–66.
11. Sopo SM, Arena R, Scala G. Functional constipation and cow’s-milk allergy. J
Pediatr Gastroenterol Nutr. 2014;59:34–6.
12. Gordon M, Naidoo K, Akobeng AK, Thomas AG. Cochrane review: osmotic and
stimulant laxatives for the management of childhood constipation. Evidence-
Based Child Heal. 2013;8:57–109.

158 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Makanan Pendamping ASI Tepat dan
Berkualitas
Novitria Dwinanda

M
akanan pendamping air susu ibu (MPASI) merupakan makanan
yang diberikan pada saat ASI atau pun susu formula saja sudah
tidak mencukupi kebutuhan nutrisi anak. Waktu pemberian
MPASI umumnya dimulai saat anak berusia 6 bulan, namun dapat dipercepat
dengan syarat tertentu.1 Pada saat MPASI diberikan ASI ataupun susu
formula tetap dilanjutkan. Periode memulai MPASI merupakan periode kritis
yang menentukan penerimaan anak terhadap proses makan, pola makan,
dan jenis makanan jangka panjang, serta periode ini adalah periode risiko
terjadinya weight faltering.2,3
Weight faltering adalah awal dari perjalanan malnutrisi, bila tidak
diidentifikasi dan tidak dilakukan intervensi maka menyebabkan kondisi
berat badan kurang, gizi kurang, gizi buruk, bahkan stunting. Malnutrisi
yang terjadi pada 1000 hari pertama kehidupan berdampak jangka pendek
yaitu menurunnya imunitas tubuh anak sehingga morbiditas dan mortalitas
anak meningkat, pertumbuhan dan perkembangan otak terhambat berakibat
pada keterlambatan perkembangan.3,4 Dampak malnutiris jangka panjang
adalah meningkatnya risiko penyakit tidak menular seperti hipertensi,
diabetes melitus tipe 2, obesitas, serta berdampak pada penurunan kognitif,
gangguan sosial dan emosi yang menyebabkan penurunan kapasitas kerja
serta penghasilan.5
Berdasarkan Pendoman Nasional Pelayanan Kedokteran mengenai
Tatalaksana Stunting, salah satu penyebab stunting dan malnutrisi adalah
pemberian MPASI yang tidak adekuat, yaitu kualitas makanan rendah,
praktik pemberian makan tidak adekuat, keamanan dan kerawanan pangan,
sanitasi dan air tidak sesuai, alokasi makanan dalam rumah tidak sesuai, pola
pengasuhan yang buruk, tingkat pendidikan pengasuh rendah, dan tingkat
kemakmuran rumah tangga.6

Isi
Syarat pemberian MPASI berdasarkan World Health Organization (WHO),
adalah tepat waktu, adekuat, aman, dan diberikan secara responsive feeding.

159
World Health Organization merekomendasikan pemberian ASI eksklusif
hingga usia 6 bulan dan kemudian dilanjutkan dengan pemberian MPASI.7,8
European Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology and Nutrition
merekomendasikan pemberian MPASI bisa dimulai sejak usia 17 hingga 26
minggu, sedangkan The American Academy Pediatrics merekomendasikan
pemberian MPASI pada anak mengkonsumsi ASI eksklusif yaitu diusia 6
bulan, dan pemberian pada anak mengkonsumsi susu formula dimulai sejak
usia 4 hingga 6 bulan.9,10 Unit Kelompok Kerja Nutrisi Penyakit Metabolik
Ikatan Dokter Anak Indonesia merekomendasikan pemberian MPASI saat
pemberian ASI atau susu formula saja sudah tidak mencukupi kebutuhan
nutrisi untuk mencapai pertumbuhan optimal. Pertumbuhan optimal
dinilai dari laju pertambahan berat badan perbulannya. Pemberian MPASI
bisa dapat dimulai sejak usia 4 bulan dengan syarat tanda kesiapan makan
pada anak sudah ada, yaitu anak sudah dapat mengontrol kepala, reflek
menjulurkan lidah dan reflek muntah sudah berkurang, terlihat ketertarikan
terhadap makanan, dan anak tampak lebih sering lapar.11 Pemberian MPASI
mulai diberikan diatas usia 6 bulan tidak dianjurkan dikarenakan kebutuhan
nutrisi anak yang meningkat dan tidak dapat dipenuhi dari pemberian ASI
saja. Zat-zat nutrisi berikut yang harus dipenuhi dari MPASI adalah energi,
protein, zat besi, zeng dan vitamin D.12
Syarat kedua MPASI adalah adekuat, baik komposisi dan porsi.
Pemberian MPASI adekuat akan melengkapi kekurangan energi, protein dan
zat mikronutrien yang didapat dari ASI saja. Kebutuhan energi seorang anak
dapat dihitung dengan mengalikan berat badan ideal dengan recommended
dietary allowance (RDA) seusai usia tinggi. Berat badan ideal dapat dinilai
dari kurva pertumbuhan berat badan berdasarkan tinggi badan sesuai jenis
kelamin dengan melihat median. Recommended dietary allowance (RDA)
sesuai usia dapat dilihat pada tabei 1.11
Porsi MPASI dinaikan bertahap berdasarakan usia anak, yaitu usia 6
hingga 9 bulan diberikan 30%, 9 hingga 12 bulan diberikan 50%, dan diatas
12 tahun diberikan 70% dari total energi kebutuhan. Komposisi yang harus
terdapat dalam MPASI adalah karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan
mineral. Pemberian protein 2,8 sampai dengan 4,8 g/kg/hari atau setara
dengan protein energi ratio 8,9 sampai dengan 11,5% dapat meningkatkan
laju pertumbuhan berat badan 10-20 gram/kg/hari.12 Penelitian pada 313
anak usia 12 hingga 59 bulan di Malawi menunjukaan anak dengan stunting
memiliki kadar 9 asam amino esensial yang rendah, yaitu tryptophan,
isoleucine, leucine, valine, methionine, threonine, histidine, phenylalanine,
dan lysine. Asam amino esensial terdapat pada produk protein hewani
terutama produk susu dan telur.13 Penelitian lain pada 130.432 anak berusia
6 hingga 23 bulan pada 49 negara menunjukkan korelasi antara kondisi
stunting dengan jumlah asupan protein hewani seperti telur, daging,

160 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
ikan, produk susu sapi sangat sedikit.14 Pemberian telur 1 butir perhari
menunjukkan dapat menurunkan angka stunting 47% dan angka berat badan
kurang 74%.15 Selain itu memenuhi kebutuhan asama amino esensial, protein
hewan juga mengandung zat besi yang mudah diserap karena mengandung
heme-iron yang dapat memenuhi kekurangan zat besi. Serat dalam MPASI
dapat bersifat sebagai anti nutrient karena mengantung asam fitat, tanin,
dan saponin. Anti nutrient dapat mengikat dan menghambat penyerapan
beberapa mineral penting seperti kalsium, zat besi, magnesium, fosfat,
zinc.16 Pemberian serat pada bayi hanya sebagai pengenalan, hal ini sejalan
dengan Permenkes nomor 28 tahun 2019 mengenai angka kecukupan gizi
di Indonesia.17

Tabel 1. Recommended dietary allowance (RDA) anak sesuai usia


Usia RDA
0-6 bulan 120 kkal/kg/hari
6-12 bulan 110 kkal/kg/hari
1-3 tahun 100 kkal/kg/hari
4-6 tahun 90 kkal/kg/hari
7-9 tahun 80 kkal/kg/hari
Laki-laki Perempuan
10-12 tahun 60-70 kkal/kg/hari 50-60 kkal/kg/hari
12-18 tahun 50-60 kkal/kg/hari 40-50 kkal/kg/hari

Syarat ketiga MPASI adalah aman, yaitu aman dalam mempersiapkan,


memasak, menyimpan, dan menyajikan MPASI. Terdapat 5 kunci dari
pemberian MPASI aman, yaitu pastikan semua bersih dengan cara mencuci
tangan, membersihkan alat makan, dan pastikan dapur tidak ada serangga,
tikus atau kecoa; pisahkan alat masak seperti pisau, talenan, dan tempat
penyimpananan makanan antara makanan mentah dan makanan matang;
masak makanan sampai dengan matang dan mendidih sempurna; cuci
makanan sebelum dimasak atau buah dengan air mengalir; pastikan
makanan disimpan dan dimasak dengan suhu aman yaitu kurang dari
5 derajat celcius atau diatas 70 derajat Celsius, dan jangan menyimpan
makanan pada suhu ruang lebih dari 2 jam. Tekstur dan kekentalan MPASI
perlu diperhatikan untuk mencegah terjadinya tersedak dan disesuaikan
dengan ketrampilan oromotor anak. Untuk anak usia 6 hingga 9 bulan
dapat diberikan MPASI dengan tekstur halus dengan kekentalan dinaikan
bertahap, usia 9 hingga 12 bulan diberikan MPASI bertekstur kasar sampai
dengan tim, dan usia lebiih dari 12 bulan MPASI diberikan tekstur seperti
makanan keluarga.18
Syarat keempat adalah pemberian MPASI secara responsive feeding
sesuai kaidah feeding rules. Feeding rules terdiri daria jadwal makan,
lingkungan, dan prosedur. Anak diberikan makan dengan jadwal rutin

Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 161


terdiri dari makanan utama, selingan, dan ASI atau susu formula, durasi
makan hanya 30 menit, antara waktu makan hanya diberikan air putih, dan
pemberian ASI atau susu formula tidak lagi semau anak. Proses pemberian
makan sebaiknya dengan lingkungan yang menyenangkan, anak duduk
dikursi makan, tidak ada berikan distraksi seperti mainan, televisi ataupun
gadget, makanan tidak diberikan sebagai hadiah. Prosedur makan dengan
memberikan makanan dengan prosi kecil, diberikan makanan berbentuk
padat dahulu baru cair, ajak anak untuk ikut dalam proses makan, akhiri
makan bila anak menolak setelah 10-15 menit sudah ditawarkan ulang
dengan netral, membersihkan mulut dan wajah anak hanya proses makan
selesai.19.20
Pemantau dan evaluasi penting dilakukan untuk meniali akseptabilitas
dan toleransi anak pada MPASI yang diberikan. Kecukupan MPASI ddapat
dinilai dengan cara mengukur antropometri (berat badan, panjang badan,
dan lingkar kepala), lakukan ploting pada kurva pertumbuhan sesuai
dengan usia dan jenis kelamin, serta interpretasi status nutrisi dan juga laju
pertumbuhan anak. Target kenaikan berat badan dapat menggunakan tabel
weight velocity WHO dengan target adalah P50.18

Penutup
Pemantauan pertumbuhan anak dilakukan secara berkala untuk menilai
status nutrisi dan laju pertumbuhan. Weight faltering adalah kondisi awal
dari perjalanan malnutrisi, sehingga harus dapat diidentifikasi segera dan
dilakukan intervensi. Dampak dari malnutrisi dapat terjadi dalam waktu
jangak pendek dan jangka panjang, dan bila hal tersebut terjadi pada anak
usia 1000 hari pertama kehidupan maka dampak bersifat irreversible.
Pencegahan tentunya menjadi cara terbaik dibandingkan dengan mengobati.
Pencegahan dengan cara memberikan edukasi kepada orangtua mengenai
pemberian MPASI yang tepat waktu, adekuat, aman dan secara responsive
feeding dengan memperhatikan kaidah feeding rules.

Daftar pustaka
1. WHO Handbook for Guideline Development, 2nd Edition. Geneva:
World Health Organization; 2014. Didapat dari : https://apps.who.int/iris/
handle/10665/145714.
2. Lutter CK, Grummer-Strawn L, Rogers L. Complementary feeding of infants
and young children 6 to 23 months of age. Nutr Rev. 2021; 79(8):825–846.
3. Birch LL, Doub AE. Learning to eat: birth to age 2 years. Am J Clin Nutr.
2014;99:723S-7285.

162 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
4. Black MM, Walker SP, Fernald LC, Andersen CT, DiGirolamo AM, Lu C et al.
Early childhood development coming of age: science through the life course.
Lancet 2017;389:77–90.
5. Report of the Commission on Ending Childhood Obesity. Geneva, Switzerland:
World Health Organization; 2016. Didapat dari: https://www.who.int/
publications/i/item/9789241510066.
6. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/1928/2022. Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran Tatalaksana Stunting. 2022
7. Guiding Principles for Complementary Feeding of the Breastfed Child.
Washington DC: Pan American Health Organization/World Health Organization;
2003. Didapat dari: https://iris.paho.org/handle/10665.2/752?locale-attribute=en.
8. Guiding Principles for Feeding Non-breastfed Children 6–24 Months of Age.
Geneva: World Health Organization; 2005. Didapat dari: https://www.who.int/
publications/i/item/9241593431.
9. Fewtrell M, Bronsky J, Campoy C, Domellof M, Embleton N, Mis NF et al.
Complementary Feeding: A Position Paper by the European Society for Paediatric
Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition (ESPGHAN) Committee on
Nutrition. J Pediatric Gastroenterology and Nutrition 2017;64:119–32.
10. Padhani ZA, Das JK, Siddiqui FA, Salam RA, Lassi ZS, Khan DSA et al. Optimal
timing of introduction of complementary feeding: a systematic review and meta-
analysis. Nutr Rev. 2023.
11. UKK Nutrisi Penyakit Metabolik. Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Asuhan Nutrisi Pediatrik. 2011
12. Dewey, K. G. Nutrition, Growth, and Complementary Feeding of The Brestfed
Infant. Pediatric Clinics of North America, 48(1), 87–104.2001
13. Semba RD, Shardell M, Ashour FAS,Moadedel R, Trehan I, et al. Child stunting is
associated with low circulating essential amino acids. J. EBioMedicine 2016:246-
252.
14. Headey D, Hirvonen K, Hoddinott. Animal sourced foods and child stunting.
Am J Agric Econ. 2018; 100(5): 1302–1319.
15. Lannotti LL, Lutter CK, Stewart CP, Gallegos Riofrío CA, Malo C, et al . Egg in
early complementary feeding and child growth: A randomized controlled trial.
Pediatrics. 2017 Jul;140(1).
16. Mennella JA, Reiter AR, Daniels LM. Vegetable and fruit acceptance during
infancy: Impact of ontogeny, genetics, and early experiences. Adv Nutr Health
2016;7:211S-9S.
17. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesai nomor 28. Angka kecukupan gizi yang dianjurkan untuk masyarakat
Indonesia. 2019
18. American Academy of Pediatrics, Committee on Nutrition., Complementary
feeding.Pediatric nutrition. 7th ed Kleinman RE, Greer F, eds. , editors. Elk Grove
Village, IL: American Academy of Pediatrics; 2013.
19. Pérez-Escamilla R, Jimenez EY, Dewey KG. Responsive Feeding Recommendations:
Harmonizing Integration into Dietary Guidelines for Infants and Young
Children. Curr Dev Nutr. 2021;30:1–5..

Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 163


20. The Role of Responsive Feeding in Nurturing Care. Geneva: World Health
Organization and United Nations Children’s Fund; 2023/ Didapat dari: https://
www.advancingnutrition.org/resources/nurturing-young-children-through-
responsive-feeding.

164 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Interpretasi Pemeriksaan Feses pada Anak
Diana Aulia

P
emeriksaan feses merupakan pemeriksaan sederhana namun dapat
memberikan banyak informasi penting dalam penegakan diagnosis
dan pemantauan kelainan saluran cerna pada anak. Feses normal
dikeluarkan sebanyak 100-200 gram setiap harinya. Waktu yang diperlukan
untuk proses pencernaan hingga feses dikeluarkan adalah sekitar 18-24 jam.
Feses normal dapat mengandung bakteri, selulosa, sisa-sisa makanan yang
tak tercerna, sekresi gastrointestinal, pigmen empedu, sel-sel dinding usus,
elektrolit, dan air.1,2
Pemeriksaan feses bermanfaat untuk membantu penegakan diagnosis
perdarahan saluran gastrointestinal, kelainan hati dan duktus biliaris, sindrom
malabsorbsi dan maldigesti, serta identifikasi penyebab diare dan steatorrhea.
Yang perlu diperhatikan sebelum melakukan interpretasi adalah memastikan
specimen feses dikumpulkan dengan cara yang tepat. Spesimen feses harus
dikumpulkan di wadah yang bersih dan tidak boleh terkontaminasi dengan
urin, air kakus, atau popok sekali pakai pada bayi/anak. Wadah umumnya
terbuat dari plastik atau bahan gelas dengan tutup ulir. 1,2
Secara umum, pemeriksaan paling sering dilakukan adalah
pemeriksaan kimia untuk darah samar tinja, untuk mendeteksi perdarahan
saluran cerna lebih awal. Analisis feses juga bermanfaat untuk menentukan
adanya peningkatan kandungan lemak (lipid) pada feses, serta membantu
menentukan diagnosis banding diare. Pada makalah ini akan dibahas
mengenai pemeriksaan umum, khusus, pemeriksaan feses yang berkembang
saat ini.

Pemeriksaan umum
A. Pemeriksaan makroskopik
Secara makroskopik, spesimen feses akan dinilai warna, konsistensi, jumlah,
bau, serta adanya darah dan lendir. Feses normal dapat mengandung sedikit
lendir. Namun, adanya lendir yang banyak atau lendir berdarah merupakan
kondisi abnormal. 1,2

Warna
Feses normal berwarna coklat karena oksidasi sterkobilinogen menjadi

165
urobilin. Sterkobilinogen berasal dari bilirubin terkonjugasi yang dibawa ke
usus halus melalui duktus biliaris. Feses yang berwarna pucat kemungkinan
disebabkan obstruksi duktus biliaris atau akibat prosedur diagnostik dengan
barium sulfat. 1,2 Pada studi Lien dkk. didapatkan bahwa penggunaan kartu
evaluasi warna feses pada neonatus dapat meningkatkan kewaspadaan
atresia bilier, mempercepat dilakukannya prosedur terapeutik Kasai, dan
memberikan luaran pasien yang lebih baik. 3

Gambar 1. Contoh kartu evaluasi warna feses1

Feses juga dapat mengandung darah, dengan warna bervariasi dari


merah terang hingga hitam, tergantung dari bagian usus yang mengalami
perdarahan. Darah yang berasal dari esofagus, lambung, atau duodenum
memerlukan tiga hari untuk sampai ke feses. Selama waktu itu, hemoglobin
terdegradasi membentuk warna hitam seperti ter (melena). Melena
ditemukan jika volume perdarahan saluran cerna bagian atas lebih dari 100
mL. Feses yang berwarna hitam juga dapat ditemukan pada pasien yang
mendapatkan terapi besi, arang, atau bismuth. Darah yang berasal dari
saluran cerna bagian bawah memerlukan waktu yang lebih sedikit untuk
sampai ke feses sehingga tetap berwarna merah (hematoskezia). Feses yang
berwarna merah juga dapat disebabkan ingesti obat dan makanan seperti
bit. Baik feses yang berwarna merah maupun hitam harus diperiksa secara
kimiawi untuk memastikan adanya darah bukan akibat penyebab lain. 1,2
Feses yang berwarna hijau bisa ditemukan pada bayi dengan konsistensi
yang agak cair atau lembek, pada pasien yang mengonsumsi antibiotik oral,
atau pada pasien dengan asupan sayuran hijau yang banyak karena warna
feses dapat dipengaruhi oleh makanan. 1,2

166 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Konsistensi
Selain warna, abnormalitas juga dapat dilihat dari bentuk dan konsistensi
feses. Pada kasus diare akan diperoleh feses yang cair, sedangkan pada
konstipasi akan didapatkan feses yang kecil dan keras. Feses yang memanjang
dan tipis seperti pita disebabkan obstruksi saluran cerna. Feses yang
pucat disebabkan obstruksi bilier, feses pada kasus steatorhea memiliki
volume yang banyak, berbusa, dan sering berbau busuk. Feses bisa tampak
berminyak dan mengambang pada kondisi malabsorpsi lemak. Lendir pada
feses menunjukkan inflamasi saluran cerna atau iritasi akibat penyebab
patologik atau aktivitas berat. Jika pada lendir terdapat darah (blood-streaked
mucus), perlu dipikirkan adanya kerusakan dinding usus, akibat disentri
bakterial, amuba, atau keganasan.1,2 Penggunaan kartu skala Bristol untuk
mengevaluasi konsistensi feses juga diketahui bermakna dalam memantau
efikasi tatalaksana pada anak dengan konstipasi fungsional.

Gambar 2. Kartu Bristol untuk mengevaluasi feses4

B. Pemeriksan Mikroskopik
Pemeriksaan mikroskopik merupakan bagian penting dalam mendeteksi
kelainan feses dan masalah pada saluran cerna. Dari pemeriksaan
mikroskopik dapat dideteksi adanya protozoa (seperti Entamoeba coli),
cacing (Strongyloides stercoralis), serta leukosit dan eritrosit fekal.

Leukosit Fekal
Eritrosit dan leukosit umumnya tidak ditemukan pada feses normal.
Pemeriksaan leukosit dilakukan pada bagian feses yang mengandung mukus.
Peningkatan leukosit ditemukan pada infeksi bakterial, tidak pada infeksi
virus atau parasite. Leukosit, terutama neutrofil, juga didapatkan pada
pada kondisi kerusakan mukosa usus, seperti pada kolitis ulseratif. Pada

Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 167


infeksi amoeba, sering didapatkan eosinofil. Pemeriksaan mikroskopik feses
merupakan pemeriksaan awal pada diare disebabkan oleh bakteri invasif
seperti Salmonella, Shigella, Campylobacter, Yersinia, dan E. coli enteroinvasif
karena adanya neutrofil fekal dapat menjadi informasi diagnostik awal
sebelum didapatkan hasil kultur. Pada studi Nuraini dkk. didapatkan bahwa
prevalensi infeksi bakterial pada gastroenteritis anak adalah 6.82%, dengan
organisme penyebab tersering E.coli patogenik (16.67%), Salmonella sp
(33.3%), C. Dificille (33.3% ) dan Shigella sp (16.67%).5
World Health Organization (WHO) merekomendasikan penggunakan
leukosit fekal untuk menentukan infeksi Shigella yang merupakan bakteri
patogen pada anak dengan disentri. WHO menetapkan jumlah leukosit 10/
lapang pandang besar (LPB) sebagai penanda infeksi gastrointestinal oleh
bakteri patogen, terutama pada daerah tanpa fasilitas kultur dan data pola
kuman untuk diare.6 Spesimen bisa diperiksa sebagai sediaan basah yang
diwarnai dengan methylene blue atau sediaan hapus yang diwarnai dengan
Wright atau Gram. Pembuatan sediaan dengan pewarnaan Gram dapat
membantu penentuan terapi, karena dapat menentukan jenis Gram.1 Sediaan
harus dibuat dari spesimen segar. Dengan pembesaran 400 kali, tiga neutrofil
per lapang pandang besar (LPB) sudah menunjukkan kondisi invasif. Dengan
pembesaran 1000 kali, temuan satu neutrofil per lapang pandang imersi (LPI)
memiliki sensitivitas 70% dalam mendeteksi bakteri invasif.4
Selain pemeriksaan dengan sediaan, tersedia juga pemeriksaan
aglutinasi lateks laktoferin untuk mendeteksi leukosit fekal. Laktoferin
adalah komponen granul sekunder leukosit. Hasil laktoferin yang positif
menunjukkan kemungkinan adanya bakteri invasif. Meskipun demikian
pemeriksan leukosit fekal bukan merupakan tes yang sensitive untuk
mendiagnosis diare inflamatoik karena kemampuan diagnosisnya yang
bervariasi antara penyakit. Nilai cutoff leukosit optimal yang didapat dari
penelitian Nuraini dkk. adalah 8/LPB, dengan sensitivitas 83.3% dan
spesifisitas 54.9%. 5
Pemeriksan untuk organisme yang bergerak langsung dilakukan dengan
tinja segar. Volume minimal tinja untuk diperiksa adalah 2-5 gram. Untuk
pemeriksaan parasit, direkomendasikan setidaknya tiga kali pemeriksaan
dalam waktu yang berdekatan dan perlu dihindari kontaminasi dengan urin.2
Giardia dapat dideteksi pada spesimen feses tunggal pada sebagian besar
kasus (50-70%). Untuk mendiagnosis amoebiasis intestinal, perlu diamati
kista dan tropozoit Entamoeba histolytica pada pemeriksaan mikroskopik.
Sampel diperiksa dengan pewarnaan iodine untuk mendeteksi kista. Pada
kondisi amoebiasis intensif akan dijumpai darah pada tinja, tetapi tidak selalu
dijumpai peningkatan leukosit karena disintegrasi leukosit oleh parasit. Pada
kondisi ini, pemeriksaan cepat antigen lebih bermanfaat untuk penegakan
diagnosis diare akibat infeksi Giardia, Cryptosporidium, dan Entamoeba. 7

168 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
C. Pemeriksaan khusus
Pemeriksaan darah samar feses
Pemeriksaan darah samar feses berfungsi untuk mengidentifikasi darah yang
tidak selalu terlihat secara makroskopik. Perdarahan sebanyak 2,5 mL/150
gram feses sudah dianggap patologis meskipun belum terlihat oleh mata.
Prinsip pemeriksaan darah samar feses umumnya menggunakan aktivitas
pseudoperoksidase hemoglobin. Pada spesimen ditambahkan hidrogen
peroksida, yang apabila bereaksi dengan hemoglobin pada sampel akan
terjadi oksidasi kromogen menghasilkan warna biru. Jenis kromogen yang
sering digunakan meliputi benzidine, ortho-tolidine, dan gum guaiac.
Mengingat feses normal dapat mengandung sampai 2,5 mL darah, kromogen
yang paling disarankan untuk pemeriksaan rutin adalah guaiac karena
sensitivitasnya tidak terlalu rendah. Aktivitas pseudoperoksidase juga dapat
dihasilkan oleh hemoglobin dan mioglobin yang berasal dari asupan daging,
sayuran dan buah tertentu, serta beberapa bakteri usus sehingga dapat
menyebabkan hasil positif palsu. Oleh karena itu, pasien harus diinstruksikan
untuk menghindari daging merah, melon, brokoli, kol, dan lobak selama
tiga hari sebelum pengambilan sampel. 1,2
Terdapat beberapa kit komersial untuk pemeriksaan darah samar
feses yang tersedia. Biasanya pada kit terdapat dua sampai tiga kertas saring
berisi guaiac untuk diberikan feses dari area yang berbeda. Terdapat juga
kontrol positif dan negatif. Untuk menghindari hasil positif palsu karena
kontaminasi, digunakan sampel dari tengah feses. Spesimen harus diperiksa
dalam enam hari sesudah pengambilan. Aspirin dan obat anti inflamasi non
steroid (OAINS) selain acetaminophen juga harus dihindari selama tujuh
hari sebelum pengambilan sampel untuk mencegah iritasi saluran cerna.
Vitamin C dan suplemen yang mengandung besi dihindari selama tiga hari
sebelum pengambilan sampel karena merupakan reduktor kuat.1,2
Selain itu, terdapat juga pemeriksaan yang menggunakan metode
imunokimia yang mendeteksi hemoglobin manusia menggunakan antibodi
spesfifik sehingga tidak diperlukan restriksi diet. Pemeriksaan dengan
metode imunokimia memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dalam
mendeteksi perdarahan saluran cerna bagian bawah. Pada perdarahan
saluran cerna bagian atas, terjadi disintegrasi rantai globin oleh protease
yang dapat menurunkan sensitivitas pemeriksaan.8

Pemeriksaan lemak feses


Pemeriksaan lemak fekal diindikasikan pada pasien yang dicurigai
mengalami maldigesti lemak akibat fibrosis kistik, insufisiensi pankreas,
pankreatitis, karsinoma pankreas, dan tidak adanya garam empedu, maupun
malabsorpsi lemak akibat pertumbuhan bakteri yang berlebihan, reseksi usus,

Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 169


celiac disease, tropical sprue, limfoma, penyakit Crohn, penyakit Whipple,
dan giardiasis. Lemak yang dinilai meliputi trigliserida, garam asam lemak,
asam lemak, dan kolesterol. Adanya lemak dapat dilihat menggunakan
pewarnaan Sudan III, Sudan IV, atau oil red O. Pewarna yang paling sering
digunakan adalah Sudan III. Pemeriksaan Sudan III memiliki sensitivitas
77% dengan spesifisitas 98%. Prosedur pewarnaannya terbagi dua bagian,
pewarnaan trigliserida dan pewarnaan asam lemak.1,2
Trigliserida langsung terwarnai oleh Sudan III dan tampak sebagai
droplet oranye merah besar, sering terdapat di tepi kaca penutup. Hasil
dengan 60 droplet/LPB menunjukkan steatorhea. Namun, hasil dapat
menunjukkan negatif palsu karena pemecahan trigliserida spontan atau
oleh lipase bakteri sehingga jumlahnya menurun. Oleh karena itu, penilaian
lemak feses lebih baik menggunakan pewarnaan asam lemak lebih unggul
dibandingkan dengan pewarnaan trigliserida. 1,2
Asam lemak tidak terwarnai langsung oleh Sudan III. Oleh karena itu,
spesimen perlu dicampur dulu dengan asam asetat dan dipanaskan. Droplet
yang terlihat dapat berasal dari asam lemak bebas maupun asam lemak
yang dihasilkan oleh hidrolisis garam asam lemak dan trigliserida. Pada
pemeriksaan ini, perlu diperhatikan jumlah dan ukuran droplet. Spesimen
normal bisa mengandung sampai 100 droplet kecil dengan ukuran < 4
µm/LPB. Kondisi dengan jumlah droplet yang sama tetapi dengan ukuran
6-75 µm dikatakan meningkat. Peningkatan trigliserida dan asam lemak
menunjukkan kelainan malabsorpsi, sedangkan peningkatan trigliserida
yang tidak dibarengi dengan peningkatan asam lemak menunjukkan kelainan
1,2
maldigesti lemak.

1
Gambar 2. Globul lemak pada pewarnaan feses dengan Sudan III

Pemeriksaan lemak feses kuantitatif


Pemeriksaan lemak feses kuantitatif digunakan sebagai tes konfirmasi untuk
steatorhea. Pemeriksaan ini memerlukan feses yang dikumpulkan selama

170 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
72 jam. Pasien juga harus mempertahankan asupan lemak dalam jumlah
yang ditetapkan yaitu sebesar 100 gram/hari selama periode pengumpulan
spesimen. Spesimen yang dikumpulkan disimpan di kulkas untuk mencegah
degradasi bakteri. 1,2
Metode yang rutin digunakan adalah titrasi Van de Kamer, metode
lain menggunakan prinsip gravimetrik. Metode titrasi Van de Kamer yang
merupakan pemeriksaan baku emas Pada pemeriksaan, lemak feses diubah
menjadi asam lemak dan dititrasi sampai ke titik netral menggunakan NaOH.
Konten lemak dilaporkan sebagai gram lemak/hari atau koefisien retensi
lemak per 24 jam. Nilai normal berdasarkan asupan 100 gram/hari adalah
1-6 gram/hari atau koefisien retensi lemak minimal 95%. Rumus perhitungan
untuk koefisien retensi lemak per 24 jam adalah

Koefisien retensi lemak: Lemak diet – lemak feses x 100% Lemak diet.

Metode lain seperti steatokrit asam dapat digunakan untuk memperkirakan


jumlah ekskresi lemak dalam pemantauan respons pasien terhadap terapi
dan menapis steatorhea pada anak. 1,2 Near-infrared reflectance spectroscopy
(NIRA) merupakan metode cepat lain untuk memeriksa lemak feses.
Pemeriksaan ini memerlukan pengumpulan spesimen 48-72 jam untuk
mengeksklusi variasi harian, tapi tidak memerlukan reagen. Hasilnya
diperoleh melalui pengukuran sinar inframerah (panjang gelombang 1400-
2600 nM) yang dipantulkan permukaan feses. Pemeriksaan ini menghitung
air, lemak, dan nitrogen dalam gram/hari. Dalam penelitian Neucker et al,
metode ini memiliki korelasi yang baik dengan metode titrasi Van de Kamer
(r = 0.84, p < 0.001). 1,2,4

Pemeriksaan pH, elektrolit, dan substansi pereduksi


Pemeriksaan pH dan elektrolit dapat dilakukan pada spesimen feses yang
segar dan cair yang telah dihomogenisasi dan disentrifus. pH feses diukur
menggunakan kertas nitrazin, dengan rentang normal antara 7,0 hingga 7,5.4
pH feses dibawah 5,5 menandakan feses asam. Pada bayi yang mendapat air
susu ibu (ASI), pH fesesnya akan sedikit asam. Osmolaritas fekal sebanding
dengan osmolaritas serum. Dengan mengetahui kadar elektrolit, dapat
dilakukan perhitungan osmotic gap dengan formula:

Osmotic gap = 290 - (Na + K) x 2].

Penentuan osmotic gap penting pada pasien dengan diare osmotik.


Osmotic gap tinggi (>125 mosmol/kg) didapatkan pada pasien dengan
diare osmotik dan osmotic gap rendah didapatkan pada pasien dengan diare
sekretorik. Penggunaan formula ini lebih dipilih dibandingkan dengan

Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 171


pengukuran langsung osmolaritas fekal karena pada pemeriksaan langsung
dapat terjadi fermentasi bakteri dan kontaminasi urin pada specimen yang
dapat menyebabkan osmolaritas tinggi palsu. 1,9
Pada kasus dengan kecurigaan malabsorpsi karbohidrat, substansi
pereduksi harus diperiksa di feses dengan menggunakan tes Benedict atau
Fehling. Kelompok gula pereduksi meliputi glukosa, laktosa, dan fruktosa.
Sukrosa bukan merupakan gula pereduksi sehingga sukrosa yang tidak
diserap dapat direduksi oleh bakteri kolon menjadi glukosa dan fruktosa
dan memberikan hasil tes reduksi positif. Pada tes Benedict, hasil abnormal
didapatkan jika kadar gula pereduksi >0.5 mg/dL, hasil normal jika <0,25,
dan hasil antara 0,25-0,5 mg/dL memerlukan penyesuaian dengan kondisi
klinis. Untuk melakukan tes reduksi, spesimen feses harus segar dan diperiksa
dalam 30 menit karena penundaan akan menyebabkan disintegrasi laktosa
dan memberikan hasil yang tidak sesuai. 1,9
Fecal sugar chromatography merupakan pemeriksaan lanjutan ypada
kasus dengan hasil gula pereduksi positif. Pemeriksan ini berrmanfaat untuk
membantu diagnosis galaktosemia, malabsorpsi sukrosa, intoleransi laktosa,
intoleransi fruktosa herediter. Pada defisiensi laktase, dapat terdeteksi laktosa,
galaktosa dan glukosa. Pada malabsorpsi glukosa galaktosa, hanya terdeteksi
glukosa dan galaktosa. 4,9

Pemeriksaan Alpha-1 antitrypsin


Alpha-1 antitrypsin (alpha-1 AT) merupakan glikoprotein yang disintesis di
hati dan merupakan komponen utama alfa-1 globulin. Alpha-1-AT memiliki
molekul dengan berat molekul lebih besar dibandingkan albumin dan
dieksresikan di feses tanpa didegradasi karena alpha-1-AT resisten terhadap
proteolisis dan disintegrasi di lumen intestinal. Laju ekskresi normal alpha-1
AT fekal adalah kurang dari 2,6 mg/hari, dengan klirens intestinal 13 mL/
hari. Peningkatan alpha-1 AT klirens didapatkan pada kondisi peningkatan
hilangnya protein dari saluran cerna. Pemeriksaan untuk mengukur klirens
alpha-1 AT memerlukan sampel feses 24 jam dan sampel serum untuk
mengukur alpha-1 AT di plasma.4

Formula pengukuran Alpha-1 AT adalah


Alpha-1 AT = (volume feses) x (alpha-1 AT feses) / (alpha-1 AT serum)

Diare dapat meningkatkan klirens alpha-1 AT. Klirens alpha-1 AT


bermanfaat untuk mendeteksi protein losing enteropathy (PLE) baik pada
pasien dengan maupun tanpa diare. Klirens Alpha-1 AT harus diukur dalam
kondisi supresi asam (omeprazole 40 mg/hari) pada pasien yang dicurigai
hypertrophic secretory gastropathy atau pada pasien dengan hasil alpha-1 AT
klirens normal padahal dicurigai secara klinis, hal ini disebabkan alpha-1

172 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
AT dapat disintegrasi jika kadar pH gaster < 3.5 sehingga menyebabkan
negatif palsu.4
Pada studi Aulia dkk, didapatkan bahwa kadar alpha-1 AT dapat
bermanfaat untuk mendeketksi protein-losing enteropathy (PLE) pada anak
dengan diare akut. Pada studi ini didapatkan bahwa 75% anak mengalami
PLE, dengan organisme tersering adalah Rotavirus Rerata kadar Alpha-1
AT pada kelompok anak dengan diare akut akibat Rotavirus lebih tinggi
dibandingkan dengan infeksi oleh patogen lain. Rotavirus merupakan
penyebab PLE pada anak. 10 Pada studi Fitriana dkk, didapatkan bahwa
peningkatan ekskresi alpha-1 AT berhubungan bermakna dengan tingkat
keparahan diare pada anak. 11

Pemeriksaan fungsi pankreas indirek


Pemeriksaan enzim pankreas indirek bermanfaat untuk menilai insufisiensi
kelenjar eksokrin pankreas. Pemeriksaan fungsi enzim indirek sering
digunakan karena sederhana, lebih mudah, dan lebih murah dibandingkan
dengan tes direk, meskipun pemeriksaan indirek memiliki sensitivitas lebih
rendah dibandingkan tes direk dalam mendiagnosis insufisiensi eksokrin
pankreas fase awal. Beberapa pemeriksaan fungsi pankreas indirek meliputi
elastase-1 dan kimotripsin. 12
Pemeriksaan elastase-1 adalah pemeriksaan indirek paling sensitif
dan spesifik untuk menilai fungsi pankreas. Elastase-1 merupakan enzim
proteolitik spesifik pada pankreas yang akan berikatan dengan garam empedu
dan tidak mengalami disintegrasi ketika melewati usus. Pengukuran enzim
elastase-1 menunjukkan korelasi dengan enzim pankreas yang meliputi
elastase-1, amilase, lipase, and tripsin. Enzim elastase fekal <200 mcg/g
merupakan kondisi abnormal. Sedangkan nilai antara 200 dan 250 mcg/g
merupakan nilai ambang dan memerlukan pengulangan. 12
Pada pasien dengan pankreatitis kronik, sensitivitas pemeriksaan
dipengaruhi oleh derajat beratnya penyakit, pemeriksaan elastase-1 memiliki
sensitivitas 63% pada insufisiensi pankreas derajat ringan dan 100% pada
insufisiensi derajat sedang dan berat. Spesifisitas pemeriksaan elastase-1
sangat tinggi, yakni mencapai 93% pada pasien dengan insufisiensi eksokrin
pankreas. Pada pasien dengan diare cair, dapat terjadi positif palsu karena
sampel terdilusi. 13

Tes Kimotripsin
Kimotripsin fekal merupakan produk enzimatik dari sekresi pankreas yang
digunakan untuk mendeteksi insufisiensi pankreas. Namun, kimotripsin
memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih rendah dibandingkan
elastase-1. Sensitivitas kimotripsin fekal untuk kasus insufisiensi pankreas

Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 173


moderat-berat adalah 85% dan kasus ringan 49%. Kadar kimotripsin
dipengaruhi oleh pasase usus halus dan dapat terdilusi pada kasus diare.
Sebelum pemeriksaan, pemberian enzim eksogen harus dihentikan dua hari
sebelum pemeriksaan karena kimotripsin juga ditemukan paida preparasi
enzim komersial. 12

Pemeriksaan Kalprotektin Fekal


Kalprotektin merupakan protein sitosol yang memiliki peran imunomodulator,
memiliki efek antimikrobial dan antiproliferatif. Intensitas kalprotektin
meningkat pada kondisi infeksi, inflamasi, dan keganasan. Kalprotektin
dalam tubuh akan berikatan dengan zinc dan kalsium yang dilepaskan oleh
neutrofil dan monosit. Kalprotektin dapat ditemukan pada jaringan, cairan
tubuh, dan tinja. 14
Beberapa studi menunjukkan bahwa kalprotektin bermanfaat untuk
membedakan penyebab diare kronik inflamatorik dan membantu penegakan
diagnosis inflammatory bowel diseases (IBD). Pada IBD, kadar kalprotektin
berkorelasi dengan gambaran klinis, derajat infiltrasi mukosa intestinal, serta
histopatologi pada pasien IBD. Sensitivitas pemeriksaan kalprotektin pada
IBD pada anak adalah 92% dengan spesifisitas 76%. 15 Kadar kalprotektin
dipengaruhi oleh usia, batas nilai kalprotektin pada usia 1-6 bulan adalah
<538 µg/g feses, 7 bulan-3 tahun <214 µg/gram feses, 3-4 tahun <75 µg/
gram feses, pada usia 4-49 tahun adalah <50 µg/gram feses.16 Pada pedoman
interpretasi kalprotektin fekal dinyatakan bahwa anak dengan kadar
kalprotektin fekal <600 µg/g feses dan tidak memiliki gejala klinis IBD (diare
berdarah, nyeri abdomen, penurunan berat badan) memiliki kemungkinan
yang amat kecil untuk mengalami IBD. Hal ini penting untuk membantu
penilaian klinis dan menurunkan biaya pemeriksaan bagi pasien IBD. 17

Pemeriksaan Antigen Fekal


Pemeriksaan antigen Helicobacter pylori (H. pylori)
Deteksi antigen H. pylori pada feses menunjukkan infeksi sedang berlangsung.
Pemeriksaan ini bermanfaat untuk penegakan diagnosis dan untuk konfirmasi
eradikasi infeksi. Pemeriksaan antigen feses merupakan pemeriksaan
dengan biaya paling efektif pada daerah dengan prevalensi H. pylori
rendah hingga sedang. Pemeriksaan umumnya dilakukan dengan metode
enzyme immunoassay (EIA), dengan sensitivitas 94% dan spesifisitas 97%.
Pemeriksaan EIA memiliki performa diagnostik yang hampir sama dengan
urea breath test. Pemeriksaan antigen fekal akan menurun spesifisitasnya
pada kondisi perdarahan aktif dan dipengaruhi oleh penggunaan bismuth,
antibiotik, dan penggunaan proton pump inhibitors (PPI). 19

174 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Pemeriksaan antigen Rotavirus
Pemeriksaan antigen Rotavirus menggunakan metode berbasis reaksi imun,
seperti enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), aglutinasi lateks, serta
tes molekular seperti polymerase chain reaction (PCR). Pemeriksaan yang
paling banyak digunakan adalah pemeriksaan dengan metode ELISA and
aglutinasi lateks, meskipun pemeriksaan dengan PCR adalah yang paling
sensitif. Virus dapat dideteksi 1-2 hari sebelum onset manifestasi klinis.
Sensitivitas pemeriksaan antigen Rotavirus dipengaruhi kapan pemeriksaan
dilakukan. Pemeriksaan yang dilakukan pada hari pertama hingga keempat
setelah onset penyakit memiliki sensitivitas 94% hingga, tetapi sensitivitas
menurun hingga 76% pada hari keempat-kedelapan setelah onset. 20

Pemeriksaan Adenovirus
Adenovirus enteric (tipe 40-41) dapat menyebabkan diare yang lebih lama
dibandingkan Rotavirus. Pemeriksaan antigen adenovirus dengan metode
ELISA memiliki sensitivitas 78 % dan spesifisitas 100%.13

Pemeriksaan Giardia
Pemeriksaan antigen Giardia dapat dilakukan dengan metode imunoserologi
menggunakan antibodi terhadap tropozoit atau kista. Metode ini lebih
sensitive dibandingkan dengan pemeriksaan mikroskopik. 13

Pemeriksaan antigen entamoeba pada feses


Pemeriksaan antigen entamoeba pada feses sensitive, spesifik, cepat dan
bermanfaat untuk membedakan E.histolytica and E. dispar. Pada pemeriksaan
ini digunakan antibodi monoclonal yang dapat mengenali epitope patogen
E. histolytica. Epitop ini tidak ditemukan pada E.dispar yang non patogenik.
Tes yang digunakan menggunakan metode ELISA, radioimmunoassay atau
imunofloresens. 13

Pemeriksaan toksin Clostridium difficile (C. difficile) di tinja


Pemeriksaan toksin Clostridium difficile (C. difficile) di tinja hanya perlu
dilakukan pada pasien yang sedang diare dan tidak diperlukan pemeriksaan
ulang paska terapi. Hampir seluruh strain C. difficile menghasilkan toksin
A dan toksin B, tetapi sebagian strain hanya memproduksi salah satunya
yaitu toksin A saja atau toksin B saja. Toksin B merupakan toksin yang
menimbulkan gejala dan bermakna klinis. Namun, studi menunjukkan
bahwa tes yang dapat mendeteksi kedua toksin lebih sensitive dibandingkan
dengan tes yang hanya mendeteksi toksin B saja. Sensitivitas EIA untuk
mendeteksi toksin C. difficile aadalah 75% dengan spesifisitas 99%. Tes ini
memiliki batas deteksi toksin 100-1000 pg sehingga pasien dengan kadar
jumlah toksin rendah berisiko mendapatkan hasil negatif palsu. Nilai prediksi

Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 175


positif pemeriksaan ini pada anak adalah 64%. Frekuensi negatif palsu lebih
tinggi pada anak dengan usia yang lebih muda.19

Panel pemeriksaan molekular multiplex


Pemeriksaan ini sedang dikembangkan untuk mendeteksi patogen
gastrointestinal melalui metode PCR. Dengan panel multiplex, metode ini
memungkinkan mendeteksi banyak patogen dalam jumlah yang banyak
dalam waktu yang singkat. Pemeriksaan ini sensitif untuk mendiagnosis
diare akibat infeksi. 20

Pemeriksaan Prinsip (metodologi) Interpretasi


Pemeriksaan Perhitungan jumlah netrofil Jumlah ≥ 3 netrofil per lapang
mikroskopik netrofil secara mikroskopik pandang mengindikasikan
adanya gangguan intestinal
Pemeriksaan lemak Pemeriksaan lobul lemak • Adanya 60 droplet berukuran
kualitatif mikroskopik secara langsung besar mengindikasikan
dengan pewarnaan Sudan III malabsorpsi
• Adanya 100 droplet
jingga berukuran 6-75
um mengindikasikan
malabsorpsi
Tes darah samar Tinja Metode Guaiac: aktivitas • Warna Biru menunjukkan
pseudoperoksidase hemoglobin hasil positif, berarti terdapat
yang dapat melepaskan oksigen perdarahan gastrointestinal
untuk mengoksidasi reagen
• Hasil positif menunjukkan
Metode imunologi: menggunakan
antibodi poliklonal spesifik untuk
adanya perdarahan
bagian globin hemoglobin gastrointestinal
APT test Menambahkan NaOH ke • Terdapat perbedaan darah
emulsi yang mengandung fetal dengan darah maternal,
hemoglobin, untuk darah fetal lebih resisten
menentukan darah tersebut terhadap NaOH.
berasal dari fetal atau maternal.
Enzim pancreas Immunoassay, ELISA Mendeteksi gangguan eksokrin
(tripsin, elastase) pankreas
Clinitest Menambahkan tablet Reaksi positif mengarahkan
Clinitest keemulsi feses untuk pada intoleransi karbohidrat
mendeteksi adanya substansi
preduksi
Kalprotektin Fekal penyebab diare kronik Nilai yang meningkat
inflamatorik dan membantu mengindikasikan IBD. Namun,
penegakan diagnosis rentang nilai amat dipengaruhi
inflammator usia
Antigen Fekal Menggunakan prinsip Hasil positif mengarahkan pada
immunoassay (EIA, ELISA) etiologi penyebab infeksi

176 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
Pemeriksaan biakan tinja
Pemeriksaan biakan tinja bertujuan untuk mencari bakteri patogen
seperti Salmonella, Shigella, Vibrio, Escherichia coli, dan berbagai patogen
lainya dengan menggunakan berbagai jenis media. 21 Pemeriksaan kultur
direkomendasikan pada kasus disentri diare sedang-berat, atau jika gejala
diare berlanjut >7 hari. Bakteri enteric patogen yang sering didapatkan
pada kultur adalah Salmonella, Shigella, Campylobacter, serta E. coli.
Pemeriksaan biakan tinja bermanfaat untuk membantu penegakan diagnosis
gastroenteritis infeksi dan menemukan pathogen penyebab. Meskipun
merupakan baku emas, studi menunjukkan sensitivitas kultur yang rendah
kultur rendah (6%).22 Pada studi Lee dkk., didapatkan hasil kultur untuk
patogen enterik hanya positif pada 1,47% pasien, dengan organisme patogen
terbanyak Salmonella spp. (75.0%) diikuti dengan Vibrio (19.4%). Beberapa
faktor yang berhubungan dengan positivitas kultur pada uji multivariat
adalah demam, muntah, durasi diare ≥5, dan kadar C-reactive protein (CRP)
>50 mg/L. 2A total of 13,327 patients who underwent stool cultures due to
diarrheal illness were reviewed. Stool cultures were performed for enteric
pathogens, including Salmonella, Shigella, Vibrio, Klebsiella oxytoca, and
Yersinia. The culture-positive group was compared with the culture-negative
group who were randomly selected from culture negative patients., A total
of 196 patients (1.47%3
Sampel diambil segera setelah diare dan sebelum pemberian terapi
antibiotik. Jumlah minimal sampel yang diperlukan adalah ± 5 gram (sebesar
kaca polong) untuk feses padat dan 0.5 mL untuk feses cair. Feses yang
diambil sebaiknya pada bagian yang tedapat kelainan seperti lendir, darah
atau pus. Jika ditemukan cacing, cacing dipisahkan pada wadah terpisah
dengan ditambahkan cairan garam fisiologis. Wadah penampung yang
digunakan harus bersih, tidak perlu steril, bermulut lebar dan dapat tertutup
rapat (tutup ulir). Penampung untuk pemeriksaan kultur harus bebas
pengawet, kecuali untuk pemeriksaan parasit. Penampung juga harus bebas
deterjen dan ion logam. Pada saat menampung sampel hindari kontaminasi
urin, tisu toilet atau air toilet. Sampel dikirim ke laboratorium dalam waktu
< 2 jam untuk segera diperiksa.21
Jika tidak memungkinkan untuk menampung feses secara langsung,
pengambilan sampel dapat dilakukan menggunakan rectal swab dan
dimasukkan ke media transport seperti Cary Blair, Stuart, atau Amies dan media
alkaline peptone water khusus untuk Vibrio spp. Pengambilan sampel dengan
rectal swab biasanya dilakukan pada neonatus, dengan cara pengambilan
memasukkan kapas swab yang telah dilembabkan melewati sfingter ani, diputar
dan dikeluarkan. Periksa warna feses pada swab. Tempatkan swab pada tabung
steril dengan penutup kapas atau penutup ulir jika diproses dalam 1-2 jam.
Jika >2 jam gunakan media transpor (Cary-Blair).24

Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 177


Media transport Cary-Blair merupakan media semisolid, low-nutritive
dan modifikasi media Stuart. Media Cary-Blair mengandung sodium
glycerophosphate yang mengandung fosfat inorganik untuk mencegah
pertumbuhan berlebih Enterobacteriaceae; sodium thioglycollate yang dapat
mengurangi oksidasi dan NaCl serta CaCl2 yang berperan sebagai kontrol
permeabilitas sel dan keseimbangan osmotik. Media ini steril dan tertutup
rapat, dengan pH 8,4. Salmonella-Shigella, Vibrio, Yersinia enterocolitica dapat
bertahan 48 jam sedangkan Campylobacter dapat bertahan lebih dari 6 jam. 24
Untuk menginokulasi bakteri pada media kultur, siapkan suspensi
feses dengan cara menambahkan 1 g feses dengan 1 mL salin steril,
pembuatan suspensi ini tidak perlu dilakukan jika spesimen cair. Spesimen
yang berasal dari rectal swab segar atau dari media Cary-Blair harus dicuci
dengan 1 mL salin. Kemudian tambahkan 3 loopfuls/ lebih suspensi pada
enrichment broth. Inkubasi selenite F broth selama 18 jam dan Alkaline
Peptone Water (APW) selama 6-8 jam. Selenite F atau tetrathionate broths
merupakan media enrichment untuk Salmonella spp. Alkaline Peptone
Water (APW) merupakan media enrichment untuk V. cholerae. Sedangkan
Shigella spp., dan Yersinia enterocolitica tidak memerlukan media enrichment.
Pemeriksaan biakan feses dilakukan dengan menanam sampel feses ke media
cair pepton alkali, dan ke media padat agar. Selanjutnya, media diinkubasi
pada inkubator suhu 37o C selama 18-24 jam. Jika tumbuh koloni, dilakukan
identifikasi sesuai dengan ciri koloni dan tes biokimia. 24

Tabel 3. Media kultur sampel feses


Jenis Media Bakteri
Agar MacConkey dengan kristal violet Shigella spp., Salmonella spp. dan Y.
enterocolitica
Agar Xylose-Lysine-Deoxycholate (XLD) Shigella dan Salmonella spp.
Bismuth sulfite S. typhi
Salmonella spp. Lain
Blaser, Butzler, Skirrow Campylobacter spp.

Agar MacConkey Vibrio spp.


Thiosulfate Citrate Bile salts Sucrose (TCBS) Selektif V. cholerae O1 dan non-O1, V.
parahemolyticus
Cefoxitin-cycloserin-fructose agar (CCFA) Clostridium difficile

Penutup
Pemeriksaan feses dapat memberikan banyak informasi dalam diagnosis
dan pemantauan penyakit gastrointestinal. Pemeriksaan feses terdiri dari
pemeriksaan sederhana berupa pemeriksaan mikroskopik dan makroskopik,
serta pemeriksaan khusus yang bermanfaat untuk mendeteksi gula pereduksi,

178 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia
lemak, atau pemeriksaan yang lebih dalam seperti enzim pankreatik,
alpha-1 antitrypsin, serta kalprotectin. Pada pemeriksaan mikrobiologi,
dapat dilakukan biakan untuk mengidentifikasi adanya bakteri patogen.
Pemeriksaan biakan tinja memiliki sensitivitas yang rendah, meskipun
merupakan baku emas.

Daftar pustaka
1. Brunzel NA. Fecal Analysis. In: Brunzel NA. Fundamentals of urine and body
fluids. 3th Ed. Missouri: Elsevier. 2013. p.271-86. In.
2. Mundt LA, Shanahan K. Graff ’s Textbook of Urinalysis and Body Fluids. 2nd
ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2011. p. 277-82. In.
3. Lien T-H, Chang M-H, Wu J-F, Chen H-L, Lee H-C, Chen A-C, et al. Effects
of the infant stool color card screening program on 5-year outcome of biliary
atresia in Taiwan. Hepatology. 2011 Jan;53(1):202–8.
4. Kasırga E. The importance of stool tests in diagnosis and follow-up of
gastrointestinal disorders in children. Turk Pediatri Ars. 2019 Sep 25;54(3):141–8.
5. Nuraini IN, Reynaldo, Kekalih A, Karuniawati A, Hegar B. Microscopic
examination of fecal leucocytes as a simple method to detect infective colitis
in children. Indones J Gastroenterol Hepatol Dig Endosc 2017;18:73-9.
6. World Health Organization. Diarrhoeal Treatment Guidelines. Geneva: World
Health Organization 2009.p.1-46.
7. Vandenberg O, Van Laethem Y, Souayah H, Kutane WT, van Gool T, Dediste
A. Improvement of routine diagnosis of intestinal parasites with multiple
sampling and SAF-fixative in the triple-faeces-test. Acta Gastroenterol Belg.
2006 Dec;69(4):361–6.
8. Robertson DJ, Lee JK, Boland CR, Dominitz JA, Giardiello FM, Johnson DA, et
al. Recommendations on Fecal Immunochemical Testing to Screen for Colorectal
Neoplasia: A Consensus Statement by the US Multi-Society Task Force on
Colorectal Cancer. Gastroenterology. 2017 Apr;152(5):1217-1237.e3.
9. Strasinger SK, Lorenzo MSD. Urinalysis and Body Fluids. 6th ed. Philadelphia:
FA Davis Company; 2014. p. 255-65. In.
10. Aulia D, Timan IS, Firmansyah A. Fecal alpha-1 antitrypsin concentration in
protein-losing enteropathies caused by Rotavirus and enteropathogenic bacteria
infection. PI [Internet]. 31Dec.2009 [cited 2Apr.2022];49(6):315-. Available from:
https://paediatricaindonesiana.org/index.php/paediatrica-indonesiana/article/
view/590.
11. Fitriyana, Fitriyana & Jurnalis, Yusri & Yerizel, Eti. (2018). Perbedaan Kadar
Alpha 1 Antitrypsin Feses Berdasarkan Tingkat Keparahan Diare Akut pada
Anak. Sari Pediatri. 19. 267. 10.14238/sp19.5.2018.267-72.
12. Leeds JS, Oppong K, Sanders DS. The role of fecal elastase-1 in detecting exocrine
pancreatic disease. Nat Rev Gastroenterol Hepatol. 2011;8:405–15.
13. Kasırga E. The importance of stool tests in diagnosis and follow-up of
gastrointestinal disorders in children. Turk Pediatri Ars. 2019 Sep 25;54(3):141–8.
14. Degraeuwe PL, Beld MP, Ashorn M, et al. Faecal calprotectin in suspected

Pertemual Ilmiah Berkala PGHNAI XIV 179


paediatric inflammatory bowel disease. J Pediatr Gastroenterol Nutr.
2015;60:339–46.
15. Holtman GA, Lisman-van Leeuwen Y, Kollen BJ, et al. Diagnostic Accuracy of
Fecal Calprotectin for Pediatric Inflammatory Bowel Disease in Primary Care:A
Prospective Cohort Study. Ann Fam Med. 2016;14:437–45.
16. Li F, Ma J, Geng S, et al. Fecal calprotectin concentrations in healthy children
aged 1-18 months. PLoS One. 2015;10:e0119574.
17. Orfei M, Gasparetto M, Hensel KO, Zellweger F, Heuschkel RB, Zilbauer M.
Guidance on the interpretation of faecal calprotectin levels in children. PLoS
One. 2021 Feb 11;16(2):e0246091. doi: 10.1371/journal.pone.0246091. PMID:
33571226; PMCID: PMC7877663.
18. Jones NL, Koletzko S, Goodman K, et al. Joint ESPGHAN/NASPGHAN
Guidelines for the Management of Helicobacter pylori in Children and
Adolescents (Update 2016) J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2017;64:991–1003.
19. Shim JO. Clostridium difficile in Children: To Treat or Not to Treat? Pediatr
Gastroenterol Hepatol Nutr. 2014 Jun;17(2):80–4.
20. Binnicker MJ. Multiplex Molecular Panels for Diagnosis of Gastrointestinal
Infection: Performance, Result Interpretation, and Cost-Effectiveness. J Clin
Microbiol. 2015 Dec;53(12):3723–8.
21. Bauman WR. Microbial disease of the digestive system. In: Bauman WR.
Microbiology with diseases by body system. 3rd ed. San Francisco: Pearson
Education inc.2012;p.705-38. In.
22. Slutsker L, Ries A, Greene KD, et al. Escherichia coli 0157:H7 diarrhea in the
United States: clinical and epidemiologic features.
23. Lee JY, Cho SY, Hwang HSH, Ryu JY, Lee J, Song ID, et al. Diagnostic yield of
stool culture and predictive factors for positive culture in patients with diarrheal
illness. Medicine (Baltimore). 2017 Jul 28;96(30):e7641.
24. Procop GW, Church DL, Hall GS, et al. Introduction to microbiology. Koneman’s
color atlas and textbook of diagnostic microbiology. 7th ed. Philadelphia: Wolters
Kluwer Health. 2017. p.66-110. In.

180 Optimalisasi dan Kolaborasi Layanan Kesehatan Saluran Cerna, Hati, dan Nutrisi Anak dalam Deteksi dan Pencegahan Stunting di Indonesia

Anda mungkin juga menyukai